MODEL KEBIJAKAN PENAL DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (SEXUAL CRIME ON CHILD) PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II pada Jurusan Magister Ilmu Hukum Oleh : MUHAMMAD SYAMSU RIZAL R-100140018 MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016 MODEL KEBIJAKAN PENAL DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN SEKSUALTERHADAP ANAK (SEXUAL CRIME ON CHILD) ABSTRAK Tindak kekerasan terhadap anak sudah mencapai pada puncaknya. Banyak anak-anak yang tidak berdosa harus memupus harapan untuk meraih cita-cita dikarenakan menjadi korban kekerasan terlebih kekerasan secara seksual. Pemerintah langsung bergerak cepat untuk melakukan perlindungan terhadap anak dengan cara membentuk sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat tiga hukuman tambahan yakni penanaman chip, pengumuman identitas pelaku dan kebiri kimiawi agar para pelaku memiliki efek jera dan untuk calon pelaku agar tidak melakukan hal yang sama. Kata Kunci: Kekerasan terhadap anak, hukuman kebiri kimiawi, hukuman pidana penjara, efek jera pelaku. MODEL POLICY PENAL PREVENTION EFFORTS IN SEXUAL CRIMES AGAINST CHILDREN ABSTRACT Violence against children has reached at its peak. Many children who are innocent should be dispelled hopes to achieve goals due to violence especially sexual violence. Government to move quickly to make the protection of children by establishing a legislation which contains three additional punishment that is planting a chip, the announcement identity of the offender and chemical castration that the perpetrators have a deterrent effect on potential perpetrators and not to do the same thing. However, a sentence of imprisonment and the application of additional penalties is still considered unable to give deterrent effect to the perpetrators.. Keywords: Violence against children, sentenced to chemical castration, a sentence of imprisonment, the perpetrator deterrent effect. I. PENDAHULUAN Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang diubah dengan undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Undang-undang 1 ini juga bertujuan melindungi anak agar mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, sehat, cerdas, berakhlak mulia dan sejahtera.1 Oleh karena itu, hukuman pidana yang diatur di dalam undang-undang ini sebenarnya sudah dirasa cukup untuk memberikan efek jera untuk para pelaku kekerasan terhadap anak. Akan tetapi dengan perlindungan yang sedemikian rupa itu, tetap tidak dapat melepaskan anak dari tindakan pidana yang dilakukan oleh para pelaku tindak kriminal. Keamanan yang kondusif, serta perlindungan terhadap warga negara adalah impian setiap masyarakat Indonesia. Terlebih perlindungan terhadap anak dari tindak kejahatan baik kejahatan yang dapat memperngaruhi psikis, seksual dan juga eksploitasi anak. Oleh karena itu, pemerintah sebagai garda terdepan dalam melakukan perlindungan warga negaranya, telah berusaha dengan banyak merumuskan peraturan – peraturan undang-undang untuk melindungi anak dari kejahatan. Akan tetapi, dengan begitu banyaknya peraturan yang sudah menjadi hukum positif atau hukum yang berlaku dan juga memuat pasal-pasal hukuman pidana yang sangat berat, dalam kenyataannya (Das Sein) masih banyak dijumpai kasus – kasus kejahatan terhadap anak. Seperti yang barubaru ini terjadi kasus yang terjadi di Sumatra yangmana kasus itu cukup menyita banyak perhatian masyarakat dan LSM-LSM yang bergerak di Perlindungan Wanita dan Anak. Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan juga dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan yang telah 1 Munawara, dkk. Bagian Hasanudin Makassar dan Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Univ.Hasanudin Makassar. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Ttindak Pidana yang dilakukan oleh Anak di Kota Makassa , hal. 3 2 digariskan dalam pembukaan UUD 1945 itu secara singkat ialah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan pancasila”.2 Emile Durkeim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan bahkan dia menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis dan perbuatan yang telah menggerakkan masyarakaat tersebut seringkali disebut sebagai kejahatan. Perlu ditegaskan, kejahatan bukan merupakan fenomena alamiah melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, dicap dan ditanggapi sebagai kejahatan, harus ada masyarakat yang norma, aturan dan hukumnya yang dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma – norma dan menghukum pelanggarnya.3 Dewasa ini, banyak faktor yang menyebabkan para pelaku kejahatan melakukan kejahatan terhadap anak, antara lain adalah faktor psikologis si pelaku sebagai contoh si pelaku mengidap kelaian seksual atau Phedopile, faktor sosial seperti lingkungan di mana pelaku tinggal yang banyak terjadi pelanggaran hukum, himpitan ekonomi yang mengharuskan anak-anak ikut mencari uang dan bahkan eksploitasi terhadap anak. Dan dalam melakukan aksinya, para pelaku tindak kejahatan terhadap anak tidak melihat anak tersebut berasal dari status dan umur. Kerugian yang sering diterima atau diderita oleh korban misalnya fisik, mental, ekonomi, harga diri, dan sebagainya. Artinya yang bersangkutan korban murni dari kejahatan yang memang korban yang sebenarnya benarnya atau senyatanya. Korban tidak bersalah hanya semata sebagai korban yang 2 Barda Nawawi, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Genta Publishing: Yogyakarta, hal. 1 3 I. S Susanto dalam Herdian Eka Putravianto, Tesis, Kebijakan Penal Dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan Jalanan (Street Crimes), hal. 2 3 kemungkinan penyebabnya antara lain, kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan korban atau mungkin kesialan korban.4 Menurut G. Widiartana, membedakan korban berdasarkan tindakan pelaku yaitu sebagai berikut:5 (1) Korban langsung yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku; (2) Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa. Penggunaan sarana penal menitikberatkan pada proses pemidanaan yang memiliki pandangan sebagai upaya pemberantasan kejahatan, yang salah satu konsekuensinya yaitu dengan sanksi pidana penjara.6 Masih masuk dalam ruang lingkup politik hukum pidana selain upaya penanggulangan kejahatan terhadap anak melalui sarana penal yang bersifat Represive dapat pula menggunakan sarana non penal. Dimana lebih menitik beratkan pada upaya Preventive.7 Permasalahan yang dirumuskan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Apakah sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan terhadap anak telah sesuai dengan tujuan dari kebijakan penal?; (2) Bagaimana model alternatif hukuman pidana penjara yang efektif guna mencegah kejahatan terhadap anak?. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Memahami dan mengerti keefektifan sanksi pidana dalam mencegah terjadinya kejahatan terhadap anak dan mengetahui alternatif hukuman pidana penjara dalam upaya pencegahan tindakan kejahatan terhadap anak sebagai pembaharuan hukum pidana yang akan datang. Manfaat dari penelitian ini (1) Agar semua instansi penegak hukum dan masyarakat mengetahui keefektivitasan sanksi 44 Bambang Waluyo, 2011, Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika: Jakarta, hal. 19 Ibid, hal. 20 6 Herdian Eka Putravianto, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, Kebijakan Penal Dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan Jalanan (Street Crimes), hal. 12 7 Ibid, hal. 13 5 4 pidana dalam mencegah kejahatan terhadap anak. (2) Agar memberikan gambaran terhadap bagaimana model hukuman alternatif yang tepat dalam upaya mencegah kejahatan terhadap anak untuk pembaharuan hukum pidana yang akan datang. II. METODE PENELITIAN Metode pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk mendekati masalah dari aspek peraturan perundang-undangan. Pendekatan empiris dimaksud adalah sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup di masyarakat. Jadi penelitian dengan pendekatan empiris harus dilakukan di lapangan.8 Intinya, metode pendekatan ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar peran dari sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan terhadap anak. Jenis penelitian ini adalah penelitian deksriptif. Dalam penelitian ini, penulis ingin berusaha mendekripsikan mengenai pengimplementasian kebijakan penal guna menanggulangi kejahatan terhadap anak dan bagaimana model hukuman alteratif yang tepat dari kebijakan penal apabila kebijakan tersebut tidak mampu sesuai dengan tujuan kebijakan penal itu sendiri. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik wawancara dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif. Lokasi penelitian ini difokuskan pada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak yakni LSM Spek-HAM dan Unit PPA Polresta Surakarta. Jenis data dari penelitian ini adalah (1) Data primer (wawancara dengan penyidik Unit PPA Polresta Surakarta dan LSM Spek-HAM), (2) Data sekunder 8 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. 60-61. 5 meliputi KUHAP, KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Sistem Peradilan Anak yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan PERPU Nomor 1 Tahun 2016 serta literatur-literatur yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pembahasan dengan metode penelitian di atas, maka hasil penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut: A. Kebijakan Penal dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Terhadap Anak Hasil dari wawancara yang dilakukan ditemukan bahwa angka tindak kekerasan terhadap anak masih sangat tinggi meskipun aturan hukum tentang perlindungan anak sudah mengatur dengan sanksi yang sangat tinggi. Berikut data kasus yang masuk ke Unit PPA Polresta Surakarta: Data perbandingan perkara Unit PPA Polresta Surakarta PERKARA NO 2011 2012 2013 2014 2015 1 Perkosaan 8 - 8 9 2 Cabul 7 11 7 7 3 Penelantaran Anak - - - 4 Penganiayaan Anak 2 2 2 5 5 Melarikan Anak 3 4 3 2 6 Perdagangan Anak 1 - 1 1 7 Perdagangan Perempuan 1 5 1 - 8 Penganiayaan/KDRT 26 29 25 28 9 Penelantaran Istri 1 - 1 - 10 Lain – lain 12 6 12 15 57 60 67 Jumlah 2016 6 Sumber : Unit PPA Polresta Surakarta Mendasar pada data di atas, tindak kekerasan yang sering terjadi di Kota Surakarta adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Diikuti dengan tindak kejahatan pemerkosaan dan pencabulan. Dapat diperhatikan jika tingkat tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban meningkat setiap tahunnya. Dan itu sudah menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan Data perkara yang ditangani Unit PPA Polresta Surakarta PERKARA NO JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL 1 Perkosaan - - 2 - 1 - - 2 Cabul - - 4 - - 2 1 3 Penelantaran Anak - - - - - - - 4 Penganiayaan Anak 1 4 - 1 2 - - 5 Melarikan Anak - - - - - - - 6 Perdagangan Anak - - - 1 - - - 7 Perdagangan Perempuan - - 1 - - - - 8 Penganiayaan/KDRT 4 1 1 - 2 1 - 9 Penelantaran Istri - - - - - - - 10 Lain – lain 1 1 - 1 1 1 1 Jumlah 6 6 8 3 6 4 2 Sumber : Unit PPA Polresta Surakarta Berdasarkan data di atas, menjelaskan jenis kejahatan yang ditangani oleh Unit PPA Polresta Surakarta. Dengan kejahatan pencabulan yang paling sering mendominasi penanganannya. Apabila melihat dari data Unit PPA Polresta Surakarta diatas, pada tahun pada bulan maret terdapat 4 kasus pencabulan yang terjadi di wilayah hukum polresta surakarta. Dari fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual masih sering terjadi. Sehingga 7 bentuk kondisi kenyamanan dan keamanan di masyarakat terutama untuk anak-anak masih belum terjamin. Sistem perundangan-undangan tentang perlindungan anak dewasa ini semakin menjerat dengan hukuman yang seharusnya dirasa cukup dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku, akan tetapi dengan masih banyaknya kecenderungan pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual masih tinggi, sudah tentu bisa diambil kesimpulan bahwa sudah sesuaikah pemberian sanksi pidana penjara yang begitu lama dengan tujuan dari kebijakan penal atau penggunaan hukum pidana. Akan tetapi, hukuman pidana penjara sangatlah masih diperlukan. Menurut Herbert L. Pecker yang juga membicarakan masalah pidana ini dengan segala keterbatasannya di dalam bukunya The Limits of Criminal Sanction, akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut:9 (1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana; (2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman dari bahaya; (3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupaka pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Wawancara yang penulis lakukan dengan Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kasus LSM Spek-HAM Fitri Haryani mengungkapkan jika untuk kasus 9 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of Criminal Sanction, Standford University Press, California, hal. 364-366. 8 kekerasan terhadap anak terlebih kekerasan secara seksual dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pelaku biasanya adalah orang terdekat dari anak tersebut. Komisi Perlindungan Anak Indonesia melalui Ketua Asrorun Ni’am Sholeh berpendapat bahwa tingkat kekerasan anak di Indonesia masih tinggi dan banyak dari kasusnya adalah dilakukan oleh orang terdekat dari anak itu sendiri. Setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700 dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya.10 Tahun Prosentase Jenis Kasus 859 (42%) Pelaku Jenis Kejahatan 2010 Jumlah kasus yang terjadi 2046 Orang Terdekat Pelecehan terhadap anak 2011 2426 1407 (58%) Orang Terdekat Pelecehan terhadap anak 2012 2637 1634 (62%) Orang Terdekat Pelecehan terhadap anak 2013 3339 2070 (52%) Orang Terdekat Pelecehan terhadap anak 2014 3726 1751 (47%) Orang Terdekat Pelecehan terhadap anak 2015 4725 2409 (51%) Anak dibawah 14 Tahun Pelecehan terhadap anak Sumber: KPAI Data di atas telah cukup membuktikan bahwa hukum yang ada saat ini masih dirasa belum bisa memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan kekerasan terhadap anak. 1. Ketentuan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Ketentuan hukum untuk menanggulangi kejahatan kekerasan terhadap anak telah banyak dirumuskan ke dalam beberapa sistem perundang-undangan berdasarkan jenis tindak pidananya. Berdasarkan kejahatan-kejahatan yang terjadi di Kota Surakarta sebagaimana di atas, berikut akan dijabarkan dalam tabel delik dan sanksi yang menjerat pelaku tindak kekerasan terhadap anak. 10 Tempo.Co, https://m.tempo.co/read/news/2016/04/26/173765863/kpai-kekerasan-terhadapanak-di-indonesia-masih-tinggi, diakses pada 28 November 2016 Jam 20.00 WIB. 9 a. Tabel 1 dalam KUHP:11 KUHP No Delik Pasal (dalam KUHP) Sanksi 1 Kekerasan dalam rumah tangga - - 2 Penelantaran anak - Penjara maksimal 7 tahun Penjara 12 tahun 3 Pencabulan Pasal 294 4 Perkosaan Pasal 285 5 Penganiayaan Anak Penjara 8 bulan 7 Perdagangan Anak Pasal 351 Pasal 332 ayat (1) angka 1 - 8 Kekerasan seksual Pasal 285 Penjara 12 tahun 6 Melarikan Anak 9 Persetubuhan Penjara 7 tahun - - - Perlindungan Anak tidak hanya diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana saja, melainkan juga di dalam banyak sistem perundang-undangan antara lain: (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak yang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak; (2) Undang-undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berikut table klasifikasinya: UNDANG-UNDANG Delik NO Sanksi Pasal dalam Undang-undang Kekerasan dalam Pasal 44 ayat (1) UU KDRT 1 rumah tangga Pasal 76C UU Perlindungan Penelantaran anak 2 Anak Pasal 82 UU Perlindungan Pencabulan 3 anak Perkosaan 4 11 Pasal 81 ayat (1) Perlindungan Anak. Penjara 5 tahun atau denda Rp. 15.000.000.000 Penjara maksimal 15 tahun Penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp. 15.000.000.000 Penjara 5 tahun dan maksimal UU 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 KUHP 10 Penganiayaan Anak 5 6 Melarikan Anak Perdagangan Anak 7 8 9 b. Kekerasan seksual Persetubuhan Pasal 80 ayat (1) Perlindungan Anak - UU Penjara 3 tahun 6 bulan dan/atau denda Rp. 72.000.000.000 Penjara mininal 3 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda Pasal 83 UU Perlindungan paling sedikit Rp. 60.000.000 Anak dan paling banyak Rp. 300.000.000 Penjara 12 tahun atau denda Rp. Pasal 46 UU KDRT 36.000.000.000 Pasal 82 UU Perlindungan Penjara maksimal 15 tahun dan anak denda Rp. 15.000.000.000 Tabel 2 dalam perundang-undangan : Berdasarkan pada dua tabel di atas, dapat dijelaskan klarifikasi delik-delik tentang kejahatan kekerasan baik kekerasan terhadap fisik maupun seksual terhadap anak yang diatur baik di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun di dalam sistem perundang-undangan. Dari begitu banyaknya perbuatan yang mendapatkan sanksi yang cukup berat, penerapan sanksi baik dari sanksi dalam KUHP maupun sanksi dalam undang-undang, dapat diketahui bahwa ancaman yang diterapkan mungkin memberatkan bagi para pelaku dan memberikan dampak psikis, akan tetapi jika melihat peruntukan bagi masyarakat, mereka belum dapat dikatakan terbebas dari ancaman pelaku-pelaku yang lainnya. Penjelasan delik kejahatan terhadap anak sebagaimana dijabarkan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa sudah sesuaikah pemberian sanksi pidana bagi para pelaku dengan lamanya waktu dan besarnya denda Salah satu usaha penanggulangan kejahatan adalah menggunakan pidana dengan sanksinya berupa pidana penjara. Namun demikian, usaha ini sering dipersoalkan. Perbedaan mengenai peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan ini, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun.12 Menurut Herbet L. Packer, usaha 12 Inkeri Anttila, 1976, A New Trend in Criminal Law in Finland, dalam Criminoliy Between the Rule of Law and The Outlaws, edited by Jaspere, Van Leeuwen Burow and Toornvilet, Kluwer, Deventer, hal. 145. 11 pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan “suatu problem sosial yag mempunyai dimensi hukum yang penting”.13 Diperlukannya sebuah bentuk hukum yang baru, tidak lepas dari adanya kekurangan dari hukum yang telah ada. Berikut keunggulan dan kekurangan hukuman yang ada saat ini: Hukuman pidana penjara memiliki beberapa tujuan antar lain:14 (1) Agar masyarakat mengetahui bahwa hukum itu harus dipatuhi; (2) Agar orang lain tidak terpengaruh dari sifat jahat dari pelaku; (3) Agar orang atau pelaku tidak melarikan diri; (4) Agar pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya; (5) Agar pelaku mendapatkan pembinaan yang efektif dan efisien; (6) Agar rasa keadilan korban terpenuhi Akan tetapi, hukuman pidana penjara tidak pernah lepas dari kekurangan dan juga kelebihan dari hukuman tersebut. Berikut kelebihan dan kekurangan dari hukuman pidana penjara: Keunggulan Pidana Penjara Pidana penjara memiliki peran fungsi untuk bagaimana mengawasi pelaku yang bersangkutan dan melakukan pembinaan terhadap narapidana. Kekurangan Pidana Penjara Sarana bangunan yang dimiliki saat ini adalah bangunan peninggalan dari pemerintahan kolonial belanda. Sehingga kondisi bangunan patut dipertanyakan. 13 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of Criminal Sanction, Standford University Press, California, hal. 3. 14 C. Djisman Samosir, 2012, Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakatan, Bandung: Nuansa Aulia hal. 59 12 Kemungkinan melakukan pengawasan terhadap kejahatan bisa dipersempit ruang geraknya karena pelaku berada didalam penjara. Lembaga pemasyarakatan tidak disiapkan untuk menampung para narapidana yang seiring berjalannya waktu semakin bertambah jumlahnya. Dengan pengawasan yang sangat ketat, kecil kemungkinan kesempatan melarikan diri pelaku. Sering terdapat adanya narapidana yang spesial sehingga menimbulkan kecemburuan antar narapidana. Mengurangi minat masyarakat untuk melakukan tindak pidana kejahatan Kontrol yang kurang dalam mengawasi petugas dan narapidana, sehingga lembaga pemasyarakatan cenderung menjadi tempat peredaran narkoba. Dengan adanya pidana penjara, pelaku tidak memiliki kesempatan untuk mempengaruhi masyarakat untuk melakukan hal yang sama . Keadilan yang diharapkan oleh korban kejahatan dapat terpenuhi Sering timbul kericuhan antar narapidana yang timbul akibat perasaan tertekan dan sifat ingin berkuasa. Stigma buruk yang diterima oleh narapidana ketika bebas dari lembaga pemasyarakatan Selain hukuman pidana penjara, hukuman tambahan berupa kebiri kimiawi pun akhirnya dipergunakan meskipun belum ada putusan pengadilan yang memutuskan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Kebiri sendiri terdapat dua metode yakni kebiri secara operasi dan kebiri secara kimiawi. Berikut alasan kebiri kimawi lebih tepat untuk diterapkan terhadap pelaku kekerasan seksual anak:15 15 Siddi Khudalkar, 2016, The World Journal on Juristic Polity: Chemical Castration Suitable Punishment For Phedophilies, National Law School of India University, hal. 2 13 - Reversible and not permanent Chemical castration is neither alteration nor sterilization. Unlike surgical castration, chemical castration is reversible once the treatment is stopped, thus its use has hardly any impact on person’s right to procreate. (Kebiri kimiawi bukan merupakan alternatif atau sterilisasi. Tidak seperti operasi kebiri, kebiri kimiawi merupakan sesuatu yang dapat dikembalikan ketika prosesnya berhenti, akan tetapi tetap menimbulkan efek yang berat untuk seorang laki-laki menjadi seorang ayah) - Low recidivism rate In a case of pedophiles, it is their irresistible sexual desire for children that make them commit a crime. Even if a pedophile is imprisoned, after the end of sentence probability of commission of a crime for a male pedophile is very high. After voluntary chemical castration, it was reduced from up to 50%. In Denmark, recidivism rate reduced from up to 50% to 1,1%. (Dalam kasus pedofilia, hasrat seksual mereka terhadap anak-anak yang tidak dapat dikendalikan membuat mereka melakukan kejahatan. Bahkan jika seorang pedofilia masuk penjara, setelah mereka menyelesaikan masa tahanannya, kemungkinan terjadinya kejahatan yang sama sangat tinggi. Setelah melakukan kebiri kimiawi secara sukarela, kejahatan menurun sebanyak 50%. Di Denmark, angka residivis kejahatan seksual turun dari angka 50% ke 1,1%. - Reversible side effects Opponents of chemical castration argue that it has serious physilogical effects namely, headache, loss of body weight, hyperglycemia, high basal body temperature, fatigue and lethargy, diabetes mellitus etc. But they are very rare and revocale once the treatment is stopped. It is usually misbelieved that chemical castration leads to impotency and lack of erecction and ejaculation when under medication. But patients undergoing MPA treatment do not get abnormal abrupt erections and 14 ejaculations but have no problem when promoted by researcher or partner. Mengenai penghukuman dengan cara pidana tambahan kebiri, banyak kalangan masih meragukan mengenai keefektifitasan dari hukuman kebiri ini apabila hukuman tersebut diterapkan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa mereka enggan melakukan hukuman kebiri terhadap para pelaku kejahatan terhadap anak terutama kekerasan seksual.16 Menurut Seksolog dr. Boyke, bahwa kebiri kimiawi ini justru akan membuat si pelaku semakin merasa kesakitan dan pelaku akan menaruh dendam menaruh dendam. Sebagaimana wawancara dengan Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kasus Berbasis Masyarakat Spek-HAM Surakarta, Fitri Haryani bahwa dengan diterapkannya hukuman pidana tambahan kebiri kimiawi, belum memberikan jaminan akan menurunnya tingkat kejahatan terhadap anak. Hukuman kebiri juga dianggap melanggat HAM. Berdasarkan Pasal 4 Undangundang HAM menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain:17 (1) Hak untuk hidup; (2) Hak untuk tidak disiksa; (3) Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; (3) Hak beragama; (4) Hak untuk tidak diperbudak. Meskipun telah diatur hak-haknya, hal tersebut dapat tidak berlaku ketika seseorang tersebut menjadi pelaku dari tindak pidana kejahatan seksual yang telah merenggut hak asasi dari korban. 16 http://nasional.kompas.com/read/2016/07/25/17432961/idi.tegaskan.tidak.mau.didorong.jadi.eksekutor. kebiri, diakses pada Jum’at 21 April 2017 Pukul 11.03 WIB. 17 O.C. Kaligis, 2013, HAM & Peradilan HAM, Jakarta: Yarsif Watampone, hal. 15 15 B. Model Kebijakan Penal dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Terhadap Anak Penerapan pidana penjara sangat berkaitan erat dengan sistem perumusan ancaman pidana itu sendiri. Baik didalam KUHP maupun Undang-undang. Untuk itu, guna membahas permasalahan yang dikemukakan di atas, pertama-tama meninjau dahulu kebijakan penal yang selama ini menjadi dasar hukum dalam menanggulangi permasalahan khususnya kasus kejahatan terhadap anak baik yang terdapat di dalam KUHP maupun di luar KUHP. Pola Jenis Sanksi Pidana (Pasal 10 KUHP), Jenis sanksi yang digunakan di dalam KUHP, terdiri dari jenis pidana dan tindakan yang terdiri dari: (1) Pidana: Pidana Mati, Penjara, Kurungan, Denda dan Tutupan; (2) Pidana Tambahan: Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.18 Berikut Tabel klarifikasi bobot delik: Bobbot Delik Jenis Pidana Sangat Ringan Denda Keterangan - Perumusannya tunggal Denda Ringan Berat Penjara dan Denda Perumusannya alternatif Penjara 1-7 tahun Sangat Serius - Penjara Perumusannya tunggal - Mati Dapat diakumulasikan dengan denda Konsep atau model hukuman yang seharusnya dibentuk untuk melindungi anak adalah hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Karena secara tidak langsung, hak hidup anak yang menjadi korban kekerasan seksual sudah hilang karena dirampas secara paksa oleh para pelaku. Kejahatan seksual terhadap anak sama halnya dengan tindak pidana pembunuhan berencana di KUHP. Karena apabila yang menjadi korban meninggal, berarti korban tersebut meninggal karena telah direncanakan oleh 18 KUHP 16 pelaku.19 Hukuman mati tidak diberlakukan untuk semua pelaku kekerasan seksual terhadap anak, akan tetapi diberlakukan hanya untuk pelaku dewasa saja. Hukuman mati pernah dijatuhkan oleh hakim kepada salah satu terdakwa pelaku kejahatan seksual yang menimpa anak bernama Yuyun. Dan diharapkan putusan ini menjadi yurisprudensi untuk menindak para pelaku dan calon pelaku supaya tidak melakukan tindak pidana yang sama agar timbul efek jera. Perkembangan terakhir, keabsahan dari hukuman mati ini terus dipertanyakan. Hal ini terkait dengan pandangan Hukum Kodrat yang menyatakan bahwa jika hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurangi dengan alasan apapun oleh siapapun, atas nama apapun, bahkan oleh negara sekalipun. Berikut beberapa pandangan tentang hukuman mati:20 a. Sudut Pandang Konstitusi dan Perundang-undangan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28A yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dan juga pasal 28I ayat 1 yang berbunyi: “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” 19 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160511180458-12-130047/kejaksaan-segeratuntut-mati-pelaku-kekerasan-seksual-anak/, diakses pada 4 Januari 2017 pukul 12.00 WIB. 20 https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-matideath-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/, diakses pada 4 Januari 2017 pukul 12.00 WIB. 17 Berdasarkan pada dua pasal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pandangan tentang hak-hak individu yang dianut oleh Indonesia mengakui bahwa “Hukum Kodrat” itu ada dan melekat. Dan telah diatur di dalam konstitusi Negara Indonesia. Akan tetapi, meskipun telah ada perubahan nilai dasar hukum sebagaimana di atas, seharusnya membawa konsekuensi adanya amandemen atau perubahan terhadap seluruh sistem perundang-undangan yang masih memasukkan unsur hukuman mati sebagai salah satu bentuk penghukuman karena bertentangan dengan konstitusi. Sistem perundangundangan yang masih menerapkan hukuman mati antara lain: (1) Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang penerapan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Yang mana dalam undang-undang ini, pemberlakuan hukuman mati terdapat dalam pasal 6, 8, 10, 14, 15, dan 16; (2) KUHP pada pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana masih mencantumkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum; (3) Undang-undang No 5 Tahun 1997 Tenang Psikotropika Pasal 59 Perkara tentang hukuman mati sebagai pelanggaran HAM pernah diperkarakan oleh terpidana mati kelompok Bali Nine ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal dalam undang-undang narkotika dapat disetarakan sebagai “The most serious crime” dan hal ini yang menjadi pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 2-3/PUU-V/2007. 18 b. Sudut Pandang Hukum HAM Internasional Hukuman mati adalah sebuah penghukuman dan menjadi sebuah isu yang paling kontroversialdalam Kovenan Internasiona Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political Rights). Meskipun Hak Hidup diakui sebagai Non-derogable Rights atau hak yang tidak dapat dikurangi, akan tetapi pada Pasal 6 (ayat2, 4 dan 5) dinyatakan bahwa hukuman mati tersebut masih diperbolehkan. Pasal 6 ayat (2) “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.” Pasal 6 Ayat (4) “Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.” Pasal 6 ayat (5) “Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung.” Tafsir progresifnya secara implisit menunjukan bahwa sebenarnya Kovenan Hakhak sipil dan politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, akan tetapi berusaha untuk menekan, memperketat, dan memperkecil lingkup praktek hukuman mati. Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi 19 Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik . Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain: (1) Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji; (2) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan; (3) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila; Selanjutnya, (4) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian; (5) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai; (6) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan 20 banding tersebut bersifat imperatif/wajib; (7) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan; (8) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman; (9) Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan. c. Hukuman Mati dari Pandangan Islam Dalam berbagai kitab-kitab fiqih, pembahasan tentang hukuman mati menjadi bagian dari pembahasan tentang kriminalitas (Al-Jinayah), seperti Pencurian (AlSariqah), minuman keras (Al-Khamr), perzinahan (Al-Zina), hukum timbal balik (AlQishas), Pemberontakan (Al-Bughat), dan perampokan (Qutta’u tariq). Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat) dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam. Hukuman mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak pidana yang dinyatakan sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital) dimana jika tidak ada pengampunan dari pihak keluarga dengan membayar denda pengganti (al-diyat), maka pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati sebagai bentuk hukum balas/timbal balik (alqishas). Dalam konsepsi ini, maka kejahatan dibalas dengan hukuman yang serupa. Dalam kasus penetapan hukuman mati (al-qishas), ditetapkan beberapa syarat antara lain: bahwa yang bersangkutan telah melakukan pembunuhan terhadap yang tak “boleh” 21 (haq) dibunuh, atau orang yang “boleh” (haq) dibunuh, akan tetapi belum diputuskan oleh hakim. Pelaku bisa dihukum mati dengan ketentuan bahwa pada saat melakukan kejahatan telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil). Dalam Islam hukuman mati hanya bisa ditegakkan oleh pemerintahan Islam, dimana konstitusi dan undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam. Itu pun harus melalui mekanisme peradilan, bukan semata-mata bersandar pada fatwa seorang ulama. Hukuman mati pun hanya berlaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat ketat, seperti konteks yang melatarbelakangi terjadinya suatu tindakan pidana yang diancam hukuman mati. Hukum Islam (al-fiqh) membedakan antara mereka yang sengaja, tidak disengaja, terpaksa atau bahkan dipaksa untuk melakukan suatu tindak pidana yang membawa konsekuensi jatuhnyah hukuman mati. Dalam kondisi-kondisi demikian, putusan untuk menjatuhkan hukuman mati dapat dipertimbangkan kembali. Penerapan saksi pidana penjara memang menjadi sebuah bentuk primadona dari hukum pidana itu sendiri. Akan tetapi, pidana penjara belum memberikan sebuah bentuk efek jera karena masih tingginya angka kejahatan kekerasan terhadap anak terkhusus kekerasan seksual. Bentuk model kebijakan penal tentang hukuman mati untuk pelaku kekerasan terhadap anak terlebih kekerasan seksual belum dirumuskan didalam undang-undang tentang perlindungan anak. Meskipun undang-undang tentang perlindungan anak yang baru telah disahkan, akan tetapi belum memuat tentang hukuman mati. Pasal yang dijadikan dasar untuk memutus hukuman mati untuk pelaku pemerkosaan terhadap Yuyun adalah Pasal 340 KUHP Tentang pembunuhan dengan berencana. Padahal tindak pidana kekerasan terhadap anak termasuk extra ordinary crime yang memerlukan dasar hukum tersendiri 22 dikarenakan yang menjadi pelaku tidak hanya orang dewasa, melainkan juga anak-anak. Model penghukuman untuk pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang sesuai untuk mencapai tujuan dari kebijakan penal yakni memberikan efek jera adalah hukuman mati. Meski begitu, tidak semua kejahatan seksual terhadap anak dapat dijatuhi hukuman mati. Ada unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku dalam melakukan perbuatan pelecehaan seksual terhadap anak seperti anak yang menjadi korban masih sangat kecil, pelaku berstatus masih keluarga dari korban, dan dibunuhnya korban untuk menghilangkan barang bukti. Berbeda ketika justru korbanlah yang memaksa pelaku untuk melakukan pelecehan seksual. Maka dari itu, hakim harus benar-benar melakukan pertimbangan yang matang untuk menerapkan hukuman mati untuk tindak pidana ini sehingga rasa keadilan benar-benar tercipta. IV. PENUTUP IV.1. Kesimpulan Pertama, penerapan sanksi pidana (pidana penjara) sebagai sebuah bentuk dari upaya penanggulangan kejahatan kekerasan terhadap anak belum memiliki dampak yang signifikan untuk menekan angka kualitas dari kejahatan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih tingginya angka tindak kekerasan terhadap anak yang terjadi. Hukuman pidana penjara hanya menciptakan sebuah kondisi perlindungan yang sesaat kepada masyarakat dari tindakan kejahatan kekerasan terhadap anak terlebih tindak kekerasan seksual, juga belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Kedua, penerapan pidana penjara yang belum memungkinkan untuk tercapainya efek jera dari pelaku, maka dari itu diperlukan sebuah bentuk model kebijakan penal 23 yang baru yang mempunyai tujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat terlebih untuk anak-anak mereka. Meskipun pemerintah saat ini telah mensahkan undang-undang No 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak yang memfokuskan pada pemberian hukuman tambahan yakni penanaman chip pada pelaku, pengumuman identitas pelaku dan hukuman kebiri kimia. Akan tetapi, penghukuman yang semacam itu masih dirasa belum bisa memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kekerasan terhadap anak. terlebih kekerasan seksual. Karena, semua tindak kejahatan tersebut berasal dari pikiran atau otak meskipun alat yang digunakan telah tidak berfungsi. Maka dari itu, model kebiakan penal yang dirasa cukup dapat memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan terhadap anak terlebih kekerasan seksual adalah hukuman mati. Ketiga, dengan diterapkannya hukuman pidana tambahan berupa kebiri kimiawi juga merupakan langkah yang berani yang diambil oleh pemerintah Indonesia Dikarenakan sudah sangat tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak. Negara Amerika Serikat telah menjalankan hukuman kebiri kimiawi sejak tahun 1944 dikarenakan tingginya angka kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. dan angka residivis pelaku tindak pidana tersebut turun menjadi 50%. Keempat, Penerapan hukuman kebiri kimiawi di Indonesia sangatlah tidak tepat. Karena hal tersebut melanggar Pasal 28B ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam Pasal tersebut, warga negara memiliki hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah. 24 IV.2. Saran Pertama, kepada pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam menyusun sistem perundang-undangan yang akan mengatur sebuah tindak pidana, harus melakukan penelitian dan survey guna mengetahui bagaimana dampak yang ditimbulkan dari hukuman yang akan dibentuk. Penambahan hukuman seperti Hukuman kebiri dll tersebut, tidak lantas akan memberikan efek jera kepada pelaku dan membuat gentar calon pelaku kejahatan. Karena kejahatan terhadap anak terlebih kejahatan seksual merupakan sebuah tindakan yang sudah tidak masuk akal dan sudah merenggut hak hidup dari anak tersebut secara tidak langsung. Dengan demikian, diperlukan sebuah hukuman yang dapat langsung memberikan efek jera terhadap pelaku yakni hukuman mati. Kedua, kepada lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk mengurangi angka kejahatan disebuah daerah, diperlukan adanya sosialisasi dan kerja sama baik dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan preventif seperti pendidikan tentang seks dini terhadap anak. Dan juga peran dari orang tua dalam mengawasi dan menjaga pergaulan lingkungan anak sehingga anak menjadi aman dan terlindungi. Ketiga, Pendidikan tentang agama serta keharmonisan oleh pihak keluarga, menjadi benteng pertama dalam melakukan tindakan preventif untuk menghindari tindak kejahatan kekerasan seksual. Serta pemilihan tempat tinggal dengan lingkungan yang nyaman dan aman. 25 V. Persantunan Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, motivasi, petunjuk dan arahan dari semua fihak, penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada yang terhormat: (1) Prof. Dr. H. Khudzaifah Dimyati, SH., M.Hum, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta; (2) Ibu Wardah Yuspin, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta; (3) Dr. Natangsa Surbakti, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi sampai selesainya tesis ini; (4) Ir. Dr. Imam Hardjono, M.si selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi sampai selesainya tesis ini; (5) Bapak dan Ibu dosen Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulis mengikuti perkuliahan; (6) Seluruh staf Tata Usaha Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah membantu selama mengikuti perkuliahan; (7) Bapak Yusuf Ibrahim, S.Psi dan Ibu Siti Qomariyah, SH yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan karya tulis ini; (8) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara moril maupun materiil. 26 DAFTAR PUSTAKA Literatur Hadikusuma, Hilman. 1995. Metode Pembuatan kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju Inkeri Anttila, 1976, A New Trend in Criminal Law in Finland, dalam Criminoliy Between the Rule of Law and The Outlaws, edited by Jaspere, Van Leeuwen Burow and Toornvilet, Kluwer, Deventer Kaligis, O.C. 2013, HAM & Peradilan HAM, Jakarta: Yarsif Watampone Nawawi, Barda. 2010. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Genta Publishing: Yogyakarta Packer, Herbert L. 1968. The Limits of Criminal Sanction, Standford University Press, California Samosir, Djisman C. 2012. Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakatan, Bandung: Nuansa Aulia. Waluyo, Bambang. 2011. Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika: Jakarta Jurnal Hukum Munawara, dkk. Bagian Hasanudin Makassar dan Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Univ.Hasanudin Makassar. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak di Kota Makassar Khudalkar, Siddi. 2016. The World Journal on Juristic Polity: Chemical Castration Suitable Punishment For Phedophilies, National Law School of India University. 27 Web Site Tempo.Co, https://m.tempo.co/read/news/2016/04/26/173765863/kpai-kekerasanterhadap-anak-di-indonesia-masih-tinggi, diakses pada 28 November 2016 Jam 20.00 WIB. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160511180458-12-130047/kejaksaan-segeratuntut-mati-pelaku-kekerasan-seksual-anak/, diakses pada 4 Januari 2017 pukul 12.00 WIB. https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukumanmati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/, diakses pada 4 Januari 2017 pukul 12.00 WIB. http://nasional.kompas.com/read/2016/07/25/17432961/idi.tegaskan.tidak.mau.didorong .jadi.eksekutor.kebiri, diakses pada Jum’at 21 April 2017 Pukul 11.03 WIB. 28