pelaksanaan latihan menghadapi bencana sebagai struktur dalam

advertisement
PELAKSANAAN LATIHAN MENGHADAPI BENCANA SEBAGAI
STRUKTUR DALAM PEMBENTUKAN HABITUS DAN PRAKTIK
KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT JEPANG TERHADAP BENCANA
GEMPA BUMI
Firman Budianto
Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini menganalisis hubungan antara pelaksanaan latihan menghadapi bencana dengan
pembentukan kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi. Teori yang
digunakan dalam skripsi ini adalah teori integrasi struktur dan agen yang dikemukakan Bourdieu
mengenai konsep habitus dan praktik. Skripsi ini merupakan penelitian kualitatif. Hasil penelitian
menemukan bahwa pelaksanaan latihan menghadapi bencana di Jepang dilihat sebagai struktur
dalam pembentukan habitus dan praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana
gempa bumi. Dengan demikian, kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi
merupakan habitus dan praktik yang mengintegrasikan struktur dan agen dalam pelaksanaan
manajemen bencana di Jepang.
Kata Kunci : Bourdieu; habitus; kesiapsiagaan; latihan menghadapi bencana; manajemen bencana;
praktik; struktur
Implementation of Disaster Drills and Exercises as Structure in the Making of
Japanese Disaster Preparedness Habitus and Practice
Abstract
The focus of this work is to analize the relationship between implementation of disaster drills and exercises and the
making of Japanese disaster preparedness. This work was compiled using Bourdieu’s theory of habitus and practice.
This work was a qualitative research. This work found that implementation of disaster drills and exercises is seen as
structure in the making of Japanese disaster preparedness habitus and practice. Therefore, Japanese disaster
preparedness is habitus and practice that integrate agent and structure in the implementation of disaster management
in Japan.
Keywords : Bourdieu; disaster drills and exercises; disaster management; habitus; practice; preparedness; structure.
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
1.
Pendahuluan
Dalam menyelenggarakan kehidupan di dunia, manusia tidak pernah terlepas dari resiko
terdampak bencana. Setidaknya terdapat 500 kejadian bencana yang menimbulkan lebih dari satu
juta korban jiwa1 dengan total kerugian lebih dari USD 40 milyar setiap tahunnya (IFRC, 2012).
Menurut Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007, bencana2 adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Definisi bencana tersebut mengelompokkan bencana ke dalam “bencana alam”
dan “bencana nonalam”. Di antara kedua jenis bencana tersebut, bencana yang manusia tidak bisa
melakukan kontrol dan tidak memiliki kuasa terhadapnya adalah bencana alam. Di antara
berbagai jenis bencana alam, ada bencana yang memiliki sifat ‘tidak dapat diprediksikan
kedatangannya’, misalnya kejadian gempa bumi, yang sering kali diikuti oleh kejadian tsunami3.
Salah satu gempa bumi terbesar yang pernah terjadi di dunia adalah Gempa Bumi Besar
Jepang Timur atau 東日本大震災 (Higashi Nihon Daishinsai) yang terjadi pada 11 Maret 2011.
Gempa ini merupakan gempa bumi tektonik yang terjadi di Samudra Pasifik, tepatnya di sebelah
timur laut Jepang dengan kekuatan gempa M9,0. Gempa ini tercatat sebagai gempa bumi terbesar
kedua di dunia dari segi magnitude-nya dan juga merupakan gempa bumi terbesar yang melanda
Jepang sejak masa pengukuran dan pencatatan gempa bumi modern dimulai tahun 1900. Bencana
ini bahkan dinyatakan sebagai megadisasters, yaitu bencana terburuk yang pernah terjadi di dunia
(World Bank, 2012), dan melibatkan tiga bencana dalam sekali waktu : gempa bumi dengan skala
M9,0; gelombang tsunami yang mencapai ketinggian sepuluh meter; serta krisis reaktor nuklir
Fukushima. Bencana Gempa Bumi Besar Jepang Timur ini melanda daerah Tohoku, khususnya
Prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima, serta mengakibatkan jatuhnya korban meninggal
sebanyak 15.861 jiwa (MLIT, 2012 dalam Statistic Bureau of Japan, 2013).
1
Data berdasarkan rerata jumlah bencana yang terjadi sepanjang tahun 2001-2011 beserta jumlah rerata korban
jiwanya.
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
3
Tsunami (津波) adalah istilah yang telah diterima secara internasional untuk mengacu pada gelombang raksasa
yang disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut.
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
Tabel 1. Gempa Bumi Terbesar dari Segi Jumlah Korban Jiwa
Tanggal
Lokasi
28 Juli 1976
16 Des 1920
26 Des 2004
12 Jan 2010
1 Sep 1923
12 Mei 2008
9 Okt 2005
28 Des 1908
Hebei, China
Ningxia, China
Aceh, Indonesia
Port-au-Prince, Haiti
Kanto, Jepang
Sichuan, China
Kashmir, Pakistan
Messina, Italia
11 Mar 2011
Tohoku, Jepang
Nama Gempa
Gempa Bumi Tangshan
Gempa Bumi Haiyuan
Gempa Bumi Sumatra
Gempa Bumi Haiti
Gempa Bumi Besar Kanto
Gempa Bumi Sichuan
Gempa Bumi Kashmir
Gempa Bumi Messina
Gempa Bumi Besar Jepang
Timur
Korban
Jiwa
Kekuatan
(M)
242.800
235.502
227.898
222.500
105.000
87.587
86.000
82.000
7,8
8,5
9,1
7,3
7,9
8,1
7,7
7,1
15.861
9,0
Sumber : Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism of Japan (2012)
dalam Statistic Bureau of Japan (2013), (telah diolah kembali).
Pada saat terjadi bencana Gempa Bumi Besar Jepang Timur, dilaporkan bahwa seluruh
siswa-siswi SD dan SMP yang saat itu berada di sekolah masing-masing, berhasil
menyelamatkan diri mereka, dan bahkan siswa SMP Kamaishi Timur turut membantu siswasiswi sekolah dasar di sekitarnya untuk mengevakuasi diri ke tempat yang aman (Nishikawa,
2011: 42). Dari total 2.924 orang siswa SD dan SMP di Kota Kamaishi, hanya lima orang yang
menjadi korban, dan dari kelima orang tersebut, empat orang di antaranya adalah mereka yang
tidak masuk sekolah atau mereka yang meninggalkan sekolah lebih dulu, dan satu orang lainnya
diketahui hilang tersapu tsunami setelah pulang berkumpul bersama keluarganya (The Asahi
Shinbun, 2011). Informasi baik ini kemudian tersebar ke seluruh Jepang dan disebut sebagai “The
Miracle of Kamaishi” (Nishikawa, 2011: 42, dan The Asahi Shinbun, 2011). Para siswa tersebut
menyatakan bahwa tindakan-tindakan tersebut bisa mereka ambil berkat pengetahuan yang
mereka peroleh dari pendidikan kebencanaan melalui latihan menghadapi bencana yang mereka
ikuti di sekolahnya (Nishikawa, 2011: 42).
Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisis hubungan antara
pelaksanaan latihan menghadapi bencana dengan pembentukan kesiapsiagaan masyarakat Jepang
terhadap bencana gempa bumi. Penulis merumuskan proposisi penelitian sebagai berikut,
“terdapat hubungan antara pelaksanaan latihan menghadapi bencana dengan pembentukan
kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi”. Variabel yang akan
dideskripsikan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel (bivariat), yaitu : (1) pelaksanaan
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
latihan menghadapi bencana di Jepang, dan (2) kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap
bencana gempa bumi, dengan analisis hubungan korelasi. Unit analisa dalam penelitian ini adalah
masyarakat Jepang dengan scope negara Jepang.
2.
Tinjauan Teoritis
Penulis menggunakan teori integrasi struktur dan agen yang dikemukakan oleh Pierre
Bourdieu (1977, 1990) dengan menggunakan pendekatannya mengenai konsep praktik dan
habitus sebagai landasan teoritis penelitian ini. Praktik, dalam pemikiran Bourdieu, dilihat
sebagai hasil dari integrasi struktur mental dengan struktur sosial, dalam konteks hubungan
antara struktur dan agen. Bourdieu (1990: 14) menjelaskan konsep integrasi struktur dan agen
sebagai berikut :
“The analysis of objective structure -those of different fields- is inseparable from
the analysis of genesis, within biological individuals, of the mental structures
which are to some extent the product of incorporation of social structures;
inseparable, too, from the analysis of the genesis of these social structure
themselves: the social space, and the groups of occupy it, are the product of
historical struggles (in which agents participate in accordance with their position
in the social space and with the mental structures through which they apprehend
this space).”
Bourdieu (1990: 14)
Melalui definisi tersebut, Bourdieu berupaya mengintegrasikan dimensi dualitas struktur
dan agen. Di sini, Bourdieu menekankan pemikirannya mengenai hubungan antara struktur sosial
objektif dengan struktur mental individual, yang dalam konteks hubungan struktur dan agen akan
menghasilkan praktik. Struktur mental tersebut lahir dari produk internalisasi struktur dunia
sosial ke dalam diri agen, yang akhirnya akan membentuk suatu system of dispositions yang akan
menentukan bagaimana praktik diproduksi dan distrukturasi (Bourdieu, 1970: 72), atau yang
dalam konteks pemikiran Bourdieu disebut sebagai habitus. Praktik, dalam pandangan Bourdieu
berperan dalam mengintegrasikan struktur dan agen dengan medium habitus. Habitus juga
berfungsi sebagai basis generatif dari kesatuan objektif praktik sosial yang terstruktur, di samping
juga merupakan hasil dari praktik yang diciptakan oleh kehidupan sosial (Ritzer dan Goodman,
2011). Hubungan antara struktur sosial, habitus, dan praktik dapat dijelaskan sebagai berikut,
“struktur sosial akan memproduksi habitus, yang pada gilirannya akan menghasilkan praktik,
yang akhirnya juga akan memproduksi kembali (reproduce) struktur sosial (Rapport, 2000: 2).”
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
Berangkat dari pandangan Bourdieu mengenai habitus (1977; 1990), Kleden (2005)
mencoba merangkum tujuh dimensi mengenai habitus [(Kleden, 2005: 361-375; dan Binawan,
2007: 28-29) dalam Adib (2012: 97)]. Pertama, habitus sebagai produk sejarah berarti habitus
merupakan seperangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulangulang. Bourdieu menyatakan bahwa habitus merupakan produk historis sehingga sesuai dengan
pola dan skema yang ditimbulkan oleh sejarah (1990: 54), sehingga pada akhirnya habitus akan
menciptakan tindakan individu dan kolektif [Bourdieu (1990: 91) dan Wacquant (2005)]. Kedua,
habitus lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu ia menjadi struktur yang sudah diberi
bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial dimana dia diproduksi. Bourdieu (1977: 72) menyebut
habitus sebagai “struktur yang distruktur (structured structure)”, yaitu bahwa habitus merupakan
struktur yang distruktur oleh dunia sosial. Ketiga, habitus mempunyai dispositions yang
terstruktur, yang berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan membentuk persepsi,
representasi, serta tindakan agen. Bourdieu (1977: 72) menyebut habitus sebagai “struktur yang
menstruktur (structuring structure)”, yaitu bahwa habitus merupakan struktur yang menstruktur
dunia sosial. Keempat, habitus bersifat transposable, yakni bisa dialihkan ke kondisi sosial yang
lain Bourdieu (1970: 72), walaupun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu (Kleden, 2005
dalam Adib, 2012). Kelima, habitus bersifat pre-conscious atau berada di luar pertimbangan
rasional sehingga habitus bukan merupakan hasil dari refleksi rasio semata. Habitus lebih
merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak pula dikehendaki dengan sengaja, tetapi di
lain sisi, habitus juga bukan merupakan suatu gerakan mekanistis yang terjadi tanpa latar
belakang sejarah sama sekali (Kleden, 2005 dalam Adib, 2012). Keenam, habitus bersifat teratur
dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu (Kleden,
2005 dalam Adib, 2012). Habitus bukan hanya merupakan a state of mind, tetapi juga a state of
body dan bahkan menjadi the site of incorporated history (Adib, 2012).
3.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam untuk mengumpulkan data-
data primer, serta studi dokumen untuk memperoleh data-data primer maupun sekunder. Metode
pertama adalah metode wawancara mendalam (in-depth interview). Metode ini dipilih karena
metode ini lebih cocok digunakan untuk menggali informasi mengenai perasaan, pendapat,
pemikiran, serta pemilihan tindakan agen dalam konteks analisis habitus dan juga mengenai
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
analisis kesiapsiagaan agen terhadap bencana gempa bumi. Wawancara mendalam dalam
penelitian ini dilakukan terhadap empat orang Jepang yang ditentukan berdasarkan usia, jenis
kelamin, dan daerah tempat tinggal di Jepang. Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif
yang tidak mengutamakan generalisasi tetapi lebih kepada analisis makna, maka metode
wawancara juga lebih cocok untuk menggali makna tersebut.
Metode kedua adalah metode studi dokumen yang digunakan untuk memeroleh data
primer lain maupun data sekunder. Data tersebut dikumpulkan dari laporan resmi pemerintah
Jepang (hakusho), buku, jurnal ilmiah, surat kabar, maupun situs-situs internet milik Pemerintah
Jepang. Alasan dipilihnya metode studi dokumen adalah karena metode inilah yang paling
memungkinkan bagi penulis untuk mengumpulkan data-data yang terbatas pada dimensi ruang
dan waktu. Metode studi dokumen, menurut Bailey (1994: 294-295), memungkinkan peneliti
untuk meneliti fenomena dimana peneliti tidak memiliki akses kepadanya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis data yang ada, sehingga
penelitian ini tidak berorientasi pada generalisasi temuan penelitian. Penelitian dilakukan secara
sistematis dan faktual, serta menganalisis relevansi antara data tersebut dengan kerangka teori
yang digunakan, kemudian mengambil kesimpulan berdasarkan data dan kerangka permasalahan
penelitian di awal.
4.
Hasil dan Pembahasan
Analisis integrasi struktur dan agen dalam konteks pelaksanaan manajemen bencana di
Jepang yang terwujud dalam habitus dan praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap
bencana gempa bumi dapat dimulai dengan analisis karakteristik struktur, habitus, dan praktik
yang terdapat di dalam kesiapsiagaan tersebut. Secara teoritis, praktik berperan dalam
mengintegrasikan struktur dan agen dengan medium habitus, namun di sisi lain, sebagai stuktur
mental, habitus hanya diwujudkan di dunia sosial melalui praktik tersebut. Untuk memahami
konsep tersebut, penulis paparkan data mengenai kesiapsiagaan masyarakat Jepang dalam
konteks respons terhadap bencana gempa bumi.
I :
Misalnya, jika saat ini terjadi gempa bumi, apa yang seharusnya dilakukan? Mmm,
bangunan ini delapan lantai ya, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang
berada di lantai delapan?
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
R:
I :
R:
I :
R:
Misalnya orang yang ada di lantai delapan ya... Selama gedung berguncang karena
gempa bumi, karena bahaya tertimpa perabotan atau pecahan kaca, lindungi diri
dengan bersembunyi di bawah meja.
Itu yang pertama?
Ya, hal pertama yang harus dilakukan dibandingkan segera mengevakuasi diri
adalah bersembunyi di bawah meja untuk melindungi diri agar tidak terluka, itu
yang pertama. Setelah itu, setelah guncangan gempa berhenti, evakuasi diri. Pada
saat mengevakuasi diri, jangan menggunakan elevator, gunakan tangga atau tangga
darurat untuk pergi ke luar.
Tindakan-tindakan tersebut, apakah juga dipelajari saat latihan menghadapi
bencana?
Ya, dipelajari. Itulah (tindakan-tindakan) yang pertama kali dipelajari.
[Wawancara dengan Ibu Takai (41), 26 Nov 2013]
“Karena (kami) sudah mengikuti latihan menghadapi bencana sejak kecil, maka lahirlah
pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan secara alami, sesuai saat mengikuti
latihan yang berulang kali, sehingga ketika bencana itu terjadi, tindakan-tindakan yang
harus dilakukan tersebut, kami sudah terbiasa (mi ni tsuiteiru),…, kami akan dapat
bertindak secara alami.”
[Wawancara dengan Ibu Takai (41), 26 Nov 2013]
Data tersebut menunjukkan kesiapsiagaan Ibu Takai dalam konteks respons terhadap kejadian
gempa bumi, serta keikutsertaan dia dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana.
Kesiapsiagaan tersebut lahir sebagai hasil keikutsertaan dia dalam pelaksanaan latihan
menghadapi bencana, sehingga dalam konteks ini, kesiapsiagaan tersebut dilihat sebagai habitus
agen yang distruktur melalui pelaksanaan latihan menghadapi bencana. Dalam pandangan
Bourdieu (1977: 72), habitus merupakan struktur yang distruktur oleh dunia sosial (structured
structure). Habitus menurut Bourdieu dilihat dalam diri agen sebagai individual. Dengan
demikian, dalam penelitian ini pelaksanaan latihan menghadapi bencana dilihat sebagai struktur
yang menstruktur habitus kesiapsiagaan dalam diri agen yang kemudian terwujud dalam praktik
kesiapsiagaan dalam konteks respons terhadap bencana gempa bumi. Untuk lebih memahami
pelaksanaan latihan menghadapi bencana sebagai struktur dalam pembentukan habitus
kesiapsiagaan, berikut ini penulis paparkan beberapa data terkait pelaksanaan latihan menghadapi
bencana di Jepang.
Dalam konteks habitus sebagai product of history, habitus merupakan seperangkat
struktur mental yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang-ulang (Kleden, 2005
dalam Adib, 2012). Dengan demikian, habitus kesiapsiagaan tersebut distruktur melalui
pelaksanaan latihan menghadapi bencana yang dilakukan berulang-ulang dalam konteks
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
perjalanan historis agen sehingga habitus tersebut merupakan product of history. Berikut ini
penulis paparkan data mengenai frekuensi keikutsertaan agen dalam pelaksanaan latihan
menghadapi bencana di Jepang dan konten yang mereka lakukan saat mengikuti latihan.
“Pada dasarnya di Jepang, ada latihan menghadapi bencana, di SD, SMP, dan SMA.
Setahun dua kali, di bulan April dan September.”
[Wawancara dengan Sdr. Kuno (22), 09 Nov 2013]
“Ya, baik di sekolah maupun di perkantoran juga melakukan pelatihan.
[Wawancara dengan Bp. Yokoyama (49), 12 Nov 2013]
“Latihan dimulai sejak SD, SMP, SMA, ..., perguruan tinggi, mm.. saya tidak belajar di
perguruan tinggi, jadi saya tidak tahu, kemudian di perusahaan juga ada, jadi di Jepang
semua orang pernah mengalaminya (latihan).”
[Wawancara dengan Ibu Takai (41), 26 Nov 2013]
Di Jepang, pelaksanaan manajemen bencana secara nasional diselenggarakan berdasarkan
Disaster Countermeasures Basic Act 1961. UU ini mewajibkan pelaksanaan latihan menghadapi
bencana secara nasional sebagai implementasi dari perencanaan pencegahan bencana (DCBA,
1961: Art.46, Para.2). Pelaksanaan latihan menghadapi bencana di Jepang diatur dalam lima
pasal dalam Disaster Countermeasures Basic Act 1961. Sesuai dengan yang tertulis dalam
Disaster Countermeasures Basic Act 1961, pelaksanaan latihan menghadapi bencana di Jepang
diselenggarakan secara nasional, baik di tingkat prefektur maupun di tingkat lokal. Terhitung
sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 1961 hingga saat ini (tahun 2013), latihan telah
diadakan di Jepang selama 52 tahun. Latihan diadakan selama dua kali di lingkungan pendidikan
dasar-menengah, dan setahun sekali di lingkungan pekerjaan. Dengan begitu, Penulis berasumsi
bahwa seluruh masyarakat Jepang yang berusia di bawah 58 tahun saat penelitian ini dilakukan,
seluruhnya mempunyai pengalaman ikut serta dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana.
Setidaknya mereka telah mengikuti latihan selama 12 tahun atau sebanyak 24 kali latihan
(setahun dua kali) selama mereka duduk di bangku SD-SMA.
“Seingat saya, di sekolah kami tidak melakukan latihan seperti bagaimana cara
menggunakan alat pemadam api. Tetapi kontennya, seperti yang telah saya katakan
sebelumnya, adalah berlatih mengevakuasi diri dengan cepat, dengan mengikikuti jalur
evakuasi yan telah ditentukan sebelumnya.”
[Wawancara dengan Sdr. Kuno (22), 09 Nov 2013]
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
I :
R:
Itu berarti di dalam latihan menghadapi bencana, tidak hanya latihan mengevakuasi
diri saja, ya?
Ya, hal-hal yang harus dilakukan sebelum mengevakuasi diri pun ada, seperti
misalnya sebelum mengevakuasi diri “harus bersembunyi di bawah meja selama
guncangan gempa terjadi”, atau juga “memutus aliran gas”. Pengetahuan yang
seperti itu, telah (kami) dengar sejak masa kecil.
[Wawancara dengan Ibu Takai (41), 12 Nov 2013]
Dilihat dari jenis latihan yang dilakukan, sebagian besar aktivitas latihan yang dilakukan
di lingkungan sekolah adalah latihan evakuasi, maksudnya adalah latihan bagaimana
mengevakuasi diri keluar dari gedung sekolah atau universitas dengan cepat saat terjadi bencana,
dengan melewati jalur evakuasi yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, diajarkan pula halhal yang harus dilakukan saat terjadinya bencana. Misalnya latihan bersembunyi di bawah meja
saat gempa bumi terjadi. Selanjutnya, para siswa, guru, bahkan juru masak sekolah, akan
melakukan simulasi evakuasi diri ketika terjadi gempa bumi. Setelah mereka semua keluar dari
gedung, mereka akan berkumpul di tempat lapang dan diberikan pengarahan dan pengetahuan
kebencanaan oleh guru atau penanggungjawab pendidikan kebencanaan di sekolah.
Data tersebut menunjukkan bahwa keikutsertaan agen dalam latihan menghadapi bencana
dapat dilihat sebagai perjalanan historis agen yang berperan dalam proses pembentukan habitus.
Selanjutnya, masih dalam pandangan Bourdieu dalam konteks habitus sebagai product of history,
habitus tersebut nantinya akan mengarahkan tindakan-tindakan agen (1990: 91), dan tindakan
tersebut sesuai dengan skema yang dihasilkan oleh sejarah (1990: 54). Karakteristik ini yang
Bourdieu (1977: 72) sebut bahwa habitus merupakan structuring structure.
Pada dasarnya habitus mengandung dispositions yang terstruktur, yang berfungsi sebagai
kerangka yang melahirkan dan membentuk persepsi, representasi, serta tindakan agen (Kleden,
2005 dalam Adib, 2012. Bourdieu (1977: 72) menyebut habitus sebagai “struktur yang
menstruktur (structuring structure)”, yaitu struktur yang menstruktur dunia sosial. Habitus
kesiapsiagaan yang lahir dari keikutsertaan masyarakat Jepang dalam latihan menghadapi
bencana akan mempengaruhi dan mengarahkan praktik kesiapsiagaan mereka dalam konteks
respons terhadap bencana gempa bumi. Kemampuan habitus untuk menstruktur tindakan agen ini
yang menyebabkan habitus disebut sebagai struktur yang menstruktur. Inilah kekuatan teori
Bourdieu mengenai integrasi struktur dan agen yang terletak pada konsep habitus (Aldridge,
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
1998 dalam Ritzer dan Goodman, 2003: 522) yang Bourdieu sebut sebagai structuring structure.
Sebagai structuring structure, habitus mampu mengarahkan agen dalam pemilihan tindakan
mereka dalam konteks praktik kesiapsiagaan terhadap bencana gempa bumi.
Berikut ini penulis paparkan data pertama mengenai praktik kesiapsiagaan agen dalam
konteks persiapan yang dilakukan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi menurut Sdr.
Kuno.
I :
R:
Mengapa orang-orang melakukannya?
Dengan menyiapkan tas darurat yang di dalamnya memuat bahan makanan untuk
bertahan beberapa hari, hal itu membuat kita setidaknya sedikit merasa tenang.
Saya pikir itu juga alasan utama orang-orang melakukannya.
[Wawancara dengan Sdr. Kuno (22,) 12 Nov 2013]
Data di atas menunjukkan bahwa praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang dengan
menyediakan tas darurat lebih didasari pada kesadaran pribadi akan resiko bencana yang
sewaktu-waktu dapat terjadi, sehingga praktik tersebut juga dilihat sebagai habitus. Dalam proses
perwujudan habitus dalam dunia sosial, terutama dalam karakteristiknya sebagai structuring
structure yang mampu mengarahkan agen dalam pemilihan tindakan mereka dalam konteks
praktik kesiapsiagaan, habitus mempunyai beberapa karakteristik.
Secara teoritis, habitus bersifat teratur dan berpola, namun bukan merupakan
ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu (Kleden, 2005 dalam Adib, 2012). Habitus
bukan hanya merupakan a state of mind, tetapi juga a state of body dan bahkan menjadi the site
of incorporated history (Adib, 2012). Pada proses pembentukannya, habitus tersebut dilihat
sebagai produk internalisasi struktur dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana ke dalam
diri agen yang akan menentukan bagaimana tindakan mereka diproduksi. Dalam konteks
perwujudan habitus dalam praktik kesiapsiagaan dalam konteks persiapan menghadapi bencana
gempa bumi, misalnya praktik penyediaan tas darurat. Praktik tersebut tidak lagi sepenuhnya
diproduksi sebagai bentuk ketertundukan masyarakat Jepang terhadap peraturan tertentu, namun
diproduksi sebagai perwujudan habitus kesiapsiagaan yang ada dalam diri mereka masingmasing. Inilah sifat habitus yang disebut Kleden (2005, dalam Adib, 2012) dapat mengarahkan
praktik agen namun bukan sebagai ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu.
Praktik kesiapsiagaan kedua dalam konteks persiapan adalah keikutsertaan masyarakat
Jepang dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana secara sukarela. Berikut ini penulis
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
paparkan data mengenai keikutsertaan masyarakat Jepang dalam pelaksanaan latihan menghadapi
bencana yang diselenggarakan di lingkungan masyarakat menurut Ibu Takai.
“Namun, latihan yang diadakan oleh lingkungan, bukan merupakan kewajiban. Orang
yang berminat, silakan ikut serta, bukan merupakan sebuah kewajiban.”
[Wawancara dengan Ibu Takai (41), 26 Nov 2013]
Data di atas menunjukkan bahwa keikutsertaan masyarakat Jepang dalam pelaksanaan
latihan di lingkungan masyarakat tidak lagi sepenuhnya merupakan ketertundukan mereka
terhadap peraturan tertentu, melainkan merupakan praktik yang diproduksi oleh habitus dalam
diri mereka. Habitus kesiapsiagaan yang mereka peroleh sebagai produk internalisasi struktur
dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana, kemudian terwujud dalam keikutsertaan mereka
secara sukarela dalam pelaksanaan latihan di lingkungan masyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh
data kecenderungan peningkatan perkembangan jishubou di Jepang yang menunjukkan
peningkatan, yang pada tahun 1988 hanya sebesar 31,7% menjadi 61,3% pada tahun 2003 (Bajek,
et., al., 2007).
Selain menstruktur praktik kesiapsiagaan agen dalam konteks persiapan, habitus juga
menstruktur praktik dalam konteks respons. Berikut ini Penulis paparkan data mengenai praktik
kesiapsiagaan masyarakat Jepang dalam konteks respons ketika bencana gempa bumi terjadi.
R:
Ketika terjadi gempa yang guncangannya besar, pertama-tama lindungi
keselamatan badan, seperti misalnya bersembunyi di kolong meja... agar badan
tidak terluka oleh karena kejatuhan perabotan seperti televisi, lemari es, atau kipas
angin, selama guncangan gempa agar bersembunyi di kolong meja. Setelah
guncangan gempa berhenti, kemudian mematikan aliran gas, lalu menyelamatkan
hewan peliharaan, misalnya anjing atau kucing, kemudian keluar rumah.
[Wawancara dengan Ibu Takai (41), 09 Nov 2013]
I:
R:
Apa perbedaan tindakan yang Anda ambil ketika terjadi gempa bumi besar dan
gempa bumi kecil?
Ketika gempa bumi kecil, tidak ada hal yang dikhawatirkan secara khusus.
Misalnya, walaupun ketika terjadi gempa bumi pintu rumah jadi tidak bisa dibuka,
tidak ada kekhawatiran saluran gas terkoyak. Di Jepang saluran gas berasal dari
bawah tanah, bukan dengan tabung gas seperti di Indonesia, ketika gempa bumi
besar, ada ketakutan pipa saluran gas tersebut akan pecah/terkoyak, gasnya bocor,
kemudian listrik memercikkan api, dan terjadi kebakaran. Oleh karena itu, sebelum
gas tersebut sampai di rumah, ada pengetahuan untuk segera memutus aliran gas
tersebut saat gempa besar.
[Wawancara dengan Ibu Takai (41), 29 Nov 2013]
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
R:
Mm, untuk mengevakuasi diri. … Pertama-tama, bersembunyi di tempat yang
aman dan agar tidak keluar sampai guncangan mereda. Lalu, ketika guncangan
sudah berhenti dan situasinya sudah tampak kembali normal, berkemas,
memasukkan hanya barang-barang penting yang bisa dijinjing ke dalam tas,
kemudian pergi ke luar.
[Wawancara dengan Bp. Yokoyama (49), 12 Nov 2013]
I:
R:
Ketika terjadi gempa bumi besar, tindakan apa yang seharusnya dilakukan?
Selain yang tadi itu, (kita) perlu juga untuk memastikan hal-hal seperti apakah
daerah sekitar kita dalam keadaan berbahaya, atau apakah kondisi tempat kita aman.
Terutama, wilayah-wilayah yang berada di dekat pantai atau sungai, karena
kemungkinan datangnya tsunami cukup besar, saya pikir harus segera mengungsi
ke tempat yang lebih tinggi atau pergi menjauh dari bibir pantai. Selain itu, jika
memungkinkan, untuk mengecek keselamatan keluarga dan kenalan yang juga
berada di daerah terdampak bencana.
[Wawancara dengan Bp. Yokoyama (41), 11 Nov 2013]
Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat Jepang pada umumnya akan merespons
dengan cara yang sama ketika bencana gempa bumi terjadi, yaitu segera bersembunyi di tempat
yang aman dari resiko tertimpa perabotan atau pecahan kaca sambil menunggu guncangan gempa
bumi selesai, lalu segera mengevakuasi diri ke luar bangunan. Namun, dalam konteks habitus
kesiapsiagaan dalam diri agen yang, sesuai pandangan Bourdieu, dilihat sebagai individual,
habitus tersebut dapat terwujud dalam praktik yang berbeda antara orang satu dengan orang yang
lainnya. Dari data di atas, diketahui bahwa ada beberapa praktik yang berbeda antara Ibu Takai
dengan Bp. Yokoyama. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun habitus merupakan struktur
mental yang menstruktur tindakan agen, habitus tersebut dapat terwujud dalam praktik yang
berbeda untuk tiap-tiap agen. Seperti yang telah dipaparkan pada analisis pada paragraf
sebelumnya, dalam proses perwujudan habitus dalam praktik di dunia sosial terutama dalam
konteks respons, habitus memiliki dua karakteristik, yaitu pre-concious dan transposable.
Karakteristik pertama, yaitu habitus bersifat pre-conscious (Bourdieu, 1977) atau berada
di luar pertimbangan rasional. Habitus bukan merupakan hasil dari refleksi rasio semata, habitus
lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak pula dikehendaki dengan sengaja,
tetapi di lain sisi, habitus juga bukan merupakan suatu gerakan mekanistis yang terjadi tanpa latar
belakang sejarah sama sekali (Kleden, 2005 dalam Adib, 2012). Dalam konteks habitus
kesiapsiagaan masyarakat Jepang yang terwujud dalam praktik sebagai respons terhadap gempa
bumi, habitus tersebut terwujud dalam praktik agen untuk bersikap tenang, kemudian segera
bersembunyi di bawah meja untuk melindungi dirinya dari tertimpa perabotan atau pecahan kaca
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
sambil menunggu guncangan gempa bumi selesai. Masyarakat Jepang telah memahami bahaya
yang ditimbulkan jika mereka panik ketika terjadi gempa bumi, sehingga mereka segera
bertindak untuk mengamankan diri mereka terlebih dahulu. Setelah guncangan gempa berhenti,
baru mereka mengevakuasi diri ke luar bangunan. Dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut,
masyarakat Jepang berada dalam posisi antara sadar dan tidak sadar. Oleh karena itu, habitus
kesiapsiagaan dalam konteks praktik sebagai respons tersebut bersifat pre-concious atau prasadar. Namun, sekali lagi Penulis menekankan bahwa habitus tersebut bukan sebagai gerakan
mekanistis saja, namun juga dipengaruhi oleh analisis bagaimana habitus tersebut distruktur
dalam konteksnya sebagai product of history masyarakat Jepang, yang dalam konteks penelitian
ini, sejak masa kecil telah mengikuti latihan menghadapi bencana seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya.
Karakteristik kedua, yaitu habitus bersifat transposable, yakni bisa dialihkan ke kondisi
sosial yang lain walaupun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu (Kleden, 2005 dalam Adib,
2012). Habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang lahir sebagai struktur mental sebagai produk
dari keikutsertaan mereka dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana di Jepang. Sebagai
struktur mental, habitus terinternalisasi ke dalam pikiran agen dan dapat dialihkan ke kondisi
sosial yang lain. Seperti yang ditunjukkan pada data sebelumnya, dalam konteks saat terjadinya
bencana gempa bumi, masyarakat Jepang akan meresponsnya dengan cara yang sama jika terjadi
gempa bumi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa habitus kesiapsiagaan dalam konteks
respons terhadap bencana gempa bumi tersebut tetap terwujud walaupun mereka berada dalam
kondisi sosial yang lain. Keberadaan mereka di tempat yang berbeda kondisi sosialnya dengan
Jepang tidak serta merta menyebabkan habitus dalam diri mereka tidak dapat terwujud. Data
berikutnya yang menunjukkan karakteristik habitus yang bersifat transposable adalah data
mengenai habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang dalam konteks persiapan terhadap bencana
gempa bumi.
“Sekarang di Indonesia pun, saya menyiapkan senter dan semacamnya.”
[Wawancara dengan Kusano (22), 27-Nov-2013]
“Karena ketika (kita) sedang tidur, kemudian terjadi gempa bumi, ada kemungkinan besar
almarinya jatuh, menimpa kita, dan kemudian tewas, maka dari itu di sekeliling tempat
tidur saya saat ini, saya tidak menempatkan barang-barang yang besar.”
[Wawancara dengan Bp. Yokoyama (49), 27 Nov 2013]
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
Data di atas menunjukkan bahwa habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang dalam
konteks persiapan tetap terwujud meskipun mereka sedang berada di Indonesia. Habitus
kesiapsiagaan dalam konteks persiapan dan respons terhadap bencana gempa bumi tersebut juga
dapat diwujudkan di tempat yang kondisi sosialnya berbeda dengan di Jepang atau bersifat
transposable.
Dengan demikian, dalam penelitian ini sesuai dengan pandangan Bourdieu mengenai
habitus dan praktik, pelaksanaan latihan menghadapi bencana dilihat sebagai struktur dalam
pembentukan habitus dan praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa
bumi. Sedangkan agen atau keagenan dalam penelitian ini, sesuai dengan pandangan Bourdieu
mengenai habitus, dilihat sebagai individual yang pendapat serta pemikirannya berperan dalam
pemilihan tindakan mereka di dunia nyata. Sebagai struktur, pelaksanaan latihan menghadapi
bencana menstruktur habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang, yang kemudian terwujud dalam
dunia sosial sebagai praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang dalam konteks persiapan dan
respons terhadap bencana gempa bumi. Karakteristik dan sifat habitus kesiapsiagaan dalam
proses pembentukannya hingga proses perwujudannya dalam dunia sosial sebagai praktik
kesiapsiagaan, antara lain :
(1) habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang merupakan produk hasil keikutsertaan
masyarakat Jepang dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana yang dilakukan
berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang panjang (product of history);
(2) habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang merupakan struktur mental yang distruktur
atau dibentuk oleh latihan menghadapi bencana sebagai struktur yang menstruktur
habitus tersebut (structured structure);
(3) habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang memengaruhi dan mengarahkan tindakan
mereka, baik individu maupun kolektif, dalam praktik kesiapsiagaan terhadap
bencana gempa bumi (structuring structure) dalam konteks persiapan dan respons
terhadap bencana gempa bumi, termasuk mengarahkan tindakan mereka untuk ikut
serta dalam pelaksanaan latihan menghadapi bencana;
(4) habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang yang terwujud dalam dunia sosial sebagai
praktik kesiapsiagaan bukan sepenuhnya merupakan hasil refleksi rasio. Habitus
tersebut lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari namun tidak pula
dikehendaki dengan sengaja, sehingga bisa dimengerti bahwa agen berada dalam
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
posisi antara sadar dan tidak sadar ketika mewujudkan habitus tersebut dalam dunia
sosial (pre-conscious) sebagai praktik kesiapsiagaan;
(5) habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang dapat dialihkan ke kondisi sosial yang lain.
Habitus
tersebut
juga
dapat
diwujudkan
(transposable)
sebagai
praktik
kesiapsiagaan di Indonesia, tempat yang kondisi sosialnya berbeda dengan Jepang,
tempat dimana habitus kesiapsiagaan tersebut distruktur pertama kalinya;
Karakteristik dan sifat habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang di atas menunjukkan
bahwa habitus kesiapsiagaan dan praktik kesiapsiagaan adalah dua hal yang saling berkaitan.
Habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang yang distruktur melalui pelaksanaan latihan
menghadapi bencana hanya terwujud dalam dunia sosial melalui praktik kesiapsiagaan, di sisi
lain, praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang tersebut distruktur oleh habitus kesiapsiagaan
dalam diri mereka. Pelaksanaan latihan menghadapi bencana yang dalam penelitian ini dilihat
sebagai struktur dalam pembentukan habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana
gempa bumi, dapat juga dilihat sebagai struktur dalam pembentukan praktik kesiapsiagaan
masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan latihan menghadapi bencana dalam penelitian ini dilihat sebagai struktur dalam
pembentukan habitus dan praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa
bumi, dan si sisi lain, kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi tersebut
dilihat sebagai habitus dan praktik yang mengintegrasikan struktur dan agen dalam pelaksanaan
manajemen bencana di Jepang.
5.
Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa kesiapsiagaan masyarakat Jepang dalam konteks
persiapan dan respons terhadap bencana gempa bumi, telah menjadi suatu kebiasaan yang
mendarah daging dan mengakar sedemikian rupa sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam
pelaksanaan latihan menghadapi bencana di Jepang yang dilakukan secara periodik, berulangulang, dan berkelanjutan sejak masa kecil mereka. Dilihat dari pandangan Bourdieu mengenai
habitus dan praktik, hal ini dapat dilihat sebagai integrasi struktur dan agen dalam konteks
pelaksanaan manajemen bencana di Jepang yang terwujud dalam habitus dan praktik
kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi.
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
Temuan penelitian ini berimplikasi terhadap teori Bourdieu, bahwa hubungan antara
struktur, habitus, dan praktik adalah benar dapat diamati dalam kesiapsiagaan masyarakat Jepang
terhadap bencana gempa bumi dalam konteks pelaksanaan manajemen bencana di Jepang.
Dengan demikian, temuan penelitian ini mendukung keabsahan teori Bourdieu mengenai habitus
dan praktik.
6.
Studi Selanjutnya
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sehingga penelitian ini tidak berorientasi
pada generalisasi temuan penelitian, melainkan lebih kepada kedalaman analisis setiap data
penelitian. Dalam penelitian ini, pelaksanaan latihan menghadapi bencana dilihat sebagai struktur
dalam pembentukan habitus dan praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana
gempa bumi. Namun, Penulis tidak mengklaim bahwa pelaksanaan latihan menghadapi bencana
merupakan satu-satunya faktor dalam pembentukan kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap
bencana, khususnya bencana gempa bumi. Pelaksanaan latihan menghadapi bencana ini bisa jadi
merupakan satu dari sekian banyak faktor dalam pembentukan kesiapsiagaan tersebut.
Penulis berharap adanya penelitian lanjutan yang menganalisis pembentukan
kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana gempa bumi dari perspektif teoritis lain.
Selain itu, dari sisi metodologis, Penulis menyarankan agar pengumpulan data juga dilakukan
melalui metode observasi langsung untuk melihat gejala-gejala yang tidak bisa dijangkau melalui
wawancara mendalam atau studi kepustakaan.
Daftar Referensi
Act No. 223 Disaster Countermeasures Basic Act. 15 November 1961. Japan.
Adib, Mohammad. 2012. “Struktur dan Agen dalam Pandangan Pierre Bourdieu”. Jurnal
BioKultur Vol.I, No.2 : 91-110.
Bailey, Kenneth D. 1994. Methods of Social Research, Fourth Edition. New York : The Free
Press.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of Theory of Practice. Cambridge : Cambridge University Press.
---------------. 1990. The Logic of Practice. Cambridge : Polity Press.
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
Cabinet Office, Japan. 2011. Nihon no Saigai Taisaku. Tokyo : Director General for Disaster
Management.
(Dokumen diunduh pada 18 Agustus 2013 pada pukul 15.47 dari laman
http://www.bousai.go.jp/1info/pdf/saigaipanf_e.pdf )
---------------. 2013. Heisei 25 Nen Do Sougou Bousai Kunren Taikou. (Laporan resmi Pemerintah
Jepang).
(Dokumen diunduh pada 30 September 2013 pada pukul 22.57 dari laman
http://www.bousai.go.jp/oukyu/pdf/h25taiko.pdf )
Carter, W. Nick. 1991. Disaster Management. Mandaluyong City : Asian Development Bank.
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies. 2012. World Disasters Report
2012 : Focus on Forced Migration and Displacement. Geneva : IFRC.
(Dokumen diunduh pada 19 Agustus 2013 pada pukul 12.30 dari laman
http://www.ifrcmedia.org/assets/pages/wdr2012/resources/1216800-WDR-2012-ENFULL.pdf )
Kodoatie, Robert J, dan Sjarief, Roestam. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu. Jakarta : Yarsif
Watampone.
Navarro, Zander. 2006. “In Search of a Cultural Interpretation of Power: The Contibution of
Pierre Bourdieu.” IDS Bulletin, Vol. 37, No. 6 : 11-22.
Nishikawa, Satoru. 2011. “Japan’s Preparedness and the Great Earthquake and Tsunami.” Pp. 1847. Lesson From the Disaster : Risk Management and the Compound Crisis presented by
the Great East Japan Earthquake. Yoichi Funabashi dan Heizo Takenaka, editor. Tokyo :
The Japan Times.
Perry, Ronald W. 2005. What is a Disaster? New Answer to Old Questions. USA : Xlibris
Corporation.
Rapport, Nigel dan Overing, Joanna. 2000. Social And Cultural Anthropology : The Key Concept.
New York : Routledge.
Ritzer, Geoge dan Goodman, Douglas J. 2011. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Terj.
Cetakan 7. Jakarta: Kencana.
Statistic Bureau of Japan. 2013. Japan Statistical Yearbook 2013. Tokyo : MIC.
(Dokumen diunduh pada 18 Agustus 2013, pukul 19:11 dari laman
http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/pdf/c01cont.pdf )
Sutton, Jeannette dan Tierney, Kathleen. 2006. Disaster Preparedness : Concept, Guidance, and
Reasearch. Boulder : University of Colorado.
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
The Asahi Shinbun. 2011. “Tsunami Drills Paid Off for Hundreds of Children.”,
(Diakses pada 7 Desember 2013, pukul 18.54 dari laman
http://ajw.asahi.com/article/0311disaster/life_and_death/AJ201103233378 )
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana. 26 April
2007. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66. Jakarta.
Wacquant, Loïc. 2011. “Habitus as Topic and Tool : Reflections on Becoming a Prizefighter.”
Qualitative Research in Psychology.Vol. 8: 81-92.
Winchester, Daniel. 2008. “Embodying the Faith: Religious Practice and the Making of a Muslim
Moral Habitus”. Social Force Vol. 86, No. 4 : 1754-1780.
Pelaksanaan latihan..., Firman Budianto, FIB UI, 2013
Download