rancangan laporan singkat rapat panja komisi iii dpr

advertisement
RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT
RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN
KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN)
DALAM RANGKA PEMBAHASAN
DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
--------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN)
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Sifat
Jenis Rapat
Hari/tanggal
Waktu
Acara
:
:
:
:
:
:
:
:
2015-2016
IV
Terbuka
Rapat Panja
Selasa, 26 April 2016
Pukul 10.30 s.d. 22.30 WIB
Melanjutkan Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP).
KESIMPULAN/KEPUTUSAN
I. PENDAHULUAN
Rapat Panja RUU tentang KUHP dibuka pada pukul 10.30 WIB oleh Wakil Ketua
Komisi III DPR RI, DR. Benny K. Harman, SH dengan agenda rapat sebagaimana
tersebut diatas.
II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN
Beberapa Pasal dalam RUU tentang KUHP yang dilakukan pembahasan,
diantaranya sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 1, telah dibahas semalam dan diserahkan pada Timus dan
Timsin
2. Pasal 2
 Bahwa dalam Pasal 2 harus diberikan batasan pada ayat 2 yaitu tentang
ketentuan “berlakunya hukum yang hidup dimasyarakat sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila, HAM, asas-asa umum dan lain sebagainya”.
 Perlu dirumuskan berlakunya hukum yang hidup di masyarakat selama tidak
bertetangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan peraturan perundangan
lainnya.
 Dengan melihat rumusan pemerintah dengan pemahaman bahwa
membentuk UU baru dengan pandangan UU sebelumnya adalah produk
kolonial. Sehingga harus memberi warna baru dengan mengangkat nilai-nilai










Indonesia. Sehingga rumusan pemerintah tentang hukum yang hidup telah
mengakomodir nasionalisme dan mengunci dengan “tempat di mana hukum
itu hidup”, artinya tidak akan berpengaruh kepada daerah lain. Apabila
menggunakan rumusan selama tidak bertentangan, hal ini sangat konfrotatif
dan menimbulkan kecurigaan apakah ada rencana terselubung atau tidak.
Bahwa rumusan pemerintah sudah cukup memenuhi keinginan untuk
mengangkat nilai-nilai bangsa.
Bahwa secara implisit adanya asas teritorialitas, dimana hukum yang hidup
didaerah tertentu untuk komoditas tertentu.
Bahwa sesuai HAM tidak perlu dicantumkan karena sudah termuat dalam
UUD 1945. Berkenaan dengan hal tersebut meminta penjelasan frase Hak
Asasi Manusia, apakah sama dengan yang sudah diatur dalam UUD 1945
atau ada definisi lain.
Meminta penjelasan pemerintah terkait dengan definisi HAM.
Bahwa hukum yang hidup dimasyarakat tetap harus ada pembatasan dan
dimulai dari aparat penegak hukum. Bahwa ada rumusan yang tidak boleh
diserahkan ke daerah. Bahwa pemberlakuan Hukum adat dapat disetujui
namun perlu ada batasan supaya tidak ada penyalahgunaan.
Pemerintah menjelaskan bahwa terkait dengan rumusan adanya klausul
HAM memang ada tambahan terkait nilai-nilai universal yang belum
tercantum di dalam UUD 1945, dan ke depannya jangan ada abuse of power
oleh penegak hukum atas nama hukum adat. Yang menjadi kesepakatan
bersama adalah menghargai hukum yang hidup dimasyarakat dengan
adanya batasan. Bahwa perlu ditambahkan kata dalam penjelasan
“masyarakat setempat dan dituangkan di dalam perda”
Pemerintah menjelaskan bahwa apabila akan melakukan kompilasi hukum
adat maka akan menghabiskan waktu sekitar 5 tahun. Perlunya HAM masuk
di dalam Pasal 2 karena di dalam UUD 1945 hanya terdapat 10 pasal.
Misalkan hak untuk kesehatan tidak secara spesifik masuk, karena ada
hukum adat yang merusak hak kesehatan perempuan. Yang masih jadi
pertanyaan apabila ada hukum yang hidup yang berbeda namun dalam satu
wilayah. Perlu menambahkan kompilasi dan kewilayahan setempat, asas
teritorialitas yang terbatas. Sebagai contoh kebutuhan air saat ini sudah
menjadi HAM untuk sesuatu yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Sehingga
nilai-nilai HAM perlu dimasukkan di dalam RUU ini.
Pemerintah menjelaskan bahwa dalam pidana adat perlu adanya
pembatasan, adanya unsur yang menentukan bahwa hal tersebut
merupakan tindak pidana adat. Bahwa Pasal 2 memberikan landasan hukum
terkait hukum adat, namun norma, sanksi akan dibahas di dalam buku 2.
Bahwa asas legalitas tidak hanya UU namun juga perundang-undangan
termasuk Perda, yang sekarang dibahas adalah sesuatu yang tidak diatur di
dalam perundang-undangan. Dengan harapan bahwa hukum yang hidup di
dalam masyarakat ini agar diakui harus dituangkan di dalam Perda.
Pemerintah menjelaskan bahwa ketentuan di dalam KUHP mencantumkan
bahwa ketentuan diluar KUHP juga berlaku selama tidak bertentangan.
Terkait asas legalitas sudah diselesaikan di dalam Perda, patokan dari
equality adalah asas-asas yang berlaku di buku I.
Bahwa prinsipnya menyetujui usulan dari pemerintah hanya menyusun
formulasi berdasarkan normanya.
2
 Pemerintah menjelaskan bahwa kalimat terkait dengan peraturan
perundang-undangan terasa masih mengganjal. Sehingga hukum
masyarakat dan dipadukan dengan Perda akan berubah maknanya,
sehingga kalimat tertulis sebaiknya dihilangkan. Bahwa mengenal asas
teritorial dan asas bahwa hukum dikenal dalam kelompok tertentu. Asas
mana yang akan diterapkan.
 Bahwa asas teritorial sebaiknya jangan dipakai, artinya berpegangan pada
hukum yang berlaku di masyarakat tertentu dan menghindari adanya
benturan hukum antara komunitas yang satu dengan lainnya. Bahwa aspek
kewilayan masuk di dalam penjelasan termasuk kompilasi.
 Pemerintah menjelaskan bahwa istilah teritorial akan duplikasi dengan asas
kewilayahan, asas teritorial sebenarnaya asas partikularistik sehingga dapat
dibedakan dengan asas kewilayahan. Artinya hanya berlaku bagi
masyarakat setempat dimana hukum tersebut berlaku. Terkait tindak pidana
yang dilakukan koporasi, maka dilakukan kluster terkait pidana, pidana
tambahan dan kooporasi.
 Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (2) dibahas lebih lanjut dalam rapat kerja dan
diusulkan tambahan ayat baru menjadi 3 ayat. Sebagai catatan Panja 26
April 2016, Asas teritorial yang bersifat partikularistik dan kompilasi masuk
dalam penjelasan dan dibahas dalam rapat kerja.
3. Pasal 3 dibahas Timus dan Timsin
4. Pasal 3A
 Usulan Pemerintah dalam pembahasan Panja 19 April 2016 mengakomodasi
untuk memindahkan penjelasan Pasal 3 ayat (2) ke dalam batang tubuh).
 Perwakilan dari Kejaksaan menjelaskan bahwa pejabat yang berwenang
adalah Kejaksaan sebagai eksekutor yang wajib melakukan. Selanjutnya
Pemerintah menjelaskan bahwa kewenangan sudah beralih dari Kejaksaan
kepada Kementerian Hukum dan HAM di bidang pemasyarakatan.
 Meminta kepada Pemerintah agar penjelasan tentang pelaksnaan
administrasinya diberikan secara jelas di bagian penjelasan.
 Bahwa kewenangan pemberian pembebasan harus jelas bukan lagi Jaksa
atau KPK.
 Rumusan Pasal 3A sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Dalam hal putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), instansi atau pejabat
yang melaksanakan pembebasan adalah pejabat eksekutif.
(2) Dalam hal pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
diterapkan bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan,
pejabat yang melaksanakan pembebasan adalah pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(3) Pembebasan pidana tersebut tidak menimbulkan hak bagi terpidana
menuntut ganti kerugian.
 Disetujui Panja, 26-04-2016 untuk dibahas dalam Timus dan Timsin dan
penjelasan pasal dihapus.
5. Pasal 4
 Pemerintah meminta agar ada penjelasan yang komprehensif terkait dengan
kasus-kasus seperti kasus UNCLOS di Pulau Natuna dengan China dan
3
pesawat udara. Hal ini terkait dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS dan UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Nasional.
 Penjelasan mengenai “Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan
beserta dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya,
termasuk seluruh wilayah yang batas-batas dan hak-hak termasuk laut
territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen yang
telah diatur dalam Undang-Undang.”
 Pasal 4 huruf c
Disebut sebagai Asas eksteritorialitas dalam hukum pidana merupakan
priviledge hak negara ketika pidana dilakukan oleh orang luar yang akibatnya
dirasakan di wilayah Indonesia.
 Dengan rumusan pasal sebagai berikut:
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan:
a. tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. tindak pidana dalam kapal, pesawat udara atau alat transportasi
Indonesia lainnya; atau
c. tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya
yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal
atau pesawat udara atau alat transportasi Indonesia lainnya.
Disetujui Panja, 26-04-2016 untuk dibahas dalam Timus dan Timsin
Penjelasan
Pasal 4:
Huruf a
Yang dimaksud dengan “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”
adalah satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, dan perairan
kepulauan beserta dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di
atasnya, termasuk seluruh wilayah yang batas-batas dan hak-hak termasuk
laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen
yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Disetujui PANJA 26-04-2016.
Huruf b
Ketentuan ini mengandung asas teritorial yang diperluas. Perluasan asas
teritorial tidak hanya dimaksudkan untuk menjaring tindak pidana dalam
wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi juga terhadap tindak
pidana yang dilakukan di kapal atau pesawat udara atau alat transportasi
Indonesia lainnya di luar wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disetujui PANJA 26-04-2016.
Huruf c
Tindak pidana di bidang teknologi informasi misalnya tindak pidana di dunia
maya (cyber crime) yang dilakukan di luar wilayah Indonesia tetapi akibatnya
dirasakan atau terjadi di Indonesia.
4
Yang dimaksud dengan “tindak pidana lainnya” adalah tindak pidana
terhadap keamanan negara atau tindak pidana yang dirumuskan dalam
perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Indonesia.
6. Pasal 6
Tambahan Penjelasan terkait Konvensi Internasional, sebagai berikut:
Penjelasan
Pasal 6:
Ketentuan ini mengandung asas universalitas yakni asas yang melindungi
kepentingan hukum baik kepentingan hukum wilayah negara Kesatuan
Republik Indonesia maupun kepentingan hukum negara lain. Pelanggaran atas
asas universalitas disebut tindak pidana internasional. Landasan pengaturan
asas ini terdapat dalam konvensi internasional di mana suatu negara menjadi
peserta.
Indonesia telah menjadi peserta dari beberapa konvensi internasional, antara
lain:
a. Konvensi Internasional tentang Uang Palsu;
b. Konvensi Internasional tentang Laut Bebas yang di dalamnya diatur tindak
pidana pembajakan laut;
c. Konvensi Internasional tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan
Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan; dan
d. Konvensi Internasional tentang Lalu Lintas dan Peredaran Gelap Narkotika
dan Psikotropika.
Apabila di kemudian hari Indonesia ikut serta dalam konvensi internasional
yang mengatur tentang tindak pidana internasional lainnya, maka penunjukan
kepada pasal-pasal tindak pidana internasional akan bertambah.
Disetujui PANJA 26 April 2016, dibahas dalam TIMUS dan TIMSIN.
7. Pasal 7
Mengubah letak paragraf dan beberapa kalimat, sebagai berikut:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan adanya
perjanjian antara Indonesia dan negara lain yang memungkinkan warga negara
dari negara lain tersebut penuntutannya diambil alih dan diadili oleh Indonesia
karena melakukan tindak pidana tertentu yang diatur dalam perjanjian tersebut.
hal tersebut berdasarakan perkembangan praktik perjanjian antarnegara,
beberapa negara telah mengadakan perjanjian yang memungkinkan warga
negara dari negara yang ikut serta dalam perjanjian tersebut dapat diadili oleh
masing-masing negara anggota karena melakukan tindak pidana tertentu.
Disetujui PANJA 26 April 2016, dibahas dalam TIMUS dan TIMSIN.
8. Pasal 8
 Asas Nasional Aktif mengatur terkait dengan tindak pidana yang dilakukan
oleh warganegara Indonesia.
 Pemerintah menambahkan perlu adanya pengaturan terkait dengan dual
criminality dalam pasal ini. Misalnya seseorang tidak dapat serta merta
diprosekusi karena berjudi di Las Vegas.
5
 (Prof Muzakir) mengusulkan untuk tetap ada pengecualian terhadap tindak
pidana yang tergolong serius sehingga tidak ada penyelundupan hukum oleh
WNI dengan melakukan tindak pidana di luar negeri.
 Usulan ayat (1) ditambah dengan: dan merupakan tindak pidana di wilayah
negara tersebut.
 Atau penambahan ayat baru: ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di negara
tempat tindak pidana dilakukan.
 Disetujui Panja, 26-04-2016 terkait usul Pemerintah Pasal 8 ayat (1) dan
(1A) terkait Prinsip Dual Criminality. Sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap
warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah
negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disetujui PANJA 26-04-2016, dibahas di dalam TIMSIN.
(1A) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika perbuatan
tersebut juga merupakan tindak pidana di negara tempat tindak pidana
dilakukan.
Disetujui PANJA 26-04-2016, dibahas di dalam TIMSIN.
Sebagai Catatan: untuk ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) disikronkan dengan
pasal-pasal mengenai tindak pidana mati.
9. Pasal 10
 Menambahkan usulan PDIP dimasukan dalam penjelasan.
 Meminta penjelasan Pemerintah terkait dengan perbuatan yang tertunda
dan penjelasan terkait dengan penghitungan waktu berdasarkan niat, dan
penjelasan timeframe soal delik by omission (tindak pidana pasif).
 Pemerintah menjelaskan bahwa hal ini dapat direspon dengan masuknya
akibat tindak pidana sebagai tempus delicti. Sedangkan niat belum dapat
diketahui secara pasti. Adapun dalam hal percobaan, niat dapat diukur
dengan adanya perbuatan awal. Perbuatan dapat dibagi menjadi aktif dan
pasif.
 Usulan huruf a menjadi: saat perbuatan yang merupakan tindak pidana
dilakukan.
 Disetujui untuk masuk dalam Norma dan memberi penjelasan terkait
dengan perbuatan fisik (termasuk juga non-fisik).
 Dengan rumusan Pasal 10 sebagai berikut:
Pasal 10
Waktu tindak pidana adalah saat pembuat melakukan perbuatan yang
dapat dipidana.
Disetujui PANJA 26-04-2016.
Penjelasan
Pasal 10:
Usulan F-PDIP dimasukkan kedalam penjelasan
Yang dimaksudkan dengan “saat pembuat melakukan perbuatan”
meliputi:
a. saat perbuatan [fisik] [jasmani] dilakukan;
6
Alternatif 1:
a. saat perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan;
Alternatif 2:
a. saat perbuatan berupa tindak pidana dilakukan;
b. saat bekerjanya alat atau bahan untuk menyempurnakan tindak
pidana; atau
c. saat timbulnya akibat tindak pidana.
Ketentuan ini tidak membedakan antara tindak pidana yang
dirumuskan secara formal dan tindak pidana yang dirumuskan secara
materiil.
Disetujui PANJA 26-04-2016, dibahas timus dan timsin.
8. Pasal 11
 Tempat tindak pidana adalah tempat pembuat melakukan perbuatan yang
dapat dipidana
 Tiga teori delicti tersebut disesuaikan dengan Pasal 10 masuk dalam
penjelasan.
 Dengan rumusan Pasal 11 sebagai berikut:
Pasal 11
Tempat tindak pidana adalah tempat pembuat melakukan perbuatan yang
dapat dipidana.
Penjelasan Pasal 11:
Tempat tindak pidana adalah:
a. tempat pembuat melakukan perbuatan yang dapat dipidana;
b. tempat bekerjanya alat atau bahan untuk menyempurnakan tindak
pidana; atau
c. tempat terjadinya akibat dari perbuatan yang dapat dipidana atau tempat
yang menurut perkiraan pembuatakan terjadi akibat tersebut.
Disetujui PANJA 26-04-2016, dibahas dalam TIMUS dan TIMSIN.
9. Pasal 12
Pasal 12
(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu,
yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam
pidana oleh peraturan perundang-undangan harus juga bersifat melawan
hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Catatan:
- Disinkronkan dengan DIM No. 13 dan DIM No. 14. (Pasal 2 RUU KUHP)
- Rumusan disiapkan oleh Pemerintah.
Catatan PANJA 26 April 2016 untuk ayat (1) dan ayat (2): Disesuaikan dengan
Pasal 2 ayat (2) yang telah disepakati.
Penjelasan
Pasal 12:
Ayat (1)
7
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan suatu perbuatan
disebut sebagai tindak pidana. Perbuatan yang dimaksud meliputi perbuatan
melakukan (aktif) atau tidak melakukan perbuatan tertentu (pasif) yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.
Hukum pidana Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak
pidananya (daad-dader-strafrecht). atas dasar inilah dibangun asas legalitas
dan asas kesalahan. Dengan demikian, tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana menunjukkan pola yang jelas.
yang termasuk tidak melakukan perbuatan tertentu (pasif) adalah perbuatan
lalai (nalaten) dalam rangka mencegah terjadinya akibat yang merupakan suatu
tindak pidana. Pencegahan akibat dari tindak pidana, pada dasarnya
merupakan kewajiban menurut hukum, kecuali terdapat alasan yang
meyakinkan dan diterima berdasarkan pertimbangan akal yang wajar.
Melalaikan pencegahan di sini mempunyai nilai yang sama dengan melakukan
suatu tindak pidana meskipun dalam perspektif yang berbeda.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat” adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Untuk dapat menjatuhkan pidana, harus ditentukan perbuatan yang dilakukan
itu secara formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan perbuatan
tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran
hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini wajib dipertimbangkan oleh Hakim
dalam putusan.
Pembentuk Undang-Undang dalam menentukan perbuatan yang dapat
dipidana, harus memperhatikan keselarasannya dengan perasaan hukum yang
hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu perbuatan tersebut nantinya tidak
hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi dapat juga
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada umumnya setiap tindak pidana dipandang melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, namun dalam
keadaan khusus tidak menutup kemungkinan perbuatan tersebut tidak melawan
hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam
hal demikian, pembuat tindak pidana harus dapat membuktikan bahwa
perbuatannya tidak melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Catatan PANJA 26 April 2016 untuk ayat (2): Disesuaikan dengan Pasal 2 ayat
(2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
8
Catatan:
Jika dikaitkan dengan pasal 2, maka yang dituju adalah masyarakat hukum
adat.
10. Rumusan alternative Pasal 13
Pasal 13
(1) Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana wajib menegakkan hukum
dan keadilan.
(2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdapat pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, hakim wajib
mengutamakan keadilan.
Catatan PANJA 26 April 2016:
1. Subtansi disetujui PANJA 26 April 2016, Pasal ini akan ditempatkan dalam
materi yang sesuai oleh Pemerintah.
2. Apakah tidak sebaiknya diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakima atau
RUU ttg Jabatan Hakim.
Disetujui PANJA 26-04-2016.
Penjelasan Pasal 13:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tegaknya hukum” adalah merupakan perwujudan dari
prinsip kepastian hukum.
Ayat (2)
Dalam praktiknya, prinsip kepastian hukum dan keadilan mungkin dapat tidak
sejalan. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi
dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam
penerapannya pada kejadian konkret. Apabila dalam penerapan kejadian
konkret, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh
mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.
11. Pasal 14
 Dibahas setelah membahas pidana mati
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
12. Pasal 15
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
13. Pasal 16
 Terkait dengan perbuatan persiapan.
 Usulan agar tidak diatur dalam Buku I tapi lebih dijelaskan kualifikasinya
dalam Buku II.
 Disesuaikan dengan pembahasan di Buku II.
 Usulan F-PKB telah dipertimbangkan dan selanjutnya dihapus karena
sudah diatur di dalam Pasal 248 Buku Kedua.
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
14. Pasal 17
 Penjelasan diberikan pada timus untuk kata kehendak sendiri.
9
 Pemerintah akan menyiapkan rumusan penjelasan
 diserahkan ke ahli bahasa mensinkronkan kata pembuatan dan pelaku
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
15. Pasal 18
 Untuk juga mempertimbangkan kata “sudah mendekati”
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
16. Pasal 19 sampai dengan Pasal 24
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
17. Pasal 25
 Penambahan penjelasan
 Soal Residivis ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi hal seperti kumulatif.
 melihat Pasal 70 dan 151.
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
18. Pasal 26-32
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
 Catatan untuk Pasal 27A, bagaimana dengan orang yang sebatang kara.
19. Pasal 33
 Perlu penjelasan terkait dengan perintah jabatan yang sah.
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
20. Pasal 34, 35, 36
 Disetujui Panja 26-04-2016, dibahas dalam Timus dan Timsin
21. Pasal 37
 Agar dirumuskan definisi secara lebih umum (deduktif)
 celahan subyektif dan celahan obyektif
 Bahwa pertanggungjawaban pidana terjadi karena adanya perbuatan sebagai
tindak pidana yang dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang telah
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
 Terminology pengertian bagaimana pengertian dari bahasa, celah adalah suatu
yang kurang sempurna, celahan hasil dari mencela, celahan yang obyektif
makna yang sebenarnya, dan sebaliknya makna celahan subyektif.
 Dalam rapat Panja berikutnya agar dibahas kembali ketentuan Pasal 37.
III. PENUTUP
Rapat diskors pukul 22.30 WIB, akan dilanjutkan pada hari Rabu tanggal 27 April
2016 pukul 10.00 WIB
10
Download