ASSET RECOVERY HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI Rustam

advertisement
ASSET RECOVERY
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
Rustam
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa
negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtstaat). Ini berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
hukum, yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar RI 1945,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan, mengatur mengenai segala sesuatu
yang boleh dilakukan serta berbagai hal yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju
bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan
hukum yang mungkin akan terjadi. Mengenai hal ini, kepada alat perlengkapan negara
diberikan kewenangan untuk bertindak berdasarkan hukum. Sistem bekerjanya hukum yang
demikian itu merupakan salah satu bentuk dari penegakan hukum.
Berkaitan dengan penegakan hukum, arus reformasi yang disponsori oleh mahasiswa
Indonesia dan generasi muda negara Indonesia pada tahun 1998, telah menjatuhkan
pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa lebih kurang 32 tahun. Gerakan reformasi ini
melihat kelemahan pemerintahan Orde Baru yang telah menjadi rezim otoriter dengan
dukungan militer, sehingga korupsi telah menjadi sangat endemik dikalangan birokrat (sipil
dan militer), persekongkolan antara pemegang kuasa ekonomi untuk merlakukan perbuatan
melawan hukum (kolusi) yang mendahulukan sanak saudara dan kerabat secara curang
(nepotism), serta birokrasi yang sangat sentralistik yang menekan dari atas (top down)1.
Keadaan yang terjadi pada masa Orde Baru tersebut, sangat sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Lord Acton yang menghubungkan antara korupsi dan kekuasaan. Acton
menyatakan bahwa, “power tends to corrupt, and absolute power tends corrupts absolutely”,
(kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi
absolut)2.
1Alvi
2
Syahrin, 2009. Beberapa Masalah Hukum, Jakarta: PT. Sofmedia, hal. 1
Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 1
1
Saat ini, di tengah upaya reformasi yang telah dan terus didengung-dengungkan,
aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lain
semakin meningkat, karena dalam kenyataannya perbuatan korupsi telah menimbulkan
kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya
krisis diberbagai bidang. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu
semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan kepentingan masyarakat3.
Dalam kenyataannya, korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia, di belahan dunia yang
lain pun tindak pidana korupsi akan selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
sebagai suatu organisasi bangsa-bangsa seluruh dunia telah memberikan perhatian khusus
terhadap korupsi. Salah satu contohnya adalah dengan menetapkan tanggal 9 Desember
sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Tujuan penetapan ini tiada lain sebagai bentuk keseriusan
untuk ikut serta memberantas korupsi di dunia, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan
oleh tindak pidana korupsi dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara
dari suatu negara, bahkan juga terhadap kehidupan antar negara.
Hal senada juga disampaikan oleh Gunnar Myrdal yang menyatakan bahwa korupsi
pada dasarnya tidak pernah membawa akibat yang positif, namun selalu mengakibatkan hal
yang buruk,4 seperti:
1. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut
kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenai kurang tumbuhnya
pasaran nasional;
2. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang bersamaan dengan
itu kesatuan negara bertambah lemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah,
tendensi-tendensi itu membahayakan stabilitas politik;
3. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin nasional. Uang suap itu tidak hanya dapat
memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga berakibat adanya
kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi agar dengan demikian dapat
menerima uang suap.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana
korupsi tidak hanya dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara beserta
masyarakatnya, namun juga berdampak ke bidang politik, sehingga tidak dapat dipungkiri
apabila nantinya korupsi bisa pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa
karena akan berdampak membudayakannya tindak pidana korupsi tersebut. Hal tersebut
3Ibid
4
hal. 2
Deni Setyadi, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Kiprah KomisiPemberantasan Korupsi dalam
Memberangus Korupsi, Pustaka Timur, Yogyakarta, hal 4-5
2
sebagaimana tercantum dalam Preambule ke-4 United Nations Convention Against
Corruption( UNCAC), 2003, yang berbunyi5:
“Convinced that corruption is no longer a local matter but transnational phenomenon
that affects all societies anfd economics, making international cooperation to prevent and
control it essentiall. (Meyakini, bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan
suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang
mendorong kerjasama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara essensial)”
Dalam perkembangan selanjutnya, korupsi tidak hanya makin meluas, namun bahkan
sampai dilakukan secara sistematis. Hal ini tidak saja semata-mata merugikan negara tetapi
juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga saat ini tidak
berlebihan jika korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Data tentang prestasi korupsi Indonesia menurut Indonesia Corruption Watch (ICW)
selama tahun 2006-2008, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp. 24
trilyun, dengan kerugian negara terbesar terjadi tahun 2006 dengan nilai sebesar Rp. 14,4
trilyun6. Bahkan lebih tragis lagi, Corruption Index Perception (Transpacy International)
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-5 negara terkorup dari 146 negara. Data ini tentu
semakin menambah buruknya citra bangsa Indonesia setelah sebelumnya banyak pakar
dalam negeri mengestimasi korupsi di Indonesia telah mengakibatkan kebocoran anggaran
negara sebesar 30% hingga 50% yang menciptakan ekonomi berbiaya tinggi7.
Banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Salah satu faktor tersebut
adalah kemiskinan. Menurut Jeremy Pope kemiskinan merupakan faktor penyebab korupsi,
meskipun bukan satu-satunya8. Terjadinya korupsi menurut Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) tahun 1997, lebih disebabkan oleh aspek individu pelaku korupsi
seperti sikap tamak, moral dan iman yang lemah, sehingga tidak dapat menahan godaan
hawa nafsu serta penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar9.
Sedangkan Andi Hamzah yang kemudian mengulas korupsi dalam lingkup yang
berkaitan dengan kekuasaan atau wewenang ataupun kedudukan, menyebutkan beberapa
sebab terjadinya perbuatan korupsi antara lain:10
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan
yang makin hari semakin meningkat;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau
sebab meluasnya korupsi;
5Ermansyah
Djaja, Loc. Cit.
Rohim, 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Depok: Pena Multi Media, hal. 7
7 IGM Nurdjana, 2005, Korupsi dalam Praktek Bisnis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal X
8Rohim, Op,Cit, hal 14
9Ibid, hal 15
10Ibid. hal. 5-6
6
3
3. Beberapa pasal yang ada dalam KUHP dipandang kurang memadai untuk
masyarakat
Indonesia
yang
pejabat-pejabatnya
cenderung
melakukan
penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri;
4. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien sering
dipandang sebagai penyebab korupsi, sering dikatakan makin besar anggaran
pembangunan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya kebocoran.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik
yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. Bahkan peraturan perundangundangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada waktu seluruh
wilayah Indonesia masih dalam keadaan perang, atas dasar Undang-Undang Nomor 74
Tahun 1957 jo. Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957, dalam rangka pemberantasan
korupsi telah diberlakukan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang
Pemberantasan Korupsi, yang kemudian diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat
Angkatan Darat Nomor PRT/PEERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, Pidana dan Pemilikan Harta Benda, serta peraturanperaturan pelaksanaannya dan selain itu juga dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat/
Kepala Staf Angkatan Laut Tanggal 7 April 1958 Nomor Prt/Z/I/711.
Walaupun banyak peraturan perundang-undangan yang ada pada saat itu, namun
peraturan penguasa perang tersebut hanya berlaku untuk sementara. Oleh karena itu,
pemerintah Republik Indonesia menganggap perlu untuk mengganti peraturan perundangundangan yang ada tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk
undang-undang.
Akhirnya karena keadaan yang mendesak, dimana korupsi semakin merajalela
sedangkan pengaturannya tidak jelas, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) Undang-undang
Dasar Sementara 1950, dilakukanlah penggantian peraturan penguasa perang pusat dengan
menetapkannya menjadi Peraturan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi, yang kemudian atas dasar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi UndangUndang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi12.
Namun sangat disayangkan, didalam perjalanannya penerapan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1960 ternyata masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Ini bisa
dilihat dari angka korupsi yang bukannya semakin menurun, malah semakin meningkat. Hal
ini kemudian berdampak dengan digantikannya pengaturan mengenai korupsi, seiring dengan
11
R. Wiyono, 2008, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, hal
3
12Ibid
4
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, ternyata lebih dari dua dasawarsa berlaku,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Apalagi semakin lama, praktik-praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme mulai melibatkan para penyelenggara negara dengan para
pengusaha. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika kemudian Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara saat itu menetapkan Ketetapan MPR Nomor
IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan
melaksanakan secara konsisten Undang-undang tindak pidana korupsi.
Atas dasar Tap MPR Nomor IX/MPR/1998 ini, kemudian ditetapkan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku
tanggal 16 Agustus 1999. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun beberapa tahun
kemudian diadakan perubahan terhadap Undang-undang tersebut dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999. Alasan diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
dapat diketahui dari konsiderans butir b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum;
2. Menghindari keragaman penafsiran hukum;
3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat;
4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi sebagai suatu extra ordinary crime telah membawa dampak yang
begitu besar terhadap suatu negara. Bagaimana tidak? Keuangan suatu negara yang
semestinya dapat dipergunakan sebagaimana mestinya telah disalahgunakan oleh para
koruptor untuk kepentingan pribadinya maupun golongan tertentu. Sebagai contoh negara
Filipina yang dalam upaya pengembalian aset saja, membutuhkan waktu 18 tahun untuk
menarik kembali dana sebesar USD 624 juta hasil penyelewengan uang negara oleh mantan
Presiden Ferdinand Marcos di sebuah bank di Swiss13.
Dalam kasus Ferdinand Marcos pada tahun 1986, pemerintah Filipina telah membentuk
lembaga khusus untuk mengembalikan aset yang telah dikorupsi Marcos, yaitu The
13Tarik
Aset
Pak
Harto,
RI
minta
bantuan
PBB,
http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg30737.html, diakses pada tanggal 27 Mei
2010
5
Presidential Commision on Good Governance (PCGG)14. Aksi pertama PCGG yang dapat
dicatat sebagai suatu keberhasilan PCGG adalah pada Maret 1986, atau lebih kurang sebulan
setelah dibentuknya PCGG, di mana otoritas di Swiss telah membekukan aset yang dikuasai
Marcos yang berada di Swiss.
Langkah pembekuan sangat penting untuk mencegah dimanfaatkannya aset-aset hasil
kejahatan tersebut, yang pada akhirnya dapat menggagalkan atau bahkan mengurangi
keberhasilan upaya pengembalian aset. Namun demikian, keberhasilan tersebut tidak serta
merta dilanjutkan dengan upaya yang cepat dan tepat, guna mengembalikan aset tersebut.
Namun pengembalian aset Marcos tidak selamanya berjalan mulus,
PCGG juga
mengalami berbagai kendala dalam pengembalian aset. Kegagalan pertama, yaitu berkaitan
dengan ditolaknya permohonan bantuan hukum (mutual legal assistance) kepada Swiss
Police Departement. Sangat mungkin hal ini lebih disebabkan persoalan teknis yuridis.
Keadaan-keadaan semacam ini seharusnya dapat diminimalisir atau dihindari dengan
menggunakan jasa lawyer yang handal seperti dalam kasus Sani Abacha (Presiden Nigeria),
yang mana telah menggunakan jasa pengacara setempat untuk membantu melakukan upayaupaya hukum dalam rangka pengembalian aset dari Swiss15.
Kegagalan kedua, ternyata PCGG baru melakukan gugatan perdata untuk
mengembalikan aset yang dikuasai Marcos pada Desember 1991, padahal lembaga tersebut
telah dibentuk 6 (enam) tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah Filipina
harus menunggu dokumen bank yang berkaitan dengan deposit Marcos di Swiss. Pengiriman
dokumen tersebut mengalami hambatan, karena menunggu adanya putusan pengadilan di
Swiss yang mengizinkan pengiriman dokumen tersebut. Putusan tersebut baru diperoleh
pada tanggal 20 Desember 1990, yang mana Swiss Federal Supreme Court mengizinkan
transfer dokumen tersebut kepada pemerintah Filipina. Pengalaman ini dapat dihindari
apabila didukung oleh hukum pembuktian yang lebih menguntungkan, misalnya ada beban
pembuktian terbalik, sehingga pihak PCGG tidak perlu menunggu dokumen perbankan dari
otoritas di Swiss.
Keterlambatan upaya pengembalian aset berikutnya berada pada sistem hukum di
Filipina. Diperlukan waktu kurang lebih 6 tahun sejak transfer dilakukan ke escrow account di
Philippine National Bank (PNB), The Phillipine Supreme Court baru dapat memutuskan
secara final suatu perintah perampasan dan atau penyitaan terhadap semua deposit atas
nama Ferdinand Marcos di Swiss16.
14Agustinus
Pohan, 2008, Pengembalian Aset kejahatan, Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum
UGM Bekerjasama dengan Kemitraan Jogjakarta, hal. 50
15Ibid, hal. 51
16Ibid, hal. 53
6
Jika melihat pada keadaan yang terjadi di Filipina, maka rasanya sangat mungkin hal
ini juga dapat diberlakukan di Indonesia selama tidak dibuka kemungkinan penyelesaian
persoalan secara simultan, dalam hal ini antara penyelesaian secara pidana dan perdata.
Walaupun keterlambatan sangat mungkin terjadi sebagai akibat lambatnya pengadilan di
Indonesia dalam menyelesaikan kasus, seperti dalam halnya menyangkut kebiasaan
melakukan persidangan satu kali dalam seminggu, bahkan menunda-nunda persidangan,
atau akibat ketidakhadiran kuasa hukum dari para pihak dengan tanpa adanya sanksi secara
etik sebagai akibat lemahnya organisasi profesi dalam menegakkan kode etik.
Contoh lainnya adalah Nigeria yang memenangkan kasus pengembalian dana sebesar
USD 500 juta dari mantan diktator Sani Abacha. Setelah lima tahun berjuang di pengadilan,
akhirnya Nigeria berhasil menarik dana tersebut dari sebuah bank di Swiss17. Padahal, Sani
diyakini telah menggerogoti uang negara lebih dari USD 5 miliar selama lima tahun.
Sementara itu, sekitar 25% Produk Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Afrika setiap
tahunnya dilaporkan raib akibat dikorupsi, yang jumlah totalnya mencapai angka USD 148
miliar.
Bank Dunia memperkirakan, aliran dana lintas batas dari hasil aktivitas kriminal, korupsi,
dan penggelapan pajak berjumlah antara USD 1-1,6 triliun. Berdasarkan perhitungan Bank
Dunia, setiap USD 100 juta dana yang berhasil dikembalikan, dapat mendanai perawatan
lebih dari 600.000 orang yang terjangkit HIV/AIDS atau mengobati 100 juta orang yang
terjangkit wabah malaria.
Dalam penyidikan kasus korupsi, salah satu tujuannya adalah penyelamatan kerugian
keuangan negara. Sampai saat ini, tindak pidana korupsi masih merupakan salah satu tindak
pidana yang berbahaya dan sangat merugikan. Sehingga sejalan dengan itu, pemerintah
selalu berupaya untuk menunjukan keseriusan untuk memberantasnya. Salah satu bentuknya
adalah dengan mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya bagaimana mengembalikan
keuangan negara yang telah hilang karena dikorupsi. Untuk itu, akhirnya pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menunjukan keseriusan dalam memberantas
korupsi. Selain itu berbagai macam ketentuan-ketentuan di atas, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga telah mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang
percepatan pemberantasan korupsi, yang menginstruksikan secara khusus kepada Jaksa
Agung dan Kapolri untuk18:
1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/ penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara;
17Ibid,
18
hal. 54
Chaerudin, Syaiful Ahmad Duinar, Syarif Fadillah, 2008, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Reflika Aditama, hal 13
7
2. Mencegah dan memberikasn sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh jaksa (penuntut umum) atau anggota Polri dalam rangka
penegakan hukum;
3. Meningkatkan kerjasama antara Kejaksaan dengan Kepolisian RI, selain dengan
BPK, BPKP, PPATK, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan
hukum dan pengambilan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Pada poin (3) di atas diungkapkan begitu pentingnya upaya pengembalian aset-aset
atau keuangan negara dari para pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu wajar mengingat berapa
besar keuangan negara yang seharusnya dapat mewujudkan pembangunan untuk
kesejahteraan rakyat yang pada akhirnya telah diselewengkan. Makna yang sama dalam hal
pengembalian aset-aset negara juga tercantum dalam konsideran menimbang huruf b
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC), 2003, yang berbunyi19:
Bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi
merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
perekonomian sehingga penting adanya kerjasama internasional untuk pencegahan dan
pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana
korupsi. Selain itu, pengembalian aset ini juga tercantum pada alinea pertama Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC 2003, yaitu
sebagai berikut20:
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang
menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas
bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang berifat sistemik dan
merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan
tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan
manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk
pengembalian ast-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Pengembalian aset-aset atau dapat dikatakan dengan pengembalian keuangan negara
dari hasil tindak pidana korupsi menarik untuk dicermati. Dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, dijelaskan bahwa pengembalian kerugian negara atau perekonomian
negara tidak akan menghapuskan pidana pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3. Meskipun begitu dalam Penjelasan Pasal 4 disebutkan bahwa
pengembalian keuangan atau perekonomian negara merupakan salah satu faktor yang
19
Ermansjah Djaja, Op. Cit, hal 3
hal 4
20Ibid,
8
meringankan pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Namun
pertanyaan yang timbul adalah bagaimana proses pelaksanaan atau penegakan hukum
terhadap aset recovery tersebut.
Walaupun terjadi beberapa perubahan, penambahan dan perbaikan dalam KUHP oleh
undang-undang nasional, yang dimulai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1946 (Lembaran Negara RI Tahun 2, Nomor 9, 15 Maret 1946), Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1946 (Lembaran Negara RI Tahun 2, Nomor 24 I, 15
November 1946), kemudian Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang membawa
uniformitas dan banyak lagi undang-undang yang lain, delik-delik korupsi yang ada di
dalamnya tetap sebagaimana mulanya sampai ditarik ke dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 sebagaimana diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTK).
Bahkan redaksi dari pasal-pasal tersebut tetap sebagaimana aslinya, kecuali mengenai
sanksinya yang otomatis mengikuti sanksi yang ditentukan oleh UUPTK tersebut21.
A.
Pembahasan
1.
Dasar hukum asset recovery
Dasar hukum pengembalian keuangan negara pertama kali diatur di dalam Peraturan
Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa: “Barangsiapa melakukan korupsi dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun, segala harta benda yang diperoleh dari
korupsi itu dirampas atau diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah sama dengan harga
harta benda yang diperoleh dari korupsi”.22
Dari pasal ini dapat diketahui bahwa, undang-undang ini menggunakan asumsi bahwa
hasil yang dikorupsi adalah sebanding dengan segala harga benda yang diperoleh dari
korupsi, sehingga jumlah uang pengganti sama dengan segala harta benda yang diperoleh
dari korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara ini baru menjadi kewajiban terpidana
bila segala harta benda yang diperoleh dari korupsi tidak dirampas.
Selanjutnya pengaturan tentang pengembalian kerugian keuangan negara juga
terdapat didalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Pidana Korupsi dan Penilikan
Harta Benda. Jika ditilik lebih jauh, ketentuan ini tidak berbeda jauh dengan ketentuan
21
Elwi Danil dan Aria Zurneti, 2002, Hukum Pidana Korupsi (Diktat Kuliah), Padang, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Unand, hal. 26
22 Pasal 5 Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang
Pemberantasan Korupsi
9
sebelumnya yang ada di dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957, tanggal 9
April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya pengembalian kerugian keuangan negara diatur di dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 34 menyatakan
bahwa selain ketentuan-ketentuan pidana yang dimaksud dalam KUHP, maka sebagai
hukuman tambahan, salah satunya adalah uang pengganti yang jumlahnya sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dengan korupsi. Kemudian didalam
penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa apabila pembayaran uang pengganti tidak
dipenuhi oleh terdakwa, maka berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan hukum
denda.
Didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, pengembalian kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 17 yang
menyatakan, selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana
dimaksud di dalam Pasal 18, yaitu selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud di dalam
KUHP, sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Seorang terpidana kasus korupsi setelah kasusnya memperoleh kekuatan hukum tetap,
mempunyai waktu 1 (satu) bulan untuk membayar uang pengganti yang telah dijatuhkan
hakim kepada dirinya. Uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana adalah setelah
dikurangi harta benda terpidana yang telah disita dan dirampas. Bila setelah batas 1 (satu)
bulan tersebut, terpidana tidak dapat membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Pengaturan lebih lanjut mengenai pengembalian kerugian keuangan negara yang
merupakan aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya berupa Surat
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No. B-1170/F/Fpk.3/12/1999 tanggal 2 Desember
1999 tentang Pelaksanaan Hukuman Pembayaran Uang Pengganti. Dalam surat ini berisi
himbauan kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Seluruh Indonesia, agar
melaporkan perkara korupsi di daerahnya yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
untuk selanjutnya akan diserahkan ke bidang perdata dan tata usaha negara agar dilakukan
upaya perdata terhadap pembayaran uang pengganti tersebut.
Kemudian dalam rangka penyelamatan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi,
jaksa penyidik sejak dimulainya penyidikan wajib melakukan penyitaan terhadap harta benda
tersangka, istri/ suami, anak dan setiap orang atau badan yang mempunyai hubungan dengan
10
perkara tersangka. Penyitaan ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang cermat dari
kegiatan-kegiatan penyidikan yang dilakukan sebelumnya.23
Lebih lanjut mengenai hal ini dalam Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-004/JA/8/1998
tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti menjelaskan, dalam
rangka melaksanakan putusan hakim, jika pembayaran uang pengganti belum mencukupi,
jaksa eksekutor melakukan penyitaan terhadap harta benda lainnya dari terpidana tanpa
memerlukan campur tangan dari pihak pengadilan dalam bentuk izin penyitaan yang
dituangkan dalam bentuk penetapan dan lain-lain.24
Selain itu berbagai macam ketentuan-ketentuan di atas, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga telah mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus kepada Jaksa
Agung dan Kapolri untuk25:
a) Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/ penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara;
b) Mencegah dann memberikasn sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh jaksa (penuntut umum) atau anggota Polri dalam rangka
penegakan hukum;
c) Meningkatkan kerjasama antara kejaksaan dengan kepolisian negara RI, selain
dengan BPKP, PPATK, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan
hukum dan pengambilan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Pada poin (3) di atas diungkapkan begitu pentingnya upaya pengembalian aset-aset
atau keuangan negara dari para pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu wajar mengingat berapa
besar keuangan negara yang seharusnya dapat mewujudkan pembangunan untuk
kesejahteraan rakyat yang pada akhirnya telah diselewengkan. Makna yang sama dalam hal
pengembalian aset-aset negara juga tercantum dalam konsideran menimbang huruf b
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC), 2003, yang berbunyi26:“Bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi
merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang
mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerjasama
internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau
pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi”
23
Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-004/JA/8/1998 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan
Pembayaran Uang Pengganti
24Ibid
25 Chaerudin, Syaiful Ahmad Duinar, Syarif Fadillah, Op. Cit, hal 13
26 Ermansjah Djaja, Op. Cit, hal 3
11
Selain itu pengembalian aset ini, juga tercantum pada alinea pertama Penjelasan Umum
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, yaitu sebagai berikut27:“Tindak pidana korupsi
merupakan
ancaman terhadap
prinsip-prinsip
demokrasi,
yang
menjunjung
tinggi
transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.
Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang berifat sistemik dan merugikan
pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan tingkat
nasional
maupun
tingkat
internasional.
Dalam
melaksanakan
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan
manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk
pengembalian ast-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi”
2.
Asset recovery
Berbicara mengenai pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery), berarti
kita membahas berbagai langkah atas aset yang diduga terkait dengan kejahatan. Asset
recovery meliputi beberapa tahapan yang dimulai dari pelacakan aset (asset tracking),
pembekuan aset (asset freezing), penyitaan aset (asset confiscation), perampasan aset
(asset forfeiture), pengelolaan aset (asset management), sampai pada pemanfaatan dan
pemeliharaan aset (asset maintenance).28
Pelacakan aset (asset tracking), tidak ditemukan pengertiannya di dalam KUHAP
maupun hukum perdata. Dalam kerangka hukum acara pidana, kegiatan pelacakan berkaitan
yang erat dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan mestikipun sama namun tidaklah
identik. Dalam Hukum Acara Pidana, sebagaimana dicantumkan di dalam Pasal 1 butir 2
KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Sedangkan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan didefenisikan sebagai
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan kedua defenisi tersebut, tidak dapat menjelaskan mengenai pengertian
pelacakan, karena tindakan pelacakan tidak selalu dalam rangka pengungkapan tindak
pidana, tetapi juga dapat semata-mata untuk menemukan aset hasil kejahatan dengan tanpa
mengungkapkan kejahatannya. Oleh karena itu pengertian pelacakan harus didefenisikan
27Ibid,
28
hal 4
Agustinus Pohan, 2008, Pengembalian Aset Kejahatan, Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Fakultas
Hukum UGM bekerjasama dengan Kemitraan, Yogyakarta, hal. 11
12
secara tersendiri. Pelacakan dapat didefenisikan sebagai serangkaian kegiatan untuk
mengidentifikasikan aset hasil penyidikan dari aparat penegak hukum29.
a)
Pembekuan Aset (asset freezing)
Hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pembekuan. Bila dilihat dari tujuannya,
tindakan pembekuan lebih kurang sama dengan penyitaan, yaitu dimaksudkan untuk
mengamankan aset agar pada waktunya dapat dikembalikan kepada yang berhak.
Mengingat tidak dikenalnya secara hukum istilah pembekuan, maka pengertian
pembekuan (freezing), dapat merujuk kepada Black Law Dictionary yang menyebutkan
sebagai berikut:
Temporally prohibiting the transfer, conversion, disposition or movement of property or
temporally assuming custody or control of property on the basis of an order issued by
court or competent authority. Pembekuan diartikan sebagai larangan sembarangan
untuk melakukan transfer, konversi, disposisi atau penempatan atau pemindahan atas
harta kekayaan atau pelarangan untuk penempatan sementara dalam pengampuan
atau pengawasan harta kekayaan berdasarkan putusan pengadilan atau perintah
otoritas tertentu.
b) Penyitaan Aset
Pengertian penyitaan dikenal, baik di dalam hukum acara perdata maupun hukum acara
pidana. Dalam hukum acara pidana, penyitaan
didefinisikan sebagai serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya
benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan
pembhktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Pengertian dalam hukum acara pidana lebih ditekankan guna pengungkapan suatu
tindak pidana, sementara penyitaan dalam konteks pengembalian aset lebih
dimaksudkan sebagai bagian atau prosesdalam rangka pengembalian asetkepada
pihak yang berhak. Dalam kaitan ini, maka penyitaan dalam rangka pengembalian asset
lebih memiliki kesamaan dengan pengertian penyitaan dalam hukum acara perdata.
Pengertian penyitaan juga dapat ditemukan dalam Blacks Law Dictianory yang mana
penyitaan atau confiscation diartikan sebagai a pinalty or a measure, or ordered by court
fololowing proceedings in relation to a criminal offences resulting in final deprivation of
property. Dengan kata lain penyitaan diartikan sebagai hukuman atau langkah atau
perintah pengadilan berkaitan dengan hasil kejahatan atau kejahatan-kejahatan.
Pengertian penyitaan demikian tidaklah tepat, karena penyitaan bukanlah hukuman dan
juga bukan merupakan tindakan yang datang dari pengadilan, karena tujuan dari
pengaturan hukum pengembalian aset merupakan suatu bentuk penyederhanaan.
29Ibid
13
Dengan demikian, penyitaan dapat dilakukan oleh penyidik (dalam hal penyitaan
bersamaan dengan penyidikan perkara pidana) dan oleh Jaksa Pengacara Negara
apabila penyitaan tidak bersamaan dengan pengungkapan tindak pidananya. Dalam
tindakan penyitaan, tim kejaksaan Tinggi Sumatera Barat baru melakukan penyitaan
apabila berdasarkan informasi, baik dari masyarakat ataupun dari tim intel kejaksaan
sendiri telah yakin bahwa barang atau asset tesebut diperoleh dari hasil tindak pidana
korupsi.
c)
Perampasan Aset (Forfeiture Asset)
KUHAP mengenal kata rampas sebagaimana diatur dalam Pasal 194 (1) KUHAP yang
berbunyi: “Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada
pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan
tersebut, kecuali jika dalam ketentuan Undang-undang, barang bukti itu dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi”. Dengan demikian perampasan aset adalah tindakan pengadilan negeri melalui
putusannya untuk mengambil alih secara hukum kepemilikan ataupun penguasaan dari
satu pihak untuk diserahkan kepada pihak lainnya30.
d) Pengelolaan Aset
Pengelolaan aset yaitu serangkaian proses yang dilakukan oleh suatu lembaga berupa
pengelolaan aset terkait kejahatan selama proses hukum terhadap aset tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengelolaan aset merupakan suatu hal yang
penting, mengingat aset yasng dirampas dapat saja berupa aset yang harus dipelihara.
Sebagai misal, mobil dan gedung yang jika tidak diurus malah bisa rusak. Negara harus
memikirkan agar aset tersebut jangan sampai nilainya jatuh dan ini berarti akan
merugikan negara, bahkan tidak menutup kemungkinan aset yang telah disita dan
dirampas dapat berwujud tanah atau perusahaan. Dengan pengelolaan aset, lembaga
yang bertugas untuk itu akan memutuskan apakah aset itu akan disewakan atau
dimanfaatkan untuk kegiatan usaha lainnya atau bahkan segera di lelang.
e)
Penyerahan Aset
Penyerahan aset yakni serangkaian proses yang dilakukan oleh lembaga pengelola
aset untuk menyerahkan aset yang telah dikelola kepada jaksa penuntut umum selaku
eksekutor setelah setatus hukum aset tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Jaksa penuntut umum yang kemudian menyerahkan aset tersebut kepada negara atau
pihak ketiga berdasarkan putusan pengadilan.
30Ibid
14
Pengembalian aset suatu negara yang telah dicuri kendatipun tidak selamanya terkait
erat dengan hasil kejahatan yang paling dominan biasanya berhubungan dengan
berbagai kejahatan ekonomi yang meliputi korupsi, kejahatan perpajakan, kejahatan
perbankan, perdagangan narkotika, dan obat-obatan terlarang serta kejahatan
pencucian uang. Dalam kaitannya dengan korupsi, perlu diingat bahwa kejahatan
tersebut memiliki beberapa karakteristik berupa white collar crime31, selalu dilakukan
secara bersama, sehingga merupakan salah satu bentuk kejahatan terorganisasi dan
modus operandi yang canggih, sehingga sulit pembuktiannya.
Pencurian aset seringkali bertalian dengan suatu rezim otoriter yang korup, sehingga
untuk mengembalikan aset-aset yang telah dicuri salah satu prasyarat yang dibutuhkan
adalah political will (kemauan politik negara). Tidak hanya kemauan politik pemerintah semata
sebagai executive, tetapi juga kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif. Kemauan
politik dari parlemen terkait dengan seperangkat aturan hukum yang harus disiapkan mulai
dari pelacakan aset, pembekuan aset, penyitaan aset, perampasan aset, sampai pada
pengelolaan aset.
Demikian pula yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hubungan kerjasama
timbal balik antar negara. Dalam konteks yang demikian peranan parlemen untuk membentuk
undang-undang sangat dominan. Sudah barang tentu Undang-undang yang dibentuk
sebaiknya mempermudah kinerja penegak hukum dalam pengembalian aset tersebut.
Sementara kemauan politik dari lembaga yudikatif terkait dengan sistem peradilan yang
transparan akuntabel dan dapat dipercaya.
Selain political will, sistem hukum berpengaruh penting dalam rangka pengembalian
aset. Sebagai sebuah sistem, termasuk pula sistem hukum adalah suatu kesatuan yang utuh
yang terbagi dalam bagian-bagian, sehingga apabila ditemukan persoalan, atau masalah,
maka akan emnemukan jawaban atau penyelesaiannya di dalam sistem hukum itu sendiri.32
Sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terkait dari bagian-bagian
atau unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama lain. Tegasnya sistem hukum adalah suatu
kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu
kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama kearah kesatuan. Masing-masing bagian atau
unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian-bagian atau unsur lain dan dengan
keseluruhannya seperti mozaik atau like puzzle. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri
lepas satu sama lain tetapi kait mengait, arti pentingnya tiap bagian terletak justru dalam
ikatan sistem sebagai satu kesatuan dengan hubungan yang sistematis antara peraturan yang
31Ibid
32
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 13
15
satu dengan peraturan yang lainnya. Diluar sistem atau kesatuan masing-masing bagian tidak
mempunyai arti.
Terkait pengembalian aset sistem hukum yang penting dibangun adalah harmonisasi
perundang-undangan dan sistem peradilan. Harmonisasi perundang-undangan yang
dimaksud adalah agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) antara ketentuan yang satu
dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Dalam konteks Indonesia kejahatankejahatan yang berpotensi mencuri aset negara, memiliki rezim hukum yang tersendiri.
Konsekuensi lebih lanjut penegakan hukum untuk memproses kejahatan-kejahatan tersebut
secara prosedural berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Dalam perkara korupsi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dapat dilakukan, baik melalui jalur kepidanaan (criminal procedure), maupun melalui
jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata. Pengembalian aset (asset
recovery) pelaku tindak pidana korupsi melalui jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan
Pasal 38 ayat (5), Pasal 38 ayat (6) dan Pasal 38B ayat (2), dilakukan dengan proses
penyitaan dan perampasan. Ketentuan-ketentuan yang ada menyebutkan bahwa negara
memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan
untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat
penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Kemudian melalui gugatan
perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 serta Pasal
38C Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Apabila diperinci mengenai pengembalian aset dari jalur kepidanaan, maka nantinya
akan melalui proses persidangan dimana hakim selain menjatuhkan pidana pokok kepada
para terpidana, juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Apabila diperinci lebih jauh, maka
pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkorelasi dengan
pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:
a)
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut. (Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
b)
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling
lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang
16
untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai
harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam
putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
c)
Pidana denda dimana aspek ini dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat
kumulatif (pidana penjara dan atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana
penjara dan atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat)
bersifat determinate sentence dan indifinite sentence.
d)
Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa
meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi.
Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum
banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6),
(7) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001).
e)
Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam
perkara pokok. (Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
Kemudian pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui jalur keperdataan dapat
dilakukan melalui aspek-aspek sebagai berikut:
a)
Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi. Ketentuan
Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan
berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat
cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada
Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Konstruksi ketentuan
pasal ini banyak menimpulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah
17
tidak jelasnya status dari orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai
pelaku, tersangka atau terdakwa. Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran
pembentuk Undang-undang maka berkas hasil penyidikan yang diserahkan
kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata adalah selain bagian inti
delik telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti maka walaupun
bagian inti delik lainnya ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap
dapat dilakukan gugatan perdata. Selintas ketentuan pasal tersebut mudah
dilakukan akan tetapi pada praktiknya banyak mengandung kompleksitas.
Tegasnya, yang paling elementer apabila dilakukan gugatan perdata tentu
berdasarkan adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat, akan tetapi
kompleksitasnya
dapatkah
negara
melalui
Jaksa
Pengacara
Negara
membuktikan tentang adanya kerugian negara tersebut berdasarkan alat-alat
bukti sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHP). Memang, dari dimensi kebijakan
legislasi
dan
praktik
peradilan
ketentuan
pasal
tersebut
mengandung
problematika. Pasca Konferensi Anti Korupsi (KAK) 2003 maka kebijakan legislasi
akan dihadapkan adanya perumusan tindak pidana korupsi yang tidak
mempermasalahkan lagi adanya unsur kerugian keuangan negara oleh karena
berdasarkan ketentuan Pasal 20 KAK 2003 sebagaimana diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 dimana tindak pidana korupsi berorientasi
kepada perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment). Tegasnya, unsur
kerugian negara bukan unsur penting sebagaimana redaksional ketentuan Pasal
3 butir 2 KAK 2003 tentang “scope application”, yang menegaskan bahwa, “For
the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except
otherwise stated herein. For the offence...to result in damage or harm to State
property”.
b)
Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal dunia pada
saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya. (Pasal 33, Pasal 38B ayat
(2), (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001).
c)
Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ketentuan Pasal 34, Pasal 38B
ayat (2), (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 menegaskan bahwa, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada
18
saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah
ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli warisnya.”
Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum keperdataan lazim
dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat melalui penyitaan (confiscation) terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dimensi ini secara tegas dikatakan Oliver
Stolpebahwa:33
“Countries such as Italy, Ireland and the United States provide, under varying contitions,
for the possibility of civil or preventive confiscation of assets suspected to be derived from
certain criminal activity. Unlike confiscation in criminal proceedings, such forfeiture laws do
not require proof of illicit origin “beyond reasonable doublt”. Instead, the consider proof on a
balance of pribabilities or demand a high probability of illicit origin combined the inability of the
owner to prove the contrary”.
Selain melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan maka dalam praktik peradilan
lazim juga terjadi pelakumelakukan tindakan lain berupa pengembalian aset yang diduga
berasal dari tindak pidana korupsi dimana modus operandi pengembalian tersebut dilakukan
secara sukarela. Misalnya dalam praktik terjadi dalam perkara Abdullah Puteh sebagaimana
telah diputus Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 1344 K/Pid/2005.
Ketentuan melalui jalur hukum pidana pada proses sistem pengembalian aset, terdiri
dari 4 (empat) tahap, yaitu:34
a)
Pelacakan aset untuk melacak aset-aset;
b)
Tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset
melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan;
c)
Penyitaan;
d)
Penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset
diperoleh secara tidak sah.
Pada tahap pertama, yaitu tahap pelacakan aset adalah untuk mengidentifikasi set,
lokasi penyimpanan aset, bukti kepemilikan aset dan hubungannya dengan tindak pidana
yang dilakukan, sekaligus merupakan pengumpulan alat-alat bukti. Akibat dari korupsi yang
terus menggerogoti keuangan negara yang seharusnya dapat dialokasikan dan dikelola
menurut prinsip-prinsip ekonomi yang benar, tidak dipungkiri lambat laun akan menyebabkan
33http://www.pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=107:pengembalian-
aset-asset-recovery-pelaku-tindak-pidana-korupsi-menurut-Undangundang-korupsiindonesia-pasca-konvensi-pbb-anti-korupsi-2003&catid=23:artikel&Itemid=36,diakses
Desember 2011
34 Purwaning M Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi, PT. Alumni Bandung, hal. 207
27
19
goyahnya fundamen perekonomian suatu negara. Ini bisa dilihat semenjak terjadinya krisis
ekonomi di tahun 1998 yang menyebabkan bangkrutnya banyak bank di Indonesia dan sejak
saat itu, perekonomian Indonesia semakin diperparah dengan korupsi yang bukannya
semakin sedikit, malah semakin mewabah.
Perekonomian merupakan salah satu sendi pembangunan negara yang penting. Untuk
itu, pemerintah berupaya keras, agar uang yang telah dikorupsi oleh para koruptor dapat
dikembalikan ke kas negara kembali dan tentunya tetap menghukum para pelaku korupsi
tersebut. Namun jika dilihat dari banyaknya angka korupsi saat ini, sepertinya saat ini,
pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengalami perubahan paradigma. Apabila dahulu
bagaimana menghukum para koruptor seberat-beratnya, saat ini selain penghukuman atai
pidana, pemerintah juga menitikberatkan pada pengembalian aset hasil korupsi, baik yang
ada di dalam negeri maupun yang ditempatkan di negara lain. Jadi yang dikejar saat ini
bukanlah pemberantasan korupsi yang semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana
penjara (detterence effect), tetapi juga harus mengembalikan kerugian negara yang telah
dikorupsi.
Sehubungan dengan pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia, telah terbukti,
sampai saat ini pemerintah tidak secara transparan dan bertanggung jawab mengemukakan
secara rinci penerimaan nyata dari Kejaksaan Agung maupun dari KPK mengenai nilai
kerugian keuangan negara yang telah dikembalikan atau diterima departemen keuangan.
Padahal telah lebih dari tiga puluh lima tahun lamanya pengembalian kerugian negara
dilakukan, namun sampai saat ini pengumuman resmi nilai total penerimaan dari pemerintah
belum pernah disampaikan kepada DPR, apalagi ke publik. Maka dari itu, sudah sepantasnya
disuatu negara yang menempatkan korupsi sebagai extra ordinary crime menempatkan asset
recoverysebagai suatu keharusan, apalagi jika kita menilik berapa keuangan negara yang
telah diambil oleh mereka-mereka dengan ketamakan dan kerakusan pribadi atau golongan
dengan memalingkan kepentingan publik. Penulis terkadang miris melihat berbagai putusan
hakim hakim yang mengganti kerugian negara yang bermiliar-miliar disubsidairkan dengan
kurungan yang terkadang hanya 3 sampai dengan 6 bulan. Maka dari itu, mari kita dorong
bersama-sama agar KPK dan lembaga penegak hukum lainnya bersinergi dan berkoordinasi
dengan PPATK untuk melacak keberadaan harta-harta hasil korupsi yang ditimbun dalam
berbagai bentuk aset dan ditempatkan diberbagai negara. Apabila kita yakin, tidak mustahil
mereka para koruptor akan bernasib sama seperti halnya Marcos yang hartanya disita untuk
kemudian diserahkan kepada negara, sehingga keadilan publik sedikitnya akan tergantikan
dan pembangunan dapat terus berjalan, dan kemajuan serta kejayaan Indonesia dapat
terwujud.
20
B.
Penutup
Perekonomian merupakan salah satu sendi pembangunan negara yang penting. Untuk
itu, pemerintah berupaya keras, agar uang yang telah dikorupsi oleh para koruptor dapat
dikembalikan ke kas negara kembali dan tentunya tetap menghukum para pelaku korupsi
tersebut. Namun jika dilihat dari banyaknya angka korupsi saat ini, sepertinya saat ini,
pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengalami perubahan paradigma. Apabila dahulu
bagaimana menghukum para koruptor seberat-beratnya, saat ini selain penghukuman atai
pidana, pemerintah juga menitikberatkan pada pengembalian aset hasil korupsi, baik yang
ada di dalam negeri maupun yang ditempatkan di negara lain. Jadi yang dikejar saat ini
bukanlah pemberantasan korupsi yang semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana
penjara (detterence effect), tetapi juga harus mengembalikan kerugian negara yang telah
dikorupsi.
Sehubungan dengan pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia, telah terbukti,
sampai saat ini pemerintah tidak secara transparan dan bertanggung jawab mengemukakan
secara rinci penerimaan nyata dari Kejaksaan Agung maupun dari KPK mengenai nilai
kerugian keuangan negara yang telah dikembalikan atau diterima departemen keuangan.
Padahal telah lebih dari tiga puluh lima tahun lamanya pengembalian kerugian negara
dilakukan, namun sampai saat ini pengumuman resmi nilai total penerimaan dari pemerintah
belum pernah disampaikan kepada DPR, apalagi ke publik.
Maka dari itu, sudah sepantasnya disuatu negara yang menempatkan korupsi sebagai
extra ordinary crime menempatkan asset recoverysebagai suatu keharusan, apalagi jika kita
menilik berapa keuangan negara yang telah diambil oleh mereka-mereka dengan ketamakan
dan kerakusan pribadi atau golongan dengan memalingkan kepentingan publik. Penulis
terkadang miris melihat berbagai putusan hakim hakim yang mengganti kerugian negara yang
bermiliar-miliar disubsidairkan dengan kurungan yang terkadang hanya 3 sampai dengan 6
bulan. Maka dari itu, mari kita dorong bersama-sama agar KPK dan lembaga penegak hukum
lainnya bersinergi dan berkoordinasi dengan PPATK untuk melacak keberadaan harta-harta
hasil korupsi yang ditimbun dalam berbagai bentuk aset dan ditempatkan diberbagai negara.
Apabila kita yakin, tidak mustahil mereka para koruptor akan bernasib sama seperti halnya
Marcos yang hartanya disita untuk kemudian diserahkan kepada negara, sehingga keadilan
publik sedikitnya akan tergantikan dan pembangunan dapat terus berjalan, dan kemajuan
serta kejayaan Indonesia dapat terwujud.
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alvi Syahrin, 2009. Beberapa Masalah Hukum, Jakarta : PT. Sofmedia.
Agustinus Pohan, 2008, Pengembalian Aset kejahatan, Yogyakarta : Pusat Kajian Anti
Korupsi Fakultas Hukum UGM Bekerjasama dengan Kemitraan.
Chaerudin, Syaiful Ahmad Duinar, Syarif Fadillah, 2008, Strategi Pencegahan & Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung : PT. Reflika Aditama.
Deni Setyadi, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Kiprah KomisiPemberantasan Korupsi dalam
Memberangus Korupsi, Yogyakarta : Pustaka Timur.
Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta : Sinar Grafika.
Elwi Danil dan Aria Zurneti, 2002, Hukum Pidana Korupsi (Diktat Kuliah), Padang: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Bagian Hukum Pidana,
Fakultas Hukum Unand
IGM Nurdjana, 2005, Korupsi dalam Praktek Bisnis, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Purwaning M Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi, Bandung : PT. Alumni Bandung.
Rohim, 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Depok : Pena Multi Media.
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta :Liberty.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC 2003
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-004/JA/8/1998 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan
Pembayaran Uang Pengganti
Internet
Tarik
Aset
Pak
Harto,
RI
minta
bantuan
PBB,
http://www.mail-
archive.com/[email protected]/msg30737.html.
http://www.pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=107:pengemb
alian-aset-asset-recovery-pelaku-tindak-pidana-korupsi-menurut-Undangundangkorupsi-indonesia-pasca-konvensi-pbb-anti-korupsi-2003&catid=23:artikel&Itemid=36
22
Download