BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan
ketimpangan gender pada posisi jabatan struktural di Dinas Perhubungan Kota
Yogyakarta, yang dilihat dari sisi situasi dan kondisi perempuan yang bekerja di
organisasi birokrasi pemerintahan pada posisi jabatan struktural dan bagaimana
organisasi tersebut memperlakukan para pegawai perempuan. Penelitian ini
berangkat dari melihat bagaimana pengarusutamaan gender yang terjadi di
Indonesia, khususnya di lingkungan organisasi birokrasi pemerintahan. Birokrasi
pemerintahan di Indonesia bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada publik
sesuai dengan misi yang diberikan kepadanya dari kebijakan-kebijakan
publik1.Sedangkan pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi
pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender,
melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan
perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan di berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan.
1
Nugroho, Riant. 2008. Buku Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 197
1
Sebelumnya, telah terdapat studi-studi atau penelitian yang hampir serupa
dengan penelitian ini. Terdapat studi yang berjudul “Pengaruh Kepribadian
Tangguh dan Konflik Peran Ganda Terhadap Kinerja” oleh Betril Lovely
Burmana pada tahun 2010. Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana
konflik peran ganda yang dialami oleh pegawai perempuan dapat mempengaruhi
kinerja mereka di kantor, namun tidak memiliki spesifikasi bahwa para pegawai
perempuan tersebut bekerja di organisasi birokrasi/pemerintahan. Kemudian
terdapat studi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Gender di Lingkungan
Departemen Dalam Negeri” oleh Siti Barieroh Munir pada tahun 2005. Studi
tersebut membahas tentang bagaimana di sebuah Departemen Dalam Negeri yang
dimana termasuk sebagai salah satu organisasi birokrasi masih terdapat
ketimpangan gender, namun lebih memiliki fokus dari segi kebijakan
pengarusutamaan gender yang telah ada. Sedangkan pada penelitian ini, penulis
akan membahas dengan lebih mendalam bagaimana faktor-faktor yang
menyebabkan
ketimpangan
gender
serta
bagaimana
suatu
organisasi
memperlakukan pegawai perempuannya, dalam hal ini merupakan di posisi
jabatan struktural karena penelitian akan dilakukan di organisasi birokrasi
pemerintahan.
Fenomena mengenai kesetaraan gender di Indonesia pun sudah dimulai sejak
lama. Ketika masa pra-kemerdekaan, terdapat beberapa tokoh-tokoh perempuan
yang memperjuangkan persamaan hak-hak antara perempuan dan laki-laki, yaitu
2
Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, dan lain-lain. Pada masa kemerdekaan dan
masa Orde Lama, gerakan perempuan mulai diperhitungkan dengan cukup tinggi.
Tetapi, ketika masa Orde Baru telah berkuasa, terkesan perkembangan akan
kesetaraan gender pun mulai berkurang. Orde Baru membentuk sebuah ideologi
gender yang berdasar pada “ibuismeā€Ÿ, sebuah paham yang berarti seorang
perempuan seharusnya menjadi peranan seperti seorang ibu seperti kegiatan
ekonomi perempuan, dan partisipasi dalam dunia politik dianggap tidak layak.
Ketika masa Reformasi telah tiba, pemberdayaan perempuan semakin
menemukan bentuknya. Peran perempuan pun semakin diperhitungkan dalam
dunia politik, seperti yang terlihat pada komposisi kabinet saat ini.
Di Indonesia, pengarusutamaan gender telah mendapatkan perhatian dari
pemerintah, yaitu berupa GBHN 1999 yang berisi tentang perlunya meningkatkan
kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui kebijakan nasional untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
dalam berbagai bidang pembangunan baik di pusat maupun di daerah.2 Sehingga
kebijakan pengarusutamaan gender pun dikeluarkan.
Implementasi dari kebijakan pengarusutamaan gender tidak hanya mengetahui
tentang eksistensi perempuan dalam unit-unit pemerintahan, melainkan
bagaimana unit pemerintahan mampu memberikan pemikiran dan kebijakan
pengarusutamaan gender dalam membangun pemerintahan untuk meningkatkan
2
Sekretariat Negara, Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jakarta, 1999.
3
kedudukan, peran, kualitas perempuan, serta upaya untuk mewujudkan terjadinya
kesetaraan dan keadilan gender.
Kualitas kesetaraan gender dalam administrasi publik di Indonesia terbagi
menjadi
empat
variabel,
yaitu
kualitas
kebijakan
publik,
organisasi,
pendidikan,dan mekanisme. Penelitian ini hanya akan membahas tentang variabel
organisasi, yang terbagi lagi menjadi enam organisasi yang paling penting dalam
administrasi publik di Indonesia, yaitu legislatif, yudikatif, akuntatif, konsultatif,
eksekutif, dan birokrasi.3
Pada variabel organisasi publik, pengukuran untuk kualitas kesetaraan gender
dilakukan dengan menggunakan representasi. Dilihat dari UNDP (United Nations
for Development Programmes), pengukuran representasi diletakkan pada ukuran
50/504, yang berarti ukuran kesetaraan akan terjadi apabila representasi antara
laki-laki dan perempuan berjumlah sama, yaitu 50% dan 50%. Pendekatan ini
merupakan pendekatan yang paling mendapatkan penerimaan di kalangan para
pengarusutamaan gender5.
Untuk memfokuskan penelitian maka yang akan dibahas hanyalah kualitas
kesetaraan gender di organisasi birokrasi pemerintahan. Organisasi birokrasi
merupakan pegawai negeri sipil yang berada di pusat (nasional) atau pegawai
3
Nugroho, Riant. 2008. Buku Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 213
& 243-244
4
Lihat, Megawangi, 1999.
5
Megawangi, 1999.
4
negeri sipil daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Birokrasi memiliki kekuatan
yang besar dalam administrasi publik karena organisasi ini berhubungan langsung
dengan publik yang dilayani secara keseluruhan.
Perempuan bekerja bukanlah merupakan suatu hal yang tabu untuk dilakukan.
Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja tidak serta merta mengindikasikan
bahwa perempuan bekerja hanya untuk mencari nafkah dan mengejar karir. Ada
sebab-sebab lain yang membuat perempuan ingin bekerja, khususnya bekerja di
organisasi birokrasi. Makna kerja yang paling mendasar selalu dikaitkan dengan
kebutuhan ekonomi, seperti: pemenuhan kebutuhan makanan, tempat tinggal,
baik untuk individu dan masyarakat, meskipun demikian ditemukan juga adanya
makna kerja lain yang lebih bersifat subjektif yang ditawarkan dari suatu
pekerjaan seperti prestasi, kehormatan, kontak sosial (Deresky 2002). Singh
(2006) mendefinisikan makna kerja sebagai penghayatan seseorang dalam
pemenuhan kebutuhan ekonomi individual dengan melaksanakan tugas pekerjaan
dari satu tahap ke tahap yang lainnya dalam organisasi. Ekonomi tidak selalu
menjadi satu-satunya faktor dimana individu bisa memaknai pekerjaannya namun
ada kebutuhan lain yang menjadi tujuan/pencapaian selain permasalahan
ekonomi. Westwood dan Lok (2003) menyebutkan bahwa makna kerja berkaitan
dengan respon terhadap sikap kerja seperti kepuasan, komitmen, dan beberapa
variabel.
5
Kompleksitas peran ganda merupakan tantangan tersendiri bagi perempuan.
Hal ini dijelaskan dalam kebijakan pemerintah Indonesia (Dzuhayatin, 1997)
mengenai empat tugas perempuan, yaitu :
-
Sebagai istri dan pendamping suami
-
Sebagai pendidik dan Pembina generasi muda
-
Sebagai pekerja yang menambah penghasilan Negara
-
Sebagai anggota organisasi masyarakat, khususnya organisasi perempuan
dan organisasi sosial
Dapat dilihat bahwa perempuan memiliki kondisi dilematis antara pekerjaan
dengan keluarga. Hal tersebut yang menyebabkan lahirnya sebuah kebijakan baru,
yaitu Family Friendly Policy. FFP tersebut merupakan sebuah kebijakan yang
mengatur tentang kebijakan pekerjaan yang ramah akan keluarga. Terdapat
beberapa contoh praktik FFP6 yang telah dilakukan, yaitu :
a. Tempat penitipan anak
b. Waktu kerja fleksibel
c. Fasilitas transportasi publik dan bus sekolah
Pada praktiknya di Indonesia, FFP masih belum terlaksana. Bahkan, hanya
sedikit yang mengetahui perihal FFP ini. Oleh karena itu, masih sering kita
temukan kondisi dimana masih terdapat ketimpangan gender di dalam jabatan
6
Pramusinto, Agus. Family Friendly Policy dan Produktivitas Pegawai Negeri Sipil. Hal 4-6
6
struktural, karena di Indonesia masih belum terdapat fasilitas-fasilitas yang
mendukung akan pekerjaan yang ramah akan keluarga.
Dalam dunia kerja di bidang birokrasi pemerintahan, memang telah terdapat
peraturan dan kebijakan yang mengedepankan akan kesetaraan gender sehingga
kecil kemungkinan untuk menemukan ketidaksetaraan gender dalam peraturan
dan kebijakan tersebut. Tetapi, masih terdapat hal-hal lain yang membatasi wanita
untuk dapat berada pada titik yang tinggi di dalam sebuah jabatan. Terkadang,
untuk mendapatkan sebuah posisi yang tinggi diperlukan kinerja yang lebih
daripada biasanya, contohnya seperti harus lembur, melakukan perjalanan dinas
ke luar kota, dan lain sebagainya. Sedangkan, wanita memiliki prioritas yang lain
selain bekerja dan mencari nafkah, yaitu mengurusi keluarga. Maka, seringkali
kita temukan bahwa di sebuah organisasi yang bergerak di bidang birokrasi
pemerintahan pun terjadi bias gender.
Di Indonesia, pelibatan perempuan dalam berbagai aktivitas pembangunan
dan pengambilan keputusan merupakan hal yang realistis karena jumlah
penduduk perempuan di Indonesia mencapai lebih dari 50% dari jumlah
penduduk yang ada. Namun, walaupun telah diakui bahwa kedudukan antara lakilaki dan perempuan adalah sama, dalam prakteknya hal tersebut masih terkesan
normatif. Hal tersebut dapat terlihat pada kehidupan politik dan pemerintahan.
Keterwakilan perempuan di parlemen dan juga lembaga pemerintahan pun
7
jumlahnya masih tergolong kecil, apalagi ketika kita melihat dari keterlibatan
perempuan dalam jabatan-jabatan strategis.
Menurut data ketenagakerjaan di Indonesia, keterlibatan perempuan di dalam
sektor publik belum memuaskan. Contohnya saja, walaupun telah ada UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 yang berisi tentang kuota 30% jumlah perempuan
dalam lembaga legislatif, namun pada hasil pemilu 2009 jumlah perempuan di
parlemen hanyalah mencapai 9%. Hal tersebut disebabkan karena masih
kurangnya interest atau ketertarikan perempuan untuk terjun dan memahami
dunia politik.
Untuk mewujudkan kesetaraan gender di dalam praktek di pemerintahan
bukanlah persoalan yang mudah, karena budaya patriarkhi masih dominan di
dalam masyarakat kita. Budaya merupakan nilai-nilai yang tertanam kuat di
masyarakat dan seringkali diyakini sebagai kebenaran dan mempengaruhi cara
orang dalam melihat realitas.
Namun di sisi lain, pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam
mewujudkan upaya kesetaraan gender melalui pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender, yang dimana isu gender diutamakan dalam pembangunan dan
pemberdayaan perempuan. Terdapat kebijakan-kebijakan yang memberikan
peluang untuk PNS perempuan dalam memperoleh jabatan-jabatan strategis di
pemerintahan atau organisasi publik. Salah satunya adalah dengan Inpres Nomor
8
9 Tahun 2009 tentang Pengarusutamaan Gender yang diamanatkan untuk
dilaksanakan oleh semua lembaga pemerintah termasuk Pemerintah Daerah.
Kesuksesan yang diraih oleh organisasi birokrasi pemerintahan bergantung
pada seberapa banyak partisipasi laki-laki dan perempuan yang bekerja disana.
Tetapi, partisipasi antara laki-laki dan perempuan haruslah seimbang, termasuk
pembagian porsi untuk menduduki jabatan struktural di organisasi birokrasi.
Kuota minimal aspirasi perempuan pada organisasi birokrasi pemerintah
adalah 30%, mengikuti kebijakan kuota minimal untuk lembaga legislatif. Di
Indonesia, masih belum ada kebijakan lainnya mengenai kuota minimal
perempuan selain di lembaga legislatif, oleh karena itu untuk organisasi birokrasi
pemerintahan pun juga menggunakan kebijakan tersebut. Pada dasarnya,
penentuan kuota minimal 30% pada lembaga legislatif tersebut dicetuskan karena
jumlah laki-laki lebih banyak di parlemen sehingga dapat disebut sebagai politikmaskulinitas. Sehingga 30% pun dirasa sudah cukup untuk mewakili aspirasi
perempuan. Dan apabila melihat dari negara-negara lain, juga menerapkan kuota
tersebut, yaitu rata-rata antara 20% hingga 30%.
Adapula jumlah dan prosentase Pegawai Negeri Sipil menurut Jenis Jabatan
dan Jenis Kelamin secara struktural seluruh Indonesia (yang menduduki jabatan
struktural eselon I-V pada lembaga pemerintahan pusat), yaitu :
9
Tabel 1.1
Jumlah dan Prosentase PNS Menurut Jenis Kelamin dan Jenis Jabatan Secara
Struktural di Indonesia Tahun 2014
No
Lembaga
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
2
3
4
5
Total
Eselon I
Eselon II
Eselon III
Eselon IV
Eselon V
529
11.209
49.080
129.752
5.022
195.592
133
1.985
12.730
65.030
2.275
82.153
662
13.194
61.810
194.782
7.297
277.745
Prosentasi
Perempuan
21,38 %
15,04 %
20,59 %
33,38 %
31,17 %
29,57 %
Sumber: bkn.go.id
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat
ketimpangan gender di lingkungan organisasi birokrasi khususnya pada jabatan
struktural, bahkan secara keseluruhan pun masih kurang dari 30% walaupun
hampir memenuhi kuota.Terlebih lagi apabila mengacu pada jabatan Eselon II,
jumlah pejabat struktural wanita hanya berkisar 15,04% dari jumlah keseluruhan.
Menurut data dari Badan Kepegawaian Daerah Kota Yogyakarta, pada tahun
2013 lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta memiliki Pegawai Negeri Sipil
sebanyak 7.784 pegawai. Yang dimana terbagi menjadi 3.616 pegawai laki-laki
10
dan 4.168 pegawai perempuan. Angka tersebut cukup memuaskan, karena jumlah
pegawai perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pegawai laki-laki.
Dapat dilihat bahwa terdapat beberapa jenis dinas yang berada di lingkungan
Pemerintah Kota Yogyakarta. Terdapat pula prosentase keseluruhan dinas di
Pemerintah Kota Yogyakarta berdasarkan jenis kelamin :
Tabel 1.2
Prosentase Jumlah Pegawai Keseluruhan Dinas di Pemerintah Kota
Yogyakarta Berdasarkan Jenis Kelamin
No
Lembaga
1
Dinas Pendidikan
1.564
2.631
Prosentasi
Perempuan
62,72%
2
Dinas Kesehatan
189
483
71,87%
3
Dinas Sosial, Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi
Dinas Perhubungan
54
54
50%
93
18
16,21%
Dinas Kependudukan Dan
Pencacatan Sipil
Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan
30
18
37,5%
27
20
42,55%
115
19
14,18%
79
42
34,71%
61
64
51,2%
10
Dinas Permukiman Dan Prasarana
Wilayah
Dinas Perind., Perdag., Koperasi
Dan Pertanian
Dinas Pajak Daerah Dan
Pengelolaan Keuangan
Dinas Perizinan
41
28
40,58
11
Dinas Pengelolaan Pasar
103
21
16,93%
4
5
6
7
8
9
Laki-laki Perempuan
11
12
Dinas Ketertiban
161
11
6,39%
13
Dinas Bangunan Gedung Dan Aset
Daerah
Total
33
20
37,73%
2.534
3.425
57,47%
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah, 2013, Jumlah Pegawai Negeri Sipil
Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari
keseluruhan
dinas-dinas
tersebut,
dapat
dilihat
bahwa
Dinas
Perhubungan merupakan salah satu dinas yang memiliki posisi tiga terbawah
untuk jumlah pegawai perempuan. Dinas Perhubungan memiliki jumlah staff atau
pegawai sebanyak 111pegawai, yang terbagi menjadi 93 pegawai laki-laki dan 18
pegawai perempuan. Pegawai perempuan memiliki angka yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pegawai laki-laki, sehingga dapat diindikasikan bahwa
terdapat ketimpangan gender pada Dinas Perhubungan tersebut. Terlebih lagi,
pada jabatan struktural yang memiliki jumlah 19 pegawai, hanya 4 pegawai yang
berjenis kelamin perempuan, sedangkan sisanya adalah berjenis kelamin laki-laki
dengan jumlah 15 orang. Pegawai perempuan yang menduduki jabatan struktural
di Dinas Perhubungan hanya memiliki prosentase sebesar 21,04% yang dimana
masih jauh dari ukuran indikator kesetaraan gender. Dapat dilihat bahwa dari
aspek kuantitas, partisipasi perempuan pada jabatan struktural di Dinas
Perhubungan masih kurang, dilihat dari jumlah prosentase masih kurang dari
30%. Berikut adalah rincian dari jumlah pegawai jabatan struktural di Dinas
Perhubungan Kota Yogyakarta berdasarkan jenis kelamin :
12
Tabel 1.3
Jumlah Pegawai Jabatan Struktural di Dinas Perhubungan Kota
Yogyakarta Berdasarkan Jenis Kelamin
No
Jabatan/Unit Kerja
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
1
Dinas Perhubungan
2
0
2
2
Sub Bagian Umum dan
Kepegawaian
Sub Bagian Keuangan
0
1
1
1
0
1
0
1
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
8
Sub Bagian Administrasi
Data dan Pelaporan
Bidang Lalu Lintas dan
Angkutan
Seksi Manajemen Lalu
Lintas
Seksi Rekayasa Lalu
Lintas
Seksi Angkutan
1
0
1
9
Bidang Perparkiran
1
0
1
10
Seksi Optimalisasi
Perparkiran
Seksi Retribusi Parkir
1
0
1
1
0
1
Bidang Pengendalian
Operasional dan
Bimbingan Keselamatan
Seksi Pengendalian
Operasional
Seksi Bimbingan
Keselamatan
1
0
1
1
0
1
1
0
1
3
4
5
6
7
11
12
13
14
13
15
UPT Pengelolaan Terminal
1
1
2
16
UPT Pengujian Kendaraan
Bermotor
2
0
2
15
4
19
Total
Sumber: Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, 2013, Rekapitulasi Berdasarkan Eselon
Jabatan, Yogyakarta.
Dengan rendahnya jumlah angka perempuan pada jabatan struktural di Dinas
Perhubungan, maka penulis pun ingin melakukan penelitian mengenai faktorfaktor yang menyebabkan ketimpangan gender di jabatan struktural yang terdapat
di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta tersebut, karena ingin mengetahui apa
saja faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah pegawai perempuan di sebuah
jabatan struktural di dalam organisasi birokrasi pemerintahan tersebut. Hal
tersebut pun membuat penulis merasa penelitian akan “Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Ketimpangan Gender di Posisi Jabatan Struktural”adalah hal yang
menarik untuk diteliti.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah yang
akan
dibahas
dalam
penelitian
ini
adalah:“Apa
faktor-faktor
yang
mempengaruhiketimpangan gender pada posisi jabatan strukturaldi Dinas
Perhubungan Kota Yogyakarta?”
14
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui
apa
saja
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
ketimpangan gender pada posisi jabatan struktural di Dinas Perhubungan Kota
Yogyakarta
2. Mengetahui apakah kesetaraan gender dan peningkatan pemberdayaan
perempuan telah diperhatikan di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran tentang kondisi
kesenjangan dan kesetaraan gender yang sebenarnya terjadi dalam dunia kerja
2. Dapat dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya
15
Download