BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dikelilingi oleh berbagai bahan organik dan anorganik yang dapat masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit dan kerusakan jaringan. Oleh sebab itu tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen tersebut. Bila tubuh terpapar dengan benda asing (antigen), maka ada dua respon imun yang terjadi, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik (Siti Boedina Kresno, 2003). Respon imun non-spesifik merupakan pertahanan lini pertama terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh yang telah ada dan siap berfungsi sejak lahir (imunitas bawaan/innate immunity) dan tidak ditujukan terhadap infeksi mikroorganisme tertentu. Respon imun spesifik atau respon imun didapat (acquired immunity) terjadi lebih lambat namun lebih efektif mengatasi infeksi dibandingkan respon imun non-spesifik (Karnen Garna Baratawidjaja, 2000). Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang disebabkan oleh kegagalan regulasi sistem imun, kerentanan genetik dan rangsangan flora normal di saluran cerna (Liu dan Crawford, 2005). IBD mengenai 1,4 juta orang di Amerika Serikat (AS) dan telah menghabiskan biaya sedikitnya dua juta dolar. IBD meliputi dua kelainan, yaitu Crohn’s Disease (CD) dan Ulcerative Colitis (UC). UC ditandai dengan kerusakan mukosa dan ulserasi yang mengenai rektum dan menyebar secara proksimal. Insidensi di AS adalah sekitar 4-12 kasus per 100.000 orang dan terus meningkat dalam beberapa dekade ini. Selain itu UC yang mengenai seluruh kolon selama lebih dari 10 tahun merupakan salah satu predisposisi terjadinya kanker kolon (Popivanova et al, 2008). Penelitian mengenai model tikus kolitis dengan pemberian Dextran Sulfate Sodium (DSS) secara oral ternyata memiliki gambaran yang sama dengan UC pada manusia. (Stevceva et al, 1999; Hamamoto et al, 1999; Sigmund et al, 2001). Model induksi ini juga menunjukkan respon terhadap obat antikolitis seperti sulfasalazin, olsalazin dan mesalazin, yang banyak digunakan dalam terapi UC 1 2 pada manusia dan memiliki beberapa fungsi imunomodulator (Axelson et al, 1996; Kim et al, 2006). Beberapa penelitian melaporkan bahwa limfosit memegang peranan dalam perkembangan kolitis yang diinduksi dengan DSS (Dieleman et al, 1998). Khasiat Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) yang ditemukan di dataran tinggi Papua banyak diberitakan akhir-akhir ini. Masyarakat Papua memanfaatkan Buah Merah sebagai sumber pangan sehari-hari dan mereka memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan wilayah lainnya (I Made Budi, 2005). Kesaksian masyarakat bahwa konsumsi ekstrak Buah Merah dua sendok makan per hari dapat meningkatkan kekebalan tubuh (www.BuahMerah.biz.tm). Buah Merah sebagai terapi alternatif dan suportif untuk mengatasi dan mencegah berbagai penyakit semakin banyak digunakan. Telah banyak ditemukan bukti khasiat Buah Merah secara empiris, namun penelitian yang dilakukan secara in vitro maupun in vivo belum banyak (Trubus, 2005). Karena alasan tersebut, penulis melakukan penelitian in vivo untuk mengetahui apakah Buah Merah dapat berperan sebagai imunomodulator dengan meningkatkan proliferasi sel leukosit pada mencit yang diinduksi kolitis dengan senyawa DSS. 1.2 Identifikasi Masalah Ø Apakah ekstrak Buah Merah meningkatkan proliferasi sel leukosit non-T pada mencit DDY yang diinduksi kolitis dengan DSS. Ø Apakah ekstrak Buah Merah meningkatkan proliferasi limfosit T pada mencit DDY yang diinduksi kolitis dengan DSS. 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud penelitian adalah untuk mengetahui efek Buah Merah sebagai tanaman obat yang dapat meningkatkan sistem imun. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui peranan Buah Merah dalam meningkatkan proliferasi sel leukosit pada mencit yang diinduksi kolitis dengan DSS. 3 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat akademis adalah memperluas wawasan pembaca mengenai tanaman obat asli Indonesia, khususnya Buah Merah dalam meningkatkan sistem imun. Manfaat praktis adalah menunjukkan Buah Merah memiliki komponen yang dapat meningkatkan proliferasi sel leukosit sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan sistem imun. 1.5 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 1.5.1 Kerangka Pemikiran Respon imun terbagi menjadi dua yaitu respon imun spesifik/didapat dan non-spesifik. Sel yang paling berperan dalam respon imun didapat adalah sel limfosit yang dapat mengekspresikan reseptor spesifik terhadap berbagai antigen (Abbas dan Lichtman, 2001). Bila berikatan dengan antigen spesifik, sel limfosit akan berproliferasi, berdiferensiasi menjadi sel efektor yang matang. Kemampuan sistem imun untuk melaksanakan fungsi protektif secara optimal antara lain bergantung juga pada kecepatan limfosit berproliferasi (Siti Boedina Kresno, 2003). Limfosit dapat mengenali antigen yang masuk ke dalam tubuh dan menghasilkan sitokin untuk melawan antigen tersebut. Beberapa senyawa metabolit dari berbagai organisme memiliki aktivitas sebagai imunomodulator dan juga sebagai antiinflamasi dengan meregulasi produksi sitokin (Johan, 2006). Khasiat Buah Merah yang saat ini banyak dilaporkan lewat kesaksian di masyarakat perlu diuji dan dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan dan keraguan yang muncul di masyarakat mengenai khasiat Buah Merah. Salah satu upayanya adalah melihat khasiat Buah Merah sebagai imunomodulator. Masyarakat Papua memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan wilayah lainnya (I Made Budi, 2005). Buah Merah mengandung zat-zat alami, antara lain adalah karotenoid, beta-karoten, alfa-tokoferol, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan dekanoat, omega-3 dan omega-9 yang dapat berperan sebagai senyawa antioksidan, pengendali beragam penyakit seperti kanker, hipertensi, dan infeksi. 4 Kandungan rata-rata zat-zat antioksidan di dalam Buah Merah termasuk tinggi, yaitu 12.000 ppm karoten, 7.000 ppm beta-karoten dan 11.000 ppm tokoferol. Beta-karoten dapat meningkatkan aktivitas limfosit terutama sel T-helpers (I Made Budi, 2005). Penelitian menurut Watson et al (1991) dan Kazi et al (1997) membuktikan bahwa konsumsi beta-karoten 30 mg/hari selama 2-3 bulan dapat memperbanyak sel imun, seperti limfosit T dan sel natural killer (sel NK). Salah satu zat antioksidan yaitu glukosamin, diketahui dapat meningkatkan proliferasi splenosit, kadar antibodi dan massa limpa serta timus (Yan et al, 2007). Beberapa penelitian membuktikan bahwa kegagalan respon imun bawaan berperan dalam patogenesis terjadinya IBD (Ohkawara et al, 2005). Limfosit juga terlibat dalam perkembangan kolitis yang diinduksi DSS (Kim et al, 2006). 1.5.2 Hipotesis Ø Ekstrak Buah Merah meningkatkan proliferasi sel leukosit non-T pada mencit yang diinduksi kolitis dengan DSS. Ø Ekstrak Buah Merah meningkatkan proliferasi limfosit T pada mencit yang diinduksi kolitis dengan DSS. 1.6 Metodologi Metode penelitian yang digunakan adalah prospektif eksperimental laboratorium sungguhan bersifat komparatif dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL). Proliferasi sel leukosit dinilai dengan penghitungan sel leukosit menggunakan metode MTT assay dan dibaca dengan alat ELISA reader untuk mengetahui jumlah sel leukosit. Dilakukan perbandingan jumlah rata-rata sel leukosit kontrol negatif dengan kelompok perlakuan. Analisis statistik menggunakan uji ANOVA One-Way dan uji Tukey-HSD dengan tingkat kepercayaan 95% dimana suatu perbedaan dikatakan bermakna bila nilai p≤0,05. 1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Juli 2008, bertempat di Pusat Penelitian Ilmu Kedokteran (PPIK) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen 5 Maranatha dan Laboratorium Rekayasa Genetika Pusat Penelitian Antar Universitas (PPAU) Bioteknologi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung.