BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV/AIDS 2.1.1 Definisi Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan merupakan salah satu retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai Deoxyribonucleic Acid (DNA) menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke dalam sel inang (Price & Wilson, 2006; Corwin, 2008; Pinsky & Douglas, 2009). 2.1.2 Etiologi Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III / HTLV-III) atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili lentivirus (Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe yang paling umum dan virulen menginfeksi manusia dimana sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia berasal dari HIV-1 (Phangkawira, dkk., 2009). 7 8 2.1.3 Patofisiologi Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya (Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006; Departemen Kesehatan RI, 2003). Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan 9 bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008). Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan berikut: Bagan 1. Patofisiologi HIV/AIDS Sumber: Corwin, 2008; Pinsky & Douglas, 2009 10 Berikut ini merupakan klasifikasi infeksi HIV menurut Centers for Disease Control and Prevention (2011) berdasarkan patofisiologi penyakit: Tabel 1. Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun Kelas Kriteria Grup I 1. Infeksi akut HIV 2. Gejala mirip influensa, mereda sempurna 3. Antibodi HIV negatif HIV asimtomatik 1. Antibodi HIV positif Grup II 2. Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya imunodefisiensi HIV simtomatik 1. Antibodi HIV positif Grup III 2. Limfadenopati generalisata persisten Grup IV-A 1. Antibodi HIV positif 2. Penyakit konstitusional (demam atau diare menetap, menurunnya BB > 10% dibandingkan berat normal Grup IV-B 1. Sama seperti grup IV-A 2. Penyakit neurologik (demensia, neuropati, mielopati) Grup IV-C 1. Sama seperti grup IV-B 2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200/µl Grup IV-D 1. Sama seperti grup IV-C 2. Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan lain Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011 2.1.4 Respon Perubahan terhadap Penyakit HIV/AIDS Penderita HIV/AIDS umumnya memiliki respons yang spesifik, yaitu: a. Respon Biologis (Imunitas) Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak angsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV 11 melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000). Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke nti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, selsel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis (Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ 12 mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997). b. Respon Psikologis Tahapan respon psikologis pasien HIV (Stewart, 1997) adalah seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 2. Respon Psikologis Pasien HIV Respon 1. Shock (kaget, goncangan batin) 2. Mengucilkan diri 3. Membuka status secara terbatas 4. mencari orang lain yang HIV positif 5. Status khusus Proses psikologis Merasa bersalah, marah, tidak berdaya Hal-hal yang biasa di jumpai Rasa takut, hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri Khawatir menginfeksi orang lain, murung Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin dicintai Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan, penguatan, dukungan sosial Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya Penolakan, stres, konfrontasi Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya Ketergantungan, dikotomi kita dan mereka (sema orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over identification c. Respons Adaptif Sosial Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 aspek (interaksi sosial, cemas, dan emosi), yaitu: 1) Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri pasien HIV. 13 2) Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurungnya dukungan sosial. Hal ini akan memperparah stres pasien HIV. 3) Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien HIV akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stres yang dialami. d. Respons Adaptif Spiritual Respon adaptif spiritual pasien HIV, yaitu distress spiritual. Distres spiritual adalah gangguan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, musik, literatur, alam dan/atau kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri. Contoh distress spiritual, yaitu: pasien HIV merasa terbuang oleh atau karena kemarahan Tuhan, pasien HIV merasa hidup tanpa harapan dan menderita (NANDA, 2011) 2.1.5 Cara Penularan Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (Wijaya, 2010). Terdapat dua cairan utama dalam transmisi virus HIV yakni, transmisi seksual dan non seksual. Transmisi seksual melalui hubungan seksual baik heteroseksual, homoseksual, oral seks maupun anal seks. Transmisi 14 nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik dan alat tato) yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004; Wijaya, 2010). 2.1.6 Manifestasi Klinis Klien HIV/AIDS akan mengalami perubahan, diantaranya perubahan fisik, perubahan psikologis, perubahan spiritual, dan perubahan hubungan sosial. Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks, dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2010). Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus. Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada, dan demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang disertai Tuberkulosis (TB) karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi 15 opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2014). 2.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga kelas obat antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog nukleotida yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada rantai DNA menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan level plasma RNA dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan progresivitas HIV akibat virus yang berevolusi dan menjadi resisten (Pasek, dkk., 2008). Melihat hal tersebut, tentunya pencegahan penularan HIV/AIDS menjadi fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk memutus transmisi HIV (Permenkes RI, 2013). Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan pada tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier (Murti, 2010). Dalam pencegahan dan perawatan HIV/AIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu dilakukan secara optimal. Tabel berikut menyajikan tentang tingkat pencegahan penyakit HIV/AIDS. 16 Tabel 3. Tingkat Pencegahan HIV/AIDS Tingkat Jenis intervensi pencegahan Modifikasi determinan Pencegahan /faktor risiko/kausa primer penyakit, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, promosi kesehatan terkait penyakit Tujuan intervensi Mencegah atau menunda penyakit Pencegahan sekunder Deteksi dini penyakit dengan skrining dan pengobatan segera Memperbaiki prognosis kasus (memperpendek durasi penyakit, memperpanjang hidup) Pencegahan tersier Pengobatan, rehabilitasi dan pembatasan kecacatan Mengurangi dan mencegah sekuel dan disfungsi, mencegah serangan ulang, meringankan akibat penyakit, dan memperbaiki kualitas hidup Bentuk intervensi pada HIV/AIDS 1) Peningkatan kesehatan dengan pendidikan kesehatan reproduksi tentang HIV/AIDS, standarisasi nutrisi, menghindari seks bebas 2) Perlindungan khusus, misalnya imunisasi, kebersihan pribadi, pemakaian kondom Teknik skrining (pemeriksan laboratorium serum darah dengan tehnik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau Western Bolt rutin untuk kelompok risiko tinggi) dan pengobatan penyakit pada tahap dini Kegiatan pencegahan tersier pada HIV/AIDS ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi, pembuatan diagnosa dan tindakan penatalaksanaan penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mencapai tingkat fungsi optimal sesuai dengan keterbatasan yang terjadi akibat HIV/AIDS Sumber: Murti, 2010; Aminah, 2010 2.2 Spiritualitas 2.2.1 Definisi Konsep biopsikososiospiritual banyak dibahas oleh para tokoh-tokoh keperawatan. Salah satunya adalah Henderson mengatakan fungsi khas perawat 17 yaitu melayani individu baik sakit maupun sehat dengan berbagai aktifitas yang memberikan sumbangan terhadap kesehatan dan upaya penyembuhan (maupun upaya mengantar kematian yang tenang) sehingga klien dapat beraktifitas mandiri dengan menggunakan kekuatan, kemauan dan pengetahuan yang dimilikinya. Jadi, tugas utama perawat yaitu membantu klien menjadi lebih mandiri secepatnya. Henderson memandang manusia secara holistik atau keseluruhan. Terdiri dari unsur fisik, biologi, sosiologi dan spiritual. Neuman memandang manusia secara keseluruhan (holistik), yaitu terdiri dari faktor fisiologis, psikologis, sosial budaya, faktor perkembangan, dan faktor spiritual yang berhubungan secara dinamis dan tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu: 1) Faktor fisiologis meliputi struktur dan fungsi tubuh, 2) Faktor psikologis terdiri dari proses dan hubungan mental, 3) Faktor sosial budaya meliputi fungsi sistem yang menghubungkan sosial dan ekspektasi kultural dan aktivasi, 4) Faktor perkembangan sepanjang hidup, 5) Faktor spiritual meliputi pengaruh kepercayaan spiritual (Tomey & Alligood, 2006) Craven & Hirnle (2007) mengatakan spiritualitas adalah kualitas atau kehadiran dari proses meresapi atau memaknai, integritas dan proses yang melebihi kebutuhan biopsikososial. Inti spiritual menurut Murray & Zentner (1993 dalam Craven & Hirnle, 2007) adalah kualitas dari suatu proses menjadi lebih religius, berusaha mendapatkan inspirasi, penghormatan, perasaan kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh individu yang percaya maupun tidak percaya kepada Tuhan. Proses ini didasarkan pada usaha untuk harmonisasi atau penyelarasan dengan alam semesta, berusaha keras untuk menjawab tentang 18 kekuatan yang terbatas, menjadi lebih fokus ketika individu menghadapi stress emosional, sakit fisik atau menghadapi kematian. Karakteristik mayor dari spiritualitas menurut Craven & Hirnle (2007) adalah perasaan yang menyeluruh dan harmonisasi dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan yang lebih besar yang dipengaruhi oleh status perkembangan, identitas yang kuat, dan harapan. 2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual menurut Craven & Hirnle, (2007) adalah: a. Kebudayaan, termasuk didalamnya adalah tingkah laku, kepercayaan dan nilai-nilai yang bersumber dari latar belakang sosial budaya. b. Jenis kelamin: Spiritual biasanya bergantung pada kelompok sosial dan nilainilai agama dan transgender. Misalnya yang menjadi pemimpin kelompok spiritual adalah laki-laki, dsb c. Pengalaman sebelumnya. Pengalaman hidup baik yang positif atau negative dapat mempengaruhi spiritualitas dan pada akhirnya akan mempengaruhi makna dari nilai-nilai spiritual seseorang. Misalnya: orang yang sangat menyayangi anaknya kemudian anaknya meninggal karena kecelakaan pada akhirnya mungkin akan menolak eksisitensi Tuhan dan mungkin akan berhenti untuk beribadah, demikian juga misalnya seseorang yang sukses di pernikahan, karir, pendidikan mungkin akan beranggapan bahwa dia tidak membutuhkan Tuhan (Taylor, Lilis & Lemone, 1997). d. Situasi krisis dan berubah, Situasi yang dihadapi berupa perubahan karena 19 proses kematian atau sakitnya orang yang dicintai dapat menyebabkan perubahan atau distress status spiritual. Situasi krisis atau perubahan yang terjadi dalam kehidupan dapat memberikan makna meningkatnya kepercayaan, bahkan dapat juga melemahkan kepercayaannya. Intervensi utamanya adalah memperkuat hal yang kurang dan memperkokoh hal-hal yang lebih kuat untuk menimbulkan harapan yang baru (Kemp 1999). e. Terpisah dari ikatan spiritual, Pengalaman selama dirawat di rumah sakit atau menjalani perawatan di rumah akan menyebabkan seseorang terisolasi berada pada lingkungan yang baru dan asing mungkin akan menyebabkan perasaan tidak nyaman, kehilangan support sistem dan daya juang. 2.2.3 Cakupan Kebutuhan Asuhan Spiritual Baylor University School of Nursing (BUSN) (1991 dalam Kemp (1999) Kebutuhan Asuhan Spiritual mencakup: a. Makna 1) Pengertian Yaitu alasan terjadinya suatu peristiwa atau berbagai peristiwa, tujuan hidup, dan keyakinan akan kekuatan dalam hidup. Makna dapat ditemukan saat meninjau prestasi eksternal, pencarian ini berupa pencarian moral atau spiritual, memikirkan kesalahan atau ketidakcukupan. Pencarian makna juga mencakup makna menjelang ajal, keberadaan manusia, penderitaan, dan usia hidup yang tersisa Speck (1998 dalam Kemp, 1999). Tidak adanya makna dalam kehidupan manusia diungkapkan dengan 20 berbagai cara melalui kehilangan harapan dan keputusasaan. 2) Pengkajian dan intervensi Pengkajian sebaiknya dilakukan secara langsung: Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan isu yang ada saat ini, komunikasi secara umum dan hubungan perawat klien. Selain itu pertanyaan yang diajukan dapat berupa makna menjelang ajal dan penderitaan yang dialami. Intervensi yang diberikan adalah memberikan kesempatan pada individu untuk mencari makna hidup dan tidak begitu saja diberikan oleh orang lain. Perawat dapat membantu memberi makna hidup dengan bertindak secara konsisten untuk memberikan perawatan yang penuh cinta. Walaupun makna dan harapan itu tidak dapat dipenuhi oleh klien. Klien dapat berdoa bila tidak dapat mencapai kesempurnaan spiritual. b. Harapan 1) Pengertian Conrad (1985 dalam Kemp, 1999) mengatakan harapan adalah faktor penting dalam menghadapi stress, dalam mempertahankan kualitas hidup, dan untuk melanjutkan hidup. Komponen harapan menurut Post-White, dkk (1996 dalam Kemp 1999) adalah menemukan makna melalui iman atau spiritualitas, memiliki hubungan yang menguatkan, mengandalkan sumber dalam diri, menjalani kehidupan kelangsungan hidup di masa depan. setiap hari, dan mengantisipasi 21 2) Pengkajian dan intervensi Tujuannya adalah memberikan panduan dalam membantu klien dan keluarga menemukan harapan yang ada dalam penyakit terminal. Intervensi utamanya adalah memperkuat hal yang kurang dan memperkokoh dimensi yang lebih kuat untuk menimbulkan harapan (Kemp 1999). Saat menjelang ajal adalah waktu yang terbaik untuk melihat keimanan, karena kebanyakan orang tidak menyadari apa yang ia rindukan sepanjang perjalanan kehidupannya. Jika pergi ke tempat ibadah tidak mungkin dilakukan secara fisik, kunjungan dari rohaniawan dapat sangat membantu. Lagu dan ritual agama klien bahkan dapat lebih menyenangkan dibandingkan dengan konseling. Dinamika harapan dibangun dari tiga unsur utama: harapan, putus asa, dan hubungan timbal balik antara harapan dan putus asa. Keseimbangan yang bergantian antara harapan, putus asa, dan keputusasaan berdasarkan pada faktor yang berkontribusi terhadap harapan dan putus asa yang muncul sebagai sentral dalam dinamika harapan. Dinamika harapan berhubungan erat dengan proses dasar untuk mencari cara sendiri dengan HIV/AIDS, mendalami menjadi HIV-positif, dan hidup dengan HIV/ AIDS. Hal signifikan lainnya, dinamika harapan berhubungan erat dengan HIV, berubah dari abstrak ke konkret dalam hubungan dengan klien dengan HIV/Aids (Kylma, Julkunen & Lahdevirta, 2003). c. Keterkaitan dengan Tuhan Kemp (1999) mengatakan Tuhan adalah Yang Maha melebihi manusia. Ini 22 sangat penting dalam kenyamanan yang berasal dari keterkaitan dengan Tuhan: Ada Yang maha dari penderitaan ini, Yang Maha dari ketakutan ini, Yang Maha dari ketidakmampuan kita. Pengkajian diawali dengan melihat apakah kehidupan individu ditandai dengan harapan, makna, hubungan terbuka, dan penerimaan diri atau dengan keputusasaan, kesia-siaan, isolasi dan rasa bersalah. Pertanyaan yang spesifik: menelusuri mengenai keyakinan individu tentang Tuhan atau agama, hubungan individu dengan Tuhan, kehidupan agama dan spiritual individu saat ia masih muda dan sudah tua, serta aspek kehidupan spiritual atau agama yang hilang. Pertanyaan yang sangat baik adalah: ”menurut anda apa yang ingin disampaikan Tuhan pada anda saat ini?” Inti dari asuhan spiritual adalah asuhan itu sendiri bukan upaya untuk meyakinkan klien untuk meyakini kepercayaan orang lain. d. Pengampunan atau penerimaan Ditandai dengan rasa bersalah, menghadapi situasi hidup yang menyakitkan. Beberapa individu menganggap proses ini sebagai sesuatu yang berkaitan dengan dosa, penyesalan, pengampunan dan hukuman. Klien mengalami rasa bersalah yang berat akibat perasaan menyimpang atas dosa atau tanggungjawab mereka sendiri terkait dengan keadaan yang menyakitkan di kehidupan mereka. Tujuan dari kehidupan moral atau spiritual adalah mengungkap jenis pertahanan yang membantu banyak untuk mengatasi situasi hidup yang menyakitkan (Kemp, 1999). 23 Intervensi yang diberikan oleh petugas kesehatan adalah menunjukkan pengampunan dan penerimaan dengan cara memberikan perawatan yang penuh perhatian secara terus menerus sehingga dapat menunjukkan kepada klien kemungkinan bahwa pengampunan dan penerimaan dapat dilakukan. Tidak membeda-bedakan agama dan kepercayaan, tugas utamanya adalah melaksanakan kemurahan hati. Intervensi yang dilakukan oleh perawat adalah intervensi pasif. Martokoesoemo, (2007) mengatakan hal-hal positif yang harus dimiliki oleh manusia adalah yakin bahwa dunia ini hanya tipuan. Setiap manusia harus mempunyai kekuatan untuk membuat hal-hal yang negative menjadi positif, juga membuat hal-hal yang menyedihkan menjadi sesuatu yang menggembirakan. Karena didunia ini tidak ada yang abadi, yang sejati daN abadi hanyalah Tuhan. e. Transedensi Transedensi adalah kualitas iman atau spiritualitas yang memungkinkan individu bergerak maju, untuk melampaui, apa yang diberikan atau tersaji dalam pengalaman kesendirian atau keputusasaan yang sering menyertai menjelang ajal. Intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat adalah memberi kualitas perawatan yang tekun dan sabar (Kemp, 1999). 24 2.2.4 Spiritual Menjelang Ajal Zerwekh (1991 dalam Kemp 1999) mengatakan tanggung jawab dalam memberikan asuhan yang efektif dalam proses spiritual menjelang ajal adalah: 1. Mendengarkan 2. Mendiagnosis distress semangat manusia 3. Menegaskan sangat pentingnya masalah spiritual pada akhir kehidupan. Tindakan mendampingi, atau berjaga-jaga, bahkan saat penderitaan atau penurunan semangat akan menjadikan perawat sebagai simbol kuat dari Tuhan yang berada didalam setiap individu dan pada klien. 2.2.5 Alat Ukur Spiritual Tingkat spiritual diukur dengan menggunakan WHO-Quality Of Life-SRPB (Spiritual/Religion/Personal Beliefs) yang terdiri dari delapan sub-variabel meliputi: hubungan spiritual, pengertian dan tujuan hidup, pengalaman yang membuat takjub, keutuhan dan integritas, kekuatan spiritual, kedamaian/ketentraman hati, harapan dan optimisme dan keyakinan/iman. Setiap sub-variabel memiliki empat pertanyaan. Jawaban terdiri dari lima pilihan yaitu: tidak ada dengan skor 0, sedikit dengan skor 1, besar dengan skor 2, sangat besar dengan skor 3, dan sangat besar sekali dengan skor 4. Skor dari masing-masing sub-variabel dijumlahkan sehingga tingkat spiritual digolongkan menjadi: skor 25-40 berarti memiliki tingkat spiritual tinggi, skor 16-24 berarti memiliki tingkat spiritual sedang dan skor 0-15 berarti memiliki tingkat spiritual rendah (WHO, 2002). 25 2.3 Kualitas Hidup 2.3.1 Definisi Tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara tepat. Pengertian mengenai kualitas hidup telah banyak dikemukakan oleh para ahli, namun semua pengertian tersebut tergantung dari siapa yang membuatnya. Seperti halnya definisi sehat, yaitu tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya (Cramer JA, 1993). Definisi kualitas hidup masih belum berlaku secara umum. Selain itu terdapat istilah lain, seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan manusia sering digunakan sebagai istilah yang setara atau analog dengan quality of life. Secara umum, kualitas hidup merupakan suatu produk yang dihasilkan dari interaksi sejumlah faktor-faktor yang berbeda, seperti sosial, fisik, kesehatan, ekonomi, dan kondisi lingkungan, yang secara kumulatif, juga dengan cara-cara yang belum diketahui, berinteraksi untuk mempengaruhi pembangunan manusia dan sosial di tingkat individu dan masyarakat. Ini merupakan “gagasan tentang kesejahteraan manusia yang diukur dengan indicator sosial bukan secara pengukuran “kuantitatif” terhadap pendapatan dan produksi.” (United Nations Glossary 2009). Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita 26 terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Hermann BP, 1993). 2.3.2 Ruang Lingkup Secara umum terdapat enam domain yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO (World Health Organization), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci domain-domian yang termasuk kualitas hidup adalah sbb : a. Kesehatan fisik (physical health): Kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat. b. Kesehatan psikologis (psychological health): Cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi. c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja. d. Hubungan social (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial. e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja. f. Kepercayaan rohani atau religius (spirituality/religion beliefs) 2.3.3 Pengukuran Kualitas Hidup Pengukuran kualitas hidup meliputi enam komponen yang telah disebutkan diatas dan pengukuran kualitas hidup ini dibuat dalam bentuk kuesioner yang telah disusun oleh WHO. WHO menyusun beberapa instrumen pengukuran kualitas 27 hidup seperti World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-Bref, WHOQOL-100, dan WHOQOL-HIV BREF. WHOQOL-BREF dan WHOQOL100 merupakan kuesioner umum mengenai kualitas hidup sedangkan WHOQOLHIV BREF merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup khusus untuk orang dengan HIV/AIDS, oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan WHOQOLHIV BREF untuk mengukur kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS yang dinilai dengan skala likert sehingga akan didapat skor yang dibagi dalam lima kategori 31 (Sangat Buruk), 32-62 (Buruk), 63-93 (Biasa-biasa saja), 94-124 (Baik), 125155 (Sangat Baik). 2.4 Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan Kualitas Hidup Menurut Hasnani (2012) dalam penelitiannya tentang spiritualitas dan kualitas hidup pada pasien kanker serviks menunjukkan dimensi psikologis merupakan dimensi kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh spiritualitas. Artinya penderita kanker serviks yang memiliki tingkat spiritualitas rendah cenderung lebih depresif daripada penderita dengan tingkat spiritualitas yang baik. Kemampuan spiritualitas yang buruk akan mempengaruhi kejiwaan (psikologis) seseorang. Keadaan ini bisa juga sebaliknya. Menurut Kozier, G. Erb, Berman & S. Snyder (2004), Psikologis merupakan dimensi kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh spiritualitas penderita penyakit kronis. kepercayaan Individu yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi spiritualitas positif yang dimilikinya dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk menghadapi situasi kesehatannya secara positif pula, 28 sebaliknya jika individu tidak memiliki kemampuan untuk itu maka tidak akan mendapatkan jawaban tentang arti dan tujuan hidupnya (Hasnani, 2007). Pemahaman akan kebutuhan spiritualitas akan mempengaruhi kualitas hidup individu secara psikologis, dengan kata lain spiritualitas adalah sesuatu yang menghidupkan semangat bagi penderita penyakit kronis untuk mencapai kesehatan yang lebih baik (Hasnani, 2012). M. Quraish Shihab (2007) menjelaskan bahwa untuk memahami kehadiran spiritualitas pada individu, maka hal pertama yang harus ada pada individu adalah merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung yang menciptakan dan mengatur alam raya. Pada penelitian Hasnani (2012) dikatakan bahwa pengaruh spiritualitas terhadap kualitas hidupnya dengan merasakan dalam jiwa tentang kehadiran Allah sebagai kekuatan yang Maha Mengatur kehidupan dengan memberi cobaan kepada individu, sehingga dengan hal tersebut, terdapat keterkaitan antara tingkat spiritualitas seseorang dengan kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS karena HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit kronis seperti pada kanker serviks.