Merekonstruksi Kembali Etika Aparat Birokrasi1 Irawan Widyanto2 dan Ali Rokhman3 Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman Abstrak Salah satu cara untuk mewujudkan welfare state (negara kesejahteraan) adalah dengan menerapkan good governance. Pelaksanaan good governance ini harus didukung dengan aparatur yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi. Namun sayangnya, ketika pemerintah sedang menggalakkan pelaksanaan good governance, kita dihadapkan pada kenyataan pahit dengan munculnya berbagai kasus yang melibatkan para aparat birokrasi. Kasus Gayus Tambunan, kasus Jaksa Sistoyo (Pegawai Kejaksaan Negeri Cibinong) dan Ahmad Zaenuri (Sekda Kota Semarang) yang tertangkap tangan oleh KPK ketika sedang melakukan upaya suap menyuap, telah menodai usaha pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Belum lagi fenomena yang lain, seperti PNS muda yang memiliki rekening gendut, gaya hidup mewah para PNS dan PNS yang malas bekerja. Semua hal tersebut jelas telah merusak citra pemerintah dan mereduksi kepercayaan masyarakat terhadap aparat birokrasi. Bagaimana mungkin kasus-kasus di atas bisa terjadi sedangkan secara moral para aparat birokrasi telah dibentengi dengan etika administrasi yang bernama Panca Prasetya KORPRI. Panca Prasetya KORPRI, sebagai pedoman aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, telah diperkenalkan sejak awal para aparat birokrasi tersebut diterima sebagai PNS. Artinya bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Panca Prasetya KORPRI seharusnya telah dipahami dan mewarnai setiap pola pikir, pola sikap dan pola tindak para aparat birokrasi. Dengan melihat fenomena di atas muncul pertanyaan; Apakah nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prasetya KORPRI masih relevan dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagaimana cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prasetya KORPRI? Tulisan ini berupaya untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai etika administrasi yang terkandung dalam Panca Prasetya KORPRI dan berupaya untuk mencari cara yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada para aparat birokrasi. Keyword : etika administrasi, good governance, aparat birokrasi. 1 Telah dipresentasikan pada Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta , pada tanggal 10 Pebruari 2012. 2 Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi dan Penerima Beasiswa Unggulan dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 3 Staf Pengajar dan Ketua Program Magister Ilmu Administrasi Publik (MAP) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 1 PENDAHULUAN Welfare state (negara kesejahteraan) adalah cita-cita besar dari sebuah negara. Oleh karena itu setiap negara di dunia ini berlomba-lomba untuk mewujudkan welfare state. Harapannya adalah ketika welfare state ini sudah terwujud, kondisi masyarakatnya adalah aman, makmur, damai, berkeadilan dan sejahtera. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk mewujudkan welfare state ini, salah satunya adalah dengan menerapkan good governance. Good governance (tatakelola kepemerintahan yang baik) adalah cara-cara penyelenggaraan pemerintahan secara efisien dan efektif. Prinsip dasar dalam konsep ini bahwa penyelenggaraan pemerintahan supaya efektif dan efisien, melibatkan beberapa komponen kelembagaan yang disebut “stake holder” yaitu : komponen masyarakat, sektor swasta atau private dan pemerintah itu sendiri (Istianto, 2011, hal. 183). Mengapa harus good governance? Karena good governance sebagai upaya penciptaan tatakelola kepemerintahan yang baik sangat berperan dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Minimal ada tiga alasan yang mendukung pernyataan itu, yaitu : 1. Praktik good governance memberi ruang kepada aktor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara aktor dan lembaga pemerintah dengan non pemerintah seperti masyarakat sipil dan mekanisme pasar. 2. Dalam praktik good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. 3. Praktik good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta berorientasi pada kepentingan publik. (Dwiyanto, 2006, hal. 18-19) Dalam praktiknya good governance ini harus didukung dengan sistem yang kuat, peraturan perundangan, sarana dan prasarana, serta aparatur birokrasi yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi. Aparatur birokrasi memegang 2 peranan penting mengingat mereka adalah wakil negara yang langsung berhadapan dengan masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan. Dalam memberikan pelayanan sudah semestinya para aparatur birokrasi ini selalu mengedepankan moral dan nurani dengan selalu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat. Sehingga dalam praktik good governance, aparatur birokrasi harus mendapat perhatian yang lebih. Namun sayangnya, ketika pemerintah sedang menggalakkan pelaksanaan good governance, kita dihadapkan pada kenyataan pahit dengan munculnya berbagai kasus yang melibatkan para aparat birokrasi. Kasus Gayus Tambunan, kasus Jaksa Sistoyo (Pegawai Kejaksaan Negeri Cibinong) dan Ahmad Zaenuri (Sekda Kota Semarang) yang tertangkap tangan oleh KPK ketika sedang melakukan upaya suap menyuap, telah menodai usaha pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Belum lagi fenomena yang lain, seperti PNS muda yang memiliki rekening gendut, gaya hidup mewah para PNS dan PNS yang malas bekerja. Semua hal tersebut jelas telah merusak citra pemerintah dan mereduksi kepercayaan masyarakat terhadap aparat birokrasi. Pertanyaan yang menggelitik adalah bagaimana mungkin kasus-kasus di atas bisa terjadi sedangkan secara moral para aparat birokrasi telah dibentengi dengan etika administrasi negara yang bernama Panca Prasetya KORPRI. Panca Prasetya KORPRI, sebagai pedoman aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, telah diperkenalkan sejak awal para aparat birokrasi tersebut diterima sebagai PNS. Artinya bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Panca Prasetya KORPRI seharusnya telah dipahami dan mewarnai setiap pola pikir, pola sikap dan pola tindak para aparat birokrasi. Dengan melihat fenomena di atas muncul pertanyaan; Apakah nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prasetya KORPRI masih relevan dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagaimana cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prasetya KORPRI? PEMBAHASAN Peradaban manusia bukan hanya ditentukan oleh tingginya nilai seni dari artefak yang diciptakannya, luasnya ilmu pengetahun yang dijangkaunya, maupun aplikasi teknologi yang ditemukannya. Dalam banyak segi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu justeru mendorong manusia untuk bertindak korup 3 dan melawan nuraninya. Itulah sebabnya Rousseau menganjurkan supaya manusia kembali ke alam, retour a lanature. Bahwa moralitas yang asli dan benar-benar manusiawi justeru ditemukan dalam manusia yang masih alamiah. Bahwa manusia harus identik dengan dirinya sendiri untuk mencari kebaikan dan kebenaran sejati (Kumorotomo, 1994, hal. 2). Ketika membahas mengenai etika atau moralitas dalam penyelenggaraan negara, pemikiran Rousseau ini agaknya masih relevan. Setiap aparat birokrasi seharusnya kembali ke alam (retour a lanature), yang berarti bahwa aparat birokrasi seharusnya bekerja berlandaskan pada moralitas yang asli dan manusiawi. Moralitas yang asli dan manusiawi itu merupakan perwujudan dari ide-ide agung. Ide Agung Sebuah buku yang berjudul The Great Ideas : A Syntopicon of Great Books of the Western World yang terbit pada tahun 1952 memuat 120 ide agung dan menyajikan pembahasan menyeluruh atas masing-masing ide tersebut. Adler meringkasnya menjadi 6 ide agung, yaitu : 1. Keindahan (beauty). Prinsip-prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan. Banyak filsuf mengatakan bahwa hidup dan kehidupan manusia itu sendiri sesungguhnya merupakan keindahan. Keindahan alamiah dapat dihayati dari kenyataan bahwa perilaku alam beserta benda mati, tumbuhan, dan hewan yang terdapat di dalamnya itu mematuhi hukum-hukum tertentu dari Sang Pencipta. Sementara itu keindahan artistik bersumber pada pemahaman jiwa manusia terhadap alam semesta. Ia merupakan hasil kecintaan manusia terhadap pola-pola yang menarik dari pengertiannya mengenai pola alami. Maka kasih sayang, kedamaian, dan kesejahteraan itu sesungguhnya merupakan unsur-unsur keindahan. 2. Persamaan (equality). Hakekat kemanusiaan menghendaki adanya persamaan antar manusia yang satu dengan yang lain. Setiap manusia yang terlahir di bumi ini serta merta memiliki hak dan kewajiban masing-masing, akan tetapi sebagai manusia ia adalah sama atau sederajat. Watak, karakter atau pandangan hidup masing-masing etnis di 4 dunia ini memang berlainan namun kedudukannya sebagai suatu kelompok masyarakat adalah sama. 3. Kebaikan (goodness). Secara umum kebaikan berarti sifat atau karakteristik dari sesuatu yang menimbulkan pujian. Perkataan baik (good) mengandung sifat-sifat seperti persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau ketetapan. Dengan demikian ide agung kebaikan sangat erat kaitannya dengan hasrat dan cita manusia. Lingkup dari ide kebaikan sangat universal. Kebaikan ritual dari agama yang satu mungkin berlainan dengan agama yang lain. Namun kebaikan agama yang berkenaan dengan masalah-masalah kemanusiaan, hormat menghormati dengan sesama, berbuat baik kepada orang lain, kasih sayang, dan sebagainya, merupakan nilai-nilai kebaikan yang sudah pasti diterima oleh semua pihak. 4. Keadilan (justice). Suatu definisi tertua yang hingga sekarang masih relevan untuk merumuskan keadilan (justice) berasal dari zaman Romawi kuno : “Justitia est constans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi” (Keadilan ialah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya). Keadilan merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang menciptakan dan menjaga kesatuannya. Masyarakat akan adil bila setiap anggotanya melakukan segala sesuatu yang terbaik menurut kemampuannya beserta fungsi yang selaras baginya. Negara yang adil memungkinkan setiap warga negara dapat melaksanakan satu fungsi dalam masyarakat yang paling cocok baginya. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan merupakan kelayakan dalam tindakan manusia, dan merinci empat macam keadilan, yaitu keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan sosial dan keadilan hukum. Sedangkan Rawls mengemukakan dua asas keadilan. Pertama, bahwa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar. Kedua, bahwa perbedaan sosial ekonomi hendaknya diatur sehingga memberi manfaat terbesar bagi mereka yang berkedudukan paling tak menguntungkan serta bertalian dengan jabatan atau kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak. 5. Kebebasan (liberty). 5 Secara sederhana kebebasan dapat dirumuskan sebagai keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang. Kebebasan muncul dari doktrin bahwa setiap orang miliki hidupnya sendiri serta memiliki hak untuk bertindak menurut pilihannya sendiri kecuali jika pilihan-pilihan tindakan tersebut melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. Itulah sebabnya, hukum sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan tetapi justeru untuk menjamin kebebasan itu sendiri. Kebebasan ditantang manakala berhadapan dengan kewajiban moral. Dalam kaitan ini hal yang selalu dituntut untuk diperolehnya suatu kebebasan adalah tanggung jawab. Kebebasan manusia mengandung pengertian : a. Kemampuan untuk menentukan diri sendiri. b. Kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan. c. Syarat-syarat yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan pilihanpilihannya beserta konsekuensi dari pilihan itu. Oleh karena itu tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab, dan begitu pula sebaliknya tidak ada tanggung jawab tanpa kebebasan. Semakin besar kebebasan yang dimiliki oleh seseorang, semakin besar pula tanggung jawab yang mesti dipikulnya. 6. Kebenaran (truth). Kebenaran didapat berdasarkan logika filosofis dengan mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial. Kita hendaknya mampu menjembatani antara kebenaran dalam pemikiran (truth in the mind) dan kebenaran menurut kenyataan (truth in reality). Betapapun, doktrin-doktrin etika tidak selalu dapat diterima oleh orang awam apabila kebenaran yang terdapat di dalamnya belum dapat dibuktikan. (Kumorotomo, 1994, hal. 31-36) Etika Administrasi Etika (ethics) adalah kode prinsip dan nilai moral yang membangun perilaku seseorang atau sebuah kelompok yang berhubungan dengan benar dan salah. Etika adalah penentu standar-standar darimana yang baik atau buruk dalam tindakan dan keputusan (Daft, 2010, hal. 171). Menurut Bertens (Bertens, 2005, hal. 6), etika 6 mempunyai 3 pengertian, yaitu : pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kedua, kumpulan asas atau nilai moral; ketiga, ilmu tentang yang baik atau buruk. Apa sebetulnya manfaat dari etika? Ada sekurang-kurangnya empat kegunaan dari etika : pertama, untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral; kedua, untuk membedakan antara apa yang hakiki dan apa saja yang boleh berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan; ketiga, membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi baru dengan kritis dan obyektif dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing, tidak naif dan ekstrem; keempat, membantu menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah (Suseno, 1993, hal. 15-16). Etika administrasi negara adalah seperangkat nilai (prinsip nilai) yang dapat digunakan sebagai pedoman, pegangan, referensi, sekaligus sebagai standar penilaian apakah sikap, tindakan, dan perilaku administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan dapat dikatakan baik dan buruk (Widodo, 2005). Etika administrasi negara berusaha menempatkan kaidahkaidah moral dalam menghadapi pelbagai dilema dan juga masalah-masalah yang menyangkut kedudukan pribadi seorang administrator dalam proses interaksinya dengan negara dan masyarakat (Kumorotomo, 1994, hal. 104). Asas Etis Administrasi Pemerintahan Aparat birokrasi memiliki kewajiban-kewajiban etis (ethical obligations) yang lebih banyak dalam kaitan dengan kelakuannya ketimbang orang swasta. Demikian pula para aparat birokrasi dengan jabatan tinggi dalam badan-badan pemerintah mempunyai lebih banyak kewajiban-kewajiban etis dalam daripada orang lain. Implikasi lebih lanjut dari pendapat itu ialah setiap aparat birokrasi wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan moral, 7 khususnya keadilan. Tanpa asas-asas etis itu seorang aparat birokrasi tidak mungkin membina suatu kehidupan bangsa dan keadaan masyarakat yang tentram dan sejahtera. Bahkan kebalikannya, kehidupan rakyat mungkin dijerumuskan pada kegelisahan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kebajikan moral, kemudian membina diri sehingga sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu, dan terakhir benar-benar menerapkannya sebanyak mungkin dalam tindakan jabatannya. Berbagai asas etis dalam administrasi pemerintahan adalah : 1. Pertanggungjawaban (responsibility). Asas etis ini menyangkut hasrat seorang apat birokrasi untuk merasa memikul kewajiban penuh dan ikatan kuat dalam pelaksanaan semua tugas pekerjaan secara memuaskan. Aparat birokrasi harus mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif, sepenuh kemampuan, dan dengan cara yang paling memuaskan pihak yang menerima pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban itu tertuju kepada rakyat umumnya, instansi pemerintahnya maupun pihak atasannya langsung. Kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain ataupun kebiasaan mengajukan dalih “hanya melaksanakan perintah” (just following orders) harus dilenyapkan dari diri setiap aparat birokrasi yang baik. Setiap aparat birokrasi harus siap untuk memikul pertanggungjawaban mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa ia hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah. 2. Pengabdian (dedication). Pengabdian adalah hasrat keras untuk menjalankan tugas-tugas pekerjaan dengan semua tenaga (pikiran dan otot atau mental dan fisik), seluruh semangat kegairahan, dan sepenuh perhatian tanpa pamrih apa-apa yang bersifat pribadi seperti misalnya ingin cepat naik pangkat atau diberi tanda jasa. Setiap aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya harus selalu dan terus menerus menunjukkan keterlibatan diri (involvement of self) dan penuh antusiasme. Kecenderungan bekerja setengah hati atau asal jadi tidak boleh terdapat dalam 8 diri setiap aparat birokrasi yang baik. Pengabdian ini terarah pada jabatannya, keahliannya, dan bidang profesinya. 3. Kesetiaan (loyalty). Asas etis ini adalah kesadaran seseorang petugas untuk setulusnya patuh kepada tujuan bangsa, konstitusi negara, peraturan perundangan, badan instansi, tugas jabatan maupun atasan demi tercapainya cinta-cita bersama yang ditetapkan. Pelaksanaan tugas pekerjaan dengan ukuran rangkap, pertimbangan untung rugi atau bahkan dengan kebiasaan sabotase harus tidak dikenal dalam diri setiap aparat birokrasi yang baik. Kalau seseorang aparat birokrasi tidak dapat menjalankan tugas jabatannya dengan sepenuh kemampuan, tidak bersedia terikat patuh pada badan instansinya atau tidak merasa cocok dengan kebijaksanaan pimpinannya, maka tindakan yang etis adalah mengundurkan diri dari jabatannya. 4. Kepekaan (sensitivity). Asas etis ini mencerminkan kemauan dan kemampuan seorang aparat birokrasi untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru, situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi sebaikbaiknya. Sikap tidak peduli asalkan tugas rutin sudah selesai atau tidak mau susah payah melakukan pembaharuan harus pula disingkirkan dari diri setiap aparat birokrasi. 5. Persamaan (equality). Salah satu kebajikan yang pokok dari badan pemerintahan yang bertujuan mengabdi kepada seluruh rakyat dan melayani kepentingan umum ialah perlakuan adil. Perlakuan yang adil itu biasanya dapat diwujudkan dengan memberikan perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak. Jadi persamaan dalam perlakuan, pelayanan, dan pengabdian harus diberikan oleh setiap aparat birokrasi kepada publik tanpa memandang hubungan kerabat, ikatan politik, asal-usul keturunan atau kedudukan sosial. Perbedaan perlakuan secara semena-mena atau berdasarkan kepentingan pribadi tidak boleh dilakukan oleh setiap aparat birokrasi yang adil. 6. Kepantasan (equity). 9 Persamaan perlakuan terhadap semua pihak sebagai suatu asas etis tidak selalu mencapai keadilan dan kelayakan. Persoalan dan kebutuhan dalam masyarakat sangat beraneka ragam sehingga memerlukan perbedaan perlakuan asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil atau alasan yang benar. Dengan demikian, terhadap suatu kelompok tertentu dan untuk suatu keadaan tertentu perlu dilakukan perlakuan yang sama. Tetapi terhadap suatu golongan lain dan berdasarkan kondisi khusus yang berlainan mungkin perlu ada perlakuan yang tak sama. Untuk itu asas yang harus diperhatikan adalah kepantasan. Asas kepantasan mengacu pada suatu hal yang sepatutnya menurut pertimbangan moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. (Gie, 1988, hal. 7.1-7.4) Panca Prasetya KORPRI. KORPRI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden nomor 82 tahun 1971 tanggal 29 Nopember 1971 sebagai wahana yang mewadahi seluruh pegawai yang bekerja dalam dinas-dinas pemerintah untuk mencapai dayaguna dan hasil guna yang sebesar-besarnya dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan menyelenggarakan pembangunan. Sebagai pedoman sikap dan tingkah laku yang mengikat bagi segenap PNS, maka dibuatlah kode etik berupa Panca Prasetya KORPRI yang berbunyi : PANCA PRASETYA KORPS PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia, adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjanji: 1. 2. 3. 4. 5. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara; Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan; Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia; Menegakkan kejujuran, keadilan dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. 10 (Sumber : Keputusan Musyawarah Nasional VI KORPRI Nomor : KEP08/MUNAS/2004 tentang Kode Etik KORPRI dan Penjelasannya). Merekonstruksi Nilai-Nilai Panca Prasetya KORPRI. Panca Prasetya KORPRI diawali dengan janji bahwa setiap aparat birokrasi adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini menjadi semacam kontrak kerja bahwa setiap aparat birokrasi dalam menjalankan tugas sehari-hari berlandaskan pada norma-norma agama. Ajaran agama menjadi benteng moral bagi aparat birokrasi. Atau lebih jauh lagi bahwa aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas sehari-hari selalu merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kesetiaan dan ketaatan kepada NKRI dan pemerintah menjadi inti dari poin yang pertama. Kesetiaan diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini untuk menjamin bahwa semua tugas yang didistribusikan oleh atasan (sebagai wakil negara dalam organisasi birokrasi) kepada para aparat birokrasi di bawahnya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah kesetiaan dan ketaatan terhadap pimpinan disini bukanlah kesetiaan dan ketaatan buta. Artinya bahwa aparat birokrasi harus tetap kritis, cerdas dan mengedepankan nurani dalam memberikan kesetiaan dan ketaatannya kepada pimpinan. Ketika perintah dari pimpinan adalah benar (sesuai dengan peraturan perundangan) dan dalam rangka menjalankan roda organisasi, maka perintah itu harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Namun ketika perintah itu telah menyalahi etika atau bahkan peraturan perundangan, maka perintah itu harus ditolak. Poin kedua berbicara tentang menjaga kehormatan bangsa dan negara serta memegang rahasia jabatan dan rahasia negara. Menjaga kehormatan bangsa dan negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menjaga kehormatannya di depan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Namun mengenai hal memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara, hal ini menurut penulis, bertentangan dengan semangat keterbukaan dalam era demokrasi ini. Undang-undang Kebebasan Informasi Publik telah mengamanatkan bahwa setiap organisasi publik harus memberikan informasi kepada publik dengan sejelas-jelasnya. Artinya ada kewajiban bagi aparat birokrasi untuk menjelaskan kegiatannya kepada publik. Etika memegang teguh rahasia dan rahasia jabatan 11 dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tameng bagi pejabat publik untuk menutupi tindakan-tindakan illegal yang dilakukannya. Poin ini termasuk point karet yang perlu penjelasan lebih lanjut tentang apa yang harus dirahasiakan dan apa yang harus dijelaskan ke publik. Inti dari poin ketiga dari Panca Prasetya KORPRI adalah mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Kepentingan negara dan masyarakat merupakan inti dari negara kesejahteraan. Karena itu kepentingan negara dan masyarakat harus menjadi prioritas utama oleh aparat birokrasi. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat terkait erat pengabdian kepada negara dan masyarakat. Menurut penulis, pengabdian disini ternyata banyak disalah-artikan oleh aparat birokrasi. Pengabdian kepada negara, yang diwakili oleh pemimpin (atasan), ternyata lebih dominan daripada pengabdian kepada masyarakat. Hal ini mengakibatkan aparat birokrasi cenderung lebih melayani pimpinan daripada melayani masyarakat. Seharusnya, pengabdian kepada negara dan masyarakat ini posisinya adalah sejajar. Artinya kedua-duanya harus dilaksanakan oleh aparat birokrasi. Poin keempat, adalah menjaga keutuhan NKRI dan kesetiakawanan KORPRI. Menjaga keutuhan NKRI merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh aparat birokrasi. Sedangkan kesetiakawanan KORPRI diperlukan selama itu untuk memperkuat soliditas KORPRI dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan apabila kesetiakawanan ini diartikan sebagai soliditas dalam melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan etika, maka hal ini harus ditolak. Poin kelima adalah menegakkan kejujuran, keadilan dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, disiplin dan profesionalisme merupakan perwujudan dari good governance. Dan menurut penulis, disinilah inti dari peran aparat birokrasi dalam mendukung pelaksanaan good governance. Sedangkan nilai meningkatkan kesejahteraan, telah menimbulkan pengertian ganda. Meningkatkan kesejahteraan disini artinya meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan anggota KORPRI? Jika yang dimaksud adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka hal itu harus kita dukung. Namun jika yang dimaksud adalah meningkatkan kesejahteraan KORPRI, hal ini menurut penulis kurang etis. Karena poin kelima ini bisa 12 disalahgunakan sebagai dasar oleh aparat birokrasi untuk meningkatkan penghasilan dengan melalui hal-hal yang bertentangan dengan etika dan hukum, misalnya korupsi. Secara umum, nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prasetya KORPRI sudah mewakili nilai-nilai agung dan etika pemerintahan, dan bisa dikatakan masih relevan dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dua hal yang perlu dipertimbangkan kembali, yaitu : 1. Memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. Penulis menyarankan perihal memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara sebaiknya dihapuskan saja dan dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP). Perihal memegang teguh rahasia jabatan sudah tercantum di dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, sedangkan perihal memegang teguh rahasia negara belum tercantum. 2. Meningkatkan kesejahteraan. Perihal meningkatkan kesejahteraan kalau dalam konteks meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebaiknya diberi keterangan tambahan, misal “meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Sedangkan kalau meningkatkan kesejahteraan disini dalam konteks meningkatkan kesejahteraan aparat birokrasi sebaiknya dihapus saja. Penulis mengusulkan satu nilai lagi di dalam Panca Prasetya KORPRI yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat, yang berbunyi “Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan semangat pengabdian, kesetiaan dan persamaan”. Karena menurut penulis pelayanan adalah hal penting dan merupakan salah satu indikator terwujudnya negara kesejahteraan. Oleh karena itu sudah sepantasnya bila pelayanan masuk dalam Panca Prasetya KORPRI. Internalisasi Nilai-Nilai Panca Prasetya KORPRI. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prsetya KORPRI tidak akan bernilai apa-apa jika tidak dijalankan oleh para aparat birokrasi. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kepada para aparat birokrasi. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menginternalisasikan nilai moral (Panca Prasetya KORPRI), diantaranya yaitu : 13 indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku (Siswoyo, 2005, hal. 72-81). 1. Indoktrinasi nilai. Pendekatan ini dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai Panca Prasetya KORPRI secara tegas dan konsisten kepada para aparat birokrasi. Aturan mana yang boleh dilakukan dan yang dilarang disampaikan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Pendekatan ini dilakukan sejak aparat birokrasi ini diterima sebagai PNS (melalui diklat prajab) sampai dengan akhir masa tugasnya. Hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa nilai-nilai Panca Prasetya KORPRI harus benar-benar ditanamakan dalam arti dikenalkan, dihayati, dipahami dan diamalkan. Jadi bukan sekedar untuk dihafalkan. Hal penting yang lain adalah bahwa indoktrinasi tidak hanya dilakukan dalam diklat pra jabatan saja, namun harus tetap dilaksanakan sampai akhir masa tugas aparat birokrasi tersebut. 2. Klarifikasi nilai. Dalam pendekatan ini seorang pimpinan tidak langsung menyampaikan kepada bawahan bahwa sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, namun bawahan diberi kesempatan untuk menyampaikan penilaiannya sendiri. Bawahan diajak berdiskusi untuk mengungkap kenapa sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk. Sesuatu itu berkaitan dengan isu-isu moral yang sedang berkembang. 3. Contoh atau keteladanan. Manusia itu mempunyai kecenderungan untuk meniru. Ketika pejabat memberikan contoh (teladan) yang baik, maka bawahan pun akan mengikuti melakukan hal-hal yang baik. Dan sebaliknya ketika pejabat melakukan hal-hal yang buruk, maka bawahanpun akan melakukan hal-hal yang buruk bahkan lebih buruk lagi. Oleh karena itu keteladanan dari pimpinan sangat diperlukan dalam melakukan proses internalisasi nilai. 4. Pembiasaan. Kebiasaan akan membentuk kultur atau budaya kerja. Kebiasaan yang baik akan membentuk budaya kerja yang baik dan kebiasaan yang buruk akan membentuk budaya kerja yang buruk. Sehingga diperlukan adanya pembiasaan hal-hal yang baik untuk membentuk budaya kerja yang baik. Selain itu budaya kerja akan sangat mempengaruhi karakter seseorang. Seseorang yang mempunyai karakter baik, ketika berada dalam budaya kerja yang buruk bisa berubah menjadi buruk. Pun demikian seseorang yang mempunyai karakter buruk, ketika berada dalam 14 budaya kerja yang baik, dia bisa berubah menjadi baik. Dengan pembiasaan yang baik akan terbentuk budaya kerja yang baik dan pada akhirnya akan membentuk karakter aparat birokrasi yang baik. 5. Membuat kode etik aparat birokrasi. Penyusunan kode etik aparat birokrasi bisa menjadi salah satu metode internalisasi nilai yang efektif. Misalnya dibuat dua jenis kode etik, yaitu kode etik untuk pejabat dan kode etik untuk staf. Hal ini perlu dilakukan karena tugas pokok dan fungsi dari pejabat dan staf sangat berbeda, sehingga kode etiknya pun juga harus berbeda. Kode etik ini sebaiknya dicetak dalam bentuk buku saku yang bisa dibawa kemana-mana. Sehingga pejabat dan staf aparat birokrasi bisa membawanya di dalam saku kemanapun pergi. Harapannya jika kode etik itu ada di dalam saku, maka ketika akan melakukan hal-hal yang melanggar kode etik, yang bersangkutan akan segera tersadar atau minimal merasa malu. 15 PENUTUP Kesimpulan Dari tulisan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Secara umum, nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prasetya KORPRI sudah mewakili nilai-nilai agung dan etika pemerintahan, dan bisa dikatakan masih relevan dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua hal yang perlu dipertimbangkan kembali yaitu : memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara, dan meningkatkan kesejahteraan. 2. Proses internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam Panca Prasetya KORPRI bisa dilakukan secara struktural (indoktrinasi dan pembuatan kode etik) dan kultural (keteladanan dan pembiasaan). Rekomendasi 1. Perlu adanya good-will dan kemauan yang keras dari pemerintah (eksekutif) untuk melakukan langkah-langkah konkrit dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai Panca Prasetya KORPRI kepada para aparat birokrasi. 2. Nilai pelayanan kepada masyarakat sebaiknya dimasukkan ke dalam Panca Prasetya KORPRI. 3. Para pejabat publik hendaknya bisa memberikan keteladanan dalam rangka membangun moral yang baik bagi para arapat birokrasi. 16 DAFTAR PUSTAKA Bertens, K. 2005, Etika, Cetakan ke-9, Jakarta : Gramedia. Daft, Richard L. 2010, Era Baru Manajemen, Cetakan ke-9, Jakarta : Salemba Empat. Dwiyanto, Agus. 2006, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Cetakan ke-2, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Gie, The Liang. 1988, Etika Administrasi Pemerintahan, Cetakan ke-1, Jakarta : Karunika Universitas Terbuka. Istianto, Bambang. 2011, Demokratisasi Birokrasi, Cetakan I, Jakarta: Mitra Wacana Media. Keputusan Musyawarah Nasional VI KORPRI Nomor : KEP- 08/MUNAS/2004 tentang Kode Etik KORPRI dan Penjelasannya. Kumorotomo, Wahyudi. 1994, Etika Administrasi Negara, Cetakan ke-2, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Siswoyo, Dwi dkk. 2005. Metode Pengembangan Moral Anak Prasekolah. Cetakan ke-1, Yogyakarta: FIP UNY. Suseno, FM. 1993, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Cetakan ke-4, Yogyakarta : Pustaka Filsafat. Undang-Undang Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Widodo, Joko. 2005, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Cetakan ke-1, Jakarta: Banyumedia Publishing. 17