Judul dll jadi - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN
TERHADAP PERSETUBUHAN ANAK
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soe dirman
ANDIKA HERU BARATA
E1A008337
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ANDIKA HERU BARATA
NIM
: E1A008337
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN TERHADAP
PERSETUBUHAN
ANAK
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Nomor:
03/PID.Sus/2012/PN.PWT). Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya
sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain dan
semua sumber data maupun informasi telah dinyatakan secara jelas serta dapat
diperiksa kebenarannya.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang telah saya
peroleh.
Purwokerto,
November 2013
ANDIKA HERU BARATA
E1A008337
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat, karunia serta hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN
TERHADAP PERSETUBUHAN ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor:
03/PID.Sus/2012/PN.PWT) dengan melalui proses yang panjang, serta suka dan
duka telah penulis lewati. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan, baik sec ara moril maupun materiil, dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar -besarnya
kepada:
1.
Dr. Angkasa, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
2.
Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H. selaku Pemba ntu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
3.
Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. , selaku Dosen Pembimbing Skripsi I.
4.
Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II
5.
Pranoto S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji atas segala masukan ya ng
diberikan kepada penulis;
6.
Kedua orang tua beserta keluarga besar yang te lah memberikan
dukungan kepada penulis.
iv
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karenanya penulis
mengharapkan kritik dan saan dari berbagai pihak demi penyempurnaan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Purwokerto,
November 2013
ANDIKA HERU BARATA
E1A008337
v
ABSTRAK
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN
TERHADAP PERSETUBUHAN ANAK
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt)
Oleh :
ANDIKA HERU BARATA
E1A008337
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan berat ringannya
sanksi terhadap tindak pidana persetubuhan anak da lam Putusan Nomor :
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. Selain itu juga ditujukan untuk mengetahui akibat
hukum dari Putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor :
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. Guna mencapai tujuan tersebut maka peneletian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang
terkumpul kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kualitatif dengan
penyajian data teks naratif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa, terdapat dua pertimbangan yuridis
hakim terhadap perbutan yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu terdakwa telah
memenuhi unsur perbuatan persetubuhan dengan anak dibawah umur secara
berlanjut yang dibuktikan dengan alat bukti saksi baik saksi korban dan saksi
lainnya, alat bukti surat berupa Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X /2011, tanggal
24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Herni Setiyowati dan
keterangan terdakwa. Kemudian terdapat dua unsur pemberat tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa. Unsur pertama yang memperberat terdakwa antara lain
unsur kese ngajaan Terdakwa sengaja menyetubuhi anak di bawah umur, selain itu
terdakwa juga sengaja menyetubuhi anak tiri yang seharusnya dilindunginya
berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Unsur kedua yaitu mengenai
perbuatan yang berlanjut sesuai Pasal 64 KUHP dimana memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat yang dibuktikan sesuai dengan sistem pembuktian Pasal
183 KUHAP. Akibat hukum dari putusan pemidanaan dalam dalam Putusan
Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. adalah terdakwa wajib menjalani hukuman
pidana penjara selama 8 tahun, dan jaksa yang berkewajiban untuk melaksanakan
putusan pidana tersebut. Oleh karena status terdakwa menjadi terpidana, maka
mempunyai hak sebagai warga binaan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UndangUndang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. .
.
.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim , Putusan Pemidanaan dan Persetubuhan Anak
vi
ABSTRACT
IMPOSITION OF CONSIDERATION OF JUDGE RULING AGAINST
CHILDREN INTERCOURSE
(Judicial Review Decision Number: 03/PID.Sus/2012/PN.PWT)
By:
ANDIKA HERU BARATA
E1A008337
This study was conducted to determine the basis of consideration of the
judge in sentencing verdict and the severity of criminal penalties against child
marriage act in Decision Number : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt . It also aimed to
determine the legal consequences of the criminalization decision in Decision
Number : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt . To achieve these aims the intensive search
was conducted using the normative juridical approach . Secondary data were
collected and processed , presented , and analyzed qualitatively with the
presentation of narrative text data .
The study states that there were two judges for judicial consideration
perbutan committed by the defendant , the defendant has fulfilled the act of sexual
intercourse with a minor is continuing as evidenced by both the witness evidence
and other witnesses witnesses , documentary evidence in the form of Visum Et
Repertum No.Pol : R/20/X/2011 , dated October 24, 2011 which was made and
signed by dr . Herni Setiyowati and the testimony of the defendant . Then there
are two elements of ballast criminal offenses committed by the defendant . The
first element that aggravate defendants include intentional defendant intentionally
fucked minors , other than that the defendant intentionally supposed to fuck
stepson protects based Child Protection Act . The second element is the ongoing
act in accordance with Article 64 of the Criminal Code which includes the main
criminal threat as evidenced most weight in accordance with Article 183 of the
Criminal Procedure Code verification system . Legal consequences of the
criminalization decision in Decision Number : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt .
defendant is serving a sentence of mandatory imprisonment for 8 years, and
prosecutors are obliged to implement the criminal verdict. Accordingly the
defendant be terpidana status, then have the right as citizens under Article 14
verse structure (1) of Law No 12 of 1995 About Correctional.
Keywords: Consideration Judge, Judgment and Punishment Children Intercourse.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................
iii
KATA PENGANTAR......................................................................…..............
iv
ABSTRAK.........................................................................................................
vi
ABSTRACT……………………………………………………………….........
vii
DAFTAR ISI......................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
ix
A.
Latar Belakang Masalah .............................................................
B.
Perumusan Masalah .................................................................... 1
C.
Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
D.
Kegunaan Penelitiaan .................................................................
5
E.
Penelitian Terdahulu..............................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
6
A.
Tindak Pidana..............................................................................
B.
Tindak Pidana Persetubuhan Anak.....................................
9
C.
Tujuan Hukum Acara Pidana......................................................
10
D.
Pembuktian dan Sistem Pembuktian...........................................
14
E.
Bentuk Putusan........................................................................
17
viii
F.
Pertimbangan Pemidanaan......................................................
26
G.
Alat Bukti............................................................................
29
35
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Metode Penelitian.........................................................................
B.
Spesifikasi Penelitian...................................................................
47
C.
Sumber Data.................................................................................
46
D.
Metode Pengumpulan Data..........................................................
48
E.
Metode Penyajian Data................................................................
49
F.
Analisa Data.................................................................................
49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
50
A. Hasil Penelitian…………………………………………………..
B. Pembahasan………………………………………………….......
BAB V PENUTUP
51
75
A.
Simpulan ....................................................................................
B.
Saran ...........................................................................................
117
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 118
119
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil harus jelas / terang, oleh
karena pelaksanaanya pada hakikatnya mempertaruhkan nyawa, harta benda dan
kebebasan manusial. 1 Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Fomil) merupakan
peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya
melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. 2 Oleh karena itu
Hukum Acara Pidana mempunyai suatu tujuan, tujuan dari Hukum Acara Pidana
tersebut dimuat dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh
Mentri Kehakiman , yang berbunyi :
"Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hokum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 3
Mencari kebenaran materiil tersebut merupakan tugas hakim, dan hakim
dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum,
begitu pula saksi-saksi yang diajukan kedua pihak untuk memperkuat
keyakinannya. Pemeriksaan harus dilakukan secara lisan, kebenaran secara
1
Zainal Abidin Farid. 2007, Hukum Pidana 1. Sinar Grafika. Jakarta, hal. 3
Nikolas Simanjuntak. 2009. Acura Pidana Indonesia datum Sirkas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 23.
3
Andi Hamzah, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8.
2
2
materil tidak akan dapat diperoleh oleh hakim, jika pemeriksaan tidak dilaksanakn
secara lisan. 4
Lilik Mulyadi5 menyatakan bahwa :
Dalam suatu negara hukum (rechtstaat), seperti negara Indonesia, hakim
dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar
yang pokok dan utama. Karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 25 UndangUndang Dasar 1945 beserta penjelasannya, kedudukan para hakim dijamin
oleh undang-undang sebagaimana manifestasi pada ketentuan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Menurut ketentuan Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor M.1861KPO4.12 Tahun 1984 tentang Kedudukan Hakim, di mana disebutkan bahwa
hakim sebagai pegawai negeri (Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009) juga menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup di masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Ketika seorang hakim sedang menangani perkara, diharapkan dapat
bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran
materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan pada perangkat hukum positif,
melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktik sehingga
semuanya itu bermuara pada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat
dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa,
masyarakat dan negara, diri sendiri, serta demi keadilan berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa.
4
P.A.F. Lamintang dan Theo F Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 336
5
Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54
3
Karena mengemban tugas sedemikian berat, untuk itu harus dijamin
kemandiriannya guna menegakkan sendi keadilan sebagaimana pemeo, "walaupun
langit runtuh, keadilan harus ditegakkan". Sedangkan di pihak lain; dalam diri
hakim bersangkutan juga dituntut adanya integritas moral yang baik sehingga
dalam menegakkan hukum dan keadilan tidaklah gam-pang dipengaruhi masalah
lain, seperti tergoda kolusi, suap, dan yang lainnya yang akhirnya dapat
merugikan justiabelen.6
M. Yahya Harahap7 menyatakan bahwa :
Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil
musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Mungkin menurut
penilaian mereka, apa yang didakwakan dalam surat dakwaan terbukti,
mungkin juga menilai, apa yang didakwakan memang benar terbukti, akan
tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk
ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak pidana
aduan (klacht delik ). Atau menurut penilaian mereka, tindak pidana yang
didakwakan tidak terbukti sama sekali.
Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa setiap putusan harus terlebih
dahulu di dasarkan pada pembuktian dan analisa hakim dalam persidangan. Baik
setiap putusan pemidanaan ataupun putusan bebas harus didasarkan pada
pembuktian dan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan, sehingga
kebenaran materil yang dicari melalui kaidah hukum acara pidana tercapai dalam
setiap kasus tindak pidana.
Secara khusus Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa:
6
Ibid., hal. 55
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 326.
7
4
(1)
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Putusan kasus Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN.PWT terdakwa MR melakukan
tindak pidana persetubuhan terhadap anak dibawah umur.Dalam kasus ini
terdakwa diancam dengan hukuman penjara di atas 5 tahun.
Korban kasus persetubuhan ini adalah GL yang masih berumur 14 tahun dan
merupakan anak tiri dari terdakwa. Sebagai orang tua seharusnya terdakwa
melindungi dan menjaga korban, akan tetapi terdakwa malah melakukan tindak
asusila terhadap korban. Hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman
terhadap terdakwa dengan pidana 8 tahun harus bijaksan dan memperhatikan
perasaan masyarakat, sebab putusan hakim tersebut akan dipertanggungjawabkan
dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat da n negara,
diri sendiri, serta demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Karena
perbuatannya sudah sepantasnya terdakwa dihukum dengan hukuman yang
setimpal, dan merupakan tugas hakim untuk memutuskan hukuman tersebut
melalui proses persidangan.
Berdasarkan wacana di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian
yang menitik beratkan aspek normatif dengan judul PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM
PENJATUHAN
PUTUSAN
TERHADAP
5
PERSETUBUHANANAK
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Nomor:
03/PID.Sus/2012/PN.PWT)
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan
yaitu sebagai berikut :
1.
Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
pemidanaan dan berat ringannya sanksi terhadap tindak pidana
persetubuhan anak dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt?
2.
Bagaimanakah akibat hukum dari Putusan pemidanaan dalam dalam
Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt ?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui dan menganalisa dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan dan berat ringannya sanksi terhadap
tindak
pidana
persetubuhan
anak
dalam
Putusan
Nomor
:
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum dari Putusan
pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt.
D.
Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan Teoritis
a.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori
dalam hukum acara pidana khususnya pembuktiantindak pidana
persetubuhan dalam Putusan 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt.
6
b.
Hasil
penelitian
ini
dapat
dipergunakan
sebagai
bahan
pengajaran menambah materi perkuliahan khususnya dalam
Mata Kuliah Hukum Acara Pidana.
2.
Kegunaan Praktis
a.
Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang
diteliti oleh penulis.
b.
Dapat memberikan masukan bagi penulis mengenai ruang
lingkup yang dibahas dalam penelitian ini sekaligus untuk
mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh Khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
E.
Penelitian Terdahulu
Untuk membedakan orisinalitas penelitian maka dapat ditinjau dari
beberapa penelitian sebagai berikut :
1.
Skripsi Saudara Galih Rakasiwi (EIA008033) dengan judul
Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Yang
Dilakukan Secara Berlanjut (Studi Kasus Pada Putusan
Pengadilan Negeri Purwokerto No. 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT).
Penelitian
ini
menggunakan
metode
pendekatan
yuridis
normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif dan sumber
data adalah data sekunder. Sudut pandang skripsi tersebut adalah
hukum pidana materil, berbeda dengan kajian penulis yang lebih
mengarah pada acara pidana. Skripsi tersebut juga hanya
7
mengarah pada penerapan pasal, dan bukan segi pertimbangan
hakim dalam memutus suatu perkara.
2.
Saudara Dennys Prasmana Adi (06400079), Fakultas Hukum,
Universitas Muhamadiyah Malang, dengan judul K a j i a n
Yuridis Normatif Terhadap Putusan Perkara Nomor
357/Pid.B/2009/P.N.
Bojonegoro
Tentang
Tindak
Pidana
Perbuatan cabul Terhadap Anak (Tinjauan Yuridis Putusan
Pengadilan
Negeri
Bojonegoro
Nomor
357/PID.B/2009/P.N.BJN). Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif. Dalam penelitian tersebut terlihat majelis
hakim yang memeriksa dan memutus perkara kurang
memperhatikan tuntutan jaksa yang menuntut pidana penjara
selama 4 (empat) tahun kepada terdakwa, yang dalam
pemeriksaan persidangan dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melanggar Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002. Dalam putusannya majelis hakim
menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun kepada
terdakwa. Walaupun putusan tersebut dibenarkan dalam Pasal
82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, paling singkat 3
tahun dan paling lama 15 tahun, namun hakim seharusnya juga
mempertimbangkan
dan
memperhatikan
fakta
pada
pemeriksaan persidangan yang telah terbukti secara sah dan
meyakinkan, serta hal-hal yang memberatkan terdakwa, tidak
8
adanya alasan pemaaf pada terdakwa. Penelitian ini berbeda
dengan penelitian penulis, karena penelitian penulis lebih
mendasarkan pada persetubuhan anak, bukan pencabulan,
walaupun dalam kasusnya hampir sama. Sudut pandang
penelitian ini juga akan mengarah pada pertimbangan hakim
dalam
membuktikan
juga
pertimbangan
menjatuhkan berat ringannya pemidanaan.
hakim
dalam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tindak Pidana
Soedartomenyebut Staafbaarfeit dengan istilah tindak pidana, dengan
unsur-unsur antara lain Perbuatan dan orang. 8Untuk dapat menghukum seseorang
sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada
pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang
bersangkutan
harus
merupakan
seseorang
yang
dapat
dimintai
pertanggungjawaban. Untuk itu, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai
perilaku manusia yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak berbuat)
yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, perilaku
mana dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana
Pipin S yarifin menyatakan bahwa, secara mendasar perumusan delik dalam
teori Sudario mempunyai dua elemen (unsur dasar) yaitu :
1.
2.
Bagian yang objektif menunjuk delik dari perbuatan/kelakuan dan
akibat, yang merupakan kejadian-kejadian yang bertentangan dengan
hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum yang dapat
diancam dengan pidana.
Bagian-bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari
delik. 9
Berdasarkan hal-hal tersebut maka syarat dapat dipidananya seseorang /
syarat pemidanaan di dasari oleh dua kritera yaitu subjektif dan objektif. Secara
8
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 23
Pipin Syarifin, 2000, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Jakarta, hal. 55
9
10
Objektif seorang yang dapat dipidana haruslah terlebih dahulu melanggar
rumusan suatu aturan perundang-undangan. Kedua perbuatan tersebut memiliki
sifat melawan hukum.
B.
Tindak Pidana Persetubuhan Anak
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, 10menyatakan bahwa :
“Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang
lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan
atau hukum yang berlaku melanggar.
Menurut R.Sugandhi,11 yang dimaksud dengan perkosaan adalah :
“Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk
melakukan persetubuhan dengannya dengan ancama n kekerasan, yang mana
diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorangh
wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.
Adapun
unsur-unsur
selengkapnya
tentang
perkosaan
menurut
R.Sugandhi12adalah :
1.
2.
3.
4.
Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki ke pada wanita yang bukan
menjadi istrinya.
Pemaksaan bersetubuh itu diikuti dengan tindakan atau ancaman
kekerasan.
Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita, dan
Mengeluarkan air mani.
Pendapat itu menunjukkan pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas,
artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya
hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka
10
Ibid., hal. 40.
Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, Loc cit
12
Ibid., hal. 41
11
11
secara eksplisit, apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut dikategorikan
sebagai perkosaan.
Tindak pidana persetubuhan pada anak memiliki perbedaan yang mendasar
dengan tindak pidana perkosaan pada umumnya. Pada tindak pidana ersetubuhan
anak lebih mendasarkan pada subjek yang menjadi korban adalah anak. Definisi
anak secara nasional didasarkan pada batasan usia menurut hukum pidana, hukum
perdata, hukum adat, dan hukum islam.
Secara internasional definisi anak
tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak Anak atau
United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989, aturan standar
minimum PBB mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak dan Deklarasi Hak Asasi
Manusia tahun 1948. Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan,
diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun
atau belum menikah. 13
Menurut Nicholas McBala, dalam buku Juvenile Justice Sistem, mengatakan
anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan.
Masa ini
merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan
termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain. 14
Menurut Zakariya Ahmad Al Barry yang dik utip oleh Maidin Gultom
bahwa:
Dewasa maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul
tanda laki-laki dewasa pada putra, muncul tanda -tanda wanita dewasa pada
putri. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak
putra berumur 12 tahun dan putri berumur 9 tahun. Apabila anak megatakan
bahwa ia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia sendiri yang
13
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 33
14
Ibid., hal. 36.
12
mengalami. Apabila sudah melewati usia tersebut di atas tetapi belum
Nampak tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia telah dewasa, har us
ditunggu sampai ia berumur 15 tahun. 15
Menurut Hilman Hadikusuma yang dikutip oleh Maidin Gultom
mengatakan bahwa :
Menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa, tidak perlu
dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun belum dewasa namun
ia telah dapat melakukan perbuatan hukum misalnya anak yang belum
dewasa telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya, walaupun ia
belum berwenang kawin. 16
Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertian, pengertian tersebut terdiri
dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu :
1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak merumuskan bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan
bahkan masih dalam kandungan”.
Berdasarkan hal tersebut, anak yang belum dilahirkan dan masih di
dalam kandungan ibu menurut Undang-undang ini telah mendapatkan
suatu perlindungan hukum.Selain terdapat pengertian anak, dalam
Undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak
yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat
dan anak asuh.
2.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
15
Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 31.
16
Ibid. , hal. 32
13
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan
anak sebagai berikut :
Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
Tindak pidana persetubuhan pada anak secara khusus diatur dalam Pasal 81
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan
bahwa:
1)
2)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pemberlakuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak bersifat lex spesialis. Hal ini dikarenakan Pasal 81 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak lebih mendasarkan
pada objek perlindungannya yaitu anak, dibandingkan perkosaan pada umumnya,
namun teori unsur-unsur perkosaan yang digunakan oleh hakim seperti halnya
pembuktian unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
dan persetubuhan tetap digunakan.
14
C.
Tujuan Hukum Acara Pidana
Menurut Andi Hamzah17 hukum acara pidana ialah:
Pemerintah merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan
peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya
dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma. Hukum
acara pidana disebut juga sebagai Hukum pidana formil yaitu: Hukum yang
mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya
untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberi
definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan,
penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum,
penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain. Diberi definisi
dalam Pasal 11 KUHAP. Akan tetapi definisi dari hukum acara pidana banyak
diberikan oleh para sarjana.
Andi Hamzah18, memberikan penjelasan mengenai istilah hukum acara
pidana yang diuraikan sebagai berikut:
Istilah hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah “hukum
proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana” Belanda memakai istilah
stravordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana,
bukannya istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah itu
menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undangundang
dibicarakan di parlemen karena meliputi seluruh pro sedur acara pidana.
Oleh karena itu menurut pendapat penulis, istilah Inggris Criminal
Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah
strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai. Orang Perancis
memakainya menamainya Coded' Instruction Criminelle. Sedangkan istilah
yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Procedure Rules. Dip
akai istilah rules karena di Amerika Serikat bukan raja undang- undang yang
menjadi sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan
hakim dan dibukukan sebagai himpunan.
17
Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4
Ibid., hal. 2
18
15
Menurut pendapat Andi Hamzah19, definisi mengenai hukum acara pidana
sebagai berikut:
Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran UndangUndang pidana:
1.
Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2.
Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3.
Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pelaku dan kalau perlu menahannya;
4.
Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada
penyidikan kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim
membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5.
Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang didakwakan -kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau denda atau tindakan tata tertib;
6.
Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7.
Akhirnya melakukan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib.
8.
Pengertian dari Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang
mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau
menyelenggarakan
hukum
pidana
materiil,
sehingga
memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan
itu harus dilaksanakan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, hukum acara pidana
merupakan hukum yang menggerakan negara melalui alat-alatnya untuk menyidik
kebenaran. Dalam hal ini sedapat mungkin untuk menyidik pelaku perbuatan itu.
Hukum acara pidana memberikan hak untuk mengambil tindakan-tindakan yang
perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya, serta
mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan
kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan hakim
tersebut. Melalui hukum acara pidana pula hakim memberi keputusan tentang
19
Ibid., hal. 6
16
terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan -kepada terdakwa dan untuk itu
menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib .
Berdasarkan hal tersebut maka hukum pidana formal sangat diperlukan
sebagai pelengkap hukum pidana materiil, karena menurut pendapat dari R.
Soesilo 20, hukum pidana formal memuat sekumpulan peraturan-peraturan hukum
yang memberikan pengaturan dan memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan,
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenarankebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan, Setelah
ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa, dan cara
bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orangorang yang
disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan dan
memeriksa orang itu, Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti,
memeriksa, menggeledah badan, dan tempat-tempat lain serta menyita
barangbarang itu, untuk membuktikan kesalahan-kesalahan tersangka, Cara
bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh
Hakim sampai dapat dijatuhkan pidana, dan oleh siapa dan dengan cara
bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan
sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan: yang mengatur tentang
cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana
materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi
keputusan itu harus dilaksanakan.
Kesimpulan yang dapat diperole h dari pendapat para sarjana tersebut di atas
bahwa Hukum Acara Pidana adalah hukum yang bertujuan mengatur tentang tata
cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil,
sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana keputusan itu harus
dilaksanakan.
20
Ibid., hal. 69
17
D.
Pembuktian dan Sistem Pembuktian
Pembuktian tindak pidana persetubuhan terhadap anak, di pengadilan sangat
tergantung sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan
bukti-bukti bahwa telah terjadi tindak pidana persetubuhan. Harus diakui
pembuktian dalam tindak pidana persetubuhan adalah sangat sulit, sebab pihak
yang berwenang harus memastikan benar apakah perbuatan persetubuhan tersebut
dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Jimly Asshidiqie 21 menyatakan bahwa:
Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang
didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara,
merupakan bagian penting hukum acara di pengadlan, karena di dalamnya
terkait persoalan hak-hak hukum bahkan hak-hak asasi setiap orang atau
pihak-pihak yang dipersangkakan telah melakukan peanggaran hukum.
Menurut Andi Hamzah22 Pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP)
adalah:
Suatu upaya mendapatkan keterangan-ketarangan melalui alat-alat bukti dan
barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya
perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya
kesalahan pada diri terdakwa.
Menurut R. Soesilo 23, peraturan pembuktian di dalam KUHAP adalah
mengenai :
1.
2.
Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat
dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan pidana
(keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa).
Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara bagaimana
hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara penyumpahan
21
Jimly Asshidiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang -Undang, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 139.
22
Andi Hamzah, Op cit., hal. 77.
23
R.Soesilo, 2002, Hukum Acara Pidana , Politeia, Bogor,hal. 111.
18
3.
saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa, pemberian alasanalasan pengetahuan pada kesaksian dan lain -lain).
Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti
yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya keterangan
terdakwa itu hanya merupakan bukti yang sah apabila memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 189 KUHAP).
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril 24 mendefinisikan pembuktian
yang merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan, ia menyatakan bahwa :
Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak
cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa dibebaskan dan hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184
KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan
hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang
menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian
Berdasarkan pendapat Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril terlihat
adanya peranan pembuktian yang cukup penting dalam proses peradilan. Apabila
hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak
cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa
dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus
dinyatakan bersalah. Dalam hal ini terlihat pembagian peranan para aparat
penegak hukum untuk membuktikan dan juga membela terdakwa, sedangkan
hakim diminta untuk secermat mungkin memberikan pertimbangan.
Menurut Eddy O.S. Hiariej25,hukum pembuktian didefinisikan sebagai :
24
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 102 -103.
25
Eddy O. S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga, Jakarta, hal. 15.
19
Ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang
bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada
penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban
pembuktian. Sedangkan hukum pembuktian pidana adalah ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara
mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada pe nyampaian bukti di
pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian dalam pe rkara
pidana.
Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti
memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,
melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret,
Adami Chazawi menyatakan, bahwa :
Dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan,
sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu
bagian kegiatan pengungkapan fakta, dan pekerjaan penganalisisan fakta
yang sekaligus penganalisisan hukum.26
Pada bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang
oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis
hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan
berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan
terhadap perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah
bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa
Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan
fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum
pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya
(requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota
pembelaan (peledoi), dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonis)
26
NN,
Teori
Pembuktian
dalam
Hukum
Pidana,
http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalam-hukum-pidana_4293.html,
diakses pada tanggal 2 Mei 2013.
20
yang dibuatnyaPembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak
pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan
adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar
bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 27
Rusli Muhammad28 menyatakan bahwa :
Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang
menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap
terdakwa di sidang pengadilan. Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam
perkembangannya dikenal ada 4 (empat) macam sistem atau teori
pembuktian. Masing-masing teori ini memiliki karakteristik yang berbedabeda dan menjadi ciri dari masing-masing sistem pembuktian ini.
Adapun teori- teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
Conviction Intime
Sistem pembuktian conviction intime merupakan sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian ini lebih
memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan.
Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang
hakim. Artinya jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya yang timbul dari hati
nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhi putusan.
Keyakinan hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan halhal lainnya jika sekiranya tidak ses uai atau bertentangan dengan keyakina
hakim tersebut. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah maka teori
27
Ibid.
Andi Hamzah, Op cit., hal. 187.
28
21
berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan
hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang tela h didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan
dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undangundang.29
Konsekuensi dari sistem pembuktian yang demikian tidak membuka
kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan
pembelaan dengan menyodorkan bukti-bukti lainnya sebagai pendukung
pembelaannya itu.
Andi Hamzah30 menyatakan bahwa :
Sistem yang demikian memberi kebebasan kepada hakim terlalu
besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat
hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan sehingga di dalam
penerapan dengan sistem tersebut membuat pertimbangan berdasarkan
metode yang dapat mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas
yang sangat aneh.
b.
Conviction Rasionnee
Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian
yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim
didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Berbeda dengan
sistem conviction intime, dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki
kebebasan untuk menentukan keyakinannya, keyakinannya itu harus diikuti
dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya itu dan alasan-alasan
itupun harus “reasonable “ yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima
29
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.248.
Ibid., hal. 248.
30
22
oleh akal pikiran. Sistem conviction rasionnee masih menggunakan dan
mengutamakan keyakinan hakim didalam menentukan salah tidaknya
seseorang terdakwa. Sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti
yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari
keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian conviction intime yaitu
sama-sama menggunakan keyakinan hakim, bedanya adalah terletak pada
ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Jika
dalam sistem conviction intime keyakinan hakim bebas tidak dibatasi oleh
alasan-alasan apapun sementara dalam pembuktian conviction rasionnee
kebebasan itu tidak ada tetapi terikat oeh alasan-alasan yang dapat diterima
oleh akal sehat.31
Andi Hamzah32 menyatakan bahwa :
Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas
keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa
adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya
ialah pertama berpangkal tolak kepada keyakinan hakim, tetapi
keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie)
yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi
ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri,
menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang
mana yang ia akan pergunakan, kemudian yang kedua berpangkal
tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif
oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan
hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu
pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak
didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua
pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.
31
M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 256.
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 250.
32
23
c.
Positief Wettelijk Bewijstheorie
Sistem ini adalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut
undang-undang secara positif. Pembuktian menurut sistem ini dilakukan
dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan
dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan
seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti. 33
d.
Negatief Wettelijk Bewisjtheorie
Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan
alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang- undang juga
menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim,
namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam
undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam
undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga
disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). Sistem pembuktian
berdasarkan
undang-undang
secara
negatief
adalah
sistem
yang
menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime,
dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang
33
Rusli Muhammad, Op cit., hal.189.
24
tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif. 34
Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya
perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus
berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan
terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya.
Jika alat bukti terpenuhi tetapi hakim tidak memperoleh keyakinan
terhadapnya, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya
pemidanaan. Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa
terdakwa adalah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak
dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan
putusan pidana tetapi putusan bebas.
Indonesia dalam sistem peradilan pidana menggunakan sistem Negatief
Wettelijk Bewisjtheorie. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatief adalah sistem yang menggabungkan antara sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction intime, dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak
belakang tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang merumuskan :
34
M Yahya Harahap, Op cit., hal. 257
25
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya".
Maka para pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem
pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di
Indonesia adalah sistem pembuktian negatif, demi tegaknya keadilan,
kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini,
terpadu kesatuan penggabungan antara sistem convictionin time dengan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.35
Peran yang besar tentang keyakinan hakim dalam memutus perkara dapat
menimbulkan permasalahan apabila dalam penerapannya hakikat keyakinan
hakim tidak diberi makna semestinya. Hakikat dan makna keyakinan hakim dalam
hal memutus suatu perkara pidana telah ditunjukkan oleh undang-undang. Makna
tersebut tercermin pula dari formalitas (bentuk) yang harus dipenuhi dalam suatu
putusan hakim. 36
Kehendak undang-undang tentang makna keyakinan hakim tercermin dari
Pasal 183 KUHAP sebagaiamana telah disebutkan, bahwa keyakinan hakim
adalah keyakinan yang diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, sehingga tidak dibenarkannya makna keyakinan yang keluar dari kehendak
undang-undang.
R. Subekti menyatakan bahwa:
Biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan
dalam undangundang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang
kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum
terdakwa. 37
35
Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan &
Penyidikan) , Sinar Grafika, Jakarta, hal. 27.
36
Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, hal.
84
37
R. Subekti, 2006, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hal. 7
26
Berdasarkan Pasal 182 KUHAP dapat juga diambil pengertian dari mana
seharusnya keyakinan hakim diperoleh. Pasal 182 KUHAP tersebut menyatakan,
apabila hakim berpendapat pemeriksaan persidangan dinyatakan ditutup, hakim
akan mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan. Pasal 182 ayat (4)
KUHAP:
"Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan".
Makna keyakinan hakim dapat terbaca pula dari Pasal 197 KUHAP yang
berbunyi:
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"
Menurut Hendar Soetarna pernyataan tersebut didasarkan pada falsafah
idealis religius, suatu yang didasarkan atas cita-cita yang mulia dan didasarkan
kepada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Putusan hakim tidak hanya
didasarkan kepada pertanggungjawaban kepada masyarakat, tetapi kepada titah
yang
lebih
tinggi
yakni
Tuhan
Yang
Maha
Esa
yang
menuntut
pertanggungjawaban di kehidupan kini maupun yang akan datang. 38
E.
Bentuk Putusan
Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana adalah
pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh hakim
terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil
mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat
38
Ibid., hal. 85.
27
dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan
dalam sidang pengadilan.
Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP
yang berbunyi:
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Keputusan dan penetapan adalah tindakan hakim untuk menyelesaikan
perkara. Keputusan diambil umumnya setelah mengadakan sidang, sedang
penetapan diberikan tanpa melalui sidang pemeriksaan.Laden Marpaung 39,
merumuskan mengenai pengertian putusan pengadilan yang diuraikan sebagai
berikut:
Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan
dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan.
Ada juga yang mengartikan “putusan’ atau vonis sebagai vonis tetap
(definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah
hasil akhir dari pemeriksaan per kara disidang pengadilan.
Putusan hakim didasarkan kepada hati nurani yang suci tanpa adanya unsur
lain yang memengaruhi. Sanksi penyimpangan apalagi pengkhianatan kepada
prinsip idealis religius tersebut tidak serta merta dapat dirasakan karena hal
tersebut merupakan pertanggungjawaban kepada Tuhan, Sanksi yang mungkin
akan dirasakan langsung adalah sanksi timbulnya penilaian negatif dari
masyarakat.40
39
Laden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
36
40
Ibid.
28
Berkaitan dengan isi keputusan hakim, setiap keputusan hakim merupakan
salah satu dari tiga kemungkinan :
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib;
2. Putusan bebas;
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.41
M. Sholehuddin berpendapat 42bahwa :
Pemidanaan sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan,
sehingga focus pemidanaan tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat
pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) dan lebih
menekankan unsure pembalasan yang merupakan penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada seorang pelanggar.
Hakim harus berusaha untuk menetapkan suatu hukuman, yang dirasakan
oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal
dan adil. Untuk mencapai usaha ini, hakim harus memperhatikan :
a. Sifat pelanggaran pidana itu (apakah itu suatau pelanggaran
pidana yang berat atau ringan);
b. Ancaman hukuman terhadap pelanggar pidana itu;
c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu
(yang memberatka dan meringankan);
d. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat tulen atau seorang
penjahat yang telah berulang-ulang dihukum atau seorang
penjahat untuk satu kali ini saja; atau apakah ia seorang yang
masih muda ataupun yang telah berusia tinggi;
41
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.285
42
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.32
29
e. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana itu;
f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu (apakah ia
menyesal tentang kesalahannya ataukan keras kepala menyangkal
meskipun telah ada bukti yang cukup akan kesalahnnya);
g. Kepentingan umum.43
Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan
berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan
dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan
Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa
didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai
terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atau dengan
penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas
minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan
terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.
F.
Pertimbangan Putusan
M Yahya Harahap44 menyatakan bahwa:
43
Leden Marpeung, 2010, Proses Penanganan Acara Pidana(Di Kejaksaan &Pengadilan
Negri Upaya Hukum & Eksekusi), Sinar Grafika, Jakarta, hal.139
44
M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 333
30
Dalam pertimbangan hakim harus memuat fakta dan keadaan harus jelas
diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang
pengadilan. Apalagi mengenai fakta atau keadaan yang "memberatkan" atau
"meringankan" terdakwa, mesti jelas diungkapkan dalam uraian
pertimbangan putusan. Hal ini sangat penting diuraikan, karena landasan
yang dipergunakan sebagai dasar titik tolak untuk menentukan berat
ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa, tidak
terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau meringankan.
Pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa.
Mengenai Pertimbangan hakim M. Yahya Harahap45 menambahkan bahwa:
Menurut hemat kita, sekalipun dikatakan "pertimbangan yang disusun
ringkas," bukan berarti putusan itu benar-benar ringkas tanpa argumentasi
dan kesimpulan yang jelas, terperinci, dan utuh. Penguraian fakta dan
keadaan serta alat pembuktian, bukan semata-mata berupa uraian deskriptif,
tetapi di samping diuraikan secara deskriptif. semuanya dipertimbangkan
secara argumentatif sebelum sampai kepada kesimpulan pendapat. Sebelum
putusan sampai pada uraian pertimbangan yang menyimpulkan pendapatnya
tentang kesalahan terdakwa, fakta, dan keadaan serta alat pembuktian yang
diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan secara
argumentatif sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning
yang mantap, yam: mendukung kesimpulan pertimbangan hakim.
Barangkali dalam menyusun suatu putusan, masih terdapat anggapan di
antara sementara hakim, putusan yang dijatuhkan tidak perlu dipahami dan
dimengerti pihak lain. Seolah-olah putusan itu hanya untuk diri hakim itu sendiri.
Akibatnya sering membaca putusan hakim yang sulit diikuti jalan pemikiran yang
tertuang di dalamnya Dari uraian fakta dan keadaan serta pembuktian yang
diskriptif, tiba-tiba putusan melompat kepada pertimbangan yang menyimpulkan
pendapat hakim tentang kesalana: terdakwa. Benar-benar kita tak dapat
45
Ibid., hal. 339
31
menelusuri jalan pikiran kesimpulan tersebut. tidak melihat dalam putusan, dari
mana hakim menyimpulkan kesalahan terdakwa.
Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan putusan
pemidanaan terhadap seorang terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan.
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan menjatuhkan
pidana.
Putusan pemidanaan kepada seseorang tiada lain dari pada putusan yang
berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai ancaman pidana yang disebut
dalam pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Undang-undang memberi
kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana antara minimum
dan maksimum yang dicantumkan dalam pasal pidana yang bersangkutan.
Mengenai hukuman pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana
disebutkan pidana terdiri atas:
a.
b.
Pidana Pokok
1)
Pidana Mati
2)
Pidana Penjara
3)
Pidana Kurungan
4)
Pidana Denda
Pidana tambahan:
1)
Pencabutan Hak-Hak Tertentu
2)
Perampasan Barang-Barang Tertentu Pengunguman Putusan
Hakim
M. Yahya Harahap46 menyatakan bahwa :
Sebenarnya, seandainya hakim atau pengadilan sadar bahwa putusan yang
akan bukan untuk dirinya, tapi di samping putusan sebagai akta resmi yang
mengikat terha semua pihak yang terlibat di dalamnya seperti terdakwa,
penuntut umum, dan lerr pemasyarakatan, putusan itu juga berupa informasi
terhadap semua pihak bersangkutan maupun terhadap masyarakat. Bahkan
46
Ibid., hal. 340.
32
bukan hanya sebagai bahan infor. tetapi juga dijadikan bahan kajian dalam
ilmu dan praktek hukum. Oleh karena putusan jangan terlampau dilihat
semata -mata dari segi yuridis saja, tapi juga dari segi penuangan
argumentasi dalam suatu rangkaian bahasa yang dapat diikuti jalam
pemikirannya yang tertuang dalam pertimbangan.
Hakim
juga
mempertimbangkan
hal-hal secara sosiologis sebagai
pertimbangan hakim. Pelbagai faktor yang dapat mempengaruhi penjatuhan
pidana seperti yang diuraikan oleh Sri Rahayu Sundari, yaitu :
a.
b.
Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan
Hal-Hal yang meringankan pemidanaan. 47
Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a.
b.
c.
Kedudukan sebagai Pejabat (Pasal 52 KUHP)
Pengulangan Tindak Pidana (Residive)
Perbarengan/Samenloop
Menyangkut tentang kasus anak, akan tidak mungkin Apabila Anak
melakukan kejahatan dalam jabatan.
Hal-Hal yang meringankan pemidanaan, terbagi juga menjadi tiga, yaitu :
a.
b.
c.
Percobaan (Poging )
Pembantuan (Medeplictige)
Belum cukup umur (Minderjarig )
Dengan pemahaman demikian, memang terhadap anak yang melakukan
kenakalan, UU tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa bagi anak yang
diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka ancamannya menjadi
dikurangi 1/2 dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada orang
dewasa. 48
47
Sri Rahayu Sundari dalam Nashriana, 2005, Hukum Penitensier, UNSRI, Palembang,
hal. 18 -20
48
Ibid., hal. 21.
33
Hakim memiliki peranan yang sangat penting dalam membuktikan suatu
perkara pidana. H. P Panggabean menyatakan bahwa terdapat 3 peranan hakim
dalam persidangan antara lain peranan hakim bersifat legalistik, peranan hakim
bersifat intuitif pengadilan dan peranan hakim pidana dalam penerapan hukum
pembuktian.
Peranan Hakim bersifat legalistik dibagi dalam 2 (dua) aspek:
1.
2.
Penerapan Hukum melalui penafsiran atas penataan Hukum yang
berlaku sebagai The living law.
Penemuan Hukum bagi bidang-bidang Hukum yang belum ada
peraturan hukumnya (aspek res cottidiane).49
Selain peranan hakim bersifat legalistik, hakim juga memiliki Peranan yang
bersifat intuitif pengadilan. Bersamaan dengan peranan Hakim bersifat legalistic
tersebut, penerapan Hukum Pembuktian telah membebani profesi Hakim untuk
melakukan fungsi penegakan hukum itu dengan mendasari semua putusannya
sengan 3 (tiga) unsur pertimbangan intuitif pengadilan, yakni:
1.
2.
3.
49
Unsur kepastian hukum (rechtssicherkeit) yang member jaminan
bahwa hukum itu dijalankan sehinga yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan seperti itu juga dapat
diterapkan untuk jenis perkara yang sama
Unsur kemanfaatan (zweckmassigkeit), bahwa isi putusan itu tidak
hanya bermanfaat bagi pihak berpekara tetapi juga bagi masyarakat
luas. Masyarakat berkepentingan atas putusan hakim itu karena
masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam
masyarakat
Unsur keadilan (gerechtigkeit), yang memberi keadilan bagi pihak
yang bersangkutan; kalaupun pihak lawan menilainya tidak adil
masyarakat harus dapat menerimanya sebagai adil. Asas hukum yang
berbunyi: lex dura sed tamen scripta , mengartikan hukum itu kejam
tetapi begitulah bunyinya. Dalam hal terjadi konflik antar keadilan dan
kepastian hukum serta kemanfaatan, unsur keadilanlah yang
seharusnya didahulukan. 50
H.P. Panggabean, 2012, Hukum Pembuktian (Teori Paktik dan Yurisprudensi Indonesia),
Alumni, Bandung, hal. 124
50
Ibid., hal. 127.
34
Hakim juga memiliki peranan penerap hukum pembuktian. Hukum Acara
Pidana mengatur hubungan antara Negara dengan perseorangan yang didalamnya
menghendaki kepentingan untuk mempertahankan ketertiban umum. Berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang bersifat hukum privat, maka terdapat perbedaan
dalam sistem pembuktian, urutan dan kekuatan alat-alat bukti. Dalam acara
pembuktian Hakim Pidana memiliki kebebasan dalam rangka mencari kebenaran
materiil, yang menurut KUHAP kebenaran materiil tersebut melalui tahap
penyidikan,
penuntutan,
pemeriksaan
di
persidangan
dan
pelaksanaan,
pengamatan serta pengawasan. Martiman Prodjoha midjojo berpendapat bahwa
acara pembuktian tersebut hanyalah merupakan salah satu faset dari hukum acara
pidana secara keseluruhan. 51
Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa
tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa
sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang
didakwakan. Memang benar, hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman
pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undang-undang
memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman
"minimum" dan "maksimum" yang diancamkan dalam pasal pidana yang
bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun
demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, harus didasarkan
pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Terserah
pada penilaiannya seberapa beratkah hukuman pidana yang pantas dijatuhkan
51
Ibd., hal. 128
35
kepada terdakwa sesuai dengan berat ringannya kesalahan terdakwa dalam
perbuatan tindak pidana yang dilakukannya. Sebagaimana yang dapat dilihat
dalam berbagai putusan Mahkamah Agung, antara lain dalam putusan tanggal 17
Januari 1983 No. 553 K/Pid/ 1982, yang menegaskan bahwa "mengenai ukuran
hukuman adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali
apabila judex factie menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh undang-undang,
atau kurang memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan
meringankan hukuman.
Untuk melihat status terdakwa yang dapat diperintahkan pengadilan
berbarengan dengan saat putusan diucapkan, berpedoman kepada Pasal 193 ayat
(2). Dari ketentuan ayat (2) ini, ada berbagai status yang dapat diperintahkan
pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan putusan pidana.
G.
Alat Bukti
Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP, terdiri dari :
a.
Keterangan saksi
Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah
"orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri".
Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti telah diatur dalam Pasal
185 ayat (1) KUHAP ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
36
Sedangkan pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27
KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu".
Kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut dengan
"testimonium de auditu " bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula
pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan
merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).
Pasal 1 butir 27 KUHAP apabila dikaitkan dengan Pasal 135 ayat (1)
KUHAP da pat diketahui sebagai berikut :
a.
b.
c.
52
Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri
dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat
dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan
yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau
pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak
dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan
semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian.
Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai
hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai
sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa
keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain,
keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat
bukti.
Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan
merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu setiap keterangan
saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus
dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna
pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai
alat bukti. 52
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 266.
37
Menjadi saksi adalah suatu kewajiban setiap orang namun demikian
Pasal 168 KUHAP menentukan siapa-siapa yang tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat minta mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu
apabila :
a.
b.
c.
Mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Saudara terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga.
Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau
bersamasama sebagai terdakwa.
Nilai kekuatan pembuktian yang melihat pada alat bukti keterangan
saksi :
a.
Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
Pada alat bukti kesaksian tidak melekat pembuktian yang sempurna
(volledig bewijs kracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat
kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (besliessende
bewijs kracht). Tegasnya alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang
sah mempunyai nilai pembuktian bebas. Oleh karena itu alat bukti
kesaksian sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan juga tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan
alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang
bersifat bebas dan tidak sempurna serta tidak menentukan atau tidak
mengikat.
b.
Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Alat
bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempur na dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk
menilai kesempurnaan dan kebenarannya tergantung pada penilaian
hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada
keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap saksi. Hakim
38
bebas untuk menilai kekuatan dan kebenaran yang melekat pada
keterangan itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya. 53
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diberikan dalam
persidangan dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu :54
a.
Keterangan yang diberikan “tanpa sumpah”
Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:
1)
Karena saksi menolak bersumpah
Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena saksi
menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji, bukan
merupakan alat bukt i.Pasal 161 ayat (2) KUHAP menilai
kekuatan pembuktian keterangan tersebut “dapat menguatkan
keyakinan hakim” apabila pembuktian yang telah ada telah
memenuhi batas minimum pembuktian.
2)
Keterangan yang diberikan tanpa sumpah
Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161
KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam
pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata “tidak
dapat
dihadirkan”
dalam
pemeriksaan
di
sidang
pengadilan.Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara
penyidikan dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal ini
undang-undang tidak meyebut secara tegas nilai pembuktian
53
M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 273-274.
Yahya Harahap, op. cit. , hal. 291-295
54
39
yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang dibacakan di
sidang pegadilan.
3)
Karena hubungan kekeluargaan
Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu
dengan terdakwa tidak dapat memberi keterangan dengan
sumpah.
4)
Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa
meskipun kadang-kadang
baik
kembali,
boleh
diperiksa
memberi keterangan tanpa sumpah di sidang pengadilan. Nilai
keterangan mereka dinilai bukan merupakan alat bukti yang
sah.Penjelasan Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai
pembuktian yang melekat pada keterangan itu dapat dipakai
sebagai petunjuk.
b.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah
a)
Mempunyai kekuatan pembuktian bebas
Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah
bersifat
bebas
dan
“tidak
sempurna”
dan
tidak
“menentukan” atau “tidak mengikat”.
b)
Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian
hakim
40
Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menarima
kebenaran setiap keterangan saksi.
b.
Keterangan ahli
Pengertian umum dari keterangan ahli tercantum dalam Pasal 1 butir
28 KUHAP, yang berbunyi :
"Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan Pemeriksaan"
Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah dari seorang ahli
nyatakan dalam sidang pengadilan. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP
disebutkan :
"Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu
bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada
waktu pemeriksaan, maka di sidang diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan
tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di
hadapan hakim".
Keterangan ahli diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji
di hadapan hakim dan juga keterangan ahli itu diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, baik itu
pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik maupun pemeriksaan yang
dilakukan di pengadilan.
41
Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai
kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai pembuktian
yang melekat pada alat bukti keterangan ahli.
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan
ahli :
1)
2)
c.
Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas ( Vrij Bewijs
Kracht) Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah pada
penilaian hukum. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk
menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.
Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP. Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa
didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak Cukup dan
tidak memadai dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan, seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan kesalahan, terdakwa. Oleh
karena itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup
membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai oleh alat bukti
lain. 55
Surat
Pasal 187 KUHAP memberikan pengertian alat bukti surat sebagai
berikut :
Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah;
1)
55
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialami sendiri disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
Ibid., hal. 283-284
42
2)
3)
4)
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu ha l keadaan;
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan
yang secara resmi daripadanya;
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain".
Surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang
dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan
atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang
diadili.
Syarat mutlak dalam menentukan suatu surat dikategorikan sebagai
suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Nilai kekuatan pembuktian
surat.
1)
Ditinjau dari segi fomil
Ditinjau dari segi formil, alat bukti surat yang disebut Pasal 187
huruf a,b dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Sebab
bentuk-bentuk surat yang disebut di dalamnya dibuat secara
resmi menurut formalitas yang ditentukan perundang-undangan.
Dengan dipenuhinya ketentuan formil dalam pembuatannya dan
dibuat berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang
berwenang serta keterangan yang terkandung dalam surat tadi
dibuat atas sumpah jabatan, maka jika dari segi formil alat bukti
surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c
KUHAP adalah alat bukti yang bernilai sempurna. Oleh karena
itu alat bukti surat resmi mempunyai nilai "pembuktian formil
yang sempurna".
2)
Ditinjau dari segi materiil
Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut dalam
Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan
mengikat. Pada alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan
pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat
bukti surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan
43
pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli,
sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat
bebas. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formil alat bukti
surat yang disebut Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP, sifat
kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya
mengadung nilai kekuatan pe mbuktian yang mengikat. Hakim
bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat saja
menggunakan atau menyingkirkannya.56
Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa, ditinjau
dari segi formil, alat bukti surat yang disebut Pasal 187 huruf a,b dan c
KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk-bentuk surat
yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang
ditentukan
perundang-undangan.
Misalnya
dalam
kasus-kasus
pemalsuan surat asli tapi palsu. Biasanya surat surat tersebut dari segi
prosedurnya memang memenuhi peraturan perundang-undangan,
namun dari segi isilah yang dilakukan pemalsuan, sehingga hakim
perlu untuk menggali secara materil suatu alat bukti surat. Hal ini
karena ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut dalam
Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan
mengikat. Pada alat bukti surat secara materil tidak melekat kekuatan
pembuktian yang mengikat, hakim harus cermat membuktikan
informasi yang ada di dalam surat tersebut.
56
M Yahya Harahap, Op cit., hal.. 288-289.
44
d.
Petunjuk
Alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam pasal 188 KUHAP yang
terdiri dari ayat (1), (2), dan (3). Dalam ayat (1) yang diartikan dengan
petunjuk adalah :
"Petunjuk ialah pe rbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya".
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk hanyalah dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Syaratsyarat untuk dapat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti haruslah :
1)
2)
3)
Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang
terjadi;
Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu lama lain
dengan kejahatan yang terjadi;
Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa
maupun saksi di persidangan. 57
Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP bahwa penilaian atas
kekuatan pembuktian dan suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilaksanakan oleh hakim dengan arif dan bijaksana. Setelah hakim
melakukan pemeriksaan dengan cermat dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
Alat bukti petunjuk mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas
yakni :
57
Andi Hamzah , 2002, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 263.
45
1)
2)
e.
Hakim tidak terikat pada kebenaran persesuaian yang
diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas
menilainya dan menggunakannya sebagai upaya pembuktian.
Petunjuk sebagai alat bukti tidak Bisa berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar
petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup,
harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang
lain. 58
Keterangan terdakwa
Alat bukti terdakwa didapati pada urutan terakhir dari alat-alat bukti
yang ada dan uraiannya terdapat pada Pasal 189 ayat (1) KUHAP
dinyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri. Di dalam HIR, alat bukti ini disebut dengan istilah pengakuan
terdakwa, dalam KUHAP disebut dengan istilah keterangan terdakwa.
Andi Hamzah59 berpendapat bahwa, keterangan terdakwa sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan
terdakwa hendaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan
ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan.
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan karena
pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat :
1)
2)
58
Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan;
Mengaku ia bersalah. 60
M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 296
Andi Hamzah, Op cit., hal. 273.
60
Ibid., hal. 273.
59
46
Pada pengakuan terasa mengandung suatu pernyataan tentang sesuatu
yang dilakukan seseorang sedangkan pada keterangan pengertiannya lebih
bersifat suatu penjelasan akan sesuatu yang akan dilakukan seseorang.
Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang dengan diperlukan beberapa alat sebagai landasan
berpijak, antara lain :
1)
2)
3)
4)
61
Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.
Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau
ia alami sendiri. Sebagai asas kedua ini, agar keterangan
terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus
memuat pernyataan atau penjelasan tentang :
a)
Perbuatan yang dilakukan terdakwa;
b)
Apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa;
c)
Atau apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya
sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan :"keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri".
Semua yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang
kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai
alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara
pidana terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing-masing
keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang
mengikat pada diri sendiri.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan
kesalahannya. Pasal 189 ayat (40) KUHP berbunyi : "keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Ketentuan
tadi merupakan penegasan prinsip batas minimum pembuktian
yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP
menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana
terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 61
M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 299-300.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,
yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat
sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang
ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas anatara sistem hukum dengan
sistem lainya.62 Pendekatan ini dipilih untuk menjawab pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan akibat dari putusan pemidanaan
terhadap tindak pidana persetubuhan anak di bawah umur pada Putusan Nomor
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt secara kaidah normatif hukum acara pidana.
B.
Spesifikasi Penelitian
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan
hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian Preskripsi. Spesifikasi
penelitian ini adalah Preskripsi, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan
obyek yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut
oleh Peter Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya. 63 Dalam hal ini peneliti
mencoba menguraikan, mengungkap dan mengkaji pertimbangan hakim dalam
62
JhonnyIbrahim, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Cetakan Ketiga, Banyumedia Publishing.
63
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum , Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,
hal 91 .
48
menjatuhkan putusan pemidanaan dan akibat dari putusan pemidanaan terhadap
tindak pidana persetubuhan anak di bawah umur pada Putusan Nomor
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt.
C.
Sumber Data
Penelitian yang dilakukan ini adalah merupakan penelitian yuridis normatif,
maka sumber data yang digunakan yaitu data sekunder data utama dan data primer
sebagai penunjang data sekunder.Data sekunder adalah data yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.64 Data sekunder merupakan data
pokok dalam penelitian ini yang bersumber dari studi pustaka berupa peraturan
perundang-undangan, buku literatur, dokumen-dokumen atau arsip -arsip yang
ada kaitannya dengan masalah penelitian.Data sekunder di bidang hukum dapat
dibedakan menjadi:
1.
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu
diperoleh melalui peraturan perundang-undangan serta dokumendokumen resmi lain yang sesuai dengan pokok masalah penelitian
yang diajukan. 65 Bahan hukum primer yang digunakan antara lain
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
64
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.13.
65
Peter Mahmud Marzuki,Op cit., hal. 141
49
2.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang bersumber
langsung dari kepustakaan, doktrin maupun referensi ilmiah yang
relevan dengan penelitian atau bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap/ mengenai bahan hukum primer. 66 Dalam
penelitian ini penulis mencoba mengumpulkan bahan-bahan hukum
sekunder yang terkait berdasarkan atas tema penelitian yaitu tindak
pidana persetubuhan anak, Perlindungan Anak, Sistem Peradilan Anak
dan proses-proses acara pidana.
D.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian,
kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh.
E.
Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara
sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan
satu dengan lainya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh.
66
Ibid., hal. 142.
50
F.
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif
kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh
berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teori-teori, pengertian-pengertian
hukum dan doktrin-doktrin yang ter dapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam
Hukum Pidana.
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
1.
Duduk Perkara
Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI pada hari Senin, tanggal
01 Agustus 2011 sekitar Pukul: 04.00. WIB, tanggal 15 Agustus 2011,
tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus
2011, tanggal 23 Agustus 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain di
bulan Agustus 2011, bertempat di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan,
RT.05, RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas atau
setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk daerah hokum
Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini, melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan
demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannva atau dengan orang lain.
Saksi korban GITA LUSIANA lahir tanggal 13 Mei 1997, Umur 14
Tahun, Sekolah di Pondok Pesantren Al Asyriah Nurul Iman Bogor, saat
libur menjelang puasa sekitar bulan Agustus 2011 pulang ke rumah
orangtuanya di Desa Dawuhan Wetan RT.05. RW.03, Kecamatan
Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, karena ibunya sedang bekerja
sebagai TKW di Hongkong sehingga saksi korban GITA LUSIANA hanya
52
tinggal bersama Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI selaku ayah
tiri.
Pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar Jam.04.00. WIB sehabis makan
sahur Terdakwa tidur di kamar Terdakwa, kemudian saksi korban GITA
LUSIANA masuk ke kamar Terdakwa dan tidur di sebelah Terdakwa
sambil menumpangkan kakinya ke paha Terdakwa, karena Terdakwa sudah
lama tidak pernah berhubungan dengan isterinya sehingga Terdakwa
menciumi bibir dan leher serta meremas-remas payudara saksi kor ban GITA
LUSIANA, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang lalu membuka
pakaian saksi korban GITA LUSIANA hingga telanjang bulat, selanjutnya
Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang, lalu Terdakwa
menjilati puting payudara GITA LUSIANA dan membujuk GITA
LUSIANA "kalau mau disetubuhi nanti akan dibelikan baju baru, yang
sudah tegang kedalam kemaluan saksi korban GITA LUSIANA lalu
digoyang-goyangkan dengan posisi saksi korban dibawah dan Terdakwa
hingga Terdakwa mengeluarkan sperma.
Sesuai Visum Et Repertum No. Pol: R/20/X/2011, tanggal 24 Oktober
2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI,
dokter pada Poliklinik Urdokes Polies Banyumas setelah melakukan
pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GITA LUSIANA, Umur
14 Tahun, Pelajar, alamat Desa Dawuhan Wetan, RT.05, RW.03,
Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas dari hasil pemeriksaan
Mulut alat kelamin tidak ada kelainan, Selaput dara: ditemukan luka robek
53
lama total (habis), Liang senggama (vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher
rahim (cervik): tidak ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari diatas
sympisis pubis, lain-lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT, tanggal 15 Juli
2011,
pemeriksaan
Laboratorium:
dilakukan
test
urine
dengan
menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif
dengan umur kehamilan kurang lebih 15 Minggu, perbuatan Terdakwa
akhirnya dilaporkan oleh saksi TARSIWAN ke pihak yang berwajib untuk
diproses sesuai hukum yang berlaku.
2.
Bentuk Dakwaan
Jenis dakwaannya adalah alternatif dengan dakwaan sebagai berikut :
a.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Jo Pasal 64 ayat ,1 KUHP ;
b.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP
3.
Pembuktian
a.
Keterangan Saksi
Saksi GITA LUSIANA
Saksi memberikan keterangan bahwa saksi kenal dengan
Terdakwa karena Terdakwa adalah ayah tirinya.Saksi tinggal
bersama Terdakwa sejak berumur 7 (tujuh) Tahun. Saksi tinggal di
54
rumah hanya berdua dengan Terdakwa sedang ibu saksi kerja di
Hongkong sudah 4 (empat) Tahun sebagai TKI. Sebelum kejadian
saksi sekolah di Pondok Pesantren Al Asyriah Nurul Iman Bogor,
karena libur bulan puasa sehingga saksi pulang ke rumah milik
ibunya di Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan
Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas. Terdakwa melakukan
hubungan suami isteri dengan saksi yang pertama di ruang tamu,
tanggal 1 Agustus 2011, yang kedua di kamar Terdakwa tanggal 15
Agustus 2011, yang ketiga di kamar Terdakwa, tanggal 19 Agustus
2011, yang keempat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa,
yang kelima tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, yang
keenam di kamar Terdakwa, sedangkan yang ke 7, 8 dan 9
dilakukan di Lampung. Saksi pulang ke rumah 1 (satu) Tahun
sekali setiap bulan puasa. Rumah yang ditempati oleh Terdakwa
berhubungan dengan rumah kakek saksi yang bernama DALDIRI.
Sebelum saksi sekolah di Pondok Pesatren di Bogor, saksi tinggal
1 (satu) rumah dengan Terdakwa ;
Di sekolah, saksi tidak mempunyai pacar dan saksi pertama
kali haid sejak Kelas 5 SD. Setelah kejadian setiap buang air,
kemaluan saksi terasa perihdan celana dalam berdarah. Sebelum
melakukan hubunga n, saksi dijanjikan akan dibelikan baju baru
buat lebaran dan akan dituruti setiap apa yang saksi minta.
Awalnya Terdakwa menciumi pipi saksi berkali-kali lalu Terdakwa
55
membuka baju yang dikenakan saksi dan meraba payudara saksi
serta
meraba-raba
kemaluan
saksi
selanjutnya
Terdakwa
menggesek-gesekkan alat kelaminnya yang sudah tegang lalu
dimasukkan kedalam kemaluan saksi. Terdakwa mengeluarkan
spermanya didalam kemaluan saksi. Pada saat kejadian tidak ada
orang yang mengetahuinya karena korban hanya tinggal berdua
dengan ayah tirinya saja . Akibat dari perbuatan Terdakwa,
kemaluan saksi terasa sakit dan sekarang dirinya mengalami
kehamilan.Kehamilan saksi berusaha digugurkan oleh Terdakwa di
Lampung dengan cara dipijatkan ke seseorang lalu disuruh
merninum jamu oleh Terdakwa. Atas keterangan saksi tersebut
Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan .
Saksi TARSIWAN Bin SUMARNO
Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan bersedia
memberikan keterangan. Saksi adalah Orangtua GITA LUSIANA.
Saksi sudah bercerai dengan ibunya GITA LUSIANA sudah
sekitar 14 (empat belas) Tahunan dan hanya dikaruniai 1 (satu)
Orang anak yaitu GITA LUSIANA. Saksi sekarang sudah kawin
lagi dan semenjak cerai, GITA LUSIANA ikut dengan ibunya.
Benar anaknya yang bernama GITA LUSIANA telah
dihamili oleh ayah tirinya.Ibunya GITA LUSIANA saat ini sedang
berada di Luar sebagai TKW dan korban tinggal bersama
56
Terdakwa sajak umur 7 (tujuh) Tahun.Saksi mengetahui Terdakwa
telah menyetubuhi GITA dari pengakuan Terdakwa ketika saksi
berada di Lampung untuk menjemput GITA yang dibawa ke
Lampung oleh Terdakwa.
Awalnya pada bulan September 2011 Terdakwa pamit
kepada saksi kalau hendak kerja di Tangerang dan sekalian
mengantarkan GITA ke Pondok Pesantren di Bogor dimana GITA
bersekolah. Setelah 5 (lima) hari ternyata Terdakwa tidak memberi
kabar kepada saksi, sudah sampai tujuan atau belum. Selanjutnya
saksi mengecek kepada teman G1TA yang sama -sama sekolah 1
(satu) Pondok dan temyata GITA belum kembali ke Pondok.
Kemudian saksi berusaha mencari informasi dan juga tanya kepada
orang pintar dan dari ikhtiar tersebut saksi memperoleh petunjuk
kalau GITA dibawa oleh Terdakwa ke Lampung.
Setelah musyawarah bersama keluarga dengan mengajak
Sdr. KODRI (keponakan saksi) selanjutnya pada hari Selasa,
tanggal 20 September 2011 bersama-sama berangkat ke Lampung
dan pada tanggal 22 September 2011 saksi sampai di Lampung
langsung menuju rumah adik Terdakwa yang bernama BUDI.
Selanjutnya saksi diajak untuk menemui Terdakwa dan GITA di
rumah Paman Terdakw a. Setelah ketemu dengan terdakwa, saksi
tanya ada masalah apa kok GITA tidak diantar ke Pondok malah
diajak ke Lampung, kemudian Terdakwa menjawab "saya bersalah,
57
minta maaf karena GITA telah berhubungan intim dengan saya
(Terdakwa)".
Setelah mendengar pengakuan Terdakwa tersebut lalu saksi
membawa GITA LUSIANA pulang. 2 (dua) hari kemudian setelah
sampai di rumah, saksi memeriksakan GITA ke Bidan dan dari
hasil pemeriksaan tersebut, benar GITA sudah hamil dan jalan 3
(tiga)
Bulan.
Atas
keterangan
saksi
tersebut
Terdakwa
membenarkan dan menyatakan tidak keberatan .
Saksi KODRI Bin PADOLI
Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Saksi
adalah paman dari GITA LUSIANA. Saksi tahu sehubungan
dengan GITA telah hamil dan menghamili adalah ayah tirinya
yaitu Terdakwa MUHAJIR RASYID. Saksi tahu kalau GITA
hamil setelah pulang dari Lampung.
Saksi dengan Terdakwa, tetangga 1 (satu) RT. Awalnya
Neneknya GITA cerita kepada saksi kalau GITA dittawa oleh
Terdakwa untuk diantar ke Pondok Pesantren Nurul Iman di Bogor
dan ternyata setelah di cek, GITA belum masuk juga ke Pesantren.
Kemudian saksi dimintai tolong untuk menjemput GITA di
Lampung bersama Kakeknya GITA yang bernama DALDIRI ;
Selanjutnya saksi dan Sdr. DALDIRI berangkat ke
Lampung pada tanggal 20 September 2011 dan sampai di
58
Lampung tanggal 22 September 2011 langsung menuju rumah
adiknya Terdakwa yang bernama BUDI ternyata Terdakwa dan
GITA tidak ada ditempat. Kemudian kakeknya GITA diantar oleh
Sdr. BUDI ke Wijaha ternyata GITA tinggal bersama Terdakwa di
Wijaha.
Kemudian pada tanggal 22 September 2011 GITA diajak
pulang. Baru setelah sampai di rumah saksi, baru tahu kalau GITA
telah hamil dan ternyata Terdakwa yang menghamilinya. Atas
keterangan saksi tersebut Terdakwa membenarkan dan menyatakan
tidak keberatan.
Saksi ANGGUN YUDI NUGROHO
Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Saksi telah
menerima laporan dari TARSIWAN kalau anak kandungnya yaitu
GITA LUSIANA di hamili oleh Terdakwa MUHAJIR RASYID
yang merupakan ayah tirinya. Kemudian saksi melakukan
penyelidikan dan setelah lapor ke atasan, saksi diperintahkan untuk
berangkat ke Lampung untuk mencari keberadaan Terdakwa.
Korban GITA LUSIANA masih berumur 14 (empat belas)
Tahun dan selanjutnya korban lalu saksi ajak ke Polres Banyumas
untuk diperiksakan kedokter. Kemudian saksi pada tanggal 27
Oktober 2011 menuju ke untuk meneari keberadaan MUHAJIR di
Jalan Raya Desa Gisting, setelah lalu Terdakwa saksi tangkap
59
untuk
dibawa
ke
Purwokerto.
Dalam
perjalanan
Purwokerto Terdakwa telah mengakui menyetubuhi
menuju
GITA
LUSIANA berulang kali sehingga GITA hamil. Pengakuan
Terdakwa, GITA mau diajak bersetubuh oleh Terdakwa karena
sebelumnya Terdakwa membujuk GITA dengan janji akan
dibelikan baju baru dan akan menuruti apa yang diminta.
b.
Surat
Berdasarkan Visum Et Repertum No. Pol: R/20/X/2011, tanggal
24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI
SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes Polies Banyumas
setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama
GITA LUSIANA, Umur 14 Tahun, Pelajar, alamat Desa Dawuhan
Wetan, RT.05, RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten
Banyumas dari hasil pemeriksaan Mulut alat kelamin tidak ada
kelainan, Selaput dara: ditemukan luka robek lama total (habis), Liang
senggama (vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher rahim (cervik):
tidak ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari diatas sympisis
pubis, lain-lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT, tanggal 15 Juli
2011, pemeriksaan Laboratorium: dilakukan test urine dengan
menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil
positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 Minggu. Dari
pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap perempuan tersebut diatas
60
ditemukan luka robek lama pada hymen (selaput dara) total (habis),
yang diakibatkan oleh karena kekerasan benda tumpul dan yang
bersangkutan dalam keadaan hamil.
c.
Keterangan Terdakwa
Terdakwa mengerti dan paham dengan dakwaan Penuntut
Umum. Dalam perkara ini Terdakwa tidak bersedia didampingi oleh
Penasihat Hukum. Terdakwa pernah dimintai keterangan di depan
Penyidik dan keterangan yang Terdakwa berikan tersebut sudah benar
semuanya. Terdakwa mengerti dihadapkan ke persidangan karena
telah menggauli tirinya yaitu bernama GITA LUSIANA. Kejadian
pertama pada awal bulan puasa yaitu pada hari Senin, tanggal 1
Agustus 2011 selesai makan sahur, setelah beres-beres Terdakwa
mengatakan kepada GITA, GIT saya mau tidur dulu lalu Terdakwa
masuk ke kamar, kemudian GITA menyusul masuk ke kamar
Terdakwa dan Terdakwa kemudian lalu menerangkan dirinya telah
menyetubuhi anak tirinya sendiri yang bernama GITA LUSIANA
yang akrab dipanggil GITA. Terdakwa telah menyetubuhi korban
sebanyak 9 (sembilan) kali, yang 6 (enam) kali dilakukan dirumahnya
yang beralamatkan di Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03,
Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas dan yang sebanyak
3 (tiga) kali Terdakwa lakukan di Lampung pada hari dan tanggal
lupa, tetapi pada bulan Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi pertama
61
kali pada tanggal 17 Agutus 2011 dilakukan di kamar Terdakwa
dengan cara Terdakwa menc iumi, menjilati payudara, memegang
kemaluan korban lalu Terdakwa melepas pakaian GITA dan
pakaiannya sendiri hingga telanjang bulat, lalu alat kelamin Terdakwa
dimasukkan kedalam kemaluan GITA dengan posisi GITA dibawah
dan Terdakwa diatas dan mengeluarkan sperma didalam kemaluan
GITA.
Kemudian kejadian yang ke-2 pada tanggal 5 Agustus 2011,
GITA masuk ke kamar Terdakwa, Terdakwa menciumi bibir GITA
dan GITA membalasnya lalu GITA membuka celana dan Terdakwa
juga membuka celananya selanjutnya Terdakwa memasukkan alat
kelaminnya kedalam kemaluan GITA. Kejadian ke-3 pada tanggal 12
Agustus 2011 di kamar Terdakwa dilakukan selesai makan sahur,
kemudian Terdakwa tidur lalu GITA mauk ke kamar sedang pegang
Hand Phone, setelah Terdakwa akan pinjam Hand Phone milik G1TA,
GITA tidak memperbolehkan kemudian Terdakwa mengajak GITA
untuk melakukan hubungan suami isteri lagi. Kejadian ke-4 pada
tanggal 20 Agustus 2011, kejadiannya di kamar Terdakwa. Kejadian
yang ke-5 yaitu pada tanggal 28 Agustus 2011 dilakukan di kamar
Terdakwa, kejadian ke-6 pada waktu setelah lebaran hari ke-4,
Jam.11.00. WIB saat Terdakwa baru menonton televisi lalu GITA
tiduran di dekat Terdakwa kemudian Terdakwa memasukkan alat
62
kelaminnya kedalam kemaluan GITA. Kejadian ke -7, 8 dan ke 9,
Terdakwa melakukan persetubuhan dengan GITA di Lampung.
Terdakwa mengetahui kalau GITA hamil pada saat melakukan
hubungan yang ke-4, GITA mengatakan kalau dirinya terlambat
bulan. Terdakwa kawin dengan ibunya GITA sudah sekitar 8
(delapan) Tahunan.
Terdakwa kawin dengan ibunya GITA tetapi
belum dikaruniai anak. Terdakwa mengetahui kalau GITA LUSIANA
masih anak-anak. Terdakwa tahu kalau berhubungan kelamin itu bisa
menimbulkan kehamilan.
Terdakwa tahu kalau GITA LUSIANA masih berumur 14
(empat belas) Tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah tangga,
tetapi,Terdakwa masih tetap menyetubuhi GITA karena didorong oleh
nafsu melihat tubuh korban dan juga dikarenakan Terdakwa sudah
lama tidak mendapatkan nafkah bathin dari isterinya yang sedang
bekerja di Luar negeri sebagai TKI di Hongkong.
Terdakwa sebelum menyetubuhi GITA mengatakan apabila
sampai hamil bapak siap untuk ,bertanggung jawab dengan menikahi
lalu kemudian GITA akhirnya bersedia disetubuhi oleh Terdakwa.
Akibat dari perbuatan Terdakwa tersebut GITA merasakan sakit pada
kemaluannya dan mengalami kehamilan yang sudah berumur 3 (tiga)
Bulan.
d.
Barang Bukti
63
Barang bukti yang didapatkan Penuntut Umum dari hasil
penyidikan guna kepentingan pembuktian di persidangan antara lain :
1)
1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang ;
2)
1 (satu) buah rok warna hitam
Barang bukti tersebut telah disita secara sah menurut hokum
oleh karenanya dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian.
Majelis Hakim telah pula memperlihatkan barang bukti tersebut baik
kepada para saksi maupun kepada Terdakwa, dimana mereka telah
membenarkannya. Oleh karena itu berdasarkan Ketentuan Pasal 181
Jo Pasal 184 (1) d Jo Pasal 188 (1) (2) KUHAP merupakan alat bukti
yang sah.
4.
Tuntutan
Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana yang pada
pokoknya Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang
memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
1)
Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana "dengan sengaja membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut"
sebagaimana dalam dakwaan kesatu Jaksa Penuntut
Umum ;
2)
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut diatas
64
dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) Tahun
dikurangi selama Terdakwa berada dalam taha nan dengan
perintah Terdakwa tetap ditahan, dan denda sebesar Rp
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam)
Bulan kurungan ;
3)
Menyatakan Barang Bukti berupa :
-
1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang
;
-
1 (satu) buah rok warna hitam ;
Dikembalikan kepada GITA LUSIANA ;
4)
Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp
2.500,- (Dua ribu ratus rupiah) .
5.
Putusan
a.
Pertimbangan Hakim
Dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif maka
Majelis Hakim akan mempertimbangkan salah satu dari dakwaan
tersebut yang unsur -unsurnya dipandang sesuai dengan fakta-fakta
yang terungkap dipersidangan yaitu dakwaan Kesatu: Pasal 81 ayat 2
UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64
ayat (1) KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut :
1)
Unsur Barang siapa;
2)
Unsur Dengan sengaja;
65
3)
Unsur Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak;
4)
Unsur Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain;
5)
Unsur Melakukan beberapa perbuatan perhubungan,
sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu
perbuatan yang diteruskan;
Ad.1. Unsur Barang siapa ;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa
adalah setiap orang selaku subyek hukum yang diduga atau
disangka telah melakukan perbuatan yang dapat di hukum atas
perbuatannya dan orang tersebut harus mampu bertanggung
jawab atas perbuatannya ;
Dalam hukum pidana rumusan kata barang siapa atau
setiap orang adalah menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa
setiap subyek hukum melekat erat kemampuan bertanggung
jawab yaitu hal- hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan
orang yang telah melakukan sesuatu yang tegas dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh UndangUndang yang dapat
dihukum, sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk
dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab
atas perbuatannya ;
66
Memperhatikan pengertian tersebut diatas dihubungkan
dengan
fakta-fakta
berdasarkan
yang
keterangan
terungkap
saksi-saksi
dalam
dan
persidangan,
Terdakwa
telah
membenarkan identitasnya, dan selama persidangan Terdakwa
MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI mampu bertanggung jawab
secara hukum dan dalam diri ditemukan alasan yang dapat
rnenghapus
pertanggung
jawaban
pidana.
Maka
dengan
demikian unsur ke satu terpenuhi.
Ad.2. Unsur Dengan sengaja ;
Makna `sengaja' tidak dapat lepas dari niat yang hanya ada
dalam sikap batin pelaku, namun demikian sikap batin tersebut
dapat diketahui dari formulasi perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tidak memberikan rumusan pengertian tentang "dengan
sengaja" , oleh karena itu Majelis Hakim akan berpedoman pada
pengertian dengan sengaja yang terdapat dalam Memori van
Teolichting.
Kata dengan sengaja atau kesengajaan atau dolus atau
opzet dalam memori van Teolicting adalah mengandung makna
"willens en weten " yang artinya bahwa seseorang yang
melakukan
sesuatu
perbuatan
dengan
sengaja
harus
67
menghendaki (willen) dari perbuatan itu, serta harus menginsafi
(weten) akan akibat dari perbuatannya tersebut.
Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang
berkaitan erat dengan keadaan batin pelaku, yang hanya dapat
diketahui dari rangkaian perbuatannya. Menurut doktrin hukum
pidana untuk menetapkan suatu perbuatan dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja dikenal dengan 3 (tiga) teori, yaitu :
1)
Teori kehendak adalah apabila perbuatan tersebut
dikehendaki oleh pelaku, tidak dipersoalkan apakah
pelaku mengetahui atau tidak bahwa perbuatan
tersebut dilakukan akan menimbulkan akibat yang
dilarang ;
2)
Teori pengetahuan yaitu bahwa perbuatan tertentu
dikatakan
sengaja
apabila
perbuatan
tersebut
diketahui oleh pelaku yang jika perbuatan itu
dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang
oleh hukum pidana ;
3)
Teori gabungan yaitu gabungan dari kedua teori di
atas, suatu perbuat dikatakan disengaja apabila
perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki pelaku
;
Menurut doktrin Hukum pidana Modern kesengajaan dik
dengan tiga gradasi, dan dipergunakan untuk menentukan
68
hubungan kausal antara kelakuari / perbuatan dengan akibat
yang dilarang hukum pidana, yaitu :
1)
Kesengajaa n sebagai maksud (opzet als oogmerk ),
berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu
adalah betul-betul sebagai perwujudan dan dari
maksud atau tujuan dan pengetahuan pelaku ;
2)
Kesengajaan sebagai kesadaran pasti (kepastian)
atau keharusan (opzet bij zekerheids bewustzijn),
berarti untuk mencapai maksud yang sebenarnya
Terdakwa harus melakukan perbuatan yang dilarang
;
3)
Kesengajaan
dengan
(voorwaardelijkopzet),
menyadari
yang
kemungkinan
menjadi
standar
kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan
dan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat
terlarang ;
Berdasarran fakta-fakta dipersidangan terungkap bahwa
pada tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Puku1.04.00 WIB, tanggal
15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus
2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 dan
hari ke 4 setelah lebaran Tahun 2011 di rumah Terdakwa di
Desa
Dawuhan
Kedungbanteng,
Wetan,
Kabupaten
RT.05.
RW.03,
Banyumas,
Kecamatan
Terdakwa
telah
69
melakukan persetubuhan dengan saksi korban GITA LUSIANA
yang masih berumur 14 (empat belas) Tahun, bahwa Terdakwa
sebagai Orangtua saksi GITA LUSIANA tahu kalau perbuatan
tersebut dilarang oleh Undang-Undang serta bertentangan
dengan norma agama, dan Terdakwa sebagai Orangtua saksi
GITA LUSIANA yang seharusnya mendidik, melindungi saksi
GITA LUSIANA yang masih anak-anak, lahir tanggal 13 Mei
1997 sehingga masih berumur 14 (empat belas) Tahun, akan
tetapi Terdakwa malah menyetubuhi saksi GITA LUSIANA
sehingga jelas Terdakwa mengetahui akan perbuatan yang
dilakukannya dan Terdakwa tahu akan akibat yang timbul dari
perbuatan yang Terdakwa lakukan tersebut yaitu kehamilan
GITA LUSIANA, dengan demikian unsur kedua terpenuhi.
Ad.3. Unsur Melakukan Tipu Muslihat, Serangkaian
Kebohongan, Atau Membujuk Anak
Elemen dari unsur ini bersifat alternatif sehingga apabila
salah satu elemen dari unsur ini sudah terbukti maka unsur
inipun haruslah dinyatakan terbukti. Berdasarkan fakta-fakta
dipersidangan
yaitu
keterangan
saksi
TARSIWAN
Bin
SUMARNO selaku orangtua GITA LUSIANA dan Surat
Kelahiran, bahwa GITA LUSIANA lahir tanggal 13 Mei 1997
sehingga masih berumur 14 (emnpat belas) Tahun.
70
Berdasarkan fakta dipersidangan yaitu keterangan saksisaksi dihubungkan dengan barang bukti serta alat bukti surat,
bahwa sebelum Terdakwa melakukan persetubuhan terhadap
saksi GITA LUSIANA yang masih berumur 14 (ernpat belas)
Tahun, Terdakwa membujuk saksi GITA LUSIANA dengan
mengatakan., "Kalau mau berhubungan akan dibelikan baju baru
dan siap bertanggung jawab dengan menikahi GITA", karena
saat itu bulan puasa dan mau lebaran sehingga kata-kata tersebut
saksi GITA LUSIANA mau melakukan persetubuhan dengan
Terdakwa. Dengan demikian unsur ketiga ini terpenuhi.
Ad.4. Unsur Melakukan Persetubuhan Dengannya Atau
Dengan Orang Lain;
Pengertian persetubuhan adalah pertemuan antara alat
kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin wanita (vagina),
yaitu alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kemaluan
perempuan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, dan keterangan
Terdakwa dipersidangan serta alat bukti surat Visum Et
Repertum diketahui bahwa tanggal 01 Agustus 2011 sekitar
Pukul. 04.00 WIB , tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus
2011. tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011,
tanggal 23 Agustus 2011, di rumah Terdakwa Desa Dawuhan
Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten
71
Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan
saksi GITA LUSIANA dengan cara awalnya Terdakwa
menciumi bibir dan meremas-remas payudara GITA LUSIANA,
karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang lalu membuka
pakaian saksi GITA LUSIANA hingga telanjang, selanjutnya
Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang lalu
Terdakwa
menjilati
puting
payudara
GITA
LUSIANA
kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah
tegang kedalam kemaluan GITA LUSIANA de ngan posisi
GITA LUSIANA dibawah dan Terdakwa diatas sambil
menggoyang-goyangkan kemaluannya hingga Terdakwa puas
dan mengeluarkan sperma.
Sesuai Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X/2011, tanggal
24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.
HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes, Polres
Banyumas setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang
perempuan bernama GITA LUSIANA, Umur 14 Tahun, Pelajar,
Alamat
Desa
Dawuhan
Wetan,
RT.05.
Kecamatan
Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas ;
Hasil Pemeriksaan :
Alat kelamin dan kandungan :
Mulut alat kelamin: tidak ada kelainan, Selaput dara:
ditemukan luka robek lama total (habis), Liang Senggama
72
(vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher rahim (cervik_: tidak
ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari diatas sympisis
pubis, lain-lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT, tanggal 15
Juli 2011, pemeriksaan Laboratorium: dilakukan test urine
dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med
dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15
Minggu ;
Kesimpulan :
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap
perempuan tersebut diatas ditemukan luka robek lama
pada hymen (selaput dara) total (habis), yang diakibatkan
oleh
karena
kekerasan
benda
tumpul
dan
yang
bersangkutan dalam keadaan hamil ;
Dengan demikian unsur keempat ini terpenuhi ;
Ad.5. Unsur Melakukan Beberapa Perbuatan Perhubungan
Sehingga
Dengan
Demikian
Harus
Dipandang
Sebagai Satu Perbuatan Yang Diteruskan ;
Beberapa
perbuatan
dipandang
sebagai
perbuatan
berlanjut apabila perbuatan tersebut memenuhi syarat sebagai
berikut :
1)
Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan
;
2)
Perbuatan-perbuatan tersebut hams sama atau sama
73
macamnya ;
3)
Antara perbuatan yang satu dengan lainnya tidak
boleh terlalu lama
Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan terungkap bahwa
Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI melakukan
persetubuhan dengan GITA LUSIANA sebanyak 9 kali yaitu
persetubuhan ke 1 dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2011
malam hari dikamar Terdakwa, ke 2 tanggal 15 Agustus 2011 di
kamar Terdakwa, ke 3 tanggal 19 agustus 2011 di kamar
Terdakwa, ke 4 tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke
5 tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 6 tanggal 23
Agustus 2011 di kamar Terdakwa, sedangkan persetubuhan ke
7, 8 dan 9 Terdakwa lakukan dengan GITA LUSIANA di
Lampung pada bulan September 2011. Dengan demikian unsur
ke 5 ini terpenuhi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut semua unsur
yang terdapat dalam Pasal 81 ayat 2 UU RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, telah
terpenuhi
dan
berdasarkan
keterangan
saksi-saksi,
keterangan
Terdakwa yang didukung dengan barang bukti, Majelis Hakim
rnemperoleh kesimpulan dan berkeyakinan bahwa Terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyaki bersalah melakukan tindak pidana
seba gaimana yang didakwakan kepadanya.
74
Selanjutnya berdasarkan fakta yang, terungkap persidangan serta
keadaan diri Terdakwa didalam atau selama mengikuti persidangan
membuktikan bahwa pada diri Terdakwa tidak didapati hal-hal yang
dapat melepaskannya dari pertanggungjawaban pidana baik sebagai
alasan pemaaf maupun sebagai ,alasan pembenar sebagaimana
ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sehingga oleh karena itu, terhadap diri Terdakwa harus
dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana setimpal dengan
kesalahannya.
Sesuai
dengan
Ketentuan
Pasal
197
huruf
f
akan
dipertimbangkan unsur yang memberatkan maupun yang meringankan
;
Hal-hal yang memberatkan :
1)
Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi GITA
LUSIANA ;
2)
Perbuatan
Terdakwa
merendahkan
martabat
kaum
perempuan ;
3)
Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang harus
dilindungi ;
Hal-hal yang meringankan
1)
Terdakwa belum pernah dihukum ;
2)
Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi ;
75
3)
Terdakwa bersikap sopan dipersidangan ;
Tujuan
pemidanaan
bukanlah
semata -mata
merupakan
pembalasan melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar
Terdakwa bisa merenungkan perbuatan selanjutnya, lebih tegasnya
hukuman yang dijatuhkan bukan untuk menurunkan deraja t manusia,
akan tetapi bersifat edukatif, motifatif agar Terdakwa tidak melakukan
perbuatan tersebut lagi serta preventif agar mempunyai deterent efect
bagi masyarakat lainnya.
b.
Amar Putusan
Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, dan menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI tersebut
dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan denda sebesar
Rp 60.000.000,- (Enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, diganti dengan pidana
kurungan selama 6 (Enam) Bulan ;
B.
Pembahasan
1.
Dasar
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Pemidanaan Dan Berat Ringannya Sanksi Terhadap Tindak
Pidana
Persetubuhan
03/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
Anak
Dalam
Putusan
Nomor
:
76
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan
pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile
waarheid ) yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum.
Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui
tahapan-tahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
menentukan lebih lanjut putusan pidana yang akan diambil. Putusan pidana
oleh hakim itu sendiri didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat
dan berlaku menurut ketentuan undang-undang, dalam hal ini hukum acara
pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah
pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan senyatanya.
Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal
yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal- hal tersebut
secara logika. 67
Dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib
mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana
yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti
yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut
ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang67
Y.A. Triana Ohoiwutun, 2006, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan
Hukum dan Permasalahannya) , Dioma, Malang, hal. 10.
77
Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1). 68
Menurut R. Soesilo 69, peraturan pembuktian di dalam KUHAP adalah
mengenai :
a.
b.
c.
Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat
dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan
pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa).
Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara
bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara
penyumpahan saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa,
pemberian alasan-alasan pengetahuan pada kesaksian dan lainlain).
Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat-alat
bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya
keterangan terdakwa itu hanya merupakan bukti yang sah
apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal
189 KUHAP).
Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan
berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai
kebenaran, melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan.
Pada bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang
oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan
majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian
pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan
bahwa pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1)
huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai,
maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis
68
Waluyadi,Op cit.,hal. 100.
R.Soesilo, Op cit.,hal. 111.
69
78
hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan
hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini
dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum
pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledooi), dan akan
dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya
Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah
memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya
pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah
atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.70
Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana adalah
pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh hakim
terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil
mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh
dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti
didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan
berat ringannya sanksi terhadap tindak pidana persetubuhan anak dalam
Putusan Nomor : 03/Pid.Sus/2012/PN.Pwt di dasarkan pada kesalahan yang
terbukti di dalam persidangan. Untuk itu dalam mempertimbangkan berat
ringannya pemidanaan harus dilakukan kajian terhadap dakwaan yang
diajukan dengan fakta -fakta yang terbukti di dalam persidangan.
70
Ibid.
79
Dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif. Dalam bentuk
surat dakwaan alternatif, terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara
berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan
dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum
didapat kepastian tentang tindak pidana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Biasanya, surat dakwaan ini digunakan terhadap tindak pidana dengan
kualifikasi yang hampir sama. Misalnya, pencurian atau penadahan,
penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang
mengakibatkan kemudian, dan seterusnya.
Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdapat beberapa
lapisan, hanya satu dakwaan saja yang perlu dibuktikan tanpa harus
memerhatikan urutannya. Jika salah satu telah terbukti, maka lapisan yang
satu tidak perlu lagi dibuktikan. Surat dakwaan ini menggunakan kata
sambung ‘atau’ dalam hal mengaitkan lapisan yang satu dengan yang
lainnya.
Berdasarkan
hal
tersebut,
maka
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan salah satu dari dakwaan tersebut yang unsur-unsurnya
dipandang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yaitu
dakwaan Kesatu: Pasal 81 ayat 2 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan unsur -unsur sebagai
berikut :
1)
Unsur Barang siapa;
2)
Unsur Dengan sengaja;
3)
Unsur Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
80
membujuk anak;
4)
Unsur Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain;
5)
Unsur Melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga
dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang
diteruskan;
Pada unsur barang siapa merujuk pada setiap orang selaku
subyek hukum yang diduga atau disangka telah melakukan perbuatan
yang dapat di hukum atas perbuatannya dan orang tersebut harus
mampu bertanggung jawab atas perbuatannya.
Setiap orang mengacu pada manusia sebagai subjek hukum.
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak dan
kewajiban (subyek) di dalam hukum. Dimaksud dengan orang atau
subyek hukum, dapat diartikan sebagai manusia (naturlijkpersoon)
atau badan hukum (rechtspersoon ). Manusia (naturlijkpersoon)
sebagai subyek hokum. Pada saat sekarang ini setiap manusia manusia
dapat dikatakan sebagai pembawa hak dan kewajiban, oleh karena
berbudakan telah tidak dilakukan lagi dalam peradaban sekarang ini.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak adalah dimulai sejak ia
dilahirkan dan berahir pada saat ia meninggal. Malah jika perlu, anak
di dalam kandungan dapat dianggap telah ada asal saja kemudian ia
dilahirkan hidup.
81
Menurut Sudarto 71 kualifikasi tindak pidana dapat dirumuskan
kedalam syarat pemidanaan berupa rumusan objektif perbuatan dan
orang sebagai rumusan subjektif. Pada kategori orang, maka harus
memenuhi unsur mampu Bertanggung jawab. Dalam tindak pidana
pornografi yang dapat dikualifikasikan sebagai orang adalah orang
perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum. Selain itu apabila subjek hukum tersebut
adalah orang maka ia harus dapat bertanggung jawab dalam arti tidak
cacat, atau alasan lainnya tridak ada alasan pemaaf.
Dalam hukum pidana rumusan kata barang siapa atau setiap
orang adalah menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek
hukum melekat erat kemampuan bertanggung jawab yaitu hal- hal atau
keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan
sesuatu yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
Undang-Undang yang dapat dihukum, sehingga seseorang sebagai
subyek hukum untuk dapat
dihukum harus memiliki kemampuan
bertanggung jawab atas perbuatannya.
Memperhatikan pengertian tersebut diatas dihubungkan dengan
fakta-fakta
yang
terungkap
keterangan
saksi-saksi
dan
dalam
persidangan,
Terdakwa
telah
berdasarkan
membenarkan
identitasnya, dan selama persidangan Terdakwa MUHAJIR RASYID
Bin ROSIDI mampu bertanggung jawab secara hukum dan dalam diri
71
Mulyana W. Kusuma, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, alumni,
Bandung, 2002, hal. 29
82
ditemukan alasan yang dapat rnenghapus pertanggung jawaban
pidana ,maka dengan demikian unsur ke satu terpenuhi.
Berat ringannya suatu hukuman pidana tercermin dalam suatu
tindakan. Sengaja atau kealpaan suatu tindakan mempengaruhi
pertimbangan hakim. Makna `sengaja' tidak dapat lepas dari niat yang
hanya ada dalam sikap batin pelaku, namun demikian sikap batin
tersebut dapat diketahui dari formulasi perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tidak memberikan rumusan pengertian tentang "dengan sengaja" , oleh
karena itu Majelis Hakim akan berpedoman pada pengertian dengan
sengaja yang terdapat dalam Memori van Teolichting.
Dalam kiatb Undang-undang Hukum Pidana (Criminal wetboek )
tahun 1809 di cantumkan : “sengaja ialah kemauan untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan
oleh Undang-undang.” Dalam memorie Van Toelichting (Mvt)
Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminal Wetboek tahun 1881
(yang menjadi kitab Undang-undang Hukum Piadan Indonesia 1915),
di jelaskan : “sengaja “ diartikan : “ dengan sadar dari kehendak
melakukan suatu kejahatan tertentu.”
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan,
kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari
kehendak. De will ( kehendak ) dapat tujukan terhadap perbuatan yang
dilarang dan akibat yang di larang. Ada dua teori yang berkaitan
83
dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori
pengetahuan atau membayangkan.
Menurut teori pengetahuan atau teor i membayangkan, manusia
tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak
mungkin dapat menghendakai suatu akibat karena manusia hanya
dapat menginginkan, mengharapakan atau membayangkan adanya
suatu akibat.Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang di timbulkan
karena suatu tindakan di bayangkan sebagai maksud tindakan itu dan
karena itu tindakan yang bersangkutan di lakukan sesuai dengan
bayangan yang terlebih dahulu telah di buat. Teori ini menitik
beratkan pada apa yang di ketahui atau di bayangkan si pembuat, ialah
apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
Kata dengan sengaja atau kesengajaan atau dolus atau opzet
dalam memori van Teolicting adalah mengandung makna "willens en
weten " yang artinya bahwa seseorang yang melakukan sesuatu
perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) dari perbuatan
itu, serta harus menginsafi (weten ) akan akibat dari perbuatannya
tersebut.
Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang
berkaitan erat dengan keadaan batin pelaku, yang hanya dapat
diketahui dari rangkaian perbuatannya. Menurut doktrin hukum
pidana untuk menetapkan suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja
atau tidak sengaja dikenal dengan 3 (tiga) teori, yaitu :
84
1)
Teori
kehendak
adalah
apabila
perbuatan
tersebut
dikehendaki oleh pelaku, tidak dipersoalkan apakah
pelaku mengetahui atau tidak bahwa perbuatan tersebut
dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang ;
2)
Teori pengetahuan yaitu bahwa perbuatan tertentu
dikatakan sengaja apabila perbuatan tersebut diketahui
oleh pelaku yang jika perbuatan itu dilakukan akan
menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana ;
3)
Teori gabungan yaitu gabungan dari kedua teori di atas,
suatu perbuat dikatakan disengaja apabila perbuatan
tersebut diketahui dan dikehendaki pelaku ;
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu
“niat”(voorhomen)
dan
dengan
rencana
lebih
dahulu
(met
voorberachterade). Dalam pasal 35 KUHP tentang percobaan di
katakan. “percobaan melakukan kejahatan di pidana jika niat untuk itu
telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan iu bukan semata-mata di sebabkan karena
kehendaknya sendiri” (ayat 1). Maka di persoalkanlah apakah ada
perbedaan anatra niat dan kesengajaan.Van Bemmellen tidak melihat
adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya pada percobaan
pembunuhan, apabila pembunuh menembak korbanya tetapi meleset ,
maka niat dan kesengajaan jatuh bersamaan.Karena niat katanya harus
85
dinyatakan dengan tindak pelaksanaan, maka tidak ada alasan untuk
membuat perbedaan antara niat dan kesengajaan. 72
Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional di bagi
tiga jenis, yaitu 81:
a.
b.
c.
Sengaja sebagai maksud ( Opzet als oogemark )
Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (Opzet met
bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid )
Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi
(Opzet met waarschlijkheidbewustzijn).
Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga di ikuti
dalam praktek peradilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusanya,
hakim menjatuhkan putusan tidak semata -mata kesengajaan sebagai
kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Jadi dalam
praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena
hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan
terdakwa.
Dari uraian tersebut, menurut hemat penulis, pembuktian
terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu
dan tenaga.Lain halnya kalau kesengajaan di terima sebagai
pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya
berhubungan dengan unsur -unsur dan perbuatan yang di lakukanya
saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan.
Hanya berhubungan dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui,
72
53
86
menginsafi atau mengerti perbutanya, baik kelakuan yang di lakukan
maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan terungkap bahwa pada
tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Puku1.04.00 WIB, tanggal 15
Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011,
tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 dan hari ke 4
setelah lebaran Tahun 2011 di rumah Terdakwa di Desa Dawuhan
Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten
Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi
korban GITA LUSIANA yang masih berumur 14 (empat belas)
Tahun, bahwa Terdakwa sebagai Orangtua saksi GITA LUSIANA
tahu kalau perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-Undang serta
bertentangan dengan norma agama, dan Terdakwa sebagai Orangtua
saksi GITA LUSIANA yang seharusnya mendidik, melindungi saksi
GITA LUSIANA yang masih anak-anak, lahir tanggal 13 Mei 1997
sehingga masih berumur 14 (empat belas) Tahun, akan tetapi
Terdakwa malah menyetubuhi saksi GITA LUSIANA sehingga jelas
Terdakwa mengetahui akan perbuatan yang dilakukannya dan
Terdakwa tahu akan akibat yang timbul dari perbuatan yang Terdakwa
lakukan tersebut yaitu kehamilan GITA LUSIANA.
Dalam kasus tersebut penulis melihat bahwa terdakwa
mengetahui, menginsafi atau mengerti perbutanya, baik kelakuan yang
87
di lakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Terdakwa jelas menyatakan bahwa:
Terdakwa mengetahui kalau GITA hamil pada saat
melakukan hubungan yang ke -4, GITA mengatakan kalau
dirinya terlambat bulan. Terdakwa kawin dengan ibunya GITA
tetapi belum dikaruniai anak. Terdakwa mengetahui kalau
GITA LUSIANA masih anak-anak. Terdakwa tahu kalau
berhubungan kelamin itu bisa menimbulkan kehamilan.
Terdakwa tahu kalau GITA LUSIANA masih berumur 14
(empat belas) Tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah
tangga, tetapi,Terdakwa masih tetap menyetubuhi GITA karena
didorong oleh nafsu melihat tubuh korban dan juga dikarenakan
Terdakwa sudah lama tidak mendapatkan nafkah bathin dari
isterinya yang sedang bekerja di Luar negeri sebagai TKI di
Hongkong.
Terdakwa sebelum menyetubuhi GITA mengatakan
apabila sampai hamil bapak siap untuk ,bertanggung jawab
dengan menikahi lalu kemudian GITA akhirnya bersedia
disetubuhi oleh Terdakwa.
Andi Hamzah73 berpendapat bahwa, keterangan terdakwa sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan
terdakwa hendaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan
ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan.
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan karena
pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat :
1)
2)
Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan;
Mengaku ia bersalah. 74
Pada pengakuan terasa mengandung suatu pernyataan tentang sesuatu
yang dilakukan seseorang sedangkan pada keterangan pengertiannya lebih
bersifat
73
suatu
penjelasan
Andi Hamzah, Op cit., hal. 273.
Ibid., hal. 273.
74
akan
sesuatu
yang
akan
dilakukan
88
seseorang.Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang dengan diperlukan beberapa alat sebagai landasan
berpijak, antara lain :
1)
2)
3)
4)
Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.
Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau
ia alami sendiri. Sebagai asas kedua ini, agar keterangan
terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus
memuat pernyataan atau penjelasan tentang :
a)
Perbuatan yang dilakukan terdakwa;
b)
Apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa;
c)
Atau apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti ba gi dirinya
sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan :"keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri".
Semua yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang
kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai
alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara
pidana terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing-masing
keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang
mengikat pada diri sendiri.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan
kesalaha nnya. Pasal 189 ayat (40) KUHP berbunyi : "keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Ketentuan
tadi merupakan penegasan prinsip batas minimum pembuktian
yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP
menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana
terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 75
Berdasarkan fakta dipersidangan, melalui keterangan terdakwa
dapat diketahui bahwa terdakwa mengakui segala perbuatannya.
Karena rasa bersalah terdakwa, terdakwa juga menolak untuk di
dampingi penasihat hukum. Pengakuan terus terang terdakwa di
75
M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 299-300.
89
hadapan hakim pun dijadikan alasan yang meringankan dalam
memberikan pemidanaan terhadap terdakwa.
Berdasarkan keterangan terdakwa tersebut, terlihat adanya
kesengajaan untuk melakukan persetubuhan dengan saksi korban.
Terdakwa bahkan mengerti akibat yang akan terjadi dan siap untuk
bertanggung jawab terhadap akibat yang dilakukannya, dengan
demikian unsur kedua mengenai kesengajaan terpenuhi.
Elemen dari unsur berikutnya ialah unsur bujuk rayu dan tipu
muslihat dalam menggerakan korban untuk melakukan persetubuhan.
Unsur ini bersifat alternatif sehingga apabila salah satu elemen dari
unsur ini sudah terbukti maka unsur inipun haruslah dinyatakan
terbukti. Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan yaitu keterangan saksi
TARSIWAN Bin SUMARNO selaku orangtua GITA LUSIANA dan
Surat Kelahiran, bahwa GITA LUSIANA lahir tanggal 13 Mei 1997
sehingga masih berumur 14 (emnpat belas) Tahun.
Berdasarkan fakta dipersidangan yaitu keterangan saksi-saksi
dihubungkan dengan barang bukti serta alat bukti surat, bahwa
sebelum Terdakwa mela kukan persetubuhan terhadap saksi GITA
LUSIANA yang masih berumur 14 (ernpat belas) Tahun, Terdakwa
membujuk saksi GITA LUSIANA dengan mengatakan., "Kalau mau
berhubungan akan dibelikan baju baru dan siap bertanggung jawab
dengan menikahi GITA", karena saat itu bulan puasa dan mau lebaran
sehingga kata-kata tersebut saksi GITA LUSIANA mau melakukan
90
persetubuhan dengan Terdakwa. Dengan demikian unsur ketiga ini
terpenuhi.
Unsur
berikutnya
yang
harus
dibuktikan
adalah
unsur
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dalam
KUHP tidak ditemukan pengertian dari persetubuhan. Persetubuhan
dalam arti biologis adalah Suatu perbuatan yang memungkinkan
terjadinya
kehamilan,
sehingga
harus
terjadi:
erectio
penis;
penetration penis ke dalam vagina; dan ejaculation penis ke dalam
vagina. Namun dalam ilmu hukum hanya mensyaratkan adanya
penetrasi penis kedalam vagina. 76
Berdasarkan pengertian di atas persetubuhan adalah pertemuan
antara alat kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin wanita
(vagina), yaitu alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kemaluan
perempuan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, dan keterangan
Terdakwa dipersidangan serta alat bukti surat Visum Et Repertum
diketahui bahwa tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Pukul. 04.00 WIB,
tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011. tanggal 20
Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011, di
rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan
Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan
persetubuhan dengan saksi GITA LUSIANA dengan cara awalnya
Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas payudara GITA
Abdul Wahid, Op cit., hal. 113
91
LUSIANA, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang lalu
membuka
pakaian
saksi
GITA
LUSIANA
hingga
telanjang,
selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang
lalu Terdakwa menjilati puting payudara GITA LUSIANA kemudian
Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang kedalam
kemaluan GITA LUSIANA dengan posisi GITA LUSIANA dibawah
dan Terdakwa diatas sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya
hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma.
Sesuai Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X/2011, tanggal 24
Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI
SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes, Polres Banyumas
setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama
GITA LUSIANA, Umur 14 Tahun, Pelajar, Alamat Desa Dawuhan
Wetan, RT.05. Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas.
Hasil Pemeriksaan menggambarkan bahwa, mulut alat kelamin:
tidak ada kelainan, Selaput dara: ditemukan luka robek lama total
(habis), Liang Senggama (vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher
rahim (cervik_: tidak ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari
diatas sympisis pubis, lain -lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT,
tanggal 15 Juli 2011, pemeriksaan Laboratorium: dilakukan test urine
dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan
hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 Minggu.
92
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap
perempuan tersebut diatas ditemukan luka robek lama pada hymen
(selaput dara) total (habis), yang diakibatkan oleh karena kekerasan
benda tumpul dan yang bersangkutan dalam keadaan hamil.
Visum et Repertum sangat bermanfaat dalam pembuktian suatu
perkara berdasarkan hukum acara. Di dalam upaya pembuktian,
biasanya barang-barang bukti akan diperlihatkan di sidang pengadilan
untuk memperjelas masalah. Tetapi pada prakteknya tidak semua
barang bukti dapat dibawa ke depan sidang pengadilan, seperti
misalnya, tubuh manusia baik hidup maupun mati. Pada perkaraperkara yang menyangkut kejahatan terhadap tubuh manusia, maka
antara lain akan dibuktikan penyebab luka atau kematian. Bahkan
tidak jarang dapat dicari pembuktian tentang tempus delicti dan locus
delicti. Untuk itu tentu yang seharusnya diketengahkan di sida ng
pengadilan adalah luka atau kelainan pada saat (atau paling tidak
mendekati saat) peristiwa pidana terjadi. Hal ini boleh dikatakan
sangat sulit dikerjakan karena tubuh manusia senantiasa mengalami
perubahan, baik berupa penyembuhan luka (pada korban hidup) atau
proses pembusukan (pada korban mati), sehingga gambaran mengenai
benda bukti tersebut (luka, kelainan, jenazah) tidak sesuai lagi dengan
semula.
Karena itu semua hal yang terdapat pada tubuh manusia (benda
bukti) harus direkam atau diabadikan ole h seorang dokter dan
93
dituangkan ke dalam sebuah Visum et Repertum yang berfungsi
sebagai pengganti barang bukti ( tubuh manusia). Kemudian guna
memudahkan para praktisi hukum dalam memanfaatkan Visum et
Repertum tersebut, perlu dibuat suatu kesimpulan dari hasil
pemeriksaan. Bagian kesimpulan ini akan menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga para praktisi hukum dapat
menerapkan norma-norma hukum pada benda atau bukti tersebut.
Proses pensaksian barang bukti oleh dokter akan sangat berbeda
dengan pensaksian yang dilakukan seseorang yang bukan dokter. Oleh
kerena apa yang disaksikan, apa yang didengar, dan apa yang
dilihatnya, merupakan perbuatan hukum yang berkonsekuensi hukum
juga, pertimbanganya adalah bahwa apa yang dilakukanya memang
dimin ta, sementara aktifitasnyapun berdasarkan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya. Kedua faktor inilah yang menyebabkan segala
sesuatu yang berkenaan kesaksian atas korban atau setidak-tidaknya
patut disangka menjadi korban tindak pidana mempunyai kekuatan
sebagai alat bukti. Maka sudah merupakan keharusan untuk kita
menguasai beberapa ketentuan yang ada kaitanya dengan alat-alat
bukti yang dibenarkan oleh undang-undang. Ketentuan tersebut
adalaha Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 187 KUHAP.
Visum et Repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter,
tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukanya, dan apa yang ia
dengar, sehubungan dengan orang yang luka, seseorang yang
94
terganggu kesehatanya, dan seseorang yang mati. Berdasarkan
pemeriksaan
tersebut
diharapkan
akan
terungkap
sebab-sebab
terjadinya itu dalam kaitanya dengan kemungkinan telah terjadinya
tindak pidana.
Aktifitas seorang dokter ahli sebagaimana di atas, dilaksanakan
berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan masalah
tersebut. Visum et Repertum adalah merupakan surat yang dibuat atas
sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat
tersebut mempunyai keotentikan.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti Visum et reppertum sama
halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat
bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang bersifat bebas. Alat bukti rekam medis yang
dikategorikan surat formil dalam Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, sifat kesempurnaan formil
tersebut
tidak
dengan
sendirinya
mengadung
nilai
kekuatan
pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan
pembuktiannya.
Hakim
dapat
saja
menggunakan
atau
menyingkirkannya.
Kedudukan Visum et reppertum sebagai bukti tidak dapat
dilepaskan dengan dukungan alat bukti lainya, seperti halnya
keterangan terdakwa tidak dapat berdiri sendiri dengan alat bukti
lainnya ataupun keterangan ahli dan surat. Dalam hal ini terlihat
95
bahwa nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian
hakim. Visum et reppertum
sebagai bukti yang bebas, yang tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim.
Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya
tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna
atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima
kebenaran setiap saksi. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan
kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima
atau menyingkirkannya. 77
Hakim bebas menilai apakah visum merupakan alat bukti yang
berhubungan atau tidak. Namun dalam kasus ini jelas Visum memiliki
peranan yang sangat penting, yaitu untuk menggambarkan adanya
persetubuhan. Berdasarkan Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X/2011,
tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.
HERNI
SETIYOWATI
jelas
memperlihatkan
adanya
suatu
persetubuhan terdakwa dengan saksi korban, dengan demikian unsur
keempat ini terpenuhi.
Unsur selanjutnya yang dibuktikan oleh hakim adalah unsur
melakukan beberapa perbuatan perhubungan sehingga dengan
demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan.
Unsur ini merupakanpemberat dalam suatu tindakan pidana. Pada
77
Ibid., hal. 273-274.
96
dasarnya Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tenta ng
Perlindungan Anak, sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum
tidak menjelaskan mengenai pemberatan.
Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa :
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana;
jika berbeda -beda, yang diterapkan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.
Perbuatan berlanjut merupakan gabungan daripada beberapa
perbuatanyang dilakukan seseorang, dimana antara perbuatan yang
satu dengan perbuatanyang lain belum pernah ada putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum yangtetap, sehingga terhadap pelaku
dikenakan cara penghukuman tertentu,sebagaimana ditentukan pada
Pasal 64 KUHP.
Sesungguhnya, apa yang dimaksudkan dengan perbuatan
berlanjut atauvoortgezette handeling tidak begitu jelas maksudnya dari
perumusan
ataupengaturan
dalam
undang-undang.
Hal
ini
dikemukakan pula dalam beberapatulisan para penulis Hukum Pidana.
Misalnya,
oleh
P.A.F.
Lamintangdari
C.
Djisman
Samosir,
mengemukakan :
"Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai
perkataanbeberapa perbuatan itu harus mempunyai hubungan
yang demikian rupa.Hubungan mi dapat ditafsirkan secara
macam-macam, misalnya, karenaadanya persamaan waktu,
persamaan tempat dari terjadinya beberapaperbuatan itu dan
sebagainya. Hoge Raad mengartikan voortgezettehandeling atau
tindakan yang dilanjutkan itu sebagai perbuatan-perbuatanyang
97
sejenis dun sekaligus merupakan pelaksanaan dari satu maksud
yangsama. Demikian itu pendapat Hoge Raad antara lain di
dalam arrestnyatanggal 19 Oktober 1932, N.J. 1932". 78
Jadi, ketidakjelasan dari pengertian perbuatan berlanjut adalah
karenamenurut rumusan Pasal 64 KUHP bahwa perbuatan berlanjut
adalah beberapaperbuatan yang mempunyai hubungan sedemikian
rupa tanpa penjelasan danpenegasan mengenai hubungan bagaimana
yang dimaksud. Dengan demikian, olehpenulis diatas bahwa
hubungan itu dapat ditafsirkan macam-macam, karenaketerhubungan
itu dapat dilihat dari banyak kemungkinan, antara lain dapatdikatakan
ada hubungan karena waktu, karena tempat dan karena lain-lain hal.
Menurut rumusan Pasal 64 ayat (1) KUHP karena adanya
keterhubunganantara satu perbuatan dengan lain perbuatan, maka
perbuatan-perbuatan itu harusdianggap satu perbuatan Jadi, beberapa
perbuatan yang dilakukan dan tetapiharuslah dianggap satu perbuatan.
Jadi beberapa perbuatan tersebut biarpunmerupakan perbuatan atau
pelanggaran yang masing-masing berdiri sendiri.
Sehubungan dengan beberapa perbuatan yang harus dianggap
satuperbuatan ini, ada beberapa komentar :
"... Berkatalah Profesor Simons, antara lain sebagai berikut :
Menurut carapenglihatan saya, pemberlakuan Pasal 64 KUHP
itu hanya berkenaandengan masalah penjatuhan hukuman dan
bukan dengan masalahpembentukan satu tindak pidana, dengan
segala akibatnya yakni berkenaandengan tempat terjadinya
78
P.A.F. Lamintang Jan C. Djisman Samosir., Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung, 2002, hal. 48- 49.
98
tindak pidana, dengan keturutsertaan denganmasalah kadaluarsa
dan lain-lain".79
Berdasarkan pandangan Simons terhadap rumusan Pasal 64 ayat
(1) KUHP diatas, terutama mengenai beberapa perbuatan yang harus
dianggap satu perbuatan,dikemukakan bahwa Pasal 64 ayat I KUHP
bukanlah mengatur dalam halbagaimana beberapa perbuatan pidana,
tetapi hanya dapat dikenakan satu hukumansa ja, jadi bukan
menjumlahkan ancaman hukuman dari masing-masing perbuatan.
Pendapat serupa dengan diatas, yaitu yang oleh Van Hattum,
katakan :
“Bahwa Pasal 64 KUHP hanya memuat suatu peraturan
mengenaipenjatuhan hukuman dan bukan mengatur tentang
masalah pembentukan sejumlah tindak pidana menjadi satu
keseluruhan menurut undang-undang,dan hal mana mempunyai
arti yang sangat penting bagi lembaga-lembagalocus delicti,
kadaluarsa dan keturutsertaan".73
Berdasarkan hal tersebut, bagaimana atau ukuran-ukuran apa
yang digunakanuntuk menentukan beberapa perbuatan itu hanya
diancam satu hukuman saja,karena haruslah dipandang sebagai satu
perbuatan tidaklah dijelaskan dalamrumusan undang-undang. Ini
merupakan kelemahan pengaturan dari padaperbuatan berlanjut dalam
KUHP, sehingga nampaknya pembuat undang-undangcenderung
menyerahkan pemecahannya pada praktek.
Sedikitnya gambaran dalam Memorie P enjelasan atau MvT,
dikemukakan di dalam memorie penjelasan mengenai pembentukan
79
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinai Baru, Bandung, 2006,
hal. 697.
99
Pasal 64 KUHP itu,pembentuk undang-undang hanya mensyaratkan
bahwa berbagai perilakuitu haruslah merupakan pelaksanaan satu
keputusan terlarang, dan bahwasuatu kejahatan berlanjut itu hanya
dapat terjadi dari sekumpulan tindakpidana sejenis. Di dalam memorie
penjelasan itu juga telah dijelaskanbahwa suatu pencurian atau suatu
penganiayaan itu secara bersama-samatida k akan pernah dapat
menghasilkan
suatu
tindak
pidana
berlanjut,
karena
untuk
melaksanakan kejahatan itu, pelakunya barns membuat dari suatu
keputusan. Selain itu juga untuk membuat keputusan-keputusan
seperti itu dan untukmelaksanakannya, pelakunya memerlukan waktu
yang berbeda".
Demikianlah gambaran dalam memorie penjelasan mengenai
perbuatanberlanjut. Apakah gambaran dalam memorie penjelasan
tersebut sudah dapat memberikan penegasa n mengenai ukuran-ukuran
dari perbuatan berlanjut yaitubeberapa perbuatan yang harus dianggap
satu perbuatan dan karena itu hanyadiancam satu hukuman.
Dalam menentukan beberapaperbuatan berlanjut, diperlukan 3
(tiga) ukuran atau ciriE.Y. Kanter,dan S.R. Sianturi, dalam bukunya
mengatakan :
"Ciri-ciri dari perbarengan tindakan berlanjut itu adalah :
1.
2.
Tindakan-tindakan
yang
terjadi
adalah
sebagai
perwujudan dari satukehendak jahat (one criminal
intention);
Delik-delik yang terjadi itu sejenis;
100
3.
Dan tenggang waktu antara terjadinya tindakan-tindakan
tersebut tidakterlampau lama."80
Dalam hal perbuatan berlanjut itu hanyalah dapat dikenakan satu
hukuman,jika
perbuatan-perbuatannya
berbeda-beda,
makadikenakan
adalah
diancam
hukuman
ketentuan
yang
yang
termuat
ancaman pidana pokok yang terberat.
Dari ketentuan Pasal 64 KUHP ini jelas dalam perbuatan
berlanjut, sistemhukumannya adalah sistem atau stelsel absorbsi.
Sebab, dari beberapa perbuatanyang dilakukan, tetapi hanya
dikenakan satu hukuman dimana satu hukuman yangdijatuhkan itu
sudah menyerap yang lain.
Berdasarkan
fakta -fakta
dipersidangan
terungkap
bahwa
Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI melakukan persetubuhan
dengan GITA LUSIANA sebanyak 9 kali yaitu persetubuhan ke 1
dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2011 malam hari dikamar
Terdakwa, ke 2 tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 3
tanggal 19 agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 4 tanggal 20 Agustus
2011 di kamar Terdakwa, ke 5 tanggal 22 Agustus 2011 di kamar
Terdakwa, ke 6 tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa,
sedangkan persetubuhan ke 7, 8 dan 9 Terdakwa lakukan dengan
GITA LUSIANA di Lampung pada bulan September 2011. Dengan
demikian unsur ke 5 ini terpenuhi.
80
E.Y. Kanter dan S R Sianturi, Azas -azas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,
Alumni AHM -PTHM, Jakarta, 2002, hal. 396.
101
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut semua unsur
yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, telah
terpenuhi
dan
berdasarkan
keterangan
saksi-saksi,
keterangan
Terdakwa yang didukung dengan barang bukti, Majelis Hakim
rnemperoleh kesimpulan dan berkeyakinan bahwa Terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyaki bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Untuk itu karena terdakwa
bersalah maka harus di berikan putusan pemidanaan.
Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan
ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP,
penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada
penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai
terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap
terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan
penilaian pe ngadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum
pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan
terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
102
bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah
pelaku tindak pidananya.
M Yahya Harahap81 menyatakan bahwa:
Dalam pertimbangan hakim harus memuat fakta dan keadaan harus
jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan
sidang pengadilan. Apalagi mengenai fakta atau keadaan yang
"memberatkan" atau "meringankan" terdakwa, mesti jelas
diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. Hal ini sangat
penting diuraikan, karena landasan yang dipergunakan sebagai dasar
titik tolak untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang
akan ditimpakan kepada terdakwa, tidak terlepas dari fakta dan
keadaan yang memberatkan atau meringankan. Pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa.
Mengenai Pertimbangan hakim M. Yahya Harahap82 menambahkan
bahwa:
Menurut hemat kita, sekalipun dikatakan "pertimbangan yang disusun
ringkas," bukan berarti putusan itu benar-benar ringkas tanpa
argumentasi dan kesimpulan yang jelas, terperinci, dan utuh.
Penguraian fakta dan keadaan serta alat pembuktian, bukan sematamata berupa uraian deskriptif, tetapi di samping diuraikan secara
deskriptif. semuanya dipertimbangkan secara argumentatif sebelum
sampai kepada kesimpulan pendapat. Sebelum putusan sampai pada
uraian pertimbangan yang menyimpulkan pendapatnya tentang
kesalahan terdakwa, fakta, dan keadaan serta alat pembuktian yang
diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan
secara argumentatif sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan
reasoning yang mantap, yam: mendukung kesimpulan pertimbangan
hakim.
81
M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 333
Ibid., hal. 339
82
103
Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan putusan
pemidanaan terhadap seorang terdakwa didasarkan pada penilaian
pengadila n.
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan
menjatuhkan pidana.
Putusan pemidanaan kepada seseorang tiada lain dari pada putusan
yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai ancaman pidana
yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Undangundang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman
pidana antara minimum dan maksimum yang dicantumkan dalam pasal
pidana yang bersangkutan.
Selanjutnya berdasarkan fakta yang, terungkap persidangan serta
keadaan diri Terdakwa didalam atau selama mengikuti persidangan
membuktikan bahwa pada diri Terdakwa tidak didapati hal- hal yang dapat
melepaskannya dari pertanggungjawaban pidana baik sebagai alasan pemaaf
maupun sebagai,alasan pembenar sebagaimana ketentuan Pasal 44 sampai
dengan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga oleh
karena itu, terhadap diri Terdakwa harus dinyatakan terbukti bersalah dan
dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya.
Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang
terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum
terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana
yang didakwakan. Memang benar, hakim dalam menjatuhkan berat
104
ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah
bebas.
Undang-undang
memberi
kebebasan
kepada
hakim
untuk
menjatuhkan pidana antara hukuman "minimum" dan "maksimum" yang
diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang
diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim
menjatuhkan putusan pemidanaan, harus didasarkan pada ancaman yang
disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan.
Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana yang pada pokoknya
Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan
mengadili perkara ini memutuskan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa
tersebut diatas dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) Tahun dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap
ditahan, dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)
subsidair 6 (enam) Bulan kurungan.
Hakim juga mempertimbangkan hal-hal secara sosiologis sebagai
pertimbangan hakim. Pelbagai faktor yang dapat mempengaruhi penjatuhan
pidana seperti yang diuraikan oleh Sri Rahayu Sundari, yaitu :
a.
b.
Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan
Hal-Hal yang meringankan pemidanaan. 83
Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a.
b.
c.
83
Kedudukan sebagai Pejabat (Pasal 52 KUHP)
Pengulangan Tindak Pidana (Residive)
Perbarengan/Samenloop
Nas hriana, Op cit., hal. 18-20
105
Sesuai dengan Ketentuan Pasal 197 huruf f akan dipertimbangkan
unsur yang memberatkan maupun yang meringankan ;
Hal-hal yang memberatkan :
1)
Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi GITA
LUSIANA ;
2)
Perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan ;
3)
Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang harus
dilindungi ;
Hal-hal yang meringankan
1)
Terdakwa belum pernah dihukum ;
2)
Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi ;
3)
Terdakwa bersikap sopan dipersidangan ;
Berdasarkan
sejumlah
pertimbangan
yuridis
ditambah
dengan
pertimbangan sosiologis, maka Majelis hakim berpegang pada dua alat bukti
yaitu beberapa saksi, yakni (saksi Gita Lusiana, saksi Tariswan bin
Sumarno, saksi Kodri, saksi Anggun Yudi Nugroho) dan keterangan
terdakwa (Muhajir Rasyid Bin Rosidi). Hakim memperoleh keyakinan
bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana
persetubuhan terhadap anak dibawah umur, sehinggahakim menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa MR tersebut dengan pidana penjara selama 8
(delapan) Tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (Enam puluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh
106
Terdakwa, diganti dengan pidana kurungan selama 6 (Enam) Bulan. Hal ini
jelas jauh dari ketentuan Pasal 81 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Jo Pasal 64 KUHP yang seharusnya memerintahkan
hakim menjatuhkan putusan maksimal yakni pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Putusan hakim ini juga jauh dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dengan pidana
penjara selama 11 (sebelas) Tahun dikurangi selama Terdakwa berada
dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan, dan denda sebesar
Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) Bulan
kurungan. Untuk itu maka perlu dipertanyakan kembali fungsi Pasal 64
KUHP dalam suatu dakwaan tersebut. Pasal 64 KUHP seharusnya berfungsi
untuk memperberat hukuman, namun ternyata putusan hakimpun jauh lebih
ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum ataupunpidana
Maksimal sesuai Pasal Pasal 81 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak.
Dalam konteks pertimbangan yuridis hakim terhadap perbutan yang
dilakukan oleh terdakwa, maka terlihat ada dua unsur pemberat tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Unsur pertama yang memperberat
terdakwa antara lain unsur kesengajaan dimana terdakwa mengetahui,
menginsafi atau mengerti perbutanya, baik kelakuan yang di lakukan
maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Terdakwa sengaja
107
menyetubuhi anak di bawah umur, selain itu terdakwa juga sengaja
menyetubuhi anak tiri yang seharusnya dilindunginya berdasarkan UndangUndang Perlindungan Anak. Unsur kedua yaitu mengenai perbuatan yang
berlanjut se suai Pasal 64 KUHP dimana memuat ancaman pidana pokok
yang paling berat yang dibuktikan sesuai dengan sistem pembuktian Pasal
183 KUHAP.
Pada konteks pertimbangan sosiologis hakim berdasarkan Pasal 197
KUHAP maka hakim mempertimbangkan perbuatan Terdakwa merusak
masa depan saksi GITA LUSIANA, perbuatan Terdakwa merendahkan
martabat kaum perempuan, dan Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap
orang yang harus dilindungi sebagai alasan yang memberatkan, sedangkan
terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa menyesali perbuatannya dan
berjanji tidak akan mengulangi, dan terdakwa bersikap sopan dipersidangan
sebagai alasan meringankan.
2.
Akibat Hukum Dari Putusan Pemidanaan Dalam DalamPutusan
Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt.
Akibat hukum ialah segala akibat.konsekuensi yang terjadi dari segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum
ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu/
peristiwa hukum yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah
ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.Akibat hukum inilah yang
108
selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi
subjek-subjek hukum yang bersangkutan.
Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana adalah
pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh hakim
terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil
mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh
dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti
didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Pemberian vonis atau putusan merupakan salah satu peristiwa hukum
yang mengakibatkan akibat hukum baik berupa hak maupun kewajiban.
Pemberian keputusan oleh hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan
oleh penga dilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim
berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan
dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang
pengadilan.
Putusan hakim didasarkan kepada hati nurani yang suci tanpa adanya
unsur lain yang memengaruhi. Sanksi penyimpangan apalagi pengkhianatan
kepada prinsip idealis religius tersebut tidak serta merta dapat dirasakan
karena hal tersebut merupakan pertanggungjawaban kepada Tuhan, Sanksi
yang mungkin akan dirasakan langsung adalah sanksi timbulnya penilaian
negatif dari masyarakat. 84
84
Ibid.
109
Berkaitan dengan isi keputusan hakim, setiap keputusan hakim
merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
a.
Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib;
b.
Putusan bebas;
c.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 85
M. Sholehuddin berpendapat86bahwa :
Pemidanaan sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan,
sehingga focus pemidanaan tertuju pada perbuatan salah seseorang
lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera)
dan lebih menekankan unsure pembalasan yang merupakan
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.
Berdasarkan pertimbangan yuridis hakim terhadap perbutan yang
dilakukan oleh terdakwa, maka terlihat perbuatan et rdakwa telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "dengan
sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang
dilakukan secara berlanjut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal
64 KUHP dan telah memenuhi Pasal 183 KUHAP yakni telah dipenuhinya
minimal 2 alat bukti ditambah keyakinan hakim.
Berdasarkan kesalahan tersebut maka timbulah pemidanaan yakni
hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakw a MUHAJIR RASYID Bin
ROSIDI tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan
denda sebesar Rp 60.000.000,- (Enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan
85
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.285
86
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.32
110
apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, diganti dengan pidana
kurungan selama 6 (Enam) Bulan. Untuk memastikan pelaksanaan hukuman
tersebut maka hakim menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dalam Rumah
Tahanan Negara dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan
menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
Putusan pemidanaan yang dituliskan dalam amar Putusan Nomor :
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt menimbulkan akibat hukum bagi terdakwa.
Dengan dibacakannya Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt maka
status terdakwa beralih menjadi terpidana, hal ini didasarkan karena
terdakwa menerima putusan tersebut, sehingga putusan tersebut memiliki
kekuatan hukum tetap.
Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang
mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap” adalah :
1.
Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding
atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana;
2.
3.
Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi
dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana; atau
Putusan kasasi.
Berdasarkan ha l tersebut suatu putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah:
111
a.
Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding
setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah
putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir,
sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak ), putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging),
dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan
tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
b.
Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi
dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245
ayat (1)jo. Pasal 246 ayat (1) KUHAP).
c.
Putusan kasasi
Terdakwa yang telah dibacakan putusannya maka munculah tahap
yang disebut sebagai eksekusi. Pasal 270 KUHAP menyatakan bahwa :
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera
mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Meskipun Pasal 270 KUHAP memerintahkan jaksa melaksanakan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, setelah salinan surat
dikirimkan, tetapi tidak ada patokan waktu berapa lama salinan putusan itu
harus diselesaikan. Permasalahan kedua, mengenai apa yang dimaksud
dengan salinan putusan dalam pasal tersebut. Pihak pengadilan telah
112
beranggapan bahwa sebenarnya jaksa cukup menggunakan petikan putusan
saja dalam melaksanakan putusan. Artinya, lambatnya penyelesaian putusan
bukan merupakan hambatan bagi jaksa.
Dalam beberapa memori kasasi dapat kita temui keberatan pihak
kejaksaan terkait lambatnya penyelesaian salinan putusan (misalnya dalam
Putusan
No.
1412
782/K/Pid/2008).Untuk
K/Pid/2006,
mengatasi
hal
No.
2534
tersebut,
K/Pid/2007,
sejak
tahun
No.
1983,
Mahkamah Agung sebenarnya telah menegaskan, bahwa untuk perkara
tolakan (penolakan dakwaan) dalam waktu satu minggu pengadilan sudah
harus menyampaikan salinan putusan terkait kepada pihak kejaksaan. Batas
waktu ini telah diterima pula oleh pimpinan kejaksaan ketika itu yang pada
tahun 1995 mengeluarkan surat edaran yang mengacu pada surat edaran
Mahkamah Agung tersebut.
Jangka waktu penyelesaian salinan putusan pidana dalam waktu satu
minggu tersebut, pada perkembangannya kemudian, diubah menjadi empat
belas hari. Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran pada tahun 2010,
kemudian diperbaharui pada tahun 2011, yang menyesuaikan jangka waktu
tersebut. Selain mengubah batas waktu pengiriman salinan putusan, surat
edaran juga mengatur bahwa petikan putusan (hanya amarnya saja) sudah
dapat dikirimkan segera setelah putusan diucapkan.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 21/1983 Tentang Batas Waktu
Pengiriman Salinan Putusan Pada Jaksa menyatakan bahwa, mengenai
“dalam jangka waktu beberapa lama” Panitera harus sudah mengirimkan
113
salinan surat putusan itu kepada Jaksa, hal itu memang tidak diatur dalam
KUHAP. Akan tetapi Mahkamah Agung menganggap wajar apabila jangka
waktu pengiriman itu diberi batas, yakni eksekusi putusan oleh Jaksa dapat
segera dilaksanakan.
Hendaknya dalam hal menyangkut perkara-perkara tolakan (acara
pemeriksaan biasa). Hakim sudah dapat membiasakan diri untuk membuat
putusan yang sudah selesai diketik rapi dan langsung di tanda tangani begitu
putusan diucapkan, sehingga pengiriman salinan putusan oleh Panitera
kepada Jaksa dapat pula segera dilakukan. Untuk perkara-perkara tolakan
ini kiranya batas waktu paling lambat 1 (sa tu) minggu bagi pengiriman
salinan
putusan
oleh
Panitera
kepada
Jaksa,
dapat
dianggap
memadai.Sedangkan dalam hal menyangkut perkara-perkara dengan acara
singkat batas waktu itu paling lambat adalah 14 (empat belas) hari.
Hal tersebut di atas juga menginga t adanya perkara-perkara yang
dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, sehingga dengan diadakannya
batas-batas waktu tersebut memudahkan pula bagi Jaksa untuk menyusun
memori banding.
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B235/E/3/1994 Tentang Eksekusi Putusan Pengadilan terhadap Pidana
Penjara/Kurungan
menyatakan
bahwa,
menerima
salinan
Putusan
Pengadilan dari Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam waktu
1 (satu) minggu untuk perkara biasa dan 14 (empat belas) hari untuk perkara
dengan Acara Singkat (Pasal 270 KUHAP dan SEMA No. 21/1983).
114
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 01/2011 Tentang Perubahan
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 02/2010 Tentang Penyampaian Salinan
dan Petikan Putusan untuk perkara Pidana Pengadilan wajib menyampaikan
salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja sejak putusan diucapkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya,
Penyidik dan Penuntut Umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan
dengan ketentuan KUHAP. Petikan Putusan Perkara Pidana diberikan
kepada Terdakwa, Penuntut Umum dan Rumah Tahanan Negara atau
Lembaga Permasyarakatan segera setelah Putusan diucapkan;
Ketentuan yang terakhir muncul dalam surat edaran Mahkamah
Agung, sebagaimana sudah disebutkan di atas, membedakan antara salinan
putusan dengan petikan putusan. Pada dasarnya, petikan putusan hanya
berisi amar putusan saja tanpa merinci lebih lanjut dasar pertimbangan dari
hakim dalam memutus.
P elaksanaan putusan adalah tanggungjawab kejaksaan, sebenarnya
telah diakui oleh pihak kejaksaan sendiri. Surat Edaran Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum B-128/E/3/1995 Tentang Tugas dan Tanggungjawab
Jaksa Selaku Eksekutor Putusan Pengadilan. KUHAP telah menetapkan
bahwa Jaksa adalah Eksekutor terhadap Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan untuk itu Panitera mengirimkan
salinan Surat Putusan kepadanya (Pasa l. 270 jo Pasal 1 butir 6a KUHAP).
Dengan demikian Eksekusi putusan Pengadilan Yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sepenuhnya merupakan tugas dan tanggung jawab
115
Jaksa. Salinan
putusan
ini
kemudian
di
daftarkan
di
Lembaga
Pemasyarakatan dimana terdakwa di tahan. Hal ini juga terjkaait oleh
perintah majelis Hakim agar terdakwa tetap di tahan sebagaimana Pasal 197
KUHAP.
Ketika
status
terdakwa
melalui
Putusan
Nomor
:
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt menjadi terpidana maka munculah hak terpidana
sebagai warga binaan.Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan bahwa Narapidana berhak :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
Menyampaikan keluhan;
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang;
Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya;
Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga;
Mendapatkan pembebasan bersyarat;
Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Seseorang terdakwa yang telah diputus berhak untuk mendapatkan
petikan surat putusa n pengadilan yang dapat diberikan kepada terdakwa atau
penasehat hukumnya segera setelah putusan diucapkan. Salinan surat
putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik,
sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas
permintaan. Pada saat menjalini hukuman, seorang Terpidana juga berhak
116
untuk menghubungi dan didampingi pengacara, menghubungi dan
menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan
penangguhan
penahanan
menghubungi
atau
atau
menerima
usaha
mendapat
kunjungan
dokter
bantuan
pribadinya
hukum,
untuk
kepentingan kesehatan dan menghubungi atau menerima kunjungan sanak
keluarga, serta mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum
dan
sanak
keluarga
tanpa
diperiksa
oleh
penyidik/penuntut
umum/hakim/pejabat rumah tahanan Negara. Berdasarkan uraian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa, akibat hukum dari putusan pemidanaan
dalam dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. antara lain
lahirnya status terpidana pasca putusan dibacakan, munculnya hak eksekusi
kejaksaan, dan lahirnya hak terpidana.
117
BAB V
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan uraian dalam Bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertimbangan yuridis hakim terhadap perbutan yang dilakukan oleh
terdakwa, adalah:
a. Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan
pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Majelis hakim berpegang pada dua
alat bukti yaitu beberapa saksiyakni (saksi Gita Lusiana, saksi Tariswan
bin Sumarno, saksi Kodri, saksi Anggun Yudi Nugroho) dan keterangan
terdakwa (Muhajir Rasyid Bin Rosidi), serta alat bukti Visum Et
Repertum.
b. Terdapat dua unsur pemberat tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa. Unsur pertama yang memperberat terdakwa antara lain unsur
kesengajaan Terdakwa sengaja menyetubuhi anak di bawah umur, selain
itu terdakwa juga sengaja menyetubuhi anak tiri yang seharusnya
dilindunginya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Unsur
kedua yaitu mengenai perbuatan yang berlanjut sesuai Pasal 64 KUHP
dimana memuat ancaman pidana pokok yang paling berat yang
dibuktikan sesuai dengan sistem pembuktian Pasal 183 KUHAP.
2. Akibat hukum dari putusan pemidanaan dalam Putusan Nomor :
03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. adalah terdakwa wajib menjalani hukuman
118
pidana penjara selama 8 tahun, dan jaksa yang berkewajiban untuk
melaksanakan putusan pidana tersebut. Oleh karena status terdakwa menjadi
terpidana, maka mempunyai hak sebagai warga binaan berdasarkan Pasal 14
ayat (1) Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
B.
Saran
Sebaiknya hakim memperhatikan ketentuan Pasal 64 KUHP yang
seharusnya berfungsi untuk memperberat hukuman, namun ternyata putusan
hakim lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum ataupun pidana
Maksimal sesuai Pasal 81 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak, oleh karena itu seharusnya hakim memberikan putusan maksimal kepada
terdakwa.
119
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Asshidiqie, Jimly. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang . Sinar
Grafika. Jakarta.
Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana 1. Sinar Grafika. Jakarta.
Gultom , Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia . PT. Refika Aditama. Bandung.
Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika.
Jakarta.
------------------. 2002. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
------------------. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua . Sinar
Grafika. Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan. Banding. Kasasi dan
Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.
---------------------------. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. Sudario. 2007. Hukum dan Hukum
Pidana. Alumni. Bandung.
Hiariej, Eddy O. S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga. Jakarta.
Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif .
Malang. Cetakan Ketiga. Banyumedia Publishing.
Lamintang, P.A.F. dan Theo F Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Sinar
Grafika. Jakarta.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana
Dalam Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan
Konsep Diversi dan Restorative Justice. PT Refika Aditama.
Bandung.
120
Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan
& Penyidikan). Sinar Grafika. Jakarta.
---------------------------. 2010. Proses Penanganan Acara Pidana(Di
Kejaksaan &Pengadilan Negri Upaya Hukum & Eksekusi). Sinar
Grafika. Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media
Grup. Jakarta.
Moeljatno. 2007. Kitab Undang -Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara.
Jakarta.
Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan
Khusus Terhadap Surat Dakwaan. Eksepsi dan Putusan Peradilan).
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Nashriana. 2005. Hukum Penitensier. UNSRI. Palembang.
Panggabean, H.P. 2012. Hukum Pembuktian
Yurisprudensi Indonesia). Alumni. Bandung.
(Teori
Paktik
dan
Sholehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acura Pidana Indonesia datum Sirkas
Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta .
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2003. Penelitian Hukum Normatif .
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soesilo, R. 2002. Hukum Acara Pidana . Politeia. Bogor.
Soetarna, Hendar. 2011. Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana. Alumni.
Bandung.
Subekti, R. 2006. Hukum Acara Perdata. Binacipta. Bandung.
Sudarto. 2007. Hukum dan Hukum Pidana . Binacipta. Bandung.
Syarifin, Pipin. 2000. Hukum Pidana Di Indonesia. Pustaka Setia. Jakarta.
Wahid, Abdul dan Muhamad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual Advokasiatas Hak Asasi Perempuan. Rafika
Aditama. Malang.
121
Peraturan Perundang -undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana.
-------------, Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana.
-------------, Undang-Undang 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
-------------, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak.
Sumber Lainnya
Adi, Dennys Prasmana. 2011.Kajian Yuridis Normatif Terhadap
Putusan Perkara Nomor 357/Pid.B/2009/P.N.Bojonegoro Tentang
Tindak Pidana Perbuatancabul Terhadap Anak( Tinjauan Yuridis
Putusan
Pengadilan
Negeri
Bojonegoro
NOMOR
357/PID.B/2009/P.N.BJN),
http://eprints.umm.ac.id/370/1/Kajian
_Yuridis_Normatif_Terhadap_Putusan_Perkara.pdf , diakses pada
tanggal 02 Mei 2013.
NN,
Teori
Pembuktian
dalam
Hukum
Pidana,
http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalamhukum -pidana_4293.html, diakses pada tanggal 2 Mei 2013.
NN.
Teori
Pembuktian
dalam
Hukum
Pidana.
http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalamhukum -pidana_4293.html. diakses pada tanggal 2 Mei 2013.
Rakasiwi, Galih. 2012. Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan
Persetubuhan Yang Dilakukan Secara Berlanjut(Studi Kasus Pada
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 03/Pid.Sus/2012/PN.
PWT), http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi%20COVER .
pdf. diakses pada tanggal 02 Mei 2013.
Download