PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN TERHADAP PERSETUBUHAN ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soe dirman ANDIKA HERU BARATA E1A008337 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i SURAT PERNYATAAN Saya, yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : ANDIKA HERU BARATA NIM : E1A008337 Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN TERHADAP PERSETUBUHAN ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 03/PID.Sus/2012/PN.PWT). Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain dan semua sumber data maupun informasi telah dinyatakan secara jelas serta dapat diperiksa kebenarannya. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang telah saya peroleh. Purwokerto, November 2013 ANDIKA HERU BARATA E1A008337 iii KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat, karunia serta hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN TERHADAP PERSETUBUHAN ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 03/PID.Sus/2012/PN.PWT) dengan melalui proses yang panjang, serta suka dan duka telah penulis lewati. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan, baik sec ara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar -besarnya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H. selaku Pemba ntu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. , selaku Dosen Pembimbing Skripsi I. 4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II 5. Pranoto S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji atas segala masukan ya ng diberikan kepada penulis; 6. Kedua orang tua beserta keluarga besar yang te lah memberikan dukungan kepada penulis. iv Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karenanya penulis mengharapkan kritik dan saan dari berbagai pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Purwokerto, November 2013 ANDIKA HERU BARATA E1A008337 v ABSTRAK PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN TERHADAP PERSETUBUHAN ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt) Oleh : ANDIKA HERU BARATA E1A008337 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan berat ringannya sanksi terhadap tindak pidana persetubuhan anak da lam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. Selain itu juga ditujukan untuk mengetahui akibat hukum dari Putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. Guna mencapai tujuan tersebut maka peneletian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang terkumpul kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kualitatif dengan penyajian data teks naratif. Hasil penelitian menyatakan bahwa, terdapat dua pertimbangan yuridis hakim terhadap perbutan yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu terdakwa telah memenuhi unsur perbuatan persetubuhan dengan anak dibawah umur secara berlanjut yang dibuktikan dengan alat bukti saksi baik saksi korban dan saksi lainnya, alat bukti surat berupa Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X /2011, tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Herni Setiyowati dan keterangan terdakwa. Kemudian terdapat dua unsur pemberat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Unsur pertama yang memperberat terdakwa antara lain unsur kese ngajaan Terdakwa sengaja menyetubuhi anak di bawah umur, selain itu terdakwa juga sengaja menyetubuhi anak tiri yang seharusnya dilindunginya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Unsur kedua yaitu mengenai perbuatan yang berlanjut sesuai Pasal 64 KUHP dimana memuat ancaman pidana pokok yang paling berat yang dibuktikan sesuai dengan sistem pembuktian Pasal 183 KUHAP. Akibat hukum dari putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. adalah terdakwa wajib menjalani hukuman pidana penjara selama 8 tahun, dan jaksa yang berkewajiban untuk melaksanakan putusan pidana tersebut. Oleh karena status terdakwa menjadi terpidana, maka mempunyai hak sebagai warga binaan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UndangUndang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. . . . Kata Kunci: Pertimbangan Hakim , Putusan Pemidanaan dan Persetubuhan Anak vi ABSTRACT IMPOSITION OF CONSIDERATION OF JUDGE RULING AGAINST CHILDREN INTERCOURSE (Judicial Review Decision Number: 03/PID.Sus/2012/PN.PWT) By: ANDIKA HERU BARATA E1A008337 This study was conducted to determine the basis of consideration of the judge in sentencing verdict and the severity of criminal penalties against child marriage act in Decision Number : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt . It also aimed to determine the legal consequences of the criminalization decision in Decision Number : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt . To achieve these aims the intensive search was conducted using the normative juridical approach . Secondary data were collected and processed , presented , and analyzed qualitatively with the presentation of narrative text data . The study states that there were two judges for judicial consideration perbutan committed by the defendant , the defendant has fulfilled the act of sexual intercourse with a minor is continuing as evidenced by both the witness evidence and other witnesses witnesses , documentary evidence in the form of Visum Et Repertum No.Pol : R/20/X/2011 , dated October 24, 2011 which was made and signed by dr . Herni Setiyowati and the testimony of the defendant . Then there are two elements of ballast criminal offenses committed by the defendant . The first element that aggravate defendants include intentional defendant intentionally fucked minors , other than that the defendant intentionally supposed to fuck stepson protects based Child Protection Act . The second element is the ongoing act in accordance with Article 64 of the Criminal Code which includes the main criminal threat as evidenced most weight in accordance with Article 183 of the Criminal Procedure Code verification system . Legal consequences of the criminalization decision in Decision Number : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt . defendant is serving a sentence of mandatory imprisonment for 8 years, and prosecutors are obliged to implement the criminal verdict. Accordingly the defendant be terpidana status, then have the right as citizens under Article 14 verse structure (1) of Law No 12 of 1995 About Correctional. Keywords: Consideration Judge, Judgment and Punishment Children Intercourse. vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN............................................................................... iii KATA PENGANTAR......................................................................….............. iv ABSTRAK......................................................................................................... vi ABSTRACT………………………………………………………………......... vii DAFTAR ISI...................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN ix A. Latar Belakang Masalah ............................................................. B. Perumusan Masalah .................................................................... 1 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5 D. Kegunaan Penelitiaan ................................................................. 5 E. Penelitian Terdahulu.............................................................. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 A. Tindak Pidana.............................................................................. B. Tindak Pidana Persetubuhan Anak..................................... 9 C. Tujuan Hukum Acara Pidana...................................................... 10 D. Pembuktian dan Sistem Pembuktian........................................... 14 E. Bentuk Putusan........................................................................ 17 viii F. Pertimbangan Pemidanaan...................................................... 26 G. Alat Bukti............................................................................ 29 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian......................................................................... B. Spesifikasi Penelitian................................................................... 47 C. Sumber Data................................................................................. 46 D. Metode Pengumpulan Data.......................................................... 48 E. Metode Penyajian Data................................................................ 49 F. Analisa Data................................................................................. 49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 50 A. Hasil Penelitian………………………………………………….. B. Pembahasan…………………………………………………....... BAB V PENUTUP 51 75 A. Simpulan .................................................................................... B. Saran ........................................................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 118 119 ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil harus jelas / terang, oleh karena pelaksanaanya pada hakikatnya mempertaruhkan nyawa, harta benda dan kebebasan manusial. 1 Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Fomil) merupakan peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. 2 Oleh karena itu Hukum Acara Pidana mempunyai suatu tujuan, tujuan dari Hukum Acara Pidana tersebut dimuat dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Mentri Kehakiman , yang berbunyi : "Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hokum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 3 Mencari kebenaran materiil tersebut merupakan tugas hakim, dan hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula saksi-saksi yang diajukan kedua pihak untuk memperkuat keyakinannya. Pemeriksaan harus dilakukan secara lisan, kebenaran secara 1 Zainal Abidin Farid. 2007, Hukum Pidana 1. Sinar Grafika. Jakarta, hal. 3 Nikolas Simanjuntak. 2009. Acura Pidana Indonesia datum Sirkas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 23. 3 Andi Hamzah, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8. 2 2 materil tidak akan dapat diperoleh oleh hakim, jika pemeriksaan tidak dilaksanakn secara lisan. 4 Lilik Mulyadi5 menyatakan bahwa : Dalam suatu negara hukum (rechtstaat), seperti negara Indonesia, hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama. Karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 25 UndangUndang Dasar 1945 beserta penjelasannya, kedudukan para hakim dijamin oleh undang-undang sebagaimana manifestasi pada ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut ketentuan Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor M.1861KPO4.12 Tahun 1984 tentang Kedudukan Hakim, di mana disebutkan bahwa hakim sebagai pegawai negeri (Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009) juga menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Ketika seorang hakim sedang menangani perkara, diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan pada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktik sehingga semuanya itu bermuara pada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri, serta demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 4 P.A.F. Lamintang dan Theo F Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 336 5 Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54 3 Karena mengemban tugas sedemikian berat, untuk itu harus dijamin kemandiriannya guna menegakkan sendi keadilan sebagaimana pemeo, "walaupun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan". Sedangkan di pihak lain; dalam diri hakim bersangkutan juga dituntut adanya integritas moral yang baik sehingga dalam menegakkan hukum dan keadilan tidaklah gam-pang dipengaruhi masalah lain, seperti tergoda kolusi, suap, dan yang lainnya yang akhirnya dapat merugikan justiabelen.6 M. Yahya Harahap7 menyatakan bahwa : Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Mungkin menurut penilaian mereka, apa yang didakwakan dalam surat dakwaan terbukti, mungkin juga menilai, apa yang didakwakan memang benar terbukti, akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak pidana aduan (klacht delik ). Atau menurut penilaian mereka, tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali. Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa setiap putusan harus terlebih dahulu di dasarkan pada pembuktian dan analisa hakim dalam persidangan. Baik setiap putusan pemidanaan ataupun putusan bebas harus didasarkan pada pembuktian dan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan, sehingga kebenaran materil yang dicari melalui kaidah hukum acara pidana tercapai dalam setiap kasus tindak pidana. Secara khusus Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: 6 Ibid., hal. 55 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 326. 7 4 (1) (2) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Putusan kasus Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN.PWT terdakwa MR melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak dibawah umur.Dalam kasus ini terdakwa diancam dengan hukuman penjara di atas 5 tahun. Korban kasus persetubuhan ini adalah GL yang masih berumur 14 tahun dan merupakan anak tiri dari terdakwa. Sebagai orang tua seharusnya terdakwa melindungi dan menjaga korban, akan tetapi terdakwa malah melakukan tindak asusila terhadap korban. Hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman terhadap terdakwa dengan pidana 8 tahun harus bijaksan dan memperhatikan perasaan masyarakat, sebab putusan hakim tersebut akan dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat da n negara, diri sendiri, serta demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Karena perbuatannya sudah sepantasnya terdakwa dihukum dengan hukuman yang setimpal, dan merupakan tugas hakim untuk memutuskan hukuman tersebut melalui proses persidangan. Berdasarkan wacana di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian yang menitik beratkan aspek normatif dengan judul PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN TERHADAP 5 PERSETUBUHANANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 03/PID.Sus/2012/PN.PWT) B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan yaitu sebagai berikut : 1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan berat ringannya sanksi terhadap tindak pidana persetubuhan anak dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari Putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan berat ringannya sanksi terhadap tindak pidana persetubuhan anak dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum dari Putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori dalam hukum acara pidana khususnya pembuktiantindak pidana persetubuhan dalam Putusan 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. 6 b. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pengajaran menambah materi perkuliahan khususnya dalam Mata Kuliah Hukum Acara Pidana. 2. Kegunaan Praktis a. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis. b. Dapat memberikan masukan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh Khususnya dalam Hukum Acara Pidana. E. Penelitian Terdahulu Untuk membedakan orisinalitas penelitian maka dapat ditinjau dari beberapa penelitian sebagai berikut : 1. Skripsi Saudara Galih Rakasiwi (EIA008033) dengan judul Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Secara Berlanjut (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif dan sumber data adalah data sekunder. Sudut pandang skripsi tersebut adalah hukum pidana materil, berbeda dengan kajian penulis yang lebih mengarah pada acara pidana. Skripsi tersebut juga hanya 7 mengarah pada penerapan pasal, dan bukan segi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara. 2. Saudara Dennys Prasmana Adi (06400079), Fakultas Hukum, Universitas Muhamadiyah Malang, dengan judul K a j i a n Yuridis Normatif Terhadap Putusan Perkara Nomor 357/Pid.B/2009/P.N. Bojonegoro Tentang Tindak Pidana Perbuatan cabul Terhadap Anak (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro Nomor 357/PID.B/2009/P.N.BJN). Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Dalam penelitian tersebut terlihat majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara kurang memperhatikan tuntutan jaksa yang menuntut pidana penjara selama 4 (empat) tahun kepada terdakwa, yang dalam pemeriksaan persidangan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Dalam putusannya majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun kepada terdakwa. Walaupun putusan tersebut dibenarkan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, namun hakim seharusnya juga mempertimbangkan dan memperhatikan fakta pada pemeriksaan persidangan yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan, serta hal-hal yang memberatkan terdakwa, tidak 8 adanya alasan pemaaf pada terdakwa. Penelitian ini berbeda dengan penelitian penulis, karena penelitian penulis lebih mendasarkan pada persetubuhan anak, bukan pencabulan, walaupun dalam kasusnya hampir sama. Sudut pandang penelitian ini juga akan mengarah pada pertimbangan hakim dalam membuktikan juga pertimbangan menjatuhkan berat ringannya pemidanaan. hakim dalam 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Soedartomenyebut Staafbaarfeit dengan istilah tindak pidana, dengan unsur-unsur antara lain Perbuatan dan orang. 8Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Untuk itu, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, perilaku mana dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana Pipin S yarifin menyatakan bahwa, secara mendasar perumusan delik dalam teori Sudario mempunyai dua elemen (unsur dasar) yaitu : 1. 2. Bagian yang objektif menunjuk delik dari perbuatan/kelakuan dan akibat, yang merupakan kejadian-kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum yang dapat diancam dengan pidana. Bagian-bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari delik. 9 Berdasarkan hal-hal tersebut maka syarat dapat dipidananya seseorang / syarat pemidanaan di dasari oleh dua kritera yaitu subjektif dan objektif. Secara 8 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 23 Pipin Syarifin, 2000, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Jakarta, hal. 55 9 10 Objektif seorang yang dapat dipidana haruslah terlebih dahulu melanggar rumusan suatu aturan perundang-undangan. Kedua perbuatan tersebut memiliki sifat melawan hukum. B. Tindak Pidana Persetubuhan Anak Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, 10menyatakan bahwa : “Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Menurut R.Sugandhi,11 yang dimaksud dengan perkosaan adalah : “Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancama n kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorangh wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”. Adapun unsur-unsur selengkapnya tentang perkosaan menurut R.Sugandhi12adalah : 1. 2. 3. 4. Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki ke pada wanita yang bukan menjadi istrinya. Pemaksaan bersetubuh itu diikuti dengan tindakan atau ancaman kekerasan. Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita, dan Mengeluarkan air mani. Pendapat itu menunjukkan pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka 10 Ibid., hal. 40. Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, Loc cit 12 Ibid., hal. 41 11 11 secara eksplisit, apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut dikategorikan sebagai perkosaan. Tindak pidana persetubuhan pada anak memiliki perbedaan yang mendasar dengan tindak pidana perkosaan pada umumnya. Pada tindak pidana ersetubuhan anak lebih mendasarkan pada subjek yang menjadi korban adalah anak. Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam. Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989, aturan standar minimum PBB mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak dan Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948. Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. 13 Menurut Nicholas McBala, dalam buku Juvenile Justice Sistem, mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain. 14 Menurut Zakariya Ahmad Al Barry yang dik utip oleh Maidin Gultom bahwa: Dewasa maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa pada putra, muncul tanda -tanda wanita dewasa pada putri. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putra berumur 12 tahun dan putri berumur 9 tahun. Apabila anak megatakan bahwa ia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia sendiri yang 13 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 33 14 Ibid., hal. 36. 12 mengalami. Apabila sudah melewati usia tersebut di atas tetapi belum Nampak tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia telah dewasa, har us ditunggu sampai ia berumur 15 tahun. 15 Menurut Hilman Hadikusuma yang dikutip oleh Maidin Gultom mengatakan bahwa : Menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya, walaupun ia belum berwenang kawin. 16 Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertian, pengertian tersebut terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih dalam kandungan”. Berdasarkan hal tersebut, anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut Undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum.Selain terdapat pengertian anak, dalam Undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh. 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 15 Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 31. 16 Ibid. , hal. 32 13 Pasal 1 angka 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan anak sebagai berikut : Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Tindak pidana persetubuhan pada anak secara khusus diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: 1) 2) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pemberlakuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bersifat lex spesialis. Hal ini dikarenakan Pasal 81 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak lebih mendasarkan pada objek perlindungannya yaitu anak, dibandingkan perkosaan pada umumnya, namun teori unsur-unsur perkosaan yang digunakan oleh hakim seperti halnya pembuktian unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan persetubuhan tetap digunakan. 14 C. Tujuan Hukum Acara Pidana Menurut Andi Hamzah17 hukum acara pidana ialah: Pemerintah merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma. Hukum acara pidana disebut juga sebagai Hukum pidana formil yaitu: Hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberi definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain. Diberi definisi dalam Pasal 11 KUHAP. Akan tetapi definisi dari hukum acara pidana banyak diberikan oleh para sarjana. Andi Hamzah18, memberikan penjelasan mengenai istilah hukum acara pidana yang diuraikan sebagai berikut: Istilah hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana” Belanda memakai istilah stravordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana, bukannya istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah itu menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undangundang dibicarakan di parlemen karena meliputi seluruh pro sedur acara pidana. Oleh karena itu menurut pendapat penulis, istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai. Orang Perancis memakainya menamainya Coded' Instruction Criminelle. Sedangkan istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Procedure Rules. Dip akai istilah rules karena di Amerika Serikat bukan raja undang- undang yang menjadi sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan. 17 Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4 Ibid., hal. 2 18 15 Menurut pendapat Andi Hamzah19, definisi mengenai hukum acara pidana sebagai berikut: Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran UndangUndang pidana: 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan -kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib; 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 7. Akhirnya melakukan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. 8. Pengertian dari Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, hukum acara pidana merupakan hukum yang menggerakan negara melalui alat-alatnya untuk menyidik kebenaran. Dalam hal ini sedapat mungkin untuk menyidik pelaku perbuatan itu. Hukum acara pidana memberikan hak untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya, serta mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. Melalui hukum acara pidana pula hakim memberi keputusan tentang 19 Ibid., hal. 6 16 terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan -kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib . Berdasarkan hal tersebut maka hukum pidana formal sangat diperlukan sebagai pelengkap hukum pidana materiil, karena menurut pendapat dari R. Soesilo 20, hukum pidana formal memuat sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang memberikan pengaturan dan memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenarankebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan, Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa, dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orangorang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu, Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan, dan tempat-tempat lain serta menyita barangbarang itu, untuk membuktikan kesalahan-kesalahan tersangka, Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh Hakim sampai dapat dijatuhkan pidana, dan oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan: yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Kesimpulan yang dapat diperole h dari pendapat para sarjana tersebut di atas bahwa Hukum Acara Pidana adalah hukum yang bertujuan mengatur tentang tata cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan. 20 Ibid., hal. 69 17 D. Pembuktian dan Sistem Pembuktian Pembuktian tindak pidana persetubuhan terhadap anak, di pengadilan sangat tergantung sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah terjadi tindak pidana persetubuhan. Harus diakui pembuktian dalam tindak pidana persetubuhan adalah sangat sulit, sebab pihak yang berwenang harus memastikan benar apakah perbuatan persetubuhan tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Jimly Asshidiqie 21 menyatakan bahwa: Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara, merupakan bagian penting hukum acara di pengadlan, karena di dalamnya terkait persoalan hak-hak hukum bahkan hak-hak asasi setiap orang atau pihak-pihak yang dipersangkakan telah melakukan peanggaran hukum. Menurut Andi Hamzah22 Pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP) adalah: Suatu upaya mendapatkan keterangan-ketarangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Menurut R. Soesilo 23, peraturan pembuktian di dalam KUHAP adalah mengenai : 1. 2. Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa). Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara penyumpahan 21 Jimly Asshidiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang -Undang, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 139. 22 Andi Hamzah, Op cit., hal. 77. 23 R.Soesilo, 2002, Hukum Acara Pidana , Politeia, Bogor,hal. 111. 18 3. saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa, pemberian alasanalasan pengetahuan pada kesaksian dan lain -lain). Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya keterangan terdakwa itu hanya merupakan bukti yang sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 189 KUHAP). Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril 24 mendefinisikan pembuktian yang merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, ia menyatakan bahwa : Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dan hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian Berdasarkan pendapat Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril terlihat adanya peranan pembuktian yang cukup penting dalam proses peradilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Dalam hal ini terlihat pembagian peranan para aparat penegak hukum untuk membuktikan dan juga membela terdakwa, sedangkan hakim diminta untuk secermat mungkin memberikan pertimbangan. Menurut Eddy O.S. Hiariej25,hukum pembuktian didefinisikan sebagai : 24 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 102 -103. 25 Eddy O. S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga, Jakarta, hal. 15. 19 Ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian. Sedangkan hukum pembuktian pidana adalah ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada pe nyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian dalam pe rkara pidana. Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan, bahwa : Dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu bagian kegiatan pengungkapan fakta, dan pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.26 Pada bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledoi), dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonis) 26 NN, Teori Pembuktian dalam Hukum Pidana, http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalam-hukum-pidana_4293.html, diakses pada tanggal 2 Mei 2013. 20 yang dibuatnyaPembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 27 Rusli Muhammad28 menyatakan bahwa : Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di sidang pengadilan. Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal ada 4 (empat) macam sistem atau teori pembuktian. Masing-masing teori ini memiliki karakteristik yang berbedabeda dan menjadi ciri dari masing-masing sistem pembuktian ini. Adapun teori- teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Conviction Intime Sistem pembuktian conviction intime merupakan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhi putusan. Keyakinan hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan halhal lainnya jika sekiranya tidak ses uai atau bertentangan dengan keyakina hakim tersebut. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah maka teori 27 Ibid. Andi Hamzah, Op cit., hal. 187. 28 21 berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang tela h didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undangundang.29 Konsekuensi dari sistem pembuktian yang demikian tidak membuka kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan dengan menyodorkan bukti-bukti lainnya sebagai pendukung pembelaannya itu. Andi Hamzah30 menyatakan bahwa : Sistem yang demikian memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan sehingga di dalam penerapan dengan sistem tersebut membuat pertimbangan berdasarkan metode yang dapat mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh. b. Conviction Rasionnee Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Berbeda dengan sistem conviction intime, dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, keyakinannya itu harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya itu dan alasan-alasan itupun harus “reasonable “ yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima 29 Andi Hamzah, Op.Cit, hal.248. Ibid., hal. 248. 30 22 oleh akal pikiran. Sistem conviction rasionnee masih menggunakan dan mengutamakan keyakinan hakim didalam menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa. Sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian conviction intime yaitu sama-sama menggunakan keyakinan hakim, bedanya adalah terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Jika dalam sistem conviction intime keyakinan hakim bebas tidak dibatasi oleh alasan-alasan apapun sementara dalam pembuktian conviction rasionnee kebebasan itu tidak ada tetapi terikat oeh alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal sehat.31 Andi Hamzah32 menyatakan bahwa : Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya ialah pertama berpangkal tolak kepada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan, kemudian yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif. 31 M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 256. Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 250. 32 23 c. Positief Wettelijk Bewijstheorie Sistem ini adalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut sistem ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti. 33 d. Negatief Wettelijk Bewisjtheorie Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang- undang juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatief adalah sistem yang menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime, dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang 33 Rusli Muhammad, Op cit., hal.189. 24 tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. 34 Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti terpenuhi tetapi hakim tidak memperoleh keyakinan terhadapnya, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya pemidanaan. Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan putusan pidana tetapi putusan bebas. Indonesia dalam sistem peradilan pidana menggunakan sistem Negatief Wettelijk Bewisjtheorie. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatief adalah sistem yang menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime, dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan : 34 M Yahya Harahap, Op cit., hal. 257 25 "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Maka para pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem convictionin time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.35 Peran yang besar tentang keyakinan hakim dalam memutus perkara dapat menimbulkan permasalahan apabila dalam penerapannya hakikat keyakinan hakim tidak diberi makna semestinya. Hakikat dan makna keyakinan hakim dalam hal memutus suatu perkara pidana telah ditunjukkan oleh undang-undang. Makna tersebut tercermin pula dari formalitas (bentuk) yang harus dipenuhi dalam suatu putusan hakim. 36 Kehendak undang-undang tentang makna keyakinan hakim tercermin dari Pasal 183 KUHAP sebagaiamana telah disebutkan, bahwa keyakinan hakim adalah keyakinan yang diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga tidak dibenarkannya makna keyakinan yang keluar dari kehendak undang-undang. R. Subekti menyatakan bahwa: Biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan dalam undangundang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa. 37 35 Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan) , Sinar Grafika, Jakarta, hal. 27. 36 Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, hal. 84 37 R. Subekti, 2006, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hal. 7 26 Berdasarkan Pasal 182 KUHAP dapat juga diambil pengertian dari mana seharusnya keyakinan hakim diperoleh. Pasal 182 KUHAP tersebut menyatakan, apabila hakim berpendapat pemeriksaan persidangan dinyatakan ditutup, hakim akan mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan. Pasal 182 ayat (4) KUHAP: "Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan". Makna keyakinan hakim dapat terbaca pula dari Pasal 197 KUHAP yang berbunyi: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" Menurut Hendar Soetarna pernyataan tersebut didasarkan pada falsafah idealis religius, suatu yang didasarkan atas cita-cita yang mulia dan didasarkan kepada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Putusan hakim tidak hanya didasarkan kepada pertanggungjawaban kepada masyarakat, tetapi kepada titah yang lebih tinggi yakni Tuhan Yang Maha Esa yang menuntut pertanggungjawaban di kehidupan kini maupun yang akan datang. 38 E. Bentuk Putusan Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana adalah pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat 38 Ibid., hal. 85. 27 dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yang berbunyi: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Keputusan dan penetapan adalah tindakan hakim untuk menyelesaikan perkara. Keputusan diambil umumnya setelah mengadakan sidang, sedang penetapan diberikan tanpa melalui sidang pemeriksaan.Laden Marpaung 39, merumuskan mengenai pengertian putusan pengadilan yang diuraikan sebagai berikut: Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan “putusan’ atau vonis sebagai vonis tetap (definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan per kara disidang pengadilan. Putusan hakim didasarkan kepada hati nurani yang suci tanpa adanya unsur lain yang memengaruhi. Sanksi penyimpangan apalagi pengkhianatan kepada prinsip idealis religius tersebut tidak serta merta dapat dirasakan karena hal tersebut merupakan pertanggungjawaban kepada Tuhan, Sanksi yang mungkin akan dirasakan langsung adalah sanksi timbulnya penilaian negatif dari masyarakat.40 39 Laden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 36 40 Ibid. 28 Berkaitan dengan isi keputusan hakim, setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : 1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib; 2. Putusan bebas; 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.41 M. Sholehuddin berpendapat 42bahwa : Pemidanaan sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sehingga focus pemidanaan tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) dan lebih menekankan unsure pembalasan yang merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Hakim harus berusaha untuk menetapkan suatu hukuman, yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Untuk mencapai usaha ini, hakim harus memperhatikan : a. Sifat pelanggaran pidana itu (apakah itu suatau pelanggaran pidana yang berat atau ringan); b. Ancaman hukuman terhadap pelanggar pidana itu; c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang memberatka dan meringankan); d. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat tulen atau seorang penjahat yang telah berulang-ulang dihukum atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja; atau apakah ia seorang yang masih muda ataupun yang telah berusia tinggi; 41 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.285 42 M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.32 29 e. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana itu; f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu (apakah ia menyesal tentang kesalahannya ataukan keras kepala menyangkal meskipun telah ada bukti yang cukup akan kesalahnnya); g. Kepentingan umum.43 Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya. F. Pertimbangan Putusan M Yahya Harahap44 menyatakan bahwa: 43 Leden Marpeung, 2010, Proses Penanganan Acara Pidana(Di Kejaksaan &Pengadilan Negri Upaya Hukum & Eksekusi), Sinar Grafika, Jakarta, hal.139 44 M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 333 30 Dalam pertimbangan hakim harus memuat fakta dan keadaan harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Apalagi mengenai fakta atau keadaan yang "memberatkan" atau "meringankan" terdakwa, mesti jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. Hal ini sangat penting diuraikan, karena landasan yang dipergunakan sebagai dasar titik tolak untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa, tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau meringankan. Pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Mengenai Pertimbangan hakim M. Yahya Harahap45 menambahkan bahwa: Menurut hemat kita, sekalipun dikatakan "pertimbangan yang disusun ringkas," bukan berarti putusan itu benar-benar ringkas tanpa argumentasi dan kesimpulan yang jelas, terperinci, dan utuh. Penguraian fakta dan keadaan serta alat pembuktian, bukan semata-mata berupa uraian deskriptif, tetapi di samping diuraikan secara deskriptif. semuanya dipertimbangkan secara argumentatif sebelum sampai kepada kesimpulan pendapat. Sebelum putusan sampai pada uraian pertimbangan yang menyimpulkan pendapatnya tentang kesalahan terdakwa, fakta, dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan secara argumentatif sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mantap, yam: mendukung kesimpulan pertimbangan hakim. Barangkali dalam menyusun suatu putusan, masih terdapat anggapan di antara sementara hakim, putusan yang dijatuhkan tidak perlu dipahami dan dimengerti pihak lain. Seolah-olah putusan itu hanya untuk diri hakim itu sendiri. Akibatnya sering membaca putusan hakim yang sulit diikuti jalan pemikiran yang tertuang di dalamnya Dari uraian fakta dan keadaan serta pembuktian yang diskriptif, tiba-tiba putusan melompat kepada pertimbangan yang menyimpulkan pendapat hakim tentang kesalana: terdakwa. Benar-benar kita tak dapat 45 Ibid., hal. 339 31 menelusuri jalan pikiran kesimpulan tersebut. tidak melihat dalam putusan, dari mana hakim menyimpulkan kesalahan terdakwa. Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan putusan pemidanaan terhadap seorang terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan kepada seseorang tiada lain dari pada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana antara minimum dan maksimum yang dicantumkan dalam pasal pidana yang bersangkutan. Mengenai hukuman pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana disebutkan pidana terdiri atas: a. b. Pidana Pokok 1) Pidana Mati 2) Pidana Penjara 3) Pidana Kurungan 4) Pidana Denda Pidana tambahan: 1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu 2) Perampasan Barang-Barang Tertentu Pengunguman Putusan Hakim M. Yahya Harahap46 menyatakan bahwa : Sebenarnya, seandainya hakim atau pengadilan sadar bahwa putusan yang akan bukan untuk dirinya, tapi di samping putusan sebagai akta resmi yang mengikat terha semua pihak yang terlibat di dalamnya seperti terdakwa, penuntut umum, dan lerr pemasyarakatan, putusan itu juga berupa informasi terhadap semua pihak bersangkutan maupun terhadap masyarakat. Bahkan 46 Ibid., hal. 340. 32 bukan hanya sebagai bahan infor. tetapi juga dijadikan bahan kajian dalam ilmu dan praktek hukum. Oleh karena putusan jangan terlampau dilihat semata -mata dari segi yuridis saja, tapi juga dari segi penuangan argumentasi dalam suatu rangkaian bahasa yang dapat diikuti jalam pemikirannya yang tertuang dalam pertimbangan. Hakim juga mempertimbangkan hal-hal secara sosiologis sebagai pertimbangan hakim. Pelbagai faktor yang dapat mempengaruhi penjatuhan pidana seperti yang diuraikan oleh Sri Rahayu Sundari, yaitu : a. b. Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan Hal-Hal yang meringankan pemidanaan. 47 Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan dibedakan menjadi tiga, yaitu : a. b. c. Kedudukan sebagai Pejabat (Pasal 52 KUHP) Pengulangan Tindak Pidana (Residive) Perbarengan/Samenloop Menyangkut tentang kasus anak, akan tidak mungkin Apabila Anak melakukan kejahatan dalam jabatan. Hal-Hal yang meringankan pemidanaan, terbagi juga menjadi tiga, yaitu : a. b. c. Percobaan (Poging ) Pembantuan (Medeplictige) Belum cukup umur (Minderjarig ) Dengan pemahaman demikian, memang terhadap anak yang melakukan kenakalan, UU tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa bagi anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka ancamannya menjadi dikurangi 1/2 dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada orang dewasa. 48 47 Sri Rahayu Sundari dalam Nashriana, 2005, Hukum Penitensier, UNSRI, Palembang, hal. 18 -20 48 Ibid., hal. 21. 33 Hakim memiliki peranan yang sangat penting dalam membuktikan suatu perkara pidana. H. P Panggabean menyatakan bahwa terdapat 3 peranan hakim dalam persidangan antara lain peranan hakim bersifat legalistik, peranan hakim bersifat intuitif pengadilan dan peranan hakim pidana dalam penerapan hukum pembuktian. Peranan Hakim bersifat legalistik dibagi dalam 2 (dua) aspek: 1. 2. Penerapan Hukum melalui penafsiran atas penataan Hukum yang berlaku sebagai The living law. Penemuan Hukum bagi bidang-bidang Hukum yang belum ada peraturan hukumnya (aspek res cottidiane).49 Selain peranan hakim bersifat legalistik, hakim juga memiliki Peranan yang bersifat intuitif pengadilan. Bersamaan dengan peranan Hakim bersifat legalistic tersebut, penerapan Hukum Pembuktian telah membebani profesi Hakim untuk melakukan fungsi penegakan hukum itu dengan mendasari semua putusannya sengan 3 (tiga) unsur pertimbangan intuitif pengadilan, yakni: 1. 2. 3. 49 Unsur kepastian hukum (rechtssicherkeit) yang member jaminan bahwa hukum itu dijalankan sehinga yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan seperti itu juga dapat diterapkan untuk jenis perkara yang sama Unsur kemanfaatan (zweckmassigkeit), bahwa isi putusan itu tidak hanya bermanfaat bagi pihak berpekara tetapi juga bagi masyarakat luas. Masyarakat berkepentingan atas putusan hakim itu karena masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat Unsur keadilan (gerechtigkeit), yang memberi keadilan bagi pihak yang bersangkutan; kalaupun pihak lawan menilainya tidak adil masyarakat harus dapat menerimanya sebagai adil. Asas hukum yang berbunyi: lex dura sed tamen scripta , mengartikan hukum itu kejam tetapi begitulah bunyinya. Dalam hal terjadi konflik antar keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, unsur keadilanlah yang seharusnya didahulukan. 50 H.P. Panggabean, 2012, Hukum Pembuktian (Teori Paktik dan Yurisprudensi Indonesia), Alumni, Bandung, hal. 124 50 Ibid., hal. 127. 34 Hakim juga memiliki peranan penerap hukum pembuktian. Hukum Acara Pidana mengatur hubungan antara Negara dengan perseorangan yang didalamnya menghendaki kepentingan untuk mempertahankan ketertiban umum. Berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang bersifat hukum privat, maka terdapat perbedaan dalam sistem pembuktian, urutan dan kekuatan alat-alat bukti. Dalam acara pembuktian Hakim Pidana memiliki kebebasan dalam rangka mencari kebenaran materiil, yang menurut KUHAP kebenaran materiil tersebut melalui tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan dan pelaksanaan, pengamatan serta pengawasan. Martiman Prodjoha midjojo berpendapat bahwa acara pembuktian tersebut hanyalah merupakan salah satu faset dari hukum acara pidana secara keseluruhan. 51 Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Memang benar, hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman "minimum" dan "maksimum" yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Terserah pada penilaiannya seberapa beratkah hukuman pidana yang pantas dijatuhkan 51 Ibd., hal. 128 35 kepada terdakwa sesuai dengan berat ringannya kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam berbagai putusan Mahkamah Agung, antara lain dalam putusan tanggal 17 Januari 1983 No. 553 K/Pid/ 1982, yang menegaskan bahwa "mengenai ukuran hukuman adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh undang-undang, atau kurang memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman. Untuk melihat status terdakwa yang dapat diperintahkan pengadilan berbarengan dengan saat putusan diucapkan, berpedoman kepada Pasal 193 ayat (2). Dari ketentuan ayat (2) ini, ada berbagai status yang dapat diperintahkan pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan putusan pidana. G. Alat Bukti Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, terdiri dari : a. Keterangan saksi Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah "orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri". Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti telah diatur dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. 36 Sedangkan pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : "Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut dengan "testimonium de auditu " bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP). Pasal 1 butir 27 KUHAP apabila dikaitkan dengan Pasal 135 ayat (1) KUHAP da pat diketahui sebagai berikut : a. b. c. 52 Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. 52 M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 266. 37 Menjadi saksi adalah suatu kewajiban setiap orang namun demikian Pasal 168 KUHAP menentukan siapa-siapa yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat minta mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu apabila : a. b. c. Mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Saudara terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau bersamasama sebagai terdakwa. Nilai kekuatan pembuktian yang melihat pada alat bukti keterangan saksi : a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Pada alat bukti kesaksian tidak melekat pembuktian yang sempurna (volledig bewijs kracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (besliessende bewijs kracht). Tegasnya alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai pembuktian bebas. Oleh karena itu alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang bersifat bebas dan tidak sempurna serta tidak menentukan atau tidak mengikat. b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempur na dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap saksi. Hakim 38 bebas untuk menilai kekuatan dan kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya. 53 Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diberikan dalam persidangan dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu :54 a. Keterangan yang diberikan “tanpa sumpah” Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi: 1) Karena saksi menolak bersumpah Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena saksi menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji, bukan merupakan alat bukt i.Pasal 161 ayat (2) KUHAP menilai kekuatan pembuktian keterangan tersebut “dapat menguatkan keyakinan hakim” apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. 2) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata “tidak dapat dihadirkan” dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal ini undang-undang tidak meyebut secara tegas nilai pembuktian 53 M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 273-274. Yahya Harahap, op. cit. , hal. 291-295 54 39 yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang dibacakan di sidang pegadilan. 3) Karena hubungan kekeluargaan Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu dengan terdakwa tidak dapat memberi keterangan dengan sumpah. 4) Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan tanpa sumpah di sidang pengadilan. Nilai keterangan mereka dinilai bukan merupakan alat bukti yang sah.Penjelasan Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai pembuktian yang melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai petunjuk. b. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah a) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan tidak “menentukan” atau “tidak mengikat”. b) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim 40 Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menarima kebenaran setiap keterangan saksi. b. Keterangan ahli Pengertian umum dari keterangan ahli tercantum dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang berbunyi : "Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan Pemeriksaan" Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah dari seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP disebutkan : "Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim". Keterangan ahli diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim dan juga keterangan ahli itu diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, baik itu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik maupun pemeriksaan yang dilakukan di pengadilan. 41 Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli : 1) 2) c. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas ( Vrij Bewijs Kracht) Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah pada penilaian hukum. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak Cukup dan tidak memadai dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan, terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai oleh alat bukti lain. 55 Surat Pasal 187 KUHAP memberikan pengertian alat bukti surat sebagai berikut : Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah; 1) 55 Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; Ibid., hal. 283-284 42 2) 3) 4) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu ha l keadaan; Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang secara resmi daripadanya; Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain". Surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Syarat mutlak dalam menentukan suatu surat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Nilai kekuatan pembuktian surat. 1) Ditinjau dari segi fomil Ditinjau dari segi formil, alat bukti surat yang disebut Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk-bentuk surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formil dalam pembuatannya dan dibuat berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang serta keterangan yang terkandung dalam surat tadi dibuat atas sumpah jabatan, maka jika dari segi formil alat bukti surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP adalah alat bukti yang bernilai sempurna. Oleh karena itu alat bukti surat resmi mempunyai nilai "pembuktian formil yang sempurna". 2) Ditinjau dari segi materiil Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan 43 pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formil alat bukti surat yang disebut Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP, sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya mengadung nilai kekuatan pe mbuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat saja menggunakan atau menyingkirkannya.56 Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa, ditinjau dari segi formil, alat bukti surat yang disebut Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk-bentuk surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan perundang-undangan. Misalnya dalam kasus-kasus pemalsuan surat asli tapi palsu. Biasanya surat surat tersebut dari segi prosedurnya memang memenuhi peraturan perundang-undangan, namun dari segi isilah yang dilakukan pemalsuan, sehingga hakim perlu untuk menggali secara materil suatu alat bukti surat. Hal ini karena ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat secara materil tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat, hakim harus cermat membuktikan informasi yang ada di dalam surat tersebut. 56 M Yahya Harahap, Op cit., hal.. 288-289. 44 d. Petunjuk Alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam pasal 188 KUHAP yang terdiri dari ayat (1), (2), dan (3). Dalam ayat (1) yang diartikan dengan petunjuk adalah : "Petunjuk ialah pe rbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya". Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk hanyalah dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Syaratsyarat untuk dapat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti haruslah : 1) 2) 3) Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi; Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu lama lain dengan kejahatan yang terjadi; Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan. 57 Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dan suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilaksanakan oleh hakim dengan arif dan bijaksana. Setelah hakim melakukan pemeriksaan dengan cermat dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Alat bukti petunjuk mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas yakni : 57 Andi Hamzah , 2002, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 263. 45 1) 2) e. Hakim tidak terikat pada kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan menggunakannya sebagai upaya pembuktian. Petunjuk sebagai alat bukti tidak Bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. 58 Keterangan terdakwa Alat bukti terdakwa didapati pada urutan terakhir dari alat-alat bukti yang ada dan uraiannya terdapat pada Pasal 189 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Di dalam HIR, alat bukti ini disebut dengan istilah pengakuan terdakwa, dalam KUHAP disebut dengan istilah keterangan terdakwa. Andi Hamzah59 berpendapat bahwa, keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa hendaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat : 1) 2) 58 Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan; Mengaku ia bersalah. 60 M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 296 Andi Hamzah, Op cit., hal. 273. 60 Ibid., hal. 273. 59 46 Pada pengakuan terasa mengandung suatu pernyataan tentang sesuatu yang dilakukan seseorang sedangkan pada keterangan pengertiannya lebih bersifat suatu penjelasan akan sesuatu yang akan dilakukan seseorang. Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang dengan diperlukan beberapa alat sebagai landasan berpijak, antara lain : 1) 2) 3) 4) 61 Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Sebagai asas kedua ini, agar keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus memuat pernyataan atau penjelasan tentang : a) Perbuatan yang dilakukan terdakwa; b) Apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa; c) Atau apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan :"keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Semua yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara pidana terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada diri sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahannya. Pasal 189 ayat (40) KUHP berbunyi : "keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Ketentuan tadi merupakan penegasan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 61 M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 299-300. 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas anatara sistem hukum dengan sistem lainya.62 Pendekatan ini dipilih untuk menjawab pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan akibat dari putusan pemidanaan terhadap tindak pidana persetubuhan anak di bawah umur pada Putusan Nomor 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt secara kaidah normatif hukum acara pidana. B. Spesifikasi Penelitian Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian Preskripsi. Spesifikasi penelitian ini adalah Preskripsi, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan obyek yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut oleh Peter Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya. 63 Dalam hal ini peneliti mencoba menguraikan, mengungkap dan mengkaji pertimbangan hakim dalam 62 JhonnyIbrahim, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Cetakan Ketiga, Banyumedia Publishing. 63 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum , Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal 91 . 48 menjatuhkan putusan pemidanaan dan akibat dari putusan pemidanaan terhadap tindak pidana persetubuhan anak di bawah umur pada Putusan Nomor 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. C. Sumber Data Penelitian yang dilakukan ini adalah merupakan penelitian yuridis normatif, maka sumber data yang digunakan yaitu data sekunder data utama dan data primer sebagai penunjang data sekunder.Data sekunder adalah data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.64 Data sekunder merupakan data pokok dalam penelitian ini yang bersumber dari studi pustaka berupa peraturan perundang-undangan, buku literatur, dokumen-dokumen atau arsip -arsip yang ada kaitannya dengan masalah penelitian.Data sekunder di bidang hukum dapat dibedakan menjadi: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu diperoleh melalui peraturan perundang-undangan serta dokumendokumen resmi lain yang sesuai dengan pokok masalah penelitian yang diajukan. 65 Bahan hukum primer yang digunakan antara lain Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 64 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.13. 65 Peter Mahmud Marzuki,Op cit., hal. 141 49 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang bersumber langsung dari kepustakaan, doktrin maupun referensi ilmiah yang relevan dengan penelitian atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap/ mengenai bahan hukum primer. 66 Dalam penelitian ini penulis mencoba mengumpulkan bahan-bahan hukum sekunder yang terkait berdasarkan atas tema penelitian yaitu tindak pidana persetubuhan anak, Perlindungan Anak, Sistem Peradilan Anak dan proses-proses acara pidana. D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian, kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. E. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan lainya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. 66 Ibid., hal. 142. 50 F. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teori-teori, pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang ter dapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Pidana. 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Duduk Perkara Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI pada hari Senin, tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Pukul: 04.00. WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain di bulan Agustus 2011, bertempat di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan, RT.05, RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk daerah hokum Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannva atau dengan orang lain. Saksi korban GITA LUSIANA lahir tanggal 13 Mei 1997, Umur 14 Tahun, Sekolah di Pondok Pesantren Al Asyriah Nurul Iman Bogor, saat libur menjelang puasa sekitar bulan Agustus 2011 pulang ke rumah orangtuanya di Desa Dawuhan Wetan RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, karena ibunya sedang bekerja sebagai TKW di Hongkong sehingga saksi korban GITA LUSIANA hanya 52 tinggal bersama Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI selaku ayah tiri. Pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar Jam.04.00. WIB sehabis makan sahur Terdakwa tidur di kamar Terdakwa, kemudian saksi korban GITA LUSIANA masuk ke kamar Terdakwa dan tidur di sebelah Terdakwa sambil menumpangkan kakinya ke paha Terdakwa, karena Terdakwa sudah lama tidak pernah berhubungan dengan isterinya sehingga Terdakwa menciumi bibir dan leher serta meremas-remas payudara saksi kor ban GITA LUSIANA, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang lalu membuka pakaian saksi korban GITA LUSIANA hingga telanjang bulat, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang, lalu Terdakwa menjilati puting payudara GITA LUSIANA dan membujuk GITA LUSIANA "kalau mau disetubuhi nanti akan dibelikan baju baru, yang sudah tegang kedalam kemaluan saksi korban GITA LUSIANA lalu digoyang-goyangkan dengan posisi saksi korban dibawah dan Terdakwa hingga Terdakwa mengeluarkan sperma. Sesuai Visum Et Repertum No. Pol: R/20/X/2011, tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes Polies Banyumas setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GITA LUSIANA, Umur 14 Tahun, Pelajar, alamat Desa Dawuhan Wetan, RT.05, RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas dari hasil pemeriksaan Mulut alat kelamin tidak ada kelainan, Selaput dara: ditemukan luka robek 53 lama total (habis), Liang senggama (vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher rahim (cervik): tidak ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari diatas sympisis pubis, lain-lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT, tanggal 15 Juli 2011, pemeriksaan Laboratorium: dilakukan test urine dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 Minggu, perbuatan Terdakwa akhirnya dilaporkan oleh saksi TARSIWAN ke pihak yang berwajib untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. 2. Bentuk Dakwaan Jenis dakwaannya adalah alternatif dengan dakwaan sebagai berikut : a. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat ,1 KUHP ; b. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP 3. Pembuktian a. Keterangan Saksi Saksi GITA LUSIANA Saksi memberikan keterangan bahwa saksi kenal dengan Terdakwa karena Terdakwa adalah ayah tirinya.Saksi tinggal bersama Terdakwa sejak berumur 7 (tujuh) Tahun. Saksi tinggal di 54 rumah hanya berdua dengan Terdakwa sedang ibu saksi kerja di Hongkong sudah 4 (empat) Tahun sebagai TKI. Sebelum kejadian saksi sekolah di Pondok Pesantren Al Asyriah Nurul Iman Bogor, karena libur bulan puasa sehingga saksi pulang ke rumah milik ibunya di Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas. Terdakwa melakukan hubungan suami isteri dengan saksi yang pertama di ruang tamu, tanggal 1 Agustus 2011, yang kedua di kamar Terdakwa tanggal 15 Agustus 2011, yang ketiga di kamar Terdakwa, tanggal 19 Agustus 2011, yang keempat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, yang kelima tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, yang keenam di kamar Terdakwa, sedangkan yang ke 7, 8 dan 9 dilakukan di Lampung. Saksi pulang ke rumah 1 (satu) Tahun sekali setiap bulan puasa. Rumah yang ditempati oleh Terdakwa berhubungan dengan rumah kakek saksi yang bernama DALDIRI. Sebelum saksi sekolah di Pondok Pesatren di Bogor, saksi tinggal 1 (satu) rumah dengan Terdakwa ; Di sekolah, saksi tidak mempunyai pacar dan saksi pertama kali haid sejak Kelas 5 SD. Setelah kejadian setiap buang air, kemaluan saksi terasa perihdan celana dalam berdarah. Sebelum melakukan hubunga n, saksi dijanjikan akan dibelikan baju baru buat lebaran dan akan dituruti setiap apa yang saksi minta. Awalnya Terdakwa menciumi pipi saksi berkali-kali lalu Terdakwa 55 membuka baju yang dikenakan saksi dan meraba payudara saksi serta meraba-raba kemaluan saksi selanjutnya Terdakwa menggesek-gesekkan alat kelaminnya yang sudah tegang lalu dimasukkan kedalam kemaluan saksi. Terdakwa mengeluarkan spermanya didalam kemaluan saksi. Pada saat kejadian tidak ada orang yang mengetahuinya karena korban hanya tinggal berdua dengan ayah tirinya saja . Akibat dari perbuatan Terdakwa, kemaluan saksi terasa sakit dan sekarang dirinya mengalami kehamilan.Kehamilan saksi berusaha digugurkan oleh Terdakwa di Lampung dengan cara dipijatkan ke seseorang lalu disuruh merninum jamu oleh Terdakwa. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan . Saksi TARSIWAN Bin SUMARNO Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan bersedia memberikan keterangan. Saksi adalah Orangtua GITA LUSIANA. Saksi sudah bercerai dengan ibunya GITA LUSIANA sudah sekitar 14 (empat belas) Tahunan dan hanya dikaruniai 1 (satu) Orang anak yaitu GITA LUSIANA. Saksi sekarang sudah kawin lagi dan semenjak cerai, GITA LUSIANA ikut dengan ibunya. Benar anaknya yang bernama GITA LUSIANA telah dihamili oleh ayah tirinya.Ibunya GITA LUSIANA saat ini sedang berada di Luar sebagai TKW dan korban tinggal bersama 56 Terdakwa sajak umur 7 (tujuh) Tahun.Saksi mengetahui Terdakwa telah menyetubuhi GITA dari pengakuan Terdakwa ketika saksi berada di Lampung untuk menjemput GITA yang dibawa ke Lampung oleh Terdakwa. Awalnya pada bulan September 2011 Terdakwa pamit kepada saksi kalau hendak kerja di Tangerang dan sekalian mengantarkan GITA ke Pondok Pesantren di Bogor dimana GITA bersekolah. Setelah 5 (lima) hari ternyata Terdakwa tidak memberi kabar kepada saksi, sudah sampai tujuan atau belum. Selanjutnya saksi mengecek kepada teman G1TA yang sama -sama sekolah 1 (satu) Pondok dan temyata GITA belum kembali ke Pondok. Kemudian saksi berusaha mencari informasi dan juga tanya kepada orang pintar dan dari ikhtiar tersebut saksi memperoleh petunjuk kalau GITA dibawa oleh Terdakwa ke Lampung. Setelah musyawarah bersama keluarga dengan mengajak Sdr. KODRI (keponakan saksi) selanjutnya pada hari Selasa, tanggal 20 September 2011 bersama-sama berangkat ke Lampung dan pada tanggal 22 September 2011 saksi sampai di Lampung langsung menuju rumah adik Terdakwa yang bernama BUDI. Selanjutnya saksi diajak untuk menemui Terdakwa dan GITA di rumah Paman Terdakw a. Setelah ketemu dengan terdakwa, saksi tanya ada masalah apa kok GITA tidak diantar ke Pondok malah diajak ke Lampung, kemudian Terdakwa menjawab "saya bersalah, 57 minta maaf karena GITA telah berhubungan intim dengan saya (Terdakwa)". Setelah mendengar pengakuan Terdakwa tersebut lalu saksi membawa GITA LUSIANA pulang. 2 (dua) hari kemudian setelah sampai di rumah, saksi memeriksakan GITA ke Bidan dan dari hasil pemeriksaan tersebut, benar GITA sudah hamil dan jalan 3 (tiga) Bulan. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan . Saksi KODRI Bin PADOLI Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Saksi adalah paman dari GITA LUSIANA. Saksi tahu sehubungan dengan GITA telah hamil dan menghamili adalah ayah tirinya yaitu Terdakwa MUHAJIR RASYID. Saksi tahu kalau GITA hamil setelah pulang dari Lampung. Saksi dengan Terdakwa, tetangga 1 (satu) RT. Awalnya Neneknya GITA cerita kepada saksi kalau GITA dittawa oleh Terdakwa untuk diantar ke Pondok Pesantren Nurul Iman di Bogor dan ternyata setelah di cek, GITA belum masuk juga ke Pesantren. Kemudian saksi dimintai tolong untuk menjemput GITA di Lampung bersama Kakeknya GITA yang bernama DALDIRI ; Selanjutnya saksi dan Sdr. DALDIRI berangkat ke Lampung pada tanggal 20 September 2011 dan sampai di 58 Lampung tanggal 22 September 2011 langsung menuju rumah adiknya Terdakwa yang bernama BUDI ternyata Terdakwa dan GITA tidak ada ditempat. Kemudian kakeknya GITA diantar oleh Sdr. BUDI ke Wijaha ternyata GITA tinggal bersama Terdakwa di Wijaha. Kemudian pada tanggal 22 September 2011 GITA diajak pulang. Baru setelah sampai di rumah saksi, baru tahu kalau GITA telah hamil dan ternyata Terdakwa yang menghamilinya. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. Saksi ANGGUN YUDI NUGROHO Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Saksi telah menerima laporan dari TARSIWAN kalau anak kandungnya yaitu GITA LUSIANA di hamili oleh Terdakwa MUHAJIR RASYID yang merupakan ayah tirinya. Kemudian saksi melakukan penyelidikan dan setelah lapor ke atasan, saksi diperintahkan untuk berangkat ke Lampung untuk mencari keberadaan Terdakwa. Korban GITA LUSIANA masih berumur 14 (empat belas) Tahun dan selanjutnya korban lalu saksi ajak ke Polres Banyumas untuk diperiksakan kedokter. Kemudian saksi pada tanggal 27 Oktober 2011 menuju ke untuk meneari keberadaan MUHAJIR di Jalan Raya Desa Gisting, setelah lalu Terdakwa saksi tangkap 59 untuk dibawa ke Purwokerto. Dalam perjalanan Purwokerto Terdakwa telah mengakui menyetubuhi menuju GITA LUSIANA berulang kali sehingga GITA hamil. Pengakuan Terdakwa, GITA mau diajak bersetubuh oleh Terdakwa karena sebelumnya Terdakwa membujuk GITA dengan janji akan dibelikan baju baru dan akan menuruti apa yang diminta. b. Surat Berdasarkan Visum Et Repertum No. Pol: R/20/X/2011, tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes Polies Banyumas setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GITA LUSIANA, Umur 14 Tahun, Pelajar, alamat Desa Dawuhan Wetan, RT.05, RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas dari hasil pemeriksaan Mulut alat kelamin tidak ada kelainan, Selaput dara: ditemukan luka robek lama total (habis), Liang senggama (vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher rahim (cervik): tidak ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari diatas sympisis pubis, lain-lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT, tanggal 15 Juli 2011, pemeriksaan Laboratorium: dilakukan test urine dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 Minggu. Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap perempuan tersebut diatas 60 ditemukan luka robek lama pada hymen (selaput dara) total (habis), yang diakibatkan oleh karena kekerasan benda tumpul dan yang bersangkutan dalam keadaan hamil. c. Keterangan Terdakwa Terdakwa mengerti dan paham dengan dakwaan Penuntut Umum. Dalam perkara ini Terdakwa tidak bersedia didampingi oleh Penasihat Hukum. Terdakwa pernah dimintai keterangan di depan Penyidik dan keterangan yang Terdakwa berikan tersebut sudah benar semuanya. Terdakwa mengerti dihadapkan ke persidangan karena telah menggauli tirinya yaitu bernama GITA LUSIANA. Kejadian pertama pada awal bulan puasa yaitu pada hari Senin, tanggal 1 Agustus 2011 selesai makan sahur, setelah beres-beres Terdakwa mengatakan kepada GITA, GIT saya mau tidur dulu lalu Terdakwa masuk ke kamar, kemudian GITA menyusul masuk ke kamar Terdakwa dan Terdakwa kemudian lalu menerangkan dirinya telah menyetubuhi anak tirinya sendiri yang bernama GITA LUSIANA yang akrab dipanggil GITA. Terdakwa telah menyetubuhi korban sebanyak 9 (sembilan) kali, yang 6 (enam) kali dilakukan dirumahnya yang beralamatkan di Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas dan yang sebanyak 3 (tiga) kali Terdakwa lakukan di Lampung pada hari dan tanggal lupa, tetapi pada bulan Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi pertama 61 kali pada tanggal 17 Agutus 2011 dilakukan di kamar Terdakwa dengan cara Terdakwa menc iumi, menjilati payudara, memegang kemaluan korban lalu Terdakwa melepas pakaian GITA dan pakaiannya sendiri hingga telanjang bulat, lalu alat kelamin Terdakwa dimasukkan kedalam kemaluan GITA dengan posisi GITA dibawah dan Terdakwa diatas dan mengeluarkan sperma didalam kemaluan GITA. Kemudian kejadian yang ke-2 pada tanggal 5 Agustus 2011, GITA masuk ke kamar Terdakwa, Terdakwa menciumi bibir GITA dan GITA membalasnya lalu GITA membuka celana dan Terdakwa juga membuka celananya selanjutnya Terdakwa memasukkan alat kelaminnya kedalam kemaluan GITA. Kejadian ke-3 pada tanggal 12 Agustus 2011 di kamar Terdakwa dilakukan selesai makan sahur, kemudian Terdakwa tidur lalu GITA mauk ke kamar sedang pegang Hand Phone, setelah Terdakwa akan pinjam Hand Phone milik G1TA, GITA tidak memperbolehkan kemudian Terdakwa mengajak GITA untuk melakukan hubungan suami isteri lagi. Kejadian ke-4 pada tanggal 20 Agustus 2011, kejadiannya di kamar Terdakwa. Kejadian yang ke-5 yaitu pada tanggal 28 Agustus 2011 dilakukan di kamar Terdakwa, kejadian ke-6 pada waktu setelah lebaran hari ke-4, Jam.11.00. WIB saat Terdakwa baru menonton televisi lalu GITA tiduran di dekat Terdakwa kemudian Terdakwa memasukkan alat 62 kelaminnya kedalam kemaluan GITA. Kejadian ke -7, 8 dan ke 9, Terdakwa melakukan persetubuhan dengan GITA di Lampung. Terdakwa mengetahui kalau GITA hamil pada saat melakukan hubungan yang ke-4, GITA mengatakan kalau dirinya terlambat bulan. Terdakwa kawin dengan ibunya GITA sudah sekitar 8 (delapan) Tahunan. Terdakwa kawin dengan ibunya GITA tetapi belum dikaruniai anak. Terdakwa mengetahui kalau GITA LUSIANA masih anak-anak. Terdakwa tahu kalau berhubungan kelamin itu bisa menimbulkan kehamilan. Terdakwa tahu kalau GITA LUSIANA masih berumur 14 (empat belas) Tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah tangga, tetapi,Terdakwa masih tetap menyetubuhi GITA karena didorong oleh nafsu melihat tubuh korban dan juga dikarenakan Terdakwa sudah lama tidak mendapatkan nafkah bathin dari isterinya yang sedang bekerja di Luar negeri sebagai TKI di Hongkong. Terdakwa sebelum menyetubuhi GITA mengatakan apabila sampai hamil bapak siap untuk ,bertanggung jawab dengan menikahi lalu kemudian GITA akhirnya bersedia disetubuhi oleh Terdakwa. Akibat dari perbuatan Terdakwa tersebut GITA merasakan sakit pada kemaluannya dan mengalami kehamilan yang sudah berumur 3 (tiga) Bulan. d. Barang Bukti 63 Barang bukti yang didapatkan Penuntut Umum dari hasil penyidikan guna kepentingan pembuktian di persidangan antara lain : 1) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang ; 2) 1 (satu) buah rok warna hitam Barang bukti tersebut telah disita secara sah menurut hokum oleh karenanya dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian. Majelis Hakim telah pula memperlihatkan barang bukti tersebut baik kepada para saksi maupun kepada Terdakwa, dimana mereka telah membenarkannya. Oleh karena itu berdasarkan Ketentuan Pasal 181 Jo Pasal 184 (1) d Jo Pasal 188 (1) (2) KUHAP merupakan alat bukti yang sah. 4. Tuntutan Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana yang pada pokoknya Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1) Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut" sebagaimana dalam dakwaan kesatu Jaksa Penuntut Umum ; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut diatas 64 dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) Tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam taha nan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan, dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) Bulan kurungan ; 3) Menyatakan Barang Bukti berupa : - 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang ; - 1 (satu) buah rok warna hitam ; Dikembalikan kepada GITA LUSIANA ; 4) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500,- (Dua ribu ratus rupiah) . 5. Putusan a. Pertimbangan Hakim Dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan salah satu dari dakwaan tersebut yang unsur -unsurnya dipandang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yaitu dakwaan Kesatu: Pasal 81 ayat 2 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut : 1) Unsur Barang siapa; 2) Unsur Dengan sengaja; 65 3) Unsur Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak; 4) Unsur Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; 5) Unsur Melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan; Ad.1. Unsur Barang siapa ; Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap orang selaku subyek hukum yang diduga atau disangka telah melakukan perbuatan yang dapat di hukum atas perbuatannya dan orang tersebut harus mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ; Dalam hukum pidana rumusan kata barang siapa atau setiap orang adalah menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek hukum melekat erat kemampuan bertanggung jawab yaitu hal- hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UndangUndang yang dapat dihukum, sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab atas perbuatannya ; 66 Memperhatikan pengertian tersebut diatas dihubungkan dengan fakta-fakta berdasarkan yang keterangan terungkap saksi-saksi dalam dan persidangan, Terdakwa telah membenarkan identitasnya, dan selama persidangan Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI mampu bertanggung jawab secara hukum dan dalam diri ditemukan alasan yang dapat rnenghapus pertanggung jawaban pidana. Maka dengan demikian unsur ke satu terpenuhi. Ad.2. Unsur Dengan sengaja ; Makna `sengaja' tidak dapat lepas dari niat yang hanya ada dalam sikap batin pelaku, namun demikian sikap batin tersebut dapat diketahui dari formulasi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan rumusan pengertian tentang "dengan sengaja" , oleh karena itu Majelis Hakim akan berpedoman pada pengertian dengan sengaja yang terdapat dalam Memori van Teolichting. Kata dengan sengaja atau kesengajaan atau dolus atau opzet dalam memori van Teolicting adalah mengandung makna "willens en weten " yang artinya bahwa seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja harus 67 menghendaki (willen) dari perbuatan itu, serta harus menginsafi (weten) akan akibat dari perbuatannya tersebut. Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang berkaitan erat dengan keadaan batin pelaku, yang hanya dapat diketahui dari rangkaian perbuatannya. Menurut doktrin hukum pidana untuk menetapkan suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja dikenal dengan 3 (tiga) teori, yaitu : 1) Teori kehendak adalah apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh pelaku, tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak bahwa perbuatan tersebut dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang ; 2) Teori pengetahuan yaitu bahwa perbuatan tertentu dikatakan sengaja apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku yang jika perbuatan itu dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana ; 3) Teori gabungan yaitu gabungan dari kedua teori di atas, suatu perbuat dikatakan disengaja apabila perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki pelaku ; Menurut doktrin Hukum pidana Modern kesengajaan dik dengan tiga gradasi, dan dipergunakan untuk menentukan 68 hubungan kausal antara kelakuari / perbuatan dengan akibat yang dilarang hukum pidana, yaitu : 1) Kesengajaa n sebagai maksud (opzet als oogmerk ), berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan pelaku ; 2) Kesengajaan sebagai kesadaran pasti (kepastian) atau keharusan (opzet bij zekerheids bewustzijn), berarti untuk mencapai maksud yang sebenarnya Terdakwa harus melakukan perbuatan yang dilarang ; 3) Kesengajaan dengan (voorwaardelijkopzet), menyadari yang kemungkinan menjadi standar kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan dan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang ; Berdasarran fakta-fakta dipersidangan terungkap bahwa pada tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Puku1.04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 dan hari ke 4 setelah lebaran Tahun 2011 di rumah Terdakwa di Desa Dawuhan Kedungbanteng, Wetan, Kabupaten RT.05. RW.03, Banyumas, Kecamatan Terdakwa telah 69 melakukan persetubuhan dengan saksi korban GITA LUSIANA yang masih berumur 14 (empat belas) Tahun, bahwa Terdakwa sebagai Orangtua saksi GITA LUSIANA tahu kalau perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-Undang serta bertentangan dengan norma agama, dan Terdakwa sebagai Orangtua saksi GITA LUSIANA yang seharusnya mendidik, melindungi saksi GITA LUSIANA yang masih anak-anak, lahir tanggal 13 Mei 1997 sehingga masih berumur 14 (empat belas) Tahun, akan tetapi Terdakwa malah menyetubuhi saksi GITA LUSIANA sehingga jelas Terdakwa mengetahui akan perbuatan yang dilakukannya dan Terdakwa tahu akan akibat yang timbul dari perbuatan yang Terdakwa lakukan tersebut yaitu kehamilan GITA LUSIANA, dengan demikian unsur kedua terpenuhi. Ad.3. Unsur Melakukan Tipu Muslihat, Serangkaian Kebohongan, Atau Membujuk Anak Elemen dari unsur ini bersifat alternatif sehingga apabila salah satu elemen dari unsur ini sudah terbukti maka unsur inipun haruslah dinyatakan terbukti. Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan yaitu keterangan saksi TARSIWAN Bin SUMARNO selaku orangtua GITA LUSIANA dan Surat Kelahiran, bahwa GITA LUSIANA lahir tanggal 13 Mei 1997 sehingga masih berumur 14 (emnpat belas) Tahun. 70 Berdasarkan fakta dipersidangan yaitu keterangan saksisaksi dihubungkan dengan barang bukti serta alat bukti surat, bahwa sebelum Terdakwa melakukan persetubuhan terhadap saksi GITA LUSIANA yang masih berumur 14 (ernpat belas) Tahun, Terdakwa membujuk saksi GITA LUSIANA dengan mengatakan., "Kalau mau berhubungan akan dibelikan baju baru dan siap bertanggung jawab dengan menikahi GITA", karena saat itu bulan puasa dan mau lebaran sehingga kata-kata tersebut saksi GITA LUSIANA mau melakukan persetubuhan dengan Terdakwa. Dengan demikian unsur ketiga ini terpenuhi. Ad.4. Unsur Melakukan Persetubuhan Dengannya Atau Dengan Orang Lain; Pengertian persetubuhan adalah pertemuan antara alat kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin wanita (vagina), yaitu alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kemaluan perempuan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa dipersidangan serta alat bukti surat Visum Et Repertum diketahui bahwa tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Pukul. 04.00 WIB , tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011. tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011, di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten 71 Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi GITA LUSIANA dengan cara awalnya Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas payudara GITA LUSIANA, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang lalu membuka pakaian saksi GITA LUSIANA hingga telanjang, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang lalu Terdakwa menjilati puting payudara GITA LUSIANA kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang kedalam kemaluan GITA LUSIANA de ngan posisi GITA LUSIANA dibawah dan Terdakwa diatas sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma. Sesuai Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X/2011, tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes, Polres Banyumas setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GITA LUSIANA, Umur 14 Tahun, Pelajar, Alamat Desa Dawuhan Wetan, RT.05. Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas ; Hasil Pemeriksaan : Alat kelamin dan kandungan : Mulut alat kelamin: tidak ada kelainan, Selaput dara: ditemukan luka robek lama total (habis), Liang Senggama 72 (vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher rahim (cervik_: tidak ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari diatas sympisis pubis, lain-lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT, tanggal 15 Juli 2011, pemeriksaan Laboratorium: dilakukan test urine dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 Minggu ; Kesimpulan : Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap perempuan tersebut diatas ditemukan luka robek lama pada hymen (selaput dara) total (habis), yang diakibatkan oleh karena kekerasan benda tumpul dan yang bersangkutan dalam keadaan hamil ; Dengan demikian unsur keempat ini terpenuhi ; Ad.5. Unsur Melakukan Beberapa Perbuatan Perhubungan Sehingga Dengan Demikian Harus Dipandang Sebagai Satu Perbuatan Yang Diteruskan ; Beberapa perbuatan dipandang sebagai perbuatan berlanjut apabila perbuatan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut : 1) Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan ; 2) Perbuatan-perbuatan tersebut hams sama atau sama 73 macamnya ; 3) Antara perbuatan yang satu dengan lainnya tidak boleh terlalu lama Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan terungkap bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI melakukan persetubuhan dengan GITA LUSIANA sebanyak 9 kali yaitu persetubuhan ke 1 dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2011 malam hari dikamar Terdakwa, ke 2 tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 3 tanggal 19 agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 4 tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 5 tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 6 tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, sedangkan persetubuhan ke 7, 8 dan 9 Terdakwa lakukan dengan GITA LUSIANA di Lampung pada bulan September 2011. Dengan demikian unsur ke 5 ini terpenuhi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut semua unsur yang terdapat dalam Pasal 81 ayat 2 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, telah terpenuhi dan berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa yang didukung dengan barang bukti, Majelis Hakim rnemperoleh kesimpulan dan berkeyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyaki bersalah melakukan tindak pidana seba gaimana yang didakwakan kepadanya. 74 Selanjutnya berdasarkan fakta yang, terungkap persidangan serta keadaan diri Terdakwa didalam atau selama mengikuti persidangan membuktikan bahwa pada diri Terdakwa tidak didapati hal-hal yang dapat melepaskannya dari pertanggungjawaban pidana baik sebagai alasan pemaaf maupun sebagai ,alasan pembenar sebagaimana ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga oleh karena itu, terhadap diri Terdakwa harus dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya. Sesuai dengan Ketentuan Pasal 197 huruf f akan dipertimbangkan unsur yang memberatkan maupun yang meringankan ; Hal-hal yang memberatkan : 1) Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi GITA LUSIANA ; 2) Perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan ; 3) Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang harus dilindungi ; Hal-hal yang meringankan 1) Terdakwa belum pernah dihukum ; 2) Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi ; 75 3) Terdakwa bersikap sopan dipersidangan ; Tujuan pemidanaan bukanlah semata -mata merupakan pembalasan melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar Terdakwa bisa merenungkan perbuatan selanjutnya, lebih tegasnya hukuman yang dijatuhkan bukan untuk menurunkan deraja t manusia, akan tetapi bersifat edukatif, motifatif agar Terdakwa tidak melakukan perbuatan tersebut lagi serta preventif agar mempunyai deterent efect bagi masyarakat lainnya. b. Amar Putusan Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (Enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, diganti dengan pidana kurungan selama 6 (Enam) Bulan ; B. Pembahasan 1. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pemidanaan Dan Berat Ringannya Sanksi Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan 03/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Anak Dalam Putusan Nomor : 76 Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid ) yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum. Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menentukan lebih lanjut putusan pidana yang akan diambil. Putusan pidana oleh hakim itu sendiri didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut ketentuan undang-undang, dalam hal ini hukum acara pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan senyatanya. Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal- hal tersebut secara logika. 67 Dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang67 Y.A. Triana Ohoiwutun, 2006, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum dan Permasalahannya) , Dioma, Malang, hal. 10. 77 Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1). 68 Menurut R. Soesilo 69, peraturan pembuktian di dalam KUHAP adalah mengenai : a. b. c. Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa). Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara penyumpahan saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa, pemberian alasan-alasan pengetahuan pada kesaksian dan lainlain). Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya keterangan terdakwa itu hanya merupakan bukti yang sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 189 KUHAP). Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Pada bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis 68 Waluyadi,Op cit.,hal. 100. R.Soesilo, Op cit.,hal. 111. 69 78 hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledooi), dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.70 Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana adalah pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan berat ringannya sanksi terhadap tindak pidana persetubuhan anak dalam Putusan Nomor : 03/Pid.Sus/2012/PN.Pwt di dasarkan pada kesalahan yang terbukti di dalam persidangan. Untuk itu dalam mempertimbangkan berat ringannya pemidanaan harus dilakukan kajian terhadap dakwaan yang diajukan dengan fakta -fakta yang terbukti di dalam persidangan. 70 Ibid. 79 Dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif. Dalam bentuk surat dakwaan alternatif, terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang tindak pidana yang paling tepat dapat dibuktikan. Biasanya, surat dakwaan ini digunakan terhadap tindak pidana dengan kualifikasi yang hampir sama. Misalnya, pencurian atau penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kemudian, dan seterusnya. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdapat beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang perlu dibuktikan tanpa harus memerhatikan urutannya. Jika salah satu telah terbukti, maka lapisan yang satu tidak perlu lagi dibuktikan. Surat dakwaan ini menggunakan kata sambung ‘atau’ dalam hal mengaitkan lapisan yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan salah satu dari dakwaan tersebut yang unsur-unsurnya dipandang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yaitu dakwaan Kesatu: Pasal 81 ayat 2 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan unsur -unsur sebagai berikut : 1) Unsur Barang siapa; 2) Unsur Dengan sengaja; 3) Unsur Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau 80 membujuk anak; 4) Unsur Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; 5) Unsur Melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan; Pada unsur barang siapa merujuk pada setiap orang selaku subyek hukum yang diduga atau disangka telah melakukan perbuatan yang dapat di hukum atas perbuatannya dan orang tersebut harus mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Setiap orang mengacu pada manusia sebagai subjek hukum. Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak dan kewajiban (subyek) di dalam hukum. Dimaksud dengan orang atau subyek hukum, dapat diartikan sebagai manusia (naturlijkpersoon) atau badan hukum (rechtspersoon ). Manusia (naturlijkpersoon) sebagai subyek hokum. Pada saat sekarang ini setiap manusia manusia dapat dikatakan sebagai pembawa hak dan kewajiban, oleh karena berbudakan telah tidak dilakukan lagi dalam peradaban sekarang ini. Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak adalah dimulai sejak ia dilahirkan dan berahir pada saat ia meninggal. Malah jika perlu, anak di dalam kandungan dapat dianggap telah ada asal saja kemudian ia dilahirkan hidup. 81 Menurut Sudarto 71 kualifikasi tindak pidana dapat dirumuskan kedalam syarat pemidanaan berupa rumusan objektif perbuatan dan orang sebagai rumusan subjektif. Pada kategori orang, maka harus memenuhi unsur mampu Bertanggung jawab. Dalam tindak pidana pornografi yang dapat dikualifikasikan sebagai orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Selain itu apabila subjek hukum tersebut adalah orang maka ia harus dapat bertanggung jawab dalam arti tidak cacat, atau alasan lainnya tridak ada alasan pemaaf. Dalam hukum pidana rumusan kata barang siapa atau setiap orang adalah menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek hukum melekat erat kemampuan bertanggung jawab yaitu hal- hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang yang dapat dihukum, sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab atas perbuatannya. Memperhatikan pengertian tersebut diatas dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap keterangan saksi-saksi dan dalam persidangan, Terdakwa telah berdasarkan membenarkan identitasnya, dan selama persidangan Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI mampu bertanggung jawab secara hukum dan dalam diri 71 Mulyana W. Kusuma, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, alumni, Bandung, 2002, hal. 29 82 ditemukan alasan yang dapat rnenghapus pertanggung jawaban pidana ,maka dengan demikian unsur ke satu terpenuhi. Berat ringannya suatu hukuman pidana tercermin dalam suatu tindakan. Sengaja atau kealpaan suatu tindakan mempengaruhi pertimbangan hakim. Makna `sengaja' tidak dapat lepas dari niat yang hanya ada dalam sikap batin pelaku, namun demikian sikap batin tersebut dapat diketahui dari formulasi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan rumusan pengertian tentang "dengan sengaja" , oleh karena itu Majelis Hakim akan berpedoman pada pengertian dengan sengaja yang terdapat dalam Memori van Teolichting. Dalam kiatb Undang-undang Hukum Pidana (Criminal wetboek ) tahun 1809 di cantumkan : “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.” Dalam memorie Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-undang Hukum Piadan Indonesia 1915), di jelaskan : “sengaja “ diartikan : “ dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.” Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will ( kehendak ) dapat tujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang di larang. Ada dua teori yang berkaitan 83 dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori pengetahuan atau teor i membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendakai suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapakan atau membayangkan adanya suatu akibat.Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang di timbulkan karena suatu tindakan di bayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan di lakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah di buat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang di ketahui atau di bayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Kata dengan sengaja atau kesengajaan atau dolus atau opzet dalam memori van Teolicting adalah mengandung makna "willens en weten " yang artinya bahwa seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) dari perbuatan itu, serta harus menginsafi (weten ) akan akibat dari perbuatannya tersebut. Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang berkaitan erat dengan keadaan batin pelaku, yang hanya dapat diketahui dari rangkaian perbuatannya. Menurut doktrin hukum pidana untuk menetapkan suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja dikenal dengan 3 (tiga) teori, yaitu : 84 1) Teori kehendak adalah apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh pelaku, tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak bahwa perbuatan tersebut dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang ; 2) Teori pengetahuan yaitu bahwa perbuatan tertentu dikatakan sengaja apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku yang jika perbuatan itu dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana ; 3) Teori gabungan yaitu gabungan dari kedua teori di atas, suatu perbuat dikatakan disengaja apabila perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki pelaku ; Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat”(voorhomen) dan dengan rencana lebih dahulu (met voorberachterade). Dalam pasal 35 KUHP tentang percobaan di katakan. “percobaan melakukan kejahatan di pidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan iu bukan semata-mata di sebabkan karena kehendaknya sendiri” (ayat 1). Maka di persoalkanlah apakah ada perbedaan anatra niat dan kesengajaan.Van Bemmellen tidak melihat adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya pada percobaan pembunuhan, apabila pembunuh menembak korbanya tetapi meleset , maka niat dan kesengajaan jatuh bersamaan.Karena niat katanya harus 85 dinyatakan dengan tindak pelaksanaan, maka tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara niat dan kesengajaan. 72 Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional di bagi tiga jenis, yaitu 81: a. b. c. Sengaja sebagai maksud ( Opzet als oogemark ) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (Opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid ) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (Opzet met waarschlijkheidbewustzijn). Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga di ikuti dalam praktek peradilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusanya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata -mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Jadi dalam praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa. Dari uraian tersebut, menurut hemat penulis, pembuktian terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga.Lain halnya kalau kesengajaan di terima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur -unsur dan perbuatan yang di lakukanya saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, 72 53 86 menginsafi atau mengerti perbutanya, baik kelakuan yang di lakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan terungkap bahwa pada tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Puku1.04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 dan hari ke 4 setelah lebaran Tahun 2011 di rumah Terdakwa di Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GITA LUSIANA yang masih berumur 14 (empat belas) Tahun, bahwa Terdakwa sebagai Orangtua saksi GITA LUSIANA tahu kalau perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-Undang serta bertentangan dengan norma agama, dan Terdakwa sebagai Orangtua saksi GITA LUSIANA yang seharusnya mendidik, melindungi saksi GITA LUSIANA yang masih anak-anak, lahir tanggal 13 Mei 1997 sehingga masih berumur 14 (empat belas) Tahun, akan tetapi Terdakwa malah menyetubuhi saksi GITA LUSIANA sehingga jelas Terdakwa mengetahui akan perbuatan yang dilakukannya dan Terdakwa tahu akan akibat yang timbul dari perbuatan yang Terdakwa lakukan tersebut yaitu kehamilan GITA LUSIANA. Dalam kasus tersebut penulis melihat bahwa terdakwa mengetahui, menginsafi atau mengerti perbutanya, baik kelakuan yang 87 di lakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Terdakwa jelas menyatakan bahwa: Terdakwa mengetahui kalau GITA hamil pada saat melakukan hubungan yang ke -4, GITA mengatakan kalau dirinya terlambat bulan. Terdakwa kawin dengan ibunya GITA tetapi belum dikaruniai anak. Terdakwa mengetahui kalau GITA LUSIANA masih anak-anak. Terdakwa tahu kalau berhubungan kelamin itu bisa menimbulkan kehamilan. Terdakwa tahu kalau GITA LUSIANA masih berumur 14 (empat belas) Tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah tangga, tetapi,Terdakwa masih tetap menyetubuhi GITA karena didorong oleh nafsu melihat tubuh korban dan juga dikarenakan Terdakwa sudah lama tidak mendapatkan nafkah bathin dari isterinya yang sedang bekerja di Luar negeri sebagai TKI di Hongkong. Terdakwa sebelum menyetubuhi GITA mengatakan apabila sampai hamil bapak siap untuk ,bertanggung jawab dengan menikahi lalu kemudian GITA akhirnya bersedia disetubuhi oleh Terdakwa. Andi Hamzah73 berpendapat bahwa, keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa hendaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat : 1) 2) Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan; Mengaku ia bersalah. 74 Pada pengakuan terasa mengandung suatu pernyataan tentang sesuatu yang dilakukan seseorang sedangkan pada keterangan pengertiannya lebih bersifat 73 suatu penjelasan Andi Hamzah, Op cit., hal. 273. Ibid., hal. 273. 74 akan sesuatu yang akan dilakukan 88 seseorang.Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang dengan diperlukan beberapa alat sebagai landasan berpijak, antara lain : 1) 2) 3) 4) Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Sebagai asas kedua ini, agar keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus memuat pernyataan atau penjelasan tentang : a) Perbuatan yang dilakukan terdakwa; b) Apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa; c) Atau apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti ba gi dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan :"keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Semua yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara pidana terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada diri sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalaha nnya. Pasal 189 ayat (40) KUHP berbunyi : "keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Ketentuan tadi merupakan penegasan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 75 Berdasarkan fakta dipersidangan, melalui keterangan terdakwa dapat diketahui bahwa terdakwa mengakui segala perbuatannya. Karena rasa bersalah terdakwa, terdakwa juga menolak untuk di dampingi penasihat hukum. Pengakuan terus terang terdakwa di 75 M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 299-300. 89 hadapan hakim pun dijadikan alasan yang meringankan dalam memberikan pemidanaan terhadap terdakwa. Berdasarkan keterangan terdakwa tersebut, terlihat adanya kesengajaan untuk melakukan persetubuhan dengan saksi korban. Terdakwa bahkan mengerti akibat yang akan terjadi dan siap untuk bertanggung jawab terhadap akibat yang dilakukannya, dengan demikian unsur kedua mengenai kesengajaan terpenuhi. Elemen dari unsur berikutnya ialah unsur bujuk rayu dan tipu muslihat dalam menggerakan korban untuk melakukan persetubuhan. Unsur ini bersifat alternatif sehingga apabila salah satu elemen dari unsur ini sudah terbukti maka unsur inipun haruslah dinyatakan terbukti. Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan yaitu keterangan saksi TARSIWAN Bin SUMARNO selaku orangtua GITA LUSIANA dan Surat Kelahiran, bahwa GITA LUSIANA lahir tanggal 13 Mei 1997 sehingga masih berumur 14 (emnpat belas) Tahun. Berdasarkan fakta dipersidangan yaitu keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan barang bukti serta alat bukti surat, bahwa sebelum Terdakwa mela kukan persetubuhan terhadap saksi GITA LUSIANA yang masih berumur 14 (ernpat belas) Tahun, Terdakwa membujuk saksi GITA LUSIANA dengan mengatakan., "Kalau mau berhubungan akan dibelikan baju baru dan siap bertanggung jawab dengan menikahi GITA", karena saat itu bulan puasa dan mau lebaran sehingga kata-kata tersebut saksi GITA LUSIANA mau melakukan 90 persetubuhan dengan Terdakwa. Dengan demikian unsur ketiga ini terpenuhi. Unsur berikutnya yang harus dibuktikan adalah unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dalam KUHP tidak ditemukan pengertian dari persetubuhan. Persetubuhan dalam arti biologis adalah Suatu perbuatan yang memungkinkan terjadinya kehamilan, sehingga harus terjadi: erectio penis; penetration penis ke dalam vagina; dan ejaculation penis ke dalam vagina. Namun dalam ilmu hukum hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis kedalam vagina. 76 Berdasarkan pengertian di atas persetubuhan adalah pertemuan antara alat kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin wanita (vagina), yaitu alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kemaluan perempuan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa dipersidangan serta alat bukti surat Visum Et Repertum diketahui bahwa tanggal 01 Agustus 2011 sekitar Pukul. 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011. tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011, di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan, RT.05. RW.03, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi GITA LUSIANA dengan cara awalnya Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas payudara GITA Abdul Wahid, Op cit., hal. 113 91 LUSIANA, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang lalu membuka pakaian saksi GITA LUSIANA hingga telanjang, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang lalu Terdakwa menjilati puting payudara GITA LUSIANA kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang kedalam kemaluan GITA LUSIANA dengan posisi GITA LUSIANA dibawah dan Terdakwa diatas sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma. Sesuai Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X/2011, tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes, Polres Banyumas setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GITA LUSIANA, Umur 14 Tahun, Pelajar, Alamat Desa Dawuhan Wetan, RT.05. Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas. Hasil Pemeriksaan menggambarkan bahwa, mulut alat kelamin: tidak ada kelainan, Selaput dara: ditemukan luka robek lama total (habis), Liang Senggama (vagina): tidak ada kelainan, Mulut leher rahim (cervik_: tidak ada kelainan, Rahim (corpus uteri): TFU 3 jari diatas sympisis pubis, lain -lain yang dijumpai: Keputihan, HPHT, tanggal 15 Juli 2011, pemeriksaan Laboratorium: dilakukan test urine dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 Minggu. 92 Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap perempuan tersebut diatas ditemukan luka robek lama pada hymen (selaput dara) total (habis), yang diakibatkan oleh karena kekerasan benda tumpul dan yang bersangkutan dalam keadaan hamil. Visum et Repertum sangat bermanfaat dalam pembuktian suatu perkara berdasarkan hukum acara. Di dalam upaya pembuktian, biasanya barang-barang bukti akan diperlihatkan di sidang pengadilan untuk memperjelas masalah. Tetapi pada prakteknya tidak semua barang bukti dapat dibawa ke depan sidang pengadilan, seperti misalnya, tubuh manusia baik hidup maupun mati. Pada perkaraperkara yang menyangkut kejahatan terhadap tubuh manusia, maka antara lain akan dibuktikan penyebab luka atau kematian. Bahkan tidak jarang dapat dicari pembuktian tentang tempus delicti dan locus delicti. Untuk itu tentu yang seharusnya diketengahkan di sida ng pengadilan adalah luka atau kelainan pada saat (atau paling tidak mendekati saat) peristiwa pidana terjadi. Hal ini boleh dikatakan sangat sulit dikerjakan karena tubuh manusia senantiasa mengalami perubahan, baik berupa penyembuhan luka (pada korban hidup) atau proses pembusukan (pada korban mati), sehingga gambaran mengenai benda bukti tersebut (luka, kelainan, jenazah) tidak sesuai lagi dengan semula. Karena itu semua hal yang terdapat pada tubuh manusia (benda bukti) harus direkam atau diabadikan ole h seorang dokter dan 93 dituangkan ke dalam sebuah Visum et Repertum yang berfungsi sebagai pengganti barang bukti ( tubuh manusia). Kemudian guna memudahkan para praktisi hukum dalam memanfaatkan Visum et Repertum tersebut, perlu dibuat suatu kesimpulan dari hasil pemeriksaan. Bagian kesimpulan ini akan menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada benda atau bukti tersebut. Proses pensaksian barang bukti oleh dokter akan sangat berbeda dengan pensaksian yang dilakukan seseorang yang bukan dokter. Oleh kerena apa yang disaksikan, apa yang didengar, dan apa yang dilihatnya, merupakan perbuatan hukum yang berkonsekuensi hukum juga, pertimbanganya adalah bahwa apa yang dilakukanya memang dimin ta, sementara aktifitasnyapun berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Kedua faktor inilah yang menyebabkan segala sesuatu yang berkenaan kesaksian atas korban atau setidak-tidaknya patut disangka menjadi korban tindak pidana mempunyai kekuatan sebagai alat bukti. Maka sudah merupakan keharusan untuk kita menguasai beberapa ketentuan yang ada kaitanya dengan alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang. Ketentuan tersebut adalaha Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 187 KUHAP. Visum et Repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukanya, dan apa yang ia dengar, sehubungan dengan orang yang luka, seseorang yang 94 terganggu kesehatanya, dan seseorang yang mati. Berdasarkan pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya itu dalam kaitanya dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana. Aktifitas seorang dokter ahli sebagaimana di atas, dilaksanakan berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan masalah tersebut. Visum et Repertum adalah merupakan surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai keotentikan. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti Visum et reppertum sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Alat bukti rekam medis yang dikategorikan surat formil dalam Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya mengadung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat saja menggunakan atau menyingkirkannya. Kedudukan Visum et reppertum sebagai bukti tidak dapat dilepaskan dengan dukungan alat bukti lainya, seperti halnya keterangan terdakwa tidak dapat berdiri sendiri dengan alat bukti lainnya ataupun keterangan ahli dan surat. Dalam hal ini terlihat 95 bahwa nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Visum et reppertum sebagai bukti yang bebas, yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap saksi. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya. 77 Hakim bebas menilai apakah visum merupakan alat bukti yang berhubungan atau tidak. Namun dalam kasus ini jelas Visum memiliki peranan yang sangat penting, yaitu untuk menggambarkan adanya persetubuhan. Berdasarkan Visum Et Repertum No.Pol: R/20/X/2011, tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI jelas memperlihatkan adanya suatu persetubuhan terdakwa dengan saksi korban, dengan demikian unsur keempat ini terpenuhi. Unsur selanjutnya yang dibuktikan oleh hakim adalah unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan. Unsur ini merupakanpemberat dalam suatu tindakan pidana. Pada 77 Ibid., hal. 273-274. 96 dasarnya Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tenta ng Perlindungan Anak, sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan mengenai pemberatan. Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa : Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda -beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Perbuatan berlanjut merupakan gabungan daripada beberapa perbuatanyang dilakukan seseorang, dimana antara perbuatan yang satu dengan perbuatanyang lain belum pernah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yangtetap, sehingga terhadap pelaku dikenakan cara penghukuman tertentu,sebagaimana ditentukan pada Pasal 64 KUHP. Sesungguhnya, apa yang dimaksudkan dengan perbuatan berlanjut atauvoortgezette handeling tidak begitu jelas maksudnya dari perumusan ataupengaturan dalam undang-undang. Hal ini dikemukakan pula dalam beberapatulisan para penulis Hukum Pidana. Misalnya, oleh P.A.F. Lamintangdari C. Djisman Samosir, mengemukakan : "Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai perkataanbeberapa perbuatan itu harus mempunyai hubungan yang demikian rupa.Hubungan mi dapat ditafsirkan secara macam-macam, misalnya, karenaadanya persamaan waktu, persamaan tempat dari terjadinya beberapaperbuatan itu dan sebagainya. Hoge Raad mengartikan voortgezettehandeling atau tindakan yang dilanjutkan itu sebagai perbuatan-perbuatanyang 97 sejenis dun sekaligus merupakan pelaksanaan dari satu maksud yangsama. Demikian itu pendapat Hoge Raad antara lain di dalam arrestnyatanggal 19 Oktober 1932, N.J. 1932". 78 Jadi, ketidakjelasan dari pengertian perbuatan berlanjut adalah karenamenurut rumusan Pasal 64 KUHP bahwa perbuatan berlanjut adalah beberapaperbuatan yang mempunyai hubungan sedemikian rupa tanpa penjelasan danpenegasan mengenai hubungan bagaimana yang dimaksud. Dengan demikian, olehpenulis diatas bahwa hubungan itu dapat ditafsirkan macam-macam, karenaketerhubungan itu dapat dilihat dari banyak kemungkinan, antara lain dapatdikatakan ada hubungan karena waktu, karena tempat dan karena lain-lain hal. Menurut rumusan Pasal 64 ayat (1) KUHP karena adanya keterhubunganantara satu perbuatan dengan lain perbuatan, maka perbuatan-perbuatan itu harusdianggap satu perbuatan Jadi, beberapa perbuatan yang dilakukan dan tetapiharuslah dianggap satu perbuatan. Jadi beberapa perbuatan tersebut biarpunmerupakan perbuatan atau pelanggaran yang masing-masing berdiri sendiri. Sehubungan dengan beberapa perbuatan yang harus dianggap satuperbuatan ini, ada beberapa komentar : "... Berkatalah Profesor Simons, antara lain sebagai berikut : Menurut carapenglihatan saya, pemberlakuan Pasal 64 KUHP itu hanya berkenaandengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan dengan masalahpembentukan satu tindak pidana, dengan segala akibatnya yakni berkenaandengan tempat terjadinya 78 P.A.F. Lamintang Jan C. Djisman Samosir., Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 2002, hal. 48- 49. 98 tindak pidana, dengan keturutsertaan denganmasalah kadaluarsa dan lain-lain".79 Berdasarkan pandangan Simons terhadap rumusan Pasal 64 ayat (1) KUHP diatas, terutama mengenai beberapa perbuatan yang harus dianggap satu perbuatan,dikemukakan bahwa Pasal 64 ayat I KUHP bukanlah mengatur dalam halbagaimana beberapa perbuatan pidana, tetapi hanya dapat dikenakan satu hukumansa ja, jadi bukan menjumlahkan ancaman hukuman dari masing-masing perbuatan. Pendapat serupa dengan diatas, yaitu yang oleh Van Hattum, katakan : “Bahwa Pasal 64 KUHP hanya memuat suatu peraturan mengenaipenjatuhan hukuman dan bukan mengatur tentang masalah pembentukan sejumlah tindak pidana menjadi satu keseluruhan menurut undang-undang,dan hal mana mempunyai arti yang sangat penting bagi lembaga-lembagalocus delicti, kadaluarsa dan keturutsertaan".73 Berdasarkan hal tersebut, bagaimana atau ukuran-ukuran apa yang digunakanuntuk menentukan beberapa perbuatan itu hanya diancam satu hukuman saja,karena haruslah dipandang sebagai satu perbuatan tidaklah dijelaskan dalamrumusan undang-undang. Ini merupakan kelemahan pengaturan dari padaperbuatan berlanjut dalam KUHP, sehingga nampaknya pembuat undang-undangcenderung menyerahkan pemecahannya pada praktek. Sedikitnya gambaran dalam Memorie P enjelasan atau MvT, dikemukakan di dalam memorie penjelasan mengenai pembentukan 79 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinai Baru, Bandung, 2006, hal. 697. 99 Pasal 64 KUHP itu,pembentuk undang-undang hanya mensyaratkan bahwa berbagai perilakuitu haruslah merupakan pelaksanaan satu keputusan terlarang, dan bahwasuatu kejahatan berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindakpidana sejenis. Di dalam memorie penjelasan itu juga telah dijelaskanbahwa suatu pencurian atau suatu penganiayaan itu secara bersama-samatida k akan pernah dapat menghasilkan suatu tindak pidana berlanjut, karena untuk melaksanakan kejahatan itu, pelakunya barns membuat dari suatu keputusan. Selain itu juga untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untukmelaksanakannya, pelakunya memerlukan waktu yang berbeda". Demikianlah gambaran dalam memorie penjelasan mengenai perbuatanberlanjut. Apakah gambaran dalam memorie penjelasan tersebut sudah dapat memberikan penegasa n mengenai ukuran-ukuran dari perbuatan berlanjut yaitubeberapa perbuatan yang harus dianggap satu perbuatan dan karena itu hanyadiancam satu hukuman. Dalam menentukan beberapaperbuatan berlanjut, diperlukan 3 (tiga) ukuran atau ciriE.Y. Kanter,dan S.R. Sianturi, dalam bukunya mengatakan : "Ciri-ciri dari perbarengan tindakan berlanjut itu adalah : 1. 2. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satukehendak jahat (one criminal intention); Delik-delik yang terjadi itu sejenis; 100 3. Dan tenggang waktu antara terjadinya tindakan-tindakan tersebut tidakterlampau lama."80 Dalam hal perbuatan berlanjut itu hanyalah dapat dikenakan satu hukuman,jika perbuatan-perbuatannya berbeda-beda, makadikenakan adalah diancam hukuman ketentuan yang yang termuat ancaman pidana pokok yang terberat. Dari ketentuan Pasal 64 KUHP ini jelas dalam perbuatan berlanjut, sistemhukumannya adalah sistem atau stelsel absorbsi. Sebab, dari beberapa perbuatanyang dilakukan, tetapi hanya dikenakan satu hukuman dimana satu hukuman yangdijatuhkan itu sudah menyerap yang lain. Berdasarkan fakta -fakta dipersidangan terungkap bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI melakukan persetubuhan dengan GITA LUSIANA sebanyak 9 kali yaitu persetubuhan ke 1 dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2011 malam hari dikamar Terdakwa, ke 2 tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 3 tanggal 19 agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 4 tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 5 tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke 6 tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, sedangkan persetubuhan ke 7, 8 dan 9 Terdakwa lakukan dengan GITA LUSIANA di Lampung pada bulan September 2011. Dengan demikian unsur ke 5 ini terpenuhi. 80 E.Y. Kanter dan S R Sianturi, Azas -azas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM -PTHM, Jakarta, 2002, hal. 396. 101 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut semua unsur yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, telah terpenuhi dan berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa yang didukung dengan barang bukti, Majelis Hakim rnemperoleh kesimpulan dan berkeyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyaki bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Untuk itu karena terdakwa bersalah maka harus di berikan putusan pemidanaan. Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pe ngadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat 102 bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya. M Yahya Harahap81 menyatakan bahwa: Dalam pertimbangan hakim harus memuat fakta dan keadaan harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Apalagi mengenai fakta atau keadaan yang "memberatkan" atau "meringankan" terdakwa, mesti jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. Hal ini sangat penting diuraikan, karena landasan yang dipergunakan sebagai dasar titik tolak untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa, tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau meringankan. Pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Mengenai Pertimbangan hakim M. Yahya Harahap82 menambahkan bahwa: Menurut hemat kita, sekalipun dikatakan "pertimbangan yang disusun ringkas," bukan berarti putusan itu benar-benar ringkas tanpa argumentasi dan kesimpulan yang jelas, terperinci, dan utuh. Penguraian fakta dan keadaan serta alat pembuktian, bukan sematamata berupa uraian deskriptif, tetapi di samping diuraikan secara deskriptif. semuanya dipertimbangkan secara argumentatif sebelum sampai kepada kesimpulan pendapat. Sebelum putusan sampai pada uraian pertimbangan yang menyimpulkan pendapatnya tentang kesalahan terdakwa, fakta, dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan secara argumentatif sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mantap, yam: mendukung kesimpulan pertimbangan hakim. 81 M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 333 Ibid., hal. 339 82 103 Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan putusan pemidanaan terhadap seorang terdakwa didasarkan pada penilaian pengadila n. Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan kepada seseorang tiada lain dari pada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Undangundang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana antara minimum dan maksimum yang dicantumkan dalam pasal pidana yang bersangkutan. Selanjutnya berdasarkan fakta yang, terungkap persidangan serta keadaan diri Terdakwa didalam atau selama mengikuti persidangan membuktikan bahwa pada diri Terdakwa tidak didapati hal- hal yang dapat melepaskannya dari pertanggungjawaban pidana baik sebagai alasan pemaaf maupun sebagai,alasan pembenar sebagaimana ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga oleh karena itu, terhadap diri Terdakwa harus dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya. Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Memang benar, hakim dalam menjatuhkan berat 104 ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman "minimum" dan "maksimum" yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana yang pada pokoknya Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut diatas dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) Tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan, dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) Bulan kurungan. Hakim juga mempertimbangkan hal-hal secara sosiologis sebagai pertimbangan hakim. Pelbagai faktor yang dapat mempengaruhi penjatuhan pidana seperti yang diuraikan oleh Sri Rahayu Sundari, yaitu : a. b. Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan Hal-Hal yang meringankan pemidanaan. 83 Hal-Hal yang memberatkan pemidanaan dibedakan menjadi tiga, yaitu : a. b. c. 83 Kedudukan sebagai Pejabat (Pasal 52 KUHP) Pengulangan Tindak Pidana (Residive) Perbarengan/Samenloop Nas hriana, Op cit., hal. 18-20 105 Sesuai dengan Ketentuan Pasal 197 huruf f akan dipertimbangkan unsur yang memberatkan maupun yang meringankan ; Hal-hal yang memberatkan : 1) Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi GITA LUSIANA ; 2) Perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan ; 3) Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang harus dilindungi ; Hal-hal yang meringankan 1) Terdakwa belum pernah dihukum ; 2) Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi ; 3) Terdakwa bersikap sopan dipersidangan ; Berdasarkan sejumlah pertimbangan yuridis ditambah dengan pertimbangan sosiologis, maka Majelis hakim berpegang pada dua alat bukti yaitu beberapa saksi, yakni (saksi Gita Lusiana, saksi Tariswan bin Sumarno, saksi Kodri, saksi Anggun Yudi Nugroho) dan keterangan terdakwa (Muhajir Rasyid Bin Rosidi). Hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak dibawah umur, sehinggahakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MR tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (Enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh 106 Terdakwa, diganti dengan pidana kurungan selama 6 (Enam) Bulan. Hal ini jelas jauh dari ketentuan Pasal 81 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 KUHP yang seharusnya memerintahkan hakim menjatuhkan putusan maksimal yakni pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Putusan hakim ini juga jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) Tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan, dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) Bulan kurungan. Untuk itu maka perlu dipertanyakan kembali fungsi Pasal 64 KUHP dalam suatu dakwaan tersebut. Pasal 64 KUHP seharusnya berfungsi untuk memperberat hukuman, namun ternyata putusan hakimpun jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum ataupunpidana Maksimal sesuai Pasal Pasal 81 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Dalam konteks pertimbangan yuridis hakim terhadap perbutan yang dilakukan oleh terdakwa, maka terlihat ada dua unsur pemberat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Unsur pertama yang memperberat terdakwa antara lain unsur kesengajaan dimana terdakwa mengetahui, menginsafi atau mengerti perbutanya, baik kelakuan yang di lakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Terdakwa sengaja 107 menyetubuhi anak di bawah umur, selain itu terdakwa juga sengaja menyetubuhi anak tiri yang seharusnya dilindunginya berdasarkan UndangUndang Perlindungan Anak. Unsur kedua yaitu mengenai perbuatan yang berlanjut se suai Pasal 64 KUHP dimana memuat ancaman pidana pokok yang paling berat yang dibuktikan sesuai dengan sistem pembuktian Pasal 183 KUHAP. Pada konteks pertimbangan sosiologis hakim berdasarkan Pasal 197 KUHAP maka hakim mempertimbangkan perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi GITA LUSIANA, perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan, dan Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang harus dilindungi sebagai alasan yang memberatkan, sedangkan terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi, dan terdakwa bersikap sopan dipersidangan sebagai alasan meringankan. 2. Akibat Hukum Dari Putusan Pemidanaan Dalam DalamPutusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. Akibat hukum ialah segala akibat.konsekuensi yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu/ peristiwa hukum yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.Akibat hukum inilah yang 108 selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan. Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana adalah pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pemberian vonis atau putusan merupakan salah satu peristiwa hukum yang mengakibatkan akibat hukum baik berupa hak maupun kewajiban. Pemberian keputusan oleh hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh penga dilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Putusan hakim didasarkan kepada hati nurani yang suci tanpa adanya unsur lain yang memengaruhi. Sanksi penyimpangan apalagi pengkhianatan kepada prinsip idealis religius tersebut tidak serta merta dapat dirasakan karena hal tersebut merupakan pertanggungjawaban kepada Tuhan, Sanksi yang mungkin akan dirasakan langsung adalah sanksi timbulnya penilaian negatif dari masyarakat. 84 84 Ibid. 109 Berkaitan dengan isi keputusan hakim, setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib; b. Putusan bebas; c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 85 M. Sholehuddin berpendapat86bahwa : Pemidanaan sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sehingga focus pemidanaan tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) dan lebih menekankan unsure pembalasan yang merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Berdasarkan pertimbangan yuridis hakim terhadap perbutan yang dilakukan oleh terdakwa, maka terlihat perbuatan et rdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 KUHP dan telah memenuhi Pasal 183 KUHAP yakni telah dipenuhinya minimal 2 alat bukti ditambah keyakinan hakim. Berdasarkan kesalahan tersebut maka timbulah pemidanaan yakni hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakw a MUHAJIR RASYID Bin ROSIDI tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (Enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan 85 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.285 86 M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.32 110 apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, diganti dengan pidana kurungan selama 6 (Enam) Bulan. Untuk memastikan pelaksanaan hukuman tersebut maka hakim menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan. Putusan pemidanaan yang dituliskan dalam amar Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt menimbulkan akibat hukum bagi terdakwa. Dengan dibacakannya Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt maka status terdakwa beralih menjadi terpidana, hal ini didasarkan karena terdakwa menerima putusan tersebut, sehingga putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap. Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi: Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah : 1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2. 3. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau Putusan kasasi. Berdasarkan ha l tersebut suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah: 111 a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak ), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP). b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat (1)jo. Pasal 246 ayat (1) KUHAP). c. Putusan kasasi Terdakwa yang telah dibacakan putusannya maka munculah tahap yang disebut sebagai eksekusi. Pasal 270 KUHAP menyatakan bahwa : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Meskipun Pasal 270 KUHAP memerintahkan jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, setelah salinan surat dikirimkan, tetapi tidak ada patokan waktu berapa lama salinan putusan itu harus diselesaikan. Permasalahan kedua, mengenai apa yang dimaksud dengan salinan putusan dalam pasal tersebut. Pihak pengadilan telah 112 beranggapan bahwa sebenarnya jaksa cukup menggunakan petikan putusan saja dalam melaksanakan putusan. Artinya, lambatnya penyelesaian putusan bukan merupakan hambatan bagi jaksa. Dalam beberapa memori kasasi dapat kita temui keberatan pihak kejaksaan terkait lambatnya penyelesaian salinan putusan (misalnya dalam Putusan No. 1412 782/K/Pid/2008).Untuk K/Pid/2006, mengatasi hal No. 2534 tersebut, K/Pid/2007, sejak tahun No. 1983, Mahkamah Agung sebenarnya telah menegaskan, bahwa untuk perkara tolakan (penolakan dakwaan) dalam waktu satu minggu pengadilan sudah harus menyampaikan salinan putusan terkait kepada pihak kejaksaan. Batas waktu ini telah diterima pula oleh pimpinan kejaksaan ketika itu yang pada tahun 1995 mengeluarkan surat edaran yang mengacu pada surat edaran Mahkamah Agung tersebut. Jangka waktu penyelesaian salinan putusan pidana dalam waktu satu minggu tersebut, pada perkembangannya kemudian, diubah menjadi empat belas hari. Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran pada tahun 2010, kemudian diperbaharui pada tahun 2011, yang menyesuaikan jangka waktu tersebut. Selain mengubah batas waktu pengiriman salinan putusan, surat edaran juga mengatur bahwa petikan putusan (hanya amarnya saja) sudah dapat dikirimkan segera setelah putusan diucapkan. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 21/1983 Tentang Batas Waktu Pengiriman Salinan Putusan Pada Jaksa menyatakan bahwa, mengenai “dalam jangka waktu beberapa lama” Panitera harus sudah mengirimkan 113 salinan surat putusan itu kepada Jaksa, hal itu memang tidak diatur dalam KUHAP. Akan tetapi Mahkamah Agung menganggap wajar apabila jangka waktu pengiriman itu diberi batas, yakni eksekusi putusan oleh Jaksa dapat segera dilaksanakan. Hendaknya dalam hal menyangkut perkara-perkara tolakan (acara pemeriksaan biasa). Hakim sudah dapat membiasakan diri untuk membuat putusan yang sudah selesai diketik rapi dan langsung di tanda tangani begitu putusan diucapkan, sehingga pengiriman salinan putusan oleh Panitera kepada Jaksa dapat pula segera dilakukan. Untuk perkara-perkara tolakan ini kiranya batas waktu paling lambat 1 (sa tu) minggu bagi pengiriman salinan putusan oleh Panitera kepada Jaksa, dapat dianggap memadai.Sedangkan dalam hal menyangkut perkara-perkara dengan acara singkat batas waktu itu paling lambat adalah 14 (empat belas) hari. Hal tersebut di atas juga menginga t adanya perkara-perkara yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, sehingga dengan diadakannya batas-batas waktu tersebut memudahkan pula bagi Jaksa untuk menyusun memori banding. Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B235/E/3/1994 Tentang Eksekusi Putusan Pengadilan terhadap Pidana Penjara/Kurungan menyatakan bahwa, menerima salinan Putusan Pengadilan dari Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) minggu untuk perkara biasa dan 14 (empat belas) hari untuk perkara dengan Acara Singkat (Pasal 270 KUHAP dan SEMA No. 21/1983). 114 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 01/2011 Tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 02/2010 Tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan untuk perkara Pidana Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya, Penyidik dan Penuntut Umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan dengan ketentuan KUHAP. Petikan Putusan Perkara Pidana diberikan kepada Terdakwa, Penuntut Umum dan Rumah Tahanan Negara atau Lembaga Permasyarakatan segera setelah Putusan diucapkan; Ketentuan yang terakhir muncul dalam surat edaran Mahkamah Agung, sebagaimana sudah disebutkan di atas, membedakan antara salinan putusan dengan petikan putusan. Pada dasarnya, petikan putusan hanya berisi amar putusan saja tanpa merinci lebih lanjut dasar pertimbangan dari hakim dalam memutus. P elaksanaan putusan adalah tanggungjawab kejaksaan, sebenarnya telah diakui oleh pihak kejaksaan sendiri. Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-128/E/3/1995 Tentang Tugas dan Tanggungjawab Jaksa Selaku Eksekutor Putusan Pengadilan. KUHAP telah menetapkan bahwa Jaksa adalah Eksekutor terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan untuk itu Panitera mengirimkan salinan Surat Putusan kepadanya (Pasa l. 270 jo Pasal 1 butir 6a KUHAP). Dengan demikian Eksekusi putusan Pengadilan Yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sepenuhnya merupakan tugas dan tanggung jawab 115 Jaksa. Salinan putusan ini kemudian di daftarkan di Lembaga Pemasyarakatan dimana terdakwa di tahan. Hal ini juga terjkaait oleh perintah majelis Hakim agar terdakwa tetap di tahan sebagaimana Pasal 197 KUHAP. Ketika status terdakwa melalui Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt menjadi terpidana maka munculah hak terpidana sebagai warga binaan.Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan bahwa Narapidana berhak : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; Menyampaikan keluhan; Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; Mendapatkan pembebasan bersyarat; Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Seseorang terdakwa yang telah diputus berhak untuk mendapatkan petikan surat putusa n pengadilan yang dapat diberikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya segera setelah putusan diucapkan. Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan. Pada saat menjalini hukuman, seorang Terpidana juga berhak 116 untuk menghubungi dan didampingi pengacara, menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan menghubungi atau atau menerima usaha mendapat kunjungan dokter bantuan pribadinya hukum, untuk kepentingan kesehatan dan menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga, serta mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak keluarga tanpa diperiksa oleh penyidik/penuntut umum/hakim/pejabat rumah tahanan Negara. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, akibat hukum dari putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. antara lain lahirnya status terpidana pasca putusan dibacakan, munculnya hak eksekusi kejaksaan, dan lahirnya hak terpidana. 117 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian dalam Bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pertimbangan yuridis hakim terhadap perbutan yang dilakukan oleh terdakwa, adalah: a. Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Majelis hakim berpegang pada dua alat bukti yaitu beberapa saksiyakni (saksi Gita Lusiana, saksi Tariswan bin Sumarno, saksi Kodri, saksi Anggun Yudi Nugroho) dan keterangan terdakwa (Muhajir Rasyid Bin Rosidi), serta alat bukti Visum Et Repertum. b. Terdapat dua unsur pemberat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Unsur pertama yang memperberat terdakwa antara lain unsur kesengajaan Terdakwa sengaja menyetubuhi anak di bawah umur, selain itu terdakwa juga sengaja menyetubuhi anak tiri yang seharusnya dilindunginya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Unsur kedua yaitu mengenai perbuatan yang berlanjut sesuai Pasal 64 KUHP dimana memuat ancaman pidana pokok yang paling berat yang dibuktikan sesuai dengan sistem pembuktian Pasal 183 KUHAP. 2. Akibat hukum dari putusan pemidanaan dalam Putusan Nomor : 03/PID.Sus/2012/PN.Pwt. adalah terdakwa wajib menjalani hukuman 118 pidana penjara selama 8 tahun, dan jaksa yang berkewajiban untuk melaksanakan putusan pidana tersebut. Oleh karena status terdakwa menjadi terpidana, maka mempunyai hak sebagai warga binaan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. B. Saran Sebaiknya hakim memperhatikan ketentuan Pasal 64 KUHP yang seharusnya berfungsi untuk memperberat hukuman, namun ternyata putusan hakim lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum ataupun pidana Maksimal sesuai Pasal 81 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, oleh karena itu seharusnya hakim memberikan putusan maksimal kepada terdakwa. 119 DAFTAR PUSTAKA Literatur Asshidiqie, Jimly. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang . Sinar Grafika. Jakarta. Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana 1. Sinar Grafika. Jakarta. Gultom , Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia . PT. Refika Aditama. Bandung. Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. ------------------. 2002. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. ------------------. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua . Sinar Grafika. Jakarta. Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan. Banding. Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta. ---------------------------. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. Sudario. 2007. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. Hiariej, Eddy O. S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga. Jakarta. Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif . Malang. Cetakan Ketiga. Banyumedia Publishing. Lamintang, P.A.F. dan Theo F Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Sinar Grafika. Jakarta. Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta. Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. PT Refika Aditama. Bandung. 120 Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan). Sinar Grafika. Jakarta. ---------------------------. 2010. Proses Penanganan Acara Pidana(Di Kejaksaan &Pengadilan Negri Upaya Hukum & Eksekusi). Sinar Grafika. Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Grup. Jakarta. Moeljatno. 2007. Kitab Undang -Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan. Eksepsi dan Putusan Peradilan). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Nashriana. 2005. Hukum Penitensier. UNSRI. Palembang. Panggabean, H.P. 2012. Hukum Pembuktian Yurisprudensi Indonesia). Alumni. Bandung. (Teori Paktik dan Sholehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acura Pidana Indonesia datum Sirkas Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta . Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2003. Penelitian Hukum Normatif . Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soesilo, R. 2002. Hukum Acara Pidana . Politeia. Bogor. Soetarna, Hendar. 2011. Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana. Alumni. Bandung. Subekti, R. 2006. Hukum Acara Perdata. Binacipta. Bandung. Sudarto. 2007. Hukum dan Hukum Pidana . Binacipta. Bandung. Syarifin, Pipin. 2000. Hukum Pidana Di Indonesia. Pustaka Setia. Jakarta. Wahid, Abdul dan Muhamad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasiatas Hak Asasi Perempuan. Rafika Aditama. Malang. 121 Peraturan Perundang -undangan Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana. -------------, Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. -------------, Undang-Undang 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak -------------, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sumber Lainnya Adi, Dennys Prasmana. 2011.Kajian Yuridis Normatif Terhadap Putusan Perkara Nomor 357/Pid.B/2009/P.N.Bojonegoro Tentang Tindak Pidana Perbuatancabul Terhadap Anak( Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro NOMOR 357/PID.B/2009/P.N.BJN), http://eprints.umm.ac.id/370/1/Kajian _Yuridis_Normatif_Terhadap_Putusan_Perkara.pdf , diakses pada tanggal 02 Mei 2013. NN, Teori Pembuktian dalam Hukum Pidana, http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalamhukum -pidana_4293.html, diakses pada tanggal 2 Mei 2013. NN. Teori Pembuktian dalam Hukum Pidana. http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalamhukum -pidana_4293.html. diakses pada tanggal 2 Mei 2013. Rakasiwi, Galih. 2012. Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Secara Berlanjut(Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT), http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi%20COVER . pdf. diakses pada tanggal 02 Mei 2013.