15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini merupakan penelitian terbaru yang dilakukan secara langsung pada agama Kristen di Kota Denpasar. Sampai saat ini, penelitian dengan topik: “Kontroversi Baptisan Kudus Dalam Agama Kristen di Kota Denpasar” belum pernah diteliti, demikian juga penelitian yang berkaitan dengan topik ini belum pernah ada. Walaupun sakramen baptisan kudus sering diperdebatkan dan dipertentangkan dalam agama Kristen di Kota Denpasar sampai saat ini, tetapi masih pada tataran ranah diskusi dan belum diteliti seperti karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba menganalisa masalahmasalah yang terjadi seputar kontroversi sakramen baptisan kudus dengan menggunakan beberapa buku-buku yang berkaitan dengan pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen secara umum. Buku yang berjudul Apa Itu Baptisan ? ditulis oleh Rayburn (2005) yang membahas tentang perbedaan baptisan selam dan baptisan percik serta dasar-dasar dalam pelaksanaan baptisan tersebut. Keseluruhan isi buku ini ditemukan hanya baptisan percik yang diterima dalam agama Kristen karena sesuai dengan kebenaran Alkitab. Dalam buku ini juga ada beberapa konsep berpikir dan teori tentang pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen secara umum. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada pengertian kata baptisan. Buku ini hanya meninjau dari sisi kata baptisan tanpa mengadakan penelitian langsung terhadap 16 gereja-gereja yang menganut serta melaksanakan baptisan selam maupun baptisan percik. Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar secara langsung, sedangkan buku ini hanya berorientasi pada penelitian pustaka dan pengamatan sekitar pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen secara keseluruhan. Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada tema atau pokok pikiran tentang pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen. Buku yang berjudul Apa Kata Alkitab Tentang Baptisan ? ditulis oleh Scheunemann (1986) yang membahas tentang makna baptisan yang berdasarkan pada Alkitab serta sejarah pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen. Dalam buku ini hanya mengakui baptisan percik dengan melihat arti kata baptisan dalam Alkitab versi bahasa Yunani dan menolak baptisan selam yang dilakukan secara berulang-ulang. Di dalam buku ini juga ditemukan konsep dan teori tentang baptisan yang berdasarkan pada Alkitab. Konsep yang paling menonjol adalah baptisan bukan didasarkan banyaknya air melainkan pada saat baptisan itu dilangsungkan, tetapi iman kepada Tuhan Yesus. Oleh sebab itu, baptisan selam tidak diperkenankan dalam agama Kristen melainkan baptisan percik. Konsep lainnya, baptisan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan alasan apapun tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan Alkitab. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah membahas baptisan dari sudut pandang sejarah sampai pada pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen pada umumnya. Akan tetapi, penelitian ini hanya membahas pelaksanaan baptisan dalam aliran-aliran gereja di Kota Denpasar. Persamaan isi buku tersebut dengan penelitian ini yaitu keduanya membahas tentang arti kata baptisan dan pemaknaannya dalam hidup orang Kristen. 17 Buku yang berjudul Tafsiran Alkitab: Kitab Injil Matius 23-28, ditulis oleh Nielsen (2009) yang menjelaskan maksud dan tujuan dari Amanat Agung Tuhan Yesus. Dalam buku ini menjelaskan arti dari kata-kata yang terdapat dalam pasal kitab tersebut. Secara khusus Matius 28:18-20 menjelaskan tentang perintah Tuhan Yesus untuk membaptis semua orang yang percaya kepada-Nya. Dalam buku ini memberikan informasi bahwa baptisan tidak bisa dihindari oleh setiap orang Kristen, karena baptisan kudus merupakan tanda dari murid Tuhan Yesus. Persamaannya dengan penelitian ini adalah dalam melaksanakan baptisan tidak dibenarkan sikap kekerasan, sehingga seseorang menerima sakramen baptisan tersebut. Kemudian pelaksanaan baptisan tidak bertujuan untuk mewujudkan perpecahan dalam agama Kristen ataupun pertentangan dengan agama lain. Seseorang yang berhak menerima baptisan adalah orang yang menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamatnya secara sukarela dan tanpa tekanan dan paksaan dari orang Kristen atau pihak manapun. Perbedaannya, buku ini tidak menjelaskan atau tidak memberikan informasi tentang cara pelaksanaan baptisan yang seharusnya dilakukan oleh orang Kristen, sedangkan penelitian ini menjelaskan cara-cara pelaksanaan baptisan yang sedang dilakukan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Buku yang berjudul Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen ditulis oleh Enklaar (2003). Dalam buku ini memaparkan tentang sejarah kekristenan dan pelaksanaan baptisan yang dilakukan di seluruh dunia serta sikap para misionaris yang diutus ke seluruh Indonesia dalam melaksanakan baptisan. Para misionaris pada saat itu melakukan pembaptisan dengan cara yang berbeda- 18 beda dan makna baptisan yang berbeda pula. Selain itu juga dijelaskan tentang baptisan secara massal dan pemisahannya dengan pelaksanaan sakramen perjamuan kudus. Dalam buku ini didapatkan informasi bahwa agama Kristen yang masuk ke Indonesia dibawa oleh para penjajah dan juga oleh para misionaris dari berbagai negara, sehingga pemahaman dan tata cara pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen pun sangat berbeda-beda. Buku ini memberikan sebuah konsep dan teori tentang sakramen baptisan kudus dan sakramen perjamuan kudus. Perbedaannya, buku ini menjelaskan baptisan percik dan selam yang dilakukan pada waktu itu, serta pembaptisan massal dan pemisahannya dengan sakramen perjamuan kudus, sedangkan penelitian ini hanya fokus pada kontroversi sakramen baptisan kudus yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Persamaanya dengan penelitian ini adalah membahas tentang pelaksanaan baptisan percik dan selam dalam agama Kristen. Buku yang berjudul Doktrin-doktrin Alkitab ditulis oleh Nelson (2009) yang hanya membahas dan mengakui tentang pelaksanaan baptisan selam. Buku ini menjelaskan pelaksanaan baptisan yang dilakukan oleh Filipus, baptisan yang dilakukan oleh Yohanes, dan baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus adalah baptisan selam karena dilaksanakan di dalam air yaitu di sungai Yordan. Penulis menemukan beberapa ide, gagasan, dan inspirasi tentang pelaksanaan baptisan selam dengan mengutip beberapa ayat-ayat Alkitab. Dalam buku ini memberikan konsep dan teori tentang pelaksanaan baptisan selam. Persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas pelaksanaan baptisan selam, 19 sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini akan menguraikan pelaksanaan baptisan selam, percik, baptisan ulang, dan baptisan Roh Kudus. Buku lain yang berjudul Ikhtisar Khotbah Kisah Para Rasul, ditulis oleh Jurnawan (2007) dengan membagi empat macam istilah baptisan. Baptisan yang dimaksud antara lain: baptisan air; baptisan Roh Kudus; baptisan Firman; dan baptisan api. Arti kata baptisan dalam tulisannya ini bukan hanya menunjuk pada baptisan air, tetapi makna baptisan mengacu dalam seluruh aspek hidup setiap orang Kristen. Buku ini hanya menekankan pada ikhtisar kitab Kisah Para Rasul dengan tidak menguraikan lebih mendalam tentang arti pada setiap baptisan tersebut. Buku ini bermanfaat dalam mengkaji arti baptisan sehingga dapat memberi petunjuk dan pengertian baru tentang baptisan. Teori dan konsep yang ditemukan dalam buku ini adalah empat macam jenis baptisan berdasarkan kitab Kisah Para Rasul. Perbedaanya, penelitian ini lebih pada pelaksanaan baptisan yang sedang berlangsung di Kota Denpasar yang didasarkan pada seluruh Alkitab, sedangkan buku ini hanya memaparkan tentang jenis-jenis baptisan berdasarkan pada satu kitab saja. Selanjutnya, Kolinus TB (2000) menjelaskan arti baptisan dari kitab di atas dalam bukunya yang berjudul Baptisan Roh Kudus Menurut Ajaran Kharismatik. Hampir semua baptisan yang dilakukan oleh para rasul dan orang Kristen dewasa ini hanya bertujuan untuk menyiapkan orang-orang berdosa yang bertobat untuk menerima baptisan yang sesungguhnya dan sempurna dari Tuhan Yesus melalui baptisan Roh Kudus. Dibaptis dalam nama Tuhan Yesus mengandung pengertian bahwa orang yang dibaptis itu telah mengaku dan menerima Yesus sebagai Mesias yaitu juru selamatnya secara pribadi. 20 Di dalam buku ini menjelaskan arti baptisan, tetapi perbedaannya hanya mengakui satu kuasa dari Allah Tritunggal yaitu Roh Kudus dengan menekankan pada baptisan yang dianut oleh paham aliran kharismatik. Akan tetapi, apabila meneliti secara keseluruhan isi Alkitab maka kuasa dan pekerjaan Allah Tritunggal yaitu Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus, terjadi bersamaan pada saat pelaksanaan baptisan. Penelitian penulis lebih menekankan pada keseluruhan tata cara pelaksanaan baptisan yang dilakukan serta dianut oleh aliran dan denominasi gereja yang ada di Kota Denpasar. Dari beberapa kajian pustaka di atas menegaskan bahwa pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen dilakukan dengan berbagai cara. Buku-buku tersebut pada umumnya merupakan hasil pengamatan dan penelitian dari beberapa penulis dengan sudut pandang dan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini lebih banyak menggunakan studi pustaka sebagai bahan perbandingan serta menjadi dasar pijakan berpikir dalam menyelesaikan penelitian ini karena sakramen baptisan kudus merupakan doktrin gereja yang masih terus diperdebatkan sampai saat ini. Perdebatan yang berujung pada persengketaan dan perselisihan tidak saja terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar tetapi juga dalam agama Kristen di seluruh dunia. Kajian pustaka di atas dapat bermanfaat dalam menambah wawasan peneliti untuk melanjutkan penelitian ini, sehingga kontroversi pada pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar dapat ditemukan solusi penyelesaiannya. Kajian pustaka ini juga berusaha memberikan informasi tentang tata cara pelaksanaan baptisan berdasarkan fakta-fakta sejarah kekristenan di dunia dan di Kota Denpasar. 21 Penelitian ini akan dikaji dengan berorientasi pada sudut pandang Kajian Budaya (Cultural Studies) karena kontroversi baptisan kudus harus ditinjau dari berbagai aspek ilmu, namun tetap berpedoman pada Alkitab sebagai dasar utama pelaksanaan baptisan tersebut. Hasil penelitian dapat menjadi sarana dalam mempersatukan aliran gereja yang selama ini mengalami kerengganan atau perpecahan karena adanya hegemoni kekuasaan di antara aliran gereja di Kota Denpasar. Perbedaan kajian pustaka di atas dengan penelitian ini adalah kajian pustaka hanya berorientasi pada pengertian dan pelaksanaan baptisan secara umum, sedangkan penelitian ini lebih terarah pada kontroversi pelaksanaan baptisan yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Dalam melanjutkan penelitian ini masih banyak buku-buku referensi yang akan dipergunakan sebagai pelengkap dan penyempurnaan agar menjadi sebuah tesis yang baik. Melalui buku-buku referensi serta dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan topik penelitian ini akan dapat bermanfaat untuk memperoleh data yang benar sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tentunya, rasa puas dari hasil penelitian bukan hanya bagi peneliti sendiri tetapi juga bagi setiap orang yang membaca dan ingin mempelajarinya. 2.2 Konsep Untuk memperjelas pembahasan penelitian ini lebih lanjut dipandang perlu menguraikan beberapa konsep berdasarkan judul di atas, antara lain: (1) Kontroversi Baptisan Kudus, (2) Agama Kristen, dan (3) Kota Denpasar. 22 2.2.1 Kontroversi Baptisan Kudus Pengertian “kontroversi” menurut Poerwadarminta (2005: 613) adalah sebagai perbedaan pendapat; pertentangan. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:5920) kata “kontroversi” diartikan sebagai perdebatan, persengketaan, dan pertentangan; sedangkan kata “kontroversial” adalah bersifat menimbulkan perdebatan: karena pandangannya yang radikal karena dia merupakan tokoh terpenting di negerinya. Selain arti di atas, kontroversi dapat diartikan sebagai perbantahan, perdebatan, polemik, silang pendapat, percederaan, percekcokan, perselisihan, pertengkaran, dan pertikaian prahara (http://www.sinonimkata.com/sinonim-147095-kontroversi.html). Dari beberapa pengertian di atas, maka kontroversi dapat diartikan sebagai perbedaan pendapat yang menimbulkan perdebatan, persengketaan, atau perselisihan terhadap sesuatu hal karena memiliki pandangan yang radikal. Pengertian kontroversi memiliki definisi yang sangat luas, tetapi dalam konteks penelitian ini lebih menekankan pada perbedaan pendapat yang menimbulkan perdebatan, persengketaan, dan perselisihan terhadap pelaksanaan sakramen baptisan kudus, karena sikap para pemimpin gereja yang memiliki pandangan atau ideologi yang radikal sehingga tidak menerima tata cara pelaksanaan baptisan kudus dari aliran gereja lain. Sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen berdasarkan Alkitab dan bukti sejarah kekristenan menyatakan bahwa pada awalnya baptisan dilakukan dengan cara percik. Akan tetapi, beberapa puluh tahun terakhir bahkan ribuan tahun yang lalu telah mengalami perubahan konsep dan paradigma di mana ada baptisan selam, baptisan selam yang dilakukan secara berulang-ulang, dan 23 baptisan Roh Kudus. Dampak perubahan dari cara pelaksanaan baptisan yang berbeda-beda seperti ini tentu terjadi perdebatan dan perselisihan dalam agama Kristen hingga sampai saat ini. Perdebatan dan pertentangan terhadap pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran dan penafsiran Alkitab tentang pelaksanaan baptisan tersebut. Menurut Poerwadarminta (2005: 99) bahwa kata “baptis” berarti permandian (Kristen). Kata “membaptiskan” adalah mempermandikan (menjadikan Kristen), menamai, dan menamakan. Sedangkan “pembaptisan” yaitu pemandian atau hal membaptis. Menurut Kolinus TB (2000: 9) bahwa kata “baptisan” berasal dari akar kata Yunani: bapto) yang artinya membenamkan, mencelupkan, mandi, masuk ke dalam air (to immerse, to dip). Kata kerja untuk adalah (baptizo). Dalam komunitas Yunani, kata ini sebelumnya digunakan dengan pengertian “mencelupkan selembar pakaian atau sebuah bejana ke dalam air untuk diisi”. Akan tetapi, pada jaman Tuhan Yesus kata ini digunakan dengan pengertian untuk menyucikan diri dari kenajisan. Pengertian baptisan sebelum, pada saat, dan sesudah jaman Tuhan Yesus terus mengalami perubahan. Pengertian baptisan bukan lagi hanya berarti membenamkan, mencelupkan, mandi, atau masuk ke dalam air, tetapi bisa juga berarti menyucikan diri dari kenajisan atau kotoran. Rasul Lukas (LAI, 2008: 116) mencatat: “Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak mencuci tangan-Nya sebelum makan” (Lukas 11:38). Kata membaptis memiliki arti yang sama dengan mencuci tangan. 24 Membersihkan perabot dan mencuci tangan sebelum makan merupakan tradisi orang Yahudi pada saat itu. Dalam bahasa Kajian Budaya, tradisi ini dapat disebut local genius atau kearifan lokal. Dalam analisis Bonnke (2011: 14) ditinjau dari sudut baptisan Roh Kudus, kata “baptis” awalnya tidak memiliki makna religius. Penggunaan kata ini berkaitan dengan keterampilan mencelup kain untuk memberi zat pewarna. Pemberian warna ini disimbolkan dengan karya Kristus membaptis kita dalam Roh sehingga “sewarna” atau serupa dengan karakter Roh, mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Seiring dengan perkembangan agama Kristen masuk ke Indonesia, arti baptisan ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Scheunemann (1986:11) bahwa bahasa Indonesia mengambil alih kata baptis dari bahasa Latin dan Yunani. “Baptizo” dalam bahasa Gerika berarti: mencelupkan, menyelamkan dan dapat juga berarti: membasuh tangan (Lukas 11:38). Kata “baptisan” dari “baptismoi” (jamak) yang diterjemahkan dengan pembasuhanpembasuhan atau penyucian-penyucian seumpama cawan, kendi, dan perkakas ataupun manusia. Menurut Arenar istilah “dimasukkan dan ditenggelamkan” memang dapat memberi pengertian dari kata baptisan. Namun hal ini telah ditafsirkan oleh beberapa gerakan-gerakan yang menganut baptisan selam sebagai bukti bahwa baptisan selam ke dalam air lebih tepat, lebih benar, dan sah untuk melakukan upacara pembaptisan (www.yabina.org). Pernyataan arti kata baptisan pada dasarnya tidak menunjuk pada pelaksanaan baptisan selam sebagaimana dijelaskan oleh Rayburn (2005:22-26) dalam bukunya yang berjudul Apa Itu Baptisan ? bahwa fakta kata Yunani 25 “baptizein” berarti “menenggelamkan” yang merupakan arti utama dari kata tersebut. Akan tetapi, kata “baptizein” pada umumnya dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Yahudi dalam rangka membersihkan perabot rumah tangga dan mencuci tangan. Oleh karena itu, bagi Rayburn menerjemahkan baptis sebagai menyelam tidak bisa dibenarkan. Selanjutnya, Rayburn (2005: 27) melanjutkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa kata baptizein yang berarti menyelam tidak menunjuk pada pelaksanaan baptisan selam. Pada abad kedua banyak para ahli bahasa Yanani dan Latin secara fasih serta menjadi bahasa sehari-hari, telah menterjemahkan Alkitab bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin. Akan tetapi, tidak pernah menerjemahkan kata Yunani “baptizein” ke dalam bahasa Latin immergere yang berarti menyelam. Penggunaan kata baptisan selanjutnya secara luas bagi orang Kristen mengacu pada “Amanat Agung” Tuhan Yesus yang dicatat oleh rasul Matius (LAI, 2008: 52) berbunyi: Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20). Amanat Agung Tuhan Yesus ini kemudian dijelaskan oleh Nielsen (2009: 199) bahwa kalimat Yunani baptisan adalah baptizontes. Artinya, perbuatan membaptis memasukkan yang bersangkutan ke dalam persekutuan 26 baru, yaitu persekutuan jemaat, umat Mesias, Israel baru. Karena itu, perintah membaptis bertolak dari kehadiran iman kepada Yesus Kristus. Pelaksanaan baptisan merupakan perintah Tuhan Yesus bagi setiap orang Kristen. Pelaksanaan baptisan melambangkan bahwa seseorang dimasukkan dalam persekutuan iman kepada Yesus Kristus. Dalam kesimpulan Rayburn (2005: 51-51) untuk mengakhiri perdebatan terhadap argumentasi penganut baptisan selam mengatakan: “Kita percaya bahwa kita telah jelas mendemonstrasikan fakta bahwa tidak ada bukti baptisan melalui selam dalam Alkitab; bahwa tidak ada contoh, kesan atau peringatan bagi orang yang diselam ke dalam air dan menyebutnya sebagai baptisan. Kita telah melihat bahwa Allah dalam anugerah-Nya telah menetapkan satu peraturan sebagai bentuk simbolis pekerjaan Roh Kudus dalam melahirbarukan satu jiwa, dan bahwa peraturan ini diobservasi sebagai percikan air murni atas seseorang. Dalam hal ini peraturan ini dinyatakan pantas dan layak dihargai di bawah lingkungan dan musim apapun, dalam setiap tempat, di mana ada sedikit air. Sejarah Gereja Kristen membuktikan bahwa pelaksanaan dengan cara ini diikuti dengan banyak berkat.” Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dasar utama pelaksanaan baptisan adalah Alkitab. Alkitab adalah otoritas tertinggi yang dijunjung oleh setiap orang Kristen di seluruh dunia, sehingga dengan dasar itulah baptisan dapat dilaksanakan secara benar. Pelaksanaan baptisan sebagai bentuk simbolis dari pekerjaan Roh Kudus untuk melahirbarukan seseorang dan menjadi satu persekutuan di dalam Yesus Kristus. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pengertian kata baptisan memiliki arti yang sangat luas. Dengan pengertian yang berbeda-beda tersebut, pemaknaan terhadap pelaksanaan baptisan juga bisa bermacam-macam menurut kehendak atau versi masing-masing orang Kristen yang memiliki kepentingan di dalamnya. Perbedaan pendapat yang berakhir dalam perdebatan dan 27 persengketaan inilah yang menjadi permasalahan dalam dalam agama Kristen sampai saat ini. 2.2.2 Agama Kristen Agama Kristen adalah sebuah kepercayaan yang berdasar pada kelahiran, pelayanan, sengsara, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus ke Sorga. Orang Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juru selamat bagi seluruh umat manusia yang percaya kepada-Nya secara sungguhsungguh. Setiap orang yang telah diselamatkan oleh Yesus Kristus dipersatukan di dalam gereja-Nya dan menggunakan Alkitab sebagai pedoman dalam hidupnya. Sebutan bagi orang Kristen (agama Kristen) juga tidak terlepas dari pemanggilan murid-murid Yesus Kristus yang pertama kali di Antiokhia. Dalam kitab Kisah Para Rasul 11:26 (LAI, 2008:206) berkata: Mereka tinggal bersamasama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Yesus Kristus adalah pendiri gereja yang sesungguhnya dan pemimpin bagi gereja-Nya. Tuhan Yesus menyebut orang Kristen sebagai gereja-Nya (Griffiths, 1995:2). Yesus Kristus mengumpulkan dan memanggil orang Kristen untuk disatukan dengan Dia (Riemer, 1999: 19). Perpecahan dalam agama Kristen justru menyimpang dari pesan Tuhan Yesus yang terus mendoakan gereja-Nya agar memiliki kesatuan di antara para pengikutnya. Persatuan dan kesatuan yang diharapkan oleh Tuhan Yesus melalui doa-Nya dicatat oleh rasul Yohanes (LAI, 2008: 177) yang berbunyi: “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orangorang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yohanes 17:20-21). 28 Doa ini kemudian menjadi dasar dari gerakan ekumenisme yang dimulai pada awal abad ke-20. Sekarang ini agama Kristen telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat munculnya aliran dan denominasi gereja banyak. Di Kota Denpasar, agama Kristen telah banyak mengalami perkembangan dan pertambahan aliran dan denominasi gereja sebagai bentuk dari perbedaan pandangan yang terus menimbulkan persengketaan dalam pelaksanaan baptisan. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebutan bagi orang Kristen atau orang percaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian agama Kristen. Istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama sehingga akan dipergunakan dalam penelitian ini. Akan tetapi, penulis lebih banyak menggunakan istilah agama Kristen dibandingkan dengan istilah orang percaya dan orang Kristen. Istilah agama Kristen secara umum sudah banyak dikenal, dan merupakan istilah sah yang dipakai oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia. 2.2.3 Kota Denpasar Kota Denpasar adalah Ibukota Provinsi Bali sebagai pusat pemerintahan. Kota Denpasar terdiri dalam empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan Denpasar Utara. Dalam keempat wilayah Kecamatan Denpasar ini, peneliti akan meninjau aliran dan denominasi gereja yang memiliki perbedaan terhadap pelaksanaan baptisan kudus. Peneliti lebih memilih Kota Denpasar dibandingkan kota Kabupaten lainnya di Provinsi Bali, karena di Kota Denpasar lebih banyak ditemukan aliran gereja dalam agama Kristen. Oleh sebab itu, hasil dari penelitian ini diperoleh data yang akurat dan benar sesuai dengan kondisi agama 29 Kristen di Kota Denpasar dan sekaligus dapat mewakili agama Kristen di Provinsi Bali. Di Kota Denpasar ada beberapa paguyuban-paguyuban, baik yang bersifat eksternal yaitu paguyuban antara agama Kristen dengan agama lain, dan ada yang bersifat internal yaitu paguyuban antara agama Kristen sendiri. Secara eksternal telah dibentuk Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). FKUB bertujuan untuk menyatukan umat beragama yang ada di Kota Denpasar. Secara internal ada Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG) dan Bali Partnership. Paguyuban dalam agama Kristen seperti MPAG dan Bali Partnership bertujuan untuk menyatukan serta menghindari berbagai konflik-konflik dari aliran dan denominasi gereja dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Pada dasarnya tujuan paguyuban ini sangat mulia, tetapi sampai sekarang ini kontroversi dalam pelaksanaan baptisan masih terus terjadi. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat digunakan untuk mencari penyebab-penyebab terjadinya kontroversi ini serta solusi penyelesaiannya sehingga sehingga dapat tercipta kedamaian, keharmonisan, kerukunan, dan kebersamaan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. 2.2.4 Kontroversi Baptisan Kudus Dalam Agama Kristen di Kota Denpasar Kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar merupakan suatu perbedaan pendapat atau ideologi yang menimbulkan perdebatan yang berujung pada persengketaan yang terus-menerus berlangsung hingga sampai saat ini. Disebut kontroversi karena ada dua definisi yang berbeda dan berlawanan yang menimbulkan pertikaian prahara. Dalam hal ini memang tidak 30 ada dari keduanya yang salah secara definitif, tetapi dampak dari perdebatan ini mengakibatkan perpecahan dalam agama Kristen secara terus menerus. Kontroversi baptisan kudus berarti ada dua atau lebih sudut pandang yang berbeda dalam memaknai atau mengartikan arti kata baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Bertumbuhnya persengketaan terhadap pelaksanaan baptisan ini disebabkan karena adanya pola pikir atau paham yang sangat radikal yang tetap dipertahankan oleh setiap pemimpin-pemimpin dalam agama Kristen. Paham yang radikal sering dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan pribadi dan golongannya, sekaligus menjadi alat untuk menguasai aliran gereja lain. Ketika perbedaan dan ideologi yang radikal menjadi dasar dalam pelaksanaan baptisan, maka pada akhirnya terjadi perpecahan dalam agama Kristen. Bukti perpecahan dalam agama Kristen di Kota Denpasar dengan bertumbuhnya berbagai aliran atau denominasi gereja baru yang tidak menerima dan mengakui cara pelaksanaan baptisan dari aliran gereja lain. Setiap pemimpin gereja berusaha menonjolkan perbedaan yang ada sebagai identitas gereja yang benar dalam komunitas orang Kristen maupun terhadap agama lain. Pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen sangat penting dan bersifat sakral. Sakral berarti baptisan itu kudus sehingga tidak dilakukan dengan sembarangan dan hanya sekali seumur hidup bagi setiap pribadi orang Kristen. Baptisan kudus merupakan tanda bahwa seseorang telah diterima masuk ke dalam persekutuan gereja Tuhan Yesus. Gereja Tuhan Yesus adalah Dia kepala atas seluruh gereja dan gereja adalah milik-Nya. Seseorang yang telah dipersatukan di dalam Yesus Kristus menjadi anak-anak Allah. 31 Dari seluruh uraian di atas, maka indikator terjadinya kontroversi sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar adalah sebagai berikut: (1) Adanya perbedaan aliran gereja yang terus berkembang dalam agama Kristen hingga saat ini; (2) Adanya perbedaan cara penafsiran Alkitab tentang arti kata baptisan kudus; dan (3) Adanya perbedaan dalam pelaksanaan baptisan kudus tersebut. Perbedaan-perbedaan inilah yang akan diteliti lebih lanjut pada penelitian ini, sehingga kontroversi baptisan kudus dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. 2.3 Landasan Teori Teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum. Dalam penelitian ini beberapa teori digunakan untuk membedah masalah tersebut, yaitu: (1) Teori Hegemoni; (2) Teori Interaksi Simbolik; dan (3) Teori Semiotika. Teori hegemoni diperlukan karena pemimpin dari setiap aliran gereja berusaha untuk mempertahankan paham yang dianutnya sebagai salah satu cara keeksistensinya dalam agama Kristen. Setiap pemimpin gereja saling menghegemoni untuk mempertahankan aliran gerejanya masing-masing. Teori interaksi simbolik diperlukan untuk menjabarkan simbol-simbol yang dipakai dalam agama Kristen. Melalui simbol-simbol tersebut, orang Kristen berusaha untuk menginterpretasi dan memaknainya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Teori semiotika diperlukan untuk menemukan dampak dari kontroversi pelaksanaan baptisan, sehingga setiap simbol kekristenan tidak menjadi hal yang kontroversial lagi dalam kehidupan kekristenan. Ketiga teori ini dipilih karena dapat dipergunakan untuk membedah permasalahan serta mencari solusi penyelesaian terhadap kontroversi pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. 32 2.3.1 Teori Hegemoni Konsep hegemoni pertama kali dipopulerkan oleh Antonio Gramsci. Konsep Gramsci ini umumnya berorientasi dalam memaknai suatu determinan sejarah yang bergerak pada tataran sikap mempertahankan, melestarikan kekuasaan, menggerogoti secara terus menerus, melemahkan, dan meniadakan potensi tanding dengan kekuatan lawan. Bagi Gramsci, konsep hegemoni dengan “kekuatan” (force) memiliki perbedaan yang paling mendasar. Konsep hegemoni meliputi perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa yang bukan kepemimpinan, intelektual, moral dan politik. lewat penggunaan Sedangkan konsep kekuatan bergerak pada ranah penggunaan daya paksa untuk membuat seseorang, sekelompok orang, atau orang banyak untuk mengikuti kehendak yang mengontrol kekuataan tersebut dengan menawarkan syarat-syarat tertentu untuk mencapai keinginan pemilik kekuatan (Pobotinggi, 1986: 214-216). Antonio Gramsci dengan teori hegemoninya dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasannya dipengaruhi oleh filsafat hukum Hegel. Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang dapat didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional. Dalam analisis teorinya memaparkan bahwa dalam setiap aspek hidup masyarakat pada umumnya terdapat hegemoni budaya dan hegemoni ideologis (Barker, 2006: 65). Dalam paparan Gramsci, hegemoni budaya dan hegemoni ideologis berarti situasi dimana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi 33 antara kekuatan, dan terlebih lagi dengan konsensus. Dalam analisisnya, ideologi dipahami sebagai kebenaran universal, merupakan peta makna yang didukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Artinya, ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktifitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan moral yang sepadan dengan ‘agama yang secara sekular dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan norma tindakan terkait’ (Gramsci, 1971: 349). Sebagai implikasi dari pembangunan teori hegemoni, kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerak perubahan sosial. Kelas buruh dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas dalam masyarakat seperti ekonomi, politik, kultur, gender, dan lingkungan yang saling tergantung satu sama lainnya. Dengan demikian, Gramsci membuka kemungkinan memasukan kelompok-kelompok baru di dalam kategori kelas buruh, yang saling berinteraksi dan menghasilkan perubahan sosial, termasuk juga dalam realitas agama. Selanjutnya, Ratna (2005: 136) mengembangkan teori hegemoni Gramsci dalam konteks Indonesia dengan mengatakan bahwa hegemoni terjadi apabila cara berpikir kelompok tertindas, khususnya kaum proletar telah terobsesi dan menerima cara berpikir kolompok dominan. Perlu diketahui bahwa transformasi dan pengambilan cara berpikir sebagaimana yang dimaksudkan dalam teori hegemoni tidak terbatas dalam bidang politik, melainkan juga intelektual, moral, religi (agama), termasuk cita rasa. Teori hegemoni tidak terbatas pada bidang politik, intelektual, moral, agama, dan cita rasa, tetapi juga terjadi pada common sense dan budaya pop. 34 Gramsci berargumentasi bahwa common sense dan budaya pop, di mana orangorang berusaha mengorganisasi kehidupan dan pengalaman mereka, sehingga disadari atau tanpa disadari telah menjadi arena bagi pertarungan ideologis. Pada situasi ini hegemoni dipahami sebagai serangkaian aliansi cair dan temporer yang harus dimenangkan dan dinegosiasikan ulang bagi pemangku kepentingan. Oleh sebab itu, muncul dan runtuhnya hegemoni budaya adalah sebuah proses yang terus menerus dan kebudayaan adalah sebuah lahan bagi perjuangan secara terusmenerus untuk mendapatkan makna (Barker, 2006: 370). Suatu blok hegemoni tidak pernah berdiri sendiri atau tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi di mana suatu kelompok berposisi pemimpin. Ideologi memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini mulai dari kelas kecil sampai menguasai secara keseluruhan. Konsep ini biasanya dilakukan oleh negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi, dan bahkan juga penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, dan bahkan keluarga. Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga sosial seperti: LSM, organisasi sosial dan keagamaan, peguyuban-peguyuban, kelompok-kelompok kepentingan (Barker, 2006: 62). Teori hegemoni Gramsci sangat relevan dalam Kajian Budaya (Cultural Studies), karena Cultural Studies bergerak dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, semua praktek tentang nilai-nilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas atau perilaku kehidupan suatu masyarakat, bentuk-bentuk 35 kebudayaan yang dieksplorasi untuk kepentingan tertentu, dan ranah dalam kajian berbagai disiplin ilmu (Barker, 2006: 7-8). Teori hegemoni dalam kaitannya dengan kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar yaitu adanya hegemoni yang lebih dominan dan ideologi yang diperjuangkan oleh pemimpin gereja atau sekelompok orang Kristen untuk membenarkan cara pelaksanaan baptisan yang dilakukan oleh aliran dan denominasi gerejanya. Gereja yang sudah mapan dan memiliki pengaruh anggota yang banyak merasa menjadi aliran gereja yang benar dalam melaksanakan baptisan. Fenomena ini menjadi acuan dalam menghegemoni aliran gereja yang kecil dan tertindas. Pada tataran juga ideologi dipahami sebagai ide, makna, dan praktik yang mengklaim sebagai kebenaran universal yang diberlakukan pada aliran dan denominasi gereja lain yang berbeda dengannya. Dalam hal ini, ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan orang Kristen dalam melaksanakan baptisan kudus. Dalam hubungan inilah, Castoriadis dan Lefort (Thompson, 2003:60-61) mengatakan bahwa ideologi sebagai sistem ide, dan ideologi ada dalam bahasa. Ideologi bukan wacana tertentu yang berhubungan dengan masyarakat tertentu, tetapi sebagai cara makna membenarkan relasi dominasi. Bagi Ratna (2008: 372), ideologi dibedakan dalam dua macam sifat kerjanya, yaitu bersifat imanen dan bersifat transenden. Ideologi bersifat imanen yaitu ideologi sebagai bahasa yang digunakan dalam aktivitas sosial, sedangkan ideologi bersifat transenden yaitu ideologi untuk membenarkan dominasi. Kedua sifat ideologi di atas telah memasuki ranah pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Setiap aliran dan denominasi 36 gereja berusaha untuk saling menghegemoni dan mengklaim sebagai aliran gereja yang paling benar. Aliran gereja yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan akan menindas aliran gereja yang kecil, sehingga lama-kelamaan aliran atau denominasi gereja yang tertindas itu tidak berkembang secara kualitas ataupun kuantitas, dan pada akhirnya gereja itu tutup karena tidak memiliki anggota jemaat. Pada kondisi inilah Kajian Budaya membela kaum lemah dan termajinal dalam konteks dan pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranatapranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama adalah pemimpin gereja (pendeta). Pemimpin gereja memberikan pengajaran kepada warga gereja, sehingga mereka percaya dan menerima ajaran tersebut dengan dasar tunduk pada pemimpin gereja. Pada saat pemimpin gereja memberikan pengajaran dan menerapkan aturan-aturan yang berlaku di gereja yang dipimpinnya secara tidak langsung telah melakukan hegemoni terhadap warga jemaat sehingga dengan jumlah anggota yang banyak merasa sudah kuat dan berkesempatan untuk melanjutkan hegemoni ini terhadap aliran dan denominasi gereja lain yang ada di sekitarnya. Bagi warga gereja yang tidak mau dikuasai atau dihegemoni oleh pemimpin gerejanya, kemudian memisahkan diri dan membentuk komunitas baru yaitu aliran atau denominasi gereja baru. Aliran dan denominasi yang telah terbentuk ini berusaha untuk mempertahankan ajarannya dan juga berusaha untuk melawan aliran yang lama atau aliran yang ada di sekitarnya. Sikap melawan inilah terjadi karena adanya reaksi hegemoni. Jadi, teori ini dapat membahas rumusan masalah pertama dan kedua dalam penelitian ini. 37 2.3.2 Teori Interaksi Simbolik Teori interaksi simbolik merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir dari tradisi psikologi. Salah seorang tokohnya Herbert Blumer dalam bukunya Symbolic Interactionisme (Veeger, 1985: 224-229) menjelaskan tentang konsepkonsepnya yang dipadukan dengan gagasan-gagasan George Herbert Mead. Walaupun dalam sejarah interaksi simbolik Cooley dan Thomas merupakan tokoh penting pada awal abad kesembilan belas, ternyata Mead paling berpengaruh bagi perspektif ini. Pentingnya teori interaksi simbolik ini karena setiap manusia hidup dalam lingkungan simbol-simbol tertentu. Lebih daripada itu, manusia juga mampu memakai lambang dan simbol tanpa banyak berpikir. Dengan spontan simbol dan lambang itu disebar atau dituangkan dalam hubungan dengan sesamanya sehingga menerimanya. arti dan maksudnya dapat dimengerti oleh yang Dalam konsep ini, kebutuhan dasar manusia pada tataran perspektif ini menurut Triguna (2000: 2) adalah kebutuhan akan simbol seperti makanan, melihat, atau berpindah tempat. Bagi manusia membuat dan menggunakan simbol adalah aktivitas primer. Interaksi terhadap simbol dikembangkan oleh Mead dengan melihat bahwa kebutuhan dasar manusia yang selalu berada dalam lingkup simbol. Menurut Doyle Paul Johnson (1986: 8-9), bahwa Mead mengembangkan teori interaksi simbolik dengan mengacu pada teori Darwin yang terletak pada prinsip bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Melalui proses penyesuaian ini bentuk atau karakteristik 38 organisme mengalami perubahan yang terus-menerus seiring dengan kebutuhan yang diidamkannya. Organisme yang dimaksud pada konsep ini lebih menunjuk kepada manusia sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk yang hidup dalam dunia simbol. Manusia itu bergerak sebagai “organisme yang sadar akan dirinya”. Ia mampu bergaul, berinteraksi, dan berwawancara dengan dirinya sendiri. Akhirnya, manusia itu merencanakan dan mengorganisasikan perbuatanperbuatannya. Pada saat reaksi ini berlangsung, antara perangsang dari suatu situasi dan kelakuannya tersisiplah proses interaksi dengan dirinya sendiri sehingga melahirkan proses pemaknaan serta penafsiran yang dapat diwujudkan pada suatu situasi dan kondisi tertentu. Manusia yang berinteraksi dengan simbol-simbol yang ada di sekitarnya dipopulerkan oleh Blumer sebagai penganut teori interaksionisme modern yang diuraikan dalam karyanya Man and Society. Dalam karyanya ini dijelaskan bahwa psikologi sosial (behaviorisme) sebagai interaksi khas antar manusia melalui proses saling menerjemahkan, mengevaluasi, dan mendefinisikan tindakannya. Tanggapan hanya sekedar reaksi atas aksi yang ada, namun hal itu didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Penggunaan simbol, interpretasi, dan pemahaman maksud tindakan merupakan unsur penting yang harus diperhatikan (Triguna, 2000:43). Agama Kristen yang memiliki sejumlah simbol dalam ritualnya seperti baptisan kudus, tentunya orang Kristenlah yang mampu menerjemahkan, menginterpretasi, dan menggunakan simbol-simbol tersebut. Kemampuan orang Kristen atau manusia dalam memahami simbol-simbol kekristenan dijabarkan 39 oleh Blumer (1969:80) bahwa manusia tidak saja mengenal tanda-tanda alamiah (natural signs), tetapi memahami simbol yang mengandung makna (significant symbols). Kontroversi yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar karena memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap pengertian baptisan. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa orang Kristen mampu menggunakan bahasa yang ada di sekitarnya untuk memberi interpretasi terhadap pelaksanaan baptisan itu sendiri. Secara umum manusia mampu memanfaatkan bahasa untuk melihat, mempertimbangkan, menafsirkan, dan menggunakan simbol-simbol yang ada di sekitarnya. Penggunaan bahasa dan simbol-simbol dalam kegiatan keagamaan bagi Triguna (2000: 46) sebagai unsur melegalisasikan kedudukan baru yang dicapai menyebabkan terjadinya proses restrukturasi, yaitu proses penafsiran kembali simbolisme sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat pada saat itu. Agama Kristen adalah agama yang dipenuhi dengan simbol-simbol yang dibangun dan dibuat oleh orang Kristen dalam ritual keagamaan yang dianutnya. Walaupun simbol baptisan kudus ini telah ada sejak awal kekristenan, namun pemaknaan terhadap simbol itu terus mengalami perubahan karena ditafsirkan menurut kebutuhan orang Kristen pada jaman ini. Dengan demikian, fungsi simbol dan makna yang dibuat oleh manusia terhadap simbol tertentu pada umumnya atau orang Kristen pada khususnya, menurut Triguna (2000: 35) sebagai perwujudan status sosial. Semakin beraneka ragam simbol yang dapat dibuat dan digunakan oleh seseorang atau kelompok orang semakin tinggi status sosial yang bersangkutan. 40 Setiap anggota masyarakat memahami perbuatan orang lain dan memakainya dalam menyusun kelakuannya. Inti kehidupan sosial manusia walaupun berbeda-beda unsur-unsur struktur dan budaya serta peranan-peranan sosialnya tidak berpengaruh langsung terhadap proses situasi interaksi di masyarakat. Demikian juga kehidupan agama Kristen di Kota Denpasar yang tidak terlepas dari interaksi simbol-simbol, baik dengan masyarakat secara umum maupun simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat Kristen tersebut. Pelaksanakan baptisan kudus bagi orang Kristen dipenuhi dengan simbol-simbol keagamaan yang sudah tertanam dalam kehidupan mereka. Simbol-simbol ini tidak dapat dipahami secara langsung tanpa menganalisa setiap latarbelakang dan proses penggunaan simbol tersebut. Oleh karena itu, teori ini berusaha untuk membedah rumusan masalah kedua tentang faktor yang menyebabkan terjadinya kontroversi pada pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. 2.3.3 Teori Semiotika Teori semiotika sangat dipandang perlu untuk mengalisa penelitian ini, secara khusus untuk membahas rumusan masalah ketiga tentang dampak dan makna kontroversi sakramen baptisan kudus dalam Agama Kristen di Kota Denpasar. Dengan melihat fenomena sosial tentang kontroversi pelaksanaan baptisan kudus, sesungguhnya di balik kontroversi itu tersimpan kebohongan dan kebenaran yang dipegang oleh masing-masing aliran gereja. Ketika ideologi kebenaran ditonjolkan maka sesungguhnya tersimpan juga ideologi kepalsuan di dalamnya. 41 Konsep ideologi yang demikian ditegaskan oleh Piliang (2003: 43-44) bahwa ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri sebagai sebuah kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu yang diciptakan oleh para elit ideolog. Selanjutnya, defenisi ideologi ini bila dihubungkan dengan melihat teori semiotika (semiotics) yaitu salah satu dari ilmu, yang oleh beberapa pemikir dikaitkan hakikatnya dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan (teori dusta). Semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran. Untuk melihat lebih jauh teori semiotika, maka perlu mempertimbangkan pendapat Eco (1979: 7) bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa. Saya pikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai sebuah program komprehensif untuk semiotika umum (general semiotics). Selanjutnya, teori semiotika juga diuraikan oleh Benny H. Hoed (2011:35) dalam bukunya yang berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, yang meyakinkan kita mengenai kekuatan semiotik untuk kajian budaya, sepanjang kita ingin melihat ‘tanda’ sebagai ‘satuan kultural’, ‘semiosis’, ‘interconnected cultural unik’, ‘the signifying order’ dalam dinamika masyarakat. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Merujuk kepada Ferdinand de Saussure (1996), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan 42 makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Dengan demikian, apa yang ada dalam kehidupan kita dilihat sebagai “bentuk” yang mempunyai “makna” tertentu. Hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial, yakni didasari oleh “kesepakatan” (konvensi) sosial. Oleh sebab itu, semiotik pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia, baik dalam unsur bahasa, agama, dan sebagainya. Setiap unsur-unsur ini memiliki makna sesuai bagiannya masingmasing. Dalam memaknai sebuah tanda menurut Hoed (2011:8-9) harus didasarkan pada: Pertama, tanda adalah sesuatu yang terstruktur dan penggunaannya didasari oleh kaidah yang mengatur praktik berbahasa dalam kehidupan bermasyarakat, atau bagaimana parole mengubah langue. Kedua, manusia memandang suatu gejala budaya sebagai tanda yang terdiri atas penanda. Ketiga, manusia melihat tanda melalui dua poros, yakni sintagmatik (jukstaposisi) dan asosiatif (hubungan antara tanda dalam ingatan manusia yang membentuk sistem dan paradigma). Keempat, teori tanda bersifat dikotomis, yakni tanda dua aspek yang berkaitan satu sama lain dan relasi antar tanda sebagai relasi pembeda “makna”. Kelima, kaidah analisis struktural, yakni imanensi, pertinensi, komutasi, kompatibilitas, integrasi, sinkroni sebagai dasar analisis diakronis, dan fungsional. Sehubungan dangan teori semiotik ini Sibarani (2006: 3-4) menjelaskan bahwa semiotik adalah bidang kajian yang mempelajari seluk-beluk tanda. Tanda mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol adalah tanda yang melambangkan sesuatu, yang hubungan antara penanda (signifier) dengan yang ditandainya 43 (signified) tidak memiliki relasi alamiah, tetapi arbitrari dan konvensional. Indeks adalah tanda yang menandai sesuatu, yang hubungan antara penanda dan yang ditandainya memiliki relasi alamiah. Ikon adalah tanda yang menandai sesuatu, yang hubungan antara penanda dan petanda memiliki relasi kesamaan atau kemiripan. Tanda yang berfungsi untuk mewakili atau menandai sesuatu dijabarkan oleh Charles Sanders Peirce (Hoed, 2011: 4) dengan melihat tanda bukanlah suatu struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap pancaindra. Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama – yang “konkret” adalah suatu “perwakilan” yang disebut representamen atau ground, sedangkan “sesuatu” yang ada di dalam kognisi disebut object. Proses perhubungan dari representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun. ‘tanda’). Semiotik pada hakikatnya terbagi atas dua bagian besar, yakni semiotika komunikasi (semiotics of communication) dan semiotika makna (semiotics of signification). Semiotika komunikasi memfokuskan diri pada proses pemahaman tanda sebagai bagian dari komunikasi untuk penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima melalui tanda berkode dengan kontak komunikasi dalam konteks tertentu. Semiotika makna lebih memfokuskan diri pada pemahaman arti atau makna tanda secara holistik, baik secara internal-konotatif denotatif maupun secara eksternal-konotatif yang dikaitkan dengan konteks sosial budaya (Piliang, 2003: 266-269). Melalui teori semiotik ini peneliti dapat menemukan dampak dan makna dari kontroversi baptisan kudus. Apabila tidak dapat memahami makna dari setiap simbol baptisan, maka dapat memunculkan konflik-konflik yang akhirnya 44 terjadi perpecahan secara terus-menerus dalam agama Kristen. Melalui hasil penelitian ini akan menemukan solusi dalam mewujudkan suasana damai dan kesatuan di antara aliran atau denominasi gereja di Kota Denpasar. 2.4 Model Penelitian Sesuai dengan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka model penelitiannya dapat dituangkan dalam gambar di bawah ini (Gambar 2.1). ALKITAB PEMIMPIN GEREJA - KEBUDAYAAN - TAFSIRAN Bagaimana bentuk kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar ? AGAMA KRISTEN KONTROVERSI BAPTISAN KUDUS DALAM AGAMA KRISTEN DI KOTA DENPASAR - ALIRAN GEREJA - HUKUM GEREJA Faktor apakah yang mempengaruhi kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar ? Apa dampak dan makna kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar ? Keterangan Model Penelitian Kerangka berpikir seperti gambar model di atas timbul sebagai akibat adanya kontroversi pada baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Alkitab sebagai kitab suci yang menjadi otoritas tertinggi dalam seluruh aspek hidup orang Kristen, termasuk dalam pelaksanaan sakramen baptisan kudus telah 45 mengalami perubahan cara pandang dalam memaknai dan menafsirkan isinya. Alkitab seharusnya menjadi dasar bagi para pemimpin gereja (pendeta) dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya di tengah-tengah dunia ini. Akan tetapi, pada kenyataannya pemimpin gereja sering memasukan gagasan berpikir dan ideologinya dalam menafsirkan Alkitab demi kepentingan pribadi atau aliran gereja yang dipimpinnya. Paham dan ideologi inilah yang mempengaruhi terjadi kontroversi pada pelaksanaan baptisan kudus dengan cara yang beraneka ragam. Ketika pemimpin gereja menafsirkan Alkitab maka cara berpikirnya juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat yang berlaku pada saat itu ataupun kebudayaan para misionaris yang membawa agama Kristen di Kota Denpasar. Hasil dari pemahaman dan penafsiran tentang pelaksanaan baptisan akan melahirkan aliran dan aturan gereja yang baru. Kehadiran aliran gereja baru banyak memicu pelaksanaan baptisan yang dilakukan dalam berbagai cara menurut kehendak pemimpin gereja tersebut. Kesalahan dalam menafsir Alkitab juga dapat menimbulkan perpecahan dalam agama Kristen.