BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

advertisement
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian ini merupakan penelitian terbaru yang dilakukan secara
langsung pada agama Kristen di Kota Denpasar. Sampai saat ini, penelitian
dengan topik: “Kontroversi Baptisan Kudus Dalam Agama Kristen di Kota
Denpasar” belum pernah diteliti, demikian juga penelitian yang berkaitan dengan
topik ini belum pernah ada.
Walaupun sakramen baptisan kudus sering
diperdebatkan dan dipertentangkan dalam agama Kristen di Kota Denpasar
sampai saat ini, tetapi masih pada tataran ranah diskusi dan belum diteliti seperti
karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba menganalisa masalahmasalah yang terjadi seputar kontroversi sakramen baptisan kudus dengan
menggunakan beberapa buku-buku yang berkaitan dengan pelaksanaan baptisan
kudus dalam agama Kristen secara umum.
Buku yang berjudul Apa Itu Baptisan ? ditulis oleh Rayburn (2005) yang
membahas tentang perbedaan baptisan selam dan baptisan percik serta dasar-dasar
dalam pelaksanaan baptisan tersebut. Keseluruhan isi buku ini ditemukan hanya
baptisan percik yang diterima dalam agama Kristen karena sesuai dengan
kebenaran Alkitab. Dalam buku ini juga ada beberapa konsep berpikir dan teori
tentang pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen secara umum. Perbedaannya
dengan penelitian ini terletak pada pengertian kata baptisan. Buku ini hanya
meninjau dari sisi kata baptisan tanpa mengadakan penelitian langsung terhadap
16
gereja-gereja yang menganut serta melaksanakan baptisan selam maupun baptisan
percik. Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar secara langsung, sedangkan
buku ini hanya berorientasi pada penelitian pustaka dan pengamatan sekitar
pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen secara keseluruhan. Persamaannya
dengan penelitian ini terletak pada tema atau pokok pikiran tentang pelaksanaan
baptisan kudus dalam agama Kristen.
Buku yang berjudul Apa Kata Alkitab Tentang Baptisan ? ditulis oleh
Scheunemann (1986) yang membahas tentang makna baptisan yang berdasarkan
pada Alkitab serta sejarah pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen. Dalam
buku ini hanya mengakui baptisan percik dengan melihat arti kata baptisan dalam
Alkitab versi bahasa Yunani dan menolak baptisan selam yang dilakukan secara
berulang-ulang. Di dalam buku ini juga ditemukan konsep dan teori tentang
baptisan yang berdasarkan pada Alkitab. Konsep yang paling menonjol adalah
baptisan bukan didasarkan banyaknya air melainkan pada saat baptisan itu
dilangsungkan, tetapi iman kepada Tuhan Yesus. Oleh sebab itu, baptisan selam
tidak diperkenankan dalam agama Kristen melainkan baptisan percik. Konsep
lainnya, baptisan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan alasan apapun
tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan Alkitab.
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah membahas baptisan dari sudut
pandang sejarah sampai pada pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen pada
umumnya. Akan tetapi, penelitian ini hanya membahas pelaksanaan baptisan
dalam aliran-aliran gereja di Kota Denpasar. Persamaan isi buku tersebut dengan
penelitian ini yaitu keduanya membahas tentang arti kata baptisan dan
pemaknaannya dalam hidup orang Kristen.
17
Buku yang berjudul Tafsiran Alkitab: Kitab Injil Matius 23-28, ditulis
oleh Nielsen (2009) yang menjelaskan maksud dan tujuan dari Amanat Agung
Tuhan Yesus. Dalam buku ini menjelaskan arti dari kata-kata yang terdapat
dalam pasal kitab tersebut. Secara khusus Matius 28:18-20 menjelaskan tentang
perintah Tuhan Yesus untuk membaptis semua orang yang percaya kepada-Nya.
Dalam buku ini memberikan informasi bahwa baptisan tidak bisa dihindari oleh
setiap orang Kristen, karena baptisan kudus merupakan tanda dari murid Tuhan
Yesus. Persamaannya dengan penelitian ini adalah dalam melaksanakan baptisan
tidak dibenarkan sikap kekerasan, sehingga seseorang menerima sakramen
baptisan tersebut.
Kemudian pelaksanaan baptisan tidak bertujuan untuk
mewujudkan perpecahan dalam agama Kristen ataupun pertentangan dengan
agama lain.
Seseorang yang berhak menerima baptisan adalah orang yang menerima
Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamatnya secara sukarela dan tanpa
tekanan dan paksaan dari orang Kristen atau pihak manapun. Perbedaannya, buku
ini tidak menjelaskan atau tidak memberikan informasi tentang cara pelaksanaan
baptisan yang seharusnya dilakukan oleh orang Kristen, sedangkan penelitian ini
menjelaskan cara-cara pelaksanaan baptisan yang sedang dilakukan dalam agama
Kristen di Kota Denpasar.
Buku yang berjudul Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen
ditulis oleh Enklaar (2003).
Dalam buku ini memaparkan tentang sejarah
kekristenan dan pelaksanaan baptisan yang dilakukan di seluruh dunia serta sikap
para misionaris yang diutus ke seluruh Indonesia dalam melaksanakan baptisan.
Para misionaris pada saat itu melakukan pembaptisan dengan cara yang berbeda-
18
beda dan makna baptisan yang berbeda pula. Selain itu juga dijelaskan tentang
baptisan secara massal dan pemisahannya dengan pelaksanaan sakramen
perjamuan kudus.
Dalam buku ini didapatkan informasi bahwa agama Kristen yang masuk
ke Indonesia dibawa oleh para penjajah dan juga oleh para misionaris dari
berbagai negara, sehingga pemahaman dan tata cara pelaksanaan baptisan dalam
agama Kristen pun sangat berbeda-beda. Buku ini memberikan sebuah konsep
dan teori tentang sakramen baptisan kudus dan sakramen perjamuan kudus.
Perbedaannya, buku ini menjelaskan baptisan percik dan selam yang dilakukan
pada waktu itu, serta pembaptisan massal dan pemisahannya dengan sakramen
perjamuan kudus, sedangkan penelitian ini hanya fokus pada kontroversi
sakramen baptisan kudus yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota
Denpasar.
Persamaanya dengan penelitian ini adalah membahas tentang
pelaksanaan baptisan percik dan selam dalam agama Kristen.
Buku yang berjudul Doktrin-doktrin Alkitab ditulis oleh Nelson (2009)
yang hanya membahas dan mengakui tentang pelaksanaan baptisan selam. Buku
ini menjelaskan pelaksanaan baptisan yang dilakukan oleh Filipus, baptisan yang
dilakukan oleh Yohanes, dan baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus adalah
baptisan selam karena dilaksanakan di dalam air yaitu di sungai Yordan. Penulis
menemukan beberapa ide, gagasan, dan inspirasi tentang pelaksanaan baptisan
selam dengan mengutip beberapa ayat-ayat Alkitab. Dalam buku ini memberikan
konsep dan teori tentang pelaksanaan baptisan selam.
Persamaannya dengan
penelitian ini adalah sama-sama membahas pelaksanaan baptisan selam,
19
sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini akan menguraikan pelaksanaan
baptisan selam, percik, baptisan ulang, dan baptisan Roh Kudus.
Buku lain yang berjudul Ikhtisar Khotbah Kisah Para Rasul, ditulis oleh
Jurnawan (2007) dengan membagi empat macam istilah baptisan. Baptisan yang
dimaksud antara lain: baptisan air; baptisan Roh Kudus; baptisan Firman; dan
baptisan api. Arti kata baptisan dalam tulisannya ini bukan hanya menunjuk pada
baptisan air, tetapi makna baptisan mengacu dalam seluruh aspek hidup setiap
orang Kristen. Buku ini hanya menekankan pada ikhtisar kitab Kisah Para Rasul
dengan tidak menguraikan lebih mendalam tentang arti pada setiap baptisan
tersebut.
Buku ini bermanfaat dalam mengkaji arti baptisan sehingga dapat
memberi petunjuk dan pengertian baru tentang baptisan. Teori dan konsep yang
ditemukan dalam buku ini adalah empat macam jenis baptisan berdasarkan kitab
Kisah Para Rasul. Perbedaanya, penelitian ini lebih pada pelaksanaan baptisan
yang sedang berlangsung di Kota Denpasar yang didasarkan pada seluruh Alkitab,
sedangkan buku ini hanya memaparkan tentang jenis-jenis baptisan berdasarkan
pada satu kitab saja.
Selanjutnya, Kolinus TB (2000) menjelaskan arti baptisan dari kitab di
atas dalam bukunya yang berjudul Baptisan Roh Kudus Menurut Ajaran
Kharismatik. Hampir semua baptisan yang dilakukan oleh para rasul dan orang
Kristen dewasa ini hanya bertujuan untuk menyiapkan orang-orang berdosa yang
bertobat untuk menerima baptisan yang sesungguhnya dan sempurna dari Tuhan
Yesus melalui baptisan Roh Kudus.
Dibaptis dalam nama Tuhan Yesus
mengandung pengertian bahwa orang yang dibaptis itu telah mengaku dan
menerima Yesus sebagai Mesias yaitu juru selamatnya secara pribadi.
20
Di dalam buku ini menjelaskan arti baptisan, tetapi perbedaannya hanya
mengakui satu kuasa dari Allah Tritunggal yaitu Roh Kudus dengan menekankan
pada baptisan yang dianut oleh paham aliran kharismatik. Akan tetapi, apabila
meneliti secara keseluruhan isi Alkitab maka kuasa dan pekerjaan Allah
Tritunggal yaitu Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus, terjadi bersamaan
pada saat pelaksanaan baptisan.
Penelitian penulis lebih menekankan pada
keseluruhan tata cara pelaksanaan baptisan yang dilakukan serta dianut oleh aliran
dan denominasi gereja yang ada di Kota Denpasar.
Dari beberapa kajian pustaka di atas menegaskan bahwa pelaksanaan
baptisan kudus dalam agama Kristen dilakukan dengan berbagai cara. Buku-buku
tersebut pada umumnya merupakan hasil pengamatan dan penelitian dari beberapa
penulis dengan sudut pandang dan kepentingan yang berbeda-beda.
Dalam
penelitian ini lebih banyak menggunakan studi pustaka sebagai bahan
perbandingan serta menjadi dasar pijakan berpikir dalam menyelesaikan
penelitian ini karena sakramen baptisan kudus merupakan doktrin gereja yang
masih terus diperdebatkan sampai saat ini.
Perdebatan yang berujung pada
persengketaan dan perselisihan tidak saja terjadi dalam agama Kristen di Kota
Denpasar tetapi juga dalam agama Kristen di seluruh dunia.
Kajian pustaka di atas dapat bermanfaat dalam menambah wawasan
peneliti untuk melanjutkan penelitian ini, sehingga kontroversi pada pelaksanaan
baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar dapat ditemukan solusi
penyelesaiannya. Kajian pustaka ini juga berusaha memberikan informasi tentang
tata cara pelaksanaan baptisan berdasarkan fakta-fakta sejarah kekristenan di
dunia dan di Kota Denpasar.
21
Penelitian ini akan dikaji dengan berorientasi pada sudut pandang Kajian
Budaya (Cultural Studies) karena kontroversi baptisan kudus harus ditinjau dari
berbagai aspek ilmu, namun tetap berpedoman pada Alkitab sebagai dasar utama
pelaksanaan baptisan tersebut.
Hasil penelitian dapat menjadi sarana dalam
mempersatukan aliran gereja yang selama ini mengalami kerengganan atau
perpecahan karena adanya hegemoni kekuasaan di antara aliran gereja di Kota
Denpasar. Perbedaan kajian pustaka di atas dengan penelitian ini adalah kajian
pustaka hanya berorientasi pada pengertian dan pelaksanaan baptisan secara
umum, sedangkan penelitian ini lebih terarah pada kontroversi pelaksanaan
baptisan yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar, Provinsi
Bali.
Dalam melanjutkan penelitian ini masih banyak buku-buku referensi
yang akan dipergunakan sebagai pelengkap dan penyempurnaan agar menjadi
sebuah tesis yang baik. Melalui buku-buku referensi serta dokumen-dokumen
yang ada kaitannya dengan topik penelitian ini akan dapat bermanfaat untuk
memperoleh data yang benar sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Tentunya, rasa puas dari hasil penelitian bukan hanya bagi peneliti
sendiri tetapi juga bagi setiap orang yang membaca dan ingin mempelajarinya.
2.2 Konsep
Untuk memperjelas pembahasan penelitian ini lebih lanjut dipandang
perlu menguraikan beberapa konsep berdasarkan judul di atas, antara lain: (1)
Kontroversi Baptisan Kudus, (2) Agama Kristen, dan (3) Kota Denpasar.
22
2.2.1 Kontroversi Baptisan Kudus
Pengertian “kontroversi” menurut Poerwadarminta (2005: 613) adalah
sebagai perbedaan pendapat; pertentangan. Sementara menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2005:5920) kata “kontroversi” diartikan sebagai perdebatan,
persengketaan, dan pertentangan; sedangkan kata “kontroversial” adalah bersifat
menimbulkan perdebatan: karena pandangannya yang radikal karena dia
merupakan tokoh terpenting di negerinya. Selain arti di atas, kontroversi dapat
diartikan sebagai perbantahan, perdebatan, polemik, silang pendapat, percederaan,
percekcokan,
perselisihan,
pertengkaran,
dan
pertikaian
prahara
(http://www.sinonimkata.com/sinonim-147095-kontroversi.html).
Dari beberapa pengertian di atas, maka kontroversi dapat diartikan
sebagai perbedaan pendapat yang menimbulkan perdebatan, persengketaan, atau
perselisihan terhadap sesuatu hal karena memiliki pandangan yang radikal.
Pengertian kontroversi memiliki definisi yang sangat luas, tetapi dalam konteks
penelitian ini lebih menekankan pada perbedaan pendapat yang menimbulkan
perdebatan, persengketaan, dan perselisihan terhadap pelaksanaan sakramen
baptisan kudus, karena sikap para pemimpin gereja yang memiliki pandangan atau
ideologi yang radikal sehingga tidak menerima tata cara pelaksanaan baptisan
kudus dari aliran gereja lain.
Sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen berdasarkan Alkitab dan
bukti sejarah kekristenan menyatakan bahwa pada awalnya baptisan dilakukan
dengan cara percik. Akan tetapi, beberapa puluh tahun terakhir bahkan ribuan
tahun yang lalu telah mengalami perubahan konsep dan paradigma di mana ada
baptisan selam, baptisan selam yang dilakukan secara berulang-ulang, dan
23
baptisan Roh Kudus. Dampak perubahan dari cara pelaksanaan baptisan yang
berbeda-beda seperti ini tentu terjadi perdebatan dan perselisihan dalam agama
Kristen hingga sampai saat ini.
Perdebatan dan pertentangan terhadap pelaksanaan baptisan dalam
agama Kristen dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran dan penafsiran Alkitab
tentang pelaksanaan baptisan tersebut.
Menurut Poerwadarminta (2005: 99)
bahwa kata “baptis” berarti permandian (Kristen). Kata “membaptiskan” adalah
mempermandikan (menjadikan Kristen), menamai, dan menamakan. Sedangkan
“pembaptisan” yaitu pemandian atau hal membaptis.
Menurut Kolinus TB (2000: 9) bahwa kata “baptisan” berasal dari akar
kata Yunani: bapto) yang artinya membenamkan, mencelupkan, mandi,
masuk ke dalam air (to immerse, to dip).
Kata kerja untuk  adalah
 (baptizo). Dalam komunitas Yunani, kata ini sebelumnya digunakan
dengan pengertian “mencelupkan selembar pakaian atau sebuah bejana ke dalam
air untuk diisi”. Akan tetapi, pada jaman Tuhan Yesus kata ini digunakan dengan
pengertian untuk menyucikan diri dari kenajisan.
Pengertian baptisan sebelum, pada saat, dan sesudah jaman Tuhan Yesus
terus mengalami perubahan.
Pengertian baptisan bukan lagi hanya berarti
membenamkan, mencelupkan, mandi, atau masuk ke dalam air, tetapi bisa juga
berarti menyucikan diri dari kenajisan atau kotoran. Rasul Lukas (LAI, 2008:
116) mencatat: “Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak
mencuci tangan-Nya sebelum makan” (Lukas 11:38). Kata membaptis memiliki
arti yang sama dengan mencuci tangan.
24
Membersihkan perabot dan mencuci tangan sebelum makan merupakan
tradisi orang Yahudi pada saat itu. Dalam bahasa Kajian Budaya, tradisi ini dapat
disebut local genius atau kearifan lokal. Dalam analisis Bonnke (2011: 14)
ditinjau dari sudut baptisan Roh Kudus, kata “baptis” awalnya tidak memiliki
makna religius. Penggunaan kata ini berkaitan dengan keterampilan mencelup
kain untuk memberi zat pewarna. Pemberian warna ini disimbolkan dengan karya
Kristus membaptis kita dalam Roh sehingga “sewarna” atau serupa dengan
karakter Roh, mengambil bagian dalam kodrat ilahi.
Seiring dengan perkembangan agama Kristen masuk ke Indonesia, arti
baptisan ini
pun diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Menurut
Scheunemann (1986:11) bahwa bahasa Indonesia mengambil alih kata baptis dari
bahasa Latin dan Yunani. “Baptizo” dalam bahasa Gerika berarti: mencelupkan,
menyelamkan dan dapat juga berarti: membasuh tangan (Lukas 11:38). Kata
“baptisan” dari “baptismoi” (jamak) yang diterjemahkan dengan pembasuhanpembasuhan atau penyucian-penyucian seumpama cawan, kendi, dan perkakas
ataupun manusia.
Menurut Arenar istilah “dimasukkan dan ditenggelamkan” memang
dapat memberi pengertian dari kata baptisan. Namun hal ini telah ditafsirkan oleh
beberapa gerakan-gerakan yang menganut baptisan selam sebagai bukti bahwa
baptisan selam ke dalam air lebih tepat, lebih benar, dan sah untuk melakukan
upacara pembaptisan (www.yabina.org).
Pernyataan arti kata baptisan pada dasarnya tidak menunjuk pada
pelaksanaan baptisan selam sebagaimana dijelaskan oleh Rayburn (2005:22-26)
dalam bukunya yang berjudul Apa Itu Baptisan ? bahwa fakta kata Yunani
25
“baptizein” berarti “menenggelamkan” yang merupakan arti utama dari kata
tersebut.
Akan tetapi, kata “baptizein” pada umumnya dipergunakan dalam
kegiatan sehari-hari masyarakat Yahudi dalam rangka membersihkan perabot
rumah tangga dan mencuci tangan.
Oleh karena itu, bagi Rayburn
menerjemahkan baptis sebagai menyelam tidak bisa dibenarkan.
Selanjutnya, Rayburn (2005: 27) melanjutkan argumentasinya dengan
mengatakan bahwa kata baptizein yang berarti menyelam tidak menunjuk pada
pelaksanaan baptisan selam. Pada abad kedua banyak para ahli bahasa Yanani
dan Latin secara fasih serta menjadi bahasa sehari-hari, telah menterjemahkan
Alkitab bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin.
Akan tetapi, tidak pernah
menerjemahkan kata Yunani “baptizein” ke dalam bahasa Latin immergere yang
berarti menyelam.
Penggunaan kata baptisan selanjutnya secara luas bagi orang Kristen
mengacu pada “Amanat Agung” Tuhan Yesus yang dicatat oleh rasul Matius
(LAI, 2008: 52) berbunyi: Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku
telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan
Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).
Amanat Agung Tuhan Yesus ini kemudian dijelaskan oleh Nielsen
(2009: 199) bahwa kalimat Yunani baptisan adalah baptizontes.
Artinya,
perbuatan membaptis memasukkan yang bersangkutan ke dalam persekutuan
26
baru, yaitu persekutuan jemaat, umat Mesias, Israel baru. Karena itu, perintah
membaptis bertolak dari kehadiran iman kepada Yesus Kristus.
Pelaksanaan baptisan merupakan perintah Tuhan Yesus bagi setiap orang
Kristen.
Pelaksanaan baptisan melambangkan bahwa seseorang dimasukkan
dalam persekutuan iman kepada Yesus Kristus.
Dalam kesimpulan Rayburn
(2005: 51-51) untuk mengakhiri perdebatan terhadap argumentasi penganut
baptisan selam mengatakan:
“Kita percaya bahwa kita telah jelas mendemonstrasikan fakta bahwa tidak
ada bukti baptisan melalui selam dalam Alkitab; bahwa tidak ada contoh,
kesan atau peringatan bagi orang yang diselam ke dalam air dan
menyebutnya sebagai baptisan. Kita telah melihat bahwa Allah dalam
anugerah-Nya telah menetapkan satu peraturan sebagai bentuk simbolis
pekerjaan Roh Kudus dalam melahirbarukan satu jiwa, dan bahwa peraturan
ini diobservasi sebagai percikan air murni atas seseorang. Dalam hal ini
peraturan ini dinyatakan pantas dan layak dihargai di bawah lingkungan dan
musim apapun, dalam setiap tempat, di mana ada sedikit air. Sejarah Gereja
Kristen membuktikan bahwa pelaksanaan dengan cara ini diikuti dengan
banyak berkat.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dasar utama pelaksanaan
baptisan adalah Alkitab. Alkitab adalah otoritas tertinggi yang dijunjung oleh
setiap orang Kristen di seluruh dunia, sehingga dengan dasar itulah baptisan dapat
dilaksanakan secara benar. Pelaksanaan baptisan sebagai bentuk simbolis dari
pekerjaan Roh Kudus untuk melahirbarukan seseorang dan menjadi satu
persekutuan di dalam Yesus Kristus.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pengertian kata baptisan
memiliki arti yang sangat luas. Dengan pengertian yang berbeda-beda tersebut,
pemaknaan terhadap pelaksanaan baptisan juga bisa bermacam-macam menurut
kehendak atau versi masing-masing orang Kristen yang memiliki kepentingan di
dalamnya.
Perbedaan
pendapat
yang
berakhir
dalam
perdebatan
dan
27
persengketaan inilah yang menjadi permasalahan dalam dalam agama Kristen
sampai saat ini.
2.2.2 Agama Kristen
Agama Kristen adalah sebuah kepercayaan yang berdasar pada kelahiran,
pelayanan, sengsara, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus ke
Sorga. Orang Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juru
selamat bagi seluruh umat manusia yang percaya kepada-Nya secara sungguhsungguh. Setiap orang yang telah diselamatkan oleh Yesus Kristus dipersatukan
di dalam gereja-Nya dan menggunakan Alkitab sebagai pedoman dalam hidupnya.
Sebutan bagi orang Kristen (agama Kristen) juga tidak terlepas dari
pemanggilan murid-murid Yesus Kristus yang pertama kali di Antiokhia. Dalam
kitab Kisah Para Rasul 11:26 (LAI, 2008:206) berkata: Mereka tinggal bersamasama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang.
Yesus Kristus adalah pendiri gereja yang sesungguhnya dan pemimpin bagi
gereja-Nya. Tuhan Yesus menyebut orang Kristen sebagai gereja-Nya (Griffiths,
1995:2).
Yesus Kristus mengumpulkan dan memanggil orang Kristen untuk
disatukan dengan Dia (Riemer, 1999: 19).
Perpecahan dalam agama Kristen justru menyimpang dari pesan Tuhan
Yesus yang terus mendoakan gereja-Nya agar memiliki kesatuan di antara para
pengikutnya. Persatuan dan kesatuan yang diharapkan oleh Tuhan Yesus melalui
doa-Nya dicatat oleh rasul Yohanes (LAI, 2008: 177) yang berbunyi:
“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orangorang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka
semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku
di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya,
bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yohanes 17:20-21).
28
Doa ini kemudian menjadi dasar dari gerakan ekumenisme yang dimulai
pada awal abad ke-20. Sekarang ini agama Kristen telah mengalami banyak
perubahan sebagai akibat munculnya aliran dan denominasi gereja banyak. Di
Kota Denpasar, agama Kristen telah banyak mengalami perkembangan dan
pertambahan aliran dan denominasi gereja sebagai bentuk dari perbedaan
pandangan yang terus menimbulkan persengketaan dalam pelaksanaan baptisan.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebutan bagi orang
Kristen atau orang percaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pengertian agama Kristen. Istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama sehingga
akan dipergunakan dalam penelitian ini.
Akan tetapi, penulis lebih banyak
menggunakan istilah agama Kristen dibandingkan dengan istilah orang percaya
dan orang Kristen. Istilah agama Kristen secara umum sudah banyak dikenal, dan
merupakan istilah sah yang dipakai oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Agama Republik Indonesia.
2.2.3 Kota Denpasar
Kota Denpasar adalah Ibukota Provinsi Bali sebagai pusat pemerintahan.
Kota Denpasar terdiri dalam empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Denpasar Barat,
Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan
Denpasar Utara. Dalam keempat wilayah Kecamatan Denpasar ini, peneliti akan
meninjau aliran dan denominasi gereja yang memiliki perbedaan terhadap
pelaksanaan baptisan kudus. Peneliti lebih memilih Kota Denpasar dibandingkan
kota Kabupaten lainnya di Provinsi Bali, karena di Kota Denpasar lebih banyak
ditemukan aliran gereja dalam agama Kristen.
Oleh sebab itu, hasil dari
penelitian ini diperoleh data yang akurat dan benar sesuai dengan kondisi agama
29
Kristen di Kota Denpasar dan sekaligus dapat mewakili agama Kristen di Provinsi
Bali.
Di Kota Denpasar ada beberapa paguyuban-paguyuban, baik yang
bersifat eksternal yaitu paguyuban antara agama Kristen dengan agama lain, dan
ada yang bersifat internal yaitu paguyuban antara agama Kristen sendiri. Secara
eksternal telah dibentuk Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). FKUB
bertujuan untuk menyatukan umat beragama yang ada di Kota Denpasar. Secara
internal ada Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG) dan Bali Partnership.
Paguyuban dalam agama Kristen seperti MPAG dan Bali Partnership bertujuan
untuk menyatukan serta menghindari berbagai konflik-konflik dari aliran dan
denominasi gereja dalam agama Kristen di Kota Denpasar.
Pada dasarnya tujuan paguyuban ini sangat mulia, tetapi sampai sekarang
ini kontroversi dalam pelaksanaan baptisan masih terus terjadi. Oleh sebab itu,
penelitian ini dapat digunakan untuk mencari penyebab-penyebab terjadinya
kontroversi ini serta solusi penyelesaiannya sehingga sehingga dapat tercipta
kedamaian, keharmonisan, kerukunan, dan kebersamaan dalam agama Kristen di
Kota Denpasar.
2.2.4 Kontroversi Baptisan Kudus Dalam Agama Kristen di Kota Denpasar
Kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar
merupakan suatu perbedaan pendapat atau ideologi yang menimbulkan perdebatan
yang berujung pada persengketaan yang terus-menerus berlangsung hingga
sampai saat ini. Disebut kontroversi karena ada dua definisi yang berbeda dan
berlawanan yang menimbulkan pertikaian prahara. Dalam hal ini memang tidak
30
ada dari keduanya yang salah secara definitif, tetapi dampak dari perdebatan ini
mengakibatkan perpecahan dalam agama Kristen secara terus menerus.
Kontroversi baptisan kudus berarti ada dua atau lebih sudut pandang
yang berbeda dalam memaknai atau mengartikan arti kata baptisan dalam agama
Kristen di Kota Denpasar. Bertumbuhnya persengketaan terhadap pelaksanaan
baptisan ini disebabkan karena adanya pola pikir atau paham yang sangat radikal
yang tetap dipertahankan oleh setiap pemimpin-pemimpin dalam agama Kristen.
Paham yang radikal sering dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan
pribadi dan golongannya, sekaligus menjadi alat untuk menguasai aliran gereja
lain.
Ketika perbedaan dan ideologi yang radikal menjadi dasar dalam
pelaksanaan baptisan, maka pada akhirnya terjadi perpecahan dalam agama
Kristen.
Bukti perpecahan dalam agama Kristen di Kota Denpasar dengan
bertumbuhnya berbagai aliran atau denominasi gereja baru yang tidak menerima
dan mengakui cara pelaksanaan baptisan dari aliran gereja lain. Setiap pemimpin
gereja berusaha menonjolkan perbedaan yang ada sebagai identitas gereja yang
benar dalam komunitas orang Kristen maupun terhadap agama lain.
Pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen sangat penting dan
bersifat sakral. Sakral berarti baptisan itu kudus sehingga tidak dilakukan dengan
sembarangan dan hanya sekali seumur hidup bagi setiap pribadi orang Kristen.
Baptisan kudus merupakan tanda bahwa seseorang telah diterima masuk ke dalam
persekutuan gereja Tuhan Yesus. Gereja Tuhan Yesus adalah Dia kepala atas
seluruh gereja dan gereja adalah milik-Nya. Seseorang yang telah dipersatukan di
dalam Yesus Kristus menjadi anak-anak Allah.
31
Dari seluruh uraian di atas, maka indikator terjadinya kontroversi
sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar adalah sebagai
berikut: (1) Adanya perbedaan aliran gereja yang terus berkembang dalam agama
Kristen hingga saat ini; (2) Adanya perbedaan cara penafsiran Alkitab tentang arti
kata baptisan kudus; dan (3) Adanya perbedaan dalam pelaksanaan baptisan
kudus tersebut. Perbedaan-perbedaan inilah yang akan diteliti lebih lanjut pada
penelitian ini, sehingga kontroversi baptisan kudus dapat terselesaikan dengan
sebaik-baiknya.
2.3 Landasan Teori
Teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum. Dalam penelitian
ini beberapa teori digunakan untuk membedah masalah tersebut, yaitu: (1) Teori
Hegemoni; (2) Teori Interaksi Simbolik; dan (3) Teori Semiotika.
Teori
hegemoni diperlukan karena pemimpin dari setiap aliran gereja berusaha untuk
mempertahankan paham yang dianutnya sebagai salah satu cara keeksistensinya
dalam agama Kristen.
Setiap pemimpin gereja saling menghegemoni untuk
mempertahankan aliran gerejanya masing-masing.
Teori interaksi simbolik
diperlukan untuk menjabarkan simbol-simbol yang dipakai dalam agama Kristen.
Melalui simbol-simbol tersebut, orang Kristen berusaha untuk menginterpretasi
dan memaknainya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Teori
semiotika
diperlukan untuk menemukan dampak dari kontroversi pelaksanaan baptisan,
sehingga setiap simbol kekristenan tidak menjadi hal yang kontroversial lagi
dalam kehidupan kekristenan. Ketiga teori ini dipilih karena dapat dipergunakan
untuk membedah permasalahan serta mencari solusi penyelesaian terhadap
kontroversi pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar.
32
2.3.1 Teori Hegemoni
Konsep hegemoni pertama kali dipopulerkan oleh Antonio Gramsci.
Konsep Gramsci ini umumnya berorientasi dalam memaknai suatu determinan
sejarah yang bergerak pada tataran sikap mempertahankan,
melestarikan
kekuasaan, menggerogoti secara terus menerus, melemahkan, dan meniadakan
potensi tanding dengan kekuatan lawan. Bagi Gramsci, konsep hegemoni dengan
“kekuatan” (force) memiliki perbedaan yang paling mendasar. Konsep hegemoni
meliputi perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok
yang didominasi oleh
kelas
berkuasa yang bukan
kepemimpinan, intelektual, moral dan politik.
lewat penggunaan
Sedangkan konsep kekuatan
bergerak pada ranah penggunaan daya paksa untuk membuat seseorang,
sekelompok orang, atau orang banyak untuk mengikuti kehendak yang
mengontrol kekuataan tersebut dengan menawarkan syarat-syarat tertentu untuk
mencapai keinginan pemilik kekuatan (Pobotinggi, 1986: 214-216).
Antonio Gramsci dengan teori hegemoninya dipandang sebagai pemikir
politik terpenting setelah Marx. Gagasannya dipengaruhi oleh filsafat hukum
Hegel. Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan
teori perubahan sosial sebelumnya yang dapat didominasi oleh determinisme
kelas dan ekonomi Marxisme tradisional. Dalam analisis teorinya memaparkan
bahwa dalam setiap aspek hidup masyarakat pada umumnya terdapat hegemoni
budaya dan hegemoni ideologis (Barker, 2006: 65).
Dalam paparan Gramsci, hegemoni budaya dan hegemoni ideologis
berarti situasi dimana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan
otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi
33
antara kekuatan, dan terlebih lagi dengan konsensus. Dalam analisisnya, ideologi
dipahami sebagai kebenaran universal, merupakan peta makna yang didukung
kekuasaan kelompok sosial tertentu. Artinya, ideologi tidak dapat dipisahkan dari
aktifitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena material yang berakar pada
kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan
moral yang sepadan dengan ‘agama yang secara sekular dipahami sebagai
kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan norma tindakan terkait’ (Gramsci,
1971: 349).
Sebagai implikasi dari pembangunan teori hegemoni, kelas buruh tidak
lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerak perubahan sosial. Kelas buruh
dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas dalam masyarakat seperti
ekonomi, politik, kultur, gender, dan lingkungan yang saling tergantung satu sama
lainnya.
Dengan demikian, Gramsci membuka kemungkinan memasukan
kelompok-kelompok baru di dalam kategori kelas buruh, yang saling berinteraksi
dan menghasilkan perubahan sosial, termasuk juga dalam realitas agama.
Selanjutnya, Ratna (2005: 136) mengembangkan teori hegemoni Gramsci
dalam konteks Indonesia dengan mengatakan bahwa hegemoni terjadi apabila cara
berpikir kelompok tertindas, khususnya kaum proletar telah terobsesi dan
menerima cara berpikir kolompok dominan. Perlu diketahui bahwa transformasi
dan pengambilan cara berpikir sebagaimana yang dimaksudkan dalam teori
hegemoni tidak terbatas dalam bidang politik, melainkan juga intelektual, moral,
religi (agama), termasuk cita rasa.
Teori hegemoni tidak terbatas pada bidang politik, intelektual, moral,
agama, dan cita rasa, tetapi juga terjadi pada common sense dan budaya pop.
34
Gramsci berargumentasi bahwa common sense dan budaya pop, di mana orangorang berusaha mengorganisasi kehidupan dan pengalaman mereka, sehingga
disadari atau tanpa disadari telah menjadi arena bagi pertarungan ideologis. Pada
situasi ini hegemoni dipahami sebagai serangkaian aliansi cair dan temporer yang
harus dimenangkan dan dinegosiasikan ulang bagi pemangku kepentingan. Oleh
sebab itu, muncul dan runtuhnya hegemoni budaya adalah sebuah proses yang
terus menerus dan kebudayaan adalah sebuah lahan bagi perjuangan secara terusmenerus untuk mendapatkan makna (Barker, 2006: 370).
Suatu blok hegemoni tidak pernah berdiri sendiri atau tunggal, namun
dibentuk melalui serangkaian aliansi di mana suatu kelompok berposisi
pemimpin.
Ideologi memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi
kelompok ini mulai dari kelas kecil sampai menguasai secara keseluruhan.
Konsep ini biasanya dilakukan oleh negara (state) melalui lembaga-lembaga
seperti hukum, militer, polisi, dan bahkan juga penjara. Kedua, adalah perangkat
kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranatanya untuk taat
pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian,
dan bahkan keluarga.
Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata
masyarakat sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga sosial seperti: LSM,
organisasi sosial dan keagamaan, peguyuban-peguyuban, kelompok-kelompok
kepentingan (Barker, 2006: 62).
Teori hegemoni Gramsci sangat relevan dalam Kajian Budaya (Cultural
Studies), karena Cultural Studies bergerak dalam rangka menguji hubungan antara
kebudayaan dan kekuasaan, semua praktek tentang nilai-nilai, kepercayaan,
kompetensi, rutinitas atau perilaku kehidupan suatu masyarakat, bentuk-bentuk
35
kebudayaan yang dieksplorasi untuk kepentingan tertentu, dan ranah dalam kajian
berbagai disiplin ilmu (Barker, 2006: 7-8).
Teori hegemoni dalam kaitannya dengan kontroversi baptisan kudus
dalam agama Kristen di Kota Denpasar yaitu adanya hegemoni yang lebih
dominan dan ideologi yang diperjuangkan oleh pemimpin gereja atau sekelompok
orang Kristen untuk membenarkan cara pelaksanaan baptisan yang dilakukan oleh
aliran dan denominasi gerejanya.
Gereja yang sudah mapan dan memiliki
pengaruh anggota yang banyak merasa menjadi aliran gereja yang benar dalam
melaksanakan baptisan.
Fenomena ini menjadi acuan dalam menghegemoni
aliran gereja yang kecil dan tertindas.
Pada tataran juga ideologi dipahami
sebagai ide, makna, dan praktik yang mengklaim sebagai kebenaran universal
yang diberlakukan pada aliran dan denominasi gereja lain yang berbeda
dengannya. Dalam hal ini, ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis
kehidupan orang Kristen dalam melaksanakan baptisan kudus.
Dalam hubungan inilah, Castoriadis dan Lefort (Thompson, 2003:60-61)
mengatakan bahwa ideologi sebagai sistem ide, dan ideologi ada dalam bahasa.
Ideologi bukan wacana tertentu yang berhubungan dengan masyarakat tertentu,
tetapi sebagai cara makna membenarkan relasi dominasi. Bagi Ratna (2008: 372),
ideologi dibedakan dalam dua macam sifat kerjanya, yaitu bersifat imanen dan
bersifat transenden. Ideologi bersifat imanen yaitu ideologi sebagai bahasa yang
digunakan dalam aktivitas sosial, sedangkan ideologi bersifat transenden yaitu
ideologi untuk membenarkan dominasi.
Kedua sifat ideologi di atas telah memasuki ranah pelaksanaan baptisan
kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Setiap aliran dan denominasi
36
gereja berusaha untuk saling menghegemoni dan mengklaim sebagai aliran gereja
yang paling benar. Aliran gereja yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan akan
menindas aliran gereja yang kecil, sehingga lama-kelamaan aliran atau
denominasi gereja yang tertindas itu tidak berkembang secara kualitas ataupun
kuantitas, dan pada akhirnya gereja itu tutup karena tidak memiliki anggota
jemaat. Pada kondisi inilah Kajian Budaya membela kaum lemah dan termajinal
dalam konteks dan pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar.
Perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranatapranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama
adalah pemimpin gereja (pendeta). Pemimpin gereja memberikan pengajaran
kepada warga gereja, sehingga mereka percaya dan menerima ajaran tersebut
dengan dasar tunduk pada pemimpin gereja.
Pada saat pemimpin gereja
memberikan pengajaran dan menerapkan aturan-aturan yang berlaku di gereja
yang dipimpinnya secara tidak langsung telah melakukan hegemoni terhadap
warga jemaat sehingga dengan jumlah anggota yang banyak merasa sudah kuat
dan berkesempatan untuk melanjutkan hegemoni ini terhadap aliran dan
denominasi gereja lain yang ada di sekitarnya.
Bagi warga gereja yang tidak mau dikuasai atau dihegemoni oleh
pemimpin gerejanya, kemudian memisahkan diri dan membentuk komunitas baru
yaitu aliran atau denominasi gereja baru.
Aliran dan denominasi yang telah
terbentuk ini berusaha untuk mempertahankan ajarannya dan juga berusaha untuk
melawan aliran yang lama atau aliran yang ada di sekitarnya. Sikap melawan
inilah terjadi karena adanya reaksi hegemoni. Jadi, teori ini dapat membahas
rumusan masalah pertama dan kedua dalam penelitian ini.
37
2.3.2 Teori Interaksi Simbolik
Teori interaksi simbolik merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir
dari tradisi psikologi. Salah seorang tokohnya Herbert Blumer dalam bukunya
Symbolic Interactionisme (Veeger, 1985: 224-229) menjelaskan tentang konsepkonsepnya yang dipadukan dengan gagasan-gagasan George Herbert Mead.
Walaupun dalam sejarah interaksi simbolik Cooley dan Thomas merupakan tokoh
penting pada awal abad kesembilan belas, ternyata Mead paling berpengaruh bagi
perspektif ini.
Pentingnya teori interaksi simbolik ini karena setiap manusia hidup
dalam lingkungan simbol-simbol tertentu.
Lebih daripada itu, manusia juga
mampu memakai lambang dan simbol tanpa banyak berpikir. Dengan spontan
simbol dan lambang itu disebar atau dituangkan dalam hubungan dengan
sesamanya sehingga
menerimanya.
arti dan maksudnya dapat dimengerti
oleh yang
Dalam konsep ini, kebutuhan dasar manusia pada tataran
perspektif ini menurut Triguna (2000: 2) adalah kebutuhan akan simbol seperti
makanan, melihat, atau berpindah tempat.
Bagi manusia membuat dan
menggunakan simbol adalah aktivitas primer.
Interaksi terhadap simbol dikembangkan oleh Mead dengan melihat
bahwa kebutuhan dasar manusia yang selalu berada dalam lingkup simbol.
Menurut Doyle Paul Johnson (1986: 8-9), bahwa Mead mengembangkan teori
interaksi simbolik dengan mengacu pada teori Darwin yang terletak pada prinsip
bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Melalui proses penyesuaian ini bentuk atau karakteristik
38
organisme mengalami perubahan yang terus-menerus seiring dengan kebutuhan
yang diidamkannya.
Organisme yang dimaksud pada konsep ini lebih menunjuk kepada
manusia sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk yang hidup dalam dunia
simbol. Manusia itu bergerak sebagai “organisme yang sadar akan dirinya”. Ia
mampu bergaul, berinteraksi, dan berwawancara dengan dirinya sendiri.
Akhirnya, manusia itu merencanakan dan mengorganisasikan perbuatanperbuatannya. Pada saat reaksi ini berlangsung, antara perangsang dari suatu
situasi dan kelakuannya tersisiplah proses interaksi dengan dirinya sendiri
sehingga melahirkan proses pemaknaan serta penafsiran yang dapat diwujudkan
pada suatu situasi dan kondisi tertentu.
Manusia yang berinteraksi dengan simbol-simbol yang ada di sekitarnya
dipopulerkan oleh Blumer sebagai penganut teori interaksionisme modern yang
diuraikan dalam karyanya Man and Society.
Dalam karyanya ini dijelaskan
bahwa psikologi sosial (behaviorisme) sebagai interaksi khas antar manusia
melalui proses saling menerjemahkan, mengevaluasi, dan mendefinisikan
tindakannya. Tanggapan hanya sekedar reaksi atas aksi yang ada, namun hal itu
didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Penggunaan
simbol, interpretasi, dan pemahaman maksud tindakan merupakan unsur penting
yang harus diperhatikan (Triguna, 2000:43).
Agama Kristen yang memiliki sejumlah simbol dalam ritualnya seperti
baptisan kudus, tentunya orang Kristenlah yang mampu menerjemahkan,
menginterpretasi, dan menggunakan simbol-simbol tersebut. Kemampuan orang
Kristen atau manusia dalam memahami simbol-simbol kekristenan dijabarkan
39
oleh Blumer (1969:80) bahwa manusia tidak saja mengenal tanda-tanda alamiah
(natural signs), tetapi memahami simbol yang mengandung makna (significant
symbols).
Kontroversi yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar
karena memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap pengertian baptisan. Hal
ini tidak dapat dipungkiri bahwa orang Kristen mampu menggunakan bahasa yang
ada di sekitarnya untuk memberi interpretasi terhadap pelaksanaan baptisan itu
sendiri. Secara umum manusia mampu memanfaatkan bahasa untuk melihat,
mempertimbangkan, menafsirkan, dan menggunakan simbol-simbol yang ada di
sekitarnya. Penggunaan bahasa dan simbol-simbol dalam kegiatan keagamaan
bagi Triguna (2000: 46) sebagai unsur melegalisasikan kedudukan baru yang
dicapai menyebabkan terjadinya proses restrukturasi, yaitu proses penafsiran
kembali simbolisme sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat pada saat itu.
Agama Kristen adalah agama yang dipenuhi dengan simbol-simbol yang
dibangun dan dibuat oleh orang Kristen dalam ritual keagamaan yang dianutnya.
Walaupun simbol baptisan kudus ini telah ada sejak awal kekristenan, namun
pemaknaan terhadap simbol itu terus mengalami perubahan karena ditafsirkan
menurut kebutuhan orang Kristen pada jaman ini. Dengan demikian, fungsi
simbol dan makna yang dibuat oleh manusia terhadap simbol tertentu pada
umumnya atau orang Kristen pada khususnya, menurut Triguna (2000: 35)
sebagai perwujudan status sosial. Semakin beraneka ragam simbol yang dapat
dibuat dan digunakan oleh seseorang atau kelompok orang semakin tinggi status
sosial yang bersangkutan.
40
Setiap anggota masyarakat memahami perbuatan orang lain dan
memakainya dalam menyusun kelakuannya.
Inti kehidupan sosial manusia
walaupun berbeda-beda unsur-unsur struktur dan budaya serta peranan-peranan
sosialnya tidak berpengaruh langsung terhadap proses situasi interaksi di
masyarakat. Demikian juga kehidupan agama Kristen di Kota Denpasar yang
tidak terlepas dari interaksi simbol-simbol, baik dengan masyarakat secara umum
maupun simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat Kristen tersebut.
Pelaksanakan baptisan kudus bagi orang Kristen dipenuhi dengan
simbol-simbol keagamaan yang sudah tertanam dalam kehidupan mereka.
Simbol-simbol ini tidak dapat dipahami secara langsung tanpa menganalisa setiap
latarbelakang dan proses penggunaan simbol tersebut. Oleh karena itu, teori ini
berusaha untuk membedah rumusan masalah kedua tentang faktor yang
menyebabkan terjadinya kontroversi pada pelaksanaan baptisan dalam agama
Kristen di Kota Denpasar.
2.3.3 Teori Semiotika
Teori semiotika sangat dipandang perlu untuk mengalisa penelitian ini,
secara khusus untuk membahas rumusan masalah ketiga tentang dampak dan
makna kontroversi sakramen baptisan kudus dalam Agama Kristen di Kota
Denpasar.
Dengan melihat fenomena sosial tentang kontroversi pelaksanaan
baptisan kudus, sesungguhnya di balik kontroversi itu tersimpan kebohongan dan
kebenaran yang dipegang oleh masing-masing aliran gereja.
Ketika ideologi
kebenaran ditonjolkan maka sesungguhnya tersimpan juga ideologi kepalsuan di
dalamnya.
41
Konsep ideologi yang demikian ditegaskan oleh Piliang (2003: 43-44)
bahwa ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri
sebagai sebuah kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu yang
diciptakan oleh para elit ideolog.
Selanjutnya, defenisi ideologi ini bila
dihubungkan dengan melihat teori semiotika (semiotics) yaitu salah satu dari ilmu,
yang oleh beberapa pemikir dikaitkan hakikatnya dengan kedustaan, kebohongan,
dan kepalsuan (teori dusta). Semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia
sekaligus adalah teori kebenaran.
Untuk melihat lebih jauh teori semiotika, maka perlu mempertimbangkan
pendapat Eco (1979: 7) bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk
mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk
mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan
untuk “mengungkapkan” apa-apa.
Saya pikir definisi sebagai sebuah teori
kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai sebuah program komprehensif
untuk semiotika umum (general semiotics).
Selanjutnya, teori semiotika juga diuraikan oleh Benny H. Hoed (2011:35) dalam bukunya yang berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, yang
meyakinkan kita mengenai kekuatan semiotik untuk kajian budaya, sepanjang kita
ingin melihat ‘tanda’ sebagai ‘satuan kultural’, ‘semiosis’, ‘interconnected
cultural unik’, ‘the signifying order’ dalam dinamika masyarakat.
Semiotik
adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang
hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita
beri makna.
Merujuk kepada Ferdinand de Saussure (1996), melihat tanda
sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan
42
makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Dengan
demikian, apa yang ada dalam kehidupan kita dilihat sebagai “bentuk” yang
mempunyai “makna” tertentu. Hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat
pribadi, tetapi sosial, yakni didasari oleh “kesepakatan” (konvensi) sosial. Oleh
sebab itu, semiotik pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang
digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia, baik dalam unsur bahasa, agama,
dan sebagainya. Setiap unsur-unsur ini memiliki makna sesuai bagiannya masingmasing.
Dalam memaknai sebuah tanda menurut Hoed (2011:8-9) harus
didasarkan pada: Pertama, tanda
adalah sesuatu yang terstruktur dan
penggunaannya didasari oleh kaidah yang mengatur praktik berbahasa dalam
kehidupan bermasyarakat, atau bagaimana parole mengubah langue.
Kedua,
manusia memandang suatu gejala budaya sebagai tanda yang terdiri atas penanda.
Ketiga, manusia melihat tanda melalui dua poros, yakni sintagmatik (jukstaposisi)
dan asosiatif (hubungan antara tanda dalam ingatan manusia yang membentuk
sistem dan paradigma). Keempat, teori tanda bersifat dikotomis, yakni tanda dua
aspek yang berkaitan satu sama lain dan relasi antar tanda sebagai relasi pembeda
“makna”.
Kelima, kaidah analisis struktural, yakni imanensi, pertinensi,
komutasi, kompatibilitas, integrasi, sinkroni sebagai dasar analisis diakronis, dan
fungsional.
Sehubungan dangan teori semiotik ini Sibarani (2006: 3-4) menjelaskan
bahwa semiotik adalah bidang kajian yang mempelajari seluk-beluk tanda. Tanda
mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol adalah tanda yang melambangkan
sesuatu, yang hubungan antara penanda (signifier) dengan yang ditandainya
43
(signified) tidak memiliki relasi alamiah, tetapi arbitrari dan konvensional. Indeks
adalah tanda yang menandai sesuatu, yang hubungan antara penanda dan yang
ditandainya memiliki relasi alamiah. Ikon adalah tanda yang menandai sesuatu,
yang hubungan antara penanda dan petanda memiliki relasi kesamaan atau
kemiripan.
Tanda yang berfungsi untuk mewakili atau menandai sesuatu dijabarkan
oleh Charles Sanders Peirce (Hoed, 2011: 4) dengan melihat tanda bukanlah suatu
struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat
ditangkap pancaindra. Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama – yang “konkret”
adalah suatu “perwakilan” yang disebut representamen atau ground, sedangkan
“sesuatu” yang ada di dalam kognisi disebut object. Proses perhubungan dari
representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun. ‘tanda’).
Semiotik pada hakikatnya terbagi atas dua bagian besar, yakni semiotika
komunikasi (semiotics of communication) dan semiotika makna (semiotics of
signification). Semiotika komunikasi memfokuskan diri pada proses pemahaman
tanda sebagai bagian dari komunikasi untuk penyampaian pesan dari pengirim
kepada penerima melalui tanda berkode dengan kontak komunikasi dalam konteks
tertentu. Semiotika makna lebih memfokuskan diri pada pemahaman arti atau
makna tanda secara holistik, baik secara internal-konotatif denotatif maupun
secara eksternal-konotatif yang dikaitkan dengan konteks sosial budaya (Piliang,
2003: 266-269).
Melalui teori semiotik ini peneliti dapat menemukan dampak dan makna
dari kontroversi baptisan kudus. Apabila tidak dapat memahami makna dari
setiap simbol baptisan, maka dapat memunculkan konflik-konflik yang akhirnya
44
terjadi perpecahan secara terus-menerus dalam agama Kristen.
Melalui hasil
penelitian ini akan menemukan solusi dalam mewujudkan suasana damai dan
kesatuan di antara aliran atau denominasi gereja di Kota Denpasar.
2.4 Model Penelitian
Sesuai dengan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka
model penelitiannya dapat dituangkan dalam gambar di bawah ini (Gambar 2.1).
ALKITAB
PEMIMPIN
GEREJA
- KEBUDAYAAN
- TAFSIRAN
Bagaimana bentuk
kontroversi baptisan
kudus dalam agama
Kristen di Kota
Denpasar ?
AGAMA
KRISTEN
KONTROVERSI
BAPTISAN
KUDUS DALAM
AGAMA KRISTEN
DI KOTA
DENPASAR
- ALIRAN GEREJA
- HUKUM GEREJA
Faktor apakah yang
mempengaruhi
kontroversi baptisan
kudus dalam agama
Kristen di Kota
Denpasar ?
Apa dampak dan
makna kontroversi
baptisan kudus
dalam agama
Kristen di Kota
Denpasar ?
Keterangan Model Penelitian
Kerangka berpikir seperti gambar model di atas timbul sebagai akibat
adanya kontroversi pada baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar.
Alkitab sebagai kitab suci yang menjadi otoritas tertinggi dalam seluruh aspek
hidup orang Kristen, termasuk dalam pelaksanaan sakramen baptisan kudus telah
45
mengalami perubahan cara pandang dalam memaknai dan menafsirkan isinya.
Alkitab seharusnya menjadi dasar bagi para pemimpin gereja (pendeta) dalam
melaksanakan tugas kepemimpinannya di tengah-tengah dunia ini. Akan tetapi,
pada kenyataannya pemimpin gereja sering memasukan gagasan berpikir dan
ideologinya dalam menafsirkan Alkitab demi kepentingan pribadi atau aliran
gereja yang dipimpinnya. Paham dan ideologi inilah yang mempengaruhi terjadi
kontroversi pada pelaksanaan baptisan kudus dengan cara yang beraneka ragam.
Ketika pemimpin gereja menafsirkan Alkitab maka cara berpikirnya juga
sangat dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat yang berlaku pada saat itu
ataupun kebudayaan para misionaris yang membawa agama Kristen di Kota
Denpasar. Hasil dari pemahaman dan penafsiran tentang pelaksanaan baptisan
akan melahirkan aliran dan aturan gereja yang baru. Kehadiran aliran gereja baru
banyak memicu pelaksanaan baptisan yang dilakukan dalam berbagai cara
menurut kehendak pemimpin gereja tersebut. Kesalahan dalam menafsir Alkitab
juga dapat menimbulkan perpecahan dalam agama Kristen.
Download