alasan hukum nikah sesama pezina dalam qs an

advertisement
ALASAN HUKUM NIKAH SESAMA PEZINA DALAM Q.S. AN-NUR [24]: 3
DAN RELEVANSINYA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
PASAL 53 TENTANG KAWIN HAMIL
Surya Sukti1 dan Ahmad Sanusi2
Dosen dan Alumni Fakultas Syariah IAIN Palangka Raya
ABSTRAK
Fenomena hamil luar nikah di Indonesia yang merupakan akibat perbuatan zina
merupakan masalah sosial yang harus dicegah dan ditanggulangi. Secara tekstual, dalam Q.S.
An-nur [24]:3 diatur bahwa pezina harus menikah dengan sesama pezina. Hukum Positif
Indonesia tidak secara implisit mengatur tentang nikah sesama pezina, namun secara eksplisit
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil, agar tidak terjadi
kekosongan norma diperlukan reinterpretasi mengenai alasan hukum nikah sesama pezina
sebagai bentuk penanggulangan hamil akibat zina, baik dalam Q.S. An-nur [24]:3 sebagai
sumber hukum Islam yang utama, dan relevansinya dengan hukum positif yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: alasan hukum Q.S. an-Nur [24]: 3 adalah
penanggulangan akibat zina atau sebagai pintu darurat, khususnya penanggulangan
kehamilan di luar nikah yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi wanita hamil dan anak
yang dikandung; alasan hukum Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil
adalah penanggulangan perbuatan zina, khususnya melindungi kemaslahatan wanita hamil
akibat zina dan anak yang dikandungdari dampak sosiologis dan psikologis; adapaun
relevansi alasan hukum dalam Q.S. an-Nur [24]: 3 merupakan konsistensi dan kesesuaian
hukum Islam yang empiris dan realistis berdasarkan pembentukan dan pembangunan hukum,
serta konsep hukum khususnya nikah sesama pezina yang ditransformasikan ke dalam produk
legislatif, yang terdokumentasikan ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53 tentang
Kawin Hamil.
Kata kunci: alasan hukum, nikah sesama pezina, relevansi, kawin hamil.
ABSTRACT
The phenomenon of pregnancy outside marriage in Indonesia is a consequence of any
sexual act outside of marriage and this become social problem that should be prevented and
overcome. Textually, in Al-Qur’an: An-Nur verse, it is regulated that adulterer should marry
with adulterer. The positive law in Indonesia impicitly does not regulate marriage among
same adulterer; however, it is explicitly regulated in Compilation of Islamic law article 53
about Marriage-Pregnancy. In order not be a blank norm, it need reinterpretation of the legal
reasons of marrying the same sexes as the form of preventing pregnancy caused by any as
sexual act outside marriage either in Al-Qur’an Annur verses the main source of Islamic law
and its relevance with positive law stated in the Compilation of Islamic Law article 53 about
Marriage-Pregnancy.
1
Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya.
Alumni Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya dan Praktisi Konsultan
Keuangan di Kota Palangka Raya.
2
The results of the study concluded that: the reason of the law of marriage between the
same adulterers in Al-Qur’an, An-Nur verses is preventing any sexual act or emergency door,
especially for preventing for pregnancy outside marriage which causes bad effect for pregnant
woman and the baby she carries, and the legal reason of the Compilation of Islamic Law
article 53 about Marriage-Pregnancy preventing any sexual acts, especially protect for the
goodness of pregnant women caused by any sexual acts and the baby she carries as the
sociological and psychological impact. The relevance of legal reasons in Al-Qur’an; An-Nur
verses are the consistency and coherency of Islamic law which are empirical and realistical
based on the form and law building, and the concept of Islamic law, especially for those who
marry between the same sexes which are transformed into legislative product, and
documented in the Compilation of Islamic Law article 53 about Marriage-Pregnancy.
Key words: legal reason, marriage between the same adulterers, relevance, MarriagePregnancy.
A. Pendahuluan
Hukum Islam sangat melarang keras perzinaan, 3 karena perzinaan merupakan
salah satu dosa besar setelah dosa kekafiran, dosa kesyirikan, dan dosa pembunuhan. 4
Bahkan pelaku zina dikenakan sanksi berupa sanksi pidana atau had5 bagi mereka yang
memenuhi klasifikasi merdeka, baligh, dan berakal. Zina dapat dibuktikan dengan salah
satu dari tiga macam pembuktian, yaitu pengakuan pelaku zina, kesaksian empat orang
saksi yang adil, dan hamil.
Secara refresif selain diberikan sanksi had, hukum Islam juga memberikan
ketentuan berupa aturan yang komprehensif dalam menindak perilaku zina, yaitu dengan
menikahkan sesama pezina, sebagaimana firman Allah SWT:
    
   
     



6
 
Zina diharamkan berdasarkan firman Allah SWT: “Dan Janganlah kamu mendekati zina.
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S>. al-Isra> [17]: 32).
4
Asadulloh Al-Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, h. 25.
5
Had zina berbeda menurut pelakunya. Pelaku zina dalam hukum pidana Islam dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pelaku muhshan dan ghairu muhshan. Muhshan adalah seseorang yang telah menikah dengan
ikatan nikah yang sah, merdeka, baligh, dan berakal. Sedangkan ghairu muhshan adalah seseorang yang belum
pernah menikah secara sah. Had zina bagi pelaku ghairu muhshan adalah didera sebanyak seratus kali,
diasingkan dari negerinya selama satu tahun yang berlaku bagi \laki-laki dan wanita. Namun, apabila
pengasingan dapat mendatangkan mudharat bagi pelaku wanita, maka ia tidak diasingkan. Sebagaimana firman
Allah SWT: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera. Dan janganlah kamu kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. an-Nur [24]: 2).
6
Q.S. an-Nur [24]:3.
3
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. 7
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak pantas orang yang beriman kawin dengan
yang berzina, demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan kesetaraan atau sekufu
dalam menikahkan sesama pezina. Dari penjelasan ayat tersebut, mengharuskan nikah
sesama pelaku zina, meskipun terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai nikah
sesama pelaku zina berdasarkan alasan hukum Q.S. an-Nur [24]: 3.
Berkaitan dengan zina yang dibuktikan dengan hamilnya wanita pelaku zina, di
Indonesia fenomena demikian terjadi di masyarakat. Maraknya pergaulan bebas pada
remaja mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai. Menurut Sudibyo Alimoeso, Deputi
Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN menjelaskan bahwa jumlah
remaja di seluruh Indonesia tercatat lebih dari 70 juta jiwa atau 13 kali lipat dari jumlah
penduduk Singapura. Sebanyak 20,9 persen remaja putri di Indonesia, telah hamil di luar
nikah karena berhubungan seks dan 38,7 persen telah mengalami pernikahan usia dini,
berdasarkan hasil penelitian Universitas Indonesia dan Australian National University
pada 2010. Hal ini dipengaruhi media massa dan internet yang semakin permisif
menyuguhkan pornografi yang sangat mempengaruhi perubahan.8
Umumnya di masyarakat, wanita yang hamil di luar nikah akan dinikahkan
dengan laki-laki yang menghamilinya. Pernikahan semacam ini didahului oleh zina. Hal
ini terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam konteks menikahkan wanita yang
hamil terlebih dahulu sesuai usia kandungan. Secara yuridis di Indonesia, perkawinan
orang yang beragama Islam diatur dalam hukum perkawinan di Indonesia yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya
disingkat KHI) Pasal 53 tentang Kawin Hamil.
Hukum perkawinan di Indonesia belum secara konkret mengatur tentang nikah
sesama pezina. Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
konteks nikah sesama pezina hanya termuat dalam KHI namun hanya disebutkan sebagai
kawin hamil dalam Pasal 53 karena tidak secara tegas dijelaskan sebagai nikah sesama
pezina. Dengan demikian terdapat ketidakjelasan norma (vague of norm) tentang
kesetaraan nikah sesama pezina menurut perspektif hukum perkawinan di Indonesia.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, Bandung: Syaamil Al-Qur’an, 2007, h. 350.
http://www.antaranews.com/berita/339892/jumlah, di akses pada tanggal 5 September 2013, pukul
09.07 wib.
7
8
Sebab, secara yuridis alasan hukum yang digunakan sebagai dasar menikahkan sesama
pezina adalah hamil, sebagaimana yang disebutkan dalam KHI Pasal 53 tentang Kawin
Hamil. 9 Oleh sebab itu muncul dugaan bahwa alasan hukum nikah sesama pezina di
Indonesia dalam ketentuan hukum yang terkandung secara implisit dalam KHI Pasal 53
hanya terjadi apabila ada pembuktian hamil. Dengan demikian, secara normatif alasan
hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. an-Nur [24]: 3 perlu ditransformasikan ke dalam
hukum perkawinan Islam di Indonesia, sehingga muncul relevansi alasan hukum nikah
sesama pezina dalam Q.S. an-Nur [24]: 3 dengan KHI Pasal 53 tentang Kawin Hamil
yang mengatur hukum perkawinan Islam di Indonesia.
B. Konsep Nikah Sesama Pezina Dalam Q.S. An-Nur [24]:3
    
   
     



10
 
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan11 atas orang-orang yang mukmin. 12
Secara tekstual ayat ini menyatakan: laki-laki pezina, yakni yang kotor dan
terbiasa berzina, tidak wajar mengawini melainkan perempuan pezina yang kotor dan
terbiasa pula berzina atau perempuan berzina atau perempuan musyrik; dan kemudian
juga sebaliknya perempuan pezina yang terbiasa berzina tidak wajar dikawini melainkan
oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu, yakni perkawinan
dengan pezina, diharamkan yakni tidak pantas terjadi atas orang-orang yang mukmin. 13
Adapun makna dalam QS. An-Nur: 3 pada kata ‫( ألزانى‬isim fa’il) dalam QS. An-Nur: 3
memiliki makna pezina adalah pelaku zina atau profesi dan ‫(آل َي ْنكِح‬istiqbal/fi’il nahi dan
9
Bab VIII Kawin Hamil (1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Lihat Tim, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 1998/1999, h. 33.
10
Q.S. an-Nur [24]:3.
11
Maksud pengharaman di dalam ayat di atas adalah bahwa orang mukmin dilarang untuk menikahi
siapa pun yang berstatus sebagai pezina ataupun pelaku kemusyrikan karena mereka tak layak untuk dinikahi
kecuali oleh mereka yang berstatus sebagai pezina atau musyrik saja. Lihat Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunah 2, Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009, h. 583.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, h. 350.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera
Hati, 2002, h. 285.
fi’i mudhari) yang memiliki makna larangan menikahi pezina, baik di masa sekarang
maupun masa yang akan datang. Hal ini menunjukkan konsep nikah sesama pezina atau
konsep kesetaraan atau kesamaan (kafa’ah) dalam pernikahan.
Untuk memahami maksud QS. An-Nur: 3 penulis mencoba melakukan analisis
dengan metode hermeneutik melalui pendekatan historis (historical approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), lebih lanjut diuraikan sebagai berikut:
1. Asbabun Nuzul Q.S. An-Nur [24]:3
Hadis yang menerangkan kondisi dan sebab turunnya (asbabun nuzul) QS. AnNur: 3 berdasarkan pendekatan historis (historical approach) adalah sebagai berikut:
‫ع ْن‬
َ ‫سعي ٍد‬
َ ‫ي قَا َل َحدثَنَا يَحْ يَى ُه َو اب ُْن‬
ُّ ‫أ َ ْخبَ َرنَا إب َْراهي ُم ب ُْن ُم َحم ٍد التيْم‬
ُ ‫ع ْمرو بْن‬
‫ع ْن َجده أَن‬
ُ
ٍ ‫ش َع ْي‬
َ ‫ع ْن أَبيه‬
َ ‫ب‬
َ ‫ع ْن‬
َ ‫عبَيْد َّللا بْن ْاْل َ ْخنَس‬
‫ارى‬
َ ُ ‫َم ْرثَدَ بْنَ أَبي َم ْرث َ ٍد ْالغَنَوي َو َكانَ َر ُجلا شَديداا َو َكانَ َيحْ م ُل اْل‬
َ ‫س‬
‫ي‬
َ َ‫م ْن َمكةَ إلَى ْال َمدينَة قَا َل فَد‬
ٌّ ‫ع ْوتُ َر ُجلا ْلحْ ملَهُ َو َكانَ ب َمكةَ َبغ‬
ْ َ ‫ت فَ َرأ‬
ْ ‫صديقَتَهُ خ ََر َج‬
ْ ‫َاق َو َكان‬
ُ ‫عن‬
‫س َوادي في ظل‬
َ ‫يُقَا ُل لَ َها‬
َ ‫ت‬
َ ‫َت‬
َ ‫ت َم ْن َهذَا َم ْرثَدٌ َم ْر َح ابا َوأَ ْهلا يَا َم ْرثَدُ ا ْن‬
ْ ‫طل ْق الل ْيلَةَ َفب‬
ْ ‫ْال َحائط فَقَا َل‬
‫ت‬
ُ ‫عن‬
‫سل َم‬
ُ ‫َاق إن َر‬
َ ُ‫صلى َّللا‬
َ ‫ع ْندَنَا في الرحْ ل قُ ْلتُ َيا‬
َ ‫علَيْه َو‬
َ ‫سو َل َّللا‬
ْ َ‫َحر َم الزنَا قَال‬
‫س َرا َء ُك ْم‬
َ ُ ‫ت َيا أَ ْه َل ْالخ َيام َهذَا الد ُّْلدُ ُل َهذَا الذي َيحْ م ُل أ‬
َ َ‫سلَ ْكتُ ْال َخ ْندَ َمةَ ف‬
‫طلَبَني ث َ َمانيَةٌ فَ َجا ُءوا َحتى‬
َ َ‫م ْن َمكةَ إلَى ْال َمدينَة ف‬
َ َ‫علَى َرأْسي فَبَالُوا ف‬
ُ‫عني فَجئْت‬
َ ُ‫علَي َوأ َ ْع َما ُه ْم َّللا‬
َ ‫ار بَ ْولُ ُه ْم‬
َ ‫قَا ُموا‬
َ ‫ط‬
ُ‫ع ْنهُ َك ْب َله‬
َ ُ‫صاحبي َف َح َم ْلتُهُ فَلَما ا ْنت َ َهيْتُ به إ َلى ْاْل َ َراك فَ َك ْكت‬
َ ‫إلَى‬
‫سو َل َّللا أ َ ْنك ُح‬
ُ ‫سل َم فَقُ ْلتُ َيا َر‬
ُ ‫فَجئْتُ إلَى َر‬
َ ُ‫صلى َّللا‬
َ ‫علَيْه َو‬
َ ‫سول َّللا‬
ْ َ‫ت َعني َفنَزَ ل‬
‫ان أ َ ْو ُم ْشر ٌك‬
َ ‫س َك‬
َ
َ َ‫عنَاقَ ف‬
ٍ َ‫ت َوالزان َيةُ آل يَ ْنك ُح َها إل ز‬
‫ آل تَ ْنكحْ َهآ‬:‫علَي َو َقا َل‬
َ ‫عاني فَقَ َرأَهَا‬
َ َ‫فَد‬
Artinya: Ibrahim bin Muhammad Taimi mengabarkan kepada kami, ia berkata Yahya
bin Sa’id menceritakan kepada kami dari Ubaidillah bin Akhnas dari Amr bin
Su’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Martsad bin Abu Martsad Al
Ghanawi, ia adalah seorang yang keras yang biasa ditugaskan untuk
membawa tawanan dari Mekah ke Madinah berkata, “Aku memanggil
seorang laki-laki untuk membawanya”, pada waktu itu di Mekah ada seorang
perempuan pelacur yang disebut dengan nama Anaq, yang juga merupakan
temen Martsad. Martsad berkata ia keluar dan melihat bayanganku pada
sebuah dinding. Lalu ia bertanya, ‘Siapa ini? Apakah ini Martsad? Selamat
datang wahai Martsad. Engkau keluar pada malam seperti ini Bermalamlah di
kediaman bersama kami.” Aku menjawab, “Hai Anaq, sesungguhnya
Rasulullah mengharamkan zina.” Tiba-tiba iya berkata, “Hai para penghuni
rumah landak ini membawa tawanan kalian dari Makkah menuju ke
Madinah.” Kemudian aku mendaki gunung Al Khandamah lalu masuk ke
sebuah gua kecil, dan merekapun datang dan berdiri diatas kepalaku (namun
mereka tidak melihat Murtsad) lalu mereka kencing. Tentu saja air kencing
itu mengenaiku, namun Allah membutakan mata mereka dariku. Setelah itu,
akupun kembali mengambil laki-laki tawananku dan segera membawanya.
Ketika sampai di Arak, aku melepaskan tali ikatannya, kemudian aku segera
menemui Rasulullah SAW, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku
boleh menikah dengan Anaq?” Rasulullah SAW tidak menjawab sedikitpun,
sehingga turun ayat, “ Perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik” (QS. An-Nuur: 3)
kemudian beliau memanggilku dan membacakannya kepadaku, lalu bersabda,
“Janganlah kamu menikahinya”.14
Hadis di atas, menerangkan bahwa tidak boleh menikah dengan pezina, baik
itu laki-laki maupun perempuan, sebab pezina menikah dengan pezina juga.
Berdasarkan hadits tersebut menegaskan penjelasan QS. An-Nur: 3 tentang keharusan
nikah sesama pezina sesuai konteks penelitian penulis.
Menurut A. Mujab Mahali mengemukakan beberapa pendapat tentang kondisi
dan sebab turunnya (asbabun nuzul) QS. An-Nur: 3 berdasarkan pendekatan historis
(historical approach) yaitu:
a. Umi Mahzul seorang pelacur akan dikawini oleh seorang sahabat Nabi.
Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-3 sebagai
penjelasan bahwa seorang wanita pezina haram dikawini oleh seorang
mukmin. Ia hanya boleh dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik.
(HR. Nasai dari Abdillah bin Umar).
b. Mazid mengangkut barang dagangannya dari ambar ke Mekkah untuk
dijual. Ia bertemu dengan teman lamanya, seorang wanita pezina bernama
Anaq. Mazid meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikah.
Rasulullah SAW tidak menjawab. Maka kemudian turun ayat ke-3, dan
beliau bersabda: “Wahai Mazid, seorang pezina hanyaakan dikawini oleh
lelaki pezina. Karena itu, janganlah kamu menikahinya”. (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasai dan Hakim dariAmar bin Syu’aib dari bapak dari datuknya).
c. Ketika Allah SWT menurunkan ayat tentang haramnya berzina, di sekitar
kaum muslimin banya sekali pelacur-pelacur yang cantik nan molek. Maka
mereka berkata: “Janganlah dibiarkan wanita-wanita itu pergi dan
biarkanlah mereka kawin”. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan An-Nasa’i 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, h.
660-661. (3228). Lihat Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud 1, Jakarta: Pustaka Azzam,
2006, h. 796-797. (2051). Lihat juga Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan At-Tirmidzi 3, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007, h. 444-446. (3177). Bandingkan juga dengan hadis yang sama dalam redaksi yang
berbeda dalam Muhammad nashiruddin Al Albani, Tahrij, Mahmud bin Jamil, Walid bin Muhammad bin
Salamah, Khalid bin Muhammad bin Ustman, Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, penerjemah ATC
Mumtaz Arabia, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 609-611. Bandingkan juga dengan hadis yang sama dalam
redaksi yang berbeda dalam Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 129.
14
menurunkan ayat ke-3 sebagai ketegasan bahwa wanita pezina hanya
dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik. 15
Sedangkan
menurut
Jalaluddin
Al-Mahalli
dan
Jalaluddin
A-Suyuti
mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai asbabun nuzul QS. An-Nur: 3,
secara situasional dan kondisional bahwa:
Ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dari kalangan sahabat
Muhajirin berniat untuk mengawini para pelacur orang-orang musyrik, karena
mereka orang-orang kaya. Kaum muhajirin yang miskin menyangka kekayaan
yang dimilikinya itu akan dapat menanggung nafkah mereka. Karena itu
dikatakan, bahwa pengharaman ini khusus bagi para sahabat Muhajirin yang
miskin tadi. Tetapi menurut pendapat yang lain mengatakan pengharaman ini
bersifat umum dan menyeluruh, kemudian ayat ini dimansukh oleh firman-Nya
yang lain, yaitu: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kalian...(QS. An-Nur: 24).16
Terkait uraian di atas, menurut penulis berdasarkan pendekatan historis
(historical approach) mengenai asbabun nuzul QS. An-Nur: 3 terdapat konsep nikah
sesama pezina yang merupakan suatu keharusan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep
nikah sesama pezina diatur dalam Alquran dan hadis terkait yang menjadi alasan
hukum nikah sesama pezina dalam hukum Islam.
2. Pendapat Mufassir Mengenai Konsep Nikah Sesama Pezina dalam Q.S. An-Nur
[24]:3
Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari mengenai QS. An-Nur:
3, para mufasir berbeda pendapat tentang takwil ayat tersebut. Sebagian berpendapat
bahwa ayat ini diturunkan kepada sebagian sahabat yang meminta izin kepada
Rasulullah SAW untuk menikahi wanita-wanita musyrik yang terkenal sebagai pezina,
yang memiliki tanda-tanda dan menjajakan diri mereka. Allah telah mengharamkan
wanita-wanita tersebut bagi orang-orang mukmin. Beliau bersabda, “Seorang laki-laki
yang berzina dari golongan mukmin tidak akan menikahi kecuali dengan wanita
pezina atau wanita musyrik, karena meraka seperti itu, dan wanita-wanita yang berzina
itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina dari golongan orang-orang mukmin atau
laki-laki musyrik seperti wanita-wanita tersebut, karena wanita-wanita itu musyrik
seperti mereka. “Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
15
A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2002, h. 602-603. Lihat juga dalam Jalaludin As-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an,
diterjemahkan A. Mustofa, Semarang: Asy Syifa’ Semarang, 1993, h. 355-356.
16
Jalaluddin Al-Mahalli, dan Jalaluddin As-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain Jilid 3, diterjemahkan
oleh Bahrun Abubakar, Bandung: Sinar Baru Aglesindo, 2009, h. 1452.
Jadi, menurut penakwilan mereka, Allah mengharamkan untuk menikahi wanitawanita tersebut.17
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai QS. An-Nur:
3 Imam Syafi’i menyampaikan bahwa:
Munculnya beberapa pendapat mengenai penafsiran ayat ini. Ada yang
mengatakan, ayat ini turun berkaitan dengan beberapa pelacur yang berparas
cantik yang tidak menjaga kehormatan mereka. Meski demikian, ada lelaki
muslim yang ingin menikahi mereka. Kemudian turunlah ayat tersebut yang
mengharamkan untuk menikahi mereka, kecuali bagi orang yang menyatakan
dirinya sebagai golongan mereka atau benar-benar sebagai orang musyrik. Ada
pula yang berpendapat, yang dimaksudkan adalah wanita-wanita pezina dari
kaum musyrik. Kemudian turun ayat yang menyatakan, tidak seorang pun
menikahi mereka , kecuali pezina juga atau seorang musyrik meskipun orang
musyrik itu bukan pezina, sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut, ‫{ وحر‬
} ‫“ مذالك على المؤمني‬yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
mukmin.”(QS. An-Nur:3).18
Lebih lanjut secara tegas menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari
berpendapat bahwa:
...diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling tepat kebenarannya dalam
penakwilan ayat ini adalah yang mengatakan bahwa makna ‫ النكاح‬dalam ayat
ini adalah bersetubuh, dan ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan wanitawanita pelacur dari kaum musyrik yang memiliki tanda-tanda yang dikenal.
Ada dalil yang menyebutkan bahwa seorang wanita pezina dari kaum muslim
diharamkan bagi laki-laki musyrik, dan seorang laki-laki pezina dari kaum
muslimin diharamkan bagi seorang wanita dari kaum penyembah berhala. Jika
demikian maksudnya, maka seorang laki-laki pezina dari kaum mukmin tidak
diperbolehkan menikahi seorang wanita afifah (yang menjaga dirinya) dari
kaum muslim, dan dia tidak akan menikah kecuali dengan seorang wanita
pezina atau wanita musyrik. Jadi, jelas bahwa makna ayat tersebut adalah,
seorang laki-laki pezina tidak bersetubuh kecuali dengan seorang wanita pezina
yang tidak menghalalkan hukum zina, atau dengan seorang wanita musyrik
yang menghalalkan hukum zina. 19
Lebih lanjut mengenai QS. An-Nur: 3 dikemukakan Quraish Shihab, bahwa :
Salah satu implikasi dari ayat ini adalah perkawinan yang didahului oleh
kehamilan. Banyak ulama yang menilainya sah. Sahabat Nabi SAW. Ibn Abbas
maksud ayat tersebut adalah perkawinan yang didahului oleh kehamilan.
Banyak ulama yang menilainya sah. Sahabat Nabi SAW Ibnu ‘Abbas
berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului oleh
pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah,
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terjemahan Ahsan Askan, Jakarta:
Pusta Azzam, 2009, h. 886.
18
Ahmad Musthofa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i (Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an),
terjemahan Imam Ghazali Masykur, Jakarta: Penerbit Almahira, 2007, h. 161.
19
Ibid, h. 900-901.
17
menjadi hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal. Atau dengan
kata lin perkawinan seseorang yang telah berzina dengan wanita kemudian
menikahinya dengan sah, adalah seperti keadaan seorang yang mencuri buah
dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut
bersama seluruh buahnya. Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu) haram,
sedang yang dibelinya setelah pencurian itu adalah halal. Inilah pendapat Imam
Syafi’i dan Abu Hanifah. Sedang Imam Malik menilai bahwa siapa saja yang
berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya, maka hubungan seks
keduanya adalah haram, kecuali dia melakukan akad nikah baru, setelah selesai
iddah dari hubungan seks yang tidak sah itu.20
Adapun menurut Al Qurthubi berpendapat mengenai QS. An-Nur: 3 memiliki
makna bahwa laki-laki yang berzina tidak menikah dengan wanita yang bukan
dizinahinya, melainkan menikah dengan wanita pezina dari kaum muslimin, atau
dengan wanita yang lebih baik dari wanita pezina itu, yaitu wanita yang musyrik. 21
Berdasarkan pendapat para mufassir di atas, QS. An-Nur: 3 merupakan hukum
yang mengatur tentang nikah sesama pezina. Bila
dikontekstualisasikan pada
penanggulangan akibat zina, maka penulis sependapat dengan Quraish Shihab yang
menyatakan bahwa salah satu implikasi dari QS. An-Nur: 3 adalah perkawinan yang
didahului oleh kehamilan, sehingga menurut penulis QS. An-Nur: 3 yang mengatur
tentang nikah sesama pezina merupakan hukum perkawinan yang didahului oleh
kehamilan yaitu wanita yang hamil akibat berzina harus dinikahkan dengan laki-laki
yang tekah menghamilinya atau berzina dengan wanita tersebut.
3. Alasan Hukum Nikah Sesama Pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3
Beranjak dari uraian di atas, melalui pendekatan konseptual
approach)
(conceptual
dari beberapa pendapat para mufassir, terdapat konsep nikah sesama
pezina yang secara tekstual terdapat dalam QS. An-Nur: 3. Menurut penulis, QS. AnNur: 3 tersebut merupakan dasar hukum yang dapat digunakan dalam merumuskan
konsep nikah sesama pezina atau secara kontekstual merupakan alasan hukum kawin
hamil dalam perspektif hukum Islam. Hal ini menunjukkan alasan hukum nikah
sesama pezina dalam QS. An-Nur: 3 merupakan suatu keharusan nikah bagi sesama
pelaku zina. Maka jelas bahwa QS. An-Nur: 3 memiliki alasan hukum yang mengatur
nikah sesama pezina yaitu akibat zina berupa kehamilan di luar nikah kemudian
dinikahkan dengan pria yang menghamili wanita yang dizinahinya. Sehingga alasan
hukum nikah sesama pezina adalah kedua pasangan zina dan merupakan bentuk
penanggulangan akibat zina yang dapat mengakibatkan kemudharatan bagi wanita dan
20
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, h. 287-288.
Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terjemahan M. Iqbal Kadir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 436.
bayi yang dikandungnya. Sebagaimana kaidah fikih kemudharatan itu harus
dihilangkan,
maksudnya segala yang dianggap akan atau telah menimbulkan
kemudharatan maka wajib dihilangkan, sehingga laki-laki yang menghamili wanita
yang dizinahinya wajib untuk dinikahi laki-laki yang menghamili dan menzinahinya.
Hal ini bertujuan agar zina tidak dilakukan secara terus menerus.
Lebih lanjut alasan hukum nikah sesama pezina dalam QS. An-Nur: 3
merupakan alasan pengembalian aqidah berupa pemurnian agama (ta’abbudiyah)
sebab iman berkurang karena perbuatan maksiat termasuk perbuatan zina.
Sebagaimana hadis berikut:
‫ أ َ ْنبَأ َنَا ا ْب ُن‬،‫ع ْبد للا ْبن ع ْم َرانَ الت ُّج ْيبي‬
َ ‫َحدَثني َح ْر َملَةُ ْب ُن يَحْ يَى ْبن‬
َ‫سلَ َمةَ ْبن‬
ٍ َ ‫عن ا ْبن شها‬
ٍ ‫َو ْه‬
ْ ُ‫ أ َ ْخبَ ْرني ت ُ ْون‬:‫ب قَا َل‬
َ ‫س‬
َ َ ‫سم ْعتُ أ َبا‬
َ :‫ قا َ َل‬،‫ب‬
‫س ْو َل‬
ُ ‫ إن َر‬:َ ‫سيب َيقُوآلن قا َ َل أ َبُو ُه َر ْي َرة‬
َ
َ ‫سعيدَ ْبنَ ال ُم‬
َ ‫ع ْبد الرحْ َمن َو‬
‫ آل َي ْزني الزاني ح ْينَ َي ْزني َو ُه َو ُمؤْ م ٌن َوآل‬:‫سلَ َم قا َ َل‬
َ ‫صلى للا َو‬
َ ‫للا‬
‫ب ال َخ ْم َر ح ْينَ يَ ْشربُ َها‬
ُ ‫يَ ْسر ُق السار ُق ح ْينَ يَ ْسر ُق َو ُه َو ُمؤْ م ٌن َوآليَ ْشر‬
.‫َو ُه َو ُمؤْ م ٌن‬
Artinya:Harmalah bin Yahya bin Abdillah bin Imran At-Tajubi menceritakan
kepadaku, Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, dia berkata: Yunus
mengabarkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dia berkata: Aku telah mendengar
Abu Salamah bin Abdurrahman dan Sa’id bin Al-Musayyab berkata: Abu
Hurairah berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Seorang pezina
tidak melakukan zina ketika dia dalam keadaan beriman. Seorang pencuri
tidak mencuri ketika dia dalam keadaan beriman. Dan seorang peminum
khamar tidak meminum khamar ketika meminumnya dia dalam keadaan
beriman.”22
Berdasarkan hadis di atas, dijelaskan bahwa dampak perbuatan zina membuat
lepasnya keimanan yang menjadikan status pelaku zina adalah sebagai kafir/musyrik
(bukan muslim), maka tidak setara atau sekufu (kafa’ah) bila seorang pezina menikah
dengan orang yang tidak berzina sehingga pezina harus menikah dengan pezina. Zina
merupakan dosa besar, sebab dalam hukum Islam perbuatan zina tidak ada toleransi
hukum meskipun dalam keadaan darurat. Menurut prinsip perkawinan Islam, kedua
mempelai calon pengantin harus berstatus agama Islam yang merupakan konsep
kesetaraan/kesamaan agama (kafa’ah). Maksud dari kafa’ah dalam pernikahan adalah
Imam An-Nawawi, Syarah Muslim [2], diterjemahkan dari buku asli berjudu “Shahih Muslim bi
Syarh An-Nawawi” oleh Wawan Djunaedi Soffandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010, h. 176-177. Lihat juga Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, diterjemahkan dari buku asli berjudul
“Fahtul Baari Syar Shahih Bukhari” oleh Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, h. 75.
22
bahwa suami harus sekufu dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan
ekonomi. Tidak diragukan lagi bahwa semakin sama kedudukan laki-laki dengan
kedudukan perempuan, maka keberhasilan hidup suami istri semakin terjamin dan
terpelihara dari kegagalan. 23 Hal ini berdasarkan tujuan nikah dalam Islam yaitu
sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tetapi apabila pelaku zina sudah bertobat maka
kembali keimanannya dan kembali berstatus agama Islam, sehingga dapat dinikahkan.
Hikmah yang terkandung pada alasan hukum nikah sesama pezina dalam QS.
An-Nur: 3 adalah bentuk penanggulangan zina dengan pengembalian aqidah dan
pemurnian tauhid untuk pelaku zina yang bertaubat demi menjaga kemaslahatan
daruriyat yaitu kehormatan (al-‘irdu) dalam prinsip maqa>s}id asy-Syari>’ah
sehingga perbuatan zina dihukum dengan hukuman yang berat (had dan rajam) sebab
mendekati perbuatan zina saja, dilarang dalam hukum Islam apalagi berbuat zina, baik
sekarang dan akan datang.
Hal ini merupakan upaya menutup jalan (saddu adz-
dzari’ah) perbuatan zina dan pencegahan maraknya zina yang membudaya.
C. Alasan Hukum Nikah Sesama Pezina Dalam Q.S. An-Nur [24]:3 Dan Relevansinya
Dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil
Dalam hukum yang berlaku di Indonesia nikah sesama pezina yang dimaksud
dalam Q.S. An-Nur [24]:3 disebut sebagai kawin hamil atau perkawinan yang
didahului oleh kehamilan. Kawin hamil dalam hukum perkawinan di Indonesia, secara
khusus diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil. Untuk
menemukan relevansi alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3
dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil, penulis paparkan
sebagai berikut:
1. Pendapat Fuqaha Tentang Kawin Hamil
Kawin hamil ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang bukan
menghamilinya. Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah, para ulama
berbeda pendapat, sebagai berikut:
a. Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat
bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan
ketentuan, bila si laki-laki itu yang menghamilinya dan kemudian baru
mengawininya.
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, diterjemahkan Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, Jakarta:
Tinta Abadi Gemilang, 2013, h. 397.
b. Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan
boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat menjalani hukuman
dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum
yang telah pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara lain:
1) Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang telah
berzina, beliau berkata: “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat
dan memperbaiki sifat-sifatnya”.
2) Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan
berkata: Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku
inginkan keduanya dikawinkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada
sahabat
lain
untuk
melakukan
hukuman
dera
(cambuk).
Kemudian
dikawinkannya.
Selanjutnya, mengenai laki-laki yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh
orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama:
a. Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila
dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat ini berdasarkan QS. An-Nur
[24]:3 maksud ayat tersebut adalah tidak pantas seorang laki-laki yang beriman
kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang
beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.
‫ذَل َك الَى‬
َ‫الص َداق‬
‫ فَ َر َج َع‬،‫صابَ َها َو َجدَ َها ُح ْب َل‬
َ َ ‫أن َر ُجلا ت َزَ و َج إ ْم َرأ َةا فَلَم ا‬
‫ فَفَرقَ َب ْينَ ُه َما َو َج َع َل لَ َها‬،‫صلَى للا عليه وسلم‬
َ ‫النبي‬
‫َو َجلدَ َها َمائةا‬
Artinya: Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia
mencampurinya ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia
laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan
wanita itu diberi maskawin, kemudia wanita itu didera (dicambuk)
sebanyak seratus kali. 24
Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa
seorang laki-laki tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat
zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:
1) Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia
tidak boleh kawin.
24
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, h. 124-126. Lihat juga M. Anshary
MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial) , h.58-59.
2) Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau
tidak.
b. Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinan itu
sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadis:
َ ْ‫آلَ تُؤ‬
‫ض َع‬
َ َ‫طأ َحملا َحتى ت‬
Artinya: Janganlah engkau campuri wanita yang hamil,
(kandungannya).25
sehingga lahir
c. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang
sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa iddah).
Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi
yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan
keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah). 26
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang
mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamili ibunya. Namun bila pria yang
mengawini ibunya itu, pria yang menghamili ibunya, maka terjadi perbedaan
pendapat:
a. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya
berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari empat bulan, maka bayi tersebut adalah
anak suami yang sah.
b. Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun
dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma
dan ovum dari bapak dan ibunya itu.27
2. Relevansi Nikah Sesama Pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dengan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil
Alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dan
relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil, penulis
uraikan sebagai berikut:
a. Relevansi Pembentukan Hukum
25
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, h. 127. Lihat juga dalam M.
Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010,
h. 58-59.
26
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, h. 127.
27
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, h. 127-128.
Pembentukan hukum Islam sesungguhnya tercakup dalam tujuan utama
pembentukan hukum Islam yaitu maqa>s}id asy-Syari>’ah. Secara umum,
pembentukan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Hal ini antara lain
terdapat dalam.
1) Q.S. Al-Baqarah [2]: 201-202
   










 
   
   
28

Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah
Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami
dari siksa neraka". mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian
daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitunganNya. 29
2) Q.S. Al-Imra>n [3]:159




     
  
    


   
   





30
 
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya. 31
3) Q.S. Al-Anbiya [21]: 107
28
Q.S. Al-Baqarah [2]: 201-202.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, h. 31.
30
Q.S. Al-Imra>n [3]: 159.
31
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, h. 71.
29




32
 
Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam 33
Dari beberapa ayat yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan
ditetapkannya hukum Islam adalah untuk kebahagian manusia, baik dalam
kehidupan di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai tujuan-tujuan
disyariatkannya hukum Islam, Sirajudin mengemukakan bahwa Islam datang
membawa hal-hal berikut:
1) Islam telah meletakkan undang-undang dasar, beberapa prinsip yang
mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak
kemudharatan, wajib berlaku adil, musyawarah, memelihara hak,
menyampaikan amanah, dan kembali kepada ulama yang ahli untuk
menjelaskan pendapat yang benar dalam menghadapi peristiwa dan
kasus-kasus baru. Prinsip-prinsip ini merupakan dasar-dasar umum
tujuan diturunkannya agama Islam.
2) Dasar-dasar ajaran Islam berpegang dan konsisten pada prinsip
mementingkan pembinaan mental khususnya individu, sehingga ia
menjadi sumber kebaikan masyarakat. Apabila individu menjadi baik,
masyarakat pun dengan sendirinya akan menjadi baik. Hal tersebut dapat
dilihat sebagaimana firman Allah dalam Surat Hud ayat 112, ketika
mengahadapkan pembicaraannya kepada Rasulullah dan penolongpenolongnya. “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang
telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
3) Syariat Islam dalam berbagai ketentuan hukumnya berpegang dengan
konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam
kehidupan dunia dan akhirat. As-Syathibi mengemukakan bahwa
sesungguhnya penetapan berbagai ketetapan hukum syariat itu tidak lain
adalah bertujuan untuk mencapai kemaslahatan hamba-hamba Allah
untuk masa sekarang dan yang akan datang. Ulama ushul asal Andalusia
itu membagi tujuan disyariatkannya hukum-hukum Allah atau
maqa>s}id asy-Syari>’ah menjadi tiga tingkatan. Pertama, bertujuan
memberikan kemudahan kepada manusia dalam mewujudkan kelima
unsur pokok dalam kehidupan manusia, yaitu: Agama, Jiwa, Keturunan,
Akal dan Harta, Kedua, bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada
manusia dalam mewujudkan kelima unsur tersebut, dan Ketiga,
maqashid tahsiniyah, aspek-aspek hukum yang memungkinkan manusia
melakukan yang terbaik dalam kehidupan guna memelihara unsur pokok
di atas.34
32
Q.S. Al-Anbiya [21]: 107.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, h. 331.
34
Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h.45-48.
33
Ada beberapa bentuk kemaslahatan yang dirumuskan ulama sebagai tujuan
pembentukan hukum Islam, yaitu:
1) Memelihara kemaslahatan agama.
2) Memelihara kemaslahatan jiwa.
3) Memelihara kemaslahatan akal.
4) Memelihara kemaslahatan keturunan.
5) Memelihara harta.
6) Memelihara kehormatan.
7) Memelihara lingkungan.
Adapun kemaslahatan di dunia dan kemudharatan di dunia dapat diketahui
melalui akal sehat dengan pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan manusia,
sedangkan kemaslahatan di akhirat dan kemudharatan di akhirat tidak dapat
diketahui oleh akal, kecuali dengan syariah, yaitu melalui dalil syara berupa
Alquran dan hadis. 35 Berkaitan dengan alasan hukum nikah sesama pezina dalam
Q.S. An-Nur [24]:3 merupakan
tujuan dari pembentukan hukum Islam yaitu
meliputi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hal ini menjadi alasan hukum
tentang nikah sesama pezina secara khusus merupakan bentuk pemeliharaan
kemaslahatan keturunan. Di dalam memelihara kemaslahatan keturunan hukum
Islam mengatur secara khusus dalam Q.S. An-Nur [24]:3 mengenai nikah sesama
pezina terkait penanggulangan dampak zina yaitu wanita hamil di luar nikah atau
hamil akibat zina harus dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, sebab
anak yang dikandung oleh wanita yang hamil di luar nikah akan mendapat
mudharat yang besar, seperti menggugurkan kandungan (aborsi), anak yang lahir
nasabnya tidak jelas siapa ayahnya, wanita yang hamil tanpa suami dapat
memberikan dampak gangguan psikologis, seperti gila, bunuh diri, putus asa
sehingga menjadi pelacur, atau melakukan perbuatan tercela lainnya yang dpat
menimbulkan kerusakan yang lebih besar lagi bagi masyarakat.
Adapun pembentukan hukum Islam khususnya mengenai nikah sesama
pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dirumuskan secara umum dalam Kompilasi
Hukum Islam yang diatur dalam Pasal 53 tentang Kawin Hamil dengan alasan
hukum memelihara kemaslahatan, khususnya untuk menghindari dan menutupi
adanya anak yang lahir akibat zina atau anak hasil zina, sebagaimana dalam
35
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan MasalahMasalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana: 2006, h.29.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil dijelaskan bahwa wanita
yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Sehingga memiliki implikasi berupa akibat hukum terhadap anak menjadi anak
yang sah, sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XIV
Tentang Pemeliharaan Anak:
Pasal 99
Anak yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut.36
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil adalah
pembentukan hukum Islam mengenai nikah sesama pezina di Indonesia. Hal ini
merupakan bentuk konstekstualisasi Q.S. An-Nur [24]:3 yang tidak secara langsung
diterapkan dalam pengertian legislasi sebagaimana peraturan perundang-undangan,
namun secara substantif merupakan cerminan dari penghayatan Q.S. An-Nur [24]:
tentang nikah sesama pezina.
Berdasarkan uraian di atas, alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S.
An-Nur [24]:3 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil
memiliki relevansi pembentukan hukum yaitu bertujuan untuk memelihara
kemaslahatan manusia. Dari ketentuan Pasal 53 Tentang Kawin Hamil secara tegas
bahwa perkawinan hamil dapat dilakukan asalkan yang menikahi wanita hamil
adalah laki-laki yang menghamilinya. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Q.S. An-Nur [24]:3 bahwa pezina wanita tidak layak dinikahkan,
kecuali dengan pezina laki-laki dan hal ini diharamkan bagi orang yang beriman.37
Norma yang terdapat dalam Q.S. An-Nur [24]:3 merupakan pembentukan hukum
nikah sesama pezina dan secara konkret dalam pembentukan hukum Islam di
Indonesia diwujudkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin
Hamil yang dirumuskan sesuai kondisi dan situasi umat Islam di Indonesia.
b. Relevansi Pembangunan Hukum
Pembentukan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 yang
terwujud secara substantif dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin
Hamil merupakan pembangunan hukum dalam konteks hukum Islam. Hal ini
menjadikan hukum Islam sebagai bahan baku atau sumber hukum nasional, sebab
36
37
Tim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 149.
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial) , h. 61.
materi hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 adalah nilai dan etika
dari makna yang terkandung di dalam hukum Islam. Bentuk transformasi hukum
Islam dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil merupakan
pembangunan hukum di Indonesia yang mengandung asas ketuhanan, yaitu tidak
boleh ada produk hukum yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak
atau kontra terhadap agama. 38
Adanya alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil merupakan relevansi
hukum Islam dengan hukum positif dalam pembangunan hukum Islam di
Indonesia. Sehingga menurut penulis, alasan hukum nikah sesama pezina dalam
Q.S. An-Nur [24]:3 dan relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53
Tentang Kawin Hamil adalah upaya pembangunan hukum dalam memelihara
kemaslahatan. Hal ini merupakan tujuan dari pembentukan hukum Islam yaitu
maqa>s}id asy-Syari>’ah meliputi memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Khususnya dalam penanggulangan kawin hamil yang termuat dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil dan menjadi alasan hukum
sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3.
Berdasarkan uraian di atas, pembentukan dan pembangunan hukum Islam
mengenai alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dan
relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil adalah
bentuk pembumian hukum Islam yang berperan dan berdaya guna yang bersifat
empiris dan realistis dalam menjawab problematika hukum di Indonesia, 39 khususnya
fenomena kawin hamil dengan merujuk pada alasan hukum nikah sesama pezina
dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dalam rangka penanggulangan hamil di luar nikah akibat
zina yang telah diformulasikan oleh para mufassir dan fuqaha.
D. PENUTUP
Alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]: 3 adalah
penanggulangan akibat zina
atau sebagai pintu darurat, khususnya penanggulangan
kehamilan di luar nikah yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi wanita dan bayi
yang dikandungnya. Sehingga laki-laki yang berzina dengan wanita harus menikah
dengan pasangan zinanya, terlebih lagi wanita yang dizinahinya hamil maka wajib untuk
38
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002, h.
187.
39
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum),
Yogyakarta: Gama Media, 2002, h. 251.
menikah antara keduanya. Alasan hukum nikah sesama pezina merupakan upaya
menghilangkan kemudharatan akibat zina, secara kontekstual merupakan alasan hukum
kawin hamil dalam perspektif hukum Islam. Alasan hukum Kompilasi Hukum Islam
Pasal 53 Tentang Kawin Hamil adalah penalaran hukum secara kontekstual sebagai
bentuk penanggulangan dampak buruk perbuatan zina, khususnya kehamilan wanita di
luar nikah akibat hubungan seksual atau zina yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita
tanpa ada ikatan pernikahan. Wanita yang hamil tersebut dapat dinikahkan dengan lakilaki yang menghamilinya. Pernikahan keduanya secara hukum dianggap sah tanpa
menunggu kelahiran anak yang dikandung, yang implikasinya melindungi hak anak hasil
zina menjadi anak yang sah akibat pernikahan yang sah pula sesuai ketentuan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil. Hal ini merupakan pencegahan dampak
psikologis dan sosiologis bagi masyarakat yang dapat menimbulkan kerusakan yang lebih
besar bagi tatanan budaya dan sosial masyarakat.
Alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dan relevansinya
dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin Hamil merupakan formulasi
hukum Islam ke dalam hukum positif di Indonesia berdasarkan rumusan mufassir tentang
hukum nikah sesama pezina dalam hukum Islam yang dirumuskan fuqaha secara
kontekstual dan reflektif dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin.
Relevansi alasan hukum nikah sesama pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3 dan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 53 Tentang Kawin adalah upaya menutup perbuatan zina agar tidak
dilakukan terus menerus yang dapat membudaya. Kompilasi Hukum Islam Pasal 53
Tentang Kawin merupakan pembumian hukum Islam yang berperan dan berdaya guna
yang bersifat empiris dan realistis dalam menjawab problematika hukum di Indonesia,
khususnya fenomena kawin hamil yang relevan dengan alasan hukum nikah sesama
pezina dalam Q.S. An-Nur [24]:3.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet, dan Aminudin, Fiqh Munakahat 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Ad-Dimasyqi, Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab,
Bandung: Hasyimi Press, 2004.
Ahmad, Abdul Aziz, All About Selingkuh: Problematika dan Jalan Keluarnya, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2009.
Al Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
________, Shahih Sunan Abu Daud 3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
________, Shahih Sunan An-Nasa’i 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
________, Shahih Sunan At-Tirmidzi 1, Jakarta:Pustaka Azzam, 2007.
________, Shahih Sunan At-Tirmidzi 3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Al Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, diterjemahkan dari
buku asli berjudul “ Fahtul Baari Syar Shahih Bukhari” oleh Amiruddin, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007.
___________, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, diterjemahkan dari buku asli
berjudul “ Fahtul Baari Syar Shahih Bukhari” oleh Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
Al-Faruk, Asadulloh, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Al-Farran, Ahmad Musthofa, Tafsir Imam Syafi’i (Menyelami Kedalaman Kandungan AlQur’an), terjemahan Imam Ghazali Masykur, Jakarta: Penerbit Almahira, 2007.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Al-Mahalli, Jalaluddin, dan As-Suyuthi, Jalaluddin, Terjemah Tafsir Jalalain Jilid 3,
diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Bandung: Sinar Baru Aglesindo, 2009.
An-Nawawi, Imam, Syarah Muslim [2], diterjemahkan dari buku asli berjudu “Shahih Muslim bi
Syarh An-Nawawi” oleh Wawan Djunaedi Soffandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
__________, Syarah Shahih Muslim 9, Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.
Anshary MK, M., Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Al Qalami, Abu Fajar, dan Abdul Wahab Al Banjary, Tuntunan Jalan Lurus dan Benar,
Gitamedia Press, 2004.
Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Arief, Abd. Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita (Kajian
Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut), Yogyakarta: LESFI , 2003.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta: Kencana, 2010.
As-Suyuti, Jalaludin As-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an, diterjemahkan A.
Mustofa, Semarang: Asy Syifa’ Semarang, 1993.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pusta Azzam, 2009.
Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor: PT Kharisma Ilmu.
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005.
Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum), Yogyakarta: Gama Media, 2002.
________, Hukum Nasional: Ekletisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Bandung: PT. Mizan
Publika, 2004.
Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004.
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedia Hukum Islam 6, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, Bandung: Syaamil Al-Qur’an, 2007.
Djazuli, A., Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000.
Djazuli, A., Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan MasalahMasalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana: 2006.
Effendi, Erdianto, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama,
2011.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008.
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafik, 2008.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Irfan, M. Nurul, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah HukumYurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008.
Karsayuda, M., Perkawinan Beda Agama (Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum
Islam), Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006.
KUHPer. (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana),
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni,
2002.
Labib dan Muflihah, Fiqih Wanita Muslimah, Surabaya: Tiga Dua Surabaya.
Mahali, A. Mujab, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002.
Mahmud bin Jamil, Walid bin Muhammad bin Salamah, Khalid bin Muhammad bin Ustman,
Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, penerjemah ATC Mumtaz Arabia,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2003.
________, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010.
Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Kencana,
2004.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003.
Rasyid, Muhammad Abdul, Glosarium Tematik Al-Qur’an Berdasarkan Abjad,
Yogyakarta: Mitra Buku, 2012.
Rifa’i, Moh, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978.
Sabiq, Muhammad Sayyid, Fiqih Sunah 2, Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009.
_________, Fiqih Sunnah Jilid 3, diterjemahkan Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,
Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
_________, Fiqih Sunnah Jilid 4, diterjemahkan Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,
Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Saekan, dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Surabaya: Arkola, 1997.
Saleh, H.E. Hassan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Solihin, Mukhtar, dalam Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial
Himpunan Rencana Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 2005.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
Bandung: Hasyimi Press, 2004.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003.
Tim, Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 3 tahun 2006, Undang-undang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Serta
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, UU No. 39 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
Zakat, t.k: Media Centre, t.th.
Tim, KUHP dan KUHAP, Citra Wacana, 2008.
Tim Penyusun, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Palangka Raya Tahun 2013, Palangka Raya: STAIN Palangka Raya Press, 2013.
Tim, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI, 1997/1998.
Yasid, Abu, Aspek-aspek Penelitian Hukum: Hukum Islam-Hukum Barat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Download