EVALUASI PASTURA Pendahuluan Pada tahap

advertisement
EVALUASI PASTURA
Pendahuluan
Pada tahap-tahap awal pembuatan pastura perlu diadakan pengamatan
terhadap kemampuan pastura dalam menghasilkan hijauan, selanjutnya
pastura juga perlu dievaluasi setelah dimanfaatkan. mengingat selama
pemanfaatan sering terj adi perubahan perubahan sebagai akibat dari
kemungkinan jumlah ternak yang tidak seimbang dengan kapasitas pastura,
perubahan iklim atau adanya vegetasi baru yang tidak dikehendaki.
Perubahan yang sering dijumpai dalam pastura adalah perubahan terhadap
komposisi spesies tanaman, hal ini dapat dipahami mengingat pada umumnya
di dalam pastura terdapat berbagai spesies tanaman. Individu -individu
tanaman tersebut saling berkompetisi untuk mempertahankan hidup baik
dengan melalui cara tumbuh yang agresif atau me lalui cara perkembang
biakan tanaman (biji yang mudah tersebar atau st olon yang mudah
membentuk akar) yang masing -masing tanaman mempunyai perbedaan.
Evaluasi terhadap pastura pada dasarnya mempunyai tujuan untuk
melestarikan pasokan hijauan baik kualitas maupun kuantitasnya agar
produktivitas ternak tetap meningkat. Perubahan produksi. jenis vegetasi
dapat terjadi setiap saat karena pada dasarnya pastura adalah sesuatu yang
dinamis karena banyak faktor yang mempengaruhinya, Apabila sudah mulai
nampak adanya kemunduran dalam hal produktivitas dari hijauan, maka perlu
dilakukan penggantian dengan tanaman -tanaman baru atau jenis-jenis baru
yang lebih unggul secara bertahap hingga tetap dicapai kondisi yang
seimbang dan stabil antara jumlah ternak yang digembal akan dengan hijauan
yang dihasilkan per satuan luasan tanah.
Pendekatan
evaluasi
pastura
selain
dapat
dilakukan
melalui
pengamatan terhadap tanaman sebagai produksi primer padangan, evaluasi
tersebut juga dapat dilakukan pada ternak yang digembalakan, bai k
pengamatan terhadap produksi per ekor atau per kelompok ternak dalam
suatu areal. Evaluasi tanaman dapat dilakukan bukan hanya dari produksinya,
tetapi
juga
bagaimana
eksistensinya
setelah
terjadi
penggembalaan,
perubahan musim, perlakuan pemupukan serta perlakuan mekanis seperti
pengolahan lahan. Selanjutnya adanya kehadiran spesies baru
yang
diintroduksi juga perlu diperhatikan karena hal ini dapat memberikan dampak
pada perubahan ekosistem biologis di dalam pastura tersebut mengingat
apakah
hijauan
yan g
diintroduksi
tersebut
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan spesies tanaman yang sudah ada, ataukah dengan spesies baru
akan menyebabkan perubahan seleksi ternak terhadap hijauan yang ada di
pastura.
Evaluasi tanaman
Evaluasi suatu pastura dimulai dari ev aluasi tanaman yang merupakan
komponen utama dalam suatu pastura, lebih -lebih bila tanaman tersebut
merupakan tanaman yang baru diintroduksi. Tujuan utama evaluasi jenis -jenis
hijauan ini adalah untuk identifikasi jenis hijauan yang dengan tatalaksana
tertentu dapat memberikan hasil yang tinggi.
Ruang lingkup dari tujuan evaluasi tanaman sangat beragam seperti :
apakah suatu tanaman dalam penanaman memerlukan pengolahan lahan
terlebih dahulu atau tidak (misalnya dengan penyebaran benih pada
hamparan dengan vegetasi yang sudah ada atau dengan pengolahan tanah
minimal), bagaimana bila diintegrasikan dengan tanaman
lain, apakah
tanaman mempunyai tujuan ganda (misalnya untuk pakan ternak, kayu baker,
naungan) serta dapatkah penanaman hijauan dikaitkan dengan u saha
pencegahan erosi. Memperhatikan ruang lingkup tujuan pengembangan
hijauan yang beragam tersebut, maka dalam strategi evaluasi hijauan
diperlukan penentuan terlebih dahulu tujuan spesifik yang akan dicapai dalam
rangka pengembangan suatu jenis hijauan, karena untuk masing-masing
tujuan itu diperlukan suatu karakteristik hijauan tertentu pula.
Pemilihan jenis merupakan titik kritis dari keberhasilan program.
Penentuan spesies yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan iklim setempat
dapat mengganggu keberhasilan program pengembangan hijauan. Suatu
program evaluasi yang telah memiliki informasi lengkap tentang keadaan
lingkungan atau agronomi areal target dimana hijauan yang dievaluasi akan
dikembangkan dapat melakukan pemilihan spesies secara terbatas. Dalam
keadaan sumberdaya terbatas, evaluasi dapat lebih ditekankan untuk
mendapatkan koleksi berbagai spesies komersial yang telah dipakai di
berbagai negara tropika.
Gambar 14. Pengamatan terhadap jumlah anakan dan regrowth yang merupakan salah
satu indikator dalam evaluasi tanaman.
Secara umum, bibit dapat diperoleh dari dua sumber yaitu yang ada di
dalam atau dari luar negeri. Koleksi hijauan tropika, di dunia hanya dilakukan
oleh sejumlah kecil pusat penelitian seperti : Commonwealth Scientific an d
Industrial Research Organization (CSIRO) di Australia, Centro International de
Agriculture Tropical (CIAT) di Colombia dan Empresa Brasileira de Pesquisa
Agropecuaria (EMBRAPA) di Brazil. Stasiun -stasiun itu bukan hanya memiliki
koleksi jenis jenis hijau an tetapi juga memiliki program yang aktif untuk
meningkatkan koleksi genetik hijauan sesuai keragaman hijauan yang ada di
dunia. Mereka juga bersedia memberikan saran -saran atau sejumlah kecil
benih untuk dievaluasi di negara -negara Asia Tenggara. Pada ta hun 1982,
kegiatan bersama telah dilakukan antara CSIRO dengan Indonesia dalam
Indonesian Forage Research Project (FRP), yaitu melakukan koleksi jenis-jenis
hijauan di Sulawesi. Informasi tentang keragaman jenis rerumputan atau
leguminosa lokal yang diguna kan oleh petani-peternak secara luas juga
dimasukkan dalam program evaluasi. Dengan program FRP, berbagai jenis
leguminosa herba dan semak telah dikumpulkan dan diidentifikasi dari wilayah
Sulawesi dan Sumatera.
Adapun indikator dalam evaluasi tanaman pas tura tidak ada standart
yang baku, akan tetapi beberapa indikator yang umum digunakan adalah :

Produksi

Kualitas

Pola pertumbuhan

Ketahanan terhadap penggembalaan

Perkembang biakan tanaman atau phenologis

Ketahanan terhadap penyakit

Efektifitas simbiose rhizobium (untuk leguminosa)
Indikator-indikator di atas dapat dievalusi secara tersendiri atau simultan
karena masing-masing indikator tersebut dapat saling mempengaruhi.
Komposisi Botani
Ternak-ternak yang dibiarkan merumput secara bebas di padangan
nampak adanya kecenderungan bahwa ternak -ternak tersebut melakukan
aktifitas seleksi dengan merenggut bagian -bagian tanaman yang disukai
(biasanya bagian daun). Dengan demikian ternak -ternak telah berupaya untuk
mengkonsumsi bagian tanaman yang berkualitas bai k dan menyingkirkan
bagian batang yang rendah kuliatasnya dibanding daun, begitu pula dengan
spesies tanaman yang disukai ternak. Spesies tanaman yang tidak disukai
ternak atau mungkin yang berkualitas rendah cenderung tumbuh dengan
baik, karena tidak meng alami tekanan perengutan. Kondisi semacam ini akan
memberikan dampak pada spesies tanaman yang tidak disukai ternak akan
mendominasi padangan dan sebagai akibatnya kualitas pastura menjadi
turun.
Perubahan spesies tanaman bukan hanya disebabkan oleh faktor
ternak saja, tetapi kondisi perubahan iklim memberikan pengaruh yang besar
pula. Pada musim kemarau komposisi vegetasi akan didominasi oleh
kelompok tanaman yang tahan kering, kondisi ini cepat berubah saat musim
hujan dimana tanaman yang responsif terhad ap ketersediaan air dan tanaman
yang membentuk daun lebar akan mendominasi padangan.
Proporsi jenis tanaman yang tumbuh di pastura tersebut digambarkan
sebagai komposisi botani suatu areal pastura. Komposisi botani adalah
sesuatu yang dinamis, artinya mud ah sekali berubah baik yang disebabkan
oleh faktor ternak, musim atau pengelolaan lainnya,
Komposisi botani yang menutup suatu area pastura menunjukkkan
gambaran tentang adanya spesies -spesies tertentu serta proporsinya di
pastura tersebut. Akan tetapi pe nentuan ini cukup sulit karena tingginya
variasi alami dari hijauan, disamping itu masih kurangnya metode yang cepat
untuk mengestimasi kebutuhan pakan ternak di padangan.
Gambar A
Gambar B
Gambar 15. Komposisi botani yang dijumpai pada areal pastura yang sama di Sulawesi
Tenggara, tetapi jenis vegetasinya berbeda. Gambar A sebelum digembalai ternak,
vegetasi didominasi genus Paspalum, Gambar B setelah digembalai ternak dan
vegetasi didominasi Euphorbia yang kurang disukai ternak
Terdapat beberapa teknik yang dapat dipergunakan dalam rangka
menganalisis komposisi botani , yaitu :
1. Berat masing-masing komponen (Destruksi)
Teknik ini menggunakan bantuan ubinan ( frame) seperti halnya
menentukan produksi hijauan. Semua vegetasi yang terdapat di dalam ubinan
dipotong dan ditimbang beratnya sebagai berat total. Metode semacam ini
dikenal sebagai metode destruksi, yaitu melakukan pemotongan pada
vegetasi yang ada. Selanjutnya hasil pemotongan dilakukan pemisahan
berdasarkan spesies tanaman dengan manual ( hand sorting) dan masingmasing spesies tanaman tersebut ditimbang b eratnya. Contoh-contoh hijauan
yang diperoleh tersebut segera dibawa ke laboratorium untuk dianalisis bahan
kering sehinga dapat diketahui kontribusi dari masing -masing komponen yang
dijumpai. Masing-masing komponen diekspresikan dalam persentase dari total
produksi bahan kering.
Penentuan
komposisi
botani
dengan
cara
pemotongan
dan
penimbangan merupakan teknik yang dilakukan dengan manual. Cara ini
walaupun dianggap lebih teliti tetapi me mbutuhkan waktu cukup lama,
terutama untuk pemisahan jenis -jenis tanaman tersebut.
Mannetje dan Haydock (1963) mengembangkan suatu metode untuk
mengestimasi komposisi botani berdasarkan bahan kering dari spesies yang
dijumpai di pastura tanpa melalui pemot ongan (destruksi). Metoda tersebut
dikenal dengan “Dry-weight rank method”. Metoda ini tidak memerlukan
pemotongan tanaman, tetapi masing -masing spesies yang nampak di dalam
ubinan (frame) dicatat dan dibuat ranking menurut dominasinya yaitu dari
ranking 1 , 2 dan 3. Peletakan frame dianjurkan untuk dilakukan sebanyak 50
sampai 100 kali per Ha dan selanjutnya data ditabulasi sesuai dengan ranking
masing-masing spesies. Untuk menghitung persentase bahan kering masing masing komponen, maka setiap ranking perl u dikalikan terlebih dahulu
dengan faktor, yang besarnya faktor tersebut :

Untuk ranking 1 = 70,2

Untuk ranking 2 = 21,1

Untuk ranking 3 = 8,7
Untuk lebih jelasnya cara perhitungan dry-weight rank method dapat diikuti
pada contoh berikut :
Komposisi botani akan dilihat pada lahan seluas 100 m 2. Pada lahan
tersebut dilakukan pengambilan contoh ( sampling) dengan meletakkan ubinan
secara acak sebanyak 10 kali. Pada setiap kali peletakan ubinan diamati
secara teliti tentang komponen tanaman yang ada di da lamnya, yaitu spesies
tanaman apa yang paling dominan atau menduduki ranking 1, selanjutnya
diteliti juga spesies apa yang menduduki ranking 2 dan 3. Bila di dalam
ubinan dijumpai ada spesies lain diluar 3 spesies tersebut berarti spesies lain
yang dijumpai dan menduduki ranking 4 dst diabaikan saja. Cara ini dilakuan
hingga mencapai 10 kali peletakan ubinan, dan hasilnya dibuat pada Tabel 1.
Selanjutnya data dari 10 kali pengambilan sampel tersebut ditabulasi
dalam bentuk tabel yang disusun sesuai urutan dominasi spesies yang muncul
pada setiap peletakkan ubinan seperti terdapat pada Tabel 2.
Tabel 1. Spesies yang muncul pada setiap peletakan ubinan.
Peletakan Ubinan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Spesies yang muncul pada ranking
I
II
III
Spc A
Spc B
Spc C
Spc A
Spc D
Spc E
Spc B
Spc A
Spc F
Spc C
Spc B
Spc A
Spc E
Spc A
Spc C
Spc C
Spc B
Spc F
Spc A
Spc C
Spc D
Spc F
Spc D
Spc E
Spc B
Spc A
Spc C
Spc D
Spc E
Spc F
Tabel 2. Jumlah spesies yang muncul pada seluruh ubinan sesuai ranking.
Spesies
A
B
C
D
E
F
TOTAL
I
3
2
2
1
1
1
10
Rangking
II
3
3
1
2
1
10
III
1
3
1
2
3
10
Setelah mengetahui jumlah spesies yang muncul dari seluruh ubinan
selanjutnya dibikin persentase dengan cara jumlah munculnya spesies dibagi
dengan totalnya dikalikan 100 persen, seperti hasil yang terdapat pada Tabel
3.
Tabel 3. Persentase spesies yang muncul pada seluruh ubinan.
Spesies
A
B
C
D
E
F
TOTAL
Persentase berdasarkan ranking
I
II
III
30
30
10
20
30
20
10
30
10
20
10
10
10
20
10
30
100
100
100
Dari persentase yang muncul maka masing -masing spesies dikalikan
dengan faktor sesuai rankingnya, sehingga komposisi botani dari contoh area
tersebut adalah sebagai berikut :
BK spesies A = (30/100 x 70,2) + (3 0/100 x 21,1) + (10/100 x 8,7) =
28,26 %
BK spesies B = (20/100 x 70,2) + (30/100 x 21,1) + (0 x 8,7) = 20,37 %
BK spesies C = (20/100 x 70,2) + (10/100 x 21,1) + (30/100 x 8,7)
=
18,76 %
BK spesies D = (10/100 x 70,2) + (20/100 x 21,1) + (10/100 x 8,7)
=
12,11 %
BK spesies E = (10/100 x 70,2) + (10/100 x 21,1) + (20/100 x 8,7)
=
10,87 %
BK spesies F = (10/100 x 70,2) + (0 x 21,1)+(30/100 x 8,7)
= 9,63 %
Dari hasil evaluasi tersebut dapat dilanjutkan dengan interpretasi :

Apakah spesies dominan tersebut mempunyai kualitas yang tinggi,
kalau tidak berarti perlu adanya suatu perubahan komposisi yang harus
didominasi oleh spesies tanaman yang mempunyai kualitas tinggi.

Apakah disetiap pelaksanaan evaluasi dari kurun waktu tertentu,
komposisi botani tersebut ada perubahan atau tidak. Bila ada
perubahan berarti terdapat fenomena : perubahan tersebut disebabkan
karena seleksi ternak, jumlah ternak yang melebihi kapasitas tampung
atau memang persistensi tanaman yang rendah pada jenis tanaman
yang menurun komposisinya

Apakah ada spesies tambahan yang dulunya tidak ada di pastura,
ternyata saat dilakukan evaluasi menjadi ada, serta apakah spesies
tersebut tergolong pengganggu sehingga perlu dimusnahkan atau tetap
dipertahankan keberadaannya.
2. Area yang ditutupi
Metoda ini dilakukan dengan menggunak an asumsi bahwa tanaman
yang dominan adalah tanaman yang mempunyai kemampuan menutupi suatu
areal
dengan
menggunakan
bagian -bagian
tanaman
atau
cara
pertumbuhannya, sehingga terlihat bahwa tanaman tersebut mendominasi
areal yang ada. Penutupan suatu area o leh vegetasi memberikan arti tentang
besarnya tanah yang tertutupi atau diduduki oleh vegetasi / individu spesies.
Dengan menutupi vegetasi lain secara teorotis tanaman yang tertutupi akan
kalah bersaing dalam memanfaatkan sinar matahari sehingga proses
fososintesis terhambat. Teknik pengukurannya dapat dilakukan dengan
mengamati :

Luas kanopi

Penutup mahkota

Penutup basal.
Pada umumnya padang rumput berkembang secara vertikal, untuk itu
perlu dilakukan pengukuran secermat mengkin guna mendapatkan gamba ran
yang tepat tentang besarnya area yang ditutupi oleh suatu vegetasi tertentu.
Pada tanaman / spesies yang hidupnya membelit ( trailing) cenderung dapat
mempertahankan konsistensi dalam jumlah area yang tertutupi walaupun di
bawah kondisi penggembalaan da n terjadi perubahan musim. Sedangkan
pada tanaman yang menjalar daya menutup tanahnya bervariasi dan sangat
tergantung pada intensitas penggembalaannya.
Pengukuran sebaran daun atau kanopi lebih umum digunakan dalam
kondisi
pastura
yang telah diperbaki ( improved pasture), sedangkan
pengukuran penutup basal ( basal cover) dipakai untuk pastura alam.
Ada beberapa cara yang telah umum digunakan untuk mengukur dan
mengestimasi penutupan tanah oleh tanaman, misalnya : Point sampling,
Carting Procedure, Loop frequency atau visual estimate.
Data yang diperoleh dari beberapa metode tersebut diekstrapolasi
menurut salah satu cara di bawah ini yaitu :
a) Pengukuaran absolute dan kumulatip dari unit point kuadarat
b) Persentase permukaan tanah yang tertutupi oleh tana man.
c) Persentase individu spesies penutup tanah dari total tanah yang
tertutup
d) Tingkat penutupan tanah yang diestimasi berdasarkan pada skala
3. Jumlah individu tanaman
Kepadatan tanaman didefinisikan sebagai jumlah total tanaman atau
anakan tanaman (tiller) dalam satu luasan tanah tertentu. Kepadatan
tanaman ini merupakan ukuran kuantitatip dari individu spesies yang terdapat
di dalam suatu area, dimana hal tersebut dapat diketahui
dengan
memberikan estimasi atau perhitungan secara intensip. Biasanya pe rhitungan
kepadatan tanaman
ini diek spresikan
dalam bentuk (1) perhitungan
kepadatan tanaman per unit luasan tanah dan (2) persentase imbangan dari
satu spesies dengan total individu dari semua spesies.
Cara ini berguna untuk mempelajari atau mengamati te ntang
persentase perkecambahan, kecepatan membentuk anakan, regenarasi
spesies tanaman tahunan, interfensi tanaman pengganggu, adanya penyakit
serta estimasi produksi biji. Jumlah individu dipakai sebagai suatu ukuran
tentang banyaknya individu tersebut, s edangkan pola pertumbuhannya
biasanya dihubungkan dengan daya menutup tanah. Spesies tanaman yang
nampaknya paling menonjol tidaklah selalu berarti bahwa tanaman tersebut
paling banyak. Seperti misalnya : tanaman kudzu yang akan tampak menonjol
karena bentuk daunnya lebar dibandingkan dengan tanaman lain. Dalam
praktek perhitungan tanaman dapat digunakan frame atau transects untuk
sekedar membatasi area dan pengukuran dapat dilakukan dengan mencatat
jumlah individu tanaman atau mencatat jumlah anakannya.
Pengukuran komposisi botani dengan metode pendekatan jumlah
tanaman ini hasilnya bisa berbeda dengan metode area yang ditutupi maupun
dry-weight rank method, suatu contoh kasus tanaman kudzu. Adanya
tanaman kudzu yang tumbuh subur pada pastura akan dijumpai secara visual
bahwa dengan metode area yang ditutupi maupun dry-weight rank method
akan menunjukkan komposisi tanaman yang dominan adalah kudzu, karena
jumlah tanaman kudzu sedikit populasinya tapi menjalar ke area yang luas,
namun demikian dengan metode jumlah individu tanaman, maka diperoleh
tanaman tersebut bukan merupakan tanaman yang d ominan di pastura
tersebut.
4. Frekuensi terjadinya
Frekuensi munculnya suatu jenis hijauan di pastura diekspresikan
sebagai ada tidaknya spesies tanaman pada setiap pengambilan sampel.
Istilah tingkat frekuensi dan frekuensi persentase seringkali dipakai untuk
menggantikan pemakaian istilah frekuensi terjadinya. Tetapi istilah -istilah
tersebut semuanya menunjuk pada apakah suatu spesies ada atau tidak dan
tidak menunjuk pada jumlah tanaman (kepadatan).
Besarnya ukuran unit pengambilan sampel mempengaruhi kesempatan
munculnya suatu spesies. Sampel yang terlalu kecil kurang mencerminkan
tentang kondisi yang sebenarnya karena spesies -spesies tertentu dapat
tercatat sebagai spesies yang mempunyai frekuensi rendah. Suatu pastura
yang heterogen diperlukan pengambilan sampel yang lebih dari pada pastura
yang homogen, sedangkan pastura yang jarang vegetasinya harus diambil
sampel lebih teliti daripada pastura yang padat.
Metode ini dapat dikerjakan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan
berjalan secara sistematis di pastura, kemudian berhenti pada jarak yang
telah ditentukan dan mencatat spesies -spesies yang ada di sekitar lokasi yang
terinjak kaki.
Metode pangamatan frek uensi terjadinya spesies dalam
pastura
memberikan gambaran sebagai berikut :
A. Cepat dan obyektif
Ada atau tidak adanya suatu spesies adalah konstan, terutama sekali
pada spesies-spesies tahunan. Tanaman tersebut tidaklah begitu
mengalami banyak fluktuasi da lam jangka pendek akibat adanya
variasi musim.
B. Dapat mengamati komposisi sp esies di padangan.
Apabila dilakukan pengambilan sampel sepanjang waktu, maka akan
nampak adanya indikasi terjadinya perubahan komposisi botani dari
padangan tersebut.
C. Terlihat adanya hubungan linear antara frekuensi dan kepadatan
pada kisaran frekuensi yang rendah apabila spesies tersebut tersebar
secar acak. Sedangkan pada frekuensi yang lebih tinggi terdapat
sedikit ketidak sesuaian antara spesies dalam vegetasi tersebut.
D. Frekuensi dapat memberikan indikasi bahwa spesies -spesies tertentu
dapat dilokalisir karena lingkungan mikro dan kondisi iklim.
E. Spesies-spesies yang kurang tahan menjadi nyata apabila pada
keseluruhan pastura tersebut dilakukan pengambilan sampel.
F. Tidak ada informasi tentang kontribusi spesies secara kuantitatif pada
produksi total hijauan.
Menentukan kapasitas tampung optimum ( stocking rate)
Menjaga
keseimbangan
antara
kemampuan
pastura
dalam
menghasilkan hijauan dengan jumlah unit ternak yang harus digembalak an
merupakan suatu upaya yang harus dicermati, sehingga usaha pastura
tersebut dapat selalu mempertahankan produksi dan kualitas hijauan untuk
ternak dalam jangka waktu yang panjang. Kegiatan evaluasi untuk
menentukan kapasitas tampung optimum secara perio dik harus dilakukan
mengingat kontinyuitas pasokan hijauan tidak konstan dan selalu terjadi
perubahan baik akibat dari tekanan ternak sendiri atau musim.
Pada suatu pastura dengan luasan yang tetap, maka untuk menjaga
agar
kapasitas
tampung
optimum
dapat
diterapkan
maka
sebagai
konsekuensinya jumlah satuan ternak yang digembalakan sering berubah.
Sedangkan bila jumah satuan ternak yang digembalakan dipertahankan
konstan, maka sebagai konsekuensinya luas areal pastura yang berubah.
Kondisi semacam ini dimak sudkan agar tidak sampai terjadi kondisi
understocking rate atau overstocking rate
yang dapat berakibat semakin
menurunnya kualitas padangan.
Understocking rate atau tekanan penggembalaan rendah adalah suatu
kondisi dimana jumlah satuan ternak lebih rendah dibandingkan dengan
kemampuan pastura dalam menghasilkan hijauan. Situasi ini berakibat banyak
hijauan di pastura tidak terkonsumsi sehingga banyak hijauan menjadi tua
dan kualitasnya menjadi rendah.
Overstocking rate adalah suatu kondisi dimana jumlah satuan ternak
melebihi kemampuan pastura dalam menghasilkan hijauan. Situasi ini
berakibat ternak kekurangan pakan dan yang lebih ironis karena tekanan
penggembalaan berlebihan maka hijauan tidak diberi kesempatan melakukan
regrowth sehingga vegetasi di pastura menjadi rusak.
Untuk menentukan kapasitas tampung optimum dapat dilakukan sesuai
petunjuk Mott (1960), yaitu dengan cara memasukkan unit ternak yang
berbeda beda secara bertahap pada suatu areal pastura.
Dengan demikian nantinya akan diperoleh gamba ran produksi ternak,
baik yang diukur per ekor maupun total satuan ternak per Ha, seperti gambar
16 berikut ini.
1.2
Produksi ternak
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Unit ternak/ha
Prod/ekor
Prod/ha
Gambar 16. Hubungan antara tekanan penggembalaan optimum ( stocking rate)
dengan pertambahan bobot badan per ekor dan per hektar.
Dari ilustrasi tersebut digambarkan bahwa untuk meningkatkan
tekanan penggembalaan adalah meningkatkan satuan ternak dalam pa stura,
dan pada gambar tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Pengamatan terhadap produksi per ekor ternak
Dengan meningkatnya tekan an penggembalaan terlihat produksi per
ekor ternak belum tampak adanya penurunan sampai terjadi dimana
tekanan
penggembalaan
sudah
berpengaruh
pada
ketersediaan
hijauan. Kebutuhan hijauan untuk ternak mulai berkurang karena
jumlah hijauan yang tersedia di pastura berkurang akibat jumlah
satuan ternak meningkat, hal ini ditandai dengan mulai menurunnya
produksi ternak. Pada saat ketersediaan hijauan sudah tidak mencukupi
untuk kebutuhan ternak berproduksi tinggi maka dengan penambahan
satuan ternak akan berakibat produksi per ekor ternak terus menurun
sampai ternak tidak mampu berproduksi (hijauan hanya untuk
kebutuhan hidup pokok)
2. Pengamatan terhadap produksi ternak per ha.
Dengan menambah satuan ternak pada l uasan tanah, maka produksi
ternak per ha terus meningkat, karena ketersediaan hijauan di pastura
masih
tersedia
untuk
kelompok
ternak
yang
digembalakan.
Peningkatan satuan ternak pada kondisi tekanan penggembalaan yang
rendah masih terlihat linear, dimana peningkatan jumlah satuan ternak
seiring dengan peningkatan produksi ternak per ha. Namun demikian
peningkatan ini tidak bisa terus terjadi karena pada saat satuan ternak
sudah melebihi kamampuan pastura untuk menyediakan hijauan bagi
ternak maka yang terjadi adalah produksi ternak per ha mulai
menurun. Kondisi ini bila satuan ternak ditingkatkan lagi maka
penurunan produksi akan semakin cepat sampai telhat bahwa
kelompok ternak tersebut hanya mendapatkan hijauan dari pastura
untuk kebutuhan hidup pokok.
3. Penentuan tekanan penggembalaan optimum
Tekanan penggembalaan optimum dari gambar tersebut dicapai pada
saat tejadi perpotongan antara grafik produksi ternak per ekor dengan
produksi tenak per ha., yang mana pada Gambar 1, yaitu pada saat
satuan ternak 0,84 per ha.
Daftar Pustaka
Halls, L.K., R.H. hughes, R.L. Rummel and B.L. Southwel1964. Forage and
Cattle Management in Longleaf -Slaash Pine forest. Farmer’s Bulletin,
2199, Washington,.
Jones, R.J. and R.L. Sandland, 1974. The Relation between Animal Gain and
Stocking Rate. J.Agric.Sci., 83, 335 -52.
McIlroy, R.J. 1964.Tropical Grassland Husbandry. Oxford Univ. Press. London
Mott, G.O. 1960. Grassing pressure and the measurement of pasture
production. Proceedings 8 th international Grassland Congress,
Reading, pp. 606-11.
Skerman, P.J. 1977. Tropical Forage. F ood and Agriculture Organization.
Rome
Susetyo, S, 1978. Pengelolaan dan Potensi Hijauan Makanan Terak untuk
Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor.
Download