pendahuluan - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era ketika negara-negara telah terbentuk dengan adanya kemungkinan akan
munculnya negara-negara baru, maka kegiatan-kegiatan politik luar negeri juga akan
semakin bertambah. Satu tujuan mungkin akan dimiliki oleh beberapa negara, sehingga
menimbulkan adanya interaksi dan benturan oleh negara-negara tersebut, baik itu bersifat
kooperatif maupun konflik. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan bagi negara satu
sama lain dalam mencapai kebutuhan negaranya dengan membangun strategi yang jitu
untuk kepentingan politik luar negerinya. Tercapainya tujuan dari politik luar negeri
suatu negara dapat terjadi didukung dengan kebijakan-kebijakan yang mencakup
pemahaman terhadap kebutuhan negara, strategi serta metode dalam menjalankannya,
dan hasil yang akan diperoleh.
Jepang memiliki bentuk fisik yang kecil jika dibandingkan dengan Korea dan
Republik Rakyat Cina yang berada di kawasan Asia Timur, letak geografis yang tidak
dapat dikatakan strategis karena sangat rentan terhadap bencana alam, dan sumber daya
alam yang minim. Namun Jepang dapat mempertahankan posisinya di dunia
internasional sebagai negara industri dengan kekuatan ekonominya dan keahliannya
dalam bidang teknologi sehingga Jepang mendapatkan sorotan dari negara-negara lain
dan dijuluki Macan Asia. Jepang memiliki produk domestik bruto terbesar nomor dua
setelah Amerika Serikat, urutan tiga besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja,
berada di peringkat ke-4 negara pengekspor terbesar dan peringakat ke-6 negara
pengimpor terbesar di dunia dalam perdagangan luar negeri, serta penduduknya memiliki
1
standar hidup yang tinggi dengan menempati peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan
Manusia dan angka harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan PBB.1
Kapabilitas Jepang dalam pencapaiannya di mata dunia internasional adalah
merupakan hasil dari aplikasi kebijakan-kebijakannya, terutama dalam politik luar negeri.
Dengan “prestasi-prestasi” yang telah dipaparkan menurut PBB, Jepang dapat dikatakan
cukup berhasil mencapai apa yang diperlukan dalam memelihara kebutuhan
masyarakatnya. Hal ini dikarenakan oleh aktor-aktor yang menciptakan serta
menghasilkan kebijakan-kebijakan yang strategis. Aktor utama dalam menentukan suatu
kebijakan, baik itu bersifat domestik maupun hal yang menyangkut dengan hubungan
luar negeri, dalam suatu negara adalah pemerintah.
Pemerintah Jepang membagi kekuasaan pemerintahannya ke dalam tiga badan
yang berbeda-beda: eksekutif yang dipegang oleh Kabinet, legislatif yang dipegang oleh
Diet, dan yudikatif yang dipegang oleh Mahkamah Agung. Bentuk dan sistem
pemerintahan Jepang saat ini memiliki perbedaan mendasar yang mengakar dalam sistem
politik Jepang di masa lalu. Selama berabad-abad lamanya paham feodalisme mengalir
kental dalam darah masyarakat Jepang, hingga Jepang akhirnya menyadari perlunya
untuk berubah untuk mengimbangi kekuatan negara-negara Barat.
Politik luar negeri Jepang saat ini cenderung tidak berubah semenjak Perang Dunia
II, namun dalam 20 tahun terakhir terjadi 14 kali pergantian perdana menteri yang
sebagian besar pergantian itu dilakukan karena pengunduran diri. Dengan sering kalinya
perdana menteri berganti sehingga walaupun politik luar negeri Jepang bersifat statis
dengan berdasarkan pada kerangka yang telah dibuat di tahun 1950an maka kebijakan
politik luar negeri akan berbeda dari setiap pemerintahannya. Semenjak tahun 2000 saja
telah terjadi 6 kali pergantian perdana menteri.
1
World Population Prospects: The 2006 Revision, 2007, United Nations Publication, hal. 10.
2
Di tahun 2000an, politik Jepang didominasi oleh sosok Junichiro Koizumi, yang
menjadi perdana menteri dari tahun 2001 hingga 2006, jangka waktu yang hampir belum
pernah terjadi sebelumnya. Umumnya perdana menteri LDP menjabat selama 1 hingga 2
tahun, dengan tiga perdana menteri yang menjabat selama 4 hingga 5 tahun termasuk
Koizumi. Koizumi mengundurkan diri di tahun 2006, diikuti dengan pemilu tahun 2005
yang sukses, ketika LDP memperoleh kepercayaan dari Partai Demokrat.
Koizumi digantikan oleh Shinzo Abe di bulan September 2006, yang
popularitasnya tidak bertahan lama, dengan diikutinya peristiwa bunuh diri Toshikatsu
Matsuoka, menteri pertaniannya, di bulan Mei 2007, yang terlibat dalam skandal
keuangan. Pada pemilihan majelis tinggi bulan Juli 2007 Partai Demokrat membangun
kemenangan mutlak di pemilu 2004, dan bersama dengan aliansinya memperoleh kendali
di majelis tinggi. Di bulan September 2007, kurang dari setahun setelah Abe menjabat, ia
mengundurkan diri, memperjelas ketidakpopulerannya sebagai penghambat pengesahan
undang-undang melalui majelis tinggi.
Abe digantikan oleh Yasuo Fukuda, yang sekali lagi hanya bertahan pendek selama
satu tahun, mengundurkan diri pada September 2008, sekali lagi memperjelas
ketidakmampuannya dalam mensahkan konstitusi. Dia telah digantikan oleh Taro Aso,
yang menjadi menteri luar negeri selama dua tahun di bawah pemerintahan Koizumi dan
Abe. Dia akan menghadapi Ichiro Ozawa, pemimpin Partai Demokratik, yang pernah
menjadi menteri LDP di akhir 1980an dan 1990an.
Ketika politik Jepang memasuki tahun 2009, ternyata Aso berada di posisi yang
buruk untuk memenangkan pemilu, dengan pemerintahannya yang menderita karena
hanya memiliki rating 19%. Tampaknya Jepang berada pada jalur perubahan
3
pemerintahan yang langka di tahun 2009 dengan adanya pergantian partai politik setelah
selama ini LDP menjadi partai berkuasa.
DPJ kemudian berkuasa setelah pemilu Agustus tahun 2009 setelah menjadi oposisi
utama bagi partai LDP selama bertahun-tahun. Taro Aso merasa bertanggung jawab
terhadap kekalahan LDP dan berhenti menjabat sebagai presiden. Empat puluh enam
persen dari anggota Diet DPJ yang terpilih pada pemilihan 2009 merupakan pertama
kalinya menjabat di parlemen. Kebanyakan memiliki pengalaman politik yang sedikit.
Bahkan beberapa tidak mengetahui struktur Diet dan bagaimana mengesahkan rancangan
undang-undang.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara partai berkuasa sebelumnya LDP
dengan partai berkuasa saat ini DPJ. Sementara LDP memberikan dukungannya kepada
Amerika Serikat, Ozawa dan Hatoyama dari DPJ memberikan dukungan akan hubungan
yang lebih baik dengan Cina dan mengurangi ketergantungan terhadap aliansi terbesar
Jepang, Amerika Serikat. Bahkan orientasi kebijakan politik luar negeri Hatoyama
berjalan ke arah yang berbeda dari pemerintahan Obama, yang meningkatkan usaha
untuk melemahkan pengaruh Cina di Asia. Washington memiliki peranan dalam
menjatuhkan Hatoyama. Dia dipaksa untuk mengundurkan diri tahun lalu setelah
Amerika Serikat menolak mentah-mentah untuk bernegosiasi terhadap pemindahan basis
militer Amerika Serikat dari Okinawa, salah satu janji pemilu DPJ.
Setelah pemasangannya sebagai perdana menteri, Kan kemudian secepatnya
berusaha untuk memperkuat ikatannya dengan Washington dan mengadopsi sikap yang
lebih agresif terhadap Beijing. Noda sendiri, perdana menteri saat ini, menandakan
bahwa di tidak akan berada di posisi pro-Washington yang telah diaplikasikan Kan,
sementara mengumumkan bahwa dia menginginkan hubungan yang berkembang baik
4
antara Cina dan Amerika Serikat. dalam konteks kontes kepemimpinan, Noda
memperingatkan bahwa Cina mungkin “akan mengambil tindakan proaktif melawan
Jepang” in tahun akan datang, berhubungan adanya penundaan perubahan kepemimpinan
di Beijing.
Pergantian perdana menteri yang paling terbaru terjadi di tahun 2011, dimana
Naoto Kan digantikan oleh Yoshihiko Noda. Naoto Kan memperoleh mosi tidak percaya
setelah krisis nuklir yang membawa bencana alam pada Jepang. Kan dapat bertahan dari
mosi ketidak percayaan dengan syarat bahwa Kan akan mengundurkan diri untuk
memperlihatkan
rasa
bertanggung
jawabnya
akan
ketidakmampuannya
untuk
menanganani masalah nuklir tersebut.
Pada tanggal 26 Agustus 2011, Kan mengumumkan pengunduran dirinya dan
membuat pemerintahan tidak memiliki perdana menteri, akan tetapi, tidak lama
kemudian Yoshihiko Noda dari DPJ menggantikannya. Setelah Noda berkuasa, ia
secepatnya berusaha untuk memperbaiki hubungan politik partainya dengan birokrasi,
eksekutif bisnis, dan kelompok-kelompok kepentingan yang sebelumnya telah membawa
kelumpuhan dalam keefektifitasan pembuatan kebijakan. Kebanyakan kebijakankebijakan yang diambil oleh Noda saat ini tidak begitu kontroversial dan dia berusaha
untuk bermain aman dan tidak mengambil kebijakan yang tidak populer.
Pergantian pimpinan eksekutif Jepang ini memiliki sisi negatif dan sisi positif. Jika
ditilik lebih dalam, pengunduran diri dari perdana menteri Jepang umumnya dikarenakan
rasa tanggung jawab yang tinggi dan perasaan bersalah karena tidak menjalankan tugas
sebaik-baiknya. Hal ini membuktikan bahwa tercipta sistem tradisional dengan
mengandalkan pemerintahan yang bersih sehingga jika perdana menteri merasa tidak
mampu menjalankan kewajibannya maka ia akan mengundurkan diri. Namun di sisi yang
5
lain, pengunduran diri perdana menteri ini memberikan dampak negatif karena
dinamisme pergantian pucuk pimpinan pemerintah Jepang mengakibatkan tidak
konsistennya kebijakan eksekutif.
Tren pejabat-pejabat Jepang untuk mengundurkan diri menciptakan teori-teori
untuk memahami fenomena ini tidaklah berujung. Kebanyakan berkutat pada stereotip
sederhana mengenai pemusatan kehormatan, menyelamatkan wajah, dan hormat terhadap
budaya Jepang. Namun beberapa hal yang juga perlu diperhatikan otoritas yang kecil
yang dimiliki oleh perdana menteri dalam kabinet. Entah karena alasan pribadi yang
mempengaruhi keputusan mereka, pengaruhnya adalah membangun demokrasi langsung
yang pada akhirnya bersifat radikal. Sangat jelas bahwa Kan merasa bahwa dia
diharapkan untuk mengundurkan diri. Setiap pengunduran diri sebelumnya, memperkuat
norma baru, yaitu jika seorang politisi menjadi tidak populer, dia harus mengundurkan
diri. Kemudian terbentuklah sistem secara otomatis di Jepang.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pemerintah suatu negara memegang peranan yang sangat penting dalam suatu
kebijakan luar negeri suatu negara karena pemerintah adalah aktor utama dalam politik
luar negeri dan hubungan internasional. Pentingnya peranan pemerintah menjadikan hal
ini kemudian penting pula untuk dikaji, terutama jika penekanan masalah ada pada proses
pengambilan kebijakan dan mengenai kebijakan itu sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir ini politik luar negeri Jepang tidak mengalami
perubahan signifikan, namun struktur politik pemerintahan dalam negeri mengalami
perubahan secara berkala, sehingga penulis merasa penting untuk melihat hal tersebut
6
menjadi salah satu masalah yang melatarbelakangi penyusunan skripsi dengan judul
“Dinamisme Eksekutif dan Legislatif dalam Kebijakan Luar Negeri Jepang” ini.
Luasnya cakupan masalah yang dapat dibahas dalam skripsi ini menyebabkan
penyusun merasa perlu untuk memberikan batasan-batasan dalam penegasan objek
pembahasan. Dalam skripsi ini, penulis akan memberikan batasan dalam wilayah
kedudukan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan luar negeri Jepang
dengan dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional. Penulis juga akan membatasinya
dengan hanya mengkaji proses pembuatan kebijakan dalam politik luar negeri Jepang
disertai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan tersebut.
Dengan demikian, dalam pembahasan ini, peranan kaisar, sejarah pemerintahan
Jepang sejak berdirinya sebagai negara, tugas-tugas badan yudikatif secara mendalam,
sifat-sifat sosial budaya dalam masyarakat Jepang tidak akan dibahas lebih lanjut dalam
skripsi ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah penyusun paparkan di atas, penyusun
mengangkat dua masalah yang akan diteliti kemudian, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah interaksi dan dinamisme badan eksekutif dan badan legislatif Jepang
dalam membentuk kebijakan luar negeri?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pemerintah Jepang dalam pengambilan
suatu kebijakan luar negeri, baik itu bersifat domestik maupun internasional?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Secara substantial, terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dengan penilitian ini,
yakni:
1) Mengetahui dinamisme lembaga eksekutif dan legislatif Jepang dalam
pembuatan kebijakan luar negeri dengan latar belakang kepentingan
nasionalnya.
2) Mengetahui pengaruh faktor-faktor eksternal maupun internal negara
terhadap eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan luar negeri
Jepang.
2. Manfaat Penelitian
Terdapat dua manfaat yang diharapkan dapat tercapai melalui penelitian ini, yakni:
1) Manfaat akademis, dimana hasil penelitian diharapkan menjadi salah satu
literatur dalam Ilmu Hubungan Internasional yang dapat memberikan
informasi mengenai kedudukan pemerintah Jepang dalam pembuatan
kebijakan luar negerinya, serta mengenai politik luar negeri Jepang itu
sendiri.
2) Manfaat praktis, dimana dalam manfaat praktisnya proposal ini diharapkan
untuk mengajukan penelitian skripsi yang menjadi tugas akhir bagi
mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional.
8
D. Kerangka Konseptual
Dalam suatu penelitian untuk menghasilkan analisis yang akurat dan terpercaya
maka dibutuhkan praduga-praduga atau hipotesa-hipotesa yang berlandaskan pada suatu
konsep yang jelas sebagai acuan dan titik awal. Sehubungan dengan skripsi ini, penulis
akan menggunakan konsep politik luar negeri untuk memaparkan proses dalam
pembuatan kebijakan luar negeri Jepang. Kebijakan ini kemudian tercipta dengan adanya
kepentingan nasional yang akan menjelaskan kepentingan nasional yang melandasi
lahirnya kebijakan tersebut.
Dalam memenuhi kebutuhan negaranya yang terangkum dalam kepentingan
negara, secara langsung maupun tidak langsung suatu negara akan bergantung kepada
negara lain, dikarenakan suatu negara tidak dapat memenuhi segala kebutuhannya
sendiri. Dengan didasari oleh kepentingan nasional, suatu negara akan menjalankan
politik luar negeri untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Politik luar negeri dapat bersifat konkrit maupun abstrak yang dijalankan dalam
jangka waktu pendek maupun panjang. Menjalankan politik luar negeri membutuhkan
perumusan kebijakan yang didasari oleh kepentingan nasional dan tujuan nasional
dengan menggunakan power dan kapabilitas sebagai alat-alat negara. Pelaksanaan politik
luar
negeri
didahului
oleh
penetapan
kebijaksanaan
dan
keputusan
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor nasional sebagai faktor internal dan faktor-faktor
internasional sebagai faktor eksternal. Selain itu, beberapa keputusan yang kemudian
akan ditetapkan merupakan strategi yang akan diaplikasikan dan instrumen yang akan
digunakan dalam proses untuk mencapai output ataupun sasaran yang telah ditentukan.
Aktor yang memegang peranan utama dalam perumusan kebijakan politik luar
negeri adalah pemerintahan. Setiap negara menghasilkan kebijakan politik yang berbeda
dikarenakan bentuk dan sistem pemerintahan yang berbeda pula, sehingga terbentuklah
9
karakteristik terhadap instrumen-instrumen perumus kebijakannya. Bentuk pemerintahan
melandasi jumlah pemegang kekuasaan suatu negara, sedangkan sistem pemerintahan
melingkupi pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bentuk dan sistem pemerintahan Jepang sekarang ini merupakan bentuk dan sistem
yang meminjam dari negara-negara Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan negaranya.
Jepang mengadopsi sistem pemerintahan modern yang membagi kekuasaan menjadi tiga
bagian: kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasan yudikatif. Model seperti
ini merupakan ajaran trias politica dari Montesquieu, salah satu pemikir politik barat.
Pembagian ini sebenarnya telah dimulai oleh Locke, tetapi Locke tidak mengemukakan
masalah yudikatif. Montesquieu kemudian memperluas pembagian kekuasaannya
dikarenakan anggapan terhadap pemerintah yang menjamin kebebasan rakyatnya dan
pembagian dengan dua pemegeang kekusaan belum cukup untuk menjadi jaminan
tersebut.
Dengan menjadikan pembagian kekuasan berdasarkan konsep trias politica dari
Montesquieu ini sebagai landasan utama dalam pembuatan skripsi ini, dimana penyusun
akan mengaitkan kedudukan dua badan kekuasaan ke dalam proses pengambilan
keputusan politik luar negeri Jepang.
Dalam perjalanannya, skripsi ini memungkinkan untuk memaparkan lebih banyak
hipotesis yang dilandaskan oleh suatu konsep. Terlebih lagi dikarenakan adanya fokus
terhadap dinamisme badan legislatif dan eksekutif dalam pengambilan keputusan serta
faktor internal maupun ekternal dalam merumuskan kebijakan, sehingga penulis akan
mencoba melihat dari berbagai macam konsep berdasarkan fokus skripsi ini.
10
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah bersifat kualitatif yang digambarkan dengan
kata-kata atau kalimat dan bersifat kuantitatif yang dibuat dalam bentuk tabel, grafik,
atau diagram. Penelitian ini menganalisis mengenai tentang peranan, fungsi, serta
kedudukan badan eksekutif dan legislatif dalam pembentukan kebijakan luar negeri
Jepang. Salah satu kendala dalam melakukan penelitian ini adalah memperkecil
cakupan masalah, dikarenakan banyaknya masalah yang dianggap penting namun
memiliki kelemahan untuk diangkat sebagai satu masalah, sehingga menjadikan
penelitian bersifat umum dan deskriptif.
2. Jenis Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini bersifat sekunder, yaitu tidak diperoleh langsung
dari sumbernya melainkan dari kepustakaan, laporan-laporan yang sudah berbentuk
buku, majalah, diklat, berita, atau sumber-sumber yang tidak tertulis.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam usaha pengumpulan yang relevan dengan penelitian, maka cara yang
digunakan adalah mencari data yang bersangkutan dengan variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.
Dengan kelengkapan data, hal ini dapat menjadi dasar yang objektif dalam proses
pembuatan keputusan-keputusan atau kebijakan dengan memecahkan masalah yang
ada. Sedang tujuan dari pengumpulan data adalah untuk mengetahui karakteristik
dari elemen tersebut.
4. Analisis Data
Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan dan menganalisis sistem
pemerintahan Jepang dalam pembuatan kebijakan. Data yang terkumpul kemudian
11
diolah dengan menggunakan cara pemeriksaan data secara akurat, sehingga dalam
penelitian keraguan dan kesalahan akan terminimalisasi.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kepentingan Nasional
Perilaku internasional dapat dicirikan berdasarkan hubungan antarnegara, baik itu
bersifat kerjasama maupun bersifat kompetisi satu sama lain. Walaupun suatu negara
dapat menciptakan ketegangan dengan negara lain disebabkan oleh hubungan
antarnegara yang bersifat kompetisi, namun menjalin hubungan dengan negara-negara
lain tetaplah dibutuhkan. Dapat dikatakan bahwa meskipun negara dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri, akan tetapi suatu negara tetap akan bergantung secara tidak
langsung terhadap negara-negara lain.
Ketergantungan suatu negara akan negara lain diakibatkan oleh keberadaan
kepentingan nasional negara tersebut, dimana kepentingan nasional ini sulit tercapai
tanpa adanya keterlibatan negara lain. Kepentingan nasional merupakan hal yang
mendasari tujuan utama suatu bangsa atau negara dalam menjalin hubungan dengan
negara lain.
Kepentingan nasional meliputi berbagai dimensi yang saling terkait satu dengan
yang lainnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasrun:
Kepentingan nasional biasanya meliputi kepentingan-kepentingan yang berkaitan
dengan keutuhan bangsa dan wilayah, kehidupan ideologi politik, kehidupan
ekonomi, kehidupan sosial budaya, kehidupan pertahanan keamanan, dan
kemampuan politik luar negeri dan diplomasi. Dari hal ini jelas bahwa kepentingan
nasional bersifat dimensional dan masing-masing dimensi berkaitan secara
sistematik dan aplikasinya.2
Kepentingan nasional merupakan cerminan dari kebutuhan-kebutuhan dalam negeri
serta upaya-upaya pemenuhan kebutuhan suatu negara, baik kebutuhan ekonomi, politik,
2
Mappa Nasrun, 1990, Indonesia Relations With The South Pacific Countries; Prospect and Problems,
UNHAS, Makassar, hal 7
13
sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Sehingga dalam menganalisa suatu
perumusan kebijakan politik luar negeri, konsep kepentingan nasional adalah sebuah
konsep yang populer dan lazim untuk digunakan. Konsep ini digunakan dalam
merumuskan keputusan-keputusan yang akan diambil dalam membuat langkah-langkah
politik luar negeri suatu negara.
Kepentingan nasional dapat dilihat secara objektif dan subjektif. Secara objektif
maka kepentingan nasional akan dianggap sebagai perjuangan antara berbagai pendapat
yang sebelumnya bertentangan dan kemudian bersintesis berdasarkan mayoritas rakyat
dan secara subjektif kepentingan nasional merupakan perjuangan hasil atau akibat politik.
Namun, dibandingkan pendekatan-pendekatan yang subjektif dan objektif, akan lebih
baik melihat kepentingan nasional dari hubungan saling mempengaruhi antara ideologi
dan kepentingan nasional.
Dalam satu negara, terkadang sejumlah orientasi ideologi berdampingan dan
terkadang pula saling berkompetisi dalam memperoleh suara publik. Sementara itu,
terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara ideologi dan
kepentingan. Pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan ideologi dan kepentingan
nasional akan berdampingan dan kemudian membentuk keputusan dan tindakan politik
luar negeri. Akan tetapi, terkadang ideologi merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post
facto untuk tujuan-tujuan propaganda.3
Demi memperoleh hasil yang diinginkan berdasarkan kepentingan nasionalnya,
suatu negara akan menciptakan strategi-strategi politik dengan tujuan pencapaian
terhadap apa yang diinginkan. Negara akan bertindak memaksimalkan kepentingan
nasionalnya dengan adanya kemungkinan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah
3
James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, 1999, Introduction to International Relations: Power and
Justice, New Delhi: Prentice Hall, hal.109
14
mereka tentukan, entah sasaran tersebut termasuk hal-hal yang menyangkut politik
tingkat tinggi dalam menjamin kelangsungan hidup negara hingga sasaran-sasaran politik
yang lebih rendah seperti perdagangan, keungan, pertukaran mata uang, dan kesehatan.
Menurut pandangan Morghentau syarat minimum suatu negara adalah kemampuan untuk
melindungi identitas fisik, politik, dan kulturnya dari gangguan negara lain. Dimana
identitas fisik bermakna memelihara integritas wilayahnya, identitas politik bermakna
melindungi rejim politik-ekonominya, dan identitas kultural bermakna melindungi
identitasnya yang bersifat kultural.4
Namun
cakupan
konsep
kepentingan
nasional
tidak
hanya
mengenai
mempertahankan kelangsungan hidup, tetapi juga usaha negara untuk mengejar segala
sesuatu yang yang bisa mengembangkan dan memelihara kontrol terhadap negara lain.
Dalam hal ini, Morghentau mengkonstruksikan dua konsep yaitu kepentingan dan
kekuasaan (power) yang digunakannya sebagai tujuan dan alat dalam tindakan politik
internasional.5
Banyak pertanyaan yang diajukan oleh para ilmuwan politik mengenai kepentingan
nasional dan Hans Morgenthau berusaha untuk menjawabnya dengan pendapatpendapatnya. Hans Morgenthau menganggap bahwa kepentingan nasional merupakan
perpaduan
antara
kepentingan-kepentingan
internal
yang
saling
bertentangan.
Pemerintah, melalui badan-badan perwakilan, bertanggung jawab untuk mendefinisikan
dan mengimplemetasikan politik yang berorientasi kepada kepentingan nasional.
Hans Morgentahu menambahkan bahwa seorang diplomat yang baik adalah
diplomat yang rasional dan berhati-hati. Diplomat seharusnya memiliki kemampuan
untuk menilai atau mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi seseorang dan secara
4
Mochtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin Ilmu dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, hal
141
5
James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, op.cit., hal.141
15
berhati-hati menyeimbangkannya dengan kebutuhan dan aspirasi orang lain. Mengenai
perang, Morgenthau berpendapat bahwa sistem internasional pada dasarnya tidak
harmonis namun tidak menyalahkan peperangan yang sukar dihindari.
Negara menetapkan kepentingan nasionalnya dan menentukan bagaimana
kepentingan tersebut dapat dicapai. Banyak pendapat mengenai kriteria apa yang harus
dimiliki dalam menentukan kepentingan nasional. Secara umum, untuk menentukan
kepentingan nasional suatu negara, ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan
yakni kriteria ekonomi, ideologi, power, keamanan, moralitas, legalitas, kultural dan tipe
pemerintahan. Sementara Coulombis dan Wolfe mengkategorikan definisi kepentingan
nasional ke dalam 10 kategori, yaitu:6
1. Kriteria Filosofi-Operasional
2. Kriteria Ideologi
3. Kriteria Moral dan Hukum
4. Kriteria Pragmatis
5. Kriteria Kemajuan Profesi
6. Kriteria Partisan
7. Kriteria Kepentingan Birokrasi
8. Kriteria Etnik/Rasial
9. Kriteria Kelas dan Status
10. Kriteria Ketergantungan Luar Negeri
Dalam merumuskan kepentingan nasional, hal yang perlu dipertimbangkan adalah
kapabilitas negara tersebut yang kemudian tercakup dalam kekuasaan (power).
Kekuasaan (power) memainkan peranan penting dalam menjalankan strategi-strategi
6
R.Soeprapto, 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi & Perilaku, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal 189
16
terhadap pencapaian kepentingan nasional. Kemampuan suatu negara, yang ditilik dalam
kaitannya dengan kemampuan domestik maupun dalam hubungannya terhadap
kemampuan negara lain, terhimpun membentuk apa yang disebut kekuasaan (power).
Namun kapabilitas ini merupakan definisi kekuasaan (power) yang bersifat statis, jika
memperhatikan interaksi antarnegara serta perilaku-perilaku mereka dalam berinteraksi
maka akan diperoleh cakupan definisi kekuasaan (power) yang bersifat dinamis.
Negara dalam menuangkan kepentingan nasionalnya ke dalam suatu kebijakan
politik luar negeri harus mampu dan menyesuaikan kepentingan nasionalnya dengan
kondisi domestik regional maupun kondisi global yang melingkupinya. Walaupun tidak
terdapat definisi yang jelas dalam mengukur kekuasaan (power) suatu negara, namun
beberapa sarjana politik menciptakan pendapatnya. A.F.K. Organski menyarankan Gross
National Product (GNP) atau pendapatan nasional dapat menjadi ukuran kapabilitas
nasional suatu negara. J. David Singer dan asosiasinya menegaskan bahwa kapasitas
militer, industri, dan demografi sebagai variabel penting yang dibutuhkan untuk
mengindikasikan kapabilitas nasional secara keseluruhan.7
Kapabilitas negara itu sendiri dapat diukur dengan melihat ketahanan nasional dan
kekuatan nasionalnya. Ketahanan nasional berbeda dari pertahanan, karena ketahanan
nasional bermakna ketahanan yang terpadu dari aspek kehidupan bangsa secara utuh dan
menyeluruh mencakup ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan
pertahanan-keamanan. Ketahanan nasional dilandasi oleh kesatuan dan integrasi yang
bersifat dinamis untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dan menjamin kelangsungan
hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara.
7
Quincy Wright, 1980, The Study of International Relations, New York: Free Press, hal 32.
17
Coulombis dan Wolfe membagi unsur-unsur kekuatan nasional dua kategori atau
penggolongan8:
•
Tangible elements (yang konkrit nyata wujudnya dan dapat diukur)
1. Populasi (jumlah penduduk)
2. Luas wilayah (termasuk letak-letak geopolitik atau geostrategik)
3. Sumber alam dan kapasitas industri
4. Kapasitas Produksi pertanian
5. Kekuatan dan mobilitas militer
•
Intangible elements (tidak dapat diukur)
6. Kepemimpinan nasional (leadership and personality)
7. Pendayagunaan (efisiensi) organisasi-birokrasi
8. Tipe dan gaya pemerintahan
9. Keterpaduan masyarakat (social cohesiveness)
10. Diplomasi, dukungan luar negeri, dan kebergantungan
11. Peristiwa-peristiwa tertentu
Kepentingan nasional merupakan visi negara yang dibentuk dari unsur-unsur vital
negara itu sendiri, namun hal ini tidak berarti bahwa kepentingan nasional bukan buatan
manusia. Kepentingan nasional sering digunakan sebagai doktrin satu negara dalam
rangka kepatuhan masyarakat negara tersebut sehingga tercipta ketertiban yang lebih
besar dengan skala internasional. Kepentingan nasional memiliki kesamaan dengan
tujuan nasional, akan tetapi hakikatnya berbeda. Tujuan-tujuan nasional (national
objectives, national goals) umumnya berjangka panjang, lebih mendasar, memiliki
cakupan luas, cenderung filosofis, dan bersifat makro. Sedangkan kepentingan nasional
8
Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc., 2002, Studi Strategis: Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca
Perang Dingin, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 114
18
(national interest) merupakan turunan atau derivasi dari tujuan nasional secara lebih
spesifik, terbatas cakupannya atau berfokus kepada program tertentu, cenderung praktis
(tidak filosofis), dan mudah berubah guna disesuaikan dengan dengan tuntutan zaman
atau persepsi mayoritas.9 Sehingga walaupun dalam merangkum kepentingan nasional,
kapabilitas yang bersifat statis seperti letak geografi merupakan salah satu hal yang patut
untuk diperhitungkan, tetapi kepentingan nasional itu sendiri bersifat dinamis dan
berubah-ubah sesuai waktu, situasi, dan kondisi.
Setiap negara mereflesikan sesuatu yang berbeda ketika berinteraksi dalam
lingkungan internasional. Untuk menciptakan hubungan yang tertib di dunia
internasional dalam pencapainnya akan tujuan-tujuan nasionalnya, salah satu hal yang
perlu untuk dilakukan adalah menetapkan rumusan prioritas kepentingan nasional.
Menurut Robinson, terdapat beberapa klasifikasi yang membagi kepentingan nasional,
yaitu:
1. Primary Interest, dalam kepentingan nasional ini perlindungan atas
wilayah, negara, identitas politik, kebudayaan dan kelanjutan hidup bangsa
terhadap berbagai gangguan dari luar. Semua negara mempunyai
kepentingan ini dan sering dipertahankan dengan pengorbanan besar
sehingga pencapaian kepentingan primer ini tidak pernah dikompromikan.
2. Secondary Interest, kepentingan selain kepentingan primer tetapi cukup
memberikan konstribusi, seperti melindungi warga negara di luar negeri
dan mempertahankan kekebalan diplomatik di luar negeri.
3. Permanent Interest, merupakan kepentingan yang bersifat konstan dalam
jangka waktu yang cukup lama.
9
Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, op.cit, hal 116
19
4. Variable Interest, merupakan kepentingan yang bersifat kondisional dan
dianggap penting pada suatu waktu tertentu.
5. General Interest, kepentingan yang diberlakukan untuk banyak negara atau
untuk beberapa bidang khusus seperti dalam bidang perdagangan dan lainlain
6. Specific Interest, kepentingan yang tidak termasuk kepentingan umum,
namun biasanya diturunkan dari sana.
Pada hakekatnya kepentingan nasional suatu negara merupakan akumulasi dari
kepentingan-kepentingan individu yang berdiam di wilayah negara-bangsanya. Namun
dalam aplikasinya, kepentingan nasional secara umumnya dirumuskan oleh pemegang
kekuasaan negara, dalam hal ini pemerintah. Seorang teoritisi hubungan internasional
Inggris yang terkenal bernama Hugh Seton-Watson, pernah mengatakan bahwa ungkapan
“kepentingan nasional” tidak memuaskan karena yang membuat politik luar negeri
adalah pemerintah, dan bukan negara bangsa.10
Perumusan kepentingan nasional oleh pemerintah sehingga menyebabkan adanya
persamaan definisi kepentingan nasional dengan raison d’etat, dimana raison d’etat ini
dipergunakan oleh golongan yang sedang berkuasa untuk terus berkuasa.11 Pihak-pihak
yang berkuasa menggunakan raison d’etat dengan alasan kelangsungan hidup walaupun
kecenderungan lebih kepada kepentingan penguasa itu sendiri. Dengan ini menyebabkan
adanya garis kabur antara kepentingan nasional dan kepentingan para perumus kebijakan,
sehingga kepentingan nasional terkadang disimpulkan menjadi fakta-fakta dan angkaangka menjadi lebih rasional dan empiris.
10
James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, op.cit, hal.110
Suffri Jusuf S.H, 1989, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal
78
11
20
Perumusan kepentingan nasional oleh pemerintah pada dasarnya tidak dapat
dihindari. Suatu negara yang berpenduduk banyak terutama jika bersifat multikultural,
memiliki kecenderungan pertentangan dalam menyatukan kepentingan-kepentingan
politiknya. Pemerintah, sebagai badan perwakilan dari masyarakatnya, kemudian
bertanggung jawab untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan politik yang
berorientasi kepada kepentingan nasional. Konsep kepentingan nasional juga dijelaskan
oleh Seabury bahwa:
Istilah kepentingan nasional berkaitan dengan beberapa kumpulan cita-cita tujuan
suatu bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan negara lain,
dengan kata lain gejala tersebut merupakan suatu normatif, atau konsep umum
kepentingan nasional. Arti kedua yang sama pentingnya biasa bersikap deskriptif,
dalam pengertian deskriptif, kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang
harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah.
Kepentingan nasional dalam pengertian deskriptif berarti memindahkan metafisika
ke dalam fakta (kenyataan). Dengan kata lain kepentingan nasional serupa dengan
para perumus politik luar negeri.12
Kepentingan nasional yang merupakan tujuan dan faktor penentu akhir sering
dijadikan tolak ukur atau kriteria pokok yang mengarahkan para pembuat keputusan
(decision makers) dari suatu negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap dan
tindakan dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (foreign policy). Setiap langkah
perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta
melindungi, apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai kepentingan nasional itu.
Kepentingan nasional melukiskan aspirasi negara, dan untuk mewujudkan kepentingan
nasionalnya diperlukan kebijaksanaan, keputusan dan rencana dalam aplikasinya agar
dapat menetapkan sasaran-sasaran yang akan dicapai melalui berbagai tindakan yang
menunjukkan adanya kebutuhan, keinginan dan tujuan.13
12
13
KJ Holsti, 1987, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Bina Cipta, Bandung, hal 32
Mochtar Mas’oed, op.cit, hal 150
21
B. Konsep Politik Luar Negeri
Negara-negara berinteraksi dan membentuk pola hubungan internasional untuk
pencapaian terhadap kepentingan nasional dan tujuan nasional. Demi pencapaian ini,
aktor-aktor politik kemudian merancang dan mengatur strategi yang kemudian disebut
politik luar negeri. Politik luar negeri merupakan formulasi konkret yang dirancang
dengan menghubungkan kepentingan nasional terhadap kondisi internasional yang
sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk mencapainya.
Politik luar negeri pada dasarnya merupakan action theory, yang berarti
kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu
kepentingan tertentu. Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad memahami konsep
politik luar negeri adalah dengan jalan memisahkannya ke dalam dua komponen:
Politik (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk
bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran
yang telah ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep pilihan
(choices): memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai
suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan
membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti
control atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar
negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang
ditujukan ke luar wilayah suatu negara.14
Politik luar negeri bertujuan untuk mencitrakan keadaan dan kondisi di masa depan
suatu negara disertai usaha perumus kebijakan dalam memperluas pengaruhnya kepada
negara-negara lain dengan cara mengubah atau mempertahankan tindakan negara lain.
Berdasarkan sifatnya, tujuan politik luar negeri bersifat konkret dan abstrak. Sedangkan
ditinjau dari segi waktunya, tujuan politik luar negeri dapat bertahan lama dalam suatu
periode waktu tertentu dan dapat pula bersifat sementara, sesuai dengan perubahan yang
14
Anak Agung Banyu & Yanyan Mochamad, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, hal.47
22
terjadi dan kondisi yang saat itu. K.J. Holsti memberikan tiga kriteria untuk
mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu:15
1. Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan
2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan, apakah bersifat jangka pendek, jangka menengah, maupun
jangka panjang.
3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.
Untuk memahami politik luar negeri, seringkali kendala yang muncul tidak didasari
oleh kurangnya informasi namun lebih disebabkan oleh kurang dapat memilih informasi
yang diperlukan bagi perumusan politik luar negeri. Oleh karena itu, para akademisi
politik telah mengembangkan berbagai pendekatan dan model-model perumusan atau
pembuatan politik luar negeri. Pembuatan keputusan dianggap sebagai tindakan memilih
alternatif yang ada dengan berbagai ketidakpastian.
Lovel berasumsi bahwa dalam menjalankan politik luar negeri, fokus perhatian
lebih ditekankan kepada interaksi ataupun transaksi antar pihak-pihak yang terlibat
disertai dengan persepsi elit, strategi negara-bangsa, dan kapabilitas yang dimiliki oleh
negara tersebut.16
Menjalankan politik luar negeri membutuhkan perumusan kebijakan yang didasari
oleh kepentingan nasional dan tujuan nasional dengan menggunakan power dan
kapabilitas sebagai alat-alat negara. Pelaksanaan politik luar negeri didahului oleh
penetapan kebijaksanaan dan keputusan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
nasional sebagai faktor internal dan faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal.
Selain itu, beberapa keputusan yang kemudian akan ditetapkan merupakan strategi yang
15
Anak Agung Banyu & Yanyan Mochamad, op.cit, hal.51
John P.Lovel, 1970, Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making, Holt, Rinehart
and Winston, Inc., New York, hal 71.
16
23
akan diaplikasikan dan instrumen yang akan digunakan dalam proses untuk mencapai
output ataupun sasaran yang telah ditentukan. Salah satu pemikir, Holsti, yang mengkaji
politik luar negeri berpandangan bahwa politik luar negeri sebagai output kebijakan luar
negeri, tindakan atau ide yang dirancang oleh para pembuat keputusan untuk
memecahkan suatu masalah atau melancarkan perubahan dalam lingkungan yaitu
kebijakan, sikap atau tindakan suatu negara.17
Tidak dapat disangkal jika kurangnya informasi menyulitkan negarawan untuk
memahami politik luar negeri, namun masalah yang lebih menyulitkan adalah kurangnya
kemampuan dalam memilih informasi ataupun masukan yang diperlukan bagi perumusan
politik luar negeri. Para akademisi politik telah mengembangkan berbagai pendekatan
dan model-model perumusan atau pembuatan politik luar negeri. Pembuatan keputusan
ini dilakukan dengan memilih alternatif yang ada dengan berbagai ketidakpastian. Tidak
hanya memfokuskan kepada transaksi dan interaksi antar pihak-pihak yang terlibat, teori
pembuatan keputusan dalam konsep politik luar negeri juga melihat pengaruh faktor
internal dan eksternal terhadap perilaku politik luar negeri.
Hal-hal yang berada dalam cakupan faktor internal dan faktor eksternal sebenarnya
hampir sama, yaitu masyarakat, budaya, dan lingkungan. Masyarakat dalam cakupan
faktor internal sangat perlu untuk diperhatikan dikarenakan suatu negara merumuskan
kepentingan nasionalanya berdasarkan kebutuhan masyarakatnya, yang kemudian nanti
hal ini melandasi bentuk politik negeri negara tersebut. Sama halnya untuk cakupan
faktor eksternal, dengan melihat keinginan masyarakat internasional, kebijakan luar
negeri dapat diambil untuk menciptakan keefektifitasan dalam menjalankannya.
Namun hal yang paling perlu untuk diperhatikan dalam memahami faktor eksternal
adalah budaya dan lingkungan, dikarenakan suatu negara haruslah memahami budaya
17
K.J.Holsti, op.cit, hal.135
24
dan lingkungan internasional yang kemudian terangkum ke dalam suatu sistem yang
bersifat dinamis. Dimana suatu negara akan memperhitungkan lingkungan internasional
yang sedang mereka hadapi untuk merumuskan kebijakan luar negerinya dan kebijakan
luar negeri ini akan mempengaruhi lingkungan internasional dengan mengambil peran
dalam sistem yang telah terbentuk sehingga terjadi dinamika lingkungan dan budaya.
Lingkungan dan budaya dalam faktor internal dapat dipahami dengan melihat
sistem pemerintahan dan perilaku serta struktur sosial dalam negara tersebut. Hal ini
dapat ditinjau dengan melihat orientasi nilai yang umum dalam masyarakat, pola-pola
yang terbentuk secara institusional, karakteristik organisasi sosial dan juga politiknya,
perbedaan peranan dalam masyarakat, fungsi, pembentukan opini masyarakat, dan proses
politik
25
Gambar 1: Model Decision-Making Politik Luar Negeri
A
Internal setting of
Decision Making
F
External Setting of Decision
Making
1
Non-Human Environ
ment
1
Non-Human Environment
2
Society
2
Other Cultures
3
Human Environment
Culture Population
3
Other Societies
4
Societies Organized and
Functioning as States
Government Action
B
Social Structure and Behaviour
1
Major Common Value
Orientations
2
Major Institutional Patterns
3
Major Characteristic of
Social Organizations
4
Role Differentation and
Specialization
5
Groups: Kinds and Functions
6
Relevant Social Processes
(a) Opinion Formation
(b) Adult Socialization
(c) Political
Decision Making Process
Decision Makers
Action
Sumber: DR. Anak Agung Banyu Perwita & DR. Yanyan Mochamad Yani, 2005,
Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya Bandung, hal. 65
26
Menurut Robert Cox dan Harold Jacobson, organisasi yang bersifat internasional
memiliki klasifikasi dalam proses pengambilan keputusan yang dibedakan menjadi:
representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions, operating
decisions, rule-supervisory decisions, boundary decisions, symbolic decision.18
Representational decision, merupakan keputusan yang akan berdampak terhadap
keanggotaan maupun perwakilan dalam organisasi. Keputusan ini meliputi pengangkatan
dan pengeluaran anggota, pengesahan mandat, dan penentuan wakil-wakil yang
mempresentasikan organisai tersebut dalam badan-badan eksekutif serta komite.
Programmatic decision, merupakan keputusan yang diambil dari hasil negosiasi antar
aktor-aktor yang berhubungan dengan tujuan terhadap program-program organisasi.
Rule-creating decision, merupakan keputusan yang dibuat dalam pembentukan aturanaturan dalam organisasi. Keputusan yang dihasilkan bersifat konvensi, persetujuan
maupun resolusi.
Keputusan lainnya, boundary decision merupakan keputusan yang diambil dalam
penekanannya terhadap hubungan eksternal organisasi dengan struktur internasional serta
struktur regional. Rule-supervisory decision, merupakan keputusan-keputusan yang
meliputi berbagai prosedur dari suatu struktur yang tertinggi hingga struktur yang paling
rendah. Proses pengambilan keputusannya melalui 3 tahapan, yaitu: pengumpulan
informasi, pembuktian terhadap pelaksanaan ataupun pelanggaran aturan, serta
pemberian sanksi ataupun hukuman terhadap pelanggaran peraturan. Symbolic decision,
merupakan keputusan yang didasarkan isu-isu simbolik terhadap penerimaan ideologi
yang didukung oleh suatu kelompok ataupun legitimasi yang telah diterima oleh elit
dominan. Sedangkan operational decision merupakan keputusan yang diambil dalam
18
Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, op.cit, hal 79
27
rangka penggunaan sumber-sumber organisasi berdasarkan aturan-aturan yang disetujui
serta kebijakan dari program-program yang telah disetujui.
Pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam merumuskan
kebijakan dilakukan dengan menelaah sebab-akibat yang mungkin ada dalam
pembentukan kebijakan, sehingga menyebabkan kebijakan sebagai “variabel terikat” dari
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan sebagai “variabel bebas”. Untuk politik luar
negeri sendiri, terdapat tiga kategori utama keputusan yang terbentuk dikarenakan
“variabel bebas”:19
1.
Keputusan yang bersifat pragmatis (terencana) adalah keputusan besar yang
mempunyai
konsekuensi
jangka
panjang,
membuat
studi
lanjutan,
pertimbangan dan evaluasi yang mendalam mengenai seluruh opsi alternatif.
2.
Keputusan yang bersifat krisis adalah keputusan yang dibuat selama masamasa terancam berat; waktu untuk menanggapinya terbatas; dan ada elemen
yang mengejutkan yang membutuhkan respon yang telah direncanakan
sebelumnya.
3.
Keputusan yang bersifat taktis adalah keputusan penting biasanya bersifat
pragmatis, memerlukan revaluasi, revisi dan pembalikan.
James N.Rosenau memberikan suatu pedoman praktis yang dirancang untuk
membantu penelaahan terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi pembuatan
kebijakan dalam politik luar negeri.20 Rosenau mengelompokkan variabel-variabel
tersebut dalam 5 kategori:
1. Variabel Ideosinkretik. Variabel ini berhubungan dengan persepsi, image, dan
karakteristik pribadi si pembuat keputusan. Karakteristik psikologis dan
19
20
James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, op.cit., hal.128
Ibid, hal.129.
28
predeliksi (kegemaran) para pemimpin terhadap ideologi serta para pembuat
dan pelaksana politik mempunyai pengaruh tertentu terhadap hasil politik.
2. Variabel Peranan. Variabel ini biasanya sebagai gambaran pekerjaan atau
sebagai
aturan-aturan
perilaku
yang
diharapkan
bagi
elit-elit
yang
mempengaruhi, merumuskan, dan melaksanakan kebijaksanaan. Terlepas dari
psikologis seseorang, apabila dia memegang peranan yang spesifik, maka hasil
perilakunya dimodifikasi oleh harapan dan ekspektasi public terhadap perilaku
tadi.
3. Variabel Birokratis. Variabel ini terkait dengan struktur dan proses
pemerintahan serta efeknya terhadap politik luar negeri. Pembuat kebijakan
mengambil keputusan dengan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi atau
birokrasi dimana ia terlibat di dalamnya. Unit-unit birokrasi dalam suatu
negara secara konstan bersaing untuk melestarikan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan birokrasi tersebut dan untuk memaksimasi keterlibatan dan
pengaruhnya dalam proses pembuatan keputusan sehingga program-program
dan kegiatan-kegiatannya berjalan lancar dan kemungkinan mereka tetap dapat
menikmati kekuasaan serta hak-hak istimewa yang mungkin mereka peroleh.
4. Variabel Nasional. Kategori ini terlingkupi oleh atribut nasional yang
mempengaruhi hasil politik luar negeri dalam pembuatan kebijakan. Hal ini
ditandai oleh unsur-unsur power yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata
(intangible)
5. Variabel Sistematik. Dalam kategori ini kita bisa memasukkan seluruh struktur
dan proses internasional. Para teoritisi hubungan internasional tradisionalis dan
yang berorientasi scientific berasumsi bahwa politik luar negeri adalah
29
sekumpulan
respons
(tanggapan)
terhadap
tantangan-tantangan
dan
kesempatan eksternal.21
Hubungan antara teori dan kebijakan sangat kompleks, dikarenakan suatu teori
belum dapat dipastikan menjelaskan suatu kebijakan, di mana umumnya terdapat
beberapa pilihan yang berbeda. Akan tetapi pemilihan terhadap teori akan mempengaruhi
pemilihan kebijakan, dikarenakan setiap teori menekankan pada nilai-nilai sosial yang
berbeda. Pendekatan realis menekankan pada isu-isu yang berkaitan dengan pertahanan
dan pertentangan yang tidak dapat dihindari antara negara-bangsa, dan akibat-akibat yang
telah diperhitungkan berdasarkan power negara tersebut. Di lain pihak, untuk yang
menaruh perhatian pada pertanyaan-pertanyaan yang bersifat multilateral akan
mengambil pendekatan liberal, yang menekankan pada lembaga internasional (PBB atau
WTO) dengan tujuan untuk mengurangi konflik internasional dan mempromosikan
pemahaman dan kepentingan bersama. Dan pendekatan yang berikutnya, para sarjana
yang menekankan pentingnya kekayaan dan kesejahteraan sosioekonomi sebagai tujuan
pusat dalam menjalankan politik luar negeri akan mengambil pendekatan International
Political Economy (IPE). Untuk mereka, promosi terhadap sistem ekonomi internasional
yang stabil dan mendukung pertumbuhan ekonomi dan proses kesejahteraan merupakan
tujuan utama.
Dalam menganalisa pembuatan kebijakan luar negeri, terdapat beberapa
pendekatan ataupun teori yang dapat digunakan22:
1. Pendekatan tradisional yang melibatkan pengetahuan terhadap kebijakan
eksternal pemerintahan dengan melihat sejarah serta latar belakang,
memahami kepentingan dan perhatian yang mengantarkan kebijakan
21
Ibid, hal. 136.
Robert Jackson & Georg Sorensen, 2007, Introduction to International Relations: Theories and Approaches,
Oxford University Press, New York, hal. 224
22
30
tersebut,
dan
memikirkan
kepentingan-kepentingan
berbagai
tersebut.
cara
Dalam
dalam
mempertahankan
menganalisa
kebijakan
menggunakan pendekatan ini dibutuhkan kemampuan untuk mengenali
keadaan yang membuat pemerintah harus menjalankan politik luar
negerinya dan menggunakan penilaian dalam menaksir cara terbaik dan
tindakan-tindakan yang dapat digunakan dalam menjalankan kebijakan.
Pendekatan ini memperjelas perbedaan kebijakan domestik dan aktifitas
kedaulatan bangsa yang didefinisikan sebagai high politics.
2. Pendekatan komparasi, di mana James Rosenau (1966) mengidentifikasi
sumber-sumber yang relevan dan memungkinkan dalam pembuatan
keputusan luar negeri, yaitu: variabel-variabel idiosinkratik, peran,
pemerintah, masyarakat, dan sistem.
3. Pendekatan struktur dan proses birokrasi yang berfokus pada pembuatan
keputusan organisasi, yang dilihat dari perintah dan tuntutan tata cara
birokrasi di mana keputusan dibuat.
4. Pendekatan psikologi dan proses kognitif. Pendekatan ini melihat aspek
psikologi dan persepsi dari aktor-aktor politik secara individu. Menurut
Robert Javis, aktor politik cenderung melihat apa yang mereka inginkan
bukan apa yang sebenarnya sedang terjadi dikarenakan mereka dituntun
oleh kepercayaan yang telah ada dan berakar dalam diri mereka.
Pendekatan ini membutuhkan perhatian terhadap karakteristik pembuat
keputusan dalam hal pengalaman akan isu luar negeri, gaya politik, sosial
politik, dan pandangannya terhadap dunia untuk memahami bagaimana
pemimpin menjalan politik luar negeri.
31
5. Pendekatan multidimensi, yang telah berkembang selama 2 hingga 3
dekade, menekankan bahwa tidak terdapat satu teori besar yang dapat
mencakup keseluruhan aktifitas politik luar negeri.
6. Pendekatan yang fokus terhadap peranan wacana dan idealisme,
dikarenakan identitas mengakar pada idealisme dan wacana yang menjadi
dasar definisi dari kepentingan yang kemudian terbentang menjadi
kebijakan politik luar negeri.
Untuk mempelajari kebijakan politik luar negeri, Kenneth Waltz memperkenalkan
level analisis penyebab perang yang juga dapat digunakan dalam pencarian akan
penjelasan kebijakan politik luar negeri, yaitu: level sistemik, level negara-bangsa, dan
level individu.23 Level individu dan level negara-bangsa menggambarkan kekuatan
dalam dunia politik, sedangkan tanpa level sistemik mustahil untuk menaksir
kepentingan dan prediksi mengenai akibat yang akan terjadi.
Level sistemik menjelaskan kebijakan luar negeri dengan merujuk kepada kondisi
sistem internasional yang memaksa atau menekan negara-negara sehingga bertindak
sesuai dengan cara-cara tertentu. Penggunaan teori ini pertama-tama memaparkan
kondisi yang berlaku dalam sistem internasional, mereka kemudian membentuk
hubungan yang masuk akal antara kondisi tersebut dengan perilaku-perilaku kebijakan
politik luar negeri suatu negara yang sebenarnya. Kondisi sistem internasional dapat
dilihat dari distribusi power di antara negara bangsa dan ketergantungan ekonomi serta
politik mereka.
Cara untuk memahami kondisi sistem internasional adalah dengan mengetahui
konsep-konsep yang membaginya, salah satunya adalah realisme. Realisme memberikan
pemahaman anarkisme di dalam sistem internasional dengan adanya kompetisi antara
23
Ibid, hal 229
32
negara-negara demi power dan keamanan. Namun anarkisme ini sendiri kemudian
terbagi dua menjadi anarkisme yang bersifat offensive dan defensive. Realis offensive
mempercayai bahwa negara-negara mencari kesempatan untuk memperoleh power yang
akan merugikan rivalnya dan untuk mendapatkan keuntungan dari kondisi tersebut.
Untuk realis defensive, negara-negara pada umumnya puas dengan balance of power
yang berlaku ketika balance of power melindungi keamanannya.
Salah satu cara untuk memahami suatu analisis dengan menggunakan level negarabangsa adalah mengetahui hubungan antara aparat negara dan masyarakat yang
mengitarinya. Hubungan ini penting dikarenakan fungsinya dalam memaparkan
kemampuan pemerintah untuk memobilisasi dan mengatur sumber daya yang merupakan
power negaranya. Hal yang juga perlu dipahami dalam melihat level ini adalah tipe
pemerintahan – demokratik atau otoritarian – dan susunan birokrasi aparat negara.
Perlu ditekankan pula bahwa pilihan-pilihan akan kebijakan politik luar negeri
dibuat oleh pemimpin-pemimpin dan elit-elit politik yang sebenarnya, sehingga persepsi
mereka terhadap power yang berperan besar dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini
level individu pembuat keputusan berpengaruh besar dalam pertimbangan akan analisi
kebijakan politik luar negeri, karena level ini berfokus kepada pemikiran pembuat
keputusan, kepercayaan dasar yang dimilikinya, dan prioritas personalnya.
Pembuatan kebijakan politik luar negeri tidak dapat terlepas dari politik domestik
(program-program partai politik dan perbaikan ekonomi). Politik domestik dan politik
internasional (perang, program bantuan militer dan aliansi). Politik domestik dan politik
internasional saling mempengaruhi satu sama lain, dimana sebelum merumuskan
kebijakan para perumus kebijakan mempertimbangkan kejadian-kejadian eksternal dan
tuntutan internal. Hal-hal yang diinginkan oleh masyarakat perlu diperhatikan dan
33
diakomodasikan oleh perumus kebijakan dengan mempertimbangkan hal-hal yang
sedang terjadi di dunia internasional.
Terdapat beberapa aktor yang memainkan peranan di wilayah perpolitikan luar
negeri dalam merumuskan kebijakan suatu negara, namun aktor utama selalu dipegang
oleh negara yang direfleksikan oleh pemerintah. Setiap negara menghasilkan kebijakan
politik yang berbeda dikarenakan bentuk dan sistem pemerintahan yang berbeda pula,
sehingga terbentuklah karakteristik terhadap instrumen-instrumen perumus kebijakannya.
Bentuk pemerintahan melandasi jumlah pemegang kekuasaan suatu negara, sedangkan
sistem pemerintahan melingkupi pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Prinsip pembagian kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif terangkum dalam
konsep trias politica. Konsep ini membagi fungsi badan-badan yang berbeda menurut
sifatnya, namun tetap bekerjasama untuk kelancaran organisasi. Pertama kali
dikemukakan oleh John Locke (1632 – 1704) yang kemudian disempurnakan oleh
Montesquieu (1689 – 1755). Montesquieu membagi kekuasaan ke dalam tiga badan:
kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rulemaking function),
kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application
function), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undangundang (rule adjudication function)24.
Pembagian kekuasaan ini kemudian menjadi beragam berdasarkan bentuk dan
sistem pemerintahan negara yang mengaplikasikannya. Bentuk pemerintahan yang
bersifat monarki absolut meletakkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif-nya
kepada satu badan yang disebut raja atau kaisar. Namun, umumnya negara-negara
dewasa ini mendistribusikan kekuasaan tersebut ke dalam tiga badan. Sedangkan jika
24
Prof. Miriam Budiarjo, 2002, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 151
34
menilik sistem pemerintahannya, akan terpaparkan interaksi ketiga badan tersebut
dimulai dari perluasan fungsi-fungsinya dan bagaimana mereka bergantung antar satu
sama lain.
35
BAB III
GAMBARAN UMUM SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN JEPANG
A. Sistem Politik dan Pemerintahan Jepang
Jepang memiliki pemerintahan berbentuk monarki konstitusional dengan sistem
pemerintahan parlementer dua kamar. Dengan mengaplikasikan sistem multipartai,
Jepang membuktikan bahwa mereka menjunjung tinggi demokrasi. Setelah perang,
Jepang mengalami stabilitas dalam bidang ekonomi yang menunjukkan kinerja
pemerintah dalam memimpin negara. Pemerintahan Jepang tersusun atas badan eksekutif
yang bertanggung jawab kepada badan legislatif dan badan yudisial yang independen.
Konstitusi Jepang merupakan produk masa pendudukan Amerika Serikat setelah
perang dunia kedua, sehingga konsep yang terdapat di dalamnya akan diwarnai dengan
konsep yang juga diterapkan oleh Amerika Serikat. Namun Jepang menggabungkan
materi konstitusi yang diaplikasikannya dari konsep yang dimiliki oleh Amerika Serikat
dan Inggris.
Konstitusi Jepang yang terdiri dari sebuah mukadimah, 11 bab, dan 103 pasal,
mengatur hak-hak dan kewajiban masyarakatnya yang dirangkum dalam 31 pasal pada
bab ketiga. Penekanan lebih kuat terhadap hak-hak dibandingkan kewajiban dengan
jaminan hak-hak sipil, politik, dan sosial kepada masyarakat Jepang. Secara luas,
konstitusi Jepang mencakup jaminan kebebasan berpendapat, berbicara, berkumpul, dan
beragama; persamaan gender; hak untuk bekerja; dan hak untuk memelihara standar
minimum kesehatan dan kehidupan berbudaya.
36
Selain menjamin keberlangsungan hidup masyarakat, konstitusi Jepang juga
menetapkan jalannya pemerintahan. Konstitusi mengatur tiga badan pemerintahan, yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sehingga pada aplikasi dan praktek politiknya
kekuasaan Kaisar sebatas menjadi simbol negara dan pemersatu masyarakat. Kedudukan
Kaisar dalam konstitusi dijelaskan pada bab pertama dan pada tanggal 1 Januari 1946
Kaisar
sendiri
menjelaskan
kepada
rakyatnya
tentang
kedudukannya
dalam
pemerintahan, sambil menekankan bahwa Kaisar Jepang adalah manusia biasa yang tidak
boleh disamakan dengan Tuhan atau Dewa.25 Pembatasan kekuasaan Kaisar dalam
konstitusi menyebabkan Kaisar bertugas sebagai kepala negara dalam hal-hal yang
bersifat seremonial dan diplomasi, namun tidak memegang kekuasaan yang
sesungguhnya untuk memerintah.
Kaisar Jepang yang saat ini menduduki tahta adalah Akihito dengan Pangeran
Naruhito sebagai pewarisnya. Tugas-tugas Kaisar Jepang bersifat simbolik, seperti
melantik Perdana Menteri yang diangkat oleh Diet dan hakim Mahkamah Agung yang
diangkat oleh kabinet; mengumumkan amandemen konstitusi, hukum-hukum lain, dan
perjanjian-perjanjian internasional; menghadiri pertemuan House of Representatives;
memproklamasikan pemilihan Diet; mengesahkan penunjukan dan pembubaran menterimenteri negara dan pegawai-pegawai negeri yang memiliki kedudukan penting; dan
memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berprestasi.
Seorang Kaisar tidak dapat pensiun sehingga ketika ia sakit secara fisik maupun
mental dan tidak dapat menjalankan tugasnya seperti yang dipaparkan oleh konstitusi
maka bupati (chiijisan) diangkat oleh Imperial Household Council. Jika kaisar
meninggal, maka keturunan lelakinya menggantikannya menduduki tahta berdasarkan
25
Abdul Irsan , 2005, Politik Domestik, Global, & Regional, Hasanuddin University Press, Makassar, hal 56.
37
urutan yang telah disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Imperial
Household Law: anak laki-laki pertama kaisar yang terdahulu dan keturunan lelakinya,
anak laki-laki kedua kaisar dan keturunan lelakinya, anak laki-laki kaisar lainnya dan
keturunan lelaki mereka, saudara laki-laki kaisar dan keturunan lelaki mereka, dan
paman-paman kaisar dan keturunan lelaki mereka.26
Tidak hanya melucuti kekuatan politik Kaisar, konstitusi tahun 1947 memperjelas
pemegang kekuatan politik sebenarnya, yaitu Diet atau parlemen. Diet memegang
kekuasaan tertinggi di antara tiga badan pemerintahan karena fungsinya sebagai badan
legislatif. Diet bertugas mengemukakan rencana dan mengesahkan konstitusi yang
menjadi dasar negara Jepang, bahkan dapat mengarahkan Kaisar dalam hal penunjukan
dan pemecatan ketua-ketua eksekutif dan anggota-anggota yudisial.
Diet memiliki dua majelis, yaitu House of Representatives (Kokkai) sebagai majelis
rendah dan House of Councillors (Sangiin) sebagai majelis tinggi. Ketika Jepang
diduduki, Amerika Serikat menghendaki Jepang untuk memiliki parlemen dengan sistem
satu kamar, namun para pemimpin Jepang memutuskan untuk membentuk House of
Councillors. Pemimpin politik Jepang menginginkan House of Councillors yang setara
dengan majelis tinggi menjadi lembaga legislator independen dan lebih mengutamakan
kepentingan nasional serta bertindak sebagai aktor pengimbang terhadap parlemen atau
majelis rendah yang biasanya cenderung mengambil keputusan yang cepat.27
Kedua majelis dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum tetapi berdasarkan
UUD Jepang, House of Representatives memiliki kekuasaan otonomi sehingga terdapat
kekuasaan yang lebih dibandingkan House of Councillors dalam kewenangan atas
26
Haruhiro Fukui, “Japan’s Government”, Encyclopedia Americana , (Connecticut: Scholastic Library
Publishing, Inc, 2004), hal 804.
27
Ibid, hal 805.
38
beberapa jenis rancangan undang-undang, persidangan masalah anggaran, pengesahan
perjanjian, pemilihan Perdana Menteri, pengesahan UU, dan sebagainya. Akan tetapi
House of Representatives dapat dibubarkan oleh kabinet sebelum berakhirnya masa
jabatan, melalui keputusan sepihak kabinet ataupun diterimanya resolusi mosi tidak
percaya oleh majelis untuk kabinet.
Pada masyarakat Jepang, orang yang telah berumur 20 tahun ke atas berhak
memilih wakilnya untuk Diet. Untuk menjadi anggota House of Representatives, maka
kandidat harus berumur 25 tahun ke atas. House of Representatives memiliki 480 anggota
yang dipilih berdasarkan suara terbanyak dan menjalankan empat tahun masa jabatan,
namun terdapat kondisi dimana mereka dapat dibubarkan. Tiga ratus perwakilan dipilih
langsung dari 300 pemilihan distrik. Seratus delapan puluh anggota lainnya dipilih
berdasarkan sistem perwakilan berimbang yang memberikan kursi kepada partai politik
berdasarkan suara yang diperoleh. Sedangkan House of Councillors memiliki 252
anggota dengan masa jabatan enam tahun dan salah satu syarat kandidat adalah berumur
30 tahun ke atas. Mereka dipilih dengan dua cara yaitu 100 anggota dengan Jepang
sebagai satu konstituensi dan 152 anggota dari 47 prefektur Jepang (meningkat dari 150
di tahun 1972, ketika Okinawa kembali ke Jepang). Secara garis besar, perbedaan antara
majelis rendah dan majelis tinggi dirangkum dalam tabel berikut ini:
Majelis Rendah
Dari
distrik
pemilu
Majelis Tinggi
Jumlah Anggota (Kursi)
Dari
distrik
(tunggal): 300 orang
(tunggal): 146
Wakil
Wakil
berdasarkan
perbandingan: 180 orang
20 tahun ke atas
pemilu
berdasarkan
perbandingan: 96 orang
Hak pilih
20 tahun ke atas
39
25 tahun ke atas
Persyaratan dipilih
4 tahun (atau lebih, sampai
dibubarkan)
Masa tugas
30 tahun ke atas
6 tahun (setengah jumlah
anggota dipilih setiap 3
tahun)
Pemilihan distrik dalam pemilihan House of Representatives biasanya bersamaan
dengan beberapa pemilihan prefektur (pembagian administratif Jepang) ataupun subdivisi
prefektur. Untuk memilih keseluruhan anggota dalam House of Representatives, setiap
pemilihan distrik memiliki alokasi sebanyak 3, 4, atau 5 kursi untuk diduduki, kecuali
satu distrik yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang terhitung memiliki satu kursi. Dalam
pemilihan House of Councillors, 100 dari 252 kursi terisi dengan sistem perwakilan
berimbang untuk keseluruhan wilayah Jepang sebagai satu konstituensi dan 152 sisanya
diperoleh dari pemilihan prefektur.
Setiap prefektur memiliki sekurang-kurangnya dua kursi sehingga terdapat satu
kursi yang diperebutkan dalam pemilihan, dan semakin padat penduduk suatu prefektur
semakin banyak kursi yang disediakan (dalam pemilihan ini, Tokyo memiliki delapan
kursi). Awalnya pemilihan 100 kursi dilakukan berdasarkan individu, yang kemudian
menghasilkan banyaknya selebritis show-business dan penulis terkenal dalam pemilihan,
namun setelah itu pemilihan dilakukan berdasarkan daftar kandidat yang diberikan oleh
partai-partai politik.28 Sehubungan dengan setengah dari anggota House of Councillors
dipilih setiap tiga tahun sekali, di setiap pemilihan tetap majelis tinggi, 50 kursi akan diisi
28
Edwin O.Reischauer & Marius B.Jansen, 2005, The Japanese Today: Change and Continuity, Berkeley Books
Pte. Ltd., Singapura, hal. 248
40
berdasarkan sistem perwakilan berimbang berskala nasional dan 76 kursi oleh pemilihan
perfektur.
Pemilih memberikan satu suara untuk pemilihan House of Representatives tetapi
memberikan dua suara kepada House of Councillors, satu suara untuk nasional dan suara
lainnya untuk pemilihan prefektur. Di semua pemilihan umum majelis rendah dan
setengah dari pemilihan umum majelis tinggi, sistem pemilihan menggunakan metode
multimember dan single-ballot. Dengan sistem ini, untuk memperoleh sebanyak mungkin
kursi, partai-partai besar mengajukan lebih dari satu kandidat setiap pemilihan distrik.
Hasilnya, kandidat yang berasal dari partai yang sama akan berhadapan antar satu sama
lain dan sama halnya terhadap kandidat dari partai lain, sehingga terbentuklah kompetisi
dari setiap kandidat dalam upayanya untuk berkampanye. Metode pemilihan yang
dijalankan oleh Jepang ini sangat mendorong akan keberadaan fraksi-fraksi dalam partai
politik.
Segala bentuk pemilihan diatur oleh Public Office Election (Kantor Pemilihan
Publik) dan hukum-hukum Political Funds Control (Pengaturan Dana Politik). Mereka
menciptakan peraturan-peraturan yang tegas menyangkut pemilihan umum, seperti
kandidat tidak dapat melakukan kampanye sebelum tanggal pemilihan diumumkan secara
resmi. Pengumuman secara resmi biasanya terjadi tidak lebih dari 15 hari sebelum
pemilihan House of Representatives dan 18 hari sebelum pemilihan House of
Councillors. Aktivitas-aktivitas kampanye seperti door-to-door, menghibur pemilih
dengan makanan dan minuman, dan parade di jalan dengan kendaraan dilarang untuk
dilakukan. Setiap kandidat berhak menggunakan satu kendaraan yang dilengkapi dengan
satu alat pengeras suara dan empat staff di luar kandidat dan supir ataupun pilot dari
kendaraan tersebut. Demikian juga dengan dana kampanye, terdapat batasan jumlah yang
41
dapat digunakan oleh kandidat, namun kandidat diizinkan untuk menggunakan mediamedia publikasi seperti poster, kartu pos, radio, dan televisi sesuai dengan kemampuan
mereka serta pembatasan yang telah diberikan. Dengan peraturan-peraturan yang
diterapkan dalam berkampanye ini, Jepang merupakan negara yang memiliki peraturanperaturan dalam sistem pemilihan yang paling ketat di seluruh dunia.29
Dalam sistem ketatanegaraan Jepang, badan yang memegang peranan eksekutif
adalah kabinet. Kabinet terdiri atas Perdana Menteri dan menteri-menteri negara. Perdana
Menteri merupakan kepala badan eksekutif Jepang yang memimpin pemerintahan dan
mewakili Jepang di luar negeri. Kekuasaan dalam pemerintahan dipegang oleh Perdana
Menteri, namun kedaulatan merupakan milik rakyat.
Anggota-anggota Diet memilih Perdana Menteri dengan syarat-syarat seperti
statusnya sebagai orang sipil dan posisinya sebagai anggota Diet. Setelah para anggota
Diet menentukan calon Perdana Menteri, calon Perdana Menteri tersebut harus
memperoleh mosi kepercayaan dari majelis rendah untuk menjabat. Setelah terpilih,
Perdana Menteri akan dilantik oleh Kaisar. Perdana Menteri memilih kabinetnya dalam
rangka membantu memimpin negara yang diambil dari sekurang-kurangnya setengah
dari anggota Diet. Perdana Menteri memiliki hak menunjuk dan membubarkan menterimenteri negara yang mayoritas merupakan anggota-anggota Diet yang juga berstatus
sebagai orang sipil.
Badan eksekutif dirancang untuk mencerminkan kehendak parlemen melalui sistem
kabinet parlementer dimana kabinet dibentuk dengan dukungan parlemen dan kepada
parlemen inilah kabinet bertanggung jawab bersama-sama dan melaporkan segala
29
Ibid, hal. 256
42
aktivitas yang dilakukannya. Kabinet kemudian dibantu oleh birokrasi dalam
menjalankan tugas eksekutifnya.
Sementara itu, kekuasaan yudikatif dalam pemerintahan Jepang bersifat independen
dan bebas dari campur tangan dua badan lainnya, terutama badan eksekutif. Ini
dimaksudkan agar badan yudikatif dapat berfungsi secara wajar demi penegakan hukum
dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Hanya dengan berdasarkan prinsip
kebebasan ini, badan yudikatif tidak akan memihak dan tetap berpedoman pada normanorma hukum serta keadilan dalam menghadapi suatu perkara.
Pengadilan Jepang dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu Mahkamah Agung dan
pengadilan-pengadilan yang lebih rendah (pengadilan tinggi, pengadilan negeri,
pengadilan keluarga, dan pengadilan sumir). Mahkamah Agung merupakan pengadilan
tertinggi yang terdiri dari seorang ketua Mahkamah Agung dan 14 hakim lainnya.
Kabinet mengajukan nama-nama calon ketua Mahkamah Agung dan Perdana Menteri
yang akan menunjuk ketua Mahkamah Agung tersebut dan kemudian dilantik oleh
kaisar. Sementara itu hakim-hakim lainnya akan ditunjuk oleh kabinet.
Hakim-hakim di Mahkamah Agung dan pengadilan sumir wajib pensiun ketika
berumur 70 tahun, sementara untuk para hakim di pengadilan tinggi, pengadilan negeri,
dan pengadilan keluarga wajib pensiun ketika berumur 65 tahun. Setiap 10 tahun sekali,
masyarakat memiliki kesempatan untuk memberhentikan ketua Mahkamah Agung dari
pengadilan dengan pemungutan suara secara referendum pada saat pemilihan umum.
Sistem pengadilan tiga tingkatan ini untuk menjamin hak-hak individu masyarakat
Jepang.
43
Hakim-hakim Mahkamah Agung dapat ditinjau oleh masyarakat dan dapat
dipanggil pada pemilihan House of Representatives yang pertama diikuti dengan
penunjukan mereka dan pada pemilihan umum pertama setelah setelah selang setiap
sepuluh tahun sesudahnya. Hakim-hakim pengadilan rendah tidak ditinjau oleh
masyarakat, namun masa jabatannya terbatas selama 10 tahun dengan hak istimewa
pengangkatan kembali.
Hakim-hakim dapat diberhentikan dari jabatannya jika mereka ditemukan tidak
berkompeten dalam menjalankan tugasnya secara fisik dan mental melalui pengadilan
impeachment yang dilembagakan oleh Diet. Mahkamah Agung bertugas untuk
menentukan peraturan-peraturan prosedur dan praktik yang diaplikasikan dalam
pengadilan-pengadilan rendah, serta bagaimana peraturan tersebut juga dilaksanakan
dalam Mahkamah Agung itu sendiri. Kekuatan Mahkamah Agung tidak hanya dalam
pembentukan peraturan, namun juga menyangkut prinsip-prinsip internal serta
pengaturan pengacara dan juga pelaksanaan pengadilan yang dilakukan oleh penuntut
umum.
44
Gambar II: Bagan Pemerintahan Jepang
Legistrive Branch
DIET
Security
Councilor
House of
Representatives
Excutive Branch
CABINET
Board of Audit
Cabinet
Legislation
Bureau
National
Personnel
Authority
Ministry of Public Management.
Home Affairs
Posts and Telecommunication
Cabinet
Secretariat
•
•
•
•
House of
Councillors
COURTS
Cabinet
Office
Fair Trade Agreement
Environmental Dispute
Postal Services Agency
Dire and Disaster
Management Agency
Supreme Court (1)
High Courts (8)
District Courts (50)
Ministry of Justice
Judges
Impeachment
Court
Judges
Indictment
Committee
Judicial Branch
•
•
•
National Bar Examination
Public Security
Examination Commission
Public Security
Investigation Agency
Family Courts (50)
Summary Courts
Ministry of Foreign Affairs
Committee for
Prosecutor
Ministry of Finance
National Tax Administration
National Diet
Library
Ministry of Education, Culture,
Sports, Science, and
Technology
Ministry of Wealth, Labour,
and Welfare
National Public
Safety Commision
Agency for Cultural Affairs
National Police Agency
•
•
Central Labour Relations
Commision
Social Insurance Agency
•
•
•
Ministry of Agriculture,
Forestry and Fisheries
Food Agency
Forestry Agency
Fisheries Agency
Ministry of Economy, Trade,
and Industry
• Agency for Natural Resources and Energy
• Japan Patent Office
• Small and Medium Enterprise Agency
Ministry of Land,
Infrastructure, and Transport
•
•
•
•
Imperial
Household Agency
Defense Agency
Japan Coast Guard
Marine Accidents Inquiry Agency
Labour Relations Commision for Seafarers
Japan Meteorological Agency
Ministry of the Environment
45
Sumber: Division for Public Administration and Development Management
(DPADM), Department of Economic and Social Affairs (DESA), United Nations,
2006, hal. 8
Fungsi-fungsi badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif terpaparkan dengan jelas
dalam konstitusi dengan mengambil model pemerintahan Amerika Serikat dan Inggris
yang memiliki bentuk negara monarki konstitusional seperti Jepang. Selain
pemerintahan, konstitusi juga memberikan banyak batasan dalam pasal-pasalnya.
Pembatasan pertama yaitu dengan membatasi kekuasaan Kaisar dan kemudian Jepang
tidak mengakui perang sebagai hak kedaulatan bangsa. Pengakuan ini tertera pada bab
kedua yang memicu terjadinya pembatasan terhadap pembentukan atau pemeliharaan
kekuatan militer Jepang untuk berperang. Pelucutan senjata terhadap Jepang merupakan
hal yang sangat kontroversi baik di dalam Jepang maupun di luar negeri dan secara
konstitusional maupun praktikalnya. Tetapi Jepang tetap memiliki agensi pertahanan diri
yang dibentuk untuk menjaga kedamaian, kemerdekaan, dan keamanan nasional Jepang.
Agensi pertahanan diri mencakup angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara yang
terdiri dari 240.000 anggota dan diketuai oleh seorang sipil di kabinet.
Perpolitikan di Jepang tidak hanya diwarnai oleh pemerintahan, tetapi juga partai
politik yang memainkan peranan penting terutama di dalam parlemen. Partai-partai
politik pada awalnya bermunculan ketika kelompok-kelompok partisan memberikan
dukungan besar kepada mereka. Dukungan ini terjadi dikarenakan kondisi ekonomi yang
berkembang cepat dan stabil dengan banyaknya persediaan bahan mentah untuk
menyokong kehidupan yang terbagi merata kepada seluruh anggota masyarakat pasca
Perang Dunia II. Kepuasan masyarakat akan situasi Jepang kemudian memunculkan
karakter politik yang bersifat konservatif dengan dukungan dari masyarakat terhadap
status quo.
46
Jepang tidak memiliki hukum yang menetapkan syarat-syarat legal terhadap
organisasi, struktur, dan fungsi dari partai politik. Berdasarkan ketentuan dalam Hukum
Pemilihan Umum terhadap Jabatan Pemerintahan dan Hukum terhadap Pengaturan Dana
Politik, organisasi apapun yang mengajukan kandidat yang telah disertifikasi oleh
menteri dalam negeri dalam pemilihan umum Diet ataupun lebih dari lima anggota partai
politik tersebut berada dalam Diet maka akan dianggap sebagai partai politik yang sah.
Dalam praktek sebenarnya, semua anggota Diet merupakan bagian dari partai politik dan
segala macam urusan Diet dijalankan oleh kebanyakan anggota-anggotanya yang juga
bertindak sebagai anggota partai politik.
Hampir keseluruhan partai politik di Jepang (pengecualian terhadap Partai
Komunis Jepang atau Japan Communist Party atau JCP) dewasa ini memiliki idealisme
dan prinsip dalam hal menjunjung demokrasi, kebebasan, dan perdamaian dunia dengan
berlandaskan pada apa yang tertera dalam konstitusi. Partai konservatif, Partai
Demokratik Liberal (Liberal Democratic Party atau LDP), yang dibentuk di tahun 1955
oleh gabungan partai Liberal dan Demokratik, menjanjikan negara demokrasi sejahtera
yang sempurna yang didedikasikan kepada pencapaian perdamaian dan kebebasan dan
harmonisasi kepentingan umum dan kreatifitas individu. Partai sayap kiri Jepang, Partai
Sosialis Jepang (Japan Socialist Party atau JSP), yang awalnya didirikan di tahun 1945,
juga menjanjikan hal-hal yang serupa namun mengidentifikasikan dirinya sebagai partai
“rakyat” yang “terbuka”. Partai Sosialis Jepang merupakan partai yang pernah menjadi
oposisi yang paling signifikan dalam parlemen selama dominasi panjang partai berkuasa
LDP dan dalam kebijakan-kebijakannya mereka menjanjikan untuk memelihara sistem
multipartai dan sistem ekonomi yang mengkombinasikan kebaikan-kebaikan dari
ekonomi terencana dan ekonomi pasar.
47
Kemudian terdapat pula partai-partai moderat, seperti Partai Sosialis Demokratik
(Democratic Socialist Party atau DSP) dan Liga Demokrat Sosial (Social Democratic
League atau SDL), yang memiliki platform serupa LDP dan JSP dalam hal prinsip
mempertahankan pasifisme yang terwujud dalam konstitusi Jepang pasca perang dan
berusaha untuk menjamin perdamaian dunia.
Namun terdapat partai yang memiliki prinsip yang bersifat lebih ideal dari partaipartai yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu: Komeito (Clean Government Party atau
CGP, yang didirikan di tahun 1964). Mereka memasukkan komitmen terhadap
kemoderatan yang menghargai sifat dasar manusia, “sosialisme manusia” yang menjamin
perusahaan dengan ekonomi bebas dan distribusi produk yang adil untuk perusahaan,
kebebasan dan kebijakan luar negeri pasifisme yang berdasarkan kepercayaan bahwa
semua orang adalah “manusia bumi”, dan untuk mempertahankan konstitusi pasca perang
serta segala kebebasan yang dijaminnya (termasuk kebebasan beragama). Pembentukan
Soka Gakkai (organisasi sekte Buddha yang dibentuk oleh pendeta di abad ke-13,
Nichiren) dinyatakan oleh CGP terpisah dan bebas darinya sebagai penyokong agama di
tahun 1970, namun dalam aplikasinya, mereka tetaplah bergantung dan menjadi juru
bicara Soka Gakkai dalam parlemen.30
Sebagai perbandingan, platform Japan Communist Party (JCP) lebih tegas dan
radikal. JCP terbentuk di tahun 1922 dan dibentuk kembali di tahun 1945. Mereka
menyatakan bahwa Jepang berada di bawah imperialisme Amerika Serikat dan monopoli
modal Jepang sehingga mereka berkewajiban terhadap masyarakat Jepang untuk
menjalankan revolusi demokratik masyarakat melawan musuh kembar tersebut. Sebagai
bagian dari revolusi, partai JCP secara spesifik meminta pencabutan Perjanjian Amerika
30
Gerald L Curtis, 2004, “The Japanese Way of Politics”, Encyclopedia Americana, Connecticut: Scholastic
Library Publishing, Inc, hal. 811.
48
Serikat-Jepang dalam hal kerjasama ekonomi dan keamanan, pembubaran Angkatan
Pertahanan Diri, dan penghapusan institusi kerajaan.
Partai berkuasa saat ini adalah Partai Demokratik Jepang (Democratic Party of
Japan atau DPJ) yang didirikan di tahun 1998 oleh gabungan beberapa partai oposisi.
Kerangkanya yang bersifat sosial liberal dinilai sebagai sayap kiri oleh perpolitikan
Jepang. Pada pemilihan umum tahun 2009, DPJ berhasil menjatuhkan LDP yang telah
menjadi partai berkuasa selama setengah abad. Sebelumnya, ketika LDP merupakan
partai yang berkuasa, DPJ adalah partai oposisi yang memegang peranan yang signifikan
dalam pemerintahan.
Di dalam kubu partai politik besar Jepang, terdapat fraksi-fraksi yang mengakar di
mana mereka membagi partai ke dalam kelompok-kelompok di dalam partai itu sendiri,
parlemen, bahkan dalam posisi kabinet jika mereka berkuasa. Setiap fraksi dipimpin
oleh politisi senior yang memiliki pengalaman dalam kementerian ataupun ambisi dan
kemampuan untuk mengumpulkan dana kampanye yang berjumlah besar demi
pengikutnya.
Sebagai balasan atas bantuan pemimpin terhadap dana dan pengangkatan dalam
pemerintahan, para pengikut fraksi akan mendukung pemimpinnya dalam tawar menawar
terhadap jabatan yang lebih tinggi dan dalam usaha untuk memelihara dan memperluas
kekuatan fraksinya. Selama bertahun-tahun secara periodik, partai berusaha untuk
menghilangkan keberadaan fraksi-fraksi dengan landasan modernisasi. Tetapi fraksifraksi yang telah ada sebaliknya tumbuh semakin kuat dan terlembaga, sampai-sampai
keberadaan fraksi telah menjadi ciri yang paling menonjol dalam organisasi dan aktifitas
partai.
49
Terdapat beberapa alasan mengapa LDP menjadi partaai berkuasa dalam rentang
waktu yang cukup lama. Pasca perang dunia kondisi ekonomi Jepang berada dalam
situasi yang stabil yang kemudian membuat masyarakat bertahan pada status quo.
Namun dukungan terhadap status quo ternyata tidak bertahan selama yang diharapkan
oleh politisi-politisi Jepang. Pada tahun 1990-an, Jepang harus menghadapi kesulitan
ekonomi yang menggeser pola pandang dalam kehidupan politik karena ketidakpuasan
masyarakat yang kemudian mengakibatkan terjadinya erosi dukungan kepada LDP yang
sebelumnya merupakan kekuatan politik yang solid dan berakhir dengan kekalahan LDP
dalam pemilihan umum tahun 1993.
Sebagai partai politik yang memonopoli kekuasaaan selama 40 tahun, kekalahan
LDP dalam pemilihan umum 1993 membawa dampak psikologis terhadap kehidupan
politik Jepang. Hal ini dikarenakan refleksi spontan dari masyarakat yang merasa
dikecewakan akibat keadaan ekonomi yang semakin memburuk, apalagi kekuasaan yang
cenderung terlalu lama memunculkan aksi kurang puas yang berakibat terjadinya
perpecahan dan pergumulan politik di dalam tubuh LDP sendiri.
Dalam tubuh LDP terdapat pihak-pihak yang menghendaki reformasi dikarenakan
pimpinan partai cenderung mempertahankan pola-pola lama (status-quo) bahkan secara
sengaja berusaha menghambat terjadinya perubahan cepat. Keadaan ini menimbulkan
ketegangan dalam tubuh LDP sehingga mengakibatkan hilangnya dukungan dari
masyarakat tingkat menengah di perkotaan dan sebagian dari mereka cenderung menjadi
pemilih yang mengambang.
Di dalam kubu LDP, kelompok generasi muda yang ingin melakukan pembaharuan
harus menghadapi kelompok kuat dalam tubuh LDP yang lebih mengedepankan
kepentingan fraksi yang berkuasa dimana fraksi cenderung lebih berusaha untuk
50
mempertahankan kekuasaannya dibandingkan melaksanakan reformasi politik dan sosial
seperti yang diinginkan masyarakat. LDP juga menghadapi benih-benih perpecahan di
mana para anggota LDP banyak membuat ikatan-ikatan politik baru bahkan membentuk
partai baru.
Kekalahan dalam pemilu di tahun 1993 membuat LDP berkoalisi dengan Partai
Sosialis Jepang (PSJ). Setelah berkoalisi, mereka kembali berkuasa, namun masyarakat
tetap menilai adanya kelemahan dalam pemerintahan koalisi LDP dan PSJ. Masyarakat
menghendaki terjadinya suatu perubahan setelah LDP berkuasa sehingga LDP
membentuk aliansi-aliansi baru untuk mempengaruhi masyarakat melalui pemikiranpemikiran reformasi berdasarkan konsep-konsep baru yang diperkenalkan kepada
masyarakat. Pembentukan aliansi memperluas persaingan politik antara kelompok
politisi, tetapi pemikiran baru atau reformasi yang dikemukakan banyak hanya bersifat
pemikiran yang kurang dilandasi oleh perhitungan strategis dan hanya bersifat jangka
pendek saja, serta lebih banyak yang bersifat ad-hoc karena sekedar sebagai reaksi
spontan menghadapi tuntutan masyarakat yang sedang menginginkan perubahan.
Keraguan akan terjadinya perubahan menyebabkan LDP kembali berkuasa dengan
jumlah pendukung yang semakin berkurang. Kemenangan LDP lebih karena kekecewaan
masyarakat terhadap kinerja partai lawan LDP yang ternyata tidak mampu memberi
alternatif lain.
Pada tahun 2009, Partai Demokratik Jepang yang bersifat sosial liberal memperoleh
kekuasaan setelah mengalahkan partai konservatif liberal Partai Demokratik Liberal yang
telah berkuasa selama 54 tahun dari tahun 1955 hingga tahun 2009, kecuali pada tahun
1993.
51
LDP yang dipimpin oleh perdana menteri Junichiro Koizumi yang populer
menerima 38,2% suara dalam sistem perwakilan berimbang dan 47,8% dari suara yang
diambil dari pemilihan distrik pada pemilu tahun 2005. Sementara partai kedua terbesar,
DPJ, menerima 31% suara dalam perwakilan berimbang dan 36,4% suara dalam
pemilihan distrik. Setelah kepemimpinan Koizumi, tiga Perdana Menteri (Shinzo Abe,
Yasuo Fukuda, dan Taro Aso) menjabat tanpa pemilihan umum.
Pada tanggal 1 September 2008, Yasuo Fukuda secara tiba-tiba mengumumkan
bahwa dia mengundurkan diri sebagai pemimpin. Taro Aso memenangkan pemilihan
pemimpin LDP berikutnya dan dalam rangka perubahan kepemimpinan yang tiba-tiba,
Perdana Menteri Taro Aso mengadakan pemilihan pada akhir Oktober atau awal
November 2008 ketika popularitasnya masih tinggi.
Pada akhir Juni 2009, terdapat rumor mengenai pemilihan yang direncanakan pada
awal Agustus 2009. Setelah pemilihan diselenggarakan, kampanye dimulai oleh
sekumpulan anggota Diet LDP yang ingin menggantikan Aso. Sepertiga partai parlemen,
termasuk menteri keuangan Kaoru Yosano, dilaporkan telah menandatangani petisi yang
dimaksudkan untuk pertemuan penting dalam rangka mendiskusikan persoalan tersebut.
Perdana Menteri Aso membubarkan House of Representatives pada tanggal 21 Juli 2009.
Sebelum pembubaran majelis rendah, majalah mingguan National telah
menyatakan analisa prediksi terhadap kekalahan besar bagi koalisi berkuasa yang
memegang 2/3 kursi di House of Representatives, hingga lebih dari setengah dari jumlah
tersebut. Prediksi ini berdasarkan rendahnya persetujuan yang diperoleh Perdana Menteri
Taro Aso dan kekalahan besar yang LDP alami sebelumnya pada pemilihan prefektur di
Tokyo.
52
Pihak media mengkritik langkah Aso sebagai “bunuh diri politik.” LDP memiliki
beberapa skandal yang menyebabkan kemunduran popularitas LDP yang mengancam
mereka untuk punah. Masyarakat Jepang berharap akan pembentukan sistem politik baru
dengan kemunculan partai-partai yang berideologi lebih daik dibandingkan dengan
sistem pembagian kepentingan dalam kekuasaan dengan perbedaan ideologi yang jelas.
LDP disokong para penganut paham konservatif, kebijakan mereka mencerminkan
keinginan mereka untuk menjaga tradisi mereka termasuk sistem monarkinya. Pada
kenyataannya, LDP tidak didukung oleh filosofi politik yang jelas dan ideologi yang
sama untuk keanggotaannya. LDP mendukung kebijakan kompetisi pasar bebas namun
tetap menghargai ideologi kerjasama. Secara tradisional, LDP memiliki tujuan-tujuan,
seperti pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor yang cepat, peran yang lebih positif dan
aktif di kawasan Asia Pasifik, internasionalisasi ekonomi Jepang melalui liberalisasi dan
mempromosikan permintaan dalam negeri (diharapkan untuk memimpin terciptanya
masyarakat informasi dengan teknologi tinggi) serta promosi penelitian ilmiah.
Ketika LDP berkuasa, birokrasi yang memegang kekuasaan melakukan banyak hal
yang merugikan masyarakat, seperti korupsi. Banyak orang yang sadar akan hal ini
sehingga mereka memberikan suara mereka kepada DPJ untuk memutuskan monopoli
politik yang virtual yang telah dijalankan selama 50 abad. Salah satu pemerintahan DPJ
menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk meningkatkan transparansi sistem politik,
mengurangi otoritas yang tersembunyi dalam birokrasi, dan lebih bertanggung jawab
terutama bagi politisi yang terpilih.
Setalah pemilihan tahun 2009 membuang partai lama, pemimpin baru besumpah
untuk mengambil kekuasaan birokrasi dan meletakkannya ke tangan politisi. Salah satu
hal yang dilakukan oleh Hatoyama adalah Unit Revitalisasi Pemerintah yang bertugas
53
untuk mengetahui dan memotong pengeluaran yang tidak berguna dalam pemerintahan.
Menyerupai persilangan antara pemeriksaan anggaran belanja kongres dan interogasi
inkusisi Spanyol, pemeriksaan dilakukan oleh unit panel dan terkadang singkat dan kasar.
Birokrasi dan pendukung dari proyek tersebut dianggap sia-sia oleh panel sehingga
diberikan 30 menit hingga satu jam untuk membenarkan program mereka dan diberi
pertanyaan oleh paner yang sebenarnya memiliki sedikit pengetahuan mengenai program
tersebut.
DPJ menyatakan bahwa mereka adalah revolusionari yang menentang status quo
dan pemerintahan yang saat itu berkuasa. Partai Demokratik berargumentasi bahwa
ukuran birokrasi pemerintahan terlalu besar, tidak efisien, dan penuh dengan sahabatsahabat dan bahwa negara Jepang terlalu konservatif dan kaku. Mereka mengejar lima
tujuan:
•
Partai Demokratik berusaha untuk membangun masyarakat yang dibangun
dengan peraturan yang transparan dan adil.
•
Partai Demokratik juga berkata bahwa sistem pasar bebas seharusnya
“menyerap” kehidupan ekonomi, mereka juga memiliki tujuan untuk melibatkan
masyarakat dengan jaminan keamanan, keselamatan, dan keadilan dan
persamaan yang diberikan kepada masing-masing individu.
•
Demokratik bermaksud untuk memindahkan kekuasaan pemerintahan terpusat
kepada warga negara, pasar, dan pemerintahan lokal sehingga masyarakat dari
berbagai macam latar belakang dapat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
•
Partai Demokratik memproklamirkan nilai-nilai yang dalam konstitusi
“mewujudkan
prinsip
fundamental
konstitusi”:
kedaulatan
populer,
menghormati hak asasi manusia dasar, dan pasifisme.
54
•
Sebagai anggota masyarakat global, Demokratik perlu untuk membangun
hubungan internasional Jepang dalam fraternal spirit dengan percaya kepada diri sendiri
dan hidup saling berdampingan untuk mengembalikan kepercayaan dunia terhadap
Jepang.
Pada hakekatnya, partai politik merupakan media untuk masyarakat mengeluarkan
pendapat dan menyalurkan aspirasinya sehingga pemerintah dapat mengakomodasi
keinginan masyarakat dan menjadikannya kepentingan nasional. Namun dalam
aplikasinya di Jepang, partai politik cenderung menjadi sarana untuk memperoleh
kekuasaan dalam pemerintahan, sehingga menciptakan ruang untuk masyarakat
menciptakan aksi-aksi protes jika terdapat kebijakan yang tidak populer di mata
masyarakat.
Kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan gerakan beberapa tahun terakhir
ini mengangkat isu-isu mengenai basis militer Amerika Serikat, terutama di daerah
perkotaan yang padat dan masalah-masalah lingkungan yang bersifat lebih sensitif, dan
konstruksi serta operasi reaktor nuklir. Sementara itu, perlu untuk diperhatikan bahwa
wanita-wanita berumur 30 tahun hingga 40 tahun sangatlah aktif dalam gerakan-gerakan
di masa ini.
B. Badan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Politik Jepang
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Konstitusi merupakan
substansi dasar di Jepang dalam pengaturan masyarakat dan negara bangsanya. Untuk
memahami kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh Jepang, perlu diperhatikan organorgan yang membuat dan melaksanakan jalannya Konstitusi tersebut.
55
Diet dan kabinet terhubung dalam beberapa hal: perdana menteri ditunjuk oleh
Diet, mayoritas anggota kabinet diangkat dari anggota Diet, dan Diet dapat mensahkan
resolusi mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga Perdana Menteri harus
mengundurkan diri atau membubarkan majelis rendah Diet (House of Representatives)
dan mengadakan pemilihan baru dalam usaha untuk memperoleh dukungan mayoritas.
Sistem pelayanan publik terdiri atas dua kategori jabatan atau pejabat, yaitu spesial
dan umum. Kategori pertama termasuk anggota Diet, Perdana Menteri dan menterimenteri negara, hakim-hakim, duta-duta besar dan menteri-menteri yang berkuasa penuh,
dan pejabat-pejabat National Personnel Authority. Kategori umum terdiri atas pegawai
yang direkrut oleh ujian nasional dan dirangkum dalam birokrasi yang ditujukan kepada
semua golongan masyarakat tetapi hanya merekrut sebahagian kecil orang, atau melalui
ujian yang telah diatur secara individu, atau melalui penunjukan berdasarkan evaluasi
terhadap kualifikasi yang spesial terhadap individu.31
Dikarenakan Perdana Menteri dipilih oleh anggota-anggota majelis rendah yang
sebelumnya merupakan bagian dari majelis rendah itu sendiri, maka Perdana Menteri
cenderung bertindak seperti ketua komite dan terkadang memiliki karisma yang kurang
jika dibandingkan presiden terpilih dengan sistem pemilihan langsung. Dalam sejarah
Jepang sejauh ini, hanya terdapat satu Perdana Menteri yang berkuasa setelah perang
dunia kedua yang dianggap otokrasi dan kuat yaitu Yoshida Shigeru yang menjabat
untuk 2 periode antara tahun 1946 dan 1954. Rahasia dari kekuatannya adalah otoritas
absolut dari kependudukan Amerika di mana ia beroperasi selama 5 hingga 7 tahun.32
Perdana Menteri bertugas untuk mengajukan undang-undang dan melaporkan
kondisi negara secara nasional maupun internasional kepada Diet. Kabinet bertanggung
31
32
Hans H Baerwald, 2003, “Japan’s Parliament”, Britannica, Chicago: Encyclopedia Brittanica, Inc., hal 250
Ibid, hal 252
56
jawab akan kesetiaan dan keefektifitasan administratif terhadap peraturan-peraturan
negara serta berjalannya urusan-urusan domestik maupun luar negeri, melalui
pengawasan terhadap sistem yang diberlakukan di Jepang melalui birokrasi.
Dalam Kabinet, terdapat 12 menteri yang menjabat sebagai kepala kementerian dan
menteri-menteri lainnya menjadi direktur dari badan sub divisi kementeriaan yang juga
memiliki peran penting. Satu orang ditunjuk untuk menjadi sekretaris ketua kabinet
(kambo chokan) yang bertugas seperti ketua staff untuk Perdana Menteri. Seorang
lainnya merupakan direktur kantor Perdana Menteri (Sorifu) yang berkoresponden
kepada White House Executive Office. Direktur Economic Planning Agency, Defense
Agency, dan Science and Technology Agency juga merupakan anggota kabinet. Finance,
International Trade and Industry (MITI) dan Foreign Affairs merupakan divisi yang
paling penting.
Kebanyakan anggota kabinet memiliki masa jabatan yang singkat dibandingkan
Perdana Menteri, yaitu selama satu tahun. Selama masa jabatannya, mereka dapat
membangun dengan sebaik-baiknya kebijakan-kebijakan umum untuk kementeriannya
maupun agensinya. Satu atau dua wakil menteri parlemen atau wakil direktur yang
ditugaskan oleh Diet dan kemudian diletakkan di kementerian juga memiliki masa
penunjukkan yang pendek dan walaupun tidak memiliki fungsi yang begitu penting,
namun posisi ini tetap diinginkan dengan tujuan membangun martabat demi kedudukan
di Diet kemudian hari.
Diet mulai bekerja di akhir bulan Januari dan melengkapi rancangan anggaran
belanja sebelum dimulainya tahun fiskal di bulan April. Setiap majelis memilih ketuanya
masing-masing, yang memiliki kekuatan yang luas, termasuk hak untuk membatasi debat
dengan tujuan menghindari pidato yang panjang dan tak ada habisnya sehingga peraturan
57
baru tertunda pengesahannya. Mereka juga memiliki hak untuk membuat komisi kerja di
mana setidaknya setiap anggota dari setiap majelis terlibat dalam satu komisi.
Setiap majelis memiliki 16 komisi tetap dan dapat membentuk komisi spesial (Ad
Hoc) jika dibutuhkan sehubungan dengan isu-isu yang khusus. Jumlah komisi Ad Hoc
mengikuti pembagian kementerian dalam kabinet di mana masing-masing komisi terbagi
lagi dalam sub komisi. Pembahasan materi dilakukan oleh komisi-komisi tersebut di
mana mereka dibantu oleh staff dan diberikan fasilitas dari Perpustakaan Diet Nasional
dan Biro Legislasi dari tiap-tiap majelis, terutama jika mereka menjalankan tugas
legislasi.
Dua komisi yang sangat penting adalah Komisi Audit yang selalu menarik
perhatian media massa karena argumentasi-argumentasi yang dimilikinya terhadap
pemerintah dan Komisi Anggaran yang secara tradisional menjadi wadah permintaan
keterangan dari parlemen kepada pemerintah. Dapat disimpulkan dalam menjalankan
tugasnya, komisi merupakan media bagi anggota majelis dalam melakukan perdebatan
terhadap materi peraturan perundang-undangan.
Interpelasi dalam Komisi Anggaran maupun dalam komisi-komisi lain memiliki
peranan penting dalam sistem politik Jepang. Interpelasi adalah ciri Diet dimana terdapat
aktifitas “question time” yang terkenal. Anggota-anggota oposisi memberikan pertanyaan
yang dimaksudkan untuk mempermalukan pemerintah dan menteri-menteri kabinet
maupun wakil birokrasi yang berusaha untuk mempertahankan argumen mereka dalam
menjalankan pemerintahan. Sementara anggota-anggota partai berkuasa mungkin akan
bertanya dengan pertanyaan yang telah dirancang untuk memberikan kesempatan kepada
menteri-menteri kabinet untuk menekankan pendapat yang ingin mereka kemukakan.
58
Baik pertanyaan maupun jawaban tidak dimaksudkan untuk mengubah jumlah
suara di komisi maupun di dua majelis Diet. Malahan mereka menujukannya kepada
media massa dan publik secara umum dalam usaha untuk membangun dukungan dan
reputasi yang digunakan untuk pemilihan mendatang. Dengan demikian sistem komisi
telah memiliki fungsi yang berbeda yang sangat sesuai dengan sistem parlemen.
Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh Diet dalam hal konstitusi adalah
amandemen. Jika dua pertiga dari anggota-anggota di setiap majelis Diet menyetujui
amandemen yang diusulkan, amandemen tersebut kemudian diajukan kepada masyarakat
dan harus disetujui oleh mayoritas suara yang masuk melalui referendum. Selain itu Diet
diberikan kekuasaan untuk menginvestigasi jalannya pemerintahan dan, jika perlu, untuk
memberi panggilan tertulis untuk menghadap sidang pengadilan yang bersangkutan
dengan dokumen resmi serta kesaksian. Badan legislatif Jepang juga dapat memanggil
hakim-hakim untuk memberi pertanggungjawaban dan membubarkan mereka.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, majelis rendah memiliki kekuasaan
yang lebih besar dibandingkan majelis tinggi. Demi tujuan yang bersifat praktis, majelis
memilih Perdana Menteri yang diambil dari anggotanya sendiri. Selain itu majelis rendah
juga dapat menolak keputusan masjelis tinggi dengan suara mayoritas 2/3. Dalam
beberapa jenis perundang-undangan, majelis rendah bisa bertindak tanpa persetujuan
majelis tinggi.
Rencana anggaran belanja disahkan oleh majelis rendah otomotis akan jadi
anggaran resmi jika dalam waktu 30 hari majelis tinggi tidak setuju ataupun tidak
memberikan keputusan sama sekali. Hal yang sama berlaku terhadap ratifikasi perjanjian
internasional. Namun berbeda halnya dalam perubahan atau mengamandemen konstitusi,
karena akan diperlukan suara 2/3 anggota dari kedua majelis dan kemudian mayoritas
59
suara dalam referendum nasional. Dalam hal persetujuan anggaran dan pemilihan Perdana
Menteri, majelis tinggi hanya dapat menunda pelaksanaaan, tetapi tidak memiliki hak veto
terhadap legislasi. Majelis tinggi tidak dapat dibubarkan oleh Perdana Menteri.
Jika House of Representatives mensahkan rancangan undang-undang dan House of
Councillors membuat keputusan yang berbeda atau menentang rancangan undangundang, maka House of Representatives dapat meloloskan rancangan tersebut menjadi
undang-undang yang sebenarnya setelah 60 hari (30 hari jika menyangkut anggaran
belanja negara) dengan mengajukan rancangan undang-undang maupun anggaran belanja
untuk kedua kalinya berdasarkan 2/3 suara.
Rancangan undang-undang tersebut diperkenalkan oleh seorang anggota Diet atau
oleh kabinet. Semua rancangan undang-undang pertama-tama diserahkan kepada komite
yang bertugas untuk itu dan kemudian dipresentasikan di dalam sidang pleno majelis.
Pertimbangan terhadap undang-undang tidak dapat dilanjutkan dari satu sesi Diet ke sesi
lainnya. Rancangan undang-undang yang gagal disahkan selama sesi Diet yang diberikan
dapat diperkenalkan lagi di kemudian hari sebagai rancangan undang-undang baru. Lebih
dari 2/3 rancangan undang-undang yang diajukan kepada Diet merupakan rancangan yang
dibuat oleh kabinet.
Oleh karena Jepang menganut sistem parlementer, maka hubungan antara Kabinet
dan Diet sangatlah erat. Namun dalam beberapa kasus terjadi pertentangan antara dua
pihak di mana Diet mensahkan resolusi untuk mosi tidak percaya terhadap Kabinet
maupun kebijakan atau rancangan undang-undang yang dibuatnya, sementara Perdana
Menteri dapat membubarkan majelis rendah Diet.
60
Ketika House of Representatives dibubarkan, maka pemilihan umum harus
diselenggarakan dalam jangka waktu 40 hari dan sidang khusus Diet harus diadakan
dalam masa 30 hari pemilihan umum. Sidang luar biasa mungkin diadakan oleh kabinet
jika dibutuhkan dan ketika ada permintaan dari seperempat atau lebih anggota-anggota
setiap majelis. Jangka waktu sidang khusus ataupun sidang luar biasa ditentukan secara
bersamaan oleh kedua majelis melalui pemungutan suara.
Apabila majelis rendah dibubarkan, persidangan majelis tinggi diberhentikan.
Sidang Diet diadakan satu kali dalam setahun, di bulan Desember sesuai dengan
peraturan, selama 150 hari kerja. Sidang Diet kemungkinan akan dan hanya dapat
diperpanjang sebanyak satu kali oleh Diet, sedangkan sidang khusus dan sidang luar
biasa sebanyak dua kali berdasarkan pemungutan suara yang silakukan secara bersamaan
oleh kedua majelis.
Pendapatan dan pengeluaran negara diaudit setiap tahunnya oleh Dewan Audit.
Sasaran laporan dewan audit tidak hanya menyangkut pendapatan dan pengeluaran
negara tetapi juga mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan negara yang
merupakan sumber utama dari modal negara. Hasil dari laporan audit tahunan akan
dilaporkan kepada Diet oleh kabinet.
C. Landasan Kebijakan Politik Luar Negeri Jepang
Awalnya, hubungan internasional dianggap sebagai kelemahan terbesar Jepang,
baik oleh Jepang sendiri maupun negara-negara lain. Pengalaman masa lalu Jepang
dalam mengambil kebijakan politik luar negeri dengan mengisolasi diri dari dunia
membuat mereka tidak siap untuk menghadapi dunia asing. Jepang memiliki aset, seperti
identitas diri yang kuat, homogenitas yang luar biasa, dan masyarakat yang saling
membantu, tetapi memiliki cacat dalam menghadapi dunia.
61
Setelah itu terjadi perubahan prioritas dalam hubungan luar negeri Jepang yang
tidak disangka sebelumnya. Jepang menjalankan politik luar negeri yang berbeda sesuai
dengan kebutuhannya, sebelum perang dunia kedua hingga saat ini. Namun kebijakan
politik luar negeri Jepang yang patut diperhatikan adalah ketika Jepang telah
mendapatkan kebebasan dari kependudukan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan
kebijakan-kebijakan tersebut sangat mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Jepang
saat ini.
Salah satu landasan pokok politik luar negeri Jepang adalah memberikan kontribusi
kepada perdamaian dan kemakmuran dunia dengan membina keamanan dan
kesejahteraannya sendiri. Keinginan ini tentu saja dilandasi oleh konstitusi yang telah
merumuskan penolakan terhadap perang. Berdasarkan pasal 9 Konstitusi Jepang yang
berisi sebagai berikut:
Chapter II Renunciation of war
Article 9. Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order,
the Jepanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and
the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to
accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air force, as well as
other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state
will not be recognized.33
Dapat diterjemahkan menjadi:
Bab II Penolakan Perang
Pasal 9. Dengan maksud yang sungguh-sungguh untuk menciptakan perdamaian
internasional berlandaskan keadilan dan ketertiban, maka rakyat Jepang untuk
selamanya menolak perang sebagai hak bangsa yang berdaulat dan menolak pula
penggunaan ancaman atau kekuatan sebagai cara untuk mengatasi persengketaanpersengkataan internasional. Untuk mewujudkan maksud tersebut, angkatanangkatan darat, laut, dan udara maupun potensi perang lainnya tidak akan pernah
diadakan. Hak berperang yang ada pada negara tidak akan diakui.
33
Sayimin Suryohadiprojo, 1987, Belajar dari Jepang, Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan
Hidup, UI-Press, Jakarta, hal 240
62
Keinginan Jepang untuk memberikan konstribusi dalam perdamaian dan
kemakmuran dunia, membuat Jepang memiliki landasan politik luar negeri yang
dirangkum seperti:
1. Memberikan andil bagi perdamaian dan stabilitas dunia
2. Memberikan andil bagi kemajuan ekonomi seluruh dunia
3. Bekerjasama dengan negara-negara yang sedang berkembang
4. Memastikan keamanan dalam negeri Jepang
5. Menjadikan Jepang lebih terbuka kepada dunia.34
Landasan pokok Jepang didasari oleh konstitusi yang kerangkanya dibuat oleh
Amerika Serikat pasca Perang Dunia II dan masih berlaku hingga saat ini. Sehingga
dapat dinyatakan bahwa landasan politik luar negeri Jepang memiliki keselarasan dengan
kepentingan strategis global AS. Hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang sangat
erat karena ditunjang oleh konstitusi tersebut dan beberapa perjanjian yang telah mereka
sepakati. Pada tanggal 8 September 1951, Jepang menandatangani “Perjanjian
Perdamaian” di San Fransisco yang kemudian dilanjutkan dengan penyerahan kekuasaan
dan kedaulatan kepada pihak Jepang.
Amerika Serikat memberlakukan pembatasan-pembatasan dalam konstitusi Jepang
terutama dalam bidang militer dan masalah keamanan ataupun pertahanan, namun di lain
pihak Amerika Serikat menjamin keamanan Jepang dengan adanya keberadaan US-Japan
Security Pact sebagai kesepakatan bilateral.
Amerika Serikat merupakan aliansi terdekat Jepang dan begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan US-Japan Security Pact, pihak Jepang memberikan hak tunggal kepada
Amerika Serikat untuk menempatkan pasukannya di wilayah Jepang. Keberadaaan
pasukan AS bermaksud untuk menjaga keamanan wilayah Jepang dari ancaman negara
34
Kedutaan Besar Jepang, 1989, Jepang Sebuah Pedoman Saku, Foreign Press Center, Japan, hal 29.
63
lain maupun terhadap kegiatan subversif di dalam negeri, terutama dikarenakan kondisi
Jepang yang tidak dapat memiliki kekuatan militer.
Walaupun masyarakat Amerika menggerutu mengenai “tumpangan gratis” Jepang
dalam hal pertahanan keamanan, namun Washington tidak memiliki keinginan untuk
menarik militernya dari Jepang, sebahagian karena kepercayaan yang masih kurang dan
sebahagian karena ketakutan terhadap terganggunya demokrasi yang sedang dibangun di
Jepang. Amerika Serikat juga sadar akan negara-negara Asia yang telah merasakan agresi
Jepang sehingga mereka tetap mempertahankan jaminan pertahanan keamanan mereka.
Perjanjian Keamanan menentramkan Jepang dan negara-negara Asia lainnya.
Jepang dan Amerika Serikat meningkatkan orientasi politik luar negeri mereka dan
strategi militer mereka untuk menahan dan menghadapi Cina dan Korea Utara. Tetapi
walaupun Jepang memperoleh keuntungan dari hubungannya dengan Amerika Serikat
dan bebas dalam menentukan serta melaksanakan kebijakan politiknya, namun semenjak
tahun 1990an muncul pemikiran-pemikiran yang menuntut agar Jepang kembali menjadi
“negara normal”.
Keberadaan basis militer tersebut kemudian memunculkan ketidaksukaan dari
masyarakat dan masyarakat merasa bahwa basis militer tersebut menghina harga diri
Jepang. Peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan dan kejahatan-kejahatan
bermunculan yang melibatkan personel militer Amerika, yang hanya dapat diadili oleh
sistem pengadilan Amerika, mengingatkan Jepang pada kebencian mereka terhadap hakhak ekstraterritorial Amerika di abad ke-19. Isu ini kemudian memunculkan demonstrasi
yang hebat dan berlarut-larut oleh masyarakat.
Persoalan basis militer yang kemudian sangat mempengaruhi hubungan Jepang dan
Amerika Serikat adalah basis militer yang terletak di Okinawa. Telah menjadi dogma
bagi Amerika Serikat semenjak Jepang meletakkan pembatasan terhadap penggunaan
64
basis militer Amerika Serikat bahwa basis militer di Okinawa harus dipertahankan.
Tetapi pada akhirnya, Amerika Serikat melepaskan Okinawa dikarenakan banyaknya
gerakan masayarakat yang menentang dan besarnya upaya pemerintah untuk
mengembalikan Okinawa kepada Jepang secara penuh.
Amerika Serikat menyerah dalam menghadapi persoalan ini dan berjanji untuk
mengembalikan pulau tersebut beberapa tahun kemudian sebelum Okinawa menjadi
masalah besar dalam hubungan Amerika Serikat dan Jepang karena isu ini mengancam
rusaknya atau lebih parah lagi menghancurkan aliansi antara kedua belah pihak.
Persoalan basis militer di Okinawa kembali mencuat di bawah pemerintahan Hatoyama,
di mana terdapat mosi untuk merelokasi Futenma Marine Corps Air Station ke bagian
lain pulau Okinawa untuk mengurangi pasukan Amerika yang hidup di tengah-tengah
masyarakat Okinawa.
Selain itu, Jepang sensitif terhadap senjata nuklir Amerika. Ketika di tahun 1954
terjatuhnya tes atom Amerika di Bikini di tengah-tengah Samudra Pasifik dan
menghujani kapal nelayan Jepang, memunculkan kemarahan publik dan secara hiperbola
menyebutnya sebagai bom atom ketiga.35 “Alergi nuklir” Jepang tidak hanya sebatas
terhadap senjata nuklir, namun juga terhadap tenaga nuklir. Untuk negara yang miskin
sumber daya alam, hal ini merupakan perkembangan yang penting, akan tetapi
ketegangan selalu tercipta dari kelompok oposisi yang awalnya hanyalah karena motivasi
politik namun kemudian penduduk lokal pun tidak menyambut baik keberadaan
penggerak tenaga nuklir di tanah mereka.
Jepang melihat kerawanan yang terdapat di Asia Timur berpotensi mengganggu
stabilitas karena berbagai faktor antara lain masih adanya persaingan ideologi yang
melibatkan Korea dan Cina, negara-negara yang mempunyai perselisihan teritori serta
35
Edwin O. Reischauer & Marius B.Jansen, op.cit, hal.354
65
negara-negara yang terpecah karena persaingan ideologi. Demikian juga kehadiran Rusia
sebagai negara besar lainnya, yang dapat menambah kerawanan kawasan yang tentu saja
sangat
berpengaruh
terhadap
stabilitas
kawasan
Asia
Timur.
Jepang
juga
mengkhawatirkan krisis di Semenanjung Korea dalam kaitan dengan kemampuan nuklir
Korea Utara yang akan berakibat persaingan persenjataan nuklir antara negara-negara sekawasan (Korea Selatan, Taiwan, dan kemungkinan Jepang).
Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang meningkatkan dukungan politik dan
militernya kepada Taiwan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dukungan Jepang
terhadap permintaan Taiwan untuk menjadi anggota World Health Organization (WHO).
Dalam rentang waktu lima tahun, Jepang merubah posisinya yang sebelumnya menolak
menjadi dukungan walaupun Amerika Serikat telah menekan untuk mendukung Taiwan
di tahun 1999. Pada bulan Januari 2005, Jepang juga sangat menentang pencabutan
embargo senjata Cina dari Uni Eropa. Jepang menganggap bahwa pencabutan embargo
tidak hanya memberikan kekhawatiran yang besar kepada mereka, namun Asia Timur
secara keseluruhan. Sebagai negara yang menganut paham pasifisme, Jepang menentang
China’s Anti-Secession Law yang dikeluarkan pada bulan Maret 2005, di mana hukum
ini memberikan otoritas legal dan formal kepada Beijing dalam menggunakan “upayaupaya kekerasan” untuk memaksa Taiwan kembali ke daratan Cina.
Jepang membina hubungan kerjasama dengan negara-negara demokrasi industri
besar lainnya dan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dalam rangka memberikan andil
kepada stabilitas kawasan yang merupakan unsur penting dari politik luar negeri Jepang.
Terdapat kedekatan geografis, sejarah, ekonomi, dan budaya dalam hubungan
antara Jepang dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan ASEAN sehingga
membuat hubungan kedua pihak lebih erat. Untuk meningkatkan peranan politik di dunia
66
internasional, Jepang mulai menunjukkan sikap dan perilaku yang lebih aktif terhadap
stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Seiring dengan keinginan Jepang untuk mulai ikut berbagi tanggung jawab dalam
menangani masalah-masalah global, Jepang juga memiliki kepentingan untuk
memperoleh keuntungan terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia
Pasifik. Banyak perusahaan Jepang menempatkan fasilitas di negara-negara ASEAN
dalam rangka menunjukkan bahwa sebagai negara ekonomi yang kuat, Jepang secara
aktif berkonstribusi sehingga kawasan ini selanjutnya mampu mencapai perkembangan
dan keamanan yang semakin baik.
Asia Tenggara memanfaatkan itikad baik Jepang dengan mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dari bantuan-bantuan tersebut. Bahkan negara-negara di kawasan
Asia Tenggara bersaing untuk memperoleh bantuan ekonomi atau meningkatkan
perdagangan maupun menerima investasi dari Jepang. Suatu kenyataan dari hasil survei
di tahun 1990-an bahwa keuntungan bisnis yang diperoleh perusahaan-perusahaan
Jepang di Asia Tenggara (ASEAN) dan dari negara-negara NIE’s (Negara Industri Baru)
di Asia ternyata jauh lebih besar dibandingkan yang didapatkan dari perdagangannya
dengan Amerika Serikat.36
Jepang berusaha terus membina hubungannya dengan negara-negara ASEAN,
selain terus berusaha untuk tidak menciptakan konflik dengan RRC dan Korea Selatan.
Sikap RRC dalam kaitannya dengan masalah Taiwan merupakan perkembangan yang
selalu diikuti oleh Jepang dalam hal ini Jepang sangat berharap sengketa RRC-Taiwan
tidak menimbulkan gangguan terhadap stabilitas politik dan keamanan Asia Timur,
walaupun Jepang pada dasarnya masih melihat kemampuan militer yang dimiliki RRC
sebagai “ancaman” terhadap stabilitas kawasan Asia Timur.
36
Abdul Irsan , 2005, Politik Domestik, Global, & Regional, Hasanuddin University Press, Makassar, hal 184.
67
Jepang juga berperan bagi kemajuan perekonomian seluruh dunia dengan cara
mempunyai program
bantuan ekonomi
yang ditujukan kepada negara-negara
berkembang. Program ini disebut Official Development Assisstance (ODA) yang meliputi
dukungan bagi usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh negara-negara yang sedang
berkembang dan diberikan dalam berbagai bentuk, seperti:
1. Bantuan hibah (Grant Aid), yang tidak perlu dibayar kembali, diberikan
untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya di bidang-bidang pangan, kesehatan,
dan pendidikan.
2. Pinjaman (Yen Loan), pinjaman dana yang menguntungkan karena bunga
pinjaman yang sangat rendah, dan masa pengembaliannya yang relative
panjang. Bantuan ini biasanya diberikan pada proyek-proyek besar dengan
tujuan membantu pembangunan ekonomi di sebuah negara, seperti
membangun jembatan dan jalan.
3. Technical Cooperation atau pengiriman warga Jepang dalam kerangka
Japan Overseas Cooperation Volunteers (relawan kerjasama luar negeri
Jepang) ke negara-negara yang sedang berkembang untuk berbagi
keterampilan dan keahlian mereka di bidang-bidang seperti teknologi,
kesehatan, dan pendidikan, kepada rakyat setempat.37
Jepang telah melaksanakan program bantuan ekonomi tersebut selama lima puluh
tahun lebih. Bantuan yang telah diberikan oleh Jepang merupakan bagian atau alat dari
kebijakan politik luar negeri dimana pemerintah Jepang akan bertanggung jawab kepada
pembayar pajak dalam negeri mengenai alokasi dana bantuan tersebut secara terbuka.
37
Kementerian Luar Negeri Jepang, 2004, Menjelajahi Jepang, Tokyo, hal 22
68
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A.
Dinamisme antara Eksekutif dan Legislatif dalam Pembuatan Kebijakan
Politik Luar Negeri
Pembagian kekuasaan ke dalam tiga badan yang berbeda dalam suatu pemerintahan
dimaksudkan untuk keadilan dalam mengatur negara-bangsanya sehingga tidak terdapat
pelanggaran hak terhadap masyarakat dalam menjalankan pemerintahan. Dalam
pembuatan kebijakan politik luar negeri, hal yang perlu diperhatikan adalah dinamika
antara badan eksekutif dan legislatif berdasarkan fungsinya sesuai porsinya.
Pengadopsian sistem parlemeter oleh Jepang memudahkan untuk menelaah
dinamika antara badan eksekutif dan legislatif, karena sistem parlementer merupakan
sistem dimana walaupun terjadi pemisahan fungsi namun jalinan antara kedua badan
sangat erat, saling bergantung, dan saling bertanggung jawab antar satu sama lain.
Jika dibandingkan dengan sistem presidensil, sistem parlementer yang dianut oleh
Jepang kemudian menciptakan kondisi politik di mana perdana menteri bertindak sebagai
komisi eksekutif belaka bagi Diet. Dalam pembuatan kebijakan dan pengesahan undangundang, tidak terdapat perimbangan antara legislatif dan eksekutif dalam konflik seperti
yang terlihat dari sistem pemerintahan presidensil. Sehingga hal yang juga perlu
diperhatikan dalam pembuatan kebijakan Jepang adalah posisi dan interaksi eksekutif
dan legislatif dalam pemisahan antara kekuasaan dan otoritas, pergerakan rancangan
undang-undang dari awal, dan pertanggung jawaban ketika kebijakan tidak berjalan
semestinya.
69
Berdasarkan konsep trias politica, sebenarnya terjadi perimbangan antara fungsi
eksekutif dan legislatif. Pembuatan legislasi dilakukan di dalam badan legislatif, di mana
pertentangan mengenai setuju atau tidak setuju antara pemerintah dan oposisi juga terjadi
di dalam badan ini. Sementara badan eksekutif menjadi pelaksana undang-undang
tersebut di bawah pengawasan legislatif.
Pemisahan kekuasaan dan otoritas terjadi di dalam pemerintahan Jepang.
Berdasarkan otoritas posisinya, Diet bertugas sebagai pembuat rancangan undangundang. Namun, dalam pemerintahan Jepang, umumnya rancangan dibuat oleh birokrasi
atas nama kabinet. Birokrasi mengatur persiapan rancangan undang-undang dan kabinet
mengajukannya kepada Diet, sementara Diet bertindak meneliti dengan cermat dan
mensahkan rancangan tersebut berdasarkan suara mayoritas dalam sidang pleno, namun
jarang melakukan perubahan yang besar.
Birokrasi kemudian memainkan peran yang penting dalam merencanakan dan
mengimplementasikan perubahan-perubahan besar di Jepang sehingga mereka dapat
diibaratkan sebagai agen perubahan Jepang. Beberapa birokrasi mengerjakan hampir
semua rancangan, di mana 70 persen rancangan undang-undang berasal dari birokrasi
sementera 30 persen berasal dari anggota Diet secara individu. Politisi dan birokrat
biasanya memiliki peranan yang terpisah dan saling bertentangan, akan tetapi birokrasi
Jepang memiliki hubungan yang erat dengan pemimpin-pemimpin politik.38
Tidak dapat disangkal bahwa Diet yang seharusnya menjalankan fungsi sebagai
perancang undang-undang memberikan fungsi tersebut kepada birokrasi, yang
seharusnya menjadi unit terkecil dalam menjalankan pemerintahan sebagai badan
38
Haruhiro Fukui, op.cit, hal 807
70
eksekutif. Sementara kabinet menjadi representasi birokrasi dalam mengajukan
rancangan undang-undang tersebut.
Hal ini tampaknya disebabkan karena birokrasi lebih bersentuhan dengan
masyarakat secara langsung dan mengurus masalah sehari-hari, sehingga mereka lebih
mengetahui apa yang diinginkan masyarakat. Umumnya kebijakan luar negeri Jepang
tidak menarik secara politik dan lebih bersifat teknis, namun efisien dan terkadang tanpa
adanya pengaruh politik.
Dengan kerja birokrasi dalam merancang undang-undang, tidak berarti bahwa
politisi, dalam hal ini kabinet dan Diet, tidak menjalankan fungsi dalam pemerintahan.
Apa yang terjadi pada pemerintahan Jepang adalah rancangan undang-undang dibuat
oleh Jepang kemudian politisi mengatur arah, menentukan prioritas, membuat keputusan
dalam keadaan kritis, menyetujui atau tidak rancangan undang-undang yang telah dibuat
oleh birokrasi, kemudian menjelaskan kepada masyarakat mengapa beberapa kebijakan
tersebut diambil dan dibutuhkan untuk negara.
Dalam pemerintahan Jepang tidak hanya tugas birokrasi yang mengalami
ketimpangan dalam interaksi eksekutif dan legislatif, akan tetapi keterlibatan partai
politik yang terlalu dalam dalam struktur pemerintahan. Dalam konstitusi Jepang tertera
bahwa perdana menteri terpilih dan dipilih oleh majelis rendah, namun pada
kenyataannya perdana menteri terpilih berdasarkan tradisi dalam partai politik. Hal ini
dikarenakan anggota mayoritas dalam Diet umumnya berasal dari satu partai sehingga
presiden partai secara otomatis menjadi perdana menteri.
Wakil-wakil menteri dan sekretaris dalam komisi parlemen juga tidak dipilih oleh
perdana menteri maupun menteri, akan tetapi dipilih oleh sekretaris jenderal partai yang
71
berkuasa saat itu. Kebijakan mengenai siapa yang akan terpilih untuk jabatan ini
dilakukan berdasarkan pertimbangan afiliasi senior dan fraksi-fraksi.
Komisi-komisi setiap majelis dalam Diet juga keanggotaannya berasal dari
kelompok partai politik yang susunannya sesuai dengan perimbangan jumlah anggota
partai politik dalam majelis. Penempatan komisi ini dibuat oleh partai masing-masing
sesuai dengan kekuatan dalam majelis.
Sistem ini berarti bahwa kebanyakan keputusan politik dibuat oleh partai berkuasa,
bukan oleh Diet. Sebelum diajukan dalam sidang parlemen, pembuatan undang-undang
telah dipersiapkan oleh birokrasi dengan adanya persetujuan politisi-politisi partai
berkuasa. Sebagai konsekuensinya, partai harus mewakili keseluruhan partai dalam
parlemen secara adil dan memiliki struktur yang sejajar dengan Diet. Sementara peran
perdana menteri dalam pembuatan kebijakan hanya sekedar pelaksana dengan sedikitnya
kemungkinan untuk perdana menteri memiliki pendukung yang setia pada agenda yang
telah ditentukan olehnya, dikarenakan wakil menteri dan sekretaris parlemen merupakan
orang pilihan partainya.
Namun sebelum hal tersebut terjadi, biasanya presiden partai menjauhkan anggotaanggota yang tidak sejalan dengannya, sehingga ketika ia terpilih maka anggota-anggota
partainya menahan kritik dan menerima kebijakan perdana menteri dengan memberikan
suara ketika pemerintah mengajukan legislasi kepada parlemen. Dikarenakan partai
politik besar dan berkuasa di Jepang memiliki model fragmen di mana terdapat faksifaksi dalam partainya, maka kecenderungan terjadinya pertentangan internal dalam
menyikapi kebijakan akan terjadi dalam suatu partai.
72
Salat satu kasus yang spesial di mana terjadi pertentangan internal yang kemudian
mempengaruhi dinamika hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah ketika Ichiro
Ozawa mengatakan bahwa dia akan menantang Naoto Kan, perdana menteri saat itu,
dalam kontes kepemimpinan. Kekahwatiran kemudian muncul berhubung Ichiro Ozawa
dan Naoto Kan berasal dari partai yang sama tetapi berbeda fraksi, dan jika terus terjadi
hal ini akan menghasilkan keretakan partai. Dengan keretakan partai, maka dijamin
majelis rendah akan berada dalam bahaya.
Hal ini juga kemudian menjadi keuntungan partai oposisi, LDP, untuk memisahkan
partai yang berkuasa, DPJ. Partai Demokratik Liberal dan aliansinya, partai New
Komeito, telah mengatur untuk mengajukan mosi tidak percaya melawan perdana
menteri DPJ Naoto Kan dan kabinetnya. Dengan mempersembahkan mosi ini, dua partai
memprotes cara Kan menangani akibat dari gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada
tanggal 11 Maret 2011, termasuk krisis yang sedang berlangsung di pembangkit tenaga
listrik Fukushima Dai-ichi. Dan dengan mosi ini, Ichiro Ozawa diharapkan untuk
memberikan suaranya. Tapi pada akhirnya, kabinet dibentuk oleh perdana menteri baru
Yoshihiko Noda dalam upaya untuk menyeimbangkan fraksi-fraksi yang berkompetisi
dalam partai berkuasa DPJ dan kebijakan-kebijakan politik luar negeri yang tegang.
Sebelum Kan diberikan mosi tidak percaya, dia mengajukan untuk mengundurkan
diri sehingga terhindar dari mosi tersebut. Tetapi Kan memiliki syarat untuk
pengunduran dirinya di mana dia menginginkan agar parlemen untuk meloloskan dua
rancangan undang-undang yang penting yang telah diajukannya. Rancangan undangundang tersebut adalah defisit pembiayaan obligasi dan promosi akan energi baru. Syarat
ini disetujui oleh Diet, terutama karena hubungannya terhadap satu dari kebijakan luar
negeri utama terhadap energi.
73
Sementara itu untuk menghindari dan mengurangi kemunculan oposisi, pemilihan
presiden partai biasanya disertai oleh perjanjian-perjanjian kepada beberapa partai
penting dan negosiasi akan pengisian posisi dalam kabinet ketika presiden partai
mayoritas terpilih berdasarkan tradisi partai atau dikarenakan pengunduran maupun
kematian perdana menteri sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan dan
memberikan setiap fraksi posisi yang adil, antara pemimpin fraksi maupun pengikutnya
serta antara partai berkuasa dan partai oposisi. Seperti contoh yang sekarang, Noda sadar
akan perbedaan yang tajam di dalam partai berkuasa, sehingga dia menunjuk posisi
utama partai secara seimbang dari kedua fraksi.
Namun dengan upaya-upaya untuk menghindari kemunculan oposisi baik dari
fraksi yang berasal dari partai yang sama maupun partai yang berbeda, namun mayoritas
rancangan undang-undang yang dibuat oleh kabinet dengan dukungan dari anggotaanggota fraksinya di dalam parlemen, kebanyakan tetap memperoleh pertentangan dari
oposisi.
Partai yang berkuasa berusaha untuk mengajukan rancangan undang-undang secara
cepat dengan harapan munculnya amandemen yang sedikit mungkin, sementara partai
oposisi berusaha untuk menggagalkan ataupun mengamandemen rancangan tersebut
secara besar-besaran. Acap kali dan kadang-kadang pertarungan ganas terjadi di
kepanitaan dan sidang paripurna, anggota oposisi menanyakan pertanyaan-pertanyaan
yang susah dan terkadang mempermalukan menteri-menteri dan wakil-wakil pemerintah
lainnya, sementara pada akhirnya seperti biasanya pemerintah mengelak dari pertanyaan
dan berputar-putar dibandingkan menjawabnya secara langsung.
Dari waktu ke waktu perselisihan terhadap rancangan undang-undang yang bersifat
kontroversi dapat menuju ke arah konfrontasi, dan anggota-anggota oposisi biasanya
74
menggunakan taktik yang sangat mengganggu pemerintahan. Seperti, mereka menuntut
prosedur pemungutan suara yang sangat menghabiskan waktu dalam sidang paripurna
dengan open ballot daripada menggunakan metode yang lebih sederhana dengan
menghitung suara-suara yang setuju terhadap rancangan undang-undang.
Metode yang sederhana dilakukan dengan cara bagi yang setuju akan berdiri dari
kursinya dan yang tidak setuju akan tetap duduk. Pada saat melakukan open ballot,
kelompok oposisi berjalan secara perlahan menuju kotak suara yang diletakkan di depan
podium sehingga menghabiskan waktu tambahan dan memperpanjang pertimbangan
terhadap rancangan undang-undang yang pada akhir sesi akan terhenti dengan sendirinya.
Dengan tujuan yang hampir sama, mereka menginginkan perdebatan untuk hal-hal
yang sebenarnya tidak begitu berhubungan dengan apa yang sedang dibicarakan sebelum
mendiskusikan rancangan undang-undang yang kontroversi atau memperkenalkan
beberapa resolusi mosi tidak percaya terhadap beberapa menteri.
Terdapat dua saat penting dalam membahwa rancangan undang-undang yang
kontroversi di mana kabinet mengajukan dan oposisi menggunakan taktik memperpanjang
waktu. Rancangan tersebut mengenai pengiriman pasukan Jepang ke luar negeri untuk
pertama kalinya semenjak perang dunia kedua dan berpartisipasi dalam operasi
perdamaian PBB. Yang pertama adalah untuk Kamboja dalam upaya mereka untuk
mengembalikan perdamaian dan untuk rekonstruksi Irak.
Pada kasus Kamboja di tahun 1992, taktik perpanjangan waktu telah diharapkan
dari Sosialis dan Komunis, tetapi LDP memegang suara mayoritas pada majelis rendah
sehingga undang-undang tersebut memiliki kemungkinan untuk lolos. Suara majelis
tinggi dianggap lebih penting bagi LDP dikarenakan mereka tidak memiliki suara
75
mayoritas di sana, sehingga mereka harus memenangkan dukungan dua parti politik
utama untuk mensahkan rancangan undang-undangnya.
Perbandingan akhir adalah 137 berbanding 102 yang diputuskan pada jam 2
malam, diikuti 4 hari dan 3 malam dengan banyaknya pidato panjang dari Sosialis dan
Komunis, yang mempertahankan bahwa membiarkan pasukan Jepang untuk beroperasi di
luar negeri melanggar konstitusi, yang telah ditulis besar-besar ketika Amerika
menduduki
Jepang.
Konstitusi
melarang
penggunaan
kekuatan
militer
untuk
menyelesaiakan pertikaian internasional. Oposisi dalam kebijakan pengiriman pasukan ke
Kamboja mengatakan bahwa rancangan undang-undang tersebut mendefinisikan kembali
konstitusi dan membutuhkan debat yang panjang, namun LDP menolak.
Berbeda dengan pengiriman pasukan ke Kamboja dengan membawa bendera PBB,
pengiriman pasukan ke Irak merupakan bantuan yang diberikan Jepang karena adanya
permintaan Amerika Serikat. Kebijakan politik luar negeri ini merupakan salah satu
kebijakan Hatoyama yang sangat kontroversi dalam upayanya untuk memainkan peraan
yang lebih besar dalam perpolitikan dunia.
Debat yang panjang dan bersifat kritis juga terjadi pada salah satu kebijakan luar
negeri utama Jepang dalam keputusannya menyatakan perang terhadap terorisme.
Yukihisa Fujita, pemimpin partai oposisi majelis tinggi dan anggota dari Defense and
Foreign Affairs Committee pada saat itu, menantang perdana menteri dan menteri-menteri
kabinet untuk membenarkan partisipasi Jepang yang berkelanjutan pada ‘global war on
terror’ AS. Dia mempertanyakan menteri-menteri mengenai bukti, jika ada, yang Amerika
Serikat tawarkan mengenai peristiwa 9/10.
76
Fujita kemudian menggarisbawahi di hadapan menteri-menteri dan juga
masyarakat Jepang pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan fakta-fakta yang
mengganggu yang berkontradiksi dengan narasi resmi peristiwa 9/11. Debat tersebut
terjadi karena adanya permintaan dari George Bush melanjutkan partisipasinya seperti
yang Jepang lakukan pada perang teluk.
Jepang telah menyediakan jasa angkatan laut di Samudera Hindia untuk
mendukung upaya perang AS, tetapi operasi tersebut dihentikan oleh majelis tinggi ketika
majelis tinggi tidak memberikan suara pada rancangan undang-undang tersebut karena
kekhawatiran operasi tersebut melanggar konstitusi Jepang yang melarang adanya
aktifitas militer.
Perdana menteri Fukuda, dipaksa untuk mempergunakan prosedur luar biasa
parlemen dalam rangka mengulangi operasi angkatan laut. Fukuda berhasil meloloskan
rancangan undang-undang dalam anggaran perang hanya ketika dia berhasil
mengamankan 2/3 suara mayoritas di majelis rendah. Prosedur ini sangat luar biasa
hingga hanya digunakan setelah 40 tahun dan membuat Fukuda terancama mendapatkan
mosi tidak percaya.
Walaupun jarang terjadi, namun anggota-anggota oposisi juga umumnya
memboikot dan tidak hadir dalam proses parlementer atau anggota partai pemerintah
memblokir untuk masuk ke kedua majelis dalam rangka mencegah penerimaan rancangan
undang-undang yang tidak disetujui oleh oposisi. Taktik-taktik bersifat merusak yang
dilakukan oleh oposisi ini sangat efektif sehingga partai berkuasa memilih untuk
menyerah kepada oposisi demi alasan taktis. Partai tersebut, bagaimanapun juga, sering
menentang ataupun tidak memperdulikan keberatan dan menyelesaikan rancangan
77
undang-undang yang kontroversi secara cepat melalui salah satu ataupun kedua majelis
bahkan ketika anggota oposisi sedang absen.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Jepang merupakan negara demokrasi dengan
memberikan peran yang sangat besar kepada partai oposisi dalam pembuatan undangundang, baik itu dikarenakan adanya lobi-lobi posisi ketika presiden partai naik menjadi
Perdana Menteri dan kesempatan untuk memperlambat dan berusaha untuk menghalangi
legislasi sehingga memberikan tekanan kepada partai mayoritas dalam membuat
kesepakatan. Jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi lainnya, pengaruh
partai oposisi yang membawa kepentingan minoritas memiliki kesempatan untuk
mengubah suatu kebijakan karena Jepang merupakan negara yang berdasarkan konsensus
dengan perbedaan setipis mungkin terhadap keputusan mayoritas.
Debat dalam Diet menawarkan oposisi kesempatan untuk mengahalangi legislasi
yang tidak mereka inginkan melalui taktik penundaan, memboikot sidang, dan taktiktaktik yang mengganggu yang dalam kehidupan memperoleh dukungan dari media massa
dan demonstrasi massa di jalan. Jika partai berkuasa menggunakan paksaan dengan cara
memperpanjang persoalan melalui rancangan undang-undang yang kontroversi tanpa
memberikan waktu untuk debat penuh, tindakan tersebut akan dianggap tidak demokratis
dan berisiko mendorong demonstrasi public yang berakibat kekacauan masyarakat,
seperti yang terjadi pada tahun 1960. Hal yang terburuk yang kemudian dapat terjadi
adalah kurangnya suara untuk partai berkuasa di pemilu berikutnya. Sebagai hasilnya,
partai berkuasa saat itu, LDP memberikan batasan terhadap pengajuan rancangan
undang-undang yang kontroversi dalam sidang. Tiga atau empat rancangan undangundang adalah angka yang dianggap banyak. Salah satu kasus yang terjadi adalah
rancangan undang-undang untuk menjadikan Agensi Pertahanan menjadi Menteri
78
Pertahanan. LDP telah berharap lama agar persoalan tersebut menjadi nyata dan mereka
memiliki suara untuk itu, akan tetapi tahun demi tahun rancangan undang-undang
tersebut ditangguhkan karena anggapan persoalan tersebut lebih terkesan simbolis dan
oleh karena itu sebaiknya dikorbankan demi legislasi yang lebih penting.
Seiring dengan berlalunya waktu, pertentangan mengenai legislasi semakin
berkurang dan semakin melunak dari waktu ke waktu, partai berkuasa kemudian
menemukan cara untuk meredam partai oposisi dan kelompok penekan dalam merancang
undang-undang yang akan diajukan sehingga lebih mudah untuk diterima. Umumnya,
partai berkuasa akan menjalankan prosedur di luar sidang, melalui konsultasi dan
negosiasi tidak formal yang biasanya diselenggarakan diam-diam di antara birokrasi,
organ partai, partai oposisi, dan kelompok penekan.
Proses politik di Jepang, walaupun sangat rumit, sangat efektif dan terkesan
teradaptasi dengan baik sesuai gaya hubungan perseorangan Jepang, fleksibel namun
lambat. Hal ini mungkin dikarenakan pemberian hak veto kepada kelompok oposisi
minoritas sehingga menghasilkan lebih banyak kompromi jika dibandingkan sistem
demokrasi lainnya.
Hubungan pemerintah dan oposisi yang harmonis dapat dilihat dari kebijakan
politik luar negeri Jepang terhadap Taiwan. Pandangan populer Jepang terhadap Taiwan
dan pandangan populer Taiwan terhadap Jepang merupakan hal yang paling positif di
kawasan Asia. Politisi-politisi yang lebih muda cenderung untuk lebih pro-Taiwan
dibandingkan para tetua. Ketika penentu kebijakan yang lebih tua pensiun, politisipolitisi yang lebih muda akan memperoleh pengaruh yang lebih besar dalam kebijakan
luar negeri Jepang, sebuah tren yang membentuk hubungan Tokyo-Taipei di masa depan.
79
Pada tahun 2003, Jepang, secara verbal, memberikan dukungan untuk pertama
kalinya kepada Taipei untuk masuk ke dalam World Health Organization (WHO) dan
memberikan suaranya kepada Taiwan di tahun 2004. Dukungan politik ini meningkat
secara signifikan dan tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Secara militer,
dukungan Jepang untuk Taipei juga meningkat. Pada bulan Maret 2004, tim pejabat
angkatan laut Jepang yang telah pensiun memberikan nasihat kepada angkatan laut
Taiwan. Setahun kemudian, tim lain terlibat selangkah lebih maju dengan melatih
angkatan Taiwan secara aktif. Dan di bulan Agustus 2005, kelompok multi-partisan yang
membuat legislasi dari National Defense Committee of Taiwan’s Legislative Yuan
melakukan perjalanan ke Jepang untuk pertama kalinya untuk berdiskusi mengenai
persoalan kerjasama militer antara Taiwan dan Jepang dengan pembuat legislasi Jepang
dan pejabat militer yang pensiunan.
Pertikaian energi dan kedaulatan Sino-Jepang yang masih berlangsung sekarang ini
juga telah menambah kemarahan Jepang terhadap Cina. Dengan memanfaatkan
ketidakpuasan ini, Sekretaris Jendral LDP saat itu Shinzo Abe, penganjur utama garis
keras kebijakan anti-Cina yang secara publik mendukung Jepang datang untuk membantu
Taiwan dalam agresi Cina. Di mana Shinzo Abe kemudian menjadi prime minister dan
tetap mendukung hubungan Jepang dan Taiwan.
Baik politisi yang berkuasa maupun oposisi dari Jepang dan Taiwan secara tetap
saling bertukar pertemuan tidak resmi. Baik pemimpin Democratic Progressive Party
(DPP) dan pemimpin saat ini Chen Shui-bian, serta pemimpin oposisi People’s First
Party Jamess Soon telah mengunjungi Jepang dan bertemu dengan politisi-politisi atas
Jepang. Bahkan, ketika Chen berkunjung ke Jepang pada bulan Juli 1999, dia
80
memperoleh jaminan akses kepada pejabat-pejabat tinggi kabinet, termasuk direktur
Japan Defense Agency Norota Hosei dan perdana menteri Obuchi Keizo.
Kekuatan ikatan politik antara Taiwan dan Jepang dapat diamati dari pengaruh
“lobi Taiwan” di Diet Jepang, di antara 300 anggota Diet dan termasuk menteri-menteri
kabinet, dari total 722 telah bergabung dalam asosiasi persahabatan Jepang-Taiwan.
Partai yang berkuasa pada saat itu LDP, oposisi terbesar DPJ, dan masih banyak partaipartai kecil Jepang lainnya terwakili dalam Grup Dialog Anggota Diet dalam Hubungan
antara Jepang-Cina, merupakan salah satu asosiasi Jepang-Taiwan terbesar.
Sebagai hasilnya, “lobi Taiwan” di Diet Jepang bahkan lebih berpengaruh daripada
perimbangannya di kongres Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, legislator yang lebih muda
di Diet Jepang cenderung ke arah Taiwan, dan sebagai politisi dan pejabat yang lebih tua
yang telah mengawasi normalisasi Cina-Japan 1972 menghilang dari layar, politisipolitisi yang lebih mudah telah meningkatkan pengaruhnya.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemerintahan Jepang dalam Pengambilan
Kebijakan Luar Negeri
Setengah dari 122 juta orang penduduk Jepang dapat hidup di pulau Jepang yang
sempit hanya jika terdapat aliran sumber daya alam yang datang dari luar negeri melalui
ekpor, sebagai timbal balik impor sumber daya alam tersebut maka Jepang mengekspor
manufaktur. Sehubungan dengan ini, Jepang harus mampu bekerjasama secara efektif
dengan negara-negara lain dalam menghadapi masalah-masalah dunia yang rumit dan
besar. Selain kemampuan dalam bekerja sama, Jepang juga memerlukan kondisi
perdamaian dan perdagangan dunia yang memungkinkan untuk terjadinya pertukaran
81
barang dalam skala besar juga. Lingkungan global yang sesuai dan hubungan luar negeri
yang sehat merupakan apa yang dibutuhkan Jepang untuk memenuhi kebutuhan
nasionalnya.
Hubungan antara Jepang dan Amerika Serikat sangatlah erat, hal ini dapat dilihat
dari kebijakan-kebijakan politik luar negeri kedua negara yang selaras. Dimulai dengan
ditandatanganinya “Perjanjian Perdamaian” yang menjadi landasan hubungan militer dan
nantinya akan berlanjut menjadi hubungan ekonomi. Namun hal ini tidak berarti bahwa
Jepang hanya mengikuti keinginan Amerika Serikat, karena Jepang mengambil
keputusan dan membuat kebijakan berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa adanya
campur tangan pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat.
Perjanjian Keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat memberikan hak kepada
basis militer Amerika untuk berada di tanah Jepang yang merdeka dan komitmen
Amerika Serikat dengan dua tujuan yaitu dukungan posisi militer Amerika di Korea dan
perlindungan untuk Jepang yang rapuh karena apa yang telah tertera dalam konstitusi.
Pemimpin politik konservatif Jepang memahami kondisi tersebut dan kebijakan ini
didukung oleh Perdana Menteri Ashida Hitoshi dan penerusnya, Yoshida. Bahkan
Sosialis yang moderat menerima pentingnya perjanjian perdamaian yang terpisah
tersebut dan berpisah dengan sayap kiri oleh karena isu tersebut. Kelompok oposisi yang
tersisa menolak keberadaan kebijakan tersebut dikarenakan mereka menganggap bahwa
basis militer AS memberikan bahaya yang besar dibandingkan keamanan yang diperoleh
Jepang. Perjanjian Keamanan, bagi oposisi, menginjak-menginjak konstitusi Jepang yang
memuat penolakan terhadap perang, yang mana Jepang sangat bangga akan hal tersebut.
82
Perjanjian Keamanan AS-Jepang memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan posisi
Jepang sebagai negara merdeka. Perjanjian tersebut mengizinkan penggunaan pasukan
Amerika dalam Jepang untuk memadamkan kerusuhan yang dibuat oleh masyarakat, jika
diminta oleh pemerintah Jepang. Jepang juga tidak memiliki kontrol terhadap senjata
nuklir Amerika Serikat, yang merupakan momok bagi masyarakat Jepang. Hal yang
paling utama dari keseluruhan adalah tidak adanya pembatasan waktu untuk memutuskan
kontrak perjanjian. Dengan alasan ini, pemerintah menerima banyak keberatan dan protes
dari oposisi dan juga masyarakat. Oleh karena itu mereka meminta untuk merevisi
perjanjian tersebut.
Revisi di tahun 1960 menghilangkan kemungkinan penggunaan pasukan Amerika
Serikat di Jepang dan menetapkan 10 tahun batas perjanjian, setelah itu salah satu pihak
dapat menentukan untuk melanjutkan atau tidak, dan jika ingin membatalkannya terdapat
ketentuan untuk melakukan pemberitahuan satu tahun sebelumnya. Untuk masalah
nuklir, perjanjian yang baru dan beberapa kesepakatan yang menetapkan bahwa Amerika
Serikat tidak akan melakukan perubahan yang besar dalam persenjataan tanpa
mengkonsultasikan kepada Jepang. Secara tidak langsung, Amerika Serikat tidak dapat
menumpuk senjata nuklir di Jepang atau membawanya ke Jepang tanpa persetujuan resmi
Jepang. Hal yang sama juga berlaku terhadap aksi militer pasukan Amerika Serikat di
Korea tidak dapat dilakukan jika Jepang mengeluarkan hak vetonya. Perubahan ini
kemudian membuat popularitas pemimpin Jepang semakin bertambah, namun beberapa
kelompok sosialis yang berpisah dari Partai Sosial Demokrat tetap menolak Perjanjian
Keamanan, dengan alasan mendasar bahwa keberadaan perjanjian tersebut melanggar
kedaulatan Jepang.
83
Amerika Serikat merupakan sekutu utama Jepang yang enggan mereka tentang.
Perjanjian Keamanan Jepang-As merupakan kerangka yang membentuk kebijakan politik
luar negeri kedua belah pihak. Tidak heran jika Jepang menyelaraskan diri dengan aksiaksi Amerika Serikat. Pada masa pemerintahan Bush, Amerika Serikat mendorong
Jepang untuk memainkan peran yang lebih besar dalam menjaga perdamaian dan
stabilitas di Asia Timur. Pada tahun 1999, AS menekan Jepang untuk mendukung
Taiwan. Awalnya Jepang menolak, tetapi Jepang kemudian mempertimbangan persoalan
tersebut dan mendukung Taiwan berdasarkan alasan-alasan tersendiri.
Jepang menempatkan isu Selat Taiwan dengan menggunakan istilah Joint
Declaration yang bernaung di bawah bidang keamanan dan dengan asosiasi di bawah
Perjanjian Keamanan AS-Jepang. Pendirian Jepang ini lebih jauh lagi diklarifikasi di
tahun 2005, ketika Amerika Serikat dan Jepang mengeluarkan pernyataan untuk
bergabung dan secara eksplisit mendeklarasikan resolusi damai sebagai strategi umum
yang objektif dalam rangka persoalan yang berhubungan dengan Selat Taiwan.
Namun jika kebijakan Amerika Serikat kepada Taiwan tiba-tiba berubah, ancamanancaman yang diterima Jepang dari Cina, bersama dengan keberadaan lobi pro-Taiwan
yang berpengaruh dan besar dalam Diet dan kabinet Jepang, akan tetap mendorong
hubungan Jepang-Taiwan untuk maju. Terlebih lagi, perubahan pendirian Jepang lebih
terletak pada kepentingan realisnya sendiri dan hal inilah yang terpenting. Bagaimanapun
juga, berdasarkan teori realis, kepentingan nasional sebuah negara merupakan ukuran
jangka panjang yang paling akurat untuk meramalkan tindakan-tindakannya di masa
depan.
Jadi walaupun Amerika dianggap sebagai pengaruh utama kebijakan Jepang, tetapi
Jepang memiliki alasan ersendiri untuk memperkuat ikatan Jepang-Taiwan. Yang patut
84
diperhatikan adalah ketakutan akan pertumbuhan militer Cina dan beberapa pertikaian
yang masih berlangsung dikarenakan persoalan kepentingan keamanan nasional.
Kekhawatiran Jepang mengenai pertumbuhan kekuatan militer Cina telah memainkan
peran dalam membentuk kebijakan keamanan Jepang dalam beberapa tahun terakhir ini.
Untuk merespon datangnya bahaya ini, kabinet Jepang mengadopsi “National
Defense Program Guideline, FY 2005” yang baru di tahun Desember 2004. Rencana
berjangka panjang yang ditujukan untuk menuntun perkembangan pertahanan jangka
panjang negara, dokumen tersebut menekankan bahwa Cina merupakan kekhawatiran
dalam hal pertahanan Jepang di kawasan Asia Pasifik.
Dalam mengekspresikan kegelisahan Jepang mengenai modernisasi militer Cina,
ketua JDA meminta tranparansi pengeluaran militer Cina pada bulan Juni 2005, yang
diikuti dengan dikeluarkannya rancangan dokumen putih JDA tahun 2005. Terlebih lagi,
rancangan dokumen putih tahun 2005 memperingatkan tiga kebutuhan berbeda untuk
tetap melanjutkan pengawasan atas kebangkitan Cina, mendeklarasikan bahwa Cina
sedang dan telah memodernisasikan kemampuan militernya yang berfokus kepada
kekuatan misil dan nuklir serta angkatan lautnya dalam beberapa tahun terakhir ini.
JDA pertama kali menyentuh persoalan in di tahun 1996 yang mendeklarasikan
bahwa Jepang harus mengawasi tindakan-tindakan Cina, seperti modernisasi nuklir dan
angkatan bersenjatanya; memperluas cakupan aktifitas di laut tinggi; dan ketegangan
yang bertambah di Selat Taiwan disebabkan oleh latihan militer. Dokumen putih lebih
jauh memperluas ancaman dari Cina dengan secara eksplisit mencatat bahwa Jepang
terbentang dalam jarak misil Cina. Di tahun 2004, panitia JDA untuk Defense Capability
meningkatkan peringatan dan kemudian membuat langkah berikutnya dengan
mengeluarkan laporan dengan menggarisbawahi tiga situasi yang mana Cina
85
kemungkinan akan menyerang Jepang, salah satunya adalah keterlibatan dalam perang
Selat Taiwan.
Jepang memiliki beberapa pertikaian dengan Cina yang sedang berlangsung dan
bersifat mendasar, banyak dari pertikaian tersebut melibatkan strategi yang penting. Hal
yang paling signifikan adalah kedua negara mengklaim kepemilikan atas Pulau Senkaku,
yang terbentang di Laut Cina Timur antara Jepang dan Taiwan yang saat ini diatur oleh
Jepang. Cina dan Jepang melihat persoalan ini dari sisi kedaulatan dan kehormatan.
Posisi geografis Pulau Senkaku di Laut Cina Timur juga penting dalam menyokong
klaim maritim Jepang dan Cina terhadap keberadaan deposit minyak dan gas yang
dicurigai terdapat di bawah laut kawasan tersebut. Hasilnya, kedua negara menolak untuk
menyerah dan mundur maupun bernegosiasi mengenai persoalan ini.
Pertikaian tersebut merefleksikan kompetisi strategis yang besar antara Jepang dan
Cina dalam hal persediaan energi. Kedua negara merupakan negara yang miskin minyak
dan gas yang menyebabkan mereka terlibat dalam ketegangan yang berulang-ulang
dalam hal teritori dan persediaan energy yang dicurigai keberadaannya.
Tetapi kompetisi Sino-Jepang untuk persediaan energi tidak terbatas hanya kepada
Laut Cina Timur, bagaimanapun juga kedua negara telah saling bertentangan di tempat
yang lain dalam usahanya untuk mempersiapkan energi cadangan di masa yang akan
datang untuk negaranya. Ketika Rusia merencanakan untuk membangun sambungan pipa
minyak menyebrangi Siberia bagian timur di awal 2004, Cina dan Jepang melobi secara
intensif untuk mengatur rute jalur pipa tersebut yang menguntungkan mereka.
Kepemimpinan kawasan Jepang juga diserang oleh Cina dalam beberapa hal.
Dalam bidang ekonomi, Beijing dengan suksesnya menandatangani perjanjian
86
perdagangan bebas dengan Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) di bulan
November 2004, lebih dari setengah tahun sebelum negosiasi perdagangan bebas JepangASEAN dijadwalkan untuk mulai.
Salah satu pertikaian Jepang yang berhubungan dengan Cina yang lain adalah Cina
menentang permintaan Jepang untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB,
yang merupakan tujuan yag paling ingin dicapai oleh Jepang dalam empat dekade
belakangan ini. Berhubungan segala macam reformasi dalam keanggotaan tetap Dewan
Keamanan membutuhkan persetujuan Cina atau setidaknya absensi, penentangan Beijing
dapat mencegah Jepang untuk bergabung menjadi anggota tetap PBB.
Dengan faktor-faktor inilah, sangat jelas alasan kuat Jepang untuk berwaspada akan
proposal anggota Uni Eropa baru-baru ini yang ingin mencabut embargo senjata Cina,
Jepang sendiri secara langsung merasa terancam dengan pertumbuhan Cina. Sebagai
tambahan, faktor-faktor ini mengarahkan Jepang untuk memiliki lebih banyak alasan
lebih dari sekedar paksaan Amerika Serikat untuk meningkatkan hubungan keamanan
dan politik dengan Taiwan melalui mengirim penasehat dan pelatih militer ke Taipei
untuk mendukung partisipasi Taiwan di WHO dan meningkatkan komitmennya untuk
menjaga keamanan di Selat Taiwan.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan mengenai Dinamisme Eksekutif dan Legislatif dalam
Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Jepang sebagai berikut:
1. Dinamisme antara eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan politik luar
negeri
Terdapat dua jenis interaksi jika kita ingin membicarakan eksekutif dan
legislative, yaitu saling mendukung dan saling menjegal. Pada dasarnya dan
seharusnya, Diet sebagai pemegang kekuasaan legislatif memiliki kewajiban dan
hak untuk merancang dan mensahkan konstitusi, sementara kabinet dan birokrasi
sebagai pemegang kekuasan eksekutif memiliki kewajiban dan hak untuk
menjalankan konstitusi tersebut. Namun di Jepang, terjadi pergeseran kekuasaan
yang tidak lazim antara eksekutif dan legislatif. Rancangan undang-undang di
buat oleh birokrasi yang dipresentasikan oleh Perdana Menteri yang juga
merupakan presiden partai di mana anggotanya mayoritas menempati parlemen.
Parlemen bertugas untuk menyetujui atau menangguhkan rancangan undangundang tersebut, sehingga kemungkinan terjadi pertentangan antara Perdana
Menteri dan parlemen mengenai satu kebijakan, dan hal tersebut dapat
diakomodasi dengan mosi ketidakpercayaan ataupun pembubaran parlemen.
Tidak hanya itu dinamisme yang terjadi antara eksekutif dan legilatif, dalam kubu
legislatif juga terdapat pertentangan yang dapat mempengaruhi kinerja eksekutif,
88
yaitu pertentangan antara partai yang memerintah dan juga partai oposisi.
Pertentangan dalam kubu legislatif dapat dilihat dari sidang-sidang yang mereka
lakukan di mana kedua pihak saling menjegal dengan metode-metode berdasarkan
aturan yang berlaku. Dan bahkan mereka menggunakan peraturan untuk
mencegah satu sama lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun
dalam penerapan politik, Jepang dapat dianggap telah menjalankan prinsip
demokrasi dalam kesehariannya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemerintahan Jepang dalam pengambilan
kebijakan luar negeri
Jika dari sudut pandang orang awam, Jepang akan dianggap sebagai negara yang
hanya mengikuti kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Tetapi hal itu
tidak benar sama sekali. Namun pada kenyataan bahwa Jepang selalu
menyesuaikan kerangka kebijakannya dengan apa yang dimiliki oleh Washington
dapat dibenarkan. Sebagai aliansi Jepang terbesar di mana Jepang sangat
bergantung dalam hal keamanan kepada Amerika Serikat, Amerika Serikat juga
mengambil kesempatan untuk memanfaatkan posisi Jepang di Asia Timur demi
kepentingannya. Sehingga terjadilah hubungan simbiosis mutualisme antara
kedua negara. Dan tidak hanya Amerika Serikat saja yang mempengaruhi
pengambilan keputusan politik luar negeri Jepang, akan tetapi negara-negara yang
memiliki potensi untuk bersitegang dengan Jepang, seperti Cina, di Asia Timur
juga memiliki peranan dalam membentuk kerangka kebijakan politik luar negeri
Jepang. Jepang sendiri pada awalnya hanya bermain politik pada ranah domestik,
namun kebutuhan akan peningkatan yang lebih baik membuatnya untuk berusaha
mengambil peranan yang lebih besar dalam percaturan politik dunia. Dalam hal
ini, Jepang mengeluarkan apa yang mereka sebut ODA untuk membantu negara89
negara yang sedang berkembang dalam kemajuan ekonominya. Akan tetapi,
setelah ditilik lebih mendalam, keberadaan ODA ini selain membantu negaranegara berkembang juga memberikan keuntungan tersendiri bagi Jepang
dikarenakan Jepang akan menjadikan mereka pasar untuk menjual barang-barang
ekspor mereka sehingga mereka ingin meningkatkan perekonomian negara-negara
tersebut.
B. Saran
1. Berkaitan dengan pandangan dunia yang menganggap bahwa Jepang negara bisu
yang hanya mengikuti kebijakan Amerika Serikat, tidak dapat disimpulkan seperti
itu secara bulat-bulat. Karena pada kenyataannya, terdapat pertimbangan dari
eksekutif dan legislatif dalam mengeluarkan kebijakan, akan tetapi memang
pengaruh Amerika Serikat sangatlah besar.
2. Walaupun budaya tersebut telah mengakar, akan lebih baik jika Jepang dapat
melakukan pergeseran kekuasaan kepada pemegang seharusnya antara birokrasi
dan politisi. Karena jika terus dilanjutkan maka akan terjadi pelanggaran terhadap
sistem yang telah dibentuk. Partai berkuasa DPJ saat ini telah berusaha untuk
melakukan pengurangan kekuasan terhadap birokrasi dengan bertahap, kita hanya
perlu menunggu apakah hal ini akan memberikan kebaikan ataukah malah
membawa bencana pada Jepang.
3. Pemerintah Jepang hendaknya menjalin hubungan yang lebih erat lagi dan
bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan konflik yang masih tersisa di Asia
Timur. Karena tidak mudah untuk menyelesaikan konflik di antara negara
tetangga tersebut. Walaupun kerjasama dan hubungan baik terlah terlihat di
beberapa
pemerintahan,
namun
ketakutan
negara-negara
tetangga
akan
90
bangkitnya kembali militerisme Jepang membuat ketidakpercayaan negara
tersebut kepada Jepang. Hal ini harus diupayakan oleh Jepang agar negara-negara
tersebut dapat memberikan kepercayaan kepada Jepang dalam setiap kerjasama
yang dilakukan
4. Jepang untuk membentuk imej di mata dunia, terutama dalam upayanya untuk
menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, seharusnya berusaha untuk
memainkan peran yang lebih besar dalam percaturan politik dunia.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Baerwald, Hans H, 2003, “Japan’s Parliament”, Britannica, Chicago: Encyclopedia Brittanica, Inc
Banyu, Anak A. & Yanyan Mochamad, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Budiarjo, Miriam, 2002, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Coulumbus, Theodore A & James H.Wolfe. 1999. An Introduction to International Relations:
Power and Justice. Prentice Hall, New Delhi.
Curtis, Gerald L, 2004, “The Japanese Way of Politics”, Encyclopedia Americana,
Connecticut: Scholastic Library Publishing, Inc,
Division for Public Administration and Development Management (DPADM), Department of
Economic and Social Affairs (DESA), United Nations, 2006
Fukui, Haruhiro, 2004, “Japan’s Government” Encyclopedia Americana , Connecticut:
Scholastic Library Publishing, Inc.
Holsti, K.J., 1988, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Bina Cipta, Bandung.
Irsan, Abdul, 2005, Politik Domestik, Global, & Regional, Hasanuddin University Press, Makassar.
Jackson, Robert & Georg Sorensen, 2007, Introduction to International Relations: Theories
and Approaches, Oxford University Press, New York.
Jusuf, Suffri, 1989, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Kedutaan Besar Jepang, 1989, Jepang Sebuah Pedoman Saku, Foreign Press Center, Japan.
Kementerian Luar Negeri Jepang, 2004, Menjelajahi Jepang, Tokyo
Lovel, John P., 1970, Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making, Holt,
Rinehart and Winston, Inc., New York
Mas’oed, Mochtar, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin Ilmu dan Metodologi,
LP3ES, Jakarta
Nasrun, Mappa, 1990, Indonesia Relations with The South Pacific Countries; Prospect and
and Problems, UNHAS, Makassar.
Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, 1997, Mizan Pustaka: Kronik Indonesia
Baru
92
Reischauer, Edwin O. & Marius B.Jansen, 2005, The Japanese Today: Change and
Continuity, Berkeley Books Pte. Ltd., Singapura.
Rudy, T. May, 2002, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin, PT Refika Aditama, Bandung.
Soeprapto, R, 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi & Perilaku, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Suryohadiprojo, Sayimin, 1987, Belajar dari Jepang, Manusia dan Masyarakat Jepang dalam
Perjoangan Hidup, UI-Press, Jakart
World Population Prospects: The 2006 Revision, 2007, United Nations Publication.
Wright, Quincy, 1980, The Study of International Relations, New York: Free Press.
93
Internet
An Unstable New Government in Japan
http://www.jstor.org/pss/419570, 22 Agustus 17:23 WITA
Afghanistan Minta Jepang Teruskan Operasi Anti Terornya
http://www.kapanlagi .com/h/0000190829.html, 28 Agustus 2010, 10:23
WITA
Akhir Persekutuan Jepang-Amerika? Penolakan Ozawa atas Kebijakan Pengiriman Pasukan
Jepang ke Samudera Hindia
http://www.asahi.com/english/Herald-asahi/TKY200804210074.html, 28
Agustus 2010, 10:23 WITA
Angkatan Laut Jepang Kembali Beroperasi Dukung Perang Afghanistan
http://www.kapanlagi.com/h/0000210137.html, 10 Maret 2011 14:20 WITA
Fukuda Bertekad Perbaiki Hubungan Dengan China
http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=153418, 2 September 2010,
22:50 WITA
Jepang-China Tak Sepakati Soal Eksplorasi Gas Bersama
http://www.kapanlagi.com/h/0000214815.html, 10 Maret 2011 14:20 WITA
Jepang dan India Layak Jadi Anggota Tetap DK PBB, Kata Australia
http://www.antara.co.id/are/2008/4/6/jepang-dan-india-layak-jadi-anggotatetap-dk-pbb-kata-asutralia/, 10 Maret 2011 14:20 WITA
Jepang Di Bawah Kepemimpinan Perdana Menteri Baru
http://[email protected], 2 September 2010, 22:50 WITA
Jepang Kurangi Bantuan Luar Negeri
http://news.antara.co.id/arc/2007/12/20/jepang-kurangi-bantuan-luar-negeri/,
10 Maret 2011 14:20 WITA
LDP, New Komeito Eye No-confidence Motion vs. Gov't as Early As Thurs
http://findarticles.com/p/articles/mi_m0XPQ/is_2011_May_31/ai_n57574560/
, 22 September 2011 22: 27 WITA
Perancis Dukung Jepang Jadi Anggota Tetap DK PBB
94
http://www.kapanlagi.com/h/0000056692.html, 4 Juni 2011 21:34 WITA
PM Jepang Desak Oposisi Dukung Misi Afghanistan
http://www.kapanlagi.com/h/0000207955.html, 10 Maret 2011 14:20 WITA
Policy Confusion In Store As Japan PM Faces No-confidence Vote
http://www.trust.org/alertnet/news/scenarios-policy-confusion-in-store-as-japan-pm-faces-noconfidence-vote/, 22 September 2011 22:27 WITA
95
Download