BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era ketika negara-negara telah terbentuk dengan adanya kemungkinan akan munculnya negara-negara baru, maka kegiatan-kegiatan politik luar negeri juga akan semakin bertambah. Satu tujuan mungkin akan dimiliki oleh beberapa negara, sehingga menimbulkan adanya interaksi dan benturan oleh negara-negara tersebut, baik itu bersifat kooperatif maupun konflik. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan bagi negara satu sama lain dalam mencapai kebutuhan negaranya dengan membangun strategi yang jitu untuk kepentingan politik luar negerinya. Tercapainya tujuan dari politik luar negeri suatu negara dapat terjadi didukung dengan kebijakan-kebijakan yang mencakup pemahaman terhadap kebutuhan negara, strategi serta metode dalam menjalankannya, dan hasil yang akan diperoleh. Jepang memiliki bentuk fisik yang kecil jika dibandingkan dengan Korea dan Republik Rakyat Cina yang berada di kawasan Asia Timur, letak geografis yang tidak dapat dikatakan strategis karena sangat rentan terhadap bencana alam, dan sumber daya alam yang minim. Namun Jepang dapat mempertahankan posisinya di dunia internasional sebagai negara industri dengan kekuatan ekonominya dan keahliannya dalam bidang teknologi sehingga Jepang mendapatkan sorotan dari negara-negara lain dan dijuluki Macan Asia. Jepang memiliki produk domestik bruto terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat, urutan tiga besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja, berada di peringkat ke-4 negara pengekspor terbesar dan peringakat ke-6 negara pengimpor terbesar di dunia dalam perdagangan luar negeri, serta penduduknya memiliki 1 standar hidup yang tinggi dengan menempati peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan Manusia dan angka harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan PBB.1 Kapabilitas Jepang dalam pencapaiannya di mata dunia internasional adalah merupakan hasil dari aplikasi kebijakan-kebijakannya, terutama dalam politik luar negeri. Dengan “prestasi-prestasi” yang telah dipaparkan menurut PBB, Jepang dapat dikatakan cukup berhasil mencapai apa yang diperlukan dalam memelihara kebutuhan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan oleh aktor-aktor yang menciptakan serta menghasilkan kebijakan-kebijakan yang strategis. Aktor utama dalam menentukan suatu kebijakan, baik itu bersifat domestik maupun hal yang menyangkut dengan hubungan luar negeri, dalam suatu negara adalah pemerintah. Pemerintah Jepang membagi kekuasaan pemerintahannya ke dalam tiga badan yang berbeda-beda: eksekutif yang dipegang oleh Kabinet, legislatif yang dipegang oleh Diet, dan yudikatif yang dipegang oleh Mahkamah Agung. Bentuk dan sistem pemerintahan Jepang saat ini memiliki perbedaan mendasar yang mengakar dalam sistem politik Jepang di masa lalu. Selama berabad-abad lamanya paham feodalisme mengalir kental dalam darah masyarakat Jepang, hingga Jepang akhirnya menyadari perlunya untuk berubah untuk mengimbangi kekuatan negara-negara Barat. Politik luar negeri Jepang saat ini cenderung tidak berubah semenjak Perang Dunia II, namun dalam 20 tahun terakhir terjadi 14 kali pergantian perdana menteri yang sebagian besar pergantian itu dilakukan karena pengunduran diri. Dengan sering kalinya perdana menteri berganti sehingga walaupun politik luar negeri Jepang bersifat statis dengan berdasarkan pada kerangka yang telah dibuat di tahun 1950an maka kebijakan politik luar negeri akan berbeda dari setiap pemerintahannya. Semenjak tahun 2000 saja telah terjadi 6 kali pergantian perdana menteri. 1 World Population Prospects: The 2006 Revision, 2007, United Nations Publication, hal. 10. 2 Di tahun 2000an, politik Jepang didominasi oleh sosok Junichiro Koizumi, yang menjadi perdana menteri dari tahun 2001 hingga 2006, jangka waktu yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Umumnya perdana menteri LDP menjabat selama 1 hingga 2 tahun, dengan tiga perdana menteri yang menjabat selama 4 hingga 5 tahun termasuk Koizumi. Koizumi mengundurkan diri di tahun 2006, diikuti dengan pemilu tahun 2005 yang sukses, ketika LDP memperoleh kepercayaan dari Partai Demokrat. Koizumi digantikan oleh Shinzo Abe di bulan September 2006, yang popularitasnya tidak bertahan lama, dengan diikutinya peristiwa bunuh diri Toshikatsu Matsuoka, menteri pertaniannya, di bulan Mei 2007, yang terlibat dalam skandal keuangan. Pada pemilihan majelis tinggi bulan Juli 2007 Partai Demokrat membangun kemenangan mutlak di pemilu 2004, dan bersama dengan aliansinya memperoleh kendali di majelis tinggi. Di bulan September 2007, kurang dari setahun setelah Abe menjabat, ia mengundurkan diri, memperjelas ketidakpopulerannya sebagai penghambat pengesahan undang-undang melalui majelis tinggi. Abe digantikan oleh Yasuo Fukuda, yang sekali lagi hanya bertahan pendek selama satu tahun, mengundurkan diri pada September 2008, sekali lagi memperjelas ketidakmampuannya dalam mensahkan konstitusi. Dia telah digantikan oleh Taro Aso, yang menjadi menteri luar negeri selama dua tahun di bawah pemerintahan Koizumi dan Abe. Dia akan menghadapi Ichiro Ozawa, pemimpin Partai Demokratik, yang pernah menjadi menteri LDP di akhir 1980an dan 1990an. Ketika politik Jepang memasuki tahun 2009, ternyata Aso berada di posisi yang buruk untuk memenangkan pemilu, dengan pemerintahannya yang menderita karena hanya memiliki rating 19%. Tampaknya Jepang berada pada jalur perubahan 3 pemerintahan yang langka di tahun 2009 dengan adanya pergantian partai politik setelah selama ini LDP menjadi partai berkuasa. DPJ kemudian berkuasa setelah pemilu Agustus tahun 2009 setelah menjadi oposisi utama bagi partai LDP selama bertahun-tahun. Taro Aso merasa bertanggung jawab terhadap kekalahan LDP dan berhenti menjabat sebagai presiden. Empat puluh enam persen dari anggota Diet DPJ yang terpilih pada pemilihan 2009 merupakan pertama kalinya menjabat di parlemen. Kebanyakan memiliki pengalaman politik yang sedikit. Bahkan beberapa tidak mengetahui struktur Diet dan bagaimana mengesahkan rancangan undang-undang. Terdapat perbedaan yang signifikan antara partai berkuasa sebelumnya LDP dengan partai berkuasa saat ini DPJ. Sementara LDP memberikan dukungannya kepada Amerika Serikat, Ozawa dan Hatoyama dari DPJ memberikan dukungan akan hubungan yang lebih baik dengan Cina dan mengurangi ketergantungan terhadap aliansi terbesar Jepang, Amerika Serikat. Bahkan orientasi kebijakan politik luar negeri Hatoyama berjalan ke arah yang berbeda dari pemerintahan Obama, yang meningkatkan usaha untuk melemahkan pengaruh Cina di Asia. Washington memiliki peranan dalam menjatuhkan Hatoyama. Dia dipaksa untuk mengundurkan diri tahun lalu setelah Amerika Serikat menolak mentah-mentah untuk bernegosiasi terhadap pemindahan basis militer Amerika Serikat dari Okinawa, salah satu janji pemilu DPJ. Setelah pemasangannya sebagai perdana menteri, Kan kemudian secepatnya berusaha untuk memperkuat ikatannya dengan Washington dan mengadopsi sikap yang lebih agresif terhadap Beijing. Noda sendiri, perdana menteri saat ini, menandakan bahwa di tidak akan berada di posisi pro-Washington yang telah diaplikasikan Kan, sementara mengumumkan bahwa dia menginginkan hubungan yang berkembang baik 4 antara Cina dan Amerika Serikat. dalam konteks kontes kepemimpinan, Noda memperingatkan bahwa Cina mungkin “akan mengambil tindakan proaktif melawan Jepang” in tahun akan datang, berhubungan adanya penundaan perubahan kepemimpinan di Beijing. Pergantian perdana menteri yang paling terbaru terjadi di tahun 2011, dimana Naoto Kan digantikan oleh Yoshihiko Noda. Naoto Kan memperoleh mosi tidak percaya setelah krisis nuklir yang membawa bencana alam pada Jepang. Kan dapat bertahan dari mosi ketidak percayaan dengan syarat bahwa Kan akan mengundurkan diri untuk memperlihatkan rasa bertanggung jawabnya akan ketidakmampuannya untuk menanganani masalah nuklir tersebut. Pada tanggal 26 Agustus 2011, Kan mengumumkan pengunduran dirinya dan membuat pemerintahan tidak memiliki perdana menteri, akan tetapi, tidak lama kemudian Yoshihiko Noda dari DPJ menggantikannya. Setelah Noda berkuasa, ia secepatnya berusaha untuk memperbaiki hubungan politik partainya dengan birokrasi, eksekutif bisnis, dan kelompok-kelompok kepentingan yang sebelumnya telah membawa kelumpuhan dalam keefektifitasan pembuatan kebijakan. Kebanyakan kebijakankebijakan yang diambil oleh Noda saat ini tidak begitu kontroversial dan dia berusaha untuk bermain aman dan tidak mengambil kebijakan yang tidak populer. Pergantian pimpinan eksekutif Jepang ini memiliki sisi negatif dan sisi positif. Jika ditilik lebih dalam, pengunduran diri dari perdana menteri Jepang umumnya dikarenakan rasa tanggung jawab yang tinggi dan perasaan bersalah karena tidak menjalankan tugas sebaik-baiknya. Hal ini membuktikan bahwa tercipta sistem tradisional dengan mengandalkan pemerintahan yang bersih sehingga jika perdana menteri merasa tidak mampu menjalankan kewajibannya maka ia akan mengundurkan diri. Namun di sisi yang 5 lain, pengunduran diri perdana menteri ini memberikan dampak negatif karena dinamisme pergantian pucuk pimpinan pemerintah Jepang mengakibatkan tidak konsistennya kebijakan eksekutif. Tren pejabat-pejabat Jepang untuk mengundurkan diri menciptakan teori-teori untuk memahami fenomena ini tidaklah berujung. Kebanyakan berkutat pada stereotip sederhana mengenai pemusatan kehormatan, menyelamatkan wajah, dan hormat terhadap budaya Jepang. Namun beberapa hal yang juga perlu diperhatikan otoritas yang kecil yang dimiliki oleh perdana menteri dalam kabinet. Entah karena alasan pribadi yang mempengaruhi keputusan mereka, pengaruhnya adalah membangun demokrasi langsung yang pada akhirnya bersifat radikal. Sangat jelas bahwa Kan merasa bahwa dia diharapkan untuk mengundurkan diri. Setiap pengunduran diri sebelumnya, memperkuat norma baru, yaitu jika seorang politisi menjadi tidak populer, dia harus mengundurkan diri. Kemudian terbentuklah sistem secara otomatis di Jepang. B. Batasan dan Rumusan Masalah Pemerintah suatu negara memegang peranan yang sangat penting dalam suatu kebijakan luar negeri suatu negara karena pemerintah adalah aktor utama dalam politik luar negeri dan hubungan internasional. Pentingnya peranan pemerintah menjadikan hal ini kemudian penting pula untuk dikaji, terutama jika penekanan masalah ada pada proses pengambilan kebijakan dan mengenai kebijakan itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir ini politik luar negeri Jepang tidak mengalami perubahan signifikan, namun struktur politik pemerintahan dalam negeri mengalami perubahan secara berkala, sehingga penulis merasa penting untuk melihat hal tersebut 6 menjadi salah satu masalah yang melatarbelakangi penyusunan skripsi dengan judul “Dinamisme Eksekutif dan Legislatif dalam Kebijakan Luar Negeri Jepang” ini. Luasnya cakupan masalah yang dapat dibahas dalam skripsi ini menyebabkan penyusun merasa perlu untuk memberikan batasan-batasan dalam penegasan objek pembahasan. Dalam skripsi ini, penulis akan memberikan batasan dalam wilayah kedudukan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan luar negeri Jepang dengan dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional. Penulis juga akan membatasinya dengan hanya mengkaji proses pembuatan kebijakan dalam politik luar negeri Jepang disertai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan tersebut. Dengan demikian, dalam pembahasan ini, peranan kaisar, sejarah pemerintahan Jepang sejak berdirinya sebagai negara, tugas-tugas badan yudikatif secara mendalam, sifat-sifat sosial budaya dalam masyarakat Jepang tidak akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini. Berdasarkan latar belakang yang telah penyusun paparkan di atas, penyusun mengangkat dua masalah yang akan diteliti kemudian, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah interaksi dan dinamisme badan eksekutif dan badan legislatif Jepang dalam membentuk kebijakan luar negeri? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pemerintah Jepang dalam pengambilan suatu kebijakan luar negeri, baik itu bersifat domestik maupun internasional? 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara substantial, terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dengan penilitian ini, yakni: 1) Mengetahui dinamisme lembaga eksekutif dan legislatif Jepang dalam pembuatan kebijakan luar negeri dengan latar belakang kepentingan nasionalnya. 2) Mengetahui pengaruh faktor-faktor eksternal maupun internal negara terhadap eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan luar negeri Jepang. 2. Manfaat Penelitian Terdapat dua manfaat yang diharapkan dapat tercapai melalui penelitian ini, yakni: 1) Manfaat akademis, dimana hasil penelitian diharapkan menjadi salah satu literatur dalam Ilmu Hubungan Internasional yang dapat memberikan informasi mengenai kedudukan pemerintah Jepang dalam pembuatan kebijakan luar negerinya, serta mengenai politik luar negeri Jepang itu sendiri. 2) Manfaat praktis, dimana dalam manfaat praktisnya proposal ini diharapkan untuk mengajukan penelitian skripsi yang menjadi tugas akhir bagi mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional. 8 D. Kerangka Konseptual Dalam suatu penelitian untuk menghasilkan analisis yang akurat dan terpercaya maka dibutuhkan praduga-praduga atau hipotesa-hipotesa yang berlandaskan pada suatu konsep yang jelas sebagai acuan dan titik awal. Sehubungan dengan skripsi ini, penulis akan menggunakan konsep politik luar negeri untuk memaparkan proses dalam pembuatan kebijakan luar negeri Jepang. Kebijakan ini kemudian tercipta dengan adanya kepentingan nasional yang akan menjelaskan kepentingan nasional yang melandasi lahirnya kebijakan tersebut. Dalam memenuhi kebutuhan negaranya yang terangkum dalam kepentingan negara, secara langsung maupun tidak langsung suatu negara akan bergantung kepada negara lain, dikarenakan suatu negara tidak dapat memenuhi segala kebutuhannya sendiri. Dengan didasari oleh kepentingan nasional, suatu negara akan menjalankan politik luar negeri untuk mencapai apa yang diinginkannya. Politik luar negeri dapat bersifat konkrit maupun abstrak yang dijalankan dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Menjalankan politik luar negeri membutuhkan perumusan kebijakan yang didasari oleh kepentingan nasional dan tujuan nasional dengan menggunakan power dan kapabilitas sebagai alat-alat negara. Pelaksanaan politik luar negeri didahului oleh penetapan kebijaksanaan dan keputusan dengan mempertimbangkan faktor-faktor nasional sebagai faktor internal dan faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal. Selain itu, beberapa keputusan yang kemudian akan ditetapkan merupakan strategi yang akan diaplikasikan dan instrumen yang akan digunakan dalam proses untuk mencapai output ataupun sasaran yang telah ditentukan. Aktor yang memegang peranan utama dalam perumusan kebijakan politik luar negeri adalah pemerintahan. Setiap negara menghasilkan kebijakan politik yang berbeda dikarenakan bentuk dan sistem pemerintahan yang berbeda pula, sehingga terbentuklah 9 karakteristik terhadap instrumen-instrumen perumus kebijakannya. Bentuk pemerintahan melandasi jumlah pemegang kekuasaan suatu negara, sedangkan sistem pemerintahan melingkupi pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bentuk dan sistem pemerintahan Jepang sekarang ini merupakan bentuk dan sistem yang meminjam dari negara-negara Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan negaranya. Jepang mengadopsi sistem pemerintahan modern yang membagi kekuasaan menjadi tiga bagian: kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasan yudikatif. Model seperti ini merupakan ajaran trias politica dari Montesquieu, salah satu pemikir politik barat. Pembagian ini sebenarnya telah dimulai oleh Locke, tetapi Locke tidak mengemukakan masalah yudikatif. Montesquieu kemudian memperluas pembagian kekuasaannya dikarenakan anggapan terhadap pemerintah yang menjamin kebebasan rakyatnya dan pembagian dengan dua pemegeang kekusaan belum cukup untuk menjadi jaminan tersebut. Dengan menjadikan pembagian kekuasan berdasarkan konsep trias politica dari Montesquieu ini sebagai landasan utama dalam pembuatan skripsi ini, dimana penyusun akan mengaitkan kedudukan dua badan kekuasaan ke dalam proses pengambilan keputusan politik luar negeri Jepang. Dalam perjalanannya, skripsi ini memungkinkan untuk memaparkan lebih banyak hipotesis yang dilandaskan oleh suatu konsep. Terlebih lagi dikarenakan adanya fokus terhadap dinamisme badan legislatif dan eksekutif dalam pengambilan keputusan serta faktor internal maupun ekternal dalam merumuskan kebijakan, sehingga penulis akan mencoba melihat dari berbagai macam konsep berdasarkan fokus skripsi ini. 10 E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah bersifat kualitatif yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dan bersifat kuantitatif yang dibuat dalam bentuk tabel, grafik, atau diagram. Penelitian ini menganalisis mengenai tentang peranan, fungsi, serta kedudukan badan eksekutif dan legislatif dalam pembentukan kebijakan luar negeri Jepang. Salah satu kendala dalam melakukan penelitian ini adalah memperkecil cakupan masalah, dikarenakan banyaknya masalah yang dianggap penting namun memiliki kelemahan untuk diangkat sebagai satu masalah, sehingga menjadikan penelitian bersifat umum dan deskriptif. 2. Jenis Data Penelitian Sumber data dalam penelitian ini bersifat sekunder, yaitu tidak diperoleh langsung dari sumbernya melainkan dari kepustakaan, laporan-laporan yang sudah berbentuk buku, majalah, diklat, berita, atau sumber-sumber yang tidak tertulis. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam usaha pengumpulan yang relevan dengan penelitian, maka cara yang digunakan adalah mencari data yang bersangkutan dengan variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dengan kelengkapan data, hal ini dapat menjadi dasar yang objektif dalam proses pembuatan keputusan-keputusan atau kebijakan dengan memecahkan masalah yang ada. Sedang tujuan dari pengumpulan data adalah untuk mengetahui karakteristik dari elemen tersebut. 4. Analisis Data Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan dan menganalisis sistem pemerintahan Jepang dalam pembuatan kebijakan. Data yang terkumpul kemudian 11 diolah dengan menggunakan cara pemeriksaan data secara akurat, sehingga dalam penelitian keraguan dan kesalahan akan terminimalisasi. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kepentingan Nasional Perilaku internasional dapat dicirikan berdasarkan hubungan antarnegara, baik itu bersifat kerjasama maupun bersifat kompetisi satu sama lain. Walaupun suatu negara dapat menciptakan ketegangan dengan negara lain disebabkan oleh hubungan antarnegara yang bersifat kompetisi, namun menjalin hubungan dengan negara-negara lain tetaplah dibutuhkan. Dapat dikatakan bahwa meskipun negara dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi suatu negara tetap akan bergantung secara tidak langsung terhadap negara-negara lain. Ketergantungan suatu negara akan negara lain diakibatkan oleh keberadaan kepentingan nasional negara tersebut, dimana kepentingan nasional ini sulit tercapai tanpa adanya keterlibatan negara lain. Kepentingan nasional merupakan hal yang mendasari tujuan utama suatu bangsa atau negara dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Kepentingan nasional meliputi berbagai dimensi yang saling terkait satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasrun: Kepentingan nasional biasanya meliputi kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan keutuhan bangsa dan wilayah, kehidupan ideologi politik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial budaya, kehidupan pertahanan keamanan, dan kemampuan politik luar negeri dan diplomasi. Dari hal ini jelas bahwa kepentingan nasional bersifat dimensional dan masing-masing dimensi berkaitan secara sistematik dan aplikasinya.2 Kepentingan nasional merupakan cerminan dari kebutuhan-kebutuhan dalam negeri serta upaya-upaya pemenuhan kebutuhan suatu negara, baik kebutuhan ekonomi, politik, 2 Mappa Nasrun, 1990, Indonesia Relations With The South Pacific Countries; Prospect and Problems, UNHAS, Makassar, hal 7 13 sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Sehingga dalam menganalisa suatu perumusan kebijakan politik luar negeri, konsep kepentingan nasional adalah sebuah konsep yang populer dan lazim untuk digunakan. Konsep ini digunakan dalam merumuskan keputusan-keputusan yang akan diambil dalam membuat langkah-langkah politik luar negeri suatu negara. Kepentingan nasional dapat dilihat secara objektif dan subjektif. Secara objektif maka kepentingan nasional akan dianggap sebagai perjuangan antara berbagai pendapat yang sebelumnya bertentangan dan kemudian bersintesis berdasarkan mayoritas rakyat dan secara subjektif kepentingan nasional merupakan perjuangan hasil atau akibat politik. Namun, dibandingkan pendekatan-pendekatan yang subjektif dan objektif, akan lebih baik melihat kepentingan nasional dari hubungan saling mempengaruhi antara ideologi dan kepentingan nasional. Dalam satu negara, terkadang sejumlah orientasi ideologi berdampingan dan terkadang pula saling berkompetisi dalam memperoleh suara publik. Sementara itu, terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara ideologi dan kepentingan. Pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan ideologi dan kepentingan nasional akan berdampingan dan kemudian membentuk keputusan dan tindakan politik luar negeri. Akan tetapi, terkadang ideologi merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post facto untuk tujuan-tujuan propaganda.3 Demi memperoleh hasil yang diinginkan berdasarkan kepentingan nasionalnya, suatu negara akan menciptakan strategi-strategi politik dengan tujuan pencapaian terhadap apa yang diinginkan. Negara akan bertindak memaksimalkan kepentingan nasionalnya dengan adanya kemungkinan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah 3 James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, 1999, Introduction to International Relations: Power and Justice, New Delhi: Prentice Hall, hal.109 14 mereka tentukan, entah sasaran tersebut termasuk hal-hal yang menyangkut politik tingkat tinggi dalam menjamin kelangsungan hidup negara hingga sasaran-sasaran politik yang lebih rendah seperti perdagangan, keungan, pertukaran mata uang, dan kesehatan. Menurut pandangan Morghentau syarat minimum suatu negara adalah kemampuan untuk melindungi identitas fisik, politik, dan kulturnya dari gangguan negara lain. Dimana identitas fisik bermakna memelihara integritas wilayahnya, identitas politik bermakna melindungi rejim politik-ekonominya, dan identitas kultural bermakna melindungi identitasnya yang bersifat kultural.4 Namun cakupan konsep kepentingan nasional tidak hanya mengenai mempertahankan kelangsungan hidup, tetapi juga usaha negara untuk mengejar segala sesuatu yang yang bisa mengembangkan dan memelihara kontrol terhadap negara lain. Dalam hal ini, Morghentau mengkonstruksikan dua konsep yaitu kepentingan dan kekuasaan (power) yang digunakannya sebagai tujuan dan alat dalam tindakan politik internasional.5 Banyak pertanyaan yang diajukan oleh para ilmuwan politik mengenai kepentingan nasional dan Hans Morgenthau berusaha untuk menjawabnya dengan pendapatpendapatnya. Hans Morgenthau menganggap bahwa kepentingan nasional merupakan perpaduan antara kepentingan-kepentingan internal yang saling bertentangan. Pemerintah, melalui badan-badan perwakilan, bertanggung jawab untuk mendefinisikan dan mengimplemetasikan politik yang berorientasi kepada kepentingan nasional. Hans Morgentahu menambahkan bahwa seorang diplomat yang baik adalah diplomat yang rasional dan berhati-hati. Diplomat seharusnya memiliki kemampuan untuk menilai atau mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi seseorang dan secara 4 Mochtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin Ilmu dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, hal 141 5 James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, op.cit., hal.141 15 berhati-hati menyeimbangkannya dengan kebutuhan dan aspirasi orang lain. Mengenai perang, Morgenthau berpendapat bahwa sistem internasional pada dasarnya tidak harmonis namun tidak menyalahkan peperangan yang sukar dihindari. Negara menetapkan kepentingan nasionalnya dan menentukan bagaimana kepentingan tersebut dapat dicapai. Banyak pendapat mengenai kriteria apa yang harus dimiliki dalam menentukan kepentingan nasional. Secara umum, untuk menentukan kepentingan nasional suatu negara, ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan yakni kriteria ekonomi, ideologi, power, keamanan, moralitas, legalitas, kultural dan tipe pemerintahan. Sementara Coulombis dan Wolfe mengkategorikan definisi kepentingan nasional ke dalam 10 kategori, yaitu:6 1. Kriteria Filosofi-Operasional 2. Kriteria Ideologi 3. Kriteria Moral dan Hukum 4. Kriteria Pragmatis 5. Kriteria Kemajuan Profesi 6. Kriteria Partisan 7. Kriteria Kepentingan Birokrasi 8. Kriteria Etnik/Rasial 9. Kriteria Kelas dan Status 10. Kriteria Ketergantungan Luar Negeri Dalam merumuskan kepentingan nasional, hal yang perlu dipertimbangkan adalah kapabilitas negara tersebut yang kemudian tercakup dalam kekuasaan (power). Kekuasaan (power) memainkan peranan penting dalam menjalankan strategi-strategi 6 R.Soeprapto, 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi & Perilaku, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 189 16 terhadap pencapaian kepentingan nasional. Kemampuan suatu negara, yang ditilik dalam kaitannya dengan kemampuan domestik maupun dalam hubungannya terhadap kemampuan negara lain, terhimpun membentuk apa yang disebut kekuasaan (power). Namun kapabilitas ini merupakan definisi kekuasaan (power) yang bersifat statis, jika memperhatikan interaksi antarnegara serta perilaku-perilaku mereka dalam berinteraksi maka akan diperoleh cakupan definisi kekuasaan (power) yang bersifat dinamis. Negara dalam menuangkan kepentingan nasionalnya ke dalam suatu kebijakan politik luar negeri harus mampu dan menyesuaikan kepentingan nasionalnya dengan kondisi domestik regional maupun kondisi global yang melingkupinya. Walaupun tidak terdapat definisi yang jelas dalam mengukur kekuasaan (power) suatu negara, namun beberapa sarjana politik menciptakan pendapatnya. A.F.K. Organski menyarankan Gross National Product (GNP) atau pendapatan nasional dapat menjadi ukuran kapabilitas nasional suatu negara. J. David Singer dan asosiasinya menegaskan bahwa kapasitas militer, industri, dan demografi sebagai variabel penting yang dibutuhkan untuk mengindikasikan kapabilitas nasional secara keseluruhan.7 Kapabilitas negara itu sendiri dapat diukur dengan melihat ketahanan nasional dan kekuatan nasionalnya. Ketahanan nasional berbeda dari pertahanan, karena ketahanan nasional bermakna ketahanan yang terpadu dari aspek kehidupan bangsa secara utuh dan menyeluruh mencakup ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Ketahanan nasional dilandasi oleh kesatuan dan integrasi yang bersifat dinamis untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dan menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. 7 Quincy Wright, 1980, The Study of International Relations, New York: Free Press, hal 32. 17 Coulombis dan Wolfe membagi unsur-unsur kekuatan nasional dua kategori atau penggolongan8: • Tangible elements (yang konkrit nyata wujudnya dan dapat diukur) 1. Populasi (jumlah penduduk) 2. Luas wilayah (termasuk letak-letak geopolitik atau geostrategik) 3. Sumber alam dan kapasitas industri 4. Kapasitas Produksi pertanian 5. Kekuatan dan mobilitas militer • Intangible elements (tidak dapat diukur) 6. Kepemimpinan nasional (leadership and personality) 7. Pendayagunaan (efisiensi) organisasi-birokrasi 8. Tipe dan gaya pemerintahan 9. Keterpaduan masyarakat (social cohesiveness) 10. Diplomasi, dukungan luar negeri, dan kebergantungan 11. Peristiwa-peristiwa tertentu Kepentingan nasional merupakan visi negara yang dibentuk dari unsur-unsur vital negara itu sendiri, namun hal ini tidak berarti bahwa kepentingan nasional bukan buatan manusia. Kepentingan nasional sering digunakan sebagai doktrin satu negara dalam rangka kepatuhan masyarakat negara tersebut sehingga tercipta ketertiban yang lebih besar dengan skala internasional. Kepentingan nasional memiliki kesamaan dengan tujuan nasional, akan tetapi hakikatnya berbeda. Tujuan-tujuan nasional (national objectives, national goals) umumnya berjangka panjang, lebih mendasar, memiliki cakupan luas, cenderung filosofis, dan bersifat makro. Sedangkan kepentingan nasional 8 Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc., 2002, Studi Strategis: Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 114 18 (national interest) merupakan turunan atau derivasi dari tujuan nasional secara lebih spesifik, terbatas cakupannya atau berfokus kepada program tertentu, cenderung praktis (tidak filosofis), dan mudah berubah guna disesuaikan dengan dengan tuntutan zaman atau persepsi mayoritas.9 Sehingga walaupun dalam merangkum kepentingan nasional, kapabilitas yang bersifat statis seperti letak geografi merupakan salah satu hal yang patut untuk diperhitungkan, tetapi kepentingan nasional itu sendiri bersifat dinamis dan berubah-ubah sesuai waktu, situasi, dan kondisi. Setiap negara mereflesikan sesuatu yang berbeda ketika berinteraksi dalam lingkungan internasional. Untuk menciptakan hubungan yang tertib di dunia internasional dalam pencapainnya akan tujuan-tujuan nasionalnya, salah satu hal yang perlu untuk dilakukan adalah menetapkan rumusan prioritas kepentingan nasional. Menurut Robinson, terdapat beberapa klasifikasi yang membagi kepentingan nasional, yaitu: 1. Primary Interest, dalam kepentingan nasional ini perlindungan atas wilayah, negara, identitas politik, kebudayaan dan kelanjutan hidup bangsa terhadap berbagai gangguan dari luar. Semua negara mempunyai kepentingan ini dan sering dipertahankan dengan pengorbanan besar sehingga pencapaian kepentingan primer ini tidak pernah dikompromikan. 2. Secondary Interest, kepentingan selain kepentingan primer tetapi cukup memberikan konstribusi, seperti melindungi warga negara di luar negeri dan mempertahankan kekebalan diplomatik di luar negeri. 3. Permanent Interest, merupakan kepentingan yang bersifat konstan dalam jangka waktu yang cukup lama. 9 Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, op.cit, hal 116 19 4. Variable Interest, merupakan kepentingan yang bersifat kondisional dan dianggap penting pada suatu waktu tertentu. 5. General Interest, kepentingan yang diberlakukan untuk banyak negara atau untuk beberapa bidang khusus seperti dalam bidang perdagangan dan lainlain 6. Specific Interest, kepentingan yang tidak termasuk kepentingan umum, namun biasanya diturunkan dari sana. Pada hakekatnya kepentingan nasional suatu negara merupakan akumulasi dari kepentingan-kepentingan individu yang berdiam di wilayah negara-bangsanya. Namun dalam aplikasinya, kepentingan nasional secara umumnya dirumuskan oleh pemegang kekuasaan negara, dalam hal ini pemerintah. Seorang teoritisi hubungan internasional Inggris yang terkenal bernama Hugh Seton-Watson, pernah mengatakan bahwa ungkapan “kepentingan nasional” tidak memuaskan karena yang membuat politik luar negeri adalah pemerintah, dan bukan negara bangsa.10 Perumusan kepentingan nasional oleh pemerintah sehingga menyebabkan adanya persamaan definisi kepentingan nasional dengan raison d’etat, dimana raison d’etat ini dipergunakan oleh golongan yang sedang berkuasa untuk terus berkuasa.11 Pihak-pihak yang berkuasa menggunakan raison d’etat dengan alasan kelangsungan hidup walaupun kecenderungan lebih kepada kepentingan penguasa itu sendiri. Dengan ini menyebabkan adanya garis kabur antara kepentingan nasional dan kepentingan para perumus kebijakan, sehingga kepentingan nasional terkadang disimpulkan menjadi fakta-fakta dan angkaangka menjadi lebih rasional dan empiris. 10 James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, op.cit, hal.110 Suffri Jusuf S.H, 1989, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 78 11 20 Perumusan kepentingan nasional oleh pemerintah pada dasarnya tidak dapat dihindari. Suatu negara yang berpenduduk banyak terutama jika bersifat multikultural, memiliki kecenderungan pertentangan dalam menyatukan kepentingan-kepentingan politiknya. Pemerintah, sebagai badan perwakilan dari masyarakatnya, kemudian bertanggung jawab untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan politik yang berorientasi kepada kepentingan nasional. Konsep kepentingan nasional juga dijelaskan oleh Seabury bahwa: Istilah kepentingan nasional berkaitan dengan beberapa kumpulan cita-cita tujuan suatu bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan negara lain, dengan kata lain gejala tersebut merupakan suatu normatif, atau konsep umum kepentingan nasional. Arti kedua yang sama pentingnya biasa bersikap deskriptif, dalam pengertian deskriptif, kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah. Kepentingan nasional dalam pengertian deskriptif berarti memindahkan metafisika ke dalam fakta (kenyataan). Dengan kata lain kepentingan nasional serupa dengan para perumus politik luar negeri.12 Kepentingan nasional yang merupakan tujuan dan faktor penentu akhir sering dijadikan tolak ukur atau kriteria pokok yang mengarahkan para pembuat keputusan (decision makers) dari suatu negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap dan tindakan dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (foreign policy). Setiap langkah perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi, apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai kepentingan nasional itu. Kepentingan nasional melukiskan aspirasi negara, dan untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya diperlukan kebijaksanaan, keputusan dan rencana dalam aplikasinya agar dapat menetapkan sasaran-sasaran yang akan dicapai melalui berbagai tindakan yang menunjukkan adanya kebutuhan, keinginan dan tujuan.13 12 13 KJ Holsti, 1987, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Bina Cipta, Bandung, hal 32 Mochtar Mas’oed, op.cit, hal 150 21 B. Konsep Politik Luar Negeri Negara-negara berinteraksi dan membentuk pola hubungan internasional untuk pencapaian terhadap kepentingan nasional dan tujuan nasional. Demi pencapaian ini, aktor-aktor politik kemudian merancang dan mengatur strategi yang kemudian disebut politik luar negeri. Politik luar negeri merupakan formulasi konkret yang dirancang dengan menghubungkan kepentingan nasional terhadap kondisi internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk mencapainya. Politik luar negeri pada dasarnya merupakan action theory, yang berarti kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad memahami konsep politik luar negeri adalah dengan jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: Politik (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep pilihan (choices): memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti control atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah suatu negara.14 Politik luar negeri bertujuan untuk mencitrakan keadaan dan kondisi di masa depan suatu negara disertai usaha perumus kebijakan dalam memperluas pengaruhnya kepada negara-negara lain dengan cara mengubah atau mempertahankan tindakan negara lain. Berdasarkan sifatnya, tujuan politik luar negeri bersifat konkret dan abstrak. Sedangkan ditinjau dari segi waktunya, tujuan politik luar negeri dapat bertahan lama dalam suatu periode waktu tertentu dan dapat pula bersifat sementara, sesuai dengan perubahan yang 14 Anak Agung Banyu & Yanyan Mochamad, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.47 22 terjadi dan kondisi yang saat itu. K.J. Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu:15 1. Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan 2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, apakah bersifat jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. 3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain. Untuk memahami politik luar negeri, seringkali kendala yang muncul tidak didasari oleh kurangnya informasi namun lebih disebabkan oleh kurang dapat memilih informasi yang diperlukan bagi perumusan politik luar negeri. Oleh karena itu, para akademisi politik telah mengembangkan berbagai pendekatan dan model-model perumusan atau pembuatan politik luar negeri. Pembuatan keputusan dianggap sebagai tindakan memilih alternatif yang ada dengan berbagai ketidakpastian. Lovel berasumsi bahwa dalam menjalankan politik luar negeri, fokus perhatian lebih ditekankan kepada interaksi ataupun transaksi antar pihak-pihak yang terlibat disertai dengan persepsi elit, strategi negara-bangsa, dan kapabilitas yang dimiliki oleh negara tersebut.16 Menjalankan politik luar negeri membutuhkan perumusan kebijakan yang didasari oleh kepentingan nasional dan tujuan nasional dengan menggunakan power dan kapabilitas sebagai alat-alat negara. Pelaksanaan politik luar negeri didahului oleh penetapan kebijaksanaan dan keputusan dengan mempertimbangkan faktor-faktor nasional sebagai faktor internal dan faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal. Selain itu, beberapa keputusan yang kemudian akan ditetapkan merupakan strategi yang 15 Anak Agung Banyu & Yanyan Mochamad, op.cit, hal.51 John P.Lovel, 1970, Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York, hal 71. 16 23 akan diaplikasikan dan instrumen yang akan digunakan dalam proses untuk mencapai output ataupun sasaran yang telah ditentukan. Salah satu pemikir, Holsti, yang mengkaji politik luar negeri berpandangan bahwa politik luar negeri sebagai output kebijakan luar negeri, tindakan atau ide yang dirancang oleh para pembuat keputusan untuk memecahkan suatu masalah atau melancarkan perubahan dalam lingkungan yaitu kebijakan, sikap atau tindakan suatu negara.17 Tidak dapat disangkal jika kurangnya informasi menyulitkan negarawan untuk memahami politik luar negeri, namun masalah yang lebih menyulitkan adalah kurangnya kemampuan dalam memilih informasi ataupun masukan yang diperlukan bagi perumusan politik luar negeri. Para akademisi politik telah mengembangkan berbagai pendekatan dan model-model perumusan atau pembuatan politik luar negeri. Pembuatan keputusan ini dilakukan dengan memilih alternatif yang ada dengan berbagai ketidakpastian. Tidak hanya memfokuskan kepada transaksi dan interaksi antar pihak-pihak yang terlibat, teori pembuatan keputusan dalam konsep politik luar negeri juga melihat pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap perilaku politik luar negeri. Hal-hal yang berada dalam cakupan faktor internal dan faktor eksternal sebenarnya hampir sama, yaitu masyarakat, budaya, dan lingkungan. Masyarakat dalam cakupan faktor internal sangat perlu untuk diperhatikan dikarenakan suatu negara merumuskan kepentingan nasionalanya berdasarkan kebutuhan masyarakatnya, yang kemudian nanti hal ini melandasi bentuk politik negeri negara tersebut. Sama halnya untuk cakupan faktor eksternal, dengan melihat keinginan masyarakat internasional, kebijakan luar negeri dapat diambil untuk menciptakan keefektifitasan dalam menjalankannya. Namun hal yang paling perlu untuk diperhatikan dalam memahami faktor eksternal adalah budaya dan lingkungan, dikarenakan suatu negara haruslah memahami budaya 17 K.J.Holsti, op.cit, hal.135 24 dan lingkungan internasional yang kemudian terangkum ke dalam suatu sistem yang bersifat dinamis. Dimana suatu negara akan memperhitungkan lingkungan internasional yang sedang mereka hadapi untuk merumuskan kebijakan luar negerinya dan kebijakan luar negeri ini akan mempengaruhi lingkungan internasional dengan mengambil peran dalam sistem yang telah terbentuk sehingga terjadi dinamika lingkungan dan budaya. Lingkungan dan budaya dalam faktor internal dapat dipahami dengan melihat sistem pemerintahan dan perilaku serta struktur sosial dalam negara tersebut. Hal ini dapat ditinjau dengan melihat orientasi nilai yang umum dalam masyarakat, pola-pola yang terbentuk secara institusional, karakteristik organisasi sosial dan juga politiknya, perbedaan peranan dalam masyarakat, fungsi, pembentukan opini masyarakat, dan proses politik 25 Gambar 1: Model Decision-Making Politik Luar Negeri A Internal setting of Decision Making F External Setting of Decision Making 1 Non-Human Environ ment 1 Non-Human Environment 2 Society 2 Other Cultures 3 Human Environment Culture Population 3 Other Societies 4 Societies Organized and Functioning as States Government Action B Social Structure and Behaviour 1 Major Common Value Orientations 2 Major Institutional Patterns 3 Major Characteristic of Social Organizations 4 Role Differentation and Specialization 5 Groups: Kinds and Functions 6 Relevant Social Processes (a) Opinion Formation (b) Adult Socialization (c) Political Decision Making Process Decision Makers Action Sumber: DR. Anak Agung Banyu Perwita & DR. Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya Bandung, hal. 65 26 Menurut Robert Cox dan Harold Jacobson, organisasi yang bersifat internasional memiliki klasifikasi dalam proses pengambilan keputusan yang dibedakan menjadi: representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions, operating decisions, rule-supervisory decisions, boundary decisions, symbolic decision.18 Representational decision, merupakan keputusan yang akan berdampak terhadap keanggotaan maupun perwakilan dalam organisasi. Keputusan ini meliputi pengangkatan dan pengeluaran anggota, pengesahan mandat, dan penentuan wakil-wakil yang mempresentasikan organisai tersebut dalam badan-badan eksekutif serta komite. Programmatic decision, merupakan keputusan yang diambil dari hasil negosiasi antar aktor-aktor yang berhubungan dengan tujuan terhadap program-program organisasi. Rule-creating decision, merupakan keputusan yang dibuat dalam pembentukan aturanaturan dalam organisasi. Keputusan yang dihasilkan bersifat konvensi, persetujuan maupun resolusi. Keputusan lainnya, boundary decision merupakan keputusan yang diambil dalam penekanannya terhadap hubungan eksternal organisasi dengan struktur internasional serta struktur regional. Rule-supervisory decision, merupakan keputusan-keputusan yang meliputi berbagai prosedur dari suatu struktur yang tertinggi hingga struktur yang paling rendah. Proses pengambilan keputusannya melalui 3 tahapan, yaitu: pengumpulan informasi, pembuktian terhadap pelaksanaan ataupun pelanggaran aturan, serta pemberian sanksi ataupun hukuman terhadap pelanggaran peraturan. Symbolic decision, merupakan keputusan yang didasarkan isu-isu simbolik terhadap penerimaan ideologi yang didukung oleh suatu kelompok ataupun legitimasi yang telah diterima oleh elit dominan. Sedangkan operational decision merupakan keputusan yang diambil dalam 18 Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, op.cit, hal 79 27 rangka penggunaan sumber-sumber organisasi berdasarkan aturan-aturan yang disetujui serta kebijakan dari program-program yang telah disetujui. Pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan dilakukan dengan menelaah sebab-akibat yang mungkin ada dalam pembentukan kebijakan, sehingga menyebabkan kebijakan sebagai “variabel terikat” dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan sebagai “variabel bebas”. Untuk politik luar negeri sendiri, terdapat tiga kategori utama keputusan yang terbentuk dikarenakan “variabel bebas”:19 1. Keputusan yang bersifat pragmatis (terencana) adalah keputusan besar yang mempunyai konsekuensi jangka panjang, membuat studi lanjutan, pertimbangan dan evaluasi yang mendalam mengenai seluruh opsi alternatif. 2. Keputusan yang bersifat krisis adalah keputusan yang dibuat selama masamasa terancam berat; waktu untuk menanggapinya terbatas; dan ada elemen yang mengejutkan yang membutuhkan respon yang telah direncanakan sebelumnya. 3. Keputusan yang bersifat taktis adalah keputusan penting biasanya bersifat pragmatis, memerlukan revaluasi, revisi dan pembalikan. James N.Rosenau memberikan suatu pedoman praktis yang dirancang untuk membantu penelaahan terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi pembuatan kebijakan dalam politik luar negeri.20 Rosenau mengelompokkan variabel-variabel tersebut dalam 5 kategori: 1. Variabel Ideosinkretik. Variabel ini berhubungan dengan persepsi, image, dan karakteristik pribadi si pembuat keputusan. Karakteristik psikologis dan 19 20 James H.Wolfe dan Theodore A.Couloumbis, op.cit., hal.128 Ibid, hal.129. 28 predeliksi (kegemaran) para pemimpin terhadap ideologi serta para pembuat dan pelaksana politik mempunyai pengaruh tertentu terhadap hasil politik. 2. Variabel Peranan. Variabel ini biasanya sebagai gambaran pekerjaan atau sebagai aturan-aturan perilaku yang diharapkan bagi elit-elit yang mempengaruhi, merumuskan, dan melaksanakan kebijaksanaan. Terlepas dari psikologis seseorang, apabila dia memegang peranan yang spesifik, maka hasil perilakunya dimodifikasi oleh harapan dan ekspektasi public terhadap perilaku tadi. 3. Variabel Birokratis. Variabel ini terkait dengan struktur dan proses pemerintahan serta efeknya terhadap politik luar negeri. Pembuat kebijakan mengambil keputusan dengan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi atau birokrasi dimana ia terlibat di dalamnya. Unit-unit birokrasi dalam suatu negara secara konstan bersaing untuk melestarikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan birokrasi tersebut dan untuk memaksimasi keterlibatan dan pengaruhnya dalam proses pembuatan keputusan sehingga program-program dan kegiatan-kegiatannya berjalan lancar dan kemungkinan mereka tetap dapat menikmati kekuasaan serta hak-hak istimewa yang mungkin mereka peroleh. 4. Variabel Nasional. Kategori ini terlingkupi oleh atribut nasional yang mempengaruhi hasil politik luar negeri dalam pembuatan kebijakan. Hal ini ditandai oleh unsur-unsur power yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata (intangible) 5. Variabel Sistematik. Dalam kategori ini kita bisa memasukkan seluruh struktur dan proses internasional. Para teoritisi hubungan internasional tradisionalis dan yang berorientasi scientific berasumsi bahwa politik luar negeri adalah 29 sekumpulan respons (tanggapan) terhadap tantangan-tantangan dan kesempatan eksternal.21 Hubungan antara teori dan kebijakan sangat kompleks, dikarenakan suatu teori belum dapat dipastikan menjelaskan suatu kebijakan, di mana umumnya terdapat beberapa pilihan yang berbeda. Akan tetapi pemilihan terhadap teori akan mempengaruhi pemilihan kebijakan, dikarenakan setiap teori menekankan pada nilai-nilai sosial yang berbeda. Pendekatan realis menekankan pada isu-isu yang berkaitan dengan pertahanan dan pertentangan yang tidak dapat dihindari antara negara-bangsa, dan akibat-akibat yang telah diperhitungkan berdasarkan power negara tersebut. Di lain pihak, untuk yang menaruh perhatian pada pertanyaan-pertanyaan yang bersifat multilateral akan mengambil pendekatan liberal, yang menekankan pada lembaga internasional (PBB atau WTO) dengan tujuan untuk mengurangi konflik internasional dan mempromosikan pemahaman dan kepentingan bersama. Dan pendekatan yang berikutnya, para sarjana yang menekankan pentingnya kekayaan dan kesejahteraan sosioekonomi sebagai tujuan pusat dalam menjalankan politik luar negeri akan mengambil pendekatan International Political Economy (IPE). Untuk mereka, promosi terhadap sistem ekonomi internasional yang stabil dan mendukung pertumbuhan ekonomi dan proses kesejahteraan merupakan tujuan utama. Dalam menganalisa pembuatan kebijakan luar negeri, terdapat beberapa pendekatan ataupun teori yang dapat digunakan22: 1. Pendekatan tradisional yang melibatkan pengetahuan terhadap kebijakan eksternal pemerintahan dengan melihat sejarah serta latar belakang, memahami kepentingan dan perhatian yang mengantarkan kebijakan 21 Ibid, hal. 136. Robert Jackson & Georg Sorensen, 2007, Introduction to International Relations: Theories and Approaches, Oxford University Press, New York, hal. 224 22 30 tersebut, dan memikirkan kepentingan-kepentingan berbagai tersebut. cara Dalam dalam mempertahankan menganalisa kebijakan menggunakan pendekatan ini dibutuhkan kemampuan untuk mengenali keadaan yang membuat pemerintah harus menjalankan politik luar negerinya dan menggunakan penilaian dalam menaksir cara terbaik dan tindakan-tindakan yang dapat digunakan dalam menjalankan kebijakan. Pendekatan ini memperjelas perbedaan kebijakan domestik dan aktifitas kedaulatan bangsa yang didefinisikan sebagai high politics. 2. Pendekatan komparasi, di mana James Rosenau (1966) mengidentifikasi sumber-sumber yang relevan dan memungkinkan dalam pembuatan keputusan luar negeri, yaitu: variabel-variabel idiosinkratik, peran, pemerintah, masyarakat, dan sistem. 3. Pendekatan struktur dan proses birokrasi yang berfokus pada pembuatan keputusan organisasi, yang dilihat dari perintah dan tuntutan tata cara birokrasi di mana keputusan dibuat. 4. Pendekatan psikologi dan proses kognitif. Pendekatan ini melihat aspek psikologi dan persepsi dari aktor-aktor politik secara individu. Menurut Robert Javis, aktor politik cenderung melihat apa yang mereka inginkan bukan apa yang sebenarnya sedang terjadi dikarenakan mereka dituntun oleh kepercayaan yang telah ada dan berakar dalam diri mereka. Pendekatan ini membutuhkan perhatian terhadap karakteristik pembuat keputusan dalam hal pengalaman akan isu luar negeri, gaya politik, sosial politik, dan pandangannya terhadap dunia untuk memahami bagaimana pemimpin menjalan politik luar negeri. 31 5. Pendekatan multidimensi, yang telah berkembang selama 2 hingga 3 dekade, menekankan bahwa tidak terdapat satu teori besar yang dapat mencakup keseluruhan aktifitas politik luar negeri. 6. Pendekatan yang fokus terhadap peranan wacana dan idealisme, dikarenakan identitas mengakar pada idealisme dan wacana yang menjadi dasar definisi dari kepentingan yang kemudian terbentang menjadi kebijakan politik luar negeri. Untuk mempelajari kebijakan politik luar negeri, Kenneth Waltz memperkenalkan level analisis penyebab perang yang juga dapat digunakan dalam pencarian akan penjelasan kebijakan politik luar negeri, yaitu: level sistemik, level negara-bangsa, dan level individu.23 Level individu dan level negara-bangsa menggambarkan kekuatan dalam dunia politik, sedangkan tanpa level sistemik mustahil untuk menaksir kepentingan dan prediksi mengenai akibat yang akan terjadi. Level sistemik menjelaskan kebijakan luar negeri dengan merujuk kepada kondisi sistem internasional yang memaksa atau menekan negara-negara sehingga bertindak sesuai dengan cara-cara tertentu. Penggunaan teori ini pertama-tama memaparkan kondisi yang berlaku dalam sistem internasional, mereka kemudian membentuk hubungan yang masuk akal antara kondisi tersebut dengan perilaku-perilaku kebijakan politik luar negeri suatu negara yang sebenarnya. Kondisi sistem internasional dapat dilihat dari distribusi power di antara negara bangsa dan ketergantungan ekonomi serta politik mereka. Cara untuk memahami kondisi sistem internasional adalah dengan mengetahui konsep-konsep yang membaginya, salah satunya adalah realisme. Realisme memberikan pemahaman anarkisme di dalam sistem internasional dengan adanya kompetisi antara 23 Ibid, hal 229 32 negara-negara demi power dan keamanan. Namun anarkisme ini sendiri kemudian terbagi dua menjadi anarkisme yang bersifat offensive dan defensive. Realis offensive mempercayai bahwa negara-negara mencari kesempatan untuk memperoleh power yang akan merugikan rivalnya dan untuk mendapatkan keuntungan dari kondisi tersebut. Untuk realis defensive, negara-negara pada umumnya puas dengan balance of power yang berlaku ketika balance of power melindungi keamanannya. Salah satu cara untuk memahami suatu analisis dengan menggunakan level negarabangsa adalah mengetahui hubungan antara aparat negara dan masyarakat yang mengitarinya. Hubungan ini penting dikarenakan fungsinya dalam memaparkan kemampuan pemerintah untuk memobilisasi dan mengatur sumber daya yang merupakan power negaranya. Hal yang juga perlu dipahami dalam melihat level ini adalah tipe pemerintahan – demokratik atau otoritarian – dan susunan birokrasi aparat negara. Perlu ditekankan pula bahwa pilihan-pilihan akan kebijakan politik luar negeri dibuat oleh pemimpin-pemimpin dan elit-elit politik yang sebenarnya, sehingga persepsi mereka terhadap power yang berperan besar dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini level individu pembuat keputusan berpengaruh besar dalam pertimbangan akan analisi kebijakan politik luar negeri, karena level ini berfokus kepada pemikiran pembuat keputusan, kepercayaan dasar yang dimilikinya, dan prioritas personalnya. Pembuatan kebijakan politik luar negeri tidak dapat terlepas dari politik domestik (program-program partai politik dan perbaikan ekonomi). Politik domestik dan politik internasional (perang, program bantuan militer dan aliansi). Politik domestik dan politik internasional saling mempengaruhi satu sama lain, dimana sebelum merumuskan kebijakan para perumus kebijakan mempertimbangkan kejadian-kejadian eksternal dan tuntutan internal. Hal-hal yang diinginkan oleh masyarakat perlu diperhatikan dan 33 diakomodasikan oleh perumus kebijakan dengan mempertimbangkan hal-hal yang sedang terjadi di dunia internasional. Terdapat beberapa aktor yang memainkan peranan di wilayah perpolitikan luar negeri dalam merumuskan kebijakan suatu negara, namun aktor utama selalu dipegang oleh negara yang direfleksikan oleh pemerintah. Setiap negara menghasilkan kebijakan politik yang berbeda dikarenakan bentuk dan sistem pemerintahan yang berbeda pula, sehingga terbentuklah karakteristik terhadap instrumen-instrumen perumus kebijakannya. Bentuk pemerintahan melandasi jumlah pemegang kekuasaan suatu negara, sedangkan sistem pemerintahan melingkupi pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Prinsip pembagian kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif terangkum dalam konsep trias politica. Konsep ini membagi fungsi badan-badan yang berbeda menurut sifatnya, namun tetap bekerjasama untuk kelancaran organisasi. Pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632 – 1704) yang kemudian disempurnakan oleh Montesquieu (1689 – 1755). Montesquieu membagi kekuasaan ke dalam tiga badan: kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rulemaking function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undangundang (rule adjudication function)24. Pembagian kekuasaan ini kemudian menjadi beragam berdasarkan bentuk dan sistem pemerintahan negara yang mengaplikasikannya. Bentuk pemerintahan yang bersifat monarki absolut meletakkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif-nya kepada satu badan yang disebut raja atau kaisar. Namun, umumnya negara-negara dewasa ini mendistribusikan kekuasaan tersebut ke dalam tiga badan. Sedangkan jika 24 Prof. Miriam Budiarjo, 2002, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 151 34 menilik sistem pemerintahannya, akan terpaparkan interaksi ketiga badan tersebut dimulai dari perluasan fungsi-fungsinya dan bagaimana mereka bergantung antar satu sama lain. 35 BAB III GAMBARAN UMUM SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN JEPANG A. Sistem Politik dan Pemerintahan Jepang Jepang memiliki pemerintahan berbentuk monarki konstitusional dengan sistem pemerintahan parlementer dua kamar. Dengan mengaplikasikan sistem multipartai, Jepang membuktikan bahwa mereka menjunjung tinggi demokrasi. Setelah perang, Jepang mengalami stabilitas dalam bidang ekonomi yang menunjukkan kinerja pemerintah dalam memimpin negara. Pemerintahan Jepang tersusun atas badan eksekutif yang bertanggung jawab kepada badan legislatif dan badan yudisial yang independen. Konstitusi Jepang merupakan produk masa pendudukan Amerika Serikat setelah perang dunia kedua, sehingga konsep yang terdapat di dalamnya akan diwarnai dengan konsep yang juga diterapkan oleh Amerika Serikat. Namun Jepang menggabungkan materi konstitusi yang diaplikasikannya dari konsep yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan Inggris. Konstitusi Jepang yang terdiri dari sebuah mukadimah, 11 bab, dan 103 pasal, mengatur hak-hak dan kewajiban masyarakatnya yang dirangkum dalam 31 pasal pada bab ketiga. Penekanan lebih kuat terhadap hak-hak dibandingkan kewajiban dengan jaminan hak-hak sipil, politik, dan sosial kepada masyarakat Jepang. Secara luas, konstitusi Jepang mencakup jaminan kebebasan berpendapat, berbicara, berkumpul, dan beragama; persamaan gender; hak untuk bekerja; dan hak untuk memelihara standar minimum kesehatan dan kehidupan berbudaya. 36 Selain menjamin keberlangsungan hidup masyarakat, konstitusi Jepang juga menetapkan jalannya pemerintahan. Konstitusi mengatur tiga badan pemerintahan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sehingga pada aplikasi dan praktek politiknya kekuasaan Kaisar sebatas menjadi simbol negara dan pemersatu masyarakat. Kedudukan Kaisar dalam konstitusi dijelaskan pada bab pertama dan pada tanggal 1 Januari 1946 Kaisar sendiri menjelaskan kepada rakyatnya tentang kedudukannya dalam pemerintahan, sambil menekankan bahwa Kaisar Jepang adalah manusia biasa yang tidak boleh disamakan dengan Tuhan atau Dewa.25 Pembatasan kekuasaan Kaisar dalam konstitusi menyebabkan Kaisar bertugas sebagai kepala negara dalam hal-hal yang bersifat seremonial dan diplomasi, namun tidak memegang kekuasaan yang sesungguhnya untuk memerintah. Kaisar Jepang yang saat ini menduduki tahta adalah Akihito dengan Pangeran Naruhito sebagai pewarisnya. Tugas-tugas Kaisar Jepang bersifat simbolik, seperti melantik Perdana Menteri yang diangkat oleh Diet dan hakim Mahkamah Agung yang diangkat oleh kabinet; mengumumkan amandemen konstitusi, hukum-hukum lain, dan perjanjian-perjanjian internasional; menghadiri pertemuan House of Representatives; memproklamasikan pemilihan Diet; mengesahkan penunjukan dan pembubaran menterimenteri negara dan pegawai-pegawai negeri yang memiliki kedudukan penting; dan memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berprestasi. Seorang Kaisar tidak dapat pensiun sehingga ketika ia sakit secara fisik maupun mental dan tidak dapat menjalankan tugasnya seperti yang dipaparkan oleh konstitusi maka bupati (chiijisan) diangkat oleh Imperial Household Council. Jika kaisar meninggal, maka keturunan lelakinya menggantikannya menduduki tahta berdasarkan 25 Abdul Irsan , 2005, Politik Domestik, Global, & Regional, Hasanuddin University Press, Makassar, hal 56. 37 urutan yang telah disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Imperial Household Law: anak laki-laki pertama kaisar yang terdahulu dan keturunan lelakinya, anak laki-laki kedua kaisar dan keturunan lelakinya, anak laki-laki kaisar lainnya dan keturunan lelaki mereka, saudara laki-laki kaisar dan keturunan lelaki mereka, dan paman-paman kaisar dan keturunan lelaki mereka.26 Tidak hanya melucuti kekuatan politik Kaisar, konstitusi tahun 1947 memperjelas pemegang kekuatan politik sebenarnya, yaitu Diet atau parlemen. Diet memegang kekuasaan tertinggi di antara tiga badan pemerintahan karena fungsinya sebagai badan legislatif. Diet bertugas mengemukakan rencana dan mengesahkan konstitusi yang menjadi dasar negara Jepang, bahkan dapat mengarahkan Kaisar dalam hal penunjukan dan pemecatan ketua-ketua eksekutif dan anggota-anggota yudisial. Diet memiliki dua majelis, yaitu House of Representatives (Kokkai) sebagai majelis rendah dan House of Councillors (Sangiin) sebagai majelis tinggi. Ketika Jepang diduduki, Amerika Serikat menghendaki Jepang untuk memiliki parlemen dengan sistem satu kamar, namun para pemimpin Jepang memutuskan untuk membentuk House of Councillors. Pemimpin politik Jepang menginginkan House of Councillors yang setara dengan majelis tinggi menjadi lembaga legislator independen dan lebih mengutamakan kepentingan nasional serta bertindak sebagai aktor pengimbang terhadap parlemen atau majelis rendah yang biasanya cenderung mengambil keputusan yang cepat.27 Kedua majelis dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum tetapi berdasarkan UUD Jepang, House of Representatives memiliki kekuasaan otonomi sehingga terdapat kekuasaan yang lebih dibandingkan House of Councillors dalam kewenangan atas 26 Haruhiro Fukui, “Japan’s Government”, Encyclopedia Americana , (Connecticut: Scholastic Library Publishing, Inc, 2004), hal 804. 27 Ibid, hal 805. 38 beberapa jenis rancangan undang-undang, persidangan masalah anggaran, pengesahan perjanjian, pemilihan Perdana Menteri, pengesahan UU, dan sebagainya. Akan tetapi House of Representatives dapat dibubarkan oleh kabinet sebelum berakhirnya masa jabatan, melalui keputusan sepihak kabinet ataupun diterimanya resolusi mosi tidak percaya oleh majelis untuk kabinet. Pada masyarakat Jepang, orang yang telah berumur 20 tahun ke atas berhak memilih wakilnya untuk Diet. Untuk menjadi anggota House of Representatives, maka kandidat harus berumur 25 tahun ke atas. House of Representatives memiliki 480 anggota yang dipilih berdasarkan suara terbanyak dan menjalankan empat tahun masa jabatan, namun terdapat kondisi dimana mereka dapat dibubarkan. Tiga ratus perwakilan dipilih langsung dari 300 pemilihan distrik. Seratus delapan puluh anggota lainnya dipilih berdasarkan sistem perwakilan berimbang yang memberikan kursi kepada partai politik berdasarkan suara yang diperoleh. Sedangkan House of Councillors memiliki 252 anggota dengan masa jabatan enam tahun dan salah satu syarat kandidat adalah berumur 30 tahun ke atas. Mereka dipilih dengan dua cara yaitu 100 anggota dengan Jepang sebagai satu konstituensi dan 152 anggota dari 47 prefektur Jepang (meningkat dari 150 di tahun 1972, ketika Okinawa kembali ke Jepang). Secara garis besar, perbedaan antara majelis rendah dan majelis tinggi dirangkum dalam tabel berikut ini: Majelis Rendah Dari distrik pemilu Majelis Tinggi Jumlah Anggota (Kursi) Dari distrik (tunggal): 300 orang (tunggal): 146 Wakil Wakil berdasarkan perbandingan: 180 orang 20 tahun ke atas pemilu berdasarkan perbandingan: 96 orang Hak pilih 20 tahun ke atas 39 25 tahun ke atas Persyaratan dipilih 4 tahun (atau lebih, sampai dibubarkan) Masa tugas 30 tahun ke atas 6 tahun (setengah jumlah anggota dipilih setiap 3 tahun) Pemilihan distrik dalam pemilihan House of Representatives biasanya bersamaan dengan beberapa pemilihan prefektur (pembagian administratif Jepang) ataupun subdivisi prefektur. Untuk memilih keseluruhan anggota dalam House of Representatives, setiap pemilihan distrik memiliki alokasi sebanyak 3, 4, atau 5 kursi untuk diduduki, kecuali satu distrik yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang terhitung memiliki satu kursi. Dalam pemilihan House of Councillors, 100 dari 252 kursi terisi dengan sistem perwakilan berimbang untuk keseluruhan wilayah Jepang sebagai satu konstituensi dan 152 sisanya diperoleh dari pemilihan prefektur. Setiap prefektur memiliki sekurang-kurangnya dua kursi sehingga terdapat satu kursi yang diperebutkan dalam pemilihan, dan semakin padat penduduk suatu prefektur semakin banyak kursi yang disediakan (dalam pemilihan ini, Tokyo memiliki delapan kursi). Awalnya pemilihan 100 kursi dilakukan berdasarkan individu, yang kemudian menghasilkan banyaknya selebritis show-business dan penulis terkenal dalam pemilihan, namun setelah itu pemilihan dilakukan berdasarkan daftar kandidat yang diberikan oleh partai-partai politik.28 Sehubungan dengan setengah dari anggota House of Councillors dipilih setiap tiga tahun sekali, di setiap pemilihan tetap majelis tinggi, 50 kursi akan diisi 28 Edwin O.Reischauer & Marius B.Jansen, 2005, The Japanese Today: Change and Continuity, Berkeley Books Pte. Ltd., Singapura, hal. 248 40 berdasarkan sistem perwakilan berimbang berskala nasional dan 76 kursi oleh pemilihan perfektur. Pemilih memberikan satu suara untuk pemilihan House of Representatives tetapi memberikan dua suara kepada House of Councillors, satu suara untuk nasional dan suara lainnya untuk pemilihan prefektur. Di semua pemilihan umum majelis rendah dan setengah dari pemilihan umum majelis tinggi, sistem pemilihan menggunakan metode multimember dan single-ballot. Dengan sistem ini, untuk memperoleh sebanyak mungkin kursi, partai-partai besar mengajukan lebih dari satu kandidat setiap pemilihan distrik. Hasilnya, kandidat yang berasal dari partai yang sama akan berhadapan antar satu sama lain dan sama halnya terhadap kandidat dari partai lain, sehingga terbentuklah kompetisi dari setiap kandidat dalam upayanya untuk berkampanye. Metode pemilihan yang dijalankan oleh Jepang ini sangat mendorong akan keberadaan fraksi-fraksi dalam partai politik. Segala bentuk pemilihan diatur oleh Public Office Election (Kantor Pemilihan Publik) dan hukum-hukum Political Funds Control (Pengaturan Dana Politik). Mereka menciptakan peraturan-peraturan yang tegas menyangkut pemilihan umum, seperti kandidat tidak dapat melakukan kampanye sebelum tanggal pemilihan diumumkan secara resmi. Pengumuman secara resmi biasanya terjadi tidak lebih dari 15 hari sebelum pemilihan House of Representatives dan 18 hari sebelum pemilihan House of Councillors. Aktivitas-aktivitas kampanye seperti door-to-door, menghibur pemilih dengan makanan dan minuman, dan parade di jalan dengan kendaraan dilarang untuk dilakukan. Setiap kandidat berhak menggunakan satu kendaraan yang dilengkapi dengan satu alat pengeras suara dan empat staff di luar kandidat dan supir ataupun pilot dari kendaraan tersebut. Demikian juga dengan dana kampanye, terdapat batasan jumlah yang 41 dapat digunakan oleh kandidat, namun kandidat diizinkan untuk menggunakan mediamedia publikasi seperti poster, kartu pos, radio, dan televisi sesuai dengan kemampuan mereka serta pembatasan yang telah diberikan. Dengan peraturan-peraturan yang diterapkan dalam berkampanye ini, Jepang merupakan negara yang memiliki peraturanperaturan dalam sistem pemilihan yang paling ketat di seluruh dunia.29 Dalam sistem ketatanegaraan Jepang, badan yang memegang peranan eksekutif adalah kabinet. Kabinet terdiri atas Perdana Menteri dan menteri-menteri negara. Perdana Menteri merupakan kepala badan eksekutif Jepang yang memimpin pemerintahan dan mewakili Jepang di luar negeri. Kekuasaan dalam pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri, namun kedaulatan merupakan milik rakyat. Anggota-anggota Diet memilih Perdana Menteri dengan syarat-syarat seperti statusnya sebagai orang sipil dan posisinya sebagai anggota Diet. Setelah para anggota Diet menentukan calon Perdana Menteri, calon Perdana Menteri tersebut harus memperoleh mosi kepercayaan dari majelis rendah untuk menjabat. Setelah terpilih, Perdana Menteri akan dilantik oleh Kaisar. Perdana Menteri memilih kabinetnya dalam rangka membantu memimpin negara yang diambil dari sekurang-kurangnya setengah dari anggota Diet. Perdana Menteri memiliki hak menunjuk dan membubarkan menterimenteri negara yang mayoritas merupakan anggota-anggota Diet yang juga berstatus sebagai orang sipil. Badan eksekutif dirancang untuk mencerminkan kehendak parlemen melalui sistem kabinet parlementer dimana kabinet dibentuk dengan dukungan parlemen dan kepada parlemen inilah kabinet bertanggung jawab bersama-sama dan melaporkan segala 29 Ibid, hal. 256 42 aktivitas yang dilakukannya. Kabinet kemudian dibantu oleh birokrasi dalam menjalankan tugas eksekutifnya. Sementara itu, kekuasaan yudikatif dalam pemerintahan Jepang bersifat independen dan bebas dari campur tangan dua badan lainnya, terutama badan eksekutif. Ini dimaksudkan agar badan yudikatif dapat berfungsi secara wajar demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Hanya dengan berdasarkan prinsip kebebasan ini, badan yudikatif tidak akan memihak dan tetap berpedoman pada normanorma hukum serta keadilan dalam menghadapi suatu perkara. Pengadilan Jepang dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah (pengadilan tinggi, pengadilan negeri, pengadilan keluarga, dan pengadilan sumir). Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi yang terdiri dari seorang ketua Mahkamah Agung dan 14 hakim lainnya. Kabinet mengajukan nama-nama calon ketua Mahkamah Agung dan Perdana Menteri yang akan menunjuk ketua Mahkamah Agung tersebut dan kemudian dilantik oleh kaisar. Sementara itu hakim-hakim lainnya akan ditunjuk oleh kabinet. Hakim-hakim di Mahkamah Agung dan pengadilan sumir wajib pensiun ketika berumur 70 tahun, sementara untuk para hakim di pengadilan tinggi, pengadilan negeri, dan pengadilan keluarga wajib pensiun ketika berumur 65 tahun. Setiap 10 tahun sekali, masyarakat memiliki kesempatan untuk memberhentikan ketua Mahkamah Agung dari pengadilan dengan pemungutan suara secara referendum pada saat pemilihan umum. Sistem pengadilan tiga tingkatan ini untuk menjamin hak-hak individu masyarakat Jepang. 43 Hakim-hakim Mahkamah Agung dapat ditinjau oleh masyarakat dan dapat dipanggil pada pemilihan House of Representatives yang pertama diikuti dengan penunjukan mereka dan pada pemilihan umum pertama setelah setelah selang setiap sepuluh tahun sesudahnya. Hakim-hakim pengadilan rendah tidak ditinjau oleh masyarakat, namun masa jabatannya terbatas selama 10 tahun dengan hak istimewa pengangkatan kembali. Hakim-hakim dapat diberhentikan dari jabatannya jika mereka ditemukan tidak berkompeten dalam menjalankan tugasnya secara fisik dan mental melalui pengadilan impeachment yang dilembagakan oleh Diet. Mahkamah Agung bertugas untuk menentukan peraturan-peraturan prosedur dan praktik yang diaplikasikan dalam pengadilan-pengadilan rendah, serta bagaimana peraturan tersebut juga dilaksanakan dalam Mahkamah Agung itu sendiri. Kekuatan Mahkamah Agung tidak hanya dalam pembentukan peraturan, namun juga menyangkut prinsip-prinsip internal serta pengaturan pengacara dan juga pelaksanaan pengadilan yang dilakukan oleh penuntut umum. 44 Gambar II: Bagan Pemerintahan Jepang Legistrive Branch DIET Security Councilor House of Representatives Excutive Branch CABINET Board of Audit Cabinet Legislation Bureau National Personnel Authority Ministry of Public Management. Home Affairs Posts and Telecommunication Cabinet Secretariat • • • • House of Councillors COURTS Cabinet Office Fair Trade Agreement Environmental Dispute Postal Services Agency Dire and Disaster Management Agency Supreme Court (1) High Courts (8) District Courts (50) Ministry of Justice Judges Impeachment Court Judges Indictment Committee Judicial Branch • • • National Bar Examination Public Security Examination Commission Public Security Investigation Agency Family Courts (50) Summary Courts Ministry of Foreign Affairs Committee for Prosecutor Ministry of Finance National Tax Administration National Diet Library Ministry of Education, Culture, Sports, Science, and Technology Ministry of Wealth, Labour, and Welfare National Public Safety Commision Agency for Cultural Affairs National Police Agency • • Central Labour Relations Commision Social Insurance Agency • • • Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries Food Agency Forestry Agency Fisheries Agency Ministry of Economy, Trade, and Industry • Agency for Natural Resources and Energy • Japan Patent Office • Small and Medium Enterprise Agency Ministry of Land, Infrastructure, and Transport • • • • Imperial Household Agency Defense Agency Japan Coast Guard Marine Accidents Inquiry Agency Labour Relations Commision for Seafarers Japan Meteorological Agency Ministry of the Environment 45 Sumber: Division for Public Administration and Development Management (DPADM), Department of Economic and Social Affairs (DESA), United Nations, 2006, hal. 8 Fungsi-fungsi badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif terpaparkan dengan jelas dalam konstitusi dengan mengambil model pemerintahan Amerika Serikat dan Inggris yang memiliki bentuk negara monarki konstitusional seperti Jepang. Selain pemerintahan, konstitusi juga memberikan banyak batasan dalam pasal-pasalnya. Pembatasan pertama yaitu dengan membatasi kekuasaan Kaisar dan kemudian Jepang tidak mengakui perang sebagai hak kedaulatan bangsa. Pengakuan ini tertera pada bab kedua yang memicu terjadinya pembatasan terhadap pembentukan atau pemeliharaan kekuatan militer Jepang untuk berperang. Pelucutan senjata terhadap Jepang merupakan hal yang sangat kontroversi baik di dalam Jepang maupun di luar negeri dan secara konstitusional maupun praktikalnya. Tetapi Jepang tetap memiliki agensi pertahanan diri yang dibentuk untuk menjaga kedamaian, kemerdekaan, dan keamanan nasional Jepang. Agensi pertahanan diri mencakup angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara yang terdiri dari 240.000 anggota dan diketuai oleh seorang sipil di kabinet. Perpolitikan di Jepang tidak hanya diwarnai oleh pemerintahan, tetapi juga partai politik yang memainkan peranan penting terutama di dalam parlemen. Partai-partai politik pada awalnya bermunculan ketika kelompok-kelompok partisan memberikan dukungan besar kepada mereka. Dukungan ini terjadi dikarenakan kondisi ekonomi yang berkembang cepat dan stabil dengan banyaknya persediaan bahan mentah untuk menyokong kehidupan yang terbagi merata kepada seluruh anggota masyarakat pasca Perang Dunia II. Kepuasan masyarakat akan situasi Jepang kemudian memunculkan karakter politik yang bersifat konservatif dengan dukungan dari masyarakat terhadap status quo. 46 Jepang tidak memiliki hukum yang menetapkan syarat-syarat legal terhadap organisasi, struktur, dan fungsi dari partai politik. Berdasarkan ketentuan dalam Hukum Pemilihan Umum terhadap Jabatan Pemerintahan dan Hukum terhadap Pengaturan Dana Politik, organisasi apapun yang mengajukan kandidat yang telah disertifikasi oleh menteri dalam negeri dalam pemilihan umum Diet ataupun lebih dari lima anggota partai politik tersebut berada dalam Diet maka akan dianggap sebagai partai politik yang sah. Dalam praktek sebenarnya, semua anggota Diet merupakan bagian dari partai politik dan segala macam urusan Diet dijalankan oleh kebanyakan anggota-anggotanya yang juga bertindak sebagai anggota partai politik. Hampir keseluruhan partai politik di Jepang (pengecualian terhadap Partai Komunis Jepang atau Japan Communist Party atau JCP) dewasa ini memiliki idealisme dan prinsip dalam hal menjunjung demokrasi, kebebasan, dan perdamaian dunia dengan berlandaskan pada apa yang tertera dalam konstitusi. Partai konservatif, Partai Demokratik Liberal (Liberal Democratic Party atau LDP), yang dibentuk di tahun 1955 oleh gabungan partai Liberal dan Demokratik, menjanjikan negara demokrasi sejahtera yang sempurna yang didedikasikan kepada pencapaian perdamaian dan kebebasan dan harmonisasi kepentingan umum dan kreatifitas individu. Partai sayap kiri Jepang, Partai Sosialis Jepang (Japan Socialist Party atau JSP), yang awalnya didirikan di tahun 1945, juga menjanjikan hal-hal yang serupa namun mengidentifikasikan dirinya sebagai partai “rakyat” yang “terbuka”. Partai Sosialis Jepang merupakan partai yang pernah menjadi oposisi yang paling signifikan dalam parlemen selama dominasi panjang partai berkuasa LDP dan dalam kebijakan-kebijakannya mereka menjanjikan untuk memelihara sistem multipartai dan sistem ekonomi yang mengkombinasikan kebaikan-kebaikan dari ekonomi terencana dan ekonomi pasar. 47 Kemudian terdapat pula partai-partai moderat, seperti Partai Sosialis Demokratik (Democratic Socialist Party atau DSP) dan Liga Demokrat Sosial (Social Democratic League atau SDL), yang memiliki platform serupa LDP dan JSP dalam hal prinsip mempertahankan pasifisme yang terwujud dalam konstitusi Jepang pasca perang dan berusaha untuk menjamin perdamaian dunia. Namun terdapat partai yang memiliki prinsip yang bersifat lebih ideal dari partaipartai yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu: Komeito (Clean Government Party atau CGP, yang didirikan di tahun 1964). Mereka memasukkan komitmen terhadap kemoderatan yang menghargai sifat dasar manusia, “sosialisme manusia” yang menjamin perusahaan dengan ekonomi bebas dan distribusi produk yang adil untuk perusahaan, kebebasan dan kebijakan luar negeri pasifisme yang berdasarkan kepercayaan bahwa semua orang adalah “manusia bumi”, dan untuk mempertahankan konstitusi pasca perang serta segala kebebasan yang dijaminnya (termasuk kebebasan beragama). Pembentukan Soka Gakkai (organisasi sekte Buddha yang dibentuk oleh pendeta di abad ke-13, Nichiren) dinyatakan oleh CGP terpisah dan bebas darinya sebagai penyokong agama di tahun 1970, namun dalam aplikasinya, mereka tetaplah bergantung dan menjadi juru bicara Soka Gakkai dalam parlemen.30 Sebagai perbandingan, platform Japan Communist Party (JCP) lebih tegas dan radikal. JCP terbentuk di tahun 1922 dan dibentuk kembali di tahun 1945. Mereka menyatakan bahwa Jepang berada di bawah imperialisme Amerika Serikat dan monopoli modal Jepang sehingga mereka berkewajiban terhadap masyarakat Jepang untuk menjalankan revolusi demokratik masyarakat melawan musuh kembar tersebut. Sebagai bagian dari revolusi, partai JCP secara spesifik meminta pencabutan Perjanjian Amerika 30 Gerald L Curtis, 2004, “The Japanese Way of Politics”, Encyclopedia Americana, Connecticut: Scholastic Library Publishing, Inc, hal. 811. 48 Serikat-Jepang dalam hal kerjasama ekonomi dan keamanan, pembubaran Angkatan Pertahanan Diri, dan penghapusan institusi kerajaan. Partai berkuasa saat ini adalah Partai Demokratik Jepang (Democratic Party of Japan atau DPJ) yang didirikan di tahun 1998 oleh gabungan beberapa partai oposisi. Kerangkanya yang bersifat sosial liberal dinilai sebagai sayap kiri oleh perpolitikan Jepang. Pada pemilihan umum tahun 2009, DPJ berhasil menjatuhkan LDP yang telah menjadi partai berkuasa selama setengah abad. Sebelumnya, ketika LDP merupakan partai yang berkuasa, DPJ adalah partai oposisi yang memegang peranan yang signifikan dalam pemerintahan. Di dalam kubu partai politik besar Jepang, terdapat fraksi-fraksi yang mengakar di mana mereka membagi partai ke dalam kelompok-kelompok di dalam partai itu sendiri, parlemen, bahkan dalam posisi kabinet jika mereka berkuasa. Setiap fraksi dipimpin oleh politisi senior yang memiliki pengalaman dalam kementerian ataupun ambisi dan kemampuan untuk mengumpulkan dana kampanye yang berjumlah besar demi pengikutnya. Sebagai balasan atas bantuan pemimpin terhadap dana dan pengangkatan dalam pemerintahan, para pengikut fraksi akan mendukung pemimpinnya dalam tawar menawar terhadap jabatan yang lebih tinggi dan dalam usaha untuk memelihara dan memperluas kekuatan fraksinya. Selama bertahun-tahun secara periodik, partai berusaha untuk menghilangkan keberadaan fraksi-fraksi dengan landasan modernisasi. Tetapi fraksifraksi yang telah ada sebaliknya tumbuh semakin kuat dan terlembaga, sampai-sampai keberadaan fraksi telah menjadi ciri yang paling menonjol dalam organisasi dan aktifitas partai. 49 Terdapat beberapa alasan mengapa LDP menjadi partaai berkuasa dalam rentang waktu yang cukup lama. Pasca perang dunia kondisi ekonomi Jepang berada dalam situasi yang stabil yang kemudian membuat masyarakat bertahan pada status quo. Namun dukungan terhadap status quo ternyata tidak bertahan selama yang diharapkan oleh politisi-politisi Jepang. Pada tahun 1990-an, Jepang harus menghadapi kesulitan ekonomi yang menggeser pola pandang dalam kehidupan politik karena ketidakpuasan masyarakat yang kemudian mengakibatkan terjadinya erosi dukungan kepada LDP yang sebelumnya merupakan kekuatan politik yang solid dan berakhir dengan kekalahan LDP dalam pemilihan umum tahun 1993. Sebagai partai politik yang memonopoli kekuasaaan selama 40 tahun, kekalahan LDP dalam pemilihan umum 1993 membawa dampak psikologis terhadap kehidupan politik Jepang. Hal ini dikarenakan refleksi spontan dari masyarakat yang merasa dikecewakan akibat keadaan ekonomi yang semakin memburuk, apalagi kekuasaan yang cenderung terlalu lama memunculkan aksi kurang puas yang berakibat terjadinya perpecahan dan pergumulan politik di dalam tubuh LDP sendiri. Dalam tubuh LDP terdapat pihak-pihak yang menghendaki reformasi dikarenakan pimpinan partai cenderung mempertahankan pola-pola lama (status-quo) bahkan secara sengaja berusaha menghambat terjadinya perubahan cepat. Keadaan ini menimbulkan ketegangan dalam tubuh LDP sehingga mengakibatkan hilangnya dukungan dari masyarakat tingkat menengah di perkotaan dan sebagian dari mereka cenderung menjadi pemilih yang mengambang. Di dalam kubu LDP, kelompok generasi muda yang ingin melakukan pembaharuan harus menghadapi kelompok kuat dalam tubuh LDP yang lebih mengedepankan kepentingan fraksi yang berkuasa dimana fraksi cenderung lebih berusaha untuk 50 mempertahankan kekuasaannya dibandingkan melaksanakan reformasi politik dan sosial seperti yang diinginkan masyarakat. LDP juga menghadapi benih-benih perpecahan di mana para anggota LDP banyak membuat ikatan-ikatan politik baru bahkan membentuk partai baru. Kekalahan dalam pemilu di tahun 1993 membuat LDP berkoalisi dengan Partai Sosialis Jepang (PSJ). Setelah berkoalisi, mereka kembali berkuasa, namun masyarakat tetap menilai adanya kelemahan dalam pemerintahan koalisi LDP dan PSJ. Masyarakat menghendaki terjadinya suatu perubahan setelah LDP berkuasa sehingga LDP membentuk aliansi-aliansi baru untuk mempengaruhi masyarakat melalui pemikiranpemikiran reformasi berdasarkan konsep-konsep baru yang diperkenalkan kepada masyarakat. Pembentukan aliansi memperluas persaingan politik antara kelompok politisi, tetapi pemikiran baru atau reformasi yang dikemukakan banyak hanya bersifat pemikiran yang kurang dilandasi oleh perhitungan strategis dan hanya bersifat jangka pendek saja, serta lebih banyak yang bersifat ad-hoc karena sekedar sebagai reaksi spontan menghadapi tuntutan masyarakat yang sedang menginginkan perubahan. Keraguan akan terjadinya perubahan menyebabkan LDP kembali berkuasa dengan jumlah pendukung yang semakin berkurang. Kemenangan LDP lebih karena kekecewaan masyarakat terhadap kinerja partai lawan LDP yang ternyata tidak mampu memberi alternatif lain. Pada tahun 2009, Partai Demokratik Jepang yang bersifat sosial liberal memperoleh kekuasaan setelah mengalahkan partai konservatif liberal Partai Demokratik Liberal yang telah berkuasa selama 54 tahun dari tahun 1955 hingga tahun 2009, kecuali pada tahun 1993. 51 LDP yang dipimpin oleh perdana menteri Junichiro Koizumi yang populer menerima 38,2% suara dalam sistem perwakilan berimbang dan 47,8% dari suara yang diambil dari pemilihan distrik pada pemilu tahun 2005. Sementara partai kedua terbesar, DPJ, menerima 31% suara dalam perwakilan berimbang dan 36,4% suara dalam pemilihan distrik. Setelah kepemimpinan Koizumi, tiga Perdana Menteri (Shinzo Abe, Yasuo Fukuda, dan Taro Aso) menjabat tanpa pemilihan umum. Pada tanggal 1 September 2008, Yasuo Fukuda secara tiba-tiba mengumumkan bahwa dia mengundurkan diri sebagai pemimpin. Taro Aso memenangkan pemilihan pemimpin LDP berikutnya dan dalam rangka perubahan kepemimpinan yang tiba-tiba, Perdana Menteri Taro Aso mengadakan pemilihan pada akhir Oktober atau awal November 2008 ketika popularitasnya masih tinggi. Pada akhir Juni 2009, terdapat rumor mengenai pemilihan yang direncanakan pada awal Agustus 2009. Setelah pemilihan diselenggarakan, kampanye dimulai oleh sekumpulan anggota Diet LDP yang ingin menggantikan Aso. Sepertiga partai parlemen, termasuk menteri keuangan Kaoru Yosano, dilaporkan telah menandatangani petisi yang dimaksudkan untuk pertemuan penting dalam rangka mendiskusikan persoalan tersebut. Perdana Menteri Aso membubarkan House of Representatives pada tanggal 21 Juli 2009. Sebelum pembubaran majelis rendah, majalah mingguan National telah menyatakan analisa prediksi terhadap kekalahan besar bagi koalisi berkuasa yang memegang 2/3 kursi di House of Representatives, hingga lebih dari setengah dari jumlah tersebut. Prediksi ini berdasarkan rendahnya persetujuan yang diperoleh Perdana Menteri Taro Aso dan kekalahan besar yang LDP alami sebelumnya pada pemilihan prefektur di Tokyo. 52 Pihak media mengkritik langkah Aso sebagai “bunuh diri politik.” LDP memiliki beberapa skandal yang menyebabkan kemunduran popularitas LDP yang mengancam mereka untuk punah. Masyarakat Jepang berharap akan pembentukan sistem politik baru dengan kemunculan partai-partai yang berideologi lebih daik dibandingkan dengan sistem pembagian kepentingan dalam kekuasaan dengan perbedaan ideologi yang jelas. LDP disokong para penganut paham konservatif, kebijakan mereka mencerminkan keinginan mereka untuk menjaga tradisi mereka termasuk sistem monarkinya. Pada kenyataannya, LDP tidak didukung oleh filosofi politik yang jelas dan ideologi yang sama untuk keanggotaannya. LDP mendukung kebijakan kompetisi pasar bebas namun tetap menghargai ideologi kerjasama. Secara tradisional, LDP memiliki tujuan-tujuan, seperti pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor yang cepat, peran yang lebih positif dan aktif di kawasan Asia Pasifik, internasionalisasi ekonomi Jepang melalui liberalisasi dan mempromosikan permintaan dalam negeri (diharapkan untuk memimpin terciptanya masyarakat informasi dengan teknologi tinggi) serta promosi penelitian ilmiah. Ketika LDP berkuasa, birokrasi yang memegang kekuasaan melakukan banyak hal yang merugikan masyarakat, seperti korupsi. Banyak orang yang sadar akan hal ini sehingga mereka memberikan suara mereka kepada DPJ untuk memutuskan monopoli politik yang virtual yang telah dijalankan selama 50 abad. Salah satu pemerintahan DPJ menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk meningkatkan transparansi sistem politik, mengurangi otoritas yang tersembunyi dalam birokrasi, dan lebih bertanggung jawab terutama bagi politisi yang terpilih. Setalah pemilihan tahun 2009 membuang partai lama, pemimpin baru besumpah untuk mengambil kekuasaan birokrasi dan meletakkannya ke tangan politisi. Salah satu hal yang dilakukan oleh Hatoyama adalah Unit Revitalisasi Pemerintah yang bertugas 53 untuk mengetahui dan memotong pengeluaran yang tidak berguna dalam pemerintahan. Menyerupai persilangan antara pemeriksaan anggaran belanja kongres dan interogasi inkusisi Spanyol, pemeriksaan dilakukan oleh unit panel dan terkadang singkat dan kasar. Birokrasi dan pendukung dari proyek tersebut dianggap sia-sia oleh panel sehingga diberikan 30 menit hingga satu jam untuk membenarkan program mereka dan diberi pertanyaan oleh paner yang sebenarnya memiliki sedikit pengetahuan mengenai program tersebut. DPJ menyatakan bahwa mereka adalah revolusionari yang menentang status quo dan pemerintahan yang saat itu berkuasa. Partai Demokratik berargumentasi bahwa ukuran birokrasi pemerintahan terlalu besar, tidak efisien, dan penuh dengan sahabatsahabat dan bahwa negara Jepang terlalu konservatif dan kaku. Mereka mengejar lima tujuan: • Partai Demokratik berusaha untuk membangun masyarakat yang dibangun dengan peraturan yang transparan dan adil. • Partai Demokratik juga berkata bahwa sistem pasar bebas seharusnya “menyerap” kehidupan ekonomi, mereka juga memiliki tujuan untuk melibatkan masyarakat dengan jaminan keamanan, keselamatan, dan keadilan dan persamaan yang diberikan kepada masing-masing individu. • Demokratik bermaksud untuk memindahkan kekuasaan pemerintahan terpusat kepada warga negara, pasar, dan pemerintahan lokal sehingga masyarakat dari berbagai macam latar belakang dapat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. • Partai Demokratik memproklamirkan nilai-nilai yang dalam konstitusi “mewujudkan prinsip fundamental konstitusi”: kedaulatan populer, menghormati hak asasi manusia dasar, dan pasifisme. 54 • Sebagai anggota masyarakat global, Demokratik perlu untuk membangun hubungan internasional Jepang dalam fraternal spirit dengan percaya kepada diri sendiri dan hidup saling berdampingan untuk mengembalikan kepercayaan dunia terhadap Jepang. Pada hakekatnya, partai politik merupakan media untuk masyarakat mengeluarkan pendapat dan menyalurkan aspirasinya sehingga pemerintah dapat mengakomodasi keinginan masyarakat dan menjadikannya kepentingan nasional. Namun dalam aplikasinya di Jepang, partai politik cenderung menjadi sarana untuk memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan, sehingga menciptakan ruang untuk masyarakat menciptakan aksi-aksi protes jika terdapat kebijakan yang tidak populer di mata masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan gerakan beberapa tahun terakhir ini mengangkat isu-isu mengenai basis militer Amerika Serikat, terutama di daerah perkotaan yang padat dan masalah-masalah lingkungan yang bersifat lebih sensitif, dan konstruksi serta operasi reaktor nuklir. Sementara itu, perlu untuk diperhatikan bahwa wanita-wanita berumur 30 tahun hingga 40 tahun sangatlah aktif dalam gerakan-gerakan di masa ini. B. Badan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Politik Jepang Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Konstitusi merupakan substansi dasar di Jepang dalam pengaturan masyarakat dan negara bangsanya. Untuk memahami kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh Jepang, perlu diperhatikan organorgan yang membuat dan melaksanakan jalannya Konstitusi tersebut. 55 Diet dan kabinet terhubung dalam beberapa hal: perdana menteri ditunjuk oleh Diet, mayoritas anggota kabinet diangkat dari anggota Diet, dan Diet dapat mensahkan resolusi mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga Perdana Menteri harus mengundurkan diri atau membubarkan majelis rendah Diet (House of Representatives) dan mengadakan pemilihan baru dalam usaha untuk memperoleh dukungan mayoritas. Sistem pelayanan publik terdiri atas dua kategori jabatan atau pejabat, yaitu spesial dan umum. Kategori pertama termasuk anggota Diet, Perdana Menteri dan menterimenteri negara, hakim-hakim, duta-duta besar dan menteri-menteri yang berkuasa penuh, dan pejabat-pejabat National Personnel Authority. Kategori umum terdiri atas pegawai yang direkrut oleh ujian nasional dan dirangkum dalam birokrasi yang ditujukan kepada semua golongan masyarakat tetapi hanya merekrut sebahagian kecil orang, atau melalui ujian yang telah diatur secara individu, atau melalui penunjukan berdasarkan evaluasi terhadap kualifikasi yang spesial terhadap individu.31 Dikarenakan Perdana Menteri dipilih oleh anggota-anggota majelis rendah yang sebelumnya merupakan bagian dari majelis rendah itu sendiri, maka Perdana Menteri cenderung bertindak seperti ketua komite dan terkadang memiliki karisma yang kurang jika dibandingkan presiden terpilih dengan sistem pemilihan langsung. Dalam sejarah Jepang sejauh ini, hanya terdapat satu Perdana Menteri yang berkuasa setelah perang dunia kedua yang dianggap otokrasi dan kuat yaitu Yoshida Shigeru yang menjabat untuk 2 periode antara tahun 1946 dan 1954. Rahasia dari kekuatannya adalah otoritas absolut dari kependudukan Amerika di mana ia beroperasi selama 5 hingga 7 tahun.32 Perdana Menteri bertugas untuk mengajukan undang-undang dan melaporkan kondisi negara secara nasional maupun internasional kepada Diet. Kabinet bertanggung 31 32 Hans H Baerwald, 2003, “Japan’s Parliament”, Britannica, Chicago: Encyclopedia Brittanica, Inc., hal 250 Ibid, hal 252 56 jawab akan kesetiaan dan keefektifitasan administratif terhadap peraturan-peraturan negara serta berjalannya urusan-urusan domestik maupun luar negeri, melalui pengawasan terhadap sistem yang diberlakukan di Jepang melalui birokrasi. Dalam Kabinet, terdapat 12 menteri yang menjabat sebagai kepala kementerian dan menteri-menteri lainnya menjadi direktur dari badan sub divisi kementeriaan yang juga memiliki peran penting. Satu orang ditunjuk untuk menjadi sekretaris ketua kabinet (kambo chokan) yang bertugas seperti ketua staff untuk Perdana Menteri. Seorang lainnya merupakan direktur kantor Perdana Menteri (Sorifu) yang berkoresponden kepada White House Executive Office. Direktur Economic Planning Agency, Defense Agency, dan Science and Technology Agency juga merupakan anggota kabinet. Finance, International Trade and Industry (MITI) dan Foreign Affairs merupakan divisi yang paling penting. Kebanyakan anggota kabinet memiliki masa jabatan yang singkat dibandingkan Perdana Menteri, yaitu selama satu tahun. Selama masa jabatannya, mereka dapat membangun dengan sebaik-baiknya kebijakan-kebijakan umum untuk kementeriannya maupun agensinya. Satu atau dua wakil menteri parlemen atau wakil direktur yang ditugaskan oleh Diet dan kemudian diletakkan di kementerian juga memiliki masa penunjukkan yang pendek dan walaupun tidak memiliki fungsi yang begitu penting, namun posisi ini tetap diinginkan dengan tujuan membangun martabat demi kedudukan di Diet kemudian hari. Diet mulai bekerja di akhir bulan Januari dan melengkapi rancangan anggaran belanja sebelum dimulainya tahun fiskal di bulan April. Setiap majelis memilih ketuanya masing-masing, yang memiliki kekuatan yang luas, termasuk hak untuk membatasi debat dengan tujuan menghindari pidato yang panjang dan tak ada habisnya sehingga peraturan 57 baru tertunda pengesahannya. Mereka juga memiliki hak untuk membuat komisi kerja di mana setidaknya setiap anggota dari setiap majelis terlibat dalam satu komisi. Setiap majelis memiliki 16 komisi tetap dan dapat membentuk komisi spesial (Ad Hoc) jika dibutuhkan sehubungan dengan isu-isu yang khusus. Jumlah komisi Ad Hoc mengikuti pembagian kementerian dalam kabinet di mana masing-masing komisi terbagi lagi dalam sub komisi. Pembahasan materi dilakukan oleh komisi-komisi tersebut di mana mereka dibantu oleh staff dan diberikan fasilitas dari Perpustakaan Diet Nasional dan Biro Legislasi dari tiap-tiap majelis, terutama jika mereka menjalankan tugas legislasi. Dua komisi yang sangat penting adalah Komisi Audit yang selalu menarik perhatian media massa karena argumentasi-argumentasi yang dimilikinya terhadap pemerintah dan Komisi Anggaran yang secara tradisional menjadi wadah permintaan keterangan dari parlemen kepada pemerintah. Dapat disimpulkan dalam menjalankan tugasnya, komisi merupakan media bagi anggota majelis dalam melakukan perdebatan terhadap materi peraturan perundang-undangan. Interpelasi dalam Komisi Anggaran maupun dalam komisi-komisi lain memiliki peranan penting dalam sistem politik Jepang. Interpelasi adalah ciri Diet dimana terdapat aktifitas “question time” yang terkenal. Anggota-anggota oposisi memberikan pertanyaan yang dimaksudkan untuk mempermalukan pemerintah dan menteri-menteri kabinet maupun wakil birokrasi yang berusaha untuk mempertahankan argumen mereka dalam menjalankan pemerintahan. Sementara anggota-anggota partai berkuasa mungkin akan bertanya dengan pertanyaan yang telah dirancang untuk memberikan kesempatan kepada menteri-menteri kabinet untuk menekankan pendapat yang ingin mereka kemukakan. 58 Baik pertanyaan maupun jawaban tidak dimaksudkan untuk mengubah jumlah suara di komisi maupun di dua majelis Diet. Malahan mereka menujukannya kepada media massa dan publik secara umum dalam usaha untuk membangun dukungan dan reputasi yang digunakan untuk pemilihan mendatang. Dengan demikian sistem komisi telah memiliki fungsi yang berbeda yang sangat sesuai dengan sistem parlemen. Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh Diet dalam hal konstitusi adalah amandemen. Jika dua pertiga dari anggota-anggota di setiap majelis Diet menyetujui amandemen yang diusulkan, amandemen tersebut kemudian diajukan kepada masyarakat dan harus disetujui oleh mayoritas suara yang masuk melalui referendum. Selain itu Diet diberikan kekuasaan untuk menginvestigasi jalannya pemerintahan dan, jika perlu, untuk memberi panggilan tertulis untuk menghadap sidang pengadilan yang bersangkutan dengan dokumen resmi serta kesaksian. Badan legislatif Jepang juga dapat memanggil hakim-hakim untuk memberi pertanggungjawaban dan membubarkan mereka. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, majelis rendah memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan majelis tinggi. Demi tujuan yang bersifat praktis, majelis memilih Perdana Menteri yang diambil dari anggotanya sendiri. Selain itu majelis rendah juga dapat menolak keputusan masjelis tinggi dengan suara mayoritas 2/3. Dalam beberapa jenis perundang-undangan, majelis rendah bisa bertindak tanpa persetujuan majelis tinggi. Rencana anggaran belanja disahkan oleh majelis rendah otomotis akan jadi anggaran resmi jika dalam waktu 30 hari majelis tinggi tidak setuju ataupun tidak memberikan keputusan sama sekali. Hal yang sama berlaku terhadap ratifikasi perjanjian internasional. Namun berbeda halnya dalam perubahan atau mengamandemen konstitusi, karena akan diperlukan suara 2/3 anggota dari kedua majelis dan kemudian mayoritas 59 suara dalam referendum nasional. Dalam hal persetujuan anggaran dan pemilihan Perdana Menteri, majelis tinggi hanya dapat menunda pelaksanaaan, tetapi tidak memiliki hak veto terhadap legislasi. Majelis tinggi tidak dapat dibubarkan oleh Perdana Menteri. Jika House of Representatives mensahkan rancangan undang-undang dan House of Councillors membuat keputusan yang berbeda atau menentang rancangan undangundang, maka House of Representatives dapat meloloskan rancangan tersebut menjadi undang-undang yang sebenarnya setelah 60 hari (30 hari jika menyangkut anggaran belanja negara) dengan mengajukan rancangan undang-undang maupun anggaran belanja untuk kedua kalinya berdasarkan 2/3 suara. Rancangan undang-undang tersebut diperkenalkan oleh seorang anggota Diet atau oleh kabinet. Semua rancangan undang-undang pertama-tama diserahkan kepada komite yang bertugas untuk itu dan kemudian dipresentasikan di dalam sidang pleno majelis. Pertimbangan terhadap undang-undang tidak dapat dilanjutkan dari satu sesi Diet ke sesi lainnya. Rancangan undang-undang yang gagal disahkan selama sesi Diet yang diberikan dapat diperkenalkan lagi di kemudian hari sebagai rancangan undang-undang baru. Lebih dari 2/3 rancangan undang-undang yang diajukan kepada Diet merupakan rancangan yang dibuat oleh kabinet. Oleh karena Jepang menganut sistem parlementer, maka hubungan antara Kabinet dan Diet sangatlah erat. Namun dalam beberapa kasus terjadi pertentangan antara dua pihak di mana Diet mensahkan resolusi untuk mosi tidak percaya terhadap Kabinet maupun kebijakan atau rancangan undang-undang yang dibuatnya, sementara Perdana Menteri dapat membubarkan majelis rendah Diet. 60 Ketika House of Representatives dibubarkan, maka pemilihan umum harus diselenggarakan dalam jangka waktu 40 hari dan sidang khusus Diet harus diadakan dalam masa 30 hari pemilihan umum. Sidang luar biasa mungkin diadakan oleh kabinet jika dibutuhkan dan ketika ada permintaan dari seperempat atau lebih anggota-anggota setiap majelis. Jangka waktu sidang khusus ataupun sidang luar biasa ditentukan secara bersamaan oleh kedua majelis melalui pemungutan suara. Apabila majelis rendah dibubarkan, persidangan majelis tinggi diberhentikan. Sidang Diet diadakan satu kali dalam setahun, di bulan Desember sesuai dengan peraturan, selama 150 hari kerja. Sidang Diet kemungkinan akan dan hanya dapat diperpanjang sebanyak satu kali oleh Diet, sedangkan sidang khusus dan sidang luar biasa sebanyak dua kali berdasarkan pemungutan suara yang silakukan secara bersamaan oleh kedua majelis. Pendapatan dan pengeluaran negara diaudit setiap tahunnya oleh Dewan Audit. Sasaran laporan dewan audit tidak hanya menyangkut pendapatan dan pengeluaran negara tetapi juga mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan negara yang merupakan sumber utama dari modal negara. Hasil dari laporan audit tahunan akan dilaporkan kepada Diet oleh kabinet. C. Landasan Kebijakan Politik Luar Negeri Jepang Awalnya, hubungan internasional dianggap sebagai kelemahan terbesar Jepang, baik oleh Jepang sendiri maupun negara-negara lain. Pengalaman masa lalu Jepang dalam mengambil kebijakan politik luar negeri dengan mengisolasi diri dari dunia membuat mereka tidak siap untuk menghadapi dunia asing. Jepang memiliki aset, seperti identitas diri yang kuat, homogenitas yang luar biasa, dan masyarakat yang saling membantu, tetapi memiliki cacat dalam menghadapi dunia. 61 Setelah itu terjadi perubahan prioritas dalam hubungan luar negeri Jepang yang tidak disangka sebelumnya. Jepang menjalankan politik luar negeri yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya, sebelum perang dunia kedua hingga saat ini. Namun kebijakan politik luar negeri Jepang yang patut diperhatikan adalah ketika Jepang telah mendapatkan kebebasan dari kependudukan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan kebijakan-kebijakan tersebut sangat mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Jepang saat ini. Salah satu landasan pokok politik luar negeri Jepang adalah memberikan kontribusi kepada perdamaian dan kemakmuran dunia dengan membina keamanan dan kesejahteraannya sendiri. Keinginan ini tentu saja dilandasi oleh konstitusi yang telah merumuskan penolakan terhadap perang. Berdasarkan pasal 9 Konstitusi Jepang yang berisi sebagai berikut: Chapter II Renunciation of war Article 9. Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Jepanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air force, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized.33 Dapat diterjemahkan menjadi: Bab II Penolakan Perang Pasal 9. Dengan maksud yang sungguh-sungguh untuk menciptakan perdamaian internasional berlandaskan keadilan dan ketertiban, maka rakyat Jepang untuk selamanya menolak perang sebagai hak bangsa yang berdaulat dan menolak pula penggunaan ancaman atau kekuatan sebagai cara untuk mengatasi persengketaanpersengkataan internasional. Untuk mewujudkan maksud tersebut, angkatanangkatan darat, laut, dan udara maupun potensi perang lainnya tidak akan pernah diadakan. Hak berperang yang ada pada negara tidak akan diakui. 33 Sayimin Suryohadiprojo, 1987, Belajar dari Jepang, Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup, UI-Press, Jakarta, hal 240 62 Keinginan Jepang untuk memberikan konstribusi dalam perdamaian dan kemakmuran dunia, membuat Jepang memiliki landasan politik luar negeri yang dirangkum seperti: 1. Memberikan andil bagi perdamaian dan stabilitas dunia 2. Memberikan andil bagi kemajuan ekonomi seluruh dunia 3. Bekerjasama dengan negara-negara yang sedang berkembang 4. Memastikan keamanan dalam negeri Jepang 5. Menjadikan Jepang lebih terbuka kepada dunia.34 Landasan pokok Jepang didasari oleh konstitusi yang kerangkanya dibuat oleh Amerika Serikat pasca Perang Dunia II dan masih berlaku hingga saat ini. Sehingga dapat dinyatakan bahwa landasan politik luar negeri Jepang memiliki keselarasan dengan kepentingan strategis global AS. Hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang sangat erat karena ditunjang oleh konstitusi tersebut dan beberapa perjanjian yang telah mereka sepakati. Pada tanggal 8 September 1951, Jepang menandatangani “Perjanjian Perdamaian” di San Fransisco yang kemudian dilanjutkan dengan penyerahan kekuasaan dan kedaulatan kepada pihak Jepang. Amerika Serikat memberlakukan pembatasan-pembatasan dalam konstitusi Jepang terutama dalam bidang militer dan masalah keamanan ataupun pertahanan, namun di lain pihak Amerika Serikat menjamin keamanan Jepang dengan adanya keberadaan US-Japan Security Pact sebagai kesepakatan bilateral. Amerika Serikat merupakan aliansi terdekat Jepang dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan US-Japan Security Pact, pihak Jepang memberikan hak tunggal kepada Amerika Serikat untuk menempatkan pasukannya di wilayah Jepang. Keberadaaan pasukan AS bermaksud untuk menjaga keamanan wilayah Jepang dari ancaman negara 34 Kedutaan Besar Jepang, 1989, Jepang Sebuah Pedoman Saku, Foreign Press Center, Japan, hal 29. 63 lain maupun terhadap kegiatan subversif di dalam negeri, terutama dikarenakan kondisi Jepang yang tidak dapat memiliki kekuatan militer. Walaupun masyarakat Amerika menggerutu mengenai “tumpangan gratis” Jepang dalam hal pertahanan keamanan, namun Washington tidak memiliki keinginan untuk menarik militernya dari Jepang, sebahagian karena kepercayaan yang masih kurang dan sebahagian karena ketakutan terhadap terganggunya demokrasi yang sedang dibangun di Jepang. Amerika Serikat juga sadar akan negara-negara Asia yang telah merasakan agresi Jepang sehingga mereka tetap mempertahankan jaminan pertahanan keamanan mereka. Perjanjian Keamanan menentramkan Jepang dan negara-negara Asia lainnya. Jepang dan Amerika Serikat meningkatkan orientasi politik luar negeri mereka dan strategi militer mereka untuk menahan dan menghadapi Cina dan Korea Utara. Tetapi walaupun Jepang memperoleh keuntungan dari hubungannya dengan Amerika Serikat dan bebas dalam menentukan serta melaksanakan kebijakan politiknya, namun semenjak tahun 1990an muncul pemikiran-pemikiran yang menuntut agar Jepang kembali menjadi “negara normal”. Keberadaan basis militer tersebut kemudian memunculkan ketidaksukaan dari masyarakat dan masyarakat merasa bahwa basis militer tersebut menghina harga diri Jepang. Peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan dan kejahatan-kejahatan bermunculan yang melibatkan personel militer Amerika, yang hanya dapat diadili oleh sistem pengadilan Amerika, mengingatkan Jepang pada kebencian mereka terhadap hakhak ekstraterritorial Amerika di abad ke-19. Isu ini kemudian memunculkan demonstrasi yang hebat dan berlarut-larut oleh masyarakat. Persoalan basis militer yang kemudian sangat mempengaruhi hubungan Jepang dan Amerika Serikat adalah basis militer yang terletak di Okinawa. Telah menjadi dogma bagi Amerika Serikat semenjak Jepang meletakkan pembatasan terhadap penggunaan 64 basis militer Amerika Serikat bahwa basis militer di Okinawa harus dipertahankan. Tetapi pada akhirnya, Amerika Serikat melepaskan Okinawa dikarenakan banyaknya gerakan masayarakat yang menentang dan besarnya upaya pemerintah untuk mengembalikan Okinawa kepada Jepang secara penuh. Amerika Serikat menyerah dalam menghadapi persoalan ini dan berjanji untuk mengembalikan pulau tersebut beberapa tahun kemudian sebelum Okinawa menjadi masalah besar dalam hubungan Amerika Serikat dan Jepang karena isu ini mengancam rusaknya atau lebih parah lagi menghancurkan aliansi antara kedua belah pihak. Persoalan basis militer di Okinawa kembali mencuat di bawah pemerintahan Hatoyama, di mana terdapat mosi untuk merelokasi Futenma Marine Corps Air Station ke bagian lain pulau Okinawa untuk mengurangi pasukan Amerika yang hidup di tengah-tengah masyarakat Okinawa. Selain itu, Jepang sensitif terhadap senjata nuklir Amerika. Ketika di tahun 1954 terjatuhnya tes atom Amerika di Bikini di tengah-tengah Samudra Pasifik dan menghujani kapal nelayan Jepang, memunculkan kemarahan publik dan secara hiperbola menyebutnya sebagai bom atom ketiga.35 “Alergi nuklir” Jepang tidak hanya sebatas terhadap senjata nuklir, namun juga terhadap tenaga nuklir. Untuk negara yang miskin sumber daya alam, hal ini merupakan perkembangan yang penting, akan tetapi ketegangan selalu tercipta dari kelompok oposisi yang awalnya hanyalah karena motivasi politik namun kemudian penduduk lokal pun tidak menyambut baik keberadaan penggerak tenaga nuklir di tanah mereka. Jepang melihat kerawanan yang terdapat di Asia Timur berpotensi mengganggu stabilitas karena berbagai faktor antara lain masih adanya persaingan ideologi yang melibatkan Korea dan Cina, negara-negara yang mempunyai perselisihan teritori serta 35 Edwin O. Reischauer & Marius B.Jansen, op.cit, hal.354 65 negara-negara yang terpecah karena persaingan ideologi. Demikian juga kehadiran Rusia sebagai negara besar lainnya, yang dapat menambah kerawanan kawasan yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap stabilitas kawasan Asia Timur. Jepang juga mengkhawatirkan krisis di Semenanjung Korea dalam kaitan dengan kemampuan nuklir Korea Utara yang akan berakibat persaingan persenjataan nuklir antara negara-negara sekawasan (Korea Selatan, Taiwan, dan kemungkinan Jepang). Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang meningkatkan dukungan politik dan militernya kepada Taiwan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dukungan Jepang terhadap permintaan Taiwan untuk menjadi anggota World Health Organization (WHO). Dalam rentang waktu lima tahun, Jepang merubah posisinya yang sebelumnya menolak menjadi dukungan walaupun Amerika Serikat telah menekan untuk mendukung Taiwan di tahun 1999. Pada bulan Januari 2005, Jepang juga sangat menentang pencabutan embargo senjata Cina dari Uni Eropa. Jepang menganggap bahwa pencabutan embargo tidak hanya memberikan kekhawatiran yang besar kepada mereka, namun Asia Timur secara keseluruhan. Sebagai negara yang menganut paham pasifisme, Jepang menentang China’s Anti-Secession Law yang dikeluarkan pada bulan Maret 2005, di mana hukum ini memberikan otoritas legal dan formal kepada Beijing dalam menggunakan “upayaupaya kekerasan” untuk memaksa Taiwan kembali ke daratan Cina. Jepang membina hubungan kerjasama dengan negara-negara demokrasi industri besar lainnya dan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dalam rangka memberikan andil kepada stabilitas kawasan yang merupakan unsur penting dari politik luar negeri Jepang. Terdapat kedekatan geografis, sejarah, ekonomi, dan budaya dalam hubungan antara Jepang dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan ASEAN sehingga membuat hubungan kedua pihak lebih erat. Untuk meningkatkan peranan politik di dunia 66 internasional, Jepang mulai menunjukkan sikap dan perilaku yang lebih aktif terhadap stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Seiring dengan keinginan Jepang untuk mulai ikut berbagi tanggung jawab dalam menangani masalah-masalah global, Jepang juga memiliki kepentingan untuk memperoleh keuntungan terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Banyak perusahaan Jepang menempatkan fasilitas di negara-negara ASEAN dalam rangka menunjukkan bahwa sebagai negara ekonomi yang kuat, Jepang secara aktif berkonstribusi sehingga kawasan ini selanjutnya mampu mencapai perkembangan dan keamanan yang semakin baik. Asia Tenggara memanfaatkan itikad baik Jepang dengan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari bantuan-bantuan tersebut. Bahkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara bersaing untuk memperoleh bantuan ekonomi atau meningkatkan perdagangan maupun menerima investasi dari Jepang. Suatu kenyataan dari hasil survei di tahun 1990-an bahwa keuntungan bisnis yang diperoleh perusahaan-perusahaan Jepang di Asia Tenggara (ASEAN) dan dari negara-negara NIE’s (Negara Industri Baru) di Asia ternyata jauh lebih besar dibandingkan yang didapatkan dari perdagangannya dengan Amerika Serikat.36 Jepang berusaha terus membina hubungannya dengan negara-negara ASEAN, selain terus berusaha untuk tidak menciptakan konflik dengan RRC dan Korea Selatan. Sikap RRC dalam kaitannya dengan masalah Taiwan merupakan perkembangan yang selalu diikuti oleh Jepang dalam hal ini Jepang sangat berharap sengketa RRC-Taiwan tidak menimbulkan gangguan terhadap stabilitas politik dan keamanan Asia Timur, walaupun Jepang pada dasarnya masih melihat kemampuan militer yang dimiliki RRC sebagai “ancaman” terhadap stabilitas kawasan Asia Timur. 36 Abdul Irsan , 2005, Politik Domestik, Global, & Regional, Hasanuddin University Press, Makassar, hal 184. 67 Jepang juga berperan bagi kemajuan perekonomian seluruh dunia dengan cara mempunyai program bantuan ekonomi yang ditujukan kepada negara-negara berkembang. Program ini disebut Official Development Assisstance (ODA) yang meliputi dukungan bagi usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh negara-negara yang sedang berkembang dan diberikan dalam berbagai bentuk, seperti: 1. Bantuan hibah (Grant Aid), yang tidak perlu dibayar kembali, diberikan untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang agar dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya di bidang-bidang pangan, kesehatan, dan pendidikan. 2. Pinjaman (Yen Loan), pinjaman dana yang menguntungkan karena bunga pinjaman yang sangat rendah, dan masa pengembaliannya yang relative panjang. Bantuan ini biasanya diberikan pada proyek-proyek besar dengan tujuan membantu pembangunan ekonomi di sebuah negara, seperti membangun jembatan dan jalan. 3. Technical Cooperation atau pengiriman warga Jepang dalam kerangka Japan Overseas Cooperation Volunteers (relawan kerjasama luar negeri Jepang) ke negara-negara yang sedang berkembang untuk berbagi keterampilan dan keahlian mereka di bidang-bidang seperti teknologi, kesehatan, dan pendidikan, kepada rakyat setempat.37 Jepang telah melaksanakan program bantuan ekonomi tersebut selama lima puluh tahun lebih. Bantuan yang telah diberikan oleh Jepang merupakan bagian atau alat dari kebijakan politik luar negeri dimana pemerintah Jepang akan bertanggung jawab kepada pembayar pajak dalam negeri mengenai alokasi dana bantuan tersebut secara terbuka. 37 Kementerian Luar Negeri Jepang, 2004, Menjelajahi Jepang, Tokyo, hal 22 68 BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Dinamisme antara Eksekutif dan Legislatif dalam Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Pembagian kekuasaan ke dalam tiga badan yang berbeda dalam suatu pemerintahan dimaksudkan untuk keadilan dalam mengatur negara-bangsanya sehingga tidak terdapat pelanggaran hak terhadap masyarakat dalam menjalankan pemerintahan. Dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri, hal yang perlu diperhatikan adalah dinamika antara badan eksekutif dan legislatif berdasarkan fungsinya sesuai porsinya. Pengadopsian sistem parlemeter oleh Jepang memudahkan untuk menelaah dinamika antara badan eksekutif dan legislatif, karena sistem parlementer merupakan sistem dimana walaupun terjadi pemisahan fungsi namun jalinan antara kedua badan sangat erat, saling bergantung, dan saling bertanggung jawab antar satu sama lain. Jika dibandingkan dengan sistem presidensil, sistem parlementer yang dianut oleh Jepang kemudian menciptakan kondisi politik di mana perdana menteri bertindak sebagai komisi eksekutif belaka bagi Diet. Dalam pembuatan kebijakan dan pengesahan undangundang, tidak terdapat perimbangan antara legislatif dan eksekutif dalam konflik seperti yang terlihat dari sistem pemerintahan presidensil. Sehingga hal yang juga perlu diperhatikan dalam pembuatan kebijakan Jepang adalah posisi dan interaksi eksekutif dan legislatif dalam pemisahan antara kekuasaan dan otoritas, pergerakan rancangan undang-undang dari awal, dan pertanggung jawaban ketika kebijakan tidak berjalan semestinya. 69 Berdasarkan konsep trias politica, sebenarnya terjadi perimbangan antara fungsi eksekutif dan legislatif. Pembuatan legislasi dilakukan di dalam badan legislatif, di mana pertentangan mengenai setuju atau tidak setuju antara pemerintah dan oposisi juga terjadi di dalam badan ini. Sementara badan eksekutif menjadi pelaksana undang-undang tersebut di bawah pengawasan legislatif. Pemisahan kekuasaan dan otoritas terjadi di dalam pemerintahan Jepang. Berdasarkan otoritas posisinya, Diet bertugas sebagai pembuat rancangan undangundang. Namun, dalam pemerintahan Jepang, umumnya rancangan dibuat oleh birokrasi atas nama kabinet. Birokrasi mengatur persiapan rancangan undang-undang dan kabinet mengajukannya kepada Diet, sementara Diet bertindak meneliti dengan cermat dan mensahkan rancangan tersebut berdasarkan suara mayoritas dalam sidang pleno, namun jarang melakukan perubahan yang besar. Birokrasi kemudian memainkan peran yang penting dalam merencanakan dan mengimplementasikan perubahan-perubahan besar di Jepang sehingga mereka dapat diibaratkan sebagai agen perubahan Jepang. Beberapa birokrasi mengerjakan hampir semua rancangan, di mana 70 persen rancangan undang-undang berasal dari birokrasi sementera 30 persen berasal dari anggota Diet secara individu. Politisi dan birokrat biasanya memiliki peranan yang terpisah dan saling bertentangan, akan tetapi birokrasi Jepang memiliki hubungan yang erat dengan pemimpin-pemimpin politik.38 Tidak dapat disangkal bahwa Diet yang seharusnya menjalankan fungsi sebagai perancang undang-undang memberikan fungsi tersebut kepada birokrasi, yang seharusnya menjadi unit terkecil dalam menjalankan pemerintahan sebagai badan 38 Haruhiro Fukui, op.cit, hal 807 70 eksekutif. Sementara kabinet menjadi representasi birokrasi dalam mengajukan rancangan undang-undang tersebut. Hal ini tampaknya disebabkan karena birokrasi lebih bersentuhan dengan masyarakat secara langsung dan mengurus masalah sehari-hari, sehingga mereka lebih mengetahui apa yang diinginkan masyarakat. Umumnya kebijakan luar negeri Jepang tidak menarik secara politik dan lebih bersifat teknis, namun efisien dan terkadang tanpa adanya pengaruh politik. Dengan kerja birokrasi dalam merancang undang-undang, tidak berarti bahwa politisi, dalam hal ini kabinet dan Diet, tidak menjalankan fungsi dalam pemerintahan. Apa yang terjadi pada pemerintahan Jepang adalah rancangan undang-undang dibuat oleh Jepang kemudian politisi mengatur arah, menentukan prioritas, membuat keputusan dalam keadaan kritis, menyetujui atau tidak rancangan undang-undang yang telah dibuat oleh birokrasi, kemudian menjelaskan kepada masyarakat mengapa beberapa kebijakan tersebut diambil dan dibutuhkan untuk negara. Dalam pemerintahan Jepang tidak hanya tugas birokrasi yang mengalami ketimpangan dalam interaksi eksekutif dan legislatif, akan tetapi keterlibatan partai politik yang terlalu dalam dalam struktur pemerintahan. Dalam konstitusi Jepang tertera bahwa perdana menteri terpilih dan dipilih oleh majelis rendah, namun pada kenyataannya perdana menteri terpilih berdasarkan tradisi dalam partai politik. Hal ini dikarenakan anggota mayoritas dalam Diet umumnya berasal dari satu partai sehingga presiden partai secara otomatis menjadi perdana menteri. Wakil-wakil menteri dan sekretaris dalam komisi parlemen juga tidak dipilih oleh perdana menteri maupun menteri, akan tetapi dipilih oleh sekretaris jenderal partai yang 71 berkuasa saat itu. Kebijakan mengenai siapa yang akan terpilih untuk jabatan ini dilakukan berdasarkan pertimbangan afiliasi senior dan fraksi-fraksi. Komisi-komisi setiap majelis dalam Diet juga keanggotaannya berasal dari kelompok partai politik yang susunannya sesuai dengan perimbangan jumlah anggota partai politik dalam majelis. Penempatan komisi ini dibuat oleh partai masing-masing sesuai dengan kekuatan dalam majelis. Sistem ini berarti bahwa kebanyakan keputusan politik dibuat oleh partai berkuasa, bukan oleh Diet. Sebelum diajukan dalam sidang parlemen, pembuatan undang-undang telah dipersiapkan oleh birokrasi dengan adanya persetujuan politisi-politisi partai berkuasa. Sebagai konsekuensinya, partai harus mewakili keseluruhan partai dalam parlemen secara adil dan memiliki struktur yang sejajar dengan Diet. Sementara peran perdana menteri dalam pembuatan kebijakan hanya sekedar pelaksana dengan sedikitnya kemungkinan untuk perdana menteri memiliki pendukung yang setia pada agenda yang telah ditentukan olehnya, dikarenakan wakil menteri dan sekretaris parlemen merupakan orang pilihan partainya. Namun sebelum hal tersebut terjadi, biasanya presiden partai menjauhkan anggotaanggota yang tidak sejalan dengannya, sehingga ketika ia terpilih maka anggota-anggota partainya menahan kritik dan menerima kebijakan perdana menteri dengan memberikan suara ketika pemerintah mengajukan legislasi kepada parlemen. Dikarenakan partai politik besar dan berkuasa di Jepang memiliki model fragmen di mana terdapat faksifaksi dalam partainya, maka kecenderungan terjadinya pertentangan internal dalam menyikapi kebijakan akan terjadi dalam suatu partai. 72 Salat satu kasus yang spesial di mana terjadi pertentangan internal yang kemudian mempengaruhi dinamika hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah ketika Ichiro Ozawa mengatakan bahwa dia akan menantang Naoto Kan, perdana menteri saat itu, dalam kontes kepemimpinan. Kekahwatiran kemudian muncul berhubung Ichiro Ozawa dan Naoto Kan berasal dari partai yang sama tetapi berbeda fraksi, dan jika terus terjadi hal ini akan menghasilkan keretakan partai. Dengan keretakan partai, maka dijamin majelis rendah akan berada dalam bahaya. Hal ini juga kemudian menjadi keuntungan partai oposisi, LDP, untuk memisahkan partai yang berkuasa, DPJ. Partai Demokratik Liberal dan aliansinya, partai New Komeito, telah mengatur untuk mengajukan mosi tidak percaya melawan perdana menteri DPJ Naoto Kan dan kabinetnya. Dengan mempersembahkan mosi ini, dua partai memprotes cara Kan menangani akibat dari gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011, termasuk krisis yang sedang berlangsung di pembangkit tenaga listrik Fukushima Dai-ichi. Dan dengan mosi ini, Ichiro Ozawa diharapkan untuk memberikan suaranya. Tapi pada akhirnya, kabinet dibentuk oleh perdana menteri baru Yoshihiko Noda dalam upaya untuk menyeimbangkan fraksi-fraksi yang berkompetisi dalam partai berkuasa DPJ dan kebijakan-kebijakan politik luar negeri yang tegang. Sebelum Kan diberikan mosi tidak percaya, dia mengajukan untuk mengundurkan diri sehingga terhindar dari mosi tersebut. Tetapi Kan memiliki syarat untuk pengunduran dirinya di mana dia menginginkan agar parlemen untuk meloloskan dua rancangan undang-undang yang penting yang telah diajukannya. Rancangan undangundang tersebut adalah defisit pembiayaan obligasi dan promosi akan energi baru. Syarat ini disetujui oleh Diet, terutama karena hubungannya terhadap satu dari kebijakan luar negeri utama terhadap energi. 73 Sementara itu untuk menghindari dan mengurangi kemunculan oposisi, pemilihan presiden partai biasanya disertai oleh perjanjian-perjanjian kepada beberapa partai penting dan negosiasi akan pengisian posisi dalam kabinet ketika presiden partai mayoritas terpilih berdasarkan tradisi partai atau dikarenakan pengunduran maupun kematian perdana menteri sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan dan memberikan setiap fraksi posisi yang adil, antara pemimpin fraksi maupun pengikutnya serta antara partai berkuasa dan partai oposisi. Seperti contoh yang sekarang, Noda sadar akan perbedaan yang tajam di dalam partai berkuasa, sehingga dia menunjuk posisi utama partai secara seimbang dari kedua fraksi. Namun dengan upaya-upaya untuk menghindari kemunculan oposisi baik dari fraksi yang berasal dari partai yang sama maupun partai yang berbeda, namun mayoritas rancangan undang-undang yang dibuat oleh kabinet dengan dukungan dari anggotaanggota fraksinya di dalam parlemen, kebanyakan tetap memperoleh pertentangan dari oposisi. Partai yang berkuasa berusaha untuk mengajukan rancangan undang-undang secara cepat dengan harapan munculnya amandemen yang sedikit mungkin, sementara partai oposisi berusaha untuk menggagalkan ataupun mengamandemen rancangan tersebut secara besar-besaran. Acap kali dan kadang-kadang pertarungan ganas terjadi di kepanitaan dan sidang paripurna, anggota oposisi menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang susah dan terkadang mempermalukan menteri-menteri dan wakil-wakil pemerintah lainnya, sementara pada akhirnya seperti biasanya pemerintah mengelak dari pertanyaan dan berputar-putar dibandingkan menjawabnya secara langsung. Dari waktu ke waktu perselisihan terhadap rancangan undang-undang yang bersifat kontroversi dapat menuju ke arah konfrontasi, dan anggota-anggota oposisi biasanya 74 menggunakan taktik yang sangat mengganggu pemerintahan. Seperti, mereka menuntut prosedur pemungutan suara yang sangat menghabiskan waktu dalam sidang paripurna dengan open ballot daripada menggunakan metode yang lebih sederhana dengan menghitung suara-suara yang setuju terhadap rancangan undang-undang. Metode yang sederhana dilakukan dengan cara bagi yang setuju akan berdiri dari kursinya dan yang tidak setuju akan tetap duduk. Pada saat melakukan open ballot, kelompok oposisi berjalan secara perlahan menuju kotak suara yang diletakkan di depan podium sehingga menghabiskan waktu tambahan dan memperpanjang pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang pada akhir sesi akan terhenti dengan sendirinya. Dengan tujuan yang hampir sama, mereka menginginkan perdebatan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak begitu berhubungan dengan apa yang sedang dibicarakan sebelum mendiskusikan rancangan undang-undang yang kontroversi atau memperkenalkan beberapa resolusi mosi tidak percaya terhadap beberapa menteri. Terdapat dua saat penting dalam membahwa rancangan undang-undang yang kontroversi di mana kabinet mengajukan dan oposisi menggunakan taktik memperpanjang waktu. Rancangan tersebut mengenai pengiriman pasukan Jepang ke luar negeri untuk pertama kalinya semenjak perang dunia kedua dan berpartisipasi dalam operasi perdamaian PBB. Yang pertama adalah untuk Kamboja dalam upaya mereka untuk mengembalikan perdamaian dan untuk rekonstruksi Irak. Pada kasus Kamboja di tahun 1992, taktik perpanjangan waktu telah diharapkan dari Sosialis dan Komunis, tetapi LDP memegang suara mayoritas pada majelis rendah sehingga undang-undang tersebut memiliki kemungkinan untuk lolos. Suara majelis tinggi dianggap lebih penting bagi LDP dikarenakan mereka tidak memiliki suara 75 mayoritas di sana, sehingga mereka harus memenangkan dukungan dua parti politik utama untuk mensahkan rancangan undang-undangnya. Perbandingan akhir adalah 137 berbanding 102 yang diputuskan pada jam 2 malam, diikuti 4 hari dan 3 malam dengan banyaknya pidato panjang dari Sosialis dan Komunis, yang mempertahankan bahwa membiarkan pasukan Jepang untuk beroperasi di luar negeri melanggar konstitusi, yang telah ditulis besar-besar ketika Amerika menduduki Jepang. Konstitusi melarang penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaiakan pertikaian internasional. Oposisi dalam kebijakan pengiriman pasukan ke Kamboja mengatakan bahwa rancangan undang-undang tersebut mendefinisikan kembali konstitusi dan membutuhkan debat yang panjang, namun LDP menolak. Berbeda dengan pengiriman pasukan ke Kamboja dengan membawa bendera PBB, pengiriman pasukan ke Irak merupakan bantuan yang diberikan Jepang karena adanya permintaan Amerika Serikat. Kebijakan politik luar negeri ini merupakan salah satu kebijakan Hatoyama yang sangat kontroversi dalam upayanya untuk memainkan peraan yang lebih besar dalam perpolitikan dunia. Debat yang panjang dan bersifat kritis juga terjadi pada salah satu kebijakan luar negeri utama Jepang dalam keputusannya menyatakan perang terhadap terorisme. Yukihisa Fujita, pemimpin partai oposisi majelis tinggi dan anggota dari Defense and Foreign Affairs Committee pada saat itu, menantang perdana menteri dan menteri-menteri kabinet untuk membenarkan partisipasi Jepang yang berkelanjutan pada ‘global war on terror’ AS. Dia mempertanyakan menteri-menteri mengenai bukti, jika ada, yang Amerika Serikat tawarkan mengenai peristiwa 9/10. 76 Fujita kemudian menggarisbawahi di hadapan menteri-menteri dan juga masyarakat Jepang pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan fakta-fakta yang mengganggu yang berkontradiksi dengan narasi resmi peristiwa 9/11. Debat tersebut terjadi karena adanya permintaan dari George Bush melanjutkan partisipasinya seperti yang Jepang lakukan pada perang teluk. Jepang telah menyediakan jasa angkatan laut di Samudera Hindia untuk mendukung upaya perang AS, tetapi operasi tersebut dihentikan oleh majelis tinggi ketika majelis tinggi tidak memberikan suara pada rancangan undang-undang tersebut karena kekhawatiran operasi tersebut melanggar konstitusi Jepang yang melarang adanya aktifitas militer. Perdana menteri Fukuda, dipaksa untuk mempergunakan prosedur luar biasa parlemen dalam rangka mengulangi operasi angkatan laut. Fukuda berhasil meloloskan rancangan undang-undang dalam anggaran perang hanya ketika dia berhasil mengamankan 2/3 suara mayoritas di majelis rendah. Prosedur ini sangat luar biasa hingga hanya digunakan setelah 40 tahun dan membuat Fukuda terancama mendapatkan mosi tidak percaya. Walaupun jarang terjadi, namun anggota-anggota oposisi juga umumnya memboikot dan tidak hadir dalam proses parlementer atau anggota partai pemerintah memblokir untuk masuk ke kedua majelis dalam rangka mencegah penerimaan rancangan undang-undang yang tidak disetujui oleh oposisi. Taktik-taktik bersifat merusak yang dilakukan oleh oposisi ini sangat efektif sehingga partai berkuasa memilih untuk menyerah kepada oposisi demi alasan taktis. Partai tersebut, bagaimanapun juga, sering menentang ataupun tidak memperdulikan keberatan dan menyelesaikan rancangan 77 undang-undang yang kontroversi secara cepat melalui salah satu ataupun kedua majelis bahkan ketika anggota oposisi sedang absen. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Jepang merupakan negara demokrasi dengan memberikan peran yang sangat besar kepada partai oposisi dalam pembuatan undangundang, baik itu dikarenakan adanya lobi-lobi posisi ketika presiden partai naik menjadi Perdana Menteri dan kesempatan untuk memperlambat dan berusaha untuk menghalangi legislasi sehingga memberikan tekanan kepada partai mayoritas dalam membuat kesepakatan. Jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi lainnya, pengaruh partai oposisi yang membawa kepentingan minoritas memiliki kesempatan untuk mengubah suatu kebijakan karena Jepang merupakan negara yang berdasarkan konsensus dengan perbedaan setipis mungkin terhadap keputusan mayoritas. Debat dalam Diet menawarkan oposisi kesempatan untuk mengahalangi legislasi yang tidak mereka inginkan melalui taktik penundaan, memboikot sidang, dan taktiktaktik yang mengganggu yang dalam kehidupan memperoleh dukungan dari media massa dan demonstrasi massa di jalan. Jika partai berkuasa menggunakan paksaan dengan cara memperpanjang persoalan melalui rancangan undang-undang yang kontroversi tanpa memberikan waktu untuk debat penuh, tindakan tersebut akan dianggap tidak demokratis dan berisiko mendorong demonstrasi public yang berakibat kekacauan masyarakat, seperti yang terjadi pada tahun 1960. Hal yang terburuk yang kemudian dapat terjadi adalah kurangnya suara untuk partai berkuasa di pemilu berikutnya. Sebagai hasilnya, partai berkuasa saat itu, LDP memberikan batasan terhadap pengajuan rancangan undang-undang yang kontroversi dalam sidang. Tiga atau empat rancangan undangundang adalah angka yang dianggap banyak. Salah satu kasus yang terjadi adalah rancangan undang-undang untuk menjadikan Agensi Pertahanan menjadi Menteri 78 Pertahanan. LDP telah berharap lama agar persoalan tersebut menjadi nyata dan mereka memiliki suara untuk itu, akan tetapi tahun demi tahun rancangan undang-undang tersebut ditangguhkan karena anggapan persoalan tersebut lebih terkesan simbolis dan oleh karena itu sebaiknya dikorbankan demi legislasi yang lebih penting. Seiring dengan berlalunya waktu, pertentangan mengenai legislasi semakin berkurang dan semakin melunak dari waktu ke waktu, partai berkuasa kemudian menemukan cara untuk meredam partai oposisi dan kelompok penekan dalam merancang undang-undang yang akan diajukan sehingga lebih mudah untuk diterima. Umumnya, partai berkuasa akan menjalankan prosedur di luar sidang, melalui konsultasi dan negosiasi tidak formal yang biasanya diselenggarakan diam-diam di antara birokrasi, organ partai, partai oposisi, dan kelompok penekan. Proses politik di Jepang, walaupun sangat rumit, sangat efektif dan terkesan teradaptasi dengan baik sesuai gaya hubungan perseorangan Jepang, fleksibel namun lambat. Hal ini mungkin dikarenakan pemberian hak veto kepada kelompok oposisi minoritas sehingga menghasilkan lebih banyak kompromi jika dibandingkan sistem demokrasi lainnya. Hubungan pemerintah dan oposisi yang harmonis dapat dilihat dari kebijakan politik luar negeri Jepang terhadap Taiwan. Pandangan populer Jepang terhadap Taiwan dan pandangan populer Taiwan terhadap Jepang merupakan hal yang paling positif di kawasan Asia. Politisi-politisi yang lebih muda cenderung untuk lebih pro-Taiwan dibandingkan para tetua. Ketika penentu kebijakan yang lebih tua pensiun, politisipolitisi yang lebih muda akan memperoleh pengaruh yang lebih besar dalam kebijakan luar negeri Jepang, sebuah tren yang membentuk hubungan Tokyo-Taipei di masa depan. 79 Pada tahun 2003, Jepang, secara verbal, memberikan dukungan untuk pertama kalinya kepada Taipei untuk masuk ke dalam World Health Organization (WHO) dan memberikan suaranya kepada Taiwan di tahun 2004. Dukungan politik ini meningkat secara signifikan dan tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Secara militer, dukungan Jepang untuk Taipei juga meningkat. Pada bulan Maret 2004, tim pejabat angkatan laut Jepang yang telah pensiun memberikan nasihat kepada angkatan laut Taiwan. Setahun kemudian, tim lain terlibat selangkah lebih maju dengan melatih angkatan Taiwan secara aktif. Dan di bulan Agustus 2005, kelompok multi-partisan yang membuat legislasi dari National Defense Committee of Taiwan’s Legislative Yuan melakukan perjalanan ke Jepang untuk pertama kalinya untuk berdiskusi mengenai persoalan kerjasama militer antara Taiwan dan Jepang dengan pembuat legislasi Jepang dan pejabat militer yang pensiunan. Pertikaian energi dan kedaulatan Sino-Jepang yang masih berlangsung sekarang ini juga telah menambah kemarahan Jepang terhadap Cina. Dengan memanfaatkan ketidakpuasan ini, Sekretaris Jendral LDP saat itu Shinzo Abe, penganjur utama garis keras kebijakan anti-Cina yang secara publik mendukung Jepang datang untuk membantu Taiwan dalam agresi Cina. Di mana Shinzo Abe kemudian menjadi prime minister dan tetap mendukung hubungan Jepang dan Taiwan. Baik politisi yang berkuasa maupun oposisi dari Jepang dan Taiwan secara tetap saling bertukar pertemuan tidak resmi. Baik pemimpin Democratic Progressive Party (DPP) dan pemimpin saat ini Chen Shui-bian, serta pemimpin oposisi People’s First Party Jamess Soon telah mengunjungi Jepang dan bertemu dengan politisi-politisi atas Jepang. Bahkan, ketika Chen berkunjung ke Jepang pada bulan Juli 1999, dia 80 memperoleh jaminan akses kepada pejabat-pejabat tinggi kabinet, termasuk direktur Japan Defense Agency Norota Hosei dan perdana menteri Obuchi Keizo. Kekuatan ikatan politik antara Taiwan dan Jepang dapat diamati dari pengaruh “lobi Taiwan” di Diet Jepang, di antara 300 anggota Diet dan termasuk menteri-menteri kabinet, dari total 722 telah bergabung dalam asosiasi persahabatan Jepang-Taiwan. Partai yang berkuasa pada saat itu LDP, oposisi terbesar DPJ, dan masih banyak partaipartai kecil Jepang lainnya terwakili dalam Grup Dialog Anggota Diet dalam Hubungan antara Jepang-Cina, merupakan salah satu asosiasi Jepang-Taiwan terbesar. Sebagai hasilnya, “lobi Taiwan” di Diet Jepang bahkan lebih berpengaruh daripada perimbangannya di kongres Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, legislator yang lebih muda di Diet Jepang cenderung ke arah Taiwan, dan sebagai politisi dan pejabat yang lebih tua yang telah mengawasi normalisasi Cina-Japan 1972 menghilang dari layar, politisipolitisi yang lebih mudah telah meningkatkan pengaruhnya. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemerintahan Jepang dalam Pengambilan Kebijakan Luar Negeri Setengah dari 122 juta orang penduduk Jepang dapat hidup di pulau Jepang yang sempit hanya jika terdapat aliran sumber daya alam yang datang dari luar negeri melalui ekpor, sebagai timbal balik impor sumber daya alam tersebut maka Jepang mengekspor manufaktur. Sehubungan dengan ini, Jepang harus mampu bekerjasama secara efektif dengan negara-negara lain dalam menghadapi masalah-masalah dunia yang rumit dan besar. Selain kemampuan dalam bekerja sama, Jepang juga memerlukan kondisi perdamaian dan perdagangan dunia yang memungkinkan untuk terjadinya pertukaran 81 barang dalam skala besar juga. Lingkungan global yang sesuai dan hubungan luar negeri yang sehat merupakan apa yang dibutuhkan Jepang untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya. Hubungan antara Jepang dan Amerika Serikat sangatlah erat, hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan politik luar negeri kedua negara yang selaras. Dimulai dengan ditandatanganinya “Perjanjian Perdamaian” yang menjadi landasan hubungan militer dan nantinya akan berlanjut menjadi hubungan ekonomi. Namun hal ini tidak berarti bahwa Jepang hanya mengikuti keinginan Amerika Serikat, karena Jepang mengambil keputusan dan membuat kebijakan berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat. Perjanjian Keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat memberikan hak kepada basis militer Amerika untuk berada di tanah Jepang yang merdeka dan komitmen Amerika Serikat dengan dua tujuan yaitu dukungan posisi militer Amerika di Korea dan perlindungan untuk Jepang yang rapuh karena apa yang telah tertera dalam konstitusi. Pemimpin politik konservatif Jepang memahami kondisi tersebut dan kebijakan ini didukung oleh Perdana Menteri Ashida Hitoshi dan penerusnya, Yoshida. Bahkan Sosialis yang moderat menerima pentingnya perjanjian perdamaian yang terpisah tersebut dan berpisah dengan sayap kiri oleh karena isu tersebut. Kelompok oposisi yang tersisa menolak keberadaan kebijakan tersebut dikarenakan mereka menganggap bahwa basis militer AS memberikan bahaya yang besar dibandingkan keamanan yang diperoleh Jepang. Perjanjian Keamanan, bagi oposisi, menginjak-menginjak konstitusi Jepang yang memuat penolakan terhadap perang, yang mana Jepang sangat bangga akan hal tersebut. 82 Perjanjian Keamanan AS-Jepang memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan posisi Jepang sebagai negara merdeka. Perjanjian tersebut mengizinkan penggunaan pasukan Amerika dalam Jepang untuk memadamkan kerusuhan yang dibuat oleh masyarakat, jika diminta oleh pemerintah Jepang. Jepang juga tidak memiliki kontrol terhadap senjata nuklir Amerika Serikat, yang merupakan momok bagi masyarakat Jepang. Hal yang paling utama dari keseluruhan adalah tidak adanya pembatasan waktu untuk memutuskan kontrak perjanjian. Dengan alasan ini, pemerintah menerima banyak keberatan dan protes dari oposisi dan juga masyarakat. Oleh karena itu mereka meminta untuk merevisi perjanjian tersebut. Revisi di tahun 1960 menghilangkan kemungkinan penggunaan pasukan Amerika Serikat di Jepang dan menetapkan 10 tahun batas perjanjian, setelah itu salah satu pihak dapat menentukan untuk melanjutkan atau tidak, dan jika ingin membatalkannya terdapat ketentuan untuk melakukan pemberitahuan satu tahun sebelumnya. Untuk masalah nuklir, perjanjian yang baru dan beberapa kesepakatan yang menetapkan bahwa Amerika Serikat tidak akan melakukan perubahan yang besar dalam persenjataan tanpa mengkonsultasikan kepada Jepang. Secara tidak langsung, Amerika Serikat tidak dapat menumpuk senjata nuklir di Jepang atau membawanya ke Jepang tanpa persetujuan resmi Jepang. Hal yang sama juga berlaku terhadap aksi militer pasukan Amerika Serikat di Korea tidak dapat dilakukan jika Jepang mengeluarkan hak vetonya. Perubahan ini kemudian membuat popularitas pemimpin Jepang semakin bertambah, namun beberapa kelompok sosialis yang berpisah dari Partai Sosial Demokrat tetap menolak Perjanjian Keamanan, dengan alasan mendasar bahwa keberadaan perjanjian tersebut melanggar kedaulatan Jepang. 83 Amerika Serikat merupakan sekutu utama Jepang yang enggan mereka tentang. Perjanjian Keamanan Jepang-As merupakan kerangka yang membentuk kebijakan politik luar negeri kedua belah pihak. Tidak heran jika Jepang menyelaraskan diri dengan aksiaksi Amerika Serikat. Pada masa pemerintahan Bush, Amerika Serikat mendorong Jepang untuk memainkan peran yang lebih besar dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Timur. Pada tahun 1999, AS menekan Jepang untuk mendukung Taiwan. Awalnya Jepang menolak, tetapi Jepang kemudian mempertimbangan persoalan tersebut dan mendukung Taiwan berdasarkan alasan-alasan tersendiri. Jepang menempatkan isu Selat Taiwan dengan menggunakan istilah Joint Declaration yang bernaung di bawah bidang keamanan dan dengan asosiasi di bawah Perjanjian Keamanan AS-Jepang. Pendirian Jepang ini lebih jauh lagi diklarifikasi di tahun 2005, ketika Amerika Serikat dan Jepang mengeluarkan pernyataan untuk bergabung dan secara eksplisit mendeklarasikan resolusi damai sebagai strategi umum yang objektif dalam rangka persoalan yang berhubungan dengan Selat Taiwan. Namun jika kebijakan Amerika Serikat kepada Taiwan tiba-tiba berubah, ancamanancaman yang diterima Jepang dari Cina, bersama dengan keberadaan lobi pro-Taiwan yang berpengaruh dan besar dalam Diet dan kabinet Jepang, akan tetap mendorong hubungan Jepang-Taiwan untuk maju. Terlebih lagi, perubahan pendirian Jepang lebih terletak pada kepentingan realisnya sendiri dan hal inilah yang terpenting. Bagaimanapun juga, berdasarkan teori realis, kepentingan nasional sebuah negara merupakan ukuran jangka panjang yang paling akurat untuk meramalkan tindakan-tindakannya di masa depan. Jadi walaupun Amerika dianggap sebagai pengaruh utama kebijakan Jepang, tetapi Jepang memiliki alasan ersendiri untuk memperkuat ikatan Jepang-Taiwan. Yang patut 84 diperhatikan adalah ketakutan akan pertumbuhan militer Cina dan beberapa pertikaian yang masih berlangsung dikarenakan persoalan kepentingan keamanan nasional. Kekhawatiran Jepang mengenai pertumbuhan kekuatan militer Cina telah memainkan peran dalam membentuk kebijakan keamanan Jepang dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk merespon datangnya bahaya ini, kabinet Jepang mengadopsi “National Defense Program Guideline, FY 2005” yang baru di tahun Desember 2004. Rencana berjangka panjang yang ditujukan untuk menuntun perkembangan pertahanan jangka panjang negara, dokumen tersebut menekankan bahwa Cina merupakan kekhawatiran dalam hal pertahanan Jepang di kawasan Asia Pasifik. Dalam mengekspresikan kegelisahan Jepang mengenai modernisasi militer Cina, ketua JDA meminta tranparansi pengeluaran militer Cina pada bulan Juni 2005, yang diikuti dengan dikeluarkannya rancangan dokumen putih JDA tahun 2005. Terlebih lagi, rancangan dokumen putih tahun 2005 memperingatkan tiga kebutuhan berbeda untuk tetap melanjutkan pengawasan atas kebangkitan Cina, mendeklarasikan bahwa Cina sedang dan telah memodernisasikan kemampuan militernya yang berfokus kepada kekuatan misil dan nuklir serta angkatan lautnya dalam beberapa tahun terakhir ini. JDA pertama kali menyentuh persoalan in di tahun 1996 yang mendeklarasikan bahwa Jepang harus mengawasi tindakan-tindakan Cina, seperti modernisasi nuklir dan angkatan bersenjatanya; memperluas cakupan aktifitas di laut tinggi; dan ketegangan yang bertambah di Selat Taiwan disebabkan oleh latihan militer. Dokumen putih lebih jauh memperluas ancaman dari Cina dengan secara eksplisit mencatat bahwa Jepang terbentang dalam jarak misil Cina. Di tahun 2004, panitia JDA untuk Defense Capability meningkatkan peringatan dan kemudian membuat langkah berikutnya dengan mengeluarkan laporan dengan menggarisbawahi tiga situasi yang mana Cina 85 kemungkinan akan menyerang Jepang, salah satunya adalah keterlibatan dalam perang Selat Taiwan. Jepang memiliki beberapa pertikaian dengan Cina yang sedang berlangsung dan bersifat mendasar, banyak dari pertikaian tersebut melibatkan strategi yang penting. Hal yang paling signifikan adalah kedua negara mengklaim kepemilikan atas Pulau Senkaku, yang terbentang di Laut Cina Timur antara Jepang dan Taiwan yang saat ini diatur oleh Jepang. Cina dan Jepang melihat persoalan ini dari sisi kedaulatan dan kehormatan. Posisi geografis Pulau Senkaku di Laut Cina Timur juga penting dalam menyokong klaim maritim Jepang dan Cina terhadap keberadaan deposit minyak dan gas yang dicurigai terdapat di bawah laut kawasan tersebut. Hasilnya, kedua negara menolak untuk menyerah dan mundur maupun bernegosiasi mengenai persoalan ini. Pertikaian tersebut merefleksikan kompetisi strategis yang besar antara Jepang dan Cina dalam hal persediaan energi. Kedua negara merupakan negara yang miskin minyak dan gas yang menyebabkan mereka terlibat dalam ketegangan yang berulang-ulang dalam hal teritori dan persediaan energy yang dicurigai keberadaannya. Tetapi kompetisi Sino-Jepang untuk persediaan energi tidak terbatas hanya kepada Laut Cina Timur, bagaimanapun juga kedua negara telah saling bertentangan di tempat yang lain dalam usahanya untuk mempersiapkan energi cadangan di masa yang akan datang untuk negaranya. Ketika Rusia merencanakan untuk membangun sambungan pipa minyak menyebrangi Siberia bagian timur di awal 2004, Cina dan Jepang melobi secara intensif untuk mengatur rute jalur pipa tersebut yang menguntungkan mereka. Kepemimpinan kawasan Jepang juga diserang oleh Cina dalam beberapa hal. Dalam bidang ekonomi, Beijing dengan suksesnya menandatangani perjanjian 86 perdagangan bebas dengan Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) di bulan November 2004, lebih dari setengah tahun sebelum negosiasi perdagangan bebas JepangASEAN dijadwalkan untuk mulai. Salah satu pertikaian Jepang yang berhubungan dengan Cina yang lain adalah Cina menentang permintaan Jepang untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yang merupakan tujuan yag paling ingin dicapai oleh Jepang dalam empat dekade belakangan ini. Berhubungan segala macam reformasi dalam keanggotaan tetap Dewan Keamanan membutuhkan persetujuan Cina atau setidaknya absensi, penentangan Beijing dapat mencegah Jepang untuk bergabung menjadi anggota tetap PBB. Dengan faktor-faktor inilah, sangat jelas alasan kuat Jepang untuk berwaspada akan proposal anggota Uni Eropa baru-baru ini yang ingin mencabut embargo senjata Cina, Jepang sendiri secara langsung merasa terancam dengan pertumbuhan Cina. Sebagai tambahan, faktor-faktor ini mengarahkan Jepang untuk memiliki lebih banyak alasan lebih dari sekedar paksaan Amerika Serikat untuk meningkatkan hubungan keamanan dan politik dengan Taiwan melalui mengirim penasehat dan pelatih militer ke Taipei untuk mendukung partisipasi Taiwan di WHO dan meningkatkan komitmennya untuk menjaga keamanan di Selat Taiwan. 87 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan mengenai Dinamisme Eksekutif dan Legislatif dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Jepang sebagai berikut: 1. Dinamisme antara eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri Terdapat dua jenis interaksi jika kita ingin membicarakan eksekutif dan legislative, yaitu saling mendukung dan saling menjegal. Pada dasarnya dan seharusnya, Diet sebagai pemegang kekuasaan legislatif memiliki kewajiban dan hak untuk merancang dan mensahkan konstitusi, sementara kabinet dan birokrasi sebagai pemegang kekuasan eksekutif memiliki kewajiban dan hak untuk menjalankan konstitusi tersebut. Namun di Jepang, terjadi pergeseran kekuasaan yang tidak lazim antara eksekutif dan legislatif. Rancangan undang-undang di buat oleh birokrasi yang dipresentasikan oleh Perdana Menteri yang juga merupakan presiden partai di mana anggotanya mayoritas menempati parlemen. Parlemen bertugas untuk menyetujui atau menangguhkan rancangan undangundang tersebut, sehingga kemungkinan terjadi pertentangan antara Perdana Menteri dan parlemen mengenai satu kebijakan, dan hal tersebut dapat diakomodasi dengan mosi ketidakpercayaan ataupun pembubaran parlemen. Tidak hanya itu dinamisme yang terjadi antara eksekutif dan legilatif, dalam kubu legislatif juga terdapat pertentangan yang dapat mempengaruhi kinerja eksekutif, 88 yaitu pertentangan antara partai yang memerintah dan juga partai oposisi. Pertentangan dalam kubu legislatif dapat dilihat dari sidang-sidang yang mereka lakukan di mana kedua pihak saling menjegal dengan metode-metode berdasarkan aturan yang berlaku. Dan bahkan mereka menggunakan peraturan untuk mencegah satu sama lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun dalam penerapan politik, Jepang dapat dianggap telah menjalankan prinsip demokrasi dalam kesehariannya. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemerintahan Jepang dalam pengambilan kebijakan luar negeri Jika dari sudut pandang orang awam, Jepang akan dianggap sebagai negara yang hanya mengikuti kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Tetapi hal itu tidak benar sama sekali. Namun pada kenyataan bahwa Jepang selalu menyesuaikan kerangka kebijakannya dengan apa yang dimiliki oleh Washington dapat dibenarkan. Sebagai aliansi Jepang terbesar di mana Jepang sangat bergantung dalam hal keamanan kepada Amerika Serikat, Amerika Serikat juga mengambil kesempatan untuk memanfaatkan posisi Jepang di Asia Timur demi kepentingannya. Sehingga terjadilah hubungan simbiosis mutualisme antara kedua negara. Dan tidak hanya Amerika Serikat saja yang mempengaruhi pengambilan keputusan politik luar negeri Jepang, akan tetapi negara-negara yang memiliki potensi untuk bersitegang dengan Jepang, seperti Cina, di Asia Timur juga memiliki peranan dalam membentuk kerangka kebijakan politik luar negeri Jepang. Jepang sendiri pada awalnya hanya bermain politik pada ranah domestik, namun kebutuhan akan peningkatan yang lebih baik membuatnya untuk berusaha mengambil peranan yang lebih besar dalam percaturan politik dunia. Dalam hal ini, Jepang mengeluarkan apa yang mereka sebut ODA untuk membantu negara89 negara yang sedang berkembang dalam kemajuan ekonominya. Akan tetapi, setelah ditilik lebih mendalam, keberadaan ODA ini selain membantu negaranegara berkembang juga memberikan keuntungan tersendiri bagi Jepang dikarenakan Jepang akan menjadikan mereka pasar untuk menjual barang-barang ekspor mereka sehingga mereka ingin meningkatkan perekonomian negara-negara tersebut. B. Saran 1. Berkaitan dengan pandangan dunia yang menganggap bahwa Jepang negara bisu yang hanya mengikuti kebijakan Amerika Serikat, tidak dapat disimpulkan seperti itu secara bulat-bulat. Karena pada kenyataannya, terdapat pertimbangan dari eksekutif dan legislatif dalam mengeluarkan kebijakan, akan tetapi memang pengaruh Amerika Serikat sangatlah besar. 2. Walaupun budaya tersebut telah mengakar, akan lebih baik jika Jepang dapat melakukan pergeseran kekuasaan kepada pemegang seharusnya antara birokrasi dan politisi. Karena jika terus dilanjutkan maka akan terjadi pelanggaran terhadap sistem yang telah dibentuk. Partai berkuasa DPJ saat ini telah berusaha untuk melakukan pengurangan kekuasan terhadap birokrasi dengan bertahap, kita hanya perlu menunggu apakah hal ini akan memberikan kebaikan ataukah malah membawa bencana pada Jepang. 3. Pemerintah Jepang hendaknya menjalin hubungan yang lebih erat lagi dan bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan konflik yang masih tersisa di Asia Timur. Karena tidak mudah untuk menyelesaikan konflik di antara negara tetangga tersebut. Walaupun kerjasama dan hubungan baik terlah terlihat di beberapa pemerintahan, namun ketakutan negara-negara tetangga akan 90 bangkitnya kembali militerisme Jepang membuat ketidakpercayaan negara tersebut kepada Jepang. Hal ini harus diupayakan oleh Jepang agar negara-negara tersebut dapat memberikan kepercayaan kepada Jepang dalam setiap kerjasama yang dilakukan 4. Jepang untuk membentuk imej di mata dunia, terutama dalam upayanya untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, seharusnya berusaha untuk memainkan peran yang lebih besar dalam percaturan politik dunia. 91 DAFTAR PUSTAKA Buku Baerwald, Hans H, 2003, “Japan’s Parliament”, Britannica, Chicago: Encyclopedia Brittanica, Inc Banyu, Anak A. & Yanyan Mochamad, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Budiarjo, Miriam, 2002, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Coulumbus, Theodore A & James H.Wolfe. 1999. An Introduction to International Relations: Power and Justice. Prentice Hall, New Delhi. Curtis, Gerald L, 2004, “The Japanese Way of Politics”, Encyclopedia Americana, Connecticut: Scholastic Library Publishing, Inc, Division for Public Administration and Development Management (DPADM), Department of Economic and Social Affairs (DESA), United Nations, 2006 Fukui, Haruhiro, 2004, “Japan’s Government” Encyclopedia Americana , Connecticut: Scholastic Library Publishing, Inc. Holsti, K.J., 1988, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Bina Cipta, Bandung. Irsan, Abdul, 2005, Politik Domestik, Global, & Regional, Hasanuddin University Press, Makassar. Jackson, Robert & Georg Sorensen, 2007, Introduction to International Relations: Theories and Approaches, Oxford University Press, New York. Jusuf, Suffri, 1989, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kedutaan Besar Jepang, 1989, Jepang Sebuah Pedoman Saku, Foreign Press Center, Japan. Kementerian Luar Negeri Jepang, 2004, Menjelajahi Jepang, Tokyo Lovel, John P., 1970, Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York Mas’oed, Mochtar, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin Ilmu dan Metodologi, LP3ES, Jakarta Nasrun, Mappa, 1990, Indonesia Relations with The South Pacific Countries; Prospect and and Problems, UNHAS, Makassar. Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, 1997, Mizan Pustaka: Kronik Indonesia Baru 92 Reischauer, Edwin O. & Marius B.Jansen, 2005, The Japanese Today: Change and Continuity, Berkeley Books Pte. Ltd., Singapura. Rudy, T. May, 2002, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, PT Refika Aditama, Bandung. Soeprapto, R, 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi & Perilaku, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta Suryohadiprojo, Sayimin, 1987, Belajar dari Jepang, Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup, UI-Press, Jakart World Population Prospects: The 2006 Revision, 2007, United Nations Publication. Wright, Quincy, 1980, The Study of International Relations, New York: Free Press. 93 Internet An Unstable New Government in Japan http://www.jstor.org/pss/419570, 22 Agustus 17:23 WITA Afghanistan Minta Jepang Teruskan Operasi Anti Terornya http://www.kapanlagi .com/h/0000190829.html, 28 Agustus 2010, 10:23 WITA Akhir Persekutuan Jepang-Amerika? Penolakan Ozawa atas Kebijakan Pengiriman Pasukan Jepang ke Samudera Hindia http://www.asahi.com/english/Herald-asahi/TKY200804210074.html, 28 Agustus 2010, 10:23 WITA Angkatan Laut Jepang Kembali Beroperasi Dukung Perang Afghanistan http://www.kapanlagi.com/h/0000210137.html, 10 Maret 2011 14:20 WITA Fukuda Bertekad Perbaiki Hubungan Dengan China http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=153418, 2 September 2010, 22:50 WITA Jepang-China Tak Sepakati Soal Eksplorasi Gas Bersama http://www.kapanlagi.com/h/0000214815.html, 10 Maret 2011 14:20 WITA Jepang dan India Layak Jadi Anggota Tetap DK PBB, Kata Australia http://www.antara.co.id/are/2008/4/6/jepang-dan-india-layak-jadi-anggotatetap-dk-pbb-kata-asutralia/, 10 Maret 2011 14:20 WITA Jepang Di Bawah Kepemimpinan Perdana Menteri Baru http://[email protected], 2 September 2010, 22:50 WITA Jepang Kurangi Bantuan Luar Negeri http://news.antara.co.id/arc/2007/12/20/jepang-kurangi-bantuan-luar-negeri/, 10 Maret 2011 14:20 WITA LDP, New Komeito Eye No-confidence Motion vs. Gov't as Early As Thurs http://findarticles.com/p/articles/mi_m0XPQ/is_2011_May_31/ai_n57574560/ , 22 September 2011 22: 27 WITA Perancis Dukung Jepang Jadi Anggota Tetap DK PBB 94 http://www.kapanlagi.com/h/0000056692.html, 4 Juni 2011 21:34 WITA PM Jepang Desak Oposisi Dukung Misi Afghanistan http://www.kapanlagi.com/h/0000207955.html, 10 Maret 2011 14:20 WITA Policy Confusion In Store As Japan PM Faces No-confidence Vote http://www.trust.org/alertnet/news/scenarios-policy-confusion-in-store-as-japan-pm-faces-noconfidence-vote/, 22 September 2011 22:27 WITA 95