Edisi 17 Vol. II. September 2017 Kemandirian Daerah: Kendala Optimalisasi Pajak dan Retribusi Daerah Optimalisasi Pengelolaan Dana Haji Melalui Investasi p. 08 p. 03 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685 1 Dewan Redaksi Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Pemimpin Redaksi Rastri Paramita, S.E., M.M. Redaktur Jesly Yuriaty Panjaitan, S.E., M.M. Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. Marihot Nasution, S.E., M.Si Adhi Prasetyo S. W., S.M. Editor Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM. Ade Nurul Aida, S.E. Daftar Isi Update APBN.................................................................................................p.02 Optimalisasi Pengelolaan Dana Haji Melalui Investasi...................................p.03 Kemandirian Daerah: Kendala Optimalisasi Pajak dan Retribusi Daerah ....................................................................................p.08 Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id 2 Update APBN Inflasi, Nilai Tukar, ICP Tingkat inflasi pada bulan Agustus 2017 sebesar 3,82 persen yoy. Perkembangan harga komoditi di bulan ini pada umumnya menunjukkan adanya penurunan. Terjadi deflasi sebesar 0,07 persen disebabkan oleh penurunan dibeberapa kelompok pengeluaran (seperti kelompok bahan makanan, kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan) dan penurunan harga komoditas (seperti tarif angkutan udara, bawang merah, bawang putih, dan lain sebagainya) Perkembangan Inflasi Indonesia Periode Januari 2016 - Agustus 2017 (Persen) Sumber : Bank Indonesia, diolah Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD Selama tahun 2017 nilai tukar rupiah berada di sekitar Rp13.300 per USD. Stabilnya nilai tukar rupiah terjadi karena Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan terkendalinya laju inflasi mampu menopang penguatan rupiah terhadap mata uang USD. Sumber : Bank Indonesia, diolah Harga Minyak Mentah Indonesia (USD per Barel) Harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada bulan agustus 2017 mengalami peningkatan sebesar USD2,95 per barel dibandingkan bulan Juli 2017. Berdasarkan prediksi OPEC, kenaikan ICP dipengaruhi oleh peningkatan permintaan minyak mentah global sebesar 0,11 juta barel per hari Sumber : Kementerian ESDM , diolah 1 Optimalisasi Pengelolaan Dana Haji Melalui Investasi oleh Lisnawati*) Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Polemik pemanfaatan dana haji (MUI) Ma’ruf Amin berpendapat terjadi ketika terdapat keinginan tak mengapa jika pemerintah pemerintah dalam memanfaatkan menggunakan dana haji untuk dana haji untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. MUI infrastruktur. Isu ini mengemuka bahkan telah mengeluarkan fatwa setelah Presiden Jokowi melantik terkait pembangunan infrastruktur Anggota Dewan Pengawas dan yang menggunakan dana investasi Anggota Badan Pelaksana Pengelola para calon jamaah haji. Namun ada Keuangan Haji (BPKH) pada tanggal juga pendapat yang mengatakan 26 Juli 2017. BPKH sendiri merupakan bahwa pemanfaatan dana haji amanat dari Undang-Undang Nomor untuk infrastruktur bertentangan 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dengan Pasal 3 Undang-Undang Keuangan Haji. Nomor 34 Tahun 2014 tentang Saat ini keuangan haji menjadi isu Pengelolaan Keuangan Haji. Pasal 3 yang sensitif. Animo yang sangat UU 34/2014 mengatur bahwa dana besar tidak sebanding dengan kuota haji bertujuan untuk meningkatkan yang diberikan oleh Pemerintah Arab kualitas penyelenggaraan ibadah haji, Saudi, hal ini menyebabkan dana haji rasionalitas dan efisiensi penggunaan yang telah disetorkan ke Pemerintah biaya pengelolaan ibadah haji, terus membesar setiap tahunnya. serta manfaat bagi kemaslahatan Dana haji adalah dana untuk biaya umat Islam. Yang dimaksud untuk pendaftaran calon haji agar mendapat kemasalahatan umat Islam adalah porsi keberangkatan. Dana ini yang kegiatan pelayanan ibadah haji, biasa disebut dengan dana awal pendidikan dan dakwah, kesehatan, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). sosial keagamaan, ekonomi umat, Pertahun kuota haji Indonesia serta pembangunan sarana dan sekitar 210.000 orang, hanya sekitar prasarana ibadah. Rp6-7 triliun yang digunakan untuk Investasi dana haji telah dilakukan Pemerintah sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji disahkan. Kementerian Agama telah menginvestasikan BPIH ke tiga instrumen investasi, yakni Surat Utang Negara (SUN), deposito berjangka operasional haji tahunan. Sedangkan masyarakat yang mendaftar setiap bulannya bisa mencapai 40.000 calon haji. Terdapat dana mengendap yang setiap tahun potensinya meningkat seiring bertambahnya pendaftar haji. Sampai akhir 2017, akumulasi BPIH diperkirakan sebesar Rp97,18 triliun.1 *) Peneliti Muda Ekonomi Terapan pada bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. E-mail: [email protected]. 1) Untung dan Buntung Investasi Dana Haji ke Infrastruktur, https://www.cnnindonesia.com/ ekonomi/20170802121306-78-231888/untung-dan-buntung-investasi-dana-haji-ke-infrastruktur/, diakses pada tanggal 10 September 2017. 2 kemudian sebagian dana tersebut diinvestasikan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara. Selanjutnya, nilai manfaat tersebut digunakan membayar berbagai pengeluaran operasional jamaah haji di Arab Saudi. Adapun hasil efisiensi penyelenggaraan haji masuk ke rekening Kementerian Agama dan dimanfaatkan untuk pelayanan ibadah haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah. syariah, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk atau obligasi syariah. Sampai akhir 2016, dana haji sebesar USD10 juta diinvestasikan ke SUN, Rp54,57 triliun ke deposito berjangka syariah dan Rp36,7 triliun ke SBSN.2 Berbagai kalangan menganggap investasi yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini belum optimal. Hal ini disebabkan payung hukum terkait dengan BPIH yang diatur dalam Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang PIH bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri. Peraturan Menteri Agama (PMA) yang mengatur tentang optimalisasi BPIH dilakukan dengan cara: (1) membeli Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); (2) membeli Surat Utang Negara (SUN); dan/ atau (3) menempatkan dalam bentuk deposito berjangka. Tidak dimungkinkannya investasi di sektor bisnis dan lainnya, dan tidak adanya pengaturan optimalisasi dana haji selain ketiga investasi tersebut sebelum dibentuknya BPKH. Dengan telah terbentuknya BPKH maka terdapat keleluasaan dari BPKH dalam menempatkan dana haji pada beberapa alternatif investasi lain. Selama ini dana haji dikelola atas nama rekening Menteri Agama. Yang tahu berapa nilai optimalisasi dari dana haji tersebut hanya Menteri Agama dan atau pejabat/aparat yang terkait dengan pengelolaan dana haji. Para calon haji sebagai pemilik sah dari dana tersebut tidak pernah tahu berapa nilai optimalisasi dari dana haji yang mengendap/diinvestasikan tersebut, termasuk seandainya yang bersangkutan mendapat subsidi pembiayaan haji dari hasil optimalisasi tersebut. Oleh karena itu, perlu dipikirkan apakah pengelolaan dana haji cukup menggunakan satu rekening atas nama Menteri Agama seperti sekarang atau perlu dibuat semacam virtual account, sehingga setiap calon haji tahu berapa jumlah dana yang ada pada masing-masing rekening tersebut. Permasalahan dan Optimalisasi Dana Haji Terdapat beberapa permasalahan dalam pengelolaan dana haji. Pertama, skema atau mekanisme pengelolaan. BPIH yang disetorkan ke rekening Menteri Agama melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk dan dikelola oleh menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat, Kedua, kesesuaian syariah. Selama ini BPIH maupun DAU dikelola secara konvensional melalui penempatan di perbankan konvensional dan secara syariah melalui penempatan di perbankan syariah dan investasi di sukuk. Oleh karena dana tersebut diniatkan dan didedikasikan untuk 2) Begini Dana Haji Indonesia Dikelola, https://finance.detik.com/infografis/3581619/begini-dana-haji-indonesia-dikelola, diakses pada tanggal 10 September 2017. 3 ibadah haji, sepatutnya dana haji dikelola sesuai prinsip syariah. Dalam konteks tersebut, perlu diperhatikan berbagai akad mulai dari penerimaan setoran awal, penempatan, investasi dan pengeluaran, pemanfaatan hasil efisiensi, serta kerja sama para pihak. dana besar untuk membiayai proyek infrastruktur. Dalam lima tahun pemerintahan Jokowi diperlukan setidaknya Rp5.000 triliun untuk infrastruktur, namun APBN hanya dapat memberikan setidaknya Rp400 triliun setiap tahun. Meski kebutuhan infrastruktur besar, pemerintah perlu mengkaji secara mendalam rencana investasi dana haji untuk membiayai proyek-proyek tersebut. Ketiga, regulasi. Pengelolaan dana haji mulai dari penerimaan setoran awal, penempatan, investasi, pengeluaran, pemanfaatan hasil efisiensi memerlukan payung hukumregulasi baik UU, PP, Kepres, PMA, atau Pedoman Dirjen. Dengan regulasi yang baik, komprehensif, dan prudent diharapkan pengelolaan dana haji dapat dilakukan dengan baik, benar, profesional, transparan dan amanah, serta terhindar dari terjadinya dispute (permasalahan hukum). Wacana investasi dana haji untuk pembiayaan infrastruktur harus ada dalam rencana strategis dan rencana kerja BPKH yang telah disetujui DPR. BPKH harus membuat sistem akuntabilitas investasi dana haji. Dalam Audit Badan Pemeriksa Keuangan dikatakan bahwa lemahnya pengendalian internal sejumlah kementerian dan lembaga negara memicu ketidakpatuhan terhadap undang-undang. Pengelolaan dana haji sangat rentan penyimpangan. Salah satu kasus besar yang pernah terjadi adalah kasus korupsi dana penyelenggaraan haji yang menjerat mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Aturan lebih detail sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pengelolaan dana haji dikelola dengan baik dan sesuai syariah. Keempat, sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor penentu dalam pengelolaan dana haji. Mengelola dana haji yang sangat besar memerlukan jumlah SDM yang cukup dan dengan kualitas yang mumpuni, punya kompetensi dan integritas yang baik, inovatif, profesional, amanah, serta tahan godaan. Dengan demikian, diharapkan dapat melakukan tata kelola secara baik dan benar, terhindar dari tindakan KKN serta penyalahgunaan wewenang lainnya, serta dapat mengembangkan dana haji secara halal dan thoyib sehingga memberikan nilai manfaat dan maslahah yang besar bagi perbaikan kualitas pelayanan haji serta bagi peningkatan kesejahateraan umat, masyarakat, dan bangsa Indonesia.3 Referensi Dari Negara Lain Indonesia membutuhkan referensi dalam pengelolaan dana haji yang tepat, terutama jika digunakan untuk investasi. Investasi dana haji telah berjalan di sejumlah negara. Malaysia telah memiliki sistem pengelolaan dana haji yang sangat baik. Pembayaran calon jamaah haji reguler di Malaysia diharuskan melalui satu pintu, yaitu melalui Lembaga Tabung Analisis risiko Pemerintah memang membutuhkan 3) Pengelolaan Dana Haji, http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/06/20/n7gb8840-, diakses pada tanggal 11 September 2017. 4 Haji (LTH). Lembaga ini telah dibentuk sejak 1963 oleh Pangeran Ungku Aziz. Seluruh investasi dilakukan melalui sistem Syariah. kompetitif melalui pengelolaan yang inovatif dan skema simpanan menarik yang dirancang untuk meningkatkan simpanan. Kini, LTH mempunyai lebih daripada 9 juta pendeposit dan 123 cabang, dengan lebih dari 6.000 ‘touch-points’ di seluruh negara. LTH juga mempunyai satu pimpinan yang beroperasi di Jeddah, Arab Saudi. LTH adalah sebuah institusi keuangan Islam unggul di Malaysia dan sebuah lembaga atau perusahaan yang berhubungan dengan kerajaan Malaysia dibawah naungan Menteri Agama Islam Malaysia. LTH beroperasi seperti korporasi dengan organisasi manajemen perusahaan sendiri dan mempunyai lebih 50 tahun pengalaman dalam deposit, pengelolaan dan operasi haji. Sebagai sebuah pengurus dana Islam terbesar, lembaga ini sukses mengelola Rp160 triliun dana haji dari 20 ribu jamaah haji Malaysia tiap tahunnya. LTH berinvestasi dengan pembagian 50 persen untuk investasi saham, 20 persen untuk real estat, 20 persen untuk pendapatan tetap, dan 10 persen instrumen pasar uang. Sejak 2012, dividen dibagi menjadi dua komponen yakni dividen per tahun, ditambah dividen bonus haji yang hanya diberikan kepada penabung yang belum melaksanakan haji. LTH memberikan kepercayaan kepada pengelola haji yang profesional sehingga mampu melayani semua calon jemaah haji di Malaysia. Pencapaian LTH yang konsisten telah mendapat pengakuan dunia dan menjadi contoh pengurusan haji dan merupakan pengelola keuangan Islam yang inovatif oleh kebanyakan Negara Islam di dunia. LTH terus mengukuhkan kedudukannya di pasaran, baik di dalam negeri dan di luar negeri, dengan membagi fokus kerja di beberapa sektor riil seperti perladangan, pembangunan, tanah dan pembinaan, keuangan Islam, teknologi maklumat, minyak dan gas serta pelayanan di bidang rumah sakit. LTH juga menggunakan dana haji untuk meningkatkan pelayanan haji. Mereka membangun rumah sakit di Mekkah dan Madinah serta pusat kesehatan di Arafah dan Mina untuk jemaah haji mereka. Dana haji tak hanya bermanfaat untuk jemaah, tapi juga bagi negara. Malaysia mempunyai manajermanajer investasi yang digaji secara profesional serta paham industri dan keuangan. Dari sisi produktivitas, penggunaan dana haji di sektor non-riil seperti perbankan, berbeda dengan mengonversinya di sektor riil. Jika di sektor non-riil, penabung hanya akan memperoleh bagi hasil per tahun dari bunga sekitar 7-10 persen. Sedangkan perbandingannya di Malaysia, dana haji yang digunakan di sektor riil bunganya bisa mencapai 20 persen. Dampak lembaga tabungan haji Malaysia turut serta memutar perekonomian negara.4 Dengan keuntungan bersih melebihi RM 3 bilion, LTH mampu memberi keuntungan yang kompetitif kepada pemegang kepentingannya setiap tahun. LTH berdaya saing dan 4) Malaysia Sudah Pakai Dana Haji untuk Infrastruktur Sejak 1980-an, http://properti.kompas.com/ read/2017/08/01/160000621/malaysia-sudah-pakai-dana-haji-untuk-infrastruktur-sejak-1980-an, diakses pada tanggal 9 September 2017. 5 Simpulan Kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang besar tidak serta merta membuat pemerintah dapat menginvestasikan dana haji untuk infrastruktur. Besarnya dana haji yang tersedia saat ini masih terkendala dalam bentuk investasinya. Berkaca pada pengalaman Negara Malaysia, Indonesia dapat mencontoh bagaimana pengelolaan dana haji dilakukan. Pembangunan disektor riil dapat juga dilakukan Indonesia asal dilakukan dengan penuh perhitungan dan tidak merugikan calon Jemaah haji. Investasi yang dilakukan juga harus memenuhi prinsip syariah dan ditujukan untuk kepentingan jemaah haji serta masyarakat luas. Investasi dana haji ke proyek infrastruktur boleh dilakukan minim potensi kerugiannya bagi calon jemaah. BPKH yang baru dilantik harus mengelola dana haji secara indepeden. DPR diharapkan dapat mengawal kinerja BPKH melalui rencana kerja yang akan diajukan oleh BPKH. Instrumen investasi keuangan haji harus dilakukan beragam untuk menyebar resiko, karena ini dana calon jama’ah haji, bukan milik Negara. Pelaksanaan investasi harus penuh kehatihatian, dan yang terpenting harus memenuhi prinsip-prinsip syariah dan perundang-undangan yg berlaku. Daftar Pustaka Okezone Finance. 2017. Tiru Malaysia, Dana Haji Diusulkan Dapat Biayai Proyek Infrastruktur. Diakses dari http://economy.okezone.com/ read/2017/07/27/320/1744819/tirumalaysia-dana-haji-diusulkan-dapatbiayai-proyek-infrastruktur. Diakses pada tanggal 12 September 2017. Prymadhyta, Safyra. 2017. Untung dan Buntung Investasi Dana Haji ke Infrastruktur. Diakses dari https:// www.cnnindonesia.com/. Diakses pada 10 September 2017. Dariyanto, Erwin. 2017. Begini Dana Haji Indonesia Dikelola. Diakses dari https://finance.detik.com. Diakses pada tanggal 10 September 2017. Pratama, Akhdi Martin. 2017. Ketua MUI: Dana Haji Boleh Diinvestasikan untuk Infrastruktur. Diakses dari http://nasional.kompas.com/ read/2017/07/31/17453421/ketuamui--dana-haji-boleh-diinvestasikanuntuk-infrastruktur. Diakses pada tanggal 12 September 2017. Ramadhiani, Arimbi. 2017. Malaysia Sudah Pakai Dana Haji untuk Infrastruktur Sejak 1980-an. Diakses dari http://properti.kompas.com. Diakses pada tanggal 9 September 2017. Ihsanuddin. 2017. Ingin Dana Haji untuk Infrastruktur, Jokowi Dinilai Langgar UU. Diakses dari http://nasional.kompas.com/ read/2017/07/29/10083911/ingindana-haji-untuk-infrastruktur-jokowidinilai-langgar-uu, diakses pada tanggal 13 September 2017. Irawan, Sandy. 2017. M. Ramahurmuziy Luruskan Polemik Dana Haji . Diakses dari http://www. kompasiana.com/sandyirawanp/5 981b66c26bfc677c05b0122/soalpolemik-haji-m-romahurmuziy-ikutangkat-bicara. Diakses pada tanggal 12 September 2017. 6 Kemandirian Daerah: Kendala Optimalisasi Pajak dan Retribusi Daerah oleh Robby Alexander Sirait*) Abstrak Berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pemberlakuan desentralisasi sejak 1999 sangat ditentukan oleh kemandirian daerah. Faktanya, kemandirian daerah masih sangat rendah hingga saat ini, khususnya kabupaten dan kota. Dalam rangka meningkatkan kemandirian daerah, mengoptimalkan penerimaan dari Pajak dan Retribusi Daerah adalah salah satu pilihan rasional. Pengoptimalan tersebut dapat dicapai melalui revisi UU PDRD dan penguatan kapasitas daerah baik dalam mengelola PDRD maupun mendorong peningkatan akselerasi perekonomian daerah. Masih Rendahnya Kemandirian Pemerintah Daerah, Khususnya Pemerintah Kabupaten Sejak 1999,Indonesia memasuki era baru otonomi daerah dan desentralisasi yang lebih konkret, baik dalam tataran aturan hukum maupun pelaksanaannya.1 Dilihat dari sisi ekonomi, salah satu tujuan desentralisasi adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan. Berhasil atu tidaknya tujuan tersebut sangat bergantung pada kemandiran daerah. Dengan menggunakan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah, kemandirian daerah selama hampir 18 tahun terakhir menunjukkan perbaikan (gambar 1). Meskipun demikian, level kemandirian daerah masih sangat jauh dari ideal, khususnya kabupaten dan kota yang level kemandiriannya masih masuk dalam kategori sangat rendah. Gambar 1. Rata-Rata Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan Daerah (Persen) Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini hendak mengupas tentang perkembangan kemandirian daerah dan alternatif kebijakan apa yang dapat diambil untuk meningkatkan kemandirian daerah. Sumber: DJPK, 2017, diolah Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]@gmail.com Otonomi Daerah dan Desentralisasi secara legal sudah diatur didalam UU No.18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Tapi dalam prakteknya, dimasa orde baru sistem pemerintahan yang dianut adalah sentralisasi. 2) Level kemandirian diukur dengan membagi klasifikasi sangat rendah (0-25 persen), rendah (25-50 persen), sedang (50-75 persen) dan Tinggi (75-100 persen). *) 1) 7 Rendahnya kemandirian ini juga dapat terlihat dari rata-rata rasio PAD terhadap APBD, yang menggambarkan seberapa besar belanja APBD dibiayai dari kemampuan fiskal daerah sendiri (gambar 2). pada posisi terendah dan dibawah rata-rata nasional (gambar 3) Rendahnya kemandirian tersebut sebenarnya linear dengan ketertinggalan wilayah tersebut dari sisi pembangunan ekonomi, yang dapat diukur dari proporsi kue perekonomian nasional, indeks pembangunan manusia, infrastruktur dan konektivitas. Berkaca dari capaian kedua rasio tersebut, mewujudkan tujuan penerapan kebijakan desentralisasi masih sangat jauh, mengingat ujung tombak keberhasilannya ada pada level kota dan kabupaten. Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) adalah Sumber Terbesar PAD, Khususnya Provinsi Dan Kota Gambar 2. Rata-Rata Rasio PAD Terhadap APBD (Persen) Dalam kurun waktu delapan belas tahun terakhir, sumber penerimaan PAD provinsi bertumpu pada penerimaan dari PDRD dan tidak mengalami pergeseran yang drastis. Berbeda jauh dengan kabupaten dan kota yang mengalami pergeseran drastis dari PDRD menjadi bertumpu pada lain-lain PAD yang sah/LLPAD (gambar 4). Sumber: DJPK, 2017, diolah Pergeseran tersebut, disebabkan oleh pertumbuhan penerimaan secara nominal dari LLPAD lebih cepat 3 kali lipat. Lebih cepatnya pertumbuhan LLPAD tersebut bisa dikatakan baik, jika sumber penerimaannya merupakan hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, bukan dari penjualan kekayaan daerah yang Kemandirian Daerah Terendah Di Kawasan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua Dilihat dari sebaran menurut wilayah, perhatian pemerintah pada kabupaten dan kota di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua harus lebih besar. Pertimbangannya adalah kemandirian daerah pada wilayah tersebut berada Gambar 3. Rata-Rata Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan Daerah, Menurut Wilayah (Pesen) Sumber: DJPK, 2017, diolah 8 Gambar 4. Komposisi Sumber Penerimaan PAD Provinsi, Kota, dan Kabupaten (Persen) Sumber: DJPK, 2017, diolah tidak dipisahkan, jasa giro atau bahkan pendapatan bunga. Sebagai catatan, posisi simpanan pemda di perbankan pada akhir Juni 2017 mencapai Rp222,6 triliun yang terdiri atas giro sebesar Rp140,7 triliun, deposito Rp76,6 triliun dan tabungan Rp5,3 triliun.3 Angka simpanan ini meningkat tajam hampir 4 kali lipat dibandingkan tahun 2010 yang mencapai Rp61 triliun.4 Peningkatan tajam tersebut linear dengan peningkatan LLPAD. Hal ini dapat dijadikan indikasi kuat bahwa sumber LLPAD paling dominan dari pendapatan bunga dan jasa giro. Ini yang harus dihindari pemerintah daerah dan ditertibkan pemerintah pusat. pemerintah daerah masih dihadang oleh berbagai permasalahan yang sifatnya krusial. Permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, peningkatan PDRD erat kaitannya dengan kinerja perekonomian daerah. Perekonomian daerah yang bertumbuh cepat akan berdampak secara linear dengan peningkatan PDRD. Dalam kenyataannya, masih banyak daerah yang akselarasi pertumbuhan ekonominya cukup lambat dan potensi perkekonomian lokalnya belum dioptimalkan karena terkendala pada berbagai hal mulai dari infrastruktur, kapasitas SDM, karakteristik demografi dan geografi suatu daerah dan lain sebagainya. Disisi lain, kendala ini ditimbulkan oleh keterbatasan potensi yang dimiliki oleh daerah. Kendala inilah yang dihadapi oleh pemerintah provinsi NTT dan Maluku5 (termasuk Papua), yang memang kinerja perekonomian dan porsi kue pembangunan nasionalnya rendah dibandingkan wilayah lain. Optimalisasi PDRD : Tantangan dan Permasalahan Dalam konteks meningkatkan kemandirian daerah yang masih rendah, salah satu opsi yang dapat diambil adalah optimalisasi PDRD sebagai salah satu sumber terbesar PAD. Akan tetapi, pada prakteknya http://economy.okezone.com/read/2017/08/14/20/1755460/alamak-rp220-triliun-dana-pemda-parkir-di-bank-kok-bisa https://www.kemenkeu.go.id/Berita/desember-2015-dana-idle-pemda-di-perbankan-berkurang Pusat PUU BKD DPR RI, Laporan Pengumpulan Data Dalam Penyusunan Naskah Akademik Dan Rancangan UndangUndang Tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, Jakarta: Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, 2017, hal. 21, 28, 30 dan 35. 3) 4) 5) 9 Kedua, aturan perundang-undangan (khususnya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD/UU PDRD) yang tidak seusai dengan kondisi dan potensi di daerah. Kendala yang bersumber dari aturan tersebut antara lain: dari menghitung, menerbitkan nota penjualan serta pembuatan laporan. Hal inilah yang menjadi kendala bagi daerah untuk melakukan optimalisasi PDRD dari pajak restoran, seperti Kota Ternate dan Kota Surabaya11 . • Terkait Pajak Hotel. Didalam pasal 1 angka 21 UU PDRD dikatakan bahwa rumah kos dengan jumlah kamar diatas 10 merupakan objek yang dapat dikenakan pajak daerah. Di beberapa daerah, banyak rumah kos yang jumlah kamarnya dibawah 10 dengan omset dan potensinya cukup besar. Karena aturan, rumah kos yang dapat dikenakan adalah lebih dari 10, maka beberapa daerah tidak bisa mengoptimalkan penerimaan dari rumah kos tersebut. Kota Ternate6 , Kota Surabaya7 , Cirebon8, Malang9, dan Kendari10 merupakan beberapa daerah yang menghadapi kendala tersebut. • Terkait Besaran Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOP PTKP) Untuk Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam Pasal 87 ayat (4) UU PDRD disebutkan bahwa besaran NJOP PTKP paling rendah sebesar Rp60 juta untuk setiap WP. Pada kenyataannya, dibeberapa daerah rata-rata nilai transaksi dibawah NJOP PTKP. Akibatnya, daerah dirugikan karena tidak memperoleh penerimaan BPHTB dari transaksitransaksi tersebut. Kota ternate, Kabupaten Bojonegoro12 , dan Ambon13 adalah beberapa daerah yang mengalami kendala tersebut. • Terkait Pajak Restoran. Pasal 1 angka 23 UU PDRD mengatur bahwa warung adalah salah satu objek yang dapat dikenakan pajak restoran, dan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 mekanisme perpajakannya adalah self assessment. Yang menjadi kendala di lapangan adalah ketidakmampuan pemilik warung menerapkan sistem mekanisme self assessment tersebut, mulai • Terkait Pajak Air Tanah dan Pajak mineral bukan logam dan batuan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), pengelolaan dan perizinan air tanah dan pertambangan mineral bukan logam dan batuan merupakan kewenangan pemerintah provinsi, yang sebelumnya adalah kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Yang Ibid, hal. 52. Ibid, hal. 124. 8) http://bandung.bisnis.com/read/20150521/61825/534073/banyak-pemilik-usaha-rumah-kos-di-kota-cirebon-siasatiperizinan 9) http://malangvoice.com/soal-pajak-kos-masyarakat-piawai-siasati-aturan/ 10) Pusat Kajian Anggaran BKD DPRI, Laporan Pengumpulan Data-Data Ke Kota Kendari Dalam Rangka Analisis Terhadap Kebijakan Belanja Transfer Ke Daerah, Jakarta: PKA BKD DPR RI, 2016, Hal.18. 11) Pusat PUU BKD DPR RI, Op.Cit, hal.52, 125. 12) Ibid, hal 53. 158. 13) Pusat Kajian Anggaran BKD DPRI, Laporan Pengumpulan Data-Data Ke Kota Ambon Dalam Rangka Analisis Terhadap Kebijakan Belanja Transfer Ke Daerah, Jakarta: PKA BKD DPR RI, 2016, Hal.8. 6) 7) 10 menjadi permasalahan adalah penerimaan atas perizinan tersebut masih berada diwilayah kabupaten/kota menurut UU PDRD, dan hingga saat ini turunan UU Pemda yang mengatur hal tersebut belum terbit. mumpuni menjadi persoalan serius yang dihadapi oleh beberapa daerah. Persoalan tidak memadainya SDM, sarana prasarana, dukungan teknologi informasi hingga dukungan anggaran merupakan kendala yang dihadapi daerah. Ernawan (2017) mengatakan bahwa beberapa kendala pemungutan PDRD adalah SDM dan sarana dan prasarana yang masih kurang, potensi daerah dan kesadaran masyarakat yang rendah, kurangnya sosialisasi dan belum adanya penerapan sanksi hukum terhadap pajak daerah. Kendala-kendala tersebut juga dihadapi oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Maluku Utara, Kota Ternate, Kabupaten Morotai, Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Bojonegoro15. • Terkait Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2). Paska pengalihan PBB-P2 menjadi hak dan kewenangan daerah, beberapa daerah mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan pemungutan. Kendala ini mayoritas dihadapi oleh daerahdaerah yang memiliki karakteristik geografis yang luas dan kepulauan serta infrastrukur yang buruk. Kendala ini berdampak pada biaya pemungutan jauh lebih besar dibandingkan nilai yang dipungut. Kota Ternate, Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Morotai merupakan salah satu daerah yang menghadapi kendala tersebut14 Keempat, rendahnya kesadaran dan kepatuhan wajib pajak (WP) dan retribusi daerah. Kesadaran dan kepatuhan WP tidak saja menjadi persoalan daerah. Di level nasional, persoalan ini juga dihadapi pemerintah pusat dalam mengoptimalkan penerimaan perpajakan nasional. Kesadaran dan kepatuhan yang rendah tersebut mencakup kurangnya pemahaman WP tentang pentingnya pajak dan retribusi daerah untuk pembangunan di daerah, masih terjadi manipulasi/rekayasa data transaksi pada hotel dan restoran yang dilakukan oleh WP, pembayaran pajak tidak tepat waktu dan masih terdapat WP yang tidak taat akan kewajibannya16. • Terkait mekanisme closed list PDRD. Mekanisme yang diatur dalam UU PDRD ini merupakan persoalan bagi beberapa daerah dalam mengoptimalkan PDRDnya. Padahal daerah berpandangan masih banyak potensi PDRD yang dapat digali, tetapi tidak diatur dalam UU. Ketiga, keterbatasan kapasitas daerah dalam mengoptimalkan PDRD. Optimalisasi PDRD sangatlah ditentukan oleh kesiapan atau kapasitas pemerintah daerah dalam menjalankan kewajibannya dalam mengelola PDRD. Faktanya, persoalan kapasitas daerah yang tidak Kelima, peraturan daerah PDRD (Perda PDRD) mendistori akselerasi perekonomian daerah. Optimal atau tidaknya PDRD sangat bergantung pada kemampuan akselerasi Pusat PUU BKD DPR RI, Op.Cit, hal 19, 53 dan 62. Ibid, hal. 21, 28,38,42,50,60,118,124,136 dan 142. 16) Loc.Cit 14) 15) 11 perekonomian suatu daerah. Faktanya, masih banyak daerah tidak menyadari hal tersebut ketika menerbitkan perda PDRD. Masih banyaknya perda yang berdampak mendistorsi perkembangan ekonomi daerah. Robert Endi Jaweng menyatakan bahwa upaya pemda memperbesar PAD justru dengan membuat kebijakan yang ‘mengunci’ pelaku usaha lewat kewajibankewajiban yang dari segi ekonomi sangat memberatkan17. Dari aspek prinsip ekonomi, hasil penelitian KPPOD (2017) menunjukkan bahwa masalah terbesar penerapan perda PDRD adalah dampak ekonomi negatif. Dampak ekonomi negatif dimaknai sebagai beban yang muncul bagi masyarakat khususnya pelaku usaha terkait dengan biaya-biaya tambahan akibat penerapan perda. Kementerian Keuangan RI. 2014. Laporan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal, Jakarta: Kementerian Keuangan RI. KPPOD. (2017). Regulasi Usaha di Daerah : Kajian Perda Pungutan dan Perizinan. Jakarta: KPPOD. Pusat PUU BKD DPR RI. 2017. Laporan Pengumpulan Data Dalam Penyusunan Naskah Akademik Dan Rancangan Undang-Undang Tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Jakarta: Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI. Pusat Kajian Anggaran BKD DPRI. 2016. Laporan Pengumpulan DataData Ke Kota Ambon Dalam Rangka Analisis Terhadap Kebijakan Belanja Transfer Ke Daerah. Jakarta: PKA BKD DPR RI. Pusat Kajian Anggaran BKD DPRI. 2016. Laporan Pengumpulan DataData Ke Kota Kendari Dalam Rangka Analisis Terhadap Kebijakan Belanja Transfer Ke Daerah. Jakarta: PKA BKD DPR RI. Daftar Pustaka Ernawan, Budi. 2017. Paparan Saran Dan Masukan Penyusunan RUU Tentang Peningkatan PAD. Disampaikan pada diskusi dengan Tim RUU Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Pusat PUU BKD DPR RI pada 16 Mei 2017. Harmonisasi aturan perundangundangan. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57289fcf75b4c/ini-empat-catatan-terkait-perda-penghambat-investasi-didaerah 17) 12 Rekomendasi Berangkat dari berbagai persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya dan masih rendahnya kemandirian daerah setelah hampir dua dekade desentralisasi diterapkan, saat ini sangat dibutuhkan terobosan kebijakan maupun regulasi, baik pemerintah maupun pemerintah daerah. Terkait hal tersebut, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan. Pertama, revisi UU PDRD. Saat ini kebutuhan merevisi UU PDRD sudah menjadi kebutuhan mendesak. Meskipun demikian, pemerintah juga harus mempertimbangkan beberapa hal seperti: a. Revisi harus mampu mengakomodir secara maksimal keragaman karakteristik setiap daerah baik dari sisi geografi, demografi maupun ekonomi. b. Mempertimbangkan pengalihan beberapa jenis pajak baik dari nasional ke provinsi maupun dari provinsi ke kabupaten/kota atau penerapan sistem “opsen” pada beberapa jenis pajak tertentu. Pengalihan atau opsen tersebut sebaiknya dengan dasar pertimbangan peningkatan kemandirian daerah, kesiapan daerah, kapasitas fiskal nasional dan biaya eksternalitas yang timbul atas aktivitas ekonomi yang dikenakan pajak tersebut. Pajak yang mungkin dapat dialihkan adalah Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan (PBB-P3), Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. c. Revisi yang disusun harus mampu menggambarkan restrukturisasi dan rasionalisasi jenis dan tarif PDRD, yang mampu menciptakan penyederhanaan bagi pemerintah daerah dan WP serta mampu mengurangi distorsi PDRD terhadap perekonomian daerah. d. Revisi harus mampu memperkuat administrasi perpajakan di daerah, pengendalian dan pengawasan pajak daerah serta ketentuan hukum yang memperkuat penerapan sanksi hukum terhadap pajak daerah. e. Revisi tersebut harus memperhatikan “harmonisasi” dengan aturan perundang-undangan lainnya, seperti aturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. f. Pengaturan dalam revisi UU PDRD tetap dilandaskan pada prinsip equality dan mempersempit horizontal imbalance antar pemerintah daerah baik dari sisi kemampuan keuangan maupun pelayanan publiknya. Kedua, perlu diupayakan penguatan dukungan dan sinergi antar pemerintah, baik dalam hal kebijakan maupun anggaran, dalam menyelesaikan berbagai persoalan internal daerah yang berkaitan dengan optimalisasi PDRD. Dukungan dan sinergi tersebut antara lain terkait: a. Peningkatan SDM, ketersediaan sarana dan prasarana serta kesadaran dan kepatuhan perpajakan di daerah. b. Penguatan evaluasi, pengawasan dan pendampingan oleh pemerintah pusat atas penerapan perda PDRD agar tidak mendistorsi perkembangan ekonomi daerah dan berdampak positif bagi peningkatan kemandirian daerah. c. Pemberian insentif (anggaran transfer daerah) bagi daerah yang kinerja peningkatan PDRDnya baik, dengan menggunakan metode atau formula penilaian yang terukur dan transparan. d. Mendorong percepatan akselarasi pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di timur Indonesia. 13 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Telp. 021-5715635, Fax. 021-5715635 e-mail [email protected] 14