CSR adalah Bentuk Kesalehan Sosial Perusahaan (Institusi) Ide mengenai Tanggungjawab Sosial Perusahaan yang lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) saat ini menjadi salah satu pembahasan yang sedang tren baik di masyarakat umum, kalangan akademisi, dan tentu saja para pelaku bisnis. Terlebih sejak diberlakukannya Undang Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 dimana termaktub mengenai kewajiban perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR. Bahkan untuk memperoleh ISO 26000 yang akan diberlakukan tahun 2009 yang akan datang CSR adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi sehingga ISO 26000 ini disebut pula sebagai ISO social responsibility. Beberapa pihak dari kalangan pebisnis beranggapan bahwa sebuah perusahaan ada karena memiliki tujuan yang jelas yaitu sebagai pencari keuntungan bukan hanya sekumpulan orang sebagaimana halnya organisasi sosial. Dengan tetap mengikuti aturan seperti membayar pajak kepada negara maka perusahaan sudah tidak memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Inilah yang memunculkan kontroversial mengenai CSR di kalangan para pengusaha. Banyak argumentasi dan perdebatan mengenai konsep dan definisi tanggung jawab sosial perusahaan itu. Salah satu argumentasi yang sangat terkenal disampaikan oleh Milton Friedman pada tahun 1970 dengan pernyataanya bahwa perusahaan seharusnya tidak memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab perusahaan hanya pada bagaimana perusahaan memaksimalkan keuntungan kepada para pemegang sahamnya dan mentaati hukum (Friedman, 1970). Di lain pihak, para pendukung konsep corporate social responsibility (CSR) berargumentasi bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab-tanggung jawab yang lebih luas dari sekedar mencari untung dan taat hukum terhadap para pemegang sahamnya. Tanggung jawab perusahaan itu mencakup isu-isu seperti lingkungan kerja, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan perlindungan terhadap lingkungan (Whitehouse 2003; van Marrewiik 2003; Zadek, 2004). Artinya ada unsur nonbisnis dan nonekonomis yang harus dilakukan perusahaan terkait lingkungannya. Pendapat yang mendukung ide tanggungjawab sosial perusahaan berasumsi bahwa perusahaan tidak hanya mencari keuntungan finansial bagi perusahaan saja. Tetapi perlu juga memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap publik, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Hal ini karena masyarakat adalah sumber dari segala daya yang dimiliki dan diproduksi perusahaan. Hal menarik lain dari CSR, bagi para pendukungnya adalah jumlah dana atau besaran yang harus dikeluarkan perusahaan untuk kegiatan CSR pun menjadi sesuatu yang kontraversial dan tarik ulur. Apa itu CSR Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) mulai diperkenalkan oleh Bowen pada tahun 1953 dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha. Menurut Bowen, tanggung jawab sosial diartikan sebagai : ”… it refers to the obligations of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society” (Bowen dalam Caroll, 1999 : 270). Secara lebih spesifik dan definitif, McWilliams and Siegel mendefinisikan corporate social responsibility (CSR) sebagai berikut: (2001), CSR as situations where the firm goes beyond compliance and engages in ‘actions that appear to further some social good, beyond the interests of the firm and that which is required by law’. Lebih jauh, Garriga dan Mele (2004) melakukan pemetaan teori-teori dan konsep-konsep mengenai CSR. Dalam kesimpulannya Garriga dan Mele (2004) menjelaskan bahwa CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama yakni pertama, mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan; kedua, menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab; ketiga, mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial dan; keempat berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika. Dengan demikian, menurut Garriga dan Mele (2004) teori-teori CSR secara praktis dapat digolongkan ke dalam empat kelompok teori yang berdimensi profit, politis, sosial dan nilai-nilai etis. Intinya adalah bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Ada beberapa istilah senada yang acapkali digunakan untuk kegiatan CSR yaitu corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development. Sesungguhnya masing-masing kegiatan tersebut di atas adalah pendekatan CSR dengan motif masing-masing, yaitu: charity (giving), kemanusiaan (philanthropy), tebar pesona/image (community relations), dan pemberdayaan masyarakat (community development). CSR adalah bukti kesalehan sosial perusahaan Secara singkat, CSR mengandung makna bahwa, sama seperti individu, perusahaan memiliki tugas moral untuk berlaku jujur, mematuhi hukum, menjunjung integritas, dan tidak korupsi. CSR menekankan bahwa perusahaan mesti mengembangkan praktik bisnis yang etis dan sustainable secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebagai individu setiap manusia memiliki tanggung jawab moral yang bisa saja merujuk pada ajaran agama. Indonesia, negeri dengan penduduk Muslim terbesar di planet bumi ini sudah sangat terbiasa dengan ibadah ritual. SHALAT adalah simbol kesalehan religius dalam Islam. Lima kali dalam sehari kaum muslimin melaksanakannya, nyaris tidak ada satu waktupun yang tertinggal. Setiap minggu pada hari Jum’at, kaum muslimin selalu diingatkan dalam khutbah untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan, berlaku adil dan berbuat kebaikan. Begitu pula satu bulan penuh di Bulan Ramadhan, kaum muslimin juga melaksanakan puasa, suatu bentuk ritual keagamaan yang penting bagi pembentukan spiritualitas, moralitas dan solidaritas sosial. Bahkan dalam setiap tahun, ribuan kaum muslimin berangkat menunaikan ibadah haji dan umrah ke baitullah. Suatu ritual keagamaan yang tidak saja membutuhkan kearifan spiritualitas dan kekuatan fisik, melainkan juga membutuhkan modal kapital yang banyak. Semua ini merupakan modal besar bangsa ini memiliki bekal dari kesalehan individu menjadi kesalehan sosial. Namun kenyataannya kesalehan individual tidak mengimbas pada kesalehan sosial. Mengapa makin banyak kegiatan agama dan dakwah tetapi korupsi, kekerasan, penganiayaan dan kejahatan makin bertambah banyak? Bagaimana bentuk hubungan kesalehan individual dengan kesalehan sosial? Berbagai masalah inilah mungkin yang dapat kita diskusikan dalam makalah singkat ini. Dalam kerangka inilah diperlukan suatu ikhtiar untuk menyegarkan kembali wacana agama yang mencerahkan dan membebaskan, menciptakan beberapa kesalehan sosial, serta mempersempit ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial. Agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi ruhani dengan Tuhan. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya (takhallaqa bi akhlaqillah ala taqathil basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isu utama manusia. Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vertikal (hablun minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minan nas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality), akan tetapi yang terpenting dari itu adalah mewujudkan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality)-nya dengan ciri adanya komitmen sosial untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya. Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna apapun, jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam kenyataan sosial. Itulah makna hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, bisa disebut bahwa, sikap keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan sosial, maka akan kehilangan maknanya yang hakiki. Tentu, fenomena beragama tanpa kesalehan sosial harus ditemukan sebab fundamentalnya pada antropologisme manusia Indonesia. Ketika keberagamaan terjebak ke dalam narsisme, maka ritualitas yang semula ditengarai sakral terjerembab ke dalam problema besar kekosongan makna. Oleh karenanya keberagamaan manusia Indonesia mutlak untuk dibersihkan dari tendensi narsisme. Ditambah pula tumpang tindihnya kepentingan oleh determinasi material. Sebuah kenyataan yang harus secara jujur diakui, semarak kehidupan beragama kian dikooptasi oleh logika kapitalistik. Sebagai sebuah akibat yang tak bisa dipungkiri pada akhirnya, kesalehan sosial melekat pada metode pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan. Dan tindakan perusahaan menerapkan CSR dan pemerintah memberlakukan UUPT 40 mengenai penerapan CSR adalah upaya nyata ke arah ini. CSR yang merupakan policy dari perusahaan, pada umumnya dapat dipahami sebagai upaya perusahaan untuk dapat menyeimbangkan antara kebutuhan atau sasaran ekonomi, lingkungan dan sosial dimana pada saat yang bersamaan juga dapat memenuhi keinginan para shareholder dan juga stakeholder. Dengan kata lain, CSR adalah bagaimana perusahaan dapat berinteraksi dengan pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, pemerintah, LSM dan para pemangku kepentingan lainnya. Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contohnya kasus Indorayon di Sumatera Utara. Contoh lainnya adalah penerapan kebijakan dalam pemberian pinjaman dana oleh bank-bank Eropa. Umumnya bank-bank Eropa hanya akan memberikan pinjaman kepada perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yaitu pada saat membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan. Itu pulalah beberapa hal sebagai alasan akan diberlakukannya ISO 26000 yang disebut dengan istilah ISO Social Responsibility oleh badan standarisasi internasional. Untuk kepentingan itu pula, di Indonesia sendiri dalam hal ini Badan Standarisasi Nasional (BSN) sebagai anggota ISO telah membentuk National Mirror Comitte on Social Responsibility (NMCSR). Hal ini yang akan menjadi rujukan yang pada gilirannya akan mewajibkan kalangan dunia usaha untuk lebih serius melaksanakan program tanggung jawab sosialnya. Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Disini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Karena itu, prinsip responsibility di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Permasalahannya adalah '' Apa dan 'Siapa saja sih stakeholders perusahaan itu?'' 'Stakeholders perusahaan' dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok, masyarakat, dan lingkungan sekitar, serta pemerintah selaku regulator. Perbedaan bisnis perusahaan akan menjadikan perusahaan memiliki prioritas stakeholders yang berbeda. Tidak mengherankan kalau kemudian CSR dianggap sebagai jawaban atau counter terhadap praktik bisnis yang melulu mencari untung sebesar-besarnya. Bahkan sementara kalangan menganggap CSR dianggap sebagai beban yang mengganggu konsentrasi perusahaan untuk memaksimalkan shareholder value . Dunia bisnis kerap menganggap bahwa satu-satunya tanggung jawab mereka adalah terhadap pemilik saham (shareholders). Namun demikian, meningkatnya dampak negatif sepak terjang korporasi lokal maupun global terhadap kehidupan sosial dan lingkungan menjadi pemicu terhadap munculnya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi kegiatan korporasi. Secara teoretis inilah yang dikatakan Anthony Giddens mengenai jalan ketiga untuk dapat menjelaskan betapa penting dan tepatnya CSR yang dilakukan sebuah institusi dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Anthony Giddens adalah seorang professor Sosiologi pada King’s College, Cambridge yang menyatakan bahwa tindakan manusia adalah suatu proses memproduksi dan memproduksi berbagai sistem social. Kelompok-kelompok bertindak menurut aturan-aturan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian mereka menciptakan struktur yang pada gilirannya mempengaruhi tindakantindakan yang akan datang. Anthony Giddens sebagai pakar sosiologi mengemukakan konsep Runaway Wolrd (dunia lepas kendali) yang menyatakan bahwa perkembangan dunia saat ini jauh dari perkiraan semula. Dunia berkembang bukan ke arah stabil, tertib, dan dapat diprediksi – sebagaimana yang dinubuatkan optimisme barat abad pencerahan, dengan kemajuan ilmu dan teknologinya. Dunia justru semakin di luar kendali manusia. Disinyalir penyebab ini semua adalah globalisasi, yaitu anak kemajuan ilmu dan teknologi yang pada gilirannya globalisasi ini memunculkan berbagai risiko dan ketidakpastian baru yang melampaui batasbatas kemampuan antisipasi kita. Selanjutnya Giddens menawarkan konsep yang ia sebut sebagai jalan ketiga atau The Third way sebagai sebuah paradigma untuk dapat menjawab bagaimana mengantarai kemandegan sosialisme di satu sisi dan kebusukan kapitalisme di sisi lainnya. (Giddens, 2000: 182) Lebih lanjut Giddens mengungkapkan bahwa politik jalan ketiga berkaitan erat dengan upaya restrukturasi doktrin-doktrin demokratik sosial untuk mampu merespon revolusi ganda yaitu revolusi globalisasi dan ekonomi pengetahuan. Artinya bahwa perlu adanya restrukturasi Negara dan pemerintah sebagai yang memainkan peran fundamental dalam kehidupan ekonomi. Oleh karenanya, langkah pemerintah dan DPR yang mewajibkan penerapan CSR khususnya bagi industri di bidang dan/atau yang berkaitan ekstraksi sumber daya alam merupakan suatu tindakan yang sangat tepat. Terlebih jika dalam upaya pengejawantahan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33 utamanya yang berkaitan dengan tujuan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang selama ini belum terwujudkan dan dirasakan rakyat. Telah sekian lama rakyat negeri ini bagai ayam yang mati di lumbung padi pada saat kekayaan alam kita yang begitu melimpah pada saat kekayaan alam kita menjadi wahana trickle up economy negara-negara maju. Berdasarkan pengamatan mengenai praktik CSR selama ini, ternyata tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR secara otentik sesuai filosofinya. Tidak jarang beberapa perusahaan terjebak pada bias-bias CSR seperti berikut ini: Kamuflase (tanpa komitmen, sekedar menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions) Generik (sekedarnya karena perusahaan lain melakukannya) Directive (bersifat top down, tidak partisipatif) Lip service (tanpa need assessment, berdasarkan belas kasihan) Kiss and run (tidak sustain, jangka pendek). Namun demikian bukanlah sebuah kekeliruan ketika sebuah perusahaan/institusi melakukannya dengan tujuan-tujuan tersebut, sejalan dengan waktu dan pemahaman mengenai manfaat CSR diharapkan akan mengarah pada kesejahteraan yang merata sebagaimana yang diharapkan kita semua. Karena pada akhirnya penerapan CSR yang benar sesungguhnya akan memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan itu sendiri. Keuntungan atau manfaat yang nyata dapat dicapai perusahaan dengan mengimplementasikan CSR setidaknya ada empat, yaitu: Pertama, brand differentiation. Keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal) seperti memperoleh ijin atau restu bisnis karena dianggap telah memenuhi standar operasi (lincese to operate). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management). Penutup Bisa jadi perusahaan/institusi melakukan CSR hanya karena kewajiban menjalankan amanah UUPT 40, namun sejalan dengan waktu, sejalan pula dengan kesalehan individual yang menjalankan roda perusahaan akan melahirkan kesalehan sosial sehingga CSR bukan lagi sebuah pemenuhan kewajiban tetapi lebih pada kebutuhan perusahaan sebagai perusahaan yang saleh. Oleh karena tidak salah bila saat ini CSR dapat dianggap sebagai investasi masa depan bagi perusahaan. Minat para pemilik modal dalam menanamkan modal di perusahaan yang telah menerapkan CSR lebih besar, dibandingkan dengan yang tidak menerapkan CSR. Melalui program CSR dapat dibangun komunikasi yang efektif dan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat. Dengan demikian, kesalehan sosial sesungguhnya lebih merupakan aktualisasi atau perwujudan iman dalam praksis kehidupan sosial (a faith of social action). Indikator kesalehan sosial tersebut adalah adanya penyempitan ruang gerak bagi tumbuh-berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial, baik dalam bentuk ketidakadilan politik dan distribusi kekayaan, kesenjangan kelas kaya dan miskin, maupun dalam bentuk penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia (exploitation man by human being). Rujukan Al Qur’an Giddens, Anthony, terj. (2000), Jalan Ketiga & Kritik-Krtitiknya, Irgisod, Yogyakarta. ________________, terj. (2001), Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Nugroho, Alois A (2006), Tripple Bottom Line, dalam Kompas, 29 Juni 2006. Kotler, Phillip (2005), Corporate Social Responsibility, Hokoben, New Jersey, John Willey & Sons, Inc Littlejohn, Stephen W (1996), Theories of Human Communication, fifth edition, Wadsworth Publishing Company, Belmont California Suharto, Edi (2007), Pekerja Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility), Bandung, Refika Aditama. Supomo, Sita (2004), Corporate Social Responsibility dalam Prinsip GCG, dalam Republika, 20 Oktober 2004. Wibisono, Yusuf (2007), Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social Responsibility, Fascho Publishing, Gresik.