24 II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah di Indonesia Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya (Sarwono et al., 2004). Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Di samping itu, padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibanding dengan jenis tanaman lain, dengan demikian sifat tanah sawah sangat beragam sesuai sifat tanah asalnya. Tanah sawah mempunyai beberapa nama dalam sistem klasifikasi tanah, yaitu: rice soils, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soil, dan aquorizem. Dudal (1964) dalam Wahyunto (2009) menyebutkan bahwa lahan sawah terdapat pada tanah-tanah: Alluvial, Gley humus rendah, Grumusol, Latosol, Andosol, Regosol, Podsolik Merah Kuning, dan Planosol. Dalam sistem klasifikasi tanah FAO (World Reference base for Soil Resources) tanah sawah termasuk grup tanah Anthrosols (FAO, 1998). Tanah sawah dicirikan oleh horizon Antra-aquic yaitu adanya lapisan olah dan lapisan tapak bajak. Eswaran et al., (2001) dalam Hardjowigeno et al., 2004 menyebutkan sebagian besar lahan sawah di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya terdapat pada tanah-tanah ordo Inceptisol, Ultisol, Oxisol, dan sebagian kecil pada tanah-tanah ordo Vertisol, Mollisol, dan Histosol. Jenis-jenis tanah utama yang umumnya digunakan sebagai lahan sawah di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978) menjelaskan bahwa tanah sawah dataran rendah didominasi (55%) oleh subordo Aquepts dan Aquents (Aluvial dan tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah lahan kering (upland) didominasi (17%) oleh subordo Udepts (Latosol dan Regosol). 25 Tabel 1. Tanah-tanah sawah di Indonesia No. Ekosistem Sawah A Dataran rendah (Low land) Aquept, Aquent (Alluvial dan tanah Glei) Dataran tinggi/ lahan kering (Upland) Udept (Latosol dan Regosol) Komplek (kombinasi A dan B) 55% Endoaquert (Grumusol) Subordo: Aquert, Udert, dan Ustert Tropudult dan Oxisol (Podzolik Merah Kuning) Subordo: Aquult dan Paleudult, serta Aquox dan Udox Alfisol dan Andisol (Mediteran Merah Kuning dan Andosol) Subordo: Udalfs, Ustalfs, dan Aquands 7% Sawah bukaan baru: Tropudult (Podzolik Merah Kuning) Sawah bukaan baru: Oxisols (Latosols, Lateritik 10% 1% Jumlah 100% B C 1 2 3 4 5 Sebaran 17% 6% 4% Sumber : Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978) dan Hardjowigeno et al., (2004) Ordo tanah sawah lainnya, adalah Vertisol (Grumusol), terutama mencakup sub ordo Aquert, Uddert, dan Ustert (sekitar 7%). Tanah sawah yang termasuk ordo tanah Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning), dengan subordo utama Aquults dan Udults, serta Aquox dan Udox (sekitar 6%). Tanah sawah yang termasuk dalam ordo Alfisol dan Andisol (Mediteran Merah Kuning dan Andosol) sebagian besar termasuk dalam sub ordo Udalfs, Ustalfs, dan Aquands (sekitar 4%). Beberapa tanah sawah bukaan baru pada daerah lahan kering di luar Pulau Jawa, umumnya termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podzolik Merah Kuning, Lateritik, Latosol). Tanah sawah yang termasuk dalam ordo Oxisol jumlahnya masih sangat sedikit diperkirakan <1% dari seluruh tanah sawah yang ada (Ritung dan Suharta, 2007). 26 Pada umumnya tanah sawah yang berasal dari aluvial dicirikan oleh adanya lapisan tapak bajak, berwarna glei dan karatan (mottles). Menurut Fanning dan Fanning (1989) dalam Prasetyo dan Setyorini (2008) pembentukan karatan dan glei pada tanah sawah, antara lain: a. Pada musim kering tanah sawah sering menjadi retak-retak dengan kedalaman yang bervariasi. Pada kondisi ini oksigen dapat masuk melalui retakan atau melalui lubang-lubang akar, sehingga Fe2+ yang terbebaskan pada waktu penggenangan dan berada di permukaan retakan akan teroksidasi menjadi Fe 3+ dan mengendap sebagai karatan dari oksida besi pada permukaan ped. Model semacam ini banyak dijumpai pada tanah sawah yang bersifat vertik. Ketika terjadi penggenangan lagi, oksida besi (karatan) yang dipermukaan ped akan tereduksi, dan Fe2+ yang terbawa air dapat meresap masuk ke dalam struktur tanah, sehingga teroksidasi lagi dan terendapkan di bagian dalam dari ped. b. Model sederhana yang menggambarkan proses pembentukan karatan dan warna glei pada tanah sawah ditujukan pada Gambar 2. Lapisan B adalah lapisan yang sering mengalami proses bergantian antara oksidasi dan reduksi. Pada waktu terendam air, Fe3+ yang tidak larut akan tereduksi menjadi Fe2+ yang dapat larut dan mudah terbawa air hingga ke permukaan lapisan A ataupun lapisan C. Ketika kondisi kering (oksidasi) terjadi lagi, maka Fe 2+ akan mengendap sebagai Fe3+ yang berupa karatan, di lapisan B maupun di permukaan lapisan A. akibatnya bila proses oksidasi reduksi berjalan terus menerus maka tanah di lapisan B akan mempunyai warna kombinasi antara warna karatan dengan warna glei. Warna glei muncul dikarenakan ada bagian dari tanah di lapisan B yang menjadi kekurangan Fe, karena pada waktu reduksi, Fe2+ dari lapisan B banyak yang terangkut air. c. Proses yang terjadi pada lapisan yang selalu jenuh air (lapisan C) berbeda dengan lapisan B dimana proses oksidasi reduksi terjadi secara bergantian. Pada lapisan C yang selalu jenuh air, proses yang terjadi hanyalah reduksi saja. Pada kondisi tidak terdapat komplek anion organik dalam lapisan C, dan kelarutan Fe2+ sangat rendah, bahkan bila pH-nya > 6,5 kelarutannya menjadi nol. 27 Lapisan A Permukaan tanah Fe2+ Lapisan B Oksidasi-reduksi Fe3+ Fe2+ Lapisan C Selalu jenuh air Fe2+ Gambar 2. Ilustrasi pembentukan karatan dan lapisan glei pada tanah sawah (Prasetyo et al., 2004) 2.2. Pupuk organik Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Pupuk organik menurut Anonim (2005) dapat didefinisikan sebagai pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos baik yang berbentuk cair maupun padat. Pupuk organik bersifat “bulky” dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam jumlah banyak. Permentan No. 28 Tahun 2009 mengemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Komposisi hara pupuk organik bergantung pada sumber bahan pupuk, yaitu dari pertanian dan nonpertanian. Dari pertanian dapat berupa sisa panen dan kotoran ternak, sedangkan dari nonpertanian antara lain adalah sampah organik kota dan limbah industri. Pembagian sumber bahan dasar pupuk organik secara lebih detail disajikan dalam Tabel 2 (Kurnia et al., 2001). Kotoran hewan yang 28 berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah ayam, sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan sangat bervariasi tergantung pada jumlah dan jenis makanannya (Tabel 3). Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan lebih rendah daripada pupuk kimia. Oleh karena itu, aplikasi dari pemberian pupuk kandang ini lebih besar daripada pupuk anorganik. Tabel 2. Sumber bahan dan bentuk pupuk organik yang umum digunakan di Indonesia Sumber Pertanian Non Pertanian Asal bahan Bentuk - Pangkasan tanaman legume - Padat - Sisa hasil panen tanaman - Padat - Limbah ternak besar - Padat dan cair - Limbah ternak unggas - Padat - Kompos - Padat - Limbah organik kota - Padat dan cair - Limbah penggilingan padi - Padat dan cair - Limbah organik pabrik gula - Padat dan cair - Limbah organik pabrik kayu - Padat (serbuk gergaji) - Gambut (abu bakar gambut) - Padat - Limbah pabrik bumbu masak - Padat dan cair Sumber : Kurnia et al., 2001. Tabel 3. Kandungan hara dari beberapa pupuk kandang Sumber Sapi perah Sapi daging Kuda Unggas Domba N P K Ca Mg S Fe ----------------------------------- % -----------------------------------0,53 0,35 0,41 0,28 0,11 0,05 0,004 0,65 0,15 0,30 0,12 0,10 0,09 0,004 0,70 0,10 0,58 0,79 0,14 0,07 0,010 1,50 0,77 0,89 0,30 0,88 0,00 0,100 1,28 0,19 0,93 0,59 0,19 0,09 0,020 Sumber : Tan (1994) dalam Suriadikarta dan Setyorini (2006) 29 Menurut Karama et al., (1991), karakteristik umum yang dimiliki oleh pupuk organik adalah: 1. Pada umumnya memiliki kandungan hara rendah, tergantung jenis bahan dasarnya 2. Ketersediaan unsur hara lambat 3. Penggunaan pupuk organik sebaiknya harus diikuti dengan pupuk anorganik yang lebih cepat tersedia untuk menutupi kekurangan hara dari pupuk organik Menurut Yuwono (1996), beberapa keuntungan dari pupuk organik terhadap kesuburan tanah, antara lain : a. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil b. Dapat memperbaiki struktur tanah, menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah dan mudah ditembus akar c. Tanah lebih mudah diolah untuk tanah-tanah berat d. Meningkatkan daya memegang air (water holding capacity) sehingga kemampuan tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak. Kelengasan air tanah lebih terjaga e. Permeabilitas tanah menjadi lebih baik. Menurunkan permeabilitas pada tanah bertekstur kasar (berpasir), sebaliknya meningkatkan permeabilitas pada tanah bertekstur sangat lembut (liat) f. Meningkatkan KTK (Kapasitas Tukar Kation ) sehingga kemampuan mengikat kation menjadi lebih tinggi, akibatnya apabila dipupuk dengan dosis tinggi hara tanaman tidak mudah tercuci g. Memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik hewan tingkat tinggi maupun tingkat rendah) menjadi lebih baik karena ketersediaan makanan lebih terjamin h. Dapat meningkatkan daya sangga (buffering capasity) terhadap goncangan perubahan drastis sifat tanah 30 i. Mengandung mikroba dalam jumlah cukup yang berperanan dalam proses dekomposisi bahan organik Menurut Karama et al., (1991), ada beberapa alasan mengapa akhir-akhir ini muncul pemikiran kembali penggunaan pupuk organik makin banyak disampaikan pada berberbagai kesempatan, yaitu: 1. Meningkatnya pencemaran lingkungan dengan makin banyaknya industri peternakan dan industri lain yang membutuhkan pemanfaatan limbah yang tepat untuk mengurangi pencemaran lingkungan 2. Makin rendahnya bahan organik tanah tanah pertanian 3. Makin berkurangnya kesuburan tanah meskipun pemberian pupuk anorganik makin tinggi 4. Produk dari organic farming lebih baik dari pada hasil tanaman dengan menggunakan pupuk anorganik 5. Ketidakmampuan petani untuk menggunakan pupuk anorganik karena harga yang relatif mahal Saat ini, pembuatan pupuk organik banyak dilakukan dalam skala industri karena minimnya tenaga kerja di pedesaan. Hanya sedikit petani yang dapat memproduksi pupuk organik untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagian petani membeli pupuk organik dari pabrik lokal maupun impor. Pemakaian pupuk organik akan semakin meningkat dari tahun ke tahun, maka sangat diperlukan regulasi atau peraturan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pupuk organik agar memberikan manfaat maksimal bagi pertumbuhan tanaman dan di sisi lain tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pupuk yang digunakan secara in situ di lahan pertanian tidak memerlukan pengawasan dan pengaturan tertentu. Namun apabila pupuk organik tersebut diproduksi dan diedarkan secara luas untuk dijual secara komersial diperlukan suatu regulasi agar pupuk organik yang diperjualbelikan tersebut memenuhi standar mutu yang dapat diterima. Negara-negara Asia, masing-masing mempunyai peraturan pengawasan yang berbeda-beda. Di Indonesia, persyaratan teknis pupuk organik di atur dalam Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009. Persyaratan-persyaratan tersebut disajikan dalam Tabel 4. 31 Tabel 4. Persyaratan teknis minimal pupuk organik No. Parameter 1. 2. 3. 4. C-organik (%) C/N rasio Bahan ikutan (%) Kadar air (%): Granula Curah Kadar logam berat As (mg kg-1) Hg (mg kg-1) Pb (mg kg-1) Cd (mg kg-1) pH Kadar total P2O5 (%) K2O (%) Mikroba pathogen (E. coli, Salmonella) cfu/g Kadar unsur mikro : Zn, Cu, Mn (mg kg-1) Co (mg kg-1) B (mg kg-1) Mo (mg kg-1) Fe (mg kg-1) 5. 6. 7. 8. 9. Kandungan Padat > 12 15 - 25 <2 Cair ≥4 <2 4 - 15*) 15 - 25*) - ≤ 10 ≤ 1 ≤ 50 ≤ 10 4-8 ≤ 10 ≤ 1 ≤ 50 ≤ 10 4-8 < 6** < 6** < 102 <2 <2 < 102 min 0, maks 5000 min 0, maks 20 min 0, maks 2500 min 0, maks 10 min 0, maks 8000 min 0, maks 1000 min 0, maks 5 min 0, maks 500 min 0, maks 1 min 0, maks 800 Sumber : Permentan No. 28 Tahun 2009 2.3. Besi di Dalam Tanah dan Tanaman Senyawa besi di dalam tanah terdiri dari berbagai bentuk. Besi merupakan unsur utama berbagai mineral dan bahan organik tanah. Sumber unsur Fe di dalam tanah bisa berupa batuan yang mengandung Fe-silikat, mineral sulfida, dan senyawa Fe-oksida atau hidroksida. Selain itu, pada beberapa bagian di dalam tanah, Fe ditemukan di lapisan alumino-silikat: nontronit, montmorilonit, vermikulit, dan klorit (Orlov, 1992 dalam Pujiastuti, 1995). 32 Senyawa Fe di dalam tanah diklasifikasikan oleh Zonn dalam Orlov (1992) dalam Pujiastuti, 1995) sebagai berikut: (1) Fe-silikat, (2) Fe-nonsilikat (bebas). Reaksi senyawa Fe yang terjadi di dalam tanah yaitu mobilisasi senyawa Fe melalui proses dekomposisi (pelapukan) mineral-mineral Fe dan mineralisasi senyawa organik, reaksi okidasi-reduksi, pembentukan senyawa organomineral (umumnya merupakan senyawa kompleks), interaksi adsorpsi, dan pembentukan senyawa-senyawa hidroksida, sulfida, dan fosfat. Umumnya, Fe dalam bentuk Fe(II) dan Fe(III), ion hidroksida, beberapa fosfat dan sulfida menjadi bagian dalam reaksi oksidasi-reduksi. Nilai potensial reduksi oksidasi normal untuk Fe3+ - Fe2+ yaitu 0,77 V pada suhu 25°C. Berikut ini adalah persamaan rekasi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1. Fe(OH)3 + 4H+ + e- Fe2+ + 3H2O 2. α-FeOOH + 3H- + e- Fe2+ + H2O 3. α-Fe2O3 + 6H- + 2e- 2Fe2+ + 3H2O Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan membatasi difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mereduksi Fe oksida dan meningkatkan kadar Fe(II) dalam larutan tanah dari 0,07 sampai 6600 mg kg-1. 2.4. Toksisitas Besi pada Tanaman Padi Besi (Fe) merupakan salah satu unsur hara esensial bagi tumbuhan. Dalam tanaman, besi berfungsi sebagai penyusun klorofil, kofaktor enzim, dan berperan dalam perkembangan kloroplas. Besi juga berperan pada transfer elektron dalam respirasi (Suhartini, 2004). Kekurangan besi menyebabkan terhambatnya pembentukan klorofil dan fungsi beberapa enzim menjadi tidak sempurna. Besi merupakan unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit, konsentrasi besi dalam jaringan tanaman dinyatakan normal pada kisaran 100-200 mg kg-1. Apabila kadar besi dalam larutan tanah berada pada konsentrasi lebih dari 300 mg kg-1, kondisi ini dapat menyebabkan keracunan pada tanaman padi (Tanaka dan Tadano, 1972). 33 Keracunan besi pada tanaman padi dapat diamati dengan melihat beberapa gejala pada daun diantaranya gejala daun yang berkarat (bronzing) dan berwarna coklat gelap, serta sistem perakaran tanaman yang kurang berkembang (Yamanouchi & Yoshida, 1981). Tanaman padi memiliki suatu kecenderungan untuk menyerap besi lebih tinggi dibanding hampir semua tanaman, dan Fe 2+ adalah jenis besi yang umum terdapat di dalam tanaman padi. Setelah besi masuk ke dalam se-sel korteks akar, besi yang teroksidasi dapat masuk ke dalam tanaman melalui xilem melalui simplas setelah melewati Pita Kaspari. Menurut Yeo et al., (1987), Fe2+ dapat masuk ke xilem baik secara simplas maupun apoplas atau melalui bagian akar yang rusak setelah akar mengalami kerusakan karena penarikan bibit dari pesemaian. Dalam xilem, Fe2+ diangkut mengikuti aliran transpirasi menempuh jarak yang sangat panjang menuju ruang-ruang antar sel. Di dalam sel daun, Fe2+ bertindak sebagai katalisator pembentukan beberapa jenis oksigen aktif superoksida, radikal hidroksida, dan H2O2 (Marschner, 1995). Reaksi akan terus meningkat jika besi terdapat secara berlebihan, dan besi sendiri dapat menjadi sangat reaktif sebagai perferil radikal atau dapat menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi senyawa fenol membentuk polifenol dan akan terakumulasi di daerah kloroplas pada daun. Radikal bebas pada akhirnya akan mengoksidasi klorofil sehingga aktivitas fotosintetis terhambat (Monteiro & Winterbourn, 1988 dalam Amnal, 2009). Keracunan besi pada tanaman dapat mengganggu proses-proses metabolisme dan menyebabkan kerusakan tanaman padi yang ditandai oleh daun yang berkarat (bronzing), struktur daun kaku dan berwarna coklat gelap serta kurang berkembangnya sistem perakaran. Gejala visual dari keracunan besi adalah akibat adanya akumulasi oksidasi polifenol membentuk bronzing pada daun tanaman padi. Gejala bronzing kelihatan secara penuh pada daun-daun yang bertindak sebagai sumber fotosintetis dimulai dengan adanya noda coklat kecil yang terus menyebar dari ujung daun ke pangkal daun. Gejala lebih lanjut yang terlihat adalah ujung daun menguning dan mengering, diikuti dengan laju respirasi yang sangat tinggi yang pada akhirnya seluruh daun menjadi kekuningan dan 34 berwarna coklat yang disebut karat, atau akan berwarna coklat ungu, kaku dan keras, merupakan suatu kondisi yang menunjukkan tingkat besi yang sangat parah (Yamanouchi & Yoshida, 1981). Keracunan besi yang terjadi pada tanaman padi yang dimulai sejak fase vegetatif akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Tanaman akan menjadi kerdil dan perkembangan fase reproduktif terhambat, akibatnya tanaman menghasilkan sedikit malai dan bulir kopong (Abu et al., 1989). Berkaitan dengan hal tersebut Ayotade (1979) mengemukakan bahwa keracunan besi pada varietas yang sangat peka menyebabkan umur panen mundur selama 20-25 hari atau tanaman tidak akan menghasilkan bunga. Tanaman padi memiliki kemampuan untuk mempertahankan besi di dalam akar, meskipun demikian besi juga dapat ditranspor ke bagian atas tanaman (Audebert & Sahrawat, 2000). Amnal (2009) menambahkan bahwa respon fisiologis tanaman padi terhadap cekaman besi terlihat dari gejala bronzing pada daun, tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar terhambat, biomasa tanaman rendah, usia panen lambat, dan produksi tanaman menurun.