e135: KURSI TIDAK SELALU BERKAKI EMPAT1 Yusra IAIN Imam Bonjol Padang ABSTRACT This article related to the analysis of the word kursi ‘chair’ found in advertisement on Singgalang Newspaper. The purpose of the research is to explore the multiple strategic meanings behind that symbol. This research uses qualitative approach and e135 theory created by Sawirman. The result showed that the word kursi analyzed by e135 not just produces some political and ideological meanings, but also social and psychological ones. Keywords: Singgalang newspapers, e135, the symbol of kursi ABSTRAK Artikel ini berkenaan dengan analisis simbol kursi yang terdapat dalam iklan koran Harian Umum Singgalang. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan teori e135 Sawirman, tulisan ini menafsirkan aneka makna strategis dibalik simbol kursi tersebut. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kata kursi yang ditelaah secara kreatif tidak hanya mampu mengungkap makna politis dan ideologis, tetapi juga makna sosial dan psikologikal. Kata kunci: Koran Singgalang, e135, dan simbol kursi 1. Pendahuluan Media massa mempunyai peranan dan kekuatan yang begitu besar terhadap dunia ini, apalagi yang berkaitan dengan manusia dan segala aspek yang melingkupinya. Media massa merupakan sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat. Istilah media merupakan perangkat komunikasi yang didasarkan kepada teknologi 1 Tulisan ini adalah revisi dan pengembangan tulisan saya dengan objek yang sama yang pernah dimuat dalam www.sawirman-e135.blogspot.com bulan Juli 2009. Linguistika Kultura, Vol.04, No.02/November/2010 elektronik atau cetak seperti televisi, periklanan, radio dan sebagainya. Media massa membutuhkan berita dan informasi untuk publikasinya baik untuk kepentingan media itu sendiri maupun untuk kepentingan institusi lainnya.Secara umum media massa meliputi media cetak dan diterbitkan secara berkala seperti surat kabar, majalah, dan tabloid. Iklan merupakan suatu sarana dalam upaya menawarkan barang atau jasa kepada khalayak ramai yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat agar membeli produk yang di iklankan. Melalui media cetak seperti surat kabar, tabloid, dan media elektronik seperti televisi, radio dan juga internet diharapkan pesan yang ingin disampaikan diterima dengan baik oleh pembaca maupun pendengarnya. Pemunculan iklan yang semakin gencar dan menarik perhatian masyarakat, mengakibatkan pengaruh ikllan semakin kuat. Wacana dari iklan itu sendiri yaitu bahasa dan gambar. Bahasa bagaikan alat yang mujarab mempengaruhi pembaca dan lawan bicara. Bahasa iklan memiliki kekhasan dengan tidak mengabaikan kesesuaian makna. Untuk membuat iklan, pada dasarnya memanfaatkan bahasa dan gambar. Supaya iklan itu menarik dan meyakinkan sehingga mendorong pembaca dan pendengar untuk membeli produk tersebut. Teks iklan tidak dapat dilepaskan dari peran bahasa dan gambar. Dengan demikian, pembuat iklan sebaiknya memperhatikan kedua unsur tersebut agar iklan itu menarik perhatian dan mampu mempengaruhi pembacanya. Dalam membuat iklan, seorang pembuat iklan dapat memanfaatkan retorika. Bertolak dari hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti iklan yang terdapat dalam media cetak Harian Umum Independen Singgalang pada tanggal 29 April 2009. Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan metode simak. Dalam hal ini yang disimak adalah teks iklan yang terdapat dalam media cetak iklan dimaksud. 2. Konsep dan Landasan Teori Berikut beberapa konsep operasional yang terdapat dalam artikel ini. 2.1 Iklan Kata iklan berasal dari bahasa Arab I’lan, yakni “sesuatu yang disampaikan di media-media yang berbeda untuk memberitahukan kepada khalayak tentang kegemaran, atau kesukaan atau pembicaraan, atau menjelaskan seperti pengumuman perang atau kemerdekaan” (Ya’kub, 1987:67). Dengan demikian, secara literal iklan berarti pemberitahuan. Menurut Hardjatno (2002:102) iklan adalah suatu kegiatan untuk penyampaian berita. Akan tetapi berita tersebut disampaikan atas nama pesanan pihak yang ingin agar sebuah produk atau jasa disukai, dipilih, dan dibeli oleh konsumen. Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa iklan merupakan suatu jasa untuk mempengaruhi khalayak ramai agar menggunakan barang atau jasa yang ditawarkan dengan menyewa media massa. Iklan haruslah menggunakan bahasa yang komunikatif. Menurut Andersen, fungsi teks iklan dapat di definisikan sebagai tujuan atau maksud yang ingin dipenuhi oleh sebagian atau seluruh isi teks (Kaswanti, 2000:151). Sedangkan menurut Brinker (Kaswanti, 2000:151), fungsi teks dapat dibedakan menjadi lima jenis, yakni fungsi informatif, fungsi apelatif, fungsi wajib, 76 Yusra fungsi kontaktif, dan fungsi deklaratif. Berdasarkan klasifikasi Brinker tersebut maka teks iklan yang ada dalam Harian Umum Independen Singgalang memiliki tiga fungsi, yaitu (1) fungsi informatif bertujuan untuk menginformasikan tentang pengirim pesan (dalam hal ini pemasang iklan dalam Harian Umum Singgalang); (2) fungsi kontaktif iklan dalam Harian Umum Singgalang bertujuan untuk mengadakan kontak sosial antara pengirim pesan (pemasang iklan) dan penerima pesan (orang-orang yang menjadi sasaran iklan); dan (3) fungsi apelatif yang bertujuan untuk mempengaruhi penerima pesan supaya melakukan suatu tindakan (sesuai dengan tujuan iklan yang ada dalam Harian Umum Independen Singgalang). Iklan di dalam Harian Umum Singgalang secara umum merupakan iklan barang atau jasa yang menawarkan sesuatu untuk dipasarkan dan dikemas sedemikian rupa agar menarik sehingga tujuan iklan bisa tercapai. 2.2 Teori e135 Menurut Sawirman (2009), e135 merupakan singkatan dari “Eksemplar 135”. Huruf e menyimbolkan eksemplar, angka 1 menyimbolkan kerangka ontologis hermeneutik. Selain Sawirman dalam e135, sejumlah nama seperti Immanuel Kant, Peter Winch, Georg Henrik von Wright, Hans-Georg Gadamer, F.D.E. Schleiermacher, Wilhem Dilthey, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, Michael Foucault, Michael T. Gibbons, Clifford Geertz, Charles Taylor, Richard Rorty, William Connolly, Hubert Dreyfus, Steven Lukes, dan Brian Fay juga menganggap hermeneutik lebih representatif dalam penelaahan teks (Sawirman, 2008b; Raharjo, 2007). Di mata Sawirman (2008:12), ada beberapa keunggulan hermeneutika bila digunakan sebagai basis filosofis pengungkap teks, tanda, dan wacana, yakni (1) aspek pengarang, teks/ naskah, dan penginterpretasi teks diposisikan secara seimbang dalam menemukan sebuah kebenaran interpretasi; (2) makna teks sebagai sebuah tanda tidak hanya dikaji pada aneka tanda yang tampak oleh panca indera, tetapi juga aneka tanda yang tersembunyi (latent signs); dan (3) teks dapat ditelaah dengan beberapa tahapan seperti pendeskripsian, penjelasan (intertektualitas), pemahaman (sikap peneliti), dan ekplanatoris. Angka 3 dalam e135 menyimbolkan mazhab formalis, kritis, dan cultural studies, serta angka 5 menyimbolkan tahapan analisis elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi. e135 yang dikemukakan oleh Dr. Sawirman, M. Hum (dosen Universitas Andalas Padang) sejak tahun 2005 tersebut menoreh ranah baru dalam ranah linguistik dan wacana. e135 di mata saya tidak hanya mengisi kekosongan keterbatasan teori-teori linguistik dan wacana yang ada, tetapi juga sebagai wujud keinginan untuk bekerja sama dengan aneka keilmuan di luar ranah linguistik. Teori kritis menelaah teks bukan hanya sebagai praktik kewacanaan, tetapi juga sebagai non-wacana/praktik sosial. Para penganut teori ini berpendapat bahwa wacana merupakan alat untuk kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya, dan ilmu pengetahuan. Adalah beralasan mengapa para tokoh aliran kritis mencoba menganalisis wacana dalam kaitannya dengan politis, ideologis, dan rasis. Di mata Sawirman (2008a), aliran kritis sebenarnya sudah muncul secara “de facto” semasa Immanuel Kant. Mazhab Frankfurt dianggapnya sebagai mazhab yang banyak berjasa memproklamirkan aliran yang juga dipopulerkan oleh Critical Social Sciences (CSS) ini. Menurut Sawirman (2008c), selain para kritikus sosial-budaya mazhab Frankfurt seperti 77 Linguistika Kultura, Vol.04, No.02/November/2010 Walter Benjamin, Adorno, Marcuse, Habermas, dan Eric Fromm, nama-nama seperti Fairclough dan van Dijk termasuk sosok-sosok yang gigih mengibarkan bendera teori kritis ke kancah wacana linguistik yang lebih dikenal dengan nama pendekatan wacana kritis (Critical Discourse Analysis, CDA). Selain teori kritis, aliran dekonstruksionis dan cultural studies juga dirangkul dalam e135 (Sawirman, 2008a). Dalam perspektif Norris (2003), sebelum dekonstruksi berkembang menjadi sebuah penemuan pemahaman secara kreatif relasi lambang kebahasaan dalam teks, istilah dekonstruksi yang dipopulerkan oleh Derrida ini pada awalnya lebih dianggap sebagai sebuah cara, metode membaca teks. Konsep dekonstruksi dikenal secara luas setelah diterbitkannya karya ilmiah berjudul De La Grammatologie tahun 1967 dalam bahasa Prancis. Atas Gayatri Chakravorty Spivak buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Alhasil, konsep yang diajukan oleh Derrida ternyata tidak hanya mempengaruhi perspektif terhadap realitas, tetapi bahasa, pemaknaan, dan dunia kesadaran. Dalam kaitan dengan linguistik, dekonstruksi membedakan antara kata dengan konsep, ide, persepsi, dan emosi yang ditunjukkan oleh kata tersebut. Sawirman tampaknya cukup kritis menempat konsep “penundaan” Derrida pada setiap tempat persinggahan (shelter) dalam lima tahapan e135-nya (Sawirman, 2008b). Di Mata Derrida, karena ucapan lebih langsung sifatnya maka tulisan bukanlah merupakan gambaran atau representasi dari ucapan manusia. Ada konsep penundaan atau differance dalam dunia tulisan. Differance merupakan sebuah gerakan aktif atau pasif yang terdiri atas penundaan, putusan, penundaan, penyimpangan, penangguhan, dan penyimpanan. Konsep differance Derrida menghasilkan penundaan yang masif dari semua makna dan struktur atau perbedaan sebagai akibat dari adanya difference (Norris, 2003). Demikian pula cultural studies yang juga dirangkul dalam e135 pertama kali diperkenalkan oleh Richard Hoggart pada tahun 1964. Menurut Tester (2003), titik fokus cultural studies adalah pengeksplorasian berbagai aspek, aktivitas, dan makna budaya yang sebelumnya dianggap sebagai budaya rendahan dan barbar (uncivilized). Cultural studies mengeksplorasi aneka perangkat yang dimiliki oleh budaya populer tersebut agar bisa mengapresiasi kemungkinan terbaik konstituen baru ‘rakyat’ untuk dikontribusi (Tester, 2003). Robert Kolker (2002:120)2 menyokong pendapat tersebut: Cultural studies looks at various kinds of texts within the context of cultural practice, that is, the work, production, and material stuff of daily life, marked as it is by economics and class, by politics, gender, and race, by need and desire. Cultural studies dalam konteks kekinian meneliti berbagai macam teks dalam konteks praktek budaya seperti pekerjaan, produksi, dan bahan material hidup sehari-hari, ekonomi dan kelas sosial, politik, jenis kelamin, dan ras. Beberapa paradigma di atas mendasari Sawirman melahirkan lima tahapan analisisnya. Tahap elaborasi (Sawirman, 2009) merupakan tahap pertama yang menempatkan teks dianalisis secara fisik dengan menggunakan pendekatan linguistik (wacana formalis) sesuai dengan tipe data yang dianalisis. Pada tahap representasi merupakan hubungan antara bahasa sebagai tanda dan konsep mental yang direprensentasikan dengan realitas yang ada tentang 2 Film, Form, and Culture. New York: Mc Graw-Hill 78 Yusra fakta, manusia, keadaan, peristiwa, benda nyata dan lain-lain. Tahap signifikasi merupakan tahap dimana si pembaca memaknai sebuah teks (peran pembaca), apakah sebuah teks dimaknai dengan relitas yang sebenarnya, hiperealitas, mendustai makna sebenarnya dan lain-lain. Sedangkan tahap eksplorasi merupakan penjelahan makna pada suatu tanda /symbol lingual dianalisis sampai pada makna terdalam. Yang terakhir adalah tahap transfigurasi merupakan tahap penafsiran pada suatu teks yang ditafsirkan oleh banyak orang secara berbeda. 3. Pembahasan Adalah salah satu prinsip e135 yang mengutamakan kedalaman pemaknaan ketimbang banyaknya aspek lingual yang dibahas. Dengan demikian, salah satu iklan yang akan diuntai dengan e135 adalah iklan Frontline Office Furniture yang terdapat dalam media cetak Harian Umum Independen Singgalang tanggal 29 April 2009. Analisis data akan dilakukan dengan lima tahapan dalam e135, yaitu tahap elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi, dengan proses pemaknaan berdasarkan prinsip persinggahan. 3.1 Analisis teks iklan pada tahapan elaborasi Tahap elaborasi (Sawirman, 2008b) merupakan tahapan untuk menganalisis bahasa atau tanda melalui tahapan linguistik sebagai basis. Pihak penganalisis dibebaskan untuk memilih aneka teori linguistik asalkan sesuai dengan jenis data yang akan dianalisis. Pada tahapan elaborasi, teks akan dibedah berdasarkan pendekatan formalis yang lebih mentikberatkan kajiannya pada aspek bentuk. Bahasa dalam pandangan kaum formalis lebih merupakan konstruksi yang mengekspresikan pikiran dengan memprioritaskan pada studi kompetensi. Bahasa merupakan apa yang di dengar oleh penutur/pendengar. Setiap bahasa di dunia memiliki bentuk-bentuk universal dan titik kesamaan tertentu. Tahapan ini di mata Sawirman lebih difokuskan untuk menjawab pertanyaan apa (what). Berikut iklan Frontline Office Furniture yang terdapat dalam Harian Umum Independen Singgalang tanggal 29 April 2009. Jangan berebut kursi, kami menyediakan banyak kursi (Sumber, Singgalang, 29 April 2009) Kata kursi pada paparan teks mini tersebut dapat dianggap sebagai kata kunci (keyword). Selain alasan semantis, secara morfologis kata kursi mengalami repetisi yang menandakan sebuah intensitas atau penekanan. Salah satu ciri khas kata kunci di mata Raymond Williams dalam buku Keyword-nya adalah seringnya kata-kata itu diulang. Sawirman (2005) menambahkan ciri lain untuk keyword yakni power makna sebuah kata. Berdasarkan Teks yang akan dianalisis berikut merupakan teks mini atau teks yang bila apabila dilihat dari aspek linguistiknya Makna literal yang termuat dalam teks iklan jangan berebut kursi kami menyediakan banyak kursi antara lain “dilarang untuk mengambil kursi dengan paksa/merampas karena kami mencadangkan banyak kursi”. Kata banyak yang ditujukan kepada masyarakat agar mau membeli kursi tersebut tanpa perlu khawatir akan kehabisan stok. Dengan persediaan kursi yang bermacam-macam bentuk dan nama, iklan tersebut secara persuasif menyiratkan pesan agar masyarakat dapat membeli kursi yang diinginkan pada toko Frontline Office Furniture. Secara interteks dapat dimaknai bahwa berbagai 79 Linguistika Kultura, Vol.04, No.02/November/2010 macam kursi yang disediakan di toko dimaksud antara lain kursi goyang, kursi roda, kursi putar, kursi sofa, kursi belajar, kursi kantor, kursi bulat, kursi busa, kursi bola, dan bahkan ada beberapa di antaranya belum memiliki nama alias “kursi tanpa nama”. Kursi goyang merupakan kursi yang dapat digoyanggoyangkan. Kursi roda merupakan kursi yang mempunyai roda yang biasanya dipakai oleh orang yang tidak bisa berjalan. Kursi putar adalah kursi yang bisa diputar. Kursi sofa merupakan kursi panjang yang dilapisi dengan gabus. Kursi belajar adalah sejenis kursi yang dapat digunakan di sekolah-sekolah. Kursi kantor adalah kursi yang digunakan di kantor. Kursi bulat dibentuk seperti lingkaran. Kursi busa adalah kursi yang terbuat dari busa. Kursi bola merupakan kursi yang terbuat dari bahan kulit dengan dasar penyangga aluminium. Dari aspek morfologis yang dalam bahasa Arab disebut dengan sharaf dapat dilihat bagaimana bentuk kata dan perubahan bentuk kata serta makna yang muncul akibat perubahan tersebut. Kata berebut mengalami afiksasi yang berposisi di depan morfem dasar (prefiks) yaitu {ber–}, dan kata berebut menurut bentuknya mengalami imbuhan di awal. Sedangkan kata menyediakan juga mengalami afiksasi. Melekatnya afiks secara serempak pada sebuah morfem dasar {men – an} disebut juga dengan konfiks. Selanjutnya dari aspek sintaksis, kata jangan menandakan kalimat negasi yang mengindikasikan sebuah larangan. Tipe kalimat tersebut dalam bahasa Arab disebut dengan la nafi. Kata berebut merupakan merupakan verba yang dalam bahasa Arab disebut dengan fi’il. Kata kursi merupakan nomina yang dalam bahasa Arab disebut dengan isim. Kata kami merupakan orang ketiga tunggal yang dalam bahasa Arab disebut dengan dhamir. Kata meyediakan merupakan verba, kata banyak berkategori numeralia yang dalam bahasa Arab disebut dengan jama’, dan kata kursi merupakan kata benda. Secara literal iklan tersebut dapat ditranskripsikan seperti berikut. Tabel 1: Transkripsi Iklan Frontline Furniture Jangan Berebut Kursi kami menyediakan Banyak kursi negasi Verba nomina orang Verba numeralia nomina ketiga tunggal la nafi fi’il Isim dhamir fi’il Jamak isim Dari aspek semantis, makna leksikal dari teks iklan tersebut dapat diuntai seperti berikut. Kata jangan merupakan kata yang menyatakan larangan yang berarti ‘tidak boleh’ atau ‘tidak usah’. Kata berebut bermakna berlomba-lomba atau dahulu mendahului di antara orang banyak. Kata kursi bermakna bangku, tempat duduk. Kata kami bermakna ekslusivitas. Berdasarkan analisis berbasis e135 pada tahapan pertama, elaborasi, atau analisis linguistik maka ditemukan beberapa tanda strategis seperti terlihat pada diagram berikut. Diagram 1: Tempat persinggahan tanda strategis elaborasi kursi (tanda kunci secara linguistis) 80 Yusra kalimat negasi eklusivitas afiksasi repetisi Beberapa tanda strategis tersebut dalam e135 ditempatkan dulu pada sebuah kotak yang disebutnya dengan kotak persinggahan (sheltering box) yang nantinya pada tahapan kelima akan didialektikan dengan sejumlah tanda strategis lainnya pada tahapan kelimanya, yakni tahapan transfigurasi. 3.2 Analisis teks iklan pada tahap representasi Pada tahap representasi e135, penggalian tanda strategis dititikberatkan pada instigator teks yang meliputi produser teks, pembuat iklan (toko atau biro jasa), dan distributor teks. Iklan Frontline Office Furniture sebenarnya merupakan iklan suatu produk berjenis kursi yang dijual pada sebuah toko. Secara politis dan historis, iklan tersebut dimuat pada tanggal 29 April 2009 di kala pesta demokrasi di negeri sedang berkecamuk. Dengan demikian, penggunaan kata “kursi” menampati posisi strategis di mata pembaca. Secara psikologis, kata banyak kursi yang diproduksi oleh sang produser teks mengindikasikan bahwa toko tersebut memiliki persediaan kursi dengan aneka variasi. Maksud tersirat dari sang instigator teks adalah menyuruh pembeli agar membeli kursi di toko yang disebutkan di masa mendatang. dengan demikian, dari sisi fungsi, teks tersebut bertipe direktif (tipe yang mengharapkan petutur melakukan sebuah pekerjaan) dan tipe komisif (tipe yang mengharapkan petutur melakukan sesuatu di masa mendatang). Iklan Frontline Office Furniture ini dimuat pada salah satu surat kabar lokal di Harian Umum Singgalang di Sumatera Barat. Penggunaan koran Singgalang terasa amat strategis berhubung konsumen pembeli kursi sang toko adalah masyarakat Sumatera Barat sesuai dengan level toko dimaksud. Berdasarkan analisis makna pada tahap representasi maka didapatkan beberapa tanda strategis yang ditempatkan pada diagram persinggahan berikut. Diagram 2: Tempat persinggahan tanda strategis representasi kursi (tanda kunci) pesta demokrasi koran lokal komisif direktif Diagram tersebut dapat dibaca bahwa beberapa tanda strategis seperti pesta demokrasi, koran lokal, fungsi komisif, dan fungsi direktif dapat dimaknai secara lebih dialektis pada tahap transfigurasi dalam e135. 3.3 Analisis teks iklan pada tahap signifikasi Pada tahapan signifikasi ini mengacu kepada pemaknaan secara literal dan nonliteral. Simbol “kursi” secara literal dimaknai bahwa kursi merupakan tempat duduk yang berkaki dan bersandaran yang digunakan oleh satu orang atau beberapa orang dan mempunyai posisi yang lebih tinggi dari lantai. Dalam bahasa Arab, kata kursi (baca Ya’kub, 1987) berarti As Sarir dan Al Ilmu. As sarir ma yuq’adu ‘alaihi yuqalu ij’al lihazal ha ithi kursiyan. Al Ilmu yuqalu hua min ahlil kursi ai ilmu huwa man ahlul kursiyu ai ilmu ‘sesuatu yang bisa duduk di atasnya 81 Linguistika Kultura, Vol.04, No.02/November/2010 atau sesuatu yang dapat menopang dan menahan sesuatu’. Sedangkan makna nonliteral dari simbol “kursi” adalah kedudukan, pangkat, jabatan, singgasana, dan lain-lain. Berikut diagram persinggahan tanda pada tahapan ini. Diagram 3: Tempat persinggahan tanda strategis signifikasi Kursi Literal Tempat duduk yang berkaki & bersandaran Non-literal kekuasaan, kedudukan, pangkat dan jabatan 3.4 Analisis teks iklan pada tahap eksplorasi Pesan tersirat yang disampaikan oleh Sawirman dalam tahapan eksplorasi ini adalah bagaimana seharusnya alat legitimasi bekerja. Dalam konteks periklanan misalnya ada UU periklanan, UU Perlindungan konsumen, dan sejenisnya. Secara tersirat Sawirman (2010) menyiratkan pesan bahwa pada tahap ini Superego Sigmund Freud diharapkan dapat sebagai salah satu indikator untuk mengukur rasa kepantasan, kelogisan, kesopanan, dan keilmiahan sebuah teks. Dengan demikian, pemaknaan kata teks dan aneka tanda strategis yang sudah ditemukan sebelumnya dapat juga dimaknai dalam hubungannya dengan beberapa ilmu lain di luar linguistik. Pemaknaan kata kursi sebagai simbol dari kedudukan, pangkat dan jabatan dapat dihubungkan secara lintas teks atau sejumlah disiplin ilmu (agama, sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan lain-lain) yang relevan dengan proses pencapaian makna terdalam dari simbol kursi3. Dengan kata lain, ketika kita memaknai simbol kursi secara mendalam, maka pemaknaan tidak hanya terbatas pada teks iklan yang sudah dianalisis pada tiga tahap sebelumnya, tetapi juga teks-teks politik, agama, ekonomi, sejarah dan lain sebagainya. Selain kolokasi berebut kursi kepresidenan, kursi panas kepresidenan, ayat kursi, dan lain-lain, secara posttext (meminjam istilah Sawirman, 2010), beberapa padanan kata kursi mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan sosial masyarakat dalam konteks kekinian kala sebuah teks diproduksi. Bila dihubungkan dengan suasana politik yang memanas kala itu, iklan kursi Frontline Office Furniture yang dikeluarkan pada tanggal 29 April 2009 sangat bernilai jual. Berdasarkan konteks situasi kala teks iklan tersebut dimunculkan, Indonesia memang sedang disibukan dengan persiapan pesta demokrasi pemilihan kursi kepresidenan pada tahun 2009. masing-masing tim sukses kampanye kepresidenan kala itu tidak hanya menerapkan aneka cara/strategi untuk memenangkan kandidatnya masing-masing, tetapi juga 3 Untuk memaknai kata kursi sebagai kedudukan, pangkat, dan jabatan, maka ilmu lain yang diperlukan untuk menelaah kata tersebut secara mendalam adalah ilmu politik, agama dan lain-lain. Politik berasal dari kata Yunani dan latin politicos atau politicus. Politik berarti merupakan segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, cara bertindak dan sebagainya) mengenai pemerintah negara atau terhadap Negara lain. Dalam kamus bahasa Arab, kata politik di terjemahkan dengan kata siyasah. 82 Yusra menargetkan perolehan hasil suara sekalipun tanpa disertai aneka program yang memadai (baca Sawirman dalam Presiden Iklan RI di Padang Ekspres). Pada pemilu tahun 2009, capres dan cawapres harus didukung minimal 25% suara. Hal itu tidak mengherankan mengapa kata koalisi juga menempati posisi strategis kala itu. Pada pemilu tahun 2009 ini, beberapa partai seperti Golkar, PDI, dan lain-lain merupakan partai-partai oposisi yang tidak berkoalisi dengan partai Demokrat. Selain alasan deadlock, target masing-masing partai untuk menempati RI 1 tampaknya merupakan alasan yang tersembunyi. Adapun strategi yang dilakukan oleh masing-masing capres dapat dilihat pada jargonjargon yang dikemukakan oleh masing-masing calon tersebut. Strategi yang dilakukan juga menciptakan jargon yang menjadi identitas masing-masing partai dan kandidat. Mega-Prabowo mengusung semboyan MEGAPRO, SBY-Budiono mendeklarasikan SBY-Berbudi, ”Lanjutkan…..”, Jusuf Kala-Wiranto mengusung jargon JK-WIN: “Lebih cepat lebih baik“, dan lain-lain. Adalah juga menjadi alasan tersembunyi secara sadar sang instigator teks iklan Frontline Office Furniture untuk memilih jargon “Jangan berebut kursi, kami menyediakan banyak kursi”. Seperti halnya jargon politik masing-masing partai yang menyiratkan memuat ilokusi pendekatan akrab kepada kepada masyarakat, pendekatan itu pulalah yang tersirat pada iklan Frontline Office Furniture. Persoalannya sekarang apakah “perebutan kursi” pesta demokrasi RI yang diselingi oleh praktik-praktik yang kurang sehat secara demokratis juga tersirat pada iklan Frontline Office Furniture?4 Artikel ini belum mampu menghubungkan sampai ke tahapan makna sampai ke taraf itu. Bila e135 diaplikasikan secara kritis, tampaknya ada celah bagi seorang penganalisis teks yang kritis untuk membaca relasi antar-tanda misalnya tanda kursi kepresidenan dengan tanda ayat kursi yang dengan analogi sederhana sama-sama memilki fungsi strategis “mengatur” dan “menguasai” [+atur, +kuasa]. Presiden misalnya adalah orang yang berkuasa sebagai sang pengatur negara. Salah satu pesan yang terdapat dalam ayat kursi misalnya juga berhubungan dengan Sang Maha Kuasa-nya Allah, Swt terhadap alam semesta. Dengan demikian, simbol kursi pada tahap ini memiliki proses pemaknaan yang semakin kompleks, dari sebuah tempat duduk hingga kekuasaan dan pengaturan. Bila dihubungkan dengan alat legitimasi yang diharapkan Sawirman, maka sebuah iklan maupun kekuasaan seharusnya berdasarkan kepada hukum yang berlaku5. Dengan demikian, dalam tahapan eksplorasi ditemukan beberapa tanda strategis yang dapat dianyang secara lebih jauh dalam kotak yang disebut Sawirman dengan melting pot. Berikut beberapa tanda strategis hasil eksplorasi tertera pada diagram 4 berikut. 4 5 Allah berfirman dalam surat Al-Naba’ (78:38) sebagai berikut: “Mereka tidak bercakap kecuali seizin Tuhan Yang Maha Pemurah dan perkataan mereka benar”. Berdasarkan ayat tersebut ideologi agama mengemukakan bahwa untuk mencapai sesuatu atau mengatakan sesuatu tidak boleh mengatakan hal-hal yang tidak benar. Sebagai contoh dalam upaya memperoleh kursi kepresidenan dilarang untuk mengatakan suatu berita bohong mengenai segala sesuatu, apalagi mengenai sesuatu yang berkaitan dengan lawan politik. Salah satu strategi untuk mendapatkan kursi kepresidenan adalah masing-masing capres dan cawapres memberikan janjijanji politik kepada masyarakat. Hal yang sama juga dilakukan oleh sejumlah iklan produk untuk memanipulasi pemaknaan. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 38 yang artinya ”Jika menghukum antara manusia hendaklah kamu hukum dengan seadil-adilnya. Allah yang sebaik-baiknya yang mengajar kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi melihat”. 83 Linguistika Kultura, Vol.04, No.02/November/2010 Diagram 4: Tempat persinggahan tanda strategis eksplorasi Kursi berebut kursi kursi panas jatah kursi ayat kursi Berhubung keterbatasan halaman, artikel ini belum menjamah proses pemaknaan kompleks yang terdapat pada tahap transfigurasi dalam e135. 4. Penutup e135 harus dijadikan sebagai ranah baru dalam linguistik. Menelaah teks dengan e135 ternyata mampu mengungkap tidak hanya sejumlah tanda strategis, tetapi juga aneka fungsi strategis, dan makna strategis yang terpatri dari proses relasi antar teks dan tanda seperti yang diberdayakan dalam e135 sekalipun pada tahap kelima penulis belum melakukan penganyangan seperti yang diharapkan dalam melting pot e135 untuk melahirkan solusi strategis. Dengan telaah tanda kunci “kursi” yang terdapat pada iklan Frontline Office Furniture didapatkan sejumlah tanda dan makna strategis sejak dari tempat duduk yang berkaki dan bersandaran hingga posisi yang lebih tinggi dari lantai, seperti kekuasaan, jabatan, kedudukan, pengaturan, dan pangkat. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta Kamal, Musthafa Pasha. 1988. Pancasila UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Kolker, Robert. 2002. Film, Form, and Culture. New York: Mc Graw-Hill Marianne dkk., 2007. Analisis Wacana Teori & Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Norris, Cristopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yokyakarta: Ar-Ruzz. Rahardjo, Mujia. 2007. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang: Universitas Islam Negeri-Malang Press Sawirman. 2008a. Hermeneutik: “Payung E-135” Merangkul Cultural Studies. Artikel Editorial Linguistika Kultura, Vol. 02, No.01/Juli/2008, hal. 11—20. Sawirman, 2008c. Selamatkan Linguistik dengan E-135. Disampaikan pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang, tanggal 10-11 Oktober 2008. Sawirman. 2008b. e135 Mempertalikan Paradigma Formalis, Kritis, dan Cultural Studies. Artikel Editorial Jurnal Linguistika Kultura, Vol. 02, No.02 November 2008, hal. 105—116. Sawirman. 2009. e135 Menuju Teori Linguistik Terapan dan Haki. Makalah Nominasi Unand Award tanggal 27 Juli tahun 2009. Sawirman. 2010. e135: Tapioka bukan Tepung. Jurnal Salingka Vol. 7 Nomor 1 Edisi 2010, terbitan Balai Bahasa Padang. Smith, Neil. 2004. Chomsky Ideas and Ideal. Cambridge University Press Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juktapose Ya’kub, Mil. 1987. Kamus Mushtalahat Allughawiyah wal Adabiyyah. Bairut: Darul Ilmi. 84