1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam hidupnya

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di dalam hidupnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan
manusia lain. Hal ini sudah menjadi kodrat manusia. Masa ketergantungan
manusia yang lainnya tidak pernah habis sejak lahir sampai meninggal dunia.
Oleh karena itulah manusia disebut makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai
mahluk sosial, manusia yang satu tergantung kepada manusia yang lainnya,
sehingga mendorong manusia untuk dapat hidup di tengah masyarakat.
Dalam kehidupannya salah satu aspek yang membuat manusia tergantung
dengan manusia yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum.
Perbuatan hukum adalah perbuatan yang membawa konsekuensi timbulnya hak
dan kewajiban bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum itu. Perbuatan
hukum ini banyak sekali, misalnya membuat perjanjian, melangsungkan
pernikahan, membuat wasiat, dan lain-lain. Dalam hal ini lawan dari perbuatan
hukum adalah perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan yang melanggar hak
orang lain.
Seorang anak yang masih dibawah umur tidak dapat melakukan hukum
sendiri tanpa bantuan orang tuanya. Di lain pihak orang tua mempunyai kewajiban
mewakili anaknya baik di dalam maupun di luar pengadilan, meliputi juga
penguasaan terhadap harta anak dengan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan
tertentu. Hal ini telah menjadi ruang lingkup kekuasaan orang tua terhadap
anaknya, bahwa kekuasaan orang tua yang besar terhadap anaknya tidak akan
merugikan anak itu sendiri.
Orangtua adalah orang pertama yang bertanggung jawab untuk memenuhi
hak-hak anak keturunan mereka. Namun, tidak jarang tugas seperti itu menjadi
terputus, baik atas kehendak suami-isteri maupun di luar kehendak mereka
berdua. Walaupun sebenarnya tujuan perkawinan menurut Islam adalah
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah serta kekal 1. Namun
1
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Hecca Publishing bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 163.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
2
demikian tidak selalu tujuan ini dapat dicapai. Ada juga perkawinan yang kandas
di tengah jalan dan berakhir dengan perceraian. Suatu perceraian, khusus pada
cerai hidup, meskipun barangkali bisa melegakan hati dua belah pihak, tetapi
sudah pasti merupakan pengalaman yang pahit bagi sang anak. Jika pihak-pihak
yang bertanggung jawab terhadap anak itu tidak peduli, maka akan terbuka
peluang bagi perkembangan anak yang tidak terarah, menghadapi masa depan
yang tidak cerah. Selain berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak,
perceraian yang terjadi antara suami isteri dapat juga menyebabkan kesulitan
dalam menentukan kepada siapa si anak harus diserahkan, serta siapa-siapa yang
harus membiayai keperluan si anak. Hal lain yang menjadi permasalahan adalah
berkaitan dengan pendidikan dan penyelenggaraan segala aspek yang diperlukan
anak. Persoalan tersebut tidak akan timbul pada saat suami isteri masih dalam satu
ikatan perkawinan, dan dalam kehidupan rumah tangga yang harmonis (rahmah),
sebab biasanya hal-hak mengenai pemeliharaan, pendidikan serta biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tua, oleh
karena itu perceraian menimbulkan persoalan baru yang tidak ada sebelumnya.
Dalam hukum Islam, segala kemungkinan negatif itu secara teoritis telah
diantisipasi, dengan menetapkan aturan-aturan, siapa yang seharusnya
mengasuh dan mendidik anak bila terjadi perceraian, baik cerai hidup
maupun cerai mati, dan apa persyaratan pada diri seseorang yang dianggap
cakap untuk melakukan tugas ini. Aturan-aturan itu dibuat secara ketat,
karena tanpa itu hak-hak anak menjadi terabaikan2.
Segala akibat hukum putusnya hubungan perkawinan karena perceraian,
di antaranya yaitu akibat terhadap pemeliharaan serta biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak sudah diatur dalam Hukum Islam ataupun Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Kewajiban merawat, mengasuh, mendidik, melindungi dan memberi
nafkah anak dibebankan pada ibu dan bapaknya, baik ketika masih terikat dalam
tali perkawinan maupun setelah terjadinya perceraian.
2
Satria Effendi M. Zein, Problema Hukum Keluarga Islam Kontempore (Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.215216.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
3
Dalam Islam, walaupun perkawinan putus, kewajiban orangtua terhadap
anak tidak putus. Mengenai pemeliharaan anak lebih utama terhadap
ibunya bagi anak yang belum mumayyiz, demikian seterusnya. Dan ayah
anak itu berkewajiban memberikan nafkah.3
Sedangkan, di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, peraturan tentang kekuasaan orang tua terdapat pada Pasal 47, 48,
dan 49. Dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili
anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan
[Pasal 47 ayat (1) Undang-undang No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan]. Orang
tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya (Pasal 48 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan).
Jika dilihat dari ruang lingkup kekuasaan seperti yang disebutkan di atas,
dapat dilihat bahwa orang tua dalam kedudukannya sebagai orang yang telah
melahirkan anak ke dunia mempunyai kekuasaan yang terbatas kepada anaknya.
Hal ini ditentukan oleh ketentuan Pasal 49 di atas yang melarang orang tua untuk
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki
anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan
perkawinan,
kecuali
apabila
kepentingan
anak
itu
menghendakinya. Jadi dalam hal ini, undang-undang meletakkan kepentingan
anak di atas segalanya. Adapun yang dimaksud dengan kepentingan anak di sini
misalnya si anak mempunyai
penyakit parah, sedangkan orangtua tidak
mempunyai biaya untuk mengobati anak tersebut. Dalam keadaan hal ini maka
orang tua diperbolehkan untuk menjual harta si anak, baik benda tetap maupun
benda bergerak.
3
Djubaedah, Lubis, dan Prihatini, op. cit., hlm. 169-170
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
4
Anak yang masih memiliki kedua orang tua dan kedua orang tuanya
mampu secara lahiriah hingga anak tersebut mampu melakukan perbuatan hukum
sendiri, maka hal itu tidak akan menjadi suatu masalah. Namun ada pula anak
yang masih di bawah umur telah kehilangan kedua orang tuanya karena
perceraian, kemudian ayah atau ibunya tidak mampu melakukan hadanah
dikarenakan satu dua hal, maka akan ada pihak lain yang dapat dijadikan sebagai
wali dari anak tersebut, atau bagi yang tidak memiliki kedua orang karena kedua
orang tuanya telah meninggal ataupun masih mempunyai kedua orang tua namun
orang tuanya tidak mampu dalam melakukan perbuatan hukum, maka anak itu
dapat diletakkan dalam perwalian 4.
Begitu juga dalam Hukum Islam, Hadanah yang dimaksud adalah
kewajiban orangtua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan
dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak5.
Hadanah atau pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung
jawab orangtua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta
mencukupi kebutuhan hidup untuk anak-anaknya. Tangung jawab pemeliharaan
berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut
mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri
sendiri.6
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orangtua
untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak
tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup
yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan
pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya di tengahtengah masyarakat sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia
lepas dari tangung jawab orangtua.7
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 151
5
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 235.
6
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm.
7
Ibid., hlm. 205-206.
204
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
5
Di dalam surat Luqman 12-19, setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan
yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya seperti berikut ini:
1) Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT.
2) Tidak mensyarikatkan Allah SWT dengan sesuatu yang lain
3) Berbuat baik kepada orangtua, sebagai bukti kesyukuran anak
4) Memperlakukan orangtua secara baik-baik (ma’ruf)
5) Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari
Allah SWT
6) Menaati perintah Allah SWT, seperti shalat, amar ma’ruf dan nahi
munkar, serta sabar dalam menghadapi cobaan.
7) Tidak sombong dan angkuh
8) Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata.8
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadanah. Pengertian
Hadanah dalam Ensiklopedi Hukum Islam ”al-hadanah artinya di samping atau
berada di bawah ketiak”9 atau bisa juga berarti ”meletakkan sesuatu dekat tulang
rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan”10.
Maksudnya adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau
yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan
keperluannya diri sendiri.
Secara terminologi hadanah menurut Zahabi adalah melayani anak kecil
untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang
berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup
melakukannya sendiri. 11
8
Rafiq, op. cit., hlm. 240-244.
9
Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1999), Hlm. 415, dan Ibnu Manssur. Lisan al-Araby. (Mesir: Dar al-Ma’arif, tth), hlm.
911, dan Abu Yahya Zakaria Anshari. Fathul Wahab. (Beirut: Dar al-Kutub, 1987). Juz II hlm.
212.
10
Zein, op. cit., hlm. 166.
11
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Hukum
Islam, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 114, dikutip dari Muhammad Husain Zahabi.
Al-Syari’ah al-Islamiyah: Dirasah Muqaranah baina Mazahib Ahl Sunnah wa al-Mazahab alJa’fariyah. (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, tth), hlm. 398.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
6
Hadanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik
orang yang belum mumayyiz atau orang yang belum dewasa tetapi kehilangan akal
(kecerdasan berpikir)-nya. Munculnya persoalan hadanah tersebut adakalanya
disebabkan oleh perceraian atau karena salah satu atau kedua orang tuanya
meninggal dunia dimana anak belum dewasa dan tidak mampu mengurus diri
mereka, karenanya diperlukan adanya orang-orang yang bertanggung jawab untuk
merawat dan mendidik tersebut. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa
kewenangan seperti itu lebih tepat dimiliki kaum wanita, karena naluri kewanitaan
mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta kesabaran mereka
dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding
kesabaran seorang laki-laki12. Selanjutnya, dikatakan apabila anak tersebut telah
mencapai usia tertentu, maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih
mampu untuk merawat, mendidik dan menghadapi berbagai persoalan anak
tersebut sebagai pelindung13.
Menurut pendapat para ulama (ahli fikih), mereka sepakat menyatakan
bahwa hukum merawat dan mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak
yang masih kecil, belum mumayyiz, tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka
akan berakibat buruk bagi diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada kehilangan
nyawa mereka. Oleh sebab itu, mereka wajib dipelihara, dirawat, dan dididik
dengan baik.
Firman Allah:
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan
kewajiban ayah mereka memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesangupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
12
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Hukum
Islam, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 116, dikutip dari Al-Kasani, Badai’ alShanai’, (Mesir: Maktabah al-Ilmiyah, tth), Juz. VII, hlm. 234.
13
Ibid.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
7
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah:
233).14
Untuk memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan
kesabaran, kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak
dibolehkan mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka; bahkan
Rasulullah SAW sangat mengecam orang-orang yang merasa bosan dan kecewa
dengan tingkah laku anak-anak mereka.
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas dan Abu Musa al-Asy’ari
dikatakan : ”Bahwa Aus bin Ubadah al-Ansari mendatangi Nabi SAW lalu
ia berkata : ’Ya Rasulullah, saya memiliki beberapa anak perempuan dan
saya mendoakan agar maut menemui mereka.’ Rasulullah SAW berkata:
”Wahai Ibnu Sa’idah (panggilan bagi Aus) jangan kamu berdoa seperti
itu, karena anak-anak itu akan membawa berkat, mereka akan membantu
apabila terjadi musibah, dan mereka merupakan obat di waktu sakit, dan
rezeki mereka datang dari Allah” (HR. Muslim dan Abu Dawwud).15
Di dalam sebuah hadits Rasululah dinyatakan, hak seorang anak atas
orangtuanya, adalah mengajarinya menulis, berenang, memanah dan tidak
memberikannya rezeki kecuali rezeki yang baik/tayyib (H.R. Baihaqi)16, selain itu
hak seorang anak atas orangtuanya, hendaknya ia memberi nama yang baik dan
mengajarinya sopan santun17. Proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan
berjalan dengan baik, jika kedua orangtua saling bekerja sama dan saling
membantu. Tentu saja hal ini dapat dilakukan dengan baik jika keluarga tersebut
benar-benar keluarga yang sakinah dan mawaddah.
Masalahnya adalah bagaimana pemeliharaan anak jika terjadi perceraian.
Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi
kepentingan si anak. Jika terjadi perselisihan antara suami dan isteri mengenai
14
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya Dengan Transliterasi ArabLatin. Bandung : CV. Gema Risalah Press, 1993.
15
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Hukum
Islam, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 116.
16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm. 65.
17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Iritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/Tahun 1974 sampai KHI), hlm. 295.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
8
penguasaan anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah
keluarga ataupun dengan keputusan pengadilan.
Di dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud
ada peristiwa, seorang wanita menghadap Rasullah dan berkata,
Ya Rasullah bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumannya.
Bapaknya hendak mengambilnya dariku, maka bersabdalah Rasullah,
engkau lebih berhak untuk memelihara anak itu, selama engkau belum
menikah dengan lelaki lain. (HR. Ahmad bin Hanbal, at-Tarmidzi, dan alHakim).18
Bahkan dalam hadis yang lain, Rasulullah mengancam orang yang
memisahkan anak dari ibunya. Rasulullah bersabda: ”Barangsiapa yang
memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan
orang itu dengan kekasihnya di hari kiamat”. (HR. Ahmad dan Tarmidzi).19
Dengan teks-teks suci dalam hal pemeliharaan anak jika terjadi perceraian
antara kedua orangtuanya, menetapkan untuk pemeliharaan anak pada pihak ibu
selama si anak belum balig dan ibu belum menikah dengan lelaki lain. Alasannya
bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq, ”Ibu lebih cenderung (sabar)
kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih
penyayang. Ia berhak atas anaknya.”20
Dengan demikian jelaslah jika terjadi perceraian, maka yang berhak
memelihara anak yang belum mumayyiz tersebut adalah dari pihak isteri,
alasannya seperti yang telah diungkap dalam pernyataan Abu Bakar meminjam
ungkapan Masdar F Mas’udi dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, sebagai ibu ikatan batin dan kasih sayang dengan anak cenderung
selalu melebihi kasih sayang sang ayah. Kedua, derita keterpisahan
seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita
keterpisahan seorang ayah. Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang
lazimnya dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas
anak secara lebih sehat.21
18
Zein, op. cit., hlm. 212.
19
Ibid., hlm. 170.
20
Nuruddin dan Tarigan, op. cit., hlm. 257.
21
Masdar Farid Mas’udi. Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih Pemberdayaan,
(Bandung:Mizan, 1997), hlm 151-152.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
9
Senada dengan penjelasan Masdar, menurut Muhammad Baqir al-Habsyi,
sebab-sebab ibu lebih berhak adalah, karena ibu lebih memiliki
kemampuan untuk mendidik dan merawat serta memerhatikan segala
keperluan anak yang masih dibawah umur atau yang belum dewasa, dan
juga karena ibu lebih sabar, teliti jika dibandingkan dengan ayahnya. Di
samping itu biasanya ibu lebih mempunyai waktu luang lebih banyak
dalam melaksanakan tugasnya tersebut jika dibandingkan dengan ayah
yang lebih banyak kesibukannya.22
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan
orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisik, maupun dalam
pembentukan akhlaknya, seseorang yang melakukan tugas hadanah mendapat
perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di atas pundak kedua orang tuanyalah
terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana kedua orang tuanya
tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syaratsyarat yang diperlukan menurut pandangan Islam, maka hendaklah dicarikan
pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya. Untuk kepentingan seorang anak,
sikap peduli dari kedua orang tua terhadap masalah hadanah memang sangat
diperlukan. Jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh tidak
terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang paling
diharapkan adalah keterpaduan kerja sama antara ayah dan ibu dalam melakukan
tugas ini. Jalinan kerja sama antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama
kedua orang tua itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana
demikian, kendatipun tugas hadanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak
dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan, baik
dalam memenuhi segala kebutuhan yang memperlancar tugas hadanah, maupun
dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga di mana anak diasuh dan
dibesarkan.
Harapan di atas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara
ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apapun alasannya merupakan
malapetaka bagi anak. Di saat itu si anak tidak tidak lagi dapat merasakan nikmat
kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang
22
Muhammad Baqir Al-Habsyi. Fikih Praktis Menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2002), hlm 237.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
10
kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.
Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada
terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya menurut ajaran agama Islam
perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam sebuah hadits diingatkan,
bahwa ”sesuatu yang halal (dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah ialah
perceraian.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).23
Untuk menghindarkan hal itu pula mengapa agama Islam menganjurkan
agar lebih hati-hati dalam memilih jodoh, dengan memperhatikan faktor-faktor
pendukung untuk lestarinya hubungan suami istri, dan sebaliknya. Memang diakui
tidak tertutup kemungkinan adanya perceraian kendatipun dari semula calon
suami istri sudah hati-hati menjatuhkan pilihan. Namun, adanya faktor
ketidakhati-hatian memperlebar kemungkinan tersebut.
Kelalaian dalam memperhitungkan faktor-faktor dimaksud akan berakibat
hubungan suami istri menjadi rapuh, yang pada gilirannya peristiwa perceraian
tidak dapat dihindarkan. Bilamana terjadi perceraian, maka khusus bagi pasangan
yang telah mempunyai cahaya hati dan masih kecil, timbul permasalahan,
siapakah diantara kedua orang tua yang lebih berhak terhadap anak, yang
selanjutnya melakukan tugas hadanah.
Namun yang menjadi permasalahan kemudian, bagaimana jika dalam
perceraian tersebut sang ayah ternyata tidak bertanggung jawab atau tidak
diketahui keberadaanya (ghoib) dan kemudian sang ibu ternyata juga tidak
mampu secara lahir dalam melakukan hadhanah, atau karena kedua orangtuanya
meninggal dunia. Kemudian, jika ternyata bukan hanya mengenai hadhonah saja
yang menjadi masalah akibat perceraian, namun perceraian tersebut bisa saja
mengakibatkan adanya perwalian terhadap anak. Dari hal tersebut maka, penulis
berusaha untuk melakukan kajian terhadap hal tersebut. Penelitian ini dirasakan
perlu dilakukan, sebab masalah ini pun banyak terjadi dalam masyarakat.
1.2. Pokok Permasalahan
1.
Bagaimana Al-Quran dan Hadits mengatur tentang perwalian bagi anak
yang tidak mendapatkan hadhanah dari orangtuanya yang bercerai?
23
Zein, op. cit., hlm. 167.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
11
2.
Apakah ketentuan Al-Quran dan Hadits tentang Perwalian bagi anak
sudah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam?
3.
Apakah
Putusan
Pengadilan
Agama
(Jakarta
Timur
Nomor
258/Pdt.G/2008/PA.JT dan Nomor 02/Pdt.P/2007/PA.JT) telah sesuai
dengan ketentuan Al-Quran, UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam?
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Perceraian yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar kita selain
mengakibatkan putusnya perkawinan, juga mengakibatkan dampak
lainnya yaitu misalnya mengenai masalah pengasuhan anak, atau juga
mengenai perwalian terhadap anak-anaknya, dengan demikian
diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat diketahui hal-hal apa
saja yang bisa terjadi setelah perceraian tersebut, dan bagaimana
peraturan yang mengaturnya.
1.3.2. Tujuan Khusus
• Mengetahui peraturan
tentang perwalian bagi anak yang tidak
mendapatkan hadhanah dari orangtuanya yang bercerai menurut
Al-Quran dan Hadits.
• Menguraikan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tentang perwalian anak di bawah umur.
• Menganalisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
258/Pdt.G/2008/PA.JT dan Nomor 02/Pdt.P/2007/PA.JT menurut
Al-Quran dan Hadits jo UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam berkaitan dengan perwalian anak di bawah umur.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
12
1.4. Kerangka Konsepsional
a. Perwalian
Kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak
yang tidak mempunyai kedua orangtua, atau kedua orangtua atau orangtua
yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.24
Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab derivativ dari kata dasar,
waliya, wilâyah atau walâyah. Kata wilâyah atau walâyah25 mempunyai
makna etimologis lebih dari satu, di antaranya dengan makna, pertolongan,
cinta (mahabbah), kekuasaan atau kemampuan (al-sulthah) yang artiya
kepimpinan seseorang atau terhadap sesuatu26.
Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat dipahami bahwa
perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas
dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas
ketidakmampuan
seseorang
dalam
melakukan
perbuatan-perbuatan
hukum, baik yang berhubungan dengan harta maupun dengan diriya.
b. Wali
Pelindung, penolong, atau penguasa27. Dalam literatur-literatur fikih klasik
dan kontemporer kata al- wilâyah digunakan sebagai wewenang seseorang
untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap
bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan
orang
yang
belum
cakap
bertindak
hukum.
Ulama
fikih
lain
mendefinisikan wilâyah dengan : ”Wewenang seseorang untuk bertindak
24
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. 4, (Jakarta: Akamedika Pressindo, 2004),
hlm. 113.
25
Kata al- walâyah dengan baris fathah merupakan pecahan dari masdar, sedang alwilâyah dengan baris kasrah merupakan pecahan isim. Alam dan Fauzan, op.cit., hlm. 151, dikutip
dari Ahmad al-Hasri, Al-Walâyah al-Washaya al-Thalaq fi al-Fiqh al-Islamy li al- Sykhsiyyah,
(Beirut: Dar al-Jail, tth.), hlm. 1
26
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 151, dikutip dari Ibn Mauzur. Lisan al-Araby. (Mesir:
Dar al-Ma’syirah, tth). Jilid 20, hlm., 287.
27
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, dan Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqih, Cet. 3,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 416.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
13
hukum atas orang yang tidak cakap bertindak hukum, baik untuk
kepentingan pribadinya maupun untuk kepentingan hartanya, yang
diijinkan oleh syara’. Orang yang membantu mengelola harta dan
mengayomi orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum dalam
fikih Islam disebut wali.
c. Hadanah
Pemeliharaan
anak
atau
hadhonah
adalah
”kegiatan
mengasuh,
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri
sendiri”(KHI Psl 1 huruh g). Secara etomologi kata hadhânah berarti ”aljanb” yang berarti di samping atau berada di bawah ketiak”
28
atau bisa
juga berarti ”meletakan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong,
atau meletakan sesuatu dalam pangkuan”29. Maksudnya adalah merawat
dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau kehilangan
kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri
sendiri.
Secara terminologi, menurut Zahabi, adalah melayani anak kecil untuk
mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak
mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya
sendiri30
Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik
orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan
akal (kecerdasan berpikir)- nya.
d. Perkawinan
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau misaqan galizan untuk menuruti perintah Allah dan
28
Ibnu Manzhur, Lisan al-Araby, (Mesir: Dar al-Maarif, tth.), hlm. 911 dan Abu Yahya
Zakaria Anshari, Fathul Wahab, (Beirut: Dar al-Kutub, 1987), Juz II, hlm. 212, dan Syaikh Hasan
Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 391.
29
Zein, op. cit.
30
Zahabi, op. cit
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
Download