BAB II

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. PERILAKU PROSOSIAL
Pada hati manusia terdapat cinta, baik cinta kepada dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Salah satu bentuk cinta terhadap orang lain adalah
dengan memberikan pertolongan kepada orang tersebut (Nashori, 2008).
Istilah menolong erat kaitannya dengan istilah altruisme dan perilaku
prososial. Bierhoff (2002) membedakan tiap istilah tersebut dan
mendefiniskan masing-masing dari istilah tersebut, yaitu :
a.
Menolong adalah istilah yang paling luas, termasuk kepada semua
bentuk dari hubungan yang membantu.
b.
Perilaku prososial, mempunyai arti yang lebih dangkal yaitu sebuah
tindakan yang berniat untuk meningkatkan kondisi orang yang
menerima pertolongan. Pemberi pertolongan tidak dimotivasi oleh
tuntutan dari profesinya dan yang menerima pertolongan adalah harus
orang bukan sebuah organisasi.
c.
Altruisme, istilah ini mengacu kepada perilaku prososial yang
didalamnya tidak ada paksaan, motif dari pemberi pertolongan adalah
karena sukarela dan empati.
Berdasarkan kepada pengertian dari Bierhoff tersebut, maka menolong
mempunyai makna yang lebih luas, dibandingkan dengan prososial
13
14
dan altruisme. Bila dibuat kedalam gambar, maka hubungan dari
ketiga istilah tersebut adalah sebagai berikut :
Helping
behaviour
Prosocial
behaviour
altruism
Gambar 2.1 Hubungan dari Menolong, Prososial, dan Altruisme
(Bierhoff, 2002)
1. Pengertian Perilaku Prososial
Menurut Batson (Taylor et.al, 2009) perilaku prososial merupakan
kategori yang luas, yang mana didalamnya mencakup setiap tindakan
membantu orang lain, terlepas dari motif orang yang memberikan bantuan
tersebut. Perilaku prososial mempunyai cakupan yang lebih luas apabila
dibandingkan dengan altruisme (Nashori, 2008).
Menurut Eisenberg (Saripah, 2007) perilaku prososial adalah
tingkah laku seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik
penerima sedemikian rupa, sehingga penolong akan merasa bahwa
penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun
psikologis.
Tingkah laku prososial menurut Baron dan Byrne (2005) adalah
suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus
15
menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan
tindakan tersebut, dan mungkin mengandung suatu resiko bagi orang yang
menolongnya tersebut. Perilaku prososial bisa menjadi perilaku altruisme
ataupun tidak altruisme (Taylor et.al, 2009).
2. Perbedaan Prososial dengan Altruisme
Altruisme menurut Baron dan Byrne (2005) yaitu tingkah laku
yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingan diri sendiri
demi kebaikan orang lain. Altruisme ini juga merupakan kebalikan dari
sifat egois yang hanya mementingkan diri sendiri, sehingga dalam
menolong lebih mengutamakan kepentingan orang lain (Myers dalam
Sarwono 1999).
Banyak perilaku prososial yang bukan altruisme (Taylor et.al,
2009), tetapi perilaku altruisme merupakan perilaku prososial. Menurut
Sears (Nashori, 2008) tindakan altruisme tak mengharapkan apapun
kecuali untuk kebaikan saja. Pelajaran tentang altruisme dalam Al Quran
berdasarkan kepada kisah antara kaum Anshar yang menolong kaum
Muhajirin ketika hijrah. Kisah tersebut diabadikan dalam surat Al Hasyr
(59) : 9 “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah
dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak
menaruh keinginan dalam hati mereka (Anshar) terhadap apa-apa yang
diberikan kepada yang lain (Muhajirin), dan mereka mengutamakan
16
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan”. Menurut Nashori (2008) kata tidak menaruh keinginan
dalam hati mereka diartikan sebagai keikhlasan dalam menolong, tanpa
ada motif yang lain selain karena Allah. Menurut Bierhoff (2002)
Perbedaan antara prososial dengan altruisme adalah pada motif.
3. Perspektif Perilaku Prososial
Ada lima perspektif yang digunakan dalam memandang perilaku
prososial untuk mengetahui apa yang menjadi alasan, mengapa seseorang
berperilaku prososial terhadap orang lain (Taylor et.al, 2009). Kelima
perspektif tersebut adalah :
a. Perspektif Evolusi
Pendekatan perspektif evolusi dimulai dengan penelitian pada
beberapa species hewan, dimana mereka saling membantu untuk bisa
mempertahankan keberlangsungan hidup diri dan kelompoknya. Bila
dikaitkan
dengan
manusia maka pada pendekatan
ini
lebih
menekankan kepada kecenderungan bahwa perilaku prososial itu
adalah sebagai turunan atau warisan gen dari kedua orang tuanya.
Seperti pada kasus beberapa species hewan yang saling menolong,
alasan mengapa species hewan tersebut masih ada, dan tidak punah
adalah karena hewan tersebut, saling menolong satu sama lain
sehingga spesiesnya tetap terjaga. Hal ini karena sikap prososial itu
terus terwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Maka alasan
17
mengapa seseorang berperilaku prososial adalah karena dia mewarisi
gen prososial dari orang tuanya, sehingga dia berperilaku seperti itu.
Menurut Sarwono (1999) inti dari perspektif evolusi, adalah
untuk mempertahankan jenis spesiesnya dalam proses evolusi. Ada
tiga hal yang disoroti dalam perspektif ini ketika seseorang menolong,
yaitu :
1) Perlindungan kerabat (kin protection), yaitu kecenderungan orang
untuk menolong seseorang yang masih mempunyai ikatan darah
atau kekerabatan.
2) Timbal balik biologik (biological reciprocity). Prinsip timbal balik
disini adalah dalam bentuk pertolongan, seseorang akan menolong
untuk memperoleh kembali pertolongan dari orang lain. Hal
tersebut dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
3) Orientasi
seksual,
penelitian
ini
dilakukan
kepada
kaum
homoseksual. Kecenderungan mereka untuk menolong sangat
tinggi, bila dibandingkan kaum heteroseksual, karena mereka
menjadi kaum yang minoritas, sehingga mereka berperilaku
prososial agar bisa mempertahankan jenisnya.
b. Perspektif Sosiokultural
Kemunculan
perspektif
sosiokultural
ini,
lahir
untuk
menjelaskan perilaku prososial yang muncul kepada orang lain yang
tidak memiliki hubungan darah. Menurut Campell (Taylor et.al, 2009)
masyarakat
manusia
perlahan-lahan
dan
secara
selektif
18
mengembangkan keterampilan dan keyakinan yang meningkatkan
kesejahteraan
kelompok,
karena
perilaku
prososial
umumnya
bermanfaat bagi masyarakat, maka ia menjadi bagian dari aturan atau
norma sosial. Pada budaya tertentu perilaku prososial sangat
ditekankan kepada masyarakat yang berada didalamnya (Syafriman,
2007).
Pada perspektif sosiokultural, keharusan menolong adalah
karena adanya norma-norma dalam masyarakat (Sarwono, 1999). Ada
tiga norma sosial dasar yang lazim dalam masyarakat, yaitu :
1) Norm of social responsibility (norma tanggung jawab sosial),
norma ini menyatakan bahwa kita harus membantu orang lain yang
bergantung kepada kita. Misalnya, orang tua membantu anaknya,
guru membantu muridnya.
2) Norm of reciprocity (norma resiprositas), norma ini menyatakan
bahwa kita harus membantu orang lain yang pernah membantu
kita.
3) Norm of social justice (norma keadilan sosial), norma ini
menyatakan bahwa dalam setiap hubungan personal harus tercipta
keadaan adil yang merata pada setiap orang, sehingga untuk
menciptakan hal tersebut orang akan saling menolong.
c. Perspektif Belajar
Menurut Batson (Taylor et.al, 2009) perspektif belajar
menekankan pentingnya proses belajar untuk membantu orang. Hal ini
19
dimulai ketika anak-anak, dimana saat itu anak diajari untuk saling
berbagi dan menolong. Ketika seorang anak memberikan bantuan
maka akan diberikan reinforcement.
Pada perspektif ini alasan seseorang menolong adalah karena
dibiasakan oleh masyarakatnya untuk menolong, dan juga masyarakat
tersebut menyediakan ganjaran yang positif atas perbuatan tersebut
(Macy dalam Sarwono, 1999). Studi tentang perspektif belajar ini,
menegaskan tentang peranan modeling berperan dalam membantu
perilaku prososial. Menurut Taylor et.al (2009) reinforcement dan
modeling sangat berperan penting dalam membentuk perilaku
prososial.
d. Perspektif Pengambilan Keputusan
Menurut Latene dan Darley (Taylor et.al, 2009), perspektif ini
muncul karena didasari karena adanya keputusan seseorang untuk
memberikan pertolongan. Berdasarkan kepada perspektif ini, setiap
pertolongan yang diberikan akan berproses melalui beberapa tahapan.
Apabila gagal pada salah satu tahapan maka pertolongan itu pun tidak
akan diberikan. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang
yang akan menolong tersebut adalah sebagai berikut (Latene dan
Darley dalam Taylor et.al, 2009) :
1) Melihat kebutuhan
Pada tahap ini seseorang melihat situasi dan mulai
menyadari apakah bantuan perlu diberikan ataukah tidak perlu.
20
Apabila calon penolong tersebut merasakan perlu diberikan
bantuan maka akan berlanjut kepada tahapan selanjutnya, tetapi
bila merasa tak perlu maka tak akan terjadi pertolongan itu.
2) Melaksanakan tanggung jawab sosial
Ketika pada tahap pertama keputusannya adalah perlu
memberikan
pertolongan
maka
orang
tersebut
akan
memperhitungkan tanggung jawabnya dalam keadaan tersebut, bila
itu merupakan tanggung jawabnya maka dia akan memberikan
pertolongan dan bila tidak maka dia tidak akan membantu.
3) Menimbang untung rugi
Setelah diputuskan bahwa menolong adalah tanggung
jawabnya, selanjutnya orang yang akan memberikan pertolongan
mulai menimbang-nimbang tentang untung rugi yang akan
diperolehnya jika dia memberikan pertolongan. Seseorang akan
bertindak prososial jika dia menganggap keuntungan dari
membantu melebihi keuntungan dari tidak membantu.
4) Memutuskan cara membantu
Langkah terakhir dalam proses ini adalah menentukan cara
untuk memberikan pertolongan. Penolong yang berniat baik tidak
selalu bisa memberi pertolongan atau mungkin salah dalam
mengambil tindakan.
Tahapan pengambilan keputusan tersebut digambarkan dalam
bagan berikut ini
21
Melihat kebutuhan :
Apakah perlu pertolongan
Tidak :
Tidak ada masalah
Mengambil tanggung jawab personal :
Apakah bertanggung jawab atau tidak?
Tidak :
Bukan tanggung
jawabnya
Mempertimbangkan untung rugi:
Apakah dengan menolong akan
menguntungkan
Tidak :
Berbahaya dan tidak
menguntungkan
Memutuskan cara menolong :
Cara apa yang harus dilakukan
Tidak :
Tidak tahu cara
menolong
Bantuan diberikan
Gambar 2.2 tahapan perilaku prososial
(Latene dan Darley dalam Taylor et.al, 2009)
e. Perspektif Teori Atribusi
Pada perspektif ini menjelaskan bahwa keyakinan kepantasan
seseorang permasalahan akan sangat menentukan orang dalam
memberikan pertolongan. Calon penolong akan merasa bersimpati
kepada orang yang menderita karena bukan kesalahannya sendiri, atau
berada diluar kontrolnya. Atribusi dalam hal ini mempengaruhi reaksi
22
emosional seseorang terhadap orang yang akan ditolongnya. Menurut
Schmidt dan Weiner (Taylor et.al, 2009) mengatribusikan kesulitan
seseorang dengan sebab-sebab yang dapat dikontrol mungkin
menimbulkan kejengkelan, penghindaran atau pengabaian, sebaliknya
mengatribusikan kesulitan seseorang dengan sebab yang tak dapat
dikontrol akan menimbulkan simpati dan membuat kita bersedia
menolong.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Beberapa hal yang mempengaruhi seseorang dalam menolong
orang lain adalah sebagai berikut :
a. Mood
Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang bersedia
menolong apabila mereka sedang dalam keadaan good mood. Seorang
yang sedang dalam kondisi baik, lebih mudah memberikan pertolongan
kepada orang lain (Pines dan Maslach, 2002). Beberapa hal yang
mempengaruhi good mood sehingga bersedia menolong diantaranya
seperti, menemukan uang (Isen dan Simmonds), mendapatkan hadiah
(Isen dan Levin), atau pun setelah mendengarkan musik yang
menyenangkan (Fried dan Berkowistz). Kesimpulan sementaranya
adalah bahwa perasaan positif akan menaikkan kesediaan untuk
bertindak secara prososial. Hasil penelitian berbeda diungkapkan oleh
23
Williamson dan Clark yang mengatakan kalau dengan menolong akan
memberikan mood yang positif (Taylor et.al, 2009).
b. Karakteristik personal atau trait
Menurut Guagano dalam Sarwono (1999) seseorang bersikap
prososial adalah karena adanya sifat menolong (agentic disposition)
yang sudah tertanam dalam kepribadian orang tersebut, sehingga sifat
ini sangat menentukan seseorang dalam bertindak. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Dinnia (2006) kepada siswa mu’alimin mengungkapkan
bahwa siswa dengan tipe kepribadian ekstrovert lebih tinggi
kecenderungan dalam menolong dibandingkan siswa yang introvert.
c. Waktu
Penelitian dari Darley dan Batson (dalam Taylor et.al, 2009)
menyimpulkan bahwa orang yang mempunyai waktu luang lebih
cenderung untuk bisa memberikan pertolongan daripada orang yang
sibuk dan tergesa-gesa. Menurut Pines dan Maslach (2002) seseorang
yang tidak terburu-buru, lebih memungkinkan untuk berhenti dan
menawarkan bantuan kepada orang yang sedang memerlukan bantuan.
Seseorang yang sedang sibuk akan menurunkan kemungkinan dalam
melakukan pertolongan, karena waktunya habis untuk dirinya
(Syafriman, 2007).
24
d. Kemampuan
Seseorang yang mempunyai kemampuan, cenderung untuk
memberikan pertolongan. Apabila orang tersebut merasa tidak mampu
maka ia tidak akan memberikan pertolongan (Sarwono, 1999).
e. Agama
Menurut
Sarwono
(1999)
faktor
agama
mempengaruhi
seseorang untuk menolong. Ada nilai-nilai keagamaan yang dianut
sehingga orang tersebut mau menolong orang lain. Didalam Al Quran
sebagai sumber ajaran Islam perintah tolong menolong ada pada surat
Al Maidah ayat kedua, “dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
f. Kondisi lingkungan
Penelitian dari Cunningham (Taylor et.al, 2009) menyebutkan
bahwa orang lebih mau membantu ketika cuaca sedang cerah,
dibandingkan sedang turun hujan atau cuaca yang tidak nyaman.
Menurut
Sarwono
(1995)
perubahan
lingkungan
sekitar
bisa
mempengaruhi tingkah laku seseorang.
g.
Bystander
Kehadiran
orang
dalam
situasi
tersebut
(bystander)
mempengaruhi seseorang untuk menolong. Menurut Baron dan Byrne
(2005) semakin banyak bystander di lokasi, maka tanggung jawab
untuk menolong semakin berkurang, karena terjadi penyebaran
25
tanggung jawab. Latene dan Darley (Taylor et.al, 2009) menamai
istilah bystander effect (efek orang sekitar) untuk peristiwa yang mana
apabila di tempat perkara terdapat banyak orang tetapi tidak ada yang
mau memberikan pertolongan.
h.
Penampilan
Faktor penampilan pada diri calon penerima pertolongan
mempengaruhi orang yang memberikan pertolongan. Semakin menarik
semakin besar pula peluang pertolongan tersebut (Sarwono, 1999).
Selain penampilan yang menarik, kesamaan dalam penampilan antara
penolong dan yang ditolong juga bisa meningkatkan penolong dalam
bertindak (Sarwono, 1999).
i.
Gender
Sebuah penelitian kepada lebih dari 6300 pejalan kaki di
Boston,
Amerika
menghasilkan
bahwa
ternyata
1,6%
yang
menyumbang kepada peminta-minta jalanan, penyumbang laki-laki
lebih banyak daripada wanita (Goldberg dalam Sarwono, 1999).
Penelitian lain adalah dari Penner, Dertke & Achenbach serta Pomazal
& Clore (Sarwono, 1999) mengungkap bahwa wanita lebih banyak
ditolong daripada laki-laki, bila penolongnya laki-laki. Akan tetapi bila
penolongnya wanita sama saja, antara laki-laki dan wanita.
26
B. DARAH DAN DONOR DARAH
1. Darah
a. Pengertian Darah
Darah adalah hal yang sudah tidak asing lagi bagi manusia.
Adapun beberapa definisi tentang darah adalah :
1) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005 : 237) darah
adalah cairan yang terdiri atas plasma, sel-sel merah dan putih yang
mengalir dalam pembuluh darah manusia atau binatang.
2) Menurut Watson (2002) darah adalah cairan berwarna merah pekat,
yang membawa berbagai zat ke dan dari jaringan, pada sistem
transportasi tubuh.
b. Fungsi Darah
Peranan darah dalam tubuh begitu penting, hal itu tercermin dari
fungsi-fungsi vital yang dimain oleh dari itu sendiri, beberapa fungsi
dari darah pada tubuh manusia menurut Watson (2002) adalah :
1.
Membawa nutrien ke jaringan
2.
Membawa oksigen ke jaringan dalam bentuk oksihemoglobin
3.
Membawa air ke jaringan
4.
Membawa produk sisa ke organ yang akan mengekskresinya
5.
Melawan infeksi bakteri melalui kerja sel darah putih dan antibodi
6.
Membawa zat yang dibutuhkan kelenjar untuk menghasilkan sekret
7.
Mendistribusikan sekret dari kelenjar buntu dan enzim
27
8.
Mendistribusikan panas secara merata ke seluruh tubuh dengan
demikian mengatur suhu tubuh
9.
Menghentikan pendarahan melalui proses pembekuan
c. Sifat Darah
Darah
yang
beredar
pada
tubuh
manusia
mempunyai
karakteristik yang khas berbeda dengan hewan. Menurut Kurnadi
(2008) darah dalam keadaan normal akan selalu berada di dalam
pembuluh pembuluh (arteri, kapiler, vena). Darah lebih berat dari air.
Berat jenis darah 1,058. pH darah 7,35-7,45. Darah lebih kental dari air
dengan viskositas (kekentalan) 4,5-5,5 (viskositas air = 1). Temperatur
darah ±38° C. Darah berbau air dan sedikit terasa asin dengan
konsentrasi NaCl 0,85-0,9%.
Sifat darah semua manusia memang sama, akan tetapi volume
darah yang beredar dalam tubuh setiap orang berbeda-beda dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu berat badan, jenis kelamin (sex), kegemukan,
keadaan hidrasi tubuh, dan keadaan sistem kardiovaskuler. Namun
volume darah diperkirakan 1/12-1/13 kali (±8% dari berat badan
seseorang) (Kurnadi, 2008).
d. Komposisi Darah
Pada umumnya darah berwarna merah. Menurut Brown (1989)
warna merah dalam darah dikarenakan adanya hemoglobin yang
terkandung dalam sel darah. Selain mengandung hemoglobin, darah
28
pun memiliki bagain-bagian yang lain. Secara umum komposisi darah
terdiri atas dua komponen utama (Kurnadi, 2008) yaitu :
1. Plasma Darah
Plasma darah adalah bagian darah yang cair yang
mengandung larutan elektrolit dan protein (Bevelander dan Ramley,
1988).
Plasma
darah
didapat
dengan
cara
memutar
atau
mensentrifugal, suatu tabung yang berisi darah yang telah diberi zat
anti beku (antikoagulan), sehingga akan terpisah menjadi cairan
bagian bawah yang padat berisi sel-sel darah (45%) dan bagian atas
berupa cairan kekuningan (55%) yang disebut plasma (Kurnadi,
2008).
Komposisi utama dari plasma darah adalah air, sisanya
adalah protein dan zat-zat lain. Menurut Kurnadi (2008) jumlah dari
dalam plasma darah sekitar 91% yang berfungsi sebagai pelarut ion
dan molekul dan juga untuk mensuspensikan sel-sel darah. Sisa dari
komposisi plasma darah diisi oleh zat-zat terlarut yaitu plasma
protein (±7%) sedangkan sisanya ±2% terdiri atas nutrien, garamgaram mineral, enzim dan hormon, gas-gas, dan zat-zat organik
lainnya.
2. Sel Darah
Komposisi sel darah dalam darah lebih sedikit dari pada
plasma darah, yaitu sekitar 45% dan itu pun masih terbagi kedalam
beberapa bagian pula. Menurut Bevelander dan Ramley (1988)
29
secara struktural sel darah terdiri atas beberapa bagian, yaitu
eritrosit, leukosit, platelet atau keping darah.
a) Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah, memiliki bentuk cakram
yang bikonkaf, dengan diameter 7,7µ. Membran sel eritrosit
terdiri dari protein, phospolipid, dan cholesterol (kurnadi, 2008).
Pada eritrosit terdapat hemoglobin yang berfungsi untuk mengikat
oksigen sehingga berwarna merah.
Menurut Kurnadi (2008) fungsi dari eritrosit adalah untuk
mengangkut hemoglobin, untuk mengikat O2 dan CO2. Selain itu
juga berfungsi sebagai sistem buffer darah, karena hemoglobin
mampu mengikat H+ menjadi HHb.
b) Leukosit
Leukosit adalah sel darah putih yang berperan dalam
sistem pertahanan tubuh atau imun. Leukosit memiliki bentuk
yang khas, nukleus, sitoplasma dan organel dari leukosit bersifat
mampu bergerak pada keadaan tertentu, sehingga leukosit ini
mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam
melaksanakan fungsinya (Brown, 1989). Sifat dari leukosit ini
adalah aktif beda dengan eritrosit yang pasif.
c) Platelet.
Platelet disebut juga trombosit atau dikenal dengan nama
keping darah. Ukuran platelet ini sangat kecil, sekitar 2µ m,
30
sehingga kadang tidak dimasukkan kedalam bagian sel darah
(Bevelander dan Ramley, 1988). Bentuk dari platelet ini bulat
atau lonjong dan tidak memiliki inti. Platelet berperan dalam
proses pembekuan darah bila terluka untuk mencegah pendarahan
(Kurnadi, 2008).
e. Haemopoiesis (Pembentukan Sel Darah)
Darah yang ada pada tubuh manusia yang sehat tidak akan
habis, karena tubuh senantiasa memproduksi darah. Adapun darah yang
lama akan hancur oleh mekanisme tubuh dengan sendirinya, dan
digantikan oleh darah yang baru. Setelah beredar didalam tubuh sekitar
120 hari, maka sel darah akan mengalami lisis atau penghancuran.
Proses lisis terjadi karena metabolisme sel darah perlahan-lahan
memburuk, sehingga akhirnya hancur (Hoffbrand dan Pettit, 1996).
Maka untuk mengganti darah yang hancur tadi, tubuh akan aktif
membentuk darah, sehingga komposisi darah dalam tubuh akan tetap
terjaga baik secara kualitas ataupun kuantitasnya.
Proses
pembentukan
darah
dikenal
dengan
istilah
haemopoiesis, proses ini sudah dimulai sejak beberapa minggu
kehamilan (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Seiring makin berkembang dan
lengkapnya organ pada tubuh manusia, maka tempat pembentukan sel
darah pun berubah tempat pula. Berikut ini adalah tabel tempat
haemopoiesis, berdasarkan kepada perkembangan manusia.
31
Tabel 2.1 Tempat Haemopoiesis
(Hoffbrand dan Pettit, 1996)
Fase
Janin
Bayi
Dewasa
Tempat
0 -2 bulan - indung telur (yolk sac)
2- 7 bulan - hati, limpa
5- 9 bulan – sumsum tulang
Sumsum tulang (praktis semua tulang)
Tulang belakang, iga, sternum, tengkorak, sakrum dan
pelvis, ujung proksimal femur
Pada orang dewasa, tempat utama pembentukan sel darah
merah berada di sumsum tulang. Pada proses pembentukan tulang,
terdapat satu ruangan kosong. Kemudian ruang tersebut diinvasi oleh
mesenkima, kemudian disebut sebagai sumsum tulang, yang pada
akhirnya berfungsi sebagai pembentuk sel darah (Bevelander dan
Ramley, 1988).
Ketika seseorang kehilangan darah, maka sebenarnya dalam
jangka waktu tertentu darah yang hilang itu bisa kembali lagi, melalui
proses haemopoiesis. Akan tetapi bila kehilangan darah cukup banyak
dan membutuhkan penggantinya dalam waktu yang cepat, tubuh tidak
bisa memproduksi darah tersebut, sehingga untuk membantu proses
tersebut dilakukanlah transfusi darah dari pendonor darah.
Pendonor yang sudah mendonorkan darahnya, memang
kehilangan darahnya, akan tetapi, karena jumlah darah yang
dikeluarkannya pun sesuai dengan ukuran, maka tidak akan
mempengaruhi fungsi tubuhnya. Lambat laun darah yang telah keluar
itu pun akan tergantikan kembali.
32
f. Golongan Darah
Setiap individu yang terlahir, mempunyai golongan darah yang
berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh genetika dari orang tuanya..
Menurut Kurnadi (2008) permukaan membran sel darah merah
(eritrosit) mengandung berbagai jenis glikoprotein yang bersifat
antigen, antigen-antigen ini disebut juga aglutinogen. Sebenarnya ada
beberapa jenis golongan darah, tetapi yang penting dan sering dipakai
dalam praktek adalah sistem ABO dan Rhesus.
Menurut Watson (2002) darah individu tidak selalu bisa
dicampur secara aman dengan darah individu yang lain. Kenyataan ini
diketahui dari tranfusi darah, yang pada mulanya dapat menyembuhkan,
tetapi juga kadang-kadang membunuh pasien.
Menurut Kurnadi (2008), penggolongan darah berdasarkan
sistem ABO, mengenal 2 jenis aglutinogen yaitu aglutinogen A dan
aglutinogen B pada permukaan eritrosit. Sedangkan pada plasma darah
mengandung antibodi yang disebut aglutinin terhadap aglutinogen yang
berbeda. Sehingga bila terjadi percampuran dua darah dengan jenis
golongan darah yang berbeda darah akan menggumpal, karena masingmasing aglutinin bereaksi mengumpalkan sel darah satu sama lain.
Berikut ini adalah tabel tentang aglutinogen dan aglutinin masingmasing golongan darah.
33
Tabel 2.2 aglutinogen dan aglutini pada setiap golongan darah
(Kurnadi, 2008)
Golongan darah
Aglutinogen (eritrosit)
Aglutinin (plasma)
A
B
O
AB
A
B
A+B
β
α
α+β
-
Pada saat donor darah akan selalu diperiksa terlebih dahulu
golongan darah, untuk menentukan termasuk kepada golongan darah
mana,
agar
ketika
ditransfusikan
darah
tersebut
tidak
akan
menggumpal, sehingga bisa menyebabkan kematian pada resipien yang
menerima darah tersebut, karena berbeda golongan darah.
2. Donor darah
a. Pengertian Donor Darah dan Transfusi Darah
Istilah donor darah berkaitan erat dengan istilah transfusi, agar
tidak tertukar maka perlu diketahui apa definisi dari tiap istilah tersebut.
Definis donor darah adalah :
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 274) Donor darah
adalah penderma darah (yang menyumbangkan darahnya untuk
menolong orang lain yang memerlukan).
Adapun definisi tranfusi darah adalah :
1. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005 : 1209) transfusi
darah pemindahan atau pemasukan darah dan sebaginya kepada
orang yang memerlukan ; untuk menolong penderita yang
34
mengalami pendarahan, cara yang paling baik adalah dengan
memberikan darah.
2. Menurut Hoffbrand dan Pettit (1996) transfusi darah adalah
pemberian infus seluruh darah atau suatu komponen darah dari satu
individu (donor) ke individu lain (resipien).
Antara donor dan transfusi darah memang berkaitan, akan tetapi
keduanya berbeda. Tranfusi darah adalah tindak lanjut dari donor darah.
b. Manfaat Donor Darah
Donor darah berarti secara sederhana adalah memberikan darah
yang ada pada tubuh kita kepada orang lain yang membutuhkan. Maka
sebagian besar manfaat itu akan dirasakan oleh penerima darah tersebut.
Sebenarnya bagi pendonor pun ada beberapa manfaat yang bisa
diperoleh ketika melakukan donor darah, beberapa manfaat tersebut,
diantaranya adalah :
1) Donor darah mempercepat proses penggantian sel-sel darah.
Sehingga tubuh kita bisa menjadi lebih sehat, karena darah hanya
mampu bertahan kurang lebih selama 100 hari (Elfazia, 2009).
2) Donor darah dapat mengurangi kandungan besi yang berlebihan
dalam darah, sehingga bisa menghindari tubuh dari penyakit jantung
atau penyakit lainnya yang terjadi karena penumpukan zat besi
dalam organ (Paskah, 2008)
3) Mendapat
pemeriksaan
kesehatan,
untuk
mengetahui
dan
mendeteksi apabila ada penyakit, karena ketika melakukan donor
35
darah, terlebih dahulu akan ada pemeriksaan khusus (Tensi dan cek
Hb ) selain itu juga PMI akan mengirim surat pemberitahuan bila
darah kita mengandung penyakit yang dapat ditularkan kepada
penerima darah (Anindita, 2009) sehingga kita bisa mengetahui
kondisi tubuh kita.
4) Bagi pendonor yang belum mengetahui golongan darahnya sendiri,
maka dengan donor darah dapat mengetahui jenis golongan
darahnya (Wartamedika, 2008).
C. PERILAKU PROSOSIAL PADA PENDONOR DARAH
Piliavin dan Callero (Taylor (2009), melakukan penelitian terhadap
beberapa pendonor darah. Pada mulanya alasan mereka mendonor adalah
karena mereka mempunyai teman atau keluarga yang menjadi pendonor,
sehingga tercipta suatu modeling dalam perilaku prososial. Beberapa perilaku
prososial pada pendonor darah, terjadi karena adanya contoh dari keluarga
atau teman yang rutin donor darah. Modeling ini memampukan pendonor
untuk mengatasi keengganannya dalam memberi sumbangan darah untuk
pertama kali. Menurut Myers (1999) modeling membantu seseorang dalam
meningkatkan keinginan untuk melakukan donor darah.
Seiring dengan berjalannya waktu, pendonor ini pelan-pelan
mengembangkan motivasi internal untuk memberikan darah ; mereka
menyumbang karena mereka menganggap itu sudah seharusnya, bukan
karena diminta menyumbang. Selain itu, pendonor yang rajin ini berhasil
36
mengatasi atau “menetralisir” ketakutan dalam menyumbangkan darahnya.
Mereka menganggap donor darah sebagai aktivitas yang bermakna yang
memperkaya konsep diri mereka (Piliavin & Callero dalam Taylor, 2009).
Para pendonor darah tersebut, kemudian menjadikan aktivitasnya
tersebut sebagai bentuk pernyataan sosial diri mereka, sebagai bentuk
pengembangan identitas sosial mereka (Taylor et.al, 2009). Menurut Pilliavi
(Myers, 1999), menyebutkan bahwa para pendonor setuju bahwa donor darah
membuat perasaan mereka senang dan memberikan mereka kepuasan diri.
Menurut Clary et.al (Myers, 1999) perilaku menolong dalam donor
darah, bisa karena enam motif, yaitu : value, pemahaman, sosial, karir,
proteksi diri, dan pengayaan diri. Pada penelitian lain keenam motif jadi
adalah sebagai fungsi ketika seseorang menjadi relawan dan atau menolong
(Clary et.al, 1998 ; Snyder, Clary & Stukas, 2000 dalam Taylor 2009)
1. Banyak relawan menekankan pada nilai personal seperti kasih sayang pada
orang lain, keinginan untuk menolong orang yang kurang beruntung,
perhatian khusus pada kelompok atau komunitas. Menurut Bierhoff (2002)
donor darah berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kelompok
atau komunitas seseorang tersebut.
2. Untuk
mendapatkan
pemahaman
yanag
lebih
mendalam,
untuk
mempelajari suatu kejadian sosial, mengeksplorasi kekuatan personal,
mengembangkan keterampilan baru, dan belajar bekerja sama dengan
berbagai macam orang. Beberapa relawan AIDS menunjukkan keinginan
untuk belajar cara orang menghadapi penyakit AIDS.
37
3. Motif sosial, yaitu merefleksikan keinginan untuk berteman, melakukan
aktivitas yang memiliki nilai signifikan, atau mendapatkan penerimaan
sosial.
4. Pengembangan karier. Kegiatan sukarela dapat membantu individu
mengeksplorasi opsi karier, membangun kontak potensial, dan menambah
daftar aktivitas yang bernilai social di resume mereka.
5. Fungsi proteksi, artinya aktivitas ini mungkin membantu seseorang lepas
dari kesulitan, merasa tidak kesepian, atau mereduksi perasaan bersalah.
6. Pengayaan diri. Kegiatan sukarela mungkin membantu orang merasa
dibutuhkan atau menjadi orang yang penting, memperkuat harga diri, atau
bahkan mengembangkan kepribadian. Relawan AIDS menegaskan bahwa
mereka bisa “mendapatkan pengalama menghadapi hal-hal yang
menyulitkan perasaan” dan “merasa diri menjadi lebih baik” (Snyder &
Otomo, 1992 dalam Taylor et.al 2009).
Table 2.3 motif menjadi relawan dan fungsi
(Clary et.al, 1998 ; Snyder, Clary & Stukas, 2000 dalam Taylor et.al 2009)
Motif
Nilai
Pemahaman
Sosial
Karir
Proteksi diri
Pengayaan diri
Fungsi
menjadi
relawan
memampukan
seseorang
untuk
mengekspresikan nilai-nilai personal seperti kasih sayang dan
perhatian pada orang yang kurang beruntung.
menjadi relawan memampukan seseorang memperoleh
pengetahuan baru, keterampilan baru dan pengalaman baru.
menjadi relawan adalah salah satu cara beraktivitas yang
dihargai orang lain, untuk mendapat persetujuan sosial, dan
memperkuat hubungan sosial
menjadi relawan memeberikan kesempatan untuk menambah
pengalaman untuk tujuan karir atau pekerjaan
menjadi relawan membantu seseorang mengalihkan perhatian
pada masalahnya sendiri dan menghindari perasaan bersalah
menjadi relawan menyediakan peluang untuk pertumbuhan
personal dan memperkuat harga diri
38
D. PENELITIAN TERDAHULU YANG BERKAITAN
Ada beberapa penelitian dengan tema prososial yang sebelumnya telah
dilakukan diantaranya adalah Saripah (2007) yang meneliti tentang
bimbingan perilaku prososial di taman penitipan anak, yang hasilnya
menunjukkan bahwa pada taman penitipan anak terdapat bimbingan yang bisa
meningkatkan anak supaya berperilaku prososial. Penelitian selanjutnya
adalah Dinnia (2006) yang meneliti tentang hubungan antara tipe kepribadian
introvert ekstrovert dengan kecenderungan perilaku prososial. Hasilnya
didapatkan bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan
kecenderungan perilaku prososial. Adapun tipe kepribadian yang cenderung
lebih prososial adalah tipe ekstrovert.
Penelitian tentang perilaku prososial selanjutnya adalah dari
Syafriman (2007), yang meneliti tentang perbedaan perilaku prososial antara
orang suku Melayu dan Tionghoa. Hasil dari penelitian adalah :
1.
Ada perbedaan yang signifikan perilaku prososial orang Melayu
dengan orang Tionghoa, ternyata perilaku prososial orang Melayu
lebih tinggi daripada orang Tionghoa
2.
Perilaku prososial pada generasi tua dengan generasi muda tidak ada
perbedaan
3.
Tidak ada perbedaan yang signifikan perilaku prososial antara lelaki
dengan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan
39
Berdasarkan kepada penelitian Syafriman ini, didapat kesimpulan
kalau yang mempengaruhi perilaku prososial adalah, budaya. Faktor lain
seperti usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh pada penelitiannya.
Adapun penelitian dengan tema yang sama yaitu tentang perilaku
prososial pada pendonor darah, belum peneliti temui. Berdasarkan dari
penelitian sebelumnya maka peneliti mencoba untuk menggali lebih dalam
tentang perilaku prososial pada pendonor darah melalui penelitian ini.
Download