Pengelolaan Dana Reboisasi: Analisis Kebijakan Sistem dan Prosedur Disusun oleh Herry Suhermanto BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Nopember 2004 I. Latar Belakang Kehutanan merupakan penyumbang terbesar PDRB non-migas dengan nilai ekspor yang cenderung meningkat pada dekade pertama paska 1982, dan menurun pada dekade berikutnya. Nilai ekspor tertinggi yang disumbangkan dari hasil industri kayu olahan terjadi pada tahun 1993, yakni sebesar US$ 5,5 milyar. Setelah itu, devisa negara yang diperoleh dari kehutanan ini cenderung menurun (gambar 1). Gambar 1 Nilai Ekspor Hasil Industri Kayu Olahan 6,000.00 Juta US$ 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 19 82 - Tahun Faktor penyebab dari turunnya ada dua hal yakni harga kayu olahan di pasar mengalami penurunan, dan volume hasil kayu olahan yang diekspor juga mengalami penurunan, seperti terlihat pada dua grafik di bawah ini: Gambar 2 Gambar 3 Perkembangan Harga Kayu Ekspor Volume Ekspor Kayu Olahan 1400 9,000.00 8,000.00 1200 7,000.00 1000 U S $/ ton R ib u T o n 6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 800 600 400 k. lapis 2,000.00 k. gergajian 200 k. lainnya 1,000.00 *) 99 01 03 20 20 19 97 95 Tahun 19 19 93 89 91 19 19 19 85 81 87 19 19 19 19 99 01 20 19 95 93 97 19 19 19 89 91 19 19 85 83 81 87 19 19 19 19 83 0 - Tahun Bagi pemerintah, harga merupakan faktor exogenus yang ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Namun demikian, pasar dapat dipengaruhi oleh pemerintah melalui pengaturan produksi. Hutan sebagai faktor produksi, yang menghasilkan bahan baku industri kayu olahan yang diekspor, merupakan salah satu elemen yang dapat “dikontrol” pengelolaannya oleh pemerintah. 1 Statistik memperlihatkan bahwa hutan mengalami penurunan luas kawasan (deforestasi) rata-rata sebesar 2,24% per tahun (1993-2001). Pada periode 1997-2000, deforestasi mencapai rata-rata sebesar 3,5 juta hektar per tahun (Handadhari, 2004). Tingginya angka deforestasi ini menurunkan kapasitas produksi industri kayu olahan, sehingga volume dan nilai ekspor nasional dari hasil industri kayu olahan juga terpengaruh (menurun) seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Luas Hutan di Indonesia 1993 1 2 3 4 5 6 7 Sumber: Sumatera Kalimantan Sulawesi Jawa & Bali Nusa Tenggara Maluku Irian Jaya Indonesia 2001 % perubahan 26,481,554.0 14,665,210.0 -7.12 38,467,884.0 25,669,807.0 -4.93 13,554,599.0 12,489,910.0 -1.02 3,190,088.3 3,419,818.0 0.87 2,731,235.2 2,830,153.0 0.45 5,096,883.2 7,264,707.0 4.53 40,591,660.0 42,224,840.0 0.49 130,113,903.7 108,564,445.0 -2.24 Dephut 1993; Badan Planologi Kehutanan 2002; IBSAP, Bappenas, 2003. Upaya menanggulangi deforestasi telah dilaksanakan cukup lama, melalui berbagai program reboisasi dan penghijauan yang pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah. Penyelenggaraan dan pengelolaan reboisasi pada masa orde baru dilakukan melalui program Inpres. Saat ini, pengelolaannya dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK). Tingginya deforestasi menuntut adanya pengelolaan reboisasi yang lebih baik. Reboisasi atau penghijauan ini untuk menanggulangi kerusakan hutan yang pada luasan tertentu perbaikannya tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat tanpa dukungan pemerintah. Kepentingan dilakukannya reboisasi adalah untuk memelihara kelestarian fungsi hutan dan pembangunan sektor kehutanan secara berkelanjutan. II. Pokok Permasalahan Dana reboisasi (DR) merupakan pungutan legal pemerintah yang ditujukan kepada para pengusaha hutan (pemilik HPH dan HTI). Penerimaannya dari masingmasing provinsi diproyeksikan oleh Departemen Kehutanan. Diagram (gambar 4) di bawah menunjukkan perkembangan DR yang dikelola Departemen Kehutanan. Di situ terlihat adanya penurunan penerimaan DR (PDR) yang tajam dalam periode lima tahun terakhir, sementara belanja reboisasi (BDR) cenderung meningkat. Kebutuhan terhadap penyaluran DR dirasakan semakin meningkat sehubungan dengan tingginya angka deforestasi. Namun, Kusmayadi (2004) mensinyalir penyaluran DR tidak lancar, karena dimasukkannya DR kedalam mekanisme APBN. Dari diagram tersebut, dapat diindikasikan bahwa dalam periode 1998-2002 ada porsi dana yang cukup besar yang digunakan dari dana reboisasi untuk kepentingan non-reboisasi/ 2 penghijauan. Baru pada tahun 2003 saja tampaknya ada belanja reboisasi yang lebih besar dari pendapatan yang diterima. Gambar 4 Pendapatan (PDR) dan Belanja (BDR) Reboisasi Departem en Kehutanan 4,000,000.0 3,500,000.0 Juta Rp. 3,000,000.0 2,500,000.0 2,000,000.0 1,500,000.0 1,000,000.0 500,000.0 0.0 1998/99 1999/00 2000 2001 2002 2003 Tahun PDR BDR Perlu dicatat disini bahwa para pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan, selain memikul biaya operasional dan pungutan resmi seperti pajak, harus pula memikul beban biaya pungutan-pungutan baru yang diatur sebagai pajak dan retribusi daerah (Alizar, 2004). Menurut Alizar kepatutan pungutan tersebut perlu ditelaah kembali. Banyaknya pungutan akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan bersifat kontraproduktif terutama dalam mengoptimalkan produksi dan pelestarian usaha (penyediaan bahan baku, kayu). Pada prinsipnya, DR dipersiapkan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sehingga kesinambungan penyediaan bahan baku kayu dapat terpelihara. Pada kenyataannya DR dialokasikan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan, yang meliputi: Kegiatan reboisasi pada hutan lindung dan hutan produksi Kegiatan pemeliharaan pada hutan lindung dan hutan produksi Kegiatan pengayaan tanaman pada hutan lindung dan hutan produksi Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove Kegiatan penghijauan Kegiatan konservasi tanah Kegiatan pengembangan hutan rakyat Kegiatan aneka usaha kehutanan Kegiatan penyusunan rancangan Dari daftar kegiatan tersebut diatas tampak adanya kegiatan non-RHL, seperti pengalokasian untuk kegiatan aneka usaha kehutanan dan kegiatan penyusunan rancangan. Selain itu, DR yang disalurkan melalui DAK tidak diperkenankan untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada kawasan hutan produksi 3 yang dibebani hak/ ijin. DAK DR juga tidak diperkenankan untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan keproyekan, penelitian, pelatihan, penyuluhan, perjalanan, dan biaya umum lainnya. Kekakuan peraturan yang memagari DAK-DR ini mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL. III. Beban DR Dari sisi alokasi, DR terbebani oleh keadaa dimana penerimaannya yang justru menurun tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang efektif dan terfokus pada RHL. DR digunakan untuk membiayai kegiatan yang sebenarnya bisa didanai melalui pos APBN lainnya. Mengandalkan RHL pada pengusaha juga tidak memungkinkan, karena motivasi usaha adalah profit, dan banyaknya pungutan, resmi dan tidak resmi, jelas menjadi beban operasional perusahaan. Dalam kondisi demikian, upaya untuk mengimplementasikan pengelolaan hutan produksi secara lestari, serta perlindungan dan konservasi hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya, kurang mendapat dukungan baik dari dunia usaha kehutanan maupun dari sebagian besar masyarakat. Kurang transparannya pengelolaan DR, tidak adanya komitmen yang kuat untuk mengaktualisasi dan mempertahankan fungsi hutan, simpang siurnya data kehutanan, dan kurangnya dukungan masyarakat serta dunia usaha dalam memelihara fungsi dan kelestarian hutan, merupakan pokok-pokok permasalahan yang perlu segera ditangani. Persoalan tersebut, masih ditambah lagi oleh kenyataan bahwa dana reboisasi telah disalurkan namun luas hutan produksi relatif tidak bertambah, bahkan cenderung semakin berkurang. Hal ini sebagai akibat dari kekurangseriusan penanganan reboisasi dan penghijauan di masa lampau, yang mana dampaknya mulai dirasakan akhir-akhir ini. Pokok persoalannya berawal dari lemahnya kontrol terhadap pengelolaan hutan yang tidak segera dikoreksi oleh aparatur yang berwenang. Selanjutnya pelaksanaan tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, praktik penebangan liar, dan tindakan-tindakan ilegal lainnya merupakan dampak dari lemahnya kontrol pemerintah di bidang kehutanan. Di pihak lain, alokasi sumberdaya hutan yang kurang adil juga mengakibatkan banyaknya klaim atas lahan hutan oleh masyarakat. Payung hukum untuk memperkuat perangkat kontrol tersebut sebenarnya tersirat pada Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Tantangannya adalah bagaimana mengorganisasi instansi-instansi yang berwenang di kehutanan untuk secara efektif memperkuat kontrol terhadap upaya reboisasi berkenaan dengan semangat desentralisasi dan dekonsentrasi seperti yang tersirat pada kedua UU tersebut di atas. IV. Mekanisme DR Pengelolaan DR dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri dan Otoda, dan Menteri PPN/ Ketua Bappenas. SEB tersebut tentang Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan RHL (Reboisasi dan Penghijauan) tahun 2001. DAK-DR pada prinsipnya tidak disediakan untuk 100% menangani upaya reboisasi, namun lebih diarahkan sebagai dana stimulan rehabilitasi hutan rusak dan lahan kritis. Pengelolaan DAK-DR dilakukan berbasis pada kegiatan secara swakelola yang melibatkan kelembagaan yang ada di masyarakat. Kegiatan RHL swakelola tersebut 4 telah diperhitungkan kemungkinan pelaksanaannya secara swakelola. Dengan alasan yang kuat, dimana masyarakat tidak mungkin melaksanakan RHL secara swakelola, kegiatan RHL akan sepenuhnya menjadi beban pemerintah. Dalam pengelolaan DAKDR ini terdapat tiga unsur pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten. Peran pemerintah Pusat pada prinsipnya adalah mengatur alokasi DAK-DR dengan memperhatikan proyeksi penerimaan DR dari masing-masing provinsi. Menteri Kehutanan menyampaikan usul alokasi DAK-DR kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Dalam penetapan alokasi DAK-DR, Menteri Keuangan memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Menteri PPN/ Ketua Bappenas. Ketetapan Menteri Keuangan tentang DAK-DR disampaikan ke masing-masing Gubernur melalui Direktur Jenderal Anggaran. Berdasarkan alokasi DAK-DR, Bupati/ Walikota mengajukan usulan (proposal) berkenaan dengan reboisasi di daerahnya kepada Gubernur dengan tembusan ke Kanwil DJA dan Balai/ Unit RLKT. Gubernur menugaskan Dinas yang menangani Kehutanan di tingkat Provinsi untuk mengoordinasikan pembahasan proposal, dan mengajukan Rencana Definitif (RD). Selanjutnya, Gubernur menyampaikan RD tersebut ke Menteri Keuangan via DJA dengan tembusan ke Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Bappenas. RD dinilai kembali oleh tim bersama dari berbagai kementerian dan lembaga yang disebutkan di atas. DJA atas nama Menteri Keuangan kemudian menetapkan Daftar Alokasi (DA) DAK dan disampaikan kepada Bupati/ Walikota dengan tembusan kepada Gubernur. Berdasarkan DA-DAK tersebut, Bupati/ Walikota menetapkan Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA). Alokasi DIPDA harus sesuai dengan anggaran yang tersedia dalam DA-DAK. V. Kebijakan Kehutanan versi RPJM Bappenas RPJM Bappenas mengetengahkan bahwa pembangunan kehutanan ke depan akan mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Dengan kondisi hutan yang semakin kritis, pengelolaan hutan di orientasikan kepada pengelolaan sumberdaya (resources-based management). Karakteristik pengelolaan yang sentralistik digeser menjadi desentralistik, tentunya perlu diikuti dengan pembekalan dana yang memadai. Sistem dan mekanisme penyalurannya juga dibenahi sehingga lebih transparan. Pengelolaan berorientasi sumberdaya ini mencakup pengelolaan material, dana, data, dan informasi, yang dilakukan dengan melibatkan parapihak terkait dari pusat hingga daerah. Pengelolaannya berpegang kepada prinsip kelestarian hutan untuk dapat dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Sasarannya adalah: 1. 2. 3. 4. Terwujudnya penegakan hukum dalam sektor kehutanan, khususnya dalam menanggulangi kasus pemberantasan penebangan liar dan penyelundupan kayu; Terselesaikannya pengukuhan kawasan (dan fungsi hutan) dalam kerangka penataan ruang; Meningkatnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas industri hasil kayu; Meningkatnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan non kayu, jasa wisata dan jasa lingkungan; 5 5. 6. 7. 8. Meningkatnya luas kawasan hutan tanaman sebagai basis bagi pengembangan ekonomi hutan; Meningkatnya upaya konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan, khususnya pada Daerah Aliran Sungai untuk mewujudkan kelestarian hutan dan menjamin ketersediaan pasokan air; Pemantapan penyelenggaraan desentralisasi kehutanan dengan meningkatkan dan mengembangkan pola-pola kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha dalam pengelolaan hutan lestari; Peningkatan pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada sektor kehutanan; Butir-butir 5, 6, dan 7 di atas menunjukkan adanya kepentingan jangka menengah untuk memelihara dan meningkatkan kondisi hutan baik kuantitas maupun kualitasnya secara terdesentralisasi. Sasaran tersebut diharapkan tercapai melalui kerjasama berbagai parapihak kehutanan. DR, dalam hal ini, dapat dikonsentrasikan untuk pencapaian sasaran khususnya butir 6 dan 7 di atas. Sementara itu, kebijakan pembangunan kehutanan dalam jangka menengah diarahkan untuk dapat lebih memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan. Program dan kegiatan diarahkan untuk: (1) menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan sebagai pendukung ekosistem kehidupan dan pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup, (2) melakukan konservasi dan rehabilitasi terhadap sumber-sumber air sehingga sumberdaya air dapat didayagunakan secara berkelanjutan, serta (3) mengoptimalkan pendapatan negara dari pengelolaan hutan yang lestari. Kebijakan pembangunan kehutanan di atas, tampaknya bukan merupakan kebijakan yang bersifat operasional. Operasionalisasinya diuraikan dalam program dan kegiatan. Kegiatan langsung yang bersifat operasional difasilitasi melalui program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan dengan 11 kegiatan pendukungnya. Sedangkan penanganan kehutanan secara tidak langsung difasilitasi juga melalui program-program terkait seperti program Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Alam, program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam, serta program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. VI. Analisis Kebijakan Berdasarkan RPJM Bappenas, arah kebijakan untuk menjaga kelestarian hutan dan mengoptimalkan pendapatan dari kehutanan serta pengelolaannya, setidaknya akan menjadi tanggung jawab parapihak kehutanan dan masyarakat di dalam hutan dan di sekitarnya. Dihadapkan pada kondisi hutan yang semakin kritis, maka upaya reboisasi/ penghijauan patut mendapatkan prioritas. Hanya saja dana reboisasi yang menyusut akan menjadi kendala bagi pemerintah dalam mendukung upaya reboisasi/ penghijauan. Praktik pengelolaan DR yang selama ini disalurkan melalui mekanisme APBN vis-a-vis DAK-DR perlu ditelaah dan ditata ulang. Pengelolaan yang yang semula hanya berorientasi hutan digeser kepada pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Hanya saja pengelolaan hutan versi pengelolaan SDA ini perlu penjabaran lebih lanjut, terutama aspek kelembagaannya. Pokok persoalan disini adalah bagaimana merumuskan siapa berbuat apa untuk siapa. Sebenarnya DAK-DR 6 telah mengindikasikan adanya komitmen kepada pengelolaan sumberdaya alam, melalui pengayaan tanaman pada hutan lindung dan hutan produksi. Hal ini juga berarti bahwa DAK-DR ikut melaksanakan upaya konservasi disamping rehabilitasi hutan dan lahan (butir 6 sasaran jangka menengah kehutanan). Apabila dikehendaki maka DAK-DR selain diarahkan untuk mewujudkan kelestarian hutan, juga sekaligus dapat diarahkan untuk menjamin ketersediaan pasokan air. Pendapatan DR yang cenderung menurun tersebut dapat dibelanjakan (dikonsentrasikan) untuk RHL yang dapat mengamankan Daerah Aliran Sungai. Sementara secara kelembagaan, pola-pola kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha dalam pengelolaan hutan lestari dapat dikembangkan sekaligus dalam rangka pemantapan penyelenggaraan desentralisasi kehutanan (pencapaian butir 7 sasaran jangka menengah kehutanan). Meskipun demikian, mekanisme DAK-DR tampaknya belum mencerminkan desentralisasi, karena kewenangan memutuskan mana RHL yang harus dibiayai masih ada di Pusat. Mekanismenya juga tidak sederhana dan cenderung bolak-balik dari daerah ke pusat (lihat bagan di bawah). DAERAH Æ (usul) PUSAT (alokasi) Æ DAERAH (proposal) Æ PUSAT DA-DAK Æ DAERAH DIPDA Sejalan dengan semangat desentralisasi tersebut, diperlukan kemauan politik dari pusat untuk melimpahkan kewenangan pengelolaan SDA yang berarti juga pengelolaan hutan kepada daerah, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Kesepahaman atas visi dan misi nasional di bidang kehutanan mutlak diperlukan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, dan tidak terbatas hanya di lingkungan dinas/ lembaga teknis terkait semata namun hendaknya melembaga di masyarakat. Apabila sasaran pusat untuk mengamankan DAS menjadi salah satu fokus pembangunan nasional, maka kesepahaman pembangunan ke arah tersebut dengan daerah perlu dibangun terlebih dahulu. Mekanisme pendanaan DR yang bersifat “sentralistik” secara berangsur dapat dialihkan menjadi “desentralistik” melalui komitmen pembiayaan bersama (cost sharing) yang melibatkan berbagai parapihak terkait. Pusat bisa saja merupakan penyandang dana terbesar, namun dana tersebut sebaiknya di-dekonsentrasi-kan ke tingkat provinsi, terutama untuk kasus RHL lintas kabupaten. Sedangkan untuk kasus RHL lintas provinsi, pusat memfasilitasi dengan dana dan tenaga ahli, dan tetap dalam komitmen pembiayaan bersama dengan Daerah. Mekanisme penyaluran DR dapat disederhanakan sehingga menjadi seperti di bawah ini: DAERAH PUSAT DAERAH (usul/ proposal) (DA-DAK) (DIPDA) Dalam hubungan ini, pusat harus sudah memiliki data-base kehutanan yang memadai dan mengetahui dengan seksama kawasan hutan mana yang perlu diprioritaskan. Pusat dapat memfasilitasi daerah dengan pedoman teknis penanganan 7 RHL dan DR yang disusun bersama dengan Daerah sasaran (tidak harus seragam, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi). Pembiayaan bersama hendaknya diikat oleh suatu legal komitmen yang menyertakan para pihak kehutanan, apakah itu sebagai penyandang dana (NGO dan pengusaha hutan/ swasta), pelaku RHL (masyarakat di hutan dan di sekitar hutan), ataupun sebagai pemanfaat/ pengguna hasil hutan (masyarakat dan pengusaha hutan/ swasta). Pemerintah memprakarsai pertemuan parapihak tersebut di atas (sebaiknya di tingkat provinsi) dan menggiring mereka kepada kesepahaman mengenai mekanisme pembiayaan RHL secara bersama. Setelah ada kesepahaman, komitmen dapat dilanjutkan untuk membangun kesepakatan mengenai kawasan hutan mana yang perlu ditangani dalam kurun waktu jangka menengah mendatang sejalan dengan ketersediaan dana yang digalang bersama. Skala pengelolaan sumberdaya alam (hutan) disesuaikan dengan proyeksi ketersediaan dana, sehingga penanganan (target) menjadi terukur untuk penyelesaian dalam kurun jangka menengah maupun tahunannya. DR sendiri tampaknya lebih efektif bila disalurkan melalui mekanisme APBN tidak dalam komponen DAK. DAK-DR oleh sementara pihak (pengguna) dinilai terlalu kaku, sehingga penyelesaian kegiatan RHL sering terhambat oleh peraturan pemanfaatan yang kurang fleksibel. Sebagai contoh, DAK-DR tidak dapat digunakan untuk membeli peralatan (seperti pompa air) untuk kepentingan pemeliharaan (menyiram) tanaman. Penyaluran DR melalui program kehutanan terkait dalam mekanisme rencana kerja pemerintah (RKP) merupakan alternatif yang perlu disinkronkan dengan mekanisme dekonsentrasi kegiatan RHL. Apabila dekonsentrasi dinilai kurang tepat, maka alternatif lainnya adalah memasukkan DR kedalam mekanisme DAU sebagai blok anggaran yang ditetapkan penggunaannya untuk RHL. Pelaksanaannya diserahkan kepada Daerah, namun rencana pengelolaannya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Pusat, mengikuti alur “kesepahaman dan kesepakatan” seperti yang telah diuraikan di atas. Di sisi lain, keberadaan DAK-DR dapat menjadi beban bagi pemerintah daerah terutama dalam kaitannya dengan kegiatan RHL padat karya, dimana dukungan dana pemerintah daerah harus disertakan di dalamnya. Daerah memiliki prioritas yang berbeda-beda, dimana setiap dana daerah yang dialokasikan memiliki peluang pembiayaan (opportunity cost) bagi kegiatan lainnya. Pada saat pendapatan DR menurun seperti saat ini, maka kontribusi daerah dan pengusaha kehutanan menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Mekanisme keuangan di daerahpun tampaknya sering mengganjal kepentingan perencanaan dengan alasan birokrasi keuangan dan terbatasnya dana. Kepala daerah yang memahami arti penting pengelolaan SDA dan lingkungan hidup secara berkelanjutan akan sangat membantu dalam mendorong alokasi dana secara memadai ke arah pengelolaan SDA tersebut di atas. Peranan kepala daerah memang sangat penting dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan, namun mereka juga sering terganjal oleh kemampuan birokrasi di bawahnya, terutama di dalam menyikapi kebijakan yang diambil/ ditetapkan. Dalam banyak kasus, Kepala Daerah (bahkan Kepala Negara) sangat tergantung kepada mesin birokrasi (kemampuan aparatur/ SDM) yang membantunya dalam mengoperasionalkan kebijakan yang diambilnya. Hal ini menyangkut cara kerja (sistem dan prosedur) birokrasi yang umumnya dipagari oleh berbagai legal aspek dengan segala konsuekensinya. Kondisi di atas akan kondusif apabila kepentingan Kepala Daerah tersebut bisa diimbangi oleh pemikiran yang sejalan dari wakil-wakil masyarakat di legislatif. 8 VII. Kesimpulan dan Rekomendasi Deforestasi yang cenderung meningkat akhir-akhir ini menuntut adanya pengelolaan RHL yang lebih baik. Salah satu sumber dana RHL adalah DAK-DR yang pengelolaannya diatur oleh pemerintah. DR dipungut dari para pengusaha hutan. Hanya saja sejalan dengan menurunnya kapasitas hutan produksi, pendapatan dari DR juga menyusut, sehingga menjadi kendala bagi pemerintah untuk mendukung upaya reboisasi/ penghijauan. Untuk efisiensi dan efektifnya penggunaan DR, pemerintah perlu menyederhanakan sistem dan prosedur penyaluran DR, yang cenderung bolakbalik dari daerah ke pusat. Alternatifnya adalah melaksanakan desentralisasi ataupun dekonsentrasi kegiatan agar lebih sejalan dengan semangat otonomi daerah.. Untuk itu, pemerintah perlu memprakarsai tumbuhnya kesepahaman dan kesepakatan seluruh parapihak kehutanan dalam menggalang dana untuk kepentingan bersama. Kesepahaman dan kesepakatan parapihak kehutanan tersebut selanjutnya diikat oleh suatu legal komitmen untuk pendanaan dan pengelolaan bersama SDA dan LH. Peranan kepala daerah sangat penting dalam membangun kesepahaman dan kesepakatan dan dalam menentukan arah serta kebijakan pembangunan. Dalam hubungan ini, kepala daerah perlu didukung oleh kemampuan aparatur yang memadai terutama melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan meningkatkan kemampuan aparatur di daerah terutama dalam penyiapan data-base kehutanan yang handal untuk pengambilan keputusan yang tepat. DR dialokasikan untuk memelihara kesinambungan penyediaan bahan baku kayu melalui pelaksanaan kegiatan RHL. Pada kenyataannya, DR dialokasikan juga untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan non-RHL. Pemerintah, selaku pengelola DR, perlu bersikap tegas di dalam pengelolaan DR; dengan memantapkan tekad bahwa DR hanya dipersiapkan untuk RHL. Kebijakan tersebut perlu ditempuh sejalan dengan semakin terbatasnya pendapatan dari DR, sementara kebutuhan RHL semakin meningkat. Apabila pemerintah berketetapan untuk terus mengelola DR, maka pengelolaannya harus lebih terarah. DR sendiri tampaknya lebih efektif bila disalurkan melalui mekanisme APBN tidak dalam komponen DAK. Sementara pungutan-pungutan non-DR yang kontraproduktif terhadap optimalisasi produksi dan pelestarian usaha (penyediaan bahan baku, kayu) segera diidentifikasi, untuk kemudian dihapuskan atau diganti. Sebenarnya pemerintah dapat mendorong suatu kebijakan sehingga RHL sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pengusaha hutan. Yang diperlukan adalah peraturan/ perundangan yang mendukung RHL oleh swasta (non-pemerintah) dengan sanksi yang berat dan kontrol yang ketat, apalagi terhadap pelaku illegal logging. DR perlu diarahkan pada penanganan kawasan hutan yang pelaksanaan RHLnya akan mewujudkan kelestarian hutan, dan juga sekaligus menjamin ketersediaan pasokan air. Untuk itu, kebijakan yang bisa ditempuh adalah memfokuskan pelaksanaan DR pada kawasan hutan yang sekaligus dapat mengamankan DAS. RPJM yang tampaknya mengakomodasikan cukup banyak kegiatan kehutanan, perlu dibatasi dan difokuskan saja pada upaya RHL. Pelaksanaan yang konsisten dalam kurun waktu jangka menengah (misalnya lima tahunan) akan memberikan kontribusi yang berarti bagi pelestarian SDA dan LH. Pengelolaan SDA 9 (hutan) dan LH yang terfokus ini disesuaikan dengan proyeksi ketersediaan dana dari hasil legal komitmen di atas. 10 Kepustakaan Alizar. 2004. “Fenomena Pungutan Dunia Usaha.” Hutan Indonesia, edisi khusus Agustus 2004, Jakarta, ISSN: 1411-2493. Handadhari, Transtoto. 2004. “Kuda yang Lempe-lempe.” Hutan Indonesia, edisi khusus Agustus 2004, Jakarta, ISSN: 1411-2493. Kusmayadi, Dedy. 2004. “Pembangunan HTI adalah Sebuah Keharusan.” Hutan Indonesia, edisi khusus Agustus 2004, Jakarta, ISSN: 1411-2493. Bappenas. 2004. “Draft RPJM versi 19 Oktober 2004.” 11