BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan telah terpengaruh oleh HIV sejak awal epidemi terjadi dan dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). Secara global HIV dan AIDS merupakan penyebab kematian utama pada perempuan di usia reproduktif (World Health Organization, 2009). Seperempat abad tanggapan terhadap AIDS telah menghasilkan pengetahuan tentang penularan HIV dan pencegahannya, namun setiap hari, di seluruh dunia, hampir 7000 orang menjadi terinfeksi dengan virus HIV (Piot dkk., 2008). Selama dekade pertama pandemi HIV dan AIDS, WHO memperkirakan telah terdapat 500.000 kasus pada perempuan dan anak-anak dan sebagian besar belum diakui. Selama tahun 1990-an, WHO juga memperkirakan bahwa pandemik HIV dan AIDS tersebut akan membunuh sekitar 3 juta atau lebih perempuan dan anak-anak diseluruh dunia. Infeksi HIV diantara kaum heteroseksual sudah meningkat di seluruh dunia selama tahun 1980-an. AIDS telah menjadi penyebab utama kematian perempuan usia 20-40 tahun di Negara-negara besar di Amerika, Eropa Barat dan Sub Sahara Afrika (Chin, 1990). Puluhan juta manusia lagi pada tahuntahun berikutnya terinfeksi HIV dan hidup dengan HIV dan AIDS, jumlahnya semakin meningkat pada populasi 1 perempuan dan orang dewasa. 2 Dapat dilihat bahwa 50% dari seluruh orang dewasa yang hidup dengan HIV dan AIDS adalah perempuan (United Nations, 2004, The United Nations Children's Fund, 2004). Di Asia terdapat 4,9 juta orang terinfeksi HIV, 34% diantaranya adalah perempuan (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2010, The U.S. Department of Health and Human Services Office on Women's Health, 2011). Walaupun perempuan memiliki risiko yang rendah untuk terinfeksi HIV karena perempuan tidak biasa memiliki lebih dari satu pasangan seksual dalam hidupnya, tetapi banyak perempuan masuk dalam kelompok rentan tertular karena suami atau pasangan mereka memiliki perilaku seksual yang tidak aman diluar pernikahannya dan menggunakan narkoba suntik. Diperkirakan 90% perempuan yang hidup dengan HIV di Asia tertular dari suami atau pasangan tetapnya (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2009). Cara penularan HIV di Asia sangat bervariasi tetapi yang paling utama adalah melalui hubungan seksual (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2011). Indonesia yang merupakan kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu negara dengan epidemi HIV yang berkembang paling cepat (National AIDS Commission Republic of Indonesia, 2009, Avert, 2011a). Sejak tahun 2000, prevalensi HIV secara konsisten diatas 5% di beberapa populasi kunci seperti pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks, transgender dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL/MSM). Dimana hal ini mengarahkan Indonesia dalam klasifikasi epidemi terkonsentrasi (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2007). Walaupun pada awal perkembangan HIV dan AIDS di 3 dunia, pola penularannya terjadi pada kelompok homoseksual, lain halnya di Indonesia yang penularannya lebih didominasi oleh hubungan heteroseksual. Hal ini dibuktikan memiliki dengan ditemukannya kasus-kasus pada orang-orang yang perilaku hubungan seks heteroseksual seperti pada kelompok perempuan. Dua provinsi di Indonesia yaitu Papua dan Papua Barat, menunjukkan epidemi HIV pada kategori low-level generalized epidemic, di mana terutama didorong oleh hubungan seksual yang tidak aman dengan prevalensi HIV sebesar 2,4% pada penduduk dewasa umur 15-49 tahun (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2010), dari hasil proyeksi penyebaran HIV akan terjadi peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan yang akan berdampak pada meningkatnya jumlah infeksi pada anak. Beberapa wilayah yang memiliki Rate Kumulatif HIV yang cukup tinggi yaitu provinsi Papua (16,6 kali angka nasional), Bali (4,7 kali angka nasional), DKI Jakarta (4,3 kali angka nasional), Kepulauan Riau (2,4 kali angka nasional), Kalimantan Barat (2,3 kali angka nasional) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011b). Bali yang menempati peringkat kedua untuk rate kumulatif HIV di Indonesia, termasuk pada taraf epidemi terkonsentrasi yang mempunyai tingkat prevalensi lebih dari 5% dalam populasi kunci, kini kasus-kasus HIV sudah tidak sepenuhnya terkonsentrasi pada populasi kunci tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Wirawan dan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, ditemukan 1,2% Ibu hamil terinfeksi HIV, hal ini mengindikasikan kemungkinan ekspansi 4 HIV ke populasi umum di Bali, namun hal ini masih harus diteliti secara lebih lanjut untuk mengkonfirmasi tentang hal ini (Wirawan, 2011). Dari 8 kabupaten dan 1 kota yang dimiliki, Denpasar merupakan salah satu wilayah yang memiliki kasus HIV dan AIDS tertinggi di provinsi Bali, dimana hingga April 2011, di Denpasar terdapat 1949 kasus HIV/AIDS, berkontribusi terhadap 44,31% dari semua kasus HIV/ AIDS yang ada di Bali (Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2011 ). Selain itu, populasi rawan tertular HIV adalah masyarakat umum khususnya perempuan. Dalam survey kesehatan reproduksi perempuan yang dilakukan Yayasan Rama Sesana tahun 2011 di 8 Pasar tradisional di Kota Denpasar ditemukan kecenderungan bahwa perempuan tidak merasa takut dirinya tertular HIV dari pasangannya, walaupun mereka tahu pasangannya memiliki perilaku berisiko dengan alasan bahwa mereka tidak mungkin tertular karena mereka setia pada suaminya. Selain itu ditemukan pula kecenderungan, walaupun perempuan merasa takut tertular IMS dan HIV, namun mereka tidak menggunakan kondom, karena suami tidak suka atau takut suami marah jika menawarkan menggunakan kondom. Dari sini terlihat bahwa perempuan merupakan salah satu kelompok rentan tertular HIV, dimana setidak-tidaknya dua kali lebih besar kemungkinannya untuk tertular IMS dan HIV melalui hubungan seksual dibandingkan laki-laki (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2009) dan angka kasus infeksi klamidia dan gonokokal juga lebih tinggi di kalangan perempuan dibandingkan laki-laki (McKenzie dkk.., 2007). Berdasarkan Laporan Kementerian Kesehatan, rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan tahun 2009 adalah 3:1, tahun 2010 adalah 2:1 dan tahun 5 2011 adalah 3:2 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011b, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011a). Dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa trend penderita AIDS pada perempuan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sejumlah besar infeksi HIV pada perempuan ditularkan oleh suami atau pasangan mereka pada hubungan jangka panjang (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2008a, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2008, Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2009, Yayasan Spiritia, 2009, Avert, 2011c, Mitra dan Sarkar, 2011). Studi dari negara-negara berkembang yang dilakukan oleh Warwick tahun 1998 dan Aggleton tahun 1999 menunjukkan bahwa pria dan wanita yang dites dan positif HIV diperlakukan sangat berbeda oleh masyarakat (Mitra dan Sarkar, 2011). Feminisasi dari epidemi HIV yang cepat menyoroti peran normanorma sosial dan budaya yang mengharuskan perempuan tunduk pada dominasi laki-laki yang bertindak sebagai kontributor untuk penyebaran HIV (Deji dkk., 2007, Mitra dan Sarkar, 2011). Selain itu seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi IMS maupun HIV tidak wajib untuk memberitahukan pasangannya tentang infeksi yang dialaminya. Ketika seorang pasien menolak untuk mengungkapkan hasil tes pada pasangan, tidak banyak hal yang dapat dilakukan oleh tenaga medis atau professional kesehatan. Praktisi kesehatan tidak dapat bertindak secara sepihak terhadap informasi yang dimiliki tersebut (Ellison, 2004). 6 Kurangnya pemberitahuan dari pasangan tentang status mereka setidaknya bertanggung jawab atas fakta bahwa seseorang tidak menyadari diri mereka rentan terhadap infeksi IMS dan HIV (Ellison, 2004). Padahal memberitahukan status atau infeksi yang dialami pada pasangan merupakan sesuatu yang direkomendasikan sebagai langkah yang penting dalam manajemen IMS untuk membantu memutus penularan infeksi, mencegah re-infeksi dan mencegah komplikasi yang lebih serius (Alam dkk.., 2010, Mercer dkk., 2011). Namun, tidak adanya pengetahuan tentang hal ini menyebabkan mereka tidak sadar bahwa mereka akan menulari orang lain dan pasangan mereka juga (Ellison, 2004). Banyak perempuan yang merasa yakin bahwa suami mereka sumber infeksi dan oleh karena itu diperlukan pengobatan. Namun, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan 77% dari 406 laki-laki mengekspresikan ketidakpedulian mereka untuk memberitahukan status IMSnya ke pasangan resmi mereka karena dikaitkan dengan stigma (Alam dkk., 2010). Dalam suatu penelitian lainnya, dilaporkan 0% yang memberitahukan status infeksinya pada pasangan kasual dan 94% untuk pasangan resminya (suami-istri). Kepedulian perempuan dalam keinginan memberitahukan infeksi yang dialami kepada pasangan cukup tinggi namun hanya sedikit perempuan yang berani menyampaikan dan merujuk pasangannya (Alam dkk., 2010). Hal ini menjadikan perempuan menjadi kelompok rentan terhadap penularan HIV. Melihat hal tersebut, maka perlu diperhatikan apabila perempuan terinfeksi maka dampak yang akan ditimbulkan sangatlah besar. Menurut Beijing Platform For Action (BPFA) menyatakan bahwa konsekuensi HIV dan AIDS 7 telah mempengaruhi kesehatan perempuan dalam peran mereka sebagai ibu dan pengasuh serta kontribusi mereka sebagai penyangga ekonomi keluarga. Dari sini kita dapat melihat bahwa perempuan bukanlah hanya memiliki tangggung jawab melahirkan anak namun bertanggung jawab terhadap kualitas anak yang dilahirkan, merawat anak, melakukan pekerjaan rumah, merawat anggota keluarga yang sakit dan sebagai penyangga ekonomi keluarga (United Nations Women, 1995). Ini berarti jika perempuan mengalami HIV maka perekonomian keluarga akan terpuruk, kualitas anak yang dilahirkan akan buruk sehingga berpengaruh pada kualitasnya saat usia remaja, reproduksi dan lansia. Kerentanan perempuan terhadap penularan penyakit seperti HIV kian mengalami peningkatan dan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor pada tingkatan level yang berbeda yaitu dari level individu yaitu faktor biologis dan dihubungkan dengan penyakit yang dialami. Level rumah tangga dan masyarakat yaitu status sosial, ekonomi, budaya, stigma dan diskriminasi, ketimpangan gender, akses yang tidak merata terhadap pendidikan, paparan media masa, perilaku dan kekerasan dalam keluarga. Pada level makro adalah faktor lingkungan dan institusi seperti geografi, migrasi, pelayanan publik, kebijakan, akses ke layanan kesehatan maupun informasi, serta otonomi sering membuat perempuan di banyak negara tidak menyadari bahaya HIV dan AIDS (Avert, 2011c, Illinois Department of Public Health, Mitra dan Sarkar, 2011, United Nations, 2004, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 2010, Imelda Bates dkk.., 2004). 8 Sedangkan menurut McKenzie dkk.. (2007), Kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu faktor fisik, faktor pengaturan masyarakat, faktor perilaku individu dan faktor sosial dan budaya. Dari keempat faktor tersebut ada dua faktor yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu faktor sosial budaya seperti kepercayaan, tradisi, praduga, ekonomi, politik, agama, gender, norma sosial, status sosial ekonomi dan faktor pengaturan masyarakat. Kasus HIV dan AIDS pertama di tahun 1980-an, ditemukan pertama kali sebagai penyakit pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL/MSM). Walaupun pada akhirnya segera diidentifikasi juga pada perempuan, para ahli nampaknya belum berhasil menyetujui perempuan sebagai target populasi dan mengelompokkannya sebagai kelompok yang juga berisiko karena merupakan pasangan dari laki-laki yang berperilaku seksual berisiko dan laki-laki yang menggunakan narkoba suntik (amfAR AIDS Research, 2008). Hal ini terjadi pula di Bali, dimana penelitian-penelitian HIV dan AIDS sebagian besar masih berfokus pada populasi kunci dan sangat sedikit sekali penelitian-penelitian yang fokus pada perempuan di populasi umum. Melihat besarnya permasalahan yang dihadapi perempuan terhadap HIV dan AIDS ini, untuk itu peneliti tertarik mempelajari dengan lebih mendalam mengenai kerentanan perempuan terhadap penularan HIV. 9 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Bagaimana gambaran perilaku berisiko yang dapat meningkatkan kerentanan perempuan terhadap penularan HIV? 1.2.2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kerentanan perempuan terhadap HIV? 1.2.3. Apa dampak dari penularan IMS dan HIV bagi perempuan? 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui kerentanan perempuan terhadap penularan HIV 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Penelitian ini untuk mengetahui gambaran perilaku berisiko yang dapat meningkatkan kerentanan perempuan terhadap penularan HIV? 2. Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan perempuan terhadap penularan HIV 3. Penelitian ini untuk mengetahui dampak dari penularan IMS dan HIV bagi perempuan 10 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat praktis Memberikan informasi terkait kerentanan perempuan terinfeksi HIV dan AIDS sehingga data tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan metode intervensi pada program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di provinsi Bali sesuai dengan kondisi riil di lapangan 1.4.2. Manfaat teoritis Menambah referensi yang masih terbatas pada penelitian-penelitian selanjutnya terkait kerentanan perempuan terhadap penularan HIV