BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pada masyarakat modern saat ini, perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai oleh masa periode transisional panjang yang dikenal sebagai masa remaja. Masa remaja awal yang memiliki kisaran usia 11 atau 12 tahun sampai 14 tahun merupakan transisi yang terjadi setelah masa kanak-kanak yang memberikan kesempatan pada anak untuk tumbuh bukan hanya dalam dimensi fisik, tetapi dalam kompetensi kognitif dan sosial. Menurutnya juga, periode ini amat beresiko karena sebagian anak muda sulit untuk menangani perubahan yang terjadi dalam satu waktu dan mungkin membutuhkan bantuan terhadap masalah yang akan dihadapi selama masa periode ini (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Ali dan Asrori (2014) mengatakan bahwa, selama periode remaja awal, perkembangan fisik yang makin terlihat adalah perubahan pada fungsi alat kelamin. Perubahan alat kelamin yang semakin nyata ini mengakibatkan remaja seringkali mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Akhirnya tidak jarang dari mereka yang cenderung menyendiri sehingga merasa terasing, makin sulit mengontrol diri dan mudah marah dengan cara yang kurang wajar untuk meyakinkan lingkungan sekelilingnya. Dari pernyataan diatas, kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa pada proses perkembangannya, remaja mengalami perubahan pada fisik yang mengakibatkan remaja menjadi sulit mengontrol dirinya. Dalam proses perkembangan anak remaja, mereka telah mempunyai sikap tertentu, pengetahuan tertentu, serta keterampilan tertentu. Pada masa ini remaja mulai memisahkan diri dari keluarga mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu kepada teman sebayanya. Biasanya karakter keluarga menjadi berubah pada tahun-tahun ini, dimana remaja dan orang tua menghabiskan sedikit waktu yang berkualitas bersama-sama. Remaja juga tidak terlalu butuh dengan kepuasan 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/z emosional yang didapatkan dari saudara sedarah maupun orang tua. Keluarga memang tempat pertama untuk mempelajari emosi. Di dalam lingkungan keluarga tiap anggota keluarga belajar untuk saling merasakan perasaan anggota keluarga lainnya. Remaja dalam anggota keluarga yang diajarkan mengenai keterampilan emosi mampu mengatasi berbagai masalah yang muncul selama proses perkembangannya. Orang tua yang mampu mengkomunikasikan emosinya dengan baik pada anaknya memiliki anak yang mampu bergaul dengan baik, lebih menyayangi orang tuanya dan jarang sekali bentrok dengan orang tuanya. Selain itu, anak juga lebih mampu mengelola emosi, menenangkan diri saat marah dan mau terbuka dalam berkomunikasi dengan orang tuanya (Faturochman, Tyas, & Minza, 2012; Papalia, Olds & Feldman, 2008; Goleman, 2015; Mashar, 2015). Terkait dengan komunikasi, terdapat pola komunikasi keluarga yang diklasifikasikan menjadi 4 tipe. Chaffe, McLeod & Wackman mengembangkan pola komunikasi keluarga dimana terdapat 2 dimensi utama yaitu conformity orientation dan conversation orientation. Pada conformity orientation, keluarga menekankan situasi pada sikap yang sesuai norma, nilai, dan keyakinan. Keluarga ini juga ditandai dengan interaksi yang ditekankan pada keseragaman sikap dan keyakinan. Sedangkan, conversation orientation, keluarga menciptakan suasana agar anggota keluarga terdorong untuk berpartisipasi secara bebas tentang topik yang luas dan beragam. Selanjutnya, 2 dimensi utama inilah yang diklasifikasikan oleh McLeod dan Chaffee menjadi 4 tipe pola komunikasi keluarga (Huang, 2010; Soltani, Hosseini & Mahmoodi, 2013). 4 tipe pola komunikasi keluarga ini meliputi: pertama, yaitu pola komunikasi konsensual dimana conformity orientation tinggi dan conversation orientation tinggi. Pola komunikasi ini menekankan hubungan yang harmonis dan komunikasi yang terbuka antara anak dan orang tua (Huang, 2010). Pola komunikasi keluarga yang kedua yaitu pola komunikasi pluralistik dimana conformity orientation rendah dan conversation orientation tinggi. Pada pola komunikasi pluralistik, anak tidak hanya mempunyai norma dalam keluarga yang berbeda dibandingkan keluarga lain, tetapi didorong untuk mengembangkan pendapat yang kuat dan berbeda tanpa takut akan hukuman (Huang, 2010). 2 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Pola komunikasi keluarga yang ketiga yaitu pola komunikasi keluarga protektif. Pola komunikasi ini menjadikan anak memiliki kurangnya keberanian dari perbedaan pendapat dan menjaga hubungan yang harmonis (Huang, 2010) Terakhir, pola komunikasi keluarga yang keempat yaitu pola komunikasi Laissez-faire dimana conformity orientation rendah dan conversation orientation rendah. Pola komunikasi ini tidak membuat individu merasa tertantang akan opini orang lain maupun hubungan yang harmonis. Artinya, dalam pola komunikasi laissez-faire anak maupun orang tua kurang memperhatikan keinginan orang lain (Huang, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Huang (2010), siswa China dari keluarga protektif dan laissez-faire mempunyai hasil tertinggi dari tingkatan Communication Apprehension atau kekuatan komunikasi dibandingkan dari beberapa siswa yang berasal dari keluarga pluralistik. Temuan lainnya berkaitan dengan Socio-Communicative Orientaion atau orientasi komunikasi-sosial, dalam temuan ini siswa China dari keluarga pluralistik cenderung lebih asertif daripada beberapa siswa dari keluarga laissez-faire dan siswa dari keluarga pluralistik cenderung lebih responsif daripada siswa yang berasal dari keluarga protektif. Penelitian ini dilakukan di Universitas Mid-West di Amerika Serikat dimana dibagikan kuesioner pada 136 mahasiswa China dan 118 mahasiswa yang melengkapi kuesioner diantaranya 55 perempuan dan 63 laki-laki. Sari, dkk (2010) dan Pramesti (2014) menjelaskan bahwa, dalam pola komunikasi yang pertama yaitu pluralistik orang tua memberikan kebebasan pada anak untuk berpendapat. Lalu pada pola komunikasi konsensual orang tua membebaskan anak untuk bermain dan orang tua percaya bahwa anak tahu resiko akan pilihannya. Sedangkan, pola komunikasi protektif dimana 99,4% responden menyatakan sering dan selalu menggunakan pola komunikasi ini dalam berinteraksi di dalam keluarga. Pada pola komunikasi ini, orang tua mengarahkan anak agar anak patuh serta dijelaskan larangan-larangan sebelum melakukan suatu aktivitas. Hal ini berdampak pada cara pengelolaan emosi anak, dimana anak akan berdiam diri untuk merenung, introspeksi diri, serta tidak terbuka terhadap orang 3 http://digilib.mercubuana.ac.id/z terdekatnya. Jadi, anak akan tertutup emosinya pada orang disekitarnya dan sulit untuk mengelola emosi karena adanya larangan-larangan tersebut. Pada masa perkembangan moral, remaja menyadari bahwa laranganlarangan dalam masyarakat termasuk kedalam norma masyarakat yang harus dilaksanakan dan dipertahankan keberadaannya. Maka dari itu, seorang remaja yang mengikuti norma-norma disekitarnya kurang mampu berekspresi tetapi disisi lain mampu untuk menahan dan mengendalikan emosinya (Ali & Asrori, 2014). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pramesti (2014), yang dilakukan pada 90 orang yang berdomisili di Surakarta, dimana memiliki karakteristik yaitu responden termasuk keturunan suku jawa dan beragama islam. Metode yang digunakan meliputi wawancara dan kuesioner terbuka. Hasil penelitian ini yaitu anak mengelola emosi dengan cara berdiam diri untuk merenung, atau introspeksi diri. Ketika anak mendapatkan masalah yang berpengaruh pada keadaan emosi anak, orang tua biasanya menasehati dan anak dapat menerima, menjalankan, dan bahkan bisa mengambil pelajaran. Orang tua juga menanamkan nilai atau norma agar anak dapat menjadikan contoh bagi kehidupannya serta akan mempengaruhi perkembangan emosinya. Artinya, orang tua yang memegang peran dalam memberikan contoh serta menanamkan nilai atau norma kepada anak yang kurang mampu mengelola emosi akan mempengaruhi perkembangan emosinya, anak dapat menerima nasihat, menjalankan nasihat bahkan bisa mengambil pelajaran atas masalah yang dihadapinya. Terkait dengan hal itu, hasil interview dengan guru Bimbingan Konseling (BK) pada SMP Sumpah Pemuda bahwa terdapat anak yang kurang mampu mengenali emosi diri. Semestinya, remaja pada usianya sudah menyadari normanorma yang dijadikan acuan dalam masyarakat. Tetapi dalam kasus ini, terdapat siswa SMP Sumpah Pemuda yang memiliki ketertarikan terhadap gurunya sehingga siswi tersebut mempunyai keberanian mengungkapkan bahwa dirinya ingin dinikahi dengan tujuan mengatasi masalah finansial yang dialaminya. Menurut saya, hal tersebut merupakan ketidakmampuan anak dalam mencermati perasaannya 4 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Tetapi diluar hal tersebut secara keseluruhan siswa SMP Sumpah Pemuda memiliki sopan santun jika berpapasan dengan guru, dengan menyapa serta mencium tangan ibu atau bapak guru misalnya. Hasil interview dengan sekitar 10 siswa kelas VII SMP Sumpah Pemuda dimana siswa diberikan pertanyaan mengenai rasa empati yaitu jika salah satu teman sekelas ada yang mengalami bullying apa yang akan dilakukan, dan jawabannya bervariasi namun mewakili tujuan dari diberikannya pertanyaan tersebut. Dimana beberapa siswa berusaha menasehati teman yang membully dan menghibur teman yang dibully sedangkan beberapa lainnya merasa harus melaporkan tindakan bullying tersebut kepada guru. Dari variasi jawaban tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VII SMP Sumpah Pemuda memiliki rasa empati, dan mampu menangkap sinyal-sinyal tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Selanjutnya, beberapa siswa yang merasa nyaman berada dekat dengan guru BK mampu menceritakan masalah yang dihadapinya pada guru BK dibandingkan jika menceritakan pada salah satu anggota keluarga. Dari hasil data bahwa sebagian besar siswa SMP Sumpah Pemuda tinggal di perkampungan. Sesuai dengan yang diungkapkan Sari, dkk (2010) dimana empat pola komunikasi keluarga memiliki kemungkinan untuk bisa terjadi pada keluarga yang tinggal di perkampungan maupun pemukiman. Fenomena diatas menunjukkan bahwa tampaknya adanya perbedaan antara pola komunikasi dengan kecerdasan emosi pada remaja. Dari fenomena diatas dapat dikatakan bahwa pada sebagian siswa SMP Sumpah Pemuda anak mampu mengekplorasi emosinya. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kecerdasan emosioanal pada pola komunikasi keluarga pada siswa-siswi kelas VII SMP Sumpah Pemuda. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah: Adakah perbedaan tingkat kecerdasan emosional pada pola komunikasi keluarga. 5 http://digilib.mercubuana.ac.id/z 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat kecerdasan emosional pola komunikasi keluarga. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah : 1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam bidang psikologi dengan tujuan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran mengenai perbedaan tingkat kecerdasan emosional pada pola komunikasi keluarga. 2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor klinis maupun masyarakat luas mengenai perbedaan tingkat kecerdasan emosional pada pola komunikasi keluarga 1.5 SISTEMATIKA SKRIPSI BAB I PENDAHULUAN Pada bab i dijelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika skripsi. BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ii memaparkan teori-teori yang menjelaskan mengenai permasalahan yang akan diteliti, kerangka berfikir dan hipotesa penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab iii menjelaskan mengenai desain penelitian, variabel penelitian, responden penelitian, alat ukur penelitian, dan data analisis. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab iv memaparkan gambaran responden dalam penelitian dan hasil penelitian serta analisa data dari penelitian yang telah dilakukan. 6 http://digilib.mercubuana.ac.id/z BAB V PENUTUP Pada bab v menjelaskan saran dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, serta kesimpulan. DAFTAR PUSTAKA 7 http://digilib.mercubuana.ac.id/z