BAB III PEMBAHASAN

advertisement
BAB III
PEMBAHASAN
1.1 Kriteria Kejahatan Dalam Lingkup Yurisdiksi Universal
Karena sifat dari yurisdiksi universal yang tidak mengenal batas teritorial,
nasionalitas, dan kepentingan nasional suatu negara, maka dibutuhkan pembatasan
terhadap pemberlakuan suatu tindakan berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.
Penggunaan prinsip yurisdiksi universal yang tidak dibatasi dan tidak bertanggung
jawab dapat menyebabkan kekacauan dalam tatanan hukum internasional karena
setiap negara dapat memperluas yurisdiksinya terhadap negara lain dengan dalil
penggunaan asas yurisdiksi universal.
Saat ini lingkup tindak pidana yang masuk dalam yurisdiksi universal adalah
serious crimes under international law yang terdiri dari (1) piracy (2) slavery (3)
war crimes (4) crimes against peace (5) crimes against humanity (6) genocide dan
(7) torture.1 Tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari yurisdiksi
universal juga akan mencakup perdagangan manusia, penyelundupan nuklir, dan
kejahatan-kejahatan transnasional lainnya.2 Ada juga beberapa instrumen hukum
yang juga memasukkan beberapa tindak pidana yang tunduk pada asas yurisdiksi
universal seperti contohnya Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of
United States ysng menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy,
perdagangan budak, attack or hijacking aircraft, genocide, war crimes dan
1
Princeton University, Princeton Project on Universal Jurisdiction,2001, hal. 29.
2
Anthony J Colangelo, Legal Limits of Universal Jurisdiction, Virginia Journal of International Law,
Vol. 47, No. 1, 2005. hal. 3.
23
terrorism.3 ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan
ICTR (International Criminal Tribunal for the former Rwanda) sebagai tribunal
internasional walaupun tidak menyatakan secara jelas pemberlakuan asas yurisdiksi
universal tetapi dalam prakteknya sudah terlihat sangat jelas bahwa ICTY dan ICTR
menggunakan asas yurisdiksi universal seperti halnya Pengadilan Nuremberg.
ICTY dan ICTR memasukkan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan
perang dalam cakupan yurisdiksinya.
Pada tahun 2001, beberapa ahli hukum baik dari kalangan akademisi maupun
praktisi membentuk Princeton Principle4 yang menyatakan ruang lingkup apa saja
yang tunduk dalam yurisdiksi universal. Sampai saat ini tujuh tindak pidana yang
dinyatakan dalam Princeton Principle masih dianggap oleh dunia internasional
sebagai kejahatan internasional yang sangat serius oleh komunitas internasional.
Princeton Principle karena dibentuk oleh para ahli hukum dan praktisi hukum
internasional menjadikannya sebagai doktrin dalam hukum internasional. Hal ini
menegaskan otoritas Princeton Principle sebagai sumber hukum internasional
walaupun wewenangnya tidak sekuat konvensi-konvensi atau perjanjian
internasional.
Eksistensi yurisdiksi universal dalam perkembangannya di bagi dalam dua
bagian yaitu yurisdiksi universal tradisional yang mencakup pembajakan di laut
lepas dan perbudakan, dan yurisdiksi universal modern yang mencakup kejahatan
internasional seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida,
3
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar,Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2014, hal. 247.
,
4
Princeton University, Princeton Project on Universal Jurisdiction,2001.
24
dan lain-lain. Yurisdiksi universal tradisional menjadi titik awal lahirnya yurisdiksi
universal modern pada masa ini karena konsep yurisdiksi universal dibentuk pada
masa penerapan yurisdiksi universal tradisional.
A. Yurisdiksi Universal Tradisional
Yurisdiksi universal tradisional mencakup dua kejahatan pada masa awal
diberlakukannya yaitu :
a.
Pembajakan (Piracy)
Masalah pembajakan dalam hukum internasional pada masa ini diatur dalam
UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Pasal 101 UNCLOS
mendefinisikan pembajakan sebagai berikut :
Piracy consists of any of the following acts:
(a) any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation,
committed for private ends by the crew or the passengers of a private ship or
a private aircraft, and directed:
(i) on the high seas, against another ship or aircraft, or against
persons or property on board such ship or aircraft;
(ii) against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the
jurisdiction of any State;
(b) any act of voluntary participation in the operation of a ship or of an aircraft
with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft;
(c) any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in
subparagraph (a) or (b).
25
Pembajakan merupakan tindak pidana pertama yang tunduk dalam yurisdiksi
universal. Bahkan dapat dikatakan bahwa prinsip yurisdiksi universal lahir pertama
kali disebabkan karena adanya keinginan dari negara-negara untuk menindak
kejahatan pembajakan yang dilakukan di laut lepas. Pembajakan telah menjadi
masalah bagi komunitas internasional sejak abad ke 10, dan negara-negara telah
menggunakan prinsip yurisdiksi universal sejak saat itu untuk menindak pelaku
pembajakan.5
Pada masa ini seperti yang telah dikatakan di atas bahwa pembajakan dan
segala peraturannya telah dikodifikasikan di bawah hukum internasional dalam
UNCLOS. UNCLOS masih menganut prinsip yurisdiksi universal yang terlihat
dalam pasal 100 yang menyatakan “All States shall co-operate to the fullest extent
in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the
jurisdiction of any State.” Pasal ini mewajibkan seluruh negara anggota UNCLOS
untuk mencegah pembajakan di laut lepas tanpa terkecuali. Selain itu pasal 110
(right of visit) mengizinkan kapal suatu negara dari negara manapun untuk
mendekati kapal yang dicurigai sebagai kapal pembajak atau perompak. Pasal 105
UNCLOS memberikan izin bagi semua negara untuk menangkap dan menahan
perompak. Pasal 105 berbunyi:
On the high seas, or in any other place outside the jurisdiction of
any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship
or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and
arrest the persons and seize the property on board. The courts of
the State which carried out the seizure may decide upon the
penalties to be imposed, and may also determine the action to be
5
Amnesty International, “Chapter Two: The History of Universal Jurisdiction” in Universal
Jurisdiction: The Duty of States to Enact and Implement Legislation.
26
taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the
rights of third parties acting in good faith.
Pasal-pasal yang disebutkan di atas merepresentasikan pembajakan sebagai
kejahatan internasional yang tunduk dalam yurisdiksi universal. Argumen untuk
menggunakan yurisdiksi universal untuk kejahatan-kejahatan internasional modern
seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lahir dari
prinsip yurisdiksi universal terhadap pembajakan di laut lepas sehingga sering
dikatakan sebagai "piracy-analogy".
b.
Perbudakan (Slavery)
Definisi perbudakan menurut Slavery Convention6 adalah
Slavery is the status or condition of a person over whom any or
all of the powers attaching to the right of ownership are
exercised. The slave trade includes all acts involved in the
capture, acquisition or disposal of a person with intent to reduce
him to slavery; all acts involved in the acquisition of a slave with
a view to selling or exchanging him; all acts of disposal by sale
or exchange of a slave acquired with a view to being sold or
exchanged, and, in general, every act of trade or transport in
slaves
Perbudakan tidak jauh berbeda dengan pembajakan dalam sejarahnya hingga
perbudakan dianggap oleh negara-negara harus juga ikut tunduk dalam yurisdiksi
universal. Hal ini disebabkan karena perdagangan budak banyak sekali dilakukan
di laut lepas di luar yurisdiksi suatu negara.7 Beberapa negara sudah
mengundangkan bahwa perbudakan masuk dalam lingkup yurisdiksi universal
6
Slavery Convention, diamandemen dengan Protocol Amending the Slavery Convention, 7
Desember 1953.
7
Ibid. hal. 12.
27
seperti Amerika Serikat dalam Restatement (Third) of the Foreign Relations Law
of United States pasal 404 mengatakan "A state has jurisdiction to define and
prescribe punishment for certain offenses recognized by the community of nations
as of universal concern, such as piracy, slave trade, attacks on or hijacking of
aircraft, genocide, war crimes, and perhaps certain acts of terrorism, even where
none of the bases of jurisdiction indicated in article 402 is present". Negara-negara
lain seperti Yunani, Selandia Baru, Nikaragua, dan Vanuatu juga sudah
mengundangkan bahwa perbudakan dapat diadili di bawah prinsip yurisdiksi
universal.8
Pada tahun 1928, beberapa negara di benua Amerika membentuk Final Act
of the Sixth International Conference of American States9, yang di dalamnya juga
membahas tentang perbudakan. Artikel nomor 308 menyebutkan “Piracy, trade in
Negroes and slave traffic, white slavery, the destruction or injury to submarine
cables, and all other offences of a similar nature against international law
committed on the high sea, in the open air, and on the territory not yet organized
into a State, shall be punished by the captor in accordance with the penal laws of
the latter.” Artikel 308 menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana yang disebutkan
dalam artikel tersebut dapat dihukum oleh siapa pun penangkapnya tanpa
menjelaskan tentang tempat tindak pidana atau nasionalitas pelaku tindak
kejahatan. Dalam UNCLOS juga sedikit disinggung tentang perbudakan yaitu pada
artikel 110.
8
Ibid.
9
Convention on Private International Law , Final Act of the Sixth International Conference of
American States, Havana, 20 February 1928, art. 308.
28
B. Yurisdiksi Universal Modern
Setelah perang dunia kedua berakhir, IMT (International Military Tribunal)
dan peradilan Nuremberg lainnya menjadi titik fundamental lahirnya yurisdiksi
universal modern yang mencakup kejahatan perang, genosida, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)
mengakui bahwa peradilan Nuremberg merupakan fondasi dari eksistensi
yurisdiksi universal modern saat ini yang mencakup kejahatan perang, genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan lain-lain.10 Jika mengacu pada Princeton
Principles, maka yurisdiksi universal modern mencakup :
a.
Kejahatan Perang, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dan Kejahatan Terhadap
Perdamaian (War Crimes, Crimes Againts Humanity, and Crimes Againts
Peace)
Pada musim panas 1945, empat negara pemenang Perang Dunia II yaitu
Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Uni Soviet mengadakan konferensi di
London untuk memutuskan dengan cara apa mereka bisa menghukum petinggi
Nazi, pelaku kejahatan perang.11 Dari konferensi tersebut dilahirkan London
Agreement12 yang di dalamnya dimuat juga Statute of Nuremberg, sebagai dasar
hukum pelaksanaan pengadilan internasional tersebut. Hal paling penting dan
berarti dari statuta tersebut adalah dimasukkannya dua kejahatan substantif yang
10
G.A. Resolution on Nuremberg Principles, G.A. Res. 95, 11 December 1946.
11
Yustina T.N Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal.138.
12
The Agreement for the Prosecution and Punishment of Major War Criminals of the European Axis,
and Establishing the Charter of the International Military Tribunal, 8 Agustus 1945.
29
belum pernah dinyatakan dalam hukum internasional sebelumnya yaitu kejahatan
terhadap perdamaian (crimes againts peace) dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes againts humanity).13 Pengadilan Internasional Nuremberg harus diakui
telah menciptakan preseden baru dalam hukum internasional. Pengadilan
Internasional Nuremberg memberikan terobosan yang sangat besar terhadap
eksistensi yurisdiksi universal dalam hukum internasional untuk mengadili
penjahat-penjahat kejahatan internasional yang serius. Pengadilan Internasional
Nuremberg juga menyimpulkan bahwa asas "nullum crime sine lege" tidak
merupakan suatu pembatasan kedaulatan (limitation of sovereignity), tetapi secara
umum merupakan suatu asas keadilan (a principle of justice).
14
Hakim-hakim
dalam Pengadilan Internasional Nuremberg berpendapat bahwa melanggar asas
legalitas untuk mengadili seseorang memang tidak adil, tetapi membiarkan orang
yang bersalah untuk tidak dipidana merupakan hal yang lebih tidak adil. Pengadilan
Internasional Nuremberg menolak doktrin kedaulatan negara yang melindungi
individual terhadap pertanggungjawaban pidana.15 Data empiris menunjukkan
bahwa Pengadilan Internasional Nuremberg telah menciptakan konsep crimes
againts humanity dan menyingkirkan imunitas kedaulatan , di samping menerapkan
retroactive justice yang kontroversial.16 Walaupun Pengadilan Internasional
Nuremberg tidak menyatakan secara jelas bahwa yurisdiksinya adalah yurisdiksi
universal, tetapi dari prakteknya dapat dilihat bahwa Pengadilan Internasional
13
14
Op Cit.
Ibid.
15
Ibid.
16
Roling B.V.A dan Cassesse A, The Tokyo Trial and Beyond, Policy Press,Cambridge,1993. hal.1.
30
Nuremberg menggunakan prinsip yurisdiksi universal untuk mengadili para pelaku
kejahatan perang. Dapat dilihat dari komposisi negara asal hakim yang mengadili,
dalam Pengadilan Internasional Nuremberg, hakim-hakim berasal dari negara
Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan Rusia. Negara-negara asal para hakim tidak
ada hubungannya dengan pelaku kejahatan yang berkewarganegaraan Jerman, tidak
juga mempunyai hubungan terhadap lokasi kejahatan, dan tidak juga memiliki
hubungan terhadap korban karena korban dari pelaku kejahatan tersebut adalah
kaum yahudi.
Perlu diperjelas dalam pengertian kejahatan perang dan cakupan kejahatan
apa saja yang masuk dalam kualifikasi kejahatan perang agar tidak menyebabkan
kebingungan dalam aplikasinya. Dalam London Agreement, kejahatan perang
diklasifikasikan dalam dua kejahatan yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan
terhadap
mengklasifikasikan
perdamaian.
kejahatan
Pengadilan
terhadap
Internasional
kemanusiaan
Nuremberg
sebagai
murder,
extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed
against any civilian population, before or during the war, or persecutions on
political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime
within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic
law of the country where perpetrated.17 Dalam statuta Roma pasal 7 mendefinisikan
kejahatan kemanusiaan sebagai salah satu dari perbuatan berikut ini yang apabila
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan
kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu:
17
Charter of the International Military Tribunal pasal 6(c), 8 Agustus 1945.
31
a) Pembunuhan
b) Pemusnahan
c) Perbudakan
d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk
e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan
melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional
f) Penyiksaan
g) Perkosaan,
perbudakan
seksual,
pemaksaan
prostitusi,
penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk
kekerasan seksual lain yang cukup berat;
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi
atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya,
agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar
lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan
berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan
setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap
kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah
i) Penghilangan paksa
j) Kejahatan apartheid
k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara
sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap
badan atau mental atau kesehatan fisik
32
Pengertian sistematik dan meluas sendiri didefinisikan menurut M. Cherif
Bassiouni berarti adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan
kebijakan organisasi untuk pelaku di luar negara. Sedangkan istilah meluas juga
merujuk pada istilah sistematik. Hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat
meluas tetapi korban atau targetnya bersifat acak.18 Sedangkan kejahatan terhadap
perdamaian disebut juga dengan kejahatan agresi. Agresi dianggap oleh komunitas
internasional sebagai tindakan yang menimbulkan konflik antar negara dan
merusak perdamaian dalam dunia internasional. Hal ini dibuktikan dalam London
Agreement paragraf a pasal 6 yang menyebutkan “Crimes against Peace: namely,
planning, preparation, initiation or waging of wars of aggression, or a war in
violation of international treaties, agreements orassurances, or participation in a
common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the foregoing”.
Kejahatan agresi (crime of aggression) yang dianggap sebagai kejahatan terhadap
perdamaian (crime against peace) tentu terkait erat dengan hak atas perdamaian
suatu Negara (right to peace), dan juga hak untuk mempertahankan diri (self
defense rights) atas kedaulatan suatu negara. Piagam PBB juga memproklamirkan
perdamaian dan keamanan sebagai nilai-nilai tertinggi yang patut dihargai. Dalam
pembukaan Piagam PBB disebutkan bahwa untuk menghindarkan terjadinya
bencana perang, PBB akan menerapkan toleransi dan hidup bersama dalam
perdamaian satu bangsa dengan bangsa yang lain sesuai asas bertetangga yang baik
(good neighboard). Pada prinsipnya PBB melarang anggotanya melakukan perang
18
M. Cherif Bassiouni, Crimes Againts Humanity, Oxford Press, 1998, hal. 499.
33
terhadap Negara lain.19 Selain itu Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi
Majelis Umum PBB nomor 2625 tahun 1970, tentang asas hukum internasional
disebutkan bahwa setiap Negara tidak boleh melakukan ancaman agresi terhadap
keutuhan wilayah dan kemerdekaan Negara lain. Dalam asas ini ditekankan bahwa
setiap negara tidak boleh memberikan ancaman dengan kekuatan militer dan tidak
boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan piagam PBB.20 Dari penjelasan
di atas dapat dibuktikan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap
perdamaian adalah kejahatan agresi.
Kejahatan perang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
terhadap perdamaian yang dicetuskan oleh Pengadilan Internasional Nuremberg
mulai mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional untuk dapat diadili dengan
asas yurisdiksi universal setelah Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang
mengakui bahwa Pengadilan Internasional Nuremberg yang menggunakan asas
yurisdiksi universal dalam peradilannya dapat diterima.21 Majelis Umum PBB
dalam resolusinya menyatakan “ ... the right to punish war crimes is not confijined
to the state whose nationals have sufffered or on whose territory the offfence took
place but is possessed by any independent state whatsoever, just as is the right to
punish offfences of piracy.” Resolusi PBB walaupun sifatnya yang tidak mengikat,
tetapi dalam banyak kesempatan dijadikan sebagai opinio juris atau dianggap
19
Preambule of Charter of the United Nations, San Francisco 1945.
20
Point (a) UN General Assembly Resolution 2625 (xxv). Declaration on Principles of International
Law Friendly Relations and Co-Operation Among States in Accordance with the Charter of the
United Nations.
21
G.A. Resolution on Nuremberg Principles, G.A. Res. 95, 11 December 1946.
34
sebagai hukum kebiasaan internasional yang juga merupakan sumber hukum
internasional. Setelah diakui oleh PBB, digunakannya yurisdiksi universal dalam
mengadili tindak pidana kejahatan perang mulai mendapatkan dasar hukumnya
dalam Konvensi Jenewa tahun 1949. Dalam pasal 49 dan pasal 130 Konvensi
Jenewa menyebutkan “Each High Contracting Party shall be under the obligation
to search for persons alleged to have committed, or to have ordered to be
committed, [certain] grave breaches [of the Convention], and shall bring such
persons, regardless of their nationality, before its own courts. It may also, if it
prefers, and in accordance with the provisions of its own legislation, hand such
persons over for trial to another High Contracting Party concerned . . .” Prinsip
yurisdiksi universal sangat terlihat dalam konvensi tersebut karena konvensi
Jenewa mewajibkan negara-negara pesertanya untuk mencari dan mengadili pelaku
kejahatan di hadapan pengadilan negara peserta mana pun tanpa memperhatikan
nasionalitas pelaku. Konvensi Jenewa menggunakan asas aut dedere aut judicare,
yang berarti berarti bahwa setiap negara berkewajiban menuntut dan mengadili
pelaku kejahatan internasional serta berkewajiban melakukan kerjasama dengan
negara lain dalam rangka menahan, menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan
internasional.22 Asas ini juga yang memberikan fondasi bagi diterapkannya prinsip
yurisdiksi universal dalam komunitas internasional.
Setelah Pengadilan Internasional Nuremberg membentuk preseden baru
terhadap penggunaan asas yurisdiksi universal untuk mengadili, peradilan suatu
22
Yana Shy Kraytman, "Universal Jurisdiction-Historical Root and Modern Implication," Brussels
Journal of International Studies, vol. 2, 2005. hal. 112.
35
negara yang pertama kali menggunakan asas yurisdiksi universal dalam prakteknya
adalah Israel yang mengadili Eichmann pada tahun 1962. Dalam prosesnya, tidak
ada negara yang memiliki yurisdiksi sebenarnya terhadap Eichmann yaitu Jerman
dan Austria yang melancarkan protes atas pengadilan terhadap Eichmann yang
menggunakan prinsip yurisdiksi universal tersebut.23 Sejak itu, prinsip yurisdiksi
universal digunakan dalam beberapa praktek peradilan beberapa negara di dunia
yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini.
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
dan
kejahatan
agresi
pada
perkembangannya dipisahkan dari kejahatan perang, sehingga kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan agresi menjadi kejahatan internasional serius yang tidak
hanya dianggap kejahatan dalam situasi perang. Hal ini terlihat dalam batasan
yurisdiksi yang dimiliki oleh ICC. Pasal 5 statuta Roma mengatakan " “the
jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to
the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance
with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.”
b.
Genosida (Genocide)
Pasal 2 Konvensi Genosida tahun 1948 mengklasifikasikan perbuatan
genosida sebagai berikut : “In the present Convention, genocide means any of the
following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national,
23
Ibid.
36
ethnical, racial or religious group, as such killing member of the group, causing
serious bodily or mental harm to members of the group, deliberately inflicting on
the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in
whole or in part, imposing measures intended to prevent births within the group,
Forcibly transferring children of the group to another group."24
Konvensi Genosida saat ini sudah diratifikasi oleh banyak negara yang
merefleksikan Konvensi Genosida dapat dijadikan sebagai sumber hukum
kebiasaan internasional (international customary law). Sampai pada tahun 2001,
sudah ada 132 negara yang meratifikasi konvensi Genosida. Kejahatan Genosida
dianggap masyarakat internasional sebagai jus cogens dan erga omnes setelah
mendapat pengakuan dari peradilan-peradilan internasional dan dipakai juga dalam
praktek peradilan internasional seperti ICTY dan ICTR. Pada tahun 1951,
International Court of Justice (ICJ) mengeluarkan opini terkait dengan Konvensi
Genosida. ICJ mengatakan bahwa “the principles underlying the Convention are
principles which are recognized by civilized nations as binding on States, even
without any conventional obligation and the universal character both of the
condemnation of genocide and of the co-operation required ‘in order to liberate
mankind from such an odious scourge."25 Lebih jauh lagi, ICJ memasukkan
24
Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide , 9 Desember 1948,
art.3.
25
Reservations to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide,
Advisory Opinion, ICJ Rep. 1951.
37
genosida sebagai kejahatan erga omnes. Kejahatan erga omnes menurut Akehurst
adalah26 :
erga omnes are concerned with the enforceability of norms of
international law, the violation of which is deemed to be an
offence notonly against the state directly affected by the breach,
but also against all members of the international community.
Istilah erga omnes dalam hukum internasional digunakan sebagai istilah yang
menunjukan sebuah kewajiban hukum yang dimiliki oleh negara terhadap
masyarakat negara secara keseluruhan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut
menjadi perhatian tidak hanya negara korban, tetapi juga kepada semua anggota
lain dari komunitas internasional. Asas erga omnes mendukung pandangan bahwa
negara mana pun di dunia dapat mengadili pelaku kejahatan genosida dengan
prinsip yurisdiksi universal ketika suatu negara yang memeiliki yurisdiksi nasional
terhadap pelaku tidak mempunyai keinginan atau tidak mampu untuk mengadili
pelaku kejahatan tersebut.27
Hingga saat ini sudah ada beberapa praktek peradilan yang menyangkut
tentang kejahatan genosida yang menggunakan prinsip yurisdiksi universal.
Contohnya adalah dalam kasus Pinochet yang diadili oleh Pengadilan Inggris. Salah
satu hakim dalam pengadilan tersebut mengatakan " The struggle against impunity
of persons responsible for crimes under international law is, therefore, a
26
Peter Malanezuk, Akehurst‟s Modern Introduction to International Law, Routledge, New York,
1997, hal. 58.
27
Amnesty International, Universal Jurisdiction-The duty of states to enact and enforce legislation
Chapter Seven : Genocide, Amnesty International, vol. 57, no. 10, Tahun 2001.
38
responsibility of all states. National authorities have, at least, the right to take such
measures as are necessary for the prosecution and punishment of crimes against
humanity .... We find that, as a matter of customary law, or even more strongly as
a matter of jus cogens, universal jurisdiction over crimes against humanity exists,
authorizing national judicial authorities to prosecute and punish the perpetrators
in all circumstances." 28
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa genosida menjadi
kejahatan internasional yang menjadi kriteria kejahatan yang dapat diadili dengan
prinsip yurisdiksi universal.
c.
Penyiksaan (Torture)
Instrumen internasional yang paling relevan mengenai penyiksaan adalah
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment tahun 1984 yang selanjutnya akan disebut dengan Torture Convention.
Konvensi ini sudah diratifikasi oleh 141 negara.
Penyiksaan di definisikan dalam Torture Convention terdapat dalam pasal 1
(a) yang mengatakan "For the purposes of this Convention, the term "torture"
means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is
intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a
third person information or a confession, punishing him for an act he or a third
person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or
coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any
kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the
28
Ibid.
39
consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official
capacity. It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or
incidental to lawful sanctions."
Menurut Amnesty Internasional, terdapat beberapa negara-negara peserta
konvensi yang secara jelas memasukkan penyiksaan sebagai kejahatan
internasional di bawah hukum kebiasaan internasional dan menentukan bahwa
yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Negara-negara tersebut adalah Australia, Brazil, Cameroon, Canada, China,
Colombia, Finland, France, Iceland, Malta, Belanda, Portugal, United Kingdom,
United States and Uruguay. Sebagai contoh, Inggris memasukkan penyiksaan
dalam Criminal Justice Act tahun 1988 yang di dalamnya dikatakan bahwa prinsip
yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Dalam Criminal Justice Act pasal 134 (1) dan (2) mengatakan “(1) A public official
or person acting in an official capacity, whatever his nationality, commits the
offence of torture if in the United Kingdom or elsewhere he intentionally inflicts
severe pain or suffering on another in the performance or perported performance
of his official duties
(2) A person not falling within subsection (1) above commits the offence of torture,
whatever his nationality, if:
(a) in the United Kingdom or elsewhere he intentionally inflicts severe pain
or suffering on another at the instigation or with the consent or acquiescence: (i) of a public official; or
(ii) of a person acting in an official capacity; and
40
(b) the official or other person is performing or purporting to perform his
official duties when he instigates the commission of the offence or consents to or
acquiesces in it.”
Hingga saat ini belum banyak pengadilan internasional yang dalam
prakteknya menggunakan asas yurisdiksi universal untuk mengadili perkara
penyiksaan. Sejauh ini penerimaan kejahatan penyiksaan sebagai kejahatan
internasional berat yang dapat diadili dengan prinsip yurisdiksi universal baru
sebatas ada dalam undang-undang negara-negara yang telah disebutkan di atas.
Mengambil benang merah dari tujuh kejahatan internasional yang telah
dibahas di atas, maka terdapat unsur-unsur yang kurang lebih sama dan diakui oleh
masyarakat internasional sebagai kejahatan berat yang mengancam kepentingan
seluruh masyarakat internasional. Penulis menemukan unsur-unsur tersebut adalah
a. Kejahatan tersebut mengganggu keamanan dan perdamaian dunia
internasional
b. Kejahatan tersebut memakan korban yang jumlahnya banyak
c. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang sistematik, bukan
kejahatan yang tiba-tiba terjadi
d. Kejahatan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat
Unsur - unsur di atas harus dirumuskan kembali oleh-oleh negara-negara dalam
komunitas internasional agar, terdapat kejelasan terhadap kejahatan-kejahatan apa
saja yang memenuhi unsur-unsur di atas. Lembaga yang paling berwenang untuk
menentukan kejahatan apa saja yang memenuhi unsur tersebut adalah seluruh
41
negara di dunia, sehingga terdapat alternatif untuk merumuskan kejahatankejahatan tersebut melalui PBB.
1.2 Penerapan Yurisdiksi Universal dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional
Penerapan yurisdiksi universal dalam hukum internasional sudah banyak
disinggung dalam pembahasan sebelumnya tentang kriteria kejahatan internasional
yang masuk dalam lingkup yurisdiksi universal. Penerapan yurisdiksi universal
dalam hukum internasional terdapat dalam konvensi-konvensi internasional seperti
contohnya UNCLOS, Konvensi Genosida, dan Konvensi Jenewa. Selain terdapat
dalam konvensi-konvensi, prinsip yurisdiksi universal dalam hukum internasional
juga terdapat dalam praktek-praktek pengadilan seperti contohnya Pengadilan
Internasional Nuremberg, ICTY, dan ICTR.
Praktek yurisdiksi universal dalam hukum nasional, selain diakui oleh hukum
nasional lewat ratifikasi konvensi-konvensi internasional, juga dapat ditemukan
pada undang-undang nasional suatu negara dan praktek pengadilan suatu negara.
Eksistensi yurisdiksi universal dalam hukum nasional dibagi dalam dua jenis yaitu
yurisdiksi universal absolut (Absolute Universal Jurisdiction) dan yurisdiksi
universal kondisional (Conditional Universal Jurisdiction).
Yurisdiksi universal absolut artinya tidak perlu ada hubungan sama sekali
antara negara yang mengadili dengan pelaku kejahatan yang diadili.29 Antara tahun
29
Noora Arajarvi, Looking Back from Nowhere: Is There a Future for Universal Jurisdiction over
International Crimes?, Tilburg Law Review, vol.16,2011 hal.
42
1980 sampai tahun 1990, Belgia dan Spanyol menjadi negara pertama dalam zaman
modern yang menganut prinsip yurisdiksi universal dalam hukum nasionalnya dan
dipakai juga dalam praktek peradilannya. Kasus pertama yang ditangani oleh
pengadilan Spanyol terkait penggunaan prinsip yurisdiksi universal adalah kasus
Scilingo, yang dihadapkan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Scilingo
merupakan warga negara Argentina dan melakukan kejahatannya di Argentina di
bawah rezim militer militer Argentina pada saat itu. Tidak ada hubungan sama
sekali antara Spanyol dan Scilingo.
Negara selanjutnya yang menerapkan prinsip yurisdiksi universal dalam
undang-undangnya adalah Belgia. Pada tahun 1993, Belgia mengundangkan The
Law of Universal Jurisdiction atau undang-undang yang juga dikenal dengan
Belgium's Genocide Law. Didasari oleh undang-undang ini, pada tahun 2001,
pengadilan tinggi Belgia mengadili empat orang warga negara Rwanda yang
dituduhkan melanggar kejahatan terhadap kemanusiaan di Rwanda. Kasus ini
dikenal dengan nama Bustare Four Case. Kasus ini merupakan kasus pertama yang
diadili oleh pengadilan Belgia berdasarkan asas yurisdiksi universal. Selama
prosesnya hingga selesai, kasus tersebut berjalan lancar dan tidak mendapatkan
halangan dari komunitas internasional walaupun Belgia menggunakan prinsip
yurisdiksi universal dalam prakteknya.30
Yurisdiksi universal kondisional artinya ada kondisi-kondisi tertentu yang
harus dipenuhi agar pengadilan suatu negara dapat mengadili seseorang dengan
30
ibid.
43
prinsip yurisdiksi universal. Sebagai contoh, negara Belgia pada tahun 2003
mengeluarkan undang-undang tentang yurisdiksi ekstrateritorial yang mengatakan
bahwa yurisdiksi universal dapat dianut paling tidak jika kejahatan tersebut
memiliki beberapa hubungan dengan Belgia sebelum atau sesudah kejahatan
dilakukan. Kondisi atau hubungan yang harus ada yaitu : yang dituduhkan
merupakan penduduk, korban sudah tinggal di Belgia selama lebih dari tiga tahun,
atau ada perjanjian internasional yang mewajibkan Belgia untuk mengadili
seseorang dengan prinsip yurisdiksi universal.31
Yurisdiksi universal kondisional ini merupakan salah satu cara dalam hukum
nasional untuk memperketat penggunaan asas yurisdiksi universal sehingga tidak
ada pelanggaran-pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain. Penulis mempunyai
pandangan bahwa yurisdiksi universal kondisional tidak merefleksikan kegunaan
sebenarnya penggunaan asas yurisdiksi universal karena batasan-batasan yang ada
justru mempersempit ruang gerak yurisdiksi universal. Argumen selanjutnya adalah
penggunaan yurisdiksi universal absolut dalam prakteknya tidak menimbulkan
pertentangan berarti dari komunitas internasional selama lingkup kejahatan yang
dilakukan benar-benar memenuhi kriteria penggunaan prinsip yurisdiksi universal.
31
ibid.
44
Download