HIV AIDS DAN KESEHATAN PEREMPUAN HIV AIDS And Women`s

advertisement
HIV AIDS DAN KESEHATAN PEREMPUAN
HIV AIDS And Women's Health
Erni Wingki Susanti
STIKES Muhammadiyah Samarinda
ABSTRAK
Permasalahan HIV/AIDS di Indonesia kini sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan.
Bila pada awalnya hanya menyerang pada kelompok resiko tinggi, kini HIV & AIDS juga
menginfeksi perempuan, istri atau ibu rumah tangga yang setia pada suami atau pasangannya. Di
Indonesia, jumlah kumulatif penderita AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai dengan
September 2014 paling banyak berasal dari kelompok Ibu Rumah Tangga (6.539 kasus). Beberapa
faktor yang menyebabkan perempuan ibu rumah tangga rentan terinfeksi virus HIV/AIDS yaitu
pertama, ketidakadilan gender. Kedua, tertular perilaku berisiko suami dalam hubungan perkawinan
seperti seks komersial dan narkoba suntik. Ketiga, stigma dan diskriminasi. Keempat, secara biologis
perempuan lebih mudah tertular penyakit-penyakit melalui hubungan seksual dibanding laki-laki.
Kelima, akses informasi dan pendidikan perempuan jauh lebih rendah sehingga mereka tidak
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi, termasuk persoalan seputar
HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka. Pemanfaatan pelayanan pada
penderita HIV/AIDS merupakan salah satu bentuk perilaku mencari pelayanan kesehatan.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi faktor
predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan stigma. Faktor pemungkin yang terwujud dalam
aksesibilitas dan kemudahan pencapaian pelayanan kesehatan baik dari segi jarak dan biaya. Serta
faktor penguat seperti dukungan sosial.
ABSTRACT
The problem of HIV / AIDS in Indonesia now has reached the alarming stage. When initially only
attack in high-risk groups, HIV & AIDS is now also infecting women, wives or housewives who are
faithful to a husband or partner. In Indonesia, the cumulative number of AIDS cases reported since
1987 up to September 2014 are mostly from groups Housewife (6,539 cases). Some of the factors that
made women vulnerable housewives infected with HIV / AIDS: first, gender injustice. Second, the
risk of contracting behavior of the husband in the marriage relationship as commercial sex and
injecting drugs. Third, stigma and discrimination. Fourth, women are biologically more easily infected
with the disease through sexual intercourse than men. Fifth, access to information and education of
women is much lower so that they do not have enough knowledge about reproductive health,
including issues concerning HIV / AIDS and health services they are entitled to. Care utilization in
patients with HIV / AIDS is a form of health-seeking behavior. Utilization of health services is
affected by several factors that include the predisposing factors embodied in knowledge, attitudes, and
stigma. Enabling factors embodied in accessibility and ease of attainment of health services in terms
of both distance and cost. As well as reinforcing factors such as social support.
Pendahuluan
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan penyebab penyakit Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dengan
cara menyerang sel darah putih sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Kasus
HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es,
dengan jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan yang sebenarnya.
Hal ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang
dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat
secara signifikan1.
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35
juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16
juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia < 15
tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013
sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa
dan 240.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah
kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang
terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak
berusia < 15 tahun. Hingga saat ini HIV AIDS
sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di
seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif
penderita HIV dari tahun 1987 sampai
September 2014 sebanyak 150.296 orang,
sedangkan total kumulatif kasus AIDS sebanyak
55.799 orang2.
Permasalahan HIV/AIDS di Indonesia kini
sudah
sampai
pada
tahap
yang
mengkhawatirkan. Bila pada awalnya kelompok
yang beresiko tinggi HIV ialah mereka dengan
perilaku seksual tertentu, yaitu kelompok
homoseksual, kelompok heteroseksual yang
berganti-ganti pasangan, pekerja seksual, dan
mereka yang menggunakan jarum suntik tidak
steril, antara lain para pengguna narkoba suntik,
kini HIV & AIDS juga menginfeksi perempuan,
istri atau ibu rumah tangga yang setia pada
suami atau pasangannya3.
HIV/AIDS
pada
perempuan
akan
menimbulkan dampak yang sangat besar baik
dari segi fisik, psikologis, sosial maupun
spiritual. Kondisi tersebut akan semakin berat
apabila perempuan tersebut dalam kondisi
hamil, melahirkan, dan mempunyai bayi4.
Dampak fisik perempuan HIV yaitu
perubahan pada berat dan bentuk badan, mudah
lelah, hormon menjadi tidak stabil, dan
gangguan reproduksi. Masalah psikologis yang
dihadapi oleh perempuan HIV yaitu mengalami
stres dan cemas, dimana dapat mengakibatkan
penurunan sistem imun secara drastis5,6.
Perempuan dengan HIV, dari segi social
juga mendapat diskriminasi atau stigma.karena
penyakit yang dideritanya. Sementara dari aspek
spiritual perempuan dengan HIV/AIDS memiliki
kualitas hidup yang rendah karena sebagian
besar perempuan dengan HIV/AIDS masih
belum dapat menerima kenyataan mengenai
statusnya dan merasa bahwa Tuhan tidak adil.
Hal ini berbeda dengan perempuan yang sudah
dapat menerima kenyataan mengenai statusnya,
terdapat kualitas hidup yang lebih baik dan
mendekatkan diri kepada Tuhan7,8.
Bagi Perempuan Ibu Rumah Tangga,
realitas terkena HIV & AIDS berkaitan dengan
konstruksi sosial budaya masyarakat yang
menempatkan laki-laki dan perempuan dalam
posisi yang tidak sama. Masih adanya
ketimpangan sosial antara relasi kuasa laki-laki
terhadap
perempuan,
membuat
kondisi
perempuan ibu rumah tangga menjadi buruk,
walau terkena dari suaminya sendiri. Dalam
beberapa kasus, bagi perempuan ibu rumah
tangga yang terkena HIV & AIDS juga
mempunyai beban ganda seperti merawat suami
yang sakit, merawat anak yang kemungkinan
juga tertular, mencari nafkah karena beban
pengeluaran akan semakin besar, belum lagi
adanya stigma dan diskriminasi yang terjadi dari
masyarakat yang belum memahami HIV &
AIDS secara komprehensif9.
Epidemiologi HIV/AIDS
Di Indonesia, HIV AIDS pertama kali
ditemukan di provinsi Bali pad atahun 1987.
Berdasarkan
laporan
provinsi,
jumlah
(kumulatif) kasus infeksi HIV yang dilaporkan
sejak tahun 1987 sampai September 2014 yang
terbanyak adalah Provinsi DKI Jakarta (32.782
kasus). Sepuluh besar kasus HIV terbanyak ada
di provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua,
Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Jawa Tengah,
Kalimantan Barat, Kepualuan Riau, dan
Sulawesi Selatan.
Pola
penularan
HIV
berdasarkan
kelompok umur dalam 5 tahun terakhir tidak
banyak berubah. Infeksi HIV paling banyak
terjadi pada kelompok usia produktif 25-49
tahun yaitu sebanyak 16.421 kasus, diikuti
kelompok usia 20-24 tahun dengan 3.587 kasus.
Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan
kelompok umur memiliki pola yang jelas. Kasus
AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai
September 2014 terbanyak pada kelompok usia
20-29 tahun (32,9%), diikuti kelompok usia 3039 tahun (28,5%) dan 40-49 tahun (10,7%).
Pola penularan HIV berdasarkan jenis
kelamin memiliki pola yang hampir sama dalam
7 tahun terakhir yaitu lebih banyak terjadi pada
kelompok laki-laki dibandingkan kelompok
perempuan dengan perbandingan kasus 59% :
41 %. Sedangkan kasus AIDS berdasarkan jenis
kelamin sejak tahun 1987 sampai September
2014, lebih banyak terjadi pada kelompok lakilaki (54%) atau hamper 2 kali lipat dibandingkan
pada kelompok perempuan (29%). Meskipun
jumlah kasus HIV /AIDS pada laki – laki lebih
tinggi dibanding perempuan, tetapi karena cara
penularan terbanyak adalah melalui heteroseks
(8.922 kasus), hal ini dapat berdampak
terjadinya penularan pada perempuan sehingga
perempuan menjadi kelompok yang paling
rentan tertular HIV dari pasangan atau
suaminya.
Menurut jenis pekerjaan, penderita AIDS
paling banyak berasal dari kelompok Ibu Rumah
Tangga (6.539 kasus). Data kasus ini jauh sekali
bila dibandingkan dengan kelompok penjaja
seks yaitu sebanyak 2.052 kasus. Berdasarkan
kelompok berisiko, kasus AIDS paling banyak
terjadi pada kelompok heteroseksual (61,5%),
diikuti pengguna narkoba jenis injeksi (IDU)
sebesar 15,2% dan homoseksual (2,4%).
Case fatality rate (CFR) di Indonesia pada
tahun 2001 menunjukkan penurunan yang
signifikan bila dibandingkan pada tahun 2000
yaitu dari 18,16% menjadi 4,94% kemudian naik
kembali sampai tahun 2004 menjadi 13,86%.
Selanjutnya menunjukkan kecenderungan yang
menurun hingga September 2014 (0,46%). Hal
ini membuktikan bahwa upaya pengobatan yang
dilakukan telah berhasil guna menurunkan angka
kematian akibat AIDS.
Data Kementerian Kesehatan (2011)
menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang
menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya
positif terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan
Matematika
Epidemi
HIV Kementerian
Kesehatan tahun 2012 menunjukkan prevalensi
HIV pada populasi usia 15-49 tahun dan
prevalensi HIV pada ibu hamil di Indonesia
diperkirakan akan meningkat. Jumlah kasus
HIV-AIDS diperkirakan akan meningkat dari
591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016), dengan
jumlah infeksi baru HIV yang meningkat dari
71.879 (2012) menjadi 90.915 (2016).
Sementara itu, jumlah kematian terkait AIDS
pada populasi 15-49 tahun akan meningkat
hampir dua kali lipat di tahun 2016.
Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayinya juga cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan
HIV positif yang tertular baik dari pasangan
maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun
angka prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke
bayi masih terbatas, jumlah ibu hamil yang
terinfeksi HIV cenderung meningkat. Prevalensi
HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat
dari 0,38% (2012) menjadi 0,49% (2016), dan
jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan
layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak (PPIA) juga akan meningkat dari 13.189
orang pada tahun 2012 menjadi 16.191 orang
pada tahun 2016. Demikian pula jumlah anak
berusia di bawah 15 tahun yang tertular HIV
dari ibunya pada saat dilahirkan ataupun saat
menyusui akan meningkat dari 4.361 (2012)
menjadi 5.565 (2016), yang berarti terjadi
peningkatan angka kematian anak akibat
AIDS10.
Patofisiologi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS
yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang
yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi
seumur hidup. Kebanyakan orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa
tanda dan gejala dari suatu penyakit) untuk
jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya
mereka telah dapat menulari orang lain.
AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immune Deficiency Syndrome. “Acquired”
artinya tidak diturunkan, tetapi didapat;
“Immune” adalah sistem daya tangkal atau
kekebalan
tubuh
terhadap
penyakit;
“Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang;
dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan
gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari
infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi
HIV berjalan sangat progresif merusak sistem
kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat
menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau
virus. Kebanyakan orang dengan HIV akan
meninggal dalam beberapa tahun setelah tanda
pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan
dan terapi yang diberikan.
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang,
maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai
mereplikasidiri dalam sel orang tersebut
(terutama sel limfosit T CD4 dan makrofag).
Virus HIV akan mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibody
untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan
terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi
melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama
2-12 minggu dan disebut masa jendela (window
period). Selama masa jendela, pasien sangat
infeksius, mudah menularkan kepada orang lain,
meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih
negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa
infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana
gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah:
demam, pembesaran kelenjar getah bening,
keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan
batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap
tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk
jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10
tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat
menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita
hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut
terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium
antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu
tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang,
virus memperbanyak diri secara cepat dan
diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan
sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala
berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif.
Progresivitas tergantung pada beberapa faktor
seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40
tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Human immunodeficiency virus (HIV)
dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu
melalui :
1. Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual
adalah cara yang paling dominan dari semua
cara penularan. Penularan melalui hubungan
seksual dapat terjadi selama sanggama lakilaki dengan perempuan atau laki-laki dengan
laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral
antara dua individu. Risiko tertinggi adalah
penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
Kontak seksual oral langsung termasuk
dalam kategori risiko rendah tertular HIV.
Tingkatan risiko tergantung pada jumlah
virus yang ke luar dan masuk ke dalam
tubuh seseorang, seperti pada luka
sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi,
dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat
genital.
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau
organ dan jaringan yang terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika
darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum
dan semprit suntikan, atau penggunaan alat
medik lainnya yang dapat menembus kulit.
Kejadian di atas dapat terjadi pada semua
pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit,
poliklinik, pengobatan tradisional melalui
alat penusuk/jarum, juga pada pengguna
napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada
organ dapat juga terjadi pada proses
transplantasi jaringan/organ di fasilitas
pelayanan kesehatan.
3. Penularan dari ibu ke anak
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi
HIV didapat dari ibunya. Virus dapat
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV
kepada anaknya selama hamil, saat
persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan
yang tepat dan dini, setengah dari anak yang
terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum
ulang tahun kedua.
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh
pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu :
1. Faktor ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat
menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika
ibu
menyusui
bayinya
sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu
ke anak. Risiko penularan HIV menjadi
sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.
b. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih
berisiko menularkan HIV ke bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko
penularan HIV semakin besar.
c. Status gizi ibu hamil
Berat badan rendah serta kekurangan
vitamin dan mineral selama hamil
meningkatkan
risiko
ibu
untuk
menderita penyakit infeksi yang dapat
meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi
menular
seksual,infeksi
saluran
reproduksi
lainnya,
malaria,dan
tuberkulosis, berisiko meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV
ke bayi.
e. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan
penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat
meningkatkan risiko penularan HIV
melalui ASI.
2. Faktor bayi/anak
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi
saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan
sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian asi
Semakin lama ibu menyusui, risiko
penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
c. Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengn luka di mulutnya lebih
berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
3. Faktor tindakan obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar
darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko
penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
a. Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per
vaginam lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan
berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak semakin tinggi, karena
semakin lama terjadinya kontak antara
bayi dengan darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum
persalinan
meningkatkan
risiko
penularan hingga dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari 4 jam
d. Tindakan episiotomy, ekstrasi vakum
dan forceps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi
melukai ibu atau bayi
Kerentanan Perempuan Terinfeksi HIV/AIDS
Perempuan Ibu Rumah Tangga rentan
terinfeksi virus HIV & AIDS karena rendahnya
daya tawar dan negosiasi dalam hubungan
seksual. Berdasarkan laporan badan AIDS PBB
atau UNAIDS, yang menyebutkan lebih dari 1,7
juta perempuan di Asia hidup dengan HIV
positif, dan 90% nya tertular dari suami atau
pasangan seksual. Perempuan yang rentan
tertular adalah ibu-ibu rumah tangga9. Di
Indonesia, jumlah kumulatif penderita AIDS
yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai
dengan September 2014 menurut jenis
pekerjaan, penderita AIDS di Indonesia paling
banyak berasal dari kelompok Ibu Rumah
Tangga (6.539 kasus). Angka kasus ini lebih
besar jika dibandingkan dengan kelompok
penjaja seks, yaitu sebanyak 2.052 kasus2.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
perempuan ibu rumah tangga rentan terinfeksi
virus HIV/AIDS. Pertama, yaitu ketidakadilan
gender. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya
bargaining power untuk menegosiasikan
hubungan intim, cenderung tidak sanggup
mengatakan „tidak‟ untuk setiap keinginan
pasangan seksual, serta ketidaktahuan dan
keengganan
meminta
informasi
kepada
pasangan tentang status kesehatan pasangan
seksualnya tersebut. Ketidakadilan bertambah
tajam jika perempuan sangat tergantung secara
ekonomi kepada pasangan11. Ketergantungan
ekonomi dan persoalan kuatnya budaya
patriarkhi menyebabkan perempuan tidak
berdaya memilih untuk tetap berada dalam
hubungan yang beresiko tinggi daripada memilih
berpisah dari suaminya dan menghadapi resiko
ekonomi yang lebih besar. Masa depan keluarga
mereka
utamakan
daripada
memikirkan
kesehatan dan pencegahan penularan HIV pada
diri mereka. Maka, faktor ketergantungan
ekonomi menyebabkan ketidakadilan gender dan
pada akhirnya melemahkan upaya melindungi
diri mereka dari HIV/AIDS dalam lingkup yang
paling dekat, yaitu suami sebagai pasangan
seksual mereka12.
Kedua, yaitu tertular perilaku berisiko
suami dalam hubungan perkawinan seperti seks
komersial dan narkoba suntik. Adanya kebijakan
mobilitas penduduk, pembangunan fisik yang
dilakukan di daerah perkotaan dan lapangan
kerja yang sempit di daerah pedesaan
menyebabkan arus urbanisasi ke kota-kota besar
di Indonesia meningkat, yang membuat banyak
penduduk desa yang melakukan urbanisasi untuk
bekerja di kota dengan pengetahuan yang sangat
minim tentang HIV & AIDS9.
Ketiga,
stigma
dan
diskriminasi.
Perempuan mengalami stigma ganda, yaitu
sebagai perempuan makhluk kelas dua yang
cenderung disalahkan atas apa yang terjadi
terhadap
dirinya
sendiri.
Masyarakat
menganggap semestinya perempuan dapat
menjaga diri, suami, dan keluarganya sehingga
tidak terinfeksi HIV/AIDS. Stigma kedua adalah
sebagai ODHA (orang dengan HIV/AIDS), yaitu
orang yang dianggap tidak baik perilakunya dan
tidak bermoral, sehingga bisa terinfeksi penyakit
menular dan harus dijauhi. Faktor ini
menyebabkan perempuan segan memeriksakan
diri dan mengetahui status HIV-nya; ia pun
mengabaikan kemungkinan dirinya terinfeksi
dari pasangan11.
Keempat, perempuan adalah kelompok
yang rentan terinfeksi HIV/AIDS karena secara
biologis, mereka lebih mudah tertular penyakitpenyakit melalui hubungan seksual dibanding
laki-laki. Perempuan memiliki permukaan
(mukosa) alat kelamin yang lebih luas sehingga
cairan sperma mudah terpapar ketika hubungan
seksual. Selain itu, sperma yang terinfeksi HIV
mempunyai konsentrasi virus yang lebih tinggi
dibanding konsentrasi HIV pada cairan vagina.
Hal lain yang berkaitan dengan faktor biologis
adalah kecenderungan perempuan untuk tidak
mengalami gejala pada waktu menderita sebuah
penyakit menular seksual. Penyakit menular
seksual diketahui selain menjadi indicator
perilaku berisiko, juga bisa menjadi pintu bagi
HIV, terutama bagi penyakit yang menyebabkan
luka atau ulcer11.
Kelima, akses informasi dan pendidikan
perempuan jauh lebih rendah sehingga mereka
tidak memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai kesehatan reproduksi, termasuk
persoalan seputar HIV/AIDS dan pelayanan
kesehatan yang menjadi hak mereka. Tak bisa
dilupakan, hal ini juga terjadi karena perempuan
disosialisasikan
sedemikian
rupa
untuk
menomorduakan
kebutuhan
kesehatannya
sesudah anggota keluarganya. Bahkan ada
stereotip bahwa penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan reproduksi dianggap suatu hal
yang memalukan dan kotor jika terjadi pada
perempuan11.
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pada
Perempuan Terinfeksi HIV/AIDS
Pemanfaatan pelayanan pada penderita
HIV/AIDS merupakan salah satu bentuk
perilaku
mencari
pelayanan
kesehatan.
Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
itu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi
faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan,
sikap, dan stigma. Faktor pemungkin yang
terwujud dalam aksesibilitas dan kemudahan
pencapaian pelayanan kesehatan baik dari segi
jarak dan biaya. Serta faktor penguat seperti
dukungan sosial13.
Pemberian pengetahuan tentang HIV
diperlukan untuk mencegah infeksi baru dengan
mengajarkan cara mencegah penularan virus
kepada orang lain. Selain itu, memungkinkan
dan memberdayakan penderita HIV/AIDS untuk
me ningkatkan mutu hidup, serta kebutuhan
dasar tentang informasi dasar HIV dan
pengobatan, supaya orang dengan HIV dapat
mengakses layanan medis dan pengobatan HIV.
Pengetahuan yang tinggi, biasanya berhubungan
dengan tingkat pendidikan yang tinggi.
Pengetahuan
juga
dibutuhkan
untuk
mendapatkan
dukungan
emosional
dan
dukungan praktis. Pengetahuan yang perlu
diketahui oleh penderita HIV/AIDS adalah
tindakan praktis, cara mendapatkan dan
menggunakan kondom, cara menyarankan dan
mempraktikkan seks aman, mencegah infeksi
dalam lingkungan medis/ ketika menggunakan
narkoba suntik14,15.
Beberapa
hasil
penelitian
yang
mendukung yaitu, mereka yang mempunyai
pengetahuan tinggi berpeluang 60,1 kali lebih
besar untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Pengetahuan yang tinggi tentang HIV/AIDS
mengubah perilaku dan dapat mengendalikan
kondisi penyakit sehingga dapat hidup lebih
lama serta cenderung patuh meminum obat
ARV18,17. Pengetahuan tentang ketersediaan
pelayanan di fasilitas kesehatan mendorong
lebih baik memanfaatkannya15.
Sikap berpengaruh langsung terhadap
perilaku, lebih berupa predisposisi perilaku yang
hanya akan direalisasikan apabila kondisi dan
situasi memungkinkan. Sikap akan berubah
dengan akses terhadap informasi melalui
persuasif/tekanan
dari
kelompok sosial,
seseorang sering bertindak bertentangan dengan
sikap19. Sikap yang positif meningkatkan
pemanfaatan pelayanan kesehatan 26,45 kali
lebih besar. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya, sekitar 77% penderita
HIV di Nigeria mempunyai sikap yang positif
dengan kepatuhan terapi ARV14. Di Namibia,
sikap yang positif akan meningkatkan
pemanfaatan pelayanan kesehatan18.
Stigma dipelayanan kesehatan dapat
menghambat pemanfaatan pelayanan kesehatan,
serta
berpengaruh
pada
kepercayaan,
pengetahuan
tentang
HIV/AIDS
dan
menurunkan rasa percaya diri13. Stigma tidak
menghalangi penderita HIV/AIDS di Namibia
untuk tetap menggunakan pelayanan kesehatan
berbasis rumah yang didasari oleh pengetahuan
yang tinggi mengenai penyakit HIV dan sikap
yang positif terhadap tempat pelayanan18. Di
Vietnam, stigma personal memengaruhi
frekuensi kunjungan penderita HIV/AIDS ke
pelayanan kesehatan setiap bulan16.
Pelayanan kesehatan di KDS (Kelompok
Dukungan Sebaya) Female Plus yang tetap
dimanfaatkan, kemungkinan dipengaruhi oleh
pengetahuan yang tinggi tentang penyakit
HIV/AIDS, sikap yang positif dan dukungan
keluarga dan teman-teman di KDS membuat
kesadaran tentang pentingnya mengakses
pelayanan kesehatan dan mengabaikan stigma
yang mereka rasakan di pelayanan kesehatan13.
Faktor pemungkin dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan penderita HIV/AIDS salah
satu adalah jarak pelayanan kesehatan.
Pemanfaataan pelayanan kesehatan oleh
sebagian besar perempuan terinfeksi HIV/AIDS
dengan jarak rumah yang dekat dengan tempat
pelayanan kesehatan tampak tinggi. Jarak tidak
membatasi kemampuan dan kemauan untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan karena
didukung oleh tersedianya sarana transportasi
yang lancar. Walaupun jarak jauh, harus
mengeluarkan biaya ekstra, dan menempuh
perjalanan yang lama, mereka tetap dating
minimal satu bulan sekali untuk mengambil obat
ARV. Jarak biasanya juga berkaitan dengan
akses pelayanan yang diinginkan, status sosial
ekonomi, penyakit infeksi yang diderita selain
HIV dan usia13.
Faktor selanjutnya adalah dukungan sosial
sebagai faktor penguat bagi penderita HIV/AIDS
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang mendapat
dukungan sosial berpeluang 19,8 kali lebih
tinggi
untuk
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan. Dukungan sosial membuat penderita
HIV/AIDS merasa tidak sendiri dan masih
disayangi, mempunyai pengetahuan yang tinggi
dengan saling berbagi informasi terkait
HIV/AIDS, meningkatkan kepatuhan terapi
ARV. Pada akhirnya, memberdayakan diri
sendiri dan meningkatkan mutu hidup18.
Dukungan sebaya meningkatkan pengetahuan
HIV/AIDS para anggota karena dukungan
sebaya memungkinkan terjadi komunikasi
dengan ketersediaan tempat belajar dan
informasi HIV/AIDS terkini melalui diskusi
dengan tenaga kesehatan dan seminar.
Keterbukaan dan rasa nyaman membuat mereka
lebih mudah menerima informasi19.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada
umumnya dan perempuan terinfeksi HIV/AIDS
pada khususnya sebenarnya membutuhkan
dukungan, bukan dikucilkan agar harapan hidup
mereka menjadi lebih panjang. Dengan adanya
dukungan sosial maka akan tercipta lingkungan
kondusif yang mampu memberikan motivasi
maupun memberikan wawasan baru bagi mereka
dalam menghadapi kehidupannya. Dukungan
sosial ini dapat meminimalkan tekanan
psikososial yang dirasakan, sehingga mereka
dapat memiliki gaya hidup yang lebih baik dan
dapat memberikan respon yang lebih positif
terhadap lingkungan sosialnya. Selain itu,
dengan adanya dukungan sosial ini maka mereka
akan merasa dihargai, dicintai, dan merasa
menjadi bagian dari masyarakat, sehingga
mereka tidak merasa didiskriminasi yang
nantinya dapat bedampak positif bagi
kesehatannya20.
Perempuan, Keluarga, dan HIV
Mengingat sifat penyakit HIV/AIDS yang
kronis dengan masa inkubasi dan perjalanan
penyakit yang lama, maka penderita HIV/AIDS
kebanyakan adalah usia produktif antara 20-45
tahun. Penyakit HIV/AIDS banyak diderita oleh
laki-laki daripada perempuan, meskipun
demikian perempuan merupakan pihak yang
paling rentan terhadap penularan HIV/AIDS dari
pasangan atau suaminya.
Sampai saat ini secara budaya di Indonesia
perempuan atau ibu masih merupakan pengurus
atau orang yang bertanggung jawab untuk
mengurus dan mengelola keluarga termasuk
mengurus dan merawat anggota keluarga yang
sakit. Sehingga menjadi ibu atau perempuan di
dalam keluarga sangat berat, apalagi ditambah
dengan menderita HIV/AIDS21.
Salah satu yang menjadi kebutuhan dasar
manusia adalah kebutuhan untuk dicintai yang
secara lebih lanjut berujung pada sebuah
harapan untuk membangun suatu keluarga. Pada
tahap
kehidupan
selanjutnya,
seorang
perempuan yang belum menikah pada usia
produktif memiliki rencana untuk membangun
suatu keluarga disertai dengan usaha untuk
memenuhi fungsi-fungsi dalam keluarga
terutama fungsi-fungsi pokok dalam keluarga.
Fungsi-fungsi pokok tersebut meliputi fungsi
biologik, fungsi afeksi, dan fungsi sosialisasi.
Perempuan di dalam keluarga memiliki peran
untuk melakukan fungsi biologik salah satunya
adalah fungsi untuk melakukan reproduksi22.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
dalam proses menghasilkan keturunan menjadi
sumber ketakutan bagi para calon ibu,
khususnya mereka yang terinfeksi HIV/AIDS,
karena mereka berkeyakinan kondisi tersebut
dapat menularkan virus yang sama kepada bayi
mereka bahkan juga kepada saudara mereka
yang sering melakukan aktifitas bersama21.
Perempuan ODHA yang memiliki
pengetahuan yang baik mengenai HIV dan
kehidupan keluarga ODHA, mengkonstruksi
hidup berkeluarga sebagai tujuan hidup terakhir,
hidup berkeluarga demi mencapai kebutuhan
mereka akan kasih sayang, keinginan mereka
untuk memiliki anak sebagai penerus keturunan.
Meskipun terinfeksi HIV tetapi mereka tetap
optimis untuk dapat membangun sebuah
keluarga yang sempurna dengan tetap
melaksanakan fungsi keluarga yang ada. Hal
tersebut tidak terlepas dari kondisi mereka yang
tampak sehat seperti orang normal lainnya,
status HIV tanpa munculnya gejala yang serius
memberikan keyakinan bahwa mereka masih
dapat menjalani hidup secara normal tentunya
dengan usaha yang lebih keras dalam
pengobatan dan pemanfaatan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi22.
Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu ke
Anak
Di sejumlah negara berkembang HIVAIDS merupakan penyebab utama kematian
perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada
ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta
ibu dapat menularkan virus kepada bayinya.
Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV,
ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke
anak
atau
mother-tochild
HIV
transmission(MTCT).
Virus
HIV
dapat
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada
anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan
saat menyusui. Program Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti
sebagai intervensi yang sangat efektif untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Di
negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu
dapat ditekan hingga kurang dari 2% karena
tersedianya intervensi PPIA dengan layanan
optimal. Namun di Negara berkembang atau
negara miskin, dengan minimnya akses
intervensi, risiko penularan masih berkisar
antara 20% dan 50%10.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak dilaksanakan melalui kegiatan
komprehensif yang meliputi empat pilar (4
prong), yaitu:
A. Prong 1 : Pencegahan penularan HIV pada
perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
Langkah dini yang paling efektif
untuk mencegah terjadinya penularan HIV
pada anak adalah dengan mencegah
penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi 15-49 tahun (pencegahan
primer). Pencegahan primer bertujuan
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak
secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya
perilaku hubungan seksual berisiko atau bila
terjadi perilaku seksual berisiko maka
penularan masih bias dicegah, termasuk
mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak
tertular oleh pasangannya yang terinfeksi
HIV.
Upaya pencegahan ini tentunya harus
dilakukan
dengan
penyuluhan
dan
penjelasan yang benar terkait penyakit HIVAIDS, dan penyakit IMS dan didalam
koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang
disampaikan tentunya harus memperhatikan
usia, norma, dan adat istiadat setempat,
sehingga
proses
edukasi
termasuk
peningkatan pengetahuan komprehensif
terkait HIV-AIDS dikalangan remaja
semakin baik. Untuk menghindari perilaku
seksual yang berisiko upaya mencegah
penularan HIV menggunakan strategi
“ABCD”, yaitu:
1. A (Abstinence), artinya Absen seks atau
tidak melakukan hubungan seks bagi
orang yang belum menikah
2. B (Be Faithful), artinya Bersikap saling
setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan)
3. C (Condom), artinya Cegah penularan
HIV melalui hubungan seksual dengan
menggunakan kondom
4. D (Drug No), artinya Dilarang
menggunakan narkoba
Kegiatan yang dapat dilakukan pada
pencegahan primer antara lain:
1. Menyebarluaskan
Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) tentang
HIV-AIDS dan Kesehatan Reproduksi,
baik secara individu maupun kelompok,
untuk:
a. Meningkatkan
kesadaran
masyarakat
tentang
cara
menghindari penularan HIV dan
IMS
b. Menjelaskan manfaat mengetahui
status atau tes HIV sedini mungkin
c. Meningkatkan pengetahuan petugas
kesehatan
tentang
tatalaksana
ODHA perempuan
d. Meningkatkan keterlibatan aktif
keluarga dan komunitas untuk
meningkatkan
pengetahuan
komprehensif HIV dan IMS
2. Mobilisasi masyarakat
a. Melibatkan
petugas
lapangan
(seperti
kader
kesehatan/PKK,
PLKB, atau posyandu) sebagai
pemberi informasi pencegahan HIV
dan IMS kepada masyarakat dan
untuk membantu klien mendapatkan
akses layanan kesehatan
b. Menjelaskan
tentang
cara
pengurangan risiko penularan HIV
dan
IMS,
termasuk
melalui
penggunaan kondom dan alat suntik
steril
c. Melibatkan komunitas, kelompok
dukungan sebaya, tokoh agama dan
tokoh
masyarakat
dalam
menghilangkan
stigma
dan
diskriminasi
3. Layanan tes HIV
Konseling dan tes HIV dilakukan
melalui pendekatan Konseling dan Tes
atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP)
dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS),
yang merupakan komponen penting
dalam upaya pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak. Cara untuk mengetahui
status HIV seseorang adalah melalui tes
darah. Prosedur pelaksanaan tes darah
dilakukan dengan memperhatikan 3 C
yaitu Counselling, Confidentiality, dan
informed consent. Jika status HIV ibu
sudah diketahui :
a. HIV positif: lakukan intervensi
PPIA komprehensif agar ibu tidak
menularkan HIV kepada bayi yang
dikandungnya
b. HIV negatif: lakukan konseling
tentang cara menjaga agar tetap HIV
negative
Layanan konseling dan tes HIV
diintegrasikan dengan pelayanan KIA
sesuai
dengan
strategi
Layanan
Komprehensif
Berkesinambungan,
agar :
a. Konseling dan tes HIV dapat
ditawarkan kepada semua ibu hamil
dalam paket pelayanan ANC
terpadu, sehingga akan mengurangi
stigma terhadap HIVAIDS
b. Layanan konseling dan tes HIV di
layanan KIA akan menjangkau
banyak ibu hamil, sehingga
pencegahan penularan ibu ke
anaknya dapat dilakukan lebih awal
dan sedini mungkin.
c. Penyampaian informasi dan tes HIV
dapat dilakukan oleh semua petugas
di fasilitas pelayanan kesehatan
kepada semua ibu hamil dalam
paket pelayanan ANC terpadu,
sehingga akan mengurangi stigma
terhadap HIV-AIDS.
d. Pelaksanaan konseling dan tes HIV
mengikuti Pedoman Konseling dan
Tes
HIV;
petugas
wajib
menawarkan tes HIV dan
melakukan pemeriksaan IMS,
termasuk tes sifilis, kepada semua
ibu hamil mulai kunjungan antenatal
pertama
bersama
dengan
pemeriksaan
laboratorium lain
untuk ibu hamil (inklusif dalam
paket pelayanan ANC terpadu).
e. Tes HIV ditawarkan juga bagi
pasangan laki-laki perempuan dan
ibu hamil yang dites (couple
conselling)
f. Di setiap jenjang layanan kesehatan
yang memberikan layanan PPIA
dalam paket pelayanan KIA, harus
ada
petugas
yang
mampu
melakukan konseling dan tes HIV;
g. Di layanan KIA, konseling pasca tes
bagi perempuan HIV negatif
difokuskan pada informasi dan
bimbingan agar klien tetap HIV
negatif selama kehamilan, menyusui
dan seterusnya;
h. Konseling penyampaian hasil tes
bagi perempuan atau ibu hamil yang
HIV positif juga memberikan
kesempatan
untuk
dilakukan
konseling
berpasangan
dan
penawaran tes HIV bagi pasangan
laki-laki;
i. Pada setiap jenjang pelayanan
kesehatan, aspek kerahasiaan ibu
hamil ketika mengikuti proses
konseling sebelum dan sesudah tes
HIV harus terjamin;
j. Menjalankan konseling dan tes HIV
di
klinik
KIA
berarti
mengintegrasikan juga program
HIV-AIDS dengan layanan lainnya,
seperti pemeriksaan rutin untuk
IMS, pengobatan IMS, layanan
kesehatan reproduksi, pemberian
gizi tambahan, dan keluarga
berencana;
k. Upaya pengobatan IMS menjadi
satu paket dengan pemberian
kondom sebagai bagian dari upaya
pencegahan.
4. Dukungan untuk perempuan yang HIV
negative
a. Ibu hamil yang hasil tesnya HIV
negatif perlu didukung agar status
dirinya tetap HIV negatif
b. Menganjurkan agar pasangannya
menjalani tes HIV
c. Membuat pelayanan KIA yang
bersahabat untuk pria, sehingga
mudah dan dapat diakses oleh
suami/pasangan ibu hamil
d. Mengadakan kegiatan konseling
berpasangan pada saat kunjungan ke
layanan KIA
e. Peningkatan pemahaman tentang
dampak HIV pada ibu hamil, dan
mendorong dialog yang lebih
terbuka antara suami dan istri/
pasangannya
tentang
perilaku
seksual yang aman
f. Memberikan informasi kepada
pasangan laki-laki atau suami bahwa
dengan
melakukan
hubungan
seksual yang tidak aman, dapat
berakibat pada kematian calon bayi,
istri dan dirinya sendiri
g. Menyampaikan informasi kepada
pasangan laki-laki atau suami
tentang
pentingnya
memakai
kondom untuk mencegah penularan
HIV.
B. Prong 2 : Pencegahan kehamilan yang tidak
direncanakan pada perempuan HIV positif
Perempuan dengan HIV berpotensi
menularkan virus kepada bayi yang
dikandungnya jika hamil.Karena itu, ODHA
perempuan disarankan untuk mendapatkan
akses layanan yang menyediakan informasi
dan sarana kontrasepsi yang aman dan
efektif untuk mencegah kehamilan yang
tidak direncanakan. Konseling yang
berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi
yang aman dan efektif serta penggunaan
kondom secara konsisten akan membantu
perempuan dengan HIV agar melakukan
hubungan seksual yang aman, serta
menghindari terjadinya kehamilan yang
tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa
infeksi HIV bukan merupakan indikasi
aborsi.
“Perempuan dengan HIV yang
tidak ingin hamil dapat menggunakan
kontrasepsi
yang
sesuai
dengan
kondisinya dan disertai penggunaan
kondom untuk mencegah penularan HIV
dan IMS.
Perempuan dengan HIV yang
memutuskan untuk tidak mempunyai
anak
lagi
disarankan
untuk
menggunakan kontrasepsi mantap dan
tetap menggunakan kondom.”
Sejalan dengan kemajuan pengobatan
HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV
dapat merencanakan kehamilannya dan
diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi
HIV. Petugas kesehatan harus memberikan
informasi yang lengkap tentang berbagai
kemungkinan yang dapat terjadi, terkait
kemungkinan terjadinya penularan, peluang
anak untuk tidak terinfeksi HIV. Dalam
konseling perlu juga disampaikan bahwa
perempuan dengan HIV yang belum
terindikasi untuk terapi ARV bila
memutuskan untuk hamil akan menerima
ARV seumur hidupnya. Jika ibu sudah
mendapatkan terapi ARV, jumlah virus
HIV di tubuhnya menjadi sangat rendah
(tidak terdeteksi), sehingga risiko
penularan HIV dari ibu ke anak menjadi
kecil, Artinya, ia mempunyai peluang besar
untuk memiliki anak HIV negatif. Ibu
dengan
HIV
berhak
menentukan
keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi
dengan pasangan, suami atau keluarganya.
Perlu
selalu
diingatkan
walau
ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV
demikian penggunaan kondom harus tetap
dilakukan setiap hubungan seksual untuk
pencegahan
penularan
HIV
padapasangannya.
C. Prong 3 : Pencegahan penularan HIV dari
ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV
pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini
merupakan inti dari kegiatan Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif
mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. Layanan ANC terpadu termasuk
penawaran dan tes HIV
Pelayanan tes HIV merupakan
upaya membuka akses bagi ibu hamil
untuk mengetahui status HIV, sehingga
dapat melakukan upaya untuk mencegah
penularan HIV ke bayinya,memperoleh
pengobatan ARV sedini mungkin,
dukungan psikologis, informasi dan
pengetahuan tentang HIV-AIDS.
2. Diagnosis HIV
Pemeriksaan diagnostik infeksi
HIV dapat dilakukan secara virologis
(mendeteksi antigen DNA atau RNA)
dan serologis (mendeteksi antibodi HIV)
pada specimen darah. Pemeriksaan
diagnostik infeksi HIV yang dilakukan
di
Indonesia
umumnya
adalah
pemeriksaan serologis menggunakan tes
cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA.
Pemeriksaan
diagnostik
tersebut
dilakukan
secara
serial
dengan
menggunakan tiga reagen HIV yang
berbeda dalam hal preparasi antigen,
prinsip tes, dan jenis antigen, yang
memenuhi kriteria sensitivitas dan
spesifitas. Hasil pemeriksaan dinyatakan
reaktif jika hasil tes dengan reagen 1
(A1), reagen 2 (A2), dan reagen 3 (A3)
ketiganya positif (Strategi 3). Pemilihan
jenis
reagen
yang
digunakan
berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas,
merujuk pada Standar Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Pemeriksa
HIV
dan
Infeksi
Oportunistik,
Kementerian Kesehatan.
Untuk ibu hamil dengan faktor
risiko yang hasil tesnya indeterminate,
tes diagnostic HIV dapat diulang dengan
bahan baru yang diambil minimal 14
hari setelah yang pertama dan
setidaknya
tes
ulang
menjelang
persalinan (32-36 minggu).
3. Pemberian terapi antiretroviral;
Sampai sekarang belum ada obat
yang dapat menyembuhkan HIV-AIDS,
namun dengan terapi antiretroviral,
jumlah virus di dalam tubuh dapat
ditekan sangat rendah, sehingga ODHA
dapat tetap hidup layaknya orang sehat.
Terapi ARV bertujuan untuk:
a. Mengurangi laju penularan HIV di
masyarakat
b. Menurunkan angka kesakitan dan
kematian yang berhubungan dengan
HIV
c. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
d. Memulihkan dan memelihara fungsi
kekebalan tubuh
e. Menekan replikasi virus secara
maksimal.
Cara paling efektif untuk
menekan replikasi HIV adalah
dengan memulai pengobatan dengan
kombinasi ARV yang efektif. Semua
obat yang dipakai harus dimulai pada
saat yang bersamaan pada pasien baru.
Terapi
kombinasi
ARV
harus
menggunakan dosis dan jadwal yang
tepat. Obat ARV harus diminum terus
menerus
secara
teratur
untuk
menghindari
timbulnya
resistensi.
Diperlukan peran serta aktif pasien dan
pendamping/keluarga dalam terapi ARV.
Di samping ARV, timbulnya infeksi
oportunistik harus mendapat perhatian
dan tatalaksana yang sesuai.
Pemberian terapi antiretroviral
(ART) untuk ibu hamil dengan HIV
mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis
dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa. Penentuan saat yang tepat
untuk memulai terapi obat antiretroviral
(ARV) pada ODHA dewasa didasarkan
pada kondisi klinis pasien (stadium
klinis WHO) atau hasil pemeriksaan
CD4. Namun pada ibu hamil, pasien TB
dan penderita Hepatitis B kronik aktif
yang terinfeksi HIV, pengobatan ARV
dapat dimulai pada stadium klinis
apapun atau tanpa menunggu hasil
pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4
tetap diperlukan untuk pemantauan
pengobatan.
Pemberian ARV pada ibu hamil
dengan HIV selain dapat mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke anak,
adalah untuk mengoptimalkan kondisi
kesehatan ibu dengan cara menurunkan
kadar HIV serendah mungkin. Pilihan
terapi yang direkomendasikan untuk ibu
hamil dengan HIV adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2
NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin
hindari triple nuke (3 NRTI).
Data yang tersedia menunjukkan
bahwa pemberian ARV kepada ibu
selama hamil dan dilanjutkan selama
menyusui adalah intervensi PPIA
yang paling efektif untuk kesehatan ibu
dan juga mampu mengurangi risiko
penularan HIV dan kematian bayi.
Pemberian ARV untuk ibu hamil
dengan HIV mengikuti Pedoman
Tatalaksana
Klinis
dan
Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa,
Kementerian
Kesehatan
(2011).Pemberian ARV disesuaikan
dengan kondisi klinis ibu (lihat Tabel 5)
dan mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
a. Ibu hamil merupakan indikasi
pemberian ARV.
b. Untuk perempuan yang status HIVnya diketahui sebelum hamilan,
dan pasien sudah mendapatkan
ART , maka saat hamil ART tetap
diteruskan dengan regimen yang
sama seperti saat sebelum hamil.
c. Untuk ibu hamil yang status HIVnya diketahui sebelum umur
kehamilannya 14 minggu, jika ada
indikasi dapat diberikan ART.
Namun jika tidak ada indikasi,
pemberian ART ditunggu hingga
umur kehamilannya 14 minggu.
Regimen ART yang diberikan sesuai
dengan kondisi klinis ibu.
d. Untuk ibu hamil yang status HIVnya
diketahui
pada
umur
kehamilan ≥ 14 minggu, segera
diberikan ART berapapun nilai CD4
dan stadium klinisnya. Regimen
ART yang diberikan sesuai dengan
kondisi klinis ibu.
e. Untuk ibu hamil yang status HIVnya diketahui sesaat menjelang
persalinan, segera diberikan ART
sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan
kombinasi regimen ART sama
dengan ibu hamil yang lain.
4. Persalinan yang aman
Pemilihan persalinan yang aman
diputuskan
oleh
ibu
setelah
mendapatkan konseling lengkap tentang
pilihan persalinan, risiko penularan, dan
berdasarkan penilaian dari tenaga
kesehatan. Pilihan persalinan meliputi
persalinan per vaginam dan per
abdominam (bedah sesar atau seksio
sesarea).
Dalam
konseling
perlu
disampaikan mengenai manfaat terapi
ARV sebagai cara terbaik mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan
terapi ARV yang sekurangnya dimulai
pada
minggu
ke-14
kehamilan,
persalinan per vaginam merupakan
persalinan yang aman. Apabila tersedia
fasilitas pemeriksaan viral load, dengan
viral load < 1.000 kopi/μL, persalinan
per vaginam aman untuk dilakukan.
Persalinan bedah sesar hanya
boleh didasarkan atas indikasi obstetrik
atau jika pemberian ARV baru dimulai
pada saat usia kehamilan 36 minggu
atau lebih, sehingga diperkirakan viral
load > 1.000 kopi/μL.
Proses persalinan aman selain
untuk mencegah penularan HIV dari ibu
ke anaknya, juga mencakup keamanan
bekerja bagi tenaga kesehatan penolong
persalinan (bidan dan dokter). Risiko
penularan HIV akibat tertusuk jarum
suntik sangat kecil (<0,3%). Petugas
yang mengalami pajanan HIV di tempat
kerja
dapat
menerima
terapi
antiretroviral (ARV) untuk Pencegahan
Pasca Pajanan (PPP atau PEP, post
exposure prophylaxis). Beberapa hal
tentang PPP :
a. Waktu yang terbaik adalah diberikan
kurang dari 4 jam dan maksimal
dalam 48-72 jam setelah kejadian.
b. Paduan yang dianjurkan adalah
AZT + 3TC + EFV atau AZT +
3TC
+
LPV/r
(Lopinavir/Ritonavir).
c. Nevirapine (NVP) tidak digunakan
untuk PPP.
d. ARV untuk PEP diberikan selama 1
bulan.
e. Perlu dilakukan tes HIV sebelum
memulai PPP.
f. ARV tidak diberikan untuk tujuan
PPP jika tes HIV menunjukkan hasil
reaktif (karena berarti yang terpajan
sudah
HIV
positif
sebelum
kejadian); pada kasus ini, pemberian
ARV mengikuti kriteria terapi ARV
pada dewasa.
g. Perlu dilakukan pemantauan efek
samping dari obat ARV yang
diminum.
h. Perlu dilakukan tes HIV ulangan
pada bulan ke 3 dan 6 setelah
pemberian PPP.
5. Tatalaksana pemberian makanan bagi
bayi dan anak
Pemilihan makanan bayi harus
didahului dengan konseling tentang
risiko penularan HIV melalui ASI.
Konseling diberikan sejak perawatan
antenatal atau sebelum persalinan.
Pengambilan keputusan oleh ibu
dilakukan setelah mendapat informasi
secara lengkap. Pilihan apapun yang
diambil oleh ibu harus didukung.
Ibu dengan HIV yang sudah
dalam terapi ARV memiliki kadar HIV
sangat rendah, sehingga aman untuk
menyusui bayinya. Dalam Pedoman
HIV dan Infant Feeding (2010), World
Health
Organization
(WHO)
merekomendasikan pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan untuk bayi
lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam
terapi ARV untuk kelangsungan hidup
anak (HIV-free and child survival).
Eksklusif artinya hanya diberikan ASI
saja, tidak boleh dicampur dengan susu
lain (mixed feeding). Setelah bayi
berusia 6 bulan pemberian ASI dapat
diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan,
disertai dengan pemberian makanan
padat. Bila ibu tidak dapat memberikan
ASI eksklusif, maka ASI harus
dihentikan dan digantikan dengan susu
formula untuk menghindari mixed
feeding.
Beberapa studi menunjukkan
pemberian susu formula memiliki risiko
minimal untuk penularan HIV dari ibu
ke bayi, sehingga susu formula diyakini
sebagai cara pemberian makanan yang
paling aman. Namun, penyediaan dan
pemberian susu formula memerlukan
akses ketersediaan air bersih dan botol
susu yang bersih, yang di banyak negara
berkembang dan beberapa daerah di
Indonesia persyaratan tersebut sulit
dijalankan. Selain itu, keterbatasan
kemampuan keluarga di Indonesia untuk
membeli susu formula dan adanya
norma sosial tertentu di masyarakat
mengharuskan ibu menyusui bayinya.
Sangat tidak dianjurkan menyusui
campur
(mixed
feeding,
artinya
diberikan ASI dan PASI bergantian).
Pemberian susu formula yang bagi
dinding usus bayi merupakan benda
asing dapat menimbulkan perubahan
mukosa
dinding
usus,
sehingga
mempermudah masuknya HIV yang ada
di dalam ASI ke peredaran darah.
6. Menunda dan mengatur kehamilan
Seperti telah disebutkan pada
Prong 2, semua jenis kontrasepsi yang
dipilih oleh ibu dengan HIV harus selalu
disertai penggunaan kondom untuk
mencegah IMS dan HIV. Kontrasepsi
pada ibu/perempuan HIV positif:
a. Ibu yang ingin menunda atau
mengatur
kehamilan,
dapat
menggunakan kontrasepsi jangka
panjang.
b. Ibu yang memutuskan tidak punya
anak lagi, dapat memilih kontrasepsi
mantap.
7. Pemberian profilaksis ARV dan
kotrimoksazol pada anak
Pemberian
profilaksis
ARV
dimulai hari pertama setelah lahir
selama 6 minggu. Obat ARV yang
diberikan adalah zidovudine (AZT atau
ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali
sehari. Selanjutnya anak dapat diberikan
kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6
minggu dengan dosis4-6 mg/kgbb, satu
kali sehari, setiap hari sampai usia 1
tahun atau sampai diagnosis HIV
ditegakkan.
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.
Penularan HIV pada anak dapat
terjadi selama masa kehamilan, saat
persalinan, dan menyusui. Antibodi HIV
dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui
plasenta selama kehamilan berada pada
darah bayi/anak hingga usia 18 bulan.
Penentuan status HIV pada bayi/anak
(usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak
dapat
dilakukan
dengan
cara
pemeriksaan diagnosis HIV (tes
antibodi) biasa. Pemeriksaan serologis
anti-HIV dan pemeriksaan virologis
HIV RNA (PCR) dilakukan setelah usia
18 bulan atau dapat dilakukan lebih
awal pada usia 9-12 bulan, dengan
catatan bila hasilnya positif, maka harus
diulang setelah usia 18 bulan.
Pemeriksaan virologis, seperti
HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di
Indonesia dan dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis HIV pada anak
usia di bawah 18 bulan. Pemeriksaan
tersebut harus dilakukan minimal 2 kali
dan dapat dimulai ketika bayi berusia 46 minggu dan perlu diulang 4 minggu
kemudian. Pemeriksaan HIV DNA
(PCR) adalah pemeriksaan yang dapat
menemukan virus atau partikel virus
dalam tubuh bayi dan saat ini sedang
dikembangkan di Indonesia untuk
diagnosis dini HIV pada bayi (early
infant diagnosis, EID).
D. Prong 4 : Dukungan psikologis, social, dan
perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu
yang terinfeksi HIV dan bayi serta
keluarganya
Upaya pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu
melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di
tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan
psikologis, social dan perawatan sepanjang
waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan
menghadapi
masalah
stigma
dan
diskriminasi masyarakat terhadap ODHA.
Faktor kerahasiaan status HIV ibu sangat
penting dijaga. Dukungan juga harus
diberikan kepada anak dan keluarganya.
Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh
ibu dengan HIV antara lain:
1. Pengobatan ARV jangka panjang
2. Pengobatan gejala penyakitnya
3. Pemeriksaan kondisi kesehatan dan
pemantauan terapi ARV (termasuk CD4
dan viral load)
4. Konseling dan dukungan kontrasepsi
dan pengaturan kehamilan
5. Informasi dan edukasi pemberian
makanan bayi
6. Pencegahan dan pengobatan infeksi
oportunistik untuk diri sendiri dan
bayinya.
7. Penyuluhan kepada anggota keluarga
tentang cara penularan HIV dan
pencegahannya
8. Layanan klinik dan rumah sakit yang
bersahabat
9. Kunjungan ke rumah (home visit)
10. Dukungan teman-teman sesama HIV
positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
11. Adanya pendamping saat sedang
dirawat
12. Dukungan dari pasangan
13. Dukungan
kegiatan
peningkatan
ekonomi keluarga
14. Dukungan perawatan dan pendidikan
bagi anak
Dengan dukungan psikososial yang
baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis
dan bersemangat mengisi kehidupannya.
Diharapkan ia akan bertindak bijak dan
positif untuk senantiasa menjaga kesehatan
diri dan anaknya, serta berperilaku sehat
agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya
ke orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Purwaningsih S. 2008. Perkembangan HIV dan
AIDS di Indonesia. Jurnal Kependudukan
Indonesia; 3 (2): 11 – 16
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan
Analisis HIV AIDS. Pusat Data dan
Informasi : Jakarta. Diakses tanggal 21
Mei
2016
dari
http://www.depkes.go.id/resources/downlo
ad/pusdatin/infodatin/Infodatin%20AIDS.
pdf.
Arifin, N., 2005. Membuka Mata Masyarakat :
“Menghapus Diskriminasi dan Stigma
Perempuan dengan HIV/AIDS” dalam
Jurnal Perempuan No. 43, Melindungi
Perempuan dari HIV/AIDS, Yayasan
Jurnal Perempuan, Jakarta. Diakses
tanggal
21
Mei
2016
dari
http://www.jurnalperempuan.org/uploads/
1/2/2/0/12201443/daftar_isi_jp_43melind
ungiperempuan_dari_hiv_aids.doc
Safarina, L. (2012). Pengalaman hidup
perempuan di Kota Cimahi. Diperoleh
pada tanggal 21 Mei 2016 dari
http://stikesayani.ac.id/publikasi/ejournal/f
iles/2012/201212/201212-003.pdf
Yayasan Spiritia. (2014). Dampak fisik
perempuan dengan HIV/AIDS. Diperoleh
tanggal
21
Mei
2016
dari
http://spiritia.or.id
Sudrajat, R. (2005). Pengaruh dukungan
keluarga terhadap perubahan respons
sosial-mosional
pasien
HIV-AIDS.
Diperoleh tanggal 21 Mei 2016 dari
http://www.academia.edu/
Paryati, T., Ardini, S.R. & Irvan, A. (2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma
dan diskriminasi kepada ODHA (Orang
dengan
HIV/AIDS)
oleh
petugas
kesehatan: Kajian literatur. Diperoleh
tanggal
21
Mei
2016
dari
http://pustaka.unpad.ac.id/archives/111231
/
Rachmawati, S. (2013). Kualitas hidup orang
dengan HIV/AIDS yang mengikuti terapi
Antiretroviral. Jurnal Sains dan Praktik
Psikologi, 1 (1), 48-62. Diperoleh tanggal
21
Mei
2016
dari
http//:ejournal.umm.ac.id
Yulianti, Adiningtyas Prima. 2013. Kerentanan
perempuan terhadap penularan HIV dan
AIDS : studi pada ibu rumah tangga
pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Pati
Jawa Tengah. Jurnal Palastren, Vol. 6, No.
1 diakses tanggal 21 Mei 2016 dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/P
alastren/article/viewFile/983/896
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2012. Pedoman nasional pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA).
Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. ISBN: 978-6029364-55-2. Jakarta. Diakses tanggal 21
Mei
2016
dari
http://spiritia.or.id/dokumen/pedomanppia2012.pdf
Murni, Suzana. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS.
Yayasan Spiritia : Jakarta. Diakses tanggal
23 Mei 2016anggal 23 Mei 2016 dari
http://spiritia.or.id/dokumen/bukuhidup.pdf
Dalimoenthe, Ikhlasiah. 2011. Perempuan dalam
cengkeraman HIV/AIDS: kajian sosiologi
feminis perempuan ibu rumah tangga.
Jurnal Komunitas volume 5. Nomor 1. Juli
2011:41-48. Diperoleh tanggal 21 Mei
2016
dari
http://perpus.upstegal.ac.id/v4/files/e_boo
k/01170414.pdf.
Maimunah. Ketidakadilan gender terhadap
perempuan
local
dalam
upaya
penanggulangan HIV/AIDS. Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Airlangga :
Surabaya. Diakses tanggal 23 Mei 2016
dari
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/02
%20MAIMUNAHREVISI%20FEB%202
012b.%20dev%20fix.pdf.
Burhan, Rialike. 2012. Pemanfaatan pelayanan
kesehatan oelh perempuan terinfeksi
HIV/AIDS. Kesmas, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vol.8, No.1, Agustus
2013. Diakses tanggal 21 Mei 2016 dari
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kes
mas/article/viewFile/339/338.
Afolabi MO, Ijadunola KT, Fatusi AO, Olasode
O. Knowledge of and attitude towards
antiretroviral therapy among people living
with HIV/AIDS in Nigeria. TAF
Preventive Medicine Bulletin. 2010; 9(3):
201-8. Diakses tanggal 23 Mei 2016 dari
http://www.scopemed.org/?mno=1113.
Komisi Penanggulangan AIDS. ODHA dan
akses
pelayanan
kesehatan
dasar,
penelitian partisipatif. Jakarta: Komisi
Penanggulangan AIDS; 2006.
Sarason I, Levine H, Basham R, Sarason B.
Assessing social support: the social
support
questionnaire.
Journal
of
Personality and Social Psychology.1983;
44: 127–39.
Mahardining
AB.
Hubungan
antara
pengetahuan, motivasi dan dukungan
keluarga dengan kepatuhan terapi ARV
pada ODHA (bimbingan LSM Graha
Mitra Semarang). Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2010; 5(2). Diakses tanggal
21
Mei
2016
dari
http://download.portalgaruda.org/article.p
hp?article=136151&val=5652
Oguntibeju OO, Ndalambo KT, Nthabu MM.
People living with HIV/AIDS and the
utilisation of home based care services.
African Journals of Microbiology
Research. 2011; 5(20): 2438-46. Diakses
tanggal
23
Mei
2016
dari
http://www.academicjournals.org/journal/
AJMR/article-abstract/2CF05E813481
Spiritia. Peran dukungan sebaya terhadap
peningkatan mutu hidup ODHA di
Indonesia tahun 2011. Jakarta: Spiritia;
2011. Diakses tanggal 23 Mei 2016 dari
http://spiritia.or.id/dokspiritia.php
Diatmi, Komang., I.G.A. Diah Fridari. 2014.
Hubungan antara dukungan social dengan
kualitas hidup pada orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) di Yayasan Spirit
Paramacitta. Jurnal Psikologi Udayana,
Vol.1, No.2, 353-362. ISSN: 2354-5607.
Diakses tanggal 23 Mei 2016 dari
http://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/a
rticle/download/8549/6408
Haroen, hartiah., Neti Juniarti., Citra WMS.
2008. Kualitas hidup wanita penderita
AIDS dan wanita pasangan penderita
AIDS di Kabupaten Bandung Barat. Jurnal
Unpad Vol.10 No. XVIII. Diakses tanggal
23
Mei
2016
dari
http://jurnal.unpad.ac.id/index.php/mku/ar
ticle/view/69
Meitasari, Yeni. 2015. Perempuan, keluarga, dan
HIV studi konstruksi social hidup berkeluarga
bagi perempuan penderita HIV/AIDS di Kota
Surabaya. Diakses tanggal 23 Mei 2016 dari
http://journal.unair.ac.id/download-fullpaperskmntsbed84d840afull.pdf
Download