kejadian penyakit strategis pada ternak ruminansia besar dan

advertisement
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
KEJADIAN PENYAKIT STRATEGIS PADA TERNAK
RUMINANSIA BESAR DAN PROGRAM
PENANGGULANGANNYA DI PROVINSI
NANGGRO ACEH DARUSSALAM
ISKANDAR MIRZA, M. FERIZAL, dan ARMEN ZULHAM
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nanggroe Aceh Darussalam
Jl. P. Nyak Makam 27 Banda Aceh
ABSTRAK
Salah satu kendala dalam melaksanakan program kesehatan hewan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) saat ini adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit dari masing-masing kabupaten,
sehingga program kesehatan hewan belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kondisi ini dapat
mengakibatkan penurunan produktivitas dan bahkan terbuka peluang meningkatnya angka kematian ternak
akibat penyakit. Di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD) terdapat 7 jenis penyakit strategis, 3
diantaranya merupakan penyakit strategis pada ternak ruminansia besar yaitu Brucellosis, Salmonellosis dan
Septicaemia epizootika. Data terakhir menunjukkan bahwa Brucellosis berjangkit di Kabupaten Aceh Besar,
Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Banda Aceh. Salmonellosis terjadi di Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh
Tengah, Aceh Timur dan Banda Aceh. Septicaemia epizootika berjangkit di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh
Barat Daya dan Simeulu.
Kata Kunci: Penyakit strategis, ruminansia besar, Aceh
PENDAHULUAN
Salah satu kendala dalam melaksanakan
program pelayanan kesehatan hewan di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saat ini
adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit
dari kabupaten/kota, sehingga program
kesehatan hewan yang dilaksanakan selama ini
cenderung lebih bersifat kuratif. Kondisi ini
dapat mengakibatkan penurunan produktivitas
dan bahkan terbuka peluang meningkatnya
angka kematian ternak yang diakibatkan oleh
penyakit. Terbatasnya informasi kejadian
penyakit tersebut disebabkan karena belum
adanya pos kesehatan hewan (poskeswan) di
setiap kabupaten/kota dan belum optimalnya
peran poskeswan yang telah ada.
Dalam rangka mendukung program
kecukupan daging tahun 2010 yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
melalui Departemen Pertanian, Pemerintah
Daerah Provinsi NAD melalui Fakultas
Kedokteran Hewan bekerjasama dengan PLAN
Internasional Banda Aceh telah melakukan
workshop dengan tema Pemberdayaan dan
Revitalisasi Poskeswan. Workshop tersebut
116
dilaksanakan selama dua hari pada tanggal 2021 Juli 2006. Tujuan dari workshop tersebut
adalah untuk merumuskan standar operasional
prosedur dan menetapkan suatu model pos
kesehatan hewan mandiri di Provinsi NAD.
Kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya
untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan
hewan dan sekaligus memantau kejadian
penyakit hewan di Provinsi NAD secara
intensif yang pada akhirnya berdampak pada
peningkatan produksi serta turut membenatu
mewujudkan program kecukupan daging 2010.
Dinas
Peternakan
Provinsi
NAD
melaporkan bahwa pada tahun 2005 terdapat
30 jenis penyakit ternak yang dijumpai di
wilayah Provinsi NAD yang terdiri dari 7 jenis
penyakit yang disebabkab oleh bakteri, 6 jenis
oleh protozoa, 3 jenis oleh virus, 13 jenis oleh
endoparasit dan 4 jenis oleh ektoparasit.
Diantara 30 jenis penyakit tersebut, 7 jenis
diantaranya merupakan penyakit strategis. Dari
7 jenis penyakit strategis tersebut, 3 jenis
diantaranya merupakan penyakit strategis yang
dijumpai pada ternak ruminansia besar. Ketiga
jenis penyakit strategis tersebut adalah
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Brucellosis, Salmonellosis dan Septisemia
epizootika (SE).
Keberhasilan
pengendalian
penyakit
menular strategis tersebut sangat ditentukan
oleh koordinasi yang baik antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat karena
koordinasi pengendaliannya dilakukan di
tingkat pusat.
Makalah ini membahas tentang kejadian
dan sebaran penyakit menular strategis pada
ternak ruminansia besar di Provinsi NAD yang
diharapkan
dapat
membantu
dalam
pengendalian penyakit tersebut di Provinsi
NAD.
BRUCELLOSIS
Brucellosis merupakan penyakit reproduksi
menular yang dapat menimbulkan keguguran.
Menurut DITJENNAK (1981), kerugian ekonomi
yang ditimbulkan oleh penyakit ini mencapai
10 milyar rupiah lebih setiap tahunnya.
Penyebab brucellosis pada sapi dan kerbau
adalah Brucella abortus. Di Indonesia,
brucellosis juga dikenal sebagai penyakit
keluron menular dan di Aceh dikenal dengan
penyakit Sane. Selain menyerang ternak,
brucellosis juga bersifat zoonosis sehingga
dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Sumber penularan penyakit ini diantaranya
cairan genital, susu dan semen sapi yang sakit.
Padang rumput, pakan dan air yang tercemar
oleh brucella merupakan sarana yang utama
dalam penularan penyakit. Proses jalannya
penyakit adalah kuman masuk ke dalam tubuh
melalui penetrasi membran mukosa saluran
pencernaan, mulut, saluran reproduksi dan
selaput lendir mata (Plommet dan Plommet,
1988). Selain itu penularan penyakit juga dapat
melalui kontak langsung dengan kulit yang
luka, hewan yang terinfeksi selama pemerahan
dan inseminasi buatan dengan semen yang
tercemar (MANTHEI et al., 1950). Kuman
Brucella abortus juga ditularkan kepada janin
melalui plasenta. Infeksi pada paedet dapat
berjalan lama tanpa menunjukkan reaksi positif
dalam uji serologi sampai saat beranak yang
pertama (BLOOD dan HENDERSON, 1979). Sapi
yang sedang bunting sangat peka terhadap
infeksi B. abortus (EDINGTON dan DONHAM,
1939). Sapi dara dan sapi tidak bunting banyak
yang resisten terhadap infeksi Brucella
abortus.
Brucellosis di Indonesia diketahui sejak
tahun 1925 ketika Kirschner berhasil
mengisolasi kuman Brucella dari janin pada
kasus aborsi di daerah Bandung. Sejak
penyakit tersebut dapat diidentifikasi ternyata
semakin banyak kasus yang diketahui
menyerang sapi termasuk kejadian di Provinsi
NAD. Kejadian brucellosis di Provinsi NAD
dan Sumatera Utara pertama sekali dilaporkan
oleh KRANEVELD pada tahun 1927 (SUDIBYO,
1995) yang berhasil mengisolasi Brucella
abortus dari cairan persendian lutut yang
bengkak (hygroma) pada sapi potong di daerah
Aceh dan Sumatera Utara. Dinas Peternakan
Provinsi NAD melaporkan bahwa pada tahun
2005 kasus brucellosis terjadi di 5
kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Besar,
Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota
Banda Aceh dengan jumlah kasus yang
dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus
yang dilaporkan tersebut berdasarkan data dari
masing-masing kabupaten/kota namun akurasi
data tentang jumlah kasus masih diragukan
karena data yang diperoleh tersebut
berdasarkan gejala klinis yang dijumpai di
lapangan. Meskipun demikian, data yang
disajikan tersebut sangat penting sebagai data
dasar untuk mengetahui sejauh mana sebaran
penyakit tersebut di Provinsi NAD.
Selanjutnya Dinas Peternakan Provinsi NAD
(2005) melaporkan bahwa sebaran penyakit di
Provinsi NAD dari tahun ke tahun tidak terjadi
perubahan. Berdasarkan pola budidaya ternak
yang masih ekstensif tradisional dan
pengawasan lalu lintas ternak yang kurang
ketat akan memberi peluang semakin
meluasnya sebaran penyakit ini di Provinsi
NAD.
Kuman
Brucella
abortus
dapat
menghasilkan endotoksin, dan toksin ini dapat
mengakibatkan terjadinya plasentitis dan
endometritis sehingga terjadi keguguran
(ENRIGHT, 1990). Aborsi biasa terjadi pada
umur kebuntingan sekitar 6 bulan (BLOOd dan
Henderson, 1979) dan menurut Sudibyo (1995)
keguguran dapat terjadi pada minggu ke-8
setelah inokulasi kuman. SUDIBYo (1995)
melaporkan bahwa sapi yang secara klinis
memperlihatkan kebengkakan pada lutut
(hygroma) depannya perlu dicurigai akan
adanya infeksi brucellosis.
117
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Teknik
diagnosa
brucellosis
yang
dilaksanakan di Provinsi NAD adalah dengan
uji RBT dan CFT. Uji CFT merupakan uji
yang paling baik dibandingkan dengan uji
konvensional lainnya karena mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
(ALTON et al., 1975).
Program penanggulangan yang telah
dilaksanakan adalah dengan cara vaksinasi di
daerah
tertular,
sedangkan
program
pemotongan terhadap hewan yang positif
belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh
karena menyangkut dengan ganti rugi.
Penanggulangan penyebaran penyakit ini
melalui pengawasan lalu lintas ternak juga
belum dapat dilakukan secara ketat karena
keterbatasan sarana dan prasarana. Oleh karena
itu diperlukan suatu standar operasional
prosedur (SOP) terhadap lalu lintas ternak yang
dapat dilaksanakan di lapangan sehingga
penyebaran penyakit ini tidak meluas ke daerah
yang masih bebas.
SALMONELLOSIS
Salmonellosis adalah salah satu kuman
penyebab penyakit zoonosis yang perlu
mendapat perhatian, karena kuman ini patogen
terhadap orang maupun hewan yang masih
muda dan hewan atau manusia dewasa yang
mengalami stres (BUXTON, 1957).
Hampir dapat dipastikan bahwa semua
negara mengenal salmonellosis, dan penyakit
ini dapat menular ke manusia (zoonosis).
Bakteri dari genus salmonella ditemukan di
Amerika pada tahun 1899 (DHARMOJONO,
(2000)
2001).
Selanjutnya
PORTILLO
melaporkan bahwa genus salmonella pada saat
ini terdapat lebih dari 2600 serotipe dan oleh
WHO dibagi menjadi 2 spesies yaitu
salmonella enterica dan salmonella bongori.
Penularan salmonella pada manusia dan hewan
dapat terjadi melalui pakan, air minum,
peralatan kandang, daging karkas, rumah
potong hewan dan penetasan telur (JOHN et al,
1988). Di Indonesia telah diketahui bahwa
ternak seperti kerbau, sapi dan babi yang
secara klinis sehat, kenyataannya ada yang
mengandung kuman salmonella (POERNOMO et
al., 1984).
Dinas
Peternakan
Provinsi
NAD
melaporkan bahwa pada tahun 2005
118
salmonellosis terjadi di 5 kabupaten/kota yaitu
di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh
Tengah, Aceh Timur dan Kota Banda Aceh.
Pada tahun 2001 kejadian penyakit hanya
terjadi di 2 kabupaten/kota yaitu dari Aceh
Besar dan Aceh Timur. Mengingat begitu
mudahnya terjadi perpindahan sumber
penularan maka tidak tertutup kemungkinan
penyakit ini akan menyebar ke seluruh daerah.
Oleh karena penyakit ini tergolong kedalam
food borne disease maka sangat sulit untuk
menghambat penyebarannya ke daerah bebas
lainnya.
Ternak
yang
terjangkit
dengan
salmonellosis umumnya mempunyai gejala
gastroenteritis, diare, dehidrasi dan demam.
Gastroenteritis sering disertai dengan diare
karena bakteri tersebut menghasilkan cytotoxin
dan enterotoxin (DHARMOJONO, 2001).
Diagnosis salmonellosis di lapangan
biasanya didasarkan pada gejala dan tanda
klinis dan penegakan diagnosa dilakukan
dengan mengisolasi dan mengidentifikasi agen
penyebab.
Isolasi
mikroba
penyebab
merupakan cara diagnosa terbaik.
Penanganan terhadap hewan yang sakit
biasanya dilakukan
dengan pemberian
antibiotika. Cholamphenicol atau ampicillin
merupakan obat pilihan pertama untuk
pengobatan salmonella (WATTS, 1983), dan
menurut DHARMOJONO (2001) pengobatan
salmonellosis sebaiknya dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas yang diberikan per
parentral (DHARMOJONO, 2001). Penggunaan
antibiotika harus dilakukan secara rasional
karena penggunaan yang tidak rasional dapat
mengakibatkan strain resisten.
SEPTICAEMIA EPIZOOTICA
Penyakit
Septicaemia
Epizootica
(SE)/Haemorrhagic Septicaemia (HS) atau
disebut juga penyakit ngorok adalah penyakit
yang menyerang hewan sapi dan kerbau,
bersifat akut dengan mempunyai tingkat
kematian yang tinggi. Kerugian akibat penyakit
ini cukup besar. WIRYOSUHANTO (1993)
melaporkan bahwa pada tahun 1987 kerugian
ekonomi akibat penyakit ini pada sapi dan
kerbau di Indonesia mencapai Rp. 16,2 milyar.
Kerbau lebih peka terhadap SE dibandingkan
sapi (PRIADI dan NATALIA, 2000).
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Penyebaran penyakit SE di Provinsi NAD
berjangkit sesuai arus lalu lintas ternak dan
arah arus sungai (SUHIRJAN et al., 1989). Pada
tahun 2005 wabah SE berjangkit di Kabupaten
Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya
dan Simeulu. Pada tahun 2001 wabah tersebut
terjadi di Aceh Barat, Aceh Tenggara dan
Simeulu. Kematian ternak ruminansia besar
pada tahun 1988 akibat wabah SE di Aceh
Timur 20 ekor, Aceh Selatan 989 ekor, Aceh
Barat 735 ekor dan Aceh Utara 175 ekor
(SUHIRJAN et al., 1989). Berdasarkan laporan
tersebut dapat diketahui bahwa di beberapa
daerah yang sebelumnya pernah melaporkan
kasus tersebut namun beberapa tahun terakhir
ini tidak pernah melapor lagi kasus tersebut
seperti daerah Kabupaten Aceh Timur dan
Aceh Utara. Data tersebut menunjukkan bahwa
sebaran penyakit tersebut saat ini terjadi di
daerah barat dan selatan (termasuk di dalamnya
kabupaten pemekaran yaitu Aceh Barat Daya
dan Simeulu).
Gejala penyakit yang menyolok adalah
demam yang disertai gangguan pernafasan dan
kebengkakan daerah leher yang meluas ke atas
dan kearah dada (PRIADI dan NATALIA, 2000).
Bakteriaemia pada sapi dan kerbau terjadi pada
12 jam pasca infeksi, dan bakteri dapat
ditemukan di cairan hidung kerbau pada saat
yang sama tetapi pada sapi 4 jam sesudahnya
(PRIADI dan NATALIA, 2000). Perubahan
patologis yang menonjol adalah oedema yang
meluas di daerah leher, pembendungan paruparu/pneumonia, dan adanya pendarahan
petechiae pada saluran pernafasan bagian atas
(PRIADI dan NATALIA, 2000).
Tingkat keberhasilan isolasi bakteri
penyebab penyakit tersebut masih sangat
rendah. Isolasi bakteri sering mendapat
kesulitan akibat kontaminasi sampel lapangan
yang diterima (ACIAR REPORT, 1994).
Reisolasi P. multocida masih dapat dilakukan
pada sampel yang diambil 35 jam setelah
kematian hewan, tetapi sesudah itu adanya
kontaminasi oleh bakteri kontaminan (terutama
Proteus sp.) sangat menyulitkan usaha isolasi
(PRIadi dan NATALIA, 2000). Sampel sumsum
tulang merupakan sampel terbaik, karena dari
sampel ini masih dapat dilakukan isolasi
bakteri penyebab meskipun sampel telah
berumur lama atau lebih dari (3 hari) (PRIADI
dan NATALIA, 2000).
Untuk mencegah penyakit ini, Pemda
Provinsi NAD juga telah mengalokasikan
sejumlah dana yang bersumber dari APBD TK.
I dan ABPD TK. II untuk pengadaan vaksin.
Program pencegahan terhadap penyakit ini
dilakukan dengan cara vaksinasi di seluruh
kabupaten dengan prioritas di daerah yang
banyak dijumpai kasus. Terhadap hewan yang
sakit dilakukan pengobatan dengan antibiotik.
Potong paksa dilakukan apabila berdasarkan
pengalaman tidak mungkin lagi disembuhkan
dengan pemberian antibiotika.
KESIMPULAN
Salah satu kendala dalam melaksanakan
program pelayanan kesehatan hewan di
Provinsi NAD saat ini adalah terbatasnya
informasi kejadian penyakit dari masingmasing Kabupaten/Kota. Terdapat 3 jenis
penyakit menular strategis pada ternak
ruminansia besar yaitu Brucellosis, Brucellosis
dan Septisemia epizootika (SE).
Brucellosis terjangkit di Kkabupaten Aceh
Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan
Kota Banda Aceh dan sebarannya dari tahun ke
tahun tidak terjadi perubahan. Teknik diagnosa
brucellosis yang telah dilaksanakan adalah
dengan uji RBT dan CFT. Program
penanggulangan yang telah dilaksanakan
adalah dengan cara vaksinasi di daerah tertular,
sedangkan program pemotongan terhadap
hewan yang positif belum dapat dilaksanakan
secara menyeluruh karena menyangkut
masalah
ganti
rugi.
Penanggulangan
penyebaran penyakit ini melalui pengawasan
lalu lintas ternak juga belum dapat dilakukan
secara ketat.
Salmonellosis terjadi di 5 kabupaten/kota
yang terdiri dari Kabupaten Aceh Besar, Aceh
Utara, Aceh Tengah, Aceh Tengah, Aceh
Timur dan kota Banda Aceh. Pada tahun 2001
kejadian penyakit hanya terjadi di 2
kabupaten/kota yang terdiri dari Kabupaten
Aceh Besar dan Aceh Timur.
Penyebaran penyakit SE di NAD berjangkit
sesuai arus lalu lintas ternak dan arah arus
sungai. Pada tahun 2005 SE berjangkit di Aceh
Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan
Simeulu. Pada tahun 2001 wabah tersebut
terjadi di Aceh Barat, Aceh Tenggara dan
Simeulu. Pada tahun 1988 wabah SE terjadi di
119
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Barat dan
Aceh. Data terakhir menunjukkan bahwa
sebaran penyakit tersebut saat ini terjadi di
daerah barat dan selatan. Program pencegahan
terhadap penyakit ini dilakukan dengan cara
vaksinasi di seluruh kabupaten dengan prioritas
di daerah yang banyak dijumpai kasus.
Terhadap hewan yang sakit dilakukan
pengobatan dengan antibiotik. Potong paksa
dilakukan apabila berdasarkan pengalaman
tidak mungkin lagi disembuhkan dengan
pemberian antibiotika.
DAFTAR PUSTAKA
ACIAR. 1994. Annual Report. Diagnosis and Control
of Haemorrhagic Septicaemia in Indonesia.
Aciar Project No. 9202.
ALTON, G.G., J. WAW, B.A. REGERSON and G.G.
MCPHERSON. 1975. The serological diagnosis
of bovine brucellosis: An evaluation of the
complement fixation, serum agglutination and
Rose Bengal Test. Aust. Vet. J. 51:57-63.
BLOOD, D.C. and J.A. HENDERSON. 1979. Veterinary
medicine. 5th. ed., Bailliere Tindall, London.
BUXTON, A. 1957. Salmonellosis in animal.
Commonwealth Agriculture Bureax Farnham
Royal, Bucks, England. 209 pp.
DHARMOJONO. 2001. Limabelas penyakit menular
dari binatang ke manusia. Milenia Populer,
Jakarta.
DINAS PETERNAKAN PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM. 2005. Laporan Survailance dan
Pembuatan Peta Penyakit Strategis.
DITJENNAK. 1981. Penyakit keluron menular
(Brucellosis). Pedoman Pengendalian Penyakit
Menular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan.
Dijen Peternakan. Jakarta.
EDINGTON, B.H and C.R. DONHAM. 1939. Infection
and reinfection experiment with Bang’s
disease. J. Agric. Res. 59:609-618.
ENRIGHT, F.M. 1990. the pathogenesis and
pathobiology of brucella infection in domestic
animal. In: K. Nielsen and R. Duncan ed.
Animal brucellosis. 1st ed. CRR Press, Boca
Raton, Ann Abor, Boston.
120
GRAYDON, R.J., B.E. PATTEN and H. HAMID. 1993.
The Pathology of experimental Haemorrhagic
Septicaemia in buffalo calves. Proc. of the
Fourth
International
Workshop
on
Haemorrhagic Septicaemia, Srilangka, 11-15
FEB. 1991:73-81.
JOHN, B.C., S.R PALMER and J.M. PAYNe 1988.
Salmonellosis in the zoonoses infection
transmited from animal to man. British
Library Cataloguing in Publication Data. First
Published in Great Britanian: 180-182.
MANTHEI, C.A., D.E. DETRAY and E.R. GOODE.
1950. Brucella infection in bull and the spread
of brucellosis in cattle by artificial
insemination.
Intrauterine
injection.
Proc.Book American Veterinary Medical
Association. J.Am.Vet. Med. Assoc. 117:106.
PLOMMET, M and A.M. PLOMMEt, 1988. Virulence
of brucella: Bacterial growth and decline in
mice. Annal. Rech. Vet. 19(1): 65-67.
PORTILLO, F.G. 2000. Molecular and cellular
biology of Salmonella pathogenesis in
microbial foodborne disease: Mechanisms of
pathogenesis and toxin synthesis. 1ed. J.W.
Cary, J.E. Linz and D. Bhatnagar Ed.
Technomic Publising Company, Inc. 851.
New Holland Avenue Box 3535. Lancester,
Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7.
PRIADI, A. dan LILY NATALIA. 2000. Patogenesis
Septicaemia
Epizootica
(SE)
pada
Sapi/Kerbau: Gejala Klinis, Perubahan
Patologis, Reisolasi, Deteksi Pasteurella
Multocida dengan Media Kultur dan
Polymerase Chain Reaction (PCR). JITV.
5(1): 65-71.
SRI POERNOMO, R.G. HIRST, ISKANDAR, J.T. EMMINS
and S. HARDJOUTOMO. 1984. Salmonella in
slaughter animal in Indonesia. Proccedings of
the International symposium on salmonella.
New Orleans, Lousiana, U.S.A. p 342-343.
SUDIBYO, A. 1995. Isolasi dan identifikasi Brucela
abortus yang menyerang sapi perah di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Pros. Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang
Peternakan, 2: 909-914.
SUDIBYO, A. 1995. Studi epidemiologi brucellosis
dan dampaknya terhadap reproduksi sapi
perah di DKI Jakarta. JITV. Puslitbang
Peternakan,. 1(1): 31-36.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
SUDIBYO, A. 1995. Studi patogenisitas Brucella
abortus isolat lapang pada sapi perah sedang
bunting. Pros. Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner. Puslitbang Peternakan,. 2: 903908.
SUDIBYO, A., P. RONOHARDJO, B. PATTEN dan Y.
MUKMIN. 1991. Status Brucellosis pada sapi
potong di Indonesia. Penyakit Hewan. Balai
WATTS, H.D. 1983. Handbook of medical treatment.
Seventeenth ed. Watts H.D. Ed. Jones Medical
Publication, Greenbrae, California.
WIRYOSUHANTO, S.D. 1993. Sistem kesehatan
hewan dalam era tinggal landas. Rapat
Konsultasi Teknis Nasional Direktorat Jendral
Peternakan, Cisarua, 5-8 Januari 1993. hlm 20.
SUHIJAN, MAHMUD A.GANI dan M. GUNAWAN.
1989.
Aspek
epidemiologi
penyakit
ngorok/SE di Daerah Istimewa Aceh tahun
1988. Buletin Veteriner. Balai Penyidikan
Penyakit Hewan Wilayah I. Direktorat
Jenderal Peternakan, Proyek Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Hewan Propinsi
Sumatera Utara. 41: 1-8.
121
Download