pelaksanaan nafkah mut`ah talak suami kepada isteri yang dicerai di

advertisement
PELAKSANAAN NAFKAH MUT’AH TALAK
SUAMI KEPADA ISTERI YANG DICERAI DI
PENGADILAN AGAMA BANGKINANG
(Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I)
Di Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
S
A
OLEH :
ADE MINUR
NIM: 10421025017
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2011 M/ 1432 H
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pelaksanan Nafkah Mut’ah Talak Suami kepada
Istri di Pengadilan Agama Bangkinang Studi atas Putusan Pengadilan
Agama Bangkinang Tahun 2010.
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan(Field Reaserch) yang
bertempat di Pengadilan Agama Bangkinang dengan subjek penelitiannya adalah
Pengadilan Agama Bangkinang dan orang yang terkait dengan perkara nafkah
mut’ah di wilayah kerja pengadilan agama bangkinang.Pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara, studi pustaka dan
dokumentasi. Sumber data penulis peroleh dari sumber data primer,. Sedangkan
analisa data Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu deskriptif analisa dan
deduktif. Penelitan ini penulis lakukan untuk mengetahui: a). Bagaimana
pelaksanaan nafkah mut’ nafkah mut’ah suami di pengdailan agama bangkinang?
suami dipengadilan agama bangkinang. b). Apa factor penghambat dan factor
pendukung terlaksananya? c). Bagaimana tinjauan hukum islam tentang
pelaksanaan nafkah mut’ah dipengadilan agama bangkinang?
Nafkah mut’ah adalah pemberian suami terhadap istri setelah terjadinya
perceraian. Ketentuan tentang nafkah mut’ah tersebut diatur dalam kompilasi
hukum islam pasal 149 dan 158. Selain perundang-undangan tersebut landasan
nafkah mut’ah adalah surat albaqarah ayat 236 dan 241.
Dari penelitian penulis yang kami dapatkan di pengadilan agama
bangkinang tentang pelaksanaan nafkah mut’ah suami ditetapkan setelah terjadi
perceraian yaitu setelah diucapkannya ikrar perceraian di hadapan hakim. Akan
tetapi dikarenakan tidak adanya sanksi hukum yang tegas maka hal ini menjadi
salah satu factor kenapa pelaksanaan nafkah mut’ah di pengadilan agama
bangkinang tidak berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari tingginya tingkat
mut’ah yang tidak dilaksanakan oleh mantan suami kepada mantan istrinya yang
apabila di persentasekan mencapai ±40% dari kasus cerai talak yang ada.selain
dari pihak pengadilan factor yang juga mempengaruhi adalah kesadaran beragama
dan patuh tehadap hukum dari masyarakat yang masih rendah sehingga tidak
menjadi beban ketika mut’ah tidak dilaksanakan.
Sementara tinjauan hukum islam atau fiqih terhadap pelaksanan mut’ah
terhadap suami adalah sesuai dan dapat diterima dimana pengadilan agama
bangkinang menetapkan berdasarkan landasan alquran surat albaqorah 236 dan
241. Selain juga menggunkan qaidah fiqhiyah sebagai methode untuk
memutuskan perkara, hal ini dapat terlihat dari putusan terhadap kadar mut’ah
yang ditetapkan berdasarkan tiga hal yaitu : a) kesepakatan antara suami dan istri
b) kepatutan terhadap mut’ah yang diberikan ; dan c) kesangupan suami.
Dari uraian diatas hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang bagaimana perkara nafkah mut’ah suami di pengadilan agama bangkinang
dan pihak-pihak yang terkait seperti pengadilan agama dapat lebih proaktiv dalam
menagani masalah tersebut begitu juga bagi pihak suami agar mempunyai
kesadaran yang lebih baik terhadap hukum yang berlaku baik hukum agama
maupun hukum Negara. Selain itu pihak dai, ustadz mubaligh agar lebih
menekankan kepada umat bagaimana berupaya untuk menjalankan perintah
agama yang diawali dari sebuah kesadaran terhadap perintah agama.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Batasan Masalah....................................................................... 10
C. Rumusan Masalah.................................................................... 10
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 11
E. Metode Penelitian .................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan.............................................................. 14
BAB II : GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA
BANGKINANG
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Bangkinang.......................................... .................................... 16
B. Struktur Pengadilan Agama Bangkinang.................................. 20
C. Keadaan Perkara Di Pengadilan Agama Bangkinang…………..25
BAB III : TINJAUAN FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian
1. Nafkah................................................................................ 28
2. Mut’ah....................................................... ........................ 30
B. Mut’ah Menurut Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).....
1. Mut’ah menurut Fiqih……………………………………… 31
2. Mut’ah menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI)
C. Kadar dan Ukuran Nafkah Mut’ah.............................................. 33
D. Hukum Pemberian Nafkah Mut’ah Bagi Mantan Isteri............. 35
ii
BAB IV : PELAKSANAAN NAFKAH MUT’AH SUAMI KEPADA
ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BANGKINANG
A. Pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami terhadap istri di Pengadilan
Agama Bangkinag.................................................................... 39
B. Faktor penghambat dan faktor pendukung pelaksanaan Nafkah
Mut’ah di Pengadilan Agama Bangkinang……………………44
C. Tinjauan Hukum Islam dalam Pelaksanaan Nafkah Mut’ah di
Pengadilan Agama Bangkinang.................................................47
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................
50
B. Saran-Saran..........................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 53
LAMPIRAN
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dimaksudkan
untuk memberikan jaminan terciptanya ketertiban hukum bagi semua kalangan
dalam masalah perkawinan. Hukum berusaha memberikan batasan-batasan terkait
masalah perkawinan agar terciptanya keteraturan hidup masyarakat. Hal ini
disebutkan dalam Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
“bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya UndangUndang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita”.1
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sangat penting artinya
guna mendukung terwujudnya tujuan perkawinan secara umum, yakni membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera secara baik tanpa berakhir dengan
perceraian. Hal inilah yang mendasari dibentuknya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 tetapi mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975,
karena memang dipandang perlu ditetapkannya prinsip-prinsip mengenai
1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Penjelasannya, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 28.
1
2
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah perkawinan
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Perkawinan menurut rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 adalah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2
Lebih lanjut di dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana
sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga
yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan
perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang
tua”.3
Perkawinan atau menikah “secara bahasa adalah berkumpul, sedangkan
menurut istilah hukum syarak adalah aqad yang menghalalkan persetubuhan”.4
Perkawinan itu sendiri merupakan sunnatullah, hukum alam di dunia ini yang
sangat dianjurkan sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim “yang artinya “wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu
2
Ibid, h. 2.
Ibid, h. 31.
4
Moch. Anwar, Dasar – Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan
Agama, (Jakarta: CV. Diponegoro, 1994), h. 15.
3
3
hendaknya menikah sebab nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kehormatan, jika belum mampu maka hendaknya berpuasa karena puasa
akan menjadi perisai baginya”.5
Pendapat lain dalam hal ini menyatakan “Perkawinan yaitu akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolongmenolong antara seorang pria dan seorang wanita yang antara keduanya bukan
muhrim. Perkawinan yang sah menurut Islam adalah perkawinan yang dilakukan
dengan akad, karena sahnya perkawinan melalui akad nikah yaitu suatu ijab yang
dilakukan oleh wali mempelai perempuan kemudian diikuti dengan qabul dari
bakal suami dan disaksikan oleh dua orang saksi”.6
Pertalian yang terbentuk melalui hubungan perkawinan, sebenarnya adalah
pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia.
Pertalian tersebut bukan saja antara suami, istri dan keturunannya, melainkan juga
hubungan antara dua keluarga bahkan dua suku dan bangsa karena baiknya
hubungan suami istri akan berpindah kepada semua keluarga kedua belah pihak.
Faedah terbesar dalam perkawinan tersebut adalah “untuk menjaga dan
memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang
perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib
ditanggung oleh suaminya”.
5
Ma’mur Daud, Terjemah Hadits Shahih Muslim, (Jakarta: CV. Widjaya, 1993), h. 74.
Departemen Agama Republik Indonesia, Bahan Penyuluhan Hukum. (Jakarta:Proyek
Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum, 2001), h. 1.
6
4
Nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian dan
pengobatan istri. Memberi nafkah kepada istri hukumnya wajib, sebagaimana
firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 233:
yang artinya “ ….. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya …..”. Menurut Sabiq “rezeki’ yang dimaksudkan
di sini adalah makanan secukupnya; “pakaian” adalah baju atau penutup badan;
dan “makruf” adalah kebaikan sesuai dengan ketentuan agama, tidak berlebihan
dan tidak juga kekurangan”.7
Kewajiban memberi nafkah tidak saja selama perkawinan berlangsung
tetapi juga setelah terjadinya perceraian dan istri berada dalam masa iddah. Hal ini
didasarkan atas firman Allah dalam Surat Ath-Thalaaq ayat 6:
yang artinya “ ….. dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalaq) itu
perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya sampai mereka bersalin …..”. Ayat ini menerangkan “hak perempuan
hamil mendapatkan nafkah, baik dalam iddah thalaq raj’i maupun ba’in atau
7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Pengantar Imam Hasan Al-Banna, (Jakarta : Pena Pundi
Aksara), 2004, h. 55.
5
iddah kematian. Adapun dalam thalaq ba’in, para ulama fiqh berbeda pendapat
tentang hak nafkahnya”.8
Mencermati pandangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa suami harus
memenuhi kewajiban memberikan nafkah kepada istrinya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku agar terpenuhinya hak istri dengan baik, karena
salah satu syarat perempuan menerima nafkah suaminya adalah ikatan perkawinan
yang sah. Artinya dalam tiap ikatan perkawinan yang sah maka suami
berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya yang didasarkan atas
kemampuan keuangan suami itu sendiri, tetapi yang umum dipersyaratkan adalah
nafkah tempat tinggal, makan dan pakaian secara layak.
Putusnya suatu ikatan perkawinan dapat terjadi karena tiga hal, yaitu
kematian, perceraian dan karena keputusan pengadilan yang dilakukan melalui
jalur hukum. Undang-Undang Perkawinan Nasional yang dikenal di Indonesia
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dalam hal perceraian itu sendiri menganut prinsip
mempersukar terjadinya perceraian. Lebih tegasnya, “dalam pengertian hukum di
atas hal mana sejalan dengan hukum Islam, karena perceraian dapat memberi
pengaruh baik atau buruknya kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat
Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.9
Hadikusumah
dalam hal ini menyatakan “Sebab-sebab putusnya
perkawinan dibagi dalam dua kategori, yaitu karena kematian dan karena
8
9
h. 12.
Ibid, h. 67.
M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999),
6
perceraian. Walaupun hubungan perkawinan itu sendiri belum tentu putus sama
sekali dikarenakan di dalam hukum tidak mengenal putus hubungan perkawinan,
tegasnya perkawinan antara suami istri itu putus karena kematian tetapi hubungan
sebagai akibat perkawinan di antara kerabat para pihak bersangkutan tidak putus
apalagi bila dari perkawinan itu terdapat keturunan”.10
Dapat dipahami bahwa perkawinan melahirkan tuntutan pemenuhan hak
dan kewajiban kedua belah pihak, yaitu antara suami dan istri secara baik dan
benar. Artinya suami harus memberikan nafkah kepada istri sesuai kemampuan
keuangannya dengan senantiasa berpijak pada ketentuan hukum yang berlaku di
tengah masyarakat, baik itu hukum umum maupun hukum agama. Dengan aturan
yang ada, diharapkan suami dan istri dapat memenuhi hak dan kewajibannya
selama ikatan perkawinan berlangsung.
Islam mengatur masalah perkawinan untuk membawa manusia hidup
berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk
Allah yang lain, karena bagaimanapun perkawinan yang dilakukan bukanlah tanpa
tujuan dan manfaat. Di antara manfaat perkawinan itu adalah “menentramkan
jiwa, meredam emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan
untuk mendapatkan kasih sayang antara suami-isteri yang dihalalkan Allah
SWT”.11
10
Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Undang-Undang Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung :Mandar Maju) , 2000, h. 167.
11
HAS Al-Hamdani, Op.cit., h. 6.
7
Lazimnya dalam tiap kasus perceraian yang dilakukan melalui Pengadilan
Agama, begitu permohonan cerai yang diajukan suami (pihak pemohon) itu
dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama maka suami dibebankan membayar
nafkah muth’ah atas istrinya selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Jadi suami
berkewajiban memberikan nafkah selama istri dalam masa iddah yang dikenal
dengan istilah Nafkah Mut’ah, yang jumlahnya didasarkan atas besarnya
kemampuan keuangan yang dimiliki oleh suami sebagai upaya pemenuhan
kewajibannya yang telah ditetapkan syariat Islam.
Sedangkan mengenai Nafkah Mut’ah, hal ini berkaitan dengan kewajiban
bekas suami bilamana perkawinan putus karena talak, sesuai dengan pasal 149
butir pertama pada Kompilasi Hukum Islam Buku I: Bilamana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan mut’ah yang layak kepada
bekas istrinya ...(dan seterusnya).
Nafkah Mut’ah adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya
sebagai kompensasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang terdapat di dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Bab I Pasal 1 ayat (j):
J) Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang
telah dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
Walaupun demikian, yang perlu diperhatikan adalah pemberian ini terjadi setelah
dijatuhi talak, itupun ba’da dukhul. Hal ini dijelaskan pasal 149 ayat (a)
Kompilasi Hukum Islam Buku I:
8
a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul.
Adapun Mut’ah Sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat yang telah
ditetapkan pada pasal 158. Artinya, Mut’ah Sunnat adalah pemberian bekas suami
kepada istrinya tanpa syarat, dan merupakan pemberian semata.
Besarnya mut’ah tersebut, baik yang wajib maupun yang sunnat
disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Sebagaimana pendapat dari
Ali Jum’ah Muhammad Syariat Islam menyerahkan penentuan kadar Nafkah
Mut’ah kepada kebiasaan masyarakat dengan mempertimbangkan keadaan
ekonomi suami. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT;
“Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah:
236). Dan firman-Nya,
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)
mut’ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
takwa.” (Al-Baqarah: 241).
9
Kenyataan yang terjadi dilapangan terhadap pemberian Nafkah Mut’ah
kepada istri di Pangadilan Agama Bangkinang pada tahun 2010, kronologisnya
perkara tersebut yaitu bahwa pemohon mengajukan permohonan untuk bercerai
kepada istrinya. Pada hal mereka telah mempunyai anak sebanyak sembilan (9)
orang yang rata-rata masih dibawah umur dan telah menjalani pernikahan ini
dengan harmonis selama 29 tahun, hanya dikarenakan kesalahpahaman antara
suami dan istri tersebut mengajukan permohonan untuk bercerai ke Pengadilan
Agama Bangkinang. Sebagaimana pertimbangan hukum oleh
majelis hakim
terhadap perkara ini, menyimpulkan bahwa pemohon dan termohon tidak
berkeinginan lagi untuk berdamai maka keputusan majelis hakim mengabulkan
permohonan pemohon untuk bercerai. Namun dikarenakan majelis hakim
menimbang berdasarkan Pasal 149 huruf (a), (b) dan (d) Kompilasi Hukum Islam
bilama putusnya perkawinan dikarenakan talaq, maka mantan suami wajib
memberikan Nafkah Mut’ah kepada isterinya, dalam hal ini mejelis hakim secara
exopicio menentukan mut’ah berupa seperangkat alat sholat, dan nafkah iddah
sebesar Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) serta pemberian nafkah kepada 5 orang
anaknya yang masih dibawah umur sampai usia mereka 21 tahun sebesar Rp.
1.000.000 (satu juta rupiah) setiap bulan nya. Kesemua keputusan yang diberikan
oleh majelis hakim di sanggupi oleh pemohon.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, bahwa suami
mempunyai kewajiban memberikan Nafkah Mut’ah kepada istri yang dicerainya,
10
maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan
menetapkan judul : “Pelaksanaan Nafkah Mut’ah Suami Kepada Isteri di
Pengadilan Agama Bangkinang Studi Atas Putusan Pengadilan Agama
Bangkinang Tahun 2010”.
B. Batasan Masalah
Agar tidak terjadi kekeliruan dan kesimpang siuran dalam pembahasan ini
maka penulis perlu memberi batasan masalah yang menjadi pokok permasalahan
dalam pembahasan ini : bagaimana tinjauan kewajiban Nafkah Mut’ah suami
kepada isteri berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 di Wilayah Hukum
Pengadilan Agama Bangkinang.
C. Perumusan Masalah
Uraian pada latar belakang masalah maka penulis merumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami terhadap istri di
Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010?
2. Apa yang menjadi faktor penghambat dan faktor pendukung pelaksanaan
Nafkah Mut’ah oleh suami terhadap istri?
3. Tinjauan hukum Islam dalam pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami
terhadap istri di Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010?
11
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian yang penulis lakukan ini
adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami terhadap istri
Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010
b. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung pelaksanaan
Nafkah Mut’ah oleh suami terhadap istri
2. Kegunaan Penelitian
Sedangkan kegunaan dari penelitian yang penulis harapkan yaitu
sebagai berikut :
a. Sebagai sumbangan pemikiran bagi umat islam, khususnya mahasiswa
Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum guna menjawab persoalan yang
berkembang ditengah masyarakat.
b. Sebagai persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam
dibidang hukum islam.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik serta untuk mendapatkan data
yang relevan dengan masalah penelitian maka, penulis menggunakan metodologi
sebagai berikut :
12
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini tergolong jenis lapangan (field
research), artinya penelitian yang langsung dilakukan di lapangan dengan
menggunakan alat pengumpulan data berupa wawancara dengan
responden yang telah ditetapkan. Sifatnya tergolong deskriptif yaitu
menggambarkan secara apa adanya, terperinci dan jelas tentang kewajiban
Nafkah Mut’ah suami kepada isteri di wilayah hukum Pengadilan Agama
Bangkinang.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama
Bangkinang. Alasan penulis memilih Pengadilan Agama Bangkinang
sebagai lokasi penelitian karena kasus perceraian yang terjadi selama
tahun 2010.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah 76 orang yang terkait dengan
kasus Nafkah Mut’ah, penulis akan mengambil hanya 30 orang sebagai
sampel yaitu yg terdiri dari 15 suami dan 15 istri kemudian Ketua
Pengadilan Agama Bangkinang serta Ketua Panitra Pengadilan Agama
Bangkinang
13
4. Jenis dan Sumber Data
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sampel penelitian
di lapangan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa
wawancara
dan
penyebaran
quesioner
sehubungan
dengan
permasalahan pokok penelitian tentang kewajiban Nafkah Mut’ah
tersebut.
b. Data sekunder yaitu mengadakan penelitian kepustakaan guna
mendapatkan teori-teori berupa peraturan perundang-undangan, bukubuku serta pendapat para ahli yang relevan dengan permasalahan
penelitian ini.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara, yaitu mengadakan dialog langsung secara lisan
dengan kedua belah pihak (pemohon dan termohon)
b. Angket, yaitu pengambilan data yang dilakukan dengan cara
membuat daftar pertanyaan terlebih dahulu, kemudian diajukan
kepada responden guna mempermudah interview
c. Kajian Kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data dengan cara
membaca literature-literatur kepustakaan yang berkaitan erat
dengan permasalahan yang diteliti, baik berupa buku-buku bacaan
maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku
14
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan ini lebih terarah, penulis membuat sistematika sebagai
berikut :
BAB I
: Pendahuluan
Merupakan bab pendahuluan yang membuat gambaran umum dari
pembahsan ini terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah,
perumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: Gambaran Umum Obyek Penelitian
Merupakan gambaran mengenai Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Bangkinang, Struktur Pengadilan Agama Bangkinang, Keadaan
Perkara Di Pengadilan Agama Bangkinang
BAB III
: TINJAUAN FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Merupakan gambaran mengenai Pengertian Nafkah Mut’ah, Hak dan
Kewajiban Suami Istri Setelah Bercerai Kadar dan Ukuran Nafkah
Mut’ah
BAB IV
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan pemberian Nafkah Mut’ah oleh suami kepada isteri di
Pengadilan Agama Bangkinang serta terhadap faktor penghambat
dan faktor pendukung dalam pelaksanaan pemberian Nafkah Mut’ah
15
di Pengadilan Agama Bangkinang dan tinjauan hukum islam
terhadaf nafkah muta’ah di Pengadilan Agama Bangkinang.
BAB V
: PENUTUP
Merupakan
penutup terhadap pembahasan yang terdiri dari
Kesimpulan Dan Saran
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
PENGADILAN AGAMA BANGKINANG
A. Sejarah Pengadilan Agama Bangkinang
Mengungkapkan berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang, hal ini sangat
erat hubungannya dengan sejarah berdirinya Pemerintahan Daerah Tingkat II
Kampar, Bangkinang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Kampar. Ketetapan
ini berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1956. Saat berdirinya Pengadilan
Agama Bangkinng ibukota daerah Tingkat II Kampar masih berada didaerah
Pekanbaru. Realisasinya terlaksana pada tanggal 5 juni 1967 dan Bangkinang
menjadi wilayah Pengadilan Agama yg otonom.
Adapun Pengadilan Agama Bangkinang berdiri pada tanggal 5 mei 1960
sebagai realisasi dari pertaturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 dan berkedudukan
di Bangkinang. Dengan demikian Pengadilan Agama Bangkinang lebih tua
usianya dari Pemerintahan Daerah Tingkat II Kampar lebih kurang 7 tahun.
Berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang pada tahun 1960 tersebut berdasarkan
yuridis :
1. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan
Pengadilan Agama / Mahkama Syari’ah diluar Jawa dan Madura
2. Surat Penetapan Mentri kehakiman tanggal 27 mei 1957 No. JP.
18/71/6 tentang pengadilan Negri
16
17
3. Penetapan Mentri agama RI No. 58 tahun 1957 tentang pembentukan
Pengadilan Agama / mahkama syari’ah di Sumatra
Pada saat berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang sebagai ketuanya
dirangkap oleh ketua Pengadilan Agama Pekanbaru yaitu Bapak K.H. Abdul
Malik dengan dua orang karyawan yaitu Abbas Hasan dan Abdul Rahman Rasyd.1
Walaupun semula Pengadilan Agama Bangkinang belum mempunyai gedung
sendiri tetapi bdalam statusnya masih menyewa, Alhamdulillah pada tahun
anggaran 1975/1976 Pengadilan Agama Bangkinag telah memiliki gedung sendiri
dari anggaran APBN 1975/1976 sebesar Rp. 8. 461. 000,- dengan volume
bangunan 155 M yang terdiri dari 13 ruangan. Sejalan dengan lika liku dan
dinamika pertumbuhannya, akhirnya Pengadilan Agama Bangkinang sekarang
berkantor (berlokasi) dijalan Sudirman No. 99 Bangkinang.2
Bila berbicara tentang bentuk-bentuk badan peradilan diwilayah hukum
Pengadilan Agama Bangkinang yang terletak di ibukota daerah Tingkat II
Kabupaten Kampar Provinsi Riau yang wilayah hukumnya terdiri dari 20
Kecamatan dalam daerah Tingkat II Kabupaten Kampar.
Yurisdiksi Pengadilan Agama Bangkinang tersebut berbatasan dengan
yurisdiksi Pengadilan Agama lainnya sebagai berikut ;
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Hukum Pengadilan Agama Pasir
Pengaraian
2. Sebelah selatan berbatasan dengan daerah Hukum Pengadilan Agama
Tembilahan
1
Tim Penyusun Sejarah Pengadilan Agama Bangkinang, Sejarah Pengadilan Agama Bangkinang.
( Bangkinang : 1982 ), h 3
2
Ibid, h. 4
18
3. Sebelah Timur berbatasan dengan daerah hukum Pengadilan Agama
Pelalawan dan Pengadilan Agama Pekanbaru
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Daerah Hukum Pengadilan Agma
Payakumbuh
Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 pasal 1 menyatakan : “Di tempattempat yang ada pengadilan negeri ada sebuah Pengadilan Agama/ Mahkama
Syari’ah yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum pengadailan negri.3
Sedangkan pengadilan negeri didaerah tingkat II Kabupaten Kampar hanya
satu buah yaitu pengadilan negeri Bangkinang yang terletak di Ibukota daerah
tingakat II Kabupaten Kampar.
Pengadilan Agama Bangkinang seperti halnya juga Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia mempunyai hukum acara menurut ketentuan pasal 54. “ Hukum
acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Ada beberapa sumber hukum acara perdata berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang kemudian berlaku pengadilan dalam lingkungan
peradilan Agama. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata yaitu antara lain :
1. Kitab Undang-undang hukum perdata ( burgerlick wetboek voor
Indonesia ) yang disingkat dengan BW.
2. Reglemen acara perdata ( reglement op de rechtsvoordering ) yang pada
masa penjajahan Belanda berlaku untuk Read Van Justitie.
3
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2000), h.
123
19
3. Reglamen Indonesia yang dibaharui ( het herziene Indonesich
Reglament ) yang lebih dikenal singkatan HIR atau RIB
4. Regalemen acara hukum perdata untuk daerah luar Jawa dan Madura (
Reglament tot Regeling van het rechwezeen in de Gewesten Java en
Madura ) yang lebih dikenal dengan singkatan RBg.
5. Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang peradilan Umum
Disamping itu terdapat sebagai Peraturan perundang-undangan tentang
Hukum Acara perdata yang berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum dan Peradilan Agama yaitu :
1. Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo. UU. No 35 tahun 1999
2. Undang-undang No. 14 tahun 1985
3. Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975
Berdasarkan ketentuan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 itu, kedelapan
Peraturan perUndang-undang itu berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama sedangkan hukum acara yang khusus diatur dalam UU No. 7
tahun 1989, meliputi tiga bagian. Bagian pertama merupakan ketentuan yang
bersifat umum diantarnya tentang asas-asas peradilan, penetapan dan putusan
pengadilan, dan upaya hukum ( banding dan kasasi ). Bagian kedua mengatur
tentang pemeriksaan sangketa perkawinan yang meliputi perkara cerai talak, cerai
gugat, dan cerai dengan alasan zina. Bagian ketiga mengatur tentang biaya
perkara.4
4
Ibid, h. 241-243.
20
B. Struktur Pengadilan Agama Bangkinang.
Semenjak berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang dari tahun 1960
sampai sekarang ini telah dipimpin oleh beberapa orang ketua, antara lain:
1. Tahun 1960 sampai tahun 1963 dijabat oleh K.H. Abdul Malik.
2. Tahun 1963 sampai tahun 1971 dijabat oleh K.H. Moh. Zein Wahidy.
3. Tahun 1971 sampai tahun 1993 dijabat oleh Idris. BA.
4. Tahun 1993 sampai tahun 1998 dijabat oleh Drs. Syahril.
5. Tahun 1998 sampai tahun 2003 dijabat oleh Drs. Taslim.
6. Tahun 2003 sampai dijabat oleh Drs. Syahril SH.MH.
7. Sudirman MH sampai sekarang5
Berkenaan dengan jumlah hakim yang bertugas menyelesaikan suatu
perkara selalu beruba-ubah, mulai dari berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang
sampai sekarang. Sedangkan jumlah hakim yang bertugas menangani suatu
perkara pada saat sekarang berjumlah orang yaitu:
1. Sudirman, MH,menjabat sebagai ketua
2. Drs. H. Sri Zalman, menjabat sebagai wakil ketua
3. Dra. Ilfa Susanti, menjabat sebagai anggota
4. Drs. Ahmad Sanusi ,menjabat sebagai anggota
5. Drs. Hj. Sahryah SH ,menjabat sebagai anggota
6. Bahtiar Latif S.Ag ,menjabat sebagai anggota
7. Drs. M. Zein SH , menjabat sebgai anggota
8. Dra. Hj. Sofinar Mukhtar , menjabat sebagai anggota
5
Edi, SH, ( Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Bangkinang), wawancara,
Bangkinang : 20 Mei 2011.
21
9. Dra. Hasnidar , menjabat sebagai anggota
Adapun yang duduk dalam kepaniteraan Pengadilan Agama Bangkinang
sekarang adalah sebagai berikut :
1. Alamsyah , menjabat sebagai kepala panitera / sekretaris
2. Ramli SH, menjabat sebagai wakil panitera
3. Manufri Amd. SH, menjabat sebagai wakil sekretaris
4. Zulfahmi SH, menjabat sebagi panitera nuda Permohonan
5.
Izam Ahmad, menjabat sebagai panitera muda Gugatan
6. Masri Amd. SH, menjabat sebagai panitera muda hukum
7. Zulfaini SH, menjabat sebagai kepala Urusan Kepegawaiian
8. Tamrin SH, menjabat sebagai Kepala Urusan keuangan
9. Drs. Sinar, menjabat sebagai Kepala Urusan Uum
10. Siti Rusanti, menjabat sebagai Panitera Pengganti
11. Suniarti BA, menjabat sebagai Panitera pengganti
12. Abu Bakar Amd, menjabat sebagai panitera
13. Warnis, menjabat sebagai Panitera pengganti
14. Drs. Izur Yahya S. Ag, menjabat sebagai Panitera Pengganti
15. Netti Adha, menjabat sebagai Panitera Pengganti
16. Hasyam Bungsu SH, menjabat sebagai Panitera Pengganti
17. Farlina Wati SH, menjabat sebagai panitera Penggati
18. Jalinus BA, menjabat sebagai Juru sita
19. Nasir, menjabat sebagai juru sita
20. Amizaruddin, menjabat sebagai Juru sita
22
Pengadilan Agama Bangkinang sebagai bagian tak terpisahkan dari
lembaga Pengadilan Negri, khususnya Peradilan Agama, maka organisatoru dan
menagerialnya melaksanakan apa yabg telah ditentukan oleh Peraturan
PerUndang-undangan yang berlaku, pada pokoknya antara lain tentang UU
Peradilan Agama No. 7 tahun 1989 Bab II tentang susunanan Pengadilan pada
sebuah Peradilan Agama.
23
STRUKTUR ORGANISASI PERADILAN AGAMA BANGKINANG
Ketua
Wakil Ketua
Panitera
Sekretaris
Wakil
Sekretaris
Kaur
Kapan
Permohonan
n
Kaur
Kapan
Gugatan
Wakil
Sekretaris
Kaur
Kapan
Hukum
Hakim
Pengganti
Hakim
Kaur
Umum
Kaur
Kepegawaian
Juru Sita
Pengganti
24
Secara garis besar penjelasan bagan sebagai berikut:
1. Garis putus-putus sebagai tanda fungsional organisasi Pengadilan Agama
Bangkinang, bagan Hakim, panitera pengganti dan juru sita pengganti
adalah pejabat fungsional dari sub organisasi Pengadilan Agama
Bangkinang yang berwenang dan berfungsi dalam melaksanakan tugas
pokok penelitian.
2. Garis lurus sebagai tanda garis structural organisasi Pengadilan Agama
Bangkinang yang merupakan pendukung umum seluruh organisasi,
sekalipun tidak terkait langsung dengan fungsi pokok peradilan agama.
3. Bagan dibawah panitera dan wakil panitera yaitu kaur kapan permohonan,
kaur kapan gugatan, kaur kapan hukum adalah pejabat structural
Pengadilan Agama Bangkinang yang terkait langsung dalam menunjang
tugas pokok peradilan.
Ketua Pengadilan Agama Bangkinang adalah sebagai kepala administrasi
dalam peradilan. Ketua pengadilan dibantu oleh kepaniteraan sebagai sebagai
penanggung jawab pelaksaan administrasi umum dan perkara serta bendahara
yang ada di pengadilan tersebut. Dalam pelaksanaan administrasi umum dibantu
oleh kepala kepaniteraan perkara.
Dibidang structural ketua pengadilan dibantu oleh seorang wakil ketua dan
beberapa hakim, khususnya di Pengadilan Agama Bangkinang ada orang hakim
termasuk ketua pengadilan. Apabila ketua pengadilan bertugas keluar kota, ketua
pengadilan melimpahkan tugasnya kepada wakil ketua pengadilan.
25
Kepala
pengadilan
sebagai
administrator
pengadilan
berwenang
menentukan biaya perkara di Pengadilan Agama Bangkinang, menentukan Hakim
yang akan menyidangkan perkara-perkara di Pengadilan Agama Bangkinang serta
untuk menentukan majlisnya berdasarkan kepada senioritas, kepangkatan dan
pengalamannya.
Majlis hakim yang telah mendapatkan penetapan untuk memeriksa perkara
kekuatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak manapun, hakim mempunyai hak
prerogative penuh untuk menentukan perkara yang ditanganinya dan ketua
pengadilan secara langsung tidak dapat mengawasi maupun menindak hakim jika
ada tunggakan perkara.
C. Keadaan Perkara Pengadilan Agama Bangkinang
1. Perkara baru yang diterima pada Pengadilan Agama Bangkinang selama tahun
2010 sebanyak 596 perkara dengan jenis perkara (berdasarkan urutan terbesar
jumlah jenis perkara) sebagai berikut :
1. Cerai Gugat
: 387Perkara
2. Cerai Talak
: 149 Perkara
3. Izin Poligami
: 6 Perkara
4. Dispensasi Nikah
: 47 Perkara
5. Wali Adhol
: 1 Perkara
6. Isbat Nikah
: 5 Perkara
7. Pengesahan anak
: 1 Perkara
Jumlah
: 596 Perkara
26
Sedangkan sisa perkara tahun 2009 sebanyak 267 perkara, sehingga jumlah
perkara yang harus diselesaikan selama tahun 2010 sebanyak 596 perkara.
2. Perkara yang dapat diselesaikan pada tahun 2009 sebanyak 465 perkara dengan
perincian (berdasarkan urutan prosentase terbesar) sebagai berikut :
1. Cerai Gugat
: 302 Perkara
2. Cerai Talak
: 116 Perkara
3. Izin Poligami
: 64Perkara
4. Dispensasi Nikah
: 36 Perkara
5. Wali Adhol
: 1 Perkara
6. Isbat Nikah
: 6 Perkara
Jumlah
: 465 perkara
Jadi sisa perkara tahun 2009 sebanyak 267 perkara atau dari jumlah perkara
yang harus diselesaikan pada tahun 2009.
3. Adapun faktor-faktor penyebab perceraian mulai dari (presentase terbesar)
adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada tanggung jawab
: 308 Perkara
2. Tidak ada keharmonisan
: 122 Perkara
3. Krisis akhlaq
: 10 Perkara
4. Dihukum
: 1 Perkara
5. Gangguan pihak ketiga
: 120 Perkara
6. Cemburu
: 26 Perkara
7. Kawin Paksa
: 9 Perkara
27
4. Perkara yang dimohonkan Banding
1. Sisa Perkara tahun 2008 NIHIL
2. Perkara yang dimohonkan banding tahun 2009 NIHIL
3. Perkara Banding yang telah diputus tahun 2009 NIHIL
4. Sisa perkara banding tahun 2009 NIHIL
5. Perkara yang dimohonkan Kasasi
1. Sisa perkara tahun 2009 NIHIL
2. Perkara yang sudah diputus tahun 2009 NIHIL
3. Sisa perkara tahun 2009 NIHIL
6. Perkara yang dimohonkan Peninjauan Kembali.
1. Sisa perkara tahun 2008 NIHIL
2. Perkara yang dimohonkan PK tahun 2009 NIHIL
3. Perkara yang sudah diputus tahun 2009 NIHIL
4. Sisa perkara PK tahun 2009 sebanyak NIHIL
28
BAB III
TINJAUAN FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA
A. Pengertian Nafkah Mut’ah
1.
Nafkah
Dalam bahasa Arab nafkah berarti biaya, belanja dan pengeluaran
uang.1 Sementara dalam kamus Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja
untuk hidup (uang) pendapatan.2 Di dalam Ensiklopedi Indonesia dijelaskan
bahwa nafkah adalah belanja wajib yang diberikan oleh seseorang kepada
tanggungannya. Nafkah itu meliputi kebutuhan sehari-hari, seperti makanan,
pakaian, tempat tinggal. Kewajiban memberi nafkah timbul karena ikatan
pernikahan seperti suami terhadap istri, ikatan keluarga seperti ayah terhadap
anak dan ikatan perwalian. Jumlah nafkah wajib yang diberikan sesuai
dengan kemampuan dan kebiasaan setempat.
Secara material nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang
berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, minuman, pakaian,
rumah dan lain-lain.3
Sementara Sayyid Sabiq menambahkan tidak hanya hal-hal yang
dapat memenuhi kebutuhan istri yang bersifat primer akan tetapi juga
sekunder sekalipun sang istri dari keluarga yang mampu dan berkecukupan4
Adapun menurut Ulama’ Fiqh, nafkah adalah pengeluaran seseorang terhadap
1
Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997) 1449
2
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 679
3
Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001) 383
4
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8 (Bandung: PT Al Maarif, 1980), 147.
28
29
orang yang wajib menerima nafkah yang terdiri dari roti, lauk pauk, temapt
tinggal dan segala sesuatu yang terkait dengan hal itu.5 Dari beberapa
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, nafkah adalah adalah
seluruh pengeluaran atau pembelanjaan seseorang atas orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan primer maupun
sekunder terkait kebutuhan konsumtif.
Sedang menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya “ Ilmu Fiqh” beliau
mendefinisikan nafkah berarti “belanja”, maksudnya adalah sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada isteri, kerabat dan miliknya sebagai
keperluan pokok bagi mereka, keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan
tempat tinggal.6 Definisi ini mengandung pengertian bahwa nafkah adalah
segala macam kebutuhan hidup manusia bagi kebutuhan pribadinya maupun
kebutuhan bagi orang di luar dirinya. Sulaiman Rasyid mendefinisikan nafkah
yaitu semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan
tempatnya,7 sehingga tidak dibatasi apakah mesti pokok, tidak pokok, atau
pun kebutuhan pelengkap, sebab kewajiban nafkah menurut beliau yang
dimaksud tidak terbatas pada kebutuhan pokok, sehingga jika masing-masing
yang memiliki hak nafkah dan kewajiban nafkah kebutuhan-kebutuhan
pokoknya, sudah terpenuhi, tetap terkena kewajiban memenuhi kebutuhan
meskipun kebutuhan itu tidak pokok, artinya kebutuhan itu tergantung
(Fleksibel) sesuai dengan keadaan dan tempatnya.
6
7
Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqh, cet. 1 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), II: 141.
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32 (Bandung: Sinar Baru, 1998), hlm. 390.
30
Menurut hukum Islam nafkah dibagi secara global menjadi dua
macam Pertama: nafkah untuk dirinya sendiri yakni kewajiban seorang
manusia untuk memikul beban tanggung jawab dalam rangka memenuhi
kebutuhannya sendiri, untuk kesejahteraan jasmani, dan rohaninya sendiri.
Kedua: nafkah untuk orang di luar diri, tentu saja dalam hal ini adalah anak
isteri orang tuanya dan berbagai macam tanggung jawab nafkah bagi orangorang di luar diri manusia itu sendiri.8
2.
Mut’ah
Secara etimologis, mut’ah dapat diartikan ‫( اﻟﺒﻠﻐﺔ‬nafkah yang sepadan,
cukupan), ‫( اﻟﻘﻠﯿﻞ اﻟﺰاد‬bekal sedikit) dan dapat juga diartikan dengan ‫ﻣﺘﺎع‬
dengan jamak ‫( اﻣﺘﻌﺔ‬harta benda atau barang-barang). Apabila dikaitkan
dengan kata talak, ‫ اﻟﻄﻼق ﻣﺘﻌﺔ‬berarti “sesuatu yang diberikan kepada isteri
yang dicerai”9 Mut’ah diartikan juga dengan “sesuatu yang diberikan setelah
terjadinya perceraian dan pemberian itu dapat berupa harta ataupun pembantu
rumah tangga”.10
8
Syeikh 'Abdullah ibn Hasan al-Husain al Kau Haji, Zadu Al-Mukhtaj bi Syarhi alminhaj,
(Beirut : al Maktabah al 'Isriyah, t.t.) hlm. 563. Menurut beliau nafkah untuk dirinya sendiri hadir
karena sebab dirinya oleh Allah untuk orang diluar dirinya disebabkan, antara lain karena adanya
pernikahan, kekerabatan, maupun karena unsur kehambaan
9
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984),
1401.
10
Ibrahim Anis, et. al., Mu’jam al-Wasit, jilid 2, hal. 852-853.
31
B. Mut’ah Menurut Fiqih Dan KHII
1.
Mut’ah Menurut Fiqih Islam
Ulama fikih mendefinisikan mut’ah adalah:
11
“Harta benda yang
diserahkan suami pada istrinya karena perceraian”. Kata mut’ah sering
digunakan untuk menyebut barang atau uang pemberian suami kepada istri
yang ditalak sebelum dicampuri terlebih dahulu sesuai dengan kesanggupan
dan keikhlasannya.12 Ketentuan tentang mut’ah sebagai implikasi yang
muncul akibat perceraian didasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an antara lain
surat al-Baqarah13 ayat 236-237:
‫وﻣﺘّﻌﻮھﻦّ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﺳﻊ ﻗﺪره وﻋﻠﻰ اﻟﻤﻘﺘﺮ ﻗﺪره ﻣﺘﻌﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ‬
‫اﻟﻤﺤﺴﻨﯿﻦ‬
” ….dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (suatu pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya pula...”
Surat al-Baqarah ayat 241:
‫وﻟﻠﻤﻄﻠﻘﺎت ﻣﺘﺎع ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺘﻘﯿﻦ‬
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orangorang yang takwa."
11
Taqy al-Din abi bakar al-Husaini, kifayatu al-Akhyar (Madinah: markaz al-Uswah,
1426H), 497
12
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar baru van Hoeve),133.
13
Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 58
32
Surat al-Ahzab ayat 28:14
" Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan
kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik."15
Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa suami wajib memberikan mut’ah
kepada isteri yang ditalak qabl al-dukhul dan maharnya belum ditentukan.16
Hanya Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa hukum
pemberian mut’ah itu adalah sunnah.17
2.
Mut’ah dalam dan Kompilasi Hukum Islam KHI
Perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang mut’ah dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1, 149, 158, 159, dan 160. Sedangkan
dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak terdapat
ketentuan yang mengatur tentang hak mut’ah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, mut’ah adalah pemberian bekas
suami kepada isteri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.18
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa mut’ah merupakan salah satu
hak yang diterima oleh isteri setelah terjadinya perceraian. 19
14
Al-Qur’an, 33 (al-Ahzab): 665.
Ibid, 664
16
Abu Ishaq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Shayrazi, al-Muhadhdhab fi Fiqh al-Imam alShafi’i, (Mesir: Matkbah al-Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th), hal. 80.
17
Al-Imam Sahnun ibn Sa’id al-Tanukhi, al-Mudawamah al-Kubra (Beirut: Dar Sadir,
1323), 229.Lihat juga Ibn Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtas}id (Mesir: Shirkah
Maktabah waMat}ba’ah Mus}t}afa al-Babi al-Halabi, 1960), 72-73
18
KHI pasal 1 huruf j: “Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri yang
dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.”
19
Isteri yang ditalak berhak menerima hak-hak nya dari suami yang mentalaknya. Dalam
KHI pasal 149: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a)
memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali isteri
tersebut qabl al-dukhu>l; b) member nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
15
33
Dalam kompilasi Hukum Islam mut’ah dibagi dalam dua bentuk
yaitu: mut’ah yang hukumnya wajib dan mut’ah yang hukumnya sunnah.
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
1. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’d al-dukhul
2. Perceraian itu atas kehendak suami.20
Apabila salah satu dari syarat mut’ah wajib diatas tidak terpenuhi,
maka suami sunnah memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerainya.21
Adapun mengenai kadar mut’ah, maka disesuaikan dengan kepatutan dan
kemampuan suami.22
C. Kadar Nafkah Mut’ah
Dalam Islam juga disinggung tentang ketentuan kadar nafkah dan sisi
kemampuan memenuhi kewajiban nafkah memiliki kaitan erat dalam aplikasi
nafkah secara riil, diakui bahwa, memang di kalangan para ulama terjadi
perbedaan pandangan mengenai kadar, jenis dan kemampuan nafkah secara orang
perorang dalam pemenuhannya, antara lain dalam hal penentuan jenis kebutuhan
nafkah misalnya. Dalam Kitab al-Akhwal asy-Syakhsyiyyah ‘ala Mazahib alKhamsah, bahwa sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa yang dimaksud
kebutuhan pokok (jenisnya) dalam nafkah adalah pangan, sandang dan tempat
tinggal. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud kebutuhan
‘iddah, kecuali bekas isteri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c).
melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabl al-dukhu>l; d)
Memberikan biaya hadanah untuk anakanak yang belum mencapai umur 21 tahun.”
20
KHI pasal 158.
KHI pasal 159
22
KHI pasal 160
21
34
pokok hanyalah pangan saja tidak menyangkut di dalamnya sandang dan papan
atau tempat tinggal. 23
Nafkah dalam perceraian dikadar (dibatas) dengan keadaan syara' yaitu
dibatas dengan keadaan syara' sendiri. Seperti halnya dalam hal ini Imam Malik
berpendapat bahwa nafkah tidak ada batasnya, baik dalam maksimal maupun
minimalnya.24 Namun demikian Abu Hanifah dalam pendapatnya memberikan
batasan-batasan kewajiban nafkah, yaitu sedikitnya baju kurung, tusuk konde,
kudung, tidak boleh lebih dari setengah mahar. Sedang Imam Ahmad berpendapat
bahwa mut'ah berupa baju kurung dan kudung yang sekedar cukup dipakai shalat,
dan ini sesuai dengan kemampuan suami.
Meskipun demikian ‘urf masyarakat muslim lebih arif dan bijaksana, persepsi
mereka tentang nafkah tidak lain adalah meliputi makanan-minuman (pangan),
pakaian dan perhiasan (sandang) dan juga tempat tinggal yang layak huni. Kecuali
bagi yang benar-benar tidak mampu, barangkali pangan itulah yang mereka
sediakan.
Selanjutnya mengenai kadar nafkah, dalam hal ini adalah nafkah bagi
mantan isteri, al-Qur'an tidak menyebutkan ketentuannya, al-Qur'an hanya
memberikan
pengarahan/anjuran
yang
sangat
bijaksana,
yakni
dengan
menyerahkan kepada mantan suaminya dengan ukuran yang patut (ma'ruf) sesuai
23
M. Agus Nuryatno, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender (Yogyakarta:
UII Press, 2001), hlm. 60.
24
hlm. 23
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
35
dengan kemampuannya, hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat alBaqarah (2): 236.
Dalam hal ini H. Sulaiman Rasyid25 berpendapat diwajibkan atas suami
memberikan belanja kepada isteri yang taat, baik makanan, pakaian, tempat
tinggal menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami.
Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masing-masing,
dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami. Intinya yang menjadi ukuran
berapa besar nafkah adalah kemampuan suami. Lebih lanjut Sulaiman Rasyid
menguraikan walaupun sebagian ulama mengatakan nafkah isteri itu dengan kadar
yang tertentu tetapi yang mu’tammad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta
menginggat keadaan suami.
Dengan demikian jelas bahwa jika kedapatan suaminya kaya maka
disesuaikan dengan kemampuan, nafkahnya itu sebanding dengan kekayaannya.
Begitu juga sebaliknya. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 223 dan
juga surat at-Talaq (65): 07, Imam Malik menjelaskan bahwa nafkah itu tidak ada
batasan yang ma'ruf (patut), dalam sedikitnya atau banyaknya.
D. Hukum Pemberian Nafkah Mut’ah Bagi Mantan Isteri
Para fuqaha berbeda pendapat, ada Fuqaha yang berpendapat bahwa
nafkah (mut’ah) itu wajib diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila
suami telah sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau
belum, dan juga kepada isteri yang telah diceraikan sebelum sempat dicampurinya
25
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Semarang : Tohta Putra, 1999), Hlm. 149
36
apabila maharnya telah ditentukan. Hasan Basri berpendapat bahwa mut’ah itu
wajib, hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2): 241.
Persolan mut’ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain pasal
158, yang menyatakan Mut’ah wajib diberikan oleh mantan suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul.
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i, diwajibkan untuk setiap isteri
yang diceraikan, jika putusan perkawinan datang dari pihak suami, fuqaha
Dahiri juga sependapat dengan hal ini, Imam asy-Syafi’i memberikan
pengecualian bagi isteri yang telah ditentukan mahar untuknya dan dicerai
sebelum digauli, jumhur ulama juga memegangi pendapat ini. 26
Imam Malik berpendapat sebaliknya, hukum memberikan mut’ah hanya
dianjurkan (mustasab) dan tidak wajib untuk semua wanita yang ditalak,
sedangkan maskawin belum ditetapkan dan dianjurkan bagi wanita yang ditalak
dan maskawin telah ditentukan.27
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku I Hukum
Perkawinan Bab XVII pasal 149 (a) pasal 158 yang berbunyi:
1. Pasal 149.
26
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Akhwal asy-Syakhsyyyah ‘ala Mazahib alKhamsah, cet.1 (Beirut: Dar ‘Ilmi,t.t), hlm. 102.
27
Ibid, hlm. 104
37
a. “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau
benda kecuali bekas isteri tersebut qabla dukhul.”
2. Pasal 158.
“Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
1.
Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul.
2.
Perceraian itu atas kehendak suami.”
Dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang wanita
yang telah dicerai berhak mendapatkan Nafkah Mut’ah dari mantan suaminya
tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal
tersebut.
Adapun dalam talak ba’in, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak
nafkah jika istri dalam keadaan tidak hamil:
a. Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’i.
Mantan istri tersebut berhak mendapat tempat tinggal tapi tidak berhak
mendapat nafkah, kecuali kalau hamil.
b. Menurut Imam Hanafi
Mantan istri tersebut berhak atas nafkah dan tempat tinggal, seperti
perempuan yang ditalak raj’i. karena ia wajib menghabiskan masa iddah di
rumah suaminya. Sedangkan di rumah ini dia terkurung, karena suami masih
ada hak kepadanya. Nafkahnya ini dianggap sebagai hutang yang resmi sejak
38
hari jatuhnya talak, tanpa bergantung kepada adanya persepakatan atau tidak
adanya putusan pengadilan. Hutang ini tidak dapat dihapus kecuali sudah
dibayar lunas atau dibebaskan.
c. Menurut Imam Hanbali
Mantan istri tersebut tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sebab
nafkah hanya diberikan kepada perempuan yang suaminya mempunyai hak
ruju’.Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat Imam Abu Hanifah yang dirasa
paling tepat dan paling adil, karena wanita yang sedang menjalani masa iddah,
baik karena talak raj’i maupun talak ba’in, baik hamil maupun tidak, masih
belum diperbolehkan menikah dengan orang lain. Sehingga hubungan antara
suami istri tersebut, belum seratus persen putus, maka dalam keadaan yang
demikian itu, istri masih berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya.
Sedangkan mut’ah wajib diberikan kepada mantan istrinya sewaktu dia
menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian atas
kehendak suami, tetapi jika perceraian atas permintaan istri pemberian tersebut
menjadi tidak wajib.
39
BAB IV
PELAKSANAAN NAFKAH MUT’AH SUAMI KEPDA ISTRI DI
PENGADILAN AGAMA BANGKINANG
A. Pelaksanaan Nafkah Mut’ah di Pengadilan AgamaBangkinang
Pengadilan Agama dasarnya setiap orang yang melaksanakan
perkawinan mempunyai tujuan atau cita-cita untuk selama-lamanya.
Tetapi adakalanya suatu perkawinan karena sebab-sebab tertentu
Pengadilan Agama berakibat putus atau tidak Pengadilan Agama
dilanjutkan lagi, dan Pengadilan Agama akhirnya perkawinan tersebut
harus berakhir dengan perceraian antara suami istri.
Putusnya ikatan perkawinan didalam Fiqih Islam dikenal dengan
Talak dan khulu’ sedangkan dalam KHI disebut dengan cerai talak dan
cerai gugat. Cerai Talak yaitu putusnya ikatan perkawinan antara suami
dan istri dimana hal tersebut datang dari pihak suami. Cerai gugat yaitu
apabila ikatan perkawinan antara suami dan istri dimana hal tersebut
datang dari pihak istri.
Masalah hilangnya/lePengadilan Agamasnya ikatan perkawinan tersebut
diatur oleh perundang-undang baik yang berdasarkan peraturan pemerintah
yaitu undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 juga ada dalam
KHI(Kompilasi Hukum Islam Indonesia).
39
40
Selain dua sumber diatas yang dijadikan landasan tentang
perceraian, islam juga mengatur tentang masalah perceraian antara suami
dan istri sebagaimana dalam surat Al-baqarah: 236-237
Konsekuensi logis dari sebuah perceraian adalah hilangnya
tangung jawab antara suami istri. Meskipun untuk seorang suami ketika
terjadi perceraian tidak secara muthlak terlePengadilan Agamas tangung
jawabnya terhadap mantan istrinya. Tangungan suami terhadap istri adalah
beruPengadilan Agamanafkah yang harus diberikan oleh mantan suami
terhadap istrinya. Ketika perceraian terjadi maka suami berkewajiban
memberikan mut’ah(pemberian) kepada mantan istrinya di samping
nafkah iddah yang harus dibayarkan kepada istri sampai masa iddahnya
berakhir. Apabila dalam perkawinan tersebut telah mendapatkan seorang
anak maka suami atau mantan suami wajib memberikan nafkah
pemeliharaan anak (nafkah hadhanah).1
Berkaitan dengan nafkah mut’ah, hal ini merupakan pemberian
suami terhadap istri sebagai bentuk sagu hati karena telah diceraikan.
Berdasarkan firman Allah dalam Alquran surat:
Tentang pelaksanaan mut’ah tersebut Pengadilan Agama selaku pihak
yang diberikan wewenang oleh negara untuk mengatur hal-hal yang
bersangkutan dengan masalah keperdataan yang terjadi didalam sebuah
keluarga mempunyai peran yang sangat sifnifikan bagi terselenggaranya
kemaslahatan antara kedua belah pihak.
1
Ibnu Rasyid, Fiqih Munakahat, (Jakarta:Bintang Mulia, 2001), hlm. 125
41
Dalam hal ini termasuk masalah yang berkaitan dengan mut’ah
suami kepada istri. Pengadilan AgamaBangkinang meruPengadilan
Agamakan lembaga peradilan agama yang mempunyai daerah kerja
diwilayah Kampar dalam hal memutuskan perkara mut’ah ini terdapat
beberapa langkah yang dilalui. Berdasarkan data yang kami peroleh
langsung dari Ketua Pengadilan Agama Bangkinang beliau menyatakan
bahwasanya langkah-langkah yang dilakukan dalam memutuskan mut’ah
suami kepada istri adalah sebagai berikut:2
1. (Sidang Perceraian)
Berdasarkan undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 Dan
Kompilasi Hukum Islam 149 dan 158 maka sebelum diputuskannya
mut’ah terjadilah sebuah proses persidangan perceraian.
2. (Putusan Sidang )
Kemudian berkaitan dengan Nafkah Mut’ah maka Pengadilan Agama
Bangkinang menganalisa apakah perkara tersebut sesuai dengan pasal
149 atau 158. apabila sesuai dengan pasal 149 dan 148 maka
Pengadilan Agama menetapkan kewjiban suami membayar mut’ah
kepadamantan istri. Kemudian Pengadilan Agama membuat sebuah
surat keputusan berdasrakan sidang yang yang berisi tentang
tanggungan nafkah yang harus dipenuhi oleh suami yang berisi
2
Wawancara langsung dengan kePengadilan Agamala Pengadilan AgamaBangkinang
42
tentang;
a. Nafkah mut’ah
b. Nafkah iddah
c. Nafkah hadhonah
3. Pengucapan ikrar
PengucaPengadilan Agaman ikrar adalah kesePengadilan
Agamakatan yang dilakukan secara lisan oleh kedua belah pihak
berdasarkan putusan sidang.
Pelaksanaan mut’ah suami dilakukan atau ditunaikan oleh
suami setelah pengucaPengadilan Agaman ikrar. Dan ketika Pada
waktu itu mut’ah itu tidak bisa ditunaikan maka dapat dilaksanakan
dikemudian hari.
Ketika dikemudian hari ternyata tidak dilaksanakan oleh
mantan suami maka pihak istri dapat mengajukan gugatan.
Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh istri tersebut maka dilakukan
eksekusi. Menurut Ketua Pengadilan Agama Alamsyah pelaksanan
eksekusi ini jarang sekali terjadi karena biaya eksekusi yang akan
digelar tersebut dibebankan semuanya kepada penggugat.3
Berkiatan dengan kadar atau ukuran mut’ah yang harus
dibayarkan
oleh
suami
kepada
mantan
istrinya
Agamabangkinag memeprhatikan beberapa sebagi berikut:
3
Wawancara langsung dengan Alamsyah
Pengadilan
43
a) KesePengadilan
Agamakatan
antara
suami
isteri
yang
berperkara;
b) Kewajaran tuntutan yang diajukan oleh isteri; dan
c) KesangguPengadilan Agaman suami.
Dalam pengambilan putusan kadar mut’ah di Pengadilan
AgamaBangkinang ada keterkaitan yang sangat erat dengan kondisi
ekonomi mantan suami. Keterkaitan ini tidak lePengadilan Agamas
dari firman Allah yang ada dalam surat AlBaqarah ayat 236, 241.
Hal ini sebagaimna terjadi terhadap Marwiyah warga Sp I
Laboyjaya Bangkinang. Marwiyah di cerai talak oleh suaminya
Abidin pada tanggal 20 April 2010 setelah dilakukan persidangan di
Pengadilan AgamaBangkinang maka hubungan keduanya dinyatakan
bukan sebagai suami istri lagi.
Setelah proses persidangan selesai dan dilanjutkan ikrar dihari
berikutnya maka abidin diwajibkan untuk membayar mut’ah kepada
marwiyah. Dan pada waktu pembayaran mut’ah abidin tidak
memberikannya
dengan
alasan
tidak
ada
uang
yang
akan
diberikan/bayarkan dengan perjanjian akan dibayarkan dikemudian
hari. Jumlah mut’ah yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama sebesar
2.000.000 juta rupiah hal tersebut ditetapkan berdasarkan penghasilan
abidin dan pekerjaanya. Akan tetapi ternyata abidin tidak memberikan
mut’ah kepada istrinya.
44
B. Faktor penghambat dan Faktor Pendukung pelaksanaan Nafkah
Mut’ah di Pengadilan Agama Bangkinang
1. Faktor Penghambat
Berdasarkan observasi dan analisa yang kami lakukan maka
dapat kami simpulkan bahwasanya faktor-faktor penghambat dalam
proses terlaksanaya mut’ah suami kepada mantan istri di wilayah kerja
Pengadilan Agama Bangkinang adalah4:
1) Rendahnya tingkat pendidikan
2) Kurangnya kesadaran beragama
3) Latar belakang perceraian
4) Kurangnya kontrol dari pihak Pengadilan Agama
5) Tidak adanya sanksi
hukum
yang jelas terhadap tidak
dilaksanaknya Mut’ah oleh suami dari Pengadilan Agama
2. Faktor Pendukung
1) Tingginya tingkat pendidikan
2) Tingginya kesadaran beragama
3) Tingginya kesejahteraan suami
Dari hasil yang kami dapatkan diatas dapat disimpulkan lebih
sederhana bahwasanya ada dua faktor baik yang memperkuat atau
menghambat pelaksanaan mut’ah suami di wilayah kerja Pengadilan
Agama Bangkinang.
Faktor-faktor tersebut adalah:
4
Data putusan pengadalian agama bangkinang tentang nafkah mut’ah dan wawancara
dengan ketua pengadilan agama bangkinang.
45
a) Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari personal
seorang suami yang dipengaruhi oleh latar belakang yang
bervariasi seperti, pendidikan semakin tinggi pendidikan maka
semakin
tinggi
pula
tingkat
ketaatan
dan
kePengadilan
Agamatuhan terhadap hukum sehingga proses pelaksanaan
muta’h suami terhadap mantan istri dapat terlaksana dengan baik
begitu sebaliknya semakin rendah tinggkat pendidikan maka
tingkat kepatuhan terhadap hukum semakin rendah dan hal ini
yang menyebabkan pelaksanan mut’ah suami terhambat.
Selain
pendidikan
latar
belakang
perceraian
juga
memberikan pengaruh yang cukup tinggi seperti dari beberapa
responden yang kami dapat, ketika latar belakang perceraian
adalah karena banyak dodominasi dari kesalahan yang dilakukan
oleh pihak istri maka hal ini mengakibatkan adanya keengganan
suami untuk memberikan mut’ah kepada mantan istri dari sini
terlihat
kurangnya pemahaman agama ikut memberikan
kontribusi baik dari segi terlaksananya atau tidak.
b) Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang ada di pengadilan
agama, seperti kurangnya kontrol atau pengawasan dari pihak
pengadilan memberikan peluang untuk tidak terlaksananya
mut’ah suami ini dengan baik. Hal tersebut terjadi karena adanya
46
sebuah pengaduan mantan istri terhadap suami. Artinya ketika
tidak terjadi pengaduan dari sang mantan istri tentunya hal ini
tidak diketahui aPengadilan Agamakah mut’ah tersebut dibayar
atau tidak dibayarkan oleh mantan suami.
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwasanya kontrol dari pihak Pengadilan Agama memberikan
pengaruh signifikan, semaikn tinggi tingkat kontrol yang
diberikan maka semakin tinggi pula tinggaka tkeberhasilan
mut’ah suami kepadamantan istri. Dan begitu sebaliknya semakin
rendah tingkat kontrol maka semkin jauh tingkat keberhasilan
yang diharapkan.
Selain kontrol Pengadilan Agama terhadap terlaksanya
mut’ah sanksi hukum yang tegas juga memberikan sumbangan
yang besar bagi terselangaranya mut’ah suami terhadap mantan
istri. Sejauh ini tidak ada sanksi hukum yang diberikan oleh pihak
terkait dengan tidak dilaksanaknya mut’ah tersebut. Sehingga hal
ini menyebabkan rendahnya kesadaran hukum yang Pada
akhirnya mut’ah suami terhadap istri atau mantan istri tidak
terlaksana dengan baik karena sang suami merasa tidak ada akibat
dari dilaksanya mut’ah atau tidak.
47
C. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pelaksanan Mut’ah Suami Terhadap
Istri Di Pengadilan AgamaBangkinang.
Pelaksanan mut’ah di Pengadilan AgamaBangkinang dilaksanakan
berdasarkan landasan yang kuat ditinjau dari sisi hukum islam. Artinya
pelaksanan mut’ah tersebut selaras dengan Pengadilan Agamayang
disyariatkan oleh Allah. Hal ini jelas dari landasan yang di gunakan oleh
Padalam memutuskan perkara mut’ah tersebut.
Landasan dalil yang digunakan oleh Pengadilan AgamaBangkinang
ditinjau dari hukum islam adalah:
Surat Al-Baqarah: Ayat 236
‫ﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ إن طﻠّﻘﺘﻢ اﻟﻨّﺴﺎء ﻣﺎ ﻟﻢ ﺗﻤﺴّﻮھﻦّ أو ﺗﻔﺮﯾﻀﻮا ﻟﮭﻦّ ﻓﺮﯾﻀﺔ‬
‫وﻣﺘّﻌﻮھﻦّ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﺳﻊ ﻗﺪره وﻋﻠﻰ اﻟﻤﻘﺘﺮ ﻗﺪره ﻣﺘﻌﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﺣﻘﺎ‬
‫ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺤﺴﻨﯿﻦ‬
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepadamereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang Pengadilan Agamatut. Yang demikian itu
meruPengadilan Agamakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.”
Surat Al-Baqarah : Ayat 241
َ‫ت َﻣﺘَﺎعُ◌ُ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُوفِ ﺣَ ﻘًّﺎ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿﻦ‬
ِ ‫َوﻟِ ْﻠ ُﻤﻄَﻠﱠﻘَﺎ‬
“bagi wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa”
48
Kedua landasan hukum islam diatas digunakan oleh Pengadilan
Agamabangkinag dalam menetapkan putusan tentang kewajiban suami
dalam memberikan mut’ah sedangkan yang berkaitan dengan kadar dan
ukuran yang harus dibayarkan oleh suami kepadaistri. Pengadilan
Agamabangkinag mengunakan argumen berdasarkan kaidah fiqih yang
menyatkan bahwa “Adat (kebiasaan) itu dapat dijadikan sebagi hukum”5
Kebiasaan atau yang sering dikatakan dengan adat atau urf dapat
dijadikan hukum, seperti terjadi kadar mahar sesunguhnya tidak ada batas
minimal dan juga batas maksimal akan tetapi didasarkan atas adat kebiasan
yang berlaku didaerah tersebut. Artinya selain sebuah adat kebiasan
tentunya faktor penghasilan suami juga menjadi bahan pertimbangan
Pengadilan Agama Bangkinang dalam menetapkan mut’ah suami.
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh sulaiman rasyid
dalam kitab fiqihnya beliau berpendapat berpendapat diwajibkan atas
suami memberikan belanja kepada isteri yang taat, baik makanan, pakaian,
tempat tinggal menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan
suami. Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masingmasing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami. Intinya yang
menjadi ukuran berapa besar nafkah adalah kemampuan suami. Lebih
lanjut
Sulaiman
Rasyid
menguraikan
walaupun
sebagian
ulama
mengatakan nafkah isteri itu dengan kadar yang tertentu tetapi yang
5
14
Muhammad Nuha, kaidah fiqhiyah dalam ijtihad ulama, (semarang: alsofwa, 1999), h.
49
mu’tammad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta menginggat
keadaan suami.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan
bahwasyahnya pelaksanaan nafkah mut’ah suami di
Pengadilan
Agama
Bangkinang
merupakan
sebuah
tanggungan yang wajib dibayarkan oleh suami kepada
manntan istrinya setelah terjadi perceraian. Landasan yang
digunakan oleh Pengadilan Agama Bangkinang adalah
berdasarkan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan juga
Kompilasi Hukum Islam pasal 149 dan 158.
Dalam
pelaksanaan
Nafkah
Mut’ah
tersebut
sering
mengalami kendala dan ini menjadi factor penghambat dari
terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami baik yang
berhubungan dengan personal individual suami sebagai
factor internal ataupun factor yang berhubungan dengan
institusi Pengadilan Agama Bangkinang sebagai factor
eksternal. Begitu juga dengan hal-hal yang berhubungan
dengan keberhasilan terlaksananya nafkah mut’ah oleh
suami yang juga didorong oleh factor-faktor internal dan
juga factor-factor eksternal.
51
Dalam pelaksanaannya nafkah mut’ah Pengadilan Agama
Bangkinang menetapkan kadar atau ukuran berdasarkan
tiga hal yaitu:
1. Kesepakatan antara suami istri yang berperkara
2. Kewajiban tuntutan yang diajukan oleh istri
3. Kesanggupan suami
Hal ini dilakukan karena tidak ada aturan baku dari fiqh Islam yang berdasarkan
Al-Quran dan Sunnah terhadap penetapan batas maksimal dan minimal dari
ukuran mut’ah yang harus dibayar oleh suami. Begitu juga dalam UndangUndang Indonesia baik dari Undang-Undang Perkawinan atau Kompulasi Hukum
Islam.
Pelaksanaan nafkah mut’ah suami dipengadilan Agama Bangkinang ditinjau dari
sisi Hukum Islam atau Fiqh sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlakudalam
menetapkn sebuah putusan yang juga didasarkan pada Al-Quran surat Al-baqarah
ayat 236 dan 241.
B. Saran
1. Pelaksanaan Nafkah Mutah merupakan bagian dari perintah agama
dengan demikian seorang suami hendaknya memberikan Mut’ah
tersebut kepada istrinya baik dibayar ketiak pengadilan agama atau
setelahnya.
2. Terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami kepada istrinya sangat
erat kaitannya dengan pihak pengadilan agama seperti tidak
adanya sanksi terhadap orang yang tidak menunaikannya dan
52
ketika terjadi gugatan dari seorang istri dan dilakukan eksekusi
memakan biaya yang cukup besar atau tinggi sehingga dengan
demikian banyak dari kasus tersebut tidak terselesaikan.
Oleh sebab itu pengadilan Agama Bangkinang hendaknya lebih
proaktif dalam mensikapi kasus yang berkaitan dengan masalah
tersebut.
3. Pemahaman agama masyarakat muslim dari segi pelaksanaan
hokum agama masih rendah, dengan demikian bagi Da’I,
Mubaligh, Ustadz dapat lebih menekankan dan mensosialisasikan
pentingnya mematuhi hokum agama dalam hal ini yang berkaitan
dengan mut’ah sumi terhadap istri
52
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasyahnya
pelaksanaan nafkah mut’ah suami di Pengadilan Agama Bangkinang merupakan
sebuah tanggungan yang wajib dibayarkan oleh suami kepada manntan istrinya
setelah terjadi perceraian. Landasan yang digunakan oleh Pengadilan Agama
Bangkinang adalah berdasarkan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan juga
Kompilasi Hukum Islam pasal 149 dan 158.
Dalam pelaksanaan Nafkah Mut’ah tersebut sering mengalami kendala dan
ini menjadi factor penghambat dari terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami baik
yang berhubungan dengan personal individual suami sebagai factor internal
ataupun factor yang berhubungan dengan institusi Pengadilan Agama Bangkinang
sebagai factor eksternal. Begitu juga dengan hal-hal yang berhubungan dengan
keberhasilan terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami yang juga didorong oleh
factor-faktor internal dan juga factor-factor eksternal.
Dalam
pelaksanaannya
nafkah
mut’ah
Pengadilan
menetapkan kadar atau ukuran berdasarkan tiga hal yaitu:
1. Kesepakatan antara suami istri yang berperkara
2. Kewajiban tuntutan yang diajukan oleh istri
3. Kesanggupan suami
50
Agama
Bangkinang
52
Hal ini dilakukan karena tidak ada aturan baku dari fiqh Islam yang
berdasarkan Al-Quran dan Sunnah terhadap penetapan batas maksimal dan
minimal dari ukuran mut’ah yang harus dibayar oleh suami. Begitu juga dalam
Undang-Undang Indonesia baik dari Undang-Undang Perkawinan atau Kompulasi
Hukum Islam.
Pelaksanaan nafkah mut’ah suami dipengadilan Agama Bangkinang
ditinjau dari sisi Hukum Islam atau Fiqh sesuai dengan prinsip-prinsip yang
berlakudalam menetapkn sebuah putusan yang juga didasarkan pada Al-Quran
surat Al-baqarah ayat 236 dan 241.
B. Saran
1.
Pelaksanaan Nafkah Mutah merupakan bagian dari perintah agama dengan
demikian seorang suami hendaknya memberikan Mut’ah tersebut kepada
istrinya baik dibayar ketiak pengadilan agama atau setelahnya.
2.
Terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami kepada istrinya sangat erat
kaitannya dengan pihak pengadilan agama seperti tidak adanya sanksi
terhadap orang yang tidak menunaikannya dan ketika terjadi gugatan dari
seorang istri dan dilakukan eksekusi memakan biaya yang cukup besar atau
tinggi sehingga dengan demikian banyak dari kasus tersebut tidak
terselesaikan. Oleh sebab itu pengadilan Agama Bangkinang hendaknya lebih
proaktif dalam mensikapi kasus yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3.
Pemahaman agama masyarakat muslim dari segi pelaksanaan hokum agama
masih rendah, dengan demikian bagi Da’I, Mubaligh, Ustadz dapat lebih
52
menekankan dan mensosialisasikan pentingnya mematuhi hokum agama
dalam hal ini yang berkaitan dengan mut’ah sumi terhadap istri.
54
DAFTAR PUSTAKA
Abi Abdillah, Muhammad bin Yazid Al-Qardawi, Sunan Ibnu Majah Jilid II, Isa
Al-Babi Al-Halabi, Mesir, 1953.
Abidin, Slamet, dkk., Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, tkp., 1999.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Candra Pratama, Jakarta, 2002.
Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet.III,
1990.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka
Cipta, Jakarta, 1998.
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005.
Budiono, 2006,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,:Surabaya,: Karya Agung
Departemen Agama Republik Indonesia, 2001. Bahan Penyuluhan Hukum.
Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum
HAS Al-Hamdani, 2002. Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani
HM. Djamil Latif, 1999. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia,
Hilman Hadikusumah, 2000. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Undangundang Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju
Mahmud Yunus, 1989, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung,
cet.ke-III
Ma’mur Daud,1993. Terjemah Hadits Shahih Muslim, Jakarta: CV. Widjaya
54
Moch. Anwar, 1994. Dasar – Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan
di Pengadilan Agama, Jakarta: CV. Diponegoro
RI, Departemen Agama. 2005. Quran dan Terjemahan, Jakarta : Syamil Cipta
Media
Sayyid Sabiq, 2004. Fiqh Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara
Soegeng Prijodarminto, 2003 Perkawinan Menuju Keluarga Bahagia dan
Sejahtera, Jakarta: Rineka Cipta
2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara
Warson, Ahmad Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Pustaka Progresif,
Surabaya, 1997
Wirjono Prodjodikoro, 2000. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur
Download