PELAKSANAAN NAFKAH MUT’AH TALAK SUAMI KEPADA ISTERI YANG DICERAI DI PENGADILAN AGAMA BANGKINANG (Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I) Di Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau S A OLEH : ADE MINUR NIM: 10421025017 JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2011 M/ 1432 H ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Pelaksanan Nafkah Mut’ah Talak Suami kepada Istri di Pengadilan Agama Bangkinang Studi atas Putusan Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010. Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan(Field Reaserch) yang bertempat di Pengadilan Agama Bangkinang dengan subjek penelitiannya adalah Pengadilan Agama Bangkinang dan orang yang terkait dengan perkara nafkah mut’ah di wilayah kerja pengadilan agama bangkinang.Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Sumber data penulis peroleh dari sumber data primer,. Sedangkan analisa data Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu deskriptif analisa dan deduktif. Penelitan ini penulis lakukan untuk mengetahui: a). Bagaimana pelaksanaan nafkah mut’ nafkah mut’ah suami di pengdailan agama bangkinang? suami dipengadilan agama bangkinang. b). Apa factor penghambat dan factor pendukung terlaksananya? c). Bagaimana tinjauan hukum islam tentang pelaksanaan nafkah mut’ah dipengadilan agama bangkinang? Nafkah mut’ah adalah pemberian suami terhadap istri setelah terjadinya perceraian. Ketentuan tentang nafkah mut’ah tersebut diatur dalam kompilasi hukum islam pasal 149 dan 158. Selain perundang-undangan tersebut landasan nafkah mut’ah adalah surat albaqarah ayat 236 dan 241. Dari penelitian penulis yang kami dapatkan di pengadilan agama bangkinang tentang pelaksanaan nafkah mut’ah suami ditetapkan setelah terjadi perceraian yaitu setelah diucapkannya ikrar perceraian di hadapan hakim. Akan tetapi dikarenakan tidak adanya sanksi hukum yang tegas maka hal ini menjadi salah satu factor kenapa pelaksanaan nafkah mut’ah di pengadilan agama bangkinang tidak berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari tingginya tingkat mut’ah yang tidak dilaksanakan oleh mantan suami kepada mantan istrinya yang apabila di persentasekan mencapai ±40% dari kasus cerai talak yang ada.selain dari pihak pengadilan factor yang juga mempengaruhi adalah kesadaran beragama dan patuh tehadap hukum dari masyarakat yang masih rendah sehingga tidak menjadi beban ketika mut’ah tidak dilaksanakan. Sementara tinjauan hukum islam atau fiqih terhadap pelaksanan mut’ah terhadap suami adalah sesuai dan dapat diterima dimana pengadilan agama bangkinang menetapkan berdasarkan landasan alquran surat albaqorah 236 dan 241. Selain juga menggunkan qaidah fiqhiyah sebagai methode untuk memutuskan perkara, hal ini dapat terlihat dari putusan terhadap kadar mut’ah yang ditetapkan berdasarkan tiga hal yaitu : a) kesepakatan antara suami dan istri b) kepatutan terhadap mut’ah yang diberikan ; dan c) kesangupan suami. Dari uraian diatas hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana perkara nafkah mut’ah suami di pengadilan agama bangkinang dan pihak-pihak yang terkait seperti pengadilan agama dapat lebih proaktiv dalam menagani masalah tersebut begitu juga bagi pihak suami agar mempunyai kesadaran yang lebih baik terhadap hukum yang berlaku baik hukum agama maupun hukum Negara. Selain itu pihak dai, ustadz mubaligh agar lebih menekankan kepada umat bagaimana berupaya untuk menjalankan perintah agama yang diawali dari sebuah kesadaran terhadap perintah agama. DAFTAR ISI ABSTRAK ...................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. v PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Batasan Masalah....................................................................... 10 C. Rumusan Masalah.................................................................... 10 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 11 E. Metode Penelitian .................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan.............................................................. 14 BAB II : GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA BANGKINANG A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Bangkinang.......................................... .................................... 16 B. Struktur Pengadilan Agama Bangkinang.................................. 20 C. Keadaan Perkara Di Pengadilan Agama Bangkinang…………..25 BAB III : TINJAUAN FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian 1. Nafkah................................................................................ 28 2. Mut’ah....................................................... ........................ 30 B. Mut’ah Menurut Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)..... 1. Mut’ah menurut Fiqih……………………………………… 31 2. Mut’ah menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI) C. Kadar dan Ukuran Nafkah Mut’ah.............................................. 33 D. Hukum Pemberian Nafkah Mut’ah Bagi Mantan Isteri............. 35 ii BAB IV : PELAKSANAAN NAFKAH MUT’AH SUAMI KEPADA ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BANGKINANG A. Pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami terhadap istri di Pengadilan Agama Bangkinag.................................................................... 39 B. Faktor penghambat dan faktor pendukung pelaksanaan Nafkah Mut’ah di Pengadilan Agama Bangkinang……………………44 C. Tinjauan Hukum Islam dalam Pelaksanaan Nafkah Mut’ah di Pengadilan Agama Bangkinang.................................................47 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 50 B. Saran-Saran.......................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 53 LAMPIRAN iii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dimaksudkan untuk memberikan jaminan terciptanya ketertiban hukum bagi semua kalangan dalam masalah perkawinan. Hukum berusaha memberikan batasan-batasan terkait masalah perkawinan agar terciptanya keteraturan hidup masyarakat. Hal ini disebutkan dalam Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 “bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya UndangUndang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita”.1 Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sangat penting artinya guna mendukung terwujudnya tujuan perkawinan secara umum, yakni membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera secara baik tanpa berakhir dengan perceraian. Hal inilah yang mendasari dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 tetapi mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, karena memang dipandang perlu ditetapkannya prinsip-prinsip mengenai 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Penjelasannya, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 28. 1 2 perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah perkawinan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Perkawinan menurut rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2 Lebih lanjut di dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua”.3 Perkawinan atau menikah “secara bahasa adalah berkumpul, sedangkan menurut istilah hukum syarak adalah aqad yang menghalalkan persetubuhan”.4 Perkawinan itu sendiri merupakan sunnatullah, hukum alam di dunia ini yang sangat dianjurkan sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim “yang artinya “wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu 2 Ibid, h. 2. Ibid, h. 31. 4 Moch. Anwar, Dasar – Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, (Jakarta: CV. Diponegoro, 1994), h. 15. 3 3 hendaknya menikah sebab nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan, jika belum mampu maka hendaknya berpuasa karena puasa akan menjadi perisai baginya”.5 Pendapat lain dalam hal ini menyatakan “Perkawinan yaitu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolongmenolong antara seorang pria dan seorang wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Perkawinan yang sah menurut Islam adalah perkawinan yang dilakukan dengan akad, karena sahnya perkawinan melalui akad nikah yaitu suatu ijab yang dilakukan oleh wali mempelai perempuan kemudian diikuti dengan qabul dari bakal suami dan disaksikan oleh dua orang saksi”.6 Pertalian yang terbentuk melalui hubungan perkawinan, sebenarnya adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia. Pertalian tersebut bukan saja antara suami, istri dan keturunannya, melainkan juga hubungan antara dua keluarga bahkan dua suku dan bangsa karena baiknya hubungan suami istri akan berpindah kepada semua keluarga kedua belah pihak. Faedah terbesar dalam perkawinan tersebut adalah “untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya”. 5 Ma’mur Daud, Terjemah Hadits Shahih Muslim, (Jakarta: CV. Widjaya, 1993), h. 74. Departemen Agama Republik Indonesia, Bahan Penyuluhan Hukum. (Jakarta:Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum, 2001), h. 1. 6 4 Nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian dan pengobatan istri. Memberi nafkah kepada istri hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 233: yang artinya “ ….. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya …..”. Menurut Sabiq “rezeki’ yang dimaksudkan di sini adalah makanan secukupnya; “pakaian” adalah baju atau penutup badan; dan “makruf” adalah kebaikan sesuai dengan ketentuan agama, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan”.7 Kewajiban memberi nafkah tidak saja selama perkawinan berlangsung tetapi juga setelah terjadinya perceraian dan istri berada dalam masa iddah. Hal ini didasarkan atas firman Allah dalam Surat Ath-Thalaaq ayat 6: yang artinya “ ….. dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalaq) itu perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin …..”. Ayat ini menerangkan “hak perempuan hamil mendapatkan nafkah, baik dalam iddah thalaq raj’i maupun ba’in atau 7 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Pengantar Imam Hasan Al-Banna, (Jakarta : Pena Pundi Aksara), 2004, h. 55. 5 iddah kematian. Adapun dalam thalaq ba’in, para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hak nafkahnya”.8 Mencermati pandangan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa suami harus memenuhi kewajiban memberikan nafkah kepada istrinya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar terpenuhinya hak istri dengan baik, karena salah satu syarat perempuan menerima nafkah suaminya adalah ikatan perkawinan yang sah. Artinya dalam tiap ikatan perkawinan yang sah maka suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya yang didasarkan atas kemampuan keuangan suami itu sendiri, tetapi yang umum dipersyaratkan adalah nafkah tempat tinggal, makan dan pakaian secara layak. Putusnya suatu ikatan perkawinan dapat terjadi karena tiga hal, yaitu kematian, perceraian dan karena keputusan pengadilan yang dilakukan melalui jalur hukum. Undang-Undang Perkawinan Nasional yang dikenal di Indonesia yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dalam hal perceraian itu sendiri menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Lebih tegasnya, “dalam pengertian hukum di atas hal mana sejalan dengan hukum Islam, karena perceraian dapat memberi pengaruh baik atau buruknya kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.9 Hadikusumah dalam hal ini menyatakan “Sebab-sebab putusnya perkawinan dibagi dalam dua kategori, yaitu karena kematian dan karena 8 9 h. 12. Ibid, h. 67. M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), 6 perceraian. Walaupun hubungan perkawinan itu sendiri belum tentu putus sama sekali dikarenakan di dalam hukum tidak mengenal putus hubungan perkawinan, tegasnya perkawinan antara suami istri itu putus karena kematian tetapi hubungan sebagai akibat perkawinan di antara kerabat para pihak bersangkutan tidak putus apalagi bila dari perkawinan itu terdapat keturunan”.10 Dapat dipahami bahwa perkawinan melahirkan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban kedua belah pihak, yaitu antara suami dan istri secara baik dan benar. Artinya suami harus memberikan nafkah kepada istri sesuai kemampuan keuangannya dengan senantiasa berpijak pada ketentuan hukum yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu hukum umum maupun hukum agama. Dengan aturan yang ada, diharapkan suami dan istri dapat memenuhi hak dan kewajibannya selama ikatan perkawinan berlangsung. Islam mengatur masalah perkawinan untuk membawa manusia hidup berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain, karena bagaimanapun perkawinan yang dilakukan bukanlah tanpa tujuan dan manfaat. Di antara manfaat perkawinan itu adalah “menentramkan jiwa, meredam emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapatkan kasih sayang antara suami-isteri yang dihalalkan Allah SWT”.11 10 Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Undang-Undang Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung :Mandar Maju) , 2000, h. 167. 11 HAS Al-Hamdani, Op.cit., h. 6. 7 Lazimnya dalam tiap kasus perceraian yang dilakukan melalui Pengadilan Agama, begitu permohonan cerai yang diajukan suami (pihak pemohon) itu dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama maka suami dibebankan membayar nafkah muth’ah atas istrinya selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Jadi suami berkewajiban memberikan nafkah selama istri dalam masa iddah yang dikenal dengan istilah Nafkah Mut’ah, yang jumlahnya didasarkan atas besarnya kemampuan keuangan yang dimiliki oleh suami sebagai upaya pemenuhan kewajibannya yang telah ditetapkan syariat Islam. Sedangkan mengenai Nafkah Mut’ah, hal ini berkaitan dengan kewajiban bekas suami bilamana perkawinan putus karena talak, sesuai dengan pasal 149 butir pertama pada Kompilasi Hukum Islam Buku I: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya ...(dan seterusnya). Nafkah Mut’ah adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai kompensasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Bab I Pasal 1 ayat (j): J) Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang telah dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Walaupun demikian, yang perlu diperhatikan adalah pemberian ini terjadi setelah dijatuhi talak, itupun ba’da dukhul. Hal ini dijelaskan pasal 149 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam Buku I: 8 a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul. Adapun Mut’ah Sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat yang telah ditetapkan pada pasal 158. Artinya, Mut’ah Sunnat adalah pemberian bekas suami kepada istrinya tanpa syarat, dan merupakan pemberian semata. Besarnya mut’ah tersebut, baik yang wajib maupun yang sunnat disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Sebagaimana pendapat dari Ali Jum’ah Muhammad Syariat Islam menyerahkan penentuan kadar Nafkah Mut’ah kepada kebiasaan masyarakat dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi suami. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT; “Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah: 236). Dan firman-Nya, “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Al-Baqarah: 241). 9 Kenyataan yang terjadi dilapangan terhadap pemberian Nafkah Mut’ah kepada istri di Pangadilan Agama Bangkinang pada tahun 2010, kronologisnya perkara tersebut yaitu bahwa pemohon mengajukan permohonan untuk bercerai kepada istrinya. Pada hal mereka telah mempunyai anak sebanyak sembilan (9) orang yang rata-rata masih dibawah umur dan telah menjalani pernikahan ini dengan harmonis selama 29 tahun, hanya dikarenakan kesalahpahaman antara suami dan istri tersebut mengajukan permohonan untuk bercerai ke Pengadilan Agama Bangkinang. Sebagaimana pertimbangan hukum oleh majelis hakim terhadap perkara ini, menyimpulkan bahwa pemohon dan termohon tidak berkeinginan lagi untuk berdamai maka keputusan majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk bercerai. Namun dikarenakan majelis hakim menimbang berdasarkan Pasal 149 huruf (a), (b) dan (d) Kompilasi Hukum Islam bilama putusnya perkawinan dikarenakan talaq, maka mantan suami wajib memberikan Nafkah Mut’ah kepada isterinya, dalam hal ini mejelis hakim secara exopicio menentukan mut’ah berupa seperangkat alat sholat, dan nafkah iddah sebesar Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) serta pemberian nafkah kepada 5 orang anaknya yang masih dibawah umur sampai usia mereka 21 tahun sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) setiap bulan nya. Kesemua keputusan yang diberikan oleh majelis hakim di sanggupi oleh pemohon. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, bahwa suami mempunyai kewajiban memberikan Nafkah Mut’ah kepada istri yang dicerainya, 10 maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan menetapkan judul : “Pelaksanaan Nafkah Mut’ah Suami Kepada Isteri di Pengadilan Agama Bangkinang Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010”. B. Batasan Masalah Agar tidak terjadi kekeliruan dan kesimpang siuran dalam pembahasan ini maka penulis perlu memberi batasan masalah yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan ini : bagaimana tinjauan kewajiban Nafkah Mut’ah suami kepada isteri berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bangkinang. C. Perumusan Masalah Uraian pada latar belakang masalah maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami terhadap istri di Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010? 2. Apa yang menjadi faktor penghambat dan faktor pendukung pelaksanaan Nafkah Mut’ah oleh suami terhadap istri? 3. Tinjauan hukum Islam dalam pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami terhadap istri di Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010? 11 D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui pelaksanaan Nafkah Mut’ah suami terhadap istri Pengadilan Agama Bangkinang Tahun 2010 b. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung pelaksanaan Nafkah Mut’ah oleh suami terhadap istri 2. Kegunaan Penelitian Sedangkan kegunaan dari penelitian yang penulis harapkan yaitu sebagai berikut : a. Sebagai sumbangan pemikiran bagi umat islam, khususnya mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum guna menjawab persoalan yang berkembang ditengah masyarakat. b. Sebagai persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam dibidang hukum islam. E. Metode Penelitian Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik serta untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah penelitian maka, penulis menggunakan metodologi sebagai berikut : 12 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini tergolong jenis lapangan (field research), artinya penelitian yang langsung dilakukan di lapangan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa wawancara dengan responden yang telah ditetapkan. Sifatnya tergolong deskriptif yaitu menggambarkan secara apa adanya, terperinci dan jelas tentang kewajiban Nafkah Mut’ah suami kepada isteri di wilayah hukum Pengadilan Agama Bangkinang. 2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Bangkinang. Alasan penulis memilih Pengadilan Agama Bangkinang sebagai lokasi penelitian karena kasus perceraian yang terjadi selama tahun 2010. 3. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah 76 orang yang terkait dengan kasus Nafkah Mut’ah, penulis akan mengambil hanya 30 orang sebagai sampel yaitu yg terdiri dari 15 suami dan 15 istri kemudian Ketua Pengadilan Agama Bangkinang serta Ketua Panitra Pengadilan Agama Bangkinang 13 4. Jenis dan Sumber Data a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sampel penelitian di lapangan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa wawancara dan penyebaran quesioner sehubungan dengan permasalahan pokok penelitian tentang kewajiban Nafkah Mut’ah tersebut. b. Data sekunder yaitu mengadakan penelitian kepustakaan guna mendapatkan teori-teori berupa peraturan perundang-undangan, bukubuku serta pendapat para ahli yang relevan dengan permasalahan penelitian ini. 5. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara, yaitu mengadakan dialog langsung secara lisan dengan kedua belah pihak (pemohon dan termohon) b. Angket, yaitu pengambilan data yang dilakukan dengan cara membuat daftar pertanyaan terlebih dahulu, kemudian diajukan kepada responden guna mempermudah interview c. Kajian Kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data dengan cara membaca literature-literatur kepustakaan yang berkaitan erat dengan permasalahan yang diteliti, baik berupa buku-buku bacaan maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku 14 F. Sistematika Penulisan Agar pembahasan ini lebih terarah, penulis membuat sistematika sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan Merupakan bab pendahuluan yang membuat gambaran umum dari pembahsan ini terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Gambaran Umum Obyek Penelitian Merupakan gambaran mengenai Sejarah Singkat Pengadilan Agama Bangkinang, Struktur Pengadilan Agama Bangkinang, Keadaan Perkara Di Pengadilan Agama Bangkinang BAB III : TINJAUAN FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Merupakan gambaran mengenai Pengertian Nafkah Mut’ah, Hak dan Kewajiban Suami Istri Setelah Bercerai Kadar dan Ukuran Nafkah Mut’ah BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan pemberian Nafkah Mut’ah oleh suami kepada isteri di Pengadilan Agama Bangkinang serta terhadap faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pelaksanaan pemberian Nafkah Mut’ah 15 di Pengadilan Agama Bangkinang dan tinjauan hukum islam terhadaf nafkah muta’ah di Pengadilan Agama Bangkinang. BAB V : PENUTUP Merupakan penutup terhadap pembahasan yang terdiri dari Kesimpulan Dan Saran 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA BANGKINANG A. Sejarah Pengadilan Agama Bangkinang Mengungkapkan berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang, hal ini sangat erat hubungannya dengan sejarah berdirinya Pemerintahan Daerah Tingkat II Kampar, Bangkinang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Kampar. Ketetapan ini berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1956. Saat berdirinya Pengadilan Agama Bangkinng ibukota daerah Tingkat II Kampar masih berada didaerah Pekanbaru. Realisasinya terlaksana pada tanggal 5 juni 1967 dan Bangkinang menjadi wilayah Pengadilan Agama yg otonom. Adapun Pengadilan Agama Bangkinang berdiri pada tanggal 5 mei 1960 sebagai realisasi dari pertaturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 dan berkedudukan di Bangkinang. Dengan demikian Pengadilan Agama Bangkinang lebih tua usianya dari Pemerintahan Daerah Tingkat II Kampar lebih kurang 7 tahun. Berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang pada tahun 1960 tersebut berdasarkan yuridis : 1. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama / Mahkama Syari’ah diluar Jawa dan Madura 2. Surat Penetapan Mentri kehakiman tanggal 27 mei 1957 No. JP. 18/71/6 tentang pengadilan Negri 16 17 3. Penetapan Mentri agama RI No. 58 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama / mahkama syari’ah di Sumatra Pada saat berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang sebagai ketuanya dirangkap oleh ketua Pengadilan Agama Pekanbaru yaitu Bapak K.H. Abdul Malik dengan dua orang karyawan yaitu Abbas Hasan dan Abdul Rahman Rasyd.1 Walaupun semula Pengadilan Agama Bangkinang belum mempunyai gedung sendiri tetapi bdalam statusnya masih menyewa, Alhamdulillah pada tahun anggaran 1975/1976 Pengadilan Agama Bangkinag telah memiliki gedung sendiri dari anggaran APBN 1975/1976 sebesar Rp. 8. 461. 000,- dengan volume bangunan 155 M yang terdiri dari 13 ruangan. Sejalan dengan lika liku dan dinamika pertumbuhannya, akhirnya Pengadilan Agama Bangkinang sekarang berkantor (berlokasi) dijalan Sudirman No. 99 Bangkinang.2 Bila berbicara tentang bentuk-bentuk badan peradilan diwilayah hukum Pengadilan Agama Bangkinang yang terletak di ibukota daerah Tingkat II Kabupaten Kampar Provinsi Riau yang wilayah hukumnya terdiri dari 20 Kecamatan dalam daerah Tingkat II Kabupaten Kampar. Yurisdiksi Pengadilan Agama Bangkinang tersebut berbatasan dengan yurisdiksi Pengadilan Agama lainnya sebagai berikut ; 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Hukum Pengadilan Agama Pasir Pengaraian 2. Sebelah selatan berbatasan dengan daerah Hukum Pengadilan Agama Tembilahan 1 Tim Penyusun Sejarah Pengadilan Agama Bangkinang, Sejarah Pengadilan Agama Bangkinang. ( Bangkinang : 1982 ), h 3 2 Ibid, h. 4 18 3. Sebelah Timur berbatasan dengan daerah hukum Pengadilan Agama Pelalawan dan Pengadilan Agama Pekanbaru 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Daerah Hukum Pengadilan Agma Payakumbuh Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 pasal 1 menyatakan : “Di tempattempat yang ada pengadilan negeri ada sebuah Pengadilan Agama/ Mahkama Syari’ah yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum pengadailan negri.3 Sedangkan pengadilan negeri didaerah tingkat II Kabupaten Kampar hanya satu buah yaitu pengadilan negeri Bangkinang yang terletak di Ibukota daerah tingakat II Kabupaten Kampar. Pengadilan Agama Bangkinang seperti halnya juga Pengadilan Agama di seluruh Indonesia mempunyai hukum acara menurut ketentuan pasal 54. “ Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. Ada beberapa sumber hukum acara perdata berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang kemudian berlaku pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata yaitu antara lain : 1. Kitab Undang-undang hukum perdata ( burgerlick wetboek voor Indonesia ) yang disingkat dengan BW. 2. Reglemen acara perdata ( reglement op de rechtsvoordering ) yang pada masa penjajahan Belanda berlaku untuk Read Van Justitie. 3 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2000), h. 123 19 3. Reglamen Indonesia yang dibaharui ( het herziene Indonesich Reglament ) yang lebih dikenal singkatan HIR atau RIB 4. Regalemen acara hukum perdata untuk daerah luar Jawa dan Madura ( Reglament tot Regeling van het rechwezeen in de Gewesten Java en Madura ) yang lebih dikenal dengan singkatan RBg. 5. Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang peradilan Umum Disamping itu terdapat sebagai Peraturan perundang-undangan tentang Hukum Acara perdata yang berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Peradilan Agama yaitu : 1. Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo. UU. No 35 tahun 1999 2. Undang-undang No. 14 tahun 1985 3. Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Berdasarkan ketentuan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 itu, kedelapan Peraturan perUndang-undang itu berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sedangkan hukum acara yang khusus diatur dalam UU No. 7 tahun 1989, meliputi tiga bagian. Bagian pertama merupakan ketentuan yang bersifat umum diantarnya tentang asas-asas peradilan, penetapan dan putusan pengadilan, dan upaya hukum ( banding dan kasasi ). Bagian kedua mengatur tentang pemeriksaan sangketa perkawinan yang meliputi perkara cerai talak, cerai gugat, dan cerai dengan alasan zina. Bagian ketiga mengatur tentang biaya perkara.4 4 Ibid, h. 241-243. 20 B. Struktur Pengadilan Agama Bangkinang. Semenjak berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang dari tahun 1960 sampai sekarang ini telah dipimpin oleh beberapa orang ketua, antara lain: 1. Tahun 1960 sampai tahun 1963 dijabat oleh K.H. Abdul Malik. 2. Tahun 1963 sampai tahun 1971 dijabat oleh K.H. Moh. Zein Wahidy. 3. Tahun 1971 sampai tahun 1993 dijabat oleh Idris. BA. 4. Tahun 1993 sampai tahun 1998 dijabat oleh Drs. Syahril. 5. Tahun 1998 sampai tahun 2003 dijabat oleh Drs. Taslim. 6. Tahun 2003 sampai dijabat oleh Drs. Syahril SH.MH. 7. Sudirman MH sampai sekarang5 Berkenaan dengan jumlah hakim yang bertugas menyelesaikan suatu perkara selalu beruba-ubah, mulai dari berdirinya Pengadilan Agama Bangkinang sampai sekarang. Sedangkan jumlah hakim yang bertugas menangani suatu perkara pada saat sekarang berjumlah orang yaitu: 1. Sudirman, MH,menjabat sebagai ketua 2. Drs. H. Sri Zalman, menjabat sebagai wakil ketua 3. Dra. Ilfa Susanti, menjabat sebagai anggota 4. Drs. Ahmad Sanusi ,menjabat sebagai anggota 5. Drs. Hj. Sahryah SH ,menjabat sebagai anggota 6. Bahtiar Latif S.Ag ,menjabat sebagai anggota 7. Drs. M. Zein SH , menjabat sebgai anggota 8. Dra. Hj. Sofinar Mukhtar , menjabat sebagai anggota 5 Edi, SH, ( Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Bangkinang), wawancara, Bangkinang : 20 Mei 2011. 21 9. Dra. Hasnidar , menjabat sebagai anggota Adapun yang duduk dalam kepaniteraan Pengadilan Agama Bangkinang sekarang adalah sebagai berikut : 1. Alamsyah , menjabat sebagai kepala panitera / sekretaris 2. Ramli SH, menjabat sebagai wakil panitera 3. Manufri Amd. SH, menjabat sebagai wakil sekretaris 4. Zulfahmi SH, menjabat sebagi panitera nuda Permohonan 5. Izam Ahmad, menjabat sebagai panitera muda Gugatan 6. Masri Amd. SH, menjabat sebagai panitera muda hukum 7. Zulfaini SH, menjabat sebagai kepala Urusan Kepegawaiian 8. Tamrin SH, menjabat sebagai Kepala Urusan keuangan 9. Drs. Sinar, menjabat sebagai Kepala Urusan Uum 10. Siti Rusanti, menjabat sebagai Panitera Pengganti 11. Suniarti BA, menjabat sebagai Panitera pengganti 12. Abu Bakar Amd, menjabat sebagai panitera 13. Warnis, menjabat sebagai Panitera pengganti 14. Drs. Izur Yahya S. Ag, menjabat sebagai Panitera Pengganti 15. Netti Adha, menjabat sebagai Panitera Pengganti 16. Hasyam Bungsu SH, menjabat sebagai Panitera Pengganti 17. Farlina Wati SH, menjabat sebagai panitera Penggati 18. Jalinus BA, menjabat sebagai Juru sita 19. Nasir, menjabat sebagai juru sita 20. Amizaruddin, menjabat sebagai Juru sita 22 Pengadilan Agama Bangkinang sebagai bagian tak terpisahkan dari lembaga Pengadilan Negri, khususnya Peradilan Agama, maka organisatoru dan menagerialnya melaksanakan apa yabg telah ditentukan oleh Peraturan PerUndang-undangan yang berlaku, pada pokoknya antara lain tentang UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1989 Bab II tentang susunanan Pengadilan pada sebuah Peradilan Agama. 23 STRUKTUR ORGANISASI PERADILAN AGAMA BANGKINANG Ketua Wakil Ketua Panitera Sekretaris Wakil Sekretaris Kaur Kapan Permohonan n Kaur Kapan Gugatan Wakil Sekretaris Kaur Kapan Hukum Hakim Pengganti Hakim Kaur Umum Kaur Kepegawaian Juru Sita Pengganti 24 Secara garis besar penjelasan bagan sebagai berikut: 1. Garis putus-putus sebagai tanda fungsional organisasi Pengadilan Agama Bangkinang, bagan Hakim, panitera pengganti dan juru sita pengganti adalah pejabat fungsional dari sub organisasi Pengadilan Agama Bangkinang yang berwenang dan berfungsi dalam melaksanakan tugas pokok penelitian. 2. Garis lurus sebagai tanda garis structural organisasi Pengadilan Agama Bangkinang yang merupakan pendukung umum seluruh organisasi, sekalipun tidak terkait langsung dengan fungsi pokok peradilan agama. 3. Bagan dibawah panitera dan wakil panitera yaitu kaur kapan permohonan, kaur kapan gugatan, kaur kapan hukum adalah pejabat structural Pengadilan Agama Bangkinang yang terkait langsung dalam menunjang tugas pokok peradilan. Ketua Pengadilan Agama Bangkinang adalah sebagai kepala administrasi dalam peradilan. Ketua pengadilan dibantu oleh kepaniteraan sebagai sebagai penanggung jawab pelaksaan administrasi umum dan perkara serta bendahara yang ada di pengadilan tersebut. Dalam pelaksanaan administrasi umum dibantu oleh kepala kepaniteraan perkara. Dibidang structural ketua pengadilan dibantu oleh seorang wakil ketua dan beberapa hakim, khususnya di Pengadilan Agama Bangkinang ada orang hakim termasuk ketua pengadilan. Apabila ketua pengadilan bertugas keluar kota, ketua pengadilan melimpahkan tugasnya kepada wakil ketua pengadilan. 25 Kepala pengadilan sebagai administrator pengadilan berwenang menentukan biaya perkara di Pengadilan Agama Bangkinang, menentukan Hakim yang akan menyidangkan perkara-perkara di Pengadilan Agama Bangkinang serta untuk menentukan majlisnya berdasarkan kepada senioritas, kepangkatan dan pengalamannya. Majlis hakim yang telah mendapatkan penetapan untuk memeriksa perkara kekuatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak manapun, hakim mempunyai hak prerogative penuh untuk menentukan perkara yang ditanganinya dan ketua pengadilan secara langsung tidak dapat mengawasi maupun menindak hakim jika ada tunggakan perkara. C. Keadaan Perkara Pengadilan Agama Bangkinang 1. Perkara baru yang diterima pada Pengadilan Agama Bangkinang selama tahun 2010 sebanyak 596 perkara dengan jenis perkara (berdasarkan urutan terbesar jumlah jenis perkara) sebagai berikut : 1. Cerai Gugat : 387Perkara 2. Cerai Talak : 149 Perkara 3. Izin Poligami : 6 Perkara 4. Dispensasi Nikah : 47 Perkara 5. Wali Adhol : 1 Perkara 6. Isbat Nikah : 5 Perkara 7. Pengesahan anak : 1 Perkara Jumlah : 596 Perkara 26 Sedangkan sisa perkara tahun 2009 sebanyak 267 perkara, sehingga jumlah perkara yang harus diselesaikan selama tahun 2010 sebanyak 596 perkara. 2. Perkara yang dapat diselesaikan pada tahun 2009 sebanyak 465 perkara dengan perincian (berdasarkan urutan prosentase terbesar) sebagai berikut : 1. Cerai Gugat : 302 Perkara 2. Cerai Talak : 116 Perkara 3. Izin Poligami : 64Perkara 4. Dispensasi Nikah : 36 Perkara 5. Wali Adhol : 1 Perkara 6. Isbat Nikah : 6 Perkara Jumlah : 465 perkara Jadi sisa perkara tahun 2009 sebanyak 267 perkara atau dari jumlah perkara yang harus diselesaikan pada tahun 2009. 3. Adapun faktor-faktor penyebab perceraian mulai dari (presentase terbesar) adalah sebagai berikut : 1. Tidak ada tanggung jawab : 308 Perkara 2. Tidak ada keharmonisan : 122 Perkara 3. Krisis akhlaq : 10 Perkara 4. Dihukum : 1 Perkara 5. Gangguan pihak ketiga : 120 Perkara 6. Cemburu : 26 Perkara 7. Kawin Paksa : 9 Perkara 27 4. Perkara yang dimohonkan Banding 1. Sisa Perkara tahun 2008 NIHIL 2. Perkara yang dimohonkan banding tahun 2009 NIHIL 3. Perkara Banding yang telah diputus tahun 2009 NIHIL 4. Sisa perkara banding tahun 2009 NIHIL 5. Perkara yang dimohonkan Kasasi 1. Sisa perkara tahun 2009 NIHIL 2. Perkara yang sudah diputus tahun 2009 NIHIL 3. Sisa perkara tahun 2009 NIHIL 6. Perkara yang dimohonkan Peninjauan Kembali. 1. Sisa perkara tahun 2008 NIHIL 2. Perkara yang dimohonkan PK tahun 2009 NIHIL 3. Perkara yang sudah diputus tahun 2009 NIHIL 4. Sisa perkara PK tahun 2009 sebanyak NIHIL 28 BAB III TINJAUAN FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA A. Pengertian Nafkah Mut’ah 1. Nafkah Dalam bahasa Arab nafkah berarti biaya, belanja dan pengeluaran uang.1 Sementara dalam kamus Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup (uang) pendapatan.2 Di dalam Ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa nafkah adalah belanja wajib yang diberikan oleh seseorang kepada tanggungannya. Nafkah itu meliputi kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal. Kewajiban memberi nafkah timbul karena ikatan pernikahan seperti suami terhadap istri, ikatan keluarga seperti ayah terhadap anak dan ikatan perwalian. Jumlah nafkah wajib yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kebiasaan setempat. Secara material nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, minuman, pakaian, rumah dan lain-lain.3 Sementara Sayyid Sabiq menambahkan tidak hanya hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan istri yang bersifat primer akan tetapi juga sekunder sekalipun sang istri dari keluarga yang mampu dan berkecukupan4 Adapun menurut Ulama’ Fiqh, nafkah adalah pengeluaran seseorang terhadap 1 Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) 1449 2 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 679 3 Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001) 383 4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8 (Bandung: PT Al Maarif, 1980), 147. 28 29 orang yang wajib menerima nafkah yang terdiri dari roti, lauk pauk, temapt tinggal dan segala sesuatu yang terkait dengan hal itu.5 Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, nafkah adalah adalah seluruh pengeluaran atau pembelanjaan seseorang atas orang lain yang menjadi tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder terkait kebutuhan konsumtif. Sedang menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya “ Ilmu Fiqh” beliau mendefinisikan nafkah berarti “belanja”, maksudnya adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada isteri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka, keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.6 Definisi ini mengandung pengertian bahwa nafkah adalah segala macam kebutuhan hidup manusia bagi kebutuhan pribadinya maupun kebutuhan bagi orang di luar dirinya. Sulaiman Rasyid mendefinisikan nafkah yaitu semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempatnya,7 sehingga tidak dibatasi apakah mesti pokok, tidak pokok, atau pun kebutuhan pelengkap, sebab kewajiban nafkah menurut beliau yang dimaksud tidak terbatas pada kebutuhan pokok, sehingga jika masing-masing yang memiliki hak nafkah dan kewajiban nafkah kebutuhan-kebutuhan pokoknya, sudah terpenuhi, tetap terkena kewajiban memenuhi kebutuhan meskipun kebutuhan itu tidak pokok, artinya kebutuhan itu tergantung (Fleksibel) sesuai dengan keadaan dan tempatnya. 6 7 Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqh, cet. 1 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), II: 141. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32 (Bandung: Sinar Baru, 1998), hlm. 390. 30 Menurut hukum Islam nafkah dibagi secara global menjadi dua macam Pertama: nafkah untuk dirinya sendiri yakni kewajiban seorang manusia untuk memikul beban tanggung jawab dalam rangka memenuhi kebutuhannya sendiri, untuk kesejahteraan jasmani, dan rohaninya sendiri. Kedua: nafkah untuk orang di luar diri, tentu saja dalam hal ini adalah anak isteri orang tuanya dan berbagai macam tanggung jawab nafkah bagi orangorang di luar diri manusia itu sendiri.8 2. Mut’ah Secara etimologis, mut’ah dapat diartikan ( اﻟﺒﻠﻐﺔnafkah yang sepadan, cukupan), ( اﻟﻘﻠﯿﻞ اﻟﺰادbekal sedikit) dan dapat juga diartikan dengan ﻣﺘﺎع dengan jamak ( اﻣﺘﻌﺔharta benda atau barang-barang). Apabila dikaitkan dengan kata talak, اﻟﻄﻼق ﻣﺘﻌﺔberarti “sesuatu yang diberikan kepada isteri yang dicerai”9 Mut’ah diartikan juga dengan “sesuatu yang diberikan setelah terjadinya perceraian dan pemberian itu dapat berupa harta ataupun pembantu rumah tangga”.10 8 Syeikh 'Abdullah ibn Hasan al-Husain al Kau Haji, Zadu Al-Mukhtaj bi Syarhi alminhaj, (Beirut : al Maktabah al 'Isriyah, t.t.) hlm. 563. Menurut beliau nafkah untuk dirinya sendiri hadir karena sebab dirinya oleh Allah untuk orang diluar dirinya disebabkan, antara lain karena adanya pernikahan, kekerabatan, maupun karena unsur kehambaan 9 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984), 1401. 10 Ibrahim Anis, et. al., Mu’jam al-Wasit, jilid 2, hal. 852-853. 31 B. Mut’ah Menurut Fiqih Dan KHII 1. Mut’ah Menurut Fiqih Islam Ulama fikih mendefinisikan mut’ah adalah: 11 “Harta benda yang diserahkan suami pada istrinya karena perceraian”. Kata mut’ah sering digunakan untuk menyebut barang atau uang pemberian suami kepada istri yang ditalak sebelum dicampuri terlebih dahulu sesuai dengan kesanggupan dan keikhlasannya.12 Ketentuan tentang mut’ah sebagai implikasi yang muncul akibat perceraian didasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an antara lain surat al-Baqarah13 ayat 236-237: وﻣﺘّﻌﻮھﻦّ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﺳﻊ ﻗﺪره وﻋﻠﻰ اﻟﻤﻘﺘﺮ ﻗﺪره ﻣﺘﻌﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺤﺴﻨﯿﻦ ” ….dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (suatu pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula...” Surat al-Baqarah ayat 241: وﻟﻠﻤﻄﻠﻘﺎت ﻣﺘﺎع ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺘﻘﯿﻦ "Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orangorang yang takwa." 11 Taqy al-Din abi bakar al-Husaini, kifayatu al-Akhyar (Madinah: markaz al-Uswah, 1426H), 497 12 Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar baru van Hoeve),133. 13 Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 58 32 Surat al-Ahzab ayat 28:14 " Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik."15 Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa suami wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang ditalak qabl al-dukhul dan maharnya belum ditentukan.16 Hanya Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa hukum pemberian mut’ah itu adalah sunnah.17 2. Mut’ah dalam dan Kompilasi Hukum Islam KHI Perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang mut’ah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1, 149, 158, 159, dan 160. Sedangkan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang hak mut’ah. Menurut Kompilasi Hukum Islam, mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.18 Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa mut’ah merupakan salah satu hak yang diterima oleh isteri setelah terjadinya perceraian. 19 14 Al-Qur’an, 33 (al-Ahzab): 665. Ibid, 664 16 Abu Ishaq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Shayrazi, al-Muhadhdhab fi Fiqh al-Imam alShafi’i, (Mesir: Matkbah al-Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th), hal. 80. 17 Al-Imam Sahnun ibn Sa’id al-Tanukhi, al-Mudawamah al-Kubra (Beirut: Dar Sadir, 1323), 229.Lihat juga Ibn Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtas}id (Mesir: Shirkah Maktabah waMat}ba’ah Mus}t}afa al-Babi al-Halabi, 1960), 72-73 18 KHI pasal 1 huruf j: “Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.” 19 Isteri yang ditalak berhak menerima hak-hak nya dari suami yang mentalaknya. Dalam KHI pasal 149: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali isteri tersebut qabl al-dukhu>l; b) member nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam 15 33 Dalam kompilasi Hukum Islam mut’ah dibagi dalam dua bentuk yaitu: mut’ah yang hukumnya wajib dan mut’ah yang hukumnya sunnah. Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: 1. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’d al-dukhul 2. Perceraian itu atas kehendak suami.20 Apabila salah satu dari syarat mut’ah wajib diatas tidak terpenuhi, maka suami sunnah memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerainya.21 Adapun mengenai kadar mut’ah, maka disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.22 C. Kadar Nafkah Mut’ah Dalam Islam juga disinggung tentang ketentuan kadar nafkah dan sisi kemampuan memenuhi kewajiban nafkah memiliki kaitan erat dalam aplikasi nafkah secara riil, diakui bahwa, memang di kalangan para ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kadar, jenis dan kemampuan nafkah secara orang perorang dalam pemenuhannya, antara lain dalam hal penentuan jenis kebutuhan nafkah misalnya. Dalam Kitab al-Akhwal asy-Syakhsyiyyah ‘ala Mazahib alKhamsah, bahwa sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa yang dimaksud kebutuhan pokok (jenisnya) dalam nafkah adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud kebutuhan ‘iddah, kecuali bekas isteri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c). melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabl al-dukhu>l; d) Memberikan biaya hadanah untuk anakanak yang belum mencapai umur 21 tahun.” 20 KHI pasal 158. KHI pasal 159 22 KHI pasal 160 21 34 pokok hanyalah pangan saja tidak menyangkut di dalamnya sandang dan papan atau tempat tinggal. 23 Nafkah dalam perceraian dikadar (dibatas) dengan keadaan syara' yaitu dibatas dengan keadaan syara' sendiri. Seperti halnya dalam hal ini Imam Malik berpendapat bahwa nafkah tidak ada batasnya, baik dalam maksimal maupun minimalnya.24 Namun demikian Abu Hanifah dalam pendapatnya memberikan batasan-batasan kewajiban nafkah, yaitu sedikitnya baju kurung, tusuk konde, kudung, tidak boleh lebih dari setengah mahar. Sedang Imam Ahmad berpendapat bahwa mut'ah berupa baju kurung dan kudung yang sekedar cukup dipakai shalat, dan ini sesuai dengan kemampuan suami. Meskipun demikian ‘urf masyarakat muslim lebih arif dan bijaksana, persepsi mereka tentang nafkah tidak lain adalah meliputi makanan-minuman (pangan), pakaian dan perhiasan (sandang) dan juga tempat tinggal yang layak huni. Kecuali bagi yang benar-benar tidak mampu, barangkali pangan itulah yang mereka sediakan. Selanjutnya mengenai kadar nafkah, dalam hal ini adalah nafkah bagi mantan isteri, al-Qur'an tidak menyebutkan ketentuannya, al-Qur'an hanya memberikan pengarahan/anjuran yang sangat bijaksana, yakni dengan menyerahkan kepada mantan suaminya dengan ukuran yang patut (ma'ruf) sesuai 23 M. Agus Nuryatno, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 60. 24 hlm. 23 E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 35 dengan kemampuannya, hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat alBaqarah (2): 236. Dalam hal ini H. Sulaiman Rasyid25 berpendapat diwajibkan atas suami memberikan belanja kepada isteri yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami. Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masing-masing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami. Intinya yang menjadi ukuran berapa besar nafkah adalah kemampuan suami. Lebih lanjut Sulaiman Rasyid menguraikan walaupun sebagian ulama mengatakan nafkah isteri itu dengan kadar yang tertentu tetapi yang mu’tammad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta menginggat keadaan suami. Dengan demikian jelas bahwa jika kedapatan suaminya kaya maka disesuaikan dengan kemampuan, nafkahnya itu sebanding dengan kekayaannya. Begitu juga sebaliknya. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 223 dan juga surat at-Talaq (65): 07, Imam Malik menjelaskan bahwa nafkah itu tidak ada batasan yang ma'ruf (patut), dalam sedikitnya atau banyaknya. D. Hukum Pemberian Nafkah Mut’ah Bagi Mantan Isteri Para fuqaha berbeda pendapat, ada Fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut’ah) itu wajib diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga kepada isteri yang telah diceraikan sebelum sempat dicampurinya 25 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Semarang : Tohta Putra, 1999), Hlm. 149 36 apabila maharnya telah ditentukan. Hasan Basri berpendapat bahwa mut’ah itu wajib, hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2): 241. Persolan mut’ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan Mut’ah wajib diberikan oleh mantan suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul. b. Perceraian itu atas kehendak suami. Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i, diwajibkan untuk setiap isteri yang diceraikan, jika putusan perkawinan datang dari pihak suami, fuqaha Dahiri juga sependapat dengan hal ini, Imam asy-Syafi’i memberikan pengecualian bagi isteri yang telah ditentukan mahar untuknya dan dicerai sebelum digauli, jumhur ulama juga memegangi pendapat ini. 26 Imam Malik berpendapat sebaliknya, hukum memberikan mut’ah hanya dianjurkan (mustasab) dan tidak wajib untuk semua wanita yang ditalak, sedangkan maskawin belum ditetapkan dan dianjurkan bagi wanita yang ditalak dan maskawin telah ditentukan.27 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku I Hukum Perkawinan Bab XVII pasal 149 (a) pasal 158 yang berbunyi: 1. Pasal 149. 26 Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Akhwal asy-Syakhsyyyah ‘ala Mazahib alKhamsah, cet.1 (Beirut: Dar ‘Ilmi,t.t), hlm. 102. 27 Ibid, hlm. 104 37 a. “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut qabla dukhul.” 2. Pasal 158. “Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: 1. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul. 2. Perceraian itu atas kehendak suami.” Dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang wanita yang telah dicerai berhak mendapatkan Nafkah Mut’ah dari mantan suaminya tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal tersebut. Adapun dalam talak ba’in, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak nafkah jika istri dalam keadaan tidak hamil: a. Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Mantan istri tersebut berhak mendapat tempat tinggal tapi tidak berhak mendapat nafkah, kecuali kalau hamil. b. Menurut Imam Hanafi Mantan istri tersebut berhak atas nafkah dan tempat tinggal, seperti perempuan yang ditalak raj’i. karena ia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Sedangkan di rumah ini dia terkurung, karena suami masih ada hak kepadanya. Nafkahnya ini dianggap sebagai hutang yang resmi sejak 38 hari jatuhnya talak, tanpa bergantung kepada adanya persepakatan atau tidak adanya putusan pengadilan. Hutang ini tidak dapat dihapus kecuali sudah dibayar lunas atau dibebaskan. c. Menurut Imam Hanbali Mantan istri tersebut tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sebab nafkah hanya diberikan kepada perempuan yang suaminya mempunyai hak ruju’.Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat Imam Abu Hanifah yang dirasa paling tepat dan paling adil, karena wanita yang sedang menjalani masa iddah, baik karena talak raj’i maupun talak ba’in, baik hamil maupun tidak, masih belum diperbolehkan menikah dengan orang lain. Sehingga hubungan antara suami istri tersebut, belum seratus persen putus, maka dalam keadaan yang demikian itu, istri masih berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Sedangkan mut’ah wajib diberikan kepada mantan istrinya sewaktu dia menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian atas kehendak suami, tetapi jika perceraian atas permintaan istri pemberian tersebut menjadi tidak wajib. 39 BAB IV PELAKSANAAN NAFKAH MUT’AH SUAMI KEPDA ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BANGKINANG A. Pelaksanaan Nafkah Mut’ah di Pengadilan AgamaBangkinang Pengadilan Agama dasarnya setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan atau cita-cita untuk selama-lamanya. Tetapi adakalanya suatu perkawinan karena sebab-sebab tertentu Pengadilan Agama berakibat putus atau tidak Pengadilan Agama dilanjutkan lagi, dan Pengadilan Agama akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian antara suami istri. Putusnya ikatan perkawinan didalam Fiqih Islam dikenal dengan Talak dan khulu’ sedangkan dalam KHI disebut dengan cerai talak dan cerai gugat. Cerai Talak yaitu putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri dimana hal tersebut datang dari pihak suami. Cerai gugat yaitu apabila ikatan perkawinan antara suami dan istri dimana hal tersebut datang dari pihak istri. Masalah hilangnya/lePengadilan Agamasnya ikatan perkawinan tersebut diatur oleh perundang-undang baik yang berdasarkan peraturan pemerintah yaitu undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 juga ada dalam KHI(Kompilasi Hukum Islam Indonesia). 39 40 Selain dua sumber diatas yang dijadikan landasan tentang perceraian, islam juga mengatur tentang masalah perceraian antara suami dan istri sebagaimana dalam surat Al-baqarah: 236-237 Konsekuensi logis dari sebuah perceraian adalah hilangnya tangung jawab antara suami istri. Meskipun untuk seorang suami ketika terjadi perceraian tidak secara muthlak terlePengadilan Agamas tangung jawabnya terhadap mantan istrinya. Tangungan suami terhadap istri adalah beruPengadilan Agamanafkah yang harus diberikan oleh mantan suami terhadap istrinya. Ketika perceraian terjadi maka suami berkewajiban memberikan mut’ah(pemberian) kepada mantan istrinya di samping nafkah iddah yang harus dibayarkan kepada istri sampai masa iddahnya berakhir. Apabila dalam perkawinan tersebut telah mendapatkan seorang anak maka suami atau mantan suami wajib memberikan nafkah pemeliharaan anak (nafkah hadhanah).1 Berkaitan dengan nafkah mut’ah, hal ini merupakan pemberian suami terhadap istri sebagai bentuk sagu hati karena telah diceraikan. Berdasarkan firman Allah dalam Alquran surat: Tentang pelaksanaan mut’ah tersebut Pengadilan Agama selaku pihak yang diberikan wewenang oleh negara untuk mengatur hal-hal yang bersangkutan dengan masalah keperdataan yang terjadi didalam sebuah keluarga mempunyai peran yang sangat sifnifikan bagi terselenggaranya kemaslahatan antara kedua belah pihak. 1 Ibnu Rasyid, Fiqih Munakahat, (Jakarta:Bintang Mulia, 2001), hlm. 125 41 Dalam hal ini termasuk masalah yang berkaitan dengan mut’ah suami kepada istri. Pengadilan AgamaBangkinang meruPengadilan Agamakan lembaga peradilan agama yang mempunyai daerah kerja diwilayah Kampar dalam hal memutuskan perkara mut’ah ini terdapat beberapa langkah yang dilalui. Berdasarkan data yang kami peroleh langsung dari Ketua Pengadilan Agama Bangkinang beliau menyatakan bahwasanya langkah-langkah yang dilakukan dalam memutuskan mut’ah suami kepada istri adalah sebagai berikut:2 1. (Sidang Perceraian) Berdasarkan undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam 149 dan 158 maka sebelum diputuskannya mut’ah terjadilah sebuah proses persidangan perceraian. 2. (Putusan Sidang ) Kemudian berkaitan dengan Nafkah Mut’ah maka Pengadilan Agama Bangkinang menganalisa apakah perkara tersebut sesuai dengan pasal 149 atau 158. apabila sesuai dengan pasal 149 dan 148 maka Pengadilan Agama menetapkan kewjiban suami membayar mut’ah kepadamantan istri. Kemudian Pengadilan Agama membuat sebuah surat keputusan berdasrakan sidang yang yang berisi tentang tanggungan nafkah yang harus dipenuhi oleh suami yang berisi 2 Wawancara langsung dengan kePengadilan Agamala Pengadilan AgamaBangkinang 42 tentang; a. Nafkah mut’ah b. Nafkah iddah c. Nafkah hadhonah 3. Pengucapan ikrar PengucaPengadilan Agaman ikrar adalah kesePengadilan Agamakatan yang dilakukan secara lisan oleh kedua belah pihak berdasarkan putusan sidang. Pelaksanaan mut’ah suami dilakukan atau ditunaikan oleh suami setelah pengucaPengadilan Agaman ikrar. Dan ketika Pada waktu itu mut’ah itu tidak bisa ditunaikan maka dapat dilaksanakan dikemudian hari. Ketika dikemudian hari ternyata tidak dilaksanakan oleh mantan suami maka pihak istri dapat mengajukan gugatan. Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh istri tersebut maka dilakukan eksekusi. Menurut Ketua Pengadilan Agama Alamsyah pelaksanan eksekusi ini jarang sekali terjadi karena biaya eksekusi yang akan digelar tersebut dibebankan semuanya kepada penggugat.3 Berkiatan dengan kadar atau ukuran mut’ah yang harus dibayarkan oleh suami kepada mantan istrinya Agamabangkinag memeprhatikan beberapa sebagi berikut: 3 Wawancara langsung dengan Alamsyah Pengadilan 43 a) KesePengadilan Agamakatan antara suami isteri yang berperkara; b) Kewajaran tuntutan yang diajukan oleh isteri; dan c) KesangguPengadilan Agaman suami. Dalam pengambilan putusan kadar mut’ah di Pengadilan AgamaBangkinang ada keterkaitan yang sangat erat dengan kondisi ekonomi mantan suami. Keterkaitan ini tidak lePengadilan Agamas dari firman Allah yang ada dalam surat AlBaqarah ayat 236, 241. Hal ini sebagaimna terjadi terhadap Marwiyah warga Sp I Laboyjaya Bangkinang. Marwiyah di cerai talak oleh suaminya Abidin pada tanggal 20 April 2010 setelah dilakukan persidangan di Pengadilan AgamaBangkinang maka hubungan keduanya dinyatakan bukan sebagai suami istri lagi. Setelah proses persidangan selesai dan dilanjutkan ikrar dihari berikutnya maka abidin diwajibkan untuk membayar mut’ah kepada marwiyah. Dan pada waktu pembayaran mut’ah abidin tidak memberikannya dengan alasan tidak ada uang yang akan diberikan/bayarkan dengan perjanjian akan dibayarkan dikemudian hari. Jumlah mut’ah yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama sebesar 2.000.000 juta rupiah hal tersebut ditetapkan berdasarkan penghasilan abidin dan pekerjaanya. Akan tetapi ternyata abidin tidak memberikan mut’ah kepada istrinya. 44 B. Faktor penghambat dan Faktor Pendukung pelaksanaan Nafkah Mut’ah di Pengadilan Agama Bangkinang 1. Faktor Penghambat Berdasarkan observasi dan analisa yang kami lakukan maka dapat kami simpulkan bahwasanya faktor-faktor penghambat dalam proses terlaksanaya mut’ah suami kepada mantan istri di wilayah kerja Pengadilan Agama Bangkinang adalah4: 1) Rendahnya tingkat pendidikan 2) Kurangnya kesadaran beragama 3) Latar belakang perceraian 4) Kurangnya kontrol dari pihak Pengadilan Agama 5) Tidak adanya sanksi hukum yang jelas terhadap tidak dilaksanaknya Mut’ah oleh suami dari Pengadilan Agama 2. Faktor Pendukung 1) Tingginya tingkat pendidikan 2) Tingginya kesadaran beragama 3) Tingginya kesejahteraan suami Dari hasil yang kami dapatkan diatas dapat disimpulkan lebih sederhana bahwasanya ada dua faktor baik yang memperkuat atau menghambat pelaksanaan mut’ah suami di wilayah kerja Pengadilan Agama Bangkinang. Faktor-faktor tersebut adalah: 4 Data putusan pengadalian agama bangkinang tentang nafkah mut’ah dan wawancara dengan ketua pengadilan agama bangkinang. 45 a) Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari personal seorang suami yang dipengaruhi oleh latar belakang yang bervariasi seperti, pendidikan semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi pula tingkat ketaatan dan kePengadilan Agamatuhan terhadap hukum sehingga proses pelaksanaan muta’h suami terhadap mantan istri dapat terlaksana dengan baik begitu sebaliknya semakin rendah tinggkat pendidikan maka tingkat kepatuhan terhadap hukum semakin rendah dan hal ini yang menyebabkan pelaksanan mut’ah suami terhambat. Selain pendidikan latar belakang perceraian juga memberikan pengaruh yang cukup tinggi seperti dari beberapa responden yang kami dapat, ketika latar belakang perceraian adalah karena banyak dodominasi dari kesalahan yang dilakukan oleh pihak istri maka hal ini mengakibatkan adanya keengganan suami untuk memberikan mut’ah kepada mantan istri dari sini terlihat kurangnya pemahaman agama ikut memberikan kontribusi baik dari segi terlaksananya atau tidak. b) Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang ada di pengadilan agama, seperti kurangnya kontrol atau pengawasan dari pihak pengadilan memberikan peluang untuk tidak terlaksananya mut’ah suami ini dengan baik. Hal tersebut terjadi karena adanya 46 sebuah pengaduan mantan istri terhadap suami. Artinya ketika tidak terjadi pengaduan dari sang mantan istri tentunya hal ini tidak diketahui aPengadilan Agamakah mut’ah tersebut dibayar atau tidak dibayarkan oleh mantan suami. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya kontrol dari pihak Pengadilan Agama memberikan pengaruh signifikan, semaikn tinggi tingkat kontrol yang diberikan maka semakin tinggi pula tinggaka tkeberhasilan mut’ah suami kepadamantan istri. Dan begitu sebaliknya semakin rendah tingkat kontrol maka semkin jauh tingkat keberhasilan yang diharapkan. Selain kontrol Pengadilan Agama terhadap terlaksanya mut’ah sanksi hukum yang tegas juga memberikan sumbangan yang besar bagi terselangaranya mut’ah suami terhadap mantan istri. Sejauh ini tidak ada sanksi hukum yang diberikan oleh pihak terkait dengan tidak dilaksanaknya mut’ah tersebut. Sehingga hal ini menyebabkan rendahnya kesadaran hukum yang Pada akhirnya mut’ah suami terhadap istri atau mantan istri tidak terlaksana dengan baik karena sang suami merasa tidak ada akibat dari dilaksanya mut’ah atau tidak. 47 C. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pelaksanan Mut’ah Suami Terhadap Istri Di Pengadilan AgamaBangkinang. Pelaksanan mut’ah di Pengadilan AgamaBangkinang dilaksanakan berdasarkan landasan yang kuat ditinjau dari sisi hukum islam. Artinya pelaksanan mut’ah tersebut selaras dengan Pengadilan Agamayang disyariatkan oleh Allah. Hal ini jelas dari landasan yang di gunakan oleh Padalam memutuskan perkara mut’ah tersebut. Landasan dalil yang digunakan oleh Pengadilan AgamaBangkinang ditinjau dari hukum islam adalah: Surat Al-Baqarah: Ayat 236 ﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ إن طﻠّﻘﺘﻢ اﻟﻨّﺴﺎء ﻣﺎ ﻟﻢ ﺗﻤﺴّﻮھﻦّ أو ﺗﻔﺮﯾﻀﻮا ﻟﮭﻦّ ﻓﺮﯾﻀﺔ وﻣﺘّﻌﻮھﻦّ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﺳﻊ ﻗﺪره وﻋﻠﻰ اﻟﻤﻘﺘﺮ ﻗﺪره ﻣﺘﻌﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺤﺴﻨﯿﻦ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepadamereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang Pengadilan Agamatut. Yang demikian itu meruPengadilan Agamakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” Surat Al-Baqarah : Ayat 241 َت َﻣﺘَﺎعُ◌ُ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُوفِ ﺣَ ﻘًّﺎ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿﻦ ِ َوﻟِ ْﻠ ُﻤﻄَﻠﱠﻘَﺎ “bagi wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa” 48 Kedua landasan hukum islam diatas digunakan oleh Pengadilan Agamabangkinag dalam menetapkan putusan tentang kewajiban suami dalam memberikan mut’ah sedangkan yang berkaitan dengan kadar dan ukuran yang harus dibayarkan oleh suami kepadaistri. Pengadilan Agamabangkinag mengunakan argumen berdasarkan kaidah fiqih yang menyatkan bahwa “Adat (kebiasaan) itu dapat dijadikan sebagi hukum”5 Kebiasaan atau yang sering dikatakan dengan adat atau urf dapat dijadikan hukum, seperti terjadi kadar mahar sesunguhnya tidak ada batas minimal dan juga batas maksimal akan tetapi didasarkan atas adat kebiasan yang berlaku didaerah tersebut. Artinya selain sebuah adat kebiasan tentunya faktor penghasilan suami juga menjadi bahan pertimbangan Pengadilan Agama Bangkinang dalam menetapkan mut’ah suami. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh sulaiman rasyid dalam kitab fiqihnya beliau berpendapat berpendapat diwajibkan atas suami memberikan belanja kepada isteri yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami. Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masingmasing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami. Intinya yang menjadi ukuran berapa besar nafkah adalah kemampuan suami. Lebih lanjut Sulaiman Rasyid menguraikan walaupun sebagian ulama mengatakan nafkah isteri itu dengan kadar yang tertentu tetapi yang 5 14 Muhammad Nuha, kaidah fiqhiyah dalam ijtihad ulama, (semarang: alsofwa, 1999), h. 49 mu’tammad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta menginggat keadaan suami. 50 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasyahnya pelaksanaan nafkah mut’ah suami di Pengadilan Agama Bangkinang merupakan sebuah tanggungan yang wajib dibayarkan oleh suami kepada manntan istrinya setelah terjadi perceraian. Landasan yang digunakan oleh Pengadilan Agama Bangkinang adalah berdasarkan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan juga Kompilasi Hukum Islam pasal 149 dan 158. Dalam pelaksanaan Nafkah Mut’ah tersebut sering mengalami kendala dan ini menjadi factor penghambat dari terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami baik yang berhubungan dengan personal individual suami sebagai factor internal ataupun factor yang berhubungan dengan institusi Pengadilan Agama Bangkinang sebagai factor eksternal. Begitu juga dengan hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami yang juga didorong oleh factor-faktor internal dan juga factor-factor eksternal. 51 Dalam pelaksanaannya nafkah mut’ah Pengadilan Agama Bangkinang menetapkan kadar atau ukuran berdasarkan tiga hal yaitu: 1. Kesepakatan antara suami istri yang berperkara 2. Kewajiban tuntutan yang diajukan oleh istri 3. Kesanggupan suami Hal ini dilakukan karena tidak ada aturan baku dari fiqh Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah terhadap penetapan batas maksimal dan minimal dari ukuran mut’ah yang harus dibayar oleh suami. Begitu juga dalam UndangUndang Indonesia baik dari Undang-Undang Perkawinan atau Kompulasi Hukum Islam. Pelaksanaan nafkah mut’ah suami dipengadilan Agama Bangkinang ditinjau dari sisi Hukum Islam atau Fiqh sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlakudalam menetapkn sebuah putusan yang juga didasarkan pada Al-Quran surat Al-baqarah ayat 236 dan 241. B. Saran 1. Pelaksanaan Nafkah Mutah merupakan bagian dari perintah agama dengan demikian seorang suami hendaknya memberikan Mut’ah tersebut kepada istrinya baik dibayar ketiak pengadilan agama atau setelahnya. 2. Terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami kepada istrinya sangat erat kaitannya dengan pihak pengadilan agama seperti tidak adanya sanksi terhadap orang yang tidak menunaikannya dan 52 ketika terjadi gugatan dari seorang istri dan dilakukan eksekusi memakan biaya yang cukup besar atau tinggi sehingga dengan demikian banyak dari kasus tersebut tidak terselesaikan. Oleh sebab itu pengadilan Agama Bangkinang hendaknya lebih proaktif dalam mensikapi kasus yang berkaitan dengan masalah tersebut. 3. Pemahaman agama masyarakat muslim dari segi pelaksanaan hokum agama masih rendah, dengan demikian bagi Da’I, Mubaligh, Ustadz dapat lebih menekankan dan mensosialisasikan pentingnya mematuhi hokum agama dalam hal ini yang berkaitan dengan mut’ah sumi terhadap istri 52 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasyahnya pelaksanaan nafkah mut’ah suami di Pengadilan Agama Bangkinang merupakan sebuah tanggungan yang wajib dibayarkan oleh suami kepada manntan istrinya setelah terjadi perceraian. Landasan yang digunakan oleh Pengadilan Agama Bangkinang adalah berdasarkan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan juga Kompilasi Hukum Islam pasal 149 dan 158. Dalam pelaksanaan Nafkah Mut’ah tersebut sering mengalami kendala dan ini menjadi factor penghambat dari terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami baik yang berhubungan dengan personal individual suami sebagai factor internal ataupun factor yang berhubungan dengan institusi Pengadilan Agama Bangkinang sebagai factor eksternal. Begitu juga dengan hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami yang juga didorong oleh factor-faktor internal dan juga factor-factor eksternal. Dalam pelaksanaannya nafkah mut’ah Pengadilan menetapkan kadar atau ukuran berdasarkan tiga hal yaitu: 1. Kesepakatan antara suami istri yang berperkara 2. Kewajiban tuntutan yang diajukan oleh istri 3. Kesanggupan suami 50 Agama Bangkinang 52 Hal ini dilakukan karena tidak ada aturan baku dari fiqh Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah terhadap penetapan batas maksimal dan minimal dari ukuran mut’ah yang harus dibayar oleh suami. Begitu juga dalam Undang-Undang Indonesia baik dari Undang-Undang Perkawinan atau Kompulasi Hukum Islam. Pelaksanaan nafkah mut’ah suami dipengadilan Agama Bangkinang ditinjau dari sisi Hukum Islam atau Fiqh sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlakudalam menetapkn sebuah putusan yang juga didasarkan pada Al-Quran surat Al-baqarah ayat 236 dan 241. B. Saran 1. Pelaksanaan Nafkah Mutah merupakan bagian dari perintah agama dengan demikian seorang suami hendaknya memberikan Mut’ah tersebut kepada istrinya baik dibayar ketiak pengadilan agama atau setelahnya. 2. Terlaksananya nafkah mut’ah oleh suami kepada istrinya sangat erat kaitannya dengan pihak pengadilan agama seperti tidak adanya sanksi terhadap orang yang tidak menunaikannya dan ketika terjadi gugatan dari seorang istri dan dilakukan eksekusi memakan biaya yang cukup besar atau tinggi sehingga dengan demikian banyak dari kasus tersebut tidak terselesaikan. Oleh sebab itu pengadilan Agama Bangkinang hendaknya lebih proaktif dalam mensikapi kasus yang berkaitan dengan masalah tersebut. 3. Pemahaman agama masyarakat muslim dari segi pelaksanaan hokum agama masih rendah, dengan demikian bagi Da’I, Mubaligh, Ustadz dapat lebih 52 menekankan dan mensosialisasikan pentingnya mematuhi hokum agama dalam hal ini yang berkaitan dengan mut’ah sumi terhadap istri. 54 DAFTAR PUSTAKA Abi Abdillah, Muhammad bin Yazid Al-Qardawi, Sunan Ibnu Majah Jilid II, Isa Al-Babi Al-Halabi, Mesir, 1953. Abidin, Slamet, dkk., Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, tkp., 1999. Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Pratama, Jakarta, 2002. Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet.III, 1990. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998. Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Budiono, 2006,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,:Surabaya,: Karya Agung Departemen Agama Republik Indonesia, 2001. Bahan Penyuluhan Hukum. Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum HAS Al-Hamdani, 2002. Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani HM. Djamil Latif, 1999. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hilman Hadikusumah, 2000. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Undangundang Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju Mahmud Yunus, 1989, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, cet.ke-III Ma’mur Daud,1993. Terjemah Hadits Shahih Muslim, Jakarta: CV. Widjaya 54 Moch. Anwar, 1994. Dasar – Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, Jakarta: CV. Diponegoro RI, Departemen Agama. 2005. Quran dan Terjemahan, Jakarta : Syamil Cipta Media Sayyid Sabiq, 2004. Fiqh Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara Soegeng Prijodarminto, 2003 Perkawinan Menuju Keluarga Bahagia dan Sejahtera, Jakarta: Rineka Cipta 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara Warson, Ahmad Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997 Wirjono Prodjodikoro, 2000. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur