malapraktek dan penegakan hukumnya

advertisement
ASPEK PEMBUKTIAN DALAM MALPRAKTEK MEDIK
Oleh : Echwan Iriyanto, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember
Abstraksi
Dalam menjalankan fungsinya ditengah-tengah masyarakat, dokter
mempunyai kedudukan yang unik. Adanya kedudukan yang unik tersebut, tentu
saja memberikan beban baru bagi setiap orang yang memilih profesi dokter
sebagai pilihan dalam kehidupannya. Beban tersebut antara lain menjaga
integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh dan harus dipertahankan.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa kini banyak kritik pedas masyarakat
terhadap pelayanan medik sebagai akibat banyaknya terjadi malpraktek medik.
Perdebatan dikalangan profesi hukum dan kedokteran dalam penegakan hukum
terhadap kasus-kasus malapraktek sangat penting untuk diselesaikan, yaitu
dengan mengoptimalkan peranan ahli dalam aspek pembuktiannya.
Kata kunci : malpraktek medik, ahli dan pembuktian
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam menjalankan fungsinya ditengah-tengah masyarakat, dokter
mempunyai kedudukan yang unik. Ada beberapa ciri yang perlu diperhatikan
dalam kaitannya dengan etik, yaitu : 1
1.
rasa takut sering merupakan latar belakang utama kedatangan pasien
kepada dokter. Betapapun adakalanya keluhan itu sendiri tidak riil, tetapi
rasa takut itu benar-benar riil;
2.
pasien sepenuhnya
berserah diri kepada dokter. Bahkan dalam
keinginannya bebas dari rasa sakit, ia bersedia disakiti oleh dokternya,
misalnya melalui berbagai prosedur dianostik ataupun operasi;
1
Kartono Muhammad, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran,, Makalah dalam
Simposdium Kedokteran- Diselengarakan oleh BPHN Depkeh kerjasama dengan IDI, Jakarta, 6-7
Juni 1983, h. 1.
1
3.
hubungan antara dokter dengan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh
rahasia yang dimilikinya akan dibukakan kepada dokter, jika dikehendaki;
4.
dokter bekerja dalam suasana yang tidak pasti ( uncertainty ). Selain sifatsifat tubuh manusia yang sangat bervariasi, dokter tidak membuat seperti
halnya seorang montir yang boleh membongkar seluruh isi obyek yang
akan diperbaiki , hanya untuk memastikan letak dan macam kelainan yang
menimbulkan keluhan;
5.
masyarakat
menaruh harapan dan kepercayaan
kepada dokter, tetapi
sekaligus juga mencurigai atau bahkan cemburu terhadapnya;
6.
tuntutan fungsi sosial terhadap profesi kedokteran sangat besar, bahkan
mungkin terbesar di antara profesi-profesi lainnya. Ini merupakan beban
mental yang berat bagi para dokter yang dalam hidup sehari- hari justru
diperlukan sebagai obyek ekonomi;
7.
hubungan fungsional antara dokter dan masyarakat memberikan status
yang unik, tetapi juga tinggi bagi dokter. Mereka yang bermental lemah
akan mudah terbuai oleh status ini dan lupa diri.
Adanya kedudukan yang unik sifatnya itu, tentu saja memberikan beban
yang baru bagi setiap orang yang memilih profesi kedokteran sebagai pilihan
dalam kehidupannya. Beban yang antara lain agar tetap dapat menjaga integritas,
agar
martabat profesinya tidak runtuh dan harus
dipertahankan. Dengan
demikian, apa yang menjadi harapan dan kepercayaan masyarakat kepadanya
harus
diimbangi
dengan bukti-bukti dalam bentuk perbuatan yang nyata.
Himbauan demikian inilah tidak lain sebenarnya merupakan manifestasi dari
dalil-dalil yang yang dikemukakan oleh Hippocrates sebagai Bapak Profesi
Kedokteran Modern. Beliau telah mengingatkan hal demikian itu lewat dalil-dalil,
yang antara lain mengatakan :
2
“setelah memiliki semua persyaratan untuk
menjadi dokter dan kemudian menguasai Ilmu Kedokteran, dalam berkelana di
berbagai kota kita harus menjadi dokter yang dihormati bukan karena nama,
tetapi karena benar-benar pantas untuk dihormati”. Demikian tepatnya dalil-dalil
yang dikemukakan oleh Hippocrates ini untuk diterapkan oleh para dokter agar
2
Ibid..
2
kepercayaan masyarakat dan integritas dalam profesi kedokteran itu sendiri tidak
mudah luntur. Dan atas dasar dalil-dalil tersebut itulah antara lain Kode Etik
Kedokteran Modern dikembangkan dan bertahan sampai sekarang.
Penilaian-penilaian yang serba positif terhadap profesi kedokteran pada
kenyataannya sekarang ini rupanya sudah mulai agak luntur, terbukti bahwa
akhir-akhir
ini banyak terjadi kasus yang diajukan
ke Pengadilan yang
berhubungan dengan profesi kedokteran baik kasus perdata ataupun pidana.
Sebagai manusia biasa, yang mempunyai kelebihan dan kekurangan,
seorang dokterpun niscaya tidak akan luput dari kesalahan, baik itu kesalahan
yang dilakukannya dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota
masyarakat,
maupun kesalahannya yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari
sebagai insan yang berbudi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kini hampir
secara berkala bisa dibaca dalam media massa adanya berbagai berita tentang
malpraktek, yang sekaligus merupakan suatu kritik pedas terhadap pelayanan
medis. Banyak bermunculan adanya berita dokter digugat pasien ( ahli warisnya
), tidak hanya sampai di Pengadilan , tetapi kasus-kasus demikian malahan ada
yang sampai ke DPR. Oleh sebab itu, penegakan hukum terhadap kasus-kasus
malapraktek hingga saat ini masih menjadi perdebatan dikalangan profesi hukum
dan kedokteran. Persoalan apakah tindakan dokter dapat dikualifikasikan sebagai
malapraktek atau bukan ketika ada pasiennya yang mati ataupun cacat masih multi
tafsir khususnya bila menyangkut masalah pembuktiannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka permasalahan yang
akan dibahas adalah kendala yuridis dalam pembuktian suatu perbuatan
malpraktek medik, dan upaya apa saja yang dapat dilakukan?
II. PEMBAHASAN
2.1. Beberapa Konsep Tentang Malpraktek
Istilah “ malpractice “ menurut Peter Salim dalam The Contemporary
English Indonesia Dictionary, berarti
perbuatan atau tindakan yang salah.
3
Malpractice juga berarti praktek buruk3 (badpractice) yang menunjukkan pada
setiap sikap tindak yang keliru. Sedangkan menurut John M. Echols dan Hassan
Shadily dalam Kamus Inggris Indonesia, malpractice berarti cara pengobatan
pasien yang salah. Adapun ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan
untuk melaksanakan kewajiban profesional atau didasarkan kepada kepercayaan.
Dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “ Kuntsfout “ atau seni salah,
merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja akan tetapi
di sini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia
medis dan tindakan mana yang mengakibatkan sesuatu hal yang fatal misalnya
mati atau cacat karena lalai dan lain sebagainya.4
Berdasarkan beberapa
pengertian tentang “ malpractice “ tersebut di atas , kiranya dapat diperjelas
dengan pengertian malpractic yang terdapat dalam buku “ The Dentist and the
Law “ yang ditulis oleh Charles Wendell Carnahan , yang berbunyi :
5
“ What is
Malpractice? In a general sense malpractice is “bad” practice, a failure to
comply with the standarts set by the profession. From the stand point of a patient
who has sustained in jurie, it may cover the range on incidents from diagnosis
throught operation and after-treatment”.
Dengan demikian, malpractice itu sebenarnya mempunyai suatu
pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a)
dalam arti umum suatu praktek ( khususnya praktek dokter ) yang buruk
yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi;
b)
dalam arti khusus ( dilihat dari pasien ) malpractice dapat terjadi :
1.
menentukan diagnosa, misalnya : diagnosisnya pasien sakit maag,
tetapi ternyata pasien sakit liver.
2.
menjalankan operasi, misalnya : seharusnya yang dioperasi mata
sebelah kanan, tetapi dilakukan pada mata sebelah kiri.
3.
selama menjalankan perawatan.
3
J.Guwandi, Perkara Tindak Pidana Medik ( Medical malpractice ), Kompas 5 Mei
1987.
4
Fred Amien, Berbagai Kecenderungan Dalam Hukum Kedokteran Di Indonesia,
Makalah, Jakarta , tahun 1986.
5
Charles Wendell Carnahan, The Dentist and the Law, CV. Mosby Company, second
printing, United States of America, 1955, h.121 – 122.
4
4.
sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah
ditentukan.
Malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan operasi,
tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian dianogsis sampai dengan sesudah
dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien. Hal ini berarti bahwa harus
ada 2 (dua) pihak yaitu di satu pihak subjek yang melaksanakan treatment, dan
di lain pihak adalah objek/subjek yang menjadi sasaran treatment. Sehingga
persoalan sebenarnya menjadi “how to treat the patient “. 6
memperlakukan
Bagaimana dokter
(dalam arti mengupayakan kesembuhan) pasiennya melalui
beberapa tahapan/prosedur
yang merupakan langkah-langkah yang harus
ditempuh oleh dokter. Selanjutnya di dalam buku The Law of Hospital Health
Care Administration yang ditulis oleh Arthur F Southwick dikemukakan adanya
3 (tiga) teori sebagai sumber dari suatu perbuatan malpraktek, yaitu :7
a.
teori pelanggaran kontrak ( breach of contract)
b.
teori perbuatan yang disengaja (intentional tort)
c.
teori kelalaian (negligence).
Teori Pelanggaran Kontrak
Secara hukum seorang dokter
tidak mempunyai
kewajiban merawat
seseorang bila mana di antara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak
antara dokter dan pasien. Hubungan antara dokter dengan pasien baru terjadi
apabila telah terjadi kontrak di antara ke dua belah pihak tersebut.
Namun demikian hubungan kontrak dokter pasien ini, tidak berarti bahwa
hubungan
tersebut harus selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama.
Dalam keadaan penderita tidak sadarkan diri
ataupun dalam keadaan gawat
darurat, maka persetujuan atau kontrak dokter pasien dapat diminta dari pihak ke
tiga yaitu
keluarga penderita yang bertindak
atas nama
dan mewakili
kepentingan penderita.
6
Hermien Hadiati Koeswadji., Hukum Kedokteran ( Studi Tentang Hubungan Hukum
Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak ), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h. 124.
7
Ninik Mariyanti, Malpraktek Kedokteran Dari segi Hukum Pidana dan Perdata,Bina
aksara, Jakarta, 1988, h. 44.
5
Suatu persetujuan yang telah ada antara dokter dengan pasien akan
memberikan perlindungan hukum bagi dokter dalam melaksanakan tugasnya.
Selama dia melaksanakan tugasnya dengan cermat, maka tidak ada masalah
hukum bagi dirinya.
Dalam perkembangannya, perlindungan hukum yang didasarkan atas
persetujuan tersebut harus disertai pula dengan suatu penjelasan dari dokter
mengenai cara perawatan, risiko yang dihadapi dan lain sebagainya, yang lazim
disebut dengan istilah “ informed consens “. Persetujuan yang demikian itu di
dasarkan pada prinsip bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk berperan serta
dalam mengambil keputusan yang menyangkut dirinya sendiri. Kemudian prinsip
ini dapat dijabarkan atas :
1.
pasien harus mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil
keputusan mengenai perawatan atas dirinya;
2.
pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik
secara lisan maupun tertulis, secara aksplisit ataupun implisit.
Dengan kata lain pasien tidak boleh dipaksa untuk menerima cara perawatan
tertentu walaupun hal itu dianggap paling baik oleh dokter. Jadi dapat dikatakan
bahwa persetujuan atas dasar penjelasan didasarkan pada kemandirian pribadi
manusia.
Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori ini pada dasarnya dapat dipakai oleh pasien untuk mengajukan
gugatan
kepada dokter karena perbuatan
sengaja dilakukan (intentional tort)
malpraktek akibat kesalahan yang
yang mengakibatkan seseorang (pasien)
secara fisik mengalami cidera ( assult and battery ).
Kasus malpraktek menurut teori ini dalam arti yang sebenarnya jarang
terjadi dan dapat digolongkan suatu kejahatan. Sebagai contoh untuk memberikan
gambaran terhadap prinsip tersebut adalah kasus Mohr vs Williams. Bahwa
penderita telah setuju untuk dioperasi membuang polip dari telinga sebelah kanan.
Setelah pembiusan anestesi, ahli bedah enemukan pula polip telinga sebelah kiri,
yang oleh ahli tersebut justru dianggap lebih perlu untuk dioperasi. Dokter ahli
6
bedah akhirnya memutuskan tidak jadi mengoperasi telinga sebelah kanan, tetapi
beralih untuk mengoperasi telinga sebelah kiri, tanpa sepengetahuan atau tanpa
persetujuan penderita/pasien. Dalam kasus ini, pengadilan menyatakan bahwa
tindakan ahli bedah tersebut termasuk assult and bettery.
Teori Kelalaian
Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek
adalah adanya kelalaian ( negligence ).
Sebagai contoh kasus adalah peristiwa yang menimpa seorang anak
berumur 12 tahun yang tangannya patah karena mengikuti kegiatan olah raga di
sekolahnya. Ia harus menunggu selama 6 jam di ruang gawat darurat sebuah
rumah sakit di New York.
Meskipun para dokter di Rumah sakit tersebut
mengatakan sangat sibuk sekali, tetapi oleh pengadilan kasus ini dianggap
sebagai suatu kelalaian (malpraktek medik).
2.2
Sistem Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Terdapat beberapa ajaran tentang sistem pembuktian dalam perkara
pidana, yakni :8
1)
Conviction – intime. Menurut sistem ini, untuk menetukan salah tidaknya
seorang terdakwa semata-mata didasarkan oleh penilaian
“keyakinan“
hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan
terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya,
tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan
disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan
hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa. Sistem ini sudah barang tentu mengandung kelemahan, yaitu
bahwa hakim dapat saja menjatuhkan hukuan pada seorang terdakwa
semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti
8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II,
Pustaka Kartini, 1993, h. 797.
7
yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak
pidana yang dilakukannya, walaupun kesakahan terdakwa telah cukup
terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin
atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime,
sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang
cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim.
2)
Conviction- raisonce. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang
peranan penting dala menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan
tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika
dalam sistem pembuktian convivtion intime peran keyakinan hakim
leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini keyakinan hakim harus
didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas
kesalahan terdakwa.
3)
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif. Menurut sistem ini,
keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan
terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada
prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan UndangUndang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa seata-mata
digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asalkan sudah dipenuhi
syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah
cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan
hakim.
KUHAP tidak semata-mata menganut secara kaku salah satu
pembuktian di atas. Pasal 183
sistem
KUHAP menyatakan : “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar tejadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
8
Berdasarkan Pasal tersebut diatas, maka untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang
terdakwa, harus :
a.
kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua lat bukti yang sah.
Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu :
keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan
keterangan
terdakwa.
b.
dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan penjelasan dari Pasal 183 KUHAP tersebut, maka sistem
pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undangundang secara
negatif.
Tidak dibenarkan
menghukum
terdakwa
yang
kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut Undang-undang. Keterbuktian
tersebut harus pula digabung dan didukung oleh keyakinan hakim. Namun tetap
yang menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa adalah
pembuktian yang cukup atas kesalahan terdakwa, bukan semata-mata keyakinan
haikim. Sebaliknya, jika kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan
hakim lalai mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan
batalnya putusan yang telah dijatuhkan.
2.3 Kendala Yuridis dan Upaya Penyelesaiannya
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam
proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan
nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa, maka terdakwa harus dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam
Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan
dijatuhkan hukuman.
9
Dari segi hukum, kesalahan akan selalu terkait dengan sifat melawan
hukumnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Oleh karena itu, perbuatan orang yang mampu bertanggung jawab itu dalam
hukum dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dipidana atau “Strafbaar feit”
atau diterjemahkan dengan tindak pidana.9 Strafbaar feit ini merupakan istilah
dalam hukum pidana yang menunjuk kepada kelakukan orang yang diruuskan
dalam undang-undang dan sifatnya melawan hukum, sehingga oleh karena itu
patut dipidana bagi pelakunya dan yang dilakukannya dengan kesalahan.
Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana merupakan ungkapan yang
digunakan sehari-hari baik dalam moral, agama, maupun hukum. Ketiga unsur
tersebut berkait antara yang satu dengan yang lain dan berakar dalam satu keadaan
yang sama, yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan. Dengan
demikian sistem yang melahirkan konsep kesalahan, pertanggungjawaban dan
pemidanaan merupakan sistem normatif.
Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana ini tidak akan terjadi bila
tidak ada hubungan antara dokter dengan pasien yang berupa transaksi terapeutik.
Dalam hubungan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien (disingkat D – P)
merupakan
kondisi
awal
yang
melahirkan
kemungkinan
adanya
kesalahan/kelalaian, pertanggungjawaban dan pidana.
D dan P dalam transaksi terapeutik itu telah sepakat untuk mengadakan
perjanjian/transasksi, dan perikatan itu sah apabila memnuhi syarat seperti yang
diatur oleh Pasal 1320 BW. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perikatan
yang sudah memenuhi syarat mengikat
kedua belah pihak untuk dipenuhi.
Apabila salah satu pihak tidak memenuhi isi transaksi pihak yang lain berhak
untuk menuntut.
Perkembangan selanjutnya, hubungan antara D dengan P tersebut dapat
berkembang ke perikatan perawatan kesehatan. Dalam transaksi perawatan
kesehatan, para pihak yang terlebat semakin banyak, dan bahkan yang terdiri dari
tenaga kesehatan lainnya, yaitu yang terdiri dan tenaga keperawatan, tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik
9
Hermien Hadiati Koeswadji, op.cit, h. 131
10
dan tenaga keteknisan medik. Ini berarti bahwa dengan melibatkan bidang
keahlian semakin banyak juga membawa konsekuensi semakin kompleksnya
penyelesaian permasalahan yang ada.
Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
kesalahan/kelalaian
dalam
melaksanakan profesi (medik) tidak sama dengan kesalahan/kelalaian menurut
hukum. Oleh karena itu ketentuan peraturan hukum yang berlaku umum, baik
dalam hukum perdata (BW), hukum pidana (KUHP dan KUHAP), maupun
hukum administrasi tidak dapat serta merta diterapkan terhadap kasus-kasus yang
salah satu pihaknya adalah dokter/dokter gigi sebagai tenaga medis.
Dalam kasus-kasus di mana dokter merupakan salah satu pihak (kasuskasus kesalahan/kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi), salah satu kendala
yang dihadapi dalam proses pembuktian ialah keterangan ahli. Berdasarkan Pasal
186 KUHAP, keterangan ahli yang dimaksudkan di sini dapat juga sudah
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada
waktu ia menerima jabatan tersebut. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik/penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di
sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita
acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan
sumpah atau janji di hadapan sidang mengenai kebenaran keterangannya sebagai
saksi ahli. Sumpah atau janji yang diucapkan dimuka sidang mengenai kebenaran
keterangannya yang diberikan sebagai saksi ahli ini harus dibedakan dengan
sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan/pekerjaan.
Keterangan ahli yang dimaksudkan oleh Pasal 186 KUHAP tersebut bila
dikaitkan dengan hubungan antara dokter dan pasien dapat dituangkan dalam
bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Keterangan ahli yang berwujud tertulis
dapat berupa Rekam Medik ( RM ) yang dari segi formal merupakan himpunan
catatan mengenai hal-hal yang terkait dengan riwayat perjalanan penyakit dan
pengobatan/perawatan pasien. Sedangkan dari segi material, isi RM meliputi
identitas pasien, catatan tentang penyakit, hasil pemeriksaan laboratorik, foto
rontgen, dan pemeriksaan USG. Hal ini secara jelas diatur dala Pasal 1a Peraturan
11
Menteri Kesehatan RI No. 749a/Menkes/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis
(RM).
Selanjutnya dalam Pasal 5 Per.Men.Kes.RI. tersebut juga menyebutkan
bahwa setiap pencatatan ke dalam RM harus dibubuhi dengan nama dan tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan/tindakan medis tertentu. Oleh karena
itu RM berfungsi selain sebagai sarana komunikasi dan informasi antara dokter
dan pasien, juga dapat berfungsi sebagai sarana administrasi bila kegiatan itu
dilakukan di rumah sakit. Fungsi legal dari RM adalah sebagai alat bukti bila
terjadi silang pendapat/tuntutan dari pasien, dan di lain pihak sebagai
perlindungan hukum bagi dokter. Yang penting ialah bahwa RM yang merupakan
catatan mengenai dilakukannya tindakan medis tertentu itu secara implisit juga
mengandung Persetujuan Tindakan Medik
(yang didasarkan pada “ informed
consent “), karena tindakan medis tertentu itu tidak ada persetujuan dari pasien.
Dengan demikian, apabila RM yang mempunyai multifungsi tersebut dikaitkan
dengan Pasal 184 KUHAP, maka RM selain berfungsi sebagai alat bukti surat
juga berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli .
Mengenai alat bukti surat ini, menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP
adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita
acara, akta, surat keterangan atau surat yang lain yang mempunyai kaitan dengan
perkara yang disidangkan. Syarat mutlak untuk menentukan dapat tidaknya surat
dikategorikan sebagai alat bukti ialah surat tersebut harus dibuat di atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
Dalam kaitannya dengan hubungan dokter-pasien dalam hal terjadi
kesalahan/kelalaian dokter dala melaksanakan profesinya
yang berkibat
merugikan pasien, ada 4 (empat) macam surat yang dihasilkan dari hubungan
tersebut, yaitu (1) kartu berobat ( medical card ); (2) persertujuan tindakan medik
( PERTINDIK berdasarkan informed consent); (3) Rekam Medik (medical
record); dan (4) resep dokter (medical resipe). Dengan demikian maksud dari
ketentuan Pasal 187 KUHAP tersebut ialah agar para pejabat yang mempunyai
wewenang untuk membuat surat itu tidak perlu menghadap sendiri di persidangan,
karena surat-surat yang mereka tandatangani atas/berdasar sumpah jabatan itu
12
cukup dibacakan di persidangan. Ini berarti bahwa dari segi formal, surat sebagai
alat bukti merupakan alat bukti yang sempurna. Namun demikian, penetapan
suatu surat sebagai alat bukti di persidangan sepenuhnya tergantung pada
persetujuan Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Selanjutnya dikaitkan dengan alat bukti “ petunjuk “ , macam-macam
surat yang dihasilkan dari hubungan terapeutik tersebut, kiranya dapat
juga
dikualifikasikan sebagai alat bukti tersebut. Menurut ketentuan Pasal 188 ayat
(1)(2)(3)
KUHAP,
yang
dimaksud
dengan
petunjuk
adalah
perbuatan/kejadian/keadaan yang karena persesuaiannya dengan tindak pidana
menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana. Kata menandakan dalam Pasal
188 ayat (1) KUHAP tersebut menunjukkan adanya kemungkinan untuk diperoleh
kepastian mutlak bahwa terdakwa
bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, sehingga dari kata-kata yang digunakannya dapat
dijadikan sebagai petunjuk untuk membuktikan tindak pidana yang telah
dilakukan terdakwa. Alat bukti petunjuk mempunyai kekuatan apabila terdapat
persesuaian antara perbuatan dengan kejadian/keadaan. Oleh karena itu penilaian
terhadap kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 ayat (3)
KUHAP dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana dalam setiap keadaan
tertentu, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan teliti berdasarkan
hati nuraninya serta informasi yang diperoleh dari proses penanganan upaya
pelayanan kesehatan. Hakim dengan demikian harus mengetahui dan mencari
kebenaran yang sejati, apakah suatu kegagalan dalam pelayanan medis
(malpraktek) disebabkan oleh error in persona ataukah error in objectanya. Sifat
kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti keterangan
saksi, keterangan ahli, dan surat yang mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang
bebas. Di sinilah kekuatan alat bukti petunjuk dala meyakinkan hakim mengenai
tindakan yang didakwakan karena hukum pidana modern menyatakan bahwa
celaan dari suatu tindakan tidak terletak pada adanya hubungan antara keadaan
batin pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya, tetapi pada penilaian dari
hubungan itu.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di
sidang pengadilan. Dalam kasus-kasus di mana dokter merupakan salah satu pihak
(kasus-kasus kesalahan/kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi/malpraktek),
salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pembuktian ialah membuktikan
unsur kesalahan. Oleh sebab peranan ahli sangat penting dalam menyelesaikan
hal tersebut.
3.2 Saran
Untuk mencegah terjadinya kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan
profesi, dokter seharusnya berpegang teguh pada lafal sumpah dokter, kode etik
kedokteran Indonesia dan standar pelayanan kesehatan dan pelayanan medik.
DAFTAR BACAAN
Amien, Fred, 1986, Berbagai Kecenderungan Dalam Hukum Kedokteran Di
Indonesia, Makalah, Jakarta.
Carnahan, Charles Wendell, 1955, The Dentist and the Law, CV. Mosby
Company, second printing, United States of America.
Harahab, M. Yahya, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Jilid II, Pustaka Kartini.
Guwandi, J, Perkara Tindak Pidana Medik ( Medical Malpractice ), Kompas
tanggal 5 Mei 1987.
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1998, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak),
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muhammad, Kartono, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran,, Makalah
dalam Simposium Kedokteran- Diselengarakan oleh BPHN
Depkeh kerjasama dengan IDI, Jakarta, 6-7 Juni 1983.
14
Mariyati, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran Dari segi Hukum Pidana dan
Perdata, Bina aksara, Jakarta.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749a/Menkes/PER/XII/1989 tentang Rekam
Medis (RM).
15
Download