PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN, TIPE INDUSTRI, UKURAN PERUSAHAAN, PERUSAHAAN BUMN DAN NON BUMN TERHADAP LUAS PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL (CSR DISCLOSURE) PADA PERUSAHAAN DI BEI TAHUN 2009 DESIE RAKHMAWATI MUCHAMMAD SYAFRUDDIN Abstract The research aims to analyze ownership structure, industri tipe, firm’s size, the statute’s of company that influencing the disclosure of Corporate Social Responsibility (CSR) at the corporate’s Annual Reports in Indonesia. The population in this research are all of Indonesian firms in Indonesian Stock Exchange (IDX) 2009. Total sample in this research are 82 firms that selected with purposive sampling. Using content analysis to analyze the CSR disclosure with global annual reporting (GRI). Data analyze with test of classic assumption dan examination of hypothesis with multiple linear regression method. Result of this research indicates industry’s type, firm’s size, statute’s of company had a significant effect to CSR disclosure in Indonesia. In the other hand, foreign ownership and institutional ownership didn’t success to give positive influence for Corporate Social Responsibility Disclosure in Indonesia. Keywords : Corporate Social Responsibility (CSR Disclosure),Ownership Structure, Industry Type, Firm’s Size, statute’s of company. 1 1. PENDAHULUAN Pemahaman mengenai CSR dapat dilihat melalui dua sudut pandang, yaitu CSR berdasarkan teori dan CSR berdasarkan realita atau fakta yang terjadi (Syafrudin, 2010). Sudut pandang yang pertama adalah CSR berdasarkan teori seperti yang diungkapkan oleh (Daniri, 2008) yang dikutip dalam Machmud dan Djakman (2008) menyatakan bahwa CSR adalah pengungkapan di dalam laporan tahunan yang tidak hanya berpijak pada single bottom line yaitu nilai perusahaan (corporate value), tetapi juga berpijak pada triple bottom lines yaitu keuangan, sosial dan lingkungan. CSR berpijak pada triple bottom lines dikarenakan apabila perusahaan hanya memperhatikan keuangannya saja, maka perusahaan tersebut tidak dapat menjamin nilai perusahaan secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan nilai perusahaan diharapkan agar perusahaan dapat memperoleh laba dalam jangka panjang. Sudut pandang yang kedua adalah CSR berdasarkan realita atau fakta yang terjadi yaitu kegiatan perusahaan yang menyangkut kegiatan sosial contohnya program CSR yang dijalankan oleh setiap perusahaan. Selain itu, pada perusahaan BUMN, program CSR diwujudkan dalam PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) sesuai dengan SK No. 236/MBU/2003. PKBL merupakan kewajiban perusahaan milik Negara dalam bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitarnya untuk bidang sosial, keagamaan, dan ekonomi masyarakat baik kegiatan pengembangan masyarakat (community development) maupun program kemitraan di bidang ekonomi. Pengungkapan CSR meliputi bidang ekonomi, sosial dan lingkungan di dalam laporan tahunan perusahaan dilakukan untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas dan transparansi korporat kepada investor atau stakeholders. Selain itu, pengungkapan CSR merupakan suatu media untuk menjalin komunikasi yang baik dengan stakeholders bahwa perusahaan telah mengungkapkan Corporate Sosial Responsibility (Darwin, 2007). Melalui pengungkapan CSR, perusahaan dapat memperoleh legitimasi social sehingga perusahaan dapat memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam 2 jangka panjang melalui respon positif masyarakat pada para pelaku pasar saham (Kiroyan, 2006) dalam Sayekti dan Wondabio (2007). Perkembangan CSR di Indonesia semakin dibutuhkan seiring dengan banyaknya perusahaan multinasional maupun perusahaan transnasional. Perusahaan asing yang telah beroperasi di Indonesia terutama perusahaan Eropa dan Perusahaan dari United of states lebih memperhatikan masalah sosial dan lingkungan. Hal ini diungkapkan oleh (Simerly dan Li) dalam penelitian Machmud dan Djakman (2008) bahwa kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Negara-negara Eropa dan Amerika merupakan negara-negara yang sangat memperhatikan isu-isu sosial; seperti pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan isu lingkungan seperti, efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air. Struktur kepemilikan lain yang memperhatikan masalah tanggung jawab sosial adalah struktur kepemilikan institusional. Menurut Machmud dan Djakman (2008) semakin besar kepemilikan saham institusional maka semakin efektif pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan aktiva yang dilakukan oleh manajemen. Hal ini dapat menjadi pendorong bagi perusahaan untuk melakukan pengungkapan terhadap tanggung jawab sosial. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan juga dipengaruhi oleh tipe industri perusahaan. Perusahaan high profile lebih mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan dibandingkan perusahaan low profile. Ukuran perusahaan juga mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Semakin besar perusahaan, semakin laus pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dibandingkan perusahaan kecil. Menurut Suripto (1999) bahwa umumnya perusahaan besar umumnya memiliki aktiva yang besar, penjualan besar, skill karyawan yang baik, system informasi yang canggih, jenis produk yang banyak, struktur kepemilikan lengkap, sehingga membutuhkan tingkat pengungkapan secara luas. 3 Status perusahaan sebagai perusahaan BUMN maupun Perusahaan Non BUMN juga mempengaruhi luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan BUMN lebih luas dalam mengungkapkan tanggung jawab social perusahaan (CSR Disclosure) karena perusahaan BUMN sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah atau negara atau rakyat. Dalam melakukan kegiatan operasionalnya, BUMN diawasi langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan reprersentasi dari rakyat (Yuliarto, 2001). Pentingnya pengungkapan CSR di dalam laporan tahunan perusahaan bagi stakeholders, memunculkan konsep akuntansi baru yang disebut Sosial Responsibility Accounting (SRA) (Anggraini, 2006). SRA merupakan perkembangan akuntansi konvensional (mainstream accounting) yang telah banyak di kritik oleh masyarakat karena tidak dapat memenuhi kepentingan mayarakat secara luas. Selama ini akuntansi hanya bertujuan sebagai pertanggungjawaban manajemen kepada pemilik saham sedangkan di dalam SRA, pertanggungjawaban diperluas kepada seluruh stakeholders. Selain itu, perkembangan CSR di Indonesia di dukung dengan adanya aturan pemerintah . Undang-undang Perseroan Terbatas Nomer 40 Tahun 2007 pasal 66 dan 74 menyatakan bahwa ; (1) pasal 66 ayat (2) bagian c menyebutkan bahwa selain menyampaikan laporan keuangan, perusahaan juga diwajibkan melaporkan tanggung jawab sosial dan lingkungan, (2) pasal 74 menjelaskan bahwa perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Kewajiban pengungkapan CSR juga diatur dalam undang-undang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 pasal 15 bagian (b), pasal 17, dan pasal 34 yang mengatur bahwa setiap penanaman modal diwajibkan untuk ikut serta dalam tanggung jawab sosial. Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial memainkan peranan penting bagi perusahaan karena perusahaan hidup di lingkungan masyarakat dan kemungkinan aktivitasnya memiliki dampak sosial dan lingkungan. Pengungkapan tanggung jawab sosial merupakan alat manajerial yang digunakan perusahaan untuk menghindari konflik sosial dan lingkungan. Selain itu, 4 pengungkapan tanggung jawab sosial dapat dipandang sebagai wujud akuntanbilitas perusahaan kepada publik untuk menjelaskan berbagai dampak sosial yang ditimbulkan perusahaan (Ghozali dan Chariri, 2007). Penelitian terdahulu tentang pengungkapan CSR yang telah dilakukan di Indonesia adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Anggraini (2006) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam mengungkapkan CSR. Penelitian Anggraini berhasil menemukan faktor-faktor kepemilikan manajemen dan tipe industri menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan untuk melakukan pengungkapan CSR. Penelitian Rosmasita (2007) berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR dalam perusahaan manufaktur antara lain : kepemilikan manajemen, laverege, ukuran perusahaan dan profitabilitas. Penelitian lain juga dilakukan oleh Puspitasari (2009) menemukan bahwa faktor kepemilikan saham asing, kepemilikan saham publik, ukuran industri dan tipe industri berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR di Indonesia. Ketidakkonsistenan penelitian terdahulu ditunjukkan oleh penelitian Machmud dan Djakman (2008) bahwa kepemilikan asing dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan adanya ketidakkonsistenan yang dilakukan pada penelitian terdahulu, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul : “ Pengaruh struktur kepemilikan, tipe industri, ukuran perusahaan, perusahaan BUMN dan Non BUMN terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR Disclosure) pada perusahaan yang tercatat di BEI tahun 2009” 2. TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori legitimasi merupakan dasar yang digunakan dalam pengungkapan sosial maupun lingkungan (Deegan, et., al, 2002; Gray et., al, 1995; Patten, 1992; Woodward et.,al ,1996; Barkmeyer, 2007). Definisi legitimasi dijelaskan oleh (Suchman 1995; Barkemeyer 2007) bahwa 5 “ legitimacy is a generalized perception or assumption that the action of an entity are desirable, proper, or appropriate within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions” Legitimasi digunakan oleh perusahaan untuk tidak hanya memaksimalkan keuntungan tetapi juga mempertahankan eksistensi perusahaan dalam jangka panjang (Barkmeyer, 2007). Teori agency digunakan dalam pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan karena berhubungan dengan perilaku manajer. Pemilik perusahaan sebagai principal dan manajer sebagai agen memiliki motivasi tujuan yang berbeda dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Hal inilah yang menimbulkan terjadinnya asimetri informasi. Eishenhardt dalam Waryanto 2010 menjelaskan tiga sifat dasar manusia yaitu : 1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest); 2) manusia memiliki persepsi terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationally); 3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan uraian ini maka, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan manajer akan memiliki sifat oppurtinistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Kepemilikan asing dijelaskan oleh Undang-undang No. 25 Tahun 2007 pada pasal 1 angka 6 kepemilikan asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia. Multinational Corporation (MNC) melihat keuntungan jangka panjang melalui legitimasi yang diperoleh dari para stakeholder yang didasarkan atas home market (pasar saham) tempat perusahaan itu beroperasi (Barkmeyer, 2007). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepemilikan saham asing pada perusahaan yang telah beroperasi di Indonesia lebih mengutamakan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian Tanimoto dan Suzuki (2005) menggunakan GRI sebagai pedoman dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan public di 6 Jepang menemukan bahwa kepemilikan asing berpengaruh terhadap adopsi GRI dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian Machmud dan Djakman menggunakan struktur kepemilikan menjadi pendorong dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial menemukan hasil bahwa kepemilikan asing tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan adanya ketidakkonsistenan penelitian terdahulu, maka peneliti ingin menguji kembali dan ditariklah hipotesis yaitu : H1 : kepemilikan asing berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR Disclosure) Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham oleh institusi pemerintah, institusi keuanga, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri serta institusi lainnya pada akhir tahun (Shien., et.al, dalam Ramadhan, 2010). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar (lebih dari 5%) mengindikasikan bahwa kemampuannya untuk memonitor manajemen menjadi lebih besar (Arif, 2006) dalam Mahmud dan Djakman (2008) Hal ini juga dikemukakan oleh Shleifer dan Vishny (1986) dalam Barnae dan Rubin (2005) bahwa institusional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Ramadhan (2010) tentang pengaruh struktur kepemilikan dan karakteristik perusahaan terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan Tahun 2006-2009 menemukan bahwa kepemilikan institusional yang besar berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Barnae dan Rubin (2005) tentang “Corporate social responsibility as a conflict between shareholders” memberikan hasil bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan adanya ketidakselarasan hasil penelitian, maka peneliti 7 ingin menguji kembali kepemilikan institusional sehingga disimpulkan hipotesis yaitu : H2 : Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR Disclosure) Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji pengungkapan sosial pada berbagai perusahaan yang memiliki perbedaan karakteristik. Salah satunya adalah tipe industri (industri profile) yaitu industri high profile dan low profile. Robberts (1992) dalam Hackston dan Milne (1996) mendefinisikan industri high-profile adalah industri yang memiliki visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi, atau menghadapi persaingan yang tinggi. Sedangkan lowprofile companies didefinisikan sebagai perusahaan yang memiliki tingkat consumer visibility dan political visibility yang rendah. Pada penelitian ini industri yang dikategorikan sebagai high pofile adalah industri di bidang migas, pertambangan, kertas, agrobisnis, dan telekomunikasi. Alasan pemilihan industri tersebut adalah perusahaan-perusahaan tersebut merupakan regulated company. Adapun regulasi yang berkaitan dengan bidangbidang tersebut antara lain : 1. Undang-undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 2. Undang-undang Pertambangan Umum No. 11 Tahun 1967 3. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 mengenai Kinerja Pengelolaan Lingkungan Perusahaan 4. Undang-undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999 dimana menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi salah satunya mengikutsertakan peran masyarakat 5. Peraturan yang berhubungan dengan hak pengelolaan Hutan. 8 Perusahaan high profile merupakan perusahaan yang mendapat sorotan dari masyarakat luas karena aktivitas operasinya berpotensi untuk berhubungan dengan masyarakat banyak. Oleh karena itu, pengungkapan tanggung jawab social perusahaan diperlukan mempertanggungjawabkan sebagai media oleh perusahaan untuk pelaporan kegiatan social yang telah diberikan kepada masyarakat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan hipotesis yaitu : H3 : Tipe industri berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR Disclosure) Ukuran perusahaan digunakan sebagai variabel dalam pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan. Pada umumnya perusahaan besar memiliki informasi yang lebih lengkap sehingga besar kemungkinan pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial pada perusahaan besar tersebut. Suripto (1999) menyatakan bahwa perusahaan besar umumnya memiliki jumlah aktiva yang besar, penjualan besar, skill karyawan yang baik, sistem informasi yang canggih, jenis produk yang banyak, struktur kepemilikan lengkap, sehingga membutuhkan tingkat pengungkapan secara luas. Hal ini dikaitkan dengan teori agensi, dimana perusahaan yang besar yang memiliki biaya keagenan yang besar akan mengungkapkan informasi secara luas untuk mengurangi biaya keagenan. Selain itu, perusahaan besar memiliki emiten yang banyak disoroti, sehingga pengungkapan yang lebih luas dapat mengurangi biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Sembiring, 2005). Dari penjelasan diatas, maka dapat ditarik hipotesis yaitu : H4 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR Disclosure) Status perusahaan terbagi menjadi perusahaan BUMN dan Non BUMN. Berdasarkan SK No. 236/MBU/2003 bahwa perusahaan BUMN diwajibkan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan melalui PKBL. 9 Perusahaan BUMN lebih luas dalam mengungkapkan tanggung jawab social perusahaan (CSR Disclosure) karena perusahaan BUMN sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah atau negara atau rakyat. Dalam melakukan kegiatan operasionalnya, BUMN diawasi langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan reprersentasi dari rakyat (Yuliarto, 2001). PKBL terdiri dari dua program yaitu PK yang berarti Program Kemitraan dan BL yang berarti Bina Lingkungan. Pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui dua pemanfaatan dari bagian laba BUMN, maksimal dua persen dari laba setelah pajak. Sumber dananya bisa juga dari hasil bunga deposito atau dana jasa giro dari dana program BL. Ruang lingkup program BL adalah untuk korban bencana alam, pendidikan dan atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan prasarana dan atau sarana umum, bantuan untuk prasarana ibadah, dan bantuan untuk pelestarian alam (Warta, 2007). Dari penjabaran diatas, maka dapat ditariklah hipotesis yaitu : H5 : Status perusahaan berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR Disclosure) Berdasarkan uraian hipotesis, kerangka pemikirannya adalah Variabel Independen Variabel Dependen Kepemilikan Asing (+) Kepemilikan Institusional (+) Tipe Industri (+) (+) Ukuran Perusahaan . Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) (+) Kategori BUMN dan Non BUMN 10 3. METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009. Dari 402 perusahaan terpilih 82 perusahaan sebagai sampel penelitian karena faktor ketidaksesuaian dengan data yang dibutuhkan baik kelengkapan informasi yang disediakan, kondisi serta ketersediaan yang dibutuhkan dalam pengujian. Penelitian ini hanya melihat pengungkapan tanggung jawab sosial pada laporan tahunan 2009. 3.2 Operasionalisasi Variabel 3.2.1 Variabel Dependen Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah Corporate Social Disclosure Index (CSDI) dengan menggunakan indicator GRI yang terdiri dari economic, environment, Labour practices, human rights, society and product responsibility. Content analysis untuk melihat pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan tahunan menggunakan nilai 1 jika terdapat pengungkapan sesuai dengan indicator GRI dan nilai 0 jika tidak terdapat pengungkapan atau pengungkapan tidak sesuai dengan indicator GRI. 3.2.3 Variabel Independen 1. Kepemilikan Asing Kepemilikan asing dalam penelitian ini menggunakan prosentase saham asing (>5%) di dalam laporan tahunan pada tahun 2009. 2. Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional dalam penelitian ini menggunakan prosentase saham institusi (>5%) di dalam laporan tahunan pada tahun 2009. 3. Tipe Industri Tipe Industri pada penelitian ini menggunakan nilai 1 jika perusahaan termasuk dalam regulated company (high profile) meliputi bidang pertambangan, migas, kertas, agribisnis dan telekomunikasi. Sedangkan nilai 0 untuk perusahaan low profile.Undang-undang yang menjadi dasar perusahaan yang termasuk dalam regulated company adalah : 11 1. Undang-undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 2. Undang-undang Pertambangan Umum No. 11 Tahun 1967 3. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 mengenai Kinerja Pengelolaan Lingkungan Perusahaan 4. Undang-undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999 dimana menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi salah satunya mengikutsertakan peran masyarakat 5. Peraturan yang berhubungan dengan hak pengelolaan Hutan. 4. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan pada penelitian ini menggunkan (log asset) yang dimiliki oleh perusahaan di dalam laporan tahunan pada tahun 2009. 5. Status Perusahaan Status perusahaan terbagi menjadi perusahaan BUMN dan Non BUMN. Perusahaan BUMN lebih mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan karena sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah yang merupakan intepretasi dari rakyat sehingga diperlukan pengungkapan tanggung jawab sosial secara luas. Selain itu, perusahaan BUMN memiliki kewajiban mengungkapkan tanggung jawab sosial sesuai dengan SK No.236/MBU/2003 melalui program PKBL. Perusahaan BUMN diberi angka 1 dan Non BUMN diberi angka 0. (Program Kemiteraan dan Bina Lingkungan). PKBL terdiri dari dua program yaitu PK yang berarti Program Kemitraan dan BL yang berarti Bina Lingkungan. Program kemitraan diberikan dalam bentuk dana kepada masyarakat yaitu : 12 a. Pinjaman untuk membiayai modal kerja Dana ini digunakan untuk pembiayaan modal kerja atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan penjualan. b. Pinjaman khusus Dana ini diberikan untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha mitra binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha mitra binaan; c. Beban Pembinaan 1. Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi dan hal lain yang menyangkut peningkatan produktivitas mitra binaan serta untuk pengkajian atau penelitian yang berkaitan dengan pogram kemitraan; 2. Beban pembinaan bersifat hibah dan besarnya bersifat 20 persen dari dana program kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan; 3. Beban pembinaan hanya dapat diberikan kepada atau untuk kepentingan mitra binaan. Progam bina lingkungan (BL) adalah progam pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui dua pemanfaatan dari bagian laba BUMN, maksimal dua persen dari laba setelah pajak. Sumber dananya bisa juga dari hasil bunga deposito atau dana jasa giro dari dana program BL. Ruang lingkup program BL adalah untuk korban bencana alam, pendidikan dan atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan prasarana dan atau sarana umum, bantuan untuk prasarana ibadah, dan bantuan untuk pelestarian alam. 13 3.3 Model Penelitian Penelitian ini menggunakan model regresi berganda yaitu : CSDIi = �0 + �1 ASING i + � 2 INST i + � 3 TIPE i + � 4 AKTi +� 5 BUMN/NONi + � Keterangan: CSDI : Corporate Sosial Disclosure Index perusahaan j berdasarkan Indikator GRI ASING i : persentase kepemilikan asing (> 5%) INST i : persentase kepemilikan institusi (>5%) TIPE I : Tipe Industri, high profile = 1, low profile = 0 SIZE i : Ukuran perusahaan, log asset BUMN/Non : Perusahaan BUMN = 1, Non BUMN = 0 �0 - � 2 : Koefisien yang di estimasi �i : error term i : 1,2,..., N dimana N : banyaknya observasi 4. ANALISIS HASIL PENELITIAN 4.1 Analisis deskriptif terhadap Indikator GRI pada Perusahaan Sampel Pada perusahaan Agribisnis pengungkapan tanggung jawab GRI rata-rata sebesar 90% karena perusahaan agribisnis merupakan perusahaan regulated company sehingga secara regulasi perusahaan tersebut memiliki kewajiban mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Pada perusahaan Mining rata-rata pengungkapan tanggung jawab sosial sebesar 95% karena selain perusahaan tersebut tergabung dalam regulated company, perusahaan mining memiliki risiko yang tinggi bagi para pekerja dan efek untuk menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekositem sangat besar. Oleh karena itu, selain adanya regulasi yang mewajibkan pengungkapan tanggung jawab sosial, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap segala efek negatif 14 yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan melalui pengungkapan tanggung jawab sosial di dalam laporan tahunan. Pada perusahaan yang tergabung dalam finance, pengungkapan tanggung jawab sosial rata-rata sebesar 51% karena pengungkapan pada indikator environment di dalam GRI tidak dapat secara kesekuruhan dipenuhi. Hal itu disebabkan operasional perusahaan finance tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan sehingga pengungkapan tanggung jawab sosial sesuai dengan indikator GRI tidak dapat diungkapkan secara luas dan lengkap. Pada perusahaan yang bergerak di bidang transportasi juga tidak dapat mengungkapkan tanggung jawab sosial sesuai dengan indikator GRI secara luas karena sebagian besar perusahaan transportasi di Indonesia belum semuanya memperhatikan dampak emisi yang ditimbulkan dari asap kendaraan serta pada umumnya perusahaan hanya memperhatikan masalah sosial khususnya pada bidang economic and social khususnya community. Oleh karena itu, pengungkapan tanggung jawab sosial sesuai indikator GRI hanya sebesar 48%. Perusahaan manufaktur rata-rata mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan sebesar 49%. Perusahaan manufaktur pada umumnya mengutamakan economic and society yang bersifat mendadak dan tidak berkelanjutan jangka panjang seperti pemberian kepada korban bencana alam atau pemberian bantuan kepada yayasan tertentu yang besarnya nilai material yang diberikan juga tidak menentu. Oleh karena itu, pengungkapan tanggung jawab sosial sesuai dengan indikator GRI tidak dapat secara lengkap dipenuhi. 4.3 Hasil Uji Asumsi Klasik Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal menggunakan metode kolmogorov-smirnov dengan nilai p= 0,289. Sedangkan hasil uji Multikolinearitas memberikan hasil yaitu nilai TOL berkisar antara 0,211 sampai dengan 0,799 dan nilai VIF berkisar antara 1,252 sampai dengan 4,748. Hasil ini menunjukkan tidak adanya multikolinearitas karena TOL lebih besar dari 15 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10. Pada penelitian ini tidak menggunakan autokorelasi karena penelitian hanya satu tahun. 4.4. Hasil Uji Hipotesis (Uji t) 1. Kepemilikan Asing Berdasarkan data hasil penelitian uji t membuktikan bahwa kepemililikan asing tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR disclosure) pada perusahaan di Indonesia tahun 2009. Nilai sig sebesar 0,762 Berdasarkan hal ini bahwa hipotesis pertama H1 “Kepemilikan asing berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial”, ditolak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa investor yang memiliki saham asing di perusahaan Indonesia tidak menuntut pengungkapan CSR secara luas khususnya sesuai dengan indikator GRI. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Marwata (2006) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara struktur kepemilikan asing terhadap pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan Indonesia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Machmud dan Djakman juga menjelaskan bahwa kepemilikan asing tidak mempengaruhi luas pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan tahunan perusahaan di BEI tahun 2006. Selain itu, nilai B pada hasil uji t menghasilkan koefisien dengan arah negatif atau minus 0,05. Artinya setiap kenaikan kepemilikan asing sebesar 1% maka pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan akan mengalami penurunan sebesar 0,05 atau 5%. Alasan yang dapat digunakan adalah kemungkinan kepemilikan asing pada perusahaan di Indonesia belum secara umum mempedulikan masalah lingkungan dan sosial sebagai isu kritis yang harus secara ekstensif diungkapkan di dalam laporan tahunan terutama sesuai dengan indikator GRI (Machmud dan Djakman, 2008). 16 Walaupun negara asing terutama Eropa dan United of States lebih memperdulikan masalah lingkungan dan sosial tetapi, kemungkinan kepemilikan saham asing di perusahaan Indonesia tergolong masih kecil sehingga dikonsolidasikan dengan perusahaan induk di negara asal. Oleh karena itu, kurang memperhatikan pengungkapan atau menuntut pengungkapan CSR secara luas pada laporan tahunan khususnya sesuai dengan indikator GRI (Machmud dan Djakman, 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kepemilikan saham asing pada perusahaan di BEI tahun 2009 tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan karena sebagian besar perusahaan sampel merupakan perusahaan yang sector industrinya tidak wajib untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial secara luas sesuai dengan indicator GRI. Contohnya perusahaan finance, Transportasi, Real Estate, Manufaktur, Wholesale and Retail tidak mengungkapkan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan terutama indicator lingkungan karena kegiatan operasional perusahaan tidak merugikan atau merusak ekosistem sekitar dan perusahaan unregulated company lebih mengutamkan tanggung jawab sosial dalam bidang sosial khususnya yang bersifat community. Hanya beberapa perusahaan dengan kepemilikan saham asing tinggi dan mengungkapkan tanggung jawab sosial secara luas contohnya PT. International Nickel Indonesia, PT. Bayan Resourches dan PT. PP London Sumatera karena perusahaan tersebut bergerak pada sector pertambangan sehingga termasuk dalam regulated company. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan saham asing pada perusahaan di Indonesia tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan indicator GRI karena sector industri perusahaan-perusahaan di Indonesia belum dapat memenuhi semua criteria yang ada pada indicator di GRI. Hal ini disebabkan karena kegiatan operasional perusahaan tidak merugikan masyarakat sekitar khususnya lingkungan. 17 2. Kepemilikan Institusional Berdasarkan hasil uji t, variabel kepemilikan institusional (Shm_Ins) memiliki nilai sig sebesar 0,784 maka lebih besar dari 0,05. Koefisien berarah negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis 2 atau H2 “ kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR Disclosure)” ditolak. Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada perusahaan yang tercatat di BEI tahun 2009 pada laporan tahunan khususnya sesuai dengan indikator GRI.. Koefisien berarah negatif atau minus 0,047 yang artinya bahwa jika kepemilikan institusional naik sebesar 1% , maka kepemilikan institusional akan mengalami penurunan sebesar 0,047 atau 4,7%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin rendah atau berkurang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada laporan tahunan khususnya sesuai dengan indikator GRI. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Barnae dan Rubin (2005) dalam melihat konflik CSR diantara shareholders yang memberikan hasil bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR Disclosure). Alasan yang digunakan oleh Barnae dan Rubin (2005) bahwa apabila tingkat kepemilikan saham instiusional tinggi maka semakin tinggi pula keinginan pemilik saham terutama dana pensiun untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini dapat dihubungkan dengan teori agency bahwa terjadi perbedaan tujuan antara manajemen dan pemilik. Manajemen memiliki kewajiban mengungkapkan informasi yang luas tentang tanggung jawab sosial perusahaan tetapi pemilik memiliki wewenang untuk mendelegasikan perintah kepada manajemen dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, pemilik yang mengutamakan keuntungan dengan saham institusional yang tinggi, dana yang dialokasikan untuk CSR semakin berkurang akibatnya pengungkapan tanggung jawab sosial pada laporan 18 tahunan sesuai dengan indikator GRI tergolong rendah atau akan mengalami penurunan jika kepemilikan saham institusional tinggi. Asumsi bahwa semakin tingginya kepemilikan saham institusional dapat memonitor dalam pengambilan keputusan oleh manajemen ditolak dengan hasil penelitian ini. Oleh karena itu, apabila kepemilikan institusional di dalam perusahaan meningkat maka akan semakin menurunkan tingkat pengungkapan CSR karena pemilik saham institusional hanya memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan keuntungan shareholders yang lain (Barnae dan Rubin 2005). 3. Tipe Industri Variabel tipe industri memberikan nilai sig sebesar 0,009 < 0,05. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa hipotesis 3 atau H3 “tipe industri berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dalam laporan tahunan perusahaan di BEI tahun 2009” diterima. Dapat dikatakan bahwa perusahaan yang termasuk dalam regulated campany dituntut untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan di dalam laporan tahunan sesuai dengan indikator GRI pada perusahaan di BEI tahun 2009. Perusahaan yang termasuk dalam regulated company yaitu : industri di bidang migas, pertambangan, kertas, agrobisnis dan telekomunikasi. Perusahaan regulated company di tuntut adanya pengungkapan CSR karena sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2001, UU No. 11 Tahun 1967, UU No.23 Tahun 1997, UU No.36 Tahun 1999 dan UU yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Hasil penelitian ini konsisten dengan peelitian Hackstone dan Milne (1996) dan penelitian yang dilakukan oleh Kasmadi dan Susanto (2006). 4. Ukuran perusahaan Variabel ukuran perusahaan (log_Asset) menghasilkan nilai sig sebesar 0,015 sehingga hipotesis atau H4 “ ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR disclosure) diterima. Hal ini memperkuat Jensen dan Meckling (1976) bahwa perusahaan besar 19 cenderung mengungkapkan informasi yang lebih luas, sebagai upaya untuk mengurangi biaya keagenan. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Chow dan Wong Boren (1987) dan penelitian Tanimoto dan Suzuki (2005) bahwa semakin besar perusahaan maka inisiatif dalam mengungkapkan CSR akan semakin tinggi. 5. Status Perusahaan Status perusahaan terbagi dalam perusahaan BUMN dan Non BUMN. Status perusahaan BUMN berdasarkan hasil uji t dijelaskan bahwa nilai sig sebesar 0,014 maka hipotesis lima atau H5“ Perusahaan BUMN berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan” diterima. Disimpulkan bahwa perusahaan BUMN dituntut untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR Disclosure) pada laporan tahunan sesuai dengan indikator GRI pada perusahaan di BEI tahun 2009 dibandingkan perusahaan Non BUMN. Hal ini dapat dinyatakan bahwa perusahaan BUMN dituntut untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR Disclosure) pada laporan tahunan sesuai dengan indikator GRI melalui program PKBL. PKBL sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu SK/ No. 236/MBU/2003 yang menyebutkan bahwa perusahaan BUMN harus mengeluarkan dana untuk PKBL sebesar maksimal 2% dari laba penyisihan setelah pajak. Perusahaan BUMN yang termasuk dalam sampel penelitian yaitu PT. Bukit Asam, PT. Timah, PT. Antam, Perusahaan Gas Negara, PT. Bank Tabungan Negara, PT. Bank Negara Indonesia, PT. Bank Rakyat Indonesia, PT. Kimia Farma, PT. Wijaya Karya, PT. Adhi Karya, PT. Jasa Marga, PT. Semen Gresik, PT. Telekomunikasi Indonesia. Program Kemiteraan diwujudkan dalam : 1. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan 20 2. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha mitra bianaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari mitra binaan 3. Beban pembianaan untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi, dan hal lain yang menyangkut produktivitas Mitra Binaan serta untuk pengkajian/ penelitian yang berkaitan dengan PK. Dana program BL diberikan dalam bentuk : 1)Bantuan bencana alam, 2) bantuan pendidikan dan / pelatihan 3) bantuan peningkatan kesehatan, 4) bantuan pengembangan prasarana dan / sarana umum, 5) bantuan sarana ibadah, 6) bantuan pelestarian alam. Pelaporan PKBL diwujudkan dalam sustainability report atau laporan CSR pada laporan tahunan perusahaan (Warta, 2007) 5. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN PENELITIAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menemukan hasil bahwa kepemilikan asing dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan tipe industri, ukuran perusahaan dan status perusahaan berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian ini tidak berhasil mendukung teori legitimasi bahwa perusahaan dengan kepemilikan asing melihat keuntungan legitimasi berasal dari para stakeholdernya melalui pasar saham (Barkmeyer, 2007). Akan tetapi, penelitian ini berhasil mendukung teori agency bahwa ada tekanan dari pihak principal terhadap agen sehingga terjadi asimetri informasi. Terjadinya asimetri informasi ketika manajemen memiliki informasi secara lengkap yang seharusnya diungkapkan oleh perusahaan. Akan tetapi, ada tekanan dari pihak pemilik (principal) untuk tidak mengungkapkan tanggung jawab social secara lengkap karena pihak pemilik mengutamakan keuntungan pribadi. 21 5.2 1. Keterbatasan Sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya berjumlah 82 perusahaan dari 402 perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2009 karena kesulitan dalam memperoleh annual report secara lengkap dan yang sesuai dengan kategori sampel penelitian. 2. Adanya unsure subjektivitas dalam menentukan indeks pengungkapan dengan menggunakan pedoman GRI. Hal ini disebabkan tidak adanya ketentuan yang baku yang dapat dijadikan pedoman atau acuan, sehingga penentuan indeks untuk indikator dalam kategori yang sama dapat berbeda pada setiap peneliti. 3. Ketidaksesuaian indicator GRI dengan setiap tipe industry perusahaan sehingga pengungkapan tanggung jawab social sesuai dengan indicator GRI tidak dapat secara luas dilaksanakan oleh semua tipe perusahaan. 4. Periode pengamatan hanya satu tahun sehingga kemungkinan belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya dalam pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. 5. Tingkat adjuster R2 masih rendah yaitu sebesar 22,9%. Berarti variabel selain yang digunakan dalam penelitian memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebesar 77,1%. 5.3 1. Saran Penelitian Pemerintah sebaiknya memberikan regulasi yang lebih jelas tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan khususnya aturan yang jelas dalam penggunaan pedoman dalam pengungkapan CSR agar pengungkapan CSR lebih meningkat. 2. Memperluas periode pengamatan tidak hanya satu tahun dengan tujuan dapat lebih jelas menggambarkan pengungkapan CSR di Indonesia. 22 3. Tingkat adjusted R2 masih rendah sehingga untuk penelitian selanjtnya sebaiknya menambah variabel atau menggunakan variabel lain selain yang digunakan dalam penelitian ini. 4. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini masih sedikit sehingga akan lebih baik jika penelitian yang akan dating sampel yang digunakan lebih banyak dari penelitian ini. Jumlah sampel yang lebih banyak akan menggambarkan pengungkapan CSR di Indonesia yang lebih luas karena mencakup keseluruhan berbagai sector industri. 23 DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Fr. RR. 2006. “ Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaanperusahaan yang Terdaftar Bursa Efek Jakarta)”. Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang. Barkmeyer, Ralf, 2007. “Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries” Paper for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth Reseach Centre (SDRC) School of Management, 28 May-06 June 2007. Barnae, Amir dan Amir Rubin, 2005. “Corporate Social Responsibilty as a Conflict Between Sahareholders”. Darwin, Ali, Akuntabilitas, 2006. “Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR bagi perusahaan di Indonesia”, IAI-KAM, eBAR, Edisi 3, Sepetember –Desember 2006. Darwin, Ali, 2007. “Jalan Panjang Audit Lingkungan” Akuntan Indonesia, 3 (1), 9-11,2007. Darwin, Ali, 2007. “Pentingnya Laporan Keberlanjutan”, Akuntan Indonesia, 3 (1), 14-12-2007 Darwin, Ali, 2007. “ The 2nd Sustainability Enterprise Performance Conference (SEPC)”, ISRA, Sepetember 2007. Fauzi, Hasan, 2006. “Corporate Social and Environment Perfomance: A Comparative Study Between Indonesian Companies and Multinational Companies (MNCs) Operating In Indonesia”, Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol.6, No.1, Februari 2006, hal. 87-100. 24 Hackstone, David dan Milne, Marcus J., 1996. “Some Determinants of Social and Environmental Disclosure in New Zealand Companies”, Accounting, Auditing and accountability Journal, Vol.9, No.1, p.77-108. IAI-KAM, 2007. “The 2nd Sustainability Sustainable Enterprice Performance Conference (SEPC)”. ISRA 2007, Sepetember 2007. Ghozali, Imam dan Anis Chariri, 2007. Teori Akuntansi. Badan Penerbit Undip. Semarang Ghozali, Imam, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi 2009,Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Kasmadi, dan Susanto, Djoko, 2006. “ Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Luas Pngungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan-perusahaan di Indonesia”, STIE YKPN, 2006. Kiroyan, Noke, 2006. “Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR) Adakah Kaitan Diantara Keduanya?”, IAI-KAM, eBAR, Edisi 3, Sepetember-Desember 2006. Kiroyan, Noke, 2007. “Menakar Laba Divisi Bala Bantuan”, Warta Ekonomi, 30-39, 2007. Machmud, Novita dan Chaerul D. Djakman. 2008. “ Pengaruh struktur Kepemilikan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan : Studi Empiris pada Perusahaan Publik yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006”. Simposium Nasional Akuntansi 11. Pontianak. Marwata, 2006. “Hubungan antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. XII, No.1, Maret 2006: 5966 25 Puspitasari, Apriani Daning. 2009. “ Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Sosial Resposibility (CSR pada Laporan tahunan Perusahaan di Indonesia”. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro. Ramadhan, Fauzan, 2010. “Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Karakteristik Perusahaan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Pada Laporan Tahunan Studi Empiris : Pada Perusahaan Manufaktur yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia Tahun 20062009”, Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro. Rosmasita, H. 2007. “ Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengungkapan Sosial (Sosial Disclosure) dalam Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta”. Skripsi tidak dpublikasikan. Universitas Islam Indonesia. Sayekti dan Wondabio, 2007.. “Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient”. Seminar Nasional Akuntansi X, Makasar 26-28 Juli 2007.. Sembiring, Edy Rismanda. 2005. “Pekembangan Corporate sosial Resposibility di Indonesia”. Simposium Nasional Akuntansi 8. Solo. Tanimoto, Kanji dan Suzuki, Kenji, (2005). “Corporate Social Resposibility In Japan: Analyzing The Participating Companies In Global Reporting Initiative”, Working Paper 208. Utomo, Muslim (2000). “Praktek Pengungkapan Sosial pada Laporan Tahunan Perusahaan di Indonesia : Studi Perbandingan antara Perusahaan-perusahaan High-Profile dan Low-Profile”, Seminar Nasional Akuntansi, 2000. Yuliarto, Pramudoyo Anton. 2001. “ Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan Sukarela dalam Laporan 26 Tahunan Perusahaan BUMN dan Non BUMN Periode 1996-1998”, Tesis Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro. Referensi Website Data Laporan Perusahaan 2009, diakses tanggal 11 Januari 2011, dari www.idx.co.id Data Laporan Perusahaan 2009, diakses tanggal 10 Maret 2011, www.idx.co.id Indikator GRI, diakses tanggal 18 Desember 2010, www.globalreporting.org AIA, Edisi 12, Oktober 2008, “CSR Voluntary or Mandatory” diakses tanggal 18 Desember 2010, www.google.com CSR ISO 26000, diakses tanggal 18 Desember 2010, www.iso.com 27 ��������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������������������������