BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN
KESADARAN HUKUM
1.1. Deskripsi Desa Pakraman Keramas
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab
IV Pasal 18 mengamanatkan bahwa Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa.
Dalam suatu pemerintahan daerah dikenal adanya desa. Pasal 1
angka (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan
definisi Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Desa Dinas dan Desa
Adat. Desa dinas adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
2
penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, termasuk didalamnya
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah, langsung di bawah camat, dan berhak melaksanakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa
dinas dikepalai seorang kepala desa. Desa dinas biasanya terdiri dari
beberapa banjar atau sekarang dikenal dengan dusun.
Desa Adat dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah No 6 Tahun
1986 Pada Pasal 1 huruf (e) yang menyatakan Desa Adat sebagai Desa
Dresta adalah Kesatuan masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah
Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.1
Sebelum penjajahan Belanda, di Bali telah dikenal beberapa istilah
yang mempunyai hubungan dengan suatu desa adat, yaitu : Sima, Dresta,
Lekita, Paswara, Awig-awig, Karaman atau karma dan Thani. Sima pada
mulanya berarti patok atas batas suatu wilayah yang tidak tertulis dan
berlaku dalam suatu masyarakat. Dresta pada mulanya berarti pandangan
masyarakat mengenai suatu tatakrama pergaulan hidup. Lekita berarti
catatan atau peringatan mengenai sesuatu kejadian di masyarakat. Paswara
berarti suatu keputusan atau perintah raja mengenai suatu masalah dalam
1
I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di
Propinsi Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar, hal.18.
3
masyarakat. Karaman yang kemudian berubah menjadi Krama yang
mulanya berarti kumpulan orang-orang tua (orang yang telah berumah
tangga) dan berkembang menjadi kumpulan masyarakat, Thani berarti
wilayah suatu desa.2
Istilah tersebut terdapat pula dalam prasasti Bali Kuno dan dalam
kesusastraan di Bali, dan yang paling dekat pengertiannya dengan desa
adalah Sima dan Karaman atau Krama, oleh karena itu desa adat di Bali
sebelumnya bernama desa-krama sedangkan anggota masyarakatnya disebut
krama-desa yang sampai saat ini masih hidup dalam masyarakat Hindu di
Bali.
Dalam perkembangannya, istilah desa berkembang menjadi desa
adat, sehingga pengertian adat dan Pakraman menjadi kabur. Selanjutnya
dalam era reformasi di tahun 2003, istilah desa pakraman dikembalikan
eksistensinya dan kembali lagi ke konsep aslinya, sehingga desa adat,
pakraman dan dresta itu adalah satu dengan istilah yang berbeda.
Desa adat merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang
diikat oleh adat istiadat atau hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan masyarakat setempat. Disamping itu, desa adat diikat pula oleh
tradisi dan tata krama. Tradisi merupakan kebiasaan luhur dari leluhur yang
diwariskan secara turun temurun, sedangkan tata krama adalah etika
pergaulan yang juga merupakan norma dalam kehidupan bermasyarakat.
2
I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman Dan Adat Bali, PT. OffsetBP, Denpasar,
hal 50-51.
4
Kesatuan masyarakat hukum telah diakui keberadaannya sejak
dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 tahun 1986
tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Peraturan
Daerah tersebut telah diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, selanjutnya Perda tersebut diubah
dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2003 tentang Revisi
Atas Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.
Pasal 1 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001
tentang Desa Pakraman, menyatakan bahwa :
Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi
Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata kraman
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus
rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat beberapa unsur dari
desa pakraman, antara lain :
a. desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
mempunyai tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu dalam ikatan kahyangan tiga.
b. desa pakraman memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri.
c. desa pakraman berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
5
Secara etimologis, desa pakraman berasal dari kata desa dan
pakraman. Desa berasal dari kata “dis” yang artinya patokan atau petunjuk
rohani. Sedangkan Pakraman berasal dari kata “grama” yang artinya “Desa”
Jadi desa pakraman adalah suatu panguyuban umat Hindu ditingkat desa
sebagai wadah bersama untuk mengamalkan ajaran agama Hindu yang
dianutnya. Paguyuban yang disebut desa pakraman ini tidak memiliki
hubungan struktural formal dengan sistem pemerintahan negara baik dari
pemerintahan jaman kerajaan sampai pada jaman kemerdekaan ini.
Desa pakraman adalah desa yang dilandasi oleh nilai-nilai religius.
Tradisi di Bali mengakui Mpu Kuturan adalah arsitek desa pakraman kirakira abad ke 10 masehi. Desa pakraman ada dan berlanjut di atas nilai-nilai
religius disamping nilai-nilai sosial kemasyarakatan, budaya dan ekonomi.
Nilai-nilai religius tersebut bersumber pada ajaran agama Hindu Bali, yang
telah mempunyai ciri dan identitas budaya itu sendiri. Ajaran yang abstrak
tersebut dibumikan dalam bentuk desa pakraman. Ajaran agama Hindu
isinya, desa pakraman wadahnya, agama Hindu mendapat nilai-nilai
kongkrit didalam desa pakraman. Desa Pakraman mencakup unsur manusia
(Pawongan),
wilayah
Desa
(Palemahan)
dan
wilayah
suci
(Parahyangan). Desa pakraman sering juga disebut desa adat, jadi apa yang
disebut desa adat dewasa ini sesungguhnya adalah desa pakraman. Desa
Pakraman itu pada hahikatnya adalah pengejawantahan ajaran agama Hindu
menata umatnya dalam suatu wilayah desa.
6
Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan
menyampaikan Raja Bali, berpegang teguh pada agama dalam menata
kehidupan kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan itu disebutkan pula bahwa
“Atas kehendak Sang Catur Warna mendirikan tempat pemujaan seperti
Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di desa Pakraman”.
Sebagaimana disebutkan dalam lontar Mpu Kuturan yang mendirikan desa
pakraman adalah sang Catur Warna, ini berarti desa pakraman adalah
wadah untuk mengembangkan empat profesi dan fungsi dalam rangka
mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama, dan
moksa. Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
berhak mengurus atau mengelola rumah tangganya sendiri mempunyai
konsekuensi untuk menetapkan seperangkat aturan atau ketentuan hukum
yang memuat ketentuan-ketentuan tentang praktek pengelolaan desa
pakraman.
1.1.1. Letak Geografis Desa Pakraman Keramas
Desa pakraman umumnya memiliki fungsi untuk menata dan
mengatur kehidupan paguyuban dari warga desanya dalam hubungan dengan
unsur-unsur yang menjadikan desa tersebut sebagai suatu desa adat, yaitu
unsur warganya yang dinamakan Pawongan, unsur wilayah desanya yang
dinamakan Palemahan dan unsur tempat-tempat pemujaan bagi warga
desanya yang dinamakan Parhyangan, atau secara popular dikenal dengan
istilah Tri Hita Karana.
7
Desa Pakraman Keramas merupakan salah satu bagian dari wilayah
kecamatan Blahbatuh kabupaten Gianyar, dengan jumlah penduduk pada
tahun 2014 kurang lebih dari 7979 jiwa, umumnya penduduk Desa
Pakraman Keramas adalah bersifat homogen karena dari jumlah
penduduknya ampir 95 % beragama hindu, dengan mata pencaharian
sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, yang memiliki luas wilayah
472 Ha, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah utara
: Desa Adat Pasdalem, Desa Adat Tedung
b. Sebelah timur
: Desa Adat Medahan
c. Sebelah selatan : Segara
d. Sebelah barat
: Desa Adat Sema dan Patolan
Luas wilayah Desa Pakraman Keramas adalah 472 Km2, yang
terdiri dari 1 Desa Pakraman dan 6 Banjar Dinas (Monografi Desa Keramas
Tahun 2010)
Nama – nama Banjar Dinas yaitu :
1. Banjar Dinas Biya
2. Banjar Dinas Gelgel
3. Banjar Dinas Palak
4. Banjar Dinas Lodpeken
5. Banjar Dinas Lebah
Banjar Dinas Maspait. (Monografi Desa Keramas Tahun 2010).
8
1.1.2. Struktur Pemerintahan Desa Pakraman Keramas
Peranan dan fungsi Desa Pakraman Keramas sangatlah penting
terhadap taraf hidup warga masyarakatnya hal ini dapat dilihat pada apa
yang sudah disediakan oleh desa pakraman kepada masyarakatnya seperti
sarana dan prasarana LPD (lembaga Perkreditan Desa), Pasar dan semua itu
tidak terlepas dari ketentuan Awig-awig Desa Pakraman Keramas.
Desa Pakraman Keramas terdiri dari 6 (enam) banjar yaitu Banjar
Maspait, Banjar Lebah, Banjar Lodpeken, Banjar Palak, Banjar Gelgel dan
Banjar Bia. Desa Pakraman Keramas sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat dalam ikatan Kahyangan tiga, maka dapat digambarkan bahwa Desa
Pakraman Keramas memiliki pura kahyangan tiga yaitu Pura Puseh, Pura
Desa dan 4 (empat) Pura Dalem, antara lain Pura Dalem Koripan, Pura
Dalem Bia, Pura Dalem Agung, dan Pura Dalem Sakti.
Struktur kelembagaan di Desa Pakraman Keramas disamping
kelembagaan administratif pemerintahan desa dan kelembagaan dari desa
adat atau pakraman, juga kelembagaan yang muncul atau yang didorong
keberadaannya dari motif ekonomi, budaya, kesehatan, pendidikan dan
sosial politik. Kelembagaan dari pemerintahan desa antara lain, Pemerintah
Desa, BPD, LPM, PKK desa, PKK dusun dari pendidikan seperti, komite
sekolah, dan sebagainya.
Susunan Desa Pakraman Keramas dapat digolongkan kedalam
susunan desa pakraman yang jenisnya bertingkat disebabkan bahwa di Desa
Pakraman Keramas terdapat terdiri dari enam banjar dan pada masing-
9
masing banjar terdapat tempekan tiga sampai lima tempekan, di Desa
Pakraman Keramas, tempekan tersebut diistilahkan dengan sebutan subak
banjar. Keenam banjar tersebut jumlah tempekannya adalah banjar Maspait
terdiri dari empat tempekan (subak banjar), banjar lebah terdiri dari tiga
subak banjar, banjar Lodpeken terdiri dari tiga, subak banjar banjar Palak
terdiri dari empat subak banjar, banjar Gelgel terdiri dari lima subak banjar,
banjar Bia terdiri dari empat subak banjar. Dari masing-masing subak
banjar jumlah angotanya kurang lebih dari 40 sampai 50 orang setiap subak
banjar.
Salah satu unsur penting terbentuknya masyarakat hukum adat
menurut Barend Ter Haar adalah kelompok masyarakat hukum adat yang
bertindak sebagai satu kesatuan kedalam maupun keluar. Kelompok
masyarakat atau kelompok orang dalam desa pakraman inilah yang disebut
unsur pawongan. Kelompok orang yang merupakan satu kesatuan dalam
wadah desa pakraman itu disebut pakraman. Pakraman kata dasarnya
adalah krama. Krama berasal dari “rama” yang artinya orang tua (orang
yang sudah berkeluarga). Anggota desa pakraman adalah orang-orang yang
sudah berkeluarga.3
Anggota desa pakraman inilah yang lazim disebut dengan krama
desa. Sistem pakraman di Bali sangatlah beraneka ragam, tetapi dalam garis
besarnya dapat di kelompokan dalam dua gari besar, yaitu;
a. Sistem pakraman berdasarkan ngemong karang ayahan;
3
I Ketut Sudantra, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa Dalam Kondisi
Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Denpasar, hal.59-60
10
Sistem ini umumnya dianut pada desa pakraman yang masih
yang sangat kuat pengaruh dari tanah adatnya. ngemong karang
ayahan berati “memegang atau menguasai tanah milik desa.
Berdasarkan ini maka status keanggotaan desa pakraman akan di
bedakan menjadi dua kelompok, yaitu;
1) Kelompok krama yang menguasai tanah milik desa sehingga
dikenakan
kewajiban
(ayahan)
penuh
kepada
desa.
Kelompok krama ini disebut dengan krama pengarep atau
dengan istilah lainnya sesuai dengan adat (dresta) setempat
2) Kelompok krama yang tidak menguasai tanah desa sehingga
tidak di kenakan kewajiban penuh kepada desa. Kewajibankewajiban yang dikenakan terhadapa jenis ini bervariasi
antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman yang
lainnya sesuai dengan Awig-awig yang berlaku di desa
tersebut. Kelompok krama ini disebut krama pengele, krama
roban, krama sibakan, dan sebagainya.
b. Sistem Pakraman berdasar mapikurenan
Mapikurenan
dapat
diartikan
sebagai
berumah
tangga.
Berdasarkan sistem ini maka seseorang dapat dikatakan sudah
masuk sebagai krama desa adalah apabila yang bersangkutan
atau seseorang sudah berumah tangga (kawin) dalam sistem ini
tidak ada perbedaan status krama desa seperti dalam sistem
ngemong
karang
ayahan,
sehingga
semua
krama
desa
11
mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap desa. dalam
sistem ini seseorang anak (laki-laki/sentana rajeg) yang telah
kawin, secara otomatis menggantikan kedudukan orang tuanya
sebagai krama desa. Apabila dalam satu keluarga jumlah anak
laki-lakinya memiliki lebih dari satu orang anak laki-laki, maka
yang secara otomatis menggantikan untuk meneruskan ayahan
orang tuanya adalah anak yang terlebih dahulu menikahlah yang
mengganti kewajiban orang tuanya., sedangkan anak lainnya
yang belakangan kawin ”ngayahang” ayahannya sendiri sebagai
krama desa yang lahir secara otomatis setelah ia kawin.
Pada umumnya desa pakraman di Bali, krama dianggap masuk
sebagai anggota desa atau “tedun ngayahin / tuun ngayah” ketika krama
tersebut melaksanakan kewajiban desa/banjar) apabila krama telah menikah.
Namun waktunya diatur Awig-awig desa yang bersangkutan. Ada desa yang
mengggunakan hitungan bulan (sasih) seperti 3 (tiga) atau 6 (enam) bulan
setelah perkawinan dilangsungkan. Demikian pula dalam Awig-awig Desa
Pakraman Keramas Pawos 8 “Penemayan tedun dados karma desa atau
banjar 6 (enam) bulan (nem sasih sesampun upacara pawidhi-widhana).
System keanggotaan di Desa Pakraman Keramas, didasarkan pada sistem
mapikuren, walaupun keberadaan tanah karang desa masih cukup kuat.
Pawos 5 kaping (1) Awig-awig Desa Pakraman Keramas, “ krama
desa inggih punika kula warga sane maagama hindu, ngamong karang desa,
utawi kulawarga sane maagama hindu jumenek ngenahin karang gunakaya
12
wiadin medunungan ring sejoroning pelemahan desa adat keramas” (karma
desa merupakan keluarga yang beragama hindu yang menempati tanah desa
atau tanah milik pribadi atau numpang dalam wilayah Desa Pakraman
Keramas.
Sistem pemerintahan Desa Pakraman Keramas menganut sistem
pemerintahan tunggal, yaitu dipimpin oleh seorang bendesa, yang dibantu
oleh petajuh, penyarikan, petengen, kasinoman, dan kelian-kelian banjar.
Prajuru Desa Pakraman Keramas di pilih melalui paruman agung (rapat
yang di hadiri oleh seluruh warga desa).
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2001 Tentang Desa Pakraman, tugas desa pakraman antara lain :
1.
Membuat Awig-awig;
2.
Mengatur krama desa;
3.
Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa;
4.
Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di
segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan
kemasyarakatan;
5.
Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam
rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan
kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada
khususnya,
berdasarkan
"paras-paros,
sagilik-saguluk,
salunglung-sabayantaka" (musyawarah mufakat);
6.
Mengayomi krama desa.
13
Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman, menyebutkan wewenang desa pakraman antara lain :
1.
Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan
wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar
krama desa sesuai dengan Awig-awig dan adat kebiasaan
setempat;
2.
turut
serta
pelaksanaan
menentukan
pembangunan
setiap
yang
keputusan
ada
di
dalam
wilayahnya
terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana;
3.
melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Aturan tersebut berkembang dan hidup di dalam kehidupan
masyarakat dan diterima dalam masyarakat sebagai suatu keharusan oleh
anggota
masyarakat.
Mereka
menganggap
akan
pentingnya
suatu
pembatasan, dikarenakan pada suatu kehidupan yang bebas tanpa batas tidak
dikenal di dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat sangat
dipandang perlu adanya pembatasan guna ketertiban kehidupannya dan
terselenggaranya kepentingan anggota masyarakat yang satu dengan yang
lainnya.
1.1.3. Awig-awig Desa Pakraman Keramas
Desa Pakraman di Bali memiliki ciri-ciri yang bersifat khusus dan
tidak dijumpai pada jenis masyarakat hukum adat lainnya. Ciri khusus
tersebut berkaitkan dengan landasan filosifis ajaran agama hindu yang di
14
sebut dengan konsep Tri Hita Karana yang menjiwai kehidupan masyarakat
hukum adat di Bali. Tri Hita Karana secara literlijk berarti tiga (tri)
penyebab (karana) kebahagian (hita). Dalam keyakinan umat Hindu di Bali,
kesejahteraan umat manusia di dunia ini akan dapat dicapai apabila terjadi
keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri Hita Karana tersebut, yakni:
a. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa;
b. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama;
c. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan dengan alam
semesta.
Hubungan tersebut secara kongkret dapat dilaksanakan dengan
suasana tertib, aman dan damai (trepti, sukerta, sekala niskala), dan miliki
perangkat aturan adat yang ada dalam masyarakat hukum adat di Bali
disebut dengan Awig-awig.4
Sama halnya didalam sebuah negara yang memiliki undang-undang
atau hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah
organisasi yang memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan
sebagai pedoman dalam menjalankan organisasinya, desa pakraman juga
merupakan sebuah lembaga adat yang mempunyai anggaran dasar rumah
tangga sendiri. Desa pakraman di Bali memiliki sebuah aturan adat yang
digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur kehidupan masyarakat
4
I Ketut Sudantra, 2001, “Pola Penyelesaian Persoalan-Persoalan Hukum Oleh Desa
Adat” Dinamika Kebudayaan III (1) Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar, hal.2.
15
adat dalam wilayah kehidupan desa pakraman diluar kehidupan desa dinas
yang berpedoman pada hukum nasional/negara.
Awig-awig berasal dari kata “wig” yang artinya rusak sedangkan
“awig” artinya tidak rusak atau baik. Jadi Awig-awig dimaknai sebagai
sesuatu yang menjadi baik. Secara harfiah Awig-awig memiliki arti suatu
ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat
untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat.5
Kehidupan masyarakat di Bali tersusun dalam satu kesatuan desa
adat (desa pakraman) yang mempunyai hukum sendiri yang disebut Awigawig. Setiap desa adat mempunyai Awig-awig, yang berlandaskan falsafah
Tri Hita Karana (tiga dasar kebahagian) yakni Parhyangan, Palemahan,
Pawongan.6
Konsepsi inilah yang dituangkan kedalam aturan-aturan baik secara
tertulis maupun tidak tertulis sehingga menimbulkan suatu pengertian,
bahwa Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama di
desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan
sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang
menyangkut wilayah adat, krama desa adat, keagamaan serta sanksi. Awigawig desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk
5
6
I Wayan Surpa, Op.cit., hal. 50.
I Nyoman Sirtha, 2002, Paper Presentation : Socialization Program on Bali Cultural
Heritage Awareness (Dialogue and Campaign : Temu wicara Kepedulian Pelestarian Warisan
Budaya Bali), Bali Kuna, Denpasar, hal. 4.
16
mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan
hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat. Selain itu
Awig-awig juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam
suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama, sedangkan arti penting
Awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa
guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan
bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera.
Pasal 1 angka (11) Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman menyatakan :
Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan
atau krama banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam
pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan
Dharma Agama di desa pakraman atau banjar pakraman masingmasing.
Berdasarkan pengertian Awig-awig tersebut di atas, terdapat
karakteristik Awig-awig. Adapun karakteristik yang dapat ditemui dalam
Awig-awig, adalah :
1. Bersifat Sosial Religious
Untuk membuat sebuah Awig-awig harus menentukan hari baik,
waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini
dimaksudkan agar Awig-awig itu memiliki kharisma dan
jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa Pakraman tidak saja
mengatur masalah Bhuwana Alit (kehidupan sosial) tapi juga
mengatur Bhuwana Agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah
17
yang mendorong masyarakat Bali sangat percaya dan yakin
bahwa Awig-awig ataupun pararem tidak saja menimbulkan
sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin).
2. Bersifat Konkret
Hukum adat mengandung prinsip yang serba konkret, nyata,
jelas, dan bersifat luwes. Kaedah hukum adat dibangun
berdasarkan asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat
detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan
memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini
akan muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan
tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan, dan
juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak
efektif atau belum jelas pengaturannya dalam Awig-awig.
3. Bersifat Dinamis
Hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika
masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat
ikut berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat
dalam melakukan hubungan hukum dengan sesamanya.
4. Bersifat Kebersamaan atau Komunal
Dalam Hukum Adat Bali tidak mengenal yang namanya hakim
menang kalah, namun yang ada adalah hakim perdamaian. karena
hukum adat Bali lebih mementingkan rasa persaudaraan dan
kekeluargaan. Setiap individu mempunyai arti penting di dalam
18
kehidupan bermasyarakat, yang diterima sebagai warga dalam
lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum adat menjaga
keseimbangan kepentingan bersama dengan kepentingan pribadi.
Dalam Awig-awig desa Pakraman menjaga keseimbangan tiga
aspek kehidupan manusia merupakan hal terpenting serta inilah
yang membedakan Awig-awig dengan hukum adat lainnya.
Masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sifat
komunal dan kekeluargaan dalam kehidupan kesehariannya,
artinya manusia menurut hukum adat setiap individu mempunyai
arti penting di dalam kehidupan bermasyarakat mempunyai
ikatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapisan
hukum adat.
Karakteristik lainnya dari Awig-awig yakni tidak seperti hukum
nasional atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis,
hukum adat sebaliknya lebih mengakomodir dimensi sosiologis. Dengan
demikian, dalam pembangunan hukum nasional, hukum adat menjadi bahanbahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan
lembaga-lembaga hukum adat seperti lembaga keamanan tradisional yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman
dapat
digunakan
dalam
penegakan hukum.
Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan
atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam
19
pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma
agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Awig-awig tertulis
umumnya memuat hal-hal pokok saja. Ketentuan lebih lanjut sebagai
penjabaran Awig-awig dituangkan dalam Perarem (keputusan rapat yang
memiliki kekuatan hukum mengikat, baik yang merupakan penjabaran dari
susbtansi Awig-awig yang sudah ada maupun aturan hukum baru yang
belum diatur dalam Awig-awig). Dari definisi tersebut dapat ditegaskan
bahwa desa pakraman dan Awig-awig merupakan satu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan. Ada desa pakraman berarti ada Awig-awig.
Awig-awig ini menjadi bagian dari hukum adat Bali yang bersumber
serta dilandasi oleh ajaran-ajaran agama Hindu dan tradisi-tradisi yang hidup
dalam masyarakat.
Pasal 7 Perda No 6 Tahun 1986 mengatur :
1. Setiap desa adat agar memiliki Awig-awig tertulis,
2. Awig-awig desa adat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 8 Pearuran daerah Nomor 6 Tahun 1986 mengatur :
1. Awig-awig desa adat dibuat dan disahkan oleh krama desa adat,
2. Awig-awig desa adat dicatatkan di Kantor Bupati/Walikota Madya
Kepala DaerahTingkat II yang bersangkutan.
20
Pasal 9 mengatur
Sanksi yang diatur dalam Awig-awig tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan prosedur pembuatan Awig-awig
desa adat. Awig-awig desa adat digarap oleh desa adat yang bersangkutan
sampai terbentuk rancangan. Rancangan Awig-awig tersebut kemudian
disampaikan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan. Setelah mendapat persetujuan
Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan
barulah Awig-awig desa adat tersebut disahkan oleh krama adat.
Penjelasan Pasal 9, dalam melaksanakan sanksi Awig-awig supaya
dilaksanakan secara bertahap, bersifat mendidik, dan tetap menjaga kesucian
wilayah desa adat yang bersangkutan.
Pengaturan tentang Awig-awig ditemukan di Pasal 11 yang mengatur
(1) Setiap desa Pakraman menyuratkan Awig-awignya.
(2) Awig-awig desa Pakraman tidak boleh bertentangan dengan
agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia.
Pasal 12 mengatur
(1) Awig-awig desa Pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa
pakraman melalui paruman desa Pakraman.
(2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor Bupati/Wali
Kota masing-masing.
21
Awig-awig dibuat dan ditetapkan oleh krama desa berdasarkan
kesepakatan bersama dan ditaati oleh krama desa itu sendiri. Yang
terpenting dari Awig-awig ini merupakan pengikat persatuan dan kesatuan
krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam menyatukan
tujuan bersama, mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan
sejahtera demi kedamaian desa.
Awig-awig merupakan aturan pokok yang mengatur pergaulan
warganya dalam menciptakan suasana aman, damai dan rukun. Awig-awig
Desa Pakraman Keramas terdiri dari 8 sarga (bab) dan 88 pawos (pasal),
yang dapat dirinci sebagai berikut :
a. Sarga I indik Aran Lan Wawidangan Desa, terdiri atas 2 pawos
b. Sarga II indik Patitis Lan Pamikukuh, terdiri atas 2 pawos
c. Sarga III indik Sukerta Tata Krama, terdiri atas 6 palet dan 32
pawos
d. Sarga IV indik Sukerta Tata Agama, terdiri atas 5 palet dan 25
pawos
e. Sarga V indik Sukerta Tata Pawongan, terdiri atas 4 palet dan 21
pawos
f. Sarga VI indik Wicara Lan Pamidana, terdiri atas 2 palet dan 3
pawos
g. Sarga VII indik Nguwah Nguwuhin Awig-awig, terdiri atas 2
pawos
h. Sarga VIII indik Pamuput, terdiri atas 1 pawos
22
Bentuk-bentuk pelanggaran adat yang terdapat dalam Awig-awig
Desa Pakraman Keramas tersebar dalam pawos-pawos pada setiap bab yaitu
bab (sarga) mengenai sukerta tata Pakraman/pawongan, palemahan, dan
parhyangan.
1.2. Deskripsi Kesadaran Hukum Masyarakat
1.2.1. Definisi Kesadaran Hukum
Secara harfiah kata “kesadaran” berasal dari kata “sadar”, yang
berarti insyaf, merasa, tahu dan mengerti. Jadi, kesadaran adalah keinsyafan
atau merasa mengerti atau memahami segala sesuatu.
Kesadaran berarti tidak akan terlepas dari masalah psikis. Psikis
merupakan totalitas segala peristiwa kejiwaan baik yang disadari maupun
yang tidak disadari. Kesadaran berkaitan pula dengan manusia sebagai
individu dan anggota masyarakat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh
setiap individu, maka ia
dapat mengendalikan diri atau menyesuaikan diri pada setiap
kesempatan serta dapat menempatkan dirinya sebagai individu dan anggota
masyarakat. Sebagai individu ia akan mengetahui dan memperhatikan
dirinya sendiri, sedangkan sebagai anggota masyarakat, ia akan mengadakan
kontak dengan orang lain sehingga timbul interaksi diantara mereka.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka kesadaran merupakan
sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada aturan serta
23
ketentuan perundang-undangan yang ada. Selain itu juga, kesadaran dapat
diartikan sebagai sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada adat
istiadat serta kebiasaan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian
kesadaran adalah suatu proses kesiapan diri untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, menanggapi hal tertentu dengan didasari atas pengertian,
pemahaman, penghayatan dan pertimbangan-pertimbangan nalar dan moral
disertai kebebasan sehingga dapat dipertanggunmgjawabkan secara sadar.
Sementara itu, untuk merumuskan pengertian hukum tidaklah
mudah, karena hukum itu meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu
pengertian tidak mungkin mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum.
Selain itu, setiap orang atau ahli akan memberikan arti yang berlainan sesuai
dengan sudut pandang masing-masing yang akan menonjolkan segi-segi
tertentu dari hukum.
Utrecht merumuskan pengertian hukum sebagai himpunan peraturanperaturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata
tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati.
Affandi mengatakan bahwa hukum adalah kumpulan peraturan yang
harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, apabila
mengabaikan peraturan tersebut maka kepada pelanggar harus dijatuhi
hukuman.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis memandang bahwa
hukum itu memuat aturan mengenai hal yang layak dan tidak layak untuk
24
dilakukan
menurut
pendapat
umum
yang
seharusnya
ditaati
dan
dipatuhi.Selain itu juga, hukum mengatur segala tingkah laku manusia di
dalam pergaulannya di masyarakat.
Berdasarkan pengertian hukum tersebut di atas, pada dasarnya
terdapat titik persamaannya yaitu bahwa di dalam hukum terdapat beberapa
unsur, diantaranya :
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakat;
b. Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang
berwajib;
c. Peraturan itu bersifat memaksa;
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena
hukum memiliki sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa
seseorang untuk menaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan
terhadap orang yang tidak menaatinya diberikan sanksi yang tegas.
Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum
atau efektivitas hukum. Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut
masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak
dalam masyarakat. Agar terjadi suatu keserasian yang profesional antara
hukum yang diterapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat, maka
peraturan itu sendiri harus rasional dan dilaksanakan dengan prosedur yang
25
teratur dan wajar. Kesadaran hukum merupakan interdepedensi mental dan
moral yang masing-masing tergantung pada egonya manusia.
Kesadaran hukum merupakan keadaan dimana tidak terdapatnya
benturan-benturan hidup dalam masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan
seimbang, serasi dan selaras. Kesadaran hukum diterima sebagai kesadaran
bukan diterima sebagai paksaan, walaupun ada pengekangan dari luar diri
manusia atau masyarakat sendiri dalam bentuk perundang-undangan.
Di samping itu juga, Purbacaraka dan Sorjono Soekanto mengartikan
kesadaran hukum sebagai keyakinan/kesadaran akan kedamaian pergaulan
hidup yang menjadi landasan regel mating (keajegan) maupun beslissigen
(keputusan) itu dapat dikatakan sebagai wadahnya jalinan hukum yang
mengendap dalam sanubari manusia.
Kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu, apa
seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan dengan
membedakan antara hukum dengan tidak hukum, antara yang seyogyanya
dilakukan dan tidak dilakukan. Kesadaran terhadap suatu aturan yang lahir dan
hidup serta mengikat pada kehidupan masyarakat adalah merupakan suatu
syarat dalam menciptakan suatu hubungan kehidupan masyarakat yang tertib,
aman, dan tentram, hal ini mengingat masyarakat merupakan suatu proses
kehidupan yang berkembang sehingga aturan-atuaran itu hidup dan di harapkan
dapat menyesuaikan terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri.
26
Soerjono Soekanto menyatakan kesadaran hukum adalah sebenarnya
merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia
tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan
bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.7
Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian
kesadaran hukum, yaitu kesadaran tentang apa yang seyogyanya \ lakukan
atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama
terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum masingmasing terhadap orang lain.8
Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran
hukum yaitu kesadaran hukum diartikan sebagai kesadaran yang ada pada
setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu
kategori tertentu dari hidup kejiwaan dimana membedakan antara hukum
dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
dilakukan.9
7
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama, CV.
Rajawali, Jakarta, hal, 152
8
Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan
Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hal. 3
9
Paul Scholten: Algemeen Deen, Hlm. 166 N.V. Uitgeversmaatschappij W.E.J Tjeenk
Willink 1954, Kutipan diambil dari buku Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran
Hukum Masyarakat, Cetakan Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hal. 2
27
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, jelas bahwa kesadaran hukum
mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat.
1.2.2. Indikator Kesadaran Hukum
Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat
empat indikator yang dijadikan tolok ukur yaitu :
1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness)
2. Pemahaman Hukum (law acquaintance)
3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude)
4. Pola-pola perikelakuan hukum (legal behaviour).10
Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum
tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Indikatorindikator dari kesadaran hukum hanyalah dapat terungkapkan apabila
seseorang mengadakan penelitian secara seksama terhadap gejala tersebut.
Indikator-indikator tersebut sebenarnya merupakan petunjuk-petunjuk yang
relatif nyata tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu.
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai
beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut
erat kaitannya dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang
diperbolehkan oleh hukum. Disamping itu pula, pengetahuan hukum juga
berkaitan dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu
peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan.
10
Ibid., hal. 140.
28
Pemahaman hukum diartikan sebagai sejumlah informasi yang
dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan
kata lain, pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan
suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak
yang yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal
pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu
mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal. Akan
tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam
menghadapi berbagai hal yang ada kaitannya dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Pemahaman ini biasanya diwujudkan melalui sikap
mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.
Sikap hukum diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk menerima
hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang
bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum
akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai
yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya masyarakat menerima hukum
berdasarkan penghargaan terhadapnya.
Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran
hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak
dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran
hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum.
Download