Solidaritas Antar Perempuan Dalam Budaya Patriarki (Suatu

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
Kisah Debora, Yael dan ibu Sisera dalam kitab Hakim-hakim agak unik
dibandingkan dengan kisah tentang kaum perempuan lain dalam Perjanjian Lama.
Kisah ini menunjukkan beberapa dinamika kehidupan sosial perempuan yang terjadi,
seperti Debora sebagai satu-satunya hakim perempuan, ia juga disebut sebagai nabiah
dan pemimpin perang melawan bangsa Kanaan; serta Yael sebagai ibu rumah tangga
yang membunuh Sisera, panglima tentara Kanaan. Kedua perempuan ini memberikan
gambaran tentang hubungan antar perempuan yang bersolider untuk melakukan
pekerjaan besar bagi Israel. Sebaliknya, ibu Sisera menggambarkan tipikal ibu-ibu di
dunia Israel Kuno yang tinggal di rumah dan menanti kepulangan anaknya.
Guna mengkaji lebih dalam mengenai hubungan solidaritas antar perempuan
dalam kisah Debora, Yael dan ibu Sisera ini, maka diperlukan beberapa kajian teoritis.
Landasan teori dalam bab ini akan diawali dengan pembahasan mengenai konsep
solidaritas sosial secara umum dalam masyarakat dan solidaritas sosial antara
perempuan dengan perempuan lain dalam hubungan persaudarian (sisterhood), diikuti
oleh pembahasan tentang tafsir feminis, kemudian diakhiri dengan kajian mengenai
kehidupan kaum perempuan dalam dunia Israel Kuno.
A. SOLIDARITAS SOSIAL
1. Solidaritas Sosial dalam Masyarakat
Hidup bersama bagi manusia merupakan hal penting dalam kehidupan sosial.
Setiap manusia dikodratkan untuk berelasi dengan orang lain sebagai bagian dari
kelompok atau komunitas tertentu yang tercermin dalam interaksi sosial. Hubungan ini
10
menjadi kebutuhan penting manusia sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan lainnya.
Hubungan saling melengkapi dan saling membutuhkan antara individu dengan individu
lainnya dalam masyarakat ini dapat membentuk solidaritas sosial.
Konsep solidaritas sosial merupakan sumbangan pemikiran August Comte
(1798-1857) dalam menjelaskan tentang prinsip-prinsip keteraturan sosial dalam
perspektif positivisnya mengenai masyarakat. Menurutnya, agama dilihat sebagai
sumber utama solidaritas sosial dan konsensus. Isi kepercayaan agama mendorong
individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu
dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu
dalam keteraturan sosial. Ikatan emosional ini didukung oleh kepercayaan dan
partisipasi bersama dalam kegiatan pemujaan.1
Sosiolog lain yang terkenal dengan teori solidaritas sosial adalah Emile
Durkheim (1858-1917). Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia
memerlukan solidaritas. Menurutnya, solidaritas sosial adalah suatu keadaan hubungan
antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan
yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini
lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional,
karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu derajat
konsensus terhadap prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu.2
Durkheim melihat konsep solidaritas di dalam masyarakat sebagai wadah yang
paling sempurna bagi kehidupan bersama antara manusia yang mengalami
perkembangan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern. Ia menekankan
pada arti penting pembagian kerja dalam masyarakat, karena menurutnya pembagian
kerja adalah untuk meningkatkan solidaritas. Di dalam masyarakat yang sederhana,
1
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern – Jilid I, editor M. Z. Lawang
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 89-90.
2
Johnson, Teori Sosiologi, 181.
11
setiap orang melakukan hal yang pada dasarnya sama dan memiliki pengalaman yang
sama, sehingga mempunyai nilai bersama. Sebaliknya, di dalam masyarakat modern
setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda dan berbagai tugas yang terspesialisasi,
sehingga mereka tidak lagi memiliki pengalaman bersama.3
Perubahan dalam pembagian kerja ini mempunyai implikasi yang besar bagi
struktur masyarakat. Durkheim tertarik pada perubahan cara yang menghasilkan
solidaritas sosial dan bagaimana para anggota melihat dirinya sebagai bagian dari suatu
keseluruhan. Untuk menangkap hal tersebut, Durkheim mengacu pada dua tipe
solidaritas, yaitu solidaritas mekanik dan organik.
a. Solidaritas Mekanik
Durkheim menjelaskan bahwa solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif bersama dalam masyarakat.4 Kesadaran ini menunjuk pada
totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga
masyarakat yang sama itu. Solidaritas mekanik merupakan solidaritas yang
tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut
kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Oleh karena itu, sifat
individualitas tidak berkembang, individual ini akan terus-menerus dilumpuhkan
oleh tekanan yang besar untuk konformitas. Meskipun demikian, menurut
Durkheim masyarakat primitif mempunyai nurani koletif yang lebih kuat, yakni
pengertian, norma dan kepercayaan yang lebih banyak dianut bersama.5
Indikator lain yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah kerasnya
nilai-nilai atau hukum yang bersifat menekan atau represif. Durkheim
mendefenisikan suatu tindakan sebagai tindakan pidana ketika menyinggung
3
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 144.
4
Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (New York: The Free Press, 1984), 84.
5
Ritzer, Teori Sosiologi, 148-150.
12
kesadaran kolektif.6 Hukum yang bersifat represif ini menjustifikasi setiap
perilaku sebagai sesuatu yang jahat apabila mengancam atau melanggar kesadaran
kolektif yang kuat dalam masyarakat. Hukuman pada perilaku kejahatan
memperlihatkan pelanggaran moral dari masyarakat yang dipandang sudah
merusak keteraturan sosial. Hal ini kemudian menyebabkan orang-orang sangat
mirip di dalam tipe masyarakat tersebut.7
b. Solidaritas Organik
Solidaritas organik ditandai oleh orang-orang di dalam masyarakat modern yang
melakukan sederet tugas yang relatif sempit, sehingga membutuhkan orang lain.
Mereka membutuhkan berbagai jenis pelayanan yang disediakan orang lain agar
dapat hidup di dunia modern. Oleh karena itu menurut Durkheim, masyarakat
modern dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang dengan pembagian tugas dan
kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari orang lain. Spesialisasi itu tidak
hanya mencakup para individu, tetapi juga kelompok-kelompok, struktur-struktur
dan lembaga-lembaga.8 Menurutnya, pembagian kerja dalam masyarakat
berfungsi untuk meningkatkan kapasitas reproduksi dan ketrampilan pekerja, serta
sebagai kondisi yang diperlukan untuk pengembangan intelektual dan material
dalam masyarakat.9 Pembagian kerja ini memiliki karakter moral yang lebih
penting, yaitu menciptakan perasaan solidaritas antara dua atau lebih orang.10
Masyarakat dengan solidaritas organik dipandang sebagai suatu sistem
fungsi yang berbeda dan dipersatukan oleh hubungan yang pasti. Setiap individu
6
Durkheim, The Division, 32.
Ramadhani Setiawan, “Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik: Suatu Ulasan Singkat
Pemikiran
Emile
Durkheim,”
dalam
http://riset.umrah.ac.id/wpcontent/uploads/2013/10/SOLIDARITAS-MEKANIK-KE-SOLIDARITAS-ORGANIK.pdf,
diunduh
pada 01 oktober 2014 pukul 10.48 WIB.
8
Ritzer, Teori Sosiologi, 145-147.
9
Durkheim, The Division, 12.
10
Durkheim, The Division, 17.
7
13
harus memiliki wilayah tindakan dan kepribadian sendiri sehingga individualitas
tumbuh pada saat yang sama sebagai bagian dari masyarakat. Persaingan yang
kurang dan diferensiasi yang lebih banyak memungkinkan orang untuk lebih
bekerja sama dan semua orang didukung oleh dasar sumber daya yang sama. Oleh
karena itu, perbedaan memungkinkan ikatan-ikatan yang bahkan lebih besar
daripada yang dimungkinkan oleh persamaan.11
Masyarakat dengan solidaritas organik dicirikan oleh hukum restitutif
yang menghendaki para pelanggar memberikan ganti rugi atas kejahatan mereka.
Di dalam masyakat demikian, pelanggaran dilihat sebagai perbuatan melawan
individu tertentu atau masyarakat daripada melawan sistem moral itu sendiri.12
Hukum ini dianggap sesuai dengan kondisi organik masyarakat karena bersifat
memulihkan keadaan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan dan
melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu
atau kelompok yang berspesialisasi dalam masyarakat. Hukum restitutif bekerja
melalui badan-badan khusus, yaitu pengadilan, hakim, pengacara dan meliputi
hukum perdata, komunal, prosedural.13 Tipe hukum ini tidak selalu menunjukkan
penderitaan di pihak pelaku, tetapi memulihkan hubungan yang telah terganggu
dari bentuk normal.
Konsep solidaritas sosial yang dikemukan oleh Comte dan Durkheim ini lahir
dalam konteks masyarakat yang bercorak sistem pertanian menjadi sistem industri pada
masa revolusi Perancis. Mereka menjadi saksi dari berbagai ketidakteraturan yang
ditimbulkan oleh revolusi Perancis pada masa itu. Banyak orang yang meninggalkan
usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik
yang sedang berkembang, sehingga terjadi perubahan besar-besaran di bidang
11
Ritzer, Teori Sosiologi, 151.
Ritzer, Teori Sosiologi, 152.
13
Durkheim, The Division, 69-70.
12
14
manufaktur, pertambangan, transportasi dan teknologi yang memiliki dampak yang
besar terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya di dunia.
Konsep solidaritas Comte dan Durkheim ini telah memberikan kontribusi yang
besar bagi pemahaman masyarakat tentang hubungan antara individu atau kelompok
berdasarkan nilai yang dianut bersama. Konsep ini mengkaji hubungan solidaritas
dalam masyarakat secara umum yang tidak menggambarkan adanya kelas-kelas sosial
seperti gender, status sosial maupun ras. Guna membantu penulis menganalisa
solidaritas antara kaum perempuan dalam kisah Debora, Yael dan ibu Sisera, maka
kajian teoritis yang membahas mengenai interaksi dan solidaritas antara perempuan
dengan perempuan lain dalam hubungan persaudarian (sisterhood) yang dikemukakan
oleh kaum feminis juga menjadi penting untuk dikaji.
2. Solidaritas Sosial antara Perempuan
Konsep mengenai solidaritas sosial antara perempuan dalam hubungan
persaudarian telah menjadi perhatian para feminis. Istilah persaudarian sendiri
digunakan di antara kaum feminis untuk mengekspresikan hubungan antara perempuan
yang tidak bertalian secara biologi, tetapi terikat dalam solidaritas dan kesediaan untuk
menjaga dan membantu kaum perempuan lainnya yang dimarginalkan. Aspek
fundamental dari persaudarian didasarkan pada kemampuan perempuan untuk maju
bersama-sama dalam cara yang berbeda dan tidak terbatas pada ras atau etnis tertentu.
Meskipun perbedaan usia, ras, kelas dapat menjadi penghambat dalam ikatan ini,
namun tujuan dan cita-cita yang sama dapat menjadi pertimbangan untuk
memungkinkan perempuan terikat dalam perjuangan bersama.14
14
Natália Fontes de Oliveira, “Sisterhood across Different Races and Ethnicities,” dalam
http://www.letras.ufmg.br/poslit/08_publicacoes_pgs/Em%20Tese%2017/173/TEXTO%209%20NAT%C3%81LIA.pdf, diunduh pada Kamis, 27 November 2014 pukul 01.40 WIB.
15
Ikatan persaudarian sering merujuk kepada feminisme, partisipasi dalam
gerakan perempuan, dukungan terhadap perempuan lainnya, maupun pengakuan
terhadap kualitas kehidupan perempuan yang sering mengalami ketidakdilan sosial.
Penggunaan kata persaudarian menyiratkan bahwa perempuan saling berhubungan satu
sama lain dengan cara yang berbeda dari hubungan antara perempuan dengan laki-laki.
Namun di dalam konteks kehidupan perempuan yang berbeda, istilah persaudarian ini
dapat memiliki arti yang berbeda pula. Pada tahun 1970, feminis berkulit hitam menulis
tentang pemahaman-pemahaman yang kurang tepat tentang konsep persaudarian di
antara feminis berkulit putih kelas menengah-atas. bell hooks merupakan salah satu
feminis yang mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan
feminisme Amerika kulit putih, karena tidak mampu mengakomodir kehadiran
perempuan kulit hitam. Lebih spesifik, hooks mengkritik gagasan rasis dan kelas
perempuan berkulit putih ini dalam gerakan pembebasan perempuan dan mengomentari
penggunaan istilah “persaudarian.”15
hooks menyatakan bahwa seksisme yang menjadikan perempuan sebagai
korban penindasan dilakukan oleh struktur sosial, oleh individu-individu yang
mendominasi dan menindas, serta oleh perempuan sendiri yang disosialisasikan untuk
berperilaku seperti yang seharusnya dalam kaitan dengan status quo. Menurutnya,
ideologi supremasi laki-laki mendorong perempuan untuk percaya bahwa mereka tidak
bernilai, sehingga keterikatan dengan laki-laki akan memberikan nilai bagi perempuan.
Perempuan juga diajarkan bahwa perempuan lainnya adalah “musuh alami,” sehingga
mereka tidak dapat bersatu dalam ikatan solidaritas.16
15
Linda
Napikoski,
“Sisterhood:
Feminisme
Defenition,”
dalam
http://womenshistory.about.com/od/feminism/a/Sisterhood_Feminism_Definition.htm, diakses pada
Kamis, 27 November 2014 pukul 01.33 WIB.
16
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center (London: Pluto Press, 2000), 43.
16
hooks mendesak kaum perempuan untuk menciptakan ikatan dengan perempuan
lain. Namun, hal ini akan menjadi sulit karena perempuan terpisah oleh perilaku seksis,
ras, kelas dan hak-hak istimewa perempuan. Gerakan feminis menjadi langkah hooks
untuk memperkuat dan meningkatkan ikatan persaudarian sehingga meluruskan
pandangan perempuan bahwa tanpa adanya ikatan persaudarian, penindasan seksis
yang dialami perempuan juga tidak akan berakhir. Selain itu, kekuatan solidaritas
perempuan dapat mengubah paradigma penindasan dalam masyarakat yang merugikan
kaum perempuan.17
Kaum perempuan dapat diperkaya ketika mereka terikat satu sama lain, namun
model persaudarian yang diciptakan kelompok perempuan borjuis kulit putih tidak
dapat digunakan untuk menopang perempuan dari kelompok yang berbeda. Dalam
analisis mereka, dasar untuk ikatan persaudarian adalah menjadi korban penindasan.
Konsep ikatan ini secara langsung merefleksikan pemikiran supremasi laki-laki yang
mensosialisasikan perempuan untuk menjadi korban. Hal ini berarti bahwa perempuan
harus menerima diri mereka sebagai “korban” dalam rangka memahami bahwa gerakan
feminis relevan dengan kehidupan mereka. Dalam pemahaman ini, kaum perempuan
dapat meninggalkan gerakan feminis ketika mereka tidak lagi memiliki identitas
sebagai “korban.” hooks melihat metode ini sangat menjamin keberadaan perempuan
borjuis kulit putih dari berbagai gangguan dan ketidaknyamanan.18
Lebih lanjut hooks menyatakan bahwa untuk mengembangkan solidaritas antara
perempuan, kaum feminis tidak boleh terikat pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh
ideologi budaya yang dominan. Ikatan persaudarian dapat terbentuk berdasarkan
komitmen politik dalam gerakan feminis yang bertujuan untuk mengakhiri penindasan
seksis. Untuk mencapai tujuan ini, perempuan harus merekonstruksi keterikatan dan
17
18
hooks, Feminist Theory, 44.
hooks, Feminist Theory, 45-46.
17
kesadaran perempuan terhadap seksisme. Perempuan bekerja sama untuk mengekspos,
memeriksa dan menghilangkan pemahaman seksis yang disosialisasikan oleh laki-laki
dalam diri mereka, sehingga mendorong gerakan feminis untuk membantu perempuan
mengatasi keterasingan akibat sosialisasi seksis tersebut.19
Penghalang jalan solidaritas perempuan lain yang dikemukakan oleh hooks
adalah rasisme. Secara historis, banyak perempuan kulit hitam yang melihat perempuan
kulit putih sebagai pihak dengan otoritas yang dominan. Meskipun dalam budaya
patriarki, perempuan kulit putih dianggap sebagai superior yang lebih kejam dari kaum
laki-laki kulit putih. Hal inilah yang menyebabkan perempuan kulit hitam tidak tertarik
untuk mendukung gerakan feminis. Gerakan feminis lebih dipandang sebagai sebuah
gerakan yang mendukung perempuan borjuis kulit putih.20 Pada tahun-tahun terakhir,
isu rasisme menjadi topik yang diterima dalam diskusi feminis. Akan tetapi, isu ini
muncul bukan sebagai hasil dari perempuan kulit hitam yang memberi perhatian
terhadapnya, melainkan sebagai hasil masukan perempuan kulit putih yang
mengindikasikan bagaimana rasisme bekerja pada masa itu.21
Rasisme hanya akan menjadi permasalahan feminisme ketika perempuan kulit
putih menyadari bahwa hal tersebut sangat berhubungan dengan penindasan seksis.
Menurut hooks, perempuan akan mengetahui bahwa para feminis kulit putih mulai
menghadapi isu rasisme secara serius ketika mereka tidak hanya mengakui rasisme
dalam gerakan feminis, tetapi berjuang melawan penindasan yang berkaitan dengan isu
tersebut. Perempuan kulit putih akan memahami bahwa mereka telah membuat
komitmen politik untuk menghilangkan rasisme ketika mereka membantu mengubah
arah gerakan feminis dan berupaya untuk melupakan isu rasis yang telah berakar dalam
diri mereka, sehingga mereka tidak akan melanggengkan penindasan ras dan melukai
19
hooks, Feminist Theory, 47.
hooks, Feminist Theory, 50.
21
hooks, Feminist Theory, 52.
20
18
perempuan non-kulit putih. Menurut hooks, hal ini merupakan gerakan radikal yang
menjadi landasan solidaritas politik antara perempuan kulit putih dan perempuan kulit
hitam, namun patut untuk diperjuangkan.22
Sejalan dengan isu seksis dan rasis, isu kelas sosial juga memberikan kesulitan
dalam solidaritas antar perempuan. Perempuan dengan kelas yang lebih tinggi memiliki
hak istimewa dalam kehidupan sosial, berbeda dengan perempuan yang berada di kelas
bawah. hooks berargumen bahwa untuk membangun persaudarian, perempuan harus
mengkritik dan menolak eksploitasi kelas, serta menghilangkan hak istimewa yang
dimiliki oleh kelas atas. Menurutnya, jelas bahwa sejumlah besar perempuan kulit
putih, terutama yang berasal dari kelas menengah ke atas telah memberikan dukungan
ekonomi terhadap gerakan feminis, berbeda dengan perempuan yang berada di kelas
bawah.23 Hal ini menyebabkan perempuan yang berada di bawah garis kemiskinan
tetap mendapatkan perlakuan eksploitatif. Jika perempuan miskin mampu mengatur
agenda pemikiran feminis, maka perjuangan kelas mungkin telah mendapatkan
perhatian yang lebih menonjol. Akan tetapi, perempuan borjuis kulit putih tidak pernah
menunjukkan bagaimana hak istimewa kelas terkait dengan penindasan seksis,
sehingga isu ini belum sepenuhnya berada di bawah lingkup gerakan feminis.24
Berdasarkan pemaparan mengenai ikatan persaudarian yang dikemukakan
hooks ini, isu-isu yang berkaitan dengan perilaku seksis, ras dan kelas sosial masih
menjadi permasalahan yang disadari atau tidak, melekat pada hubungan kaum
perempuan. Hal ini menjadi tembok pemisah antara perempuan dengan sesamanya
sehingga kecenderungan untuk memberikan rasa aman masih terfokus pada diri sendiri.
Selama isu-isu ini tetap menjadi pusat perhatian para perempuan secara pribadi, maka
upaya untuk memperbaiki kehidupan kaum perempuan lain yang mengalamai berbagai
22
hooks, Feminist Theory, 56-57.
hooks, Feminist Theory, 61.
24
hooks, Feminist Theory, 62.
23
19
ketidakadilan sosial tidak dapat tercapai. Lebih ironis lagi, hal ini menjadi peluang bagi
laki-laki untuk memperkuat posisinya sebagai supremasi atas perempuan.
Sumber utama yang dipakai para feminis, termasuk hooks, lebih banyak berupa
pengalaman kaum perempuan Barat yang menyebabkan kecenderungan untuk mengeneralisasikan pengalaman mereka. Hal ini menyebabkan munculnya tokoh feminis
Asia yang mengkritisi hal tersebut, seperti Chandra Talpade Mohanty. Menurut
Mohanty, tindakan penghomogenisasian pengalaman para perempuan Barat hanya
mengukuhkan analisis feminis yang bersifat eurosentris dan mengingkari berbagai
pengalaman dari kelompok-kelompok non-Barat.25 Banyak kasus yang menempatkan
perempuan dunia ketiga dalam konteks “semua perempuan,” dengan pemahaman
bahwa semua perempuan di dunia adalah sama, padahal perempuan hidup dalam
konteks yang berbeda sehingga perjuangan pembebasan kaum perempuan di dunia
ketiga tentu sangat jauh berbeda dengan perjuangan perempuan di dunia pertama.
Mohanty menaruh perhatian pada pembahasan para feminis Barat mengenai
para perempuan di dunia ketiga. Ia melihat bahwa di mata para perempuan Barat, para
perempuan dunia ketiga adalah sekelompok orang yang “tidak berdaya” yang bersifat
homogen. Mereka dipandang sebagai korban-korban implisit budaya dan struktur sosial
ekonomi tertentu.26 Di dalam kritiknya terhadap konstruksi teoritis seperti ini, Mohanty
berpendapat bahwa tindakan ini merekonstruksikan para perempuan dunia ketiga
sebagai para korban yang hidup di bawah berbagai lapisan penindasan dan yang harus
direpresentasikan oleh para feminis Barat karena mereka tidak mampu untuk
merepresentasikan diri sendiri. Bagi Mohanty, gagasan ini semakin melestarikan
25
Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial
Discourses” dalam Reina Lewis dan Sara Mills, ed., Feminist Postcolonial Theory: A Reader
(Edinburgh, UK: Edinburgh University Press, 2003), 68.
26
Mohanty, “Under Western, 54.
20
keunggulan para perempuan Barat terhadap non-Barat.27 Kritik Mohanty ini
mengindikasikan pentingnya menemukan sendiri keberadaan perempuan dunia ketiga
yang telah diasingkan dari partisipasi penuh untuk menyuarakan pembebasan mereka.
Sudah saatnya gerakan feminis lebih memperhatikan konteks sosial di mana perempuan
itu berada sehingga tidak menciptakan pemahaman yang palsu mengenai kesamaan
penindasan, kepentingan dan perjuangan di antara perempuan secara global.
Hubungan persaudarian di negara-negara dunia ketiga memiliki dimensi yang
berbeda. Dalam masyarakat agraris, para perempuan memiliki peranan penting dalam
pertanian. Di Afrika Barat, misalnya, kaum perempuan memberdayakan diri secara
berkelompok untuk mengelolah lahan pertanian mulai dari mencangkul, menanam
sampai memanen tanpa bergantung kepada laki-laki. Mereka memiliki status yang kuat
karena memiliki ladang dan hasil panen, serta mendominasi pasar lokal. Sementara di
India, perempuan secara berkelompok mengontrol pertanian sehingga mereka memiliki
lebih banyak kebebasan, status dan kekuasaan sosial. Laki-laki hanya diperlukan untuk
membajak.28 Interaksi antara kaum perempuan dalam konteks Negara agraris seperti ini
telah menunjukkan adanya solidaritas di antara mereka dalam hubungan kerja sama
yang terbentuk dari aktivitas sehari-hari yang membentuk nilai saling percaya dalam
memenuhi kepentingan bersama.
Pembahasan-pembahasan di atas telah memberikan beberapa gambaran
mengenai hubungan persaudarian dan perkembangannya di beberapa belahan dunia.
Berbagai bentuk hubungan dan interaksi antara perempuan dengan perempuan lain
yang ditunjukkan ini akan membantu penulis untuk melihat bagaimana dinamika sosial
dan hubungan antar perempuan yang tampak dalam kitab Hakim-hakim 4 dan 5.
27
Mohanty, “Under Western, 68.
“Women's
Status
in
Agricultural
Societies”
dalam
http://www.public.iastate.edu/~cfford/WomensStatusinAgriculturalSocietiesF08.ppt, diakses pada Sabtu,
07 Februari 2015 pukul 11.38 WIB. Bahan ini disadur dari Marvin Harris, One Kind (USA: Harper
Perennial, 1990).
28
21
B. TAFSIR FEMINIS
Ketika pembaca Alkitab hendak menginterpretasi teks yang berkaitan dengan
perempuan, termasuk kisah Debora, Yael dan ibu Sisera, maka penting untuk dikaji
dari kacamata feminis. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa teks Alkitab ditulis oleh
laki-laki sehingga memiliki semangat patriarkal yang kental dan tafsiran androsentris
yang menempatkan perempuan sebagai alat untuk melegitimasi peranan laki-laki.
Pendekatan ini akan membantu para pembaca untuk memberikan kajian yang kritis
mengenai peranan perempuan pada masa lalu sehingga posisi perempuan sebagai kelas
kedua dapat direkonstruksi dalam tatanan sosial yang patriarkal.
Beberapa teolog wanita dan mahasiswa teologi di awal tahun 1960-an
mengembangkan suatu jurusan teologi baru dalam pemikiran Kristen kontemporer yang
disebut sebagai teologi feminis.29 Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan teologi
pembebasan dan berkembang sebagai reaksi protes terhadap dominasi serta penindasan
terhadap kaum perempuan yang berlangsung di dalam dan di luar gereja selama
berabad-abad.30 Titik tolak teologi feminis adalah bagaimana menata dan mengangkat
sebagai wacana teologi kehidupan serta pengalaman perempuan yang selama ini berada
di bawah ketertindasan dan ketidakadilan, serta dianggap sebagai kelas yang lebih
rendah oleh masyarakat.31
Teologi feminis terus berkembang untuk merekonstruksi paradigma gender agar
perempuan dapat terlibat sebagai manusia yang utuh dalam kekristenan. Hubungan
antara perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi kesatuan yang saling melengkapi,
sehingga memberikan kebebasan baik bagi perempuan maupun laki-laki untuk
29
Agung Wibisana Surya, Arti dan Makna Keberadaan: Studi Kritis Hermeneutik Teologi
Feminis tentang Penggantian Nama Allah Tritunggal: Bolehkah Panggilan Allah Bapa Diganti dengan
Allah Ibu? (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 13-14.
30
Anne Hommes, Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat
(Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 1992), 86.
31
Asnath Niwa Natar, Perempuan Indonesia: Berteologi dalam Konteks (Yogyakarta: Pusat
Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004), 52.
22
memajukan diri dan melangsungkan kehidupan yang tidak menyalahi kodrat manusia.
Guna mencapai tujuan ini, para teolog feminis telah berupaya membangun teologi
mereka berdasarkan metode dan pendekatan masing-masing sehingga teologi feminis
memiliki aneka ragam pendekatan dalam penafsiran dan analisis teks Alkitab.
Susan Brayford menyebutkan bahwa pendekatan feminis dalam studi biblika
dapat ditelusuri kemunculannya melalui publikasi The Woman’s Bible oleh Elizabeth
Cady Stanton pada tahun 1895.32 Dalam bukunya, Stanton dan rekan-rekannya
menafsirkan bagian-bagian Alkitab yang secara langsung merujuk dan menonjolkan
kaum perempuan. Mereka menyalahkan penggunaan Alkitab sebagai senjata yang
melegitimasi penindasan terhadap kaum perempuan. Akan tetapi, pendekatan Stanton
ini dianggap terlalu radikal oleh kaum feminis lainnya karena menyerang Alkitab dan
otoritas Alkitab secara terbuka.33
Pasca-Stanton, pendekatan feminis dalam membaca Alkitab relatif diam sampai
tahun 1970-an ketika para teolog seperti Phyllis Trible, Rosemary Ruether dan
Elizabeth Schüssler Fiorenza mulai menantang eksklusivitas yang berpusat pada lakilaki.34 Carolyn Osiek kemudian mengklasifikasikan lima posisi utama hermeneutik
yang dikembangkan oleh para ahli feminis yang terlihat melalui karya mereka, yaitu
rejectionist, loyalist, revisionist, sublimationist dan liberationist.35
1. Rejectionist
Pendekatan hermeneutik rejectionist dipelopori oleh Mary Daly dan dipengaruhi
oleh Stanton. Daly melihat Alkitab sebagai sesuatu yang telah korup dan tidak
dapat diperbaiki lagi, sehingga pilihan satu-satunya adalah menolak Alkitab
32
Susan Brayford, “Feminist Criticism: Sarah Laughs Last,” dalam Joel M. LeMon dan Kend
Harold Richard, ed., Method Matters: Essays on the Interpretation of the Hebrew Bible in Honor of
David L. Petersen (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 314.
33
Brayford, “Feminist Criticism, 314.
34
Brayford, “Feminist Criticism, 314.
35
Carolyn Osiek, “The Feminist and the Bible: Hermeneutical Alternatives,” HTS Teologies
Studies / Theoligical Studies Vol. 53, No. 4 (1997), 960.
23
sepenuhnya dan semua tradisi keagamaan.36 Pandangan ini mengarah kepada
dualisme yang baru, yaitu laki-laki melambangkan kejahatan dan perempuan
melambangkan kebaikan. Hermeneutik rejectionist ini kemudian menjadi bentuk
teologis separatisme yang paling radikal.37 Heather McKay kemudian
mengusulkan kepada penganut aliran ini untuk meninggalkan integritas Alkitab,
bukan Alkitab itu sendiri. Alkitab sebagai produk sejarah dan budaya
menyediakan akses untuk mendengar suara-suara pada masa lalu yang
menampilkan secara minim mengenai perempuan dan peranannya. Penganut
paham ini, seperti Cheryl Exum, kemudian berupaya untuk menggali dengan teliti
teks-teks Alkitab untuk menemukan suara-suara yang teredam dan membawa
suara-suara ini keluar untuk dianalisis dan dikritik.38
2. Loyalist
Pendekatan hermeneutik loyalist berbanding terbalik dengan rejectionist. Para
penganutnya memiliki premis dasar, yaitu keabsahan Alkitab sebagai firman
Allah yang tidak dapat ditolak. Alkitab merupakan ungkapan otoritas Allah
sehingga tidak mungkin menindas. Namun jika terlihat demikian, maka kesalahan
terletak pada penafsir, tradisi penafsiran dan keterbatasan pengetahuan yang
direfleksikan melalui penafsiran mereka, bukan pada teks Alkitab. Pendekatan
loyalist menekankan pesan kemerdekaan dan kemanusiaan yang sejati. Laki-laki
dan perempuan dimaksudkan untuk hidup dalam kebahagiaan sejati dan saling
menghargai dalam rencana ilahi, bukan dalam pola-pola penindasan.39 Terhadap
pendekatan ini, Osiek menyadari bahwa kaum loyalist masih sangat rentan
terhadap godaan untuk merenggangkan sejarah dan arti harafiah dari teks Alkitab,
36
Brayford, “Feminist Criticism, 314; Osiek, “The Feminist, 960.
Osiek, “The Feminist, 961.
38
Brayford, “Feminist Criticism, 315.
39
Osiek, “The Feminist, 961-962.
37
24
serta memiliki kecenderungan untuk mengabaikan implikasi politik dari apa yang
dilihat sebagai hasil penafsiran dari teks yang problematis. McKay menambahkan
bahwa kaum loyalist memberikan wewenang yang terlalu besar kepada Alkitab
dengan cara menekankan secara berlebihan peranan yang dimainkan perempuan
atau dengan menyajikan cerita yang bersifat ambigu melalui cara yang positif.40
3. Revisionist
Pendekatan revisionist mengambil jalan tengah antara rejectionist dan loyalist.
Penganut pendekatan ini mengakui bahwa teks-teks Alkitab bersifat androsentris
dan sering dikonstruksikan dan diperkuat dari sudut pandang patriarkal.
Revisionist menyalahkan berbagai perbedaan keadaaan sosial dan sejarah yang
dihubungkan dengan penulisan, pembacaan dan penafsiran teks Alkitab sebagai
penyebab rusaknya kebaikan yang terdapat dalam Alkitab. Mereka berpendapat
bahwa tradisi yang ada dapat dipulihkan dengan menggali teks dan konteks
Alkitab untuk menemukan jejak yang penting dan perlawanan yang dilakukan
oleh perempuan. Phyllis Trible dapat dikategorikan dalam pendekatan ini.41
Dalam menafsirkan cerita-cerita cinta dan teks-teks teror dalam Alkitab secara
retorik, Trible dibawa untuk menemukan pesan yang baik dalam teks
androsentris, namun tetap memperhatikan isu-isu misogini dalam teks. Teks dan
tafsiran yang mendukung penindasan laki-laki terhadap perempuan diakui Trible
berasal dari masa lalu. Karenanya, Trible meminta pembaca untuk menanggapi
pesan-pesan afirmatif yang ditemukan dalam teks Alkitab untuk mengubah
masyarakat di masa kini maupun masa depan. Terhadap pendekatan ini, Osiek
dan McKey menekankan bahwa jelas pendekatan revisionist merevisi penafsiran-
40
Brayford, “Feminist Criticism, 315.
Lihat Phyllis Trible, Texts of Terror: Literarry-Feminist Readings of Biblical Narratives
(Philadelphia: Fortress Press, 1984).
41
25
penafsiran dan menawarkan tantangan baru terhadap tradisi yang ada. Meskipun
demikian, teks Alkitab yang bersifat endrosentris tidak dapat diubah.42
4. Sublimationist
Pendekatan sublimationist memfokuskan pada gambaran dan simbol feminin
untuk menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kualitas maskulin dan
feminin. Banyak penganut pendekatan ini yang memfokuskan perhatiannya pada
simbol-simbol yang dikaitkan dengan kualitas feminin seperti mengasuh, merawat
dan menciptakan. Simbol lain yang menjadi fokus sublimationist misalnya Israel
sebagai mempelai perempuan Tuhan, dan gereja sebagai mempelai Kristus.
Menurut Osiek dan McKay, pendekatan ini membawa dampak pada
kecenderungan untuk mengabaikan isu-isu politik dan sosial yang menyatu dalam
teks-teks, karena sublimationist lebih menaruh perhatian pada bidang psikologi.43
5. Liberationist
Pendekatan terakhir adalah liberationist yang diprakarsai oleh Letty M. Russell
dan lainnya, dan kemudian dikembangkan oleh Elizabeth Schüssler Fiorenza dan
Rosemary Ruether.44 Berdasarkan pada teologi pembebasan, pendekatan ini
mengakui dan memahami bahwa penindasan terhadap kaum perempuan sebagai
bagian dari pola dominasi dan kekuasaan. Liberationist menganggap bahwa inti
pesan dari Alkitab adalah pembebasan manusia dari penindasan, baik fisik
maupun spiritual, serta memelihara tujuan dari interpretasi Alkitab; atau dengan
kata lain disebut sebagai transformasi. Jika teks-teks Alkitab yang ditafsirkan
tidak menunjukkan kesetaraan yang penuh bagi kaum perempuan, maka tafsiran
tersebut tidak dapat dipertimbangkan sebagai firman Allah.45
42
Brayford, “Feminist Criticism, 315-316.
Osiek, “The Feminist, 964-965; Brayford, “Feminist Criticism, 316.
44
Osiek, “The Feminist, 965.
45
Brayford, “Feminist Criticism, 316.
43
26
Berbagai pendekatan di dalam kritik feminis ini menunjukkan bahwa
perempuan memiliki pengalaman, pandangan dan asumsi yang berbeda terhadap
Alkitab. Meskipun demikian, analisis feminis terhadap teks Alkitab bukanlah kegiatan
yang bersifat privat, tetapi memiliki ciri publik dan komunal. Para feminis sama-sama
menaruh perhatian pada isu patriarki dan androsentrisme yang sangat dominan dalam
teks-teks Alkitab, sehingga penafsiran-penafsiran yang ditawarkan bertujuan untuk
menghadirkan kembali suara perempuan yang hilang.
Berdasarkan berbagai macam cara pandang, pemaknaan dan metode yang
dikembangkan, maka penulis memfokuskan pada pendekatan liberationist untuk
menganalisa kisah dalam Hakim-hakim 4 dan 5. Peranan Debora sebagai hakim, nabi
dan pemimpin perang telah memberikan gambaran baru tentang kedudukan perempuan
yang tidak hanya dominan dalam ranah domestik, tapi juga dalam ranah publik. Selain
itu, peranan Debora dan Yael yang memberikan kemenangan bagi Israel telah
menunjukkan bahwa bukan hanya laki-laki, tetapi perempuan juga dapat melakukan
tindakan besar bagi kaumnya. Hal-hal ini secara jelas menunjukkan bahwa perempuan
telah memiliki status dan peranan penting pada masa itu. Akan tetapi, karena pola
dominasi patriarki yang begitu dominan, perempuan ini kehilangan suara dalam
interpretasi teks dan bagian kitab lain. Untuk mengklaim kembali suara perempuan
yang hilang dan menyuarakan pembebasan bagi perempuan dari berbagai pola
dominasi, maka pendekatan liberationist dapat digunakan. Guna memahami
pendekatan liberationist secara mendalam, penulis akan memaparkan metode yang
dipakai oleh penganutnya, seperti Letty M. Russell dan Elizabeth Schüssler Fiorenza.
Russell mengatakan bahwa berita Alkitab dapat menjadi firman yang
membebaskan bagi mereka yang mendengar dan bertindak dalam iman. Akan tetapi,
berita Alkitab ini juga perlu dibebaskan dari penafsiran seksis yang mendominasi
27
pikiran dan tindakan kita.46 Dalam upaya berteologi feminis, Alkitab perlu dibebaskan
bukan saja dari tafsiran-tafsiran bias gender yang telah ada, namun juga dari bias
patriarkal yang ada di dalam teks Alkitab itu sendiri. Ketika perempuan berteologi
feminis, mereka mengekspresikan fakta bahwa pengalaman yang mereka bicarakan
merupakan aksi untuk mencari kesetaraan sebagai manusia.47
Russell menawarkan metode aksi-refleksi dalam tafsiran feminis. Metode ini
berdasarkan dua pilar, yaitu pengalaman perempuan dan konteks perempuan.48
a. Pengalaman perempuan mendorong setiap pribadi dalam suatu komunitas iman
untuk memberikan perhatian secara utuh dalam rangka menemukan cara baru
untuk berpikir dan menentukan pemahaman yang baru tentang iman. Pendekatan
ini menjadikan setiap orang percaya berkeyakinan bahwa mereka memiliki suara
sendiri terhadap pemaknaan iman yang akan memampukan individu untuk
menetapkan ekualitas dan keadilan bagi anggota komunitas.
b. Teologi feminis lahir dari pengalaman perempuan dalam berbagai konteks.
Bagaimana suatu konteks tradisi dideskripsikan dan diinterpretasi sangat
tergantung pada siapa yang menginterpretasinya, bagaimana dia melakukannya
dan bagaimana situasi pada saat itu. Karena terdapat begitu banyak konteks, maka
interpretasi teks sangat tergantung kepada pembaca dan situasi mereka.
Lebih lanjut, Russell menyebutkan bahwa penekanan pada “persaudarian”
adalah pemahaman pertama untuk kaum feminis karena kebanyakan tulisan teologi
dikerjakan oleh dan dalam pengalaman laki-laki. Perempuan harus mendukung satu
sama lain untuk mentransformasi teologi feminis. Usaha ini akan mengikat perempuan
46
Letty M. Russell, “Introduction: Liberating the Word,” dalam Letty M. Russell, ed., Feminist
Interpretation of the Bible (Philadelphia: The Westminster Press, 1985), 11.
47
Zohreh Abdekhodaie, “Letty M. Russell: Insights and Challenges of Christian Feminism”
(MTS,
Thesis,
University
of
Waterloo,
2008),
58,
dalam
https://uwspace.uwaterloo.ca/bitstream/handle/10012/3564/THESIS%20FINAL%202.pdf?sequence=1,
diunduh pada Rabu, 22 Oktober 2014 pukul 13.50 WIB.
48
Abdekhodaie, “Letty M. Russell, 48-49.
28
bersama-sama menuju upaya kolektif dalam berteologi, serta mendorong perempuan
untuk menemukan peran aktif mereka dalam memberikan kontribusi bagi perjuangan
kaum perempuan terhadap tradisi patriarki yang telah berkuasa selama berabad-abad.49
Sependapat dengan Russell, Fiorenza dalam Anne M. Clifford menyatakan
bahwa walaupun Alkitab berasal dalam unsur-unsur yang secara potensial berciri
patriarki di zaman purba, namun ia memiliki unsur lain yang secara potensial berciri
liberatif, tidak saja bagi kaum perempuan tetapi juga untuk setiap orang yang
mengalami penindasan di dalam sistem patriarki.50 Menurutnya, penafsiran teks Alkitab
harus
menempatkan
perhatian
pada
perjuangan
kaum
perempuan
untuk
mentransformasi struktur patriarki baik dalam masa Alkitab maupun masa kini,
daripada hanya memfokuskan pada teks androsentris dan otoritasnya. Teologi feminis
harus menjadikan perempuan sebagai subjek dalam merekonstruksi secara kritis makna
teologis Alkitab dan untuk mengklaim otoritas mereka.51 Oleh karena itu, tafsirantafsiran feminis harus dimulai dengan hermeneutik investigasi52 terhadap interpretasi
kontemporer Alkitab yang bersifat androsentris dan juga terhadap teks Alkitab sendiri.
Pendekatan liberationist yang telah dipaparkan ini akan menjadi pijakan bagi
penulis untuk menganalisa teks Hakim-hakim 4 dan 5. Pendekatan ini diharapkan dapat
membebaskan pembaca dari tafsiran androsentris sehingga dapat menempatkan
kembali posisi perempuan dalam sejarah sebagai subjek yang dibaca dan diinterpretasi
untuk menentukan makna teks, khususnya dalam pola hubungan dan interaksi dengan
sesama, baik perempuan maupun laki-laki.
49
Abdekhodaie, “Letty M. Russell, 56.
Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumere: Ledalero, 2002), 92.
51
Elizabeth Schüssler Fiorenza, But She Said: Feminist Practices of Biblical Interpretation
(Boston: Beacon Press, 1992), 8.
52
Hermeneutic of suspicion tidak diterjemahkan secara harafiah karena kata “kecurigaan” lebih
bermuatan negatif dan tidak memberikan ruangan akan munculnya sesuatu yang konstruktif (Tim
Penulis, Membaca Alkitab dengan Mata Baru: Tafsir Feminis Kritis untuk Pembebasan dan
Transformasi (Jakarta: Asian Women’s Resource Centre for Cultural and Theology, 2013), 19).
50
29
C. PEREMPUAN DALAM DUNIA ISRAEL KUNO
Hubungan solidaritas antara perempuan yang akan dikaji dalam kisah Debora,
Yael dan ibu Sisera tidak dapat dipisahkan dari status mereka sebagai perempuan yang
hidup dalam konteks Israel Kuno. Kehidupan perempuan dalam dunia Israel Kuno
hanya dapat dipahami dengan mengidentifikasi konteks kehidupan pada masa itu yang
terdiri dari tiga level organisasi sosial, yaitu rumah tangga, klan dan suku.
1) Rumah tangga
Keluarga dan rumah tangga merupakan dua konsep yang berbeda, namun saling
berhubungan. Menurut Nesta Anderson, keluarga merupakan sekelompok kerabat
yang tinggal bersama ataupun tidak, dengan fungsi utama untuk memperoleh
keturunan secara biologis (dapat juga dilakukan melalui adopsi). Sedangkan,
rumah tangga adalah sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu atau lebih
struktur dengan melaksanakan kegiatan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan mendukung kehidupan anggotanya.53 Rumah tangga dibentuk oleh satu
atau beberapa individu dengan memperhatikan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi fungsi rumah tangga dalam komposisi dan pembagian kerja,
seperti hubungan kekerabatan, jenis kelamin, usia, etnis, ras maupun status sosial
dan ekonomi. Siklus dalam kehidupan rumah tangga juga sangat terikat dengan
kehidupan anggotanya, sehingga rumah tangga selalu berubah seiring dengan
adanya kelahiran, kematian dan pernikahan.54
Dalam bahasa Ibrani, keluarga disebut bêt ‘āb yang berarti “rumah sang
bapa.” S. Bendor menyebutkan bahwa bêt ‘āb terdiri dari ayah dan istri(-istri)nya,
anak-anak laki-laki dan istri(-istri)nya, anak-anak perempuan yang belum
53
Nesta Anderson, “Finding the Space between Spatial Boundaries and Social Dynamics: The
Archeology of Nested Household,” dalam Kerri S. Barlie dan Jamie C. Brandon, Household Chores and
Household Choices: Theorizing the Domestic Sphere in Historical Archaeology (Tuscaloosa, Alabama:
The University of Alabama Press, 2004), 111.
54
Anderson, “Finding the, 111-112.
30
menikah dan keturunan dari anak laki-laki.55 Sementara Gale A. Yee menyebut
bêt ‘āb sebagai istilah yang komprehensif untuk menunjuk kepada keluarga inti
dan keluarga besar. Keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak-anak, sedangkan
keluarga besar terdiri dari dua atau lebih keluarga inti yang terkait oleh
kekerabatan patrilineal. Seperti keluarga inti, dalam keluarga besar anggota
keluarga tinggal bersama, terkadang tiga sampai empat generasi dengan otoritas
yang terletak pada bapa keluarga.56
Rumah tangga memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai tempat tinggal,
tempat bereproduksi dan tempat melakukan kegiatan ekonomi. Fungsi ekonomi
yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi anggota rumah tangga menjadi
fungsi rumah tangga yang paling penting dalam masyarakat agraris Israel Kuno,
sehingga setiap anggota keluarga bekerja untuk memberikan sumbangan bagi
ekonomi rumah tangga.57 Berbagai peraturan diatur untuk kelangsungan hidup
dalam rumah tangga, seperti hak kesulungan (bĕkōrâ) dan sistem kepemilikan
tanah (nakhlăhâ).58
2) Klan
Gabungan dari beberapa bêt ‘āb yang tinggal bersama dalam satu desa atau kota
kecil disebut klan (mišpāhāh).59 Norman K. Gottwald mendefenisikan mišpāhāh
sebagai “perkumpulan perlindungan keluarga-keluarga” yang terdiri dari
sekelompok keluarga yang tinggal bersama dalam satu desa atau desa yang
berdekatan, saling membantu untuk meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi,
55
S. Bendor, The Social Structure of Ancient Israel: The Institution of the Family (beit ab) from
the Settlement to the end of the Monarchy (Jerusalem, Israel: Ben Zvi Press, 2000), 48.
56
Gale A. Yee, Poor Banished Children of Eve: Woman as Evil in the Hebrew Bible
(Minneapolis: Fortress Press, 2003), 35.
57
Carol Meyers, Discovering Eve: Ancient Israelite Women in Context (Oxford: Oxford
University Press, 1988), 140-141.
58
Philip J. King dan Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2010), 53.
59
Paula McNutt, Reconstructing the Society of Ancient Israel (Louisville, Kentucky:
Westminster John Knox Press, 1999), 91.
31
menjadi bagian dalam tentara suku dan secara individu maupun berkelompok
terlibat dalam menetapkan hukum masyarakat lokal. Tindakan ini dilakukan
dalam situasi darurat yang bertujuan untuk mengembalikan bêt ‘āb kepada
keadaan normal sebagai unit yang otonom. Sedangkan dalam keadaan normal,
mišpāhāh pada dasarnya berfungsi untuk menjamin ketentraman keluarga yang
termasuk di dalamnya,60 seperti melindungi warisan, sebagai hakim dan
penengah, membantu dalam acara perkawinan, serta mempertahankan tempattempat ibadah yang didirikan oleh para tua-tua.61
3) Suku
Suku (šēbet) dibentuk dari kumpulan kota-kota kecil atau kumpulan beberapa
klan yang hidup di kota yang sama. Dalam Alkitab, šēbet seringkali mengacu
pada dua belas suku Israel dan berhubungan dengan bêt ‘āb dan mišpāhāh.62
Menurut C. H. J. de Geus dalam McNutt, suku merupakan sebuah konsep
geografis sebagai sarana untuk memungkinkan orang Israel dari satu wilayah
berhubungan dengan orang Israel di wilayah lainnya sebagai bagian dari satu
Negara atau kekuasaan. Oleh karena itu, suku tidak terpisah dari Israel secara
keseluruhan.63 Suku juga menjadi istilah yang dipakai untuk mengidentifikasikan
batas wilayah dan area administrasi, serta sebagai tempat melakukan ibadah
khusus untuk wilayah dan masyarakat lokal.64 Menurut Gottwald, Israel sebagai
konfederasi suku-suku merupakan unit sosial dan budaya terluas yang terkait
dengan egaliter suku Yahweh. Ciri mendasar dari konfederasi ini adalah kultus
Yahweh yang sama, hukum dan ideologi yang sama, bertanggung jawab pada
60
Norman K. Gottwald, The Tribes of Yahweh: A Sociology of the Religion of Liberated Israel
1250-1050 B.C.E (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1979), 340.
61
Bendor, The Social, 118.
62
Bendor, The Social, 87-88.
63
McNutt, Reconstructing the, 87.
64
Bendor, The Social, 92.
32
sistem ekonomi yang egaliter, serta kesiapan untuk melawan bangsa asing yang
mengancam kehidupan.65
Ketiga level organisasi sosial ini merupakan konteks kehidupan masyarakat
yang menyatukan orang Israel. Perempuan dan laki-laki melaksanakan aktivitas seharihari sesuai dengan pembagian kerja yang telah diatur dalam unit-unit tersebut. Di
dalam teks-teks Perjanjian Lama, peranan dan kedudukan perempuan dalam berbagai
konteks kehidupan masyarakat tidak menjadi perhatian para penulis/penyunting teks.
Oleh karena itu, upaya untuk merekonstruksi peran gender di dalam masyarakat Israel
telah dilakukan oleh para teolog agar dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai
kedudukan dan peranan kaum perempuan pada masa itu. Upaya ini dilakukan dengan
berbagai pendekatan, seperti antropologi, sosiologi, arkeologi maupun sosial sains.
Phyllis A. Bird melakukan penelitian terhadap kedudukan kaum perempuan
menurut kitab Amsal dan tulisan-tulisan sejarah. Kitab Amsal menggambarkan
perempuan dalam tiga tipe, yaitu ibu yang mengasuh dan memelihara, istri yang
memperhatikan suami, serta perempuan asing.66 Dalam tulisan-tulisan sejarah juga
didapati perempuan yang dominan sebagai ibu dan istri. Perempuan ditampilkan
dengan berbagai peran, pekerjaan dan profesi seperti gundik, perempuan sundal, nabi,
hakim, bidan dan perawat, perempuan bijak, penyanyi kultus dan pelayan raja.67
Menurut Bird, gambaran-gambaran tentang perempuan ini pada umumnya ditampilkan
dengan tujuan untuk menunjukkan kedudukan perempuan sebagai pembantu dalam
cerita dan aktivitas laki-laki.68
65
Gottwald, The Tribes, 338.
Phyllis A. Bird, Missing Persons and Mistaken Identities: Women and gender in Ancient
Israel (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 30.
67
Phyllis A. Bird, “Images of Women in the Old Testament,” dalam Norman K. Gottwald, ed,
The Bible and Liberation: Political and Social Hermeneutics (Maryknoll, New York: Orbis Books,
1983), 252.
68
Bird, Missing Persons, 13.
66
33
Meskipun demikian, Carol Meyers dalam McNutt mengemukakan bahwa tidak
adanya tanda-tanda dominasi perempuan dalam teks Perjanjian Lama, tidak selalu
berarti bahwa perempuan didominasi; dan fakta bahwa perempuan kurang terlihat
secara publik juga tidak berarti bahwa kehadiran mereka kurang penting bagi
masyarakat.69 Hal ini tampak pada posisi dan jabatan penting para perempuan dalam
kehidupan masyarakat yang masih menganut sistem teokrasi di Israel, misalnya sebagai
nabiah (Miryam, Keluaran 15:20; Debora, Hakim-hakim 4:4; Hulda, 2 Raja-raja 22:14;
Noaja, Nehemiah 6:14;) dan hakim (Debora, Hakim-hakim 4:4).
Carol Meyers merupakan salah satu ahli Alkitab feminis yang berusaha untuk
merekonstruksi peranan perempuan dan laki-laki dalam dunia Israel Kuno. Dalam
pembahasannya mengenai kehidupan Israel kuno pada masa pra-monarki yaitu pada
Zaman Besi I, keadaan masyarakat mulai tertata dari rumah tangga, klan dan suku
sehingga tatanan kehidupan rumah tangga merupakan unit utama yang berfungsi
sebagai pusat ekspresi budaya, sosial, politik dan ekonomi manusia.70 Dalam kehidupan
rumah tangga, terdapat tiga aktivitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki,
yaitu prokreasi (reproduksi), produksi (subsistence) dan proteksi (pertahanan/
perlindungan).71
Aktivitas prokreasi merupakan kegiatan biologis yang menjadi tanggung jawab
perempuan, sementara aktivitas proteksi merupakan aktivitas yang hampir sepenuhnya
dilakukan oleh laki-laki. Aktivitas melahirkan dan membesarkan anak telah menyita
hampir seluruh energi perempuan, sehingga seluruh perhatian perempuan terpusat di
ranah domestik. Hal ini merupakan salah satu faktor penghambat keterlibatan
perempuan dalam aktivitas produksi. Peranan laki-laki dalam melakukan dua aktivitas
69
McNutt, Reconstructing the, 95.
Carol L. Meyers, ”Procreation, Production, and Protection: Male-Female Balance in Early
Israel,” dalam Charles E. Carter dan Carol L. Meyers, ed., Community, Identity, and Ideology: Social
Science Approaches to the Hebrew Bible (Winona Lake, Indiana: Eisenbrauns, 1996), 494.
71
Meyers, ”Procreation, Production, 494.
70
34
yaitu produksi dan proteksi menyebabkan status dan kekuasaan laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan yang hanya melakukan satu aktivitas, yaitu prokreasi.72
Meyers mengemukakan bahwa terdapat indikasi yang merujuk pada perubahan
lingkungan dan keadaaan demografik yang menyebabkan pergeseran dalam
keseimbangan perempuan dan laki-laki. Menurutnya, pembagian tugas kerja antara
perempuan dan laki-laki sangat dipengaruhi oleh partisipasi laki-laki dalam aktivitas
proteksi (militer). Awal pembentukan kerajaan Israel diwarnai dengan peperangan yang
terus terjadi. Untuk menghadapi kondisi ini, kaum Israel yang tidak dilengkapi dengan
prajurit-prajurit profesional terpaksa harus menyediakan sejumlah prajurit yang dapat
dipanggil sewaktu-waktu. Taktik ini menyebabkan beberapa laki-laki direkrut dari
keterlibatan mereka di dalam aktivitas produksi dalam keluarga masing-masing. Di
masa inilah para perempuan memberikan porsi yang besar dengan menggantikan tugas
laki-laki dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.73
Selain faktor militer, keadaan Israel sebagai bangsa yang baru mengharuskan
masyarakat untuk membuka tempat hunian baru di pegunungan Palestina. Alam yang
keras mengharuskan orang Israel untuk mengeluarkan tenaga yang besar agar dapat
menghasilkan tanah yang produktif, hutan belantara harus dibersihkan, waduk harus
digali untuk penyimpanan air hujan karena sumber air tidak dapat diakses dengan
mudah, serta sistem terasering yang cocok untuk konteks lahan kering harus dibangun
di lereng bukit untuk memudahkan pertanian. Aktivitas-aktivitas ini menjadi tanggung
jawab laki-laki. Ketika mereka melakukan pekerjaan ini, kaum perempuan akan
melakukan kegiatan produksi lain, seperti bercocok tanam secara berkelompok.74
Keterlibatan perempuan dalam aktivitas produksi ini menunjukkan bahwa status
perempuan dalam aktivitas rumah tangga tidak dapat dipandang lebih rendah dari laki72
Meyers, ”Procreation, Production, 494.
Meyers, ”Procreation, Production, 497-498.
74
Meyers, ”Procreation, Production, 498-499.
73
35
laki. Tugas perempuan dalam aktivitas prokreasi dan produksi dapat dikatakan
seimbang dengan tugas laki-laki dalam aktivitas proteksi dan produksi. Hal ini
menunjukkan bahwa perempuan mampu menaikkan status dan peranannya di mata
masyarakat. Selain dalam kegiatan produksi, khususnya di bidang pertanian,
keterlibatan perempuan Israel Kuno dalam aktivitas sehari-hari lainnya akan dikaji
secara mendalam pada pembahasan berikut.
1. Perempuan dalam Kehidupan Sosial
Kehidupan dan pekerjaan perempuan Israel Kuno terpusat pada rumah tangga
dan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Gambaran ideal mengenai perempuan
dewasa adalah statusnya sebagai ibu dari anak-anak dan pengatur rumah tangga yang
memberikan kesejahteraan bagi keluarganya.75 Ibu berperan untuk merawat anak-anak
setidaknya sampai waktu penyapihan (sekitar berumur tiga tahun), mendidik anakanak, serta menyediakan makanan dan pakaian untuk seluruh anggota keluarga.76
Kegiatan produksi perempuan untuk menyiapkan makanan dan membuat baju inilah
yang paling penting untuk dilakukan dalam rumah tangga.77
Kegiatan menyiapkan makanan dan membuat baju bukanlah tugas yang hanya
dilakukan di dalam rumah dan memerlukan energi yang sedikit. Kegiatan ini
membutuhkan proses yang kompleks dan waktu yang relatif lama. Roti yang menjadi
makanan pokok orang Israel membutuhkan serangkaian proses panjang. Butir-butir
gandum harus direndam, digiling dan dihaluskan menjadi tepung; tepung kemudian
dicampur menjadi adonan dan dipanggang menjadi roti. Pengolahan biji-bijian gandum
membutuhkan paling kurang dua jam dalam sehari. Hal ini belum termasuk pencarian
75
Bird, Missing Persons, 58.
Bird, Missing Persons, 61.
77
Jennie R. Ebeling, Women’s Lives in Biblical Times (New York: T&T Clark International,
2010), 32.
76
36
bahan bakar dan pengontrolan api pada saat pemanggangan roti. Prosedur untuk
mengolah bahan makanan lain seperti zaitun, herbal, buah dan susu agar dapat bertahan
lama juga membutuhkan waktu yang serupa. Dengan berbagai variasi musim yang ada,
dapat dikatakan bahwa perempuan biasanya menghabiskan 10 jam atau lebih waktunya
untuk melakukan aktivitas di dalam maupun di luar rumah. Hal ini menunjukkan beban
kerja perempuan yang besar. Aktivitas-aktivitas perempuan juga membutuhkan
ketrampilan dalam menggunakan teknologi yang sangat tinggi, sehingga perempuan
dewasa di Israel Kuno perlu mempelajari berbagai ketrampilan agar dapat mengubah
bahan mentah menjadi siap dikonsumsi.78 Demikian pula seorang perempuan perlu
mempelajari cara pembuatan bahan pakaian dari perempuan dewasa lainnya, mulai dari
membuat benang sampai menjahit pakaian.
Aktivitas rumah tangga perempuan sering dilakukan di sotoh atau di halaman
rumah ketika musim panas secara berkelompok, baik bersama anggota keluarga
maupun tetangga yang berdekatan. Untuk membakar roti, perempuan menggunakan
tungku yang lebih besar yang berada di luar rumah. Tungku ini sering dipakai bersama
oleh beberapa rumah tangga atau komunitas yang lebih besar. Sementara menunggu
giliran untuk membakar roti, perempuan secara berkelompok akan melakukan aktivitas
lain seperti menjahit atau menyulam perlengkapan rumah tangga, misalnya permadani,
selimut, tirai dengan menggunakan wol, serabut, rami maupun bulu domba.79 Selain
beraktivitas di halaman rumah, kelompok perempuan juga melakukan pekerjaan lain,
seperti menimba air dan mengisi palungan untuk memberi minum kambing domba.80
Aktivitas yang dilakukan secara berkelompok menjadi bukti adanya jaringan atau
78
Carol Meyers, “The Family in Early Israel,” dalam John J. Collins dan Carol Meyers,
Families in Ancient Israel (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 1997), 25.
79
Ebeling, Women’s Lives, 51.
80
Ebeling, Women’s Lives, 46.
37
ikatan antara perempuan yang membentuk persekutuan yang dekat dan saling berbagi
pengetahuan ketika bekerja sama.
Perempuan Israel Kuno juga bertanggung jawab untuk membuat kerajinan
tangan berupa perabotan rumah tangga seperti kendi, keranjang dan keramik.
Perempuan dengan keahlian ini memperoleh status dan nilai yang tinggi dalam
keluarganya.81 Pembuatan perabotan rumah tangga melibatkan penggunaan bahan
kimia yang kompleks, sehingga dapat dikatakan bahwa keahlian seorang perempuan
Israel Kuno mencakup bidang perencanaan, ketrampilan dan pengetahuan teknologi.82
Perempuan dewasa yang telah menjadi seorang ibu memiliki peran kritis dalam
proses sosialisasi dan edukasi anak-anak. Perempuan tidak hanya melahirkan untuk
meneruskan
keturunan
dan
memberikan
nama;
tetapi juga
mengasuh
dan
memperkenalkan anak-anak pada kehidupan sosial, kebudayaan, perilaku, normanorma dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat.83 Sejak dini anak-anak belajar mengenai
tradisi agama dengan mengajarkannya di rumah dan mengunjungi tempat ibadah yang
dilakukan dengan dukungan dari anggota keluarga perempuan lainnya. Seorang ibu
juga memiliki peranan sendiri untuk mempersiapkan anak perempuan sebagai seorang
istri dan ibu di masa depan dengan melatih ketrampilan khusus perempuan.84
Di dalam tradisi Israel Kuno, anak perempuan yang sudah menikah akan
mendapatkan hamba (na’arah) sebagai bagian dari mahar yang diterima oleh pengantin
muda dari keluarganya.85 Na’arah adalah pelayan perempuan yang sering berada di
bawah kontrol dan pimpinan perempuan lain sebagai nyonyanya. Pada umumnya
mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan pribadi (Kejadian 24:61),
81
Ebeling, Women’s Lives, 56.
Meyers, “The Family, 25-26.
83
Meyers, Discovering Eve, 149.
84
Bird, Missing Persons, 59.
85
Carolyn S. Leeb, Away from the Father’s House: The Social Location of na’ar and na’arah in
Ancient Israel (England: Sheffield Academic Press, 2000), 127.
82
38
meskipun tampak beberapa pekerjaan pertanian yang juga dilakukan (Rut 2:8).
Kehadiran mereka selalu ditampilkan sebagai sosok yang patuh kepada tokoh
perempuan utama. Mereka juga sering “dikirim” keluar (Amsal 9:3) untuk melakukan
perjalanan dengan membawa pesan kepada pihak tertentu.86
2. Perempuan dalam Kehidupan Spiritual
Argumen dan asumsi mengenai status dan peranan perempuan Israel Kuno yang
termarginal dan tersubordinasi dalam kegiatan keagamaan merupakan pemahaman
umum bagi orang Israel sebagai masyarakat nomaden dengan struktur kekerabatan
patrilineal. Sementara, partisipasi dan peranan perempuan dalam kehidupan keagamaan
Israel Kuno lebih luas dan lebih penting daripada yang dapat dilukiskan. Gambaran
perempuan yang terbatas dalam kegiatan keagamaan ini dipengaruhi oleh pemahaman
tentang posisi dan peranannya dalam kehidupan masyarakat.
Bird mengemukakan tiga unsur utama dari pemahaman umum tentang
perempuan yang mempengaruhi tempat dan tugasnya secara langsung dalam kultus
Israel, yaitu (1) siklus bulanan perempuan, (2) tersubordinasinya perempuan dalam
keluarga yang menempatkan kedudukan wanita di bawah otoritas laki-laki, baik ayah,
suami maupun saudara laki-laki juga berdampak pada tersubordinasinya perempuan di
ruang publik di mana masyarakat diwakili oleh laki-laki, serta (3) pemahaman tentang
pekerjaan utama perempuan dan tugasnya yang berpusat pada pekerjaan rumah tangga
dalam peran sebagai istri dan ibu.87
Lebih lanjut, Bird berupaya untuk merekonstruksi peranan perempuan di bidang
keagamaan dengan cara menampilkan sejarah perempuan yang tersembunyi dan
melihat agama melalui mata perempuan, sehingga sudut pandang dan kehadiran
86
87
Leeb, Away from, 126-127.
Bird, Missing Persons, 88.
39
perempuan tampak dalam hasil akhir. Menurutnya, agama Israel kuno merupakan
agama perempuan dan laki-laki yang memerlukan perhatian kritis dan tanggung jawab
yang sama. Untuk memahami agama Israel sebagai agama bersama, maka peranan,
aktivitas dan pengalaman perempuan harus ditampilkan.88
Bukti terkaya untuk kegiatan keagamaan perempuan ditemukan dalam teks
Perjanjian Lama yang berkaitan dengan periode pra-monarki yang menyediakan
gambaran kepemimpinan perempuan, seperti Miryam yang memimpin orang Israel
menyanyikan lagu kemenangan (Keluaran 15:20-21), serta disejajarkan dengan Musa
dan Harun sebagai pemimpin orang Israel (Bilangan 12:2-8, Mikha 6:4); perempuanperempuan yang melayani di depan Kemah Pertemuan (Keluaran 38:8, 1 Samuel 2:22);
Debora yang dihormati sebagai “Ibu di Israel” (Hakim-hakim 5:7), sebagai hakim, nabi
dan pemimpin perang (Hakim-hakim 4:4-10; 5:7, 12-15), serta sebagai penyanyi yang
merayakan kemenangan Israel (Hakim-hakim 5:1); anak perempuan Yefta yang
memulai ritual perkabungan (Hakim-hakim 11:34-40); ibu Mikha yang mempersiapkan
tempat suci bagi keluarganya (Hakim-hakim 17:1-13); Hana dan Penina yang
menyertai suami mereka pada ziarah tahunan ke Silo dan dibagikan porsi persembahan
korban (1 Samuel 1:1-4); serta Hana yang berdoa, bernazar di dekat bait suci dan
akhirnya menepati nazarnya dengan mempersembahkan anaknya (1 Samuel 1:9-28).
Gambaran-gambaran ini memberikan porsi yang besar tentang peranan perempuan
dalam aktivitas keagamaan.89
Berbeda dengan masa pra-monarki, pada masa monarki dan pasca-monarki
kegiatan keagamaan perempuan menjadi terbatas. Dua nabiah perempuan, Hulda (2
Raja-raja 22:14-20) dan nabiah90 tidak bernama dalam Yesaya 8:3 merupakan
88
Bird, Missing Persons, 83-84.
Bird, Missing Persons, 91.
90
Arti kata nĕbi’â dalam ayat ini diperdebatkan. Akan tetapi, menurut Bird istilah dalam Yesaya
8:3 jelas menunjuk kepada nabiah, bukan istri. Bird, Missing Persons, 92.
89
40
perempuan-perempuan yang berperan dalam kultus agama. Sisanya dianggap tidak sah
karena tidak berhubungan dengan ritus Israel, seperti qĕdēšôt (Hosea 4:14 dan Ulangan
23:18); ratu dan ibu ratu yang memperkenalkan kultus dan patung berhala (Maakha, 1
Raja-raja 15:13; Izebel, 1 raja-raja 18:19; Atalya, 2 Raja-raja 11:18); perempuan yang
menenun sarung (2 Raja-raja 23:7); perempuan-perempuan yang meremas adonan
sebagai persembahan ratu sorga (Yeremia 7:17-18; 44:15-25); perempuan-perempuan
yang menangis (Yehezkiel 8:14); serta perempuan yang terlibat dalam sihir dan nabiah
palsu (Yehezkiel 13:17-23). Sedangkan pada masa pasca-monarki, hanya terdapat satu
nabiah bernama Noaja (Nehemia 6:14). Penurunan jumlah kaum perempuan dalam
kegiatan keagamaan selama masa monarki tampaknya mencerminkan konsekuensi dari
sentralisasi kultus YHWH di bawah kendali kerajaan dan kecenderungan untuk
memberhalakan tempat ibadah lokal.91
Selain gambaran kepemimpinan, pemaparan di atas juga menunjukkan peranan
perempuan Israel Kuno dalam kultus ibadah, seperti melayani di pintu Kemah
Pertemuan, bernyanyi dan menari. Perempuan yang melayani di depan pintu Kemah
Pertemuan (Keluaran 38:8, 1 Samuel 2:22) tidak dijelaskan bentuk pelayanan apa yang
dilakukan, tapi tampaknya memiliki fungsi dalam kultus. Sementara, kegiatan
bernyanyi dan menari memang tidak selalu berkaitan dengan kultus keagamaan, akan
tetapi perempuan memainkan peranan yang penting dalam bagian ini. Perempuan
bernyanyi dalam ibadah secara individu, kelompok dan juga dalam jumlah yang besar
yang mungkin berkaitan dengan pemujaan dalam tempat ibadah (Keluaran 15:21, 1
Samuel 18:6, 1 Tawarikh 25:5, 2 Tawarikh 35:5, Ezra 2:65).92
Lebih lanjut, teks Alkitab juga menunjukkan kaum perempuan yang
diperkenankan memberikan korban bakaran dan persembahan, serta merayakan hari
91
Bird, Missing Persons, 91-92.
Mary J. Evans, Women in the Bible: An Overview of All the Crucial Passages on Women’s
Roles (Illinois: InterVarsity Press, 1983), 29.
92
41
besar atau hari raya keagamaan. Kebanyakan korban-korban bakaran dibawa oleh lakilaki sebagai perwakilan rumah tangga. Akan tetapi, dalam Imamat 12:6 dan 15:28-29
menunjukkan bahwa perempuan dapat membawa korban bakaran. Berbeda dengan
korban bakaran, persembahan dibawa secara individu oleh perempuan dan laki-laki,
misalnya dalam Keluaran 35:22. Mengenai perayaan hari keagamaan, kaum laki-laki
diharuskan untuk “menghadap hadirat Tuhan” tiga tahun sekali, sedangkan kaum
perempuan tidak berada di bawah kewajiban tersebut. Meski demikian, tidak ada
hukum yang melarang jika perempuan berkeinginan untuk menghadiri perayaan hari
besar keagamaan. Teks Perjanjian Lama yang menunjukkan partisipasi perempuan
dalam hari besar keagamaan misalnya dalam perayaan hari raya tujuh minggu (Ulangan
16:10-11) dan perayaan hari raya pondok daun (Ulangan 16:13-15).93
Berdasarkan pemaparan-pemaparan ini, jelas menunjukkan bahwa upaya para
ahli untuk merekonstruksi kedudukan dan peranan perempuan dalam dunia Israel Kuno
telah memberikan paradigma dan gambaran yang baru mengenai keberadaan kaum
perempuan yang tersembunyi di balik teks dan tafsiran androsentris. Hal menarik yang
ditemukan dari pembahasan tentang rekonstruksi ini adalah pembagian kerja antara
perempuan dan laki-laki terjadi secara seimbang ketika orientasi kehidupan berpusat
pada kehidupan keluarga atau rumah tangga, sehingga baik laki-laki maupun
perempuan tidak boleh menganggap dirinya sebagai superior yang pada akhirnya
menciptakan ketidakadilan sosial. Demikian juga di dalam tatanan sosial lainnya,
seperti dalam kegiatan keagamaan, perempuan memiliki peranan yang sentral.
Pembahasan-pembahasan dalam bab ini menjadi titik tolak penulis untuk
menganalisa hubungan solidaritas antar perempuan dalam budaya patriarki pada masa
hakim-hakim atau pra-monarki di dunia Israel Kuno melalui kisah Debora, Yael dan
93
Evans, Women in, 28.
42
ibu Sisera. Guna mendapatkan analisa yang lebih mendalam, pada bab berikutnya
penulis akan melakukan studi hermenutik terhadap teks Hakim-hakim 4 dan 5. Studi ini
akan membantu penulis untuk mendapatkan uraian yang lebih jelas tentang konteks
sosial pada masa itu, status-status sosial, relasi-relasi sosial maupun peran-peran yang
dimainkan oleh Debora, Yael dan ibu Sisera beserta tokoh lainnya di dalam teks.
43
Download