1 PENDAHULUAN Organ hati adalah organ yang berperan mengatur homeostasis dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam hampir semua jalur biokimia yang berhubungan dengan pertumbuhan, memerangi penyakit, suplai gizi, penyediaan energi dan reproduksi (Walker & Edward 1999; Stockham & Scott 2008). Menurut Shahani (1999), hati adalah organ yang memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur berbagai proses fisiologis di dalam tubuh. Hal ini terlihat dalam beberapa fungsi vital, seperti metabolisme, sekresi, dan penyimpanan sehingga hati menjadi sangat rentan terhadap kerusakan. Berbagai penelitian terdahulu melaporkan bahwa terdapat beragam faktor yang dapat menyebabkan kerusakan hati, antara lain kelebihan konsumsi alkohol, bakteri, jamur, virus, senyawa kimia, infeksi, dan gangguan autoimun. Hepatitis merupakan salah satu contoh jenis penyakit hati yang sering kali terjadi pada masyarakat. Di Indonesia, penyakit ini di derita oleh sekitar 12 juta jiwa dan menduduki peringkat ketiga di Asia Pasifik (Dalimartha 2005). Hepatitis akibat obat atau toksin dapat digolongkan menjadi hepatotoksin direct dan indirect, reaksi hipersensitivitas terhadap obat, serta idiosinkrasi metabolik. Hal ini ditambah dengan pengetahuan masyarakat yang kurang akan konsumsi obat-obatan dapat meningkatkan resiko timbulnya penyakit hepatitis. Konsumsi obat-obatan seperti parasetamol dalam dosis berlebih pada hewan dan manusia dapat mengakibatkan kerusakan hati (Lee 2003). Obat-obat lain yang dapat menyebabkan kerusakan hati adalah obat anastetik, antibiotik, antiinflamasi, antimetabolik dan imunosupresif, antituberkulosa, hormon-hormon, serta obat psikotropik. Hepatitis secara umum timbul akibat inflamasi hati. Salah satu kondisi yang terjadi adalah oksidasi membran sel oleh radikal bebas, baik dari luar tubuh (eksogen) maupun hasil metabolisme tubuh (endogen). Konsumsi parasetamol dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati secara akut atau nekrosis. Hal ini terjadi karena pengikatan kovalen pada Nasetil-p-benzokuinonimina (NAPQI), senyawa radikal hasil oksidasi parasetamol, dengan gugus –SH pada protein membran yang menghasilkan nekrosis sel dan peroksidasi lipid yang diinduksi oleh penurunan jumlah glutation (Murugesh et al. 2005). Kerusakan hati dapat didiagnosa oleh beberapa parameter biokimia, yaitu adanya peningkatan aktivitas enzim alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), alkalin fosfatase (ALP), gammaglutamil transferase (GGT), glutation peroksidase (GPx), superoksida dismutase (SOD), katalase, laktat dehidrogenase, 5-nukleotidase, bilirubin, dan TBA-reacting substance (TBARS) (Stockham & Scott 2008). Saat ini, belum ada obat yang efektif dalam merangsang fungsi hati, melindungi sel hati terhadap kerusakan, dan membantu meregenerasi sel hati meskipun kemajuan pengobatan secara modern bekembang dengan pesat (Chattopadhyay 2003). Di lain sisi, berbagai upaya pengobatan gangguan fungsi hati secara klinis memerlukan biaya yang mahal dan sering kali menyebabkan efek samping yang merugikan. Oleh karena itu, masyarakat mulai beralih ke pengobatan secara tradisional sesuai dengan semboyan “Back to nature” yang sering kali memberikan efek yang cukup signifikan. Hingga saat ini juga masih dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan komponen bahan aktif yang mampu berperan sebagai hepatoprotektor. Hepatoprotektor adalah senyawa atau zat yang berkhasiat melindungi sel sekaligus memperbaiki jaringan hati yang rusak akibat pengaruh toksik (Dalimartha 2005). Dilihat dari strukturnya, senyawa yang bersifat hepetoprotektor diantaranya meliputi senyawa golongan fenilpropanoid, kumarin, lignin, minyak atsiri, terpenoid, glikosida, flavonoid, asam organik lipid, serta senyawa nitrogen (alkaloid dan xantin) (Sidik 1988). Beberapa senyawa antioksidan alami seperti flavonoid, terpenoid, dan steroid telah diteliti secara farmakologi memiliki aktivitas hepatoproteksi (Murugesh et al. 2005). Antioksidan memainkan peranan penting dalam mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi senyawa radikal bebas. Sumber antioksidan terbanyak di alam adalah komponen fenolik atau polifenol, sedangkan sisanya adalah komponen nitrogen dan karotenoid (Lenny 2006). Tumbuhan kari (Murraya koenigii) merupakan salah satu tanaman yang telah digunakan secara tradisional di Indonesia. Berdasarkan penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Ningappa et al. (2008), daun kari yang selama ini digunakan sebagai bumbu penyedap makanan ternyata memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi yang terdapat pada ekstrak etanol-air (1:1) yang termasuk 2 dalam golongan senyawa polifenol. Pengaruh pemberian ekstrak daun kari terhadap kesehatan telah banyak diteliti, diantaranya dapat memberikan efek antikanker dan antiinflamasi (to et al. 2005; Muthumani et al. 2009), antidiabetes (Hougon 2004; Vinuthan et al. 2004; Arulselvan et al. 2006; Bhat et al. 2008; Lawal et al. 2008), dan antibakteri (Ningappa et al. 2010). Selain itu, ekstrak daun kari memiliki aktivitas hipoglikemik tanpa efek samping maupun bersifat toksik (Lawal et al. 2008). Namun, potensinya sebagai hepatoprotektor belum dilakukan. Oleh karena itu, aktivitas ekstrak etanol:air (1:1) daun kari terhadap mekanisme perlindungan hati perlu diteliti. Penelitian ini bertujuan menguji kandungan fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dan menguji aktivitas hepatoproteksi ekstrak etanol:air (1:1) daun kari secara in vivo pada tikus Sprague Dawley yang diinduksi parasetamol dosis 500 mg/kg BB. Potensi yang diperoleh akan dibandingkan secara langsung dengan Curlivplus® (obat hepatitis komersil) dosis 42.86 mg/kg BB. Adapun parameter uji yang digunakan adalah analisis kadar enzim ALT dan AST serum serta kajian histopatologi hati. Hipotesis pada penelitian ini adalah kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam daun kari (Murraya koenigii) memiliki mekanisme perlindungan hati tikus terhadap kerusakan sel hati yang diinduksi parasetamol. Senyawa-senyawa tersebut diduga dapat menghambat atau mencegah terjadinya pembentukan radikal bebas (peroksida) di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi potensi ekstrak etanol:air (1:1) daun kari sebagai hepatoprotektor dan dapat dijadikan sebagai obat hepatitis alternatif sehingga manfaat daun kari dapat dieksplorasi secara optimal. TINJAUAN PUSTAKA Daun Kari (Murraya koenigii) Sebagai Obat Herbal Multikhasiat Tanaman kari (Murraya koenigii) (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman rempah yang tergolong famili Rutaceae (jerukjerukan) yang diperkenalkan oleh seorang ahli botani asal Swedia dan German, yaitu Johann Andreas Murray dan Gerhard Koenig (Seidemann 2005). Secara morfologi pohon kari bisa tumbuh mencapai 4-6 meter, memiliki tangkai panjang dan setiap tangkai mengandung 11-21 daun, memiliki bunga yang kecil dan berwarna putih, serta memiliki buah yang berwarna coklat-hitam, mengkilap, dan bisa dimakan namun bijinya beracun. Tanaman kari umumnya lebih dikenal sebagai daun kari (curry-leaf tree) yang merupakan tanaman yang banyak tumbuh di India, Nepal, Sri Lanka, dan beberapa negara Asia Selatan, serta paling banyak ditemui hampir diseluruh wilayah India (Choudhury & Garg 2007). Di Indonesia daun kari banyak terdapat di beberapa daerah di Sumatera seperti Aceh dan Medan. Daun ini banyak digunakan sebagai bahan rempah-rempah terutama sebagai bumbu pada berbagai jenis masakan dan juga digunakan untuk perawatan berbagai jenis penyakit pada sistem pengobatan tradisional. Selain sebagai bumbu masak, daun kari juga sering digunakan sebagai jamu pengobatan alternatif. Daun kari dipakai sebagai bahan baku dalam hampir semua obat tradisional India, yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit antara lain pusing-pusing, sakit perut, kulit gatal, digigit serangga, diare, influenza, reumatik, obat luka, gigitan ular, bahkan diabetes (kong et al. 1986). Selain sebagai obat tradisional, daun ini juga dapat digunakan sebagai kosmetik dan obat jerawat, bahkan digunakan sebagai conditioner bagi rambut yang dapat mengurangi penipisan dan uban pada rambut (Choudhury & Garg 2007). Disamping itu, daun ini pula memiliki aroma yang menyengat yang disebabkan oleh kandungan minyak atsiri yang terkandung di dalamnya (Rana et al. 2004) sehingga daun ini kerap digunakan pada industri parfum dan sabun. Selain itu, daun ini kaya akan mineral (Choudhury & Garg 2007), vitamin A dan B serta mengandung banyak karbohidrat, protein, asam amino dan alkaloid (Kong et al. 1986; Tee & Lim 1991). Khasiat daun kari dalam bidang kesehatan telah banyak diteliti, diantaranya dapat memberikan efek antikanker dan antiinflamasi (Ito et al. 2005; Muthumani et al. 2009), antidiabetes (Hougon 2004; Vinuthan et al. 2004; Arulselvan et al. 2006; Bhat et al. 2008; Lawal et al. 2008), dan antibakteri (Ningappa et al. 2010). Ekstrak daun kari memiliki aktivitas hipoglikemik tanpa efek samping maupun bersifat toksik (Lawal et al. 2008). Selain itu, daun ini memiliki kandungan mineral Cr, V, Mn, Zn, Cu dan Se yang tinggi yang dikenal memiliki peranan penting pada proses biokimia terutama