AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI AKTIF TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus KARYA TULIS ILMIAH OLEH FAIQOTUL HIMMAH NIM 12.009 AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG JULI 2015 AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI AKTIF TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus KARYA TULIS ILMIAH Diajukan kepada Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program D-3 bidang Analis Farmasi dan Makanan OLEH FAIQOTUL HIMMAH NIM 12.009 AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG JULI 2015 LEMBAR PERSEMBAHAN Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan anugerah serta kekuatan yang menuntunku dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Terima kasih atas syafaat Rasulullah SAW yang telah selalu membimbing hidupku. Aku persembahkan karya kecilku ini untuk orang tuaku tercinta yang selalu berupaya membiayai perkuliahanku hingga selesai dan selalu memberikan yang terbaik untuk hidupku. Maafkan aku bila selama ini belum bisa menjadi anak yang membanggakan kalian, tapi aku akan berusaha selalu untuk memberikan yang terbaik. Untuk kakak-kakakku yang tak lupa selalu memberikan semangat dalam mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini dan terima kasih banyak untuk semuanya. Aku doakan selalu yang terbaik untuk kalian. Maafkan bila banyak salah baik sengaja maupun tidak. Dan untuk semua teman-teman AKAFARMA angkatan 2012 dan seluruh keluarga besar PUTRA INDONESIA MALANG. Untuk teman-teman terbaikku Neni, Petrisia, Anggun, dan Risa Anggraini terima kasih sudah membantuku mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini, terutama ketika praktikum dilakukan. Semoga kita semua menjadi orang yang sukses, di dunia maupun di akhirat. Amin Ya Robbal Alamin Wassalamualaikum Wr. Wb. ABSTRAK Himmah, Faiqotul. 2015. Aktivitas Antibakteri Fraksi Aktif Temu Mangga (Curcuma mangga Val.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus. Karya Tulis Ilmiah. Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang. Pembimbing: Dr. Misgiati, A. Md., M. Pd. Kata Kunci : antibakteri, fraksi aktif temu mangga Rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) merupakan salah satu rempahrempah yang dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat. Ekstrak etanol temu mangga mempunyai efek antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus. Ekstrak tersebut masih berupa multi komponen sehingga, untuk dapat melihat dan mengamatinya dibutuhkan proses pengambilan komponen secara maksimal. Penelitian sebelumnya dikembangkan lagi dengan melakukan pemisahan cair-cair (fraksinasi) dan identifikasi fitokimia terhadap multi komponen ekstrak temu mangga. Proses pemisahan dilakukan dengan beberapa pelarut berdasarkan perbedaan kepolaran dari masing-masing pelarut. Pelarut yang digunakan adalah n-heksan, etil asetat dan air. Masing-masing hasil fraksinasi diuji aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi sumuran terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi rimpang temu mangga (Curcuma mangga) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Farmakognosi Akademi Analis Farmasi Putra Indonesia Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode difusi sumuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi n-heksan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang ditandai dengan terbentuknya zona hambat pada perlakuan fraksi n-heksan. Berdasarkan hasil penelitian, sebaiknya dilakukan proses fraksinasi secara beruntun berdasarkan nilai indeks kepolaran terhadap hasil ekstrak temu mangga serta dilakukan proses sterilisasi filtrasi atau penyimpanan pada suhu rendah (lemari pendingin) terhadap hasil fraksinasi. i KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Aktivitas Antibakteri Fraksi Aktif Temu Mangga (Curcuma mangga Val.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus” ini tepat pada waktunya. Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini mendeskripsikan aktivitas antibakteri fraksi aktif dari rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Sehubungan dengan terselesaikannya karya tulis ilmiah ini, saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut. 1. Ibu Dra. Wigang Soelandjari sebagai Direktur Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang. 2. Ibu Dr. Misgiati, A. Md., M. Pd sebagai dosen pembimbing. 3. Bapak Sugeng Wijiono, S. Si., Apt. sebagai penguji. 4. Ibu Ria Dewi Andriani, S. Pt, MP, M. Sc sebagai penguji. 5. Bapak dan Ibu Dosen Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang beserta staf. 6. Orang tua tercinta yang telah memberikan dorongan secara spiritual, materil serta restunya dalam menuntut ilmu. 7. Rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang langsung/tidak langsung telah memberikan bimbingan, bantuan, serta arahan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih mempunyai beberapa kekurangan. Oleh karena itu, saran-saran sangat diharapkan. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat. Malang, Juli 2015 Penulis ii DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 5 1.5 Asumsi Penelitian ........................................................................................ 6 1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .............................................. 6 1.7 Definisi Istilah ............................................................................................. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9 2.1 Tinjauan tentang Temu Mangga ............................................................... 9 2.2 Kandungan Temu Mangga ...................................................................... 11 2.3 Maserasi .................................................................................................. 15 2.4 Fraksinasi ................................................................................................ 17 2.5 Identifikasi Fitokimia .............................................................................. 21 2.6 Bakteri ..................................................................................................... 22 2.7 Senyawa Antibakteri ............................................................................... 27 iii 2.8 Media Pertumbuhan Mikroorganisme .................................................... 31 2.9 Kerangka Konsep .................................................................................... 33 2.10Hipotesis ................................................................................................. 33 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 34 3.1 Rancangan Penelitian .............................................................................. 34 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian .............................................................. 35 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 35 3.4 Definisi Operasional Variabel................................................................. 35 3.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 36 3.6 Pengumpulan Data .................................................................................. 37 3.7 Analisis Data ........................................................................................... 44 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 45 4.1 Determinasi Temu Mangga..................................................................... 45 4.2 Persiapan Temu Mangga (Curcuma mangga Val.) ................................ 45 4.3 Persiapan Ekstraksi Temu Mangga ......................................................... 46 4.4 Identifikasi Fitokimia Ekstrak Temu Mangga ........................................ 47 4.5 Hasil Fraksinasi Ekstrak Temu Mangga ................................................. 48 4.6 Hasil Identifikasi Staphylococcus aureus ............................................... 49 4.7 Hasil Aktivitas Antibakteri Fraksi Rimpang Temu Mangga .................. 50 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 53 5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 53 5.2 Saran ....................................................................................................... 53 DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................... 54 LAMPIRAN .......................................................................................................... 59 iv DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Konstanta Dielektrikum ....................................................................... 18 Tabel 2.2 Komposisi Media Mannitol Salt Agar ................................................. 32 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel .............................................................. 36 Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak Etanol Temu Mangga .......... 47 Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Fitokimia Dari Ekstrak Etanol Temu Mangga ......... 48 Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Fraksi Ekstrak Temu Mangga ................................ 49 Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Aktivitas Fraksi Aktif Temu Mangga Terhadap Staphylococcus aureus ......................................................................... 50 v DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Tanaman Temu Mangga ................................................................... 10 Gambar 2.2 Struktur Dasar Flavonoid ................................................................. 12 Gambar 2.3 Staphylococcus aureus ..................................................................... 25 Gambar 2.4 Kerangka Konsep ............................................................................. 33 vi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Persiapan Temu Mangga ................................................................. 60 Lampiran 2. Proses Ekstraksi Rimpang Temu Mangga ....................................... 61 Lampiran 3. Hasil Identifikasi Fitokimia Ekstrak Etanol Temu Mangga ............ 62 Lampiran 4. Perhitungan Rendeman .................................................................... 63 Lampiran 5. Partisi Ekstrak Temu Mangga ......................................................... 64 Lampiran 6. Hasil Identifikasi Staphylococcus aureus ........................................ 65 Lampiran 7. Biakan Staphylococcus aureus dan Transmitan Suspensi Staphylococcus aureus .................................................................... 66 Lampiran 8. Hasil Pengamatan Aktivitas Fraksi Aktif Temu Mangga Terhadap Staphylococcus aureus .................................................................... 67 Lampiran 9. Analisa data One Way Anova ......................................................... 70 Lampiran 10. Hasil Determinasi Tumbuhan Temu Mangga ............................... 72 vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya yang beraneka ragam, terutama dengan keanekaragaman tanaman hasil pertanian dan rempah-rempah. Hal tersebut dipengaruhi oleh letak astronomis Indonesia yang berada pada posisi 6º LU (Lintang Utara) – 11º LS (Lintang Selatan) dan 95º BT (Bujur Timur) – 141º BT (Bujur Timur) sehingga mempunyai iklim tropis. Selain karena letak astronominya, Indonesia juga mempunyai letak geografis yang strategis yaitu berada diantara Benua Asia dan Benua Australia serta berada diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Hal ini menyebabkan Indonesia mempunyai curah hujan yang cukup dan sinar matahari sepanjang tahun. Oleh karena itu, kondisi tanah di Indonesia subur dan menghasilkan berbagai macam tanaman terutama rempah-rempah. Rempahrempah banyak digunakan sebagai bahan pengawet atau penambah rasa dalam masakan oleh nenek moyang. Selain itu, rempah-rempah juga dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan. Tanaman hasil bumi Indonesia khususnya rempah-rempah telah lama dimanfaatkan oleh nenek moyang sebagai salah satu bahan pengobatan tradisional. Salah satunya adalah rempah-rempah yang berasal dari keluarga Zingiberaceae, misalnya Curcuma (Heyne, 1950 dalam Setyawan, 2003). Rimpang Curcuma ini sering dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional 1 2 (Hernani dan Rahardjo, 2002) diantaranya untuk mengobati keputihan, diare, obat jerawat dan gatal-gatal (Rukmana, 2004). Tanaman ini terdiri dari lebih kurang 70 spesies salah satu diantaranya adalah Curcuma mangga atau temu mangga (Tjitrosoepomo, 1994). Rimpang temu mangga (Curcuma mangga) adalah rempah-rempah yang dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat atau petani. Rimpang ini mempunyai kenampakan hampir mirip dengan temulawak (Darwis et al, 1991 dalam Ariviani et al, 2013). Selain itu, rimpang ini mempunyai aroma yang khas seperti mangga kweni dan rasanya tidak pahit (Widodo, 2000 dalam Ariviani et al, 2013). Temu mangga mengandung senyawa antioksidan, diantaranya kalkon, flavon flavanon yang cenderung larut dalam air (Lajis, 2007; Suryani, 2009 dalam Ariviani et al., 2013). Secara empiris, rimpang ini digunakan untuk merawat kulit wajah yaitu dengan cara dioleskan pada wajah. Masyarakat Sunda mengkonsumsi rimpang ini sebagai asinan, permen/manisan, sirup, selai, lalapan dan botokan (Hermani dan Suhirman, 2001 dalam Gusmaini et al., 2004). Selain fungsi di atas, Novita Fatimah Fahmi dalam karya tulis ilmiahnya telah melakukan uji efek antibakteri ekstrak temu mangga pada bakteri Staphylococcus aureus. Menurut Fahmi (2011) dalam penelitiannya disebutkan bahwa ekstrak rimpang temu mangga mempunyai aktivitas efek antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus. Selain itu, dinyatakan pula bahwa pada dosis 10 g ekstrak serbuk temu mangga mempunyai zona hambat maksimal jika dibandingkan dengan dosis 3 g dan dosis 6,5 g. Peneliti menyebutkan bahwa senyawa aktif yang berkhasiat sebagai antibakteri adalah senyawa flavonoid dan saponin. Akan tetapi, penelitian tersebut tidak didukung dengan uji penegasan kandungan yang terdapat 3 pada ekstrak, sehingga masih terbatas pada ekstrak kasar temu mangga dengan pelarut etanol 70% dan kandungan di dalamnya masih berupa multi komponen. Multi komponen yang terdapat dalam ekstrak rimpang temu mangga mempunyai aktivitas farmakologi sebagai antibakteri. Di dalam multi komponen terdapat komponen tertentu yang mempunyai aktivitas optimum menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus jika dibandingkan dengan komponen lainnya. Oleh karena itu, untuk dapat melihat dan mengamati multi komponen ini dibutuhkan proses pengambilan komponen tersebut secara maksimal. Hasil penelitian di atas dikembangkan lagi dengan melakukan pemisahan cair-cair (fraksinasi) dan identifikasi fitokimia multi komponen dari ekstrak rimpang temu mangga. Proses fraksinasi dilakukan menggunakan beberapa pelarut yang mempunyai sifat kepolaran yang berbeda. Pelarut yang digunakan untuk fraksinasi adalah pelarut n-heksan, etil asetat dan air. Sifat kepolaran ketiga pelarut tersebut ditunjukkan dengan nilai konstanta dielektrikum berturut-turut sebesar 1.89; 6.02 dan 80.40. Semakin besar nilai konstanta dielektrikum, maka sifat pelarut akan semakin polar. Mula-mula ekstrak etanol 70% di fraksinasi dengan pelarut non polar yaitu n-heksan untuk memisahkan komponen non polar yang terdapat pada ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga. Fase residu etanol 70% di fraksinasi kembali menggunakan pelarut etil asetat untuk memisahkan komponen yang bersifat semi polar. Komponen yang kurang atau tidak larut dalam fase etil asetat di fraksinasi kembali menggunakan pelarut air untuk memisahkan komponen yang bersifat polar dalam ekstrak rimpang temu mangga. Proses fraksinasi dengan pelarut air menghasilkan fase larut air dan fase residu. Kemudian, masing-masing hasil fraksinasi yaitu fase 4 n-heksan, fase etil asetat, fase air, dan fase residu dikumpulkan dan dilakukan pengujian identifikasi fitokimia secara sederhana menggunakan uji tabung. Masing-masing hasil fraksinasi yang telah diidentifikasi digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri menggunakan bakteri Staphylococcus aureus yang ditanam pada media selektif. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumuran. Dari hasil pengamatan uji aktivitas antibakteri, diamati diameter zona bening dari masing-masing hasil fraksinasi rimpang temu mangga dan dibandingkan zona bening dari masing-masing fase yang mempunyai aktivitas optimal menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pendahuluan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah beberapa hasil fraksinasi rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi rimpang temu mangga (Curcuma mangga) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. 5 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Bagi Peneliti 1. Mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan dan wawasan tentang pemanfaatan ekstrak rimpang temu mangga sebagai antibakteri alami 2. Mahasiswa dapat mengembangkan teknologi isolasi komponen aktif rimpang temu mangga sebagai antibakteri alami 3. Mahasiswa dapat melanjutkan studi teknologi pemanfaatan rimpang temu mangga sebagai obat bahan alam 4. Mahasiswa dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan rimpang temu mangga pada pembuatan sediaan farmasi 1.4.1 Kegunaan Bagi Instansi 1. Memberikan tambahan informasi tanaman alam yang berpotensi sebagai antibakteri alami 2. Memberikan tambahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya terhadap tanaman temu mangga 1.4.2 Kegunaan Bagi Masyarakat 1. Meningkatkan nilai ekonomis tanaman temu mangga 2. Memberikan informasi dan mendorong masyarakat untuk lebih aktif mengenal tanaman toga yang berpotensi sebagai antibakteri alami penyebab infeksi 3. Meningkatkan mutu kualitas ekstrak rimpang temu mangga sebagai bahan obat dari alam 6 1.5 Asumsi Penelitian 1. Rimpang temu mangga merupakan salah satu tanaman yang biasanya digunakan sebagai bahan untuk merawat kulit wajah. 2. Metode maserasi dapat digunakan untuk mengambil ekstrak kasar dari rimpang temu mangga. 3. Metode fraksinasi dapat digunakan untuk mengambil multi komponen dalam ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga berdasarkan perbedaan sifat kepolaran dari pelarut. 4. Fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus. 1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1.6.1 Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pengumpulan rimpang temu mangga yang diperoleh dari Materia Medika Batu, pembuatan ekstrak rimpang temu mangga dengan metode maserasi, evaporasi hasil rendeman rimpang temu mangga, fraksinasi ekstrak etanol rimpang temu mangga, identifikasi fitokimia ekstrak kasar temu mangga, pengujian aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi rimpang temu mangga terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode difusi sumuran. 7 1.6.2 Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian tidak dilakukan identifikasi fitokimia terhadap hasil fraksinasi melainkan identifikasi fitokimia terhadap ekstrak kasar temu mangga untuk membedakan senyawa metabolit sekunder yang ikut tertarik pada saat fraksinasi berdasarkan perbedaan sifat kepolarannya 2. Pengujian aktivitas antibakteri rimpang temu mangga tidak menggunakan alat khusus yang digunakan untuk membuat lubang sumur pada media selektif melainkan menggunakan pipa berdiameter 9 mm 3. Penelitian ini tidak dilakukan identifikasi jenis senyawa secara spesifik dan identifikasi struktur senyawa melainkan hanya identifikasi fitokimia dari beberapa hasil fraksinasi untuk mengoptimalkan pengambilan multi komponen dalam ekstrak etanol rimpang temu mangga yang memiliki aktivitas antibakteri 1.7 Definisi Istilah Untuk menghindari perbedaan pemahaman terhadap istilah-istilah dalam penelitian ini, maka diuraikan maksud dari beberapa istilah berikut ini : 1. Ekstrak rimpang temu mangga adalah cairan kental hasil ekstraksi rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) dengan cairan penyari etanol 70% menggunakan metode maserasi, kemudian dipekatkan dengan alat rotary evaporator. 2. Optimalisasi multi komponen adalah proses pengambilan beberapa senyawa aktif dalam ekstrak etanol rimpang temu mangga yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri. 8 3. Fraksi aktif adalah fraksi yang mengandung bahan aktif berkhasiat sebagai antibakteri. 4. Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif berbentuk coccus (bulat) penyebab infeksi pada organ tubuh yang mengalami luka terbuka. 5. Aktivitas antibakteri adalah kemampuan suatu bahan atau zat dalam menghambat bahkan membunuh pertumbuhan bakteri tertentu. 6. Difusi sumuran adalah pengujian aktivitas antibakteri yang dilakukan dengan meneteskan larutan uji pada media agar yang sudah diberi lubang atau sumuran dengan diameter tertentu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Temu Mangga Temu mangga (Curcuma mangga Val.) hanya tersebar di Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Jawa (Trubus, Tanpa tahun). Menurut BPOM (2006), di Indonesia tanaman temu mangga dikenal dengan beberapa nama seperti temu mangga, temu lalab (Sumatera); koneng joho, koneng lalab, koneng pare (Sunda); kunir putih, temu bajangan, temu putih, temu poh (Jawa); temu pao (Madura). 2.1.1 Morfologi Tanaman Tumbuhan temu mangga berupa semak dengan tinggi bisa mencapai 1 – 2 m. batang semu, tegak, lunak, berwarna hijau. Batang bawah tanah membentuk rimpang dengan bagian dalam berwarna kuning muda. Daun tunggal, berpelepah, bentuk lonjong, tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, dengan panjang bisa mencapai 1 m, lebar 10 – 20 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga majemuk pada ketiak daun, bentuk tabung, ujung terbelah, benang sari menempel pada mahkota, putik silindris, kepala putik bulat, mahkota lonjong. Buah kotak, bulat, hijau kekuningan. Biji bulat, coklat. Akar serabut, putih (BPOM, 2006). 9 10 2.1.2 Klasifikasi Tanaman Temu Mangga Menurut BPOM (2006), kedudukan tanaman temu mangga dalam sistem tanaman diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Anak kelas : Zingiberidae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Curcuma Jenis : Curcuma mangga Val. & V. Zyp. (BPOM, 2006) (a) (b) Gambar 2.1 (a) Rimpang Temu Mangga (Sumber: Dokumentasi pribadi) (b) Tanaman Temu Mangga (Sumber: Dokumentasi pribadi) 2.1.3 Manfaat Rimpang Temu Mangga Secara tradisional digunakan untuk penderita kanker, nyeri perut, perut kembung dan meningkatkan nafsu makan (BPOM, 2006). Berkhasiat membersihkan racun, menurunkan panas, sebagai peluruh angin, menambah nafsu 11 makan, menguatkan rahim, mengecilkan rahim, serta mencegah dan mengatasi tumor (BPOM, 2006). Rimpang temu mangga juga digunakan untuk mengatasi sakit perut, sakit dada, dan perawatan setelah melahirkan serta gatal-gatal. Di wilayah Muar, Johor, dan Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaysia, rimpang tanaman yang dikenal di Malaysia dengan sebutan temu pauh itu jusnya dipakai bersama dengan tanaman herbal lainnya untuk merangsang ASI. Rimpangnya bersama bahan lain digunakan untuk mengobati demam. Selain itu, rimpangnya juga dikunyah untuk memperkecil rahim setelah melahirkan. Tepungnya disarankan untuk mengobati sakit perut (Trubus, Tanpa tahun). 2.1.4 Cara Pemakaian Untuk pemakaian luar, gunakan air perasan rimpang temu mangga segar sebanyak 3 – 10 gram, untuk pemakaian lokal, seperti luka memar, berbagai macam kelainan kulit, kanker serviks, dan kanker kulit (Haryanto, 2009). 2.2 Kandungan Temu Mangga Temu mangga kaya kandungan kimia seperti tanin, kurkuminoid, minyak atsiri, dan protein yang toksis yang dapat menghambat biakan sel kanker. Temu mangga juga mengandung saponin, polifenol, 2-norbomane, 3-methylene caryophylen oxide, cyclopentaneacetaldehyde, caryophylen, dan cinnamyltiglate (Hariana, 2006 dalam Soegihardjo, 2013). Selain itu juga mengandung senyawa diterpen labdan glukosida, kurkumangosida, kalkaratin A, zerumin B, skopoletin, kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksi-kurkumin, asam p- hidroksisinamat; 1,7-bis-(4-hidroksifenil-1,4,6-heptatrien-3-on), minyak atsiri 12 dengan komponen antara lain alfa pinen, linalool, linalil asetat dan safrol (BPOM, 2006). 2.2.1 Flavonoid Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam (Kristanti dkk, 2008). Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari C6 – C3 – C6 (Sirait, 2007: 129). Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri atas 15 atom karbon yang membentuk susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu 1,3-diarilpropan / flavonoid; 1,2-diarilpropan / isoflavonoid dan 1,1-diarilpropan / neoflavonoid (Kristanti dkk, 2008). Gambar 2.2 Struktur Dasar Flavonoid Flavonoid berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan. Selain itu, flavonoid juga berfungsi sebagai pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba, antivirus dan antiinsektisida. Selain itu, beberapa flavonoid juga sengaja dihasilkan oleh jaringan tumbuhan sebagai respons terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat fungi menyerangnya (Kristanti dkk, 2008). Selain fungsi di atas, beberapa fungsi lain dari senyawa flavonoid menurut Sirait (2007: 129), yaitu: 13 1. Bagi Tumbuhan − Untuk menarik serangga yang membantu proses penyerbukan − Untuk menarik perhatian binatang yang membantu penyebaran biji 2. Bagi Manusia − Dosis kecil, flavon bekerja sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler − Flavon terhidrolisis bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak. Flavon juga bekerja seperti auksin dalam menstimulir perkecambahan biji gandum. Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti keluarnya senyawa intraseluler (Cowan, 1999). Menurut Chusnie dan Lamb (2005), selain berperan dalam inhibisi pada sintesis DNA–RNA dengan interkalasi atau ikatan hydrogen dengan penumpukan basa asam nukleat, flavonoid juga berperan dalam menghambat metabolisme energi. Senyawa ini akan mengganggu metabolisme energi dengan cara yang mirip dengan menghambat sistem respirasi, karena dibutuhkan energi yang cukup untuk penyerapan aktif berbagai metabolit dan untuk biosintesis makromolekul. Menurut Ashshobirin (2014), senyawa flavonoid diduga dapat mengerutkan dinding sel atau membrane sel sehingga mengganggu permeabilitas sel. Akibatnya, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terganggu. 14 2.2.2 Saponin Menurut Meskin et al (2002), saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang dihasilkan dari grup steroid atau triterpen yang berkaitan dengan gula. Gruiz (1996), menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung saponin. Saponin mempunyai sifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne, 1973). Saponin mempunyai peranan penting bagi manusia salah satunya dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membrane sterol. Efek yang ditimbulkan terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et all., 1996 dalam Nuraini, 2007). 2.2.3 Tanin Tanin merupakan salah satu senyawa fenol kompleks yang terdapat pada kacang-kacangan (Meskin et all., 2002). Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein. Tanin terkondensasi dihasilkan melalui polimerisasi flavonoid dan banyak terdapat pada tanaman kayu yaitu pada lapisan biji. Tanin dapat digunakan sebagai antibakteri karena mempunyai kemampuan menginaktifkan adhesin sel mikroba juga menginaktifkan enzim, dan mengganggu transport protein pada lapisan dalam sel (Cowan, 1999). 15 2.3 Maserasi Maserasi (macerace = mengairi, melunakkan) adalah cara ekstraksi yang paling sederhana (Ansel, 1989). Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam simplisia karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan dcngan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Pada penyarian dengan maserasi, perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Keuntungan dari metode ini adalah unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam, biaya operasionalnya relatif rendah, prosesnya relatif hemat penyari, dan tanpa pemanasan. Jadi penyarian dengan maserasi merupakan pengerjaan dan peralatan yang sederhana serta mudah diusahakan. Kelemahan dari metode ini adaah proses penyariannya tidak sempurna karena zat aktif hanya mampu terekstraksi sebesar 50% saja, prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari. 16 2.3.1 Cairan Penyari Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor (Depkes, 1986). Cairan penyari yang baik harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut. 1. Murah dan mudah diperoleh 2. Stabil secara fisika dan kimia 3. Bereaksi netral 4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar 5. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki 6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan 7. Diperbolehkan oleh peraturan Depkes (1995), menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol – air atau eter. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan etanol 70% sebagai cairan penyari karena bersifat semi polar sehingga senyawa flavonoid dapat tersari dengan sempurna. Selain itu, pemilihan cairan penyari tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti sifat etanol yang lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, serta panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Depkes, 1986). Selain itu, etanol juga dapat melarutkan alkaloid basa dan minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakoinon, flavonoid, steroid, dammar, klorofil sedangkan lemak, malam, tannin dan saponin hanya sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang larut terbatas (Depkes, 1986). 17 Kerugian dari penggunaan etanol sebagai cairan penyari adalah harganya yang mahal sehingga, untuk meningkatkan proses penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol dan air. Perbandingan jumlah etanol dan air bergantung pada bahan yang akan disari. Dari pustaka akan dapat ditelusuri kandungannya baik zat aktif maupun zat lainnya (Depkes, 1986: 5 – 7). 2.4 Fraksinasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fraksinasi diartikan sebagai proses, cara, pembuatan menjadi fraksi-fraksi (bagian-bagian). Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu dari non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan larut dalam pelarut non polar, senyawa yang memiliki sifat semi polar akan larut dalam pelarut semi polar, dan yang bersifat polar akan larut kedalam pelarut polar (Harborne, 1987). Fraksinasi ini umumnya dilakukan dengan menggunakan menggunakan corong pisah. Corong pisah merupakan peralatan laboratorium yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran antara dua fase pelarut yang memiliki massa jenis berbeda yang tidak tercampur (Haznawati, 2012). Proses fraksinasi dalam penelitian ini digunakan pelarut n-heksan, etil asetat dan air yang dipilih berdasarkan sifat kepolarannya. Secara fisika tingkat polaritas ini dapat ditunjukkan dengan lebih pasti melalui pengukuran konstanta dielektrikum suatu bahan pelarut. Konstanta dilektrikum ini secara matematis ditunjukkan dalam rumus : 18 dimana D adalah Konstanta Dielektrikum, f gaya tolak menolak dua partikel bermuatan listrik e dan e’. Semakin besar Konstanta Dielektrikum suatu bahan pelarut disebut semakin polar (Sudarmadji, dkk, 2007). Konstanta Dielektrikum pelarut ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 2.1 Konstanta Dielektrikum Tingkat kelarutan dalam air Konst. Bahan Pelarut Dielek. Tidak Sedikit Misibel* (D) larut n-heksan 1.89 TI Non-polar Petroleum eter 1.90 TI n-oktan 1.95 TI n-dekan 1.99 TI n-dodekan 2.01 TI Sikloheksan 2.02 TI 1,4-dioksan 2.21 M Benzene 2.28 S Toluene 2.38 TI Furan 2.95 TI Asam propanoat 3.30 M Dietileter 3.34 S Kloroform 4.81 S Butilasetat 5.01 S Etilasetat 6.02 S Asam asetat (glasial) 6.15 S Metil asetat 6.68 S Tetrahidrofuran 7.58 S Metilenklorida 9.08 S t-butanol 10.09 M Piridin 12.30 M 2-butanol 15.80 S n-butanol 17.80 S 2-propanol 18.30 M 1-propanol 20.10 S Aseton 20.70 M Etanol 24.30 Methanol 33.60 M Asam formiat 58.50 M Air 80.40 M Polar *misibel artinya dapat bercampur dengan air dalam berbagai proporsi (Sudarmaji et all, 2010). 19 2.4.1.n-Heksan Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14 (isomer utama n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3. Awalan heksmerujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran -ana berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut. n-heksan merupakan jenis pelarut non polar. Karakteristik n – heksana : Sinonim : caproyl hydride, hexyl hydride Rumus molekul : CH3(CH2)4CH3 Berat molekul : 86,17 kg/mol Warna : Tidak berwarna Titik lebur : - 94ºC Titik didih : 69 (P = 1 atm) Spesific gravity : 0,659 Kelarutan : tidak dapat larut dalam air; dapat bercampur dengan alkohol, kloroform, eter Kegunaan : Menentukan indeks bias mineral, pengisi termometer selain merkuri, biasanya dengan pewarna biru atau merah Toksisitas manusia : Dapat mengiritasi saluran pernapasan dan, dalam konsentrasi tinggi, narkotika 20 2.4.2.Etil asetat Etil Asetat adalah senyawa organik. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Sinonim : Eter asetat; cuka nafta Rumus molekul : CH3CH2OC(O)CH3 Massa molar : 88,12 g/mol Densitas : 0,897 g/cm3 Warna : Tidak berwarna, memiliki aroma khas Titik lebur : - 83,6ºC Titik didih : 77,1ºC Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam (Depkes, 1995). 2.4.3.Air Air adalah eksipien yang paling banyak digunakan dalam operasi produksi farmasi. Nilai spesifik dari air yang digunakan untuk aplikasi tertentu dalam 21 konsentrasi hingga 100%. Air murni dan air untuk injeksi juga digunakan untuk membersihkan operasi selama produksi produk farmasi (Kibbe, 2000). Sinonim : Aqua, hydrogen oxide Rumus molekul : H2O Berat molekul : 18.02 Warna : Tidak berwarna Titik lebur : 0ºC Titik didih : 100ºC Spesific gravity : 0.9971 at 25ºC Kegunaan : Pelarut Air secara kimiawi stabil di semua negara fisik (es, cair, dan uap). Air untuk tujuan tertentu harus disimpan dalam wadah yang sesuai. Dalam formulasi farmasi, air dapat bereaksi dengan obat dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dengan adanya air atau uap air) pada suhu kamar dan tinggi. Air dapat bereaksi dengan logam alkali dan cepat dengan logam alkali dan oksida mereka. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk membentuk hidrat berbagai komposisi, dan dengan bahan organik tertentu dan kalsium karbida. 2.5 Identifikasi Fitokimia Identifikasi senyawa pada beberapa hasil fraksinasi dilakukan dengan uji golongan senyawa kimia (uji fitokimia). Uji fitokimia secara sederhana dapat dilakukan dengan uji tabung menggunakan beberapa pereaksi pendeteksi golongan senyawa. 22 2.6 Bakteri 2.6.1 Tinjauan Tentang Bakteri Bakteri berasal bahasa Yunani yaitu dari kata “bakterion” yang artinya tongkat atau batang (Dwidjoseputro. 2005). Bakteri adalah suatu organisme prokariot yang memiliki sifat-sifat misalnya bentuk dan pengelompokan sel, susunan dinding sel, pembentukan kapsul dan pembentukan endospore. Bakteri umumnya mempunyai ukuran sel 0,5 – 1,0 µm x 2,0 – 5,0 µm (Fardiaz, 1992: 143). Bakteri mempunyai beberapa ciri-ciri yaitu : 1. Organisme multiseluler. 2. Prokariot (tidak memiliki membrane inti sel). 3. Umumnya tidak memiliki klorofil. 4. Memiliki ukuran tubuh yang bervariasi antara 0,12 s/d ratusan mikron umumnya memiliki ukuran rata-rata 1 s/d 5 mikron. 5. Memiliki bentuk tubuh yang beraneka ragam. 6. Hidup bebas atau parasit. 7. Yang hidup di lingkungan ekstrim seperti pada mata air panas, kawah atau gambut dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan. 8. Yang hidup kosmopolit diberbagai lingkungan dinding selnya mengandung peptidoglikan 2.6.2 Klasifikasi Bakteri Menurut Waluyo (2010), pada klasifikasi Bergey’s tahun 1994 edisi ke–9, secara garis besar bakteri digolongkan menjadi 4 kategori besar yaitu: − Kategori Besar I : Eubacteria Gram Negatif dengan dinding sel, terdiri 16 grup 23 − Kategori Besar II : Eubacteria Gram Positif dengan dinding sel, terdiri 6 grup − Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel, terdiri hanya 1 grup saja, yakni Mycoplasma atau Mollicula − Kategori Besar IV : Archeobacteria, yang terdiri 5 grup Jadi dari 4 kategori besar (Kategori I, Kategori II, Kategori III, dan Kategori IV) dibagi menjadi 35 grup. Masing-masing grup adalah sebagai berikut: − Kategori Besar I : Eubacteria Gram Negatif, grup 1 sampai dengan grup 16 − Kategori Besar II : Eubacteria Gram Positif dengan dinding sel dari grup 17 sampai dengan grup 29 − Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel dari hanya terdiri dari 1 grup, yakni Mycoplasma (grup 30) − Kategori Besar IV : Archeobacteria terdiri dari grup 31 sampai dengan grup 35 Bentuk bakteri berdasarkan bentuk morfologinya dibedakan menjadi tiga golongan yaitu : 1. Golongan basil, yaitu berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat bergandeng-gandengan panjang, bergandengan dua-dua, atau terlepas satu sama lain. Yang bergandeng-gandengan panjang disebut streptobasi, yang dua-dua disebut diplobasil. 2. Golongan kokus, yaitu bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Ada beberapa tipe golongan kokus sebagai berikut : 24 − Streptokokus, adalah kokus yang bergandeng-gandengan panjang serupa tali leher. − Diplokokus, adalah kokus yang bergandengan dua-dua − Tetrakokus, adalah kokus yang mengelompok berempat − Stafilokokus, adalah kokus yang mengelompok seperti suatu untaian − Sarsina, adalah kokus yang mengelompok serupa kubus Golongan spiril, yaitu bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok serupa spiral. Golongan ini merupakan golongan yang paling kecil bila dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil. 2.6.3 Faktor-faktor Pertumbuhan Bakteri Kondisi pertumbuhan optimum bakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Derajat keasaman atau pH 4. Sumber nutrisi 2. Konsentrasi garam 5. Zat kimia 3. Suhu 6. Zat-zat sisa metabolisme 2.6.4 Staphylococcus aureus 2.6.4.1 Tinjauan Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang menghasilkan pigmen kuning dan umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok seperti anggur. Staphylococcus aureus tahan garam dan dapat tumbuh dengan baik pada medium yang mengandung 7,5% NaCl serta memfermentasi manitol (Jawets dkk, 1996: 255). 25 2.6.4.2 Klasifikasi Staphylococcus aureus Domain : Bacteria Kerajaan : Eubacteria Filum : Firmicutes Kelas : Cocci Ordo : Bacillales Family : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies : S. aureus Gambar 2.3 Staphylococcus aureus Sumber : Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. Medical Microbiology. New York: Thieme; 2005 2.6.4.3 Biakan Bakteri Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20 – 25ºC). Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna abu-abu sampai kuning emas tua (Jawets dkk, 1996: 211). 26 2.6.4.4 Patogenesis Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan patogen utama pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami infeksi Staphylococcus aureus dari keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil sampai infeksi yang tidak dapat disembuhkan. Infeksi Staphylococcus aureus dapat juga berasal dari kontaminasi langsung pada luka misalnya pasca operasi (Jawets dkk, 2005: 323). Staphylococcus aureus dapat menyebabkan patogenitas seperti bisul, jerawat, styes, pneumonia, dan beberapa infeksi (radang paru-paru, radang kelenjar dada, radang urat darah, meningitis, saluran kencing serta menyebabkan keracunan makanan). Sifat patogen Staphylococcus aureus pada kondisi normal diseimbangkan oleh mikroorganisme pertahanan tubuh, akibatnya sifat patogenitas tidak terlihat. Apabila pertahanan tubuh menjadi lemah, maka dapat memicu timbulnya beberapa penyakit. Daerah-daerah predominan pada beberapa anatomi manusia merupakan tempat species ini berada, antara lain : pada kulit 3 5%, hidung 20 – 85%, mulut, air liur dan permukaan gigi (Pelczar dan Chan, 1988: 550). Staphylococcus aureus memproduksi koagulase yang mengkatalis perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan dapat membantu organisme ini untuk membentuk barisan perlindungan. Bakteri ini memproduksi enzim litik ekstraselular (misalnya lipase) yang mencegah jaringan pejamu dan membantu invasi (Gillespie, S & Bamford, K, 2008: 32). 2.6.4.5 Infeksi Staphylococcus aureus Infeksi kulit dapat terjadi pada kondisi hangat yang lembab atau saat kulit terbuka akibat penyakit seperti luka pembedahan atau akibat alat intravena. 27 Impetigo dapat muncul pada kulit yang sehat yaitu infeksi ditransmisikan dari orang ke orang. Pneumonia akibat Staphylococcus aureus jarang terjadi, tetapi terjadi setelah influenza. Endokarditis akibat Staphylococcus aureus bersifat destruktif dan terjadi setelah penyalahgunaan obat intravena / kolonisasi pada alat intravena. Staphylococcus aureus merupakan agen yang sering menyebabkan osteomielitis dan arthritis septik (Gillespie, S & Bamford, K, 2008: 33). 2.7 Senyawa Antibakteri 2.7.1 Definisi Antibakteri Antibakteri adalah suatu komponen kimia yang berkemampuan dalam menghambat pertumbuhan atau berkemampuan dalam mematikan bakteri (Volk dan Wheeler, 1998: 218). Bahan antibakteri adalah bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri (Pelczar dan Chan, 1988: 450). Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan bahwa antibakteri adalah suatu bahan yang mempunyai aktivitas untuk menghambat atau membunuh bakteri. Kelompok zat kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri antara lain persenyawaan alkohol, unsur halogen, alkali (basa) dan asam (Volk dan Wheeler, 1998: 221). 2.7.2 Mekanisme Kerja Antibakteri Menurut Volk dan Wheeler (1993: 219), antibakteri dalam melakukan efeknya harus mampu mempengaruhi bagian sel yang vital seperti membrane sitoplasma, enzim dan protein. Menurut Pelczar dan Chan (1988), mekanisme kerja senyawa antibakteri adalah sebagai berikut : 28 1. Merusak Dinding Sel Dinding sel merupakan bagian sel yang berfungsi memberi bentuk dan kekuatan atau perlindungan sel, mengatur pertukaran zat-zat dari dan ke dalam sel serta memegang peranan penting dalam pembelahan sel. Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat pembentukan atau mengubahnya setelah terbentuk. Kerusakan pada dinding sel akan berakibat terjadinya perubahan-perubahan yang mengarah pada kematian sel. 2. Merubah Permeabilitas Membran Sel Membran sel berfungsi dalam memelihara integritas komponen-komponen seluler yang secara selektif mengatur keluar masuknya zat antara sel dan lingkaran luar. Dengan demikian kerusakan pada membran sel akan memungkinkan ion organik penting, nukleotida, asam amino, dan enzim keluar dari sel sehingga, mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel. 3. Merubah Molekul Protein Dan Asam Nukleat Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam nukleat keadaan alamiahnya. Konsentrasi tinggi beberapa zat kimia dapat mengakibatkan denaturasi komponen-komponen seluler yang vital ini. 4. Menghambat Kerja Enzim Suatu sel yang normal memiliki sejumlah enzim untuk membantu kelangsungan proses metabolisme bersama protein yang lain. Penghambatan pada kerja enzim dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel. 29 5. Menghambat Sintesa Asam Nukleat Dan Protein DNA (Deoxyribonucleic Acid) dan RNA (Ribonucleic Acid) dan protein memegang peranan penting dalam proses kehidupan sel. Gangguan yang terjadi pada pembentukan dan fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sel (Pelczar dan Chan, 1988). 2.7.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerja Antibakteri Menurut Pelczar dan Chan (1988), beberapa hal yang dapat mempengaruhi kerja zat antibakteri adalah sebagai berikut: 1. Konsentrasi Senyawa Antibakteri Semakin tinggi konsentrasi senyawa antibakteri, maka semakin tinggi pula daya antibakterinya artinya, banyak bakteri akan terbunuh lebih cepat bila konsentrasi zat tersebut lebih tinggi. 2. Jumlah Mikroorganisme Perusakan mikroorganisme oleh suatu antibakteri merupakan suatu proses yang teratur dan tidak mungkin semua bakteri akan mati dalam waktu yang bersamaan. Semakin lama suatu bakteri berada di bawah pengaruh senyawa antibakteri, semakin besar kemungkinan matinya bakteri tersebut (Pelczar dan Chan, 1988: 454). 3. Suhu Kenaikan suhu di bawah suhu maksimal secara terus-menerus dapat meningkatkan efektivitas senyawa antibakteri. Hal ini disebabkan zat kimia merusak bakteri melalui reaksi kimia dan reaksi kimia dipercepat dengan kenaikan suhu. 30 4. Spesies Mikroorganisme Spesies mikroorganisme menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda terhadap suatu bahan kimia tertentu. 5. Adanya Bahan Organik Adanya bahan organik asing dapat menurunkan efektivitas suatu antibakteri. Hal tersebut disebabkan adanya bahan organik dalam pencampuran zat antibakteri dapat mengakibatkan penggabungan antibakteri dengan bahan organik membentuk produk yang tidak bersifat antibakteri, menghasilkan suatu endapan yang mempengaruhi daya antibakteri, akumulasi bahan organik pada permukaan bakteri (sel mikroba) menjadi suatu perlindungan yang dapat mengganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel. 6. Keasaman dan Kebasaan pH Mikroorganisme yang hidup pada pH asam akan mudah dibasmi pada suhu rendah dan dalam waktu yang singkat jika dibandingkan hidup pada pH basa. 2.7.4 Metode Uji Aktivitas Antibakteri Menurut Recio (1988), terdapat tiga metode pengujian aktivitas antibakteri adalah sebagai berikut. 1. Metode Penyebaran (Diffusion Method) Metode ini meliputi metode cakram kertas (Paper Disk Method), metode cairan dalam cincin (Ring Diffusion Method) dan metode lubang (Hole Plate Method). 2. Metode Pengenceran (Dilution Method) Metode ini meliputi metode pengenceran agar (Agar Dillution Method) dan metode pengenceran tabung (Tube Dillution Method). 31 3. Metode Bioautografi (Bioautographi Method) Meliputi metode bioautografi langsung (Direct Bioautographi Method) dan metode bioautografi pencelupan (Immersion Bioautographi Method). 2.7.4.1 Metode Difusi Agar (Diffusion Method) Metode ini dilakukan dengan cara menanam bakteri pada lempeng agar yang sesuai, kemudian diletakkan cakram atau silinder yang telah ditetesi dengan bahan uji atau dapat juga bahan uji dimasukkan dalam lubang atau cangkir agar yang telah dibuat pada media. Keampuhan dapat dilihat dengan mengukur diameter zona hambat pertumbuhan bakteri disekitar cakram, lubang atau cangkir agar. Semakin besar diameter zona hambat pertumbuhan bakteri menunjukkan bahwa bahan uji dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan baik. Keuntungan metode difusi adalah jumlah sampel kecil dan bisa dikerjakan dalam satu petridish 5 – 6 sampel sekaligus untuk satu jenis mikroorganisme (Recio, 1988). Uji aktivitas dilakukan dengan cara sumuran yaitu dengan meneteskan masing-masing larutan uji, larutan kontrol negatif, larutan kontrol positif pada sumuran yang berbeda sebanyak 50 µl (Mpila dkk, 2012). 2.8 Media Pertumbuhan Mikroorganisme Media adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran nutrisi atau zat-zat hara (nutrien) yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme di atas atau di dalamnya. Selain untuk menumbuhkan, media juga dapat pula digunakan untuk isolasi, memperbanyak mikroorganisme, pengujian sifat fisiologis dan perhitungan mikroorganisme (Waluyo, 2010: 127). Agar mikroorganisme dapat tumbuh dalam suatu medium, perlu diperhatikan beberapa syarat berikut : 32 1. Medium harus mengandung semua nutrisi yang mudah digunakan dan diperlukan mikroorganisme. 2. Medium harus mempunyai tekanan osmosis, tegangan muka, pH yang sesuai dengan pertumbuhan mikroorganisme. 3. Medium harus steril sebelum digunakan, supaya mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik. 4. Medium tidak mengandung zat-zat yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Manitol Salt Agar (MSA). Menurut Depkes (1995), komposisi dari Manitol Salt Agar Medium (MSA) adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Komposisi Media Mannitol Salt Agar Nama Bahan Jumlah Satuan Digesti Pankreatik Kasein P 5,0 g Digesti Peptik Jaringan Hewan P 5,0 g Ekstrak Daging P 1,0 g D – Manitol P 10,0 g Natrium Klorida P 75,0 g Agar P 15,0 g Merah Fenol P 0,025 g Air 1000 ml Campur, panaskan sambil sering dikocok, dan didihkan selama 1 menit hingga melarut. pH setelah sterilisasi 7,4 ± 0,2 (Depkes, 1995). 33 2.9 Kerangka Konsep Rimpang Temu Magga Tanin, kurkumin, amilum, gula, damar dan saponin Ekstraksi Fraksinasi Antibakteri Multi komponen Hasil fraksinasi dengan n-heksan, etil asetat & air Aktivitas Antibakteri Gambar 2.4 Kerangka Konsep 2.10 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut : H0 = Hasil fraksinasi rimpang temu mangga tidak mempunyai perbedaan aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus H1 = Hasil fraksinasi rimpang temu mangga mempunyai perbedaan aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk penelitian eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi rimpang temu mangga (Curcumae mangga Val.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dalam penelitian ini digunakan metode difusi sumuran. Metode ini dipilih karena pengukuran zona hambat yang diperoleh akan lebih maksimum bila dibandingkan dengan metode difusi agar yang lain. Penelitian meliputi tiga tahap kerja. Pertama, tahap persiapan meliputi: persiapan rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.), media selektif, alat-alat yang digunakan dan tahap determinasi tanaman. Kedua, tahap pelaksanaan meliputi pembuatan ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga, fraksinasi ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga dengan beberapa pelarut, dan pengujian aktivitas antibakteri rimpang temu mangga dari beberapa hasil fraksinasi. Ketiga, tahap pengamatan terhadap hasil pengujian, analisis data dan pembuatan kesimpulan. 34 35 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1 Populasi Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa hasil fraksinasi ekstrak rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.). 3.2.2 Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air ekstrak rimpang temu mangga masing-masing sebanyak 0,05 ml. 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Farmakognosi Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang. 3.3.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan mulai penyusunan proposal sampai terselesaikannya karya tulis ilmiah ini yaitu pada bulan Februari sampai Juli 2015. 3.4 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah fraksi aktif ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.). Sedangkan variabel terikatnya adalah aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus. 36 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Variabel Fraksi aktif ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) Aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus Subvariabel 1. Pelarut nheksan 2. Pelarut etil asetat 3. Pelarut air − DOV 1. Hasil fraksinasi nheksan dari ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga 2. Hasil fraksinasi etil asetat dari fraksi nheksan rimpang temu mangga 3. Hasil fraksinasi air dari fraksi etil asetat rimpang temu mangga Kemampuan masing-masing fraksi ekstrak rimpang temu mangga membunuh pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus Indikator Alat ukur Hasil Ukur Skala 1. Fase kental nheksan 2. Fase kental etil asetat 3. Fase kental air Neraca analitik g Nominal Zona bening disekitar lubang Jangka sorong mm Rasio 3.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian meliputi alat dan bahan yang digunakan untuk pengumpulan data. Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut: 37 3.5.1 Alat Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah asbes, autoklaf, batang pengaduk, beakker glass, bluetip, botol cokelat, botol semprot, bunsen, chamber, corong Buchner, corong gelas, corong pisah, erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, inkubator, jangka sorong, kaki tiga, kawat ose, kompor gas, labu ukur, laminar air flow, mikropipet, oven, petridish, pinset, pipa pelubang, pipet tetes, pipet volume, pisau, rak tabung reaksi, rotary evaporator, serta tabung reaksi. 3.5.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rimpang temu mangga, alumunium foil, aquades, asam asetat, biakan murni Staphylococcus aureus, CMC, etanol 70%, etil asetat, karet gelang, kertas cokelat, kertas saring, media agar Manitol Salt Agar (MSA), etanol 70%, NaCl, n-heksan, pereaksi HCl. 3.6 Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut. 3.6.1 Tahap Determinasi Tumbuhan Dilakukan dengan cara membandingkan ciri-ciri morfologi tumbuhan dengan literatur flora of java. 38 3.6.2 Tahap Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Mangga Ekstraksi rimpang temu mangga diawali dengan menyiapkan cairan penyari etanol 70% sebanyak ± 2,25 L. Langkah kedua, mengupas rimpang temu mangga dan mencucinya hingga bersih. Langkah ketiga, merajang rimpang dengan tujuan untuk memperluas permukaan dan menimbangnya sebanyak 300 gram. Rimpang temu mangga segar dimaserasi menggunakan pelarut etanol 70% selama 3 hari dengan perbandingan bahan dan pelarut sebesar 10 : 75. Selanjutnya, menyaring hasil maserasi mengunakan kain saring dan dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu ±70ºC. Hasil ekstrak kental ditimbang dan digunakan untuk proses fraksinasi menggunakan beberapa pelarut. 3.6.3 Tahap Fraksinasi Tahap fraksinasi dilakukan dengan menimbang ekstrak pekat rimpang temu mangga yang diperoleh sebanyak ± 15 gram. Kemudian, ekstrak pekat di pisahkan dengan beberapa pelarut yang berbeda kepolarannya dengan perbandingan 1 : 1 (Muchtaridi et all, 2011). Mula-mula, ekstrak pekat di partisi berturut-turut menggunakan pelarut n-heksan sebanyak 3 x 15 ml sehingga diperoleh fase n-heksan dan fase etanol sisa. Masing-masing fase dipisahkan dan dikumpulkan. Selanjutnya, fase etanol sisa di fraksinasi kembali secara berturutturut menggunakan pelarut etil asetat sebanyak 3 x 15 ml sehingga, diperoleh fase etil asetat dan fase etanol sisa. Masing-masing fase dipisahkan dan dikumpulkan. Selanjutnya, fase etanol kembali di fraksinasi secara berturut-turut menggunakan pelarut air sebanyak 3 x 15 ml sehingga diperoleh fase air dan fase etanol sisa. Selanjutnya, masing-masing fase yaitu fase n-heksan, fase etil asetat, fase air dan fase etanol sisa dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu ±70ºC. 39 Keempat fase yang sudah dipekatkan dilakukan uji identifikasi fitokimia sebelum digunakan untuk uji aktivitas antibakteri. 3.6.4 Identifikasi Fitokimia 3.6.4.1 Identifikasi Senyawa Alkaloid Menimbang masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 0,02 g atau dipipet sebanyak 3 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan dengan 1 ml pereaksi HCl 2 N dan 6 ml air suling (aquades). Selanjutnya, masing-masing tabung dipanaskan selama 2 menit, lalu didinginkan dan disaring. Selanjutnya, masing-masing filtrat diambil sebanyak 1 ml dan ditambahkan dengan 1 – 2 tetes pereaksi Dragendorff. Reaksi positif jika terdapat endapan berwarna merah. 3.6.4.2 Identifikasi Senyawa Fenol Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, masing-masing tabung ditambahkan dengan pereaksi FeCl3. Reaksi positif ditandai dengan adanya warna hijau, merah ungu, biru dan hitam. 3.6.4.3 Identifikasi Senyawa Flavonoid 1. Tes Wilstatter Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, masing-masing tabung ditambahkan 2 – 3 butiran logam Mg dan 2 – 4 tetes larutan HCl 2 N. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau jingga (Harborne, 1973). 40 2. Tes Bate-Smith Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, masing-masing tabung ditambahkan dengan pereaksi HCl(P) dan dipanaskan selama 15 menit ke dalam beaker glass yang berisi air. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna merah (Achmad, 1986). 3. Tes dengan NaOH 10% Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung ditambahkan 1 – 2 tetes pereaksi NaOH 10%. Reaksi positif ditunjukkan dengan adanya perubahan warna dari kuning tua menjadi kuning muda (Harborne, 1973). 3.6.4.4 Identifikasi Senyawa Triterpenoid dan Steroid Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung ditambahkan 1 – 2 tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Apabila reaksi positif untuk steroid ditandai dengan terbentuknya warna hijau biru, sedangkan untuk triterpenoid ditandai dengan adanya warna ungu (Harborne, 1973). 3.6.4.5 Identifikasi Senyawa Saponin Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung ditambahkan dengan 10 ml H2O dan dipanaskan selama 5 menit, lalu didinginkan dan disaring. Selanjutnya, mengocok kuat-kuat masing-masing filtrate dengan arah vertikal selama 1 – 2 menit. Reaksi positif ditandai dengan adanya buih 41 setinggi 1 cm yang stabil setelah dibiarkan selama 1 jam atau dengan penambahan 1 tetes HCl 0,1 N (Harborne, 1973). 3.6.4.6 Identifikasi Senyawa Tanin Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung ditambahkan dengan larutan gelatin 1%. Apabila reaksi positifditandai dengan adanya endapan putih. 3.6.4.7 Identifikasi Senyawa Terpenoid Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 tetes dan meletakkannya pada plat tetes. Kemudian, menambahkan masing-masing hasil fraksinasi dengan tiga tetes anhidrida asetat (Ac 2O) dan satu tetes H2SO4(P). Adanya senyawa golongan terpenoid ditandai dengan terbentuknya warna merah (Kristanti dkk, 2008). 3.6.5 Tahap Pengujian Aktivitas Antibakteri 3.6.5.1 Sterilisasi alat dan bahan Semua alat dan bahan dalam penelitian disterilkan terlebih dahulu dengan tujuan agar peralatan yang digunakan tidak terkontaminasi oleh mikroba atau bakteri yang tidak diinginkan. Sterilisasi dilakukan menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. 3.6.5.2 Pembuatan Media 1. Media Agar Peremajaan Staphylococcus aureus Mengambil MSA sebanyak ± 5,55 g; dimasukkan media ke dalam Erlenmeyer dan dilarutkan dengan 50 ml aquades. Selanjutnya, media dihomogenkan dengan batang pengaduk di atas spirtus sampai terlarut sempurna. 42 Media yang sudah homogen didinginkan dan ditutup bagian mulut Erlenmeyer dengan kapas dan dibungkus dengan kertas coklat. Kemudian, media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Media peremajaan ini digunakan dalam peremajaan bakteri murni Staphylococcus aureus. 2. Media Sumuran Pertama, membuat media sumuran dengan cara menimbang MSA sebanyak 41,625 gram; dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan dilarutkan dengan 375 ml aquades. Kedua, media dihomogenkan dengan batang pengaduk di atas penangas air sampai terlarut sempurna. Media yang sudah homogen disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit dan didinginkan. 3.6.5.3 Pembuatan Larutan Uji Mengambil hasil fraksinasi masing-masing sebanyak ±15 gram. Kemudian, masing-masing hasil fraksinasi dilarutkan dengan ± 1 ml larutan CMC dan diaduk sampai homogen. 3.6.5.4 Pembuatan Larutan NaCl 0,9% Mengambil dan menimbang sebanyak 0,9 gram NaCl. Selanjutnya, melarutkannya ke dalam 100 ml aquades dan diaduk sampai homogen. 3.6.5.5 Peremajaan Bakteri Staphylococcus aureus Menyiapkan tabung reaksi steril dan kawat ose. Kemudian, menuangkan media peremajaan MSA masing-masing sebanyak 5 ml ke dalam 8 tabung reaksi secara aseptis dan didiamkan sampai memadat pada posisi miring. Selanjutnya, mengambil bakteri murni Staphylococcus aureus dan menanamnya pada media MSA dengan metode agar miring. Selanjutnya, media agar miring diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 x 24 jam. 43 3.6.5.6 Pembuatan Suspensi Bakteri Staphylococcus aureus Mengambil biakan bakteri Staphylococcus aureus dengan kawat ose steril sebanyak 1 – 2 lup. Kemudian, mensuspensikan biakan ke dalam tabung reaksi yang berisi 25 ml larutan NaCl 0,9% steril. Selanjutnya, mengukur tingkat kekeruhan suspensi bakteri dengan spektrofotometri UV – Vis pada panjang gelombang 580 nm, hingga diperoleh transmitan sebesar 25%. 3.6.5.7 Pembuatan Sumuran Mula-mula, suspensi bakteri dimasukkan ke dalam petidish sebanyak 1 mL. Selanjutnya, media MSA dituangkan ke dalam petridish sebanyak ±15 mL dan di aduk hingga homogen dengan cara digoyang membentuk angka delapan. Selanjutnya, media berisi suspensi bakteri tersebut dibiarkan hingga memadat. Kemudian, meletakkan sebuah pipa pelubang pada masing-masing media agar dan diangkat secara aseptik. Kemudian, masing-masing lubang sumuran dimasukkan hasil fraksi. 3.6.5.8 Uji Aktivitas Antibakteri secara In-vitro Masing-masing hasil fraksinasi yang sudah ditambah dengan pelarut CMC dimasukkan ke dalam lubang sumur yang sudah dibuat. Selanjutnya, petridish diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 x 24 jam. 44 3.7 Analisis Data Dalam penelitian ini analisa data yang dilakukan adalah dengan mengukur zona bening yang terdapat pada sekitar lubang sumuran. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan Uji One Way Anova. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi pada ekstrak rimpang temu mangga (Curcuma mangga). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Determinasi Temu Mangga Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang temu mangga yang diperoleh dari Materia Medika, Batu. Selanjutnya, dilakukan determinasi dengan cara membandingkan morfologi tanaman dengan kunci determinasi yang terdapat pada literatur “Flora of Java”. Determinasi dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifkasi tanaman yang akan digunakan dalam penelitian sehingga potensi terjadinya kesalahan dalam pengambilan tanaman dapat diminimalisir. Dari data morfologi, tanaman temu mangga merupakan tanaman yang termasuk golongan suku Zingiberaceae, sehingga diperoleh kunci determinasi sebagai berikut: 1b − 2b − 3b − 4b − 6b − 7b − 9b − 10b − 11a − 67b − 69b− 70b − 71a (Keterangan terdapat pada Lampiran 10). 4.2 Persiapan Temu Mangga (Curcuma mangga Val.) Bagian tanaman temu mangga (Curcuma mangga) yang digunakan adalah bagian rimpang yang berumur ± 10 – 12 bulan. Hal ini dikarenakan pada umur tersebut kandungan zat aktif lebih banyak. Mula-mula, rimpang disortasi basah, rimpang berukuran besar, tidak busuk dan tidak kotor. Setelah disortasi basah, rimpang dicuci dengan air bersih dan dirajang. Proses perajangan dilakukan untuk memperluas permukaan sel-sel sampel sehingga mempermudah bahan kontak 45 46 dengan pelarut ketika proses ekstraksi. Hasil persiapan bahan baku disajikan pada Lampiran 1. 4.3 Persiapan Ekstraksi Temu Mangga Mula-mula, rimpang temu mangga segar yang sudah dirajang disiapkan terlebih dahulu. Pemilihan bahan segar untuk ekstraksi dikarenakan untuk menghindari rusaknya senyawa aktif minyak atsiri terhadap pemanasan. Selanjutnya, sebanyak 300 gram rimpang temu mangga segar yang sudah dirajang diekstraksi menggunakan metode maserasi. Metode tersebut dipilih karena maserasi tergolong sederhana dan mudah dilakukan. Selain itu, rimpang temu mangga tidak tahan terhadap pemanasan dan juga mempunyai kandungan gula di dalamnya, sehingga dikhawatirkan jika diekstraksi menggunakan metode pemanasan akan mengganggu dan mempengaruhi hasil proses. Hasil ekstrak selanjutnya dilakukan proses fraksinasi. Proses ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dan masingmasing ekstraksi membutuhkan waktu selama 3 x 24 jam. Ekstraksi dilakukan menggunakan cairan pelarut etanol 70% dengan perbandingan 70 bagian etanol : 30 bagian air. Pemilihan etanol 70% sebagai larutan penyari dikarenakan etanol banyak digunakan untuk ekstraksi tanaman obat dan dapat menarik zat aktif yang bersifat polar maupun non polar. Perbandingan bahan segar dan pelarut yang digunakan adalah 10 : 75 bagian, sehingga banyaknya pelarut yang dibutuhkan untuk mengekstraksi 300 gram rimpang temu mangga segar adalah ± 2,25 L. Hasil maserasi yang diperoleh disaring menggunakan kain penyaring dan saringan agar maserat diperoleh lebih banyak. Maserat yang diperoleh selanjutnya 47 diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu ± 70ºC dengan tekanan 1 atm untuk memisahkan pelarut etanol dan senyawa fitokimia yang terekstrak dari rimpang temu mangga. Setelah diuapkan, dihasilkan ekstrak yang berbentuk cairan (liquid) yang disebut sebagai ekstrak kasar (crude extract). Berdasarkan proses ekstraksi tersebut, hasil maserat yang diperoleh dari masing-masing pengulangan adalah 17,3296 gram; 27,9117 gram dan 21,3429 gram. Rendeman yang diperoleh dari ketiga replikasi masing-masing sebesar 5,7765%; 9,3039% dan 7,1143% (Perhitungan terdapat pada Lampiran 4). Berikut ini adalah hasil pemeriksaan karakteristik dari ekstrak etanol temu mangga. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak Etanol Temu Mangga Organoleptik Bentuk Warna Bau Rasa Hasil Pengamatan Cairan agak kental Kuning kecoklatan Khas Manis 4.4 Identifikasi Fitokimia Ekstrak Temu Mangga Hasil ekstraksi berupa ekstrak yang berbentuk cairan terlebih dahulu diidentifikasi kandungan senyawa fitokimianya secara kualitatif agar target yang diinginkan benar-benar sudah didapat dari proses ekstraksi yang dilakukan. Pengujian yang dilakukan adalah identifikasi saponin, terpenoid dan flavonoid. Hasil identifikasi fitokimia dari ekstrak etanol temu mangga terdapat pada Tabel 4.2. 48 Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Fitokimia Dari Ekstrak Etanol Temu Mangga Golongan senyawa Flavonoid Saponin Terpenoid Pereaksi Hasil Pengamatan + HCl(P), dipanaskan 15 menit ke dalam Warna merah beaker glass berisi air + H2O panas, Terbentuk dikocok buih setinggi > 1 cm + Ac2O + Warna merah H2SO4(P) Hasil Literatur Literatur Warna merah Achmad, 1986 Terbentuk buih setinggi > 1 cm Harborne, 1973 Warna merah Harborne, 1973 4.5 Hasil Fraksinasi Ekstrak Temu Mangga Proses fraksinasi ekstrak temu mangga dilakukan menggunakan tiga pelarut yang berbeda. Pemilihan ketiga pelarut tersebut didasarkan atas perbedaan tingkat kepolaran. Pelarut yang digunakan adalah n-heksan, etil asetat dan air. masing-masing pelarut secara berturut-turut mempunyai tetapan dielektrikum sebesar (1,89), (6,02) dan (80,40). Semakin besar nilai tetapan dielektrikum dari pelarut yang digunakan, maka sifat pelarut tersebut semakin polar. Ekstrak kental temu mangga yang digunakan untuk fraksinasi masingmasing sebesar 8,6648 g; 13,9558 g dan 10,6714 g. Masing-masing ekstrak dilarutkan dengan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi sebanyak ± 5 mL sampai larut. Selanjutnya, difraksinasi dengan pelarut n-heksan terlebih dahulu. Pelarut n-heksan mampu menarik senyawa yang bersifat non polar seperti golongan minyak atsiri, terpen dan lemak. Pada saat dilakukan fraksinasi, terjadi pemisahan antara n-heksan dengan etanol menjadi tiga lapisan. Lapisan tersebut diduga sebagai residu ekstrak yang tidak ikut tersaring pada saat proses 49 penyaringan. Selanjutnya, fraksi etanol sisa di fraksinasi kembali menggunakan pelarut etil asetat. Pelarut etil asetat mampu menarik senyawa yang bersifat semi polar. Pada praktikum terbentuk dua lapisan antara fraksi etil asetat dengan fraksi etanol sisa. Selanjutnya, fraksi etanol sisa di fraksinasi kembali dengan air. Pemilihan pelarut air karena pelarut tersebut mampu menarik senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Fraksi Ekstrak Temu Mangga Hasil Fraksinasi Fraksi n-heksan Fraksi etil asetat Fraksi air Hasil Pengamatan Cairan berwarna coklat gelap, agak pekat Cairan berwarna coklat bening, agak kental Cairan warna coklat muda 4.6 Hasil Identifikasi Staphylococcus aureus Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari stock culture bakteri yang disimpan di laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Bakteri yang diperoleh diremajakan menggunakan media NA (Nutrient Agar). Bakteri tersebut diidentifikasi secara makroskopik untuk memastikan dan membuktikan bahwa bakteri tersebut adalah bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri tersebut kemudian dibiakkan menggunakan media MSA yang merupakan media selektif dari bakteri Staphylococcus aureus. Berdasarkan pengamatan, secara makroskopik kenampakannya berbentuk serupa bola-bola kecil. Selain itu, juga membentuk pigmen berwana kuning emas tua. Hal ini dikarenakan bakteri Staphylococcus aureus mampu menfermentasi mannitol yang 50 terdapat pada media MSA. Hasil identifikasi bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Lampiran 6. 4.7 Hasil Aktivitas Antibakteri Fraksi Rimpang Temu Mangga Pengujian aktivitas antibakteri pada rimpang temu mangga dilakukan menggunakan metode difusi sumuran. Pengujian ini dilakukan terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Metode difusi sumur dilakukan dengan cara memasukkan senyawa antibakteri ke dalam lubang (sumur) yang telah dibentuk pada petridish berisi media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang (37ºC), diameter zona hambat pertumbuhan bakteri uji pada media diamati dan diukur menggunakan jangka sorong. Hasil pengamatan uji aktivitas antibakteri dari beberapa hasil fraksinasi ekstrak temu mangga terhadap akteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Aktivitas Antibakteri Fraksi Aktif Temu Mangga Terhadap Staphylococcus aureus. Perlakuan Media + bakteri + fraksi n-heksan Media + bakteri + fraksi etil asetat Media + bakteri + fraksi air Diameter Zona Hambat (mm) Replikasi Replikasi Replikasi I II III Rata-rata ± SD (mm) 13,10 10,10 13,96 12,3867 ± 2,0264 0 0 0 0 0 0 0 0 Berdasarkan perbedaan pelarut fraksinasi diperoleh daya hambat yaitu sebesar 10,10 mm sampai 13,96 mm. Uji One Way Anova menggunakan SPSS 15,00 (Analisis Data terdapat pada Lampiran 9) diperoleh nilai p = 0,00 (p < 0,05) 51 artinya bahwa ada perbedaan yang signifikan diantara perlakuan tersebut. Perlakuan fraksi n-heksan dengan fraksi etil asetat dan fraksi air terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini ditunjukkan dari zona hambat yang terbentuk pada perlakuan fraksi n-heksan dengan rata-rata sebesar 12,3867 ± 2,0264 mm. Sedangkan pada perlakuan fraksi etil asetat dan fraksi air tidak terbentuk zona hambat. Menurut Hermawan dkk (2007), menyatakan bahwa interpretasi daerah hambatan pertumbuhan antimikroba mengacu pada standar umum yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (1988) disebutkan bahwa mikroba dikatakan peka terhadap antimikroba asal tanaman apabila mempunyai ukuran diameter daya hambatan sebesar 12-24 mm. Pelarut n-heksan mampu menarik senyawa non polar seperti minyak atsiri, terpenoid/steroid (Nuraini dkk, 2013 dan Naufalin 2005 dalam Nuraini A. D, 2007). Berdasarkan hasil uji fitokimia di atas, ekstrak etanol temu mangga positif mengandung senyawa terpenoid. Hal ini dapat dilihat pada pengujian fitokimia. Diduga senyawa terpenoid tersebut ikut tertarik ketika di fraksinasi menggunakan pelarut n-heksan. Senyawa terpenoid mempunyai mekanisme kerja dengan cara bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa akan mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi, sehingga pertumbuhan terhambat atau mati (Cowan, M. 1999). Antara fraksi etil asetat dan fraksi air tidak terjadi perbedaan, seharusnya pada fraksi etil asetat menghasilkan zona hambat. Berdasarkan pengamatan, 52 terdapat pertumbuhan fungi yang mengaburkan pengamatan zona hambat fraksi etil asetat terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini disebabkan karena penyimpanan hasil fraksi etil asetat tidak dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Menurut Jayuska dkk (2013), menyebutkan bahwa senyawa flavonoid dan polifenol dapat terlarut di dalam fraksi etil asetat, sehingga seharusnya mempunyai aktivitas antibakteri. Sedangkan pada fraksi air tidak terdapat zona hambat karena dalam temu mangga tidak terdapat senyawa polar yang berperan sebagai antibakteri. Berdasarkan pengamatan juga terdapat pertumbuhan fungi. Hal ini juga disebabkan penyimpanan hasil fraksi air tidak dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Akibatnya, masa simpan dari hasil fraksi tidak tahan lama dan memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh fungi. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian aktivitas antibakteri fraksi aktif rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan metode difusi diperoleh kesimpulan bahwa fraksi aktif yang mempunyai kemampuan untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah fraksi n-heksan. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat pada perlakuan fraksi n-heksan yaitu antara 10,10 mm sampai 13,96 mm. 5.2 Saran 1. Perlu proses fraksinasi secara beruntun berdasarkan nilai indeks kepolaran terhadap hasil ekstrak temu mangga agar hasil fraksi yang diperoleh lebih maksimal. 2. Perlu proses sterilisasi secara filtrasi atau penyimpanan pada suhu rendah (lemari pendingin) terhadap hasil fraksinasi untuk meminimalisasi resiko terjadinya kontaminasi bahan. 53 DAFTAR RUJUKAN Achmad., S.A..1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Kamunika. Adila, Rahma., Nurmiati, Anthoni Agustien. 2013. Uji Antimikroba Curcuma spp. Terhadap Pertumbuhan Candida albicans, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal Biologi Universitas Andalas ISSN: 2303 – 2162. Ansel, Howard C. et al. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta: Pustaka Bunda. Ariviani, Setyaningrum., MAM. Andriani, Fitri Yani. 2013. Potensi Temu Mangga (Curcuma mangga Val.) Sebagai Minuman Fungsional. Jurnal Teknosains Pangan Vol 5, ISSN: 2302 – 0733. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 2. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hlm 189 – 194. Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Reviews. 12: 564 – 582. Damayanti, Ema., Ahmad Sofyan, Hardi Julendra, Tri Untari. 2009. Pemanfaatan Tepung Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Agensia Anti – Pullorum dalam Imbuhan Pakan Ayam Broiler. JITV Vol 14 (2): 83 – 89. Darwis, S. N., M. Indo, S. Hasiyah. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Bogor: Badan Penelitian Pusat Dan Pengembangan Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan. 54 55 Departemen Kesehatan. 1988. Inventaris Obat Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan.. Dwidjoseputro. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Efektivitas Antibakteri Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Porphoyromonas Gingivalis. Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia Vol 2 (1): 12 – 23. ISSN: 2302 – 6448. Fahmi, Novita Fatimah. 2011. Efek Antibakteri Ekstrak Temu Mangga (Curcuma Mangga Val.) Pada Staphylococcus Aureus. Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan. Malang: Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang. Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gillespie, Stephen dan Kathleen Bamford. 2008. At a Glance Mikrobiologi Medis Dan Infeksi. Jakarta: Erlangga. Gusmaini, M. Yusron, M. Januwati. 2004. Teknologi Perbanyakan Benih Sumber Temu Mangga. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Gruiz, K. 1996. Fungitoxic Activity of Saponins : Practical Use and Fundamental Principles. Di dalam : A. S. Naidu. (ed). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press, USA. Harahap, Sjahrial. 1998. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. Harborne, J. B. 1973. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Edisi Kedua. Terjemahan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. 1984. Bandung: Penerbit ITB. Hermawan, A., Hana, E., dan Tyasningsi, W. 2007. Pengaruh Estrak Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. 56 Hernani dan Rahardjo. 2002. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Swadaya. Hernani dan Sintha Suhirman. 2001. Diversifikasi Hasil Tanaman Temu Mangga (Curcuma mangga Val.). Tidak dipublikasikan. 12 hal. Heyne, K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesie. N.V. Bandung: Uitgeverijw van Hoeve’s-Gravenhage. Jawetz, E., Melnick J, Adelberg E. Tanpa tahun. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. Terjemahan oleh Edi Nugrogo dan R. F. Maulany. 1996. Jakarta: EGC. Jayuska, Afghani. Sayekti, Endah. Rahimah. 2013. Karakteristik Senyawa Flavonoid Hasil Isolat Dari Fraksi Etil Asetat Daun Matoa (Pometia pinnata J. R. Forst & G. Forst). JKK Vol 2, ISSN: 2303 – 1077. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. 2005. Medical Microbiology. New York: Thieme. Kibbe, Arthur H. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Third Edition. United State of America: American Pharmaceutical Association. Kristanti, A. N., N. S. Aminah, M. Tanjung, B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga University Press. Lajis, N. H. 2007. Recent Aspect of Natural Products Research and Development in Malaysia. Surabaya – Indonesia: International Symposium Biology, Chemistry, Pharmacology, and Clinical Studies of Asian Plants. Meskin, M. S., W. R. Bidlack, A. J. Davies, S. T. Omaye. 2002. Phytochemicals in Nutrition and Health. London New York: CRC Press. Mpila, Deby A., Fatimawati, Weny I. Wiyono. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Mayana, (Online) http://www.portalgaruda.org. Diakses tanggal 15 Desember 2014). Muchtaridi, Musfiroh, I., Udin, L. Z., Diantini, A., Levita, J., Mustarichie, R. 2011. Aktivitas Antiproliferasi Ekstrak, Fraksi Etil Asetat Dan Isolat 57 Rimpang Temulawak (Curcuma Xabthorrhiza Roxb.) Terhadap Sel Kanker Payudara T47D. Bionatura – Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol 13: 93 – 100. Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. USA: CRC Press. Nuraini. Husni, Muhammad Ali. Murniana. Helwati, Hira. 2013. Antimicrobal Activity Of n-Heksan Extracts Of Red Frangipani. Jurnal Natural Vol 13. Nuraini, Annisa Dian. 2007. Ekstraksi Komponen Antibakteri Dan Antioksidan Dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens Willd). Skripsi tidak diterbitkan. Bogor. Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pelczar, Jr, Michael J. dan E. C. S. Chan. Tanpa tahun. Dasar-dasar Mikrobiologi. Terjemahan oleh Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutarmi Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka. 1988. Jakarta: Gramedia. Philip,K., Malek, S. N. A., Sani, W., Shin, S. K., Kumar, S., Lai, H. S., Lee Guan Serm and Syarifah N. S. A. Rahman. 2009. Antimicrobial Activity of Some Medicinal Plants from Malaysia. American Journal of Applied Sciences 6 (8): 1613-1617, PT Trubus Swadaya. Tanpa tahun. Info KIT 100 Plus Herbal Indonesia: Bukti Ilmiah Racikan. Trubus. Vol 11. Hlm. 616 – 619. Recio, M. et al,. 1988. Journal of Echmopharmacology. Madrid: Departemen to de Farmacologia Faculted de Farmacia Universidad Complutense. Rukmana, R. 2004. Temu-temuan Apotik Hidup di Pekarangan. Yogyakarta: Kanisius. Setyawan, Ahmad Dwi. 2003. Keanekaragaman Kandungan Minyak Atsiri Rimpang Temu-temuan (Curcuma). Biofarmasi 1 (2): 44 – 49. ISSN: 1693 – 2242. Sirait, Midian. 2007. Penuntun Fitokimia Dalam Farmasi. Bandung: Penerbit ITB 58 Steenis, C. G. G. J van (dkk). 1947. Flora. Edisi Kedua Belas. Terjemahan oleh Moeso Surjowinoto. 2008. Jakarta: Pradnya Paramita. Sudarmaji, S et all. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Liberty. Suryani. 2009. Isolasi dan Identifikasi Kandungan Flavonoid pada Rimpang Temu Mangga (Curcuma Mangga Val. et Zyp) dengan Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-VIS. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Tjitrosoepomo, Gembong. 1994. Taksonomi Tanaman Obat-obatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soegihardjo, C.J. 2013. Farmakognosi. Yogyakarta: PT. Citra Aji Pratama. Volk, Wesley A. dan Margaret F. Wheeler. 1984. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Terjemahan oleh Soenarto Adisoemarto, Ph. D. 1993. Jakarta: Erlangga. Waluyo, Lud. 2010. Teknik Metode Dasar Dalam Mikrobiologi. Malang: UMM Press. Widodo, J. 2000. Kunyit Putih Meredam Kanker. Intisari 37. Zablotowicz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effect of Saponin on The Growth and Activity of Rizophere Bacteria. Di dalam Naidu, A. S. (ed). 2000. Natural Food Microbial Systems. USA: CRC Press. LAMPIRAN 59 60 Lampiran 1. Persiapan Temu Mangga Tahap 1. Pengumpulan Bahan Tahap 3. Perajangan Tahap 2. Pengupasan 61 Lampiran 2. Proses Ekstraksi Rimpang Temu Mangga Tahap 1. Penimbangan Tahap 2. Maserasi 3 hari Tahap 3. Penyaringan Maserat Tahap 4. Evaporasi Tahap 5. Waterbath Tahap 6. Hasil Ekstrak Kental 62 Lampiran 3. Hasil Identifikasi Fitokimia Ekstrak Etanol Temu Mangga Golongan Senyawa Pereaksi Flavonoid + HCl(P), dipanaskan 15 menit ke dalam beaker glass berisi air Saponin + H2O panas, dikocok Terpenoid + anhidrat asetat + H2SO4(P) Hasil Pengamatan 63 Lampiran 4. Perhitungan Rendemen 1. Maserasi 1 = = 5,7765% 2. Maserasi 2 = = 9,3039% 3. Maserasi 3 = = 7,1143% 64 Lampiran 5. Partisi Ekstrak Temu Mangga Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3 Tahap 1. Partisi dengan n-heksan Tahap 1. Partisi dengan n-heksan Tahap 1. Partisi dengan n-heksan Tahap 2. Partisi dengan etil asetat Tahap 2. Partisi dengan etil asetat Tahap 2. Partisi dengan etil asetat Tahap 3. Partisi dengan air Tahap 3. Partisi dengan air Tahap 3. Partisi dengan air 65 Lampiran 6. Hasil Identifikasi Staphylococcus Aureus 66 Lampiran 7. Biakan Staphylococcus aureus dan Transmitan Suspensi Staphylococcus aureus Biakan Staphylococcus aureus Transmitan suspensi bakteri 67 Lampiran 8. Hasil Pengamatan Aktivitas Fraksi Aktif Temu Mangga Terhadap Staphylococcus aureus. Partisi 1 Fase n-heksan Partisi 2 Partisi 3 Replikasi 1 Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 2 Replikasi 3 Replikasi 3 − Replikasi 1 − Replikasi 2 − Replikasi 3 68 Partisi 1 Fase etil asetat Partisi 2 Partisi 3 Replikasi 1 Replikasi 1 Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 2 Replikasi 2 Replikasi 3 Replikasi 3 Replikasi 3 69 Partisi 1 Fase air Partisi 2 Partisi 3 Replikasi 1 Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 2 Replikasi 3 Replikasi 3 − Replikasi 1 − Replikasi 2 − Replikasi 3 70 Lampiran 9. Analisis data One Way Anova 71 72 Lampiran 10. Hasil Determinasi Tumbuhan Temu Mangga 1b 2b 3b 4b 6b 7b 9b 10b 11a 67b 69b 70b 71a Tumbuh-tumbuhan dengan bunga sejati, sedikitdikitnya dengan benang sari dan atau putik. Tumbuhtumbuhan berbunga. Tidak ada alat pembelit. Tumbuh-tumbuhan dapat juga memanjat atau membelit (dengan batang, poros daun atau tangkai daun). Daun tidak berbentuk jarum atau tidak terdapat dalam berkas tersebut di atas. Tumbuh-tumbuhan tidak menyerupai bangsa rumput. Daun dan atau bunga berlainan dengan yang diterangkan di atas. Dengan daun yang jelas. Bukan tumbuh-tumbuhan bangsa palem atau yang menyerupainya. Tumbuh-tumbuhan tidak memanjat dan tidak membelit. Daun tidak tersusun demikian rapat menjadi roset. Tulang daun dan urat daun sejajar satu dengan lainnya menurut panjang daun, tebal tulang daun, urat daun kerapkali hanya berbeda sedikit. Daun kebanyakan berbentuk garis sampai lanset, kerapkali tersusun dalam 2 baris. Pangkal daun kerapkali jelas dengan pelepah yang memeluk batang. Bunga kerapkali berbilangan 3. Kebanyakan berupa herba dengan akar rimpang, umbi atau umbi lapis. Tepi daun rata atau berduri tempel sangat kecil. Daun tidak merupakan karangan. Daun lain. Batang yang berdaun merupakan tangga yang memutar. 2 3 4 6 7 9 10 11 67 69 70 71 32. Zingiberaceae