AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI AKTIF TEMU MANGGA

advertisement
AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI AKTIF
TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP PERTUMBUHAN
Staphylococcus aureus
KARYA TULIS ILMIAH
OLEH
FAIQOTUL HIMMAH
NIM 12.009
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN
PUTRA INDONESIA MALANG
JULI 2015
AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI AKTIF
TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP PERTUMBUHAN
Staphylococcus aureus
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan kepada
Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program D-3
bidang Analis Farmasi dan Makanan
OLEH
FAIQOTUL HIMMAH
NIM 12.009
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN
PUTRA INDONESIA MALANG
JULI 2015
LEMBAR PERSEMBAHAN
Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT
atas karunia dan anugerah serta kekuatan yang menuntunku
dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
Terima kasih atas syafaat Rasulullah SAW yang telah selalu
membimbing hidupku.
Aku persembahkan karya kecilku ini untuk orang tuaku tercinta
yang selalu berupaya membiayai perkuliahanku hingga selesai
dan selalu memberikan yang terbaik untuk hidupku. Maafkan
aku bila selama ini belum bisa menjadi anak yang
membanggakan kalian, tapi aku akan berusaha selalu untuk
memberikan yang terbaik.
Untuk kakak-kakakku yang tak lupa selalu memberikan
semangat dalam mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini dan terima
kasih banyak untuk semuanya. Aku doakan selalu yang terbaik
untuk kalian. Maafkan bila banyak salah baik sengaja maupun
tidak.
Dan untuk semua teman-teman AKAFARMA angkatan
2012 dan seluruh keluarga besar PUTRA INDONESIA
MALANG.
Untuk teman-teman terbaikku Neni, Petrisia, Anggun,
dan Risa Anggraini terima kasih sudah membantuku
mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini, terutama ketika
praktikum dilakukan. Semoga kita semua menjadi orang
yang sukses, di dunia maupun di akhirat. Amin Ya
Robbal Alamin
Wassalamualaikum Wr. Wb.
ABSTRAK
Himmah, Faiqotul. 2015. Aktivitas Antibakteri Fraksi Aktif Temu Mangga
(Curcuma mangga Val.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus
aureus. Karya Tulis Ilmiah. Akademi Analis Farmasi dan Makanan
Putra Indonesia Malang. Pembimbing: Dr. Misgiati, A. Md., M. Pd.
Kata Kunci : antibakteri, fraksi aktif temu mangga
Rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) merupakan salah satu rempahrempah yang dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat. Ekstrak etanol
temu mangga mempunyai efek antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus.
Ekstrak tersebut masih berupa multi komponen sehingga, untuk dapat melihat dan
mengamatinya dibutuhkan proses pengambilan komponen secara maksimal.
Penelitian sebelumnya dikembangkan lagi dengan melakukan pemisahan cair-cair
(fraksinasi) dan identifikasi fitokimia terhadap multi komponen ekstrak temu
mangga. Proses pemisahan dilakukan dengan beberapa pelarut berdasarkan
perbedaan kepolaran dari masing-masing pelarut. Pelarut yang digunakan adalah
n-heksan, etil asetat dan air. Masing-masing hasil fraksinasi diuji aktivitas
antibakteri menggunakan metode difusi sumuran terhadap bakteri Staphylococcus
aureus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aktivitas antibakteri beberapa
hasil fraksinasi rimpang temu mangga (Curcuma mangga) terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi dan Laboratorium Farmakognosi Akademi Analis Farmasi Putra
Indonesia Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode difusi
sumuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi n-heksan dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang ditandai dengan terbentuknya
zona hambat pada perlakuan fraksi n-heksan. Berdasarkan hasil penelitian,
sebaiknya dilakukan proses fraksinasi secara beruntun berdasarkan nilai indeks
kepolaran terhadap hasil ekstrak temu mangga serta dilakukan proses sterilisasi
filtrasi atau penyimpanan pada suhu rendah (lemari pendingin) terhadap hasil
fraksinasi.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah yang berjudul “Aktivitas Antibakteri Fraksi Aktif Temu Mangga
(Curcuma mangga Val.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus” ini tepat
pada waktunya.
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini mendeskripsikan aktivitas
antibakteri fraksi aktif dari rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.)
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
Sehubungan dengan terselesaikannya karya tulis ilmiah ini, saya
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut.
1. Ibu Dra. Wigang Soelandjari sebagai Direktur Akademi Analis Farmasi dan
Makanan Putra Indonesia Malang.
2. Ibu Dr. Misgiati, A. Md., M. Pd sebagai dosen pembimbing.
3. Bapak Sugeng Wijiono, S. Si., Apt. sebagai penguji.
4. Ibu Ria Dewi Andriani, S. Pt, MP, M. Sc sebagai penguji.
5. Bapak dan Ibu Dosen Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia
Malang beserta staf.
6. Orang tua tercinta yang telah memberikan dorongan secara spiritual, materil
serta restunya dalam menuntut ilmu.
7. Rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang langsung/tidak langsung telah
memberikan bimbingan, bantuan, serta arahan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih mempunyai
beberapa kekurangan. Oleh karena itu, saran-saran sangat diharapkan. Semoga
Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat.
Malang, Juli 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................... 4
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 5
1.5 Asumsi Penelitian ........................................................................................ 6
1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .............................................. 6
1.7 Definisi Istilah ............................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9
2.1 Tinjauan tentang Temu Mangga ............................................................... 9
2.2 Kandungan Temu Mangga ...................................................................... 11
2.3 Maserasi .................................................................................................. 15
2.4 Fraksinasi ................................................................................................ 17
2.5 Identifikasi Fitokimia .............................................................................. 21
2.6 Bakteri ..................................................................................................... 22
2.7 Senyawa Antibakteri ............................................................................... 27
iii
2.8 Media Pertumbuhan Mikroorganisme .................................................... 31
2.9 Kerangka Konsep .................................................................................... 33
2.10Hipotesis ................................................................................................. 33
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 34
3.1 Rancangan Penelitian .............................................................................. 34
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian .............................................................. 35
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 35
3.4 Definisi Operasional Variabel................................................................. 35
3.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 36
3.6 Pengumpulan Data .................................................................................. 37
3.7 Analisis Data ........................................................................................... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 45
4.1 Determinasi Temu Mangga..................................................................... 45
4.2 Persiapan Temu Mangga (Curcuma mangga Val.) ................................ 45
4.3 Persiapan Ekstraksi Temu Mangga ......................................................... 46
4.4 Identifikasi Fitokimia Ekstrak Temu Mangga ........................................ 47
4.5 Hasil Fraksinasi Ekstrak Temu Mangga ................................................. 48
4.6 Hasil Identifikasi Staphylococcus aureus ............................................... 49
4.7 Hasil Aktivitas Antibakteri Fraksi Rimpang Temu Mangga .................. 50
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 53
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 53
5.2 Saran ....................................................................................................... 53
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................... 54
LAMPIRAN .......................................................................................................... 59
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Konstanta Dielektrikum ....................................................................... 18
Tabel 2.2 Komposisi Media Mannitol Salt Agar ................................................. 32
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel .............................................................. 36
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak Etanol Temu Mangga .......... 47
Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Fitokimia Dari Ekstrak Etanol Temu Mangga ......... 48
Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Fraksi Ekstrak Temu Mangga ................................ 49
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Aktivitas Fraksi Aktif Temu Mangga Terhadap
Staphylococcus aureus ......................................................................... 50
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tanaman Temu Mangga ................................................................... 10
Gambar 2.2 Struktur Dasar Flavonoid ................................................................. 12
Gambar 2.3 Staphylococcus aureus ..................................................................... 25
Gambar 2.4 Kerangka Konsep ............................................................................. 33
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persiapan Temu Mangga ................................................................. 60
Lampiran 2. Proses Ekstraksi Rimpang Temu Mangga ....................................... 61
Lampiran 3. Hasil Identifikasi Fitokimia Ekstrak Etanol Temu Mangga ............ 62
Lampiran 4. Perhitungan Rendeman .................................................................... 63
Lampiran 5. Partisi Ekstrak Temu Mangga ......................................................... 64
Lampiran 6. Hasil Identifikasi Staphylococcus aureus ........................................ 65
Lampiran 7. Biakan Staphylococcus aureus dan Transmitan Suspensi
Staphylococcus aureus .................................................................... 66
Lampiran 8. Hasil Pengamatan Aktivitas Fraksi Aktif Temu Mangga Terhadap
Staphylococcus aureus .................................................................... 67
Lampiran 9. Analisa data One Way Anova ......................................................... 70
Lampiran 10. Hasil Determinasi Tumbuhan Temu Mangga ............................... 72
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya
alamnya yang beraneka ragam, terutama dengan keanekaragaman tanaman hasil
pertanian dan rempah-rempah. Hal tersebut dipengaruhi oleh letak astronomis
Indonesia yang berada pada posisi 6º LU (Lintang Utara) – 11º LS (Lintang
Selatan) dan 95º BT (Bujur Timur) – 141º BT (Bujur Timur) sehingga mempunyai
iklim tropis. Selain karena letak astronominya, Indonesia juga mempunyai letak
geografis yang strategis yaitu berada diantara Benua Asia dan Benua Australia
serta berada diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Hal ini
menyebabkan Indonesia mempunyai curah hujan yang cukup dan sinar matahari
sepanjang tahun. Oleh karena itu, kondisi tanah di Indonesia subur dan
menghasilkan berbagai macam tanaman terutama rempah-rempah. Rempahrempah banyak digunakan sebagai bahan pengawet atau penambah rasa dalam
masakan oleh nenek moyang. Selain itu, rempah-rempah juga dimanfaatkan
sebagai bahan pengobatan.
Tanaman hasil bumi Indonesia khususnya rempah-rempah telah lama
dimanfaatkan oleh nenek moyang sebagai salah satu bahan pengobatan
tradisional. Salah satunya adalah rempah-rempah yang berasal dari keluarga
Zingiberaceae, misalnya Curcuma (Heyne, 1950 dalam Setyawan, 2003).
Rimpang Curcuma ini sering dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional
1
2
(Hernani dan Rahardjo, 2002) diantaranya untuk mengobati keputihan, diare, obat
jerawat dan gatal-gatal (Rukmana, 2004). Tanaman ini terdiri dari lebih kurang 70
spesies salah satu diantaranya adalah Curcuma mangga atau temu mangga
(Tjitrosoepomo, 1994).
Rimpang temu mangga (Curcuma mangga) adalah rempah-rempah yang
dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat atau petani. Rimpang ini
mempunyai kenampakan hampir mirip dengan temulawak (Darwis et al, 1991
dalam Ariviani et al, 2013). Selain itu, rimpang ini mempunyai aroma yang khas
seperti mangga kweni dan rasanya tidak pahit (Widodo, 2000 dalam Ariviani et
al, 2013). Temu mangga mengandung senyawa antioksidan, diantaranya kalkon,
flavon flavanon yang cenderung larut dalam air (Lajis, 2007; Suryani, 2009 dalam
Ariviani et al., 2013). Secara empiris, rimpang ini digunakan untuk merawat kulit
wajah yaitu dengan cara dioleskan pada wajah. Masyarakat Sunda mengkonsumsi
rimpang ini sebagai asinan, permen/manisan, sirup, selai, lalapan dan botokan
(Hermani dan Suhirman, 2001 dalam Gusmaini et al., 2004). Selain fungsi di atas,
Novita Fatimah Fahmi dalam karya tulis ilmiahnya telah melakukan uji efek
antibakteri ekstrak temu mangga pada bakteri Staphylococcus aureus.
Menurut Fahmi (2011) dalam penelitiannya disebutkan bahwa ekstrak
rimpang temu mangga mempunyai aktivitas efek antibakteri pada bakteri
Staphylococcus aureus. Selain itu, dinyatakan pula bahwa pada dosis 10 g ekstrak
serbuk temu mangga mempunyai zona hambat maksimal jika dibandingkan
dengan dosis 3 g dan dosis 6,5 g. Peneliti menyebutkan bahwa senyawa aktif yang
berkhasiat sebagai antibakteri adalah senyawa flavonoid dan saponin. Akan tetapi,
penelitian tersebut tidak didukung dengan uji penegasan kandungan yang terdapat
3
pada ekstrak, sehingga masih terbatas pada ekstrak kasar temu mangga dengan
pelarut etanol 70% dan kandungan di dalamnya masih berupa multi komponen.
Multi komponen yang terdapat dalam ekstrak rimpang temu mangga
mempunyai aktivitas farmakologi sebagai antibakteri. Di dalam multi komponen
terdapat komponen tertentu yang mempunyai aktivitas optimum menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus jika dibandingkan dengan komponen
lainnya. Oleh karena itu, untuk dapat melihat dan mengamati multi komponen ini
dibutuhkan proses pengambilan komponen tersebut secara maksimal. Hasil
penelitian di atas dikembangkan lagi dengan melakukan pemisahan cair-cair
(fraksinasi) dan identifikasi fitokimia multi komponen dari ekstrak rimpang temu
mangga. Proses fraksinasi dilakukan menggunakan beberapa pelarut yang
mempunyai sifat kepolaran yang berbeda.
Pelarut yang digunakan untuk fraksinasi adalah pelarut n-heksan, etil
asetat dan air. Sifat kepolaran ketiga pelarut tersebut ditunjukkan dengan nilai
konstanta dielektrikum berturut-turut sebesar 1.89; 6.02 dan 80.40. Semakin besar
nilai konstanta dielektrikum, maka sifat pelarut akan semakin polar. Mula-mula
ekstrak etanol 70% di fraksinasi dengan pelarut non polar yaitu n-heksan untuk
memisahkan komponen non polar yang terdapat pada ekstrak etanol 70% rimpang
temu mangga. Fase residu etanol 70% di fraksinasi kembali menggunakan pelarut
etil asetat untuk memisahkan komponen yang bersifat semi polar. Komponen
yang kurang atau tidak larut dalam fase etil asetat di fraksinasi kembali
menggunakan pelarut air untuk memisahkan komponen yang bersifat polar dalam
ekstrak rimpang temu mangga. Proses fraksinasi dengan pelarut air menghasilkan
fase larut air dan fase residu. Kemudian, masing-masing hasil fraksinasi yaitu fase
4
n-heksan, fase etil asetat, fase air, dan fase residu dikumpulkan dan dilakukan
pengujian identifikasi fitokimia secara sederhana menggunakan uji tabung.
Masing-masing hasil fraksinasi yang telah diidentifikasi digunakan untuk
pengujian aktivitas antibakteri menggunakan bakteri Staphylococcus aureus yang
ditanam pada media selektif. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan
menggunakan metode difusi sumuran. Dari hasil pengamatan uji aktivitas
antibakteri, diamati diameter zona bening dari masing-masing hasil fraksinasi
rimpang temu mangga dan dibandingkan zona bening dari masing-masing fase
yang
mempunyai
aktivitas
optimal
menghambat
pertumbuhan
bakteri
Staphylococcus aureus.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah apakah beberapa hasil fraksinasi rimpang temu mangga (Curcuma mangga
Val.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Staphylococcus
aureus?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi rimpang temu mangga
(Curcuma mangga) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
5
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Bagi Peneliti
1. Mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan dan wawasan tentang
pemanfaatan ekstrak rimpang temu mangga sebagai antibakteri alami
2. Mahasiswa dapat mengembangkan teknologi isolasi komponen aktif
rimpang temu mangga sebagai antibakteri alami
3. Mahasiswa dapat melanjutkan studi teknologi pemanfaatan rimpang temu
mangga sebagai obat bahan alam
4. Mahasiswa dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan rimpang temu
mangga pada pembuatan sediaan farmasi
1.4.1 Kegunaan Bagi Instansi
1. Memberikan tambahan informasi tanaman alam yang berpotensi sebagai
antibakteri alami
2. Memberikan tambahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya
terhadap tanaman temu mangga
1.4.2 Kegunaan Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan nilai ekonomis tanaman temu mangga
2. Memberikan informasi dan mendorong masyarakat untuk lebih aktif
mengenal tanaman toga yang berpotensi sebagai antibakteri alami
penyebab infeksi
3. Meningkatkan mutu kualitas ekstrak rimpang temu mangga sebagai bahan
obat dari alam
6
1.5 Asumsi Penelitian
1. Rimpang temu mangga merupakan salah satu tanaman yang biasanya
digunakan sebagai bahan untuk merawat kulit wajah.
2. Metode maserasi dapat digunakan untuk mengambil ekstrak kasar dari
rimpang temu mangga.
3. Metode fraksinasi dapat digunakan untuk mengambil multi komponen
dalam ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga berdasarkan perbedaan
sifat kepolaran dari pelarut.
4. Fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air digunakan untuk pengujian
aktivitas antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus.
1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1.6.1 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pengumpulan rimpang temu
mangga yang diperoleh dari Materia Medika Batu, pembuatan ekstrak rimpang
temu mangga dengan metode maserasi, evaporasi hasil rendeman rimpang temu
mangga, fraksinasi ekstrak etanol rimpang temu mangga, identifikasi fitokimia
ekstrak kasar temu mangga, pengujian aktivitas antibakteri beberapa hasil
fraksinasi rimpang temu mangga terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan
metode difusi sumuran.
7
1.6.2 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian tidak dilakukan identifikasi fitokimia terhadap hasil fraksinasi
melainkan identifikasi fitokimia terhadap ekstrak kasar temu mangga
untuk membedakan senyawa metabolit sekunder yang ikut tertarik pada
saat fraksinasi berdasarkan perbedaan sifat kepolarannya
2. Pengujian aktivitas antibakteri rimpang temu mangga tidak menggunakan
alat khusus yang digunakan untuk membuat lubang sumur pada media
selektif melainkan menggunakan pipa berdiameter 9 mm
3. Penelitian ini tidak dilakukan identifikasi jenis senyawa secara spesifik
dan identifikasi struktur senyawa melainkan hanya identifikasi fitokimia
dari beberapa hasil fraksinasi untuk mengoptimalkan pengambilan multi
komponen dalam ekstrak etanol rimpang temu mangga yang memiliki
aktivitas antibakteri
1.7 Definisi Istilah
Untuk menghindari perbedaan pemahaman terhadap istilah-istilah dalam
penelitian ini, maka diuraikan maksud dari beberapa istilah berikut ini :
1. Ekstrak rimpang temu mangga adalah cairan kental hasil ekstraksi rimpang
temu mangga (Curcuma mangga Val.) dengan cairan penyari etanol 70%
menggunakan metode maserasi, kemudian dipekatkan dengan alat rotary
evaporator.
2. Optimalisasi multi komponen adalah proses pengambilan beberapa senyawa
aktif dalam ekstrak etanol rimpang temu mangga yang mempunyai aktivitas
sebagai antibakteri.
8
3. Fraksi aktif adalah fraksi yang mengandung bahan aktif berkhasiat sebagai
antibakteri.
4. Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif berbentuk coccus
(bulat) penyebab infeksi pada organ tubuh yang mengalami luka terbuka.
5. Aktivitas antibakteri adalah kemampuan suatu bahan atau zat dalam
menghambat bahkan membunuh pertumbuhan bakteri tertentu.
6. Difusi sumuran adalah pengujian aktivitas antibakteri yang dilakukan
dengan meneteskan larutan uji pada media agar yang sudah diberi lubang
atau sumuran dengan diameter tertentu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan tentang Temu Mangga
Temu mangga (Curcuma mangga Val.) hanya tersebar di Thailand,
Semenanjung Malaysia, dan Jawa (Trubus, Tanpa tahun). Menurut BPOM (2006),
di Indonesia tanaman temu mangga dikenal dengan beberapa nama seperti temu
mangga, temu lalab (Sumatera); koneng joho, koneng lalab, koneng pare (Sunda);
kunir putih, temu bajangan, temu putih, temu poh (Jawa); temu pao (Madura).
2.1.1 Morfologi Tanaman
Tumbuhan temu mangga berupa semak dengan tinggi bisa mencapai 1 – 2
m. batang semu, tegak, lunak, berwarna hijau. Batang bawah tanah membentuk
rimpang dengan bagian dalam berwarna kuning muda. Daun tunggal, berpelepah,
bentuk lonjong, tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, dengan panjang bisa
mencapai 1 m, lebar 10 – 20 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga
majemuk pada ketiak daun, bentuk tabung, ujung terbelah, benang sari menempel
pada mahkota, putik silindris, kepala putik bulat, mahkota lonjong. Buah kotak,
bulat, hijau kekuningan. Biji bulat, coklat. Akar serabut, putih (BPOM, 2006).
9
10
2.1.2 Klasifikasi Tanaman Temu Mangga
Menurut BPOM (2006), kedudukan tanaman temu mangga dalam sistem
tanaman diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Liliopsida
Anak kelas :
Zingiberidae
Bangsa
:
Zingiberales
Suku
:
Zingiberaceae
Marga
:
Curcuma
Jenis
:
Curcuma mangga Val. & V. Zyp. (BPOM, 2006)
(a)
(b)
Gambar 2.1 (a) Rimpang Temu Mangga (Sumber: Dokumentasi pribadi)
(b) Tanaman Temu Mangga (Sumber: Dokumentasi pribadi)
2.1.3 Manfaat Rimpang Temu Mangga
Secara tradisional digunakan untuk penderita kanker, nyeri perut, perut
kembung
dan
meningkatkan
nafsu makan
(BPOM,
2006).
Berkhasiat
membersihkan racun, menurunkan panas, sebagai peluruh angin, menambah nafsu
11
makan, menguatkan rahim, mengecilkan rahim, serta mencegah dan mengatasi
tumor (BPOM, 2006). Rimpang temu mangga juga digunakan untuk mengatasi
sakit perut, sakit dada, dan perawatan setelah melahirkan serta gatal-gatal. Di
wilayah Muar, Johor, dan Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaysia, rimpang
tanaman yang dikenal di Malaysia dengan sebutan temu pauh itu jusnya dipakai
bersama dengan tanaman herbal lainnya untuk merangsang ASI. Rimpangnya
bersama bahan lain digunakan untuk mengobati demam. Selain itu, rimpangnya
juga dikunyah untuk memperkecil rahim setelah melahirkan. Tepungnya
disarankan untuk mengobati sakit perut (Trubus, Tanpa tahun).
2.1.4 Cara Pemakaian
Untuk pemakaian luar, gunakan air perasan rimpang temu mangga segar
sebanyak 3 – 10 gram, untuk pemakaian lokal, seperti luka memar, berbagai
macam kelainan kulit, kanker serviks, dan kanker kulit (Haryanto, 2009).
2.2
Kandungan Temu Mangga
Temu mangga kaya kandungan kimia seperti tanin, kurkuminoid, minyak
atsiri, dan protein yang toksis yang dapat menghambat biakan sel kanker. Temu
mangga juga mengandung saponin, polifenol, 2-norbomane, 3-methylene
caryophylen oxide, cyclopentaneacetaldehyde, caryophylen, dan cinnamyltiglate
(Hariana, 2006 dalam Soegihardjo, 2013). Selain itu juga mengandung senyawa
diterpen labdan glukosida, kurkumangosida, kalkaratin A, zerumin B, skopoletin,
kurkumin,
desmetoksikurkumin,
bisdesmetoksi-kurkumin,
asam
p-
hidroksisinamat; 1,7-bis-(4-hidroksifenil-1,4,6-heptatrien-3-on), minyak atsiri
12
dengan komponen antara lain alfa pinen, linalool, linalil asetat dan safrol (BPOM,
2006).
2.2.1 Flavonoid
Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang
ditemukan di alam (Kristanti dkk, 2008). Flavonoid adalah senyawa yang terdiri
dari C6 – C3 – C6 (Sirait, 2007: 129). Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna
merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman.
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri atas 15 atom karbon
yang membentuk susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis
struktur, yaitu 1,3-diarilpropan / flavonoid; 1,2-diarilpropan / isoflavonoid dan
1,1-diarilpropan / neoflavonoid (Kristanti dkk, 2008).
Gambar 2.2 Struktur Dasar Flavonoid
Flavonoid berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses
penyerbukan. Selain itu, flavonoid juga berfungsi sebagai pengatur tumbuh,
pengatur
proses
fotosintesis,
sebagai
zat
antimikroba,
antivirus
dan
antiinsektisida. Selain itu, beberapa flavonoid juga sengaja dihasilkan oleh
jaringan tumbuhan sebagai respons terhadap infeksi atau luka yang kemudian
berfungsi menghambat fungi menyerangnya (Kristanti dkk, 2008).
Selain fungsi di atas, beberapa fungsi lain dari senyawa flavonoid menurut
Sirait (2007: 129), yaitu:
13
1. Bagi Tumbuhan
− Untuk menarik serangga yang membantu proses penyerbukan
− Untuk menarik perhatian binatang yang membantu penyebaran biji
2. Bagi Manusia
− Dosis kecil, flavon bekerja sebagai stimulant pada jantung, hesperidin
mempengaruhi pembuluh darah kapiler
− Flavon terhidrolisis bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada
lemak.
Flavon
juga
bekerja
seperti
auksin
dalam
menstimulir
perkecambahan biji gandum.
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri adalah membentuk
senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat
merusak membran sel bakteri dan diikuti keluarnya senyawa intraseluler (Cowan,
1999). Menurut Chusnie dan Lamb (2005), selain berperan dalam inhibisi pada
sintesis DNA–RNA dengan interkalasi atau ikatan hydrogen dengan penumpukan
basa asam nukleat, flavonoid juga berperan dalam menghambat metabolisme
energi. Senyawa ini akan mengganggu metabolisme energi dengan cara yang
mirip dengan menghambat sistem respirasi, karena dibutuhkan energi yang cukup
untuk penyerapan aktif berbagai metabolit dan untuk biosintesis makromolekul.
Menurut Ashshobirin (2014), senyawa flavonoid diduga dapat mengerutkan
dinding sel atau membrane sel sehingga mengganggu permeabilitas sel.
Akibatnya, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya
terganggu.
14
2.2.2 Saponin
Menurut Meskin et al (2002), saponin merupakan senyawa aktif
permukaan yang dihasilkan dari grup steroid atau triterpen yang berkaitan dengan
gula. Gruiz (1996), menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia
mengandung saponin. Saponin mempunyai sifat seperti sabun dan dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne, 1973). Saponin
mempunyai peranan penting bagi manusia salah satunya dapat menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan
membrane sterol. Efek yang ditimbulkan terhadap bakteri adalah adanya
pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et all., 1996 dalam
Nuraini, 2007).
2.2.3 Tanin
Tanin merupakan salah satu senyawa fenol kompleks yang terdapat pada
kacang-kacangan (Meskin et all., 2002). Senyawa yang tergolong tanin adalah
senyawa polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya
(misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan
protein. Tanin terkondensasi dihasilkan melalui polimerisasi flavonoid dan
banyak terdapat pada tanaman kayu yaitu pada lapisan biji. Tanin dapat digunakan
sebagai antibakteri karena mempunyai kemampuan menginaktifkan adhesin sel
mikroba juga menginaktifkan enzim, dan mengganggu transport protein pada
lapisan dalam sel (Cowan, 1999).
15
2.3
Maserasi
Maserasi (macerace = mengairi, melunakkan) adalah cara ekstraksi yang
paling sederhana (Ansel, 1989). Maserasi dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel
dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut
dalam simplisia karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
didalam sel dengan dcngan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke
luar. Pada penyarian dengan maserasi, perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan
diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk simplisia,
sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan
konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan di luar sel.
Keuntungan dari metode ini adalah unit alat yang dipakai sederhana, hanya
dibutuhkan bejana perendam, biaya operasionalnya relatif rendah, prosesnya
relatif hemat penyari, dan tanpa pemanasan. Jadi penyarian dengan maserasi
merupakan pengerjaan dan peralatan yang sederhana serta mudah diusahakan.
Kelemahan dari metode ini adaah proses penyariannya tidak sempurna karena zat
aktif hanya mampu terekstraksi sebesar 50% saja, prosesnya lama, butuh waktu
beberapa hari.
16
2.3.1 Cairan Penyari
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor
(Depkes, 1986). Cairan penyari yang baik harus memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut.
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Stabil secara fisika dan kimia
3. Bereaksi netral
4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
5. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan
7. Diperbolehkan oleh peraturan
Depkes (1995), menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air,
etanol, etanol – air atau eter. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan
etanol 70% sebagai cairan penyari karena bersifat semi polar sehingga senyawa
flavonoid dapat tersari dengan sempurna. Selain itu, pemilihan cairan penyari
tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti sifat etanol yang lebih
selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun,
netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala
perbandingan, serta panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit
(Depkes, 1986). Selain itu, etanol juga dapat melarutkan alkaloid basa dan minyak
menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakoinon, flavonoid, steroid, dammar,
klorofil sedangkan lemak, malam, tannin dan saponin hanya sedikit larut. Dengan
demikian zat pengganggu yang larut terbatas (Depkes, 1986).
17
Kerugian dari penggunaan etanol sebagai cairan penyari adalah harganya
yang mahal sehingga, untuk meningkatkan proses penyarian biasanya digunakan
campuran antara etanol dan air. Perbandingan jumlah etanol dan air bergantung
pada bahan yang akan disari. Dari pustaka akan dapat ditelusuri kandungannya
baik zat aktif maupun zat lainnya (Depkes, 1986: 5 – 7).
2.4
Fraksinasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fraksinasi diartikan sebagai
proses, cara, pembuatan menjadi fraksi-fraksi (bagian-bagian). Fraksinasi
dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu dari non
polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan larut
dalam pelarut non polar, senyawa yang memiliki sifat semi polar akan larut dalam
pelarut semi polar, dan yang bersifat polar akan larut kedalam pelarut polar
(Harborne, 1987). Fraksinasi ini umumnya dilakukan dengan menggunakan
menggunakan corong pisah. Corong pisah merupakan peralatan laboratorium yang
digunakan untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran antara dua
fase pelarut yang memiliki massa jenis berbeda yang tidak tercampur (Haznawati,
2012).
Proses fraksinasi dalam penelitian ini digunakan pelarut n-heksan, etil
asetat dan air yang dipilih berdasarkan sifat kepolarannya. Secara fisika tingkat
polaritas ini dapat ditunjukkan dengan lebih pasti melalui pengukuran konstanta
dielektrikum suatu bahan pelarut. Konstanta dilektrikum ini secara matematis
ditunjukkan dalam rumus :
18
dimana D adalah Konstanta Dielektrikum, f gaya tolak menolak dua
partikel bermuatan listrik e dan e’. Semakin besar Konstanta Dielektrikum suatu
bahan pelarut disebut semakin polar (Sudarmadji, dkk, 2007). Konstanta
Dielektrikum pelarut ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Konstanta Dielektrikum
Tingkat kelarutan dalam air
Konst.
Bahan Pelarut
Dielek.
Tidak
Sedikit Misibel*
(D)
larut
n-heksan
1.89
TI
Non-polar
Petroleum eter
1.90
TI
n-oktan
1.95
TI
n-dekan
1.99
TI
n-dodekan
2.01
TI
Sikloheksan
2.02
TI
1,4-dioksan
2.21
M
Benzene
2.28
S
Toluene
2.38
TI
Furan
2.95
TI
Asam propanoat
3.30
M
Dietileter
3.34
S
Kloroform
4.81
S
Butilasetat
5.01
S
Etilasetat
6.02
S
Asam asetat (glasial)
6.15
S
Metil asetat
6.68
S
Tetrahidrofuran
7.58
S
Metilenklorida
9.08
S
t-butanol
10.09
M
Piridin
12.30
M
2-butanol
15.80
S
n-butanol
17.80
S
2-propanol
18.30
M
1-propanol
20.10
S
Aseton
20.70
M
Etanol
24.30
Methanol
33.60
M
Asam formiat
58.50
M
Air
80.40
M
Polar
*misibel artinya dapat bercampur dengan air dalam berbagai proporsi (Sudarmaji
et all, 2010).
19
2.4.1.n-Heksan
Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia
C6H14 (isomer utama n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3. Awalan heksmerujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran -ana
berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan
atom-atom karbon tersebut. n-heksan merupakan jenis pelarut non polar.
Karakteristik n – heksana :
Sinonim
: caproyl hydride, hexyl hydride
Rumus molekul
: CH3(CH2)4CH3
Berat molekul
: 86,17 kg/mol
Warna
: Tidak berwarna
Titik lebur
: - 94ºC
Titik didih
: 69 (P = 1 atm)
Spesific gravity
: 0,659
Kelarutan
: tidak dapat larut dalam air; dapat bercampur dengan
alkohol, kloroform, eter
Kegunaan
: Menentukan indeks bias mineral, pengisi termometer
selain merkuri, biasanya dengan pewarna biru atau
merah
Toksisitas manusia : Dapat mengiritasi saluran pernapasan dan, dalam
konsentrasi tinggi, narkotika
20
2.4.2.Etil asetat
Etil Asetat adalah senyawa organik. Senyawa ini merupakan ester dari
etanol dan asam asetat. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili
gugus etil dan OAc mewakili asetat.
Sinonim
: Eter asetat; cuka nafta
Rumus molekul
: CH3CH2OC(O)CH3
Massa molar
: 88,12 g/mol
Densitas
: 0,897 g/cm3
Warna
: Tidak berwarna, memiliki aroma khas
Titik lebur
: - 83,6ºC
Titik didih
: 77,1ºC
Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat adalah
pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak
higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan
bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam
(yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan
nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga
kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih
tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung
basa atau asam (Depkes, 1995).
2.4.3.Air
Air adalah eksipien yang paling banyak digunakan dalam operasi produksi
farmasi. Nilai spesifik dari air yang digunakan untuk aplikasi tertentu dalam
21
konsentrasi hingga 100%. Air murni dan air untuk injeksi juga digunakan untuk
membersihkan operasi selama produksi produk farmasi (Kibbe, 2000).
Sinonim
: Aqua, hydrogen oxide
Rumus molekul
: H2O
Berat molekul
: 18.02
Warna
: Tidak berwarna
Titik lebur
: 0ºC
Titik didih
: 100ºC
Spesific gravity
: 0.9971 at 25ºC
Kegunaan
: Pelarut
Air secara kimiawi stabil di semua negara fisik (es, cair, dan uap). Air
untuk tujuan tertentu harus disimpan dalam wadah yang sesuai. Dalam formulasi
farmasi, air dapat bereaksi dengan obat dan eksipien lain yang rentan terhadap
hidrolisis (dekomposisi dengan adanya air atau uap air) pada suhu kamar dan
tinggi. Air dapat bereaksi dengan logam alkali dan cepat dengan logam alkali dan
oksida mereka. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk membentuk hidrat
berbagai komposisi, dan dengan bahan organik tertentu dan kalsium karbida.
2.5
Identifikasi Fitokimia
Identifikasi senyawa pada beberapa hasil fraksinasi dilakukan dengan uji
golongan senyawa kimia (uji fitokimia). Uji fitokimia secara sederhana dapat
dilakukan dengan uji tabung menggunakan beberapa pereaksi pendeteksi
golongan senyawa.
22
2.6
Bakteri
2.6.1 Tinjauan Tentang Bakteri
Bakteri berasal bahasa Yunani yaitu dari kata “bakterion” yang artinya
tongkat atau batang (Dwidjoseputro. 2005). Bakteri adalah suatu organisme
prokariot yang memiliki sifat-sifat misalnya bentuk dan pengelompokan sel,
susunan dinding sel, pembentukan kapsul dan pembentukan endospore. Bakteri
umumnya mempunyai ukuran sel 0,5 – 1,0 µm x 2,0 – 5,0 µm (Fardiaz, 1992:
143). Bakteri mempunyai beberapa ciri-ciri yaitu :
1. Organisme multiseluler.
2. Prokariot (tidak memiliki membrane inti sel).
3. Umumnya tidak memiliki klorofil.
4. Memiliki ukuran tubuh yang bervariasi antara 0,12 s/d ratusan mikron
umumnya memiliki ukuran rata-rata 1 s/d 5 mikron.
5. Memiliki bentuk tubuh yang beraneka ragam.
6. Hidup bebas atau parasit.
7. Yang hidup di lingkungan ekstrim seperti pada mata air panas, kawah atau
gambut dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan.
8. Yang hidup kosmopolit diberbagai lingkungan dinding selnya mengandung
peptidoglikan
2.6.2 Klasifikasi Bakteri
Menurut Waluyo (2010), pada klasifikasi Bergey’s tahun 1994 edisi ke–9,
secara garis besar bakteri digolongkan menjadi 4 kategori besar yaitu:
− Kategori Besar I
: Eubacteria Gram Negatif dengan dinding sel, terdiri 16
grup
23
− Kategori Besar II
: Eubacteria Gram Positif dengan dinding sel, terdiri 6
grup
− Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel, terdiri hanya 1 grup saja,
yakni Mycoplasma atau Mollicula
− Kategori Besar IV : Archeobacteria, yang terdiri 5 grup
Jadi dari 4 kategori besar (Kategori I, Kategori II, Kategori III, dan
Kategori IV) dibagi menjadi 35 grup. Masing-masing grup adalah sebagai berikut:
− Kategori Besar I
: Eubacteria Gram Negatif, grup 1 sampai dengan grup
16
− Kategori Besar II
: Eubacteria Gram Positif dengan dinding sel dari grup
17 sampai dengan grup 29
− Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel dari hanya terdiri dari 1
grup, yakni Mycoplasma (grup 30)
− Kategori Besar IV : Archeobacteria terdiri dari grup 31 sampai dengan grup
35
Bentuk bakteri berdasarkan bentuk morfologinya dibedakan menjadi tiga
golongan yaitu :
1. Golongan basil, yaitu berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat
bergandeng-gandengan panjang, bergandengan dua-dua, atau terlepas satu
sama lain. Yang bergandeng-gandengan panjang disebut streptobasi, yang
dua-dua disebut diplobasil.
2. Golongan kokus, yaitu bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Ada
beberapa tipe golongan kokus sebagai berikut :
24
− Streptokokus, adalah kokus yang bergandeng-gandengan panjang serupa
tali leher.
− Diplokokus, adalah kokus yang bergandengan dua-dua
− Tetrakokus, adalah kokus yang mengelompok berempat
− Stafilokokus, adalah kokus yang mengelompok seperti suatu untaian
− Sarsina, adalah kokus yang mengelompok serupa kubus
Golongan spiril, yaitu bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok
serupa spiral. Golongan ini merupakan golongan yang paling kecil bila
dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil.
2.6.3 Faktor-faktor Pertumbuhan Bakteri
Kondisi pertumbuhan optimum bakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu :
1. Derajat keasaman atau pH
4. Sumber nutrisi
2. Konsentrasi garam
5. Zat kimia
3. Suhu
6. Zat-zat sisa metabolisme
2.6.4 Staphylococcus aureus
2.6.4.1 Tinjauan Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang menghasilkan
pigmen kuning dan umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok seperti
anggur. Staphylococcus aureus tahan garam dan dapat tumbuh dengan baik pada
medium yang mengandung 7,5% NaCl serta memfermentasi manitol (Jawets dkk,
1996: 255).
25
2.6.4.2 Klasifikasi Staphylococcus aureus
Domain
:
Bacteria
Kerajaan
:
Eubacteria
Filum
:
Firmicutes
Kelas
:
Cocci
Ordo
:
Bacillales
Family
:
Staphylococcaceae
Genus
:
Staphylococcus
Spesies
:
S. aureus
Gambar 2.3 Staphylococcus aureus
Sumber : Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel
RM. Medical Microbiology. New York:
Thieme; 2005
2.6.4.3 Biakan Bakteri
Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37ºC, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20 – 25ºC). Staphylococcus aureus membentuk
koloni berwarna abu-abu sampai kuning emas tua (Jawets dkk, 1996: 211).
26
2.6.4.4 Patogenesis Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan patogen utama pada manusia.
Hampir semua orang pernah mengalami infeksi Staphylococcus aureus
dari
keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil sampai infeksi yang
tidak dapat disembuhkan. Infeksi Staphylococcus aureus dapat juga berasal dari
kontaminasi langsung pada luka misalnya pasca operasi (Jawets dkk, 2005: 323).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan patogenitas seperti bisul,
jerawat, styes, pneumonia, dan beberapa infeksi (radang paru-paru, radang
kelenjar dada, radang urat darah, meningitis, saluran kencing serta menyebabkan
keracunan makanan). Sifat patogen Staphylococcus aureus pada kondisi normal
diseimbangkan
oleh
mikroorganisme
pertahanan
tubuh,
akibatnya
sifat
patogenitas tidak terlihat. Apabila pertahanan tubuh menjadi lemah, maka dapat
memicu timbulnya beberapa penyakit. Daerah-daerah predominan pada beberapa
anatomi manusia merupakan tempat species ini berada, antara lain : pada kulit 3 5%, hidung 20 – 85%, mulut, air liur dan permukaan gigi (Pelczar dan Chan,
1988: 550).
Staphylococcus aureus memproduksi koagulase yang mengkatalis
perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan dapat membantu organisme ini untuk
membentuk barisan perlindungan. Bakteri ini memproduksi enzim litik
ekstraselular (misalnya lipase) yang mencegah jaringan pejamu dan membantu
invasi (Gillespie, S & Bamford, K, 2008: 32).
2.6.4.5 Infeksi Staphylococcus aureus
Infeksi kulit dapat terjadi pada kondisi hangat yang lembab atau saat
kulit terbuka akibat penyakit seperti luka pembedahan atau akibat alat intravena.
27
Impetigo dapat muncul pada kulit yang sehat yaitu infeksi ditransmisikan dari
orang ke orang. Pneumonia akibat Staphylococcus aureus jarang terjadi, tetapi
terjadi setelah influenza. Endokarditis akibat Staphylococcus aureus bersifat
destruktif dan terjadi setelah penyalahgunaan obat intravena / kolonisasi pada alat
intravena. Staphylococcus aureus merupakan agen yang sering menyebabkan
osteomielitis dan arthritis septik (Gillespie, S & Bamford, K, 2008: 33).
2.7
Senyawa Antibakteri
2.7.1 Definisi Antibakteri
Antibakteri adalah suatu komponen kimia yang berkemampuan dalam
menghambat pertumbuhan atau berkemampuan dalam mematikan bakteri (Volk
dan Wheeler, 1998: 218). Bahan antibakteri adalah bahan yang mengganggu
pertumbuhan dan metabolisme bakteri (Pelczar dan Chan, 1988: 450).
Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan bahwa antibakteri adalah suatu
bahan yang mempunyai aktivitas untuk menghambat atau membunuh bakteri.
Kelompok zat
kimia
yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri antara lain persenyawaan alkohol, unsur halogen, alkali
(basa) dan asam (Volk dan Wheeler, 1998: 221).
2.7.2 Mekanisme Kerja Antibakteri
Menurut Volk dan Wheeler (1993: 219), antibakteri dalam melakukan
efeknya harus mampu mempengaruhi bagian sel yang vital seperti membrane
sitoplasma, enzim dan protein. Menurut Pelczar dan Chan (1988), mekanisme
kerja senyawa antibakteri adalah sebagai berikut :
28
1. Merusak Dinding Sel
Dinding sel merupakan bagian sel yang berfungsi memberi bentuk dan
kekuatan atau perlindungan sel, mengatur pertukaran zat-zat dari dan ke dalam
sel serta memegang peranan penting dalam pembelahan sel. Struktur dinding
sel dapat dirusak dengan cara menghambat pembentukan atau mengubahnya
setelah terbentuk. Kerusakan pada dinding sel akan berakibat terjadinya
perubahan-perubahan yang mengarah pada kematian sel.
2. Merubah Permeabilitas Membran Sel
Membran sel berfungsi dalam memelihara integritas komponen-komponen
seluler yang secara selektif mengatur keluar masuknya zat antara sel dan
lingkaran luar. Dengan demikian kerusakan pada membran sel akan
memungkinkan ion organik penting, nukleotida, asam amino, dan enzim
keluar dari sel sehingga, mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau
matinya sel.
3. Merubah Molekul Protein Dan Asam Nukleat
Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein
dan asam nukleat keadaan alamiahnya. Konsentrasi tinggi beberapa zat kimia
dapat mengakibatkan denaturasi komponen-komponen seluler yang vital ini.
4. Menghambat Kerja Enzim
Suatu sel yang normal memiliki sejumlah enzim untuk membantu
kelangsungan proses metabolisme bersama protein yang lain. Penghambatan
pada kerja enzim dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau
matinya sel.
29
5. Menghambat Sintesa Asam Nukleat Dan Protein
DNA (Deoxyribonucleic Acid) dan RNA (Ribonucleic Acid) dan protein
memegang peranan penting dalam proses kehidupan sel. Gangguan yang
terjadi pada pembentukan dan fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan sel (Pelczar dan Chan, 1988).
2.7.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerja Antibakteri
Menurut Pelczar dan Chan (1988), beberapa hal yang dapat mempengaruhi
kerja zat antibakteri adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi Senyawa Antibakteri
Semakin tinggi konsentrasi senyawa antibakteri, maka semakin tinggi pula
daya antibakterinya artinya, banyak bakteri akan terbunuh lebih cepat bila
konsentrasi zat tersebut lebih tinggi.
2. Jumlah Mikroorganisme
Perusakan mikroorganisme oleh suatu antibakteri merupakan suatu proses
yang teratur dan tidak mungkin semua bakteri akan mati dalam waktu yang
bersamaan. Semakin lama suatu bakteri berada di bawah pengaruh senyawa
antibakteri, semakin besar kemungkinan matinya bakteri tersebut (Pelczar dan
Chan, 1988: 454).
3. Suhu
Kenaikan suhu di bawah suhu maksimal secara terus-menerus dapat
meningkatkan efektivitas senyawa antibakteri. Hal ini disebabkan zat kimia
merusak bakteri melalui reaksi kimia dan reaksi kimia dipercepat dengan
kenaikan suhu.
30
4. Spesies Mikroorganisme
Spesies mikroorganisme menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda terhadap
suatu bahan kimia tertentu.
5. Adanya Bahan Organik
Adanya bahan organik asing dapat menurunkan efektivitas suatu antibakteri.
Hal tersebut disebabkan adanya bahan organik dalam pencampuran zat
antibakteri dapat mengakibatkan penggabungan antibakteri dengan bahan
organik membentuk produk yang tidak bersifat antibakteri, menghasilkan
suatu endapan yang mempengaruhi daya antibakteri, akumulasi bahan organik
pada permukaan bakteri (sel mikroba) menjadi suatu perlindungan yang dapat
mengganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel.
6. Keasaman dan Kebasaan pH
Mikroorganisme yang hidup pada pH asam akan mudah dibasmi pada suhu
rendah dan dalam waktu yang singkat jika dibandingkan hidup pada pH basa.
2.7.4 Metode Uji Aktivitas Antibakteri
Menurut Recio (1988), terdapat tiga metode pengujian aktivitas antibakteri
adalah sebagai berikut.
1. Metode Penyebaran (Diffusion Method)
Metode ini meliputi metode cakram kertas (Paper Disk Method), metode
cairan dalam cincin (Ring Diffusion Method) dan metode lubang (Hole Plate
Method).
2. Metode Pengenceran (Dilution Method)
Metode ini meliputi metode pengenceran agar (Agar Dillution Method) dan
metode pengenceran tabung (Tube Dillution Method).
31
3. Metode Bioautografi (Bioautographi Method)
Meliputi metode bioautografi langsung (Direct Bioautographi Method) dan
metode bioautografi pencelupan (Immersion Bioautographi Method).
2.7.4.1 Metode Difusi Agar (Diffusion Method)
Metode ini dilakukan dengan cara menanam bakteri pada lempeng agar
yang sesuai, kemudian diletakkan cakram atau silinder yang telah ditetesi dengan
bahan uji atau dapat juga bahan uji dimasukkan dalam lubang atau cangkir agar
yang telah dibuat pada media. Keampuhan dapat dilihat dengan mengukur
diameter zona hambat pertumbuhan bakteri disekitar cakram, lubang atau cangkir
agar. Semakin besar diameter zona hambat pertumbuhan bakteri menunjukkan
bahwa bahan uji dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan baik.
Keuntungan metode difusi adalah jumlah sampel kecil dan bisa dikerjakan dalam
satu petridish 5 – 6 sampel sekaligus untuk satu jenis mikroorganisme (Recio,
1988). Uji aktivitas dilakukan dengan cara sumuran yaitu dengan meneteskan
masing-masing larutan uji, larutan kontrol negatif, larutan kontrol positif pada
sumuran yang berbeda sebanyak 50 µl (Mpila dkk, 2012).
2.8
Media Pertumbuhan Mikroorganisme
Media adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran nutrisi atau zat-zat
hara (nutrien) yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme di atas atau
di dalamnya. Selain untuk menumbuhkan, media juga dapat pula digunakan untuk
isolasi,
memperbanyak
mikroorganisme,
pengujian
sifat
fisiologis
dan
perhitungan mikroorganisme (Waluyo, 2010: 127). Agar mikroorganisme dapat
tumbuh dalam suatu medium, perlu diperhatikan beberapa syarat berikut :
32
1. Medium harus mengandung semua nutrisi yang mudah digunakan dan
diperlukan mikroorganisme.
2. Medium harus mempunyai tekanan osmosis, tegangan muka, pH yang sesuai
dengan pertumbuhan mikroorganisme.
3. Medium harus steril sebelum digunakan, supaya mikroorganisme dapat
tumbuh dengan baik.
4. Medium
tidak mengandung zat-zat
yang menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme.
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Manitol Salt
Agar (MSA). Menurut Depkes (1995), komposisi dari Manitol Salt Agar Medium
(MSA) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Komposisi Media Mannitol Salt Agar
Nama Bahan
Jumlah
Satuan
Digesti Pankreatik Kasein P
5,0
g
Digesti Peptik Jaringan Hewan P
5,0
g
Ekstrak Daging P
1,0
g
D – Manitol P
10,0
g
Natrium Klorida P
75,0
g
Agar P
15,0
g
Merah Fenol P
0,025
g
Air
1000
ml
Campur, panaskan sambil sering dikocok, dan didihkan selama 1 menit hingga
melarut. pH setelah sterilisasi 7,4 ± 0,2 (Depkes, 1995).
33
2.9
Kerangka Konsep
Rimpang Temu Magga
Tanin, kurkumin,
amilum, gula, damar
dan saponin
Ekstraksi
Fraksinasi
Antibakteri
Multi
komponen
Hasil fraksinasi dengan n-heksan,
etil asetat & air
Aktivitas Antibakteri
Gambar 2.4 Kerangka Konsep
2.10 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut :
H0 = Hasil fraksinasi rimpang temu mangga tidak mempunyai
perbedaan aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri
S. aureus
H1 = Hasil fraksinasi rimpang temu mangga mempunyai perbedaan
aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk penelitian eksperimental
yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi
rimpang temu mangga (Curcumae mangga Val.) terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dalam penelitian
ini digunakan metode difusi sumuran. Metode ini dipilih karena pengukuran zona
hambat yang diperoleh akan lebih maksimum bila dibandingkan dengan metode
difusi agar yang lain.
Penelitian meliputi tiga tahap kerja. Pertama, tahap persiapan meliputi:
persiapan rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.), media selektif, alat-alat
yang digunakan dan tahap determinasi tanaman. Kedua, tahap pelaksanaan
meliputi pembuatan ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga, fraksinasi ekstrak
etanol 70% rimpang temu mangga dengan beberapa pelarut, dan pengujian
aktivitas antibakteri rimpang temu mangga dari beberapa hasil fraksinasi. Ketiga,
tahap pengamatan terhadap hasil pengujian, analisis data dan pembuatan
kesimpulan.
34
35
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa hasil
fraksinasi ekstrak rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.).
3.2.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah fraksi n-heksan, fraksi
etil asetat dan fraksi air ekstrak rimpang temu mangga masing-masing sebanyak
0,05 ml.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium
Farmakognosi Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang.
3.3.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan mulai penyusunan proposal sampai
terselesaikannya karya tulis ilmiah ini yaitu pada bulan Februari sampai Juli 2015.
3.4 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel
bebas dan variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah fraksi aktif
ekstrak etanol 70% rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.). Sedangkan
variabel terikatnya adalah aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus
aureus.
36
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Variabel
Fraksi aktif
ekstrak etanol
70% rimpang
temu mangga
(Curcuma
mangga Val.)
Aktivitas
antibakteri
Staphylococcus
aureus
Subvariabel
1. Pelarut nheksan
2. Pelarut etil
asetat
3. Pelarut air
−
DOV
1. Hasil
fraksinasi nheksan dari
ekstrak
etanol 70%
rimpang
temu mangga
2. Hasil
fraksinasi etil
asetat dari
fraksi nheksan
rimpang
temu mangga
3. Hasil
fraksinasi air
dari fraksi
etil asetat
rimpang
temu mangga
Kemampuan
masing-masing
fraksi ekstrak
rimpang temu
mangga
membunuh
pertumbuhan
bakteri
Staphylococcus
aureus
Indikator
Alat
ukur
Hasil
Ukur
Skala
1. Fase kental nheksan
2. Fase kental
etil asetat
3. Fase kental
air
Neraca
analitik
g
Nominal
Zona bening
disekitar lubang
Jangka
sorong
mm
Rasio
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian meliputi alat dan bahan yang digunakan untuk
pengumpulan data. Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai
berikut:
37
3.5.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah asbes, autoklaf,
batang pengaduk, beakker glass, bluetip, botol cokelat, botol semprot, bunsen,
chamber, corong Buchner, corong gelas, corong pisah, erlenmeyer 250 ml, gelas
ukur, inkubator, jangka sorong, kaki tiga, kawat ose, kompor gas, labu ukur,
laminar air flow, mikropipet, oven, petridish, pinset, pipa pelubang, pipet tetes,
pipet volume, pisau, rak tabung reaksi, rotary evaporator, serta tabung reaksi.
3.5.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rimpang temu mangga,
alumunium foil, aquades, asam asetat, biakan murni Staphylococcus aureus,
CMC, etanol 70%, etil asetat, karet gelang, kertas cokelat, kertas saring, media
agar Manitol Salt Agar (MSA), etanol 70%, NaCl, n-heksan, pereaksi HCl.
3.6 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap
sebagai berikut.
3.6.1 Tahap Determinasi Tumbuhan
Dilakukan dengan cara membandingkan ciri-ciri morfologi tumbuhan
dengan literatur flora of java.
38
3.6.2 Tahap Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Mangga
Ekstraksi rimpang temu mangga diawali dengan menyiapkan cairan
penyari etanol 70% sebanyak ± 2,25 L. Langkah kedua, mengupas rimpang temu
mangga dan mencucinya hingga bersih. Langkah ketiga, merajang rimpang
dengan tujuan untuk memperluas permukaan dan menimbangnya sebanyak 300
gram. Rimpang temu mangga segar dimaserasi menggunakan pelarut etanol 70%
selama 3 hari dengan perbandingan bahan dan pelarut sebesar 10 : 75.
Selanjutnya, menyaring hasil maserasi mengunakan kain saring dan dipekatkan
dengan rotary evaporator pada suhu ±70ºC. Hasil ekstrak kental ditimbang dan
digunakan untuk proses fraksinasi menggunakan beberapa pelarut.
3.6.3 Tahap Fraksinasi
Tahap fraksinasi dilakukan dengan menimbang ekstrak pekat rimpang
temu mangga yang diperoleh sebanyak ± 15 gram. Kemudian, ekstrak pekat di
pisahkan dengan beberapa pelarut yang berbeda kepolarannya dengan
perbandingan 1 : 1 (Muchtaridi et all, 2011). Mula-mula, ekstrak pekat di partisi
berturut-turut menggunakan pelarut n-heksan sebanyak 3 x 15 ml sehingga
diperoleh fase n-heksan dan fase etanol sisa. Masing-masing fase dipisahkan dan
dikumpulkan. Selanjutnya, fase etanol sisa di fraksinasi kembali secara berturutturut menggunakan pelarut etil asetat sebanyak 3 x 15 ml sehingga, diperoleh fase
etil asetat dan fase etanol sisa. Masing-masing fase dipisahkan dan dikumpulkan.
Selanjutnya, fase etanol kembali di fraksinasi secara berturut-turut menggunakan
pelarut air sebanyak 3 x 15 ml sehingga diperoleh fase air dan fase etanol sisa.
Selanjutnya, masing-masing fase yaitu fase n-heksan, fase etil asetat, fase air dan
fase etanol sisa dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu ±70ºC.
39
Keempat fase yang sudah dipekatkan dilakukan uji identifikasi fitokimia sebelum
digunakan untuk uji aktivitas antibakteri.
3.6.4 Identifikasi Fitokimia
3.6.4.1 Identifikasi Senyawa Alkaloid
Menimbang masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 0,02 g atau
dipipet sebanyak 3 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan dengan 1 ml pereaksi HCl 2 N dan 6 ml air suling (aquades).
Selanjutnya, masing-masing tabung dipanaskan selama 2 menit, lalu didinginkan
dan disaring. Selanjutnya, masing-masing filtrat diambil sebanyak 1 ml dan
ditambahkan dengan 1 – 2 tetes pereaksi Dragendorff. Reaksi positif jika terdapat
endapan berwarna merah.
3.6.4.2 Identifikasi Senyawa Fenol
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, masing-masing tabung
ditambahkan dengan pereaksi FeCl3. Reaksi positif ditandai dengan adanya warna
hijau, merah ungu, biru dan hitam.
3.6.4.3 Identifikasi Senyawa Flavonoid
1. Tes Wilstatter
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, masing-masing tabung
ditambahkan 2 – 3 butiran logam Mg dan 2 – 4 tetes larutan HCl 2 N. Reaksi
positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau jingga (Harborne, 1973).
40
2. Tes Bate-Smith
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, masing-masing tabung
ditambahkan dengan pereaksi HCl(P) dan dipanaskan selama 15 menit ke dalam
beaker glass yang berisi air. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna
merah (Achmad, 1986).
3. Tes dengan NaOH 10%
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung
ditambahkan 1 – 2 tetes pereaksi NaOH 10%. Reaksi positif ditunjukkan dengan
adanya perubahan warna dari kuning tua menjadi kuning muda (Harborne, 1973).
3.6.4.4 Identifikasi Senyawa Triterpenoid dan Steroid
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung
ditambahkan 1 – 2 tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Apabila reaksi positif
untuk steroid ditandai dengan terbentuknya warna hijau biru, sedangkan untuk
triterpenoid ditandai dengan adanya warna ungu (Harborne, 1973).
3.6.4.5 Identifikasi Senyawa Saponin
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung
ditambahkan dengan 10 ml H2O dan dipanaskan selama 5 menit, lalu didinginkan
dan disaring. Selanjutnya, mengocok kuat-kuat masing-masing filtrate dengan
arah vertikal selama 1 – 2 menit. Reaksi positif ditandai dengan adanya buih
41
setinggi 1 cm yang stabil setelah dibiarkan selama 1 jam atau dengan penambahan
1 tetes HCl 0,1 N (Harborne, 1973).
3.6.4.6 Identifikasi Senyawa Tanin
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 ml dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing tabung
ditambahkan dengan larutan gelatin 1%. Apabila reaksi positifditandai dengan
adanya endapan putih.
3.6.4.7 Identifikasi Senyawa Terpenoid
Mengambil masing-masing hasil fraksinasi sebanyak 1 tetes dan
meletakkannya pada plat tetes. Kemudian, menambahkan masing-masing hasil
fraksinasi dengan tiga tetes anhidrida asetat (Ac 2O) dan satu tetes H2SO4(P).
Adanya senyawa golongan terpenoid ditandai dengan terbentuknya warna merah
(Kristanti dkk, 2008).
3.6.5 Tahap Pengujian Aktivitas Antibakteri
3.6.5.1 Sterilisasi alat dan bahan
Semua alat dan bahan dalam penelitian disterilkan terlebih dahulu
dengan tujuan agar peralatan yang digunakan tidak terkontaminasi oleh mikroba
atau bakteri yang tidak diinginkan. Sterilisasi dilakukan menggunakan autoklaf
pada suhu 121ºC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.
3.6.5.2 Pembuatan Media
1. Media Agar Peremajaan Staphylococcus aureus
Mengambil MSA sebanyak ± 5,55 g; dimasukkan media ke dalam
Erlenmeyer dan dilarutkan dengan 50 ml aquades. Selanjutnya, media
dihomogenkan dengan batang pengaduk di atas spirtus sampai terlarut sempurna.
42
Media yang sudah homogen didinginkan dan ditutup bagian mulut Erlenmeyer
dengan kapas dan dibungkus dengan kertas coklat. Kemudian, media disterilkan
dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Media peremajaan ini
digunakan dalam peremajaan bakteri murni Staphylococcus aureus.
2. Media Sumuran
Pertama, membuat media sumuran dengan cara menimbang MSA
sebanyak 41,625 gram; dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan dilarutkan dengan
375 ml aquades. Kedua, media dihomogenkan dengan batang pengaduk di atas
penangas air sampai terlarut sempurna. Media yang sudah homogen disterilkan
dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit dan didinginkan.
3.6.5.3 Pembuatan Larutan Uji
Mengambil hasil fraksinasi masing-masing sebanyak ±15 gram.
Kemudian, masing-masing hasil fraksinasi dilarutkan dengan ± 1 ml larutan CMC
dan diaduk sampai homogen.
3.6.5.4 Pembuatan Larutan NaCl 0,9%
Mengambil dan menimbang sebanyak 0,9 gram NaCl. Selanjutnya,
melarutkannya ke dalam 100 ml aquades dan diaduk sampai homogen.
3.6.5.5 Peremajaan Bakteri Staphylococcus aureus
Menyiapkan
tabung reaksi
steril
dan kawat
ose.
Kemudian,
menuangkan media peremajaan MSA masing-masing sebanyak 5 ml ke dalam 8
tabung reaksi secara aseptis dan didiamkan sampai memadat pada posisi miring.
Selanjutnya, mengambil bakteri murni Staphylococcus aureus dan menanamnya
pada media MSA dengan metode agar miring. Selanjutnya, media agar miring
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 x 24 jam.
43
3.6.5.6 Pembuatan Suspensi Bakteri Staphylococcus aureus
Mengambil biakan bakteri Staphylococcus aureus dengan kawat ose
steril sebanyak 1 – 2 lup. Kemudian, mensuspensikan biakan ke dalam tabung
reaksi yang berisi 25 ml larutan NaCl 0,9% steril. Selanjutnya, mengukur tingkat
kekeruhan suspensi bakteri dengan spektrofotometri UV – Vis pada panjang
gelombang 580 nm, hingga diperoleh transmitan sebesar 25%.
3.6.5.7 Pembuatan Sumuran
Mula-mula, suspensi bakteri dimasukkan ke dalam petidish sebanyak 1
mL. Selanjutnya, media MSA dituangkan ke dalam petridish sebanyak ±15 mL
dan di aduk hingga homogen dengan cara digoyang membentuk angka delapan.
Selanjutnya, media berisi suspensi bakteri tersebut dibiarkan hingga memadat.
Kemudian, meletakkan sebuah pipa pelubang pada masing-masing media agar dan
diangkat secara aseptik. Kemudian, masing-masing lubang sumuran dimasukkan
hasil fraksi.
3.6.5.8 Uji Aktivitas Antibakteri secara In-vitro
Masing-masing hasil fraksinasi yang sudah ditambah dengan pelarut
CMC dimasukkan ke dalam lubang sumur yang sudah dibuat. Selanjutnya,
petridish diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 x 24 jam.
44
3.7 Analisis Data
Dalam penelitian ini analisa data yang dilakukan adalah dengan mengukur
zona bening yang terdapat pada sekitar lubang sumuran. Data hasil pengamatan
dianalisis menggunakan Uji One Way Anova. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui adanya perbedaan aktivitas antibakteri beberapa hasil fraksinasi pada
ekstrak rimpang temu mangga (Curcuma mangga).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Determinasi Temu Mangga
Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang temu mangga
yang diperoleh dari Materia Medika, Batu. Selanjutnya, dilakukan determinasi
dengan cara membandingkan morfologi tanaman dengan kunci determinasi yang
terdapat pada literatur “Flora of Java”. Determinasi dilakukan dengan tujuan
untuk mengidentifkasi tanaman yang akan digunakan dalam penelitian sehingga
potensi terjadinya kesalahan dalam pengambilan tanaman dapat diminimalisir.
Dari data morfologi, tanaman temu mangga merupakan tanaman yang termasuk
golongan suku Zingiberaceae, sehingga diperoleh kunci determinasi sebagai
berikut: 1b − 2b − 3b − 4b − 6b − 7b − 9b − 10b − 11a − 67b − 69b− 70b − 71a
(Keterangan terdapat pada Lampiran 10).
4.2 Persiapan Temu Mangga (Curcuma mangga Val.)
Bagian tanaman temu mangga (Curcuma mangga) yang digunakan adalah
bagian rimpang yang berumur ± 10 – 12 bulan. Hal ini dikarenakan pada umur
tersebut kandungan zat aktif lebih banyak. Mula-mula, rimpang disortasi basah,
rimpang berukuran besar, tidak busuk dan tidak kotor. Setelah disortasi basah,
rimpang dicuci dengan air bersih dan dirajang. Proses perajangan dilakukan untuk
memperluas permukaan sel-sel sampel sehingga mempermudah bahan kontak
45
46
dengan pelarut ketika proses ekstraksi. Hasil persiapan bahan baku disajikan pada
Lampiran 1.
4.3 Persiapan Ekstraksi Temu Mangga
Mula-mula, rimpang temu mangga segar yang sudah dirajang disiapkan
terlebih dahulu. Pemilihan bahan segar untuk ekstraksi dikarenakan untuk
menghindari rusaknya senyawa aktif minyak atsiri terhadap pemanasan.
Selanjutnya, sebanyak 300 gram rimpang temu mangga segar yang sudah dirajang
diekstraksi menggunakan metode maserasi. Metode tersebut dipilih karena
maserasi tergolong sederhana dan mudah dilakukan. Selain itu, rimpang temu
mangga tidak tahan terhadap pemanasan dan juga mempunyai kandungan gula di
dalamnya, sehingga dikhawatirkan jika diekstraksi menggunakan metode
pemanasan akan mengganggu dan mempengaruhi hasil proses. Hasil ekstrak
selanjutnya dilakukan proses fraksinasi.
Proses ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dan masingmasing ekstraksi membutuhkan waktu selama 3 x 24 jam. Ekstraksi dilakukan
menggunakan cairan pelarut etanol 70% dengan perbandingan 70 bagian etanol :
30 bagian air. Pemilihan etanol 70% sebagai larutan penyari dikarenakan etanol
banyak digunakan untuk ekstraksi tanaman obat dan dapat menarik zat aktif yang
bersifat polar maupun non polar. Perbandingan bahan segar dan pelarut yang
digunakan adalah 10 : 75 bagian, sehingga banyaknya pelarut yang dibutuhkan
untuk mengekstraksi 300 gram rimpang temu mangga segar adalah ± 2,25 L.
Hasil maserasi yang diperoleh disaring menggunakan kain penyaring dan
saringan agar maserat diperoleh lebih banyak. Maserat yang diperoleh selanjutnya
47
diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu ± 70ºC dengan tekanan 1
atm untuk memisahkan pelarut etanol dan senyawa fitokimia yang terekstrak dari
rimpang temu mangga. Setelah diuapkan, dihasilkan ekstrak yang berbentuk
cairan (liquid) yang disebut sebagai ekstrak kasar (crude extract). Berdasarkan
proses ekstraksi tersebut, hasil maserat yang diperoleh dari masing-masing
pengulangan adalah 17,3296 gram; 27,9117 gram dan 21,3429 gram. Rendeman
yang diperoleh dari ketiga replikasi masing-masing sebesar 5,7765%; 9,3039%
dan 7,1143% (Perhitungan terdapat pada Lampiran 4). Berikut ini adalah hasil
pemeriksaan karakteristik dari ekstrak etanol temu mangga.
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak Etanol Temu Mangga
Organoleptik
Bentuk
Warna
Bau
Rasa
Hasil Pengamatan
Cairan agak kental
Kuning kecoklatan
Khas
Manis
4.4 Identifikasi Fitokimia Ekstrak Temu Mangga
Hasil ekstraksi berupa ekstrak yang berbentuk cairan terlebih dahulu
diidentifikasi kandungan senyawa fitokimianya secara kualitatif agar target yang
diinginkan benar-benar sudah didapat dari proses ekstraksi yang dilakukan.
Pengujian yang dilakukan adalah identifikasi saponin, terpenoid dan flavonoid.
Hasil identifikasi fitokimia dari ekstrak etanol temu mangga terdapat pada Tabel
4.2.
48
Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Fitokimia Dari Ekstrak Etanol Temu Mangga
Golongan
senyawa
Flavonoid
Saponin
Terpenoid
Pereaksi
Hasil
Pengamatan
+ HCl(P),
dipanaskan 15
menit ke dalam Warna merah
beaker glass
berisi air
+ H2O panas,
Terbentuk
dikocok
buih setinggi
> 1 cm
+ Ac2O +
Warna merah
H2SO4(P)
Hasil
Literatur
Literatur
Warna merah
Achmad, 1986
Terbentuk
buih setinggi
> 1 cm
Harborne,
1973
Warna merah
Harborne,
1973
4.5 Hasil Fraksinasi Ekstrak Temu Mangga
Proses fraksinasi ekstrak temu mangga dilakukan menggunakan tiga
pelarut yang berbeda. Pemilihan ketiga pelarut tersebut didasarkan atas perbedaan
tingkat kepolaran. Pelarut yang digunakan adalah n-heksan, etil asetat dan air.
masing-masing pelarut secara berturut-turut mempunyai tetapan dielektrikum
sebesar (1,89), (6,02) dan (80,40). Semakin besar nilai tetapan dielektrikum dari
pelarut yang digunakan, maka sifat pelarut tersebut semakin polar.
Ekstrak kental temu mangga yang digunakan untuk fraksinasi masingmasing sebesar 8,6648 g; 13,9558 g dan 10,6714 g. Masing-masing ekstrak
dilarutkan dengan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi sebanyak ± 5 mL
sampai larut. Selanjutnya, difraksinasi dengan pelarut n-heksan terlebih dahulu.
Pelarut n-heksan mampu menarik senyawa yang bersifat non polar seperti
golongan minyak atsiri, terpen dan lemak. Pada saat dilakukan fraksinasi, terjadi
pemisahan antara n-heksan dengan etanol menjadi tiga lapisan. Lapisan tersebut
diduga sebagai residu ekstrak yang tidak ikut tersaring pada saat proses
49
penyaringan. Selanjutnya, fraksi etanol sisa di fraksinasi kembali menggunakan
pelarut etil asetat.
Pelarut etil asetat mampu menarik senyawa yang bersifat semi polar. Pada
praktikum terbentuk dua lapisan antara fraksi etil asetat dengan fraksi etanol sisa.
Selanjutnya, fraksi etanol sisa di fraksinasi kembali dengan air. Pemilihan pelarut
air karena pelarut tersebut mampu menarik senyawa metabolit sekunder yang
bersifat polar. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Fraksi Ekstrak Temu Mangga
Hasil Fraksinasi
Fraksi n-heksan
Fraksi etil asetat
Fraksi air
Hasil Pengamatan
Cairan berwarna coklat gelap, agak pekat
Cairan berwarna coklat bening, agak kental
Cairan warna coklat muda
4.6 Hasil Identifikasi Staphylococcus aureus
Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari stock culture
bakteri yang disimpan di laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya Malang. Bakteri yang diperoleh diremajakan menggunakan media NA
(Nutrient Agar). Bakteri tersebut diidentifikasi secara makroskopik untuk
memastikan
dan
membuktikan
bahwa
bakteri
tersebut
adalah
bakteri
Staphylococcus aureus.
Bakteri tersebut kemudian dibiakkan menggunakan media MSA yang
merupakan media selektif dari bakteri Staphylococcus aureus. Berdasarkan
pengamatan, secara makroskopik kenampakannya berbentuk serupa bola-bola
kecil. Selain itu, juga membentuk pigmen berwana kuning emas tua. Hal ini
dikarenakan bakteri Staphylococcus aureus mampu menfermentasi mannitol yang
50
terdapat pada media MSA. Hasil identifikasi bakteri Staphylococcus aureus dapat
dilihat pada Lampiran 6.
4.7 Hasil Aktivitas Antibakteri Fraksi Rimpang Temu Mangga
Pengujian aktivitas antibakteri pada rimpang temu mangga dilakukan
menggunakan metode difusi sumuran. Pengujian ini dilakukan terhadap bakteri
Staphylococcus aureus. Metode difusi sumur dilakukan dengan cara memasukkan
senyawa antibakteri ke dalam lubang (sumur) yang telah dibentuk pada petridish
berisi media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Setelah diinkubasi
selama 24 jam pada suhu ruang (37ºC), diameter zona hambat pertumbuhan
bakteri uji pada media diamati dan diukur menggunakan jangka sorong. Hasil
pengamatan uji aktivitas antibakteri dari beberapa hasil fraksinasi ekstrak temu
mangga terhadap akteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Aktivitas Antibakteri Fraksi Aktif Temu
Mangga Terhadap Staphylococcus aureus.
Perlakuan
Media + bakteri +
fraksi n-heksan
Media + bakteri +
fraksi etil asetat
Media + bakteri +
fraksi air
Diameter Zona Hambat (mm)
Replikasi Replikasi Replikasi
I
II
III
Rata-rata ± SD
(mm)
13,10
10,10
13,96
12,3867 ± 2,0264
0
0
0
0
0
0
0
0
Berdasarkan perbedaan pelarut fraksinasi diperoleh daya hambat yaitu
sebesar 10,10 mm sampai 13,96 mm. Uji One Way Anova menggunakan SPSS
15,00 (Analisis Data terdapat pada Lampiran 9) diperoleh nilai p = 0,00 (p < 0,05)
51
artinya bahwa ada perbedaan yang signifikan diantara perlakuan tersebut.
Perlakuan fraksi n-heksan dengan fraksi etil asetat dan fraksi air terdapat
perbedaan yang nyata. Hal ini ditunjukkan dari zona hambat yang terbentuk pada
perlakuan fraksi n-heksan dengan rata-rata sebesar 12,3867 ± 2,0264 mm.
Sedangkan pada perlakuan fraksi etil asetat dan fraksi air tidak terbentuk zona
hambat. Menurut Hermawan dkk (2007), menyatakan bahwa interpretasi daerah
hambatan pertumbuhan antimikroba mengacu pada standar umum yang
dikeluarkan Departemen Kesehatan (1988) disebutkan bahwa mikroba dikatakan
peka terhadap antimikroba asal tanaman apabila mempunyai ukuran diameter
daya hambatan sebesar 12-24 mm. Pelarut n-heksan mampu menarik senyawa non
polar seperti minyak atsiri, terpenoid/steroid (Nuraini dkk, 2013 dan Naufalin
2005 dalam Nuraini A. D, 2007).
Berdasarkan hasil uji fitokimia di atas, ekstrak etanol temu mangga positif
mengandung senyawa terpenoid. Hal ini dapat dilihat pada pengujian fitokimia.
Diduga senyawa terpenoid tersebut ikut tertarik ketika di fraksinasi menggunakan
pelarut n-heksan. Senyawa terpenoid mempunyai mekanisme kerja dengan cara
bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel
bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya
porin. Rusaknya porin yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa akan
mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan mengakibatkan sel
bakteri akan kekurangan nutrisi, sehingga pertumbuhan terhambat atau mati
(Cowan, M. 1999).
Antara fraksi etil asetat dan fraksi air tidak terjadi perbedaan, seharusnya
pada fraksi etil asetat menghasilkan zona hambat. Berdasarkan pengamatan,
52
terdapat pertumbuhan fungi yang mengaburkan pengamatan zona hambat fraksi
etil asetat terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini disebabkan karena
penyimpanan hasil fraksi etil asetat tidak dimasukkan ke dalam lemari pendingin.
Menurut Jayuska dkk (2013), menyebutkan bahwa senyawa flavonoid dan
polifenol dapat terlarut di dalam fraksi etil asetat, sehingga seharusnya
mempunyai aktivitas antibakteri.
Sedangkan pada fraksi air tidak terdapat zona hambat karena dalam temu
mangga tidak terdapat senyawa polar yang berperan sebagai antibakteri.
Berdasarkan pengamatan juga terdapat pertumbuhan fungi. Hal ini juga
disebabkan penyimpanan hasil fraksi air tidak dimasukkan ke dalam lemari
pendingin. Akibatnya, masa simpan dari hasil fraksi tidak tahan lama dan
memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh fungi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian aktivitas antibakteri fraksi aktif rimpang temu
mangga (Curcuma mangga Val.) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus
dengan metode difusi diperoleh kesimpulan bahwa fraksi aktif yang mempunyai
kemampuan untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan Staphylococcus
aureus adalah fraksi n-heksan. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya zona
hambat pada perlakuan fraksi n-heksan yaitu antara 10,10 mm sampai 13,96 mm.
5.2 Saran
1. Perlu proses fraksinasi secara beruntun berdasarkan nilai indeks kepolaran
terhadap hasil ekstrak temu mangga agar hasil fraksi yang diperoleh lebih
maksimal.
2. Perlu proses sterilisasi secara filtrasi atau penyimpanan pada suhu rendah
(lemari pendingin) terhadap hasil fraksinasi untuk meminimalisasi resiko
terjadinya kontaminasi bahan.
53
DAFTAR RUJUKAN
Achmad., S.A..1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Kamunika.
Adila, Rahma., Nurmiati, Anthoni Agustien. 2013. Uji Antimikroba Curcuma spp.
Terhadap Pertumbuhan Candida albicans, Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Jurnal Biologi Universitas Andalas ISSN: 2303 – 2162.
Ansel, Howard C. et al. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV.
Jakarta: Pustaka Bunda.
Ariviani, Setyaningrum., MAM. Andriani, Fitri Yani. 2013. Potensi Temu
Mangga (Curcuma mangga Val.) Sebagai Minuman Fungsional. Jurnal
Teknosains Pangan Vol 5, ISSN: 2302 – 0733.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Monografi
Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 2. Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Hlm 189 – 194.
Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology
Reviews. 12: 564 – 582.
Damayanti, Ema., Ahmad Sofyan, Hardi Julendra, Tri Untari. 2009. Pemanfaatan
Tepung Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Agensia Anti –
Pullorum dalam Imbuhan Pakan Ayam Broiler. JITV Vol 14 (2): 83 – 89.
Darwis, S. N., M. Indo, S. Hasiyah. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae.
Bogor: Badan Penelitian Pusat Dan Pengembangan Penelitian Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta:
Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi
IV. Jakarta: Departemen Kesehatan.
54
55
Departemen Kesehatan. 1988. Inventaris Obat Indonesia Jilid I. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan..
Dwidjoseputro. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Efektivitas Antibakteri Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Porphoyromonas Gingivalis. Berkala Ilmiah
Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia Vol 2 (1): 12 – 23. ISSN: 2302 –
6448.
Fahmi, Novita Fatimah. 2011. Efek Antibakteri Ekstrak Temu Mangga (Curcuma
Mangga Val.) Pada Staphylococcus Aureus. Karya Tulis Ilmiah tidak
diterbitkan. Malang: Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra
Indonesia Malang.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gillespie, Stephen dan Kathleen Bamford. 2008. At a Glance Mikrobiologi Medis
Dan Infeksi. Jakarta: Erlangga.
Gusmaini, M. Yusron, M. Januwati. 2004. Teknologi Perbanyakan Benih Sumber
Temu Mangga. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Gruiz, K. 1996. Fungitoxic Activity of Saponins : Practical Use and Fundamental
Principles. Di dalam : A. S. Naidu. (ed). 2000. Natural Food
Antimicrobial Systems. CRC Press, USA.
Harahap, Sjahrial. 1998. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Harborne, J. B. 1973. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, Edisi Kedua. Terjemahan oleh Kosasih Padmawinata dan
Iwang Soediro. 1984. Bandung: Penerbit ITB.
Hermawan, A., Hana, E., dan Tyasningsi, W. 2007. Pengaruh Estrak Daun Sirih
(Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
56
Hernani dan Rahardjo. 2002. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Swadaya.
Hernani dan Sintha Suhirman. 2001. Diversifikasi Hasil Tanaman Temu Mangga
(Curcuma mangga Val.). Tidak dipublikasikan. 12 hal.
Heyne, K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesie. N.V. Bandung: Uitgeverijw
van Hoeve’s-Gravenhage.
Jawetz, E., Melnick J, Adelberg E. Tanpa tahun. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
20. Terjemahan oleh Edi Nugrogo dan R. F. Maulany. 1996. Jakarta: EGC.
Jayuska, Afghani. Sayekti, Endah. Rahimah. 2013. Karakteristik Senyawa
Flavonoid Hasil Isolat Dari Fraksi Etil Asetat Daun Matoa (Pometia
pinnata J. R. Forst & G. Forst). JKK Vol 2, ISSN: 2303 – 1077.
Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. 2005. Medical Microbiology.
New York: Thieme.
Kibbe, Arthur H. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Third Edition.
United State of America: American Pharmaceutical Association.
Kristanti, A. N., N. S. Aminah, M. Tanjung, B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar
Fitokimia. Surabaya: Airlangga University Press.
Lajis, N. H. 2007. Recent Aspect of Natural Products Research and Development
in Malaysia. Surabaya – Indonesia: International Symposium Biology,
Chemistry, Pharmacology, and Clinical Studies of Asian Plants.
Meskin, M. S., W. R. Bidlack, A. J. Davies, S. T. Omaye. 2002. Phytochemicals
in Nutrition and Health. London New York: CRC Press.
Mpila, Deby A., Fatimawati, Weny I. Wiyono. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Etanol Daun Mayana, (Online) http://www.portalgaruda.org.
Diakses tanggal 15 Desember 2014).
Muchtaridi, Musfiroh, I., Udin, L. Z., Diantini, A., Levita, J., Mustarichie, R.
2011. Aktivitas Antiproliferasi Ekstrak, Fraksi Etil Asetat Dan Isolat
57
Rimpang Temulawak (Curcuma Xabthorrhiza Roxb.) Terhadap Sel
Kanker Payudara T47D. Bionatura – Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik
Vol 13: 93 – 100.
Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. USA: CRC Press.
Nuraini. Husni, Muhammad Ali. Murniana. Helwati, Hira. 2013. Antimicrobal
Activity Of n-Heksan Extracts Of Red Frangipani. Jurnal Natural Vol 13.
Nuraini, Annisa Dian. 2007. Ekstraksi Komponen Antibakteri Dan Antioksidan
Dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens Willd). Skripsi tidak diterbitkan.
Bogor. Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Pelczar, Jr, Michael J. dan E. C. S. Chan. Tanpa tahun. Dasar-dasar
Mikrobiologi. Terjemahan oleh Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S.
Sutarmi Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka. 1988. Jakarta: Gramedia.
Philip,K., Malek, S. N. A., Sani, W., Shin, S. K., Kumar, S., Lai, H. S., Lee Guan
Serm and Syarifah N. S. A. Rahman. 2009. Antimicrobial Activity of
Some Medicinal Plants from Malaysia. American Journal of Applied
Sciences 6 (8): 1613-1617,
PT Trubus Swadaya. Tanpa tahun. Info KIT 100 Plus Herbal Indonesia: Bukti
Ilmiah Racikan. Trubus. Vol 11. Hlm. 616 – 619.
Recio, M. et al,. 1988. Journal of Echmopharmacology. Madrid: Departemen to
de Farmacologia Faculted de Farmacia Universidad Complutense.
Rukmana, R. 2004. Temu-temuan Apotik Hidup di Pekarangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Setyawan, Ahmad Dwi. 2003. Keanekaragaman Kandungan Minyak Atsiri
Rimpang Temu-temuan (Curcuma). Biofarmasi 1 (2): 44 – 49. ISSN: 1693
– 2242.
Sirait, Midian. 2007. Penuntun Fitokimia Dalam Farmasi. Bandung: Penerbit ITB
58
Steenis, C. G. G. J van (dkk). 1947. Flora. Edisi Kedua Belas. Terjemahan oleh
Moeso Surjowinoto. 2008. Jakarta: Pradnya Paramita.
Sudarmaji, S et all. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta :
Liberty.
Suryani. 2009. Isolasi dan Identifikasi Kandungan Flavonoid pada Rimpang
Temu Mangga (Curcuma Mangga Val. et Zyp) dengan Kromatografi
Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-VIS. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia.
Tjitrosoepomo, Gembong. 1994. Taksonomi Tanaman Obat-obatan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Soegihardjo, C.J. 2013. Farmakognosi. Yogyakarta: PT. Citra Aji Pratama.
Volk, Wesley A. dan Margaret F. Wheeler. 1984. Mikrobiologi Dasar. Edisi
Kelima. Terjemahan oleh Soenarto Adisoemarto, Ph. D. 1993. Jakarta:
Erlangga.
Waluyo, Lud. 2010. Teknik Metode Dasar Dalam Mikrobiologi. Malang: UMM
Press.
Widodo, J. 2000. Kunyit Putih Meredam Kanker. Intisari 37.
Zablotowicz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effect of Saponin on
The Growth and Activity of Rizophere Bacteria. Di dalam Naidu, A. S.
(ed). 2000. Natural Food Microbial Systems. USA: CRC Press.
LAMPIRAN
59
60
Lampiran 1. Persiapan Temu Mangga
Tahap 1. Pengumpulan Bahan
Tahap 3. Perajangan
Tahap 2. Pengupasan
61
Lampiran 2. Proses Ekstraksi Rimpang Temu Mangga
Tahap 1. Penimbangan
Tahap 2. Maserasi 3 hari
Tahap 3. Penyaringan Maserat
Tahap 4. Evaporasi
Tahap 5. Waterbath
Tahap 6. Hasil Ekstrak Kental
62
Lampiran 3. Hasil Identifikasi Fitokimia Ekstrak Etanol Temu Mangga
Golongan Senyawa
Pereaksi
Flavonoid
+ HCl(P), dipanaskan 15 menit
ke dalam beaker glass berisi
air
Saponin
+ H2O panas, dikocok
Terpenoid
+ anhidrat asetat + H2SO4(P)
Hasil Pengamatan
63
Lampiran 4. Perhitungan Rendemen
1.
Maserasi 1 =
= 5,7765%
2.
Maserasi 2 =
= 9,3039%
3.
Maserasi 3 =
= 7,1143%
64
Lampiran 5. Partisi Ekstrak Temu Mangga
Replikasi 1
Replikasi 2
Replikasi 3
Tahap 1. Partisi dengan
n-heksan
Tahap 1. Partisi dengan
n-heksan
Tahap 1. Partisi dengan
n-heksan
Tahap 2. Partisi dengan
etil asetat
Tahap 2. Partisi dengan
etil asetat
Tahap 2. Partisi dengan
etil asetat
Tahap 3. Partisi dengan
air
Tahap 3. Partisi dengan
air
Tahap 3. Partisi dengan
air
65
Lampiran 6. Hasil Identifikasi Staphylococcus Aureus
66
Lampiran 7. Biakan Staphylococcus aureus dan Transmitan Suspensi
Staphylococcus aureus
Biakan Staphylococcus aureus
Transmitan suspensi bakteri
67
Lampiran 8. Hasil Pengamatan Aktivitas Fraksi Aktif Temu Mangga
Terhadap Staphylococcus aureus.
Partisi 1
Fase n-heksan
Partisi 2
Partisi 3
Replikasi 1
Replikasi 1
Replikasi 2
Replikasi 2
Replikasi 3
Replikasi 3
−
Replikasi 1
−
Replikasi 2
−
Replikasi 3
68
Partisi 1
Fase etil asetat
Partisi 2
Partisi 3
Replikasi 1
Replikasi 1
Replikasi 1
Replikasi 2
Replikasi 2
Replikasi 2
Replikasi 3
Replikasi 3
Replikasi 3
69
Partisi 1
Fase air
Partisi 2
Partisi 3
Replikasi 1
Replikasi 1
Replikasi 2
Replikasi 2
Replikasi 3
Replikasi 3
−
Replikasi 1
−
Replikasi 2
−
Replikasi 3
70
Lampiran 9. Analisis data One Way Anova
71
72
Lampiran 10. Hasil Determinasi Tumbuhan Temu Mangga
1b
2b
3b
4b
6b
7b
9b
10b
11a
67b
69b
70b
71a
Tumbuh-tumbuhan dengan bunga sejati, sedikitdikitnya dengan benang sari dan atau putik. Tumbuhtumbuhan berbunga.
Tidak ada alat pembelit. Tumbuh-tumbuhan dapat
juga memanjat atau membelit (dengan batang, poros
daun atau tangkai daun).
Daun tidak berbentuk jarum atau tidak terdapat
dalam berkas tersebut di atas.
Tumbuh-tumbuhan tidak menyerupai bangsa rumput.
Daun dan atau bunga berlainan dengan yang
diterangkan di atas.
Dengan daun yang jelas.
Bukan tumbuh-tumbuhan bangsa palem atau yang
menyerupainya.
Tumbuh-tumbuhan tidak memanjat dan tidak
membelit.
Daun tidak tersusun demikian rapat menjadi roset.
Tulang daun dan urat daun sejajar satu dengan
lainnya menurut panjang daun, tebal tulang daun,
urat daun kerapkali hanya berbeda sedikit. Daun
kebanyakan berbentuk garis sampai lanset, kerapkali
tersusun dalam 2 baris. Pangkal daun kerapkali jelas
dengan pelepah yang memeluk batang. Bunga
kerapkali berbilangan 3. Kebanyakan berupa herba
dengan akar rimpang, umbi atau umbi lapis.
Tepi daun rata atau berduri tempel sangat kecil.
Daun tidak merupakan karangan.
Daun lain.
Batang yang berdaun merupakan tangga yang
memutar.
2
3
4
6
7
9
10
11
67
69
70
71
32.
Zingiberaceae
Download