BAB 2 LANDASAN TEORIdan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kepemimpinan Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, kesulitan kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi.Untuk mencapai semua itu seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam melakukan pengarahan pada bawahannya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Menurut Rivai (2004, p.2) Kepemimpinan (Leadership) adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh kepada pengikut pengikutnya lewat proses komunikasi dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Menurut Werren Bennis (2004, p.74) Kepemimpinan adalah kapasitas untuk menerjemahkan visi dalam realita. Dengan kata lain kepemimpinan berarti turut melibatkan orang lain dan lebih mengutamakan visi diatas segalanya, baru kemudian pada langkah pelaksanaannya. Menurut Hughes (2002, p.32) Kepemimpinan berarti mempengaruhi orang- orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi. Jadi, kesimpulan yang bisa diambil dari pengertian kepemimpinan itu adalah proses yang mempengaruhi atau memberi contoh kepada pengikut – pengikutnya lewat proses 7 8 komunikasi serta tindakan dalam upaya mencapai tujuan organisasi, serta dapat mempengaruhi pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan suatu tujuan tersebut. 2.1.2 Gaya Kepemimpinan Gaya Kepemimpinan adalah suatu norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2003, p.303) Menurut Hersey dan Blanchard (2004, p.114), Gaya Kepemimpinan terdiri dari kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perilaku tugas dimaksudkan sebagai kadar upaya pemimpin mengorganisasi dan menetapkan peranan anggota kelompok (pengikut), menjelaskan aktivitas setiap anggota serta kapan, dimana, dan bagaimana cara menyelesaikannya, dicirikan dengan upaya menetapkan pola organisasi, saluran komunikasi dan cara penyelesaian pekerjaan secara rinci dan jelas. Sedangkan perilaku hubungan merupakan kadar upaya pemimpin membina hubungan pribadi diantara mereka sendiri dan dengan para anggota kelompok mereka (pengikut) dengan membuka saluran komunikasi dan menyediakan dukungan sosio emosi, psikologis, dan pemudahan perilaku. Dari penjelasan – penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah perilaku yang dilakukan dan ditunjukkan oleh seorang pemimpin didalam memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap bawahannya dengan rasa mempercayai bawahan juga memuat bagaimana cara pemimpin bekerja sama dengan bawahannya dalam mengambil keputusan, pembagian tugas dan wewenang, bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dan bagaimana hubungan yang tercipta diantara pemimpin dan bawahannya tersebut. 9 2.1.2.1 Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan Tanggung jawab kepemimpinan menurut Ranupandojo dengan mengutip pendapat Miljus (2001, p.218), menyatakan bahwa tanggung jawab pemimpin : a. Menetukan tujuan pelaksanaan kerja realitas (dalam arti kuantitas, kualitas, keamanan, dan sebagainya). b. Melengkapi para karyawan dengan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. c. Mengkomunikasikan pada karyawan tentang apa yang diharapkan oleh mereka. d. Memberikan susunan imbalan atau hadiah yang sepadan untuk mendorong prestasi. e. Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi apabila memungkinkan. f. Menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaan yang efektif. g. Menilai pelaksanaan pekerja dan mengkomunikasikan hasilnya. h. Menunjukkan perhatian kepada bawahan, yang penting dalam hal ini adalah tanggung jawab dalam memadukan seluruh kegiatan dan mencapai tujuan organisasi tersebut secara harmonis, sehingga tercapainya tujuan organisasi yang efektif dan efisien. 2.1.2.2 Ciri – Ciri Indikator Kepemimpinan Menurut Davis yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2003, p.290-291), ciri – ciri utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah : 1. Kecerdasan (Intelligence) 2. Penelitian penelitian pada umunya menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari pada pengikutnya, tetapi tidak sangat berbeda. 3. Kedewasaan, sosial dan hubungan sosial yang luas (Social Maturity and Breadht) 10 4. Pemimpin cenderung, mempunyai emosi yang stabil dan dewasa serta matang, serta mempunyai kegiatan dan perhatian yang luas. 5. Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi. 6. Pemimpin secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi, mereka bekerja keras lebih untuk nilai intrinsik. 7. Sikap – sikap hubungan manusiawi 8. Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikut pengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi dan berorientasi pada bawahannya. 9. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari pada bawahannya dan mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi pula. Di samping itu untuk melihat gaya kepemimpinan seorang pemimpin dapat dilihat melalui indikator tersebut. Menurut Siagian (2002, p.121), beberapa indikator dapat dilihat sebagai berikut : - Iklim saling mempercayai - Penghargaan terhadap ide bawahan - Memperhitungkan perasaan para bawahan - Perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan - Perhatian pada kesejahteraan bawahan - Memperhitungkan faktor kepuasan kerja para bawahan dalam menyelesaikan tugas - tugas yang dipercayakan kepadanya - Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan profesional 11 2.1.2.3 Peranan Kepemimpinan Menurut pendapat Stodgill, yang dikutip oleh Sugandha (2001, p.99), beberapa peranan yang harus dimiliki : 1. Integration,yaitu tindakan - tindakan yang mengarah pada peningkatan koordinasi. 2. Communication, yaitu tindakan – tindakan yang mengarah pada meningkatnya saling pengertian, penyebaran informasi (Transmission of Information). 3. Product Emphasis, yaitu tindakan – tindakan yang berorientasi pada volume pekerjaan yang dilakukan. 4. Fraternization, yaitu tindakan – tindakan yang menjadikan pemimpin bagian dari kelompok. 5. Organization, yaitu tindakan – tindakan yang mengarah pada perbedaan dan penyesuaian dari pada tugas - tugas. 6. Evaluation, yaitu tindakan – tindakan yang berkenaan dengan pendistribusian ganjaran- ganjaran atau hukuman - hukuman. 7. Innitation, yaitu tindakan - tindakan yang menghasilkan perubahan - perubahan pada kegiatan organisasi. 8. Domination, yaitu tindakan – tindakan yang menolak pemikiran pemikiran seseorang atau anggota kelompok. 2.1.2.4 Tipe Gaya Kepemimpinan Secara relatif ada 3 macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu Otokratis, Demokratis, Laissez-Faire.Kebanyakan manager menggunakan ketiganya pada sewaktu – waktu, tetapi gaya yang paling sering digunakan akan dapat dipakai untuk membedakan seorang manager sebagai pemimpin yang Otokratis, Demokratis, atau Laissez-Faire. Menurut 12 White dan Lippid yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2001, p.298), mengemukakan 3 tipe Kepemimpinan, yaitu antara lain : 1. Otokratis a. Semua penetuan kebijaksanaan dilakukan oleh pemimpin. b. Teknik – teknik dan langkah – langkah yang diatur oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah – langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk tingkat yang luas. c. Pemimpin biasanya mendikte tugas kerja bagian dan kerja bersama setiap anggota. d. Pemimpin cenderung menjadi “pribadi” dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota, mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukkan keahliannya. 2. Demokratis a. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari kelompok. b. Kegiatan – kegiatan didiskusikan, langkah – langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat dan bila dibutuhkan petunjuk – petujuk teknis, pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih. c. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok. d. Pemimpin adalah objektif atau “Fack- Mainded”. Dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan. 3. Laissez- Faire a. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu, dengan partisipasi minimal dari pemimpin. 13 b. Bahan – bahan yang bermacam – macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila dia akan memberikan informasi pada saat ditanya. Tidak mengambil bagian dari diskusi kerja. c. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penetuan tugas. d. Kadang- kadang memberi komentar sponsor terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian. Menurut W.J.Reddin dalam artikelnya What Kind of Manager, dan dikutip oleh Wahjosumidjo (Dep.P&K, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai 1982) sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono (2006, p.34), menetukan watak dan tipe pemimpin atas 2 pola dasar, yaitu : - Berorientasi pada tugas (Task Orientation) - Berorientasi hubungan kerja (Relationship Orientation) 2.1.2.5 Syarat- Syarat Kepemimpinan Seorang pemimpin bukanlah hanya seorang yang dapat memimpin saja, tetapi harus dikembangkan lagi yaitu kemampuan dan kualitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin itu sendiri, salah satu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah syarat – syarat kepemimpinan yang akan dikemukakan oleh Kartono (2002, p.31), bahwa kemampuan pemimpin dan syarat yang harus dimiliki adalah : 1. Kemandirian, berhasrat untuk melakukan tindakan secara individual (Individualisme). 2. Besarnya rasa keingintahuan, untuk mengetahui sesuatu yang belum dia ketahui. 3. Multi terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam. 4. Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan. 5. Perfeksionis, serta ingin mendapatkan yang sempurna. 14 6. Mudah menyesuaikan diri, adaptasi tinggi. 7. Sabar namun ulet. 8. Waspada, peka, jujur, optimis, berani, gigih, dan realistis. 9. Komunikatif serta pandai berbicara atau berpidato. 10. Berjiwa wiraswasta. 11. Sehat jasmani, dinamis, sanggup dan suka menerima tugas yang berat, serta berani mengambil resiko. 12. Tajam firasatnya, tajam dan adil pertimbangannya. 13. Berpengetahuan luas dan haus akan ilmu pengetahuan. 14. Memiliki motivasi tinggi, dan menyadari target atau tujuan hidupnya yang ingin dicapai, dibimbing idealisme tinggi. 15. Punya imajinasi tinggi, gaya kombinasi dan daya inovasi. Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang berpengetahuan luas, adil, jujur, optimis, gigih, ulet, bijaksana, mampu memotivasi diri sendiri, memiliki hubungan baik dengan bawahan dimana semua ini diperoleh dari pengembangan kepribadiannya, sehingga seorang pemimpin memiliki nilai tambah tersendiri dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. 2.1.2.6 Profesional Pengertian secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing – masing.Almasdi (2000, p.100). Selanjutnya Pamuji (2000, p.20-21), mengartikan orang yang profesional memiliki atau dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan – kegiatan diantaranya pelayanan publik dengan mempergunakan keahliannya itu, sehingga menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik mutunya, lebih cepat prosesnya, mungkin lebih bervariasi yang kesemuanya mendatangkan kepuasan pada masyarakat. 15 Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya.Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar (MenPAN, 2002, p.25), yang dimaksud dengan profesional adalah kemampuan, keahlian, atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima oleh masyarakat (MenPAN, 2002, p.14). Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (2001, p.206-207), bahwa manusia profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki keahlian serta kemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi keahlian tersebut tampak dalam perilaku analis dan keputusan – keputusannya. Demikian hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya, dan menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran, dan kesejahteraan baik dari individu, pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya. Menurut Affandi (2002, p.88-89), ada 4 ciri – ciri yang bisa ditengarai sebagai petunjuk indikator untuk melihat tingkat profesionalitas seseorang, yaitu : - Penguasaan ilmu pengetahuan seseorang dibidang tertentu, dan ketekunan mengikuti perkembangan ilmu yang dikuasai. - Kemampuan seseorang dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, khususnya yang berguna bagi kepentingan sesama. - Ketaatan dalam melaksanakan dan menjunjung tinggi etika, keilmuan, serta kemampuannya untuk memahami dan menghormati nilai – nilai sosial yang berlaku dilingkungannya. 16 - Besarnya rasa tanggung jawab terhadap Tuhan, bangsa dan negara, masyarakat, keluarga, serta diri sendiri atas segala tindak lanjut dan perilaku dalam mengembangkan tugas berkaitan dengan penugasan dan penerapan bidang ilmu yang dimiliki. 2.1.2.7 Profesionalisme Istilah profesionalisme sudah dikenal luas dikalangan masyarakat.Namun menurut Almasdi (2000, p.99), pengertian yang muncul dalam masyarakat umum seolah – olah hanya teruntuk bagi personil tingkat manajer, sedangkan sesungguhnya istilah profesional itu berlaku untuk semua personil dari tingkat atas sampai ketingkat paling bawah. Muins (2000, p.45), menyatakan bahwa profesionalisme didunia kerja bukan sekedar ditandai oleh penguasaan IPTEK saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh cara memanfaatkan IPTEK itu serta tujuan yang dicapai dengan pemanfaatannya itu. Seorang profesional harus dapat : 1. Memberi makna dan menempatkan IPTEK itu dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi dirinya sendiri, maupun organisasi atau perusahaan dimana ia bekerja serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 2. Mencerminkan sikap dan jati diri terhadap profesinya dengan kesungguhan untuk mendalami, menguasai, menerapkan, dan bertanggung jawab atas profesinya. 3. Memiliki sifat intelektual serta mencari dan mempertahankan kebenaran. 4. Mengutamakan dan mendahulukan pelayanan yang maksimal diatas imbalan jasa, tetapi tidak berarti bahwa jasa diberikan tanpa imbalan. Sedangkan Poerwopoespito dan Utomo (2000, p.266), mengatakan bahwa profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang.Orang yang menganut faham profesionalisme selalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. 17 Profesionalisme sangat ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan menurut bidang tugas dan tingkatannya masing – masing.Hasil dari pekerjaan itu ditinjau dari segala segi sesuai porsi, objek, bersifat terus – menerus dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun serta jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat (Suit Almasdi, 2000, p.99). Hal diatas dipertegas kembali oleh Thoha (2000, p.1), bahwa untuk mempertahankan kehidupan dan kedinamisan organisasi, setiap organisasi mau tidak mau harus adaktif terhadap perubahan organisasi.Birokrasi yang mampu bersaing dimasa mendatang adalah birokrasi yang memiliki sumber daya manusia berbasis pengetahuan dengan memiliki berbagai ketrampilan dan keahlian. 2.1.2.8 Ciri- Ciri Profesionalisme Sebagaimana disampaikan oleh Tjiptoherijanto (2000, p.39), yang mengatakan bahwa profesionalisme terlihat dari kompetensi yang terwujud pada kapasitas yang dimiliki oleh seseorang yang meliputi dimensi : 1. Keahlian dan Keterampilan (Skill) 2. Pengetahuan (Knowledge), dan 3. Perilaku (Behavior) Hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya, dan menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran, dan kesejahteraan baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya. Menurut Poerwopoespito dan Utomo (2000, p.266), mengatakan bahwa profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme selalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. 18 Maister (2000, p.21- 22), mengatakan bahwa ciri – ciri profesionalisme sejati yaitu: - Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas. - Berusaha meraih tanggung jawab. - Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif. - Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas. - Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang telah ditetapkan untuk mereka. - Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah bagi orang yang mereka layani. - Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang – orang yang mereka layani. - Benar – benar mendengarkan kebutuhan orang – orang yang mereka layani. - Belajar memahami dan berpikir seperti orang – orang yang mereka layani, sehingga bisa mewakili mereka ketika orang – orang itu tidak ada di tempat. - Adalah pemain tim. - Bisa dipercaya memegang rahasia. - Jujur, bisa dipercaya dan setia. - Terbuka pada kritik – kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri. 2.1.2.9 Komunikasi Komunikasi dalam hubungan kepemimpinan dengan orang – orang yang dipimpin, komunikasi merupakan salah satu pokok penting dalam organisasi. Seorang pemimpin harus dapat berkomunikasi dengan bawahannya, dan juga dengan atasannya.Para ahli ilmu jiwa mengetahui bahwa komunikasi yang baik menolong menciptakan rasa kebersamaan dalam satu kelompok atau organisasi.Mereka mengatakan bahwa komunikasi yang lancar dapat mengurangi frustasi dan mencegah timbulnya berbagai macam masalah. Komunikasi yang 19 tepat guna akan menghilangkan perbedaan persepsi diantara pemimpin dan bawahan atau diantara para bawahan sendiri. Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke orang yang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata- kata yang digunakan dalam percakapan, tetapi juga ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal dan sebagainya.Dan perpindahan yang efektif memerlukan tidak hanya transmisi data, tetapi bahwa seseorang mengirimkan berita dan menerimanya sangat tergantung pada ketrampilan – ketrampilan tertentu (membaca, menulis, mendengar, berbicara, dsb) untuk membuat sukses pertukaran informasi. Dalam setiap organisasi terdapat banyak saluran komunikasi yang dapat digunakan. Tetapi untuk hal ini akan mengkhususkan pada saluran komunikasi formal dan tidak formal. Kepemimpinan yang tepat guna adalah pada waktunya dapat menjalankan kedua saluran komunikasi itu.Saluran informasi formal mempengaruhi efektifitas komunikasi dalam 2 cara.Pertama, liputan saluran formal semakin melebar sesuai perkembangan dan pertumbuhan organisasi.Sebagai contoh, komunikasi yang efektif biasanya semakin sulit dicapai dalam organisasi yang besar dengan cabang- cabang yang menyebar.Kedua, saluran komunikasi formal dapat menghambat aliran informasi antar tingkat- tingkat organisasi. Sebagai contoh, karyawan lini perakitan hampir selalu akan mengkomunikasikan masalah – masalah pada penyelia (mandor), mereka dan bukan pada manager pabrik. Keterbatasan ini mempunyai kebalikan (seperti menghindarkan manager atas dari kebanjiran informasi), tetapi juga mempunyai kelemahan (seperti menghindarkan manager atas dari informasi yang seharusnya mereka peroleh). Komunikasi informal, bagaimanapun juga, adalah bagian penting aliran komunikasi organisasi. Bentuk komunikasi ini timbul dengan berbagai maksud, yang meliputi antara lain: 1. Pemuasan kebutuhan – kebutuhan manusiawi, seperti kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain. 20 2. Perlawanan terhadap pengaruh – pengaruh yang monoton atau membosankan. 3. Pemenuhan keinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. 4. Pelayanan sebagai sumber informasi hubungan pekerjaan yang tidak disediakan saluran – saluran informasi. American Management Association (AMA) telah menyusun sejumlah prinsip- prinsip komunikasi yang disebut “ The Ten Commandments of Good Communication “.Pedoman – pedoman ini disusun untuk meningkatkan efektifitas komunikasi organisasi, yang secara ringkas adalah sebagai berikut : 1. Cari kejelasan dari gagasan – gagasan terlebih dahulu sebelum di komunikasikan. 2. Teliti tujuan sebenarnya setiap komunikasi. 3. Pertimbangkan keadaan fisik dan manusia keseluruhan kapan saja akan dilakukan. 4. Konsultasikan dengan pihak – pihak lain, bila perlu, dalam perencanaan komunikasi. 5. Perhatikan tekanan nada dan ekspresi lainnya sesuai isi dasar berita selama berkomunikasi. 6. Ambil kesempatan, bila timbul, untuk mendapatkan segala sesuatu yang membantu atau umpan balik. 7. Ikuti lebih lanjut komunikasi yang telah dilakukan. 8. Perhatikan konsistensi komunikasi. 9. Tindakan atau perbuatan harus mendorong komunikasi. 10. Jadilah pendengar yang baik, berkomunikasi tidak hanya untuk dimengerti tetapi untuk mengerti. Prinsip- prinsip komunikasi AMA memberikan kepada para manager atau pemimpin pedoman untuk meningkatkan efektifitas komunikasi. 21 2.1.2.10 Delegasi Delegasi dapat didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab formal pada orang lain untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Empat kegiatan terjadi ketika delegasi dilakukan : - Pendelegasi menetapkan dan memberikan tujuan dan tugas kepada bawahan. - Pendelegasi melimpahkan wewenang yang diperlukan untuk mencapai tujuan atau tugas. - Menerima delegasi, baik implisit dan eksplisit, menimbulkan kewajiban atau tanggung jawab. - Pendelegasi menerima pertanggung jawaban bawahan untuk hasil – hasil yang dicapai. Ada beberapa alasan mengapa perlu pendelegasian.Pertama, pendelegasian memungkinkan manager dapat mencapai lebih dari bila mereka menangani setiap tugas sendiri.Delegasi memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan kembang, bahkan dapat digunakan sebagai alat untuk belajar dari kesalahan. Delegasi dibutuhkan karena seorang manager (pemimpin) tidak selalu mempunyai semua pengetahuan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan. Mereka mungkin menguasai “ The Big Picture “, tetapi tidak cukup mengerti tentang masalah yang lebih terperinci sehingga, agar organisasi dapat menggunakan sumber daya sumber dayanya lebih efisien, maka pelaksanaan tugas- tugas tertentu didelegasikan kepada tingkatan organisasi yang serendah mungkin dimana terdapat cukup kemampuan dan informasi untuk menyelesaikannya. Pengembangan komunikasi antara seorang pemimpin dengan bawahannya akan meningkatkan saling pengertian dan membuat delegasi lebih efektif. Pemimpin yang mengetahui kemampuan bawahnnya dapat lebih realistis dalam menentukan tugas – tugas mana dapat didelegasikan kepada bawahan tertentu. Bawahan yang didorong 22 untuk menggunakan kemampuannya dan merasa pemimpin mereka akan memberikan “ dukungan “, akan lebih bersemangat dalam menerima tanggung jawab. Louis Allen telah mengemukakan beberapa teknik khusus untuk membantu seorang manager untuk melakukan delegasi dengan efektif : 1. Tetapkan tujuan. Bawahan harus diberitahu maksud dan pentingnya tugas – tugas yang didelegasikan kepada mereka. 2. Tegaskan tanggung jawab dan wewenang. Bawahan harus diberikan informasi yang jelas tentang apa yang mereka harus pertanggung jawabkan dan bagian dari sumber daya organisasi mana yang ditempatkan dibawah wewenangnya. 3. Berikan motivasi pada bawahan. Manager dapat mendorong bawahan melalui perhatian pada kebutuhan dan tujuan mereka yang sensitif. 4. Meminta penyelesaian kerja. Manager memberikan pedoman, bantuan dan informasi kepada bawahan, sedangkan para bawahan harus melaksanakan pekerjaan sesungguhnya yang telah didelegasikan. 5. Berikan latihan. Manager perlu mengarahkan bawahan untuk mengembangkan pelaksanaan kerjanya. 6. Adakan pengawasan yang memadai. Sistem pengawasan yang terpercaya (seperti laporan mingguan dibuat agar manager tidak perlu menghabiskan waktunya dengan pekerjaan bawahan terus- menerus). 2.1.2.11 Desentralisasi Bila delegasi biasanya berhubungan dengan seberapa jauh manager mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan yang secara langsung melapor kepadanya, desentralisasi adalah konsep yang lebih luas dan berhubungan dengan seberapa jauh manajemen puncak mendelegasikan wewenang kebawahan, divisi- divisi, cabang – cabang, atau satuan – satuan organisasi tingkat lebih bawah lainnya. Atau dengan kata 23 laindesentralisasi adalah pelimpahan atau penyebaran secara meluas kekuasaan dan pembuatan keputusan ketingkatan – tingkatan organisasi yang lebih rendah. Keuntungan – keuntungan dari desentralisasi adalah sama dengan keuntungan – keuntungan delegasi, yaitu mengurangi beban manager puncak, memperbaiki pembuatan keputusan karena dilakukan dekat dengan permasalahan, meningkatkan latihan, moral, dan inisiatif manajemen bawah, dan membuat lebih fleksibel dan cepat dalam pembuatan keputusan. Desentralisasi mempunyai nilai hanya bila dapat membantu organisasi mencapai tujuannnya dengan efesien. Penetuan derajat desentralisasi sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai berikut : 1. Filsafat Manajemen. Banyak manager puncak yang sangat otoriter dan menginginkan pengawasan pusat yang pesat. Hal ini akan mempengaruhi kesediaan manajemen untuk mendelegasikan wewenangnya. 2. Ukuran dan tingkat pertumbuhan organisasi. Organisasi tidak mungkin efesien bila semua wewenang pembuatan keputusan ada pada satu atau beberapa manager puncak saja. Suatu organisasi yang tumbuh semakin besar dan kompleks, ada kecendrungan untuk menigkatkan desentralisasi. Begitu juga, tingkat pertumbuhan yang sangat cepat akan memaksa manajemen meningkatkan delegasi wewenangnya. 3. Strategi dan lingkungan organisasi. Strategi organisasi akan mempengaruhi tipe pasar, lingkungan teknologi, dan persaingan yang harus dihadapinya. Faktor – faktor ini selanjutnya akan mempengaruhi derajat desentralisasi. 4. Penyebaran geografis organisasi. Pada umumnya, semakin menyebar satuan – satuan organisasi secara geografis, organisasi akan cenderung melakukan desentralisasi, karena pembuatan keputusan akan lebih sesuai dengan kondisi lokal masing – masing. 24 5. Tersedianya peralatan pengawan yang efektif. Organisasi yang kekurangan peralatan – peralatan efektif untuk melakukan pengawasan satuan – satuan tingkat bawah akan cenderung melakukan sentralisasi bila manajemen tidak dapat dengan mudah memonitor pelaksanaan kerja bawahannya. 6. Kualitas manager. Desentralisasi memerlukan lebih banyak manager – manager yang berkualitas, karena mereka harus membuat keputusan sendiri. 7. Keanekaragaman produk dan jasa. Semakin beraneka ragam produk dan jasa yang ditawarkan, organisasi cenderung melakukan desentralisasi, dan sebaliknya semakin tidak beranekaragam lebih cenderung sentralisasi. 8. Karakteristik – karakteristik organisasi lainnya. Seperti biaya dan resiko yang berhubungan dengan pembuatan keputusan, sejarah pertumbuhan organisasi, kemampuan Manajemen bawah, dan sebagainya. 2.1.3 Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekrta yaitu “budhayah” yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” (budi atau akal).Dalam bahasa inggris kebudayaan disebut Culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata Culture juga kadang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “Kultur”. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut : 1. Melville. J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok yaitu : - Alat – alat Teknologi - Sistem Ekonomi - Keluarga - Kekuasaan Politik 25 2. Brownishaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi : - Sistem norma yang memungkinkan kerjasama antara anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam yang ada disekelilingnya. - Organisasi Ekonomi - Alat – alat dan lembaga – lembaga atau petugas – petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama). - 2.1.3.1 Organisasi Politik. Unsur – Unsur Budaya Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh para anggota organisasi, oleh karena itu ada kesamaan pandangan diantara mereka, hal ini disebut dengan budaya dominan, budaya adalah mengungkapkan nilai – nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi itu. Anggota organisasi terpecah kedalam sub – sub yang lebih kecil, dimana dalam sub – sub ini dapat terbentuk sub budaya, sub budaya adalah budaya kecil didalam organisasi yang didefinisikan menurut perancangan departemen dari pemisahan geografis. Sub budaya ini terdapat didalamnya nilai – nilai inti dari budaya dominan, nilai – nilai inti adalah nilai produk atau dominan yang di terima oleh seluruh orang dalam organisasi (Robbins, 2003, p.723). Lebih jauh lagi menurut Kreitner dan Kinicki (2000: p, 80), nilai adalah keyakinan yang dipegang teguh dan terampil dalam tingkah laku. Organisasi berusaha untuk menciptakan nilai yang akan di anut oleh para organisasinya. Nilai ini disebut dengan nilai yang mendukung (espaused value), yaitu nilai dan norma yang telah dibuat oleh organisasi. Bila nilai ini dilaksanakan oleh anggota organisasi, maka nilai ini disebut dengan nilai yang diperankan (enacted value), yaitu nilai dan norma yang dimiliki karyawan. 26 2.1.3.2 Fungsi Budaya Budaya sebagai tatanan sistem yang terus dikembangkan tentunya mempunyai fungsi. Pertama, budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. Kedua, memberikan identitas bagi anggota – anggota organisasi.Ketiga, budaya mendorong tumbuhnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang.Keempat, merupakan perekat diantara sesama anggota organisasi (Robbins, 2003, p.725). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kreitner dan Kinicki (2000, p.83-86), bahwa budaya berfungsi untuk memberikan identitas kepada anggotanya, memudahkan komitmen kolektif, mempromosikan stabilitas sistem sosial, dan membentuk perilaku dengan membantu manager merasakan keberadaannya. 2.1.3.3 Mempertahankan Budaya Budaya harus dipertahankan, tujuannya adalah agar budaya dapat menjalankan fungsi – fungsinya. Menurut Robbins (2003, p.729-734) ada beberapa cara dalam mempertahankan budaya, yaitu : 1. Seleksi Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan individu – individu yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. 2. Manajemen Puncak Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior menegakkan norma – norma yang mengalir ke bawah sepanjang organisasi. 27 3. Sosialisasi Pada saat perusahaan membantu proses adaptasi karyawan dengan budaya organisasi disebut dengan sosialisasi. Terdapat tiga tahap dalam proses sosialisasi ini, yaitu : a. Tahap prakedatangan, adalah periode pembelajaran pada proses sosialisasi yang dilakukan sebelum karyawan baru bergabung kedalam organisasi. b. Tahap keterlibatan, adalah tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan baru melihat apa yang sesungguhnya organisasi itu dan persimpangan yang mungkin dalam kenyataan yang ada. c. Tahap metamorfosis, adalah tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan baru berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja, dan organisasi. 2.1.3.4 Budaya Kuat dan Formalisasi Sebuah organisasi tentunya menginginkan setiap anggotanya untuk dapat menyerap setiap nilai dan norma budaya yang ada dan dikembangkan organisasi. Semakin mendalam dan dianut secara meluas budaya tersebut, maka budaya tersebut semakin kuat.Budaya yang kuat dapat berperan untuk menggantikan formalisasi. Formalisasi adalah nilai dan norma yang tertulis yang menjadi peraturan didalam perusahaan. Formalisasi tinggi dalam perusahaan menciptakan prediktibilitas, ketertiban, dan konsistensi, demikian halnya dengan budaya yang kuat (Robbins, 2003, p.724). Budaya yang kuat akan mendukung standar etis yang tinggi untuk menciptakan budaya yang kuat yang mendukung standar etis yang tinggi ada beberapa hal yang dapat dilakukan manajemen, menurut Robbins (2003, p.739), diantaranya : a. Jadilah model peran yang kelihatan. Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai tolak ukur untuk merancang perilaku yang tepat. Bila manajemen 28 terlihat mengambil jalur cepat yang etis, ia memberikan pesan yang positif untuk semua karyawan. Artinya pimpinan harus memberikan teladan bagi para bawahannya. b. Komunikasikanlah harapan etis. Ambiguitas etis dapat diminimalisir oleh penciptaan dan penyebaran kode etik organisasi. Kode etik tersebut harus menetapkan nilai – nilai utama organisasi dan kaidah etis yang diharapkan untuk diikuti oleh karyawan. Pemimpin atau manajemen juga harus mengkomunikasikan mana yang diinginkan organisasi dan mana yang tidak, hal ini harus jelas bagi anggota organisasi c. Berikanlah pelatihan etis. Adakanlah seminar, lokakarya, dan program – program pelatihan etis yang serupa. Gunakanlah sesi pelatihan ini untuk mendorong standar perilaku organisasi, untuk mengklarifikasi praktik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, dan untuk mengajukan dilema etis yang mungkin. Harus ada peristiwa atau kesempatan khusus dimana anggota organisasi melakukan pembelajaran terhadap budaya organisasi secara formal, bukan hanya berdasarkan pengalaman belaka. d. Berikanlah imbalan secara terang- terangan terhadap tindakan etis dan berikan hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja dari manager harus mencakup evaluasi poin demi poin tentang apakah emang keputusannya sesuai dengan kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang diambil untuk mencapai sasaran dan juga hasil itu sendiri. Perilaku orang yang bertindak etis hendaknya diberi imbalan secara terang- terangan. Yang tidak kalah penting juga, tindakan yang tidak etis harus dihukum secara kasat mata. Untuk memperkuat pemahaman anggota organisasi terhadap budaya organisasi, maka manajemen harus memberikan reward bagi mereka yang berhasil beradaptasi dengan budaya perusahaan, dan punishment bagi mereka yang tidak mau mengadaptasi budaya perusahaan. 29 e. Sediakanlah mekanisme yang bersifat melindungi. Organisasi perlu menyediakan mekanisme formal sehingga karyawan dapat membahas dilema etis dan melaporkan perilaku yang tidak etis tanpa takut ditegur. Ini mungkin mencakup pengadaan konselor etik, ombudsment, atau pejabat etik. Sediakan badan penyuluhan atau tempat bagi anggota organisasi yang merasa tidak sesuai atau tidak mampu beradaptasi dengan budaya perusahaan, carilah solusi yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. 2.1.3.5 Menanamkan Budaya Dalam Organisasi Sebuah budaya awal organisasi merupakan perkembangan dari filosofi pendirinya.Budaya asli baik yang ditanamkan maupun yang dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan situasi lingkungan sekarang. Edgar Shein, sarjana perilaku organisasi yang terkenal, mencatat bahwa menanamkan sebuah budaya melibatkan proses belajar. Karenanya, pada anggota organisasi mengajarkan satu sama lain mengenai nilai – nilai, keyakinan, pengharapan, dan perilaku yang dipilih organisasi. Menurut Kreitner dan Kinicki(2005, p.95), hal ini dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme berikut : 1. Pernyataan filosofi normal, misi, visi, nilai, dan material organisasi yang digunakan untuk Recruitment, seleksi, dan sosialisasi. 2. Slogan, bahasa, akronim, dan perkataan. 3. Pembentukan peranan secara hati- hati, program pelatihan, pengajaran, dan pelatihan oleh para manager dan Supervisor. 4. Penghargaan eksplisit, simbol status (misalnya gelar) dan kriteria promosi. 5. Cerita, legenda, dan mitos mengenai suatu peristiwa dan orang- orang penting. 6. Aktivitas, proses, atau hasil organisasi yang juga diperhatikan, diukur, dan dikendalikan pimpinan. Para karyawan cenderung memberi perhatian pada 30 penyelesaian pekerjaan yang tepat waktu ketika senior manajemen menggunakan penyelesaian pekerjaan tepat waktu untuk mengukur kualitas pelayanan pelanggan. 7. Reaksi pimpinan terhadap insiden yang kritis dan kritis organisasi. 8. Stuktur organisasi dan aliran kerja. Struktur hierarkis cenderung menanamkan orientasi terhadap pengendalian dan otoritas dibandingkan organisasi yang horizontal. 9. Sistem dan prosedur organisasi. Sebuah organisasi dapat mempromosikan prestasi dan kompetisi melalui penggunaan kontes penjualan. 10. Tujuan organisasi dan kriteria gabungan yang digunakan untuk recruitment, seleksi, pengembangan, promosi, pemberhentian, dan pengunduran diri karyawan. 2.1.3.6 Budaya Organisasi Budaya organisasi yang kuat memberikan pemahaman yang jelas kepada anggota organisasi mengenai cara menyelesaikan sebuah pekerjaan, budaya juga memberikan stabilitas kepada organisasi. Budaya organisasi menurut Schein (2006, p.3) “ Culture in a pattern of basic assumption invented, discovered, or developed by given as it learn to cope with is problem of external adaptation and internal integration- that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and fill in relation to those problem”. Yang artinya budaya adalah suatu pola konsumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan atau diwariskan kepada anggota- anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan keterkaitan dengan masalah- masalah tersebut. Budaya organisasi adalah segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam (Gea, 2005, p.325).Menurut Mathis dan Jackson (2000, p.45) 31 budaya organisasi adalah pola dari nilai – nilai dan kepercayaan yang disepakati bersama yang memberikan arti kepada anggota dari organisasi tersebut dan aturan- aturan perilaku. Menurut Robbins yang di terjemahkan oleh Benjamin Molan (2003, p.721), budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianggap oleh anggota – anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi- organisasi lain. Menurut Kreitner dan Kinicki yang diterjemahkan oleh Erly Suandy (2000, p.78), budaya organisasi adalah nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas perusahaan. Variabel- variabel dari budaya organisasi adalah (Stephen P. Robbins, 2003, p.31): 1. Sosialisasi: Lebih mengarah bagaimana suatu individu dalam perusahaan tersebut menjalin hubungan atau berinteraksi dengan rekan kerja lainnya, adapun faktor – faktor yang berpengaruh adalah: - Interaksi - Rasa Percaya 2. Bahasa: Mengarah pada penggunaan bahasa yang digunakan pada saat berinteraksi, sehingga tidak terjadi salah pengertian dalam berkomunikasi yang akan mengakibatkan terjadinya perselisihan dengan sesama rekan kerja, adapun faktor – faktor yang berpengaruh adalah: - Rasa Hormat - Kesatuan Bangsa 3. Seleksi: Mengarah kepada penyeleksian karyawan yang akan di pekerjakan, sehingga semua karyawan yang bekerja tepat pada tempatnya dengan kapasitas yang tepat pula, adapun faktor – faktor yang berpengaruh adalah : - Pengetahuan - Keterampilan 32 2.1.3.7 Hakikat Budaya Sebuah Organisasi Dalam buku Character Building IV relasi dengan dunia (Gea, 2005, p.318) ditemukan bahwa ada tujuh dimensi yang secara keseluruhan menangkap hkikat budaya sebuah organisasi. Dimensi hakikat budaya organisasi meliputi : 1. Inovasi dan mengambil resiko, yaitu tingkat dimana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan mengambil resiko. 2. Perhatian kepada detail. Tingkat dimana para karyawan diharapkan untuk menampilkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail. 3. Orientasi hasil. Tingkat dimana para manager memusatkan perhatian pada hasil – hasil bukannya pada teknik- teknik dan proses – proses yang digunakan untuk mencapai hasil – hasil itu. 4. Orientasi manusia. Tingkat dimana keputusan – keputusan manajemen memperhitungkan pengaruh hasil – hasil terhadap manusia dalam organisasi itu. 5. Orientasi Tim. Tingkat dimana kegiatan – kegiatan kerja disusun sekitar tim – tim bukan individu. 6. Agresifitas. Tingkat dimana orang bersifat agresif dan bersaing bukannya ramah dan bekerja sama. 7. Stabilitas. Tingkat dimana kegiatan – kegiatan organisasi menekankan usaha mempertahankan status quo bukan pertumbuhan. 2.1.3.8 Pengukuran Budaya Organisasi Menurut Taliziduhu (2006, p.114) ada beberapa kriteria dalam mengukur budaya organisasi yang kuat, yaitu: 1. Kejelasan nilai – nilai dan keyakinan (Clarity of Ordering) Nilai – nilai dan keyakinan yang di sepakati oleh anggota organisasi dapat ditentukan secara jelas. Kejelasan nilai – nilai ini di tentukan dalam bentuk filosofi usaha, slogan 33 atau moto perusahaan, asumsi dasar, tujuan umum perusahaan, dan prinsip – prinsip yang menjelaskan usaha.Perusahaan yang mempunyai nilai – nilai budaya yang jelas dapat memberikan pengaruh nyata dan jelas kepada perilaku anggota organisasi atau perusahaan. 2. Penyebarluasan nilai – nilai dan keyakinan (Extent of Ordering) Penyebarluasan nilai – nilai terkait dengan beberapa banyak orang atau anggota organisasi yang menganut nilai – nilai dan keyakinan budaya organisasi.Penyebarluasan nilai – nilai sangat tergantung pada sistem sosialisasi atau pewarisan yang diberikan oleh pimpinan organisasi kepada anggota – anggota organisasi khususnya anggota – anggota baru. Sistem sosialisasi atau pewarisan dapat dilakukan melalui orientasi yang menyangkut pemberian bimbingan anggota – anggota organisasi khususnya kepada anggota – anggota baru oleh pejabat – pejabat organisasi secara berjenjang atau anggota – anggota senior organisasi kepada anggota – anggota baru. Disamping itu, orientasi juga dapat dilakukan memalui pelatihan – pelatihan kepada anggota organisasi secara berkesinambungan.Keberhasilan orientasi (sosialisasi) ini sangat bergantung kepada beberapa banyak anggota organisasi yang menganut dan sekaligus mempraktekkan budaya organisasi dalam perilaku sehari – hari. 3. Intensitas pelaksanaan nilai – nilai inti (Core Values Being Intensely Held) Intensitas dimaksudkan seberapa jauh nilai – nilai budaya organisasi dihayati, dianut, dan dilaksanakan secara konsisten oleh anggota – anggota organisasi. Adakah nilai – nilai dan keyakinan budaya organisasi, dianut sepenuhnya oleh anggota organisasi atau hanya sebagian atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali. Disamping itu, intensitas juga dimaksudkan bagaimana cara organisasi atau perusahaan memperlakukan anggota – anggota organisasi (karyawan) yang secara konsekuen 34 menjalankan nilai – nilai budaya organisasi dan anggota organisasi yang hanya separuh atau sama sekali tidak menjalankan nilai – nilai budaya. 2.1.4 Motivasi 2.1.4.1 Definisi Motivasi : Menurut beberapa penulis dapat di peroleh bahwa definisi dari motivasi adalah : 1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p.210), Motivasi adalah kumpulan proses psikologis yang menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap sukarela yang mengarah pada tujuan. 2. Menurut Colquitt LePine, dan Wesson (2009, p.178), Motivasi adalah suatu kumpulan kekuatan yang energik yang mengkoordinasi didalam dan diluar diri seorang pekerja, yang mendorong usaha kerja, dalam menetukan atah, intensitas, dan kegigihan. 3. Menurut George and Jones (2005, p.175), Motivasi adalah suatu kekuatan psikologis didalam diri seseorang yang menetukan arah perilaku seseorang didalam organisasi, tingkat usaha dan kegigihan didalam menghadapi rintangan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu kumpulan proses psikologis yang memilki kekuatan didalam diri seseorang yang menyebabkan pergerakan, arahan, usaha, dan kegigihan dalam menghadapi rintangan untuk mencapai suatu tujuan. 2.1.4.2 Elemen Motivasi Menurut George and Jones (2005, p.175-176), ada tiga elemen dalam motivasi kerja dan tiga elemen tersebut adalah: arah perilaku, tingkat usaha, dan tingkat kegigihan. 35 Tabel 2.1 Elemen Motivasi Element Definition Arah Perilaku Perilaku apakah (Direction of seseorang Behavior) dalam organisasi? Example yang untuk dipilih ditunjukkan Apakah seorang Engineer memberikan waktu usahanya dan untuk meyakinkan pimpinan yang skeptis dengan untuk tujuan mengubah spesifikasi desain produk baru dengan biaya produksi yang lebih rendah Tingkat Seberapa keras Usaha (Level bekerja of Effort) perilaku yang dipilihnya? untuk seseorang menunujukkan Apakah seorang Engineer mempersiapkan laporan permasalahan dengan spesifikasi sebenarnya, atau hanya menyebutkan permasalahan ketika berpapasan dengan seorang pimpinan didalam lobby dan berharap bahwa pimpinan tersebut mengikuti akan nasihatnya dengan yakin? Tingkat Ketika menghadapi rintangan, Ketika pimpinan tidak Kegigihan jalan buntu, dan tembok batu, setuju dengan engineer- 36 (Level of Persistance) seberapa keras seseorang tetap nya mencoba bahwa perubahan dalam untuk menunjukkan perilaku baiknya? dan spesifikasi menunjukkan adalah hanya menyia – nyiakan waktu, apakah seorang engineer tersebut tetap gigih untuk dapat mengimplementasikan perubahan tersebut atau menyerah walaupun ia sangat yakin bahwa hal tersebut membutuhkan perubahan. Sumber: George and Jones (2000, p175) Arah perilaku: perilaku manakah yang dipilih seseorang untuk ditunjukkan? Dalam pekerjaan manapun, ada banyak perilaku (beberapa tepat, dan beberapa tidak tepat), dimana seorang pekerja dapat terlibat didalamnya.Arah perilaku mengacu pada perilaku yang dipilih karyawan untuk ditunjukkan dari banyak potensi, perilaku yang dapat mereka tunjukkan. Jika seorang pialang dalam perusahaan investment banking secara ilegal memanipulasi harga saham, jika seorang manager mengangkat karirnya sendiri dengan membebani bawahannya, atau jika seorang engineer meyakinkan pimpinan yang skeptis untuk mengubah spesifikasi desain dari sebuah produk baru dengan tujuan untuk menurunkan biaya produksi semua tindakan tersebut merefleksikan perilaku yang dipilih karyawan untuk ditunjukkan. 37 Sebagai contoh, karyawan dapat termotivasi dengan cara berfungsi, yang dapat menolong perusahaan dalam mencapai tujuannya, atau dengan tidak berfungsi yang menghalangi perusahaan dalam mencapai tujuannya.Dengan melihat pada motivasi, manager ingin memastikan bahwa arah perilaku bawahan mereka berfungsi bagi organisasi.Mereka ingin karyawan untuk termotivasi datang tepat waktu, melakukan tugas yang diberikan dan dapat dipercaya, datang ide – Ide baru, dan menolong sesamanya. Manager tidak ingin karyawannya untuk datang terlambat, mengabaikan aturan yang mengutamakan kesehatan dan keamanan, atau menggantikan kualitas dengan “mulut manis”. Tingkat usaha: seberapa keras seseorang bekerja untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya? Adalah tidak cukup bagi organisasi untuk memotivasi karyawannya untuk menunjukkan perilaku untuk berfungsi bagi perusahaan, organisasi juga harus memotivasi mereka untuk bekerja keras dalam perilaku ini. Sebagai contoh, seorang engineer memutuskan untuk meyakinkan pimpinan yang skeptis untuk perubahan suatu desain, level motivasi engineer tersebut menetukan seberapa jauh dia akan meyakinkan pimpinannya apakah engineer tersebut hanya menyebutkan kebutuhan akan perubahan tersebut dalam percakapan biasa, atau ia akan mempersiapkan laporan detail yang menunjukkan permasalahan tersebut dengan spesifikasi sebenarnya dan mendeskripsikan spesifikasi penurunan biaya baru yang dibutuhkan? Tingkat kegigihan: Ketika menghadapi rintangan, jalan buntu, dan tembok batu, seberapa keras seseorang tetap mencoba untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya dengan baik? Seandainya pimpinan seorang engineer menyatakan bahwa perubahan spesifikasi adalah hanya menyia – nyiakan waktu.Apakah engineer tersebut gigih mencoba untuk mendapatkan implementasi perubahan tersebut atau menyerah walawpun dia sangat percaya bahwa hal itu diperlukan? Misalnya, jika mesin pabrik dari salah seorang rusak, apakah karyawan akan berhenti bekerja dan menunggu seseorang datang untuk 38 memperbaikinya, atau ia mencoba untuk memperbaiki mesin tersebut atau paling tidak memberitahu rekan kerjanya tentang permasalahan tersebut. 2.1.4.3 Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik Menurut George and Jones (2005, p.177- 179), perbedaan yang harus diperhatikan dalam mendiskusikan motivasi adalah perbedaan antara sumber motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik. Perilaku dengan Motivasi Intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk kepentingannya sendiri, dengan kata lain sumber motivasi biasa datang dari penunjukan perilaku itu sendiri. Seorang pemain violin profesional yang menikmati bermain didalam orkestra tanpa menghiraukan bayaran yang relatif rendah dan seorang CEO yang menghabiskan 12 jam kerja karena mereka menikmati pekerjaan mereka, dan itu adalah motivasi Intrinsik. Perilaku dengan Motivasi Ekstrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk memperoleh materi atau penghargaan sosial atau untuk menghindari hukuman.Perilaku tersebut ditunjukkan bukan untuk kepentingannya sendiri tetapi lebih kepada konsekuensinya. Contoh dari motivasi Ekstrinsik termasuk bayaran, pujian, status, dan lainlain. Seorang karyawan dapat termotivasi secara ekstrinsik, termotivasi secara intrinsik, atau keduanya.Ketika karyawan lebih terutama termotivasi secara ekstrinsik dan melakukan pekerjaan itu sendiri tidak merupakan sumber motivasi, sangat penting bagi organisasi dan manager untuk membuat hubungan yang jelas antara perilaku yang diinginkan perusahaan untuk dilakukan karyawan dan hasil atau penghargaan yang diinginkan karyawan. Ada hubungan antara motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik dengan nilai kerja Intrinsik dan Ekstrinsik.Karyawan yang memiliki nilai kerja intrinsik ingin menantang pencapaian, kesempatan untuk membuat kontribusi dalam pekerjaan mereka dan perusahaan, dan 39 kesempatan untuk mencapai seluruh potensinya ditempat kerja. Karyawan dengan nilai kerja ekstrinsik menginginkan beberapa dari konsekuensi kerja, misalnya menghasilkan uang, mendapatkan status dalam sebuah komunitas, kontak sosial, dan waktu bebas dari pekerjaan untuk waktu keluarga dan bersantai. Hal ini memberikan alasan bahwa karyawan dengan nilai kerja intrinsik yang kuat biasanya akan termotivasi secara intrinsik ditempat kerja dan mereka yang memilki nilai kerja ekstrinsik akan termotivasi secara ekstrinsik. 2.1.4.4 Maslow’s hierarchy of needs (teori kebutuhan hierarki Maslow) Menurut Hellrigel dan Slocum (2004, p.119), ada beberapa hal yang merupakan alasan dasar dari hirarki Maslow: - Sekali suatu kebutuhan terpuaskan, kepentingan peran motivasionalnya menurun. Bagaimanapun, setelah satu kebutuhan terpuaskan, kebutuhan lain pada tingkat yang lebih tinggi muncul untuk mengambil alih, jadi orang selalu memuaskan kebutuhannya. - Jaringan kebutuhan untuk kebanyakan orang sangat kompleks, dengan beberapa kebutuhan yang mempengaruhi kebutuhan didalam satu waktu jelas bahwa, ketika seseorang berhadapan dengan situasi darurat, seperti rasa haus yang amat sangat, kebutuhan tersebut akan mendominasi sampai terpuaskan. - Kebutuhan pada level yang lebih rendah harus dipuaskan, sebelum kebutuhan pada level yang lebih tinggi diaktifkan untuk mempengaruhi perilaku. - Ada lebih banyak cara untuk memuaskan kebutuhan pada level yang lebih tinggi daripada level yang lebih rendah. Menurut George and Jones (2005, p.179- 183), seorang psikolog Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 kebutuhan universal yang mereka cari untuk dipuaskan: kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan rasa penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan – kebutuhan ini dan bagaimana 40 mereka dapat dipuaskan, dijelaskan dalam tabel berikut ini. Maslow menunjukkan bahwa kebutuhan – kebutuhan ini dapat diatur dalam kepentingan hierarki dengan kebutuhan paling dasar.Fisiologi dan rasa aman dipaling dasar.Dua kebutuhan ini harus dipuaskan sebelum individu mencari untuk memuaskan yang lebih tinggi dalam hierarkinya.Maslow juga menyatakan bahwa setelah suatu kebutuhan terpuaskan, maka tidak lagi adanya sumber motivasi. Tabel 2.2 Kebutuhan Hierarki Maslow Need Level Description Self actualization (Highestlevel needs) Needs to realize one’s full potensial as a human being Examples of how needs are meet or satiffied By using one’s skills and abilities to the fullest and striving to achieve all that one can on a job Esteem needs Needs to feel good about oneself and one’s capabilities, to be respected by others, and to receive recognition and appreciation By receiving promotions at work and being recognized for accomplishments on the job Belongness needs Needs for social interaction, friendship, affection, and love By having good relations with co- workers and supervisors, being a member of a cohesive work group, and participating in social functions such as company picnics and holiday parties Safety needs Needs for security, stability, and safe environment By receiving job security, adequate medical benefits, and safe working conditions Physiological needs (Lowestlevel needs Basic needs for things such as food, water, and shelter that must be met in order for an individual to survive By receiving a minimum level of pay that enables a worker to buy food and clothing and have aduquate housing 41 Berdasarkan teori Maslow kebutuhan yang tidak terpuaskan adalah motivator utama dari perilaku, dan kebutuhan yang berada pada level terendah dari hierarki akan didahulukan sebelum level yang lebih tinggi diwaktu tertentu, bagaimanapun, hanya satu jenis kebutuhan yang memotivasi terjadinya perilaku, dan hal ini tidak mungkin melompati level tertentu. Setelah seorang individu memuaskan satu jenis kebutuhannya, ia akan mencoba untuk memuaskan kebutuhan pada level berikutnya dalam hierarki, dan level ini akan menjadi fokus motivasi. Dengan menspesifikasi kebutuhan yang berkontribusi pada motivasi, teori Maslow membantu manager menentukan apa yang akan memotivasi seorang karyawan. Pelajaran yang sederhana namun penting dari teori Maslow adalah karyawan berbeda – beda dalam kebutuhannya dan mencoba memuaskannya ditempat kerja, dan apa yang memotivasi seorang karyawan mungkin tidak memotivasi yang lainnya. Hal yang dapat kita simpulkan adalah untuk memperoleh pekerja yang termotivasi, manager harus mengidentifikasi kebutuhan manakah yang sedang dicari untuk dipuaskan seorang karyawan ditempat kerja, dan setelah kebutuhan – kebutuhan itu dipenuhi, manager harus memastikan bahwa kebutuhan tersebut tepenuhi jika karyawan tersebut menunjukkan perilaku- perilaku tersebut. 2.1.4.5 Hubungan Motivasi dan Kinerja Menurut George and Jones (2005, p. 177), kinerja adalah evaluasi dari hasil perilaku seseorang, termasuk menetukan seberapa baik atau buruk seseorang menyelesaikan pekerjaannya. Motivasi adalah salah satu faktor diantara banyak faktor yang berkontribusi terhadap kinerja karyawan. Kesimpulannya, karena motivasi hanya satu dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja, maka motivasi yang tinggi tidak selalu menghasilkan kinerja yang tinggi.Sebaliknya, kinerja yang tinggi tidak menunjukkan bahwa motivasi tinggi, karyawan 42 yang memiliki motivasi rendah dapat menunjukkan kinerja yang tinggi jika mereka memilki kemampuan yang tinggi pula.Manager harus barhati – hati untuk tidak otomatis menyimpulkan penyebab kurangnya kinerja karena kurangnya motivasi, atau penyebab tingginya kinerja karena tingginya motivasi. 2.1.5 Etnosentris Etnosentrisme adalah kecenderungan yang menilai budaya sendiri lebih baik daripada budaya lainnyadan hanya melalui sudut pandang budaya sendiri.Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami.Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif.Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan.Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi. 2.1.5.1 Tipe Etnosentris Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan 43 tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.Lawan dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama. Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati, manusia humanis.Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan.Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian. 2.1.5.2 Pandangan Etnosentrisme Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ini patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional.Dalam hal ini etnosentrisme fleksibelah yang harus dikembangkan.Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung dengan baik.Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan.Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian. Manusia di seluruh belahan bumi meyakini bahwa cara hidup mereka (in-group) adalah baik dan bermanfaat.Mereka menganggap bahasa mereka dan pemandangan di daerah mereka sebagai sesuatu yang indah.Pakaian mereka sopan, makanan mereka enak dan rumah mereka adalah tempat perlindungan yang baik.Orang asing (out-group) terlihat jelek, pakaiannya aneh, makanannya tidakenak, bahasanya buruk dan bahkan tempat tinggal mereka terlihat menakutkan. Ketika terjadi kontak atau hubungan antara satu kelompok dengan kelompok lain, maka akan muncul beberapa proses spesifik yang biasanya 44 melibatkan perbedaan antara in-group kelompok dimana individu menjadi anggota dan out– groupkelompok dimana individu tidak menjadi anggota. In-group adalah sekelompok orang yang bersama – sama berbagi suatu perasaan saling memiliki, suatu perasaan identitas bersama. Out-group adalah suatu kelompok yang dianggap berbeda atau terpisah dari in–group. Dalam hubungan antar kelompok, keadaan in- group dan out–group dapat menimbulkan in–group bias. In–group bias adalah pengistimewaan suatu kelompok dimana individu berada. Pengistimewaan seperti itu dapat terlihat dalam: 1. Rasa suka terhadap in–group, atau 2. Rasa tidak suka terhadap out–group, atau kombinasi keduanya. Dalam kehidupan sehari-hari, in–group bias dapat dilihat melalui kecenderungan orang untuk berinteraksi dengan anggota dari kelompok mereka sendiri.Tekanan antara in– group dan out-group sering memperjelas batasan – batasan mereka dan memberi suatu perasaan yang jelas tentang identitas sosial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anggota in–groupakan membentuk pandangan positif tentang diri dan kelompok mereka dan secara tidak adil membentuk pandangan negatif terhadap berbagai kelompok out–group. Perasaan yang berhubungan dengan in–group dan out–group disebut dengan etnosentrisme. Dalam hubungan antar kelompok, pandangan dari suatu kelompok (in–group) sering kali dijadikan tolak ukur untuk menilai out-group. Kesimpulan dari peneliti menyatakan bahwa etnosentrisme adalah sikap yang menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan norma yang ada dalam kebudayaannya, etnosentrisme juga memilikin arti kecenderungan individu dalam menilai kebudayaan sendiri sebagai yang terbaik dan menggunakan norma kebudayaannya sebagai tolak ukur. Etnosentrisme menimbulkan prasangka terhadap kelompok etnis lain. Beberapa pendapat ahli mengatakan bahwa etnosentrisme adalah suatu keadaan biasa dan merupakan gejala sosial yang terdapat pada semua golongan, keluarga, geng-geng, klik-klik, dan 45 kelompok persaudaraan. Etnosentrisme mengacu pada suatu kepercayaan bahwa in–group lebih baik atau superior daripada out–group. Hal ini dapat mempengaruhi evaluasi yang dilakukan anggota kelompok tersebut sebagai individu. Secara informal, etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik. Orang yang etnosentrik akan menganggap sesuatu yang familiar adalah baik dan yang unfamiliar atau asing adalah buruk. Pada beberapa tingkatan, etnosentrisme sulit dihindari baik secara formal maupun secara informal.Etnosentrisme dapat berdampak positif dan negatif.Dampak positif dari etnosentrisme yaitu dapat digunakan untuk mempertebal kesetiaan seseorang terhadap kelompoknya dan juga untuk meningkatkan moral, patriotisme dan nasionalisme mereka.Sedangkan dampak negatifnya adalah terhambatnya perubahan – perubahan didalam masyarakat yang bersifat positif bagi para anggota masyarakatnya.Karena ide – ide dari luar selalu dicurigai atau dianggap salah maka persoalan masyarakat yang seharusnya mudah dipecahkan menjadi sulit untuk diselesaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etnosentrisme merupakan konsep hubungan sosial antara anggota dengan pihak luar kelompok. Hubungan sosial tersebut biasanya akan lebih banyak dilakukan antar anggota daripada dengan pihak luar. Karena itu, orang yang mempunyai sikap etnosentrik yang tinggi akan lebih banyak berhubungan dengan sesama anggota dibanding dengan orang di luar kelompok. Hal itu disebabkan oleh konsep etnosentrisme yang mengandung dimensi sikap yang positif dan negatif.Sikap positif adalah unsur kebanggaan terhadap kelompoknya, sedangkan sikap negatif adalah anggapan bahwa kelompok luar lebih rendah. Definisi sikap etnosentrik dapat disimpulkan sebagai suatu sikap yang memandang kebudayaan kelompoknya lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain sehingga membatasi anggotanya dalam melakukan hubungan sosialnya. Sikap etnosentrik dapat dilihat melalui kecenderungan tindakan individu dari aspek bahasa, kerjasama dan pergaulan sehari – hari.Hubungan komposisi kelompok dengan sikap 46 etnosentrik sikap etnosentrik pada diri individu tidak muncul dengan sendirinya.Pembentukan sikap pada diri individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, faktor yang mempengaruhinya adalah pembentukan sikap yang dipengaruhi oleh orang tua dan kelompok teman sebaya (peer group). Sikap individu terhadap berbagai hal berkembang sejalan dengan interaksi dengan individu lain, termasuk kelompok teman sebaya. Manusia dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial selalu merupakan bagian dari kelompok dan selalu berinteraksi dalam kelompok kelompok teman sebaya merupakan salah satu bentuk kelompok, yang cukup berpengaruh dalam kehidupan individu termasuk mempengaruhi cara berperilaku, berpikir, perspektif terhadap diri sendiri dan dunia. Peer group diartikan sebagai sekelompok kecil teman yang sama-sama memiliki nilai, minat dan kegiatan bersama. Peer group juga mempengaruhi pembentukan sikap individu.Sejalan dengan perubahan – perubahan dalam masyarakat yang mengakibatkan peningkatan taraf interdependen antar individu, kelompok, organisasi, komunitas dan masyarakat.Semakin interdependen masyarakat, maka semakin beragam keanggotaan dalam kelompok.Keragaman itu dapat muncul dari karakteristik personal atau kemampuan dan ketrampilan individu. Hal ini menyebabkan terjadinya homogenitas dan heterogenitas kelompok dimana semakin beragam anggota dalam suatu kelompok maka kelompok tersebut akan semakin heterogen. Homogenitas – heterogenitas kelompok akan mempengaruhi interaksi antar anggotanya, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap pada diri individu. Kecenderungan individu yang menjadi anggota suatu kelompok yang heterogen untuk dapat berinteraksi dengan individu dari etnis yang berbeda lebih besar dibandingkan dengan individu yang menjadi anggota suatu kelompok yang homogen. Maka keanggotaan 47 individu dalam kelompok masyarakat yang berbeda dalam hal homogenitas – heterogenitas akan mempengaruhi sikap etnosentrik individu. 2.1.6 Keberhasilan Bisnis 2.1.6.1 Konsep Keberhasilan Bisnis Seperti yang kita ketahui bahwa keberhasilan tidak mungkin diraih dengan begitu saja, tetapi harus melalui beberapa tahapan. Menurut Suryana (2001:38-39) mengemukakanbahwa untuk menjadi wirausaha atau pengusaha yang sukses pertama – tama harus memiliki ide atau visi bisnis (business vision) kemudian ada kemauan dan keberanian untuk adalah dengan membuat perencanaan usaha, mengorganisasikan dan menjalankanya. Menurut Waridah dalam jurnalnya yang diterjemahkan Lindrayanti (2003) “keberhasilan bisnis yaitu adanya peningkatan kegiatan bisnis yang dicapai oleh para pengusaha industri kecil, baik dari segi peningkatan laba yang dihasilkan dicapai oleh pengusaha dalam kurun waktu tertentu”. MenurutSukere (1983) dalam jurnalnya untuk mengukur keberhasilan industri dapat dilakukan dengan menggunakan evaluasi yang meliputi : 1. Evaluasi terhadap laporan keuangan, dengan jalan mengukur tingkat likuiditas, solvabilitas, aktivitas, dan rentabilitas. 2. Pemasaran, dengan objek evaluasi daerah penjualan, volume penjualan, distribusi, promosi, dan kebijakan harga. 3. Produksi, dengan objek evaluasi mutu produksi, kapasitas mesin, persediaan bahan baku, barang setengah jadi, dan desain. 4. Administrasi akuntansi, dengan objek evaluasinya adalah catatan – catatan akuntansi. 5. Manajemen, dengan objek evaluasinya adalah rencana dan struktur organisasi. 48 6. Kepegawaian, objek penelitiannya adalah penarikan tenaga kerja, pendidikan dan latihan, penempatan, system upah dan perputaran tenaga kerja. 2.1.6.2 Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Keberhasilan Bisnis Dewasa ini persaingan dan perkembangan dunia usaha semakin kuat dan tajam sehingga untuk meningkatkan usaha diperlukan penanganan yang serius dari setiap pengusaha untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain. Dimana untuk meningkatkan keberhasilan usaha salah satu upaya yang harus dilakukan yaitu dengan meningkatkan sumber daya internal.Dan diantara sumber daya internal yang paling penting adalah perilaku kewirausahaan. Menurut Yuyun Wirasasmita (2003) dalam jurnalnya, “bahwa faktor internal yang paling penting dalam mempengaruhi keberhasilan usaha adalah kewirausahaan dan manajerial, keberhasilan usaha atau dunia bisnis sangat tergantung pada kemampuan manajerial dan kewirausahaan, pemimpin perusahaan tersebut memanfaatkan peluang dan mengelola semua sumber secara optimal dan produktif”. Sebab itu perilaku kewirausahaan mutlak dikembangkan melalui pendidikan, latihan.lokakarya , dan kesempatan – kesempatan memperoleh wawasan yang lebih luas. Jika seorang pengusaha telah memiliki perilaku kewirausahaan maka pengusaha itu telah menyakini perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, ditunjang dengan kreativitas, keinovasian, dan berani mengambil risiko. Dengan sendirinya tujuan yang hendak dicapai akan terpenuhi. Berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku kewirausahaan berpengaruh dalam menentukan keberhasilan usaha.Sehingga para pengusaha dalam meningkatkan usahanya dituntut untuk memiliki perilaku kewirausahaan. 49 2.1.6.3 Faktor Penghambat Keberhasilan Bisnis Adapun faktor yang menghambat keberhasilan bisnis dalam menjalankan usahanya, diantaranya : 1. Tidak kompeten dalam menajerial. Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang membuat perusahaan kurang berhasil. 2. Kurang berpengalaman baik dalam kemampuan teknik, kemampuan memvisualisasikan usaha, kemampuan mengkoordinasikan, keterampilan mengelola sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi usaha. 3. Kurang dapat mengendalikan keuangan. Agar perusahaan dapat berhasil dengan baik faktor yang utama dalam keuangan adalah memerihara aliran kas. Mengatur pengeluaran dan penerimaan secara cermat. Kekeliruan dalam memelihara aliran kas akan menghambat operesional perusahaan dan mengakibatkan perusahaan tidak lancar. 4. Gagal dalam perencanaan. Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan, sekali gagal dalam perencanaan maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan. 5. Lokasi yang kurang memadai. Lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien. 6. Kurangnya pengawasan peralatan. Pengawasan erat kaitannya dengan efisiensi dan efektivitas. Kurang pengawasan dapat mengakibtkan penggunaan alat tidak efisien dan tidak efektif. 7. Sikap yang kurang sunguh – sungguh dalam berusaha. Sikap yang setengah – setengah terhadap usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal menjadi basar. 50 8. Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan atau transisi kewirausahaan. Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, tidak akan menjadi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan setiap waktu. 2.1.7 Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan terhadap Keberhasilan Bisnis Berdasarkan jurnal Akbar Ariansyah (2001) yang berjudul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Kultur Organisasi terhadap komunikasi dalam tim audit”, dapat disimpulkan bahwa Gaya Kepemimpinan dan Kultur Organisasi merupakan dua faktor yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan keberhasilan bisnis dalam mencapai tujuan. 2.1.8 Pengaruh Budaya terhadap Keberhasilan Bisnis Berdasarkan Dr. Djokosantoso Moeljono (2005)dalam kutipan bukunya, bahwa, “Budaya organisasi mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam suatu perusahaan”. Dapat disimpulkan bahwa budaya dapat menetukan keberhasilan bisnis 2.1.9 Pengaruh Motivasi terhadap Keberhasilan Bisnis Berdasarkan Ricky W. Griffin and Ronald (2007) dalam kutipan bukunya bahwa, “Motivasi karyawan merupakan faktor yang bahkan lebih penting bagi keberhasilan perusahaan”.Dapat disimpulkan bahwa motivasi dapat menentukan keberhasilan bisnis. 2.1.10 Pengaruh Etnosentris terhadap Keberhasilan Bisnis Berdasarkan Mc Graw Hill dalam kutipan bukunya, bahwa “Etnosentris termasuk beberapa hal yang mendukung atau faktor penunjang dalam menentukan keberhasilan bisnis.Dapat disimpulkan bahwa Etnosentris dapat menetukan keberhasilan bisnis. 51 2.2 Kerangka Pemikiran Kepemimpinan (X1) Budaya (X2) Keberhasilan Bisnis (Y) Motivasi (X3) Etnosentris (X4) Sumber: Penulis 52 2.3 Hipotesis Menurut Sugiyono (2007,p51), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan, sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, namun belum didasarkan pada fakta – fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian. Hipotesis dari penelitin ini berdasarkan rumusan masalah, yaitu: 1. H1: Gaya Kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis. 2. H2 : Budaya berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis. 3. H3 : Motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis. 4. H4 : Etnosentris berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis. 5. H5 : Gaya Kepemimpinan, Budaya, Motivasi, dan Etnosentris berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis.