BAB 2 LANDASAN TEORIdan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORIdan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Kepemimpinan
Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan
kerja, kesulitan
kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi.Untuk
mencapai semua itu seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dan keterampilan
kepemimpinan dalam melakukan pengarahan pada bawahannya untuk mencapai tujuan
suatu organisasi.
Menurut Rivai (2004, p.2) Kepemimpinan (Leadership) adalah proses mempengaruhi
atau memberi contoh kepada pengikut pengikutnya lewat proses komunikasi dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
Menurut Werren Bennis (2004, p.74) Kepemimpinan adalah kapasitas untuk
menerjemahkan visi dalam realita. Dengan kata lain kepemimpinan berarti turut melibatkan
orang lain dan lebih mengutamakan visi diatas segalanya, baru kemudian pada langkah
pelaksanaannya.
Menurut Hughes (2002, p.32) Kepemimpinan berarti mempengaruhi orang- orang
lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi
pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi,
menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman,
restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang
pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk
meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi.
Jadi, kesimpulan yang bisa diambil dari pengertian kepemimpinan itu adalah proses
yang mempengaruhi atau memberi contoh kepada pengikut – pengikutnya lewat proses
7 8 komunikasi serta tindakan dalam upaya mencapai tujuan organisasi, serta dapat
mempengaruhi pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi
keberhasilan suatu tujuan tersebut.
2.1.2
Gaya Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan adalah suatu norma perilaku yang digunakan oleh seseorang
pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat
(Thoha, 2003, p.303)
Menurut Hersey dan Blanchard (2004, p.114), Gaya Kepemimpinan terdiri dari
kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perilaku tugas dimaksudkan sebagai kadar
upaya pemimpin mengorganisasi dan menetapkan peranan anggota kelompok (pengikut),
menjelaskan aktivitas
setiap anggota serta
kapan,
dimana,
dan
bagaimana
cara
menyelesaikannya, dicirikan dengan upaya menetapkan pola organisasi, saluran komunikasi
dan cara penyelesaian pekerjaan secara rinci dan jelas. Sedangkan perilaku hubungan
merupakan kadar upaya pemimpin membina hubungan pribadi diantara mereka sendiri dan
dengan para anggota kelompok mereka (pengikut) dengan membuka saluran komunikasi
dan menyediakan dukungan sosio emosi, psikologis, dan pemudahan perilaku.
Dari penjelasan – penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan
adalah perilaku yang dilakukan dan ditunjukkan oleh seorang pemimpin didalam memberikan
pengarahan dan bimbingan terhadap bawahannya dengan rasa mempercayai bawahan juga
memuat bagaimana cara pemimpin bekerja sama dengan bawahannya dalam mengambil
keputusan, pembagian tugas dan wewenang, bagaimana cara berkomunikasi dan
berinteraksi dan bagaimana hubungan yang tercipta diantara pemimpin dan bawahannya
tersebut.
9 2.1.2.1
Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan
Tanggung jawab kepemimpinan menurut Ranupandojo dengan mengutip pendapat
Miljus (2001, p.218), menyatakan bahwa tanggung jawab pemimpin :
a. Menetukan tujuan pelaksanaan kerja realitas (dalam arti kuantitas, kualitas,
keamanan, dan sebagainya).
b. Melengkapi para karyawan dengan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan
tugasnya.
c.
Mengkomunikasikan pada karyawan tentang apa yang diharapkan oleh mereka.
d. Memberikan susunan imbalan atau hadiah yang sepadan untuk mendorong prestasi.
e. Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi apabila
memungkinkan.
f.
Menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaan yang efektif.
g. Menilai pelaksanaan pekerja dan mengkomunikasikan hasilnya.
h. Menunjukkan perhatian kepada bawahan, yang penting dalam hal ini adalah
tanggung jawab dalam memadukan seluruh kegiatan dan mencapai tujuan
organisasi tersebut secara harmonis, sehingga tercapainya tujuan organisasi yang
efektif dan efisien.
2.1.2.2
Ciri – Ciri Indikator Kepemimpinan
Menurut Davis yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2003, p.290-291), ciri
– ciri utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah :
1. Kecerdasan (Intelligence)
2. Penelitian penelitian pada umunya menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang
mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari pada pengikutnya, tetapi
tidak sangat berbeda.
3. Kedewasaan, sosial dan hubungan sosial yang luas (Social Maturity and Breadht)
10 4. Pemimpin cenderung, mempunyai emosi yang stabil dan dewasa serta matang,
serta mempunyai kegiatan dan perhatian yang luas.
5. Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi.
6. Pemimpin secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang
tinggi, mereka bekerja keras lebih untuk nilai intrinsik.
7. Sikap – sikap hubungan manusiawi
8. Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikut
pengikutnya,
mempunyai
perhatian
yang
tinggi
dan
berorientasi
pada
bawahannya.
9. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus
mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari pada bawahannya dan
mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi pula.
Di samping itu untuk melihat gaya kepemimpinan seorang pemimpin dapat dilihat
melalui indikator tersebut.
Menurut Siagian (2002, p.121), beberapa indikator dapat dilihat sebagai berikut :
-
Iklim saling mempercayai
-
Penghargaan terhadap ide bawahan
-
Memperhitungkan perasaan para bawahan
-
Perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan
-
Perhatian pada kesejahteraan bawahan
-
Memperhitungkan faktor kepuasan kerja para bawahan dalam menyelesaikan
tugas - tugas yang dipercayakan kepadanya
-
Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan profesional
11 2.1.2.3
Peranan Kepemimpinan
Menurut pendapat Stodgill, yang dikutip oleh Sugandha (2001, p.99), beberapa
peranan yang harus dimiliki :
1. Integration,yaitu tindakan - tindakan yang mengarah pada peningkatan
koordinasi.
2. Communication, yaitu tindakan – tindakan yang mengarah pada meningkatnya
saling pengertian, penyebaran informasi (Transmission of Information).
3. Product Emphasis, yaitu tindakan – tindakan yang berorientasi pada volume
pekerjaan yang dilakukan.
4. Fraternization, yaitu tindakan – tindakan yang menjadikan pemimpin bagian dari
kelompok.
5. Organization, yaitu tindakan – tindakan yang mengarah pada perbedaan dan
penyesuaian dari pada tugas - tugas.
6. Evaluation, yaitu tindakan – tindakan yang berkenaan dengan pendistribusian
ganjaran- ganjaran atau hukuman - hukuman.
7. Innitation, yaitu tindakan - tindakan yang menghasilkan perubahan - perubahan
pada kegiatan organisasi.
8. Domination, yaitu tindakan – tindakan yang menolak pemikiran pemikiran
seseorang atau anggota kelompok.
2.1.2.4
Tipe Gaya Kepemimpinan
Secara relatif ada 3 macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu Otokratis,
Demokratis, Laissez-Faire.Kebanyakan manager menggunakan ketiganya pada sewaktu –
waktu, tetapi gaya yang paling sering digunakan akan dapat dipakai untuk membedakan
seorang manager sebagai pemimpin yang Otokratis, Demokratis, atau Laissez-Faire. Menurut
12 White dan Lippid yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2001, p.298),
mengemukakan 3 tipe Kepemimpinan, yaitu antara lain :
1. Otokratis
a. Semua penetuan kebijaksanaan dilakukan oleh pemimpin.
b. Teknik – teknik dan langkah – langkah yang diatur oleh atasan setiap waktu,
sehingga langkah – langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk tingkat
yang luas.
c.
Pemimpin biasanya mendikte tugas kerja bagian dan kerja bersama setiap
anggota.
d. Pemimpin cenderung menjadi “pribadi” dalam pujian dan kecamannya terhadap
kerja setiap anggota, mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila
menunjukkan keahliannya.
2. Demokratis
a. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil
dengan dorongan dan bantuan dari kelompok.
b. Kegiatan – kegiatan didiskusikan, langkah – langkah umum untuk tujuan
kelompok dibuat dan bila dibutuhkan petunjuk – petujuk teknis, pemimpin
menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
c.
Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian
tugas ditentukan oleh kelompok.
d. Pemimpin adalah objektif atau “Fack- Mainded”. Dalam pujian dan kecamannya
dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat
tanpa melakukan banyak pekerjaan.
3. Laissez- Faire
a. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu, dengan partisipasi
minimal dari pemimpin.
13 b. Bahan – bahan yang bermacam – macam disediakan oleh pemimpin yang
membuat orang selalu siap bila dia akan memberikan informasi pada saat
ditanya. Tidak mengambil bagian dari diskusi kerja.
c.
Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penetuan tugas.
d. Kadang- kadang memberi komentar sponsor terhadap kegiatan anggota atau
pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian.
Menurut W.J.Reddin dalam artikelnya What Kind of Manager, dan dikutip oleh
Wahjosumidjo (Dep.P&K, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai 1982) sebagaimana
dikutip oleh Kartini Kartono (2006, p.34), menetukan watak dan tipe pemimpin atas 2
pola dasar, yaitu :
-
Berorientasi pada tugas (Task Orientation)
-
Berorientasi hubungan kerja (Relationship Orientation)
2.1.2.5
Syarat- Syarat Kepemimpinan
Seorang pemimpin bukanlah hanya seorang yang dapat memimpin saja, tetapi harus
dikembangkan lagi yaitu kemampuan dan kualitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin itu
sendiri, salah satu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah syarat – syarat
kepemimpinan yang akan dikemukakan oleh Kartono (2002, p.31), bahwa kemampuan
pemimpin dan syarat yang harus dimiliki adalah :
1.
Kemandirian,
berhasrat
untuk
melakukan
tindakan
secara
individual
(Individualisme).
2.
Besarnya rasa keingintahuan, untuk mengetahui sesuatu yang belum dia
ketahui.
3.
Multi terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam.
4.
Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan.
5.
Perfeksionis, serta ingin mendapatkan yang sempurna.
14 6.
Mudah menyesuaikan diri, adaptasi tinggi.
7.
Sabar namun ulet.
8.
Waspada, peka, jujur, optimis, berani, gigih, dan realistis.
9.
Komunikatif serta pandai berbicara atau berpidato.
10. Berjiwa wiraswasta.
11. Sehat jasmani, dinamis, sanggup dan suka menerima tugas yang berat, serta
berani mengambil resiko.
12. Tajam firasatnya, tajam dan adil pertimbangannya.
13. Berpengetahuan luas dan haus akan ilmu pengetahuan.
14. Memiliki motivasi tinggi, dan menyadari target atau tujuan hidupnya yang ingin
dicapai, dibimbing idealisme tinggi.
15. Punya imajinasi tinggi, gaya kombinasi dan daya inovasi.
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal adalah
pemimpin yang berpengetahuan luas, adil, jujur, optimis, gigih, ulet, bijaksana, mampu
memotivasi diri sendiri, memiliki hubungan baik dengan bawahan dimana semua ini diperoleh
dari pengembangan kepribadiannya, sehingga seorang pemimpin memiliki nilai tambah
tersendiri dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin.
2.1.2.6
Profesional
Pengertian secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan
seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing –
masing.Almasdi (2000, p.100). Selanjutnya Pamuji (2000, p.20-21), mengartikan orang yang
profesional memiliki atau dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan – kegiatan
diantaranya
pelayanan
publik
dengan
mempergunakan
keahliannya
itu,
sehingga
menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik mutunya, lebih cepat prosesnya, mungkin
lebih bervariasi yang kesemuanya mendatangkan kepuasan pada masyarakat.
15 Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya.Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak
profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya secara baik dan benar (MenPAN, 2002, p.25), yang dimaksud dengan profesional
adalah kemampuan, keahlian, atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu yang
ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama sehingga hasil
kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima oleh masyarakat (MenPAN, 2002, p.14).
Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (2001, p.206-207), bahwa manusia
profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki keahlian serta kemampuan
mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat dengan
memperoleh pujian. Ekspresi keahlian tersebut tampak dalam perilaku analis dan keputusan
– keputusannya. Demikian hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan
mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan
keberhasilannya,
dan
menjadi
sumber
bagi
peningkatan
produksi,
pertumbuhan,
kemakmuran, dan kesejahteraan baik dari individu, pemilik profesi maupun masyarakat
lingkungannya.
Menurut Affandi (2002, p.88-89), ada 4 ciri – ciri yang bisa ditengarai sebagai
petunjuk indikator untuk melihat tingkat profesionalitas seseorang, yaitu :
-
Penguasaan ilmu pengetahuan seseorang dibidang tertentu, dan ketekunan
mengikuti perkembangan ilmu yang dikuasai.
-
Kemampuan seseorang dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, khususnya yang
berguna bagi kepentingan sesama.
-
Ketaatan dalam melaksanakan dan menjunjung tinggi etika, keilmuan, serta
kemampuannya untuk memahami dan menghormati nilai – nilai sosial yang berlaku
dilingkungannya.
16 -
Besarnya rasa tanggung jawab terhadap Tuhan, bangsa dan negara, masyarakat,
keluarga, serta diri sendiri atas segala tindak lanjut dan perilaku dalam
mengembangkan tugas berkaitan dengan penugasan dan penerapan bidang ilmu
yang dimiliki.
2.1.2.7
Profesionalisme
Istilah profesionalisme sudah dikenal luas dikalangan masyarakat.Namun menurut
Almasdi (2000, p.99), pengertian yang muncul dalam masyarakat umum seolah – olah hanya
teruntuk bagi personil tingkat manajer, sedangkan sesungguhnya istilah profesional itu
berlaku untuk semua personil dari tingkat atas sampai ketingkat paling bawah.
Muins (2000, p.45), menyatakan bahwa profesionalisme didunia kerja bukan sekedar
ditandai oleh penguasaan IPTEK saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh cara memanfaatkan
IPTEK itu serta tujuan yang dicapai dengan pemanfaatannya itu. Seorang profesional harus
dapat :
1. Memberi makna dan menempatkan IPTEK itu dapat memberikan manfaat yang
maksimal bagi dirinya sendiri, maupun organisasi atau perusahaan dimana ia bekerja
serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
2. Mencerminkan sikap dan jati diri terhadap profesinya dengan kesungguhan untuk
mendalami, menguasai, menerapkan, dan bertanggung jawab atas profesinya.
3. Memiliki sifat intelektual serta mencari dan mempertahankan kebenaran.
4. Mengutamakan dan mendahulukan pelayanan yang maksimal diatas imbalan jasa,
tetapi tidak berarti bahwa jasa diberikan tanpa imbalan.
Sedangkan Poerwopoespito dan Utomo (2000, p.266), mengatakan bahwa
profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama
dalam hidup seseorang.Orang yang menganut faham profesionalisme selalu menunjukkan
sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya.
17 Profesionalisme sangat ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam melakukan
suatu pekerjaan menurut bidang tugas dan tingkatannya masing – masing.Hasil dari
pekerjaan itu ditinjau dari segala segi sesuai porsi, objek, bersifat terus – menerus dalam
situasi dan kondisi yang bagaimana pun serta jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang
relatif singkat (Suit Almasdi, 2000, p.99).
Hal
diatas
dipertegas
kembali
oleh
Thoha
(2000,
p.1),
bahwa
untuk
mempertahankan kehidupan dan kedinamisan organisasi, setiap organisasi mau tidak mau
harus adaktif terhadap perubahan organisasi.Birokrasi yang mampu bersaing dimasa
mendatang adalah birokrasi yang memiliki sumber daya manusia berbasis pengetahuan
dengan memiliki berbagai ketrampilan dan keahlian.
2.1.2.8
Ciri- Ciri Profesionalisme
Sebagaimana disampaikan oleh Tjiptoherijanto (2000, p.39), yang mengatakan
bahwa profesionalisme terlihat dari kompetensi yang terwujud pada kapasitas yang dimiliki
oleh seseorang yang meliputi dimensi :
1. Keahlian dan Keterampilan (Skill)
2. Pengetahuan (Knowledge), dan
3. Perilaku (Behavior)
Hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah
yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya, dan
menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran, dan kesejahteraan
baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya.
Menurut
Poerwopoespito
dan
Utomo
(2000,
p.266),
mengatakan
bahwa
profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama
dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme selalu menunjukkan
sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya.
18 Maister (2000, p.21- 22), mengatakan bahwa ciri – ciri profesionalisme sejati yaitu:
-
Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas.
-
Berusaha meraih tanggung jawab.
-
Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif.
-
Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas.
-
Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang telah
ditetapkan untuk mereka.
-
Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah bagi orang
yang mereka layani.
-
Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang – orang yang mereka layani.
-
Benar – benar mendengarkan kebutuhan orang – orang yang mereka layani.
-
Belajar memahami dan berpikir seperti orang – orang yang mereka layani, sehingga
bisa mewakili mereka ketika orang – orang itu tidak ada di tempat.
-
Adalah pemain tim.
-
Bisa dipercaya memegang rahasia.
-
Jujur, bisa dipercaya dan setia.
-
Terbuka pada kritik – kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.
2.1.2.9
Komunikasi
Komunikasi dalam hubungan kepemimpinan dengan orang – orang yang dipimpin,
komunikasi merupakan salah satu pokok penting dalam organisasi. Seorang pemimpin harus
dapat berkomunikasi dengan bawahannya, dan juga dengan atasannya.Para ahli ilmu jiwa
mengetahui bahwa komunikasi yang baik menolong menciptakan rasa kebersamaan dalam
satu kelompok atau organisasi.Mereka mengatakan bahwa komunikasi yang lancar dapat
mengurangi frustasi dan mencegah timbulnya berbagai macam masalah. Komunikasi yang
19 tepat guna akan menghilangkan perbedaan persepsi diantara pemimpin dan bawahan atau
diantara para bawahan sendiri.
Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau
informasi dari seseorang ke orang yang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan
lebih dari sekedar kata- kata yang digunakan dalam percakapan, tetapi juga ekspresi wajah,
intonasi, titik putus vokal dan sebagainya.Dan perpindahan yang efektif memerlukan tidak
hanya transmisi data, tetapi bahwa seseorang mengirimkan berita dan menerimanya sangat
tergantung pada ketrampilan – ketrampilan tertentu (membaca, menulis, mendengar,
berbicara, dsb) untuk membuat sukses pertukaran informasi.
Dalam setiap organisasi terdapat banyak saluran komunikasi yang dapat digunakan.
Tetapi untuk hal ini akan mengkhususkan pada saluran komunikasi formal dan tidak formal.
Kepemimpinan yang tepat guna adalah pada waktunya dapat menjalankan kedua saluran
komunikasi itu.Saluran informasi formal mempengaruhi efektifitas komunikasi dalam 2
cara.Pertama,
liputan
saluran
formal
semakin
melebar
sesuai
perkembangan
dan
pertumbuhan organisasi.Sebagai contoh, komunikasi yang efektif biasanya semakin sulit
dicapai dalam organisasi yang besar dengan cabang- cabang yang menyebar.Kedua, saluran
komunikasi formal dapat menghambat aliran informasi antar tingkat- tingkat organisasi.
Sebagai contoh, karyawan lini perakitan hampir selalu akan mengkomunikasikan masalah –
masalah pada penyelia (mandor), mereka dan bukan pada manager pabrik. Keterbatasan ini
mempunyai kebalikan (seperti menghindarkan manager atas dari kebanjiran informasi),
tetapi juga mempunyai kelemahan (seperti menghindarkan manager atas dari informasi yang
seharusnya mereka peroleh).
Komunikasi informal, bagaimanapun juga, adalah bagian penting aliran komunikasi
organisasi. Bentuk komunikasi ini timbul dengan berbagai maksud, yang meliputi antara lain:
1. Pemuasan kebutuhan – kebutuhan manusiawi, seperti kebutuhan untuk
berhubungan dengan orang lain.
20 2. Perlawanan terhadap pengaruh – pengaruh yang monoton atau membosankan.
3. Pemenuhan keinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain.
4. Pelayanan sebagai sumber informasi hubungan pekerjaan yang tidak disediakan
saluran – saluran informasi.
American Management Association (AMA) telah menyusun sejumlah prinsip- prinsip
komunikasi yang disebut “ The Ten Commandments of Good Communication “.Pedoman –
pedoman ini disusun untuk meningkatkan efektifitas komunikasi organisasi, yang secara
ringkas adalah sebagai berikut :
1. Cari kejelasan dari gagasan – gagasan terlebih dahulu sebelum di komunikasikan.
2. Teliti tujuan sebenarnya setiap komunikasi.
3. Pertimbangkan keadaan fisik dan manusia keseluruhan kapan saja akan dilakukan.
4. Konsultasikan dengan pihak – pihak lain, bila perlu, dalam perencanaan komunikasi.
5. Perhatikan tekanan nada dan ekspresi lainnya sesuai isi dasar berita selama
berkomunikasi.
6. Ambil kesempatan, bila timbul, untuk mendapatkan segala sesuatu yang membantu
atau umpan balik.
7. Ikuti lebih lanjut komunikasi yang telah dilakukan.
8. Perhatikan konsistensi komunikasi.
9. Tindakan atau perbuatan harus mendorong komunikasi.
10. Jadilah pendengar yang baik, berkomunikasi tidak hanya untuk dimengerti tetapi
untuk mengerti.
Prinsip- prinsip komunikasi AMA memberikan kepada para manager atau pemimpin
pedoman untuk meningkatkan efektifitas komunikasi.
21 2.1.2.10 Delegasi
Delegasi dapat didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
formal pada orang lain untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Empat kegiatan terjadi ketika
delegasi dilakukan :
-
Pendelegasi menetapkan dan memberikan tujuan dan tugas kepada bawahan.
-
Pendelegasi melimpahkan wewenang yang diperlukan untuk mencapai tujuan
atau tugas.
-
Menerima delegasi, baik implisit dan eksplisit, menimbulkan kewajiban atau
tanggung jawab.
-
Pendelegasi menerima pertanggung jawaban bawahan untuk hasil – hasil yang
dicapai.
Ada beberapa alasan mengapa perlu pendelegasian.Pertama, pendelegasian
memungkinkan manager dapat mencapai lebih dari bila mereka menangani setiap tugas
sendiri.Delegasi memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan kembang, bahkan dapat
digunakan sebagai alat untuk belajar dari kesalahan.
Delegasi dibutuhkan karena seorang manager (pemimpin) tidak selalu mempunyai
semua pengetahuan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan. Mereka mungkin
menguasai “ The Big Picture “, tetapi tidak cukup mengerti tentang masalah yang lebih
terperinci sehingga, agar organisasi dapat menggunakan sumber daya sumber dayanya lebih
efisien, maka pelaksanaan tugas- tugas tertentu didelegasikan kepada tingkatan organisasi
yang serendah mungkin dimana terdapat cukup kemampuan dan informasi untuk
menyelesaikannya.
Pengembangan
komunikasi
antara
seorang
pemimpin
dengan
bawahannya akan meningkatkan saling pengertian dan membuat delegasi lebih efektif.
Pemimpin yang mengetahui kemampuan bawahnnya dapat lebih realistis dalam menentukan
tugas – tugas mana dapat didelegasikan kepada bawahan tertentu. Bawahan yang didorong
22 untuk menggunakan kemampuannya dan merasa pemimpin mereka akan memberikan “
dukungan “, akan lebih bersemangat dalam menerima tanggung jawab.
Louis Allen telah mengemukakan beberapa teknik khusus untuk membantu seorang
manager untuk melakukan delegasi dengan efektif :
1. Tetapkan tujuan. Bawahan harus diberitahu maksud dan pentingnya tugas – tugas
yang didelegasikan kepada mereka.
2. Tegaskan tanggung jawab dan wewenang. Bawahan harus diberikan informasi yang
jelas tentang apa yang mereka harus pertanggung jawabkan dan bagian dari sumber
daya organisasi mana yang ditempatkan dibawah wewenangnya.
3. Berikan motivasi pada bawahan. Manager dapat mendorong bawahan melalui
perhatian pada kebutuhan dan tujuan mereka yang sensitif.
4. Meminta penyelesaian kerja. Manager memberikan pedoman, bantuan dan informasi
kepada bawahan, sedangkan para bawahan harus melaksanakan pekerjaan
sesungguhnya yang telah didelegasikan.
5. Berikan latihan. Manager perlu mengarahkan bawahan untuk mengembangkan
pelaksanaan kerjanya.
6. Adakan pengawasan yang memadai. Sistem pengawasan yang terpercaya (seperti
laporan mingguan dibuat agar manager tidak perlu menghabiskan waktunya dengan
pekerjaan bawahan terus- menerus).
2.1.2.11 Desentralisasi
Bila delegasi biasanya berhubungan dengan seberapa jauh manager mendelegasikan
wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan yang secara langsung melapor kepadanya,
desentralisasi adalah konsep yang lebih luas dan berhubungan dengan seberapa jauh
manajemen puncak mendelegasikan wewenang kebawahan, divisi- divisi, cabang – cabang,
atau satuan – satuan organisasi tingkat lebih bawah lainnya. Atau dengan kata
23 laindesentralisasi adalah pelimpahan atau penyebaran secara meluas kekuasaan dan
pembuatan keputusan ketingkatan – tingkatan organisasi yang lebih rendah.
Keuntungan – keuntungan dari desentralisasi adalah sama dengan keuntungan –
keuntungan delegasi, yaitu mengurangi beban manager puncak, memperbaiki pembuatan
keputusan karena dilakukan dekat dengan permasalahan, meningkatkan latihan, moral, dan
inisiatif manajemen bawah, dan membuat lebih fleksibel dan cepat dalam pembuatan
keputusan.
Desentralisasi mempunyai nilai hanya bila dapat membantu organisasi mencapai
tujuannnya dengan efesien. Penetuan derajat desentralisasi sangat dipengaruhi oleh faktor –
faktor sebagai berikut :
1. Filsafat Manajemen. Banyak manager puncak yang sangat otoriter dan menginginkan
pengawasan pusat yang pesat. Hal ini akan mempengaruhi kesediaan manajemen
untuk mendelegasikan wewenangnya.
2. Ukuran dan tingkat pertumbuhan organisasi. Organisasi tidak mungkin efesien bila
semua wewenang pembuatan keputusan ada pada satu atau beberapa manager
puncak saja. Suatu organisasi yang tumbuh semakin besar dan kompleks, ada
kecendrungan untuk menigkatkan desentralisasi. Begitu juga, tingkat pertumbuhan
yang
sangat
cepat
akan
memaksa
manajemen
meningkatkan
delegasi
wewenangnya.
3. Strategi dan lingkungan organisasi. Strategi organisasi akan mempengaruhi tipe
pasar, lingkungan teknologi, dan persaingan yang harus dihadapinya. Faktor – faktor
ini selanjutnya akan mempengaruhi derajat desentralisasi.
4. Penyebaran geografis organisasi. Pada umumnya, semakin menyebar satuan –
satuan
organisasi
secara
geografis,
organisasi
akan
cenderung
melakukan
desentralisasi, karena pembuatan keputusan akan lebih sesuai dengan kondisi lokal
masing – masing.
24 5. Tersedianya peralatan pengawan yang efektif. Organisasi yang kekurangan peralatan
– peralatan efektif untuk melakukan pengawasan satuan – satuan tingkat bawah
akan cenderung melakukan sentralisasi bila manajemen tidak dapat dengan mudah
memonitor pelaksanaan kerja bawahannya.
6. Kualitas manager. Desentralisasi memerlukan lebih banyak manager – manager yang
berkualitas, karena mereka harus membuat keputusan sendiri.
7. Keanekaragaman produk dan jasa. Semakin beraneka ragam produk dan jasa yang
ditawarkan, organisasi cenderung melakukan desentralisasi, dan sebaliknya semakin
tidak beranekaragam lebih cenderung sentralisasi.
8. Karakteristik – karakteristik organisasi lainnya. Seperti biaya dan resiko yang
berhubungan dengan pembuatan keputusan, sejarah pertumbuhan organisasi,
kemampuan Manajemen bawah, dan sebagainya.
2.1.3
Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekrta yaitu “budhayah” yang
merupakan bentuk jamak dari “budhi” (budi atau akal).Dalam bahasa inggris kebudayaan
disebut Culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata Culture juga kadang diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai “Kultur”.
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut :
1. Melville. J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok yaitu :
-
Alat – alat Teknologi
-
Sistem Ekonomi
-
Keluarga
-
Kekuasaan Politik
25 2. Brownishaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi :
-
Sistem norma yang memungkinkan kerjasama antara anggota masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan alam yang ada disekelilingnya.
-
Organisasi Ekonomi
-
Alat – alat dan lembaga – lembaga atau petugas – petugas untuk
pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama).
-
2.1.3.1
Organisasi Politik.
Unsur – Unsur Budaya
Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh para anggota
organisasi, oleh karena itu ada kesamaan pandangan diantara mereka, hal ini disebut
dengan budaya dominan, budaya adalah mengungkapkan nilai – nilai inti yang dianut
bersama oleh mayoritas anggota organisasi itu. Anggota organisasi terpecah kedalam sub –
sub yang lebih kecil, dimana dalam sub – sub ini dapat terbentuk sub budaya, sub budaya
adalah budaya kecil didalam organisasi yang didefinisikan menurut perancangan departemen
dari pemisahan geografis. Sub budaya ini terdapat didalamnya nilai – nilai inti dari budaya
dominan, nilai – nilai inti adalah nilai produk atau dominan yang di terima oleh seluruh orang
dalam organisasi (Robbins, 2003, p.723).
Lebih jauh lagi menurut Kreitner dan Kinicki (2000: p, 80), nilai adalah keyakinan
yang dipegang teguh dan terampil dalam tingkah laku. Organisasi berusaha untuk
menciptakan nilai yang akan di anut oleh para organisasinya. Nilai ini disebut dengan nilai
yang mendukung (espaused value), yaitu nilai dan norma yang telah dibuat oleh organisasi.
Bila nilai ini dilaksanakan oleh anggota organisasi, maka nilai ini disebut dengan nilai yang
diperankan (enacted value), yaitu nilai dan norma yang dimiliki karyawan.
26 2.1.3.2
Fungsi Budaya
Budaya sebagai tatanan sistem yang terus dikembangkan tentunya mempunyai
fungsi. Pertama, budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang
lain. Kedua, memberikan identitas bagi anggota – anggota organisasi.Ketiga, budaya
mendorong tumbuhnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri
pribadi seseorang.Keempat, merupakan perekat diantara sesama anggota organisasi
(Robbins, 2003, p.725).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kreitner dan Kinicki (2000, p.83-86), bahwa
budaya berfungsi untuk memberikan identitas kepada anggotanya, memudahkan komitmen
kolektif, mempromosikan stabilitas sistem sosial, dan membentuk perilaku dengan membantu
manager merasakan keberadaannya.
2.1.3.3
Mempertahankan Budaya
Budaya harus dipertahankan, tujuannya adalah agar budaya dapat menjalankan
fungsi – fungsinya. Menurut Robbins (2003, p.729-734) ada beberapa cara dalam
mempertahankan budaya, yaitu :
1. Seleksi
Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan
individu – individu yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan
melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu.
2. Manajemen Puncak
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya
organisasi lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku,
eksekutif senior menegakkan norma – norma yang mengalir ke bawah sepanjang
organisasi.
27 3. Sosialisasi
Pada saat perusahaan membantu proses adaptasi karyawan dengan budaya
organisasi disebut dengan sosialisasi. Terdapat tiga tahap dalam proses sosialisasi
ini, yaitu :
a. Tahap prakedatangan, adalah periode pembelajaran pada proses sosialisasi yang
dilakukan sebelum karyawan baru bergabung kedalam organisasi.
b. Tahap keterlibatan, adalah tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan baru
melihat apa yang sesungguhnya organisasi itu dan persimpangan yang mungkin
dalam kenyataan yang ada.
c.
Tahap metamorfosis, adalah tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan
baru berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja, dan
organisasi.
2.1.3.4
Budaya Kuat dan Formalisasi
Sebuah organisasi tentunya menginginkan setiap anggotanya untuk dapat menyerap
setiap nilai dan norma budaya yang ada dan dikembangkan organisasi. Semakin mendalam
dan dianut secara meluas budaya tersebut, maka budaya tersebut semakin kuat.Budaya
yang kuat dapat berperan untuk menggantikan formalisasi. Formalisasi adalah nilai dan
norma yang tertulis yang menjadi peraturan didalam perusahaan. Formalisasi tinggi dalam
perusahaan menciptakan prediktibilitas, ketertiban, dan konsistensi, demikian halnya dengan
budaya yang kuat (Robbins, 2003, p.724).
Budaya yang kuat akan mendukung standar etis yang tinggi untuk menciptakan
budaya yang kuat yang mendukung standar etis yang tinggi ada beberapa hal yang dapat
dilakukan manajemen, menurut Robbins (2003, p.739), diantaranya :
a. Jadilah model peran yang kelihatan. Karyawan akan melihat perilaku manajemen
puncak sebagai tolak ukur untuk merancang perilaku yang tepat. Bila manajemen
28 terlihat mengambil jalur cepat yang etis, ia memberikan pesan yang positif untuk
semua
karyawan.
Artinya
pimpinan
harus
memberikan
teladan
bagi
para
bawahannya.
b. Komunikasikanlah harapan etis. Ambiguitas etis dapat diminimalisir oleh penciptaan
dan penyebaran kode etik organisasi. Kode etik tersebut harus menetapkan nilai –
nilai utama organisasi dan kaidah etis yang diharapkan untuk diikuti oleh karyawan.
Pemimpin atau manajemen juga harus mengkomunikasikan mana yang diinginkan
organisasi dan mana yang tidak, hal ini harus jelas bagi anggota organisasi
c.
Berikanlah pelatihan etis. Adakanlah seminar, lokakarya, dan program – program
pelatihan etis yang serupa. Gunakanlah sesi pelatihan ini untuk mendorong standar
perilaku organisasi, untuk mengklarifikasi praktik apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh, dan untuk mengajukan dilema etis yang mungkin. Harus ada peristiwa atau
kesempatan khusus dimana anggota organisasi melakukan pembelajaran terhadap
budaya organisasi secara formal, bukan hanya berdasarkan pengalaman belaka.
d. Berikanlah imbalan secara terang- terangan terhadap tindakan etis dan berikan
hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja dari manager harus
mencakup evaluasi poin demi poin tentang apakah emang keputusannya sesuai
dengan kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang diambil untuk
mencapai sasaran dan juga hasil itu sendiri. Perilaku orang yang bertindak etis
hendaknya diberi imbalan secara terang- terangan. Yang tidak kalah penting juga,
tindakan yang tidak etis harus dihukum secara kasat mata. Untuk memperkuat
pemahaman anggota organisasi terhadap budaya organisasi, maka manajemen
harus memberikan reward bagi mereka yang berhasil beradaptasi dengan budaya
perusahaan, dan punishment bagi mereka yang tidak mau mengadaptasi budaya
perusahaan.
29 e. Sediakanlah mekanisme yang bersifat melindungi. Organisasi perlu menyediakan
mekanisme formal sehingga karyawan dapat membahas dilema etis dan melaporkan
perilaku yang tidak etis tanpa takut ditegur. Ini mungkin mencakup pengadaan
konselor etik, ombudsment, atau pejabat etik. Sediakan badan penyuluhan atau
tempat bagi anggota organisasi yang merasa tidak sesuai atau tidak mampu
beradaptasi dengan budaya perusahaan, carilah solusi yang memberikan keuntungan
bagi kedua belah pihak.
2.1.3.5
Menanamkan Budaya Dalam Organisasi
Sebuah
budaya
awal
organisasi
merupakan
perkembangan
dari
filosofi
pendirinya.Budaya asli baik yang ditanamkan maupun yang dimodifikasi untuk menyesuaikan
dengan situasi lingkungan sekarang. Edgar Shein, sarjana perilaku organisasi yang terkenal,
mencatat bahwa menanamkan sebuah budaya melibatkan proses belajar. Karenanya, pada
anggota organisasi mengajarkan satu sama lain mengenai nilai – nilai, keyakinan,
pengharapan, dan perilaku yang dipilih organisasi. Menurut Kreitner dan Kinicki(2005, p.95),
hal ini dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme berikut :
1. Pernyataan filosofi normal, misi, visi, nilai, dan material organisasi yang digunakan
untuk Recruitment, seleksi, dan sosialisasi.
2. Slogan, bahasa, akronim, dan perkataan.
3. Pembentukan peranan secara hati- hati, program pelatihan, pengajaran, dan
pelatihan oleh para manager dan Supervisor.
4. Penghargaan eksplisit, simbol status (misalnya gelar) dan kriteria promosi.
5. Cerita, legenda, dan mitos mengenai suatu peristiwa dan orang- orang penting.
6. Aktivitas, proses, atau hasil organisasi yang juga diperhatikan, diukur, dan
dikendalikan pimpinan. Para karyawan cenderung memberi perhatian pada
30 penyelesaian pekerjaan yang tepat waktu ketika senior manajemen menggunakan
penyelesaian pekerjaan tepat waktu untuk mengukur kualitas pelayanan pelanggan.
7. Reaksi pimpinan terhadap insiden yang kritis dan kritis organisasi.
8. Stuktur organisasi dan aliran kerja. Struktur hierarkis cenderung menanamkan
orientasi terhadap pengendalian dan otoritas dibandingkan organisasi yang
horizontal.
9. Sistem dan prosedur organisasi. Sebuah organisasi dapat mempromosikan prestasi
dan kompetisi melalui penggunaan kontes penjualan.
10. Tujuan organisasi dan kriteria gabungan yang digunakan untuk recruitment, seleksi,
pengembangan, promosi, pemberhentian, dan pengunduran diri karyawan.
2.1.3.6
Budaya Organisasi
Budaya organisasi yang kuat memberikan pemahaman yang jelas kepada anggota
organisasi mengenai cara menyelesaikan sebuah pekerjaan, budaya juga memberikan
stabilitas kepada organisasi. Budaya organisasi menurut Schein (2006, p.3) “ Culture in a
pattern of basic assumption invented, discovered, or developed by given as it learn to cope
with is problem of external adaptation and internal integration- that has worked well enough
to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to
perceive, think and fill in relation to those problem”. Yang artinya budaya adalah suatu pola
konsumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu
sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal
yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan atau diwariskan kepada
anggota- anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan
merasakan keterkaitan dengan masalah- masalah tersebut.
Budaya organisasi adalah segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah
tanah dan mengubah alam (Gea, 2005, p.325).Menurut Mathis dan Jackson (2000, p.45)
31 budaya organisasi adalah pola dari nilai – nilai dan kepercayaan yang disepakati bersama
yang memberikan arti kepada anggota dari organisasi tersebut dan aturan- aturan perilaku.
Menurut Robbins yang di terjemahkan oleh Benjamin Molan (2003, p.721), budaya
organisasi adalah sistem makna bersama yang dianggap oleh anggota – anggota yang
membedakan organisasi itu dari organisasi- organisasi lain. Menurut Kreitner dan Kinicki yang
diterjemahkan oleh Erly Suandy (2000, p.78), budaya organisasi adalah nilai dan keyakinan
bersama yang mendasari identitas perusahaan.
Variabel- variabel dari budaya organisasi adalah (Stephen P. Robbins, 2003, p.31):
1. Sosialisasi: Lebih mengarah bagaimana suatu individu dalam perusahaan tersebut
menjalin hubungan atau berinteraksi dengan rekan kerja lainnya, adapun faktor –
faktor yang berpengaruh adalah:
-
Interaksi
-
Rasa Percaya
2. Bahasa: Mengarah pada penggunaan bahasa yang digunakan pada saat berinteraksi,
sehingga
tidak
terjadi
salah
pengertian
dalam
berkomunikasi
yang
akan
mengakibatkan terjadinya perselisihan dengan sesama rekan kerja, adapun faktor –
faktor yang berpengaruh adalah:
-
Rasa Hormat
-
Kesatuan Bangsa
3. Seleksi: Mengarah kepada penyeleksian karyawan yang akan di pekerjakan, sehingga
semua karyawan yang bekerja tepat pada tempatnya dengan kapasitas yang tepat
pula, adapun faktor – faktor yang berpengaruh adalah :
-
Pengetahuan
-
Keterampilan
32 2.1.3.7
Hakikat Budaya Sebuah Organisasi
Dalam buku Character Building IV relasi dengan dunia (Gea, 2005, p.318) ditemukan
bahwa ada tujuh dimensi yang secara keseluruhan menangkap hkikat budaya sebuah
organisasi. Dimensi hakikat budaya organisasi meliputi :
1. Inovasi dan mengambil resiko, yaitu tingkat dimana karyawan didorong untuk
bersikap inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian kepada detail. Tingkat dimana para karyawan diharapkan untuk
menampilkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Tingkat dimana para manager memusatkan perhatian pada hasil –
hasil bukannya pada teknik- teknik dan proses – proses yang digunakan untuk
mencapai hasil – hasil itu.
4. Orientasi
manusia.
Tingkat
dimana
keputusan
–
keputusan
manajemen
memperhitungkan pengaruh hasil – hasil terhadap manusia dalam organisasi itu.
5. Orientasi Tim. Tingkat dimana kegiatan – kegiatan kerja disusun sekitar tim – tim
bukan individu.
6. Agresifitas. Tingkat dimana orang bersifat agresif dan bersaing bukannya ramah dan
bekerja sama.
7. Stabilitas. Tingkat dimana kegiatan – kegiatan organisasi menekankan usaha
mempertahankan status quo bukan pertumbuhan.
2.1.3.8
Pengukuran Budaya Organisasi
Menurut Taliziduhu (2006, p.114) ada beberapa kriteria dalam mengukur budaya
organisasi yang kuat, yaitu:
1. Kejelasan nilai – nilai dan keyakinan (Clarity of Ordering)
Nilai – nilai dan keyakinan yang di sepakati oleh anggota organisasi dapat ditentukan
secara jelas. Kejelasan nilai – nilai ini di tentukan dalam bentuk filosofi usaha, slogan
33 atau moto perusahaan, asumsi dasar, tujuan umum perusahaan, dan prinsip –
prinsip yang menjelaskan usaha.Perusahaan yang mempunyai nilai – nilai budaya
yang jelas dapat memberikan pengaruh nyata dan jelas kepada perilaku anggota
organisasi atau perusahaan.
2. Penyebarluasan nilai – nilai dan keyakinan (Extent of Ordering)
Penyebarluasan nilai – nilai terkait dengan beberapa banyak orang atau anggota
organisasi
yang
menganut
nilai
–
nilai
dan
keyakinan
budaya
organisasi.Penyebarluasan nilai – nilai sangat tergantung pada sistem sosialisasi atau
pewarisan yang diberikan oleh pimpinan organisasi kepada anggota – anggota
organisasi khususnya anggota – anggota baru. Sistem sosialisasi atau pewarisan
dapat dilakukan melalui orientasi yang menyangkut pemberian bimbingan anggota –
anggota organisasi khususnya kepada anggota – anggota baru oleh pejabat –
pejabat organisasi secara berjenjang atau anggota – anggota senior organisasi
kepada anggota – anggota baru. Disamping itu, orientasi juga dapat dilakukan
memalui
pelatihan
–
pelatihan
kepada
anggota
organisasi
secara
berkesinambungan.Keberhasilan orientasi (sosialisasi) ini sangat bergantung kepada
beberapa banyak anggota organisasi yang menganut dan sekaligus mempraktekkan
budaya organisasi dalam perilaku sehari – hari.
3. Intensitas pelaksanaan nilai – nilai inti (Core Values Being Intensely Held)
Intensitas dimaksudkan seberapa jauh nilai – nilai budaya organisasi dihayati, dianut,
dan dilaksanakan secara konsisten oleh anggota – anggota organisasi. Adakah nilai –
nilai dan keyakinan budaya organisasi, dianut sepenuhnya oleh anggota organisasi
atau hanya sebagian atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali. Disamping itu,
intensitas
juga
dimaksudkan
bagaimana
cara
organisasi
atau
perusahaan
memperlakukan anggota – anggota organisasi (karyawan) yang secara konsekuen
34 menjalankan nilai – nilai budaya organisasi dan anggota organisasi yang hanya
separuh atau sama sekali tidak menjalankan nilai – nilai budaya.
2.1.4
Motivasi
2.1.4.1
Definisi Motivasi :
Menurut beberapa penulis dapat di peroleh bahwa definisi dari motivasi adalah :
1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p.210), Motivasi adalah kumpulan proses
psikologis yang menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap
sukarela yang mengarah pada tujuan.
2. Menurut Colquitt LePine, dan Wesson (2009, p.178), Motivasi adalah suatu
kumpulan kekuatan yang energik yang mengkoordinasi didalam dan diluar diri
seorang pekerja, yang mendorong usaha kerja, dalam menetukan atah,
intensitas, dan kegigihan.
3. Menurut George and Jones (2005, p.175), Motivasi adalah suatu kekuatan
psikologis didalam diri seseorang yang menetukan arah perilaku seseorang
didalam organisasi, tingkat usaha dan kegigihan didalam menghadapi rintangan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu kumpulan proses
psikologis yang memilki kekuatan didalam diri seseorang yang menyebabkan pergerakan,
arahan, usaha, dan kegigihan dalam menghadapi rintangan untuk mencapai suatu tujuan.
2.1.4.2
Elemen Motivasi
Menurut George and Jones (2005, p.175-176), ada tiga elemen dalam motivasi kerja
dan tiga elemen tersebut adalah: arah perilaku, tingkat usaha, dan tingkat kegigihan.
35 Tabel 2.1 Elemen Motivasi
Element
Definition
Arah Perilaku
Perilaku
apakah
(Direction of
seseorang
Behavior)
dalam organisasi?
Example
yang
untuk
dipilih
ditunjukkan
Apakah seorang Engineer
memberikan
waktu
usahanya
dan
untuk
meyakinkan pimpinan yang
skeptis
dengan
untuk
tujuan
mengubah
spesifikasi desain produk
baru
dengan
biaya
produksi yang lebih rendah
Tingkat
Seberapa
keras
Usaha (Level
bekerja
of Effort)
perilaku yang dipilihnya?
untuk
seseorang
menunujukkan
Apakah seorang Engineer
mempersiapkan
laporan
permasalahan
dengan
spesifikasi
sebenarnya,
atau hanya menyebutkan
permasalahan
ketika
berpapasan
dengan
seorang pimpinan didalam
lobby dan berharap bahwa
pimpinan
tersebut
mengikuti
akan
nasihatnya
dengan yakin?
Tingkat
Ketika menghadapi rintangan,
Ketika
pimpinan
tidak
Kegigihan
jalan buntu, dan tembok batu,
setuju dengan engineer-
36 (Level
of
Persistance)
seberapa keras seseorang tetap
nya
mencoba
bahwa perubahan dalam
untuk
menunjukkan
perilaku baiknya?
dan
spesifikasi
menunjukkan
adalah
hanya
menyia – nyiakan waktu,
apakah seorang engineer
tersebut tetap gigih untuk
dapat
mengimplementasikan
perubahan tersebut atau
menyerah
walaupun
ia
sangat yakin bahwa hal
tersebut
membutuhkan
perubahan.
Sumber: George and Jones (2000, p175)
Arah perilaku: perilaku manakah yang dipilih seseorang untuk ditunjukkan? Dalam
pekerjaan manapun, ada banyak perilaku (beberapa tepat, dan beberapa tidak tepat),
dimana seorang pekerja dapat terlibat didalamnya.Arah perilaku mengacu pada perilaku
yang dipilih karyawan untuk ditunjukkan dari banyak potensi, perilaku yang dapat mereka
tunjukkan. Jika seorang pialang dalam perusahaan investment banking
secara ilegal
memanipulasi harga saham, jika seorang manager mengangkat karirnya sendiri dengan
membebani bawahannya, atau jika seorang engineer meyakinkan pimpinan yang skeptis
untuk mengubah spesifikasi desain dari sebuah produk baru dengan tujuan untuk
menurunkan biaya produksi semua tindakan tersebut merefleksikan perilaku yang dipilih
karyawan untuk ditunjukkan.
37 Sebagai contoh, karyawan dapat termotivasi dengan cara berfungsi, yang dapat
menolong perusahaan dalam mencapai tujuannya, atau dengan tidak berfungsi yang
menghalangi perusahaan dalam mencapai tujuannya.Dengan melihat pada motivasi,
manager ingin memastikan bahwa arah perilaku bawahan mereka berfungsi bagi
organisasi.Mereka ingin karyawan untuk termotivasi datang tepat waktu, melakukan tugas
yang diberikan dan dapat dipercaya, datang ide – Ide baru, dan menolong sesamanya.
Manager tidak ingin karyawannya untuk datang terlambat, mengabaikan aturan yang
mengutamakan kesehatan dan keamanan, atau menggantikan kualitas dengan “mulut
manis”.
Tingkat usaha: seberapa keras seseorang bekerja untuk menunjukkan perilaku
yang dipilihnya? Adalah tidak cukup bagi organisasi untuk memotivasi karyawannya untuk
menunjukkan perilaku untuk berfungsi bagi perusahaan, organisasi juga harus memotivasi
mereka untuk bekerja keras dalam perilaku ini. Sebagai contoh, seorang engineer
memutuskan untuk meyakinkan pimpinan yang skeptis untuk perubahan suatu desain, level
motivasi engineer tersebut menetukan seberapa jauh dia akan meyakinkan pimpinannya
apakah engineer tersebut hanya menyebutkan kebutuhan akan perubahan tersebut dalam
percakapan biasa, atau ia akan mempersiapkan laporan detail yang menunjukkan
permasalahan tersebut dengan spesifikasi sebenarnya dan mendeskripsikan spesifikasi
penurunan biaya baru yang dibutuhkan?
Tingkat kegigihan: Ketika menghadapi rintangan, jalan buntu, dan tembok batu,
seberapa keras seseorang tetap mencoba untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya
dengan baik? Seandainya pimpinan seorang engineer menyatakan bahwa perubahan
spesifikasi adalah hanya menyia – nyiakan waktu.Apakah engineer tersebut gigih mencoba
untuk mendapatkan implementasi perubahan tersebut atau menyerah walawpun dia sangat
percaya bahwa hal itu diperlukan? Misalnya, jika mesin pabrik dari salah seorang rusak,
apakah karyawan akan berhenti bekerja dan menunggu seseorang datang untuk
38 memperbaikinya, atau ia mencoba untuk memperbaiki mesin tersebut atau paling tidak
memberitahu rekan kerjanya tentang permasalahan tersebut.
2.1.4.3
Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik
Menurut George and Jones (2005, p.177- 179), perbedaan yang harus diperhatikan
dalam mendiskusikan motivasi adalah perbedaan antara sumber motivasi Intrinsik dan
Ekstrinsik.
Perilaku dengan Motivasi Intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk
kepentingannya sendiri, dengan kata lain sumber motivasi biasa datang dari penunjukan
perilaku itu sendiri. Seorang pemain violin profesional yang menikmati bermain didalam
orkestra tanpa menghiraukan bayaran yang relatif rendah dan seorang CEO yang
menghabiskan 12 jam kerja karena mereka menikmati pekerjaan mereka, dan itu adalah
motivasi Intrinsik.
Perilaku dengan Motivasi Ekstrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk
memperoleh materi atau penghargaan sosial atau untuk menghindari hukuman.Perilaku
tersebut
ditunjukkan
bukan
untuk
kepentingannya
sendiri
tetapi
lebih
kepada
konsekuensinya. Contoh dari motivasi Ekstrinsik termasuk bayaran, pujian, status, dan lainlain.
Seorang karyawan dapat termotivasi secara ekstrinsik, termotivasi secara intrinsik,
atau keduanya.Ketika karyawan lebih terutama termotivasi secara ekstrinsik dan melakukan
pekerjaan itu sendiri tidak merupakan sumber motivasi, sangat penting bagi organisasi dan
manager untuk membuat hubungan yang jelas antara perilaku yang diinginkan perusahaan
untuk dilakukan karyawan dan hasil atau penghargaan yang diinginkan karyawan.
Ada hubungan antara motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik dengan nilai kerja Intrinsik
dan Ekstrinsik.Karyawan yang memiliki nilai kerja intrinsik ingin menantang pencapaian,
kesempatan untuk membuat kontribusi dalam pekerjaan mereka dan perusahaan, dan
39 kesempatan untuk mencapai seluruh potensinya ditempat kerja. Karyawan dengan nilai kerja
ekstrinsik menginginkan beberapa dari konsekuensi kerja, misalnya menghasilkan uang,
mendapatkan status dalam sebuah komunitas, kontak sosial, dan waktu bebas dari pekerjaan
untuk waktu keluarga dan bersantai. Hal ini memberikan alasan bahwa karyawan dengan
nilai kerja intrinsik yang kuat biasanya akan termotivasi secara intrinsik ditempat kerja dan
mereka yang memilki nilai kerja ekstrinsik akan termotivasi secara ekstrinsik.
2.1.4.4
Maslow’s hierarchy of needs (teori kebutuhan hierarki Maslow)
Menurut Hellrigel dan Slocum (2004, p.119), ada beberapa hal yang merupakan
alasan dasar dari hirarki Maslow:
-
Sekali
suatu
kebutuhan
terpuaskan,
kepentingan
peran
motivasionalnya
menurun. Bagaimanapun, setelah satu kebutuhan terpuaskan, kebutuhan lain
pada tingkat yang lebih tinggi muncul untuk mengambil alih, jadi orang selalu
memuaskan kebutuhannya.
-
Jaringan kebutuhan untuk kebanyakan orang sangat kompleks, dengan
beberapa kebutuhan yang mempengaruhi kebutuhan didalam satu waktu jelas
bahwa, ketika seseorang berhadapan dengan situasi darurat, seperti rasa haus
yang amat sangat, kebutuhan tersebut akan mendominasi sampai terpuaskan.
-
Kebutuhan pada level yang lebih rendah harus dipuaskan, sebelum kebutuhan
pada level yang lebih tinggi diaktifkan untuk mempengaruhi perilaku.
-
Ada lebih banyak cara untuk memuaskan kebutuhan pada level yang lebih tinggi
daripada level yang lebih rendah.
Menurut George and Jones (2005, p.179- 183), seorang psikolog Abraham Maslow
menyatakan bahwa manusia memiliki 5 kebutuhan universal yang mereka cari untuk
dipuaskan: kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan rasa
penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan – kebutuhan ini dan bagaimana
40 mereka dapat dipuaskan, dijelaskan dalam tabel berikut ini. Maslow menunjukkan bahwa
kebutuhan – kebutuhan ini dapat diatur dalam kepentingan hierarki dengan kebutuhan paling
dasar.Fisiologi dan rasa aman dipaling dasar.Dua kebutuhan ini harus dipuaskan sebelum
individu mencari untuk memuaskan yang lebih tinggi dalam hierarkinya.Maslow juga
menyatakan bahwa setelah suatu kebutuhan terpuaskan, maka tidak lagi adanya sumber
motivasi.
Tabel 2.2 Kebutuhan Hierarki Maslow
Need Level
Description
Self
actualization
(Highestlevel needs)
Needs to realize one’s full potensial
as a human being
Examples of how needs
are meet or satiffied
By using one’s skills and
abilities to the fullest and
striving to achieve all that
one can on a job
Esteem needs
Needs to feel good about oneself
and one’s capabilities, to be
respected by others, and to
receive
recognition
and
appreciation
By receiving promotions
at work and being
recognized
for
accomplishments on the
job
Belongness
needs
Needs for social interaction,
friendship, affection, and love
By
having
good
relations with co- workers
and supervisors, being a
member of a cohesive
work
group,
and
participating in social
functions
such
as
company
picnics
and
holiday parties
Safety needs
Needs for security, stability, and
safe environment
By receiving job security,
adequate
medical
benefits,
and
safe
working conditions
Physiological
needs
(Lowestlevel needs
Basic needs for things such as
food, water, and shelter that must
be met in order for an individual to
survive
By receiving a minimum
level of pay that enables a
worker to buy food and
clothing
and
have
aduquate housing
41 Berdasarkan teori Maslow kebutuhan yang tidak terpuaskan adalah motivator utama
dari perilaku, dan kebutuhan yang berada pada level terendah dari hierarki akan didahulukan
sebelum level yang lebih tinggi diwaktu tertentu, bagaimanapun, hanya satu jenis kebutuhan
yang memotivasi terjadinya perilaku, dan hal ini tidak mungkin melompati level tertentu.
Setelah seorang individu memuaskan satu jenis kebutuhannya, ia akan mencoba untuk
memuaskan kebutuhan pada level berikutnya dalam hierarki, dan level ini akan menjadi
fokus motivasi.
Dengan menspesifikasi kebutuhan yang berkontribusi pada motivasi, teori Maslow
membantu manager menentukan apa yang akan memotivasi seorang karyawan. Pelajaran
yang sederhana namun penting dari teori Maslow adalah karyawan berbeda – beda dalam
kebutuhannya dan mencoba memuaskannya ditempat kerja, dan apa yang memotivasi
seorang karyawan mungkin tidak memotivasi yang lainnya. Hal yang dapat kita simpulkan
adalah untuk memperoleh pekerja yang termotivasi, manager harus mengidentifikasi
kebutuhan manakah yang sedang dicari untuk dipuaskan seorang karyawan ditempat kerja,
dan setelah kebutuhan – kebutuhan itu dipenuhi, manager harus memastikan bahwa
kebutuhan tersebut tepenuhi jika karyawan tersebut menunjukkan perilaku- perilaku
tersebut.
2.1.4.5
Hubungan Motivasi dan Kinerja
Menurut George and Jones (2005, p. 177), kinerja adalah evaluasi dari hasil perilaku
seseorang, termasuk menetukan seberapa baik atau buruk seseorang menyelesaikan
pekerjaannya. Motivasi adalah salah satu faktor diantara banyak faktor yang berkontribusi
terhadap kinerja karyawan.
Kesimpulannya, karena motivasi hanya satu dari beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja, maka motivasi yang tinggi tidak selalu menghasilkan kinerja yang
tinggi.Sebaliknya, kinerja yang tinggi tidak menunjukkan bahwa motivasi tinggi, karyawan
42 yang memiliki motivasi rendah dapat menunjukkan kinerja yang tinggi jika mereka memilki
kemampuan yang tinggi pula.Manager harus barhati – hati untuk tidak otomatis
menyimpulkan penyebab kurangnya kinerja karena kurangnya motivasi, atau penyebab
tingginya kinerja karena tingginya motivasi.
2.1.5
Etnosentris
Etnosentrisme adalah kecenderungan yang menilai budaya sendiri lebih baik
daripada budaya lainnyadan hanya melalui sudut pandang budaya sendiri.Berdasarkan
definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami.Etnosentrisme
dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif.Tidak seperti anggapan umum yang
mengatakan
bahwa
etnosentrisme
merupakan
sesuatu
yang
semata-mata
buruk,
etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam
perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan.Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar
bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok
lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika
terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat
mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi.
2.1.5.1
Tipe Etnosentris
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe
pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat
belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi
terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan
perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme
infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif
yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
43 tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.Lawan
dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok,
semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama.
Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting
dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian
demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati, manusia
humanis.Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat
identifikasi etnik, dan ketergantungan.Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya
semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian.
2.1.5.2
Pandangan Etnosentrisme
Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ini patut
dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional.Dalam hal ini etnosentrisme fleksibelah
yang harus dikembangkan.Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung dengan baik.Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal,
diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan.Semakin tinggi
derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki,
meski tidak selalu demikian.
Manusia di seluruh belahan bumi meyakini bahwa cara hidup mereka (in-group)
adalah baik dan bermanfaat.Mereka menganggap bahasa mereka dan pemandangan di
daerah mereka sebagai sesuatu yang indah.Pakaian mereka sopan, makanan mereka enak
dan rumah mereka adalah tempat perlindungan yang baik.Orang asing (out-group) terlihat
jelek, pakaiannya aneh, makanannya tidakenak, bahasanya buruk dan bahkan tempat tinggal
mereka terlihat menakutkan. Ketika terjadi kontak atau hubungan antara satu kelompok
dengan kelompok lain, maka akan muncul beberapa proses spesifik yang biasanya
44 melibatkan perbedaan antara in-group kelompok dimana individu menjadi anggota dan out–
groupkelompok dimana individu tidak menjadi anggota.
In-group adalah sekelompok orang yang bersama – sama berbagi suatu perasaan
saling memiliki, suatu perasaan identitas bersama. Out-group adalah suatu kelompok yang
dianggap berbeda atau terpisah dari in–group. Dalam hubungan antar kelompok, keadaan in-
group
dan
out–group
dapat
menimbulkan
in–group
bias.
In–group bias
adalah
pengistimewaan suatu kelompok dimana individu berada. Pengistimewaan seperti itu dapat
terlihat dalam:
1. Rasa suka terhadap in–group, atau
2. Rasa tidak suka terhadap out–group, atau kombinasi keduanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, in–group bias dapat dilihat melalui kecenderungan
orang untuk berinteraksi dengan anggota dari kelompok mereka sendiri.Tekanan antara in–
group dan out-group sering memperjelas batasan – batasan mereka dan memberi suatu
perasaan yang jelas tentang identitas sosial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anggota
in–groupakan membentuk pandangan positif tentang diri dan kelompok mereka dan secara
tidak adil membentuk pandangan negatif terhadap berbagai kelompok out–group. Perasaan
yang berhubungan dengan in–group dan out–group disebut dengan etnosentrisme. Dalam
hubungan antar kelompok, pandangan dari suatu kelompok (in–group) sering kali dijadikan
tolak ukur untuk menilai out-group. Kesimpulan dari peneliti menyatakan bahwa
etnosentrisme adalah sikap yang menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan
norma yang ada dalam kebudayaannya, etnosentrisme juga memilikin arti kecenderungan
individu dalam menilai kebudayaan sendiri sebagai yang terbaik dan menggunakan norma
kebudayaannya sebagai tolak ukur.
Etnosentrisme menimbulkan prasangka terhadap kelompok etnis lain. Beberapa
pendapat ahli mengatakan bahwa etnosentrisme adalah suatu keadaan biasa dan merupakan
gejala sosial yang terdapat pada semua golongan, keluarga, geng-geng, klik-klik, dan
45 kelompok persaudaraan. Etnosentrisme mengacu pada suatu kepercayaan bahwa in–group
lebih baik atau superior daripada out–group. Hal ini dapat mempengaruhi evaluasi yang
dilakukan anggota kelompok tersebut sebagai individu.
Secara
informal,
etnosentrisme
adalah
kebiasaan
setiap
kelompok
untuk
menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Orang yang etnosentrik akan menganggap sesuatu yang familiar adalah baik dan
yang unfamiliar atau asing adalah buruk. Pada beberapa tingkatan, etnosentrisme sulit
dihindari baik secara formal maupun secara informal.Etnosentrisme dapat berdampak positif
dan negatif.Dampak positif dari etnosentrisme yaitu dapat digunakan untuk mempertebal
kesetiaan seseorang terhadap kelompoknya dan juga untuk meningkatkan moral, patriotisme
dan nasionalisme mereka.Sedangkan dampak negatifnya adalah terhambatnya perubahan –
perubahan
didalam
masyarakat
yang
bersifat
positif
bagi
para
anggota
masyarakatnya.Karena ide – ide dari luar selalu dicurigai atau dianggap salah maka
persoalan masyarakat yang seharusnya mudah dipecahkan menjadi sulit untuk diselesaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etnosentrisme merupakan konsep
hubungan sosial antara anggota dengan pihak luar kelompok. Hubungan sosial tersebut
biasanya akan lebih banyak dilakukan antar anggota daripada dengan pihak luar. Karena itu,
orang yang mempunyai sikap etnosentrik yang tinggi akan lebih banyak berhubungan
dengan sesama anggota dibanding dengan orang di luar kelompok. Hal itu disebabkan oleh
konsep etnosentrisme yang mengandung dimensi sikap yang positif dan negatif.Sikap positif
adalah unsur kebanggaan terhadap kelompoknya, sedangkan sikap negatif adalah anggapan
bahwa kelompok luar lebih rendah. Definisi sikap etnosentrik dapat disimpulkan sebagai
suatu sikap yang memandang kebudayaan kelompoknya lebih tinggi daripada kebudayaan
kelompok lain sehingga membatasi anggotanya dalam melakukan hubungan sosialnya.
Sikap etnosentrik dapat dilihat melalui kecenderungan tindakan individu dari aspek
bahasa, kerjasama dan pergaulan sehari – hari.Hubungan komposisi kelompok dengan sikap
46 etnosentrik sikap etnosentrik pada diri individu tidak muncul dengan sendirinya.Pembentukan
sikap pada diri individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, faktor yang mempengaruhinya
adalah pembentukan sikap yang dipengaruhi oleh orang tua dan kelompok teman sebaya
(peer group). Sikap individu terhadap berbagai hal berkembang sejalan dengan interaksi
dengan individu lain, termasuk kelompok teman sebaya.
Manusia dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial selalu merupakan bagian dari
kelompok dan selalu berinteraksi dalam kelompok kelompok teman sebaya merupakan salah
satu bentuk kelompok, yang cukup berpengaruh dalam kehidupan individu termasuk
mempengaruhi cara berperilaku, berpikir, perspektif terhadap diri sendiri dan dunia.
Peer group diartikan sebagai sekelompok kecil teman yang sama-sama memiliki
nilai, minat dan kegiatan bersama. Peer group juga mempengaruhi pembentukan sikap
individu.Sejalan dengan perubahan – perubahan dalam masyarakat yang mengakibatkan
peningkatan taraf interdependen antar individu, kelompok, organisasi, komunitas dan
masyarakat.Semakin interdependen masyarakat, maka semakin beragam keanggotaan dalam
kelompok.Keragaman itu dapat muncul dari karakteristik personal atau kemampuan dan
ketrampilan individu.
Hal ini menyebabkan terjadinya homogenitas dan heterogenitas kelompok dimana
semakin beragam anggota dalam suatu kelompok maka kelompok tersebut akan semakin
heterogen.
Homogenitas – heterogenitas kelompok akan mempengaruhi interaksi antar
anggotanya, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
pada diri individu.
Kecenderungan individu yang menjadi anggota suatu kelompok yang heterogen
untuk dapat berinteraksi dengan individu dari etnis yang berbeda lebih besar dibandingkan
dengan individu yang menjadi anggota suatu kelompok yang homogen. Maka keanggotaan
47 individu dalam kelompok masyarakat yang berbeda dalam hal homogenitas – heterogenitas
akan mempengaruhi sikap etnosentrik individu.
2.1.6
Keberhasilan Bisnis
2.1.6.1 Konsep Keberhasilan Bisnis
Seperti yang kita ketahui bahwa keberhasilan tidak mungkin diraih dengan begitu
saja,
tetapi
harus
melalui
beberapa
tahapan.
Menurut
Suryana
(2001:38-39)
mengemukakanbahwa untuk menjadi wirausaha atau pengusaha yang sukses pertama –
tama harus memiliki ide atau visi bisnis (business vision) kemudian ada kemauan dan
keberanian untuk adalah dengan membuat perencanaan usaha, mengorganisasikan dan
menjalankanya.
Menurut
Waridah
dalam
jurnalnya
yang
diterjemahkan
Lindrayanti
(2003)
“keberhasilan bisnis yaitu adanya peningkatan kegiatan bisnis yang dicapai oleh para
pengusaha industri kecil, baik dari segi peningkatan laba yang dihasilkan dicapai oleh
pengusaha dalam kurun waktu tertentu”.
MenurutSukere (1983) dalam jurnalnya untuk mengukur keberhasilan industri dapat
dilakukan dengan menggunakan evaluasi yang meliputi :
1. Evaluasi terhadap laporan keuangan, dengan jalan mengukur tingkat likuiditas,
solvabilitas, aktivitas, dan rentabilitas.
2. Pemasaran, dengan objek evaluasi daerah penjualan, volume penjualan,
distribusi, promosi, dan kebijakan harga.
3. Produksi, dengan objek evaluasi mutu produksi, kapasitas mesin, persediaan
bahan baku, barang setengah jadi, dan desain.
4. Administrasi akuntansi, dengan objek evaluasinya adalah catatan – catatan
akuntansi.
5. Manajemen, dengan objek evaluasinya adalah rencana dan struktur organisasi.
48 6. Kepegawaian, objek penelitiannya adalah penarikan tenaga kerja, pendidikan
dan latihan, penempatan, system upah dan perputaran tenaga kerja.
2.1.6.2 Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Keberhasilan Bisnis
Dewasa ini persaingan dan perkembangan dunia usaha semakin kuat dan tajam
sehingga untuk meningkatkan usaha diperlukan penanganan yang serius dari setiap
pengusaha untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain. Dimana untuk meningkatkan
keberhasilan usaha salah satu upaya yang harus dilakukan yaitu dengan meningkatkan
sumber daya internal.Dan diantara sumber daya internal yang paling penting adalah perilaku
kewirausahaan.
Menurut Yuyun Wirasasmita (2003) dalam jurnalnya, “bahwa faktor internal yang
paling penting dalam mempengaruhi keberhasilan usaha adalah kewirausahaan dan
manajerial, keberhasilan usaha atau dunia bisnis sangat tergantung pada kemampuan
manajerial dan kewirausahaan, pemimpin perusahaan tersebut memanfaatkan peluang dan
mengelola semua sumber secara optimal dan produktif”.
Sebab itu perilaku kewirausahaan mutlak dikembangkan melalui pendidikan,
latihan.lokakarya , dan kesempatan – kesempatan memperoleh wawasan yang lebih luas.
Jika seorang pengusaha telah memiliki perilaku kewirausahaan maka pengusaha itu
telah menyakini perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, ditunjang
dengan kreativitas, keinovasian, dan berani mengambil risiko. Dengan sendirinya tujuan yang
hendak dicapai akan terpenuhi.
Berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
perilaku kewirausahaan berpengaruh dalam menentukan keberhasilan usaha.Sehingga para
pengusaha dalam meningkatkan usahanya dituntut untuk memiliki perilaku kewirausahaan.
49 2.1.6.3 Faktor Penghambat Keberhasilan Bisnis
Adapun faktor yang menghambat keberhasilan bisnis dalam menjalankan usahanya,
diantaranya :
1. Tidak kompeten dalam menajerial. Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan
dan pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang
membuat perusahaan kurang berhasil.
2. Kurang
berpengalaman
baik
dalam
kemampuan
teknik,
kemampuan
memvisualisasikan usaha, kemampuan mengkoordinasikan, keterampilan mengelola
sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi usaha.
3. Kurang dapat mengendalikan keuangan. Agar perusahaan dapat berhasil dengan
baik faktor yang utama dalam keuangan adalah memerihara aliran kas. Mengatur
pengeluaran dan penerimaan secara cermat. Kekeliruan dalam memelihara aliran kas
akan menghambat operesional perusahaan dan mengakibatkan perusahaan tidak
lancar.
4. Gagal dalam perencanaan. Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan,
sekali gagal dalam perencanaan maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan.
5. Lokasi yang kurang memadai. Lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang
menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan
perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien.
6. Kurangnya pengawasan peralatan. Pengawasan erat kaitannya dengan efisiensi dan
efektivitas. Kurang pengawasan dapat mengakibtkan penggunaan alat tidak efisien
dan tidak efektif.
7. Sikap yang kurang sunguh – sungguh dalam berusaha. Sikap yang setengah –
setengah terhadap usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil
dan gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal menjadi basar.
50 8. Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan atau transisi kewirausahaan.
Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, tidak akan
menjadi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa
diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan
setiap waktu.
2.1.7
Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan terhadap Keberhasilan Bisnis
Berdasarkan jurnal Akbar Ariansyah (2001) yang berjudul “Pengaruh Gaya
Kepemimpinan dan Kultur Organisasi terhadap komunikasi dalam tim audit”, dapat
disimpulkan bahwa Gaya Kepemimpinan dan Kultur Organisasi merupakan dua faktor yang
memiliki pengaruh kuat dalam menentukan keberhasilan bisnis dalam mencapai tujuan.
2.1.8
Pengaruh Budaya terhadap Keberhasilan Bisnis
Berdasarkan Dr. Djokosantoso Moeljono (2005)dalam kutipan bukunya, bahwa,
“Budaya organisasi mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam
menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam suatu perusahaan”. Dapat disimpulkan
bahwa budaya dapat menetukan keberhasilan bisnis
2.1.9
Pengaruh Motivasi terhadap Keberhasilan Bisnis
Berdasarkan Ricky W. Griffin and Ronald (2007) dalam kutipan bukunya bahwa,
“Motivasi karyawan merupakan faktor yang bahkan lebih penting bagi keberhasilan
perusahaan”.Dapat disimpulkan bahwa motivasi dapat menentukan keberhasilan bisnis.
2.1.10 Pengaruh Etnosentris terhadap Keberhasilan Bisnis
Berdasarkan Mc Graw Hill dalam kutipan bukunya, bahwa “Etnosentris termasuk
beberapa hal yang mendukung atau faktor penunjang dalam menentukan keberhasilan
bisnis.Dapat disimpulkan bahwa Etnosentris dapat menetukan keberhasilan bisnis.
51 2.2
Kerangka Pemikiran
Kepemimpinan
(X1)
Budaya
(X2)
Keberhasilan Bisnis
(Y)
Motivasi
(X3)
Etnosentris
(X4)
Sumber: Penulis
52 2.3
Hipotesis
Menurut Sugiyono (2007,p51), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian. Dikatakan, sementara, karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, namun belum didasarkan pada fakta – fakta empiris
yang diperoleh melalui pengumpulan data.Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai
jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian.
Hipotesis dari penelitin ini berdasarkan rumusan masalah, yaitu:
1. H1: Gaya Kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan
Bisnis.
2. H2 : Budaya berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis.
3. H3 : Motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis.
4. H4 : Etnosentris berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis.
5. H5 : Gaya Kepemimpinan, Budaya, Motivasi, dan Etnosentris berpengaruh secara
signifikan terhadap Keberhasilan Bisnis.
Download