Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Laporan Keuangan
2.1.1 Pengertian Laporan Keuangan
Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan output/keluaran dari suatu
proses akuntansi yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
nantinya
digunakan
sebagai
alat
informasi
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan. Dalam PSAK No. 1 disebutkan bahwa laporan keuangan adalah
suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu
entitas (IAI, 2009).
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004) menjelaskan pengertian
laporan keuangan adalah:
“Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan.
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba
rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam
berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana),
catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian
integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan
informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya,
informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan
pengaruh perubahan harga.”
Dari penjelasan diatas ditekankan mengenai kelengkapan laporan
keuangan yang biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan
posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai
laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi
penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.
Menurut Kieso, et al. (2010:5) menjelaskan pengertian laporan keuangan
adalah:
“Financial statements are the principal means through which a company
communicates its financial information to those outside it.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laporan keuangan merupakan
sarana pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak diluar
perusahaan.
Menurut Munawir (2002:2) menjelaskan pengertian laporan keuangan
adalah:
“Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang
dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan
atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan
dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa hasil akhir proses akuntansi
adalah laporan keuangan yang berisikan data keuangan atas aktivitas yang telah
dijalankan perusahaan pada suatu periode tertentu yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi kepada pihak-pihak berkepentingan seperti
investor, kreditor, karyawan, pemasok, pemerintah, pelanggan, dan masyarakat.
Menurut Sutrisno (2003:9) menjelaskan pengertian laporan keuangan
adalah:
“Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang
meliputi dua laporan utama yakni, Neraca dan Laporan Laba Rugi.
Laporan keuangan disusun dengan maksud untuk menyediakan informasi
keuangan suatu perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
sebagai bahan pertimbangan di dalam mengambil keputusan.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa proses akuntansi diakhiri dengan
adanya output berupa laporan keuangan. Laporan keuangan yang biasanya
menjadi perhatian utama yaitu neraca (sekarang bernama laporan perubahan posisi
keuangan) dan laporan laba rugi. Output tersebut digunakan pihak internal dan
eksternal perusahaan dalam mengambil keputusan bagi kelangsungan hidup
perusahaan.
2.1.2 Tujuan Laporan Keuangan
Penyajian laporan keuangan memiliki beberapa tujuan. Menurut PSAK
No. 1 tujuan laporan keuangan adalah:
“Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi
keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi
sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan
ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban
manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada
mereka. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan
menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi:
a. aset;
b. laibilitas;
c. ekuitas;
d. pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian;
e. kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya
sebagai pemilik; dan
f. arus kas.
Informasi tersebut, beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan
atas laporan keuangan, membantu pengguna laporan dalam memprediksi
arus kas masa depan dan, khususnya, dalam hal waktu dan kepastian
diperolehnya kas dan setara kas (IAI, 2009).“
Sehubungan dengan yang dikemukakan di atas, bahwa laporan keuangan
yang disajikan oleh perusahaan memiliki beberapa tujuan, dimana tujuan
penyajiannya dapat dipisahkan menjadi dua yaitu:
1. Tujuan umum
Secara umum tujuan laporan keuangan ialah memberikan informasi
tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat
bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan.
2. Tujuan khusus
Tujuan laporan keuangan yaitu mengungkapkan informasi lain dalam
hubungannya dengan laporan keuangan yang relevan untuk kebutuhan
para pemakainya, antara lain:
(1) Laporan keuangan menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship)
manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya kepada mereka.
(2) Laporan keuangan mewajibkan informasi mengenai perusahaan yang
meliputi aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, beban, dan arus kas.
(3) Membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas pada masa
depan khusunya dalam waktu dan kepastian diperolehnya kas dan
setara kas.
2.1.3 Karakteristik Laporan Keuangan
Laporan keuangan memiliki karakteristik kualitatif yang membuat
informasi dalam laporan keuangan dapat berguna bagi pemakai. Berikut adalah
karakteristik tersebut menurut Kieso, et al. (2010:43-47) yaitu:
1. Relevansi (relevance)
Agar relevan, informasi akuntansi harus mampu membuat perbedaan
dalam sebuah keputusan. Jika tidak mempengaruhi keputusan, maka
informasi tersebut dikatakan tidak relevan terhadap keputusan yang
diambil. Terdapat dua unsur pokok dalam karakter relevan, yaitu:
a. Nilai prediktif (predictive value)
Informasi yang relevan akan membantu pemakai membuat prediksi
tentang hasil akhir dari kejadian masa lalu, masa kini, dan masa depan.
b. Nilai penegasan (confirmatory value)
Informasi yang relevan juga membantu pemakai mengkonfirmasi atau
mengoreksi ekspektasi atau harapan masa lalu.
2. Disajikan secara tepat (faithful representation)
Ketepatan penyajian berarti bahwa angka-angka dan penjelasan dalam
laporan keuangan mewakili apa yang betul-betul ada dan terjadi.
Ketepatan penyajian sangat dibutuhkan karena banyak pemakai informasi
keuangan yang tidak memiliki waktu atau keahlian dalam mengevaluasi
kebenaran dari informasi yang didapatkan. Untuk disajikan secara tepat,
informasi harus:
a. Lengkap (completeness)
Lengkap artinya bahwa semua informasi yang dibutuhkan untuk
disajikan secara tepat telah tersedia.
b. Netralitas (neutrality)
Netralitas berarti bahwa informasi tidak dapat dipilih untuk
kepentingan sekelompok pemakai tertentu. Informasi yang disajikan
harus faktual, benar, dan tidak bias.
c. Bebas dari kesalahan (free from error)
Informasi yang bebas dari kesalahan akan lebih akurat item
keuangannya.
3. Dapat dibandingkan (comparability)
Informasi yang diukur dan dilaporkan dengan cara yang sama pada
perusahaan yang berbeda dianggap dapat dibandingkan. Informasi
keuangan
akan
lebih
berguna
bagi
pemakainya
apabila
dapat
diperbandingkan dengan informasi keuangan pada laporan keuangan tahun
sebelumnya dan laporan keuangan antar perusahaan.
4. Dapat diuji (variability)
Daya uji ditunjukkan ketika pengukur-pengukur independen, dengan
menggunakan metode pengukuran yang sama, mendapatkan hasil yang
serupa.
5. Tepat waktu (timeliness)
Tepat waktu berarti informasi yang dibutuhkan tersedia untuk para
pembuat keputusan yang dapat mempengaruhi keputusan yang akan
diambil.
6. Dapat dipahami (understandability)
Informasi yang terkandung dalam laporan keuangan harus dapat dengan
mudah dipahami oleh pemakai.
7. Konsistensi (consistent)
Apabila sebuah entitas mengaplikasikan perlakuan akuntansi yang sama
untuk kejadian-kejadian yang serupa, dari periode ke periode, maka entitas
tersebut dianggap konsisten dalam menggunakan standar akuntansi.
2.1.4 Komponen Laporan Keuangan
Setelah adanya konvergensi IFRS di Indonesia, terjadi perubahan
komponen laporan keuangan. Berikut adalah perubahan komponen laporan
keuangan yang lengkap.
Tabel 2.1
Perubahan Komponen Laporan Keuangan
1.
2.
3.
4.
5.
Menurut PSAK lama
Neraca
Laporan Laba Rugi
Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan Arus Kas
Catatan atas Laporan Keuangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Menurut PSAK baru setelah konvergensi
Laporan Posisi Keuangan
Laporan Laba Rugi Komprehensif
Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan Arus kas
Catatan atas Laporan Keuangan
Laporan Posisi Keuangan Awal Periode
Berikut adalah gambaran umum mengenai keenam komponen laporan
keuangan setelah adanya konvergensi IFRS. Menurut PSAK No. 1, menjelaskan
komponen-komponen laporan keuangan adalah:
“Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut
ini:
a. laporan posisi keuangan pada akhir periode;
b. laporan laba rugi komprehensif selama periode;
c. laporan perubahan ekuitas selama periode;
d. laporan arus kas selama periode;
e. catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi
penting dan informasi penjelasan lainnya; dan
f. laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif (IAI, 2009)”.
a. Laporan posisi keuangan pada periode akhir;
Laporan posisi keuangan pada periode akhir merupakan laporan yang
menyediakan informasi mengenai nilai dan jenis investasi perusahaan,
kewajiban perusahaan kepada kreditur dan ekuitas pemilik. Posisi
keuangan
perusahaan
dipengaruhi
oleh
sumber
daya
yang
dikendalikan, likuiditas dan solvabilitas serta kemampuan beradaptasi
dengan perubahan lingkungan. Laporan posisi keuangan perusahaan
dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menghitung tingkat hasil
pengembalian,
mengevaluasi
struktur
modal
perusahaan
dan
memperhitungkan likuiditas dan fleksibilitas keuangan perusahaan.
b. Laporan laba rugi komprehensif;
Laporan laba rugi komprehensif berfungsi untuk mengukur kinerja
keuangan
perusahaan
antara
tanggal
neraca.
Laporan
ini
mencerminkan aktivitas operasi perusahaan yang menyediakan rincian
pendapatan, beban, untung dan rugi perusahaan untuk suatu periode
waktu. Laporan laba rugi dapat digunakan untuk mengetahui indikasi
profitabilitas perusahaan.
c. Laporan perubahan ekuitas selama periode;
Laporan ini menyajikan perubahan-perubahan pada pos ekuitas.
Laporan ini bermanfaat untuk mengidentifikasi alasan perubahan klaim
pemegang ekuitas atas aktivitas perusahaan.
d. Laporan arus kas selama periode;
Laporan ini menyajikan dan melaporkan arus kas masuk dan keluar
bagi aktivitas operasi, investasi dan pendanaan perusahaan secara
terpisah selama suatu periode tertentu.
e. Catatan atas laporan keuangan;
Catatan atas laporan keuangan berisi ringkasan kebijakan akuntansi
penting dan informasi penjelasan lainnya. Dalam PSAK No.1
dinyatakan bahwa:
“Catatan atas laporan keuangan berisi informasi tambahan atas apa
yang disajikan dalam laporan posisi keuangan, laporan pendapatan
komprehensif, laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), laporan
perubahan ekuitas dan laporan arus kas. Catatan atas laporan keuangan
memberikan penjelasan atau rincian dari pos-pos yang disajikan dalam
laporan keuangan tersebut dan informasi mengenai pos-pos yang tidak
memenuhi kriteria pengakuan dalam laporan keuangan (IAI, 2009).”
f. Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif.
Laporan posisi keuangan pada awal periode ini disajikan ketika entitas
menerapkan suatu kebijakan akuntansi retrospektif atau membuat
penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas
mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
2.1.5 Pemakai Laporan Keuangan
Laporan keuangan mempunyai arti penting bagi pihak-pihak yang
membutuhkan informasi dari laporan keuangan tersebut. Menurut Ikatan
Akuntansi Indonesia (2004), pemakai laporan keuangan adalah sebagai berikut:
a. Investor
Penanam modal berisiko dan penasihat mereka berkepentingan dengan
risiko yang melekat serta pengembangan dari investasi yang mereka
lakukan.
Mereka
membutuhkan
informasi
untuk
membantu
menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi
tersebut serta tertarik pada informasi yang memungkinkan penilaian
terhadap kemampuan perusahaan dalam membayar dividen.
b. Karyawan
Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik
pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan.
Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka
untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa,
manfaat pensiun, dan kesempatan kerja.
c. Pemberi pinjaman
Pemberi
pinjaman
tertarik
dengan
informasi
keuangan
yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta
bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
d. Pemasok dan kreditor usaha lainnya
Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang
terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha
berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih
pendek dibanding pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan
utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan.
e. Pelanggan
Para
pelanggan
berkepentingan
dengan
informasi
mengenai
kelangsungan hidup perusahaan, terutama kalau mereka terlibat dalam
perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan.
f. Pemerintah
Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya
berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu
berkepentingan
dengan
aktivitas
perusahaan.
Mereka
juga
membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan,
menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun
statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.
g. Masyarakat
Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara.
Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada
perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan
perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan
dapat
membantu
kecenderungan
masyarakat
(trend)
dan
dengan
menyediakan
perkembangan
kemakmuran serta rangkaian aktivitasnya.
terakhir
informasi
mengenai
2.1.6 Sifat dan Keterbatasan Laporan Keuangan
Sifat dan keterbatasan laporan keuangan menurut Ikatan Akuntansi
Indonesia (2004) adalah:
1. Laporan keuangan bersifat historis, yaitu laporan kejadian yang telah lalu.
Karenanya laporan keuangan tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya
sumber informasi dalam proses pengambilan keputusan.
2. Laporan keuangan bersifat umum dan bukan dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan pihak tertentu.
3. Proses penyusunan laporan keuangan tidak luput dari penggunaan taksiran
dan berbagai pertimbangan.
4. Akuntansi hanya melaporkan informasi yang material dan penerapan
prinsip akuntansi terdapat pos tertentu mungkin tidak dilaksanakan jika
tidak menimbulkan pengaruh material terhadap kelayakan laporan
keuangan.
5. Laporan keuangan bersifat konservatif dalam menghadapi ketidakpastian,
bila terjadi beberapa kemungkinan kesimpulan yang tidak pasti mengenai
penilaian suatu pos, maka lazimnya dipilih alternatif yang menghasilkan
laba bersih atau nilai aktiva yang paling kecil.
6. Laporan keuangan lebih menekankan makna ekonomi suatu peristiwa atau
transaksi daripada bentuk hukumnya.
7. Laporan keuangan diasumsikan dengan menggunakan istilah-istilah teknis
dan pemakaian laporan keuangan diasumsikan memahami bahasa teknis
akuntansi dan sifat dari informasi yang dilaporkan.
8. Adanya berbagai alternatif metode akuntansi yang dapat menimbulkan
variasi dalam pengukuran sumber ekonomis dan tingkat kesuksesan
antarperusahaan.
9. Informasi yang bersifat kumulatif dan fakta yang tidak dikuantifikasikan
umumnya diabaikan.
2.2
Laba
2.2.1 Pengertian Laba
Laba atau income merupakan salah satu informasi potensial yang
terkandung di dalam laporan keuangan yang sangat penting bagi pihak internal
dan eksternal perusahaan. Karena kinerja manajemen perusahaan tercermin pada
laba yang terkandung dalam laporan laba rugi. Informasi laba merupakan salah
satu komponen laporan keuangan perusahaan.
Menurut Suwardjono (2005:464) menjelaskan pengertian laba adalah:
“Laba dimaknai sebagai imbalan atas upaya perusahaan menghasilkan
barang dan jasa. Ini berarti laba merupakan kelebihan pendapatan diatas
biaya (biaya total yang melekat dalam kegiatan produksi dan penyerahan
barang/jasa).”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laba adalah imbalan atas kegiatan
yang dilakukan perusahaan dari proses memproduksi sampai menjual barang dan
jasa setelah dikurangi segala biaya yang digunakan dalam kegiatan operasi dan
penyerahan barang/jasa.
Menurut Riahi dan Belkaoui (2001:126) menjelaskan pengertian laba
adalah:
“Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dari ikhtisar keuangan yang
memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba pada umumnya
dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, determinan pada kebijakan
pembayaran dividen, pedoman investasi, dan pengambilan keputusan dan
unsur prediksi.”
Financial Statement Standard Board (FASB), seperti dikutip oleh
Suwardjono (2005:463), menjelaskan pengertian laba komprehensif adalah:
“Comprehensive income is the change in equity of a business enterprise
during a period from transactions and other events and circumstances
from nonowner sources. It includes all changes in equity during a period
except those resulting from investment by owners and distributions to
owners.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laba komperhensif adalah
perubahan ekuitas sebuah perusahaan bisnis selama suatu periode dari transaksi
dan kejadian lain dan keadaan yang bukan bersumber dari pemilik. Hal ini
termasuk semua perubahan ekuitas selama suatu periode kecuali perubahan yang
diakibatkan oleh investasi dan distribusi kepada pemilik.
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2004), pengertian laba rugi adalah:
“Laba rugi merupakan laporan utama untuk melaporkan kinerja dari suatu
perusahaan selama satu periode tertentu. Informasi tentang kinerja suatu
perusahaaan, terutama tentang profitabilitas dibutuhkan untuk mengambil
keputusan tentang sumber ekonomi yang akan dikelola oleh suatu
perusahaan di masa yang akan datang. Informasi tersebut juga seringkali
digunakan untuk menghasilkan kas dan aktiva disamakan dengan kas di
masa yang akan datang. Informasi tentang kemungkinan perubahan kinerja
juga penting dalam hal ini.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laporan laba rugi merupakan
laporan yang digunakan untuk melihat kinerja suatu perusahaan, seperti
profitabilitas yang digunakan untuk mengambil keputusan mengenai sumber
ekonomi yang akan digunakan perusahaan pada periode mendatang.
2.2.2 Jenis-Jenis Laba
Dalam perhitungan laba rugi, laba terdiri dari berbagai jenis, diantaranya
yaitu:
1. Laba kotor atas penjualan, merupakan selisih dari penjualan bersih dan
harga pokok penjualan, laba ini dinamakan laba kotor hasil penjualan
bersih belum dikurangi dengan beban operasi lainnya untuk periode
tertentu.
2. Laba bersih operasi perusahaan, yaitu laba kotor dikurangi dengan
sejumlah biaya penjualan, biaya administrasi dan umum.
3. Laba bersih sebelum potongan pajak, yaitu merupakan pendapatan
perusahaan secara keseluruhan sebelum potongan pajak perseroan, yaitu
perolehan apabila laba operasi dikurangi atau ditambah dengan selisih
pendapatan dan biaya lain-lain.
4. Laba bersih sesudah potongan pajak, yaitu laba bersih setelah ditambah
atau dikurangi dengan pendapatan dan biaya non operasi dan dikurangi
dengan pajak perseroan.
Hasil suatu perusahaan umumnya dirangkum dalam satu bagian utama,
yaitu laba bersih. Tetapi walaupun demikian, laba bersih ini belum dianggap
ringkas, oleh karena itu digunakan indikator lainnya yang lebih ringkas yaitu
earning per share.
2.2.3 Konsep Laba
2.2.3.1 Laba Menurut Konsep Akuntansi
Riahi dan Belkaoui (2001:127) mendefinisikan income akuntansi secara
operasional sebagai perbedaan antara pendapatan realisasian (realized revenues)
yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya historis.
Definisi ini menunjukkan lima karakteristik laba akuntansi, yaitu:
1. Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual yang diadakan oleh
perusahaan (terutama pendapatan yang berasal dari penjualan barang dan
jasa dikurangi biaya yang dibutuhkan untuk mencapai tersebut).
2. Laba akuntansi didasarkan pada periode postulat dan merujuk pada kinerja
keuangan perusahaan selama satu periode tertentu.
3. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip pendapatan dan memerlukan
definisi, pengukuran, dan pengakuan pendapatan.
4. Laba akuntansi meminta pengukuran biaya dalam hal biaya historis bagi
perusahaan, merupakan ketaatan yang kuat pada prinsip biaya. Aset dicatat
pada harga perolehannya hingga penjualan terealisir, pada saat perubahan
nilai diakui.
5. Laba akuntansi meminta bahwa pendapatan realisasian pada suatu periode
dikaitkan dengan biaya yang relevan yang layak atau sesuai. Oleh karena
itu, prinsip akuntansi dikaitkan pada prinsip perbandingan. Secara
mendasar,
biaya
tertentu
atau
biaya
periode
dialokasikan
atau
dibandingkan dengan pendapatan dan biaya lain dilaporkan dan
dipindahkan sebagai aset. Biaya yang dialokasikan dan dibandingkan
dengan pendapatan dianggap telah digunakan jasa potensialnya.
2.2.3.2 Laba Menurut Konsep Ekonomi
Konsep ekonomi selalu menjadi sesuatu yang menarik bagi ahli-ahli
ekonomi. Menurut Adam Smith dalam Riahi dan Belkaoui (2001:128)
mendefinisikan income sebagai peningkatan dalam kesejahteraan. Menurut
Schroeder dan Clark (1998) seperti yang dikutip oleh Suwardjono (2005:461)
menyatakan bahwa income ekonomi dibedakan atas dasar sifatnya, yaitu:
1. Laba psikik (Psychic income)
Laba psikik adalah laba yang berupa kenaikan dalam pemuasan keinginan
manusia. Laba ini dapat dirasakan maknanya tetapi sulit dikuantifikasi
secara umum karena kepuasan manusia bergantung pada tingkat
kemakmuran dan status sosial yang telah dicapai. Artinya, angka rupiah
laba yang sama tidak memberi kepuasan yang sama antara orang yang satu
dan lainnya.
2. Laba riil (Real income)
Laba riil adalah laba yang berupa kenaikan kemakmuran ekonomik.
3. Laba uang (Money income)
Laba uang adalah laba yang berupa kenaikan satuan uang dalam suatu
periode tanpa memperhatikan pengaruh perbedaan daya beli dan menjadi
fokus pengukuran laba akuntansi.
Jadi, laba akuntansi berkepentingan dengan laba uang, sedangkan laba
ekonomik berkepentingan dengan laba riil.
2.2.4 Tujuan Pelaporan Laba
Menurut Hendriksen (2005:331) menjelaskan tujuan dari pelaporan laba
adalah:
“Tujuan utama dari pelaporan laba adalah memberikan informasi yang
berguna bagi mereka yang paling berkepentingan dalam laporan keuangan.
Tujuan yang lebih spesifik mencakup:
1. Penggunaan laba sebagai pengukuran efisiensi manajemen.
2. Penggunaan angka laba historis untuk membantu meramalkan arah
masa depan dari perusahaan atau pembagian dividen di masa depan.
3. Penggunaan laba sebagai pengukuran pencapaian dan sebagai
pedoman untuk keputusan manajerial masa depan.”
2.3
Teori Keagenan
Timbulnya praktek perataan laba dapat dijelaskan dengan teori agensi.
Konsep teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal (pemegang
saham) dan agen (manajer). Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan
tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan
keputusan dari prinsipal kepada agen (Anthony dan Govindarajan, 2005). Jika
agen tidak berbuat sesuai kepentingan prinsipal, maka akan terjadi konflik
keagenan (agency conflict), sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Konflik keagenan (agency cost) yang ditimbulkan oleh tindakan perataan
laba dipicu dari adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara
pemegang saham (principal) dengan manajemen perusahaan (agent). Misalnya,
manajemen selaku pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan
lebih banyak dan lebih dahulu daripada pemegang saham sehingga terjadi asimetri
informasi yang memungkinkan manajemen melakukan praktek akuntansi dengan
orientasi pada laba untuk mencapai suatu kinerja tertentu. Asimetri Informasi
adalah masalah-masalah yang ditimbulkan oleh informasi yang tidak lengkap,
yaitu ketika tidak semua keadaan diketahui oleh kedua belah pihak dan sebagai
akibatnya, ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh
masing-masing pihak yang bersangkutan (Hendriksen, 2005:222).
Eisenhardt (1989) dalam Pujiningsih (2011) menyatakan bahwa teori
agensi menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada
umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya
pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar
manusia tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak
berdasarkan sifat oportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya
(Scott, 2006:344).
Pada teori keagenan, antara agen dan prinsipal terdapat konflik
kepentingan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan keagenan
tersebut berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka. Konflik tersebut antara
lain adalah:
1. Manajemen berkeinginan meningkatkan kesejahteraannya sedangkan
pemegang saham berkeinginan meningkatkan kekayaannya.
2. Manajemen berkeinginan memperoleh kredit sebesar mungkin dengan
harga rendah sedangkan kreditor hanya ingin memberi kredit sesuai
dengan kemampuan perusahaan.
3. Manajemen berkeinginan membayar pajak sekecil mungkin sedangkan
pemerintah ingin memungut pajak setinggi mungkin.
Teori keagenan modern mencoba untuk menjelaskan struktur modal
perusahaan sebagai cara untuk meminimalisasi biaya yang dikaitkan dengan
adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Perusahaan yang
dikuasai oleh manajerial, maka biaya keagenannya rendah. Hal ini disebabkan
antara pemegang saham dan manajer terdapat tujuan yang sama.
2.4
Manajemen Laba
2.4.1 Pengertian Manajemen Laba
Perhatian utama investor dan kreditor pada laporan keuangan yaitu
informasi laba. Situasi ini sangat dipahami manajemen sehingga untuk tujuan
tertentu manajemen cenderung untuk melakukan manajemen laba. Menurut Scott
(2006:344) mendefinisikan manajemen laba adalah:
“Earnings management is the choice by a manager of accounting policies
so as to achieve some specific objective.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba adalah tindakan
yang dilakukan melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan
tertentu.
Menurut Kieso et al. (2010:145) mendefinisikan manajemen laba adalah:
“Earnings management is often defined as the planned timing of revenues,
expenses, gains, and losses to smooth out bumps in earnings.”
Pernyataan
tersebut
menjelaskan
bahwa
manajemen
laba
sering
didefinisikan sebagai perencanaan waktu dari pendapatan, beban, keuntungan, dan
kerugian untuk meratakan fluktuasi laba.
Menurut Nuryaman (2008) mendefinisikan manajemen laba adalah:
“Manajemen laba (ML) adalah suatu kondisi di mana manajemen
melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi
pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikan, dan menurunkan
pelaporan laba.”
Menurut Schipper (Gumanti, 2001) mendefinisikan manajemen laba
adalah:
“Earnings management is disclosure management in the sense of
purposeful sintervention in external reporting process, with intent of
obtaining some private gain.”
Pernyataan tersebut mendefinisikan manajemen laba sebagai upaya yang
dilakukan manajer untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi tertentu.
Dari definisi tersebut jelas bahwa manajemen laba merupakan intervensi langsung
manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan atau manfaat tertentu.
Meskipun
sudut
pandang
definisi
manajemen
laba
yang
telah
dikemukakan berbeda, namun pada dasarnya definisi manajemen laba yang
dikemukakan mengarah pada tindakan oportunis, yaitu berusaha memaksimalkan
kepentingan sendiri.
Menurut Scott (2006:240) terdapat dua cara pandang dalam memahami
manajemen laba yang dilakukan manajer perusahaan: pertama, bertujuan untuk
memaksimalkan utilitas manajemen (opportunistic behavior); kedua, bertujuan
untuk memberikan keuntungan kepada semua pihak yang terkait dalam kontrak
(efficient contracting). Scott menyatakan bahwa manajemen laba lebih cenderung
untuk tujuan opportunistic behavior.
2.4.2 Klasifikasi Manajemen Laba
Menurut Sastradipraja (2010:33-34) terdapat dua klasifikasi manajemen
laba yaitu:
1. Cosmetic Earnings Management
Cosmetic earnings management, terjadi jika manajer memanipulasi akrual
yang tidak memiliki konsekuensi cash flow. Teknik ini merupakan hasil
dari kebebasan dalam aplikasi akuntansi akrual yang mungkin terjadi.
Standar akuntansi keuangan dan mekanisme pengawasan mengurangi
kebebasan ini, tetapi tidak mungkin untuk meniadakan pilihan karena
kompleksitas dan keragaman aktivitas usaha. Akuntansi akrual yang
membutuhkan estimasi dan pertimbangan (judgements) menyebabkan
kebebasan manajer dalam menetapkan angka akuntansi. Meskipun
kebebasan ini memberikan kesempatan bagi manajer untuk menyajikan
gambaran aktivitas usaha perusahaan yang lebih informatif, kebebasan ini
juga memungkinkan mereka mempercantik laporan keuangan (Windowdress financial statement).
2. Real Earnings Management
Real earnings management, terjadi jika manajer melakukan aktivitas
dengan konsekuensi cash flow. Insentif untuk melakukan manajemen laba
mempengaruhi keputusan investasi dan keuangan oleh manajer. Real
earnings management lebih bermasalah dibandingkan cosmetic earnings
management, karena mencerminkan keputusan usaha yang seringkali
mengurangi kekayaan pemegang saham.
2.4.3 Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba
Menurut
Scott
(2006:243-244)
terdapat
tiga
hipotesis
yang
melatarbelakangi terjadinya manajemen laba, yaitu:
1. The Bonus Plan Hypothesis
Manajer perusahaan dengan perencanaan bonus yang tinggi mungkin akan
memilih prosedur akuntansi dengan menggeser laba periode mendatang ke
periode saat ini. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah memilih
kebijakan akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan saat
ini. Jika manajer menghindari risiko, maka manajer akan lebih memilih
kebijakan akuntansi dengan meratakan laba yang dilaporkan.
2. The Debt Covenant Hypothesis
Perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang, manajernya
kemungkinan besar akan memilih prosedur akuntansi dengan menggeser
laba periode mendatang ke periode saat ini. Alasannya adalah bahwa
peningkatan laba bersih yang dilaporkan akan mengurangi kemungkinan
terjadinya kesalahan teknis. Untuk mencegah, atau setidaknya menunda
pelanggaran tersebut, manajemen dapat mengadopsi kebijakan akuntansi
untuk meningkatkan pendapatan saat ini.
3. The Political Cost Hypothesis
Semakin besar biaya politik yang dihadapi oleh perusahaan, manajer
kemungkinan akan memilih prosedur akuntansi dengan menangguhkan
laba periode saat ini ke periode mendatang. Hipotesis biaya politik
memperkenalkan dimensi politik menjadi pilihan kebijakan akuntansi.
Perusahaan yang sangat besar dapat membuat standar kinerja yang lebih
tinggi, misalnya berkenaan dengan tanggung jawab lingkungan.
2.4.4 Pola Manajemen Laba
Scott (2006:345-346) mengidentifikasikan adanya empat pola yang
dilakukan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba sebagai berikut:
(1) Taking a bath
Terjadi pada saat reorganisasi. Ketika perusahaan melaporkan adanya
kerugian, maka manajemen melakukan kebijakan untuk melaporkan
kerugian dengan jumlah yang besar sekaligus.
(2) Income minimization
Kebijakan
ini
dilakukan
ketika
perusahaan
mengalami
tingkat
profitabilitas yang tinggi. Contohnya adalah dengan membebankan beban
iklan dan beban penelitian dan pengembangan lebih besar.
(3) Income maximization
Manajer mungkin melakukan pola ini untuk melaporkan net income yang
tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh
perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.
(4) Income smoothing.
Income smoothing dari perspektif kontrak, manajer lebih memilih
menghindari risiko. Akibatnya, manajer dapat meratakan laba yang
dilaporkan dari waktu ke waktu sehingga menerima kompensasi yang
relatif tetap. Kontrak kompensasi yang efisien dapat mengeksploitasi efek
ini, dan memperbolehkan beberapa perataan laba sebagai cara mengurangi
biaya untuk mencapai keinginan utilitas manajer.
2.4.5 Motivasi Manajemen Laba
Menurut Scott (2006:352-355), motivasi manajemen melakukan tindakan
manajemen laba adalah sebagai berikut:
1. Bonus Scheme (Rencana Bonus)
Healy (1985) menunjukkan secara empiris bahwa sebelum melakukan
manajemen laba, manajer mempunyai informasi dari dalam perusahaan
atas
laba
bersih
perusahaan.
Penelitian
ini
juga
menunjukkan
kecenderungan manajemen yang secara oportunistik mengelola laba bersih
untuk memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi
perusahaan. Healy (1985) berusaha untuk membuktikan dan memprediksi
metode akuntansi yang akan dipilih manajer. Penelitian ini merupakan
perluasan dari bonus plan hypothesis. Jika pada suatu tahun tertentu laba
bersih perusahaan rendah (di bawah bogey) maka tindakan manajer adalah
menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih
rendah (taking a bath) yang bermaksud untuk mencapai bonus pada tahun
berikutnya. Sedangkan jika pada satu tahun tertentu laba bersih perusahaan
tinggi (diatas cap) maka tindakan yang dilakukan manajer adalah
menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih
rendah. Tindakan ini dilakukan karena manajer tidak akan mendapatkan
bonus yang lebih tinggi dari target yang telah ditentukan. Intinya manajer
akan melakukan manajemen laba pada saat laba bersih berada diantara
bogey dan cap.
2. Motivasi Lain
a. To Meet Investor’s Earnings Expectations (Untuk Memenuhi
Ekspektasi Laba Investor)
Ekspektasi laba investor dapat dibentuk dalam berbagai cara.
Misalnya, manajer didasarkan pada pendapatan periode yang sama
tahun lalu, atau pada perkiraan analis baru-baru ini. Perusahaan yang
melaporkan laba lebih besar dari yang diharapkan biasanya merasakan
kenaikan harga saham yang signifikan, karena investor merevisi
kenaikan probabilitas mereka dari kinerja masa depan yang membaik.
Akibatnya, manajer memiliki insentif yang kuat untuk memastikan
bahwa ekspektasi laba terpenuhi. Dapat disimpulkan bahwa memenuhi
ekspektasi laba investor adalah insentif manajemen laba yang kuat.
b. Debt Contract Motivations (Motivasi Kontrak Utang)
Kontrak utang biasanya tergantung pada faktor akuntansi, yang timbul
dari masalah moral hazard antara manajer dan pemberi pinjaman.
Manajemen laba untuk tujuan perjanjian diperkirakan oleh the debt
covenant hypothesis dari teori akuntansi positif. Manajemen laba dapat
muncul
sebagai
penemuan
untuk
mengurangi
kemungkinan
pelanggaran perjanjian kontrak utang. Dengan demikian terlihat ketika
masalah yang sangat mendalam, perilaku perusahaan melampaui apa
yang diperkirakan oleh the debt covenant hypothesis dan, sebagai
gantinya, manajemen laba menjadi bagian dari strategi keseluruhan
perusahaan untuk bertahan hidup. Laba insentif manajemen juga
berasal dari kontrak implisit, juga disebut kontrak relasional.
c. Initial Public Offering (Penawaran Saham Perdana)
Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa manajer perusahaan publik
dapat mengelola laba yang dilaporkan dalam prospektus mereka
dengan harapan menerima harga yang lebih tinggi untuk saham
mereka. Karena perusahaan yang melakukan penawaran saham
perdana biasanya berkembang pesat, maka sangat sulit untuk
memperkirakan akrual diskresioner mereka, karena pertumbuhan itu
sendiri mendorong peningkatan akrual, seperti piutang, persediaan, dan
lain-lain.
2.4.6 Teknik Manajemen Laba
Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000)
dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu:
1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (pertimbangan)
terhadap akuntansi antara lain, estimasi tingkat piutang tak tertagih,
estimasi kurun waktu depresiasi aset tetap atau amortisasi aset tak
berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
2. Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu
transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aset tetap, dari metode
depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan
Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat
atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai
pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman
produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aset tetap yang sudah tidak
dipakai.
2.5
Perataan Laba
2.5.1 Pengertian Perataan Laba
Perhatian pengguna laporan keuangan yang seringkali hanya berfokus
pada informasi laba, mendorong manajemen melakukan disfunctional behavior
berupa praktik perataan laba (income smoothing). Perataan laba merupakan salah
satu pola dari manajemen laba. Menurut Riahi dan Belkaoui (2001:56), pengertian
perataan laba adalah sebagai berikut:
“Perataan laba didefinisikan sebagai upaya yang sengaja dilakukan untuk
memperkecil atau fluktuasi pada tingkat laba yang dianggap normal bagi
suatu perusahaan.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa perataan laba mencerminkan suatu
usaha dari manajemen perusahaan untuk menurunkan variasi yang abnormal
dalam laba sejauh yang diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen
yang baik.
Menurut Koch (Kamaruddin et.al., 2003) menjelaskan pengertian income
smoothing adalah:
“Income smoothing merupakan suatu alat yang digunakan manajemen
untuk mengurangi variabilitas yang menyolok dari laba yang dilaporkan
dalam batas target yang diharapkan dengan manipulasi variabel akuntansi
atau transaksi yang terjadi dalam perusahaan.”
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan
bahwa perataan laba merupakan tindakan yang sengaja dilakukan untuk
mengurangi variabilitas laba yang dilaporkan. Karena investor umumnya
menyukai laba yang relatif stabil.
2.5.2 Klasifikasi Perataan Laba
Riahi dan Bealkoui (2001:58) menyatakan bahwa terdapat dua jenis
perataan laba, yaitu:
1. Natural Smoothing
Sebuah proses yang dilakukan oleh pihak manajemen secara langsung
tanpa adanya rekayasa. Misalnya seseorang mengharapkan laba dari
sebuah transaksi umum seperti penjualan barang dagangan dan biaya
operasi.
2. Intentional Smoothing
Perataan laba tersebut terjadi karena adanya campur tangan dari pihak
manajemen. Intentional smoothing dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Real smoothing (Perataan laba riil)
Perataan
laba
mengendalikan
riil
merupakan
peristiwa
tindakan
ekonomi
yang
manajemen
secara
dalam
langsung
mempengaruhi laba perusahaan di masa yang akan datang.
b. Artificial smoothing (Perataan laba artifisial)
Perataan laba artifisial merupakan usaha yang dilakukan manajemen
untuk meratakan laba dengan cara manipulasi.
Berdasarkan penjelasan tipe perataan laba tersebut, konsep perataan laba
yang akan peneliti lakukan adalah perataan laba yang disengaja, tanpa
membedakan perataan laba riil atau perataan laba artifisial, karena peneliti
menduga bahwa ada campur tangan dari manajemen dalam mempengaruhi laba
yang dilaporkan.
2.5.3 Motivasi dan Tujuan Perataan Laba
Motivasi dalam perataan laba meliputi memperbaiki hubungan dengan
kreditor, investor, pekerja, dan memperkecil siklus bisnis melalui proses
psikologis. Brayshaw dan Eldin (1989) dalam Subekti (2005) menyatakan bahwa
terdapat dua hal yang memotivasi manajer dalam mengambil keputusan untuk
melakukan praktik perataan laba, yaitu:
1. Rencana kompensasi manajemen yang biasanya dihubungkan dengan
kinerja perusahaan yang ditunjukkan dalam laba yang dilaporkan,
sehingga setiap fluktuasi dalam laba akan mempengaruhi langsung
terhadap kompensasinya.
2. Fluktuasi dalam kinerja manajemen mungkin mengakibatkan intervensi
pemilik untuk mengganti manajemen dengan cara pengambilalihan atau
penggantian manajemen, ini mendorong manajemen untuk membuat
laporan kinerja yang sesuai dengan keinginan pemilik.
Menurut Hepworth (1953) dalam Kurniawan (2012), tindakan perataan
laba yang dilakukan oleh manajemen pada dasarnya untuk mendapatkan berbagai
keuntungan
ekonomis
dan
psikologis,
yaitu:
mengurangi
total
pajak,
meningkatkan kepercayaan diri manajer, meningkatkan hubungan antara manajer
dan karyawan, siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingi
dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.
2.5.4 Sasaran Perataan Laba
Sasaran perataan laba dapat dilakukan terhadap aktivitas-aktivitas yang
dapat digunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi aliran data atau informasi.
Dengan kata lain, untuk menciptakan laporan keuangan yang sesuai yang
diinginkan, manajer dapat memasukkan informasi yang seharusnya dilaporkan
pada periode yang akan datang ke dalam laporan periode ini atau sebaliknya tidak
melaporkan informasi periode ini untuk dilaporkan pada periode yang akan
datang.
Foster (1986) dalam Syahriana (2006) mengklasifikasikan unsur-unsur
laporan keuangan yang seringkali dijadikan sasaran untuk melakukan perataan
laba adalah:
1. Unsur penjualan
a. Saat pembuatan faktur. Sebagai contoh, penjualan yang sebenarnya
untuk periode yang akan datang pembuatan fakturnya dilakukan pada
periode ini dan dilaporkan sebagai penjualan periode ini.
b. Pembuatan pesanan atau penjualan fiktif.
c. Downgrading (penurunan) produk, sebagai contoh, dengan cara
mengklasifikasikan produk yang belum rusak ke dalam kelompok
produk rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan harga
yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya.
2. Unsur biaya
a. Memecah-mecah faktur, misalnya faktur untuk sebuah pembelian atau
pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau pesanan dan
selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dengan tanggal yang berbeda
kemudian dilaporkan dalam beberapa periode akuntansi.
b. Mencatat prepayment (biaya dibayar dimuka) sebagai biaya. Misalnya
melaporkan biaya advertensi dibayar dimuka untuk tahun depan
sebagai biaya advertensi tahun ini.
2.5.5 Terjadinya Perataan Laba
Cara-cara yang dapat digunakan untuk melakukan perataan laba menurut
Barnet et al. (Riahi dan Belkaoui, 2001:59) adalah:
1. Perataan melalui terjadinya peristiwa atau pengakuan
Manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi sedemikian rupa
sehingga efek transaksi tersebut terhadap income akan cenderung
memperkecil variasinya dari waktu ke waktu. Waktu terjadinya peristiwa
yang direncanakan (misalnya riset dan pengembangan) sebagain besar
merupakan fungsi dari aturan akuntansi yang mengatur tentang pengakuan
akuntansi terhadap peristiwa tersebut.
2. Perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu
Cara ini berkaitan dengan terjadinya dan pengakuan suatu peristiwa.
Manajemen memiliki kebebasan yang lebih untuk mengendalikan
penentuan periode yang dipengaruhi oleh kuantifikasi peristiwa tersebut.
3. Perataan melalui klasifikasi.
Ketika statistik laporan income selain income bersih (nilai bersih semua
pendapatan dan biaya) merupakan objek perataan, manajemen dapat
mengklasifikasi elemen-elemen dalam laporan income untuk mengurangi
variasi dari waktu ke waktu dalam statistik tersebut.
Pada dasarnya perataan riil berkaitan dengan perataan melalui terjadinya
peristiwa dan/atau pengakuan, sedangkan perataan artifisial berkaitan dengan
perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu.
2.5.6 Model Perhitungan Perataan Laba (Model Eckel)
Metode pendeteksian laba yang paling umum dan banyak digunakan oleh
para peneliti dari berbagai negara untuk mengklasifikasikan perusahaan ke dalam
kelompok income smoothers (melakukan perataan laba) atau non-income
smoothers (tidak melakukan perataan laba) adalah model Eckel (1981). Model
Eckel ini membandingkan kovarian laba (CV I) dengan kovarian penjualan (CV
S), mana yang lebih besar. Suatu perusahaan dikategorikan income smoothers jika
CV Penjualan > CV laba dan sebaliknya jika CV Penjualan < CV Laba , maka
dikategorikan sebagai non-income smoothers.
Indeks perataan laba =
Dimana:
CV Penjualan : koefisien variasi penjualan
CV Laba
: koefisien variasi laba
Suatu perusahaan diklasifikasikan sebagai income smoothers jika:
CV Penjualan > CV Laba atau
Sebaliknya, jika:
≥1
CV Penjualan < CV Laba atau
<1
maka, perusahaan tersebut diklasifikasikan sebagai kelompok non income
smoothers.
CV Penjualan =
CV Laba =
Dimana:
̅
̅
σ Laba
: Standar deviasi laba
σ Penjualan
: Standar deviasi penjualan
̅ Laba
̅ Penjualan
: Rata-rata laba
: Rata-rata penjualan
Penggunaan model Eckel dalam rangka menentukan apakah suatu
perusahaan melakukan praktik income smoothing atau tidak melakukan praktik
income smoothing dalam berbagai penelitian empiris terdahulu adalah
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Model Eckel telah digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu, baik di luar
negeri maupun di Indonesia.
2. Laba yang digunakan dalam model Eckel ini adalah laba yang
sesungguhya terjadi, atau tidak menggunakan proyeksi laba, sehingga laba
yang digunakan dalam perhitungan akan bersifat objektif.
3. Penjualan/pendapatan yang digunakan adalah penjualan/pendapatan bersih
yang sesungguhnya terjadi.
2.5.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba
Perataan laba dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong
manajer untuk melakukan perataan laba. Banyak penelitian empiris terdahulu
telah menguji faktor-faktor tersebut dan temuan empiris yang diperoleh
menunjukkan
belum
adanya
kesepakatan
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perataan laba, karena untuk beberapa faktor masih disimpulkan
berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap perataan laba. Berikut ini disajikan
penelitian-penelitian empiris terdahulu yang meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi dan tidak mempengaruhi perataan laba.
No
1
2
3
4
5
6
Tabel 2.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba
Faktor yang Berpengaruh
Ukuran perusahaan
Profitabilitas
Financial leverage
Dividend pay out ratio
Risiko keuangan
Nilai perusahaan
Sumber: diolah
No
1
Peneliti (Tahun)
Budiasih (2009)
Siregar dan Utomo (2008), Budiasih
(2009), Prabayanti dan Yasa (2011)
Prabayanti dan Yasa (2011)
Budiasih (2009)
Aji dan Mita (2010)
Aji dan Mita (2010)
Tabel 2.3
Faktor-Faktor yang Tidak Mempengaruhi Perataan Laba
Faktor yang Tidak Berpengaruh
Ukuran perusahaan
2
Profitabilitas
3
Financial Leverage
4
Struktur kepemilikan
5
6
Kontrol kepemilikan
Net profit margin
7
8
9
10
Kelompok usaha
Jenis usaha
Winner/losses stocks
Reputasi auditor
Sumber: diolah
Peneliti (Tahun)
Salno dan Baridwan (2000), Suwito dan
Herawaty (2005), Siregar dan Utomo
(2008), Prabayanti dan Yasa (2011)
Suwito dan Herawaty (2005), Aji dan Mita
(2010)
Suwito dan Herawaty (2005), Budiasih
(2009)
Aji dan Mita (2010), Prabayanti dan Yasa
(2011)
Siregar dan Utomo (2008)
Salno dan Baridwan (2000), Suwito dan
Herawaty (2005)
Salno dan Baridwan (2000)
Suwito dan Herawaty (2005)
Salno dan Baridwan (2000)
Prabayanti dan Yasa (2011)
2.6
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan pada dasarnya adalah pengelompokan perusahaan ke
dalam beberapa kelompok, diantaranya adalah perusahaan besar, perusahaan
sedang dan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan yang biasa dipakai untuk
menentukan tingkat perusahaan adalah:
1. Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan kontraktor yang
terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu saat tertentu.
2. Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada
suatu periode tertentu misalnya satu tahun.
3. Total utang ditambah dengan nilai pasar saham biasa, merupakan jumlah
utang dan nilai pasar saham biasa perusahaan pada saat atau suatu tanggal
tertentu.
4. Total aset, merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan pada
saat tertentu.
Klasifikasi ukuran perusahaan menurut Small Bussiness Administration
(SBA), yaitu:
Small
Bussiness
Family size
Small
Medium
Large
Table 2.4
Klasifikasi Ukuran Perusahaan Menurut SBA
Employment
Size
1-4
5-19
20-99
100-499
Asset Size
Sales Size
Under $100,000
$100,000-500,000
$500,000-5 million
$5-25 million
$100,000-500,000
$500,000-1 million
$1 million-10 million
$10 million-50 million
Sumber: Small Bussiness Administration (Agustiyana, 2010)
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
46/M-DAG/PER/ 9/2009 tentang perubahan atas peraturan menteri perdagangan
Republik Indonesia No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang penerbitan surat izin
usaha perdagangan, pasal 3 mengelompokkan ukuran perusahaan atas:
Tabel 2.5
Ukuran Perusahaan Menurut Menteri Perdagangan RI
Kategori
Perusahaan kecil
Perusahaaan menengah
Perusahaan besar
Nilai Aset (tanpa nilai tanah dan bangunan)
Rp50.000.000-Rp500.000.000
Rp500.000.000-Rp10.000.000.000
>Rp10.000.000.000
Keputusan Ketua Bapepam No. Kep. 11/PM/1997 menyebutkan
perusahaan kecil dan menengah berdasarkan aktiva (kekayaan) adalah badan
hukum yang memiliki total aktiva tidak lebih dari seratus milyar, sedangkan
perusahaan besar adalah badan hukum yang total aktivanya diatas seratus milyar.
Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positif menyatakan
bahwa ukuran perusahaan digunakan sebagai pedoman biaya politik dan biaya
politik akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan risiko
perusahaan. Dalam teori ini dijelaskan bahwa perusahaan besar mempunyai
motivasi melakukan perataan laba dengan menurunkan laba guna menurunkan
biaya politik. Sebaliknya terjadi bagi perusahaan kecil yang berupaya
menampilkan laba yang lebih baik.
2.7
Profitabilitas
Profitabilitas
merupakan
kemampuan
suatu
perusahaan
dalam
menghasilkan keuntungan (profit) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham
tertentu. Profitabilitas merupakan ukuran penting yang sering dijadikan patokan
oleh investor dalam menilai sehat tidaknya perusahaan, yang selanjutnya dapat
mempengaruhi keputusan membeli atau menjual saham suatu perusahaan.
Profitabilitas sering dikaitkan dengan kemampuan perusahaan dalam memperoleh
laba.
Menurut Sartono (2001:122) menjelaskan pengertian profitabilitas adalah:
“Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam
hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa jumlah laba bersih kerap
dibandingkan dengan ukuran kegiatan atau kondisi keuangan lainnya seperti
penjualan, aktiva, ekuitas pemegang saham untuk menilai kinerja sebagai suatu
persentase dari beberapa tingkat aktivitas atau investasi.
Menurut Riyanto (2001:35) menjelaskan pengertian profitabilitas adalah:
“Profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba
dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut.”
Sedangkan Harahap (2006:304) menjelaskan bahwa profitabiltas menggambarkan
kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan
sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah
cabang dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian–pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa
profitabilitas adalah tingkat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
selama periode tertentu dengan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki oleh
perusahaan baik yang berhubungan dengan penjualan, jumlah aktiva maupun
modal sendiri.
Ada banyak rasio yang bisa digunakan untuk mengukur profitabilitas.
Rasio-rasio ini memungkinkan analisis untuk mengevaluasi laba perusahaan
sehubungan dengan tingkat penjualan, tingkat aktiva dan ekuitas pemegang
saham. Adapun rasio-rasio tersebut seperti Gross Profit Margin, Net Profit
Margin, Return on Asset, Return on Investment, Return on Equity, dan Earning
Per Share.
2.7.1 Rasio-Rasio Profitabilitas
Ada beberapa rasio yang bisa digunakan untuk menghitung rasio
profitabilitas, yaitu :
1. Gross Profit Margin (GPM)
Rasio gross profit margin atau margin laba kotor berguna untuk
mengetahui laba kotor perusahaan dari setiap barang yang dijual. Gross profit
margin sangat dipengaruhi oleh harga pokok penjualan. Apabila harga pokok
penjualan meningkat maka gross profit margin akan menurun, begitu pula
sebaliknya. Dengan kata lain, rasio ini mengukur efisiensi pengendalian harga
pokok atau biaya produksinya, mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk
berproduksi secara efisien.
Formulasi dari Gross Profit Margin atau GPM adalah sebagai berikut:
2. Net Profit Margin (NPM)
=
× 100%
Rasio net profit margin menggambarkan besarnya laba bersih yang
diperoleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan. Dengan kata lain
rasio ini mengukur laba bersih setelah pajak terhadap penjualan.
Formulasi dari Net Profit Margin atau NPM adalah sebagai berikut:
=
3. Return on Asset (ROA)
× 100%
Rasio return on asset merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba dengan semua aset yang dimiliki oleh perusahaan.
Formulasi dari Return on Asset atau ROA adalah sebagai berikut:
=
× 100%
4. Return on Investment (ROI)
Rasio return on investment menunjukan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan yang akan digunakan untuk menutup investasi yang
dikeluarkan.
Formulasi dari Return on Investment atau ROI adalah sebagai berikut:
=
5. Return on Equity
× 100%
Rasio return on equity mengukur kemampuan perusahaan memperoleh
laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan atau untuk mengetahui
besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal
dari pemilik. Rasio ini dipengaruhi oleh besar kecilnya utang perusahaan, apabila
proporsi utang makin besar maka rasio ini juga akan makin besar.
Formulasi dari Return on Equity atau ROE adalah sebagai berikut:
=
× 100%
6. Earning Per Share (EPS)
Kadang-kadang pemilik juga menginginkan data mengenai keuntungan
yang diperoleh untuk setiap lembar sahamnya. Earning per share merupakan
ukuran kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan keuntungan per
lembar saham pemilik.
Formulasi dari Earning Per Share atau EPS adalah sebagai berikut:
=
Dari semua penjelasan rasio-rasio diatas maka kita bisa menarik
kesimpulan bahwa rasio-rasio profitabilitas merupakan ukuran untuk mengetahui
seberapa
jauh
efektivitas
manajemen
dalam
mengelola
perusahaannya.
Efektifititas manajemen bisa meliputi kegiatan fungsional manajemen, seperti
keuangan, pemasaran, sumber daya manusia dan operasional. Jadi banyak sekali
faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas yang kemudian meningkatkan atau
menurunkan laba. Dengan demikian, analisis rasio profitabilitas dapat
memberikan gambaran keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Adapun rasio yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah
return on asset (ROA) yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba dengan semua aset yang dimiliki oleh perusahaan. Rasio
tersebut akan diuraikan secara lebih jelas dalam penjelasan dibawah ini.
2.7.2 Return on Asset (ROA)
Return on asset (ROA) adalah ukuran keseluruhan keefektifan manajemen
dalam menghasilkan laba dengan aset yang tersedia. Semakin tinggi hasil yang
dihasilkan maka semakin baik (Sundjaja dan Barlian, 2003). Sedangkan menurut
Sutrisno (2003) menjelaskan pengertian return on asset sebagai berikut:
“Return on asset juga sering disebut sebagai rentabilitas ekonomis
merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
dengan semua aktiva yang dimiliki oleh perusahaan.”
Sedangkan menurut Gallagher dan Andrew (2003:101) menjelaskan
mengenai return on asset sebagai berikut:
“The return on asset (ROA) ratio indicates how much income each dollar
of assets produces on average.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa rasio return on asset (ROA)
mengindikasikan berapa banyak laba per dolar yang dihasilkan dari aset yang
digunakan.
Manajer sering mengukur kinerja perusahaan dengan rasio laba bersih
terhadap total aset. Meskipun demikian, karena laba bersih mengukur keuntungan
setelah dipotong beban bunga, praktik ini membuat profitabilitas yang jelas dari
perusahaan sebagai fungsi struktur modalnya (Brealey, et al., 2007:81).
Analisa return on asset (ROA) ini sudah merupakan teknik analisa yang
lazim digunakan oleh manajer perusahaan untuk mengukur efektivitas dari
keseluruhan operasi perusahaan. Return on asset (ROA) itu sendiri adalah salah
satu bentuk dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk dapat mengukur
kemampuan perusahaan dengan keseluruhan aset yang dimiliki yang digunakan
untuk operasi perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Dengan demikian
return on asset (ROA) menghubungkan keuntungan yang diperoleh perusahaan
dengan jumlah aset yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan operasi
tersebut.
Formulasi dari Return on Asset atau ROA adalah sebagai berikut:
=
× 100%
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
dengan mengetahui rasio ini, maka akan dapat diketahui apakah perusahaan
efisien dalam menggunakan asetnya dalam kegiatan operasional perusahaan.
Maka dari itulah dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan rasio
return on asset (ROA).
2.8
Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan komposisi modal
antara hutang dan ekuitas termasuk juga proporsi antara kepemilikan saham inside
shareholder dan outside shareholder (Haryono, 2005). Menurut Ituriagia dan
Zans (1998) dalam Faisal (2005), struktur kepemilikan dapat dibedakan dalam dua
sudut pandang yang berbeda yaitu :
1. Pendekatan keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme
untuk mengurangi konflik kepentingan manajer dengan pemegang saham.
2. Pendekatan informasi asimetri, kepemilikan sebagai salah satu cara untuk
mengurangi ketidak seimbangan informasi antara insider dan outsider
melalui pengungkapan informasi.
Komposisi kepemilikan saham memiliki dampak yang penting pada sistem
pengendalian manajemen suatu perusahaan. Struktur kepemilikan merupakan
bentuk komitmen dari para pemegang saham untuk mendelegasikan pengendalian
dengan tingkat tertentu kepada para manajer. Istilah struktur kepemilikan
digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting didalam
struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang dan equity tetapi juga
oleh presentase kepemilikan oleh manajer dan institusional. Pada perusahaan
modern, kepemilikan perusahaan biasanya sangat menyebar.
Struktur kepemilikan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam
memonitor perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya. Struktur
kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya
perusahaan yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Agency
problem dapat dikurangi dengan adanya struktur kepemilikan.
Proporsi jumlah kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat
mengindikasikan ada kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang
saham (Faisal, 2005). Sedangkan pemegang saham institusional memiliki keahlian
yang lebih dibandingkan dengan investor individu, terutama pemegang saham
institusional mayoritas atau diatas 5%. Pemegang saham institusional besar
diasumsikan memiliki orientasi investasi jangka panjang.
Menurut Diyah, dkk (2009), berdasarkan proporsi saham yang dimilki,
struktur saham dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu kepemilikan saham
manajerial dan kepemilikan saham institusional.
2.8.1 Kepemilikan Manajerial (Insider Ownership)
Kepemilikan manajerial adalah proporsi pemegang saham dari pihak
manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan
(direktur dan komisaris) (Diyah, dkk, 2009). Dengan adanya kepemilikan
manajerial dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik
bahwa kinerja perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang
meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring
aktivitas perusahaan.
Ada berbagai kebijakan yang dapat diterapkan oleh para pemegang saham
dalam mengatur distribusi modalnya atau kebijakan dalam membentuk struktur
kepemilikan perusahaan yang mereka miliki. Ada sebagian perusahaan yang
mengambil kebijakan kompensasi perusahaan bagi para manajernya dengan cara
memberikan hak kepada para manajer untuk memiliki sebagian saham perusahaan
(Ratnaningsih dan Hartono, 2001).
Menurut
Mathiesen
(2004)
menjelaskan
pengertian
kepemilikan
manajerial sebagai berikut:
“Secara khusus kepemilikan manajerial terhadap perusahaan atau yang
biasa dikenal dengan istilah insider ownership ini didefinisikan sebagai
persentase suara yang berkaitan dengan saham dan option yang dimiliki
oleh manajer dan direksi suatu perusahaan.”
Kepemilikan manajer (insider ownership) tersebut dapat menyebabkan
munculnya benefit maupun cost bagi perusahaan, karena insider ownership
tersebut kemudian memberikan dampak pada perilaku pihak manajemen (Jensen,
1992) dalam Rawi (2008). Karena berdasarkan teori keagenan, kepentingan
manajerial dan kepentingan pemegang saham kemungkinan bertentangan. Hal
tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya
pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena
pengeluaran tersebut akan menambah biaya perusahaan yang menyebabkan
penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan dividen yang akan diterima.
Sedangkan menurut Downes dan Goodman (1999) menjelaskan pengertian
kepemilikan manajerial sebagai berikut:
“Kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti
dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen
yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu
perusahaan yang bersangkutan.“
Adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham
menimbulkan konflik yang biasa disebut konflik keagenan. Konflik kepentingan
antara manajer dengan pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu
mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan yang terkait
tersebut. Salah satu mekanismenya adalah dengan meningkatkan kepentingan
manajerial.
Dari sudut pandang teori akuntansi, perataan laba sangat ditentukan oleh
motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran
perataan laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai
pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal
tersebut akan mempengaruhi perataan laba, sebab kepemilikan seorang manajer
akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode
akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Dengan kata lain,
presentase tertentu terhadap kepemilikan saham oleh pihak manajemen,
cenderung mempengaruhi tindakan perataan laba.
2.8.2 Kepemilikan Institusional (Outsider Ownership)
Kepemilikan institusional merupakan salah satu struktur kepemilikan
selain struktur kepemilikan manajerial, asing, dan pemerintah. Menurut Tarjo
(2008), kepemilikan institusional sendiri adalah kepemilikan saham perusahaan
yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank,
perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain.
Sedangkan Short, et al. (2002) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007)
menjelaskan pengertian kepemilikan institusional sebagai berikut:
“Kepemilikan institusional adalah kepemilikan yang dimiliki oleh lembaga
yang memiliki presentase dari ekuitas sebesar 5% atau lebih dari modal
awal pada tahun yang bersangkutan.”
Penjelasan lain mengenai kepemilikan institusional yaitu kepemilikan
saham oleh pihak institusi lain yaitu kepemilikan oleh perusahaan atau lembaga
lain dan blockholders. Kepemilikan saham oleh pihak-pihak yang berbentuk
institusi seperti kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi
berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian serta institusi lainnya pada
akhir tahun (Shien, et.al., 2006 dalam Oktaviani, 2011). Sedangkan yang
dimaksud blockholders adalah kepemilikan individu atas nama perorangan diatas
5% tetapi tidak termasuk dalam kepemilikan manajerial (Fitri dan Mahmud, 2003
dalam Oktaviani, 2011).
Kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat digunakan
untuk mengurangi agency conflict. Karena kepemilikan institusional memantau
secara profesional perkembangan investasinya, maka tingkat pengendalian
terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi perataan laba dapat
ditekan. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusional dapat
mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup
kemungkinan terdapat
akrualisasi
sesuai
kepentingan pihak manajemen
(Boediono, 2005).
Keberadaan
investor
institusional
dapat
menunjukkan
mekanisme
corporate governance yang kuat yang dapat digunakan untuk memonitor
manajemen perusahaan. Pengaruh investor institusional terhadap manajemen
perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk
menyelaraskan kepentingan manajemen dengan para pemegang saham. Hal
tersebut disebabkan jika tingkat kepemilikan manajerial tinggi, dapat berdampak
buruk terhadap perusahaan karena dapat menimbulkan masalah pertahanan, yang
berarti jika kepemilikan manajerial tinggi, mereka memiliki posisi yang kuat
untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham
eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan manajer. Hal
ini disebabkan tingginya hak voting yang dimiliki manajer. Adanya pengawasan
yang optimal terhadap kinerja manajer maka akan lebih berhati-hati dalam
mengambil keputusan.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Rawi (2008) menyatakan bahwa
kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam
meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang
saham. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat
menghalangi perilaku opportunistic manajer.
Menurut Nurfauziah (2007) kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri
atas kepemilikan institusional maupun kepemilikan individual. Atau campuran
keduanya dengan proporsi tertentu. Investor institusional memiliki beberapa
kelebihan dibanding dengan investor individual, diantaranya yaitu:
1. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor
individual untuk mendapatkan informasi.
2. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa
informasi, sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi.
3. Investor institusional, secara umum, memiliki realsi bisnis yang lebih kuat
dengan manajemen.
4. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
5. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham
sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang
tercermin di tingkat harga.
2.9
Pengaruh
Ukuran
Perusahaan,
Profitabilitas,
dan
Struktur
Kepemilikan Terhadap Perataan laba
2.9.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Perataan Laba
Menurut Moses (1987) dalam Siregar dan Utomo (2008) perusahaan
dengan size yang besar mempunyai insentif yang besar untuk melakukan perataan
laba dibanding perusahaan kecil, karena perusahaan yang memiliki aset dalam
jumlah besar akan lebih diperhatikan oleh publik dan pemerintah. Fluktuasi laba
yang besar menarik perhatian pemerintah. Oleh karena itu perusahaan besar akan
menghindari kenaikan laba secara drastis supaya terhindar dari kenaikan
pembebanan biaya pajak oleh pemerintah. Perusahaan besar juga diperkirakan
akan menghindari penurunan laba secara drastis. Penurunan laba secara drastis
memberikan sinyal bahwa perusahaan berada dalam masa krisis.
Hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat Albretch dan Richardson
(1990) dalam Suwito dan Herawaty (2005), bahwa perusahaan-perusahaan yang
lebih besar memiliki dorongan untuk melakukan perataan laba dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, karena perusahaan yang lebih
besar diteliti dan dipandang dengan lebih kritis oleh para investor. Perusahaan
besar juga akan lebih memperhatikan citra perusahaannya dimata investor yang
ditunjukkan dengan laba yang relatif stabil.
Perusahaan
yang
ukurannya
lebih
besar
diperkirakan
memiliki
kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan perataan laba (Suwito dan
Herawaty, 2005). Berdasarkan political cost hypothesis dalam teori akuntansi
positif dikemukakan bahwa perusahaan besar cenderung untuk melakukan
pengelolaan atas laba di antaranya melakukan income minimization saat
memperoleh laba tinggi untuk menghindari munculnya peraturan baru dari
pemerintah, contohnya menaikkan pajak penghasilan perusahaan. Berdasarkan
analisis di atas peneliti menduga bahwa perusahaan besar cenderungan untuk
meratakan laba.
Ha1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap perataan laba.
2.9.2 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Perataan Laba
Profitabilitas merupakan ukuran penting yang sering dijadikan patokan
oleh investor dalam menilai sehat tidaknya perusahaan, yang selanjutnya dapat
mempengaruhi keputusan membeli atau menjual saham suatu perusahaan.
Profitabilitas juga seringkali digunakan oleh kreditor untuk memutuskan pinjaman
mereka kepada suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki profitabilitas yang
lebih tinggi cenderung melakukan perataaan laba dibandingkan dengan
perusahaan yang lebih rendah, karena manajemen tahu akan kemampuan untuk
mendapatkan laba pada masa mendatang sehingga memudahkan dalam menunda
atau mempercepat laba (Assih dkk., 2000 dalam Budiasih, 2009).
Ketika perusahaan memperoleh tingkat profitabilitas yang tinggi, manajer
akan meratakan laba untuk menghindari risiko. Seperti yang dijelaskan oleh bonus
plan hypothesis bahwa jika manajer menghindari risiko, maka manajer akan lebih
memilih kebijakan dengan meratakan laba yang dilaporkan. Hal tersebut
dilakukan dengan menangguhkan laba tahun berjalan ke tahun selanjutnya. Selain
itu manajer tetap bisa menerima bonus jika di tahun selanjutnya perusahaan
memperoleh laba yang lebih rendah.
Menurut Scott (2006), perusahaan cenderung melakukan income
minimization saat memperoleh tingkat profitabilitas tinggi. Tingkat profitabilitas
yang stabil akan memberikan keyakinan pada investor bahwa perusahaan tersebut
memiliki kinerja yang baik dalam menghasilkan laba. Manajemen akan
diuntungkan dengan profitabilitas yang stabil seperti mempertahankan posisi
jabatan apabila kinerja diukur dengan tingkat laba yang mampu dihasilkan
(Prabayanti dan Yasa, 2011). Berdasarkan analisis di atas peneliti menduga bahwa
perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi cenderungan untuk meratakan laba.
Ha2: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap perataan laba.
2.9.3 Pengaruh Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Perataan Laba
Dari sudut pandang teori akuntansi, perataan laba sangat ditentukan oleh
motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran
perataan laba yang berbeda yang dilakukan oleh manajernya. Perusahaan yang
dipimpin oleh manajer dan pemilik (owner-manager) akan mempengaruhi
perataan laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan
kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan
pada perusahaan yang mereka kelola (Boediono, 2005). Semakin meningkat
proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan.
Pemusatan kepentingan dapat dicapai dengan memberikan kepemilikan saham
kepada manajer.
Adanya kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat mengurangi
konflik keagenan antara manajer dengan pemegang saham karena tujuan antara
manajer dan pemegang saham menjadi selaras sehingga permasalahan asimetri
informasi diasumsikan akan hilang. Midiastuty dan Machfoedz (2003)
menyatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan salah satu mekanisme
yang dapat diterapkan dalam membatasi perilaku oportunistik manajer dalam
bentuk perataan laba.
Manajer yang berperan sebagai pemegang saham akan menghindari
pelaporan keuangan yang menyesatkan, karena manajer ikut berperan pula
sebagai investor dan pengawas dalam perusahaan yang menginginkan laporan
keuangan bersifat relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kepemilikan
manajerial akan menghindari terjadinya penginformasian laporan keuangan yang
tidak sesuai, sehingga tingkat informasi yang dimiliki oleh manajer dan
stakeholder tidak memiliki perbedaan (Amanza, 2012). Peneliti menduga bahwa
semakin besar kepemilikan manajerial cenderung membuat perusahaan tidak
melakukan perataan laba.
Ha3: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap perataan laba
2.9.4 Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional Terhadap Perataan
Laba
Kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat digunakan
untuk mengurangi agency conflict. Karena kepemilikan institusional memantau
secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian
terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi perataan laba dapat
ditekan. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat
menghalangi perilaku opportunistic manajer.
Kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi membatasi manajer untuk
melakukan pengelolaan laba. Semakin besar kepemilikan institusional maka
semakin kuat kendali dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksternal
terhadap perusahaan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Prabayanti dan Yasa (2011) bahwa kepemilikan saham yang besar oleh
pihak institusional merupakan salah satu mekanisme untuk mengawasi kinerja
manajemen. Pemegang saham institusional dapat mengimbangi informasi yang
dimiliki oleh manajemen sehingga asimetri informasi yang terjadi antara
manajemen dan pemilik rendah. Hal tersebut meyebabkan manajemen tidak
leluasa untuk melakukan pengelolaan atas labanya.
Biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu untuk
mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara
profesional perkembangan investasinya, maka tingkat pengendalian terhadap
tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan.
Keberadaan institusi mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan.
Peneliti menduga bahwa semakin besar kepemilikan institusional cenderung
membuat perusahaan tidak melakukan perataan laba.
Ha4: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap perataan laba.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Ukuran Perusahaan
(X1)
Ha1 +
Profitabilitas
(X2)
Ha2 +
Struktur Kepemilikan
Manajerial (X3)
Struktur Kepemilikan
Institusional (X4)
Ha3
Ha4
Perataan Laba
Download