BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Laporan Keuangan 2.1.1 Pengertian Laporan Keuangan Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan output/keluaran dari suatu proses akuntansi yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang nantinya digunakan sebagai alat informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam PSAK No. 1 disebutkan bahwa laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas (IAI, 2009). Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004) menjelaskan pengertian laporan keuangan adalah: “Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya, informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.” Dari penjelasan diatas ditekankan mengenai kelengkapan laporan keuangan yang biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Menurut Kieso, et al. (2010:5) menjelaskan pengertian laporan keuangan adalah: “Financial statements are the principal means through which a company communicates its financial information to those outside it.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak diluar perusahaan. Menurut Munawir (2002:2) menjelaskan pengertian laporan keuangan adalah: “Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa hasil akhir proses akuntansi adalah laporan keuangan yang berisikan data keuangan atas aktivitas yang telah dijalankan perusahaan pada suatu periode tertentu yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi kepada pihak-pihak berkepentingan seperti investor, kreditor, karyawan, pemasok, pemerintah, pelanggan, dan masyarakat. Menurut Sutrisno (2003:9) menjelaskan pengertian laporan keuangan adalah: “Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang meliputi dua laporan utama yakni, Neraca dan Laporan Laba Rugi. Laporan keuangan disusun dengan maksud untuk menyediakan informasi keuangan suatu perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan di dalam mengambil keputusan.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa proses akuntansi diakhiri dengan adanya output berupa laporan keuangan. Laporan keuangan yang biasanya menjadi perhatian utama yaitu neraca (sekarang bernama laporan perubahan posisi keuangan) dan laporan laba rugi. Output tersebut digunakan pihak internal dan eksternal perusahaan dalam mengambil keputusan bagi kelangsungan hidup perusahaan. 2.1.2 Tujuan Laporan Keuangan Penyajian laporan keuangan memiliki beberapa tujuan. Menurut PSAK No. 1 tujuan laporan keuangan adalah: “Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi: a. aset; b. laibilitas; c. ekuitas; d. pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian; e. kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik; dan f. arus kas. Informasi tersebut, beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan, membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas masa depan dan, khususnya, dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas (IAI, 2009).“ Sehubungan dengan yang dikemukakan di atas, bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan memiliki beberapa tujuan, dimana tujuan penyajiannya dapat dipisahkan menjadi dua yaitu: 1. Tujuan umum Secara umum tujuan laporan keuangan ialah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan. 2. Tujuan khusus Tujuan laporan keuangan yaitu mengungkapkan informasi lain dalam hubungannya dengan laporan keuangan yang relevan untuk kebutuhan para pemakainya, antara lain: (1) Laporan keuangan menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya kepada mereka. (2) Laporan keuangan mewajibkan informasi mengenai perusahaan yang meliputi aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, beban, dan arus kas. (3) Membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas pada masa depan khusunya dalam waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas. 2.1.3 Karakteristik Laporan Keuangan Laporan keuangan memiliki karakteristik kualitatif yang membuat informasi dalam laporan keuangan dapat berguna bagi pemakai. Berikut adalah karakteristik tersebut menurut Kieso, et al. (2010:43-47) yaitu: 1. Relevansi (relevance) Agar relevan, informasi akuntansi harus mampu membuat perbedaan dalam sebuah keputusan. Jika tidak mempengaruhi keputusan, maka informasi tersebut dikatakan tidak relevan terhadap keputusan yang diambil. Terdapat dua unsur pokok dalam karakter relevan, yaitu: a. Nilai prediktif (predictive value) Informasi yang relevan akan membantu pemakai membuat prediksi tentang hasil akhir dari kejadian masa lalu, masa kini, dan masa depan. b. Nilai penegasan (confirmatory value) Informasi yang relevan juga membantu pemakai mengkonfirmasi atau mengoreksi ekspektasi atau harapan masa lalu. 2. Disajikan secara tepat (faithful representation) Ketepatan penyajian berarti bahwa angka-angka dan penjelasan dalam laporan keuangan mewakili apa yang betul-betul ada dan terjadi. Ketepatan penyajian sangat dibutuhkan karena banyak pemakai informasi keuangan yang tidak memiliki waktu atau keahlian dalam mengevaluasi kebenaran dari informasi yang didapatkan. Untuk disajikan secara tepat, informasi harus: a. Lengkap (completeness) Lengkap artinya bahwa semua informasi yang dibutuhkan untuk disajikan secara tepat telah tersedia. b. Netralitas (neutrality) Netralitas berarti bahwa informasi tidak dapat dipilih untuk kepentingan sekelompok pemakai tertentu. Informasi yang disajikan harus faktual, benar, dan tidak bias. c. Bebas dari kesalahan (free from error) Informasi yang bebas dari kesalahan akan lebih akurat item keuangannya. 3. Dapat dibandingkan (comparability) Informasi yang diukur dan dilaporkan dengan cara yang sama pada perusahaan yang berbeda dianggap dapat dibandingkan. Informasi keuangan akan lebih berguna bagi pemakainya apabila dapat diperbandingkan dengan informasi keuangan pada laporan keuangan tahun sebelumnya dan laporan keuangan antar perusahaan. 4. Dapat diuji (variability) Daya uji ditunjukkan ketika pengukur-pengukur independen, dengan menggunakan metode pengukuran yang sama, mendapatkan hasil yang serupa. 5. Tepat waktu (timeliness) Tepat waktu berarti informasi yang dibutuhkan tersedia untuk para pembuat keputusan yang dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil. 6. Dapat dipahami (understandability) Informasi yang terkandung dalam laporan keuangan harus dapat dengan mudah dipahami oleh pemakai. 7. Konsistensi (consistent) Apabila sebuah entitas mengaplikasikan perlakuan akuntansi yang sama untuk kejadian-kejadian yang serupa, dari periode ke periode, maka entitas tersebut dianggap konsisten dalam menggunakan standar akuntansi. 2.1.4 Komponen Laporan Keuangan Setelah adanya konvergensi IFRS di Indonesia, terjadi perubahan komponen laporan keuangan. Berikut adalah perubahan komponen laporan keuangan yang lengkap. Tabel 2.1 Perubahan Komponen Laporan Keuangan 1. 2. 3. 4. 5. Menurut PSAK lama Neraca Laporan Laba Rugi Laporan Perubahan Ekuitas Laporan Arus Kas Catatan atas Laporan Keuangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Menurut PSAK baru setelah konvergensi Laporan Posisi Keuangan Laporan Laba Rugi Komprehensif Laporan Perubahan Ekuitas Laporan Arus kas Catatan atas Laporan Keuangan Laporan Posisi Keuangan Awal Periode Berikut adalah gambaran umum mengenai keenam komponen laporan keuangan setelah adanya konvergensi IFRS. Menurut PSAK No. 1, menjelaskan komponen-komponen laporan keuangan adalah: “Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut ini: a. laporan posisi keuangan pada akhir periode; b. laporan laba rugi komprehensif selama periode; c. laporan perubahan ekuitas selama periode; d. laporan arus kas selama periode; e. catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya; dan f. laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif (IAI, 2009)”. a. Laporan posisi keuangan pada periode akhir; Laporan posisi keuangan pada periode akhir merupakan laporan yang menyediakan informasi mengenai nilai dan jenis investasi perusahaan, kewajiban perusahaan kepada kreditur dan ekuitas pemilik. Posisi keuangan perusahaan dipengaruhi oleh sumber daya yang dikendalikan, likuiditas dan solvabilitas serta kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Laporan posisi keuangan perusahaan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menghitung tingkat hasil pengembalian, mengevaluasi struktur modal perusahaan dan memperhitungkan likuiditas dan fleksibilitas keuangan perusahaan. b. Laporan laba rugi komprehensif; Laporan laba rugi komprehensif berfungsi untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan antara tanggal neraca. Laporan ini mencerminkan aktivitas operasi perusahaan yang menyediakan rincian pendapatan, beban, untung dan rugi perusahaan untuk suatu periode waktu. Laporan laba rugi dapat digunakan untuk mengetahui indikasi profitabilitas perusahaan. c. Laporan perubahan ekuitas selama periode; Laporan ini menyajikan perubahan-perubahan pada pos ekuitas. Laporan ini bermanfaat untuk mengidentifikasi alasan perubahan klaim pemegang ekuitas atas aktivitas perusahaan. d. Laporan arus kas selama periode; Laporan ini menyajikan dan melaporkan arus kas masuk dan keluar bagi aktivitas operasi, investasi dan pendanaan perusahaan secara terpisah selama suatu periode tertentu. e. Catatan atas laporan keuangan; Catatan atas laporan keuangan berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya. Dalam PSAK No.1 dinyatakan bahwa: “Catatan atas laporan keuangan berisi informasi tambahan atas apa yang disajikan dalam laporan posisi keuangan, laporan pendapatan komprehensif, laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), laporan perubahan ekuitas dan laporan arus kas. Catatan atas laporan keuangan memberikan penjelasan atau rincian dari pos-pos yang disajikan dalam laporan keuangan tersebut dan informasi mengenai pos-pos yang tidak memenuhi kriteria pengakuan dalam laporan keuangan (IAI, 2009).” f. Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif. Laporan posisi keuangan pada awal periode ini disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya. 2.1.5 Pemakai Laporan Keuangan Laporan keuangan mempunyai arti penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi dari laporan keuangan tersebut. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2004), pemakai laporan keuangan adalah sebagai berikut: a. Investor Penanam modal berisiko dan penasihat mereka berkepentingan dengan risiko yang melekat serta pengembangan dari investasi yang mereka lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut serta tertarik pada informasi yang memungkinkan penilaian terhadap kemampuan perusahaan dalam membayar dividen. b. Karyawan Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun, dan kesempatan kerja. c. Pemberi pinjaman Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. d. Pemasok dan kreditor usaha lainnya Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek dibanding pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan. e. Pelanggan Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan. f. Pemerintah Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan dengan aktivitas perusahaan. Mereka juga membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya. g. Masyarakat Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu kecenderungan masyarakat (trend) dan dengan menyediakan perkembangan kemakmuran serta rangkaian aktivitasnya. terakhir informasi mengenai 2.1.6 Sifat dan Keterbatasan Laporan Keuangan Sifat dan keterbatasan laporan keuangan menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2004) adalah: 1. Laporan keuangan bersifat historis, yaitu laporan kejadian yang telah lalu. Karenanya laporan keuangan tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi dalam proses pengambilan keputusan. 2. Laporan keuangan bersifat umum dan bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pihak tertentu. 3. Proses penyusunan laporan keuangan tidak luput dari penggunaan taksiran dan berbagai pertimbangan. 4. Akuntansi hanya melaporkan informasi yang material dan penerapan prinsip akuntansi terdapat pos tertentu mungkin tidak dilaksanakan jika tidak menimbulkan pengaruh material terhadap kelayakan laporan keuangan. 5. Laporan keuangan bersifat konservatif dalam menghadapi ketidakpastian, bila terjadi beberapa kemungkinan kesimpulan yang tidak pasti mengenai penilaian suatu pos, maka lazimnya dipilih alternatif yang menghasilkan laba bersih atau nilai aktiva yang paling kecil. 6. Laporan keuangan lebih menekankan makna ekonomi suatu peristiwa atau transaksi daripada bentuk hukumnya. 7. Laporan keuangan diasumsikan dengan menggunakan istilah-istilah teknis dan pemakaian laporan keuangan diasumsikan memahami bahasa teknis akuntansi dan sifat dari informasi yang dilaporkan. 8. Adanya berbagai alternatif metode akuntansi yang dapat menimbulkan variasi dalam pengukuran sumber ekonomis dan tingkat kesuksesan antarperusahaan. 9. Informasi yang bersifat kumulatif dan fakta yang tidak dikuantifikasikan umumnya diabaikan. 2.2 Laba 2.2.1 Pengertian Laba Laba atau income merupakan salah satu informasi potensial yang terkandung di dalam laporan keuangan yang sangat penting bagi pihak internal dan eksternal perusahaan. Karena kinerja manajemen perusahaan tercermin pada laba yang terkandung dalam laporan laba rugi. Informasi laba merupakan salah satu komponen laporan keuangan perusahaan. Menurut Suwardjono (2005:464) menjelaskan pengertian laba adalah: “Laba dimaknai sebagai imbalan atas upaya perusahaan menghasilkan barang dan jasa. Ini berarti laba merupakan kelebihan pendapatan diatas biaya (biaya total yang melekat dalam kegiatan produksi dan penyerahan barang/jasa).” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laba adalah imbalan atas kegiatan yang dilakukan perusahaan dari proses memproduksi sampai menjual barang dan jasa setelah dikurangi segala biaya yang digunakan dalam kegiatan operasi dan penyerahan barang/jasa. Menurut Riahi dan Belkaoui (2001:126) menjelaskan pengertian laba adalah: “Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dari ikhtisar keuangan yang memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba pada umumnya dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, determinan pada kebijakan pembayaran dividen, pedoman investasi, dan pengambilan keputusan dan unsur prediksi.” Financial Statement Standard Board (FASB), seperti dikutip oleh Suwardjono (2005:463), menjelaskan pengertian laba komprehensif adalah: “Comprehensive income is the change in equity of a business enterprise during a period from transactions and other events and circumstances from nonowner sources. It includes all changes in equity during a period except those resulting from investment by owners and distributions to owners.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laba komperhensif adalah perubahan ekuitas sebuah perusahaan bisnis selama suatu periode dari transaksi dan kejadian lain dan keadaan yang bukan bersumber dari pemilik. Hal ini termasuk semua perubahan ekuitas selama suatu periode kecuali perubahan yang diakibatkan oleh investasi dan distribusi kepada pemilik. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2004), pengertian laba rugi adalah: “Laba rugi merupakan laporan utama untuk melaporkan kinerja dari suatu perusahaan selama satu periode tertentu. Informasi tentang kinerja suatu perusahaaan, terutama tentang profitabilitas dibutuhkan untuk mengambil keputusan tentang sumber ekonomi yang akan dikelola oleh suatu perusahaan di masa yang akan datang. Informasi tersebut juga seringkali digunakan untuk menghasilkan kas dan aktiva disamakan dengan kas di masa yang akan datang. Informasi tentang kemungkinan perubahan kinerja juga penting dalam hal ini.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa laporan laba rugi merupakan laporan yang digunakan untuk melihat kinerja suatu perusahaan, seperti profitabilitas yang digunakan untuk mengambil keputusan mengenai sumber ekonomi yang akan digunakan perusahaan pada periode mendatang. 2.2.2 Jenis-Jenis Laba Dalam perhitungan laba rugi, laba terdiri dari berbagai jenis, diantaranya yaitu: 1. Laba kotor atas penjualan, merupakan selisih dari penjualan bersih dan harga pokok penjualan, laba ini dinamakan laba kotor hasil penjualan bersih belum dikurangi dengan beban operasi lainnya untuk periode tertentu. 2. Laba bersih operasi perusahaan, yaitu laba kotor dikurangi dengan sejumlah biaya penjualan, biaya administrasi dan umum. 3. Laba bersih sebelum potongan pajak, yaitu merupakan pendapatan perusahaan secara keseluruhan sebelum potongan pajak perseroan, yaitu perolehan apabila laba operasi dikurangi atau ditambah dengan selisih pendapatan dan biaya lain-lain. 4. Laba bersih sesudah potongan pajak, yaitu laba bersih setelah ditambah atau dikurangi dengan pendapatan dan biaya non operasi dan dikurangi dengan pajak perseroan. Hasil suatu perusahaan umumnya dirangkum dalam satu bagian utama, yaitu laba bersih. Tetapi walaupun demikian, laba bersih ini belum dianggap ringkas, oleh karena itu digunakan indikator lainnya yang lebih ringkas yaitu earning per share. 2.2.3 Konsep Laba 2.2.3.1 Laba Menurut Konsep Akuntansi Riahi dan Belkaoui (2001:127) mendefinisikan income akuntansi secara operasional sebagai perbedaan antara pendapatan realisasian (realized revenues) yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya historis. Definisi ini menunjukkan lima karakteristik laba akuntansi, yaitu: 1. Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual yang diadakan oleh perusahaan (terutama pendapatan yang berasal dari penjualan barang dan jasa dikurangi biaya yang dibutuhkan untuk mencapai tersebut). 2. Laba akuntansi didasarkan pada periode postulat dan merujuk pada kinerja keuangan perusahaan selama satu periode tertentu. 3. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip pendapatan dan memerlukan definisi, pengukuran, dan pengakuan pendapatan. 4. Laba akuntansi meminta pengukuran biaya dalam hal biaya historis bagi perusahaan, merupakan ketaatan yang kuat pada prinsip biaya. Aset dicatat pada harga perolehannya hingga penjualan terealisir, pada saat perubahan nilai diakui. 5. Laba akuntansi meminta bahwa pendapatan realisasian pada suatu periode dikaitkan dengan biaya yang relevan yang layak atau sesuai. Oleh karena itu, prinsip akuntansi dikaitkan pada prinsip perbandingan. Secara mendasar, biaya tertentu atau biaya periode dialokasikan atau dibandingkan dengan pendapatan dan biaya lain dilaporkan dan dipindahkan sebagai aset. Biaya yang dialokasikan dan dibandingkan dengan pendapatan dianggap telah digunakan jasa potensialnya. 2.2.3.2 Laba Menurut Konsep Ekonomi Konsep ekonomi selalu menjadi sesuatu yang menarik bagi ahli-ahli ekonomi. Menurut Adam Smith dalam Riahi dan Belkaoui (2001:128) mendefinisikan income sebagai peningkatan dalam kesejahteraan. Menurut Schroeder dan Clark (1998) seperti yang dikutip oleh Suwardjono (2005:461) menyatakan bahwa income ekonomi dibedakan atas dasar sifatnya, yaitu: 1. Laba psikik (Psychic income) Laba psikik adalah laba yang berupa kenaikan dalam pemuasan keinginan manusia. Laba ini dapat dirasakan maknanya tetapi sulit dikuantifikasi secara umum karena kepuasan manusia bergantung pada tingkat kemakmuran dan status sosial yang telah dicapai. Artinya, angka rupiah laba yang sama tidak memberi kepuasan yang sama antara orang yang satu dan lainnya. 2. Laba riil (Real income) Laba riil adalah laba yang berupa kenaikan kemakmuran ekonomik. 3. Laba uang (Money income) Laba uang adalah laba yang berupa kenaikan satuan uang dalam suatu periode tanpa memperhatikan pengaruh perbedaan daya beli dan menjadi fokus pengukuran laba akuntansi. Jadi, laba akuntansi berkepentingan dengan laba uang, sedangkan laba ekonomik berkepentingan dengan laba riil. 2.2.4 Tujuan Pelaporan Laba Menurut Hendriksen (2005:331) menjelaskan tujuan dari pelaporan laba adalah: “Tujuan utama dari pelaporan laba adalah memberikan informasi yang berguna bagi mereka yang paling berkepentingan dalam laporan keuangan. Tujuan yang lebih spesifik mencakup: 1. Penggunaan laba sebagai pengukuran efisiensi manajemen. 2. Penggunaan angka laba historis untuk membantu meramalkan arah masa depan dari perusahaan atau pembagian dividen di masa depan. 3. Penggunaan laba sebagai pengukuran pencapaian dan sebagai pedoman untuk keputusan manajerial masa depan.” 2.3 Teori Keagenan Timbulnya praktek perataan laba dapat dijelaskan dengan teori agensi. Konsep teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal (pemegang saham) dan agen (manajer). Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen (Anthony dan Govindarajan, 2005). Jika agen tidak berbuat sesuai kepentingan prinsipal, maka akan terjadi konflik keagenan (agency conflict), sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Konflik keagenan (agency cost) yang ditimbulkan oleh tindakan perataan laba dipicu dari adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara pemegang saham (principal) dengan manajemen perusahaan (agent). Misalnya, manajemen selaku pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan lebih banyak dan lebih dahulu daripada pemegang saham sehingga terjadi asimetri informasi yang memungkinkan manajemen melakukan praktek akuntansi dengan orientasi pada laba untuk mencapai suatu kinerja tertentu. Asimetri Informasi adalah masalah-masalah yang ditimbulkan oleh informasi yang tidak lengkap, yaitu ketika tidak semua keadaan diketahui oleh kedua belah pihak dan sebagai akibatnya, ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh masing-masing pihak yang bersangkutan (Hendriksen, 2005:222). Eisenhardt (1989) dalam Pujiningsih (2011) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat oportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Scott, 2006:344). Pada teori keagenan, antara agen dan prinsipal terdapat konflik kepentingan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan keagenan tersebut berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka. Konflik tersebut antara lain adalah: 1. Manajemen berkeinginan meningkatkan kesejahteraannya sedangkan pemegang saham berkeinginan meningkatkan kekayaannya. 2. Manajemen berkeinginan memperoleh kredit sebesar mungkin dengan harga rendah sedangkan kreditor hanya ingin memberi kredit sesuai dengan kemampuan perusahaan. 3. Manajemen berkeinginan membayar pajak sekecil mungkin sedangkan pemerintah ingin memungut pajak setinggi mungkin. Teori keagenan modern mencoba untuk menjelaskan struktur modal perusahaan sebagai cara untuk meminimalisasi biaya yang dikaitkan dengan adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Perusahaan yang dikuasai oleh manajerial, maka biaya keagenannya rendah. Hal ini disebabkan antara pemegang saham dan manajer terdapat tujuan yang sama. 2.4 Manajemen Laba 2.4.1 Pengertian Manajemen Laba Perhatian utama investor dan kreditor pada laporan keuangan yaitu informasi laba. Situasi ini sangat dipahami manajemen sehingga untuk tujuan tertentu manajemen cenderung untuk melakukan manajemen laba. Menurut Scott (2006:344) mendefinisikan manajemen laba adalah: “Earnings management is the choice by a manager of accounting policies so as to achieve some specific objective.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu. Menurut Kieso et al. (2010:145) mendefinisikan manajemen laba adalah: “Earnings management is often defined as the planned timing of revenues, expenses, gains, and losses to smooth out bumps in earnings.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba sering didefinisikan sebagai perencanaan waktu dari pendapatan, beban, keuntungan, dan kerugian untuk meratakan fluktuasi laba. Menurut Nuryaman (2008) mendefinisikan manajemen laba adalah: “Manajemen laba (ML) adalah suatu kondisi di mana manajemen melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikan, dan menurunkan pelaporan laba.” Menurut Schipper (Gumanti, 2001) mendefinisikan manajemen laba adalah: “Earnings management is disclosure management in the sense of purposeful sintervention in external reporting process, with intent of obtaining some private gain.” Pernyataan tersebut mendefinisikan manajemen laba sebagai upaya yang dilakukan manajer untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi tertentu. Dari definisi tersebut jelas bahwa manajemen laba merupakan intervensi langsung manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu. Meskipun sudut pandang definisi manajemen laba yang telah dikemukakan berbeda, namun pada dasarnya definisi manajemen laba yang dikemukakan mengarah pada tindakan oportunis, yaitu berusaha memaksimalkan kepentingan sendiri. Menurut Scott (2006:240) terdapat dua cara pandang dalam memahami manajemen laba yang dilakukan manajer perusahaan: pertama, bertujuan untuk memaksimalkan utilitas manajemen (opportunistic behavior); kedua, bertujuan untuk memberikan keuntungan kepada semua pihak yang terkait dalam kontrak (efficient contracting). Scott menyatakan bahwa manajemen laba lebih cenderung untuk tujuan opportunistic behavior. 2.4.2 Klasifikasi Manajemen Laba Menurut Sastradipraja (2010:33-34) terdapat dua klasifikasi manajemen laba yaitu: 1. Cosmetic Earnings Management Cosmetic earnings management, terjadi jika manajer memanipulasi akrual yang tidak memiliki konsekuensi cash flow. Teknik ini merupakan hasil dari kebebasan dalam aplikasi akuntansi akrual yang mungkin terjadi. Standar akuntansi keuangan dan mekanisme pengawasan mengurangi kebebasan ini, tetapi tidak mungkin untuk meniadakan pilihan karena kompleksitas dan keragaman aktivitas usaha. Akuntansi akrual yang membutuhkan estimasi dan pertimbangan (judgements) menyebabkan kebebasan manajer dalam menetapkan angka akuntansi. Meskipun kebebasan ini memberikan kesempatan bagi manajer untuk menyajikan gambaran aktivitas usaha perusahaan yang lebih informatif, kebebasan ini juga memungkinkan mereka mempercantik laporan keuangan (Windowdress financial statement). 2. Real Earnings Management Real earnings management, terjadi jika manajer melakukan aktivitas dengan konsekuensi cash flow. Insentif untuk melakukan manajemen laba mempengaruhi keputusan investasi dan keuangan oleh manajer. Real earnings management lebih bermasalah dibandingkan cosmetic earnings management, karena mencerminkan keputusan usaha yang seringkali mengurangi kekayaan pemegang saham. 2.4.3 Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba Menurut Scott (2006:243-244) terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba, yaitu: 1. The Bonus Plan Hypothesis Manajer perusahaan dengan perencanaan bonus yang tinggi mungkin akan memilih prosedur akuntansi dengan menggeser laba periode mendatang ke periode saat ini. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah memilih kebijakan akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan saat ini. Jika manajer menghindari risiko, maka manajer akan lebih memilih kebijakan akuntansi dengan meratakan laba yang dilaporkan. 2. The Debt Covenant Hypothesis Perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang, manajernya kemungkinan besar akan memilih prosedur akuntansi dengan menggeser laba periode mendatang ke periode saat ini. Alasannya adalah bahwa peningkatan laba bersih yang dilaporkan akan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan teknis. Untuk mencegah, atau setidaknya menunda pelanggaran tersebut, manajemen dapat mengadopsi kebijakan akuntansi untuk meningkatkan pendapatan saat ini. 3. The Political Cost Hypothesis Semakin besar biaya politik yang dihadapi oleh perusahaan, manajer kemungkinan akan memilih prosedur akuntansi dengan menangguhkan laba periode saat ini ke periode mendatang. Hipotesis biaya politik memperkenalkan dimensi politik menjadi pilihan kebijakan akuntansi. Perusahaan yang sangat besar dapat membuat standar kinerja yang lebih tinggi, misalnya berkenaan dengan tanggung jawab lingkungan. 2.4.4 Pola Manajemen Laba Scott (2006:345-346) mengidentifikasikan adanya empat pola yang dilakukan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba sebagai berikut: (1) Taking a bath Terjadi pada saat reorganisasi. Ketika perusahaan melaporkan adanya kerugian, maka manajemen melakukan kebijakan untuk melaporkan kerugian dengan jumlah yang besar sekaligus. (2) Income minimization Kebijakan ini dilakukan ketika perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi. Contohnya adalah dengan membebankan beban iklan dan beban penelitian dan pengembangan lebih besar. (3) Income maximization Manajer mungkin melakukan pola ini untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. (4) Income smoothing. Income smoothing dari perspektif kontrak, manajer lebih memilih menghindari risiko. Akibatnya, manajer dapat meratakan laba yang dilaporkan dari waktu ke waktu sehingga menerima kompensasi yang relatif tetap. Kontrak kompensasi yang efisien dapat mengeksploitasi efek ini, dan memperbolehkan beberapa perataan laba sebagai cara mengurangi biaya untuk mencapai keinginan utilitas manajer. 2.4.5 Motivasi Manajemen Laba Menurut Scott (2006:352-355), motivasi manajemen melakukan tindakan manajemen laba adalah sebagai berikut: 1. Bonus Scheme (Rencana Bonus) Healy (1985) menunjukkan secara empiris bahwa sebelum melakukan manajemen laba, manajer mempunyai informasi dari dalam perusahaan atas laba bersih perusahaan. Penelitian ini juga menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi perusahaan. Healy (1985) berusaha untuk membuktikan dan memprediksi metode akuntansi yang akan dipilih manajer. Penelitian ini merupakan perluasan dari bonus plan hypothesis. Jika pada suatu tahun tertentu laba bersih perusahaan rendah (di bawah bogey) maka tindakan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah (taking a bath) yang bermaksud untuk mencapai bonus pada tahun berikutnya. Sedangkan jika pada satu tahun tertentu laba bersih perusahaan tinggi (diatas cap) maka tindakan yang dilakukan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah. Tindakan ini dilakukan karena manajer tidak akan mendapatkan bonus yang lebih tinggi dari target yang telah ditentukan. Intinya manajer akan melakukan manajemen laba pada saat laba bersih berada diantara bogey dan cap. 2. Motivasi Lain a. To Meet Investor’s Earnings Expectations (Untuk Memenuhi Ekspektasi Laba Investor) Ekspektasi laba investor dapat dibentuk dalam berbagai cara. Misalnya, manajer didasarkan pada pendapatan periode yang sama tahun lalu, atau pada perkiraan analis baru-baru ini. Perusahaan yang melaporkan laba lebih besar dari yang diharapkan biasanya merasakan kenaikan harga saham yang signifikan, karena investor merevisi kenaikan probabilitas mereka dari kinerja masa depan yang membaik. Akibatnya, manajer memiliki insentif yang kuat untuk memastikan bahwa ekspektasi laba terpenuhi. Dapat disimpulkan bahwa memenuhi ekspektasi laba investor adalah insentif manajemen laba yang kuat. b. Debt Contract Motivations (Motivasi Kontrak Utang) Kontrak utang biasanya tergantung pada faktor akuntansi, yang timbul dari masalah moral hazard antara manajer dan pemberi pinjaman. Manajemen laba untuk tujuan perjanjian diperkirakan oleh the debt covenant hypothesis dari teori akuntansi positif. Manajemen laba dapat muncul sebagai penemuan untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran perjanjian kontrak utang. Dengan demikian terlihat ketika masalah yang sangat mendalam, perilaku perusahaan melampaui apa yang diperkirakan oleh the debt covenant hypothesis dan, sebagai gantinya, manajemen laba menjadi bagian dari strategi keseluruhan perusahaan untuk bertahan hidup. Laba insentif manajemen juga berasal dari kontrak implisit, juga disebut kontrak relasional. c. Initial Public Offering (Penawaran Saham Perdana) Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa manajer perusahaan publik dapat mengelola laba yang dilaporkan dalam prospektus mereka dengan harapan menerima harga yang lebih tinggi untuk saham mereka. Karena perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana biasanya berkembang pesat, maka sangat sulit untuk memperkirakan akrual diskresioner mereka, karena pertumbuhan itu sendiri mendorong peningkatan akrual, seperti piutang, persediaan, dan lain-lain. 2.4.6 Teknik Manajemen Laba Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu: 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (pertimbangan) terhadap akuntansi antara lain, estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aset tetap atau amortisasi aset tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain. 2. Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aset tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aset tetap yang sudah tidak dipakai. 2.5 Perataan Laba 2.5.1 Pengertian Perataan Laba Perhatian pengguna laporan keuangan yang seringkali hanya berfokus pada informasi laba, mendorong manajemen melakukan disfunctional behavior berupa praktik perataan laba (income smoothing). Perataan laba merupakan salah satu pola dari manajemen laba. Menurut Riahi dan Belkaoui (2001:56), pengertian perataan laba adalah sebagai berikut: “Perataan laba didefinisikan sebagai upaya yang sengaja dilakukan untuk memperkecil atau fluktuasi pada tingkat laba yang dianggap normal bagi suatu perusahaan.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa perataan laba mencerminkan suatu usaha dari manajemen perusahaan untuk menurunkan variasi yang abnormal dalam laba sejauh yang diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang baik. Menurut Koch (Kamaruddin et.al., 2003) menjelaskan pengertian income smoothing adalah: “Income smoothing merupakan suatu alat yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas yang menyolok dari laba yang dilaporkan dalam batas target yang diharapkan dengan manipulasi variabel akuntansi atau transaksi yang terjadi dalam perusahaan.” Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa perataan laba merupakan tindakan yang sengaja dilakukan untuk mengurangi variabilitas laba yang dilaporkan. Karena investor umumnya menyukai laba yang relatif stabil. 2.5.2 Klasifikasi Perataan Laba Riahi dan Bealkoui (2001:58) menyatakan bahwa terdapat dua jenis perataan laba, yaitu: 1. Natural Smoothing Sebuah proses yang dilakukan oleh pihak manajemen secara langsung tanpa adanya rekayasa. Misalnya seseorang mengharapkan laba dari sebuah transaksi umum seperti penjualan barang dagangan dan biaya operasi. 2. Intentional Smoothing Perataan laba tersebut terjadi karena adanya campur tangan dari pihak manajemen. Intentional smoothing dapat diklasifikasikan menjadi : a. Real smoothing (Perataan laba riil) Perataan laba mengendalikan riil merupakan peristiwa tindakan ekonomi yang manajemen secara dalam langsung mempengaruhi laba perusahaan di masa yang akan datang. b. Artificial smoothing (Perataan laba artifisial) Perataan laba artifisial merupakan usaha yang dilakukan manajemen untuk meratakan laba dengan cara manipulasi. Berdasarkan penjelasan tipe perataan laba tersebut, konsep perataan laba yang akan peneliti lakukan adalah perataan laba yang disengaja, tanpa membedakan perataan laba riil atau perataan laba artifisial, karena peneliti menduga bahwa ada campur tangan dari manajemen dalam mempengaruhi laba yang dilaporkan. 2.5.3 Motivasi dan Tujuan Perataan Laba Motivasi dalam perataan laba meliputi memperbaiki hubungan dengan kreditor, investor, pekerja, dan memperkecil siklus bisnis melalui proses psikologis. Brayshaw dan Eldin (1989) dalam Subekti (2005) menyatakan bahwa terdapat dua hal yang memotivasi manajer dalam mengambil keputusan untuk melakukan praktik perataan laba, yaitu: 1. Rencana kompensasi manajemen yang biasanya dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang ditunjukkan dalam laba yang dilaporkan, sehingga setiap fluktuasi dalam laba akan mempengaruhi langsung terhadap kompensasinya. 2. Fluktuasi dalam kinerja manajemen mungkin mengakibatkan intervensi pemilik untuk mengganti manajemen dengan cara pengambilalihan atau penggantian manajemen, ini mendorong manajemen untuk membuat laporan kinerja yang sesuai dengan keinginan pemilik. Menurut Hepworth (1953) dalam Kurniawan (2012), tindakan perataan laba yang dilakukan oleh manajemen pada dasarnya untuk mendapatkan berbagai keuntungan ekonomis dan psikologis, yaitu: mengurangi total pajak, meningkatkan kepercayaan diri manajer, meningkatkan hubungan antara manajer dan karyawan, siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingi dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak. 2.5.4 Sasaran Perataan Laba Sasaran perataan laba dapat dilakukan terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi aliran data atau informasi. Dengan kata lain, untuk menciptakan laporan keuangan yang sesuai yang diinginkan, manajer dapat memasukkan informasi yang seharusnya dilaporkan pada periode yang akan datang ke dalam laporan periode ini atau sebaliknya tidak melaporkan informasi periode ini untuk dilaporkan pada periode yang akan datang. Foster (1986) dalam Syahriana (2006) mengklasifikasikan unsur-unsur laporan keuangan yang seringkali dijadikan sasaran untuk melakukan perataan laba adalah: 1. Unsur penjualan a. Saat pembuatan faktur. Sebagai contoh, penjualan yang sebenarnya untuk periode yang akan datang pembuatan fakturnya dilakukan pada periode ini dan dilaporkan sebagai penjualan periode ini. b. Pembuatan pesanan atau penjualan fiktif. c. Downgrading (penurunan) produk, sebagai contoh, dengan cara mengklasifikasikan produk yang belum rusak ke dalam kelompok produk rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya. 2. Unsur biaya a. Memecah-mecah faktur, misalnya faktur untuk sebuah pembelian atau pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau pesanan dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dengan tanggal yang berbeda kemudian dilaporkan dalam beberapa periode akuntansi. b. Mencatat prepayment (biaya dibayar dimuka) sebagai biaya. Misalnya melaporkan biaya advertensi dibayar dimuka untuk tahun depan sebagai biaya advertensi tahun ini. 2.5.5 Terjadinya Perataan Laba Cara-cara yang dapat digunakan untuk melakukan perataan laba menurut Barnet et al. (Riahi dan Belkaoui, 2001:59) adalah: 1. Perataan melalui terjadinya peristiwa atau pengakuan Manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi sedemikian rupa sehingga efek transaksi tersebut terhadap income akan cenderung memperkecil variasinya dari waktu ke waktu. Waktu terjadinya peristiwa yang direncanakan (misalnya riset dan pengembangan) sebagain besar merupakan fungsi dari aturan akuntansi yang mengatur tentang pengakuan akuntansi terhadap peristiwa tersebut. 2. Perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu Cara ini berkaitan dengan terjadinya dan pengakuan suatu peristiwa. Manajemen memiliki kebebasan yang lebih untuk mengendalikan penentuan periode yang dipengaruhi oleh kuantifikasi peristiwa tersebut. 3. Perataan melalui klasifikasi. Ketika statistik laporan income selain income bersih (nilai bersih semua pendapatan dan biaya) merupakan objek perataan, manajemen dapat mengklasifikasi elemen-elemen dalam laporan income untuk mengurangi variasi dari waktu ke waktu dalam statistik tersebut. Pada dasarnya perataan riil berkaitan dengan perataan melalui terjadinya peristiwa dan/atau pengakuan, sedangkan perataan artifisial berkaitan dengan perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu. 2.5.6 Model Perhitungan Perataan Laba (Model Eckel) Metode pendeteksian laba yang paling umum dan banyak digunakan oleh para peneliti dari berbagai negara untuk mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok income smoothers (melakukan perataan laba) atau non-income smoothers (tidak melakukan perataan laba) adalah model Eckel (1981). Model Eckel ini membandingkan kovarian laba (CV I) dengan kovarian penjualan (CV S), mana yang lebih besar. Suatu perusahaan dikategorikan income smoothers jika CV Penjualan > CV laba dan sebaliknya jika CV Penjualan < CV Laba , maka dikategorikan sebagai non-income smoothers. Indeks perataan laba = Dimana: CV Penjualan : koefisien variasi penjualan CV Laba : koefisien variasi laba Suatu perusahaan diklasifikasikan sebagai income smoothers jika: CV Penjualan > CV Laba atau Sebaliknya, jika: ≥1 CV Penjualan < CV Laba atau <1 maka, perusahaan tersebut diklasifikasikan sebagai kelompok non income smoothers. CV Penjualan = CV Laba = Dimana: ̅ ̅ σ Laba : Standar deviasi laba σ Penjualan : Standar deviasi penjualan ̅ Laba ̅ Penjualan : Rata-rata laba : Rata-rata penjualan Penggunaan model Eckel dalam rangka menentukan apakah suatu perusahaan melakukan praktik income smoothing atau tidak melakukan praktik income smoothing dalam berbagai penelitian empiris terdahulu adalah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: 1. Model Eckel telah digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu, baik di luar negeri maupun di Indonesia. 2. Laba yang digunakan dalam model Eckel ini adalah laba yang sesungguhya terjadi, atau tidak menggunakan proyeksi laba, sehingga laba yang digunakan dalam perhitungan akan bersifat objektif. 3. Penjualan/pendapatan yang digunakan adalah penjualan/pendapatan bersih yang sesungguhnya terjadi. 2.5.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba Perataan laba dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong manajer untuk melakukan perataan laba. Banyak penelitian empiris terdahulu telah menguji faktor-faktor tersebut dan temuan empiris yang diperoleh menunjukkan belum adanya kesepakatan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba, karena untuk beberapa faktor masih disimpulkan berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap perataan laba. Berikut ini disajikan penelitian-penelitian empiris terdahulu yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi dan tidak mempengaruhi perataan laba. No 1 2 3 4 5 6 Tabel 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba Faktor yang Berpengaruh Ukuran perusahaan Profitabilitas Financial leverage Dividend pay out ratio Risiko keuangan Nilai perusahaan Sumber: diolah No 1 Peneliti (Tahun) Budiasih (2009) Siregar dan Utomo (2008), Budiasih (2009), Prabayanti dan Yasa (2011) Prabayanti dan Yasa (2011) Budiasih (2009) Aji dan Mita (2010) Aji dan Mita (2010) Tabel 2.3 Faktor-Faktor yang Tidak Mempengaruhi Perataan Laba Faktor yang Tidak Berpengaruh Ukuran perusahaan 2 Profitabilitas 3 Financial Leverage 4 Struktur kepemilikan 5 6 Kontrol kepemilikan Net profit margin 7 8 9 10 Kelompok usaha Jenis usaha Winner/losses stocks Reputasi auditor Sumber: diolah Peneliti (Tahun) Salno dan Baridwan (2000), Suwito dan Herawaty (2005), Siregar dan Utomo (2008), Prabayanti dan Yasa (2011) Suwito dan Herawaty (2005), Aji dan Mita (2010) Suwito dan Herawaty (2005), Budiasih (2009) Aji dan Mita (2010), Prabayanti dan Yasa (2011) Siregar dan Utomo (2008) Salno dan Baridwan (2000), Suwito dan Herawaty (2005) Salno dan Baridwan (2000) Suwito dan Herawaty (2005) Salno dan Baridwan (2000) Prabayanti dan Yasa (2011) 2.6 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan pada dasarnya adalah pengelompokan perusahaan ke dalam beberapa kelompok, diantaranya adalah perusahaan besar, perusahaan sedang dan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan yang biasa dipakai untuk menentukan tingkat perusahaan adalah: 1. Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan kontraktor yang terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu saat tertentu. 2. Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu periode tertentu misalnya satu tahun. 3. Total utang ditambah dengan nilai pasar saham biasa, merupakan jumlah utang dan nilai pasar saham biasa perusahaan pada saat atau suatu tanggal tertentu. 4. Total aset, merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu. Klasifikasi ukuran perusahaan menurut Small Bussiness Administration (SBA), yaitu: Small Bussiness Family size Small Medium Large Table 2.4 Klasifikasi Ukuran Perusahaan Menurut SBA Employment Size 1-4 5-19 20-99 100-499 Asset Size Sales Size Under $100,000 $100,000-500,000 $500,000-5 million $5-25 million $100,000-500,000 $500,000-1 million $1 million-10 million $10 million-50 million Sumber: Small Bussiness Administration (Agustiyana, 2010) Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 46/M-DAG/PER/ 9/2009 tentang perubahan atas peraturan menteri perdagangan Republik Indonesia No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang penerbitan surat izin usaha perdagangan, pasal 3 mengelompokkan ukuran perusahaan atas: Tabel 2.5 Ukuran Perusahaan Menurut Menteri Perdagangan RI Kategori Perusahaan kecil Perusahaaan menengah Perusahaan besar Nilai Aset (tanpa nilai tanah dan bangunan) Rp50.000.000-Rp500.000.000 Rp500.000.000-Rp10.000.000.000 >Rp10.000.000.000 Keputusan Ketua Bapepam No. Kep. 11/PM/1997 menyebutkan perusahaan kecil dan menengah berdasarkan aktiva (kekayaan) adalah badan hukum yang memiliki total aktiva tidak lebih dari seratus milyar, sedangkan perusahaan besar adalah badan hukum yang total aktivanya diatas seratus milyar. Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positif menyatakan bahwa ukuran perusahaan digunakan sebagai pedoman biaya politik dan biaya politik akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan risiko perusahaan. Dalam teori ini dijelaskan bahwa perusahaan besar mempunyai motivasi melakukan perataan laba dengan menurunkan laba guna menurunkan biaya politik. Sebaliknya terjadi bagi perusahaan kecil yang berupaya menampilkan laba yang lebih baik. 2.7 Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (profit) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Profitabilitas merupakan ukuran penting yang sering dijadikan patokan oleh investor dalam menilai sehat tidaknya perusahaan, yang selanjutnya dapat mempengaruhi keputusan membeli atau menjual saham suatu perusahaan. Profitabilitas sering dikaitkan dengan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Menurut Sartono (2001:122) menjelaskan pengertian profitabilitas adalah: “Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa jumlah laba bersih kerap dibandingkan dengan ukuran kegiatan atau kondisi keuangan lainnya seperti penjualan, aktiva, ekuitas pemegang saham untuk menilai kinerja sebagai suatu persentase dari beberapa tingkat aktivitas atau investasi. Menurut Riyanto (2001:35) menjelaskan pengertian profitabilitas adalah: “Profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut.” Sedangkan Harahap (2006:304) menjelaskan bahwa profitabiltas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya. Berdasarkan pengertian–pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa profitabilitas adalah tingkat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu dengan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki oleh perusahaan baik yang berhubungan dengan penjualan, jumlah aktiva maupun modal sendiri. Ada banyak rasio yang bisa digunakan untuk mengukur profitabilitas. Rasio-rasio ini memungkinkan analisis untuk mengevaluasi laba perusahaan sehubungan dengan tingkat penjualan, tingkat aktiva dan ekuitas pemegang saham. Adapun rasio-rasio tersebut seperti Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Return on Asset, Return on Investment, Return on Equity, dan Earning Per Share. 2.7.1 Rasio-Rasio Profitabilitas Ada beberapa rasio yang bisa digunakan untuk menghitung rasio profitabilitas, yaitu : 1. Gross Profit Margin (GPM) Rasio gross profit margin atau margin laba kotor berguna untuk mengetahui laba kotor perusahaan dari setiap barang yang dijual. Gross profit margin sangat dipengaruhi oleh harga pokok penjualan. Apabila harga pokok penjualan meningkat maka gross profit margin akan menurun, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, rasio ini mengukur efisiensi pengendalian harga pokok atau biaya produksinya, mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk berproduksi secara efisien. Formulasi dari Gross Profit Margin atau GPM adalah sebagai berikut: 2. Net Profit Margin (NPM) = × 100% Rasio net profit margin menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan. Dengan kata lain rasio ini mengukur laba bersih setelah pajak terhadap penjualan. Formulasi dari Net Profit Margin atau NPM adalah sebagai berikut: = 3. Return on Asset (ROA) × 100% Rasio return on asset merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua aset yang dimiliki oleh perusahaan. Formulasi dari Return on Asset atau ROA adalah sebagai berikut: = × 100% 4. Return on Investment (ROI) Rasio return on investment menunjukan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan yang akan digunakan untuk menutup investasi yang dikeluarkan. Formulasi dari Return on Investment atau ROI adalah sebagai berikut: = 5. Return on Equity × 100% Rasio return on equity mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan atau untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik. Rasio ini dipengaruhi oleh besar kecilnya utang perusahaan, apabila proporsi utang makin besar maka rasio ini juga akan makin besar. Formulasi dari Return on Equity atau ROE adalah sebagai berikut: = × 100% 6. Earning Per Share (EPS) Kadang-kadang pemilik juga menginginkan data mengenai keuntungan yang diperoleh untuk setiap lembar sahamnya. Earning per share merupakan ukuran kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan keuntungan per lembar saham pemilik. Formulasi dari Earning Per Share atau EPS adalah sebagai berikut: = Dari semua penjelasan rasio-rasio diatas maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa rasio-rasio profitabilitas merupakan ukuran untuk mengetahui seberapa jauh efektivitas manajemen dalam mengelola perusahaannya. Efektifititas manajemen bisa meliputi kegiatan fungsional manajemen, seperti keuangan, pemasaran, sumber daya manusia dan operasional. Jadi banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas yang kemudian meningkatkan atau menurunkan laba. Dengan demikian, analisis rasio profitabilitas dapat memberikan gambaran keuntungan yang diperoleh perusahaan. Adapun rasio yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah return on asset (ROA) yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan semua aset yang dimiliki oleh perusahaan. Rasio tersebut akan diuraikan secara lebih jelas dalam penjelasan dibawah ini. 2.7.2 Return on Asset (ROA) Return on asset (ROA) adalah ukuran keseluruhan keefektifan manajemen dalam menghasilkan laba dengan aset yang tersedia. Semakin tinggi hasil yang dihasilkan maka semakin baik (Sundjaja dan Barlian, 2003). Sedangkan menurut Sutrisno (2003) menjelaskan pengertian return on asset sebagai berikut: “Return on asset juga sering disebut sebagai rentabilitas ekonomis merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva yang dimiliki oleh perusahaan.” Sedangkan menurut Gallagher dan Andrew (2003:101) menjelaskan mengenai return on asset sebagai berikut: “The return on asset (ROA) ratio indicates how much income each dollar of assets produces on average.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa rasio return on asset (ROA) mengindikasikan berapa banyak laba per dolar yang dihasilkan dari aset yang digunakan. Manajer sering mengukur kinerja perusahaan dengan rasio laba bersih terhadap total aset. Meskipun demikian, karena laba bersih mengukur keuntungan setelah dipotong beban bunga, praktik ini membuat profitabilitas yang jelas dari perusahaan sebagai fungsi struktur modalnya (Brealey, et al., 2007:81). Analisa return on asset (ROA) ini sudah merupakan teknik analisa yang lazim digunakan oleh manajer perusahaan untuk mengukur efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Return on asset (ROA) itu sendiri adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk dapat mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan aset yang dimiliki yang digunakan untuk operasi perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Dengan demikian return on asset (ROA) menghubungkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan jumlah aset yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan operasi tersebut. Formulasi dari Return on Asset atau ROA adalah sebagai berikut: = × 100% Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dengan mengetahui rasio ini, maka akan dapat diketahui apakah perusahaan efisien dalam menggunakan asetnya dalam kegiatan operasional perusahaan. Maka dari itulah dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan rasio return on asset (ROA). 2.8 Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan komposisi modal antara hutang dan ekuitas termasuk juga proporsi antara kepemilikan saham inside shareholder dan outside shareholder (Haryono, 2005). Menurut Ituriagia dan Zans (1998) dalam Faisal (2005), struktur kepemilikan dapat dibedakan dalam dua sudut pandang yang berbeda yaitu : 1. Pendekatan keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan manajer dengan pemegang saham. 2. Pendekatan informasi asimetri, kepemilikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidak seimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi. Komposisi kepemilikan saham memiliki dampak yang penting pada sistem pengendalian manajemen suatu perusahaan. Struktur kepemilikan merupakan bentuk komitmen dari para pemegang saham untuk mendelegasikan pengendalian dengan tingkat tertentu kepada para manajer. Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting didalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang dan equity tetapi juga oleh presentase kepemilikan oleh manajer dan institusional. Pada perusahaan modern, kepemilikan perusahaan biasanya sangat menyebar. Struktur kepemilikan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam memonitor perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya. Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Agency problem dapat dikurangi dengan adanya struktur kepemilikan. Proporsi jumlah kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan ada kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham (Faisal, 2005). Sedangkan pemegang saham institusional memiliki keahlian yang lebih dibandingkan dengan investor individu, terutama pemegang saham institusional mayoritas atau diatas 5%. Pemegang saham institusional besar diasumsikan memiliki orientasi investasi jangka panjang. Menurut Diyah, dkk (2009), berdasarkan proporsi saham yang dimilki, struktur saham dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu kepemilikan saham manajerial dan kepemilikan saham institusional. 2.8.1 Kepemilikan Manajerial (Insider Ownership) Kepemilikan manajerial adalah proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris) (Diyah, dkk, 2009). Dengan adanya kepemilikan manajerial dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa kinerja perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan. Ada berbagai kebijakan yang dapat diterapkan oleh para pemegang saham dalam mengatur distribusi modalnya atau kebijakan dalam membentuk struktur kepemilikan perusahaan yang mereka miliki. Ada sebagian perusahaan yang mengambil kebijakan kompensasi perusahaan bagi para manajernya dengan cara memberikan hak kepada para manajer untuk memiliki sebagian saham perusahaan (Ratnaningsih dan Hartono, 2001). Menurut Mathiesen (2004) menjelaskan pengertian kepemilikan manajerial sebagai berikut: “Secara khusus kepemilikan manajerial terhadap perusahaan atau yang biasa dikenal dengan istilah insider ownership ini didefinisikan sebagai persentase suara yang berkaitan dengan saham dan option yang dimiliki oleh manajer dan direksi suatu perusahaan.” Kepemilikan manajer (insider ownership) tersebut dapat menyebabkan munculnya benefit maupun cost bagi perusahaan, karena insider ownership tersebut kemudian memberikan dampak pada perilaku pihak manajemen (Jensen, 1992) dalam Rawi (2008). Karena berdasarkan teori keagenan, kepentingan manajerial dan kepentingan pemegang saham kemungkinan bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan dividen yang akan diterima. Sedangkan menurut Downes dan Goodman (1999) menjelaskan pengertian kepemilikan manajerial sebagai berikut: “Kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan.“ Adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham menimbulkan konflik yang biasa disebut konflik keagenan. Konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan yang terkait tersebut. Salah satu mekanismenya adalah dengan meningkatkan kepentingan manajerial. Dari sudut pandang teori akuntansi, perataan laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran perataan laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi perataan laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Dengan kata lain, presentase tertentu terhadap kepemilikan saham oleh pihak manajemen, cenderung mempengaruhi tindakan perataan laba. 2.8.2 Kepemilikan Institusional (Outsider Ownership) Kepemilikan institusional merupakan salah satu struktur kepemilikan selain struktur kepemilikan manajerial, asing, dan pemerintah. Menurut Tarjo (2008), kepemilikan institusional sendiri adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Sedangkan Short, et al. (2002) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menjelaskan pengertian kepemilikan institusional sebagai berikut: “Kepemilikan institusional adalah kepemilikan yang dimiliki oleh lembaga yang memiliki presentase dari ekuitas sebesar 5% atau lebih dari modal awal pada tahun yang bersangkutan.” Penjelasan lain mengenai kepemilikan institusional yaitu kepemilikan saham oleh pihak institusi lain yaitu kepemilikan oleh perusahaan atau lembaga lain dan blockholders. Kepemilikan saham oleh pihak-pihak yang berbentuk institusi seperti kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian serta institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et.al., 2006 dalam Oktaviani, 2011). Sedangkan yang dimaksud blockholders adalah kepemilikan individu atas nama perorangan diatas 5% tetapi tidak termasuk dalam kepemilikan manajerial (Fitri dan Mahmud, 2003 dalam Oktaviani, 2011). Kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict. Karena kepemilikan institusional memantau secara profesional perkembangan investasinya, maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi perataan laba dapat ditekan. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusional dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Keberadaan investor institusional dapat menunjukkan mekanisme corporate governance yang kuat yang dapat digunakan untuk memonitor manajemen perusahaan. Pengaruh investor institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan para pemegang saham. Hal tersebut disebabkan jika tingkat kepemilikan manajerial tinggi, dapat berdampak buruk terhadap perusahaan karena dapat menimbulkan masalah pertahanan, yang berarti jika kepemilikan manajerial tinggi, mereka memiliki posisi yang kuat untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan manajer. Hal ini disebabkan tingginya hak voting yang dimiliki manajer. Adanya pengawasan yang optimal terhadap kinerja manajer maka akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jensen dan Meckling (1976) dalam Rawi (2008) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut Nurfauziah (2007) kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri atas kepemilikan institusional maupun kepemilikan individual. Atau campuran keduanya dengan proporsi tertentu. Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan investor individual, diantaranya yaitu: 1. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor individual untuk mendapatkan informasi. 2. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi, sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi. 3. Investor institusional, secara umum, memiliki realsi bisnis yang lebih kuat dengan manajemen. 4. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. 5. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat harga. 2.9 Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Struktur Kepemilikan Terhadap Perataan laba 2.9.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Perataan Laba Menurut Moses (1987) dalam Siregar dan Utomo (2008) perusahaan dengan size yang besar mempunyai insentif yang besar untuk melakukan perataan laba dibanding perusahaan kecil, karena perusahaan yang memiliki aset dalam jumlah besar akan lebih diperhatikan oleh publik dan pemerintah. Fluktuasi laba yang besar menarik perhatian pemerintah. Oleh karena itu perusahaan besar akan menghindari kenaikan laba secara drastis supaya terhindar dari kenaikan pembebanan biaya pajak oleh pemerintah. Perusahaan besar juga diperkirakan akan menghindari penurunan laba secara drastis. Penurunan laba secara drastis memberikan sinyal bahwa perusahaan berada dalam masa krisis. Hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat Albretch dan Richardson (1990) dalam Suwito dan Herawaty (2005), bahwa perusahaan-perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan untuk melakukan perataan laba dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, karena perusahaan yang lebih besar diteliti dan dipandang dengan lebih kritis oleh para investor. Perusahaan besar juga akan lebih memperhatikan citra perusahaannya dimata investor yang ditunjukkan dengan laba yang relatif stabil. Perusahaan yang ukurannya lebih besar diperkirakan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan perataan laba (Suwito dan Herawaty, 2005). Berdasarkan political cost hypothesis dalam teori akuntansi positif dikemukakan bahwa perusahaan besar cenderung untuk melakukan pengelolaan atas laba di antaranya melakukan income minimization saat memperoleh laba tinggi untuk menghindari munculnya peraturan baru dari pemerintah, contohnya menaikkan pajak penghasilan perusahaan. Berdasarkan analisis di atas peneliti menduga bahwa perusahaan besar cenderungan untuk meratakan laba. Ha1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap perataan laba. 2.9.2 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Perataan Laba Profitabilitas merupakan ukuran penting yang sering dijadikan patokan oleh investor dalam menilai sehat tidaknya perusahaan, yang selanjutnya dapat mempengaruhi keputusan membeli atau menjual saham suatu perusahaan. Profitabilitas juga seringkali digunakan oleh kreditor untuk memutuskan pinjaman mereka kepada suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki profitabilitas yang lebih tinggi cenderung melakukan perataaan laba dibandingkan dengan perusahaan yang lebih rendah, karena manajemen tahu akan kemampuan untuk mendapatkan laba pada masa mendatang sehingga memudahkan dalam menunda atau mempercepat laba (Assih dkk., 2000 dalam Budiasih, 2009). Ketika perusahaan memperoleh tingkat profitabilitas yang tinggi, manajer akan meratakan laba untuk menghindari risiko. Seperti yang dijelaskan oleh bonus plan hypothesis bahwa jika manajer menghindari risiko, maka manajer akan lebih memilih kebijakan dengan meratakan laba yang dilaporkan. Hal tersebut dilakukan dengan menangguhkan laba tahun berjalan ke tahun selanjutnya. Selain itu manajer tetap bisa menerima bonus jika di tahun selanjutnya perusahaan memperoleh laba yang lebih rendah. Menurut Scott (2006), perusahaan cenderung melakukan income minimization saat memperoleh tingkat profitabilitas tinggi. Tingkat profitabilitas yang stabil akan memberikan keyakinan pada investor bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang baik dalam menghasilkan laba. Manajemen akan diuntungkan dengan profitabilitas yang stabil seperti mempertahankan posisi jabatan apabila kinerja diukur dengan tingkat laba yang mampu dihasilkan (Prabayanti dan Yasa, 2011). Berdasarkan analisis di atas peneliti menduga bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi cenderungan untuk meratakan laba. Ha2: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap perataan laba. 2.9.3 Pengaruh Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Perataan Laba Dari sudut pandang teori akuntansi, perataan laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran perataan laba yang berbeda yang dilakukan oleh manajernya. Perusahaan yang dipimpin oleh manajer dan pemilik (owner-manager) akan mempengaruhi perataan laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola (Boediono, 2005). Semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan. Pemusatan kepentingan dapat dicapai dengan memberikan kepemilikan saham kepada manajer. Adanya kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat mengurangi konflik keagenan antara manajer dengan pemegang saham karena tujuan antara manajer dan pemegang saham menjadi selaras sehingga permasalahan asimetri informasi diasumsikan akan hilang. Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan salah satu mekanisme yang dapat diterapkan dalam membatasi perilaku oportunistik manajer dalam bentuk perataan laba. Manajer yang berperan sebagai pemegang saham akan menghindari pelaporan keuangan yang menyesatkan, karena manajer ikut berperan pula sebagai investor dan pengawas dalam perusahaan yang menginginkan laporan keuangan bersifat relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kepemilikan manajerial akan menghindari terjadinya penginformasian laporan keuangan yang tidak sesuai, sehingga tingkat informasi yang dimiliki oleh manajer dan stakeholder tidak memiliki perbedaan (Amanza, 2012). Peneliti menduga bahwa semakin besar kepemilikan manajerial cenderung membuat perusahaan tidak melakukan perataan laba. Ha3: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap perataan laba 2.9.4 Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional Terhadap Perataan Laba Kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict. Karena kepemilikan institusional memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi perataan laba dapat ditekan. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi membatasi manajer untuk melakukan pengelolaan laba. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin kuat kendali dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksternal terhadap perusahaan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Prabayanti dan Yasa (2011) bahwa kepemilikan saham yang besar oleh pihak institusional merupakan salah satu mekanisme untuk mengawasi kinerja manajemen. Pemegang saham institusional dapat mengimbangi informasi yang dimiliki oleh manajemen sehingga asimetri informasi yang terjadi antara manajemen dan pemilik rendah. Hal tersebut meyebabkan manajemen tidak leluasa untuk melakukan pengelolaan atas labanya. Biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan investasinya, maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. Keberadaan institusi mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan. Peneliti menduga bahwa semakin besar kepemilikan institusional cenderung membuat perusahaan tidak melakukan perataan laba. Ha4: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap perataan laba. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Ukuran Perusahaan (X1) Ha1 + Profitabilitas (X2) Ha2 + Struktur Kepemilikan Manajerial (X3) Struktur Kepemilikan Institusional (X4) Ha3 Ha4 Perataan Laba