BAB II LATAR BELAKANG TEORI

advertisement
BAB II
LATAR BELAKANG TEORI
2.1.
TEGANGAN IN SITU
2.1.1. Pengertian Umum
In situ berasal dari kata in site yang berarti di lapangan. Sehingga tegangan in situ
memiliki pengertian sebagai tegangan yang terdapat pada massa batuan di lapangan.
Sebelum penggalian lubang bukaan dilakukan pada massa batuan, terdapat 3 jenis
tegangan in situ awal (initial stress) yaitu :

Tegangan gravitasi (gravitational/vertical stress )
adalah tegangan yang terjadi karena berat dari tanah atau batuan yang berada di
atas massa batuan

Tegangan tektonik (tectonic stress)
adalah tegangan yang terjadi akibat aktivitas tektonik pada kulit bumi.

Tegangan sisa (residual stress)
adalah tegangan yang masih tersisa walaupun penyebab terjadinya tegangan
tersebut sudah hilang.
Aktivitas penggalian lubang bukaan pada massa batuan, dimana terjadi pemindahan
sejumlah volume dari massa batuan, akan menyebabkan kondisi tegangan awal
(initial stress) pada massa batuan di sekitar lubang bukaan berubah. Tegangan yang
disebabkan oleh aktivitas penggalian ini dikenal dengan istilah tegangan terinduksi
(induced stress). Besarnya tegangan terinduksi dapat diketahui pada saat aktivitas
penggalian telah dilakukan dengan pengukuran tegangan in situ secara langsung
maupun tidak langsung.
II-1
Besar dan arah tegangan in s itu adalah salah satu parameter penting dalam proses
perancangan lubang bukaan. Ada tiga alasan mengapa studi tentang tegangan in situ
pada massa batuan perlu dilakukan (Hudson, 2000) :
1. Pada massa batuan terdapat kondisi tegangan awal yang harus dimengerti , baik
secara langsung maupun sebagai gambaran kondisi tegangan yang akan
digunakan dalam analisis dan desain lubang bukaan .
2. Saat dilakukan penggalian pada massa batuan, ada kemungkinan kondisi tegangan
berubah secara drastis.
3. Tegangan adalah besaran tens or dan tensor tidak dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Besaran tensor adalah besaran yang memiliki nilai, arah, dan sangat
tergantung pada bidang tempatnya bekerja.
Analisis tegangan pada suatu titik di massa batuan dilakukan dengan mengganggap
titik tersebut sebagai titik pusat dari sebuah kubus yang sangat kecil (infinitesimal
cube) di dalam massa batuan. Gambar 2.1 menunjukkan tegangan -tegangan yang
bekerja pada sisi-sisi kubus tersebut.
Gambar 2.1
Kondisi Tegangan pada Sisi-sisi Suatu Kubus Massa Batuan
II-2
Dengan menganalisis keseimbangan tegangan yang bekerja, akan dapat ditentukan
matriks tensor tegangan pada titik tersebut . Matriks tensor tegangan adalah matriks
yang menyatakan nilai tegangan -tegangan yang bekerja di suatu titik pada mass a
batuan. Dengan sistem koordinat kartesian tiga dimensi (x,y,z) sebagai acuan bagi
arah tegangan, matriks tensor tegangan dinyatakan dalam bentuk matriks 3  3 sebagai
berikut :
 x  xy  xz 
 =  yx  y  yz 
 zx  zy  z 


[2.1]
keterangan :
 x : tegangan normal yang searah dengan sumbu kartesian x
 y : tegangan normal yang searah dengan sumbu kartesian y
 z : tegangan normal yang searah dengan sumbu kartesian z
 xy : tegangan geser searah sumbu y pada bidang normal terhadap sumbu x
 xz : tegangan geser searah sumbu z pada bidang normal terhadap sumbu x
 yx : tegangan geser searah sumbu x pada bidang normal terhadap sumbu y
 yz : tegangan geser searah sumbu z pada bidang normal terhadap sumbu y
 zx : tegangan geser searah sumbu x pada bidang normal terhadap sumbu z
 zy : tegangan geser searah sumbu y pada bidang normal terhadap sumbu z
Sebagai syarat kesetimbangan momentum, maka :  xy =  yx ,  xz =  zx , dan
 yz =  zy , sehingga hanya dibutuhkan enam buah komponen tensor tegangan untuk
menyatakan kondisi tegangan pada suatu titik di massa batuan, sebagai berikut :
II-3
x
 =  xy
  zx
 xy
y
 yz
 zx 

 yz 
 z 
[2.2]
2.1.2. Transformasi Tegangan
Selain dalam sistem sumbu koordinat kartesian, kondisi tegangan pada suatu titik
selalu dapat dinyatakan dalam sistem sumbu koordinat relatif. Orientasi dari suatu
sumbu koordinat relatif terhadap sumbu-sumbu kartesian didefinisikan oleh sebuah
vektor baris dari cosinus arah. Cosinus arah adalah proyeksi dari vektor satuan pada
salah satu sumbu kartesian.
Misalkan l, m, dan n adalah sumbu-sumbu relatif saling tegak lurus hasil perputaran
sumbu koordinat kartesian x, y, dan z. Sumbu l membentuk sudut sebesar α terhadap
sumbu x, β terhadap sumbu y, dan γ terhadap sumbu z. Maka orientasi l relatif
terhadap sumbu-sumbu utama kartesian (x,y,z) dinyatakan oleh suatu vektor baris
(lx,ly,lz), dengan lx = cos α, ly = cos β, dan lz = cos γ. Dengan cara yang sama, orientasi
dari m dan n relatif terhadap sumbu-sumbu kartesian secara berurutan dinyatakan
dengan vektor baris (mx,my,mz) dan (nx,ny,nz).
Sehingga kondisi tegangan pada suatu titik, relatif terhadap sumbu l, m, dan n,
dinyatakan oleh matriks tensor tegangan se bagai berikut :
 l
 * =  lm
  ln
 lm
m
 mn
 ln 
 mn 
 n 
[2.3]
II-4
Pada Gambar 2.2 berikut akan ditunjukkan sistem sumbu kartesian (x,y,z), sistem
sumbu relatif (l,m,n), tetrahedron OABC yang merupakan bagian dari kubus massa
batuan yang digunakan dalam menentukan kondisi tegangan sebelum ini, dan OP
yang merupakan normal bidang OABC. Cosinus arah OP dinyatakan oleh suatu
vektor baris (λ x,λy,λz) dan sebagai syarat kesetimbangan untuk mengganti bagian
kubus yang dihilangkan, pada bidang ABC bekerja tekanan penyeimbang t per unit
luas, dengan cosinus-cosinus arah tx, ty, dan tz (Brady & Brown, 1985).
Gambar 2.2
Analisis Tegangan Pada Sebuah Tetrahedron OABC (Brady & Brown, 198 5)
Dengan mengganggap bahwa luas ABC adalah A, proyeksi ABC pada bidang dengan
normal sumbu x, y, dan z akan menghasilkan bidang-bidang A x (OAC), A y (OAB),
dan Az (OBC). Kesetimbangan gaya pada sumbu x dinyatakan dengan persamaan :
txA – σxAx – τxyAy – τzxAz = 0
[2.4]
II-5
Karena A x = Aλx, Ay = Aλy, dan A z = Aλz, maka persamaan [2.4] menjadi :
txA – σxAλx – τxyAλy – τzxAλz = 0
[2.5]
atau :
tx – σxλx – τxyλy – τzxλz = 0
[2.6]
Sehingga dengan melakukan perhitungan kesetimbangan gaya -gaya pada sumbu y
dan z, akan diperoleh persamaan matriks :
x
t x 
 t  = 
 xy
 y
  zx
 t z 
 xy
y
 yz
 zx 

 yz 
 z 
 x 
 
 y
  z 
[2.7]
atau :
t  =   
[2.8]
Analisis kesetimbangan yang sama pada sumbu l, m, dan n akan menghasilkan
persamaan matriks :
 t l   l
 t  = 
 m   lm
 t n    ln
 lm
m
 mn
 ln 
 mn 
 n 
 l 
 
 m
  n 
[2.9]
atau :
t * =  * *
[2.10]
II-6
Karena l, m, n adalah sistem sumbu hasil rotasi sistem sumbu kartesian, maka
komponen traksi pada sistem sumbu l, m, n juga dapat dinyatakan sebagai hasil rotasi
komponen traksi pada sumbu kartesian yang dinyatakan dalam oleh persamaan :
 t l   lx
 t  = m
 m  x
 t n   nx
ly
my
ny
lz 

mz 
nz 
t x 
t 
 y
 t z 
[2.11]
atau
t * = Rt 
[2.12]
Sehingga :
t  = R 1 t *
[2.13]
Matriks [R] adalah matriks rotasi yang baris -barisnya dibentuk oleh vektor baris
cosinus arah dari sumbu baru terhadap sumbu as al. Sifat khas matriks [R] adalah
bahwa inversnya sama dengan transposenya (Jennings, 2000), atau:
[R]-1 = [R]T
[2.14]
sehingga persamaan [2.13] menjadi :
t  = R T t *
[2.15]
II-7
Sehingga dengan cara yang sama sebaga imana ditunjukkan oleh persamaan [2.11],
[2.12], [2.13], [2.14], dan [2.15] , orientasi cosinus arah dari traksi pada sistem sumbu
l, m, dan n relatif terhadap sumbu x, y dan z dapat dinyatakan oleh persamaan persamaan :
  l   lx
  =  m
 m  x
  n   nx
ly
my
ny
lz 

mz 
nz 
 x 
 
 y
  z 
[2.16]
 * = R 
[2.17]
 = R 1  *
[2.18]
 = R T  *
[2.19]
Subtitusi persamaan [2.12] dengan p ersamaan [2.8], [2.10] dan [2.19] menghasilkan :
[σ*] = [R][σ][R] T
[2.20]
Atau dalam bentuk matriks yang diperluas :
  l  lm  ln   l x

 
 ml  m  mn  = mx
 nl  nm  n   nx
ly
my
ny
lz 

mz 
nz 
 x  xy  xz  l x


 yx  y  yz  l y
 zx  zy  z  l z


mx
my
mz
nx 
n y 
nz 
[2.21]
Jadi dengan melakukan perkalian matriks pada ruas kanan persamaan [2. 21],
komponen-komponen tegangan  * akibat perputaran sumbu akan dapat diketahui.
II-8
2.1.3. Tegangan Prinsipal
Perputaran sumbu secara tepat akan menghasilkan kondisi dimana tegangan geser
bernilai nol. Bidang dimana tidak terdapat tegangan geser ini dikenal dengan istilah
bidang utama (principal plane). Pada bidang utama, hanya bekerja tegangan utama
(principal stress) dan arah normal dari bidang ini merupakan arah dari sumbu utama
(principal axis). Karena analisis tegangan dilakukan dalam tiga dimensi, maka akan
terdapat tiga sumbu utama. Sehingga untuk menyatakan kondisi tegangan dari suatu
titik yang terletak pada bidang utama akan diperlukan nilai tiga tegangan utama dan
orientasi dari tiga sumbu utama.
Kondisi tegangan di suatu titik yang terletak pada bidang prinsipal dinyatakan dengan
persamaan matriks :
 1
 p  =  0
 0
0
2
0
0
0 
 3 
[2.22]
keterangan :
1 : Tegangan utama mayor (major principal stress)
 2 : Tegangan utama tengah (intermediate principal stress)
 3 : Tegangan utama minor (minor principal stress)
Perhitungan tegangan besar dan arah tegangan prinsipal dapat dilakukan berdasarkan
persamaan yang diusulkan Brady & Brown (1985). Dengan menggunakan teori
invarian, nilai tegangan utama (principal stress) dapat diketahui dengan
menyelesaikan persamaan pangkat tiga berikut :
II-9
σp3 – I1σp2 + I2σp – I3 = 0
[2.23]
dengan :
I1 = σx + σy + σz
[2.24]
I2 = σxσy + σyσz + σzσx - (σ2xy + σ2yz + σ2zx)
[2.25]
I3 = σxσyσz + 2 σxyσyzσzx – (σxσyz2 + σyσzx2 + σz σxy2)
[2.26]
Keterangan :
I1 = invarian tegangan (stress invariant) pertama
I2 = invarian tegangan (stress invariant) kedua
I3 = invarian tegangan (stress invariant) ketiga
Dimana syarat yang harus dipenuhi dalam perhitungan nilai tegangan adalah :
σ1 + σ2 + σ3 = σx + σy + σ z
[2.27]
Sedangkan perhitungan arah tegangan prinsipal di lakukan berdasarkan cosinus arah
dari tegangan-tegangan utama. Untuk setiap tegangan utama σ i (i = 1,2,3), cosinus
arahnya terhadap sumbu x, y, dan z dinyatakan dengan persamaan -persamaan :
λxi =
λyi =
λzi =
A
(A 2  B 2  C 2 )
B
(A 2  B 2  C 2 )
C
(A 2  B 2  C 2 )
[2.28]
[2.29]
[2.30]
II-10
dimana :
A
 y  i
 yz
 yz
 z  i
[2.31]
 xy
 zx
 yz
z  i
[2.32]
y  i
 yz
[2.33]
B
C 
 xy
 zx
Syarat yang harus dipenuhi cosinus arah adalah :
λx12 + λy12 + λz12 = 1
[2.34]
λx1λx2 + λy1λy2 + λz1λz2 = 0
[2.35]
λx2λx3 + λy2λy3 + λz2λz3 = 0
[2.36]
λx3λx1 + λy3λy1 + λz3λz1 = 0
[2.37]
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tegangan In Situ
Tegangan yang ada di dalam massa batuan di bawah tanah dipengaruhi oleh beban
dari material yang berada di atasnya dan proses geologi yang terjadi. Perubahan perubahan yang terjadi bisa berhubungan dengan perubahan temperatur, komposisi
kimia, thermal stress, dan lain sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tegangan in situ (Brady dan Brown, 1985) :

Topografi Permukaan
Kondisi tegangan pada suatu titik di bawah permukaan sangat dipengaruhi oleh
beban material yang berada di atasnya. Semakin jauh titik tersebut dari
II-11
permukaan, semakin besar tegangan yang diakibatkan oleh beban dari material
yang berada di atasnya.

Erosi
Erosi merupakan proses pengikisan yang terjadi pada permukaan tanah, baik oleh
air, es, dan angin. Proses erosi ini dalam jangka waktu lama akan mengurangi
kedalaman lapisan batuan, sehingga jumlah material yang membebani suatu titik
pada massa batuan yang terletak di bawah permukaan tanah akan berkurang, yang
pada akhirnya menyebabkan berkurangnya tegangan yang bekerja pada titik
tersebut.

Tegangan sisa (residual stress)
Residual stress merupakan tegangan yang masih tersisa, walaupun penyebab
timbulnya tegangan tersebut sudah tidak ada lagi. Pada umumnya, tegangan sisa
timbul berhubungan dengan adanya proses kimia atau fisika yang terjadi secara
tidak merata (non-homogenous) pada suatu volume material yang terbatas,
sehingga apabila dari pros es tersebut terjadi penambahan volumetrik dan tidak
ada ruang untuk penambahan tersebut, maka akan timbul tegangan yang terkunci
pada material tersebut. Masalah tegangan sisa ini merupakan hambatan dalam
memprediksi tegangan yang bekerja pada massa batuan.

Aktivitas tektonik
Keadaan tegangan pada massa batuan dapat juga berasal dari gaya yang
diakibatkan oleh aktivitas tektonik. Tegangan yang berhubungan dengan aktivitas
tektonik ini bekerja secara regional pada suatu area tertentu, dan bisa
dikorelasikan dengan adanya struktur geologi
(sesar, lipatan) di sekitar area
tersebut.

Bidang diskontinyu
Pada massa batuan yang terletak jauh di bawah permukaan, terdapat tegangan
gravitasi yang diakibatkan oleh pembebanan oleh massa batuan di atasnya.
Apabila terdapat bidang diskontinyu di sekitar massa batuan, maka besar dan arah
II-12
tegangan yang bekerja di pada batuan yang berada di bawah bidang diskontinyu
tersebut akan berubah, dikarenakan terjadi redistribusi tegangan akibat adanya
bidang diskontinyu tersebut.
2.2.
PENENTUAN TEGANGAN IN SITU
2.2.1
Pendekatan Teoritis
Pada umumnya, tanpa pengukuran tegangan in situ secara langsung di lapangan,
perancangan lubang bukaan dilakukan hanya berdasarkan tegangan vertikal ( σv) dan
tegangan horisontal (σh) yang bekerja pada massa batuan. Besarnya tegangan vertikal
pada massa batuan dengan kedalaman tertentu tertentu adalah sama dengan berat per
satuan luas dari batuan yang berada di atasnya. Secara teoritis tegangan ve rtikal
tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :
σv = ρ.g.z = γ.z
[2.37]
Keterangan :
ρ = rapat massa batuan (kg/m3)
g = percepatan gravitasi (m/s 2)
z = kedalaman (m)
γ = berat satuan batuan (N/m 3)
Berdasarkan hasil pengukuran tegangan vertikal di beberapa negara, Hoek & Brown
pada tahun 1978 menyatakan bahwa pendekatan nilai tegangan vertikal pada massa
batuan dapat dilakukan dengan persamaan :

II-13
z = 0,027 z
[2.38]
dengan
z = tegangan vertikal (MPa)
z = kedalaman (m)
Gambar 2.3 menunjukkan bahwa pendekatan nilai tegangan vertikal dengan
persamaan tersebut memberikan hasil yang cukup baik. Tegangan vertikal hasil
pengukuran di berbagai lokasi mendekati nilai 0,027.z, terutama pada rentang
kedalaman kurang dari 750 m.
Gambar 2.3
Pengukuran Tegangan Vertikal pada Kedalaman Tertentu di Bawah
Permukaan Bumi (Hoek & Brown, 1980)
II-14
Sedangkan tegangan horisontal pada umumnya dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
 h = k . v
[2.39]
dimana k adalah faktor pembanding antar a tegangan horisontal dan tegangan vertikal.
Terzhagi dan Richart (1952) menyatakan bahwa untuk batuan elastik, homogen, dan
isotrop, nilai k dapat dihitung dengan persamaan berikut :
k=

1
[2.40]
dimana  adalah nisbah Poisson dari massa batuan. Pendekatan ini terbukti tidak
akurat sehingga telah jarang digunakan pada saat ini .
Menurut Heim (1912), untuk kedalaman yang besar (lebih dari satu kilometer)
keadaan tegangan akan menjadi hidrostatik (k = 1), sehingga berlaku kondisi dimana
besar tegangan vertikal sebanding dengan tegangan hori sontal (  h =  v ). Ini
dikarenakan batuan cenderung tidak mampu untuk menahan perbedaan tegangan
yang sangat tinggi dalam arah yang berbeda, sehingga akan terjadi retakan,
plastisitas, dan rayapan pada batuan yang dapat mengurangi perbedaan yang besar
dari tegangan vertikal dan tegangan hori sontal.
Pengukuran tegangan horisontal pada terowongan sipil dan tambang di seluruh dunia
menunjukkan bahwa nilai k cenderung tinggi pada kedalaman yang kecil. Tegangan
horisontal hasil pengukuran cenderung lebih besar dari pada tegangan vertikalnya,
sedangkan pada perhitungan teoritis nilai tegangan hori sontal selalu lebih kecil
daripada tegangan vertikal.
II-15
Pada kedalaman kurang dari satu kilometer keadaan tegangan tidak bisa dianggap
hidrostatis, sehingga nilai k tidak sama dengan satu. Pada kedalaman ini, pendekatan
nilai k dengan persamaan [2.40] juga tidak dapat dilakukan. Hoek dan Brown
mengusulkan pendekatan nilai k untuk kedalaman
kurang dari satu kilo meter
berdasarkan pengukuran tegangan in situ pada beberapa lokasi yang dinyatakan
dengan persamaan :
100
1500
+ 0,3 < k <
+ 0,5
z
z
[2.41]
Gambar 2.4
Variasi Perbandingan Antara Tegangan Horisontal dan Tegangan Vertikal pada
Kedalaman Tertentu di Bawah Permukaan Bumi (Hoek & Brown, 1980)
Pada Gambar 2.4 diatas terlihat bahwa untuk kedalaman kurang dari 500 meter
tegangan horisontal cenderung lebih besar daripada tegangan vertikalnya. Ini
II-16
dikarenakan oleh adanya peristiwa erosi yang menyebabkan massa material di atas
titik pengukuran berkurang, tetapi pada titik tersebut masih terdapat tegangan residual
yang berupa tegangan hori sontal. Hal ini akan mengakibatkan nilai dari tegangan
horisontal akan lebih besar daripada tegangan vertikal.
Analisis lebih lanjut berdasarkan persamaan [2. 41] yang menyatakan bahwa rasio
 
tegangan horisontal dan tegangan vertikal  h  adalah fungsi dari kedalam an (z)
 v 
dilakukan oleh Herget pada tahun 198 8.
Gambar 2.5
Rasio Tegangan Sebagai Fungsi Kedalaman Versi Hoek & Brown vs Herget Pada
Beberapa Lokasi Di Kanada (Herget, 1988)
II-17
Dengan menggunakan data tegangan in situ pada beberapa lokasi di Kanada, Herget
menyatakan bahwa pendekatan nilai tegangan in situ di Kanada dapat dilakukan
dengan persamaan :
267
 H average
=
 1,25
z ( m)
v
[2.42]
Gambar 2.5 menunjukkan bahwa kurva Hoek & Brown serta Herget memiliki arah
yang sama dan menghasilkan nilai k yang nilainya berdekatan pada kedalaman
kurang dari 1000 m. Untuk kedalaman lebih dari 1000 m, kurva Herget mulai
mengalami perubahan arah dan pada kedalaman lebih dari 1500 m, persamaan Herget
akan menghasilkan nilai k yang lebih besar dibandingka n persamaan Hoek & Brown.
Pada
tahun
1994,
Sheorey
mengusulkan
pendekatan
nilai
k
dengan
mempertimbangkan modulus deformasi kulit bumi, seperti ditunjukkan oleh Gambar
2.6 berikut :
k = 0,25 + 7E h (0,001 +
1
)
z
[2.43]
dimana E h adalah modulus deformasi bagian atas dari kulit bumi yang diukur pada
arah horisontal dalam Gpa.
Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, dapat dilakukan pendekatan secara teoritis
terhadap nilai tegangan vertikal dan hori sontal serta hubungannya dengan kedalaman
untuk suatu wilayah. Data tegangan in situ hasil pengukuran pada beberapa tempat
dalam wilayah tersebut adalah dasar bagi pendekatan nilai tegangan vertikal dan
horisontal secara teoritis.
II-18
Gambar 2.6 menunjukkan peta tegangan in situ di seluruh dunia pa da tahun 2005.
Gambar 2.6
Peta Tegangan In Situ di Seluruh Dunia
(www.worldstressmap.org)
2.2.2
Pengukuran Tegangan In Situ Melalui Pengujian
Besar dan arah tegangan insitu pada massa batuan secara lebih akurat dapat
ditentukan dengan melakukan pengujian pada massa batuan maupun contoh batuan.
Uji tegangan in situ dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung di
lapangan maupun dengan uji di laboratorium.
II-19
Pada metoda pengukuran secara langsung ( direct method), data untuk perhitungan
tegangan in situ didapatkan melalui uji langsung terhadap massa batuan ( rock mass)
di lapangan. Uji in situ langsung yang direkomendasikan oleh ISRM (Kim &
Franklin, 1987) adalah dengan menggunakan :

Flat jack

Hydraulic fracturing test

United States bureau of mines (USBM) overcoring torpedo

Commonwealth
scientific and
industrial research organization (CSIRO)
overcoring gauge
Sementara pada metode tidak langsung ( indirect method), tegangan in situ diestimasi
melalui perhitungan data hasil pengujian terhadap contoh batu an (intact rock) di
laboratorium. Pengujian tegangan in situ secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan metode :

Accoustic emission (AE)

Deformation rate analysis (DRA)

Differential strain curve analysis (DSCA)

Anelastic strain relaxation (ASR)
Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, kedua metode pengujian di atas
sama-sama bertujuan untuk mengetahui nilai setiap komponen dari matriks tensor
tegangan berdasarkan karakterisitik mekanik batuan yang didapatkan melalui
pengujian.
Uraian lebih rinci mengenai uji emisi akustik serta metode penentuan tegangan in situ
dengan uji emisi akustik diberikan dalam sub -bab sub-bab berikut ini.
II-20
2.3.
EMISI AKUSTIK
Emisi Akustik adalah gelombang elastik frekuensi tinggi yang diakibatkan oleh
pelepasan energi yang cepat dari satu atau lebih sumber pada saat material mengala mi
pembebanan (ASTM E 610 -77). Sebuah gelombang dikatakan memiliki frekuensi
tinggi jika frekuensianya berada pada rentang nilai 100KHz – 1MHz. Emisi akustik
dapat terjadi akibat adanya perubahan ya ng tiba-tiba dan pemanen di dalam struktur
material.
Gambar 2.7
Skema Rangkaian Pengujian Emisi Akustik
Pengujian Emisi Akustik dilakukan dengan memberikan pembebanan berulang yang
terus meningkat pada contoh batuan. Pada setiap pembebanan, gelombang elastis
yang terjadi akan dideteksi oleh transduser piezoelektrik. Sinyal akustik ini kemudian
akan dirubah oleh transduser menjadi sinyal listrik. Sinyal tersebut diperkuat, difilter
oleh amplifier, untuk kemudian dicatat sebagai data dalam grafik emisi a kustik dalam
II-21
proses yang kontinyu oleh so ftware khusus uji emisi akustik. Keunggulan m etode
emisi akustik adalah memiliki akurasi prediksi tegangan in situ yang cukup akurat
dan jauh lebih ekonomis dibandingkan uji tegangan in situ secara langsung.
2.3.1
Sumber-sumber Emisi Akustik pada Contoh Batuan
Emisi akustik terjadi karena pergerakan dan multiplikasi dari crack, proses friksi
selama penutupan dan pembukaan rekahan, transformasi fasa, propagasi rekahan
mikro, deformasi material, tumbukan, dan pemadatan. Di dalam tubuh material emisi
akustik dideteksi karena adanya perubahan struktur mikro secara tiba -tiba dan
permanen.
Mekanisme yang terjadi misalnya deformasi dan pergerakan dari suatu mikrocrack
menghasilkan emisi akustik yang lemah. Namun ketika jutaan microcrack terbentuk
serta mengalami propagasi dalam waktu yang bersamaan, gelombang yang dihasilkan
untuk emisi akustik akan saling bersuperposisi sehingga dapat dideteksi. Hasil yang
didapat berupa eksitasi yang terus menerus dari contoh kepada sensor yang langsung
ditransfer dalam bentuk tegangan listrik. Semakin besar regangan rata -rata dan
ukuran contoh batuan maka semakin besar pula sinyal yang dihasilkan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa banyaknya energi yang dibebaskan tergantung pada ukuran dan
kecepatan dari suatu proses deformasi lokal .
2.3.2
Efek Kaiser
Efek kaiser adalah emisi akustik yang terdeteksi pada saat contoh batuan ditekan
hingga mendekati atau melampaui tegangan awalnya pada uji kuat tekan (ASTM E
610-77).
II-22
Efek Kaiser pada batuan terbentu k pada daerah elastik, yaitu pada saat rekahan baru
terbentuk dan berpropagasi secara stabil atau linier terhadap tegangan yang
dialaminya dan tegangan tersebut akan disimpan dalam batuan tersebut. Efek Kaiser
muncul pada saat rekahan mikro mulai terjadi y ang diakibatkan oleh tekanan pada
contoh batuan melebihi tegangan yang pernah dialaminya.
Gambar 2.8
Efek Kaiser Pada Kurva Hasil Uji Emisi Akustik
2.3.3
Pola Kurva Emisi Akustik Menurut Mogi (1962) dan Boyce (1981)
Kurva Emisi akustik menurut Mogi (1962) diklasifikasikan menjadi 4 dasar daerah
kurva. Kurva tersebut berhubungan erat dengan proses konsep keruntuhan batuan
menurut Bieniawski (1961).
Gambar 2.9 menunjukkan bahwa pada daerah I (A -B) terjadi penutupan rekahan atau
kompaksi, terlihat dengan kemi ringan yang positif pada kurva AE. Pada daerah II (B C), batuan mengalami deformasi elasti k linier, terlihat dengan aktivitas AE yang
II-23
relatif konstan. Pada daerah III (C -D), terjadi propagasi rekahan yang stabil ditandai
dengan kenaikan aktivitas AE (Efek Kaiser) yang tajam atau kenaikan slope yang
besar pada grafik AE. Pada daerah IV (D -F), terjadi pelepasan energi kritis dan
propagasi rekahan yang tidak stabil yang kemudian akan terjadi keruntuhan pada
material yang brittle atau akan terjadi deformasi yang permanen pada material yang
Aktivitas AE
bersifat elastoplastik atau plastik.
Tegangan, Regangan, dan Waktu
Gambar 2.9
Modifikasi Grafik Karakteris tik Reaksi Emisi Akustik Berhu bungan Dengan Lima
Daerah Perilaku Deformasi Bieniawski (Holcomb, 1993)
Pada beberapa contoh batuan, model kurva emisi akustiknya tidak selengkap model
Mogi. Ada 2 atau lebih bagian pada tipe Mogi yang tidak terdapat pada beberapa
II-24
jenis batuan. Pada Gambar 2.10 tipe I merupakan tipe Mogi seperti pada gambar 2. 9.
Tipe II tidak memiliki segmen (C-D) dari model Mogi, ini menunjukkan prilaku
material tersebut berubah dari elastic linier langsung ke propagasi rekahan tidak
stabil. Tipe III, tidak ada segmen (A -B), ini menunjukkan batuan intact. Tipe IV,
tidak ada segmen (A-B) dan (C-D), material tersebut kompak dan tidak stabil,
merupakan gabungan sifat dari tipe II dan tipe III.
F
F
D
C/D
C
B
Tipe I
B
Tipe II
F
F
D
C/D
C
A/B
Tipe III
A/B
Tipe IV
Gambar 2.10
Pola Kurva Emisi Akustik (Boyce, 1981)
Dari keempat tipe Boyce diatas, tipe I yang paling banyak muncul merupakan
perilaku umum batuan. Sedangkan pada tipe IV efek Kaiser akan paling baik terlihat
karena fase elastisnya yang panjang.
II-25
2.3.4
Noise
Noise adalah gangguan berupa sinyal -sinyal akustik yang bukan merupakan sumbersumber emisi akustik, yang turut terekam dalam data. Noise dapat mengganggu hasil
ekperimentasi. Noise pada umumnya disebabkan oleh kabel yang bergoyang, aliran
oli pada mesin pompa kuat tekan, sinyal radio, dan petir.
Untuk menghindari noise turut tercatat sebagai data percobaan dapat dilakukan
pengaturan pada rentang deteksi transduser, sehingga hanya bunyi dengan rentang
intensitas yang diinginkan saja yang terekam menjadi data hasil uji Emisi Akustik.
2.4.
PERHITUNGAN TEGANGAN IN SI TU DENGAN METODE EMISI
AKUSTIK
Perhitungan tegangan in situ dengan uji emisi akustik dilakukan dalam tahap -tahap
sebagai berikut :
1. Menentukan persamaan matriks berdasarkan nilai tegangan contoh batuan saat
efek Kaiser mulai terdeteksi (σ KE)
 KE   = lx 2
ly 2
lz 2
2lxly 2lxlz
x 
y 
 
z 
2lylz   
xy 
xz 
 
yz 
[2.44]
II-26
2. Menghitung kondisi tegangan in situ pada massa batuan [σ] berdasarkan enam
buah persamaan tegangan hasil uji emisi akustik
 KE1 
 
 KE 2 
 KE 3 

=
 KE 4 
 KE 5 


 KE 6 
x 
y 
 
z 
 =
xy 
xz 
 
yz 
 lx1 2
lx 2 2

 lx 3 2
 2
lx 4
 lx 5 2
 2
lx 6
 lx1 2
lx 2 2

 lx 3 2
 2
lx 4
 lx 5 2
 2
lx 6
l y1 2
ly 2 2
ly 3 2
ly 4 2
ly 5 2
ly 6 2
l y1 2
ly 2 2
ly 3 2
ly 4 2
ly 5 2
ly 6 2
lz1 2
lz 2 2
lz 3 2
lz 4 2
lz 5 2
lz 6 2
lz1 2
lz 2 2
lz 3 2
lz 4 2
lz 5 2
lz 6 2
2lx1ly1
2lx 2ly 2
2lx 3ly 3
2lx 4ly 4
2lx 5ly 5
2lx 6ly 6
2lx1ly1
2lx 2ly 2
2lx 3ly 3
2lx 4ly 4
2lx 5ly 5
2lx 6ly 6
2lx1lz1
2lx 2lz 2
2lx 3lz 3
2lx 4lz 4
2lx 5lz 5
2lx 6lz 6
2lx1lz1
2lx 2lz 2
2lx 3lz 3
2lx 4lz 4
2lx 5lz 5
2lx 6lz 6
x 
y 
 
z 
 
xy 
xz 
 
yz 
[2.45]
 KE1 
 
 KE 2 
 KE 3 


 KE 4 
 KE 5 


 KE 6 
[2.46]
2ly1lz1 
2ly 2lz 2 
2ly 3lz 3 

2ly 4lz 4 
2ly 5lz 5 

2ly 6lz 6 
2ly1lz1 
2ly 2lz 2 
2ly 3lz 3 

2ly 4lz 4 
2ly 5lz 5 

2ly 6lz 6 
1
3. Menghitung nilai tegangan utama (σp) dengan teori invarian tegangan.
4. Menentukan cosinus arah tegangan utama.
5. Transformasi cosinus arah tegangan utama menjadi azimuth dan dip dengan
persamaan-persamaan dari sistem koordinat lingkaran (sferis) berikut :
λx = λ cos θ cos Φ
[2.47]
λy = λ cos θ sin Φ
[2.48]
λz = λ cos (90°- θ)
[2.49]
dimana Φ = Azimuth, dan θ = Dip
II-27
Gambar 2.11
Sistem Koordinat Lingkaran (r, Φ, θ)
II-28
Download