Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR Suaydhi1) dan M. Panji Nurkrisna2) 1) Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN. 2) Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. Email: [email protected] Abstract This paper describes a simple model to estimate convective precipitation based on data from radiometer and Equatorial Atmosphere Radar (EAR). The formulation in the model follows the theory of convective precipitation formation. The model needs input of water vapour density from radiometer and vertical velocity from EAR. To validate the model, the output is compared with observed rainfall data from optical raingauge (ORG). Despite its simplicity, it is shown that the model is capable of simulating rainfall peaks with relatively good accuracy. Keywords: model, convective precipitation, radar, rainfall prediction Intisari Makalah ini menggambarkan sebuah model sederhana untuk membuat estimasi harga presipitasi konvektif berdasarkan data radiometer dan Radar Atmosfer Katulistiwa (EAR). Formulasi yang digunakan dalam model mengikuti teori pembentukan presipitasi konvektif. Model ini memerlukan masukan data berupa kerapatan uap air dari radiometer dan kecepatan vertikal udara dari EAR. Untuk keperluan validasi, keluaran model dibandingkan dengan data curah hujan hasil pengamatan dari penakar hujan optis (ORG). Meskipun cuku sederhana, model ini mampu mensimulasikan puncakpuncak curah hujan dengan keakuratan yang relatif bagus. Kata kunci: model, presipitasi konvektif, radar, prediksi curah hujan PENDAHULUAN Siklus air dengan segala bentuknya memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan di bumi. Salah satu proses dalam siklus tersebut adalah hujan. Fenomena alam yang terjadi biasanya dapat diindikasikan dengan keadaan lingkungan yang mendukungnya. Sama halnya dengan hujan dimana fenomena ini juga bergantung dengan kondisi atmosfernya. Untuk kepentingan praktis, keadaan fisis atmosfer digambarkan dalam bentuk model iklim yang dibuat sedemikian rupa sehingga mendekati keadaan atmosfer yang sebenarnya. Model inilah yang digunakan untuk memprediksi fenomena-fenomena alam yang terjadi di lapisan atmosfer. Semakin bagus suatu model dalam memberikan informasi tentang keadaan atmosfer, semakin akurat pula hasil prediksi yang dikeluarkan oleh model tersebut. Presipitasi adalah proses jatuhnya butiran air dari awan ke lapisan dibawahnya sampai ke permukaan bumi sebagai akibat terkondensasinya uap air di atmosfer. Besaran ini juga dapat menggambarkan ketersediaan air di awan yang berpeluang untuk menghasilkan hujan khususnya di lapisan troposfer. Awan mulai terbentuk ketika udara basah dengan temperatur yang relatif hangat terangkat ke atas. Ketika udara mengalami pendinginan, uap air dalam awan mulai terkondensasi membentuk butiran-butiran air yang kecil. Selama proses ini berlangsung butiran air ini semakin membesar hingga menjadi cukup berat untuk jatuh ke bumi sebagai hujan. Presipitasi di atmosfer dapat dikelompokkan menjadi tiga: presipitasi konvektif, presipitasi stratiform, dan presipitasi orografis. Karena presipitasi konvektif merupakan tipe yang paling dominan di wilayah Indonesia (Ihwan, 2006), makalah ini hanya membahas dan memodelkan presipitasi konvektif. Untuk memahami proses terjadinya presipitasi konvektif, diperlukan pendekatan yang membatasi pergerakan parsel udara secara vertikal. Pembatasan ini dilakukan dengan mengasumsikan adanya kolom udara di atmosfer yang diisi oleh parsel udara yang bergerak secara vertikal. Pada saat parsel udara memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan lingkungannya, gaya apung yang dialami parsel bernilai positif sehingga parsel tersebut terangkat ke atas (upward). Terangkatnya parsel udara ini menyebabkan terbentuknya daerah konvergensi di bagian bawah kolom udara dan terdapat perbedaan kerapatan antara lingkungan dengan daerah konvergensi ini. 112 Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta Kondisi ini menarik udara lingkungan untuk masuk ke dalam kolom. Proses masuknya udara ke dalam kolom ini disebut dengan entrainment. Kolom udara Aliran udara Gambar 1. Proses Entrainment Entrainment yang terjadi menyebabkan penambahan masa di kolom udara. Bila udara yang masuk ke dalam kolom mengandung uap air, maka di dalam kolom terjadi perubahan mixing ratio setiap ketinggian. Mixing ratio (q) adalah masa uap air per satuan masa udara kering di lingkungan yang dinyatakan dengan persamaan: (1) q =ρ /ρ v d di mana ρv adalah masa jenis uap air dan ρd adalah masa jenis udara kering di sekitar lingkungan kolom udara. Entrainment yang berlangsung terus menerus menyebabkan parsel udara mengalami penjenuhan dan perubahan fase yang diiringi oleh pelepasan panas laten dari parsel akan memanaskan atmosfer lingkungan, proses pemanasan ini diaproksimasi dengan proses pseudoadiabatic yang terjadi di atmosfer. Bentuk persaman proses pseudoadiabatic adalah L dq s d ln θ ≅− c dt c p T dt (2) di mana T adalah temperatur, cp adalah panas jenis untuk tekanan tetap yang berharga 1.005 J g-1 oC1 , θ di kenal sebagai temperatur potensial (potential temperature), qs adalah mixing ratio jenuh (saturated) dan Lc adalah panas laten kondensasi. Pada pembahasan terbentuknya presipitasi secara konveksi, presipitasi dianggap terbentuk setelah proses entrainment di dalam kolom udara terjadi, sehingga aproksimasi penghitungan dilakukan hanya pada saat parsel bergerak ke atas. Dalam pergerakan parsel ke atas, perubahan qs yang disebabkan oleh adanya entrainment akan mengikuti perubahan posisi parsel. Dengan begitu perubahan qs akan berbentuk ⎧ ∂q s ⎪w ∂z untuk w > 0 dq s ⎪⎪ ≅⎨ dt ⎪ ⎪ untuk w < 0 ⎩⎪0 (3) Persamaan di atas menyatakan bahwa pada saat w yang menggambarkan pergerakan udara vertikal (vertical velocity) bernilai positif, perubahan qs juga bernilai positif karena adanya entrainment. Sedangkan pada saat w bernilai negatif tidak menunjukkan adanya perubahan mixing ratio dalam kolom udara. Perubahan posisi parsel secara vertikal menyebabkan persamaan (2) menjadi w L dq s d ln θ ≅− c dz c p T dt (4) Dengan menggunakan persamaan (3), persamaan (4) berubah menjadi w dq L d ln θ ≅− c w s dz c p T dz (5) 113 Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta Persamaan diatas menyatakan laju pemanasan atmosfer yang diakibatkan pelepasan panas laten oleh parsel saat mengalami kondensasi. Untuk kepentingan praktis sains atmosfer khususnya prediksi cuaca, laju pemanasan atmosfer ini dapat digunakan sebagai parameter terbentuknya presipitasi di atmosfer. Berdasarkan observasi, laju pemanasan selama proses kondensasi yang terjadi di kolom udara yang terintegrasi total secara vertikal dianggap sebagai aproksimasi terhadap presipitasi yang terjadi di sel konveksi (Holton, 1992). Presipitasi yang terjadi ditunjukkan oleh persamaan. ∂q ⎞ ⎛ P = − ∫ ⎜ ρw' s ⎟ dz ∂z ⎠ zc ⎝ zT (6) Persamaan diatas adalah persamaan yang akan digunakan dalam penghitungan presipitasi di lapisan troposfer. Dalam makalah ini perhitungan harga presipitasi yang terjadi di lapisan atmosfer akan dilakukan menggunakan suatu model sederhana dengan bahasa pemrograman Fortran. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil pengamatan dari Radar Atmosfer Katulistiwa atau yang lebih dikenal dengan Equatorial Atmosphere Radar (EAR) dan dari radiometer. Kedua alat ini berada di daerah Kototabang (0,2° LS; 100,32° BT), Sumatra Barat. EAR adalah sebuah radar Doppler besar yang dibangun untuk mengamati atmosfer di daerah katulistiwa yang terdiri dari 560 antena Yagi dan berdiameter 110 m. Instrumen ini beroperasi pada frekuensi 47,0 MHz yang dapat mengamati angin dan turbulensi di atmosfer dari ketinggian sekitar 1,5 km sampai dengan 20 km. Radiometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur densitas atmosfer dengan resolusi waktu ± 2 menit dan resolusi spasial 100 m untuk ketinggian 0 – 1 km dan 250 m untuk ketinggian 1 10 km resolusinya 250 m. Model yang digambarkan dalam makalah ini digunakan untuk melakukan proses integrasi terhadap persamaan (6) di tiap interval ketinggian dan waktu penghitungan. Oleh karena itu dalam aplikasinya, model ini memerlukan masukan (input) data variabel atmosfer yang bergantung pada ketinggian dan waktu pengukuran. Data tersebut adalah data kecepatan angin vertikal dari EAR pada ketinggian 1,5 – 10 km dan data kerapatan uap air dari ketinggian yang sama untuk bulan Februari 2004. Sebagai uji validasi, hasil estimasi presipitasi dari model ini akan dibandingkan dengan data curah hujan pengamatan dari Optical Rain Gauge (ORG) yang terletak di lokasi yang sama dengan kedua alat di atas. ORG adalah pengukur curah hujan optis yang mampu mengukur laju hujan dengan resolusi waktu 1 menit. Dua proses pokok yang harus dilakukan dalam model ini adalah penyeragaman data dan penghitungan presipitasi. Penyeragaman data mencakup proses interpolasi sehingga datanya mempunyai interval waktu dan ketinggian yang digunakan seragam sebelum digunakan dalam penghitungan presipitasi. Dalam proses integrasi terhadap persamaan (6) digunakan aturan trapesium dalam penyelesaian numeriknya. HASIL DAN PEMBAHASAN Model sederhana penghitungan presipitasi ini hanya menghasilkan estimasi untuk presipitasi konvektif, karena model ini disusun berdasarkan teori pembentukan hujan konvektif. Sedangkan kejadian hujan sehari-hari tipe hujan konvektif dan hujan stratiform dapat terjadi secara bergantian dalam orde satu jam bahkan beberapa menit (Suaydhi, 2007). Hujan/presipitasi konvektif biasanya bersifat deras, tidak teratur curah hujannya, dan mencakup daerah tidak terlalu luas, sebaliknya hujan stratiform bersifat stabil, tidak terlalu deras, namun dapat mencakup daerah yang sangat luas dan berlangsung lama. Untuk menguji keakuratan estimasi model presipitasi ini, hasil perhitungan dari model akan dibandingkan dengan hasil pengamatan dari optical raingauge (ORG). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam estimasi presipitasi dari model ini adalah: - presipitasi hasil hitungan mengambil asumsi bahwa presipitasi hanya terjadi dalam kolom konveksi yang ideal (berbentuk silinder), tanpa memperhatikan faktor lain di luar kolom - presipitasi yang dihitung hanya menggunakan variabel-variabel yang terdapat pada persamaan (6) - presipitasi yang dihitung adalah presipitasi yang terjadi di awan pada ketinggian antara 2 – 10 km, sedangkan curah hujan yang diamati oleh ORG adalah curah hujan yang sampai ke permukaan bumi. 114 Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta Berikut ini adalah perbandingan secara visual antara hasil penghitungan model dengan hasil pengamatan curah hujan dari ORG untuk beberapa kasus kejadian hujan yang berbeda di bulan Februari 2004. Model Pengamatan ORG Gambar 2. Perbandingan antara estimasi presipitasi dari model dengan hasil pengamatan untuk tanggal 1 Februari 2004. Dari gambar 2 di atas dapat dilihat bahwa hasil perhitungan presipitasi dari model cukup baik dalam menirukan curah hujan yang terjadi pada tanggal 1 Februari 2004. Puncak hujan yang terjadi baik pada siang hari maupun pada malam hari dapat disimulasikan dengan baik. Model Pengamatan ORG Gambar 3. Seperti gambar 2, hanya untuk tanggal 3 Februari 2004. Pada gambar 3 model menunjukkan adanya presipitasi yang kecil sepanjang hari, sedangkan ORG tidak mengamati adanya hujan. Hal ini disebabkan oleh estimasi dilakukan pada kolom antara 2 km hingga 10 km. Pada rentang ketinggian tersebut EAR mengamati adanya turbulensi dan radiometer mengamati adanya sedikit uap air (lihat gambar 4 di bawah ini), sehingga model menunjukkan adanya presipitasi. Presipitasi dalam jumlah yang sangat kecil dapat menguap lagi dalam perjalanannya menuju ke permukaan bumi. Oleh karena itu tidak ada curah hujan yang teramati oleh ORG pada hari tersebut. EAR Radiometer 115 Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta Gambar 4. Kondisi atmosfer yang teramati oleh EAR (kiri) dan radiometer (kanan) pada tanggal 3 Februari 2004. Pada gambar 5 di bawah ini presipitasi hasil perhitungan model mempunyai puncak-puncak pada waktu yang sama dengan curah hujan yang teramati, meskipun dengan intensitas yang tidak sama. Jika pada simulasi untuk tanggal 1 Februari 2004 (lihat gambar 2), estimasi presipitasi dari model lebih besar dari pada yang teramati, maka kebalikannya untuk kasus tanggal 17 Februari 2004 hasil pengamatan lebih besar intensitasnya daripada hasil estimasi model. Hasil pengamatan ORG untuk tanggal 17 Februari 2004 menunjukkan hujan dengan intensitas lemah terjadi antara pukul 00.00 sampai pukul 06.00, dan hal ini dapat disimulasikan oleh model dengan baik. Namun setelah itu curah hujan hanya teramati pada waktu-waktu tertentu saja, sedangkan model menghasilkan estimasi presipitasi sepanjang hari. Model Pengamatan ORG Gambar 5. Seperti gambar 2, hanya untuk tanggal 17 Februari 2004. Dari hasil perbandingan antara hasil estimasi presipitasi model dengan curah hujan pengamatan terlihat bahwa model dapat mensimulasikan puncak-puncak kejadian hujan dengan cukup baik, meskipun ada perbedaan dalam intensitas curah hujannya. Model akan selalu menghasilkan presipitasi jika ada uap air yang teramati di atmosfer. Namun demikian, presipitasi yang terjadi di atmosfer tidak selalu mencapai permukaan bumi. Dari beberapa kejadian hujan yang dianalisis utnuk bulan Februari 2004 ini, baik yang ditampilkan di sini maupun yang tidak, secara umum estimasi presipitasi dari model dengan intensitas lebih dari 5 mm/jam dapat dijadikan sebagai patokan bahwa hujan akan teramati di permukaan bumi. KESIMPULAN Dalam makalah ini, sebuah model sederhana untuk menghitung presipitasi telah digambarkan. Model ini dikembangkan menurut teori pembentukan presipitasi konvektif dengan beberapa asumsi dipakai untuk menyederhanakan proses komputasi. Meskipun demikian model sederhana ini cukup mampu menunjukkan kemiripan dengan curah hujan hasil pengamatan. Berdasarkan penghitungan dan perbandingan yang telah dilakukan, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah: • Presipitasi selalu terbentuk di awan, walaupun tidak selalu diikuti oleh kejadian hujan di permukaan bumi. • Hujan terjadi bila terdapat penjenuhan uap air akibat adanya entrainment di atmosfer. • Presipitasi yang memicu terjadinya hujan adalah hasil dari akumulasi presipitasi di atmosfer. Perbedaan antara hasil model dengan pengamatan menunjukkan beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kinerja model, antara lain : • Interpolasi data atmosfer untuk memperoleh interval waktu dan spasial yang seragam memerlukan metoda yang lebih akurat. Hal ini terutama diperlukan untuk mengisi interval data yang kosong akibat gangguan pada alat. • Perlunya menggabungkan model penghitungan presipitasi konvektif ini dengan model presipitasi stratiform, sehingga akan diperoleh model hujan yang lebih komprehensif. DAFTAR PUSTAKA 1. Holton, J.R., 1992, An introduction to dynamic meteorology, Third Edition, Academic Press, San Diego. 2. Ihwan, A., 2006, Estimasi curah hujan beberapa kota di Indonesia menggunakan data MTSAT kanal inframerah (IR1), Tesis Master, Departemen Geofisika dan Meteorologi, ITB, Bandung. 116 Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta 3. Suaydhi, 2007, Identifikasi tipe hujan konvektif dan stratiform menggunakan data disdrometer, Sains Atmosfer dan Iklim, Sains Antariksa serta Pemanfaatannya, Publikasi Ilmiah LAPAN Tahun 2007, Jakarta 117