TRI PUJIATI - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
i
PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN
DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN
(Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt)
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Oleh :
Tri Pujiati
E1A109074
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKUTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN
DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN
(Studi Putusan Nomor 93/Pid.B/PN.Pwt)
Oleh
TRI PUJIATI
E1A109074
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Diterima dan disahkan
Pada tanggal,
Mei 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Dr. Kuat Puji P, S.H, M.Hum
NIP. 19650829 199002 1 002
Dr. Setya Wahyudi, S.H. M.H
NIP. 19610527 198702 1 001
Dr. Budiono, S.H. M.Hum
NIP. 19631107 198901 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H. M.Hum
NIP. 19640923 198901 1 001
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
a. Nama
: TRI PUJIATI
b. NIM
: E1A109074
c. Angkatan
: 2009
d. Program studi
: Ilmu Hukum
e. Lingkup bagian
: Hukum Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya saya bukan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya
akui sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini,
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi seseuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Purwokerto, Mei 2013
Yang Membuat Pernyataan
Tri Pujiati
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peranan Korban
dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan
Korban (Studi Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN. Pwt).” Sripsi ini disusun guna
memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam proses penulisan
skripsi ini. Namun berkat adanya bimbingan, dorongan, dan bantuan dari berbagai
pihak, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dalam kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H., MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, atas kebijaksanaannya yang secara tidak langsung telah membantu
penulis.
2. Bambang Heryanto, S.H., MH selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas
bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
3. Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, atas segala
bimbingan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis.
4. Dr. Setya Wahyudi, S.H, M. H selaku Dosen Pembimbing II, atas segala
bimbingan, motivasi dan kesabarannya membimbing penulis.
iv
v
5. Dr. Budiono, S.H, M.Hum selaku Dosen Penguji, atas segala masukan, dan
saran terhadap skripsi penulis.
6. Segenap Dosen, Staff pengajar dan civitas akademik Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan serta bimbingan yang diberikan selama studi penulis.
7. Keluarga tercinta, yang telah memberikan bimbingan, kasih sayang, dukungan
moriil maupun materiil, serta doa yang sangat tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
8. Teman-Teman Paralel Hukum. Terimakasih atas kebersamaan dan doa dari
kalian semua. Semua pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
yang telah membantu hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan, dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf
atas segala kesalahan dan kekurangan. Dengan segala keterbatasan penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
Purwokerto, Mei 2013
Tri Pujiati
v
vi
ABSTRAK
Penelitian ini mengambil judul “Peranan Korban Dalam Tindak Pidana
Melarikan Perempuan Di Bawah Umur Atas Persetujuan Korban” (Studi Putusan
Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt). Permasalahan pada penelitian ini adalah
bagaimana peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan dibawah
umur serta bagaimana penerapan hukum pidana dalam tindak pidana melarikan
perempuan di bawah umur atas persetujuan korban.
Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan
adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder dan wawancara
sebagai penunjang data sekunder. Data disajikan dalam bentuk uraian yang di
susun secara sistematis dengan analisis kualitatif.
Peranan korban dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku memang dikehendaki oleh si
korban untuk terjadi,dapat dikatakan bahwa, Korban sama salahnya dengan
pelaku dan korban sukarela, pelaku dalam hal ini dengan sengaja mengajak pergi
korban dan korban menyetujui ajakan dari pelaku untuk pergi, inisiatif dari pelaku
dan korban terbentuk melalui komunikasi yang dilakukan sebelumnya, yaitu
melalui pesan singkat dan Blackberry messenger. Korban juga tidak hati-hati
dalam berperilaku bahwa korban yang sebelumnya belum pernah bertemu dengan
pelaku akan tetapi menyetujui untuk pergi bersama. Berdasarkan teori Schafer,
korban termasuk dalam tipologi Precipitative Victim, artinya korban yang tidak
hati-hati dalam berperilaku, sehingga mendorong pelaku untuk melakukan
kejahatan . Perilaku korban tersebut mendorong pelaku untuk melakukan tindak
pidana melarikan perempuan di bawah umur.
Penerapan hukum pidana pada putusan nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt
telah mendasarkan pada perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan pidana.
Pertimbangan Hakim juga mendasarkan pada hal-hal yang memberatkan dan yang
meringankan. Salah satu aspek yang bersifat meringankan sanksi pemidanaan
adalah aspek tentang kesalahan dari korban yang sama dengan pelaku hal tersebut
menjadi bagian dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana. Peranan
korban secara implisit menjadi pertimbangan yang meringankan sanksi
pemidanaan.
Kata kunci: Peranan korban, Tindak pidana melarikan perempuan, Penerapan
hukum pidana
vi
vii
ABSTRACT
This study took the title "The Role of Crime Victims In Woman Run Over
Agreement
Underage
Victims"
(Study
of
Decision
Number:
93/Pid.B/2012/PN.Pwt). Problem in this study is how the role of the victim in
criminal escape underage girls as well as how the application of criminal law in a
criminal offense underage girls ran over the victim's consent.
To discuss these issues, the method used is normative, the data sources are
secondary data and interviews as supporting secondary data. Data presented in
the form of a description in stacking systematically with qualitative analysis.
The role of the victim in the case Number: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt that the
crimes committed by the offender is desired by the victim to happen, it can be said
that, just as wrong as victim and perpetrator voluntary victim, the perpetrator in
this case with deliberately took away the victim and the victim agreed to go
solicitation of actors, initiatives of the perpetrator and the victim are formed
through communications made before, namely through short messages and
Blackberry messenger. Victims also are not careful in their behavior that the
victim had not previously met with the perpetrator but agreed to go along. Based
of the theory of Schafer, victims are included in the typology Precipitative
Victim, meaning that victims who are not careful in their behavior, thus
encouraging the perpetrator to commit the crime. Encourages the behavior of the
victims of crime get underage girls.
Application
of
criminal
law
in
the
decision
number:
93/Pid.B/2012/PN.Pwt was based on acts that meet certain requirements and
criminal. The judge also based his judgment on things that aggravating and
mitigating. One aspect that is easing sanctions on the aspect of punishment is the
fault of the victim with the same actors that become part of the role of the victim
in the crime. The role of victim implicitly into consideration that mitigates
criminal sanctions.
Keywords: The role of victims, women run offenses, Application of criminal law
vii
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
iv
ABSTRAK ................................................................................................
vi
ABSTRACT ..............................................................................................
vii
DAFTAR ISI .............................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Perumusan Masalah .............................................................
4
C. Tujuan Penelitian .................................................................
4
D. Kegunaan Penelitian ............................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Peranan Korban ....................................................................
6
B. Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah umur atas
Persetujuan Korban
1.
Pengertian Tindak Pidana .............................................
16
2.
Unsur-Unsur Tindak Pidana .........................................
20
2.1 Barangsiapa .............................................................
25
2.2 Melarikan Perempuan di Bawah Umur ..................
25
viii
ix
2.3 Tanpa Dikehendaki oleh Orang tua atau Walinya
tetapi atas Persetujuan Korban ................................
28
2.4 Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau
tanpa perkawinan .....................................................
30
C. Pidana dan Pemidanaan
1.
Pengertian Pidana .........................................................
31
2.
Pengertian Pemidanaan .................................................
34
3.
Teori dan Tujuan Pemidanaan ......................................
37
4.
Jenis-jenis Pidana ..........................................................
45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ..............................................................
52
B. Spesifikasi Penelitian ...........................................................
53
C. Lokasi Penelitian ..................................................................
54
D. Sumber Data ........................................................................
54
E. Metode Pengumpulan Data ..................................................
54
F. Metode Penyajian Data ........................................................
54
G. Metode Analisis Data ...........................................................
55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ....................................................................
56
B. Pembahasan
1.
Peranan Korban dalam Tindak Pidana Melarikan
Perempuan di Bawah umur atas Persetujuan Korban ...
ix
75
x
2.
Penerapan
Hukum
Pidana
dalam
menentukan
lamanya penjatuhan Pidana ..........................................
86
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ..............................................................................
127
B. Saran ....................................................................................
128
DAFTAR PUSTAKA
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia pada saat ini sedang mengadakan pembangunan jasmaniah
maupun rohaniah. Semua warga negara dan pemerintah ikut serta bersamasama dalam pembangunan khususnya dalam pembangunan hukum. Tujuan
dari negara hukum adalah menciptakan hukum yang memberikan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Dalam berkehidupan pasti ada suatu kejahatan
(crimen) yang membuat resah masyarakat, dan itu merupakan sebagai
kenyataan sosial yang tidak dapat dihindari dan akan selalu ada. 1 Kriminalitas
menimbulkan keresahan, karena kriminalitas dianggap sebagai suatu
gangguan terhadap kesejahteraan masyarakat, dari tindak kejahatan tersebut
menimbulkan korban.
Masalah hubungan penjahat dengan korban bukanlah merupakan
masalah yang baru, hanya saja, selama berabad-abad merupakan salah satu
subjek yang paling diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam
pelaksanaan keadilan pidana.2 Dalam studinya tentang antar hubungan
pembuat kejahatan dan korban, Mendelsohn memperkenalkan masalah
kriminogen komplek untuk menyebut keseluruhan faktor kejahatan yang
berarti keseluruhan faktor yang memperhatikan sisi pembuat kejahatan dan
korbannya. Selama berabad-abad aspek pembuat kejahatan (penjahat)
1
Arif Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Akademika Pressindo,
Jakarta, Hal. 1
2
Ibid., hal. 40
2
mempunyai perhatian yang utama di bandingkan aspek masalah korban.
Padahal keduanya merupakan dua aspek yang sangat penting. Pembuat
kejahatan (penjahat) merupakan orang yang memunculkan satu tindakan
kejahatan,3 dan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.4 Korban tidak hanya sebab dan
dasar proses terjadinya kriminalitas akan tetapi korban memiliki peranan
penting dalam usaha untuk mengerti masalah kejahatan, delikuensi dan
deviasi. 5
Dalam buku “The Criminal and his Victim” von Hentig menunjukan
bahwa dalam kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang
penting dalam terjadinya kejahatan.6 Banyak kasus yang terjadi sekarang ini,
anak yang masih berusia di bawah umur dibawa lari oleh laki-laki yang sudah
dewasa tanpa ijin dari orang tuanya.
Salah satunya yaitu kasus yang terjadi di wilayah Pengadilan Negeri
Purwokerto. Bahwa ada seorang anak di bawah umur yang berinisial DVD
yang masih berusia 17 tahun, dibawa lari oleh laki-laki yang telah berusia
dewasa, yaitu MOCHAMMAD YUSUF SYARIFUDIN. Bahwa pelaku
bersama teman-temannya pada hari Senin tanggal 16 April 2012 pukul 21.00
3
I.S Susanto, 2011, Kriminologi, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, hal. 22.
4
Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan. PT RajaGrafindo, Jakarta, hal 46
5
Arief Ghosita, 1983, Op.Cit., hal. 40
6
I.S Susanto, 2011, Op.Cit., hal. 23
3
WIB, menjemput korban DVD di jembatan dekat rumahnya di kelurahan
Kober, Kecamatan
Purwokerto Barat, atas permintaan dari korban.
Kemudian korban dijemput dengan mobil Avanza.
Setelah dijemput, korban pergi bersama pelaku dan teman-temannya
ke kost di depan SMP 9 Purwokerto. Selanjutnya mereka pergi ke Cheers
Cafe sekitar pukul 24.00 WIB. Di sana korban diajak minum-minuman keras
hingga mabuk, dan korban juga diberi sejenis obat penenang, sehingga ia
tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya ibunya datang ke kost di depan SMP 9
Purwokerto, dan ia mendapati anaknya sedang tertidur sekamar dengan
pelaku dalam keadaan tidak sadarkan diri dan orang tua korban membawanya
pulang.
DVD dalam kedudukan tesebut adalah sebagai korban (victim) dari
suatu tindak kejahatan. Kedudukan korban dalam suatu tindak pidana
memang seharusnya dilindungi, akan tetapi ada kalanya korban berkaitan erat
dengan terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini selain aspek pembuat
kejahatan diperhatikan juga aspek tentang korban. Kepribadian, dan interaksi
antara korban dan pelaku kejahatan membuka jalan bagi pelaku untuk
melaksanakan niat jahatnya. Seperti pada kasus yang terjadi pada putusan
pengadilan nomor 93/Pid. B/2012/PN. Pwt
Dari latar belakang dan studi kasus di atas, penulis mempunyai
ketertarikan terhadap peranan korban dalam tindak pidana melarikan anak
perempuan di bawah umur atas persetujuan korban, dan masalah penerapan
hukum pidana dalam menentukan tinggi rendahnya pidana dalam perkara ini.
4
Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian guna
menyusun skripsi dengan Judul “PERANAN KORBAN DALAM TINDAK
PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR ATAS
PERSETUJUAN KORBAN” (Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt).
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan
1. Bagaimana peran korban dalam terjadinya tindak pidana melarikan
perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dalam putusan nomor
93/Pid. B/2012/PN.Pwt ?
2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana melarikan
perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dalam putusan nomor
93/Pid.B/2012/PN.Pwt ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis tentang perananan korban dalam terjadinya tindak
pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban.
2. Untuk
mengetahui penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana
melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dan
menganalisis tentang pertimbangan hukum dari hakim dalam menentukan
tinggi rendahnya pidana.
5
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dilakukan guna memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana, yang menyangkut
tentang peranan korban dan mekanisme pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan tinggi rendahnya hukuman atau pemidanaan dalam perkara
ini.
2. Kegunaan Praktis
Berguna secara praktis bagi penegak hukum dalam memahami kedudukan
korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dalam rangka mencari
kebenaran materiil, dan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan
penjatuhan putusan.
Hal ini berguna secara praktis dalam upaya mengevaluasi dan
menganalisis tentang masalah peranan korban, yang baik secara langsung
atau tidak langsung menyebabkan terjadinya tindak pidana, dan dapat
dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk bertindak hati-hati dalam
menjalankan kehidupannya, karena setiap orang terutama perempuan rentan
menjadi korban dalam tindak pidana.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peranan Korban
Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh banyak faktor. Para kriminolog
secara klasik menjelaskan kejahatan antara lain dari faktor biologi, sosial,
psikologi. Akan tetapi juga ada yang menjelaskan kejahatan ditinjau dari aspek
peranan korban. Bahwa faktor kejahatan tidak hanya dapat dipahami dari sisi
penjahatnya saja tetapi dapat juga dipahami dari sisi korban. Menurut Arief
Ghosita korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat dari tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi
yang menderita.7 Mereka di sini dapat berarti individu, atau kelompok baik
swasta maupun pemerintah. Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak
yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Menderitanya korban bisa di
sebabkan murni karena pihak lain, tetapi tidak menutup kemungkinan timbul
karena keterlibatan korban di dalamnya.
Dalam memahami terjadinya suatu kejahatan, terlebih dahulu dapat
dipahami dari aspek peranan korban dalam terjadinya kejahatan. Dalam kajian
viktimologi, terjadinya viktimisasi peranan korban dapat menjadi faktornya.
Artinya korban di pandang dapat memainkan peranan dan menjadi unsur
7
Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Op.Cit., hal. 46
7
penting dalam terjadinya tindak pidana yang menimbulkan korban atau
viktimisasi.8
Seperti dalam bukunya Franz Werfel berjudul “The Murdered One is
guilty “der Ermoerdete ist schuld yang terkenal, pada intinya isinya
mengatakan
bahwa
korban
sendiri
merupakan
orang
yang
banyak
menyebabkan kejahatan.9 Begitu eratnya peranan korban dalam terjadinya
viktimisasi disebabkan karena adanya suatu interaksi terlebih dahulu antara
korban dengan pelaku.
Dalam bukunya Dikdik M, Arif Mansur dan Elisatris Gultom tentang
“Urgensi Perlindungan korban dan kejahatan”, dibahas tentang hubungan
korban kejahatan dan pelaku kejahatan, korban mempunyai peranan yang
fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan.10 Perbuatan pelaku dapat
mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh
Samuel Walker bahwa hubungan antara korban dan pelaku, adalah hubungan
sebab akibat. Akibat perbuatan pelaku, yaitu suatu kejahatan dan korban yang
menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita
karena kejahatan.11 Begitu pula sebaliknya akibat perbuatan korban
menjadikan ia menjadi sasaran bagi pelaku kejahatan. Sehingga korban
menderita karena kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
Seseorang harus waspada agar ia tidak beresiko untuk menjadi korban.
Resiko korban mengandung suatu pengertian bahwa dalam kondisi dan situasi
8
Iswanto dan Angkasa, 2011, Diktat Kuliah Viktimologi, Fakutas Hukum Universitas
Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 27
9
Loc. Cit
10
Dikdik M, Arif Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Op.Cit., hal. 60
11
Loc. Cit
8
tertentu cenderung mudah terjadi viktimisasi. Resiko korban menurut
Separovic terdiri atas:
1. Pesonal, including biological (age, sex, health,-especially mental healt)
Pribadi, disini termasuk faktor biologis (usia, jenis kelamin, kesehatan,
terutama kesehatan jiwa);
2. Social (Society-made victim, immigrants, minorities, occupation, criminal
behaviour, interpersonal relationship).
Sosial (korban produk masyarakat, imigrants, minoritas, pekerjaan, perilaku
kriminal, hubungan antar pribadi);
3. Situational factor (conflict situation, place and time, etch)
Faktor situasional (situasi konflik, tempat, dan waktu, dan lain-lain).12
Steinmetz membedakan 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi
risiko orang menjadi korban antara lain sebagai berikut:13
a. Attractiveness (kedayatarikan);
Attractiveness secara meluas mengacu pada nilai bagi pelaku tindak pidana
potensial melakukan tindak pidana terhadap objek tertentu, singkatnya ada
sesuatu yang menarik pada diri korban, bagi pelaku kejahatan untuk
melakukan tindak pidana.
b. Proximity (kedekatan);
Faktor ini dibagi menjadi dua yaitu pendekatan sosial dan geografik. Faktor
pertama, berkaitan dengan tingkat hubungan yang dimiliki seseorang
dengan pelaku tindak pidana potensial sebagai akibat dari gaya hidupnya.
12
13
Iswanto dan Angkasa, 2011, Op.Cit., hal. 30
Ibid., hal. 35
9
Yang kedua, berkaitan dengan perbandingan tempat tinggal dan isu
mengenai tindak pidana yang jaraknya sama.
Risiko viktimisasi tersebut diasumsikan lebih besar bagi yang hidup di
dalam atau berdekatan dengan wilayah yang banyak pelaku tindak pidana
potensial. Resiko yang paling besar bagi viktimisasi personal, menurut
faktor proximity adalah bagi orang yang hidup di lokasi tertentu dan pindah
di sekitar lokasi perkotaan dengan cara demikian orang tersebut menjadi
sering berhubungan dengan pelaku tindak pidana potensial.
c. Exposure (keterbukaan).
Faktor exposure diartikan sebagai sejauh mana pelaku tindak pidana
diberikan kesempatan untuk melakukan tindak pidana ketika mereka
berhubungan dengan target yang sangat menarik.
Dengan kita melihat adanya resiko terjadinya viktimisasi tersebut
secara tersirat kita dapat melihat bahwa di dalam suatu tindak pidana tersebut,
setidaknya ada sebab, ada akibat, serta ada peranan korban di dalam tindak
pidana tersebut. Dalam teori Steinmetz bahwa salah satu faktor utama yang
mempengaruhi resiko orang menjadi korban adalah faktor exposure atau
keterbukaan, seseorang yang terbuka cenderung mudah menjadi korban. Di
sanalah ada peranan korban di dalamnya yaitu suatu sikap keterbukaan kepada
orang lain, hal tersebut bisa menjadikan pelaku tindak pidana mencari celah,
kelemahan dari korban untuk melakukan tindak pidana. Dengan celah
kelemahan tersebut mempermudah pelaku tindak pidana untuk melaksanakan
kejahatannya, dan akan beresiko bahwa pelaksanaannya akan berhasil.
10
Pemahaman terhadap hubungan antar penjahat dengan korban akan
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan dan bentuk
kejahatan, menurut Schafer korban adalah faktor penentu kejahatan, dan
bahwa suatu kerjasama keji sering kali terjadi antara pelaku kejahatan dan
korbannya, kelihatannya hal tersebut tidak masuk akal berdasar hasil
pengumpulan bahan yang ada terdapat indikasi adanya hubungan kolusi
korban-pembuat kejahatan. Dengan demikian, untuk memahami kejahatan
dengan lebih konprehensif dan meluas maka makin penting arti penyelidikan
terhadap keadaan saling mempengaruhi antara berbagai faktor penyebab, yang
nantinya dapat menentukan seberapa besar tingkat kesalahan pelaku dan
tingkat kesalahan korban.
Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat suatu
tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi 6 tipe. Tipologi yang dimaksud
adalah sebagai berikut:14
1. The completly innocent victim. Korban sama sekali tidak bersalah oleh
Medelsohn disebut bentuk korban yang “ideal” yang cenderung terjadi pada
anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.
2. The victim with minor guilt and the victim due to his ignorance. Korban
dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan karena kelalaiannya.
3. The victim as guilty as the offender and voluntary victim. Korban sama
salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh Mendelsohn dibagi
menjadi beberapa sub tipe:
14
Ibid., Hal. 28-29
11
a. Bunuh Diri “Dengan melempar uang logam”
b. Bunuh diri dengan adhesi
c. Euthanasia
d. Bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri (misalnya pasangan suami
istri yang putus asa karena salah satu pasangannya sakit).
4. The victim more guilty than the offender. Dalam hal ini korban
kesalahannya lebih besar daripada pelaku.
5. The most guilty victim and the victim as is gulty alone. Korban yang sangat
salah dan korban yang salah sendirian.
6. The simulating victim and the imagine as victim. Korban pura-pura dan
korban imajinasi. Contoh orang yang menderita paranoid, histeria, serta
pikun.
Sebenarnya sulit untuk menentukan tingkat kesalahan korban. Karena
akan sangat tergantung pada berbagai macam faktor. Terutama faktor situasi
dan kondisi. Korban bisa dikatakan sebagai partisipan dalam tindak kejahatan
tersebut. Bentuk partisipan dari korban ada yang bersifat aktif dan pasif.
Berdasarkan teori dari Schafer, bahwa Schafer membagi tipe korban
dalam kategori yang tergantung pada pertanggungjawaban korban. Tipe korban
itu antara lain:15
1. Unrelated victim yakni kejahatan yang dilakukan oleh pembuat kejahatan
tanpa ada hubungan apapun dengan korban. Korban secara acak dipilih oleh
pembuat kejahatan menjadi targetnya.
15
Yazid Effendi, 2001, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku
Kejahatan, Penerbit Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, hal. 28-29.
12
2. Provocative victim. Korban dalam tipe ini memancing-mancing pembuat
kejahatan untuk melakukan kejahatan.
3. Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku
yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan.
Disini korban memiliki tanggung jawab.
4. Biologically weak victims yakni siapa saja yang secara fisik atau mental
lemah.
5. Socially weak victim yakni keompok sosial yang lemah, dan sering
dieksploitasi oleh penjahat.
6. Self-victimizing dan political victim adalah korban akibat dari tindakannya
sendiri sebab mereka berkorban sendiri. Pertanggung jawaban ada pada
korban itu sendiri dan seharusnya tidak seharusnya dibagi dengan pihak
lain.
Hampir sejalan dengan Mendelsohn yang membuat tipologi korban
berdasarkan tingkat kesalahan, Ezzat A. Fattah juga mengklasifikasikan
korban yang ia dasarkan atas tingkat peranannya.16 Tingkatannya dimulai dari
korban yang sama sekali tidak berperan sampai korban yang berperan paling
kuat, terdiri atas:
1. Nonparticipating victims, who feel a denial or repulsion toward the crime
and the criminal, and who do not participate in the origin of the crime
committed agains them;
16
Iswanto dan Angkasa, 2011, Op.Cit., hal. 29
13
2. Lantent or predisposed victim, who have certain character predispsition for
being victimized by certain kinds of offenses;
3. Provocative victim, who participate the crime, or prevent provoke it;
4. Participating victim, who by their passivity or other similiar attitude make
their own victimization possible or easier; and;
5. False victims, who are not victim at all or who victimize themselves
Demikianlah mengenai berbagai pandangan mengenai peranan korban,
yang pada dasarnya memiliki tipikal yang pada pokoknya memiliki kesamaan.
Dari aspek tipe, dan pengkategorian korban tersebut, dapat menentukan
bagaimana peranan korban apabila dihubungkan dengan kasus yang penulis
teliti. Ada aspek-aspek yang berkaitan dengan korban yang nantinya akan
menentukan bagaimana kedudukan korban dalam tindak pidana tersebut, dan
mengenai kondisi korban yang nantinya akan berpengaruh pada penjatuhan
putusan pidana kepada si Terdakwa, sebagai pelaku dalam tindak pidana.
Ada tiga aspek yang berkaitan dengan si korban, ketiga aspek tersebut
adalah: 17
1) Peranan si korban dalam peristiwa tindak kejahatan.
Mengenai peranan si korban dalam peristiwa tindak pidana atau tindak
kejahatan, ada hal-hal yang berkaitan dengan aspek dari peranan korban
antara lain:
17
J.E. Sahetapy, 1987, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hal. 86-93
14
a) Rangsangan bagi timbulnya kejahatan
Artinya ada hal-hal yang menimbulkan rangsangan atau dorongan dari
pelaku untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan terhadap korban.
Bahwa suatu tindak kejahatan adalah perbuatan yang diperhitungkan
secara rasional.
pendekatan
Menurut John S. Carroll, ahli yang menggunakan
rasional-analitis,
suatu
tindakan
kejahatan
adalah
rasionalisasi dari keputusan yang telah diambil. Faktor-faktor yang
dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan untuk berbuat
kejahatan dirumuskan sebagai berikut:
SU= [(p(S) x G) – (p(F) x L)]
SU= Subjective Utility. SU ialah pertimbangan si pelaku kejahatan
apakah dia akan melaksanakan kejahatan yang direncanakannya. Secara
garis besar keputusan yang dibuat hanya dalam dua pilihan: akan
dilaksanakan atau tidak akan dilaksanakan.
P(S)= Probability of success. P(S) ialah pertimbangan si pelaku
kejahatan, sejauh mana ia akan berhasil sukses di dalam melaksanakan
tindak kejahatan yang direncanakannya.
G= Gain. G ialah pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan
diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang direncanakan. Keuntungan ini
dapat berupa keuntungan materi seperti barang-barang berharga, dan
dapat juga berupa keuntungan psikologis seperti kepuasan jiwa yang
diperoleh dari tindak kejahatan.
15
P (F)= Probability of fail. P (F) ialah pertimbangan besar kecilnya
kemungkinan gagal (tertangkap) di dalam melaksanakan tindak kejahatan
yang direncanakan.
L= Loss. L ialah besar kecilnya kerugian apabila si pelaku kejahatan
tertangkap di dalam melaksankan kejahatan .
Letak peranan korban di dalam rumusan kejahatan, menurut J.E
Sahetapy terletak di dalam faktor p(S) dan p(F) serta faktor G.
b) Tipe korban yang merangsang terjadinya kejahatan.
Menurut Henting sebab terjadinya kejahatan dikarenakan oleh sebab
keperibadian si korban seperti berikut ini:
1. Tipe apatis dan malas
2. Tipe menyerahkan diri (submisif)
3. Tipe kooperatif (ikut membantu)
4. Tipe profokatif.
Sifat kepribadian korban, faktor biologis (jenis kelamin, usia, kesehatan,
terutama kesehatan jiwa), dan tipe-tipe korban sebagaimana telah
dijelaskan dalam teori Mendelsohn, Stephen Scafer, dan Ezzat Al Fattah,
menunjukan adanya korelasi yang memungkinkan orang berpotensi
menjadi korban atas tindak pidana atau kejahatan.
2) Keputusan si korban untuk melaporkan tindak kejahatan.
Proses pengambilan keputusan untuk melaporkan suatu tindak kejahatan
melalui proses perhitungan untung rugi. Greenberg, Wilson dan Mills
(1982) dalam penelitian eksperimental kasus pencurian menemukan bahwa
16
hal utama yang menyebabkan orang tidak mau melaporkan kasus kejahatan
adalah:
a) Masalah tersebut tidak terlalu penting untuk dilaporkan, dan tidak
menguntungkan bila dilaporkan.
b) Kasus tersebut tidak dapat ditangani dengan baik, karena polisi tidak
efektif dalam bekerja.
c) Si korban takut mendapat pembalasan dari si pelaku bila ia melaporkan
kejadian.
3) Pengaruh si korban terhadap berat ringannya putusan pengadilan.
Walaupun peraturan hukum sudah digariskan bahwa si jaksa dan si hakim
tidak boleh menilai hal-hal lain kecuali faktor yang ditetapkan oleh hukum,
di dalam memutuskan berat ringan putusan suatu perkara seringkali para
hakim dan jaksa terpengaruh faktor-faktor non hukum. Faktor-faktor non
hukum itu antara lain;
a) Sifat kepribadian si jaksa atau hakim
b) Faktor penampilan terdakwa dan pengacara
c) Faktor diri si korban.
B. Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan
Korban
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.
Istilah tindak pidana berasal dari kata Strafbaarfeit, yang terdiri dari tiga
17
kata, yaitu straf yang artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh, dan feit
yang artinya perbuatan. Kata strafbaarfeit sering diartikan berbeda oleh para
sarjana hukum, sehingga belum ada unifikasi yang pasti mengenai definisi
dari kata tersebut. Istilah “tindak pidana” dipakai sebagai pengganti
strafbaarfeit.
Menurut Simons dalam bukunya Moeljatno, “strafbaar feit” adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.18
Sedangkan Van hamel berpendapat dalam bukunya Moeljatno, bahwa
strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.19
Pompe menjelaskan bahwa perkataan Strafbaarfeit dapat dirumuskan
sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap ketertiban umum)
dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di
mana
penjatuhan
hukuman
terhadap
pelaku
adalah
perlu
demi
terpeliharanya ketertiban umum dan terjaminnya kepentingan umum. Lebih
lanjut Pompe menjelaskan menjelaskan menurut hukum pidana positif kita,
suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan
sebagai keadaan yang dapat dihukum.20
18
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 56
Loc. Cit
20
P.AF. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan kedua, Sinar
Baru, Bandung, hal. 183
19
18
Jika melihat dari pengertian-pengertian tadi maka dalam pokoknya:
a. Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling (kelakuan/tingkah laku)
b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tadi.21
Mengenai pengertian strafbaarfeit, Sudarto membagi dua pandangan
sebagai berikut:
1. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk
adanya pidana itu semuanya merupakan sifat dari perbuatan;
2. Pandangan dualistis yaitu
pandangan yang memisahkan pengertian
perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana
(criminal responsibility).22
Moeljatno, dengan tegas membedakan dapat dipidananya perbuatan,
dapat dipidananya orangnya, sejalan dengan ini beliau memisahkan antara
pengertian perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana. Pandangan
Moeljatno ini dapat disebut sebagai pandangan yang dualistis mengenai
perbuatan pidana (tindak pidana dan strafbaarfeit).
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana.
Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan, larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat
juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu di
ingat, bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
21
Moeljatno, 1993, Op.Cit., hal. 56
Sudarto, 1990/1991, Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B, Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto, hal. 24
22
19
sedangkan ancaman pidananya di tujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. 23
Beliau menggunakan istilah “perbuatan pidana”, karena pengertian
perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana. Secara
singkatnya penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan alasan bahwa
perbuatan itulah keadaan yang di buat oleh seseorang atau barang sesuatu
yang dilakukan dan perbuatan ini menunjuk baik pada akibatnya maupun
yang menimbulkan akibat.
Selanjutnya Vos dalam bukunya Utrecht yang berjudul Hukum Pidana
I bahwa peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia (menslijke
gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman.24
Jadi, suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam
dengan hukuman. Istilah “peristiwa pidana” dipakai dengan alasan bahwa
istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan maupun akibatnya (keadaan
yang ditimbulkan oleh karena perbuatan melalaikan itu).
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa Tindak pidana
adalah sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai pidana. 25 Pada
intinya bahwa Tindak pidana merupakan perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum, merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dan
menghambat terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap
baik dan adil.
23
Moeljatno, 1993, Op.Cit., hal.54
Utrecht, 1986 , Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 251
25
Wirdjono Prodjodikoro, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, hal. 55
24
20
2. Unsur - unsur tindak pidana
Untuk menjatuhakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu itu disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Bahwa
setiap tindak pidana dalam Kitab Undang Hukum Pidana pada umumnya
dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur
subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan “unsur subjektif” adalah
unsur yanga ada dalam diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si
pelaku, dan yang termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung dalam hatinya. Dan yang dimaksud dengan “unsur objektif”
adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu
dalam keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.26
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 27
a. Kesengajan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang Hukum Pidana
(KUHP);
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lainlain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yan
terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
26
27
P.A.F Lamintang, 1990, Op.Cit,. hal. 184
Loc. Cit
21
e. Perasaan takut atau vrees seperti antara lain terdapat di dalam rumusan
tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: 28
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtlijkheid;
b. Kualitas si pelaku;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara dengan pelaku dengan tindakan
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit)
ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur
berdasarkan aliran monistis dan dualistis. Yang pertama akan diuraikan
adalah mengenai unsur tindak pidana berdasarkan aliran monistis dari tindak
pidana antara lain sebagai berikut:
a. D. Simons
Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah:29
1) Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan;
2) Perbuatan itu dilarang oleh Undang-undang, diancam dengan
hukuman;
3) Perbuatan itu harus dapat dipertanggung jawabkan. Perbuatan itu
harus dapat dipersalahkan kepada si pelaku.
28
Loc. Cit
C.S.T Kansil, dan Christine S.T. Kansil, 1995, Latihan Hukum Pidana Untuk
Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107
29
22
b. Van Hamel
Menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana meliputi:30
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
2) Bersifat melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan;
4) Patut dipidana.
c. Mezger
Menyatakan bahwa unsur-unsur dari tindak pidana yaitu:31
1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
2) Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif mapun besifat subjektif);
3) Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;
4) Diancam dengan pidana.
d. J. Baumman
Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik antara lain: bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan.32
e. Karni
Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:
1) Perbuatan yang mengandung perlawanan hak;
2) Dilakukan oleh orang dengan salah dosa oleh orang yang sempurna
akal budinya;
3) Perbuatan tersebut patut dipertanggung jawabkan. 33
30
Sudarto, 1990/1991, Op.Cit., hal. 25
Loc. Cit
32
Loc. Cit
31
23
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para sarjana
yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut:
a) Vos
Menyebutkan bahwa strafbaarfeit hanya berunsurkan kelakuan manusia
yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman, jadi suatu
kelakuan yang dilarang dan diancam dengan hukuman.34
b) Pompe
Bahwa strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana
dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan
yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam
pidana.35
c) Moeljatno
Menurut Moeljatno, strafbaarfeit sebagai perbuatan yang dapat diancam
pidana, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Untuk adanya
perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :
1) Perbuatan manusia;
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan
syarat formil). Syarat ini harus ada karena keberadaan asas legalitas
yang tersimpul pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dirumuskan sebagai
berikut: tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan dilakukan, asas ini dikenal dengan “Nullum
33
Loc. Cit
Utrecht, 1986, Op.Cit., hal 251
35
Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal. 25
34
24
delictum nulla poena sine previa lege poenaly” (tiada pidana tanpa
ada peraturan yang mengatur terlebih dahulu);
3) Memenuhi syarat materiil. Syarat ini pun harus ada, karena perbuatan
itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu
bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam
pergaulan masyarakat yang di cita-citakan oleh masyarakat.36
Dalam Putusan Nomor 93/Pid. B/ 2012/ PN. Pwt adalah mengenai
tindak pidana melarikan perempuan yang belum dewasa tanpa dikehendaki
oleh orang tua/ walinya, tetapi atas persetujuan korban itu sendiri.
Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan Pasal 332 ayat (1) ke-1.
Pasal 332 KUHP merumuskan sebagai berikut:
Dihukum karena melarikan perempuan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, barangsiapa
membawa pergi wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki
orang tuanya atau walinya akan tetapi atas persetujuannya, dengan
maksud untuk memastikan penguasaanya terhadap wanita itu baik di
dalam maupun di luar perkawinan.
Oleh karena itu perlu diuraikan mengenai unsur-usur dalam tindak
pidana pada Pasal 332 ayat (1) ke-1 antara lain:
2.1 Barangsiapa
Menurut Wirdjono Prodjodikoro dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah manusia.
Hal ini dapat terlihat dari perumusan dari Tindak pidana dalam KUHP, yang
menampakan daya berpikir sebagai syarat subjek tindak pidana itu, juga
36
Ibid., hal. 26
25
terlihat pada wujud hukuman/pidana yang memuat pasal-pasal KUHP, yaitu
hukuman penjara, kurungan dan denda.
2.2 Melarikan Perempuan di bawah umur
a. Melarikan Perempuan
Yang diartikan dengan melarikan perempuan adalah mengajak,
meminta, atau membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
Perbuatan ini harus merupakan perbuatan aktif, tidak cukup dengan
perbuatan mengajak belaka. Pun perempuan yang akan dilarikan melakukan
perbuatan yang aktif juga, hingga perbuatan pelarian itu harus perbuatan
bersama, di mana pelaku dan korban bersama-sama melakukan perbuatan
aktif. Jadi tidak perlu dipergunakan paksaan, bahkan bantuan
dari
perempuan itu sendiri terdapat dalam perbuatan melarikan itu.
Perbuatan melarikan mulai dari tempat, kemana perempuan itu pergi
untuk memungkinkan perbuatan itu. Jadi setiap perbuatan untuk
mempermudah melarikan perempuan.37 Perbuatan melarikan perempuan
perempuan tersebut tidak mementingkan cara, apakah dengan sukarela atau
tidak, bahkan dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam
pengertian ini.
b. Anak di bawah umur
Pengertian anak mempunyai sudut pandang yang berbeda, dan
tergantung pada disiplin ilmu yang ditekuni. Namun secara umum mengenai
pengertian anak dimaksudkan untuk membatasi umur minimal dan
37
H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP BUKU
II) Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 124-126
26
maksimal seseorang yang dikategorikan sebagai anak-anak. Bila dilihat dari
hukum adat yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa, menunjukan
bahwa batas anak dan dewasa bisa dilihat dari usia maupun kenyataan sosial
dalam pergaulan hidup.
Ter Haar mengemukakan, menurut hukum adat masyarakatmasyarakat hukum kecil-kecil itu, maka seseorang menjadi dewasa ialah
saat ia (lelaki dan perempuan) sebagai orang yang sudah berkawin
meninggalkan rumah ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai lakibini yang merupakan keluarga yang berdiri sendiri.38
Dalam KUHP pengertian anak di bawah umur ternyata tidak diatur,
hanya disebutkan istilah “belum cukup umur” dan “sudah cukup umur”
dalam beberapa Pasal-Pasal dalam perundang-undangan tertentu, dijelaskan
tentang pengertian anak dan batasan umur bagi seorang anak atara lain
sebagai berikut:
1) Pengertian anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Masalah kedewasaan diatur dalam Pasal 330 KUHPdt yang menentukan
bahwa “Belum Dewasa” adalah mereka yang belum mencapai umur genap
21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu
dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak
kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
38
Ter Haar Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, 1985, Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat, Cetakan kedelapan, Prandya Paramita, Jakarta Pusat, hal. 166
27
2) Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
Tentang Perlindungan Anak. Yang dimaksud dengan anak adalah belum
berumur 18 tahun atau belum menikah, termasuk anak yang ada di dalam
kandungan.
4) Pengertian Anak menurut Konvensi Hak Anak ( Convention on the Right
of the Child)
Seorang anak adalah setiap orang yang berusia 18 tahun kecuali
berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan
dicapai lebih awal.
5) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Bahwa “ Perkawinan hanya diijinkan jika pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun”.
Secara tersirat Undang-Undang Perkawinan memberikan pembedaan
terhadap ukuran kedewasaan bagi laki-laki dengan perempuan. Laki-laki
dikatakan dewasa jika telah berusia 19 (sembilan belas)
tahun, dan
perempuan dikatakan dewasa jika telah berusia 16 (enam belas) tahun.
6) Pengertian anak menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182
28
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dalam konvensi ini istilah anak berarti
semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 Nomor 54,
jika dalam perundang-undangan dipakai istilah “minderjaring” (belum
cukup umur) terhadap golongan bumiputera maka yang dimaksud adalah
mereka yang umurnya belum cukup 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
kawin sebelumnya. Jika sebelum 21 (dua puluh satu tahun), perkawinannya
diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi (belum cukup umur). 39
2.3 Tanpa Dikehendaki oleh Orang tua atau Walinya, tetapi atas
Perempuan itu sendiri.
a.
Tanpa dikehendaki
Tanpa dikehendaki oleh orang tuanya atau walinya artinya lebih
keras dari pada atau bertentangan dengan kemauan orang tuanya atau
walinya. Hal ini diisyaratkan sehubungan dengan kekuasaan yang syah
yang dimiliki oleh orang tuanya atau walinya atas perempuan yang di
bawah umur.40 Tanpa kehendak di sini secara singkatnya tanpa ijin atau
tanpa sepengetahuan dari orang tuanya.
b.
Orang tua atau wali
Secara umum Orang tua adalah ayah dan/ ibu dari seorang anak
melalui hubungan biologis atau sosial. Berdasarkan Pasal 1 angka 4
39
Moeljatno, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bina Aksara,
Jakarta, hal. 48
40
H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125
29
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak,
orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/ atau ibu
angkat.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Wali adalah orang atau
badan yang dalam kenyataanya mejalankan kekuasaan asuh terhadap
orang tua terhadap anak. Masalah perwalian pada umumnya diatur
dalam Pasal 332-344 KUHPdt. Macam-macam perwalian ada 3 macam.
Pertama, perwalian oleh suami/isteri yang hidup paling lama
(langstevende echtgenoot) Pasal 345-354 KUHPdt. Kedua, Perwalian
yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri. Ketiga, perwalian yang diangkat oleh hakim (perwalian yang
secara sah ditunjuk oleh oleh hakim di Pengadilan Negeri, hal ini diatur
dalam Pasal 359 KUHPdt).
c.
Atas Persetujuan perempuan itu sendiri.
Makna persetujuan memiliki pengertian bahwa para pihak saling
menyatakan kehendaknya masing-masing, ada persesuaian kehendak
atau ada kesepakatan kehendak dari pihak satu dengan pihak yang lain.
Bisa dikatakan bahwa persetujuan merupakan pernyataan kehendak para
pihak yang dibentuk oleh dua unsur, yaitu adanya unsur penawaran dan
adanya unsur penerimaan. Dalam hal ini yaitu ada unsur penawaran dari
pelaku untuk mengajak pergi, dan ada unsur penerimaan dari perempuan
itu sendiri atau korban, dalam hal ia diajak untuk pergi dari rumah.
30
Secara lebih jelas unsur ini berhubungan dengan kegiatan
perempuan di dalam mempermudah perbuatan melarikan, di mana
perempuan melakukan perbuatan aktif. Ada persetujuan dari korban.
Apabila Tanpa persetujuan perempuan, tentunya tidak akan dapat
melakukan perbuatan aktif.41
2.4 Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau tanpa perkawinan
Melarikan perempuan harus bertujuan mempersatukan laki-laki dan
perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan ikatan perkawinan atau
tanpa perikatan perkawinan. Memiliki seseorang perempuan adalah
melakukan perbuatan persetubuhan dengan perempuan itu dengan ikatan
perkawinan atu tanpa ikatan perkawinan, hingga ia memiliki ini juga
sebagai isteri.42
Maksud untuk tidak ditujukan pada memiliki secara terus-menerus
tetapi tidak juga apabila pelaku hanya sekali melakukan persetubuhannya.
Meskipun sebelumnya telah melakukan perempuan dengan atau tanpa
ikatan perkawinan. Jadi dalam hal ini pelaku menghendaki hasil dari
perbuatan baginya yaitu persetubuhan dengan pelaku. Tetapi meskipun
belum sampai dilakukan persetubuhan oleh pelaku dengan perempuan itu,
pelaku dapat dikenakan Pasal ini dengan melakukan perbuatan melarikan
perempuan itu.43
41
Loc. Cit
Loc. Cit
43
Loc. Cit
42
31
C. Pidana dan Pemidanaan.
Pidana dan Pemidanaan merupakan ilmu atau penologi akan terkait
erat dengan filosofi pemidanaan.44 Karena objek dari ilmu hukum pidana
itu sendiri adalah aturan yang merumuskan tentang kejahatan dengan
sanksi pidana dan untuk tujuan mempergunakannya dengan adil menurut
hukum.
Menurut Muladi, hukum pidana modern bercirikan orientasi pada
perbuatan dan pelaku (daad-dader strafrecht), stelsel sanksinya tidak
hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi
juga tindakan tata-tertib (maatgregel, treatment) yang relatif bermuatan
pendidikan.45 Stelsel sanksi merupakan salah satu permasalahan pokok
dalam membicarakan hukum pidana.
Perihal tentang pemidanaan sering terjadi penggunaan istilah yang
berbeda-beda akan tetapi mempunyai maksud yang sama, seperti
punishment,
treatment,
sanction
dan
lain-lain.
Punishment
bila
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berati hukuman.
Istilah “hukuman” berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum”
yang berasal dari perkatan “wordt gestraf” , menurut Moeljatno
merupakan istilah-istilah yang konvensional. Moeljatno tidak setuju
dengan istilah tersebut, dan lebih suka menggunakan kata “pidana” untuk
menggantikan
44
kata
“straf”
dan
diancam
dengan
pidana
untuk
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track
Syste & Implementasinya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 2
45
Ibid., hal 3
32
menggantikan kata “wordt gestraf”.46 Beliau menegaskan bahwa bila kata
“straf” diartikan “hukuman”. baik hukum pidana maupun hukum perdata.
“Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang
maknanya lebih luas dari pidana, sebab mencakup juga putusan hakim
dalam lapangan hukum perdata. 47
1. Pengertian Pidana
Moeljatno, menyatakan bahwa pidana adalah sebagai berikut:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi
yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat di kenakan atau
dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah di-ancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut. 48
Menurut van Hamel arti pidana atau straf menurut hukum positiv
adalah:
“Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat
gehandhaafd rechtsvoorshrift, op den enkelen grond van die
overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare
rechtsorde, door met met de rechtsbeeling belaste gezag uit te
spreken”
yang artinya kira-kira adalah:
“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum
bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut
46
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit
Alumni, Bandung, hal. 1
47
Loc. Cit
48
Andi Hamzah, 1994. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 4-5
33
telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh
negara”. 49
Menurut Simons pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan
yang oleh undang-undang dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu
norma, yang dengan putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang
bersalah. 50
Menurut Algra Janssen bahwa pidana atau straf adalah sebagai
“Alat yang digunakan oleh penguasa atau hakim untuk memperingatkan
mereka yang telah melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.
Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian kebebasan
dan harta kekayaanya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak
pidana”.51
Dalam buku Muladi dan Barda Nawawi, berikut ini dikemukakan
mengenai pengertian pidana oleh para sarjana antara lain sebagai berikut:
a) Sudarto
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbutan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.52
b) Roeslan Saleh
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.53
49
P.A.F Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 47
Ibid., hal 48
51
Loc. Cit
52
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal 2
53
Loc. Cit
50
34
c) Fitsgerald
Punishment is the autontative infliction of suffering an offence.54
d) Sir Rupert Cross
Punishment means “the inflication of pain by the state on someone who
has been convicated of an offence.55
e) Burton M Leiser
A punishment is a harm inflicted by a person in a position of authority
upon another who is judged to have violated a rule or a law.56
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pidana
dan pemidanaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pidana itu hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang. 57
2. Pengertian Pemidanaan
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian
pidana dan pemidanaan, perlu diberikan pembatasan pengertian, beberapa
sarjana mengemukakan pendapat sebagai berikut:
54
Loc. Cit
Loc. Cit
56
Ibid., hal.3
57
Ibid., hal .4
55
35
a. Sudarto
Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dari
kata penghukuman. Tentang hal tersebut ia mengatakan sebagai
berikut:
“Penghukuman itu berasal dari kata hukum, sehingga dapat
diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa
itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan
tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada
hukum pidana, maka istilah tersebut harus dipersempit artinya,
yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali
sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai
makna sama dengan sentence atau veroordeling”. 58
b. Jerome Hall
Jerome Hall batasan konseptual tentang pemidanaan. Hall
membuat
deskripsi
terperinci
mengenai
pemidanaan.
Pertama,
pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup.
Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama
negara
“diotorisasikan”.
peraturan-peraturan,
Keempat,
pelanggarannya,
pemidanaan
mensyaratkan
penentuannya,
yang
diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar
yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya
sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan
pemidanaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkatan jenis
pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat
58
P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal 49
36
atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si
pelanggar, dan motif dan dorongannya.59
c. Ted Honderich
Ted Honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus memuat
tiga unsur antara lain: Pertama, pemidanaan harus mengandung
semacam kehilangan (deprivation) atau kesengasaraan (distress) yang
biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan
pemidanaan. Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang
berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan merupakan hasil
keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.
Karenanya, pemidanaan merupakan suatu tindakan balas dendam dari
korban terhadap pelanggaran hukum yang mengakibatkan penderitaan.
Ketiga, penguasa yang berwenang menjatuhkan pemidanaan hanya
kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau
peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.60
Berdasarkan memisahkan pengertian pemidanaan dengan pidana,
dapat kita ketahui bahwa pidana hanyalah merupakan suatu penderitaan
atau alat saja, yang berarti bukan merupakan suatu tujuan dan tidak
mungkin dapat mempunyai tujuan. Pejelasan ini dilakukan demi
menghindari kacaunya berpikir para penulis Belanda yang sering
mencampur adukan pengertian tujuan pemidanaan dengan tujuan
pidana. Kekacauan berpikir ini ternyata menurutnya, telah diikuti oleh
59
60
M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 70
Ibid., hal 71
37
beberapa penulis Indonesia sehingga menerjemahkan kata doel der straf
dengan tujuan pidana padahal yang dimaksud adalah tujuan
pemidanaan.61
3. Teori dan Tujuan Pemidanaan
Masalah pidana dan pemidanaan merupakan hal yang sangat
penting, dan masalah pidana dan pemidanaan tertuang dalam teori-teori
pemidanaan. Dalam teori-teori pemidanaan ini tercermin suatu sistem
nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi
suatu bangsa terhadap hak-hak asasi manusia. Secara tradisional teori-teori
pemidanaan dapat dibagi dalam dua kelompok teori antara lain:
a. Teori absolout atau teori pembalasan ( retributive theorieen);
Teori ini adalah teori yang tertua, setua sejarah manusia. Teori
ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan.62 Artinya hal tersebut berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. 63 Secara
singkatnya tujuan pemidanaan dari teori ini adalah pembalasan terhadap
para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan
kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.
61
P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal 49
M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 34
63
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal. 10-11
62
38
Menurut Immanuel Kant orang yang melakukan tindak pidana
itu melanggar hukum dan etika susilaan, maka ajaran Kant disebut
dengan teori Pembalasan atas pelanggaran etika/kesusilaan.64
Menurut
Stahl
berdasarkanh
pada
”Asas
Ketuhanan”.
Menurutnya Negara adalah wakil Tuhan di bumi yang bertugas
menjaga ketertiban oleh karena itu mereka yang melanggar ketentuan
hukum Tuhan harus dihukum yang seimbang/sepadan, sehingga si
pembunuh harus dibalas dengan pembunuhan. Pembalasan adalah
mutlak, yang merusak mata harus dibalas dengan merusak mata pula.65
Menurut Johannes Andeanes tujuan utama dari pidana menurut
teori absolout adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan sedangkan
pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.66
Dalam buku John Kaplan, teori Retribution ini dibedakan lagi
menjadi dua teori yaitu:
1) Teori Pembalasan (the reveange theory);
2) Teori penebusan dosa (the expiation theory);
Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat telah
dibayarkan kembali (the criminal paid back), sedangkan penebusan
mengandung arti bahwa si penjahat membayar kembali hutangnya (the
criminal pays back). 67
64
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 1995, Op.Cit., hal. 97
Loc. Cit
66
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal. 11
67
Ibid., hal 13
65
39
Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan
menganggap pembalasan ini dalam arti yang positif dan konstruktif dan
bukan dalam arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka
yang anti pembalasan. 68
Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada
dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van
eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang paling penting sekali dalam
hukum
pidana
yakni
memenuhi
keinginan
akan
pembalasan
(tegemoetkoming aan de vergeldingbehoefte). 69
b. Teori relatif atau teori tujuan (ultilitarian theory).
Teori ini memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai
tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan masyarakat.70 Tujuan pemidanaan pada teori ini yaitu
sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditunjukan
kepada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada
masyarakat.
Menurut Leonard Orland, teori relatif dalam pemidanaan
bertujuan untuk mengurangi kejahatan. Pidana ditetapkan bukan karena
orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang tidak melakukan
kejahatan.71
68
Ibid., hal 15
Loc. Cit
70
M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 41
71
Loc. Cit
69
40
Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau
aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran
pidana pada teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. 72
Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari
teori relatif ini, yaitu:
1) The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana adalah
pencegahan);
2) Prevention is not a final aim, but means to a more suprems aim e.g.
social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai
sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat);
3) Only breaches of the law which are imputable to the perperator as
intent or negligence qualify for punishment (Hanya pelanggaranpelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja,
misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana);
4) The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the
prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya
sebagai alat pencegahan kejahatan);
5) The punishment is prospective, it ponits into the future; it may
conyain as element of reproach, but neither reproach nor retributive
elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime
72
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Op.Cit., hal. 16
41
for the benefit or social welfare. (Pidana melihat ke depan atau
bersifat prospektif, ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur
pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak
membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat). 73
Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar
melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan,
tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan yang bermanfaat. Karena
teori ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam pemidanaan maka,
teori relatif sering juga disebut sebagai ultitarian theory, ada tiga
bentuk teori tujuan bahwa pemidanaan pada teori
ini mempunyai
mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut:
a) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan (deterrence).
Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari
kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan
penangkal, pemidaan berfungsi sebagai contoh yang mengigatkan
dan menakutkan bagi penjahat.
Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek
pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol
sosial. Menurut Philip Bean, maksud di balik penjeraan ialah
mengancam orang-orang lain untuk kelak melakukan kejahatan.
73
M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 42-43
42
b) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. pemidanaan merupakan prose
pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali
berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar.
c) Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral.74
Dalam disertasinya, Muladi membagi teori-teori pemidanaan
menjadi 3 kelompok yaitu: Pertama, Teori retributif. Kedua, Teori
telelogis. Ketiga, Teori retributif-telologis, untuk teori retributif dan
teori teleologis memiliki makna yang tidak berbeda dengan penjelasan
sebelumnya. Sedangkan untuk teori retributif-telologis, teori ini
berpandangan bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena
menggabungkan antara prinsip-prinsip telelogis dan retributif sebagai
satu kesatuan, sehingga teori ini sering disebut sebagai teori interegatif.
Tujuan pemidanaannya adalah bersifat umum dan khusus, perlindungan
masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/
pengimbangan.75
Selain
pembagian
teori-teori
pemidanaan
seperti
yang
dikemukakan di atas, yaitu teori absolout dan teori relatif, ada teori
ketiga yang disebut sebagai teori gabungan (vereniging theorieen).
Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan dapat
menimbulkan aliran ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa
pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan
mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara
74
75
Ibid., hal 44-45
Ibid., hal 49-50
43
kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa
menghilangkan unsur lain, maupun pada semua unsur yang ada.
Beberapa pendapat sarjana mengenai masalah tujuan pidana:
1)
J.E Sahetapy
Pemidanaan
bertujuan
pembebasan.
Pidana
harus
membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah
ditempuhnya. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku
bukan saja harus dibebaskan dari lama pikiran jahat, yang keliru
melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial di mana
ia terbelenggu.
Tidak dipungkiri bahwa dalam pengertian pidana tersimpul
unsur penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah sematamata untuk agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita
akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat
sebagai obat atau kunci jalan keluar yang membebaskan dan
memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.76
2)
Bisman Siregar
Bisman
Siregar
mengemukakan
pendapatnya
dalam
simposim Pindana Nasional di Semarang tahun 1980 yang berjudul
“Tentang Pemberian Pidana” antara lain:
“Yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian
pidana bagaimana caranya agar hukuman badanlah
mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang
telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan
penghukuman tiada lain adalah untuk mewujudkan
kedamaian dalam kehidupan manusia”. 77
76
77
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Op.Cit., hal. 22-23
Ibid., hal 23-24
44
3)
Roger Hood
Sasaran pidana di samping untuk mencegah si terpidana
atau pembuat potensiil melakukan tindak pidana, juga untuk
memperkuat nilai-nilai sosial (reinforcing social value) dan
menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying
public fear of crime).78
Di Indonesia sendiri, Hukum pidana positif belum pernah
merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan
pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun
sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan
tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III
dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.79
Rancangan KUHP Nasional dalam Pasal 50 ayat 1 nya telah
menetapkan empat tujuan pemidanaan sebagai berikut:80
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Jadi
tujuan
dari
pemidanaan
tidak
semata-mata
untuk
memberikan penderitaan kepada orang yang melakuakan tindak pidana,
tetapi bertujuan untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak
pidana tersebut dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
78
Ibid., hal 21
M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 127
80
Loc. Cit
79
45
Seperti pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa pemidanaan tidak
bisa hanya memperhatikan kepentingan pembuat saja, atau juga hanya
memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dalam arti, bahwa
pemidanaan harus mengacu pada perspektif keseimbangan, yaitu
keseimbangan kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban.81
4.
Jenis- jenis Pidana
Dalam KUHP terdapat 2 (dua) jenis pidana yaitu diatur dalam
Pasal 10 KUHP yang membagi dua jenis pidana pokok dan pidana
tambahan, sebagai berikut:
a. Pidana Pokok meliputi:
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda.
b. Pidana Tambahan, meliputi:
1) Pencabutan beberapa hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman Putusan hakim.
Jenis-jenis pidana sebagaimana tersebut di atas
disusun
berdasarkan berat rigannya pidana. Ada yang membedakan antara pidana
pokok dan pidana tambahan, yang perbedaanya antara lain:82
81
82
Ibid., hal. 113
Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara baru, Jakarta, hal 50-51.
46
a) Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok, namun ada
pengecualiannya, perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan
terhadap anak yang diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya
mengenai barang-barang yang disita. Sehingga pidana tambahan itu
ditambahkan pada tindakan, bukan pada pidana pokok.;
b) Pidana tambahan tidak mempunyai sifat keharusan, jika hakim yakin
menghenai perbuatan pidana dan kesalahan Terdakwa, maka Terdakwa
harus dijatuhi pidana pokok. Dalam menggunakan pidana tambahan
hakim bebas, ia boleh menjatuhkan pidana tambahan boleh pula tidak;
c) Mulai berlakunya pencabutan hak tidak dengan suatu tindakan
eksekusi.
Hukum pidana Indonesia mendapat tambahan satu macam pidana
pokok baru yaitu pidana tutupan. Adanya pidana tutupan ini
tetapi
dikarena pemerintah masih menghargai gagasan yang mulia tetapi
dilakukan dengan menentang pemerintahan yang sah.
Pidana tutupan ini merupakan pidana pokok yang terakhir di
bawah pidana denda. Mengenai hal pidana tutupan diatur pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, yang bunyinya:
“(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud
yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan”.
Dari rumusan Pasal tersebut bahwa pidana tutupan oleh pembuat
undang-undang dimaksudkan untuk menggantikan pidana penjara yang
sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku kejahatan, atas
47
dasar bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya dilakukan karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati.83
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai uraian macam-macam
pidana pokok antara lain sebagai berikut:
1) Pidana mati
Pidana mati adalah pidana terberat menurut perundangundangan pidana kita. Menurut Undang-undang Nomor 2 Pnps Tahun
1964, tata cara pelaksanaan pidana mati adalah dengan ditembak
sampai mati.84
2) Pidana Penjara
Merupakan
bentuk
pidana
yang
berupa
kehilangan
kemerdekaan. Menurut Lamintang Pidana Penjara adalah:
“Suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari
seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang
melanggar peraturan tersebut“.85
Tentang lamanya pidana penjara diatur dalam Pasal 12 KUHP
yang dirumuskan sebagai berikut:
(1) Pidana Penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
a) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah
satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
b) Pidana penjara untuk waktu tertentu boleh dijatuhkan dua
puluh tahun selama waktu tertentu atau anatara pidana penjara
selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas
tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus),
pengulangan (residive) atau karena yang tahun berturut-turut
dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih
83
P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal. 146-147
Ibid., hal. 64
85
Ibid., hal. 69
84
48
antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara
sebgaimana yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a.
c) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh
dari dua puluh tahun
3) Pidana Kurungan
Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga
merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari
seseorang terpidana. Perbedaan pidana kurungan dengan pidana
penjara menurut Roeslan Saleh adalah:86
a) Orang yang dijatuhi pidana penjara dapat dipidanakan kemana saja
untuk menjalani pidananya, sedangkan mereka yang dijatuhi pidana
kurungan harus menjalani kurungannya di dalam daerah di mana
dia berdiam ketika putusan hakim dijalankan, atau jika tidak
mempunyai tempat kediaman di dalam daerah di mana ia berada.
b) Mereka yang dijatuhi pidana penjara pekerjaannya lebih berat.
c) Mereka yang dijatuhi pidana kurungan dengan biaya sendiri boleh
sekedar meringankan nasibnya menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang. Terhukum dengan pidana kurungan jika
menghendaki boleh mengadakan makanan dan tempat tidur sendiri,
dan boleh pula membeli sesuatu yang hanya dapat meringankan
beban hidupnya dengan biaya hidupnya dengan biaya sendiri.
4) Pidana Denda
Mengenai pidana denda tidak ditentukan maksimumnya, yang
ditentukan adalah minimunya. Juga tidak ditentukan siapa yang harus
86
Roeslan Saleh, 1987, Op.Cit., hal 71-72
49
membayar denda. Jika pidana denda tidak dibayar maka dapat diganti
dengan pidana kurungan pengganti.87
Selain jenis pidana pokok, dalam sistem pemidanaan kita telah
disebutkan ada suatu pidana tambahan. Menurut sistem pemidanaan kita,
penjatuhan pidana tambahan adalah sifatnya fakultatif, artinya hakim tidak
selalu harus menjatuhkan pidana suatu pidana tambahan bagi setiap
Terdakwa yang diadili, akan tetapi terserah pada pertimbangannya apakah
disamping menjatuhkan pidana pokok, apakah juga bermaksud untuk
menjatuhkan pidana tambahan atau tidak.88
Pada Pasal 10 KUHP telah disebutkan jenis-jenis pidana tambahan,
dan mengenai penjelasannya sebagai berikut:
1) Pencabutan hak-hak tertentu
Sifat dari pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu
sifatnya adalah untuk sementara, kecuali terpidana telah dijatuhi dengan
pidana penjara selama seumur hidup.
Adapun hak-hak yang dapat dicabut menurut ketentuan Pasal 35
ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai berikut:
(1)
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan
tertentu.
(2)
(3)
Hak memasuki angkatan bersenjata
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadaka
berdasarkan aturan- aturan umum.
87
88
Ibid., hal 75
P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal.97
50
(4)
Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, menjadi
wali, wali pengawas, pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri.
(5)
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri.
(6)
Hak menjalankan pencaharian tertentu.
2) Perampasan barang-barang tertentu
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP yang
dirumuskan sebagai berikut: “Barang kepunyaan si terhukum, yang
diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipergunakan
untuk melakukan kejahatan”.
Artinya benda-benda milik si terhukum yang diperoleh karena
kejahatan, itu bukan hanya benda yang secara langsung telah diperoleh
karena kejahatan, melainkan juga benda-benda yang oleh terpidana
telah dibeli dengan uang hasil kejahatan. Benda-benda seperti ini juga
dapat dinyatakan disita.
3) Pengumuman putusan hakim
Mengenai hal ini diatur dalam Pasa 43 KUHP yang dirumuskan
sebagai berikut:
“Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan
berdasarkan Kitab Undang-Undang ini atau aturan umum lainnya, maka
harus ditetapkan pula bagaiaman cara pelaksanaan perintah atas biaya
terpidana”.
51
Dari
rumusan
tersebut
diketahui,
bahwa
apabila
hakim
menginginkan agar putusan itu diumumkan, maka di dalam putusannya itu
juga
harus
disebutkan
tentang
bagaimana
caranya
melakukan
pengumuman itu dan harus menentukan besarnya biaya yang harus
ditanggung oleh terpidana untuk melakukan pengumuman tersebut.
Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim itu disatu
pihak merupakan suatu pidana, karena pidana tambahan itu telah
mendatangkan suatu penderitaan yang sangat berat dari terpidana, karena
nama baiknya telah dicemarkan di depan orang banyak, dan dilain pihak
sebagai tindakan yang menyelamatkan masyarakat.89
89
Ibid., hal. 143
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian Yuridis Normatif
dengan menggunakan beberapa pendekatan masalah yang pendekatan
undang-undang (Statute Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach).
1.
Pendekatan Undang-Undang (statute approach)
Pendekatan Undang-undang (statute approach) adalah pendekatan
yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu/ permasalahan hukum yang diteliti.90 Untuk itu
peneliti harus melihat hukum sebagai suatu sistem yang tertutup yang
mempunyai sifat comphrehensive, all inclisive, dan systematic.
Melakukan pendekatan ini akan mempelajari konsistensi dan
kesesuaian undang-undang dengan undang-undang lainnya. Hasil telaah
tersebut merupakan suatu argumen yang memecahkan isu yang dihadapi.91
Penelitian ini akan mempelajari Kitab Undang Hukum Pidana yang terkait
dengan Putusan Nomor: 93/Pid.B/PN. Pwt.
2.
Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan kasus digunakan dalam penelitian Normatif, digunakan
untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang
90
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14
91
Ibid., hal. 93
53
telah diputus, sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurispudensi terhadap
perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Kasus-kasus tersebut
dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dimensi penormaan
dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan
analisisnya untuk bahan masukan (Input) dalam eksplanansi hukum.92
Penggunaan pendekatan masalah tersebut dimaksudkan untuk
menjelaskan analisis peranan korban dalam tindak pidana melarikan
perempuan di bawah umur, dan menganalisis tentang pertimbangan hakim,
dalam memutus perkara melarikan anak di bawah umur.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat preskriptif. Pada
tingkatan pertama penelitian ini difokuskan pada penelitian mengenai peran
korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur. Dalam
tingkatan ini dilakukan penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum yang
merupakan patokan bersikap dan berperilaku bagi manusia. Pada tingkatan
kedua penelitian ini kemudian difokuskan pada inventarisasi dan sinkronisasi
hukum yang bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan sampai sejauh mana
perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal dan horizontal.
92
hal. 321
Jhonny Ibrahim, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang,
54
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto dan Pusat
Informasi ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
D. Sumber Data
Sumber data yang dipakai adalah bahan data sekunder, yaitu data
hukum yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi
yang merupakan hasil penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang
merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia
dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di
perpustakaan, atau milik pribadi peneliti, yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti dan putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt. Dalam hal ini
penulis juga memasukan hasil wawancara sebagai penunjang data sekunder
dalam rangka menganalisis putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt.
E. Metode Pengumpulan Data
Data disajikan dalam uraian-uraian yang disusun secara sistematis,
yaitu data sekunder yang diperoleh dilakukan sinkronisasi antara data yang
satu dengan data yang lain sehingga tersusun sebagai satu kesatuan yang
utuh, berhubungan, dan berkaitan erat serta berurutan.
F. Metode Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk teks Naratif dengan cara mendialogkan
antara Teori hukum, norma hukum, hasil penelitian dan analisis penelitian
55
yang dihubungkan antara satu dengan lainnya sesuai dengan pokok
permasalahan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Comprehensive all
Inclusive dan Systematic).
a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait
antara satu dengan yang lain secara logis.
b. All inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum.
c. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma norma tersebut juga tersusun secara hierarkis.93
G. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode normatif kualitatif, yaitu
dengan menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma hukum, doktrin
dan teori hukum pidana yang relevan dengan pokok masalah yang diteliti.94
93
94
Jhonny Ibrahim, 2005, Op.Cit., hal 303
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hal. 25
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
dalam Putusan Perkara Nomor : 93/ Pid. B/2012/PN. Pwt tentang Melarikan
perempuan di bawah umur atas persetujuan korban itu sendiri, sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP, hasil
penelitian pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Identitas Pelaku/ Terdakwa:
Nama lengkap
: Mochammad Yusuf Syarifudin:
Tempat lahir
: Banyumas:
Umur/ tanggal lahir
: 25 tahun/ 21 September 1987:
Jenis Kelamin
: Laki-laki:
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat tinggal
: Jalan Puteran Rt 04 Rw 01 Kelurahan Berkoh
Kecamatan
Purwokerto
Banyumas;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: PNS (Anggota Polri);
Pendidikan
: SLTA;
Selatan
Kabupaten
57
2. Duduk Perkara
Bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin pada hari Senin tanggal 16
April 2012 sekiranya pukul 21.00 WIB bertempat di jembatan jalan KS.
Tubun Kelurahan Rejasari Kecamatan Purwokerto Barat, menjemput
korban berinisial DVD yang kabur dari rumah, yang mana sebelumnya
antara pelaku dan korban sudah melakukan komunikasi melalui
Blackberry Messanger untuk ketemuan dan dating di Cheers Cafe dalam
rangka merayakan ulang tahun pelaku, korban dijemput oleh pelaku
dengan mengggunakan mobil Avanza. Setelah dijemput, korban pergi
bersama pelaku dan teman-temannya ke tempat kost di depan SMP 9
Purwokerto.
Bahwa pelaku, korban dan teman-temannya kemudian pergi ke
Cheers Cafe sekitar pukul 24.00 WIB. Di sana korban diajak minumminuman keras hingga mabuk, dan korban juga diberi sejenis obat oleh
temannya, sehingga ia tidak sadarkan diri. Bahwa sekiranya pukul 00.30
WIB Gemilang Dwiki teman dari korban DVD, mendapatkan informasi
dari saudaranya bahwa korban DVD sedang berada di Cheers Cafe dalam
keadaan mabuk, selanjutnya sekiranya pukul 01.00 WIB, Gemilang Dwiki
mencoba untuk mengajak korban untuk pulang, akan tetapi tidak diijinkan
oleh pelaku. Selanjutnya korban dibawa ke kost-kosan di depan SMP 9
Purwokerto.
Bahwa atas informasi dari Gemilang Dwiki, kedua orang tua
korban datang ke kost di depan SMP 9 Purwokerto, dan mereka mendapati
58
anaknya sedang tertidur sekamar dengan pelaku dalam posisi dipeluk oleh
Terdakwa. Dalam posisi itu korban tidak sadarkan diri kemudian ke dua
orang tua korban membawanya pulang.
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin pada hari Senin
tanggal 16 April 2012 sekira pukul 21.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada
waktu lain dalam bulan April 2012, bertempat di Perumahan Shapire
Regency Block C-54 RT-03 RW-09 Jalan KS Tubun Kelurahan Rejasari
Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat lain di mana Pengadilan Negeri Purwokerto berwenang
memeriksa dan mengadili perkara ini, telah melarikan perempuan yang
belum dewasa yang berinisial DVD tanpa dikehendaki orang
tua/walinya, tetapi atas persetujuan perempuan itu sendiri, dengan
maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di
dalam maupun di luar perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut di atas
maka Terdakwa didakwa oleh Penuntut umum melakukan tindak pidana
dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP.
4. Alat bukti yang diajukan di persidangan
a. Keterangan saksi
1) Saksi Korban DVD
Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar jam
21.00 Wib, saksi dijemput oleh saudara Yusuf dan teman-temannya
59
yaitu Ranggi, Rendi, dan Bismo, di jembatan dekat rumah saksi,
dengan
menggunakan
mobil
Avanza
warna
abu-abu,
dan
sebelumnya saksi mendapat pesan sms dari Yusuf yang isinya
supaya datang ke acara ulang tahunnya di Cheers Cafe dan
mengajak berlibur ke Bandung dan menjanjikan akan membelikan
apapun yang diinginkan oleh saksi. Sebenarnya saksi belum pernah
bertemu dengan Yusuf, saksi hanya mengenal lewat Blackberry
messenger. Setelah menjemput korban, rombongan dan saksi pergi
ke arah stasiun, kemudian Ranggi turun untuk membeli minuman
keras di warung dekat jembatan, lalu ke bundaran Banyumas
Billiard Centre (BBC), setelah dari bundaran Banyumas Billiard
Centre (BBC), mereka pergi ke tempat kost di depan SMP 9
Purwokerto dan semuanya teman laki-laki turun untuk minum lagi,
setelah itu pergi ke Cheers Cafe dan di sana minum-minuman keras
jenis Red Label, Coca Cola dan rokok.
Kemudian saksi dipaksa untuk minum oleh Rendi, Yusuf
dan Ranggi, setelah itu Dwiki dan Mirna teman saksi datang untuk
mengajak saksi bergabung dengan Dwiki dan Mirna namun tidak
diijinkan oleh Ajeng dan Yusuf. Kemudian saksi menangis, dan
Ajeng membawa saksi kesudut ruangan dan mengancam saksi,
apabila saksi masih menangisi Dwiki maka sama saja saksi
membuat ribut. Kemudian Ajeng memasukan pil sebanyak 2 (dua)
buah ke mulut saksi. Kemudian terjadi keributan karena Dwiki dan
60
Yusuf memperebutkan saksi. Karena saksi sudah dalam keadaan
lemas Yusuf mengangkat saksi dan di masukan ke dalam mobil.
Kemudian saksi dibawa muter-muter untuk mencari Ranggi, dalam
perjalanan tersebut Ajeng dan Yusuf memberi pil sebanyak 2 (dua)
buah, kemudian saksi merasa lemas dan pusing dalam perjalanan
mencari Ranggi, ada yang memegang payudara saksi, dan
menciumi saksi akan tetapi saksi tidak tahu siapa yang melakukan
karena saksi dalam keadaan lemas, sampai akhirnya saksi tidak
sadarkan diri di rumah sakit selama 3 (tiga) hari.
2) Saksi Amin Naufal
Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul
19.00 WIB sewaktu saksi akan berangkat ke Masjid, di teras saksi
ada anak laki-laki, dan sepulang dari masjid anak tersebut masih
bersama anak saksi. Ketika saksi di dalam rumah isteri saksi tibatiba mengatakan kepada saksi, bahwa DVD akan pergi ke
Yogyakarta dengan teman-temannya naik mobil, dan saksi tidak
mengijinkan. DVD ternyata tetap pergi tanpa ada ijin dari orang
tuanya, dan yang mengajak pergi adalah Mochammad Yusuf
Syarifudin, bahwa DVD diajak pergi dalam rangka merayakan
ulang tahunnya di Cheers Cafe dan juga akan diajak pergi ke
Bandung.
Pada kenyataanya DVD tidak pulang, dan isteri saksi
menemukan DVD di Sumampir, tempat kost-kostan dalam keadaan
61
mabuk dan sedang tidur bersama laki-laki. Bahwa saksi merasa
bingung melihat kondisi DVD sehingga pada pukul 11.00 WIB
saksi membawa DVD ke Rumah Sakit Islam Purwokerto dan DVD
baru sadar keesokan harinya pada tanggal 18 April 2012 pada pukul
10.00 WIB, dan pada saat itu mengatakan pada saksi bahwa ada
yang ingin diceritakan pada saksi akan tetapi DVD meminta supaya
cerita di depan Polisi, kemudian Saksi mendatangkan Polisi, dan
sampai akhirnya DVD menceritakan semua kejadian yang
dialaminya.
3) Saksi Asih Kusmiandini
Bahwa Saksi tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga
dengan Terdakwa dan saksi dalah ibu kandung dari korban, saksi
sebenarnya tidak mengijinkan DVD untuk pergi. Sekitar pukul
03.24 Wib saksi mendapat sms dari teman DVD yang isinya, bahwa
DVD sedang berada di kost-kostan di depan SMP 9, saksi mengira
DVD sedang berada di kamar, namun ternyata tidak ada. Sehingga
saksi pergi ke kost-kostan, dan mendapati DVD sedang tertidur
dengan posisi dipeluk oleh seorang laki-laki yang ada tatonya di
tangan kanannya, dan membangunkan DVD namun tidak
terbangun. Bahwa DVD baru sadarkan diri pada hari Rabu, tanggal
18 April 2012 pukul 10.00 WIB. Bahwa menurut cerita DVD ketika
di Cheers DVD diberi pil oleh Ajeng dan pak polisinya
(Mochammad Yusuf Syarifudin).
62
4) Saksi Gemilang Dwiky Lisprianda
Bahwa saksi di beri tahu oleh saudara dari saksi kalau DVD
sedang berada di Cheers Cafe, saksi menyusul DVD di Cheers
Cafe dengan maksud untuk mengajak DVD pulang. Setahu saksi
DVD dalam keadaan mabuk sehingga saksi berniat untuk
membawanya, namun tidak diijinkan oleh Mochammad Yusuf
Syarifudin. Kemudian saksi mengikuti rombongan mobil, yang
menuju ke kost-kostan di depan SMP 9, kemudian saksi memberi
kabar kepada keluarga DVD tentang keberadaan DVD.
5) Saksi Awal Amin Supriyadi
Saksi adalah teman sekolah korban. Pada hari Senin, 16
April 2012 saksi bertemu DVD di rumahnya, dengan tujuan supaya
saksi menyampaikan kepada orang tua DVD, bahwa korban akan
pergi ke Bandung, tetapi supaya saksi mengatakan korban mau
pergi Jogja, namun orang tuanya tidak mengijinkan. Pada saat itu
DVD marah dan mengajak saksi untuk kabur, namun tidak jadi.
Saksi tidak tahu kalau tenyata DVD pergi tanpa ijin dari orang
tuanya, dan saksi tidak ikut pergi bersama DVD.
6) Saksi Subismo Tegar
Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul
00.30 WIB, saksi bersama Ucup, Puteri, DVD, Rendi, dan Ranggi
dengan menggunakan mobil Avanza biru menuju ke Cheers Cafe,
untuk merayakan Ulang Tahun Ucup dan minum. Setelah dari
63
Cheers Cafe selanjutnya, mereka menuju ke kost-kostan Rendi di
Sumampir, yang berada di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa saksi
mendengar ketika DVD minta sejenis obat untuk menurunkan
alkohol kepada Ajeng, namun saksi kurang tahu selanjutnya karena
saksi juga dalam keadaan mabuk, dan duduk di belakang bersama
Putri. Bahwa sesampainya di kost saksi bersama Puteri langsung
masuk ke dalam kamar dan tidak tahu yang terjadi pada temantemanya;
7) Saksi Ranggi Ade Yulizar
Bahwa pada hari Senin, 16 April 2012 sekitar pukul 20.00
WIB saksi pergi bersama DVD dan yang mengajak pergi adalah
Mochammad Yusuf Syarifudin. Pada saat saksi menjemput DVD,
Terdakwa tidak meminta ijin kepada orang tuanya DVD, melainkan
menunggu di jembatan dekat Perumahan Shapire, dan setahu saksi
mereka sudah janjian. Sekitar pukul 23.00 WIB saksi bersama
rombongan pergi ke Cheers Cafe, dan semuanya minum-minuman
keras tersebut, termasuk DVD, lalu saksi pergi keluar sendirian,
untuk pergi kerumah temannya, sedangkan rombongan masih di
Cheers Cafe. Sekitar pukul 03.30 WIB, saksi baru menunju ke kostkostan di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa sekitar pukul 04.00
WIB, saksi melihat orang tua DVD ke kost, saat itu pula saksi
pulang ke rumah.
64
8) Saksi Rendi Wibowo alias Sondel
Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul
23.30 WIB saksi bersama DVD pergi menggunakan mobil Avanza
dari tempat kost depan Kelurahan Semampir kecamatan Purwokerto
Utara, menuju ke Cheers Cafe dan semuanya minum, setelah itu
semua pulang ke kost lagi. Bahwa kemudian sekitar pukul 03.00
WIB ibunya DVD datang ke kost-kostan dan menanyakan
keberadaan DVD, lalu saksi bersama teman-temanya pergi.
b. Surat visum
Berdasarkan surat yang telah di bacakan dalam persidangan
yaitu
Visum
et
Repertum
atas
nama
DVD
Nomor:
002/IV/VER/RSIP/2012/R tanggal 27 April 2012 yang ditanda tangani
oleh dr. Rena Susilo Dokter Rumah Sakit Islam Purwokerto, yang
disebutkan bahwa tidak ditemukan bekas akibat rudapaksa dan tidak
terdapat gangguan kesehatan (tubuh) untuk menjalankan pekerjaan
sehari-hari.
c. Petunjuk
a) 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun
2006 No Ka: MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131;
b) 1 (satu) buah STNK An. FARID PUNTODEWO Alamat Jalan
Stasiun 554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap. Dikembalikan
kepada pemiliknya melalui Terdakwa;
65
c) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada Terdakwa;
d) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan
kepada saksi DVD ;
d. Keterangan Terdakwa
Bahwa Pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul
13.30 WIB, Terdakwa berangkat dari asrama Polsek Sumpiuh menuju
ke Purwokerto dengan menggunakan mobil Toyota Avanza warna biru,
kemudian ia berbelanja baju, kemudian Terdakwa menuju ke tempat
Rendi yaitu kost-kostan di depan SMP 9 Purwokerto dengan tujuan
untuk menumpang mandi, kemudian karena di sana ada Ajeng, Ajeng
minta diantar ke salon, dan kemudian Terdakwa pergi ke Moro sendiri
untuk membeli HP, jam tangan, baju, serta celana.
Kemudian pada pukul 20.45 WIB, ia menerima sms dari Rendi,
yang intinya supaya Terdakwa kembali ke kost-kostan Rendi di depan
SMP 9 Purwokerto. Sesampai di sana sudah ada Bismo, Puteri, Hendi,
Ranggi yang sedang berpesta pil Code 15, lalu Terdakwa pergi untuk
mencari makan di Yogya Chiken setelah itu Terdakwa kembali ke kostkostan. Sekitar pukul 21.50 WIB, Terdakwa bersama dengan kelima
orang temannya keluar menggunakan mobil Avanza tersebut untuk
jalan-jalan, dan sekitar pukul 22.05 WIB Terdakwa menerima BBM dari
DVD dan menayakan hal-hal sebagai berikut:
DVD
: Lagi di mana, Putri di situ nggak?
Terdakwa
: Lagi keliling Indonesia, tadi ada tragedi kamu
ketangkep ibumu minum di GOR jam tujuan ya?”
66
DVD
: Kamu jadi open minuman nggak, aku orangnya
dikekang sama orang tua loh
Terdakwa
: Apa iya terus gimana?
DVD
: Aku mau kabur ajalah
Terdakwa
: Aku mau ke Cheers cuman gak sampai selesai
soalnya besok mau ke Bandung mau jalan-jalan.
DVD
: Ikutlah, aku mau kabur aja dari rumah, si Puteri
ada kan?
Terdakwa
: Ya.
DVD
: Aku mau ikutlah, aku kabur dari rumah, aku di
jemput di turunan jembatan aja.
Terdakwa
: Jembatan mana?
DVD
: Tanya Puteri!
Terdakwa
: Ya udah, saya muter-muter ajalah
DVD
: Sekarang jemput di turunan yah!
Terdakwa
: Ya, on the way
Kemudian Terdakwa menanyakan pada Puteri, jembatan mana
sih Put?
Puteri kemudian menjawab, jembatan KS. Tubun Perumahan
Shapire, kemudian Terdakwa bersama dengan rombongan menuju ke
jembatan sekitar pukul 23.30 WIB untuk bertemu dengan DVD.
Bahwa selanjutnya Terdakwa dan rombongan naik ke Bundaran
Banyumas Billiard Centre Tirta Kembar Purwokerto, lau kembali ke
kost-kostan Rendi, dengan maksud ganti baju lalu ke Cheers sekitar
67
pukul 00.30 WIB. Setelah sampai di Cheers Cafe rombongan masuk
kecuali ketiga orang yaitu, Ajeng, Puteri dan DVD yang dilarang oleh
security untuk masuk dengan alasan karena masih di bawah umur dan
tidak bisa menunjukan KTP, lalu Terdakwa mengatakan, mending
pulang saja kalau tidak bisa masuk, semua tanggungjawab saya kalau
ada apa-apa di dalam. Lalu security mengatakan, ya sudah silahkan
masuk, akhirnya Terdakwa berenam masuk keruangan bagian atas
Cheers Cafe dan duduk di sofa lalu Terdakwa memesan minuman Red
label sebanyak 2 botol, lalu semua minum sambil berjoged berpasangan
yaitu Puteri dengan Bismo, DVD dengan Ranggi dan Ajeng dengan
Rendi, lalu Ranggi bersama Rendi menarik-narik tangan DVD untuk
bergantian dan Terdakwa duduk sendirian sambil memperhatikan
mereka, karena Terdakwa merasa cemburu melihat DVD.
Bahwa setelah minuman habis, DVD minta dibelikan kentang
goreng, lalu Terdakwa langsung membelikan kentang goreng, tidak
lama Dwiki datang mendekati DVD langsung melakukan ciuman dan
Terdakwa kemudian mendekati Dwiki dan menendang kaki kiri Dwiki
dengan kaki kanan Terdakwa sambil mengatakan “nggak sopan lah
disini !” lalu Dwiki duduk disamping DVD. Kemudian Terdakwa jadi
membelikan kentang goreng, sekembalinya membeli kentang goreng,
Terdakwa melihat Ranggi sedang mencumbu DVD, kemudian
Terdakwa langsung mendekati Ranggi sambil mendorong kepala
Ranggi dengan tangan kanannya, sambil mengatakan “Kamu tau kan
68
saya suka sama DVD, mengapa kamu berani ciuman dan mencumbui di
depan saya” sambil memegang krah baju Ranggi dengan kedua
tangannya sampai bajunya sobek. Kemudian Ranggi pulang. Kemudian
Terdakwa bersama rombongan keluar dari Cheers Cafe sekitar pukul
03.15 WIB.
Bahwa Terdakwa bersama rombongan menuju parkiran menuju
mobil kemudian, mendapat BBM dari Bismo, yang intinya mengajak ke
Bandung, lalu Puteri mengatakan pada DVD, setelah semua masuk ke
mobil, DVD menangis sambil menyebut nama Dwiki serta mengatakan
ingin obat penenang, kemudian dijawab oleh Riki ya ada obat
penenangnya harganya Rp. 25.000,- kemudian dijawab oleh DVD “tapi
nggak punya uang” dan Terdakwa menjawab “Aku ada uang yo dipakai
dulu” lalu Riki memberi obat penenang sejenis Rikhlonal sebanyak 2
butir kepada Ajeng, ½ pil dimakan sendiri oleh Ajeng, dan 1 ½
diberikan kepada DVD. DVD masih mengoceh minta obat lagi tetapi
tidak diberi. Kemudian Terdakwa bersama rombongan menuju kostkostan Rendi di depan SMP 9 Purwokerto.
Bahwa Terdakwa tidak tahu pastinya DVD berumur berapa dan
Terdakwa menjemput DVD tanpa ijin dari orang tuanya. Terdakwa
menjemput DVD karena Terdakwa menaruh rasa suka kepada DVD,
dan sebelumnya DVD telah BBM dahulu dengan Terdakwa. Terdakwa
merasa bersalah dan menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan
mengulanginya lagi. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum.
69
Terdakwa adalah sebagai tulang punggung keluarga dan masih
mempunyai tanggungan seorang anak kandungnya yang masih kecil.
Bahwa Terdakwa sudah meminta maaf kepada keluarga korban, ayah
dan ibu kandung korban, dan telah memaafkan kesalahan Terdakwa.
e. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Tuntutan pidana Penuntut Umum tertanggal 17 Juli 2012 yang
pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin terbukti bersalah
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Melarikan
perempuan di bawah umur” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochammad Yusuf
Syarifudin dengan pidana penjara selama: 6 (enam) Bulan dikurangi
selama Terdakwa berada di tahanan sementara dengan perintah
Terdakwa tetap ditahan;
3. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.000,- (seribu rupiah);
f. Pertimbangan Hukum Hakim
Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto
dalam perkara Nomor 93/Pid.B/2012/PN. Pwt, atas nama Terdakwa
Mochamad Mochammad Yusuf Syarifudin. Dengan mendasarkan pada
70
fakta fakta hukum di persidangan,
Majelis Hakim memilih dan
mempertimbangakan bahwa dakwaan tunggal telah melakukan tindak
pidana melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP yang mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut :
Ad. 1. Unsur barangsiapa;
Menimbang bahwa yang dimaksud dengan barangsiapa adalah
siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dengan identitas
yang jelas, diajukan ke persidangan karena didakwa melakukan tindak
pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya;
Menimbang, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan
sesorang Terdakwa bernama Mochammad Yusuf Syarifudin yang
membenarkan identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut
Umum dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan
Terdakwa di persidangan didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan
(error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana
tersebut adalah benar Mochammad Yusuf Syarifudin, maka dengan
demikian unsur barangsiapa telah terpenuhi menurut hukum.
Ad. 2. Unsur melarikan seorang wanita yang belum dewasa;
Menimbang, bahwa apa yang dimaksud dengan melarikan
perempuan yang belum dewasa adalah mengajak, meminta, atau
membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
Perbuatan membawa pergi seseorang wanita dalam ayat (1) ini tidak
mementingkan cara, apakah dengan secara sukarela atau tidak, bahkan
71
dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam pengertian ini.
Sedangkan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah belum
berumur 18 tahun atau belum menikah;
Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas,
terbukti bahwa Terdakwa membawa pergi saksi korban yang berusia 17
tahun yang secara yuridis termasuk anak yang belum dewasa karena
belum berusia 18 tahun, Terdakwa melarikan korban dari tangal 16
April 2012, maka unsur kedua “membawa pergi seorang wanita yang
belum dewasa” telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa.
Ad.3 Unsur tanpa dikehendaki orang tua atau walinya tetapi
dengan persetujuannya dengan maksud untuk memastikan
penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar
perkawinan.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “tanpa dikehendaki
oleh orang tua atau walinya, tetapi atas persetujuan korban atau
peresetujuan perempuan itu sendiri” mempunyai pengertian yang sama
dengan tanpa persetujuan atau tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan
orang tua atau walinya tetapi dengan persetujuan atau kehendak atau
kesepakatan wanita itu sendiri.
Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas,
maka unsur ketiga terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa;
72
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas
maka semau unsur-unsur dari Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP telah
terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa;
Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Terdakwa melalui
penasehat hukumnya, oleh karena hanya merupakan permohonan untuk
mendapatkan
hukuman
yang
seringan-ringannya,
maka
akan
dipertimbangkan sebagai hal meringankan terhadap pidana yang akan
dijatuhkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut
di atas, Majelis telah mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum,
dari bukti mana majelis memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa
Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan Perempuan
Yang Belum Dewasa Tanpa Dikehendaki Orang tuanya, di luar
Perkawinan” seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umun, karena
tidak ditemukan alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan hukum
dan alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri Terdakwa,
maka Terdakwa harus dinyatakan salah dan kepada Terdakwa harus
dijatuhi pidana;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah terbukti
bersalah dan dijatuhi pidana maka kepadanya dijatuhi pidana maka
kepadanya dibebani untuk membayar biaya perkara seperti yang
tercantum dalam putusan di bawah;
73
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan akan
dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan
meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa:
Hal-hal yang meringankan:
1.
Terdakwa belum pernah dihukum;
2.
Terdakwa
mengakui
terus
terang
perbuatannya
sehingga
memperlancar jalannya persidangan;
3.
Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan
untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin
mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat;
Hal-hal yang memberatkan :
Perbuatan Terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin
Naufal;
g. PUTUSAN
Mengingat dan memperhatikan Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP,
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, serta
ketentuan
undang-undang
dan
hukum
yang
berkaitan
dengan
perundang-undangan ini.
Mengadili:
1. Menyatakan Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Melarikan Perempuan Yang Belum Dewasa Tanpa Dikehendaki
Orang tuanya, di Luar Perkawinan”;
74
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa tersebut
dengan dipidana penjara selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangi
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan;
5. Menetapkan alat bukti berupa:
a. 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun
2006 No Ka : MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131;
b. 1 (satu) buah STNK An. Farid Puntodewo, Alamat Jalan Stasiun
554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap; Dikembalikan
kepada pemiliknya melalui Terdakwa;
c. 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada
Terdakwa;
d. 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan
kepada saksi DVD ;
6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000,00 (Seribu rupiah)
75
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap perkara Tindak Pidana
Melarikan Perempuan di Bawah umur atas persetujuan korban, di wilayah
Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt
dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan objek
penelitian, maka dapat dianalisis sebagai berikut :
1. Peranan Korban dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan di
Bawah Umur atas Persetujuan korban dalam putusan Nomor:
93/Pid.B/2012/PN.Pwt
Salah satu aspek yang berkaitan dengan korban yaitu peranan
korban. Peranan korban mempunyai pengertian bahwa korban dipandang
dapat memainkan peranan dan menjadi unsur penting dalam terjadinya
tindak pidana yang menimbulkan korban atau viktimisasi.95 Secara
singkatnya bahwa peranan korban dalam tindak pidana melarikan
perempuan di bawah umur adalah korban mempunyai peranan yang
dianggap penting dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di
bawah umur.
Telah dikemukakan bahwa dalam memahami permasalahan
kejahatan secara komprehensif, tidak boleh mengabaikan tentang peranan
korban dalam kejahatan. Karena apabila kita melihat tujuan dari hukum
pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil maka harus diperhatikan
95
Iswanto dan Angkasa, Op.cit., hal. 27
76
segala aspek yang berhubungan dengan pelaku kejahatan, korban, situasi,
tempat dan waktu terjadinya tindak pidana. Apalagi di sini korban
mempunyai kedudukan yang sangat strategis, dalam terjadinya tindak
pidana.
Hukum pidana memberlakukan korban seperti hendak mengatakan
bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan
memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Namun
hal itu sebenarnya bukan hal yang akan menciptakan keadilan karena
hukum pidana dalam prakteknya harus memperhatikan segala aspek yang
berhubungan dengan tindak pidana, termasuk di dalamnya adalah aspek
mengenai korban itu sendiri.
Dengan viktimologi akan tampak bahwa timbulnya korban tidak
mutlak disebabkan oleh kesalahan pelaku kejahatan, namun dapat pula
disebabkan karena kesalahan korban dari tingkat yang ringan hingga
kesalahan yang penuh dipihak korban. Yang nantinya, dapat menentukan
dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal
dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dapat dikatakan apabila korban merupakan aset yang penting
dalam upaya menghukum pelaku kejahatan. Bahwa berdasarkan studi
statistik menurut Wolfgang ditemukan bahwa satu korban di antara empat
kasus pembunuhan ikut mempercepat pembunuhan tersebut. Begitu pula
berdasarkan hasil penelitian dari Meir dan Meite, yang menunjukan dalam
77
kasus perkosaan tingkat Victim Precipitation (VP) mencapai sekitar 4-19%
karena kelalaian korban.96
Berdasarkan penelitian tersebut di atas menunjukan bahwa dalam
terjadinya viktimisasi, korban dapat ikut berperan, atas hasil interaksi
sebelumnya antara pelaku dan korban. Mengenai masalah peranan korban,
pihak korban ada yang mempunyai status sebagai partisipan aktif dan
sebagai partisipan pasif dalam suatu tindak pidana.
Makna dari partisipan aktif bahwa, ada tindakan yang saling
mendukung, dan memperlancar terjadinya tindak pidana antara korban
dengan pelaku. Sedangkan makna dari partisipan pasif bahwa dalam
terjadinya tindak pidana yang menyebabkan terjadinya viktimisasi tidak
ada tindakan dari korban yang mendukung terjadinya tindak pidana, hanya
pelaku yang murni melakukan kesalahan.
Dalam bukunya JE Sahetapy tentang “Viktimologi sebuah bunga
rampai”, bahwa Peranan si korban dalam peristiwa tindak kejahatan yaitu:
a) Rangsangan bagi timbulnya kejahatan
Ada hal-hal yang merangsang dari korban dalam timbulnya
kejahatan. Dan bahwasannya, suatu tindak kejahatan merupakan suatu
perbuatan yang diperhitungkan secara rasional. John S carroll yang
menggunakan pedekatan rasional-analitis. Ada faktor-faktor yang
dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan sebagaimana yang
dirumuskan sebagai berikut:
96
Ibid., hal 28
78
SU= [(p(S)x G) –[p(F)x L)]
SU = Subjective Utility. SU ialah pertimbangan si pelaku kejahatan
apakah dia akan melaksanakan kejahatan yang direncanakannya. Secara
garis besar keputusan yang dibuat hanya dalam dua pilihan: akan
dilaksanakan atau tidak akan dilaksanakan.
P(S) = Probability of success. P(S) ialah pertimbangan si pelaku
kejahatan, sejauh mana ia akan berhasil sukses di dalam melaksanakan
tindak kejahatan yang direncanakannya.
G = Gain. G ialah pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan
diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang direncanakan. Keuntungan
ini dapat berupa keuntungan materi seperti barang-barang berharga, dan
dapat juga berupa keuntungan psikologis seperti kepuasan jiwa yang
diperoleh dari tindak kejahatan.
P(F) = Probability of fail. P (F) ialah pertimbangan besar kecilnya
kemungkinan gagal (tertangkap) di dalam melaksanakan tindak
kejahatan yang direncanakan.
L = Loss. L ialah besar kecilnya kerugian apabila si pelaku kejahatan
tertangkap di dalam melaksankan kejahatan.
Letak peranan korban di dalam rumusan kejahatan, menurut J.E
Sahetapy terletak di dalam faktor p(S) dan p(F) serta faktor G.
Dalam Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt terjadinya Tindak
Pidana melarikan Perempuan di Bawah umur atas persetujuan korban.
Pelaku melakukan tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur,
79
dikarenakan kesalahan korban yang mau dan setuju untuk ikut dengan
pelaku atau Terdakwa, padahal mereka belum saling mengenal baik
sebelumnya, dan antara mereka tidak terikat dalam hubungan
perkawinan. Korban tidak menghiraukan nasehat dari orang tuanya
untuk tidak pergi kemana-mana, akan tetapi korban tetap pergi ketika
orang tuanya sedang lengah dan korban mengambil kewenangan dari
orang tuanya untuk pergi dari rumah tanpa ijin.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan responden Budi
Setyawan, salah satu Hakim anggota yang mengadili perkara ini,
bahwa untuk menghitung tingkat kesalahan korban, bahwasannya
menerapkan perumusan rasional analisis seperti ini. Namun secara
praktiknya masalah peranan korban dapat diperhitungkan dengan cara
memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak bisa
kasuistik. Artinya, menyamakan kasus-kasus yang telah diputus, karena
banyak hal maupun faktor-faktor yang akan berpengaruh, dalam
pengambilan putusan. Paling tidak hakim bisa mengambil kesimpulan
dari peranan korban dari suatu tindak pidana yang tidak bisa di
kesampingkan.
b) Tipe korban yang merangsang terjadinya kejahatan.
Henting berpendapat bahwa si korban berperan di dalam
menimbulkan kejahatan. Dengan melihat Peranan korban dapat
menentukan sifat kepribadian korban.
80
Dalam tinjauan pustaka sebelumnya telah disebutkan mengenai
klasifikasi korban yang didasarkan atas tingkat peranannya. Mulai dari
korban yang tidak sama sekali berperan sampai korban yang berperan
paling kuat. Ada beberapa hal tentang klasifikasikan mengenai peranan
korban antara lain :
a. Henting
Peranan yang dilakukan oleh si korban menurut Henting ialah dalam
hal-hal berikut ini:97
1) Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk
terjadi.
2) Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikankan si
korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.
3) Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama
antara si pelaku dan si korban.
4) Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila
tidak ada provokasi dari si korban.
Apabila pendapat Henting mengenai peranan yang dilakukukan
oleh korban diterapkan pada kasus yang penulis teliti yaitu perkara
Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa Tindakan kejahatan yang
dilakukan oleh Terdakwa yaitu “Melarikan perempuan di bawah
umur”, memang di kehendaki oleh si korban untuk terjadi. Ada
Inisiatif dari Terdakwa untuk melakukan kejahatan dan ada inisiatif
97
J.E. Sahetapy, 1987, Op. Cit., hal 89-90
81
dari korban untuk menghendaki terjadinya kejahatan. Hal ini terlihat
pada fakta hukum yang teruangkap dalam persidangan bahwa
Korban dan Pelaku telah membuat janji terlebih dahulu dan sepakat
bertemu, pada tanggal 16 April 2012, sekitar pukul 21.00 WIB, dan
korban menemui di jembatan dekat rumahnya di kelurahan Kober,
Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Kepergian dari
Korban dengan Pelaku adalah atas persetujuan bersama tidak ada
suatu paksaan.
b. Mendhelson
Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat
suatu tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi 6 tipe. Tipologi
yang dimaksud adalah sebagai berikut:98
1) The completly innocent victim. Korban sama sekali tidak bersalah
oleh Mendelsohn disebut bentuk korban yang “ideal” yang
cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak
menyadari ketika ia menjadi korban.
2) The victim with minor guilt and the victim due to his ignorance.
Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan
karena kelalaiannya.
3) The victim as guilty as the offender and voluntary victim. Korban
sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh
Mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe:
98
Iswanto dan Angkasa, Op.cit., Hal. 28-29
82
a. Bunuh Diri “Dengan melempar uang logam”
b. Bunuh diri dengan adhesi
c. Euthanasia
d. Bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri (misalnya
pasangan suami istri yang putus asa karena salah satu
pasangannya sakit).
4) The victim more Guilty than the offender. Dalam hal ini korban
kesalahannya lebih besar daripada pelaku.
5) The most guilty victim and the victim as is gulty alone. Korban
yang sangat salah dan korban yang salah sendirian.
6) The simulating victim and the imagine as victim. Korban purapura dan korban imajinasi. Contoh orang yang menderita
paranoid, histeria, serta pikun.
Bila dianalisis mengenai seberapa tingkat kesalahan korban,
maka sesuai dengan Teori Mendelsohn korban menurut penulis
korban termasuk dalam tipe korban yang ketiga (3), yaitu korban
yang sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela (The victim
as gulity as the offender and voluntary victim). Pendapat ini
terbangun mendasarkan pada konstruksi hukum bahwa Pelaku
bersalah telah sengaja mengajak pergi korban yang masih di bawah
umur tanpa ijin dari orang tuanya, pada waktu yang telah larut
malam tidak patut, melanggar norma kepatutan kemudian membawa
korban ketempat hiburan orang dewasa, di mana tempat hiburan
83
tersebut riskan untuk terjadinya tindak kejahatan, karena banyak
alkohol, dan alkohol salah satu pemicu seseorang untuk melakukan
kejahatan dan korbanpun mempunyai kesalahan yang sama karena
tidak berhati-hati dalam berinteraksi dalam pergaulan, sehingga
terpengaruh untuk ikut dan pergi dari rumah tanpa ijin dari orang
tuanya.
Korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt
mempunyai peranan secara fisik maupun non fisik. Secara fisik
korban yang kabur, dengan cara melompati pagar rumahnya,
berjalan menuju jembatan dekat rumahnya yaitu jembatan Kober,
kemudian mau ikut pergi bersama Terdakwa dan teman-teman
Terdakwa, menjadi faktor pemicu terjadinya tindak pidana melarikan
perempuan di bawah umur. Secara non fisik perilaku dari korban
yang bisa dikatakan kurang baik, terlihat bahwa korban mau diajak
oleh Terdakwa bersama dengan teman-teman lelakinya untuk pergi
ke Cheers Cafe di Purwokerto dan di sana minum minuman keras
hingga mabuk.
c. Sthephen Schafer
Bahwa Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang
tergantung pada pertanggungjawaban korban. Tipe korban itu antara
lain:99
99
Yazid Effendi, 2001, Op. Cit, hal 28-29
84
1) Unrelated victim yakni kejahatan yang dilakukan oleh pembuat
kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban. Korban
secara acak dipilih oleh pembuat kejahatan menjadi targetnya. Di
sini pertanggungjawaban atas kejahatan ada pada pembuat
kejahatan.
2) Provocative victim. Korban dalam tipe ini memancing-mancing
pembuat
kejahatan
untuk
melakukan
kejahatan
tertentu.
Pertanggungjawaban korban dalam kasus ini mungkin sama
besarnya dengan pelaku.
3) Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena
tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku
melakukan kejahatan. Di sini korban memiliki tanggung jawab.
4) Biologically weak victims yakni siapa saja yang secara fisik atau
mental lemah. Pertanggungjawaban atas tindak pidana dibagi
antara pelaku dengan masyarakat atau negara karena mereka tidak
memberikan fasilitas yang mencukupi untuk melindungi korban.
5) Socially weak victim yakni kelompok sosial yang lemah, dan
sering dieksploitasi oleh elemen kejahatan. Pertanggungjawaban
atas tindak pidana dibagi antara pelaku dengan masyarakat karena
masyarakat
bertanggungjawab
terhadap
adanya
prasangka
terhadap berbagai kelompok yang secara sosial lemah.
6) Self-victimizing dan political victim adalah korban akibat dari
tindakannya sendiri sebab mereka berkorban sendiri. Korban dan
85
pelakunya bergabung menjadi satu. Pertanggungjawaban ada
pada korban itu sendiri dan seharusnya tidak seharusnya dibagi
dengan pihak lain. Selanjutnya adalah political victim yaitu
korban yang menderita karena lawan politik mereka.
Apabila dianalis dengan teori Schafer. Maka menurut
penulis korban termasuk ke dalam tipologi Precipitative victim.
Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena
tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban, mendorong pelaku
melakukan kejahatan.100 Di sini korban memiliki tanggungjawab.
Ketidak hati-hatian dari korban dalam hal ini korban kabur
dari rumah dan minta dijemput oleh pelaku, padahal telah
diketahuinya bahwa antara korban dan pelaku belum mengenal jauh,
mereka hanya saling mengenal melalui Blackberry massengger,
hubungan mereka bisa dikatakan intens, akan tetapi secara faktanya
mereka sebelumnya belum pernah bertemu, jadi antara mereka tidak
mengetahui tentang karakter masing-masing sesungguhnya. Bisa
dikatakan bahwa perilaku dari korban ikut berperan dalam terjadinya
kejahatan. Hal ini menjadi pertimbangan dari hakim dalam memutus
perkara sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.
Tanggungjawab pelaku dan korban di sini adalah mengenai hal
masalah pemberian ganti rugi baik restitusi dan kompensasi dengan
melihat sejauh mana kerugian yang dilanggar oleh korban, dalam hal
100
Yazzid Effendi, 2001, Op. Cit., hal 28
86
ini tanggungjawab pelaku adalah dibagi dengan korban, karena
korban dan pelaku sama-sama memiliki kesalahan yang seimbang.
Pada dasarnya pendapat tentang pengkasifikasian tingkat
peranan korban tersebut mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama
mengklasifikasikan mengenai peranan korban yang mempunyai
kesalahan kecil hingga kesalahan penuh dari korban. Dalam hal ini
penulis telah menganalisis tentang peranan korban dalam tindak
pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban
dengan menggunakan, teori peranan yang dilakukan oleh korban
menurut Henting, teori tipologi korban dari Mendelsohn yang
mendasarkan pada tingkat kesalahan korban dan mendasarkan pada
teori Schafer untuk melihat kategori pertanggungjawaban korban.
2. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Melarikan
Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan Korban dalam putusan
Nomor : 93/Pid.B/2012/PN. Pwt
Hukum Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang
mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Jadi pada dasarnya Hukum
Pidana berpokok pada 2 (dua) hal, antara lain:101
101
Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal.5
87
A. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu
dimaksudkan perbuatan dilakukan oleh orang, yang mungkin adanya
pemberian pidana.102 Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan
yang
dapat
dipidana”
atau
disingkat
dengan
“perbuatan
jahat”
(Verbrechten atau crime), atau juga bisa disebut dengan tindak pidana
(strafbaarfeit).
Strafbaarfeit menurut Pompe sebagai suatu perbuatan yang bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan dapat diancam
pidana.103 Bahwa suatu perbuatan apakah dapat dihukum atau tidak,
haruslah memenuhi syarat-syarat atau memenuhi unsur-unsur tertentu.
Unsur-unsur tindak pidana tersebut dijabarkan menjadi dua macam, yaitu
unsur subjektif sebagai unsur yang ada dalam diri si pelaku dan yang
termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya,
dan unsur objektif merupakan unsur-unsur yang ada hubungannnya dengan
keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan dimana tindakan-tindakan pelaku
itu harus dilakukan.
Berkaitan dengan masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan,
Sudarto mengemukakan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang
terdiri dari:104
102
Loc. Cit
Ibid., hal. 27
104
Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal. 30
103
88
Syarat pemidanaan
1) Perbuatan
a) Memenuhi rumusan
undang-undang
b) Bersifat melawan hukum
(tidak ada alasan pembenar)
2) Orang
a) Kesalahan
- Kemampuan
Bertanggungjawab
- Dolus atau culpa
(tidak ada alasan pemaaf)
Bila diuraikan adalah sebagai berikut:
1) Perbuatan
Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan
seseorang. Perbuatan orang adalah suatu titik penghubung dan dasar
pemberian pidana. Perbuatan ini meliputi berbuat dan tidak berbuat.
Perbuatan yang dapat dijatuhi pidana adalah perbuatan yang memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang, bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan.
a) Memenuhi rumusan undang-undang
Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang mempunyai
sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik sabagai mana yang disebutkan dalam
undang-undang. Dalam hal ini, maka perbuatan harus mempunyai sifatsifat atau ciri-ciri dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1, sebagaimana telah
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ciri-ciri konkrit Pasal 332 ayat
(1) ke-1 tersebut diasumsikan ke dalam unsur-unsur antara lain:
89
1) Unsur Barangsiapa;
Dikemukakan oleh Wirdjono Prodjodikoro bahwa dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang dapat menjadi subjek tindak pidana
105
adalah manusia.
Hal ini dapat dilihat pada perumusan dari Tindak
pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berpikir sebagai syarat
subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada ujud hukuman/pidana yang
memuat Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.
Yang dimaksud dengan barangsiapa adalah siapa saja sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang dengan identitas yang jelas, diajukan
ke
persidangan
karena
didakwa
melakukan
tindak
pidana
dan
perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Dalam
perkara
ini
unsur
barangsiapa
ditujukan
kepada
orang/manusia, hal ini sebagaimana dari fakta hukum yang terungkap
dalam persidangan, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan sesorang
Terdakwa bernama Mochammad Yusuf Syarifudin yang membenarkan
identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah
mendengar
keterangan
saksi-saksi
serta
keterangan
Terdakwa
dipersidangan didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan (error in persona)
yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar
Mochammad Yusuf Syarifudin, maka dengan demikian unsur barangsiapa
telah terpenuhi menurut hukum
105
Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Aditama,
Bandung, hal. 55
90
2) Unsur Melarikan Perempuan di bawah umur;
Yang diartikan dengan melarikan perempuan adalah mengajak,
meminta, atau membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat
tinggalnya. Perbuatan ini harus merupakan perbuatan aktif, tidak cukup
dengan perbuatan mengajak belaka. Pun perempuan yang akan dilarikan
melakukan perbuatan yang aktif juga, hingga perbuatan pelarian itu harus
perbuatan bersama, di mana pelaku dan korban bersama-sama melakukan
perbuatan aktif. Jadi tidak perlu dipergunakan paksaan, bahkan bantuan
dari perempuan itu sendiri terdapat dalam perbuatan melarikan itu.
Perbuatan melarikan mulai dari tempat, kemana perempuan itu
pergi untuk memungkinkan perbuatan itu. Jadi setiap perbuatan untuk
mempermudah melarikan perempuan.106 Perbuatan melarikan perempuan
perempuan tersebut tidak mementingkan cara, apakah dengan sukarela
atau tidak, bahkan dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam
pengertian ini.
Sedangkan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah belum
berumur 18 tahun atau belum menikah. Zakiah Darajat memberikan
pendapat mengenai batas usia anak, remaja dan dewasa berdasarkan
batasan umur, yaitu sebagai berikut: “Masa sembilan tahun antara tiga
belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan
masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa di mana anakanak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka
106
H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op. Cit., hal. 124-126
91
bukan lagi anak-anak baik bentuk badan maupun sifat berpikir, dan
bertindak tetapi bukan pula orang dewasa”. 107
Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 Nomor 54,
jika dalam perundang-undangan dipakai istilah “minderjaring” (belum
cukup umur) terhadap golongan bumiputera maka yang dimaksud adalah
mereka yang umurnya belum cukup 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
kawin
sebelumnya.
Jika
sebelum
21
(dua
puluh
satu
tahun),
perkawinannya diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi (belum
cukup umur). 108
Berdasarkan fakta
yang terungkap tersebut, terbukti bahwa
Terdakwa membawa pergi saksi korban yang berusia 17 tahun yang secara
yuridis termasuk anak yang belum dewasa karena belum berusia 18 tahun,
Terdakwa melarikan korban dari tangal 16 April 2012, maka unsur kedua
“membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa” telah terpenuhi oleh
perbuatan Terdakwa.
Menimbang berdasarkan fakta tersebut unsur melarikan perempuan
di bawah umur telah terpenuhi menurut hukum.
3) Unsur Tidak dengan kemauan orang tuanya/walinya tetapi dengan
kemauan perempuan sendiri;
Tanpa dikehendaki oleh orang tuanya atau walinya artinya lebih
keras dari pada atau bertentangan dengan kemauan orang tuanya atau
walinya. Hal ini diisyaratkan sehubungan dengan kekuasaan yang syah
107
108
http://id. wikipedia.wiki.org/wiki/remaja, diakses tanggal 17 Februari 2013
Moeljatno, 1985, Op. Cit., hal. 48
92
yang dimiliki oleh orang tuanya atau walinya atas perempuan yang di
bawah umur.109 Tanpa kehendak di sini secara singkatnya tanpa ijin atau
tanpa sepengetahuan dari orang tua/ walinya.
Secara umum Orang tua adalah ayah dan/ ibu dari seorang anak
melalui hubungan biologis atau sosial. Berdasarkan Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, orang
tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/ atau ibu angkat.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Wali adalah orang atau badan yang
dalam kenyataanya mejalankan kekuasaan asuh terhadap orangtua
terhadap anak.
Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan
bahwa saksi Amin Naufal dan Saksi Asih Kusmiandini selaku sebagai
orang tua dari korban, bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012
sekitar pukul 21.00 WIB, tidak pernah memberikan ijin kepada anaknya
untuk pergi, dan Terdakwa juga tidak pernah meminta ijin kepada saksisaksi tersebut selaku sebagai orang tua saksi korban.
Makna kemauan perempuan itu sendiri atau atas persetujuan
memiliki pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendaknya
masing-masing, ada persesuaian kehendak atau ada kesepakatan kehendak
dari pihak satu dengan pihak yang lain. Bisa dikatakan bahwa persetujuan
merupakan pernyataan kehendak para pihak yang dibentuk oleh dua unsur,
yaitu adanya unsur penawaran dan adanya unsur penerimaan. Dalam hal
109
H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125
93
ini yaitu ada unsur penawaran dari pelaku untuk mengajak pergi, dan ada
unsur penerimaan dari korban dalam hal ia diajak untuk pergi dari rumah.
Secara lebih jelas unsur ini berhubungan dengan kegiatan
perempuan di dalam mempermudah perbuatan melarikan, di mana
perempuan melakukan perbuatan aktif. Ada persetujuan dari korban.
Apabila Tanpa persetujuan perempuan, tentunya tidak akan dapat
melakukan perbuatan aktif.110
Bahwa, sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan
bahwa sebelum pergi telah membuat janji dengan Terdakwa melalui pesan
singkat dan BBM dan saksi di jemput di jembatan dekat rumahnya.
Terdakwa merencanakan untuk mengajak pergi saksi bersama temantemannya untuk pergi ke Bandung.
Terdakwa bersama saksi korban, dan saksi-saksi Subismo Tegar,
Ranggi Ade Yulizar, dan saksi Rendi Wibowo pergi ke Cheers Cafe
sekitar pukul 22.00 WIB. Di tempat tersebut Terdakwa bersama saksi
korban DVD
dan saksi-saksi tersebut memesan minuman Red label
sebanyak 2 botol dan diminum bersama.
Bahwa, setelah dari Cheers Cafe saksi korban DVD tidak diantar
pulang ke rumah melainkan bermalam di tempat kost dekat SMP 9
Purwokerto. Kepergian Terdakwa dan saksi korban DVD adalah atas
kehendak atau persetujuan bersama.
110
Loc. Cit
94
4) Unsur Dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dalam
perkawinan nikah maupun di luar perkawinan.
Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau tanpa perkawinan.
Melarikan perempuan harus bertujuan mempersatukan laki-laki dan
perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan ikatan perkawinan atau
tanpa perikatan perkawinan.
Menurut
Wirdjono
Prodjodikoro,
“memiliki”
orang
atau
perempuan itu harus diartikan sebagai bersetubuh dengan perempuan
meskipun hanya satu kali saja.111
Begitu pula seperti yang terdapat dalam bukunya H.A.K. Moch.
Anwar, (Dading) yang berjudul Hukum Pidana Bagian Khusus
(KUHP BUKU II) Jilid I bahwa pengertian memiliki seseorang
perempuan adalah melakukan perbuatan persetubuhan dengan
perempuan itu dengan ikatan perkawinan atu tanpa ikatan
perkawinan, hingga ia memiliki ini juga sebagai isteri.112
Maksud untuk tidak ditujukan pada memiliki secara terus-menerus
tetapi tidak juga apabila pelaku hanya sekali melakukan persetubuhannya.
Meskipun sebelumnya telah melakukan perempuan dengan atau tanpa
ikatan perkawinan. Jadi dalam hal ini pelaku menghendaki hasil dari
perbuatan baginya yaitu persetubuhan dengan pelaku. Tetapi meskipun
belum sampai dilakukan persetubuhan oleh pelaku dengan perempuan itu,
pelaku dapat dikenakan Pasal 332 ayat (1) ke-1 yaitu melakukan perbuatan
melarikan perempuan.113
111
Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Op. Cit., hal 85
H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125
113
Loc. Cit
112
95
Dalam fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bahwa
antara Terdakwa dan saksi korban DVD sama sekali tidak terikat dalam
perkawinan, dan di antara mereka tidak terjadi hubungan persetubuhan.
Ada perluasan penafsiran bahwa meskipun dalam tindak pidana melarikan
perempuan harus ada suatu unsur persetubuhan akan tetapi pembentuk
undang-undang memberikan perluasan terhadap unsur tindak pidana
bahwa walaupun tidak ada unsur persetubuhan akan tetapi Terdakwa telah
memenuhi rumusan melarikan perempuan seperti yang dikemukakan
dalam bukunya H.A.K Mohammad Anwar.
Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas,
maka unsur ini terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas maka
semua unsur-unsur dari Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi oleh
perbuatan Terdakwa;
b) Bersifat melawan Hukum
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan
hukum. Unsur sifat melawan hukum merupakan suatu penilaian yang
objektif terhadap perbuatan, bukan terhadap si pembuat yang secara sempit
dikatakan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik yang
ada dalam undang-undang.114
114
Sudarto, 1990/1991, Op.Cit., hal. 44
96
Ada 3 (tiga) pendirian tentang arti sifat melawan hukum.
1) Bertentangan dengan hukum.115
Bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi rumusan undang-undang
dan secara tegas dalam undang-undang mencantumkan mengenai
Pasal 332 ayat (1) ke-1 mengenai melarikan orang dengan melawan
hukum.
2) Bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain.116
Maksud bertentangan dengan hak subjektif orang lain yaitu
bertentangan dengan hak dari orang tua atau walinya sebagai
pengampu yang mempunyai kekuasaan terhadap anaknya, untuk
memberikan ijin.
3) Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu berkaitan
dengan hukum.117
Dalam hal ini Terdakwa tanpa kewenangan tanpa ijin membawa
korban lari dari rumahnya, dan tanpa kewenangannya tersebut,
Terdakwa bermaksud untuk memiliki atau menguasai perempuan itu
di
luar
perkawinan.
Dengan
demikian
perbuatan
Terdakwa
bertentangan dengan hukum atau undang-undang dan bersifat
melawan hukum sehingga syarat pemidanaan dari perbuatan telah
dipenuhi. Dengan demikian perbuatan dari Terdakwa bersifat
melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, tidak adanya alasan
pembenar berarti tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan
115
Ibid., hal. 48
Loc. Cit
117
Loc. Cit
116
97
hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
menjadi perbuatan yang tidak patut, dan tidak benar.
2) Orang
Syarat pemidanaan selanjutnya adalah orang subjek hukum, apakah
dilakukan
dengan
kesalahan,
dilakukan
oleh
orang
mampu
bertanggungjawab dan dolus atau culpa (adakah alasan pemaaf). Dalam
fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bahwa yang menjadi
subjek tindak pidana dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN. Pwt
adalah Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin.
a. Kesalahan
Syarat pemidanaan selain menenuhi rumusan undang-undang,
bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) juga harus dilakukan
dengan kesalahan. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa
orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan lain, orang
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, perbuatannya
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Berlaku azas
“Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Kiene strafe ohne schuld atau geen straf
zonder schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“Culpa” di sini dalam arti
luas, meliputi pula kesengajaan).118 Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), berbunyi “Tiada
seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan
118
Ibid., hal 1
98
keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.119 Bahwa untuk
adanya pemidanaan harus ada kesalahan lebih dahulu dari si pembuat.
Mezger mengatakan, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak
pidana (Schuldist der Erbegrif der Verrraussetzungen, die aus der Straftat
personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden).120 Jadi dapat
dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindakan pidana,
maka berarti ia dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan mempunyai
unsur-unsur antara lain:121
1) Adanya
kemampuan
bertanggung
jawab
pada
si
pembuat
(Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahikeit); artinya jiwa si pembuat
harus normal.
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
3) Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.
Dikatakan bahwa jika ketiga unsur tersebut terpenuhi maka yang
Terdakwa bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban
pidana sehingga bisa dipidana.
119
Loc. Cit
Ibid., hal 2
121
Ibid., hal. 4
120
99
Ad.1 Kemampuan bertanggungjawab
Mengenai kemampuan untuk bertanggungjawab menurut Simons,
dapat diartikan sebagai suatu keadaan psycis sedemikian, yang
membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari
sudut umum maupun orangnya.122 Selanjutnya dikatakan bahwa seseorang
mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila:
1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum
2) Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. 123
Dalam penelitian terhadap putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt,
bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin adalah orang yang
menurut majelis hakim mampu bertanggungjawab, dan ia mengetahui dan
menyadari bahwa perbuatannya melarikan perempuan di bawah umur
adalah bertentangan dengan hukum. Apalagi Terdakwa berprofesi sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI)
yang sudah pasti mengetahui mengenai aturan-aturan hukum perundangundangan khususnya KUHP, dan apa sanksi yang akan diperoleh apabila
ia melanggar peraturan perundang-undangan. Sehingga syarat dipidananya
orang dalam hal kemampuan bertanggungjawab telah terpenuhi.
Perbuatan Terdakwa yang mampu dipertanggungjawabkan tersebut
telah dibahas sebelumnya.
122
123
Ibid., hal. 5
Loc. Cit
100
Ad. 2 Dolus atau culpa (tidak adanya alasan pemaaf)
Syarat pemidanaan yang terakhir adalah dolus ata culpa tidak
adanya alasan pemaaf. Sebagaimana yang terungkap dalam persidangan
bahwa perbuatan Terdakwa melarikan korban mendasarkan pada suatu
dorongan atau motif yaitu bahwa Terdakwa menaruh rasa suka kepada
korban sehingga ia melakukan perbuatan secara melawan hukum
melarikan perempuan di bawah umur tanpa persetujuan orang tua atau
walinya. Ada motif berarti ada suatu kesengajaan.
Ada hubungan batin berupa sengaja atau alpa. Kesengajaan atau
opzet yang berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.
Berhubungan dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja,
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat 2 (dua) teori antara
lain:124
1) Teori kehendak (wills theorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik
dalam rumusan undang-undang.
2) Teori pengetahuan atau membayangkan (Voorstellings-theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya,
orang tidak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui
atau dibayangkan oleh si pembuat ialah tentang apa yang akan terjadi
pada waktu ia berbuat.
124
Ibid., hal. 11
101
Pada hakikatnya dalam praktik penggunaanya kedua teori tu adalah
sama. Perbedaannya adalah dalam terminologi, dalam istilahnya saja.
Dalam hal seseorang melakukan kesengajaan dapat dibedakan 3 (tiga)
corak batin, yang menunjukan tingkatan atau bentuk kesengajaan itu,
coraknya antara lain sebagai berikut:125
a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu
tujuan (yang dekat); Dolus directus. Corak kesengajaan ini merupakan
bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pembuat
bertujuan untuk menimbulkan akibat dan dilarang. Kalau akibat ini
tidak ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.
b) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn
atau noodzakelijkhebewutzijn). Dalam hal ini perbuatan mempunyai 2
(dua) akibat:
1) Akibat yang memang dituju si pembuat ini dapat merupakan delik
tersendiri atau tidak.
2) Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan
untuk mencapai tujuan dalam point a tadi, akibat ini pasti
timbul/terjadi.
c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau
voorwaarddelijk opzet). Dalam hal ini ada ketentuan yang semula
mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi.
125
Loc. cit
102
Perbuatan Terdakwa menurut penelitian penulis, adalah termasuk
dalam corak kesengajaan sebagai maksud (opzet als oormerk) dalam hal
ini Terdakwa memang sengaja melakukan perbuatan melarikan perempuan
tanpa persetujuan dari orang tua atau walinya, dan menghendaki perbuatan
tersebut beserta akibatnya yaitu dapat dihukum karena melakukan
perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut, meskipun dalam anganangannya tidak terbayangkan bahwa Terdakwa akan dituntut di muka
persidangan, karena kepergian korban bersama Terdakwa adalah
berdasarkan atas kesepakatan bersama, sehingga adanya unsur kesengajaan
dalam perkara ini telah terpenuhi.
Selain terpenuhinya unsur kesengajaan dari pelaku, juga apabila
lebih dianalisis lebih dalam lagi ditemukan suatu unsur kesalahan dari
korban. Sebenarnya unsur kesalahan merupakan suatu syarat pemidanaan
bagi pelaku. Namun apabila kita melihat mengenai aspek tentang korban,
ada tipologi dari korban tertentu, yang memang mempunyai kesalahan dan
mempunyai peran dalam terjadinya tindak pidana. Unsur kesalahan dari
korban bisa dalam tingkatan yang kecil hingga kesalahan yang besar. Arti
kesalahan dipandang sebagai unsur yang melekat pada pelaku, akan tetapi
apabila kembali ke aspek masalah korban, ada tipe tertentu dari korban
yang mempunyai peranan atau kesalahan.
Arti kesalahan ada 3 (tiga) Pertama, Kesalahan berarti bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh pembuat dapat dicela, kedua, kesalahan
dalam bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus, opzet) atau
103
kesalahan yang berupa kealpaan (culpa), ketiga, kesalahan dalam arti
sempit. Pemakaian kata kesalahan dalam arti ini sebaiknya dihindarkan,
dan digunakan saja istilah kealpaan.126 Sembrono, teledor, kurang berhatihati atau kurang penduga-duga merupakan kealpaan.
Unsur kealpaan yang dilakukan oleh korban itu secara tidak
langsung, berimbas pada masalah penjatuhan pidana, dan akan berimbas
pada suatu pertanggungjawaban dalam viktimologi. Kesalahan dari korban
tersebut juga harus dapat dipertanggungjawabkan oleh korban. Dalam
peranan korban telah dijelaskan sebelumnya korban termasuk dalam tipe
Precipitative victim, karena ketidak hati-hatiannya mendorong pelaku
untuk melakukan kejahatan.
Ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan-alasan yang
memungkinkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah
memenuhi unsur-unsur delik tidak dipidana. Namun demikian dalam suatu
perkara tindak pidana, tidak tertutup kemungkinan bagi seseorang yang
berpegang
pada
alasan
dipertanggungjawabkan
secara
penghapus
pidana
atas
pidana
tetap
dapat
perbuatannya,
karena
didalamnya terkandung asas culpa in causa. Hal ini dapat terjadi apabila
suatu tindak pidana yang menimpa diri seseorang justru disebabkan karena
sikap atau ulahnya yang kurang atau tidak berhati-hati, sehingga
126
Ibid., hal. 3
104
membawanya memasuki dalam keadaan yang riskan penuh resiko untuk
terjadinya tindak pidana. 127
Niko Keijzer, Utrecht dan Sitorus memiliki kesamaan pandangan
mengenai culpa in causa yakni perbuatan yang tidak berhati-hati, tidak
cermat, yang membawa pembuat memasuki situasi rawan untuk terjadinya
tindak pidana.128 Asas culpa in causa merupakan hal yang relatif baru, dan
belum banyak dikenal dalam praktek peradilan, oleh karena itulah asas
culpa in causa perlu dikaji secara mendalam dan meluas dalam studi ilmu
hukum pidana.129
Asas culpa in causa hubungannya dengan pengertian yuridis dari
kesalahan adalah dalam bentuk alpa bukan sengaja. Sebab dalam sengaja
harus
terkandung
kehendak,
tidak
demikian
dengan
kealpaan.
Pertanyaanya adalah bagaimana terhadap putusan hakim jika terjadi culpa
in causa. Untuk memberikan jawaban maka harus kembali kepada ajaran
tindak pidana yaitu ajaran monisme dan dualisme. Ajaran monisme
melihat kepada seluruh syarat untuk adanya pidana dan itu kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan.130 Konsekuensinya ajaran monisme tidak
memisahkan antara tindak pidana dengan tanggungjawab pidana.
Sedangkan ajaran dualisme membedakan dengan tegas dapat dipidananya
127
http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CA
USA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013
128
http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&a
mp;sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013
129
http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&a
mp;sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013
130
Sudarto, 1990/1991, Op.cit., hal 24
105
perbuatan dan dapat dipidananya orang.131 Konsekuensinya, ajaran
dualisme memisahkan antara tindak pidana dan tanggungjawab pidana.
Apabila dianut ajaran monisme, asas culpa in causa merupakan
suatu unsur tindak pidana, yakni sebagai unsur kesalahan maka ketika
culpa in causa terbukti maka putusan hakim adalah dibebaskannya
terdakwa dari segala dakwaan (vrijspraak), dan apabila menganut ajaran
dualisme, asas culpa in causa merupakan unsur pertanggungjawaban
pidana, sehingga jika culpa in causa terbukti, putusan hakim adalah
dilepas dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolging),
artinya terdakwa terbukti melakukan perbuatan tetapi bukan sebagai tindak
pidana.132 Tetapi asas culpa in causa termasuk aspek pertanggungjawaban
pidana (kesalahan), maka asas culpa in causa merupakan alasan pemaaf
(alasan yang menghapus kesalahan).
Alasan
penghapus
pidana
bisa
karena
perbuatannya
dan
pembuatanya:
1) Alasan pembenar adalah alasan yang mengapus sifat melawan hukum
dari perbuatan meskipun perbuatan pembuat memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan
hukum tidak mungkin adanya pemidanaan. Dalam KUHP dirumuskan
dalam pasal 49 (1), 50 dan 51 (1).133
131
Loc.cit
http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&a
mp;sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013
133
Sudarto, 1990/1991, Op.cit., hal. 33-34
132
106
2) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menyangkut pribadi dari pembuat
dalam arti bahwa seseorang tidak dapat dicela menurut hukum,
dengan
kata
lain
ia
tidak
bersalah
atau
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan walaupun perbuatannya bersifat melawan
hukum. Jadi ada alasan yang menghapus kesalahan si pembuat,
sehingga tidak mungkin adanya pemidanaan. Dalam KUHP diatur
dalam Pasal 44, 49 (2) dan Pasal 51 (2). Mengenai Pasal 48 dapat
merupakan alasan pembenar adan alasan pemaaf. 134
Kembali kepada pembahasan dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/
2012/PN.Pwt bahwa Korban DVD dalam hal ini secara tidak sadar telah
membawa dirinya dalam keadaan yang berbahaya (culpa in causa).
Kealpaan seseorang harus ditentukan secara normatif. Untuk menentukan
adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa, dan yang
memegang ukuran normatif dari kealpaan adalah hakim.135 Hakimlah yang
harus menilai sesuatu perbuatan in-concreto dengan ukuran norma
penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di dalamnya
segala keadaan dan keadaan pribadi si korban dalam peranannya dalam
tindak pidana.
Dalam pertimbangan hakim dalam putusan secara tidak langsung
hakim mendeskripsikan tentang keadaan pribadi dari si korban, bahwa si
korban yang masih berusia di bawah umur belum mempunyai daya pikir
yang dewasa, masih labil, mudah terpengaruh oleh orang lain dan tidak
134
135
Loc.cit
Ibid., hal. 24
107
berhati-hati dan berperan secara fisik maupun non fisik. Karena
kealpaanya korban membawa dirinya dalam keadaan yang berbahaya,
secara fakta korban janjian dengan Terdakwa untuk pergi padahal telah
diketahuinya belum mengenal terlalu jauh, belum mengerti karakter dari
Terdakwa apakah mempunyai sikap batin yang jahat ataukah tidak,
kemudian korban yang masih berusia di bawah umur mau diajak ke tempat
hiburan malam Cheers Cafe di mana sebenarnya korban tidak boleh masuk
akan tetapi diusahakan oleh Terdakwa agar bisa masuk, kemudian di sana
korban minum minuman keras hingga mabuk, sehingga secara langsung
kekuasaan dari Korban berada di tangan pelaku. Kemudian setelah itu
sekitar pukul 03.00 WIB, Korban di bawa ke kost-kostan dekat SMP 9
Purwokerto untuk bermalam. Namun karena ada salah satu saksi yang
bernama Gemilang Dwiky yang mengadukan pada orang tua korban
bahwa Korban tidak pulang dan bermalam di kost-kostan dekat SMP 9
Purwokerto, sehingga ibu dari korban datang ke tempat itu untuk
menjemput korban. Sebenarnya Pelaku tidak menduga-duga bahwa akibat
perbuatannya akan ditangkap dan diadili, karena sepengetahuannya
kepergian Terdakwa dengan korban adalah atas persetujuan bersama.
Pertimbangan hakim dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt
tidak
secara
eksplisit
memasukan
masalah
ulah
korban
yang
menjerumuskan dirinya untuk melarikan korban. Ini berarti bahwa
pengadilan tidak mempertimbangakan masalah culpa in causa. Karena
apabila di analisis dan dihubungkan pada pasal yang didakwakan yaitu
108
Pasal 332 ayat (1) ke 1. Unsur yang paling vital dalam tindak pidana
melarikan perempuan dibawah umur dalam pasal ini adalah adanya unsur
persetujuan
dari
Korban
atau
perempuan
itu
sendiri,
sehingga
permasalahan culpa in causa tidak dapat dimasukan dalam pertimbangan
normatif dalam putusan ini.
Dalam hal putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt tidak ditemukan
adanya alasan–alasan yang dapat menghapuskan kesalahan si pembuat,
dan perbuatan Terdakwa mampu dipertanggung- jawabkan. Karena unsurunsur tersebut terpenuhi, maka Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin
dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, dan
perbuatan Terdakwa dinyatakan bersifat melawan hukum. Sehingga semua
syarat penjatuhan pidana atau pemidanaan dalam putusan Nomor
93/Pid.B/2012/PN.Pwt terpenuhi.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, semua unsurunsur telah terpenuhi, dan telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa
Mochammad Yusuf Syarifudin bersalah melakukan tindak pidana
“Melarikan perempuan di bawah umur tidak dengan kemauan orang tua
atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan
maksud akan mempunyai perempuan itu baik di dalam perkawinan
maupun di luar perkawinan. Terdakwa melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1
KUHP.
109
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto yaitu Budi Setyawan, di mana beliau adalah salah satu hakim
anggota
yang
mempertimbangkan
dan
memutus
perkara
Nomor
93/Pid.B/2012/PN. Pwt bahwa dalam memutus suatu perkara ada beberapa
hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:
1) Motifasi pelaku melakukan tindak pidana;
2) Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana;
3) Hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Ad. 1. Motifasi pelaku melakukan tindak pidana
Motifasi pelaku melakukan tindak pidana mempunyai arti bahwa
ada alasan yang mendorong, seseorang melakukan tindak pidana atau
delict.136 Dalam putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa menurut
Terdakwa motifasi dari pelaku membawa lari korban adalah karena
Terdakwa menaruh rasa suka pada korban.
Kemudian yang hal lain yang perlu diperhatikan dalam
memutuskan pemidanaan adalah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana.
Ad. 2 Terpenuhinya unsur tindak pidana
Dalam perkara yang diteliti penulis ini semua unsur-unsur tindak
pidana dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1 telah dipenuhi.
Dakwaan penuntut umum menurut Pasal 332 ayat (1) ke-1 dan
ancaman pidananya adalah 7 (tujuh) tahun penjara. Namun setelah
memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan
136
Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal 12
110
khususnya ada suatu partisipasi korban dalam terjadinya tindak pidana ini,
apalagi korban juga dikategorikan sebagai partisipan yang aktif dan
mempunyai peran baik secara fisik maupun non fisik, Penuntut Umum
dalam Requisitoir-nya menuntut Terdakwa antara lain:
1) Menyatakan bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin terbukti bersalah
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Melarikan
perempuan di bawah umur” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP;
2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin
dengan pidana penjara selama 6 (enam) Bulan dikurangi selama
Terdakwa berada di tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap
ditahan;
3) Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.000, (seribu rupiah).
Dilihat dari tuntutan Penuntut umum pada point ke-2 yaitu
Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 6
(enam) bulan. Adanya suatu tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut
lamanya pemidanaan yang tidak penuh, tapi pada dasarnya Penuntut
Umum memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa
dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur
tersebut,
Terdakwa tidak mutlak bersalah sendirian, ada peranan dari
korban, ada kesalahan dari korban itu sendiri yang mendukung terjadinya
tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tersebut.
111
Begitu pula hakim dalam mempertimbangkan dan memutuskan
perkara ini memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan.
Adakah fakta hukum yang memberatkan ataupun meringankan.
Ad. 3 Hal yang memberatkan dan hal yang meringankan
Hal-hal yang memberatkan dan meringankan merupakan suatu
unsur non hukum yang akan berpengaruh pada penjatuhan putusan
pemidanaan. Sebagaimana seperti yang terdapat dalam Pasal 197 ayat 1
huruf f Kitab Undang Hukum Acara Pidana. Bahwa surat Putusan
pemidanaan salah satunya adalah memuat peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar putusan, disertai keadaankeadaan yang memberatkan dan meringankan.
Menurut Pasal 58 KUHP “Dalam menggunakan aturan-aturan
pidana, keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangkan
atau meemberatkan pengenaan pidana hanya diperhitungkan terhadap
pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri”.
Menurut Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Bahwa putusan pengadilan
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu
dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Hal yang memberatkan dan meringankan sebagaimana ada dalam
pertimbangan hakim antara lain:
112
Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan Terdakwa menimbulkan
rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal.
Hal-hal yang meringankan antara lain:
1) Terdakwa belum pernah dihukum;
2) Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar
jalannya persidangan;
3) Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk
memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan
diri kepada negara dan masyarakat.
Hal yang memberatkan pemidanaan bagi pelaku dalam putusan
Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt adalah sebagaimana tersurat dalam putusan
tersebut adalah perbuatan terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga
saksi Amin Naufal (orang tua korban). Bahwa perbuatan dari Terdakwa itu
dapat dicela, melanggar tiga (3) norma sekaligus yaitu melanggar norma
kesopanan, norma agama dan norma hukum, dapat dijabarkan antara lain:
1) Melanggar norma kesopanan yang ada dalam masyarakat, bahwa
perbuatan Terdakwa yang melarikan perempuan yang di bawah umur
pada waktu yang telah melebihi batas jam bertamu yaitu pukul 21. 00
WIB bisa dikatakan tidak sopan. Bertamu saja pada pukul 21.00 WIB
bisa dikatakan tidak sopan apalagi melarikan anak orang lain tanpa ijin
dari orangtuanya. Juga dari perilaku korban yang sudah memiliki
keluarga sendiri, telah beristri dan mempunyai anak mencerminkan
bahwa Terdakwa itu tidak sopan tidak menjaga nama baik keluarganya
113
dan nama baik dari keluarga korban. Perbuatan Terdakwa bisa
dikatakan tidak patut, dan perilakunya dapat dicela oleh masyarakat.
2) Melanggar
norma
agama,
bahwa
perbuatan
Terdakwa
dapat
mencerminkan kurangnya iman pada diri Terdakwa, karena Terdakwa
yang telah beristri dan mempunyai satu anak, akan tetapi tergoda pada
perempuan lain yaitu si korban dan menaruh rasa suka terhadap korban
sampai akhirnya membuat janji dengan korban untuk pergi dari rumah
tanpa ijin. Bisa dikatakan perbuatan Terdakwa dekat dengan zina.
Kepergian Terdakwa juga membawa pergi Korban Cheers Cafe di
mana ditempat tersebut banyak alkohol, dan mengajak korban untuk
minum minuman keraspun itu dikatakan melanggar norma agama,
karena alkohol menurut norma agama islam tergolong zat yang haram.
Korban dan Terdakwa di sini memeluk agama islam.
3) Melanggar norma hukum, bahwa perbuatan Terdakwa sudah jelas
melanggar norma hukum, yaitu melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1
KUHP. Perbuatan Terdakwa tergolong dalam kejahatan terhadap
kemerdekaan orang.
Dengan melihat pelanggaran-pelanggaran norma tersebut di atas
menimbulkan perasaan malu bagi kelurga korban, karena perbuatan
tersebut dapat dicela oleh hukum dan masyarakat.
Hal-hal yang meringankan pemidanaan bagi Terdakwa antara lain:
114
1) Terdakwa belum pernah dihukum
Dalam hal ini terdakwa belum pernah dihukum, bahwa perlakuan
aparat penegak hukum terhadap Terdakwa yang baru pernah dihukum
dengan Terdakwa yang telah dihukum lebih dari sekali (residivis)
tetap berbeda, Majelis hakim tetap menghukum lebih berat seorang
residivis, karena dilihat dari tujuan pemidanaan yang paling utama
adalah untuk membuat Terdakwa jera, akan tetapi ternyata pelaku
kembali melakukan kejahan sehingga berdasarkan hal tersebut Majelis
hakim akan memperberat pemidanaan bagi residivis.
2) Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga perbuatannya
memperlancar jalan persidangan.
Bahwa Terdakwa yang kooperatif dalam mengikuti jalannya
persidangan, dan mengakui dengan berterus terang memperlancar
jalannya
persidangan,
akan
membuat
Majelis
Hakim
mempertimbangkan sikap baik dari Terdakwa sehingga tanggapan
Majelis Hakim bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya, dan
mempunyai iktikad baik.
3) Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk
memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan
diri kepada negara dan masyarakat.
Bahwa usia dari terdakwa yang masih muda dengan ringannya
putusan diharapkan Terdakwa akan memperbaiki dirinya karena masa
depan Terdakwa masih panjang, apalagi Terdakwa berprofesi sebagai
115
anggota PNS Polisi yang secara psikologis memangku beban moral
bahwa dirinya harus lebih baik, menjaga nama baik dirinya dan
instansi Kepolisian. Dengan permasalahan tersebut setidaknya
membuat jera si Terdakwa dan dengan permasalahan tersebut ia akan
lebih baik, dalam mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat.
Menurut pendapat dari penulis bahwa seharusnya Majelis Hakim
memasukan pertimbangan mengenai Terdakwa yang berprofesi sebagai
anggota Polisi namun melakukan tindak pidana, seharusnya hal itu
dijadikan pertimbangan yang memberatkan bagi Terdakwa, karena secara
moral Terdakwa adalah sebagai penegak hukum yang tahu aturan akan
tetapi ia melanggar sendiri aturan yang seharusnya ia tegakkan. Terdakwa
sebagai penegak hukum anggota Polisi telah melanggar etika pengabdian,
yaitu telah melakukan perbuatan yang sifatnya merendahkan perempuan,
karena Terdakwa secara melawan hukum telah melakukan kejahatan
terhadap kebebasan perempuan yang masih di bawah umur.
Dari pertimbangan putusan dalam hal faktor yang memberatkan
dan meringankan tersebut tidak dimasukan pertimbangan sosiologis
mengenai peranan korban apakah peranan korban tersebut menjadi faktor
yang memberatkan ataupun meringankan pemidanaan.
Menurut Budi Setywan, bahwa dalam mempertimbangkan sebuah
putusan pemidanaan, salah satunya adalah harus mempertimbangkan
masalah victimology, khususnya mengenai masalah peranan korban,
karakter atau sifat dari korban. Bahwa, dalam terjadinya tindak pidana
116
melarikan
perempuan
di
bawah
umur
dalam
perkara
Nomor:
93/Pid.B/2012/PN.Pwt korban mempunyai peranan aktif baik secara fisik
maupun non fisik. Secara fisik korban yang kabur, dengan cara melompati
pagar rumahnya, berjalan menuju jembatan dekat rumahnya yaitu
jembatan Kober, kemudian mau ikut pergi bersama Terdakwa dan temanteman Terdakwa, menjadi faktor pemicu terjadinya tindak pidana
melarikan perempuan di bawah umur. Secara non fisik perilaku dari
korban yang bisa dikatakan kurang baik, terlihat bahwa korban mau diajak
oleh Terdakwa bersama dengan teman-teman lelakinya untuk pergi ke
Cheers Cafe di Purwokerto dan di sana minum-minuman keras hingga
mabuk.
Selain
itu
dalam
memutus
perkara
tersebut
hakim
juga
mempertimbangkan keterangan korban, keterangan saksi, dan keterangan
Terdakwa sebagai penguat keyakinan Hakim dalam putusannya.
Dari keterangan korban: Dapat dilihat bahwa korban yang belum
terlalu mengenal Terdakwa, mau dijemput dan diajak pergi ke Cheers Cafe
dan minum-minuman keras bersama Terdakwa, dan teman-teman
terdakwa.
Dari Keterangan saksi: Saksi Subismo Tegar dan saksi Ranggi
mengatakan bahwa korban mau dijemput oleh Terdakwa, korban ikut
minum-minuman sampai mabuk dan meminta sejenis obat untuk
menurunkan alkohol kepada Ajeng.
117
Dari keterangan Terdakwa: Bahwa menurutnya korban yang minta
ikut untuk pergi bersama Terdakwa dalam rangka merayakan ulang
tahunnya di Cheers Cafe.
Dari hal-hal tersebut, Majelis hakim telah memperoleh beberapa
alat bukti yang sah menurut undang-undang (keterangan saksi, keterangan
ahli yang dituangkan dalam surat visum, dan keterangan Terdakwa) yang
sudah dapat dijadikan dasar memutus perkara, dan Majelis hakim juga
telah mempunyai keyakinan bahwa Terdakwa bersalah telah melakukan
tindak pidana. Akan tetapi selain hal-hal tersebut Majelis Hakim juga
mempunyai keyakinan bahwa korban ikut berperan dalam terjadinya
tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa. Perbuatan dari korban
adalah sama salahnya dengan pelaku.
Sehingga dalam hal ini menurut hakim masalah peranan korban
dapat dijadikan sebagai hal yang meringankan. Akan tetapi masalah
peranan korban tersebut secara eksplisit tidak disebutkan dalam
pertimbangan putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt. Seharusnya Hakim
dalam memutus perkara harus memasukan pertimbangan-pertimbangan
sosiologis salah satunya adalah mengenai peranan korban. Sehingga
terlihat adanya perhatian mengenai aspek masalah korban (victim), yang
mendasarkan pada victimology.
Menurut
Budi
Setyawan,
bahwa
apabila
dalam
mempertimbangkan perkara ini konsen terhadap Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka hukuman yang
118
diancamkan akan lebih berat, karena dalam Undang-Undang tentang
Perlindungan Anak tersebut ada ketentuan minimal dan ketentuan
maksimal mengenai pemidanaan serta ketentuan denda. Akan tetapi dalam
perkara ini di mana, dalam fakta hukum yang terungkap dalam
persidangan ada tingkat peranan korban, maka sistem peradilan pidana
khususnya Penuntut Umum, konsen terhadap Kitab Undang Hukum
Pidana, dan mendasarkan bahwa adanya partisipasi korban ataupun
peranan korban dipertimbangkan sebagai alasan yang meringankan.
Dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt Majelis Hakim
tidak mempertimbangkan masalah perlindungan hukum bagi anak yang
menjadi korban tindak pidana. Hal ini terlihat dari tuntutan Jaksa Pentuntut
umum, yang tidak memasukan masalah tuntutan perlindungan hukum bagi
korban yang bersifat konkrit seperti: upaya rehabilitasi, pemberian restitusi
dan kompensasi. Majelis Hakim hanya memberikan perlindungan yang
bersifat abstrak seperti: Sidang dilakukan secara tertutup, sehingga korban
merasa aman, tidak merasa malu, karena perkaranya diperiksa di
pengadilan, dan dengan di tahannya Terdakwa, secara tidak langsung telah
memberikan rasa aman bagi korban.
Untuk masalah perlindungan hukum bagi korban, perlindungan
hukum yang bersifat konkrit tidak dimasukan oleh Jaksa Penuntut umum
dan tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, karena dalam putusan
Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt telah terbukti, bahwa dalam terjadinya
tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur ada peranan dari
119
korban yang tidak dapat dikesampingkan, dan juga setelah melihat hasil
visum et repertum bahwa pada diri korban DVD tidak ditemukan bekas
rudapaksa dan tidak ditemukan adanya gangguan kesehatan (tubuh) untuk
menjalankan pekerjaan sehari-hari. Mendasarkan pada hal tersebut bahwa
perlindungan hukum tidak diberikan oleh negara melalui perantara majelis
hakim karena melihat dari aspek kepatutan dan aspek kebutuhan, hal
tersebut dirasa kurang perlu karena secara fisik korban tidak mengalami
luka fisik yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari.
Dalam bukunya JE Sahetapy dijelaskan pula ada faktor-faktor dari
Korban yang berpengaruh terhadap putusan peradilan. Walaupun peraturan
hukum sudah digariskan bahwa si hakim tidak boleh menilai hal-hal lain
kecuali faktor yang ditetapkan oleh hukum. Namun dalam memutuskan
berat ringannya putusan suatu perkara seringkali para Hakim dan Jaksa
terpengaruh dengan faktor-faktor non hukum antara lain:137
1) Sifat kepribadian si jaksa atau hakim
Bahwa sifat kepribadian dari si Jaksa atau si Hakim
mempengaruhi berat ringannya tuntutan/putusan yang dijatuhkan
kepada Terdakwa. Karena si hakim atau si jaksa sifatnya subjektif, juga
memperhatikan dari tujuan pemidanaan itu sendiri, apakah lamanya
pemidanaan akan memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi si
Terdakwa.
137
JE Sahetapy, 1987, Op. Cit., Hal. 92-93
120
2) Faktor penampilan Terdakwa dan pengacara
Penampilan Terdakwa dan pengacara di ruang pengadilan, seperti
gaya bicara, postur duduk dan berdiri, cara mempresentasikan
argumentasi ikut mempengaruhi berat ringannya putusan yang
diberikan.
Dalam
perkara
Nomor:
93/Pid.B/2012/PN.Pwt,
Terdakwa
kooperatif, mengakui dengan terus terang perbuatannya sehingga
memperlancar jalannya persidangan, dan juga Terdakwa masih berusia
muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya
dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara dan
masyarakat. Hal-hal tersebut, juga masuk ke dalam hal-hal yang
meringankan Terdakwa.
3) Faktor diri si korban
Dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa faktor dari
sifat kepribadian korban yang kooperatif (ikut berperan) dalam
terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur, ini ikut
mempengaruhi berat ringannya berat ringannya pidana atau hukuman si
Terdakwa.
B. Pidana
Yang dimaksud dengan pidana yaitu penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Bahwa Penerapan hukum pidana
121
berkaitan erat dengan terpenuhinya unsur-unsur dalam tindak pidana, dan
penjatuhan sanksi pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana yang
dilakukan. Di dalam KUHP berlaku jenis-jenis pidana yang diterapkan
tercantum dalam Pasal 10 KUHP.
Ada beberapa hal pokok yang mempengaruhi kualitas penetapan
pidana yang dijatuhkan. Sehingga dalam penetapan pidana, Sudarto
menganjurkan kepada hakim agar “pertama-tama yang dipahami benar
oleh hakim adalah “apa makna kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana”.
Tidak cukup dengan mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dengan
berat dan sifat kejahatan, sehingga ada kesan bahwa pemidanaan adalah
suatu pembalasan, apalagi apabila ada peranan korban di dalam tindak
pidana.
Dan perlu kita ingat bahwa negara kita menganut teori
pembuktian negatif (negative wetelijk theorie) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP.
Bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Pengadilan Negeri
Purwokerto dengan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, dapat diketahui dasar
pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan tindak pidana, yaitu:
a) Adanya pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dengan telah diajukannya barang bukti
122
oleh Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184
KUHAP yang berupa:
1) Keterangan saksi
Saksi: DVD
(Saksi Korban), Amin Naufal, Asih Kusmiandini,
Gemilang Dwiki Lisprianda, Awal Amin Supriyadi, Subismo Tegar,
Ranggi Ade Yulizar, dan Rendi Wibowo.
2) Surat
Berdasarkan surat yang telah di bacakan dalam persidangan yaitu
Visum
et
Repertum
atas
nama
DVD
Nomor:
002/IV/VER/RSIP/2012/R tanggal 27 April 2012 yang ditanda
tangani oleh dr. Rena Susilo Dokter Rumah Sakit Islam Purwokerto,
yang disebutkan bahwa tidak ditemukan bekas akibat rudapaksa dan
tidak terdapat gangguan kesehatan (tubuh) untuk menjalankan
pekerjaan sehari-hari.
3) Petunjuk
a) 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun
2006 No Ka: MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131;
b) 1 (satu) buah STNK An. Farid Puntodewo, Alamat Jalan Stasiun
554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap. Dikembalikan
kepada pemiliknya melalui Terdakwa;
c) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada
Terdakwa;
123
d) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan
kepada saksi DVD ;
e)
Keterangan Terdakwa yaitu Mochammad Yusuf Syarifudin
4) Mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP
huruf (f). Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan Terdakwa
menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal.
Hal-hal yang meringankan antara lain: Terdakwa belum pernah
dihukum, Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga
memperlancar jalannya persidangan, Terdakwa masih berusia muda
sehingga
masih
dimungkinkan
untuk
memperbaiki
dirinya
dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara
dan masyarakat.
Mendasarkan pada hal-hal di atas, Majelis Hakim memperoleh
keyakinan bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti
secara sah, dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan
Perempuan di bawah umur tanpa di kehendaki orang tuanya di luar
perkawinan” seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan
karena tidak ditemukan alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan
hukum dan alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri
Terdakwa, maka Terdakwa harus dinyatakan salah dan kepadanya harus
dijatuhi pidana. Terdakwa melanggar Pasal 332 ayat 1 ke-1 KUHP.
124
Dalam putusannya, Majelis Hakim menghukum Terdakwa dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, menetapkan masa penahanan yang
telah dijalani Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,
memerintahkan Terdakwa untuk ditahan, dan membebankan kepada
Terdakwa untuk membayar perkara sebesar Rp. 1.000,00 (Seribu rupiah).
Hukuman atau pemidanaan selama 3
(tiga) bulan tidak
menyimpangi aturan yang ada dalam hukum formil karena sudah sesuai
dengan aturan yang ada dalam Pasal 183 KUHAP, hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana harus mendasarkan kepada sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Apalagi bila
dilihat fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa terjadinya tindak
pidana melarikan perempuan di bawah umur tersebut, ada peranan dari
korban yang tidak dapat dikesampingkan, korban mempunyai peranan
sebagai precipitative victim, akibat dari ketidak hati-hatiannya, ia menjadi
korban kejahatan, dan juga korban mempunyai kesalahan yang sama
dengan pelaku. Kesalahan dari Terdakwa dan korban berwujud pada,
kesengajaan dari Terdakwa yang mengajak pergi korban dan adanya peran
in causa dari korban berupa persetujuan dan tindakan dalam rangka
mewujudkan persetujuan tersebut yaitu mengambil kewenangan dari orang
tuanya untuk pergi.
Sifat kesalahan yang sama antara Terdakwa dengan korban
berimplikasi pada masalah penjatuhan sanksi. Dengan adanya peranan dari
korban dalam tindak pidana yang tidak bisa di kesampingkan tersebut,
sudah pasti menentukan lama tidaknya penjatuhan pidana, karena adanya
tindak pidana tersebut, bukanlah murni dari kesalahan pelaku. Sehingga
125
putusan pidana tersebut diharapkan akan memberikan keadilan, bagi
korban maupun bagi pembuat kejahatan atau pelaku.
Dalam penjatuhan hukuman atau pemidanaan, selain menegakan
hukum, keadilan, kepastian, juga harus mengejar kemanfaatan. Apakah
dengan penjatuhan hukuman tersebut bermanfaat bagi pelaku, korban dan
masyarakat. Karena
tujuan dari pemidanaan tidak semata-mata untuk
memberikan penderitaan kepada orang yang melakukan tindak pidana,
tetapi bertujuan untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana
tersebut dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Seperti pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa pemidanaan tidak bisa
hanya memperhatikan kepentingan pembuat saja, atau juga hanya
memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dalam arti, bahwa
pemidanaan harus mengacu pada perspektif keseimbangan, yaitu
keseimbangan kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban.138
Tujuan lain dari hukum adalah untuk memberikan kemanfaatan,
putusan
pemidanaaan
tersebut
bermanfaat
bagi
Terdakwa
yang
memberikan efek penjeraan supaya Terdakwa bisa lebih memperbaiki
dirinya, apalagi Terdakwa adalah seorang Polisi yang seharusnya
memberikan contoh yang baik dalam berperilaku sebagaimana aparat yang
seharusnya menegakkan hukum, dan dengan pemidanaan tersebut
memberikan pendidikan moral yang penting supaya Terdakwa lebih bisa
menjaga sikapnya dan berperilaku sebagaimana Polisi yang seharusnya
lebih baik. Bagi korban bahwa dengan dipidananya Terdakwa akan
memberikan jaminan keamanan, dan perlindungan bagi korban. Bagi
masyarakat
138
bahwa
dengan
dipidananya
M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 113
Terdakwa
atau
pelaku,
126
memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat karena masyarakat untuk
sementara waktu terhindar dari pelaku kejahatan sampai akhirnya
narapidana tersebut kembali dan sudah dalam keadaan yang baik, telah
jera sehingga tidak akan melakukan tindak pidana lagi.
127
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
1.
Peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur
atas persetujuan korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt
antara lain:
a) Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi
Bahwa Tindak Pidana Melarikan Perempuan di bawah umur tersebut
dikehendaki oleh korban, ada persetujuan antara korban dan Terdakwa.
b) Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela (The victim
as gulity as the offender and voluntary victim).
Bahwa kesalahan dari Terdakwa adalah dengan sengaja mengajak
korban untuk pergi tanpa ijin dari orang tuanya, dan kesalahan dari
korban adalah korban sendiri meminta untuk dijemput oleh Terdakwa
dan korban meminta untuk masuk ke dalam Cheers Cafe. Dapat
dikatakan Terdakawa mempunyai kesalahan yang sama dengan
korban. Korban di sini juga tidak menyadari bahwa ia menjadi korban
kejahatan.
c) Korban tidak berhati-hati dalam berperilaku (Precipitativ victim)
Bahwa korban tidak berhati-hati dalam berperilaku yaitu bersedia
untuk dibawa pergi oleh Terdakwa yang belum kenal karakternya.
128
2.
Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Melarikan Perempuan
di Bawah Umur atas Persetujuan Korban dalam putusan Nomor:
93/Pid.B/2012/PN.Pwt telah mendasarkan pada aspek perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu, oleh karena syarat-syarat tertentu telah
terpenuhi maka dijatuhkan pidana penjara selama tiga (3) bulan.
Penjatuhan sanksi telah memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan, salah satu aspek yang meringankan adalah aspek tentang
kesalahan dari korban yang seimbang dengan pelaku sehingga aspek
kesalahan tersebut bersifat meringankan sanksi pemidanaan, hal tersebut
menjadi bagian dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana,
Peranan korban tersebut secara implisit menjadi pertimbangan yang
meringankan sanksi.
B. SARAN
1. Bagi anggota POLRI sebaiknya makin memperketat pengawasan terhadap
anggotanya dan perlu meningkatkan pendidikan etika profesi kepolisian,
sehingga tidak ada lagi anggota yang melakukan perbuatan yang bersifat
melawan hukum, yang merugikan hak orang lain terutama penduduk sipil
yang seharusnya dilindungi, dan diayomi oleh anggota POLRI terutama
kepolisian.
2. Saran bagi Hakim adalah perlunya analisis mendalam lagi tentang masalah
viktimologi, sehingga tercipta suatu kualitas putusan yang baik, di mana
aspek peranan korban sangatlah penting salah satunya adalah dalam
129
menentukan lamanya pemidanaan. Selain mempertimbangakan mengenai
aspek peranan korban, hakim juga seharusnya mempertimbangkan
mengenai asas culpa in causa di mana asas tersebut berakaitan erat dengan
permasalahan korban yang membawa dirinya ke dalam keadaan yang
berbahaya, dalam mempertimbangkan kasus-kasus yang mungkin sedang
diadili. Dalam putusan ini Hakim seharusnya secara ekplisit memasukan
pertimbangan sosiologis mengenai peranan dari korban apakah akan
mengurangi atau mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan
pemidanaan, sehingga dirasa akan lebih adil dan transparan dalam
putusannya. Dalam mempertimbangkan hal yang memberatkan, seharusnya
hakim lebih jeli karena masih ada aspek lain yang memberatkan Terdakwa
seperti kedudukan Terdakwa yang harusnya menegakkan hukum justru
menyimpangi hukum.
3.
Sebaiknya Pemerintah, melalui dinas-dinas sosial memberikan penyuluhan
mengenai, gaya hidup masyarakat, karena setiap orang dapat beresiko
menjadi korban kejahatan.
4.
Bagi masyarakat sebaiknya menjaga segala hak milik, baik benda, harta,
maupun yang berwujud kehormatan, supaya terhindar dari resiko menjadi
korban dalam tindak kejahatan.
130
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Yazid. 2001. Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku
Kejahatan. Purwokerto: Penerbit UNSOED.
Gosita, Arif. 1983. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Penerbit Akademika
Pressindo.
Haar, Ter Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. 1985. Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat. Cetakan kedelapan. Jakarta Pusat: Prandya Paramita.
Ibrahim, Jhony. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia
Iswanto dan Angkasa. 2011. Diktat Kuliah Viktimologi, Purwokerto: Fakutas
Hukum Universitas Jendral Soedirman.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. 1995. Latihan Hukum Pidana Untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Sinar Grafika.
Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico.
_________1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan kedua,
Bandung: Sinar Baru.
M, Dikdik, Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Moch, H.A.K. Anwar, (Dading). 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP
BUKU II) Jilid I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Penerbit Alumni.
Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Prodjodikoro, Wirdjono. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama.
_________2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Aditama.
Sahetapy, JE. 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Saleh, Roeslan.1987. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara baru.
131
Sholehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track System & Implementasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerdjono.1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
_________dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Sudarto. 1990/1991. Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B. Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Susanto, IS. 2011. Kriminologi. Purwokerto: Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Utrecht. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Perundang-undangan
Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sumber lain:
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dengan Nomor Register Perkara:
93/Pid.B/2012/PN.Pwt
Wawancara dengan Budi Setyawan, S.H., M.H selaku Hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto tanggal 4 Maret 2013
http://id. wikipedia.wiki.org/wiki/remaja, diakses tanggal 17 Februari 2013.
Soekamto, Kajian Akademik Culpa in causa, 2011. Tersedia
http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+
CAUSA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 , diakses tanggal 10 Mei 2013
Download