i PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN (Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt) SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Oleh : Tri Pujiati E1A109074 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKUTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 ii LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN (Studi Putusan Nomor 93/Pid.B/PN.Pwt) Oleh TRI PUJIATI E1A109074 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Diterima dan disahkan Pada tanggal, Mei 2013 Pembimbing I Pembimbing II Penguji Dr. Kuat Puji P, S.H, M.Hum NIP. 19650829 199002 1 002 Dr. Setya Wahyudi, S.H. M.H NIP. 19610527 198702 1 001 Dr. Budiono, S.H. M.Hum NIP. 19631107 198901 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr. Angkasa, S.H. M.Hum NIP. 19640923 198901 1 001 ii iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Yang bertanda tangan di bawah ini: a. Nama : TRI PUJIATI b. NIM : E1A109074 c. Angkatan : 2009 d. Program studi : Ilmu Hukum e. Lingkup bagian : Hukum Pidana Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya bukan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini, hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi seseuai dengan ketentuan yang berlaku. Purwokerto, Mei 2013 Yang Membuat Pernyataan Tri Pujiati iii iv KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peranan Korban dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan Korban (Studi Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN. Pwt).” Sripsi ini disusun guna memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam proses penulisan skripsi ini. Namun berkat adanya bimbingan, dorongan, dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H., MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, atas kebijaksanaannya yang secara tidak langsung telah membantu penulis. 2. Bambang Heryanto, S.H., MH selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. 3. Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, atas segala bimbingan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis. 4. Dr. Setya Wahyudi, S.H, M. H selaku Dosen Pembimbing II, atas segala bimbingan, motivasi dan kesabarannya membimbing penulis. iv v 5. Dr. Budiono, S.H, M.Hum selaku Dosen Penguji, atas segala masukan, dan saran terhadap skripsi penulis. 6. Segenap Dosen, Staff pengajar dan civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan serta bimbingan yang diberikan selama studi penulis. 7. Keluarga tercinta, yang telah memberikan bimbingan, kasih sayang, dukungan moriil maupun materiil, serta doa yang sangat tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. 8. Teman-Teman Paralel Hukum. Terimakasih atas kebersamaan dan doa dari kalian semua. Semua pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Dengan segala keterbatasan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Purwokerto, Mei 2013 Tri Pujiati v vi ABSTRAK Penelitian ini mengambil judul “Peranan Korban Dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di Bawah Umur Atas Persetujuan Korban” (Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt). Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan dibawah umur serta bagaimana penerapan hukum pidana dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban. Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder dan wawancara sebagai penunjang data sekunder. Data disajikan dalam bentuk uraian yang di susun secara sistematis dengan analisis kualitatif. Peranan korban dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi,dapat dikatakan bahwa, Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela, pelaku dalam hal ini dengan sengaja mengajak pergi korban dan korban menyetujui ajakan dari pelaku untuk pergi, inisiatif dari pelaku dan korban terbentuk melalui komunikasi yang dilakukan sebelumnya, yaitu melalui pesan singkat dan Blackberry messenger. Korban juga tidak hati-hati dalam berperilaku bahwa korban yang sebelumnya belum pernah bertemu dengan pelaku akan tetapi menyetujui untuk pergi bersama. Berdasarkan teori Schafer, korban termasuk dalam tipologi Precipitative Victim, artinya korban yang tidak hati-hati dalam berperilaku, sehingga mendorong pelaku untuk melakukan kejahatan . Perilaku korban tersebut mendorong pelaku untuk melakukan tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur. Penerapan hukum pidana pada putusan nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt telah mendasarkan pada perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan pidana. Pertimbangan Hakim juga mendasarkan pada hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan. Salah satu aspek yang bersifat meringankan sanksi pemidanaan adalah aspek tentang kesalahan dari korban yang sama dengan pelaku hal tersebut menjadi bagian dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana. Peranan korban secara implisit menjadi pertimbangan yang meringankan sanksi pemidanaan. Kata kunci: Peranan korban, Tindak pidana melarikan perempuan, Penerapan hukum pidana vi vii ABSTRACT This study took the title "The Role of Crime Victims In Woman Run Over Agreement Underage Victims" (Study of Decision Number: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt). Problem in this study is how the role of the victim in criminal escape underage girls as well as how the application of criminal law in a criminal offense underage girls ran over the victim's consent. To discuss these issues, the method used is normative, the data sources are secondary data and interviews as supporting secondary data. Data presented in the form of a description in stacking systematically with qualitative analysis. The role of the victim in the case Number: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt that the crimes committed by the offender is desired by the victim to happen, it can be said that, just as wrong as victim and perpetrator voluntary victim, the perpetrator in this case with deliberately took away the victim and the victim agreed to go solicitation of actors, initiatives of the perpetrator and the victim are formed through communications made before, namely through short messages and Blackberry messenger. Victims also are not careful in their behavior that the victim had not previously met with the perpetrator but agreed to go along. Based of the theory of Schafer, victims are included in the typology Precipitative Victim, meaning that victims who are not careful in their behavior, thus encouraging the perpetrator to commit the crime. Encourages the behavior of the victims of crime get underage girls. Application of criminal law in the decision number: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt was based on acts that meet certain requirements and criminal. The judge also based his judgment on things that aggravating and mitigating. One aspect that is easing sanctions on the aspect of punishment is the fault of the victim with the same actors that become part of the role of the victim in the crime. The role of victim implicitly into consideration that mitigates criminal sanctions. Keywords: The role of victims, women run offenses, Application of criminal law vii viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN .................................................................. iii KATA PENGANTAR .............................................................................. iv ABSTRAK ................................................................................................ vi ABSTRACT .............................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 4 D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peranan Korban .................................................................... 6 B. Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah umur atas Persetujuan Korban 1. Pengertian Tindak Pidana ............................................. 16 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................... 20 2.1 Barangsiapa ............................................................. 25 2.2 Melarikan Perempuan di Bawah Umur .................. 25 viii ix 2.3 Tanpa Dikehendaki oleh Orang tua atau Walinya tetapi atas Persetujuan Korban ................................ 28 2.4 Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau tanpa perkawinan ..................................................... 30 C. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana ......................................................... 31 2. Pengertian Pemidanaan ................................................. 34 3. Teori dan Tujuan Pemidanaan ...................................... 37 4. Jenis-jenis Pidana .......................................................... 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pendekatan .............................................................. 52 B. Spesifikasi Penelitian ........................................................... 53 C. Lokasi Penelitian .................................................................. 54 D. Sumber Data ........................................................................ 54 E. Metode Pengumpulan Data .................................................. 54 F. Metode Penyajian Data ........................................................ 54 G. Metode Analisis Data ........................................................... 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................... 56 B. Pembahasan 1. Peranan Korban dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah umur atas Persetujuan Korban ... ix 75 x 2. Penerapan Hukum Pidana dalam menentukan lamanya penjatuhan Pidana .......................................... 86 BAB V PENUTUP A. Simpulan .............................................................................. 127 B. Saran .................................................................................... 128 DAFTAR PUSTAKA x 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia pada saat ini sedang mengadakan pembangunan jasmaniah maupun rohaniah. Semua warga negara dan pemerintah ikut serta bersamasama dalam pembangunan khususnya dalam pembangunan hukum. Tujuan dari negara hukum adalah menciptakan hukum yang memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam berkehidupan pasti ada suatu kejahatan (crimen) yang membuat resah masyarakat, dan itu merupakan sebagai kenyataan sosial yang tidak dapat dihindari dan akan selalu ada. 1 Kriminalitas menimbulkan keresahan, karena kriminalitas dianggap sebagai suatu gangguan terhadap kesejahteraan masyarakat, dari tindak kejahatan tersebut menimbulkan korban. Masalah hubungan penjahat dengan korban bukanlah merupakan masalah yang baru, hanya saja, selama berabad-abad merupakan salah satu subjek yang paling diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana.2 Dalam studinya tentang antar hubungan pembuat kejahatan dan korban, Mendelsohn memperkenalkan masalah kriminogen komplek untuk menyebut keseluruhan faktor kejahatan yang berarti keseluruhan faktor yang memperhatikan sisi pembuat kejahatan dan korbannya. Selama berabad-abad aspek pembuat kejahatan (penjahat) 1 Arif Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta, Hal. 1 2 Ibid., hal. 40 2 mempunyai perhatian yang utama di bandingkan aspek masalah korban. Padahal keduanya merupakan dua aspek yang sangat penting. Pembuat kejahatan (penjahat) merupakan orang yang memunculkan satu tindakan kejahatan,3 dan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.4 Korban tidak hanya sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas akan tetapi korban memiliki peranan penting dalam usaha untuk mengerti masalah kejahatan, delikuensi dan deviasi. 5 Dalam buku “The Criminal and his Victim” von Hentig menunjukan bahwa dalam kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang penting dalam terjadinya kejahatan.6 Banyak kasus yang terjadi sekarang ini, anak yang masih berusia di bawah umur dibawa lari oleh laki-laki yang sudah dewasa tanpa ijin dari orang tuanya. Salah satunya yaitu kasus yang terjadi di wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto. Bahwa ada seorang anak di bawah umur yang berinisial DVD yang masih berusia 17 tahun, dibawa lari oleh laki-laki yang telah berusia dewasa, yaitu MOCHAMMAD YUSUF SYARIFUDIN. Bahwa pelaku bersama teman-temannya pada hari Senin tanggal 16 April 2012 pukul 21.00 3 I.S Susanto, 2011, Kriminologi, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hal. 22. 4 Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. PT RajaGrafindo, Jakarta, hal 46 5 Arief Ghosita, 1983, Op.Cit., hal. 40 6 I.S Susanto, 2011, Op.Cit., hal. 23 3 WIB, menjemput korban DVD di jembatan dekat rumahnya di kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto Barat, atas permintaan dari korban. Kemudian korban dijemput dengan mobil Avanza. Setelah dijemput, korban pergi bersama pelaku dan teman-temannya ke kost di depan SMP 9 Purwokerto. Selanjutnya mereka pergi ke Cheers Cafe sekitar pukul 24.00 WIB. Di sana korban diajak minum-minuman keras hingga mabuk, dan korban juga diberi sejenis obat penenang, sehingga ia tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya ibunya datang ke kost di depan SMP 9 Purwokerto, dan ia mendapati anaknya sedang tertidur sekamar dengan pelaku dalam keadaan tidak sadarkan diri dan orang tua korban membawanya pulang. DVD dalam kedudukan tesebut adalah sebagai korban (victim) dari suatu tindak kejahatan. Kedudukan korban dalam suatu tindak pidana memang seharusnya dilindungi, akan tetapi ada kalanya korban berkaitan erat dengan terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini selain aspek pembuat kejahatan diperhatikan juga aspek tentang korban. Kepribadian, dan interaksi antara korban dan pelaku kejahatan membuka jalan bagi pelaku untuk melaksanakan niat jahatnya. Seperti pada kasus yang terjadi pada putusan pengadilan nomor 93/Pid. B/2012/PN. Pwt Dari latar belakang dan studi kasus di atas, penulis mempunyai ketertarikan terhadap peranan korban dalam tindak pidana melarikan anak perempuan di bawah umur atas persetujuan korban, dan masalah penerapan hukum pidana dalam menentukan tinggi rendahnya pidana dalam perkara ini. 4 Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian guna menyusun skripsi dengan Judul “PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN” (Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt). B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan 1. Bagaimana peran korban dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dalam putusan nomor 93/Pid. B/2012/PN.Pwt ? 2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dalam putusan nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis tentang perananan korban dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban. 2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dan menganalisis tentang pertimbangan hukum dari hakim dalam menentukan tinggi rendahnya pidana. 5 D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini dilakukan guna memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana, yang menyangkut tentang peranan korban dan mekanisme pertimbangan hakim dalam menjatuhkan tinggi rendahnya hukuman atau pemidanaan dalam perkara ini. 2. Kegunaan Praktis Berguna secara praktis bagi penegak hukum dalam memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dalam rangka mencari kebenaran materiil, dan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan penjatuhan putusan. Hal ini berguna secara praktis dalam upaya mengevaluasi dan menganalisis tentang masalah peranan korban, yang baik secara langsung atau tidak langsung menyebabkan terjadinya tindak pidana, dan dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk bertindak hati-hati dalam menjalankan kehidupannya, karena setiap orang terutama perempuan rentan menjadi korban dalam tindak pidana. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peranan Korban Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh banyak faktor. Para kriminolog secara klasik menjelaskan kejahatan antara lain dari faktor biologi, sosial, psikologi. Akan tetapi juga ada yang menjelaskan kejahatan ditinjau dari aspek peranan korban. Bahwa faktor kejahatan tidak hanya dapat dipahami dari sisi penjahatnya saja tetapi dapat juga dipahami dari sisi korban. Menurut Arief Ghosita korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.7 Mereka di sini dapat berarti individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah. Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Menderitanya korban bisa di sebabkan murni karena pihak lain, tetapi tidak menutup kemungkinan timbul karena keterlibatan korban di dalamnya. Dalam memahami terjadinya suatu kejahatan, terlebih dahulu dapat dipahami dari aspek peranan korban dalam terjadinya kejahatan. Dalam kajian viktimologi, terjadinya viktimisasi peranan korban dapat menjadi faktornya. Artinya korban di pandang dapat memainkan peranan dan menjadi unsur 7 Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Op.Cit., hal. 46 7 penting dalam terjadinya tindak pidana yang menimbulkan korban atau viktimisasi.8 Seperti dalam bukunya Franz Werfel berjudul “The Murdered One is guilty “der Ermoerdete ist schuld yang terkenal, pada intinya isinya mengatakan bahwa korban sendiri merupakan orang yang banyak menyebabkan kejahatan.9 Begitu eratnya peranan korban dalam terjadinya viktimisasi disebabkan karena adanya suatu interaksi terlebih dahulu antara korban dengan pelaku. Dalam bukunya Dikdik M, Arif Mansur dan Elisatris Gultom tentang “Urgensi Perlindungan korban dan kejahatan”, dibahas tentang hubungan korban kejahatan dan pelaku kejahatan, korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan.10 Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa hubungan antara korban dan pelaku, adalah hubungan sebab akibat. Akibat perbuatan pelaku, yaitu suatu kejahatan dan korban yang menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita karena kejahatan.11 Begitu pula sebaliknya akibat perbuatan korban menjadikan ia menjadi sasaran bagi pelaku kejahatan. Sehingga korban menderita karena kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Seseorang harus waspada agar ia tidak beresiko untuk menjadi korban. Resiko korban mengandung suatu pengertian bahwa dalam kondisi dan situasi 8 Iswanto dan Angkasa, 2011, Diktat Kuliah Viktimologi, Fakutas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 27 9 Loc. Cit 10 Dikdik M, Arif Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Op.Cit., hal. 60 11 Loc. Cit 8 tertentu cenderung mudah terjadi viktimisasi. Resiko korban menurut Separovic terdiri atas: 1. Pesonal, including biological (age, sex, health,-especially mental healt) Pribadi, disini termasuk faktor biologis (usia, jenis kelamin, kesehatan, terutama kesehatan jiwa); 2. Social (Society-made victim, immigrants, minorities, occupation, criminal behaviour, interpersonal relationship). Sosial (korban produk masyarakat, imigrants, minoritas, pekerjaan, perilaku kriminal, hubungan antar pribadi); 3. Situational factor (conflict situation, place and time, etch) Faktor situasional (situasi konflik, tempat, dan waktu, dan lain-lain).12 Steinmetz membedakan 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi risiko orang menjadi korban antara lain sebagai berikut:13 a. Attractiveness (kedayatarikan); Attractiveness secara meluas mengacu pada nilai bagi pelaku tindak pidana potensial melakukan tindak pidana terhadap objek tertentu, singkatnya ada sesuatu yang menarik pada diri korban, bagi pelaku kejahatan untuk melakukan tindak pidana. b. Proximity (kedekatan); Faktor ini dibagi menjadi dua yaitu pendekatan sosial dan geografik. Faktor pertama, berkaitan dengan tingkat hubungan yang dimiliki seseorang dengan pelaku tindak pidana potensial sebagai akibat dari gaya hidupnya. 12 13 Iswanto dan Angkasa, 2011, Op.Cit., hal. 30 Ibid., hal. 35 9 Yang kedua, berkaitan dengan perbandingan tempat tinggal dan isu mengenai tindak pidana yang jaraknya sama. Risiko viktimisasi tersebut diasumsikan lebih besar bagi yang hidup di dalam atau berdekatan dengan wilayah yang banyak pelaku tindak pidana potensial. Resiko yang paling besar bagi viktimisasi personal, menurut faktor proximity adalah bagi orang yang hidup di lokasi tertentu dan pindah di sekitar lokasi perkotaan dengan cara demikian orang tersebut menjadi sering berhubungan dengan pelaku tindak pidana potensial. c. Exposure (keterbukaan). Faktor exposure diartikan sebagai sejauh mana pelaku tindak pidana diberikan kesempatan untuk melakukan tindak pidana ketika mereka berhubungan dengan target yang sangat menarik. Dengan kita melihat adanya resiko terjadinya viktimisasi tersebut secara tersirat kita dapat melihat bahwa di dalam suatu tindak pidana tersebut, setidaknya ada sebab, ada akibat, serta ada peranan korban di dalam tindak pidana tersebut. Dalam teori Steinmetz bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi resiko orang menjadi korban adalah faktor exposure atau keterbukaan, seseorang yang terbuka cenderung mudah menjadi korban. Di sanalah ada peranan korban di dalamnya yaitu suatu sikap keterbukaan kepada orang lain, hal tersebut bisa menjadikan pelaku tindak pidana mencari celah, kelemahan dari korban untuk melakukan tindak pidana. Dengan celah kelemahan tersebut mempermudah pelaku tindak pidana untuk melaksanakan kejahatannya, dan akan beresiko bahwa pelaksanaannya akan berhasil. 10 Pemahaman terhadap hubungan antar penjahat dengan korban akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan dan bentuk kejahatan, menurut Schafer korban adalah faktor penentu kejahatan, dan bahwa suatu kerjasama keji sering kali terjadi antara pelaku kejahatan dan korbannya, kelihatannya hal tersebut tidak masuk akal berdasar hasil pengumpulan bahan yang ada terdapat indikasi adanya hubungan kolusi korban-pembuat kejahatan. Dengan demikian, untuk memahami kejahatan dengan lebih konprehensif dan meluas maka makin penting arti penyelidikan terhadap keadaan saling mempengaruhi antara berbagai faktor penyebab, yang nantinya dapat menentukan seberapa besar tingkat kesalahan pelaku dan tingkat kesalahan korban. Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi 6 tipe. Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:14 1. The completly innocent victim. Korban sama sekali tidak bersalah oleh Medelsohn disebut bentuk korban yang “ideal” yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban. 2. The victim with minor guilt and the victim due to his ignorance. Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan karena kelalaiannya. 3. The victim as guilty as the offender and voluntary victim. Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh Mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe: 14 Ibid., Hal. 28-29 11 a. Bunuh Diri “Dengan melempar uang logam” b. Bunuh diri dengan adhesi c. Euthanasia d. Bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri (misalnya pasangan suami istri yang putus asa karena salah satu pasangannya sakit). 4. The victim more guilty than the offender. Dalam hal ini korban kesalahannya lebih besar daripada pelaku. 5. The most guilty victim and the victim as is gulty alone. Korban yang sangat salah dan korban yang salah sendirian. 6. The simulating victim and the imagine as victim. Korban pura-pura dan korban imajinasi. Contoh orang yang menderita paranoid, histeria, serta pikun. Sebenarnya sulit untuk menentukan tingkat kesalahan korban. Karena akan sangat tergantung pada berbagai macam faktor. Terutama faktor situasi dan kondisi. Korban bisa dikatakan sebagai partisipan dalam tindak kejahatan tersebut. Bentuk partisipan dari korban ada yang bersifat aktif dan pasif. Berdasarkan teori dari Schafer, bahwa Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang tergantung pada pertanggungjawaban korban. Tipe korban itu antara lain:15 1. Unrelated victim yakni kejahatan yang dilakukan oleh pembuat kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban. Korban secara acak dipilih oleh pembuat kejahatan menjadi targetnya. 15 Yazid Effendi, 2001, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan, Penerbit Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, hal. 28-29. 12 2. Provocative victim. Korban dalam tipe ini memancing-mancing pembuat kejahatan untuk melakukan kejahatan. 3. Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan. Disini korban memiliki tanggung jawab. 4. Biologically weak victims yakni siapa saja yang secara fisik atau mental lemah. 5. Socially weak victim yakni keompok sosial yang lemah, dan sering dieksploitasi oleh penjahat. 6. Self-victimizing dan political victim adalah korban akibat dari tindakannya sendiri sebab mereka berkorban sendiri. Pertanggung jawaban ada pada korban itu sendiri dan seharusnya tidak seharusnya dibagi dengan pihak lain. Hampir sejalan dengan Mendelsohn yang membuat tipologi korban berdasarkan tingkat kesalahan, Ezzat A. Fattah juga mengklasifikasikan korban yang ia dasarkan atas tingkat peranannya.16 Tingkatannya dimulai dari korban yang sama sekali tidak berperan sampai korban yang berperan paling kuat, terdiri atas: 1. Nonparticipating victims, who feel a denial or repulsion toward the crime and the criminal, and who do not participate in the origin of the crime committed agains them; 16 Iswanto dan Angkasa, 2011, Op.Cit., hal. 29 13 2. Lantent or predisposed victim, who have certain character predispsition for being victimized by certain kinds of offenses; 3. Provocative victim, who participate the crime, or prevent provoke it; 4. Participating victim, who by their passivity or other similiar attitude make their own victimization possible or easier; and; 5. False victims, who are not victim at all or who victimize themselves Demikianlah mengenai berbagai pandangan mengenai peranan korban, yang pada dasarnya memiliki tipikal yang pada pokoknya memiliki kesamaan. Dari aspek tipe, dan pengkategorian korban tersebut, dapat menentukan bagaimana peranan korban apabila dihubungkan dengan kasus yang penulis teliti. Ada aspek-aspek yang berkaitan dengan korban yang nantinya akan menentukan bagaimana kedudukan korban dalam tindak pidana tersebut, dan mengenai kondisi korban yang nantinya akan berpengaruh pada penjatuhan putusan pidana kepada si Terdakwa, sebagai pelaku dalam tindak pidana. Ada tiga aspek yang berkaitan dengan si korban, ketiga aspek tersebut adalah: 17 1) Peranan si korban dalam peristiwa tindak kejahatan. Mengenai peranan si korban dalam peristiwa tindak pidana atau tindak kejahatan, ada hal-hal yang berkaitan dengan aspek dari peranan korban antara lain: 17 J.E. Sahetapy, 1987, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 86-93 14 a) Rangsangan bagi timbulnya kejahatan Artinya ada hal-hal yang menimbulkan rangsangan atau dorongan dari pelaku untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan terhadap korban. Bahwa suatu tindak kejahatan adalah perbuatan yang diperhitungkan secara rasional. pendekatan Menurut John S. Carroll, ahli yang menggunakan rasional-analitis, suatu tindakan kejahatan adalah rasionalisasi dari keputusan yang telah diambil. Faktor-faktor yang dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan untuk berbuat kejahatan dirumuskan sebagai berikut: SU= [(p(S) x G) – (p(F) x L)] SU= Subjective Utility. SU ialah pertimbangan si pelaku kejahatan apakah dia akan melaksanakan kejahatan yang direncanakannya. Secara garis besar keputusan yang dibuat hanya dalam dua pilihan: akan dilaksanakan atau tidak akan dilaksanakan. P(S)= Probability of success. P(S) ialah pertimbangan si pelaku kejahatan, sejauh mana ia akan berhasil sukses di dalam melaksanakan tindak kejahatan yang direncanakannya. G= Gain. G ialah pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang direncanakan. Keuntungan ini dapat berupa keuntungan materi seperti barang-barang berharga, dan dapat juga berupa keuntungan psikologis seperti kepuasan jiwa yang diperoleh dari tindak kejahatan. 15 P (F)= Probability of fail. P (F) ialah pertimbangan besar kecilnya kemungkinan gagal (tertangkap) di dalam melaksanakan tindak kejahatan yang direncanakan. L= Loss. L ialah besar kecilnya kerugian apabila si pelaku kejahatan tertangkap di dalam melaksankan kejahatan . Letak peranan korban di dalam rumusan kejahatan, menurut J.E Sahetapy terletak di dalam faktor p(S) dan p(F) serta faktor G. b) Tipe korban yang merangsang terjadinya kejahatan. Menurut Henting sebab terjadinya kejahatan dikarenakan oleh sebab keperibadian si korban seperti berikut ini: 1. Tipe apatis dan malas 2. Tipe menyerahkan diri (submisif) 3. Tipe kooperatif (ikut membantu) 4. Tipe profokatif. Sifat kepribadian korban, faktor biologis (jenis kelamin, usia, kesehatan, terutama kesehatan jiwa), dan tipe-tipe korban sebagaimana telah dijelaskan dalam teori Mendelsohn, Stephen Scafer, dan Ezzat Al Fattah, menunjukan adanya korelasi yang memungkinkan orang berpotensi menjadi korban atas tindak pidana atau kejahatan. 2) Keputusan si korban untuk melaporkan tindak kejahatan. Proses pengambilan keputusan untuk melaporkan suatu tindak kejahatan melalui proses perhitungan untung rugi. Greenberg, Wilson dan Mills (1982) dalam penelitian eksperimental kasus pencurian menemukan bahwa 16 hal utama yang menyebabkan orang tidak mau melaporkan kasus kejahatan adalah: a) Masalah tersebut tidak terlalu penting untuk dilaporkan, dan tidak menguntungkan bila dilaporkan. b) Kasus tersebut tidak dapat ditangani dengan baik, karena polisi tidak efektif dalam bekerja. c) Si korban takut mendapat pembalasan dari si pelaku bila ia melaporkan kejadian. 3) Pengaruh si korban terhadap berat ringannya putusan pengadilan. Walaupun peraturan hukum sudah digariskan bahwa si jaksa dan si hakim tidak boleh menilai hal-hal lain kecuali faktor yang ditetapkan oleh hukum, di dalam memutuskan berat ringan putusan suatu perkara seringkali para hakim dan jaksa terpengaruh faktor-faktor non hukum. Faktor-faktor non hukum itu antara lain; a) Sifat kepribadian si jaksa atau hakim b) Faktor penampilan terdakwa dan pengacara c) Faktor diri si korban. B. Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan Korban 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Istilah tindak pidana berasal dari kata Strafbaarfeit, yang terdiri dari tiga 17 kata, yaitu straf yang artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh, dan feit yang artinya perbuatan. Kata strafbaarfeit sering diartikan berbeda oleh para sarjana hukum, sehingga belum ada unifikasi yang pasti mengenai definisi dari kata tersebut. Istilah “tindak pidana” dipakai sebagai pengganti strafbaarfeit. Menurut Simons dalam bukunya Moeljatno, “strafbaar feit” adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.18 Sedangkan Van hamel berpendapat dalam bukunya Moeljatno, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.19 Pompe menjelaskan bahwa perkataan Strafbaarfeit dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap ketertiban umum) dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku adalah perlu demi terpeliharanya ketertiban umum dan terjaminnya kepentingan umum. Lebih lanjut Pompe menjelaskan menjelaskan menurut hukum pidana positif kita, suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai keadaan yang dapat dihukum.20 18 Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 56 Loc. Cit 20 P.AF. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan kedua, Sinar Baru, Bandung, hal. 183 19 18 Jika melihat dari pengertian-pengertian tadi maka dalam pokoknya: a. Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling (kelakuan/tingkah laku) b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.21 Mengenai pengertian strafbaarfeit, Sudarto membagi dua pandangan sebagai berikut: 1. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu semuanya merupakan sifat dari perbuatan; 2. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).22 Moeljatno, dengan tegas membedakan dapat dipidananya perbuatan, dapat dipidananya orangnya, sejalan dengan ini beliau memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana. Pandangan Moeljatno ini dapat disebut sebagai pandangan yang dualistis mengenai perbuatan pidana (tindak pidana dan strafbaarfeit). Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan, larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu di ingat, bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), 21 Moeljatno, 1993, Op.Cit., hal. 56 Sudarto, 1990/1991, Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hal. 24 22 19 sedangkan ancaman pidananya di tujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. 23 Beliau menggunakan istilah “perbuatan pidana”, karena pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana. Secara singkatnya penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan alasan bahwa perbuatan itulah keadaan yang di buat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan dan perbuatan ini menunjuk baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Selanjutnya Vos dalam bukunya Utrecht yang berjudul Hukum Pidana I bahwa peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia (menslijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman.24 Jadi, suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman. Istilah “peristiwa pidana” dipakai dengan alasan bahwa istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan melalaikan itu). Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa Tindak pidana adalah sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai pidana. 25 Pada intinya bahwa Tindak pidana merupakan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dan menghambat terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. 23 Moeljatno, 1993, Op.Cit., hal.54 Utrecht, 1986 , Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 251 25 Wirdjono Prodjodikoro, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 55 24 20 2. Unsur - unsur tindak pidana Untuk menjatuhakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu itu disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Bahwa setiap tindak pidana dalam Kitab Undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan “unsur subjektif” adalah unsur yanga ada dalam diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan yang termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Dan yang dimaksud dengan “unsur objektif” adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.26 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 27 a. Kesengajan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa); b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP); c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lainlain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yan terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 26 27 P.A.F Lamintang, 1990, Op.Cit,. hal. 184 Loc. Cit 21 e. Perasaan takut atau vrees seperti antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: 28 a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtlijkheid; b. Kualitas si pelaku; c. Kausalitas, yakni hubungan antara dengan pelaku dengan tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur berdasarkan aliran monistis dan dualistis. Yang pertama akan diuraikan adalah mengenai unsur tindak pidana berdasarkan aliran monistis dari tindak pidana antara lain sebagai berikut: a. D. Simons Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah:29 1) Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan; 2) Perbuatan itu dilarang oleh Undang-undang, diancam dengan hukuman; 3) Perbuatan itu harus dapat dipertanggung jawabkan. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pelaku. 28 Loc. Cit C.S.T Kansil, dan Christine S.T. Kansil, 1995, Latihan Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107 29 22 b. Van Hamel Menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana meliputi:30 1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum; 3) Dilakukan dengan kesalahan; 4) Patut dipidana. c. Mezger Menyatakan bahwa unsur-unsur dari tindak pidana yaitu:31 1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2) Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif mapun besifat subjektif); 3) Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang; 4) Diancam dengan pidana. d. J. Baumman Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik antara lain: bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.32 e. Karni Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah: 1) Perbuatan yang mengandung perlawanan hak; 2) Dilakukan oleh orang dengan salah dosa oleh orang yang sempurna akal budinya; 3) Perbuatan tersebut patut dipertanggung jawabkan. 33 30 Sudarto, 1990/1991, Op.Cit., hal. 25 Loc. Cit 32 Loc. Cit 31 23 Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut: a) Vos Menyebutkan bahwa strafbaarfeit hanya berunsurkan kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman, jadi suatu kelakuan yang dilarang dan diancam dengan hukuman.34 b) Pompe Bahwa strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.35 c) Moeljatno Menurut Moeljatno, strafbaarfeit sebagai perbuatan yang dapat diancam pidana, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 1) Perbuatan manusia; 2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil). Syarat ini harus ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimpul pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dirumuskan sebagai berikut: tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan, asas ini dikenal dengan “Nullum 33 Loc. Cit Utrecht, 1986, Op.Cit., hal 251 35 Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal. 25 34 24 delictum nulla poena sine previa lege poenaly” (tiada pidana tanpa ada peraturan yang mengatur terlebih dahulu); 3) Memenuhi syarat materiil. Syarat ini pun harus ada, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang di cita-citakan oleh masyarakat.36 Dalam Putusan Nomor 93/Pid. B/ 2012/ PN. Pwt adalah mengenai tindak pidana melarikan perempuan yang belum dewasa tanpa dikehendaki oleh orang tua/ walinya, tetapi atas persetujuan korban itu sendiri. Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan Pasal 332 ayat (1) ke-1. Pasal 332 KUHP merumuskan sebagai berikut: Dihukum karena melarikan perempuan: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya akan tetapi atas persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaanya terhadap wanita itu baik di dalam maupun di luar perkawinan. Oleh karena itu perlu diuraikan mengenai unsur-usur dalam tindak pidana pada Pasal 332 ayat (1) ke-1 antara lain: 2.1 Barangsiapa Menurut Wirdjono Prodjodikoro dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah manusia. Hal ini dapat terlihat dari perumusan dari Tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berpikir sebagai syarat subjek tindak pidana itu, juga 36 Ibid., hal. 26 25 terlihat pada wujud hukuman/pidana yang memuat pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. 2.2 Melarikan Perempuan di bawah umur a. Melarikan Perempuan Yang diartikan dengan melarikan perempuan adalah mengajak, meminta, atau membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Perbuatan ini harus merupakan perbuatan aktif, tidak cukup dengan perbuatan mengajak belaka. Pun perempuan yang akan dilarikan melakukan perbuatan yang aktif juga, hingga perbuatan pelarian itu harus perbuatan bersama, di mana pelaku dan korban bersama-sama melakukan perbuatan aktif. Jadi tidak perlu dipergunakan paksaan, bahkan bantuan dari perempuan itu sendiri terdapat dalam perbuatan melarikan itu. Perbuatan melarikan mulai dari tempat, kemana perempuan itu pergi untuk memungkinkan perbuatan itu. Jadi setiap perbuatan untuk mempermudah melarikan perempuan.37 Perbuatan melarikan perempuan perempuan tersebut tidak mementingkan cara, apakah dengan sukarela atau tidak, bahkan dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam pengertian ini. b. Anak di bawah umur Pengertian anak mempunyai sudut pandang yang berbeda, dan tergantung pada disiplin ilmu yang ditekuni. Namun secara umum mengenai pengertian anak dimaksudkan untuk membatasi umur minimal dan 37 H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP BUKU II) Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 124-126 26 maksimal seseorang yang dikategorikan sebagai anak-anak. Bila dilihat dari hukum adat yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa, menunjukan bahwa batas anak dan dewasa bisa dilihat dari usia maupun kenyataan sosial dalam pergaulan hidup. Ter Haar mengemukakan, menurut hukum adat masyarakatmasyarakat hukum kecil-kecil itu, maka seseorang menjadi dewasa ialah saat ia (lelaki dan perempuan) sebagai orang yang sudah berkawin meninggalkan rumah ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai lakibini yang merupakan keluarga yang berdiri sendiri.38 Dalam KUHP pengertian anak di bawah umur ternyata tidak diatur, hanya disebutkan istilah “belum cukup umur” dan “sudah cukup umur” dalam beberapa Pasal-Pasal dalam perundang-undangan tertentu, dijelaskan tentang pengertian anak dan batasan umur bagi seorang anak atara lain sebagai berikut: 1) Pengertian anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Masalah kedewasaan diatur dalam Pasal 330 KUHPdt yang menentukan bahwa “Belum Dewasa” adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. 38 Ter Haar Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, 1985, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Cetakan kedelapan, Prandya Paramita, Jakarta Pusat, hal. 166 27 2) Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 3) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Yang dimaksud dengan anak adalah belum berumur 18 tahun atau belum menikah, termasuk anak yang ada di dalam kandungan. 4) Pengertian Anak menurut Konvensi Hak Anak ( Convention on the Right of the Child) Seorang anak adalah setiap orang yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih awal. 5) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bahwa “ Perkawinan hanya diijinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Secara tersirat Undang-Undang Perkawinan memberikan pembedaan terhadap ukuran kedewasaan bagi laki-laki dengan perempuan. Laki-laki dikatakan dewasa jika telah berusia 19 (sembilan belas) tahun, dan perempuan dikatakan dewasa jika telah berusia 16 (enam belas) tahun. 6) Pengertian anak menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 28 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dalam konvensi ini istilah anak berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 Nomor 54, jika dalam perundang-undangan dipakai istilah “minderjaring” (belum cukup umur) terhadap golongan bumiputera maka yang dimaksud adalah mereka yang umurnya belum cukup 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika sebelum 21 (dua puluh satu tahun), perkawinannya diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi (belum cukup umur). 39 2.3 Tanpa Dikehendaki oleh Orang tua atau Walinya, tetapi atas Perempuan itu sendiri. a. Tanpa dikehendaki Tanpa dikehendaki oleh orang tuanya atau walinya artinya lebih keras dari pada atau bertentangan dengan kemauan orang tuanya atau walinya. Hal ini diisyaratkan sehubungan dengan kekuasaan yang syah yang dimiliki oleh orang tuanya atau walinya atas perempuan yang di bawah umur.40 Tanpa kehendak di sini secara singkatnya tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan dari orang tuanya. b. Orang tua atau wali Secara umum Orang tua adalah ayah dan/ ibu dari seorang anak melalui hubungan biologis atau sosial. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 39 Moeljatno, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bina Aksara, Jakarta, hal. 48 40 H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125 29 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/ atau ibu angkat. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataanya mejalankan kekuasaan asuh terhadap orang tua terhadap anak. Masalah perwalian pada umumnya diatur dalam Pasal 332-344 KUHPdt. Macam-macam perwalian ada 3 macam. Pertama, perwalian oleh suami/isteri yang hidup paling lama (langstevende echtgenoot) Pasal 345-354 KUHPdt. Kedua, Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri. Ketiga, perwalian yang diangkat oleh hakim (perwalian yang secara sah ditunjuk oleh oleh hakim di Pengadilan Negeri, hal ini diatur dalam Pasal 359 KUHPdt). c. Atas Persetujuan perempuan itu sendiri. Makna persetujuan memiliki pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendaknya masing-masing, ada persesuaian kehendak atau ada kesepakatan kehendak dari pihak satu dengan pihak yang lain. Bisa dikatakan bahwa persetujuan merupakan pernyataan kehendak para pihak yang dibentuk oleh dua unsur, yaitu adanya unsur penawaran dan adanya unsur penerimaan. Dalam hal ini yaitu ada unsur penawaran dari pelaku untuk mengajak pergi, dan ada unsur penerimaan dari perempuan itu sendiri atau korban, dalam hal ia diajak untuk pergi dari rumah. 30 Secara lebih jelas unsur ini berhubungan dengan kegiatan perempuan di dalam mempermudah perbuatan melarikan, di mana perempuan melakukan perbuatan aktif. Ada persetujuan dari korban. Apabila Tanpa persetujuan perempuan, tentunya tidak akan dapat melakukan perbuatan aktif.41 2.4 Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau tanpa perkawinan Melarikan perempuan harus bertujuan mempersatukan laki-laki dan perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan ikatan perkawinan atau tanpa perikatan perkawinan. Memiliki seseorang perempuan adalah melakukan perbuatan persetubuhan dengan perempuan itu dengan ikatan perkawinan atu tanpa ikatan perkawinan, hingga ia memiliki ini juga sebagai isteri.42 Maksud untuk tidak ditujukan pada memiliki secara terus-menerus tetapi tidak juga apabila pelaku hanya sekali melakukan persetubuhannya. Meskipun sebelumnya telah melakukan perempuan dengan atau tanpa ikatan perkawinan. Jadi dalam hal ini pelaku menghendaki hasil dari perbuatan baginya yaitu persetubuhan dengan pelaku. Tetapi meskipun belum sampai dilakukan persetubuhan oleh pelaku dengan perempuan itu, pelaku dapat dikenakan Pasal ini dengan melakukan perbuatan melarikan perempuan itu.43 41 Loc. Cit Loc. Cit 43 Loc. Cit 42 31 C. Pidana dan Pemidanaan. Pidana dan Pemidanaan merupakan ilmu atau penologi akan terkait erat dengan filosofi pemidanaan.44 Karena objek dari ilmu hukum pidana itu sendiri adalah aturan yang merumuskan tentang kejahatan dengan sanksi pidana dan untuk tujuan mempergunakannya dengan adil menurut hukum. Menurut Muladi, hukum pidana modern bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader strafrecht), stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata-tertib (maatgregel, treatment) yang relatif bermuatan pendidikan.45 Stelsel sanksi merupakan salah satu permasalahan pokok dalam membicarakan hukum pidana. Perihal tentang pemidanaan sering terjadi penggunaan istilah yang berbeda-beda akan tetapi mempunyai maksud yang sama, seperti punishment, treatment, sanction dan lain-lain. Punishment bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berati hukuman. Istilah “hukuman” berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkatan “wordt gestraf” , menurut Moeljatno merupakan istilah-istilah yang konvensional. Moeljatno tidak setuju dengan istilah tersebut, dan lebih suka menggunakan kata “pidana” untuk menggantikan 44 kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track Syste & Implementasinya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 2 45 Ibid., hal 3 32 menggantikan kata “wordt gestraf”.46 Beliau menegaskan bahwa bila kata “straf” diartikan “hukuman”. baik hukum pidana maupun hukum perdata. “Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari pidana, sebab mencakup juga putusan hakim dalam lapangan hukum perdata. 47 1. Pengertian Pidana Moeljatno, menyatakan bahwa pidana adalah sebagai berikut: a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat di kenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah di-ancamkan. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 48 Menurut van Hamel arti pidana atau straf menurut hukum positiv adalah: “Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorshrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbeeling belaste gezag uit te spreken” yang artinya kira-kira adalah: “Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut 46 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 1 47 Loc. Cit 48 Andi Hamzah, 1994. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 4-5 33 telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh negara”. 49 Menurut Simons pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 50 Menurut Algra Janssen bahwa pidana atau straf adalah sebagai “Alat yang digunakan oleh penguasa atau hakim untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian kebebasan dan harta kekayaanya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana”.51 Dalam buku Muladi dan Barda Nawawi, berikut ini dikemukakan mengenai pengertian pidana oleh para sarjana antara lain sebagai berikut: a) Sudarto Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbutan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.52 b) Roeslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.53 49 P.A.F Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 47 Ibid., hal 48 51 Loc. Cit 52 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal 2 53 Loc. Cit 50 34 c) Fitsgerald Punishment is the autontative infliction of suffering an offence.54 d) Sir Rupert Cross Punishment means “the inflication of pain by the state on someone who has been convicated of an offence.55 e) Burton M Leiser A punishment is a harm inflicted by a person in a position of authority upon another who is judged to have violated a rule or a law.56 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pidana dan pemidanaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Pidana itu hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 57 2. Pengertian Pemidanaan Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian pidana dan pemidanaan, perlu diberikan pembatasan pengertian, beberapa sarjana mengemukakan pendapat sebagai berikut: 54 Loc. Cit Loc. Cit 56 Ibid., hal.3 57 Ibid., hal .4 55 35 a. Sudarto Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dari kata penghukuman. Tentang hal tersebut ia mengatakan sebagai berikut: “Penghukuman itu berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus dipersempit artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling”. 58 b. Jerome Hall Jerome Hall batasan konseptual tentang pemidanaan. Hall membuat deskripsi terperinci mengenai pemidanaan. Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama negara “diotorisasikan”. peraturan-peraturan, Keempat, pelanggarannya, pemidanaan mensyaratkan penentuannya, yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkatan jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat 58 P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal 49 36 atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, dan motif dan dorongannya.59 c. Ted Honderich Ted Honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus memuat tiga unsur antara lain: Pertama, pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengasaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan merupakan hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan merupakan suatu tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggaran hukum yang mengakibatkan penderitaan. Ketiga, penguasa yang berwenang menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.60 Berdasarkan memisahkan pengertian pemidanaan dengan pidana, dapat kita ketahui bahwa pidana hanyalah merupakan suatu penderitaan atau alat saja, yang berarti bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Pejelasan ini dilakukan demi menghindari kacaunya berpikir para penulis Belanda yang sering mencampur adukan pengertian tujuan pemidanaan dengan tujuan pidana. Kekacauan berpikir ini ternyata menurutnya, telah diikuti oleh 59 60 M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 70 Ibid., hal 71 37 beberapa penulis Indonesia sehingga menerjemahkan kata doel der straf dengan tujuan pidana padahal yang dimaksud adalah tujuan pemidanaan.61 3. Teori dan Tujuan Pemidanaan Masalah pidana dan pemidanaan merupakan hal yang sangat penting, dan masalah pidana dan pemidanaan tertuang dalam teori-teori pemidanaan. Dalam teori-teori pemidanaan ini tercermin suatu sistem nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi suatu bangsa terhadap hak-hak asasi manusia. Secara tradisional teori-teori pemidanaan dapat dibagi dalam dua kelompok teori antara lain: a. Teori absolout atau teori pembalasan ( retributive theorieen); Teori ini adalah teori yang tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan.62 Artinya hal tersebut berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. 63 Secara singkatnya tujuan pemidanaan dari teori ini adalah pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat. 61 P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal 49 M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 34 63 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal. 10-11 62 38 Menurut Immanuel Kant orang yang melakukan tindak pidana itu melanggar hukum dan etika susilaan, maka ajaran Kant disebut dengan teori Pembalasan atas pelanggaran etika/kesusilaan.64 Menurut Stahl berdasarkanh pada ”Asas Ketuhanan”. Menurutnya Negara adalah wakil Tuhan di bumi yang bertugas menjaga ketertiban oleh karena itu mereka yang melanggar ketentuan hukum Tuhan harus dihukum yang seimbang/sepadan, sehingga si pembunuh harus dibalas dengan pembunuhan. Pembalasan adalah mutlak, yang merusak mata harus dibalas dengan merusak mata pula.65 Menurut Johannes Andeanes tujuan utama dari pidana menurut teori absolout adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.66 Dalam buku John Kaplan, teori Retribution ini dibedakan lagi menjadi dua teori yaitu: 1) Teori Pembalasan (the reveange theory); 2) Teori penebusan dosa (the expiation theory); Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat telah dibayarkan kembali (the criminal paid back), sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back). 67 64 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 1995, Op.Cit., hal. 97 Loc. Cit 66 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal. 11 67 Ibid., hal 13 65 39 Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan menganggap pembalasan ini dalam arti yang positif dan konstruktif dan bukan dalam arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan. 68 Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang paling penting sekali dalam hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldingbehoefte). 69 b. Teori relatif atau teori tujuan (ultilitarian theory). Teori ini memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.70 Tujuan pemidanaan pada teori ini yaitu sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditunjukan kepada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland, teori relatif dalam pemidanaan bertujuan untuk mengurangi kejahatan. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang tidak melakukan kejahatan.71 68 Ibid., hal 15 Loc. Cit 70 M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 41 71 Loc. Cit 69 40 Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana pada teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. 72 Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu: 1) The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana adalah pencegahan); 2) Prevention is not a final aim, but means to a more suprems aim e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat); 3) Only breaches of the law which are imputable to the perperator as intent or negligence qualify for punishment (Hanya pelanggaranpelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana); 4) The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan); 5) The punishment is prospective, it ponits into the future; it may conyain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime 72 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Op.Cit., hal. 16 41 for the benefit or social welfare. (Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif, ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat). 73 Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan yang bermanfaat. Karena teori ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam pemidanaan maka, teori relatif sering juga disebut sebagai ultitarian theory, ada tiga bentuk teori tujuan bahwa pemidanaan pada teori ini mempunyai mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut: a) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan penangkal, pemidaan berfungsi sebagai contoh yang mengigatkan dan menakutkan bagi penjahat. Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Menurut Philip Bean, maksud di balik penjeraan ialah mengancam orang-orang lain untuk kelak melakukan kejahatan. 73 M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 42-43 42 b) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. pemidanaan merupakan prose pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar. c) Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral.74 Dalam disertasinya, Muladi membagi teori-teori pemidanaan menjadi 3 kelompok yaitu: Pertama, Teori retributif. Kedua, Teori telelogis. Ketiga, Teori retributif-telologis, untuk teori retributif dan teori teleologis memiliki makna yang tidak berbeda dengan penjelasan sebelumnya. Sedangkan untuk teori retributif-telologis, teori ini berpandangan bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip telelogis dan retributif sebagai satu kesatuan, sehingga teori ini sering disebut sebagai teori interegatif. Tujuan pemidanaannya adalah bersifat umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/ pengimbangan.75 Selain pembagian teori-teori pemidanaan seperti yang dikemukakan di atas, yaitu teori absolout dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut sebagai teori gabungan (vereniging theorieen). Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan dapat menimbulkan aliran ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara 74 75 Ibid., hal 44-45 Ibid., hal 49-50 43 kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur lain, maupun pada semua unsur yang ada. Beberapa pendapat sarjana mengenai masalah tujuan pidana: 1) J.E Sahetapy Pemidanaan bertujuan pembebasan. Pidana harus membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari lama pikiran jahat, yang keliru melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial di mana ia terbelenggu. Tidak dipungkiri bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah sematamata untuk agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau kunci jalan keluar yang membebaskan dan memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.76 2) Bisman Siregar Bisman Siregar mengemukakan pendapatnya dalam simposim Pindana Nasional di Semarang tahun 1980 yang berjudul “Tentang Pemberian Pidana” antara lain: “Yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana bagaimana caranya agar hukuman badanlah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan penghukuman tiada lain adalah untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia”. 77 76 77 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Op.Cit., hal. 22-23 Ibid., hal 23-24 44 3) Roger Hood Sasaran pidana di samping untuk mencegah si terpidana atau pembuat potensiil melakukan tindak pidana, juga untuk memperkuat nilai-nilai sosial (reinforcing social value) dan menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime).78 Di Indonesia sendiri, Hukum pidana positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.79 Rancangan KUHP Nasional dalam Pasal 50 ayat 1 nya telah menetapkan empat tujuan pemidanaan sebagai berikut:80 (1) Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Jadi tujuan dari pemidanaan tidak semata-mata untuk memberikan penderitaan kepada orang yang melakuakan tindak pidana, tetapi bertujuan untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana tersebut dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 78 Ibid., hal 21 M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 127 80 Loc. Cit 79 45 Seperti pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa pemidanaan tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan pembuat saja, atau juga hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dalam arti, bahwa pemidanaan harus mengacu pada perspektif keseimbangan, yaitu keseimbangan kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban.81 4. Jenis- jenis Pidana Dalam KUHP terdapat 2 (dua) jenis pidana yaitu diatur dalam Pasal 10 KUHP yang membagi dua jenis pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai berikut: a. Pidana Pokok meliputi: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda. b. Pidana Tambahan, meliputi: 1) Pencabutan beberapa hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman Putusan hakim. Jenis-jenis pidana sebagaimana tersebut di atas disusun berdasarkan berat rigannya pidana. Ada yang membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan, yang perbedaanya antara lain:82 81 82 Ibid., hal. 113 Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara baru, Jakarta, hal 50-51. 46 a) Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok, namun ada pengecualiannya, perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita. Sehingga pidana tambahan itu ditambahkan pada tindakan, bukan pada pidana pokok.; b) Pidana tambahan tidak mempunyai sifat keharusan, jika hakim yakin menghenai perbuatan pidana dan kesalahan Terdakwa, maka Terdakwa harus dijatuhi pidana pokok. Dalam menggunakan pidana tambahan hakim bebas, ia boleh menjatuhkan pidana tambahan boleh pula tidak; c) Mulai berlakunya pencabutan hak tidak dengan suatu tindakan eksekusi. Hukum pidana Indonesia mendapat tambahan satu macam pidana pokok baru yaitu pidana tutupan. Adanya pidana tutupan ini tetapi dikarena pemerintah masih menghargai gagasan yang mulia tetapi dilakukan dengan menentang pemerintahan yang sah. Pidana tutupan ini merupakan pidana pokok yang terakhir di bawah pidana denda. Mengenai hal pidana tutupan diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, yang bunyinya: “(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan”. Dari rumusan Pasal tersebut bahwa pidana tutupan oleh pembuat undang-undang dimaksudkan untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku kejahatan, atas 47 dasar bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.83 Di bawah ini akan dijelaskan mengenai uraian macam-macam pidana pokok antara lain sebagai berikut: 1) Pidana mati Pidana mati adalah pidana terberat menurut perundangundangan pidana kita. Menurut Undang-undang Nomor 2 Pnps Tahun 1964, tata cara pelaksanaan pidana mati adalah dengan ditembak sampai mati.84 2) Pidana Penjara Merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Menurut Lamintang Pidana Penjara adalah: “Suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut“.85 Tentang lamanya pidana penjara diatur dalam Pasal 12 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut: (1) Pidana Penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. a) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. b) Pidana penjara untuk waktu tertentu boleh dijatuhkan dua puluh tahun selama waktu tertentu atau anatara pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih 83 P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal. 146-147 Ibid., hal. 64 85 Ibid., hal. 69 84 48 antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara sebgaimana yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a. c) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh dari dua puluh tahun 3) Pidana Kurungan Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana. Perbedaan pidana kurungan dengan pidana penjara menurut Roeslan Saleh adalah:86 a) Orang yang dijatuhi pidana penjara dapat dipidanakan kemana saja untuk menjalani pidananya, sedangkan mereka yang dijatuhi pidana kurungan harus menjalani kurungannya di dalam daerah di mana dia berdiam ketika putusan hakim dijalankan, atau jika tidak mempunyai tempat kediaman di dalam daerah di mana ia berada. b) Mereka yang dijatuhi pidana penjara pekerjaannya lebih berat. c) Mereka yang dijatuhi pidana kurungan dengan biaya sendiri boleh sekedar meringankan nasibnya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Terhukum dengan pidana kurungan jika menghendaki boleh mengadakan makanan dan tempat tidur sendiri, dan boleh pula membeli sesuatu yang hanya dapat meringankan beban hidupnya dengan biaya hidupnya dengan biaya sendiri. 4) Pidana Denda Mengenai pidana denda tidak ditentukan maksimumnya, yang ditentukan adalah minimunya. Juga tidak ditentukan siapa yang harus 86 Roeslan Saleh, 1987, Op.Cit., hal 71-72 49 membayar denda. Jika pidana denda tidak dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan pengganti.87 Selain jenis pidana pokok, dalam sistem pemidanaan kita telah disebutkan ada suatu pidana tambahan. Menurut sistem pemidanaan kita, penjatuhan pidana tambahan adalah sifatnya fakultatif, artinya hakim tidak selalu harus menjatuhkan pidana suatu pidana tambahan bagi setiap Terdakwa yang diadili, akan tetapi terserah pada pertimbangannya apakah disamping menjatuhkan pidana pokok, apakah juga bermaksud untuk menjatuhkan pidana tambahan atau tidak.88 Pada Pasal 10 KUHP telah disebutkan jenis-jenis pidana tambahan, dan mengenai penjelasannya sebagai berikut: 1) Pencabutan hak-hak tertentu Sifat dari pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu sifatnya adalah untuk sementara, kecuali terpidana telah dijatuhi dengan pidana penjara selama seumur hidup. Adapun hak-hak yang dapat dicabut menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai berikut: (1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu. (2) (3) Hak memasuki angkatan bersenjata Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadaka berdasarkan aturan- aturan umum. 87 88 Ibid., hal 75 P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal.97 50 (4) Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, menjadi wali, wali pengawas, pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri. (5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri. (6) Hak menjalankan pencaharian tertentu. 2) Perampasan barang-barang tertentu Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP yang dirumuskan sebagai berikut: “Barang kepunyaan si terhukum, yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan”. Artinya benda-benda milik si terhukum yang diperoleh karena kejahatan, itu bukan hanya benda yang secara langsung telah diperoleh karena kejahatan, melainkan juga benda-benda yang oleh terpidana telah dibeli dengan uang hasil kejahatan. Benda-benda seperti ini juga dapat dinyatakan disita. 3) Pengumuman putusan hakim Mengenai hal ini diatur dalam Pasa 43 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut: “Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan Kitab Undang-Undang ini atau aturan umum lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaiaman cara pelaksanaan perintah atas biaya terpidana”. 51 Dari rumusan tersebut diketahui, bahwa apabila hakim menginginkan agar putusan itu diumumkan, maka di dalam putusannya itu juga harus disebutkan tentang bagaimana caranya melakukan pengumuman itu dan harus menentukan besarnya biaya yang harus ditanggung oleh terpidana untuk melakukan pengumuman tersebut. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim itu disatu pihak merupakan suatu pidana, karena pidana tambahan itu telah mendatangkan suatu penderitaan yang sangat berat dari terpidana, karena nama baiknya telah dicemarkan di depan orang banyak, dan dilain pihak sebagai tindakan yang menyelamatkan masyarakat.89 89 Ibid., hal. 143 52 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian Yuridis Normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan masalah yang pendekatan undang-undang (Statute Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach). 1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach) Pendekatan Undang-undang (statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu/ permasalahan hukum yang diteliti.90 Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai suatu sistem yang tertutup yang mempunyai sifat comphrehensive, all inclisive, dan systematic. Melakukan pendekatan ini akan mempelajari konsistensi dan kesesuaian undang-undang dengan undang-undang lainnya. Hasil telaah tersebut merupakan suatu argumen yang memecahkan isu yang dihadapi.91 Penelitian ini akan mempelajari Kitab Undang Hukum Pidana yang terkait dengan Putusan Nomor: 93/Pid.B/PN. Pwt. 2. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan kasus digunakan dalam penelitian Normatif, digunakan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang 90 Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14 91 Ibid., hal. 93 53 telah diputus, sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurispudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan analisisnya untuk bahan masukan (Input) dalam eksplanansi hukum.92 Penggunaan pendekatan masalah tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan analisis peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur, dan menganalisis tentang pertimbangan hakim, dalam memutus perkara melarikan anak di bawah umur. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat preskriptif. Pada tingkatan pertama penelitian ini difokuskan pada penelitian mengenai peran korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur. Dalam tingkatan ini dilakukan penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan bersikap dan berperilaku bagi manusia. Pada tingkatan kedua penelitian ini kemudian difokuskan pada inventarisasi dan sinkronisasi hukum yang bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal dan horizontal. 92 hal. 321 Jhonny Ibrahim, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 54 C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto dan Pusat Informasi ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. D. Sumber Data Sumber data yang dipakai adalah bahan data sekunder, yaitu data hukum yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi peneliti, yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt. Dalam hal ini penulis juga memasukan hasil wawancara sebagai penunjang data sekunder dalam rangka menganalisis putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt. E. Metode Pengumpulan Data Data disajikan dalam uraian-uraian yang disusun secara sistematis, yaitu data sekunder yang diperoleh dilakukan sinkronisasi antara data yang satu dengan data yang lain sehingga tersusun sebagai satu kesatuan yang utuh, berhubungan, dan berkaitan erat serta berurutan. F. Metode Penyajian Data Data disajikan dalam bentuk teks Naratif dengan cara mendialogkan antara Teori hukum, norma hukum, hasil penelitian dan analisis penelitian 55 yang dihubungkan antara satu dengan lainnya sesuai dengan pokok permasalahan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Comprehensive all Inclusive dan Systematic). a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu dengan yang lain secara logis. b. All inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. c. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma norma tersebut juga tersusun secara hierarkis.93 G. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan metode normatif kualitatif, yaitu dengan menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma hukum, doktrin dan teori hukum pidana yang relevan dengan pokok masalah yang diteliti.94 93 94 Jhonny Ibrahim, 2005, Op.Cit., hal 303 Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hal. 25 56 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Putusan Perkara Nomor : 93/ Pid. B/2012/PN. Pwt tentang Melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban itu sendiri, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP, hasil penelitian pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Identitas Pelaku/ Terdakwa: Nama lengkap : Mochammad Yusuf Syarifudin: Tempat lahir : Banyumas: Umur/ tanggal lahir : 25 tahun/ 21 September 1987: Jenis Kelamin : Laki-laki: Kebangsaan : Indonesia; Tempat tinggal : Jalan Puteran Rt 04 Rw 01 Kelurahan Berkoh Kecamatan Purwokerto Banyumas; Agama : Islam; Pekerjaan : PNS (Anggota Polri); Pendidikan : SLTA; Selatan Kabupaten 57 2. Duduk Perkara Bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin pada hari Senin tanggal 16 April 2012 sekiranya pukul 21.00 WIB bertempat di jembatan jalan KS. Tubun Kelurahan Rejasari Kecamatan Purwokerto Barat, menjemput korban berinisial DVD yang kabur dari rumah, yang mana sebelumnya antara pelaku dan korban sudah melakukan komunikasi melalui Blackberry Messanger untuk ketemuan dan dating di Cheers Cafe dalam rangka merayakan ulang tahun pelaku, korban dijemput oleh pelaku dengan mengggunakan mobil Avanza. Setelah dijemput, korban pergi bersama pelaku dan teman-temannya ke tempat kost di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa pelaku, korban dan teman-temannya kemudian pergi ke Cheers Cafe sekitar pukul 24.00 WIB. Di sana korban diajak minumminuman keras hingga mabuk, dan korban juga diberi sejenis obat oleh temannya, sehingga ia tidak sadarkan diri. Bahwa sekiranya pukul 00.30 WIB Gemilang Dwiki teman dari korban DVD, mendapatkan informasi dari saudaranya bahwa korban DVD sedang berada di Cheers Cafe dalam keadaan mabuk, selanjutnya sekiranya pukul 01.00 WIB, Gemilang Dwiki mencoba untuk mengajak korban untuk pulang, akan tetapi tidak diijinkan oleh pelaku. Selanjutnya korban dibawa ke kost-kosan di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa atas informasi dari Gemilang Dwiki, kedua orang tua korban datang ke kost di depan SMP 9 Purwokerto, dan mereka mendapati 58 anaknya sedang tertidur sekamar dengan pelaku dalam posisi dipeluk oleh Terdakwa. Dalam posisi itu korban tidak sadarkan diri kemudian ke dua orang tua korban membawanya pulang. 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin pada hari Senin tanggal 16 April 2012 sekira pukul 21.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan April 2012, bertempat di Perumahan Shapire Regency Block C-54 RT-03 RW-09 Jalan KS Tubun Kelurahan Rejasari Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain di mana Pengadilan Negeri Purwokerto berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, telah melarikan perempuan yang belum dewasa yang berinisial DVD tanpa dikehendaki orang tua/walinya, tetapi atas persetujuan perempuan itu sendiri, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Terdakwa didakwa oleh Penuntut umum melakukan tindak pidana dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP. 4. Alat bukti yang diajukan di persidangan a. Keterangan saksi 1) Saksi Korban DVD Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar jam 21.00 Wib, saksi dijemput oleh saudara Yusuf dan teman-temannya 59 yaitu Ranggi, Rendi, dan Bismo, di jembatan dekat rumah saksi, dengan menggunakan mobil Avanza warna abu-abu, dan sebelumnya saksi mendapat pesan sms dari Yusuf yang isinya supaya datang ke acara ulang tahunnya di Cheers Cafe dan mengajak berlibur ke Bandung dan menjanjikan akan membelikan apapun yang diinginkan oleh saksi. Sebenarnya saksi belum pernah bertemu dengan Yusuf, saksi hanya mengenal lewat Blackberry messenger. Setelah menjemput korban, rombongan dan saksi pergi ke arah stasiun, kemudian Ranggi turun untuk membeli minuman keras di warung dekat jembatan, lalu ke bundaran Banyumas Billiard Centre (BBC), setelah dari bundaran Banyumas Billiard Centre (BBC), mereka pergi ke tempat kost di depan SMP 9 Purwokerto dan semuanya teman laki-laki turun untuk minum lagi, setelah itu pergi ke Cheers Cafe dan di sana minum-minuman keras jenis Red Label, Coca Cola dan rokok. Kemudian saksi dipaksa untuk minum oleh Rendi, Yusuf dan Ranggi, setelah itu Dwiki dan Mirna teman saksi datang untuk mengajak saksi bergabung dengan Dwiki dan Mirna namun tidak diijinkan oleh Ajeng dan Yusuf. Kemudian saksi menangis, dan Ajeng membawa saksi kesudut ruangan dan mengancam saksi, apabila saksi masih menangisi Dwiki maka sama saja saksi membuat ribut. Kemudian Ajeng memasukan pil sebanyak 2 (dua) buah ke mulut saksi. Kemudian terjadi keributan karena Dwiki dan 60 Yusuf memperebutkan saksi. Karena saksi sudah dalam keadaan lemas Yusuf mengangkat saksi dan di masukan ke dalam mobil. Kemudian saksi dibawa muter-muter untuk mencari Ranggi, dalam perjalanan tersebut Ajeng dan Yusuf memberi pil sebanyak 2 (dua) buah, kemudian saksi merasa lemas dan pusing dalam perjalanan mencari Ranggi, ada yang memegang payudara saksi, dan menciumi saksi akan tetapi saksi tidak tahu siapa yang melakukan karena saksi dalam keadaan lemas, sampai akhirnya saksi tidak sadarkan diri di rumah sakit selama 3 (tiga) hari. 2) Saksi Amin Naufal Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul 19.00 WIB sewaktu saksi akan berangkat ke Masjid, di teras saksi ada anak laki-laki, dan sepulang dari masjid anak tersebut masih bersama anak saksi. Ketika saksi di dalam rumah isteri saksi tibatiba mengatakan kepada saksi, bahwa DVD akan pergi ke Yogyakarta dengan teman-temannya naik mobil, dan saksi tidak mengijinkan. DVD ternyata tetap pergi tanpa ada ijin dari orang tuanya, dan yang mengajak pergi adalah Mochammad Yusuf Syarifudin, bahwa DVD diajak pergi dalam rangka merayakan ulang tahunnya di Cheers Cafe dan juga akan diajak pergi ke Bandung. Pada kenyataanya DVD tidak pulang, dan isteri saksi menemukan DVD di Sumampir, tempat kost-kostan dalam keadaan 61 mabuk dan sedang tidur bersama laki-laki. Bahwa saksi merasa bingung melihat kondisi DVD sehingga pada pukul 11.00 WIB saksi membawa DVD ke Rumah Sakit Islam Purwokerto dan DVD baru sadar keesokan harinya pada tanggal 18 April 2012 pada pukul 10.00 WIB, dan pada saat itu mengatakan pada saksi bahwa ada yang ingin diceritakan pada saksi akan tetapi DVD meminta supaya cerita di depan Polisi, kemudian Saksi mendatangkan Polisi, dan sampai akhirnya DVD menceritakan semua kejadian yang dialaminya. 3) Saksi Asih Kusmiandini Bahwa Saksi tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan Terdakwa dan saksi dalah ibu kandung dari korban, saksi sebenarnya tidak mengijinkan DVD untuk pergi. Sekitar pukul 03.24 Wib saksi mendapat sms dari teman DVD yang isinya, bahwa DVD sedang berada di kost-kostan di depan SMP 9, saksi mengira DVD sedang berada di kamar, namun ternyata tidak ada. Sehingga saksi pergi ke kost-kostan, dan mendapati DVD sedang tertidur dengan posisi dipeluk oleh seorang laki-laki yang ada tatonya di tangan kanannya, dan membangunkan DVD namun tidak terbangun. Bahwa DVD baru sadarkan diri pada hari Rabu, tanggal 18 April 2012 pukul 10.00 WIB. Bahwa menurut cerita DVD ketika di Cheers DVD diberi pil oleh Ajeng dan pak polisinya (Mochammad Yusuf Syarifudin). 62 4) Saksi Gemilang Dwiky Lisprianda Bahwa saksi di beri tahu oleh saudara dari saksi kalau DVD sedang berada di Cheers Cafe, saksi menyusul DVD di Cheers Cafe dengan maksud untuk mengajak DVD pulang. Setahu saksi DVD dalam keadaan mabuk sehingga saksi berniat untuk membawanya, namun tidak diijinkan oleh Mochammad Yusuf Syarifudin. Kemudian saksi mengikuti rombongan mobil, yang menuju ke kost-kostan di depan SMP 9, kemudian saksi memberi kabar kepada keluarga DVD tentang keberadaan DVD. 5) Saksi Awal Amin Supriyadi Saksi adalah teman sekolah korban. Pada hari Senin, 16 April 2012 saksi bertemu DVD di rumahnya, dengan tujuan supaya saksi menyampaikan kepada orang tua DVD, bahwa korban akan pergi ke Bandung, tetapi supaya saksi mengatakan korban mau pergi Jogja, namun orang tuanya tidak mengijinkan. Pada saat itu DVD marah dan mengajak saksi untuk kabur, namun tidak jadi. Saksi tidak tahu kalau tenyata DVD pergi tanpa ijin dari orang tuanya, dan saksi tidak ikut pergi bersama DVD. 6) Saksi Subismo Tegar Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul 00.30 WIB, saksi bersama Ucup, Puteri, DVD, Rendi, dan Ranggi dengan menggunakan mobil Avanza biru menuju ke Cheers Cafe, untuk merayakan Ulang Tahun Ucup dan minum. Setelah dari 63 Cheers Cafe selanjutnya, mereka menuju ke kost-kostan Rendi di Sumampir, yang berada di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa saksi mendengar ketika DVD minta sejenis obat untuk menurunkan alkohol kepada Ajeng, namun saksi kurang tahu selanjutnya karena saksi juga dalam keadaan mabuk, dan duduk di belakang bersama Putri. Bahwa sesampainya di kost saksi bersama Puteri langsung masuk ke dalam kamar dan tidak tahu yang terjadi pada temantemanya; 7) Saksi Ranggi Ade Yulizar Bahwa pada hari Senin, 16 April 2012 sekitar pukul 20.00 WIB saksi pergi bersama DVD dan yang mengajak pergi adalah Mochammad Yusuf Syarifudin. Pada saat saksi menjemput DVD, Terdakwa tidak meminta ijin kepada orang tuanya DVD, melainkan menunggu di jembatan dekat Perumahan Shapire, dan setahu saksi mereka sudah janjian. Sekitar pukul 23.00 WIB saksi bersama rombongan pergi ke Cheers Cafe, dan semuanya minum-minuman keras tersebut, termasuk DVD, lalu saksi pergi keluar sendirian, untuk pergi kerumah temannya, sedangkan rombongan masih di Cheers Cafe. Sekitar pukul 03.30 WIB, saksi baru menunju ke kostkostan di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa sekitar pukul 04.00 WIB, saksi melihat orang tua DVD ke kost, saat itu pula saksi pulang ke rumah. 64 8) Saksi Rendi Wibowo alias Sondel Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul 23.30 WIB saksi bersama DVD pergi menggunakan mobil Avanza dari tempat kost depan Kelurahan Semampir kecamatan Purwokerto Utara, menuju ke Cheers Cafe dan semuanya minum, setelah itu semua pulang ke kost lagi. Bahwa kemudian sekitar pukul 03.00 WIB ibunya DVD datang ke kost-kostan dan menanyakan keberadaan DVD, lalu saksi bersama teman-temanya pergi. b. Surat visum Berdasarkan surat yang telah di bacakan dalam persidangan yaitu Visum et Repertum atas nama DVD Nomor: 002/IV/VER/RSIP/2012/R tanggal 27 April 2012 yang ditanda tangani oleh dr. Rena Susilo Dokter Rumah Sakit Islam Purwokerto, yang disebutkan bahwa tidak ditemukan bekas akibat rudapaksa dan tidak terdapat gangguan kesehatan (tubuh) untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari. c. Petunjuk a) 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun 2006 No Ka: MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131; b) 1 (satu) buah STNK An. FARID PUNTODEWO Alamat Jalan Stasiun 554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap. Dikembalikan kepada pemiliknya melalui Terdakwa; 65 c) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada Terdakwa; d) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan kepada saksi DVD ; d. Keterangan Terdakwa Bahwa Pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul 13.30 WIB, Terdakwa berangkat dari asrama Polsek Sumpiuh menuju ke Purwokerto dengan menggunakan mobil Toyota Avanza warna biru, kemudian ia berbelanja baju, kemudian Terdakwa menuju ke tempat Rendi yaitu kost-kostan di depan SMP 9 Purwokerto dengan tujuan untuk menumpang mandi, kemudian karena di sana ada Ajeng, Ajeng minta diantar ke salon, dan kemudian Terdakwa pergi ke Moro sendiri untuk membeli HP, jam tangan, baju, serta celana. Kemudian pada pukul 20.45 WIB, ia menerima sms dari Rendi, yang intinya supaya Terdakwa kembali ke kost-kostan Rendi di depan SMP 9 Purwokerto. Sesampai di sana sudah ada Bismo, Puteri, Hendi, Ranggi yang sedang berpesta pil Code 15, lalu Terdakwa pergi untuk mencari makan di Yogya Chiken setelah itu Terdakwa kembali ke kostkostan. Sekitar pukul 21.50 WIB, Terdakwa bersama dengan kelima orang temannya keluar menggunakan mobil Avanza tersebut untuk jalan-jalan, dan sekitar pukul 22.05 WIB Terdakwa menerima BBM dari DVD dan menayakan hal-hal sebagai berikut: DVD : Lagi di mana, Putri di situ nggak? Terdakwa : Lagi keliling Indonesia, tadi ada tragedi kamu ketangkep ibumu minum di GOR jam tujuan ya?” 66 DVD : Kamu jadi open minuman nggak, aku orangnya dikekang sama orang tua loh Terdakwa : Apa iya terus gimana? DVD : Aku mau kabur ajalah Terdakwa : Aku mau ke Cheers cuman gak sampai selesai soalnya besok mau ke Bandung mau jalan-jalan. DVD : Ikutlah, aku mau kabur aja dari rumah, si Puteri ada kan? Terdakwa : Ya. DVD : Aku mau ikutlah, aku kabur dari rumah, aku di jemput di turunan jembatan aja. Terdakwa : Jembatan mana? DVD : Tanya Puteri! Terdakwa : Ya udah, saya muter-muter ajalah DVD : Sekarang jemput di turunan yah! Terdakwa : Ya, on the way Kemudian Terdakwa menanyakan pada Puteri, jembatan mana sih Put? Puteri kemudian menjawab, jembatan KS. Tubun Perumahan Shapire, kemudian Terdakwa bersama dengan rombongan menuju ke jembatan sekitar pukul 23.30 WIB untuk bertemu dengan DVD. Bahwa selanjutnya Terdakwa dan rombongan naik ke Bundaran Banyumas Billiard Centre Tirta Kembar Purwokerto, lau kembali ke kost-kostan Rendi, dengan maksud ganti baju lalu ke Cheers sekitar 67 pukul 00.30 WIB. Setelah sampai di Cheers Cafe rombongan masuk kecuali ketiga orang yaitu, Ajeng, Puteri dan DVD yang dilarang oleh security untuk masuk dengan alasan karena masih di bawah umur dan tidak bisa menunjukan KTP, lalu Terdakwa mengatakan, mending pulang saja kalau tidak bisa masuk, semua tanggungjawab saya kalau ada apa-apa di dalam. Lalu security mengatakan, ya sudah silahkan masuk, akhirnya Terdakwa berenam masuk keruangan bagian atas Cheers Cafe dan duduk di sofa lalu Terdakwa memesan minuman Red label sebanyak 2 botol, lalu semua minum sambil berjoged berpasangan yaitu Puteri dengan Bismo, DVD dengan Ranggi dan Ajeng dengan Rendi, lalu Ranggi bersama Rendi menarik-narik tangan DVD untuk bergantian dan Terdakwa duduk sendirian sambil memperhatikan mereka, karena Terdakwa merasa cemburu melihat DVD. Bahwa setelah minuman habis, DVD minta dibelikan kentang goreng, lalu Terdakwa langsung membelikan kentang goreng, tidak lama Dwiki datang mendekati DVD langsung melakukan ciuman dan Terdakwa kemudian mendekati Dwiki dan menendang kaki kiri Dwiki dengan kaki kanan Terdakwa sambil mengatakan “nggak sopan lah disini !” lalu Dwiki duduk disamping DVD. Kemudian Terdakwa jadi membelikan kentang goreng, sekembalinya membeli kentang goreng, Terdakwa melihat Ranggi sedang mencumbu DVD, kemudian Terdakwa langsung mendekati Ranggi sambil mendorong kepala Ranggi dengan tangan kanannya, sambil mengatakan “Kamu tau kan 68 saya suka sama DVD, mengapa kamu berani ciuman dan mencumbui di depan saya” sambil memegang krah baju Ranggi dengan kedua tangannya sampai bajunya sobek. Kemudian Ranggi pulang. Kemudian Terdakwa bersama rombongan keluar dari Cheers Cafe sekitar pukul 03.15 WIB. Bahwa Terdakwa bersama rombongan menuju parkiran menuju mobil kemudian, mendapat BBM dari Bismo, yang intinya mengajak ke Bandung, lalu Puteri mengatakan pada DVD, setelah semua masuk ke mobil, DVD menangis sambil menyebut nama Dwiki serta mengatakan ingin obat penenang, kemudian dijawab oleh Riki ya ada obat penenangnya harganya Rp. 25.000,- kemudian dijawab oleh DVD “tapi nggak punya uang” dan Terdakwa menjawab “Aku ada uang yo dipakai dulu” lalu Riki memberi obat penenang sejenis Rikhlonal sebanyak 2 butir kepada Ajeng, ½ pil dimakan sendiri oleh Ajeng, dan 1 ½ diberikan kepada DVD. DVD masih mengoceh minta obat lagi tetapi tidak diberi. Kemudian Terdakwa bersama rombongan menuju kostkostan Rendi di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa Terdakwa tidak tahu pastinya DVD berumur berapa dan Terdakwa menjemput DVD tanpa ijin dari orang tuanya. Terdakwa menjemput DVD karena Terdakwa menaruh rasa suka kepada DVD, dan sebelumnya DVD telah BBM dahulu dengan Terdakwa. Terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum. 69 Terdakwa adalah sebagai tulang punggung keluarga dan masih mempunyai tanggungan seorang anak kandungnya yang masih kecil. Bahwa Terdakwa sudah meminta maaf kepada keluarga korban, ayah dan ibu kandung korban, dan telah memaafkan kesalahan Terdakwa. e. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Tuntutan pidana Penuntut Umum tertanggal 17 Juli 2012 yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Melarikan perempuan di bawah umur” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin dengan pidana penjara selama: 6 (enam) Bulan dikurangi selama Terdakwa berada di tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan; 3. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah); f. Pertimbangan Hukum Hakim Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam perkara Nomor 93/Pid.B/2012/PN. Pwt, atas nama Terdakwa Mochamad Mochammad Yusuf Syarifudin. Dengan mendasarkan pada 70 fakta fakta hukum di persidangan, Majelis Hakim memilih dan mempertimbangakan bahwa dakwaan tunggal telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : Ad. 1. Unsur barangsiapa; Menimbang bahwa yang dimaksud dengan barangsiapa adalah siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dengan identitas yang jelas, diajukan ke persidangan karena didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya; Menimbang, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan sesorang Terdakwa bernama Mochammad Yusuf Syarifudin yang membenarkan identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan Terdakwa di persidangan didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan (error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar Mochammad Yusuf Syarifudin, maka dengan demikian unsur barangsiapa telah terpenuhi menurut hukum. Ad. 2. Unsur melarikan seorang wanita yang belum dewasa; Menimbang, bahwa apa yang dimaksud dengan melarikan perempuan yang belum dewasa adalah mengajak, meminta, atau membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Perbuatan membawa pergi seseorang wanita dalam ayat (1) ini tidak mementingkan cara, apakah dengan secara sukarela atau tidak, bahkan 71 dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam pengertian ini. Sedangkan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah belum berumur 18 tahun atau belum menikah; Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas, terbukti bahwa Terdakwa membawa pergi saksi korban yang berusia 17 tahun yang secara yuridis termasuk anak yang belum dewasa karena belum berusia 18 tahun, Terdakwa melarikan korban dari tangal 16 April 2012, maka unsur kedua “membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa” telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa. Ad.3 Unsur tanpa dikehendaki orang tua atau walinya tetapi dengan persetujuannya dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “tanpa dikehendaki oleh orang tua atau walinya, tetapi atas persetujuan korban atau peresetujuan perempuan itu sendiri” mempunyai pengertian yang sama dengan tanpa persetujuan atau tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan orang tua atau walinya tetapi dengan persetujuan atau kehendak atau kesepakatan wanita itu sendiri. Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas, maka unsur ketiga terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa; 72 Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas maka semau unsur-unsur dari Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa; Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Terdakwa melalui penasehat hukumnya, oleh karena hanya merupakan permohonan untuk mendapatkan hukuman yang seringan-ringannya, maka akan dipertimbangkan sebagai hal meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan; Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Majelis telah mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum, dari bukti mana majelis memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan Perempuan Yang Belum Dewasa Tanpa Dikehendaki Orang tuanya, di luar Perkawinan” seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umun, karena tidak ditemukan alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan hukum dan alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri Terdakwa, maka Terdakwa harus dinyatakan salah dan kepada Terdakwa harus dijatuhi pidana; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah terbukti bersalah dan dijatuhi pidana maka kepadanya dijatuhi pidana maka kepadanya dibebani untuk membayar biaya perkara seperti yang tercantum dalam putusan di bawah; 73 Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan akan dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa: Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa belum pernah dihukum; 2. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan; 3. Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat; Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan Terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal; g. PUTUSAN Mengingat dan memperhatikan Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, serta ketentuan undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan perundang-undangan ini. Mengadili: 1. Menyatakan Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan Perempuan Yang Belum Dewasa Tanpa Dikehendaki Orang tuanya, di Luar Perkawinan”; 74 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa tersebut dengan dipidana penjara selama 3 (tiga) bulan; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4. Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan; 5. Menetapkan alat bukti berupa: a. 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun 2006 No Ka : MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131; b. 1 (satu) buah STNK An. Farid Puntodewo, Alamat Jalan Stasiun 554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap; Dikembalikan kepada pemiliknya melalui Terdakwa; c. 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada Terdakwa; d. 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan kepada saksi DVD ; 6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,00 (Seribu rupiah) 75 B. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap perkara Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah umur atas persetujuan korban, di wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian, maka dapat dianalisis sebagai berikut : 1. Peranan Korban dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt Salah satu aspek yang berkaitan dengan korban yaitu peranan korban. Peranan korban mempunyai pengertian bahwa korban dipandang dapat memainkan peranan dan menjadi unsur penting dalam terjadinya tindak pidana yang menimbulkan korban atau viktimisasi.95 Secara singkatnya bahwa peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur adalah korban mempunyai peranan yang dianggap penting dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur. Telah dikemukakan bahwa dalam memahami permasalahan kejahatan secara komprehensif, tidak boleh mengabaikan tentang peranan korban dalam kejahatan. Karena apabila kita melihat tujuan dari hukum pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil maka harus diperhatikan 95 Iswanto dan Angkasa, Op.cit., hal. 27 76 segala aspek yang berhubungan dengan pelaku kejahatan, korban, situasi, tempat dan waktu terjadinya tindak pidana. Apalagi di sini korban mempunyai kedudukan yang sangat strategis, dalam terjadinya tindak pidana. Hukum pidana memberlakukan korban seperti hendak mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Namun hal itu sebenarnya bukan hal yang akan menciptakan keadilan karena hukum pidana dalam prakteknya harus memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan tindak pidana, termasuk di dalamnya adalah aspek mengenai korban itu sendiri. Dengan viktimologi akan tampak bahwa timbulnya korban tidak mutlak disebabkan oleh kesalahan pelaku kejahatan, namun dapat pula disebabkan karena kesalahan korban dari tingkat yang ringan hingga kesalahan yang penuh dipihak korban. Yang nantinya, dapat menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Dapat dikatakan apabila korban merupakan aset yang penting dalam upaya menghukum pelaku kejahatan. Bahwa berdasarkan studi statistik menurut Wolfgang ditemukan bahwa satu korban di antara empat kasus pembunuhan ikut mempercepat pembunuhan tersebut. Begitu pula berdasarkan hasil penelitian dari Meir dan Meite, yang menunjukan dalam 77 kasus perkosaan tingkat Victim Precipitation (VP) mencapai sekitar 4-19% karena kelalaian korban.96 Berdasarkan penelitian tersebut di atas menunjukan bahwa dalam terjadinya viktimisasi, korban dapat ikut berperan, atas hasil interaksi sebelumnya antara pelaku dan korban. Mengenai masalah peranan korban, pihak korban ada yang mempunyai status sebagai partisipan aktif dan sebagai partisipan pasif dalam suatu tindak pidana. Makna dari partisipan aktif bahwa, ada tindakan yang saling mendukung, dan memperlancar terjadinya tindak pidana antara korban dengan pelaku. Sedangkan makna dari partisipan pasif bahwa dalam terjadinya tindak pidana yang menyebabkan terjadinya viktimisasi tidak ada tindakan dari korban yang mendukung terjadinya tindak pidana, hanya pelaku yang murni melakukan kesalahan. Dalam bukunya JE Sahetapy tentang “Viktimologi sebuah bunga rampai”, bahwa Peranan si korban dalam peristiwa tindak kejahatan yaitu: a) Rangsangan bagi timbulnya kejahatan Ada hal-hal yang merangsang dari korban dalam timbulnya kejahatan. Dan bahwasannya, suatu tindak kejahatan merupakan suatu perbuatan yang diperhitungkan secara rasional. John S carroll yang menggunakan pedekatan rasional-analitis. Ada faktor-faktor yang dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan sebagaimana yang dirumuskan sebagai berikut: 96 Ibid., hal 28 78 SU= [(p(S)x G) –[p(F)x L)] SU = Subjective Utility. SU ialah pertimbangan si pelaku kejahatan apakah dia akan melaksanakan kejahatan yang direncanakannya. Secara garis besar keputusan yang dibuat hanya dalam dua pilihan: akan dilaksanakan atau tidak akan dilaksanakan. P(S) = Probability of success. P(S) ialah pertimbangan si pelaku kejahatan, sejauh mana ia akan berhasil sukses di dalam melaksanakan tindak kejahatan yang direncanakannya. G = Gain. G ialah pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang direncanakan. Keuntungan ini dapat berupa keuntungan materi seperti barang-barang berharga, dan dapat juga berupa keuntungan psikologis seperti kepuasan jiwa yang diperoleh dari tindak kejahatan. P(F) = Probability of fail. P (F) ialah pertimbangan besar kecilnya kemungkinan gagal (tertangkap) di dalam melaksanakan tindak kejahatan yang direncanakan. L = Loss. L ialah besar kecilnya kerugian apabila si pelaku kejahatan tertangkap di dalam melaksankan kejahatan. Letak peranan korban di dalam rumusan kejahatan, menurut J.E Sahetapy terletak di dalam faktor p(S) dan p(F) serta faktor G. Dalam Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt terjadinya Tindak Pidana melarikan Perempuan di Bawah umur atas persetujuan korban. Pelaku melakukan tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur, 79 dikarenakan kesalahan korban yang mau dan setuju untuk ikut dengan pelaku atau Terdakwa, padahal mereka belum saling mengenal baik sebelumnya, dan antara mereka tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Korban tidak menghiraukan nasehat dari orang tuanya untuk tidak pergi kemana-mana, akan tetapi korban tetap pergi ketika orang tuanya sedang lengah dan korban mengambil kewenangan dari orang tuanya untuk pergi dari rumah tanpa ijin. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan responden Budi Setyawan, salah satu Hakim anggota yang mengadili perkara ini, bahwa untuk menghitung tingkat kesalahan korban, bahwasannya menerapkan perumusan rasional analisis seperti ini. Namun secara praktiknya masalah peranan korban dapat diperhitungkan dengan cara memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak bisa kasuistik. Artinya, menyamakan kasus-kasus yang telah diputus, karena banyak hal maupun faktor-faktor yang akan berpengaruh, dalam pengambilan putusan. Paling tidak hakim bisa mengambil kesimpulan dari peranan korban dari suatu tindak pidana yang tidak bisa di kesampingkan. b) Tipe korban yang merangsang terjadinya kejahatan. Henting berpendapat bahwa si korban berperan di dalam menimbulkan kejahatan. Dengan melihat Peranan korban dapat menentukan sifat kepribadian korban. 80 Dalam tinjauan pustaka sebelumnya telah disebutkan mengenai klasifikasi korban yang didasarkan atas tingkat peranannya. Mulai dari korban yang tidak sama sekali berperan sampai korban yang berperan paling kuat. Ada beberapa hal tentang klasifikasikan mengenai peranan korban antara lain : a. Henting Peranan yang dilakukan oleh si korban menurut Henting ialah dalam hal-hal berikut ini:97 1) Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi. 2) Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikankan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. 3) Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama antara si pelaku dan si korban. 4) Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi dari si korban. Apabila pendapat Henting mengenai peranan yang dilakukukan oleh korban diterapkan pada kasus yang penulis teliti yaitu perkara Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa yaitu “Melarikan perempuan di bawah umur”, memang di kehendaki oleh si korban untuk terjadi. Ada Inisiatif dari Terdakwa untuk melakukan kejahatan dan ada inisiatif 97 J.E. Sahetapy, 1987, Op. Cit., hal 89-90 81 dari korban untuk menghendaki terjadinya kejahatan. Hal ini terlihat pada fakta hukum yang teruangkap dalam persidangan bahwa Korban dan Pelaku telah membuat janji terlebih dahulu dan sepakat bertemu, pada tanggal 16 April 2012, sekitar pukul 21.00 WIB, dan korban menemui di jembatan dekat rumahnya di kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Kepergian dari Korban dengan Pelaku adalah atas persetujuan bersama tidak ada suatu paksaan. b. Mendhelson Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi 6 tipe. Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:98 1) The completly innocent victim. Korban sama sekali tidak bersalah oleh Mendelsohn disebut bentuk korban yang “ideal” yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban. 2) The victim with minor guilt and the victim due to his ignorance. Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan karena kelalaiannya. 3) The victim as guilty as the offender and voluntary victim. Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh Mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe: 98 Iswanto dan Angkasa, Op.cit., Hal. 28-29 82 a. Bunuh Diri “Dengan melempar uang logam” b. Bunuh diri dengan adhesi c. Euthanasia d. Bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri (misalnya pasangan suami istri yang putus asa karena salah satu pasangannya sakit). 4) The victim more Guilty than the offender. Dalam hal ini korban kesalahannya lebih besar daripada pelaku. 5) The most guilty victim and the victim as is gulty alone. Korban yang sangat salah dan korban yang salah sendirian. 6) The simulating victim and the imagine as victim. Korban purapura dan korban imajinasi. Contoh orang yang menderita paranoid, histeria, serta pikun. Bila dianalisis mengenai seberapa tingkat kesalahan korban, maka sesuai dengan Teori Mendelsohn korban menurut penulis korban termasuk dalam tipe korban yang ketiga (3), yaitu korban yang sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela (The victim as gulity as the offender and voluntary victim). Pendapat ini terbangun mendasarkan pada konstruksi hukum bahwa Pelaku bersalah telah sengaja mengajak pergi korban yang masih di bawah umur tanpa ijin dari orang tuanya, pada waktu yang telah larut malam tidak patut, melanggar norma kepatutan kemudian membawa korban ketempat hiburan orang dewasa, di mana tempat hiburan 83 tersebut riskan untuk terjadinya tindak kejahatan, karena banyak alkohol, dan alkohol salah satu pemicu seseorang untuk melakukan kejahatan dan korbanpun mempunyai kesalahan yang sama karena tidak berhati-hati dalam berinteraksi dalam pergaulan, sehingga terpengaruh untuk ikut dan pergi dari rumah tanpa ijin dari orang tuanya. Korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt mempunyai peranan secara fisik maupun non fisik. Secara fisik korban yang kabur, dengan cara melompati pagar rumahnya, berjalan menuju jembatan dekat rumahnya yaitu jembatan Kober, kemudian mau ikut pergi bersama Terdakwa dan teman-teman Terdakwa, menjadi faktor pemicu terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur. Secara non fisik perilaku dari korban yang bisa dikatakan kurang baik, terlihat bahwa korban mau diajak oleh Terdakwa bersama dengan teman-teman lelakinya untuk pergi ke Cheers Cafe di Purwokerto dan di sana minum minuman keras hingga mabuk. c. Sthephen Schafer Bahwa Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang tergantung pada pertanggungjawaban korban. Tipe korban itu antara lain:99 99 Yazid Effendi, 2001, Op. Cit, hal 28-29 84 1) Unrelated victim yakni kejahatan yang dilakukan oleh pembuat kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban. Korban secara acak dipilih oleh pembuat kejahatan menjadi targetnya. Di sini pertanggungjawaban atas kejahatan ada pada pembuat kejahatan. 2) Provocative victim. Korban dalam tipe ini memancing-mancing pembuat kejahatan untuk melakukan kejahatan tertentu. Pertanggungjawaban korban dalam kasus ini mungkin sama besarnya dengan pelaku. 3) Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan. Di sini korban memiliki tanggung jawab. 4) Biologically weak victims yakni siapa saja yang secara fisik atau mental lemah. Pertanggungjawaban atas tindak pidana dibagi antara pelaku dengan masyarakat atau negara karena mereka tidak memberikan fasilitas yang mencukupi untuk melindungi korban. 5) Socially weak victim yakni kelompok sosial yang lemah, dan sering dieksploitasi oleh elemen kejahatan. Pertanggungjawaban atas tindak pidana dibagi antara pelaku dengan masyarakat karena masyarakat bertanggungjawab terhadap adanya prasangka terhadap berbagai kelompok yang secara sosial lemah. 6) Self-victimizing dan political victim adalah korban akibat dari tindakannya sendiri sebab mereka berkorban sendiri. Korban dan 85 pelakunya bergabung menjadi satu. Pertanggungjawaban ada pada korban itu sendiri dan seharusnya tidak seharusnya dibagi dengan pihak lain. Selanjutnya adalah political victim yaitu korban yang menderita karena lawan politik mereka. Apabila dianalis dengan teori Schafer. Maka menurut penulis korban termasuk ke dalam tipologi Precipitative victim. Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban, mendorong pelaku melakukan kejahatan.100 Di sini korban memiliki tanggungjawab. Ketidak hati-hatian dari korban dalam hal ini korban kabur dari rumah dan minta dijemput oleh pelaku, padahal telah diketahuinya bahwa antara korban dan pelaku belum mengenal jauh, mereka hanya saling mengenal melalui Blackberry massengger, hubungan mereka bisa dikatakan intens, akan tetapi secara faktanya mereka sebelumnya belum pernah bertemu, jadi antara mereka tidak mengetahui tentang karakter masing-masing sesungguhnya. Bisa dikatakan bahwa perilaku dari korban ikut berperan dalam terjadinya kejahatan. Hal ini menjadi pertimbangan dari hakim dalam memutus perkara sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Tanggungjawab pelaku dan korban di sini adalah mengenai hal masalah pemberian ganti rugi baik restitusi dan kompensasi dengan melihat sejauh mana kerugian yang dilanggar oleh korban, dalam hal 100 Yazzid Effendi, 2001, Op. Cit., hal 28 86 ini tanggungjawab pelaku adalah dibagi dengan korban, karena korban dan pelaku sama-sama memiliki kesalahan yang seimbang. Pada dasarnya pendapat tentang pengkasifikasian tingkat peranan korban tersebut mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama mengklasifikasikan mengenai peranan korban yang mempunyai kesalahan kecil hingga kesalahan penuh dari korban. Dalam hal ini penulis telah menganalisis tentang peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dengan menggunakan, teori peranan yang dilakukan oleh korban menurut Henting, teori tipologi korban dari Mendelsohn yang mendasarkan pada tingkat kesalahan korban dan mendasarkan pada teori Schafer untuk melihat kategori pertanggungjawaban korban. 2. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan Korban dalam putusan Nomor : 93/Pid.B/2012/PN. Pwt Hukum Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Jadi pada dasarnya Hukum Pidana berpokok pada 2 (dua) hal, antara lain:101 101 Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal.5 87 A. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan dilakukan oleh orang, yang mungkin adanya pemberian pidana.102 Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat dengan “perbuatan jahat” (Verbrechten atau crime), atau juga bisa disebut dengan tindak pidana (strafbaarfeit). Strafbaarfeit menurut Pompe sebagai suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan dapat diancam pidana.103 Bahwa suatu perbuatan apakah dapat dihukum atau tidak, haruslah memenuhi syarat-syarat atau memenuhi unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dijabarkan menjadi dua macam, yaitu unsur subjektif sebagai unsur yang ada dalam diri si pelaku dan yang termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya, dan unsur objektif merupakan unsur-unsur yang ada hubungannnya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan dimana tindakan-tindakan pelaku itu harus dilakukan. Berkaitan dengan masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan, Sudarto mengemukakan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang terdiri dari:104 102 Loc. Cit Ibid., hal. 27 104 Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal. 30 103 88 Syarat pemidanaan 1) Perbuatan a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) 2) Orang a) Kesalahan - Kemampuan Bertanggungjawab - Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf) Bila diuraikan adalah sebagai berikut: 1) Perbuatan Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan orang adalah suatu titik penghubung dan dasar pemberian pidana. Perbuatan ini meliputi berbuat dan tidak berbuat. Perbuatan yang dapat dijatuhi pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. a) Memenuhi rumusan undang-undang Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik sabagai mana yang disebutkan dalam undang-undang. Dalam hal ini, maka perbuatan harus mempunyai sifatsifat atau ciri-ciri dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1, sebagaimana telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ciri-ciri konkrit Pasal 332 ayat (1) ke-1 tersebut diasumsikan ke dalam unsur-unsur antara lain: 89 1) Unsur Barangsiapa; Dikemukakan oleh Wirdjono Prodjodikoro bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dapat menjadi subjek tindak pidana 105 adalah manusia. Hal ini dapat dilihat pada perumusan dari Tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berpikir sebagai syarat subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada ujud hukuman/pidana yang memuat Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. Yang dimaksud dengan barangsiapa adalah siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dengan identitas yang jelas, diajukan ke persidangan karena didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Dalam perkara ini unsur barangsiapa ditujukan kepada orang/manusia, hal ini sebagaimana dari fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan sesorang Terdakwa bernama Mochammad Yusuf Syarifudin yang membenarkan identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan Terdakwa dipersidangan didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan (error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar Mochammad Yusuf Syarifudin, maka dengan demikian unsur barangsiapa telah terpenuhi menurut hukum 105 Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Aditama, Bandung, hal. 55 90 2) Unsur Melarikan Perempuan di bawah umur; Yang diartikan dengan melarikan perempuan adalah mengajak, meminta, atau membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Perbuatan ini harus merupakan perbuatan aktif, tidak cukup dengan perbuatan mengajak belaka. Pun perempuan yang akan dilarikan melakukan perbuatan yang aktif juga, hingga perbuatan pelarian itu harus perbuatan bersama, di mana pelaku dan korban bersama-sama melakukan perbuatan aktif. Jadi tidak perlu dipergunakan paksaan, bahkan bantuan dari perempuan itu sendiri terdapat dalam perbuatan melarikan itu. Perbuatan melarikan mulai dari tempat, kemana perempuan itu pergi untuk memungkinkan perbuatan itu. Jadi setiap perbuatan untuk mempermudah melarikan perempuan.106 Perbuatan melarikan perempuan perempuan tersebut tidak mementingkan cara, apakah dengan sukarela atau tidak, bahkan dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam pengertian ini. Sedangkan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah belum berumur 18 tahun atau belum menikah. Zakiah Darajat memberikan pendapat mengenai batas usia anak, remaja dan dewasa berdasarkan batasan umur, yaitu sebagai berikut: “Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa di mana anakanak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka 106 H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op. Cit., hal. 124-126 91 bukan lagi anak-anak baik bentuk badan maupun sifat berpikir, dan bertindak tetapi bukan pula orang dewasa”. 107 Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 Nomor 54, jika dalam perundang-undangan dipakai istilah “minderjaring” (belum cukup umur) terhadap golongan bumiputera maka yang dimaksud adalah mereka yang umurnya belum cukup 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika sebelum 21 (dua puluh satu tahun), perkawinannya diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi (belum cukup umur). 108 Berdasarkan fakta yang terungkap tersebut, terbukti bahwa Terdakwa membawa pergi saksi korban yang berusia 17 tahun yang secara yuridis termasuk anak yang belum dewasa karena belum berusia 18 tahun, Terdakwa melarikan korban dari tangal 16 April 2012, maka unsur kedua “membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa” telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa. Menimbang berdasarkan fakta tersebut unsur melarikan perempuan di bawah umur telah terpenuhi menurut hukum. 3) Unsur Tidak dengan kemauan orang tuanya/walinya tetapi dengan kemauan perempuan sendiri; Tanpa dikehendaki oleh orang tuanya atau walinya artinya lebih keras dari pada atau bertentangan dengan kemauan orang tuanya atau walinya. Hal ini diisyaratkan sehubungan dengan kekuasaan yang syah 107 108 http://id. wikipedia.wiki.org/wiki/remaja, diakses tanggal 17 Februari 2013 Moeljatno, 1985, Op. Cit., hal. 48 92 yang dimiliki oleh orang tuanya atau walinya atas perempuan yang di bawah umur.109 Tanpa kehendak di sini secara singkatnya tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan dari orang tua/ walinya. Secara umum Orang tua adalah ayah dan/ ibu dari seorang anak melalui hubungan biologis atau sosial. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/ atau ibu angkat. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataanya mejalankan kekuasaan asuh terhadap orangtua terhadap anak. Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa saksi Amin Naufal dan Saksi Asih Kusmiandini selaku sebagai orang tua dari korban, bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul 21.00 WIB, tidak pernah memberikan ijin kepada anaknya untuk pergi, dan Terdakwa juga tidak pernah meminta ijin kepada saksisaksi tersebut selaku sebagai orang tua saksi korban. Makna kemauan perempuan itu sendiri atau atas persetujuan memiliki pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendaknya masing-masing, ada persesuaian kehendak atau ada kesepakatan kehendak dari pihak satu dengan pihak yang lain. Bisa dikatakan bahwa persetujuan merupakan pernyataan kehendak para pihak yang dibentuk oleh dua unsur, yaitu adanya unsur penawaran dan adanya unsur penerimaan. Dalam hal 109 H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125 93 ini yaitu ada unsur penawaran dari pelaku untuk mengajak pergi, dan ada unsur penerimaan dari korban dalam hal ia diajak untuk pergi dari rumah. Secara lebih jelas unsur ini berhubungan dengan kegiatan perempuan di dalam mempermudah perbuatan melarikan, di mana perempuan melakukan perbuatan aktif. Ada persetujuan dari korban. Apabila Tanpa persetujuan perempuan, tentunya tidak akan dapat melakukan perbuatan aktif.110 Bahwa, sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa sebelum pergi telah membuat janji dengan Terdakwa melalui pesan singkat dan BBM dan saksi di jemput di jembatan dekat rumahnya. Terdakwa merencanakan untuk mengajak pergi saksi bersama temantemannya untuk pergi ke Bandung. Terdakwa bersama saksi korban, dan saksi-saksi Subismo Tegar, Ranggi Ade Yulizar, dan saksi Rendi Wibowo pergi ke Cheers Cafe sekitar pukul 22.00 WIB. Di tempat tersebut Terdakwa bersama saksi korban DVD dan saksi-saksi tersebut memesan minuman Red label sebanyak 2 botol dan diminum bersama. Bahwa, setelah dari Cheers Cafe saksi korban DVD tidak diantar pulang ke rumah melainkan bermalam di tempat kost dekat SMP 9 Purwokerto. Kepergian Terdakwa dan saksi korban DVD adalah atas kehendak atau persetujuan bersama. 110 Loc. Cit 94 4) Unsur Dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dalam perkawinan nikah maupun di luar perkawinan. Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau tanpa perkawinan. Melarikan perempuan harus bertujuan mempersatukan laki-laki dan perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan ikatan perkawinan atau tanpa perikatan perkawinan. Menurut Wirdjono Prodjodikoro, “memiliki” orang atau perempuan itu harus diartikan sebagai bersetubuh dengan perempuan meskipun hanya satu kali saja.111 Begitu pula seperti yang terdapat dalam bukunya H.A.K. Moch. Anwar, (Dading) yang berjudul Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II) Jilid I bahwa pengertian memiliki seseorang perempuan adalah melakukan perbuatan persetubuhan dengan perempuan itu dengan ikatan perkawinan atu tanpa ikatan perkawinan, hingga ia memiliki ini juga sebagai isteri.112 Maksud untuk tidak ditujukan pada memiliki secara terus-menerus tetapi tidak juga apabila pelaku hanya sekali melakukan persetubuhannya. Meskipun sebelumnya telah melakukan perempuan dengan atau tanpa ikatan perkawinan. Jadi dalam hal ini pelaku menghendaki hasil dari perbuatan baginya yaitu persetubuhan dengan pelaku. Tetapi meskipun belum sampai dilakukan persetubuhan oleh pelaku dengan perempuan itu, pelaku dapat dikenakan Pasal 332 ayat (1) ke-1 yaitu melakukan perbuatan melarikan perempuan.113 111 Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Op. Cit., hal 85 H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125 113 Loc. Cit 112 95 Dalam fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bahwa antara Terdakwa dan saksi korban DVD sama sekali tidak terikat dalam perkawinan, dan di antara mereka tidak terjadi hubungan persetubuhan. Ada perluasan penafsiran bahwa meskipun dalam tindak pidana melarikan perempuan harus ada suatu unsur persetubuhan akan tetapi pembentuk undang-undang memberikan perluasan terhadap unsur tindak pidana bahwa walaupun tidak ada unsur persetubuhan akan tetapi Terdakwa telah memenuhi rumusan melarikan perempuan seperti yang dikemukakan dalam bukunya H.A.K Mohammad Anwar. Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas, maka unsur ini terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa; Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas maka semua unsur-unsur dari Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa; b) Bersifat melawan Hukum Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur sifat melawan hukum merupakan suatu penilaian yang objektif terhadap perbuatan, bukan terhadap si pembuat yang secara sempit dikatakan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik yang ada dalam undang-undang.114 114 Sudarto, 1990/1991, Op.Cit., hal. 44 96 Ada 3 (tiga) pendirian tentang arti sifat melawan hukum. 1) Bertentangan dengan hukum.115 Bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi rumusan undang-undang dan secara tegas dalam undang-undang mencantumkan mengenai Pasal 332 ayat (1) ke-1 mengenai melarikan orang dengan melawan hukum. 2) Bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain.116 Maksud bertentangan dengan hak subjektif orang lain yaitu bertentangan dengan hak dari orang tua atau walinya sebagai pengampu yang mempunyai kekuasaan terhadap anaknya, untuk memberikan ijin. 3) Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu berkaitan dengan hukum.117 Dalam hal ini Terdakwa tanpa kewenangan tanpa ijin membawa korban lari dari rumahnya, dan tanpa kewenangannya tersebut, Terdakwa bermaksud untuk memiliki atau menguasai perempuan itu di luar perkawinan. Dengan demikian perbuatan Terdakwa bertentangan dengan hukum atau undang-undang dan bersifat melawan hukum sehingga syarat pemidanaan dari perbuatan telah dipenuhi. Dengan demikian perbuatan dari Terdakwa bersifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, tidak adanya alasan pembenar berarti tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan 115 Ibid., hal. 48 Loc. Cit 117 Loc. Cit 116 97 hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang tidak patut, dan tidak benar. 2) Orang Syarat pemidanaan selanjutnya adalah orang subjek hukum, apakah dilakukan dengan kesalahan, dilakukan oleh orang mampu bertanggungjawab dan dolus atau culpa (adakah alasan pemaaf). Dalam fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN. Pwt adalah Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin. a. Kesalahan Syarat pemidanaan selain menenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) juga harus dilakukan dengan kesalahan. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Berlaku azas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Kiene strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“Culpa” di sini dalam arti luas, meliputi pula kesengajaan).118 Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), berbunyi “Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan 118 Ibid., hal 1 98 keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.119 Bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan lebih dahulu dari si pembuat. Mezger mengatakan, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana (Schuldist der Erbegrif der Verrraussetzungen, die aus der Straftat personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden).120 Jadi dapat dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindakan pidana, maka berarti ia dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan mempunyai unsur-unsur antara lain:121 1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahikeit); artinya jiwa si pembuat harus normal. 2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. 3) Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Dikatakan bahwa jika ketiga unsur tersebut terpenuhi maka yang Terdakwa bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana sehingga bisa dipidana. 119 Loc. Cit Ibid., hal 2 121 Ibid., hal. 4 120 99 Ad.1 Kemampuan bertanggungjawab Mengenai kemampuan untuk bertanggungjawab menurut Simons, dapat diartikan sebagai suatu keadaan psycis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya.122 Selanjutnya dikatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila: 1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum 2) Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. 123 Dalam penelitian terhadap putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin adalah orang yang menurut majelis hakim mampu bertanggungjawab, dan ia mengetahui dan menyadari bahwa perbuatannya melarikan perempuan di bawah umur adalah bertentangan dengan hukum. Apalagi Terdakwa berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang sudah pasti mengetahui mengenai aturan-aturan hukum perundangundangan khususnya KUHP, dan apa sanksi yang akan diperoleh apabila ia melanggar peraturan perundang-undangan. Sehingga syarat dipidananya orang dalam hal kemampuan bertanggungjawab telah terpenuhi. Perbuatan Terdakwa yang mampu dipertanggungjawabkan tersebut telah dibahas sebelumnya. 122 123 Ibid., hal. 5 Loc. Cit 100 Ad. 2 Dolus atau culpa (tidak adanya alasan pemaaf) Syarat pemidanaan yang terakhir adalah dolus ata culpa tidak adanya alasan pemaaf. Sebagaimana yang terungkap dalam persidangan bahwa perbuatan Terdakwa melarikan korban mendasarkan pada suatu dorongan atau motif yaitu bahwa Terdakwa menaruh rasa suka kepada korban sehingga ia melakukan perbuatan secara melawan hukum melarikan perempuan di bawah umur tanpa persetujuan orang tua atau walinya. Ada motif berarti ada suatu kesengajaan. Ada hubungan batin berupa sengaja atau alpa. Kesengajaan atau opzet yang berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Berhubungan dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat 2 (dua) teori antara lain:124 1) Teori kehendak (wills theorie) Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. 2) Teori pengetahuan atau membayangkan (Voorstellings-theorie) Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya, orang tidak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh si pembuat ialah tentang apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. 124 Ibid., hal. 11 101 Pada hakikatnya dalam praktik penggunaanya kedua teori tu adalah sama. Perbedaannya adalah dalam terminologi, dalam istilahnya saja. Dalam hal seseorang melakukan kesengajaan dapat dibedakan 3 (tiga) corak batin, yang menunjukan tingkatan atau bentuk kesengajaan itu, coraknya antara lain sebagai berikut:125 a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); Dolus directus. Corak kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat dan dilarang. Kalau akibat ini tidak ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. b) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakelijkhebewutzijn). Dalam hal ini perbuatan mempunyai 2 (dua) akibat: 1) Akibat yang memang dituju si pembuat ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak. 2) Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam point a tadi, akibat ini pasti timbul/terjadi. c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaarddelijk opzet). Dalam hal ini ada ketentuan yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi. 125 Loc. cit 102 Perbuatan Terdakwa menurut penelitian penulis, adalah termasuk dalam corak kesengajaan sebagai maksud (opzet als oormerk) dalam hal ini Terdakwa memang sengaja melakukan perbuatan melarikan perempuan tanpa persetujuan dari orang tua atau walinya, dan menghendaki perbuatan tersebut beserta akibatnya yaitu dapat dihukum karena melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut, meskipun dalam anganangannya tidak terbayangkan bahwa Terdakwa akan dituntut di muka persidangan, karena kepergian korban bersama Terdakwa adalah berdasarkan atas kesepakatan bersama, sehingga adanya unsur kesengajaan dalam perkara ini telah terpenuhi. Selain terpenuhinya unsur kesengajaan dari pelaku, juga apabila lebih dianalisis lebih dalam lagi ditemukan suatu unsur kesalahan dari korban. Sebenarnya unsur kesalahan merupakan suatu syarat pemidanaan bagi pelaku. Namun apabila kita melihat mengenai aspek tentang korban, ada tipologi dari korban tertentu, yang memang mempunyai kesalahan dan mempunyai peran dalam terjadinya tindak pidana. Unsur kesalahan dari korban bisa dalam tingkatan yang kecil hingga kesalahan yang besar. Arti kesalahan dipandang sebagai unsur yang melekat pada pelaku, akan tetapi apabila kembali ke aspek masalah korban, ada tipe tertentu dari korban yang mempunyai peranan atau kesalahan. Arti kesalahan ada 3 (tiga) Pertama, Kesalahan berarti bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pembuat dapat dicela, kedua, kesalahan dalam bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus, opzet) atau 103 kesalahan yang berupa kealpaan (culpa), ketiga, kesalahan dalam arti sempit. Pemakaian kata kesalahan dalam arti ini sebaiknya dihindarkan, dan digunakan saja istilah kealpaan.126 Sembrono, teledor, kurang berhatihati atau kurang penduga-duga merupakan kealpaan. Unsur kealpaan yang dilakukan oleh korban itu secara tidak langsung, berimbas pada masalah penjatuhan pidana, dan akan berimbas pada suatu pertanggungjawaban dalam viktimologi. Kesalahan dari korban tersebut juga harus dapat dipertanggungjawabkan oleh korban. Dalam peranan korban telah dijelaskan sebelumnya korban termasuk dalam tipe Precipitative victim, karena ketidak hati-hatiannya mendorong pelaku untuk melakukan kejahatan. Ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah memenuhi unsur-unsur delik tidak dipidana. Namun demikian dalam suatu perkara tindak pidana, tidak tertutup kemungkinan bagi seseorang yang berpegang pada alasan dipertanggungjawabkan secara penghapus pidana atas pidana tetap dapat perbuatannya, karena didalamnya terkandung asas culpa in causa. Hal ini dapat terjadi apabila suatu tindak pidana yang menimpa diri seseorang justru disebabkan karena sikap atau ulahnya yang kurang atau tidak berhati-hati, sehingga 126 Ibid., hal. 3 104 membawanya memasuki dalam keadaan yang riskan penuh resiko untuk terjadinya tindak pidana. 127 Niko Keijzer, Utrecht dan Sitorus memiliki kesamaan pandangan mengenai culpa in causa yakni perbuatan yang tidak berhati-hati, tidak cermat, yang membawa pembuat memasuki situasi rawan untuk terjadinya tindak pidana.128 Asas culpa in causa merupakan hal yang relatif baru, dan belum banyak dikenal dalam praktek peradilan, oleh karena itulah asas culpa in causa perlu dikaji secara mendalam dan meluas dalam studi ilmu hukum pidana.129 Asas culpa in causa hubungannya dengan pengertian yuridis dari kesalahan adalah dalam bentuk alpa bukan sengaja. Sebab dalam sengaja harus terkandung kehendak, tidak demikian dengan kealpaan. Pertanyaanya adalah bagaimana terhadap putusan hakim jika terjadi culpa in causa. Untuk memberikan jawaban maka harus kembali kepada ajaran tindak pidana yaitu ajaran monisme dan dualisme. Ajaran monisme melihat kepada seluruh syarat untuk adanya pidana dan itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.130 Konsekuensinya ajaran monisme tidak memisahkan antara tindak pidana dengan tanggungjawab pidana. Sedangkan ajaran dualisme membedakan dengan tegas dapat dipidananya 127 http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CA USA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013 128 http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&a mp;sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013 129 http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&a mp;sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013 130 Sudarto, 1990/1991, Op.cit., hal 24 105 perbuatan dan dapat dipidananya orang.131 Konsekuensinya, ajaran dualisme memisahkan antara tindak pidana dan tanggungjawab pidana. Apabila dianut ajaran monisme, asas culpa in causa merupakan suatu unsur tindak pidana, yakni sebagai unsur kesalahan maka ketika culpa in causa terbukti maka putusan hakim adalah dibebaskannya terdakwa dari segala dakwaan (vrijspraak), dan apabila menganut ajaran dualisme, asas culpa in causa merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sehingga jika culpa in causa terbukti, putusan hakim adalah dilepas dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolging), artinya terdakwa terbukti melakukan perbuatan tetapi bukan sebagai tindak pidana.132 Tetapi asas culpa in causa termasuk aspek pertanggungjawaban pidana (kesalahan), maka asas culpa in causa merupakan alasan pemaaf (alasan yang menghapus kesalahan). Alasan penghapus pidana bisa karena perbuatannya dan pembuatanya: 1) Alasan pembenar adalah alasan yang mengapus sifat melawan hukum dari perbuatan meskipun perbuatan pembuat memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum tidak mungkin adanya pemidanaan. Dalam KUHP dirumuskan dalam pasal 49 (1), 50 dan 51 (1).133 131 Loc.cit http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&a mp;sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013 133 Sudarto, 1990/1991, Op.cit., hal. 33-34 132 106 2) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menyangkut pribadi dari pembuat dalam arti bahwa seseorang tidak dapat dicela menurut hukum, dengan kata lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan walaupun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi ada alasan yang menghapus kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin adanya pemidanaan. Dalam KUHP diatur dalam Pasal 44, 49 (2) dan Pasal 51 (2). Mengenai Pasal 48 dapat merupakan alasan pembenar adan alasan pemaaf. 134 Kembali kepada pembahasan dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/ 2012/PN.Pwt bahwa Korban DVD dalam hal ini secara tidak sadar telah membawa dirinya dalam keadaan yang berbahaya (culpa in causa). Kealpaan seseorang harus ditentukan secara normatif. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa, dan yang memegang ukuran normatif dari kealpaan adalah hakim.135 Hakimlah yang harus menilai sesuatu perbuatan in-concreto dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan keadaan pribadi si korban dalam peranannya dalam tindak pidana. Dalam pertimbangan hakim dalam putusan secara tidak langsung hakim mendeskripsikan tentang keadaan pribadi dari si korban, bahwa si korban yang masih berusia di bawah umur belum mempunyai daya pikir yang dewasa, masih labil, mudah terpengaruh oleh orang lain dan tidak 134 135 Loc.cit Ibid., hal. 24 107 berhati-hati dan berperan secara fisik maupun non fisik. Karena kealpaanya korban membawa dirinya dalam keadaan yang berbahaya, secara fakta korban janjian dengan Terdakwa untuk pergi padahal telah diketahuinya belum mengenal terlalu jauh, belum mengerti karakter dari Terdakwa apakah mempunyai sikap batin yang jahat ataukah tidak, kemudian korban yang masih berusia di bawah umur mau diajak ke tempat hiburan malam Cheers Cafe di mana sebenarnya korban tidak boleh masuk akan tetapi diusahakan oleh Terdakwa agar bisa masuk, kemudian di sana korban minum minuman keras hingga mabuk, sehingga secara langsung kekuasaan dari Korban berada di tangan pelaku. Kemudian setelah itu sekitar pukul 03.00 WIB, Korban di bawa ke kost-kostan dekat SMP 9 Purwokerto untuk bermalam. Namun karena ada salah satu saksi yang bernama Gemilang Dwiky yang mengadukan pada orang tua korban bahwa Korban tidak pulang dan bermalam di kost-kostan dekat SMP 9 Purwokerto, sehingga ibu dari korban datang ke tempat itu untuk menjemput korban. Sebenarnya Pelaku tidak menduga-duga bahwa akibat perbuatannya akan ditangkap dan diadili, karena sepengetahuannya kepergian Terdakwa dengan korban adalah atas persetujuan bersama. Pertimbangan hakim dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt tidak secara eksplisit memasukan masalah ulah korban yang menjerumuskan dirinya untuk melarikan korban. Ini berarti bahwa pengadilan tidak mempertimbangakan masalah culpa in causa. Karena apabila di analisis dan dihubungkan pada pasal yang didakwakan yaitu 108 Pasal 332 ayat (1) ke 1. Unsur yang paling vital dalam tindak pidana melarikan perempuan dibawah umur dalam pasal ini adalah adanya unsur persetujuan dari Korban atau perempuan itu sendiri, sehingga permasalahan culpa in causa tidak dapat dimasukan dalam pertimbangan normatif dalam putusan ini. Dalam hal putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt tidak ditemukan adanya alasan–alasan yang dapat menghapuskan kesalahan si pembuat, dan perbuatan Terdakwa mampu dipertanggung- jawabkan. Karena unsurunsur tersebut terpenuhi, maka Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, dan perbuatan Terdakwa dinyatakan bersifat melawan hukum. Sehingga semua syarat penjatuhan pidana atau pemidanaan dalam putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt terpenuhi. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, semua unsurunsur telah terpenuhi, dan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan perempuan di bawah umur tidak dengan kemauan orang tua atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik di dalam perkawinan maupun di luar perkawinan. Terdakwa melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP. 109 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yaitu Budi Setyawan, di mana beliau adalah salah satu hakim anggota yang mempertimbangkan dan memutus perkara Nomor 93/Pid.B/2012/PN. Pwt bahwa dalam memutus suatu perkara ada beberapa hal-hal yang harus diperhatikan antara lain: 1) Motifasi pelaku melakukan tindak pidana; 2) Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana; 3) Hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Ad. 1. Motifasi pelaku melakukan tindak pidana Motifasi pelaku melakukan tindak pidana mempunyai arti bahwa ada alasan yang mendorong, seseorang melakukan tindak pidana atau delict.136 Dalam putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa menurut Terdakwa motifasi dari pelaku membawa lari korban adalah karena Terdakwa menaruh rasa suka pada korban. Kemudian yang hal lain yang perlu diperhatikan dalam memutuskan pemidanaan adalah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana. Ad. 2 Terpenuhinya unsur tindak pidana Dalam perkara yang diteliti penulis ini semua unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1 telah dipenuhi. Dakwaan penuntut umum menurut Pasal 332 ayat (1) ke-1 dan ancaman pidananya adalah 7 (tujuh) tahun penjara. Namun setelah memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan 136 Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal 12 110 khususnya ada suatu partisipasi korban dalam terjadinya tindak pidana ini, apalagi korban juga dikategorikan sebagai partisipan yang aktif dan mempunyai peran baik secara fisik maupun non fisik, Penuntut Umum dalam Requisitoir-nya menuntut Terdakwa antara lain: 1) Menyatakan bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Melarikan perempuan di bawah umur” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin dengan pidana penjara selama 6 (enam) Bulan dikurangi selama Terdakwa berada di tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan; 3) Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000, (seribu rupiah). Dilihat dari tuntutan Penuntut umum pada point ke-2 yaitu Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Adanya suatu tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut lamanya pemidanaan yang tidak penuh, tapi pada dasarnya Penuntut Umum memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tersebut, Terdakwa tidak mutlak bersalah sendirian, ada peranan dari korban, ada kesalahan dari korban itu sendiri yang mendukung terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tersebut. 111 Begitu pula hakim dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara ini memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan. Adakah fakta hukum yang memberatkan ataupun meringankan. Ad. 3 Hal yang memberatkan dan hal yang meringankan Hal-hal yang memberatkan dan meringankan merupakan suatu unsur non hukum yang akan berpengaruh pada penjatuhan putusan pemidanaan. Sebagaimana seperti yang terdapat dalam Pasal 197 ayat 1 huruf f Kitab Undang Hukum Acara Pidana. Bahwa surat Putusan pemidanaan salah satunya adalah memuat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan, disertai keadaankeadaan yang memberatkan dan meringankan. Menurut Pasal 58 KUHP “Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangkan atau meemberatkan pengenaan pidana hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri”. Menurut Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Bahwa putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Hal yang memberatkan dan meringankan sebagaimana ada dalam pertimbangan hakim antara lain: 112 Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan Terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal. Hal-hal yang meringankan antara lain: 1) Terdakwa belum pernah dihukum; 2) Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan; 3) Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat. Hal yang memberatkan pemidanaan bagi pelaku dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt adalah sebagaimana tersurat dalam putusan tersebut adalah perbuatan terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal (orang tua korban). Bahwa perbuatan dari Terdakwa itu dapat dicela, melanggar tiga (3) norma sekaligus yaitu melanggar norma kesopanan, norma agama dan norma hukum, dapat dijabarkan antara lain: 1) Melanggar norma kesopanan yang ada dalam masyarakat, bahwa perbuatan Terdakwa yang melarikan perempuan yang di bawah umur pada waktu yang telah melebihi batas jam bertamu yaitu pukul 21. 00 WIB bisa dikatakan tidak sopan. Bertamu saja pada pukul 21.00 WIB bisa dikatakan tidak sopan apalagi melarikan anak orang lain tanpa ijin dari orangtuanya. Juga dari perilaku korban yang sudah memiliki keluarga sendiri, telah beristri dan mempunyai anak mencerminkan bahwa Terdakwa itu tidak sopan tidak menjaga nama baik keluarganya 113 dan nama baik dari keluarga korban. Perbuatan Terdakwa bisa dikatakan tidak patut, dan perilakunya dapat dicela oleh masyarakat. 2) Melanggar norma agama, bahwa perbuatan Terdakwa dapat mencerminkan kurangnya iman pada diri Terdakwa, karena Terdakwa yang telah beristri dan mempunyai satu anak, akan tetapi tergoda pada perempuan lain yaitu si korban dan menaruh rasa suka terhadap korban sampai akhirnya membuat janji dengan korban untuk pergi dari rumah tanpa ijin. Bisa dikatakan perbuatan Terdakwa dekat dengan zina. Kepergian Terdakwa juga membawa pergi Korban Cheers Cafe di mana ditempat tersebut banyak alkohol, dan mengajak korban untuk minum minuman keraspun itu dikatakan melanggar norma agama, karena alkohol menurut norma agama islam tergolong zat yang haram. Korban dan Terdakwa di sini memeluk agama islam. 3) Melanggar norma hukum, bahwa perbuatan Terdakwa sudah jelas melanggar norma hukum, yaitu melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP. Perbuatan Terdakwa tergolong dalam kejahatan terhadap kemerdekaan orang. Dengan melihat pelanggaran-pelanggaran norma tersebut di atas menimbulkan perasaan malu bagi kelurga korban, karena perbuatan tersebut dapat dicela oleh hukum dan masyarakat. Hal-hal yang meringankan pemidanaan bagi Terdakwa antara lain: 114 1) Terdakwa belum pernah dihukum Dalam hal ini terdakwa belum pernah dihukum, bahwa perlakuan aparat penegak hukum terhadap Terdakwa yang baru pernah dihukum dengan Terdakwa yang telah dihukum lebih dari sekali (residivis) tetap berbeda, Majelis hakim tetap menghukum lebih berat seorang residivis, karena dilihat dari tujuan pemidanaan yang paling utama adalah untuk membuat Terdakwa jera, akan tetapi ternyata pelaku kembali melakukan kejahan sehingga berdasarkan hal tersebut Majelis hakim akan memperberat pemidanaan bagi residivis. 2) Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga perbuatannya memperlancar jalan persidangan. Bahwa Terdakwa yang kooperatif dalam mengikuti jalannya persidangan, dan mengakui dengan berterus terang memperlancar jalannya persidangan, akan membuat Majelis Hakim mempertimbangkan sikap baik dari Terdakwa sehingga tanggapan Majelis Hakim bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya, dan mempunyai iktikad baik. 3) Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat. Bahwa usia dari terdakwa yang masih muda dengan ringannya putusan diharapkan Terdakwa akan memperbaiki dirinya karena masa depan Terdakwa masih panjang, apalagi Terdakwa berprofesi sebagai 115 anggota PNS Polisi yang secara psikologis memangku beban moral bahwa dirinya harus lebih baik, menjaga nama baik dirinya dan instansi Kepolisian. Dengan permasalahan tersebut setidaknya membuat jera si Terdakwa dan dengan permasalahan tersebut ia akan lebih baik, dalam mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat. Menurut pendapat dari penulis bahwa seharusnya Majelis Hakim memasukan pertimbangan mengenai Terdakwa yang berprofesi sebagai anggota Polisi namun melakukan tindak pidana, seharusnya hal itu dijadikan pertimbangan yang memberatkan bagi Terdakwa, karena secara moral Terdakwa adalah sebagai penegak hukum yang tahu aturan akan tetapi ia melanggar sendiri aturan yang seharusnya ia tegakkan. Terdakwa sebagai penegak hukum anggota Polisi telah melanggar etika pengabdian, yaitu telah melakukan perbuatan yang sifatnya merendahkan perempuan, karena Terdakwa secara melawan hukum telah melakukan kejahatan terhadap kebebasan perempuan yang masih di bawah umur. Dari pertimbangan putusan dalam hal faktor yang memberatkan dan meringankan tersebut tidak dimasukan pertimbangan sosiologis mengenai peranan korban apakah peranan korban tersebut menjadi faktor yang memberatkan ataupun meringankan pemidanaan. Menurut Budi Setywan, bahwa dalam mempertimbangkan sebuah putusan pemidanaan, salah satunya adalah harus mempertimbangkan masalah victimology, khususnya mengenai masalah peranan korban, karakter atau sifat dari korban. Bahwa, dalam terjadinya tindak pidana 116 melarikan perempuan di bawah umur dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt korban mempunyai peranan aktif baik secara fisik maupun non fisik. Secara fisik korban yang kabur, dengan cara melompati pagar rumahnya, berjalan menuju jembatan dekat rumahnya yaitu jembatan Kober, kemudian mau ikut pergi bersama Terdakwa dan temanteman Terdakwa, menjadi faktor pemicu terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur. Secara non fisik perilaku dari korban yang bisa dikatakan kurang baik, terlihat bahwa korban mau diajak oleh Terdakwa bersama dengan teman-teman lelakinya untuk pergi ke Cheers Cafe di Purwokerto dan di sana minum-minuman keras hingga mabuk. Selain itu dalam memutus perkara tersebut hakim juga mempertimbangkan keterangan korban, keterangan saksi, dan keterangan Terdakwa sebagai penguat keyakinan Hakim dalam putusannya. Dari keterangan korban: Dapat dilihat bahwa korban yang belum terlalu mengenal Terdakwa, mau dijemput dan diajak pergi ke Cheers Cafe dan minum-minuman keras bersama Terdakwa, dan teman-teman terdakwa. Dari Keterangan saksi: Saksi Subismo Tegar dan saksi Ranggi mengatakan bahwa korban mau dijemput oleh Terdakwa, korban ikut minum-minuman sampai mabuk dan meminta sejenis obat untuk menurunkan alkohol kepada Ajeng. 117 Dari keterangan Terdakwa: Bahwa menurutnya korban yang minta ikut untuk pergi bersama Terdakwa dalam rangka merayakan ulang tahunnya di Cheers Cafe. Dari hal-hal tersebut, Majelis hakim telah memperoleh beberapa alat bukti yang sah menurut undang-undang (keterangan saksi, keterangan ahli yang dituangkan dalam surat visum, dan keterangan Terdakwa) yang sudah dapat dijadikan dasar memutus perkara, dan Majelis hakim juga telah mempunyai keyakinan bahwa Terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana. Akan tetapi selain hal-hal tersebut Majelis Hakim juga mempunyai keyakinan bahwa korban ikut berperan dalam terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa. Perbuatan dari korban adalah sama salahnya dengan pelaku. Sehingga dalam hal ini menurut hakim masalah peranan korban dapat dijadikan sebagai hal yang meringankan. Akan tetapi masalah peranan korban tersebut secara eksplisit tidak disebutkan dalam pertimbangan putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt. Seharusnya Hakim dalam memutus perkara harus memasukan pertimbangan-pertimbangan sosiologis salah satunya adalah mengenai peranan korban. Sehingga terlihat adanya perhatian mengenai aspek masalah korban (victim), yang mendasarkan pada victimology. Menurut Budi Setyawan, bahwa apabila dalam mempertimbangkan perkara ini konsen terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka hukuman yang 118 diancamkan akan lebih berat, karena dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut ada ketentuan minimal dan ketentuan maksimal mengenai pemidanaan serta ketentuan denda. Akan tetapi dalam perkara ini di mana, dalam fakta hukum yang terungkap dalam persidangan ada tingkat peranan korban, maka sistem peradilan pidana khususnya Penuntut Umum, konsen terhadap Kitab Undang Hukum Pidana, dan mendasarkan bahwa adanya partisipasi korban ataupun peranan korban dipertimbangkan sebagai alasan yang meringankan. Dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt Majelis Hakim tidak mempertimbangkan masalah perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Hal ini terlihat dari tuntutan Jaksa Pentuntut umum, yang tidak memasukan masalah tuntutan perlindungan hukum bagi korban yang bersifat konkrit seperti: upaya rehabilitasi, pemberian restitusi dan kompensasi. Majelis Hakim hanya memberikan perlindungan yang bersifat abstrak seperti: Sidang dilakukan secara tertutup, sehingga korban merasa aman, tidak merasa malu, karena perkaranya diperiksa di pengadilan, dan dengan di tahannya Terdakwa, secara tidak langsung telah memberikan rasa aman bagi korban. Untuk masalah perlindungan hukum bagi korban, perlindungan hukum yang bersifat konkrit tidak dimasukan oleh Jaksa Penuntut umum dan tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, karena dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt telah terbukti, bahwa dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur ada peranan dari 119 korban yang tidak dapat dikesampingkan, dan juga setelah melihat hasil visum et repertum bahwa pada diri korban DVD tidak ditemukan bekas rudapaksa dan tidak ditemukan adanya gangguan kesehatan (tubuh) untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari. Mendasarkan pada hal tersebut bahwa perlindungan hukum tidak diberikan oleh negara melalui perantara majelis hakim karena melihat dari aspek kepatutan dan aspek kebutuhan, hal tersebut dirasa kurang perlu karena secara fisik korban tidak mengalami luka fisik yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari. Dalam bukunya JE Sahetapy dijelaskan pula ada faktor-faktor dari Korban yang berpengaruh terhadap putusan peradilan. Walaupun peraturan hukum sudah digariskan bahwa si hakim tidak boleh menilai hal-hal lain kecuali faktor yang ditetapkan oleh hukum. Namun dalam memutuskan berat ringannya putusan suatu perkara seringkali para Hakim dan Jaksa terpengaruh dengan faktor-faktor non hukum antara lain:137 1) Sifat kepribadian si jaksa atau hakim Bahwa sifat kepribadian dari si Jaksa atau si Hakim mempengaruhi berat ringannya tuntutan/putusan yang dijatuhkan kepada Terdakwa. Karena si hakim atau si jaksa sifatnya subjektif, juga memperhatikan dari tujuan pemidanaan itu sendiri, apakah lamanya pemidanaan akan memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi si Terdakwa. 137 JE Sahetapy, 1987, Op. Cit., Hal. 92-93 120 2) Faktor penampilan Terdakwa dan pengacara Penampilan Terdakwa dan pengacara di ruang pengadilan, seperti gaya bicara, postur duduk dan berdiri, cara mempresentasikan argumentasi ikut mempengaruhi berat ringannya putusan yang diberikan. Dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, Terdakwa kooperatif, mengakui dengan terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan, dan juga Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat. Hal-hal tersebut, juga masuk ke dalam hal-hal yang meringankan Terdakwa. 3) Faktor diri si korban Dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa faktor dari sifat kepribadian korban yang kooperatif (ikut berperan) dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur, ini ikut mempengaruhi berat ringannya berat ringannya pidana atau hukuman si Terdakwa. B. Pidana Yang dimaksud dengan pidana yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Bahwa Penerapan hukum pidana 121 berkaitan erat dengan terpenuhinya unsur-unsur dalam tindak pidana, dan penjatuhan sanksi pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana yang dilakukan. Di dalam KUHP berlaku jenis-jenis pidana yang diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Ada beberapa hal pokok yang mempengaruhi kualitas penetapan pidana yang dijatuhkan. Sehingga dalam penetapan pidana, Sudarto menganjurkan kepada hakim agar “pertama-tama yang dipahami benar oleh hakim adalah “apa makna kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana”. Tidak cukup dengan mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatan, sehingga ada kesan bahwa pemidanaan adalah suatu pembalasan, apalagi apabila ada peranan korban di dalam tindak pidana. Dan perlu kita ingat bahwa negara kita menganut teori pembuktian negatif (negative wetelijk theorie) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dengan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, dapat diketahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan tindak pidana, yaitu: a) Adanya pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dengan telah diajukannya barang bukti 122 oleh Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang berupa: 1) Keterangan saksi Saksi: DVD (Saksi Korban), Amin Naufal, Asih Kusmiandini, Gemilang Dwiki Lisprianda, Awal Amin Supriyadi, Subismo Tegar, Ranggi Ade Yulizar, dan Rendi Wibowo. 2) Surat Berdasarkan surat yang telah di bacakan dalam persidangan yaitu Visum et Repertum atas nama DVD Nomor: 002/IV/VER/RSIP/2012/R tanggal 27 April 2012 yang ditanda tangani oleh dr. Rena Susilo Dokter Rumah Sakit Islam Purwokerto, yang disebutkan bahwa tidak ditemukan bekas akibat rudapaksa dan tidak terdapat gangguan kesehatan (tubuh) untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari. 3) Petunjuk a) 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun 2006 No Ka: MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131; b) 1 (satu) buah STNK An. Farid Puntodewo, Alamat Jalan Stasiun 554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap. Dikembalikan kepada pemiliknya melalui Terdakwa; c) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada Terdakwa; 123 d) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan kepada saksi DVD ; e) Keterangan Terdakwa yaitu Mochammad Yusuf Syarifudin 4) Mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP huruf (f). Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan Terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal. Hal-hal yang meringankan antara lain: Terdakwa belum pernah dihukum, Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan, Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat. Mendasarkan pada hal-hal di atas, Majelis Hakim memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti secara sah, dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan Perempuan di bawah umur tanpa di kehendaki orang tuanya di luar perkawinan” seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan karena tidak ditemukan alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan hukum dan alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri Terdakwa, maka Terdakwa harus dinyatakan salah dan kepadanya harus dijatuhi pidana. Terdakwa melanggar Pasal 332 ayat 1 ke-1 KUHP. 124 Dalam putusannya, Majelis Hakim menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, memerintahkan Terdakwa untuk ditahan, dan membebankan kepada Terdakwa untuk membayar perkara sebesar Rp. 1.000,00 (Seribu rupiah). Hukuman atau pemidanaan selama 3 (tiga) bulan tidak menyimpangi aturan yang ada dalam hukum formil karena sudah sesuai dengan aturan yang ada dalam Pasal 183 KUHAP, hakim dalam menjatuhkan putusan pidana harus mendasarkan kepada sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Apalagi bila dilihat fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tersebut, ada peranan dari korban yang tidak dapat dikesampingkan, korban mempunyai peranan sebagai precipitative victim, akibat dari ketidak hati-hatiannya, ia menjadi korban kejahatan, dan juga korban mempunyai kesalahan yang sama dengan pelaku. Kesalahan dari Terdakwa dan korban berwujud pada, kesengajaan dari Terdakwa yang mengajak pergi korban dan adanya peran in causa dari korban berupa persetujuan dan tindakan dalam rangka mewujudkan persetujuan tersebut yaitu mengambil kewenangan dari orang tuanya untuk pergi. Sifat kesalahan yang sama antara Terdakwa dengan korban berimplikasi pada masalah penjatuhan sanksi. Dengan adanya peranan dari korban dalam tindak pidana yang tidak bisa di kesampingkan tersebut, sudah pasti menentukan lama tidaknya penjatuhan pidana, karena adanya tindak pidana tersebut, bukanlah murni dari kesalahan pelaku. Sehingga 125 putusan pidana tersebut diharapkan akan memberikan keadilan, bagi korban maupun bagi pembuat kejahatan atau pelaku. Dalam penjatuhan hukuman atau pemidanaan, selain menegakan hukum, keadilan, kepastian, juga harus mengejar kemanfaatan. Apakah dengan penjatuhan hukuman tersebut bermanfaat bagi pelaku, korban dan masyarakat. Karena tujuan dari pemidanaan tidak semata-mata untuk memberikan penderitaan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi bertujuan untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana tersebut dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Seperti pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa pemidanaan tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan pembuat saja, atau juga hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dalam arti, bahwa pemidanaan harus mengacu pada perspektif keseimbangan, yaitu keseimbangan kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban.138 Tujuan lain dari hukum adalah untuk memberikan kemanfaatan, putusan pemidanaaan tersebut bermanfaat bagi Terdakwa yang memberikan efek penjeraan supaya Terdakwa bisa lebih memperbaiki dirinya, apalagi Terdakwa adalah seorang Polisi yang seharusnya memberikan contoh yang baik dalam berperilaku sebagaimana aparat yang seharusnya menegakkan hukum, dan dengan pemidanaan tersebut memberikan pendidikan moral yang penting supaya Terdakwa lebih bisa menjaga sikapnya dan berperilaku sebagaimana Polisi yang seharusnya lebih baik. Bagi korban bahwa dengan dipidananya Terdakwa akan memberikan jaminan keamanan, dan perlindungan bagi korban. Bagi masyarakat 138 bahwa dengan dipidananya M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 113 Terdakwa atau pelaku, 126 memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat karena masyarakat untuk sementara waktu terhindar dari pelaku kejahatan sampai akhirnya narapidana tersebut kembali dan sudah dalam keadaan yang baik, telah jera sehingga tidak akan melakukan tindak pidana lagi. 127 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN 1. Peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt antara lain: a) Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi Bahwa Tindak Pidana Melarikan Perempuan di bawah umur tersebut dikehendaki oleh korban, ada persetujuan antara korban dan Terdakwa. b) Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela (The victim as gulity as the offender and voluntary victim). Bahwa kesalahan dari Terdakwa adalah dengan sengaja mengajak korban untuk pergi tanpa ijin dari orang tuanya, dan kesalahan dari korban adalah korban sendiri meminta untuk dijemput oleh Terdakwa dan korban meminta untuk masuk ke dalam Cheers Cafe. Dapat dikatakan Terdakawa mempunyai kesalahan yang sama dengan korban. Korban di sini juga tidak menyadari bahwa ia menjadi korban kejahatan. c) Korban tidak berhati-hati dalam berperilaku (Precipitativ victim) Bahwa korban tidak berhati-hati dalam berperilaku yaitu bersedia untuk dibawa pergi oleh Terdakwa yang belum kenal karakternya. 128 2. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan Korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt telah mendasarkan pada aspek perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, oleh karena syarat-syarat tertentu telah terpenuhi maka dijatuhkan pidana penjara selama tiga (3) bulan. Penjatuhan sanksi telah memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, salah satu aspek yang meringankan adalah aspek tentang kesalahan dari korban yang seimbang dengan pelaku sehingga aspek kesalahan tersebut bersifat meringankan sanksi pemidanaan, hal tersebut menjadi bagian dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Peranan korban tersebut secara implisit menjadi pertimbangan yang meringankan sanksi. B. SARAN 1. Bagi anggota POLRI sebaiknya makin memperketat pengawasan terhadap anggotanya dan perlu meningkatkan pendidikan etika profesi kepolisian, sehingga tidak ada lagi anggota yang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, yang merugikan hak orang lain terutama penduduk sipil yang seharusnya dilindungi, dan diayomi oleh anggota POLRI terutama kepolisian. 2. Saran bagi Hakim adalah perlunya analisis mendalam lagi tentang masalah viktimologi, sehingga tercipta suatu kualitas putusan yang baik, di mana aspek peranan korban sangatlah penting salah satunya adalah dalam 129 menentukan lamanya pemidanaan. Selain mempertimbangakan mengenai aspek peranan korban, hakim juga seharusnya mempertimbangkan mengenai asas culpa in causa di mana asas tersebut berakaitan erat dengan permasalahan korban yang membawa dirinya ke dalam keadaan yang berbahaya, dalam mempertimbangkan kasus-kasus yang mungkin sedang diadili. Dalam putusan ini Hakim seharusnya secara ekplisit memasukan pertimbangan sosiologis mengenai peranan dari korban apakah akan mengurangi atau mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan, sehingga dirasa akan lebih adil dan transparan dalam putusannya. Dalam mempertimbangkan hal yang memberatkan, seharusnya hakim lebih jeli karena masih ada aspek lain yang memberatkan Terdakwa seperti kedudukan Terdakwa yang harusnya menegakkan hukum justru menyimpangi hukum. 3. Sebaiknya Pemerintah, melalui dinas-dinas sosial memberikan penyuluhan mengenai, gaya hidup masyarakat, karena setiap orang dapat beresiko menjadi korban kejahatan. 4. Bagi masyarakat sebaiknya menjaga segala hak milik, baik benda, harta, maupun yang berwujud kehormatan, supaya terhindar dari resiko menjadi korban dalam tindak kejahatan. 130 DAFTAR PUSTAKA Effendi, Yazid. 2001. Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan. Purwokerto: Penerbit UNSOED. Gosita, Arif. 1983. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo. Haar, Ter Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. 1985. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Cetakan kedelapan. Jakarta Pusat: Prandya Paramita. Ibrahim, Jhony. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia Iswanto dan Angkasa. 2011. Diktat Kuliah Viktimologi, Purwokerto: Fakutas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. 1995. Latihan Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Sinar Grafika. Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico. _________1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan kedua, Bandung: Sinar Baru. M, Dikdik, Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta: PT RajaGrafindo. Moch, H.A.K. Anwar, (Dading). 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP BUKU II) Jilid I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Penerbit Alumni. Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Prodjodikoro, Wirdjono. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. _________2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Aditama. Sahetapy, JE. 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Saleh, Roeslan.1987. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara baru. 131 Sholehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soekanto, Soerdjono.1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. _________dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sudarto. 1990/1991. Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Susanto, IS. 2011. Kriminologi. Purwokerto: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Utrecht. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Perundang-undangan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sumber lain: Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dengan Nomor Register Perkara: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt Wawancara dengan Budi Setyawan, S.H., M.H selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto tanggal 4 Maret 2013 http://id. wikipedia.wiki.org/wiki/remaja, diakses tanggal 17 Februari 2013. Soekamto, Kajian Akademik Culpa in causa, 2011. Tersedia http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+ CAUSA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 , diakses tanggal 10 Mei 2013