BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Organ Reproduksi Pria 2.1.1. Testis 2.1.1.1. Perkembangan Embriologi Testis Diferensiasi jenis kelamin adalah suatu proses rumit yang melibatkan banyak gen. kunci untuk dimorfisme seksual adalah kromosom Y yang mengandung gen penentu testis yang dinamai gen SRY (sexdetermining region on Y). Meskipun jenis kelamin zigot ditentukan secara genetis pada saat pembuahan, gonad belum memperoleh karakteristik morfologis pria atau wanita sampai minggu ketujuh perkembangan. 7, 8 Gonad mula-mula berkembang dari genital ridge kanan dan kiri. Keduanya terbentuk oleh proliferasi epitel dan pemadatan mesenchyme di bawahnya. Pada awalnya, sel germinativum primordial bermigrasi dari yolk sac dan menginvasi gonadal ridge. Sebelum germinativum primordial menginvasi gonadal ridge, epitel gonadal ridge berproliferasi lalu membentuk chorda seks primitif dan terbentuklah gonad yang belum berdiferensiasi. Testis berkembang dari gonad yang belum berdiferensiasi ini dan karena pengaruh dari gen SRY mempengaruhi gonad menjadi testis. Diferensiasi organ genitalia pria juga distimulasi oleh 2 faktor yaitu sel leydig yang memproduksi testosterone yang menstimulasi perkembangan ductus wolfii menjadi organ genitalia interna pada pria. Sel Sertoli memproduksi AMH (Anti Mullerian Hormone) yang menyebabkan regresi dari ductus mulleri. 8 7 8 2.1.1.2. Fisiologi Testis Testis memproduksi sel gamet pada pria dan hormon sexual pada pria. Secara morfologi testis dibagi menjadi 2 kompartemen yaitu Tubular Compartment (tubulus seminiferus) dan Interstitial compartment (interstitium) yang terletak diantara Tubular Compartment. Walaupun secara anatomis kedua kompartemen ini terpisah, keduanya memiliki hubungan fungsional yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk menghasilkan sel sperma yang baik secara kualitas dan kuantitas maka kedua kompartemen tersebut sangat dibutuhkan. Fungsi dari kedua kompartemen ini sangat dipengaruhi oleh struktur dari hypothalamus dan hypofisis (regulasi hormonal). Selain itu, kompartemen ini juga mempunyai peran penting untuk mengatur kerja hormonal testis secara lokal (Parakrin dan autokrin).9 10 Tubular compartment (tubulus seminiferous) mengisi 60-80% dari volume testis total. Kompartemen ini terdiri dari sel germinativum (cellula spermatogenica) yang berproliferasi dan dua jenis sel somatik yaitu sel peritubular (epitel germinal) dan sel Sertoli yang tidak berproliferasi.11 Sel peritubular (myofibroblasts) adalah sel yang mengisi dari dinding tubulus seminiferous. Sel ini terdiri dari 6 lapisan konsentris yang dipisahkan satu sama lain oleh serat kolagen. Sel ini menghasilkan protein kontraktil yang fungsinya adalah mengantar sperma untuk keluar dari tubulus seminiferous menuju ductus efferent melalui kontraksi peristaltic dari tubulus (Harris dan Nicholson 1998). Kontraksi sel ini dipengaruhi secara potensial oleh oxytocin, prostaglandin, androgen. Pada masa prepubertas myofibroblast ini 9 tidak mengandung protein kontraktil. Namun, dibawah pengaruh testosterone maka protein kontraktil diproduksi dan demikian pula dengan kontraktilitas dari tubulus. Penebalan pada kolagen diantara sel peritubuler menyebabkan gangguan pada aktivitas sperma.8, 9 Sel Sertoli adalah sel somatik yang terletak didalam epitel germinativum. Pada masa dewasa sel ini sudah tidak bermitosis. sel Sertoli mensintesis dan mensekresi banyak faktor dan zat kimiawi seperti protein, sitokin, growth factors, opioid, steroid, prostaglandin, dan lain-lain. Secara umum diasumsikan bahwa sel Sertoli mengkoordinasi proses spermatogenik. Fungsi penting Sertoli lainnya adalah bertanggung jawab dalam produksi dari sperma. Menurut Zhengwei et al 1997, jumlah sel Sertoli yang banyak menghasilkan jumlah sperma yang lebih tinggi dengan asumsi bahwa sel Sertoli dalam keadaan normal. Jika terjadi penurunan jumlah sel Sertoli maka produksi sperma juga terganggu. Proliferasi dari sel Sertoli pada masa prepubertas dipengaruhi oleh androgen dan FSH (follicle-stimulating hormone). Sel Sertoli juga berperan sebagai blood testis barrier. Gangguan sel Sertoli pada masa pubertas menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis dalam tubulus seminiferous.8, 9 Sel Germinativum adalah sel yang mengisi kompartemen tubuler dari testis yang berperan dalam proses spermatogenesis untuk menghasilkan sel sperma. Proses spermatogenesis mencakup pembelahan mitosis sel spermatogenik, yang menghasilkan sel induk pengganti dari sel spermatogenik lain yang akhirnya menghasilkan spermatosit primer 10 (spermatocytus primarius) dan spermatosit sekunder (spermatocytus secundarius). Baik spermatosit primer maupun sekunder mengalami pembelahan meiosis yang mengurangi jumlah kromosom dan DNA. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan sel yaitu spermatid (spermatidium) yang mengandung 23 kromosom tunggal (22+X atau 22+Y). Spermatid tidak mengalami pembelahan lanjut, tetapi berubah menjadi sperma melalui proses yang disebut spermiogenesis. Setelah berdiferensiasi, sel spermatogenik di epitel germinal disatukan oleh jembatan antarsel (pons intercellularis) selama proses diferensiasi dan perkembangan selanjutnya. Pons intercellularis terputus jika spermatid yang berkembang dilepaskan ke dalam tubuli seminiferi berupa sperma matang. Gambar 1. Gambaran tubulus testis dilihat dengan mikroskop dengan perbesaran 400x. 12 Spermiogenesis adalah suatu proses morfologik yang mengubah spermatid bulat menjadi sel sperma yang memanjang. Selama spermiogenesis, ukuran dan bentuk spermatid berubah, dan kromatin nucleus 11 memadat. Pada fase golgi, terjadi akumulasi granula halus apparatus golgi spermatid dan membentuk granulum acrosomaticum di dalam vesicula acrosomatica terbungkus membran. Selama fase akrosomal, vesicula acrosomatica dan granulum acrosomaticum menyebar di inti spermatid yang memadat di ujung anterior spermatid berupa acrosome. Acrosoma berfungsi sebagai suatu jenis khusus lisosom dan mengandung beberapa enzim hidrolitik, misalnya hialuronidase dan protease dengan aktivitas mirip tripsin, yang membantu sperma dalam menembus corona radiata dan membrane zona pelusida yang mengelilingi sel ovum. Selama fase maturasi, membran plasma bergeser ke posterior dari nucleus untuk menutupi flagellum (ekor sperma) yang sedang tumbuh. Mitokondria bermigrasi dan membentuk selubung yang rapat di sekitar pars intermedia flagellum. Fase pematangan akhir ditandai oleh terlepasnya kelebihan atau sisa sitoplasma spermatid dan pelepasan sel sperma kedalam lumen tubulus seminiferous.11 Proses pelepasan ke tubulus ini disebut dengan proses spermiasi yang dipengaruhi oleh hormon, temperatur, dan toxin. Sel sperma yang tidak dilepaskan kedalam tubulus akan difagosit oleh sel Sertoli. Pada Interstitial compartment mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, makrofag, fibroblast dan sel leydig. Kompartemen ini mengisi 12-15 % volume testis total. Dimana, 10 -20 % dari kompartemen ini diisi oleh sel leydig. Sel leydig berkembang dari jaringan mesenkim dan fibroblast-like cells di interstitial. Sel leydig kaya akan reticulum endoplasma yang halus dan mitokondria. Karakteristik sel seperti ini khas untuk sel yang 12 dapat menghasilkan hormon steroid seperti pada kelenjar adrenal dan ovarium. Komponen pada sitoplasma sel leydig lainnya adalahgranula lipofuscin, yang merupakan produk akhir dari proses endositosis dan degradasi lisosom, dan lipid dimana disini terjadi sintesis dari hormon testosterone. Proliferasi dari sel leydig ini pada masa dewasa dipengaruhi oleh hormon LH. Pada masa fetal, diferensiasi sel mesenkim dan fibroblast-like cells juga dipengaruhi oleh hormon LH. 2.2. Pengaruh Hormon Terhadap Testis 2.2.1. Pengaturan Sekresi Hormon oleh Axis Hypothalamo Pytuitari 2.2.1.1. Pengaturan Sekresi FSH dan LH oleh Hypothalamus Kelenjar hipofisis anterior menyekresi dua hormon gonadotropin: (1) follicle stimulating hormone (FSH); dan (2) luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini penting dalam mengatur fungsi seksual pada pria. Pada laki-laki dan perempuan, hypothalamus mengatur sekresi gonadotropin melalui system portal hipotalamus-hipofisis. Meskipun ada dua jenis hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH yang berbeda, namun hanya ada satu hypothalamic-releasing hormone yang ditemukan yaitu Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). GnRH dilepas dari hipotalamus, lalu berikatan dengan resptor yang spesifik yang terdapat hipofisis anterior dan untuk mensekresi FSH dan LH yang sebelumnya disintesis dalam hipofisis anterior dan disimpan dalam granula sekresi yang terdapat pada hipofisis anterior. FSH dan LH sudah terdapat dalam hipofisis anterior sejak masa gestasi 10 13 minggu dan selama 12 minggu dalam peredaran darah di perifer. Pada masa fetus kadar FSH jauh lebih tinggi daripada kadar LH. Sekresi LH merangsang produksi testosterone dan proses stroidogenesis melalui pengikatan dengan reseptor pada membrane plasma sel leydig dan aktivasi enzim adenil siklase, sehingga terjadi peningkatan cAMP intrasel. Kerja ini meningkatkann laju pengangkutan kolesterol oleh Steroidogenic Acute Regulatory Protein (StAR) dan pemutusan rantai samping kolesterol oleh P450cc. Testosteron yang dihasilkan dapat melakukan pengendalian umpan balik negatif pada hipotalamus lewat inhibisi GnRH, produksi GnRH atau keduanya.13 Hormon FSH terikat pada sel Sertoli dan meningkatkan androgenbinding protein (ABP) yang merupakan glikoprotein yang mengikat testosterone. ABP disekresikan kedalam lumen tubulus seminiferous, dan pada proses ini testosterone yang dihasilkan oleh sel leydig diangkut dalam konsentrasi tinggi kedalam tubulus dan memperngaruhi tahap dari spermatogenesis. Selain itu, sel Sertoli juga menghasilkan inhibin yang memberikan umpan balik negatif pada hipofisis untuk mengatur sekresi dari FSH.13 2.2.2. Steroidogenesis Steroidogenesis pada testis terjadi dalam mikrosom testis. Dimana, kolesterol diubah menjadi pregnolon oleh P450cc di testis. Lalu dengan bantuan dari enzim 3β-Hidroksisteroid Dehidrogenase menjadi progesteron. 14 Adanya enzim 17α-Hidroksilase akan mengubah progesterone menjadi 17OH-Progesteron. Lalu enzim C17,20 Liase akan mengubahnya menjadi Dehidroepiandrosteron (DHEA). Dengan enzim 3β-Hidroksisteroid Dehidrogenase, DHEA diubah menjadi androstenedion. Androstenedion diubah menjadi testosterone oleh enzim 17β-Hidoksisteroid Dehidrogenase. Testosterone direduksi menjadi bentuk aktif yaitu Dehidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-Reduktase. Selain menjadi DHT, testosterone juga diubah oleh aromatase menjadi metabolit hormon estrogen aktif dalam tubuh. Dalam bentuk 17β-Estradiol.10, 13, 14 Gambar 2. Steroidogenesis dalam testis menghasilkan hormon testosterone dan estrogen.15 2.2.3. Efek Hormon Androgen pada Testis 2.2.3.1. Efek Testosteron pada Testis 15 Testosterone sudah diproduksi oleh testis fetus pada minggu ke 10 masa gestasi, dibawah pengaruh stimulasi LH fetal dan hCG maternal. Pada masa perkembangan testis, yakni pada minggu ke 8 masa gestasional, DHT berpengaruh poten terhadap perkembangan dari gonadal ridge. Pada masa diferensiasi ini jumlah testosterone fetal dalam jumlah yang maximal. Yaitu, dalam minggu ke9-14 masa gestasional. Dimana, jumlah maximal ini cukup untuk memproduksi DHT melalui proses enzimatik. Pengaruh testosterone lainnya adalah mempengaruhi penurunan testis dari cavum abdominal ke scrotum dengan bantuan gubernaculum testis. Gubernaculum memendek mulai dari minggu ke 25 kehamilan sampai pada minggu ke 28 testis sudah berada didalam canalis inguinalis dan pada minggu ke 12 setelahnya 97% anak sudah mengalami penurunan testis yang komplit. Gubernaculum testis memiliki reseptor androgen terbukti dengan anak dengan testis yang tidak turun memiliki reseptor untuk hormon androgen yang sedikit (Hosie et al.1999). Pada proses spermatogenesis, testosterone berfungsi dalam memacu maturasi dari sel germinativum dan dengan bantuan dari FSH maka terjadilah proses spermatogenesis yang sempurna.13 Testosterone secara sistemik berfungsi pada banyak organ karena adanya reseptor testosterone yang terdapat pada organ tersebut.9 2.2.3.2. Efek Estrogen pada spermatogenesis Sintesis estrogen pada testis adalah dalam bentuk metabolit 17βestradiol terjadi di sel leydig dibantu oleh enzim aromatase. Pada axis hypothalamo-pituitari axis estrogen berperan memeberikan feedback 16 negative pada axis ini.16 Pada sebuah dosis tunggal pemberian estradiol benzoate selama 1 hari pada tikus dewasa menyebabkan penurunan sekresi GnRH dan respon hipofisis terhadap rangsangan GnRH dan menurunkan jumlah serum FSH, LH dan testosterone level secara konsekuen. Spermatogenesis tergantung dari keseimbangan hypothalamo-pituitary-testis axis, dan estrogen dalam keseimbangan ini memilki peran sehingga karena hal ini estrogen mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap spermatogenesis. Secara langsung efek estrogen pada spermatogenesis adalah mempengaruhi maturasi dari sel germinativum.17 Hal ini dikarenakan sel germinativum memiliki reseptor estrogen dan local aromatatase dalam setiap fase perkembangan dari sel germinativum.16, 17 Pengaruh estrogen terhadap spermatogenesis telah banyak dibuktikan. Pada tikus yang fenotip ERαKO (reseptor estrogen yang dimutasi sehingga tikus tidak memiliki estrogen reseptor) memiliki jumlah sel germinativum yang terganggu perkembangannya dan penurunan jumlah spermatid matur dalam epididymis. Paparan berlebih dari estrogen dapat memacu terjadinya apoptosis pada sel spermatogenik melalui jalur mitokondria.18 Paparan dari estrogen yang berasal dari luar baik intra uterin maupun pada masa neonatal dapat menghasilkan perkembangan testis dan fungsinya yang terganggu. Estrogen yang berasal dari lingkungan walaupun masih sedikit data yang melaporkan, namun dibuktikan dapat mengganggu aktivitas spermatogenesis dari testis, dan menurunkan jumlah sperma atau gangguan pada kesehatan reproduksi pada laki-laki. Paparan dosis tinggi estrogen 17 secara partikuler memberikan efek berupa feminisasi permanen pada pria, penurunan massa organ, menurunkan produksi sperma, dan fertilitas yang terganggu.3 Dalam beberapa literatur menunjukkan bahwa paparan estrogen yang sangat potent pada masa neonatus pada tikus menunjukkan penghambatan terhadap perkembangan dari spermatogenesis, karena pemberian estrogen potent pada masa neonatus dapat menyebabkan supresi pada sekresi FSH pada waktu dimana hormon ini berperan penting dalam perkembangan sel Sertoli dan spermatogenesis. Paparan 10μg Diethylstilbestrol (DES) yang merupakan estrogen yang sangat poten pada tikus menyebabkan penurunan berat testis pada masa dewasa sekitar 60% dengan gambaran histopatologi testis hanya berisi sel Sertoli dan produksi sperma perhari yang sangat sedikit.3, 16 2.3. Pengaruh Lingkungan Terhadap Reproduksi Pria 2.3.1. Endokrin Disruptor Endocrine disruptor didefinisikan sebagai agent yang berasal dari luar tubuh yang mempengaruhi sintesis, sekresi, dan aksi atau eliminasi dari hormon didalam tubuh yang bertugas untuk mengatur homeostasis, reproduksi, dan atau perkembangan organ didalam tubuh. Ada banyak zat kimia didalam lingkungan yang dipercayai mempengaruhi system endokirn didalam tubuh. Termasuk didalamnya adalah endocrine disruptor, hormonally active agent (HAA), zat estrogen yang berasal dari lingkungan, xeno-estrogen, dan lain-lain.19 18 Zat kimia dalam lingkungan dapat menjadi endokrin disruptor dalam berbagai car. Zat tersebut dapat mempengaruhi sekeresi dari kelenjar endokrin, mengganggu eliminasinya, dan dapat mengganggu mekanisme umpan balik dalam regulasi hormonal tersebut. Pada akhirnya, zat ini dapat menyerupai hormon tersebut dengan berikatan dengan reseptornya, sehingga hormon yang secara fisiologis berikatan dengan reseptor tersebut tidak dapat berikatan karena adanya endokrin disruptor yang berikatan. Pada keadaan ini fungsi hormonal dapat terganggu.1 Pestisida, fungisida, insektisida, atau biasanya produk rumah tangga (nonylphenol, octylphenol), dan zat kimia industry (dioxine, polychlorinated bisphenyls) dapat menjadi endokrin disruptor yang menyerupai hormon estrogen. Walaupun estrogen dari lingkungan ini lebih lemah dari estrogen endogen yang ada didalam tubuh, namun mereka mempunyai karakteristik seperti lipofilik, dan memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat terkumpul didalam jaringan lemak tubuh. Karena gangguan dari sistem endokrin maka akan timbul gangguan pada organ yang diatur fungsinya oleh hormon endokrin tersebut. Contohnya seperti pembentukan organ, pertumbuhan, dan juga pematangan organ reproduksi. Tubuh manusia dapat mengatur secara otomatis produksi dari hormon-hormon endokrin melalui mekanisme feedback. Dimana apabila sekresi dari hormon yang dibutuhkan dirasa sudah cukup atau berlebihan makan organ target atau hormon tersebut akan memberikan signal kepada kelenjar endokrin yang merangsang untuk berhenti memproduksinya. Begitu 19 juga sebaliknya, bila hormon yang dibutuhkan dirasa kurang maka organ target akan mengirim sinyal kepada kelenjar endokrin agar memproduksi hormon yang dibutuhkan. Sehingga akan tercipta keseimbangan dari konsentrasi hormon-hormon tersebut. Normalnya apabila tubuh terpapar EDC, tubuh akan mengurangi jumlah konsentrasi dari EDC agar tidak berefek toksik. Namun terdapat perbedaan mekanisme pada janin, anak-anak, dan masa dewasa. Tentu saja masa janin dan anak-anak lebih rentan terkena dampak EDC, karena mereka masih mengalami masa pertumbuhan dimana sel-selnya masih berdifirensiasi membentuk sel yang lebih sempurna. Begitu juga imunitasnya, pada janin dan anak-anak imunitas belum terbentuk secara sempurna seperti pada dewasa. Karena itulah pada masa janin dan anak-anak akan mendapatkan efek yang lebih buruk dari paparan EDC. 2.3.2. Komponen Organochlorine yang Mempengaruhi Fertilitas Komponen organochlorine seperti zat kimia dioxins, polychlorinated biphenyls dan bifurans tersebar didalam lingkungan yang bersifat toxic terhadap system reproduksi. Zat kimia tersebut memiliki sifat teratogen, atau dapat menyerupai estrogen, anti-estrogen atau anti-androgen. Zat yang menyerupai estrogen yang berasal dari zat kimia lingkungan dikenal dengan nama xenoestrogen. Terkadang sifat xenoestrogen ini dapat saling tumpang tindih dengan zat anti-androgen.9 Paparan pada masa prenatal dari xenoestrogen sudah dijelaskan dapat menghambat perkembangan dari testis, dengan demikian sekaligus dapat menghambat produksi dari sperma dan akhirnya mengganggu fertilitas 20 (sharped dan skakkebaek 1993). Seperti komponen hormon yang aktif, zat ini dapat menghambat proliferasi dari sel Sertoli melalui efek tidak langsungnya pada hormon FSH yang disekresi oleh hipofisis dan efek langsungnya di tingfkat testis. Beberapa penelitian di Eropa, America, dan Asia yang meneliti tentang efek xenoestrogen dapat memiliki efek pada system reproduksi pria melaporkan bahwa, paparan 4-tert-octyphenoll pada tikus dewasa mengganggu kadar gonadotropin dan spermatogenesis (Boockfor dan Blake 1997). P-Nonylphenol juga dilaporkan memiliki kaitan dengan gangguan pada proses spermatogenesis pada paparan dengan dosis mendekatai LD 50 atau lebih (de Jager et al 1999). Beberapa hasil ini menjawab fenomena bahwa zat xenoestrogen atau estrogen like substance dapat berpengaruh pada fertilitas proia yakni pada proses spermatogenesis apabila terpapar berlebihan.9 2.3.3. Pestisida dan Insektisida. Pestisida didefinisikan sebagai zat kimia yang dibuat untuk membunuh fungi, hama tanaman, serangga atau tikus untuk membantu kehidupan rumah tangga, pertanian, dan industry. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 07/PERMENTAN/SR.140/2/2007 mendefinisikan bahwa pestisida adalah zat kimia atau bahan lain dan jasad renik serta virus yang digunakan untuk: 1) memberantas atau mencegah hama-hama tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian. 2) Memberantas rerumputan. 3) Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman yang tidak diinginkan. 4). Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau 21 bagian-bagian tanaman, tidak termasuk pupuk. 5). Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak. 6). Memberantas dan mencegah hama-hama air; 7). Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan; 8). Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air. Sayangnya, zat ini juga membawa efek pada kesehatan manusia. Janin, bayi, dan anak-anak sangat mudah terpengaruh oleh efek toxic dari penggunaan pestisida dan insektisida ini dalam jumlah yang berlebihan. Telah diberitahukan bahwa ada sekitar 2,5 juta ton pestisida telah digunakan di seluruh dunia. Namun tidak lebih dari 1% yang tepat penggunaannya terhadap hama. Sedangkan 99% terpapar secara sembarangan ke lingkungan sekitar dan beberapa diantaranya tersebar jauh dari titik tujuan semula. Beberapa pestisida berefek buruk pada kesehatan manusia yaitu dapat menyebabkan perubahan atau mutasi genetik pada sel manusia, dapat mengubah fungsi hormon endokrin, dan dapat menurunkan kerja dari sistem penghambat tumor manusia. Karena adanya gangguan dari fungsi hormon endokrin maka pestisida tersebut secara langsung mempengaruhi kualitas dari produksi sel sperma pada pria atau pertumbuhan sel telur yang tidak normal pada wanita. Organofosfat yang terkandung dalam pestisida juga dikaitkan dengan adanya infertilitas pada pria dan penurunan bentuk normal dari spermatozoa. 22 2.3.3.1. Propoxur Propoxur adalah non-sistemi insektisida yang ditemukan pada tahun 1959. Prpoxur adalah derivate dari carbamate yang memiliki spectrum luas dalam aksinya untuk memberantas serangga. Propoxur merupakan salah satu dari N-methylcarbamate yang bekerja dengan menghambat kolinesterase pada serangga. Karena toksisitasnya yang rendah pada mamalia, maka propoxur sangat penting secara ekonomis dan digunakan dalam jumlah yang sangat besar untuk kehidupan rumah tangga, agrikultur dan industry. Paling banyak propoxur digunakan dalam bentuk aerosol dalam kehidupan rumah tangga. Propoxur menyebabkan oxidative stress pada testis sehingga mempengaruhi proses spermatogenesis dan pembentukan hormon steroid pada testis. Tikus wistar yang dipapar oleh propoxur menurunkan level testosterone dalam plasma, jumlah sperma di epididymis, dan motilitas dari sperma dibandingkan dengan kelompok kontrol. 20 23 Gambar 3. Struktur dari propoxur. Dikutip dari Chochran R. Propoxur : Risk Characterization Document. In: Agency PRCEP, editor. California1997 2.3.3.2. Transfulthrin Gambar 4. Struktur kimia transfultrin.21 Transfluthrin atau 2,3,5,6-tetrafluorobenzyl (1R,3S)-3-(2-2- dichlorovinyl)-2,2-dimethylcycloprpanecarboxylate memiliki sifat sebagai 24 EDC dan digunakan sebagai pembasmi nyamuk. Transfluthrin banyak tersedia dalam bentuk obat nyamuk lingkaran yang dalam penggunaannya dibakar dan obat nyamuk semprot, memiliki sifat kerja yang sangat cepat untuk membasmi nyamuk dan lalat. Waktu paruh hidrolisis transfluthrin pada suhu 25 derajat Celcius adalah 14 hari pada pH 9, pada pH 7 atau 5 terjadi selama lebih dari 1 tahun.