BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Organ Reproduksi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perkembangan Organ Reproduksi Pria
2.1.1.
Testis
2.1.1.1. Perkembangan Embriologi Testis
Diferensiasi jenis kelamin adalah suatu proses rumit yang
melibatkan banyak gen. kunci untuk dimorfisme seksual adalah kromosom Y
yang mengandung gen penentu testis yang dinamai gen SRY (sexdetermining region on Y). Meskipun jenis kelamin zigot ditentukan secara
genetis pada saat pembuahan, gonad belum memperoleh karakteristik
morfologis pria atau wanita sampai minggu ketujuh perkembangan. 7, 8
Gonad mula-mula berkembang dari genital ridge kanan dan kiri.
Keduanya terbentuk oleh proliferasi epitel dan pemadatan mesenchyme di
bawahnya. Pada awalnya, sel germinativum primordial bermigrasi dari yolk
sac dan menginvasi gonadal ridge. Sebelum germinativum primordial
menginvasi gonadal ridge, epitel gonadal ridge berproliferasi lalu membentuk
chorda seks primitif dan terbentuklah gonad yang belum berdiferensiasi.
Testis berkembang dari gonad yang belum berdiferensiasi ini dan karena
pengaruh dari gen SRY mempengaruhi gonad menjadi testis. Diferensiasi
organ genitalia pria juga distimulasi oleh 2 faktor yaitu sel leydig yang
memproduksi testosterone yang menstimulasi perkembangan ductus wolfii
menjadi organ genitalia interna pada pria. Sel Sertoli memproduksi AMH
(Anti Mullerian Hormone) yang menyebabkan regresi dari ductus mulleri. 8
7
8
2.1.1.2. Fisiologi Testis
Testis memproduksi sel gamet pada pria dan hormon sexual pada
pria. Secara morfologi testis dibagi menjadi 2 kompartemen yaitu Tubular
Compartment
(tubulus
seminiferus)
dan
Interstitial
compartment
(interstitium) yang terletak diantara Tubular Compartment. Walaupun secara
anatomis kedua kompartemen ini terpisah, keduanya memiliki hubungan
fungsional yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk
menghasilkan sel sperma yang baik secara kualitas dan kuantitas maka kedua
kompartemen tersebut sangat dibutuhkan. Fungsi dari kedua kompartemen ini
sangat dipengaruhi oleh struktur dari hypothalamus dan hypofisis (regulasi
hormonal). Selain itu, kompartemen ini juga mempunyai peran penting untuk
mengatur kerja hormonal testis secara lokal (Parakrin dan autokrin).9 10
Tubular compartment (tubulus seminiferous) mengisi 60-80% dari
volume testis total. Kompartemen ini terdiri dari sel germinativum (cellula
spermatogenica) yang berproliferasi dan dua jenis sel somatik yaitu sel
peritubular (epitel germinal) dan sel Sertoli yang tidak berproliferasi.11 Sel
peritubular (myofibroblasts) adalah sel yang mengisi dari dinding tubulus
seminiferous. Sel ini terdiri dari 6 lapisan konsentris yang dipisahkan satu
sama lain oleh serat kolagen. Sel ini menghasilkan protein kontraktil yang
fungsinya adalah mengantar sperma untuk keluar dari tubulus seminiferous
menuju ductus efferent melalui kontraksi peristaltic dari tubulus (Harris dan
Nicholson 1998). Kontraksi sel ini dipengaruhi secara potensial oleh
oxytocin, prostaglandin, androgen. Pada masa prepubertas myofibroblast ini
9
tidak mengandung protein kontraktil. Namun, dibawah pengaruh testosterone
maka protein kontraktil diproduksi dan demikian pula dengan kontraktilitas
dari tubulus. Penebalan pada kolagen diantara sel peritubuler menyebabkan
gangguan pada aktivitas sperma.8, 9
Sel Sertoli adalah sel somatik yang terletak didalam epitel
germinativum. Pada masa dewasa sel ini sudah tidak bermitosis. sel Sertoli
mensintesis dan mensekresi banyak faktor dan zat kimiawi seperti protein,
sitokin, growth factors, opioid, steroid, prostaglandin, dan lain-lain. Secara
umum diasumsikan bahwa sel Sertoli mengkoordinasi proses spermatogenik.
Fungsi penting Sertoli lainnya adalah bertanggung jawab dalam produksi dari
sperma. Menurut Zhengwei et al 1997, jumlah sel Sertoli yang banyak
menghasilkan jumlah sperma yang lebih tinggi dengan asumsi bahwa sel
Sertoli dalam keadaan normal. Jika terjadi penurunan jumlah sel Sertoli maka
produksi sperma juga terganggu. Proliferasi dari sel Sertoli pada masa
prepubertas dipengaruhi oleh androgen dan FSH (follicle-stimulating
hormone). Sel Sertoli juga berperan sebagai blood testis barrier. Gangguan
sel Sertoli pada masa pubertas menyebabkan gangguan pada proses
spermatogenesis dalam tubulus seminiferous.8, 9
Sel Germinativum adalah sel yang mengisi kompartemen tubuler
dari testis yang berperan dalam proses spermatogenesis untuk menghasilkan
sel sperma. Proses spermatogenesis mencakup pembelahan mitosis sel
spermatogenik,
yang
menghasilkan
sel
induk
pengganti
dari
sel
spermatogenik lain yang akhirnya menghasilkan spermatosit primer
10
(spermatocytus primarius) dan spermatosit sekunder (spermatocytus
secundarius). Baik spermatosit primer maupun sekunder mengalami
pembelahan meiosis yang mengurangi jumlah kromosom dan DNA.
Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan sel yaitu spermatid
(spermatidium) yang mengandung 23 kromosom tunggal (22+X atau 22+Y).
Spermatid tidak mengalami pembelahan lanjut, tetapi berubah menjadi
sperma melalui proses yang disebut spermiogenesis. Setelah berdiferensiasi,
sel spermatogenik di epitel germinal disatukan oleh jembatan antarsel (pons
intercellularis) selama proses diferensiasi dan perkembangan selanjutnya.
Pons intercellularis terputus jika spermatid yang berkembang dilepaskan ke
dalam tubuli seminiferi berupa sperma matang.
Gambar 1. Gambaran tubulus testis dilihat dengan mikroskop dengan
perbesaran 400x. 12
Spermiogenesis adalah suatu proses morfologik yang mengubah
spermatid
bulat
menjadi
sel
sperma
yang
memanjang.
Selama
spermiogenesis, ukuran dan bentuk spermatid berubah, dan kromatin nucleus
11
memadat. Pada fase golgi, terjadi akumulasi granula halus apparatus golgi
spermatid dan membentuk granulum acrosomaticum di dalam vesicula
acrosomatica terbungkus membran. Selama fase akrosomal, vesicula
acrosomatica dan granulum acrosomaticum menyebar di inti spermatid yang
memadat di ujung anterior spermatid berupa acrosome. Acrosoma berfungsi
sebagai suatu jenis khusus lisosom dan mengandung beberapa enzim
hidrolitik, misalnya hialuronidase dan protease dengan aktivitas mirip tripsin,
yang membantu sperma dalam menembus corona radiata dan membrane
zona pelusida yang mengelilingi sel ovum. Selama fase maturasi, membran
plasma bergeser ke posterior dari nucleus untuk menutupi flagellum (ekor
sperma) yang sedang tumbuh. Mitokondria bermigrasi dan membentuk
selubung yang rapat di sekitar pars intermedia flagellum. Fase pematangan
akhir ditandai oleh terlepasnya kelebihan atau sisa sitoplasma spermatid dan
pelepasan sel sperma kedalam lumen tubulus seminiferous.11 Proses
pelepasan ke tubulus ini disebut dengan proses spermiasi yang dipengaruhi
oleh hormon, temperatur, dan toxin. Sel sperma yang tidak dilepaskan
kedalam tubulus akan difagosit oleh sel Sertoli.
Pada Interstitial compartment mengandung pembuluh darah,
pembuluh limfe, makrofag, fibroblast dan sel leydig. Kompartemen ini
mengisi 12-15 % volume testis total. Dimana, 10 -20 % dari kompartemen ini
diisi oleh sel leydig. Sel leydig berkembang dari jaringan mesenkim dan
fibroblast-like cells di interstitial. Sel leydig kaya akan reticulum endoplasma
yang halus dan mitokondria. Karakteristik sel seperti ini khas untuk sel yang
12
dapat menghasilkan hormon steroid seperti pada kelenjar adrenal dan
ovarium. Komponen pada sitoplasma sel leydig lainnya adalahgranula
lipofuscin, yang merupakan produk akhir dari proses endositosis dan
degradasi lisosom, dan lipid dimana disini terjadi sintesis dari hormon
testosterone. Proliferasi dari sel leydig ini pada masa dewasa dipengaruhi oleh
hormon LH. Pada masa fetal, diferensiasi sel mesenkim dan fibroblast-like
cells juga dipengaruhi oleh hormon LH.
2.2.
Pengaruh Hormon Terhadap Testis
2.2.1.
Pengaturan Sekresi Hormon oleh Axis Hypothalamo Pytuitari
2.2.1.1. Pengaturan Sekresi FSH dan LH oleh Hypothalamus
Kelenjar hipofisis anterior menyekresi dua hormon gonadotropin:
(1) follicle stimulating hormone (FSH); dan (2) luteinizing hormone (LH).
Kedua hormon ini penting dalam mengatur fungsi seksual pada pria. Pada
laki-laki dan perempuan, hypothalamus mengatur sekresi gonadotropin
melalui system portal hipotalamus-hipofisis. Meskipun ada dua jenis hormon
gonadotropin yaitu FSH dan LH yang berbeda, namun hanya ada satu
hypothalamic-releasing hormone yang ditemukan yaitu Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH). GnRH dilepas dari hipotalamus, lalu berikatan
dengan resptor yang spesifik yang terdapat hipofisis anterior dan untuk
mensekresi FSH dan LH yang sebelumnya disintesis dalam hipofisis anterior
dan disimpan dalam granula sekresi yang terdapat pada hipofisis anterior.
FSH dan LH sudah terdapat dalam hipofisis anterior sejak masa gestasi 10
13
minggu dan selama 12 minggu dalam peredaran darah di perifer. Pada masa
fetus kadar FSH jauh lebih tinggi daripada kadar LH.
Sekresi LH merangsang produksi testosterone dan proses
stroidogenesis melalui pengikatan dengan reseptor pada membrane plasma
sel leydig dan aktivasi enzim adenil siklase, sehingga terjadi peningkatan
cAMP intrasel. Kerja ini meningkatkann laju pengangkutan kolesterol oleh
Steroidogenic Acute Regulatory Protein (StAR) dan pemutusan rantai
samping kolesterol oleh P450cc. Testosteron yang dihasilkan dapat
melakukan pengendalian umpan balik negatif pada hipotalamus lewat inhibisi
GnRH, produksi GnRH atau keduanya.13
Hormon FSH terikat pada sel Sertoli dan meningkatkan androgenbinding protein (ABP) yang merupakan glikoprotein yang mengikat
testosterone. ABP disekresikan kedalam lumen tubulus seminiferous, dan
pada proses ini testosterone yang dihasilkan oleh sel leydig diangkut dalam
konsentrasi tinggi kedalam tubulus dan memperngaruhi tahap dari
spermatogenesis. Selain itu, sel Sertoli juga menghasilkan inhibin yang
memberikan umpan balik negatif pada hipofisis untuk mengatur sekresi dari
FSH.13
2.2.2.
Steroidogenesis
Steroidogenesis pada testis terjadi dalam mikrosom testis. Dimana,
kolesterol diubah menjadi pregnolon oleh P450cc di testis. Lalu dengan
bantuan dari enzim 3β-Hidroksisteroid Dehidrogenase menjadi progesteron.
14
Adanya enzim 17α-Hidroksilase akan mengubah progesterone menjadi 17OH-Progesteron. Lalu enzim C17,20 Liase akan mengubahnya menjadi
Dehidroepiandrosteron
(DHEA).
Dengan
enzim
3β-Hidroksisteroid
Dehidrogenase, DHEA diubah menjadi androstenedion. Androstenedion
diubah menjadi testosterone oleh enzim 17β-Hidoksisteroid Dehidrogenase.
Testosterone direduksi menjadi bentuk aktif yaitu Dehidrotestosteron (DHT)
oleh enzim 5α-Reduktase. Selain menjadi DHT, testosterone juga diubah oleh
aromatase menjadi metabolit hormon estrogen aktif dalam tubuh. Dalam
bentuk 17β-Estradiol.10, 13, 14
Gambar 2. Steroidogenesis dalam testis menghasilkan hormon testosterone dan estrogen.15
2.2.3.
Efek Hormon Androgen pada Testis
2.2.3.1. Efek Testosteron pada Testis
15
Testosterone sudah diproduksi oleh testis fetus pada minggu ke 10
masa gestasi, dibawah pengaruh stimulasi LH fetal dan hCG maternal. Pada
masa perkembangan testis, yakni pada minggu ke 8 masa gestasional, DHT
berpengaruh poten terhadap perkembangan dari gonadal ridge. Pada masa
diferensiasi ini jumlah testosterone fetal dalam jumlah yang maximal. Yaitu,
dalam minggu ke9-14 masa gestasional. Dimana, jumlah maximal ini cukup
untuk memproduksi DHT melalui proses enzimatik. Pengaruh testosterone
lainnya adalah mempengaruhi penurunan testis dari cavum abdominal ke
scrotum dengan bantuan gubernaculum testis. Gubernaculum memendek
mulai dari minggu ke 25 kehamilan sampai pada minggu ke 28 testis sudah
berada didalam canalis inguinalis dan pada minggu ke 12 setelahnya 97%
anak sudah mengalami penurunan testis yang komplit. Gubernaculum testis
memiliki reseptor androgen terbukti dengan anak dengan testis yang tidak
turun memiliki reseptor untuk hormon androgen yang sedikit (Hosie et
al.1999). Pada proses spermatogenesis, testosterone berfungsi dalam memacu
maturasi dari sel germinativum dan dengan bantuan dari FSH maka terjadilah
proses spermatogenesis yang sempurna.13 Testosterone secara sistemik
berfungsi pada banyak organ karena adanya reseptor testosterone yang
terdapat pada organ tersebut.9
2.2.3.2. Efek Estrogen pada spermatogenesis
Sintesis estrogen pada testis adalah dalam bentuk metabolit 17βestradiol terjadi di sel leydig dibantu oleh enzim aromatase. Pada axis
hypothalamo-pituitari axis estrogen berperan memeberikan feedback
16
negative pada axis ini.16 Pada sebuah dosis tunggal pemberian estradiol
benzoate selama 1 hari pada tikus dewasa menyebabkan penurunan sekresi
GnRH dan respon hipofisis terhadap rangsangan GnRH dan menurunkan
jumlah serum FSH, LH dan testosterone level secara konsekuen.
Spermatogenesis tergantung dari keseimbangan hypothalamo-pituitary-testis
axis, dan estrogen dalam keseimbangan ini memilki peran sehingga karena
hal
ini
estrogen
mempunyai
pengaruh
tidak
langsung
terhadap
spermatogenesis. Secara langsung efek estrogen pada spermatogenesis adalah
mempengaruhi maturasi dari sel germinativum.17 Hal ini dikarenakan sel
germinativum memiliki reseptor estrogen dan local aromatatase dalam setiap
fase perkembangan dari sel germinativum.16, 17 Pengaruh estrogen terhadap
spermatogenesis telah banyak dibuktikan. Pada tikus yang fenotip ERαKO
(reseptor estrogen yang dimutasi sehingga tikus tidak memiliki estrogen
reseptor)
memiliki
jumlah
sel
germinativum
yang
terganggu
perkembangannya dan penurunan jumlah spermatid matur dalam epididymis.
Paparan berlebih dari estrogen dapat memacu terjadinya apoptosis pada sel
spermatogenik melalui jalur mitokondria.18
Paparan dari estrogen yang berasal dari luar baik intra uterin maupun
pada masa neonatal dapat menghasilkan perkembangan testis dan fungsinya
yang terganggu. Estrogen yang berasal dari lingkungan walaupun masih
sedikit data yang melaporkan, namun dibuktikan dapat mengganggu aktivitas
spermatogenesis dari testis, dan menurunkan jumlah sperma atau gangguan
pada kesehatan reproduksi pada laki-laki. Paparan dosis tinggi estrogen
17
secara partikuler memberikan efek berupa feminisasi permanen pada pria,
penurunan massa organ, menurunkan produksi sperma, dan fertilitas yang
terganggu.3
Dalam beberapa literatur menunjukkan bahwa paparan estrogen
yang sangat potent pada masa neonatus pada tikus menunjukkan
penghambatan terhadap perkembangan dari spermatogenesis, karena
pemberian estrogen potent pada masa neonatus dapat menyebabkan supresi
pada sekresi FSH pada waktu dimana hormon ini berperan penting dalam
perkembangan
sel
Sertoli
dan
spermatogenesis.
Paparan
10μg
Diethylstilbestrol (DES) yang merupakan estrogen yang sangat poten pada
tikus menyebabkan penurunan berat testis pada masa dewasa sekitar 60%
dengan gambaran histopatologi testis hanya berisi sel Sertoli dan produksi
sperma perhari yang sangat sedikit.3, 16
2.3.
Pengaruh Lingkungan Terhadap Reproduksi Pria
2.3.1.
Endokrin Disruptor
Endocrine disruptor didefinisikan sebagai agent yang berasal dari
luar tubuh yang mempengaruhi sintesis, sekresi, dan aksi atau eliminasi dari
hormon didalam tubuh yang bertugas untuk mengatur homeostasis,
reproduksi, dan atau perkembangan organ didalam tubuh. Ada banyak zat
kimia didalam lingkungan yang dipercayai mempengaruhi system endokirn
didalam tubuh. Termasuk didalamnya adalah endocrine disruptor,
hormonally active agent (HAA), zat estrogen yang berasal dari lingkungan,
xeno-estrogen, dan lain-lain.19
18
Zat kimia dalam lingkungan dapat menjadi endokrin disruptor dalam
berbagai car. Zat tersebut dapat mempengaruhi sekeresi dari kelenjar
endokrin, mengganggu eliminasinya, dan dapat mengganggu mekanisme
umpan balik dalam regulasi hormonal tersebut. Pada akhirnya, zat ini dapat
menyerupai hormon tersebut dengan berikatan dengan reseptornya, sehingga
hormon yang secara fisiologis berikatan dengan reseptor tersebut tidak dapat
berikatan karena adanya endokrin disruptor yang berikatan. Pada keadaan ini
fungsi hormonal dapat terganggu.1
Pestisida, fungisida, insektisida, atau biasanya produk rumah tangga
(nonylphenol, octylphenol), dan zat kimia industry (dioxine, polychlorinated
bisphenyls) dapat menjadi endokrin disruptor yang menyerupai hormon
estrogen. Walaupun estrogen dari lingkungan ini lebih lemah dari estrogen
endogen yang ada didalam tubuh, namun mereka mempunyai karakteristik
seperti lipofilik, dan memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat
terkumpul didalam jaringan lemak tubuh.
Karena gangguan dari sistem endokrin maka akan timbul gangguan
pada organ yang diatur fungsinya oleh hormon endokrin tersebut. Contohnya
seperti pembentukan organ, pertumbuhan, dan juga pematangan organ
reproduksi. Tubuh manusia dapat mengatur secara otomatis produksi dari
hormon-hormon endokrin melalui mekanisme feedback. Dimana apabila
sekresi dari hormon yang dibutuhkan dirasa sudah cukup atau berlebihan
makan organ target atau hormon tersebut akan memberikan signal kepada
kelenjar endokrin yang merangsang untuk berhenti memproduksinya. Begitu
19
juga sebaliknya, bila hormon yang dibutuhkan dirasa kurang maka organ
target akan mengirim sinyal kepada kelenjar endokrin agar memproduksi
hormon yang dibutuhkan. Sehingga akan tercipta keseimbangan dari
konsentrasi hormon-hormon tersebut. Normalnya apabila tubuh terpapar
EDC, tubuh akan mengurangi jumlah konsentrasi dari EDC agar tidak berefek
toksik. Namun terdapat perbedaan mekanisme pada janin, anak-anak, dan
masa dewasa. Tentu saja masa janin dan anak-anak lebih rentan terkena
dampak EDC, karena mereka masih mengalami masa pertumbuhan dimana
sel-selnya masih berdifirensiasi membentuk sel yang lebih sempurna. Begitu
juga imunitasnya, pada janin dan anak-anak imunitas belum terbentuk secara
sempurna seperti pada dewasa. Karena itulah pada masa janin dan anak-anak
akan mendapatkan efek yang lebih buruk dari paparan EDC.
2.3.2.
Komponen Organochlorine yang Mempengaruhi Fertilitas
Komponen
organochlorine
seperti
zat
kimia
dioxins,
polychlorinated biphenyls dan bifurans tersebar didalam lingkungan yang
bersifat toxic terhadap system reproduksi. Zat kimia tersebut memiliki sifat
teratogen, atau dapat menyerupai estrogen, anti-estrogen atau anti-androgen.
Zat yang menyerupai estrogen yang berasal dari zat kimia lingkungan dikenal
dengan nama xenoestrogen. Terkadang sifat xenoestrogen ini dapat saling
tumpang tindih dengan zat anti-androgen.9
Paparan pada masa prenatal dari xenoestrogen sudah dijelaskan
dapat menghambat perkembangan dari testis, dengan demikian sekaligus
dapat menghambat produksi dari sperma dan akhirnya mengganggu fertilitas
20
(sharped dan skakkebaek 1993). Seperti komponen hormon yang aktif, zat ini
dapat menghambat proliferasi dari sel Sertoli melalui efek tidak langsungnya
pada hormon FSH yang disekresi oleh hipofisis dan efek langsungnya di
tingfkat testis. Beberapa penelitian di Eropa, America, dan Asia yang meneliti
tentang efek xenoestrogen dapat memiliki efek pada system reproduksi pria
melaporkan bahwa, paparan 4-tert-octyphenoll
pada tikus
dewasa
mengganggu kadar gonadotropin dan spermatogenesis (Boockfor dan Blake
1997). P-Nonylphenol juga dilaporkan memiliki kaitan dengan gangguan
pada proses spermatogenesis pada paparan dengan dosis mendekatai LD 50
atau lebih (de Jager et al 1999). Beberapa hasil ini menjawab fenomena bahwa
zat xenoestrogen atau estrogen like substance dapat berpengaruh pada
fertilitas proia yakni pada proses spermatogenesis apabila terpapar
berlebihan.9
2.3.3.
Pestisida dan Insektisida.
Pestisida didefinisikan sebagai zat kimia yang dibuat untuk
membunuh fungi, hama tanaman, serangga atau tikus untuk membantu
kehidupan rumah tangga, pertanian, dan industry. Menurut Peraturan Menteri
Pertanian Nomor : 07/PERMENTAN/SR.140/2/2007 mendefinisikan bahwa
pestisida adalah zat kimia atau bahan lain dan jasad renik serta virus yang
digunakan untuk: 1) memberantas atau mencegah hama-hama tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian. 2) Memberantas
rerumputan. 3) Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman yang
tidak diinginkan. 4). Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau
21
bagian-bagian tanaman, tidak termasuk pupuk. 5).
Memberantas atau
mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak. 6).
Memberantas dan mencegah hama-hama air; 7). Memberantas atau mencegah
binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan
alat-alat pengangkutan; 8). Memberantas atau mencegah binatang-binatang
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu
dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air. Sayangnya, zat
ini juga membawa efek pada kesehatan manusia. Janin, bayi, dan anak-anak
sangat mudah terpengaruh oleh efek toxic dari penggunaan pestisida dan
insektisida ini dalam jumlah yang berlebihan.
Telah diberitahukan bahwa ada sekitar 2,5 juta ton pestisida telah
digunakan di seluruh dunia. Namun tidak lebih dari 1% yang tepat
penggunaannya
terhadap
hama.
Sedangkan
99%
terpapar
secara
sembarangan ke lingkungan sekitar dan beberapa diantaranya tersebar jauh
dari titik tujuan semula. Beberapa pestisida berefek buruk pada kesehatan
manusia yaitu dapat menyebabkan perubahan atau mutasi genetik pada sel
manusia, dapat mengubah fungsi hormon endokrin, dan dapat menurunkan
kerja dari sistem penghambat tumor manusia. Karena adanya gangguan dari
fungsi hormon endokrin maka pestisida tersebut secara langsung
mempengaruhi kualitas dari produksi sel sperma pada pria atau pertumbuhan
sel telur yang tidak normal pada wanita. Organofosfat yang terkandung dalam
pestisida juga dikaitkan dengan adanya infertilitas pada pria dan penurunan
bentuk normal dari spermatozoa.
22
2.3.3.1. Propoxur
Propoxur adalah non-sistemi insektisida yang ditemukan pada tahun
1959. Prpoxur adalah derivate dari carbamate yang memiliki spectrum luas
dalam aksinya untuk memberantas serangga. Propoxur merupakan salah satu
dari N-methylcarbamate yang bekerja dengan menghambat kolinesterase
pada serangga. Karena toksisitasnya yang rendah pada mamalia, maka
propoxur sangat penting secara ekonomis dan digunakan dalam jumlah yang
sangat besar untuk kehidupan rumah tangga, agrikultur dan industry. Paling
banyak propoxur digunakan dalam bentuk aerosol dalam kehidupan rumah
tangga.
Propoxur menyebabkan oxidative stress pada testis sehingga
mempengaruhi proses spermatogenesis dan pembentukan hormon steroid
pada testis. Tikus wistar yang dipapar oleh propoxur menurunkan level
testosterone dalam plasma, jumlah sperma di epididymis, dan motilitas dari
sperma dibandingkan dengan kelompok kontrol. 20
23
Gambar 3. Struktur dari propoxur. Dikutip dari Chochran R. Propoxur : Risk
Characterization Document. In: Agency PRCEP, editor. California1997
2.3.3.2. Transfulthrin
Gambar 4. Struktur kimia transfultrin.21
Transfluthrin
atau
2,3,5,6-tetrafluorobenzyl
(1R,3S)-3-(2-2-
dichlorovinyl)-2,2-dimethylcycloprpanecarboxylate memiliki sifat sebagai
24
EDC dan digunakan sebagai pembasmi nyamuk. Transfluthrin banyak
tersedia dalam bentuk obat nyamuk lingkaran yang dalam penggunaannya
dibakar dan obat nyamuk semprot, memiliki sifat kerja yang sangat cepat
untuk membasmi nyamuk dan lalat. Waktu paruh hidrolisis transfluthrin pada
suhu 25 derajat Celcius adalah 14 hari pada pH 9, pada pH 7 atau 5 terjadi
selama lebih dari 1 tahun.
Download