secara bertanggung jawab demi keberlanjutan bisnis

advertisement
secara bertanggung jawab demi keberlanjutan bisnis dan kemajuan sosial. AQUA
Lestari memiliki 4 pilar yaitu pelestarian air dan lingkungan, praktek perusahaan
ramah
lingkungan,
pengelolaan distribusi
produk,
serta
pelibatan dan
pemberdayaan masyarakat melalui program pengembangan perekonomian lokal.
AQUA Lestari dijalankan di hulu-tengah-hilir wilayah sub Daerah Aliran Sungai
(DAS) tempat AQUA beroperasi (www.Aqua.com).
Dari konsep Aqua Lestari, munculah beberapa program CSR yang
diimplementasikan oleh PT Tirta Investama. Banyak program CSR PT Tirta
Investama yang telah mencapai keberhasilan dalam penerapannya. Hal tersebut
tentu saja memberi pengaruh yang positif bagi perusahaan. Salah satu program
besar CSR Aqua Danone yang telah mencapai keberhasilan adalah “Satu untuk
sepuluh”.
Program
ini
telah
mendapat
penghargaan
MDGs(Millenium
Development Goals) dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Selain itu program ini juga
memperoleh penghargaan dari Metro TV kategori pelestarian lingkungan
(Enviromental sustainibility).
Salah satu program CSR yang diusung Aqua Danone di area produksi
Klaten Jawa Tengah adalah koperasi LPA “Pusur Lestari” yang diresmikan pada
tanggal 23 Oktober 2012. AQUA Grup, penyedia air minum dalam kemasan di
Indonesia meluncurkan Koperasi Layanan Pengembangan Agribisnis (LPA) Pusur
Lestari yang berada di kawasan sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur untuk
memfasilitasi masyarakat, khususnya petani sehingga tercipta kemandirian
(Kedaulatan Rakyat, 23 Oktober 2012).
Dalam perkembangan implementasi CSR, saat ini banyak perusahaan yang
bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perusahaan hanya
memberikan sebuah ide program, kemudian dijalankan oleh sebuah LSM. Hal ini
seperti dilakukan oleh Aqua Danone. Dalam berbagai implementasinya, Aqua
Danone melibatkan beberapa LSM untuk melaksanakan program CSR nya. Salah
satunya adalah program CSR Koperasi Lembaga Pengembangan Agribisnis Pusur
Lestari atau dikenal dengan nama Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Dalam
mengimplementasikan program tersebut, PT Tirta Investama bekerja sama dengan
LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program. Dalam hal
3
ini LSM berperan sebagai pelaksana, pendamping dan sekaligus pembimbing.
Keterlibatan LSM dalam program ini diharapkan mampu memberikan
keseimbangan antara tanggung jawab sosial perusahaan berada dalam sebuah
lingkungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat berada dalam sebuah
lingkungan perusahaan.
Dalam konteks ini, pendampingan diartikan sebagai pelaksana dan
pengontrol program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” hingga tujuan dari
program ini dapat tercapai. Untuk menjadi sebuah Koperasi “LPA Pusur Lestari”
tidak bisa dilakukan dengan mudah dan instan. Maka dari itu, pendampingan ini
dilakukan sebagi proses menuju koperasi yang diharapkan oleh semua stakeholder
PT Tirta Investama.
Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian berkaitan dengan peran
pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam
mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai
bentuk tanggung jawab sosial PT Tirta Investama terhadap masyarakat. Selain itu,
implementasi program yang didampingi oleh LSM Bina Swadaya Konsultan yang
menjadi mitra perusahaan juga menjadi sebuah hal yang menarik untuk diteliti.
Judul penelitian yang akan diteliti adalah “Studi Deskriptif Pendampingan
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
Bina
Swadaya
Konsultan
dalam
Mengimplementasikan Program Corporate Social Responsibility PT Tirta
Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai Upaya Pemberdayaan
Petani Daerah Aliran Sungai Pusur Klaten-Boyolali”.
Dari penelitian ini, peneliti berharap mampu melihat secara jelas peran
LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT
Tirta Investama berupa Koperasi “LPA Pusur Lestari” sehingga masyarakat
mampu diberdayakan sesuai tujuan program. Setelah itu, peneliti akan memberi
kesimpulan yang ditambah dengan kritik dan saran terhadap implementasi
program CSR PT Tirta Investama.
4
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya
Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama
melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan petani DAS
Pusur Klaten-Boyolali?
C. Tujuan Penelitian
Untuk melihat peran pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina
Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta
Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan
petani DAS Pusur Klaten Boyolali.
D. Manfaat Penelitian
D.1. Manfaat akademis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam
pengembangan Ilmu Komunikasi terutama dalam bidang Humas serta
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai masalah peranan kerja Humas
pada sub divisi bina lingkungan dalam mengimplementasikan program CSR
sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan.
Maka dari itu, penelitian mengenai Implementasi CSR diperlukan untuk
memperkuat teori dan konsep perkembangan CSR di Indonesia. Sampai saat ini
telah dilakukan beberapa penelitian berkaitan dengan Implementasi CSR, antara
lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Mukhammad Faizal Syaroni pada
tahun 2011.
Penelitian ini berjudul “Implementasi CSR PT Indonesia Power UBP
Suralaya dalam Program Community Assistance” . Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui proses implementsi program yang meliputi tahap persiapan,
pengkajian, implementasi program, dan evaluasi program. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik
pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan
5
penelitian ini menunjukkan bahwa tahap persiapan sangat penting dengan
pemilihan petugas dan tempat, dalam langkah untuk pelaksanaan program
poliklinik desa (POLIDES), sehingga humas selaku pelaksana program dalam
pengkajian dan perencanaan lebih mudah menentukan apa yang harus dilakukan.
Setelah diperoleh apa yang dibutuhkan barulah implementasi program dijalankan
di masyarakat dan mengetahui partisispasi masyarakat dalam program tersebut.
Setelah itu tahap terakhir yaitu evaluasi yang dilakukan oleh pihak dokter dan
humas, tuuannya mengetahui jenis penyakit dan tingkat kesadaran masyarakat
sekitar desa Suralaya, Desa Sangiran, dan desa Lebakgede.
D.2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan secara praktis sebagai acuan
oleh PT Tirta Investama dalam mengimplementasikan program CSR di area
produksi yang berbeda dengan latar belakang masalah yang sama. Selain itu,
hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaanperusahaan lain dalam mengimplementasikan program CSR. Secara konkrit
penelitian ini juga mampu diterapkan sebagai acuan bagi Lembaga Swadya
Masyarakat dalam melakukan pendampingan terhadap program CSR agar tepat
sasaran, adil, dan berimbang sehingga tujuan program dapat tercapai.
E. Kerangka Pemikiran
E.1 Komunikasi dalam Hubungan Masyarakat
Proses komunikasi pada prinsipnya meliputi pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan di antara dua orang, kelompok kecil masyarakat, atau dalam satu
lingkungan atau lebih dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku dalam suatu
masyarakat. Dengan bahasa yang lebih sederhana, proses komunikasi dapat
diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan-pesan (messages) dari
pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai
komunikan, dalam proses komunikasi tersebut bertujuan (feedback)
untuk
mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak(Ruslan,
6
1999 : 69).
Jefkins mendefinisikan “Public Relations adalah sesuatu yang merangkum
seluruh komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun keluar,
antara sesuatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling
pengertian.” (Jefkins, 1999:9)
Pengertian lain tentang public relations adalah suatu rangkaian kegiatan
yang diorganisasikan sebagai suatu rangkaian kampanye atau program terpadu,
dan semuanya itu berlangsung secara berkesinambungan dan teratur, jadi Public
Relations sama sekali bukanlah kegiatan yang sifatnya sembarangan atau
dadakan. Public Relations juga memiliki tujuan utama untuk memastikan bahwa
organisasi tersebut senantiasa dimengerti oleh pihak-pihak lain yang turut
berkepentingan atau publiknya (Jefkins, 1998:17).
Public relations senantiasa berkenaan dengan kegiatan penciptaan
pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut
diharapkan akan muncul suatu dampak, yakni berupa perubahan yang positif.
Proses komunikasi public relations mempunyai tujuan untuk kelangsungan
hidup perusahaan berada pada sebuah lingkungan. Komunikasi yang baik bisa
dilakukan dengan rencana dan implementasi yang baik, sehingga seorang
praktisi
public
relations
mampu
menjalankan
perannya
dengan
baik.Komunikasi dalam public relations merupakan peran adanya interaksi
antara perusahaan dengan lingkungan masyarakat.
Rosady Ruslan (2006:21) membagi peran Public Relations bersifat dua
arah, yaitu membina hubungan ke dalam (publik internal) dan membina
hubungan ke luar (publik eksternal). Beberapa kegiatan dan sasaran Public
Relations sebagai pendukung fungsi manajemen perusahaan yaitu :
a. Building corporate identity dan image (membangun identitas dan citra
perusahaan) sebagai pendukung manajemen perusahaan, Public Relations
memiliki sasaran yaitu dengan menciptakan identitas dan citra
perusahaan yang positif serta mendukung kegiatan komunikasi timbal
balik dua arah dengan berbagai pihak.
b. Facing crisis (menghadapi krisis). Menghadapi krisis merupakan bagian
7
dari kehidupan Public Relations yaitu dengan menangani komplain,
membentuk manajemen krisis dan Public Relatios recovery image, serta
memperbaiki image.
Mengutip definisi Public Relations dari Scott Cutlip dan Allan Center,
definisi Public Relations adalah upaya terencana guna mempengaruhi opini
publik melalui karakter yang baik dan kinerja yang bertanggung jawab, yang
didasarkan pada komunikasi dua arah yang memuaskan kedua belah pihak
(Iriantara, 2005:9). Komunikasi yang dijalankan oleh public relations
merupakan komunikasi yang bersifat timbal balik (two way communications)
sebab tujuan dari public relations adalah menciptakan dan meningkatkan
citra yang baik dari organisasi kepada publik-publik yang berkepentingan
(Yulianita, 2005:41).
E.2 Corporate Social Responsibility dalam Praktek Public Realtions
Menurut Robin dan Coulter (1999:138) terdapat dua pandangan mengenai
Corporate Social Responsibility, yaitu pandangan klasik dan pandangan sosial
ekonomi. Pandangan klasik melihat CSR merupakan tanggung jawab manajemen
untuk menghasilkan keuntungan atau laba secara maksimal. Ini didasarkan pada
pemahaman bahwa setiap tindakan perusahaan pada dasarnya bertujuan untuk
mendapat keuntungan.
Sementara itu pandangan sosial ekonomi memulai asumsi bahwa
perusahaan bukanlah suatu badan yang mandiri dan hanya bertanggung jawab
kepada pemegang saham, namun juga memiliki tanggung jawab kepada
masyarakat luas. Oleh karena itu, memaksimalkan laba bukanlah prioritas utama,
kelangsungan hidup perusahaanlah yang menjadi prioritas utamanya. Ini berarti
bahwa tanggungjawab perusahaan melampaui dari sekedar memperoleh laba
namun mencakup, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu perwujudan dari tanggung jawab sosial ini adalah terbentuknya
Corporate Social Responsibility.
8
Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi
masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya
dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk
mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai
kemajemukan
ekologi
dan
sosial
budaya.
Kemudian
dalam
proses
pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di
antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Menurut Wibisono (2007:121-124) terdapat empat tahap penerapan CSR
yaitu tahap perencanaan, tahap implementasi, tahap evaluasi dan tahap pelaporan.
Dalam implementasi CSR, public relations mempunyai peran penting baik secara
internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di
semua bidang pembahasan di atas boleh dikatakan Public Relations terlibat di
dalamnya, sejak fact finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi,
ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan Public Relations
sebuah perusahaan. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan Public Relations,
maka langkah-langkah dalam proses Public Relations mewarnai langkah-langkah
CSR.
Banyak perusahaan menjalankan program CSR mereka melalui Public
Relations atau departemen komunikasi mereka, sehingga memungkinkan kritikus
CSR untuk berpendapat bahwa jika program yang dijalankan oleh departemen
Public Relations, maka program itu dilakukan untuk tujuan dan maksud
menghadirkan penampilan yang baik bagi perusahaan.
Apabila sebuah perusahaan serius menjalankan program CSR dan
menjalankannya di bawah divisi Public Relations, maka Public Relations akan
mampu memberikan masukan strategis bagi perusahaan yang pada dasarnya
memang menjadi perannya. Dalam skenario ini, Public Relations akan
menyediakan informasi dan umpan balik dari perusahaan terhadap publik
eksternal yang terlibat, serta merancang strategi bagaimana pusat menanggapi
publik eksternal tersebut. Dengan cara ini, Public Relations dapat bertindak
berdasarkan suara hati perusahaan, tidak hanya atas nama mereka, namun dengan
dasar kepentingan seluruh komunitas.
9
E.3. Dasar Pemahaman Corporate Social Responsibility bagi Perusahaan
Dalam jurnal yang ditulis oleh T.Romy Marnelly (2012:53), pemahaman
tentang CSR pada umumnya berkisar pada tiga hal pokok, yaitu CSR adalah
pertama, suatu peran yang sifatnya sukarela (voluntary) dimana suatu perusahaan
membantu mengatasi masalah sosial dan lingkungan, oleh karena itu perusahaan
memiliki kehendak bebas untuk melakukan atau tidak melakukan peran ini.
Kedua, disamping sebagai institusi profit, perusahaan menyisihkan sebagian
keuntungannya untuk kedermawanan
(filantropi)
yang tujuannya untuk
memberdayakan sosial dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan
eksploitasi. Ketiga, CSR sebagai bentuk kewajiban (obligation) perusahaan untuk
peduli terhadap dan mengentaskan krisis kemanusiaan dan lingkungan yang terus
meningkat.
Pemahaman CSR selanjutnya didasarkan oleh pemikiran bahwa bukan
hanya pemerintah melalui penetapan kebijakan public (public policy), tetapi juga
perusahaan harus bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial. Bisnis
didorong untuk mengambil pendekatan pro aktif terhadap pembangunan
berkelanjutan. Konsep CSR juga dilandasi oleh argumentasi moral. Tidak ada satu
perusahaan pun yang hidup di dalam suatu ruang hampa dan hidup terisolasi.
Perusahaan hidup di dalam dan bersama suatu lingkungan. Perusahaan dapat
hidup dan dapat tumbuh berkat masyarakat dimana perusahaan itu hidup,
menyediakan berbagai infrastruktur umum bagi kehidupan perusahaan tersebut,
antara lain dalam bentuk jalan, transportasi, listrik, pemadaman kebakaran, hukum
dan penegakannya oleh para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim).
Pola atau bentuk CSR juga berkembang dari yang bentuk charity principle
kepada
stewardship
principle.
Berdasarkan
charity
principle,
kalangan
masyarakat mampu memiliki kewajiban moral untuk memberikan bantuan kepada
kalangan kurang mampu. Jenis bantuan perusahaan ini sangat diperlukan dan
penting khususnya pada masyarakat atau sistem negara yang tidak terdapat sistem
jaminan sosial, jaminan kesehatan bagi orang tua, dan tunjangan bagi penganggur.
10
Sedangkan dalam stewardship principle, korporasi diposisikan sebagai public
trust karena menguasai sumber daya besar yang penggunaannya akan berdampak
secara fundamental bagi masyarakat. Oleh karenanya perusahaan dikenakan
tanggungjawab untuk menggunakan sumber daya tersebut dengan cara-cara yang
baik dan tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham tetapi juga untuk
masyarakat secara umum (Anne, 2005:48).
Gambar.1 Tanggungjawab Korporasi
Sumber: Anne, 2005
Dengan demikian korporasi dewasa ini memiliki berbagai aspek
tanggungjawab. Korporasi harus dapat mengelola tanggungjawab ekonominya
kepada pemegang saham, memenuhi tanggungjawab hukum dengan mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bertanggungjawab sosial
kepada para stakeholder (pemegang kepentingan).
E.4. Penerapan Corporate Social Responsibility
Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan
beberapa kepentingan. Menurut Mulyadi (2003:4) setidaknya bisa diidentifikasi
tiga motif keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas
produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk
memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Tabel di bawah ini
menggambarkan motif tersebut.
11
Motif Keamanan
·
Program
setelah
Motif memenuhi kewajiban
Komitmen
kontraktual
Moral
dilakukan
· Pertanggungjawaban
ada
tuntutan CSR kepada pemerintah daerah Propaganda
masyarakat
biasanya
program
· Wacana CSR
yang dan pemerintah pusat.
diwujudkan
·
melalui demonstrasi
·
kegiatan
CSR melalui
media massa
Program tidak dilakukan
setelah
kontrak
ditandatangani.
Kecendrungannya
program dilakukan ketika
kebebasan
masyarakat
sipil semakin besar pasca
desentralisasi
Tabel.1 Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR
Sumber : Mulyadi (2003:4)
Pada umumnya perusahaan di Indonesia menjalankan CSR atas dasar
memenuhi kewajiban kontraktual, dalam hal ini mematuhi peraturan baik yang
dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. Secara normatif, idealnya tanpa
adanya protes dan kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha
memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan. Ide mengenai
konsep CSR juga dilandasi pemikiran demikian (UN Global Compact:20). Secara
filantropis perusahaan seharusnya mendistribusikan keuntungan setelah mereka
memanfaatkan resources di lokasi masyarakat berada. Hal ini adalah kewajiban
moral, namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas
wacana dan belum terlihat nyata. Mulyadi (2003:5) membagi stakeholders
berdasarkan kepentingannya.
12
Perusahaan
·
Pemerintah Daerah
·
Keamanan
Mendukung
fasilitas produksi
pembangunan
· Kewajiban kontrak
LSM
Masyarakat
Mengontrol
·
Penerima
program yang
Menjadi mitra kerja
daerah
diberdayakan
perusahaan
Tabel.2 Kepentingan Stakeholders dalam Pelaksanaan Program CSR
Sumber : Mulyadi (2003:5)
Dalam konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dengan perusahaan,
pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu
menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan,
masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah
lingkungan yang dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung
program pembangunan regional yang diimplementasikannya.
Pemerintah
mensejahterakan
yang
menjadi
masyarakat
dan
penanggungjawab
melestarikan
utama
lingkungan
tidak
dalam
akan
menanggung beban tersebut jika dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan
partisipasi, salah satunya yang paling potensial adalah dari perusahaan, agar
akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
Perspektif Institusional mensyaratkan adanya struktur organisasi dan tata
kelola sumber daya manusia yang tepat di bidang CSR.Adanya struktur ini
memungkinkan
program
CSR
dilakukan
sesuai
dengan
prinsip-prinsip
pemberdayaan.
Selain itu juga terbuka peluang untuk berkolaborasi dengan
institusi lain karena ada sumber daya manusia yang jelas menjadi sarana
komunikasi antar pihak.
Model Institusional/kelembagaan CSR sangat mempengaruhi efektifitas
kinerja. Komitmen manajemen, kemampuan finansial, karakteristik produksi, dan
13
cakupan wilayah merupakan beberapa variabel yang menentukan bentuk model
kelembagaan CSR. Ada beberapa model yang yang dapat menjadi acuan
pengembangan kelembagaan yakni model regional, model sektoral, model
kewilayahan,
model
dukungan
konsultan,
dan
model
kombinasi
(Susetiawan,2012:119).
Model regional adalah bentuk struktur organisasi CSR yang hanya
menempatkan Community Development Officer (CDO) di tingkat regional.Main
Job jabatan terkait dengan CSR ada pada tingkat pusat dan regional.Dalam
konteks perencanaan, model ini lebih banyak menggunakan metode top down.Hal
ini terjadi karena tidak ada CDI di tingkat unit sehingga dukungan informasi
sangat terbatas. Enggagement index antara perusahaan dan masyarakat pada
model ini rendah karena ketidakjelasan pola komunikasi dan pengorganisasian
masyarakat. Implikasi muncul akibat terputusnya struktur organisasi CSR yang
tidak sampai pada tingkat unit.
Model Sektoral adalah struktur organisasi CSR yang disusun berdasarkan
sektor yang menjadi program CSR. Beberapa sektor yang lazim seperti
pendidikan, kesehatan, ekonomi produktif, infrastruktur dan budaya. Penempatan
SDM pada model ini dilakukan berbasis sektoral.Oleh sebab itu, model ini
memiliki SDM yang kompeten dibidangnya.Program-program CSR yang inovatif
dan inspiratif banyak lahir dalam model ini.
Model Kewilayahan adalah struktur organisasi CSR yang disusun
berdasarkan cakupan wilayah kerja. Pada model ini jumlah SDM ditentukan oleh
beberapa desa yang menjadi mitra binaan.Pada umumnya, masing-masing CDO
bertugas mengorganisir masyarakat antara 2-3 desa.Model ini cukup efektif
membangun hubungan positif antara perusahaan dengan masyarakat. Engagement
Index cukup tinggi karena lahir “maskot-maskot” penghubung antara perusahaan
dan masyarakat. Pola perencanaan pada model ini bersifat bottom line. Adanya
CDO yang setiap hari ada di tengah masyarakat memungkinkan pengorganisasian
masyarakat untuk perubahan yang lebih baik.
Model dukungan konsultan adalah struktur organisasi CSR yang
menempatkan kosultan sebagai bagian dalam setiap program CSR. Model ini
14
merupakan modifikasi dari model kewilayahan. Untuk meningkatkan pengetahuan
sektoral, perusahaan bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki
kompetensi perusahaan akan bekerja sama dengan lembaga yang memiliki
keahlian. Semakin banyak program yang dilakukan, maka semakin banyak
lembaga yang akan menjadi mitra.
Struktur Organisasi model kombinasi merupakan modifikasi untuk
meningkatkan keunggulan dan meminimalisir kekurangan masing-masing model,
baik
sektoral
maupun
kewilayahan.
Tidak
semua
perusahaan
mampu
mengembangkan struktur model kombinasi. Ada beberapa faktor yang menjadi
pertimbangan yakni kemampuan finasial dan komitmen manajemen. Model
kombinasi ini akan melahirkan program-program CSR yang inovasi. Daya dukung
SDM yang kompeten baik secara substansi maupun kewilayahan sangat
membantu untuk melahirkan social lisence. Model ini layak dikembangkan di
industri migas karena karakteristik industrinya rentan terhadap gangguan sosial.
Dalam konteks penelitian ini, peneliti melihat model struktur organisasi
yang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat.Jadi, ada pihak konsultan yang
mempunyai dukungan dalam implementasi program. Apabila digambarkan, model
struktur organisasi implementasi CSR yang melibatkan konsultan sebagi berikut :
15
Lead CSR
Administrasi
CDO Program
CDO Consultant
CDO Wil. 1
Assistant CDO
Consultant
CDO Wil. 2
Assistant CDO
Consultant
CDO Wil. 3
Assistant CDO
Consultant
Gambar.2 Struktur Organisasi Model Dukungan Konsultan
Sumber : Susetiawan (2012:123)
Model Struktur Organisasi diatas merupakan langkah utama dalam
melakukan implementasi CSR agar bisa berjalan dengan baik. Model diatas
dipilih berdasarkan karakter dan kebutuhan program CSR yang akan
dilaksanakan. Kebutuhan itu bisa digolongkan berdasarkan, tempat, waktu, latar
belakang, dan tujuan program CSR tersebut. Setelah model ditentukan, maka
terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan ketika perusahaan akan melakukan
16
program CSR. Menurut Wibisono (2007:121-124), setidaknya terdapat empat
tahap, diantaranya:
1. Tahap perencanaan
Perencanaan terdapat tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR
Assessment, dan CSR manual building. Awareness building merupakan langkah
awal untuk membangun kesadaran mengenai pentingnya CSR dan komitmen
manajemen, Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui seminar, lokakarya,
diskusi kelompok, dan lain-lain.
CSR Assessment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan
dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan
langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif
bagi penerapan CSR secara efektif.
Langkah selanjutnya adalah membuat CSR manual. Hasil assessment
merupakan dasar menyusun manual atau pedoman implementasi CSR. Upaya
yang mesti dilakukan antara lain melalui benchmarking, menggali dari referensi
atau menggunakan tenaga ahli.
Manual merupakan inti dari perencanaan, karena menjadi panduan atau
petunjuk pelaksanaan CSR bagi komponen perusahaan. Penyusunan manual CSR
dibuat sebagai acuan, panduan dan pedoman dalam pengelolaan kegiatan sosial
kemasyarakatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pedoman ini diharapkan
mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak
seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu,
efektif dan efesien.
2. Tahap Implementasi
Perencanaan sebaik apapun tidak akan berarti dan tidak akan berdampak
apapun bila tidak diimplementasikan dengan baik. Akibatnya tujuan CSR secara
keseluruhan tidak akan tercapai, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaat
yang optimal. Padahal anggaran yang telah dikucurkan tidak bisa dibilang kecil.
Oleh karena itu perlu disusun strategi untuk menjalankan rencana yang telah
dirancang.
17
Menurut Nurdin Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Konteks
Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya mengenai
implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut :
“Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu
kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”(Usman,
2002:70).
Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan
bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang
terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma
tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak
berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.
Dalam memulai implementasi, pada dasarnya terdapat tiga aspek yang
harus disiapkan, yaitu; siapa yang akan menjalankan, apa yang harus dilakukan,
dan bagaimana cara melakukan implementasi beserta alat apa yang diperlukan.
Dalam istilah manajemen populer, aspek tersebut diterjemahkan kedalam:
a. Pengorganisasi, atau sumber daya yang diperlukan
b. Penyusunan (staffing) untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis
tugas atau pekerjaan yang harus dilakukannya.
c. Pengarahan (directing) yang terkait dengan bagaimana cara melakukan
tindakan.
d. Pengawasan atau kontrol terhadap pelaksanaan.
e. Pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana.
f. Penilaian (evaluating) untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan
Tahap impelementasi ini terdidri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi,
pelaksanaan dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan
kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait degan
implementasi CSR khususnya mengenai pedoman penerapan CSR. Agar efektif,
upaya ini perlu dilakukan dengan suatu tim atau divisi khusus yang dibentuk
untuk mengelola program CSR, langsung berada dibawah pengawasan salah satu
18
direktur atau CEO. Tujuan utama sosialisasi adalah agar program CSR yang akan
diimplementasikan
mendapat
dukungan
penuh
dari
seluruh
komponen
perusahaan, sehingga dalam perjalanannya tidak ada kendala serius yang dapat
dialami oleh unit penyelenggara.
Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan
pedoman CSR yang ada, berdasarkan roadmap yang telah disusun. Sedangkan
internalisasi adalah tahap jangka panjang. Internalisasi mencakup upaya-upaya
untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh aspek bisnis perusahaan, misalnya
melalui sistem manajemen kinerja, prosedur pengadaan, proses produksi,
pemasaran dan proses bisnis lainnya. Dengan upaya ini dapat dinyatakan bahwa
penerapan CSR bukan sekedar kosmetik namun telah menjadi strategi perusahaan,
bukan lagi sebagai upaya untuk pemenuhan (compliance)tetapi sudah lebih dari
sekedar pemenuhan (beyond compliance).
3. Tahap Evaluasi
Setelah program diimplementasikan langkah berikutnya adalah evaluasi
program. Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari
waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektifitas penerapan CSR.
Terkadang ada kesan, evaluasi baru dilakukan jika ada program yang gagal.
Sedangkan jika program tersebut berhasil, justru tidak dilakukan evaluasi. Padahal
evaluasi harus tetap dilakukan, baik saat kegiatan tersebut berhasil atau gagal.
Bahkan kegagalan atau keberhasilan baru bisa diketahui setelah program tersebut
dievaluasi.
Evaluasi juga bukan tindakan untuk mencari-cari kesalahan. Evaluasi
dilakukan sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan
untuk menghentikan, melanjutkan, memperbaiki atau mengembangkan aspekaspek tertentu dari program yang telah diimplementasikan.
4. Pelaporan
Pelaporan dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi baik
untuk keperluan proses pengembalian keputusan maupun keperluan keterbukaan
19
informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Jadi selain berfungsi untuk
keperluan shareholder juga untuk stakeholder yang memerlukan.
Pada umumnya, kegiatan dalam program CSR dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu Charity/sponsorship, pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan
masyarakat
(Susetiawan,2012:142).
Idealnya,
alokasi
program
untuk
pemberdayaan masyarakat harus memperoleh porsi besar. Pemberdayaan bisa
dimaknai dengan memberi power kepada yang powerless, yaitu masyarakat
marjinal yang selama ini miskin dan terabaikan dari program-program
pembangunan dan pengembangan masyarakat. Membahas power memang terkait
dengan pemberdayaan.
Namun, rasanya mustahil apabila pemberdayaan bisa tercapai tanpa
adanya bentuk komunikasi yang baik antara pemberdaya dan yang diberdayakan.
Seperti yang telah dibahas pada sub bab komunikasi dalam humas, CSR
merupakan sebuah komunikasi eksternal perusahaan yang disusun oleh praktisi
public relations dalam menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Salah satu hal
yang dibahas dalam penelitian ini adalah pemberdayaan. Oleh karena itu,
komunikasi untuk pemberdayaan tidak sekedar bisa dilakukan. Namun perlu
adanya konsep dan strategi yang akan menunjang keberhasilannya.
E.5. Model Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan Masyarakat
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan
mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang
kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun
demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering di artikan dengan
perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi
kebutuhannya.
Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang
pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan
yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Hanna dan
Robinson (1994), menjelaskan bahwa “pemberdayaan adalah suatu proses pribadi
dan sosial atau suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan
20
kebebasan bertindak”.
Sedangkan Ife
(1995:61)
mengemukakan
bahwa
“pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya,
memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya”.
Dalam konteks komunikasi pembangunan, pemberdayaan masyarakat
diterjemahkan sebagai proses untuk menuju suatu perubahan yang bersifat
multidimensi menuju kondisi yang semakin mewujudkan hubungan yang serasi
antara kebutuhan (needs) dan sumber daya (resources) melalui pengembangan
kapasitas masyarakat untuk melakukan proses pembangunan. Komunikasi
pembangunan yang diutamakan adalah kegiatan mendidik dan memotivasi
masyarakat. Tujuan komunikasi adalah untuk menanamkan gagasan-gagasan,
sikap mental dan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh khalayak.
Dalam pengertian yang sempit, komunikasi pembangunan merupakan
segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilanketerampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai
pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas, dengan tujuan agar
masyarakat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan
gagasan-gagasan yang disampaikan. Sedangkan dalam arti yang luas, komunikasi
pembangunann meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas
pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam
usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari
proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan (Nasution,
1996:92).
Menurut Rogers dan Adhikarya (dalam Harun dan Ardianto,2012:163163) strategi komunikasi pembangunan dapat dirumuskan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1. Penggunaan pesan yang dirancang khusus (tailord messages) untuk
khalayak yang spesifik. Misalnya, bila hendak menjangkau khalayak
miskin pada perumusan pesan, tingkat bahasa, gaya pengkajian dan
sebagainya, disusun begitu rupa agar dapat dimengerti dan serasi dengan
kondisi mereka.
21
2. Pendekatan ceiling effect yaitu dengan mengkomunikasikan pesan-pesan
yang bagi golongan yang tidak dituju, katakanlah golongan atas,
merupakan “redundansi” (tidak lagi begitu berguna karena sudah
dilampaui mereka) atau kecil manfaatnya, namun tetap berfaedah bagi
golongan khalayak yang hendak dijangkau. Dengan cara ini dimaksudkan,
agar golongan khalayak yang benar-benar berkepentingan tersebut
mempunyai kesempatan untuk mengejar ketertinggalannya, dan dengan
demikian diharapkan dapat mempersempit jarak efek komunikasi.
3. Pendekatan narrow casting atau melokalisasi penyampaian pesan bagi
kepentingan
khalayak.
Lokaliasasi
disini
berarti
disesuaikannya
penyampaian informasi yang dimaksud dengan situasi kesempatan dimana
khalayak berada.
4. Pemanfaatan saluran tradisisonal, yaitu berbagai bentuk pertunjukan yang
sejak lama memang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan
masyarakat setempat.
5. Pengenalan para pemimpin opini dikalangan lapisan masyarakat yang
berkekurangan (disadvantage), dan meminta bantuan mereka untuk
menolong mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan,
6. Mengaktifkan keikutsertaan agen-agen perubahan yang berasal dari
kalangan masyarakat sendiri sebagai petugas lembaga pembangunan yang
beroperasi di kalangan rekan sejawat mereka sendiri.
7. Diciptakan dan dibina cara-cara atau mekanisme bagi keikutsertaan
khalayak, sebagai pelaku-pelaku pembangunan itu sendiri, dalam proses
pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan sampai evaluasinya.
Sebuah proses komunikasi pembangunan tidak akan berhasil apabila
komunikan atau masyarakat tidak memberikan feedback atau imbal balik yang
baik pula. Feedback disini adalah partisipasi. Partisipasi adalah tingkat
keterlibatan anggota sistem sosial dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat
partisipasi anggota sistem sosial dalam pembuatan keputusan berhubungan positif
dengan kepuasan mereka terhadap keputusan inovasi kolektif.
22
Dalam konteks penelitian ini, partisipasi anggota terhadap koperasi dan
partisipasi masyarakat terhadap program yang menjadi tolak ukur keberhasilan
program CSR. Koperasi “LPA Pusur Lestari” merupakan koperasi baru yang
diimplementasikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan.
Partisipasi anggota dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menuju koperasi
yang maju. Koperasi tidak mampu berdiri sendiri tang adanya partisipasi dari
anggota. Dalam berbagai hal seperti pengambilan keputusan dibutuhkan peran
anggota untuk menentukan sebuah kebijakan. Ini berarti bahwa semakin tinggi
partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan, semakin besar pula
tingkat kepuasan mereka terhadap keputusan (Rogers dan Shoemaker, dalam
Hanafi, 1986:63-64).
Menurut Sastropoetro (1986:11) partisipasi adalah keikutsertaan, peran serta
atau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaan lahiriahnya. Pengertian ini
menjelaskan peran masyarakat dalam mengambil bagian, atau turut serta
menyumbangkan tenaga dan pikiran ke dalam suatu kegiatan, berupa keterlibatan
ego atau diri sendiri atau pribadi yang lebih daripada sekedar kegiatan fisik
semata. Secara umum, partisipasi dapat di artikan sebagai keterlibatan diri
seseorang dalam suatu kegiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau
suatu proses identifikasi diri seseorang untuk menjadi peserta dalam kegiatan
bersama dalam situasi sosial tertentu.
Seseorang yang berpartisipasi menurut Allport dalam Sastropoetro (1986 :
12) seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan di dalam
dirinya / egonya, yang sifatnya lebih dari pada keterlibatan dalam pekerjaan atau
tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga, berarti ketrlibatan pikiran dan
perasaanya.
Partisipasi anggota koperasi anggota dipengaruhi oleh kemampuan dan
kemauan anggota untuk berpartisipasi, kemampuan anggota untuk berpartisipasi
dipengaruhi oleh bimbingan atau penyuluhan yang dilakukan koperasi.
Bimbingan atau penyuluhan ini dapat berupa pengetahuan, keterampilan maupun
sikap anggota. Bila anggota sudah memiliki pengetahuan, keterampilan, modal
23
serta sikap positif terhadap koperasi berarti anggota memiliki kemampuan untuk
berpartisipasi.
Kemauan anggota koperasi untuk berpartisipasi merupakan reaksi psikis
dalam diri seseorang manusia, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
kemampuan dan kesempatan yang ada. Kemauan ini berhubungan dengan aspek
sikap seperti emosi dan perasaan yang dipengaruhi oleh besarnya pelayanan
koperasi, kedekatan tempat tinggal, motivasi anggota koperasi, daya tarik
terhadap kegiatan koperasi, dan hubungan dengan lembaga ekonomi lain.
Keberhasilan koperasi dalam perkembangannya didukung oleh partisipasi
anggota koperasi itu sendiri. Partisipasi aktif dan kesadaran masyarakat untuk
bergabung dalam wadah koperasi, merupakan inti kekuatan koperasi.
Menurut Soerjono ( 1990: 138) situasi yang merangsang kemauan untuk
melakukan perubahan dan kekuatan itu bersumber dari:
1. Ketidakpuasan terhadap situasi yang ada, karena itu timbulah adanya
keinginan untuk situasi yang lain.
2. Adanya pengetahuan tentang perbedaan antara ada, dan yang seharusnya
bisa ada.
3. Adanya tekanan dari luar seperti kompetisi, keharusan menyesuaikan diri.
4. Kebutuhan dari dalam untuk mencapai efisiensi dan peningkatan, misalnya
produktivitas, dll.
Menurut P. Hasibuan dalam Ninik.W dan Y.W. Sunindhia (2003:118121), mengemukakan rumusan syarat-syarat keanggotaan koperasi dengan
beberapa aspek dan tujuannya.
1. Aspek tujuan.
Dengan membayar simpanan pokok dan simpanan wajib secara kontinyu.
2. Aspek anggota.
Anggota koperasi adalah anggota masyarakat golongan ekonomi lemah ,
bukan pemilik modal.
3. Aspek Usaha.
24
Tujuan koperasi untuk memenuhi atau melayani kebutuhan anggotanya,
hubungan usaha koperasi dengan usaha anggotanya. Dengan demikian,
begitu eratnya sehingga pelanggan dan pemilik koperasi pada dasarnya.
Adalah orang yang itu-itu saja.
4. Kewajiban, tanggung jawab dan hak anggota.
Sebagai konsentrasi anggota, maka kekuatan koperasi terletak pada
banyaknya anggota dan kemampuan mereka untuk memikul kewajiban
dan melaksanakan hak sebagai anggota koperasi.
Menurut Ninik dan Panji (2003:111) mengatakan partisipasi anggota dapat
diukur dari kesediaan anggota itu untuk memikul kewajiban dan menjalankan hak
keanggotaan secara bertanggung jawab. Apabila sebagian besar anggota koperasi
sudah menunaikan kewajiban dan melaksanakan hak secara bertanggung jawab,
maka partisipasi anggota koperasi yang bersangkutan sudah dikatakan baik.
Berbagai indikasi yang muncul sebagai ciri-ciri anggota yang berpartisipasi
baik dapatlah dirumuskan sebagai berikut:
1. Melunasi simpanan pokok dan wajib secara tertib dan teratur.
2. Membantu koperasi di samping simpanan pokok dan wajib sesuai
dengan kemampuan masing-masing.
3. Menjadi langganan koperasi yang setia.
4. Menghadiri rapat-rapat dan pertemuan secara aktif.
5. Menggunakan hak untuk mengawasi jalanya usaha koperasi, menurut
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga, peraturan lainnya dan keputusankeputusan bersama lainnya
Bentuk partisipasi menurut Dr. Arifin Sitio dalam Sastropoetro (1995:56)
ada 8 macam yaitu :
1.) Partisipasi dengan pikiran.
2.) Partisipasi tenaga bersifat swakarsa.
3.) Partisipasi pikiran dan tenaga sama dengan parti-sipasi aktif.
4.) Partisipasi dengan keahlian.
25
5.) Partisipasi dengan barang.
6.) Partisipasi dengan uang.
7.) Partisipasi dengan jasa-jasa.
8.) Partisipasi yang bersifat mobilisasi.
Keberdayaan sebenarnya merupakan suatu proses perubahan yang
dikehendaki. Setidaknya keberdayaan untuk sebuah proses pembangunan pada
umumnya merupakan kehendak masyarakat yang terwujud dalam keputusankeputusan yang diambil oleh para pemimpinnya, yang kemudian disusun dalam
suatu perencanaan yang selanjutnya dilaksanakan. Keberdayaan masyarakat
ditandai dengan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam sebuah proses
pembangunan.
Model Komunikasi Pembangunan Menyimak pendapat Freire (1984),
pemberdayaan individu masyarakat dapat dilakukan melalui proses penyadaran
pada mereka terhadap situasi dan kondisi lingkungan, kebutuhan, keinginan, dan
kemampuan. Menurutnya, proses penyadaran tersebut harus dilakukan melalui
proses dialog. Sedangkan proses dialog merupakan proses komunikasi dua arah
yang berkelanjutan sehingga menemukan suatu pemahaman dan pengertian yang
membentuk suatu kesadaran. Kesadaran ini akan terjadi pada pihak-pihak yang
berdialog. Pihak-pihak tersebut bisa individu dalam masyarakat maupun individu
pada lembaga pemerintahan. Proses komunikasi tersebut sering disebut sebagai
model komunikasi konvergensi. Dalam konteks pembangunan diIndonesia, model
komunikasi pembangunan dua arah tersebut dapat digambarkan seperti yang dapat
dilihat pada gambar berikut.
26
K
L
P
L
Ket :
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
L = Komunikator
P = Pesan
K/ = Komunikasi
Gambar 3. Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan Masyarakat
Sumber: Freire (1984)
Setiap pihak yang terlibat dalam pembangunan selalu dalam proses
komunikasi dua arah dan selalu melakukan dialog dengan pihak lain. Dapat
dikatakan bahwa proses komunikasi merupakan proses peredaran darah dalam
tubuh pembangunan, di mana darah tersebut berupa informasi atau pesan-pesan
pembangunan. Dengan lancarnya proses peredaran darah informasi tersebut,
dalam konteks teori penyadaran, diharapkan akan terwujud kesadaran pada semua
pihak yang terlibat dalam proses komunikasi pembangunan yang sehat, dari
pihak-pihak dalam pemerintahan hingga pihak pihak dalam masyarakat. Kondisi
tersebut akan mengantar kita ke pintu gerbang masyarakat yang sehat, masyarakat
madani yang diharapkan oleh semua individu yang menyadari fitrahnya sebagai
manusia.
Komunikasi pemberdayaan masyarakat merupakan proses komunikasi
yang bertujuan menumbuhkan motivasi dan memberikan kesempatan pada
masyarakat dengan jalan membuka saluran-saluran komunikasi sehingga
masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui pemanfaatan
27
dan peningkatan kemampuan yang mereka miliki dan sekaligus menempatkan
mereka sebagai stakeholder aktif.
Bagan berikut menerangkan bentuk gambaran konsep proses komunikasi
dalam implementasi program CSR PT Tirta Investama melalui koperasi “LPA
Pusur Lestari” terhadap publik (petani). Dari implementasi program tersebut
diharapkan mampu memenuhi harapan yang diinginkan oleh praktisi humas
perusahaan dan masyarakat dengan tercapainya tujuan dari program koperasi
“LPA Pusur Lestari”.
Praktisi
PR/team CSR
Message / program
Proses Implementasi
Consultant/
LSM
Koperasi “LPA Pusur
Lestari”
Petani DAS Pusur
Feed back/partisispasi
Gambar 4. Model Komunikasi Implementasi CSR
Program CSR bisa dilakukan oleh departemen humas perusahaan. Namun,
bisa pula difasilitasi oleh LSM sebagai pelaksana dan pendamping. Monitoring,
supervisi dan pendampingan merupakan kunci keberhasilan implementasi
program. Hal tersebut seperti cara yang dilakukan oleh PT Tirta Investama dalam
mengimplementasikan program CSR, dalam hal ini adalah koperasi “LPA Pusur
Lestari”. PT Tirta Investama bermitra dengan LSM sebagai organisasi
pendamping program.
Dalam implementasi program pendampingan sebagai upaya pemberdayaan
tentu terdapat proses komunikasi antara pendamping yaitu LSM Bina Swadaya
28
Konsultan dan masyarakat. Hal ini terdapat pada proses pendampingan yang
dilakukan oleh LSM. Komunikasi yang baik akan berdampak pada keberhasilan
program pemberdayaan tersebut. Terdapat beberapa konsep komunikasi yang
mempunyai indikator jumlah pada komunikator maupun komunikannya.
Komunikasi
tersebut
antara
lain
komunikasi
intrapersonal,
komunikasi
interpersonal, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa (Rakhmat, 2012).
Komunikasi Intrapersonal adalah proses pengolahan informasi. Proses ini
melewati empat tahap yaitu sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Proses
pertama dari komunikasi intrapersonal terjadi pada saat sensasi terjadi. Sensasi,
yang berasal dari kata sense yang berarti kemampuan yang dimiliki manusia
untuk mencerap segala hal yang yang diinformasikan oleh panca indera. Informan
yang diserap oleh panca indera disebut stimuli yang kemudian melahirkan proses
sensasi. Dengan demikian sensasi adalah proses menangkap stimuli (Rakhmat,
2012:49).
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara
tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi interpersonal
ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri,, dua sejawat, dua
sahabat dekat, guru murid dan sebagainya (Mulyana, 2000:73).
Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara
beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan,
konferensi dan sebagainya (Arifin, 1984). Sedangkan Michael Burgon (Dalam
Wiryanto, 2005), mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara
tatap muka antara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui, seperti
berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggotaanggotanya dapat mengingat karakteristik anggota anggota yang lain secara tepat.
Jadi, berdasarkan dua definisi diatas definisi komunikasi kelompok mempunyai
kesamaan, yaitu adanya komunikasi tatap muka, dan mempunyai susunan acara
kerja tertentu untuk mencapai tujuan kelompok.
Sedangkan komunikasi massa menurut
Bittner (dalam Rakhmat,
2012:185), adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa kepada
29
banyak (jumlah besar) orang. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan,
dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah banyak dan
menggunakan media.
Konsep diatas menjadi sebuah bentuk dari proses penyampaian pesan.
Melalui beberapa kriteria tersebut pesan disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan. Oleh karena itu, konsep diatas menjadi dasar pada proses
pendampingan yang dilakukan oleh LSM Bina Swadaya Konsultan kepada
masyarakat.
F. Metodologi Penelitian
F.1. Metode Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah pendampingan LSM Bina Swadaya
Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur
Lestari”. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat untuk diterapkan pada penelitian
ini adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan
berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara,
catatan lapangan, dokumen probadi, catatan, memo, dan dokumen resmi lainnya.
Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin
menggambarkan realita empirik dibalik fenomena secara mendalam, rinci dan
tuntas (Moleong, 2004 :131).
Posisi periset dalam pendekatan kualitatif adalah bagian integral dari data,
artinya periset ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan
demikian, periset menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan.
Oleh karena itu, riset ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan
digeneralisasikan (Kriyantono, 2006:57).
Dalam penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan peran pendampingan
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
Bina
Swadaya
Konsultan
dalam
mengimplementasikan program CSR secara rinci dan tuntas mengenai gambaran
secara menyeluruh objek penelitian dan sesuai keadaan sebenarnya. Objek
penelitian adalah Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Koperasi ini merupakan wadah
30
bagi petani untuk mencapai kemandirian dan kemajuan bersama. Maka dari itu
peneliti merasa bahwa metode deskriptif memiliki kapasitas yang tepat untuk
menjabarkan sebuah situasi dan mengidentifikasi masalah penelitian. Metode
deskriptif mempunyai ciri-ciri antara lain :
1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang aktual.
2. Mengumpulkan data, menyususun, menjelaskan, dan menganalisis
data-data tersebut.
Penelitian ini akan mendeskripsikan secara lengkap peran pendampingan
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
Bina
Swadaya
Konsultan
dalam
mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama sebagai upaya
memberdayakan masyarakat petani dari tahap sosialisasi, pelaksanaan hingga
pengawasan/evaluasi.
Hal tersebut merujuk pada pemikiran Jalaludin Rakhmat (1989:37) bahwa
metode penelitian deskriptif merupakan suatu prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek
suatu penelitian suatu lembaga, masyarakat, dan lain-lain. Penelitian ini akan
menyelidiki peran pendampingan LSM Bina Swadaya Konsultan dalam
mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” sehingga
masyarakat mampu untuk diberdayakan. Hal-hal yang akan diselidiki peneliti
meliputi tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,
termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan,sikap-sikap,pandangan
pandangan,serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh
dari suatu fenomena dalam tahapan-tahapan waktu tertentu.
F.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian akan dilakukan. Dalam
penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Koperasi “LPA Pusur Lestari” Desa
Tlobong, Delanggu, Klaten. Koperasi “LPA Pusur Lestari” adalah koperasi yang
memfasilitasi petani DAS Pusur Klaten-Boyolali.
31
F.3. Metode Pengumpulan Data
Data merupakan sebuah hal pokok yang menjadi dasar peneliti untuk
memberikan sebuah analisis. Data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder.
1. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari
observasi ke lapangan oleh peneliti dan wawancara. Wawancara
ditujukan pada kepala divisi CSR PT Tirta Investama Klaten Jawa
Tengah (Bp. Atiq Zambani), kepala LSM pendamping (Bp. Abu), dan
ketua koperasi “LPA Pusur Lestari” (Bp. Widyatmoko).
2. Data Sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan
berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi,
buku harian, note, sampai dokumen-dokumen resmi dari instansi
pemerintah. Data Sekunder juga dapat berupa majalah, buletin,
publikasi, dari berbagai organisasi, hasil-hasil studi, hasil survei, studi
historis dan sebagainya. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk
memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah
dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data ini bisa
diperoleh dari koperasi “LPA Pusur Lestari” dan LSM pendamping.
Untuk memperoleh data tersebut diperlukan teknik yang tepat agar data
yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian. Teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian. Hal ini karena tujuan
utama dari penelitian itu sendiri adalah untuk memperoleh data. Dengan
demikian, maka tanpa mengetahui tehnik pengumpulan data, maka peneliti tidak
akan memperoleh data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam sebuah
penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih teknik
dan alat pengumpulan data yang relevan.
Menurut Sutopo (2006: 9), metode pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif secara umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang
bersifat interaktif dan non-interaktif. Metode interaktif meliputi interview dan
32
observasi berperanserta, sedangkan metode noninteraktif meliputi observasi
takberperanserta, tehnik kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak
berperan. Dalam penelitian ini, peneliti merasa bahwa teknik yang bersifat
interaktif adalah cara yang tepat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Hal ini
dikarenakan peneliti harus melihat fokus penelitian dari penelitian secara
mendalam. Oleh karena itu, teknik observasi dan wawancara merupakan teknik
pengumpulan data yang tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Berikut
merupakan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian :
1. Pengamatan / Observasi
Menurut Arikunto (2002:145), sebagai metode ilmiah observasi dapat
diartikan sebagai pengamatan, melalui pemusatan perhatian terhadap suatu objek
dengan seluruh alat indera. Jadi observasi merupakan suatu penyelidikan yang
dilakukan secara sistematik dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat
indera terutama mata terhadap kejadian yang berlangsung dan dapat dianalisa
pada waktu kejadian itu terjadi. Dibanding metode survey, metode observasi lebih
objektif. Metode ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung terhadap fenomena yang akan diteliti. Pengamatan dan pemusatan
perhatian terhadap objek dilakukan dengan menggunakan seluruh alat indera.
Jadi, mengobservasi dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran,
peraba, dan pengecap (Arikunto,2002:128).
Dalam konteks penelitian implementasi CSR Koperasi “LPA Pusur
Lestari”, kita dapat memperoleh data obseravasi berupa rekaman, gambar, dan
catatan berkala. Peneliti akan melakukan observasi langsung terhadap
pendampingan LSM terhadap program di lokasi Koperasi “LPA Pusur Lestari”
diimplementasikan. Selain itu, peneliti perlu membuat langkah-langkah dalam
melakukan observasi dengan tujuan agar jalannya observasi sesuai dengan benang
merah dan mampu menyajikan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Berikut
merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam observasi :
33
a. Melakukan pengamatan secara langsung pada koperasi “LPA Pusur
Lestari”.
b. Melakukan pengamatan terhadap aktifitas dan kegiatan program koperasi
“LPA Pusur Lestari” secara periodik.
c. Melakukan pencatatan dan dokumentasi terhadap aktifitas koperasi “LPA
Pusur Lestari”.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dari yang diwawancarai yang memberikan atas informasi atau data.
Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang. Dalam
wawancara tersebut bisa dilakukan dengan individu maupun dalam kelompok,
sehingga didapat data informatik yang orientik.
Metode interview adalah sebuah dialog atau tanya jawab yang dilakukan
dua orang atau lebih yaitu pewawancara dan terwawancara (nara sumber)
dilakukan secara hadap-hadapan (face to face) (Hanitijo, 1994:57).
Sedangkan interview yang peneliti gunakan adalah jenis interview
pendekatan
yang
menggunakan
petunjuk
umum,
yaitu
mengharuskan
pewawancara membuat kerangka dan garis-garis besar atau pokok-pokok yang
ditanyakan dalam proses wawancara, penyusunan pokok-pokok ini dilakukan
sebelum wawancara. Dalam hal ini, pewawancara harus dapat menciptakan
suasana yang santai tetapi serius yang artinya bahwa interview dilakukan dengan
sungguh-sungguh, tidak main-main tetapi tidak kaku (Arikunto, 2002:133).
Dalam teknik wawancara peneliti membuat interview guide (terlampir)
agar wawancara dapat memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini.
Wawancara digunakan untuk menggali data tentang gambaran implementasi
Program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” yang dilaksanakan dan didampingi
oleh LSM. Wawancara akan dilakukan dengan berbagai pihak yang berkompeten
dan mempunyai hubungan terhadap implementasi program CSR. Pihak yang
34
berkompeten disini tidak hanya berasal dari LSM, namun bisa juga berasal dari
masyarakat maupun pemerintah terkait.
F.4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data
dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang
realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Didalamnya
terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi atau
keberagaman (Bungi, 2003:53).
Menurut
Moleong (2004:103) Analisis data adalah proses mengatur
urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian
dasar. Dalam analisis data terdapat kompinen-komponen utama yang harus benarbenar dipahami. Komponen tersebut adalah reduksi data, kajian data, dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk menganalisis berbagai data yang
sudah ada digunakan metode deskriptif analitik. Metode ini digunakan untuk
menggambarkan data yang sudah diperoleh melalui proses analitik mendalam dan
selanjutnya diakomodasikan dalam bentuk bahasa secara runtut atau dalam bentuk
naratif. Analisis data dilakukan secara induktif, yaitu dilakukan dari lapangan atau
fakta empiris dengan cara terjun langsung, mempelajari fenomena yang ada di
lapangan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara bersamaan
dengan cara proses pengumpulan data. Menurut Miles dan Humberman (1992)
tahapan analisis data sebagai berikut :
1. Pengumpulan data
Penelitian mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai
dengan hasil obsevasi dan wawancara di lapangan. Dalam tahap ini peneliti
merekam segala pengamatan mengenai objek dari penelitian yaitu koperasi “LPA
Pusur Lestari” berdasarkan observasi dan wawarancara terhadap narasumber.
Observasi dilakukan dengan terjun langsung melihat kondisi konkrit di lapangan
sedangkan wawancara dilakukan dengan panduan interview guide yang telah
disusun oleh peneliti, kemudian wawancara dilakukan dengan narasumber yang
35
berkompeten. Narasumber tersebut antara lain Bp. Abu ketua Bina Swadaya
Konsultan, Bp. Moko ketua koperasi “LPA Pusur Lestari” dan beberapa
masyarakat sebagai target dari program CSR tersebut.
2. Reduksi Data
Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus
penelitian. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data-data yang
telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan
dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan. Setelah
peneliti melakukan tahap pengumpulan data, kemudian tahap berikutnya adalah
mereduksi data. Dalam tahap ini, peneliti memilah dan memilih data yang
berkenaan dengan fokus peneltian ini yaitu pada implementasi program “LPA
Pusur Lestari”. Data yang tidak mendukung adanya penyajian data berkaitan
dengan implementasi, peneliti membuang data tersebut. Tujuan dari tahap ini agar
mampu memberikan gambaran yang jelas mengenai fokus penelitian yaitu
implementasi program “LPA Pusur Lestari” dan mempermudah bagi peneliti
untuk menyajikan hasil peneltian.
3. Penyajian data
Penyajian data adalah sekumpilan informasi yang tersusun dan
memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matriks, network, chart, atau
grafis sehingga data dapat dikuasai. Pada tahap ini peneliti menyusun data yang
telah direduksi, kemudian menganalisis dan menyajikan hasil penelitian.
4. Pengambilan keputusan atau verifikasi
Setelah data disajikan, kemudian melakukan penarikan kesimpulan atau
verifikasi. Oleh karena itu, diupayakan untuk mencari pola, model, tema,
hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi,
dari data tersebut berusaha diambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan
dengan keputusan, didasarkan pada reduksi data, dan penyajian data yang
merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Dalam hal ini,
peneliti mencoba menjawab pertanyaan yang menjadi masalah dalam penelitian
36
ini yakni “Bagaimana implementasi program CSR PT Tirta Investama melalui
Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan petani DAS Pusur
Klaten-Boyolali?”. Jadi pada tahap ini peneliti memberi jawaban atas pertanyaan
penelitian tersebut berdasarkan reduksi data dan penyajian data yang telah
didapat. Setelah itu peneliti bisa mengambil keputusan untuk memberikan saran
terhadap masalah yang dihadapi sehingga penelitian ini mampu bermanfaat di
dunia akademisi mengenai perkembangan CSR sebagai bentuk komunikasi
eksternal perusahaan khususnya di Indonesia.
Keempat komponen ini interaktif yaitu saling mempengaruhi dan terkait.
Pertama-tama dilakukan penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara
atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data-data
pengumpulan penyajian data, reduksi data, kesimpulan-kesimpulan atau
penafsiran data yang dikumpulkan banyak maka diadakan reduksi data. Setelah
direduksi maka kemudian diadakan sajian data, selain itu pengumpulan data juga
digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga hal tersebut dilakukan, maka
diambil suatu keputusan atau verifikasi.
Setelah data terkumpul, kemudian
peneliti akan mengolah dan
menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptifkualitatif. Analisis tersebut merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan
menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan
perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu,
sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan
sebenarnya. Menurut M. Nazir (2003:16) bahwa tujuan deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diteliti.
F.5. Keabsahan Data
Menurut Moleong (1991:175-176), untuk mendapatkan keabsahan data
maka peneliti menggunakan beberapa teknik keabsahan data, yaitu :
37
1. Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebility). Teknik ini dilakukan
dengan jalan :
a. Keikutsertaan peneliti sebagai instrument (alat) tidak hanya dilakukan
dalam waktu yang singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan
peneliti, sehingga memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data
yang dikumpulkan.
b. Ketentuan pengamatan, yaitu dimaksud untuk menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dan situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang
dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Dengan demikian maka perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,
sedangkan ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman.
c. Trianggulasi
adalah
teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding. Teknik yang paling banyak digunakan ialah
pemeriksaan terhadap sumber-sumber lainnya.
d. Kecukupan referensial yakni bahan-bahan yang tercatat dan terekam dapat
digunakan sebagai patokan untuk menguji atau menilai sewaktu-waktu
diadakan analisis dan intepretasi data.
2. Teknik pemeriksaan keteralihan (transferability) dengan cara uraian rinci.
Teknik ini meneliti agar laporan hasil fokus penelitian dilakukan seteliti dan
secermat mungkin yang menggambarkan kontek tempat peneliti diadakan.
Uraiannya harus mengungkapkan secara khusus segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh pembaca agar mereka dapat memahami penemeuan-penemuan yang
diperoleh.
3. Teknik pemeriksaan ketergantungan (dependability) dengan cara auditing
ketergantungan. Teknik ini tidak dapat dilaksanakan bila tidak dilengkapi dengan
catatan pelaksanaan keseluruhan proses dan hasil penelitian. Pencatatan itu
diklasifikasikan dari data mentah sehingga formasi tentang pengembangan
instrument sebelum auditing dilakukan agar mendapatkan persetujuan antara
auditor dan auditi terlebih dahulu.
38
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode dalam uji keabsahan
data yaitu dengan Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebility). Alasan
peneliti memilih teknik ini karena peneliti melihat objek dan fokus dari penelitian
ini sendiri. Objek penelitian adalah Koperasi “LPA Pusur Lestari” yang apabila
diteliti memerlukan kecermatan atau kedalaman karena mempunyai banyak
elemen yang terkandung didalamnya. Sedangkan fokus dari penelitian ini adalah
Implementasi atau pelaksanaan, sehingga peneliti memerlukan pengamatan
dengan cara bertahap agar data yang diperoleh mampu menjawab pertanyaan
penelitian. Implementasi program ini mencakup banyak aspek dari organisasi,
lembaga, perusahaan,dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya trianggulasi
atau pemeriksaan data. Hal ini digunakan agar data yang diperoleh benar-benar
objektif. Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan
sumber lain untuk keperluan pengecekan atau membandingkan data.
Teknik
trianggulasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik trianggulasi sumber.
Hal ini sependapat dengan Moleong (1991:178)), yang menyatakan teknik
trianggulasi yang digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber-sumber lainnya.
Trianggulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan jalan sebagi berikut:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan sewaktu diteliti dengan sepanjang
waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
39
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Perkembangan CSR
Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) tidak terlepas dari waktu
dan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam
Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi
para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan
kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa
hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin
penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung
di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para
pembuat kebijakan terhadap CSR menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa
terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk
tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan
masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha (Hendi Hidayat, 2009).
Latar belakang lahirnya CSR dapat dibagi atas 3 periode penting yaitu :
A.1. Perkembangan Awal Konsep CSR di era tahun 1950-1960-an
Sebenarnya jika diperhatikan di dalam sejumlah literatur tidak ada yang
dapat memastikan kapan mulai dikenalnya atau munculnya CSR itu. Namun di
dalam banyak literatur banyak yang sepakat bahwa karya Horward Bowen yang
berjudul Social Responsibilities of the Businessman yang terbit pada tahun 1953
merupakan tonggak sejarah CSR Modern. Di dalam karyanya ini, Bowen (1953:
6) memberikan definisi awal dari CSR sebagai
“it refers to the obligations of the businessmen to pursue those policies, to
make those decisions, or to follow those lines of actions which are desirable
in terms of the objectives and values of our society” (Bowen,1953: 6).
40
Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh Bowen telah memberi
landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan
bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Pada saat Bowen menulis buku ini, terdapat dua hal yang kiranya perlu
diperhatikan mengenai CSR pada saat itu. Pertama, Bowen menulis buku tersebut
pada saat di dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan korporasi. Kedua,
judul buku Bowen pada saat itu masih menyiratkan bias gender (hanya
menyebutkan businessmen bukan businesswomen), karena pada saat itu pelaku
bisnis di Amerika masih didominasi oleh kaum lelaki. Walaupun, judul dan isi
buku Bowen ini masih bias gender namun sejak penerbitan buku Bowen ini,
memberikan pengaruh yang besar terhadap buku-buku CSR yang terbit
sesudahnya sehingga banyak yang sepakat untuk menyebut Bowen sebagai Bapak
CSR.
Selanjutnya pada tahun 1960, banyak usaha yang dilakukan untuk
memberikan formalisasi definisi CSR dan salah satu akademis yang dikenal pada
masa itu adalah Keith Davis. Keith Davis menambahkan dimensi lain tanggung
jawab sosial perusahaan, pada saat itu ia merumuskan tanggung jawab sosial
sebagai:
“businessmen’s decision and actions taken for reasons at least partially
beyond the firm’s direct economic and technical interest”(Davis,1960).
Melalui definisi tersebut, Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial
perusahaan di luar tanggung jawab ekonomi semata-mata. Argumen Davis
menjadi sangat relevan karena pada masa tersebut, pandangan mengenai tangung
jawab sosial perusahaan masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom
klasik. Pada saat itu, ekonomi klasik memandang para pelaku bisnis memiliki
tanggung jawab sosial apabila mereka berusaha menggunakan sumber daya yang
dimiliki perusahaan seefisien mungkin untuk menghasilkan barang dan jasa yang
dibutukan oleh masyarakat pada kisaran harga yang dapat terjangkau oleh
masayarakat konsumen, sehingga masyarakat bersedia untuk membayar harga
barang tersebut. Bila hal tersebut berjalan dengan baik, maka perusahaan akan
41
Download