secara bertanggung jawab demi keberlanjutan bisnis dan kemajuan sosial. AQUA Lestari memiliki 4 pilar yaitu pelestarian air dan lingkungan, praktek perusahaan ramah lingkungan, pengelolaan distribusi produk, serta pelibatan dan pemberdayaan masyarakat melalui program pengembangan perekonomian lokal. AQUA Lestari dijalankan di hulu-tengah-hilir wilayah sub Daerah Aliran Sungai (DAS) tempat AQUA beroperasi (www.Aqua.com). Dari konsep Aqua Lestari, munculah beberapa program CSR yang diimplementasikan oleh PT Tirta Investama. Banyak program CSR PT Tirta Investama yang telah mencapai keberhasilan dalam penerapannya. Hal tersebut tentu saja memberi pengaruh yang positif bagi perusahaan. Salah satu program besar CSR Aqua Danone yang telah mencapai keberhasilan adalah “Satu untuk sepuluh”. Program ini telah mendapat penghargaan MDGs(Millenium Development Goals) dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Selain itu program ini juga memperoleh penghargaan dari Metro TV kategori pelestarian lingkungan (Enviromental sustainibility). Salah satu program CSR yang diusung Aqua Danone di area produksi Klaten Jawa Tengah adalah koperasi LPA “Pusur Lestari” yang diresmikan pada tanggal 23 Oktober 2012. AQUA Grup, penyedia air minum dalam kemasan di Indonesia meluncurkan Koperasi Layanan Pengembangan Agribisnis (LPA) Pusur Lestari yang berada di kawasan sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur untuk memfasilitasi masyarakat, khususnya petani sehingga tercipta kemandirian (Kedaulatan Rakyat, 23 Oktober 2012). Dalam perkembangan implementasi CSR, saat ini banyak perusahaan yang bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perusahaan hanya memberikan sebuah ide program, kemudian dijalankan oleh sebuah LSM. Hal ini seperti dilakukan oleh Aqua Danone. Dalam berbagai implementasinya, Aqua Danone melibatkan beberapa LSM untuk melaksanakan program CSR nya. Salah satunya adalah program CSR Koperasi Lembaga Pengembangan Agribisnis Pusur Lestari atau dikenal dengan nama Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Dalam mengimplementasikan program tersebut, PT Tirta Investama bekerja sama dengan LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program. Dalam hal 3 ini LSM berperan sebagai pelaksana, pendamping dan sekaligus pembimbing. Keterlibatan LSM dalam program ini diharapkan mampu memberikan keseimbangan antara tanggung jawab sosial perusahaan berada dalam sebuah lingkungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat berada dalam sebuah lingkungan perusahaan. Dalam konteks ini, pendampingan diartikan sebagai pelaksana dan pengontrol program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” hingga tujuan dari program ini dapat tercapai. Untuk menjadi sebuah Koperasi “LPA Pusur Lestari” tidak bisa dilakukan dengan mudah dan instan. Maka dari itu, pendampingan ini dilakukan sebagi proses menuju koperasi yang diharapkan oleh semua stakeholder PT Tirta Investama. Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian berkaitan dengan peran pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai bentuk tanggung jawab sosial PT Tirta Investama terhadap masyarakat. Selain itu, implementasi program yang didampingi oleh LSM Bina Swadaya Konsultan yang menjadi mitra perusahaan juga menjadi sebuah hal yang menarik untuk diteliti. Judul penelitian yang akan diteliti adalah “Studi Deskriptif Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam Mengimplementasikan Program Corporate Social Responsibility PT Tirta Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai Upaya Pemberdayaan Petani Daerah Aliran Sungai Pusur Klaten-Boyolali”. Dari penelitian ini, peneliti berharap mampu melihat secara jelas peran LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama berupa Koperasi “LPA Pusur Lestari” sehingga masyarakat mampu diberdayakan sesuai tujuan program. Setelah itu, peneliti akan memberi kesimpulan yang ditambah dengan kritik dan saran terhadap implementasi program CSR PT Tirta Investama. 4 B. Rumusan Masalah Bagaimana Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan petani DAS Pusur Klaten-Boyolali? C. Tujuan Penelitian Untuk melihat peran pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan petani DAS Pusur Klaten Boyolali. D. Manfaat Penelitian D.1. Manfaat akademis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam pengembangan Ilmu Komunikasi terutama dalam bidang Humas serta memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai masalah peranan kerja Humas pada sub divisi bina lingkungan dalam mengimplementasikan program CSR sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Maka dari itu, penelitian mengenai Implementasi CSR diperlukan untuk memperkuat teori dan konsep perkembangan CSR di Indonesia. Sampai saat ini telah dilakukan beberapa penelitian berkaitan dengan Implementasi CSR, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Mukhammad Faizal Syaroni pada tahun 2011. Penelitian ini berjudul “Implementasi CSR PT Indonesia Power UBP Suralaya dalam Program Community Assistance” . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses implementsi program yang meliputi tahap persiapan, pengkajian, implementasi program, dan evaluasi program. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan 5 penelitian ini menunjukkan bahwa tahap persiapan sangat penting dengan pemilihan petugas dan tempat, dalam langkah untuk pelaksanaan program poliklinik desa (POLIDES), sehingga humas selaku pelaksana program dalam pengkajian dan perencanaan lebih mudah menentukan apa yang harus dilakukan. Setelah diperoleh apa yang dibutuhkan barulah implementasi program dijalankan di masyarakat dan mengetahui partisispasi masyarakat dalam program tersebut. Setelah itu tahap terakhir yaitu evaluasi yang dilakukan oleh pihak dokter dan humas, tuuannya mengetahui jenis penyakit dan tingkat kesadaran masyarakat sekitar desa Suralaya, Desa Sangiran, dan desa Lebakgede. D.2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini dapat digunakan secara praktis sebagai acuan oleh PT Tirta Investama dalam mengimplementasikan program CSR di area produksi yang berbeda dengan latar belakang masalah yang sama. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaanperusahaan lain dalam mengimplementasikan program CSR. Secara konkrit penelitian ini juga mampu diterapkan sebagai acuan bagi Lembaga Swadya Masyarakat dalam melakukan pendampingan terhadap program CSR agar tepat sasaran, adil, dan berimbang sehingga tujuan program dapat tercapai. E. Kerangka Pemikiran E.1 Komunikasi dalam Hubungan Masyarakat Proses komunikasi pada prinsipnya meliputi pengiriman dan penerimaan pesan-pesan di antara dua orang, kelompok kecil masyarakat, atau dalam satu lingkungan atau lebih dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku dalam suatu masyarakat. Dengan bahasa yang lebih sederhana, proses komunikasi dapat diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan-pesan (messages) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai komunikan, dalam proses komunikasi tersebut bertujuan (feedback) untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak(Ruslan, 6 1999 : 69). Jefkins mendefinisikan “Public Relations adalah sesuatu yang merangkum seluruh komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun keluar, antara sesuatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian.” (Jefkins, 1999:9) Pengertian lain tentang public relations adalah suatu rangkaian kegiatan yang diorganisasikan sebagai suatu rangkaian kampanye atau program terpadu, dan semuanya itu berlangsung secara berkesinambungan dan teratur, jadi Public Relations sama sekali bukanlah kegiatan yang sifatnya sembarangan atau dadakan. Public Relations juga memiliki tujuan utama untuk memastikan bahwa organisasi tersebut senantiasa dimengerti oleh pihak-pihak lain yang turut berkepentingan atau publiknya (Jefkins, 1998:17). Public relations senantiasa berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan akan muncul suatu dampak, yakni berupa perubahan yang positif. Proses komunikasi public relations mempunyai tujuan untuk kelangsungan hidup perusahaan berada pada sebuah lingkungan. Komunikasi yang baik bisa dilakukan dengan rencana dan implementasi yang baik, sehingga seorang praktisi public relations mampu menjalankan perannya dengan baik.Komunikasi dalam public relations merupakan peran adanya interaksi antara perusahaan dengan lingkungan masyarakat. Rosady Ruslan (2006:21) membagi peran Public Relations bersifat dua arah, yaitu membina hubungan ke dalam (publik internal) dan membina hubungan ke luar (publik eksternal). Beberapa kegiatan dan sasaran Public Relations sebagai pendukung fungsi manajemen perusahaan yaitu : a. Building corporate identity dan image (membangun identitas dan citra perusahaan) sebagai pendukung manajemen perusahaan, Public Relations memiliki sasaran yaitu dengan menciptakan identitas dan citra perusahaan yang positif serta mendukung kegiatan komunikasi timbal balik dua arah dengan berbagai pihak. b. Facing crisis (menghadapi krisis). Menghadapi krisis merupakan bagian 7 dari kehidupan Public Relations yaitu dengan menangani komplain, membentuk manajemen krisis dan Public Relatios recovery image, serta memperbaiki image. Mengutip definisi Public Relations dari Scott Cutlip dan Allan Center, definisi Public Relations adalah upaya terencana guna mempengaruhi opini publik melalui karakter yang baik dan kinerja yang bertanggung jawab, yang didasarkan pada komunikasi dua arah yang memuaskan kedua belah pihak (Iriantara, 2005:9). Komunikasi yang dijalankan oleh public relations merupakan komunikasi yang bersifat timbal balik (two way communications) sebab tujuan dari public relations adalah menciptakan dan meningkatkan citra yang baik dari organisasi kepada publik-publik yang berkepentingan (Yulianita, 2005:41). E.2 Corporate Social Responsibility dalam Praktek Public Realtions Menurut Robin dan Coulter (1999:138) terdapat dua pandangan mengenai Corporate Social Responsibility, yaitu pandangan klasik dan pandangan sosial ekonomi. Pandangan klasik melihat CSR merupakan tanggung jawab manajemen untuk menghasilkan keuntungan atau laba secara maksimal. Ini didasarkan pada pemahaman bahwa setiap tindakan perusahaan pada dasarnya bertujuan untuk mendapat keuntungan. Sementara itu pandangan sosial ekonomi memulai asumsi bahwa perusahaan bukanlah suatu badan yang mandiri dan hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham, namun juga memiliki tanggung jawab kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, memaksimalkan laba bukanlah prioritas utama, kelangsungan hidup perusahaanlah yang menjadi prioritas utamanya. Ini berarti bahwa tanggungjawab perusahaan melampaui dari sekedar memperoleh laba namun mencakup, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu perwujudan dari tanggung jawab sosial ini adalah terbentuknya Corporate Social Responsibility. 8 Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Menurut Wibisono (2007:121-124) terdapat empat tahap penerapan CSR yaitu tahap perencanaan, tahap implementasi, tahap evaluasi dan tahap pelaporan. Dalam implementasi CSR, public relations mempunyai peran penting baik secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di semua bidang pembahasan di atas boleh dikatakan Public Relations terlibat di dalamnya, sejak fact finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi, ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan Public Relations sebuah perusahaan. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan Public Relations, maka langkah-langkah dalam proses Public Relations mewarnai langkah-langkah CSR. Banyak perusahaan menjalankan program CSR mereka melalui Public Relations atau departemen komunikasi mereka, sehingga memungkinkan kritikus CSR untuk berpendapat bahwa jika program yang dijalankan oleh departemen Public Relations, maka program itu dilakukan untuk tujuan dan maksud menghadirkan penampilan yang baik bagi perusahaan. Apabila sebuah perusahaan serius menjalankan program CSR dan menjalankannya di bawah divisi Public Relations, maka Public Relations akan mampu memberikan masukan strategis bagi perusahaan yang pada dasarnya memang menjadi perannya. Dalam skenario ini, Public Relations akan menyediakan informasi dan umpan balik dari perusahaan terhadap publik eksternal yang terlibat, serta merancang strategi bagaimana pusat menanggapi publik eksternal tersebut. Dengan cara ini, Public Relations dapat bertindak berdasarkan suara hati perusahaan, tidak hanya atas nama mereka, namun dengan dasar kepentingan seluruh komunitas. 9 E.3. Dasar Pemahaman Corporate Social Responsibility bagi Perusahaan Dalam jurnal yang ditulis oleh T.Romy Marnelly (2012:53), pemahaman tentang CSR pada umumnya berkisar pada tiga hal pokok, yaitu CSR adalah pertama, suatu peran yang sifatnya sukarela (voluntary) dimana suatu perusahaan membantu mengatasi masalah sosial dan lingkungan, oleh karena itu perusahaan memiliki kehendak bebas untuk melakukan atau tidak melakukan peran ini. Kedua, disamping sebagai institusi profit, perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk kedermawanan (filantropi) yang tujuannya untuk memberdayakan sosial dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi. Ketiga, CSR sebagai bentuk kewajiban (obligation) perusahaan untuk peduli terhadap dan mengentaskan krisis kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat. Pemahaman CSR selanjutnya didasarkan oleh pemikiran bahwa bukan hanya pemerintah melalui penetapan kebijakan public (public policy), tetapi juga perusahaan harus bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial. Bisnis didorong untuk mengambil pendekatan pro aktif terhadap pembangunan berkelanjutan. Konsep CSR juga dilandasi oleh argumentasi moral. Tidak ada satu perusahaan pun yang hidup di dalam suatu ruang hampa dan hidup terisolasi. Perusahaan hidup di dalam dan bersama suatu lingkungan. Perusahaan dapat hidup dan dapat tumbuh berkat masyarakat dimana perusahaan itu hidup, menyediakan berbagai infrastruktur umum bagi kehidupan perusahaan tersebut, antara lain dalam bentuk jalan, transportasi, listrik, pemadaman kebakaran, hukum dan penegakannya oleh para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim). Pola atau bentuk CSR juga berkembang dari yang bentuk charity principle kepada stewardship principle. Berdasarkan charity principle, kalangan masyarakat mampu memiliki kewajiban moral untuk memberikan bantuan kepada kalangan kurang mampu. Jenis bantuan perusahaan ini sangat diperlukan dan penting khususnya pada masyarakat atau sistem negara yang tidak terdapat sistem jaminan sosial, jaminan kesehatan bagi orang tua, dan tunjangan bagi penganggur. 10 Sedangkan dalam stewardship principle, korporasi diposisikan sebagai public trust karena menguasai sumber daya besar yang penggunaannya akan berdampak secara fundamental bagi masyarakat. Oleh karenanya perusahaan dikenakan tanggungjawab untuk menggunakan sumber daya tersebut dengan cara-cara yang baik dan tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham tetapi juga untuk masyarakat secara umum (Anne, 2005:48). Gambar.1 Tanggungjawab Korporasi Sumber: Anne, 2005 Dengan demikian korporasi dewasa ini memiliki berbagai aspek tanggungjawab. Korporasi harus dapat mengelola tanggungjawab ekonominya kepada pemegang saham, memenuhi tanggungjawab hukum dengan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bertanggungjawab sosial kepada para stakeholder (pemegang kepentingan). E.4. Penerapan Corporate Social Responsibility Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan beberapa kepentingan. Menurut Mulyadi (2003:4) setidaknya bisa diidentifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Tabel di bawah ini menggambarkan motif tersebut. 11 Motif Keamanan · Program setelah Motif memenuhi kewajiban Komitmen kontraktual Moral dilakukan · Pertanggungjawaban ada tuntutan CSR kepada pemerintah daerah Propaganda masyarakat biasanya program · Wacana CSR yang dan pemerintah pusat. diwujudkan · melalui demonstrasi · kegiatan CSR melalui media massa Program tidak dilakukan setelah kontrak ditandatangani. Kecendrungannya program dilakukan ketika kebebasan masyarakat sipil semakin besar pasca desentralisasi Tabel.1 Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR Sumber : Mulyadi (2003:4) Pada umumnya perusahaan di Indonesia menjalankan CSR atas dasar memenuhi kewajiban kontraktual, dalam hal ini mematuhi peraturan baik yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. Secara normatif, idealnya tanpa adanya protes dan kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan. Ide mengenai konsep CSR juga dilandasi pemikiran demikian (UN Global Compact:20). Secara filantropis perusahaan seharusnya mendistribusikan keuntungan setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi masyarakat berada. Hal ini adalah kewajiban moral, namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Mulyadi (2003:5) membagi stakeholders berdasarkan kepentingannya. 12 Perusahaan · Pemerintah Daerah · Keamanan Mendukung fasilitas produksi pembangunan · Kewajiban kontrak LSM Masyarakat Mengontrol · Penerima program yang Menjadi mitra kerja daerah diberdayakan perusahaan Tabel.2 Kepentingan Stakeholders dalam Pelaksanaan Program CSR Sumber : Mulyadi (2003:5) Dalam konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dengan perusahaan, pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan yang dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan regional yang diimplementasikannya. Pemerintah mensejahterakan yang menjadi masyarakat dan penanggungjawab melestarikan utama lingkungan tidak dalam akan menanggung beban tersebut jika dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan partisipasi, salah satunya yang paling potensial adalah dari perusahaan, agar akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai. Perspektif Institusional mensyaratkan adanya struktur organisasi dan tata kelola sumber daya manusia yang tepat di bidang CSR.Adanya struktur ini memungkinkan program CSR dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan. Selain itu juga terbuka peluang untuk berkolaborasi dengan institusi lain karena ada sumber daya manusia yang jelas menjadi sarana komunikasi antar pihak. Model Institusional/kelembagaan CSR sangat mempengaruhi efektifitas kinerja. Komitmen manajemen, kemampuan finansial, karakteristik produksi, dan 13 cakupan wilayah merupakan beberapa variabel yang menentukan bentuk model kelembagaan CSR. Ada beberapa model yang yang dapat menjadi acuan pengembangan kelembagaan yakni model regional, model sektoral, model kewilayahan, model dukungan konsultan, dan model kombinasi (Susetiawan,2012:119). Model regional adalah bentuk struktur organisasi CSR yang hanya menempatkan Community Development Officer (CDO) di tingkat regional.Main Job jabatan terkait dengan CSR ada pada tingkat pusat dan regional.Dalam konteks perencanaan, model ini lebih banyak menggunakan metode top down.Hal ini terjadi karena tidak ada CDI di tingkat unit sehingga dukungan informasi sangat terbatas. Enggagement index antara perusahaan dan masyarakat pada model ini rendah karena ketidakjelasan pola komunikasi dan pengorganisasian masyarakat. Implikasi muncul akibat terputusnya struktur organisasi CSR yang tidak sampai pada tingkat unit. Model Sektoral adalah struktur organisasi CSR yang disusun berdasarkan sektor yang menjadi program CSR. Beberapa sektor yang lazim seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi produktif, infrastruktur dan budaya. Penempatan SDM pada model ini dilakukan berbasis sektoral.Oleh sebab itu, model ini memiliki SDM yang kompeten dibidangnya.Program-program CSR yang inovatif dan inspiratif banyak lahir dalam model ini. Model Kewilayahan adalah struktur organisasi CSR yang disusun berdasarkan cakupan wilayah kerja. Pada model ini jumlah SDM ditentukan oleh beberapa desa yang menjadi mitra binaan.Pada umumnya, masing-masing CDO bertugas mengorganisir masyarakat antara 2-3 desa.Model ini cukup efektif membangun hubungan positif antara perusahaan dengan masyarakat. Engagement Index cukup tinggi karena lahir “maskot-maskot” penghubung antara perusahaan dan masyarakat. Pola perencanaan pada model ini bersifat bottom line. Adanya CDO yang setiap hari ada di tengah masyarakat memungkinkan pengorganisasian masyarakat untuk perubahan yang lebih baik. Model dukungan konsultan adalah struktur organisasi CSR yang menempatkan kosultan sebagai bagian dalam setiap program CSR. Model ini 14 merupakan modifikasi dari model kewilayahan. Untuk meningkatkan pengetahuan sektoral, perusahaan bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki kompetensi perusahaan akan bekerja sama dengan lembaga yang memiliki keahlian. Semakin banyak program yang dilakukan, maka semakin banyak lembaga yang akan menjadi mitra. Struktur Organisasi model kombinasi merupakan modifikasi untuk meningkatkan keunggulan dan meminimalisir kekurangan masing-masing model, baik sektoral maupun kewilayahan. Tidak semua perusahaan mampu mengembangkan struktur model kombinasi. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan yakni kemampuan finasial dan komitmen manajemen. Model kombinasi ini akan melahirkan program-program CSR yang inovasi. Daya dukung SDM yang kompeten baik secara substansi maupun kewilayahan sangat membantu untuk melahirkan social lisence. Model ini layak dikembangkan di industri migas karena karakteristik industrinya rentan terhadap gangguan sosial. Dalam konteks penelitian ini, peneliti melihat model struktur organisasi yang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat.Jadi, ada pihak konsultan yang mempunyai dukungan dalam implementasi program. Apabila digambarkan, model struktur organisasi implementasi CSR yang melibatkan konsultan sebagi berikut : 15 Lead CSR Administrasi CDO Program CDO Consultant CDO Wil. 1 Assistant CDO Consultant CDO Wil. 2 Assistant CDO Consultant CDO Wil. 3 Assistant CDO Consultant Gambar.2 Struktur Organisasi Model Dukungan Konsultan Sumber : Susetiawan (2012:123) Model Struktur Organisasi diatas merupakan langkah utama dalam melakukan implementasi CSR agar bisa berjalan dengan baik. Model diatas dipilih berdasarkan karakter dan kebutuhan program CSR yang akan dilaksanakan. Kebutuhan itu bisa digolongkan berdasarkan, tempat, waktu, latar belakang, dan tujuan program CSR tersebut. Setelah model ditentukan, maka terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan ketika perusahaan akan melakukan 16 program CSR. Menurut Wibisono (2007:121-124), setidaknya terdapat empat tahap, diantaranya: 1. Tahap perencanaan Perencanaan terdapat tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR Assessment, dan CSR manual building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai pentingnya CSR dan komitmen manajemen, Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui seminar, lokakarya, diskusi kelompok, dan lain-lain. CSR Assessment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Langkah selanjutnya adalah membuat CSR manual. Hasil assessment merupakan dasar menyusun manual atau pedoman implementasi CSR. Upaya yang mesti dilakukan antara lain melalui benchmarking, menggali dari referensi atau menggunakan tenaga ahli. Manual merupakan inti dari perencanaan, karena menjadi panduan atau petunjuk pelaksanaan CSR bagi komponen perusahaan. Penyusunan manual CSR dibuat sebagai acuan, panduan dan pedoman dalam pengelolaan kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efesien. 2. Tahap Implementasi Perencanaan sebaik apapun tidak akan berarti dan tidak akan berdampak apapun bila tidak diimplementasikan dengan baik. Akibatnya tujuan CSR secara keseluruhan tidak akan tercapai, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaat yang optimal. Padahal anggaran yang telah dikucurkan tidak bisa dibilang kecil. Oleh karena itu perlu disusun strategi untuk menjalankan rencana yang telah dirancang. 17 Menurut Nurdin Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut : “Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”(Usman, 2002:70). Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya. Dalam memulai implementasi, pada dasarnya terdapat tiga aspek yang harus disiapkan, yaitu; siapa yang akan menjalankan, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara melakukan implementasi beserta alat apa yang diperlukan. Dalam istilah manajemen populer, aspek tersebut diterjemahkan kedalam: a. Pengorganisasi, atau sumber daya yang diperlukan b. Penyusunan (staffing) untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas atau pekerjaan yang harus dilakukannya. c. Pengarahan (directing) yang terkait dengan bagaimana cara melakukan tindakan. d. Pengawasan atau kontrol terhadap pelaksanaan. e. Pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana. f. Penilaian (evaluating) untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan Tahap impelementasi ini terdidri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait degan implementasi CSR khususnya mengenai pedoman penerapan CSR. Agar efektif, upaya ini perlu dilakukan dengan suatu tim atau divisi khusus yang dibentuk untuk mengelola program CSR, langsung berada dibawah pengawasan salah satu 18 direktur atau CEO. Tujuan utama sosialisasi adalah agar program CSR yang akan diimplementasikan mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen perusahaan, sehingga dalam perjalanannya tidak ada kendala serius yang dapat dialami oleh unit penyelenggara. Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan pedoman CSR yang ada, berdasarkan roadmap yang telah disusun. Sedangkan internalisasi adalah tahap jangka panjang. Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh aspek bisnis perusahaan, misalnya melalui sistem manajemen kinerja, prosedur pengadaan, proses produksi, pemasaran dan proses bisnis lainnya. Dengan upaya ini dapat dinyatakan bahwa penerapan CSR bukan sekedar kosmetik namun telah menjadi strategi perusahaan, bukan lagi sebagai upaya untuk pemenuhan (compliance)tetapi sudah lebih dari sekedar pemenuhan (beyond compliance). 3. Tahap Evaluasi Setelah program diimplementasikan langkah berikutnya adalah evaluasi program. Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektifitas penerapan CSR. Terkadang ada kesan, evaluasi baru dilakukan jika ada program yang gagal. Sedangkan jika program tersebut berhasil, justru tidak dilakukan evaluasi. Padahal evaluasi harus tetap dilakukan, baik saat kegiatan tersebut berhasil atau gagal. Bahkan kegagalan atau keberhasilan baru bisa diketahui setelah program tersebut dievaluasi. Evaluasi juga bukan tindakan untuk mencari-cari kesalahan. Evaluasi dilakukan sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, memperbaiki atau mengembangkan aspekaspek tertentu dari program yang telah diimplementasikan. 4. Pelaporan Pelaporan dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan proses pengembalian keputusan maupun keperluan keterbukaan 19 informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Jadi selain berfungsi untuk keperluan shareholder juga untuk stakeholder yang memerlukan. Pada umumnya, kegiatan dalam program CSR dapat digolongkan menjadi tiga yaitu Charity/sponsorship, pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat (Susetiawan,2012:142). Idealnya, alokasi program untuk pemberdayaan masyarakat harus memperoleh porsi besar. Pemberdayaan bisa dimaknai dengan memberi power kepada yang powerless, yaitu masyarakat marjinal yang selama ini miskin dan terabaikan dari program-program pembangunan dan pengembangan masyarakat. Membahas power memang terkait dengan pemberdayaan. Namun, rasanya mustahil apabila pemberdayaan bisa tercapai tanpa adanya bentuk komunikasi yang baik antara pemberdaya dan yang diberdayakan. Seperti yang telah dibahas pada sub bab komunikasi dalam humas, CSR merupakan sebuah komunikasi eksternal perusahaan yang disusun oleh praktisi public relations dalam menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Salah satu hal yang dibahas dalam penelitian ini adalah pemberdayaan. Oleh karena itu, komunikasi untuk pemberdayaan tidak sekedar bisa dilakukan. Namun perlu adanya konsep dan strategi yang akan menunjang keberhasilannya. E.5. Model Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan Masyarakat Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering di artikan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Hanna dan Robinson (1994), menjelaskan bahwa “pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial atau suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan 20 kebebasan bertindak”. Sedangkan Ife (1995:61) mengemukakan bahwa “pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya”. Dalam konteks komunikasi pembangunan, pemberdayaan masyarakat diterjemahkan sebagai proses untuk menuju suatu perubahan yang bersifat multidimensi menuju kondisi yang semakin mewujudkan hubungan yang serasi antara kebutuhan (needs) dan sumber daya (resources) melalui pengembangan kapasitas masyarakat untuk melakukan proses pembangunan. Komunikasi pembangunan yang diutamakan adalah kegiatan mendidik dan memotivasi masyarakat. Tujuan komunikasi adalah untuk menanamkan gagasan-gagasan, sikap mental dan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh khalayak. Dalam pengertian yang sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilanketerampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas, dengan tujuan agar masyarakat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang disampaikan. Sedangkan dalam arti yang luas, komunikasi pembangunann meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan (Nasution, 1996:92). Menurut Rogers dan Adhikarya (dalam Harun dan Ardianto,2012:163163) strategi komunikasi pembangunan dapat dirumuskan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Penggunaan pesan yang dirancang khusus (tailord messages) untuk khalayak yang spesifik. Misalnya, bila hendak menjangkau khalayak miskin pada perumusan pesan, tingkat bahasa, gaya pengkajian dan sebagainya, disusun begitu rupa agar dapat dimengerti dan serasi dengan kondisi mereka. 21 2. Pendekatan ceiling effect yaitu dengan mengkomunikasikan pesan-pesan yang bagi golongan yang tidak dituju, katakanlah golongan atas, merupakan “redundansi” (tidak lagi begitu berguna karena sudah dilampaui mereka) atau kecil manfaatnya, namun tetap berfaedah bagi golongan khalayak yang hendak dijangkau. Dengan cara ini dimaksudkan, agar golongan khalayak yang benar-benar berkepentingan tersebut mempunyai kesempatan untuk mengejar ketertinggalannya, dan dengan demikian diharapkan dapat mempersempit jarak efek komunikasi. 3. Pendekatan narrow casting atau melokalisasi penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak. Lokaliasasi disini berarti disesuaikannya penyampaian informasi yang dimaksud dengan situasi kesempatan dimana khalayak berada. 4. Pemanfaatan saluran tradisisonal, yaitu berbagai bentuk pertunjukan yang sejak lama memang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan masyarakat setempat. 5. Pengenalan para pemimpin opini dikalangan lapisan masyarakat yang berkekurangan (disadvantage), dan meminta bantuan mereka untuk menolong mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan, 6. Mengaktifkan keikutsertaan agen-agen perubahan yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri sebagai petugas lembaga pembangunan yang beroperasi di kalangan rekan sejawat mereka sendiri. 7. Diciptakan dan dibina cara-cara atau mekanisme bagi keikutsertaan khalayak, sebagai pelaku-pelaku pembangunan itu sendiri, dalam proses pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan sampai evaluasinya. Sebuah proses komunikasi pembangunan tidak akan berhasil apabila komunikan atau masyarakat tidak memberikan feedback atau imbal balik yang baik pula. Feedback disini adalah partisipasi. Partisipasi adalah tingkat keterlibatan anggota sistem sosial dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat partisipasi anggota sistem sosial dalam pembuatan keputusan berhubungan positif dengan kepuasan mereka terhadap keputusan inovasi kolektif. 22 Dalam konteks penelitian ini, partisipasi anggota terhadap koperasi dan partisipasi masyarakat terhadap program yang menjadi tolak ukur keberhasilan program CSR. Koperasi “LPA Pusur Lestari” merupakan koperasi baru yang diimplementasikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan. Partisipasi anggota dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menuju koperasi yang maju. Koperasi tidak mampu berdiri sendiri tang adanya partisipasi dari anggota. Dalam berbagai hal seperti pengambilan keputusan dibutuhkan peran anggota untuk menentukan sebuah kebijakan. Ini berarti bahwa semakin tinggi partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan, semakin besar pula tingkat kepuasan mereka terhadap keputusan (Rogers dan Shoemaker, dalam Hanafi, 1986:63-64). Menurut Sastropoetro (1986:11) partisipasi adalah keikutsertaan, peran serta atau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaan lahiriahnya. Pengertian ini menjelaskan peran masyarakat dalam mengambil bagian, atau turut serta menyumbangkan tenaga dan pikiran ke dalam suatu kegiatan, berupa keterlibatan ego atau diri sendiri atau pribadi yang lebih daripada sekedar kegiatan fisik semata. Secara umum, partisipasi dapat di artikan sebagai keterlibatan diri seseorang dalam suatu kegiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau suatu proses identifikasi diri seseorang untuk menjadi peserta dalam kegiatan bersama dalam situasi sosial tertentu. Seseorang yang berpartisipasi menurut Allport dalam Sastropoetro (1986 : 12) seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan di dalam dirinya / egonya, yang sifatnya lebih dari pada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga, berarti ketrlibatan pikiran dan perasaanya. Partisipasi anggota koperasi anggota dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan anggota untuk berpartisipasi, kemampuan anggota untuk berpartisipasi dipengaruhi oleh bimbingan atau penyuluhan yang dilakukan koperasi. Bimbingan atau penyuluhan ini dapat berupa pengetahuan, keterampilan maupun sikap anggota. Bila anggota sudah memiliki pengetahuan, keterampilan, modal 23 serta sikap positif terhadap koperasi berarti anggota memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Kemauan anggota koperasi untuk berpartisipasi merupakan reaksi psikis dalam diri seseorang manusia, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada. Kemauan ini berhubungan dengan aspek sikap seperti emosi dan perasaan yang dipengaruhi oleh besarnya pelayanan koperasi, kedekatan tempat tinggal, motivasi anggota koperasi, daya tarik terhadap kegiatan koperasi, dan hubungan dengan lembaga ekonomi lain. Keberhasilan koperasi dalam perkembangannya didukung oleh partisipasi anggota koperasi itu sendiri. Partisipasi aktif dan kesadaran masyarakat untuk bergabung dalam wadah koperasi, merupakan inti kekuatan koperasi. Menurut Soerjono ( 1990: 138) situasi yang merangsang kemauan untuk melakukan perubahan dan kekuatan itu bersumber dari: 1. Ketidakpuasan terhadap situasi yang ada, karena itu timbulah adanya keinginan untuk situasi yang lain. 2. Adanya pengetahuan tentang perbedaan antara ada, dan yang seharusnya bisa ada. 3. Adanya tekanan dari luar seperti kompetisi, keharusan menyesuaikan diri. 4. Kebutuhan dari dalam untuk mencapai efisiensi dan peningkatan, misalnya produktivitas, dll. Menurut P. Hasibuan dalam Ninik.W dan Y.W. Sunindhia (2003:118121), mengemukakan rumusan syarat-syarat keanggotaan koperasi dengan beberapa aspek dan tujuannya. 1. Aspek tujuan. Dengan membayar simpanan pokok dan simpanan wajib secara kontinyu. 2. Aspek anggota. Anggota koperasi adalah anggota masyarakat golongan ekonomi lemah , bukan pemilik modal. 3. Aspek Usaha. 24 Tujuan koperasi untuk memenuhi atau melayani kebutuhan anggotanya, hubungan usaha koperasi dengan usaha anggotanya. Dengan demikian, begitu eratnya sehingga pelanggan dan pemilik koperasi pada dasarnya. Adalah orang yang itu-itu saja. 4. Kewajiban, tanggung jawab dan hak anggota. Sebagai konsentrasi anggota, maka kekuatan koperasi terletak pada banyaknya anggota dan kemampuan mereka untuk memikul kewajiban dan melaksanakan hak sebagai anggota koperasi. Menurut Ninik dan Panji (2003:111) mengatakan partisipasi anggota dapat diukur dari kesediaan anggota itu untuk memikul kewajiban dan menjalankan hak keanggotaan secara bertanggung jawab. Apabila sebagian besar anggota koperasi sudah menunaikan kewajiban dan melaksanakan hak secara bertanggung jawab, maka partisipasi anggota koperasi yang bersangkutan sudah dikatakan baik. Berbagai indikasi yang muncul sebagai ciri-ciri anggota yang berpartisipasi baik dapatlah dirumuskan sebagai berikut: 1. Melunasi simpanan pokok dan wajib secara tertib dan teratur. 2. Membantu koperasi di samping simpanan pokok dan wajib sesuai dengan kemampuan masing-masing. 3. Menjadi langganan koperasi yang setia. 4. Menghadiri rapat-rapat dan pertemuan secara aktif. 5. Menggunakan hak untuk mengawasi jalanya usaha koperasi, menurut Anggaran Dasar dan Rumah Tangga, peraturan lainnya dan keputusankeputusan bersama lainnya Bentuk partisipasi menurut Dr. Arifin Sitio dalam Sastropoetro (1995:56) ada 8 macam yaitu : 1.) Partisipasi dengan pikiran. 2.) Partisipasi tenaga bersifat swakarsa. 3.) Partisipasi pikiran dan tenaga sama dengan parti-sipasi aktif. 4.) Partisipasi dengan keahlian. 25 5.) Partisipasi dengan barang. 6.) Partisipasi dengan uang. 7.) Partisipasi dengan jasa-jasa. 8.) Partisipasi yang bersifat mobilisasi. Keberdayaan sebenarnya merupakan suatu proses perubahan yang dikehendaki. Setidaknya keberdayaan untuk sebuah proses pembangunan pada umumnya merupakan kehendak masyarakat yang terwujud dalam keputusankeputusan yang diambil oleh para pemimpinnya, yang kemudian disusun dalam suatu perencanaan yang selanjutnya dilaksanakan. Keberdayaan masyarakat ditandai dengan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam sebuah proses pembangunan. Model Komunikasi Pembangunan Menyimak pendapat Freire (1984), pemberdayaan individu masyarakat dapat dilakukan melalui proses penyadaran pada mereka terhadap situasi dan kondisi lingkungan, kebutuhan, keinginan, dan kemampuan. Menurutnya, proses penyadaran tersebut harus dilakukan melalui proses dialog. Sedangkan proses dialog merupakan proses komunikasi dua arah yang berkelanjutan sehingga menemukan suatu pemahaman dan pengertian yang membentuk suatu kesadaran. Kesadaran ini akan terjadi pada pihak-pihak yang berdialog. Pihak-pihak tersebut bisa individu dalam masyarakat maupun individu pada lembaga pemerintahan. Proses komunikasi tersebut sering disebut sebagai model komunikasi konvergensi. Dalam konteks pembangunan diIndonesia, model komunikasi pembangunan dua arah tersebut dapat digambarkan seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut. 26 K L P L Ket : M A S Y A R A K A T L = Komunikator P = Pesan K/ = Komunikasi Gambar 3. Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan Masyarakat Sumber: Freire (1984) Setiap pihak yang terlibat dalam pembangunan selalu dalam proses komunikasi dua arah dan selalu melakukan dialog dengan pihak lain. Dapat dikatakan bahwa proses komunikasi merupakan proses peredaran darah dalam tubuh pembangunan, di mana darah tersebut berupa informasi atau pesan-pesan pembangunan. Dengan lancarnya proses peredaran darah informasi tersebut, dalam konteks teori penyadaran, diharapkan akan terwujud kesadaran pada semua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi pembangunan yang sehat, dari pihak-pihak dalam pemerintahan hingga pihak pihak dalam masyarakat. Kondisi tersebut akan mengantar kita ke pintu gerbang masyarakat yang sehat, masyarakat madani yang diharapkan oleh semua individu yang menyadari fitrahnya sebagai manusia. Komunikasi pemberdayaan masyarakat merupakan proses komunikasi yang bertujuan menumbuhkan motivasi dan memberikan kesempatan pada masyarakat dengan jalan membuka saluran-saluran komunikasi sehingga masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui pemanfaatan 27 dan peningkatan kemampuan yang mereka miliki dan sekaligus menempatkan mereka sebagai stakeholder aktif. Bagan berikut menerangkan bentuk gambaran konsep proses komunikasi dalam implementasi program CSR PT Tirta Investama melalui koperasi “LPA Pusur Lestari” terhadap publik (petani). Dari implementasi program tersebut diharapkan mampu memenuhi harapan yang diinginkan oleh praktisi humas perusahaan dan masyarakat dengan tercapainya tujuan dari program koperasi “LPA Pusur Lestari”. Praktisi PR/team CSR Message / program Proses Implementasi Consultant/ LSM Koperasi “LPA Pusur Lestari” Petani DAS Pusur Feed back/partisispasi Gambar 4. Model Komunikasi Implementasi CSR Program CSR bisa dilakukan oleh departemen humas perusahaan. Namun, bisa pula difasilitasi oleh LSM sebagai pelaksana dan pendamping. Monitoring, supervisi dan pendampingan merupakan kunci keberhasilan implementasi program. Hal tersebut seperti cara yang dilakukan oleh PT Tirta Investama dalam mengimplementasikan program CSR, dalam hal ini adalah koperasi “LPA Pusur Lestari”. PT Tirta Investama bermitra dengan LSM sebagai organisasi pendamping program. Dalam implementasi program pendampingan sebagai upaya pemberdayaan tentu terdapat proses komunikasi antara pendamping yaitu LSM Bina Swadaya 28 Konsultan dan masyarakat. Hal ini terdapat pada proses pendampingan yang dilakukan oleh LSM. Komunikasi yang baik akan berdampak pada keberhasilan program pemberdayaan tersebut. Terdapat beberapa konsep komunikasi yang mempunyai indikator jumlah pada komunikator maupun komunikannya. Komunikasi tersebut antara lain komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa (Rakhmat, 2012). Komunikasi Intrapersonal adalah proses pengolahan informasi. Proses ini melewati empat tahap yaitu sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Proses pertama dari komunikasi intrapersonal terjadi pada saat sensasi terjadi. Sensasi, yang berasal dari kata sense yang berarti kemampuan yang dimiliki manusia untuk mencerap segala hal yang yang diinformasikan oleh panca indera. Informan yang diserap oleh panca indera disebut stimuli yang kemudian melahirkan proses sensasi. Dengan demikian sensasi adalah proses menangkap stimuli (Rakhmat, 2012:49). Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri,, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru murid dan sebagainya (Mulyana, 2000:73). Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konferensi dan sebagainya (Arifin, 1984). Sedangkan Michael Burgon (Dalam Wiryanto, 2005), mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggotaanggotanya dapat mengingat karakteristik anggota anggota yang lain secara tepat. Jadi, berdasarkan dua definisi diatas definisi komunikasi kelompok mempunyai kesamaan, yaitu adanya komunikasi tatap muka, dan mempunyai susunan acara kerja tertentu untuk mencapai tujuan kelompok. Sedangkan komunikasi massa menurut Bittner (dalam Rakhmat, 2012:185), adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa kepada 29 banyak (jumlah besar) orang. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan, dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah banyak dan menggunakan media. Konsep diatas menjadi sebuah bentuk dari proses penyampaian pesan. Melalui beberapa kriteria tersebut pesan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Oleh karena itu, konsep diatas menjadi dasar pada proses pendampingan yang dilakukan oleh LSM Bina Swadaya Konsultan kepada masyarakat. F. Metodologi Penelitian F.1. Metode Penelitian Fokus dalam penelitian ini adalah pendampingan LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat untuk diterapkan pada penelitian ini adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen probadi, catatan, memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik dibalik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas (Moleong, 2004 :131). Posisi periset dalam pendekatan kualitatif adalah bagian integral dari data, artinya periset ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian, periset menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan. Oleh karena itu, riset ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan digeneralisasikan (Kriyantono, 2006:57). Dalam penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan peran pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR secara rinci dan tuntas mengenai gambaran secara menyeluruh objek penelitian dan sesuai keadaan sebenarnya. Objek penelitian adalah Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Koperasi ini merupakan wadah 30 bagi petani untuk mencapai kemandirian dan kemajuan bersama. Maka dari itu peneliti merasa bahwa metode deskriptif memiliki kapasitas yang tepat untuk menjabarkan sebuah situasi dan mengidentifikasi masalah penelitian. Metode deskriptif mempunyai ciri-ciri antara lain : 1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang aktual. 2. Mengumpulkan data, menyususun, menjelaskan, dan menganalisis data-data tersebut. Penelitian ini akan mendeskripsikan secara lengkap peran pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama sebagai upaya memberdayakan masyarakat petani dari tahap sosialisasi, pelaksanaan hingga pengawasan/evaluasi. Hal tersebut merujuk pada pemikiran Jalaludin Rakhmat (1989:37) bahwa metode penelitian deskriptif merupakan suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek suatu penelitian suatu lembaga, masyarakat, dan lain-lain. Penelitian ini akan menyelidiki peran pendampingan LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” sehingga masyarakat mampu untuk diberdayakan. Hal-hal yang akan diselidiki peneliti meliputi tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan,sikap-sikap,pandangan pandangan,serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena dalam tahapan-tahapan waktu tertentu. F.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian akan dilakukan. Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Koperasi “LPA Pusur Lestari” Desa Tlobong, Delanggu, Klaten. Koperasi “LPA Pusur Lestari” adalah koperasi yang memfasilitasi petani DAS Pusur Klaten-Boyolali. 31 F.3. Metode Pengumpulan Data Data merupakan sebuah hal pokok yang menjadi dasar peneliti untuk memberikan sebuah analisis. Data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari observasi ke lapangan oleh peneliti dan wawancara. Wawancara ditujukan pada kepala divisi CSR PT Tirta Investama Klaten Jawa Tengah (Bp. Atiq Zambani), kepala LSM pendamping (Bp. Abu), dan ketua koperasi “LPA Pusur Lestari” (Bp. Widyatmoko). 2. Data Sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, note, sampai dokumen-dokumen resmi dari instansi pemerintah. Data Sekunder juga dapat berupa majalah, buletin, publikasi, dari berbagai organisasi, hasil-hasil studi, hasil survei, studi historis dan sebagainya. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data ini bisa diperoleh dari koperasi “LPA Pusur Lestari” dan LSM pendamping. Untuk memperoleh data tersebut diperlukan teknik yang tepat agar data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian. Hal ini karena tujuan utama dari penelitian itu sendiri adalah untuk memperoleh data. Dengan demikian, maka tanpa mengetahui tehnik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan memperoleh data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam sebuah penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Menurut Sutopo (2006: 9), metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang bersifat interaktif dan non-interaktif. Metode interaktif meliputi interview dan 32 observasi berperanserta, sedangkan metode noninteraktif meliputi observasi takberperanserta, tehnik kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak berperan. Dalam penelitian ini, peneliti merasa bahwa teknik yang bersifat interaktif adalah cara yang tepat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan peneliti harus melihat fokus penelitian dari penelitian secara mendalam. Oleh karena itu, teknik observasi dan wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Berikut merupakan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian : 1. Pengamatan / Observasi Menurut Arikunto (2002:145), sebagai metode ilmiah observasi dapat diartikan sebagai pengamatan, melalui pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan seluruh alat indera. Jadi observasi merupakan suatu penyelidikan yang dilakukan secara sistematik dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indera terutama mata terhadap kejadian yang berlangsung dan dapat dianalisa pada waktu kejadian itu terjadi. Dibanding metode survey, metode observasi lebih objektif. Metode ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang akan diteliti. Pengamatan dan pemusatan perhatian terhadap objek dilakukan dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi, mengobservasi dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap (Arikunto,2002:128). Dalam konteks penelitian implementasi CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari”, kita dapat memperoleh data obseravasi berupa rekaman, gambar, dan catatan berkala. Peneliti akan melakukan observasi langsung terhadap pendampingan LSM terhadap program di lokasi Koperasi “LPA Pusur Lestari” diimplementasikan. Selain itu, peneliti perlu membuat langkah-langkah dalam melakukan observasi dengan tujuan agar jalannya observasi sesuai dengan benang merah dan mampu menyajikan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Berikut merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam observasi : 33 a. Melakukan pengamatan secara langsung pada koperasi “LPA Pusur Lestari”. b. Melakukan pengamatan terhadap aktifitas dan kegiatan program koperasi “LPA Pusur Lestari” secara periodik. c. Melakukan pencatatan dan dokumentasi terhadap aktifitas koperasi “LPA Pusur Lestari”. 2. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dari yang diwawancarai yang memberikan atas informasi atau data. Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang. Dalam wawancara tersebut bisa dilakukan dengan individu maupun dalam kelompok, sehingga didapat data informatik yang orientik. Metode interview adalah sebuah dialog atau tanya jawab yang dilakukan dua orang atau lebih yaitu pewawancara dan terwawancara (nara sumber) dilakukan secara hadap-hadapan (face to face) (Hanitijo, 1994:57). Sedangkan interview yang peneliti gunakan adalah jenis interview pendekatan yang menggunakan petunjuk umum, yaitu mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis-garis besar atau pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara, penyusunan pokok-pokok ini dilakukan sebelum wawancara. Dalam hal ini, pewawancara harus dapat menciptakan suasana yang santai tetapi serius yang artinya bahwa interview dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak main-main tetapi tidak kaku (Arikunto, 2002:133). Dalam teknik wawancara peneliti membuat interview guide (terlampir) agar wawancara dapat memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini. Wawancara digunakan untuk menggali data tentang gambaran implementasi Program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” yang dilaksanakan dan didampingi oleh LSM. Wawancara akan dilakukan dengan berbagai pihak yang berkompeten dan mempunyai hubungan terhadap implementasi program CSR. Pihak yang 34 berkompeten disini tidak hanya berasal dari LSM, namun bisa juga berasal dari masyarakat maupun pemerintah terkait. F.4. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Didalamnya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi atau keberagaman (Bungi, 2003:53). Menurut Moleong (2004:103) Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Dalam analisis data terdapat kompinen-komponen utama yang harus benarbenar dipahami. Komponen tersebut adalah reduksi data, kajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk menganalisis berbagai data yang sudah ada digunakan metode deskriptif analitik. Metode ini digunakan untuk menggambarkan data yang sudah diperoleh melalui proses analitik mendalam dan selanjutnya diakomodasikan dalam bentuk bahasa secara runtut atau dalam bentuk naratif. Analisis data dilakukan secara induktif, yaitu dilakukan dari lapangan atau fakta empiris dengan cara terjun langsung, mempelajari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara bersamaan dengan cara proses pengumpulan data. Menurut Miles dan Humberman (1992) tahapan analisis data sebagai berikut : 1. Pengumpulan data Penelitian mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil obsevasi dan wawancara di lapangan. Dalam tahap ini peneliti merekam segala pengamatan mengenai objek dari penelitian yaitu koperasi “LPA Pusur Lestari” berdasarkan observasi dan wawarancara terhadap narasumber. Observasi dilakukan dengan terjun langsung melihat kondisi konkrit di lapangan sedangkan wawancara dilakukan dengan panduan interview guide yang telah disusun oleh peneliti, kemudian wawancara dilakukan dengan narasumber yang 35 berkompeten. Narasumber tersebut antara lain Bp. Abu ketua Bina Swadaya Konsultan, Bp. Moko ketua koperasi “LPA Pusur Lestari” dan beberapa masyarakat sebagai target dari program CSR tersebut. 2. Reduksi Data Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data-data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan. Setelah peneliti melakukan tahap pengumpulan data, kemudian tahap berikutnya adalah mereduksi data. Dalam tahap ini, peneliti memilah dan memilih data yang berkenaan dengan fokus peneltian ini yaitu pada implementasi program “LPA Pusur Lestari”. Data yang tidak mendukung adanya penyajian data berkaitan dengan implementasi, peneliti membuang data tersebut. Tujuan dari tahap ini agar mampu memberikan gambaran yang jelas mengenai fokus penelitian yaitu implementasi program “LPA Pusur Lestari” dan mempermudah bagi peneliti untuk menyajikan hasil peneltian. 3. Penyajian data Penyajian data adalah sekumpilan informasi yang tersusun dan memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matriks, network, chart, atau grafis sehingga data dapat dikuasai. Pada tahap ini peneliti menyusun data yang telah direduksi, kemudian menganalisis dan menyajikan hasil penelitian. 4. Pengambilan keputusan atau verifikasi Setelah data disajikan, kemudian melakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Oleh karena itu, diupayakan untuk mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi, dari data tersebut berusaha diambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan dengan keputusan, didasarkan pada reduksi data, dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Dalam hal ini, peneliti mencoba menjawab pertanyaan yang menjadi masalah dalam penelitian 36 ini yakni “Bagaimana implementasi program CSR PT Tirta Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan petani DAS Pusur Klaten-Boyolali?”. Jadi pada tahap ini peneliti memberi jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut berdasarkan reduksi data dan penyajian data yang telah didapat. Setelah itu peneliti bisa mengambil keputusan untuk memberikan saran terhadap masalah yang dihadapi sehingga penelitian ini mampu bermanfaat di dunia akademisi mengenai perkembangan CSR sebagai bentuk komunikasi eksternal perusahaan khususnya di Indonesia. Keempat komponen ini interaktif yaitu saling mempengaruhi dan terkait. Pertama-tama dilakukan penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data-data pengumpulan penyajian data, reduksi data, kesimpulan-kesimpulan atau penafsiran data yang dikumpulkan banyak maka diadakan reduksi data. Setelah direduksi maka kemudian diadakan sajian data, selain itu pengumpulan data juga digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga hal tersebut dilakukan, maka diambil suatu keputusan atau verifikasi. Setelah data terkumpul, kemudian peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptifkualitatif. Analisis tersebut merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Menurut M. Nazir (2003:16) bahwa tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diteliti. F.5. Keabsahan Data Menurut Moleong (1991:175-176), untuk mendapatkan keabsahan data maka peneliti menggunakan beberapa teknik keabsahan data, yaitu : 37 1. Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebility). Teknik ini dilakukan dengan jalan : a. Keikutsertaan peneliti sebagai instrument (alat) tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti, sehingga memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. b. Ketentuan pengamatan, yaitu dimaksud untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dan situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan demikian maka perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, sedangkan ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman. c. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding. Teknik yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan terhadap sumber-sumber lainnya. d. Kecukupan referensial yakni bahan-bahan yang tercatat dan terekam dapat digunakan sebagai patokan untuk menguji atau menilai sewaktu-waktu diadakan analisis dan intepretasi data. 2. Teknik pemeriksaan keteralihan (transferability) dengan cara uraian rinci. Teknik ini meneliti agar laporan hasil fokus penelitian dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan kontek tempat peneliti diadakan. Uraiannya harus mengungkapkan secara khusus segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pembaca agar mereka dapat memahami penemeuan-penemuan yang diperoleh. 3. Teknik pemeriksaan ketergantungan (dependability) dengan cara auditing ketergantungan. Teknik ini tidak dapat dilaksanakan bila tidak dilengkapi dengan catatan pelaksanaan keseluruhan proses dan hasil penelitian. Pencatatan itu diklasifikasikan dari data mentah sehingga formasi tentang pengembangan instrument sebelum auditing dilakukan agar mendapatkan persetujuan antara auditor dan auditi terlebih dahulu. 38 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode dalam uji keabsahan data yaitu dengan Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebility). Alasan peneliti memilih teknik ini karena peneliti melihat objek dan fokus dari penelitian ini sendiri. Objek penelitian adalah Koperasi “LPA Pusur Lestari” yang apabila diteliti memerlukan kecermatan atau kedalaman karena mempunyai banyak elemen yang terkandung didalamnya. Sedangkan fokus dari penelitian ini adalah Implementasi atau pelaksanaan, sehingga peneliti memerlukan pengamatan dengan cara bertahap agar data yang diperoleh mampu menjawab pertanyaan penelitian. Implementasi program ini mencakup banyak aspek dari organisasi, lembaga, perusahaan,dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya trianggulasi atau pemeriksaan data. Hal ini digunakan agar data yang diperoleh benar-benar objektif. Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sumber lain untuk keperluan pengecekan atau membandingkan data. Teknik trianggulasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik trianggulasi sumber. Hal ini sependapat dengan Moleong (1991:178)), yang menyatakan teknik trianggulasi yang digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber-sumber lainnya. Trianggulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan jalan sebagi berikut: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang dikatakan sewaktu diteliti dengan sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. 39 BAB II Tinjauan Pustaka A. Perkembangan CSR Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) tidak terlepas dari waktu dan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para pembuat kebijakan terhadap CSR menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha (Hendi Hidayat, 2009). Latar belakang lahirnya CSR dapat dibagi atas 3 periode penting yaitu : A.1. Perkembangan Awal Konsep CSR di era tahun 1950-1960-an Sebenarnya jika diperhatikan di dalam sejumlah literatur tidak ada yang dapat memastikan kapan mulai dikenalnya atau munculnya CSR itu. Namun di dalam banyak literatur banyak yang sepakat bahwa karya Horward Bowen yang berjudul Social Responsibilities of the Businessman yang terbit pada tahun 1953 merupakan tonggak sejarah CSR Modern. Di dalam karyanya ini, Bowen (1953: 6) memberikan definisi awal dari CSR sebagai “it refers to the obligations of the businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of actions which are desirable in terms of the objectives and values of our society” (Bowen,1953: 6). 40 Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh Bowen telah memberi landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Pada saat Bowen menulis buku ini, terdapat dua hal yang kiranya perlu diperhatikan mengenai CSR pada saat itu. Pertama, Bowen menulis buku tersebut pada saat di dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan korporasi. Kedua, judul buku Bowen pada saat itu masih menyiratkan bias gender (hanya menyebutkan businessmen bukan businesswomen), karena pada saat itu pelaku bisnis di Amerika masih didominasi oleh kaum lelaki. Walaupun, judul dan isi buku Bowen ini masih bias gender namun sejak penerbitan buku Bowen ini, memberikan pengaruh yang besar terhadap buku-buku CSR yang terbit sesudahnya sehingga banyak yang sepakat untuk menyebut Bowen sebagai Bapak CSR. Selanjutnya pada tahun 1960, banyak usaha yang dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR dan salah satu akademis yang dikenal pada masa itu adalah Keith Davis. Keith Davis menambahkan dimensi lain tanggung jawab sosial perusahaan, pada saat itu ia merumuskan tanggung jawab sosial sebagai: “businessmen’s decision and actions taken for reasons at least partially beyond the firm’s direct economic and technical interest”(Davis,1960). Melalui definisi tersebut, Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan di luar tanggung jawab ekonomi semata-mata. Argumen Davis menjadi sangat relevan karena pada masa tersebut, pandangan mengenai tangung jawab sosial perusahaan masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu, ekonomi klasik memandang para pelaku bisnis memiliki tanggung jawab sosial apabila mereka berusaha menggunakan sumber daya yang dimiliki perusahaan seefisien mungkin untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutukan oleh masyarakat pada kisaran harga yang dapat terjangkau oleh masayarakat konsumen, sehingga masyarakat bersedia untuk membayar harga barang tersebut. Bila hal tersebut berjalan dengan baik, maka perusahaan akan 41