BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEM IO TIK TERH ADAP PLATFORM “MEMBANGUN K EMBALI INDONESIA” Disertasi Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Suhaimi NIM: 05.3.00.107.01.0050 Pembimbing: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA. Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011M/1432H Suhaimi LEMBAR PENGESAHAN Disertasi dengan judul “BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP PLATFORM “MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang ditulis oleh: Nama NIM Konsentrasi : Suhaimi : 05.3.00.107.01.0050 : Dakwah dan Komunikasi yang telah dinyatakan lulus pada Ujian Promosi Doktor pada hari Jum’at, tanggal 13 Mei 2011 di Auditorium Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah diperbaiki sesuai saran -saran tim penguji sidang promosi dan layak diserahkan ke perpustakaan. TIM SIDANG PROMOSI No 1 2 3 4 5 6 7 Nama Tanggal Tanda tangan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. (Ketua Sidang/Penguji) Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Pembimbing/Penguji) Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA. (Pembimbing/Penguji) Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum. (Penguji) Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. (Penguji) Prof. Dr. Suwito, MA. (Penguji) Dr. Yusuf Rahman, MA. (Sekretaris Sidang) ii Suhaimi PERSETUJUAN Disertasi dengan judul “BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP PLATFORM “ MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang ditulis oleh: Nama NIM Konsentrasi : Suhaimi : 05.3.00.107.01.0050 : Dakwah dan Komunikasi telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui untuk dibawa ke sidang ujian terbuka (promosi doktor). Ketua Sidang/Penguji: Prof. Dr. Suwito, MA. Tanggal: …………………….. iii Suhaimi PERSETUJUAN Disertasi dengan judul “BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP PLATFORM “ MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang ditulis oleh: Nama NIM Konsentrasi : Suhaimi : 05.3.00.107.01.0050 : Dakwah dan Komunikasi telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui unt dibawa ke sidang ujian terbuka (promosi doktor). Promotor/Penguji: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Tanggal: …………………….. iv Suhaimi PERSETUJUAN Disertasi dengan judul “BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP PLATFORM “MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang ditulis oleh: Nama NIM Konsentrasi : Suhaimi : 05.3.00.107.01.0050 : Dakwah dan Komunikasi telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui untuk dibawa ke sidang ujian terbuka (promosi doktor). Promotor/Penguji: Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA. Tanggal: …………………….. v Suhaimi PERSETUJUAN Disertasi dengan judul “BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP PLATFORM “MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang ditulis oleh: Nama NIM Konsentrasi : Suhaimi : 05.3.00.107.01.0050 : Dakwah dan Komunikasi telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui untuk dibawa ke sidang ujian terbuka (promosi doktor). Penguji: Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Tanggal: …………………….. vi Suhaimi P ERSETUJUAN Disertasi dengan judul “BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP PLATFORM “MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang ditulis oleh: Nama NIM Konsentrasi : Suhaimi : 05.3.00.107.01.0050 : Dakwah dan Komunikasi telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui unt dibawa ke sidang ujian terbuka (promosi doktor). Penguji: Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA. Tanggal: …………………….. vii Bahasa Politik Nurcholish Madjid ABSTRACT This dissertation proves the incorrect conclusions of Benedict R.O’G. Anderson in his famous articles The Language of Indonesian Politics, in 1966 and "Cartoons and Monuments: The Evolutions of Political Communication under the New Order," in 1978 stated that Bahasa Indonesia has experienced kramanisasi process because it is trapped in the "images of Javanese about politics". The process has been refined so that the dynamics of the original indication is now no longer exists. And conclusions of James Siegel in his thesis "Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City", wrote: the Javanese language community "treat other languages as if they are "ngoko language" and this community allow "the perpetrators of those languages into the community which is defined as krama language". This dissertation is written to reinforce earlier studies that question the validity of Anderson's conclusions, namely Mochtar Pabottingi (“ Bahasa, Kramanisasi dan Kerakyatan”, 1996, 156 – 157): Is it true that the emergence of many terms or words that are soft and "high", like the words of tunawisma, swasembada, pramuka, binaraga, purnayudha, tridarma, saptamarga etc are enough to say that Indonesian language has experienced kramanisasi ? At least there are 3 groups of Indonesian who do not use politesse languages (meaning: soft, complicated words) or kramanisasi : 1) creative writers group/popular, 2) intellectuals and 3) community or religious meetings. This dissertation shows that Nurcholish Madjid (1939-2005), hereafter defined as NCM, as a muslim intellectual from Jombang, East Java, did not use kramanisasi language or smoothing process by using complicated words of euphemism language style as seen in the xii Suhaimi description of sentence 10 in the Basic Agenda of NCM and each explanations in his book, Indonesia Kita , Jakarta, Paramadina, Third edition, March 2004 , pages 114-184. This dissertation proved what is written in the above is based on the analysis of language structure and use of the sentence, NCM is using many comparing metaphor languages, as seen when he compared the multifaceted face of crisis and icebergs at the poles in the first paragraph of AD’s first explanation, etc. When NCM describes feudalism as the cause of the difficulty of sian people, he emphasizes it in the style of the opposition language in the form of cynicism in the sense of satire and skepticism that contains a mockery of the sincerity and honesty, as seen in the fifth paragraph of the first AD. Some other NCM language styles are irony , stylistic repetition , and epitet. Primary sources of this dissertation is the mind result of NCM in his political platform "Rebuilding Indonesia" in his book Indonesia Kita , Jakarta, University of Paramadina, Third edition, 2004. In addition, primary data was also obtained from literature research, written by NCM on related subjects such as in his book Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta, Paramadina, Fourth edition, September, 2000 and his other works. The data is read with the interpretative analysis of hermeneutic and texts’ semiotic based on an understanding of the meaning of the words that form sentences and paragraphs into a complete text and then understand the meaning of text passages based on the overall meaning. xiii Suhaimi ABSTRAK Kesimpulan besar disertasi ini membuktikan ketidakbenaran tesis Benedict R.O’G. Anderson dalam tulisannya yang terkenal The Language of Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and Monuments: The Evolutions of Political Communications under the New Order,” tahun 1978 yang menyatakan bahwa Bahasa In nesia sudah mengalami proses kramanisasi karena sudah terperangkap dalam “imaji orang Jawa tentang politik”. Ia sudah tertimpa proses penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya ini tak ada lagi. Disertasi ini pun membuktikan ketidakbenaran tesis James Siegel yang menyatakan bahwa komunitas bahasa Jawa “memperlakukan bahasa lain seolah -olah semuanya itu termasuk bahasa “ ngoko ” dan komunitas ini memperkenankan “para pelaku bahasa-bahasa tersebut kedalam komunitas wacana yang dirumuskan sebagai bahasa krama.” Perbedaan dan persamaan dengan kesimpulan yang diberikan komunitas akademik lain bahwa disertasi ini ditulis untuk memperkuat penelitian sebelumnya yang mempertanyakan keabsahan kesimpulan Anderson, yaitu Mochtar Pabottingi (”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan”, 1996, 156 -157): Benarkah munculnya banyak istilah atau kata yang sifatnya halus dan “tinggi”, seperti kata-kata tunawisma, swasembada, pramuka, binaraga, purnayudha, ridarma, saptamarga dst. sudah cukup untuk mengatakan bahasa Indonesia mengalami kramanisasi ? Paling tidak ada 3 kelompok pelaku bahasa Indonesia yang tidak melakukan bahasa politesse (baca: halus-topengaling-aling) atau kramanisasi : 1) kelompok sastrawan kreatif/populer, 2) kaum cendikiawan 3) komunitas atau pertemuan yang bersifat keagamaan. Disertasi ini menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid (1939– 2005), selanjutnya ditulis NCM, sebagai seorang cendikiawan muslim berasal dari Jombang, Jawa Timur tidak menggunakan bahasa politesse. Sebaliknya sebagai seorang cendikiawan muslim, NCM ix Bahasa Politik Nurcholish Madjid menuliskan pikiran -pikirannya tentang kebobrokan sosial yang terjadi dengan tegas seperti tertulis dalam kata-kata NCM dalam AD ke-satu sampai dengan AD ke-sepuluh dan uraian penjelasannya sepeerti antara lain: budaya KKN, upeti dan suap menyuap, feodalisme, patrimonialisme dan gaya hidup materialistik yang menjadi penanda bahwa dirinya menolak elitisme atau politesse dalam berbahasa. Dia pun tidak melakukan bahasa kramanisasi atau proses penghalusan dengan menggunakan bahasa topeng/aling -aling berupa gaya bahasa eufemisme. Disertasi ini dengan berdasarkan analisis struktur bahasa dan pengunaan kalimatnya pun membuktikan bahwa NCM menggunakan gaya bahasa perbandingan metafora paling banyak dan gaya bahasa NCM lainnya adalah gaya bahasa ironi, repetisi, dan epitet. Sumber primer disertasi ini adalah butir-butir pemikiran NCM tentang politik dalam platform “Membangun Kembali Indonesia” yang tertulis dalam buku karya NCM berjudul “Indonesia Kita ,” Jakarta, Universitas Paramadina, Cetakan III, 2004. Di samping itu data primer penelitian ini diperoleh juga dari studi kepustakaan yang ditulis oleh NCM mengenai subjek pembahasan terkait seperti karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta, Paramadina, Cetakan keempat, September, 2000 dan buku -buku kumpulan tulisan karyanya yang lain. Data-data itu dibaca dengan analisis teks semiotik dan hermeneutik berdasarkan pemahaman sejumlah makna katakatanya yang membentuk kalimat dan gabungan kalimat-kalimatnya yang menjadi alinea serta gabungan alinea-alineanya yang membentuk teks yang utuh kemudian memahami makna bagian -bagian teks berdasarkan makna keseluruhannya. x Suhaimi ????? ???? The Language of ??????? ????? ?? ??????? R OG ????????????????? ??????? ??? ???? ?? Cartoons and Monuments: The Evolutions of " ? ?<` ?? Indonesian Politics, ?? ??? ??? ???? ?<` ?? " Political Communications under the New Order ." ??????? ??????? ???" ???? ?? ????????? ?? kramanisasi ?????? ???? ?? ?????????? ???? ???? ??????? ??? . ?????? ??? ?? ??? ?? ????? ???? ???????? ???? ??????? ????? ?? ????? Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an " ?? ???? ???? ?????? "????? ????? ?? ???? ?? ??? ???? ???? " ???? ??? ??? ??????? ???<à ? ? " Indonesian City ?? ?????? ??? ??? ?? ???? ?????? ?? ??????? ?? ?????? ??? " ??????? ?????? ???? ???? " ngoko " .???? ??? ?????? ?????? ?? ??????? ?? ???? ?????? ??? ?????? ??? ???? ??? ???????? ?? ???????? ?????? Pabottingi ????? ???? ? ????? ?? ?????????? ??? ?? ???? ???? ??????? ???????? ?? ?????? ???? ?? : ( ?<? -?<? ? ?<ha ? " Bahasa ? Kramanisasi dan K erakyatan ") tunawisma, swasembada, ??? ??? ?" ????? "? ??? ??? ??? ?? ???? ??????? ?? ????????? ???? ?? ?????. saptamarga ????? ??? tridarma ? pramuka, binaraga, purnayudha, ????? ? ????? ?????????? ??????? ?? ??????? ? ???? ???? ??? ??????????? ??????? kramanisasi ?????? / ???????? ?? ?????? ( ? : kramanisasi ?? ???? ?? ????? ???? ????? : ???? ) politesse ????? .??????? ???????? ?? ??????? (? ????????? (? ??????? ?? ???? ????? ? ?????NCM ???? ? ( ?<? -?<? ) ???? ?? ????? ?????? ?? ??? ??? ??? ?????? ?????? / ???? ???????? ?????kramanisasi ?? ???????????? ? ??????? ???? Jombang ? ? ????? ?? ?? ??? ???NCM ?????? ?????? ?????< ?????? ??? ?? ????? ??? ????? ????? ??? ?? .?<? -?<? ????? ?? ? ?<` ???? ? ?????? ???? ? ?????????? ?"?????? Indonesia ? Kita " NCM ? ?????? ???????? ????? ????? ????? ???? ??? ??????? ??? ?? ???? ??? ?? ????? ??? ? ????? ?? ??????? ?????? ?????? ????? ????? ????? ??? ? ????? ????? ??? ?????? ??????? ??????? .??? ? ??? ???? ?? ????? ?????? ?? ??????? ?? ???????? ??????? ?? ????? ??? ?? ???????? ???? ??? ???? ? ?????????? ???? ????? ?? ????NCM ?????? ????? ??? ????? ??? ?? ??????? ??? ????? ???? ?????? ?? ??? ?? ??????? ????? ??????? ????? ?? ??? .????? ?????? ?? ??????? ?????? ?? ????? ??? ? .epitet ????? ?????? ? ???????? ??????? ? ??????? ?? ????? M NC ?? ????? ?????? ????? ??? "????????? ????"????? ???? ?? NCM ??????? ?? ??????? ?? ??? ?? ??????? ???? ???????? ??????? ? ?????? ???? ? ?????????? ????? "? ?????? Indonesia ? Kita " ??????NCM ???? ?? ?????? ???? ?? ??????? ???? ????? ????? ??? ?? ?????? ???????? ??? ?????? ?? ??? ? ???. ??? ?<` ???????? " Islam , Doktrin dan Peradaban , " ?????? ???? ??? ????? ??? ?????????NCM ??? ??? .??? ??? ???? ???? ??? ?? ?? ????????<?? ? ??????/ ????? ? ??????? ????? ? ?????????? ? ?????? ? ????? ??? ???? ??? ?????? ????????? ???????? ?????? ??????? ????????? ????? ?? ???????? ????? ??? ??? ?????? ???? ???? ?? ?????? ???????? ??????? ?? ?????? ??? ????? ??? ????? ??? ???? ????? .????? ?????? ??? ???? ???? ????? ???? xi Bahasa Politik Nurcholish Madjid KATA PENGANTAR Maha suci Allah, segala puji hanya bagi-Nya, tiada Tuhan melainkan Dia dan Dialah Tuhan yang Maha Besar menjadi susunan kalimat pertama yang penulis persembahkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan cinta kasih -Nya kepada penulis, baik ketika penulis belajar untuk menyelesaikan disertasi ini sebagai tugas akhir, maupun sebelum dan sesudahnya kelak. Penulis berharap semoga Allah swt menjadikan seluruh aktivitas belajar penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai bekal menambah kecintaan penulis kepada Rasulullah Muhammad saw dan para nabi-Nya dengan meneladani perilaku mereka sesuai yang Allah swt perintahkan. Disertasi berjudul Bahasa Politik Nurcholish Madjid: Analisis Semiotik terhadap Platform “Membangun Kembali Indonesia”, merupakan analisis teks terhadap sepuluh agenda dasar Nurcholish Madjid , ketika menyatakan diri siap dicalonkan menjadi calon presiden Republik Indonesia, pada pemilihan umum (Pemilu) 2004 ini merekomendasikan signifikansi moral dan nasionalisme modern dalam melaksanakan pembangunan bangsa Indonesia. Penulis dapat menyelesaikan disertasi ini berkat bantuan dari i pihak yang turut membantu proses perampungannya. Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, baik selaku Rektor UIN Jakarta yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada penulis, maupun sebagai pejabat terdahulu Direktur Sekolah Pascasarjana serta selaku pembimbing disertasi penulis atas segala bantuan yang beliau berikan. Penulis pun mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Andi Faisal Bakti selaku pembimbing penulis yang juga telah memberikan banyak andil dalam penyelesaian disertasi ini. Selain itu, penulis menyatakan juga banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana saat ini atas segala kemudahan yang diberikan kepada xvi Suhaimi penulis ketika menyelesaikan disertasi ini, kepada Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA serta Dr. Udjang Tholib, MA yang telah memberikan kemudahan dan sukan yang berarti bagi kesempurnaan disertasi ini. Terima kasih pun penulis sampaikan kepada para pengajar di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta atas berbagai ilmu pengetahuan yang mereka telah ajarkan kepada penulis selama belajar di pascasarjana, seperti Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA, Dr. M. Idris Abdul Shamad, MA, Dr. Jamhari, Prof. Dr. Aqil Siradj, Dr. Abdul Chair, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Sukarja, MA, Dr. Saiful Mujani, MA, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, Prof. Dr. Amani Lubis, MA, almarhum Prof. Dr. Badri Yatim, MA, serta Prof. Dr. Ibnu Hamad, MSi, dll. Kemudian, terima kasih juga kepada Prof. Dr. Murodi, Dekan terdahulu Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dan Dr. Arief Subhan, MA, Dekan FIDKOM saat ini yang tak henti-hentinya mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini, dan kepada para pengajar terutama Dr. Asep Usman Ismail, MA, Drs. Studi Rizal, MA, Dra. Asriati Jamil, MHum, Dr. Shihabuddin Noer, MA yang sering bertanya kapan penulis menyelesaikan disertasi ini, dan terima kasih juga kepada Dr. Fariz Pari yang telah menjadi teman berdiskusi penulis sejak penyusunan proposal disertasi ini. Di samping itu, penulis mengucapkan juga terima kasih kepada para pegawai perpustakaan FIDKOM UIN Jakarta dan para pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta serta para pegawai perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dengan sabar memberikan pinjaman buku -buku kepada penulis, karena tanpa buku-buku itu, tak mungkin disertasi ini akan menjadi seperti ini, kemudian terima kasih juga kepada para pegawai di Bagian Akademik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, terutama Eva Nugraha, MAg dan Feni Arifiani, MH yang telah memberikan banyak kemudahan bagi terciptanya disertasi ini. xvii Bahasa Politik Nurcholish Madjid Terima kasih terutama penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah berdoa dan membesarkan serta mengasihi ri ini dengan penuh cinta kasih, almarhum H. Abdul Somad dan almarhumah Hj. Siti Asiah dan ibu mertua almarhumah Dedeh Saoriah dan almarhum Bapak Memen Nurmudin dengan permohonan doa semoga Allah swt selalu mencurahkan ampunan dan kasih sayang-Nya. Penulis pun berterimakasih teristimewa kepada istri tercinta Nani Muryani, SPd dan putera puteri penulis Bunayya Ittaqi Al-Majid Al-Bar dan Fiyki Taqiyya Billah yang menemani penulis dalam suka dan duka, serta kepada adinda Zahrul Qomariyah, BA dan Sukria, BA dan Ferdiyansyah, BSc, kakanda Hj. Siti Maryam dan Mas Wiwit Waskito, Ir. Muhammad Thohir dan Anna Safina, SH, serta Jidah Hj. Fahmiah, Ahmad Damanhuri dan Fahriah dan kemenakan kemenakan penulis Annisa Maulidia dan Rizki Akbarulwildan, Diandra M. Rafiansyah dan M. R iandy Aji. Penulis berharap dan berdoa agar Allah swt memberikan balasan yang tidak terhingga kepada mereka semua dan menjadikan amal kebajikannya kepada penulis sebagai amal jariyah yang pahalanya terus mengalir dari dunia fana ini sampai alam baka nanti. Semoga. Depok, 11 April 2011 Suhaimi xviii Suhaimi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................ SURAT PERNYATAAN ....................................................... HALAMAN PERSETUJUAN ............................................ ABSTRAK............................................................................ PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN.................. KATA PENGANTAR ............................................................ DAFTAR TABEL...................................................... ......... DAFTAR SINGKATAN ................................................ DAFTAR ISI...................................................................... .. i ii iii ix xv xvi x ix xx xxiii BAB I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................. ... B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................. C. Tujuan Penelitian ................................................ D. Manfaat Penelitian............................................. ... E. Tinjauan Kepustakaan.......................................... F. Metodologi Penelitian....................................... G. Disain Penelitian ................................................ H. Sistematika Pen ulisan ......................................... 1 14 15 16 16 24 27 29 BAB II. PESAN POLITIK DALAM TINJAUAN ILMU KOMUNIKASI DARI PERSPEKTIF INTERPRETATIF A. Integrasi Dakwah Islam dan Ilmu Komunikasi ... 32 1. Pengertian Dakwah Islam dan Komunikasi ... 32 2. Objek Material dan Objek Formal Dakwah Islam dan Ilmu Komunikasi .................. ...... 38 3. Dakwah Islam dalam Perspektif Ilmu Komunikasi 39 B. Pengertian Bahasa Politik ......................................... 44 xxiii ix Bahasa Politik Nurcholish Madjid C. Komunikator dan Pesan dalam Komunikasi Politik D. Perspektif Interpretatif untuk Memahami Teks ... E. Analisis Teks dalam Semiotik dan Interpretatif... 1. Teks sebagai Pesan Budaya .................. ...... 2. Teks sebagai Pesan Verbal............................... E. Kerangka Penelitian ......................................... F. Definisi Istilah dalam Penelitian ini .................. 49 57 58 67 68 71 73 BAB III. AKTIVITAS POLITIK NURCHOLISH MADJID A. Nurcholish Madjid Sebagai Komunikator Politik...... 75 B. Respons Terhadap aktivitas Politik Nurcholish Madjid.............................................................. 106 BAB IV. NASIONALISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID A. Fase Awal Nasionalisme di Indonesia .................. 128 B. Nasionalisme di Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang ...................................................... .... 155 C. Nasionalisme di Indonesia pada Masa Pembangunan 170 BAB V. AGENDA DASAR POLITIK NURCHOLISH MADJID A. Makna Pesan Politik Nurcholish Madjid .................. 187 1. Makna Teks Judul AD NCM ........................... 187 2. Makna AD kesatu dan Kalimat Penjelasannya ..... 191 3. Makna AD kedua dan Kalimat Penjelasannya..... 199 4. Makna AD ketiga dan Kalimat Penjelasannya ... 204 5. Makna AD keempat dan Kalimat Penjelasannya .. 209 6. Makna AD kelima dan Kalimat Penjelasannya ..... 213 7. Makna AD keenam dan Kalimat Penjelasannya ... 219 8. Makna AD ketujuh dan Kalimat Penjelasannya ... 223 9. Makna AD kedelapan dan Kalimat Penjelasannya 227 10. Makna AD kesembilan dan Kalimat Penjelasannya 239 11. Makna AD kesepuluh dan Kalimat Penjelasannya 243 B.Penggunaan Kalimat dalam Platform Politik Nurcholish Madjid........................................................ ………… 249 1.Penggunaan Kalimat dalam AD NCM kesatu sampai xxiv Suhaimi dengan kesepuluh ............................................. ... 2.Penggunaan Kalimat dalam Penjelasan AD NCM kesatu sampai dengan kesepuluh ............... .. .. 251 BAB VI. KESIMPULAN A. Kesimpulan ......................................................... B. Implikasi ........................................................... 256 259 DAFTAR PUSTAKA .................................................. LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................ GLOSSARY ………………………………………........... INDEKS ………………………………………. ................. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................... 261 272 309 311 314 249 xxv Suhaimi DAFTAR TABEL Tabel Tabel 1 Perbandingan Platform Politik Tabel 2 Perbandingan Bahasa Politik Tabel 3 Disain Penelitian Tabel 2 Hubungan antar Komunikasi Islam dan Ilmu Lain Tabel 1 Oposisi Biner AD kesatu Tabel Good Governance di Asia Tenggara 1999 Tabel 2 Oposisi Biner AD kedua Tabel 3 Oposisi Biner AD ketiga Tabel 4 Oposisi Biner AD keempat Tabel 3 Oposisi Biner AD kelima Tabel 2 Oposisi Biner AD keenam Tabel 3 Oposisi Biner AD ketujuh Tabel 2 Oposisi Biner AD kedelapan Tabel 3 Oposisi Biner AD kesembilan Tabel 2 Oposisi Biner AD kesepuluh Halaman 4 8 27 41 192 195 200 205 210 215 220 224 229 240 245 xxi Bahasa Politik Nurcholish Madjid BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan yang tidak menggembirakan bagi b angsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kegelisahan mendalam bagi anak bangsa yang mencintai tanah air tumpah darahnya. Semenjak menjabat sebagai ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode tahun 1966 -1969 dan 1969-1971, Nurcholish Madjid (1939–2005), selanjutnya ditulis NCM* , telah terkenal dengan ide-idenya tentang keislaman, kemodernan dan keindonesiaan dalam rangka menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam sebagai bangsa yang siap mendukung nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Bab pendahuluan ini dari awal menegaskan bahwa platform politik NCM ketika menyatakan diri siap dicalonkan menjadi calon presiden Republik Indonesia (RI) pada pemilu 2004 itu sebagai penanda kompatibel dengan nilai-nilai pembangunan bangsa Indonesia pada masa sekarang dan masa depan . Kemudian hal itu dipertanyakan dalam perumusan masalah yang akan dicoba untuk mencarikan jawabannya masing-masing berdasarkan analisis teks semiotik dan hermeneutik dengan mengikuti sistematika pembahasan sebuah penelitian. Sembilan dari sepuluh agenda dasar (AD)/platform politik NCM,1 saat ini ternyata juga menjadi agenda pemerintahan Presiden * Almarhum Nurcholish Madjid memiliki panggilan akrab Cak Nur atau singkatan nama NM, namun dalam penelitian ini penulis gunakan akronim NCM seperti yang tertulis dalam bukunya Indonesia Kita (Jakarta, Universitas Paramadina, Cetakan III, Maret 2004), v dan vi yang menjadi sumber data primer. 1 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 114. Menurut NCM sepuluh agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” yang tertulis berikut di bawah ini sifatnya mendesak untuk dilaksanakan: 1) Mewujudkan “good governance” pada semua lapisan pengelolaan negara; 2) Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen; 3) Melaksanakan rekonsiliasi nasional; 4)Merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah; 5)Mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang 1 Suhaimi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (2009–2014). NCM dan SBY-Boediono mengagendakan reformasi birokrasi pemerin-tahan. NCM menandaskannya dalam platform 1) Mewujudkan good governance pada semua lapisan pengelolaan negara; sedang SBY-Boediono menuliskannya dalam program 12) Reformasi birokrasi dan pencegahan serta pemberantasan KKN ditingkatkan serta peningkatan pelayanan publik. 2 jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan; 6)Meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personil dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi; 7)Memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhineka-an dan ke-Eka-an, serta pembangunan otonomisasi; 8)Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara; 9) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara; 10)Mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia. 2 Usman Yatim, “SBY – Demokrat Tuntaskan Agenda Reformasi”, Madina Online, (diakses tanggal 9 Pebruari 2010 ). 15 program kerja SBY untuk menuntaskan agenda reformasi yang dijanjikannya pada kampanye pemilihan presiden di Stadion Utama Gelora Bung Karno sbb.: 1) Pertumbuhan ekonomi meningkat, minimal 7%, kesejahteraan rakyat meningkat. Untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka; 2) Kemiskinan mesti berkurang mencapai 8 -10%. Pembangunan pedesaan dilakukan pro rakyat; 3) Pengangguran akan berkurang lagi, 5-6%, lapangan pekerjaan, dan peningkatan usaha bagi yan berwira usaha; 4) Pendidikan harus meningkat lagi. Mutu infrastruktur, kesejahteraan guru bertambah. Anggran pendidikan yang merata. Tetap gratis bagi yang belum mampu; 5. Kesehatan masyarakat mesti meningkat lagi. Pemberantasan penyakit menular gratis bagi yang belum mampu; 6) Ketahanan pangan mesti menin lagi. Kita sudah berswasembada beras, kopi, daging dan kedelai. Jaringan pupuk harus ditingkatkan agar pertanian kita subur; 7) Ketahanan energi meningkat lagi. Menambah daya listrik untuk rakyat, dan energi yang terbarukan; 8) Pembangunan infrastruktur yang bermanfaat. Baik di Jawa maupun luar Jawa; 9) Peningkatan pembangunan perumahan rakyat. Misalnya, rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah; 10) Peningkatan pengelolaan lingkungan dan penghijauan, untuk menanggulangi bencana alam; 11) Pertahanan dan keamanan. Pembaruan alat persenjataan TNI dan Polri; 12) Reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN ditingkatkan. Pencegahan dan peningkatan pelayanan publik; 13) Otonomi daerah dan pemerataan pembangunan ditingkatkan; 14) Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM akan semakin dikembangkan agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini; 15) Peran internasional Indonesia makin ditingkatkan, 2 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Reformasi birokrasi ini bagi SBY-Boediono meliputi 11) Pertahanan dan keamanan. Pembaruan alat persenjataan TNI dan Polri; sama halnya dengan platform NCM 5) Meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personil dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi. SBY-Boediono menyatakan pembangunan demokrasi sebagai program 14) Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM akan semakin dikembangkan agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini dan 13) Otonomi daerah dan pemerataan pembangunan ditingkatkan. Sedangkan NCM menyatakan pembangunan demokrasi dalam agenda 2) Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen dan 5) Mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan; serta 7) Memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan keBhineka -an dan ke-Eka-an, serta pembangunan otonomisasi. SBY-Boediono terlihat secara terperinci memprogramkan pembangunan sosial-ekonomi dalam agenda pembangunan ekonomi 1) Pertumbuhan ekonomi meningkat, minimal 7%, kesejahteraan rakyat meningkat untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka; 2) Kemiskinan mesti berkurang 8-10%. Pembangunan pedesaan dilakukan pro rakyat; 3) Pengangguran akan berkurang lagi, 5-6%, lapangan pekerjaan dan peningkatan usaha bagi yang berwira usaha. Sementara itu agenda mereka dalam pembangunan sosialekonomi secara keseluruhan adalah 4) Pendidikan harus meningkat lagi. Mutu infrastruktur, kesejahteraan guru bertambah dengan anggaran pendidikan yang merata, tetapi gratis bagi yang belum mampu; 5) Kesehatan masyarakat mesti meningkat lagi. Pemberantasan penyakit menular gratis bagi yang belum mampu. sehingga bangsa kita berbuat banyak untuk kedamaian, kemakmuran, dan keadilan dunia. 3 Suhaimi Program pembangunan sosial-ekonomi pun dikemukakan dalam agenda 6) Ketahanan pangan mesti meningkat lagi. Kita sudah berswasembada beras, kopi, daging dan kedelai. Jaringan pupuk harus ditingkatkan agar pertanian kita subur; 7) Ketahanan energi meningkat lagi. Menambah daya listrik untuk rakyat, dan energi yang terbarukan; 8) Pembangunan infrastruktur yang bermanfaat. Baik di maupun luar Jawa; 9) Peningkatan pembangunan perumahan rakyat. Misalnya, rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah; 10) Peningkatan pengelolaan lingkungan dan penghijauan, untuk menanggulangi bencana alam; NCM memprogramkan pembangunan sosial ekonomi dalam platform 4) Merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah dan 8) Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara serta 9) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara. Tebel 1 Perbandingan Platform Politik Persamaan AD Platform Politik Program Politik Perbedaan AD NCM SBY-Boediono 1. Reformasi birokrasi Platform No. 1 dan Program No. 12 dan pemerintahan No. 5 No. 11 2. Pembangunan demokrasi Program No. 14 dan 3. Pembangunan sosial Platform No. 2 dan No. 13 ekonomi No. 5 serta No. 7 Program No. 1 dan Platform No. 4 dan No. 8 serta No. 9. 4. Peran aktif di dunia internasional 5. Rekonsiliasi nasional Platform No. 10 Platform No. 3 No. 2, No. 3, No. 4, No. 5, No. 6, No. 7, No. 8, No. 9 serta No. 10. Program No. 15 Baik NCM maupun SBY-Boediono memprogramkan peran aktif Indonesia menciptakan perdamaian dunia. Hal itu NCM kemukakan dalam platform 10) Mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia. Sedangkan SBY-Boediono mencantumkannya dalam agenda 15) Peran internasional Indonesia 4 Bahasa Politik Nurcholish Madjid makin ditingkatkan, sehingga bangsa kita berbuat banyak untuk kedamaian, kemakmuran, dan keadilan dunia. Persamaan antara platform politik NCM dan platform politik SBY-Boediono secara jelas dapat diringkas dalam tabel 1 tertulis di atas. Dari sepuluh agenda dasar NCM seperti tertulis dalam tab el 1 di atas itu, hanya platform nomor tiga berupa melaksanaan rekonsiliasi nasional saja yang secara harfiah tidak menjadi program kerja SBY, Presiden RI saat ini. Hal tersebut membuktikan bahwa NCM adalah seorang intelektual yang memiliki wawasan politik yang jauh ke masa depan. Menurut Franz Magnis Suseno , wawasan politik seperti itu lahir dari dasar-dasar inklusivisme Islam yang diyakini oleh NCM sejak lama, sehingga memungkinkan dirinya merangkul bangsa Indonesia, baik umat muslim maupun non -muslim, untuk saling menerima dalam perbedaan….3 Dia mengajarkan bangsa Indonesia nilai-nilai dan keyakinan etis dasar yang sama seperti terumus dalam bahasa etika politik Pancasila sebagai tekad politik membangun satu nation yang bebas, damai, sejahtera, adil dan solider. Oleh karena itu NCM memang pantas disebut guru bangsa. Ketajaman wawasan politik NCM yang menatap jauh ke masa depan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sesungguhnya sejak ia muda sudah mencolok. Hal itu terlihat jelas sejak seruan yang membuatnya dahulu menjadi terkenal di kalangan umat Islam Indonesia. “Islam Yes, Partai Islam , No ? ,” merupakan salah satu seruan NCM tentang pembaruan Islam di Indonesia pada tahun 1970. 4 Saat itu sebagai Ketua Umum PB HMI, dia melihat meskipun jumlah pemeluk Islam di Indonesia bertambah, tapi umat Islam telah kehilangan semangat berijtihad karena tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai transendental dan temporal sehingga tidak 3 Franz Magnis Suseno, “Nurcholish Madjid dan Inklusivisme Islam”, dalam Abdul Halim, ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan: Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta, Kompas, Cetakan II, Oktober 2006), 164. 4 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung, Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998 ), 204-208 . 5 Suhaimi kreatif, seperti partai-partai atau organisasi-organisasi Islam yang tidak menarik bagi umat Islam sendiri. Dalam uraian tertulis di atas, tampak bahwa NCM adalah seorang komunikator politik . Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Dan D. Nimmo (1978) bahwa siapapun yang berada dalam setting politik adalah komunikator politik. 5 Politik di sini dapat berarti kegiatan pemilihan aparatur negara maupun politik dalam arti kekuasaan atau pemimpin pemerintahan, yudikatif atau legislatif. Sedangkan jika dilihat berdasarkan pendapat Al-Ra@zi bahwa dakwah Islam adalah aktivitas komunikasi antar manusia yang terbaik dan bentuk ketaatan dan ibadah yang paling sempurna.6 NCM juga adalah seorang aktivis dakwah Islam Hal itu pun sesuai dengan pendapat Harold D. Lasswell mengidentifikasi secara lebih khusus komunikator polit k sebagai mereka yang menjadi pemimpin dalam proses opini, seperti politisi baik ideolog maupun wakil partisan, komunikator professional dan aktivis. 7 Sejalan dengan hal itu, Dan D. Nimmo menguraikan bahwa komunikator politik menyampaikan pesannya sebagai pembicaraan politik bertujuan memberikan informasi dan meyakinkan layak, maka untuk memahami pesan politik perlu dilihat gejala linguistik bahasa dan simbol politik serta penggunaan bahasa untuk persuasi politik dalam wujud propaganda, periklanan maupun retorika. 8 Ilmu yang mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia termasuk di dalamnya tanda-tanda bahasa disebut semiotik atau “ semiologie”. 9 5 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media . Penerjemah Tjun Surjaman (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Kelima, 2004), 13-21. 6 Muhammad Al-Razi, Tafsi>r al-Fakhri a l-Ra>zi a l-Mushtahi>r bi a lTafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih al-Ghaib (Dar Al-Fikr, Juz ke-27), 125. 7 Harold D. Lasswell, Communication in a Divided World: Opportunities and Constrain (London, International Institute of Communications, the Loius G. Cowan Lecture, 1977 ), 5. Lihat juga Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 13-21. 8 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 16. 9 Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Cetakan I. April 20 25. Menurut Hoed di 6 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Ada tiga ciri dalam bahasa politik yakni (1) politik berkaitan dengan pengaturan masyarakat banyak, oleh karena itu bahasa politik harus menjadi alat komunikasi yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, (2) bahasa politik bertujuan untuk membujuk dan merayu khalayak, dan (3) bahasa politik penuh dengan semboyan semboyan dan kata-kata bersayap seraya menghindari penggunaan bahasa yang berkonotasi netral dan objektif. 10 Tokoh-tokoh politik mendayagunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan ide, pendapat, atau pikirannya, melainkan juga untuk menyembunyikannya, karena di balik pikiran ini terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan.11 Benedict R. O’G Anderson pun mengamati bahasa politik Indonesia pada akhir pemerintahan Presidern Soekarno dan awal pemerintahan Orba. Hasil pengamatannya menunjukkan bahasa politik Indonesia merupakan tanda atau cerminan adanya suatu penyakit yang parah. Mengutip pendapat Herbert Luethy, Anderson mengatakan bahwa sakitnya itu tampak pada kenyataan bahwa bahasa politik Indonesia sebagai gado-gado irasional dari uraian yang berbelit -belit yang mengarah pada kemabukan ideologis dan sinkretisme magis. 1 2 Pandangan senada dikemukakan oleh Geertz, bahwa yang tidak masuk akal seperti dikemukakan Anderson memang marak di Indonesia seperti dalam pidato-pidato Presiden Soekarno pada masa surutnya memang kosong secara amat menyedihkan dengan bergerak mundur ke revivalisme kultural, pengkambinghitaman rasial, dan penciptaan musuh-musuh eksternal sebagai bentuk kepanikan sini semiotik adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda alam kehidupan manusia, sedang K. Bertens memakai kata semiotika yang menurut nnya diperkenalkan oleh C Pierce yang digunakan dengan arti yang sama dengan semiologi. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid II, Prancis, 209. 10 Anwar, Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Cetakan I, 1984), 19. 11 Panggabean MH, ed. Bahasa, Pengaruh dan Peranannya (Jakarta, PT Gramedia, Cetakan I, 1981), vii-x. 12 Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power Exploring Political Cultures in Indonesia ( Ithaca and London, Cornell University Press, First Published, 1990 ), 124. 7 Suhaimi kepemimpinan negara lantaran gagal melingkupi masalah-masalah demografi, ekonomi, sosial, dan politik yang luas.13 Di Indonesia setiap periode pemerintahan atau rezim memiliki kekhasan dalam repertoar bahasa politiknya. Hal itu setidaknya tercermin masing-masing pada ideologi elit politik yang memiliki repertoar yang membedakannya antara satu dan lain secara linguistik. Perbedaan itu dapat dilihat pada level kosakata, gramatika, dan struktur teks yang digunakan oleh rezim Orde Lama dan rde Baru (Orba). Pada level kosakata, misalnya, perbedaan -perbedaan itu akan tampak pada pilihan kata dan pergeseran maknanya yang menjadi "arus besar" wacana politik yang menunjukkan pergantian elit penguasa dari Orde Lama dengan ideologi “revolusi” ke Orba dengan ideologi “pembangunan”, 14 seperti dapat dilihat dalam hasil penelitian Jalaluddin Rakhmat , bahwa ada sejumlah kata dalam wacana politik Orde Lama yang tidak terdengar lagi pad Orba seperti kata “Revolusi”, “Nasakom”, “antek kapitalis”, “antek imperialis ”, dll. Sebaliknya pada masa Orba sering terdengar kosa kata baru yang tidak ada pada wacana Orde Lama seperti kata “Pembangunan”, “asas tunggal”, “anti-pembangunan” , SARA, “penataran”, dll yang secara terurai dapat diperban -dingkan dalam tabel 1 sbb. 15 : Tabel 2 . Perbandingan Bahasa Politik Orde Lama Revolusi Nasakom Antek kapitalis Antek imperialis M anipol Usdek Orde Baru Pembangunan Asas Tunggal Anti pembangunan SARA Penataran 13 Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power, 124. Jalaluddin Rakhmat, “Komunikasi dan Perubahan Politik Indonesia,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan (Bandung, Mizan, Cetakan II, Juni 1996), 49 -55. 15 Jalaluddin Rakhmat, “Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia”, 51-52. 14 8 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Setelah tiga dasawarsa lebih penelitian Anderson tersebut dilaksanakan, kajian mendalam terhadap bahasa politik Indonesia kontemporer menjadi sebuah tantangan. Perkembangan ideologi, sosial, budaya, dan politik di Indonesia memungkinkan terjadinya pergeseran dan perubahan repertoar dalam rangka menyesuaikan tuntutan perkembangan tersebut. Bahasa politik era akhir Orba dan awal reformasi tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan era sebelumnya, yakni era Orde Lama dan Orba, khususnya "Orde Soeharto". Persoalan bahasa politik di Indonesia sudah cukup banyak ditulis oleh para pakar, baik oleh pakar dari Indonesia maupun asing. Sebagian besar tulisan itu mengkaji bahasa politik dar perspektif ilmu -ilmu sosial, yakni ilmu politik, ilmu komunikasi massa, dan ilmu sejarah. Dari perspektif ilmu politik, kajian terhadap bahasa politik Indonesia dapat diperhatikan pada tulisan -tulisan Anderson (1966; 1981), van Langenberg (1990), 1 6 Hikam (1993), 17 Pabottingi (1991; 1993a; 1993b), dan Dhakidae (1992). 18 Dari perspektif ilmu komunikasi massa, kajian terhadap bahasa politik Indonesia dapat diperhatikan pada tulisan Rakhmat (1993). Dari perspektif ilmu sejarah, kajian terhadap bahasa politik Indonesia dapat diperhatikan pada tulisan Farid (1994). 19 Sebaliknya, kajian bahasa politik dari perspektif ling istik relatif belum begitu banyak dikerjakan. Kajian bahasa politik dari 16 Michael van Langenberg, “Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, Hegemoni,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 223 -245. 17 Muhammad AS Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran “Discursive Practice,” Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 77-93. 18 Daniel Dhakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 246-251. 19 Hilman Farid, “Menemukan Bahasa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 107 -123. 9 Suhaimi perspektif kebahasaan pertama dilakukan oleh Hooker (1 0)2 0 dengan mempergunakan pendekatan linguistik fungsional-sistemik Halliday (1985), khususnya trilogi konteks situasi yakni wilayah wacana (fi eld of discourse), penyampai wacana (tenor of discourse), dan modus wacana (mode of discourse). Kajian kedua dilakukan oleh Heryanto (1992; 1993; 1996) dengan mempergunakan pendekatan sosiopolitikolinguistik. 21 Kajian ketiga dilakukan oleh Tampubolon (1998) dengan mempergunakan pisau analisis teori semantik generatif Chafe (1971), Lech (1974), dan Nida. (1975).22 Khusus berkaitan dengan bahasa politik Islam, Bernard Lewis membatasi pembah asannya tentang bahasa politik Islam hanya pada bahasa Arab, Turki dan Persia, Analisisnya dalam, The Political Language of Islam (1991), seperti dijelaskan oleh Azyumardi Azra, menunjukkan bahwa bahasa Persia dan Turki mempunyai andil besar dalam memperkaya bahasa politik Islam. 23 Hal itu tentu berkaitan dengan pergeseran geo-politik dan pusat-pusat kekuasaan muslim. Dalam tulisannya yang lain berjudul “Bahasa Politik Islam di Asia Tenggara ,” Azra menegaskan sejauh ini belum ada studi khusus tentang bahasa politik Islam di Asia, khususnya Asia Tenggara. Berdasarkan argumentasi Lewis, dia menandaskan bahwa proses penyebaran Islam secara damai di Asia Tenggara memberi konsekuensi wilayah muslim Asia Tenggara merupakan yang paling kurang tersentuh usaha Arabisasi. Mayoritas penduduk di Nusantara menerima Islam melalui proses yang lebih tepat adhesi daripada konversi, penerimaan berangsur-angsur daripada penerimaan 20 Virginia Matheson Hooker, “The New Standardization of Language”, terjemahan, Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, dalam Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 56-93. 21 Ariel Heryanto, “Pembakuan Bahasa dan totalitarianism,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds., Bahasa dan Kekuasaan , 252. 22 Tampubolon, DP, “Gejala-Gejala Kematian Bahasa:Suatu Observasi Ragam Politik Orde Baru ,” Sinar Harapan , 24 Oktober 1998. http://www.sinarharapan. co.id/opini/9810/19/ sh98/html. 23 Azyumardi Azra, Bahasa Politik dan Politik Bahasa: Islam dalam Pandangan Lewis, dalam Abas Al-Jauhari, ed., Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Mei 1996), 231. 10 Bahasa Politik Nurcholish Madjid sepenuhnya atas eksklusivisme Islam. 24 Meskipun demikian bahasa politik Islam di Melayu -Indonesia, sangat dipengaruhi bahasa politik Islam yang berlaku di Timur Tengah. Mochtar Pabottingi menilai bahwa studi komunikasi politik menjadi tanda sebuah pendekatan baru dalam ilmu politik di mana bahasa secara ontologis dilihat sebagai alat atau “wak l” suatu kekuasaan dan secara epistimologis dilihat berdasarkan pemahaman bahwa bahasa adalah produk suatu zaman/ kebudayaan/kekuasaan, bahasa lalu dilihat sebagai paradigma.25 Menurut Pabottingi contoh penggunaan bahasa sebagai paradigma dalam studi ilmu politik antara lain dilakukan oleh Anderson dalam tulisannya yang terkenal The Language of Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and Monuments: The Evolutions of Political Communications under the New Order,” tahun 1978 yang berisikan tesis bahwa Bahasa Indonesia sudah kehilangan etos “revolusioner”-nya, karena tertimpa proses penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya ini tak ada lagi. Ia sudah mengalami proses kramanisasi. Ia sudah terperangkap dalam “imaji orang Jawa tentang politik” dimana topeng (mask) punya peranan penting. Selain itu dua puluh tahun sesudah kemerdekaan, bahasa Indonesia “sama sekali bukanlah bah asa sehari-hari yang dipakai oleh lebih dari sejumlah kecil” penduduk Indonesia. 26 Tesis serupa dikemukakan pula oleh James Siegel dalam ”Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City ”, New Jersey: Princeton University Press, 1986, bahwa komunitas bahasa Jawa “memperlakukan bahasa lain seolah -olah semuanya itu 24 Azyumardi Azra, “Bahasa Politik Islam di Asia Tenggara”, dalam Idris Thaha, ed., Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung, PT Remaja Rosda Karya, Cetakan Kedua, Mei 2000), 75-76. 25 Mochtar Pabottingi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, ed. Indonesia dan Komunikasi Politik (Jakarta, Gramedia, 1993 ), 45-50. 26 Benedict R. O. G. Anderson, Cartoons and Monuments: The Evolution of Political Communication under the New Order, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, Political Power and Communications in Indonesia (California, University of California Press, First Edition, 1978), 319 -331. 11 Suhaimi termasuk bahasa “ ngoko ” dan komunitas ini memperkenankan “para pelaku bahasa-bahasa tersebut kedalam komunitas wacana yang dirumuskan sebagai bahasa krama.”27 Pabottingi kemudian menyanggah tesis Anderson tentang kramanisasi dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan paling tidak ada 3 kelompok pelaku bahasa Indonesia yang tidak melakukan bahasa politesse (baca: halus-topeng-aling-aling) atau kramanisasi: 1) kelompok sastrawan kreatif/populer, 2) kaum cendikiawan 3) komunitas atau pertemuan yang bersifat keagamaan.2 8 Dalam bagian tulisannya yang lain, Pabottingi lebih lanjut mencatat setidaknya ada empat praktek bahasa yang distortif dalam komunikasi politik sebagai berikut: Distorsi bahasa sebagai topeng, distorsi bahasa sebagai proyek lupa, distorsi bahasa sebagai representasi dan distorsi bahasa sebagai ideologi. Dalam menjelaskan distorsi bahasa sebagai ideologi, dia mencatat ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distorsi ideologis. 1) Perspektif yang mengidentikkan kegiatan ik sebagai hak istimewa sekelompok orang; dan 2) Perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Menurutnya untuk menghindari kedua perspektif distorsi di atas, maka perlu adanya alternatif baru yang menekankan pada prosedur politik yang bertolak dari pandangan bahwa tujuan -tujuan politik selamanya akan berbeda-beda bukan hanya dari satu bangsa ke bangsa lain, tapi juga dari satu individu/kelompok ke individu/kelompok lain. Pabottingi mencontohkan bahwa perhatian besar pada prosedur inilah yang membuat Habermas sangat gigih berbicara tentang syarat-syarat bagi terciptanya suatu komunikasi politik yang ideal dimana setiap unit politik bisa maju dan berkembang secara demokratis. 29 27 Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed., Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung, Mizan, Cetakan Ke-2, Juni 1996), 154. 28 Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan”, 156-157. 29 Mochtar Pabottingi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik”, 54-64. 12 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Jurgen Habermas adalah pendukung teori kritis yang melakukan perubahan paradigma “filsafat subjek” model Cartesian ke “filsafat komunikasi,” menurutnya komunikasi atau interaksi merupakan tindakan manusia yang paling dasar. Habermas berpendapat bahwa kritik ideologi dapat dijalankan dalam empat tahapan 1) Deskripsi dan interpretasi dari situasi yang ada dengan penelitian hermeneutik, 2) Melakukan refleksi terhadap faktor penyebab situasi yang ada serta tujuan yang ingin dicapainya, 3) Menyusun agenda untuk mengubah situasi menuju masyarakat egaliter; 4) Melakukan evaluasi terhadap pencapaian situasi yang lebih egaliter dan demokratis yang telah dicapai. 30 Penelitian ini menggunakan analisis teks semiotik yang tidak berhenti pada kajian tanda dalam jenis, struktur dan maknanya secara individu, akan tetapi melingkupi pemilahan tanda-tanda yang dikombinasikan dalam pola-pola yang lebih besar sebagai teks dan pesan verbal seperti yang dikemukakan oleh Roland Barthes (19151980) . Dalam tulisan ini teks agenda dasar atau platform NCM “Membangun Kembali Indonesia” akan dianalisis sebagai pesan politiknya. Bersamaan dengan itu penelitian ini menggunakan juga analisis hermeneutik terhadap teks agenda dasar NCM “Membangun Kembali Indonesia” dalam relasinya dengan banyak teks lain. Proses penafsiran dalam hermeneutik disebut hermeneutic circle. Orang menafsirkan suatu teks dimulai dengan cara dia memeriksanya d alam istilah -istilah pengertian umum yang mungkin teks itu miliki, dia memberi batasan pengertian umum itu dengan mengujinya teks tersebut. Demikian seterusnya proses penafsiran dapat dimulai dari spesifik ke umum.31 Lebih lanjut penulis bermaksud meneliti bagaimana makna bahasa politik NCM seperti yang ditulisnya secara tekstual dalam agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dengan judul Bahasa 30 Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistimologi Modern Dari Posmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme Hingga Cultural Studies (Jakarta, Pustaka Indonesia Satu, Cetakan Pertama, April 2006), 44-45. 31 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication (California, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 211. 13 Suhaimi Politik Nurcholish Madjid: Analisis “Membangun Kembali Indonesia”. Semiotik terhadap Platform B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dengan judul tertulis di atas, penulis merumuskan permasalahan pokok penelitian ini adalah bagaimana makna pesan politik NCM yang ditulisnya secara tekstual menjadi agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dalam buku Indonesia Kita yang diterbitkan oleh Universitas Paramadina, Cetakan ketiga, Maret 2004. Permasalahan pokok itu kemudian penulis uraikan dalam beberapa permasalahan terkait sebagai berikut: 1. Bagaimana makna pesan politik NCM dalam sepuluh agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dilihat berdasarkan lingkungan teks dan dialog dengan teks lainnya (intertekstualitas)? 2. Bagaimana makna struktur bahasa politik NCM (makna pembentukan unsur-unsur teks) dan bagaimana NCM menyusun dan memaknai nilai-nilai ajaran Islam dalam politik (makna teks berdasarkan latar belakang pemroduksi teks) seperti yang ditulisnya secara tekstual dalam sepuluh agenda dasar politik “Membangun Kembali Indonesia”? Penelitian ini lebih lanjut akan memperkuat bantahan Mochtar Pabottingi terhadap tesis Anderson bahwa bahasa Indonesia sudah kehilangan etos “revolusioner”-nya, karena tertimpa proses penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya ini tak ada lagi. Ia sudah mengalami proses kramanisasi. Ia sudah terperangkap dalam “imaji orang Jawa tentang politik” dimana topeng (mask) punya peranan penting dalam tulisannya yang terkenal The Language of Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and Monuments: The Evolutions of Political Communications under the New Order,” tahun 1978. Tesis serupa dikemukakan pula oleh James Siegel dalam ”Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City”, New Jersey: Princeton University Press, 1986, bahwa komunitas bahasa Jawa “memperlakukan bahasa lain seolah -olah semuanya itu 14 Bahasa Politik Nurcholish Madjid termasuk bahasa “ ngoko ” dan komunitas ini memperkenankan “para pelaku bahasa-bahasa tersebut kedalam komunitas wacana yang dirumuskan sebagai bahasa krama.”3 2 Hasil penelitian ini pun membantah tesis Siegel tersebut. Almarhum NCM sebagai seorang cendikiawan muslim terkemuka tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai topeng dengan cara penghalusan kata berupa gaya bahasa eufemisme seperti tertulis dalam platform “Membangun Kembali Indonesia”. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan merumuskan konsep bagaimana bahasa politik NCM yang ditulisnya secara tekstual dalam agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dan telah dipublikasikan kepada masyarakat Indonesia. Di samping itu penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui makna bahasa politik NCM seperti yang ditulisnya secara tekstual menjadi sepuluh agenda dasar “ Membangun Kembali Indonesia”; 2. Mengungkap bagaimana makna intertekstualitas pesan politik NCM dan menjelaskan makna nilai-nilai ajaran Islam dalam politik seperti yang ditulis oleh NCM secara tekstual menjadi sepuluh agenda dasar “Membangun Kembali Indon esia”; D. Manfaat Penelitian Penelitian tentang bahasa politik NCM ini dapat memberikan kontribusi sbb.: 1. Secara teoritis Penelitian ini menambah khazanah ilmiah dalam konsep komunikasi pilitik di Indonesia berupa bukti-bukti empiris sosialisasi penerapan nilai-nilai Islam dalam sistem demokrasi politik Indonesia modern; 2. Secara praktis 32 Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed. 154. 15 Suhaimi Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian mendalam bagi partai-partai politik di Indonesia dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional berdasarkan karakter nilai-nilai keindonesiaan dan keislaman . E. Tinjauan Kepustakaan Penelitian tentang komunikasi politik sesungguhnya sejak dini telah menjadi subjek yang menarik perhatian tokoh -tokoh pertama ilmu komunikasi di Indonesia, seperti terlihat dalam disertasi Astrid S. Susanto Sunario tentang pengaruh kekuatan politik di lik pendirian Dewan Pers di Inggris – “Die Politischen Krafte hinter der Enstehung des Britischen Presserates” tahun 1964 dan disertasi M. Alwi Dahlan berjudul “Anonymous Disclosure of Goverment Information as a Form of Political Communication,” di University of Il inois tahun 1967. Harsono Suwardi pada tahun 1993 menulis buku berjudul Peranan Pers dalam Politik di Indonesia , Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, membahas bagaimana kontribusi media massa dalam proses kehidupan politik bagi para pembaca pada Pemilui 1987 1992 di Indonesia. Menurutnya komunikasi politik adalah setiap bentuk penyampaian pesan politik, baik berupa lambang, kata-kata terucapkan, atau tertulis, ataupun melalui pesan -pesan visual, baik secara langsung ataupun tidak kepada sejumlah sasarannya.33 Pada tahun 2004 Asep Saeful Muhtadi menulis buku berjudul Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan Pemikira Politik Radikal dan Akomodatif, Jakarta, LP3ES, Cetakan I, membahas bagaimana Nahdlatul Ulama meneruskan informasi politik dari penguasa kepada ummat dan mengemukakan kepentingan ummat ke pihak penguasa.34 Empat tahun kemudian, pada tahun 2008 Asep Saeful Muhtadi pun menulis buku berjudul Komunikasi Politik Indonesia dinamika 33 Harsono Suwardi, Peranan Pers dalam Politik (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan I, 1993), 44. 34 Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif (Jakarta, LP3ES, Cetaka n I, 2004), 8. 16 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Islam Politik Pasca -Orde Baru , Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan I, membahas tentang peran -peran yang dimainkan kekuatankekuatan Islam dalam politik yang pada umumnya dilakukan secara individual dan tidak dilakukan secara kelembagaan baik yang disadari atau tidak disadari. Proses tersebut pada dasarnya telah membawa kekuatan Islam dalam ruang politik praktis. 35 Studi komunikasi politik juga menjadi tanda sebuah pendekatan baru dalam ilmu politik di mana bahasa secara ontologis dilihat sebagai alat atau “wakil” suatu kekuasaan dan secara epistimologis dilihat berdasarkan pemahaman bahwa bahasa adalah produk suatu zaman/kebudayaan/kekuasaan, bahasa lalu dilihat sebagai paradigma. Paradigma positivisme telah memberikan sumbangan yang besar dalam penelitian bahasa politik dan sejak lahirnya paradigma baru dalam penelitian, yakni postpo isme dengan model pendekatan kualitatif, khazanah penelitian bahasa politik pun bertambah. Kini mulai dikembangkan teori-teori baru yang secara internal dalam ilmu bahasa maupun teori-teori yang lahir dari perpaduan dengan ilmu -ilmu lainnya. Dalam ilmu komunikasi misalnya dikembangkan teori-teori analisis wacana, stilistika, semiotik, dramaturgi, yang merupakan teori-teori sastra dan bahasa, di samping teori-teori sosial teori dan teori-teori psikologi. Teori-teori ini biasanya dijadikan alat untuk mengkaji teks media. 36 Politisasi bahasa memang sudah menjadi karakter dari penggunaan bahasa kekuasaan Orde Baru. Penguasa Orde Baru telah menjadikan bahasa sebagai subordinat dari kekuasaan politik yang tercermin dalam pembangunan. Bahasa telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompok-kelompok dominan. Munculnya istilah-istilah eufimisme yang secara makna dikudeta oleh para penguasa Orde Baru telah mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang menjadi subjek bahasa.37 Kata rawan 35 Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia Dinamika Islam Politik Pasca -Orde Baru (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan I, 2008), iii. 36 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung, Rosdakarya, 2001), 143. 37 Virginia Matheson Hooker, “The New Standardization of Language”, 90. 17 Suhaimi pangan berbeda makna dengan kelaparan, karena dalam pikiran kita tidak pernah hadir bayangan orang-orang yang kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan. Demikian pula kata demi nusa dan bangsa. atau demi persatuan dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita tidak berpikir kritis. Di sini bahasa politik merupakan bahasa yang dipergunakan para elite politik dan elite birokrasi untuk menyampaikan kepentingan -kepentingan kekuasaan. Berdasarkan uraian di atas dan fakta -fakta di lapangan, bahasa politik akan bercirikan: 1) terjadinya politisasi makna atas bahasabahasa yang dipergunakan -nya; 2) terjadi penghalu -san makna, dalam bentuk eufimisme bahasa dan 3) terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda dalam rangka meyakinkan pihak lain, terutama masyarakat. Propaganda yang paling berbahaya adalah bahasa-bahasa agitasi (menebar permusuhan) dan bahasa-bahasa rumor (tidak jelas sumber beritanya).38 Sementara karya tulis tentang NCM pada ghalibnya berhubungan dengan studi Islam seperti dalam tesis pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis oleh Ahmad Tho’at (2002) berjudul “ Gerakan Dakwah Islam Kultural dan Islam Skriptural di Indonesia 1970 -1998 : Studi Komperatif Nurcholish Madjid dan A.M. Fatwa,”39 dan tesis Muhammad Afif (2003), “Teologi Islam tentang Agama-Agama Studi Kritis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid,”4 0 dengan permasalahan pokok bagaimana keabsahan dan posisi pemikiran atau gagasan teologi agama-agama NCM dalam doktrin ajaran Islam (Al-Qur’an) dan masih relevankah pemikiran atau gagasan teologi agama-agama NCM dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, serta tesis Siti Nadrah, “Pandangan Keagamaan Nurcholish Madjid: Perspektif Paham Keagamaan Post-Modernisme.”. 38 Anwar, Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar, 19. Ahmad Thoat, “Gerakan Dakwah Islam Kultural dan Islam Skriptural di Indonesia 1970-1998: Studi Komperatif Nurcholish Madjid dan A.M. Fatwa” (Jakarta, Sekolah Pascasarjana Institut agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002). 40 Muhammad Afif, “Teologi Islam tentang Agama-Agama Studi Kritis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid” (Jakarta, Sekolah Pascasarjana Institut agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003). 39 18 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Chaeder S. Bamualim pada tahun 1998 menulis tesisnya di Universitas Leiden tentang pembaruan Islam NCM berjudul “Transforming the Ideal Transcendental into Historical Humanistic: Nurcholish Madjid Islamic Thingking in Indonesia (1970-1995), ” dan pada tahun 1999 Siti Fatimah menulis tesis di McGill University berjudul, “Modernism and Contextualization of Is lamic Doctrines: The Reform of Indonesian Islamic Preoposed by Nurcholish Madjid .”. Sedangkan karya tulis dalam bentuk buku tentang NCM antara lain adalah buku yang berisikan kritik terhadap ide sekularisasi NCM Sekularisme dalam Persoalan Lagi ,41 oleh M. Rasjidi, Jakarta, Yayasan Bangkit, 1972 dan Kritik atas Paham dan Gerakan Pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid ,4 2 oleh Endang Saefuddin Anshori, Bandung, Bulan Sabit, 1973, serta buku Modernisasi Indonesia: Respon Cen dikiawan Muslim,4 3 Jakarta, LSI, 1987 karya Muhammad Kamal Hassan yang diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha dari disertasinya di Columbia University tahun 1975 berjudul “ Muslim Intelectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia.”. Buku Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan ,4 4 Jakarta, Usamah Press, 1993 dan buku Menggugat Pembaharuan Pemikiran Keagamaan ,45 Jakarta, LSIP, 1995 keduanya ditulis oleh Daud Rasyid yang mengkritisi apa saja kesalahan -kesalahan ide pembaruan Islam NCM secara evaluatif, seperti halnya buku Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Cak Nur,4 6 oleh Abdul Qadir Djaelani, Bandung, Yadia, 1994. 41 M. Rasjidi, Sekularisme dalam Persoalan Lagi (Jakarta, Yayasan Bangkit, 1972). 42 Endang Saefuddin Anshori, Kritik atas Paham dan Gerakan Pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid (Bandung, Bulan Sabit, 1973). 43 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendikiawan Muslim,” terj. Ahmadie Thoha ( Jakarta, LSI, 1987 ). 44 Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan (Jakarta, Usamah Press, 1993). 45 Daud Rasyid, Menggugat Pembaharuan Pemikiran Keagamaan (Jakarta, LSIP, 1995). 46 Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Cak Nur (Bandung, Yadia, 1994 ). 19 Suhaimi Greg Barton dari Monash University pada Departement of Asian Studies and Languages pada tahun 1995 menulis disertasi berjudul “ The Emergences of Neo -Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia (A Textual Study Examining the Writing of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid 1968-1980 ).”. Disertasi ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Nanang Tahqiq dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme N urcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid ,47 diterbitkan oleh Paramadina bekerjasama dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI dan the ord Foundation tahun 1999. Isinya secara deskriptif memaparkan pembaruan pemikiran Islam NCM tanpa berpretensi menilainya atau meng-kritisinya. Kajian atas pemikiran NCM dalam buku ini menyangkut tiga hal: 1) Pembaruan pemikiran Islam; 2) Islam dan masyarakat modern-industrial dan 3) Islam dan hubungan antara iman dan ilmu. Hasil penelitian Amir Aziz yang diterbitkan bekerjasama dengan The Toyota Foundation dan Yayasan Ilmu -Ilmu Sosial Jakarta dengan judul Neo -Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurraman Wahid,. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai tokoh neo -modernis pemikiran NCM secara adil menakar kelebihan modernisme dan tradisionalisme dalam Islam dan merumuskannya dalam pandangan Islam yang komprehensif bercirikan watak inklusivismenya terutama terlihat dalam pemikiran -pemikiran NCM tentang masalah -masalah aktualyang terjadi di tengah umat Islam Indonesia, terutama dalam bidang sosial dan politik. Buku karya Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim meneliti perbandingan pemikiran dan aksi politik cendi iawan muslim Indonesia pada dekade 1980 -1990an dengan judul, Zaman Baru 47 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran NeoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta, Paramadina bekerjasama dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation tahun 1999 ). 20 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Muslim Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat ,48 Jakarta, Penerbit Zaman Wacana Mulia, Cetakan I, 1998. Buku ini berasal dari tesis Dedy Djamaluddin Malik di Universitas Padjajaran, Bandung, tahun 1992. Buku Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid ,49 oleh Sufyanto, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan LP2IF, 2001 dan buku Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Nurcholish Madjid ,5 0 oleh Nur Kholik Ridwan, Yogyakarta, Galang Press, 2002. Pembahasan buku pertama menitikberatkan pada konsep masyarakat madani yang dikemukakan oleh NCM berkaitan dengan persoalan sosial politik bangsa Indonesia. Sedangkan buku kedua menguraikan tentang gagasan pluralismenya secara kritis dalam perspektif sosiologi. Demikian pula Andi Faisal Bakti menuliskan hasil penelitiannya pada tahun 2004 berjudul “Paramadina and its Approach to Culture and Communication: an Engagement in Civil Society,” dalam jurnal TIRE A PART ARCHIPEL 68. Isinya antara lain berkenaan tentang konsep civil society dan masyarakat madani menurut NCM yang terdiri dari berbagai pendekatan Paramadina dalam upaya mewujudkan masyarakat madani di Indonesia. Satu tahun kemudian Bakti secara lebih khusus meneliti tentang pemikiran NCM dalam satu tulisannya yang dimuat dalam Asian Journal of Social Science berjudul “ Islam and Modernity: Nurcholish Madjid’s Interpretation of Civil Society, Pluralism, Secularization, and Democracy ,” mengungkapkan bahwa NCM menggunakan pendekatan budaya dalam kerangka nasionalisme 48 Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Muslim Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jala luddin Rakhmat (Jakarta, Penerbit Zaman Wacana Mulia, Cetakan I, 1998). 49 Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid (Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan LP2IF, 2001). 50 Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Nurcholish Madjid (Yogyakarta, Galang Press, 2002). 21 Suhaimi Indonesia untuk membahas masalah sosial dan politik umat Islam di Indonesia.51 Buku karya Fauzan Saleh diterbitkan pada bulan Juli tahun 2004 berjudul Teologi Pembaruan Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, antara lain berisikan tentang konsep Islam kultural NCM. 5 2 Buku karya Idris Thaha berjudul Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,53 Jakarta, Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan, 2004 merupakan hasil penelitian tentang kesesuaian antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Buku ini berisikan kajian ilmu politik yang meneliti perbandingan pemikiran dan aksi politik M. Amien Rais dan NCM termasuk sebagian butir-butir platform politik NCM, tapi tidak membahas tentang rekonsiliasi nasional dan reformasi ekonomi. Ann Kull pada tahun 2005 menulis buku dari disertasinya berjudul “ Piety and Politics: Nurcholish Madjid and His Interpretation of Islam in Modern Indonesia,” pada Departement of History and Anthropology of Religion, Lund University, Sweden yang menekankan pembahasan tentang masalah keagamaan dan politik.5 4 Pada bulan Juli 2010 Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Faisal Ismail menulis buku Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam, Jakarta, Lasswell Visitama. 55 Alkhendra dalam disertasinya melakukan kajian komparatif pemikiran tentang Islam antara Harun Nasution, Munawir Sjadzali dan NCM dengan judul “ Pergulatan Pemikiran Islam Kontemporer di 51 Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid’s Interpretation of Civil Society, Pluralism, Secularization, and Democracy” dalm Brill (Leiden: Brill Academic Publisher, 2005). 52 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, Juli 2004). 53 Idris Thaha, Demok rasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais (Jakarta, Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan, 2004). 54 Nurcholish Madjid, “Memadukan Kesalehan dan Politik,” Studia Islamika , Volume 12, Number 2, 2005. 55 Faisal Ismail ,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam (Jakarta, Lasswell Visitama, 2010). 22 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Indonesia: Studi terhadap Pemikiran Harun Nasution, Mu ir 56 Sjadzali dan Nurcholish Madjid.” Disertasi lainnya yang mengikutsertakan NCM sebagai subjek penelitian adalah karya Awis Karni berjudul “ Dakwah Islam di Perkotaan: Studi Kasus Yayasan Wakaf Paramadina.”. Disertasi yang khusus meneliti NCM sebagai subjek penelitian dari perspektif dakwah Islam adalah karya Abdul Pirol berjudul “ Gerakan dan Pemikiran Dakwah Nurcholish Madjid ,” di dalamnya dinyatakan bahwa NCM adalah seorang cendikiawan muslim yang melaksanakan dakwah Islam melalui pendekatan communitarian yang mengedepankan tindakan partisipatoris. 57 Selain itu penelitian yang khusus membahas pemikiran NCM tentang sekularisasi dan pluralisme telah dilakukan oleh Muhammad Rusydi berjudul “Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi dan Pluralisme,” penelitian ini menguraikan secara historis gagasan NCM tentang sekularisasi dan pluralisme. 58 Sepanjang pengetahuan penulis dan berdasarkan tinjauan kepustakaan tertulis di atas, penulis menganggap persoalan bagaimana makna pesan politik NCM yang ditulisnya secara tekstual menjadi sepuluh agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dalam buku Indonesia Kita yang diterbitkan oleh Universitas Paramadina, Cetakan ketiga, Tahun 2004, belum diteliti secara khusus dan mendalam sehingga dapat mengungkap bagaimana bahasa politik NCM dan apa maknanya serta relevansinya dengan pembangunan RI pasca era reformasi ini. 56 Alkhendra , “Pergulatan Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia: Studi terhadap Pemikiran Harun Nasution, Munawir Sjadzali dan Nurcholish Madjid” (Jakarta, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 05). 57 Abdul Pirol, “Gerakan dan Pemikiran Dakwah Nurcholish Madjid” (Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 58 Muhammad Rusydi, “Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi dan Pluralisme” (Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 09). 23 Suhaimi F. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Ilmu Komunikasi Sebagai bagian dari ilmu sosial, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu pengetahuan multi paradigma atau multi paradigm science. Teori-teori dan penelitian ilmiah komunikasi sekurangnya bisa dikelompokkan ke dalam tiga paradigma, yaitu 1.Classical paradigm yang mencakup positivism dan post positivism, 2.Critical paradigm dan 3.Constructivism paradigm.59 Manusia sebagai objek kajian ilmu sosial dapat didekat dengan berbagai macam paradigma yang merupakan seperangkat teori, prosedur dan asumsi yang diterima tentang bagaimana peneliti melihat dunia ( world ), suatu paradigma didasarkan pada aksiomaaksioma, p ernyataan-pernyataan yang secara universal diterima sebagai suatu kebenaran.60 Dalam pendekatan paradigma klasik, kebenaran suatu penelitian komunikasi diperoleh berdasarkan pengujian hipotesis dalam struktur hypotetico deductive method , yang dilaksanakan melalui uji eksperimen, atau survei eksplanatif dengan analisis kuantitatif untuk mencapai kriteria kualitas penelitian yang objektif, valid dan reliabel. Sedangkan menurut paradigma kritis kebenaran suatu penelitian komunikasi dihasilkan berdasarkan analisis komprehensif, kontekstual, dan multi level analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial. Dalam hal ini peneliti menjalin interaksi dengan informan yang diteliti untuk memenuhi kriteria kualitas penelitian berupa historical 59 Dedy N. Hidayat, “Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi,” dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Menuju Paradigma Baru Penelitian Komunikasi (Bandung, Remaja Rosdakarya dan ISKI, April 1999, Vol. III), 32. 60 Turnomo Rahardjo, “Triangulasi Penerapannya dalam Studi Komunikasi Antar Budaya”, dalam M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi (Yogyakarta, Gitanyali, Cetakan Pertama, Oktober 2004), 4 -5. Lihat juga Dedy N. Hidayat, “Paradigma….”, 41. Dia mengutip dari Guba dalam teks aslinya sbb. “ ... a set of basic beliefs (or methaphysics) that deals with ultimates or first principles … a world view that defines, for its holder, the nature of the world… ” 24 Bahasa Politik Nurcholish Madjid situatedness yaitu sejauh mana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sementara itu pada paradigma konstruktivis, kebenaran penelitian komunikasi diperoleh melalui metode-metode kualitatif seperti participant observation dengan menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dan informan untuk merekonstruksi realitas yang diteliti. Dalam paradigma ini kriteria kualitas penelitiannya adalah sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang dihayati oleh para pelakunya.6 1 Sekarang ini, menurut J.J.J.M. Wuisman, konstruktivisme sosial bersama dengan interaksionisme simbolis, etnometodologi dan fenomenologi masuk dalam “aliran Interpretatif” atau “aliran hermeneutik” yang memiliki ciri utama memberikan peranan kunci kepada gagasan dalam pikiran orang dan ekspresi simbolisnya dalam kehidupan sehari-hari. 6 2 Dalam pendekatan interpretatif ini kehidupan sosial mirip sebuah teks atau karya seni yang memiliki keseluruhan susunan makna yang perlu diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti. Sedangkan pokok penelitian pendekatan interpretatif adalah individu sejauhmana mampu mengendalikan kelakuannya, mempunyai kemauan tertentu atau bertindak secara spontan. Kelakuan manusia dapat dijelaskan hanya dengan cara menghubungkannya pada “sasaran spesifik individu bersangkutan yang ingin mencapainya.” Ini berarti, penjelasan terdiri dari “pemberian alasan atau motif” untuk kelakuan. 63 61 Bandingkan dengan pendapat Mohammed Abed al-Jabiri yang mengatakan bahwa perkembangan epistimologi modern sesungguhnya baru sampai sebatas epistimologi baya@ni yang berkembang pada awal perkembangan peradaban Islam. Dia mengingatkan bahwa sebenarnya dalam peradaban Islam terdapat epistimologi burh a@ni yang berasaskan kesadaran ontologism terhadap realitas alam, sosial dan manusia dan epistimologi irfa@ni yang menekankan pengalaman pribadi dalam menemukan kebenaran. Lihat M. Dawam Rahardjo, “Krisis Peradaban Islam”, dalam Abd Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang Fanatisme Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Cetakan I, Juli 2007 ), 34 -35. 62 J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial (Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, Cetakan I, Jilid I), 64. 63 J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial, 65. 25 Suhaimi 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berpedoman pada 6 asumsi dasar: 1) Peneliti kualitatif lebih menekankan perhatian pada proses, bukan hasil atau produk; 2) Peneliti kualitatif tertarik pada makna bagaimana orang membuat hidup, pengalaman, struktur dunianya masuk akal; 3.Peneliti kualitatif merupakan instrument pokok untuk pengumpulan dan analisa data; 4) Peneliti kualitatif melibatkan kerja lapangan;64 5) Peneliti kualitatif bersifat deskriptif dalam arti peneliti tertarik pada proses, makna, dan pemahaman yang didapat melalui kata atau gambar; 6). Proses penelitian kualitatif bersifat induktif dimana penelit membangun abstrak, konsep, hipotesis dan teori serta rincian. 65 3. Teknik pengumpulan data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah metode obsevasi. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan memperhatikan hubungan antara berbagai aspek dalam fenomena tersebut., Dalam penelitian ini observasi ditujukan dengan melakukan studi kepustakaan terhadap butir-butir pemikiran NCM tentang politik dalam platform “Membangun Kembali Indonesia.”. 4. Sumber data primer Sumber data primer penelitian ini adalah butir-butir pemikiran NCM tentang politik dalam platform “Membangun Kembali Indonesia” yang tertulis dalam buku karya NCM berjudul Indonesia Kita , Jakarta, Universitas Paramadina, Cetakan III, 2004. 66 Di samping itu data primer penelitian ini diperoleh juga dari studi kepustakaan yang ditulis oleh NCM mengenai subjek pembahasan terkait seperti karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, 64 John W. Creswell, Reseach Design Qualitative and Quantitative Approaches, terjemahan angkatan III&IV KIK-UI dan Nur Khabibah (Jakarta, KIK Press, 2002), 139-140. 65 John W. Creswell, Reseach Design Qualitative and Quantitative Approaches, 140. 66 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita . 26 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Kemanusiaan, dan Kemoderenan .67 Jakarta, Paramadina, Cetakan Keempat, September, 2000 dan buku -buku kumpulan tulisan karyanya yang lain. Sedangkan karya tulis orang lain tentang dirinya berkaitan dengan penelitian ini akan dijadikan sebagai sumber sekunder. G. Disain Penelitian Berdasarkan uraian tertulis di atas, penulis akan melaksanakan penelitian ini berdasarkan disain penelitian berikut ini: Tabel 3 Disain Penelitian Tingkatan 1.Semiologi Struktural 2. Apropriasi 3. Hermeneutik Uraian Data yang diperlukan 1.Semantik:makna sintagmatik /denotatif dan makna paradigmatik/konotatif; 2.Pragmatik: gaya bahasa 1. Konteks 2. Tujuan 3. Latar Belakang 1. Pemahaman teks 2. Interpretasi M etode Penelitian Observasi/Studi kepustakaan Observasi/Studi kepustakaan Observasi/Studi kepustakaan Penelitian ini merupakan penelitian interpretatif yang menggunakan konsep -konsep untuk memahami orang-orang yang mendefinisikan diri mereka dengan cara menggunakannya dalam rangka mengkonstruksi suatu teori yang didalamnya seseorang menggunakan konsep -konsep baru untuk memahami perilaku sosialnya sendiri maupun perilaku orang lain. 68 Setelah data terkumpul, maka sebagai langkah analisis penulis akan membaca dan meneliti temuan data dengan cermat untuk melakukan aplikasi konsep dalam rangka mengungkapkan berbagai 67 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta, Paramadina, Cetakan keempat, September, 2000). 68 Idi Subandy Ibrahim, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: RuangPpublik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko (Yogyakarta, Jalasutra, 2004) , 28. 27 Suhaimi makna teks dan konteks komunikasi politik subjek penelitian seperti yang telah dibertikan batasan pengertian dalam definis istilah penelitian ini. Pengetahuan yang diperoleh dari interpretasi merupakan hasil dari transaksi “the knower” dan “ known ”. Apa yang menjadi perantara keduanya adalah perspektif. Objektivitas bukan menjadi sesuatu yang berguna bagi kelompok interpretifis. Apa yang membuat sebuah interpretasi dinilai baik bukan pertanyaan yang menyangkut validitas, namun sebuah pertanyaan mengenai “ utility” (kegunaan). Pertanyaan – pertanyaan dalam konteks ini menjadi: apakah interpretasi menolong kita dalam membicarakan sesuatu hal, atau memenuhi beberapa tujuan pragmatis dan kognitif. 69 Stephen W. Littlejohn mencatat 3 macam hermeneutik: 1) Interpretasi terhadap Bible disebut exegesis; 2) Interpretasi terhadap teks kesusastraan lama disebut philology; 3) Interpretasi terhadap pribadi manusia dan tindakan -tindakan sosialnya disebut social hermeneutics.70 Pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutik sosial. Secara etimologis hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein berarti “menyampaikan berita.” Winfried Noth menandaskan bahwa hermeneutik adalah studi atau teori interpretasi. 71 Analisis hermeneutik melibatkan sebuah pertimbangan tentang teks dalam terang pengetahuan teoritis para periset/peneliti dan informasi tentang gaya teks, sumber teks, dan situasi dimana teks itu diproduksi. 72 Dalam hermeneutik, menafsirkan adalah proses memahami sehingga hasil dari proses memahami diwujudkan dalam bentuk tafsir. Menurut Pariz Pari proses memahami dan menafsirkan dapat dibedakan, karena metode memahami juga berbeda dengan ode 69 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , (USA, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 13. 70 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , 210. 71 Winfried Noth, Handbook of Semiotic (Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press, 1990), 336. 72 Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung, Simbiosa Rekatama Media, Cetakan Ke-1, Januari 2007), 131. 28 Bahasa Politik Nurcholish Madjid menafsirkan dan hasil yang diperoleh dari proses memahami disebut pemahaman sedangkan hasil dari proses menafsirkan disebut penafsiran.73 Dengan demikian, dalam proses hermeneutik setidaknya ada tiga unsur berikut; teks (yang akan dipahami), pemahaman, serta interpretasi (tafsir). H. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan diuraikan ke dalam beberapa bab dan pada masing-masing bab diketengahkan sub -sub bab pembahasan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua menguraikan tentang kerangka pemikiran teoritis terdiri dari integrasi dakwah Islam dan ilmu komunikasi, perspektif interpretatif untuk memahami teks, Analisis teks hermeneutik dan semiotik, komunikator dan pesan dalam komunikasi politik, Kerangka pemikiran, Istilah-istilah dalam penelitian. Bab ketiga menguraikan aktivitas politik Nurcholish Madjid sebagai seorang komunikator politik dan respons terhadap aktivitas politiknya. Bab keempat merupakan temuan data dan analisis data tentang nasionalisme dalam pandangan NCM yang diuraikan berdasarkan fase-fase pertumbuhannya sejak awal sampai dengan nasionalisme pembangunan. Ban kelima adalah temuan dan analisis data berupa bahasa politik NCM seperti tertulis dalam platform politik NCM “Membangun Kembali Indonesia”. Bab keenam menjadi bab yang terdiri dari kesimpulan dan saran. 73 Pariz Pari, “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian maan: Kajian Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rohmat Garut,” (Disertasi Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), 59-60. 29 Bahasa Politik Nurcholish Madjid BAB II PESAN POLITIK DALAM TINJAUAN ILMU KOMUNIKASI DARI PERSPEKTIF INTERPRETATIF Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama menetapkan pembidangan ilmu dan gelar akademik di lingkungan Perguruan Tinggi Agama bersifat akomodatif terhadap perkembangan ilmu. Peraturan Menteri Agama itu yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Nopember 2009 tercatat dalam lembar Berita Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 446 menetapkan dalam lampirannya, bahwa bidang ilmu dakwah pada Perguruan Tinggi Agama Islam menggunakan gelar akademik dengan sebutan Sarjana Komunikasi Islam disingkat S. Kom. I. bagi sarjana S1 dan gelar akademik sebutan lengkap Magister Komunikasi Islam berakronim M. Kom. I. bagi magister S2 serta gelar akademik Doktor disingkat Dr. bagi sarjana S3 bidang ilmu dakwah.1 Sampai saat ini, di Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia seiring dengan perkembangan status beberapa Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) masih terdapat keberagaman apakah kajian dakwah terpisah sebagai fakultas ilmu agama tersendiri, 2 berbeda dengan studi ilmu komunikasi seperti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, atau kajian dakwah terintegrasi dengan studi ilmu komunikasi seperti di UIN 1 Kementerian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama , H Mubarok SH MSc, Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, Salinan Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 446. 2 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif –Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Pebruari 2006), 149. Dalam buku ini, Amin Abdullah mendudukkan bahwa dalam Islamic Studies, kajian ilmu kalam termasuk kajian yang pokok yang memp aruhi kajian bidang ilmu agama yang lain termasuk teori dan praktik dakwah. 30 Suhaimi Syarif Hidayatullah Jakarta. 3 Bab kedua lebih lanjut akan menjelasakan bagaimana integrasi dakwah Islam dengan ilmu komunikasi ditinjau dari perspektif interpretatif menjadi ilmu komunikas i Islam, maka Sarjana Dakwah Islam sama dengan Sarjana Ilmu Komunikasi. J.J.J.M.Wuisman menyatakan bahwa “aliran interpretatif” atau “aliran hermeneutik” sejak Perang Dunia II telah diterapkan dalam ilmu sosial dalam berbagai bentuk dan cara. Ciri utama perspektif ini adalah peranan kunci yang diberikan kepada gagasan (ideas) dalam pikiran orang dan ekspresi simbolisnya dalam kehidupan sosial sehari-hari. 4 Kelakuan manusia dianggap tidak dapat dijelaskan dengan mengaitkannya kepada “kekuatan luar seakan-akan memaksakan keberadaannya, melainkan dengan cara menghubungkannya pada sasaran (end) spesifik individu bersangkutan yang ingin dicapainya. Hal ini berarti penjelasannya terdiri dari “pemberian alasan atau motif” untuk kelakuan. Jadi dalam perspektif interpretatif kehidupan sosial manusia diperlakukan mirip sebuah teks atau karya seni yang terdiri dari keseluruhan susunan makna yang perlu diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti. 5 Bab kedua ini pun akan menguraikan bagaimana perspektif interpretatif digun akan untuk memahamai teks yang pada akhirnya menghasilkan satu model kerangka penelitian dengan masing-masing 3 Nurlena, eds. Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20092010 (Jakarta, Biro Akademik dan Kemahasiswaaan UIN Syarif yatullah Jakarta), 179. 4 J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial (Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, Cetakan I, Jilid I), 64. 5 Dalam hal ini Stephen W. Littlejohn mencatat bahwa tokoh pertama yang menggunakan istilah “interpretive community” adalah Stanley Fish yang merujuk kepada komunitas masyarakat yang membaca teks-teks tertulis. Dalam hal ini pun Littlejohn menuliskan bahwa genre-genre interpretasi berkisar pada makna yang dikomunikasikan, Lihat Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , (USA, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 220. Sedangkan Sasa Djuarsa Sendjaja, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, menggunakan pula kata teori-teori interpretif dan kata teori interpretasi. Lihat pula Sasa Djuarsa Sendjaja dkk., Teori Komunikasi (Jakarta, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Mei 2002), 9.10. 31 Bahasa Politik Nurcholish Madjid konsep dan istilah yang menjadi dasar bagaimana penulis melakukan analisis data penelitian. A. Integrasi Dakwah Islam dan Ilmu Komunikasi 1. Pengertian Dakwah Islam dan Komunikasi Kata ‘ da‘wah’ berasal dari bahasa Arab dan diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘dakwah’. Pengertian bahasanya berarti ajakan, permohonan, mohon perlindungan, harapan, doa dan cinta kepada Allah swt.6 Kata dasar ‘ d a‘wah’ dengan berbagai turunannya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 212 kali, 7 beberapa diantaranya menunjukkan setan mengajak pengikutnya ke dalam neraka seperti a.l. yang terjemahan ayatnya sbb.: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak ! tapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka). 8 Jadi kata ‘da‘wah’ di dalam al-Qur’an digunakan untuk subjek dan objek yang beraneka macam. Para nabi dan rasul mengajak ke jalan lah swt dan surga, sedang setan dan pengikutnya mengajak kepada kesesatan dan neraka. Untuk ajakan kepada agama Islam digunakan kata “ alDa‘wah al-Isla>miyah” atau “ Da‘watulisla>m” dan “ Da‘wah ila> 6 Ramad}an Abdul Mut}allib Khumais, Al-Da‘wah al-Isla>miyah Ark a>nuha> wa-Mana>hijuha> (Kairo, Da>r al-Thaba‘ah Al-Muhammadiyah Cetakan I, 1998), 1. 7 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-M u‘jam al-Mufahras li Alfa>z}i alQur’a>n al-Kari>m (Beirut, Da>r al-Fikr, 1981), 257-260. Dalam bentuk fii‘l ma@d}y 30 kali, fii‘l mud}a>ri‘ 11 kali, fii‘l amr 32 kali, sedang dalam bentuk ism al- fa>’i‘l 7 kali, ism al-mas}}d ar 32 kali. Menurut Asep Muhiddin dalam al-Qur’an tidak ada kata dia‘yah yang biasa diartikan propaganda. Lihat Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an (Bandung, Pustaka Setia, Cetakan I, November 2002 ), 40. 8 QS. Luqman (31): 21. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya, Penerbit Al-Hidayah, 1998), 651. Lihat juga QS. Fa>t}ir (35): 6 dll. 32 Suhaimi Sabi>lirabbika”9 maupun “ Da‘wah ila> Allah”1 0 atau “Da‘wah ila> Rabbika”1 1 serta “Da‘wah ila> al-Huda>”12 berarti dalam bahasa Indonesia sebagai dakwah Islam atau ajakan ke jalan Allah swt. Ibnu Taimiyah mendeskripsikan dakwah Islam secara operasional sebagai perintah kepada perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan pencegahan dari perbuatan yang Allah melarangnya. Pada kesempatan lain dakwah Islam digambarkan juga sebagai memberikan kabar gembira dan memperingatkan ancaman dari Allah swt. 13 Dalam ajaran Islam utusan Allah swt dinamakan sebagai ‘ rasu >l’ berarti pembawa risalah dengan empat sifat wajib: S}idi>q, ama>nah, t abli>gh dan f}}at}a>nah Seorang rasul adalah juga seorang ‘ naby’ berarti pemberi kabar berita. Pengertian dakwah Islam secara terminologis dikemukakan antara lain oleh Al- T}ayyib Al-Barghuts menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan dakwah Islam adalah memerintahkan manusia untuk memeluk Islam dan mencintainya serta berjuang untuknya dengan seluruh sarana yang disyariatkan dan berbagai metode yang memungkinkan. 14 Pengertian etimologis dan terminologis dakwah Islam tertulis di atas memiliki kesamaan objek studi dan atau menjadi bagian dari pengertian komunikasi yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin Communicatus berarti “ shared ” atau “berbagi”.15 Maksudnya adalah 9 QS. Al-Nahl (16): 125. QS. Fus}ilat (41): 33. 11 QS. Al-Ha>j (22): 67. 12 QS. Al- A‘ra>f (7): 198. 13 Ibn Taimiyah al-Harraniy, M ajmu >u‘ al-F ata>wa>, Kita>b al-T afsi>r (Beirut,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cetakan I, juz ke-2, 2000), 73-77. 14 Al-T}ayyib al-Barghuts, M anh a>j al-N abiy fi> Hima>yati al-Da’wah wa a l-Muha>fadzah álá> Munjaza>tih a> Khila>la al-Fatrati al-Makkiyah (USA, al-Ma‘had al- A’la>miy li al-Fikri al- Isla>miy, Cetakan I, 1996), 67. 15 Louis Forsdale, Perspectives on Communication (Phillippines, AddisonWesley Publishing Company, Inc. , 1981), 6. Secara teoritis kata “share” berarti “berbagi” menunjuk kepada proses dua arah dibedakan dengan “komunikasi” sebagai “transmisi” atau pengiriman pesan yang lebih menunjukkan proses satu ara Lihat James Watson dan Anne Hill, A Dictionary of Communication and Media Studies, (New Delhi, Universall Book Stall, Second Edition, 1996 ), 38. 10 33 Bahasa Politik Nurcholish Madjid berbagi informasi secara timbal balik. Misalnya jika A berdakwah/mengajak B untuk melakukan suatu pekerjaan, sesungguhnya A berusaha berbagi informasi dengan B untuk melakukan pekerjaan itu. Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata “ communication ” dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin “ communis” berarti “ commun ” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia “sama”.16 Seseorang berkomunikasi berarti dia sedang berusaha mengadakan kesamaan dengan orang lain. Demikian halnya ketika seorang ustadz berdakwah kepada jamaahnya untuk berzakat, sesungguhnya beliau sedang berusaha membina kesamaan pengertian dengan mereka akan manfaat zakat untuk diri mereka sebagai pemberi zakat manfaat yang diperoleh penerima zakat. Dalam sejarah Islam di Indonesia, sejak awal dakwah Islam didefinisikan sebagai ‘ajakan’, sampai akhirnya Hamka ulis artikel berjudul “Da’watul Islam” yang dimuat secara bersambung dalam majalah Gema Islam (No. 4 dan 5 T I, 1962). Tulisan ini lahir karena menyambut tulisan prasaran karya seorang tokoh ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, K. Mohammad Zaini berjudul “Hari Depan Islam dan Kaum Muslimin Terletak pada Dakwah Islamiyah”, saat Simposium Dakwah yang diselenggarakan HMI dengan Akademi Metafisika, Surabaya, tanggal 23 Pebruari 1962. Tulisan Hamka di atas kemudian mengundang tulisan dengan judul yang sama dari Rosihan Anwar dan disusul dengan tulisantulisan dari Abdullah Sahir, M.A. Lubis, Ismuha, dan para intelektual dari berbagai kalangan yang membahas persoalan dakwah dari berbagai segi. Satu di antara tulisan itu dikemukakan seorang tokoh ulama NU, K. Mahmud Effendi yang mengatakan, bahwa dakwah Islam bukan hanya semata-mata ajakan, menurutnya dakwah 16 Wilbur Schramm, “How Communication Works,” dalam Onong Uchjana Effendy, Komunikasi dan Modernisasi (Bandung, , Mandar Maju, Cetakan VII, 2005), 22. 34 Suhaimi Islam adalah qawlun wa ‘amalun atau mencakup kata-kata dan perbuatan.17 Kajian dakwah Islam secara akademik ditandai dengan pembukaan Jurusan Dakwah pada tahun 1942 di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Mesir. Sedangkan di Indonesia Dakwah Islam diakui sebagai bagian kajian keislaman yang dipelajari di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dibentuk pada tanggal 29 September tahun 1951, dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada tanggal 1 Juni 1957 yang membuka jurusan -jurusan: Pendidikan Agama dan Bahasa Arab serta pada tahun 1959 ADIA membuka jurusan Dakwah wal Irsyad yang menjadi jurusan khusus karena para mahasiswanya terdiri dari imam-imam tentara baik dari Angkatan Darat maupun Angkatan Udara yang kemudian diikuti dari Angkatan Laut pada tahun 1960. 1 8 Setelah dua perguruan ini digabung menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah tahun 1960, jurusan khusus dimasukkan ke dalam Fakultas Tarbiyah. Sejak tahun 1961 kajian Dakwah berkembang sebagai Jurusan Dakwah di Fakultas Ushuluddin di IAIN Cabang Jakarta yang secara resmi didirikan berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 66 tanggal 5 Nopember 1962 dan pada tahun 1968 berkembang menjadi Fakultas Dakwah di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama (SK MENAG), nomor 153/1968. 19 Sejak saat itu, civitas akademik IAIN se Indonesia telah melakukan serangkaian pertemuan ilmiah yang mengkaji perumusan dan penyusunan pembidangan ilmu -ilmu keislaman, sampai pada tahun 1982 dakwah Islam diakui sebagai bagian dari ilmu -ilmu keislaman di Indonesia. Hal itu berdasarkan SK MENAG RI nomor 17 M. Dawam Rahardjo, “Pemikiran tentang Dakwah dalam Perspektif Perubahan Sosial,” dalam Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung, Mizan, Cetakan IV, 1999), 158 -159. 18 Nurlena, eds., Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2009 -2010 (Jakarta, Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2009), 180. 19 Panitia Seminar Nasional Keilmuan Dakwah dan Prospek Pengembangannya, “Proposal Kegiatan”, Fakultas Dakwah AIN Sunan Ampel, Surabaya, tanggal 19 Nopember 1999, 1. 35 Bahasa Politik Nurcholish Madjid 97/1982 tentang Kurikulum dan Silabus IAIN termasuk di dalamnya Silabus Fakultas Dakwah yang diperkuat kemudian dengan SK MENAG nomor 110/1982 yang telah memperoleh rujukan rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 20 Kurikulum yang diberlakukan di Fakultas Dakwah IAIN dan UIN di Indonesia sampai saat ini adalah Kurikulum Nasional 1995 yang ditetapkan berdasarkan SK MENAG no. 383/1995 dan disempurnakan dengan SK MENAG no. 383/1997. Sejak saat itu, Fakultas Dakwah secara formal memiliki empat jurusan yaitu, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) dan jurusan Manajemen Dakwah (MD). 21 Pada uraian perkembangan pengertian dakwah Islam dan usaha mewujudkannya sebagai Ilmu Dakwah tertulis di atas, dakwah Islam dipahami bukan hanya sebagai suatu ajakan, tapi merupakan perbuatan nyata. Definisi seperti ini pulalah yang terlihat dalam rumusan pengertian Ilmu Dakwah yang dikemukakan oleh Moch. Ali Aziz, bahwa dakwah sebagai suatu proses yang aktif, persuasif dan komprehensif dimulai dengan tabli>gh, t absyi>r, tanzi>r serta amar ma‘ru@f nahyi al-munkar baik secara struktural yang menggunakan kekuasaan berupa pendekatan legal formal dengan tegas (hisbah), maupun secara kultural atau mengajak dengan cara lunak tanpa kekerasan (tat {{awwur).22 Tapi guru besar ilmu dakwah IAIN Sunan Ampel, Surabaya ini, membedakan antara dakwah yang didefinisikannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits dengan ilmu dakwah sebagai kajian ilmiah empiris. Beberapa definisi Ilmu Dakwah di atas, menurut Moch. Ali Aziz, menekankan aspek dakwah sebagai realitas sosial yang lebih 20 Ditjen Bimbaga Islam, Departemen Agama RI, Kurikulum Nasional Institut Agama Islam Negeri, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 1995, 27-40. 21 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis (Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan Walisongo Pers, Cetakan I, 2003), 24-25. 22 Moch. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta, Prenada Media Group, Cetakan ke-2, 2009), 41. 36 Suhaimi melihat dakwah dengan pendekatan fungsional dibanding nsial agama. Pendekatan fungsional mengkaji dakwah secara empiris untuk menjawab pertanyaan: "Bagaimana Islam dapat diterima dan dijalankan manusia, baik secara personal maupun sosial.” Karena itu, Ilmu Dakwah sering terfokus pada aspek metode, teknik, dan media yang disesuaikan dengan keadaan sasaran dan tujuan dakwah.23 Dengan mempersempit cakupannya seperti ini, objek kajian Ilmu Dakwah tidak lagi bias dan meluas, karena pengertian dakwah yang meluas dan mencakup segala sesuatu menjadi masalah dalam menjadikannya sebagai disiplin ilmu tersendiri. Dalam rangka mencapai tujuan menjadikan dakwah Islam sebagai disiplin ilmu tersendiri, pengertian dakwah Islam perlu dikhususkan dengan mengembalikan -nya hanya sebagai aktivitas penyampaian pesan komunikasi dengan ajakan dan amal perbuatan. Lisa@n al-Ha@l Afs{}ah min Lisa>n al-M aqa@l, 2 4 artinya pesan perbuatan (nonverbal) lebih jelas dari pesan perkataan (verbal). Secara tegas NCM memberi arti ungkapan bahasa Arab tersebut sebagai “ bahasa perbuatan adalah lebih fasih (tajam) daripada bahasa ucapan.2 5 Menurut Ramadlan Abdul Muthallib Khumais, amal perbuatan sesungguhnya merupakan salah satu media dakwah Islam yang dapat membangkitkan pandangan mata manusia, sedang media perkataan/ al-qawl menjadi sarana menyentuh hati mereka, media dakwah Islam lainnya adalah al-qudwah al-hasanah atau suri teladan kepada sesama manusia.26 23 Moch. Ali Aziz , Ilmu Dakwah, 57. Abu Luis, al-Munjid fi> al-Lug}ah w a- al-‘Ala>m (Beirut, Dar elMashreq, Cetakan ke-21, 1973), 1007. 25 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 1999), 15. 26 Ramadlan Abdul Muthallib Khumais, Al-Da‘wah al-Isla>miyyah Ark a>nuhâ> wa-M ana>hijuh a>, 213. Dosen Jurusan Dakwah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Mesir ini sebelumnya menegaskan pengertian media dakwah sebagai segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain dan membedakannya dengan “manha>j” berupa hikmah, mawidzah al-hasanah dan al-muja>dalah bi allati> hiya ahsan. 24 37 Bahasa Politik Nurcholish Madjid 2. Objek Material dan Objek Formal Dakwah Islam dan Ilmu Komunikasi Ditinjau dari filsafat ilmu, ada dua macam objek sains yakni objek material atau bidang utama yang diteliti suatu ilmu pengetahuan tertentu, dan objek formal yang disebut juga objek ontologis atau bagian dari objek material yang menjadi fokus untuk ditelaah oleh suatu ilmu pengetahuan tertentu dengan cermat dan seksama.27 Objek material antropologi, misalnya, adalah mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat, sedang ilmu ekonomi objek materialnya mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran barang dan jasa. Moch. Ali Aziz memandang ilmu dakwah lebih tepat masuk dalam rumpun ilmu sosial dengan menegaskan bahwa objek material ilmu dakwah adalah manusia sebagai pendakwah maupun mitra dakwah dan objek formalnya adalah penyampaian ajaran Islam oleh pendakwa28 Menurutnya, sejarah ilmu dakwah sebagai ilmu keislaman tidak memiliki akar sejarah sejelas ilmu -ilmu keislaman yang lain seperti ilmu fikih dan ilmu tafsir atau ilmu kalam. Oleh karena itu kajian dakwah Islam berdasarkan ayat-ayat suci al-Qur’an atau hadits-hadits masuk ke dalam objek kajian ilmu tafsir sebagai tafsir ayat-ayat dakwah atau ilmu hadits sebagai haditshadits dakwah dan atau fikih dakwah yang seluruhnya masuk dalam kajian ilmu humaniora. Jadi menurutnya ilmu dakwah menjadi bagian dari ilmu sosial. Sedangkan objek material ilmu komunikasi adalah perilaku manusia sebagai makhluk sosial termasuk di dalamnya perilaku individu, kelompok dan masyarakat, objek formalnya ialah situasi komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk 27 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengetahuan Populer (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan ke-8, 1994), 93. 28 Moch. Ali Aziz , Ilmu Dakwah, 57. 38 Suhaimi perubahan pikiran, perasaan, sikap dan perilaku individu, kelompok, masyarakat dan pengetahuan kelembagaan.29 Manusia baik secara individu, kelompok maupun masyarakat dikatakan sebagai pelaku dakwah dan mitra dakwah apabi mereka baik sebagai perorangan, kelompok maupun masyarakat berusaha melakukan suatu perubahan baik pada tingkat pikiran, perasaan, sikap maupun perilaku.Dan hanya apabila mereka baik secara perseorangan, kelompok maupun masyarakat berdakwah ke jalan Allah swt atau kepada ajaran Islam secara persuasif, mereka tidak mengajak kepada kesesatan setan, mereka itulah pelaku dan mitra dakwah Islam yang berusaha mengadakan perubahan sosial ke jalan Allah swt yang menjadi rahmat bagi semesta alam. 3. Dakwah Islam dalam Perspektif Ilmu Komunikasi Guru besar pemikiran Islam dan dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, M. Yunan Yusuf menyatakan bahwa dakwah dan komunikasi adalah dua ranah kembar karena keduanya sama-sama membicarakan tentang bagaimana manusia menyampaikan pesan atau gagasan kepada orang lain. 30 Menurutnya anggapan dakwah dan komunikasi berbeda karena dakwah bertolak dari nilai-nilai ilahiyah dan komunikasi bertolak dari nilai-nilai duniawi, sering sekali menyebabkan aktivitas dakwah Islam tidak sanggup memberikan pemecahan masalah sehari-hari, karena itu dakwah dan komunikasi perlu diintegrasikan. Komunikasi saat ini telah diakui sebagai disiplin ilmu tersendiri menjadi ilmu komunikasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai science atau ilmu pengetahuan seperti memiliki objek tertentu, bersifat sistematis, berlaku umum dan memili i metode tertentu. Sejak tahun 1960, Carl I. Hovland telah menggunakan istilah “ Science of Communica -tion ” dan mendefinisikan komunikasi sebagai suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan dengan cara 29 Sumarno AP, Kismiyati El-Karimah dan Ninis Agustini Damayani, Filsafat dan Etika Komunikasi (Jakarta, Universitas Terbuka, 1999), 2.4-2.5. 30 M. Yunan Yusuf, “Uraian Materi Silabus Mata Kuliah Pemikiran Dakwah dan Komunikasi, Semester Genap 2006-2007”, 1. 39 Bahasa Politik Nurcholish Madjid yang setepat-tepatnya asas-asas pentransmisian informasi serta pembentukan opini dan sikap. 3 1 Ilmu sosial secara ontologis mengkaji hakekat kehidupan sosial manusia secara luas, Sedangkan ilmu komunikasi dalam hal ini memusatkan perhatian pada hakekat manusia sebagai pela interaksi sosial. 32 Kajian komunikasi antar manusia merupakan studi interdisipliner yang meneliti proses komunikasi dengan menggunakan pandangan dari berbagai disiplin ilmu. Bila ilmu dakwah Islam mengkaji perilaku manusia secara empiris sebagai pelaku dakwah Islam dan peserta dakwah Islam atau jamaah dakwah Islam, seperti ilmu komunikasi yang mengkaji manusia sebagai pelaku interaksi antar manusia dan menjadi bagian dari ilmu sosial, maka ilmu dakwah Islam pun menjadi studi interdisipliner yang meneliti proses penyampaian ajaran Islam secara persuasif dengan menggunakan pandangan dari berbagai disiplin ilmu . Berdasarkan teori komunikasi Harold D. Lasswell (1958) ‘who says what, to whom, in which channel, whith what effect’ dapat digambarkan bagaimana kaitan antara ilmu dakwah Islam, dalam hal ini dipahami sebagai bagian dari ilmu komunikasi menjadi ilmu komunikasi Islam. Dalam tabel 1 tertulis berikut di bawah ini pada kolom komponen dakwah Islam atau ilmu komunikasi Islam sebagai bagian dari ilmu komunikasi, penulis mengemukakan bahwa dakwah Islam sebagai ilmu komunikasi Islam dapat didefinisikan menjadi proses penyampaian pesan -pesan ajaran Islam berupa rahmat bagi semesta alam kepada sesama manusia sebagai jamaah atau para pesertanya melalui berbagai media penyampaian pesan dengan metode persuasi yang akan berakibat pengaruh efek tertentu. Jala>luddi>n alSuyu>t}i mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Abu> Laila al-Asha’ri dalam menekankan keharusan 31 Carl. I. Hovland, ”Social Communication,” dalam Onong Uchjana Effendy, Komunikasi dan Modernisasi (Bandung, , Mandar Maju, 2005, Cetakan VII), 1. 32 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication (United State of America, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 35. 40 Suhaimi berdakwah Islam Tabel 1: Hubungan Ilmu Komunikasi Islam dan Ilmu Lain NO. KOMPONEN OBJEK KAJIAN ILMU-ILMU 1. DAKWAH ISLAM /KOMUNIKASI ISLAM Pelaku dakwah Islam /komunikasi Islam TERKAIT Agama, perilaku sosial dan latar belakang sosiokultural dll. Ilmu Agama, Psikologi Sosial, Antropologi, Sosiologi dll. 2. Pesan dakwah Islam /komunikasi Islam Agama, ideologi, politik, sosial, kebudayaan, pertahanan , keamanan dll. Ilmu Agama, Psikologi, Sosiologi, Antropologi dll. 3. Jamaah dakwah Islam /komunikasi Islam Agama, latar belakang perilaku individu dan sosial serta kultural dll. Ilmu Agama, Psikologi, Sosiologi, Antropologi dll. 4. Media dakwah Islam /komunikasi Islam Media massa dan internet, media personal dan industri media massa. Ilmu Komunikasi dan Ilmu Ekonomi serta Teknologi Informasi 5. Metode dakwah Islam /komunikasi Islam Persuasi, Hikm ah, M aui’z}ah Hasanah, al-Muja>dalah billati> Hiya Ahsan Ilmu Komunikasi dan Ilmu Agama serta Psikologi dll. 6. Efek dakwah Islam /komunikasi Islam Perilaku individual dan perubahan sosial Ilmu Agama, Psikologi, Sosiologi, Antropologi dll. Tabel 1 diadaptasi dari Jalaluddin Rakhmat (1990) dan M. Ali Aziz (2009). 41 Bahasa Politik Nurcholish Madjid dengan al-Hikmah dan al-M aui’z}ah al-Hasanah, serta alMuja>d alah billati > Hiya Ahsan bahwa Rasulullah saw bersabda: “berpegang-teguhlah kalian dengan mematuhi para pemimpin dan jangan menentang mereka, karena sesungguhnya mematuhi mereka berarti mematuhi allah swt dan menentang mereka sama dengan menentang Allah swt. Sesungguhnya Allah mengutusku berdakwah ke jalan -Nya dengan al-Hikmah, al-M aui’z}ah al-Hasanah, maka siapa yang menentangku dalam hal ini dia termasuk golongan orangorang yang membuat kerusakan dan sungguh dia telah keluar dari lindungan Allah dan rasul-Nya. Siapa pun yang memimpin kalian tidak mengerjakan hal itu, maka untuknya laknat Allah laknat 33 para malaikat dan laknat seluruh manusia.”. Karakteristik dasar dakwah Islam menurut Ismail Raji alFaruqi adalah sifatnya persuasif bukan kursif. Artinya dakwah Islam selalu berusaha mempengaruhi manusia untuk menjalankan agama sesuai dengan kesadaran dan kemauannya sendiri, bukan dengan paksaan. Pemaksaan adalah perampasan hak asasi manusia dalam beragama. “Etika manusia memandang pemaksaan dalam berdakwah merupakan pelanggaran serius atas hak asasi manusia.”.34 Dakwah Islam pun memiliki karakteristik pesan yang rasional dan disampaikan dengan cara rasional (rational necessary and rational intellection ) yang mengajak manusia untuk kembali kepada fitrahnya.35 Setiap unsur dari komponen -komponen ilmu komunikasi Islam tersebut di atas dapat berkaitan dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan sehingga ilmu komunikasi Islam pun merupakan ilmu interdisipliner yang meneliti proses komunikasi persuasi antar manusia tentang ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam 33 Abdu >l Rahma>n Jala>luddi>n al-Suyut}}i, Al-Dur al-Manthu >r fi> T afsi>r alM a’thu >r (Beirut, Dar al-Fikr, Juz ke-14, tt.), 178. 34 Ismail Raji al-Faruqi, Dakwah Islam dan Misi Kristen Sebuah Dialog Internasional, Ahmad Von Denffer dan Emilio Castro, eds., terj. Ahmad Noer Z. (Bandung, Risalah, 1984), 35. 35 Ismail Raji al-Faruqi, Dakwah Islam dan Misi Kristen Sebuah Dialog Internasional, 35. 42 Suhaimi dengan menggunakan pandangan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dari beberapa komponen komunikasi Islam tersebut, menuru t Imtiaz Hasnain, komunikator atau pelaku komunikasi Islamlah yang paling memegang kedudukan terpenting dalam ajaran Islam.36 Para periwayat atau penyampai sunnah Nabi Muhammad saw misalnya, adalah bidang penelitian disiplin ilmu al-Jarh wa al-Ta’di>l (kritik pribadi perawi) yang membahas karakteristik para periwayat sunnah Nabi Muhammad saw yang harus memiliki kepribadian “kejujuran, keadilan, dan ketelitian” agar mereka dinilai memiliki keterandalan sebagai perawi (komunikator) sunnah. Guru besar ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Faisal Bakti lebih memilih konsep dakwah sebagai Islam. Menurutnya dakwah adalah usaha meyakinkan manusia untuk bertingkahlaku sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan pengertian mereka masing-masing. 37 Dalam Islam, agar dakwah atau tablig>h efektif harus disertai dengan amal perbuatan yang mencakup proses menentukan tujuan atau niat, menyampaikannya dengan perkataan dan mengikutsertakannya dengan pekerjaan nyata. Salah seorang ahli ilmu komunikasi yang pemahamannya tentang komunikasi Islam berdasarkan interpretasi terhadap ayat alQur’an dan kehidupan empiris umat manusia adalah Hamid Mowlana. 38 Konsep komunikasi Islam menurutnya adalah tabli>gh, 36 Imtiaz Hasnain, “Communication: An Islamic Approach,” terjemahan Dedy Djamaludddin Malik, Audientia , Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 1, Januari-Maret 1993, h.15. 37 Andi Faisal Bakti, Communications and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Glob Development Program (Leiden-Jakarta, INIS, 2004), 83. 38 Hamid Mowlana adalah Profesor International Relation dan Founding Director of the International Communication Program School of Int er natio nal Ser vi c e, Am eri c a n Un i ve rsi t y W as hi ngto n , DC . Menyandang PD dari Northwestern University, Evanston, Illinois, 1963. Predident International Association for Mass Communication Research (IAMCR). Lebih lanjut lihat Hamid Mowlana, Global Communication in Transition The End of Diversity? (New Delhi, India, Sage Publications International Educational and Professional Puiblisher, First 43 Bahasa Politik Nurcholish Madjid ia men gem b an gk an n y a d ari ko n s ep Ib n u K h ald u n (19 6 7) y an g m en gart ik an t a bli > g h s eb agai propaganda kebenaran (truthful propagation ). Tabli@gh dalam konteks Islam memiliki batas-batas etika dan berbagai prinsip pelaksanaannya berdasarkan alQura>n dan al-Sunnah.39 Menurut Mowlana konsep -konsep penting yang menjadi dasar tabli@gh tersebut antara lain adalah 1) teori tauhid menjelaskan tentang tujuan komunikasi untuk menghancurkan berhala kemusrikan; 2) doktrin tanggungjawab sosial yang terwujud dalam amar ma'ru@>f nahyi munkar; 3) konsep komunitas atau ummat . Menurut Islam, komunitas yang dibangun atas dasar tauhid adalah ummat; 4) prinsip taqwa@ . suatu konsep ideal muslim diterjemahkan sebagai piety.4 0 Takwa adalah suatu sikap religius sehingga dorongan tindakan dalam kehidupan sehari-hari didasarkan pada kekuatan untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan -Nya. B.Pengertian Bahasa Politik Manusia sebagai makhluk sosial berbicara dan berkomunikasi untuk menyatakan sikap dan perasaan kepada sesamanya. Berkatakata, baik secara lisan atau pun tertulis, adalah menyampaikan pikiran atau perasaan atas masalah -masalah penting dalam kehidupan bersama. Semua itu manusia lakukan dengan memakai bahasa. Bahasa merupakan salah satu wujud dan jenis komunikasi antar manusia, yaitu tanda-tanda komunikasi verbal maupun nonverbal yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk pencipta peristiwa komunikasi. Para filosof Yunani memandang bahasa sebagai alat untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran, untuk mengekspresikan halPrinted, 1996), Cover. 39 Hamid Mowlana, Global Communication in Transition The End of Diversity?, 116. 40 Hamid Mowlana, Global Communication in Transition The End of Diversity? 117-126. Lihat juga M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam Kritik terhadap Konsep Komunikasi Barat (Bandung, Sahifa, Cetakan I, Agustus 2008), 109. 44 Suhaimi hal yang bersifat artistik, dan untuk persuasi. Dalam hidup orang Athena abad ke-5 M, bahasa menjadi alat untuk mencapai tujuan tertentu, yang konkret dan praktis. Bahasa dianggap sebagai senjata ampuh dalam percaturan politik tingkat tinggi. 41 Dalam sejarah bangsa Indonesia, M.H. Thamrin secara berani memulai penggunaan bahasa Melayu dalam sidang Volkskraad , kendati hamp ir semua wakil lainnya menggunakan bahasa Belanda. Kaitan antara bahasa dan politik sangat terang pada masa penjajahan di Indonesia. Belanda menerapkan politik bahasa dalam rangka mengisolasi bangsa Indonesia dari dunia luar dan menghambat kecerdasannya dengan berusaha menjauhkan mayoritas mereka dari kemungkinan menguasai bahasa sendiri, tapi di lain pihak Belanda terus berusaha menanamkan superioritas bahasa Belanda atas bahasabahasa pribumi, termasuk bahasa Melayu. Politik pecah belah pun mereka lakukan dengan menggalakkan pemakaian dan penerbitan bahasa-bahasa daerah yang disebarkan oleh Balai Pustaka , terutama buku-buku berbahasa Jawa.42 Pengertian “ bahasa politik” sering ditumpangtindihkan dengan “ bahasa birokrasi”, seperti Ben R. O’G Anderson (1966) yang merujuk kepada Herbert Luethy (1966) dan Cliford Geertz (1966) sudah menggunakan istilah bahasa politik untuk penelitiannya terhadap pidato -pidato Presiden Soekarno pada tahun -tahun terakhir keruntuhan Orde Lama dan permulaan Orba.43 Demikian pula halnya dengan Virginia Matheson Hooker (1990) yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa slogan atau propaganda, bahasa pidato pejabat pemerintah merupakan bahasa politik, yaitu bahasa yang digunakan 41 Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Prolog,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung, Mizan, Cetakan II, Juni 1996), 17. 42 Mochtar Pabottingi, “Bahasa Politik dan Otosentrisitas,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 214. 43 Benedict R. O’G. Anderson, “Bahasa Politik Indonesia,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 124. 45 Bahasa Politik Nurcholish Madjid sebagai alat politik. 44 Jadi menurut mereka bahasa politik adalah bahasa yang dipergunakan oleh elite politik dan elite birokrasi untuk menyampaikan kepentingan kekuasaan. Sedangkan J. Jones dan S. Wareing (1999) melihat bahasa politik berdasarkan tujuan orang sebagai penyampainya dan merumuskan definisinya sebagai bahasa yang digunakan untuk mencapai maksud-maksud politis. 45 Dalam hal ini ideologi menjadi suatu yang terpenting untuk ditetapkan dan dikomunikas kepada masyarakat agar menjadi pengetahuan umum (common sense) dan ketika ideologi itu sudah menjadi bagian hidup masyarakat banyak, berarti maksud politis dari seorang politisi sudah tercapai. Sementara itu, Daniel Dhakidae (1992) menerapkan istilah bahasa politik sama dengan pandangan pertama di atas sebagai bahasa birokrasi berupa bahasa pemerintah dan aparaturnya yang bahkan telah tercermin dalam bahasa jurnalistik pada masa Orba, baik pidato-pidato para pejabat maupun konferensi pers mereka. Dia lebih lanjut mencatat beberapa ciri spesifik bahasa birokrasi adalah 1) tipe bahasa ini dapat dipersingkat menjadi bahasa jargon pembangunan, 2) bahasa ini sarat dengan muatan nada-nada ideologis dalam arti yang sangat luas, dan 3) gaya bahasanya menampilkan latar belakang etnis dan kultur para pemakainya. 46 Menurut Lewuk terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang dipergunakan oleh kelompok kekuasaan yaitu bahasa berdimensi satu, orwelianisme bahasa, jaringan bahasa takuttakut, dan bahasa yang menyembunyikan pikiran.47 Bahasa 44 Virginia Matheson Hooker, “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 56 -75. 45 J. Jones dan S. Wareing, “Language and Politics,” dalam L. Thomas dan S. Wareing, eds., Language, Society, and Power: An Introduction (London, Routledge, 1999), 32. 46 Daniel Dhakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 246-251. 47 Peter Lewuk, Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan Pemikiran (Ja-karta, Posko 66, 1995), 186. 46 Suhaimi berdimensi satu menuntut orang yang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan penguasa. Di sini tidak ditemukan logika protes, seperti halnya tidak ada tempat bagi para oposisi di masa Orde Baru. Orwelianisme bahasa dalam konteks ini adalah teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya bertentangan, sehingga perbedaan antara yang benar dengan yang salah menjadi kabur, seperti istilah kritik konstruktif atau kritik memban gun yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak kekuasaan.48 Bahasa takut-takut adalah bahasa yang diucapkan masyarakat yang memiliki kepatutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi yang dilambangkan melalui simbol bahasa, seperti pernyataan bahwa Golput haram. Terakhir, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa itu sendiri. 49 Dalam uraian tertulis di atas, tersurat bahwa wujud dan makna istilah bahasa politik dan bahasa birokrasi dapat dibedakan dari segi nuansa maknanya, bahwa bahasa politik lebih berkaitan dengan bahasa untuk pengaturan masyarakat secara umum yang memiliki keberagaman latar belakang sosial budaya dengan menggunakan alat (piranti) ideologi dan kekuasaan yang terwujud dalam bahasa,50 sedang bahasa birokrasi lebih berkaitan dengan bahasa untuk pengaturan institusi-institusi yang secara hirarkis berada dibawahnya. Dan dilihat dari segi ruang lingkupnya, bahasa politik memiliki lingkup yang lebih luas dari bahasa birokrasi, sehingga sering istilah bahasa politik dan bahasa birokrasi disatukan dalam istilah yang lebih luas, yakni bahasa politik. 51 Berdasarkan perbedaan tersebut, bahasa politik dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai bahasa yang digunakan untuk mencapai maksud -maksud politis. 48 Peter Lewuk, Kritik Filosofis Atas Pembangunan,187. Peter Lewuk, Kritik Filosofis Atas Pembangunan, 187. 50 Anang Santoso, Bahasa Politik Pasca Orde Baru (Jakarta, Wedatama Widya Sastra, Cetakan I, Maret 2003), 2 -3. 51 Anang Santoso, Bahasa Politik Pasca Orde B aru, 2. 49 47 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Dan D. Nimmo melakukan analisis bahasa politik pada tataran pragmatik dengan menguraikan bagaimana cara penggunaan katakata dan akibatnya untuk tujuan memperoleh keuntungan dengan meyakinkan dan membangkitkan massa melalui kalimat antara lain eufemisme, puffery, labelling , metafora dan mitos; dan tujuan untuk peningkatan status atau otoritas sosial dan identitas sosial dengan cara pengungkapan identitas personal atau identitas pribadi dan diskusi publik dalam proses pemberian informasi. 5 2 Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa seseorang yang merefleksikan cara atau tekniknya dalam menyusun kalimat dan tulisan tentang pengalaman, nilai-nilai dan kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa dan khusus.53 Dalam penggunaan bahasa politik Islam, menurut Bernard Lewis, penuh dengan gaya bahasa metafora, misalnya perumpamaan antara hubungan kekuasaan dengan jarak dekat dan jauh, dalam dan luar atau –meminjam istilah ilmu -ilmu sosial– pusat dan pinggiran. Satu dari akar kata yang paling sering digunakan untuk mengkonotasikan kekuasaan dan otoritas ialah w- ly–yang menjadi asal usul istilah populer seperti vali dan vilayet dari Turki, mollah dari Iran, dan maulvi dan maulana dari India– memiliki makna utama “mendekat”.5 4 Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat padat dan rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan kedua merupakan perbandingan terhadap kenyataan pertama tersebut.55 Selain gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda seperti a.l. perumpamaan, metafora, personifikasi dan depersonifikasi, alegori, antithesis terdapat pula gaya bahasa pertentangan yang membandingkan dua hal 52 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media , terj. Tjun Surjaman (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan II, 1993), 100. 53 Mukhsin Ahmadi, Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia (Malang, Yayasan Asish Asah Asuh, , Cetakan I, Januari, 1990), 179. 54 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terjemahan Ihsan Ali-Fauzi, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 16 -17. 55 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa (Bandung, Angkasa, Cetakan III, 1985), 183. 48 Suhaimi bertolak belakang seperti a.l. hiperbola, litoses, ironi, oksimoron, satire, klimaks dan antiklimaks, sinisme, sarkasme dan gaya bahasa pertautan yang menunjukkan adanya pertalian diantara dua hal yang dibicarakan seperti a.l. metonomia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponym, epitet serta gaya bahasa perulangan yakni gaya bahasa yang mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata, frasa, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai seperti a.l aliterasi, asonansi, antanaklasis.5 6 C. Komunikator dan Pesan dalam Komunikasi Politik Dan D. Nimmo (1989) dalam bukunya, Political Communi cation and Public Opinion in America , memberi pengertian komunikasi politik dengan lebih dahulu menguraikan apa arti dan apa arti politik. Menurutnya hakikat politik adalah komunikasi (baca: mempengaruhi orang lain) dan komunikasi politik merupakan bidang kajian ilmu lintas disiplin. Dia mendefinisikannya sebagai, “ Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under condition of conflict ”. Artinya aktivitas komunikasi yang memiliki pengaruh politik baik secara potensial atau aktual untuk mengendalikan mereka yang berada dalam keadaan konflik. 57 Berdasarkan teori komunikasi Lasswell yang monumental ‘who says what, to whom, in which channel, whith what effect’ dalam bukunya The Structure and Functions of Communication in Society.58 Pada gilirannya teori ini dikembangkannya dengan menulis buku pada tahun 1958 berjudul Politics: Who Gets What, When, How, dia mendefinisikan secara lebih khusus komunikator politik sebagai mereka yang menjadi pemimpin dalam proses opini, seperti politisi 56 57 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik , 147 -153. Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 13- 21. 58 Harold D. Lasswell, Communication in a Divided World: Opportunities and Constrain (London, International Institute of Communications, the Loius G. Cowan Lecture, 1977 ), 5. Lihat juga Lely Arrianie, Sandiwara di Senayan Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI, dalam Deddy Mulyana dan Solatun , ed. Metode Penelitian Komunikasi (Bandung, Rosda, 2007) , 28. 49 Bahasa Politik Nurcholish Madjid baik ideolog maupun wakil partisan, komunikator professional dan aktivis. 59 Nimmo menguraikan bahwa komunikator politik menyampaikan pesannya sebagai pembicaraan politik bertujuan memberikan informasi dan meyakinkan khalayak, maka untuk memahami pesan politik perlu dilihat gejala linguistik bahasa dan simbol politik serta penggunaan bahasa untuk persuasi politik dalam wujud propaganda, periklanan maupun retorika. 60 Pada penjelasan tentang pesan politik, Nimmo membahas bagaimana komunikator politik (politisi, profesional dan aktivis) menggunakan bahasa dan simbol, baik untuk memberikan informasi atau untuk meyakinkan khalayak. Dalam hal ini dia membahas juga tentang persuasi politik sebagai rethorika. Berkaitan dengan posisi penting komunikator dalam menentukan pesan politik, menurut Nimmo ketika komunikator politik sebagai politikus dalam pelaksanaannya terkadang bertindak sebagai wakil partisan dan terkadang pula bertindak sebagai ideolog.61 Sebagai wakil partisan, komunikator politik mewakili kelompok tertentu dalam tawar-menawar dan mencari kompromi pada masalah masalah politik Mereka bertindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang lain, mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini. Mereka adalah makelar yang membujuk orang lain agar ikut dan setuju dengan ide yang ditawarkannya seperti yang lazim dilakukan oleh para elite politik partai, para anggota DPR, atau para menteri yang ditugasi khusus oleh presiden untuk melakukan berbagai lobi dan komunikasi politik dengan kelompok atau partai politik lain. Sementara komunikator politik sebagai ideolog, mereka berusaha memengaruhi opini publik dengan mengendalikan situasi agar menguntungkan pihaknya, dan juga dengan menetapkan dan 59 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 13- 60 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 16. Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 30- 21. 61 32. 50 Suhaimi meyakinkan orang ke satu cara berpikir tertentu. Mereka adalah pesilat lidah yang menawarkan gagasan yang lebih baik. Dengan demikian, wujud politikus sebagai komunikator politik sekaligus sebagai wakil partisan dan ideolog hanya berbeda pada derajatnya, bukan pada jenisnya. Yang termasuk ke dalam komunikator politik tipe ini adalah setiap calon atau pemegang jabatan politik, baik yang dipilih, diangkat, ditunjuk, maupun pejabat karir tanpa mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Komunikator profesional menggunakan keterampilan yang khusus dalam mengolah simbol-simbol dan memanfaatkan ketrampilannya untuk menempa mata rantai yang menghubungkan pihak-pihak yang berbeda atau kelompok-kelompok yang dibedakan. Menurut James Carey, seperti dikutip oleh Nimmo, mereka adalah makelar simbol yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Mereka menghubungkan para pemimpin yang satu dengan pemimpin lainnya sekaligus para pengikutnya.62 Mereka terdiri dua kelompok, yaitu para jurnalis dan para promotor. Aktivis sebagai komunikator politik terdiri atas dua k mpok. Kelompok pertama adalah juru bicara yang menggunakan jaringan organisasi, sedangkan kelompok kedua adalah pemuka pendapat (opinion leader) yang menggunakan jaringan interpersonal. 63 Juru bicara ini biasanya tidak bercita-cita untuk memegang jabatan tertentu di pemerintahan. Mereka bukanlah aktivis politik profesional dalam komunikasi politik, melainkan karena mereka terlibat dalam politik maupun dalam komunikasi, maka dapat disebut aktivis politik semiprofesional. Tugas juru bicara ini mirip dengan jurnalis, yaitu melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Sedangkan jaringan interpersonal mencakup komunikator politik utama seperti para pemuka pendapat, yaitu orang 62 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 33. Fathurin Zen, NU Politik?: Analisis Wacana Media (Yogyakarta, LKiS, Cetakan Pertama, Maret 2004), 68. 63 51 Bahasa Politik Nurcholish Madjid yang dimintai petunjuk dan informasinya sebelum suatu persoalan diputuskan. Sehingga, setiap keputusan yang diambil banyak dipengaruhi oleh pemuka pendapat tersebut. Mereka meyakinkan orang lain pada cara berpikir tertentu.64 Sementara itu sehubungan dengan umat Islam dan politik di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua pemikiran politik Islam. Pertama sebagian umat Islam yang percaya ajaran Islam itu komprehensif dan sempurna meliputi tiga “D” (di>n, agama; dunya>, dunia; dan dawlah, negara). Kedua beberapa kalangan muslim lain berpendapat bahwa Islam “tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara (atau sistem politik) harus dijalankan oleh umat Islam.65 Kelompok pertama beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara dan Syari >a‘h sebagai konstitusinya karena kedaulatan politik ada di tangan Tuhan, meskipun mereka mengakui prinsip syu@ra@ (musyawarah), tapi aplikasinya berbeda dengan demokrasi. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa “tidak ditemukan istilah d awlah dalam arti sebagai negara dalam al-Qur’an, isi al-Qur’an jelas mengandung nilai-nilai dan ajaran -ajaran yang bersifat etis…. mengenai aktivitas sosial dan politik umat Islam yang mencakup prinsip -prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.”66 Tapi “al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu politik.” 6 7 Pada perkembangannya 64 Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media , 69. Lihat uraian komprehensif tentang hal ini dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta, Paramadina bekerjasama dengan LSI dan Prenada Media Group, Cetakan II yang diperluas, Juni 2009), 9-11. 66 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta, LP3ES, Cetakan Pertama, Pebruari, 1999), 15. 67 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 14. Secara terurai Bahtiar Effendy menjelaskan tinjauan teoritis Islam politik di Indonesia dari bermacam-macam pendekatan a.l. C.A.O. Nieuwenhuije (1958) meneliti politik Islam Indonesia dengan Pendekatan Dekonfessionalisasi Islam. Dia mengatakan seperti halnya jenis dekonfessionalisasi di Belanda, Islam di Indonesia rela melepaskan sikap formal untuk memperluas penerimaan semua kelompok berkepentingan tanpa harus 65 52 Suhaimi kemudian, setelah rezim Orde Baru tumbang, setidaknya tiga berubah keyakinan, Misalnya ketika umat Islam menerima Pancasila. Lain halnya Harry J. Benda dengan Pendekatan Domestifikasi Islamnya meneliti politik Islam Indonesia abad ke-16 sampai abad ke-18, menurutnya kekuasaan politik Islam di Indonesia terdomestifikasi seperti terlihat dalam penolakan ide negara Islam, pembubaran Masyumi, serta pemapanan ideologi Pancasila dalam politik Indonesia kontemporer. Pendekatan Skismatis dan Aliran oleh Robert R. Jay dan Clifford Geertz yang berusaha menjawab pertanyaan: Mengapa perebutan kekuasaan antar Islam dan Jawaisme terjadi? Berdasarkan penelitian historis dan penafsiran antropologis yang luas, Robert Jay menyimpulkan sesuai sejarah Islamisasi di tanah Jawa terdapat dua model keberislaman yaitu muslim “ortodoks’ (santri) dan muslim “sinkritisme” (abangan). Kecendrungan skismatis keduan a kemudian berkembang ke bidang non-agama, seperti politik dengan terjadinya permusuhan antara negaranegara pesisir di bawah kerajaan Demak dan negara sinkritisme Mataram sepanjang abad ke-16. Hal itu juga terjadi dalam konteks sejarah politik Indonesia modern seperti antara lain terjadi pada periode pascakolonial pada perdebatan-perdebatan ideologis dan konstitusional yang menyebabkan pengelompokan muslim nasionalis sekuler dan muslim ortodoks pada 1940 -an dan 1950 -an dan tampak pada hasil pemilu di Indonesia tahun 1955. Hal itu juga dijadikan contoh oleh Clifford Geertz (1959) yang mengembangkan konsep aliran dalam tiga varian sosio -kultural yang terkenal: abangan (pandangan dunia dan etos yang sinkritis terlihat pada mayoritas nduduk yang petani), santri (Islam terlihat pada pedagang) serta priyayi (bercorak kehinduan tampak pada unsur birokrasi). Menurut Geertz pada pemilu tahun 1950 -an kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik mereka ke partai-partai politik Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi, sedangkan abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengn partai “nasionlis” Partai Nasionalis Indonesia (PNI) atau Partai Komunis Indonesia (PKI). Donald K. Emmerson menggunakan Pendekatan Kultural dalam meneliti setelah masa kekalahan politis umat Islam pada sedikitnya lima bidang: konstitusi, fisik, pemilu, birokrasi dan simbol, maka umat Islam Indonesia mengerahkan kembali energi mereka dalam rangka mengembangkan sisi non-politis dari agama mereka. Kecenderungan diskursus Islam Indonesia sepanjang 1980 -an menegaskan dimensi kulturalnya, maka pada gilirannya jika Islam kultural berkembang semakin pesat dan semakin berpengaruh, pertanyaanya kemudian menurut Emmerson: “Siapa sesungguhnya yang mengkooptasi (mempengaruhi atau menguasai) siapa? Allan Samson, B.J. Boland dan Howard Federspiel menggunakan Pendekatan Trikotomi untuk meneliti politik Islam modern. Samson mencatat bahwa pandangan partai-partai Islam mengenai politik, kekuasaan dan ideologi tidak tunggal, menurutnya muncul orientasi fundamentlis, reformis dan akomodasionis. 53 Bahasa Politik Nurcholish Madjid model gerakan Islam: Pertama gerakan pro syariat yang menegakkan syariat Islam dengan menyerukan kembali ke iagam Jakarta, kedua gerakan Islam moderat yang menolak tegas berbagai upaya untuk kembali ke Piagam Jakarta dan ketiga gerakan dakwah sufistik yang dipimpin tokoh -tokoh seperti KH Abdullah Gymnastiar dan M. Arifin Ilham yang tidak memiliki agenda perjuangan politik. 68 Gerakan pro syariat dipelopori oleh ormas-ormas Islam seperti Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir (HT), Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah atau Laskar Jihad. Mereka pendukung fundamentalisme Islam yang membela doktrin Islam dengan menegaskan superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total dan mengharamkan istilah dan konsep demokrasi. Sedangkan gerakan Islam moderat diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta Jaringan Islam Liberal (JIL) yang secara tegas memproklamirkan diri lahir untuk melawan fundamentalisme Islam. 69 JIL yang didirikan pada Tahun 2001 oleh antara lain cendikiawan muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Sahal dll. oleh M. Syafi’i Anwar secara tegas digolongkan sebagai Progressive-Liberal Islam (PLI) berdasarkan agenda mereka untuk mengembangkan pendekatan liberal dan inklusif terhadap ajaran Islam. 7 0 Menurutnya JIL adalah kebangkitan generasi baru intelektual 68 Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia”, dalam Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 2005), 488489. 69 JIL berpusat di Jalan Utan Kayu 68H Jakarta adalah komunitas anak muda yang mengkaji ajaran Islam dengan visi keislaman ng toleran dan terbuka dan mendukung penguatan proses demokratisasi di Indonesia. Lihat Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, 2002), sampul. 70 M. Syafi’i Anwar, “The Clash of Religio Political Thought: The Contest between Radical-Conservative Islam and Progressive-Liberal Islam in Post-Soeharto Indonesia”, in T.N. Srinivasan ed. The Future of Secularism (Oxford, Oxford University Press, 2007), 210-211. 54 Suhaimi muslim yang memiliki relasi dengan generasi pembaruan pasca dekade tahun 1970-an yang dipelopori oleh almarhum NCM. Secara lebih luas sejarahwan Azyumardi Azra menelusuri akar rakan Islam progressif sebagai bagian dari empat gelombang pembaruan Islam. 7 1 Berbeda dengan Deliar Noer (1973) yang mengemukakan bahwa pembaruan Islam di Indonesia berawal pada abad ke-20, menurutnya gelombang pertama pembaruan Islam di Indonesia bermula pada abad ke-17 dengan bukti adanya jaringan ulama Indonesia dan Haramayn (Makkah dan Madinah) dan sekitarnya.72 Dilanjutkan dengan gelombang kedua pembaruan Islam di Indonesia yang ditandai dengan gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke19, kemudian gelombang ketiga pembaruan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 yaitu era berkembangnya modernisme Islam yang ditransmisikan (Azra: mewariskan dan menurunkan sesuatu sepanjang waktu) dengan kembalinya para pelajar Melayu -Indonesia dari Kairo dan tersebarluasnya buku -buku karya para pembaharu Islam seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Rida dll. yang berpusat di Kairo. Kaum modernis adalah mereka yang melakukan artikulasi dan upaya penyadaran untuk mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip -prinsip Islam dalam istilah -istilah pemikiran modern atau untuk menyatukan pemikiran dan institusi modern dengan tradisi Islam. 73 Azra menegaskan bahwa para cendikiawan muslim pendukung modernisme Islam dan berbagai macam variasinya kemudian seperti ‘neo -modernist’ dengan tokoh -tokohnya seperti Harun Nasution (1919 -1998), NCM, Munawir Sjadzali (1925-2004), Ahmad 71 Azyumardi Azra, “The Root and Nature of Progressive Islam: The Indonesian Experience”, Paper Presented at Seminar on g Progressive Islam: A Global Prespective’, Graduate School Syarif Hidayatullah State Islamic University The IAIN-McGill Social Equity Project, Jakarta, 25 -27 July 2009. 72 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta, Prenada Media, Cetakan ke-2, Edisi Revisi, 2004), 300-301. 73 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung, Mizan, Cetakan I, April 1986), 110. 55 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Syafi’i Maarif dll. 74 serta selanjutnya mereka yang disebut pendukung ‘neo -tradisionalism e’ bahkan ‘post-tradisionalism e’ kemudian generasi muda NU penerus Abdurrahman Wahid (1940-2009) yang melakukan kajian Islam “kontekstual”, “pribumi” dan “liberal” (JIL) yang terkadang melahirkan ide-ide kontroversial di tengah umat muslim Indonesia semuanya dapat digolongkan sebagai Islam progresif. 75 Kebebasan dan persamaan merupakan nilai-nilai dasar liberalisme yang bertentangan dengan chauvinisme berupa satu bentuk nasionalisme yang menolak persamaan kedudukan seluruh bangsa-bangsa di dunia. Chaim Gans mengklasifikasikan nasionalisme berbentuk chauvinisme itu sebagai nasionalisme statis yang bertentangan dengan nasionalisme kultural. 76 Para pendukung nasionalisme kultural saling berbagi persamaan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan yang sangat penting antar kelompok mereka dengan 74 Azra menandaskan dengan kritis bahwa neo -modernisme sebagai gerakan Islam lebih menekankan signifikansi warisan pemikiran Islam ketimbang modernisme itu sendiri. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme, (Jakarta, Paramadina, 1996), xi. Berdasarkan pemikiran ini pada kasus Cak Nur, Azra lebih lanjut meneliti secara seksama bahwa Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat teoritis dan eksoteris. Deng sangat bagus dan distingtif, dia bukan sekadar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam Ini dalam bidang eksoteris. Sedang dalam bidang esoteris, Cak Nur hampir tidak diragukan lagi mempunyai apresiasi yang cukup tinggi terhadap tasawuf pada umumnya….adapun pergeseran agendanya dapat ditemui pada concern intelektual Cak Nur … yang melangkah lebih jauh dengan berupaya membangun suatu peradaban Islam yang khas, yang mempunyai akar kuat pada tradisi Islam klasik;bukan hanya viable dalam era modern, tetapi juga dalam masa postmodern. Berdasarkan hal ini, neomodernisme Islam Indonesia-walaupun tidak dapat disamaratakan-telah mengalami metamorfosis menjadi neotradisionalisme. Lihat pula Azra, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia” pengantar dalam Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta, Paramadina, April 2003), xii-xiii. 75 Azyumardi Azra, “The Root and Nature of Progressive Islam: The Indonesian Experience”, 9. 76 Chaim Gans, The Limits of Nationalism (United Kingdom, Cambridge University Press, First Published, 2003), 7-8. 56 Suhaimi tujuan melestarikan nilai moral dan kebudayaan itu antar generasi.77 Di Asia Tenggara, menurut Azra, nasionalisme bukan merupakan konsep baku. Ia merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, baik dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun perubahan pada tingkat global. Paling tidak terdapat tiga fase perkembangan nasionalisme di Indonesia. Pertama fase penyerapan gagasan nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasiorganisasi, di Indonesia dapat dilihat sejak dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), dan Sarekat Islam (SI). Tahap ini disebut juga “ protonasionalisme”. Kedua fase yang sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural, nasionalisme di Indonesia saat ini bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa. Ketiga fase penekakanan nasionalisme ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industria isasi atau pembangunan, di Indonesia ditandai dengan kebangkitan pemerintah Orba di bawah pimpinan Soeharto.78 Menurut Hasan al-Banna, seperti dikutip oleh Adhyaksa Dault, terdapat beberapa nilai-nilai ideal nasionalisme yang relevan dengan doktrin Islam seperti nilai cinta tanah air, cinta kehormatan dan kebebasan, cinta kemasyarakatan dan pembebasan.7 9 C. Perspektif Interpretatif untuk Memahami Teks Perspektif atau cara pandang yang digunakan untuk menganalisis makna pesan politik NCM dalam agenda dasar 77 Chaim Gans, The Limits of Nationalism, 7. Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara , 105-112. Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa dalam pengertian antropologis dan sosiologis berarti sebagai suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa sebagai satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Sedangkan bangsa d pengertian politis adalah masyrakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Lihat Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Ciputat, Logos, Cetakan I, Februari 1999), 57-58. 79 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Global (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan I, 2005), 195 -197. 78 57 Bahasa Politik Nurcholish Madjid ‘Membangun Kembali Indonesia’ adalah perspektif interpretatif; atau dalam istilah Littlejohn adalah genre interpretive theory.80 Perspektif atau genre ini mencakup teori-teori yang berusaha menemukan makna dalam suatu tindakan dan teks. Teori-teorinya berusaha menerangkan suatu proses terjadinya suatu pemahaman, dan membuat sebuah perbedaan antara pemahaman dan eksplanasi ilmia Tujuan interpretasi bukan untuk menemukan hukum -hukum yang mengatur suatu peristiwa, tetapi berusaha membongkar cara-cara orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri. Lebih jauh Littlejohn mengemukakan, bahwa teori-teori dalam genre interpretive sangat mengagungkan subjektifisme, atau memberi tempat yang tinggi pada pengalaman individu, dan menganggap sangat penting pemahaman individu terhadap uatu peristiwa. 81 Teori-teori ini memberikan penekanan kepada bahasa sebagai pusat pengalaman, dan meyakini bahwa bahasa akan menciptakan sebuah dunia makna (a world of meaning ) dimana seseorang tinggal dan melalui mana semua pengalaman dipahami. Teori-teori dalam perspektif interpretatif cenderung menghindari penilaian yang memastikan tentang fenomena yang diartikan, interpretasi seringkali bersifat tentatif dan relatif. Dalam lingkup yang lebih kecil, penelitian tentang makna pesan politik NCM dalam agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” sebagai sebuah teks, akan dianalisis dengan memakai metode verstehen , yaitu cara mengembangkan pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia menempatkan diri melalui pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain dengan tujuan memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita -cita, dorongan dan kemauannya.82 D. An alis is Teks dalam Semiotik d an Interpretatif Dekade tahun1960 merupakan tahun perubahan besar pemikiran madzhab filsafat di Prancis dari pemikiran madzhab 80 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication (USA, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 16. 81 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , 17. 82 J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial, 49. 58 Suhaimi fenomenologi83 dan eksistensialisme kepada madzhab -strukturalisme.84 Ferdinand de Saussure (1906 -1911), tokoh filusuf yang terkenal sebagai “bapak strukturalisme”,85 mengemukakan bahwa bahasa dapat dikaji dengan teori yang mandiri, bahasa harus dimengerti sebagai suatu sistem yang disebut “ linguistique”. Bahkan Saussure berhasil mengangkat ilmu bahasa modern, khususnya fonologi, untuk menjelaskan semua model penggunaan tan dalam kehidupan manusia dengan melahirkan strukturalisme dan semiotik dengan nama “ semiology”.86 Jadi semiotik adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini Saussurre mengatakan, seperti dikutip oleh K. Bertens, bahwa: “ Language is a system of signs which express ideas. Hence it is like writing, the deaf and dumb alphabeth, symbolic rites, iquette, military signals and so on, except that it is the most important of such systems. One may therefore envisage a science which st ies the life 83 Fenomenologi berasal dari kombinasi akar kata Yunani polimorfemik ‘phainesthai’ dan ‘logos’ berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaimana adanya tanpa melakukan kategori-kategori tentang benda-benda itu. Menurut Martin Heidegger (1899-1976) hal itu maksudnya hakekat pemahaman yang terdalam adalah pemahaman realitas yang dibimbing oleh kekuatan benda untuk merealisasikan dirinya sebagai ‘das sein’ melalui bahasa. Lihat Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya (Yogyakarta, Paradigma, Cetakan ke-3, 2002) 202. 84 Strukturalisme di sini merujuk kepada pendapat Ferdinand de Saussure dalam ilmu bahasa yang mengatakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari perbedaan-perbedaan. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Prancis (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2006), 203. 85 Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya , 230. 86 Ferdinand de Saussure, “Course in General Linguistics” in Literary Theory an Anthology, Julie Rivkin and Michael Ryan, eds. (Malden, Blackwell Publishing, Secong edition, 2004), 60. Lihat juga Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Cetakan I. April 2008) 25. Menurut Hoed di sini semiotik adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia, sedang K. Bertens memakai kata semiotika yang menurut keterangannya diperkenalkan oleh C Pierce yang digunakan dengan arti yang sama dengan semiologi. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid II, Prancis, 209. 59 Bahasa Politik Nurcholish Madjid of signs in the framework of social life… We shall cal it semiology (from the Greek semeion, ‘sign’).”. 87 Saussurre meletakkan 4 konsep dasar teori strukturalisme dan semiotik seperti tertulis di bawah ini: 1) Teori sosial tentang bahasa dan tanda bahasa: signifiant signifie Bahasa adalah alat komunikasi dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang maknanya dipahami secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan. Sistem tanda bahasa dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap sistem tanda bahasa memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti “dua halaman pada selembar kertas”. Bagi Saussure tanda adalah objek fisik dengan sebuah makna, sebuah tanda terdiri atas penanda yaitu citra tanda seperti yang kita persepsi, dan petanda adalah konsep mental yang diacukan petanda.88 De Saussure sendiri menyontohkan kata arbor dalam bahasa Latin yang berarti ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni unsur citra akustik/signifiant atau penanda: arbor dan ? yakni konsep pohon/signifie atau petanda. Konsep signifiant -signifie ini dapat diterapkan pada gejala di luar bahasa.89 2) Hubungan antar tanda/Relasi sintagmatik dan paradigmatik Berdasarkan uraian di atas, maka menurut Saussure makna hadir melalui relasi antar tanda yang terbagi menjadi sintagmatik atau makna berdasarkan positioning/urutan tanda yang manifest (hadir). 90 Bahasa menggunakan tanda yang dimaknai secara konvensional. Tanda-tanda bahasa itu tersusun dalam rangkaian atau relasi “sintagmatik”, yakni rangkaian tanda yang berada dalam ruang dan waktu yang sama atau relasi in praesentia .91 87 K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid II, Prancis, 209. John Fiske, Introduction to Communication Studies (New York, Routledge, Second Edition, 1990), 44. 89 Winfried Noth, Handbook of Semiotics (Bloomington, Indiana 88 University Press, 1990), 60. 90 M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Praktek , 51-55. 91 Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya , 48. 60 Suhaimi Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia adalah urutan kalimat “Ali makan nasi” dipedomani oleh kaidah (langue) bahasa Indonesia berupa hubungan fungsi sintaksis subjek, predikat, objek. Kata-kata yang berada dalam relasi sintagmatik tersusun dalam sebuah struktur. Di samping itu dalam hubungan fungsi sintaksis pada co h kalimat Ali makan nasi, di setiap fungsi itu dapat diisi pula oleh kata tertentu sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Jadi, pada urutan satu dalam contoh itu yang diisi oleh kata Ali dapat diisi oleh kata seperti Ahmad, Ida, ia, mereka, atau kucing saya. Tapi kata -kata itu tidak dapat berada di ruang (dan waktu)yang sama. Kata-kata itu diasosiasikan secara in absentia. 92 Hubungan antara kata-kata itu berada dalam relasi asosiatif yang digolongkan karena kategori yang sejenis, biasanya disebut relasi paradigmatik. Hal yang sama berlaku juga pada urutan kata makan dan urutan kata nasi. 3) Teori tentang “ langue” dan “ parole”. Saussure membedakan tanda-tanda sebagai fenomena bahasa dalam konsep parole sebagai ujaran atau ungkapan yang diucapkan oleh seseorang, dan langue berarti aturan atau sistem kebahasaan yang bersifat abstrak dan mengatur parole. Langue pun terbagi menjadi synchrony berarti kajian tentang sistem tanda pada waktu tertentu yang terlepas dari sejarah dan diachrony berarti kajian tentang perubahan atau evolusi sistem tanda dalam perkembangan sejarah.9 3 Bahasa sebagai alat komunikasi dan sebagai gejala sosial, menurut de Saussure memiliki dua tataran yang berkaitan satu sama lain. Sebagai gejala sosial disebut langage yang terdiri juga dari dua tataran. Tataran pertama itulah langue sebagai tataran konsep dan kaidah. Sedangkan yang di bawahnya adalah tataran praktik berbahasa dalam masyarakat yang disebut parole. Tanpa menguasai langue seseorang tidak dapat ikut serta mempraktikkan langage dalam sebuah masyarakat bahasa. Jadi, langue/kaidah menguasai parole/praktik. 92 93 Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya , 49. Winfried Noth, Handbook of Semiotic, 62 -63. 61 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Studi tentang petanda dan konsep mental menurut Saussure merupakan kajian semiotik dalam dimensi semantik. 94 Menurut Charless William Morris (1901-1979) semantik adalah kajian tentang makna dari hubungan antar tanda. Di samping itu bersama semantik, ada dua dimensi semiotika lainnya yaitu syntactics berarti kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda-tanda satu sama lain (misalnya tata bahasa) dan pragmatics berarti analisis penggunaan dan akibat permainan kata. 95 Tanda memiliki nilai dengan sendirinya jika dibedakan dengan kategori tanda lainnya. Kemampuan manusia melakukan kategorisasi dikatakan oleh para ahli semiotik sebagai bersifat a priori . Saussure menekankannya sebagai ‘perbedaan’(difference) antar tanda. Perbedaan ini dilihat secara negatif, artinya: yang menjadi karakteristik tiap tanda adalah apa yang tidak dimiliki oleh tanda lain. 9 6 Claude Lévi Strauss, seorang antropolog yang mengembangkan teori bahasa Saussure, menamakan proses ‘perbe ’ itu 97 dengan oposisi biner ( binary opposition). Misalnya kaya/miskin, biadab/beradab, kultur/natur, abadi/fana, dsb. Hal ini menjadi fokus perhatian dalam analisis paradigmatik dengan berusaha mencari makna yang dihasilkan dari adanya oposisi-aposisi yang tersembunyi pada teks.9 8 Analisis paradigmatik ini berkaitan pula dengan proses signifikasi berupa makna denotasi, konotasi dan mitos.99 4 ) Bahasa yang utama adalah lisan . Menurut de Saussure bahasa tulis merupakan “turunan” dari bahasa lisan, oleh karena itu bahasa yang utama adalah bahasa lisan. Jadi, bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan yang menjadi objek kajian utama linguistik. Hal ini merupakan kritik terhadap para 94 Winfried Noth, Handbook of Semiotic, 61. Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 93. 96 M. Antonius Birowo (ed.), Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Praktek (Yogyakarta, Gitanyali, Cetakan I, Oktober 2004), 55. 97 John Fiske, Introduction to Communication Studies (London and New York, Routledge, Second Edition, 1990), 116. 98 Arthur Asa Berger, Media and Communication Reseach Methods, 46. 99 M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Praktek , 56-59. 95 62 Suhaimi peneliti bahasa yang terlalu terfokus pada bahasa tulis, padahal “tidak alamiah”. 10 0 Selain Saussure, Charless Sanders Peirce (1893-1914), seorang ahli filsafat pragmatisme berkebangsaan Amerika Serikat juga dikenal sebagai “bapak semiotik modern”. Peirce mendefinisikan tanda sebagai berikut: “ Suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda menggantikan sesuatu yaitu objeknya, tidak dalam segala hal melainkan dalam rujukannya pada sejemput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai r dari 10 1 representamen.”. Jadi menurut Peirce, tanda itu mewakili objek, baik objek langsung sebagai objek nyata bahkan objek fiktif yang merupakan aspek mental dari tanda karena kebiasaan, maupun objek dinamis berupa sifat benda-benda. Tidak ada tanda yang berfungsi secara berarti jika tidak ada yang diwakilinya. 102 Dalam hubungannya dengan objek dinamis, tanda dibedakan antara, Icon, Index dan simbol. Icon adalah tanda yang ditentukan oleh objek dinamis berdasarkan kualitas sifat internal yang dimilikinya. Kemiripan Icon mengacu secara langsung pada objek karena suatu kulaitas umum. Index mengacu pada objek karena “keseusiaan dengan fakta”. Simbol mengacu pada objek berdasarkan konvensi. 10 3 Winfried Noth menuliskan bahwa hermeneutik sesungguhnya disiplin ilmu yang menjadi pendahulu dan tetangga semiotik dalam mengkaji teks. Hermeneutik sebagai suatu ‘seni penafsiran’/‘ art of 100 Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, 47-51. Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 42. 102 Fariz Pari, “Epistimologi Semiotik Peirce Kajian dan Terapan Teori Semiotik,” (Jakarta, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994), 20 -21. 101 103 Fariz Pari, “Epistimologi Semiotik Peirce,”, 22. 63 Bahasa Politik Nurcholish Madjid interpretation’ adalah suatu ilmu pertama tentang teks yang berakar dalam sejarah Yunani Kuno seperti halnya rhetorika. 10 4 Hermeneutik digunakan untuk mengkaji makna teks di Eropa sudah lama, setidaknya sejak abad pertengahan, sedang semiotik baru lahir kemudian pada zaman modern melalui karya Ferdinand de urre. Hingga kini keduanya berkembang mengkaji makna teks. Hermeneutik melalui penafsiran yang didukung oleh “konteks sosio historis” dan semiotik didukung oleh teori pemaknaan tanda sebagai unsur budaya.105 Dalam hermeneutik pemahaman teks dilakukan secara keseluruhan sebagai suatu karya. Menurut kamus Webster, teks adalah kata -kata yang tertulis atau tercetak asli dan bentuk dari sastra (Text: the original written or printed words and form of a literary work).1 06 Jadi teks berkaitan dengan naskah -naskah tertulis, baik berupa naskah -naskah kuno, kitab agama, karya sastra ataupun yang lainnya. Pengertian secara etimologis hermeneutik berasal dari bahasa Yunani berupa kata kerja ‘hermeneuein’ berarti menafsirkan atau kata benda ‘hermeneia’ berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’. Kata ini juga mempunyai tiga makna: mengekspresikan (to express/”to say), menjelaskan (to explain ) dan menerjemahkan (to translate). Ketiga makna ini berkaitan erat dengan maknanya yang fundamental, yaitu menginterpretasikan. 1 07 Kata hermeneutik dalam mitologi Yunani merupakan derivasi dari kata Hermes, utusan Tuhan yang bertugas sebagai penghubung antara Sang Maha Dewa di langit dan para manusia di bumi. Dalam Islam pekerjaan menjadi utusan Tuhan adalah pekerjaan seorang rasul. Menurut catatan Komaruddin 104 Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 334. Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, 75. 106 Webster’s New Collegiate Dictionary, (New York, Prentice Hall Press, 1977), 1206. Bandingkan dengan pendapat Jacques Derrida (1930 -…), salah seorang filsuf pendukung postmodernisme, yang mengatakan bahwa kata teks diambil dari kata Latin ‘tegere’ berarti ‘menenun’ dari sini teks diartikan sebagai objek hermeneutik dalam arti jaringan tanda. Lihat Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya , 253. 107 Richard E. Palmer, Hermeneutics (USA, Northwestern University Press, 1988), 13. 105 64 Suhaimi Hidayat, sebagian ulama dan mufassir berpendapat bahwa Hermes adalah Nabi Idris yang dalam legenda pesantren dikatakan memiliki pekerjaan sebagai tukang tenun atau tukang memintal. Kata sinonim “memintal” dalam bahasa Latin adalah ‘tegere’ dan produknya adalah disebut textus atau text. 108 Berdasarkan uraian tertulis di atas hermeneutik dapat disimpulkan sebagai ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks. Aristoteles (384 SM- 322 SM) filsuf jenius Yunani Kuno sudah membahas tentang kata-kata dalam ucapan dan tulisan dalam bukunya Peri Hermeneias bahwa, kata-kata yang diucapkan oleh manusia adalah simbol dari pengalaman mentalnya dan kata-kata yang ditulisnya adalah simbol dari kata -kata yang diucapkannya.1 09 Pangkal tolak hermeneutik, menurut Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) adalah bagaimana semua ungkapan lisan atau tulisan de facto dapat dipahami dan pemahaman sesungguhnya tidak lain adalah mengalami kembali proses kejiwaan pencipta teks. 11 0 Sebagaimana ujaran atau ucapan yang diucapkan oleh seseorang bahwa ketika dia berbicara dengan orang lain yang mendengarkan pembicaan, ada sesuatu yang dibicarakan dan mempunyai tujuan tertentu, yang dapat dipahami oleh pendengar. Hal itu berlaku pula pada naskah yang ditulis dengan tujuan tertentu oleh penulisnya dan tulisan tersebut juga ditujukan kepada manusia lain, baik seseorang ataupun masyarakat. Jadi terdapat target pembaca yang dituju oleh penulis, seperti anak-anak, remaja, orang dewasa, atau peminat masalah -masalah tertentu. Target pembaca ini akan menentukan tema, struktur, bahasa dan gaya bahasa yang dibuat. Dalam hal ini teks ditempatkan dalam situasi dialogis, yaitu sebagai 108 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta, Penerbit Paramadina, Cetakan I, Oktober 1996), 13. Di antara ulama tersebut adalah Hossein Nasr, Abu > al-Wafa> al-Muba>syir ibn Fa>tik, Abdurrahman Darwi dan Abu > Dawud Sulaima>n ibn Hasan al-Andalu >si. 109 E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta, Kanisius, Cetakan ke-5, Edisi Revisi, 1999), 24. 110 W. Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung, Pustaka Setia, Cetakan Pertama, Mei 2004), 23-25. 65 Bahasa Politik Nurcholish Madjid sarana dialog antara dua pihak, seperti halnya penggunaan bahasa lisan dalam dialog pembicaraan antara dua orang, ada yang berbicara dan ada yang mendengarkan, ada yang menulis (berbicara) dan ada yang membaca (mendengarkan). 111 Dem ikian juga halnya den gan teks . Teks memb icarakan sesuatu yang mengacu pada dunia penulis saat itu. Namun yang membedakan antara teks dengan bahasa lisan adalah, pemahaman dialo g dalam bahasa lis an terhadap dunia yang d ib icarakan (konteks pembicaraan) terjad i seketika, sedangkan pemahaman terhadap dunia (konteks ) yang d ib icarakan dalam teks mengalam i penundaan. Teks berkaitan dengan bahasa. Isi teks adalah bahasa, karena teks adalah ujaran kata-kata lisan yang dituliskan (ditetapkan dalam bentuk tulisan). Oleh karena itu untuk memahami teks, seseorang perlu menguasai dan memahami bahasa yang d igun akan d alam teks ters ebut serta men guas ai gram atika b ahasa ters ebut.1 12 Penguasaan bahasa dan gramatika diperlukan untuk menemukan makna dari tulisan yang ada di dalam teks. Namun pengetahuan bahasa dan gramatikanya saja belum mencukupi untuk memahami teks tersebut, karena bahasa bersifat polisemi atau mempunyai banyak makna. Paling tidak terdapat dua makna dalam setiap ungkapan bahasa (satuan terkecil dari satu ungkapan bahasa adalah satu kalimat). Pertama adalah makna tekstual atau harfiah dan kedua adalah makna inti atau hakiki atau makna batin. 1 13 Makna satu kata yang berd iri send iri dapat berbeda maknanya apabila dirangkai dalam satu kalimat. Satu ka imat 111 W. Poespoprodjo, Interpretasi (Bandung, CV. Remadja Karya, Cetakan ke-1, 1987), 43-44. Lihat juga Pariz Pari, “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan Terha Kebudayaan shalat dan Makam sunan Rohmat Garut,” (Disertasi Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), 102. 112 Lihat Jose Bleicher, Hermeneutika Kontemporer Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik , terjemahan Imam Khoiri (Yogyakarta, Cetakan ketiga, Pebruari 2007), 10-11. 113 Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 335. 66 Suhaimi yang berdiri sendiri dapat berbeda maknanya apabila kalimat tersebut terangkai dalarn satu alinea. Demikian juga halnya dengan makna satu alinea yang berdiri sendiri dapat berbeda maknanya apabila alinea tersebut dirangkai dengan alinea lain yang akan membentuk suatu teks. Gramatika tidak mencukupi untuk menentukan makna mana yang sebenarnya. Untuk dapat memahami dan menentukan makna yang sebenarnya dari teks tersebut perlu dipertimbangkan hubungan antara bagian dan keseluruhan. Suatu teks terdiri dari bagian -bagian yang membentuk satu kesatuan yang utuh sebagai suatu keseluruhan. Satu teks terdiri dari gabungan kata-kata yang membentuk kalimat, dan gabungan kalimat-kalimat membentuk alinea, dan gabungan alinea-alinea membentuk teks yang utuh. Jadi teks merupakan suatu totalitas keseluruhan. Dengan demikian makna teks dipahami sebagai totalitas keseluruhan dari bangunan makna bagian bagiannya, dan memahami makna bagian -bagian berdasarkan makna keseluruhannya. Hubungan antara bagian -bagian dengan keseluruhan dalam upaya memahami teks ini disebut dengan lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle). Lingkaran Hermeneutik Keseluruhan Teks Bagian Gambar 2 diadaptasi dari Tina Koch, 1995. 11 4 Operasi pemahaman yang berlangsung berdasarkan prinsip lingkaran hermeneutik seperti tertulis di atas, sejalan dengan 114 Tina Koch, “Interpretive Approaches in Nursing Reseach: The Influence of Husserl and Heidegger,” Journal of Advanced Nursing 21 , 1995. 67 Bahasa Politik Nurcholish Madjid pemikiran Schleiermacher dan Dilthey bahwa keseluruhan (teks) diartikan berdasarkan bagian -bagiannya dan sebaliknya bagianbagian itu hanya dapat ditangkap dalam kaitan dengan keseluruhan .1 15 Proses penafsiran dalam hermeneutik disebut hermeneutic circle. Orang menafsirkan suatu teks dimulai dengan cara dia memeriksanya dalam istilah-istilah pengertian umum yang mungkin teks itu miliki, dan dia memberi batasan pengertian umum itu dengan mengujinya pada teks tersebut. Demikian seterusnya proses penafsiran dapat pula dimulai dari spesifik ke umum.116 Dalam hal ini Paul Ricoeur (1913-2005) lebih jauh menyatakan bahwa teori hermeneutik terdiri dari dua tahapan: 1) Proses semiologi struktural yang diadopsi dari semiologi Saussure yang berfungsi menjelaskan; 2) Proses apropriasi yang menjadikan teks sebagai milik pembaca yang berfungsi memahami.117 Sementara itu para ahli semiotik pun belum mencapai kata sepakat tentang definisi dan kriteria teks sebagai objek penelitian mereka. Secara garis besar mereka mendefinisikan teks an dua pendekatan yakni pendekatan terks sebagai pesan budaya dan pendekatan teks sebagai pesan verbal sbb.: 1. Teks sebagai Pesan Budaya Pengertian teks secara luas merujuk kepada berbagai macam pesan dari kode apapun. Berdasarkan pengertian ini beberapa ahli semiotik meneliti berbagai macam ragam fenomena kebudayaan sebagai teks: film, penampilan tari ballet, musik dan pertunjukan sirkus bahkan berbagai upacara serimonial. Definisi te semiotik seperti ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915 -1980) sebagai bidang penelitian dengan unit analisis sbb. Tidak lagi monem atau fonem, tapi adalah bagian luas i wacana. Oleh karena itu Semiologi sebaiknya diperuntukkan bagi 115 W. Poespoprodjo, Hermeneutika, 53. Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , 211. 117 Pariz Pari, “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rohmat Garut”,. 61. 116 68 Suhaimi translinguistics, yang objek kajiannya bisa saja mitos, narrative, jurnalisme, atau pada sisi yang lain mengkaji objek-objek tentang kebudayaan, sejauh itu semua dibicarakan (melalui pers, prospektus, wawancara dan percakapan…). 118 Definisi teks sebagai pesan budaya ini, menurut Bakhtin (ahli semiotik Soviet) seperti yang dikutip oleh Todorov menjadikan teks sebagai “data primer” ilmu sosial: “Teks menjadi realitas secara langsung (realitas dalam pikiran dan ilmu pengetahuan) yang dengan pikiran dan disiplin itu dapat menjadi gambaran siapa diri mereka. Jika tidak ada teks, berarti tidak ada objek pikiran dan penelitian”. 2. Teks sebagai Pesan Verbal Pada tataran pragmatik, teks didefinisikan dengan kriteria komunikasi berupa pesan verbal dari seseorang kepada seseorang lainnya. Sebagian ahli semiotik memahami teks sebagai kata sinonim dari discourse/wacana dalam arti pesan yang diucapkan baik melalui tulisan atau pembicaraan. Dalam linguistik, Benveniste menggunakan istilah discourse untuk merujuk pesan -pesan tertulis atau lisan, Sedangkan ahli semiotika lainnya, seperti Barthes membatasi pengertian teks untuk pesan-pesan tertulis saja dan menegaskan pesan -pesan pembicaraan lisan masuk dalam wilayah pengertian discourse/wacana. Sedang Kristeva memahami teks sebagai produktivitas maksudnya adalah 1. Hubungan teks dengan bahasa sebagai tempat teks diletakkan dapat berulangkali didistribusikan (destructive-constructive). 2. Secara urutan teks terdiri dari intertextulaity: dalam beberapa ruas susunan perkataan diambil dari beberapa teks lainnya, baik dari luar maupun sebaliknya.119 Beaugrande mencatat 7 kriteria tekstualitas sbb.: surface structure/cohesion, (conceptual) coherence, in ntionality, acceptability, situationality, intertextuality, and informativity. Teks adalah suatu satuan kebahasaan yang mempunyai wujud dan isi yang harus memenuhi kriteria tekstualitas: memiliki kohesi unsur-unsurnya terdapat kaitan semantik yang ditandai secara 118 119 Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 332. Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 333. 69 Bahasa Politik Nurcholish Madjid formal), kohesi (segi isinya dapat berterima karena memenuhi logika tektual), intensionalitas (teks diproduksi dengan maksud tertentu), keberterimaan (berterima bagi pembaca), intertekstualitas (mempunyai kaitan secara semantik dengan teks lain) dan informativitas (mengandung informasi dan pesan tertentu).12 0 Roland Barthes membuat sebuah model sistematis signifikasi dua tahap (two order of significations)1 21 dalam menganalisa teks baik sebagai pesan verbal maupun sebagai pesan budaya, dia menggunakan teori signifier-signified yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi Gambar 3 Signifikasi Dua Tahap Barthes diadaptasi dari John Fiske (1990) Tahap Awal Realitas Tahap Kedua Tanda Penanda Kebudayaan Konotasi Bentuk Denotasi Petanda Isi Mitos Melalui gambar 3 tertulis di atas, Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier 120 Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, 81. Roland Barthes, “Mythologies” in Literary Theory, an Anthology, Julie Rivkin and Michael Ryan, eds. (Malden, Second edition, 2004), 81. 121 70 Suhaimi (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Konsep konotasi didasari tidak hanya oleh paham kognisi, tetapi juga oleh paham pragmatik.Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambar-kannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif, sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan metode analisis dan ka berpikir untuk mengatasi salah baca (misreading ). Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempuyai suatu dominasi.122 Di dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi yang paling kstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai 122 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), 127 -128. 71 Bahasa Politik Nurcholish Madjid dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.123 Barthes menempatkan ideologi dengan mitos, karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Sela itu, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada dan konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-petanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. 1 24 Pada analisis semiotik, teks dipahami sebagai kelompok atau kombinasi tanda dan analisis tanda-tanda di dalam kelompok atau kombinasinya disebut analisis teks (textual analysis). E. Kerangka Penelitian Berdsasarkan pada uraian teoritis di atas, penelitian yang mengkaji agenda dasar NCM ketika menyatakan diri siap dicalonkan menjadi calon presiden pada pemilu tahun 2004 dalam sepuluh platform “Membangun Kembali Indonesia” ini menggunakan model penelitian analis teks dalam Gambar 4 sebagai berikut di bawah ini: Keseluruhan Penulis Lingkungan Teks Pembaca 123 Roland Barthes, “Mythologies”, 81 -82. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 71. 124 72 Suhaimi Teks lain Bagian Gambar 4 di atas diadaptasi dari Tina Koch (1995) dan Benny Hoed (2008) Keterangan: • • • • • • • Peneliti sebagai pembaca melakukan analisis terhadap teks dengan semiotik dan hermeneutik Teks dalam penelitian ini adalah platform politik N CM “Membangun Kembali Indonesia” Bagian -bagian dari teks Keseluruhan teks Penulis teks dalam penelitian ini adalah NCM Lingkungan teks yaitu seluruh uraian tertulis dari mukaddimah sampai dengan catatan akhir buku karya NCM, Indonesia Kita . Teks-teks lain yang memiliki relasi dengan teks yang diteliti. F. Definisi Istilah dalam Penelitian Politik dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai kegiatan pemilihan aparatur negara maupun dalam arti pengelolaan kekuasaan atau pemimpin pemerintahan. Sedangkan politik Islam dalam penelitian ini diberi batasan pengertian sebagai nilai-nilai prinsip ajaran Islam tentang kehidupan sosial politik seperti keadilan, kepemimpinan dan kesamaan, syura serta perdamaian dll. Pesan politik dalam penelitian ini didefinisikan sebagai teks tertulis yang menjadi agenda dasar atau program pembangunan 73 Bahasa Politik Nurcholish Madjid kembali bangsa Indonesia yang NCM sampaikan berjudul ‘Membangun Kembali Indonesia’ ketika dia menyatakan kesiapan dirinya dicalonkan menjadi kandidat presiden RI pada Pemilu 2004. Bahasa politik di sini didefinisikan sebagai struktur teks yang berisikan bahasa yang dipergunakan oleh NCM untuk tujuan politis yaitu menyampaikan kepentingan -kepentingan pembangunan kembali bangsa Indonesia. Analisis interpretatif yang digunakan pada penelitian adalah analisis teks semiotik dan analisis hermeneutik untuk menafsirkan teks platform politik NCM “Membangun Kembali Indonesia” berdasarkan pemahaman sejumlah makna kata-katanya yang membentuk kalimat dan gabungan kalimat-kalimatnya yang menjadi alinea serta gabungan alinea-alineanya yang membentuk teks yang utuh kemudian memahami makna bagian -bagian teks berdasarkan makna keseluruhannya. Makna denotasi adalah arti tatanan pertandaan pertama atau makna apa yang tertulis dalam teks atau tertera dalam gambar secara eksplisit. Misalnya kata dukun memiliki makna denotasi sebagai orang yang mempunyai kemampuan melakukan penyembuhan secara gaib. Makna konotasi adalah arti sistem tanda kedua atau makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi tertentu. Ini terjadi ketika makna bergerak menuju subjektifitas. Mitos adalah cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memaha sesuatu. Mitos merupakan cerita yang digunakan suatu kebudayaan ntuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa atau cara dan teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman dan nilai-nilai kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau khusus. 74 Suhaimi 75 S uha im i BAB III AKTIVITAS POLITIK NURCHOLISH MADJID Penelitian teks dengan hermeneutik setidaknya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu , pertama menghadirkan kembali pikiran pengarang dalam rangka memahaminya dan melakukan pembacaan reproduksi, kedua melakukan pembacaan teks berdasarkan tujuan mencari makna-makna lain yang lebih baik atau pembacaan produktif. 1 Penelitian tentang teks platform politik NCM ketika menyatakan diri siap dicalonkan menjadi calon presiden RI pada pemilu 2004 menggunakan analisis hermeneutik reproduksi yang berupaya menghadirkan kembali pikiran NCM yang terdapat dalam teks ini, maka bab ketiga lebih lanjut akan menguraikan aktivitas politik NCM sebagai seorang komunikator politik dan nasionalisme sebagai pesan politik NCM serta respons masyarakat terhadap aktivitas politiknya. Politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana, pembagian nilai-nilai oleh yang berwenang, kekuasaan dan pemegang kekuasaan, pengaruh atau tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan dan atau memperluas tindakan lainnya.2 A . N u r c h o l is h M a d ji d S e b ag a i K o m u n i k a t o r P o li t i k “Menjelang Pemilu (2004) lalu, ke mana-mana ia tawarkan platform reformasi bagi para kandidat penyelenggara negara sebagai wujud ikhtiarnya memperbaiki bangsa. Kendati tak lolos menjadi calon presiden, Cak Nur tidak menyebarkan api kemarahan. Toh, yang ia perjuangkan memang gagasan. Bukan untuk kursi. Dan disinilah contoh praktek jiwa seorang demokrat.”. 3 Demikian diantara kesaksi1 Winfried Noth, Handbook of Semiotics (Bloomington, Indiana University Press, Second Published, 1990), 336-337. 2 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, Penerjemah Tjun Surjaman, (Bandung, Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, 1993), 8. 3 Hamid Awaludin, “Perginya Sang Guru Bangsa”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Nopember 2005), 203. 75 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id an yang Hamid Awaludin tulis dalam melepas kepergian almarhum NCM yang wafat pada hari Senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05. Menurutnya personifikasi NCM sebagai intelektual bagaikan seorang resi yang selalu turun gunung ketika masyarakat sekarat. 4 Dia adalah seorang figur yang tidak hanya kuat dan tajam dalam bidang pemikiran sebagai tokoh pembaruan Islam, tapi juga mumpuni dalam mempraktikkan gagasan -gagasannya, kecuali di bidang politik praktis yang memerlukan investasi panjang membangun jejaring politik. Hal itu pertama dia lakukan pada tahun 1977 ketika mendukung Paratai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam rangka membangun oposisi politik yang kuat yang dilakukan dalam proses demokrasi politik dan kedua pada tahun 2003 ketika dia ikut mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilu 2004. 5 Sosok NCM sebagai tokoh pembaruan Islam paling berpengaruh pada dekade 1970-1980 -an itu, tidak terlepas dari faktor latar belakang ayahnya dan pendidikannya.6 Keluarga dan orangorang yang paling dekat dalam pembentukan konsep diri seperti halnya sosok ayah bagi NCM, oleh George Herbert Mead disebut sebagai significant others. Kemudian ketika seseorang tumbuh dewasa, dia berusaha menghimpun penilaian semua orang ng dirinya baik dari keluarga, tetangga, guru dan sahabatnya, mereka disebut generalized others.7 Teori Mead ini sesuai dengan pernyataan NCM saat Harian Kompas bertanya tentang apa yang paling 4 Muhammad Wahyuni Nafis, “Cak Nur: Sebuah Keyakinan aka Islam yang Mampu Memberikan Jalan Keluar Sebuah pengantar” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa , 2. 5 Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke Apresiasi”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari-Juni 2010, 60. 6 Greg Fealy and Virginia Hooker, ed. Voices of Islam in Southeast Asia Acontemporary Source Book , Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, First Edition, 2006, 220. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik NCM dan M. Amien Rais (Jakarta, Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan, Cetakan I, 2005), 68. 7 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, 1994), 101 -103. 76 S uha im i mempengaruhi sikap beragamanya tanggal 3 Nopember 1985, jawabannya adalah “Pengalaman. Yang paling mempengaruhi adalah ayah saya….”.8 NCM dilahirkan di Mojoanyar, Jombang Selatan, Jawa Timur pada tanggal 17 Maret 1939 M bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 Dia dibesarkan di lingkungan keluarga k i terpandang. Ayahnya bernama KH Abdul Madjid adalah murid dari KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang sampai saat ini menjadi organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, sedang ibunya bernama Nyai Fathanah,9 famili KH Abdullah Sadjad dari Kediri. Pada usia 6 tahun, NCM pertama kali belajar agama dengan menjadi murid ibu dan ayahnya yang mendirikan Madrasah AlWat }aniyyah tahun 1948 di Mojoanyar, Jombang. Dia belajar agama di madrasah itu pada sore hari dan pada pagi harinya mengikuti pelajaran di Sekolah Rakyat (SR) Bareng IV, Jombang sa tahun 1952. Dengan demikian dia mempelajari ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum dalam satu hari dari lembaga pendidikan dasar yang berbeda. Setelah tamat SR Bareng IV, NCM melanjutkan pendidikan ke Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang pada tahun 1953, saat usianya 14 tahun. Pada tahun 1955, NCM dipindahkan oleh ayahnya ke Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, berjarak sekitar 120 km dari Jombang. Dia berusia 16 tahun ketika resmi menjadi santri Kulliya>t al-Mu a>llimi>n al-Isla>miyyah (KMI), Gontor, suatu lembaga pendidikan guru agama yang bertujuan melahirkan kader pemimpin ummat Islam yang memiliki jiwa kemasyarakatan, keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah isla>miyyah 8 Nurcholish Madjid, “Negara Islam: Produk Isu Modern” d Edy A. Effendi, ed. Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1998), 161. 9 Muhammad Wahyu ni Nafis, “Sarapan Pagi Bersama Cak Nur” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa , 64. 77 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id dan kemandirian atau self help yakni sanggup menolong diri sendiri. Di Pondok Modern Darussalam Gontor inilah, kemampuan NCM menelaah kitab-kitab kuning atau klasik berbahasa Arab dan kemampuan membaca buku-buku berbahasa Inggris dalam bidang ilmu pengetahuan modern semakin berkembang.10 NCM belajar di Gontor sampai tahun 1960 dan setelah lulus KMI dia mengajar di sana selama satu tahun hingga tahun 1961, kemudian berbekal selembar surat keterangan dari kiainya dan bantuan dari salah seorang alumni Gontor, dia diterima sebagai mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1961. Tahun 1968, NCM berhasil menjadi sarjana Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Pemikiran Islam dengan menulis skripsi berjudul “Al-Qura>n A‘rabiyyun Lug}{at an wa-A‘ lamiyyun M a‘nan.” Selama menjadi mahasiswa, dia aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan ikut serta memperjuangkan pembentukan HMI Cabang Ciputat. Dia mengikuti jenjang organisasi itu dengan penuh semangat sejak dari tingkat komisariat, tingkat dan dia sempat menjadi Ketua IV HMI Badko Jawa Barat, bahkan kemudian dia memperoleh kepercayaan menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI untuk dua periode, 1966 -1969 dan 1969 -1971. Menurut Greg Barton pendidikan NCM pada Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Pemikiran Islam, Fakultas Adab di IAI Syarif Hidayatullah Jakarta dan lingkungan diskusi dengan mahasiswamahasiswa dari perguruan tinggi umum di dalam organisasi HMIlah yang berpengaruh baik secara formil maupun nonformil menambah wawasannya tentang peradaban Barat modern dan Islam.11 Selama lebih dari 35 tahun setelah NCM berhasil menjadi sarjana Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan 10 Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais (Jakarta, Teraju, Cetakan I. Pebruari 2005), 73. 11 Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intelectual ‘Ulama’: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo -modernist Thought,” Studia Islamika , Volume 4, Number 1, 1997, 48. 78 S uha im i Bahasa Arab dan Sejarah Pemikiran Islam pada tahun 1968, dia telah menulis tidak kurang dari 50 buah buku, subjek utamanya adalah kajian keislaman, kemoderenan dan keindonesiaan. Melalui media tulisan ini, NCM memberikan kontribusinya dalam pengembangan gagasan politik yang menjadi peristiwa diskursif di tanah air dan mendapat respons yang besar dari masyarakat Indonesia, mulai dari slogan “Islam Yes, Partai Islam No ?”, demokrasi sampai dengan gagasan tentang perlunya oposisi politik yang dilontarkannya tahun 1977. 1 2 Selain melalui dunia pendidikan, dengan publikasi media tulisan inilah NCM mengimplementasikan dan mendesiminasikan gagasan-gagasan pembaruan Islamnya. Pada Tahun 1968, kaum muda dalam gerakan Islam sibuk membahas masalah modernisasi, NCM ketika itu telah ter ibat secara aktif memberi “jawaban Islam” terhadap masalah ini, antara lain dengan menulis artikel panjang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”. 1 3 Dia menolak sekularisme dan menyimpulkan bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Modernisasi bukan westernisasi, sebab westernisme sebagai suatu total way of life terdapat didalamnya sekularisme sebagai faktor paling menonjol.14 Pada tulisannya ini pula dia menandaskan arti penting etika agama Islam sebagai landasan peradaban dengan mengutip Menteri Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan Amerika Serikat, John W. Gardner yang menyatakan bahwa “di balik tiap -tiap perubahan besar dan di balik semua kekuatan persenjataan yang lengkap dan kemakmuran, adalah sesuatu yang sangat kuat, tersimpan gagasan -gagasan besar, sistem-sistem 12 Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke Apresi- asi”, 60. 13 M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung, Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998), 17. 14 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung, Mizan, Cetakan XI, Nopember, 1998), 187. Menurut catatan Dawam Rahardjo dalam memberi kata pengantar buku ini, artikel ini dan rumusan NDP HMI membuat orang menilai Cak Nur memiliki citra “Natsir Muda”. 79 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id pemikiran yang unggul….”. 15 Dari sini NCM melihat pentingnya hubungan antara Islam dan Pancasila sebagai dimensi peradaban. Sila pertama Pancasila bersumber dari Islam dan Islam dapat merupakan pelaksanaan Pancasila. Bagi NCM sila pertama Pancasila dan rumusan Islam tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dapat menjadi landasan moral peradaban dan kehidupan berbangsa. Sejak saat itu sebagai seorang sarjana IAIN Jakarta dengan kemampuan memahami rujukan berbagai kepustakaan berbahasa Arab dan Barat, NCM dapat dianggap sebagai contoh par excellence yang menggunakan pendekatan ilmu -ilmu sosial dalam melihat berbagai peristiwa sosial-keagamaan dan politik umat Islam Indonesia yang tidak saja bersifat normatif, tapi juga bersifat historis sosiologis. Hal ini seperti ditunjukkan dalam berbagai tulisannya mengenai 1) prinsipprinsip Islamisme; 2) modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi; dan 3) keharusan pembaruan Islam.1 6 Berdasarkan tulisan-tulisannya tentang modernisasi pemikiran Islam di Indonesia itu, NCM menjadi ikon pembaruan Islam di Indonesia.Teori modernisasi yang sangat populer pada dekade tahun 1950 -an dan 1960-an berasumsi bahwa negara-negara yang sedang membangun akan banyak mengikuti jalan yang sama seperti negara-negara yang telah maju.17 Di Indonesia program modernisasi dijadikan strategi penggerak utama oleh Orba di bawah pemerintah Soeharto sejak tahun 1966 hingga tahun1998. Saat itu teori modernisasi disosialisasikan di kalangan intelektual, akademisi, budayawan, wartawan dan mahasiswa dan para eksponen Orba, terutama di Jakarta dan Bandung seiring dengan kembalinya beberapa intelektual bergela doktor yang 15 Nurcholish Madjid, “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”, dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , 177. 16 Bahtiar Effendy, Agama Publik dan Privat Pengalaman Islam Indonesia (Jakarta, UIN Press, Cetakan I, Juni 2009), 5. 17 David B. Brinkerhoff and Lynn K. White, Essentials of Sociology (USA, West Publishing Company, 1989), 340. 80 S uha im i seba-gian besar diperoleh dari universitas Amerika berorientasi pada pembaruan.18 Pada saat menjadi Ketua Umum PB HMI, NCM tercatat sebagai pemimpin yang sukses menanamkan nilai-nilai idealisme Islam dalam pembangunan organisasi yang dipimpinnya dengan merumuskan garis besar ideologi HMI dikenal sebagai Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada Kongres Nasional HMI di Ma Jawa Timur tahun 1969 yang membahas tentang platform organisasi yang meliputi masalah keyakinan, prinsip -prinsip dasar kemanusiaan, kebebasan manusia dan tanggungja-wab universal, keadilan sosial dan ekonomi, dan hubungan antara kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.1 9 Dalam hal ini Fachry Ali menyatakan bahwa melalui rumusan materi NDP HMI dan ceramah -ceramahnya tentang Islam dan modernisasi dalam berbagai acara latihan kader HMI, NCM telah berhasil menanamkan benih -benih gerakan intelektual di Indo nesia dalam jangka panjang.20 Hal ini pada gilirannya menjadikan NCM memperoleh penerimaan luas di kalangan umat Islam dan mendapatkan julukan sebagai “Natsir Muda”. Bahkan NCM juga dipercaya menjadi ketua Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) dari tahun 1967 hingga tahun 1969 dan dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1971 menjadi Wakil Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Student Organizat ns (IIFSO). 18 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Desember 1995), 22. 19 Lihat Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, “Nilai-nilai Identitas Kader,” (Jakarta, PB HMI, 1986), 4. 20 Sebagai contoh Fachry Ali dan kawan-kawan telah bertekad menggalang semacam “gerakan Nurcholish Madjid” secara kolektif untuk melanjutkan gerakan intelektual Islam yang dirintis oleh NCM dalam bentuk endirikan semacam intellectual community di lingkungan IAIN Ciputat berupa kelompok-kelompok studi mahasiswa yang sejak tahun 1974 sampai saat ini berkembang. Lebih jauh tentang hal ini lihat Fachry Ali, Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya Butir-butir Catatan untuk Nurcholish Madjid, dalam kata pengantar, Nurcolish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1998), xiii-lvii. 81 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id Pada tahun 1969, NCM melangsungkan pernikahannya dengan Omi Komariah di Madiun, Jawa Timur. Kesempatan ini diabadikan dalam foto bersama dengan Malik Fadjar, Nazar E. Nasution, Djamil Gozali, Thohir D. Asmadi dan Marwan Saridjo.21 Menurut kesaksian istrinya, Omi Komariah kepada Edy A. Effendi, biduk rumah tangganya bersama NCM sangat bahagia. Mereka dikarunia dua anak: Nadia Madjid dan Ahmad Mikail. Omi Komariah menjelaskan “Sebenar-nya sesudah Nadia ada lagi, tapi di tengah masa hamil, saya keguguran.”. 2 2 Satu kesempatan NCM bercerita kepada Budhy MunawarRachman, Direktur Pusat Studi Islam Yayasan Paramadina selama 12 tahun, bahwa: “Tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar penting dalam kehidupan pribadi saya. Itu karena pada l tahun itulah saya melontarkan pemikiran tentang pembaruan pemikiran Islam yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kehebohan.”.2 3 Peristiwa itu tepatnya bermula dari materi ceramahnya ng antara lain menganjurkan “sekularisasi” dalam makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” l3 Januari 1970. 2 4 “Islam Yes, Partai Islam, No ?,” merupakan salah satu seruannya tentang pembaruan Islam di Indonesia pada tahun 1970.2 5 21 Marwan Saridjo, Nurcholish Madjid: Diantara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab (Jakarta, Penamadani Cetakan I, Juni 2005), 45. 22 Edy A. Effendi, “Menelusuri Pikiran Plural Cak Nur”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa , 116. 23 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, dalam Abdul Halim ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, Cetakan I, Oktober, 2006), 113. 24 M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , 18 -19. Lihat juga Budhy Munawar Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia,” dalam Abdul Halim, ed. Menembus Batas, 152. 25 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung, Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998), 204-208. Setelah 20 tahun berlalu, NCM mengemukakan slogan “Islam Yes, Partai Islam, NO?”, dua orang futurolog, Jo hn Naisbitt dan Patricia Aburdene menyatakan slogan yang dikemukakan oleh NCM berbunyi “Spirituality; Yes; Organized Religion, No”. Dalam hal ini NCM 82 S uha im i Dia melihat meskipun jumlah pemeluk Islam di Indonesia bah, tapi umat Islam telah kehilangan semangat berijtihad karena tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai transendental dan temporal sehingga tidak kreatif, seperti partai-partai atau organisasi-organisasi Islam yang tidak menarik bagi umat Islam sendiri. Seruan tersebut dinamakannya sebagai sekularisasi dalam arti desakralisasi, menurutnya sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis, tapi diartikan sebagai menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan meng-ukrawikan -nya.26 Sekularisme diartikan olehnya sebagai sistem pemikiran atau pandangan dunia ateis yang mengatakan dirinya mustahil menerima kebenaran sembo ya itu dan mengalami kesulitan besar karenanya. Lihat Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Edy A. Effendy, ed. Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung, Zaman, Cetakan I, Juli 1999), 1617. 26 Sekularisasi diambil dari kata bahasa Inggris secular yang berasal dari bahasa Latin saeculum berarti zaman atau waktu sekarang yakni “dunia” yang dibedakan dengan kata lainnya dalam bahasa Latin mundus atau dalam bahasa Inggris mundane berarti sama pula yaitu “dunia”,secara spesifik perbedaan keduanya adalah kata saeculum menunjuk pada makna masa (waktu) sedang kata mundus menunjuk pada makna ruang (tempat). Pada abad pertenga n makna kata secular bersintesis dengan pemahaman bahwa dunia sebagai ruang (mundane, cosmos) adalah lebih tinggi karena bersifat agama, sedang dunia sebagai masa (secular, history) adalah lebih rendah karena bersifat secular, dunia. Berdasarkan kata secular yang merujuk pada proses waktu atau sejarah ini, sekularisasi mengandung pengertian proses berpindahnya tanggungjawab pendeta yang agamis menjadi seorang parokia yang duiawi, lalu berkembang menjadi pemisahan kekuasaan antara gereja dan negara atau antara Paus da Kaisar. Sedangkan istilah sekularisme berarti nama untuk sebuah ideologi atau pandangan hidup yang bersifat tertutup dan memiliki fungsi mirip dengan agama. Jadi sekularisasi berbeda dengan sekularisme karena sekularisme dapat saja membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan sekularisasi, sehingga sekularisme harus diawasi, diperiksa, dan dicegah agar tidak menjadi ideologi. Lihat Harvey Cox, The Secular City, Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York, the Macmillan Company, 1976), 17 -18. Lihat juga Adnin Armas, Pengaruh KristenOrientalis terhadap Islam Liberal Dialog Interaktif de an Aktivis Jaringan Islam Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, Cetakan I, 2003), 8-10. 83 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id berkembang menjadi humanism e sekuler. Sedangkan baginya sekularisasi bukan merupakan sistem kepercayaan melainkan suatu proses yang melibatkan transformasi kepercayaan dan praktik keagamaan ke dalam dua arah transformasi. 1) transformasi ke bawah cara melakukan desakralisasi atau menduniawikan segala hal yang tidak suci, namun selama ini dianggap suci; 2) transformasi ke atas dengan mensakralkan yang benar-benar sakral, transenden, suci, kekal, dan mutlak yakni Tuhan.27 Berdasarkan pengamatan terhadap dunia perpolitikan Indonesia pasca penjajahan Belanda sampai dengan masa awal pemerintahan Orba, NCM bersama beberapa koleganya di HMI seperti M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib menilai bahwa para politisi Muslim mengalami problem besar dan sulit dalam mensintesiskan landasan teologis atau filosofis mereka dengan realitas sosio -kultural dan politik yang ada, khususnya berkenaan dengan formulasi hubungan antara Islam dan negara yang dapat diterima secara nasional. Karena itu mereka melihat bahwa jantung persoalannya terletak pada corak ekspresi teologis yang lazim dikembangkan para pemikir dan aktivis politik Islam yang terlalu formalistik, legalistik dan berorientasi skripturalistik, menurut mereka rumusan teologis semacam ini harus diubah agar lebih fleksibel dan adaptif. 2 8 Dan menurut NCM hal itu tidak bisa tidak, harus dimulai dari penumbuhan sikap liberal dalam menafsirkan ajaran -ajaran Islam. Proses liberalisasi ini menyangkut proses-proses sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress (gagasan untuk maju), sikap keterbukaan dan lain sebagainya. “Gerakan Pembaruan Pemikiran Keagamaan” yang digagas oleh NCM pada tahun 1970-an dinilai oleh para pengamat sebagai suatu gerakan Islam yang paling radikal dalam pemikiran religio politik di Indonesia hingga saat ini. Gerakan ini berupaya untuk 27 Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , 207. 28 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan II, Juni 2009), 140-143. 84 S uha im i mereformulasikan postulat doktrin Islam berkaitan dengan masalah ketuhanan, kemanusiaan, dan dunia, dan bentuk hubungan antara semua aspek itu dalam kaitannya dengan realitas politi yang baru.2 9 Pandangan NCM secara operasional bertitik tekan pada pemisahan antara Islam dan ideologi. Dia mengajak umat Islam Indonesia menilai kembali proses ideologisasi yang berlangsung sejak awa kemerdekaan sampai dengan bangkitnya Orde Baru. Baginya ideologi sangat terikat dengan ruang dan waktu dan pandangan yang menyatakan Islam sebagai ideologi bisa berakibat merendahkan agama itu menjadi setaraf dengan ideologi yang ada. 3 0 Secara khusus berkaitan dengan deideologisasi atau rasionalisasi agama sebagai pernyataan teologis, bagi NCM, mempunyai implikasi desakralisasi bahwa tidak ada sama sekali yang sakral dalam soal negara Islam, partai Islam, atau ideologi Islam. Sejalan dengan ini, hendaknya umat Islam men -sekularisasi atau medesakra-lisasi pandangan mereka mengenai masalah keduniawian. Dalam kerangka inilah ia memperkenalkan seruan “Islam Yes, Partai Islam, No?” yang kemudian tercatat menjadi kontroversial. Dia sesungguhnya ingin mendorong umat Islam untuk mengarahkan komitmen kepada nilainilai Islam, bukan kepada lembaga-lembaga Islam meskipun lembagalembaga itu berlatar belakang Islam atau bahkan berdasarkan Islam. 3 1 Misalnya ide negara Islam, bagi NCM, merupakan kecen 29 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia abad XX (Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, Juli 20 2004. 30 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung, Penerbit Mizan, Cetakan I, April 1986), 178 -179. 31 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam, 144. Dalam kaitan dengan desakralisasi, NCM beberapa kali memunculkan penerjemahan bagian pertama kalimat syahadat, la> ila>ha illa Alla>h, dengan “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) dengan memperbandingkan terjemahan kalimat syahadat pertama itu dalam bahasa Inggris seperti termaktub dalam The Holy Quran karya A. Yusuf Ali dan The Message of the Koran karya Muhammad Asad dalam menerjemahkan surat Muhammad, 19: fa’lam annahu la> ila>ha illa Alla>h … diterjemahkan dalam bahasa Inggris Know, therefore, that there is no god but God (god dengan g kecil, dan God dengan 85 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id derungan apolegetis umat Islam terhadap ideologi-ideologi modern Barat yang melahirkan apresiasi atas Islam yang bersifat ideologis politis, dan dengan demikian membawa kepada cita-cita “Negara Islam”, seperti juga ada negara demokrasi, negara sosialis, dan negara komunis dsb. Dia mengingatkan bahwa sebagai suatu apologi, pikiranpikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek. Setelah secara sementara memberikan kepuasan serta harga diri kepada umat Islam, menurutnya, pikiran -pikiran itu ternyata palsu, sehingga bagaikan b umerang yang memukul kembali umat Islam. Kritik ide “Negara Islam” ini telah menggeser paradigm a keislaman arus utama di satu pihak dan pada saat bersamaan memberi rasa aman teologis bagi kaum muslim bahwa mereka bisa menjadi muslim yang baik tanpa harus mendirikan negara Islam atau menjadi salah satu partai Islam. 32 NCM pada periode tahun 1971 sampai dengan 1974 memimpin peneribitan Mimbar Jakarta yang meskipun tidak beroplah besar tapi mempunyai pembaca yang berpengaruh dan sering mengadakan diskusi ilmiah dalam beberapa kelompok studi, seperti Yayasan Samanhudi yang menjadi tempat pertemuannya dengan Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa dan dalam beberapa kesempatan dia berdiskusi pula dengan Abdurrahman Wahid.33 Kelompok studi ini satu dekade kemudian berkembang menjadi forum diskusi mingguan yang disebut Majlis Reboan . Dari G besar), dan seperti dalam Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran yang bersifat tauhid. Dalam Undang-Undang ini artikel (2) ayat (10) kata “Allah” diartikan God. Ini dapat dilihat dalam kalimat “ As reflected … there is no god but God ”. Undang-Undang ini adalah versi resmi konstitusi Republik Islam Iran dalam bahasa Inggris. Lihat Nurcholish Madjid, “Tuhan: Antara Allah dan Dewata Raya”, dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan …, 260-267. 32 Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Pengantar Editor” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam, Negara, dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, 2005), xvi. 33 Greg Barton, “Neo -Modernism: A vital Synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia,” Studia Islamika , Volume 2, Number 3, 1995, 15. 86 S uha im i tahun 1974 sampai dengan tahun 1976 dia dipercaya menjadi Direktur Lembaga Kebajikan Samanhudi di Jakarta dan pada saat yang sama dia juga menjabat Asisten Direktur I Lembaga Studi Kemasyarakatan di Jakarta. Berbagai ide pembaruan NCM telah terbukti membangun potensi berpikir umat Islam Indonesia. Tidak berlebihan jika dia dikatakan sebagai Bapak Intelektualisme Islam Indonesia. 34 Tahun 1976 NCM menjadi peserta Indonesia pada acara Seminar Internasional dan Penelitian tentang Islam dan Perubahan Sosial di University of Chicago yang berlangsung selama tujuh bulan. Kehadirannya dalam acara tersebut menarik perhatian Leonard Binder yang kemudian menawarkannya untuk melanjutkan studi pascasarjana di University of Chicago. NCM menerima tawaran itu, tapi meminta agar dirinya diberi keluangan waktu sampai dengan tahun 1978 untuk pulang ke Indonesia dalam rangka berpartisipasi dalam lihan Umum (Pemilu) tahun 1977. 3 5 Dalam Pemilu 1977, NCM menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pemba-ngunan (PPP) karena dorongan untuk membuat keseimbangan kekuasaan antara Golongan Karya (Golkar) yang mendukung rezim Orde Baru dengan parpol. Saat itu, ia mengemu kakan teori “memompa ban kempes” dengan meminta mahasiswa agar tidak memilih Golkar dan memilih parpol, misalnya PPP atau Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Seperti sebuah becak, PPP bannya gembos sehingga sulit berjalan, dia berusaha memompa n mendorong ban PPP yang gembos itu sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan.36 Keputusannya ini dapat dibaca sebagai “oposisi lunak” 34 Anas Urbaningrum, “Nurcholish Madjid, dari Jombang untuk Indonesia,” dalam Muhammad Wahyu ni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa , 172. 35 Greg Barton, “Neo -Modernism: A vital Synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia,” 16. Pada mulanya tahun 1974 Fazlur Rahman dan Leonard Binder datang ke Indonesia untuk meminta M. Rasjidi sebagai rekanan peneliti dalam pro yek penelitian mereka yang didanai oleh Ford Foundation, tapi kemudian mereka menilai beliau sudah usia dan sebagai gantinya mereka memilih Nurcholish Madjid. 36 Idris Thaha, Demokrasi Religius , 94-95. 87 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id terhadap pemerintahan Orba yang saat itu jelas semakin kuat. Ide oposisi ini, menurut NCM, bukan orisinil darinya. Banyak intelektual yang membicarakan hal itu, karena inti demokrasi yang sehat memerlukan check and balance berupa kekuatan pemantau dan pengimbang.37 Dalam pemilu 1977, PPP meraih kemenangan untuk daerah pemilihan DKI Jakarta. Tahun 1978, NCM menginjakkan kaki kembali ke Amerika Serikat dengan beasiswa dari The Ford Foundation untuk melanjutkan studi di program pascasarjana University of Chichago dalam bidang politik bidang studi Near Eastern Languages and Civilization di bawah arahan Leonard Binder. Di University of Chichago NCM bertemu dengan Fazlur Rahman, ilmuwan Islam neomodernis berkebangsaan Pakistan, yang kemudian berhasil mengajaknya untuk berpindah melakukan penelitian dalam bidang kajian Islam, karena menurutnya saat itu dunia Islam lebih membutuhkan ilmuwan muslim modern dibandingkan ilmuwan dalam bidang politik. Ketika NCM kuliah di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat, dia terlibat perdebatan segitiga dengan M. Amien Rais dan Mohamad Roem tentang Islam dan negara. Menurutnya tidak ada ajaran yang 38 secara qath’i (jelas) memerintahkan pembentukan negara Islam. Pada tahun 1984, NCM meraih gelar doktor filsafat dengan predikat summa cum laude setelah sukses mempertahankan disertasinya berjudul “Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam.”. 39 Tahun 1985 NCM kembali ke Indonesia dan bergabung menjadi pengajar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta bersama pendahulunya Harun Nasution. Setelah kembali, dia mencoba mengaktualkan gagasan -gagasannya dengan mempergunakan perspektif neomodernisme dengan menegaskan bahwa kemoderenan bukan saja sesuai dengan ajaran Islam, tapi juga 37 Nurcholish Madjid, “Oposisi suatu Kenyataan”, dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, 1998), 6. 38 Tokoh Indonesia, “Nurcholish Madjid Berpulang Dalam Damai,” artikel diakses pada 17 Juli 2007 dari http://www.tokohindonesia.com. 39 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 76-77. 88 S uha im i memang didukung oleh sejarah dan tradisi Islam.40 Menurutnya dalam kaitan antara Islam dan peranannya membangun Indonesia modern “Islam adalah agama kemanusiaan. Karena itu, secara hakiki watak Islam bersifat inklusif. Maksudnya pikiran (sistem Islam) yang dikehendaki ialah sistem yang menguntungkan semua orang, termasuk mereka yang bukan Muslim. Artinya, kalau ada istilah “Kemenangan Islam,” maka itu adalah “Kemenangan semua golongan!”.41 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyebutkan karakteristik pokok neomeodernisme adalah sikap mengakomodasikan pemikiran modernisme dan tradisionalisme. Dalam pemikiran sosial-politik di Indonesia, neomodernisme Islam berupaya menempatkan suatu hubungan yang harmonis antara cita-cita Islam dan umatnya dengan kenyatan keamanan politik negara. 42 Itulah sebabnya ketika membicarakan hubungan Orba dan Islam, NCM menilai bahwa perkembangan sosial politik tidak bisa dilakukan dalam ukuran kemutlakan, melainkan harus dilihat dari kaitan nisbinya dengan halhal lain. Islam sebagai agama kemanusiaan yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal, maka tidak akan ada penyelesaian masalah kemanusiaan sekali untuk selamanya. Pada tahun 1986, NCM mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. NCM menyatakan bahwa Paramadina adalah satu komunitas yang bergerak di bidang intelektual secara intensif seperti halnya kelompok Islam and Modern Society di India, programnya adalah human investment dalam jangka panjang dengan harapan mewujudkan demokratisasi dalam konteks keindonesiaan.43 Kemudian 40 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, dalam Abdul Halim, (ed), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan Yang Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta, Kompas, Cetakan II, Ojktober 2006), 127. 41 Budhy Munawar Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, 128. 42 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, 177-178. 43 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1998), 310. 89 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id dalam tulisannya berjudul “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, NCM menyatakan nama “Paramadina” dipilih dengan penuh pertimbangan secara simbolik menunjukkan maksud dan tujuannya, yaitu menggali kembali dan mengembangkan pengertian yang benar tentang inti utama ajaran agama (“parama-dina”) yang diyakini sebagai ajaran hidup kemanusiaan universal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana telah disampaikan para nabi dan rasul yang telah diutus Tuhan untuk setiap umat.44 Sebagai suri teladan umat manusia, Nabi Muhammad saw telah memberi bagaimana mewujudkan semangat Ketuhanan Maha Esa yang bersambungan langsung dengan wawasan sosial keagamaan dan politik yang berjiwa paham kemajemukan (pluralis) dan yang serba meliputi (inklusif) itu dalam Masyarakat Madinah. Madinah menjadi contoh komunitas nasional modern dan menjadi tipe nasionalisme partisipatoris egaliter. 45 Pada tahun 1987 dia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sampai tahun 1992. Setelah tahun 1990 ketika istilah civil society menjadi konsep populer di Indonesia, NCM menggunakannya sebagai suatu terjemahan baru untuk masyarakat madani . Dalam hal ini, menurutnya penggunaan nama madina seperti yang ada pada nama Yayasan Paramadina juga berasal dari mad ani . Hal itu tidak terlihat sebelum Muhammad Naguib al-Attas memperkenalkan istilah masyarakat madani . Mungkin setelah al-Attas itulah, NCM pun menggunakan Madina sebagai tema pokok pidato dan 46 pembicaraannya. Jika dilihat dari pengertian konsep civil society sebagai suatu diskursus yang terdiri dari the public sphere, the state sphere, the private sphere dan the market sphere dalam rangka mengembangkan pendekatan pembangunan terhadap keamanan, 44 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari-Juni 2009, 14. 45 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 16-18. 46 Andi Faisal Bakti, “Paramadina and its Approach to Culture and Communication: an Engagement in Civil Society”, Archipel 68 Tiré Á Part, Paris, 2004, 319. 90 S uha im i komunikasi dan martabat manusia, maka Paramadina dengan NCM telah membina berbagai pendekatan baik pada wilayah the private sphere, the state sphere, the public sphere maupun the market sphere.47 47 Andi Faisal Bakti, “Paramadina and its Approach to Culture and Communication…, 320 -332. Dalam penelitiannya ini, AF Bakti mencatat bahwa Jaringan private sphere NCM terdiri dari lingkaran dekatnya seperti keluarga d teman-teman serta koleganya termasuk teman-teman seangkatannya di Pondok Modern Gontor, IAIN dan HMI. NCM berhasil membina hubungan pertemanan dengan kalangan menengah atas dan orang kaya, para birokrat dan personil militer serta Presiden Soeharto. Pada lingkungan state sphere, NCM membangun jaringan dengan para pendiri Paramadina dari angkatan 1966 yang banyak diantara mereka menjadi tehnokrat pada masa pemerintahan Soeharto. Setelah NCM pulang belajar dari Chicago tahun 1984, pada 24 Nopember 1985, dia diminta oleh pemerintah Soeharto menyampaikan pidato Maulid Nabi Muhammad saw di Istana Presiden dan menurut Utomo Dananjaya (2003) mantan Wakil Presiden RI, Sudarmono pun pernah belajar Islam di Paramadina bersama dengan puterinya. NCMlah yang menggambarkan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang kemudian digunakan oleh Presiden Soeharto. Selain itu nama-nama para birokrat seperti Alamsjah Ratuprawiranegara, Munawir Sjadzali, Emil Salim dan Ak Tanjung pun secara berkala menjadi pemberi materi di Paramadina, bahkan setelah Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri pada Desember 1990 pun mengikuti pendekatan konsep Islam kultural yang digunakan oleh Paramadina. eskipun Paramadina bersimpati terhadap kekuasaan Pemerintahan BJ Habibie ang menjadi kolega NCM di ICMI bersama dengan Adi Sasono, NCM tetap mengeritik Habibie untuk menjadi Presiden kedua kali melalui Partai Golongan Karya, demikian pula halnya simpatinya kepada Pemerintahan Abdurrahman Wahid, NCM ecara terbuka mengeritiknya pada beberapa kasus termasuk kasus Bulogate dan Bruneigate. Dan NCM pun mengeritik pemerintahan Presiden Megawati ketika dia bersama beberapa anggota kabinetnya terbang ke Bali untuk merayakan hari ulang tahun suaminya, Taufik Kiemas, pada saat krisis ekonomi. Pada wilayah the public sphere yang terdiri dari lembaga-lembaga, media massa, organisasi dan partai politik, NCM berkeyakinan seharusnya organisasi Islam berperan besar untuk memperkuat hal ini. Belajar dari pengalaman kegagalan umat Islam pada masa pemerintahan Soekarno, umat Islam sekarang seharusnya membangun lembaga-lembaga pelatihan dan pendidikan dan menjalin solidaritas antar sesama ummat Islam. Berdasarkan strategi ini, NC membina hubungan baik dengan berbagai universitas dan lembaga Islam, seperti UIN Jakarta. Dia sendiri mendirikan Universitas Islam, bernama Universitas Paramadina Mulya kemudian menjadi Universitas Paramadina tempat dirinya menjadi rektor, di sinilah idenya 91 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id Secara holistik pemikiran -pemikiran NCM sesungguhnya merupakan dialektika tiga ide dalam kesatuan yakni keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan. Kesatuan tiga ide ini memang mirip dengan judul bukunya Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987). Buku keduanya, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) lebih mempertajam, mem -perdalam dan mengukuhkannya sebagai seorang pemikir neomodernis secara utuh.48 Dalam pendekatan terhadap pelaksanaan ijtihadnya, NCM mengombinasikan keilmuan klasik Islam dengan metode analisis model Barat modern. Hal ini sesuai dengan pengalaman pendidikannya di pesantren tradisional pada masa kanak-kanak, kemudian ia bersekolah di Pondok Modern Darussalam Gontor pada tentang masyarakat madani terbina dengan baik, karena universitas memang bagian penting dari civil society sebagai bagian dari the public sphere. Selain itu ide-ide Paramadina juga dipromosikan melalui media cetak, seperti Harian Republika (Kolom Fatsoen Cak Nur), Kompas, Tabloid Tekad, Majala Mingguan Tempo, Pelita (Mimbar Paramadina). Dan bekerjasama dengan Media Indonesia menbentuk forum bernama Dialog Masyarakat Baru yang membahas masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya serta bekerjasama dengan Kompas dan LP3ES, Paramadina mendirikan forum bernama Forum Indonesia Baru untuk mahasiswa dan pemuda. Masih banyak sekali kegiatan Paramadina lainnya yang menyangkut the public sphere seperti Serambi Paramadina, Kelompok Kajian Agama (KK Sosial Paramadina (sosma) dll. Pada wilayah the market sphere Paramadina memiliki pendukung baik dari angkatan 1966 dari HMI, PII dan para aktivis Muhammadiyah yang cukupan harta, individu -individu dari kelas menengah-atas, para pengusaha sukses yang menjadi kolega dan sponsor Paramadina baik pada bidang dana atau ideologi, mereka al. Abdillah Thaha, ErryRriyana, Ahmad Ganis, Mustafa Anis. Poeji Rahardjo memberikan tempat untuk kantor Paramadina di Indah, Subagjadari Metropolitan Kencana Group bekerjasama untuk mendirikan universitas, Fahmi Idris dari Kodel dan Krama Yudha, Abdul Latief, Aburizal Bakrie dll. 48 M. Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, dalam Asep Gunawan, ed. Artikulasi Islam Kultural Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah , (Jakarta, Sri Gunting Devisi Buku -Buku Agama, PT Grafindo Persada, Cetakan I, 2004), 516 -517. 92 S uha im i masa remaja. Ketika mahasiswa, ia menjadi anggota HMI, suatu organisasi mahasiswa Islam yang independen dan relatif berafiliasi pada pola pemikiran modernis dan selanjutnya dia m elanjutkan pendidikan pascasarjananya dalam bidang filsafat Islam di Chicago, Amerika Serikat. 49 Beberapa karya kepustakaan NCM yang berkenaan juga dengan masalah Islam dan modernisasi serta pembaruan pemikiran dalam Islam di Indonesia antara lain: 1. Nurcholish Madjid . Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, Cetakan I. 2. -----------, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan dan Kemodernan . Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, Cetakan I. Karya tulis NCM lainnya banyak dalam buku kumpulan bunga rampai di dalam dan luar negeri seperti antara lain yang tertulis di bawah ini: 1. Nurcholish Madjid, The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: From a Participant’s Point of View. Gloria David, ed., Athens, Ohio University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979. 2. --------------, What is Modern Indonesian Culture? .Gloria David ed. Athens, Ohio University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979. 3. ---------------, Islam in the Contemporary World . Notre Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980. 4. ----------------, Islam in Indonesia: Chalanges and Opportunities. Cyriac K. Pullapilly ed. Notre Dame, Indiana: Cross Roads Books, 1980. 5. Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindo nesiaan . Agus Edi Santoso ed. Bandung: Mizan, Cetakan I, Juli 1988. 49 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, 176. 93 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id 6. ----------------- , Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran - pikiran Nurcholish Muda. Agus Edi Santoso, ed., Bandung:Mizan, Cetakan I, Mei 1993. 7. ----------------, Islam Agama Peradaban Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah . Budhy Munawar-Rachman ed., Jakarta : Paramadina, Cetakan I, 1993. 8. ----------------, Pintu -Pintu Menuju Tuhan . Jakarta: Paramadina, Cetakan I, 1994. 9. ----------------, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, Cetakan I, 1997. 10. ----------------, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan . Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juni 1997. 11. ----------------, Perjalanan Religius Umrah dan Haji . Jakarta : Paramadina, Cetakan I, 1997. 12. ----------------, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia . Muhammad Wahyuni Nafis, ed., Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juli 1995. 13. ----------------, Pintu -pintu Menuju Tuhan , Jakarta: Paramadina, Cetakan III, September, 1995. 14. ----------------, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Maret 199 7. 15. ----------------, Tradisi Islam:Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia , Kasnanto ed., Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Januari 1997. 16. ----------------, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Edy A. Effendi ed.,Jakarta : Paramadina, Cetakan I, Januari 1998. Dalam buku -bukunya di atas, NCM menguraikan substansi pemikirannya yang mutakhir berintikan usahanya mencari legitimasi umat Islam dalam memasuki dunia modern. Menurutnya kemodernan sekarang ini adalah barang umat Islam yang hilang. Dengan buku buku itu, NCM mencoba menghadirkan sosok Islam (ideal) yang 94 S uha im i terbuka, demokratis, dan berkeadilan sosial. 50 Gagasan-gagasannya itu tidaklah bisa dipisahkan dari suatu dasar teologis al-Qur’an, menurutnya, keadilan adalah inti tugas suci (pesan ketuhanan, risa>lah) para Nabi,51 maka itu berarti adalah cita-cita al-Qur’an dalam mewujudkan suatu masyarakat yang adil, terbuka, serta demokratis seperti yang terdapat dalam teladan kepemimpinan Nabi Muhammad saw di Madinah setelah hijrah dari Makkah. 52 Periode tahun 1992 -1997, dia kembali menjadi anggota MPR RI, saat Orde Baru berkuasa di Indonesia. Diantara periode tersebut, dia pun terpilih pada tahun 1990 menjadi anggota Dewan Pers Nasional dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), serta pada tanggal 6 Desember 1990, bersama dengan M. Dawam Rahardjo dan Imaduddin Abdulrahim yang meneleponnya untuk menuliskan tanda tangan proposal pembentukan perhimpunan para intelektual Muslim, NCM berperanserta dalam pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), semula dia mengusulkan nama Ikatan Sarjana Muslim Indonesia (ISMI), tapi hasil Simposium Nasional Cendikiawan Muslim: Membangun Masya-rakat Indonesia Abad XXI” bersepakat menggunakan nama ICMI.5 3 Empat tahun kemudian pada tahun 1994, dia mengundurkan diri dari ICMI sebab menurutnya ICMI telah menjadi “terlalu politis.”. 54 Sebagai seorang cendikiawan muslim, NCM secara sungguh sungguh memandang Islam sebagai agama universal yang sesuai 50 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, 131. 51 Lihat Q.S. Surat Yunus (10): 47. Artinya sbb. “Dan bagi setiap umat itu ada seorang rasul, maka apabila telah datang rasul mereka, dibuatlah keputusan antar mereka dengan adil, dan mereka tidak diperlakukan secara zalim. 52 Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Muhammad Wahyuni Nafis, ed., (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 1999), xxx-xxxiii. 53 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung, Mizan, Cetakan I, 2005), 609. 54 Andres Uhlin, Oposisi Berserak : Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia (Bandung, Mizan, Cetakan II, September 1998), 72. 95 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id dengan segala zaman dan tempat (al-Isla>m s}a>lihun li kulli zama>nin wa- maka>nin ). Bukti sumber ide tentang universalisme Islam ini terlihat dalam arti generik “islam” sebagai ikap pasrah kepada Tuhan, suatu sikap yang tidak saja menjadi ajaran kepada manusia, tetapi ia diajarkan oleh -Nya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri sebagai fitrahnya. Bahkan sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat dari seluruh alam, yaitu sikap pasrah pihak ciptaan kepada Penciptanya, yakni Tuhan. karena prinsip inilah, maka agama (al-di>n, berarti antara lain sebagai “ketundukan”, “kepatuhan”, atau “ketaatan”) yang sah tidak bisa lain daripada al-isla>m, sikap pasrah kepada Tuhan. Tidak ada agama tanpa sikap itu, artinya keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati. 55 Dalam tulisannya sebanyak 21 halaman yang berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam,” NCM mengutip 34 ayat al-Qur’an, karya tafsir A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an dan tafsir Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, karya Al-Gazali, N as}ihat al-Mulu>k, terjemahan Inggris oleh F.R. Bagley dan Niza>m al-Mulk, Siya>sat Na‘mah, terjemahan Inggris oleh Hubert Dark, karya Averroes’ Taha>fut at-Taha>fut , terjemahan Inggris oleh Simon van den Berg, karya Sir Thomas W. old, Painting in Islam, dan karya Willfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion . Lebih lanjut berdasarkan pemahaman NCM terhadap beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa agama para nabi terdahulu adalah semuanya al-islam dan dalam menjelaskan hal ini dia merujuk tafsir Abdullah Yusuf Ali dan tafsir Muhammad Asad. Menurutnya dalil universalisme al-isla>m seperti tersurat dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa yang pertama kali menyadari al-isla@m atau sikap pasrah kepada Tuhan sebagai perintah inti agama ialah Nuh,5 6 55 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta, Penerbit Paramadina, Cetakan V, Agustus 2005), 425. 56 Q.S. Yu >nus (10):71 -72. 96 S uha im i kemudian perintah ber-islam ditegaskan kepada Nabi Ibrahim, 57 yang mewasiatkannya kepada anak keturunannya. Salah satu dari keturunan itu adalah Nabi Ya’qub atau Israîl (artinya, hamba Allah) dari jurusan Nabi Ishaq, salah seorang putera Ibrahim. Wasiat Ibrahim dan Ya’qub itu kemudian menjadi dasar agama-agama Israîl, yaitu (yang sekarang bertahan), agama-agama Yahudi dan Kristen. 58 Atas dasar ini NCM menegaskan bahwa dikarenakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pun secara sadar dengan terang benderang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, maka disebut agama Islam (dengan I besar) yang menjadi agama al-islam par excellence, namun bukan satu -satunya dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-isla>m yang lain. 5 9 Dengan demikian menjadi Muslim atau “seorang Islam” (dengan I besar) adalah berarti “menjadi orang yang seluruh hidupnya diliputi tantangan untuk senantiasa meningkatkan diri menuju pada moralitas yang setinggi-tingginya, dengan jalan selalu mengusahakan pendekatan diri kepada Tuhan, yaitu takwa.”. Sistematisasi teologis atau keimanan pribadi individu Muslim seperti yang diuraikan NCM ini akan mempunyai implikasi kepada kehidupan bersama, termasuk di dalamnya kehidupan sosial politik. 60 Berdasarkan prinsip -prinsip tertulis di atas, maka al-Qur’an, menurut NCM, mengajarkan paham kemajemukan keagamaan 57 Q.S. al-Baqa>rah (2):131. Q.S. al-Baqa>rah (2):132. 59 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 429. Dalam karya tulisnya yang berjudul “Islam di Indonesia: Masalah Ajaran Universal dan Lingkungan Budaya Lokal”, NCM merujuk pendapat Ibn Tay yah yang menyatakan bahwa Islam atau al-Isla@m yang dimaksud sebagai hukum ketundukan makhluk kepada Khaliknya adalah “Islam umum” yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan juga merupakan agama semua Nabi da Rasul, maka dalam pengertian itu pulalah terdapat salah satu makna penting universalisme “Islam khusus”, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, penutup para Rasul. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Juli 1995), xii-xiv. 60 Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar,” dalam Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 1999), li-lii. 58 97 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id (religious plurality), tidak berarti pengakuan ajaran akan kebenaran semua agama, tapi dalam pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama masing -masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok.6 1 Pada gilirannya diharapkan kepada semua pengikut agama – yang pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia berserah diri kepada Yang Maha Esa -, akan secara berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik pertemuan”, “ common platform” atau dalam istilah al-Qur’an, “ kalimah sawá>”.6 2 Islam adalah agama yang memiliki wawasan teologis yang inklusivistik terhadap semua agama, tapi semua agama itu mengalami proses perkembangan seperti A ke B, B ke C dan terus sampai Z yaitu Islam. Jadi Islam adalah agama yang terakhir dalam pengertian menyempurnakan dan banyak mengganti beberapa unsur dari agama sebelumnya.6 3 Pemikiran teologi inklusif NCM tersebut, menurut beberapa pengamat sebagai gagasan yang committed terhadap fenomena pluralisme agama dan sangat relevan dan kontekstual dengan tuntutan situasi dan kondisi bangsa Indonesia, pascaIndonesia.64 Gerakan pembaruan Islam oleh NCM yang dikenal juga sebagai neomodernisme Islam di Indonesia ini pada dasarnya merupakan gerakan keagamaan yang terutama sekali didorong oleh kebutuhan untuk mencapai perkembangan Islam yang lebih progresif. 65 Karya-karyanya diarahkan untuk menjustifikasi keyakinannya bahwa Islam adalah agama modern yang mampu memberikan bimbingan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mengambil peran utama di dalam pergaulan masyarakat internasional. 61 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 184. Q.S. Ali-Imra>n(3):64. Lihat pula Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 185. 63 Nurcholish Madjid, Perjalanan Religius Umrah dan Haji (Jakarta, Paramadina, 1997, Cetakan I), 34. 64 Abdul Halim, ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan Yang Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta, Kompas, Cetakan II, Ojktober 2006), 4. 65 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan , 323. 62 98 S uha im i Dalam hal ini karya-karya NCM yang awal, menurut Federspiel, selama kurun waktu 25 tahun merupakan kontribusi sangat penting bagi perkembangan intelektual umat Islam Indonesia dan bangsa lain di kawasan Asia Tenggara. 66 Dalam hal ini, Azra menandaskan dengan kritis bahwa neomodernisme sebagai gerakan Islam lebih menekankan signifikansi warisan pemikiran Islam ketimbang modernisme itu sendiri. Berdasarkan pemikiran ini pada kasus NCM, dia lebih lanjut meneliti secara seksama bahwa NCM berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat teoritis dan eksoteris.6 7 Dengan sangat bagus dan distingtif, NCM bukan sekadar k pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pen dekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu…. Ini dalam bidang eksoteris. Sedang dalam bidang esoteris, dia hampir tidak diragukan lagi mempunyai apresiasi yang cukup tinggi terhadap tasawuf pada umumnya….adapun pergeseran agendanya dapat ditemui pada concern intelektualnya yang melangkah lebih jauh dengan berupaya membangun suatu peradaban Islam yang khas, yang mempunyai akar kuat pada tradisi Islam klasik;bukan hanya viable dalam era modern, tetapi juga dalam masa postmodern. Oleh karena itu, neomodernisme Islam Indonesia-walaupun tidak dapat disamaratakan -telah mengalami metamorfosis menjadi neotradisionalisme.68 Pada tahun 1995, NCM secara lugas mengintrodusir pentingnya oposisi sebagai salah satu kebutuhan dasar proses demokratisasi di Indonesia dan tahun 1996 dia melanjutkan upayanya menebar benih -benih demokratisasi dengan menjadi Dewan Penyantun Komite Indipenden Pemantau Pemilu (KIPP). T 1998 NCM dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa bidang ilmu Filsafat 66 Howard M. Federspiel, “Muslim Intelectuals in Southeast Asia”, Studia Islamika, Vol. 6, no. 1 (1999), 61. 67 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme (Jakarta, Paramadina, 1996), xi. 68 Azyumardi Azra, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia,” pengantar dalam Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta, Paramadina, April 2003), xii-xiii. 99 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi” 69 dan setahun kemudian dia pun dikukuhkan sebagai Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 30 Agustus tahun 1999, 7 0 dengan orasi ilmiah berjudul “Simbol dan Simbolisme Keagamaan Populer serta Pemaknaannya dalam Perkembangan Sosial-Politik Nasional Kontemporer”.7 1 Sebagai seorang sarjana muslim, NCM tidak saja berbicara pada tataran intelektual, tapi sering sekali pembicaraannya berpijak pada tataran moral, seperti ketika dia menyuarakan pen partai oposisi dalam demokrasi dan menyampaikan perlunya memikirkan suksesi kepemimpinan nasional sejak tahun 1987 dan tahun 1997 dia berbicara perlunya sumber alternatif budaya kepemimpinan nasional selain budaya Jawa. Ketika dia diperingatkan akan kemungkinan bahaya yang diakibatkan karena pernyataannya, dia berkata “Jangan percayakan nasib bangsa ini kepada niat baik satu dua ng pemimpin. Melainkan kepada sistem yang baik.”. NCM jelas memiliki komitmen intelektual dan moral yang menyebabkannya bertindak sebagai “guru bangsa”. 7 2 Pertengahan tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia sebagai akibat berkelanjutan dari krisis moneter di Thailand. Juli 1997 kurs rupiah merosot dari Rp 2.432, - per dolar AS menjadi Rp 3.000,dan terus terjun hingga pada akhir Januari 1998 kurs rupiah mencapai 69 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, x. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta, Universitas Paramadina, Cetakan III,Maret 2004), 215. 71 Nurcholish Madjid, “Simbol dan Simbolisme Keagamaan Populer serta Pemaknaannya dalam Perkembangan Sosial-Politik Nasional Kontemporer”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari-Juni 2010,14. 72 Fachry Ali, “Nurcholish Madjid Sebagai guru Bangsa,” dalam Jalaluddin Rakhmat, et.al. Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Oktober 2001, Cetakan I), xxvi. 70 100 S uha im i Rp 11.050, -/ dolar AS. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya krisis pangan dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah Orba.7 3 Masyarakat panik menghadapi isu kelangkaan bahan pokok sehari-hari, susu bubuk dan kebutuhan bayi lenyap dari toko, sebagian mereka yang dimotori oleh mahasiswa berunjuk rasa menuntut perubahan politik dan ekonomi serta pada akhirnya menu t agar Presiden Soeharto, pemimpin pemerintahan Orba berhenti. Saat itu terjadi, Soeharto berada di Kairo, Mesir, untuk menghadiri pertemuan G-15 yang akan diadakan pada tanggal 13-14 Mei 1998. 12 Mei 1998 terjadi bentrokan mahasiswa Trisakti yang berunjuk rasa dengan aparat keamanan yang mengeluarkan tembakan peluru tajam menewaskan empat orang mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur, angkatan 1996, Hendrawan Sie, mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 1996, Heri Hartanto, mahasiswa Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 1996 dan Hafidhin Alifidin Royan, mahasiswa Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 1995. 74 Tragedi ini memicu kerusuhan massa yang lebih besar di beberapa daerah pada tanggal 13 Mei sampai 15 Mei 1998. Di Jakarta kerusuhaan telah merusak sedikitnya 4.939 bangunan. Pemerintah Daerah (Pemda) Tangerang mencatat lebih dari seratus jenazah hangus terbakar di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan mayat korban kerusuhan. Sedangkan kerusuhan di Surakarta dan daerah -daerah lain diperkirakan melebihi jumlah tersebut.75 Tanggal 15 Mei 1998 Soeharto tiba di Halim Perdana Kusuma, Jakarta dan sejak itu dia menerima laporan baik dari Wakil Presiden maupun dari menteri-menteri dalam kabinet serta pimpinan DPR 73 B.J. Habibie, Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (Jakarta, THC Mandiri, Cetakan ke-3, Nopember, 2006), 2-3. 74 James Luhulima, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Soeharto, (Jakarta, Kompas, Januari 2007), 112. 75 B.J. Habibie, Detik-Detik yang Menentukan , .7 101 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id tentang perkembangan mutakhir situasi dan kondisi sosial politik di tanah air. Soeharto menandaskan tidak benar berita yang menyatakan bahwa dirinya siap mundur, meskipun aksi demonstrasi mahasiswa semakin marak menuntutnya mundur. Pada tanggal 19 Mei 1998 Soeharto mengundang sejumlah tokoh masyarakat antara lain: Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, KH Abdurrahman Wahid, budayawan, Emha Ainun Najib; Direktur Yayasan Paramadina, NCM, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ali Yafie; H. Abdul Malik Fadjar dan H. Sutrisno Muhdam (Muhamadiyah); KH Cholil Baidlowi (DDII); KH Ma’ruf Amin dan H. Bagja (NU); serta Pembantu Asisten Khusus Mensesneg Yusril Ihza Mahendra. Dalam pertemuan itu Soeharto menyatakan tidak masalah jika dia harus mundur, tapi dia mengingatkan apakah dengan kemundurannya sebagai presiden akan membuat keadaan genting akan segera bisa diatasi. 76 Salah satu cara yang disepakati a.l. membentuk Komite Reformasi dan perubahan Kabinet Pembangunan VII. “Tetapi, dalam pertemuan itu, “pagi-pagi” Cak Nur sudah menyatakan bahwa ia tidak bersedia untuk duduk di Komite Reformasi. Ia tidak mau dikesankan, bahwa pemikirannya terkait ambisi untuk memperoleh kedudukan.”.77 “ Pada 20 Mei 1998, sehari sebelum Pak Harto lengser, dalam sebuah konfrensi pers, Cak Nur dituding-tuding oleh Pak Amien soal Komite Reformasi, tapi Cak Nur tidak membalas dan tersenyum saja. Cak Nur lapang dada,….” Kemudian pada malam harinya Pukul 23.00, Emha Ainun Nadjib mengundang wartawan harian lokal sampai Cable News Network (CNN) ke jalan Indramayu 14, di mana kami akan mengadakan konfrensi pers. Cak Nur memberi istilah, 76 B.J. Habibie, Detik -Detik yang Menentukan, 19. Sulastomo, “Mengantar Cak Nur,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru B gsa , 47. 77 102 S uha im i “Kekuasaan Habibie harus kita beri isian cek. Dia ngak boleh ngisi sendiri seenaknya.”. 78 “Utomo Dananjaya akan membuka acara, saya ditugasi menjelaskan secara lisan tentang lengsernya Pak Harto besok pagi, kemudian Cak Nur akan membacakan statemen yang saya ditugasi mengetiknya dan isinya sbb.: Kami adalah pribadi-pribadi warga negara yang merasa ikut terpanggil memenuhi kewajiban bersama menyangga keutuhan bangsa dan negara, dengan ini menyatakan: 1. Sesudah B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia sesuai ketentuan UUD 1945, menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas sikap beliau yang arif bijaksana dan penuh kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat luas untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dalam rangka Reformasi. 2. Kami bersepakat bahwa Presiden B.J. Habibie memimpin pemerintahan transisi sampai dengan Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan. 3. Presiden harus segera menyusun Kabinet Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia, dan yang terdiri dari orang-orang yang bersih dari kolusi, korupsi, kroniisme, dan nepotisme. 4. Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan paket UU politik, UU Anti-monopoli, UU AntiKorupsi, serta UU Pers, sesuai dengan ide dan aspirasi Reformasi. 78 Emha Ainun Nadjib, “Capres Kita ‘Si Kung’ ”, dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana (Jakarta, KPP, Cetakan I, Agustus 2003), 19. 103 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id 5. Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan Sidang Umum MPR dalam 6 (enam) bulan berdasarkan paket Pemilu yang baru. 6. Pemerintah harus dengan sungguh -sungguh dan secara efektif melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, kroniisme, dan nepotisme. Jakarta, 21 Mei 1998 pkl 00.30 WIB. Tertanda: Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Malik Fadjar, Utomo Dananjaya, S. Drajat. Menjelang masuk ke ruang konfrensi pers, Pak Amien Rais datang…, kemudian Cak Nur masuk dan langsung membacakan pernyataan tanpa acara dibuka oleh Utomo dan penjelasan dari saya…. Diakhir pembacaan, Cak Nur mengucapkan: Jakarta, 21 Mei 1998 pkl 00.30 WIB. Tertanda: Nurcholish Madjid, Amien Rais.”. 7 9 Kamis, 21 Mei 1998, pkl 10.00 WIB Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden RI, dia digantikan oleh Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Presiden BJ Habibie menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999 dan NCM bersama Abdurrahman Wahid menggagas KIPP, meskipun saat itu banyak tokoh yang memintanya untuk menjadi calon presiden. Dia tidak mau karena tahu diri bukan orang partai. “Apalagi Gus Dur sudah mencalonkan diri. Saya menjadi makmum saja. Masa, harus ada dua imam,” katanya.8 0 Saat itu Indonesia mengalami masa euforia politik, orang beramairamai masuk atau mendirikan parpol. Para politikus bersepakat hanya orang parpol yang berhak maju ke pemilihan presiden. Empat tahun kemudian masyarakat Indonesia kecewa terhadap kinerja orang-orang partai itu, mereka seolah merindukan figur alternatif dan pemilihan presiden dilakukan dengan pemilihan 79 Emha Ainun Nadjib, “Capres Kita ‘Si Kung’ ”, dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Capres, 19-21. 80 Tempo, 11 Mei 2003. 104 S uha im i langsung. Siapapun orang yang dicalonkan partai, meskipun dia bukan orang partai, dia tetap mempunyai peluang menjadi presiden. 81 Senin, 23 April 2003, NCM menyatakan secara terbuka kesediannya untuk menjadi calon presiden RI pada pemilu 2004 pada konfrensi pers di Kampus Universitas Paramadina. Dia menekankan bahwa pendekatan yang ia lakukan adalah platform, bukan dirinya pribadi. “Setujukah dengan platform ini? Kalau tidak, no way. Kalau tidak, saya lebih baik di sini mengajar mahasiswa.”. 82 NCM mendaftarkan dirinya sebagai calon presiden melalu konvensi calon presiden Partai Golongan Karya (Golka tanggal 1 Juni 2003 menghadapi Pemilu tahun 2004. Menurutnya perekrutan terbuka melalui konvensi merupakan gagasan yang selaras dengan prinsip demokrasi dalam proses reformasi politik yang sedang berlangsung di Indonesia. 83 Sejumlah tokoh politik dan pengusaha ternama yang ikut konvensi Partai Golkar a.l.: Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Abu Rizal Bakrie, Marwah Daud Ibrahim, Ginanjar Kartasasmita, Agum Gumelar, Tuty Alawiyah, Akbar Tandjung dll. Kamis, 31 Juli 2003, NCM secara resmi mundur dari konvensi Partai Golkar, dia menyatakan, “Soal Akbar mengambil formulir, ya, itu hanya the last hard proof (bukti kuat terakhir) yang akhirnya membenarkan hipotesis kami soal konvensi ini. Tetapi yang paling jelas, ada kesenjangan etika antara kami dan konvensi.” 84 Meskipun NCM mundur dari konvensi Partai Golkar, tapi dia tetap mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk modal dan kendaraannya guna mendapat dukungan partai politik peserta Pemilu 2004, dia membentuk dan menggunakan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia (PMKI). Langkah itu dilakukan karena ia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin terpilih sebagai presiden jika 81 Sudirman Said, “Jangan-Jangan Partai yang Ditunggangi Cak Nur” dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Capres, 143. 82 Kompas, “Nurcholish Madjid Bersedia Jadi Capres,” 29 April 2003. 83 Kompas, “Nurcholish Ikut Konvensi Golkar,” Senin, 1 Juni 2003. 84 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 85. 105 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id tidak menggunakan jalur partai politik. Apalagi, ia tidak memiliki partai politik dan belum adanya kejelasan partai politik mana yang akan mengajukan dirinya sebagai capres. PMKI sendiri didirikan pada 21 Mei 2003 beranggotakan kalangan muda, pelajar, dan perguruan tinggi, dan diresmikan oleh NCM—yang menjadi Ketua Dewan Pengurus, di Jakarta, pada Ahad, 12 Oktober 2003. Menurutnya, PMKI akan menjadi semacam basis dukungan untuk sebuah partai politik atau koalisi partai yang berjuang bersamanya. PMKI akan menjadi perekat dan platformnya akan menjadi semacam pijakan bersama bila terjadi koalisi partai yang bermaksud mendukungnya menjadi capres. Apa yang d lakukan NCM bersama PMKI ibarat sebuah upaya mewujudkan terjadinya keajaiban politik di Indonesia. Dia menyatakan "Tidak bisa seseorang mencalonkan diri sebagai presiden tanpa melalui partai politik. Kita telah terjerat pada kesepakatan bahwa semua itu harus at partai politik. Karena itu, saya tidak bisa maju tanpa partai politik.".8 5 Setelah berjalan bersama PMKI, beberapa partai politik yang telah mendekatinya, hanya sebatas kesamaan kepentingan dalam platform. "Kami masih menunggu, karena kami tidak mau mendahului partai. Kami harus empati pada mereka, karena memang sulit sekali mendirikan partai. ". B. Respons terhadap Aktivitas Politik Nurcholish Madjid Dalam uraian tertulis di atas, terlihat jelas bahwa aktivitas perpolitikan NCM berhubungan dengan aspek gagasan pembaharuan pemikiran keislamannya dalam rangka mencari jawaban ajaran Islam tentang masalah kemoderenan dan keindonesiaan baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah politik. Ada dua tipe cendikiawan Muslim dalam meresponi modernitas. Di satu sisi mereka melakukan pengadopsian gagasan -gagasan kunci Barat dan pranata-pranatanya yang dibela mati-matian, yang sebagian diberi pembenaran dengan diberi kutipan al-Qur’an. Di sisi lain ada 85 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 87. 106 S uha im i kelompok yang menolak mentah-mentah modernitas dan memberikan alternatif apolegetik, berdasarkan pemahaman al-Qur’an secara literal. 86 Karena pemahaman al-Qur’an yang sepotong-sepotong ini, Fazlur Rahman menyarankan jalan keluar melalui dua gerakan dalam penafsiran al-Qur’an yang dikenal dengan double movement . Saran tersebut dibuat, untuk mengatasi kecenderungan para mo klasik, yang apolegetik terhadap Barat, dan para neo -revivalis (fundamentalis), yang skripturalis. 87 Dua cara termaksud adalah: Pertama , pahami arti atau makna suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem di mana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Menurut Rahman, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasisituasi spesifik, suatu kajian mengenai situasi makro, mengenai konteks sosial masyarakat saat itu (saat al-Qur’an diturunkan) harus dilakukan. Kedua , mengeneralisir jawaban -jawaban spesifik tersebut dan menyata-kannya sebagai pernyataan -pernyataan yang memiliki tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio -historis dan ratio legis yang sering dinyatakan.88 M. Syafi’i Anwar membuat rancang bangun gagasan -gagasan NCM berdasar-kan sosiologi agama dengan pendekatan holistik yang menggambarkan konstruksi dialektika dan kesatuan gagasan pemikiran NCM tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan yang merlahirkan ide-ide pendukung “neo modernisme”, “integrasi” 86 Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta, Lembaga Studi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Paramadina, Cetakan I, Juni 2010), 400. 87 Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam, 401. 88 Budhy Munawar-Rachman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo -Modernisme Islam di Indonesia” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural, 465. 107 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id dan “pembangunan” dengan teologi inklusif sebagai pangka tolaknya.89 Artikel panjang NCM yang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi” menjelaskan makna modernisasi itu identik dengan rasionalisasi dan menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi adalah westernisasi, karena westernisme menurutnya berisikan sekularisme, 90 oleh Muhammad Kamal Hasan, seorang sarjana Muslim Malalysia, dinilai mencerminkan pandangan Muslim idelalis. Berdasarkan pandangannya itu dan aktivitasnya menjadi Ketua Umum PB HMI ketika itu yang bersama koleganya berhasil menyusun dokumen “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI”, NCM diterima oleh umat Islam secara luas dan dikenal sebagai tokoh yang memiliki citra “Natsir Muda”. 91 Mohammad Natsir adalah tokoh intelektual Muslim mod ernis yang pernah aktif dalam kepemimpinan JIB, Persis dan Masyumi dan pendukung demokrasi dengan sifat kenegarawanan yang memper-juangkan tujuan -tujuan politiknya secara konstitusional. Posisi intektual NCM sebagai seorang muslim modernis seperti tertulis di atas dengan citranya sebagai “Natsir Muda” berubah menjadi dipertanyakan oleh kalangan umat Islam yang curiga terhadapnya setelah dia menyajikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970. Dalam makalah itu, NCM menjelaskan bahwa kaum Muslimin telah mengalami kejumudan dalam pemikiran dan pengembangan ajaran -ajaran Islam. Pemikiran mereka telah beku dan kekuatan moralnya telah hilang, terbukti dengan kenyataan semakin bertambahnya pemeluk agama Islam 89 M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 517. 90 Nurcholish Madjid, “Modernisasi Ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung, Mizan, Cetakan XI, November, 1998), 173. 91 M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 18. 108 S uha im i ketika itu, tapi semakin sedikit diantara mereka yang ik dengan partai-partai atau organisasi-organisasi Islam . Sepertinya mereka bertanya dengan mengatakan Islam Yes, Partai Islam, No? Oleh karena itu perlu upaya pembaruan pemikiran kegamaan yang dilakukan oleh kelompok pembaruan yang “liberal” untuk melakukan liberalisasi pandangan terhadap ajaran -ajaran Islam dengan sekularisasi dan berpikiran bebas serta bersikap terbuka terhadap ‘idea of progress’.9 2 Istilah “sekularisasi” dalam makalah NCM itu mendapat bermacam-macam reaksi dari masyarakat Indonesia. Salah satu dari mereka yang mendukung ide NCM adalah Moctar Lubis, pemimpin redaksi Koran Indonesia Raya yang memuat isi makalah NCM dengan antusias dalam Koran Indonesia Raya secara penuh dan Nono Anwar Makarim yang mengatakan bahwa makalah NCM itu akan menjadi “the speech of the year”, bahkan tidak kurang dari seratus tulisan artikel pada tahun 1970 -an telah terbit menyambut gagasan NCM itu seperti yang muncul dalam Harian Abadi, Kompas dan Mercu Suar, dan majalah mingguan Panji Masyarakat, Angkatan Baru, Mimbar Demokrasi, Forum dan Tempo.93 Sementara kalangan umat Islam yang curiga dan bereaksi emosional berkaitan dengan terminologi “sekularisasi” dengan mengatakan seperti “sekularisasi disifatkan sebagai jembatan ke arah komunisme,” atau “komunisme adalah anak sekularisme.” Atau “sekularisme meniadakan atau menghampakan segala sangkut paut tindakan negara dan pribadi dengan Tuhan,” dan sebagian lainnya mencap pemikiran NCM berorientasi ke Barat, terjebak pemikiran Yahudi, memberi angin kepada Kristenisasi, keterangannya membuat umat bingung, teologinya mengganggu kemapanan iman dan lembaga keagamaan, ikut merangsang i 92 Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 204-214. 93 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, dalam Abdul Halim, ed., Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan Yang Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta, Paramadina dan Kompas, Cetakan II, Oktober 2006), 123. 109 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id fundamentalis, menimbulkan skeptisisme terhadap agama, bahkan menyim-pang dari ajaran Islam.94 Gagasan NCM tertulis di atas tentang pembaruan Islam, sebenarnya adalah sebuah respon intelektual terhadap kondisi sosial politik umat Islam yang ketika itu berada dalam posisi periferal dalam menghadapi kebijakan “era pembangunan” Orba yang berparadigma modernisasi. Para senior tokoh Islam modernis menunjuk-kan sikap ragu terhadap kebijakan politik pemerintah Orba itu, bahkan mereka berapologi dengan menolak modernisasi karena dinilai sebagai westernisasi atau sekularisasi. Sikap seperti ini melahirkan kesan yang kurang menguntungkan, yakni bahwa Islam itu tradisonalis, anti modernisasi, anti pembangunan dan bahkan anti Pancasila.95 Hampir tiga tahun kemudian, NCM mengisi acara pada bulan Oktober 1972 di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta dengan menjelaskan kembali tesisnya dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” yang menyinggung tentang “paham apolegetik” khususnya konsep “Negara Islam” yang merupakan suatu bentuk apolegetis umat Islam terhadap ideologi-ideologi modern seperti 94 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”dalam Abdul Halim, ed., Menembus Batas Tradisi, 124. Tulisan-tulisan yang memberi tanggapan itu a.l. Rusydi, “Pembaruan Nurcholish Madjid” (Mercu Suar 29/1/1970). Hermansjah Nasirun, “Tentang Ceramah Madjid (Mercu suar, 3/2/1970). Muhammad Natsir, “Arahkan Kegiatan pada masalah Kemahasiswaan” (Abadi, 29/3/1970). M. Amien Rais, “Tanggapan terhadap Pendapat Nurcholish Madjid, (Kedaulatan Rakyat, 25 -30/3/1970). Ahmad Wahib, “Dialog Pembaruan Pemikiran Islam” (Mercu suar, 6 -7/4/1970). Endang Saefuddin, “Pembahasan terhadap Prasaran Drs. Nurcholish Madjid” Masyarakat, April/Mei/1970). Saifuddin Anshari, “Sebuah Catatan atas Wawancara sdr. N. Madjid” (Panji Masyarakat, 7/1970). Dr. A. Mukti Ali, Sekularisme” (Panji Masyarakat, no. 73 -74/1971). RM Samhudi, “Saya Kembali dengan Rasa Kecewa” (Masa Kini, 13/5/1972). Ahmad Basuni, “Memahami dan Melaksanakan Ajaran Islam, Sebuah Komentar terhadap Pendapat Drs. N. Madjid” (Panji Masyarakat, 15 -17/5/1972). Syaichu Usman, “Keseimbangan yang Dinamis: Jalan Keluar dari Perdebatan” (Panji Masyarakat, 10 -12/5/1970). 95 M. Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 525. 110 S uha im i demokrasi, sosialisme, komunisme dsb bersumberkan pemikiran legalisme terhadap ketentuan -ketentuan hukum fikih (fikihisme),9 6 dan pernyataannya ini pun mendatangkan reaksi keras juga. Salah seorang tokoh Islam yang memberikan reaksi keras adalah Guru Besar IAIN, M. Rasjidi dengan menganalisis secara sistematis dan serius dengan mengungkapkan tulisan NCM secara singkat yang akan dikritiknya lalu dianalisis dan dinilai dalam sebuah tulisan yang berisi koreksi berjudul Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan I, 1972). Seperti tertulis dalam judul buku itu , koreksi M. Rasjidi ditujukan kepada penggunaan istilah “sekularisasi”. Menurutnya akibat yang akan ditimbulkan oleh “sekularisasi” tidak lain kecuali “sekularisme” yaitu pemisahan pola kehidupan antara keagamaan kenegaraan. Tidak mungkin ada “sekularisasi” tanpa “berujung pada sekula- risme”. “Kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh saudara Nurcholish, maka segala sesuatu telah menjadi arbitrer atau semau gue”.97 Pada awalnya, NCM merasa perlu memberikan penjelasan 96 Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 253-255. 97 M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta, Bulan Bintang, Cetakan I, 1972), 13. Ada dua macam sekularisme menurut Peter L. Berger (The Sacred Canopy: Elements of Social Theory of Religion , New York, Doubleday and Company, Inc., 1969) yaitu sekularisme objektif dan sekularisme subjektif. Sekularisasi objektif terjadi bila secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dengan lembaga-lembaga lain. Sekularisasi subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipetakan dalam agama, ada pemisahan pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara negara dan agama. Negeri Islam ng terang-terangan menganut sekularisme ialah Turki. Kemalisme (Kemal Ataturk, 1881 -1938) berusaha menghilangkan pengaruh ulama dan pemimpin tarekat pada negara. Gerakan sekularisme Turki mempunyai pengaruh pada pertumbuhan nasionalisme Indonesia, sehingga sebelum kemerdekaan sering dibedakan dua kelompok nasionalis, nasionalis sekular dan nasionalis Islam. kipun secara resmi Indonesia adalah Negara Pancasila, tidak sekular tapi bukan negara agama, isu “nasionalis sekular dan nasionalis Islam dengan baju baru tetap ada dalam politik praktis (dipersangkakan ada “ABRI Merah-Putih” dan “ABRI Hijau”). Sekularisasi 111 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id lebih lanjut bahwa dirinya membedakan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”, sekularisasi yang NCM maksudkan adalah ng bersifat sosiologis seperti yang digunakan oleh Talco tt Parsons dan Robert N. Bellah, bukan filosofis. 9 8 Yudi Latif menuliskan bahwa ‘sekularisasi’ menurut NCM sebenarnya adalah ‘rasional i’, maka ada benang merah antara pemikiran NCM terdahulu yang menegaskan bahwa modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi. 99 Pada bagian akhir penjelasannya tentang kontroversi konsep sekularisasi dengan rendah hati NCM menerima alasan keberatan Pak Rasjidi atas penggunaan konsep sekularisasi yang digunakannya: “…, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis itu…. Jika benar dugaan ini, maka keberatan Pak Rasjidi itu cukup beralasan dan dapat diterima.”. 100 Seraya dia menyimpulkan dengan ajakan untuk tidak menggunakan istilah-istilah itu lagi dan lebih baik menggantinya dengan istilah -istilah teknis yang lebih netral. Paham rasional NCM itu kemudian mendorongnya untuk ikut berkampanye bagi PPP pada tahun 1977 yang menimbulkan subjektif dapat terjadi pada siapa saja, misalnya dalam penelitian fisika untuk contoh seorang ilmuwan, hasil penelitian orang beragama sama saja dengan hasil penelitian dengan orang kafir, karena Tuhan itu Maha Adil, tidak pilih kasih dalam hal-hal yang memang objektif. Perbedaannya terletak bahwa g sekular mengadakan subjektivikasi pada pengalamannya, sedang orang beriman mengadakan internalisasi. Dalam hal fisika orang sekular akan berhenti dengan berpikir bahwa ia telah menemukan salah satu hukum Alam, sedang orang beriman akan pergi lebih jauh dengan mengatakan bahwa hukum Alam itu juga hukum Tuhan. Dengan kata lain perbedaan itu tidak terletak di ujung, tapi di pangkal, dalam niyat perorangan. Lihat Kuntowijoyo, “Demokrasi Agama” dalam Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung, Mizan bekerjasama dengan majalah Ummat, Cetakan I, Mei 1997), 174-176. 98 Nurcholish Madjid, “Seku larisasi Ditinjau Kembali”, 258. 99 Yudi Latif, “Cak Nur, Kekuatan Satu Visi”, dalam Muhammad Wahyu ni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa , 142. 100 Nurcholish Madjid, “Sekularisasi Ditinjau Kembali”, dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , 260. 112 S uha im i pertanyaan bukankah itu bertentangan dengan pemikiran iknya? Dalam kampanye PPP itu, dia mengemukakan teori “memompa ban kempes” yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai politik, misalnya PPP atau PDI, ketimbang Golongan Karya (Golkar) yang didukung oleh militer, mesin birokrat dan money (3M) sudah dapat dipastikan menang. Jadi PPP itu seperti sebuah becak yang gembos bannya sehingga sulit berjalan, maka NCM berkampanye untuk berusaha memompa ban PPP yang pada saat itu berada dalam posisi underdog dan paling memungkinkan untuk dijadikan sarana mendorong keseimbangan. Dengan begitu NCM sebenarnya telah mengemukakan pemikiran politiknya tentang check and balance yang menjadi salah satu hal penting dalam demokrasi. 10 1 Jadi pemihakannya kepada PPP untuk menunjukkan bahwa dia beroposisi kepada pemerintah, tapi loyal kepada negara, loyal kepada cita-cita bersama membangun demokrasi Pancasila. Sejak tahun 1978 sampai tahun 1984, NCM pergi belajar filsafat Islam di University of Chicago, Amerika Serikat. Tanggal 23 Maret 1983 sampai dengan 15 September 1983, ketika dirinya kuliah di sana, dia berkirim surat dengan Mohamad Roem mendiskusikan tentang topik “Tidak Ada Negara Islam”. Pemicunya adalah tulisan M. Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, no. 376/1982 dengan judul “Tidak Ada Negara Islam”. Menurut NCM jelas sekali sebutan “Negara Islam” yang formalistik itu tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi sendiri maupun para peng-gantinya selama berabad -abad, dan jelas sekali pula bahwa ia muncul di kalangan umat han sebagai gejala di zaman modern ini.102 Istilah “negara Islam” seperti Republik Islam baru muncul setelah negara Pakistan berdiri. Dahulu wilayah subcontinent India itu dikuasai kekuasaan Moghul (Islam), padahal mayoritas penduduknya Hindu. Ketika India merdeka dari Inggris tahun 1947, orang Islam sadar bahwa tak mungkin lagi berkuasa, 101 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 94. Nurcholish Madjid, “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang” dalam Agus Edy Santoso, eds., Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem Tidak Ada Negara Islam (Jakarta, Djambatan, Cetakan ketiga, edisi revisi, 2004), 29. 102 113 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id karena dari segi pendidikan saja kalah dari orang Hindu. Secara psikologis bisa dimengerti kalau mereka akhirnya merasa perlu mendirikan negara sendiri. Islam lalu dipakai sebagai identifikasi nasional, sehingga Pakistan kemudian disebut sebagai negara Islam. 103 Atas pendapat NCM tentang tidak ada negara Islam dan keberatannya untuk masuk partai politik Islam seperti dalam pernyataannya “Islam Yes, Partai Islam No?” kemudian mendapat kritikan Abdul Qadir Djaelani (l. 1939) dalam bukunya berjudul Menelusuri Kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid (Bandung, Yadia, 1994). Menurutnya, NCM harus ikut bertanggung jawab terhadap kemerosotan posisi partai-partai politik Islam di Indonesia, karena persetujuannya dengan Undang-Undang No. 8/1985, yang menyatakan bahwa semua partai politik dan organisasi massa harus menjadikan Pancasila sebagai satu -satunya asas. Dia menolak pernyataan NCM bahwa umat Islam meninggalkan partai Islam karena isu yang dikemukakan oleh partai-partai Islam itu sudah tidak menarik lagi atau sudah usang. Mereka melakukan hal itu, menurut Djaelani, karena telah dipaksa oleh rezim penguasa Orba untuk menyalurkan aspirasi politik mereka hanya ke Golkar. Oleh karena itu, dia menegaskan, meskipun dalam realitasnya berasas Pancasila, partai politik seperti PPP masih berfungsi sarana yang amat penting untuk menyuarakan aspirasi politik umat Islam Indonesia.10 4 Jadi Djaelani dalam hal ini mengkritisi kebijakan politik rezim Orba dan menumpahkannya kepada NCM untuk bertanggung jawab atas kekalahan um at Islam Indonesia akibat dari kebijakan itu. Sesungguhnya perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tentang hubungan antara Islam dan negara antara kelompok formalis dan substansialis disebabkan karena perbedaan pandangan mereka tentang kesempurnaan ajaran Islam. Islam merupakan agama sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang meliputi 103 Nurcholish Madjid, “Negara Islam: Produk Isu Modern”, 157-158. Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri Kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid (Bandung, Yadia, 1994), 37 -39. 104 114 S uha im i ekonomi, sosial keagamaan dan politik, tapi persoalannya ialah bagaimana memahami sifat sempurna itu, khususnya berkenaan dengan hubungan antara Islam dan negara sehingga dapat sejalan dengan prinsip dasar Islam. Di sinilah NCM memberikan pemahaman dengan arah baru pemikiran keislaman dengan menekankan pentingnya deideologisasi agama, rasionalisasi, modernisasi masyarakat, demokrasi, keadilan sosial, pluralisme, dan 1 05 inklusivisme. Sebab menuru tnya, sekalipun nilai-nilai ajaran Islam itu bersifat universal, pelaksanaan ajarannya sendiri ut lingkungan sosiokultural masyarakat Indonesia secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka negara bangsa (nation state), maka setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan.1 06 Dalam konteks ini, secara politik dia melihat bahwa Pancasila adalah kalimatun sawa> atau common platform yang mempertemukan gagasan keisla -man dan keindonesiaan. Jadi, berdasarkan keinginan untuk mengintegrasikan pembaru an pemikiran keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan inilah, NCM mengembangkan wacana yang mengandung muatan kontroversial semisal sekularisasi, liberalisasi dan anjuran meninggalkan wacana negara Islam ke arah Islam kultural, misa lnya tentang keadilan, demokrasi, hak asasi manusia, inklusivisme Islam dan pluralisme Islam. Dari sini ia mulai meluncurkan pemikiran civil society, istilah yang diterjemahkannya menjadi “masyarakat madani” bercirikan masyarakat egaliter, demokratis dan inklusif, dengan mengacu kepada Piagam Madinah sebagai model. 107 Dan semua itu yang menjadi pangkal tolaknya ialah teologi inklusiv yang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam dalam arti bahwa 105 Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, eds., Islam dan Civil Society Pandangan Muslim Indonesia (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama-PPIM IAIN Jakarta, Cetakan I, 2002), 238-241. 106 M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 522-523. 107 Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar,” dalam Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, xviii-xix. 115 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id Islam merupakan agama yang sesuai dengan fit}rah kemanusiaan yang menjadikan cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya karena misi Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi semesta alam dan Islam secara sosiologis merupakan agama yang berwatak kosmopolitan.1 08 Ciri lain teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka (open religion ), karena ia meno lak eksklusifisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralism e yang menjadi komitmen dan paradigma teologi inklusif yang terpenting.10 9 Bagi NCM karena kitab suci AlQur’an mencantumkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku -suku agar mereka saling mengenal dan menghargai,11 0 maka bukan saja Islam memandang bahwa pluralitas itu merupakan suatu kenyataan sejarah manusia, tapi juga berarti bahwa pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif -optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, 108 M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 531. 109 M.Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 532. Berdasarkan pemahaman NCM terhadap beberapa ayat al-Qur’an S. Yu>nus (10):71 -72, S. al-Baqa>rah (2):131 Serta S. al-Baqa>rah (2):132., dia menegaskan bahwa agama para nabi terdahulu adalah semuanya al-islam dan dalam menjelaskan hal ini dia merujuk tafsir Abdullah Yusuf dan tafsir Muhammad Asad. Dalil universalisme al-isla>m seperti tersurat dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa yang pertama kali menyadari al-isla@m atau sikap pasrah kepada Tuhan sebagai perintah inti agama ialah Nabi Nuh, kemudian perintah ber-islam ditegaskan kepada Nabi Ibrahim, yang mewasiatkannya kepada anak keturunannya. Salah satu dari keturunan itu adalah Nabi Ya’qub atau Israîl (artinya, hamba Allah) dari jurusan Nabi Ishaq, salah seorang putera Ibrahim. Wasiat Ibrahim dan Ya’qub itu kemudian menjadi dasar agama-agama Israîl, yaitu (yang sekarang bertahan), agama-agama Yahudi dan Kristen. Atas dasar ini NCM menegaskan bahw dikarenakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pun secara sadar dengan terang benderang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, maka disebut agama Islam (dengan I besar) yang menjadi agama al-islaam par excellence, namun bukan satu -satunya dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-isla>m yang lain. 110 QS. Surat Al-Hujura>t (48): 13. 116 S uha im i dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kernyataan itu. 111 Hal itu berarti juga bahwa ajaran Islam mamandang bahwa kondisi sosial-budaya dengan pola kemajemukan selalu memerlukan adanya sebuah titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok yang ada. Dalam al-Qur’an pun ada perintah Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk mengajak kaum ahl al-Kita>b bersatu dalam satu pandangan yang sama (kalimah sawa>),1 12 yaitu paham Ketuhanan Yang Maha Esa. 113 Maka dalam sejarah Islam di Madinah, Nabi Muhammad saw berusaha mencari titik pertemuan dengan berbagai golongan di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui hak eksistensi masing-masing kelompok, dalam dokumen yang terkenal sebagai “Konstitusi Madinah”. Dan Khalifah kedua , Umar ibn alKhattab, meneruskan sunnah Nabi itu dalam sikapnya terhadap penduduk Yerusalem dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan “Piagam Aelia” (karena Yerusalem saat itu juga dikenal dengan sebutan Aelia). 114 Pemikiran teologi inklusif NCM ini, menurut beberapa pengamat sebagai gagasan yang committed terhadap fenomena plural-isme agama dan sangat relevan dan kontekstual. Gagasan NCM mengenai pluralisme pun mendapat kritikan antara lain dari Adian Husaini yang mengeritik NCM dan yang menurutnya kader-kader NCM seperti Budhi Munawar-Rachman, Ulil Abshar Abdalla dan Sukidi dengan mengata-kan bahwa istilah 111 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan , lxxv. 112 QS. Surat Ali-Imran (3): 64. Artinya: Katakanlah: “Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) y g tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) se gian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. 113 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan , lxxvi. 114 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan , lxxvi. 117 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi yang tidak bisa didefinisikan sesuka hati. Menurut Adian Husaini para penganut paham ini sudah mempunyai definisi sendiri. Karena itu dia berkesimpulan bahwa paham pluralisme agama menolak kebenaran eksklusif akidah Islam dan mempersamakan Islam dengan mua agama. 11 5 Selain itu Adian Husaini pun mengeritik bahwa pemikiran Islam inklusiv ini bukan sekedar wacana, melainkan sudah diterapkan di SD-SMA Sekolah Madania, sekolah milik Yayasan Wakaf Paramadina dengan ketentuan menghormati orang yang berbeda agama lalu tidak diklaim kafir. Agama lain tidak disebut sesat dan menyesatkan. Dari sini dimulai langkah pertama untuk bisa menerima persahabatan dan pertemanan dalam dunia sekolah. Padahal, menurut Adian Husaini, konsep teologi inklusiv atau pluralism e yang mengakui kebenaran semua agama, seperti yang disampaikan para tokoh Islam di Indonesia itu jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi tauhid Islam yang secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an.116 Jadi dalam pandangan Adian Husaini itu, paham teologi inklusiv dan pluralisme NCM itu memandang bahwa semua agama itu benar dan mempersamakan Islam dengan semua agama, padahal anggapan itu tidak sesuai dengan pernyataan NCM yang menandaskan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah agama Islam (dengan I besar) yang menjadi agama al-isla>m par excellence, namun bukan satu -satunya dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-isla>m yang lain. 117 115 Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual, 12 -18. 116 Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual (Surabaya, Risalah Gusti, Cetakan I, 2005), 44. Ayat al-Qur’an dimaksud adala Surat A>li Imra>n (3): 19. Artinya “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam”. 117 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 429. Dalam karya tulisnya yang berjudul “Islam di Indonesia: Masalah Ajaran Universal dan Lingkungan Budaya Lokal”, NCM merujuk pendapat Ibn Tay yah yang menyatakan bahwa Islam atau al-Isla@m yang dimaksud sebagai hukum ketundukan makhluk kepada Khaliknya adalah “Islam umum” yang tidak terbatas 118 S uha im i Tanggal 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang berdasarkan pertimbangan so sial-politik dan diselaraskan dengan pandanganpandangan teologis berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an: Surat A>li Imra>n (3): 85 dan 19, Surat al-Ka >firu >n (109): 6, Surat al-Ahza>b (33): 36, Surat ‘Abasa (80): 8-9, Surat al-Qas}as{ (28): 77, Surat alAn’a>m (6): 116, dan Surat al-Mu’minu>n (23): 71. 1 18 Dari pertimbangan inilah MUI kemudian membuat definisi sendiri istilah sekularisme, liberalism e dan pluralisme sbb. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan berdampingan hidup di surga. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas dan hanya menerima doktrin -doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan oleh ruang dan waktu dan juga merupakan agama semua Na dan Rasul, maka dalam pengertian itu pulalah terdapat salah satu makna penting universalisme “Islam khusus”, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, penutup para Rasul. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Juli 1995), xii-xiv. 118 Diantaranya QS. Surat A>li Imra>n (3): 19. Artinya: Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam. 119 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. 119 Berdasarkan definisi tersebut, MUI pun membuat ketentuan hukum, yaitu bahwa: Pluralisme, sekularisme dan liberalisme … adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat muslim yang tingga bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap m elakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. 1 20 Perbedaan definisi tentang pluralisme terlihat antara pengertian pluralisme yang dikeluarkan dalam fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/2005 dengan definisi pluralisme yang dimaksudkan oleh NCM terlihat bahwa MUI membawa terma ini ke dalam wilayah teologis, sementara NCM lebih membatasinya pada tataran pengertian sosiologis dengan mengakui kesamaan fungsi dan kedudukan semua agama dalam rangka membangun saling pengertian dan saling menghormati antar sesama pemeluk agama. NCM hanya mengakui bahwa semua agama itu sama-sama benar bagi pemeluknya sehingga tidak terjadi saling melecehkan antar sesama pemeluk agama. Sedangkan MUI menilai bahwa pluralisme itu sama dengan relativisme. Tanda pluralism e yang benar, menurut Frans Magnis Suseno, adalah pengaku -an terhadap perbedaan di antara agama-agama dan 119 Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa Nomor 7/MUNAS VII/MUI 120 Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa Nomor 7/MUNAS VII/MUI /II/2005. /II/2005. 120 S uha im i kesediaan menerima kenyataan bahwa manusia mempunyai agama yang berbeda, hal itu tidak sama dengan relativisme yang menolak pluralitas dan toleransi, karena relativisme menuntut agama melepaskan terlebih dahulu keyakinan subjektivitas mereka, bahwa mereka benar. Sedangkan pluralism e mengakui kebenaran agama masing-masing, namun pada saat yang sama mendukung upaya pencarian titik-titik persamaan dalam nilai-nilai yang berbeda.1 21 Menurut NCM, fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi terhadap pluralism e, sangat kohesif dengan nilai-nilai Pancasila yang sejak awal mencerminkan tekad dar berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (common platform) dalam kehidupan bernegara. Ia melihat ideologi Pancasilalah yang telah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralism e keagamaan. 1 22 Dengan demikian, diharapkan pemikiran itu dapat memberikan alternatif untuk memperkaya dan memperkuat masyarakat sivil (civil society) melalui modal saling memahami dan bertoleransi. Menurutnya pluralism e harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bond of civility). Oleh karena itu, pluralisme menjadi suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, termasuk masyarakat Indonesia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance) yang dihasilkannya, hal ini justru sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 12 3 Sebagai suri teladan umat manusia, Nabi Muhammad saw telah memberi contoh bagaimana mewujudkan semangat Ket nan Yang Maha Esa yang bersambung langsung dengan wawasan sosial keagamaan dan politik yang berjiwa paham kemajemukan (pluralis) dan yang serba meliputi (inklusif) itu dalam Masyarakat Madinah. 121 Frans Magnis Suseno, “Islam’s Contribution to a Pluralism Indonesia”, dalam Farinia Fianto, ed., Islam and Universal Values (Jakarta, ICIP, First edition, 2008), 39. 122 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonersia , 230. 123 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 103. 121 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id Dikaitkan dengan perkembangan global yang menyangkut bangsa Indonesia sekarang, wawasan Madinah itu bersambung langsung dengan perjuangan mengembangkan masyarakat madani, civil society.1 24 Vaclac Havel, seorang pejuang dan cendikiawan civil society yang kemudian menjadi Presiden Cekoslowakia, menggambarkan masyarakat madani sebagai masyarakat yang dijiwai oleh cita -rasa baik (good state), yang merupakan manifestasi nyata kepekaan manusia kepada dunia, lingkungan, dan rakyat. Dia berpikiran menuju ke arah terbentuknya semacam masyarakat madani global, yang menekankan kembali nilai-nilai yang tidak dikembangkan dalam politik dunia sekarang ini, yaitu keadaban, cit-rasa baik, kejujuran, dan di atas semuanya, rasa tanggungjawab. Bagi NCM, pengertian Havel itu mengarah kepada pengertian kemanusiaan suci primordial yang lebih menyeluruh, yaitu fitrahnya dari Tuhan atau kesucian yang memancar dalam pola kehidupan umum, sehingga manusia mendapatkan segala kebaikan kemanusiaan seperti yang dicontohkan Nabi di Madinah. Oleh karena itu masyarakat Madinah menjadi tolok ukur peradaban, sehingga peradaban atau civilization disebut “madaniah” (madaniyyah), dan yang beradab atau civil adalah “madani” (madani ).1 25 Masykuri Abdillah mengeritik konsep civil society (masyarakat madani) yang dikemukakan oleh NCM sebagai “masyarakat berperadaban” berdasarkan kata “ madani ” yang berasal dari kata “ madi >nah” (kota) dan tamaddun (peradaban), karena menurutnya dalam bahasa Arab kata “ madani ” berarti juga “ civil”, seperti kata-kata “ al-ahkam al-mad aniyyah” (civil law ) atau “ alqanu>n al-madani ” (civil code) dan hal ini pun dibuktikan bahwa semua intelektual Muslim di Timur Tengah menggunakan kata almujt ama> al-madani untuk menerjemahkan civil society. Masykuri 124 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 16-21. 125 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 21. 122 S uha im i Abdillah menegaskan “Saya setuju sepenuhnya dengan konsep Cak Nur tentang konsep masyarakat berperadaban, tetapi hen Cak Nur tidak menggunakan istilah “masyarakat madani” untuk konsep ini, karena istilah ini sudah memiliki pengertian sendiri. 12 6 Syamsuddin Haris, peneliti LIPI, mengatakan tentang pencalonan NCM sebagai capres bahwa perjuangannya untuk merebut kursi presiden bukanlah suatu jalan yang rata dan mulus, selain kendala konstitusi yang mengharuskan pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden melalui partai atau gabungan partai, NCM juga akan menghadapi capres-capres partai lain yang lebih tangguh, seperti Megawati Soekarnoputri dari PDI-P dan M. Amien Rais dari PAN.1 27 Kecuali itu, dia menyebut empat kendala yang akan dihadapi NCM sebelum secara resmi menjadi capres, pertama, resistensi internal partai yang menyebutkan bahwa jabatan publik seperti presiden harus berasal dari dalam partai yang "berkeringat"; kedua, adanya pandangan yang mengatakan, tokoh -tokoh masyarakat, seperti NCM lebih pantas menjadi pengawal hati nurani; ketiga, munculnya kekhawatiran bahwa kesediaan NCM ikut konvensi Partai Golkar akan disalahgunakan kalangan partai beringin untuk merebut simpati publik, dan "membersihkan" kotoran Golkar menjelang Pemilu 2004; dan keempat, munculnya kekhawatiran lainnya, bahwa kesediaan NCM menjadi capres akan mempertajam persaingan antartokoh -tokoh Islam yang berada di partai politik, seperti M. Amien Rais, Hamzah Haz, dan lainnya. Sebulan setelah mengumumkan kesiapannya mengikuti konvensi Partai Golkar, NCM secara resmi menyatakan urung dari penjaringan calon presiden itu, tepatnya pada Kamis, 31 Juli 2003. NCM menjelaskan ada kesenjangan etika antara dirinya dan konvensi, 126 Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi”, dalam Jalaluddin Rakhmat, et al., Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Oktober 2008), 371. 127 Syamsuddin Haris, “Menimbang Pencalonan Cak Nur”, dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju Istana, (Jakarta, KPP Kelompok Paramadina, Cetakan I, Agustus 2003), 5 -9. 123 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id karena adanya pertanyaan dari beberapa tokoh Partai Golkar yang berkaitan dengan “gizi” ketika NCM menyampaikan visi dan misi di beberapa daerah kantong Partai Golkar. NCM dengan tegas mengatakan bahwa “gizi” yang dipertanyakan kalangan partai itu adalah identik dengan “uang”. Menurutnya pertanyaan soal “gizi” atau “uang” itu tidak sesuai dengan platform politik yang ia ajukan. 1 28 Kontroversi pun terjadi dalam masyarakat, baik dari kalangan politisi, intelektual maupun aktivis tentang munculnya NCM dalam kancah pemilihan presiden. Ada yang berbasa-basi formal bahwa pencapresan NCM akan menjadikan pemilu 2004 sebagai pesta demokrasi yang sesungguhnya, namun masyarakat umum terutama memberikan respon s bahwa mereka menunjukkan kerinduan rakyat terhadap adanya platfo rm yang selama ini tidak pernah terasakan wujudnya dalam gagasan maupun pelaksanaan.129 Sementara yang lainnya merespon dengan nada sedikit pesimis, bahwa NCM akan menghadapi banyak kendala dan hambatan yang tentunya akan menghadang langkah dan jalan pencalonannya sebagai presiden. Dem ikian pula M . A lfan A lfian M melihat beberapa kelemahan yang ada pada diri NCM dalam pencalonannya sebagai capres. Menurutnya NCM tidak memimpin sebuah ormas Islam, seperti Abdurrahman Wahid yang memimpin NU atau M. Amien Rais yang pernah menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah. Meskipun memang pernah dua kali dia memimpin organisasi mahasiswa Islam seperti HMI, tapi jabatan itu telah lama dipikulnya. 1 30 NCM juga tidak bergerak pada tataran massa, seperti partai politik yang menjadi salah satu syarat untuk menuju capres. Selama ini, ia hanya bergerak dalam ranah ide, gagasan dan konsep yang terbatas pada segmen kelas menengah perkotaan. Kelemahan lainnya, NCM tidak pernah 128 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 86. Veven Sp. Wardhana, ”Platform Capres atau Capres Platform”, dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju Istana , 43. 130 M. Alfan Alfian M., “Konsekuensi Kesediaan Cak Nur”, d Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju Istana, 11 -12. 129 124 S uha im i secara langsung mencemplungkan diri ke dalam kepengurusan partai politik dan belum berpenga-laman sebagai orang "dalam sistem". Senada dengan Alfan, Saifullah Yusuf, ketua umum PP Gerakan Pemuda Ansor menyebutkan beberapa kritik yang bisa diajukan terhadap munculnya NCM sebagai kandidat presiden.13 1 Pertama, latar belakangnya yang lebih banyak dikenal sebagai seorang ilmuwan, selama dalam dua dekade terakhir, yang berdam ak pada adanya pengakuan publik bahwa dirinya agak teralienasi terhadap wilayah politik praktis, seperti pemerintahan. Pengalaman NCM sebagai ilmuwan bisa menjadi kekuatan, tapi sekaligus kelemahan dalam urusan politik praktis, khususnya pemerintahan seperti pernah dialami Abdurrahman Wahid dalam memimpin bangsa dan negara ini, Kedua, munculnya NCM sebagai capres bisa menimbulkan kecemburuan politik dari tokoh -tokoh politik yang terlibat langsung dari arena politik praktis. Ketiga, NCM tidak memiliki instumen politik yang kuat dan massa yang terukur. Sebab, selama ini ia lebih banyak terlibat dari dunia keilmuan yaitu di lingkungan terbatas, dan ia hampir tidak pernah berkiprah langsung dengan kalangan masyarakat. Apalagi, dukungan terhadapnya dari partai-partai politik masih belum jelas. Baik Partai Golkar, PKB, maupun partai-partai politik lainnya, yang pernah melontarkan dukungannya masih dihadapkan pada kenyataan politik yang menjadi problem internal partai-partai tersebut. Yang jelas, menurut Saifullah, peluang NCM untuk terpilih menjadi Presiden pada Pemilu 2004 hampir sama dengan kendala yang dihadapi, tetapi kehadirannya di bursa capres memberi bobot positif bagi perkembangan demokrasi di tanah air. Di tengah kepungan berbagai kendala dan hambatan yang akan dihadapi NCM dalam pencalonannya sebagai presiden, seperti dikemu kakan para pengamat politik di atas, NCM tetap dianjurkan untuk tetap meneruskan langkahnya ikut pernilihan presiden pada Pemilu 2004. Arief Budim an, guru besar di Universitas Melbourne, Australia, misalnya, tetap mendorong N C M u n tu k teru s m aju iku t p ro s es 131 Saifullah Yusuf, “Menimbang Calon Presiden” dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju Istana , 52-57. 125 B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id cap res , d en gan menunjukkan beberapa alasan.132 Antara lain: NCM menjadi tokoh alternatif yang bisa menjadi presiden yang d ibutuhkan Indonesia; NCM merniliki kemungkinan besar untuk menang karena ia tokoh Islam yang disegani dan diterinta oleh berbagai kalangan, baik Islam maupun non -Islam; Golkar yang menjad ; pilihan NCM dalam konvensi merupakan partai politik paling profesional dan mempunyai pengaruh besar di aparat pemerintahan —jadi sebagai kendaraan politik, Golkar bisa diharapkan akan cukup efektif; NCM memiliki karier dan prestasi yang cukup baik, sehingga dia bisa menjaga integritas keprib ad iannya dengan baik— karena itu, b ila ia menjadi presiden, maka ia diharapkan iharapkan tetap mempertahankahs fkapn pendiriannya; NCM tentu tahu bahwa terjun ke kancah politik, baik menang maupun kalah, akan menurunkan pamornya tidak segemilang ketika ia masih "berumah di atas angin"; dan NCM akan menemukan malapetaka bila ia gagal menjadi presiden yang baik, seperti dialami Abdurrahman Wahid. Muhammad Qodari, peneliti CSIS, menganjurkan NCM agar mempertahan -kan diferensiasi politiknya sebagai "guru bangsa" dan calon presiden independen bila ia tetap ingin maju dan mau meraih sukses dalam kompetisi penjaringan capres. Menurut Qodari, 1 33 seharusnya NCM dan tim suksesnya menyadari dan memanfaatkan betul potensi "diferensiasi" NCM sebagai selling point dalam pasar bebas Pemilu 2004. Yang dimaksud "diferens " politik ialah bahwa NCM sebagai guru bangsa memiliki sejumlah karakteristik yang berbeda secara kontras dengan mayoritas capres dan politik lainnya di tanah air ini. Banyak orang mengakui bahwa NCM adalah tokoh Islam yang bersih, bermoral, cerdas, santun, berwawasan luas dan dalam serta bijaksana. Dengan keunggulan utama semacam ini, NCM dapat dianggap bagaikan sebuah produk dan komoditas baru yang mulai masuk ke pasar politik untuk 132 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 91. Muhammad Qodari, “Mengapa Cak Nur Bersedia Menjadi Calon Presiden?” dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju Istana , 37-41. 133 126 S uha im i meramaikan bursa capres. Produk atau komoditas baru tentu akan mendapat perhatian serius bagi para pembeli politiknya, dan karenanya akan menjadi saingan langsung bagi produk atau komoditas lama yang sebenarnya mulai tidak diperhatikan para pembeli politik. Namun, menurutnya, keunggulan utama NCM ini tidak dimaksimalkan, baik oleh NCM sendiri maupun tim suksesnya. 127 Bahasa Politik Nurcholish Madjid BAB IV NASIONALISME DALAM PANDANGAN NUIRCHOLISH MADJID Nasionalisme sesungguhnya merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, bai dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun perubahan -perubahan pada tingkat global. 1 Demikian Azyumardi Azra mendefinisikan nasionalisme, dalam kerangka itu, menurutnya terdapat tiga tahap perkembangan nasionalisme di Asia Tenggara, Pertama tahap “protonasionalisme” atau fase nyerapan gagasan nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasiorganisasi, Kedua fase yang sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural, nasionalisme di Indonesia saat ini bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa. Ketiga fase penekakanan nasionalisme ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan.2 Dalam bab ini, penulis menguraikan bagaimana pandangan nasionalisme di Indonesia menurut dilihat berdasarkan tinjauan historis. A. Fase Awal Nasionalisme di Indonesia NCM menuliskan sepuluh butir platformnya dalam sebuah buku Indonesia Kita yang berisikan pembahasan tentang nasionalisme klasik di bumi Nusantara pada zaman kerajaan kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Aceh sebagai latar belakang hingga masa kristalisasi kesadaran kebangsaan karena perlawanan kepada penjajahan. Dia melanjutkannya dengan uraian masa kebangkitan nasionalisme modern dan konsolidasinya melalui proses eksperimentasi pelaksanaan ide-ide tentang modern nation state Republik Indonesia. 1 Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana Kekuasaan (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000), 112. 2 Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia dan 105Asia Tenggara”, 105-112. 128 Suhaimi Pada bagian akhir buku itu, NCM membahas penilaian tentang krisis multi dimensional yang sedang dihadapi leh bangsa Indonesia saat ini, kemudian dia menawarkan jalan keluar dari krisis itu secara garis besar melalui deretan butir-butir sebuah platform. Apa tujuan NCM menyampaikan sepuluh platform politik “Membangun Kembali Indonesia” kepada masyarakat? Dengan menirukan Ibn Khaldun saat menutup pembahasannya dalam Muqaddimah, menurut NCM, apa yang dicoba lakukan adalah menyampaikan wacana sebagai suatu rintisan, dengan harapan bahwa siapapun yang memberikan keprihatinan yang sama, khususnya dari kalangan generasi penerus, akan mengembangkan dan memperbaikinya, dan melaksanakannya dengan memberi teladan sebaik-baiknya untuk warga masyarakat. 3 Wacana ini menjadi penanda keprihatinan NCM terhadap persoalan kr is multidimensional yang menimpa bangsa Indonesia saat ini akibat tindakan dan perilaku pihak yang tidak benar dari masa lalu. Kebanyakan mereka hanya memikirkan kepentingan diri dan golongannya saja sehingga pembangunan untuk mewujudkan citacita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bertambah jauh dari kenyataan. Barangkali seperti peringatan Mohamma Hatta dalam risalahnya Demokrasi Kita, “sekarang ini pun Indonesia adalah sebuah negara besar yang hanya menemukan orang-orang kerdil! Dan mengulangi sikap Bung Hatta saat itu, mungkin sekarang pun kita terpaksa harus memberi “ fair chance” kepada pihak-pihak yang tidak sadar, untuk membuktikan sendiri apakah sistem dan jalan pikiran mereka akan berhasil atau gagal”. 4 Jika disandingkan dengan beberapa karya kepustakaan NCM yang lain, sebelum tahun 1970 sebenarnya NCM telah menulis karya penting yang menjadi dasar ideologi gerakan HMI, yaitu Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Walau beda cara penuturan kalimat dengan tulisan -tulisannya yang lain, dasar pemikiran NDP adalah sama, yaitu teologi inklusif dan 3 4 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 5. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 4. 129 Bahasa Politik Nurcholish Madjid humanistik.5 Pada tanggal 3 Januari 1970 dia berpidato dengan judul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” di Gedung Pertemuan Islamic Reseach Centre, Menteng Raya, Jakarta, 6 serta pada tahun 1992 dia berceramah dengan judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang”.7 Pendulum sikap kritis NCM bergerak dari otokritik kritik atas keadaan umat Islam dan khazanahnya, penawaran alternatif pemecahan, laboratorium implementasi gagasan yang dikembangkan, sampai kepada membangun apresiasi atas realitas secara lebih mendalam, dengan tidak mengurangi sikap santun dan kritisnya.8 Dalam hal ini, NCM tidak sendiri, sejumlah tokoh lain baik dari kalangan lahir 1940-an seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dkk atau kalangan setelahnya 1950-an, seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, M. Amin Abdullah, Masdar Farid Mas’udi dkk mengembangkan sikap keilmuan terbuka.9 Setelah angkatan 1950 -an, seiring dengan jumlah alumni mereka yang berpendidikan tinggi di Barat dan bertamba ya PTAIN atau PT umum, secara umum mereka yang bersinergi dengan pemikiran terbuka NCM bertambah dalam menjawab 5 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, dalam Abdul Halim, ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan (Jakarta, Kompas, Cetakan Kedua, Oktober 2006), 120 -121. 6 Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dalam Agus Sudibyo, ed. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung, Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998), 204. 7 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, 131. 8 Budhy Munawar-Rachman, “Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah Pemikiran Neomoder-nisme Islam di Indonesia,” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Maret 2004), 437-467. 9 Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke Apresiasi”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari Juni 2010, 58. 130 Suhaimi persoalan bagaimana hubungan keagamaan dan kemoderenan berkaitan dengan proses pembangunan bangsa Indonesia (nation building) yang maju. Nation building di sini maksudnya adalah cara pandang dunia yang bersinergi antara kegamaan, kebudayaan atau keindonesiaan dengan modernitas. Sinergi hubungan ketiganya menjadi prasyarat untuk membangun Indonesia maju. Untuk memberikan kontribusi dalam proses ini, NCM terlibat bahkan mempelopori dalam pergulatan wacana re keagamaan dan modernitas dalam konteks keindonesiaan, melalui aktivisme dan pemikiran.1 0 Dalam buku Indonesia Kita karya NCM, proses pembangunan bangsa Indonesia (nation building ) tersurat dengan jelas sekali dalam daftar isinya yang berisikan perjalanan nasionalisme Indonesia dan disusun berdasarkan kerangka karangan dengan pola alamiah yang merujuk pada urutan kejadian suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa secara kronologis, 11 seperti terlihat di bawah ini: Mukadimah Nasionalisme Klasik di Bumi Nusantara Lahirnya Nasionalisme Modern Indonesia Tentang “Negara -Bangsa” (“Nation -State”) “Negara-Bangsa” dan Nasionalisme Indonesia Kita (I) Indonesia Kita (II) Indonesia Menuju Masa Depan Platform Membangun Kembali Indonesia Nasionalisme di Indonesia dalam sejarahnya sangat dipengaruhi oleh budaya India, baik warisan Hindu Jawa maupun nasionalisme India kontemporer. Wacana nasionalisme Indonesia banyak diwarnai oleh kebanggaan sejarah akan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dan dipengaruhi oleh simbol-simbol Hindu -Jawa. 10 Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke Apresiasi”, 59. 11 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , 221. 131 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Kitab “Negarakertagama” menceritakan bahwa Majapahit adalah zaman yang serba indah dan megah, masyarakat hidup sejahtera, kedamaian, dan kehidupan sosial yang harmonis.12 Dalam kitab itu, diceritakan pula bahwa Kedaulatan Majapahit ditegakkan dengan kuat oleh Raja Dyah Hayam uruk Sri Rajasanegara, sehingga barangsiapa yang keluar dar kesatuan Nusantara akan dipertahankan meskipun harus menggunakan kekuatan senjata. Raja mencoba untuk menciptakan sinkretisme antara Syiwa, Budha dan Brahma, agama Hindu dan Budha p bersama-sama tanpa ada pertentangan.1 3 Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh George Coedes, seorang arkeolog Prancis, seperti dikutip oleh Taufik Abdullah tentang sejarah Asia Tenggara Kuno dalam bukunya yang diterbitkan di Paris dengan judul Les Etats Hindouié d’Indo -Chine et d’Indonesie (1964) bahwa banyak kerajaan-kerajaan di kepulauan Indonesia dan di wilayah -wilayah yang sekarang secara konvensional disebut mainland Southeast Asia (daratan Asia Tenggara) yang telah dipengaruhi Hindu (atau lebih tepat, barangkali, India). 14 Lebih jauh lagi, Harry Benda membagi sejarah Asia Tenggara atas tiga wilayah kultural bahwa sebagian terbesar dari kawasan ini boleh disebut sebagai Indianized Southeast Asia , Asia Tenggara yang telah di-India -kan, ia sengaja memilih kata “India”, sebab istilah “Hindu” (yang dipakai Coedes) lebih menu agama tertentu, padahal banyak kerajaaan kuno yang beragama Budha atau, seperti halnya beberapa kerajaan kuno di Indonesia, mengalami perubahan orientasi keagamaan.15 Kedua ialah apa yang disebutnya sebagai Sinicized Souteast Asia, yaitu yang telah “diCina-kan” seperti wilayah orang Vietnam, kecuali di Vietnam 12 Andrik Purwasito, Imajeri India, Studi Tanda dan Wacana (Surakarta, Pustaka Cakra, 2002), 407. 13 Andrik Purwasito, Imajeri India, Studi Tanda dan Wacana , 407. 14 Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara , iii-iv. 15 Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara , vi-vii. 132 Suhaimi Selatan yang juga pernah ada sebuah kerajaan yang “Indianized ”, Champa, yang dihancurkan dalam proses gerak maju orang Vietnam ke Selatan. Dan, ketiga, Hispanized Souteast Asia, yang di-Spanyolkan, yang telah jelas maksudnya di sini ialah F lipina. Gerakan nasionalisme di Indocina berpusat di Vietnam. Tradisi nasionalisme mereka berawal dari perjuangan kemerdekaannya yang panjang melawan Cina. Kaum nasionalis Vietnam yang tampil melawan kolonialisme Prancis merupakan produk pendidikan Prancis sendiri. Sementara kolonialisme Spanyol di Filipina menghasil-kan pola yang bercirikan sistem feodalisme tanah.16 Keadaan ekonomi orang-orang mestizo yang relatif baik membawa para pemuda untuk belajar di Eropa. Mereka dinamakan ilustrado (orang-orang tercerahkan). Pada dasawarsa 1880-an, mereka menjadi kelompok cendikiawan yang pertama di daerah koloni dan memulai suatu serangan budaya terhadap klerikalisme, dan kemudian terhadap dominasi politik Spanyol. Tidak kurang signifikannya adalah kenyataan bahwa dengan belajar di sekolah yang sama, membaca buku yang sama, nulis untuk jurnal yang sama, dan menikah dengan saudara dan sepupu satu sama lain, mereka membuka konsolidasi atas kesadaran sendiri mengenai suatu strata mestizo Filipina Raya (kecuali untuk wilayah Moro).17 Indonesia berdasarkan wilayahnya merupakan kelanjutan dari wilayah kekuasaan penjajahan Belanda yang dikenal sebagai “Hindia Belanda” atau “Hindia Timur Belanda” (Dutch East Indies), tapi sebagai suatu bangsa, Indonesia tidak dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda, melainkan justru oleh semangat perlawanan terhadap penjajahan itu bersenjatakan Islam sebagai 16 Benedict Anderson, Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, (London and New York, Verso,Revised Edition, 1991), 124 -125. 17 Benedict Anderson, Imagined Communities,126 . 133 Bahasa Politik Nurcholish Madjid dasar nasionalisme dan patriotisme.18 Kaum nasionalis Indonesia pertama adalah mereka yang beruntung dapat menikmati pendidikan berkat Politik Etis pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pengalaman bersama di sekolah terutama memberikan kesempatan bagi mereka untu k membayangkan diri sebagai satu “komunitas”. Sejak akhir abad ke-19, di Hindia Belanda berkembang aktivitas penerbitan, yang awalnya dikendalikan oleh orang-orang Tionghoa peranakan dan Indo -Eropa. Para priyayi pemerintah dan orang partikelir dengan cepat melibatkan diri dalam aktivitas ini, pada awal abad ke-20, sudah mulai menjalankan penerbitannya sendiri. Melalui penerbitan ini mereka mulai mengungkapkan dan membaca tentang adanya “komunitas” yang lebih luas dar ikatan ikatan yang selama ini mereka kenal.19 Periode akhir tahun 1970-an dan 1980 -an beberapa ilmuwan mendominasi pembahasan tentang nasionalisme seperti a.l. Eric Hobsbawm, Ernest Gellner, Anthony Smith dan Benedict Anderson. Gellner mendefinisikan kata “ nation ” sebagai suatu bentuk kesadaran berbagi “kebudayaan” dalam berbagai bentuknya. Dia kemudian mengartikan nasionalisme sebagai “semacam patriotisme khusus yang menjadi penting ketika terjadi kondisi sosial tertentu seperti terlihat pada dunia modern dan di manapun tempat lainnya”. Contohnya saat ini adalah “chauvinisme kebudayaan”.20 Hal itu serupa dengan Anthony Smith yang memberikan semacam “definisi kerja” tentang sebuah “ nation ” atau bangsa yang modern adalah “suatu nama bagi serumpun populasi sia yang berbagi mitos dan ingatan sejarah, suatu kebudayaan massa, 18 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban “Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemo an” (Jakarta, Universitas Paramadina, Cetakan V, Agustus 2005), lxiv. 19 Benedict Anderson, Imagined Communities, 117. 20 Liah Green and Jonathan Eastwood, “Nationalism in Comparative Perspective”, Thomas Janoski and others,eds. The Handbook of Political Sociology States, Civil Societies, and Globalization (UK, Cambridge University, 2005), 248. 134 Suhaimi suatu tanah kelahiran, persatuan ekonomi dan berbagi persamaan hak dan kewajiban antar sesama mereka”. Namun hal itu berlainan dengan Hobsbawm yang dengan tegas mendefinisikan kata “ nation ” sebagai suatu “fenomena objektif”. Dia menandaskan pengertian “ nation ” adalah “ suatu entitas sosial yang selama ini keberadaannya ditentukan oleh hubungannya dengan semacam teritorial negara modern yaitu suatu “ nation state”.21 Benedict Anderson mencermati keterkaitan faktor kesamaan bahasa dan kesamaan pengalaman bersama yang ditimbulkan oleh karya sastra menghasilkan suatu “komunitas imajiner” yang didasari oleh perasaan senasib dan sepenanggungan di Eropa abad pertengahan. Misalnya di Ukraina, pembentukan Universitas Kharkov pada tahun 1804 menyebabkan terjadinya “ledakan kesusasteraan” Ukraina yang dimotori oleh sastrawan Taras Shevchenko, yang kemudian disusul dengan pembent sebuah organisasi nasionalis Ukraina di Kiev pada tahun 1846. 2 2 Di samping itu agama-agama besar, dalam pandangan Anderson seperti dikutip oleh Fachry Ali, telah berjasa memberikan jawaban -jawaban pelik terhadap persoalan kemanusiaan yang tak mampu ditawarkan oleh ideologi-ideologi atau penjelasan penjelasan rasional. 2 3 Bahkan keberadaan agama-agama besar telah pernah mengasuh, mempertemukan, “mempersatukan” umat manusia lintas etnis dan wilayah dalam sebuah kerangka berpikir standar dan dengan itu memberikan kenangan yang bertahan secara kolektif dalam diri manusia. 24 21 Liah Green and Jonathan Eastwood, “Nationalism in Comparative Perspective”, 248. 22 Benedict Anderson, Imagined Communities, 74. 23 Facry Ali, “Kesetaraan Wacana Demokrasi dan Wawasan Nasional”, dalam Bambang Pranowo dan Darmawan, ed. Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era Demokrasi (Yogyakarta, Aditya Karya Nusa, Cetakan pertama, Januari 2003), 10. 24 Facry Ali, “Kesetaraan Wacana Demokrasi dan Wawasan Nasional”, 10. 135 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Apa pun alasannya, menurut catatan Connor, hari ini seperti telah terjadi dua dekade sebelumnya, ethnic nationalism telah menjadi ancaman serius terhadap stabilitas politik di negara -negara seperti Belgia, Burma [Myanmar], Ethiopia, Guyana, Nigeria, the Soviet Union, Sri Lanka, Yugoslavia dan Zimbabwe. “Nationbuilding” telah gagal memberi jawaban yang tepat tentang rintangan utama pembangunan politik.25 Benarkah “nasionalisme” telah mati? Demikian Azyumardi Azra membuka tulisannya yang berjudul “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara”, yang membantah tesis klasik Daniel Bell bahwa secara implisit riwayat “nasionalisme” yang dipahami sebagai suatu ideologi telah tamat dalam karyanya, The end of Ideology (1960). Kesimpulan Bell bahwa nasionalisme sebagai ideologi telah tamat adalah kekeliruan yang cukup distortif, karena jelas “nasionalisme” tidak mati, ia memang surut dalam negaranegara maju. Menurut Hobsbawm, ahli nasionalisme Marxis, dalam bukunya Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality (1990), seperti dikutip Azra, nasionalisme kini memang tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam perkembangan historis. Ia tidak lagi menjadi program politik global sebagaimana h terjadi pada abad XIX dan XX. Namun, ini tidak berarti bahwa nasionalisme tidak begitu terkemuka dalam politik dunia sekarang ini, atau sudah sangat berkurang dibandingkan sebelumn Nasionalisme dapat menjadi satu faktor yang rumit atau katalis bagi perkembangan lain. Hal ini kemudian berdasarkan pengamatannya tentang konsep nasionalisme di Asia Teng Azra menyatakan bahwa nasionalisme sesungguhnya merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, baik dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun perubahan-perubahan pada tingkat global.2 6 25 Walker Connor, Ethnonationalism The Quest for Understanding (New Jersey, Princeton University Press, Fifth Published, 1994), 71. 26 Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan 136 Suhaimi Dalam kerangka itu, menurutnya terdapat tiga tahap perkembangan nasionalisme di Asia Tenggara, Pertama tahap “protonasionalisme” atau fase penyerapan gagasan nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasi-organisasi, Kedua fase yang sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural, nasional di Indonesia saat ini bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa. Ketiga fase penekakanan nasionalisme ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan.27 Abad ke-7 M (Masehi), menurut catatan I Tsing, seorang sarjana musafir Cina, Sumatera menjadi pulau terpenting di Nusantara, sebagai pusat peradaban Asia Tenggara. Saat itu Agama Budha mulai datang ke Sumatera dan pengaruh Budhisme Mahayana sudah muncul yang kemudian melahirkan kerajaan Sriwijaya. Pengembara Cina itu pun mencatat pada tahun 671 M, di Palembang ada pasar besar dengan para pedagang yang datang dari Tamil, Persia, Arabia, Yunani, Kamboja, Siam, Cina dan Birma. Ribuan kapal berlabuh di sana dan ada Universitas Sriw yang menjadi tempat belajar ribuan pendeta dari seluruh dunia. Jadi Palembang saat itu sebagai ibu kota Sriwijaya merupakan kota metropolitan yang kosmopolit. 28 NCM mencatat bahwa masa itu sekitar masa kerasulan Nabi Muhammad saw dan kekhalifaan Abu Bakr, ‘Uthman dan ‘Ali. Sriwijaya yang berkuasa atas Selat Malaka berperan sebagai penjaga lalulintas maritim dan perdagangan internasional yang pengaruhnya secara politik dan komersial mencapai Hainan dan Taiwan. Pada awal abad ke-11, Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya, sekitar satu abad setelah kekhalifaan Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun Dinasti Islam Banu ‘Abbasiyah pun sedang mencapai puncak kebesarannya, maka menurut NCM mungkin Kekuasaan (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000), 105112. 27 Azyumardi Azra, “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara”, 105-112. 28 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lv-lvi. 137 Bahasa Politik Nurcholish Madjid sekali Sriwijaya adalah salah satu dari rekanan dagang kaum ‘Abasi di Timur.29 Pada akhir abad ke-12, para pedagang Muslim Arab dan Persia menghadapi kesulitan berat akibat para penguasa Sriwijaya menerapkan kebijakan perdagangangan monopolistik, maka mereka mulai mengalihkan kegiatan dagang dan dakwah Islam ke tempat-tempat lain di Nusantara. Hasilnya bukan saja hubungan dagang yang berkembang, tapi juga hubungan religio -kultural dan politik diperkuat. Kapan Islam pertama kali datang ke bumi Nusantara? Apakah sejak abad ketujuh M atau abad ke-12 M? Bisa saja seperti yang TW Arnold kemukakan bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad pertama Hijri, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselerasi abad ke-12 dan ke-16. 3 0 Para penyebar pertama Islam di Nusantara adalah para pedagang muslim yang berdakwah Islam bersamaan dengan melakukan perdagangan di wilayah ini, maka nucleus 29 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lviii. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta, Prenada Media, Cetakan ke-2, Oktober 2005), 12. Lebih lanjut dalam buku ini Azra menjelaskan berdasarkan pada data sejarah lokal d literatur sejarah Melayu-Indonesia, AH. Johns menyatakan kecilnya kemungkinan p pedagang muslim memainkan peranan terpenting dalam penyebaran Islam di kawasan Nusantara, melainkan para sufi pengembaralah yang terutama berdakwah Islam di sana. Menurut Johns, banyak sumber lokal yang mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru -guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Sebagian mereka dapat mengawini putri-putri bangsawan dan memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau karisma keagamaan. Setelah Baghdad jatuh ke tangan laskar Mongol pada 656 H/1258 M, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam memelihara keutuhan Dunia Muslim dengan menghadapi tantangan pengepungan kawasan-kawasan kekhalifaan dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia dan Turki. Secara bertahap, tarekat sufi institusi yang stabil dan disiplin serta mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan yang ikut membentuk masyarakat urban. 30 138 Suhaimi komunitas-komunitas muslim pun terbentuk, yang pada gilirannya memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Sebagian mereka kawin dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkin kannya atau keturunan diri mereka mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam. Peranan penting para pedagang dalam dakwah Islam di kawasan Asia Tenggara terus berlanjut, sehingga kawasan itu menyatu dalam pola budaya hemispheric Islam, Islam saat itu meliputi seluruh belahan bumi yang setara dengan dimensi “global” sekarang ini. Ketika itulah bangsa-bangsa Eropa yang di dahului oleh Spanyol dan Portugis dari Semenanjung Iberia datang ke Nusantara.31 Mereka mengembara ke seluruh muka bumi setelah berhasil dengan gerakan reconquista (penaklukan kembali orangorang Iberia atas kaum muslim) dengan tujuan menemukan jalur perdagangan sendiri langsung ke India dan Timur jauh (khususnya Cina dan Maluku), sehingga tidak tergantung kepada para pedagang Muslim Arab, Persi, India dan Cina. Keserakahan bangsa Portugis dan Spanyol yang menjajah bangsa-bangsa di Asia Tenggara hanya terhambat oleh perlawanan sengit dari masyarakat dalam lingkungan peradaban hemispheric Islam yang sudah mapan. Sejak awal proses islamisasi, ya sejak abad ke-13 ke atas, peranan Islam dalam membangun protonasionalisme di Indonesia sangat penting. Islam telah datang menyatakan kesetiaan mayoritas penduduk di Indonesia dalam sistem sosio -politik, kultural, maupun ekonomi.32 Dari abad ke-14 mobilitas ulama di dunia Melayu dan materi kitab yang produksi menjadi faktor penting bagi tersebarnya karya-karyaIslam Melayu di seluruh Nusantara. Hal ini membangkitkan perasaan persatuan di antara pembaca yang kemudian menjadi cikal 31 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 14 . Menurutnya dalam buku ini orang Arab menamakan Semenanjung Iberia di Eropa Barat Daya secara keseluruhan sebagai Andalusia yang selama lima sampai abad berada di bawah kekuasaan Islam. Kaum muslim berhasil membangun ndalusia menjadi pusat peradaban dunia, khususnya untuk wilayah Barat ( Al-Maghrib ). 32 Andi Faisal Bakti, Nation Building , xxi. 139 Bahasa Politik Nurcholish Madjid bakal persatuan Indonesia.33 Pada abad ke -14 inilah Samudra Pasai menjadi pusat aktivitas Islam dan pertemuan ulama di Nusantara. Raja Pasai Maulana Malik al-Zahir (1326-1371), sangat gemar belajar. Dia dikelilingi oleh ulama dari berbagai bangsa, khususnya ulama Persia. Dia mengangkat Qadi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj al-Din dari Isfahan sebagai penasihat sultan dan anaknya. Kendati Islam tidak menciptakan kesatuan politik, tapi sejak abad ke-15, Islam mulai menyediakan pondasi bagi manifestasi integrasi budaya. Arus aktivitas pedagang dan pengembaraan ulama serta penggunaan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi merupakan tulang punggung bagi integrasi budaya itu. Kolonialisme yang datang kemudian bahkan membantu untuk mempertahankan pondasi itu. 34 Ketika Dinasti Uthmani berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453, supremasi politik dan ltural Rum (Turki Utsmani) disebarkan ke berbagai Dunia Muslim, termasuk Nusantara dan Turki Uthmani menutup pintu perdagangan (antara lain dalam rempah -rempah) bagi bangsa-bangsa Barat yang sangat membutuhkannya.35 Oleh karena itu saat abad ke -16 sampai paruh kedua abad ke-17 terjadi perang memperebutkan kekuasaan di Kawasan Lautan India antara Portugis melawan Dinasti Uthmani, kaum Muslim Nusantara banyak berinisiatif menjalin hubungan politik dan keagamaan serta perdagangan dengan Dinasti Uthmani.36 Di samping itu, sejak Belanda datang pada abad ke-17 yang ditandai oleh hadirnya maskapai perdagangan Belanda Verrenidge Oast Indische Companie (VOC) bulan Maret 1602, ekspansi kekuasaan Belanda terancam oleh perlawanan Islam lokal yang 33 Andi Faisal Bakti, Nation Building , 8. Andi Faisal Bakti, Nation Building , 5. 35 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 -1942 (Jakarta, LP3ES, Cetakan kedelapan , Mei 1996), 26. 36 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 35-50. 34 140 Suhaimi dipimpin oleh penguasa Indonesia, bangsawan yang masuk Islam dan ulama fanatik di pedesaan. Dalam bidang sosial-politik mereka dipimpin para sultan, sedang dalam bidang sosial-keagamaan mereka dipimpin para ulama.37 Dengan demikian aparat kolonial Belanda tidak pernah dengan mudah berhubungan dengan Islam Indonesia. Dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif mengutip ilustrasi yang ditulis oleh Harry J. Benda dalam bukunya Continuity and Change in Southeast Asia , bahwa “Sering sekali konsolidasi ekspansi kekuasaan mereka diancam oleh pemberontakanpemberontakan lokal yang diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh penguasa-penguasa Indonesia yang telah mengikuti iman Nabi, atau, pada tingkat desa, oleh ulama fanatik”. 38 Bahkan Abd alShamad al-Palimbani (1740-1789), ulama besar asal Palembang mengirim surat-surat dari Mekah kepada penguasa Mataram untuk melakukan jihad melawan Belanda.39 Di samping itu al-Palimbani terkenal dengan karyanya Nas}i >hah Al-Muslim wa Tadhkirah AlMumini >n fi > Fad}a>il Al-Jiha>d fi> Sabi>l Alla>h wa K ara>mah al-Muja>hidi>n fi > Sabi>lilla>h, dalam bahasa Arab yang menjelaskan wajib bagi kaum Muslim melancarkan perang suci melawan kaum kafir. Dia menutup karyanya dengan sebuah doa pendek yang akan membuat kebal orang-orang yang berjihad tak terkalahkan. 40 Snaouck Hurgronje menyatakan karya AlPalimbani itu merupakan sumber utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang panjang melawan Belanda, kumpulan tulisan yang dikenal sebagai Hikayat Prang Sabi yang berperan penting dalam menunjang semangat juang orang Aceh berperang melawan Belanda sepanjang tahun 1873 hingga l 37 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 24 . Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta, LP3ES, Cetakan Pertama, Febrauari 1985), 52. Lihat juga Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia , (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1972), 83. 39 Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 106. 40 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 359 . 38 141 Bahasa Politik Nurcholish Madjid abad ke-20. Azra mencatat bahwa Al-Palimbani adalah salah satu tokoh neo -sufisme yang secara radikal melakukan pembaruan tasawuf dari ajaran kepasifan dan penarikan diri kepada aktivisme pemenuhan kewajiban duniawi seperti jihad melawan bangsa kafir. 41 Dengan demikian aktivitas ulama menjadi faktor formatif dalam pembentukan nasionalisme Indonesia karena merekalah yang menyediakan sarana untuk mengekspresikan kebencian rakyat terhadap pendudukan asing yang hegemonik. 42 Islam telah menjadi sebagai dasar ikatan solidaritas dari komunitas-komunitas pemeluknya, sebelum cita-cita nasionalisme yang telah dirumuskan sebagai dasar keutuhan bangsa terwujud, maka Islam telah memberikan dasar cita kesatuan dan anti kolonialisme, hal 43 yang merupakan landasan perkembangan nasionalisme. Di antara perang yang terkenal antara umat Islam dan kaum kolonialis Belanda ialah Perang Paderi (1821-1837), di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825 -1830) di Jawa Tengah, dan Perang Aceh sebagai perang terlama dan terkejam dari tahun 1872 sampai 1921. Berdasarkan fakta inilah, Ibrahim Alfian pat bahwa mitos penjajahan Belanda terhadap Indonesia selama 350 tahun harus ditolak karena tidak cukup alasan untuk itu.4 4 Sebab hal itu hanya berlaku atas sebagian kecil wilayah yang terbatas berada di daerah -daerah tertentu di pulau Jawa. Di daerah lain, seperti Aceh, kekuasaan Belanda misalnya hanyalah berlangsung tahun 1872 sampai tahun 1942. Sampai dengan pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda masih terus abai terhadap pendidikan kaum pribumi dan menghindarkan diri dari campur tangan yang berlebihan terhadap urusan -urusan keagamaan kaum pribumi. Hal 41 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 359 -360. 42 Andi Faisal Bakti, Nation Building , xxi. 43 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta, LP3ES, Cetakan Kedua, Mei 1996), 234 -235. 44 Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, 53. 142 Suhaimi itu disebabkan antara lain keinginan untuk tetap mempertahankan perbedaan status superioritas Barat terhadap kaum pribumi dan kepentingan ekonomi.4 5 Pengetahuan dan pendidikan di Hindia masih serupa dengan pendidikan di kebanyakan sistem religio politik tradisional di seluruh dunia yang cenderung disubordinasikan pada yang sakral. Agama menjadi dasar alasan, tujuan, dan isi dari pendidikan tradisional serta menjadi penyedia guru-guru dan tempat bagi proses belajar. Akibat pengaruh politik kaum Liberal dalam berbagai persoalan tanah jajahan, maka terjadi perubahan sikap kolonial terhadap pendidikan kaum pribumi di Hindia pada paruh kedua abad ke-19. Hal itu penting untuk mendukung ekonomipolitik industrialisasi dan birokrasi, meskipun akan mengancam superioritas bangsa kolonial, karena itu pendidikan yang dibangun pemerintah kolonial didasarkan pada prinsip segregasi etnik dan hirarki status.46 Dalam situasi ini, pemerintah Belanda merencanakan 25.000 fasilitas-fasilitas pendidikan yang bisa 45 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 86. Atas dasar pasal 6 Garis-Garis Besar Pelaksanaan Hukum untuk Hindia yang dikeluarkan tahun 1848: Penduduk Hindia diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori yang berbeda. Pertama, orang-orang Eropa dan yang secara resmi diperlakukan setara dengan orang-orang Eropa-yaitu semua orang pribumi (Boemipoetra) yang beragama Kristen. Kedua, kaum Boemipoetra dan mereka yang diperlakukan setara dengan kaum Boemipoetra, yaitu orang-orang Arab, Moor, Cina, dan semua penganut Muslim serta penganut agama lainnya. Dalam praktiknya, klasifikasi ini menjadi lebih rumit lagi. erdapat beberapa substratum untuk setiap kategori social. Dalam kelompok kategori yang secara teoritis dianggap sebagai setara dengan orang Eropa, masih ada tingkatantingkatan hierarki: yaitu mereka yang berdarah Eropa murni berada di tingkatan teratas, orang-orang Eurasia (Indo ) berada di tengah, dan kaum pribumi beragama Kristen di lapis bawah. Situasi yang sama juga berlaku pada kelompok kategori Boemipoetra sesuai dengan kedekatan individu da symbol-simbol kekauasan dan otoritas politik. Hierarki itu berkisar ari mkaum terpandang (priyayi kelas atas, bangsawan); para pegawai pada keluarga-keluarga Eropa dan Boemipoetra yang terkemuka; kemudian priyayi-priyayi kecil ataupun para pegawai pemerintah yang rendahan dan keluarga-keluarga kaya, dan yang terakhir para petani kecil, pedagang kecil, dan orang-orang biasa lainnya. Seperti dikutip oleh Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 89. 143 46 Bahasa Politik Nurcholish Madjid dijangkau setiap penduduk. Untuk itu sekolah -sekolah pelatihan bagi para guru didirikan di berbagai wilayah, seperti di Sala (1852), Bukittinggi (1856), Tanahbatu (1862), Bandung (1866), Tondano (1873), ambon (1874), Probolinggo (1875), Banjarmasin 875), Makassar (1876), dan Padangsidempuan (1879). 4 7 Untuk melayani kelompok status yang paling tinggi diadakan pendidikan dasar bergaya Eropa yang dikenal dengan Europeesche Lagere School (ELS) yang ditempuh selama tujuh tahun. Seiring dengan perubahan kebijakan kolonial sejak tahun 1864, sekolah ini terbuka bagi kalangan yang sangat terbatas kaum pribumi dan setalah 1891, ELS juga ditawarkan kepada orang kaya “yang memenuhi syarat”.48 Tahun 1899, CT Van Deventer menghasilkan tulisan yang terkenal berjudul “Hutang Budi” yang menjelaskan bahwa kekosongan kas negeri Belanda sebagai akibat Perang Diponegoro dan Perang Kemerdekaan Belgia, telah diisi oleh dana yang diambil dari orang Hindia, karena itu sudah sepatutnya budi orang Hindia ini dibayarkan kembali. 49 Dan pada bulan September 1901, Ratu Kerajaan Belanda Wilhelmina dalam pidato tahunannya berkata tentang suatu “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk Hindia Belanda”. Sejak saat itu ditetapkan berla orientasi baru dalam perlakuan kolonial terhadap Hindia yang dikenal sebagai “Politik Etis”. 50 Pada tahun 1908, Van Deventer mengecam pemerintah kolonial dalam tulisannya pada majalah De Gids, bahwa sampai waktu terakhir, pemerintah kolonial tidak pernah memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Kebidupan rakyat sangat 47 Andi Faisal Bakti, Nation Building , 125. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 90. 49 Syafrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1945 (Jakarta, Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia, Cetakan Pertama, Januari 2008), 25. Bandingkan dengan Andi Faisla Bakti, Nation Building , 128. 50 Syafrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1945 , 26. 48 144 Suhaimi sengsara, oleh karena itu “hutang budi” itu harus dibayar dalam bentuk peningkatan kesejahteraan melalui tiga sila sebagai semboyannya yaitu “irigasi, edukasi, dan emigrasi”. 51 Pada pelaksanaan ketiga program irigasi, edukasi dan emigrasi, menurut Van Deventer yang dikenal sebagai bapak gerakan etis, pendidikan ternyata dianggap sebagai hal yang paling essensial, karena kesejahteraan kaum pribumi sulit dicapai tanpa adanya orang pribumi yang cukup terlatih untuk bisa menjalankan tugas kerjanya. Dia memimpikan Hindia lahir kembali melalui perbaikan pendidikan.52 Sedangkan di mata Abendanon sebagai pendukung gerakan etis, pendidikan merupakan pengikat persahabatan dan kepercayaan yang akan bisa menyatukan semua orang yang melangkah di jalan menuju kemajuan. Kebijakan politik etis berdampak juga perlakuan baru pemerintah kolonial Belanda terhadap Islam, terutama akibat pengaruh Christiaan Snouck Hurgronje yang ditunjuk sebagai seorang penasihat Kantor Urusan Pribumi dan Arab. Sehu ngan dengan itu, dia merekomendasikan kerangka kerja baru kebijakan terhadap Islam yang disebut “splitsingstheorie’ yang membagi Islam menjadi dua bagian: Pertama, Islam yang bersifat keagamaan dan Kedua, Islam yang bersifat politik. Pemerintah kolonial harus menghormati dimensi dunia kehidupan Muslim yang pertama, tapi tidak boleh menoleransi yang kedua.53 Berdasarkan rekomendasi inilah pemerintah kolonial melakukan reorientasi polit k dan penyempurnaan taktik militernya terhadap Hindia yang pada akhirnya berhasil memadamkan Perang Aceh.5 4 Snouck berpendapat juga pentingnya menciptakan para elit Hindia baru yang bisa merawat garis-garis kebijakan “asosiasi” 51 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid II (Jakarta, Gramedia, Cetakan I, 1993), 32. 52 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 81. 53 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 82. 54 Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, 55. Lihat juga Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia (New Haven, Yale University southeast Asia Studies, 1972), 85. 145 Bahasa Politik Nurcholish Madjid (association policy), maka dia merekomendasikan agar pemerintah kolonial mempromosikan organisasi pendidikan berskala di atas landasan nilai-nilai universal dan bersifat netral secara keagamaan sehingga bisa “mengemansipasi” elit baru dari keterikatan agamanya.55 Jadi “mengemansipasi” dalam konteks ini berarti menjauhkan elit baru dari ajaran Islam. Dengan demikian, proses kelahiran kesadaran nasional Hindia akan dipandu melalui kerja sama dan arahan pihak Belanda, dan tidak diarahkan oleh gerakan Pan -Islamisme yang membahayakan pemerintah kolonial Belanda secara politik. Meskipun kebijakan politik etis dalam pendidikan bertolak pada pertimbangan kemanusiaan seperti yang dimaksudkan Van Deventer, pelaksanaannya justru mempertjam dan memperb stratifikasi sosial masyarakat Nusantara, karena pemerintah kolonial tetap mempertahankan kebijakan diskriminatifnya dalam sistem pendidikan formal, 5 6 maka selain sekolah ELS untuk orang Eropa, Hollandsch Chineesche School (HCS) didirikan untuk keturunan Cina, sedang bagi keturunan Arab disediakan Hollandsch Arabische School (HAS). Untuk kaum elit tradisional pribumi diselenggarakan Hollandsch -Indlansche School (HIS) yang merupakan kelanjutan “Sekolah (Pribumi) Kelas Satu” (Eerste Klasse School) Dan untuk rakyat umum cukup dengan “Sekolah Desa” atau “Sekolah Rakyat” (Volksschool) yang merupakan kelanjutan “Sekolah (Pribumi) Kelas Dua” (Tweede Klasse School). Pemerintah kolonial menyediakan pendidikan dasar umum lanjutan, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs). Sekolah lanjutan atas terbagi antara pendidikan umum AMS (Algemene Middelbare School) dan pendidikan khusus dalam bidang keahlian tertentu seperti HBS (Hogere Burgelijke School), OSVIA (Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren ) yang menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negeri. Pada t 55 56 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 83. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxi. 146 Suhaimi perguruan tinggi, disediakan beberapa jenis pendidikan keahlian, yaitu THS (Technise Hoge School) bidang teknologi di Bandung, bidang kedokteran GHS (Geneeskundige Hoge School) di Batavia dan bidang hukum, ekonomi, ilmu -ilmu sosial dan politik yaitu RHS (Rechts Hoge School) di Jakarta Pusat. Bagi lulusan jenis Sekolah Rakyat, semua pintu pendidikan lanjutan tertutup, sedang pendidikan menengah dan tinggi semua dapat dimasuki hanya oleh anak-anak Eropa, Timur Asing dan Pribumi Priyayi. Lebih dar itu, para anggota masyarakat lingkungan pondok pesantren pimpinan para ulama, bukan saja hak mereka diingkari, bahkan mereka sendiri menyatakan pendidikan Belanda itu semuanya haram.57 Pada umumnya dalam pondok pesantren itu terasa sekali pengucilan diri dari sistem kolonial. Para ulama pimpinan pondok pesantren menyikapi ajakan pemerintah kolonial untuk ikut serta dalam “peradaban modern” dengan sikap berdasarkan hadits, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kaum (Man tashabbaha bi qawmin fa huwa minhum). Maka meniru “kaum” Belanda dengan, misalnya belajar ilmu pengetahuan modern (dan hurup Latin), memakai celana dan dasi, membuat yang bersangkutan termasuk “kaum” Belanda yang “kafir” itu.5 8 Sikap ini telah menimbulkan semacam “eskapisme dan pengunduran diri” dari sebagian ummat Islam dari daerah urban ke pedalaman. Di daerah Pedalaman mereka mendirikan kubu -kubu pendidikan baru melancarkan perlawanan kultural keagamaan terhadap nilai-nilai dan gagasan yang bercorak asing.5 9 Sikap ini disebabkan juga oleh perasaan anti Islam dari sebagian orang Eropa, sehingga Islam berfungsi sebagai senjata ideologis yang sangat kuat untuk melawan penjajah Barat. Kaum santri, para kiai, dan dunia pesantren berfungsi sebagai “ reservoir” terpenting kesadaran kebangsaan dan patriotisme. Mereka merupakan tonggak-tonggak fondasi rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang 57 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 29 -31. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxiii. 59 Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, 58 57. 147 Bahasa Politik Nurcholish Madjid tak tergoyahkan dan di atas fondasi itu kelak nasionalisme dan patriotisme Indonesia modern.60 ditegakkan Berdasarkan hal itu, menurut NCM, sama sekali tidaklah aneh bahwa gerakan nasionalisme modern di Indonesia dengan penampilan kerakyatan yang tegas dimulai oleh kalangan santri, dengan pembentukan Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam (SI). 61 Sedangkan Budi Utomo, sekalipun cukup banyak jasanya, adalah terlalu elitis perkumpulan kaum priyayi Jawa yang memperoleh pendidikan Barat. Bibit-bibit nasionalisme modern di Indonesia juga muncul di kalangan penduduk pribumi yang mengikuti pendidikan “dokter Jawa” pada STOVIA (School tot Opleiding voor Indlandse Artsen ) di Jakarta dan NIAS (Nederlands Indise Artsen School) Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya, sebagai “akibat tak sengaja” (unintended consequence) dari pendidikan modern hasil kebijakan “politik Etis” pemerintah kolonial Belanda, berkat kepeloporan Dokter Wahidin Sudiro Husodo dan Dokter Sutomo sebagai intelektual62 yang mendirikan Budi Utomo pada tahun 1908. 6 3 BU 60 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxiv. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxiv. 62 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung, Mizan, Cetakan IV, Maret, 1999 ), 66. Lebih lanjut dia menguraikan arti intelektual baik sebagai golongan terpelajar sekolahan atau bukan (termasuk yang drop outs) yang berperan dalam masyarakat tidak harus berkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang dikuasai, mereka berperan sebagai kritikus sosial, bersikap emansipatoris atau liberatif, berpola pikir hermeneutis dan bersikap politis, meskipun belum pasti mereka politikus. Bandingkan dengan Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 16, menyatakan bahwa arti “intelektual” dan “intelegensia” dapat dilartikan dengan 2 pendekatan yaitu pertama pendekata formalistik yang dipegang orang Eropa Barat dan Amerika, mereka mengide n intelegensia dengan intelektual menunjuk pada seorang individu atau kelompok individu yang berurusan dengan dunia ide-ide, dan menjalankan peran sosialnya sebagai para pemikir ide-ide, kedua pendekatan hitsoris yang diusung sejarawan Eropa Timur mengartikannya sebagai sebuah fenomena yang unik dan partikular. 61 148 Suhaimi kemudian dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional. 64 Pada masa selanjutnya, nasionalisme itu terus bergerak maju, melampaui batas-batas etnik dan berkembang menjadi nasionalisme Hindia. Hal ini bisa dilihat dari judul-judul terbitan berkala saat itu, seperti Hindia Bergerak, Sinar Hindia, Oetoesan Hindia, Persatoean Hindia, dan sebagainya.65 Dalam perkembangannya kemudian pada tahun 1912, para pemimpin BU mencantumkan agenda “memajukan Islam” sebagai salah satu tujuan dalam perumusan programnya dan setahun sebelumnya BU menyambut hangat berdirinya SI, bahkan terjadi kepemimpinan dan keanggotaan rangkap antara anggota BU dan SI. Hal yang sama tercermin pula pada saat K.H.A. Dahlan dengan dorongan orang-orang BU pada tahun 1912 mendirikan Muhammadiyah.66 Keduanya tidak dapat dipertukarkan karena masing-masing memiliki perjalanan historis dan konsekuensi-konsekuensi sosialnya sendiri-sendiri. 63 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 33. 64 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, 20-21. Dalam uraian tentang politik etis, Abdullah mencatat bahwa kebijakan itu secara historis berhubungan pula dengan saran yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje tentang “politik Islam” terhadap pemerintah kolonial. Snouck mengidentifikasi pola perbuatan keagamaan Islam dengan membedakan antara “ibadah”, “perbuatan sosial” dan “politik” sebagai alat dalam merumuskan politik Islamnya. Menurutnya yang pertama”jika perlu dibantu”, dan yang kedua “jangan dihalangi”, tetapi yang ketiga, “politik”, harus disikat habis. Karena Islam bagi rakyat Indonesia telah menjadi simbol dari kebangsaan”, maka ketika anak negeri merasa haknya telah diinjak misalny mereka akan menemukan pemecahan dalam ajaran Islam, mereka akan ber , berbuat dan memberontak di bawah panji-panji Islam. Jadi menurut Abdullah politik etis pemerintah kolonial bertujuan pula melahirkan pemimpin masyarakat alternatif yang dapat menggantikan peran yang selama ini dijalankan oleh para ulama ditengah masyarakat. 65 Hilman Farid, “Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, ed. Bahasa dan Kekuasaan , 109. 66 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh -Tokoh Bangsa (Bandung, Mizan, Cetakan I, September 2001), 21. 149 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Islam di Indonesia secara historis telah melahirkan organisasi sosial ekonomi bercorak modern dengan nama didirikan oleh Haji Samanhudi (1868-1956) di Solo pada tanggal 11 Nopember tahun 1911. Ketika SDI berganti nama menjadi SI pada tanggal 10 September 1912 dan dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934), dia menjadikan Islam sebagai asas perjuangan dalam bentuk ideologi politik, maka SI juga telah membawa kebangkitan nasional yang bersifat kerakyatan. 6 7 Saat awal perkembangannya, SI beranggotakan para saudagar Islam kemudian menginjak dua tahun pertama para petani dan b h masuk menjadi anggotanya dengan menjadikan Islam sebagai dasar organisasi, sehingga SI menjadi bersifat populis dan memiliki identitas nasional yang sangat jelas. Tahun 1915 SI menyelenggarakan konggres di Surabaya, saat itu Haji Agus Salim (1884 -1954) dan Haji Abdullah Ahmad dan K.H.A. Dahlan bergabung dengan SI. H. Agus Salim bersama Tjokroaminoto kemudian menjadi pemimpin terkemuka SI, sedangkan H. Abdullah Ahmad dan K.H.A. Dahlan dikenal Sebagai penasehat agama SI yang saat itu telah mempunyai lebih dari limapuluh cabang lokal. Hal ini menjadi ancaman kekuasaan kolonial Belanda, maka pengakuan pemerintah terhadap SI diberikan hanya untuk cabang-cabang lokal dan bukan untuk organisasi secara keseluruhan yang kemudian mendorong Tjokroaminoto dan pemimpin SI lainnya untuk membentuk Central Sarekat Islam 67 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, 43. Hal ini sama dengan yang ditulis oleh Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, 1-6, bahwa dilihat dari pengakuan hukum yang diberikan oleh pemerintah penjajah Belanda kepada masing-masing cabang SI, bukan kepada organisasi SI secara keseluruhan, maka sejak berdirinya SI dapat dianggap sebagai awal dari sejarah Partai Politik Islam di Indonesia. Sedangkan menurut catatan Deliar Noer SI mulai menjalankan sikap politik nonkooperatif terhadap pemerintahan Belanda tepatnya pada tahun 1924. Dalam t a ini Deliar Noer juga mencatat bahwa setelah tahun 1936 dengan wafatnya Tjokroaminoto, H. Agus Salim pun kemudian dipecat dari SI dan sejak saat itu peranan SI dalam politik di Indonesia semakin surut. Lihat Deliar Noer, Membincangkan TokohTokoh Bangsa , 289. 150 Suhaimi (CSI) pada bulan Pebruari 1915 dan mendapat pengakuan resmi pada bulan Maret 1916. 6 8 SI merumuskan lebih tegas karakter politiknya dalam sebuah Deklarasi Prinsip dan Program Kerja pada acara Kongres keduanya tahun 1917 sbb.: “Kepercayaan partai pada Islam sebagai penyebar ide-ide demokrasi serta ‘agama par excellence bagi pendidikan spiritual rakyat. Partai menganggap pembangunan intelektual serta moral individual adalah penting untuk memfungsikan hak-hak masyarakat dengan tepat. Pemerintah negara harus tidak menyampuri masalah masalah keagamaan dan harus memperlakukan seluruh agama pada dasar yang sama. Partai menuntut peningkatan partisipasi rakyat dalam politik agar memajukan ‘pemerintahan’ sendiri. SI menolak dominasi rasial dan menuntut pemerintah untuk melindungi persamaan hak dan kemerdekaan bagi seluruih warga negara dengan dukungan penuh bagi si lemah dan si miskin…. 69 Sedangkan BU lebih dari satu dasawarsa kemudian masih membatasi diri pada dasar kejawaan dengan dipimpin oleh anggota golongan tua. Anggota golongan muda BU seperti Dr. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman dan Sunardi kemudian pada tahun 1912 mendirikan Tri Koro Dharmo yang berkembang tahun 1919 menjadi Jong Java dan diikuti dengan berdirinya organisasiorganisasi daerah serupa yang pada tahun 1926 bergabung menjadi Jong Indonesia. Dari anggota Jong Indonesia itulah kemudian tercatat seorang pemuda bernama Syamsurizal atas anjuran Haji Agus Salim dari pimpinan SI mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) dengan tujuan membicarakan pandangan Islam terhadap berbagai 68 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Idonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta, Tiara Wacana, Cetakan I, April 1999 ), 28. 69 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna , 29. 151 Bahasa Politik Nurcholish Madjid masalah yang menjadi perhatian kaum terpelajar secara lmiah, misalnya bagaimana hubungan Islam dengan pandangan -dunia, pikiran merdeka, cita-cita persatuan, kebangsaan dan sosialisme serta masalah kedudukan wanita dan perkembangan Islam di luar negeri. Namun pada tahun 1934 salah seorang anggota JIB bernama Yusuf Wibisono melakukan oposisi terhadap PB JIB di bawah pimpinan Kasman Singodimejo karena dinilai telah keluar dari tujuan pendirian JIB dan akhirnya pada saat yang sama bersama Mohammad Roem, Sudiman Kartohadiprojo, Suwahyo, Effendy mendirikan Studenten Islam Studieclub (SIS) dengan tujuan: Pertama, mempelajari Islam pada khususnya dan agama lain pada umumnya bukan saja sebagai suatu sistem teologi, melainkan sebagai suatu kebudayaan yang lengkap. Kedua, membangkitkan minat untuk mempelajari Islam kepada golongan cendikiawan khususnya dan kepada lapisan rakyat pada umumnya.70 Pada perkembangannya SIS berhasil menghimpun anggota dari mahasiswa Islam baik mereka yang berlatarbelakang keluarga dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan pada gilirannya merekalah yang menyumbangkan pengetahuan mereka tentang Islam, seperti Bachrum Rangkuti dan Mohammad Rasjidi serta Mohammad Natsir, maupun mereka yang sadar akan pengetahuan Islam mereka yang terbatas dan tertarik pada segi ruhaniah yang dapat digali dari Islam, seperti Artati Marzuki, Widagdo dan Burhanuddin Harahap. Bahkan kelompok terbanyak anggota SIS adalah mereka yang berlatarbelakang pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang kemudian selain mereka belajar agama di SIS, mereka juga secara aktif berperan mentransformasikan pengetahuan mereka yang terbatas dalam fiqh, ushuluddin, tasawwuf serta tarikh Islam ke dalam pemik idang politik, ekonomi, kebudayaan dan bidang-bidang pengetahuan umum lainnya. Dari JIB dan SIS-lah kelak melahirkan banyak kelompok intelektual Masyumi.71 70 M. Dawam Rahardjo, “Peranan Kaum Terpelajar Muslim dan Sejarah,” dalam Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa , 49-51. 71 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 34. 152 Suhaimi Dasawarsa tahun 1920-an sampai dengan awal 1930 -an dalam sejarah modern Indonesia merupakan “dasawarsa ideologi” saat berbagai pengaruh ideologi terhadap pertumbuhan keagamaan dan perjuangan melawan kekuasaan kolonial dirumuskan dan berbagai strategi perjuangan diperdebatkan.72 Salah satunya adalah perdebatan tentang masalah apa dasar perjuangan bangsa Indonesia melawan kekuasaan kolonial? Dasar perjuangan melawan kekuasaan kolonial adalah “nasionalisme Indonesia”, kata mereka yang menamakan diri sebagai golongan “kebangsaan”, tapi apa makna nasional itu? Apakah penghormatan kepada “Ibu Pertiwi” itu tidak melampaui ketakwaan kepada Allah? Tanya Haji Agus Salim. Kita tak chauvinis, kata Soekarno, kebangsaan kita bertolak dar harkat kemanusiaan.73 Salim mengingatkan bahwa jika jiwa nasionalisme tidak mempunyai dasar-dasar agama, maka ia dapat berkembang menjadi ideologi agresif, sebagaimana di Eropa telah menimbulkan ekspansi imperealisme dan kolonialisme. Bagi Agus Salim, Islam tidak menafikan adanya cinta tanah air tetapi yang perlu diperhatikan adalah niat seseorang untuk mencintai tersebut. Teramat penting bagi umat Islam untuk berniat karena A lah semata, sehingga mencintai tanah air pun dibangun atas cinta terhadap Allah, bukan segala benda dan rupa dunia. Karena itu “cinta tanah air, agama,” didasarkan karena Allah ta’ala dan menurut perintah Allah semata-mata.74 Kritik tersebut dijawab oleh Soekarno dengan membedakan nasionalisme Indonesia dengan nasionalisme Barat: “ Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti. Nas isme kita adalah nasionalisme, yang di dalam kelebaran dan keleluasaan 72 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia , 15. 73 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia , 15. 74 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam (Jakarta, Teraju, Cetakan I, 2002), 67. 153 Bahasa Politik Nurcholish Madjid udara, yang member tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala yang hidup. Nasionalisme kita ialah nasionalisme ketimuran, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme kebaratan,…”. 75 Sekitar saat-saat itulah menguat keinginan menggunakan istilah “Indonesia” sebagai nama pengenal bagi agregat kebangsaan yang sedang tumbuh. Pada tahun 1917, para pelajar dan di Negeri Belanda yang berasal dari kawasan Nusantara menggunakan nama “Indonesia” untuk organisasi mereka, Indonesisch Verbond van Studerenden .76 Ki Hajar Dewantara mendirikan Indonesisch Persbureau (kantor berita Indonesia) di Den Haag pada tahun 1918 dan Mohammad Hatta menggunakannya dalam pleidooi “Indonesia Merdeka” (Indonesie Vrij) pada Maret 1928 di Belanda. Kemudian nama “Indonesia” dikukuhkan dalam peristiwa yang sangat menentukan bagi sejarah bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dikobarkan lagi oleh Soekarno (1901-1970) dalam pidato “Indonesia Menggugat” (Indonesie Klag Aan ), tahun 1930. 77 Dengan demikian liberalisasi dalam bidang pendidikan telah berhasil melahirkan kelas terdidik baru dan kepemimpinan baru yang mempunyai peran sentral dalam kelahiran dan pertumbuhan awal protonasionalisme yang pada gilirannya menjadi nasionalisme yang leb ih sempurna.78 Kelahiran Indonesia sebagai satu bangsa yang utuh sejak awal menghadapi tantangan kenyataan banyaknya suku, ba dan pola budaya yang sangat beraneka ragam dan terpencar di seluruh pelosok wilayahnya. Hal ini dijawab dengan tekad bersama mengangkat bahasa Melayu logat Riau Kepulauan (dengan Penyengat sebagai pusat bahasa dan budayanya) sebagai persatuan.79 Kaum terpelajarlah yang mengambil inisiatif menjadi75 Deliar Noer, Pengantar Kepemikiran Politik (Jakarta, Rajawali, Cetakan I, 1983), 169-170. 76 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 34 -35. 77 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 35. 78 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan , 109. 79 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 37. 154 Suhaimi kan bahasa Melayu sebagai bahasa “nasional” Tanah Air Indonesia–dalam lingkup geografis kekuasaan Belanda–sebagai batasbatas wilayah nasionalisme. Demikian pula berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara terikat dengan pengalaman sejarah yang sama sebagai “bangsa Indonesia”.80 Di samping itu kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting–yang bahkan menjadi dasar nasionalisme–khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai kelompok etnis di Indonesia.81 Dengan penggarapan lebih lanjut oleh para cendikiawan modern dari Sumatera, khususnya Sumatera Barat, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia modern.82 B.Nasionalisme di Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang Masa pendudukan Jepang yang singkat (1940-1945) menjadi periode katalis dalam mengakselerasi pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara. Jepang dengan sengaja mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di Asia Tenggara sebaga bagian kebijaksanaan anti-Baratnya. Dengan demikian, nasionalisme di Asia Tenggara segera memasuki fase kedua yang sangat sarat dengan muatan politis. Tema pokoknya adalah apa yang disebut pemimpin nasionalis, semacam Soekarno, sebagai “ nation and character building ”, yakni memupuk keutuhan dan integritas negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana dijanjikan Jepang.83 Dalam konteks ini, pembinaan nasionalisme 80 Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 10 9. 81 Azyumardi Azra, “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 109. 82 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 38. 83 Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 109 . 155 Bahasa Politik Nurcholish Madjid sesuai dengan kebijakan Jepang, bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa. Akibat pendudukan Jepang terhadap mereka yang berpendidikan Barat sangat mengejutkan. Pihak pemerintah militer Jepang menutup semua sekolah dan baru secara berangsur-angsur dibuka kembali. Bahasa Belanda dilarang dipakai sebaga bahasa pengantar di sekolah tipe apapun, sementara untuk menguasai bahasa Jepang butuh waktu, bahasa Indonesia lalu jadi pengantar pengajaran.84 Bagi para pelajar Indonesia, pengalaman menggunakan bahasa Indonesia dan komunikasi dengan guru -guru Indonesia, dileburnya beragam tipe sekolah (terutama pada level menengah) menjadi sistem yang tunggal, penggunaan seragam sekolah, upacara pagi dan baris-berbaris, dan praktek para militer lainnya membangkitkan rasa solidaritas kolektif baru yang memperkukuh nasionalisme Indonesia.85 Dua hari setelah pasukan Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia bawah pimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta menyatakan kemerdekaannya. Sebuah bangsa baru benar-benar lahir ke dunia, bangsa Indonesia yang tidak mendasarkan eksistensinya pada rasialisme, etnisisme, sektarianisme dan lain-lain pertimbangan ekslusif, tetapi kepada cita-cita bersama menciptakan maslahat umum dan kesejahteraan sosial. 8 6 Jadi, tegasnya dan singkatnya, ummat Islam berhasil menjalankan fungsinya sebagai pangkal tolak dan pengembang kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, dan perlawanan kepada penjajah.87 Islam mempunyai pengaruh khusus terhadap nasionalisme Indonesia karena ia merupakan penggerak utama dan bagian essensial yang permanen, bahkan peranan Islam tampaknya merupakan salah satu bentuk modernisasi dan 84 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 331. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 331. 86 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 36. 87 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxv. 85 156 Suhaimi muslim modernis menjadi kekuatan sosial-politik yang penting dalam nasionalisme Indonesia.8 8 Hal ini pun dapat ditemukan pada organisasi Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), dan Himpunan Mahasiswa Islam (1947) yang sangat konsen terhadap cita-cita Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.89 Berbeda dengan nasionalisme “kuna” yang merupakan ekstensi tribalisme yang sempit dan sewenang-wenang terhadap suku lain. Nasionalisme modern adalah faham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu, anti-imperialisme, sehingga konsisten dengan prinsip -prinsip demokrasi.90 Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku -suku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah -pisah di Indonesia. Oleh karena itu nasionalisme merupakan unsur esensial bagi pembangunan bangsa (nation building) untuk Indonesia, h bangsa dan negara dengan berbagai macam unsur suku dan etnis yang berbeda secara sosial-kultural. Dalam bahasa Arab, bangsa sering diungkapkan dengan istilah ummatun , seperti “ United Nations”, “Perserikatan BangsaBangsa” terjemahnya dalam bahasa Arab ialah “ al-Umam alMutt ahidah”, “Umat-umat Bersatu”. Jadi “negara bangsa” adalah negara untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. 91 Tujuannya ialah mewujudkan maslahat umum. Korelasi langsungnya adalah bentuk pemerintahan republik dan demokrasi, egaliter, partisipasi terhadap negara itu terbuka dan tidak ada diskriminasi, tidak ada pembedaan golongan seperti 88 Andi Faisal Bakti, Nation Building , xxvi-xxvii. Komaruddin Hidayat, “Nasionalisme Religius: Kesadaran aat” dalam Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta, Paramadina, Cetakan Pertama, September 1988), 51. 90 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 32. 91 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 43. 89 157 Bahasa Politik Nurcholish Madjid antara bangsawan dan bukan bangsawan, ataupun perbedaan secara horizontal antar-suku.92 Adakah contoh kontrak sosial secara transaksional terbuka untuk mewujudkan kemaslahatan umum? Menurut NCM contohnya adalah Bay‘at ‘Aq abah9 3 yang terjadi antar Nabi Muhammad saw dan para utusan penduduk kota Yathrib. Sebab makna bay‘at berasal dari satu makna dengan perkataan bay‘u , yaitu “jual-beli”. Hubungan yang bersifat transaksional-kontraktual lewat “perjanjian” (‘ahd ) dan “jual-beli itu adalah sifat hubungan antara Allah dan manusia yang diajarkan oleh semua agama dalam kitab suci, khususnya Torat, Injil dan Qur’an.94 Peristiwa Bay‘at ‘Aqabah kemudian mendorong Nabi berhijrah ke Yathrib beberapa bulan kemudian. Hal itu tersurat dalam wahyu al-Qur’an yang memuji mereka yang ikut berhijrah. 95 92 Nurcholish Madjid, “Justru yang Saya Lakukan, Itulah yang Dikehendaki Natsir”, Wawancara Majalah Panjimas, Juni 2003 No. 13 Tahun I, dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju Istana (Jakarta, K PP Kelompok Paramadina, Cetakan I, Agustus 2003), 207. 93 B aya‘t ‘Aq abah adalah “fakta persekutuan” yang berisikan kontrak kesepakatan antar Nabi Muhammad saw dan sekelompok orang Arab (suku ‘Aus dan suku Khazraj) kota Yathrib. Dalam B ay‘at ‘Aq abah Pertama tahun 621 M, mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan menaati Rasulullah dalam segala hal yang benar. Sedangkan pada B ay‘at ‘Aq abah Kedua tahun 622 M, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka dan akan menaati beliau sebagai pemimpin mereka. Nabi juga dalam kesepakatan ini berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang maupun untuk perdamaian. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, T a>rikh al-Isla>m, Jilid I, (Kairo, AlMaktabah al-Nahdat al-Mis}riyah, 1979), 95 -97. 94 Dengan bay‘at di ‘Aqabah itu, Nabi memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan diri beliau dan kaum beriman nanti di Yathrib setelah hijrah, dan penduduk kota Yathrib memperoleh jaminan kepemimpinan Nabi yang adil dan bijaksana untuk menyatukan seluruh penduduk Yathrib, khususnya antara klan Aws dan klan Khazraj yang bermusuhan. Nabi menjanjikan untuk berperan sebagai Pembina konsensus (consensus builders) di Yathrib, selaku pemersatu dan juru damai antara pihak-pihak yang bermusuhan. 95 QS Al-Baqarah (2): 218 dan QS Al-Nahl (16): 41, 110. 158 Suhaimi Setelah menetap di Yathrib, Nabi Muhammad saw mengganti nama Yathrib menjadi al-M adi >nah, artinya kota, secara leksikal kata mad >inah antara lain berasal dari kata kerja d ana>-yad>inu , tunduk-patuh,96 menjadi madyinah, yaitu masyarakat yang tunduk-patuh kepada hukum Tuhan, dengan konsekuensi tunduk-patuh kepada hukum dan aturan yang diajarkan Tuhan a.l. kewajiban untuk tunduk-patuh kepada kesepakatan dan perjanjian kontraktual yang sah yang tidak melanggar ajaran Tuhan .97 Pernyataan kontrak atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyrakat menjadi bangsa yang satu (ummah wa>hidah) dalam bingkai pengertian nation state termaksud di atas itu seperti tercermin dalam Piagam Madinah yang menyatakan antara in kontrak tanpa membeda-bedakan antara kelompok keagamaan yang ada pada pasal 25 misalnya, bahwa kaum Yahudi dari Bani> ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kebebasan ini berlaku juga bagi sekutu -sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.98 Di Madinah saat itu paling tidak terdapat empat kelompok, yakni penganut paganisme (penyembah berhala), kelompok pengikut agama Yahudi, kelompok Nasrani dan kelompok Muslim yang terdiri dari golongan Ansar (penduduk asli) dan Muhajirin (para pendatang). Selain memuat prinsip kebebasan beragama, Piagam Madinah juga mengatur hubungan antarpemeluk agama di kota Madinah. Hubungan -hubungan yang berkaitan dengan soal pertahanan dan keamanan, masalah belanja peperangan, dan bidang kehidupan sosial seperti terlihat dalam pasal-pasal berikut. Pasal 37 menjelaskan bahwa: orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi 96 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 427. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 45. 98 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Kelima, September 2002), 83. 97 159 Bahasa Politik Nurcholish Madjid perlu bekerjasama dan saling menolong dalam menghadapi musuh. Pasal 44 berbunyi: Semua warga harus saling bahu -membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan rhadap Yathrib. 99 Pada pasal 24 dinyatakan bahwa: kedua pihak kaum Muslim dan Yahudi bekerjasama dalam menanggung biaya apabila mereka melakukan perang bersama. Terakhir pada pasal 38 menyebutkan: seseorang tidak dipandang berdosa karena sa sekutunya, dan orang yang teraniyaya akan mendapatkan pembelaan. Ketentuan -ketentuan yang digariskan dalam piagam tersebut bermakna strategis, terutama dalam upaya konsolidasi dan kerjasama antar golongan dalam mengantisipasi berbagai ancaman yang mungkin timbul.100 Bagi NCM, Jiwa Piagam Madinah sepenuhnya sejalan dengan penegasan Nabi Muhammad saw bahwa agama semua nabi pada prinsipnya adalah sama. Prinsip itu dijelaskan juga dalam alQur’an bahwa Allah mensyariatkan agama yang sama untuk semua nabi, seperti Nabi-nabi Nuh dan Muhammad dan telah disyariatkan kepada Nabi-nabi Ibrahim, Musa dan Isa.101 Dasar pandangannya tentang hubungan Islam dan pluralisme berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam yakni bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan (fit}rah), maka cita-cita Islam itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya dan misi Nabi saw untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Jadi bukan sematamata untuk menguntungkan komunitas Islam saja. 1 02 99 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abd Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang -Bayang Fanatisme Esai-Esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Cetakan I, Juli 2007), 214. 100 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia”, 215. 101 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 432-433. 102 M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Desember 1995), 230. 160 Suhaimi Sedangkan pengertian universalitas Islam, menurut NCM, secara teologis dapat dilacak dari perkataan al-Isla>m itu sendiri, berarti “sikap pasrah kepada Tuhan.”yang merupakan inti semua ajaran yang benar, maka semua agama yang benar pasti bersifat alIsla>m. Tafsir seperti ini akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity). Kedua konsep ini merupakan kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa -an Tuhan (the unity of God /tawhi >d ).10 3 Di samping itu al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku -suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. 1 04 Hal itu berarti kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Dengan demikian pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.105 Oleh karena itu paham kemajemukan tidak dibenarkan untuk dipersepsi hanya sebagai sesuatu yang bersifat prosedural semata, sehingga dilaksanakan hanya jika menguntungkan dan ditinggalkan jika merugikan. Itulah sebagian dari dasar-dasar masyarakat Madinah yang dibangun Nabi dan diteruskan oleh para Khalifah, yaitu masyarakat yang berkeadaban (civility, madaniyah) yang tinggi. Atas dasar prinsip-prinsip itu dibangun suatu sistem kehidupan bersama berbentuk polity (“ an organized society, such as a nation, having a specific form of government ”), dengan tujuan terciptanya maslahat umum, berbentuk negara bangsa.1 06 Maka dalam negara bangsa seluruh kekayaan negara adalah milik umum atau publik, yaitu seluruh warga negara, bukan milik para penguasa seperti dalam negara kerajaan absolut seperti sistem Fir‘aun (dimana kekayaan 103 M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia , 231. QS Al-Hujura>t (49): 13. 105 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxxv. 106 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 47. 104 161 Bahasa Politik Nurcholish Madjid negara adalah milik atau dikuasai raja). 107 Terdapat pembedaan dan pemisahan yang tegas antara kekayaan milik pribadi dan kekayaan milik umum. Dengan demikian masyarakat Madinah warisan Nabi saw merupakan masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah masyarakat berperadaban, masyarakat madani, “ civil society”. Jadi madi>nah merupakan konsep nasionalisme modern, bahkan Robert N. Bellah, seorang sarjana sosiologi agama terkemuka, menyebutnya “sangat modern”, khususnya pandangan dan praktek politik yang berlaku di zaman para khalifah bijaksana (al-khulafa> al-ra>shidu>n).108 Letak kemoderenan pandangan sosial-politik Islam di Madinah itu ialah: 1.Kedudukan pimpinan yang terbuka akan penilaian berdasarkan kemampuan, 2.Pimpinan ditetapkan melalui proses pemilihan terbuka, 3. Semua warga masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama berdasarkan pandangan egalitarianisme di depan Allah dan hukum, 4.Hak-hak tertentu yang luas dan adil juga diakui ada pada golongan agama-agama lain.10 9 Dengan perkataan lain, sebagai masyarakat egaliter partisipatif (“ equalitarian participant nationalism”), masyarakat Madinah pada masa klasik Islam itu yang terlihat dalam berbagai keteladanan Muhammad saw dan al-khulafa> al-ra>shidu>n menyerupai benar gambaran sebuah masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis seperti dalam konsep -konsep sosial politik modern.11 0 Menurut Bellah, pencopotan nilai kesucian atau kesakralan dalam memandang kepada suku sebagai tujuan pengkudusan dan pengabdian, adalah tindakan devaluasi ikal atau secara sah dapat disebut dengan sekularisasi sebagai 107 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 57. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta, DIAN, Cetakan III, 2009), 189. 109 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan , 189. 110 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 114-115. 108 162 Suhaimi konsekwensi dari adanya kewajiban memusatkan pengkudusan dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. 111 Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia seperti tertulis di atas, masyarakat madani dalam bentuk negara bangsa yang bertujuan mewujudkan maslahat umum tegak berdiri di atas landasan keadilan dan bersendikan keteguhan berpegang pada hukum.11 2 Hal itu berarti ketaatan berlaku atas dasar hubungan kontraktual dan transaksional terbuka menuntut setiap warga negara taat kepada kekuasaan atau kepemimpinan itu dijalankan dengan benar dan adil, dengan mengikuti hukum yang berlaku. Jadi tidak ada kewajiban taat dalam kezaliman dan pelanggaran hukum dan di dalam masyarakat harus ada komunitas yang selalu melakukan pengawasan sosial, dengan menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan (amar ma‘ru>f nahy munkar) dalam mekanisme pengendalian dan pengimbangan (checks and balances), sehingga masyarakat dan negara tidak jatuh dalam kehancuran.1 13 Amar ma‘ru>f dan Nahy Munkar serta Da‘wah ila> alKh ayr merupakan trilogi yang merupakan poros perjuangan umat Islam sepanjang sejarah. Al-M a‘ru>f dalam pengertian yang luas dan mendalam dapat berarti kebaikan yang “diakui” atau “diketahui” oleh hati nurani, sebagai kelanjutan dari kan universal yaitu al-Isla>m sebagai agama fitrah yang suci. Sedangkan al-munkar adalah lawan dari al-ma‘ru>f adalah apa saja yang diingkari oleh fitrah atau ditolak oleh hati nurani. Sementara Rasyid Ridla dalam tafsir al-M ana>r menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-khayr dalam firman Allah swt Surat Ali Imran: 104 adalah al-Isla>m dalam makna generiknya yang umum 111 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 72. Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 171. 113 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 58 -59. 112 163 Bahasa Politik Nurcholish Madjid dan universal yaitu agama semua Nabi dan Rasul sepanjang Zaman. 114 Tuhan memerintahkan para Rasul untuk mengajak para penganut kitab suci menuju titik temu yaitu prinsip yang disebut kalimatun sawa> atau kalimat kesamaan ajaran dalam kitab -kitab suci. Keteladanan Nabi Musa as menegaskan kewajiban manusia untuk tunduk kepada hukum (Torat), berintikan Sepuluh Firman (al-K alima>t al-‘Asr). 115 Ketaatan kepada hukum Torat itu pun tetap diajarkan oleh Rasul Nabi Isa as, namun sedikit ikendorkan dengan unsur kesantunan dan kasih sayang (ra‘fah wa rahmah),11 6 sehingga hukum memperoleh dimensi kelembutan kemanusiaan yang mendalam. Dan kerasulan Nabi Muhammad saw menyatukan kedua unsur Hukum Nabi Musa dan unsur Kasih Nabi Isa Dalam Al-Quran digambarkan bahwa kaum beriman ialah mereka yang membela diri atau melawan jika mendapat perlakuan tidak adil, namun tetap sedia memberi maaf dan melakukan isla>h (pendamaian), 11 7 karena ada sesuatu yang lebih tinggi yaitu balasan kebaikan langsung dari Allah. 1 18 Prinsip ketegaran hukum dan kelembutan memaafkan itu sejalan dengan penegasan Nabi Muhammad saw tentang hak-hak asasi manusia dalam Pidato Perpisahan (Khutbatu al-Wad a>) pada hari Jum‘at yang sama turun firman Allah swt yang menyatakan bahwa agama umat Muhammad saw telah sempurna. Dalam pidato itu beliau sampaikan pesan tentang kesucian jiwa, harta dan kehormatan (al-dima> wa al-amwa>l wa al-a‘ra>d ) sampai hari kiamat.1 19 114 Nurcholish Madjid, “Peranan HMI dalam Tantangan Perjuangan Yang Proaktif,” dalam Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia , 92. 115 Lihat QS. Al-Baqa@rah (2):83-84. 116 Lihat QS. Al-Hadi@d (57): 27. 117 Lihat QS. Al- Shu>ra> (42): 38-43. 118 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 62 -64. 119 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 259. 164 Suhaimi Prinsip dasar atau hak asasi kemanusiaan berupa kesucian hidup, harta dan kehormatan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw itu telah mempengaruhi seluruh umat manusia. Giovani Pico della Mirandola, failasuf kemanusiaan terkemuka zaman kebangkitan ( Renaissance) Eropa, menyampaikan “Orasi tentang Martabat Manusia” (Oratio de hominis dignitate atau De hominis dignitate oratio ) pada tahun 1484, 120 di depan para sarjana dari seluruh Eropa yang ia undang ke Roma. Pico mengakui bahwa ia belajar menghargai manusia dari sumber-sumber Islam. Jadi jaun sebelum Thomas Jefferson member inspirasi kepada rakyat Amerika dengan prinsip -prinsip “ life, liberty and pursuit of happiness”-nya dan John Lock mengotak atik asas-asas “ life, liberty and property”, umat Islam telah lama berpegang teguh dan melaksanakan ajaran tentang kesucian “ al-dima> wa al-amwa>l wa al-a‘ra>d (hidup, harta dan kehormatan,–“ life, property and honour”).121 Sangat disayangkan bahwa prinsip dasar kemanusiaan dan prinsip organisasi sosial yang terbuka dan egaliter partisipatif itu berlangsung hanya sekitar 40 tahun, sistem Madinah digantikan oleh sistem kekuasaan dinasti klan Umayyah di Damaskus yang menurut Ibn Khaldun merupakan sistem kerajaan (mulk) absolut, karena pemerintahannya mengikuti model kekaisaran otokratik Byzantium. Hal ini mencocoki sabda Nabi bahwa Islam dimulai dengan kenabian dan rahmah, disusul dengan kekhalifaan dan rahmah, kemudian kerajaan dan despotisme.122 120 Pembukaan orasi tersebut berbunyi demikian: “Saya telah membaca, para Bapak yang suci, bahwa Abdullah seorang Arab Muslim, ketika ditanya tentang apa kiranya di atas punggung dunia ini, seperti telah terjadi, yang dapat dipandang paling menakjubkan, ia menjawab: ‘Tidak ada ng dapat dipandang lebih menakjubkan daripada manusia.’Sejalan dengan pendapat ini adalah perkarkataan Hermes Trismegistus, ‘Sebuah mukjizat yang hebat, wahai Asclepius ialah manusia.” Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan , 182. 121 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 258-260. 122 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 76 -77. 165 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Pengaruh buruk penyimpangan yang dilakukan oleh dinasti Umayyah tersebut di atas, masih nampak jelas dalam sistem -sistem kekuasaan di “dunia Islam” sekarang ini termasuk Indonesia. Di Indonesia masih banyak unsur-unsur feodalistik yang sangat menghambat terwujudnya negara bangsa atau nation state modern. Jadi terdapat urgensi yang sangat tinggi pada umat Islam untuk memahami kembali prinsip -prinsip tatanan masyarakat Madinah yang oleh Robert N. Bellah disebut sebagai contoh nasionalisme modern .123 Selama lebih dari empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan revolusi kemerdekaan karena Belanda berusaha berkuasa kembali atas Indonesia.Kolonialisme ingin dilanjutkan setelah Perang Dunia II. Para pemimpin Indonesia menghadapi benturan tembok logika diplomasi internasional bahwa Indonesia adalah milik pihak yang kalah, yaitu Jepang, karena itu harus diserahkan kembali kepada pihak pemenang, yaitu Sekutu, sebagai “harta rampasan perang”. Reaksi terhadap ambisi kolonial Belanda ini dikenal dalam sejarah Indonesia modern sebagai perang kemerdekaan sampai pihak penjajah mengakui kedaulatan Indonesia pada akhir 1949. Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari 23 Agustus hingga 2 Nopember 1949 akhirnya menyerahkan tanpa syarat sebelum 30 Desember 1949, kedaulatan Belanda atas semua wilayah bekas Hindia, kecuali Papua, kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Soekarno menjabat sebagai Presiden RIS dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri RIS (1949 -1950). 124 RIS terdiri dari Republik Indonesia dan 15 negara-negara bagian bentukan Belanda. Investasi-investasi Belanda dilindungi, dan pemerintahan baru berkewajiban melunasi utang jutaan dolar pemerintah kolonial Hindia. 123 124 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 80 -81. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 351. 166 Suhaimi Sejak September 1950 sampai dengan Maret 1957, Indonesia melakukan eksperimen politik demokrasi parlementer (konstitusional) yang telah menimbulkan berbagai masalah nasional: ekonomi pasca-revolusi kemerdekaan merosot, kabinet terus berganti-ganti, masing -masing bertahan tidak lebih dari dua tahun. Lebih buruk lagi, karena saat itu partai-partai politik cenderung berorientasi kepentingan jangka pendek, penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk korupsi dan kronisme menjadi pemandangan lazim. 1 25 Di lima belas negara bentukan Belanda, muncul tuntutan umum untuk meleburkan diri ke dalam Republik Indonesia. Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir, Ketua Fraksi Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RIS, mengajukan Mosi Integral Natsir kepada DPR, yang menuntut agar semua negara bagian itu bersatu dan melebur ke dalam negara kesatuan yang mendapatkan respons positif dari parlemen. Pada hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Indonesia kelima 17 Agustus 1950, RIS digantikan oleh Republik Indonesia dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara 1950.Sebegitu jauh, penampilan terbaik “demokrasi liberal” parlementer itu adalah pada saat pemerintahan Perdana Menteri Burha-nudddin Harahap, seorang tokoh Masyumi pengikut M. Natsir, yang pada tahun 1955 berhasil melaksanakan Pemilu pertama dalam sejarah RI.1 26 Hasil Pemilu 1955 ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama Masyumi dan PNI, yang sebelumnya berpengharapan besar akan menang. Tidak ada perolehan terbanyak mutlak. Segera setelah Pemilu itu, kabinet Ali-RoemIdham (PNI-Masyumi-NU) dibentuk. Meskipun kabinet ini disokong sangat kuat dalam parlemen, tapi ternyata kab ini pun 127 tidak berumur panjang (Maret 1956-Maret 1957). Sebabnya karena Masyumi dan partai-partai lain dalam kabinet sering benar 125 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 358. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 90. 127 Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, 126 123. 167 Bahasa Politik Nurcholish Madjid tidak sependapat dalam menghadapi isyu -isyu politik penting dan sikap oposisi Presiden Soekarno sejak dari awal pembentukannya. Rapuhnya demokrasi parlementer menjadi dalih bagi Presiden Soekarno untuk mengumumkan dekrit kembali ke UD 45, pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu disusul dengan pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, berjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita”, yang menegaskan bahwa pemerintah Indonesia kembali ke sistem presidensial dari sistem parlementer dan Presiden Soekarno bertindak sebagai kepala pemerintahan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat, stabil dan berwibawa agar pembangunan nasional dapat dijalankan dengan mantap. Pengumuman dekrit tersebut menandai runtuhnya seluruh bangunan demokrasi konstitusional dan dimulainya pemberlakuan penuh “Demokrasi Terpimpin” yang totalitarian. Secara institusional, sejak 9 Juli 1959 dan seterusnya, Soekarno mengangkat dirinya sebagai perdana menteri dari kabinet-kabinet Demokrasi Terpimpin yang berlangsung sampai tahun 1966. 128 Umat Islam Indonesia baik pihak modernis maupun kaum pesantren tradisional, secara umum dapat dikatakan bahwa sejak awal telah memilih sistem politik demokrasi. Menurut pandangan mereka, demokrasi adalah mekanisme politik yang lebih yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan cita-cita politik Islam. Golongan modernis khususnya adalah pembela-pembela demokrasi yang tangguh dalam menentang gerakan politik otoriter Soekarno.129 Beberapa partai politik yang dipersatukan oleh platform demokrasi modern, yaitu Masyumi, Partai Sosia is Indonesia (PSI), Parkindo dan Partai Katolik, didukung beberapa pribadi tokoh kalangan NU dan Partai Nasional Indonesia (PNI) 128 129 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 393. Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, 126. 168 Suhaimi dengan restu Bung Hatta, membentuk gerakan “Liga Demokrasi” guna menggalang kekuatan politik melawan Soekarno. 13 0 Pada masa akhir Demokrasi Terpimpin, rakyat merasa kehilangan kebebasan sipilnya, dan ekonomi Indonesia merosot sampai hampir membangkrutkan negara, maka setelah berjalan lima atau enam tahun, sistem otoriter ini hancur secara dramatis, Bung Karno pada tahun 1965 jatuh in disgrace bersama pihak komunis yang mendukungnya. Bung Karno agaknya menyalahpahami dan mencampur-adukkan pengertian “pemerintahan yang kuat” dengan “kepemimpinan yang kuat”. “Pemerintahan” ih mengacu kepada sistem, sedangkan “kepemimpinan” mengacu kepada perorangan.131 C.Nasionalisme Indonesia pada Masa Pembangunan Menyusul naiknya Soeharto, Jenderal Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, ke tampuk kekuasaan, seluruh oposisi hancur dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia organisasi-organisasi afiliasinya. Rezim kekuasaan baru yang tengah bangkit menyebut periode “Demokrasi Terpimpin” era Soekarno sebagai “Orde Lama” dan merayakan era baru kekuasaannya sebagai “Orde baru”.132 Salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh pemerintah Orba ketika mulai memegang tampuk kekuasaan, adalah mengatasi birokrasi yang tidak bertanggung jawab dan kekuasaan otoriter warisan rezim lama, yang dianggap telah membawa kemerosotan parah bagi ekonomi rakyat. 1 33 Dalam menghadapi hal itu, Orba tiba pada kesimpulan bahwa mobilisasi politik massa dan pertikaian para politisi sipil telah menelantarkan kesejahteraan ekonomi dan sosial, oleh karena itu perhatian rakyat harus dialihkan dari 130 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 92. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 92. 132 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 451. 133 M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Desember 1995), 17. 131 169 Bahasa Politik Nurcholish Madjid wawasan “politik sebagai panglima” seperti yang dipraktikkan selama Orde Lama, kepada “ekonomi sebagai panglima”. 1 34 Peristiwa penting yang langsung mempengaruhi ide pembangunan ekonomi Orba adalah kebutuhan mencetak ahli-ahli ekonomi sendiri yang didukung oleh kelompok militer Angkatan Darat (AD) yang menjadi lawan komunis. Dalam rangka itu, pendidikan SESKOAD melibatkan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) untuk mengajarkan dasar-dasar ilmu ekonomi kepada para perwira tinggi AD, salah seorang dari mereka adalah Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden RI. 13 5 Segera setelah gerakan Partai Komunis Indonesia dibubarkan, lima tokoh Fakultas Ekonomi UI diundang menjadi tim penasehat ekonomi Jenderal Soeharto. Berdasarkan ide-ide para ahli ekonomi ini lahir konsep “pembangunan” dengan penekanan kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara Barat: pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. 13 6 Secara garis besar tugas mereka adalah meningkatkan stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan.137 Untuk itu reformasi birokrasi dilakukan dengan jalan 1) Pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintah, 2) Membuat birokrasi efektif dan tanggap pada pemerintah 3) Memperluas wewenang pemerintah dan mengendalikan daerahdaerah. Dan secara konsepsional pemerintah menyiapkan Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan 134 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 453. Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Oede Baru (Bandung, Mizan, Cetakan I, April 1986), 104. 136 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, 104105. 137 Bruce Glassburner, “Indonesia’s New Economic Policy and Its Sociopolitical Implications”, in Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, eds., Political Power and Communications in Indonesia (Berkeley, University of California Press, First Edition, 1980), 138. Lima orang ahli ekonomi tersebut adalah Prof. Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Subroto. 135 170 Suhaimi Lima Tahun (Repelita). 138 Sementara secara operasional birokrasi dijabat oleh para teknokrat sipil dan perwira militer yang berorientasi reformasi dan bisa diawasi dan dikendalikan baik pada tingkat pusat maupun daerah, maka mayoritas jabatan gubernur dan bupati diberikan kepada para perwira militer. 1 39 Para teknokrat yang terdidik secara akademis itu menambah kredibilitas pemerintahan Soeharto di mata negara-negara Barat. Mereka dikenal dengan “mafia Berkeley” karena beberapa diantara mereka lulusan Universitas Berkeley. Donal K. Emerson mendeskripsikan birokrasi Orba sebagaimana birokrasi Kerajaan Mataram dan menyimpulkan upaya Soeharto membangun birokrasi sbb.: 1) Dia mampu mengontrol jaringan pemerintahan yang sangat besar. Dia memecat ribuan orang yang terlibat dalam kegiatan PKI sebelum tahun 1966, 2) Dia membuat aparat administrasinya lebih loyal. Perwira-perwira direkrut untuk memperkuat jajaran birokrasi dengan cara komando militer, 3) Presiden Soeharto menjadikan birokrasi lebih aktif. Pendapatan pajak meningkat, gaji pegawai negeri dinaikkan. 140 Dari semua itu kebijakan birokrasi terpenting Orba adalah komitmennya terhadap modernisasi yang sengaja dirancang untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi politik rakyat dan menjadi kebijakan strategis untuk menarik dukungan negara-negara Barat atau investor asing agar memberikan bantuan bagi pelaksanaan pembangunan pada masa-masa awal Orba. 141 Sebagai imbalan atas bantuan ekonomi yang diberikan negara-negara Barat, pemerintah Orba mengadopsi langkah langkah reformasi yang terus-menerus dipuji oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah-langkah itu 138 M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 18. M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 18. 140 Donald K. Emmerson, “The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strenght” in Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, eds., Political Power and Communications in Indonesia , (Berkeley, University of California Press, First Edition, 1980), 82-83. 141 M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 19. 139 171 Bahasa Politik Nurcholish Madjid mendominasi kebijakan ekonomi pada tahun 1970-an. 142 Dengan kebijakan seperti itu, Orba berhasil membangun birokrasi yang kuat dan berporos pada hubungan militer dengan sipil yang erat, bahkan Orba melebarkan fungsi birokrasinya menjadi mesin politik yang tangguh dalam merekayasa kehidupan sosial-politik masyarakat untuk mempertahan kan status quo maupun melaksanakan suksesi terencana di antara jaringan kekuasaan yang mengitarinya.1 43 Pembangunan ekonomi Indonesia ketika Orba berkuasa itu juga telah menciptakan jurang perbedaan dalam masyarakat secara horizontal dan vertikal, seperti kesenjangan desa-kota, daerah pusat, Indonesia Timur–Indonesia Barat, pribumi–nonpribumi, kelompok ekonomi kuat yang diisi oleh sekitar 10 % penduduk, 40 % diisi oleh kelompok peralihan dari menengah bawah ke menengah atas dan 50 % diisi oleh kelas bawah. 14 4 Dalam bidang politik, pemerintahan Orba di Indonesia telah berhasil menata konstruksi lembaga-lembaga politik secara struktural, sehingga di satu sisi semua lembaga-lembaga politik ditata sejalan dengan konstitusi dan di sisi lain isipasi politik masyarakat diarahkan pada saluran -saluran politik formal. Hasilnya adalah stabilitas politik yang terjaga selama lebih dari dua puluh tahun.1 4 5 Namun stabilitas politik berjalan dengan kesenjangan distribusi kekuasaan yang berimplikasi luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat karena hak-hak politik mereka kurang dihargai.Akibatnya pengawasan terhadap kekuasaan tidak dapat berkembang. Orba saat berkuasa menghadapi berbagai aktivitas gerakan organisasi masyarakat Islam dengan dua strategi. Pertama 142 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , , 603. M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 18. 144 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung, Rosda Karya, edisi ke-2, 2000), 122 -123 . 145 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi, 122 . 143 172 Suhaimi mengkooptasi dan membujuk para pemuka organisasi masyarakat Islam bergabung dengan partai berkuasa, Golkar. Kedua mendeskriditkan mereka dengan cara menghubung-hubungkan mereka dengan ekstrimisme dan terorisme serta menganca dan menganiyaya mereka. Menurut Andres Uhlin, penguasa pada tahun 1990 -an banyak menggunakan strategi kooptasi, seperti terlihat saat pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990. 146 Intelektual-intelektual Muslim M. Dawam Rahardjo, NCM dan Imaduddin Abdulrahim serta Amien Rais dan Adi Sasono dilibatkan dalam pembentukan ICMI. Mereka ingin menyatukan intelegensia Muslim yang terpecah -pecah dan terpinggirkan kedalam sebuah kelompok penekan politis. Akan tetapi, pemerintah telah betul-betul berhasil dalam mencoba mengarahkan ICMI kedalam sebuah etalase kerja sama antar Islam dan pemerintahan Soeharto. Menteri Riset dan Teknologi, B. Habibie terpilih menjadi ketua dan terdapat beberapa menteri negara dan banyak birokrat didalam kepemimpinan orgnanisasi ini. Sejak tahun 1994 NCM mengundurkan diri dari ICMI sebab menurutnya telah menjadi “terlalu politis.”. 147 Angota ICMI dapat dibagi kedalam tiga kelompok : birokrat pemerintah; teolog dan ilmuwan muslim; serta aktivis dan politisi Islam. Kelompok birokrat sejauh ini merupakan kelompok yang paling berpengaruh, tetapi kelompok aktivis dan politisi tidak terlalu tidak signifikan. Mereka memiliki dua tujuan: a) Islamisasi Indonesia, dan b) demokratisasi dan demiliterisasi. Demokrasi pada awal sejarahnya lahir sebagai bentuk politik partisipatoris yang melibatkan seluruh warga kecil yang disebut polis di Yunani Kuno (Ancient Greek). Istilah demokrasi secara harfiah diambil dari kata bahasa Latin demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan. Secara h teori demokrasi lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja dan 146 147 Andres Uhlin, Oposisi Berserak , 70-71. Andres Uhlin, Oposisi Berserak , 72. 173 Bahasa Politik Nurcholish Madjid kedaulatan Tuhan.148 Jadi dalam sejarah lahirnya demokrasi atau kedaulatan rakyat merupakan pardigma baru yang menjadi pembangkangan terhadap legitimasi kekuasaan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai dasar kekuasaannya, sehingga pada gilirannya sekularisme dan antroposentrisme menjadi ciri yang melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi Barat. Demokrasi kemudian telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Larry Bermann dan Bruce Allen Murphy dalam buku Approaching Democracy menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 1996 tidak kurang 118 negara dari 191 negara di dunia ini yang mendambakan sistem pemerintahan demokrasi. 14 9 Bahtiar Effendy mencatat bahwa akhir kwartal abad ke-20 merupakan periode demokrasi yang paling menjanjikan dalam sejarah peradaban modern, karena pada kenyataannya tercatat antara 1974 hingga 1992 terdapat tiga puluh negara yang mengalami proses transisi ke demokrasi. Namun demikian para pengamat tidak memasukkan di dalamnya sebagian besar nia 150 Islam. Para ahli seperti Larry Dimond, Juanz Linz, dan Seymour Martin Lipset berpendapat bahwa kebanyakan negara-negara Islam tak dapat diharapkan melakukan proses transisi ke demokrasi, bahkan Samuel P. Huntington menandaskan bahwa , “ confucion democracy is clearly contradiction in terms. It is unclear whether ‘Islamic democracy’ is.”.15 1 Menurut NCM, tesis Huntington tentang benturan budaya itu adalah tesis ilmiah palsu. 152 Karena 148 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta, Bina Aksara, Cetakan Pertama, 2006,) 31 -44. 149 Nurtjahjo , Filsafat Demokrasi , 1. 150 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara , dan Demokrasi, Yogyakarta, Galang Press, 101-102 . 151 Samuel P. Huntington, The Third Wafe: Democratization in the LateTtwentieth Century, dalam Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, 101 . 152 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 176. 174 Suhaimi sebagaimana Robert N. Bellah telah simpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad saw di Madinah bersifat egaliter dan partisifatif. Masyarakat Madinah pada masa klasik Islam itu yang terlihat dalam berbagai keteladanan Muhammad saw dan al-Khulafa> al-Ra>shidu>n menyerupai benar gambaran sebuah masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis seperti dalam konsep -konsep sosial politik modern .153 Demokrasi dalam pandangan NCM sesungguhnya merupakan konsep yang memiliki sinonim dengan apa yang disebut polyarchy. Demokrasi dalam pengertian ini bukanlah sistem pemerintahan yang mencakup keseluruhan cita-cita demokratis, tetapi yang mendekatinya sampai batas-batas yang pantas. Oleh karena itu , setiap bentuk pengaturan politik yang demokratis memerlukan ikatan bersama yang dalam dunia modern saat ini dikenal dengan ikatan rasa kebangsaan.1 54 Pilihan umat Islam kepada demokrasi, menurutnya, bukan hanya karena secara prinsipil nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan politik yang terbuka untuk sewaktu -waktu mengadakan koreksi atas pemerintahan sesuai dengan ketentuan konstitusional.1 55 Secara konstitusional syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law ialah. 1.Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konsti-tusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2.Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3.Pemilu yang bebas; 4.Kebebasan untuk menyatakan pendapat;5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6.Pendidikan kewarganegaraan. 156 153 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 114-115. Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 7. 155 M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 226. 156 Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, 43 . 154 175 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Berdasarkan syarat-syarat dasar itu, menurut NCM, pemerintahan Soeharto kurang menghayati berbagai keharusan sebuah modern nation state, yaitu keharusan menerapkan prinsip prinsip: good governance untuk menghasilkan clean government (sehingga praktek-praktek KKN yang sangat terkutuk itu dapat tercegah), melindungi kebebasan sipil, membela hak asasi manusia, menegakkan kedaulatan hukum, memperhatikan pendidikan seluruh warga negara di semua pelosok wilayah dengan sungguhsungguh, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 157 Kritik NCM atas pelaksanaan pembangunan Orba oleh Soeharto itu menunjukkan perkembangan pengertian modern nation state atau nasionalisme modern yang tidak hanya bertujuan melaksanakan pembangunan ekonomi saja, tapi seperti tahap perkembangan nasionalisme yang dikemukakan oleh Organsky, nasionalisme itu mengarah kepada pencapaian politik kesejahteraan dan kemakmuran.15 8 Secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan Orba di bawah Soeharto telah berhasil melewati stagnasi ekonomi dalam jangka pendek, sedang dalam jangka panjang Orba sukses meningkatkan produktivitas ekonomi dalam kerangka pembangunan yang berorientasikan pertumbuhan. Namun tidak demikian halnya dalam pemerataan hasil pembangunan. Sebagai contoh, rakyat hidup dalam kemiskinan di Aceh Utara, meskipun udah dibuka ladang gas dan minyak bumi di Lhokseumawe. Penghasilan yang didapat dari penjualan empat komoditi ladang minyak mentah, gas alam cair, LPG Propane, dan LPG Butane itu sebesar US$ 45 miliar selama periode 1979-1997. Sementara jumlah APBD provinsi Aceh pada periode tahun yang sama sebesar Rp 6,7 157 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 95 -96. Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan I, 2005), 99. Organsky membagi tahap perkembangan nasionalisme menjadi empat. Pertama, tahap perkembangan politik kesatuan nasional primitif. Kedua , tahap perkembangan politik industrialisasi. Ketiga , tahap perkembangan politik kesejahteraan nasional; dan keempat, tahap perkembangan politik kemakmuran. 158 176 Suhaimi triliun.Suatu jumlah yang tidak sebanding. 159 Dengan demikian, sebagaimana diisaratkan dalam salah satu bait lagu kebangsaan Indonesia Raya, pembangunan Orba baru menyentuh bagian “ bangunlah badannya”, belum menyentuh bagian “bangunlah jiwanya” yang menjadi sisi primer pembangunan bangsa.16 0 Tekanan yang terlalu berat kepada pembangunan ekonomi, namun tidak disertai pembangunan etika dan moral pribadi dan sosial melalui keteladanan para pemimpin telah menjerumuskan sebagian anggota masyarakat kepada pandangan hidup hedonistik, enakkepenak, dengan obsesi bagaimana mengumpulkan kekayaan pribadi sesingkat-singkatnya dan semudah-mudahnya, menempuh jalan pintas tanpa peduli kepada hukum dan kepada norma-norma etika dan moral. 161 Suatu ironi besar pada Soeharto, bahwa ia meyatakan diri dan sistemnya terikat dengan nilai-nilai Pancasila, sementara dalam kehidupan sehari-hari marak dengan contoh tindakan yang bertentangan dengan salah satu atau mungkin malah semua dari prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. 162 Di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat yang mencekam, ada segolongan masyarakat yang fasik, yang dengan penuh kebanggaan memamerkan kekayaan dan kemewahan. Akibatnya ialah tumbuhnya jurang perbedaan yang menganga antara golongan kecil yang kaya dan super kaya pada satu pihak dan rakyat umum yang melarat hidup nestapa pada perihal lain.1 63 159 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, 101. 160 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 96. 161 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi,” Titik Temu , Jurnal Dialog Peradaban, Volume 1, Nomor 2, Januari Juni 2009, 24-25. 162 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 96. 163 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 25. 177 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Selain itu jika dilihat berdasarkan nilai-nilai Pancasila, sikap dan sistem Orba pun menunjukkan kurangnya konsistensi berkenaan dengan paham kemajemukan: ia menolak keras ide tentang perlunya oposisi resmi terhadap pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal itu menurut NCM bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangroa, semangat paham kemajemukan di balik perbedaan formal, sebab tidak ada jalan kebaktian atau kebaikan yang mendua tujuan.164 Indonesia sebagai suatu bangsa baru yang masih berada dalam pertumbuhan “penjadian diri” (in making ), masih memerlukan pengembangan pikiran -pikiran mendasar tentang kebangsaan dan kenegaraan, melanjutkan dan memperluas tradisi tukar-pikiran para tokoh pendirinya menuju cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 1 65 Seperti telah diuraikan terdahulu, para pembangun kebangsaan Indonesia modern memulai gagasan mereka dengan meminjam istilah ilmu sosial dan kebahasaan “Indonesia” untuk menjadi alat identifikasi dan nama bagi keseluruhan bangsa yang mereka dambakan. Kemudian mereka mengangkat bahasa Melayu dialek Riau sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia.1 66 Menurut NCM, bahasa Indonesia adalah aset kebangsaan yang paling penting, paling nyata dan paling menentukan. “Jika kita punya cukup alasan bahwa bangsa kita tidak akan pecah berantakan, sebagian besar adalah karena suksesnya kita mengembangkan bahasa nasional itu, paling sukses di antara semua bangsa baru yang muncul setelah Perang Dunia II”. 167 Tetapi alasan optimisme berdasarkan adanya bahasa persatuan tentu tidak akan 164 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 40. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 104. 166 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era 165 Reformasi”, 25. 167 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 25. 178 Suhaimi menjadi jaminan mutlak. Yang akan lebih menjamin masa n Indonesia ialah pelaksanaan sungguh -sungguh tujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Apa yang sekarang terjadi di Indonesia adalah warisan gejala kesenjangan ekonomi berupa jurang pemisah antara kelompok kecil yang kaya dan rakyat umum yang miskin -papa. Bahaya korupsi yang besar pada masa Orba yang memiliki efek merusak berlipat ganda, menurut NCM, menjadi hambatan ma dalam membangun kembali negara, hal itu menjadi satu contoh betapa sulitnya membersihkan unsur-unsur sisa sistem Orba. Karena itu diperlukan peneguhan komitmen dan pembaharuan tekad bersama semua komponen bangsa dalam semangat persatuan untuk menghadapinya.1 68 Kenapa itu terjadi? Bahkan Indonesia saat ini mengalami krisis multidimensional, tidak hanya krisis finansial-moneter seperti negara tetangga. NCM menjawab hal ini dengan merujuk kepada penilaian Karl Gunnar Myrdal (1898-1987) bahwa “negara kita sebagai “ soft state”, “negara lunak”, yaitu negara yang pemerintah dan warganya tidak memiliki ketegaran moral sosialpolitik. Kita umumnya mengidap kelembekan ( leniency), sikap serba memudahkan (easy going ), sehingga kita tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan korupsi.169 Jadi krisis multidimensional ini, ternyata sumbernya terletak dalam pengelolaan yang lemah (weak governance) dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan, maka usaha menegakkan standar moral merupakan salah satu urgensi bagi bangsa kita. Peta permasalahan kemelut sosial politik di Indonesia semestinya menjadi bahan pemikiran dalam mengatasinya merintis jalan ke masa depan, menurut Taufik Abdullah lah:17 0 168 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 104. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 111-112. 170 Taufik Abdullah, “Konflik dan Ancaman Disintegrasi” dalam Bambang Pranowo dan Darmawan,ed. Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era Demokrasi, 30-31. 169 179 Bahasa Politik Nurcholish Madjid pertama, sentralisasi kekuasaan dan penguasaan ideologi, kesadaran, dan ingatan kolektif bangsa yang dijalankan oleh serakah, yang bernama Orba, bukan saja telah melemahkan masyarakat, tetapi juga secara langsung memupuk tradisi otoriter dalam sistem wacana; kedua, semboyan “persatuan dan kesatuan” yang diwujudkan dalam sistem kekuasaan, yang sentralistik dan otoriter, serta sistem wacana yang hegemonik, secara pelan tetapi pasti telah menyebabkan bangsa tergelincir dalam reifikasi, ketika konsep telah dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya; ketiga keberlanjutan “krisis saling percaya” antara para elit politik, yang segera diwujudkan dalam persaingan politik dalam konstalasi sistem kenegaraan yang demokratis, bukan saja menyebabkan krisis dari krisis manajemen berlanjut, tetapi juga kelemahan dalam menanggapi perkembangan dunia yang semakin global; keempat terpaksa juga harus direnungkan kembali sebuah ungkapan yang ternukil dalam Pembukaan UUD tentang tujuan mendirikan negara nasional, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka ini timbul pertanyaan, seperti apakah kehidupan bangsa yang cerdas itu? Apakah pengalaman bernegara selama ini telah memperlihatkan ciri-ciri dari kehidupan bangsa yang cerdas atau sebaliknya? Dalam hal pembangunan SDM ini, Komaruddin Hidayat menggarisbawahi Francis Fukuyama dalam karyanya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), bahwa yang perlu dibangun dan dipelihara adalah apa yang disebut “ social capital” yang positif untuk pengembangan bangsa ini. Social capital adalah nilai-nilai, tradisi, dan cita-cita sosial yang telah tumbuh yang kita sepakati sangat positif nilainya untuk masa depan bangsa dan aset pengembangan peradaban sebuah bangsa.171 Bekerjanya sebuah sistem demokratis sangat bergantung pada tingkat kesalingpercayaan yang dibangun di dalamnya. Hanya 171 Komaruddin Hidayat, “Pengembangan SDM yang Berwawasan Kebangsaan untuk Memperkuat Ketahanan Nasional”, dalam Bambang Pranowo dan Darmawan,ed. Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era Demokrasi, 178. 180 Suhaimi bangsa yang memiliki tradisi sebagai “ high trust society” yang akan mampu membangun institusi politik dan ekonomi yang besar dan bertahan lama. Tetapi mereka yang tergolong “ low trust society” –atau bahkan ada yang tergolong “ zero trust society”?– sulit untuk mengembangkan diri karena ongkos sosialnya sangat mahal disamping sikap untuk sulit saling percaya dan memang tidak layak dipercayakan menggerogoti eksistensi sebuah bangsa sehingga akan tenggelam, bahkan tergilas, alam percaturan global. Pada tingkat negara ada kesalingpercayaan antara pemerintah dan rakyat; di antara elemen -elemen pemerintah sendiri (eksekutif, legislatif, yudikatif); demikian pula di antara elemen -elemen masyarakat sipil. 172 Namun Francis Fukuyama (1996) menegaskan bahwa kepercayaan sangat ditentukan oleh budaya. Kepercayaan adalah ekspektasi yang tumbuh dalam komunitas dengan perilaku regular, jujur dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dihormati bersama. Ketika kultur yang diperlukan untuk membangun kepercayaan tak mendukung, misalnya kultur korupsi, nepotisme, kekerasan dan pemaksaan, fondasi kepercayaan dalkam sistem demokrasi akan rapuh.173 Mengingat wawasan kebangsaan bermuatan nilai-nilai dan cara pandang terhadap dunia sekitarnya, sesungguhnya kita telah memiliki “ social capital” yang sangat berharga, yang terdapat pada budaya dan agama, namun kurang dikembangkan dan tidak format atau bingkai institusi yang mendukungnya dalam konteks kemodernan sehingga “rumah budaya” yang lama ambruk sedangkan “rumah budaya” yang baru belum jadi, atau ada tetapi tidak pas. Terasa sekali bahwa khazanah agama dan ajaran etika dari berbagai daerah yang begitu mulia tidak memperoleh wadah dan pengembangan dalam sebuah sistem politik yang demokratis dan accountable sehingga memunculkan problem loyalitas dan 172 Yasraf Amir Piliang, “Ruang Hampa Demokrasi”, Harian Umum Kompas, Kamis, 7 April, 2011, 6. 173 Yasraf Amir Piliang, “Ruang Hampa Demokrasi”, 6. 181 Bahasa Politik Nurcholish Madjid identifikasi diri. 174 Secara substansial, Pancasila telah merepresentasikan nilai dan visi yang sangat mendasar yang masih sangat relevan untuk acuan pengembangan SDM di masa depan, tapi pengalaman selama ini menunjukkan, semua nilai-nilai itu sulit berkembang kalau tidak dilindungi oleh sebuah pranata n mekanisme politik–ekonomi yang demokratis dan akuntabel. Dalam bahasa manajemen, sebuah masyarakat, lebih sempit lagi di lingkungan perusahaan ataupun departemen pemerintahan, akan maju dan bertahan kalau tumbuh beberapa prinsip, antara lain integrity, competency (skill), commitment, continuous ning, dan visionary. Perpaduan antara integritas dan kompetensi sangat vital untuk membangun kultur yang sehat, yang selama ini keduanya tampak berjalan sendiri-sendiri. Lebih parah lagi kalau mereka yang menduduki posisi penting dalam partai dan lembaga tinggi pemerintah tidak memiliki kedua kualitas dimaksud. Mak di situ diperlukan prinsip continuous learning dan commitment karena tantangan dan perubahan sosial berjalan begitu cepat sehingga jika kita berhenti belajar pasti akan kehilangan kompetensi. 175 Keberhasilan gerakan reformasi pada tahun 1998 seperti telah disebutkan terdahulu, menurut NCM, menjadi penan bahwa bangsa Indonesia mulai bergeser dari tingkat “ a nation in making ” naik ke tingkat “ a nation coming of age,” suatu bangsa yang sedang berkermbang menuju tingkat kedewasaan. 176 Hal itu dikarenakan reformasi telah membuahkan barkah kepada bangsa Indonesia berupa kebebasan -kebebasan sipil (civil liberties), yaitu kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat serta kebebasan akademik. 174 Komaruddin Hidayat, “Pengembangan SDM yang Berwawasan Kebangsaan untuk Memperkuat Ketahanan Nasional”, 179. 175 Komaruddin Hidayat, “Pengembangan SDM yang Berwawasan Kebangsaan untuk Memperkuat Ketahanan Nasional”, 180. 176 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 26. 182 Suhaimi BAB V AGENDA DASAR POLITIK NURCHOLISH MADJID Dalam bab ini, penulis akan menguraikan analisis struktural bahasa terhadap teks Agenda Dasar (AD) NCM “Membangun Kembali Indonesia” yang tersurat dari halaman 114 sampai dengan halaman 184 dalam buku karyanya berjudul Indonesia Kita yang diterbitkan oleh Universitas Paramadina, Jakarta, Cetakan III bulan Maret 2004 bersama dengan uraian penjelasan masing-masing AD. Analisis struktural bahasa di sini membahas teks berdasarkan strukturnya dan semantik serta tingkatan pragmatis penggunaan bahasanya. Isi teks adalah bahasa, karena teks adalah katakata lisan yang dituliskan (ditetapkan dalam bentuk lisan). Struktur dalam penelitian ini adalah urutan satuan bahasa yang lebih besar dari kata berupa kalimat. Kalimat bahasa Indonesia baku sekurangkurangnya terdiri atas dua unsur, yakni subjek (S) dan predikat (P). Unsur yang lain objek (O), pelengkap (P) dan keterangan (K) dapat wajib hadir, tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir dalam suatu kalimat. 1 Parera menyatakan bahwa ciri analisis bahasa struktural ialah distribusi. Sebuah bentuk bahasa dapat berdistribusi secara sintagmatik dan paradigmatik. Distribusi ini menunjukkan hubungan sesama bentuk bahasa.2 Tony Thwaithes dkk menjelaskan sintagma sebagai untaian teratur tanda yang dikombinasikan menurut aturan tertentu dan paradigma adalah sekumpulan tanda, yang tanda apapun dari kumpulan tersebut secara masuk akal bisa dipertukarkan dalam konteks tertentu.3 Para peneliti semiotik yang menggunakan 1 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan Bahasa (Jakarta, Diksi Insan Mulia, Cetakan XVI, Revisi 3, 2003), 142. 2 Jos Daniel Parera, Sintaksis (Jakarta, PT Gramedia, Cetakan I, 1988), 43. 3 Tony Thwaites, Llyod Davis dan Warwick Mules, Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik, terj. Saleh Rahmana (Yogyakarta dan Bandung, Jalasutra, Cetakan I, Agustus 2009), 60. 183 Bahasa Politik Nurcholish Madjid analisis teks sintagmatik, menafsirkan teks dengan memperhatikan susunan kalimat atau peristiwa yang menghasilkan makna atau dengan melihat untaian kata dalam kalimat yang memproduksi makna.4 Sementara mereka menggunakan analisis teks paradigmatik untuk meneliti bagaimana oposisi yang berada di balik teks melahirkan m akna. Dan D. Nimmo melakukan analisis bahasa politik pada tataran pragmatik dengan menguraikan bagaimana cara penggunaan kata-kata dan akibatnya untuk tujuan memperoleh keuntungan material dengan meyakinkan dan membangkitkan massa melalui kalimat antara lain eufemisme, puffery, labelling , metafora dan mitos; dan tujuan untuk peningkatan status atau otoritas sosial dan identitas sosial dengan cara pengu identitas personal atau identitas pribadi dan diskusi ik dalam 5 proses pemberian informasi. Politisasi bahasa memang sudah menjadi karakter dari penggunaan bahasa kekuasaan Orde Baru. Penguasa Orde Baru telah menjadikan bahasa sebagai subordinat dari kekuasaan politik yang tercermin dalam pembanguna Bahasa telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompok-kelompok dominan. Munculnya istilah-istilah eufimisme yang secara makna dikudeta oleh para penguasa Orde Baru telah mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang menjadi subjek bahasa.6 Kata rawan pangan berbeda makna dengan kelaparan, karena dalam pikiran kita tidak pernah hadir bayangan orang-orang yang kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan. Demikian pula kata demi nusa dan bangsa. atau demi persatuan dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita tidak berpikir kritis. Di sini bahasa politik merupakan bahasa yang dipergunakan 4 Arthur Asa Berger, Media and Communication Reseach Methods: An Introductions to Qualitative and Quantitative Approaches (USA, Sage Publications, Inc., 2 nd Printed, 2000), 44. 5 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media , terj. Tjun Surjaman (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan II, 1993), 100. 6 Virginia Matheson Hooker, “The New Standardization of Language”, 90. 184 Suhaimi para elite politik dan elite birokrasi untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Menurut Mochtar Pabottingi contoh penggunaan bahasa sebagai paradigma dalam studi ilmu politik antara lain dilakukan oleh Anderson dalam tulisannya yang terkenal The Language of Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and Monuments: The Evolutions of Political Communications under the New Order,” tahun 1978 yang berisikan tesis bahwa Bahasa Indonesia sudah kehilangan etos “revolusioner”-nya, karena tertimpa proses penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya i tak ada lagi. Ia sudah mengalami proses kramanisasi . Ia sudah terperangkap dalam “imaji orang Jawa tentang politik” dimana topeng (mask) punya peranan penting. Selain itu dua puluh tahun sesudah kemerdekaan, bahasa Indonesia “sama sekali bukanlah bahasa sehari-hari yang dipakai oleh lebih dari sejumlah kecil” penduduk Indonesia. 7 Tesis serupa dikemukakan pula oleh James Siegel dalam Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City, bahwa komunitas bahasa Jawa “memperlakukan bahasa lain seolah-olah semuanya itu termasuk bahasa “ ngoko ” dan komunitas ini memperkenankan “para pelaku bahasa-bahasa tersebut kedalam komunitas wacana yang dirumuskan sebagai bahasa krama.”8 Pabottingi kemudian menyanggah tesis Anderson tentang kramanisasi dalam bahasa Indonesia dengan bertanya benarkah anggapan bahwa sanskrinisasi, penghalusan, dan praktik bahasa “topeng” yang berlaku seperti istilah atau kata-kata tunawisma, swasembada, pramuka, binaraga, purnayudha, binaraga, tridarma, bahayangkari, saptamarga dst yang berlaku selama ini sudah cukup untuk menyatakan bahwa bahasa Indonesia mengalami kramanisasi? Pabottingi menyatakan paling tidak ada 3 kelompok 7 Benedict R. O. G. Anderson, “Bahasa Politik Indonesia” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed., Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung, Mizan, Cetakan Ke-2, Juni 1996), 148. 8 Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed., Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru , 154. 185 Bahasa Politik Nurcholish Madjid pelaku bahasa Indonesia yang tidak melakukan bahasa politesse (baca: halus-topeng-aling-aling) atau kramanisasi : 1) kelompok sastrawan kreatif/populer, 2) kaum cendikiawan 3) komunitas atau pertemuan yang bersifat keagamaan.9 Bab ini lebih lanjut akan mengungkap juga apakah NCM, sebagai salah seorang cendikiawan muslim terkemuka, menyatakan platform politiknya dengan bahasa kramanisasi atau tidak. Dalam pandangan Saussure tanda adalah sesuatu yang dapat dipersepsi dengan pancaindra manusia (seperti beraneka suara, bermacam-macam tulisan, dll.) yang dia istilahkan dengan signifier/penanda dan digunakan untuk menyatakan suatu konsep atau pemahaman yang disebutnya sebagai signified /petanda. Saussure menamakan hubungan yang mengikat penanda dan petanda dengan istilah signification /signifikasi. 10 Oleh karena itu teks judul AD NCM seperti tertulis di bawah ini menjadi penanda atau bentuknya dan akan diikuti dengan pemahaman dan interpretasinya sebagai petanda atau maknanya. A. Makna Teks Agenda Dasar Nurcholish Madjid 1. Makna Teks Judul AD NCM Penanda: PLATFORM MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA Petanda: Ditulis semua dengan huruf kapital yang terletak di bagian tengah atas tanpa tanda baca satu pun sebagai judul bab dari sebuah buku berjudul Indonesia Kita yang menjadi judul utamanya. Dua baris judul bab ini disusun seperti bentuk piramida terbalik sebagai nama dari uraian karya NCM yang tertulis empat spasi di bawahnya. 9 Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan”, 156- 157. 10 Ferdinand de Saussure, “Course in General Linguistics” in Julie Rivkin and Michael Ryan, eds., Literary Theory an Anthology (Malden, Blackwell Publishing, second edition, 2004), 61-62. See also Marcel Danesi and Paul Perron, Analyzing Cultures An Introduction and Handbook (Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press, First edition, 1999), 72. 186 Suhaimi Jenis kalimat aktif Platform Membangun Kembali Indonesia menunjukkan bahwa S melakukan pekerjaan dalam P yang ditandai dengan awalan me sebagai kata kerja transitif yang digabungkan dengan kata kembali sebagai kata turunan membangun kembali dengan O kata Indonesia .11 Kata Platform ditulis italic menunjukkan pemakaian ungkapan kata asing. 1 2 Apakah makna konsep platform dalam konteks politik? Platform biasanya ditulis berupa bentuk tunggal dalam konteks politik berarti tujuan suatu partai politik atau sega sesuatu yang dinyatakan sebagai agenda yang akan dikerjakan jika terpilih sebagai penguasa.13 Jadi platform di sini berarti sebagai agenda politik yang penulis komunikasikan kepada masyarakat tentang bagaimana membangun kembali bangsa Indonesia. Kata “Indonesia” diambil dari istilah “indunesians” dalam studi etnologi dan antropologi yang diperkenalkan oleh George Windsor Earl pada tahun 1850 dan dipopulerkan oleh James Richardson Logan di Singapura dalam mengidentifikasi suatu geokultur tertentu yang secara geografis bercirikan kepaulauan dan secara kultural bersifat Indic.14 Dari kata Dutch East Indies berarti Hindia Timur Belanda. Tahun 1922 Indische Vereeniging (IV, berdiri tahun 1908) yakni perhimpunan mahasiswa Hindia yang belajar di Belanda memelopori penggunaan istilah Indonesische dengan mengubah Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (IV) serta pada tahun 1924 IV sekali lagi diubah 11 Siti Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum (Jakarta, Prestasi Pustaka, Cetakan I, April 2007), 15. 12 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis (Bandung, Simbiosa Sekatama Media, Cetakan I, Mei 2006), 214-215. Lihat juga Keputusan Mendikbud No. 0543a Tahun 1987 tentang Salinan Ejaan Yang disempurnakan. 13 AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (United Kingdom, Oxford University Press, Sixth edition, 2003), 10041005. 14 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung, PT Mizan Pustaka, Cetakan I, September 2005), 255. 187 Bahasa Politik Nurcholish Madjid namanya menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI). 15 Saat itu “Indonesia” menjadi ikon baru bagi konstruksi kesadaran nasional baru untuk menciptakan batas antara dunia penjajah dan yang terjajah. Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ide sebagai NKRI mulai ditemukan pada akhir 1920 oleh para pemimpin gerakan kemerdekaan dengan menyatakan bahwa mereka akan menyatukan 13.000 pulau dalam wadah sebuah bangsa.16 Indonesia saat ini merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia berjumlah 177.5 juta penduduk, sekitar 13% dari 3 milyar penduduk muslim sedunia.17 Konstruksi makna Indonesia tersebut menunjukkan bahwa pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa merupakan yang memakan waktu berabad -abad. Komunitas terbayangkan Indonesia telah tercipta jauh sebelum pendudukan Belanda. Bahkan, Islam dan identitas nasional berkaitan erat dengan perumusan nasionalisme Indonesia.1 8 Misalnya Abd al-Shamad alPalimbani (1740-1789), ulama besar asal Palembang mengirim 15 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 256 -257. Abdullah Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati (Bandung, PT Mizan Pustaka, Cetakan I, Juli 2007), 392. 17 Greg Fealy and Virginia Hooker ed. Voices of Islam in Southeast Asia a Contemporary Sourcebook (Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, Fist edition, 2006), 39. Penulis menemukan jumlah penduduk muslim Indonesia telah mencapai angka lebih dari 207 juta jiwa pada tahun 2007. Lihat Izza Rohman, ed., Buku Pintar Islam, (Jakarta, Zaman, Cetakan I, 2009), 348 dan Azyumardi Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Islam Global”, Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, vol. 29. Oktober 2010. 18 Andi Faisal Bakti, Nation Building Kontribusi Komunikasi Lintas Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia , terj. M. Adlan Nawawi dan Syamsul Rijal, (Jakarta, Churia Press, Cetakan I, Oktober 2006), xiii-xiv. 16 188 Suhaimi surat-surat dari Mekah kepada penguasa Mataram untuk melakukan jihad melawan Belanda.19 Menurut Azra, terdapat tiga fase perkembangan nasionalisme di Indonesia. Pertama fase penyerapan gagasan nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasi-organisasi, di Indonesia dapat dilihat sejak dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), dan Sarekat Islam (SI). Tahap ini disebut juga “ protonasionalisme”. Kedua fase yang sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural, nasionalisme di Indonesia saat ini bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa. Ketiga fase penekakanan nasionalisme ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan, di Indonesia ditandai dengan kebangkitan pemerintah Orba di bawah pimpinan Soeharto.20 Oleh karena itu, makna kata membangun kembali di sini tidak berarti usaha melakukan pertumbuhan material dan ekonomi semata, melainkan suatu proses perubahan menuju pengembangan nilai-nilai sosial, persamaan dan kebebasan dan kemajuan material berdasarkan partisipasi masyarakat di segala bidang kehidupan.2 1 Berdasarkan apa yang hadir dalam kalimat NCM tertulis pada AD 1 sampai dengan 10 dan uraian kalimat penjelasannya masing-masing, lebih lanjut pen ulis akan menyusunnya ke dalam kategori-kategori. Kemampuan manusia melakukan kategorisasi dikatakan oleh para ahli semiotik sebagai bersifat a priori . Tanda memiliki nilai dengan sendirinya jika dibedakan dengan tanda lainnya. Saussure menekankannya sebagai ‘perbedaan’ (difference) antar tanda. Perbedaan ini dilihat secara negatif, art yang menjadi karakteristik tiap tanda adalah apa yang tidak dimiliki oleh 19 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000), 106. 20 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara , 105-112. 21 Everett M. Rogers, Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis, terj. Dasmar Nurdin (Jakarta, LP3ES, Cetakan I, 1985), 162-163. 189 Bahasa Politik Nurcholish Madjid tanda lain. 2 2 Claude Lévi Strauss, seorang antropolog yang mengembangkan teori bahasa Saussure, menamakan proses ‘perbedaan’ itu dengan oposisi biner (binary opposition ).2 3 Misalnya kaya/miskin, biadab/beradab, kultur/natur, abadi/fana, dsb. Hal ini menjadi fokus perhatian dalam analisis paradigmatik dengan berusaha mencari makna yang dihasilkan dari adanya oposisiaposisi yang tersembunyi pada teks.2 4 Analisis paradigmatik ini berkaitan pula dengan proses signifikasi berupa makna otasi, konotasi dan mitos.25 Dalam uraian berikut ini peneliti akan memahami makna yang terdapat dalam uraian teks NCM pada AD kesatu sampai dengan AD kesepuluh dan uraian kalimat penjelasannya masingmasing berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicitacitakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori ut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan. Oleh karena itu uraian teks NCM pada AD kesatu sampai dengan AD kesepuluh seperti tertulis di bawah ini menjadi penandanya (bentuknya) dan akan diikuti dengan pemahaman sebagai petandanya (maknanya) yang kemudian dijelaskan dengan analisis intertekstual sebagai interpretasinya 2. Makna AD Kesatu dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 1. Mewujudkan “good governance” pada semua lapisan pengelolaan negara. 22 M. Antonius Birowo, ed., Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Praktek (Yogyakarta, Gitanyali, Cetakan I, Oktober 2004), 55. 23 John Fiske, Introduction to Communication Studies (London and New York, Routledge, Second Edition, 1990), 116. 24 Arthur Asa Berger, Media and Communication Reseach Methods, 46. 25 M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Praktek , 56-59. 190 Suhaimi Petanda: Kalimat berita dengan P berimbuhan gabungan me–kan terhadap kata dasar yang berhuruf awal konsonan w untuk membentuk kata kerja aktif. 26 Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.27 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 2 8 Tanda kutip dan italic pada kata “good governance” untuk menyatakan kata asing atau kata yang diistimewakan dan mempunyai arti khusus.29 Tabel 1 Oposisi Biner AD kesatu Buruk Krisis banyak segi Budaya KKN Upeti dan suap menyuap Gunung es raksasa Feodalisme Patrimonialisme Materialistik Baik Pembangunan demokrasi: Prinsip-prinsip good governance Partisipasi umum transparansi akuntabilitas Laut di zona tropis Pemimpin yang memberi teladan dan menghasilkan kewibawaan Agama yang bersemangat kebenaran yang lapang Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD kesatu seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti 26 Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2009), 124. 27 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 28 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 29 Gorys Keraf, Komposisi (Flores, Nusa Indah, Cetakan IX,1993), 22. 191 Bahasa Politik Nurcholish Madjid mengklasifikasikannya menjadi dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita -citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan yaitu antar kata krisis banyak segi dengan kata pembangunan demokrasi, kata budaya KKN dengan prinsip prinsip good governance, kata upeti dan suap menyuap dengan kata partisipasi umum dan tranparansi serta akuntabilitas, gunung es raksasa dengan laut zona tropis, kata feodalisme dan patrimonilaisme dengan kata pemimpin yang memberi teladan dan menghasilkan kewibawaan, kata materialistik dengan kata agama yang bersemangat kebenaran yang lapang seperti yang tertulis di atas dalam tabel 1 tentang oposisi berpasangan kata-kata dalam AD kesatu. Dengan demikian berdasarkan uraian klasifikasi dalam tabel 1 itu, maka makna konotasi AD kesatu secara singkat adalah mengadakan admin istrasi pemerintahan dan manajemen kekuasaan yang baik dan benar dengan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas pada semua struktur pengelolaan negara untuk mengakhiri krisis multi dimensi di Indonesia, termasuk krisis kepercayaan terhadap para pemimpin pemerintahannya akibat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang lahir karena budaya patrimonialisme dan feodalisme. Pada alinea ketiga uraian penjelasan AD kesatu, NCM menunjukkan cara-cara mewujudkan good governance a.l.: 1. Mempersatukan seluruh komponen bangsa untuk secara bah membahu bertanggungjawab menyelesaikan masalah nasional; 2. Memilih para pemimpin nasional yang sanggup memberi teladan, memiliki visi tentang masa depan bangsa dan intuisi kepemimpinan dan kearifan batin (bas}irah), tulus, ama>nah dan sosok pemersatu berbagai komponen bangsa.30 Jadi NCM dalam AD kesatu dan uraian penjelasannya tidak menggunakan bahasa politesse (baca: halus-topeng -aling -aling ) dalam rangka menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang terpelajar atau priyayi yang fasih berbahasa yang memiliki sopan santun politik. Sebaliknya sebagai seorang 30 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 118-120. 192 Suhaimi cendikiawan muslim, NCM menuliskan pikiran -pikirannya tentang kebobrokan sosial yang terjadi dengan tegas seperti tertulis dalam kata-kata: budaya KKN, upeti dan suap menyuap, feodalisme, patrimonialisme dan gaya hidup materialistik yang menjadi penanda bahwa dirinya menolak elitisme atau politesse dalam berbahasa. Di samping itu, NCM pun menekankan arti penting memilih pemimpin nasional yang ama>nah. Ama@nah adalah salah satu contoh sifat kepemimpinan Nabi Muhammad saw, selain s}i ddi>q, istiq a@mah, fat }a>nah dan tabli >gh. Good governance atau “tata kelola pemerintahan yang baik” merupakan konsep yang sangat sering digunakan sebagai prasyarat melaksanakan pembangunan dan menjadi platform pertama NCM dalam pembangunan kembali Indonesia. Namun apa itu pemerintahan yang baik? Kofi Annan, pejabat lama Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti dikutip oleh Réné Klaff, menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah “penciptaan institusi-institusi politik, hukum, dan administrasi yang dianggap sah oleh warga negara, yang melaluinya mereka dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan melaluinya pula mereka diberdayakan. Pemerintahan yang baik secara umum juga memerlukan sikap hormat pada hak asasi manusia dan kepastian hukum”.31 Bahkan Kofi Annan menyebutkan pemerintahan yang baik sebagai “…. boleh jadi faktor tunggal yang paling penting dalam pemberantasan kemiskinan dan pengembangan pembangunan”.32 Secara leksikal, good governance merupakan istilah baru yang menyeruak dalam ilmu politik sekitar awal tahun 1990 -an. Namun, bila istilah ini diterjemahkan ke dalam Bahasa nesia dengan pemerintahan yang baik, atau bersih, atau biasa juga 31 Réné Klaff, “Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi dan Pemerintahan yang Baik”, dalam Ulil Abshar Abdalla, ed., Islam dan Barat Demokrasi dalam Masyarakat Islam (Jakarta, Pusat Studi Islam Paramadina bekerjasama den Friedrich-Naumann-Stiftung Indonesia, Cetakan I, Juni 2002), 108. 32 René Klaff, “Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi dan Pemerintahan yang Baik”, 108. 193 Bahasa Politik Nurcholish Madjid dengan kata sifat lain seperti berwibawa dan bertanggungjawab, atau diartikan menjadi tata kelola pemerintahan yang baik, maka pada hakekatnya istilah itu bukanlah baru.33 Dalam istilah modern, good governance atau yang dimaksud dengan pemerintahan yang baik adalah “ sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai level pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Pemerintahan yang bersih ini tercermin dari penampilan pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, setara, transparan, serta bertanggungjawab.”. 34 Negara Indonesia pada tahun 1999 di era reformasi, seperti dikutip oleh Siti Nafsiyah, menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi peradilan dibandingkan dengan beberapa negara di Asia gara 35 lainnya, seperti terlihat dalam table berikut ini. Tabel Good Governance di Asia Tenggara 1999 Negara Indeks Efisiensi Peradilan Indeks Korup si Malaysia Singapura Thailand Filipina Indonesia 9,00 10,00 3,25 4,75 2,50 7,38 8,22 5,18 7,92 2,15 Indeks Good Governan ce 7,72 8,93 4,89 3,47 2,88 Kategori Kualitas Governance Good Governance Good Governance Fair Governance Fair Governance Poor Governance 33 Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed. Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 2005), 328. 34 Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 330. 35 Siti Nafsiyah, “Efek Domino Pergulatan Civil Society: njadi Watchdog untuk Menegakkan Good Governance,” dalam Burhanuddin, ed. Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia (Jakarta, INCIS, Cetakan Pertama, Desember 2003), 209-210. 194 Suhaimi Berdasarkan indeks tertulis di atas, secara objektif harus diakui bahwa kualitas governance Indonesia masih jauh dari good governance. Hal itu disebabkan karena peran negara dan aparaturnya yang sangat dominan dalam mengatur segala kehidupan menyebabkan berbagai monopoli terselubung yang menjadikan alokasi sumber daya tidak efisien, distorsi dan inefisiensi perekonomian dan proses pendidikan demokrasi atau pendewasaan politik masyarakat terabaikan. 36 Sesuai dengan hasil studi tersebut dan pernyataan Kofi Annan di atas, menurut NCM, yang pertama-tama diperlukan untuk mengakhiri krisis besar di Indonesia sekarang ini ialah bagaimana mengelola negara secara baik dan benar, berkenaan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan. Good governance dapat diibaratkan sebagai laut zona tropis yang panas, yang akan meluluhkan gunung es korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam hal ini diperlukan kekuatan besar yaitu tekad bersama seluruh kekuatan bangsa untuk bahu membahu menanggung beban tanggungjawab penyelesaian masalah nasional. 37 Dalam upaya mewujudkan good governance dan terutama dalam memberantas KKN, The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank telah memperkenalkan konsep “ pillars of integrity” atau konsep sistem integritas nasional yang setidaknya melibatkan 8 (delapan) lembaga, yaitu: 1) lembaga eksekutif, 2) lembaga parlemen, 3) lembaga kehakiman, 4) lembaga-lembaga pengawas, 5) media, 6) sektor swasta, 7) masyarakat sipil dan 8) lembaga-lembaga penegakan hukum.38 Pelaksanaan prinsip -prinsip good governance dan pembangunan demokrasi di Indonesia dalam upaya memberantas korupsi, menurut NCM, mensyaratkan juga dihancurkannya feodalisme, karena merajalelanya korupsi di Indonesia adalah kelanjutan tradisi upeti masyarakat feodal dan budaya suap -menyuap dan perjudian oleh kalangan yang tak 36 Siti Nafsiyah, “Efek Domino Pergulatan Civil Society, 210. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 117. 38 Siti Nafsiyah, “Efek Domino Pergulatan Civil Society, 210. 37 195 Bahasa Politik Nurcholish Madjid perduli dengan standar moral karena mengejar keuntungan kebendaan semata.39 Dengan perkataan lain, mewujudkan good governance menjadi perkara mustahil tanpa keikutsertaan seluruh rakyat atas dasar komitmen bersama, termasuk keterlibatan jajaran nasional yang harus sanggup memberi teladan, berdiri di barisan paling depan, memulai dengan diri sendiri. Karena itu kepemimpinan nasional harus benar-benar otentik, tulus ikhlas, satu kata perkataan dan perbuatan, memiliki visi dan intuisi kepemimpinan masa depan, tetap setia memelihara am>anah dan sanggup berperan sebagai consensus builder, pembina kesepakatan antar berbagai komponen bangsa.40 Ama@nah adalah salah satu contoh sifat kepemimpinan Nabi Muhammad saw, selain s}i ddi >q, istiq a@mah, fat }a>nah dan tabli>gh. Setiap sifat itu dapat diinterpretasikan sebagai lima unsur penting good governance yaitu: transparancy. consistency, intellegency, accountability, dan communicability.41 Ama>nah dapat diparalelkan dengan accountability, atau akuntabilitas yaitu kesanggupan mempertanggungjawabkan semua proses dan tindakan kepada rakyat secara terbuka. 42 Namun ama>nah jauh menjamah rona psikologi yang paling dalam. Sebab ama>nah itu mementingkan tanggungjawab yang sangat hakiki dalam hubungannya dengan umat manusia, yang selalu yakin bahwa ada yang selalu mengawasi pelaksanaan tugasnya. Islam mengajarkan setiap perilaku manusia selalu dalam pengawasan malaikat. Dalam konteks inilah ama>nah berkiprah. 43 Pada satu kesempatan Rasulullah saw mendaki bukit S}afa untuk mengajak kaum Quraish berkumpul, kemudian beliau bertanya: “apakah kalian percaya jika aku berkata bahwa kuda akan lahir dari perut bukit ini. Mereka menjawab: ya, kami tidak pernah mendapatkan kamu 39 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 121-122. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 118-119. 41 Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 346. 42 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 119. 43 Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 348. 40 196 Suhaimi berbohong, maka Muhammad saw bersabda sesungguhnya aku ini pemberi peringatan kepada kalian bahwa nanti akan data azab yang pedih.”.44 Rasulullah saw adalah manusia yang terbaik akhlaknya, terbenar perkataannya, teragung ama>nahnya, beliau terlindungi dari perbuatan nista sehingga kaum Quraish menamakan beliau sebagai al-Ami >n atau orang terpercaya.45 Jadi ama>nah telah menjadi ikon bagi Nabi Muhammad saw. Sedangkan S}iddi>q berarti jujur dapat diparalelkan dengan transparancy, bahkan maknanya lebih dalam. Transparancy berarti terbukanya partisipasi umum dalam proses-proses pelaksanaan pemerintahan serta penggunaan kekuasaan, sehingga tidak terjadi kegiatan kenegaraan yang berlangsung secara tersembunyi, khususnya yang bersangkutan dengan penanganan kekayaan umum milik bangsa dan negara.46 Tapi bagaimanapun transparancy masih mungkin dikelabui dengan mark up secara administratif dengan data dan kuitansi, faktur dan bon, bill dst yang faktual dan transparan, tapi masih sangat mungkin terjadi pemalsuan angka yang sukar dideteksi, sedangkan s}iddi >q yang mengutamakan yang tak tampak karena mencakup wilayah qalbiyah tidak akan terjadi pemalsuan, rekayasa dan penambahan .4 7 Kedua adalah Istiqa>mah bermakna teguh dalam pendirian yang dapat diparalelkan dengan consistency atau commitment berarti teguh dalam berpendirian dan tidak ingkar terhadap apa yang telah dikatakan. Lebih dari itu adalah seorang yang istiqa> mah karena berkaitan dengan sikap kejiwaan yang berkaitan dengan hati yang terdalam, harus sesuai benar kata dan perbuatannya, ucapan dan tingkah lakunya, sementara consistency, masih mungkin mengelabui orang lain. 48 44 Abu Hasan Muslim, S}a hi>h Muslim Kita>b al-I>ma>n (Beirut, Da>r Ihya> al- Tura>th al-Araby, Jilid 3, tt.), 351. 45 A´fi>f T}abba>rah, M aa´ al-Anbiya> fi> al-Qur’a>n al-K ari>m (Beirut, Da>r al-Ilmi Lilmala>yi>n, cetakan ke-18, 1993), 34. 46 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 119. 47 Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 346. 48 Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 347. 197 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Sama pula halnya dengan sifat ketiga yaitu Fat }a>nah berkaitan dengan kecerdasan, baik kecerdasan rasio, rasa, maupun kecerdasan ilahiyah. Jika dibandingkan dengan good governance dengan konsep intellegency-nya, maka konsep ini sebetulnya hanya berhubungan dengan kecerdasan intellegentia semata.49 Jadi konsep fat }a> nah memiliki pengertian lebih luas dan dalam. Sinergi ketiga kecerdasan rasio, rasa dan ilahiyah membuat seorang seperti Nabi mampu mengetahui secara pasti sikap mental orang yang diajak berbicara, musuhnya, serta prediksi-prediksi masa depan. Sehingga ketika mengambil strategi, antisipasi strategis sudah diambilnya dengan cermat. Terakhir adalah Tabli>gh yang bisa disejajarkan dengan konsep communicability dalam good governance. Tapi pada hakikatnya, tabli>gh ini berkaitan dengan dakwah Islam dan penyampaian pesan-pesan keilahian. Jadi tabli>gh ini mencakup semua aspek komunikasi antar manusia, sedang communicability hanya berkenaan dengan wilayah public speaking .5 0 3. Makna AD Kedua dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 2.Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan Konsekuen. Petanda: Kalimat majemuk bertingkat berkata Penghubung dengan yang menunjukkan cara dan P berimbuhan gabungan me–kan terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan t untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi tegak. 51 Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.52 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 53 49 Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 347. Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 348. 51 Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik , 124. 52 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 53 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 50 198 Suhaimi Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD kedua seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan seperti yang tertulis dalam tabel 2 berikut di bawah ini: Tabel 2 Oposisi B iner AD kedua Buruk Baik Penyimpangan dan manipulasi hukum Darwinisme dalam kehidupan sosial politik “ Lawless society” atau masyarakat hukum rimba Masyarakat tak berkeadaban Penegakan asas hukum dan keadilan Kehidupan sosial politik yang baik Madi>nah atau Ketaatan pada hukum adalah pangkal keadaban Civility Rechtstaat Machtstaat Dalam uraian klasifikasi pada tabel 2 tentang oposisi berpasangan yaitu antar kata penyimpangan dan manipulasi hukum dengan kata penegakan asas hukum dan keadilan, kata Darwinisme dalam kehidupan sosial dengan kata kehidupan sosial-politik yang baik, kata “ Lawless society” atau masyarakat hukum rimba dengan kata Madi>nah atau ketaatan pada hukum adalah pangkal keadaban, kata masyrakat tak berkeadaban dengan kata Civility, kata Machtstaat dengan kata Rechtstaat . Klasifikasi kata-kata itu tertulis dalam table 2 tentang oposisi berpasangan AD kedua seperti tersurat di atas. Dengan demikian berdasarkan tebel 2 itu, maka makna konotasi AD kedua secara singkat adalah penyimpangan dan manipulasi hukum oleh aparat penegak hukum telah menghilangkan keperca-yaan masyarakat terhadap dunia peradilan 199 Bahasa Politik Nurcholish Madjid di Indonesia dan menjadikan Indonesia seperti negara kekuasaan (machstaat ) di mana yang lemah tidak mampu bertahan hidup menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, penegakan supremasi hukum dan keadilan secara konsisten dan konsekuen untuk mewujudkan negara hukum (rechtstaat ) dalam bingkai pelaksanaan good governance. Di samping itu berdasarkan kutipan dari teladan Abu 54 Bakar, secara makna konotatif dapat dipahami bahwa NCM mengajak bangsa Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim untuk menumbangkan mitos dalam dunia peradilan di Indonesia: hukum hanya diberlakukan untuk orang yang miskin baik finansial maupun struktural dan tidak dikenakan bagi orang kaya atau kuat. Pada paragraf kedua penjelasan AD kedua, NCM menegaskan bahwa ketaatan pada h ukum adalah pangkal keadaban (madaniyyah) atau civility. Sebaliknya, “ lawless society” atau “masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat tak berkeadaban, yang menuju kepada kehancuran.55 Jadi dalam AD NCM kedua dan penjelasannya ini pun, modalitas bahasa politesse tidak berlaku. NCM di sini membuka berbagai aib dan borok-borok kehidupan sosial dengan tegas seperti tersurat dalam isan katakata: penyimpangan dan manipulasi hukum, darwinisme dalam kehidupan sosial politik, “ lawless society” atau masy arakat hukum rimba, masyarakat tak berkeadaban dan machtstaat . Pelaksanaan good governance diharapkan akan mendorong pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas dan teguh. Sebaliknya, tanpa tegaknya asas hukum dan keadilan, pelaksanaan good governance adalah mustahil. 56 Penegakan supremasi hukum berarti semua unsur dan lapisan masyarakat, termasuk penguasa 54 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 124. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 123-124. 56 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 122-123. 55 200 Suhaimi tunduk, terikat dan taat pada hukum dan peraturan perundangundangan.57 Dalam bahasa Arab “peradaban” memang dinyatakan dalam kata-kata “ madaniyyah” atau “tamaddun ”, selain dalam kata -kata “ had}a> rah”.58 Karena itu tindakan Nabi saw mengubah nama Yathrib menjadi Madi>nah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukung beliau yang terdiri dari kaum Muh a>jiri >n dan kaum Ans}a> r hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.59 Bangunan itu dalam bahasa Arab disebut juga ‘ima>rah berderivasi menjadi ‘umra>n (peradaban) dan ma‘mu>r (berperadaban, kerta-raharja). Daratan berpenghuni ramai dan berperadaban disebut al-Da>ira>t al-M a‘mu>rah. Dalam bahasa Yunani disebut Oikumené, asal makna gerakan Ekumenisme Nasrani. Dalam lingkungan Oikumené itu tumbuh berbagai polis, negara kota yang menjadi pusat peradaban.60 Dari bahasa Yunani “polis” itulah diambil dasar pengertian “politik” (“ politics”–the art of science of government or governing, especially the governing of a political entity, such as a nation, and the administration and control of its internal and external affairs). Jadi M adi>nah mempunyai makna yang sama dengan polis. Menurut NCM, M adi>nah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan pengertian tentang negara bangsa, nation state, yaitu negara untuk seluruh umat atau warga negara demi maslahat bersama.61 57 Ahmad Sukarja, “Tiga Kategori Hukum dan Masyarakat Madani,” dalam Firdaus Efendi dan Khamami Zada,ed. Membangun Masyarakat Madani Melalui Khutbah dan Ceramah (Jakarta, Nuansa Madani, Cetakan I, Desember 1999), 284. 58 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 1999), 164. 59 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 164. 60 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 47. 61 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 47. 201 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan, menurut Daniel S. Lev seperti dikutip oleh Adhyaksa Dault, meskipun sudah ada tiga presiden baru yang semuanya menjanjikan perbaikan atas proses hukum, negara hukum yang dicita-citakan oleh rakyat tak kunjung terwujud.62 Ternyata kekuasaan Orla dan Orba selama 40 tahun merupakan “bencana” untuk negara dan masyarakat Indonesia, karena negara menjadi penuh korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran hak asasi manusia, tanpa lembaga-lembaga negara yang dapat dipercaya termasuk pengadilan, kejaksaan dan polisi. 6 3 Pada tahun 2001, seperti tahuntahun sebelumnya, ada janji dan beberapa langkah di seputar soal hukum. Undang-Undang perlu diloloskan, Rencana UndangUndang dipertimbangkan, lembaga-lembaga baru dibentuk, supaya hakim, jaksa, dan polisi bertindak semestinya, dan seterusnya, tetapi belum terlihat perubahan yang fundamental. Dari 961 perkara korupsi yang dilakukan penyidikan selama periode Januari 2004 -April 2005, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, baru dapat diselesaikan sebanyak 149 perkara, atau kurang dari 20 persen, sisa per April 2005 sebanyak 812 perkara korupsi yang belum selesai penyelidikannya.6 4 Menurut NCM, melemahnya kesadaran arah dan tujuan hidu bernegara yang menggejala saat ini dan dunia peradilan Indonesia yang telah terjerat praktek suap -menyuap dan jaringan penyimpangan hukum yang terorganisasi semacam organized crime serta indikasi tindakan kejahatan yang berlangsung dengan lindungan helat hukum berdampak sangat negatif kepada penegakan hukum dan keadilan. 65 Karena praktek suap -menyuap yang terkutuk itu, mayarakat semakin banyak kehilangan 62 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, 109. 63 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, 109. 64 Rusdi Marpaung dan J. Heri Sugianto, ed., Demokrasi yang Selektif terhadap Penegakan HAM [Laporan Kondisi HAM Indonesia 2 5] (Jakarta, Imparsial, Cetakan Pertama, Oktober 2006), 34. 65 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 123. 202 Suhaimi kepercayaan kepada proses-proses penegakan hukum dan keadilan oleh aparat yang bersangkutan. Pembahasan dalam Reader’s Digest , sebuah majalah popular konservatif yang merupakan salah satu dari majalah beroplah terbesar di dunia, mengatakan bahwa Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju dalam waktu dekat ini, karena Indonesia mempunyai etika kerja yang cacat dan korupsi yang gawat. 66 Berkenaan dengan hal ini, berlaku atas umat Islam sebagai bagian terbesar dari penduduk bangsa Indonesia hukum “ corruptio optimi pessima ” (“kejahatan oleh orang baik adalah kejahatan yang buruk”), maka pelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan oleh kaum Muslim akan mendatangkan malapetaka berlipat ganda. Hukum yang sama berlaku atas setiap penganut agama lainnya di Indonesia.67 Hukum dan keadilan harus ditegakkan tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua atau sanak keluarga. Dan Nabi Muhammad saw telah memberi teladan kepada kita dalam rangka menegakkan masyarakat madani atau civil society, tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau pun keluarga ri.6 8 Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika “orang atas” melakukan kejahatan dibiarkan, tapi jika “orang bawah” melakukannya pasti Karena itu Nabi pun menegaskan, bahwa seandainya Fatimah, putri beliau, mencuri, maka Muhammad pasti akan memotong tangannya.69 Dengan demikian, terwujudnya kebaikan dalam kehidupan sosial manusia senantiasa memerlukan campur tangan kepemimpinan yang benar dan sadar akan tugas kemanusiaan, 66 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 409-410. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 107. 68 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 172. 69 Mus}t}afa> al-Siba>‘i, ‘Uz}ama>una> fi> al-Ta@>ri>kh (Kairo, Da>r al-Sala>m, Catakan I, 1998), 36. 67 203 Bahasa Politik Nurcholish Madjid ketaatan pada hukum dan aturan adalah pangkal keadaban, madaniyyah atau civility. Sebaliknya, “ lawless society” atau “masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat tak berkeadaban, yang menuju kepada kehancuran.70 Seperti teladan Nabi Muhammad saw tertulis di atas, Abu> Bakr al-S}iddi>q, pada saat dikukuhkan menjadi Khali>fat rasu >lillah dalam pidatonya mengatakan, “…yang kuat di antara kalian bagiku adalah lemah, sampai aku akan ambil dari mereka hak-hak kaum miskin; dan yang lemah di antara kalian bagiku adalah kuat, sampai aku berikan mereka hak-hak mereka.”. 71 4. Makna AD Ketiga dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 3.Melaksanakan Rekonsiliasi Nasional. Kalimat berita dengan P berimbuhan gabungan me–kan terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan l untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi terlaksana. 72 Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.73 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 74 Tanda baca titik dua pada akhir kalimat dipergunakan u suatu pernyataan yang lengkap dan diikuti suatu rangkaian atau pemerian.7 5 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD ketiga seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan 70 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 124. Mus}t}afa> al-Siba>‘i, ‘Uz}ama>una> fi> al-Ta >ri>kh , 61. 72 Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik , 124. 73 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 74 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 75 Gorys Keraf, Komposisi, 20-21. 71 204 Suhaimi kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan sebagai berikut di bawah ini: Tabel 3 Oposisi B iner AD ketiga Buruk Baik Pelajaran pahit masa lalu Pelanggran hak asasi manusia Memelihara stigma dan trauma sosial masa lalu Rentetan vendetta Tekad tidak mengulangi Saling hormat saling percaya Saling menghargai kehidupan sosial politik yang baik Pendamaian dan penyatuan antar manusia (is}la@hun bayna al-na@s) Tindakan hukum secara tegas Dendam dan balas dendam Dalam uraian klasifikasi pada tabel 3 tentang oposisi berpasangan AD ketiga di atas, kata-kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata pelajaran pahit masa lalu dengan tekad tidak mengulangi, kata pelanggaran hak asasi manusia dengan saling hormat dan saling percaya, kata memelihara stigma dan trauma masa lalu dengan kata saling menghargai kehidupan sosialpolitik yang lebih baik, kata rentetan vendetta dengan kata pendamaian dan penyatuan antar manusia (is}la>hun baina alna>s), kata dendam dan balas dendam dengan kata tindakan hukum secara tegas. Dengan demikian makna konotasi AD ketiga secara singkat adalah melaksanakan rekonsiliasi nasional dengan berusaha 205 Bahasa Politik Nurcholish Madjid menjadikan segala pelanggaran hukum dan hak asasi manusia menjadi pelajaran pahit di masa lalu dengan tekad tidak mengulanginya di masa datang untuk menatap masa depan ngan menerapkan hukum secara tegas dan pendamaian serta penyatuan seluruh kekuatan bangsa. Usaha mengatasi krisis multidimensional yang kini menimpa bangsa Indonesia, tidak mungkin berhasil tanpa keterlibatan seluruh kekuatan bangsa yang dengan sendirinya mensyaratkan adanya rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional menjadi suatu keharusan bagi bangsa Indonesia agar dapat bangkit kembali sebagai bangsa besar yang terhormat di tengah bangsabangsa lainnya di dunia ini. 76 Menurut NCM agenda rekonsiliasi nasional ini dapat dilaksanakan dengan langkah: a.Menarik pelajaran pahit dari masa lalu dengan tekad tidak mengulanginya; b. Menatap masa depan dengan pendamaian dan penyatuan seluruh kekuatan bangsa; c. Menegaskan garis pemisah antara masa lalu dan masa mendatang.7 7 Jadi dalam AD ketiga dan penjelasannya inipun, NCM memaparkan tulisannya dengan bahasa yang polos tak bertopeng dengan kata-kata yang sangat anti -politesse seperti perlawanan kepada hukum dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, tindakan hukum secara tegas, rentetan dendam dan balas dendam. Pada penjelasan AD ketiga yang menguraikan bagaimana melakukan rekonsiliasi nasional dengan menatap masa depan bangsa melalui pendamaian dan penyatuan seluruh kekuatan bangsa, NCM menuliskan kata is}la>hun baina al-na>s dengan merujuk kitab suci al-Qur’an, surat al-Nisa> (4), ayat 114 yang artinya: tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan -bisikan mereka, kecuali bisikan -bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat 76 Judo Poerwowidagdo, ed., Rekonsiliasi Nasional Menuju Masyarakat Sipil yang Demokratis (Jakarta, Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian, Cetakan I, 2004), viii. 77 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 125-127. 206 Suhaimi demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. 78 Dasar pijakan rekonsiliasi secara psikologis adalah sikap menghormati sesama manusia siapapun dia, saling mempercayai, sikap mendengar aktif pengalaman korban, menerima pengalaman pihak lain tanpa prasangka, mencari alternatif yang terbaik bersama korban dalam menemukan solusi damai dan menindaklanjuti kesepakatan bersama.79 Sikap saling hormat dan saling percaya itu, yang kebenarannya seharusnya dapat disikapi sebagai kewajaran, sekarang menjadi bertambah sulit diwujudkan karena gejolak sejarah perkembangan bangsa yang diwarnai kekerasan, perlawanan kepada hukum dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.80 Bangsa Indonesia terancam menjadi terpecah belah karena konflik -konflik yang bernuansa suku, agama, ras dan antar etnis (SARA), karena ketidakadilan dan pelanggran HAM berat tengah masyarakat serta KKN yang merebak dan merajalela. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi berbagai krisis ini, namun dampak keterpurukan ekonomi, sosial dan politik masih terasa hingga saat ini. 81 Kajian tentang konflik-konflik internal di Indonesia telah sampai pada pertanyaan besar apakah ada kemungkinan bangsa Indonesia akan mengalami kondisi yang jauh lebih buruk dan menjelma menjadi failed state seperti yang dialami oleh Afghanistan, Angola, atau Congo? Para akademisi umumnya sepakat bahwa Indonesia tidak akan menjelma menjadi failed state,82 berdasarkan argumentasi bahwa: 1) selain Papua, tidak a 78 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya, Penerbit al-Hidayah, 1998), 140. 79 Saparinah Sadli, “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak,” dalam Judo Poerwowidagdo, ed., Rekonsiliasi Nasional, 15. 80 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 125. 81 Judo Poerwowidagdo, ed., Rekonsiliasi Nasional, viii. 82 Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta, Centre for International Relations Studies (CIReS) bekerjasama dengan YOI, Cetakan 207 Bahasa Politik Nurcholish Madjid aksi separatisme yang berupaya melepaskan diri dari RI, 2) adanya dukungan luas komunitas internasional bagi integritas ritorial Indonesia, 3) aksi-aksi komunal cenderung bersifat sporadis dan ditandai dengan provokasi pihak ketiga untuk memicu konflik, 4) meningkatnya resistensi dan rasa antipasti masyarakat Indonesia terhadap aksi-aksi kekerasan, 5) munculnya berbagai organisasi non-pemerintah yang berupaya menciptakan civil society di Indonesia.83 Pengalaman-pengalaman pahit di masa yang telah lalu adalah sangat berharga sebagai bahan pelajaran untuk tidak diulang lagi di masa mendatang, karena melupakannya mungkin akan membuka pintu pengulangan, tapi demi masa depan yang lebih baik, semua kalangan harus mulai merintis usaha menumbuhkan sikap saling mengerti posisi masing-masing dan saling percaya dan menghargai. 84 “ The power of forgiveness” dari seluruh lapisan masyarakat berperan penting dalam menentukan seberapa besar proses rekonsiliasi dapat kembali menyatukan masyarakat atau bahkan “menyucikan” masyarakat dari noda kekerasan yang selama ini terjadi. 8 5 Pendamaian dan penyatuan antar manusia dan antara seluruh kekuatan bangsa (isla>hun bayn a al-na>s).86 Alternatif atau pilihan lain untuk itu semua ialah dibiarkannya terjadi rentetan vendetta sebagai akibat dari rentetan dendam dan balas dendam, suatu hal yang akan menghabiskan energi nasional dan menyeret rakyat kepada kesengsaraan tanpa berkeputusan.Maka tidak ada jalan lain kecuali harus diusahakan untuk mendamaikan dan menyatukan kembali semua pihak yang terlibat dalam konflik -konflik pada masa lalu. Dengan demikian rekonsiliasi berarti kesediaan memaafkan sejarah pahit demi Pertama, Januari 2007), 8. Para akademisi itu a.l. adalah Donald K. “Will Indonesia Survive?,” dalam Foreign Affairs, May/June 2000, 95. 83 Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds.,Disintegrasi Pasca Orde Baru , 9. 84 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 126. 85 Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru , 38. 86 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 127. 208 Suhaimi menciptakan tatanan sosial politik yang lebih baik pada masa depan. 87 Proses rekonsiliasi dapat dikatakan berhasil jika pihakpihak yang bertikai telah berhasil bersama-sama memandang penderitaan yang selama ini dialami oleh masing-masing kelompok sebagai suatu pengorbanan yang memang diperlukan untuk memperkuat sendi-sendi bangsa. Tetapi terhadap pelanggaran di masa mendatang harus dikenakan tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara tegar, tegas dan tidak kenal kompromi. Suatu garis demarkasi harus ditarik dengan tegas untuk memisahkan antara masa lalu dan masa kini serta masa datang, suatu garis yang sama sekali tidak boleh dilangkahi. 88 5. Makna AD keempat dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 4.Merintis Reformasi Ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah . Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan r untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi reformasi ekonomi terintis. Klausa kata Penghubung dengan menyatakan cara pelaksanaan reformasi ekono mi.8 9 Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.90 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 91 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD keempat seperti tertulis dalam lampiran 1. di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan 87 http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi (diakses 06 Agustus 2010). Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 128. 89 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 21. 90 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 91 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 88 209 Bahasa Politik Nurcholish Madjid kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan sebagai berikut di bawah ini: Tabel 4 Oposisi B iner AD keempat Buruk Kemelaratan rakyat Kejahatan korupsi Pemerintahan otoriter dan totaliter Krisis multi dimen sional Pendekatan ekonomi top down, berat dari atas Baik Kesejahteraan umum Keadilan sosial Inisiatif produktif dari bawah Keswastaan dan keswadayaan dalam kegiatan ekonomi Demokrasi ekonomi Berdasarkan uraian klasifikasi dalam tabel 4 tentang oposisi berpasangan AD keempat di atas, terlihat kata-kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata kemelara-tan rakyat dengan kata kesejahteraan umum, kata kejahatan korupsi dengan kata keadilan sosial, kata pemerintahan otoriter dan totaliter dengan kata inisiatif produktif dari bawah, kata krisis multi dimensional dengan kata keswastaan dan keswadayaan dalam kegiatan ekonomi, kata pendekatan ekonomi top down , berat dari atas dengan kata demokrasi ekonomi. Dengan demikian makna konotasi AD keempat secara singkat adalah merintis reformasi dan demokrasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah dan menjalin dukungan kelompok ekonomi swasta dan swadaya papan atas dan menengah yang berjiwa nasionalis patriotik dalam rangka mengatasi kemelaratan rakyat dan krisis multidimensional yang berakibat kejahatan karena penyelewengan dan korupsi aparatur pemerintahan yang otoriter dan totaliter. Dalam memaparkan penjelasan AD keempat pada kalimat keenam alinea pertama, NCM memberikan contoh kebijakan Khalifah Umar Ibnu Khattab untuk menolak menghukum seorang 210 Suhaimi pencuri di masa paceklik. Dengan tindakannya itu, Umar menunjukkan keinsafannya bahwa suatu pemerintahan bertanggungjawab mengatasi kemelaratan rakyat, paling idak dengan tidak menghukum orang yang terpaksa karena kemelaratan melakukan kejahatan.9 2 Jadi tertulis jelas dalam penjelasan AD keempat bahwa NCM tidak berbahasa politesse seperti terlihat pula dalam kata-kata yang digunakannya: kemelaratan rakyat, kejahatan korupsi, pemerintahan otoriter dan totaliter, krisis multi dimensional. Pada masa paceklik, Umar Ibn Khattab meminta kepada pembantunya agar disembelihkan unta lalu dagingnya dibagibagikan kepada penduduk Madinah. Ketika akan makan siang, Umar menemukan punuk unta dan hati di depannya. Kedua bagian tubuh unta ini dikenal sebagai bagian yang paling enak Umar bertanya, “dari mana ini?” Seseorang menjawab, “dari unta yang disembelih pada hari ini.” Umar berkata, “betapa buruknya aku sebagai penguasa jika aku memakan bagian yang baik darinya dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat!” Kemudian dia memanggil pembantunya, “wahai Aslam, angkatlah mangkuk besar ini serta berikan roti dan minyak kepadaku.”.93 Kenaikan harga minyak dunia mendorong pemerintah RI sejak Oktober 2005 menaikkan harga bahan bakar minyak yang menyebabkan inflasi tahunan sampai 18%, angka tertinggi dalam enam tahun, sehingga meskipun terjadi pertumbuha ekonomi yang positif selama periode tahun 2004-2006, masih terlalu rendah untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang merebak.9 4 Kemelaratan adalah salah satu penyebab utama kejahatan, tapi sekalipun pelanggaran hukum oleh rakyat yang melarat dan kelaparan tetap dipandang sebagai kejahatan, pelanggaran 92 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 129. Mahmu>d al-Mis}ri Abu A´mma>r, M ausu>a´h min Akhla>qi alR asu >l, terjemahan, Abdul Amin dkk. (Jakarta, Pena Pundi Aksara, Cetakan I, Februari 2009), 686. 94 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , 734 -735. 93 211 Bahasa Politik Nurcholish Madjid hukumnya harus dipandang sebagai persoalan tanggungjawab bersama, bukan hanya tanggungjawab pelakunya sendiri. Sebab pemerintah bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan umum sehingga tercegah kejahatan atas dorongan kemelaratan.9 5 Suatu hari, Umar menerima hadiah berupa manisan. Ketika manisan itu hendak diletakkan dihadapannya, ia bertanya kepada utusan yang membawanya, apakah ini?” Utusan itu menjawab, “manisan yang dibuat oleh orang-orang Azerbaijan. Atabah Ibnu Farqad, Gubernur Azerbaijan saat itu, telah mengutusku untuk mengirimkannya kepadamu.” Umar mencicipinya dan merasakan kelezatan yang luar biasa. Umar bertanya lagi, “apakah semua umat Islam di sana memakan manisan ini?” Ia menjawab, “tidak. Ini adalah makanan untuk orang-orang khusus.” Umar berkata, “di mana untamu? Ambillah ini dan bawalah kepada Atabah, lalu katakana kepadanya, ‘bertakwalah kepada Allah dan kenyangkan kaum muslimin dengan makanan yang mengenyangkanmu.’.96 Dalam teori dan pemikiran, tokoh -tokoh RI pada umumnya cenderung anti-kapitalis dan prososialis, tapi mereka tidak menerima sepenuhnya konsep sosialisme Barat, apalagi sosialisme Marxis. Mereka membayangkan sosialisme lain yang berakar pada nilai-nilai tradisi Indonesia sendiri, termasuk tradisi sosialisme religious. Mereka mengidealisasikan kondisi gotong-royong dan kekeluargaan. 97 Para tokoh pendiri negara telah menetapkan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan negara RI. Karena itu pemerintah wajib berusaha melaksanakan pembagian kekayaan nasional (redistribution of nation’s wealth) secara adil dan merata. 9 8 Hal itu menurut Kuntowijoyo sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lawrence Krader dalam tulisannya A Treatise of Social Labor ( 1979), yang menyebutkan 95 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 129. Mahmu>d al-Mis}ri Abu A´mma>r, M ausu>a´h min Akhla>qi alR asu >l, 686. 97 M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta, LP3ES bekerjasama dengan LSAF, Cetakan I, Agustus 1999), 61. 98 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 130. 96 212 Suhaimi perbedaan antara kelas divided society dengan civil society ialah distributive justice pada civil society. Demokrasi sosial, karena itu, adalah keharusan yang tak bisa ditawar lagi, apabila k menginginkan negara modern dengan kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.9 9 Usaha itu dalam konteks perkembangan bangsa dan negara yang sedang dalam keadaan kritis saat ini, dilakukan dengan memerangi tindakan penyelewengan kekayaan nasional, khususnya kejahatan korupsi. Serentak dengan itu aktifitas ekonomi harus dikembangkan dengan tekanan pada usaha mendorong tumbu ya inisitaif produktif dari bawah, bukan dengan pola pendekatan top down.10 0 Di Indonesia, gejala yang cukup mencolok sejak Orba adalah tumbuhnya dan dibentuknya lembaga-lembaga modern yang menjadi ciri kapitalisme, birokrasi, negara, dan sektor volunteer. Pada mulanya, perkembangan yang pesat terjadi di sektor negara dan birokrasi, kemudian diikuti oleh lembaga-lembaga kapitalis, terutama dalam bentuk perusahaan -perusahaan.1 01 Pengalaman bangsa Indonesia pada masa Orba yang menerapkan sistem ekonomi berat dari atas, telah membuktikan bahwa pola pendekatan top down telah menciptakan lahan subur untuk berbagai bentuk penyelewengan, khususnya kejahatan korupsi, kolusi antara “penguasa dan pengusaha”, dan praktek nepotisme dan perkoncoan atau kronisme.1 02 Kemampuan ekonomi dan militer negara sangat besar, kekuasaan negara dilaksanakan melalui patronase. Modal asing dan dari para cukong d ibagi-bagi di antara para birokrat militer dan elit daerah. Kepala desa diangkat sebagai klien negara yang mengontrol dan memantau hampir seluruh kegiatan. 103 99 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung, Mizan bekerjasama dengan Majalah Ummat, Cetakan I, Mei 1997), 132. 100 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 130-131. 101 M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani, 69. 102 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 131. 103 Andres Uhlin, Oposisi Berserak , 45 . 213 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Menarik pelajaran dari pengalaman beberapa negara, krisis multidimensional yang RI hadapi saat ini tidak akan berakhir tanpa inisiatif dari bawah dalam bentuk keswastaan dan keswadayaan kegiatan ekonomi, sehingga beban tanggungjawab terdistribusikan kepada seluruh warga negara, hal ini diperlukan tidak untuk sehatnya bangunan ekonomi, tapi juga untuk kemantapan demokrasi dan keadilan. 10 4 Seharusnya sentra-sentra kegiatan keswastaan dan keswadayaan produktif papan bawah dilindungi dan dikembangkan oleh pemerintah saat ini, dalam semangat affirmative action , berupa kebijakan -kebijakan dan program -program mengatasi pengaruh diskriminasi dan pengingkaran hak pada masa Orba bekerjasama dengan semua pihak, khususnya papan atas dan menengah kelompok ekonomi nasion alis-patriotik yang juga bersemangat keswastaan dan keswadayaan produktif. 105 Dengan tetap waspada jangan sampai berubah menjadi tindakan diskriminatif. 6.Makna AD Kelima dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 5.Mengembangkan dan memperkuat pranata pranata demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan penga dilan. Petanda: Kalimat majemuk setara dengan kata penghubung dan berfungsi menggabungkan kegiatan mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi. Kalimat dengan P berimbuhan gabungan me-kan terhadap kata dasar berhuruf awal konsonan kembang untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi dan P 104 105 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 131. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 133. 214 Suhaimi berimbuhan gabungan memper terhadap kata sifat kuat berfungsi menghasilkan makna membuat jadi lebi10 6 Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.1 07 Dan ditulis dengan miring untuk penegasan kata atau kelompok kata. 1 08 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD kelima seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan sebagai berikut di bawah ini: Pada uraian klasifikasi dalam tabel 5 tentang oposisi berpasangan AD kelima tertulis sebagai berikut di bawah ini, terlihat kata -kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata kelaparan dengan kata kebebasan, kata totaliterianisme dan otoriterianisme dengan kata kebebasan pers dan akademik, kata kategori statis dengan kata kategori dinamis (checks and balances), kata manipulasi politik dengan kata sistem sosial politik demokratis, dan kata penyelewengan politik dengan kata reformasi parta politik, kata “wakil rakyat hasil drop -dropan” dengan kata reformasi pemilihan umum, kata restu pimpinan partai dengan konvensi berjenjang, kata paternalisme dengan kata demokrasi partisipatif, kata Feodalisme dengan kata pemilihan langsung, kata kesetiaan pada negeri dengan kata kesetiaan pada partai. Seluruh kata-kata itu menjadi penanda bahwa NCM berbahasa dengan kata-kata yang sangat anti -politesse. 106 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 21. 107 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 108 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 215 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Tabel 5 Oposisi B iner AD kelima Buruk Baik Kelaparan Totaliterianisme Otoritarianisme Ketegori statis Kebebasan Kebebasan pers dan akademik Kategori dinamis (checks and balances) Manipulasi politik Sistem sosial politik demokratis Penyelewengan politik “Wakil rakyat hasil drop dropan” Restu pimpinan partai Paternalisme Feodalisme Kesetiaan pada partai Reformasi partai politik Reformasi pemilihan umum Konvensi berjenjang Demokrasi partisipatif Pemilihan langsung Kesetiaan pada negeri Dengan demikian makna konotasi AD kelima secara singkat adalah mengembangkan pranata-pranata demokrasi d engan memperkuat kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik) untuk melaksanakan pengawasan lingkungan dan kontrol sosial seperti peristiwa kelaparan dan kontrol politik seperti manipulasi dan penyelwengan politik, dan dengan melakukan reformasi partai politik dan pemilihan umum sehingga tercipta pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan dalam rangka melakukan pengendalian dan pengimbangan kewenangan tugas dan pelaksanaan tanggungjawab ketiga lembaga tinggi negara itu sebagai tiga pilar atau tiga tiang demokrasi. 216 Suhaimi “ Dalam masyarakat bebas, tidak akan terjadi bahaya kelaparan ”, itulah sebuah ungkapan optimis tentang efek positif kebebasan. Ungkapan itu sepintas lalu tampak seperti mengandung urutan logika yang terputus; apa hubungan kebebasan dan jaminan tidak akan terjadinya bahaya kelaparan?10 9 Bangsa Indonesia saat ini berada dalam era reformasi yang menyeluruh dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan berbangsa, termasuk reformasi di bidang media massa. Dalam hal ini upaya reformasi media massa diarahkan pada tujuan mewujudkan sistem dan kehidupan media massa yang “demokratis” dan “adil” bagi segenap lapisan masyarakat Indonesia.11 0 Jika ditilik dari fungsi sosial media massa,menurut Harold D. Lasswell, memiliki fungsi: 1) Surveillance atau pengawasan sosial, 2) Korelasi sosial, 3) Interpretasi, dan 4) Hiburan.111 Berdasarkan fungsi itu, menurut NCM, kebebasan pers akan membuahkan mekanisme pengawasan sosial terhadap bahaya kelaparan di suatu tempat yang merupakan kejadian yang patut diberitakan. Berita itu berdampak pengawasan kepada pemerintah untuk menunjukkan tanggungjawab mereka serta gugahan kepada masyarakat untuk memberi bantuan, sehingga bahaya kelaparan teratasi. 11 2 Kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia selama ini masih menganggap bahwa keberhasilan pembangunan hanya melihat tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi tanpa memandang bagaimana distribusi pendapatan berdasarkan kelas sosial dan lintas 109 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 134. Sasa Djuarsa Sendjaja, “Sistem Media Massa yang Adil dan Demokratis Sesuai Tuntutan Reformasi”. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi, Volume I (Juli 1998). 111 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan Strategi Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik (Yogyakarta, ANDI, Cetakan I, 2005), 72-73. 112 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 134. 110 217 Bahasa Politik Nurcholish Madjid wilayah.11 3 Beberapa kasus di wilayah Jakarta dan Tangerang dapat dijadikan contoh: pemugaran Bundaran Hotel Indonesia yang menelan biaya kelewat tinggi, pemagaran lanscap Monas membatasi keleluasaan pedagang kaki lima dan warga kota atau ijin pembangunan properti di Pantai Indah Kapuk yang merongrong daerah resapan air. 114 Bersama dengan tegaknya keadilan distribusi pendapatan, kebebasanlah yang menjadi sumber energi yang dinamis bagi warga masyarakat untuk mendorong tumbuhnya inisiatif-inisiatif produktif. Dinamika ekonomi swasta-swadaya yang berfungsi sebagai fondasi cakar ayam bangunan negarabangsa akan tumbuh hanya dalam suasana kebebasan.1 15 Jadi kebebasan itu berhubungan dengan upaya mengatasi kelaparan. Pendekatan bottom up seyogyanya dilakukan bukan hanya pada level perencanaan kegiatan, tapi juga pada tahap implementasi dan evaluasi pembangunan. Pembangunan yang berpihak pada rakyat, berangkat dari bawah, berdasarkan kebutuhan riil mereka. 116 Kebebasan adalah buah hasil gerakan reformasi 1998 yang paling berharga dan harus dikonsolidasi begitu rupa sehingga tidak mudah tergoyahkan oleh perubahan sosial-politik yang tak terduga. Khususnya kebebasan pers dan akademik, “ruang suci” (sacred space) masyrakat demokratis, harus benar-benar dilindungi dan dikembangkan dengan tingkat kesungguhan yang setinggitingginya. 117 Pers adalah tiang demokrasi keempat setelah lembaga politik legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lazim dikenal dalam kerangka pemikiran trias politica yang masing-masing komponennya mengenal pembagian kerja yang jelas dan 113 Joe Fernandez, “Partisipasi Substansial dan Transparansi dalam Pembangunan Berbasis Sosial,” dalam Burhanuddin, ed. Mencari Akar Kultural Civil Society, 145. 114 Burhanuddin, ed. Mencari Akar Kultural Civil Society, 133 -134. 115 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 135. 116 Burhanuddin, ed. Mencari Akar Kultural Civil Society, 134. 117 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 136. 218 Suhaimi berhubungan satu sama lain dalam rangka checks and balances atau pengendalian dan pengimbangan. Kekacauan dalam pembagian kerja antara ketiga lembaga itu di Indonesia saat ini merupakan salah satu sumber korupsi dan bentuk-bentuk penyelewengan politik, akibat tidak tahu dan tidak dewasa. Menata kembali dengan baik pembagian kerja itu melibatkan kesadaran tugas dan kemantapan diri para pelakunya untuk berbakti kepada bangsa dan negara dalam menerima wewenang kenegaraan. 11 8 Runtuhnya rezim otoriter Orba tidak dengan sendirinya mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang demokrasi. Tr dari rezim otoriter ke rezim demokratis menyisakan banyak problem, warisan budaya lama yang tidak demokratis menghambat perjalanan rezim baru yang sedang mengupayakan pemerintahan demokratis. Bahkan warisan rezim lama diyakini banyak sebagai ancaman serius bagi konsolidasi demokrasi. 1 19 Penggunaan cara “drop-dropan” dalam penentuan seorang “wakil rakyat” adalah suatu kepalsuan, sama pula halnya proses rekrutmen dan promosi seorang menjadi anggota pembuat hukum di parlemen, pelaksaana hukum di pemerintahan, dan pengawasan pelaksanaannya di lembaga keadilan, membuat mereka kekurangan kredensial, legitimasi dan kemantapan diri dalam menerima wewenang kenegaraan. 120 Oleh karena itu reformasi bidang kepartaian dan pemilu mutlak diperlukan. Partai politik hendaknya dipimpin oleh mereka yang piawai dalam masalah politik dan manajemen politik, tetapi mereka sendiri bukan politisi, sehingga asas-asas keterbukaan, egalitarianisme, dan demokrasi partisipatif sebuah negara bangsa dapat diterapkan. 1 21 Manajemen partai itu secara profesional 118 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 138. Abas Al-Jauhari, “Toleransi Politik dalam Transisis Demokrasi”, dalam Burhanuddin, ed., Mencari Akar Kultural Civil Society, 204. 120 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 139. 121 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 141. 119 219 Bahasa Politik Nurcholish Madjid berusaha menangkap berbagai kecenderungan dalam masyarakat dan diolah secara ilmiah berdasarkan nilai ideologi partai itu yang kemudian dijadikan dasar platform politik partai. Politisi calon peserta pemilu direkrut dan dipilih melalui proses terbuka, adil dan meritokratik dari mekanisme konvensi yang dilaksanakan berjen jang dari bawah ke atas, sampai ke tingkat nasional. Dengan demikian seorang terpilih menjadi peserta pemilu sebagai calon anggota badan legislatif atau presiden dan wakil presiden tidak sama sekali tergantung kepada restu pimpinan partai, melainkan atas pilihan para anggota partai secara demokratis.12 2 Demokrasi dalam pandangan NCM sesungguhnya merupakan konsep yang memiliki sinonim dengan apa yang disebut polyarchy. Demokrasi dalam pengertian ini bukanlah sistem pemerintahan yang mencakup keseluruhan cita-cita demokratis, tetapi yang mendekatinya sampai batas-batas yang pantas. Oleh karena itu , setiap bentuk pengaturan politik yang demokratis memerlukan ikatan bersama yang dalam dunia modern saat ini dikena dengan ikatan rasa kebangsaan.123 Pilihan umat Islam kepada demokrasi, menurutnya, bukan hanya karena secara prinsipil nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan politik yang terbuka untuk sewaktu -waktu mengadakan koreksi atas pemerintahan sesuai dengan ketentuan konstitusional.1 24 7. Makna AD Keenam dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 6. Meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personil dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P berawalan me terhadap kata dasar yang berhuruf awal konsonan t 122 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 141. Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 7. 124 M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 226. 123 220 Suhaimi untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi peningkatan ketahanan dan keamanan nasional. Klausa kata penghubung dengan menyatakan cara pelaksanaan nya.1 25 Kalimat tersebut tidak menggu -nakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.126 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 1 27 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD keenam seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan sebagai berikut dalam uraian klasifikasi pada tabel 6 tentang oposisi berpasangan AD keenam di bawah ini, terlihat kata-kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata kemampuan pertahanan dan keamanan rendah dengan kata kekuasaan Orde Baru runtuh, kata kesadaran tugas aparatur negara turun dengan kata kesejahteraan personil TNI dan Polri, kata legitimasi aparatur negara runtuh dengan kata p enggantian peralatan fisik pertahanan dan keamanan, kata krisis finansial dengan kata membangun martabat TNI dan Po lri, kata tindakan kekerasan dalam bidang sosial politik dengan kata sistem demokrasi dan pengawasan dan pengimbangan publik. 125 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 21. 126 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 127 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 221 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Tabel 6 Oposisi B iner AD keenam Buruk Baik Kemampuan pertahanan dan tingkat keamanan umum rendah Kekuasaan Orde Baru jatuh Kesadaran tugas aparatur negara turun Legitimasi aparatur negara runtuh Krisis finansial Kesejahteraan personil TNI dan Polri Penggantian peralatan fisik pertahanan dan keamanan Membangun martabat TNI dan Polri Bingkai sistem demokrasi Pengawasan dan Pengimbangan publik Tindakan kekerasan dalam bidang sosial politik Semua kata-kata itu menunjukkan bahwa NCM tidak memaparkan AD keenam dan penjelasannya dengan langage de politesse berupa kata-kata krama yang mengalun, melodis dengan bersuku-kata yang menekankan rasa adanya jarak status sosial antara satu kelompok dengan lainnya. Sebaliknya NCM menguraikan AD keenam dan penjelasannya dalam tulisan mengunakan bahasa dengan kata-kata yang lugas dan berterusterang seperti kata kemampuan pertahanan dan keamanan rendah, kekuasaan Orde Baru runtuh, kata kesadaran tugas aparatur negara turun, kata kesejahteraan personil TNI dan Polri dan kata legitimasi aparatur negara runtuh . Dengan demikian makna konotasi AD keenam secara singkat adalah meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional 222 Suhaimi yang rendah akibat kekuasaan Orde Baru yang runtuh bersama merosotnya semangat aparatur negara sebagai pribadi maupun secara institusi dengan membangun harkat dan martabat personil dan pranata Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polis Republik Indonesia (Polri) berdasarkan pengawasan masyarakat dan pengimbangan publik dalam bingkai demokrasi. Undang-Undang (UU) RI No.3/ 2002 tentang Pertahanan Negara mengatakan bahwa sistem pertahanan NKRI pada hakekatnya merupakan pertahanan yang bersifat semesta mengerahkan dan mengintegrasikan seluruh kekuatan nasional secara proporsional yang tergabung dalam komponen pertahanan negara, sinerjisme komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung.128 Sedangkan tugas kepolisian, terutama setelah terpisah dari organisasi tentara, adalah terkait dengan kiprah memerangi tindak kejahatan, membantu menangani kasus kenakalan anak-anak yang mengarah kepada tindakan kriminal, serta melaksanakan berbagai tugas sebagai wujud cinta kemanusiaan.129 Pasal 7 UU nomor 34/2004 tentang TNI, menegaskan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Untuk melaksanakan tugas pokok TNI itu, TNI melaksanakan Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer selain Perang. 13 0 Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya untuk Indonesia, bukan untuk golongan tertentu seperti yang telah terjadi pada masa Orba. Sifat dasar ini memberi landasan untuk membentuk profesionalisme dan menjadi aspek ideologis patriotis TNI yang ditujukan untuk membentenginya dari permainan politik 128 Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif (Jakarta, Pusat Penerangan TNI, Cetakan pertama, Oktober 2007), 4. 129 A. Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian (Jakarta, PT Forum Media Utama, Cetakan I, Nopember 2007), 2. 130 Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif, 9. 223 Bahasa Politik Nurcholish Madjid mengharuskannya berkemampuan profesional dengan skill dan kinerja yang handal. 131 Jatuhnya kekuasaan Orba telah membawa serta merosotnya semangat aparatur negara dan menurunn kesadaran tugas mereka, bersamaan dengan melemah atau runtuhnya legitimasi mereka, baik sebagai pribadi maupun sebagai institusi, dalam bidang-bidang kegiatan yang selama Orba mereka perankan secara sentral. 13 2 Hal itu antara lain disebabkan bahwa mereka secara personal maupun institusional telah menjadi bagian langsung dari sistem Orba yang runtuh itu sendiri. Dengan perkataan lain, profesionalistas TNI sangat ditentukan oleh kehendak politik dan dukungan pemerintah selain tekad TNI untuk mewujudkannya. Secara operasional Pasa 2 ayat (d) UU No. 34/2004 tentang TNI, menyatakan konsep definitif tentara professional; yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, t berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menagnut prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM, ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. 133 Sementara secara universal tugas pokok kepolisian di dunia ini memiliki kesamaan prinsip yaitu mewujudkan kinerjanya sebagai polisi sipil (civillian po lice) dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di wilayah negara masing-masing. 13 4 Oleh karena itu, sangat mendesak adanya kebijakan yang jelas untuk mengembalikan harkat dan martabat pranata personil badan penanggungjawab khusus masalah ketahanan dan keamanan itu, yaitu TNI dan Polri, dengan memberi kepada mereka kelengkapan -kelengkapan yang wajar dalam bingkai sistem demokrasi dan proses demokratisasi dengan kesadaran public untuk melakukan pengawasan dan pengimbangan.135 131 Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif, 5. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 143. 133 Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif, 8. 134 A. Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian , 6. 135 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 144. 132 224 Suhaimi 8.Makna AD Ketujuh dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 7.Memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhinneka an dan keEka -an, serta pembangunan otono mi sasi. Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan p untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi keutuhan wilayah negara terpelihara. lausa kata penghubung melalui menyatakan cara pelaksanaannya.13 6 Kalimat tersebut tidak menggu -nakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.137 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 1 38 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD ketujuh seperti tertulis dalam lampiran 1 di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan . Dalam tabel 7 sebagai tertulis berikut ini tentang oposisi berpasangan AD ketujuh terlihat kata -kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata penyeragaman dan separatisme dengan kata pelaksanaan prinsip kebhinekaan dan keekaan, kata sentralisme yang ekstrim dengan kata otonomisasi dan mengembangkan budaya daerah dan melestarikan kearifan lokal, kata euphoria otonomi dengan kata memperkaya budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul. 136 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 21. 137 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 138 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 225 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Tabel 7 Oposisi Biner AD ketujuh Buruk Penyeragaman Separatisme Sentralisme yang ekstrim Baik Pelaksanaan prinsip kebhinnekaan dan keekaan Otonomisasi Mengembangkan budaya daerah Melestarikan kearifan lokal Memperkaya budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul Dengan demikian makna konotasi AD ketujuh secara singkat adalah memelihara keutuhan wilayah negara dan mencegah separatisme melalui pendekatan budaya dengan melestarikan keanekaragaman budaya daerah dan kearifan lokal untuk membangun budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tanguh, serta memberi hak kepada daerah untuk mengatur sendiri “urusan rumah tangga” masin g-masing dengan otonomisasi berdasarkan pelaksanaan motto, Bhinneka Tunggal Ika, secara konsisten. Pada paragraf kedua penjelasan AD ketujuh dalam kalimat keempat, NCM menekankan agar bangsa Indonesia memandang budaya daerah yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk “berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan”, suatu kalimat yang memiliki rujukan kepada kitab suci al-Qur’an, surat al-Baqarah (2), ayat 148. Jadi seluruh kata-kata yang NCM uraikan dalam AD ketujuh dan penjelasannya seperti antara lain tertulis dalam tab el 7 dan kata-kata yang bersumberkan ajaran Islam di atas itu menjadi penanda bahwa NCM berbahasa dengan kata-kata yang sangat anti -politesse. 226 Suhaimi Indonesia adalah sebuah negara yang sangat luas terbentang dari Sabang sampai ke Merauke, sama dengan bentangan dari London ke Teheran atau Seattle ke Miami, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yang terdiri dari banyak suku dan bahasa daerah serta berbagai macam pola sosial-budaya, suatu kemajemukan yang barangkali tiada duanya di dunia.139 Ada dua wacana dan strategi tentang pluralitas atau kemajemukan tersebut di atas; di satu segi itu dipandang sebagai sesuatu yang menjadi momok yang perlu diatasi dengan berbagai strategi politisasi, di segi lain itu dipandang sebagai keanekaragaman budaya yang kaya yang dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang tangguh. Suatu ironi besar yang terjadi pada masa Orba yang sangat sering menyatakan sistemnya terikat dengan nilai-nilai Pancasila, namun dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan keinginan kuat untuk menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya di bidang itik pemerintahan daerah yang berangsur-angsur digiring untuk mengikuti model pemerintahan di Jawa, sehingga mendorong tumbuhnya perasaan tidak puas daerah kepada pusat dan di beberapa tempat telah berkembang menjadi perlawanan untuk memisahkan diri. 14 0 Bangsa Indonesia pada era reformasi ini sedang mengalami proses transisi demokrasi, berada dalam situasi dipersimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tidak dapat dilalui dengan baik, ancaman yang dihadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa (wilayah tertentu lepas dari negara), tapi juga ancaman proses disintegrasi sosial atau hancurnya kerekatan sosial (social bond) dalam masyarakat. 141 Berkenaan dengan hal di atas, tindakan terbaik ialah kemba139 Nurcholish Madjid, “Simbol dan simbolisme Keagamaan Populer serta Pemaknaannya dalam Perkembangan Sosial-Politik Nasional Kontemporer.” Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2 (Januari-Juni 2010), 14-15. 140 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 145. 141 Imam B. Prasodjo, “The end of Indonesia?”, Kompas, 20 Desember 2000, 6. 227 Bahasa Politik Nurcholish Madjid li kepada konsistensi semangat motto, Bhinneka Tunggal Ika . Keanekaragaman budaya daerah yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan merupakan perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya, bahkan perlu diciptakan suasana penyuburan silang budaya nasional yang tidak satu pun budaya daerah terkecualikan.1 42 Dalam bidang politik hal itu mengharuskan masyarakat untuk menerima secara positif perbedaan orientasi politik, yang juga harus tersedia bagi kegiatan oposisi. Jadi langkah yang diperlukan bukan meredam atau menyembunyikan pluralitas yang ada, atau memaksanya agar menghablur, melainkan memberikan ruang terbuka agar berbagai perbedaan itu muncul ke permukaan, berkelindan, dan berdialektika secara wajar yang dihubungkan oleh garis kolinier bernama demokrasi.1 43 Sejalan dengan itu dalam periode 1999-2004, banyak terjadi perubahan di negara Indonesia, antara lain amandemen UUD, demokratisasi, transparansi, liberalisasi, multipartai, pemilihan presiden secara langsung, sistem pemilu, otonomi daerah, DPR/DPRD yang sangat berkuasa, pergolakan daerah, hapu ya dwifungsi ABRI atau pemisahan TNI dan Polri. 1 44 Berhubungan dengan otonomi daerah, pemberian hak kepada daerah untuk mengatur sendiri “urusan rumah tangga” masing-masing terkait erat dengan masalah keadilan pembagian kekayaan nasional antara pusat dan daerah, pada tahap awal pelaksanaannya banyak terjadi tindakan eksesif bargaya euphoria oleh sebagian penanggungjawab pemerintahan daerah. Hal itu sekali lagi adalah ekses pelaksanaan yang bersifat sekunder, sehingga tidak dibenarkan mengalahkan yang primer prinsipil yaitu otonomisasi. 14 5 142 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 146. Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, 99. 144 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, Cetakan I, 2005), 63. 145 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 147. 143 228 Suhaimi 9.Makna AD Kedelapan dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 8. Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara. Petanda: Kalimat majemuk setara dengan kata Penghubung dan berfungsi menggabungkan kegiatan meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara. Kalimat dengan P berimbuhan gabungan me-kan terhadap kata dasar berhurup awal konsonan rata untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menye-babkan jadi dan P berimbuhan gabungan memper terhadap kata sifat kuat berfungsi menghasilkan makna membuat jadi lebih. 1 46 Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.147 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 14 8 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD kedelapan seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan sebagai berikut dalam tabel 8 tentang makna konotasi AD kedelapan tertulis di bawah , terlihat kata -kata yang dapat dimasukkan dalam oposisi berpasangan yaitu antar kata mutu pendidikan rendah dengan kata pendidikan sebagai investasi modal manusia jangka panjang, kata pendidikan tidak merata dengan kata peningkatan fitrah manusia, kata simple minded dengan kata profesionalisme di segala bidang, kata menunda kesenangan saat ini dengan kata kebahagiaan masa depan, kata biaya yang besar dengan kata pendidikan murah/gratis, kata kepincangan dalam pendidikan, pengetahuan dan informasi dengan kata pemerataan 146 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 21. 147 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 148 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 229 Bahasa Politik Nurcholish Madjid mutu dan jumlah pendidikan, kata kesadaran terhadap arti penelitian rendah dengan kata pengembangan ilmu pengetahuan dan riset, kata perempuan masih jauh tertinggal oleh laki-laki dalam pendidikan dengan kata pendidikan perempuan sama dengan pendidikan seluruh keluarga, kata perdagangan obat-obatan berbahaya dengan kata pengembangan kesehatan bagian dari pendidikan jasmani, kata penyebaran penyakit AIDS dan narkoba dengan kata penelitian suatu jenis penyakit dan cara pengobatannya, kata kerusakan lingkungan dengan kata manusia sebagai khalifah Tuhan, kata bencana alam dengan kata memelihara lingkungan hidup. Tabel 8 Oposisi B iner AD kedelapan Buruk Mutu pendidikan rendah Pendidikan tidak merata Simple minded Menunda kesenangan saat ini Biaya yang besar Kepincangan dalam pendidikan, pengetahuan dan informasi Penyebaran penyakit AIDS dan narkoba Kerusakan lingkungan Bencana alam Baik Pendidikan sebagai investasi modal manusia jangka panjang Peningkatan fitrah manusia Profesionalisme di segala bidang Kebahagiaan masa depan Pendidikan murah/gratis Pemerataan mutu dan jumlah pendidikan Pengembangan ilmu pengetahuan dan riset Pendidikan perempuan sama dengan pendidikan seluruh keluarga Pengembangan kesehatan bagian dari pendidikan jasmani Penelitian suatu jenis penyakit dan cara pengobatannya Manusia sebagai khalifah Tuhan Memelihara lingkungan hidup 230 Suhaimi Dengan demikian makna konotasi AD kedelapan secara singkat adalah meningkatkan dan meratakan mutu pendidikan yang rendah, pincang dan tidak adil antar desa dan kota, perempuan n laki-laki dengan cara mendorong keterlibatan pemerintah dan warganegara dalam pendidikan dengan memandangnya sebagai investasi modal manusia jangka panjang, terutama dalam penelitian dan pengembangan di segala bidang yang selama ini tertinggal dan rendah, pendidikan agama, peningkatan pendidikan perempuan yang tertinggal oleh laki-laki dan kesehatan serta pendidikan lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pada alinea kedua penjelasan AD kedelapan tentang pendidikan sebagai investasi modal manusia, NCM menegaskan bahwa tujuan primer dan tertinggi pendidikan ialah peningkatan (tarbiyah) nilai kesucian manusia dalam fitrahnya yang dianugerahi Tuhan. Tarbiyah dan fit}rah adalah konsep dan kata dalam pendidikan Islam. Sedang pada alinea ketiganya dalam kalimat keempat dan kelima, NCM memaparkan penjelasan bahwa ilmu adalah syarat kesuksesan hidup, setelah iman yang memberi dasar kepada kehidupan yang benar. Tuhan akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu ketingkat yang sangat tinggi. Penegasan ini sesuai dengan kitab suci al-Qur’an, surat al-Muja>dalah (85): 11. Jadi dalam AD NCM kedelapan dan penjelasannya modalitas bahasa politesse tidak berlaku seperti juga terlihat dalam tabel 8 di atas. Tidak ada investasi atau penanaman modal yang lebih penting, lebih produktif dan lebih bermakna daripada investasi sumber daya manusia (SDM) melalui prasarana pendidikan yang baik, dengan mutu dan jumlah yang merata.149 Hal itu sebagaimana dibuktikan oleh negara-negara “Ular Naga Kecil” (Little Dragon ), yaitu Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan dan Singapura yang semuanya miskin sumber daya alam namun kaya dengan 149 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 147-148. 231 Bahasa Politik Nurcholish Madjid SDM yang berpendidikan tinggi dan berkualitas. 150 Dari sini dapat disimpulkan dengan pasti bahwa faktor manusia adalah jauh lebih menentukan daripada faktor sumber daya alam. Oleh karena itu, segi pendidikan dipandang dan telah dibuktikan sangat menentukan. Indonesia pada era reformasi tahun 1999 mempunyai lebih dari 30 juta siswa dan mahasiswa dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 209 juta jiwa. Hal itu menunjukkan investasi dalam dunia pendidikan baik oleh pemerintah pun oleh masyarakat Indonesia relatif masih sangat rendah, karena diakui bahwa pendidikan adalah komoditi yang memerlukan investasi yang sangat besar. 151 Selain itu realitas pendidikan yang ada di Indonesia memberikan kesan semakin menindas kaum marginal, karena rakyat miskin tidak lagi mampu mengenyam pendidikan bermutu sebagai akibat dari mahalnya biaya pendidikan.1 52 Masyarakat dan bangsa Indonesia sedang mengalami keterpurukan di dalam seluruh aspek kehidupan. Krisis yang dialami oleh macan -macan Asia sudah mulai berlalu dan mulai bangkit kecuali Indonesia yang masih terpuruk.15 3 Dengan bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, dapat dikatakan secara sederhana bahwa seluruh krisis di Indonesia saat ini adalah akibat rendahnya mutu pendidikan dan tidak meratanya pendidikan warga negara dari satu daerah ke daereah lainnya.1 54 Pendidikan sebagai investasi modal manusia (human capital investment ) sudah menjadi tujuan sekunder pendidikan setelah 150 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1997), 2930. 151 HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional (Jakarta, Rineka Cipta, Cetakan Kedua, Pebruari 2009), 13. 152 Gunawan, “Rangkuman Isi Buku”, dalam Adhi Susanto dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia (Yogyakarta, Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY dan Gadjah Mada University Press, Cetakan Pertama, Oktober 2009), viii. 153 HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, 116. 154 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 148. 232 Suhaimi tujuan primernya untuk peningkatan (tarbiyah) nilai kesucian manusia atau fitrahnya yang dianugerahi Tuhan, perubahanperubahan sosial serta gejolak sosial politik ekonomi yang terjadi akhir -akhir ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan pribadi seorang warga Indonesia yang berwatak dan bertakwa. Sementara sebagai investasi modal manusia, pendidikan iki dua macam dampak positif yaitu profesionalisme atau peningkatan kemampuan dan keahlian kerja serta perluasan dan pendalaman informasi dan cakrawala berpikir di segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik sebagaimana dimaksud dengan ungkapan knowledge is power, pendidikan yang berhasil akan menjadi sumber energi masyarakat, bangsa dan negara. 155 Alvin Toffler berpendapat bahwa ilmu pengetahuan menjadi kunci dari powershift menggantikan money power and muscle po wer dalam kehidupan modern. Sedangkan Don Tapscott, seperti dikutip HAR Tilaar, mengemukakan berbagai kecenderungan ekonomi baru yaitu ilmu pengetahuan, dig lisasi, virtualisasi, molekularisasi, integrasi, disintermediasi, konvergensi, inovasi, prosumsi, kesegaran (immediate), globalisasi, dan diskordansi. 1 56 Di samping dampak pendidikan yang direncanakan (intended consequences) tersebut di atas, menurut NCM, tidak kalah pentingnya juga adalah dampak yang tidak direncanakan (unintended consequences) pendidikan seperti dampak pendidikan kedokteran “Jawa” oleh STOVIA dan NIAS yang telah membangkitkan ide dan gerakan nasionalisme dern 157 dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Karena itu pendidikan adalah bentuk investasi yang paling strategis dan prod yang harus diletakkan pada salah satu tingkat paling tinggi dalam skala prioritas pembangunan bangsa dan negara. Salah satu faktor utama yang sangat mempengaruhi sukses tidaknya pembangunan bangsa adalah pendidikan, karena 155 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 150. HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, 120. 157 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 151. 156 233 Bahasa Politik Nurcholish Madjid pendidikan dapat menjadi tumpuan menjalin dan membina persatuan Indonesia. Untuk itu pendidikan di Indonesia harus mendapat perhatian utama dalam hal perencanaan, pembiayaan, keterlibatan para pakar serta waktu pelaksanaan.158 Hal itu berkenaan dengan peningkatan mutu pendidikan yang mengharuskan penyediaan prasarana yang memadai dan pembukaan akses kepada seluruh masyarakat secara umum. Untuk melaksanakan semua itu diperlukan kemauan politik yang teguh dari pimpinan negara sebagai kepala pemerintahan yang menyediakan pendidikan bermutu dengan biaya rendah, bahkan mungkin bebas, untuk warga negara pada umumnya.1 59 UUD 1945 memerintahkan kepada pemimpin negara dan pemerintahan bahwa 1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; 2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; 3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur oleh undang-undang.160 Peningkatan mutu pendidikan juga mengharuskan akses yang mudah kepada jurnal perkembangan ilmu pengetahuan yang berbahasa asing, maka diperlukan penguasaan bahasa-bahasa asing itu atau penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Pengindonesiaan karya ilmiah itu juga berdampak pendemokrasian ilmu agar tidak menjadi monopoli sebagian kecil masyarakat saja. 16 1 Di samping itu, sejalan dengan otonomi pemerintahan daerah, aparaturnya perlu didorong untuk memberi perhatian secara 158 C. Danisworo, “Pendidikan Yang Mempersatukan Bangsa Indonesia”, dalam Adhi Susanto dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia , 14. 159 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 152-153. 160 H. Supardi, “Pendidikan Yang Berkeadilan”, dalam Adhi Susanto dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia , 33. 161 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 154. 234 Suhaimi sungguh-sungguh kepada bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Otonomi daerah akan sukses hanya jika ada daya serap yang tinggi dan kemampuan yang baik untuk menggunakan dana secara produktif dan adil. Hanya anggota masyarakat yang terdidik yang dapat menjadi anggota masyarakat demokratis yang produktif. 162 Pengembangan ilmu pengetahuan sebagai manifestasi pendidikan meliputi kegiatan penelitian ilmiah. Bagaimanakah kualifikasi bangsa Indonesia dalam perkembangan penelitian ilmiah? Saat ini telah ada pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menjuarai berbagai ajang olimpiade internasional, seperti fisika, matematika, astronomi dan lainnya. Bahkan ilmuwan Indonesia telah menghasilkan temuan, misalnya yang terakhir adalah penemuan senyawa 1,3-oxaphospholes oleh dosen Universitas Palangkaraya yang sedang menempuh S-3 di Prancis. 1 63 Sebagai negeri tropis terbesar di dunia yang membentang sepanjang Khatulistiwa dengan garis pantai sangat panjang dan wilayah bahari yang amat luas dengan kebun botani tropis terbesar di dunia,16 4 seyogyanya Indonesia menjadi bangsa terdepan dalam hal riset dan pengembangan bidang pertanian dan kelautan. Atas dasar itu fasilitas-fasilitas penelitian yang baru harus didirikan dan disediakan sebanyak mungkin dan harus digalang kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian internasional agar meningkatkan mutu kemampuan para peneliti nasional. Almarhum Sudjatmoko mengatakan bahwa abad mendatang ini adalah abad spritualitas melalui agama-agama. 165 Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembah -Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing162 HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, 27. Cungki Kusdarjito, “Pendidikan Yang Berkerakyatan Rakyat Indonesia”, dalam Adhi Susanto dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia , 7. 164 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 157. 165 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisis dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta, Paramadina dan PT Dian Rakyat, Cetakan III, Juli 2008), 127. 163 235 Bahasa Politik Nurcholish Madjid masing manusia yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri percaya kepada wujud maha tinggi tersebut.166 Dalam sosiologi sistemik, agama berada pada puncak hubungan sibernetik yang meliputi –dalam urutan berjenjang– budaya, komunitas kemasyarakatan (societal community), perpolitikan (polity), ekonomi dan teknologi. Secara sibernetik, susunan atas mengendalikan (control) susunan di bawahnya, dan susunan bawah mengkondisikan (control) susunan di atasnya.16 7 Dengan kata lain, pada urutannya, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai. Kemudian sistem nilai sendiri, yang memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika), mendasari seluruh kegiatan dalam menciptakan peradaban. Karena itu John Gardner, seorang cendikiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan pemerintahan Presiden J.F. Kennedy, mengatakan, “tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral untuk menopang suatu peradaban yang besar”.168 Agama adalah sistem kepercayaan, dan agama yang besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban yang besar. Peradaban-peradaban besar umat manusia, seperti dilambangkan dalam berbagai bangunan monumental selalu berdasarkan atau berkaitan dengan suatu agama. Agama menentukan corak budaya, yang pada urutannya akan menentukan corak komunitas kemasyarakatan, perpolitikan, ekonomi dan teknologi. Sebaliknya, suatu perkembangan kreatif yang besar oleh manusia pada gilirannya akan mengkondisikan pemahaman penafsiran bagian -bagian tertentu ajaran agama. 169 Semua itu harus 166 Nurcholish Madjid, Nurcholish Madjid, 168 Nurcholish Madjid, 169 Nurcholish Madjid, 167 Islam Doktrin dan Peradaban , xxii. Indonesia Kita , 157. Islam Doktrin dan Peradaban , xxiii. Indonesia Kita , 158. 236 Suhaimi disadari dan diperhitungkan dalam mengembangkan pendidikan agama. Sebagai sistem simbolik, agama banyak menggunakan metafora atau mathal dalam menyampaikan pesan sucinya yang harus benar-benar diperhatikan dalam pendidikan agama. Maka jelas sekali diperlukan metode pendidikan dan pengajaran agama yang efektif, efisien dan produktif untuk memperbaharui pilihan substansi ajaran agama yang hendak ditanamkan kepada anak didik dan masyarakat umum.1 70 Pemerataan jumlah dan mutu pendidikan juga berkaitan dengan masalah gender atau jenis. Pada Sekolah Dasar keikutsertaan anak laki-laki dan perempuan berjumlah setara atau sama, tapi pada Sekolah Menengah Pertama anak perempuan lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki. Sedangkan pada tingkat Sekolah Menengah Atas meskipun jumlah anak perempuan bertambah tapi masih lebih banyak jumlah anak laki-laki dengan perbandingan 97:100. 171 Bab IV pasal 5 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengisyaratkan bahwa: perlakuan yang sama antara lakilaki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Memastikan bahwa peserta laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang sama untuk meningkatkan potensi dirinya. 172 Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan di Indonesia terjadi dalam akses bagi perempuan terhadap jurusan -jurusan ilmu dasar seperti fisika, biologi, teknologi dan industri masih rendah, karena rendahnya perempuan yang memilih jurusan IPA atau matematika di lah 170 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 161. BPS dan BAPPENAS, Indonesia Human Development Report 2004, (Jakarta, BPS-Statistics Indonesia, Bappenas and UNDP Indonesia, 2004), 17. 172 Yuliati Hotifah, “Gender dan Pendidikan”, dalam Umi Sumbulah, ed., Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi (Malang, UIN Malang Press, Cetakan Pertama, Februari 2008), 159. 171 237 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Lanjutan Atas.17 3 Untuk tahun ajaran 2000/2001 anak perempuan yang memilih jurusan industri hanya berjumlah 18% dan anak perempuan yang masuk jurusan pertanian dan kehutanan hanya 29%, sedang anak perempuan yang masuk jurusan manajemen dan bisnis sebanyak 55%. 17 4 Sesungguhnya perhatian yang besar kepada pendidikan kaum perempuan memiliki nilai ekonomi pendidikan yang inggi. Secara kejiwaan ibu sangat dekat dengan anak-anaknya, jauh lebih dekat daripada kaum laki-laki, karena itu peningkatan mutu pendidikan mereka akan langsung berdampak kepada mutu pendidikan anak-anak mereka. 17 5 Jadi mendidik seorang perempuan (ibu) adalah sama dengan mendidik seluruh keluarga. Hal ini telah terbukti pada bangsa Eropa. Kemajuan pendidikan rumah tangga menjadi tonggak kemajuan pendidikan masyarakat dan bangsa Eropa pada masa “Reformasi” agama. 17 6 Di samping itu pengertian pendidikan secara luas sebagai usaha peningkatan kemampuan manusia meliputi pula masalah kesehatan sebagai peningkatan kemampuan jasmani. Dalam hal ini, pendidikan tidak hanya diartikan sebagai peningkatan kemampuan intelektual semata, tapi juga meliputi pengembangan kesehatan setiap warga negara dan masyarakat. Seseorang atau masyarakat dikatakan sehat bukan hanya jika tidak ada penyakit atau kelemahan (cacat) pada dirinya, tetapi juga terjamin hubungan yang baik antara seseorang dengan 173 174 Yuliati Hotifah, “Gender dan Pendidikan”, 165. BPS dan BAPPENAS, Indonesia Human Development Report 2004 , 17. 175 176 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 162. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 163. 238 Suhaimi lingkungan fisik dan sosialnya. Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling penting. 177 Untuk mendorong kemajuan bangsa yang lebih cepat, agenda pengembangan kesehatan bangsa ditujukan kepada ha melindungi dan memperbaiki kesehatan seluruh warga negara, melakukan dan mendukung penelitian tentang sebab suatu jenis penyakit dan cara pengobatannya, dan menjamin kebersihan dan keselamatan makanan, obat-obatan, kosmetika dan produk lain yang dikonsumsi masyarakat. 178 Berkenaan dengan kebersihan dan keamanan makanan, Islam mengajarkan konsep hala>lan t}ayyiban, makanan yang halal dan baik. Agama Islam pun melarang manusia dari makanan yang berbahaya, seperti bangkai, darah dan daging babi, bahkan Islam juga memotivasi kepada manusia untuk makan makanan bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan jasmani seperti ing, madu, susu dan kurma dan melarang berpuasa di atas kemampuan ukuran manusia.179 Indonesia sudah tumbuh menjadi negara industri dengan pengalaman keselamatan kerja yang belum sempurna, perhatian khusus harus diberikan kepada kecelakaan kerja yang semakin meningkat dan terhadap masalah narkoba dan AIDS dsb., lebih khusus harus diberikan, dengan law enforcement yang tegar dan kerjasama antar negara untuk memerangi kejahatan yang berdimensi internasional. 180 Demikian pula kerjasama dengan berbagai lembaga kesehatan internasional diperlukan dalam 177 Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Cetakan Kedua, Februari 2003), 80. 178 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 163-164. 179 Ahmad Syauqi al-Banjari, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, terj. Ahsin Wijaya dan Totok Jumantoro, (Jakarta, Bumi Aksara Cetakan Pertama, Desember 1996), 82-83. 180 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 164. 239 Bahasa Politik Nurcholish Madjid penelitian dan pengembangan bidang kesehatan, karena beberapa kasus penyebaran wabah penyakit yang mengancam dunia berhasil diatasi berkat kerjasama internasional. Kesadaran akan kesehatan seharusnya dapat ditingkatkan pula melalui pendidikan jasmani atau olah raga. Hakikat olah raga ini berorientasi kepada etos kerja, cinta pekerjaan da mengembangkan skill. Rasulullah saw memberi contoh ikut terlibat dalam pertandingan menunggang kuda, unta, gulat dan memanah. “ al-Ud{aba@” adalah nama unta beliau yang selalu menang perlom-baan.1 81 Karenanya pendidikan jasmani juga suatu bentuk investasi SDM, maka prasarana olah raga di Indonesia seharusnya ditingkatkan, seperti halnya kebutuhan -kebutuhan jasmani lainnya dalam bentuk “sandang, papan dan pangan” yang menunjukkan desakan tinggi untuk dilakukan reformasi dan peningkatan.182 Selain itu kesadaran baru yang sangat penting saat ini ialah kesadaran umat manusia betapa pentingnya memelihara alam lingkungan hidup. Menjelang melenium ketiga ini, menurut skenario Working Group on Public Health and Fossil-Fuel Combustion , pemanasan global sebagai akibat konsumsi energi bahan bakar fosil, emisi karbon serta kadar bahan partikular di atmosfer, bila tidak dilakukan upaya apapun, maka sampai tahun 2020 diperkirakan akan membunuh 700.000 orang setiap tahun akibat keterpaparan terhadap bahan partikular di udara.18 3 Kematian tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila dar sekarang telah dilakukan upaya pengendalian lingkungan secara terpadu. Pendidikan lingkungan hidup harus melibatkan usaha penyadaran tentang harga alam yang tak ternilai sebaga anugerah 181 Ahmad Syauqi al Fanjari, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, 86. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 165. 183 Johan S. Masjhur, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, dalam Kusdwiratri Setiono dan Johan S. Masjhur, eds. Manusia Kesehatan dan Lingkungan Kulaitas Hidup dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global, (Bandung, PT Alumni, Cetakan kedua, 2007), 7 -8. 182 240 Suhaimi Tuhan. Manusia ditunjuk sebagai khalifah untuk memelihara anugerah itu dan memanfaatkannya dengan penuh syukur kepadaNya. Tuhan menganugerahkan kepada bangsa Indonesia keanekaragaman hayati yang terbesar di muka bumi, yang merupakan titipan Tuhan untuk dipelihara bagi sebesar-besar manfaat semesta alam.184 10.Makna AD Kesembilan dan Kalimat Penjelasannya Penanda: 9. Mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara . Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan w untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Klausa kata penghubung bagi menyatakan satu tujuan atau harapan.18 5 Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.186 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 1 87 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD kesembilan seperti tertulis dalam lampiran 1 di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan sebagai berikut dalam tabel 9 tentang oposisi berpasangan AD kesembilan di bawah ini: 184 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 167. Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 21. 186 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 187 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 185 241 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Tabel 9 Oposisi B iner AD kesembilan Buruk Baik Ketimpangan sosial paling banyak Patriotisme lemah Nasionalisme rendah Mengutamakan diri dan golongan sendiri Pembagian kekayaan nasional tidak adil Warga miskin, memelas tak berdaya pengangguran Individualisasi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara Kemaslahatan umum Pemberantasan KKN secara total Tanggungjawab pemerintah dan kewajiban masyarakat Asuransi oleh pemerintah untuk organisasi pekerja sebagai upah penyelamatan Tanggungjawab sosial Terlihat dalam tabel di atas kata-kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata ketimpangan sosial paling banyak dengan kata keadilan sosial, kata patriotisme lemah dengan kata kemaslahatan umum, kata nasionalisme rendah dengan kata pemberantasan KKN secara total, kata mengutamakan diri sendiri dan pembagian kekayaan nasional tidak adil dengan kata tanggungjawab pemerintah dan kewajiban masyarakat, kata warga miskin memelas tak berdaya dan pengangguran dengan kata asuransi oleh pemerintah untuk organisasi pekerja sebagai upah penyelamatan, kata individualisasi dengan kata tanggungjawab sosial. Dengan demikian makna konotasi AD kesembilan secara singkat adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara di Indonesia untuk mengatasi penderitaan 242 Suhaimi ketimpangan sosial, akibat kesadaran cinta tanah air yang rendah dan patriotisme yang lemah dengan mengutamakan diri dan golongan sendiri melakukan KKN, tanpa peduli warga mis in yang memelas tak berdaya yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan kewajiban masyarakat untuk memperhatikan mereka, misalnya dengan memberikan jaminan asuransi oleh pemerintah untuk organisasi pekerja sebagai upah penyelamatan mereka. Jadi dalam AD kesembilan dan penjelasannya inipun, NCM memaparkan tulisannya dengan bahasa yang polos tak bertopeng dengan katakata yang sangat anti -politesse seperti ketimpangan sosial yang paling banyak, patriotism e lemah, nasionalisme rendah, mengutamakan diri dan golongan sendiri, pembagian kekayaan nasional tidak adil, warga miskin memelas tak berdaya pengangguran. UUD 1945 menyatakan bahwa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat merupakan tujuan negara.188 Sebagai penduduk berjumlah mayoritas di Indonesia, kaum muslim seyogyanya ikut serta berperan dalam usaha bersama bangsa ini untuk mewujudkan masyarakat berperadaban, masyrakat madani atau civil society di Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 189 Tetapi pada saat ini, semakin kuat dirasakan oleh semua warga negara bahwa cita-cita itu bertambah jauh dari kenyataan. Masyarakat berbicara tentang adanya krisis multidimensional, tanpa ada tanda-tanda kapan akan berakhir. 19 0 Pembangunan di Indonesia yang terlalu mementingkan pertumbuhan ekonomi, pada satu sisi telah menyebabkan payaupaya serius untuk menanggulangi kesenjangan dan kemiskinan terabaikan. Di sisi lain, sentralisasi dan inefektivitas pengawasan 188 Nurcholish Madjid, “Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia,” dalam Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia , 219. 189 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 163. 190 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 1-2. 243 Bahasa Politik Nurcholish Madjid keuangan negara, telah menyebabkan meluasnya praktek KKN pada hampir semua sektor dan tingkatan birokrasi. 191 Semua itu, menurut NCM, adalah akibat melemahnya kesadaran cinta tanah air atau patriotisme dan semangat mendahulukan dan membela kepentingan bangsa atau nasionalisme. Karena itu pada ini keadilan sosial tidak bisa tidak harus dimulai dengan pemberantasan KKN itu secara total. 192 Pemerintahan yang bersih merupakan prasarana paling penting bagi terwujudnya keadilan sosial. Selain pemberantasan KKN, keadilan sosial di Indonesia memerlukan pemikiran serius bagaimana menyediakan upah penyelamatan kepada yang memerlukan dan pemerintah dituntut memberi subsidi dan mengatur organisasi-organisasi para pekerja yang dibentuk bersama para majikannya guna membantu para anggotanya, serta menciptakan suatu sistem asuransi oleh pemerintah yang bersifat wajib. 193 Selama ini “jaminan sosial” di Indonesia dikerjakan lewat beberapa departemen, dalam pelayanan-pelayanan sosial. Sudah ada dinas-dinas sosial, Pusat kesehatan masyarakat, klinik-klinik keluarga berencana, perumahan perambah hutan, transmigrasi dan Inpres Desa Tertinggal (IDT). 1 94 Banyak orang menilai bahwa verzorgingsstaat (welfare state, negara kesejahteraan) seperti Belanda dan banyak negara Eropa lainnya lebih Islami dari negara -negara Islam.1 95 Dalam welfare state tersediannya standar hidup minimal dituntut untuk setiap warga negara. Individualisasi akibat ekonomi industri harus diimbangi dengan tanggungjawab sosial yang lebih besar, khususnya untuk membantu para penganggur, orang sakit orang lanjut usia. 1 96 191 Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya , 18-19. 192 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 168. 193 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 170. 194 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, 133. 195 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, 133. 196 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 171. 244 Suhaimi 11.Makna AD Kesepuluh dan Uraian Kalimat Penjelasannya Penanda: 10. Mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia. Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan p untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi keutuhan wilayah Negara terpelihara. lausa kata penghubung melalui menyata-kan cara pelaksanaannya.197 Kalimat tersebut tidak menggu -nakan S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.198 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata atau kelompok kata. 1 99 Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD kesepuluh seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan. Berdasarkan uraian klasifikasi dalam tabel 10 tentang oposisi berpasangan AD kesepuluh di bawah ini terlihat kata -kata yang dapat dimasukkan dalam oposisi berpasangan yaitu antar kata penghancuran suatu agama dengan kata hukum keseimbangan: umat manusia terlindungi dari kehancuran karena adanya kekuatankekuatan yang saling mengimbangi dan mengendalikan, kata Perang Dunia I, Perang Dunia II, “Kiamat nuklir” dan Perang Dingin dengan kata Jiha>d fi > sabi>lilla>h: Perang yang menghasilkan kelestarian agama-agama dan budaya-budaya, 197 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 21. 198 Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen dan Umum, 29. 199 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, 102. 245 Bahasa Politik Nurcholish Madjid “politik perimba-ngan kekuatan“ (balance of power politics) antar bangsa-bangsa, Tabel 10 Oposisi Biner AD kesepuluh Buruk Penghancuran suatu agama Baik Hukum keseimbangan: umat manusia terlindungi dari kehancuran karena adanya kekuatan-kekuatan yang saling mengimbangi dan mengendalikan Perang Dunia I Jiha>d fi> sabi >lilla>h: Perang yang menghasilkan kelestarian agama-agama dan budaya-budaya Perang Dunia II “Politik perimbangan kekuatan “ (balance of power politics) antar bangsa-bangsa “Kiamat nuklir” McCarthyism: Kampanye anti komunis Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955 menghasilkan kekuatan pengimbang dunia kapitalis dan dunia komunis Konferensi Islam Asia Afrika Perang Dingin Gerakan Non Blok Tesis benturan budaya Peran aktif Indonesia Huntington menggalang kekuatan Terorisme kekuatan hati nurani lintas Dominasi satu adi kuasa negara dan bangsa (monopolar) tak tertandingi Tukar pikiran yang kreatif dan Politik menutup diri konstruktif Patriotisme dan nasionalisme Indonesia sebagai negara bangsa yang merdeka 246 Suhaimi McCarthyism: kampanye anti komunis, Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955 menghasilkan kekuatan pengimbang dunia kapitalis dan dunia komunis, Konferensi Islam Asia Afrika, Gerakan Non Blok, peran aktif Indonesia menggalang kekuatan -kekuatan hati nurani lintas negara dan bangsa, kata tesis benturan budaya Huntington, terorisme dan dominasi satu adi kuasa (monopolar) yang tak tertandingi, politik menutup diri dengan kata tukar pikiran yang kreatif dan konstruktif, patriotisme dan nasionalisme Indonesia sebagai negara bangsa yang merdeka. Dengan demikian makna konotasi AD Kesepuluh secara singkat adalah mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia dengan menyadari berlakunya hukum keseimbangan atas alam semesta seperti ketika Perang Dunia I dan Perang Dunia II dan melindungi umat manusia dari perang nuklir dan serangan terorisme serta dari dominasi satu adi kuasa (monopolar ) yang tak tertandingi dengan cara menggalang kekuatan-kekuatan hati nurani lintas negara dan bangsa untuk bertukar pikiran yang kreatif dan konstruktif sebagai negara bangsa yang merdeka. Pada alinea pertama penjelasan AD kesepuluh, NCM memaparkan tulisannya tentang prinsip keseimbangan sebagai jaminan bagi kelestarian hidup dan budaya yang ditegaskan juga sebagai tujuan perang yang benar, perang di jalan Allah (jiha>d fi> sabi>lilla>h) dengan merujuk kitab suci al-Qur’an, surat al-Ha>j (22): 39 -40. Jadi sebagai seorang cendikiawan muslim, NCM menuliskan pikiran -pikirannya tentang kebobrokan sosial yang terjadi dengan tegas seperti tertulis dalam kata-kata: Perang Dunia I, Perang Dunia II, “kiamat nuklir” dan Perang Dingin dan kata Jiha>d fi> sabi >lilla>h serta terorisme dll. Dalam sejarah manusia, paling tidak telah terjadi dua malapetaka yang hampir menghancurkan manusia sendiri, yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II, sebagai akibat munculnya kekuatan sangat besar di Eropa yang mendominasi dan tidak tertandingi. Tetapi begitu perang dimulai, kebangkitan 247 Bahasa Politik Nurcholish Madjid bangsa-bangsa secara bersama-sama mengimbangi kekuatan dominan itu dan dunia terselamatkan.200 Karena akan menimbulkan kerusakan, maka setiap kali mereka kobarkan api perang itu, Tuhan akan memadamkannya dengan menampilkan kekuatan -kekuatan pengimbang dan pengendali. Tuhan telah menetapkan huku alam bagi kehidupan sosial manusia, bahkan al-Qur’an menyatakannya sebagai bagian dari hukum kosmis, yaitu hukum keseimba (al201 Mi>za>n) yang menjadi hukum jagad raya atau universe. Sebenarnya sejarah umat manusia penuh dengan peristiwa serupa itu. Persaingan pengembangan persenjataan nuklir yang pernah terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ternyata telah menyelamatkan umat manusia dari “kiamat nuklir”. Sebab eskalasi itu akhirnya mencapai tingkat yang tidak masuk akal, ketika masing-masing menjadi takut sendiri untuk menggunakannya, dan terciptalah keseimbangan yang menyelamatkan umat 20 2 manusia. Dalam ilmu politik, adanya hukum itu juga disadari, seperti oleh Hans J. Moegenthau tentang “politik perimbangan kekuatan” (Balance of Power) antara bangsa-bangsa bahwa politik perimbangan kekuatan merupakan jaminan obyektif bagi keamanan dunia.2 0 3 Oleh karena itu, para pendiri dan perintis pembangunan negara Indonesia menyadari sedalam -dalamnya perlunya penciptaan keseimbangan kekuatan dunia itu. Pada bulan April 1955, bangsa Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi AsiaAfrika di Bandung dengan peserta dari 29 negara dan dihadiri oleh pemimpin Asia, termasuk Zhaou Enlai, Nehru, Sihanouk, Van Dong, U Nu, Mohammad Ali dan Nasser.204 Konferensi itu melahirkan Dasasila Bandung yang menjadi tonggak sejarah 200 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 173. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan , 184. 202 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 174. 203 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations The Struggle for Power and Peace (New York, McGraw Hill higher Education, Seventh Edition, 2006), 223. 204 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , 516. 201 248 Suhaimi bangsa yang sangat penting. Sedemikian pentingnya sehingga Vera Micheles Dean, ilmuwan sosial, seperti dikutip NCM, dalam bukunya, The N ature of the-non -Western World , mengatakan telah terbentuknya “Bandungia”, yaitu kawasan dunia yang berorientasi politik berkiblat ke Bandung, yang merupakan gabungan negaranegara Dunia Ketiga, dunia negara-negara berkembang.205 Konferensi Bandung menghasilkan kekuatan yang menjadi pengimbang Dunia Pertama (First World , dunia kapitalis) dan Dunia Kedua (Second World, dunia komunis). Hal ini diikuti dengan Konferensi Islam Asia -Afrika, Konferensi Asia, Afrika dan Amerika Latin dan dilanjutkan dengan Gerakan Non -Blok (GNB) yang saat ini masih ada sisa-sisa signifikansinya. 2 06 Itu semua terjadi dalam lingkungan global yang diliputi oleh suasana Perang Dingin yang kini telah berakhir seiring dengan keruntuhan Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Kelegaan manusia akibat berakhirnya Perang Dingin ternyata tidak berlangsung lama, karena terganggu oleh munculnya tesis-tesis ilmiah palsu seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington tentang benturan budaya.20 7 Dan saat ini Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan adidaya tunggal, dengan kekuatan-kekuatan menengah dan kecil yang menyebar yang kadang-kadang membuatnya bertindak brutal. 20 8 Sekarang ini, hampir tidak ada satupun negara dan penduduk dunia yang dapat aman dari akibat-akibat perang skala kecil, seperti terorisme, bom bunuh diri, pembajakan pesawat, konflik etnis yang dapat saja meletus sewaktu -waktu dan hampir tidak dapat diprediksi dengan baik. 2 09 Bangsa Indonesia dapat mengulangi lagi peranan pentingnya dalam menjaga keseimbangan dunia menghadapi kecenderungan dominasi tatanan dunia satu adi kuasa ini. 205 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 175. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 175. 207 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 176. 208 Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Yogyakarta, 206 MedPress, Cetakan Kedua, 2008), 149. 209 Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, 149. 249 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Kemajuan teknologi informasi yang semakin cepat menyebabkan interaksi antarnegara semakin tidak terhindarkan dan diperlukan, maka pemerintah Indonesia dapat mengambil iatifinisiatif dalam politik pembukaan diri yang lebih produktif dan menguntungkan. Hal itu harus dilakukan berdasarkan nasionalisme dan patriotisme untuk menjaga dan melindungi seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan negara bangsa yang merdeka berdaulat.2 10 Dengan pijakan kemerdekaan dan kedaulatan yang kokoh itu, Indonesia ikut berperan aktif menciptakan perdamaian dunia, pesan konstitusi, UUD 1945. B. Penggunaan Kalimat dalam AD Politik Nurcholish Madjid Pada tingkat pragmatik, analisis bahasa dilakukan dengan menguraikan bagaimana cara penggunaan kalimat yang tertulis pada AD politik NCM dan uraian kalimat penjelasannya untuk mengetahui tujuan penggunaannya dalam proses pemberian informasi. Kalimat jika dilihat berdasarkan bentuknya dan kategorinya serta menurut fungsinya dapat dibedakan atas empat macam, yaitu (1) kalimat berita (deklaratif), (2) kalimat tanya (interogatif), (3) kalimat perintah (imperatif), dan (4) kalimat seru (ekslamatif). 211 Dalam hal ini kalimat didefinisikan sebagai suatu bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan gagasan gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada orang lain. 21 2 1. Penggunaan Kalimat dalam AD NCM 1 sampai dengan 10 Seluruh bentuk kalimat di dalam AD politik NCM 1 sampai dengan 10 merupakan kalimat deklaratif atau kalimat berita. Variasi kalimat berita bersifat bebas, boleh langsung tak langsung, inverse atau versi, aktif atau pasif, tungga atau majemuk dan pada bahasa tulisan, kalimatnya bertanda baca titik. 2 13 Hal itu terlihat jelas pada kutipan tertulis di bawah ini: 210 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 179. Lamuddin finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , 158. 212 Gorys Keraf, Komposisi, 34. 213 Lamuddin finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , 159. 211 250 Suhaimi 1. Mewujudkan “good governance” pada semua lapisan pengelolaan negara 2. Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen 3. Melaksanakan rekonsiliasi nasional 4. Merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah 5. Mengembangkan dan memperkuat pranata -pranata demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan 6. Meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personil dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi 7. Memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhineka -an dan keEka -an, serta pembangunan otonomisasi 8. Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara 9. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara 10. Mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia.214 Kalimat berita atau deklaratif adalah kalimat yang dipakai oleh penutur untuk menyatakan suatu berita kepada mitra komunikasinya. Variasi kalimat berita bersifat bebas, boleh langsung atau tak langsung, invers i atau versi, aktif atau pasif, tunggal atau majemuk.2 15 NCM menyampaikan sepuluh poin platform politiknya pertama kali pada acara konferensi pers pada akhir April 2003 di Universitas Paramadina yang menegaskan kesediaan dirinya untuk 214 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 114-148. Hasan Alwi, e d. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Balai Pustaka, 2003), 337. 215 (Jakarta, 251 Bahasa Politik Nurcholish Madjid menjadi calon presiden saat Pemilu 2004. 21 6 Saat itu dia menekankan bahwa pendekatan yang ia lakukan adalah platform, bukan figur atau sosok dirinya pribadi. Kesepuluh poin politik itu menjadi syarat bagi setiap orang yang mencalonkan dirinya sebagai presiden, Platform itu menjadi syaratnya. Baginya terpilih menjadi presiden atau tidak bukan yang utama. “Yang penting, bagaimana ide-ide platform itu bisa saya jual”, katanya.21 7 Jadi NCM menyampaikan sepuluh platform politiknya dalam kalimat deklaratif mengandung makna bahwa pembicaraannya sebagai komunikator politik yang mengidentifikasi masalah -masalah sosial yang mendesak, mencari pemecahan alternatif dan mendukung adanya diskusi publik sebagai sarana pemberian informasi. 218 2. Penggunaan Kalimat dalam Penjelasan AD NCM 1 sampai dengan 10 Penjelasan AD NCM 1 sampai dengan 10 tersusun dari 9341 kata dalam 324 kalimat, beberapa diantaranya menggunakan gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan serta gaya bahasa pertautan. Gaya bahasa dapat dipandang sebagai kenyataan penggunaan bahasa (phenomena ) yang istimewa, dan tidak dapat dipisahkan dari cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan (memantulkan, mencerminkan) pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau khusus.219 Gaya bahasa perbandingan membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda, sedang gaya bahasa pertentangan membandingkan dua hal bertolak belakang, sementara gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengandung perulangan 216 Idris Thaha, Demokrasi Religius, 78. Forum Keadilan, “Calon Nakhoda Yang Menunggu Kapal,” N0. 1, 11 Mei 2003. 218 Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 112. 219 Mukhsin Ahmadi, Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia (Malang, Yayasan Asih Asah Asuh Malang, Edisi I, Cetakan I, 1990), 170. 217 252 Suhaimi bunyi, suku kata, kata, frasa, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.2 20 NCM menggunakan gaya bahasa perbandingan metafora paling banyak, seperti terlihat ketika dia memperbandingkan antara wajah krisis banyak segi dan gunung es di kutub dalam pertama penjelasan AD NCM 1 di bawah ini. Tumpukan krisis banyak segi yang menggunung sekarang ini dapat diibaratkan sebuah gunung es raksasa sedemikian besar, sehingga sulit dihancurkan dari kaki dasarnya. Karena gunung es adalah benda mengambang, maka setiap kali puncaknya dipotong dihancurkan, setiap kali pula akan menyembul puncak baru ke permukaan. Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat padat dan rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan kedua merupakan perbandingan terhadap kenyataan pertama tersebut.221 Gaya bahasa serupa juga terlihat dalam kutipan paragraf kedua ketika NCM memperbandingkan antara pengelolaan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan yang baik dan laut zona tropis yang panas sebagai berikut ini: Pengelolaan yang benar dan baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan dapat diibaratkan sebagai laut zona tropis yang panas, yang akan meluluhkan gunung es budaya KKN. NCM menggunakan metafora pula saat memperbandingkan antara kegagalan warga dunia memberi penyelesaian yang adil kepada masalah Palestina dan sarang lebah, kemudian saat dia memperbandingkan antara kekacauan oleh terorisme dengan tawon-tawon yang menebarkan sengat kekacauan dunia seperti tertera dalam kutipan paragraf ketujuh uraian penjelasan AD NCM 10 sbb.: 220 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik , 147 -153. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa (Bandung, Angkasa, Cetakan Ketiga, 1985), 183. 221 253 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Dikuatirkan bahwa k e k a cau an a k an te ru s b er lan g s u n g t an p a penyelesaian sejati bila casus bellinya tidak diselesaikan secara adil dan tuntas. Orang boleh berselisih tentang siapa dan di man a casus belli itu, maka biarlah sejarah menentukan dan menghakiminya. Tetapi ibarat sarang lebah, tawon -tawon yang men ebarkan s en gat kekacauan dunia—yang terangterangan dan yang sembunyi-sembunyi melalui berbagai kegiatan by proxy —tidak akan bubar sebelum tawon induknya itu d itemu kan d an d is elesaikan d e ngan adil dan benar. Saat NCM menjelaskan feodalisme sebagai penyebab kesulitan bangsa Indonesia, dia menegaskannya dalam gaya bahasa pertentangan berupa sinisme dalam arti sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan ketulusan hati, 222 seperti tergambar dalam kutipan berikut ini: Susunan masyarakat feodalistik bangsa-bangsa Asia Tenggara terbukti oleh adanya identifikasi diri dengan kata ganti nama pertama tunggal yang mengandung nama budak, seperti “saya” (sahaya), “ambo” (hamba), “budak” dan “abdi”, “kula” atau “kawula”. Sebab memang ciri utama feodalisme (feudalism) ialah “penkawulaan” rakyat kepada “gusti”, dengan hirarki tinggi rendah yang sedemikian menguasai hidup orang banyak. Dari struktur sosial ekonomi serupa itu, yang muncul ialah tradisi baik secara paksa oleh “gusti“ kepada “kawula” maupun sukarela oleh “kawula” kepada “gusti”. Diyakini banyak orang bahwa merajalelanya kejahatan korupsi di negeri kita adalah lanjutan tradisi upeti masyarakat feodal itu, ditambah dengan budaya suapmenyuap dan perjudian oleh kalangan yang tak peduli dengan standar moral karena mengejar keuntungan kebendaan semata. Ditambah dengan mengendornya dimensi keruhanian dalam pola hidup “modern” yang materialistik, orientasi hi-dup kebendaan, dikaitkan dengan feodalisme, menjadi tolok ukur tinggi-rendahnya “gengsi” dan “harga diri” banyak orang. Karena itu pembangunan demokrasi, dan beserta dengan itu pelaksanaan prinsip -prinsip good governance, mensyaratkan 222 Haris Sumadiria , Bahasa Jurnalistik , 160. 254 Suhaimi dihancurkannya feodalisme. Sekalipun belum tentu merupakan contoh yang dapat ditiru di negeri kita, tetapi revolusi kebudayaan di Republik Rakyat Cina merupakan suatu usaha revolusioner untuk meng-hancurkan unsur-unsur tidak sehat dalam masyarakat, khususnya Feoda-lisme. Sekali lagi pem -berantasan KKN akan sangat banyak tergantung kepada seberapa jauh kita mampu memberantas feodalisme dan budaya suap menyuap. Gaya bahasa pertentangan ini pun NCM gunakan pada saat menjelaskan penyimpangan hukum di dunia peradilan Indonesia, kali ini dia lebih memilih gaya ironi yang berarti suatu majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolokolok. Maksud ini dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal: (a) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b) ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang sebenarnya, dan (c) ketaksesuaian antara harapan n kenyataan.22 3 Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Lepas dari benar tidaknya banyak sinyalemen dalam masyarakat tentang dunia peradilan kita yang telah terjerat oleh jaringan penyimpangan dan manipulasi hukum yang terorganisasi (semacam organized crime), segi penegakkan hukum memang merupakan titik rawan dalam kehidupan kenegaraan kita. Dalam masyarakat terdapat banyak indikasi bahwa tindakan kejahatan berlansung dengan lindungan helat hukum (legal device) sehingga mendapatkan legitimasi legal palsu . Gaya ironi pun terlihat dalam kutipan di bawah ini: Dibanding dengan negara-negara tetangga terdekat, kita merasakan adanya ironi besar, karena kita tertinggal tidak hanya dalam penelitian dan pengembangan bidang teknologi tinggi, tetapi juga d alam b id an g p ertan ian d an kelau tan y an g jus tru m erup akan keis tim ew aan n egeri kita sebagai negeri tropis terbesar di dunia yang membentang sepanjang Khatulistiw a dengan garis pantai amat panjang dan wilayah bahari yang amat luas. 223 Haris Sumadiria , Bahasa Jurnalistik , 155. 255 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Pada b agian lain tulisannya, NCM menyusunnya dalam gaya bahasa pertautan yaitu gaya epitet dalam arti semacam gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu merupakan suatu frase deskriptif yang memerikan atau menggantikan nama suatu benda atau nama seseorang.22 4 Seperti kutipan -kutipan berikut ini: Sebaliknya, “ law-less society” atau “masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat tak berkeadaban, yang menuju kepada kehancuran. Seperti dalam rimba, dalam keadaan dan lemah hukum, yang berfungsi dalam masyarakat ialah kekuatan dan kekuasaan sewenang-wenang, dan negara hukum (rechsstaat ) yang dicita-citakan para pendiri negara berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat ). Harus diakui bahwa usaha rekonsiliasi akan berhadapan dengan tembok memori kolektif yang penuh dengan stigma dan trauma. Tinggi-rendah kualitas dampak primer merupakan batu penguji sukses-gagalnya in vestas i sumber daya manusia itu. “orang bodoh makanan orang pandai” 224 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Cetakan keempat belas, Edisi yang diperbaharui, 2004), 167. 256 Suhaimi BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dalam uraian bab sebelumnya dapat disimpulkan , bahwa NCM sebagai seorang cendikiawan muslim berasal dari Jombang, Jawa Timur, tidak menggunakan bahasa politesse. Sebaliknya NCM menuliskan pikiran -pikirannya tentang kebobrokan sosial yang terjadi dengan tegas seperti tertulis dalam kata-kata NCM dalam Agenda Dasar (AD) kesatu sampai dengan AD kesepuluh dan uraian penjelasannya seperti antara lain: budaya KKN, upeti dan suap menyuap, feodalisme, patrimonialisme dan gaya hidup materialistik yang menjadi penanda bahwa dirinya menolak elitisme atau politesse dalam berbahasa. Dia pun tidak melakukan bahasa kramanisasi atau proses penghalusan dengan menggunakan bahasa topeng/aling-aling berupa gaya bahasa eufemisme. NCM menggunakan gaya bahasa perbandingan metafora paling banyak dalam uraian kalimat 10 AD dan penjelasannya masing-masing dalam buku karyanya, Indonesia Kita , Jakarta, Paramadina, Cetakan III, Maret 2004, dari halaman 114-184. Hal itu terlihat ketika dia membandingkan antara wajah krisis segi dan gunung es di kutub dalam paragraf pertama penjelasan AD kesatu, dan saat NCM membandingkan antara pengelolaan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan yang baik dengan laut zona tropis yang panas pada paragraf kedua AD kesatu, pada paragraf ketujuh penjelasan AD kesepuluh, dia pun membandingkan antara kegagalan warga dunia memberi penyelesaian yang adil kepada masalah Palestina dan sarang lebah, kemudian saat dia membandingkan antara kekacauan oleh terorisme dengan tawon-tawon yang menebarkan sengatnya. Saat NCM menjelaskan feodalisme sebagai penyebab kesulitan bangsa Indonesia, dia menegaskannya dalam gaya bahasa pertentangan berupa sinisme dalam arti sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan 257 Bahasa Politik Nurcholish Madjid ketulusan hati, seperti terlihat dalam paragraf kelima AD kesatu.Beberapa gaya bahasa NCM lainnya adalah gaya bahasa ironi, gaya bahasa repetisi, dan gaya bahasa epitet. Menurut NCM, seperti dikemukakan oleh John Gardner, tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral untuk menopang suatu peradaban besar. Agama adalah sistem kepercayaan, dan agama yang besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban yang besar. Agama dimaksud adalah apa yang disebutkan dalam Islam oleh Rasulullah saw sebagai agama yang bersemangat kebenaran yang lapang (al-hani>fiyyah al-samhah). Berdasarkan semangat moral ilmu agama Islam itu, NCM menyusun sepuluh platform politik yang dia jadikan pendekatan sebagai syarat bagi setiap orang yang mencalonkan dirinya sebagai presiden pada Pemilu 2004, bagi NCM terpilih menjadi presiden atau tidak bukan yang utama, baginya penyebaran informasi ide-ide dalam platform politiknya menjadi tujuan utama, dengan menirukan Ibn Khaldun saat menutup pembahasannya dalam Muqaddimah, menurut NCM, apa yang dicoba lakukan adalah menyampaikan wacana sebagai suatu rintisan, dengan harapan bahwa siapapun yang memberikan keprihatinan yang sama, khususnya dari kalangan generasi penerus, akan mengembangkan dan memperbaikinya, dan melaksanakannya dengan memberi teladan sebaik -baiknya untuk warga masyarakat. Nilai-nilai moral ajaran Islam yang menjadi penanda dalam sepuluh platform politik NCM itu seperti ama@nah dalam AD kesatu, madi @nah dalam AD kedua, isla@hu bayn a al-na@s dalam AD ketiga, ijtihad Khalifah Úmar ibn al-Khat}a@b menolak menghukum pencuri di masa paceklik dalam AD keempat, noktah noktah kebebasan warga negara dalam AD kelima, “berlombalomba menuju kepada berbagai kebaikan” dalam AD ketujuh, tarbiyah, fit}rah, fas}i@h, “ilmu adalah kunci kesuksesan hidup, 258 Suhaimi setelah iman yang memberi dasar kepada kehidupan yang benar”, al-mathal al-ál@a@@@@, sabda Muhammad saw yang terkenal, artinya: Allah tidak memandang jasmanimu dan tidak pula bentuk lahirmu, tetapi Allah memandang kalbumu dan amal perbuatanmu, hala@@@@@lan t }ayyiban, “muncul kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah tangan manusia” dalam AD kedelapan, menciptakan kemaslahatan umum dalam AD kesembilan, hukum keseimbangan berdasarkan Surat al- Baqa>@rah: 253, jih a@d fi@ sabi@lilla@h dalam AD kesepuluh. Dalam AD kedua, Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen , NCM merujuk Abu > Bakr al-S} iddi>q, saat dikukuhkan menjadi Khali >fatu Rasu @lillah dalam pidatonya mengatakan, “…yang kuat di antara kalian bagiku adalah lemah, sampai aku akan ambil dari mereka hak-hak kaum miskin; dan yang lemah di antara kalian bagiku adalah kuat, sampai aku berikan mereka hak-hak mereka.” Berdasarkan kutipan ini secara konotatif dapat dipahami, bahwa NCM mengajak bangsa Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim untuk menumbangkan mitos dunia peradilan di Indonesia bahwa hukum hanya diberlakukan untuk orang yang miskin baik secara finansial maupun struktural dan tidak dikenakan bagi mereka yang kaya atau kuat. Menurut NCM, nasionalisme modern di Indonesia dimulai dengan penampilan kerakyatan yang tegas oleh kalangan dengan pembentukan Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam (SI) pada tanggal 10 September 1912 dan dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang menjadikan Islam sebagai asas perjuangan dalam politik. Jadi berbeda dengan nasionalisme “kuna” yang merupakan ekstensi dari tribalisme yang sempit dan sewenang-wenang terhadap suku lain. Nasionalisme modern adalah paham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu, antiimprelisme, sehingga konsisten dengan prinsip -prinsip demokrasi. 259 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Menurut NCM, nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan sukusuku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah -pisah di Indonesia. Oleh karena itu nasionalisme modern merupakan unsur esensial bagi pembangunan bangsa Indonesia yang tidak hanya bertujuan melaksanakan pembangunan ekonomi saja tapi mengarah kepada pencapaian politik kesejahteraan dan kemakmuran. B. IMPLIKASI PENELITIAN Berpijak pada kesimpulan -kesimpulan tertulis di atas, penulis menyarankan kepada peneliti bidang kajian ilmu komunikasi Islam dan atau dakwah Islam, khususnya penelitian yang menggunakan analisis teks, agar dapat membuahkan kesimpulan yang komprehensip, maka peneliti sebaiknya menggunakan tidak hanya satu metode saja, misalnya metode struktural saja, melainkan akan lebih mendalam lagi dibarengi dengan analisis semiotik dan analisis hermeneutik. Dengan demikian suatu teks tidak hanya ditelaah kata demi kata atau kalimat demi kalimat, tetapi juga dilakukan penafsiran secara menyeluruh yang disebut pemaknaan hermeneutik. Secara akademis, penulis menyarankan agar dakwah Islam diintegrasikan dengan ilmu komunikasi menjadi ilmu komunikasi Islam. Komunikasi Islam dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan -pesan ajaran Islam berupa rahmat bagi semesta alam kepada sesama manusia sebagai jamaah dakwah Islam atau para pesertanya melalui berbagai media penyampaian pesan dengan metode persuasi yang akan berakibat pengaruh efek tertentu. Karakteristik dasar dakwah Islam adalah sifatnya persuasif bukan kursif. Artinya dakwah Islam selalu berusaha mempengaruhi manusia untuk menjalankan agama sesuai dengan kesadaran dan kemauannya sendiri, bukan dengan paksaan. Pemaksaan adalah perampasan hak asasi manusia dalam beragama. “Etika manusia memandang pemaksaan dalam berdakwah merupakan pelanggaran serius atas hak asasi manusia.”. Dakwah Islam pun memiliki karakteristik pesan yang rasional dan disampaikan dengan cara 260 Suhaimi rasional (rational necessary and rational intellection ) yang mengajak manusia untuk kembali kepada fitrahnya. 261 Suhaimi DAFTAR PUSTAKA Abd. A’la. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia . Jakarta: Paramadina, April, 2003. Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, Cetakan I, April 1999. Abdul Baqi, Muhammad Fuad . Al-M u‘jam al-Mufahras li Alfa>z}i alQur’a>n al-K ari>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981. Abdul Mut}allib Khumais, Ramad }an. Al-Da‘wah al-Isla>miyah Arka>nuha> wa-Mana>hijuha> . Kairo: Da>r al- Thaba‘ah Al- Muhammadiyah Cetakan I, tt. Abdurrahman, M. Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fikih . Bandung: Remaja Rosda Karya, Cetakan pertama , Mei 2002. Abdalla, Ulil Abshar, ed. Islam dan Barat Demokrasi dalam Masyarakat Islam. Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juni, 2002. Ahmad, Mumtaz, ed. Masalah -Masalah Teori Politik Islam. terjemahan Ena Hadi, Bandung: Mizan, Cetakan III, Apri 1996. Ahmadi, Mukhsin. Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang, Edisi I, Cetakan I, 1990. Anderson, Benedict R. O’G. Language and Power Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca and London: Cornell University Press, First Published, 1990. ---------, Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London and NewYork: Verso, revised and extended edition, 1991. ---------, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang. terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Insist Press, 2001 Alagappa, Muthiah. Ed. Civil Society and Political Change in Asia Expanding and Contracting Democratic Space, California Stanford University Press, First Published, 2005. 261 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Albrow, Maltin. The Global Age State and society Beyond Modernity. Stanford: Stanford University Press, First Published, 1996. Alesina, Alberto and Enrico Spolaore. The Size of Nations. Cambridge: The MIT Press, First Edition, 2005. Amir Piliang, Yasraf. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, Cetakan ke -2, 2003. Ardianto, E. dkk. Filsafat Ilmu Komunikasi . Bandung: Simbiosa Rekatama Media, Cetakan ke -1, Januari 2007. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia . Jakarta: Kencana, Edisi Revisi, Cetakan kedua, 2005. ------. Renaisans Islam Asia Tenggra Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Idris Thaha, ed., Bandung: PT Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000. ------. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post -Modernisme. Abas Al-Jauhari, ed., Jakarta: Paramadina, Cetakan pertama, Mei 1996. Bahansawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam. terjemahan Mustolah Maufur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1990. Bakti, AF. Communications and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program. Leiden-Jakarta: INIS, 2004. ------, Paramadina and its Approach to Culture and Communication: and Engagement in Civil Society. Paris: Archipel 68, 2004. Barghuts, Al- T}ayyib. M anha>j al-N abiy fi > Hima>yati al-Da’wah wa al-Muh a>fadzah álá> Munjaza>tiha> Khila>la al-Fatrati al-M akkiyah. USA: al- Ma‘had al-A’la>miy li al-Fikri alIsla>miy, Cetakan I, 1996. Baskara, FX dkk. ed. Mencari Demokrasi . Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, Cetakan I, Mei, 1999. Baswir, Revrisond dkk. Pembangunan Tanpa Perasaan Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya . Jakarta: ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Cetakan Kedua, Februari 2003. 262 Suhaimi Berger, Arthur Asa. Media and Communication Reseach Methods: An Introductions to Qualitative and Quantitative Approaches. USA, Sage Publications, Inc., 2nd Printed, 2000. Bertens,K. Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006. Bertrand, Jacques. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia . Cambridge: Cambridge University Press, First Published, 2004. Bleicher, Jose. Hermeneutika Kontemporer Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Terjemahan Imam Khoiri, Yogyakarta : Cetakan ketiga, Pebruari 2007. Bungin, Burhan. Imaji Media Massa Konstruksi Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Yogyakarta: Jendela, Cetakan Ke-1, Januari 2001. Connor, Walker. Ethnonationalism the Quest for Understanding . New Jersey: Princeton University Press, Fifth Published, 1994. Creswell, John W. Reseach Design Qualitative and Quantitative Approach . terjemahan Angkatan III dan IV KIK-UI dan Nur Khabibah, Jakarta: KIK Press, 2002. Culla, Adi S. Masyarakaat Madani, Pemikiran ,Teori dan Relevansinya dengan Cita – Cita Reformasi . Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan Ketiga, Januari 2002. Dault, Adhyaksa. Islam dan Nasuonalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional. Abduh Zulfihar Akaha, ed., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cetakan I, Ethnic 2005. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia . Jakarta:Paramadina, Cetakan ke-1, 1998. ---------- . Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2001. Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam. Terjemahan Imam Mutaqin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I , Desember 2000. Eickelman F.D.dkk. Ekspresi Politik Muslim. Terjemahan Rofik Suhud, Bandung: Mizan, Cetakan I , September 1988. 263 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Fatah, Eep Saefulloh. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Rosda Karya, edisi ke -2, 2000. Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan Bahasa . Jakarta : Diksi Insan Mulia, Cetakan XVI, Revisi 3, 2003. Fiske, John. Introduction to Communication Studies. London and New York: Routledge, Second Edition, 1990. Forsdale, Louis. Perspectives on Communication . Phillippines: Addison-Wesley Publishing Company, Inc. , 1981. Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Terjemahan M. H. Amrullah, Yogyakarta: CV. Qalam, Cetakan ketiga, Juni 2004. Gans, Chaim. The Limits of Nationalism. United Kingdom: Cambridge University Press, First Published, 2003. Gragnon, Alan G. and James Tully. Multinational Democracies. United Kingdom: Cambridge University Press, First Published, 2001. Gutmann, Amy, ed. Multiculturalism. New Jersey: Princeton University Press, 1994. Habibie, B.J. Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi . Jakarta: THC Mandiri, Cetakan ke-3, Nopember, 2006. Hadi, Syamsul dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Centre for International Relations Studies (CIReS) bekerjasama dengan YOI, Cetakan Pertama, Januari 2007. Hakim , Abdul dan Yudi Latif, ed. Bayang -bayang Fanatisme Esei esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid . Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Cetakan I, Juli 2007. Hashmi, Sohail. ed., Etika Politik Islam Civil Society, Pluralisme, dan Konflik. terjemahan Abu Bakar Eby Hara dkk., Jakarta, ICIP, Cetakan I, Agustus, 2005. 264 Suhaimi Hall, John A. Ed. The State of The Nation Ernest Gellner and the Theory of Nationalism. Cambridge: Cambridge University Press, First Published, 1988. Harraniy, Ibn Taimiyah . M ajmu >u‘ al-Fata>wa>, Kit a>b al-Tafsi>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, Cetakan I, juz ke-2, 2000. Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme. Ahmad Gaus, ed. Jakartta: Paramadina, Cetakan pertama, September 1998. -----------. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Oktober 1996. Hidayat, K.dkk. Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Maret, 2005. Hilmy, Mushthafa. Nidza>m al-K{ila>fah Bain a Ahl al-Sunnah wa al- Syi>a‘h. Iskandaria: Da@r Al-Da’wah, Cetakan I, 1988. Hornby , AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. United Kingdom: Oxford University Press, Sixth edition, 2003. Issawi, Charless. ed. Pilihan dari Muqaddimah Ibn Khaldun Filsafat Islam Tentang Sejarah . terjemahan Mukti Ali, Jakarta: Tintamas, Cetakan Kedua, 1976. Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cetakan I, Juni 2002. Janoski, Thomas and others, eds. The Handbook of Political Sociology States,Civil Societies and Globalization . Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Jackson, KD dkk. Political Power and Communications in Indonesia. California: University of California Press, 1978. Kadarmanta, A. Membangun Kultur Kepolisian . Jakarta: PT Forum Media Utama, Cetakan I, Nopember 2007. Kaelan. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta : Paradigma, Cetakan ke-3, 2002. Kartanegara, Mulyadhi. Mozaik Khazanah Islam Bunga Rampai dari Chicago . Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Mei 2000. 265 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan bekerjasama dengan Majalah Ummat, Cetakan I, Mei 1997. Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, Dan Ketimpangan , Suatu Pengantar Sejarah Sosiolog ., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua November 1991. Lasswell, Harold D. Communication in a Divided World: Opportunities and Constrain. London : International Institute of Communications, the Loius G. Cowan Lecture, 1977. Lauer, Robert. Perspektif Perubahan Sosial. terjemahan Alimandan, SU, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cetakan Ke-4, Mei 2003. Littlejohn Stephen W. Theories of Human Communication . USA, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996. Lubis, Akhyar Yusuf. Dekonstruksi Epistimologi Modern Dari Posmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, Cetakan Pertama, April 2006. Luis, Abu. al-Munjid fi al-Lug}ah wa - al-‘Ala>m. Beirut : Da>r elMashreq, Cetakan ke-21, 1973. Maarif,Ahmad Syafii. Islam & Politik Upaya Membingkai Peradaban . Cirebon: Pustaka Dinamika, Cetakan Pertama, September 1999. Madjid, Nurcholish. Islam, Kemerdekaan dan Kedamaian. Bandung: Mizan , 1987. ---------- . Islam Kemoderenan dan Kemanusiaan . Bandung: Mizan, 1988. ---------- . Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan . Bandung: Mizan, 1993. ---------- . ed. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. ---------- . Pintu -Pintu Menuju Tuhan . Jakarta: Paramadina, 1994. ---------- . Islam Agama Kemanusiaan . Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia . Jakarta: Paramadina, 1994. ---------- . Islam Agama Peradaban . Jakarta: Paramadina, 1995. ---------- . Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pem-bangunan di Indonesia . Jakarta: Paramadina, 1997. ---------- . Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997. 266 Suhaimi ---------- . Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997. ---------- . Cita -Cita Politik Islam Era Reformasi . Universitas Paramadina, Cetakan I, 1999 ---------- . Islam Doktrin dan Peradaban . Jakarta: Paramadina, Cetakan Keempat, September, 2000. ---------- . Indonesia Kita. Jakarta: Universitas Paramadina, Cetakan III, Maret 2004. Marpaung, Rusdi dan J. Heri Sugianto, ed. Demokrasi yang Selektif terhadap Penegakan HAM [Laporan Kondisi HAM Indonesia 2005.] Jakarta: Imparsial, Cetakan pertama, Oktober 2006. Mowlana, Hamid. Global Communication in Transition The End of Diversity. New Delhi, India: Sage Puublictions International Educational and Professional Publisher, 1996. Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, Pergulatan Pemikiraan Politik Radikal dan Akomodatif. Jakarta: Pustaka LP3ES, Cetakan Pertama, November 2004 Nasution, Irfan dkk. Restorasi Pancasila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press, Cetakan Ke1, 2003. Norris, dan Inglehart R. Sacred and Secular Religion and PoliticsWorldwide. Cambridge University Press, First Published, 2004. Noth, Winfried. Handbook of Semiotic. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1990. Palmer, Richard E. Hermeneutics. USA: Northwestern University Press, 1988. Parera, Jos Daniel. Sintaksis. Jakarta: PT Gramedia, Cetakan I, 1988. Peldi, Elza Taher, ed. Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi , Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru . Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cetakan I, September, 1994. Perdue, William D. Sociological Theory. California: Mayfield Publishing Company, 1986. Poespoprodjo, W. Hermeneutika . Bandung: Pustaka Setia, Cetakan pertama, Mei 2004. -----------------, Interpretasi . Bandung: CV. Remadja Karya, Cetakan ke-1, 1987. 267 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Poerwowidagdo, Judo ed. Rekonsiliasi Nasional Menuju Masyarakat Sipil yang Demokratis. Jakarta: Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian, Cetakan I, 2004. Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran . Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cetakan kelima, September, 2004. Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikutural. Surakarta: Universitas Muham-madiyah Surakarta, 2003. Rahardjo, M. Dawam . Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan, Cetakan IV, 1999. -----------, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES bekerjasama dengan LSAF, Cetakan I, Agustus 1999. Rais, M. Amien. Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bandung: Zaman, Cetakan I, Maret, 1998. Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, Ceta-kan Pertama, Februari 2001. Rauf, Maswadi dkk. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia, Cetakan I, 1993. Razik, Abdul Ali. Al-Isla>m wa Ushu >l al-Hukm Baht}un fi alKhila>fah wa al-Huku >miyah fi al-Isla>m. Beirut: Da@r Maktabah al-Haya@t, 1978. Robertson, Roland. Meaning and Change Explorations in the Cultural Sociology of Modern Society. New York: New York University Press, 1978. Salam, Aprianus, ed. Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan Ke -1, Juli 1998. Salim, Agus, ed. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, Cetakan Ke -1, Juli 2001. Setiono, Kusdwiratri dan Johan S. Masjhur, eds. Manusia Kesehatan dan Lingkungan Kulaitas Hidup dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global. Bandung: PT Alumni, Cetakan kedua, 2007. 268 Suhaimi Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran . Jakarta: UI-Press, Edisi Kelima, 1993. Smith, Anthony D. Nationalism and Modernism A Critical Survey of Theories of Nations and Nationalism. London and New York: Routledge, Reprinted, 2003. ----------, The Origins of Nations. Victoria 3053: Blackwell Publishing, First Published, 1988. Srinivasan, T.N. ed. The Future of Secularism. Oxford: Oxford University Press, 2007. Suhaimi dan Ruli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2009. Sukirno, Sardono. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan . Jakarta: Bima Grafika, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1985. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengetahuan Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Cetakan ke-8, 1994. Susanto , Adhi dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia . Yogyakarta : Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY dan Gadjah Mada University Press, Cetakan pertama, Oktober 2009. Suwardi, Harsono. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia Suatu Studi Komunikasi Politik Terhadap Kampanye Pemilu 1987. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cetakan I, 1993. Suwarsono dan Alvin,So. Perubahan Sosial dan Pembangunan . Jakarta: LP3ES, Cetakan Ke-2, 1994. Suyanto, Djoko . Menuju TNI Profesional dan Dedikatif. Jakarta: Pusat Penerangan TNI, Cetakan pertama, Oktober 2007. Tamara,M. Nasir dkk. ed. Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina, Cetakan I, September, 1996. Tibbi, Bassam. Krisis Peradaban Islam: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi . terjemahan Yudian W. Asmin dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cetakan Ke-1, Mei 1994. Tilaar, HAR. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan kedua, Pebruari 2009. 269 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Turmudi, Endang dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia . Jakarta: LIPI Press, Cetakan Ke-1, April 2005. Uhlin, Andres. Oposisi Berserak. terjemahan Rofik Suhud, Bandung: Mizan, Cetakan ke -2, September 1998. Watson , James dan Anne Hill. A Dictionary of Communication and Media Studies. New Delhi: Universall Book Stall, Second Edition, 1996. Widjaja, HAW. Penyelengg araan Otonomi Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, Cetakan I, 2005. 270 DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966 -1993), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, Cetakan I, April 1999. Abdurrahman, M. Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fikih , Bandung: Remaja Rosda Karya, Cetakan pertama , Mei 2002. Abdalla, Ulil Abshar,ed. Islam dan Barat Demokrasi dalam Masyarakat Islam, Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juni, 2002. Ahmad, Mumtaz, ed. Masalah -Masalah Teori Politik Islam, terjemahan Ena Hadi, Bandung: Mizan, Cetakan III, April 1996. Anderson, Benedict R. O’G. Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang , terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Insist Press, 2001 A’la, Abd. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur Rahman Wacana Islam di Indonesia , Jakarta: Paramadina, April, 2003. dalam Al-Bahansawi,Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam, terjemahan Mustolah Maufur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1990. Ardianto, E. dkk. Filsafat Ilmu Komunikasi , Bandung: Simbiosa Rekatama Media, Cetakan ke-1, Januari 2007. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia , Jakarta: Kencana, Edisi Revisi, Cetakan kedua, 2005. ---------------------. Renaisans Islam Asia Tenggra Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Idris Thaha, ed., Bandung: PT Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000. ---------------------. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post -Modernisme, Abas Al-Jauhari, ed., Jakarta: Paramadina, Cetakan pertama, Mei 1996. Bakti, A.F. Paramadina and its Approach to Culture and Communication: and Engagement in Civil Society, Paris: Archipel 68, 2004. Baskara, FX dkk., ed. Mencari Demokrasi , Jakarta: Institut Studi Arus 152 Informasi, Cetakan I, Mei, 1999 Bungin, Burhan. Imaji Media Massa Konstruksi Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapit alistik, Yogyakarta: Jendela, Cetakan Ke-1, Januari 2001. Connor, Walker. Ethnonationalism the Quest for Understanding , New Jersey: Princeton University Press, Fifth Published, 1994. Creswell, John W. Reseach Design Qualitative and Quantitative Approach , terjemahan Angkatan III dan IV KIK-UI dan Nur Khabibah, Jakarta: KIK Press, 2002. Culla, Adi S. Masyarakaat Madani, Pemikiran ,Teori dan Relevansinya ngan Cita – Cita Reformasi , Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan Ketiga, Januari 2002. Dault, Adhyaksa. Islam dan Nasuonalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, Abduh Zulfihar Akaha, ed., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cetakan I, 2005. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia , Jakarta:Paramadina, Cetakan ke-1, 1998. -------------------. Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi , Yogyakarta: Galang Press, 2001. Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam, Terjemahan Imam Mutaqin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I , Desember 2000. Eickelman F.D.dkk. Ekspresi Politik Muslim, Terjemahan Rofik Suhud, Bandung: Mizan, Cetakan I , September 1988. Fatah, Eep Saefulloh. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosda Karya, edisi ke-2, 2000. Gans, Chaim. The Limits of Nationalism, United Kingdom: Cambridge University Press, First Published, 2003. G. Gragnon, Alan and James Tully. Multinational Democracies, United Kingdom: Cambridge University Press, First Published, 2001. 153 Gutmann, Amy, ed. 1994. Multiculturalism, New Jersey: Princeton University Press, Habibie, B.J. Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi , Jakarta: THC Mandiri, Cetakan ke -3, Nopember, 2006. Hashmi, Sohail. ed., Etika Politik Islam Civil Society, Pluralisme, dan Konflik, terjemahan Abu Bakar Eby Hara dkk., Jakarta, ICIP, Cetakan I, Agustus, 2005 Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Ahmad Gaus, ed., Jakartta: Paramadina, Cetakan pertama, September 1998. ----------------------------. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Herme-neutik, Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Oktober 1996. Hidayat, K.dkk. Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Maret, 2005. Hilmy, Mushthafa. Nidza>m al-K{ila>fah Bain a Ahl al-Sunnah wa al- Syi>a‘h, Iskandaria: Da@r Al-Da’wah, Cetakan I, 1988. Issawi, Charless. ed. Pilihan dari Muqaddimah Ibn Khaldun Filsafat Islam Ten ng Sejarah , terjemahan Mukti Ali, Jakarta: Tintamas, Cetakan Kedua, 1976. Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cetakan I, Juni 2002. Janoski, Thomas and others, eds. The Handbook of Political Sociology States, Civil Societies, and Globalization, United Kingdom: Cambridge University Press, 2005. Jackson, KD dkk. Political Power and Communications in Indonesia , USA: University of California Press, 1978. Kartanegara, Mulyadhi. Mozaik Khazanah Islam Bunga Rampai dari Chicago , Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Mei 2000. Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, Dan Ketimpangan , Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua November 1991. 154 Lauer, Robert. Perspektif Perubahan Sosial, terjemahan Alimandan, SU, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cetakan Ke-4, Mei 2003. Maarif,Ahmad Syafii. Islam & Politik Upaya Membingkai Pustaka Dinamika, Cetakan Pertama, September 1999. Peradaban , Cirebon: Madjid, Nurcholish. Islam, Kemerdekaan dan Kedamaian , 1987. Bandung: Mizan , ----------------------. Islam Kemoderenan dan Kemanusiaan , Bandung: Mizan, 1988. ----------------------. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan , Bandung: Mizan, 1993. ---------------------, ed. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. -----------------------, Pintu -Pintu Menuju Tuhan , Jakarta: Paramadina, 1994. -----------------------. Islam Agama Kemanusiaan , Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1994. -----------------------. Islam Agama Peradaban , Jakarta: Paramadina, 1995. -----------------------. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pem-bangunan di Indonesia , Jakarta: Paramadina, 1997. -----------------------. Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997. -----------------------. Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997. ----------------------. Cita -Cita Politik Islam Era Reformasi , Universitas Para-madina, Cetakan I, 1999 ----------------------. Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta: Keempat, September, 2000. Paramadina, Cetakan ----------------------. Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, Cetakan III, Maret 2004. Mowlana, Hamid. Global Communication in Transition The End of Diversity, New Delhi, India: Sage Puublictions International Educational and Professional Publisher, 1996. 155 Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, Pergulatan Pemikiraan Politik Radikal dan Akomodatif , Jakarta: Pustaka LP3ES, Cetakan Pertama, November 2004 Nasution, Irfan dkk. Restorasi Pancasila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, Bogor: Brighten Press, Cetakan Ke-1, 2003. Norris, dan Inglehart R. Sacred and Secular Religion and PoliticsWorldwide, Cambridge University Press, First Published, 2004. Noth, Winfried. Handbook of Semiotic, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1990. Peldi, Elza Taher, ed. Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi , Penga -laman Indonesia Masa Orde Baru , Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cetakan I, September, 1994. Perdue, William D. Sociological Company, 1986. Theory, California: Mayfield Publishing Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran , Jakarta, RajaGrafindo Persada, Cetakan Kelima, September, 2004. Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikutural, Surakarta: Universitas Muham madiyah Surakarta, 2003. Rais, M. Amien. Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Bandung: Zaman, Cetakan I, Maret, 1998. Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Pertama, Februari 2001. Ceta -kan Rauf, Maswadi dkk. Indonesia dan Komunikasi Politik, Jakarta: Gramedia, Cetakan I, 1993. Razik, Abdul Ali. Al-Isla>m wa Ushu >l al-Hukm Baht}un fi al-Khila>fah wa alHuku >miyah fi al-Isla>m, Beirut: Da@r Maktabah al-Haya@t, 1978. Robertson, Roland. Meaning and Change Explorations in the Cultural Sociology of Modern Society, New York: New York University Press, 1978. 156 Salam, Aprianus, ed. Umar Kayam dan Jaring Semiotik, Yogyakarta: Pelajar, Cetakan Ke -1, Juli 1998. Pustaka Salim, Agus, ed. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cetakan Ke-1, Juli 2001. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran , Jakarta: UI -Press, Edisi Kelima, 1993. Sukirno, Sardono. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan , Jakarta : Bima Grafika, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1985. Suwardi, Harsono. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia Suatu Studi Komunikasi Politik Terhadap Kampanye Pemilu 1987 , Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cetakan I, 1993. Suwarsono dan Alvin,So. Perubah an Sosial dan Pembangunan , Jakarta: LP3ES, Cetakan Ke-2, 1994. Tamara,M. Nasir dkk. ed. Agama dan Dialog Antar Peradaban , Jakarta: Paramadina, Cetakan I, September, 1996. Tibbi, Bassam. Krisis Peradaban Islam: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi ,terjemahan Yudian W. Asmin dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cetakan Ke -1, Mei 1994. Turmudi, Endang dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia , Jakarta: LIPI Press, Cetakan Ke-1, April 2005. Uhlin, Andres. Oposisi Berserak, terjemahan Rofik Suhud, Bandung: Mizan, Cetakan ke-2, September 1998. 157 Bahasa Politik Nurcholish Madjid DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama NIP. Tempat/Tanggal lahir Pekerjaan Jabatan Fungsional Alamat Nama Istri Nama Anak : Suhaimi : 19670906 199403 1 002 : Jakarta/6 September 1967 : Mahasiswa S3 UIN Jakarta/Dosen FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Lektor Kepala (IV/a) : Jalan Karet Kampung Gedong No. 56, RT/RW 001/20 Margonda, Depok 16423 Telepon: (021) 77215375/ 081383185352 : Nani Muryani SPd : 1. Bunayya Ittaqi Al-Majid Al-Bar 2. Fiyki Taqiyya Billah Pendidikan/Pelatihan: • • • • • • • • MIN Madrasah Ta rbiyatul Mutaallimin (MTM) di Jakarta 1980 KMI Gontor 6 tahun 1986 Jurusan Tadris IPS Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1988 Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta 1993 S2 Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Komunikasi 1999 S3 Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi 2005 – Sekarang Workshop Pengembangan Jurnal ilmiah dan Konsorsium Ilmu CEQDA UIN Jakarta 2009 Workshop Curriculum Review FDK UIN Jakarta 2009 314 Suhaimi • • • • • • Australian Education in Internasional Seminar Series in Communication 2009 Pelatihan Penelitian Lembaga Penelitian UIN Jakarta 2008 Workshop Program Development 3 FDK UIN Jakarta 2006 Workshop Curriculum Review FDK UIN Jakarta 2009 Focus Group Discussion Curriculum Review FDK UIN Jakarta 2009 Workshop Pendirian FISIP UIN Jakarta 2009 Pengalaman Kerja/Organisasi: • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Bagian Perpustakaan OPPM Pembina Pramuka Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam Lembaga Pers Mahasiswa Islam Kelompok Diskusi DASA Forum Mahasiswa Ciputat Guru SDIT Tugasku Menteng Jakarta 1993 Guru SMP YAPERMAS Menteng 1993 Dosen Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1994-1999 Wartawan Harian Media Indonesia 1998 Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta 1999 -Sekarang Anggota Tim Pendiri Konsentrasi Jurnalistik FIDKOM UIN Jakarta Ketua Konsentrasi Jurnalistik FIDKOM UIN Jakarta P3ID FIDKOM UIN Jakarta P2KM FIDKOM UIN Jakarta Anggota Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Koordinator Pemantau Ujian Nasional SMP/MTs/SMK 08/09 Ketua Pelatihan Jurnalisme Damai FIDKOM UIN Jakarta Ketua TI M FIDKOM Lomba Pameran Foto Se-UIN Jakarta 2009 315 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Pengalaman Penelitian • • • Koperasi dalam Perspektif Dakwah Pembangunan, Penelitian Individual FDK IAIN Jakarta, 2001; Konsep al-Qur’an tentang Komunikasi Antar Manusia dan Allah swt, Penelitian Individual FDK UIN Jakarta, 2006; Islam Substantif, Anggota Penelitian Kolektif Lemlit IAIN Jakarta, 2003. Publikasi 1. Buku: a. Jumroni dan Suhaimi, Metode Penelitian Komunikasi , Jakarta, Lemlit UIN Jakarta, Cetakan I, 2004; b. Suhaimi dan Rulli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik, Jakarta, Lemlit UIN Jakarta, Cetakan I, 2009. 2. Jurnal: a. Suhaimi, “ Retorika Politik Imam Syafi’i,” Jurnal Mimbar Agama dan Budaya, UIN Jakarta, Vol. 26, No. 4, 2009; b. Suhaimi, “Pola Relasi Demokrasi dan Islam di Indonesia,” Jurnal Dakwah, FDK UIN Jakarta, Vol. XI, No. 1. Juni 2008 c. Suhaimi, “Komunikasi Sosial Bangsa Indonesia,” Jurnal Dakwah, FDK UIN Jakarta, Vol VII, No.1 Juni 2008. Tanda penghargaan: Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia “SATYALENCANA KARYA SATYA” Nomor 096/TK/ TAHUN 2006 Sepuluh Tahun Kerja. 316 Suhaimi DAFTAR SINGKATAN AD ADIA AMS BU CSI CNN DDII FPI GHS GOLKAR HAS HBS HCS HIS HMI HT IAIN ICMI IDT ISKI IIFSO IV JIB JIL K KISDI KKN KMI KOMNAS HAM KIPP LIPI Masyumi Agenda Dasar Akademi Dinas Ilmu Agama Algemene Middelbare School Budi Utomo Central Sarekat Islam Cable News Network Dewan Dakwah Islam iyah Indonesia Front Pembela Islam Geneeskundige Hoge School Golongan Karya Hollandsch Arabische School Hogere Burgelijke School Hollandsch Chineesche School Hollandsch -Indlansche School Himpunan Mahasiswa Islam Hizbut Tahrir Institut Agama Islam Negeri Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia Inpres Desa Tertinggal IKatan Sarjana Komunikasi Indonesia International Islamic Federation of Student Organizations Indische Vereeniging Jong Islamieten Bond Jaringan Islam Liberal Keterangan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam Kolusi, Korupsi dan Nepotisme Kulliya>t al-Mu allimi>n al-Isla>miyyah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komite Independen Pemantau Pemilu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Majelis Su ra Muslimin Indonesia xxi Bahasa Politik Nurcholish Madjid MUI MULO MMI NDP NIAS NCM NKRI O OSVIA P PDI Persis PEMIAT PI PLI PMKI PPP PTAIN RHS S SI SDI SIS STOVIA THS TIM VOC Majelis Ulama Indonesia Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs Majelis Mujahidin Indonesia Nila i-nilai Dasar Perjuangan Nederlandsch-Indische Artsen School Nurcholish Madjid Negara Kesatuan Republik Indonesia Objek Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren Pelengkap Partai Demokrasi Indonesia Persatuan Islam Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara Perhimpunan Indonesia Progressive Liberal Islam Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia Partai Persatuan Pembangunan Perguruan Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri Rechts Hoge School Subjek Sarekat Islam Sarekat Dagang Islam Studenten Islam Studieclub School tot Opleiding voor Indlandsche Artsen Technise Hoge School Taman Ismail Marzuki Vereenigd e Oost Indische Compagnie xxii Suhaimi GLOSSARY Bahasa politik adalah struktur teks yang berisikan susunan kata dan kalimat yang dipergunakan untuk tujuan politis, seperti menyampaikan kepentingan-kepentingan pembangunan kembali bangsa Indonesia. Denotasi adalah arti tatanan pertandaan pertama atau makna apa yang tertulis dalam teks atau tertera dalam gambar secara eksplisit. Misalnya kata dukun memiliki makna denotasi sebagai orang yang mempunyai kemampuan melakukan penyembuhan secara gaib. Ilmu Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesanpesan ajaran Islam berupa rahmat bagi semesta alam kepada sesama manusia, melalui berbagai media penyampaian pesan dengan metode persuasi yang akan berakibat pengaruh efek tertentu . Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa atau cara dan teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman dan nilai-nilai kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau khusus. Konotasi adalah arti sistem tanda kedua atau makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi tertentu. Ini terjadi ketika makna bergerak menuju subjektifitas. Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat padat dan rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan kedua merupakan perbandingan terhadap kenyataan pertama tersebut. Mitos adalah cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memaha sesuatu. Mitos merupakan cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Oposisi biner (Binary opposition ) adalah prinsip pertentangan diantara dua istilah berseberanga dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya. 309 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Politik adalah kegiatan pemilihan aparatur negara maupun dalam arti pengelolaan kekuasaan atau pemimpin pemerintahan. Politik Islam adalah nilai-nilai prinsip ajaran Islam tentang kehidupan sosial politik seperti keadilan, kepemimpinan dan kesamaan, syu>ra> serta perdamaian dll. Semiotik adalah ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat. Signifier (Penanda) adalah kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan, atau benda, atau citra aktual dari suatu tanda. Signified (Petanda) yaitu konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. Tanda (sign ) adalah segala sesuatu yang mengandung makna, yang mempunyai dua unsur, yaitu penanda (bentuk) dan petanda (makna). Teks adalah kombinasi tanda-tanda, baik verbal maupun visual. 310 Suhaimi INDEKS A Abba>siyah 137, Aceh 128, 141, 142, 145, 177 Accountable 182 Accountability 197 al-Da>ira>t al-M a’mu>rah 159 al-Umam al-Muttahidah 157 Ama>nah 193, 194, 197, 198 Amar ma’ru>f nahy munkar 44, 164 Anderson, Benedict 7, 9, 11, 14, 45, 135 Asia, Tenggara 10, 55, 128, 136, 137, 195, D Da’wah 32, 33, 164 Daud 153 E Ekumenisme 159 ELS 144 Eropa 63,131, 132, 134, 144, 153, 165, 166, 190, 243, 243, ethnic nasionalism 136 F Fat }a>nah 33, 197, 198 Feodalisme , 192, 193, 215, 253 First World 248 B Bandung 144, 147, 244, , 245, 248 Bay’ah 158 Bay‘at ‘Aqabah 158 Blok, Gerakan Non -Blok 244, 245 Budha 132 C Civility 121, 162, 200, 201, 203 Chauvinisme 134 Clean government 176 Consensus builder 158, 197 Corruptio optimi pessima 203 G Gardner, John 235 Good governance 2,192, 193, 194, 195, 196, 197, 200, 201 H Huntington, Samuel P. 175, 244, 245 Hatta, Mohammad 154, 156, 167 HBS 147 Hemispheric 139 Hindu 131, 132 311 Bahasa Politik Nurcholish Madjid I Iberia 139 Ibrahim 127 India 132, 139 Indocina 132, 137, 133, 151, 154, 166 Indonesia 9, 132, 148, 151, 153, 156, 184185, 186,187, 188,189, 190, 193,194,195, 196, 200, 201, 202, 203, 206, 207,208, 211, 212, 216, 217, 218, 221, 222, 225,226,227, 230,231, 232, 233, 234, 238, 239, 241, 242,243, 244,245, 247,248, 249, 253, 254 J L Liga Demokrasi 169 Lingua franca 155 M Madaniyah 122, 162, 201, 203 Madinah 200 Majapahit 132 Malaka 137 Masyumi 152 Melayu 139, 140, 144, 155 Modern nation state 128, 176, 232 Money power 232 Moro 133 Muhammad saw 137, 158, 159, 167, 175, 194, 197, 203 Mulk 166 MULO 146 Muqaddimah 129 Myrdal, Karl Gunnar 180 Musa 165 Jakarta184 Jawa 155, 156, 131, 186, Jepang 155, 156 JIB 108, 152 N Jiha>d fi> sabi >lilla>h 141, 244, 245, Nasionalisme 153, 154, 155,157, 246 189, 241, 242, 244, 245 Nasrani 159 nation in making 179, 189 K nation state 115 Natsir, Mohammad 108, 152, 168 K alimatun sawa> Nuh 96 Khaldun, Ibn 44, 129 Kh ali>fatu rasulillah 204 Khutbatu al-Wad a> 165 KKN 192, 193, 241, 242, 252, 312 Suhaimi Konferensi Meja Bundar 167 O Orde baru 8, 9, 17, 87, 89, 101, 170,172, 177, 220, 221, 222 Orde lama 8, 9, 170 OSVIA 146 P Pancasila 178, 182, 222 PBB 194 Prancis 234 Perang Dingin 243, 244, 248 Perang Dunia I 167, 244, 246 Perang Dunia II 31, 179, 244, 246 Pesantren 147 PNI 168, 169 Politik Etis 134, 144, 148 Polri 220, 221, 223 Portugis 140 S STOVIA 232 Soeharto 101, 102, 104, 170, 171, 172, 176 Soekarno 7, 153, 154, 155, 156, 167, 168, 169 Sumatera 137, 142, 155 T Tan Hana Dharma Mangroa 178 THS 147 Tjokroaminoto, H.Omar Said 150 TNI 219, 220, 221, 222, 223 U United Nations 157 Utomo, Budi 148, 190 UUD 168, 181, 222, 227, 233, 241, 249 R Y ra’fah wa rahmah 120 reconquista 139 RHS 149 Yahudi 109, 160 Yathrib 150, 159 Yunani 63, 64, 137, 174 S Salim, Haji Agus 150, 151, 153 SDI 148, 190 Sekolah Rakyat 146, 147 SI 148, 150, 151, 190 313 Bahasa Politik Nurcholish Madjid Sriwijaya 137, 138 314 LAMPIRAN : PLATFORM MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA Dengan latar belakang yang kita alami saat ini, untuk pembangunan kembali bangsa dan negara diperlukan beberapa agenda dasar atau platform yang sifatnya mendesak. 1. Mewujudkan “good governance” pada semua lapisan pengelolaan Negara Telah dibahas pada bagian terdahulu, bahwa yang pertamatama diperlukan untuk mengakhiri krisis besar sekarang ini ialah bagaimana mengelola negara secara baik dan benar, berkenaan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan (running government and exercising power). Tumpukan krisis banyak segi yang menggunung sekarang ini dapat diibaratkan sebuah gunung es raksasa sedemikian besar, sehingga sulit dihancurkan dari kaki dasarnya. Karena gunung es adalah benda mengambang, maka setiap kali puncaknya dipotong atau dihancurkan, setiap kali pula akan menyembul puncak baru ke permukaan. Tetapi gunung es akan hancur meleleh bila ia bisa diseret dari tempat tumbuhnya di dingin sekitar daerah kutub menuju panasnya air laut di zona opis. Metafora gunung es kiranya dapat memberi gambaran tentang betapa mustahilnya mengatasi persoalan kritis banyak segi itu jika dilakukan hanya secara parsial, tidak menyeluruh. Pengelolaan yang benar dan baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan diibaratkan sebagai laut zona tropis yang panas, yang meluluhkan gunung es budaya KKN. Dalam hal ini diperlukan kekeuatan yang besar untuk dapat menyeret gunung es itu ke sekitar khatulistiwa. Kekuatan besar itu ialah tekad bersama seluruh komponen bangsa, untuk secara bahu -membahu menanggung beban tanggung jawab penyelesaian masalah nasional, dan penyatuan seluruh kekuatan nasional dalam semangat “ samen bundeling van alle krachten van de natie”. 271 Energi yang dihasilkan oleh tekad yang diperbaharui dengan dukungan seluruh komponen bangsa itu akan menjadi efis dan efektif serta terfokus kepada sasaran jika terbentuk jajaran pimpinan nasional yang sanggup memberi teladan, berdiri di barisan paling depan, memulai dengan diri sendiri. Karena itu kepemimpinan tersebut harus benar-benar otentik, menunjukkan ketulusan kesatuan antara ucapan dan tindakan, antara seruasn dan pelaksanaan, antara tekad dan perbuatan. Bangsa kita memerlukan suatu jenis kepemimpinan yang memiliki visi tentang masa depan bangsa, seseorang dengan intuisi kepemimpinan, savy atau savoir-faire (kearifan batin, basirah). Ia juga harus aktif agresif dalam usahanya melaksanakan visinya itu, meskipun ia harus bertindak pragmatis berdasarkan realita dalam masyarakat dengan kemungkinan dan hambatannya. Pimpinan itu juga harus tetap setia memelihara amanat dan kepercayaan umum, dan berperan sebagai pembina kesepakatan (concencus builder) antara berbagai komponen bangsa. Kepemimpinan yang berwibawa akan tampil menjadi lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction ) dan kesadaran tujuan (sense of purpose) dalam hidup bernegara, dan menjadi dorongan rakyat untuk dengan penuh kerelaan mendukung dan mengambil bagian dalam perjuangan nasional. Dukungan yang menyeluruh diperlukan untuk mewujudkan keharusan -keharusan good governance, yaitu terbukanya partisipasi umum dalam prosesproses pelaksanaan pemerintahan serta penggunaan kekuasaan; transparansi dalam semua proses itu sehingga tidak terjadi kegiatan kenegaraan yang berlangsung secara tersembunyi, khususnya yang bersangkutan dengan penanganan kekayaan umum milik bangsa dan negara; dan akuntabilitas (accountability), yaitu kesanggupan mempertanggungjawabkan semua proses dan tindakan itu kepada rakyat secara terbuka. Mewujudkan good governance menjadi perkara mustahil tanpa keikutsertaan seluruh rakyat atas dasar komitmen bersama, menjunjung tinggi asas negara-bangsa (nation -state) dengan pembedaan yang tegas antara urusan privat dan urusan p , antara 272 harta milik pribadi dan harta milik umum. Tidak ada toleransi terhadap penyalahgunaan kekayaan negara, biarpun ibaratnya hanya bernilai sepeser, dan tanpa memandang siapapun yang melakukannya. Berekenaan dengan masalah tersebut misalnya, sebagai contoh, kita secara keseluruhan masih lemah sekali dalam soal kesadaran tentang penyelewengan transaksi berbentuk conflict of interest , akibat adanya unsur patrimonialisme dan feodalisme yang masih kuat dalam struktur sosial-kultural bangsa kita. Maka pengawasan kepada kemungkinan penyalahgunaan kekayaan negara harus dilakukan secara a ketat dan keras, disertai penyadaran bahwa transaksi yang mengandung conflict of interest adalah sesungguhnya jenis kejahatan korupsi. Perjalanan pertumbuhan bangsa kita yang penuh kesulitan antara lain disebabkan oleh adanya feodalisme. Susunan masyarakat feodalistik bangsa-bangsa Asia Tenggara terbukti oleh adanya identifikasi diri dengan kata ganti nama pertama tunggal yang mengandung nama budak, seperti “saya” (sahaya), “ambo” (hamba), “budaj” dan “abdi”, “kula” atau “kawula”. Sebab memang ciri utama feodalisme (feuda lism) ialah “pengkawulaan” rakyat kepada “gusti”, dengan hirarki tinggi rendah yang sedemikian menguasai hidup orang banyak. Feodalisme juga bercirikan penguasaan tanah (fiefdom) oleh seorang pemilik yang melaksanakan pembagian hasil yang sangat timpang antara pemilik itu dan penggarap. Dari struktur sosial ekonomi serupa itu, yang muncul ialah tradisi upeti baik secara paksa oleh “gusti “ kepada “kawula” maupun sukarela oleh “kawula” kepada “gusti”. Diyakini banyak orang bahwa merajalelanya kejahatan korupsi di negeri kita adalah kelanjutan tradisi upeti masyarakat feodal itu, ditambah dengan budaya suap -menyuap dan perjudian oleh kalangan yang tak peduli dengan standar moral karena mengejar keuntungan kebendaan semata. Ditambah dengan mengendor dimensi keruhanian dalam pola hidup “modern” yang materialistik, orientasi hidup kebendaan, dikaitkan dengan feodalisme, menjadi tolok ukur tinggi-rendahnya “gengsi” dan “harga diri” banyak orang. Dan jika ada “pelarian” dari materialisme yang gawat itu, maka terdapat indikasi bahwa yang menarik hati bukanlah agama yang 273 bersemangat kebenaran yang lapang (hani fiyyah samhah ), tetapi justru kultus-kultus berbahaya.1 Karena itu pembangunan demokrasi, dan beserta dengan itu pelaksanaan prinsip -prinsip good governance, mensyaratkan dihancurkannya feodalisme. Sekalipun belum tentu merupakan contoh yang dapat ditiru di negeri kita, tetapi revolusi kebudayaan di Republik Rakyat Cina merupakan suatu usaha revolusioner untuk menghancurkan unsur-unsur tidak sehat dalam masyarakat, khususnya Feodalisme. Sekali lagi pemberantasan KKN akan sangat banyak tergantung kepada seberapa jauh kita mampu memberantas feodalisme dan budaya suap menyuap. 2.Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen Pelaksanaan good governance diharapkan akan mendorong pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas dan teguh. Sebaliknya, tanpa tegaknya asas hokum dan keadilan, pelaksanaan good governance adalah mustahil. Melemahnya kesadaran arah dan tujuan hidup bernegara yangf menggejala saat ini berdampak san gat negative kepada usaha penegakan hokum dan keadilan. Karena beroperasinya praktek suap -menyuap yang terkutuk itu, masyarakat semakin banyak kehilangan kepercayaan kepada proses-proses penegakan hukum dan keadilan oleh aparat-aparat yang bersangkutan. Lepas dari benar tidaknya banyak sinyalemen dalam masyarakat tentang dunia peradilan kita yang telah terjerat oleh penyimpangan dan manipulasi hokum yang terorganisasi (semacam organized crime), segi penegakkan hukum memang merupakan titik rawan dalam kehidupan kenegaraan kita. Dalam masyarakat terdapat banyak indikasi bahwa tindakan kejahatan berlansung dengan 1 Rasulullah saw bersabda, bahwa agama yang paling disukai Allah ialah semangat kebenaran yang lapang (al-han ifiyyah al-samhah ) dan disebutkan dalam tafsir alQurtubi, pengertian itu dipertegas oleh al-Dahhak, al-hanafiyyah al-samhah alsahlah (semangat kebenaran yang lapang dan mudah). Kultus, sebagaimana beritaberita sehari-hari menunjukkan, adalah kebalikan dari pandangan hanifiyah samhah itu. 274 lindungan helat hukum legitimasi legal palsu. (legal device) sehingga mendapatkan Sebagaimana telah dicoba jelaskan tentang makna konsep madinah atau medinat di bagian depan, ketaatan kepada hukum dan aturan adalah pangkal keadaban, madaniyah atau civility. Sebaliknya, “ lawless society” atau “masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat tak berkeadaban, yang menuju kepada kehancuran. Seperti dalam rimba, dalam keadaan kacau dan lemah hukum, yang berfungsi dalam masyarakat ialah kekuatan dan kekuasaan sewenang-wenang, dan negara hukum (rechsstaat ) yang dicita -citakan para pendiri negara berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat ). Yang lemah tidak mampu bertahan hidup menghadapi yang kuat, suatu bentuk Darwinisme dalam kehidupan sosial-politik, dengan hukum “ survival of the fittest ” melalui proses “natural selection ” yang brutal. Berbeda dengan Darwinisme, terwujudnya kebaikan dalam kehidupan sosial manusia senantiasa memerlukan campur tangan kepemimpinan yang benar dan sadar tugas kemanusiaan. Kearifan Abu Bakar patut dijadikan rujukan di sini, ketika khalifah itu dalam pidato bai’atnya mengatakan, yang kuat diantara kalian bagiku adalah lemah, sampai aku ambil dari mereka hak-hak kaum miskin; dan yang lemah di antara kalian bagiku adalah kuat, sampai aku berikan kepada mereka hak-hak mereka.” 3. a. Melaksanakan Rekonsiliasi Nasioanal: Menarik pelajaran pahit dari masa lalu dengan tekad tidak mengulanginya Pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa dengan sendirinya mensyaratkan adanya rekonsilisai nasional, dasar sikap-sikap yang diperbaharui, antara sesame anggota masyarakat, myaitu sikap -sikap saling hormat dan saling percaya. Nilai-nilai sosial itu, yang kebenarannya seharusnya dapat disikapi sebagai kewajaran, saat-saat sekarang menjadi bertambah sulit diwujudkan, disebabkan oleh gejolak perkembangan bangsa dan negara dalam sejarahnya sejak kemerdekaan yang diwarnai kekerasan, perlawanan terhadap hukum dan pelanggran terhadap hak-hak azazi manusia. 275 Harus diakui bahwa usaha rekonsiliasi akan berhadapan tembok memori kolektif yang penuh dengan stigma dan trauma. Memaori kolektif serupa itu biasanya disertai dengan perasaan dendam kolektif, yang menghalangi tumbuhnya sikap saling mengerti antara berbagai komponen sosial. Pengalaman -pengalaman pahit di masa yang telah lalu adalah sangat berharga bagi kita i bahan pelajaran untuk tidak diulangi lagi di masa mendatang. Mungkin pengalaman-pengalaman itu tidak boleh dilupakan – sebab melupakannya akan membuka pintu pengulangan – tapi demi masa depan yang lebih baik, kita semua dari kalalangan yang berbeda-beda harus mulai merintis usaha menumbuihkan sikap -sikap saling mengerti posisi masing-masing, kemudian diteruskan menjadi sikapsikap saling percaya dan saling menghargai. Kita harus belajar menananmkan dalam diri kita masing -masing pandangan bahwa manusia itu pada dasarnya baik, sebelum terbukti jelas bahwa ia berperangai jahat. b. Menatap masa depan dengan pendamaian dan penyatuan seluruh kekuatan bangsa Kesemuanya itu dilakukan tanpa memelihara memori kolektif penuh stigma dan trauma. Maka dari itu tarik menaraik kedua sikap dilematis antara “tidak melupakan” dan “memaafkan” itu hendaknya diarahkan kepada tumbuhnya secara berangsur-angsur sikap saling mengerti posisi masing-masing dan saling memahami persoalan, menuju kepada sikap saling hormat dan saling percaya. Alternative atau pilihan lain untuk semua ialah dibiarkannya terjadi rentetan vendetta sebagai akibat rentetan dendan dan balas dendam, suatu hal yang akan menghabiskan energi nasional dan menyeret rakyat kepada kesengsaraan tanpa berkeputusan. Maka guna menyiapkan masa depan itu, tidak ada jalan lain kecuali harus diusahakan dengan sungguh -sungguh untuk mendamaikan dan menytukan kembali semua pihak yang terlibat dalam konflik masa lalu. Perdamaian dan penyatuan antara manusia (islahun bayna al-nas). Dan antara seluruh kekuatan bangsa adalah langkah pikiran yang tidak mungkin dihindari. Tetapi langkah pilihan itu sungguh memerlukan kebesaran jiwa dan kesediaan mendahulukan 276 kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan sendiri. Tindakan besar memerlukan tekad yang bbesar, antara lain tekad untuk berkorban demi masyrakat, bangsa dan negara. c. Menegaskan garis pemisah antara masa lalu dan masa mendatang Jadi, barangkali memang tidak dapat, dan jangan sampai, kita melupakan kejadian -kejadian masa lalu yang jelas-jelas membawa bangsa dan negara kepada kesulitan besar. Melupakan sama sekali suatu peristiwa negative masa lalu akan menghasilkan s lalai dan gagal menarik pelajaran dari sejarah. Kelalaian dan kegagalan itu sendiri dapat membahayakan masa depan. Tetapi memaafkan harus tetap terbuka sebagai suatu pilihan atau opsi yang suatu saat mungkin harus diambil, dan kita harus bertekad memulai kehidupan nasional yang baru, yang sejauh mengkin harus terlepas dari trauma-trauma masa lalu. Karena itu diperlukan rekonsiliasi antara berbagai kelompok yang pernah bertikai, atas dasar saling pengertian dan kepahaman tentang posisi masing-masing – “ let bygones be bygones”. Tetapi terhadap pelanggaran di masa mendatang harus dikenakan tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara tegar, tegas, dan tidak kenal kompromi. Suatu garis demarkasiharus ditar dengan tegas untuk memisahkan antara masa lalu dan masa kini masa datang, suatu garis yang sama sekali tidak boleh dilangkahi. Bangsabangsa yang berhasil memberantas korupsi selalu ditandai olrh adanya ketegasan dan ketegaran penegakan hokum, khususnya unt suatu pelanggaran yang terjadi sesudah “garis demarkasi”. Dalam hal ini, Indonesia pun tidak terkecuali. 4. Merintis Reformasi Ekonomi dengan mengutamakan Pengembangan kegiatan produktif dari bawah. Semua usaha itu tidak akan berjalan seiring dengan kemelaratan rakyat. Kemelaratan adalah salah satu sebab utama kejahatan. Berbeda dengan yang dilakukan orang-orang mampu, kejahatan yang dilakukan oleh rakyat tak mampu dapat terjadi karena dorongan kemelaratan. Sekalipun tetap harus dipandang kejahatan, pelanggaran hukum oleh rakyat yang kelaparan harus dipandang sebagai persoalan tanggungjawab bersama, bukan semata 277 tanggungjawab pelaku kejahatan itu sendiri saja. Contohnya ialah kebijakan Khalifah Umar untuk menolak menghukum seorang pencuri di masa paceklik. Dengan tindakannya itu, Umar menunjukkan keinsafannya bahwa kemelaratan rakyat adalah tanggungjawab pemerintah untuk mengatasinya, paling tidak dengan tidak menghukum orang yang terpaksa melakukan kejahatan, karena benarbenar akibat dorongan kebutuhan yang sangat mendesak. pemerintah bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan umum sehingga tercegah kejahatan atas dorongan kemelaratan. Para tokoh pendiri negara telah menetapkan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan negara Republik Indonesia. Karena itu pemerintah wajib berusaha melaksanakan tugas melaksanakan pembagian kekayaan nasional (redistribution of nation’s wealth ) secara adil dan merata. Usaha itu, dalam konteks perkembangan bangsa dan negara yang sedang dalam keadaan kritis saat ini, dilakukan dengan memerangi tindakan penyelewengan kekayaan nasional, khususnya kejahatan korupsi. Serentak dengan itu, kita harus mengembangkan aktifitas ekonomi dengan tekanan pada usaha mendorong tumbuhnya inisiatif produktif dari bawah. Tantangan terhadap usaha ini ialah melemahnya kemampua warga negara pada umumnya untuk mengambil inisiatif dari bawah, di bidang apapun, akibat empat dasawarsa kehidupan sosial politik pemerintahan otoriter dan totaliter yang merampas kebebasan sipil, sejak awal masa Bung Karno sampai akhir masa Pak Harto. Menarik pelajaran dari pengalaman berbagai negara, baik yang lah mapan perkembangannya maupun yang sedang tumbuh kuat menjadi Negara maju, krisis multidimensional yang kita derita saat in tidak akan berakhir tanpa inisiatif dari bawah. Sekalipun kita tidak menganut paham laissez faire lessez passer, namun suatu bentuk keswadayaan dalam kegiatan ekonomi, dengan distribusi beban tranggungjawab kepada seluruh warga negara, diperelukan tidak hanya untuk sehatnya bangunan ekonomi itu sendiri, tetapi juga untuk kemantapan demokrasi dan keadilan. Pengalaman bangsa kita yang baru lalu, dengan sistem ekonomi yang berat dari atas, telah membuktikan bahwa pola pendekatan top down telah menciptakan lahan subur untuk 278 berbagai bentuk penyelewengan, khususnya kejahatan korupsi, kolusi antara “penguasa dan pengusaha”, dan praktek-praktek yang mengandung pertentangan kepentingan (conflict of interest ) seperti paham kefamilian atau nepotisme dan perkoncoan atau kroniisme. Pemberian kesempatan dalam pembagian kekuasaan atas fasilitas kepada kepada anggota keluarga atau kawan sendiri disebut nepotisme dan kroniisme jika dilakukan tidak karena pertimbangan hubungan kekeluargaan atau perkawanan itu semata. Dalam masyarakat kita terdapat kelompok-kelompok ekonomi nasional patriotik dengan semangat keswastaan dan keswadayaan yang tinggi. Sejauh ini, pemerintah umumnya sangat sedikit memberi perhatian wajar kepada kelompok-kelompok swadaya-swadaya itu. Bahkan, disebabkan pertimbangan politik atau lainnya, sering terjadi 1alah adanya sikap -sikap beberapa kalangan pengauasa untuk mengabaikan dan menghambat perkembangan kelompok ekonomi swata-swadaya. Dalam suasana korupsi yang menggejala hebat sekarang ini, dunia ekonomi papan bawah tentu tidak menarik bagi pihak-pihak tertentu, karena tidak dapat dijadikan lading pemerasan dan manipulasi bagi mereka yang bermental korup. Seharusnya sentra-sentra kegaitan keswastaan dan keswadayaan produktif papan bawah dilindungi dan dikembangkan oleh pemerintah, dalam semangat affirmative action , yaitu sederetan langkah-langkah, prosedur-prosedur, kebijakan -kebijakan dan program -program yang dirancang untuk mengatasi sisa -sisa pengaruh yang ada dari diskriminasi dan pengingkaran hak (deprivasi) masa lampau kepada kelompok-kelompok masyarakat. Itu semua dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan semua pihak yang telah diuntungkan oleh tatanan mapan (establishment ), khususnya papan atas dan menengah kelompok nasioanalis patriotikyang juga bersemangat keswastaan dan keswadayaan produktif. Dengan affirmative action tersebut, segi paling buruk dari ekonomi terbuka tercegah dari kemungkinan bergeser ke ekonomi laissez faire lessez passer, suatu keadaan yang memberi peluang bagi terjadinya penindasan oleh manusia atas manusia (“exploitation de l’homme par l’homme”). Tetapi, pada waktu yang sama, affirmative 279 action harus dicegah jangan sampai berubah menjadi tindakan diskriminatif. 5. Mengembangkan dan memperkuat pranata -pranata demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan “Dalam masyarakat bebas tidak terjadi bahaya kelaparan”, begitu bunyi ungkapan optimis tentang efek positif kebebasan. Ungkapan itu sepintas lalu nampak seperti mengandung urutan logika yang terputus: apa hubungan antara kebebasan dan jaminan tidak terjadi bahaya kelaparan?! Tetapi sesungguhnya ungkapan itu benar, paling tidak pada dua tingkat pengertian. Tingkat pengertian pertama ialah, bahwa dengan kebebasan maka akan tumbuh mekanisme pengawasan social terhadap setiap segi kehidupan dalam Negara. Gejala bahaya kelaparan di suatu tempat akan merupakan kejadian yang patut diberitakan. Pemberitaan itu berdampak pengawasan, dan dengan begitu juga berdampak gugatan kepada piohak berwenang untuk menunjukkan tanggungjawab mereka, di samping dampak gugahan kepada nurani warga masyarakat untuk memberi bantuan kepada pihak yang menderita. Dengan begitui suatu bahaya kelaparan teratasi, dan dalam suasana sikap kejiwaan umum yang terbentuk, timbullah keprihatinan bersama untuk mencegah jangan sampai hal serupa terulang lagi di masa mendatang. Tetapi barangkali pengertian tingkat kedua lebih bermakna. Suasana bebas adalah pendukung utama bagi terciptanya iklim kreatifitas dan produktifitas warga masyarakat di sega bidang kegiatan. Bersama dengan tegaknya keadilan, kebebasan adalah sumber energi yang dinamis bagi warga masyarakat untuk mendorong tumbuhnya inisiatif-inisiatif produktif. Dinamika ekonomi swastaswadaya yang berfungsi sebagai fondasi cakar ayam bangunan negarabangsa akan tumbuh hanya dalam suasana kebebasan. Sebaliknya, tidak adanya kebebasan, yang salah satu wujudnya ialah sentralisme yang berlebihan, akan menumbuhkan sikap kejiwaan umum yang serba menunggu secara pasif-statis, akibat pola pendekatan maslah yang top down , seperti yang menjadi ciri negara totaliter-otoriter. 280 Karena itu, totaliterisme dan otoritarianisme, sebagaimana telah disingung di depan, akan mematikan kemampuan warga masyarakat untuk mengambil inisiatif -produktif dari bawah. Berkaitan dengan semua itu, di antara hasil gersakan reformasi 1998, kebebasan adalah yang paling berharga dabn bermakna. Kebebasan itu, yang pelembangan konkritnya melahirkan noktah-noktah kebebbasan warga negara (civil liberties) berupa kebebasan menyatakan pendpat berkumpul dan berserikat, harus dikonsolidasi begitu rupa sehingga tidak mudah tergoya oleh perubahan -perubahan sosial politik yang tak terduga di masa mendatang. Khususnya kebebasan pers dan kebebasan akademik, “ruang suci” (sacred space) masyarakat demokratis, harus benar-benar dilindungi dan dikembangkan dengan tingkat kesungguhan yang setinggi-tingginya. Memang harus diakui dengan pahit bahwa kebebasan itu masih disertai dengan ketidakmatangan (immaturity) dalam pelaksanaannya, sehingga timbul berbagai ekses. Tetapi seperti halnya masalah-masalah lain, kita tetap harus mampu membedakan antara esensi yang prinsipil dan primer dengan ekses yang eks d an sekunder. Kita tidak boleh mencampuradukkan antara keduanya, dengan kemungkinan bahaya kita menangkan akses yang aksidental dan sekunder. Kita tidak boleh mencampuradukkan antara keduanya, denganb kemungkinan bahaya kita menangkan akses yang aksidental sekunder atas esensi yang prinsipil-primer, sehingga muncul pikiran untuk menarik kembali kebebasan hanya karena efek negative eksesekses itu. Perlu senantiasa kita ingat bahwa tidak adanya kematangan adalah akibat tidak adanya pengalaman, dan bahwa pengalaman itu sendiri akan kita peroleh hanya kalau kita pernah mengalami! Karena itu suatu kategori dinamis yang terkena kemungkinan untuk berkembang atau menyusut seperti kebebasan hanya terwujud melalui adanya eksperimentasi, “pengalaman” (harus dialami langsung), berbeda dengan kategori statis seperti bangunan fisik dibangun langsung berdiri. 281 Maka kebebasan, sama halnya dengan keseluruhan ide tentang demokrasi, harus dilaksanakan melalui deretan “coba dan salah” (trial and error), yang bagaimanapun memang tidak mungkin dihindari. Yang tersisa dalam proses “pengalaman” atau eksperimentasi itu ialah usaha mencegahjangan sampai suatu kesalahan pelaksanaan tumbuh membesar tidak terkontrol begitu rupa sehingga menghancurkan perolehan yang sudah ada. Sebab, bagaimanapun harus disadari bahwa kebebasan, sekali lagi, adalah suasana kehidupan sosial politik yang paling kuat mendorong kreatifitas dan kemampuan ambil iatif dalam masyarakat pada umumnya, sehingga juga merupakan prasarana tumbuhnya produktifitas yang tinggi di segala bidang. Kebebasan yang menjadi prasyarat bagi terciptanya mekanisme pengawasan social diwujudkan antara lain, dan yang paling penting, dalam pelembangaan politik yang masing -masing komponennya mengenal pembagian kerja yang jelas dan berhubungan satu sama lain dalam rangka cecks and balances atau overlapping dalam bidang kerja dan wewenang antara lembaga-lembaga administrasi pemerintahan, legislasi dan yudikasi akan menciptakan peluang bagi berbagai bentuk manipulasi politik. Diperlukann ya mekanisme pengendalian dan pengimbangan (checks and balances) justru terkait dengan maslah dinamika hubungan kerja dan wewenang antara lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Sistem sosial-politik demokratis mensyaratkan adanya pembagian kerja yang jelas dan tegas antara ketiga lembaga itu. Banyak orang memandang bahwa kekacauan dalam pembagian kerja itu melibatkan persoalan tingkat mutu tugas para pelakunya. Selanjutnya, kesadaran tugas berbakti kepada bangsa dan Negara memerlukan kredensial, legitimasi dan kemantapan diri para pelaku itu dalam menerima wewenang kenegaraan. Menitik segi-segi kelemahan proses rekrutmen dan promosi seseorang menjadi anggota pembuat hukum di parlemen, pelaksanan hukum di pemerintahan, dan pengawasan pelaksanaannya di lembaga keadilan, membuat kebanyakan para pelaku itu kekurangan kredensial, 282 legitimasi dan kemantapan diri. Seorang wakil rakyat haruslah datang dari kalangan rakyat yang diwakilinya, bukan seorang yang muncul semata-mata sebagai hasil keputusan orang lain atau badan di luar rakyat bersangkutan itu sendiri, seperti pimpinan partai politik. Penggunaan cara “drop -dropan” dalam penentuan seorang “wakil rakyat” adalah suatu kepalsuan, sebuah manipulasi politik yang menjadi sumber berbagai kecurangan dalam kehidupan kenegaran kita. Kita melihat tanda-tanda bahwa cara “drop -dropan” itu sedang diusahakan dengan keras untuk dipertahankan, mengingat bahwa hanya dengan cara itu orang-orang yang tidak punya kredential dapat memperoleh kedudukan, dengan akibat langsuing kemungkinan beroperasinya “politik uang” (money politic). Mengingat rakyat yang semakin cerdas dengan jumlah dan mutu kaum terpelajar yang semakin tinggi, dan dalam suasana kebebasan pers, maka kiranya tidak aneh jika cara “drop -dropan” dalam pengangkatan dan penentuan wakil rakyat itu akan menjadi sasaran kritik umum, karena sifatnya yang scandalous. Karena itu cara “drop -dropan” dapat menjadi sumber keonaran dan kekacauan sosial politik. Oleh karena itu, suatu reformasi berkenaan dengan kepartaian dan pemilihan umum mutlak diperlukan. Partai politik hendaknya dipimpin oleh mereka yang piawai dalam masalah politik dan manajemen politik, tetap i mereka sendiri bukan politisi. Manajemen partai itu secara profesional berusaha menangkap berbagai kecen d eru n gan d alam m asy arakat, y an g kemudian diolah secara ilmiah. Dengan suatu warna ideologi tertentu partai atau arch pemihakannya—seperti, misalnya, pemihakan kepada go lo n gan m en en gah ke b aw ah atau kep ad a golongan menengah ke atas, yang berturut-turut merupakan po la pem ihakan Partai Demo krat dan Partai Republik Amerika—hasil analisa ter hadap kecenderungan itu dijadikan dasar platform politik partai. Politisi calon peserta pemilu yang hendak menerima amanat pelaksanaan platform partai itu direkrut dan dipilih melalui p ro s es terbu ka, ad il d an m erito krat ik d ar i mekanisme konvensi yang dilaksanakan berjenjang dari bawah ke atas, sampai ke tingkat nasional. Dengan demikian seseorang terpilih menjadi peserta pemilu sebagai calon 283 anggota badan legislatif atau presiden dan wakil presiden tidak samasekali tergantung kepada restu pimpinan partai, melainkan atas pilihan para anggota partai secara demokratis. Sebab lembaga restu sebenarnya adalah kelanjutan paternalisme dan feodalisme, dan bertentangan dengan asas-asas keterbukaan, egalitarianisme, dan demokrasi partisipatif sebuah negara-bangsa. P en erap an p rins ip -p rin s ip kep artaian tersebut kemudian dilanjutkan secara konsisten dalam penerapan suatu sistem pemilihan umum, baik nasional maupun daerah, yang menjamin terlaksananya asas-asas langsung, umum, bebas dan rahasia. Jaminan bagi terlaksananya asasasas itu akan semakin kuat jika melalui pelaksanaan pemilihan langsung (direct election), dengan kejelasan tentang siapa dan di mana masyarakat pemilih (constituent) yang kepentingannya hendak diperjuangkan oleh politisi b,ers angkutan. Secara berkala, po litis i wakil rakyat itu harus datang ke daerah masyarakat pemilihnya dan mempertanggungjawabkan kegiatannya di Dewan, dengan meminta saran -saran lebih lanjut dari mereka. Sudah tentu seorang politisi akan tetap berhubungan dengan partainya yang berfungsi seb agai in du k p latfo rm yan g h end ak is laks an akan . Tetap i, s amp ai b atas -batas terten tu , kesetiaan kepada negeri harus lebih diutamakan d ar ip ad a kes et iaan kep ad a p arta i. S eb u ah adagium banyak dirujuk Bung Karno berbunyi, “My loyalty to party ends when my loyalty to my co unt r y b egin s ”— “ ketaatan ku kep ad a partaiku berakhir pada saat ketaatanku kepada negeriku bermula”—yang Bung Karno sendiri menerapkannya dengan konsekuen. 6. Meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personil dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi Rendahnya tingkat kemampuan pertahanan kita dengan akibat rendahnya tingkat keamanan umum, mengundang keprihatinan yang mendalam pada semua warga negara yang mencintai bangsanya. Sebagian besar gejala kelemahan itu adalah akibat dinamika perkembangan bangsa kita yang kurang menguntungkan. Jatuhnya 284 kekuasaan Orde Baru telah membawa serta merosotnya semangat aparatur negara dan menurunnya kesadaran tugas mereka, bersamaan dengan melemah atau runtuhnya legitimasi mereka, baik i pribadi maupun sebagai institusi, dalam bidang-bidang kegiatan yang selama Orde Baru mereka perankan secara sentral. Di antara sebab -sebabnya ialah, bahwa mereka secara personal maupun institusional telah menjadi bagian langsung dari sistem Orde Baru yang runtuh itu sendiri. Secara personal, sejumlah kecil anggota mencoba bersikap kritis kepada tatanan yang ada, tetapi kebanyakan dari keseluruhan anggota itu tidak mampu menjaga jarak dengan tatanan tersebut. Krisis multidimensional, khususnya di bidang finansialmoneter, telah mengurangi secara drastis kemampuan melakukan penyegaran dan penggantian peralatan fisik pertahanan dan keamanan. Selain itu sanaan peningkatan kesejahteraan personil mereka secara wajar dan setara dengan beratnya tanggungjawab yang mereka pikul. Sorotan tajam terhadap mereka di bidang sosial-politik, khususnya di bidang-bidang tertentu yang bersangkutan dengan tindakan kekerasan —yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan— telah melahirkan perasaan -perasaan tersisih tertentu pada mereka, yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu, sangat mendesak adanya kebijakan yang jelas untuk mengembalikan harkat dan martabat pranata dan personil badan penanggungjawab khusus masalah ketahanan dan keamanan yaitu TNI dan Polri, dengan memberi kepada mereka keleng kapankelengkapan yang wajar. Dengan sendirinya semua itu harus terjadi dalam bingkai sistem demokrasi dan proses demokratisas dalam kesadaran publik untuk melakukan pengawasan dan pengimbangan. Kita perlukan hal itu semua, karena pada kesimpulan terakhir demokrasi dan demokratisasi tidak akan terwujud tanpa nan nasional, stabilitas negara, dan keamanan serta ketertiban masyarakat. 7.Memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhinneka-an dan keEka -an, serta pembangunan otonomisasi Di bagian terdahulu telah dicoba kemukakan cukup 285 panjang bahwa salah satu persoalan kenegaraan kita ialah tidak adanya konsistensi dalam pelaksanaan prinsip kebhinnekaan dan keekaan sesuai dengan semangat motto kenegaraan kita. Kecenderungan kuat untuk melakukan penyeragaman—dengan implikasi pemaksaan dari atas—telah ikut mendorong tumbuhnya perasaan tidak p uas daerah kepada pusat, yang pada urutannya ikut memicu pergolakan daerah. Ditambah dengan tipisnya kadar keinsafan keadilan dalam pembagian kembali kekayaan nasional, khususnya kekayaan yang datang dari daerah bersangkutan, pergolakan daerah mudah sekali berkembang menjadi perlawanan untuk memisahkan diri (separatisme). Dan kita pun sekarang berhadapan dengan ancaman terganggunya kesatuan negara k yang .semakin gawat Berkenaan dengan hal di atas, tindakan yang terbaik ialah kembali kepada konsistensi semangat motto negara kita, Bhinneka Tunggal Ika . Karena itu kita harus menghargai pola-pola budaya daerah dan mengakui hak masing-masing untuk men gembangkan budaya mereka. K ita harus menerima kebhinnekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara keekaan berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang budaya daerah yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijad ikan pijakan untuk “berlomba-lomba menuju kepada b e r b a g a i k e b a ik a n ” . S e b a g a im a n a t e la h dikemukakan di depan, “ perlombaan ” itu akan m enciptakan suasan a peny ubu ran s ilan g budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam ini, tidak satupun budaya daerah yang terkecualikan. Berhubungan dengan itu semua ialah masalah o to n om is as i. P ik iran m em b eri h ak kep ad a daerah untuk mengatur sendiri “ urusan rumah tan gga” m as in g-mas in g terkait erat d en gan masalah kead ilan, khususnya keadilan antara pusat dan daerah bersangkutan, dan bertujuan mengakhiri ekstremitas sentralisme yang 286 telah terbu kti merupakan salah satu sumber bes ar masalah nasional. Bersama dengan banyak conto h y an g la in d a lam p en an gan an m as a lah masalah sosial, politik dan ekonomi, sentralisme yang berat adalah bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang menjadi tujuan kita bernegara. Pada tahap -tahap awal pelaksanaan otonomisasi itu banyak terjadi kasus tindakan eksesif bergaya euphoria oleh sebagian penanggungjawab pemerintahan daerah. Di sini kita berhadapan dengan persoalan mana primer dan mana sekunder: otonomisasi adalah primer, dan eks es pelaksanaannya adalah sekund er. K ita tidak dibenarkan mengor bankan yang primer prinsipil karena muncul hal-hal sekunder aksidental, sehingga ekses membatalkan esensi. 8. Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara D i an tara b erb agai m acam i n vest m ent , inves tas i atau p en anam an mod al un tu k s uatu b an gs a, tid ak ad a y an g leb ih p entin g, leb ih produktif dan lebih bermakna daripada inves tasi atau penanaman modal manusia melalui prasarana pendidikan yang baik, dengan mutu yang tinggi dan jumlah yang merata. Dengan bercermin pada pengalaman bangsa -bangsa lain d i s ekitar kita, s ecara s ed erh an a d ap at kita katakan bahwa selu ruh kris is yang menimpa kita sekarang ini adalah akibat rendahnya mutu pendidikan warga negara kita dan tidak meratanya p end id ikan itu dari daerah ke daerah . Dalam kesempatan tertentu pembicaraan men gen ai b an gs a kita, tid ak jaran g terd en gar penilaian orang luar bahwa kita adalah bangsa yang berp ikiran sederhana (simple minded), tidak ada sofistikasi, dan sangat kurang minat untuk membaca serta untuk belajar secara mendalam dan meluas. Kita bisa menukas penilaian yang kurang menyenangkan itu dengan merujuk kepada berbagai contoh pemikiran mendalam dan kontemplatif di kalangan kelompok-kelompok tertentu masyarakat kita. Tetapi kita akan susah membela diri jika kita ditantang untuk menjelaskan berbagai contoh gejala berpikir sederhana atau simple mindedness itu seperti, misalnya, yang biasa dipandang umum sebagai “ p reman isme”. Dan suatu iron i besar bahwa g eja la 287 “ p rem an is m e” itu t id a k h an y a k it a temu kan d i kalan gan o ran g “p in ggir jalan ”, tetapi juga di antara mereka yang secara formal menduduki tempat-tempat terhormat. Investasi Modal Manusia Tu ju an p rim er d an tertin ggi us ah a p end idikan ialah peningkatan (tarbiyah) nilai kesucian manusia dalam fitrahnya yang dianugerahkan Tuhan. Guna menopang tujuan primer itu, p en d id ikan m em p u n y a i tu ju an s e ku n d e r , sebagai investasi modal manusia (human capital investment), den gan dua macam dampak positif. Pertama ialah dampak peningkatan kemampuan kerja dengan keahlian dan profesionalisme, yang bersangkutan dengan tujuan pokok pendidikan itu sendiri menurut bidangbidang yang dikembangkannya, seperti teknolo gi, kesehatan, manajeman, pertanian, kegu ruan, dan sebagainya. Tinggi-rendah kualitas dampak primer merupakan batu penguji sukses-gagalnya in vestas i sumber daya manusia itu. Dari sudut pandang tinggi-rendah dampak itu , kita h aru s men gaku i bahw a s is tem d an struktur pendidikan kita sebagai investasi sumber daya manusia termasuk yang paling rendah di dunia. Dalam lingkungan negeri-negeri Asia Ten ggara, negeri kita sekaran g sudah cukup jauh tertinggal oleh yang lainlain. Dampak lain dari pendidikan ialah meningkatnya kemampuan untuk berpikir dan bertindak rasional, untuk menyerap informasi dalam j u m lah y an g b e s a r , d an u n tu k m en y u s u n in fo rm as i itu s ecara s is tem atis , agar d ap at digunakan secara- efektif, kemudian mampu mengartikulasikannya dalam bahasa yang dan kuat. Dengan kata lain, pendidikan akan memperluas cakraw ala berpikir dan memperdalam wawasan di segala bidang kehidupan, termasuk bidang sosial-politik. Sebagaimana d imaksud kan o leh ungkap an kno wledg e is power, pendidikan yang berhasil akan menjadi cumber energi masyarakat, bangsa dan negara. Dengan memiliki informas i dan pengetahuan yang luas, seorang individu ataupun suatu kelompok akan lebih mampu mengenali berbagai altern atif tin dakan y an g ters ed ia, seh in gga senantiasa dapat 288 menemukan jalan untuk mem ecah kan m as alah , d an d en gan b egitu ju ga tidak mudah putus asa. Karena itu ilmu adalah syarat kesuksesan hidup, setelah iman yang memberi dasar kepada kehidupan yang benar. Tuhan akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu ke tingkat yang sangat tinggi, setelah orang itu, karena adanya wawasan yang lu as , m en un ju kkan d an m en erap kan s ikap sikap lapang dada, toleran dan penuh pengertian kepada orang lain. Dia akan “berlapanglapangjika ia diminta memberi tempat kepada orang lain dalam pertemuan, dan akan berdiri mengalahjika ia diminta berdiri ”. D am p ak ters eb u t d ap at d ikata kan m eru pakan dampak tak sengaja atau unintended con s equ en ce d ari p end id ikan. D amp ak itu sangat besar dan luas jangkauan pengaruhnya kep ada m asy arakat un tu k m en do ro n g p erubahan sosial yang besar. Justru unintended consequence pendid ikan in i s erin gkali jauh lebih penting daripada tujuan keilmuan akademiknya. Contoh paling baik dampak ini ialah, s eb agaim an a telah d ikem u kakan d i b agian terd ahu lu , d amp ak p en d id ikan ked o kteran “Jawa” oleh STOVIA dan NIAS yang telah membangkitkan ide dan gerakan tahap-tahap awal nasionalisme modern di tanah air, yang menghantarkan kita kepada kemerdekaan negara. Maka dari sudut pandang kedua dampak ters ebut itu , p end id ikan ad alah benar-ben ar bentuk investasi yang paling strategic dan paling produktif. Karena itu sudah sangat sewajarnya jika p end id ikan d iletakkan p ada s alah s atu tingkat paling tinggi dalam skala prioritas pembangunan bangsa dan negara. Jelas sekali bahw a un tuk melaksan akan in i semu a d ip erlukan kemauan politik yang teguh dari pimpinan negara. Lebih -lebih lagi kemauan politik yang teguh itu diperlukan, karena pendidikan adalah jen is investas i jdngka panjang, yang barn terlihat has ilnya setelah suatu jangka waktu tertentu, umumnya satu generasi, yaitu 20 tahun. Karena itu diperlukan ketabahan untuk menunda berbagai h arap an kesen an gan , dan untu k secara b ers ama-sam a mem iku l beb an penundaan itu, hampir-hampir dalam semangat “lebih baik sekarang mandi keringat saat pendidikan daripada kelak mandi darah 289 saatperjuangan. “ Secara potensial, setiap masyarakat dan bangsa memiliki dan mengajarkan kearifan menunda kesenangan sementara demi kebahagiaan masa depan yang lebih besar dan hakik Tetapi hanya sedikit y an g b enar-ben ar b erp egan g kep ada kearifan itu. Pen in gkatan mutu pend id ikan men gharus kan penyediaan prasarana yang memadai dan pembukaan akses kepada seluruh lapisan masyarakat. O leh karena itu pendid ikan memerlukan biaya yang besar, dan pendidikan untuk umum, yakni war negara secara keseluruhan, tidak mungkin tanpa keterlibatan langsung pemerintah. Karena itu pemerintah harus menyed iak an p en d id ikan b erm u tu d en gan b iay a rendah, bahkan mungkin bebas, untuk warga negara pada umumnya. Peningkatan mutu pendidikan itu juga mengharuskan adanya akses yang mudah kepada p erkemb an gan ilm u pen getahu an d i d un ia. Karena perekaman ilmu pengetahuan itu ada dalam bahasa-bahasa asing, maka diperlukan pen guasaan kepada bahasa-bahas a as in g itu . Selain untuk mempertinggi akses kepada perkembangan dunia ilmu pengetahuan, penguasaan bahasa asing juga akan mempertinggi pro fes ion alisme dan pen amp ilan diri s ecara global dan dalam kancah -kancah internasional. Peningkatan mutu pendidikan, dalam hubun ganny a d en gan keharu san ad anya kemudahan akses kepada perkembangan ilmu pengetahuan di dunia, juga memerlukan kegiatan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasabahasa asing ke bahasa Indonesia. Sebab, sekalipun terdapat sejumlah orang yang menguasai b ah as ab ah as a as in g , n am u n aks es s eca ra m as s al kep ada su atu in fo rm as i tetap h arus d alam b ah as a In d o n es ia , m en g in gat p as ti sebagian besar warga negara akan tetap tidak menguasai bahasa asing. Di samping itu, pengindonesiaan komunikasi ilmiah, serta komunikasi-komunikasi lainnya, kecuali m em p erm u d ah p art is ip as i y an g lu as , ju g a berdampak pendemokrasian ilmu pengetahuan, seh in gga tid ak m enjad i monopo li kalan gan kalangan kecil masyarakat. Karena informasi dan pengetahuan adalah tenaga dan kekuatan, maka monopoli informasi dan pengetahuan akan mengakibatkan pemusatan tenaga dan keku atan pada kelompok 290 kecil masyarakat. Hal itu dapat mengancam demokrasi, sebab, seperti sering terd en gar dalam m as yarakat, “o ran g bo doh makanan orang pandai”. Pemerataan mutu maupun jumlah pendidikan merupakan sebuah urgensi besar bagi bangsa kita. Sebab, sementara di kota-kota besar telah banyak warga yang memasuki era globalisasi peradaban manusia dengan fasilitas-fasilitas komunikasi dan transportasi, bersamaan dengan itu masih banyak kantong-kantong warga bangsa kita yang masih men gikuti cara h idup y an g jauh tertin ggal, sebagian bahkan masih dalam zaman batu. Kepincangan dalam pendidikan, pengetahuan d an in fo rm a s i itu s an g at b erb ah ay a , d an bertentangan dengan tujuan negara “ mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Pendidikan adalah sarana paling penting untuk m eratakan d an m en y am akan tin g kat m u tu sumber daya manusia bangsa kita, mencakup d an m elip u ti s elu ru h tan ah air. K aren a itu diperlukan kebijakan dan kemauan politik yang tegu h p ad a p ih ak p em erintah untu k d en gan s ad ar d an terarah m emb eri p erh atian y an g lebih besar kepada daerah -daerah terpencil dan terisolasi dalam usaha pemerataan pendidikan nasional Sejalan dengan otonomisasi, daerah -daerah harus didorong untuk memberi p erh atian kh u s u s y an g leb ih b es ar kep ad a bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Daya serap suatu daerah otonom terhadap dana-dana yang tersedia, dan kemampu anny a un tu k m en ggun akan d ana-d an a itu secara produktif dan adil, akan banyak sekali ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat p endid ikan warga daerah itu. Otonomisas i akan sukses hanya jika ada daya serap yang tinggi terhadap dana-dana dan kemampuan untuk menggunakan dengan baik. Masalah Penelitian Pendidikan dalam arti peningkatan ilmu pengetahuan dan perluasan serta pendalaman informas i mencakup kegiatankegiatan penelitian ilmiah. Dalam hal riset dan pengembangan 291 (research and development, R&D) inipun kita bangsa Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia. Sebabnya tidak lain ialah rendahnya kesadaran kita semua tentang pentin gnya penelitian ilmiah. Lagi-lagi, sebagai jenis investasi, penelitian juga tidak akan menyajikan hasil yang dalam jangka pendek dapat dinikmati. Tetapi, dalam jangka panjang, keberhasilan penelitian ilmiah tidak saja akan membuat suatu bangsa lebih produktif, melainkan juga lebih mandiri dan lebih berdaulat, seperti terbukti pada negaranegara maju. Karena itu, semua fasilitas penelitian yang ada seperti, misalnya, lembagalem b ag a p en e lit ian d a lam b id an g -b id an g pertanian (kita memiliki kebon botani tropis terbesar di dunia!), kelautan, ked irgantaraan, t en a ga ato m , s u m b er -s u m b e r en e r g i, d an seterusnya, harus dimanfaatkan secara optimal dengan perhatian yang lebih serius atas dasar kes adaran dan kemauan politik yang tinggi. Atas dasar itu pula fasilitas-fasilitas barn harus didirikan dan disediakan sebanyak mungkin, s esu ai d en gan tin gkat kem ampu an nas ion al dalam hal pembiayaan dan pengelolaan. Bersamaan dengan itu harus digalang kerjasama dengan lembaga-lemb aga penelitian in ternasional, antara lain demi meningkatkan mutu kemampuan para peneliti nasional. Dibanding dengan negara-negara tetangga terdekat, kita merasakan adanya ironi besar, karena kita tertinggal tidak hanya dalam penelitian dan pengembangan bidang teknologi tinggi, tetapi juga d alam b id an g p ertan ian d an kelau tan y an g jus tru m erup akan keis timew aan n egeri kita sebagai negeri tropis terbesar di dunia yang membentang sepanjang Khatulistiwa dengan garis pantai amat panjang dan wilayah bahari yang amat lugas. Masalah Pendidikan Agama Dalam sosiologi sistemik, agama berada pada p un cak hu bun gan s ib ern etik y an g melip u tidalam urutan berjenjang— budaya, komunitas kemasyarakatan (societal community), perpolitikan (polity), ekonomi dan teknologi. Secara sibernetik, susunan atas mengendalikan (control) susunan di bawahnya, dan susunan bawah mengkondis ikan (condition) susunan di atas nya. John 292 Gardner, seorang cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan (Health, Edu cation and Welfare— HEW) dalam pemerin tahan Presiders John F. Kennedy, mengatakan, “no nation can achieve greatness unless it beli eves i n so m et hin g , a nd un les s th at something has moral dimensions to sustain a gr eat civi lization ” (tid ak ad a b an gsa y an g mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral untuk menop an g su atu p erad ab an y an g b es ar). A gam a adalah sistem kepercayaan, dan agama yang besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban yang besar. Dari sudut pandang itu kita dapat memahami bahw a peradab an -peradab an besar um at manusia, sebagaimana dilambangkan dalam berbagai bangunan monumental peninggalan masa s ilam , s elalu berd as arkan , atau s etid akny a berkaitan, dengan suatu agama. Agama menentukan corak budaya, yang pada urutannya akan menentukan corak komunitas kemasyarakatan, kemudian perpolitikan, ekonomi dan, akhirnya, tekno lo gi. Sebalikny a, suatu perkemb angan kreatif tertentu yang besar di bidang teknologi—seperti ditemukannya teknologi bercocok tanam oleh bangsa-bangsa Mesopotamia kung, teknologi mesin uap di Inggris, dan, saat ini, teknologi elektronik untuk komunikasi dan p en gem b an gan in fo rxm as i— akan m en gko ndisikan tumbuhnya suatu pola ekonomi tertentu, yang seterusnya secara berurutan akan mengkondisikan pola perpolitikan, komunitas kemasyarakatan, kebudayaan dan bahkan p emah am an s erta p enafs iran bagian -bagian tertentu ajaran agama. Semua bentuk-bentuk hubungan sibernetik pengawasan atasbawah dan pengondisian b aw ah -atas itu h aru s d is ad ar i d an d ip erh itungkan dalam men gemban gkan pend id ikan agama. Sebagai sistem simbolik, agama banyak menggunakan metafo ra atau masal ( matsal) dalam menyampaikan pesan sucinya. Sebab, masalah kesucian selamanya berada pada dataran hakikat luhur (al-matsal al-a’la, kasunyatan adi luhung, high reality ) yang pada 293 dasarnya tidak dapat diterangkan (ineffable) dengan kata-kata biasa. Menerangkan hal-hal suci (sacred) yang merupakan hakikat luhur itu dilakukan dengan menggunakan masal-masal. Qur’an juga menyebutkan bahwa dalam Kitab Suci, Allah membuat berbagai matsal bagi manusia, namun sebagian besar mereka mengingkarinya ‘76 dan tidak akan mampu memahami berbagai matsal itu kecuali orang -orang yang berilmu. Dalam pendidikan agama, soal agama sebagai sistem simbolik itu harus benar-benar diperhatikan. Tantangan dalam hal ini ialah, bagaimana memahami simbol-simbol itu dan menangkap makna hakiki yang ada di baliknya, dengan menggunakan ilmu seperti dimaksudkan Kitab Suci. J ika tid ak, maka kita akan terjebak kepada masalah perumpamaan atau simbol tanpa makna, dan akan gagal menangkap esensi ajaran agama itu sendiri. Maka dalam hal pendidikan agama, jelas sekali diperlukan adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk memperbaharu i p ilihan subs tan s i ajaran keagamaan yan g h endak d itanam kan kep ad a an ak d id ik serta masyarakat pada umumnya itu, dengan mencari dan menemukan metode pendidikan dan pengajaran agama yang efektif, efisien dan produktif. Kes ibukan yang terpaku hanya kepada simbol semata, tanpa menangkap maknanya, akan melah irkan gejala kesalehan lahiri dan formal, suatu kesalehan yang mengecoh. Seperti diperingatkan Nabi s.a.w. dalam sebuah Hadits terkenal, ‘Allah tidak memandang jasmanimu clan tidak pula bentuk lahirmu, tetapi Allah memandang kalbumu dan aural perbuatanmu.” Sudah tentu, disertai ketulusan, bisa terjadi bahwa penampakan lahiri menunjukkan hakikat batini. Tentang Pendidikan Perempuan Masalah pemerataan jumlah dan mutu pend id ikan ju ga b ers an gkutan den gan masalah gender atau jenis. Keterbelakangan Indonesia d i b id an g p end id ikan b ers ifat m eny elu ruh , meliputi kedua jenis, lelaki dan perempuan. Tetapi keterbelakangan itu lebih-lebih lagi menggejala dalam hubungannya 294 dengan jenis, yaitu bahwa s ecara umum jen is perempuan m as ih jauh tertinggal oleh jenis lelaki. Kesenjangan gender dalam pendidikan (dan bidang-bidang kehidupan yang lain) bukan lah perkara yan g secara unik hanya terdapat pada bangsa kita. Namun persoalannya menjadi ironis, mengingat bahwa dari semula, sejak masa-masa awal perjuangan melawan penjajahan dan merebut serta mempertahankan kemerdekaan, kaum perempuan Indonesia memiliki saham yang lebih besar daripada di kalangan bangsabangsa lain. Karena itu pemerataan mutu dan jumlah pendidikan harus secara khusus ditujukan kepada kaum perempuan, sehingga secara dengan kaum lelaki. Sesungguhnya perhatian yang besar kepada masalah pendidikan kaum perempuan memiliki nilai ekonomi pendidikan yang tinggi. Sebagai ibu yang secara kejiwaan sangat dekat kepada anak-anak, jauh lebih dekat daripada kaum lelaki, mutu pendidikan pada mereka akan langsung berdampak mutu pendidikan anak-anaknya. Penghematan yang terjadi ialah, bahwa mendidik seorang perempuan (bakal ibu) adalah sama dengan mendidik seluruh keluarga. Hal ini telah terbukti pada bangsa-bangsa Eropa pada saat-saat apa yang dinamakan “Reformasi” agama. Pandangan “Reformasi” yang menghendaki adanya akses kepada kitab suci untuk semua p em elu k, tid ak terbatas h any a kep ad a p ara imam, telah mendorong adanya gerakan pemberantasan buta huruf. Karena kaum lelaki kebanyakan habis waktunya di ladang— sebagai k au m p eker ja p etan i d a lam s is tem f eo d a lmaka konon yang lebih banyak waktu untuk m en giku ti p en d id ikan p emb erantas an bu ta hu ru f ad alah kaum p erempu an . D an “melek huruf’ kaum ibu itu menjadi sumber dorongan pendidikan anak-anak dalam rumah tangganya. K em aju an tin gkat p en d id ikan p ad a ru m ah tangga itu , menurut suatu vers i tentang awal m u la k e m a j u a n E ro p a , m en j ad i t o n g g a k kemajuan tingkat pendidikan masyarakat dan bangsa. Kesehatan sebagai Pendidikan Terkait erat sekali dengan masalah pendidikan adalah masalah 295 kesehatan. Pada hakikatnya, pen gemban gan kes ehatan, b aik p ada tingkat pribadi maupun tingkat masyarakat, adalah suatu jenis pendidikan juga, yaitu pendidikan jasmani dalam arti lu gs. Sebab jika hakikat pendidikan adalah usaha peningkatan kemampuan, maka harus tidak dibatasi hanya kepada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga peningkatan kemampuan jasmani. Untuk mendorong laju kemajuan bangsa yang lebih cepat, agenda pengembangan kesehatan bangsa ditujukan kepada saha melindungi dan memperbaiki kesehatan seluruh warga negara, melakukan dan mendukung penelitian tentang sebab suatu jenis penyakit dan cara pengobatannya, dan menjamin kebersihan dan keselamatan dalam makanan, obat-obatan, kosmetika dan produkproduk lain yang dikonsumsi masyarakat. Berkenaan dengan masalah kebersihan dan k e a m a n an m a k a n a n , k o n s ep k e a g a m a a n tentang makanan yang halal dan baik (halallan tayyiban) dapat dijadikan salah satu prasarana untuk mengembangkan kesadaran tentang k e b e r s ih an d an k e am an an m a k an an b a g i m a s y a r a k a t . F a s i l i t a s p e n g o b a t a n d a n penyehatan kembali orang sakit seperti rumah sakit, sanatorium, pusat kesehatan masyarakat, dan sebagainya, harus tersed ia dalam jumlah y an g mem ad ai d an terbu ka b agi p elay an an umum secara mudah. M engin gat negara kita sudah tumbuh menjadi negara industri dengan pengalaman keselamatan kerja yang belum sempurna, perhatian khusus h arus d ib erikan kepada masalah kecelakaan kerja yang semakin meningkat. Demikian pula terhadap masalah narkoba, AIDS, dan sebagainya, disebabkan oleh adanya dimensi internasional kejahatan dalam perdagangan obat-obat berbahaya itu dan penyebaran penyakit yang menyertainya, maka demi menjaga kesehatan bangsa dalam jangka panjang, perhatian yang lebih khusus harus diberikan, dengan law enforcement yang tegar, dan dengan menjalin kerjasama antarnegara seerat-eratnya. Dan sebagaimana halnya dengan bidangbidang lain, dalam bidang kesehatan ini kita juga harus mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kegiatan berbagai lembaga kesehatan internasional, khususnya berkenaan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan atau research and development. Beberapa kasus 296 penyebaran wabah penyakit yang mengancam dunia berhasil diatasi berkat kerjasama internasional. Termasuk dalam masalah kesehatan sebagai masalah pendidikan ialah pendidikan jasmani, karena pendidikan jasmani juga suatu bentuk in ves tas i s u m b er d ay s m an u s ia. P ras aran a pendidikan jasmani dalam arti olah raga seharusnya ditingkatkan sesuai dengan kesadaran tentang pentingnya pendidikan itu. Demikian pula dalam hal kebutuhan -kebutuhan jasmani lainnya, yang diringkaskan dalam ungkapan tentang “pangan, sandang, dan papan ”, kead aan b an gsa kita sekaran g m enunju kkan adanya desakan tinggi untuk dilaku kan reformasi dan peningkatan. Suatu hal amat menyedihkan bahwa bangsa yang dahulu pernah swasembada pangan sekarang merosot menjadi amat tergantung kepada bangsa-bangsa lain melalu i impor. Karena hakikat manus ia selamanya kompleks dan persoalannya serba men y e lu r u h , m aka m a s a la h k e s e j a h t e r a a n jasmanipun amat tergantung kepada hal-hal lain s ep erti masalah -mas alah sos ial d an po litik. Maka dalam hal pendidikan jasmani, khsusunya k e o la h r a g a a n n as io n a l, j u g a d ip e r lu k a n kemauan politik yang jelas dari pemerintah. Tentang Pendidikan Lingkungan Salah satu kesadaran barn yang amat penting pads umat manusia sekarang ialah kesadaran tentang betapa pentingnya memelihara alam lingkungan hidup. Bencana-bencana alam yang menimpa umat manusia akhir-akhir ini banyak s ek a li y an g m eru p a k an a k ib a t k e ru s a kan lingkungan: “Muncul kerusakan di daratan dan di lautan karma ulah tangan manusia. “79 Pendid ikan lin gkun gan h idup harus m elib atkan usah a peny adaran ten an g harga tak tern ilai dari alam sebagai anugerah Tuhan. Manusia d itun ju k s eb agai kh alifah Tu h an un tu k m emelihara anugerah itu dan memanfaatkannya dengan penuh syukur kepada-Nya. Karena itu membuat kerusakan di bumi adalah salah satu kejahatan tertinggi.8 0 Selain berwujud alam kebendaan coati seperti gunung-gunung, lembah-lembah, sungai-sungai dan seterusnya, anugerah Tuhan itu juga berwujud alam kehidupan (hayati) yang beraneka ragam, bai 297 flora maupun fauna. Tuhan menganugerahkan kepada bangsa Indonesia keanekaragaman hayati (biodiversity ) yang terbesar di muka bumi, yang merupakan titipan Tu h an u ntu k d ipelih ara b agi s eb es ar-bes ar m an faat b an gs a dan selu ruh umat m anus ia. Jadi, selain kepada negara sendiri, kita bangsa Indon es ia m em iku l tan ggun g jaw ab kep ad a s e l u r u h dun ia . P e n d i d i k a n k i t a h a r u s menanamkan kesadaran itu. 9. Mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara Pancasila sebagai dasar negara dimulai dengan asas Ket nan Yang Maha Esa dan diakhiri dengan tujuan pokok kehidupan kenegaraan, m ew u ju d kan kead ilan s o s ia l b a g i s e lu ru h rakyat. Asas-asas perikemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan berada dalam spektrum yang bermula dengan Ketuhanan dan berujung dengan keadilan soaial itu, sejalan dengan prinsip negara-bangsa yang bertujuan menciptakan maslahat umum. Berkenaan dengan telah disinggung di bagian terdahulu, suatu ironi besar telah terjad i pada kita, karena negara kita termasuk beberapa negara yang paling banyak menderita ketimpangan sosial di dunia. Tidak lepas dari semua inti pembicaraan di muka, penderitaan ketimpangan sosial itu adalah akibat melemahnya kesadaran cinta tanah air atau p atr io t is m e, s em an gat m en d ah u lu kan d an membela kepentingan bangsa atau nasionalisme, rendahnya standar etika dan moral sosial yang mendorong sikap -sikap mementingkan diri dan golongan sendiri, tanpa peduli kepada kepen tingan bangsa dan negara, dan berbagai penyakit sosial-politik yang telah melemahkan negara dan bangsa. Karena itu, dalam tahap sekarang berkaitan dengan krisis nasional yang berpangkal dari persoalan KKN ini, keadilan sosial tidak bisa tidak harus dimulai dengafi pemberantasan KKN itu secara total. Adalah KKN itu yang pertama-tama menjad i sebab ketimpan gan pem bagian kembali kekayaan nasional pada 298 tingkat pribad i, kelompok m aupun daerah. P emerin tahan yang bersih merupakan prasarana paling penting bagi terwujudnya keadilan sosial. Sejalan dengan itu, fungsi pemerintah ialah tanggung jawab memperhatikan nasib warga negara yang miskin, memelas, tak berdaya (destitute). Sebab, masyarakat secara keseluruhan mempunyai kewajiban untuk setidak tidaknya menjamin kesejahteraan minimal para anggotanya, dan karenanya harus menyediakan s uatu perlind un gan tertentu terh ad ap ris iko y an g s es eo ran g t id ak b erd ay a u n tu k m ela wannya. Jadi tidak benar lagi sepenuhnya memandang bahwa seorang individu bertanggun g jawab atas n as ibny a s end iri d an h arus diberi kebebasan memilih apakah mau bahagia atau mau sengsara. Sebagian yang menimpa individu adalah tanggung jawab masyarakat, sehingga masyarakat wajib melakukan usaha mendorong yang baik dan mencegah yang buruk bagi masing -masing individu warganya. Masyarakat di sini dimaksudkan terutama lembagany a yan g p alin g ku at d an berw ew e nang, yaitu pemerintah. Pandangan dasar serupa itu bersifat universal, jadi sesungguhnya sejajar dengan asas perikemanusiaan yang adil dan beradab. Terdapat perbedaan dalam cara menyatakannya dan melaksanakannya, karena perubahan ruang dan waktu. Selain pemberantasan total KKN sebagai pangkal tolak utama, keadilan sosial di negeri kita s ekaran g pertam a-tam a m em erlu kan p emikiran s erius tentan g bagaim ana menyed iakan u p ah p eny elam atan (r eli ef pa ym ents ) kepada yang memerlukan. Kedua, pemerintah ju g a d itu n tu t u n tu k m em b e r i s u b s id i d an mengatur organisasi-organisasi yang dibentuk oleh para pekerja, atau o leh para pekerja bersama majikan mereka, guna membantu anggo ta-anggotanya. Yang ketiga ialah menciptakan s uatu s is tem asu ran s i o leh pem erin tah y an g bersifat wajib. Justru dengan penggunaan yang berhasil dari sistem asuransi wajib itu persoalan upah penyelamatan dapat ditiadakan. Ringkasnya, penciptaan keadilan sosial adalah sejajar dengan pengertian “ negara sejahtera” (welfar e state ), y an g m enuntu t ters ed iany a standar hidup minimal untuk setiap warga. Penciptaan keadilan sosial menjadi lebih relevan untuk bangsa kita 299 yang sedang bergerak menjadi negara industri. Berbeda dengan pola ekonomi agraris yang menyediakan ruang kemand irian kepada p ara petan i, p en grajin d an p edagang kecil, pola ekonomi industri menyebab kan semakin banyak orang yang hidup dari gaji atau u pah , seh in gga tergan tu n g kep ad a m ajikan. Individualisasi akibat ekonomi industri harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial yang lebih besar, khu susnya untuk membantu kaum penganggur, orang sakit dan orang lanjut usia. Ditambah lagi, bahwa urbanisai sangat mengurangi rasa tanggung jawab ntarsesama manusia, sebagai akibat gaga hidup tidak saling kenal (anonymous). 10. Mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdmaian dunia Di bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Tuhan telah menetapkan hukum alam bagi kehidupan sosial manusia, bahkan bagi seluruh jagad raga, yaitu hukum keseimbangan. Sedikit dari apa yang telah dikemukakan terdahulu, ketika Nabi Dawud a.s. berhasil membunuh Jalut dan menguasai Al-Quds (Yerusalem) untuk dijadikan tempat suci bagi agama Allah, penuturan peristiwa itu diakhiri den gan pen egasan , bah wa umat manus ia terlindung dari kehancuran karena adanya kekuatan-kekuatan yang saling mengimbangi dan mengendalikan.81 Prinsip keseimbangan sebagai jaminan bagi kelestarian hidup dan budaya juga ditegaskan sebagai tujuan perang yang benar, perang di jalan A llah (jihad flsabilila@h), seh in gga gereja-gereja, b iara-b iara, s in ago gsinagog dan masjid -masjid, di mana nama Allah banyak disebut, semuanya bisa dilindungi. Jadi perang dapat merupakan mekanisme “penolakan sebagian manusia oleh sebagian yang lain”, karena beroperasinya hukum keseimbangan. P eran g y an g b en ar, peran g d i jalan Tuh an , adalah perang yang menghasilkan kelestarian agam a-agam a d an bu day a-bud aya, s eb agaimana dilambangkan dalam keutuhan pranatap ran ata keagam aan . J ika mu n cu l an cam an untuk menghancurkan suatu agama, termasuk bu d ay a y an g b en ar d an b erm an faat u n tu k manusia, maka Allah akan 300 “ turun tangan ” memenangkan pihak yang benar dan membela kebenaran, mereka yang “ membela Allah ”. Hukum alam dari Sang Maha Pencipta itu adalah hukum obyektif, tidak tergantung kepada kehendak manusia dan tidak dapat dipengaruhinya, karena itu, tidak dapat diubah (i m m u t a ble ), t id ak m en gen a l p e r gan t ian (tabdi@1), dan tidak pula mengenal peralihan (tahwi@l). Dalam ilmu politik, adanya hukum itu juga disadari, seperti oleh Morgenthau tentang “politik perimbangan kekuatan ” (balance of power politics) antara bangsa-bangsa, dalam bukunya, Politics among nations. Politik perimbangan kekuatan merupakan jaminan obyektif bagi keamanan dunia. Paling tidak, telah terjad i dua malapetaka sejarah manusia yang hampir menghancurkan m an us ia s end iri, y aitu P eran g D un ia I d an Perang Dunia II, sebagai akibat munculnya kekuatan amat benar di Eropa yang mendominasi d an tid ak tertand in gi. Tetap i b egitu p eran g dimulai, kebangkitan bangsabangsa secara b ers am a -s am a m en g im b an g i ke ku at an d om in an itu d an d un ia ters elam atkan . K arena bakal menimbulkan kerusakan, maka “setiap kali mereka kobarkan api perang itu Tuhan akan memadamkannya ”, dengan menampilkan kekuatankekuatan pengimbang dan pengendali. S eben arn ya s ejarah um at m anus ia p enuh dengan peristiwa serupa itu, dan kita semua diperintahkan untuk mempelajarinya. Kita tidak p erlu terlalu b any ak b erterim akas ih kep ad a Julius dan Ethyl Rosenberg dari Amerika yang dihukum coati (1953) karena dituduh menjadi m ats m ata Un i S o viet y an g m em b o co rkan rahasia atom ke negara komunis itu. Tetapi mungkin Senator Joseph McCarthy —dengan kam p an y e an ti-ko m un is ny a y an g terken al sebagai McCarthyism—itu benar, ketika akhirn y a p uny a alas an u ntu k p an ik m en gh ad ap i dunia kaum komunis karena mereka ini mulai mampu membuat senjata nuklir. Namun justru eskalas i dalam pengemban gan p ersen jataan nuklir dalam pers aingan antara Amerika dan Un i So viet itu ternyata telah menyelamatka um at m anus ia d ari “ kiamat nu klir”. S eb ab , eskalas i itu akh irnya m encap ai tin gkat yan g t id ak m asu k akal (a bs ur d ), 301 ketika m as in g m a s i n g m e n j a d i t a k u t s e n d i r i u n t u k menggunakannya, dan terciptalah keseimbangan yang m e n y e l a m a t k a n u m a t m a n u s i a . Menggunakan senjata nuklir pada tingkat daya p e r u s a k a n d an j u m la h y a n g s e d em ik ia n fantastic akan merupakan tindakan kegilaan (madness), dan akan mengakibatkan MAD (Mutually Assured Destruction), kepastian hancur bersama-sama, seluruh umat manusia. Oleh karena itu, sungguh bijak-bestari bahwa pars tokoh pendiri dan perintis pembangunan negara kita menyadari sedalam -dalamnya per- lunya penciptaan keseimbangan kekuatan dunia itu. Konferensi Asia -Afrika di Bandung, 1955, yang menghasilkan Dasasila Bandung merupa kan tonggak sejarah bangsa kita yang luar biasa pentingnya. Sedemikian pentingnya sehingga Vera Micheles Dean, seorang ilmuwan social, dalam bukunya, The nature of the non -West ern world, mengatakan telah terbentuknya “Bandungia”, yaitu kawasan dunia yang orientasi politiknya berkib lat ke Bandung, yang meru pakan gabungan negara-negara Dunia Ketiga (Third Wor ld , dun ia negara-n egara berkem b an g). K on feren s i Ban dun g m elah irkan kek u at an y an g m en j ad i p en g im b an g D u n ia Pertam a (First Wo r ld , dun ia kap italis ) d an Dunia Kedua (Second World, dunia komunis). Konferensi Bandung menjadi pangkal tolak berbagai bentuk kegiatan lanjutan yang sejiwa, s eb agian b erh as il d an s eb agian lag i t id a k berhasil, yaitu Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Asia, Afrika dan Amerika Latin, Conference of the New Emerging Forces (Conefo), bahkan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), dan dilanjutkan dengan Gerakan Non -Blok (GNB) yang saat ini masih ada sisa-sisa signifikansinya. Perlu diingat bahwa semua itu pada dasarnya terjadi dalam lingkungan global yang diliputi oleh suasana Perang Dingin. Banyak tokoh dunia yang amat berjasa dalam proses berakhirnya P eran g D in gin itu, s ep erti K ans elir J erm an (Barat) W illy Brandt, P erd ana M enteri Un i S o viet M ika il G o rb ach e v, to ko h refo rm is Republik Rakyat Cina Deng Xiaoping (Teng Hsiao-p’ ing), dan P res id ers Amerika Serikat Ronald Reagan. Um a t m an u s ia m er as a le ga d en gan b er akhirnya Perang Dingin. Tetapi kelegaan itu ternyata tidak berlangsung lama, karena 302 terganggu oleh munculnya tesis-tesis ilmiah palsu seperti yang dibuat oleh Huntington tentang benturan budaya. Gangguan itu njadi semakin nyata dengan adanya kekacauan dunia oleh terorisme y an g jelas -je las s a lah s atu s eb ab n y a ia lah kegagalan mem beri p eny eles aian y an g ad il kepada masalah Palestine. Dikuatirkan bahwa k e k ac au an a kan te rn s b e r lan g s u n g tan p a penyelesaian sejati bile casus belli -nya tidak diselesaikan secara adil dan tuntas. Orang boleh berselisih tentang siapa dan di mane casus belli itu, maka biarlah sejarah menentukan dan menghakiminya. Tetapi ibarat sarang lebah, tawon -tawon yan g m eneb arkan sen gat kekacauan dunia—yang terang-terangan dan yang sembunyisembunyi melalui berbagai kegiatan by proxy —tidak akan bubar sebelum tawon induknya itu ditemu kan dan d iseles aikan de ngan adil dan benar. Bangsa Indonesia yang pernah tampil penuh harkat d an m artab at dap at m en gu lan gi lagi p eranan p entin gny a d alam m enjaga kes eimbangan dun ia. S ebab , sejalan den gan alasan alasan yang telah dikemukakan, jaminan perdamaian dunia terletak pada adanya kes eim bangan itu. Karena kenyataan dunia sekarang s ed an g m en ju rus kep ad a tatan an b erku tub tunggal (monopolar) dengan dominasi satu adi-kuasa yang tak tertandingi, maka diperlukan penggalangan kekuatan -kekuatan pengimbang yang ada. Namun semua itu tidak dalam kerangka suasana Perang Dingin yang mencekam karena hubun gan Balin g b ermusuhan , tetap i dalam suasana damainya dunia yang bebas, yang memungkinkan tedadinya tukar pikiran yang kreatif dan konstruktif. ake yang perlu digalang ialah terutama kekuatan -kekuatan hati nurani lintas negara dan bangsa, sekalipun negara atau pemerintah dapat mengambil inisiatif-inisiatif. Pola pembagian kekuatan dunia menurut model Perang Dingin yang membagi negara-negara menjadi Blok Timur, Blok Barat dan Non -Blok mungkin menjadi sed ikit sekali relevans inya untuk keadaan sekarang. Efek globalisai berkat kemajuan deret ukur teknologi transportasi dan info rmas i telah tid ak memungkin kan pembagian dunia secara kaku. Hubungan dan interaksi t im b a l b a l ik an tarn egara s e m a k in t id a k terhindarkan, justru semakin diperlukan. Politik menutup diri dari 303 dunia luar semakin mustahil menjadi pilihan, dan negara-negara yang dulu menerapkannya, sekarang ramai-ramai meninggalkannya. Terbuktikan oleh pengalaman terb aru b an y ak n egara, p embu kaan d iri akan lebih produktif dan lebih menguntungkan. M a ka d em ik ian p u la d en g an k it a, b an gs a Indonesia, salah satu bangsa besar di dunia. Tetapi justru untuk dapat berinteraksi secara terbu ka dengan dunia luar, kita memerlu kan pijakan kaki yang kuat, yaitu mantapnya harkat dan martabat bangsa dan negara, atas dasar nas ionalisme dan patriotisme yang didukung o leh kes ad aran t in g g i u n tu k m en ja ga d an melindungi seluruh wilayah tanah air sebagai kes atu an n egarab an gs a y an g m erd eka dan berdaulat (free sovereign nationstate). Dengan pijakan kemerdekaan dan kedalutan yang kokoh itu kita melangkahkan kaki untuk ikut berperan aktif menciptakan perdamaian dunia, pesan konstitusi negara kita, UUD 1945. Penutup RISALAH ini ditulis tanpa pretensi hendak menyajikan hal barn tentang negara dan bangsa Indonesia. Meskipun menggunakan bahan dan cara pendekatan yang barangkali sebelumnya kurang biasa dilakukan orang, namun hakikat persoalan yang dicoba sajikan adalah sama. Drongan menulis risalah ini ialah keinginan berbagi pandangan dengan para warga bangsa, khususnya generasi muds. Ketika pelajaran sejarah di sekolah tidak menarik lagi, dan tinjauan masalah dari pandangan -pandangan asasi bisa m en jemu kan , m aka y an g d iku atirkan ialah terjadinya pendangkalan dan penyempitan wawasan. Sesuatu yang belum diketahui hakikatnya selalu terasa aneh dan cenderung ditolak, karena memang manusia adalah musuh dari apa yang ia tidak tahu. Pada titik perkembangan bangsa dan negara sekarang ini, kita rasanya dihentakkan oleh kesad aran perluny a men elaah u lan g hakikat bangsa dan negara ‘kita. Telaah itu dimulai sejak masa-masa silam yang cukup jauh sebagai latar b elakan g, s am p ai kep ad a 304 m as a kris talis as i kes ad ar an keb an gs a an ak ib at p e r la w an an kep ada p enjajahan . Telaah itu d iteruskan ke masa kebangkitan nasionalisme modern oleh kaum terdidik, kemudian masa konsolidasi nasionalisme itu melalui proses-proses eksp e r im en ta s i p e la ks an a an p ik ir a n -p ik ir an tentang modern nation-state Republik Indonesia, dengan silih bergantinya keberhasilan dan kegagalan. Telaah d iakh iri den gan penilaian kepada krisis banyak segi yang dialami bangsa dan negara sekarang ini, disertai percobaan mengemukakan jalan keluar secara garis besar melalui deretan butir-butir sebuah platform. Banyak sekali persoalan kebangsaan dan kenegaraan kita yang memerlu kan kejelasan lebih lanjut melalui kegiatan tukarpikiran yang bebas dan cerdas. Kegiatan itu saat ini semakin b any ak d imun gkin kan ; p ertama, karen a m en in gkat p es atnya taraf kecerdas an gen eras i muda; kedua, karena suasana kebebasan sipil yang merupakan hasil dan perolehan paling berharga dari gerakan reformasi. A d an y a keje las an ten t an g p e rs o a lan ke b an gs aan d an ken ega raan akan m elan d as i terbukanya partisipasi warga negara dalam melakukan investasi sosial-politik untuk masa depan yang lebih menjanjikan. Kita semua harus mencari dan menemukan ide-ide terbaik ten -tan g keb an gs aan d an ken egaraan : p ertam a tama dari para tokoh pendiri bangsa, dan selanjutnya dari pengalaman bangsa-bangsa di mana saja. A kan memboroskan waktu dan tenaga, b ah kan s ia-s ia, jika k ita terku n gku n g o leh pemikiran dalam pola berusaha “ menemukan kembali roda” (re-invent the wheel). Perintah agama agar manusia mengembara di bumf dan m en gam b il p elajaran d ari u m at-u m at y an g telah lewat adalah penegasan tentang tidakd ib e n a r k a n n y a p i k i r a n n a t i v i s m e , d a n atavisme. Nativisme dan atavisme adalah karakteris tik paham keban gsaan semp it. M enggali, memelihara dan mengembangkan budaya sendiri adalah suatu keharusan. Namun semua itu harus dilakukan tanpa nativisme ataupun atavisme, yaitu sikap -sikap yang memandang budaya sebagai yang paling benar dan unggu l, tanp a melih at kemun gkin an ad anya s eg i-s egi n egatif s ep erti feo dalis m e. Letak kepulauan Nusantara tidak mengizinkan sikap305 sikap serupa itu, karena sepanjang sejarahnya merupakan crossroad berbagai budaya di dun ia, d an m en d o ro n g terjad in y a aku ltu ras i s ep e r t i b u d ay a n as io n a l y an g A k ita w a r is i sekarang ini. Pelaksanaan hal-hal di atas itu memerlukan kesadaran tentang arch dan tujuan perjuangan jangka panjang. Maka sangat diperlukan adanya kesed iaan m en empuh h idup as ketis , in gkar kepada diri sendiri (self denial) untuk tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek, dan kesed iaan untu k menunda kesen an gan (to d efer the gratification) jan gka pendek, karena di mass depan akan tersedia kebahagiaan yang besar dalam jangka panjang. K aren a d im ens i w aktu bagi su atu in vestas i modal manusia (human capital investment) untuk membuahkan hasil atau reward itu biasanya satu generasi (sekitar 20 tahun), maka sesungguhnya saat terbaik melakukan investasi itu ialah s atu generas i y an g lalu , s eh in gga sekarang dapat dipetik buahnya. Tetapi jika kita tidak dapat melakukan investasi itu satu gene- rasi yang lalu, maka saat terbaik melakukannya ialah sekarang. Jika tidak, maka satu generasi yang akan datang tidak terjadi kemajuan bangsa dan negara. Di atas semuanya itu, kita harus menemukan cars mengatas i persoalan b angsa dan negara kita, “sekali in i dan untu k selam a-lamanya” (once and for all ). Dengan tekad bersama itu, insya’ Allah kita terhindar dari kemungkinan mengalami krisis lagi yang tanpa berkesudahan. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, saat sekarang, setelah perjalanan bangsa telah berlangsung selama setengah abad lebih, adalah saat yang paling tepat untuk memulai pembangunan kembali negara, mengikuti p ikiran-pikiran terbaik pars pendirinya. S u d ah s a atn y a k ita s em u a m e la ks an a k an amanat untuk berusaha menciptakan momen keteladanan dalam penyelenggaraan pemerin tahan dan penggunaan kekuasaan, agar menjadi ruju kan generas i-generas i berikutny a. O leh k a r e n a itu d ip e r lu k an t in g k a t k es ad a r an kebangsaan dan kenegaraan yang tingg i. A lternatif dari semua itu ialah s ikap tidak peduli kepada situasi bangsa yang tidak berhasil melaksanakan cita-citanya sendiri, 306 atau bahkan mungkin melawan cita-cita itu. Suatu bangsa yang melawan prinsip -prinsipnya sendiri tidak akan bertahan! Sekarang atau tak bakal pernah lagi! Now or never! Makkah-Jakarta, Ramadan 1424 / November 2003 NCM 307 Suhaimi SURAT PERNYATAAN Yang bertandatangan di bawah ini: Nama Tempat/Tgl. Lahir NIM. Pekerjaan Alamat : Suhaimi : Jakarta/6 September 1967 : 05.3.00.107.01.0050 : Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta : Jalan Karet Kampung Gedong No.56, Margonda, Depok menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi dengan judul “Bahasa Politik Nurcholish Madjid: Analisis Semiotik Terhadap Platfom ‘Membangun Kembali Indonesia’” adalah benar karya asli saya, kecuali kutipan -kutipan yang disebutkan sumber-sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuh menjadi tanggungjawab saya, yang dapat berakibat gelar kesarjanaan saya dibatalkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Depok, 11 April 2011 Suhaimi ii Suhaimi SURAT PERNYATAAN Yang bertandatangan di bawah ini: Nama Tempat/Tgl. Lahir NIM. Pekerjaan Alamat : Suhaimi : Jakarta/6 September 1967 : 05.3.00.107.01.0050 : Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta : Jalan Karet Kampung Gedong No.56, Margonda, Depok menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi dengan judul “Bahasa Politik Nurcholish Madjid: Analisis Semiotik Terhadap Platfom ‘Membangun Kembali Indonesia’” adalah benar karya asli saya, kecuali kutipan -kutipan yang disebutkan sumber-sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya, yang dapat berakibat gelar kesarjanaan saya dibatalkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Depok, 11 April 2011 Suhaimi ii