2011M/1432H - UIN Repository

advertisement
BAHASA POLITIK NURCHOLISH MADJID:
ANALISIS SEM IO TIK TERH ADAP PLATFORM
“MEMBANGUN K EMBALI INDONESIA”
Disertasi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor dalam Ilmu Agama Islam
Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi
Suhaimi
NIM: 05.3.00.107.01.0050
Pembimbing:
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA.
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2011M/1432H
Suhaimi
LEMBAR PENGESAHAN
Disertasi dengan judul “BAHASA POLITIK NURCHOLISH
MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP PLATFORM
“MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang ditulis oleh:
Nama
NIM
Konsentrasi
: Suhaimi
: 05.3.00.107.01.0050
: Dakwah dan Komunikasi
yang telah dinyatakan lulus pada Ujian Promosi Doktor pada hari
Jum’at, tanggal 13 Mei 2011 di Auditorium Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah diperbaiki sesuai saran -saran tim penguji sidang promosi dan layak
diserahkan ke perpustakaan.
TIM SIDANG PROMOSI
No
1
2
3
4
5
6
7
Nama
Tanggal
Tanda
tangan
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
(Ketua Sidang/Penguji)
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
(Pembimbing/Penguji)
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA.
(Pembimbing/Penguji)
Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum.
(Penguji)
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA.
(Penguji)
Prof. Dr. Suwito, MA.
(Penguji)
Dr. Yusuf Rahman, MA.
(Sekretaris Sidang)
ii
Suhaimi
PERSETUJUAN
Disertasi
dengan
judul
“BAHASA
POLITIK
NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP
PLATFORM “ MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang
ditulis oleh:
Nama
NIM
Konsentrasi
: Suhaimi
: 05.3.00.107.01.0050
: Dakwah dan Komunikasi
telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada
ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui untuk dibawa ke
sidang ujian terbuka (promosi doktor).
Ketua Sidang/Penguji:
Prof. Dr. Suwito, MA.
Tanggal: ……………………..
iii
Suhaimi
PERSETUJUAN
Disertasi
dengan
judul
“BAHASA
POLITIK
NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP
PLATFORM “ MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang
ditulis oleh:
Nama
NIM
Konsentrasi
: Suhaimi
: 05.3.00.107.01.0050
: Dakwah dan Komunikasi
telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada
ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui unt dibawa ke
sidang ujian terbuka (promosi doktor).
Promotor/Penguji:
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Tanggal: ……………………..
iv
Suhaimi
PERSETUJUAN
Disertasi
dengan
judul
“BAHASA
POLITIK
NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP
PLATFORM “MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang
ditulis oleh:
Nama
NIM
Konsentrasi
: Suhaimi
: 05.3.00.107.01.0050
: Dakwah dan Komunikasi
telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada
ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui untuk dibawa ke
sidang ujian terbuka (promosi doktor).
Promotor/Penguji:
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA.
Tanggal: ……………………..
v
Suhaimi
PERSETUJUAN
Disertasi
dengan
judul
“BAHASA
POLITIK
NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP
PLATFORM “MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang
ditulis oleh:
Nama
NIM
Konsentrasi
: Suhaimi
: 05.3.00.107.01.0050
: Dakwah dan Komunikasi
telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada
ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui untuk dibawa ke
sidang ujian terbuka (promosi doktor).
Penguji:
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA.
Tanggal: ……………………..
vi
Suhaimi
P ERSETUJUAN
Disertasi
dengan
judul
“BAHASA
POLITIK
NURCHOLISH MADJID: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP
PLATFORM “MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA” yang
ditulis oleh:
Nama
NIM
Konsentrasi
: Suhaimi
: 05.3.00.107.01.0050
: Dakwah dan Komunikasi
telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji disertasi pada
ujian tertutup tanggal 17 Maret 2011 dan disetujui unt dibawa ke
sidang ujian terbuka (promosi doktor).
Penguji:
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA.
Tanggal: ……………………..
vii
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
ABSTRACT
This dissertation proves the incorrect conclusions of Benedict
R.O’G. Anderson in his famous articles The Language of Indonesian
Politics, in 1966 and "Cartoons and Monuments: The Evolutions of
Political Communication under the New Order," in 1978 stated that
Bahasa Indonesia has experienced kramanisasi process because it is
trapped in the "images of Javanese about politics". The process has
been refined so that the dynamics of the original indication is now no
longer exists. And conclusions of James Siegel in his thesis "Solo in
the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City",
wrote: the Javanese language community "treat other languages as if
they are "ngoko language" and this community allow "the perpetrators
of those languages into the community which is defined as krama
language".
This dissertation is written to reinforce earlier studies that
question the validity of Anderson's conclusions, namely Mochtar
Pabottingi (“ Bahasa, Kramanisasi dan Kerakyatan”, 1996, 156 –
157): Is it true that the emergence of many terms or words that are soft
and "high", like the words of tunawisma, swasembada, pramuka,
binaraga, purnayudha, tridarma, saptamarga etc are enough to say
that Indonesian language has experienced kramanisasi ? At least there
are 3 groups of Indonesian who do not use politesse languages
(meaning: soft, complicated words) or kramanisasi : 1) creative writers
group/popular, 2) intellectuals and 3) community or religious
meetings.
This dissertation shows that Nurcholish Madjid (1939-2005),
hereafter defined as NCM, as a muslim intellectual from Jombang,
East Java, did not use kramanisasi language or smoothing process by
using complicated words of euphemism language style as seen in the
xii
Suhaimi
description of sentence 10 in the Basic Agenda of NCM and each
explanations in his book, Indonesia Kita , Jakarta, Paramadina, Third
edition, March 2004 , pages 114-184.
This dissertation proved what is written in the above is based
on the analysis of language structure and use of the sentence, NCM is
using many comparing metaphor languages, as seen when he
compared the multifaceted face of crisis and icebergs at the poles in
the first paragraph of AD’s first explanation, etc. When NCM
describes feudalism as the cause of the difficulty of
sian
people, he emphasizes
it in the style of the opposition language in the form of cynicism in the
sense of satire and skepticism that contains a mockery of the sincerity
and honesty, as seen in the fifth paragraph of the first AD. Some other
NCM language styles are irony , stylistic repetition , and epitet.
Primary sources of this dissertation is the mind result of NCM
in his political platform "Rebuilding Indonesia" in his book Indonesia
Kita , Jakarta, University of Paramadina, Third edition, 2004. In
addition, primary data was also obtained from literature research,
written by NCM on related subjects such as in his book Islam Doktrin
dan Peradaban , Jakarta, Paramadina, Fourth edition, September, 2000
and his other works. The data is read with the interpretative analysis
of hermeneutic and texts’ semiotic based on an understanding of the
meaning of the words that form sentences and paragraphs into a
complete text and then understand the meaning of text passages based
on the overall meaning.
xiii
Suhaimi
ABSTRAK
Kesimpulan besar disertasi ini membuktikan ketidakbenaran
tesis Benedict R.O’G. Anderson dalam tulisannya yang terkenal The
Language of Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and
Monuments: The Evolutions of Political Communications under the
New Order,” tahun 1978 yang menyatakan bahwa Bahasa In nesia
sudah mengalami proses kramanisasi karena sudah terperangkap
dalam “imaji orang Jawa tentang politik”. Ia sudah tertimpa proses
penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya ini tak
ada lagi. Disertasi ini pun membuktikan ketidakbenaran tesis James
Siegel yang menyatakan bahwa komunitas bahasa Jawa
“memperlakukan bahasa lain seolah -olah semuanya itu termasuk
bahasa “ ngoko ” dan komunitas ini memperkenankan “para pelaku
bahasa-bahasa tersebut kedalam komunitas wacana yang dirumuskan
sebagai bahasa krama.”
Perbedaan dan persamaan dengan kesimpulan yang diberikan
komunitas akademik lain bahwa disertasi ini ditulis untuk memperkuat
penelitian sebelumnya yang mempertanyakan keabsahan kesimpulan
Anderson, yaitu Mochtar Pabottingi (”Bahasa, Kramanisasi, dan
Kerakyatan”, 1996, 156 -157): Benarkah munculnya banyak istilah
atau kata yang sifatnya halus dan “tinggi”, seperti kata-kata
tunawisma, swasembada, pramuka, binaraga, purnayudha, ridarma,
saptamarga dst. sudah cukup untuk mengatakan bahasa Indonesia
mengalami kramanisasi ? Paling tidak ada 3 kelompok pelaku bahasa
Indonesia yang tidak melakukan bahasa politesse (baca: halus-topengaling-aling) atau kramanisasi : 1) kelompok sastrawan kreatif/populer,
2) kaum cendikiawan 3) komunitas atau pertemuan yang bersifat
keagamaan.
Disertasi ini menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid (1939–
2005), selanjutnya ditulis NCM, sebagai seorang cendikiawan muslim
berasal dari Jombang, Jawa Timur tidak menggunakan bahasa
politesse. Sebaliknya sebagai seorang cendikiawan muslim, NCM
ix
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
menuliskan pikiran -pikirannya tentang kebobrokan sosial yang terjadi
dengan tegas seperti tertulis dalam kata-kata NCM dalam AD ke-satu
sampai dengan AD ke-sepuluh dan uraian penjelasannya sepeerti
antara lain: budaya KKN, upeti dan suap menyuap, feodalisme,
patrimonialisme dan gaya hidup materialistik yang menjadi penanda
bahwa dirinya menolak elitisme atau politesse dalam berbahasa. Dia
pun tidak melakukan bahasa kramanisasi atau proses penghalusan
dengan menggunakan bahasa topeng/aling -aling berupa gaya bahasa
eufemisme. Disertasi ini dengan berdasarkan analisis struktur bahasa
dan pengunaan kalimatnya pun membuktikan bahwa NCM
menggunakan gaya bahasa perbandingan metafora paling banyak dan
gaya bahasa NCM lainnya adalah gaya bahasa ironi, repetisi, dan
epitet.
Sumber primer disertasi ini adalah butir-butir pemikiran NCM
tentang politik dalam platform “Membangun Kembali Indonesia”
yang tertulis dalam buku karya NCM berjudul “Indonesia Kita ,”
Jakarta, Universitas Paramadina, Cetakan III, 2004. Di samping itu
data primer penelitian ini diperoleh juga dari studi kepustakaan yang
ditulis oleh NCM mengenai subjek pembahasan terkait seperti
karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta, Paramadina,
Cetakan keempat, September, 2000 dan buku -buku kumpulan tulisan
karyanya yang lain. Data-data itu dibaca dengan analisis teks semiotik
dan hermeneutik berdasarkan pemahaman sejumlah makna katakatanya yang membentuk kalimat dan gabungan kalimat-kalimatnya
yang menjadi alinea serta gabungan alinea-alineanya yang membentuk
teks yang utuh kemudian memahami makna bagian -bagian teks
berdasarkan makna keseluruhannya.
x
Suhaimi
????? ????
The Language of ??????? ????? ?? ???????
R OG ????????????????? ??????? ??? ???? ??
Cartoons and Monuments: The Evolutions of " ? ?<` ?? Indonesian Politics,
?? ??? ??? ???? ?<` ?? " Political Communications under the New Order
." ??????? ??????? ???" ???? ?? ????????? ?? kramanisasi ?????? ???? ?? ??????????
???? ???? ??????? ???
. ?????? ??? ?? ??? ?? ????? ???? ???????? ???? ??????? ????? ?? ?????
Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an " ?? ???? ???? ??????
"????? ????? ?? ???? ?? ??? ???? ????
" ????
??? ??? ??????? ???<à
? ? " Indonesian City
?? ?????? ??? ??? ?? ???? ?????? ?? ??????? ?? ?????? ???
" ???????
?????? ???? ????
" ngoko
" .???? ???
?????? ?????? ?? ??????? ?? ????
??????
??? ?????? ??? ???? ??? ???????? ?? ???????? ??????
Pabottingi ????? ???? ? ????? ?? ?????????? ??? ?? ???? ???? ??????? ????????
?? ?????? ???? ??
: ( ?<? -?<? ? ?<ha ? " Bahasa ? Kramanisasi dan K erakyatan ")
tunawisma, swasembada, ??? ??? ?" ?????
"? ??? ??? ??? ?? ???? ??????? ?? ?????????
???? ?? ?????. saptamarga ????? ??? tridarma ? pramuka, binaraga, purnayudha,
????? ? ????? ?????????? ??????? ?? ???????
? ???? ???? ??? ??????????? ???????
kramanisasi
??????
/ ???????? ?? ??????
( ? : kramanisasi ?? ???? ?? ????? ???? ?????
: ????
) politesse ?????
.???????
???????? ?? ???????
(? ?????????
(? ???????
?? ???? ????? ? ?????NCM ???? ? ( ?<? -?<? ) ???? ?? ????? ?????? ?? ??? ??? ???
?????? ??????
/ ???? ???????? ?????kramanisasi
??
???????????? ? ??????? ????
Jombang
?
? ????? ?? ?? ???
???NCM ?????? ?????? ?????< ?????? ??? ?? ????? ??? ????? ????? ??? ??
.?<? -?<? ????? ?? ? ?<` ???? ? ?????? ???? ? ?????????? ?"??????
Indonesia
? Kita "
NCM ? ?????? ???????? ????? ????? ????? ???? ??? ??????? ??? ?? ???? ??? ?? ????? ???
? ????? ?? ??????? ?????? ?????? ????? ????? ????? ??? ? ????? ????? ??? ?????? ??????? ???????
.??? ? ??? ???? ?? ????? ?????? ?? ??????? ?? ???????? ???????
?? ????? ??? ?? ???????? ???? ??? ???? ? ?????????? ???? ????? ?? ????NCM
??????
?????
???
????? ??? ?? ??????? ??? ????? ???? ?????? ?? ??? ?? ??????? ????? ??????? ????? ?? ???
.????? ?????? ?? ??????? ?????? ?? ????? ??? ?
.epitet ????? ?????? ? ???????? ??????? ? ??????? ?? ?????
M NC ??
????? ??????
????? ???
"????????? ????"?????
???? ?? NCM ??????? ?? ??????? ?? ??? ?? ??????? ???? ???????? ???????
? ?????? ???? ? ?????????? ????? "? ??????
Indonesia
? Kita " ??????NCM ???? ?? ?????? ????
?? ??????? ???? ????? ????? ??? ?? ?????? ???????? ??? ?????? ?? ??? ? ???. ???
?<` ????????
" Islam , Doktrin dan Peradaban , " ?????? ???? ??? ????? ??? ?????????NCM
??? ???
.??? ??? ???? ???? ???
?? ?? ????????<?? ? ??????/ ????? ? ??????? ????? ? ?????????? ? ?????? ?
????? ??? ???? ??? ?????? ????????? ???????? ?????? ??????? ????????? ????? ?? ???????? ?????
??? ??? ?????? ???? ???? ?? ?????? ???????? ??????? ?? ?????? ??? ????? ??? ????? ??? ???? ?????
.????? ?????? ??? ???? ???? ????? ????
xi
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
KATA PENGANTAR
Maha suci Allah, segala puji hanya bagi-Nya, tiada Tuhan
melainkan Dia dan Dialah Tuhan yang Maha Besar menjadi susunan
kalimat pertama yang penulis persembahkan kehadirat Allah swt yang
telah memberikan cinta kasih -Nya kepada penulis, baik ketika penulis
belajar untuk menyelesaikan disertasi ini sebagai tugas akhir, maupun
sebelum dan sesudahnya kelak. Penulis berharap semoga Allah swt
menjadikan seluruh aktivitas belajar penulis pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai bekal menambah kecintaan penulis kepada Rasulullah
Muhammad saw dan para nabi-Nya dengan meneladani perilaku
mereka sesuai yang Allah swt perintahkan.
Disertasi berjudul Bahasa Politik Nurcholish Madjid:
Analisis Semiotik terhadap Platform “Membangun Kembali
Indonesia”, merupakan analisis teks terhadap sepuluh agenda dasar
Nurcholish Madjid , ketika menyatakan diri siap dicalonkan menjadi
calon presiden Republik Indonesia, pada pemilihan umum (Pemilu)
2004 ini merekomendasikan signifikansi moral dan nasionalisme
modern dalam melaksanakan pembangunan bangsa Indonesia. Penulis
dapat menyelesaikan disertasi ini berkat bantuan dari
i pihak
yang turut membantu proses perampungannya.
Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan
banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, baik
selaku Rektor UIN Jakarta yang telah memberikan bantuan beasiswa
kepada penulis, maupun sebagai pejabat terdahulu Direktur Sekolah
Pascasarjana serta selaku pembimbing disertasi penulis atas segala
bantuan yang beliau berikan. Penulis pun mengucapkan banyak terima
kasih kepada Prof. Dr. Andi Faisal Bakti selaku pembimbing penulis
yang juga telah memberikan banyak andil dalam penyelesaian
disertasi ini.
Selain itu, penulis menyatakan juga banyak terima kasih
kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana saat ini atas segala kemudahan yang diberikan kepada
xvi
Suhaimi
penulis ketika menyelesaikan disertasi ini, kepada Prof. Dr. Suwito,
MA, Dr. Fuad Jabali, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA serta Dr.
Udjang Tholib, MA yang telah memberikan kemudahan dan
sukan
yang berarti bagi kesempurnaan disertasi ini.
Terima kasih pun penulis sampaikan kepada para pengajar di
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta atas berbagai ilmu pengetahuan
yang mereka telah ajarkan
kepada penulis selama belajar di
pascasarjana, seperti Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA, Dr. M. Idris
Abdul Shamad, MA, Dr. Jamhari, Prof. Dr. Aqil Siradj, Dr. Abdul
Chair, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Sukarja, MA, Dr.
Saiful Mujani, MA, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, Prof. Dr.
Amani Lubis, MA, almarhum Prof. Dr. Badri Yatim, MA, serta Prof.
Dr. Ibnu Hamad, MSi, dll.
Kemudian, terima kasih juga kepada Prof. Dr. Murodi, Dekan
terdahulu Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM)
UIN Jakarta dan Dr. Arief Subhan, MA, Dekan FIDKOM saat ini
yang tak henti-hentinya mengingatkan penulis untuk segera
menyelesaikan disertasi ini, dan kepada para pengajar
terutama Dr. Asep Usman Ismail, MA, Drs. Studi Rizal,
MA,
Dra. Asriati Jamil, MHum, Dr. Shihabuddin Noer, MA yang sering
bertanya kapan penulis menyelesaikan disertasi ini, dan terima kasih
juga kepada Dr. Fariz Pari yang telah menjadi teman berdiskusi
penulis sejak penyusunan proposal disertasi ini.
Di samping itu, penulis mengucapkan juga terima kasih
kepada para pegawai perpustakaan FIDKOM UIN Jakarta dan para
pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta serta para
pegawai perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
dengan
sabar memberikan pinjaman buku -buku kepada penulis, karena tanpa
buku-buku itu, tak mungkin disertasi ini akan menjadi seperti ini,
kemudian terima kasih juga kepada para pegawai di Bagian Akademik
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, terutama Eva Nugraha, MAg dan
Feni Arifiani, MH yang telah memberikan banyak kemudahan bagi
terciptanya disertasi ini.
xvii
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Terima kasih terutama penulis sampaikan kepada kedua orang
tua yang telah berdoa dan membesarkan serta mengasihi ri ini
dengan penuh cinta kasih, almarhum H. Abdul Somad dan
almarhumah Hj. Siti Asiah dan ibu mertua almarhumah Dedeh
Saoriah dan almarhum Bapak Memen Nurmudin dengan permohonan
doa semoga Allah swt selalu mencurahkan ampunan dan kasih
sayang-Nya. Penulis pun berterimakasih teristimewa kepada istri
tercinta Nani Muryani, SPd dan putera puteri penulis Bunayya Ittaqi
Al-Majid Al-Bar dan Fiyki Taqiyya Billah yang menemani penulis
dalam suka dan duka, serta kepada adinda Zahrul Qomariyah, BA dan
Sukria, BA dan Ferdiyansyah, BSc, kakanda Hj. Siti Maryam dan Mas
Wiwit Waskito, Ir. Muhammad Thohir dan Anna Safina, SH, serta
Jidah Hj. Fahmiah, Ahmad Damanhuri dan Fahriah dan kemenakan kemenakan penulis Annisa Maulidia dan Rizki Akbarulwildan,
Diandra M. Rafiansyah dan M. R iandy Aji.
Penulis berharap dan berdoa agar Allah swt memberikan
balasan yang tidak terhingga kepada mereka semua dan menjadikan
amal kebajikannya kepada penulis sebagai amal jariyah yang
pahalanya terus mengalir dari dunia fana ini sampai alam baka nanti.
Semoga.
Depok, 11 April 2011
Suhaimi
xviii
Suhaimi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
........................................................
SURAT PERNYATAAN .......................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................
ABSTRAK............................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN..................
KATA PENGANTAR ............................................................
DAFTAR TABEL...................................................... .........
DAFTAR SINGKATAN
................................................
DAFTAR ISI...................................................................... ..
i
ii
iii
ix
xv
xvi
x ix
xx
xxiii
BAB I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................. ...
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................
C. Tujuan Penelitian ................................................
D. Manfaat Penelitian............................................. ...
E. Tinjauan Kepustakaan..........................................
F. Metodologi Penelitian.......................................
G. Disain Penelitian ................................................
H. Sistematika Pen ulisan .........................................
1
14
15
16
16
24
27
29
BAB II. PESAN POLITIK DALAM TINJAUAN ILMU
KOMUNIKASI DARI PERSPEKTIF INTERPRETATIF
A. Integrasi Dakwah Islam dan Ilmu Komunikasi ...
32
1. Pengertian Dakwah Islam dan Komunikasi ...
32
2. Objek Material dan Objek Formal Dakwah
Islam dan Ilmu Komunikasi .................. ......
38
3. Dakwah Islam dalam Perspektif Ilmu Komunikasi 39
B. Pengertian Bahasa Politik ......................................... 44
xxiii
ix
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
C. Komunikator dan Pesan dalam Komunikasi Politik
D. Perspektif Interpretatif untuk Memahami Teks ...
E. Analisis Teks dalam Semiotik dan Interpretatif...
1. Teks sebagai Pesan Budaya .................. ......
2. Teks sebagai Pesan Verbal...............................
E. Kerangka Penelitian .........................................
F. Definisi Istilah dalam Penelitian ini ..................
49
57
58
67
68
71
73
BAB III. AKTIVITAS POLITIK NURCHOLISH MADJID
A. Nurcholish Madjid Sebagai Komunikator Politik...... 75
B. Respons Terhadap aktivitas Politik Nurcholish
Madjid..............................................................
106
BAB IV. NASIONALISME DALAM PANDANGAN
NURCHOLISH MADJID
A. Fase Awal Nasionalisme di Indonesia ..................
128
B. Nasionalisme di Indonesia pada Masa Penjajahan
Jepang ...................................................... ....
155
C. Nasionalisme di Indonesia pada Masa Pembangunan 170
BAB V. AGENDA DASAR POLITIK NURCHOLISH MADJID
A. Makna Pesan Politik Nurcholish Madjid .................. 187
1. Makna Teks Judul AD NCM
........................... 187
2. Makna AD kesatu dan Kalimat Penjelasannya ..... 191
3. Makna AD kedua dan Kalimat Penjelasannya.....
199
4. Makna AD ketiga dan Kalimat Penjelasannya ...
204
5. Makna AD keempat dan Kalimat Penjelasannya .. 209
6. Makna AD kelima dan Kalimat Penjelasannya ..... 213
7. Makna AD keenam dan Kalimat Penjelasannya ... 219
8. Makna AD ketujuh dan Kalimat Penjelasannya ... 223
9. Makna AD kedelapan dan Kalimat Penjelasannya 227
10. Makna AD kesembilan dan Kalimat Penjelasannya 239
11. Makna AD kesepuluh dan Kalimat Penjelasannya 243
B.Penggunaan Kalimat dalam Platform Politik Nurcholish
Madjid........................................................ ………… 249
1.Penggunaan Kalimat dalam AD NCM kesatu sampai
xxiv
Suhaimi
dengan kesepuluh ............................................. ...
2.Penggunaan Kalimat dalam Penjelasan AD NCM
kesatu sampai dengan kesepuluh ............... .. ..
251
BAB VI. KESIMPULAN
A. Kesimpulan .........................................................
B. Implikasi ...........................................................
256
259
DAFTAR PUSTAKA ..................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................
GLOSSARY ………………………………………...........
INDEKS ………………………………………. .................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .........................................
261
272
309
311
314
249
xxv
Suhaimi
DAFTAR TABEL
Tabel
Tabel 1 Perbandingan Platform Politik
Tabel 2 Perbandingan Bahasa Politik
Tabel 3 Disain Penelitian
Tabel 2 Hubungan antar Komunikasi Islam dan Ilmu Lain
Tabel 1 Oposisi Biner AD kesatu
Tabel Good Governance di Asia Tenggara 1999
Tabel 2 Oposisi Biner AD kedua
Tabel 3 Oposisi Biner AD ketiga
Tabel 4 Oposisi Biner AD keempat
Tabel 3 Oposisi Biner AD kelima
Tabel 2 Oposisi Biner AD keenam
Tabel 3 Oposisi Biner AD ketujuh
Tabel 2 Oposisi Biner AD kedelapan
Tabel 3 Oposisi Biner AD kesembilan
Tabel 2 Oposisi Biner AD kesepuluh
Halaman
4
8
27
41
192
195
200
205
210
215
220
224
229
240
245
xxi
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan yang tidak menggembirakan bagi b angsa
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan
kegelisahan mendalam bagi anak bangsa yang mencintai tanah air
tumpah darahnya. Semenjak menjabat sebagai ketua Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode tahun 1966 -1969 dan
1969-1971, Nurcholish Madjid (1939–2005), selanjutnya ditulis
NCM* ,
telah terkenal dengan ide-idenya tentang keislaman,
kemodernan dan keindonesiaan dalam rangka menciptakan tatanan
masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
sebagai bangsa yang siap mendukung nilai-nilai demokrasi di
Indonesia. Bab pendahuluan ini dari awal menegaskan bahwa
platform politik NCM ketika menyatakan diri siap dicalonkan menjadi
calon presiden Republik Indonesia (RI) pada pemilu 2004 itu sebagai
penanda kompatibel dengan nilai-nilai pembangunan bangsa
Indonesia pada masa sekarang dan masa depan . Kemudian hal itu
dipertanyakan dalam perumusan masalah yang akan dicoba untuk
mencarikan jawabannya masing-masing berdasarkan analisis teks
semiotik dan hermeneutik dengan mengikuti sistematika pembahasan
sebuah penelitian.
Sembilan dari sepuluh agenda dasar (AD)/platform politik
NCM,1 saat ini ternyata juga menjadi agenda pemerintahan Presiden
*
Almarhum Nurcholish Madjid memiliki panggilan akrab Cak Nur atau
singkatan nama NM, namun dalam penelitian ini penulis
gunakan akronim
NCM seperti yang tertulis dalam bukunya Indonesia Kita (Jakarta, Universitas
Paramadina, Cetakan III, Maret 2004), v dan vi yang menjadi sumber data primer.
1
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 114. Menurut NCM sepuluh agenda
dasar “Membangun Kembali Indonesia” yang tertulis berikut di bawah ini sifatnya
mendesak untuk dilaksanakan: 1) Mewujudkan “good governance” pada semua
lapisan pengelolaan negara; 2) Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan
konsekuen; 3) Melaksanakan rekonsiliasi nasional; 4)Merintis reformasi ekonomi
dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah;
5)Mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi: kebebasan sipil
(khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang
1
Suhaimi
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono
dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (2009–2014).
NCM dan SBY-Boediono mengagendakan reformasi birokrasi
pemerin-tahan. NCM menandaskannya dalam platform 1)
Mewujudkan good governance pada semua lapisan pengelolaan
negara; sedang SBY-Boediono menuliskannya dalam program 12)
Reformasi birokrasi dan pencegahan serta pemberantasan KKN
ditingkatkan serta peningkatan pelayanan publik. 2
jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan; 6)Meningkatkan ketahanan
dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personil dan
pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi; 7)Memelihara keutuhan wilayah
negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhineka-an dan ke-Eka-an, serta
pembangunan otonomisasi; 8)Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di
seluruh Nusantara; 9) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai
tujuan bernegara; 10)Mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan
perdamaian dunia.
2
Usman Yatim, “SBY – Demokrat Tuntaskan Agenda Reformasi”, Madina
Online, (diakses tanggal 9 Pebruari 2010 ). 15 program kerja SBY untuk
menuntaskan agenda reformasi yang dijanjikannya pada kampanye pemilihan
presiden di Stadion Utama Gelora Bung Karno sbb.: 1) Pertumbuhan ekonomi
meningkat, minimal 7%, kesejahteraan rakyat meningkat. Untuk mencukupi
kebutuhan hidup mereka; 2) Kemiskinan mesti berkurang
mencapai 8 -10%.
Pembangunan pedesaan dilakukan pro rakyat; 3) Pengangguran akan berkurang lagi,
5-6%, lapangan pekerjaan, dan peningkatan usaha bagi yan berwira usaha; 4)
Pendidikan harus meningkat lagi. Mutu infrastruktur, kesejahteraan guru bertambah.
Anggran pendidikan yang merata. Tetap gratis bagi yang belum mampu; 5.
Kesehatan masyarakat mesti meningkat lagi. Pemberantasan penyakit menular gratis
bagi yang belum mampu; 6) Ketahanan pangan mesti menin
lagi. Kita sudah
berswasembada beras, kopi, daging dan kedelai. Jaringan pupuk harus ditingkatkan
agar pertanian kita subur; 7) Ketahanan energi meningkat lagi. Menambah daya
listrik untuk rakyat, dan energi yang terbarukan; 8) Pembangunan infrastruktur yang
bermanfaat. Baik di Jawa maupun luar Jawa; 9) Peningkatan pembangunan
perumahan rakyat. Misalnya, rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan
menengah ke bawah; 10) Peningkatan pengelolaan lingkungan dan penghijauan,
untuk menanggulangi bencana alam; 11) Pertahanan dan keamanan. Pembaruan alat
persenjataan TNI dan Polri; 12) Reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN
ditingkatkan. Pencegahan dan peningkatan pelayanan publik; 13) Otonomi daerah
dan pemerataan pembangunan ditingkatkan; 14) Demokrasi dan penghormatan
terhadap HAM akan semakin dikembangkan agar tidak terjadi lagi pelanggaran
HAM berat di negeri ini; 15) Peran internasional Indonesia makin ditingkatkan,
2
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Reformasi birokrasi ini bagi SBY-Boediono meliputi 11)
Pertahanan dan keamanan. Pembaruan alat persenjataan TNI dan
Polri; sama halnya dengan platform NCM 5) Meningkatkan ketahanan
dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat
personil dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi.
SBY-Boediono menyatakan pembangunan demokrasi sebagai
program 14) Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM akan
semakin dikembangkan agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM berat
di negeri ini dan 13) Otonomi daerah dan pemerataan pembangunan
ditingkatkan.
Sedangkan NCM menyatakan pembangunan demokrasi dalam
agenda 2) Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan
konsekuen dan 5) Mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata
demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan
akademik), pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara
pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan; serta 7) Memelihara
keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan keBhineka -an dan ke-Eka-an, serta pembangunan otonomisasi.
SBY-Boediono terlihat secara terperinci memprogramkan
pembangunan sosial-ekonomi dalam agenda pembangunan ekonomi
1) Pertumbuhan ekonomi meningkat, minimal 7%, kesejahteraan
rakyat meningkat untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka; 2)
Kemiskinan mesti berkurang 8-10%. Pembangunan pedesaan
dilakukan pro rakyat; 3) Pengangguran akan berkurang lagi, 5-6%,
lapangan pekerjaan dan peningkatan usaha bagi yang berwira usaha.
Sementara itu agenda mereka dalam pembangunan sosialekonomi secara keseluruhan adalah 4) Pendidikan harus meningkat
lagi. Mutu infrastruktur, kesejahteraan guru bertambah dengan
anggaran pendidikan yang merata, tetapi gratis bagi yang belum
mampu; 5) Kesehatan masyarakat mesti meningkat lagi.
Pemberantasan penyakit menular gratis bagi yang belum mampu.
sehingga bangsa kita berbuat banyak untuk kedamaian, kemakmuran, dan keadilan
dunia.
3
Suhaimi
Program pembangunan sosial-ekonomi pun dikemukakan
dalam agenda 6) Ketahanan pangan mesti meningkat lagi. Kita sudah
berswasembada beras, kopi, daging dan kedelai. Jaringan pupuk harus
ditingkatkan agar pertanian kita subur; 7) Ketahanan energi meningkat
lagi. Menambah daya listrik untuk rakyat, dan energi yang terbarukan;
8) Pembangunan infrastruktur yang bermanfaat. Baik di
maupun
luar Jawa; 9) Peningkatan pembangunan perumahan rakyat. Misalnya,
rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah;
10) Peningkatan pengelolaan lingkungan dan penghijauan, untuk
menanggulangi bencana alam;
NCM memprogramkan pembangunan sosial ekonomi dalam
platform 4) Merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan
pengembangan kegiatan produktif dari bawah dan 8) Meratakan dan
meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara serta 9)
Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan
bernegara.
Tebel 1 Perbandingan Platform Politik
Persamaan AD
Platform
Politik Program
Politik
Perbedaan AD
NCM
SBY-Boediono
1. Reformasi
birokrasi Platform No. 1 dan Program No. 12 dan
pemerintahan
No. 5
No. 11
2. Pembangunan demokrasi
Program No. 14 dan
3. Pembangunan
sosial Platform No. 2 dan No. 13
ekonomi
No. 5 serta No. 7
Program No. 1 dan
Platform No. 4 dan
No. 8 serta No. 9.
4. Peran aktif di dunia
internasional
5. Rekonsiliasi nasional
Platform No. 10
Platform No. 3
No. 2, No. 3, No. 4,
No. 5, No. 6, No. 7,
No. 8, No. 9 serta
No. 10.
Program No. 15
Baik NCM maupun SBY-Boediono memprogramkan peran
aktif Indonesia menciptakan perdamaian dunia. Hal itu NCM
kemukakan dalam platform 10) Mengambil peran aktif dalam usaha
bersama menciptakan perdamaian dunia. Sedangkan SBY-Boediono
mencantumkannya dalam agenda 15) Peran internasional Indonesia
4
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
makin ditingkatkan, sehingga bangsa kita berbuat banyak untuk
kedamaian, kemakmuran, dan keadilan dunia. Persamaan antara
platform politik NCM dan platform politik SBY-Boediono secara jelas
dapat diringkas dalam tabel 1 tertulis di atas.
Dari sepuluh agenda dasar NCM seperti tertulis dalam tab el 1
di atas itu, hanya platform nomor tiga berupa melaksanaan rekonsiliasi
nasional saja yang secara harfiah tidak menjadi program kerja SBY,
Presiden RI saat ini. Hal tersebut membuktikan bahwa NCM adalah
seorang intelektual yang memiliki wawasan politik yang jauh ke masa
depan. Menurut Franz Magnis Suseno , wawasan politik seperti itu
lahir dari dasar-dasar inklusivisme Islam yang diyakini oleh NCM
sejak lama, sehingga memungkinkan dirinya merangkul bangsa
Indonesia, baik umat muslim maupun non -muslim, untuk saling
menerima dalam perbedaan….3 Dia mengajarkan bangsa Indonesia
nilai-nilai dan keyakinan etis dasar yang sama seperti terumus dalam
bahasa etika politik Pancasila sebagai tekad politik membangun satu
nation yang bebas, damai, sejahtera, adil dan solider. Oleh karena itu
NCM memang pantas disebut guru bangsa.
Ketajaman wawasan politik NCM yang menatap jauh ke masa
depan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, sesungguhnya sejak ia muda sudah mencolok. Hal itu terlihat
jelas sejak seruan yang membuatnya dahulu menjadi terkenal di
kalangan umat Islam Indonesia.
“Islam Yes, Partai Islam , No ? ,” merupakan salah satu seruan
NCM tentang pembaruan Islam di Indonesia pada tahun 1970. 4 Saat
itu sebagai Ketua Umum PB HMI, dia melihat meskipun jumlah
pemeluk Islam di Indonesia bertambah, tapi umat Islam telah
kehilangan semangat berijtihad karena tidak sanggup lagi
membedakan nilai-nilai transendental dan temporal sehingga tidak
3
Franz Magnis Suseno, “Nurcholish Madjid dan Inklusivisme Islam”,
dalam Abdul Halim, ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang
Membebaskan: Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta, Kompas,
Cetakan II, Oktober 2006), 164.
4
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung,
Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998 ), 204-208 .
5
Suhaimi
kreatif, seperti partai-partai atau organisasi-organisasi Islam yang
tidak menarik bagi umat Islam sendiri.
Dalam uraian tertulis di atas, tampak bahwa NCM adalah
seorang komunikator politik . Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan
oleh Dan D. Nimmo (1978) bahwa siapapun yang berada dalam
setting politik adalah komunikator politik. 5 Politik di sini dapat berarti
kegiatan pemilihan aparatur negara maupun politik dalam arti
kekuasaan atau pemimpin pemerintahan, yudikatif atau legislatif.
Sedangkan jika dilihat berdasarkan pendapat Al-Ra@zi bahwa
dakwah Islam adalah aktivitas komunikasi antar manusia yang terbaik
dan bentuk ketaatan dan ibadah yang paling sempurna.6 NCM juga
adalah seorang aktivis dakwah Islam
Hal itu pun sesuai dengan pendapat Harold D. Lasswell
mengidentifikasi secara lebih khusus komunikator polit k sebagai
mereka yang menjadi pemimpin dalam proses opini, seperti politisi
baik ideolog maupun wakil partisan, komunikator professional dan
aktivis. 7
Sejalan dengan hal itu, Dan D. Nimmo menguraikan bahwa
komunikator politik menyampaikan pesannya sebagai pembicaraan
politik bertujuan memberikan informasi dan meyakinkan
layak,
maka untuk memahami pesan politik perlu dilihat gejala linguistik
bahasa dan simbol politik serta penggunaan bahasa untuk persuasi
politik dalam wujud propaganda, periklanan maupun retorika. 8 Ilmu
yang mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia termasuk di
dalamnya tanda-tanda bahasa disebut semiotik atau “ semiologie”. 9
5
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media .
Penerjemah Tjun Surjaman (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Kelima,
2004), 13-21.
6
Muhammad Al-Razi, Tafsi>r al-Fakhri a l-Ra>zi a l-Mushtahi>r bi a lTafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih al-Ghaib (Dar Al-Fikr, Juz ke-27), 125.
7
Harold D. Lasswell, Communication in a Divided World: Opportunities
and Constrain (London, International Institute of Communications, the Loius G.
Cowan Lecture, 1977 ), 5. Lihat juga Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik
Komunikator, Pesan dan Media, 13-21.
8
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 16.
9
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta, Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Cetakan I. April 20
25. Menurut Hoed di
6
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Ada tiga ciri dalam bahasa politik yakni (1) politik berkaitan dengan
pengaturan masyarakat banyak, oleh karena itu bahasa politik harus
menjadi alat komunikasi yang menjangkau seluruh lapisan
masyarakat, (2) bahasa politik bertujuan untuk membujuk dan
merayu khalayak, dan (3) bahasa politik penuh dengan semboyan semboyan dan kata-kata bersayap seraya menghindari penggunaan
bahasa yang berkonotasi netral dan objektif. 10
Tokoh-tokoh politik mendayagunakan bahasa bukan saja
untuk menyatakan ide, pendapat, atau pikirannya, melainkan juga
untuk menyembunyikannya, karena di balik pikiran ini terdapat
kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan.11
Benedict R. O’G Anderson pun mengamati bahasa politik
Indonesia pada akhir pemerintahan Presidern Soekarno dan awal
pemerintahan Orba. Hasil pengamatannya menunjukkan bahasa
politik Indonesia merupakan tanda atau cerminan adanya suatu
penyakit yang parah. Mengutip pendapat Herbert Luethy, Anderson
mengatakan bahwa sakitnya itu tampak pada kenyataan bahwa bahasa
politik Indonesia sebagai gado-gado irasional dari uraian yang
berbelit -belit yang mengarah pada kemabukan ideologis dan
sinkretisme magis. 1 2
Pandangan senada dikemukakan oleh Geertz, bahwa yang
tidak masuk akal seperti dikemukakan Anderson memang marak di
Indonesia seperti dalam pidato-pidato Presiden Soekarno pada masa
surutnya memang kosong secara amat menyedihkan dengan bergerak
mundur ke revivalisme kultural, pengkambinghitaman rasial, dan
penciptaan musuh-musuh eksternal sebagai bentuk kepanikan
sini semiotik adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda alam kehidupan manusia,
sedang K. Bertens memakai kata semiotika yang menurut
nnya
diperkenalkan oleh C Pierce yang digunakan dengan arti yang sama dengan
semiologi. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid II, Prancis, 209.
10
Anwar, Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar (Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, Cetakan I, 1984), 19.
11
Panggabean MH, ed. Bahasa, Pengaruh dan Peranannya (Jakarta, PT
Gramedia, Cetakan I, 1981), vii-x.
12
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power Exploring Political
Cultures in Indonesia ( Ithaca and London, Cornell University Press, First
Published, 1990 ), 124.
7
Suhaimi
kepemimpinan negara lantaran gagal melingkupi masalah-masalah demografi, ekonomi, sosial, dan politik yang luas.13
Di Indonesia setiap periode pemerintahan atau rezim memiliki
kekhasan dalam repertoar bahasa politiknya. Hal itu setidaknya
tercermin masing-masing pada ideologi elit politik yang memiliki
repertoar yang membedakannya antara satu dan lain secara linguistik.
Perbedaan itu dapat dilihat pada level kosakata, gramatika, dan
struktur teks yang digunakan oleh rezim Orde Lama dan rde Baru
(Orba). Pada level kosakata, misalnya, perbedaan -perbedaan itu
akan tampak pada pilihan kata dan pergeseran maknanya yang
menjadi "arus besar" wacana politik yang menunjukkan pergantian elit
penguasa dari Orde Lama dengan ideologi “revolusi” ke Orba dengan
ideologi “pembangunan”, 14 seperti dapat dilihat dalam hasil
penelitian Jalaluddin Rakhmat , bahwa ada sejumlah kata dalam
wacana politik Orde Lama yang tidak terdengar lagi pad Orba
seperti kata “Revolusi”, “Nasakom”, “antek kapitalis”, “antek
imperialis ”, dll. Sebaliknya pada masa Orba sering terdengar kosa
kata baru yang tidak ada pada wacana Orde Lama seperti kata
“Pembangunan”, “asas tunggal”, “anti-pembangunan” , SARA,
“penataran”, dll yang secara terurai dapat diperban -dingkan dalam
tabel 1 sbb. 15 :
Tabel 2 . Perbandingan Bahasa Politik
Orde Lama
Revolusi
Nasakom
Antek kapitalis
Antek imperialis
M anipol Usdek
Orde Baru
Pembangunan
Asas Tunggal
Anti pembangunan
SARA
Penataran
13
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power, 124.
Jalaluddin Rakhmat, “Komunikasi dan Perubahan Politik Indonesia,”
dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan (Bandung,
Mizan, Cetakan II, Juni 1996), 49 -55.
15
Jalaluddin Rakhmat, “Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia”,
51-52.
14
8
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Setelah tiga dasawarsa lebih penelitian Anderson tersebut
dilaksanakan, kajian mendalam terhadap bahasa politik Indonesia
kontemporer menjadi sebuah tantangan. Perkembangan ideologi,
sosial, budaya, dan politik di Indonesia memungkinkan terjadinya
pergeseran dan perubahan repertoar dalam rangka menyesuaikan
tuntutan perkembangan tersebut. Bahasa politik era akhir Orba dan
awal reformasi tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan
era sebelumnya, yakni era Orde Lama dan Orba, khususnya "Orde
Soeharto".
Persoalan bahasa politik di Indonesia sudah cukup banyak
ditulis oleh para pakar, baik oleh pakar dari Indonesia maupun asing.
Sebagian besar tulisan itu mengkaji bahasa politik dar perspektif
ilmu -ilmu sosial, yakni ilmu politik, ilmu komunikasi massa, dan ilmu
sejarah. Dari perspektif ilmu politik, kajian terhadap bahasa politik
Indonesia dapat diperhatikan pada tulisan -tulisan Anderson (1966;
1981), van Langenberg (1990), 1 6 Hikam (1993), 17 Pabottingi (1991;
1993a; 1993b), dan Dhakidae (1992). 18 Dari perspektif ilmu
komunikasi massa, kajian terhadap bahasa politik Indonesia dapat
diperhatikan pada tulisan Rakhmat (1993). Dari perspektif ilmu
sejarah, kajian terhadap bahasa politik Indonesia dapat diperhatikan
pada tulisan Farid (1994). 19
Sebaliknya, kajian bahasa politik dari perspektif ling istik
relatif belum begitu banyak dikerjakan. Kajian bahasa politik dari
16
Michael van Langenberg, “Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi,
Hegemoni,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan
Kekuasaan , 223 -245.
17
Muhammad AS Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran “Discursive
Practice,” Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 77-93.
18
Daniel Dhakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru,” dalam
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 246-251.
19
Hilman Farid, “Menemukan Bahasa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik,
dan Nasionalisme Indonesia,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds.
Bahasa dan Kekuasaan , 107 -123.
9
Suhaimi
perspektif kebahasaan pertama dilakukan oleh Hooker (1 0)2 0
dengan mempergunakan pendekatan linguistik fungsional-sistemik
Halliday (1985), khususnya trilogi konteks situasi yakni wilayah
wacana (fi eld of discourse), penyampai wacana (tenor of discourse),
dan modus wacana (mode of discourse). Kajian kedua dilakukan oleh
Heryanto (1992; 1993; 1996) dengan mempergunakan pendekatan
sosiopolitikolinguistik. 21 Kajian ketiga dilakukan oleh Tampubolon
(1998) dengan mempergunakan pisau analisis teori semantik generatif
Chafe (1971), Lech (1974), dan Nida. (1975).22
Khusus berkaitan dengan bahasa politik Islam, Bernard Lewis
membatasi pembah asannya tentang bahasa politik Islam hanya pada
bahasa Arab, Turki dan Persia, Analisisnya dalam, The Political
Language of Islam (1991), seperti dijelaskan oleh Azyumardi Azra,
menunjukkan bahwa bahasa Persia dan Turki mempunyai andil besar
dalam memperkaya bahasa politik Islam. 23 Hal itu tentu berkaitan
dengan pergeseran geo-politik dan pusat-pusat kekuasaan muslim.
Dalam tulisannya yang lain berjudul “Bahasa Politik Islam di
Asia Tenggara ,” Azra menegaskan sejauh ini belum ada studi khusus
tentang bahasa politik Islam di Asia, khususnya Asia Tenggara.
Berdasarkan argumentasi Lewis, dia menandaskan bahwa proses
penyebaran Islam secara damai di Asia Tenggara memberi
konsekuensi wilayah muslim Asia Tenggara merupakan yang paling
kurang tersentuh usaha Arabisasi. Mayoritas penduduk di Nusantara
menerima Islam melalui proses yang lebih tepat adhesi daripada
konversi, penerimaan berangsur-angsur daripada penerimaan
20
Virginia Matheson Hooker, “The New Standardization of Language”,
terjemahan, Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, dalam
Latif dan Idi Subandy
Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan , 56-93.
21
Ariel Heryanto, “Pembakuan Bahasa dan totalitarianism,” dalam Yudi
Latif dan Idi Subandy Ibrahim, eds., Bahasa dan Kekuasaan , 252.
22
Tampubolon, DP, “Gejala-Gejala Kematian Bahasa:Suatu Observasi
Ragam
Politik Orde
Baru ,” Sinar
Harapan , 24 Oktober
1998.
http://www.sinarharapan. co.id/opini/9810/19/ sh98/html.
23
Azyumardi Azra, Bahasa Politik dan Politik Bahasa: Islam dalam
Pandangan Lewis, dalam Abas Al-Jauhari, ed., Pergolakan Politik Islam dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta, Paramadina,
Cetakan I, Mei 1996), 231.
10
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
sepenuhnya atas eksklusivisme Islam. 24 Meskipun demikian bahasa
politik Islam di Melayu -Indonesia, sangat dipengaruhi bahasa politik
Islam yang berlaku di Timur Tengah.
Mochtar Pabottingi menilai bahwa studi komunikasi politik
menjadi tanda sebuah pendekatan baru dalam ilmu politik di mana
bahasa secara ontologis dilihat sebagai alat atau “wak l” suatu
kekuasaan dan secara epistimologis dilihat berdasarkan pemahaman
bahwa bahasa adalah produk suatu zaman/ kebudayaan/kekuasaan,
bahasa lalu dilihat sebagai paradigma.25 Menurut Pabottingi contoh
penggunaan bahasa sebagai paradigma dalam studi ilmu politik antara
lain dilakukan oleh Anderson dalam tulisannya yang terkenal The
Language of Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and
Monuments: The Evolutions of Political Communications under the
New Order,” tahun 1978 yang berisikan tesis bahwa Bahasa Indonesia
sudah kehilangan etos “revolusioner”-nya, karena tertimpa proses
penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya ini tak
ada lagi. Ia sudah mengalami proses kramanisasi. Ia sudah
terperangkap dalam “imaji orang Jawa tentang politik” dimana
topeng (mask) punya peranan penting. Selain itu dua puluh tahun
sesudah kemerdekaan, bahasa Indonesia “sama sekali bukanlah bah asa
sehari-hari yang dipakai oleh lebih dari sejumlah kecil” penduduk
Indonesia. 26
Tesis serupa dikemukakan pula oleh James Siegel dalam ”Solo
in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City ”,
New Jersey: Princeton University Press, 1986, bahwa komunitas
bahasa Jawa “memperlakukan bahasa lain seolah -olah semuanya itu
24
Azyumardi Azra, “Bahasa Politik Islam di Asia Tenggara”, dalam Idris
Thaha, ed., Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan
(Bandung, PT Remaja Rosda Karya, Cetakan Kedua, Mei 2000), 75-76.
25
Mochtar Pabottingi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik”
dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, ed. Indonesia dan Komunikasi Politik
(Jakarta, Gramedia, 1993 ), 45-50.
26
Benedict R. O. G. Anderson, Cartoons and Monuments: The Evolution of
Political Communication under the New Order, dalam Karl D. Jackson and Lucian
W. Pye, Political Power and Communications in Indonesia (California, University
of California Press, First Edition, 1978), 319 -331.
11
Suhaimi
termasuk bahasa “ ngoko ” dan komunitas ini memperkenankan “para
pelaku bahasa-bahasa tersebut kedalam komunitas wacana yang
dirumuskan sebagai bahasa krama.”27
Pabottingi kemudian menyanggah tesis Anderson tentang
kramanisasi dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan paling tidak
ada 3 kelompok pelaku bahasa Indonesia yang tidak melakukan
bahasa politesse (baca: halus-topeng-aling-aling) atau kramanisasi: 1)
kelompok sastrawan kreatif/populer, 2) kaum cendikiawan 3)
komunitas atau pertemuan yang bersifat keagamaan.2 8
Dalam bagian tulisannya yang lain, Pabottingi lebih lanjut
mencatat setidaknya ada empat praktek bahasa yang distortif dalam
komunikasi politik sebagai berikut: Distorsi bahasa sebagai topeng,
distorsi bahasa sebagai proyek lupa, distorsi bahasa sebagai
representasi dan distorsi bahasa sebagai ideologi.
Dalam menjelaskan distorsi bahasa sebagai ideologi, dia
mencatat ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distorsi
ideologis. 1) Perspektif yang mengidentikkan kegiatan
ik sebagai
hak istimewa sekelompok orang; dan 2) Perspektif yang semata-mata
menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik.
Menurutnya untuk menghindari kedua perspektif distorsi di
atas, maka perlu adanya alternatif baru yang menekankan pada
prosedur politik yang bertolak dari pandangan bahwa tujuan -tujuan
politik selamanya akan berbeda-beda bukan hanya dari satu bangsa ke
bangsa lain, tapi juga dari satu individu/kelompok ke
individu/kelompok lain. Pabottingi mencontohkan bahwa perhatian
besar pada prosedur inilah yang membuat Habermas sangat gigih
berbicara tentang syarat-syarat bagi terciptanya suatu komunikasi
politik yang ideal dimana setiap unit politik bisa maju dan
berkembang secara demokratis. 29
27
Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan” dalam Yudi
Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed., Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di
Panggung Orde Baru (Bandung, Mizan, Cetakan Ke-2, Juni 1996), 154.
28
Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan”, 156-157.
29
Mochtar Pabottingi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu
Politik”, 54-64.
12
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Jurgen Habermas adalah pendukung teori kritis yang
melakukan perubahan paradigma “filsafat subjek” model Cartesian ke
“filsafat komunikasi,” menurutnya komunikasi atau interaksi
merupakan tindakan manusia yang paling dasar. Habermas
berpendapat bahwa kritik ideologi dapat dijalankan dalam empat
tahapan 1) Deskripsi dan interpretasi dari situasi yang ada dengan
penelitian hermeneutik, 2) Melakukan refleksi terhadap faktor
penyebab situasi yang ada serta tujuan yang ingin dicapainya, 3)
Menyusun agenda untuk mengubah situasi menuju masyarakat
egaliter; 4) Melakukan evaluasi terhadap pencapaian situasi yang lebih
egaliter dan demokratis yang telah dicapai. 30
Penelitian ini menggunakan analisis teks semiotik yang tidak
berhenti pada kajian tanda dalam jenis, struktur dan maknanya secara
individu, akan tetapi melingkupi pemilahan tanda-tanda yang
dikombinasikan dalam pola-pola yang lebih besar sebagai teks dan
pesan verbal seperti yang dikemukakan oleh Roland Barthes (19151980) . Dalam tulisan ini teks agenda dasar atau platform NCM
“Membangun Kembali Indonesia” akan dianalisis sebagai pesan
politiknya.
Bersamaan dengan itu penelitian ini menggunakan juga
analisis hermeneutik terhadap teks agenda dasar NCM “Membangun
Kembali Indonesia” dalam relasinya dengan banyak teks lain. Proses
penafsiran dalam hermeneutik disebut hermeneutic circle. Orang
menafsirkan suatu teks dimulai dengan cara dia memeriksanya d alam
istilah -istilah pengertian umum yang mungkin teks itu miliki,
dia
memberi batasan pengertian umum itu dengan mengujinya
teks
tersebut. Demikian seterusnya proses penafsiran dapat
dimulai
dari spesifik ke umum.31
Lebih lanjut penulis bermaksud meneliti bagaimana makna
bahasa politik NCM seperti yang ditulisnya secara tekstual dalam
agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dengan judul Bahasa
30
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistimologi Modern Dari
Posmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme Hingga Cultural Studies (Jakarta,
Pustaka Indonesia Satu, Cetakan Pertama, April 2006), 44-45.
31
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication (California,
Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 211.
13
Suhaimi
Politik Nurcholish Madjid: Analisis
“Membangun Kembali Indonesia”.
Semiotik
terhadap
Platform
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dengan
judul tertulis di atas, penulis merumuskan permasalahan pokok
penelitian ini adalah bagaimana makna pesan politik NCM yang
ditulisnya secara tekstual menjadi agenda dasar “Membangun
Kembali Indonesia” dalam buku Indonesia Kita yang diterbitkan oleh
Universitas Paramadina, Cetakan ketiga, Maret 2004. Permasalahan
pokok itu kemudian penulis uraikan dalam beberapa permasalahan
terkait sebagai berikut:
1. Bagaimana makna pesan politik NCM dalam sepuluh
agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dilihat
berdasarkan lingkungan teks dan dialog dengan teks
lainnya (intertekstualitas)?
2. Bagaimana makna struktur bahasa politik NCM (makna
pembentukan unsur-unsur teks) dan bagaimana NCM
menyusun dan memaknai nilai-nilai ajaran Islam dalam
politik (makna teks berdasarkan latar belakang pemroduksi
teks) seperti yang ditulisnya secara tekstual dalam sepuluh
agenda dasar politik “Membangun Kembali Indonesia”?
Penelitian ini lebih lanjut akan memperkuat bantahan Mochtar
Pabottingi terhadap tesis Anderson bahwa bahasa Indonesia sudah
kehilangan etos “revolusioner”-nya, karena tertimpa proses
penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya ini tak
ada lagi. Ia sudah mengalami proses kramanisasi. Ia sudah
terperangkap dalam “imaji orang Jawa tentang politik” dimana
topeng (mask) punya peranan penting dalam tulisannya yang terkenal
The Language of Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and
Monuments: The Evolutions of Political Communications under the
New Order,” tahun 1978.
Tesis serupa dikemukakan pula oleh James Siegel dalam ”Solo
in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City”,
New Jersey: Princeton University Press, 1986, bahwa komunitas
bahasa Jawa “memperlakukan bahasa lain seolah -olah semuanya itu
14
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
termasuk bahasa “ ngoko ” dan komunitas ini memperkenankan “para
pelaku bahasa-bahasa tersebut kedalam komunitas wacana yang
dirumuskan sebagai bahasa krama.”3 2 Hasil penelitian ini pun
membantah tesis Siegel tersebut. Almarhum NCM sebagai seorang
cendikiawan muslim terkemuka tidak menggunakan bahasa Indonesia
sebagai topeng dengan cara penghalusan kata berupa gaya bahasa
eufemisme seperti tertulis dalam platform “Membangun Kembali
Indonesia”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan merumuskan konsep bagaimana
bahasa politik NCM yang ditulisnya secara tekstual dalam agenda
dasar “Membangun Kembali Indonesia” dan telah dipublikasikan
kepada masyarakat Indonesia. Di samping itu penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui makna bahasa politik NCM seperti yang
ditulisnya secara tekstual menjadi sepuluh agenda dasar
“ Membangun Kembali Indonesia”;
2. Mengungkap bagaimana makna intertekstualitas pesan
politik NCM dan menjelaskan makna nilai-nilai ajaran
Islam dalam politik seperti yang ditulis oleh NCM secara
tekstual menjadi sepuluh agenda dasar “Membangun
Kembali Indon esia”;
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang bahasa politik NCM ini dapat memberikan
kontribusi sbb.:
1. Secara teoritis
Penelitian ini menambah khazanah ilmiah dalam konsep
komunikasi pilitik di Indonesia berupa bukti-bukti empiris
sosialisasi penerapan nilai-nilai Islam dalam
sistem
demokrasi politik Indonesia modern;
2. Secara praktis
32
Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan,” dalam Yudi
Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed. 154.
15
Suhaimi
Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian mendalam bagi
partai-partai politik di Indonesia dalam rangka
melaksanakan pembangunan nasional
berdasarkan
karakter nilai-nilai keindonesiaan dan keislaman .
E. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian tentang komunikasi politik sesungguhnya sejak dini
telah menjadi subjek yang menarik perhatian tokoh -tokoh pertama
ilmu komunikasi di Indonesia, seperti terlihat dalam disertasi Astrid S.
Susanto Sunario tentang pengaruh kekuatan politik di lik pendirian
Dewan Pers di Inggris – “Die Politischen Krafte hinter der Enstehung
des Britischen Presserates” tahun 1964 dan disertasi M. Alwi Dahlan
berjudul “Anonymous Disclosure of Goverment Information as a
Form of Political Communication,” di University of Il inois tahun
1967.
Harsono Suwardi pada tahun 1993 menulis buku berjudul
Peranan Pers dalam Politik di Indonesia , Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, membahas bagaimana kontribusi media massa dalam proses
kehidupan politik bagi para pembaca pada Pemilui 1987
1992 di
Indonesia. Menurutnya komunikasi politik adalah setiap bentuk
penyampaian pesan politik, baik berupa lambang, kata-kata
terucapkan, atau tertulis, ataupun melalui pesan -pesan visual, baik
secara langsung ataupun tidak kepada sejumlah sasarannya.33
Pada tahun 2004 Asep Saeful Muhtadi menulis buku berjudul
Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan Pemikira Politik
Radikal dan Akomodatif, Jakarta, LP3ES, Cetakan I, membahas
bagaimana Nahdlatul Ulama meneruskan informasi politik dari
penguasa kepada ummat dan mengemukakan kepentingan ummat ke
pihak penguasa.34
Empat tahun kemudian, pada tahun 2008 Asep Saeful Muhtadi
pun menulis buku berjudul Komunikasi Politik Indonesia dinamika
33
Harsono Suwardi, Peranan Pers dalam Politik (Jakarta,
Pustaka
Sinar Harapan, Cetakan I, 1993), 44.
34
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan
Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif (Jakarta, LP3ES, Cetaka n I, 2004), 8.
16
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Islam Politik Pasca -Orde Baru , Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
Cetakan I, membahas tentang peran -peran yang dimainkan kekuatankekuatan Islam dalam politik yang pada umumnya dilakukan secara
individual dan tidak dilakukan secara kelembagaan baik yang disadari
atau tidak disadari. Proses tersebut pada dasarnya telah membawa
kekuatan Islam dalam ruang politik praktis. 35
Studi komunikasi politik juga menjadi tanda sebuah
pendekatan baru dalam ilmu politik di mana bahasa secara ontologis
dilihat sebagai alat atau “wakil” suatu kekuasaan dan secara
epistimologis dilihat berdasarkan pemahaman bahwa bahasa adalah
produk suatu zaman/kebudayaan/kekuasaan, bahasa lalu dilihat
sebagai paradigma. Paradigma positivisme telah memberikan
sumbangan yang besar dalam penelitian bahasa politik dan sejak
lahirnya paradigma baru dalam penelitian, yakni postpo isme
dengan model pendekatan kualitatif, khazanah penelitian bahasa
politik pun bertambah. Kini mulai dikembangkan teori-teori baru yang
secara internal dalam ilmu bahasa maupun teori-teori yang lahir dari
perpaduan dengan ilmu -ilmu lainnya. Dalam ilmu komunikasi
misalnya dikembangkan teori-teori analisis wacana, stilistika,
semiotik, dramaturgi, yang merupakan teori-teori sastra dan bahasa, di
samping teori-teori sosial teori dan teori-teori psikologi. Teori-teori ini
biasanya dijadikan alat untuk mengkaji teks media. 36
Politisasi bahasa memang sudah menjadi karakter dari
penggunaan bahasa kekuasaan Orde Baru. Penguasa Orde Baru telah
menjadikan bahasa sebagai subordinat dari kekuasaan politik yang
tercermin dalam pembangunan. Bahasa telah direkayasa sebagai
komoditas politik demi kepentingan kelompok-kelompok dominan.
Munculnya istilah-istilah eufimisme yang secara makna dikudeta oleh
para penguasa Orde Baru telah mengubah pandangan dan cara berpikir
masyarakat Indonesia yang menjadi subjek bahasa.37 Kata rawan
35
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia Dinamika Islam
Politik Pasca -Orde Baru (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan I, 2008), iii.
36
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung, Rosdakarya, 2001), 143.
37
Virginia Matheson Hooker, “The New Standardization of Language”,
90.
17
Suhaimi
pangan berbeda makna dengan kelaparan, karena dalam pikiran kita
tidak pernah hadir bayangan orang-orang yang kelaparan karena tidak
ada yang bisa dimakan. Demikian pula kata demi nusa dan bangsa.
atau demi persatuan dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita
tidak berpikir kritis. Di sini bahasa politik merupakan bahasa yang
dipergunakan para elite politik dan elite birokrasi untuk
menyampaikan kepentingan -kepentingan kekuasaan.
Berdasarkan uraian di atas dan fakta -fakta di lapangan, bahasa
politik akan bercirikan: 1) terjadinya politisasi makna atas bahasabahasa yang dipergunakan -nya; 2) terjadi penghalu -san makna, dalam
bentuk eufimisme bahasa dan 3) terjadinya bentuk-bentuk bahasa
propaganda dalam rangka meyakinkan pihak lain, terutama
masyarakat. Propaganda yang paling berbahaya adalah bahasa-bahasa
agitasi (menebar permusuhan) dan bahasa-bahasa rumor (tidak jelas
sumber beritanya).38
Sementara karya tulis
tentang
NCM pada ghalibnya
berhubungan dengan studi Islam seperti dalam tesis pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis oleh Ahmad Tho’at (2002)
berjudul “ Gerakan Dakwah Islam Kultural dan Islam Skriptural di
Indonesia 1970 -1998 : Studi Komperatif Nurcholish Madjid dan A.M.
Fatwa,”39 dan tesis Muhammad Afif (2003), “Teologi Islam tentang
Agama-Agama Studi Kritis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid,”4 0
dengan permasalahan pokok bagaimana keabsahan dan posisi
pemikiran atau gagasan teologi agama-agama NCM dalam doktrin
ajaran Islam (Al-Qur’an) dan masih relevankah pemikiran atau
gagasan teologi agama-agama NCM dengan kondisi bangsa Indonesia
saat ini, serta tesis Siti Nadrah, “Pandangan Keagamaan Nurcholish
Madjid: Perspektif Paham Keagamaan Post-Modernisme.”.
38
Anwar, Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar, 19.
Ahmad Thoat, “Gerakan Dakwah Islam Kultural dan Islam Skriptural di
Indonesia 1970-1998: Studi Komperatif Nurcholish Madjid dan A.M. Fatwa”
(Jakarta, Sekolah Pascasarjana Institut agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2002).
40
Muhammad Afif, “Teologi Islam tentang Agama-Agama Studi Kritis
terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid” (Jakarta, Sekolah Pascasarjana Institut
agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003).
39
18
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Chaeder S. Bamualim pada tahun 1998 menulis tesisnya di
Universitas Leiden tentang pembaruan Islam NCM berjudul
“Transforming the Ideal Transcendental into Historical Humanistic:
Nurcholish Madjid Islamic Thingking in Indonesia (1970-1995), ” dan
pada tahun 1999 Siti Fatimah menulis tesis di McGill University
berjudul, “Modernism and Contextualization of Is lamic Doctrines:
The Reform of Indonesian Islamic Preoposed by Nurcholish Madjid .”.
Sedangkan karya tulis dalam bentuk buku tentang NCM antara
lain adalah buku yang berisikan kritik terhadap ide sekularisasi NCM
Sekularisme dalam Persoalan Lagi ,41 oleh M. Rasjidi, Jakarta,
Yayasan Bangkit, 1972 dan Kritik atas Paham dan Gerakan
Pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid ,4 2 oleh Endang Saefuddin
Anshori, Bandung, Bulan Sabit, 1973, serta buku Modernisasi
Indonesia: Respon Cen dikiawan Muslim,4 3 Jakarta, LSI, 1987 karya
Muhammad Kamal Hassan yang diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha
dari disertasinya di Columbia University tahun 1975 berjudul
“ Muslim Intelectual Responses to “New Order” Modernization in
Indonesia.”.
Buku Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan ,4 4
Jakarta, Usamah Press, 1993 dan buku Menggugat Pembaharuan
Pemikiran Keagamaan ,45 Jakarta, LSIP, 1995 keduanya ditulis oleh
Daud Rasyid yang mengkritisi apa saja kesalahan -kesalahan ide
pembaruan Islam NCM secara evaluatif, seperti halnya buku
Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Cak Nur,4 6
oleh Abdul Qadir Djaelani, Bandung, Yadia, 1994.
41
M. Rasjidi, Sekularisme dalam Persoalan Lagi (Jakarta, Yayasan
Bangkit, 1972).
42
Endang Saefuddin Anshori, Kritik atas Paham dan Gerakan
Pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid (Bandung, Bulan Sabit, 1973).
43
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon
Cendikiawan Muslim,” terj. Ahmadie Thoha ( Jakarta, LSI, 1987 ).
44
Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan
(Jakarta, Usamah Press, 1993).
45
Daud Rasyid, Menggugat Pembaharuan Pemikiran Keagamaan
(Jakarta, LSIP, 1995).
46
Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Cak
Nur (Bandung, Yadia, 1994 ).
19
Suhaimi
Greg Barton dari Monash University pada Departement of
Asian Studies and Languages pada tahun 1995 menulis disertasi
berjudul “ The Emergences of Neo -Modernism: A Progressive, Liberal
Movement of Islamic Thought in Indonesia (A Textual Study
Examining the Writing of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib and Abdurrahman Wahid 1968-1980 ).”. Disertasi ini
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Nanang Tahqiq
dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme N urcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid ,47 diterbitkan oleh Paramadina bekerjasama
dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI dan the ord
Foundation tahun 1999. Isinya secara deskriptif memaparkan
pembaruan pemikiran Islam NCM tanpa berpretensi menilainya atau
meng-kritisinya. Kajian atas pemikiran NCM dalam buku ini
menyangkut tiga hal: 1) Pembaruan pemikiran Islam; 2) Islam dan
masyarakat modern-industrial dan 3) Islam dan hubungan antara iman
dan ilmu.
Hasil penelitian Amir Aziz yang diterbitkan bekerjasama
dengan The Toyota Foundation dan Yayasan Ilmu -Ilmu Sosial Jakarta
dengan judul Neo -Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral
Nurcholish Madjid dan Abdurraman Wahid,. Penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagai tokoh neo -modernis pemikiran NCM
secara adil menakar kelebihan modernisme dan tradisionalisme dalam
Islam dan merumuskannya dalam pandangan Islam yang
komprehensif bercirikan watak inklusivismenya terutama terlihat
dalam pemikiran -pemikiran NCM tentang masalah -masalah
aktualyang terjadi di tengah umat Islam Indonesia, terutama dalam
bidang sosial dan politik.
Buku karya Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim
meneliti perbandingan pemikiran dan aksi politik cendi iawan muslim
Indonesia pada dekade 1980 -1990an dengan judul, Zaman Baru
47
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran NeoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman
Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta, Paramadina bekerjasama dengan Pustaka
Antara, Yayasan Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation tahun 1999 ).
20
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Muslim Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid,
M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat ,48 Jakarta,
Penerbit Zaman Wacana Mulia, Cetakan I, 1998. Buku ini berasal dari
tesis Dedy Djamaluddin Malik di Universitas Padjajaran, Bandung,
tahun 1992.
Buku Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat
Madani Nurcholish Madjid ,49 oleh Sufyanto, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar dan LP2IF, 2001 dan buku Pluralisme Borjuis: Kritik atas
Nalar Pluralisme Nurcholish Madjid ,5 0 oleh Nur Kholik Ridwan,
Yogyakarta, Galang Press, 2002. Pembahasan buku pertama
menitikberatkan pada konsep masyarakat madani yang dikemukakan
oleh NCM berkaitan dengan persoalan sosial politik bangsa Indonesia.
Sedangkan buku kedua menguraikan tentang gagasan pluralismenya
secara kritis dalam perspektif sosiologi.
Demikian pula Andi Faisal Bakti menuliskan hasil
penelitiannya pada tahun 2004 berjudul “Paramadina and its
Approach to Culture and Communication: an Engagement in Civil
Society,” dalam jurnal TIRE A PART ARCHIPEL 68. Isinya antara
lain berkenaan tentang konsep civil society dan masyarakat madani
menurut NCM yang terdiri dari berbagai pendekatan Paramadina
dalam upaya mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
Satu tahun kemudian Bakti secara lebih khusus meneliti
tentang pemikiran NCM dalam satu tulisannya yang dimuat dalam
Asian Journal of Social Science berjudul “ Islam and Modernity:
Nurcholish Madjid’s Interpretation of Civil Society, Pluralism,
Secularization, and Democracy ,” mengungkapkan bahwa NCM
menggunakan pendekatan budaya dalam kerangka nasionalisme
48
Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Muslim
Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholish Madjid, Jala luddin Rakhmat (Jakarta, Penerbit Zaman Wacana Mulia,
Cetakan I, 1998).
49
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat
Madani Nurcholish Madjid (Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan LP2IF, 2001).
50
Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme
Nurcholish Madjid (Yogyakarta, Galang Press, 2002).
21
Suhaimi
Indonesia untuk membahas masalah sosial dan politik umat Islam di
Indonesia.51
Buku karya Fauzan Saleh diterbitkan pada bulan Juli tahun
2004 berjudul Teologi Pembaruan Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonesia Abad XX, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I,
antara lain berisikan tentang konsep Islam kultural NCM. 5 2
Buku karya Idris Thaha berjudul Demokrasi Religius
Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,53 Jakarta,
Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan, 2004 merupakan hasil penelitian
tentang kesesuaian antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi di
Indonesia. Buku ini berisikan kajian ilmu politik yang meneliti
perbandingan pemikiran dan aksi politik M. Amien Rais dan NCM
termasuk sebagian butir-butir platform politik NCM, tapi tidak
membahas tentang rekonsiliasi nasional dan reformasi ekonomi.
Ann Kull pada tahun 2005 menulis buku dari disertasinya
berjudul “ Piety and Politics: Nurcholish Madjid
and His
Interpretation of Islam in Modern Indonesia,” pada Departement of
History and Anthropology of Religion, Lund University, Sweden yang
menekankan pembahasan tentang masalah keagamaan dan politik.5 4
Pada bulan Juli 2010 Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
Faisal Ismail menulis buku Membongkar Kerancuan Pemikiran
Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam, Jakarta,
Lasswell Visitama. 55
Alkhendra dalam disertasinya melakukan kajian komparatif
pemikiran tentang Islam antara Harun Nasution, Munawir Sjadzali
dan NCM dengan judul “ Pergulatan Pemikiran Islam Kontemporer di
51
Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid’s
Interpretation of Civil Society, Pluralism, Secularization, and Democracy” dalm
Brill (Leiden: Brill Academic Publisher, 2005).
52
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonesia Abad XX (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, Juli 2004).
53
Idris Thaha, Demok rasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid
dan M. Amien Rais (Jakarta, Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan, 2004).
54
Nurcholish Madjid, “Memadukan Kesalehan dan Politik,” Studia
Islamika , Volume 12, Number 2, 2005.
55
Faisal Ismail ,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid
Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam (Jakarta, Lasswell Visitama, 2010).
22
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Indonesia: Studi terhadap Pemikiran Harun Nasution, Mu
ir
56
Sjadzali dan Nurcholish Madjid.”
Disertasi lainnya yang
mengikutsertakan NCM sebagai subjek penelitian adalah karya Awis
Karni berjudul “ Dakwah Islam di Perkotaan: Studi Kasus Yayasan
Wakaf Paramadina.”.
Disertasi yang khusus meneliti NCM sebagai subjek penelitian
dari perspektif dakwah Islam adalah karya Abdul Pirol berjudul
“ Gerakan dan Pemikiran Dakwah Nurcholish Madjid ,” di dalamnya
dinyatakan bahwa NCM adalah seorang cendikiawan muslim yang
melaksanakan dakwah Islam melalui pendekatan communitarian yang
mengedepankan tindakan partisipatoris. 57 Selain itu penelitian yang
khusus membahas pemikiran NCM tentang sekularisasi dan
pluralisme telah dilakukan oleh Muhammad Rusydi berjudul “Analisis
terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi dan
Pluralisme,” penelitian ini menguraikan secara historis gagasan NCM
tentang sekularisasi dan pluralisme. 58
Sepanjang pengetahuan penulis dan berdasarkan tinjauan
kepustakaan tertulis di atas, penulis menganggap persoalan bagaimana
makna pesan politik NCM yang ditulisnya secara tekstual menjadi
sepuluh agenda dasar “Membangun Kembali Indonesia” dalam buku
Indonesia Kita yang diterbitkan oleh Universitas Paramadina, Cetakan
ketiga, Tahun 2004, belum diteliti secara khusus dan mendalam
sehingga dapat mengungkap bagaimana bahasa politik NCM dan apa
maknanya serta relevansinya dengan pembangunan RI pasca era
reformasi ini.
56
Alkhendra , “Pergulatan Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia:
Studi terhadap Pemikiran Harun Nasution, Munawir Sjadzali dan Nurcholish
Madjid” (Jakarta, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 20 05).
57
Abdul Pirol, “Gerakan dan Pemikiran Dakwah Nurcholish Madjid”
(Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008).
58
Muhammad Rusydi, “Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid
tentang Sekularisasi dan Pluralisme” (Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 09).
23
Suhaimi
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Ilmu Komunikasi
Sebagai bagian dari ilmu sosial, ilmu komunikasi merupakan
bidang ilmu pengetahuan multi paradigma atau multi paradigm
science. Teori-teori dan penelitian ilmiah komunikasi sekurangnya
bisa dikelompokkan ke dalam tiga paradigma, yaitu 1.Classical
paradigm yang mencakup positivism dan post positivism, 2.Critical
paradigm dan 3.Constructivism paradigm.59
Manusia sebagai objek kajian ilmu sosial dapat didekat
dengan berbagai macam paradigma yang merupakan seperangkat
teori, prosedur dan asumsi yang diterima tentang bagaimana peneliti
melihat dunia ( world ), suatu paradigma didasarkan pada aksiomaaksioma, p ernyataan-pernyataan yang secara universal diterima
sebagai suatu kebenaran.60
Dalam pendekatan paradigma klasik, kebenaran suatu
penelitian komunikasi diperoleh berdasarkan pengujian hipotesis
dalam struktur hypotetico deductive method , yang dilaksanakan
melalui uji eksperimen, atau survei eksplanatif dengan analisis
kuantitatif untuk mencapai kriteria kualitas penelitian yang objektif,
valid dan reliabel.
Sedangkan menurut paradigma kritis kebenaran suatu
penelitian komunikasi dihasilkan berdasarkan analisis komprehensif,
kontekstual, dan multi level analisis yang bisa dilakukan melalui
penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi
sosial. Dalam hal ini peneliti menjalin interaksi dengan informan yang
diteliti untuk memenuhi kriteria kualitas penelitian berupa historical
59
Dedy N. Hidayat, “Paradigma dan Perkembangan Penelitian
Komunikasi,” dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Menuju
Paradigma Baru Penelitian Komunikasi (Bandung, Remaja Rosdakarya dan ISKI,
April 1999, Vol. III), 32.
60
Turnomo Rahardjo, “Triangulasi Penerapannya dalam Studi Komunikasi
Antar Budaya”, dalam M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi
Teori dan Aplikasi (Yogyakarta, Gitanyali, Cetakan Pertama, Oktober 2004), 4 -5.
Lihat juga Dedy N. Hidayat, “Paradigma….”, 41. Dia mengutip dari Guba dalam
teks aslinya sbb. “ ... a set of basic beliefs (or methaphysics) that deals with
ultimates or first principles … a world view that defines, for its holder, the nature of
the world… ”
24
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
situatedness yaitu sejauh mana penelitian memperhatikan konteks
historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Sementara itu pada paradigma konstruktivis, kebenaran
penelitian komunikasi diperoleh melalui metode-metode kualitatif
seperti participant observation dengan menekankan empati dan
interaksi dialektis antara peneliti dan informan untuk merekonstruksi
realitas yang diteliti. Dalam paradigma ini kriteria
kualitas
penelitiannya adalah sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik
dari realitas yang dihayati oleh para pelakunya.6 1 Sekarang ini,
menurut J.J.J.M. Wuisman, konstruktivisme sosial bersama dengan
interaksionisme simbolis, etnometodologi dan fenomenologi masuk
dalam “aliran Interpretatif” atau “aliran hermeneutik” yang memiliki
ciri utama memberikan peranan kunci kepada gagasan dalam pikiran
orang dan ekspresi simbolisnya dalam kehidupan sehari-hari. 6 2 Dalam
pendekatan interpretatif ini kehidupan sosial mirip sebuah teks atau
karya seni yang memiliki keseluruhan susunan makna yang perlu
diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti.
Sedangkan pokok penelitian pendekatan interpretatif adalah
individu sejauhmana mampu mengendalikan kelakuannya, mempunyai kemauan tertentu atau bertindak secara spontan. Kelakuan
manusia dapat dijelaskan hanya dengan cara menghubungkannya pada
“sasaran spesifik individu bersangkutan yang ingin mencapainya.” Ini
berarti, penjelasan terdiri dari “pemberian alasan atau motif” untuk
kelakuan. 63
61
Bandingkan dengan pendapat Mohammed Abed al-Jabiri yang
mengatakan bahwa perkembangan epistimologi modern sesungguhnya baru sampai
sebatas epistimologi baya@ni yang berkembang pada awal perkembangan
peradaban Islam. Dia mengingatkan bahwa sebenarnya dalam peradaban Islam
terdapat epistimologi burh a@ni yang berasaskan kesadaran ontologism terhadap
realitas alam, sosial dan manusia dan epistimologi irfa@ni yang menekankan
pengalaman pribadi dalam menemukan kebenaran. Lihat M. Dawam Rahardjo,
“Krisis Peradaban Islam”, dalam Abd Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang
Fanatisme Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta, Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Cetakan I, Juli 2007 ), 34 -35.
62
J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial (Jakarta, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, Cetakan I, Jilid I), 64.
63
J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial, 65.
25
Suhaimi
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berpedoman
pada 6 asumsi dasar: 1) Peneliti kualitatif lebih menekankan perhatian
pada proses, bukan hasil atau produk; 2) Peneliti kualitatif tertarik
pada makna bagaimana orang membuat hidup, pengalaman,
struktur dunianya masuk akal; 3.Peneliti kualitatif merupakan
instrument pokok untuk pengumpulan dan analisa data; 4) Peneliti
kualitatif melibatkan kerja lapangan;64 5) Peneliti kualitatif bersifat
deskriptif dalam arti peneliti tertarik pada proses, makna, dan
pemahaman yang didapat melalui kata atau gambar; 6). Proses
penelitian kualitatif bersifat induktif dimana penelit membangun
abstrak, konsep, hipotesis dan teori serta rincian. 65
3. Teknik pengumpulan data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini
adalah metode obsevasi. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan
memperhatikan hubungan antara berbagai aspek dalam fenomena
tersebut., Dalam penelitian ini observasi ditujukan dengan melakukan
studi kepustakaan terhadap butir-butir pemikiran NCM tentang politik
dalam platform “Membangun Kembali Indonesia.”.
4. Sumber data primer
Sumber data primer penelitian ini adalah butir-butir pemikiran
NCM tentang politik dalam platform “Membangun Kembali
Indonesia” yang tertulis dalam buku karya NCM berjudul Indonesia
Kita , Jakarta, Universitas Paramadina, Cetakan III, 2004. 66
Di samping itu data primer penelitian ini diperoleh juga dari
studi kepustakaan yang ditulis oleh NCM mengenai subjek
pembahasan terkait seperti karyanya berjudul Islam Doktrin dan
Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
64
John W. Creswell, Reseach Design Qualitative and Quantitative
Approaches, terjemahan angkatan III&IV KIK-UI dan Nur Khabibah (Jakarta, KIK
Press, 2002), 139-140.
65
John W. Creswell, Reseach Design Qualitative and Quantitative
Approaches, 140.
66
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita .
26
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Kemanusiaan, dan Kemoderenan .67 Jakarta, Paramadina, Cetakan
Keempat, September, 2000 dan buku -buku kumpulan tulisan karyanya
yang lain. Sedangkan karya tulis orang lain tentang dirinya berkaitan
dengan penelitian ini akan dijadikan sebagai sumber sekunder.
G. Disain Penelitian
Berdasarkan uraian tertulis di atas, penulis akan melaksanakan
penelitian ini berdasarkan disain penelitian berikut ini:
Tabel 3 Disain Penelitian
Tingkatan
1.Semiologi
Struktural
2. Apropriasi
3. Hermeneutik
Uraian Data yang
diperlukan
1.Semantik:makna
sintagmatik /denotatif dan
makna
paradigmatik/konotatif;
2.Pragmatik: gaya bahasa
1. Konteks
2. Tujuan
3. Latar Belakang
1. Pemahaman teks
2. Interpretasi
M etode Penelitian
Observasi/Studi
kepustakaan
Observasi/Studi
kepustakaan
Observasi/Studi
kepustakaan
Penelitian ini merupakan penelitian interpretatif yang
menggunakan konsep -konsep untuk memahami orang-orang yang
mendefinisikan diri mereka dengan cara menggunakannya dalam
rangka mengkonstruksi
suatu teori yang didalamnya seseorang
menggunakan konsep -konsep baru untuk memahami perilaku
sosialnya sendiri maupun perilaku orang lain. 68
Setelah data terkumpul, maka sebagai langkah analisis
penulis akan membaca dan meneliti temuan data dengan cermat untuk
melakukan aplikasi konsep dalam rangka mengungkapkan berbagai
67
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta, Paramadina,
Cetakan keempat, September, 2000).
68
Idi Subandy Ibrahim, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: RuangPpublik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko (Yogyakarta, Jalasutra, 2004) , 28.
27
Suhaimi
makna teks dan konteks komunikasi politik subjek penelitian seperti
yang telah dibertikan batasan pengertian dalam definis istilah
penelitian ini.
Pengetahuan yang diperoleh dari interpretasi merupakan hasil
dari transaksi “the knower” dan “ known ”. Apa yang menjadi perantara
keduanya adalah perspektif. Objektivitas bukan menjadi sesuatu yang
berguna bagi kelompok interpretifis. Apa yang membuat sebuah
interpretasi dinilai baik bukan pertanyaan yang menyangkut validitas,
namun sebuah pertanyaan mengenai “ utility” (kegunaan). Pertanyaan –
pertanyaan dalam konteks ini menjadi: apakah interpretasi menolong
kita dalam membicarakan sesuatu hal, atau memenuhi beberapa
tujuan pragmatis dan kognitif. 69
Stephen W. Littlejohn mencatat 3 macam hermeneutik: 1)
Interpretasi terhadap Bible disebut exegesis; 2) Interpretasi terhadap
teks kesusastraan lama disebut philology; 3) Interpretasi terhadap
pribadi manusia dan tindakan -tindakan sosialnya disebut social
hermeneutics.70 Pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah hermeneutik sosial.
Secara etimologis hermeneutik berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein berarti “menyampaikan berita.” Winfried Noth
menandaskan bahwa hermeneutik adalah studi atau teori
interpretasi. 71 Analisis hermeneutik melibatkan sebuah pertimbangan
tentang teks dalam terang pengetahuan teoritis para periset/peneliti
dan informasi tentang gaya teks, sumber teks, dan situasi dimana teks
itu diproduksi. 72
Dalam hermeneutik, menafsirkan adalah proses memahami
sehingga hasil dari proses memahami diwujudkan dalam bentuk tafsir.
Menurut Pariz Pari proses memahami dan menafsirkan dapat
dibedakan, karena metode memahami juga berbeda dengan
ode
69
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , (USA,
Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 13.
70
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , 210.
71
Winfried Noth, Handbook of Semiotic (Bloomington and Indianapolis,
Indiana University Press, 1990), 336.
72
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi
(Bandung, Simbiosa Rekatama Media, Cetakan Ke-1, Januari 2007), 131.
28
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
menafsirkan dan hasil yang diperoleh dari proses memahami disebut
pemahaman sedangkan hasil dari proses menafsirkan disebut
penafsiran.73 Dengan demikian, dalam proses hermeneutik setidaknya
ada tiga unsur berikut; teks (yang akan dipahami), pemahaman, serta
interpretasi (tafsir).
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan diuraikan ke dalam beberapa bab dan pada
masing-masing bab diketengahkan sub -sub bab pembahasan yang
saling berkaitan antara satu dengan yang lain.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menguraikan tentang kerangka pemikiran teoritis
terdiri dari integrasi dakwah Islam dan ilmu komunikasi, perspektif
interpretatif untuk memahami teks, Analisis teks hermeneutik dan
semiotik, komunikator dan pesan dalam komunikasi politik, Kerangka
pemikiran, Istilah-istilah dalam penelitian.
Bab ketiga menguraikan aktivitas politik Nurcholish Madjid
sebagai seorang komunikator politik dan respons terhadap aktivitas
politiknya.
Bab keempat merupakan temuan data dan analisis data tentang
nasionalisme dalam pandangan NCM yang diuraikan berdasarkan
fase-fase pertumbuhannya sejak awal sampai dengan nasionalisme
pembangunan.
Ban kelima adalah temuan dan analisis data berupa bahasa
politik NCM seperti tertulis dalam platform politik NCM
“Membangun Kembali Indonesia”.
Bab keenam menjadi bab yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
73
Pariz Pari, “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian
maan:
Kajian Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan
Rohmat Garut,” (Disertasi Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2005), 59-60.
29
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
BAB II
PESAN POLITIK DALAM TINJAUAN ILMU KOMUNIKASI
DARI PERSPEKTIF INTERPRETATIF
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar
Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama menetapkan
pembidangan ilmu dan gelar akademik di lingkungan Perguruan
Tinggi Agama bersifat akomodatif terhadap perkembangan ilmu.
Peraturan Menteri Agama itu yang diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Nopember 2009 tercatat dalam lembar Berita Negara
Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 446 menetapkan dalam
lampirannya, bahwa bidang ilmu dakwah pada Perguruan Tinggi
Agama Islam menggunakan gelar akademik dengan sebutan Sarjana
Komunikasi Islam disingkat S. Kom. I. bagi sarjana S1 dan gelar
akademik sebutan lengkap Magister Komunikasi Islam berakronim
M. Kom. I. bagi magister S2 serta gelar akademik Doktor disingkat
Dr. bagi sarjana S3 bidang ilmu dakwah.1
Sampai saat ini, di Perguruan Tinggi Agama Islam di
Indonesia seiring dengan perkembangan status beberapa
Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)
masih terdapat keberagaman apakah kajian dakwah terpisah sebagai
fakultas ilmu agama tersendiri, 2 berbeda dengan studi ilmu
komunikasi seperti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, atau kajian
dakwah terintegrasi dengan studi ilmu komunikasi seperti di UIN
1
Kementerian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu
dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama , H Mubarok SH MSc,
Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, Salinan Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 446.
2
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif –Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Pebruari 2006),
149. Dalam buku ini, Amin Abdullah mendudukkan bahwa dalam Islamic Studies,
kajian ilmu kalam termasuk kajian yang pokok yang memp
aruhi kajian bidang
ilmu agama yang lain termasuk teori dan praktik dakwah.
30
Suhaimi
Syarif Hidayatullah Jakarta. 3 Bab kedua lebih lanjut akan
menjelasakan bagaimana integrasi dakwah Islam dengan ilmu
komunikasi ditinjau dari perspektif interpretatif menjadi ilmu
komunikas i Islam, maka Sarjana Dakwah Islam sama dengan Sarjana
Ilmu Komunikasi.
J.J.J.M.Wuisman menyatakan bahwa “aliran interpretatif”
atau “aliran hermeneutik” sejak Perang Dunia II telah diterapkan
dalam ilmu sosial dalam berbagai bentuk dan cara. Ciri utama
perspektif ini adalah peranan kunci yang diberikan kepada gagasan
(ideas) dalam pikiran orang dan ekspresi simbolisnya dalam
kehidupan sosial sehari-hari. 4 Kelakuan manusia dianggap tidak dapat
dijelaskan dengan mengaitkannya kepada “kekuatan luar
seakan-akan memaksakan keberadaannya, melainkan dengan cara
menghubungkannya pada sasaran (end) spesifik individu
bersangkutan yang ingin dicapainya. Hal ini berarti penjelasannya
terdiri dari “pemberian alasan atau motif” untuk kelakuan. Jadi dalam
perspektif interpretatif kehidupan sosial manusia diperlakukan mirip
sebuah teks atau karya seni yang terdiri dari keseluruhan susunan
makna yang perlu diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti. 5
Bab kedua ini pun akan menguraikan bagaimana perspektif
interpretatif digun akan untuk memahamai teks yang pada akhirnya
menghasilkan satu model kerangka penelitian dengan masing-masing
3
Nurlena, eds. Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20092010 (Jakarta, Biro Akademik dan Kemahasiswaaan UIN Syarif
yatullah
Jakarta), 179.
4
J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial (Jakarta, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, Cetakan I, Jilid I), 64.
5
Dalam hal ini Stephen W. Littlejohn mencatat bahwa tokoh pertama yang
menggunakan istilah “interpretive community” adalah Stanley Fish yang merujuk
kepada komunitas masyarakat yang membaca teks-teks tertulis. Dalam hal ini pun
Littlejohn menuliskan bahwa genre-genre interpretasi berkisar pada makna yang
dikomunikasikan, Lihat Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication ,
(USA, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 220. Sedangkan Sasa
Djuarsa Sendjaja, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia,
menggunakan pula kata teori-teori interpretif dan kata teori interpretasi. Lihat pula
Sasa Djuarsa Sendjaja dkk., Teori Komunikasi (Jakarta, Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka, Mei 2002), 9.10.
31
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
konsep dan istilah yang menjadi dasar bagaimana penulis melakukan
analisis data penelitian.
A. Integrasi Dakwah Islam dan Ilmu Komunikasi
1. Pengertian Dakwah Islam dan Komunikasi
Kata ‘ da‘wah’ berasal dari bahasa Arab dan diadaptasi ke
dalam bahasa Indonesia sebagai ‘dakwah’. Pengertian bahasanya
berarti ajakan, permohonan, mohon perlindungan, harapan, doa dan
cinta kepada Allah swt.6 Kata dasar ‘ d a‘wah’ dengan berbagai
turunannya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 212 kali, 7 beberapa
diantaranya menunjukkan setan mengajak pengikutnya ke dalam
neraka seperti a.l. yang terjemahan ayatnya sbb.: Dan apabila
dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”.
Mereka menjawab: “(Tidak ! tapi kami hanya mengikuti apa yang
kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka
(akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru
mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka). 8 Jadi kata
‘da‘wah’ di dalam al-Qur’an digunakan untuk subjek dan objek yang
beraneka macam. Para nabi dan rasul mengajak ke jalan
lah swt
dan surga, sedang setan dan pengikutnya mengajak kepada kesesatan
dan neraka.
Untuk ajakan kepada agama Islam digunakan kata “ alDa‘wah al-Isla>miyah” atau “ Da‘watulisla>m” dan “ Da‘wah ila>
6
Ramad}an Abdul Mut}allib Khumais, Al-Da‘wah al-Isla>miyah
Ark a>nuha> wa-Mana>hijuha>
(Kairo, Da>r al-Thaba‘ah Al-Muhammadiyah
Cetakan I, 1998), 1.
7
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-M u‘jam al-Mufahras li Alfa>z}i alQur’a>n al-Kari>m (Beirut, Da>r al-Fikr, 1981), 257-260. Dalam bentuk fii‘l
ma@d}y 30 kali, fii‘l mud}a>ri‘ 11 kali, fii‘l amr 32 kali, sedang dalam bentuk ism
al- fa>’i‘l 7 kali, ism al-mas}}d ar 32 kali. Menurut Asep Muhiddin dalam al-Qur’an
tidak ada kata dia‘yah yang biasa diartikan propaganda. Lihat Asep Muhiddin,
Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an (Bandung, Pustaka Setia, Cetakan I, November
2002 ), 40.
8
QS. Luqman (31): 21. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Surabaya, Penerbit Al-Hidayah, 1998), 651. Lihat juga QS.
Fa>t}ir (35): 6 dll.
32
Suhaimi
Sabi>lirabbika”9 maupun “ Da‘wah ila> Allah”1 0 atau “Da‘wah
ila> Rabbika”1 1 serta “Da‘wah ila> al-Huda>”12 berarti dalam
bahasa Indonesia sebagai dakwah Islam atau ajakan ke jalan Allah
swt. Ibnu Taimiyah mendeskripsikan dakwah Islam secara
operasional sebagai perintah kepada perbuatan baik yang
diperintahkan oleh Allah dan pencegahan dari perbuatan yang Allah
melarangnya. Pada kesempatan lain dakwah Islam digambarkan juga
sebagai memberikan kabar gembira dan memperingatkan ancaman
dari Allah swt. 13 Dalam ajaran Islam utusan Allah swt dinamakan
sebagai ‘ rasu >l’ berarti pembawa risalah dengan empat sifat wajib:
S}idi>q, ama>nah, t abli>gh dan f}}at}a>nah Seorang rasul adalah
juga seorang ‘ naby’ berarti pemberi kabar berita.
Pengertian dakwah Islam secara terminologis dikemukakan
antara lain oleh Al- T}ayyib Al-Barghuts menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan dakwah Islam adalah memerintahkan manusia
untuk memeluk Islam dan mencintainya serta berjuang untuknya
dengan seluruh sarana yang disyariatkan dan berbagai metode yang
memungkinkan. 14
Pengertian etimologis dan terminologis dakwah Islam tertulis
di atas memiliki kesamaan objek studi dan atau menjadi bagian dari
pengertian komunikasi yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin
Communicatus berarti “ shared ” atau “berbagi”.15 Maksudnya adalah
9
QS. Al-Nahl (16): 125.
QS. Fus}ilat (41): 33.
11
QS. Al-Ha>j (22): 67.
12
QS. Al- A‘ra>f (7): 198.
13
Ibn Taimiyah al-Harraniy, M ajmu >u‘ al-F ata>wa>, Kita>b al-T afsi>r
(Beirut,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cetakan I, juz ke-2, 2000), 73-77.
14
Al-T}ayyib al-Barghuts, M anh a>j al-N abiy fi> Hima>yati al-Da’wah
wa a l-Muha>fadzah álá> Munjaza>tih a> Khila>la al-Fatrati al-Makkiyah (USA,
al-Ma‘had al- A’la>miy li al-Fikri al- Isla>miy, Cetakan I, 1996), 67.
15
Louis Forsdale, Perspectives on Communication (Phillippines, AddisonWesley Publishing Company, Inc. , 1981), 6. Secara teoritis kata “share” berarti
“berbagi” menunjuk kepada proses dua arah dibedakan dengan “komunikasi”
sebagai “transmisi” atau pengiriman pesan yang lebih menunjukkan proses satu ara
Lihat James Watson dan Anne Hill, A Dictionary of Communication and Media
Studies, (New Delhi, Universall Book Stall, Second Edition, 1996 ), 38.
10
33
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
berbagi informasi secara timbal balik. Misalnya jika A
berdakwah/mengajak B untuk melakukan suatu pekerjaan,
sesungguhnya A berusaha berbagi informasi dengan B untuk
melakukan pekerjaan itu.
Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata “ communication ”
dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin “ communis” berarti
“ commun ” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia “sama”.16
Seseorang berkomunikasi berarti dia sedang berusaha mengadakan
kesamaan dengan orang lain. Demikian halnya ketika seorang ustadz
berdakwah kepada jamaahnya untuk berzakat, sesungguhnya beliau
sedang berusaha membina kesamaan pengertian dengan mereka akan
manfaat zakat untuk diri mereka sebagai pemberi zakat
manfaat
yang diperoleh penerima zakat.
Dalam sejarah Islam di Indonesia, sejak awal dakwah Islam
didefinisikan sebagai ‘ajakan’, sampai akhirnya Hamka
ulis
artikel berjudul “Da’watul Islam” yang dimuat secara bersambung
dalam majalah Gema Islam (No. 4 dan 5 T I, 1962). Tulisan ini lahir
karena menyambut tulisan prasaran karya seorang tokoh ulama
Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, K. Mohammad Zaini berjudul
“Hari Depan Islam dan Kaum Muslimin Terletak pada Dakwah
Islamiyah”, saat Simposium Dakwah yang diselenggarakan HMI
dengan Akademi Metafisika, Surabaya, tanggal 23 Pebruari 1962.
Tulisan Hamka di atas kemudian mengundang tulisan dengan
judul yang sama dari Rosihan Anwar dan disusul dengan tulisantulisan dari Abdullah Sahir, M.A. Lubis, Ismuha, dan para intelektual
dari berbagai kalangan yang membahas persoalan dakwah dari
berbagai segi. Satu di antara tulisan itu dikemukakan
seorang
tokoh ulama NU, K. Mahmud Effendi yang mengatakan, bahwa
dakwah Islam bukan hanya semata-mata ajakan, menurutnya dakwah
16
Wilbur Schramm, “How Communication Works,” dalam Onong Uchjana
Effendy, Komunikasi dan Modernisasi (Bandung, , Mandar Maju, Cetakan VII,
2005), 22.
34
Suhaimi
Islam adalah qawlun wa ‘amalun atau mencakup kata-kata dan
perbuatan.17
Kajian dakwah Islam secara akademik ditandai dengan
pembukaan Jurusan Dakwah pada tahun 1942 di Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar, Mesir. Sedangkan di Indonesia Dakwah Islam
diakui sebagai bagian kajian keislaman yang dipelajari di Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dibentuk pada tanggal 29
September tahun 1951, dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
pada tanggal 1 Juni 1957 yang membuka jurusan -jurusan: Pendidikan
Agama dan Bahasa Arab serta pada tahun 1959 ADIA membuka
jurusan Dakwah wal Irsyad yang menjadi jurusan khusus karena para
mahasiswanya terdiri dari imam-imam tentara baik dari Angkatan
Darat maupun Angkatan Udara yang kemudian diikuti dari Angkatan
Laut pada tahun 1960. 1 8 Setelah dua perguruan ini digabung menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah tahun 1960, jurusan
khusus dimasukkan ke dalam Fakultas Tarbiyah. Sejak tahun 1961
kajian Dakwah berkembang sebagai Jurusan Dakwah di Fakultas
Ushuluddin di IAIN Cabang Jakarta yang secara resmi didirikan
berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 66 tanggal 5 Nopember 1962
dan pada tahun 1968 berkembang menjadi Fakultas Dakwah di IAIN
Ar-Raniry, Banda Aceh berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama
(SK MENAG), nomor 153/1968. 19
Sejak saat itu, civitas akademik IAIN se Indonesia telah
melakukan serangkaian pertemuan ilmiah yang mengkaji perumusan
dan penyusunan pembidangan ilmu -ilmu keislaman, sampai pada
tahun 1982 dakwah Islam diakui sebagai bagian dari ilmu -ilmu
keislaman di Indonesia. Hal itu berdasarkan SK MENAG RI nomor
17
M. Dawam Rahardjo, “Pemikiran tentang Dakwah dalam Perspektif
Perubahan Sosial,” dalam Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa
Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung, Mizan, Cetakan IV, 1999), 158 -159.
18
Nurlena, eds., Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2009 -2010 (Jakarta, Biro Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2009), 180.
19
Panitia Seminar Nasional Keilmuan Dakwah dan Prospek
Pengembangannya, “Proposal Kegiatan”, Fakultas Dakwah AIN Sunan Ampel,
Surabaya, tanggal 19 Nopember 1999, 1.
35
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
97/1982 tentang Kurikulum dan Silabus IAIN termasuk di dalamnya
Silabus Fakultas Dakwah yang diperkuat kemudian dengan SK
MENAG nomor 110/1982 yang telah memperoleh rujukan
rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 20
Kurikulum yang diberlakukan di Fakultas Dakwah IAIN dan
UIN di Indonesia sampai saat ini adalah Kurikulum Nasional 1995
yang ditetapkan berdasarkan SK MENAG no. 383/1995 dan
disempurnakan dengan SK MENAG no. 383/1997. Sejak saat itu,
Fakultas Dakwah secara formal memiliki empat jurusan yaitu, jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), jurusan Bimbingan
Penyuluhan Islam (BPI), jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
(PMI) dan jurusan Manajemen Dakwah (MD). 21
Pada uraian perkembangan pengertian dakwah Islam dan
usaha mewujudkannya sebagai Ilmu Dakwah tertulis di atas, dakwah
Islam dipahami bukan hanya sebagai suatu ajakan, tapi
merupakan perbuatan nyata. Definisi seperti ini pulalah yang terlihat
dalam rumusan pengertian Ilmu Dakwah yang dikemukakan oleh
Moch. Ali Aziz, bahwa dakwah sebagai suatu proses yang aktif,
persuasif dan komprehensif dimulai dengan tabli>gh, t absyi>r,
tanzi>r serta amar ma‘ru@f nahyi al-munkar baik secara struktural
yang menggunakan kekuasaan berupa pendekatan legal formal
dengan tegas (hisbah), maupun secara kultural atau mengajak dengan
cara lunak tanpa kekerasan (tat {{awwur).22 Tapi guru besar ilmu
dakwah IAIN Sunan Ampel, Surabaya ini, membedakan antara
dakwah yang didefinisikannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits
dengan ilmu dakwah sebagai kajian ilmiah empiris.
Beberapa definisi Ilmu Dakwah di atas, menurut Moch. Ali
Aziz, menekankan aspek dakwah sebagai realitas sosial yang lebih
20
Ditjen Bimbaga Islam, Departemen Agama RI, Kurikulum Nasional
Institut Agama Islam Negeri, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam,
Jakarta, 1995, 27-40.
21
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis,
Epistimologis dan Aksiologis (Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan Walisongo Pers,
Cetakan I, 2003), 24-25.
22
Moch. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta, Prenada Media Group, Cetakan
ke-2, 2009), 41.
36
Suhaimi
melihat dakwah dengan pendekatan fungsional dibanding
nsial
agama. Pendekatan fungsional mengkaji dakwah secara empiris untuk
menjawab pertanyaan: "Bagaimana Islam dapat diterima dan dijalankan manusia, baik secara personal maupun sosial.” Karena itu,
Ilmu Dakwah sering terfokus pada aspek metode, teknik, dan media
yang disesuaikan dengan keadaan sasaran dan tujuan dakwah.23
Dengan mempersempit cakupannya seperti ini, objek kajian Ilmu
Dakwah tidak lagi bias dan meluas, karena pengertian dakwah yang
meluas dan mencakup segala sesuatu menjadi masalah dalam
menjadikannya sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Dalam rangka mencapai tujuan menjadikan dakwah Islam
sebagai disiplin ilmu tersendiri, pengertian dakwah Islam perlu
dikhususkan dengan mengembalikan -nya hanya sebagai aktivitas
penyampaian pesan komunikasi dengan ajakan dan amal perbuatan.
Lisa@n al-Ha@l Afs{}ah min Lisa>n al-M aqa@l, 2 4 artinya pesan
perbuatan (nonverbal) lebih jelas dari pesan perkataan (verbal).
Secara tegas NCM memberi arti ungkapan bahasa Arab tersebut
sebagai “ bahasa perbuatan adalah lebih fasih (tajam) daripada bahasa
ucapan.2 5 Menurut Ramadlan Abdul Muthallib Khumais, amal
perbuatan sesungguhnya merupakan salah satu media dakwah Islam
yang dapat membangkitkan pandangan mata manusia, sedang media
perkataan/ al-qawl menjadi sarana menyentuh hati mereka, media
dakwah Islam lainnya adalah al-qudwah al-hasanah atau suri teladan
kepada sesama manusia.26
23
Moch. Ali Aziz , Ilmu Dakwah, 57.
Abu Luis, al-Munjid fi> al-Lug}ah w a- al-‘Ala>m (Beirut, Dar elMashreq, Cetakan ke-21, 1973), 1007.
25
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta,
Paramadina, Cetakan I, Maret 1999), 15.
26
Ramadlan Abdul Muthallib Khumais, Al-Da‘wah al-Isla>miyyah
Ark a>nuhâ> wa-M ana>hijuh a>, 213. Dosen Jurusan Dakwah dan Kebudayaan
Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Mesir ini sebelumnya
menegaskan pengertian media dakwah sebagai segala sesuatu yang mendekatkan
kepada sesuatu yang lain dan membedakannya dengan “manha>j” berupa hikmah,
mawidzah al-hasanah dan al-muja>dalah bi allati> hiya ahsan.
24
37
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
2. Objek Material dan Objek Formal Dakwah Islam dan Ilmu
Komunikasi
Ditinjau dari filsafat ilmu, ada dua macam objek sains yakni
objek material atau bidang utama yang diteliti suatu ilmu
pengetahuan tertentu, dan objek formal yang disebut juga objek
ontologis atau bagian dari objek material yang menjadi fokus untuk
ditelaah oleh suatu ilmu pengetahuan tertentu dengan
cermat
dan seksama.27 Objek material antropologi, misalnya, adalah
mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat, sedang
ilmu ekonomi objek materialnya mempelajari manusia dalam
memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran barang
dan jasa.
Moch. Ali Aziz memandang ilmu dakwah lebih tepat
masuk dalam rumpun ilmu sosial dengan menegaskan bahwa objek
material ilmu dakwah adalah manusia sebagai pendakwah maupun
mitra dakwah dan objek formalnya adalah penyampaian ajaran
Islam oleh pendakwa28 Menurutnya, sejarah ilmu dakwah sebagai
ilmu keislaman tidak memiliki akar sejarah sejelas ilmu -ilmu
keislaman yang lain seperti ilmu fikih dan ilmu tafsir atau ilmu
kalam. Oleh karena itu kajian dakwah Islam berdasarkan ayat-ayat
suci al-Qur’an atau hadits-hadits masuk ke dalam objek kajian ilmu
tafsir sebagai tafsir ayat-ayat dakwah atau ilmu hadits sebagai haditshadits dakwah dan atau fikih dakwah yang seluruhnya masuk dalam
kajian ilmu humaniora. Jadi menurutnya ilmu dakwah menjadi bagian
dari ilmu sosial.
Sedangkan objek material ilmu komunikasi adalah perilaku
manusia sebagai makhluk sosial termasuk di dalamnya perilaku
individu, kelompok dan masyarakat, objek formalnya ialah situasi
komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk
27
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengetahuan Populer
(Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan ke-8, 1994), 93.
28
Moch. Ali Aziz , Ilmu Dakwah, 57.
38
Suhaimi
perubahan pikiran, perasaan, sikap dan perilaku individu, kelompok,
masyarakat dan pengetahuan kelembagaan.29
Manusia baik secara individu, kelompok maupun masyarakat
dikatakan sebagai pelaku dakwah dan mitra dakwah apabi mereka
baik sebagai perorangan, kelompok maupun masyarakat berusaha
melakukan suatu perubahan baik pada tingkat pikiran, perasaan, sikap
maupun perilaku.Dan hanya apabila mereka baik secara perseorangan, kelompok maupun masyarakat berdakwah ke jalan Allah swt
atau kepada ajaran Islam secara persuasif, mereka tidak mengajak
kepada kesesatan setan, mereka itulah pelaku dan mitra dakwah Islam
yang berusaha mengadakan perubahan sosial ke jalan Allah swt yang
menjadi rahmat bagi semesta alam.
3. Dakwah Islam dalam Perspektif Ilmu Komunikasi
Guru besar pemikiran Islam dan dosen Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, M. Yunan
Yusuf menyatakan bahwa dakwah dan komunikasi adalah dua ranah
kembar karena keduanya sama-sama membicarakan tentang
bagaimana manusia menyampaikan pesan atau gagasan kepada orang
lain. 30 Menurutnya anggapan dakwah dan komunikasi berbeda karena
dakwah bertolak dari nilai-nilai ilahiyah dan komunikasi bertolak dari
nilai-nilai duniawi, sering sekali menyebabkan aktivitas dakwah
Islam tidak sanggup memberikan pemecahan masalah sehari-hari,
karena itu dakwah dan komunikasi perlu diintegrasikan.
Komunikasi saat ini telah diakui sebagai disiplin ilmu
tersendiri menjadi ilmu komunikasi yang memenuhi syarat-syarat
sebagai science atau ilmu pengetahuan seperti memiliki objek
tertentu, bersifat sistematis, berlaku umum dan memili i metode
tertentu. Sejak tahun 1960, Carl I. Hovland telah menggunakan istilah
“ Science of Communica -tion ” dan mendefinisikan komunikasi
sebagai suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan dengan cara
29
Sumarno AP, Kismiyati El-Karimah dan Ninis Agustini Damayani,
Filsafat dan Etika Komunikasi (Jakarta, Universitas Terbuka, 1999), 2.4-2.5.
30
M. Yunan Yusuf, “Uraian Materi Silabus Mata Kuliah Pemikiran
Dakwah dan Komunikasi, Semester Genap 2006-2007”, 1.
39
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
yang setepat-tepatnya asas-asas pentransmisian informasi serta
pembentukan opini dan sikap. 3 1
Ilmu sosial secara ontologis mengkaji hakekat kehidupan
sosial manusia secara luas, Sedangkan ilmu komunikasi dalam hal ini
memusatkan perhatian pada hakekat manusia sebagai pela interaksi
sosial. 32 Kajian komunikasi antar manusia merupakan studi
interdisipliner yang meneliti proses komunikasi dengan menggunakan
pandangan dari berbagai disiplin ilmu. Bila ilmu dakwah Islam
mengkaji perilaku manusia secara empiris sebagai pelaku dakwah
Islam dan peserta dakwah Islam atau jamaah dakwah Islam, seperti
ilmu komunikasi yang mengkaji manusia sebagai pelaku interaksi
antar manusia dan menjadi bagian dari ilmu sosial, maka ilmu
dakwah Islam pun menjadi studi interdisipliner yang meneliti proses
penyampaian ajaran Islam secara persuasif dengan menggunakan
pandangan dari berbagai disiplin ilmu .
Berdasarkan teori komunikasi Harold D. Lasswell (1958)
‘who says what, to whom, in which channel, whith what effect’ dapat
digambarkan bagaimana kaitan antara ilmu dakwah Islam, dalam hal
ini dipahami sebagai bagian dari ilmu komunikasi menjadi ilmu
komunikasi Islam.
Dalam tabel 1 tertulis berikut di bawah ini pada kolom
komponen dakwah Islam atau ilmu komunikasi Islam sebagai bagian
dari ilmu komunikasi, penulis mengemukakan bahwa dakwah Islam
sebagai ilmu komunikasi Islam dapat didefinisikan menjadi proses
penyampaian pesan -pesan ajaran Islam berupa rahmat bagi semesta
alam kepada sesama manusia sebagai jamaah atau para pesertanya
melalui berbagai media penyampaian pesan dengan metode persuasi
yang akan berakibat pengaruh efek tertentu. Jala>luddi>n alSuyu>t}i mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih
dari Abu> Laila al-Asha’ri dalam menekankan keharusan
31
Carl. I. Hovland, ”Social Communication,” dalam Onong Uchjana
Effendy, Komunikasi dan Modernisasi (Bandung, , Mandar Maju, 2005, Cetakan
VII), 1.
32
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication (United State
of America, Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 35.
40
Suhaimi
berdakwah Islam
Tabel 1: Hubungan Ilmu Komunikasi Islam dan Ilmu Lain
NO. KOMPONEN
OBJEK KAJIAN
ILMU-ILMU
1.
DAKWAH
ISLAM
/KOMUNIKASI
ISLAM
Pelaku dakwah
Islam /komunikasi
Islam
TERKAIT
Agama, perilaku
sosial dan latar
belakang sosiokultural dll.
Ilmu Agama,
Psikologi Sosial,
Antropologi,
Sosiologi dll.
2.
Pesan dakwah
Islam /komunikasi
Islam
Agama, ideologi,
politik, sosial,
kebudayaan,
pertahanan ,
keamanan dll.
Ilmu Agama,
Psikologi, Sosiologi,
Antropologi dll.
3.
Jamaah dakwah
Islam /komunikasi
Islam
Agama, latar
belakang perilaku
individu dan sosial
serta kultural dll.
Ilmu Agama,
Psikologi, Sosiologi,
Antropologi dll.
4.
Media dakwah
Islam /komunikasi
Islam
Media massa dan
internet, media
personal dan industri
media massa.
Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Ekonomi
serta Teknologi
Informasi
5.
Metode dakwah
Islam /komunikasi
Islam
Persuasi, Hikm ah,
M aui’z}ah Hasanah,
al-Muja>dalah
billati> Hiya Ahsan
Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Agama
serta Psikologi dll.
6.
Efek dakwah Islam
/komunikasi Islam
Perilaku individual
dan perubahan sosial
Ilmu Agama,
Psikologi, Sosiologi,
Antropologi dll.
Tabel 1 diadaptasi dari Jalaluddin Rakhmat (1990) dan M. Ali Aziz (2009).
41
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
dengan al-Hikmah dan al-M aui’z}ah al-Hasanah, serta alMuja>d alah billati > Hiya Ahsan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“berpegang-teguhlah kalian dengan mematuhi para pemimpin dan
jangan menentang mereka, karena sesungguhnya mematuhi mereka
berarti mematuhi allah swt dan menentang mereka sama dengan
menentang Allah swt. Sesungguhnya Allah mengutusku berdakwah
ke jalan -Nya dengan al-Hikmah, al-M aui’z}ah al-Hasanah, maka
siapa yang menentangku dalam hal ini dia termasuk golongan orangorang yang membuat kerusakan dan sungguh dia telah keluar dari
lindungan Allah dan rasul-Nya. Siapa pun yang memimpin kalian
tidak mengerjakan hal itu, maka untuknya laknat Allah
laknat
33
para malaikat dan laknat seluruh manusia.”.
Karakteristik dasar dakwah Islam menurut Ismail Raji alFaruqi adalah sifatnya persuasif bukan kursif. Artinya dakwah Islam
selalu berusaha mempengaruhi manusia untuk menjalankan agama
sesuai dengan kesadaran dan kemauannya sendiri, bukan dengan
paksaan. Pemaksaan adalah perampasan hak asasi manusia dalam
beragama. “Etika manusia memandang pemaksaan dalam berdakwah
merupakan pelanggaran serius atas hak asasi manusia.”.34 Dakwah
Islam pun memiliki karakteristik pesan yang rasional dan
disampaikan dengan cara rasional (rational necessary and rational
intellection ) yang mengajak manusia untuk kembali kepada
fitrahnya.35
Setiap unsur dari komponen -komponen ilmu komunikasi
Islam tersebut di atas dapat berkaitan dengan berbagai bidang ilmu
pengetahuan sehingga ilmu komunikasi Islam pun merupakan ilmu
interdisipliner yang meneliti proses komunikasi persuasi antar
manusia tentang ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam
33
Abdu >l Rahma>n Jala>luddi>n al-Suyut}}i, Al-Dur al-Manthu >r fi> T afsi>r alM a’thu >r (Beirut, Dar al-Fikr, Juz ke-14, tt.), 178.
34
Ismail Raji al-Faruqi, Dakwah Islam dan Misi Kristen Sebuah Dialog
Internasional, Ahmad Von Denffer dan Emilio Castro, eds., terj. Ahmad Noer Z.
(Bandung, Risalah, 1984), 35.
35
Ismail Raji al-Faruqi, Dakwah Islam dan Misi Kristen Sebuah Dialog
Internasional, 35.
42
Suhaimi
dengan menggunakan pandangan dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.
Dari beberapa komponen komunikasi Islam tersebut, menuru t
Imtiaz Hasnain, komunikator atau pelaku komunikasi Islamlah yang
paling memegang kedudukan terpenting dalam ajaran Islam.36 Para
periwayat atau penyampai sunnah Nabi Muhammad saw misalnya,
adalah bidang penelitian disiplin ilmu al-Jarh wa al-Ta’di>l (kritik
pribadi perawi) yang membahas karakteristik para periwayat sunnah
Nabi Muhammad saw yang harus memiliki kepribadian “kejujuran,
keadilan, dan ketelitian” agar mereka dinilai memiliki keterandalan
sebagai perawi (komunikator) sunnah.
Guru besar ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Andi Faisal Bakti lebih memilih konsep dakwah sebagai
Islam. Menurutnya dakwah adalah usaha meyakinkan manusia untuk
bertingkahlaku sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan
pengertian mereka masing-masing. 37 Dalam Islam, agar dakwah atau
tablig>h efektif harus disertai dengan amal perbuatan yang mencakup
proses menentukan tujuan atau niat, menyampaikannya dengan
perkataan dan mengikutsertakannya dengan pekerjaan nyata.
Salah seorang ahli ilmu komunikasi yang pemahamannya
tentang komunikasi Islam berdasarkan interpretasi terhadap ayat alQur’an dan kehidupan empiris umat manusia adalah Hamid
Mowlana. 38 Konsep komunikasi Islam menurutnya adalah tabli>gh,
36
Imtiaz Hasnain, “Communication: An Islamic Approach,” terjemahan
Dedy Djamaludddin Malik, Audientia , Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 1,
Januari-Maret 1993, h.15.
37
Andi Faisal Bakti, Communications and Family Planning in Islam in
Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Glob Development Program
(Leiden-Jakarta, INIS, 2004), 83.
38
Hamid Mowlana adalah Profesor International Relation dan Founding
Director of the International Communication Program School of Int er natio nal
Ser vi c e, Am eri c a n Un i ve rsi t y W as hi ngto n , DC . Menyandang PD dari
Northwestern University, Evanston, Illinois, 1963. Predident International
Association for Mass Communication Research (IAMCR). Lebih lanjut lihat Hamid
Mowlana, Global Communication in Transition The End of Diversity? (New Delhi,
India, Sage Publications International Educational and Professional Puiblisher, First
43
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
ia men gem b an gk an n y a d ari ko n s ep Ib n u K h ald u n (19 6 7)
y an g m en gart ik an t a bli > g h s eb agai propaganda kebenaran
(truthful propagation ). Tabli@gh dalam konteks Islam memiliki
batas-batas etika dan berbagai prinsip pelaksanaannya berdasarkan alQura>n dan al-Sunnah.39 Menurut Mowlana konsep -konsep penting
yang menjadi dasar tabli@gh tersebut antara lain adalah 1) teori tauhid
menjelaskan tentang tujuan komunikasi untuk menghancurkan
berhala kemusrikan; 2) doktrin tanggungjawab sosial yang terwujud
dalam amar ma'ru@>f nahyi munkar; 3) konsep komunitas atau
ummat . Menurut Islam, komunitas yang dibangun atas dasar tauhid
adalah ummat; 4) prinsip taqwa@ . suatu konsep ideal muslim
diterjemahkan sebagai piety.4 0 Takwa adalah suatu sikap religius
sehingga dorongan tindakan dalam kehidupan sehari-hari didasarkan
pada kekuatan untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan -Nya.
B.Pengertian Bahasa Politik
Manusia sebagai makhluk sosial berbicara dan berkomunikasi
untuk menyatakan sikap dan perasaan kepada sesamanya. Berkatakata, baik secara lisan atau pun tertulis, adalah menyampaikan pikiran
atau perasaan atas masalah -masalah penting dalam kehidupan
bersama. Semua itu manusia lakukan dengan memakai bahasa.
Bahasa merupakan salah satu wujud dan jenis komunikasi
antar manusia, yaitu tanda-tanda komunikasi verbal maupun nonverbal yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk pencipta
peristiwa komunikasi.
Para filosof Yunani memandang bahasa sebagai alat untuk
mencari dan mengungkapkan kebenaran, untuk mengekspresikan halPrinted, 1996), Cover.
39
Hamid Mowlana, Global Communication in Transition The End of
Diversity?, 116.
40
Hamid Mowlana, Global Communication in Transition The End of
Diversity? 117-126. Lihat juga M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam Kritik
terhadap Konsep Komunikasi Barat (Bandung, Sahifa, Cetakan I, Agustus 2008),
109.
44
Suhaimi
hal yang bersifat artistik, dan untuk persuasi. Dalam
hidup
orang Athena abad ke-5 M, bahasa menjadi alat untuk mencapai
tujuan tertentu, yang konkret dan praktis. Bahasa dianggap sebagai
senjata ampuh dalam percaturan politik tingkat tinggi. 41
Dalam sejarah bangsa Indonesia, M.H. Thamrin secara berani
memulai penggunaan bahasa Melayu dalam sidang Volkskraad ,
kendati hamp ir semua wakil lainnya menggunakan bahasa Belanda.
Kaitan antara bahasa dan politik sangat terang pada masa
penjajahan di Indonesia. Belanda menerapkan politik bahasa dalam
rangka mengisolasi bangsa Indonesia dari dunia luar dan menghambat
kecerdasannya dengan berusaha menjauhkan mayoritas mereka dari
kemungkinan menguasai bahasa sendiri, tapi di lain pihak Belanda
terus berusaha menanamkan superioritas bahasa Belanda atas bahasabahasa pribumi, termasuk bahasa Melayu. Politik pecah belah pun
mereka lakukan dengan menggalakkan pemakaian dan penerbitan
bahasa-bahasa daerah yang disebarkan oleh Balai Pustaka , terutama
buku-buku berbahasa Jawa.42
Pengertian “ bahasa politik” sering ditumpangtindihkan dengan
“ bahasa birokrasi”, seperti Ben R. O’G Anderson (1966) yang
merujuk kepada Herbert Luethy (1966) dan Cliford Geertz (1966)
sudah menggunakan istilah bahasa politik untuk penelitiannya
terhadap pidato -pidato Presiden Soekarno pada tahun -tahun terakhir
keruntuhan Orde Lama dan permulaan Orba.43 Demikian pula halnya
dengan Virginia Matheson Hooker (1990) yang menyatakan bahwa
bahasa-bahasa slogan atau propaganda, bahasa pidato pejabat
pemerintah merupakan bahasa politik, yaitu bahasa yang digunakan
41
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Prolog,” dalam Yudi Latif dan Idi
Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde
Baru (Bandung, Mizan, Cetakan II, Juni 1996), 17.
42
Mochtar Pabottingi, “Bahasa Politik dan Otosentrisitas,” dalam Yudi
Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 214.
43
Benedict R. O’G. Anderson, “Bahasa Politik Indonesia,” dalam Yudi
Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 124.
45
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
sebagai alat politik. 44 Jadi menurut mereka bahasa politik adalah
bahasa yang dipergunakan oleh elite politik dan elite birokrasi untuk
menyampaikan kepentingan kekuasaan.
Sedangkan J. Jones dan S. Wareing (1999) melihat bahasa
politik berdasarkan tujuan orang sebagai penyampainya dan
merumuskan definisinya sebagai bahasa yang digunakan untuk
mencapai maksud-maksud politis. 45 Dalam hal ini ideologi menjadi
suatu yang terpenting untuk ditetapkan dan dikomunikas
kepada
masyarakat agar menjadi pengetahuan umum (common sense) dan
ketika ideologi itu sudah menjadi bagian hidup masyarakat banyak,
berarti maksud politis dari seorang politisi sudah tercapai.
Sementara itu, Daniel Dhakidae (1992) menerapkan istilah
bahasa politik sama dengan pandangan pertama di atas sebagai
bahasa birokrasi berupa bahasa pemerintah dan aparaturnya yang
bahkan telah tercermin dalam bahasa jurnalistik pada masa Orba, baik
pidato-pidato para pejabat maupun konferensi pers mereka. Dia lebih
lanjut mencatat beberapa ciri spesifik bahasa birokrasi adalah 1) tipe
bahasa ini dapat dipersingkat menjadi bahasa jargon pembangunan, 2)
bahasa ini sarat dengan muatan nada-nada ideologis dalam arti yang
sangat luas, dan 3) gaya bahasanya menampilkan latar belakang etnis
dan kultur para pemakainya. 46
Menurut Lewuk terdapat empat kategorisasi ideologi
kebahasaan yang dipergunakan oleh kelompok kekuasaan yaitu
bahasa berdimensi satu, orwelianisme bahasa, jaringan bahasa takuttakut, dan bahasa yang menyembunyikan pikiran.47 Bahasa
44
Virginia Matheson Hooker, “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di
Indonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru,” dalam Yudi Latif dan
Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 56 -75.
45
J. Jones dan S. Wareing, “Language and Politics,” dalam L. Thomas dan
S. Wareing, eds., Language, Society, and Power: An Introduction (London,
Routledge, 1999), 32.
46
Daniel Dhakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru,” dalam
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., Bahasa dan Kekuasaan , 246-251.
47
Peter Lewuk, Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan
Pemikiran (Ja-karta, Posko 66, 1995), 186.
46
Suhaimi
berdimensi satu menuntut orang yang menyatakan sikap dan
pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan penguasa. Di
sini tidak ditemukan logika protes, seperti halnya tidak ada tempat
bagi para oposisi di masa Orde Baru. Orwelianisme bahasa dalam
konteks ini adalah teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya
bertentangan, sehingga perbedaan antara yang benar dengan yang
salah menjadi kabur, seperti istilah kritik konstruktif atau kritik
memban gun yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung
kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak
kekuasaan.48
Bahasa takut-takut adalah bahasa yang diucapkan masyarakat
yang memiliki kepatutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi
yang dilambangkan melalui simbol bahasa, seperti pernyataan bahwa
Golput haram. Terakhir, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya
bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran
itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa itu sendiri. 49
Dalam uraian tertulis di atas, tersurat bahwa wujud dan makna
istilah bahasa politik dan bahasa birokrasi dapat dibedakan dari segi
nuansa maknanya, bahwa bahasa politik lebih berkaitan dengan
bahasa untuk pengaturan masyarakat secara umum yang memiliki
keberagaman latar belakang sosial budaya dengan menggunakan alat
(piranti) ideologi dan kekuasaan yang terwujud dalam bahasa,50
sedang bahasa birokrasi lebih berkaitan dengan bahasa untuk
pengaturan institusi-institusi yang secara hirarkis berada dibawahnya.
Dan dilihat dari segi ruang lingkupnya, bahasa politik memiliki
lingkup yang lebih luas dari bahasa birokrasi, sehingga sering istilah
bahasa politik dan bahasa birokrasi disatukan dalam istilah yang lebih
luas, yakni bahasa politik. 51 Berdasarkan perbedaan tersebut, bahasa
politik dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai bahasa yang
digunakan untuk mencapai maksud -maksud politis.
48
Peter Lewuk, Kritik Filosofis Atas Pembangunan,187.
Peter Lewuk, Kritik Filosofis Atas Pembangunan, 187.
50
Anang Santoso, Bahasa Politik Pasca Orde Baru (Jakarta, Wedatama
Widya Sastra, Cetakan I, Maret 2003), 2 -3.
51
Anang Santoso, Bahasa Politik Pasca Orde B aru, 2.
49
47
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Dan D. Nimmo melakukan analisis bahasa politik pada tataran
pragmatik dengan menguraikan bagaimana cara penggunaan katakata dan akibatnya untuk tujuan memperoleh keuntungan
dengan meyakinkan dan membangkitkan massa melalui kalimat
antara lain eufemisme, puffery, labelling , metafora dan mitos; dan
tujuan untuk peningkatan status atau otoritas sosial dan identitas
sosial dengan cara pengungkapan identitas personal atau identitas
pribadi dan diskusi publik dalam proses pemberian informasi. 5 2
Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa seseorang yang
merefleksikan cara atau tekniknya dalam menyusun kalimat dan
tulisan tentang pengalaman, nilai-nilai dan kualitas kesadaran pikiran
dan pandangannya yang istimewa dan khusus.53 Dalam penggunaan
bahasa politik Islam, menurut Bernard Lewis, penuh dengan gaya
bahasa metafora, misalnya perumpamaan antara hubungan kekuasaan
dengan jarak dekat dan jauh, dalam dan luar atau –meminjam istilah
ilmu -ilmu sosial– pusat dan pinggiran. Satu dari akar kata yang paling
sering digunakan untuk mengkonotasikan kekuasaan dan otoritas
ialah w- ly–yang menjadi asal usul istilah populer seperti vali dan
vilayet dari Turki, mollah dari Iran, dan maulvi dan maulana dari
India– memiliki makna utama “mendekat”.5 4 Metafora adalah sejenis
gaya bahasa perbandingan yang singkat padat dan rapi. Di dalamnya
terlihat dua gagasan. Gagasan pertama adalah suatu kenyataan,
sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan kedua
merupakan perbandingan terhadap kenyataan pertama tersebut.55
Selain gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua
hal yang sama atau dua hal yang berbeda seperti a.l. perumpamaan,
metafora, personifikasi dan depersonifikasi, alegori, antithesis
terdapat pula gaya bahasa pertentangan yang membandingkan dua hal
52
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media , terj.
Tjun Surjaman (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan II, 1993), 100.
53
Mukhsin Ahmadi, Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia (Malang,
Yayasan Asish Asah Asuh, , Cetakan I, Januari, 1990), 179.
54
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terjemahan Ihsan Ali-Fauzi,
(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 16 -17.
55
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa (Bandung, Angkasa,
Cetakan III, 1985), 183.
48
Suhaimi
bertolak belakang seperti a.l. hiperbola, litoses, ironi, oksimoron,
satire, klimaks dan antiklimaks, sinisme, sarkasme dan gaya bahasa
pertautan yang menunjukkan adanya pertalian diantara dua hal yang
dibicarakan seperti a.l. metonomia, sinekdoke, alusi, eufemisme,
eponym, epitet serta gaya bahasa perulangan yakni gaya bahasa yang
mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata, frasa, atau bagian
kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai seperti a.l aliterasi, asonansi, antanaklasis.5 6
C. Komunikator dan Pesan dalam Komunikasi Politik
Dan D. Nimmo (1989) dalam bukunya, Political Communi cation and Public Opinion in America , memberi pengertian komunikasi politik dengan lebih dahulu menguraikan apa arti
dan apa arti politik. Menurutnya hakikat politik adalah komunikasi
(baca: mempengaruhi orang lain) dan komunikasi politik merupakan
bidang kajian ilmu lintas disiplin. Dia mendefinisikannya sebagai,
“ Communication (activity) considered political by virtue of its
consequences (actual or potential) which regulate human conduct
under condition of conflict ”. Artinya aktivitas komunikasi yang
memiliki pengaruh politik baik secara potensial atau aktual untuk
mengendalikan mereka yang berada dalam keadaan konflik. 57
Berdasarkan teori komunikasi Lasswell yang monumental
‘who says what, to whom, in which channel, whith what effect’ dalam
bukunya The Structure and Functions of Communication in Society.58
Pada gilirannya teori ini dikembangkannya dengan menulis buku
pada tahun 1958 berjudul Politics: Who Gets What, When, How, dia
mendefinisikan secara lebih khusus komunikator politik sebagai
mereka yang menjadi pemimpin dalam proses opini, seperti politisi
56
57
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik , 147 -153.
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 13-
21.
58
Harold D. Lasswell, Communication in a Divided World: Opportunities
and Constrain (London, International Institute of Communications, the Loius G.
Cowan Lecture, 1977 ), 5. Lihat juga Lely Arrianie, Sandiwara di Senayan Studi
Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI, dalam Deddy Mulyana dan Solatun ,
ed. Metode Penelitian Komunikasi (Bandung, Rosda, 2007) , 28.
49
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
baik ideolog maupun wakil partisan, komunikator professional dan
aktivis. 59
Nimmo
menguraikan
bahwa
komunikator
politik
menyampaikan pesannya sebagai pembicaraan politik bertujuan
memberikan informasi dan meyakinkan khalayak, maka untuk
memahami pesan politik perlu dilihat gejala linguistik bahasa dan
simbol politik serta penggunaan bahasa untuk persuasi politik dalam
wujud propaganda, periklanan maupun retorika. 60 Pada penjelasan
tentang pesan politik, Nimmo membahas bagaimana komunikator
politik (politisi, profesional dan aktivis) menggunakan bahasa dan
simbol, baik untuk memberikan informasi atau untuk meyakinkan
khalayak. Dalam hal ini dia membahas juga tentang persuasi politik
sebagai rethorika.
Berkaitan dengan posisi penting komunikator dalam menentukan pesan politik, menurut Nimmo ketika komunikator politik
sebagai politikus dalam pelaksanaannya terkadang bertindak sebagai
wakil partisan dan terkadang pula bertindak sebagai ideolog.61
Sebagai wakil partisan, komunikator politik mewakili kelompok
tertentu dalam tawar-menawar dan mencari kompromi pada masalah masalah politik Mereka bertindak dengan tujuan mempengaruhi opini
orang lain, mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini.
Mereka adalah makelar yang membujuk orang lain agar ikut dan
setuju dengan ide yang ditawarkannya seperti yang lazim dilakukan
oleh para elite politik partai, para anggota DPR, atau para menteri
yang ditugasi khusus oleh presiden untuk melakukan berbagai lobi
dan komunikasi politik dengan kelompok atau partai politik lain.
Sementara komunikator politik sebagai ideolog, mereka
berusaha memengaruhi opini publik dengan mengendalikan situasi
agar menguntungkan pihaknya, dan juga dengan menetapkan dan
59
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 13-
60
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 16.
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 30-
21.
61
32.
50
Suhaimi
meyakinkan orang ke satu cara berpikir tertentu. Mereka adalah
pesilat lidah yang menawarkan gagasan yang lebih baik.
Dengan demikian, wujud politikus sebagai komunikator
politik sekaligus sebagai wakil partisan dan ideolog hanya berbeda
pada derajatnya, bukan pada jenisnya. Yang termasuk ke dalam
komunikator politik tipe ini adalah setiap calon atau pemegang
jabatan politik, baik yang dipilih, diangkat, ditunjuk, maupun pejabat
karir tanpa mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau
yudikatif.
Komunikator profesional menggunakan keterampilan yang
khusus dalam mengolah simbol-simbol dan memanfaatkan ketrampilannya untuk menempa mata rantai yang menghubungkan pihak-pihak yang berbeda atau kelompok-kelompok yang dibedakan.
Menurut James Carey, seperti dikutip oleh Nimmo, mereka adalah
makelar simbol yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat
suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa lain
yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Mereka
menghubungkan para pemimpin yang satu dengan pemimpin lainnya
sekaligus para pengikutnya.62 Mereka terdiri dua kelompok, yaitu
para jurnalis dan para promotor.
Aktivis sebagai komunikator politik terdiri atas dua k mpok.
Kelompok pertama adalah juru bicara yang menggunakan jaringan
organisasi, sedangkan kelompok kedua adalah pemuka pendapat (opinion
leader) yang menggunakan jaringan interpersonal. 63
Juru bicara ini biasanya tidak bercita-cita untuk memegang
jabatan tertentu di pemerintahan. Mereka bukanlah aktivis politik profesional dalam komunikasi politik, melainkan karena mereka terlibat
dalam politik maupun dalam komunikasi, maka dapat disebut aktivis politik
semiprofesional. Tugas juru bicara ini mirip dengan jurnalis, yaitu
melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota
suatu organisasi. Sedangkan jaringan interpersonal mencakup
komunikator politik utama seperti para pemuka pendapat, yaitu orang
62
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 33.
Fathurin Zen, NU Politik?: Analisis Wacana Media (Yogyakarta, LKiS,
Cetakan Pertama, Maret 2004), 68.
63
51
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
yang dimintai petunjuk dan informasinya sebelum suatu persoalan
diputuskan. Sehingga, setiap keputusan yang diambil banyak
dipengaruhi oleh pemuka pendapat tersebut. Mereka meyakinkan orang
lain pada cara berpikir tertentu.64
Sementara itu sehubungan dengan umat Islam dan politik di
Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua pemikiran
politik Islam. Pertama sebagian umat Islam yang percaya ajaran Islam
itu komprehensif dan sempurna meliputi tiga “D” (di>n, agama;
dunya>, dunia; dan dawlah, negara). Kedua beberapa kalangan
muslim lain berpendapat bahwa Islam “tidak mengemukakan suatu
pola baku tentang teori negara (atau sistem politik)
harus
dijalankan oleh umat Islam.65 Kelompok pertama beranggapan bahwa
Islam harus menjadi dasar negara dan Syari >a‘h sebagai
konstitusinya karena kedaulatan politik ada di tangan Tuhan,
meskipun mereka mengakui prinsip syu@ra@ (musyawarah), tapi
aplikasinya berbeda dengan demokrasi. Sedangkan kelompok kedua
berpendapat bahwa “tidak ditemukan istilah d awlah dalam arti
sebagai negara dalam al-Qur’an, isi al-Qur’an jelas mengandung
nilai-nilai dan ajaran -ajaran yang bersifat etis…. mengenai aktivitas
sosial dan politik umat Islam yang mencakup prinsip -prinsip tentang
keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.”66 Tapi “al-Qur’an
bukanlah buku tentang ilmu politik.” 6 7 Pada perkembangannya
64
Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media , 69.
Lihat uraian komprehensif tentang hal ini dalam Bahtiar Effendy, Islam
dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta,
Paramadina bekerjasama dengan LSI dan Prenada Media Group, Cetakan II yang
diperluas, Juni 2009), 9-11.
66
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang
Percaturan dalam Konstituante (Jakarta, LP3ES, Cetakan Pertama, Pebruari, 1999),
15.
67
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, 14. Secara terurai Bahtiar Effendy menjelaskan tinjauan
teoritis Islam politik di Indonesia dari bermacam-macam pendekatan a.l. C.A.O.
Nieuwenhuije (1958) meneliti politik Islam Indonesia dengan Pendekatan
Dekonfessionalisasi Islam. Dia
mengatakan seperti halnya
jenis
dekonfessionalisasi di Belanda, Islam di Indonesia rela melepaskan sikap formal
untuk memperluas penerimaan semua kelompok berkepentingan tanpa harus
65
52
Suhaimi
kemudian, setelah rezim Orde Baru tumbang, setidaknya
tiga
berubah keyakinan, Misalnya ketika umat Islam menerima Pancasila. Lain halnya
Harry J. Benda dengan Pendekatan Domestifikasi Islamnya meneliti politik Islam
Indonesia abad ke-16 sampai abad ke-18, menurutnya kekuasaan politik Islam di
Indonesia terdomestifikasi seperti terlihat dalam penolakan ide negara Islam,
pembubaran Masyumi, serta pemapanan ideologi Pancasila dalam politik Indonesia
kontemporer.
Pendekatan Skismatis dan Aliran oleh Robert R. Jay dan Clifford Geertz yang
berusaha menjawab pertanyaan: Mengapa perebutan kekuasaan antar Islam dan
Jawaisme terjadi? Berdasarkan penelitian historis
dan penafsiran antropologis
yang luas, Robert Jay menyimpulkan sesuai sejarah Islamisasi di tanah Jawa
terdapat dua model keberislaman yaitu muslim “ortodoks’ (santri) dan muslim
“sinkritisme” (abangan). Kecendrungan skismatis keduan a kemudian berkembang
ke bidang non-agama, seperti politik dengan terjadinya permusuhan antara negaranegara pesisir di bawah kerajaan Demak dan negara sinkritisme Mataram sepanjang
abad ke-16. Hal itu juga terjadi dalam konteks sejarah politik Indonesia modern
seperti antara lain terjadi pada periode pascakolonial pada perdebatan-perdebatan
ideologis dan konstitusional yang menyebabkan pengelompokan muslim nasionalis
sekuler dan muslim ortodoks pada 1940 -an dan 1950 -an dan tampak pada hasil
pemilu di Indonesia tahun 1955.
Hal itu juga dijadikan contoh oleh Clifford Geertz (1959) yang mengembangkan
konsep aliran dalam tiga varian sosio -kultural yang terkenal: abangan (pandangan
dunia dan etos yang sinkritis terlihat pada mayoritas nduduk yang petani), santri
(Islam terlihat pada pedagang) serta priyayi (bercorak kehinduan tampak pada unsur
birokrasi). Menurut Geertz pada pemilu tahun 1950 -an kelompok santri cenderung
mengarahkan orientasi politik mereka ke partai-partai politik Islam, seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi, sedangkan abangan dan priyayi lebih suka
mengekspresikan kedekatan politis mereka dengn partai “nasionlis” Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) atau Partai Komunis Indonesia (PKI).
Donald K. Emmerson menggunakan Pendekatan Kultural dalam meneliti setelah
masa kekalahan politis umat Islam pada sedikitnya lima bidang: konstitusi, fisik,
pemilu, birokrasi dan simbol, maka umat Islam Indonesia mengerahkan kembali
energi mereka dalam rangka mengembangkan sisi non-politis dari agama mereka.
Kecenderungan diskursus Islam Indonesia sepanjang 1980 -an menegaskan dimensi
kulturalnya, maka pada gilirannya jika Islam kultural berkembang semakin pesat dan
semakin berpengaruh, pertanyaanya kemudian menurut Emmerson: “Siapa
sesungguhnya yang mengkooptasi (mempengaruhi atau menguasai) siapa?
Allan Samson, B.J. Boland dan Howard Federspiel menggunakan Pendekatan
Trikotomi untuk meneliti politik Islam modern. Samson mencatat bahwa
pandangan partai-partai Islam mengenai politik, kekuasaan dan ideologi tidak
tunggal, menurutnya muncul orientasi fundamentlis, reformis dan akomodasionis.
53
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
model gerakan Islam: Pertama gerakan pro syariat yang
menegakkan syariat Islam dengan menyerukan kembali ke iagam
Jakarta, kedua gerakan Islam moderat yang menolak tegas berbagai
upaya untuk kembali ke Piagam Jakarta dan ketiga gerakan dakwah
sufistik yang dipimpin tokoh -tokoh seperti KH Abdullah Gymnastiar
dan M. Arifin Ilham yang tidak memiliki agenda perjuangan
politik. 68
Gerakan pro syariat dipelopori
oleh ormas-ormas Islam seperti Komite Indonesia untuk Solidaritas
Dunia Islam (KISDI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut
Tahrir (HT), Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Komunikasi
Ahlussunah Wal Jamaah atau Laskar Jihad. Mereka pendukung
fundamentalisme Islam yang membela doktrin Islam dengan
menegaskan superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk
mengimplementasikannya secara total dan mengharamkan istilah dan
konsep demokrasi. Sedangkan gerakan Islam moderat diwakili oleh
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta Jaringan Islam
Liberal (JIL) yang secara tegas memproklamirkan diri lahir untuk
melawan fundamentalisme Islam. 69
JIL yang didirikan pada Tahun 2001 oleh antara lain
cendikiawan muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Sahal
dll. oleh M. Syafi’i Anwar secara tegas digolongkan sebagai
Progressive-Liberal Islam (PLI) berdasarkan agenda mereka untuk
mengembangkan pendekatan liberal dan inklusif terhadap ajaran
Islam. 7 0 Menurutnya JIL adalah kebangkitan generasi baru intelektual
68
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Tipologi Gerakan Islam
Kontemporer di Indonesia”, dalam Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 2005), 488489.
69
JIL berpusat di Jalan Utan Kayu 68H Jakarta adalah komunitas anak
muda yang mengkaji ajaran Islam dengan visi keislaman ng toleran dan terbuka
dan mendukung penguatan proses demokratisasi di Indonesia. Lihat Luthfi
Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I,
2002), sampul.
70
M. Syafi’i Anwar, “The Clash of Religio Political Thought: The Contest
between Radical-Conservative Islam and Progressive-Liberal Islam in Post-Soeharto
Indonesia”, in T.N. Srinivasan ed. The Future of Secularism (Oxford, Oxford
University Press, 2007), 210-211.
54
Suhaimi
muslim yang memiliki relasi dengan generasi pembaruan
pasca
dekade tahun 1970-an yang dipelopori oleh almarhum NCM. Secara
lebih luas sejarahwan Azyumardi Azra menelusuri akar
rakan
Islam progressif sebagai bagian dari empat gelombang pembaruan
Islam. 7 1 Berbeda dengan Deliar Noer (1973) yang mengemukakan
bahwa pembaruan Islam di Indonesia berawal pada abad ke-20,
menurutnya gelombang pertama pembaruan Islam di Indonesia
bermula pada abad ke-17 dengan bukti adanya jaringan ulama
Indonesia dan Haramayn (Makkah dan Madinah) dan sekitarnya.72
Dilanjutkan dengan gelombang kedua pembaruan Islam di Indonesia
yang ditandai dengan gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke19, kemudian gelombang ketiga pembaruan Islam di Indonesia pada
awal abad ke-20 yaitu era berkembangnya modernisme Islam yang
ditransmisikan (Azra: mewariskan dan menurunkan sesuatu
sepanjang waktu) dengan kembalinya para pelajar Melayu -Indonesia
dari Kairo dan tersebarluasnya buku -buku karya para pembaharu
Islam seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Rida dll. yang berpusat di Kairo. Kaum modernis
adalah mereka yang melakukan artikulasi dan upaya penyadaran
untuk mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip -prinsip Islam dalam
istilah -istilah pemikiran modern atau untuk menyatukan pemikiran
dan institusi modern dengan tradisi Islam. 73
Azra menegaskan bahwa para cendikiawan muslim pendukung modernisme Islam dan berbagai macam variasinya kemudian
seperti ‘neo -modernist’ dengan tokoh -tokohnya seperti Harun
Nasution (1919 -1998), NCM, Munawir Sjadzali (1925-2004), Ahmad
71
Azyumardi Azra, “The Root and Nature of Progressive Islam: The
Indonesian Experience”, Paper Presented at Seminar on
g Progressive
Islam: A Global Prespective’, Graduate School Syarif Hidayatullah State Islamic
University The IAIN-McGill Social Equity Project, Jakarta, 25 -27 July 2009.
72
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta, Prenada
Media, Cetakan ke-2, Edisi Revisi, 2004), 300-301.
73
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam
Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung, Mizan,
Cetakan I, April 1986), 110.
55
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Syafi’i Maarif dll. 74 serta selanjutnya mereka yang disebut pendukung
‘neo -tradisionalism e’ bahkan ‘post-tradisionalism e’ kemudian generasi muda NU penerus Abdurrahman Wahid (1940-2009) yang
melakukan kajian Islam “kontekstual”, “pribumi” dan “liberal” (JIL)
yang terkadang melahirkan ide-ide kontroversial di tengah umat
muslim Indonesia semuanya dapat digolongkan sebagai Islam
progresif. 75
Kebebasan dan persamaan merupakan nilai-nilai dasar
liberalisme yang bertentangan dengan chauvinisme berupa satu
bentuk nasionalisme yang menolak persamaan kedudukan seluruh
bangsa-bangsa di dunia. Chaim Gans mengklasifikasikan nasionalisme berbentuk chauvinisme itu sebagai nasionalisme statis yang bertentangan dengan nasionalisme kultural. 76 Para pendukung nasionalisme kultural saling berbagi persamaan nilai-nilai sejarah dan
kebudayaan yang sangat penting antar kelompok mereka dengan
74
Azra menandaskan dengan kritis bahwa neo -modernisme sebagai
gerakan Islam lebih menekankan signifikansi warisan pemikiran Islam ketimbang
modernisme itu sendiri. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme, (Jakarta, Paramadina,
1996), xi. Berdasarkan pemikiran ini pada kasus Cak Nur, Azra lebih lanjut meneliti
secara seksama bahwa Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara
keseluruhan, pada tingkat teoritis dan eksoteris. Deng sangat bagus dan distingtif,
dia bukan sekadar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah
pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam
Ini dalam bidang
eksoteris. Sedang dalam bidang esoteris, Cak Nur hampir tidak diragukan lagi
mempunyai apresiasi yang cukup tinggi terhadap tasawuf pada umumnya….adapun
pergeseran agendanya dapat ditemui pada concern intelektual Cak Nur … yang
melangkah lebih jauh dengan berupaya membangun suatu peradaban Islam yang
khas, yang mempunyai akar kuat pada tradisi Islam klasik;bukan hanya viable dalam
era modern, tetapi juga dalam masa postmodern. Berdasarkan hal ini,
neomodernisme Islam Indonesia-walaupun tidak dapat disamaratakan-telah
mengalami metamorfosis menjadi neotradisionalisme. Lihat pula Azra, “Jejak Fazlur
Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia” pengantar dalam Abd A’la, Dari
Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta, Paramadina, April 2003), xii-xiii.
75
Azyumardi Azra, “The Root and Nature of Progressive Islam: The
Indonesian Experience”, 9.
76
Chaim Gans, The Limits of Nationalism (United Kingdom, Cambridge
University Press, First Published, 2003), 7-8.
56
Suhaimi
tujuan melestarikan nilai moral dan kebudayaan itu antar generasi.77
Di Asia Tenggara, menurut Azra, nasionalisme bukan
merupakan konsep baku. Ia merupakan konsep dinamis yang
mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, baik dengan
perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun
perubahan pada tingkat global. Paling tidak terdapat tiga fase
perkembangan nasionalisme di Indonesia. Pertama fase penyerapan
gagasan nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasiorganisasi, di Indonesia dapat dilihat sejak dari Budi Utomo, Sarekat
Dagang Islam (SDI), dan Sarekat Islam (SI). Tahap ini disebut juga
“ protonasionalisme”. Kedua fase yang sarat dengan muatan politis
ketimbang sosial dan kultural, nasionalisme di Indonesia saat ini
bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme
dan imperialisme Eropa. Ketiga fase penekakanan nasionalisme
ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industria isasi atau
pembangunan, di Indonesia ditandai dengan kebangkitan pemerintah
Orba di bawah pimpinan Soeharto.78
Menurut Hasan al-Banna, seperti dikutip oleh Adhyaksa
Dault, terdapat beberapa nilai-nilai ideal nasionalisme yang relevan
dengan doktrin Islam seperti nilai cinta tanah air, cinta kehormatan
dan kebebasan, cinta kemasyarakatan dan pembebasan.7 9
C. Perspektif Interpretatif untuk Memahami Teks
Perspektif atau cara pandang yang digunakan untuk
menganalisis makna pesan politik NCM dalam agenda dasar
77
Chaim Gans, The Limits of Nationalism, 7.
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara , 105-112.
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa dalam pengertian
antropologis dan sosiologis berarti sebagai suatu persekutuan hidup yang berdiri
sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa sebagai satu
kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Sedangkan bangsa d
pengertian politis adalah masyrakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka
tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan
ke dalam. Lihat Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Ciputat, Logos,
Cetakan I, Februari 1999), 57-58.
79
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal
dalam Konteks Global (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan I, 2005), 195 -197.
78
57
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
‘Membangun Kembali Indonesia’ adalah perspektif interpretatif; atau
dalam istilah Littlejohn adalah genre interpretive theory.80 Perspektif
atau genre ini mencakup teori-teori yang berusaha menemukan makna
dalam suatu tindakan dan teks. Teori-teorinya berusaha menerangkan
suatu proses terjadinya suatu pemahaman, dan membuat sebuah
perbedaan antara pemahaman dan eksplanasi ilmia Tujuan
interpretasi bukan untuk menemukan hukum -hukum yang mengatur
suatu peristiwa, tetapi berusaha membongkar cara-cara orang dalam
memahami pengalaman mereka sendiri.
Lebih jauh Littlejohn mengemukakan, bahwa teori-teori
dalam genre interpretive sangat mengagungkan subjektifisme, atau
memberi tempat yang tinggi pada pengalaman individu, dan
menganggap sangat penting pemahaman individu terhadap uatu
peristiwa. 81 Teori-teori ini memberikan penekanan kepada bahasa
sebagai pusat pengalaman, dan meyakini bahwa bahasa akan
menciptakan sebuah dunia makna (a world of meaning ) dimana
seseorang tinggal dan melalui mana semua pengalaman dipahami.
Teori-teori dalam perspektif interpretatif cenderung menghindari
penilaian yang memastikan tentang fenomena yang diartikan,
interpretasi seringkali bersifat tentatif dan relatif.
Dalam lingkup yang lebih kecil, penelitian tentang makna
pesan politik NCM dalam agenda dasar “Membangun Kembali
Indonesia” sebagai sebuah teks, akan dianalisis dengan memakai
metode verstehen , yaitu cara mengembangkan pengetahuan yang
memanfaatkan kemampuan manusia menempatkan diri melalui
pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain dengan tujuan memahami
pikiran, pandangan, perasaan, cita -cita, dorongan dan kemauannya.82
D. An alis is Teks dalam Semiotik d an Interpretatif
Dekade tahun1960 merupakan tahun perubahan besar
pemikiran madzhab filsafat di Prancis dari pemikiran madzhab
80
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication (USA,
Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996), 16.
81
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , 17.
82
J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu -ilmu Sosial, 49.
58
Suhaimi
fenomenologi83 dan eksistensialisme kepada madzhab -strukturalisme.84 Ferdinand de Saussure (1906 -1911), tokoh filusuf yang
terkenal sebagai “bapak strukturalisme”,85 mengemukakan bahwa
bahasa dapat dikaji dengan teori yang mandiri, bahasa harus
dimengerti sebagai suatu sistem yang disebut “ linguistique”. Bahkan
Saussure berhasil mengangkat ilmu bahasa modern, khususnya
fonologi, untuk menjelaskan semua model penggunaan tan dalam
kehidupan manusia dengan melahirkan strukturalisme dan semiotik
dengan nama “ semiology”.86 Jadi semiotik adalah ilmu yang mengkaji
tentang tanda dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini Saussurre
mengatakan, seperti dikutip oleh K. Bertens, bahwa:
“ Language is a system of signs which express ideas. Hence it is like
writing, the deaf and dumb alphabeth, symbolic rites, iquette,
military signals and so on, except that it is the most important of such
systems. One may therefore envisage a science which st ies the life
83
Fenomenologi berasal dari kombinasi akar kata Yunani polimorfemik
‘phainesthai’ dan ‘logos’ berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes
sebagaimana adanya tanpa melakukan kategori-kategori tentang benda-benda itu.
Menurut Martin Heidegger (1899-1976) hal itu maksudnya hakekat pemahaman
yang terdalam adalah pemahaman realitas yang dibimbing oleh kekuatan benda
untuk merealisasikan dirinya sebagai ‘das sein’ melalui bahasa. Lihat Kaelan,
Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya (Yogyakarta, Paradigma, Cetakan
ke-3, 2002) 202.
84
Strukturalisme di sini merujuk kepada pendapat Ferdinand de Saussure
dalam ilmu bahasa yang mengatakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem yang
terdiri dari perbedaan-perbedaan. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid
II: Prancis (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2006), 203.
85
Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya , 230.
86
Ferdinand de Saussure, “Course in General Linguistics” in Literary
Theory an Anthology, Julie Rivkin and Michael Ryan, eds. (Malden, Blackwell
Publishing, Secong edition, 2004), 60. Lihat juga Benny Hoed, Semiotik dan
Dinamika Sosial Budaya (Jakarta, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
Cetakan I. April 2008) 25. Menurut Hoed di sini semiotik adalah ilmu yang
mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia, sedang K. Bertens memakai kata
semiotika yang menurut keterangannya diperkenalkan oleh C Pierce yang digunakan
dengan arti yang sama dengan semiologi. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat
Kontemporer Jilid II, Prancis, 209.
59
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
of signs in the framework of social life… We shall cal it semiology
(from the Greek semeion, ‘sign’).”. 87
Saussurre meletakkan 4 konsep dasar teori strukturalisme dan
semiotik seperti tertulis di bawah ini:
1) Teori sosial tentang bahasa dan tanda bahasa: signifiant signifie
Bahasa adalah alat komunikasi dalam masyarakat yang
menggunakan sistem tanda yang maknanya dipahami secara
konvensional oleh anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Sistem tanda bahasa dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap
sistem tanda bahasa memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti
“dua halaman pada selembar kertas”. Bagi Saussure tanda adalah
objek fisik dengan sebuah makna, sebuah tanda terdiri atas penanda
yaitu citra tanda seperti yang kita persepsi, dan petanda adalah konsep
mental yang diacukan petanda.88
De Saussure sendiri menyontohkan kata arbor dalam bahasa
Latin yang berarti ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua
segi yakni unsur citra akustik/signifiant atau penanda: arbor dan ?
yakni konsep pohon/signifie atau petanda. Konsep signifiant -signifie
ini dapat diterapkan pada gejala di luar bahasa.89
2) Hubungan antar tanda/Relasi sintagmatik dan paradigmatik
Berdasarkan uraian di atas, maka menurut Saussure makna
hadir melalui relasi antar tanda yang terbagi menjadi sintagmatik
atau makna berdasarkan positioning/urutan tanda yang manifest
(hadir). 90 Bahasa menggunakan tanda yang dimaknai secara
konvensional. Tanda-tanda bahasa itu tersusun dalam rangkaian atau
relasi “sintagmatik”, yakni rangkaian tanda yang berada dalam ruang
dan waktu yang sama atau relasi in praesentia .91
87
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid II, Prancis, 209.
John Fiske, Introduction to Communication Studies (New York,
Routledge, Second Edition, 1990), 44.
89
Winfried Noth, Handbook of
Semiotics (Bloomington, Indiana
88
University Press, 1990), 60.
90
M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan
Praktek , 51-55.
91
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya , 48.
60
Suhaimi
Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia adalah urutan kalimat
“Ali makan nasi” dipedomani oleh kaidah (langue) bahasa Indonesia
berupa hubungan fungsi sintaksis subjek, predikat, objek. Kata-kata
yang berada dalam relasi sintagmatik tersusun dalam sebuah struktur.
Di samping itu dalam hubungan fungsi sintaksis pada co h kalimat
Ali makan nasi, di setiap fungsi itu dapat diisi pula oleh kata tertentu
sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Jadi, pada urutan satu dalam
contoh itu yang diisi oleh kata Ali dapat diisi oleh kata seperti
Ahmad, Ida, ia, mereka, atau kucing saya. Tapi kata -kata itu tidak
dapat berada di ruang (dan waktu)yang sama. Kata-kata itu
diasosiasikan secara in absentia. 92 Hubungan antara kata-kata itu
berada dalam relasi asosiatif yang digolongkan karena kategori yang
sejenis, biasanya disebut relasi paradigmatik. Hal yang sama berlaku
juga pada urutan kata makan dan urutan kata nasi.
3) Teori tentang “ langue” dan “ parole”.
Saussure membedakan tanda-tanda sebagai fenomena bahasa
dalam konsep parole sebagai ujaran atau ungkapan yang diucapkan
oleh seseorang, dan langue berarti aturan atau sistem kebahasaan
yang bersifat abstrak dan mengatur parole. Langue pun terbagi
menjadi synchrony berarti kajian tentang sistem tanda pada waktu
tertentu yang terlepas dari sejarah dan diachrony berarti kajian
tentang perubahan atau evolusi sistem tanda dalam perkembangan
sejarah.9 3 Bahasa sebagai alat komunikasi dan sebagai gejala sosial,
menurut de Saussure memiliki dua tataran yang berkaitan satu sama
lain. Sebagai gejala sosial disebut langage yang terdiri juga dari dua
tataran. Tataran pertama itulah langue sebagai tataran konsep dan
kaidah. Sedangkan yang di bawahnya adalah tataran praktik
berbahasa dalam masyarakat yang disebut parole. Tanpa menguasai
langue seseorang tidak dapat ikut serta mempraktikkan langage
dalam sebuah masyarakat bahasa. Jadi, langue/kaidah menguasai
parole/praktik.
92
93
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya , 49.
Winfried Noth, Handbook of Semiotic, 62 -63.
61
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Studi tentang petanda dan konsep mental menurut Saussure
merupakan kajian semiotik dalam dimensi semantik. 94 Menurut
Charless William Morris (1901-1979) semantik adalah kajian tentang
makna dari hubungan antar tanda. Di samping itu bersama semantik,
ada dua dimensi semiotika lainnya yaitu syntactics berarti kaidah dan
struktur yang menghubungkan tanda-tanda satu sama lain (misalnya
tata bahasa) dan pragmatics berarti analisis penggunaan dan akibat
permainan kata. 95
Tanda memiliki nilai dengan sendirinya jika dibedakan
dengan kategori tanda lainnya. Kemampuan manusia melakukan
kategorisasi dikatakan oleh para ahli semiotik sebagai bersifat a
priori . Saussure menekankannya sebagai ‘perbedaan’(difference)
antar tanda. Perbedaan ini dilihat secara negatif, artinya: yang
menjadi karakteristik tiap tanda adalah apa yang tidak dimiliki oleh
tanda lain. 9 6 Claude Lévi Strauss, seorang antropolog yang mengembangkan teori bahasa Saussure, menamakan proses ‘perbe
’ itu
97
dengan oposisi biner ( binary opposition). Misalnya kaya/miskin,
biadab/beradab, kultur/natur, abadi/fana, dsb. Hal ini menjadi fokus
perhatian dalam analisis paradigmatik dengan berusaha mencari
makna yang dihasilkan dari adanya oposisi-aposisi yang tersembunyi
pada teks.9 8 Analisis paradigmatik ini berkaitan pula dengan proses
signifikasi berupa makna denotasi, konotasi dan mitos.99
4 ) Bahasa yang utama adalah lisan .
Menurut de Saussure bahasa tulis merupakan “turunan” dari
bahasa lisan, oleh karena itu bahasa yang utama adalah bahasa lisan.
Jadi, bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan yang menjadi objek
kajian utama linguistik. Hal ini merupakan kritik terhadap para
94
Winfried Noth, Handbook of Semiotic, 61.
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, 93.
96
M. Antonius Birowo (ed.), Metode Penelitian Komunikasi Teori dan
Praktek (Yogyakarta, Gitanyali, Cetakan I, Oktober 2004), 55.
97
John Fiske, Introduction to Communication Studies (London and New
York, Routledge, Second Edition, 1990), 116.
98
Arthur Asa Berger, Media and Communication Reseach Methods, 46.
99
M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan
Praktek , 56-59.
95
62
Suhaimi
peneliti bahasa yang terlalu terfokus pada bahasa tulis, padahal “tidak
alamiah”. 10 0
Selain Saussure, Charless Sanders Peirce (1893-1914),
seorang ahli filsafat pragmatisme berkebangsaan Amerika Serikat
juga dikenal sebagai “bapak semiotik modern”. Peirce mendefinisikan
tanda sebagai berikut:
“ Suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang
menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau
kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang
itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda
yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai
interpretan dari tanda yang pertama. Tanda menggantikan sesuatu
yaitu objeknya, tidak dalam segala hal melainkan dalam rujukannya
pada sejemput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai
r dari
10 1
representamen.”.
Jadi menurut Peirce, tanda itu mewakili objek, baik objek
langsung sebagai objek nyata bahkan objek fiktif yang merupakan
aspek mental dari tanda karena kebiasaan, maupun objek dinamis
berupa sifat benda-benda. Tidak ada tanda yang berfungsi secara
berarti jika tidak ada yang diwakilinya. 102
Dalam hubungannya dengan objek dinamis, tanda dibedakan
antara, Icon, Index dan simbol. Icon adalah tanda yang ditentukan
oleh objek dinamis berdasarkan kualitas sifat internal yang
dimilikinya. Kemiripan Icon mengacu secara langsung pada objek
karena suatu kulaitas umum. Index mengacu pada objek karena
“keseusiaan dengan fakta”. Simbol mengacu pada objek berdasarkan
konvensi. 10 3
Winfried Noth menuliskan bahwa hermeneutik sesungguhnya
disiplin ilmu yang menjadi pendahulu dan tetangga semiotik dalam
mengkaji teks. Hermeneutik sebagai suatu ‘seni penafsiran’/‘ art of
100
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, 47-51.
Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 42.
102
Fariz Pari, “Epistimologi Semiotik Peirce Kajian dan Terapan Teori
Semiotik,” (Jakarta, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994), 20 -21.
101
103
Fariz Pari, “Epistimologi Semiotik Peirce,”, 22.
63
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
interpretation’ adalah suatu ilmu pertama tentang teks yang berakar
dalam sejarah Yunani Kuno seperti halnya rhetorika. 10 4 Hermeneutik
digunakan untuk mengkaji makna teks di Eropa sudah lama,
setidaknya sejak abad pertengahan, sedang semiotik baru lahir
kemudian pada zaman modern melalui karya Ferdinand de
urre.
Hingga kini keduanya berkembang mengkaji makna teks.
Hermeneutik melalui penafsiran yang didukung oleh “konteks sosio historis” dan semiotik didukung oleh teori pemaknaan tanda sebagai
unsur budaya.105
Dalam hermeneutik pemahaman teks dilakukan secara
keseluruhan sebagai suatu karya. Menurut kamus Webster, teks
adalah kata -kata yang tertulis atau tercetak asli dan bentuk dari
sastra (Text: the original written or printed words and form of a
literary work).1 06 Jadi teks berkaitan dengan naskah -naskah tertulis,
baik berupa naskah -naskah kuno, kitab agama, karya sastra ataupun
yang lainnya. Pengertian secara etimologis hermeneutik berasal dari
bahasa Yunani berupa kata kerja ‘hermeneuein’ berarti menafsirkan
atau kata benda ‘hermeneia’ berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’.
Kata ini juga mempunyai tiga makna: mengekspresikan (to
express/”to say), menjelaskan (to explain ) dan menerjemahkan (to
translate). Ketiga makna ini berkaitan erat dengan maknanya yang
fundamental, yaitu menginterpretasikan. 1 07 Kata hermeneutik dalam
mitologi Yunani merupakan derivasi dari kata Hermes, utusan Tuhan
yang bertugas sebagai penghubung antara Sang Maha Dewa di langit
dan para manusia di bumi. Dalam Islam pekerjaan menjadi utusan
Tuhan adalah pekerjaan seorang rasul. Menurut catatan Komaruddin
104
Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 334.
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, 75.
106
Webster’s New Collegiate Dictionary, (New York, Prentice Hall Press,
1977), 1206. Bandingkan dengan pendapat Jacques Derrida (1930 -…), salah
seorang filsuf pendukung postmodernisme, yang mengatakan bahwa kata teks
diambil dari kata Latin ‘tegere’ berarti ‘menenun’ dari sini teks diartikan sebagai
objek hermeneutik dalam arti jaringan tanda. Lihat Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah
dan Perkembangannya , 253.
107
Richard E. Palmer, Hermeneutics (USA, Northwestern University Press,
1988), 13.
105
64
Suhaimi
Hidayat, sebagian ulama dan mufassir berpendapat bahwa Hermes
adalah Nabi Idris yang dalam legenda pesantren dikatakan memiliki
pekerjaan sebagai tukang tenun atau tukang memintal. Kata sinonim
“memintal” dalam bahasa Latin adalah ‘tegere’ dan produknya adalah
disebut textus atau text. 108 Berdasarkan uraian tertulis di atas
hermeneutik dapat disimpulkan sebagai ilmu dan seni
menginterpretasikan sebuah teks.
Aristoteles (384 SM- 322 SM) filsuf jenius Yunani Kuno
sudah membahas tentang kata-kata dalam ucapan dan tulisan dalam
bukunya Peri Hermeneias bahwa, kata-kata yang diucapkan oleh
manusia adalah simbol dari pengalaman mentalnya dan kata-kata
yang ditulisnya adalah simbol dari kata -kata yang diucapkannya.1 09
Pangkal tolak hermeneutik, menurut Friedrich Daniel Ernst
Schleiermacher (1768-1834) adalah bagaimana semua ungkapan lisan
atau tulisan de facto dapat dipahami dan pemahaman sesungguhnya
tidak lain adalah mengalami kembali proses kejiwaan pencipta
teks. 11 0
Sebagaimana ujaran atau ucapan yang diucapkan oleh
seseorang bahwa ketika dia berbicara dengan orang lain yang mendengarkan pembicaan, ada sesuatu yang dibicarakan dan mempunyai
tujuan tertentu, yang dapat dipahami oleh pendengar. Hal itu berlaku
pula pada naskah yang ditulis dengan tujuan tertentu oleh penulisnya
dan tulisan tersebut juga ditujukan kepada manusia lain, baik
seseorang ataupun masyarakat. Jadi terdapat target pembaca yang
dituju oleh penulis, seperti anak-anak, remaja, orang dewasa, atau
peminat masalah -masalah tertentu. Target pembaca ini akan
menentukan tema, struktur, bahasa dan gaya bahasa yang dibuat.
Dalam hal ini teks ditempatkan dalam situasi dialogis, yaitu sebagai
108
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta, Penerbit Paramadina, Cetakan I, Oktober 1996), 13. Di
antara ulama tersebut adalah Hossein Nasr, Abu > al-Wafa> al-Muba>syir ibn
Fa>tik, Abdurrahman Darwi dan Abu > Dawud Sulaima>n ibn Hasan al-Andalu >si.
109
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta,
Kanisius, Cetakan ke-5, Edisi Revisi, 1999), 24.
110
W. Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung, Pustaka Setia, Cetakan
Pertama, Mei 2004), 23-25.
65
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
sarana dialog antara dua pihak, seperti halnya penggunaan bahasa
lisan dalam dialog pembicaraan antara dua orang, ada yang berbicara
dan ada yang mendengarkan, ada yang menulis (berbicara) dan ada
yang membaca (mendengarkan). 111
Dem ikian juga halnya den gan teks . Teks memb icarakan
sesuatu yang mengacu pada dunia penulis saat itu. Namun yang
membedakan antara teks dengan bahasa lisan adalah, pemahaman dialo g dalam bahasa lis an terhadap dunia yang d ib icarakan (konteks pembicaraan) terjad i seketika, sedangkan pemahaman terhadap dunia (konteks ) yang d ib icarakan dalam teks
mengalam i penundaan.
Teks berkaitan dengan bahasa. Isi teks adalah bahasa, karena
teks adalah ujaran kata-kata lisan yang dituliskan (ditetapkan dalam
bentuk tulisan). Oleh karena itu untuk memahami teks, seseorang
perlu menguasai dan memahami bahasa yang d igun akan d alam
teks ters ebut serta men guas ai gram atika b ahasa ters ebut.1 12
Penguasaan bahasa dan gramatika diperlukan untuk menemukan
makna dari tulisan yang ada di dalam teks. Namun pengetahuan
bahasa dan gramatikanya saja belum mencukupi untuk memahami
teks tersebut, karena bahasa bersifat polisemi atau mempunyai banyak
makna.
Paling tidak terdapat dua makna dalam setiap ungkapan bahasa (satuan terkecil dari satu ungkapan bahasa adalah satu
kalimat). Pertama adalah makna tekstual atau harfiah dan kedua adalah makna inti atau hakiki atau makna batin. 1 13
Makna satu kata yang berd iri send iri dapat berbeda
maknanya apabila dirangkai dalam satu kalimat. Satu ka imat
111
W. Poespoprodjo, Interpretasi (Bandung, CV. Remadja Karya, Cetakan
ke-1, 1987), 43-44. Lihat juga Pariz Pari, “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk
Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan Terha
Kebudayaan
shalat dan Makam sunan Rohmat Garut,” (Disertasi Program Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), 102.
112
Lihat Jose Bleicher, Hermeneutika Kontemporer Hermeneutika sebagai
Metode, Filsafat, dan Kritik , terjemahan Imam Khoiri (Yogyakarta, Cetakan ketiga,
Pebruari 2007), 10-11.
113
Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 335.
66
Suhaimi
yang berdiri sendiri dapat berbeda maknanya apabila kalimat
tersebut terangkai dalarn satu alinea. Demikian juga halnya dengan
makna satu alinea yang berdiri sendiri dapat berbeda maknanya
apabila alinea tersebut dirangkai dengan alinea lain yang akan
membentuk suatu teks. Gramatika tidak mencukupi untuk menentukan makna mana yang sebenarnya. Untuk dapat memahami dan
menentukan makna yang sebenarnya dari teks tersebut perlu
dipertimbangkan hubungan antara bagian dan keseluruhan. Suatu teks
terdiri dari bagian -bagian yang membentuk satu kesatuan yang utuh
sebagai suatu keseluruhan.
Satu teks terdiri dari gabungan kata-kata yang membentuk
kalimat, dan gabungan kalimat-kalimat membentuk alinea, dan
gabungan alinea-alinea membentuk teks yang utuh. Jadi teks
merupakan suatu totalitas keseluruhan. Dengan demikian makna teks
dipahami sebagai totalitas keseluruhan dari bangunan makna bagian bagiannya, dan memahami makna bagian -bagian berdasarkan makna
keseluruhannya. Hubungan antara bagian -bagian dengan keseluruhan
dalam upaya memahami teks ini disebut dengan lingkaran
hermeneutik (hermeneutical circle).
Lingkaran Hermeneutik
Keseluruhan
Teks
Bagian
Gambar 2 diadaptasi dari Tina Koch, 1995. 11 4
Operasi pemahaman yang berlangsung berdasarkan prinsip
lingkaran hermeneutik seperti tertulis di atas, sejalan dengan
114
Tina Koch, “Interpretive Approaches in Nursing Reseach: The
Influence of Husserl and Heidegger,” Journal of Advanced Nursing 21 , 1995.
67
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
pemikiran Schleiermacher dan Dilthey bahwa keseluruhan (teks)
diartikan berdasarkan bagian -bagiannya dan sebaliknya bagianbagian itu hanya dapat ditangkap dalam kaitan dengan keseluruhan .1 15
Proses penafsiran dalam hermeneutik disebut hermeneutic
circle. Orang menafsirkan suatu teks dimulai dengan cara dia
memeriksanya dalam istilah-istilah pengertian umum yang mungkin
teks itu miliki, dan dia memberi batasan pengertian umum itu dengan
mengujinya pada teks tersebut. Demikian seterusnya proses
penafsiran dapat pula dimulai dari spesifik ke umum.116
Dalam hal ini Paul Ricoeur (1913-2005) lebih jauh
menyatakan bahwa teori hermeneutik terdiri dari dua tahapan: 1)
Proses semiologi struktural yang diadopsi dari semiologi Saussure
yang berfungsi menjelaskan; 2) Proses apropriasi yang menjadikan
teks sebagai milik pembaca yang berfungsi memahami.117
Sementara itu para ahli semiotik pun belum mencapai kata
sepakat tentang definisi dan kriteria teks sebagai objek penelitian
mereka. Secara garis besar mereka mendefinisikan teks
an
dua pendekatan yakni pendekatan terks sebagai pesan budaya dan
pendekatan teks sebagai pesan verbal sbb.:
1. Teks sebagai Pesan Budaya
Pengertian teks secara luas merujuk kepada berbagai macam
pesan dari kode apapun. Berdasarkan pengertian ini beberapa ahli
semiotik meneliti berbagai macam ragam fenomena kebudayaan
sebagai teks: film, penampilan tari ballet, musik dan pertunjukan
sirkus bahkan berbagai upacara serimonial. Definisi te
semiotik
seperti ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915 -1980) sebagai
bidang penelitian dengan unit analisis sbb.
Tidak lagi monem atau fonem, tapi adalah bagian luas
i
wacana. Oleh karena itu Semiologi sebaiknya diperuntukkan bagi
115
W. Poespoprodjo, Hermeneutika, 53.
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication , 211.
117
Pariz Pari, “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan:
Kajian Metodologi dan Terapan terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan
Rohmat Garut”,. 61.
116
68
Suhaimi
translinguistics, yang objek kajiannya bisa saja mitos, narrative,
jurnalisme, atau pada sisi yang lain mengkaji objek-objek tentang
kebudayaan, sejauh itu semua dibicarakan (melalui pers, prospektus,
wawancara dan percakapan…). 118 Definisi teks sebagai pesan budaya
ini, menurut Bakhtin (ahli semiotik Soviet) seperti yang dikutip oleh
Todorov menjadikan teks sebagai “data primer” ilmu sosial: “Teks
menjadi realitas secara langsung (realitas dalam pikiran dan ilmu
pengetahuan) yang dengan pikiran dan disiplin itu dapat menjadi
gambaran siapa diri mereka. Jika tidak ada teks, berarti tidak ada
objek pikiran dan penelitian”.
2. Teks sebagai Pesan Verbal
Pada tataran pragmatik, teks didefinisikan dengan kriteria
komunikasi berupa pesan verbal dari seseorang kepada seseorang
lainnya. Sebagian ahli semiotik memahami teks sebagai kata sinonim
dari discourse/wacana dalam arti pesan yang diucapkan baik melalui
tulisan atau pembicaraan.
Dalam linguistik, Benveniste menggunakan istilah discourse
untuk merujuk pesan -pesan tertulis atau lisan, Sedangkan ahli
semiotika lainnya, seperti Barthes membatasi pengertian teks untuk
pesan-pesan tertulis saja dan menegaskan pesan -pesan pembicaraan
lisan masuk dalam wilayah pengertian discourse/wacana. Sedang
Kristeva memahami teks sebagai produktivitas maksudnya adalah 1.
Hubungan teks dengan bahasa sebagai tempat teks diletakkan dapat
berulangkali didistribusikan (destructive-constructive). 2. Secara
urutan teks terdiri dari intertextulaity: dalam beberapa ruas susunan
perkataan diambil dari beberapa teks lainnya, baik dari luar maupun
sebaliknya.119 Beaugrande mencatat 7 kriteria tekstualitas sbb.:
surface structure/cohesion, (conceptual) coherence, in ntionality,
acceptability, situationality, intertextuality, and informativity. Teks
adalah suatu satuan kebahasaan yang mempunyai wujud dan isi yang
harus memenuhi kriteria tekstualitas: memiliki kohesi
unsur-unsurnya terdapat kaitan semantik yang ditandai secara
118
119
Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 332.
Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 333.
69
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
formal), kohesi (segi isinya dapat berterima karena memenuhi logika
tektual), intensionalitas (teks diproduksi dengan maksud tertentu),
keberterimaan
(berterima
bagi
pembaca),
intertekstualitas
(mempunyai kaitan secara semantik dengan teks lain) dan
informativitas (mengandung informasi dan pesan tertentu).12 0
Roland Barthes membuat sebuah model sistematis signifikasi
dua tahap (two order of significations)1 21 dalam menganalisa teks
baik sebagai pesan verbal maupun sebagai pesan budaya, dia
menggunakan teori signifier-signified yang dikembangkan menjadi
teori tentang metabahasa dan konotasi
Gambar 3
Signifikasi Dua Tahap Barthes diadaptasi dari
John Fiske (1990)
Tahap Awal
Realitas
Tahap Kedua
Tanda
Penanda
Kebudayaan
Konotasi
Bentuk
Denotasi
Petanda
Isi
Mitos
Melalui gambar 3 tertulis di atas, Barthes menjelaskan bahwa
signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier
120
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, 81.
Roland Barthes, “Mythologies” in Literary Theory, an Anthology, Julie
Rivkin and Michael Ryan, eds. (Malden, Second edition, 2004), 81.
121
70
Suhaimi
(penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap
realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu
makna paling nyata dari tanda.
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk
menunjukkan signifikasi tahap kedua. Konsep konotasi didasari tidak
hanya oleh paham kognisi, tetapi juga oleh paham pragmatik.Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau
paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa
yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi
adalah bagaimana menggambar-kannya.
Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif, sehingga
kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna
konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis
semiotik adalah untuk menyediakan metode analisis dan
ka
berpikir untuk mengatasi salah baca (misreading ).
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang
sudah mempuyai suatu dominasi.122
Di dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan
sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan
dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi yang paling kstrim
melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes
mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada
hanyalah konotasi semata-mata.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
122
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung, Remaja Rosdakarya,
2006), 127 -128.
71
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos
juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun
sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau, dengan kata lain, mitos
adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.123
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos, karena baik di
dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif
dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Sela itu, Barthes
juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat
orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas
hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian.
Ideologi ada selama kebudayaan ada dan konotasi sebagai
suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam
teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya
melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam
bentuk penanda-petanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang,
dan lain-lain. 1 24
Pada analisis semiotik, teks dipahami sebagai kelompok atau
kombinasi tanda dan analisis tanda-tanda di dalam kelompok atau
kombinasinya disebut analisis teks (textual analysis).
E. Kerangka Penelitian
Berdsasarkan pada uraian teoritis di atas, penelitian yang
mengkaji agenda dasar NCM ketika menyatakan diri siap dicalonkan
menjadi calon presiden pada pemilu tahun 2004 dalam sepuluh
platform “Membangun Kembali Indonesia” ini menggunakan model
penelitian analis teks dalam Gambar 4 sebagai berikut di bawah ini:
Keseluruhan
Penulis
Lingkungan
Teks
Pembaca
123
Roland Barthes, “Mythologies”, 81 -82.
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 71.
124
72
Suhaimi
Teks lain
Bagian
Gambar 4 di atas diadaptasi dari Tina Koch (1995) dan Benny Hoed
(2008)
Keterangan:
•
•
•
•
•
•
•
Peneliti sebagai pembaca melakukan analisis
terhadap teks dengan semiotik dan hermeneutik
Teks dalam penelitian ini adalah platform
politik
N CM
“Membangun
Kembali
Indonesia”
Bagian -bagian dari teks
Keseluruhan teks
Penulis teks dalam penelitian ini adalah NCM
Lingkungan teks yaitu seluruh uraian tertulis
dari mukaddimah sampai dengan catatan akhir
buku karya NCM, Indonesia Kita .
Teks-teks lain yang memiliki relasi dengan teks
yang diteliti.
F. Definisi Istilah dalam Penelitian
Politik dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai kegiatan
pemilihan aparatur negara maupun dalam arti pengelolaan kekuasaan
atau pemimpin pemerintahan.
Sedangkan politik Islam dalam penelitian ini diberi batasan
pengertian sebagai nilai-nilai prinsip ajaran Islam tentang kehidupan
sosial politik seperti keadilan, kepemimpinan dan kesamaan, syura
serta perdamaian dll.
Pesan politik dalam penelitian ini didefinisikan sebagai teks
tertulis yang menjadi agenda dasar atau program pembangunan
73
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
kembali bangsa Indonesia yang NCM sampaikan berjudul
‘Membangun Kembali Indonesia’ ketika dia menyatakan kesiapan
dirinya dicalonkan menjadi kandidat presiden RI pada Pemilu 2004.
Bahasa politik di sini didefinisikan sebagai struktur teks yang
berisikan bahasa yang dipergunakan oleh NCM untuk tujuan politis
yaitu menyampaikan kepentingan -kepentingan pembangunan kembali
bangsa Indonesia.
Analisis interpretatif yang digunakan pada penelitian
adalah analisis teks semiotik dan analisis hermeneutik untuk
menafsirkan teks platform politik NCM “Membangun Kembali
Indonesia” berdasarkan pemahaman sejumlah makna kata-katanya
yang membentuk kalimat dan gabungan kalimat-kalimatnya yang
menjadi alinea serta gabungan alinea-alineanya yang membentuk teks
yang utuh kemudian memahami makna bagian -bagian teks
berdasarkan makna keseluruhannya.
Makna denotasi adalah arti tatanan pertandaan pertama atau
makna apa yang tertulis dalam teks atau tertera dalam gambar secara
eksplisit. Misalnya kata dukun memiliki makna denotasi sebagai
orang yang mempunyai kemampuan melakukan penyembuhan secara
gaib.
Makna konotasi adalah arti sistem tanda kedua atau makna
yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai
kebudayaan dan ideologi tertentu. Ini terjadi ketika makna bergerak
menuju subjektifitas.
Mitos adalah cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang
sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memaha sesuatu.
Mitos merupakan cerita yang digunakan suatu kebudayaan ntuk
menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam.
Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa atau cara dan teknik
seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman dan nilai-nilai
kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau
khusus.
74
Suhaimi
75
S uha im i
BAB III
AKTIVITAS POLITIK NURCHOLISH MADJID
Penelitian teks dengan hermeneutik setidaknya dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu , pertama menghadirkan kembali
pikiran pengarang dalam rangka memahaminya dan melakukan
pembacaan reproduksi, kedua melakukan pembacaan teks berdasarkan
tujuan mencari makna-makna lain yang lebih baik atau pembacaan
produktif. 1 Penelitian tentang teks platform politik NCM ketika
menyatakan diri siap dicalonkan menjadi calon presiden RI pada
pemilu 2004 menggunakan analisis hermeneutik reproduksi yang
berupaya menghadirkan kembali pikiran NCM yang terdapat dalam
teks ini, maka bab ketiga lebih lanjut akan menguraikan aktivitas
politik NCM sebagai seorang komunikator politik dan nasionalisme
sebagai pesan politik NCM serta respons masyarakat terhadap
aktivitas politiknya. Politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan
bagaimana, pembagian nilai-nilai oleh yang berwenang, kekuasaan
dan pemegang kekuasaan, pengaruh atau tindakan yang diarahkan
untuk mempertahankan dan atau memperluas tindakan lainnya.2
A . N u r c h o l is h M a d ji d S e b ag a i K o m u n i k a t o r P o li t i k
“Menjelang Pemilu (2004) lalu, ke mana-mana ia tawarkan
platform reformasi bagi para kandidat penyelenggara negara sebagai
wujud ikhtiarnya memperbaiki bangsa. Kendati tak lolos menjadi
calon presiden, Cak Nur tidak menyebarkan api kemarahan. Toh, yang
ia perjuangkan memang gagasan. Bukan untuk kursi. Dan disinilah
contoh praktek jiwa seorang demokrat.”. 3 Demikian diantara kesaksi1
Winfried Noth, Handbook of Semiotics (Bloomington, Indiana University
Press, Second Published, 1990), 336-337.
2
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media,
Penerjemah Tjun Surjaman, (Bandung, Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, 1993),
8.
3
Hamid Awaludin, “Perginya Sang Guru Bangsa”, dalam Muhammad
Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian
Sang Guru Bangsa (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Nopember 2005), 203.
75
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
an yang Hamid Awaludin tulis dalam melepas kepergian almarhum
NCM yang wafat pada hari Senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05.
Menurutnya personifikasi NCM sebagai intelektual bagaikan seorang
resi yang selalu turun gunung ketika masyarakat sekarat. 4 Dia adalah
seorang figur yang tidak hanya kuat dan tajam dalam bidang
pemikiran sebagai tokoh pembaruan Islam, tapi juga mumpuni dalam
mempraktikkan gagasan -gagasannya, kecuali di bidang politik praktis
yang memerlukan investasi panjang membangun jejaring politik. Hal
itu pertama dia lakukan pada tahun 1977 ketika mendukung Paratai
Persatuan Pembangunan (PPP) dalam rangka membangun oposisi
politik yang kuat yang dilakukan dalam proses demokrasi politik dan
kedua pada tahun 2003 ketika dia ikut mencalonkan diri sebagai calon
presiden pada pemilu 2004. 5
Sosok NCM sebagai tokoh pembaruan Islam paling
berpengaruh pada dekade 1970-1980 -an itu, tidak terlepas dari faktor
latar belakang ayahnya dan pendidikannya.6 Keluarga dan orangorang yang paling dekat dalam pembentukan konsep diri
seperti halnya sosok ayah bagi NCM, oleh George Herbert Mead
disebut sebagai significant others. Kemudian ketika seseorang tumbuh
dewasa, dia berusaha menghimpun penilaian semua orang
ng
dirinya baik dari keluarga, tetangga, guru dan sahabatnya, mereka
disebut generalized others.7 Teori Mead ini sesuai dengan pernyataan
NCM saat Harian Kompas bertanya tentang apa yang paling
4
Muhammad Wahyuni Nafis, “Cak Nur: Sebuah Keyakinan aka Islam
yang Mampu Memberikan Jalan Keluar Sebuah pengantar” dalam Muhammad
Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian
Sang Guru Bangsa , 2.
5
Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke
Apresiasi”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari-Juni
2010, 60.
6
Greg Fealy and Virginia Hooker, ed. Voices of Islam in Southeast Asia
Acontemporary Source Book , Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, First
Edition, 2006, 220. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Idris Thaha, Demokrasi
Religius Pemikiran Politik NCM dan M. Amien Rais (Jakarta, Teraju Khazanah
Pustaka Keilmuan, Cetakan I, 2005), 68.
7
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, 1994), 101 -103.
76
S uha im i
mempengaruhi sikap beragamanya tanggal 3 Nopember 1985,
jawabannya adalah “Pengalaman. Yang paling mempengaruhi adalah
ayah saya….”.8
NCM dilahirkan di Mojoanyar, Jombang Selatan, Jawa Timur
pada tanggal 17 Maret 1939 M bertepatan dengan tanggal 26
Muharram 1358
Dia dibesarkan di lingkungan keluarga k i
terpandang. Ayahnya bernama KH Abdul Madjid adalah murid dari
KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang sampai saat
ini menjadi organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, sedang
ibunya bernama Nyai Fathanah,9 famili KH Abdullah Sadjad dari
Kediri.
Pada usia 6 tahun, NCM pertama kali belajar agama dengan
menjadi murid ibu dan ayahnya yang mendirikan Madrasah AlWat }aniyyah tahun 1948 di Mojoanyar, Jombang. Dia belajar agama
di madrasah itu pada sore hari dan pada pagi harinya
mengikuti
pelajaran di Sekolah Rakyat (SR) Bareng IV, Jombang sa
tahun
1952. Dengan demikian dia mempelajari ilmu pengetahuan agama dan
ilmu pengetahuan umum dalam satu hari dari lembaga pendidikan
dasar yang berbeda.
Setelah tamat SR Bareng IV, NCM melanjutkan pendidikan ke
Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang pada tahun 1953, saat
usianya 14 tahun. Pada tahun 1955, NCM dipindahkan oleh ayahnya
ke Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur,
berjarak sekitar 120 km dari Jombang. Dia berusia 16 tahun ketika
resmi menjadi santri Kulliya>t al-Mu a>llimi>n al-Isla>miyyah
(KMI), Gontor, suatu lembaga pendidikan guru agama yang bertujuan
melahirkan kader pemimpin ummat Islam yang memiliki jiwa
kemasyarakatan, keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah isla>miyyah
8
Nurcholish Madjid, “Negara Islam: Produk Isu Modern” d
Edy A.
Effendi, ed. Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1998), 161.
9
Muhammad Wahyu ni Nafis, “Sarapan Pagi Bersama Cak Nur” dalam
Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual
Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa , 64.
77
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
dan kemandirian atau self help yakni sanggup menolong diri sendiri.
Di Pondok Modern Darussalam Gontor inilah, kemampuan NCM
menelaah kitab-kitab kuning atau klasik berbahasa Arab dan
kemampuan membaca buku-buku berbahasa Inggris dalam bidang
ilmu pengetahuan modern semakin berkembang.10 NCM belajar di
Gontor sampai tahun 1960 dan setelah lulus KMI dia mengajar di sana
selama satu tahun hingga tahun 1961, kemudian berbekal selembar
surat keterangan dari kiainya dan bantuan dari salah seorang alumni
Gontor, dia diterima sebagai mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 1961.
Tahun 1968, NCM berhasil menjadi sarjana Fakultas Adab,
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah
Pemikiran Islam dengan menulis skripsi berjudul “Al-Qura>n
A‘rabiyyun Lug}{at an wa-A‘ lamiyyun M a‘nan.” Selama menjadi
mahasiswa, dia aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dan ikut serta memperjuangkan pembentukan
HMI Cabang Ciputat. Dia mengikuti jenjang organisasi itu dengan
penuh semangat sejak dari tingkat komisariat, tingkat
dan dia
sempat menjadi Ketua IV HMI Badko Jawa Barat, bahkan kemudian
dia memperoleh kepercayaan menjadi Ketua Umum Pengurus Besar
(PB) HMI untuk dua periode, 1966 -1969 dan 1969 -1971.
Menurut Greg Barton pendidikan NCM pada Jurusan Bahasa
Arab dan Sejarah Pemikiran Islam, Fakultas Adab di IAI Syarif
Hidayatullah Jakarta dan lingkungan diskusi dengan mahasiswamahasiswa dari perguruan tinggi umum di dalam organisasi HMIlah
yang berpengaruh baik secara formil maupun nonformil menambah
wawasannya tentang peradaban Barat modern dan Islam.11
Selama lebih dari 35 tahun setelah NCM berhasil menjadi
sarjana Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan
10
Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid
dan M. Amien Rais (Jakarta, Teraju, Cetakan I. Pebruari 2005), 73.
11
Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid
as Intelectual ‘Ulama’: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in
Neo -modernist Thought,” Studia Islamika , Volume 4, Number 1, 1997, 48.
78
S uha im i
Bahasa Arab dan Sejarah Pemikiran Islam pada tahun 1968, dia telah
menulis tidak kurang dari 50 buah buku, subjek utamanya adalah
kajian keislaman, kemoderenan dan keindonesiaan. Melalui media
tulisan ini, NCM memberikan kontribusinya dalam pengembangan
gagasan politik yang menjadi peristiwa diskursif di tanah air dan
mendapat respons yang besar dari masyarakat Indonesia, mulai dari
slogan “Islam Yes, Partai Islam No ?”, demokrasi sampai dengan
gagasan tentang perlunya oposisi politik yang dilontarkannya tahun
1977. 1 2 Selain melalui dunia pendidikan, dengan publikasi media
tulisan inilah NCM mengimplementasikan dan mendesiminasikan
gagasan-gagasan pembaruan Islamnya.
Pada Tahun 1968, kaum muda dalam gerakan Islam sibuk
membahas masalah modernisasi, NCM ketika itu telah ter ibat secara
aktif memberi “jawaban Islam” terhadap masalah ini, antara lain
dengan menulis artikel panjang berjudul “Modernisasi ialah
Rasionalisasi, bukan Westernisasi”. 1 3 Dia menolak sekularisme dan
menyimpulkan bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang
oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Modernisasi bukan westernisasi, sebab
westernisme sebagai suatu total way of life terdapat didalamnya
sekularisme sebagai faktor paling menonjol.14 Pada tulisannya ini pula
dia menandaskan arti penting etika agama Islam sebagai landasan
peradaban dengan mengutip Menteri Kesehatan, Pendidikan, dan
Kesejahteraan Amerika Serikat, John W. Gardner yang menyatakan
bahwa “di balik tiap -tiap perubahan besar dan di balik semua kekuatan
persenjataan yang lengkap dan kemakmuran, adalah sesuatu yang
sangat kuat, tersimpan gagasan -gagasan besar, sistem-sistem
12
Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke Apresi-
asi”, 60.
13
M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas paham
Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung, Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998), 17.
14
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung,
Mizan, Cetakan XI, Nopember, 1998), 187. Menurut catatan Dawam Rahardjo
dalam memberi kata pengantar buku ini, artikel ini dan rumusan NDP HMI
membuat orang menilai Cak Nur memiliki citra “Natsir Muda”.
79
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
pemikiran yang unggul….”. 15 Dari sini NCM melihat pentingnya
hubungan antara Islam dan Pancasila sebagai dimensi peradaban. Sila
pertama Pancasila bersumber dari Islam dan Islam dapat merupakan
pelaksanaan Pancasila. Bagi NCM sila pertama Pancasila dan
rumusan Islam tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dapat menjadi
landasan moral peradaban dan kehidupan berbangsa.
Sejak saat itu sebagai seorang sarjana IAIN Jakarta dengan
kemampuan memahami rujukan berbagai kepustakaan berbahasa Arab
dan Barat, NCM dapat dianggap sebagai contoh par excellence yang
menggunakan pendekatan ilmu -ilmu sosial dalam melihat berbagai
peristiwa sosial-keagamaan dan politik umat Islam Indonesia yang
tidak saja bersifat normatif, tapi juga bersifat historis sosiologis. Hal
ini seperti ditunjukkan dalam berbagai tulisannya mengenai 1) prinsipprinsip Islamisme; 2) modernisasi adalah rasionalisasi bukan
westernisasi; dan 3) keharusan pembaruan Islam.1 6 Berdasarkan
tulisan-tulisannya tentang modernisasi pemikiran Islam di Indonesia
itu, NCM menjadi ikon pembaruan Islam di Indonesia.Teori
modernisasi yang sangat populer pada dekade tahun 1950 -an dan
1960-an berasumsi bahwa negara-negara yang sedang membangun
akan banyak mengikuti jalan yang sama seperti negara-negara yang
telah maju.17 Di Indonesia program modernisasi dijadikan strategi
penggerak utama oleh Orba di bawah pemerintah Soeharto sejak tahun
1966 hingga tahun1998. Saat itu teori modernisasi disosialisasikan di
kalangan intelektual, akademisi, budayawan, wartawan dan
mahasiswa dan para eksponen Orba, terutama di Jakarta dan Bandung
seiring dengan kembalinya beberapa intelektual bergela doktor yang
15
Nurcholish Madjid, “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan
Westernisasi”, dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , 177.
16
Bahtiar Effendy, Agama Publik dan Privat Pengalaman Islam Indonesia
(Jakarta, UIN Press, Cetakan I, Juni 2009), 5.
17
David B. Brinkerhoff and Lynn K. White, Essentials of Sociology (USA,
West Publishing Company, 1989), 340.
80
S uha im i
seba-gian besar diperoleh dari universitas Amerika berorientasi pada
pembaruan.18
Pada saat menjadi Ketua Umum PB HMI, NCM tercatat
sebagai pemimpin yang sukses menanamkan nilai-nilai idealisme
Islam dalam pembangunan organisasi yang dipimpinnya dengan
merumuskan garis besar ideologi HMI dikenal sebagai Nilai-Nilai
Dasar Perjuangan (NDP) pada Kongres Nasional HMI di Ma
Jawa Timur tahun 1969 yang membahas tentang platform organisasi
yang meliputi masalah keyakinan, prinsip -prinsip dasar kemanusiaan,
kebebasan manusia dan tanggungja-wab universal, keadilan sosial dan
ekonomi, dan hubungan antara kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.1 9
Dalam hal ini Fachry Ali menyatakan bahwa melalui rumusan
materi NDP HMI dan ceramah -ceramahnya tentang Islam dan
modernisasi dalam berbagai acara latihan kader HMI, NCM telah
berhasil menanamkan benih -benih gerakan intelektual di Indo nesia
dalam jangka panjang.20 Hal ini pada gilirannya menjadikan NCM
memperoleh penerimaan luas di kalangan umat Islam dan
mendapatkan julukan sebagai “Natsir Muda”. Bahkan NCM juga
dipercaya menjadi ketua Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara
(PEMIAT) dari tahun 1967 hingga tahun 1969 dan dari tahun 1969
sampai dengan tahun 1971 menjadi Wakil Sekretaris Jenderal
International Islamic Federation of Student Organizat ns (IIFSO).
18
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian
Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta, Paramadina, Cetakan I,
Desember 1995), 22.
19
Lihat Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, “Nilai-nilai Identitas
Kader,” (Jakarta, PB HMI, 1986), 4.
20
Sebagai contoh Fachry Ali dan kawan-kawan telah bertekad menggalang
semacam “gerakan Nurcholish Madjid” secara kolektif untuk melanjutkan gerakan
intelektual Islam yang dirintis oleh NCM dalam bentuk endirikan semacam
intellectual community di lingkungan IAIN Ciputat berupa kelompok-kelompok
studi mahasiswa yang sejak tahun 1974 sampai saat ini
berkembang. Lebih
jauh tentang hal ini lihat Fachry Ali, Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan
Lingkungannya Butir-butir Catatan untuk Nurcholish Madjid, dalam kata pengantar,
Nurcolish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1998), xiii-lvii.
81
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
Pada tahun 1969, NCM melangsungkan pernikahannya dengan
Omi Komariah di Madiun, Jawa Timur. Kesempatan ini diabadikan
dalam foto bersama dengan Malik Fadjar, Nazar E. Nasution, Djamil
Gozali, Thohir D. Asmadi dan Marwan Saridjo.21 Menurut kesaksian
istrinya, Omi Komariah kepada Edy A. Effendi, biduk rumah
tangganya bersama NCM sangat bahagia. Mereka dikarunia dua anak:
Nadia Madjid dan Ahmad Mikail. Omi Komariah menjelaskan
“Sebenar-nya sesudah Nadia ada lagi, tapi di tengah masa hamil, saya
keguguran.”. 2 2
Satu kesempatan NCM bercerita kepada Budhy MunawarRachman, Direktur Pusat Studi Islam Yayasan Paramadina selama 12
tahun, bahwa: “Tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar
penting dalam kehidupan pribadi saya. Itu karena pada
l tahun
itulah saya melontarkan pemikiran tentang pembaruan pemikiran
Islam yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kehebohan.”.2 3
Peristiwa itu tepatnya bermula dari materi ceramahnya ng antara
lain menganjurkan “sekularisasi” dalam makalah berjudul “Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”
l3
Januari 1970. 2 4 “Islam Yes, Partai Islam, No ?,” merupakan salah satu
seruannya tentang pembaruan Islam di Indonesia pada tahun 1970.2 5
21
Marwan Saridjo, Nurcholish Madjid: Diantara Sarung dan Dasi dan
Musdah Mulia Tetap Berjilbab (Jakarta, Penamadani Cetakan I, Juni 2005), 45.
22
Edy A. Effendi, “Menelusuri Pikiran Plural Cak Nur”, dalam Muhammad
Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian
Sang Guru Bangsa , 116.
23
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di
Indonesia”, dalam Abdul Halim ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan
yang Membebaskan (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, Cetakan I, Oktober, 2006),
113.
24
M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan , 18 -19. Lihat juga Budhy Munawar Rachman, “Nurcholish Madjid
dan Perdebatan Islam di Indonesia,” dalam Abdul Halim, ed. Menembus Batas, 152.
25
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung,
Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998), 204-208. Setelah 20 tahun berlalu, NCM
mengemukakan slogan “Islam Yes, Partai Islam, NO?”, dua orang futurolog, Jo hn
Naisbitt dan Patricia Aburdene menyatakan slogan yang
dikemukakan oleh
NCM berbunyi “Spirituality; Yes; Organized Religion, No”. Dalam hal ini NCM
82
S uha im i
Dia melihat meskipun jumlah pemeluk Islam di Indonesia
bah,
tapi umat Islam telah kehilangan semangat berijtihad karena tidak
sanggup lagi membedakan nilai-nilai transendental dan temporal
sehingga tidak kreatif, seperti partai-partai atau organisasi-organisasi
Islam yang tidak menarik bagi umat Islam sendiri.
Seruan tersebut dinamakannya sebagai sekularisasi dalam arti
desakralisasi, menurutnya sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai
penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi
sekularis, tapi diartikan sebagai menduniawikan nilai-nilai yang sudah
semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan meng-ukrawikan -nya.26 Sekularisme diartikan olehnya
sebagai sistem pemikiran atau pandangan dunia ateis yang
mengatakan dirinya mustahil menerima kebenaran sembo ya itu dan mengalami
kesulitan besar karenanya. Lihat Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan
Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Edy A. Effendy, ed.
Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung, Zaman, Cetakan I, Juli 1999), 1617.
26
Sekularisasi diambil dari kata bahasa Inggris secular yang berasal dari
bahasa Latin saeculum berarti zaman atau waktu sekarang yakni “dunia” yang
dibedakan dengan kata lainnya dalam bahasa Latin mundus atau dalam bahasa
Inggris mundane berarti sama pula yaitu “dunia”,secara spesifik perbedaan
keduanya adalah kata saeculum menunjuk pada makna masa (waktu) sedang kata
mundus menunjuk pada makna ruang (tempat). Pada abad pertenga n makna kata
secular bersintesis dengan pemahaman bahwa dunia sebagai ruang (mundane,
cosmos) adalah lebih tinggi karena bersifat agama, sedang dunia sebagai masa
(secular, history) adalah lebih rendah karena bersifat secular, dunia. Berdasarkan
kata secular yang merujuk pada proses waktu atau sejarah ini, sekularisasi
mengandung pengertian proses berpindahnya tanggungjawab pendeta yang agamis
menjadi seorang parokia yang duiawi, lalu berkembang menjadi pemisahan
kekuasaan antara gereja dan negara atau antara Paus da Kaisar. Sedangkan istilah
sekularisme berarti nama untuk sebuah ideologi atau pandangan hidup yang bersifat
tertutup dan memiliki fungsi mirip dengan agama. Jadi sekularisasi berbeda dengan
sekularisme karena sekularisme dapat saja membahayakan keterbukaan dan
kebebasan yang dihasilkan sekularisasi, sehingga sekularisme harus diawasi,
diperiksa, dan dicegah agar tidak menjadi ideologi. Lihat Harvey Cox, The Secular
City, Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York, the
Macmillan Company, 1976), 17 -18. Lihat juga Adnin Armas, Pengaruh KristenOrientalis terhadap Islam Liberal Dialog Interaktif de an Aktivis Jaringan Islam
Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, Cetakan I, 2003), 8-10.
83
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
berkembang menjadi humanism e sekuler. Sedangkan baginya sekularisasi bukan merupakan sistem kepercayaan melainkan suatu proses
yang melibatkan transformasi kepercayaan dan praktik keagamaan ke
dalam dua arah transformasi. 1) transformasi ke bawah
cara
melakukan desakralisasi atau menduniawikan segala hal yang tidak
suci, namun selama ini dianggap suci; 2) transformasi ke atas dengan
mensakralkan yang benar-benar sakral, transenden, suci, kekal, dan
mutlak yakni Tuhan.27
Berdasarkan pengamatan terhadap dunia perpolitikan
Indonesia pasca penjajahan Belanda sampai dengan masa awal
pemerintahan Orba, NCM bersama beberapa koleganya di HMI
seperti M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib
menilai bahwa para politisi Muslim mengalami problem besar dan
sulit dalam mensintesiskan landasan teologis atau filosofis mereka
dengan realitas sosio -kultural dan politik yang ada, khususnya
berkenaan dengan formulasi hubungan antara Islam dan negara yang
dapat diterima secara nasional. Karena itu mereka melihat bahwa
jantung persoalannya terletak pada corak ekspresi teologis yang lazim
dikembangkan para pemikir dan aktivis politik Islam yang terlalu
formalistik, legalistik dan berorientasi skripturalistik, menurut mereka
rumusan teologis semacam ini harus diubah agar lebih fleksibel dan
adaptif. 2 8 Dan menurut NCM hal itu tidak bisa tidak, harus dimulai
dari penumbuhan sikap liberal dalam menafsirkan ajaran -ajaran Islam.
Proses liberalisasi ini menyangkut proses-proses sekularisasi,
kebebasan berpikir, idea of progress (gagasan untuk maju), sikap
keterbukaan dan lain sebagainya.
“Gerakan Pembaruan Pemikiran Keagamaan” yang digagas
oleh NCM pada tahun 1970-an dinilai oleh para pengamat sebagai
suatu gerakan Islam yang paling radikal dalam pemikiran religio
politik di Indonesia hingga saat ini. Gerakan ini berupaya untuk
27
Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan , 207.
28
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik
Politik Islam di Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan II, Juni 2009), 140-143.
84
S uha im i
mereformulasikan postulat doktrin Islam berkaitan dengan masalah
ketuhanan, kemanusiaan, dan dunia, dan bentuk hubungan antara
semua aspek itu dalam kaitannya dengan realitas politi yang baru.2 9
Pandangan NCM secara operasional bertitik tekan pada pemisahan
antara Islam dan ideologi. Dia mengajak umat Islam Indonesia menilai
kembali proses ideologisasi yang berlangsung sejak awa
kemerdekaan sampai dengan bangkitnya Orde Baru. Baginya ideologi
sangat terikat dengan ruang dan waktu dan pandangan yang
menyatakan Islam sebagai ideologi bisa berakibat merendahkan
agama itu menjadi setaraf dengan ideologi yang ada. 3 0 Secara khusus
berkaitan dengan deideologisasi atau rasionalisasi agama sebagai
pernyataan teologis, bagi NCM, mempunyai implikasi desakralisasi
bahwa tidak ada sama sekali yang sakral dalam soal negara Islam,
partai Islam, atau ideologi Islam. Sejalan dengan ini, hendaknya umat
Islam men -sekularisasi atau medesakra-lisasi pandangan mereka
mengenai masalah keduniawian. Dalam kerangka inilah ia
memperkenalkan seruan “Islam Yes, Partai Islam, No?” yang
kemudian tercatat menjadi kontroversial. Dia sesungguhnya ingin
mendorong umat Islam untuk mengarahkan komitmen kepada nilainilai Islam, bukan kepada lembaga-lembaga Islam meskipun lembagalembaga itu berlatar belakang Islam atau bahkan berdasarkan
Islam. 3 1 Misalnya ide negara Islam, bagi NCM, merupakan kecen 29
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonesia abad XX (Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, Juli 20
2004.
30
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam
Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung, Penerbit
Mizan, Cetakan I, April 1986), 178 -179.
31
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik
Politik Islam, 144. Dalam kaitan dengan desakralisasi, NCM beberapa kali
memunculkan penerjemahan bagian pertama kalimat syahadat, la> ila>ha illa
Alla>h, dengan “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) dengan
memperbandingkan terjemahan kalimat syahadat pertama itu dalam bahasa Inggris
seperti termaktub dalam The Holy Quran karya A. Yusuf Ali dan The Message of
the Koran karya Muhammad Asad dalam menerjemahkan surat Muhammad, 19:
fa’lam annahu la> ila>ha illa Alla>h … diterjemahkan dalam bahasa Inggris
Know, therefore, that there is no god but God (god dengan g kecil, dan God dengan
85
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
derungan apolegetis umat Islam terhadap ideologi-ideologi modern
Barat yang melahirkan apresiasi atas Islam yang bersifat ideologis
politis, dan dengan demikian membawa kepada cita-cita “Negara
Islam”, seperti juga ada negara demokrasi, negara sosialis, dan negara
komunis dsb. Dia mengingatkan bahwa sebagai suatu apologi, pikiranpikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek.
Setelah secara sementara memberikan kepuasan serta harga diri
kepada umat Islam, menurutnya, pikiran -pikiran itu ternyata palsu,
sehingga bagaikan b umerang yang memukul kembali umat Islam.
Kritik ide “Negara Islam” ini telah menggeser paradigm a keislaman
arus utama di satu pihak dan pada saat bersamaan memberi rasa aman
teologis bagi kaum muslim bahwa mereka bisa menjadi muslim yang
baik tanpa harus mendirikan negara Islam atau menjadi
salah
satu partai Islam. 32
NCM pada periode tahun 1971 sampai dengan 1974
memimpin peneribitan Mimbar Jakarta yang meskipun tidak beroplah
besar tapi mempunyai pembaca yang berpengaruh dan sering
mengadakan diskusi ilmiah dalam beberapa kelompok studi, seperti
Yayasan Samanhudi yang menjadi tempat pertemuannya dengan
Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa dan
dalam beberapa kesempatan dia berdiskusi pula dengan Abdurrahman
Wahid.33 Kelompok studi ini satu dekade kemudian berkembang
menjadi forum diskusi mingguan yang disebut Majlis Reboan . Dari
G besar), dan seperti dalam Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran yang
bersifat tauhid. Dalam Undang-Undang ini artikel (2) ayat (10) kata “Allah”
diartikan God. Ini dapat dilihat dalam kalimat “ As reflected … there is no god but
God ”. Undang-Undang ini adalah versi resmi konstitusi Republik Islam Iran dalam
bahasa Inggris. Lihat Nurcholish Madjid, “Tuhan: Antara Allah dan Dewata Raya”,
dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan …, 260-267.
32
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Pengantar Editor” dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam, Negara, dan Civil Society
Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, 2005),
xvi.
33
Greg Barton, “Neo -Modernism: A vital Synthesis of Traditionalist and
Modernist Islamic Thought in Indonesia,” Studia Islamika , Volume 2, Number 3,
1995, 15.
86
S uha im i
tahun 1974 sampai dengan tahun 1976 dia dipercaya menjadi Direktur
Lembaga Kebajikan Samanhudi di Jakarta dan pada saat yang sama
dia juga menjabat Asisten Direktur I Lembaga Studi Kemasyarakatan
di Jakarta. Berbagai ide pembaruan NCM telah terbukti membangun
potensi berpikir umat Islam Indonesia. Tidak berlebihan jika dia
dikatakan sebagai Bapak Intelektualisme Islam Indonesia. 34
Tahun 1976 NCM menjadi peserta Indonesia pada acara
Seminar Internasional dan Penelitian tentang Islam dan Perubahan
Sosial di University of Chicago yang berlangsung selama tujuh bulan.
Kehadirannya dalam acara tersebut menarik perhatian Leonard Binder
yang kemudian menawarkannya untuk melanjutkan studi pascasarjana
di University of Chicago. NCM menerima tawaran itu, tapi meminta
agar dirinya diberi keluangan waktu sampai dengan tahun 1978 untuk
pulang ke Indonesia dalam rangka berpartisipasi dalam
lihan
Umum (Pemilu) tahun 1977. 3 5
Dalam Pemilu 1977, NCM menjadi juru kampanye Partai
Persatuan Pemba-ngunan (PPP) karena dorongan untuk membuat
keseimbangan kekuasaan antara Golongan Karya (Golkar) yang
mendukung rezim Orde Baru dengan parpol. Saat itu, ia mengemu kakan teori “memompa ban kempes” dengan meminta mahasiswa agar
tidak memilih Golkar dan memilih parpol, misalnya PPP atau Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Seperti sebuah becak, PPP
bannya
gembos sehingga sulit berjalan, dia berusaha memompa n mendorong ban PPP yang gembos itu sehingga terjadi keseimbangan
kekuasaan.36 Keputusannya ini dapat dibaca sebagai “oposisi lunak”
34
Anas Urbaningrum, “Nurcholish Madjid, dari Jombang untuk Indonesia,”
dalam Muhammad Wahyu ni Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual
Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa , 172.
35
Greg Barton, “Neo -Modernism: A vital Synthesis of Traditionalist and
Modernist Islamic Thought in Indonesia,” 16. Pada mulanya tahun 1974 Fazlur
Rahman dan Leonard Binder datang ke Indonesia untuk meminta M. Rasjidi
sebagai rekanan peneliti dalam pro yek penelitian mereka yang didanai oleh Ford
Foundation, tapi kemudian mereka menilai beliau sudah
usia dan sebagai
gantinya mereka memilih Nurcholish Madjid.
36
Idris Thaha, Demokrasi Religius , 94-95.
87
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
terhadap pemerintahan Orba yang saat itu jelas semakin kuat. Ide
oposisi ini, menurut NCM, bukan orisinil darinya. Banyak intelektual
yang membicarakan hal itu, karena inti demokrasi yang sehat
memerlukan check and balance berupa kekuatan pemantau dan
pengimbang.37 Dalam pemilu 1977, PPP meraih kemenangan untuk
daerah pemilihan DKI Jakarta.
Tahun 1978, NCM menginjakkan kaki kembali ke Amerika
Serikat dengan beasiswa dari The Ford Foundation untuk melanjutkan
studi di program pascasarjana University of Chichago dalam bidang
politik bidang studi Near Eastern Languages and Civilization di
bawah arahan Leonard Binder. Di University of Chichago NCM
bertemu dengan Fazlur Rahman, ilmuwan Islam neomodernis
berkebangsaan Pakistan, yang kemudian berhasil mengajaknya untuk
berpindah melakukan penelitian dalam bidang kajian Islam, karena
menurutnya saat itu dunia Islam lebih membutuhkan ilmuwan muslim
modern dibandingkan ilmuwan dalam bidang politik. Ketika NCM
kuliah di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat, dia terlibat
perdebatan segitiga dengan M. Amien Rais dan Mohamad Roem
tentang Islam dan negara. Menurutnya tidak ada ajaran
yang
38
secara qath’i (jelas) memerintahkan pembentukan negara Islam.
Pada tahun 1984, NCM meraih gelar doktor filsafat dengan
predikat summa cum laude setelah sukses mempertahankan
disertasinya berjudul “Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafah: A
Problem of Reason and Revelation in Islam.”. 39 Tahun 1985 NCM
kembali ke Indonesia dan bergabung menjadi pengajar IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta bersama pendahulunya Harun Nasution. Setelah
kembali, dia mencoba mengaktualkan gagasan -gagasannya dengan
mempergunakan perspektif neomodernisme dengan menegaskan
bahwa kemoderenan bukan saja sesuai dengan ajaran Islam, tapi juga
37
Nurcholish Madjid, “Oposisi suatu Kenyataan”, dalam Nurcholish
Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, 1998), 6.
38
Tokoh Indonesia, “Nurcholish Madjid Berpulang Dalam Damai,” artikel
diakses pada 17 Juli 2007 dari http://www.tokohindonesia.com.
39
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 76-77.
88
S uha im i
memang didukung oleh sejarah dan tradisi Islam.40 Menurutnya dalam
kaitan antara Islam dan peranannya membangun Indonesia modern
“Islam adalah agama kemanusiaan. Karena itu, secara hakiki watak
Islam bersifat inklusif. Maksudnya pikiran (sistem Islam) yang
dikehendaki ialah sistem yang menguntungkan semua orang, termasuk
mereka yang bukan Muslim. Artinya, kalau ada istilah “Kemenangan
Islam,” maka itu adalah “Kemenangan semua golongan!”.41
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyebutkan karakteristik
pokok neomeodernisme adalah sikap mengakomodasikan pemikiran
modernisme dan tradisionalisme. Dalam pemikiran sosial-politik di
Indonesia, neomodernisme Islam berupaya menempatkan suatu
hubungan yang harmonis antara cita-cita Islam dan umatnya dengan
kenyatan keamanan politik negara. 42 Itulah sebabnya ketika
membicarakan hubungan Orba dan Islam, NCM menilai bahwa
perkembangan sosial politik tidak bisa dilakukan dalam ukuran
kemutlakan, melainkan harus dilihat dari kaitan nisbinya dengan halhal lain. Islam sebagai agama kemanusiaan yang membuat cita-citanya
sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal, maka tidak akan ada
penyelesaian masalah kemanusiaan sekali untuk selamanya.
Pada tahun 1986, NCM mendirikan Yayasan Wakaf
Paramadina. NCM menyatakan bahwa Paramadina adalah satu
komunitas yang bergerak di bidang intelektual secara intensif seperti
halnya kelompok Islam and Modern Society di India, programnya
adalah human investment dalam jangka panjang dengan harapan
mewujudkan demokratisasi dalam konteks keindonesiaan.43 Kemudian
40
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di
Indonesia”, dalam Abdul Halim, (ed), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa
Depan Yang Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta,
Kompas, Cetakan II, Ojktober 2006), 127.
41
Budhy Munawar Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di
Indonesia”, 128.
42
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, 177-178.
43
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1998),
310.
89
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
dalam tulisannya berjudul “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
Reformasi”, NCM menyatakan nama “Paramadina” dipilih dengan
penuh pertimbangan secara simbolik menunjukkan maksud dan
tujuannya, yaitu menggali kembali dan mengembangkan pengertian
yang benar tentang inti utama ajaran agama (“parama-dina”) yang
diyakini sebagai ajaran hidup kemanusiaan universal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana telah disampaikan para nabi
dan rasul yang telah diutus Tuhan untuk setiap umat.44 Sebagai suri
teladan umat manusia, Nabi Muhammad saw telah memberi
bagaimana mewujudkan semangat Ketuhanan Maha Esa yang
bersambungan langsung dengan wawasan sosial keagamaan dan
politik yang berjiwa paham kemajemukan (pluralis) dan yang serba
meliputi (inklusif) itu dalam Masyarakat Madinah. Madinah menjadi
contoh komunitas nasional modern dan menjadi tipe nasionalisme
partisipatoris egaliter. 45 Pada tahun 1987 dia menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sampai tahun 1992.
Setelah tahun 1990 ketika istilah civil society menjadi konsep
populer di Indonesia, NCM menggunakannya sebagai suatu
terjemahan baru untuk masyarakat madani . Dalam hal ini,
menurutnya penggunaan nama madina seperti yang ada pada nama
Yayasan Paramadina juga berasal dari mad ani . Hal itu tidak terlihat
sebelum Muhammad Naguib al-Attas memperkenalkan istilah
masyarakat madani . Mungkin setelah al-Attas itulah, NCM pun
menggunakan
Madina sebagai tema pokok pidato dan
46
pembicaraannya. Jika dilihat dari pengertian konsep civil society
sebagai suatu diskursus yang terdiri dari the public sphere, the state
sphere, the private sphere dan the market sphere dalam rangka
mengembangkan pendekatan pembangunan terhadap keamanan,
44
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
Reformasi”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari-Juni
2009, 14.
45
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
Reformasi”, 16-18.
46
Andi Faisal Bakti, “Paramadina and its Approach to Culture and
Communication: an Engagement in Civil Society”, Archipel 68 Tiré Á Part, Paris,
2004, 319.
90
S uha im i
komunikasi dan martabat manusia, maka Paramadina dengan NCM
telah membina berbagai pendekatan baik pada wilayah the private
sphere, the state sphere, the public sphere maupun the market
sphere.47
47
Andi Faisal Bakti, “Paramadina and its Approach to Culture and
Communication…, 320 -332. Dalam penelitiannya ini, AF Bakti mencatat bahwa
Jaringan private sphere NCM terdiri dari lingkaran dekatnya seperti keluarga d
teman-teman serta koleganya termasuk teman-teman seangkatannya di Pondok
Modern Gontor, IAIN dan HMI. NCM berhasil membina hubungan pertemanan
dengan kalangan menengah atas dan orang kaya, para birokrat dan personil militer
serta Presiden Soeharto. Pada lingkungan state sphere, NCM membangun jaringan
dengan para pendiri Paramadina dari angkatan 1966 yang banyak diantara mereka
menjadi tehnokrat pada masa pemerintahan Soeharto. Setelah NCM pulang belajar
dari Chicago tahun 1984, pada 24 Nopember 1985, dia diminta oleh pemerintah
Soeharto menyampaikan pidato Maulid Nabi Muhammad saw di Istana Presiden
dan menurut Utomo Dananjaya (2003) mantan Wakil Presiden RI, Sudarmono pun
pernah belajar Islam di Paramadina bersama dengan puterinya. NCMlah yang
menggambarkan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang kemudian digunakan oleh
Presiden Soeharto. Selain itu nama-nama para birokrat seperti Alamsjah
Ratuprawiranegara, Munawir Sjadzali, Emil Salim dan Ak
Tanjung pun secara
berkala menjadi pemberi materi di Paramadina, bahkan setelah Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia (ICMI) berdiri pada Desember 1990 pun mengikuti pendekatan
konsep Islam kultural yang digunakan oleh Paramadina.
eskipun Paramadina
bersimpati terhadap kekuasaan Pemerintahan BJ Habibie ang menjadi kolega NCM
di ICMI bersama dengan Adi Sasono, NCM tetap mengeritik Habibie untuk
menjadi Presiden kedua kali melalui Partai Golongan Karya, demikian pula halnya
simpatinya kepada Pemerintahan Abdurrahman Wahid, NCM ecara terbuka
mengeritiknya pada beberapa kasus termasuk kasus Bulogate dan Bruneigate. Dan
NCM pun mengeritik pemerintahan Presiden Megawati ketika dia bersama beberapa
anggota kabinetnya terbang ke Bali untuk merayakan hari ulang tahun suaminya,
Taufik Kiemas, pada saat krisis ekonomi.
Pada wilayah the public sphere yang terdiri dari lembaga-lembaga, media
massa, organisasi dan partai politik, NCM berkeyakinan seharusnya organisasi Islam
berperan besar untuk memperkuat hal ini. Belajar dari pengalaman kegagalan umat
Islam pada masa pemerintahan Soekarno, umat Islam sekarang seharusnya
membangun lembaga-lembaga pelatihan dan pendidikan dan menjalin solidaritas
antar sesama ummat Islam. Berdasarkan strategi ini, NC membina hubungan baik
dengan berbagai universitas dan lembaga Islam, seperti UIN Jakarta. Dia sendiri
mendirikan Universitas Islam, bernama Universitas Paramadina Mulya kemudian
menjadi Universitas Paramadina tempat dirinya menjadi rektor, di sinilah idenya
91
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
Secara holistik pemikiran -pemikiran NCM sesungguhnya
merupakan dialektika tiga ide dalam kesatuan yakni keislaman,
keindonesiaan dan kemoderenan. Kesatuan tiga ide ini memang mirip
dengan judul bukunya Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1987). Buku keduanya, Islam, Doktrin dan
Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992) lebih mempertajam, mem -perdalam dan mengukuhkannya
sebagai seorang pemikir neomodernis secara utuh.48
Dalam pendekatan terhadap pelaksanaan ijtihadnya, NCM
mengombinasikan keilmuan klasik Islam dengan metode analisis
model Barat modern. Hal ini sesuai dengan pengalaman
pendidikannya di pesantren tradisional pada masa kanak-kanak,
kemudian ia bersekolah di Pondok Modern Darussalam Gontor pada
tentang masyarakat madani terbina dengan baik, karena universitas memang bagian
penting dari civil society sebagai bagian dari the public sphere. Selain itu ide-ide
Paramadina juga dipromosikan melalui media cetak, seperti Harian Republika
(Kolom Fatsoen Cak Nur), Kompas, Tabloid Tekad, Majala Mingguan Tempo,
Pelita (Mimbar Paramadina). Dan bekerjasama dengan Media Indonesia menbentuk
forum bernama Dialog Masyarakat Baru yang membahas masalah sosial, ekonomi,
politik dan budaya serta bekerjasama dengan Kompas dan LP3ES, Paramadina
mendirikan forum bernama Forum Indonesia Baru untuk mahasiswa dan pemuda.
Masih banyak sekali kegiatan Paramadina lainnya yang menyangkut the public
sphere seperti Serambi Paramadina, Kelompok Kajian Agama (KK
Sosial
Paramadina (sosma) dll.
Pada wilayah the market sphere Paramadina memiliki pendukung baik dari
angkatan 1966 dari HMI, PII dan para aktivis Muhammadiyah yang
cukupan
harta, individu -individu dari kelas menengah-atas, para pengusaha sukses yang
menjadi kolega dan sponsor Paramadina baik pada bidang dana atau ideologi,
mereka al. Abdillah Thaha, ErryRriyana, Ahmad Ganis, Mustafa Anis. Poeji
Rahardjo memberikan tempat untuk kantor Paramadina di
Indah,
Subagjadari Metropolitan Kencana Group bekerjasama untuk mendirikan
universitas, Fahmi Idris dari Kodel dan Krama Yudha, Abdul Latief, Aburizal
Bakrie dll.
48
M. Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid”, dalam Asep Gunawan, ed. Artikulasi Islam Kultural Dari Tahapan Moral
ke Periode Sejarah , (Jakarta, Sri Gunting Devisi Buku -Buku Agama, PT Grafindo
Persada, Cetakan I, 2004), 516 -517.
92
S uha im i
masa remaja. Ketika mahasiswa, ia menjadi anggota HMI, suatu
organisasi mahasiswa Islam yang independen dan relatif berafiliasi
pada pola pemikiran modernis dan selanjutnya dia m elanjutkan
pendidikan pascasarjananya dalam bidang filsafat Islam di Chicago,
Amerika Serikat. 49
Beberapa karya kepustakaan NCM yang berkenaan juga
dengan masalah Islam dan modernisasi serta pembaruan pemikiran
dalam Islam di Indonesia antara lain:
1. Nurcholish Madjid . Khazanah Intelektual Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984, Cetakan I.
2. -----------, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis
tentang Masalah Keimanan dan Kemodernan .
Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, Cetakan I.
Karya tulis NCM lainnya banyak dalam buku kumpulan bunga
rampai di dalam dan luar negeri seperti antara lain yang tertulis di
bawah ini:
1. Nurcholish Madjid, The Issue of Modernization among
Muslims in
Indonesia: From a Participant’s Point of
View. Gloria David, ed., Athens, Ohio University of Ohio
Southeast Asia Studies, 1979.
2. --------------, What is Modern Indonesian Culture? .Gloria
David ed.
Athens, Ohio University of Ohio Southeast
Asia Studies, 1979.
3. ---------------, Islam in the Contemporary World . Notre
Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980.
4. ----------------, Islam in Indonesia: Chalanges and
Opportunities. Cyriac K. Pullapilly ed. Notre Dame,
Indiana: Cross Roads Books, 1980.
5. Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindo nesiaan . Agus Edi Santoso ed.
Bandung:
Mizan,
Cetakan I, Juli 1988.
49
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, 176.
93
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
6. ----------------- , Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan:
Pikiran - pikiran Nurcholish Muda. Agus Edi Santoso, ed.,
Bandung:Mizan, Cetakan I, Mei 1993.
7. ----------------, Islam Agama Peradaban Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah . Budhy Munawar-Rachman
ed., Jakarta : Paramadina, Cetakan I, 1993.
8. ----------------, Pintu -Pintu Menuju Tuhan . Jakarta:
Paramadina, Cetakan I, 1994.
9. ----------------, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta:
Paramadina, Cetakan I, 1997.
10. ----------------, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan . Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juni 1997.
11. ----------------, Perjalanan Religius Umrah dan Haji .
Jakarta : Paramadina, Cetakan I, 1997.
12. ----------------, Islam Agama Kemanusiaan Membangun
Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia . Muhammad
Wahyuni Nafis, ed., Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juli
1995.
13. ----------------, Pintu -pintu Menuju Tuhan , Jakarta:
Paramadina, Cetakan III, September, 1995.
14. ----------------, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina,
Cetakan I, Maret 199 7.
15. ----------------, Tradisi Islam:Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia , Kasnanto ed., Jakarta:
Paramadina, Cetakan I, Januari 1997.
16. ----------------, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam
dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Edy A. Effendi
ed.,Jakarta : Paramadina, Cetakan I, Januari 1998.
Dalam buku -bukunya di atas, NCM menguraikan substansi
pemikirannya yang mutakhir berintikan usahanya mencari legitimasi
umat Islam dalam memasuki dunia modern. Menurutnya kemodernan
sekarang ini adalah barang umat Islam yang hilang. Dengan buku buku itu, NCM mencoba menghadirkan sosok Islam (ideal) yang
94
S uha im i
terbuka, demokratis, dan berkeadilan sosial. 50 Gagasan-gagasannya itu
tidaklah bisa dipisahkan dari suatu dasar teologis al-Qur’an,
menurutnya, keadilan adalah inti tugas suci (pesan ketuhanan,
risa>lah) para Nabi,51 maka itu berarti adalah cita-cita al-Qur’an
dalam mewujudkan suatu masyarakat yang adil, terbuka, serta
demokratis seperti yang terdapat dalam teladan kepemimpinan Nabi
Muhammad saw di Madinah setelah hijrah dari Makkah. 52
Periode tahun 1992 -1997, dia kembali menjadi anggota MPR
RI, saat Orde Baru berkuasa di Indonesia. Diantara periode tersebut,
dia pun terpilih pada tahun 1990 menjadi anggota Dewan Pers
Nasional dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM), serta pada tanggal 6 Desember 1990, bersama
dengan M. Dawam Rahardjo dan Imaduddin Abdulrahim yang
meneleponnya untuk menuliskan tanda tangan proposal pembentukan
perhimpunan para intelektual Muslim, NCM berperanserta dalam
pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI),
semula dia mengusulkan nama Ikatan Sarjana Muslim Indonesia
(ISMI), tapi hasil Simposium Nasional Cendikiawan Muslim: Membangun Masya-rakat Indonesia Abad XXI” bersepakat menggunakan
nama ICMI.5 3 Empat tahun kemudian pada tahun 1994, dia
mengundurkan diri dari ICMI sebab menurutnya ICMI telah menjadi
“terlalu politis.”. 54
Sebagai seorang cendikiawan muslim, NCM secara sungguh sungguh memandang Islam sebagai agama universal yang sesuai
50
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di
Indonesia”, 131.
51
Lihat Q.S. Surat Yunus (10): 47. Artinya sbb. “Dan bagi setiap umat itu
ada seorang rasul, maka apabila telah datang rasul mereka, dibuatlah keputusan antar
mereka dengan adil, dan mereka tidak diperlakukan secara zalim.
52
Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid,
Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Muhammad Wahyuni Nafis, ed., (Jakarta,
Paramadina, Cetakan I, Maret 1999), xxx-xxxiii.
53
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa Genealogi Intelegensia
Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung, Mizan, Cetakan I, 2005), 609.
54
Andres Uhlin, Oposisi Berserak : Arus Deras Demokratisasi Gelombang
Ketiga di Indonesia (Bandung, Mizan, Cetakan II, September 1998), 72.
95
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
dengan segala zaman dan tempat (al-Isla>m s}a>lihun li kulli
zama>nin wa- maka>nin ). Bukti sumber ide tentang universalisme
Islam ini terlihat dalam arti generik “islam” sebagai ikap pasrah
kepada Tuhan, suatu sikap yang tidak saja menjadi ajaran kepada
manusia, tetapi ia diajarkan oleh -Nya dengan disangkutkan kepada
alam manusia itu sendiri sebagai fitrahnya. Bahkan sikap pasrah
kepada Tuhan merupakan hakikat dari seluruh alam, yaitu sikap
pasrah pihak ciptaan kepada Penciptanya, yakni Tuhan.
karena
prinsip inilah, maka agama (al-di>n, berarti antara lain sebagai
“ketundukan”, “kepatuhan”, atau “ketaatan”) yang sah tidak bisa lain
daripada al-isla>m, sikap pasrah kepada Tuhan. Tidak ada agama
tanpa sikap itu, artinya keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan
adalah tidak sejati. 55
Dalam tulisannya sebanyak 21 halaman yang berjudul
“Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam,”
NCM mengutip 34 ayat al-Qur’an, karya tafsir A. Yusuf Ali, The Holy
Qur’an dan tafsir Muhammad Asad, The Message of the Qur’an,
karya Al-Gazali, N as}ihat al-Mulu>k, terjemahan Inggris oleh F.R.
Bagley dan Niza>m al-Mulk, Siya>sat Na‘mah, terjemahan Inggris
oleh Hubert Dark, karya Averroes’ Taha>fut at-Taha>fut , terjemahan
Inggris oleh Simon van den Berg, karya Sir Thomas W.
old,
Painting in Islam, dan karya Willfred Cantwell Smith, The Meaning
and End of Religion .
Lebih lanjut berdasarkan pemahaman NCM terhadap beberapa
ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa agama para nabi terdahulu
adalah semuanya al-islam dan dalam menjelaskan hal ini dia merujuk
tafsir Abdullah Yusuf Ali dan tafsir Muhammad Asad. Menurutnya
dalil universalisme al-isla>m seperti tersurat dalam al-Qur’an
dinyatakan bahwa yang pertama kali menyadari al-isla@m atau sikap
pasrah kepada Tuhan sebagai perintah inti agama ialah
Nuh,5 6
55
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta, Penerbit
Paramadina, Cetakan V, Agustus 2005), 425.
56
Q.S. Yu >nus (10):71 -72.
96
S uha im i
kemudian perintah ber-islam ditegaskan kepada Nabi Ibrahim, 57 yang
mewasiatkannya kepada anak keturunannya. Salah satu dari keturunan
itu adalah Nabi Ya’qub atau Israîl (artinya, hamba Allah) dari jurusan
Nabi Ishaq, salah seorang putera Ibrahim. Wasiat Ibrahim dan Ya’qub
itu kemudian menjadi dasar agama-agama Israîl, yaitu (yang sekarang
bertahan), agama-agama Yahudi dan Kristen. 58 Atas dasar ini NCM
menegaskan bahwa dikarenakan agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw pun secara sadar dengan terang benderang
mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, maka disebut agama Islam
(dengan I besar) yang menjadi agama al-islam par excellence, namun
bukan satu -satunya dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri,
melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-isla>m
yang lain. 5 9 Dengan demikian menjadi Muslim atau “seorang Islam”
(dengan I besar) adalah berarti “menjadi orang yang seluruh hidupnya
diliputi tantangan untuk senantiasa meningkatkan diri menuju pada
moralitas yang setinggi-tingginya, dengan jalan selalu mengusahakan
pendekatan diri kepada Tuhan, yaitu takwa.”. Sistematisasi teologis
atau keimanan pribadi individu Muslim seperti yang diuraikan NCM
ini akan mempunyai implikasi kepada kehidupan bersama, termasuk
di dalamnya kehidupan sosial politik. 60
Berdasarkan prinsip -prinsip tertulis di atas, maka al-Qur’an,
menurut NCM, mengajarkan paham kemajemukan keagamaan
57
Q.S. al-Baqa>rah (2):131.
Q.S. al-Baqa>rah (2):132.
59
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 429. Dalam karya
tulisnya yang berjudul “Islam di Indonesia: Masalah Ajaran Universal dan
Lingkungan Budaya Lokal”, NCM merujuk pendapat Ibn Tay yah yang
menyatakan bahwa Islam atau al-Isla@m yang dimaksud sebagai hukum
ketundukan makhluk kepada Khaliknya adalah “Islam umum” yang tidak terbatas
oleh ruang dan waktu dan juga merupakan agama semua Nabi da Rasul, maka
dalam pengertian itu pulalah terdapat salah satu makna penting universalisme “Islam
khusus”, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, penutup para Rasul.
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Juli 1995), xii-xiv.
60
Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar,” dalam Nurcholish Madjid,
Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 1999),
li-lii.
58
97
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
(religious plurality), tidak berarti pengakuan ajaran akan kebenaran
semua agama, tapi dalam pengertian dasar bahwa semua agama diberi
kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para
pengikut agama masing -masing, baik secara pribadi maupun secara
kelompok.6 1 Pada gilirannya diharapkan kepada semua pengikut
agama – yang pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu
keharusan manusia berserah diri kepada Yang Maha Esa -, akan secara
berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga
semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik pertemuan”, “ common
platform” atau dalam istilah al-Qur’an, “ kalimah sawá>”.6 2 Islam
adalah agama yang memiliki wawasan teologis yang inklusivistik
terhadap semua agama, tapi semua agama itu mengalami proses
perkembangan seperti A ke B, B ke C dan terus sampai Z yaitu Islam.
Jadi Islam adalah agama yang terakhir dalam pengertian
menyempurnakan dan banyak mengganti beberapa unsur dari agama
sebelumnya.6 3 Pemikiran teologi inklusif NCM tersebut, menurut
beberapa pengamat
sebagai gagasan yang committed terhadap
fenomena pluralisme agama dan sangat relevan dan kontekstual
dengan tuntutan situasi dan kondisi bangsa Indonesia,
pascaIndonesia.64 Gerakan pembaruan Islam oleh NCM yang dikenal juga
sebagai neomodernisme Islam di Indonesia ini pada dasarnya
merupakan gerakan keagamaan yang terutama sekali didorong oleh
kebutuhan untuk mencapai perkembangan Islam yang lebih
progresif. 65 Karya-karyanya diarahkan untuk menjustifikasi
keyakinannya bahwa Islam adalah agama modern yang mampu
memberikan bimbingan bagi bangsa Indonesia untuk dapat
mengambil peran utama di dalam pergaulan masyarakat internasional.
61
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 184.
Q.S. Ali-Imra>n(3):64. Lihat pula Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban , 185.
63
Nurcholish Madjid, Perjalanan Religius Umrah dan Haji (Jakarta,
Paramadina, 1997, Cetakan I), 34.
64
Abdul Halim, ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan Yang
Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta, Kompas,
Cetakan II, Ojktober 2006), 4.
65
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan , 323.
62
98
S uha im i
Dalam hal ini karya-karya NCM yang awal, menurut Federspiel,
selama kurun waktu 25 tahun merupakan kontribusi sangat penting
bagi perkembangan intelektual umat Islam Indonesia dan bangsa lain
di kawasan Asia Tenggara. 66
Dalam hal ini, Azra menandaskan dengan kritis bahwa
neomodernisme sebagai gerakan Islam lebih menekankan signifikansi
warisan pemikiran Islam ketimbang modernisme itu sendiri.
Berdasarkan pemikiran ini pada kasus NCM, dia lebih lanjut meneliti
secara seksama bahwa NCM berpegang kuat kepada Islam tradisi
hampir secara keseluruhan, pada tingkat teoritis dan eksoteris.6 7
Dengan sangat bagus dan distingtif, NCM bukan sekadar
k
pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pen dekatan dan
penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu…. Ini dalam bidang
eksoteris. Sedang dalam bidang esoteris, dia hampir tidak diragukan
lagi mempunyai apresiasi yang cukup tinggi terhadap tasawuf pada
umumnya….adapun pergeseran agendanya dapat ditemui pada
concern intelektualnya yang melangkah lebih jauh dengan berupaya
membangun suatu peradaban Islam yang khas, yang mempunyai akar
kuat pada tradisi Islam klasik;bukan hanya viable dalam era modern,
tetapi juga dalam masa postmodern. Oleh karena itu, neomodernisme
Islam Indonesia-walaupun tidak dapat disamaratakan -telah mengalami
metamorfosis menjadi neotradisionalisme.68
Pada tahun 1995, NCM secara lugas mengintrodusir
pentingnya oposisi sebagai salah satu kebutuhan dasar
proses
demokratisasi di Indonesia dan tahun 1996 dia melanjutkan upayanya
menebar benih -benih demokratisasi dengan menjadi Dewan
Penyantun Komite Indipenden Pemantau Pemilu (KIPP). T
1998
NCM dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa bidang ilmu Filsafat
66
Howard M. Federspiel, “Muslim Intelectuals in Southeast Asia”, Studia
Islamika, Vol. 6, no. 1 (1999), 61.
67
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme Hingga Post Modernisme (Jakarta, Paramadina, 1996), xi.
68
Azyumardi Azra, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di
Indonesia,” pengantar dalam Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal
(Jakarta, Paramadina, April 2003), xii-xiii.
99
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menyampaikan pidato
pengukuhan berjudul “Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi
Bumi” 69 dan setahun kemudian dia pun dikukuhkan sebagai Ahli
Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 30
Agustus tahun 1999, 7 0 dengan orasi ilmiah berjudul “Simbol dan
Simbolisme Keagamaan Populer serta Pemaknaannya dalam
Perkembangan Sosial-Politik Nasional Kontemporer”.7 1
Sebagai seorang sarjana muslim, NCM tidak saja berbicara
pada tataran intelektual, tapi sering sekali pembicaraannya berpijak
pada tataran moral, seperti ketika dia menyuarakan pen
partai
oposisi dalam demokrasi dan menyampaikan perlunya memikirkan
suksesi kepemimpinan nasional sejak tahun 1987 dan tahun 1997 dia
berbicara perlunya sumber alternatif budaya kepemimpinan nasional
selain budaya Jawa. Ketika dia diperingatkan akan kemungkinan
bahaya yang diakibatkan karena pernyataannya, dia berkata “Jangan
percayakan nasib bangsa ini kepada niat baik satu dua
ng
pemimpin. Melainkan
kepada sistem yang baik.”. NCM jelas
memiliki komitmen intelektual dan moral yang menyebabkannya
bertindak sebagai “guru bangsa”. 7 2
Pertengahan tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia
sebagai akibat berkelanjutan dari krisis moneter di Thailand. Juli 1997
kurs rupiah merosot dari Rp 2.432, - per dolar AS menjadi Rp 3.000,dan terus terjun hingga pada akhir Januari 1998 kurs rupiah mencapai
69
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, x.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta, Universitas Paramadina,
Cetakan III,Maret 2004), 215.
71
Nurcholish Madjid, “Simbol dan Simbolisme Keagamaan Populer serta
Pemaknaannya dalam Perkembangan Sosial-Politik Nasional Kontemporer”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari-Juni 2010,14.
72
Fachry Ali, “Nurcholish Madjid Sebagai guru Bangsa,” dalam Jalaluddin
Rakhmat, et.al. Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru
Bangsa (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Oktober 2001, Cetakan I), xxvi.
70
100
S uha im i
Rp 11.050, -/ dolar AS. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya
krisis pangan dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah Orba.7 3
Masyarakat panik menghadapi isu kelangkaan bahan pokok
sehari-hari, susu bubuk dan kebutuhan bayi lenyap dari toko, sebagian
mereka yang dimotori oleh mahasiswa berunjuk rasa menuntut
perubahan politik dan ekonomi serta pada akhirnya menu t agar
Presiden Soeharto, pemimpin pemerintahan Orba berhenti. Saat itu
terjadi, Soeharto berada di Kairo, Mesir, untuk menghadiri pertemuan
G-15 yang akan diadakan pada tanggal 13-14 Mei 1998.
12 Mei 1998 terjadi bentrokan mahasiswa Trisakti yang
berunjuk rasa dengan aparat keamanan yang mengeluarkan tembakan
peluru tajam menewaskan empat orang mahasiswa, Elang Mulia
Lesmana, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan
Arsitektur, angkatan 1996, Hendrawan Sie, mahasiswa Fakultas
Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 1996, Heri Hartanto,
mahasiswa Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 1996
dan Hafidhin Alifidin Royan, mahasiswa Fakultas Teknik Industri
Jurusan Mesin, angkatan 1995. 74 Tragedi ini memicu kerusuhan
massa yang lebih besar di beberapa daerah pada tanggal 13 Mei
sampai 15 Mei 1998.
Di Jakarta kerusuhaan telah merusak sedikitnya 4.939
bangunan. Pemerintah Daerah (Pemda) Tangerang mencatat lebih
dari seratus jenazah hangus terbakar di sebuah kompleks pertokoan.
Pemda Bekasi juga menemukan puluhan mayat korban kerusuhan.
Sedangkan kerusuhan di Surakarta dan daerah -daerah lain
diperkirakan melebihi jumlah tersebut.75
Tanggal 15 Mei 1998 Soeharto tiba di Halim Perdana Kusuma,
Jakarta dan sejak itu dia menerima laporan baik dari Wakil Presiden
maupun dari menteri-menteri dalam kabinet serta pimpinan DPR
73
B.J. Habibie, Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi (Jakarta, THC Mandiri, Cetakan ke-3, Nopember, 2006), 2-3.
74
James Luhulima, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Soeharto,
(Jakarta, Kompas, Januari 2007), 112.
75
B.J. Habibie, Detik-Detik yang Menentukan , .7
101
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
tentang perkembangan mutakhir situasi dan kondisi sosial politik di
tanah air. Soeharto menandaskan tidak benar berita yang menyatakan
bahwa dirinya siap mundur, meskipun aksi demonstrasi mahasiswa
semakin marak menuntutnya mundur.
Pada tanggal 19 Mei 1998 Soeharto mengundang sejumlah
tokoh masyarakat antara lain: Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, KH
Abdurrahman Wahid, budayawan, Emha Ainun Najib; Direktur
Yayasan Paramadina, NCM, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI),
KH Ali Yafie; H. Abdul Malik Fadjar dan H. Sutrisno Muhdam
(Muhamadiyah); KH Cholil Baidlowi (DDII); KH Ma’ruf Amin dan
H. Bagja (NU); serta Pembantu Asisten Khusus Mensesneg Yusril
Ihza Mahendra. Dalam pertemuan itu Soeharto menyatakan tidak
masalah jika dia harus mundur, tapi dia mengingatkan apakah dengan
kemundurannya sebagai presiden akan membuat keadaan genting
akan segera bisa diatasi. 76 Salah satu cara yang disepakati a.l.
membentuk Komite Reformasi dan perubahan Kabinet Pembangunan
VII. “Tetapi, dalam pertemuan itu, “pagi-pagi” Cak Nur sudah
menyatakan bahwa ia tidak bersedia untuk duduk di Komite
Reformasi. Ia tidak mau dikesankan, bahwa pemikirannya terkait
ambisi untuk memperoleh kedudukan.”.77
“ Pada 20 Mei 1998, sehari sebelum Pak Harto lengser, dalam
sebuah konfrensi pers, Cak Nur dituding-tuding oleh Pak Amien soal
Komite Reformasi, tapi Cak Nur tidak membalas dan tersenyum saja.
Cak Nur lapang dada,….” Kemudian pada malam harinya Pukul
23.00, Emha Ainun Nadjib mengundang wartawan harian lokal
sampai Cable News Network (CNN) ke jalan Indramayu 14, di mana
kami akan mengadakan konfrensi pers. Cak Nur memberi istilah,
76
B.J. Habibie, Detik -Detik yang Menentukan, 19.
Sulastomo, “Mengantar Cak Nur,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis
dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru B gsa ,
47.
77
102
S uha im i
“Kekuasaan Habibie harus kita beri isian cek. Dia ngak boleh ngisi
sendiri seenaknya.”. 78
“Utomo Dananjaya akan membuka acara, saya ditugasi
menjelaskan secara lisan tentang lengsernya Pak Harto besok
pagi, kemudian Cak Nur akan membacakan statemen yang
saya ditugasi mengetiknya dan isinya sbb.:
Kami adalah pribadi-pribadi warga negara yang merasa
ikut terpanggil memenuhi kewajiban bersama menyangga
keutuhan bangsa dan negara, dengan ini menyatakan:
1. Sesudah B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden
Republik Indonesia sesuai ketentuan UUD 1945,
menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Bapak Soeharto atas sikap beliau yang arif
bijaksana dan penuh kebesaran jiwa memenuhi
keinginan masyarakat luas untuk berhenti sebagai
Presiden Republik Indonesia dalam rangka
Reformasi.
2. Kami bersepakat bahwa Presiden B.J. Habibie
memimpin pemerintahan transisi sampai dengan
Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.
3. Presiden harus segera menyusun Kabinet
Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan
pluralitas masyarakat Indonesia, dan yang terdiri
dari orang-orang yang bersih dari kolusi, korupsi,
kroniisme, dan nepotisme.
4. Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan
paket UU politik, UU Anti-monopoli, UU AntiKorupsi, serta UU Pers, sesuai dengan ide dan
aspirasi Reformasi.
78
Emha Ainun Nadjib, “Capres Kita ‘Si Kung’ ”, dalam Ahmad Gaus AF
dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana (Jakarta,
KPP, Cetakan I, Agustus 2003), 19.
103
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
5. Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan
Sidang Umum MPR dalam 6 (enam) bulan
berdasarkan paket Pemilu yang baru.
6. Pemerintah harus dengan sungguh -sungguh dan
secara efektif melaksanakan pemberantasan
korupsi, kolusi, kroniisme, dan nepotisme.
Jakarta, 21 Mei 1998 pkl 00.30 WIB.
Tertanda: Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib,
Malik Fadjar, Utomo Dananjaya, S. Drajat.
Menjelang masuk ke ruang konfrensi pers, Pak Amien
Rais datang…, kemudian Cak Nur masuk dan langsung
membacakan pernyataan tanpa acara dibuka oleh Utomo dan
penjelasan dari saya…. Diakhir pembacaan, Cak Nur
mengucapkan: Jakarta, 21 Mei 1998 pkl 00.30 WIB.
Tertanda: Nurcholish Madjid, Amien Rais.”. 7 9
Kamis, 21 Mei 1998, pkl 10.00 WIB Soeharto mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai Presiden RI, dia digantikan oleh
Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Presiden BJ Habibie menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999 dan NCM bersama Abdurrahman
Wahid menggagas KIPP, meskipun saat itu banyak tokoh yang
memintanya untuk menjadi calon presiden. Dia tidak mau karena tahu
diri bukan orang partai. “Apalagi Gus Dur sudah mencalonkan diri.
Saya menjadi makmum saja. Masa, harus ada dua imam,” katanya.8 0
Saat itu Indonesia mengalami masa euforia politik, orang beramairamai masuk atau mendirikan parpol. Para politikus bersepakat hanya
orang parpol yang berhak maju ke pemilihan presiden.
Empat tahun kemudian masyarakat Indonesia kecewa terhadap
kinerja orang-orang partai itu, mereka seolah merindukan figur
alternatif dan pemilihan presiden dilakukan dengan pemilihan
79
Emha Ainun Nadjib, “Capres Kita ‘Si Kung’ ”, dalam Ahmad Gaus AF
dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Capres, 19-21.
80
Tempo, 11 Mei 2003.
104
S uha im i
langsung. Siapapun orang yang dicalonkan partai, meskipun dia bukan
orang partai, dia tetap mempunyai peluang menjadi presiden. 81
Senin, 23 April 2003, NCM menyatakan secara terbuka
kesediannya untuk menjadi calon presiden RI pada pemilu 2004 pada
konfrensi pers di Kampus Universitas Paramadina. Dia menekankan
bahwa pendekatan yang ia lakukan adalah platform, bukan dirinya
pribadi. “Setujukah dengan platform ini? Kalau tidak, no way. Kalau
tidak, saya lebih baik di sini mengajar mahasiswa.”. 82
NCM mendaftarkan dirinya sebagai calon presiden melalu
konvensi calon presiden Partai Golongan Karya (Golka tanggal 1
Juni 2003 menghadapi Pemilu tahun 2004. Menurutnya perekrutan
terbuka melalui konvensi merupakan gagasan yang selaras dengan
prinsip demokrasi dalam proses reformasi politik yang sedang
berlangsung di Indonesia. 83 Sejumlah tokoh politik dan pengusaha
ternama yang ikut konvensi Partai Golkar a.l.: Wiranto, Prabowo
Subianto, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengku Buwono X,
Abu Rizal Bakrie, Marwah Daud Ibrahim, Ginanjar Kartasasmita,
Agum Gumelar, Tuty Alawiyah, Akbar Tandjung dll.
Kamis, 31 Juli 2003, NCM secara resmi mundur dari konvensi
Partai Golkar, dia menyatakan, “Soal Akbar mengambil formulir, ya,
itu hanya the last hard proof (bukti kuat terakhir) yang akhirnya
membenarkan hipotesis kami soal konvensi ini. Tetapi yang paling
jelas, ada kesenjangan etika antara kami dan konvensi.” 84
Meskipun NCM mundur dari konvensi Partai Golkar, tapi dia
tetap mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk modal dan
kendaraannya guna mendapat dukungan partai politik peserta Pemilu
2004, dia membentuk dan menggunakan Perkumpulan Membangun
Kembali Indonesia (PMKI). Langkah itu dilakukan karena ia
menyadari bahwa dirinya tidak mungkin terpilih sebagai presiden jika
81
Sudirman Said, “Jangan-Jangan Partai yang Ditunggangi Cak Nur”
dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Capres, 143.
82
Kompas, “Nurcholish Madjid Bersedia Jadi Capres,” 29 April 2003.
83
Kompas, “Nurcholish Ikut Konvensi Golkar,” Senin, 1 Juni 2003.
84
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 85.
105
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
tidak menggunakan jalur partai politik. Apalagi, ia tidak memiliki
partai politik dan belum adanya kejelasan partai politik mana yang
akan mengajukan dirinya sebagai capres.
PMKI sendiri didirikan pada 21 Mei 2003 beranggotakan
kalangan muda, pelajar, dan perguruan tinggi, dan diresmikan oleh
NCM—yang menjadi Ketua Dewan Pengurus, di Jakarta, pada Ahad,
12 Oktober 2003. Menurutnya, PMKI akan menjadi semacam basis
dukungan untuk sebuah partai politik atau koalisi partai yang
berjuang bersamanya. PMKI akan menjadi perekat dan platformnya
akan menjadi semacam pijakan bersama bila terjadi koalisi partai
yang bermaksud mendukungnya menjadi capres. Apa yang d lakukan
NCM bersama PMKI ibarat sebuah upaya mewujudkan terjadinya
keajaiban politik di Indonesia. Dia menyatakan "Tidak bisa seseorang
mencalonkan diri sebagai presiden tanpa melalui partai politik. Kita
telah terjerat pada kesepakatan bahwa semua itu harus
at partai
politik. Karena itu, saya tidak bisa maju tanpa partai politik.".8 5
Setelah berjalan bersama PMKI, beberapa partai politik yang telah
mendekatinya, hanya sebatas kesamaan kepentingan dalam platform.
"Kami masih menunggu, karena kami tidak mau mendahului partai.
Kami harus empati pada mereka, karena memang sulit sekali
mendirikan partai. ".
B. Respons terhadap Aktivitas Politik Nurcholish Madjid
Dalam uraian tertulis di atas, terlihat jelas bahwa aktivitas
perpolitikan NCM berhubungan dengan aspek gagasan pembaharuan
pemikiran keislamannya dalam rangka mencari jawaban ajaran Islam
tentang masalah kemoderenan dan keindonesiaan baik secara
langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah politik.
Ada dua tipe cendikiawan Muslim dalam meresponi modernitas. Di
satu sisi mereka melakukan pengadopsian gagasan -gagasan kunci
Barat dan pranata-pranatanya yang dibela mati-matian, yang sebagian
diberi pembenaran dengan diberi kutipan al-Qur’an. Di sisi lain ada
85
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 87.
106
S uha im i
kelompok yang menolak mentah-mentah modernitas dan memberikan
alternatif apolegetik, berdasarkan pemahaman al-Qur’an secara
literal. 86 Karena pemahaman al-Qur’an yang sepotong-sepotong ini,
Fazlur Rahman menyarankan jalan keluar melalui dua gerakan dalam
penafsiran al-Qur’an yang dikenal dengan double movement . Saran
tersebut dibuat, untuk mengatasi kecenderungan para mo
klasik,
yang apolegetik terhadap Barat, dan para neo -revivalis
(fundamentalis), yang skripturalis. 87
Dua cara termaksud adalah: Pertama , pahami arti atau makna
suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem
di
mana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Menurut
Rahman, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasisituasi spesifik, suatu kajian mengenai situasi makro, mengenai
konteks sosial masyarakat saat itu (saat al-Qur’an diturunkan) harus
dilakukan. Kedua , mengeneralisir jawaban -jawaban spesifik tersebut
dan menyata-kannya sebagai pernyataan -pernyataan yang memiliki
tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik
dalam sinaran latar belakang sosio -historis dan ratio legis yang sering
dinyatakan.88
M. Syafi’i Anwar membuat rancang bangun gagasan -gagasan
NCM berdasar-kan sosiologi agama dengan pendekatan holistik yang
menggambarkan konstruksi dialektika dan kesatuan gagasan
pemikiran NCM tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan
yang merlahirkan ide-ide pendukung “neo modernisme”, “integrasi”
86
Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme,
Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta, Lembaga
Studi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Paramadina, Cetakan I, Juni 2010),
400.
87
Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam, 401.
88
Budhy Munawar-Rachman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah:
Pemikiran Neo -Modernisme Islam di Indonesia” dalam Asep Gunawan, ed.,
Artikulasi Islam Kultural, 465.
107
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
dan “pembangunan” dengan teologi inklusif sebagai pangka
tolaknya.89
Artikel panjang NCM yang berjudul “Modernisasi ialah
Rasionalisasi, bukan Westernisasi” menjelaskan makna modernisasi
itu identik dengan rasionalisasi dan menolak pengertian yang
mengatakan bahwa modernisasi adalah westernisasi, karena
westernisme menurutnya berisikan sekularisme, 90 oleh Muhammad
Kamal Hasan, seorang sarjana Muslim Malalysia, dinilai mencerminkan pandangan Muslim idelalis. Berdasarkan pandangannya itu dan
aktivitasnya menjadi Ketua Umum PB HMI ketika itu yang bersama
koleganya berhasil menyusun dokumen “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan
HMI”, NCM diterima oleh umat Islam secara luas dan dikenal sebagai
tokoh yang memiliki citra “Natsir Muda”. 91 Mohammad Natsir adalah
tokoh intelektual Muslim mod ernis yang pernah aktif dalam
kepemimpinan JIB, Persis dan Masyumi dan pendukung demokrasi
dengan sifat kenegarawanan yang memper-juangkan tujuan -tujuan
politiknya secara konstitusional.
Posisi intektual NCM sebagai seorang muslim modernis
seperti tertulis di atas dengan citranya sebagai “Natsir Muda” berubah
menjadi dipertanyakan oleh kalangan umat Islam yang curiga
terhadapnya setelah dia menyajikan makalah berjudul “Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, di
Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970. Dalam makalah itu, NCM
menjelaskan bahwa kaum Muslimin telah mengalami kejumudan
dalam pemikiran dan pengembangan ajaran -ajaran Islam. Pemikiran
mereka telah beku dan kekuatan moralnya telah hilang, terbukti
dengan kenyataan semakin bertambahnya pemeluk agama Islam
89
M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid”, 517.
90
Nurcholish Madjid, “Modernisasi Ialah Rasionalisasi Bukan
Westernisasi” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung, Mizan, Cetakan XI, November, 1998), 173.
91
M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham
Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan
dan Keindonesiaan, 18.
108
S uha im i
ketika itu, tapi semakin sedikit diantara mereka yang
ik dengan
partai-partai atau organisasi-organisasi Islam . Sepertinya mereka
bertanya dengan mengatakan Islam Yes, Partai Islam, No? Oleh
karena itu perlu upaya pembaruan pemikiran kegamaan yang
dilakukan oleh kelompok pembaruan yang “liberal” untuk melakukan
liberalisasi pandangan terhadap ajaran -ajaran Islam dengan sekularisasi dan berpikiran bebas serta bersikap terbuka terhadap ‘idea of
progress’.9 2
Istilah “sekularisasi” dalam makalah NCM itu mendapat
bermacam-macam reaksi dari masyarakat Indonesia. Salah satu dari
mereka yang mendukung ide NCM adalah Moctar Lubis, pemimpin
redaksi Koran Indonesia Raya yang memuat isi makalah NCM dengan
antusias dalam Koran Indonesia Raya secara penuh dan Nono Anwar
Makarim yang mengatakan bahwa makalah NCM itu akan menjadi
“the speech of the year”, bahkan tidak kurang dari seratus tulisan
artikel pada tahun 1970 -an telah terbit menyambut gagasan NCM itu
seperti yang muncul dalam Harian Abadi, Kompas dan Mercu Suar,
dan majalah mingguan Panji Masyarakat, Angkatan Baru, Mimbar
Demokrasi, Forum dan Tempo.93 Sementara kalangan umat Islam
yang curiga dan bereaksi emosional berkaitan dengan terminologi
“sekularisasi” dengan mengatakan seperti “sekularisasi disifatkan
sebagai jembatan ke arah komunisme,” atau “komunisme adalah anak
sekularisme.” Atau “sekularisme meniadakan atau menghampakan
segala sangkut paut tindakan negara dan pribadi dengan Tuhan,” dan
sebagian lainnya mencap pemikiran NCM berorientasi ke Barat,
terjebak pemikiran Yahudi, memberi angin kepada Kristenisasi,
keterangannya membuat umat bingung, teologinya mengganggu
kemapanan iman dan lembaga keagamaan, ikut merangsang
i
92
Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dalam Nurcholish Madjid,
Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, 204-214.
93
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di
Indonesia”, dalam Abdul Halim, ed., Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan
Yang Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta,
Paramadina dan Kompas, Cetakan II, Oktober 2006), 123.
109
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
fundamentalis, menimbulkan skeptisisme terhadap agama, bahkan
menyim-pang dari ajaran Islam.94
Gagasan NCM tertulis di atas tentang pembaruan Islam,
sebenarnya adalah sebuah respon intelektual terhadap kondisi sosial
politik umat Islam yang ketika itu berada dalam posisi periferal dalam
menghadapi kebijakan “era pembangunan” Orba yang berparadigma
modernisasi. Para senior tokoh Islam modernis menunjuk-kan sikap
ragu terhadap kebijakan politik pemerintah Orba itu, bahkan mereka
berapologi dengan menolak modernisasi karena dinilai sebagai
westernisasi atau sekularisasi. Sikap seperti ini melahirkan kesan yang
kurang menguntungkan, yakni bahwa Islam itu tradisonalis, anti
modernisasi, anti pembangunan dan bahkan anti Pancasila.95
Hampir tiga tahun kemudian, NCM mengisi acara pada bulan
Oktober 1972 di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diselenggarakan
Dewan Kesenian Jakarta dengan menjelaskan kembali tesisnya
dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat
Islam Indonesia” yang menyinggung tentang “paham apolegetik”
khususnya konsep “Negara Islam” yang merupakan suatu bentuk
apolegetis umat Islam terhadap ideologi-ideologi modern seperti
94
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di
Indonesia”dalam Abdul Halim, ed., Menembus Batas Tradisi, 124. Tulisan-tulisan
yang memberi tanggapan itu a.l. Rusydi, “Pembaruan Nurcholish Madjid” (Mercu
Suar 29/1/1970). Hermansjah Nasirun, “Tentang Ceramah
Madjid
(Mercu suar, 3/2/1970). Muhammad Natsir, “Arahkan Kegiatan pada masalah
Kemahasiswaan” (Abadi, 29/3/1970). M. Amien Rais, “Tanggapan terhadap
Pendapat Nurcholish Madjid, (Kedaulatan Rakyat, 25 -30/3/1970). Ahmad Wahib,
“Dialog Pembaruan Pemikiran Islam” (Mercu suar, 6 -7/4/1970). Endang Saefuddin,
“Pembahasan terhadap Prasaran Drs. Nurcholish Madjid”
Masyarakat,
April/Mei/1970). Saifuddin Anshari, “Sebuah Catatan atas Wawancara sdr. N.
Madjid” (Panji Masyarakat, 7/1970). Dr. A. Mukti Ali,
Sekularisme”
(Panji Masyarakat, no. 73 -74/1971). RM Samhudi, “Saya Kembali dengan Rasa
Kecewa” (Masa Kini, 13/5/1972). Ahmad Basuni, “Memahami dan Melaksanakan
Ajaran Islam, Sebuah Komentar terhadap Pendapat Drs. N. Madjid” (Panji
Masyarakat, 15 -17/5/1972). Syaichu Usman, “Keseimbangan yang Dinamis: Jalan
Keluar dari Perdebatan” (Panji Masyarakat, 10 -12/5/1970).
95
M. Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid”, 525.
110
S uha im i
demokrasi, sosialisme, komunisme dsb bersumberkan pemikiran
legalisme terhadap ketentuan -ketentuan hukum fikih (fikihisme),9 6
dan pernyataannya ini pun mendatangkan reaksi keras juga.
Salah seorang tokoh Islam yang memberikan reaksi keras
adalah Guru Besar IAIN, M. Rasjidi dengan menganalisis secara
sistematis dan serius dengan mengungkapkan tulisan NCM secara
singkat yang akan dikritiknya lalu dianalisis dan dinilai dalam sebuah
tulisan yang berisi koreksi berjudul Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish
Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan I,
1972). Seperti tertulis dalam judul buku itu , koreksi M. Rasjidi
ditujukan kepada penggunaan istilah “sekularisasi”. Menurutnya
akibat yang akan ditimbulkan oleh “sekularisasi” tidak lain kecuali
“sekularisme” yaitu pemisahan pola kehidupan antara keagamaan
kenegaraan. Tidak mungkin ada “sekularisasi” tanpa “berujung pada
sekula- risme”. “Kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh saudara
Nurcholish, maka segala sesuatu telah menjadi arbitrer atau semau
gue”.97 Pada awalnya, NCM merasa perlu memberikan penjelasan
96
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan
Umat Islam Indonesia” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, 253-255.
97
M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang
Sekularisasi (Jakarta, Bulan Bintang, Cetakan I, 1972), 13. Ada dua macam
sekularisme menurut Peter L. Berger (The Sacred Canopy: Elements of Social
Theory of Religion , New York, Doubleday and Company, Inc., 1969) yaitu
sekularisme objektif dan sekularisme subjektif. Sekularisasi objektif terjadi bila
secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dengan
lembaga-lembaga lain. Sekularisasi subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari
tidak dapat lagi dipetakan dalam agama, ada pemisahan
pengalaman hidup
dengan pengalaman keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan
dalam pemisahan antara negara dan agama. Negeri Islam
ng terang-terangan
menganut sekularisme ialah Turki. Kemalisme (Kemal Ataturk, 1881 -1938)
berusaha menghilangkan pengaruh ulama dan pemimpin tarekat pada negara.
Gerakan sekularisme Turki mempunyai pengaruh pada pertumbuhan nasionalisme
Indonesia, sehingga sebelum kemerdekaan sering dibedakan dua kelompok
nasionalis, nasionalis sekular dan nasionalis Islam.
kipun secara resmi
Indonesia adalah Negara Pancasila, tidak sekular tapi
bukan negara agama, isu
“nasionalis sekular dan nasionalis Islam dengan baju baru tetap ada dalam politik
praktis (dipersangkakan ada “ABRI Merah-Putih” dan “ABRI Hijau”). Sekularisasi
111
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
lebih lanjut bahwa dirinya membedakan antara “sekularisasi” dan
“sekularisme”, sekularisasi yang NCM maksudkan adalah
ng
bersifat sosiologis seperti yang digunakan oleh Talco tt Parsons dan
Robert N. Bellah, bukan filosofis. 9 8 Yudi Latif menuliskan bahwa
‘sekularisasi’ menurut NCM sebenarnya adalah ‘rasional
i’, maka
ada benang merah antara pemikiran NCM terdahulu
yang
menegaskan bahwa modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi. 99 Pada bagian akhir penjelasannya tentang kontroversi konsep
sekularisasi dengan rendah hati NCM menerima alasan keberatan Pak
Rasjidi atas penggunaan konsep sekularisasi yang digunakannya: “…,
cukup sulit
untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam
makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan
sekularisme filosofis itu…. Jika benar dugaan ini, maka keberatan Pak
Rasjidi itu cukup beralasan dan dapat diterima.”. 100 Seraya dia
menyimpulkan dengan ajakan untuk tidak menggunakan istilah-istilah
itu lagi dan lebih baik menggantinya dengan istilah -istilah teknis yang
lebih netral.
Paham rasional NCM itu kemudian mendorongnya untuk ikut
berkampanye bagi PPP pada tahun 1977 yang menimbulkan
subjektif dapat terjadi pada siapa saja, misalnya dalam penelitian fisika untuk
contoh seorang ilmuwan, hasil penelitian orang beragama sama saja dengan hasil
penelitian dengan orang kafir, karena Tuhan itu Maha Adil, tidak pilih kasih dalam
hal-hal yang memang objektif. Perbedaannya terletak bahwa
g sekular
mengadakan subjektivikasi pada pengalamannya, sedang orang beriman
mengadakan internalisasi. Dalam hal fisika orang sekular akan berhenti dengan
berpikir bahwa ia telah menemukan salah satu hukum Alam, sedang orang beriman
akan pergi lebih jauh dengan mengatakan bahwa hukum Alam itu juga hukum
Tuhan. Dengan kata lain perbedaan itu tidak terletak di ujung, tapi di pangkal, dalam
niyat perorangan. Lihat Kuntowijoyo, “Demokrasi Agama” dalam Kuntowijoyo,
Identitas Politik Umat Islam (Bandung, Mizan bekerjasama dengan majalah Ummat,
Cetakan I, Mei 1997), 174-176.
98
Nurcholish Madjid, “Seku larisasi Ditinjau Kembali”, 258.
99
Yudi Latif, “Cak Nur, Kekuatan Satu Visi”, dalam Muhammad Wahyu ni
Nafis dan Achmad Rifki, ed. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang
Guru Bangsa , 142.
100
Nurcholish Madjid, “Sekularisasi Ditinjau Kembali”, dalam Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan , 260.
112
S uha im i
pertanyaan bukankah itu bertentangan dengan pemikiran
iknya?
Dalam kampanye PPP itu, dia mengemukakan teori “memompa ban
kempes” yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai politik,
misalnya PPP atau PDI, ketimbang Golongan Karya (Golkar) yang
didukung oleh militer, mesin birokrat dan money (3M) sudah dapat
dipastikan menang. Jadi PPP itu seperti sebuah becak yang gembos
bannya sehingga sulit berjalan, maka NCM berkampanye untuk
berusaha memompa ban PPP yang pada saat itu berada dalam posisi
underdog dan paling memungkinkan untuk dijadikan sarana
mendorong keseimbangan. Dengan begitu NCM sebenarnya telah
mengemukakan pemikiran politiknya tentang check and balance yang
menjadi salah satu hal penting dalam demokrasi. 10 1 Jadi
pemihakannya kepada PPP untuk menunjukkan bahwa dia beroposisi
kepada pemerintah, tapi loyal kepada negara, loyal kepada cita-cita
bersama membangun demokrasi Pancasila.
Sejak tahun 1978 sampai tahun 1984, NCM pergi belajar
filsafat Islam di University of Chicago, Amerika Serikat. Tanggal 23
Maret 1983 sampai dengan 15 September 1983, ketika dirinya kuliah
di sana, dia berkirim surat dengan Mohamad Roem mendiskusikan
tentang topik “Tidak Ada Negara Islam”. Pemicunya adalah tulisan
M. Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, no. 376/1982 dengan
judul “Tidak Ada Negara Islam”. Menurut NCM jelas sekali sebutan
“Negara Islam” yang formalistik itu tidak pernah digunakan, baik
oleh Nabi sendiri maupun para peng-gantinya selama berabad -abad,
dan jelas sekali pula bahwa ia muncul di kalangan umat han sebagai
gejala di zaman modern ini.102 Istilah “negara Islam” seperti Republik
Islam baru muncul setelah negara Pakistan berdiri. Dahulu wilayah
subcontinent India itu dikuasai kekuasaan Moghul (Islam), padahal
mayoritas penduduknya Hindu. Ketika India merdeka dari Inggris
tahun 1947, orang Islam sadar bahwa tak mungkin lagi berkuasa,
101
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 94.
Nurcholish Madjid, “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang”
dalam Agus Edy Santoso, eds., Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad
Roem Tidak Ada Negara Islam (Jakarta, Djambatan, Cetakan ketiga, edisi revisi,
2004), 29.
102
113
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
karena dari segi pendidikan saja kalah dari orang Hindu. Secara
psikologis bisa dimengerti kalau mereka akhirnya merasa perlu
mendirikan negara sendiri. Islam lalu dipakai sebagai
identifikasi nasional, sehingga Pakistan kemudian disebut sebagai
negara Islam. 103
Atas pendapat NCM tentang tidak ada negara Islam dan
keberatannya untuk masuk partai politik Islam seperti
dalam
pernyataannya “Islam Yes, Partai Islam No?” kemudian mendapat
kritikan Abdul Qadir Djaelani (l. 1939) dalam bukunya berjudul
Menelusuri Kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid (Bandung, Yadia, 1994). Menurutnya, NCM harus ikut
bertanggung jawab terhadap kemerosotan posisi partai-partai politik
Islam di Indonesia, karena persetujuannya dengan Undang-Undang
No. 8/1985, yang menyatakan bahwa semua partai politik dan
organisasi massa harus menjadikan Pancasila sebagai satu -satunya
asas. Dia menolak pernyataan NCM bahwa umat Islam meninggalkan
partai Islam karena isu yang dikemukakan oleh partai-partai Islam itu
sudah tidak menarik lagi atau sudah usang. Mereka melakukan hal itu,
menurut Djaelani, karena telah dipaksa oleh rezim penguasa Orba
untuk menyalurkan aspirasi politik mereka hanya ke Golkar. Oleh
karena itu, dia menegaskan, meskipun dalam realitasnya berasas
Pancasila, partai politik seperti PPP masih berfungsi
sarana
yang amat penting untuk menyuarakan aspirasi politik umat Islam
Indonesia.10 4 Jadi Djaelani dalam hal ini mengkritisi kebijakan politik
rezim Orba dan menumpahkannya kepada NCM untuk bertanggung
jawab atas kekalahan um at Islam Indonesia akibat dari kebijakan itu.
Sesungguhnya perbedaan pandangan di kalangan umat Islam
tentang hubungan antara Islam dan negara antara kelompok formalis
dan substansialis disebabkan karena perbedaan pandangan mereka
tentang kesempurnaan ajaran Islam. Islam merupakan agama
sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang meliputi
103
Nurcholish Madjid, “Negara Islam: Produk Isu Modern”, 157-158.
Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri Kekeliruan Pembaruan Pemikiran
Islam Nurcholish Madjid (Bandung, Yadia, 1994), 37 -39.
104
114
S uha im i
ekonomi, sosial keagamaan dan politik, tapi persoalannya ialah
bagaimana memahami sifat sempurna itu, khususnya berkenaan
dengan hubungan antara Islam dan negara sehingga dapat sejalan
dengan prinsip dasar Islam. Di sinilah NCM memberikan pemahaman
dengan arah baru pemikiran keislaman dengan menekankan
pentingnya deideologisasi agama, rasionalisasi, modernisasi
masyarakat,
demokrasi,
keadilan
sosial,
pluralisme,
dan
1 05
inklusivisme.
Sebab menuru tnya, sekalipun nilai-nilai ajaran Islam
itu bersifat universal, pelaksanaan ajarannya sendiri
ut
lingkungan sosiokultural masyarakat Indonesia secara keseluruhan,
termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka
negara bangsa (nation state), maka setiap langkah melaksanakan
ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial
budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan
kemajemukan.1 06 Dalam konteks ini, secara politik dia melihat bahwa
Pancasila adalah kalimatun sawa> atau common platform yang
mempertemukan gagasan keisla -man dan keindonesiaan.
Jadi, berdasarkan keinginan untuk mengintegrasikan pembaru an pemikiran keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan inilah,
NCM mengembangkan wacana yang mengandung muatan
kontroversial semisal sekularisasi, liberalisasi dan anjuran
meninggalkan wacana negara Islam ke arah Islam kultural, misa lnya
tentang keadilan, demokrasi, hak asasi manusia, inklusivisme Islam
dan pluralisme Islam. Dari sini ia mulai meluncurkan pemikiran civil
society, istilah yang diterjemahkannya menjadi “masyarakat madani”
bercirikan masyarakat egaliter, demokratis dan inklusif, dengan
mengacu kepada Piagam Madinah sebagai model. 107 Dan semua itu
yang menjadi pangkal tolaknya ialah teologi inklusiv yang berpijak
pada semangat humanitas dan universalitas Islam dalam arti bahwa
105
Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, eds., Islam dan Civil Society
Pandangan Muslim Indonesia (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama-PPIM IAIN
Jakarta, Cetakan I, 2002), 238-241.
106
M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid”, 522-523.
107
Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar,” dalam Nurcholish
Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, xviii-xix.
115
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
Islam merupakan agama yang sesuai dengan fit}rah kemanusiaan yang
menjadikan cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada
umumnya karena misi Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi
semesta alam dan Islam secara sosiologis merupakan agama yang
berwatak kosmopolitan.1 08
Ciri lain teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa
Islam itu merupakan agama terbuka (open religion ), karena ia meno lak eksklusifisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang
tinggi terhadap pluralism e yang menjadi komitmen dan paradigma
teologi inklusif yang terpenting.10 9 Bagi NCM karena kitab suci AlQur’an mencantumkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa
dan bersuku -suku agar mereka saling mengenal dan menghargai,11 0
maka bukan saja Islam memandang bahwa pluralitas itu merupakan
suatu kenyataan sejarah manusia, tapi juga berarti bahwa pluralitas itu
meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang
memandang secara positif -optimis terhadap kemajemukan itu sendiri,
108
M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid”, 531.
109
M.Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid”, 532. Berdasarkan pemahaman NCM terhadap beberapa ayat al-Qur’an S.
Yu>nus (10):71 -72, S. al-Baqa>rah (2):131 Serta S. al-Baqa>rah (2):132., dia
menegaskan bahwa agama para nabi terdahulu adalah semuanya al-islam dan dalam
menjelaskan hal ini dia merujuk tafsir Abdullah Yusuf
dan tafsir Muhammad
Asad. Dalil universalisme al-isla>m seperti tersurat dalam al-Qur’an dinyatakan
bahwa yang pertama kali menyadari al-isla@m atau sikap pasrah kepada Tuhan
sebagai perintah inti agama ialah Nabi Nuh, kemudian perintah ber-islam ditegaskan
kepada Nabi Ibrahim, yang mewasiatkannya kepada anak keturunannya. Salah satu
dari keturunan itu adalah Nabi Ya’qub atau Israîl (artinya, hamba Allah) dari jurusan
Nabi Ishaq, salah seorang putera Ibrahim. Wasiat Ibrahim dan Ya’qub itu kemudian
menjadi dasar agama-agama Israîl, yaitu (yang sekarang bertahan), agama-agama
Yahudi dan Kristen. Atas dasar ini NCM menegaskan bahw dikarenakan agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pun secara sadar dengan terang benderang
mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, maka disebut agama Islam (dengan I
besar) yang menjadi agama al-islaam par excellence, namun bukan satu -satunya dan
tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan
agama-agama al-isla>m yang lain.
110
QS. Surat Al-Hujura>t (48): 13.
116
S uha im i
dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin
berdasarkan kernyataan itu. 111
Hal itu berarti juga bahwa ajaran Islam mamandang bahwa
kondisi sosial-budaya dengan pola kemajemukan selalu memerlukan
adanya sebuah titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok
yang ada. Dalam al-Qur’an pun ada perintah Allah swt kepada Nabi
Muhammad saw untuk mengajak kaum ahl al-Kita>b bersatu dalam
satu pandangan yang sama (kalimah sawa>),1 12 yaitu paham
Ketuhanan Yang Maha Esa. 113 Maka dalam sejarah Islam di Madinah,
Nabi Muhammad saw berusaha mencari titik pertemuan dengan
berbagai golongan di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui hak
eksistensi masing-masing kelompok, dalam dokumen yang terkenal
sebagai “Konstitusi Madinah”. Dan Khalifah kedua , Umar ibn alKhattab, meneruskan sunnah Nabi itu dalam sikapnya terhadap
penduduk Yerusalem dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan
“Piagam Aelia” (karena Yerusalem saat itu juga dikenal dengan
sebutan Aelia). 114 Pemikiran teologi inklusif NCM ini, menurut
beberapa pengamat
sebagai gagasan yang committed terhadap
fenomena plural-isme agama dan sangat relevan dan kontekstual.
Gagasan NCM mengenai pluralisme pun mendapat kritikan
antara lain dari Adian Husaini yang mengeritik NCM dan yang
menurutnya kader-kader NCM seperti Budhi Munawar-Rachman, Ulil
Abshar Abdalla dan Sukidi dengan mengata-kan bahwa istilah
111
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan , lxxv.
112
QS. Surat Ali-Imran (3): 64. Artinya: Katakanlah: “Hai ahli Kitab,
marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) y g tidak ada perselisihan
antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) se gian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)”.
113
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan , lxxvi.
114
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan , lxxvi.
117
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi yang tidak bisa
didefinisikan sesuka hati. Menurut Adian Husaini para penganut
paham ini sudah mempunyai definisi sendiri. Karena itu dia
berkesimpulan bahwa paham pluralisme agama menolak kebenaran
eksklusif akidah Islam dan mempersamakan Islam dengan mua
agama. 11 5 Selain itu Adian Husaini pun mengeritik bahwa pemikiran
Islam inklusiv ini bukan sekedar wacana, melainkan sudah diterapkan
di SD-SMA Sekolah Madania, sekolah milik Yayasan Wakaf
Paramadina dengan ketentuan menghormati orang yang berbeda
agama lalu tidak diklaim kafir. Agama lain tidak disebut sesat dan
menyesatkan. Dari sini dimulai langkah pertama untuk bisa menerima
persahabatan dan pertemanan dalam dunia sekolah. Padahal, menurut
Adian Husaini, konsep teologi inklusiv atau pluralism e yang
mengakui kebenaran semua agama, seperti yang disampaikan para
tokoh Islam di Indonesia itu jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi
tauhid Islam yang secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an.116 Jadi
dalam pandangan Adian Husaini itu, paham teologi inklusiv dan
pluralisme NCM itu memandang bahwa semua agama itu benar dan
mempersamakan Islam dengan semua agama, padahal anggapan itu
tidak sesuai dengan pernyataan NCM yang menandaskan bahwa
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah agama Islam
(dengan I besar) yang menjadi agama al-isla>m par excellence,
namun bukan satu -satunya dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri,
melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-isla>m
yang lain. 117
115
Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme
Intelektual, 12 -18.
116
Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme
Intelektual (Surabaya, Risalah Gusti, Cetakan I, 2005), 44. Ayat al-Qur’an
dimaksud adala Surat A>li Imra>n (3): 19. Artinya “Sesungguhnya agama di sisi
Allah hanyalah Islam”.
117
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 429. Dalam karya
tulisnya yang berjudul “Islam di Indonesia: Masalah Ajaran Universal dan
Lingkungan Budaya Lokal”, NCM merujuk pendapat Ibn Tay yah yang
menyatakan bahwa Islam atau al-Isla@m yang dimaksud sebagai hukum
ketundukan makhluk kepada Khaliknya adalah “Islam umum” yang tidak terbatas
118
S uha im i
Tanggal 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan Fatwa Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang berdasarkan
pertimbangan so sial-politik dan diselaraskan dengan pandanganpandangan teologis berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an: Surat A>li
Imra>n (3): 85 dan 19, Surat al-Ka >firu >n (109): 6, Surat al-Ahza>b
(33): 36, Surat ‘Abasa (80): 8-9, Surat al-Qas}as{ (28): 77, Surat alAn’a>m (6): 116, dan Surat al-Mu’minu>n (23): 71. 1 18 Dari
pertimbangan inilah MUI kemudian membuat definisi sendiri istilah
sekularisme, liberalism e dan pluralisme sbb.
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
berdampingan hidup di surga.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara
atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang
hidup secara berdampingan.
Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an &
Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas dan
hanya menerima doktrin -doktrin agama yang sesuai dengan
akal pikiran semata.
Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama
hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan
oleh ruang dan waktu dan juga merupakan agama semua Na dan Rasul, maka
dalam pengertian itu pulalah terdapat salah satu makna penting universalisme “Islam
khusus”, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, penutup para Rasul.
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Juli 1995), xii-xiv.
118
Diantaranya QS. Surat A>li Imra>n (3): 19. Artinya: Sesungguhnya
agama di sisi Allah hanyalah Islam.
119
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya
dengan berdasarkan kesepakatan sosial. 119
Berdasarkan definisi tersebut, MUI pun membuat ketentuan
hukum, yaitu bahwa:
Pluralisme, sekularisme dan liberalisme … adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram
mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme
agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib
bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan
akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah
pemeluk agama lain. Bagi masyarakat muslim yang tingga
bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam
masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan
umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap m elakukan
pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak
saling merugikan. 1 20
Perbedaan definisi tentang pluralisme terlihat antara pengertian
pluralisme yang dikeluarkan dalam fatwa MUI Nomor 7/MUNAS
VII/MUI/2005 dengan definisi pluralisme yang dimaksudkan oleh
NCM terlihat bahwa MUI membawa terma ini ke dalam wilayah
teologis, sementara NCM lebih membatasinya pada tataran pengertian
sosiologis dengan mengakui kesamaan fungsi dan kedudukan semua
agama dalam rangka membangun saling pengertian dan saling
menghormati antar sesama pemeluk agama. NCM hanya mengakui
bahwa semua agama itu sama-sama benar bagi pemeluknya sehingga
tidak terjadi saling melecehkan antar sesama pemeluk agama.
Sedangkan MUI menilai bahwa pluralisme itu sama dengan relativisme.
Tanda pluralism e yang benar, menurut Frans Magnis Suseno,
adalah pengaku -an terhadap perbedaan di antara agama-agama dan
119
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa Nomor 7/MUNAS VII/MUI
120
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa Nomor 7/MUNAS VII/MUI
/II/2005.
/II/2005.
120
S uha im i
kesediaan menerima kenyataan bahwa manusia mempunyai agama
yang berbeda, hal itu tidak sama dengan relativisme yang menolak
pluralitas dan toleransi, karena relativisme menuntut
agama
melepaskan terlebih dahulu keyakinan subjektivitas mereka, bahwa
mereka benar. Sedangkan pluralism e mengakui kebenaran agama
masing-masing, namun pada saat yang sama mendukung upaya
pencarian titik-titik persamaan dalam nilai-nilai yang berbeda.1 21
Menurut NCM, fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan
memberikan apresiasi terhadap pluralism e, sangat kohesif dengan
nilai-nilai Pancasila yang sejak awal mencerminkan tekad dar
berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan
(common platform) dalam kehidupan bernegara. Ia melihat ideologi
Pancasilalah yang telah memberi kerangka dasar bagi masyarakat
Indonesia dalam masalah pluralism e keagamaan. 1 22 Dengan demikian,
diharapkan pemikiran itu dapat memberikan alternatif untuk
memperkaya dan memperkuat masyarakat sivil (civil society) melalui
modal saling memahami dan bertoleransi. Menurutnya pluralism e
harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bond
of civility). Oleh karena itu, pluralisme menjadi suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, termasuk masyarakat Indonesia, antara
lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and
balance) yang dihasilkannya, hal ini justru sangat dibutuhkan
masyarakat Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. 12 3
Sebagai suri teladan umat manusia, Nabi Muhammad saw
telah memberi contoh bagaimana mewujudkan semangat Ket nan
Yang Maha Esa yang bersambung langsung dengan wawasan sosial
keagamaan dan politik yang berjiwa paham kemajemukan (pluralis)
dan yang serba meliputi (inklusif) itu dalam Masyarakat Madinah.
121
Frans Magnis Suseno, “Islam’s Contribution to a Pluralism Indonesia”,
dalam Farinia Fianto, ed., Islam and Universal Values (Jakarta, ICIP, First edition,
2008), 39.
122
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonersia , 230.
123
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 103.
121
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
Dikaitkan dengan perkembangan global yang menyangkut bangsa
Indonesia sekarang, wawasan Madinah itu bersambung langsung
dengan perjuangan mengembangkan masyarakat madani, civil
society.1 24
Vaclac Havel, seorang pejuang dan cendikiawan civil society
yang kemudian menjadi Presiden Cekoslowakia, menggambarkan
masyarakat madani sebagai masyarakat yang dijiwai oleh cita -rasa
baik (good state), yang merupakan manifestasi nyata kepekaan
manusia kepada dunia, lingkungan, dan rakyat. Dia berpikiran
menuju ke arah terbentuknya semacam masyarakat madani global,
yang menekankan kembali nilai-nilai yang tidak dikembangkan dalam
politik dunia sekarang ini, yaitu keadaban, cit-rasa baik, kejujuran,
dan di atas semuanya, rasa tanggungjawab. Bagi NCM, pengertian
Havel itu mengarah kepada pengertian kemanusiaan suci primordial
yang lebih menyeluruh, yaitu fitrahnya dari Tuhan atau kesucian yang
memancar dalam pola kehidupan umum, sehingga manusia
mendapatkan segala kebaikan kemanusiaan seperti yang dicontohkan
Nabi di Madinah. Oleh karena itu masyarakat Madinah menjadi tolok
ukur peradaban, sehingga peradaban atau civilization disebut
“madaniah” (madaniyyah), dan yang beradab atau civil adalah
“madani” (madani ).1 25
Masykuri Abdillah mengeritik konsep civil society
(masyarakat madani) yang dikemukakan oleh NCM sebagai
“masyarakat berperadaban” berdasarkan kata “ madani ” yang berasal
dari kata “ madi >nah” (kota) dan tamaddun (peradaban), karena
menurutnya dalam bahasa Arab kata “ madani ” berarti juga “ civil”,
seperti kata-kata “ al-ahkam al-mad aniyyah” (civil law ) atau “ alqanu>n al-madani ” (civil code) dan hal ini pun dibuktikan bahwa
semua intelektual Muslim di Timur Tengah menggunakan kata almujt ama> al-madani untuk menerjemahkan civil society. Masykuri
124
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 16-21.
125
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, 21.
122
S uha im i
Abdillah menegaskan “Saya setuju sepenuhnya dengan konsep Cak
Nur tentang konsep masyarakat berperadaban, tetapi hen
Cak
Nur tidak menggunakan istilah “masyarakat madani” untuk konsep
ini, karena istilah ini sudah memiliki pengertian sendiri. 12 6
Syamsuddin Haris, peneliti LIPI, mengatakan tentang
pencalonan NCM sebagai capres bahwa perjuangannya untuk
merebut kursi presiden bukanlah suatu jalan yang rata dan mulus,
selain kendala konstitusi yang mengharuskan pencalonan pasangan
presiden dan wakil presiden melalui partai atau gabungan partai,
NCM juga akan menghadapi capres-capres partai lain yang lebih
tangguh, seperti Megawati Soekarnoputri dari PDI-P dan M. Amien Rais
dari PAN.1 27 Kecuali itu, dia menyebut empat kendala yang akan
dihadapi NCM sebelum secara resmi menjadi capres, pertama,
resistensi internal partai yang menyebutkan bahwa jabatan publik
seperti presiden harus berasal dari dalam partai yang "berkeringat";
kedua, adanya pandangan yang mengatakan, tokoh -tokoh masyarakat,
seperti NCM lebih pantas menjadi pengawal hati nurani; ketiga,
munculnya kekhawatiran bahwa kesediaan NCM ikut konvensi Partai
Golkar akan disalahgunakan kalangan partai beringin untuk merebut
simpati publik, dan "membersihkan" kotoran Golkar menjelang
Pemilu 2004; dan keempat, munculnya kekhawatiran lainnya, bahwa
kesediaan NCM menjadi capres akan mempertajam persaingan
antartokoh -tokoh Islam yang berada di partai politik, seperti M.
Amien Rais, Hamzah Haz, dan lainnya.
Sebulan setelah mengumumkan kesiapannya mengikuti
konvensi Partai Golkar, NCM secara resmi menyatakan urung dari
penjaringan calon presiden itu, tepatnya pada Kamis, 31 Juli 2003.
NCM menjelaskan ada kesenjangan etika antara dirinya dan konvensi,
126
Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi”,
dalam Jalaluddin Rakhmat, et al., Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari
Pembaharu sampai Guru Bangsa (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Oktober
2008), 371.
127
Syamsuddin Haris, “Menimbang Pencalonan Cak Nur”, dalam Ahmad
Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju
Istana, (Jakarta, KPP Kelompok Paramadina, Cetakan I, Agustus 2003), 5 -9.
123
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
karena adanya pertanyaan dari beberapa tokoh Partai Golkar yang
berkaitan dengan “gizi” ketika NCM menyampaikan visi dan misi di
beberapa daerah kantong Partai Golkar. NCM dengan tegas
mengatakan bahwa “gizi” yang dipertanyakan kalangan partai itu
adalah identik dengan “uang”. Menurutnya pertanyaan soal “gizi” atau
“uang” itu tidak sesuai dengan platform politik yang ia ajukan. 1 28
Kontroversi pun terjadi dalam masyarakat, baik dari kalangan
politisi, intelektual maupun aktivis tentang munculnya NCM dalam
kancah pemilihan presiden. Ada yang berbasa-basi formal bahwa
pencapresan NCM akan menjadikan pemilu 2004 sebagai pesta
demokrasi yang sesungguhnya, namun masyarakat umum terutama
memberikan respon s bahwa mereka menunjukkan kerinduan rakyat
terhadap adanya platfo rm yang selama ini tidak pernah terasakan
wujudnya dalam gagasan maupun pelaksanaan.129 Sementara yang
lainnya merespon dengan nada sedikit pesimis, bahwa NCM akan
menghadapi banyak kendala dan hambatan yang tentunya akan
menghadang langkah dan jalan pencalonannya sebagai presiden.
Dem ikian pula M . A lfan A lfian M melihat beberapa
kelemahan yang ada pada diri NCM dalam pencalonannya sebagai
capres. Menurutnya NCM tidak memimpin sebuah ormas Islam,
seperti Abdurrahman Wahid yang memimpin NU atau M. Amien Rais
yang pernah menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah. Meskipun
memang pernah dua kali dia memimpin organisasi mahasiswa Islam
seperti HMI, tapi jabatan itu telah lama dipikulnya. 1 30 NCM juga
tidak bergerak pada tataran massa, seperti partai politik yang menjadi
salah satu syarat untuk menuju capres. Selama ini, ia hanya bergerak
dalam ranah ide, gagasan dan konsep yang terbatas pada segmen
kelas menengah perkotaan. Kelemahan lainnya, NCM tidak pernah
128
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 86.
Veven Sp. Wardhana, ”Platform Capres atau Capres Platform”, dalam
Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur
Menuju Istana , 43.
130
M. Alfan Alfian M., “Konsekuensi Kesediaan Cak Nur”, d
Ahmad
Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju
Istana, 11 -12.
129
124
S uha im i
secara langsung mencemplungkan diri ke dalam kepengurusan partai
politik dan belum berpenga-laman sebagai orang "dalam sistem".
Senada dengan Alfan, Saifullah Yusuf, ketua umum PP
Gerakan Pemuda Ansor menyebutkan beberapa kritik yang bisa
diajukan terhadap munculnya NCM sebagai kandidat presiden.13 1
Pertama, latar belakangnya yang lebih banyak dikenal sebagai
seorang ilmuwan, selama dalam dua dekade terakhir, yang berdam ak
pada adanya pengakuan publik bahwa dirinya agak teralienasi terhadap
wilayah politik praktis, seperti pemerintahan. Pengalaman NCM
sebagai ilmuwan bisa menjadi kekuatan, tapi sekaligus kelemahan dalam
urusan politik praktis, khususnya pemerintahan seperti pernah dialami
Abdurrahman Wahid dalam memimpin bangsa dan negara ini, Kedua,
munculnya NCM sebagai capres bisa menimbulkan kecemburuan
politik dari tokoh -tokoh politik yang terlibat langsung dari arena politik
praktis. Ketiga, NCM tidak memiliki instumen politik yang kuat dan
massa yang terukur. Sebab, selama ini ia lebih banyak terlibat dari
dunia keilmuan yaitu di lingkungan terbatas, dan ia hampir tidak
pernah berkiprah langsung dengan kalangan masyarakat. Apalagi,
dukungan terhadapnya dari partai-partai politik masih belum jelas. Baik
Partai Golkar, PKB, maupun partai-partai politik lainnya, yang pernah
melontarkan dukungannya masih dihadapkan pada kenyataan politik
yang menjadi problem internal partai-partai tersebut. Yang jelas,
menurut Saifullah, peluang NCM untuk terpilih menjadi Presiden pada
Pemilu 2004 hampir sama dengan kendala yang dihadapi, tetapi
kehadirannya di bursa capres memberi bobot positif bagi perkembangan demokrasi di tanah air.
Di tengah kepungan berbagai kendala dan hambatan yang akan
dihadapi NCM dalam pencalonannya sebagai presiden, seperti dikemu kakan para pengamat politik di atas, NCM tetap dianjurkan untuk
tetap meneruskan langkahnya ikut pernilihan presiden pada Pemilu
2004. Arief Budim an, guru besar di Universitas Melbourne, Australia,
misalnya, tetap mendorong N C M u n tu k teru s m aju iku t p ro s es
131
Saifullah Yusuf, “Menimbang Calon Presiden” dalam Ahmad Gaus AF
dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi Presiden Cak Nur Menuju Istana , 52-57.
125
B a h a s a P o l i t i k N u r c h o l i s h M a d j id
cap res , d en gan menunjukkan beberapa alasan.132 Antara lain: NCM
menjadi tokoh alternatif yang bisa menjadi presiden yang d ibutuhkan
Indonesia; NCM merniliki kemungkinan besar untuk menang karena
ia tokoh Islam yang disegani dan diterinta oleh berbagai kalangan, baik
Islam maupun non -Islam; Golkar yang menjad ; pilihan NCM dalam
konvensi merupakan partai politik paling profesional dan mempunyai
pengaruh besar di aparat pemerintahan —jadi sebagai kendaraan
politik, Golkar bisa diharapkan akan cukup efektif; NCM memiliki
karier dan prestasi yang cukup baik, sehingga dia bisa menjaga
integritas keprib ad iannya dengan baik— karena itu, b ila ia
menjadi presiden, maka ia diharapkan iharapkan tetap mempertahankahs fkapn pendiriannya; NCM tentu tahu bahwa terjun ke
kancah politik, baik menang maupun kalah, akan menurunkan
pamornya tidak segemilang ketika ia masih "berumah di atas angin";
dan NCM akan menemukan malapetaka bila ia gagal menjadi
presiden yang baik, seperti dialami Abdurrahman Wahid.
Muhammad Qodari, peneliti CSIS, menganjurkan
NCM agar mempertahan -kan diferensiasi politiknya sebagai "guru
bangsa" dan calon presiden independen bila ia tetap ingin maju dan
mau meraih sukses dalam kompetisi penjaringan capres. Menurut
Qodari, 1 33 seharusnya NCM dan tim suksesnya menyadari dan
memanfaatkan betul potensi "diferensiasi" NCM sebagai selling point
dalam pasar bebas Pemilu 2004. Yang dimaksud "diferens " politik
ialah bahwa NCM sebagai guru bangsa memiliki sejumlah
karakteristik yang berbeda secara kontras dengan mayoritas capres
dan politik lainnya di tanah air ini. Banyak orang mengakui bahwa
NCM adalah tokoh Islam yang bersih, bermoral, cerdas, santun,
berwawasan luas dan dalam serta bijaksana. Dengan keunggulan
utama semacam ini, NCM dapat dianggap bagaikan sebuah produk
dan komoditas baru yang mulai masuk ke pasar politik untuk
132
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 91.
Muhammad Qodari, “Mengapa Cak Nur Bersedia Menjadi Calon
Presiden?” dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed., Begawan Jadi
Presiden Cak Nur Menuju Istana , 37-41.
133
126
S uha im i
meramaikan bursa capres. Produk atau komoditas baru tentu akan
mendapat perhatian serius bagi para pembeli politiknya, dan
karenanya akan menjadi saingan langsung bagi produk atau
komoditas lama yang sebenarnya mulai tidak diperhatikan para
pembeli politik. Namun, menurutnya, keunggulan utama NCM ini
tidak dimaksimalkan, baik oleh NCM sendiri maupun tim suksesnya.
127
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
BAB IV
NASIONALISME DALAM PANDANGAN
NUIRCHOLISH MADJID
Nasionalisme sesungguhnya merupakan konsep dinamis
yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, bai dengan
perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun
perubahan -perubahan pada tingkat global. 1 Demikian Azyumardi
Azra mendefinisikan nasionalisme, dalam kerangka itu,
menurutnya terdapat tiga tahap perkembangan nasionalisme di Asia
Tenggara, Pertama tahap “protonasionalisme” atau fase nyerapan
gagasan nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasiorganisasi, Kedua fase yang sarat dengan muatan politis ketimbang
sosial dan kultural, nasionalisme di Indonesia saat ini bertujuan
mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan
imperialisme Eropa. Ketiga fase penekakanan nasionalisme
ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industrialisasi
atau pembangunan.2 Dalam bab ini, penulis menguraikan
bagaimana pandangan nasionalisme di Indonesia menurut
dilihat berdasarkan tinjauan historis.
A.
Fase Awal Nasionalisme di Indonesia
NCM menuliskan sepuluh butir platformnya dalam sebuah
buku Indonesia Kita yang berisikan pembahasan tentang
nasionalisme klasik di bumi Nusantara pada zaman kerajaan kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Aceh sebagai latar belakang
hingga masa kristalisasi kesadaran kebangsaan karena perlawanan
kepada penjajahan. Dia melanjutkannya dengan uraian masa
kebangkitan nasionalisme modern dan konsolidasinya melalui
proses eksperimentasi pelaksanaan ide-ide tentang modern nation
state Republik Indonesia.
1
Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di
Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana
Kekuasaan (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000),
112.
2
Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di
Asia
dan
105Asia
Tenggara”, 105-112.
128
Suhaimi
Pada bagian akhir buku itu, NCM membahas penilaian
tentang krisis multi dimensional yang sedang dihadapi leh bangsa
Indonesia saat ini, kemudian dia menawarkan jalan keluar dari
krisis itu secara garis besar melalui deretan butir-butir sebuah
platform.
Apa tujuan NCM menyampaikan sepuluh platform politik
“Membangun Kembali Indonesia” kepada masyarakat? Dengan
menirukan Ibn Khaldun saat menutup pembahasannya dalam
Muqaddimah, menurut NCM, apa yang dicoba lakukan adalah
menyampaikan wacana sebagai suatu rintisan, dengan harapan
bahwa siapapun yang memberikan keprihatinan yang sama,
khususnya dari kalangan generasi penerus, akan mengembangkan
dan memperbaikinya, dan melaksanakannya dengan memberi
teladan sebaik-baiknya untuk warga masyarakat. 3 Wacana ini
menjadi penanda keprihatinan NCM terhadap persoalan kr is
multidimensional yang menimpa bangsa Indonesia saat ini akibat
tindakan dan perilaku pihak yang tidak benar dari masa lalu.
Kebanyakan mereka hanya memikirkan kepentingan diri dan
golongannya saja sehingga pembangunan untuk mewujudkan citacita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bertambah jauh
dari kenyataan. Barangkali seperti peringatan Mohamma Hatta
dalam risalahnya Demokrasi Kita, “sekarang ini pun Indonesia
adalah sebuah negara besar yang hanya menemukan orang-orang
kerdil! Dan mengulangi sikap Bung Hatta saat itu, mungkin
sekarang pun kita terpaksa harus memberi “ fair chance” kepada
pihak-pihak yang tidak sadar, untuk membuktikan sendiri apakah
sistem dan jalan pikiran mereka akan berhasil atau gagal”. 4
Jika disandingkan dengan beberapa karya kepustakaan
NCM yang lain, sebelum tahun 1970 sebenarnya NCM telah
menulis karya penting yang menjadi dasar ideologi gerakan HMI,
yaitu Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Walau beda cara
penuturan kalimat dengan tulisan -tulisannya yang lain, dasar
pemikiran NDP adalah sama, yaitu teologi inklusif dan
3
4
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 5.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 4.
129
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
humanistik.5 Pada tanggal 3 Januari 1970 dia berpidato dengan
judul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat” di Gedung Pertemuan Islamic Reseach Centre,
Menteng Raya, Jakarta, 6 serta pada tahun 1992 dia berceramah
dengan judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan
di Indonesia untuk Generasi Mendatang”.7 Pendulum sikap kritis
NCM bergerak dari otokritik kritik atas keadaan umat Islam dan
khazanahnya, penawaran alternatif pemecahan, laboratorium
implementasi gagasan yang dikembangkan, sampai kepada
membangun apresiasi atas realitas secara lebih mendalam, dengan
tidak mengurangi sikap santun dan kritisnya.8 Dalam hal ini, NCM
tidak sendiri, sejumlah tokoh lain baik dari kalangan
lahir
1940-an seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib dkk atau kalangan setelahnya 1950-an, seperti Azyumardi
Azra, Komaruddin Hidayat, M. Amin Abdullah, Masdar Farid
Mas’udi dkk mengembangkan sikap keilmuan terbuka.9
Setelah angkatan 1950 -an, seiring dengan jumlah alumni
mereka yang berpendidikan tinggi di Barat dan bertamba ya
PTAIN atau PT umum, secara umum mereka yang bersinergi
dengan pemikiran terbuka NCM bertambah dalam menjawab
5
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam
di Indonesia”, dalam Abdul Halim, ed. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa
Depan yang Membebaskan (Jakarta, Kompas, Cetakan Kedua, Oktober 2006),
120 -121.
6
Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat”, dalam Agus Sudibyo, ed. Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung, Mizan, Cetakan XI, Nopember 1998), 204.
7
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam
di Indonesia”, 131.
8
Budhy Munawar-Rachman, “Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah
Pemikiran Neomoder-nisme Islam di Indonesia,” dalam Asep Gunawan, ed.,
Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Maret 2004), 437-467.
9
Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke
Apresiasi”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2, Januari
Juni 2010, 58.
130
Suhaimi
persoalan bagaimana hubungan keagamaan dan kemoderenan
berkaitan dengan proses pembangunan bangsa Indonesia (nation
building) yang maju. Nation building di sini maksudnya adalah
cara pandang dunia yang bersinergi antara kegamaan, kebudayaan
atau keindonesiaan dengan modernitas. Sinergi hubungan
ketiganya menjadi prasyarat untuk membangun Indonesia
maju. Untuk memberikan kontribusi dalam proses ini, NCM
terlibat bahkan mempelopori dalam pergulatan wacana re
keagamaan dan modernitas dalam konteks keindonesiaan, melalui
aktivisme dan pemikiran.1 0
Dalam buku Indonesia Kita karya NCM, proses
pembangunan bangsa Indonesia (nation building ) tersurat dengan
jelas sekali dalam daftar isinya yang berisikan perjalanan
nasionalisme Indonesia dan disusun berdasarkan kerangka
karangan dengan pola alamiah yang merujuk pada urutan kejadian
suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa secara kronologis, 11 seperti
terlihat di bawah ini:
Mukadimah
Nasionalisme Klasik di Bumi Nusantara
Lahirnya Nasionalisme Modern Indonesia
Tentang “Negara -Bangsa” (“Nation -State”)
“Negara-Bangsa” dan Nasionalisme
Indonesia Kita (I)
Indonesia Kita (II)
Indonesia Menuju Masa Depan
Platform Membangun Kembali Indonesia
Nasionalisme di Indonesia dalam sejarahnya sangat
dipengaruhi oleh budaya India, baik warisan Hindu Jawa maupun
nasionalisme India kontemporer. Wacana nasionalisme Indonesia
banyak diwarnai oleh kebanggaan sejarah akan Kerajaan Majapahit
dan Sriwijaya dan dipengaruhi oleh simbol-simbol Hindu -Jawa.
10
Kusmana, “Politik Kesalehan Nurcholish Madjid Dari Kritik ke
Apresiasi”, 59.
11
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , 221.
131
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Kitab “Negarakertagama” menceritakan bahwa Majapahit adalah
zaman yang serba indah dan megah, masyarakat hidup sejahtera,
kedamaian, dan kehidupan sosial yang harmonis.12
Dalam kitab itu, diceritakan pula bahwa Kedaulatan
Majapahit ditegakkan dengan kuat oleh Raja Dyah Hayam uruk
Sri Rajasanegara, sehingga barangsiapa yang keluar dar kesatuan
Nusantara akan dipertahankan meskipun harus menggunakan
kekuatan senjata. Raja mencoba untuk menciptakan sinkretisme
antara Syiwa, Budha dan Brahma, agama Hindu dan Budha
p
bersama-sama tanpa ada pertentangan.1 3 Hal ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh George Coedes, seorang arkeolog Prancis,
seperti dikutip oleh Taufik Abdullah tentang sejarah Asia Tenggara
Kuno dalam bukunya yang diterbitkan di Paris dengan judul Les
Etats Hindouié d’Indo -Chine et d’Indonesie (1964) bahwa banyak
kerajaan-kerajaan di kepulauan Indonesia dan di wilayah -wilayah
yang sekarang secara konvensional disebut mainland Southeast
Asia (daratan Asia Tenggara) yang telah dipengaruhi Hindu (atau
lebih tepat, barangkali, India). 14
Lebih jauh lagi, Harry Benda membagi sejarah Asia
Tenggara atas tiga wilayah kultural bahwa sebagian terbesar dari
kawasan ini boleh disebut sebagai Indianized Southeast Asia , Asia
Tenggara yang telah di-India -kan, ia sengaja memilih kata “India”,
sebab istilah “Hindu” (yang dipakai Coedes) lebih menu
agama tertentu, padahal banyak kerajaaan kuno yang beragama
Budha atau, seperti halnya beberapa kerajaan kuno di Indonesia,
mengalami perubahan orientasi keagamaan.15 Kedua ialah apa yang
disebutnya sebagai Sinicized Souteast Asia, yaitu yang telah “diCina-kan” seperti wilayah orang Vietnam, kecuali di Vietnam
12
Andrik Purwasito, Imajeri India, Studi Tanda dan Wacana
(Surakarta, Pustaka Cakra, 2002), 407.
13
Andrik Purwasito, Imajeri India, Studi Tanda dan Wacana , 407.
14
Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara , iii-iv.
15
Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara , vi-vii.
132
Suhaimi
Selatan yang juga pernah ada sebuah kerajaan yang “Indianized ”,
Champa, yang dihancurkan dalam proses gerak maju orang
Vietnam ke Selatan. Dan, ketiga, Hispanized Souteast Asia, yang
di-Spanyolkan, yang telah jelas maksudnya di sini ialah F lipina.
Gerakan nasionalisme di Indocina berpusat di Vietnam.
Tradisi nasionalisme mereka berawal dari perjuangan
kemerdekaannya yang panjang melawan Cina. Kaum nasionalis
Vietnam yang tampil melawan kolonialisme Prancis merupakan
produk pendidikan Prancis sendiri. Sementara kolonialisme
Spanyol di Filipina menghasil-kan pola yang bercirikan sistem
feodalisme tanah.16 Keadaan ekonomi orang-orang mestizo yang
relatif baik membawa para pemuda untuk belajar di Eropa. Mereka
dinamakan ilustrado (orang-orang tercerahkan). Pada dasawarsa
1880-an, mereka menjadi kelompok cendikiawan yang pertama di
daerah koloni dan memulai suatu serangan budaya terhadap
klerikalisme, dan kemudian terhadap dominasi politik Spanyol.
Tidak kurang signifikannya adalah kenyataan bahwa dengan
belajar di sekolah yang sama, membaca buku yang sama,
nulis
untuk jurnal yang sama, dan menikah dengan saudara dan sepupu
satu sama lain, mereka membuka konsolidasi atas kesadaran sendiri
mengenai suatu strata mestizo Filipina Raya (kecuali untuk wilayah
Moro).17
Indonesia berdasarkan wilayahnya merupakan kelanjutan
dari wilayah kekuasaan penjajahan Belanda yang dikenal sebagai
“Hindia Belanda” atau “Hindia Timur Belanda” (Dutch East
Indies), tapi sebagai suatu bangsa, Indonesia tidak dibentuk oleh
pemerintah kolonial Belanda, melainkan justru oleh semangat
perlawanan terhadap penjajahan itu bersenjatakan Islam sebagai
16
Benedict Anderson, Imagined Communities Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism, (London and New York, Verso,Revised Edition,
1991), 124 -125.
17
Benedict Anderson, Imagined Communities,126 .
133
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
dasar nasionalisme dan patriotisme.18 Kaum nasionalis Indonesia
pertama adalah mereka yang beruntung dapat menikmati
pendidikan berkat Politik Etis pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pengalaman bersama di sekolah terutama memberikan kesempatan
bagi mereka untu k membayangkan diri sebagai satu “komunitas”.
Sejak akhir abad ke-19, di Hindia Belanda berkembang
aktivitas penerbitan, yang awalnya dikendalikan oleh orang-orang
Tionghoa peranakan dan Indo -Eropa. Para priyayi pemerintah dan
orang partikelir dengan cepat melibatkan diri dalam aktivitas ini,
pada awal abad ke-20, sudah mulai menjalankan penerbitannya
sendiri. Melalui penerbitan ini mereka mulai mengungkapkan dan
membaca tentang adanya “komunitas” yang lebih luas dar ikatan ikatan yang selama ini mereka kenal.19
Periode akhir tahun 1970-an dan 1980 -an beberapa
ilmuwan mendominasi pembahasan tentang nasionalisme seperti
a.l. Eric Hobsbawm, Ernest Gellner, Anthony Smith dan Benedict
Anderson. Gellner mendefinisikan kata “ nation ” sebagai suatu
bentuk kesadaran berbagi “kebudayaan” dalam berbagai
bentuknya. Dia kemudian mengartikan nasionalisme sebagai
“semacam patriotisme khusus yang menjadi penting ketika terjadi
kondisi sosial tertentu seperti terlihat pada dunia modern dan di
manapun tempat lainnya”. Contohnya saat ini adalah “chauvinisme
kebudayaan”.20
Hal itu serupa dengan Anthony Smith yang memberikan
semacam “definisi kerja” tentang sebuah “ nation ” atau bangsa
yang modern adalah “suatu nama bagi serumpun populasi
sia
yang berbagi mitos dan ingatan sejarah, suatu kebudayaan massa,
18
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban “Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemo
an” (Jakarta,
Universitas Paramadina, Cetakan V, Agustus 2005), lxiv.
19
Benedict Anderson, Imagined Communities, 117.
20
Liah Green and Jonathan Eastwood, “Nationalism in Comparative
Perspective”, Thomas Janoski and others,eds. The Handbook of Political
Sociology States, Civil Societies, and Globalization (UK, Cambridge University,
2005), 248.
134
Suhaimi
suatu tanah kelahiran, persatuan ekonomi dan berbagi persamaan
hak dan kewajiban antar sesama mereka”. Namun hal itu berlainan
dengan Hobsbawm
yang dengan tegas mendefinisikan kata
“ nation ” sebagai suatu “fenomena objektif”. Dia menandaskan
pengertian “ nation ” adalah “ suatu entitas sosial yang selama ini
keberadaannya ditentukan oleh hubungannya dengan semacam
teritorial negara modern yaitu suatu “ nation state”.21
Benedict Anderson mencermati keterkaitan faktor
kesamaan bahasa dan kesamaan pengalaman bersama yang
ditimbulkan oleh karya sastra menghasilkan suatu “komunitas
imajiner” yang didasari oleh perasaan senasib dan sepenanggungan
di Eropa abad pertengahan. Misalnya di Ukraina, pembentukan
Universitas Kharkov pada tahun 1804 menyebabkan terjadinya
“ledakan kesusasteraan” Ukraina yang dimotori oleh sastrawan
Taras Shevchenko, yang kemudian disusul dengan pembent
sebuah organisasi nasionalis Ukraina di Kiev pada tahun 1846. 2 2 Di
samping itu agama-agama besar, dalam pandangan Anderson
seperti dikutip oleh Fachry Ali,
telah berjasa memberikan
jawaban -jawaban pelik terhadap persoalan kemanusiaan yang tak
mampu ditawarkan oleh ideologi-ideologi atau penjelasan penjelasan rasional. 2 3 Bahkan keberadaan agama-agama besar telah
pernah mengasuh, mempertemukan, “mempersatukan” umat
manusia lintas etnis dan wilayah dalam sebuah kerangka berpikir
standar dan dengan itu memberikan kenangan yang bertahan secara
kolektif dalam diri manusia. 24
21
Liah Green and Jonathan Eastwood, “Nationalism in Comparative
Perspective”, 248.
22
Benedict Anderson, Imagined Communities, 74.
23
Facry Ali, “Kesetaraan Wacana Demokrasi dan Wawasan Nasional”,
dalam Bambang Pranowo dan Darmawan, ed. Reorientasi Wawasan
Kebangsaan di Era Demokrasi (Yogyakarta, Aditya Karya Nusa, Cetakan
pertama, Januari 2003), 10.
24
Facry Ali, “Kesetaraan Wacana Demokrasi dan Wawasan Nasional”,
10.
135
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Apa pun alasannya, menurut catatan Connor, hari ini seperti
telah terjadi dua dekade sebelumnya, ethnic nationalism telah
menjadi ancaman serius terhadap stabilitas politik di negara -negara
seperti Belgia, Burma [Myanmar], Ethiopia, Guyana, Nigeria, the
Soviet Union, Sri Lanka, Yugoslavia dan Zimbabwe. “Nationbuilding” telah gagal memberi jawaban yang tepat tentang
rintangan utama pembangunan politik.25
Benarkah “nasionalisme” telah mati? Demikian Azyumardi
Azra membuka tulisannya yang berjudul “Nasionalisme, Etnisitas,
dan Agama di Asia Tenggara”, yang membantah tesis klasik Daniel
Bell bahwa secara implisit riwayat “nasionalisme” yang dipahami
sebagai suatu ideologi telah tamat dalam karyanya, The end of
Ideology (1960). Kesimpulan Bell bahwa nasionalisme sebagai
ideologi telah tamat adalah kekeliruan yang cukup distortif, karena
jelas “nasionalisme” tidak mati, ia memang surut dalam negaranegara maju. Menurut Hobsbawm, ahli nasionalisme Marxis, dalam
bukunya Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth,
Reality (1990), seperti dikutip Azra, nasionalisme kini memang
tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam perkembangan historis. Ia
tidak lagi menjadi program politik global sebagaimana
h
terjadi pada abad XIX dan XX. Namun, ini tidak berarti bahwa
nasionalisme tidak begitu terkemuka dalam politik dunia sekarang
ini, atau sudah sangat berkurang dibandingkan sebelumn
Nasionalisme dapat menjadi satu faktor yang rumit atau katalis
bagi perkembangan lain. Hal ini kemudian berdasarkan
pengamatannya tentang konsep nasionalisme di Asia Teng
Azra menyatakan bahwa nasionalisme sesungguhnya merupakan
konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil
dialektika, baik dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi
dalam negeri maupun perubahan-perubahan pada tingkat global.2 6
25
Walker Connor, Ethnonationalism The Quest for Understanding
(New Jersey, Princeton University Press, Fifth Published, 1994), 71.
26
Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia
Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan
136
Suhaimi
Dalam kerangka itu, menurutnya terdapat tiga tahap perkembangan
nasionalisme di Asia Tenggara, Pertama tahap “protonasionalisme”
atau fase penyerapan gagasan nasionalisme yang diikuti
pembentukan organisasi-organisasi, Kedua fase yang sarat dengan
muatan politis ketimbang sosial dan kultural, nasional
di
Indonesia saat ini bertujuan mencegah dengan cara apapun
kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa. Ketiga fase
penekakanan nasionalisme ekonomi dalam bentuk program
modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan.27
Abad ke-7 M (Masehi), menurut catatan I Tsing, seorang
sarjana musafir Cina, Sumatera menjadi pulau terpenting di
Nusantara, sebagai pusat peradaban Asia Tenggara. Saat itu Agama
Budha mulai datang ke Sumatera dan pengaruh Budhisme
Mahayana sudah muncul yang kemudian melahirkan kerajaan
Sriwijaya. Pengembara Cina itu pun mencatat pada tahun 671 M, di
Palembang ada pasar besar dengan para pedagang yang datang dari
Tamil, Persia, Arabia, Yunani, Kamboja, Siam, Cina dan Birma.
Ribuan kapal berlabuh di sana dan ada Universitas Sriw
yang
menjadi tempat belajar ribuan pendeta dari seluruh dunia. Jadi
Palembang saat itu sebagai ibu kota Sriwijaya merupakan kota
metropolitan yang kosmopolit. 28 NCM mencatat bahwa masa itu
sekitar masa kerasulan Nabi Muhammad saw dan kekhalifaan Abu
Bakr, ‘Uthman dan ‘Ali.
Sriwijaya yang berkuasa atas Selat Malaka berperan sebagai
penjaga lalulintas maritim dan perdagangan internasional yang
pengaruhnya secara politik dan komersial mencapai Hainan dan
Taiwan. Pada awal abad ke-11, Sriwijaya mencapai puncak
kejayaannya, sekitar satu abad setelah kekhalifaan Harun al-Rasyid
dan al-Ma’mun Dinasti Islam Banu ‘Abbasiyah pun sedang
mencapai puncak kebesarannya, maka menurut NCM mungkin
Kekuasaan (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000), 105112.
27
Azyumardi Azra, “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia
Tenggara”, 105-112.
28
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lv-lvi.
137
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
sekali Sriwijaya adalah salah satu dari rekanan dagang kaum
‘Abasi di Timur.29
Pada akhir abad ke-12, para pedagang Muslim Arab dan
Persia menghadapi kesulitan berat akibat para penguasa Sriwijaya
menerapkan kebijakan perdagangangan monopolistik, maka
mereka mulai mengalihkan kegiatan dagang dan dakwah Islam ke
tempat-tempat lain di Nusantara. Hasilnya bukan saja hubungan
dagang yang berkembang, tapi juga hubungan religio -kultural dan
politik diperkuat.
Kapan Islam pertama kali datang ke bumi Nusantara?
Apakah sejak abad ketujuh M atau abad ke-12 M? Bisa saja seperti
yang TW Arnold kemukakan bahwa Islam sudah diperkenalkan ke
dan ada di Nusantara pada abad pertama Hijri, tetapi hanyalah
setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena
itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselerasi
abad
ke-12 dan ke-16. 3 0 Para penyebar pertama Islam di Nusantara
adalah para pedagang muslim yang berdakwah Islam bersamaan
dengan melakukan perdagangan di wilayah ini, maka nucleus
29
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lviii.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta,
Prenada Media, Cetakan ke-2, Oktober 2005), 12. Lebih lanjut dalam buku ini
Azra menjelaskan berdasarkan pada data sejarah lokal d
literatur sejarah
Melayu-Indonesia, AH. Johns menyatakan kecilnya kemungkinan p
pedagang
muslim memainkan peranan terpenting dalam penyebaran Islam di kawasan
Nusantara, melainkan para sufi pengembaralah yang terutama berdakwah Islam
di sana. Menurut Johns, banyak sumber lokal yang mengaitkan pengenalan Islam
ke kawasan ini dengan guru -guru pengembara dengan karakteristik sufi yang
kental. Sebagian mereka dapat mengawini putri-putri bangsawan dan
memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus
aura keilahian atau karisma keagamaan. Setelah Baghdad jatuh ke tangan laskar
Mongol pada 656 H/1258 M, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam
memelihara keutuhan Dunia Muslim dengan menghadapi tantangan
pengepungan kawasan-kawasan kekhalifaan dalam wilayah-wilayah linguistik
Arab, Persia dan Turki. Secara bertahap, tarekat sufi
institusi yang stabil
dan disiplin serta mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang
dan kerajinan tangan yang ikut membentuk masyarakat urban.
30
138
Suhaimi
komunitas-komunitas muslim pun terbentuk, yang pada gilirannya
memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Sebagian mereka
kawin dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkin kannya atau keturunan diri mereka mencapai kekuasaan politik
yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.
Peranan penting para pedagang dalam dakwah Islam di
kawasan Asia Tenggara terus berlanjut, sehingga kawasan itu
menyatu dalam pola budaya hemispheric Islam, Islam saat itu
meliputi seluruh belahan bumi yang setara dengan dimensi “global”
sekarang ini. Ketika itulah bangsa-bangsa Eropa yang di dahului
oleh Spanyol dan Portugis dari Semenanjung Iberia datang ke
Nusantara.31 Mereka mengembara ke seluruh muka bumi setelah
berhasil dengan gerakan reconquista (penaklukan kembali orangorang Iberia atas kaum muslim) dengan tujuan menemukan jalur
perdagangan sendiri langsung ke India dan Timur jauh (khususnya
Cina dan Maluku), sehingga tidak tergantung kepada para
pedagang Muslim Arab, Persi, India dan Cina.
Keserakahan bangsa Portugis dan Spanyol yang menjajah
bangsa-bangsa di Asia Tenggara hanya terhambat oleh perlawanan
sengit dari masyarakat dalam lingkungan peradaban hemispheric
Islam yang sudah mapan. Sejak awal proses islamisasi,
ya
sejak abad ke-13 ke atas, peranan Islam dalam membangun
protonasionalisme di Indonesia sangat penting. Islam telah datang
menyatakan kesetiaan mayoritas penduduk di Indonesia dalam
sistem sosio -politik, kultural, maupun ekonomi.32 Dari abad ke-14
mobilitas ulama di dunia Melayu dan materi kitab yang
produksi menjadi faktor penting bagi tersebarnya karya-karyaIslam Melayu di seluruh Nusantara. Hal ini membangkitkan
perasaan persatuan di antara pembaca yang kemudian menjadi cikal
31
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 14 . Menurutnya dalam buku ini
orang Arab menamakan Semenanjung Iberia di Eropa Barat Daya secara
keseluruhan sebagai Andalusia yang selama lima sampai
abad berada di
bawah kekuasaan Islam. Kaum muslim berhasil membangun ndalusia menjadi
pusat peradaban dunia, khususnya untuk wilayah Barat ( Al-Maghrib ).
32
Andi Faisal Bakti, Nation Building , xxi.
139
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
bakal persatuan Indonesia.33 Pada abad ke -14 inilah Samudra Pasai
menjadi pusat aktivitas Islam dan pertemuan ulama di Nusantara.
Raja Pasai Maulana Malik al-Zahir (1326-1371), sangat gemar
belajar. Dia dikelilingi oleh ulama dari berbagai bangsa, khususnya
ulama Persia. Dia mengangkat Qadi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz
dan Taj al-Din dari Isfahan sebagai penasihat sultan dan anaknya.
Kendati Islam tidak menciptakan kesatuan politik, tapi sejak
abad ke-15, Islam mulai menyediakan pondasi bagi manifestasi
integrasi budaya. Arus aktivitas pedagang dan pengembaraan
ulama serta penggunaan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi
merupakan tulang punggung bagi integrasi budaya itu. Kolonialisme yang datang kemudian bahkan membantu untuk mempertahankan pondasi itu. 34
Ketika
Dinasti
Uthmani
berhasil
menaklukkan
Konstantinopel pada tahun 1453, supremasi politik dan
ltural
Rum (Turki Utsmani) disebarkan ke berbagai Dunia Muslim,
termasuk Nusantara dan Turki Uthmani menutup pintu perdagangan (antara lain dalam rempah -rempah) bagi bangsa-bangsa Barat
yang sangat membutuhkannya.35 Oleh karena itu saat abad ke -16
sampai paruh kedua abad ke-17 terjadi perang memperebutkan
kekuasaan di Kawasan Lautan India antara Portugis melawan
Dinasti Uthmani, kaum Muslim Nusantara banyak berinisiatif
menjalin hubungan politik dan keagamaan serta perdagangan
dengan Dinasti Uthmani.36
Di samping itu, sejak Belanda datang pada abad ke-17 yang
ditandai oleh hadirnya maskapai perdagangan Belanda Verrenidge
Oast Indische Companie (VOC) bulan Maret 1602, ekspansi
kekuasaan Belanda terancam oleh perlawanan Islam lokal yang
33
Andi Faisal Bakti, Nation Building , 8.
Andi Faisal Bakti, Nation Building , 5.
35
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 -1942
(Jakarta, LP3ES, Cetakan kedelapan , Mei 1996), 26.
36
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, 35-50.
34
140
Suhaimi
dipimpin oleh penguasa Indonesia, bangsawan yang masuk Islam
dan ulama fanatik di pedesaan. Dalam bidang sosial-politik mereka
dipimpin para sultan, sedang dalam bidang sosial-keagamaan
mereka dipimpin para ulama.37 Dengan demikian aparat kolonial
Belanda tidak pernah dengan mudah berhubungan dengan Islam
Indonesia. Dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif mengutip ilustrasi
yang ditulis oleh Harry J. Benda dalam bukunya Continuity and
Change in Southeast Asia , bahwa “Sering sekali konsolidasi
ekspansi kekuasaan mereka diancam
oleh pemberontakanpemberontakan lokal yang diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh
penguasa-penguasa Indonesia yang telah mengikuti iman Nabi,
atau, pada tingkat desa, oleh ulama fanatik”. 38 Bahkan Abd alShamad al-Palimbani (1740-1789), ulama besar asal Palembang
mengirim surat-surat dari Mekah kepada penguasa Mataram untuk
melakukan jihad melawan Belanda.39 Di samping itu al-Palimbani
terkenal dengan karyanya Nas}i >hah Al-Muslim wa Tadhkirah AlMumini >n fi > Fad}a>il Al-Jiha>d fi> Sabi>l Alla>h wa
K ara>mah al-Muja>hidi>n fi > Sabi>lilla>h, dalam bahasa Arab
yang menjelaskan wajib bagi kaum Muslim melancarkan perang
suci melawan kaum kafir. Dia menutup karyanya dengan sebuah
doa pendek yang akan membuat kebal orang-orang yang berjihad
tak terkalahkan. 40 Snaouck Hurgronje menyatakan karya AlPalimbani itu merupakan sumber utama berbagai karya mengenai
jihad dalam Perang Aceh yang panjang melawan Belanda,
kumpulan tulisan yang dikenal sebagai Hikayat Prang Sabi yang
berperan penting dalam menunjang semangat juang orang Aceh
berperang melawan Belanda sepanjang tahun 1873 hingga
l
37
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 24 .
Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante
Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta, LP3ES, Cetakan Pertama, Febrauari
1985), 52. Lihat juga Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia ,
(New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1972), 83.
39
Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia
Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 106.
40
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, 359 .
38
141
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
abad ke-20. Azra mencatat bahwa Al-Palimbani adalah salah satu
tokoh neo -sufisme yang secara radikal melakukan pembaruan
tasawuf dari ajaran kepasifan dan penarikan diri kepada aktivisme
pemenuhan kewajiban duniawi seperti jihad melawan bangsa
kafir. 41 Dengan demikian aktivitas ulama menjadi faktor formatif
dalam pembentukan nasionalisme Indonesia karena merekalah
yang menyediakan sarana untuk mengekspresikan kebencian rakyat
terhadap pendudukan asing yang hegemonik. 42 Islam telah menjadi
sebagai dasar ikatan solidaritas dari komunitas-komunitas
pemeluknya, sebelum cita-cita nasionalisme yang telah dirumuskan
sebagai dasar keutuhan bangsa terwujud, maka Islam telah
memberikan dasar cita kesatuan dan anti kolonialisme,
hal
43
yang merupakan landasan perkembangan nasionalisme.
Di antara perang yang terkenal antara umat Islam dan kaum
kolonialis Belanda ialah Perang Paderi (1821-1837), di Sumatera
Barat, Perang Diponegoro (1825 -1830) di Jawa Tengah, dan
Perang Aceh sebagai perang terlama dan terkejam dari tahun 1872
sampai 1921. Berdasarkan fakta inilah, Ibrahim Alfian
pat
bahwa mitos penjajahan Belanda terhadap Indonesia selama 350
tahun harus ditolak karena tidak cukup alasan untuk itu.4 4 Sebab hal
itu hanya berlaku atas sebagian kecil wilayah yang terbatas berada
di daerah -daerah tertentu di pulau Jawa. Di daerah lain, seperti
Aceh, kekuasaan Belanda misalnya hanyalah berlangsung
tahun 1872 sampai tahun 1942.
Sampai dengan pertengahan abad ke-19, pemerintah
kolonial Belanda masih terus abai terhadap pendidikan kaum
pribumi dan menghindarkan diri dari campur tangan yang
berlebihan terhadap urusan -urusan keagamaan kaum pribumi. Hal
41
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, 359 -360.
42
Andi Faisal Bakti, Nation Building , xxi.
43
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia
(Jakarta, LP3ES, Cetakan Kedua, Mei 1996), 234 -235.
44
Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
53.
142
Suhaimi
itu disebabkan antara lain keinginan untuk tetap mempertahankan
perbedaan status superioritas Barat terhadap kaum pribumi dan
kepentingan ekonomi.4 5 Pengetahuan dan pendidikan di Hindia
masih serupa dengan pendidikan di kebanyakan sistem religio politik tradisional di seluruh dunia yang cenderung
disubordinasikan pada yang sakral. Agama menjadi dasar alasan,
tujuan, dan isi dari pendidikan tradisional serta menjadi penyedia
guru-guru dan tempat bagi proses belajar.
Akibat pengaruh politik kaum Liberal dalam berbagai
persoalan tanah jajahan, maka terjadi perubahan sikap
kolonial terhadap pendidikan kaum pribumi di Hindia pada paruh
kedua abad ke-19. Hal itu penting untuk mendukung ekonomipolitik industrialisasi dan birokrasi, meskipun akan mengancam
superioritas bangsa kolonial, karena itu pendidikan yang dibangun
pemerintah kolonial didasarkan pada prinsip segregasi etnik dan
hirarki status.46 Dalam situasi ini, pemerintah Belanda
merencanakan 25.000 fasilitas-fasilitas pendidikan yang bisa
45
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 86.
Atas dasar pasal 6 Garis-Garis Besar Pelaksanaan Hukum untuk
Hindia yang dikeluarkan tahun 1848: Penduduk Hindia diklasifikasikan ke dalam
kategori-kategori yang berbeda. Pertama, orang-orang Eropa dan yang secara
resmi diperlakukan setara dengan orang-orang Eropa-yaitu semua orang pribumi
(Boemipoetra) yang beragama Kristen. Kedua, kaum Boemipoetra dan mereka
yang diperlakukan setara dengan kaum Boemipoetra, yaitu orang-orang Arab,
Moor, Cina, dan semua penganut Muslim serta penganut agama lainnya. Dalam
praktiknya, klasifikasi ini menjadi lebih rumit lagi. erdapat beberapa substratum untuk setiap kategori social. Dalam kelompok kategori yang secara
teoritis dianggap sebagai setara dengan orang Eropa, masih ada tingkatantingkatan hierarki: yaitu mereka yang berdarah Eropa murni berada di tingkatan
teratas, orang-orang Eurasia (Indo ) berada di tengah, dan kaum pribumi
beragama Kristen di lapis bawah. Situasi yang sama juga berlaku pada kelompok
kategori Boemipoetra sesuai dengan kedekatan individu
da symbol-simbol
kekauasan dan otoritas politik. Hierarki itu berkisar ari mkaum terpandang
(priyayi kelas atas, bangsawan); para pegawai pada keluarga-keluarga Eropa dan
Boemipoetra yang terkemuka; kemudian priyayi-priyayi kecil ataupun para
pegawai pemerintah yang rendahan dan keluarga-keluarga kaya, dan yang
terakhir para petani kecil, pedagang kecil, dan orang-orang biasa lainnya.
Seperti dikutip oleh Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 89.
143
46
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
dijangkau setiap penduduk. Untuk itu sekolah -sekolah pelatihan
bagi para guru didirikan di berbagai wilayah, seperti di Sala (1852),
Bukittinggi (1856), Tanahbatu (1862), Bandung (1866), Tondano
(1873), ambon (1874), Probolinggo (1875), Banjarmasin 875),
Makassar (1876), dan Padangsidempuan (1879). 4 7
Untuk melayani kelompok status yang paling tinggi
diadakan pendidikan dasar bergaya Eropa yang dikenal dengan
Europeesche Lagere School (ELS) yang ditempuh selama tujuh
tahun. Seiring dengan perubahan kebijakan kolonial sejak tahun
1864, sekolah ini terbuka bagi kalangan yang sangat terbatas kaum
pribumi dan setalah 1891, ELS juga ditawarkan kepada orang kaya
“yang memenuhi syarat”.48
Tahun 1899, CT Van Deventer menghasilkan tulisan yang
terkenal berjudul “Hutang Budi” yang menjelaskan bahwa
kekosongan kas negeri Belanda sebagai akibat Perang Diponegoro
dan Perang Kemerdekaan Belgia, telah diisi oleh dana yang diambil
dari orang Hindia, karena itu sudah sepatutnya budi orang Hindia
ini dibayarkan kembali. 49 Dan pada bulan September 1901, Ratu
Kerajaan Belanda Wilhelmina dalam pidato tahunannya berkata
tentang suatu “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral
untuk Hindia Belanda”. Sejak saat itu ditetapkan berla
orientasi baru dalam perlakuan kolonial terhadap Hindia yang
dikenal sebagai “Politik Etis”. 50 Pada tahun 1908, Van Deventer
mengecam pemerintah kolonial dalam tulisannya pada majalah De
Gids, bahwa sampai waktu terakhir, pemerintah kolonial tidak
pernah memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan
akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Kebidupan rakyat sangat
47
Andi Faisal Bakti, Nation Building , 125.
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 90.
49
Syafrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme
Indonesia 1905-1945 (Jakarta, Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia, Cetakan
Pertama, Januari 2008), 25. Bandingkan dengan Andi Faisla Bakti, Nation
Building , 128.
50
Syafrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme
Indonesia 1905-1945 , 26.
48
144
Suhaimi
sengsara, oleh karena itu “hutang budi” itu harus dibayar dalam
bentuk peningkatan kesejahteraan melalui tiga sila sebagai
semboyannya yaitu “irigasi, edukasi, dan emigrasi”. 51
Pada pelaksanaan ketiga program irigasi, edukasi dan
emigrasi, menurut Van Deventer yang dikenal sebagai bapak
gerakan etis, pendidikan ternyata dianggap sebagai hal yang paling
essensial, karena kesejahteraan kaum pribumi sulit dicapai tanpa
adanya orang pribumi yang cukup terlatih untuk bisa menjalankan
tugas kerjanya. Dia memimpikan Hindia lahir kembali melalui
perbaikan pendidikan.52 Sedangkan di mata Abendanon sebagai
pendukung gerakan etis, pendidikan merupakan pengikat
persahabatan dan kepercayaan yang akan bisa menyatukan semua
orang yang melangkah di jalan menuju kemajuan.
Kebijakan politik etis berdampak juga perlakuan baru
pemerintah kolonial Belanda terhadap Islam, terutama akibat
pengaruh Christiaan Snouck Hurgronje yang ditunjuk sebagai
seorang penasihat Kantor Urusan Pribumi dan Arab. Sehu ngan
dengan itu, dia merekomendasikan kerangka kerja baru kebijakan
terhadap Islam yang disebut “splitsingstheorie’ yang membagi
Islam menjadi dua bagian: Pertama, Islam yang bersifat keagamaan
dan Kedua, Islam yang bersifat politik. Pemerintah kolonial harus
menghormati dimensi dunia kehidupan Muslim yang pertama, tapi
tidak boleh menoleransi yang kedua.53 Berdasarkan rekomendasi
inilah pemerintah kolonial melakukan reorientasi polit k dan
penyempurnaan taktik militernya terhadap Hindia yang pada
akhirnya berhasil memadamkan Perang Aceh.5 4
Snouck berpendapat juga pentingnya menciptakan para elit
Hindia baru yang bisa merawat garis-garis kebijakan “asosiasi”
51
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah
Pergerakan Nasional, Jilid II (Jakarta, Gramedia, Cetakan I, 1993), 32.
52
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 81.
53
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 82.
54
Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
55. Lihat juga Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia (New
Haven, Yale University southeast Asia Studies, 1972), 85.
145
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
(association policy), maka dia merekomendasikan agar pemerintah
kolonial mempromosikan organisasi pendidikan berskala
di
atas landasan nilai-nilai universal dan bersifat netral secara
keagamaan sehingga bisa “mengemansipasi” elit baru dari
keterikatan agamanya.55 Jadi “mengemansipasi” dalam konteks ini
berarti menjauhkan elit baru dari ajaran Islam. Dengan demikian,
proses kelahiran kesadaran nasional Hindia akan dipandu melalui
kerja sama dan arahan pihak Belanda, dan tidak diarahkan oleh
gerakan Pan -Islamisme yang membahayakan pemerintah kolonial
Belanda secara politik.
Meskipun kebijakan politik etis dalam pendidikan bertolak
pada pertimbangan kemanusiaan seperti yang dimaksudkan Van
Deventer, pelaksanaannya justru mempertjam dan memperb
stratifikasi sosial masyarakat Nusantara, karena pemerintah
kolonial tetap mempertahankan kebijakan diskriminatifnya dalam
sistem pendidikan formal, 5 6 maka selain sekolah ELS untuk orang
Eropa, Hollandsch Chineesche School (HCS) didirikan untuk
keturunan Cina, sedang bagi keturunan Arab disediakan
Hollandsch Arabische School (HAS). Untuk kaum elit tradisional
pribumi diselenggarakan Hollandsch -Indlansche School (HIS)
yang merupakan kelanjutan “Sekolah (Pribumi) Kelas Satu”
(Eerste Klasse School) Dan untuk rakyat umum cukup dengan
“Sekolah Desa” atau “Sekolah Rakyat” (Volksschool) yang
merupakan kelanjutan “Sekolah (Pribumi) Kelas Dua” (Tweede
Klasse School).
Pemerintah kolonial menyediakan pendidikan dasar umum
lanjutan, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs).
Sekolah lanjutan atas terbagi antara pendidikan umum AMS
(Algemene Middelbare School) dan pendidikan khusus dalam
bidang keahlian tertentu seperti HBS (Hogere Burgelijke School),
OSVIA (Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren ) yang
menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negeri. Pada t
55
56
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 83.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxi.
146
Suhaimi
perguruan tinggi, disediakan beberapa jenis pendidikan keahlian,
yaitu THS (Technise Hoge School) bidang teknologi di Bandung,
bidang kedokteran GHS (Geneeskundige Hoge School) di Batavia
dan bidang hukum, ekonomi, ilmu -ilmu sosial dan politik yaitu
RHS (Rechts Hoge School) di Jakarta Pusat. Bagi lulusan jenis
Sekolah Rakyat, semua pintu pendidikan lanjutan tertutup, sedang
pendidikan menengah dan tinggi semua dapat dimasuki hanya oleh
anak-anak Eropa, Timur Asing dan Pribumi Priyayi. Lebih dar itu,
para anggota masyarakat lingkungan pondok pesantren pimpinan
para ulama, bukan saja hak mereka diingkari, bahkan mereka
sendiri menyatakan pendidikan Belanda itu semuanya haram.57
Pada umumnya dalam pondok pesantren itu terasa sekali
pengucilan diri dari sistem kolonial. Para ulama pimpinan pondok
pesantren menyikapi ajakan pemerintah kolonial untuk ikut serta
dalam “peradaban modern” dengan sikap berdasarkan hadits,
“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kaum
(Man tashabbaha bi qawmin fa huwa minhum). Maka meniru
“kaum” Belanda dengan, misalnya belajar ilmu pengetahuan
modern (dan hurup Latin), memakai celana dan dasi, membuat
yang bersangkutan termasuk “kaum” Belanda yang “kafir” itu.5 8
Sikap ini telah menimbulkan semacam “eskapisme dan
pengunduran diri” dari sebagian ummat Islam dari daerah urban ke
pedalaman. Di daerah Pedalaman mereka mendirikan kubu -kubu
pendidikan baru melancarkan perlawanan kultural keagamaan
terhadap nilai-nilai dan gagasan yang bercorak asing.5 9 Sikap ini
disebabkan juga oleh perasaan anti Islam dari sebagian orang
Eropa, sehingga Islam berfungsi sebagai senjata ideologis yang
sangat kuat untuk melawan penjajah Barat. Kaum santri, para kiai,
dan dunia pesantren berfungsi sebagai “ reservoir” terpenting
kesadaran kebangsaan dan patriotisme. Mereka merupakan
tonggak-tonggak fondasi rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang
57
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 29 -31.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxiii.
59
Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
58
57.
147
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
tak tergoyahkan dan di atas fondasi itu kelak
nasionalisme dan patriotisme Indonesia modern.60
ditegakkan
Berdasarkan hal itu, menurut NCM, sama sekali tidaklah
aneh bahwa gerakan nasionalisme modern di Indonesia dengan
penampilan kerakyatan yang tegas dimulai oleh kalangan santri,
dengan pembentukan Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian
berkembang menjadi Sarikat Islam (SI). 61 Sedangkan Budi Utomo,
sekalipun cukup banyak jasanya, adalah terlalu elitis
perkumpulan kaum priyayi Jawa yang memperoleh pendidikan
Barat.
Bibit-bibit nasionalisme modern di Indonesia juga muncul
di kalangan penduduk pribumi yang mengikuti pendidikan “dokter
Jawa” pada STOVIA (School tot Opleiding voor Indlandse Artsen )
di Jakarta dan NIAS (Nederlands Indise Artsen School) Sekolah
Dokter Hindia Belanda di Surabaya, sebagai “akibat tak sengaja”
(unintended consequence) dari pendidikan modern hasil kebijakan
“politik Etis” pemerintah kolonial Belanda, berkat kepeloporan
Dokter Wahidin Sudiro Husodo dan Dokter Sutomo sebagai
intelektual62 yang mendirikan Budi Utomo pada tahun 1908. 6 3 BU
60
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxiv.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxiv.
62
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung, Mizan, Cetakan IV, Maret,
1999 ), 66. Lebih lanjut dia menguraikan arti intelektual baik sebagai golongan
terpelajar sekolahan atau bukan (termasuk yang drop outs) yang berperan dalam
masyarakat tidak harus berkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang
dikuasai, mereka berperan sebagai kritikus sosial, bersikap emansipatoris atau
liberatif, berpola pikir hermeneutis dan bersikap politis, meskipun belum pasti
mereka politikus. Bandingkan dengan Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan
Kuasa , 16, menyatakan bahwa arti “intelektual” dan “intelegensia” dapat
dilartikan dengan 2 pendekatan yaitu pertama pendekata formalistik yang
dipegang orang Eropa Barat dan Amerika, mereka mengide
n intelegensia
dengan intelektual menunjuk pada seorang individu atau kelompok individu
yang berurusan dengan dunia ide-ide, dan menjalankan peran sosialnya sebagai
para pemikir ide-ide, kedua pendekatan hitsoris yang diusung sejarawan Eropa
Timur mengartikannya sebagai sebuah fenomena yang unik dan partikular.
61
148
Suhaimi
kemudian dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional. 64 Pada
masa selanjutnya, nasionalisme itu terus bergerak maju, melampaui
batas-batas etnik dan berkembang menjadi nasionalisme Hindia.
Hal ini bisa dilihat dari judul-judul terbitan berkala saat itu, seperti
Hindia Bergerak, Sinar Hindia, Oetoesan Hindia, Persatoean
Hindia, dan sebagainya.65
Dalam perkembangannya kemudian pada tahun 1912, para
pemimpin BU mencantumkan agenda “memajukan Islam” sebagai
salah satu tujuan dalam perumusan programnya dan setahun
sebelumnya BU menyambut hangat berdirinya SI, bahkan terjadi
kepemimpinan dan keanggotaan rangkap antara anggota BU dan
SI. Hal yang sama tercermin pula pada saat K.H.A. Dahlan dengan
dorongan orang-orang BU pada tahun 1912 mendirikan
Muhammadiyah.66
Keduanya tidak dapat dipertukarkan karena masing-masing memiliki perjalanan
historis dan konsekuensi-konsekuensi sosialnya sendiri-sendiri.
63
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 33.
64
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia,
20-21. Dalam uraian tentang politik etis, Abdullah mencatat bahwa kebijakan itu
secara historis berhubungan pula dengan saran yang dikemukakan oleh Snouck
Hurgronje tentang “politik Islam” terhadap pemerintah kolonial. Snouck
mengidentifikasi pola perbuatan keagamaan Islam dengan membedakan antara
“ibadah”, “perbuatan sosial” dan “politik” sebagai alat dalam merumuskan
politik Islamnya. Menurutnya yang pertama”jika perlu dibantu”, dan yang kedua
“jangan dihalangi”, tetapi yang ketiga, “politik”, harus disikat habis. Karena
Islam bagi rakyat Indonesia telah menjadi simbol dari kebangsaan”, maka
ketika anak negeri merasa haknya telah diinjak misalny mereka akan
menemukan pemecahan dalam ajaran Islam, mereka akan ber
, berbuat dan
memberontak di bawah panji-panji Islam. Jadi menurut Abdullah politik etis
pemerintah kolonial bertujuan pula melahirkan pemimpin masyarakat alternatif
yang dapat menggantikan peran yang selama ini dijalankan oleh para ulama
ditengah masyarakat.
65
Hilman Farid, “Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa,
Politik, dan Nasionalisme Indonesia,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy
Ibrahim, ed. Bahasa dan Kekuasaan , 109.
66
Deliar Noer, Membincangkan Tokoh -Tokoh Bangsa (Bandung,
Mizan, Cetakan I, September 2001), 21.
149
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Islam di Indonesia secara historis telah melahirkan
organisasi sosial ekonomi bercorak modern dengan nama
didirikan oleh Haji Samanhudi (1868-1956) di Solo pada tanggal
11 Nopember tahun 1911. Ketika SDI berganti nama menjadi SI
pada tanggal 10 September 1912 dan dipimpin oleh Haji Oemar
Said Tjokroaminoto (1882-1934), dia menjadikan Islam sebagai
asas perjuangan dalam bentuk ideologi politik, maka SI juga telah
membawa kebangkitan nasional yang bersifat kerakyatan. 6 7 Saat
awal perkembangannya, SI beranggotakan para saudagar Islam
kemudian menginjak dua tahun pertama para petani dan b h
masuk menjadi anggotanya dengan menjadikan Islam sebagai dasar
organisasi, sehingga SI menjadi bersifat populis dan memiliki
identitas nasional yang sangat jelas. Tahun 1915 SI
menyelenggarakan konggres di Surabaya, saat itu Haji Agus Salim
(1884 -1954) dan Haji Abdullah Ahmad dan K.H.A. Dahlan
bergabung dengan SI. H. Agus Salim
bersama Tjokroaminoto
kemudian menjadi pemimpin terkemuka SI, sedangkan H.
Abdullah Ahmad dan K.H.A. Dahlan dikenal Sebagai penasehat
agama SI yang saat itu telah mempunyai lebih dari limapuluh
cabang lokal. Hal ini menjadi ancaman kekuasaan kolonial
Belanda, maka pengakuan pemerintah terhadap SI diberikan hanya
untuk cabang-cabang lokal dan bukan untuk organisasi secara
keseluruhan yang kemudian mendorong Tjokroaminoto dan
pemimpin SI lainnya untuk membentuk Central Sarekat Islam
67
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa, 43. Hal ini sama dengan yang ditulis oleh Taufik Abdullah, Islam dan
Masyarakat, 1-6, bahwa dilihat dari pengakuan hukum yang diberikan oleh
pemerintah penjajah Belanda kepada masing-masing cabang SI, bukan kepada
organisasi SI secara keseluruhan, maka sejak berdirinya SI dapat dianggap
sebagai awal dari sejarah Partai Politik Islam di Indonesia. Sedangkan menurut
catatan Deliar Noer SI mulai menjalankan sikap politik nonkooperatif terhadap
pemerintahan Belanda tepatnya pada tahun 1924. Dalam t
a ini Deliar
Noer juga mencatat bahwa setelah tahun 1936 dengan wafatnya Tjokroaminoto,
H. Agus Salim pun kemudian dipecat dari SI dan sejak saat itu peranan SI dalam
politik di Indonesia semakin surut. Lihat Deliar Noer, Membincangkan TokohTokoh Bangsa , 289.
150
Suhaimi
(CSI) pada bulan Pebruari 1915 dan mendapat pengakuan resmi
pada bulan Maret 1916. 6 8
SI merumuskan lebih tegas karakter politiknya dalam
sebuah Deklarasi Prinsip dan Program Kerja pada acara Kongres
keduanya tahun 1917 sbb.:
“Kepercayaan partai pada Islam sebagai penyebar ide-ide
demokrasi serta ‘agama par excellence bagi pendidikan
spiritual rakyat. Partai menganggap pembangunan
intelektual serta moral individual adalah penting untuk
memfungsikan hak-hak masyarakat dengan tepat.
Pemerintah negara harus tidak menyampuri masalah masalah keagamaan dan harus memperlakukan seluruh
agama pada dasar yang sama. Partai menuntut peningkatan
partisipasi rakyat dalam politik agar memajukan
‘pemerintahan’ sendiri. SI menolak dominasi rasial dan
menuntut pemerintah untuk melindungi persamaan hak dan
kemerdekaan bagi seluruih warga negara dengan dukungan
penuh bagi si lemah dan si miskin…. 69
Sedangkan BU lebih dari satu dasawarsa kemudian masih
membatasi diri pada dasar kejawaan dengan dipimpin oleh anggota
golongan tua. Anggota golongan muda BU seperti Dr. Satiman
Wiryosanjoyo, Kadarman dan Sunardi kemudian pada tahun 1912
mendirikan Tri Koro Dharmo yang berkembang tahun 1919
menjadi Jong Java dan diikuti dengan berdirinya organisasiorganisasi daerah serupa yang pada tahun 1926 bergabung menjadi
Jong Indonesia.
Dari anggota Jong Indonesia itulah kemudian tercatat
seorang pemuda bernama Syamsurizal atas anjuran Haji Agus
Salim dari pimpinan SI mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB)
dengan tujuan membicarakan pandangan Islam terhadap berbagai
68
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons
Intelektual Muslim Idonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993)
(Yogyakarta, Tiara Wacana, Cetakan I, April 1999 ), 28.
69
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna , 29.
151
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
masalah yang menjadi perhatian kaum terpelajar secara lmiah,
misalnya bagaimana hubungan Islam dengan pandangan -dunia,
pikiran merdeka, cita-cita persatuan, kebangsaan dan sosialisme
serta masalah kedudukan wanita dan perkembangan Islam di luar
negeri. Namun pada tahun 1934 salah seorang anggota JIB
bernama Yusuf Wibisono melakukan oposisi terhadap PB JIB di
bawah pimpinan Kasman Singodimejo karena dinilai telah keluar
dari tujuan pendirian JIB dan akhirnya pada saat yang sama
bersama Mohammad Roem, Sudiman Kartohadiprojo, Suwahyo,
Effendy mendirikan Studenten Islam Studieclub (SIS) dengan
tujuan: Pertama, mempelajari Islam pada khususnya dan agama
lain pada umumnya bukan saja sebagai suatu sistem teologi,
melainkan sebagai suatu kebudayaan yang lengkap. Kedua,
membangkitkan minat untuk mempelajari Islam kepada golongan
cendikiawan khususnya dan kepada lapisan rakyat pada
umumnya.70 Pada perkembangannya SIS berhasil menghimpun
anggota dari mahasiswa Islam baik mereka yang berlatarbelakang
keluarga dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan
pada gilirannya merekalah yang menyumbangkan pengetahuan
mereka tentang Islam, seperti Bachrum Rangkuti dan Mohammad
Rasjidi serta Mohammad Natsir, maupun mereka yang sadar akan
pengetahuan Islam mereka yang terbatas dan tertarik pada segi
ruhaniah yang dapat digali dari Islam, seperti Artati Marzuki,
Widagdo dan Burhanuddin Harahap. Bahkan kelompok terbanyak
anggota SIS adalah mereka yang berlatarbelakang pendidikan
sekolah-sekolah Belanda yang kemudian selain mereka belajar
agama di SIS, mereka juga secara aktif berperan mentransformasikan pengetahuan mereka yang terbatas dalam fiqh,
ushuluddin, tasawwuf serta tarikh Islam ke dalam pemik
idang
politik, ekonomi, kebudayaan dan bidang-bidang pengetahuan
umum lainnya. Dari JIB dan SIS-lah kelak melahirkan banyak
kelompok intelektual Masyumi.71
70
M. Dawam Rahardjo, “Peranan Kaum Terpelajar Muslim dan
Sejarah,” dalam Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa , 49-51.
71
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 34.
152
Suhaimi
Dasawarsa tahun 1920-an sampai dengan awal 1930 -an
dalam sejarah modern Indonesia merupakan “dasawarsa ideologi”
saat berbagai pengaruh ideologi terhadap pertumbuhan keagamaan
dan perjuangan melawan kekuasaan kolonial dirumuskan dan
berbagai strategi perjuangan diperdebatkan.72 Salah satunya adalah
perdebatan tentang masalah apa dasar perjuangan bangsa Indonesia
melawan kekuasaan kolonial?
Dasar perjuangan melawan kekuasaan kolonial adalah
“nasionalisme Indonesia”, kata mereka yang menamakan diri
sebagai golongan “kebangsaan”, tapi apa makna nasional
itu?
Apakah penghormatan kepada “Ibu Pertiwi” itu tidak melampaui
ketakwaan kepada Allah? Tanya Haji Agus Salim. Kita tak
chauvinis, kata Soekarno, kebangsaan kita bertolak dar harkat
kemanusiaan.73 Salim mengingatkan bahwa jika jiwa nasionalisme
tidak mempunyai dasar-dasar agama, maka ia dapat berkembang
menjadi ideologi agresif, sebagaimana di Eropa telah menimbulkan
ekspansi imperealisme dan kolonialisme. Bagi Agus Salim, Islam
tidak menafikan adanya cinta tanah air tetapi yang perlu
diperhatikan adalah niat seseorang untuk mencintai tersebut.
Teramat penting bagi umat Islam untuk berniat karena A lah
semata, sehingga mencintai tanah air pun dibangun atas cinta
terhadap Allah, bukan segala benda dan rupa dunia. Karena itu
“cinta tanah air, agama,” didasarkan karena Allah ta’ala dan
menurut perintah Allah semata-mata.74 Kritik tersebut dijawab oleh
Soekarno dengan membedakan nasionalisme Indonesia dengan
nasionalisme Barat: “ Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme,
yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan
menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti. Nas
isme
kita adalah nasionalisme, yang di dalam kelebaran dan keleluasaan
72
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah
Indonesia , 15.
73
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia ,
15.
74
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam (Jakarta, Teraju, Cetakan I,
2002), 67.
153
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
udara, yang member tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk
hidupnya segala yang hidup. Nasionalisme kita ialah nasionalisme
ketimuran, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme kebaratan,…”. 75
Sekitar saat-saat itulah menguat keinginan menggunakan
istilah “Indonesia” sebagai nama pengenal bagi agregat kebangsaan
yang sedang tumbuh. Pada tahun 1917, para pelajar dan
di Negeri Belanda yang berasal dari kawasan Nusantara
menggunakan nama “Indonesia” untuk organisasi mereka,
Indonesisch Verbond van Studerenden .76 Ki Hajar Dewantara
mendirikan Indonesisch Persbureau (kantor berita Indonesia) di
Den Haag pada tahun 1918 dan Mohammad Hatta
menggunakannya dalam pleidooi “Indonesia Merdeka” (Indonesie
Vrij) pada Maret 1928 di Belanda. Kemudian nama “Indonesia”
dikukuhkan dalam peristiwa yang sangat menentukan bagi sejarah
bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dikobarkan
lagi oleh Soekarno (1901-1970) dalam pidato “Indonesia
Menggugat” (Indonesie Klag Aan ), tahun 1930. 77 Dengan demikian
liberalisasi dalam bidang pendidikan telah berhasil melahirkan
kelas terdidik baru dan kepemimpinan baru yang mempunyai peran
sentral dalam kelahiran dan pertumbuhan awal protonasionalisme
yang pada gilirannya menjadi nasionalisme yang leb ih sempurna.78
Kelahiran Indonesia sebagai satu bangsa yang utuh sejak
awal menghadapi tantangan kenyataan banyaknya suku, ba
dan pola budaya yang sangat beraneka ragam dan terpencar di
seluruh pelosok wilayahnya. Hal ini dijawab dengan tekad bersama
mengangkat bahasa Melayu logat Riau Kepulauan (dengan
Penyengat sebagai pusat bahasa dan budayanya) sebagai
persatuan.79 Kaum terpelajarlah yang mengambil inisiatif menjadi75
Deliar Noer, Pengantar Kepemikiran Politik (Jakarta, Rajawali,
Cetakan I, 1983), 169-170.
76
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 34 -35.
77
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 35.
78
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana
dan Kekuasaan , 109.
79
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 37.
154
Suhaimi
kan bahasa Melayu sebagai bahasa “nasional” Tanah Air Indonesia–dalam lingkup geografis kekuasaan Belanda–sebagai batasbatas wilayah nasionalisme. Demikian pula berbagai suku bangsa
di kepulauan Nusantara terikat dengan pengalaman sejarah yang
sama sebagai “bangsa Indonesia”.80
Di samping itu kedatangan dan perkembangan Islam di
Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai kelompok etnis dalam
pandangan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek
penting–yang bahkan menjadi dasar nasionalisme–khususnya
bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi
bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai kelompok etnis
di Indonesia.81 Dengan penggarapan lebih lanjut oleh para
cendikiawan modern dari Sumatera, khususnya Sumatera Barat,
bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia modern.82
B.Nasionalisme di Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang
Masa pendudukan Jepang yang singkat (1940-1945)
menjadi periode katalis dalam mengakselerasi pertumbuhan
nasionalisme di Asia Tenggara. Jepang dengan sengaja mendorong
pertumbuhan nasionalisme lokal di Asia Tenggara sebaga bagian
kebijaksanaan anti-Baratnya. Dengan demikian, nasionalisme di
Asia Tenggara segera memasuki fase kedua yang sangat sarat
dengan muatan politis. Tema pokoknya adalah apa yang disebut
pemimpin nasionalis, semacam Soekarno, sebagai “ nation and
character building ”, yakni memupuk keutuhan dan integritas
negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana
dijanjikan Jepang.83 Dalam konteks ini, pembinaan nasionalisme
80
Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia
Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 10 9.
81
Azyumardi Azra, “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia
Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 109.
82
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 38.
83
Azyumardi Azra, “ Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia
Tenggara”, dalam Renai-sans Islam Asia Tenggara , 109 .
155
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
sesuai dengan kebijakan Jepang, bertujuan mencegah dengan cara
apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa.
Akibat pendudukan Jepang terhadap mereka yang
berpendidikan Barat sangat mengejutkan. Pihak pemerintah militer
Jepang menutup semua sekolah dan baru secara berangsur-angsur
dibuka kembali. Bahasa Belanda dilarang dipakai sebaga bahasa
pengantar di sekolah tipe apapun, sementara untuk menguasai
bahasa Jepang butuh waktu, bahasa Indonesia lalu jadi
pengantar pengajaran.84
Bagi para pelajar Indonesia, pengalaman menggunakan
bahasa Indonesia dan komunikasi dengan guru -guru Indonesia,
dileburnya beragam tipe sekolah (terutama pada level menengah)
menjadi sistem yang tunggal, penggunaan seragam sekolah,
upacara pagi dan baris-berbaris, dan praktek para militer lainnya
membangkitkan rasa solidaritas kolektif baru yang memperkukuh
nasionalisme Indonesia.85
Dua hari setelah pasukan Jepang menyerah kepada pasukan
Sekutu, pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia bawah
pimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta menyatakan
kemerdekaannya. Sebuah bangsa baru benar-benar lahir ke dunia,
bangsa Indonesia yang tidak mendasarkan eksistensinya pada
rasialisme, etnisisme, sektarianisme dan lain-lain pertimbangan
ekslusif, tetapi kepada cita-cita bersama menciptakan maslahat
umum dan kesejahteraan sosial. 8 6 Jadi, tegasnya dan singkatnya,
ummat Islam berhasil menjalankan fungsinya sebagai pangkal tolak
dan pengembang kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, dan
perlawanan kepada penjajah.87 Islam mempunyai pengaruh khusus
terhadap nasionalisme Indonesia karena ia merupakan penggerak
utama dan bagian essensial yang permanen, bahkan peranan Islam
tampaknya merupakan salah satu bentuk modernisasi dan
84
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 331.
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 331.
86
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 36.
87
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxv.
85
156
Suhaimi
muslim modernis menjadi kekuatan sosial-politik yang penting
dalam nasionalisme Indonesia.8 8 Hal ini pun dapat ditemukan pada
organisasi Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), dan
Himpunan Mahasiswa Islam (1947) yang sangat konsen terhadap
cita-cita Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.89
Berbeda dengan nasionalisme “kuna” yang merupakan
ekstensi tribalisme yang sempit dan sewenang-wenang terhadap
suku lain. Nasionalisme modern adalah faham tentang hak bagi
suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu,
anti-imperialisme, sehingga konsisten dengan prinsip -prinsip
demokrasi.90 Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan
berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku -suku dan
kelompok-kelompok etnis yang terpisah -pisah di Indonesia. Oleh
karena itu nasionalisme merupakan unsur esensial bagi
pembangunan bangsa (nation building) untuk Indonesia,
h
bangsa dan negara dengan berbagai macam unsur suku dan etnis
yang berbeda secara sosial-kultural.
Dalam bahasa Arab, bangsa sering diungkapkan dengan
istilah ummatun , seperti “ United Nations”, “Perserikatan BangsaBangsa” terjemahnya dalam bahasa Arab ialah “ al-Umam alMutt ahidah”, “Umat-umat Bersatu”. Jadi “negara bangsa” adalah
negara untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan
bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan
transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan
kesepakatan itu. 91 Tujuannya ialah mewujudkan maslahat umum.
Korelasi langsungnya adalah bentuk pemerintahan republik dan
demokrasi, egaliter, partisipasi terhadap negara itu terbuka dan
tidak ada diskriminasi, tidak ada pembedaan golongan seperti
88
Andi Faisal Bakti, Nation Building , xxvi-xxvii.
Komaruddin Hidayat, “Nasionalisme Religius: Kesadaran
aat”
dalam Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta,
Paramadina, Cetakan Pertama, September 1988), 51.
90
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 32.
91
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 43.
89
157
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
antara bangsawan dan bukan bangsawan, ataupun perbedaan secara
horizontal antar-suku.92
Adakah contoh kontrak sosial secara transaksional terbuka
untuk mewujudkan kemaslahatan umum? Menurut NCM
contohnya adalah Bay‘at ‘Aq abah9 3 yang terjadi antar Nabi
Muhammad saw dan para utusan penduduk kota Yathrib. Sebab
makna bay‘at berasal dari satu makna dengan perkataan bay‘u ,
yaitu “jual-beli”. Hubungan yang bersifat transaksional-kontraktual
lewat “perjanjian” (‘ahd ) dan “jual-beli itu adalah sifat hubungan
antara Allah dan manusia yang diajarkan oleh semua agama dalam
kitab suci, khususnya Torat, Injil dan Qur’an.94 Peristiwa Bay‘at
‘Aqabah kemudian mendorong Nabi berhijrah ke Yathrib beberapa
bulan kemudian. Hal itu tersurat dalam wahyu al-Qur’an yang
memuji mereka yang ikut berhijrah. 95
92
Nurcholish Madjid, “Justru yang Saya Lakukan, Itulah yang
Dikehendaki Natsir”, Wawancara Majalah Panjimas, Juni 2003 No. 13 Tahun I,
dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, ed. Begawan Jadi Presiden Cak
Nur Menuju Istana (Jakarta, K PP Kelompok Paramadina, Cetakan I, Agustus
2003), 207.
93
B aya‘t ‘Aq abah adalah “fakta persekutuan” yang berisikan kontrak
kesepakatan antar Nabi Muhammad saw dan sekelompok orang Arab (suku ‘Aus
dan suku Khazraj) kota Yathrib. Dalam B ay‘at ‘Aq abah Pertama tahun 621 M,
mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, akan
meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan menaati Rasulullah dalam segala
hal yang benar. Sedangkan pada B ay‘at ‘Aq abah Kedua tahun 622 M, mereka
berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka dan
akan menaati beliau sebagai pemimpin mereka. Nabi juga dalam kesepakatan ini
berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang maupun untuk
perdamaian. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, T a>rikh al-Isla>m, Jilid I, (Kairo, AlMaktabah al-Nahdat al-Mis}riyah, 1979), 95 -97.
94
Dengan bay‘at di ‘Aqabah itu, Nabi memperoleh jaminan keamanan
dan keselamatan diri beliau dan kaum beriman nanti di
Yathrib setelah
hijrah, dan penduduk kota Yathrib memperoleh jaminan kepemimpinan Nabi
yang adil dan bijaksana untuk menyatukan seluruh penduduk Yathrib, khususnya
antara klan Aws dan klan Khazraj yang bermusuhan. Nabi menjanjikan untuk
berperan sebagai Pembina konsensus (consensus builders) di Yathrib, selaku
pemersatu dan juru damai antara pihak-pihak yang bermusuhan.
95
QS Al-Baqarah (2): 218 dan QS Al-Nahl (16): 41, 110.
158
Suhaimi
Setelah menetap di Yathrib, Nabi Muhammad saw
mengganti nama Yathrib menjadi al-M adi >nah, artinya kota,
secara leksikal kata mad >inah antara lain berasal dari kata kerja
d ana>-yad>inu , tunduk-patuh,96 menjadi madyinah, yaitu
masyarakat yang tunduk-patuh kepada hukum Tuhan, dengan
konsekuensi tunduk-patuh kepada hukum dan aturan yang
diajarkan Tuhan a.l. kewajiban untuk tunduk-patuh kepada
kesepakatan dan perjanjian kontraktual yang sah yang tidak
melanggar ajaran Tuhan .97
Pernyataan kontrak atas dasar penyatuan seluruh kekuatan
masyrakat menjadi bangsa yang satu (ummah wa>hidah) dalam
bingkai pengertian nation state termaksud di atas itu seperti
tercermin dalam Piagam Madinah yang menyatakan antara in
kontrak tanpa membeda-bedakan antara kelompok keagamaan yang
ada pada pasal 25 misalnya, bahwa kaum Yahudi dari Bani> ‘Awf
adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kebebasan ini
berlaku juga bagi sekutu -sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali
bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarganya.98 Di Madinah saat itu paling tidak terdapat empat
kelompok, yakni penganut paganisme (penyembah berhala),
kelompok pengikut agama Yahudi, kelompok Nasrani dan
kelompok Muslim yang terdiri dari golongan Ansar (penduduk asli)
dan Muhajirin (para pendatang).
Selain memuat prinsip kebebasan beragama, Piagam
Madinah juga mengatur hubungan antarpemeluk agama di kota
Madinah. Hubungan -hubungan yang berkaitan dengan soal
pertahanan dan keamanan, masalah belanja peperangan, dan bidang
kehidupan sosial seperti terlihat dalam pasal-pasal berikut. Pasal 37
menjelaskan bahwa: orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi
96
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 427.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 45.
98
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Kelima, September 2002), 83.
97
159
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
perlu bekerjasama dan saling menolong dalam menghadapi musuh.
Pasal 44 berbunyi: Semua warga harus saling bahu -membahu
dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan rhadap
Yathrib. 99
Pada pasal 24 dinyatakan bahwa: kedua pihak kaum
Muslim dan Yahudi bekerjasama dalam menanggung biaya apabila
mereka melakukan perang bersama. Terakhir pada pasal 38
menyebutkan: seseorang tidak dipandang berdosa karena
sa
sekutunya, dan orang yang teraniyaya akan mendapatkan
pembelaan. Ketentuan -ketentuan yang digariskan dalam piagam
tersebut bermakna strategis, terutama dalam upaya konsolidasi dan
kerjasama antar golongan dalam mengantisipasi berbagai ancaman
yang mungkin timbul.100
Bagi NCM, Jiwa Piagam Madinah sepenuhnya sejalan
dengan penegasan Nabi Muhammad saw bahwa agama semua nabi
pada prinsipnya adalah sama. Prinsip itu dijelaskan juga dalam alQur’an bahwa Allah mensyariatkan agama yang sama untuk semua
nabi, seperti Nabi-nabi Nuh dan Muhammad dan telah disyariatkan
kepada Nabi-nabi Ibrahim, Musa dan Isa.101 Dasar pandangannya
tentang hubungan Islam dan pluralisme berpijak pada semangat
humanitas dan universalitas Islam yakni bahwa Islam sebagai
agama kemanusiaan (fit}rah), maka cita-cita Islam itu sejalan
dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya dan misi Nabi saw
untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Jadi bukan sematamata untuk menguntungkan komunitas Islam saja. 1 02
99
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,”
dalam Abd Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang -Bayang Fanatisme Esai-Esai
untuk Mengenang Nurcholish Madjid
(Jakarta, Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Cetakan I, Juli 2007), 214.
100
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia”,
215.
101
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 432-433.
102
M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah
Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta, Paramadina,
Cetakan I, Desember 1995), 230.
160
Suhaimi
Sedangkan pengertian universalitas Islam, menurut NCM,
secara teologis dapat dilacak dari perkataan al-Isla>m itu sendiri,
berarti “sikap pasrah kepada Tuhan.”yang merupakan inti semua
ajaran yang benar, maka semua agama yang benar pasti bersifat alIsla>m. Tafsir seperti ini akan bermuara pada konsep kesatuan
kenabian (the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity
of humanity). Kedua konsep ini merupakan kelanjutan dari konsep
ke-Maha Esa -an Tuhan (the unity of God /tawhi >d ).10 3
Di samping itu al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia
diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku -suku agar mereka saling
mengenal dan menghargai. 1 04 Hal itu berarti kemajemukan atau
pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi
kehendak Tuhan. Dengan demikian pluralitas itu meningkat
menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang
secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan
menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin
berdasarkan kenyataan itu.105 Oleh karena itu paham kemajemukan
tidak dibenarkan untuk dipersepsi hanya sebagai sesuatu yang
bersifat prosedural semata, sehingga dilaksanakan hanya jika
menguntungkan dan ditinggalkan jika merugikan.
Itulah sebagian dari dasar-dasar masyarakat Madinah yang
dibangun Nabi dan diteruskan oleh para Khalifah, yaitu masyarakat
yang berkeadaban (civility, madaniyah) yang tinggi. Atas dasar
prinsip-prinsip itu dibangun suatu sistem kehidupan bersama
berbentuk polity (“ an organized society, such as a nation, having a
specific form of government ”), dengan tujuan terciptanya maslahat
umum, berbentuk negara bangsa.1 06 Maka dalam negara bangsa
seluruh kekayaan negara adalah milik umum atau publik, yaitu
seluruh warga negara, bukan milik para penguasa seperti dalam
negara kerajaan absolut seperti sistem Fir‘aun (dimana kekayaan
103
M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia , 231.
QS Al-Hujura>t (49): 13.
105
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , lxxv.
106
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 47.
104
161
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
negara adalah milik atau dikuasai raja). 107 Terdapat pembedaan dan
pemisahan yang tegas antara kekayaan milik pribadi dan kekayaan
milik umum.
Dengan demikian masyarakat Madinah warisan Nabi saw
merupakan masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah
masyarakat berperadaban, masyarakat madani, “ civil society”. Jadi
madi>nah merupakan konsep nasionalisme modern, bahkan Robert
N. Bellah, seorang sarjana sosiologi agama terkemuka,
menyebutnya “sangat modern”, khususnya pandangan dan praktek
politik yang berlaku di zaman para khalifah bijaksana (al-khulafa>
al-ra>shidu>n).108 Letak kemoderenan pandangan sosial-politik
Islam di Madinah itu ialah:
1.Kedudukan pimpinan yang terbuka akan penilaian berdasarkan
kemampuan, 2.Pimpinan ditetapkan melalui proses pemilihan
terbuka, 3. Semua warga masyarakat mempunyai hak dan
kewajiban yang sama berdasarkan pandangan egalitarianisme di
depan Allah dan hukum, 4.Hak-hak tertentu yang luas dan adil juga
diakui ada pada golongan agama-agama lain.10 9
Dengan perkataan lain, sebagai masyarakat egaliter
partisipatif (“ equalitarian participant nationalism”), masyarakat
Madinah pada masa klasik Islam itu yang terlihat dalam berbagai
keteladanan Muhammad saw dan al-khulafa> al-ra>shidu>n
menyerupai benar gambaran sebuah masyarakat yang adil, terbuka
dan demokratis seperti dalam konsep -konsep sosial politik
modern.11 0 Menurut Bellah, pencopotan nilai kesucian atau
kesakralan dalam memandang kepada suku sebagai tujuan
pengkudusan dan pengabdian, adalah tindakan devaluasi
ikal
atau secara sah dapat disebut dengan sekularisasi sebagai
107
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 57.
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi
dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta, DIAN, Cetakan III, 2009), 189.
109
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan , 189.
110
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 114-115.
108
162
Suhaimi
konsekwensi dari adanya kewajiban memusatkan pengkudusan dan
pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. 111
Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan
dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia
seperti tertulis di atas, masyarakat madani dalam bentuk negara
bangsa yang bertujuan mewujudkan maslahat umum tegak berdiri
di atas landasan keadilan dan bersendikan keteguhan berpegang
pada hukum.11 2 Hal itu berarti ketaatan berlaku atas dasar hubungan
kontraktual dan transaksional terbuka menuntut setiap warga
negara taat kepada kekuasaan atau kepemimpinan itu dijalankan
dengan benar dan adil, dengan mengikuti hukum yang berlaku. Jadi
tidak ada kewajiban taat dalam kezaliman dan pelanggaran hukum
dan di dalam masyarakat harus ada komunitas yang selalu
melakukan pengawasan sosial, dengan menganjurkan kebaikan
dan mencegah kejahatan (amar ma‘ru>f nahy munkar) dalam
mekanisme pengendalian dan pengimbangan (checks and
balances), sehingga masyarakat dan negara tidak jatuh dalam
kehancuran.1 13
Amar ma‘ru>f dan Nahy Munkar serta Da‘wah ila> alKh ayr merupakan trilogi yang merupakan poros perjuangan umat
Islam sepanjang sejarah. Al-M a‘ru>f dalam pengertian yang luas
dan mendalam dapat berarti kebaikan yang “diakui” atau
“diketahui” oleh hati nurani, sebagai kelanjutan dari
kan
universal yaitu al-Isla>m sebagai agama fitrah yang suci.
Sedangkan al-munkar adalah lawan dari al-ma‘ru>f adalah apa saja
yang diingkari oleh fitrah atau ditolak oleh hati nurani. Sementara
Rasyid Ridla dalam tafsir al-M ana>r menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan al-khayr dalam firman Allah swt Surat Ali
Imran: 104 adalah al-Isla>m dalam makna generiknya yang umum
111
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 72.
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 171.
113
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 58 -59.
112
163
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
dan universal yaitu agama semua Nabi dan Rasul sepanjang
Zaman. 114
Tuhan memerintahkan para Rasul untuk mengajak para
penganut kitab suci menuju titik temu yaitu prinsip yang disebut
kalimatun sawa> atau kalimat kesamaan ajaran dalam kitab -kitab
suci. Keteladanan Nabi Musa as menegaskan kewajiban manusia
untuk tunduk kepada hukum (Torat), berintikan Sepuluh Firman
(al-K alima>t al-‘Asr). 115 Ketaatan kepada hukum Torat itu pun
tetap diajarkan oleh Rasul Nabi Isa as, namun sedikit ikendorkan
dengan unsur kesantunan dan kasih sayang (ra‘fah wa rahmah),11 6
sehingga hukum memperoleh dimensi kelembutan kemanusiaan
yang mendalam. Dan kerasulan Nabi Muhammad saw menyatukan
kedua unsur Hukum Nabi Musa dan unsur Kasih Nabi Isa
Dalam Al-Quran digambarkan bahwa kaum beriman ialah mereka
yang membela diri atau melawan jika mendapat perlakuan tidak
adil, namun tetap sedia memberi maaf dan melakukan isla>h
(pendamaian), 11 7 karena ada sesuatu yang lebih tinggi yaitu balasan
kebaikan langsung dari Allah. 1 18
Prinsip ketegaran hukum dan kelembutan memaafkan itu
sejalan dengan penegasan Nabi Muhammad saw tentang hak-hak
asasi manusia dalam Pidato Perpisahan (Khutbatu al-Wad a>) pada
hari Jum‘at yang sama turun firman Allah swt yang menyatakan
bahwa agama umat Muhammad saw telah sempurna. Dalam pidato
itu beliau sampaikan pesan tentang kesucian jiwa, harta dan
kehormatan (al-dima> wa al-amwa>l wa al-a‘ra>d ) sampai hari
kiamat.1 19
114
Nurcholish Madjid, “Peranan HMI dalam Tantangan Perjuangan
Yang Proaktif,” dalam Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan
Indonesia , 92.
115
Lihat QS. Al-Baqa@rah (2):83-84.
116
Lihat QS. Al-Hadi@d (57): 27.
117
Lihat QS. Al- Shu>ra> (42): 38-43.
118
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 62 -64.
119
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 259.
164
Suhaimi
Prinsip dasar atau hak asasi kemanusiaan berupa kesucian
hidup, harta dan kehormatan yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw itu telah mempengaruhi seluruh umat manusia.
Giovani Pico della Mirandola, failasuf kemanusiaan terkemuka
zaman kebangkitan ( Renaissance) Eropa, menyampaikan “Orasi
tentang Martabat Manusia” (Oratio de hominis dignitate atau De
hominis dignitate oratio ) pada tahun 1484, 120 di depan para
sarjana dari seluruh Eropa yang ia undang ke Roma. Pico mengakui
bahwa ia belajar menghargai manusia dari sumber-sumber Islam.
Jadi jaun sebelum Thomas Jefferson member inspirasi kepada
rakyat Amerika dengan prinsip -prinsip “ life, liberty and pursuit of
happiness”-nya dan John Lock mengotak atik asas-asas “ life,
liberty and property”, umat Islam telah lama berpegang teguh dan
melaksanakan ajaran tentang kesucian “ al-dima> wa al-amwa>l
wa al-a‘ra>d (hidup, harta dan kehormatan,–“ life, property and
honour”).121
Sangat disayangkan bahwa prinsip dasar kemanusiaan dan
prinsip organisasi sosial yang terbuka dan egaliter partisipatif itu
berlangsung hanya sekitar 40 tahun, sistem Madinah digantikan
oleh sistem kekuasaan dinasti klan Umayyah di Damaskus yang
menurut Ibn Khaldun merupakan sistem kerajaan (mulk) absolut,
karena pemerintahannya mengikuti model kekaisaran otokratik
Byzantium. Hal ini mencocoki sabda Nabi bahwa Islam dimulai
dengan kenabian dan rahmah, disusul dengan kekhalifaan dan
rahmah, kemudian kerajaan dan despotisme.122
120
Pembukaan orasi tersebut berbunyi demikian: “Saya telah membaca,
para Bapak yang suci, bahwa Abdullah seorang Arab Muslim, ketika ditanya
tentang apa kiranya di atas punggung dunia ini, seperti telah terjadi, yang dapat
dipandang paling menakjubkan, ia menjawab: ‘Tidak ada ng dapat dipandang
lebih menakjubkan daripada manusia.’Sejalan dengan pendapat ini adalah
perkarkataan Hermes Trismegistus, ‘Sebuah mukjizat yang hebat, wahai
Asclepius ialah manusia.” Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan ,
182.
121
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 258-260.
122
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 76 -77.
165
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Pengaruh buruk penyimpangan yang dilakukan oleh dinasti
Umayyah tersebut di atas, masih nampak jelas dalam sistem -sistem
kekuasaan di “dunia Islam” sekarang ini termasuk Indonesia. Di
Indonesia masih banyak unsur-unsur feodalistik yang sangat
menghambat terwujudnya negara bangsa atau nation state modern.
Jadi terdapat urgensi yang sangat tinggi pada umat Islam untuk
memahami kembali prinsip -prinsip tatanan masyarakat Madinah
yang oleh Robert N. Bellah disebut sebagai contoh nasionalisme
modern .123
Selama lebih dari empat tahun setelah Proklamasi
Kemerdekaan RI, rakyat Indonesia harus mempertahankan
kemerdekaan melalui perjuangan revolusi kemerdekaan karena
Belanda berusaha berkuasa kembali atas Indonesia.Kolonialisme
ingin dilanjutkan setelah Perang Dunia II. Para pemimpin
Indonesia menghadapi benturan tembok logika diplomasi
internasional bahwa Indonesia adalah milik pihak yang kalah, yaitu
Jepang, karena itu harus diserahkan kembali kepada pihak
pemenang, yaitu Sekutu, sebagai “harta rampasan perang”. Reaksi
terhadap ambisi kolonial Belanda ini dikenal dalam sejarah
Indonesia modern sebagai perang kemerdekaan sampai pihak
penjajah mengakui kedaulatan Indonesia pada akhir 1949.
Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari 23 Agustus
hingga 2 Nopember 1949 akhirnya menyerahkan tanpa syarat
sebelum 30 Desember 1949, kedaulatan Belanda atas semua
wilayah bekas Hindia, kecuali Papua, kepada Republik Indonesia
Serikat (RIS). Soekarno menjabat sebagai Presiden RIS dan
Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri
RIS (1949 -1950). 124 RIS terdiri dari Republik Indonesia dan 15
negara-negara bagian bentukan Belanda. Investasi-investasi
Belanda dilindungi, dan pemerintahan baru berkewajiban melunasi
utang jutaan dolar pemerintah kolonial Hindia.
123
124
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 80 -81.
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 351.
166
Suhaimi
Sejak September 1950 sampai dengan Maret 1957,
Indonesia melakukan eksperimen politik demokrasi parlementer
(konstitusional) yang telah menimbulkan berbagai masalah
nasional: ekonomi pasca-revolusi kemerdekaan merosot, kabinet
terus berganti-ganti, masing -masing bertahan tidak lebih dari dua
tahun. Lebih buruk lagi, karena saat itu partai-partai politik
cenderung
berorientasi
kepentingan
jangka
pendek,
penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk korupsi dan kronisme
menjadi pemandangan lazim. 1 25 Di lima belas negara bentukan
Belanda, muncul tuntutan umum untuk meleburkan diri ke dalam
Republik Indonesia. Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir, Ketua
Fraksi Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RIS,
mengajukan Mosi Integral Natsir kepada DPR, yang menuntut agar
semua negara bagian itu bersatu dan melebur ke dalam negara
kesatuan yang mendapatkan respons positif dari parlemen. Pada
hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Indonesia kelima 17 Agustus
1950, RIS digantikan oleh Republik Indonesia dengan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.Sebegitu jauh, penampilan
terbaik “demokrasi liberal” parlementer itu adalah pada saat
pemerintahan Perdana Menteri Burha-nudddin Harahap, seorang
tokoh Masyumi pengikut M. Natsir, yang pada tahun 1955 berhasil
melaksanakan Pemilu pertama dalam sejarah RI.1 26
Hasil Pemilu 1955 ternyata tidak memuaskan pihak
manapun, terutama Masyumi dan PNI, yang sebelumnya
berpengharapan besar akan menang. Tidak ada perolehan
terbanyak mutlak. Segera setelah Pemilu itu, kabinet Ali-RoemIdham (PNI-Masyumi-NU) dibentuk. Meskipun kabinet ini
disokong sangat kuat dalam parlemen, tapi ternyata kab
ini pun
127
tidak berumur panjang (Maret 1956-Maret 1957).
Sebabnya
karena Masyumi dan partai-partai lain dalam kabinet sering benar
125
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 358.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 90.
127
Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
126
123.
167
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
tidak sependapat dalam menghadapi isyu -isyu politik penting dan
sikap oposisi Presiden Soekarno sejak dari awal pembentukannya.
Rapuhnya demokrasi parlementer menjadi dalih bagi
Presiden Soekarno untuk mengumumkan dekrit kembali ke UD
45, pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu disusul dengan pidato
kenegaraan 17 Agustus 1959, berjudul “Menemukan Kembali
Revolusi Kita”, yang menegaskan bahwa pemerintah Indonesia
kembali ke sistem presidensial dari sistem parlementer dan
Presiden Soekarno bertindak sebagai kepala pemerintahan,
sehingga diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat,
stabil dan berwibawa agar pembangunan nasional dapat dijalankan
dengan mantap.
Pengumuman dekrit tersebut menandai runtuhnya seluruh
bangunan demokrasi konstitusional dan dimulainya pemberlakuan
penuh “Demokrasi Terpimpin” yang totalitarian. Secara
institusional, sejak 9 Juli 1959 dan seterusnya, Soekarno
mengangkat dirinya sebagai perdana menteri dari kabinet-kabinet
Demokrasi Terpimpin yang berlangsung sampai tahun 1966. 128
Umat Islam Indonesia baik pihak modernis maupun kaum
pesantren tradisional, secara umum dapat dikatakan bahwa sejak
awal telah memilih sistem politik demokrasi. Menurut pandangan
mereka, demokrasi adalah mekanisme politik yang lebih
yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan cita-cita politik Islam.
Golongan modernis
khususnya adalah pembela-pembela
demokrasi yang tangguh dalam menentang gerakan politik otoriter
Soekarno.129 Beberapa partai politik yang dipersatukan oleh
platform demokrasi modern, yaitu Masyumi, Partai Sosia is
Indonesia (PSI), Parkindo dan Partai Katolik, didukung beberapa
pribadi tokoh kalangan NU dan Partai Nasional Indonesia (PNI)
128
129
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 393.
Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
126.
168
Suhaimi
dengan restu Bung Hatta, membentuk gerakan “Liga Demokrasi”
guna menggalang kekuatan politik melawan Soekarno. 13 0
Pada masa akhir Demokrasi Terpimpin, rakyat merasa
kehilangan kebebasan sipilnya, dan ekonomi Indonesia merosot
sampai hampir membangkrutkan negara, maka setelah berjalan
lima atau enam tahun, sistem otoriter ini hancur secara dramatis,
Bung Karno pada tahun 1965 jatuh in disgrace bersama pihak
komunis yang mendukungnya. Bung Karno agaknya menyalahpahami dan mencampur-adukkan pengertian “pemerintahan yang
kuat” dengan “kepemimpinan yang kuat”. “Pemerintahan”
ih
mengacu kepada sistem, sedangkan “kepemimpinan” mengacu
kepada perorangan.131
C.Nasionalisme Indonesia pada Masa Pembangunan
Menyusul naiknya Soeharto, Jenderal Purnawirawan
Tentara Nasional Indonesia, ke tampuk kekuasaan, seluruh oposisi
hancur dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia
organisasi-organisasi afiliasinya. Rezim kekuasaan baru yang
tengah bangkit menyebut periode “Demokrasi Terpimpin” era
Soekarno sebagai “Orde Lama” dan merayakan era baru
kekuasaannya sebagai “Orde baru”.132
Salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh pemerintah
Orba ketika mulai memegang tampuk kekuasaan, adalah mengatasi
birokrasi yang tidak bertanggung jawab dan kekuasaan otoriter
warisan rezim lama, yang dianggap telah membawa kemerosotan
parah bagi ekonomi rakyat. 1 33 Dalam menghadapi hal itu, Orba tiba
pada kesimpulan bahwa mobilisasi politik massa dan pertikaian
para politisi sipil telah menelantarkan kesejahteraan ekonomi dan
sosial, oleh karena itu perhatian rakyat harus dialihkan dari
130
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 92.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 92.
132
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 451.
133
M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah
Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta, Paramadina,
Cetakan I, Desember 1995), 17.
131
169
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
wawasan “politik sebagai panglima” seperti yang dipraktikkan
selama Orde Lama, kepada “ekonomi sebagai panglima”. 1 34
Peristiwa penting yang langsung mempengaruhi ide
pembangunan ekonomi Orba adalah kebutuhan mencetak ahli-ahli
ekonomi sendiri yang didukung oleh kelompok militer Angkatan
Darat (AD) yang menjadi lawan komunis. Dalam rangka itu,
pendidikan SESKOAD melibatkan staf pengajar Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (UI) untuk mengajarkan dasar-dasar ilmu
ekonomi kepada para perwira tinggi AD, salah seorang dari mereka
adalah Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden
RI. 13 5
Segera setelah gerakan Partai Komunis Indonesia
dibubarkan, lima tokoh Fakultas Ekonomi UI diundang menjadi
tim penasehat ekonomi Jenderal Soeharto. Berdasarkan ide-ide para
ahli ekonomi ini lahir konsep “pembangunan” dengan penekanan
kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara Barat:
pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. 13 6 Secara garis besar
tugas mereka adalah meningkatkan stabilisasi, rehabilitasi dan
pembangunan.137 Untuk itu reformasi birokrasi dilakukan dengan
jalan 1) Pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintah, 2)
Membuat birokrasi efektif dan tanggap pada pemerintah
3)
Memperluas wewenang pemerintah dan mengendalikan daerahdaerah. Dan secara konsepsional pemerintah menyiapkan Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan
134
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 453.
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam
Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Oede Baru (Bandung, Mizan,
Cetakan I, April 1986), 104.
136
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, 104105.
137
Bruce Glassburner, “Indonesia’s New Economic Policy and Its
Sociopolitical Implications”, in Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, eds.,
Political Power and Communications in Indonesia (Berkeley, University of
California Press, First Edition, 1980), 138. Lima orang ahli ekonomi tersebut
adalah Prof. Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim,
dan Subroto.
135
170
Suhaimi
Lima Tahun (Repelita). 138 Sementara secara operasional birokrasi
dijabat oleh para teknokrat sipil dan perwira militer yang
berorientasi reformasi dan bisa diawasi dan dikendalikan baik pada
tingkat pusat maupun daerah, maka mayoritas jabatan gubernur dan
bupati diberikan kepada para perwira militer. 1 39 Para teknokrat
yang terdidik secara akademis itu menambah kredibilitas
pemerintahan Soeharto di mata negara-negara Barat. Mereka
dikenal dengan “mafia Berkeley” karena beberapa diantara mereka
lulusan Universitas Berkeley.
Donal K. Emerson mendeskripsikan birokrasi Orba
sebagaimana birokrasi Kerajaan Mataram dan menyimpulkan
upaya Soeharto membangun birokrasi sbb.:
1) Dia mampu mengontrol jaringan pemerintahan yang sangat
besar. Dia memecat ribuan orang yang terlibat dalam kegiatan PKI
sebelum tahun 1966, 2) Dia membuat aparat administrasinya lebih
loyal. Perwira-perwira direkrut untuk memperkuat jajaran birokrasi
dengan cara komando militer, 3) Presiden Soeharto menjadikan
birokrasi lebih aktif. Pendapatan pajak meningkat, gaji pegawai
negeri dinaikkan. 140 Dari semua itu kebijakan birokrasi terpenting
Orba adalah komitmennya terhadap modernisasi yang sengaja
dirancang untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi politik
rakyat dan menjadi kebijakan strategis untuk menarik dukungan
negara-negara Barat atau investor asing agar memberikan bantuan
bagi pelaksanaan pembangunan pada masa-masa awal Orba. 141
Sebagai imbalan atas bantuan ekonomi yang diberikan
negara-negara Barat, pemerintah Orba mengadopsi langkah langkah reformasi yang terus-menerus dipuji oleh Bank Dunia dan
Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah-langkah itu
138
M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 18.
M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 18.
140
Donald K. Emmerson, “The Bureaucracy in Political Context:
Weakness in Strenght” in Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, eds., Political
Power and Communications in Indonesia , (Berkeley, University of California
Press, First Edition, 1980), 82-83.
141
M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 19.
139
171
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
mendominasi kebijakan ekonomi pada tahun 1970-an. 142 Dengan
kebijakan seperti itu, Orba berhasil membangun birokrasi yang
kuat dan berporos pada hubungan militer dengan sipil yang erat,
bahkan Orba melebarkan fungsi birokrasinya menjadi mesin politik
yang tangguh dalam merekayasa kehidupan sosial-politik
masyarakat untuk mempertahan kan status quo maupun
melaksanakan suksesi terencana di antara jaringan kekuasaan yang
mengitarinya.1 43
Pembangunan ekonomi Indonesia ketika Orba berkuasa itu
juga telah menciptakan jurang perbedaan dalam masyarakat secara
horizontal dan vertikal, seperti kesenjangan desa-kota, daerah pusat, Indonesia Timur–Indonesia Barat, pribumi–nonpribumi,
kelompok ekonomi kuat yang diisi oleh sekitar 10 % penduduk, 40
% diisi oleh kelompok peralihan dari menengah bawah ke
menengah atas dan 50 % diisi oleh kelas bawah. 14 4
Dalam bidang politik, pemerintahan Orba di Indonesia
telah berhasil menata konstruksi lembaga-lembaga politik secara
struktural, sehingga di satu sisi semua lembaga-lembaga politik
ditata sejalan dengan konstitusi dan di sisi lain
isipasi politik
masyarakat diarahkan pada saluran -saluran politik formal. Hasilnya
adalah stabilitas politik yang terjaga selama lebih dari dua puluh
tahun.1 4 5 Namun stabilitas politik berjalan dengan kesenjangan
distribusi kekuasaan yang berimplikasi luas pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat karena hak-hak politik mereka kurang
dihargai.Akibatnya pengawasan terhadap kekuasaan tidak dapat
berkembang.
Orba saat berkuasa menghadapi berbagai aktivitas gerakan
organisasi
masyarakat Islam dengan dua strategi. Pertama
142
MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , , 603.
M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 18.
144
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru
Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung,
Rosda Karya, edisi ke-2, 2000), 122 -123 .
145
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi, 122 .
143
172
Suhaimi
mengkooptasi dan membujuk para pemuka organisasi masyarakat
Islam bergabung dengan partai berkuasa, Golkar. Kedua
mendeskriditkan mereka dengan cara menghubung-hubungkan
mereka dengan ekstrimisme dan terorisme serta menganca dan
menganiyaya mereka. Menurut Andres Uhlin, penguasa
pada tahun 1990 -an banyak menggunakan strategi kooptasi, seperti
terlihat saat pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI) pada Desember 1990. 146 Intelektual-intelektual Muslim M.
Dawam Rahardjo, NCM dan Imaduddin Abdulrahim serta Amien
Rais dan Adi Sasono dilibatkan dalam pembentukan ICMI. Mereka
ingin menyatukan intelegensia Muslim yang terpecah -pecah dan
terpinggirkan kedalam sebuah kelompok penekan politis. Akan
tetapi, pemerintah telah betul-betul berhasil dalam mencoba
mengarahkan ICMI kedalam sebuah etalase kerja sama antar Islam
dan pemerintahan Soeharto. Menteri Riset dan Teknologi, B.
Habibie terpilih menjadi ketua dan terdapat beberapa menteri
negara dan banyak birokrat didalam kepemimpinan orgnanisasi ini.
Sejak tahun 1994 NCM mengundurkan diri dari ICMI sebab
menurutnya telah menjadi “terlalu politis.”. 147 Angota ICMI dapat
dibagi kedalam tiga kelompok : birokrat pemerintah; teolog dan
ilmuwan muslim; serta aktivis dan politisi Islam. Kelompok
birokrat sejauh ini merupakan kelompok yang paling berpengaruh,
tetapi kelompok aktivis dan politisi tidak terlalu tidak signifikan.
Mereka memiliki dua tujuan: a) Islamisasi Indonesia, dan b)
demokratisasi dan demiliterisasi.
Demokrasi pada awal sejarahnya lahir sebagai bentuk
politik partisipatoris yang melibatkan seluruh warga
kecil
yang disebut polis di Yunani Kuno (Ancient Greek). Istilah
demokrasi secara harfiah
diambil dari kata bahasa Latin demos
berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan. Secara h
teori
demokrasi lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja dan
146
147
Andres Uhlin, Oposisi Berserak , 70-71.
Andres Uhlin, Oposisi Berserak , 72.
173
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
kedaulatan Tuhan.148 Jadi dalam sejarah lahirnya demokrasi atau
kedaulatan rakyat merupakan pardigma baru yang menjadi
pembangkangan terhadap legitimasi kekuasaan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai dasar kekuasaannya, sehingga pada
gilirannya sekularisme dan antroposentrisme menjadi ciri yang
melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi Barat.
Demokrasi kemudian telah menjadi istilah yang sangat
diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan
sosio-politik yang ideal. Larry Bermann dan Bruce Allen Murphy
dalam buku Approaching Democracy menyebutkan bahwa sampai
akhir tahun 1996 tidak kurang 118 negara dari 191 negara di dunia
ini yang mendambakan sistem pemerintahan demokrasi. 14 9
Bahtiar Effendy mencatat bahwa akhir kwartal abad ke-20
merupakan periode demokrasi yang paling menjanjikan dalam
sejarah peradaban modern, karena pada kenyataannya tercatat
antara 1974 hingga 1992 terdapat tiga puluh negara yang
mengalami proses transisi ke demokrasi. Namun demikian para
pengamat tidak memasukkan di dalamnya sebagian besar
nia
150
Islam.
Para ahli seperti Larry Dimond, Juanz Linz, dan Seymour
Martin Lipset berpendapat bahwa kebanyakan negara-negara Islam
tak dapat diharapkan melakukan proses transisi ke demokrasi,
bahkan Samuel P. Huntington menandaskan bahwa , “ confucion
democracy is clearly contradiction in terms. It is unclear whether
‘Islamic democracy’ is.”.15 1 Menurut NCM, tesis Huntington
tentang benturan budaya itu adalah tesis ilmiah palsu. 152 Karena
148
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta, Bina Aksara,
Cetakan Pertama, 2006,) 31 -44.
149
Nurtjahjo , Filsafat Demokrasi , 1.
150
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama,
Negara , dan Demokrasi, Yogyakarta, Galang Press, 101-102 .
151
Samuel P. Huntington, The Third Wafe: Democratization in the
LateTtwentieth Century, dalam Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam,
101 .
152
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 176.
174
Suhaimi
sebagaimana Robert N. Bellah telah simpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad saw di
Madinah bersifat egaliter dan partisifatif. Masyarakat Madinah
pada masa klasik Islam itu yang terlihat dalam berbagai
keteladanan Muhammad saw dan al-Khulafa> al-Ra>shidu>n
menyerupai benar gambaran sebuah masyarakat yang adil, terbuka
dan demokratis seperti dalam konsep -konsep sosial politik
modern .153
Demokrasi dalam pandangan NCM sesungguhnya
merupakan konsep yang memiliki sinonim dengan apa yang disebut
polyarchy. Demokrasi dalam pengertian ini bukanlah sistem
pemerintahan yang mencakup keseluruhan cita-cita demokratis,
tetapi yang mendekatinya sampai batas-batas yang pantas. Oleh
karena itu , setiap bentuk pengaturan politik yang demokratis
memerlukan ikatan bersama yang dalam dunia modern saat ini
dikenal dengan ikatan rasa kebangsaan.1 54 Pilihan umat Islam
kepada demokrasi, menurutnya, bukan hanya karena secara
prinsipil nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung oleh
semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan
politik yang terbuka untuk sewaktu -waktu mengadakan koreksi
atas pemerintahan sesuai dengan ketentuan konstitusional.1 55
Secara konstitusional syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law ialah.
1.Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konsti-tusi, selain
menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara
prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin; 2.Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.Pemilu yang bebas; 4.Kebebasan untuk menyatakan pendapat;5.
Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6.Pendidikan
kewarganegaraan. 156
153
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 114-115.
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 7.
155
M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 226.
156
Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, 43 .
154
175
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Berdasarkan syarat-syarat dasar itu, menurut NCM,
pemerintahan Soeharto kurang menghayati berbagai keharusan
sebuah modern nation state, yaitu keharusan menerapkan prinsip prinsip: good governance untuk menghasilkan clean government
(sehingga praktek-praktek KKN yang sangat terkutuk itu dapat
tercegah), melindungi kebebasan sipil, membela hak asasi manusia,
menegakkan kedaulatan hukum, memperhatikan pendidikan
seluruh warga negara di semua pelosok wilayah dengan sungguhsungguh, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 157
Kritik NCM atas pelaksanaan pembangunan Orba oleh
Soeharto itu menunjukkan perkembangan pengertian modern
nation state atau nasionalisme modern yang tidak hanya bertujuan
melaksanakan pembangunan ekonomi saja, tapi seperti tahap
perkembangan nasionalisme yang dikemukakan oleh Organsky,
nasionalisme itu mengarah kepada pencapaian politik kesejahteraan
dan kemakmuran.15 8
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan Orba
di bawah Soeharto telah berhasil melewati stagnasi ekonomi dalam
jangka pendek, sedang dalam jangka panjang Orba sukses
meningkatkan produktivitas ekonomi dalam kerangka pembangunan yang berorientasikan pertumbuhan. Namun tidak demikian
halnya dalam pemerataan hasil pembangunan. Sebagai contoh,
rakyat hidup dalam kemiskinan di Aceh Utara, meskipun udah
dibuka ladang gas dan minyak bumi di Lhokseumawe. Penghasilan
yang didapat dari penjualan empat komoditi ladang minyak
mentah, gas alam cair, LPG Propane, dan LPG Butane itu sebesar
US$ 45 miliar selama periode 1979-1997. Sementara jumlah
APBD provinsi Aceh pada periode tahun yang sama sebesar Rp 6,7
157
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 95 -96.
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana
Universal dalam Konteks Nasional (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan I,
2005), 99. Organsky membagi tahap perkembangan nasionalisme menjadi
empat. Pertama, tahap perkembangan politik kesatuan nasional primitif. Kedua ,
tahap perkembangan politik industrialisasi. Ketiga , tahap perkembangan politik
kesejahteraan nasional; dan keempat, tahap perkembangan politik kemakmuran.
158
176
Suhaimi
triliun.Suatu jumlah yang tidak sebanding. 159 Dengan demikian,
sebagaimana diisaratkan dalam salah satu bait lagu kebangsaan
Indonesia Raya, pembangunan Orba baru menyentuh bagian
“ bangunlah badannya”, belum menyentuh bagian “bangunlah
jiwanya” yang menjadi sisi primer pembangunan bangsa.16 0
Tekanan yang terlalu berat kepada pembangunan ekonomi, namun
tidak disertai pembangunan etika dan moral pribadi dan sosial
melalui keteladanan para pemimpin telah menjerumuskan sebagian
anggota masyarakat kepada pandangan hidup hedonistik, enakkepenak, dengan obsesi bagaimana mengumpulkan kekayaan
pribadi sesingkat-singkatnya dan semudah-mudahnya, menempuh
jalan pintas tanpa peduli kepada hukum dan kepada norma-norma
etika dan moral. 161
Suatu ironi besar pada Soeharto, bahwa ia meyatakan diri
dan sistemnya terikat dengan nilai-nilai Pancasila, sementara dalam
kehidupan sehari-hari marak dengan contoh tindakan yang
bertentangan dengan salah satu atau mungkin malah semua dari
prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. 162 Di tengah kemiskinan dan
penderitaan rakyat yang mencekam, ada segolongan masyarakat
yang fasik, yang dengan penuh kebanggaan memamerkan kekayaan
dan kemewahan. Akibatnya ialah tumbuhnya jurang perbedaan
yang menganga antara golongan kecil yang kaya dan super kaya
pada satu pihak dan rakyat umum yang melarat hidup nestapa pada
perihal lain.1 63
159
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana
Universal dalam Konteks Nasional, 101.
160
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 96.
161
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
Reformasi,” Titik Temu , Jurnal Dialog Peradaban, Volume 1, Nomor 2, Januari
Juni 2009, 24-25.
162
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 96.
163
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
Reformasi”, 25.
177
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Selain itu jika dilihat berdasarkan nilai-nilai Pancasila,
sikap dan sistem Orba pun menunjukkan kurangnya konsistensi
berkenaan dengan paham kemajemukan: ia menolak keras ide
tentang perlunya oposisi resmi terhadap pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Hal itu menurut NCM
bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangroa, semangat paham kemajemukan di balik
perbedaan formal, sebab tidak ada jalan kebaktian atau kebaikan
yang mendua tujuan.164
Indonesia sebagai suatu bangsa baru yang masih berada
dalam pertumbuhan “penjadian diri” (in making ), masih
memerlukan pengembangan pikiran -pikiran mendasar tentang
kebangsaan dan kenegaraan, melanjutkan dan memperluas tradisi
tukar-pikiran para tokoh pendirinya menuju cita-cita untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 1 65
Seperti telah diuraikan terdahulu, para pembangun
kebangsaan Indonesia modern memulai gagasan mereka dengan
meminjam istilah ilmu sosial dan kebahasaan “Indonesia” untuk
menjadi alat identifikasi dan nama bagi keseluruhan bangsa yang
mereka dambakan. Kemudian mereka mengangkat bahasa Melayu
dialek Riau sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia.1 66
Menurut NCM, bahasa Indonesia adalah aset kebangsaan
yang paling penting, paling nyata dan paling menentukan. “Jika
kita punya cukup alasan bahwa bangsa kita tidak akan pecah
berantakan, sebagian besar adalah karena suksesnya kita
mengembangkan bahasa nasional itu, paling sukses di antara semua
bangsa baru yang muncul setelah Perang Dunia II”. 167 Tetapi alasan
optimisme berdasarkan adanya bahasa persatuan tentu tidak akan
164
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 40.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 104.
166
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
165
Reformasi”, 25.
167
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
Reformasi”, 25.
178
Suhaimi
menjadi jaminan mutlak. Yang akan lebih menjamin masa
n
Indonesia ialah pelaksanaan sungguh -sungguh tujuan menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Apa yang sekarang terjadi di Indonesia adalah warisan
gejala kesenjangan ekonomi berupa jurang pemisah antara
kelompok kecil yang kaya dan rakyat umum yang miskin -papa.
Bahaya korupsi yang besar pada masa Orba yang memiliki efek
merusak berlipat ganda, menurut NCM, menjadi hambatan
ma
dalam membangun kembali negara, hal itu menjadi satu contoh
betapa sulitnya membersihkan unsur-unsur sisa sistem Orba.
Karena itu diperlukan peneguhan komitmen dan pembaharuan
tekad bersama semua komponen bangsa dalam semangat persatuan
untuk menghadapinya.1 68
Kenapa itu terjadi? Bahkan Indonesia saat ini mengalami
krisis multidimensional, tidak hanya krisis finansial-moneter
seperti negara tetangga. NCM menjawab hal ini dengan merujuk
kepada penilaian Karl Gunnar Myrdal (1898-1987) bahwa “negara
kita sebagai “ soft state”, “negara lunak”, yaitu negara yang
pemerintah dan warganya tidak memiliki ketegaran moral sosialpolitik. Kita umumnya mengidap kelembekan ( leniency), sikap
serba memudahkan (easy going ), sehingga kita tidak memiliki
kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan
korupsi.169 Jadi krisis multidimensional ini, ternyata sumbernya
terletak dalam pengelolaan yang lemah (weak governance) dalam
urusan pemerintahan dan kekuasaan, maka usaha menegakkan
standar moral merupakan salah satu urgensi bagi bangsa kita.
Peta permasalahan kemelut sosial politik di Indonesia
semestinya menjadi bahan pemikiran dalam mengatasinya
merintis jalan ke masa depan, menurut Taufik Abdullah
lah:17 0
168
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 104.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 111-112.
170
Taufik Abdullah, “Konflik dan Ancaman Disintegrasi” dalam
Bambang Pranowo dan Darmawan,ed. Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era
Demokrasi, 30-31.
169
179
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
pertama, sentralisasi kekuasaan dan penguasaan ideologi, kesadaran, dan ingatan kolektif bangsa yang dijalankan oleh
serakah, yang bernama Orba, bukan saja telah melemahkan masyarakat, tetapi juga secara langsung memupuk tradisi otoriter dalam
sistem wacana; kedua, semboyan “persatuan dan kesatuan” yang
diwujudkan dalam sistem kekuasaan, yang sentralistik dan otoriter,
serta sistem wacana yang hegemonik, secara pelan tetapi pasti telah
menyebabkan bangsa tergelincir dalam reifikasi, ketika konsep
telah dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya; ketiga
keberlanjutan “krisis saling percaya” antara para elit politik, yang
segera diwujudkan dalam persaingan politik dalam konstalasi
sistem kenegaraan yang demokratis, bukan saja menyebabkan
krisis dari krisis manajemen berlanjut, tetapi juga kelemahan dalam
menanggapi perkembangan dunia yang semakin global; keempat
terpaksa juga harus direnungkan kembali sebuah ungkapan yang
ternukil dalam Pembukaan UUD tentang tujuan mendirikan negara
nasional, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka ini
timbul pertanyaan, seperti apakah kehidupan bangsa yang cerdas
itu? Apakah pengalaman bernegara selama ini telah
memperlihatkan ciri-ciri dari kehidupan bangsa yang cerdas atau
sebaliknya?
Dalam hal pembangunan SDM ini, Komaruddin Hidayat
menggarisbawahi Francis Fukuyama dalam karyanya Trust: The
Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), bahwa yang
perlu dibangun dan dipelihara adalah apa yang disebut “ social
capital” yang positif untuk pengembangan bangsa ini. Social
capital adalah nilai-nilai, tradisi, dan cita-cita sosial yang telah
tumbuh yang kita sepakati sangat positif nilainya untuk masa depan
bangsa dan aset pengembangan peradaban sebuah bangsa.171
Bekerjanya sebuah sistem demokratis sangat bergantung
pada tingkat kesalingpercayaan yang dibangun di dalamnya. Hanya
171
Komaruddin Hidayat, “Pengembangan SDM yang Berwawasan
Kebangsaan untuk Memperkuat Ketahanan Nasional”, dalam Bambang Pranowo
dan Darmawan,ed. Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era Demokrasi, 178.
180
Suhaimi
bangsa yang memiliki tradisi sebagai “ high trust society” yang
akan mampu membangun institusi politik dan ekonomi yang besar
dan bertahan lama. Tetapi mereka yang tergolong “ low trust
society” –atau bahkan ada yang tergolong “ zero trust society”?–
sulit untuk mengembangkan diri karena ongkos sosialnya sangat
mahal disamping sikap untuk sulit saling percaya dan memang
tidak layak dipercayakan menggerogoti eksistensi sebuah bangsa
sehingga akan tenggelam, bahkan tergilas, alam percaturan global.
Pada tingkat negara ada kesalingpercayaan antara pemerintah dan
rakyat; di antara elemen -elemen pemerintah sendiri (eksekutif,
legislatif, yudikatif); demikian pula di antara elemen -elemen masyarakat sipil. 172 Namun Francis Fukuyama (1996) menegaskan
bahwa kepercayaan sangat ditentukan oleh budaya. Kepercayaan
adalah ekspektasi yang tumbuh dalam komunitas dengan perilaku
regular, jujur dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang
dihormati bersama. Ketika kultur yang diperlukan untuk
membangun kepercayaan tak mendukung, misalnya kultur korupsi,
nepotisme, kekerasan dan pemaksaan, fondasi kepercayaan dalkam
sistem demokrasi akan rapuh.173
Mengingat wawasan kebangsaan bermuatan nilai-nilai dan
cara pandang terhadap dunia sekitarnya, sesungguhnya kita telah
memiliki “ social capital” yang sangat berharga, yang terdapat pada
budaya dan agama, namun kurang dikembangkan dan tidak
format atau bingkai institusi yang mendukungnya dalam konteks
kemodernan sehingga “rumah budaya” yang lama ambruk
sedangkan “rumah budaya” yang baru belum jadi, atau ada tetapi
tidak pas. Terasa sekali bahwa khazanah agama dan ajaran etika
dari berbagai daerah yang begitu mulia tidak memperoleh wadah
dan pengembangan dalam sebuah sistem politik yang demokratis
dan accountable sehingga memunculkan problem loyalitas dan
172
Yasraf Amir Piliang, “Ruang Hampa Demokrasi”, Harian Umum
Kompas, Kamis, 7 April, 2011, 6.
173
Yasraf Amir Piliang, “Ruang Hampa Demokrasi”, 6.
181
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
identifikasi diri. 174 Secara substansial, Pancasila telah merepresentasikan nilai dan visi yang sangat mendasar yang masih sangat
relevan untuk acuan pengembangan SDM di masa depan, tapi
pengalaman selama ini menunjukkan, semua nilai-nilai itu sulit
berkembang kalau tidak dilindungi oleh sebuah pranata
n
mekanisme politik–ekonomi yang demokratis dan akuntabel.
Dalam bahasa manajemen, sebuah masyarakat, lebih sempit lagi di
lingkungan perusahaan ataupun departemen pemerintahan, akan
maju dan bertahan kalau tumbuh beberapa prinsip, antara lain
integrity, competency (skill), commitment, continuous
ning, dan
visionary. Perpaduan antara integritas dan kompetensi sangat vital
untuk membangun kultur yang sehat, yang selama ini keduanya
tampak berjalan sendiri-sendiri. Lebih parah lagi kalau mereka
yang menduduki posisi penting dalam partai dan lembaga tinggi
pemerintah tidak memiliki kedua kualitas dimaksud. Mak di situ
diperlukan prinsip continuous learning dan commitment karena
tantangan dan perubahan sosial berjalan begitu cepat sehingga jika
kita berhenti belajar pasti akan kehilangan kompetensi. 175
Keberhasilan gerakan reformasi pada tahun 1998 seperti
telah disebutkan terdahulu, menurut NCM, menjadi penan bahwa
bangsa Indonesia mulai bergeser dari tingkat “ a nation in making ”
naik ke tingkat “ a nation coming of age,” suatu bangsa yang sedang
berkermbang menuju tingkat kedewasaan. 176 Hal itu dikarenakan
reformasi telah membuahkan barkah kepada bangsa Indonesia
berupa kebebasan -kebebasan sipil (civil liberties), yaitu kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul dan kebebasan
berserikat serta kebebasan akademik.
174
Komaruddin Hidayat, “Pengembangan SDM yang Berwawasan
Kebangsaan untuk Memperkuat Ketahanan Nasional”, 179.
175
Komaruddin Hidayat, “Pengembangan SDM yang Berwawasan
Kebangsaan untuk Memperkuat Ketahanan Nasional”, 180.
176
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era
Reformasi”, 26.
182
Suhaimi
BAB V
AGENDA DASAR POLITIK NURCHOLISH MADJID
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan analisis struktural
bahasa terhadap teks Agenda Dasar (AD) NCM “Membangun
Kembali Indonesia” yang tersurat dari halaman 114 sampai dengan
halaman 184 dalam buku karyanya berjudul Indonesia Kita yang
diterbitkan oleh Universitas Paramadina, Jakarta, Cetakan III bulan
Maret 2004 bersama dengan uraian penjelasan masing-masing AD.
Analisis struktural bahasa di sini
membahas teks berdasarkan
strukturnya dan semantik serta tingkatan pragmatis penggunaan
bahasanya. Isi teks adalah bahasa, karena teks adalah
katakata lisan yang dituliskan (ditetapkan dalam bentuk lisan). Struktur
dalam penelitian ini adalah urutan satuan bahasa yang lebih besar
dari kata berupa kalimat. Kalimat bahasa Indonesia baku sekurangkurangnya terdiri atas dua unsur, yakni subjek (S) dan predikat (P).
Unsur yang lain objek (O), pelengkap (P) dan keterangan (K) dapat
wajib hadir, tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir dalam suatu
kalimat. 1
Parera menyatakan bahwa ciri analisis bahasa struktural
ialah distribusi. Sebuah bentuk bahasa dapat berdistribusi secara
sintagmatik dan paradigmatik. Distribusi ini menunjukkan
hubungan sesama bentuk bahasa.2
Tony Thwaithes dkk menjelaskan sintagma sebagai untaian
teratur tanda yang dikombinasikan menurut aturan tertentu dan
paradigma adalah sekumpulan tanda, yang tanda apapun dari
kumpulan tersebut secara masuk akal bisa dipertukarkan dalam
konteks tertentu.3 Para peneliti semiotik yang menggunakan
1
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa
Nonjurusan Bahasa (Jakarta, Diksi Insan Mulia, Cetakan XVI, Revisi 3, 2003),
142.
2
Jos Daniel Parera, Sintaksis (Jakarta, PT Gramedia, Cetakan I, 1988),
43.
3
Tony Thwaites, Llyod Davis dan Warwick Mules, Introducing
Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik, terj. Saleh Rahmana
(Yogyakarta dan Bandung, Jalasutra, Cetakan I, Agustus 2009), 60.
183
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
analisis teks sintagmatik, menafsirkan teks dengan memperhatikan
susunan kalimat atau peristiwa yang menghasilkan makna atau
dengan melihat untaian kata dalam kalimat yang memproduksi
makna.4 Sementara mereka menggunakan analisis teks
paradigmatik untuk meneliti bagaimana oposisi yang berada di
balik teks melahirkan m akna.
Dan D. Nimmo melakukan analisis bahasa politik pada
tataran pragmatik dengan menguraikan bagaimana cara penggunaan kata-kata dan akibatnya untuk tujuan memperoleh
keuntungan material dengan meyakinkan dan membangkitkan
massa melalui kalimat antara lain eufemisme, puffery, labelling ,
metafora dan mitos; dan tujuan untuk peningkatan status atau
otoritas sosial dan identitas sosial dengan cara pengu
identitas personal atau identitas pribadi dan diskusi
ik dalam
5
proses pemberian informasi. Politisasi bahasa memang sudah
menjadi karakter dari penggunaan bahasa kekuasaan Orde Baru.
Penguasa Orde Baru telah menjadikan bahasa sebagai subordinat
dari kekuasaan politik yang tercermin dalam pembanguna Bahasa
telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan
kelompok-kelompok dominan. Munculnya istilah-istilah eufimisme
yang secara makna dikudeta oleh para penguasa Orde Baru telah
mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang
menjadi subjek bahasa.6 Kata rawan pangan berbeda makna dengan
kelaparan, karena dalam pikiran kita tidak pernah hadir bayangan
orang-orang yang kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan.
Demikian pula kata demi nusa dan bangsa. atau demi persatuan
dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita tidak berpikir
kritis. Di sini bahasa politik merupakan bahasa yang dipergunakan
4
Arthur Asa Berger, Media and Communication Reseach Methods: An
Introductions to Qualitative and Quantitative Approaches (USA, Sage Publications, Inc., 2 nd Printed, 2000), 44.
5
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media ,
terj. Tjun Surjaman (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan II, 1993), 100.
6
Virginia Matheson Hooker, “The New Standardization of Language”,
90.
184
Suhaimi
para elite politik dan elite birokrasi untuk menyampaikan
kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Menurut Mochtar Pabottingi contoh penggunaan bahasa
sebagai paradigma dalam studi ilmu politik antara lain dilakukan
oleh Anderson dalam tulisannya yang terkenal The Language of
Indonesian Politics, tahun 1966 dan ”Cartoons and Monuments:
The Evolutions of Political Communications under the New
Order,” tahun 1978 yang berisikan tesis bahwa Bahasa Indonesia
sudah kehilangan etos “revolusioner”-nya, karena tertimpa proses
penghalusan sehingga dinamika yang semula menandainya
i tak
ada lagi. Ia sudah mengalami proses kramanisasi . Ia sudah
terperangkap dalam “imaji orang Jawa tentang politik” dimana
topeng (mask) punya peranan penting. Selain itu dua puluh tahun
sesudah kemerdekaan, bahasa Indonesia “sama sekali bukanlah
bahasa sehari-hari yang dipakai oleh lebih dari sejumlah kecil”
penduduk Indonesia. 7
Tesis serupa dikemukakan pula oleh James Siegel dalam
Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian
City, bahwa komunitas bahasa Jawa “memperlakukan bahasa lain
seolah-olah semuanya itu termasuk bahasa “ ngoko ” dan komunitas
ini memperkenankan “para pelaku bahasa-bahasa tersebut kedalam
komunitas wacana yang dirumuskan sebagai bahasa krama.”8
Pabottingi kemudian menyanggah tesis Anderson tentang
kramanisasi dalam bahasa Indonesia dengan bertanya benarkah
anggapan bahwa sanskrinisasi, penghalusan, dan praktik bahasa
“topeng” yang berlaku seperti istilah atau kata-kata tunawisma,
swasembada, pramuka, binaraga, purnayudha, binaraga, tridarma,
bahayangkari, saptamarga dst yang berlaku selama ini sudah
cukup untuk menyatakan bahwa bahasa Indonesia mengalami
kramanisasi? Pabottingi menyatakan paling tidak ada 3 kelompok
7
Benedict R. O. G. Anderson, “Bahasa Politik Indonesia” dalam Yudi
Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed., Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di
Panggung Orde Baru (Bandung, Mizan, Cetakan Ke-2, Juni 1996), 148.
8
Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan” dalam
Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim, ed., Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana
di Panggung Orde Baru , 154.
185
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
pelaku bahasa Indonesia yang tidak melakukan bahasa politesse
(baca: halus-topeng-aling-aling) atau kramanisasi : 1) kelompok
sastrawan kreatif/populer, 2) kaum cendikiawan 3) komunitas atau
pertemuan yang bersifat keagamaan.9 Bab ini lebih lanjut akan
mengungkap juga apakah NCM, sebagai salah seorang
cendikiawan muslim terkemuka, menyatakan platform politiknya
dengan bahasa kramanisasi atau tidak.
Dalam pandangan Saussure tanda adalah sesuatu yang dapat
dipersepsi dengan pancaindra manusia (seperti beraneka suara,
bermacam-macam tulisan, dll.) yang dia istilahkan dengan
signifier/penanda dan digunakan untuk menyatakan suatu konsep
atau pemahaman yang disebutnya sebagai signified /petanda.
Saussure menamakan hubungan yang mengikat penanda dan
petanda dengan istilah signification /signifikasi. 10 Oleh karena itu
teks judul AD NCM seperti tertulis di bawah ini menjadi penanda
atau bentuknya dan akan diikuti dengan pemahaman dan
interpretasinya sebagai petanda atau maknanya.
A. Makna Teks Agenda Dasar Nurcholish Madjid
1. Makna Teks Judul AD NCM
Penanda: PLATFORM MEMBANGUN
KEMBALI INDONESIA
Petanda: Ditulis semua dengan huruf kapital yang terletak
di bagian tengah atas tanpa tanda baca satu pun sebagai judul bab
dari sebuah buku berjudul Indonesia Kita yang menjadi judul
utamanya. Dua baris judul bab ini disusun seperti bentuk piramida
terbalik sebagai nama dari uraian karya NCM yang tertulis empat
spasi di bawahnya.
9
Mochtar Pabottingi, ”Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan”, 156-
157.
10
Ferdinand de Saussure, “Course in General Linguistics” in Julie
Rivkin and Michael Ryan, eds., Literary Theory an Anthology (Malden,
Blackwell Publishing, second edition, 2004), 61-62. See also Marcel Danesi and
Paul Perron, Analyzing Cultures An Introduction and Handbook (Bloomington
and Indianapolis, Indiana University Press, First edition, 1999), 72.
186
Suhaimi
Jenis kalimat aktif Platform Membangun Kembali
Indonesia menunjukkan bahwa S melakukan pekerjaan dalam P
yang ditandai dengan awalan me sebagai kata kerja transitif yang
digabungkan dengan kata kembali sebagai kata turunan
membangun kembali dengan O kata Indonesia .11 Kata Platform
ditulis italic menunjukkan pemakaian ungkapan kata asing. 1 2
Apakah makna konsep platform dalam konteks politik?
Platform biasanya ditulis berupa bentuk tunggal dalam konteks
politik berarti tujuan suatu partai politik atau sega sesuatu yang
dinyatakan sebagai agenda yang akan dikerjakan jika terpilih
sebagai penguasa.13 Jadi platform di sini berarti sebagai agenda
politik yang penulis komunikasikan kepada masyarakat tentang
bagaimana membangun kembali bangsa Indonesia.
Kata “Indonesia” diambil dari istilah “indunesians” dalam
studi etnologi dan antropologi yang diperkenalkan oleh George
Windsor Earl pada tahun 1850 dan dipopulerkan oleh James
Richardson Logan di Singapura dalam mengidentifikasi suatu geokultur tertentu yang secara geografis bercirikan kepaulauan dan
secara kultural bersifat Indic.14 Dari kata Dutch East Indies berarti
Hindia Timur Belanda. Tahun 1922 Indische Vereeniging (IV,
berdiri tahun 1908) yakni perhimpunan mahasiswa Hindia yang
belajar di Belanda memelopori penggunaan istilah Indonesische
dengan mengubah Indische Vereeniging menjadi Indonesische
Vereeniging (IV) serta pada tahun 1924 IV sekali lagi diubah
11
Siti Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum (Jakarta, Prestasi Pustaka, Cetakan I, April 2007), 15.
12
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis (Bandung, Simbiosa Sekatama Media, Cetakan I, Mei 2006), 214-215.
Lihat juga Keputusan Mendikbud No. 0543a Tahun 1987 tentang Salinan Ejaan
Yang disempurnakan.
13
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
English (United Kingdom, Oxford University Press, Sixth edition, 2003), 10041005.
14
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia
Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung, PT Mizan Pustaka, Cetakan I,
September 2005), 255.
187
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
namanya menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI). 15 Saat itu
“Indonesia” menjadi ikon baru bagi konstruksi kesadaran nasional
baru untuk menciptakan batas antara dunia penjajah dan yang
terjajah. Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ide sebagai NKRI
mulai ditemukan pada akhir 1920 oleh para pemimpin gerakan
kemerdekaan dengan menyatakan bahwa mereka akan menyatukan
13.000 pulau dalam wadah sebuah bangsa.16 Indonesia saat ini
merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di
dunia berjumlah 177.5 juta penduduk, sekitar 13% dari 3 milyar
penduduk muslim sedunia.17
Konstruksi makna Indonesia tersebut menunjukkan bahwa
pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa merupakan
yang memakan waktu berabad -abad. Komunitas terbayangkan
Indonesia telah tercipta jauh sebelum pendudukan Belanda.
Bahkan, Islam dan identitas nasional berkaitan erat dengan
perumusan nasionalisme Indonesia.1 8 Misalnya Abd al-Shamad alPalimbani (1740-1789), ulama besar asal Palembang mengirim
15
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa , 256 -257.
Abdullah Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati (Bandung, PT Mizan Pustaka,
Cetakan I, Juli 2007), 392.
17
Greg Fealy and Virginia Hooker ed. Voices of Islam in Southeast Asia
a Contemporary Sourcebook (Singapore, Institute of Southeast Asian Studies,
Fist edition, 2006), 39. Penulis menemukan jumlah penduduk muslim Indonesia
telah mencapai angka lebih dari 207 juta jiwa pada tahun 2007. Lihat Izza
Rohman, ed., Buku Pintar Islam, (Jakarta, Zaman, Cetakan I, 2009), 348 dan
Azyumardi Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Islam Global”, Prisma
Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, vol. 29. Oktober 2010.
18
Andi Faisal Bakti, Nation Building Kontribusi Komunikasi Lintas
Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia , terj. M. Adlan
Nawawi dan Syamsul Rijal, (Jakarta, Churia Press, Cetakan I, Oktober 2006),
xiii-xiv.
16
188
Suhaimi
surat-surat dari Mekah kepada penguasa Mataram untuk melakukan
jihad melawan Belanda.19
Menurut Azra, terdapat tiga fase perkembangan
nasionalisme di Indonesia. Pertama fase penyerapan gagasan
nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasi-organisasi, di
Indonesia dapat dilihat sejak dari Budi Utomo, Sarekat Dagang
Islam (SDI), dan Sarekat Islam (SI). Tahap ini disebut juga
“ protonasionalisme”. Kedua fase yang sarat dengan muatan politis
ketimbang sosial dan kultural, nasionalisme di Indonesia saat ini
bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme
dan imperialisme Eropa. Ketiga fase penekakanan nasionalisme
ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industrialisasi
atau pembangunan, di Indonesia ditandai dengan kebangkitan
pemerintah Orba di bawah pimpinan Soeharto.20 Oleh karena itu,
makna kata membangun kembali di sini tidak berarti usaha
melakukan pertumbuhan material dan ekonomi semata, melainkan
suatu proses perubahan menuju pengembangan nilai-nilai sosial,
persamaan dan kebebasan dan kemajuan material berdasarkan
partisipasi masyarakat di segala bidang kehidupan.2 1
Berdasarkan apa yang hadir dalam kalimat NCM tertulis
pada AD 1 sampai dengan 10 dan uraian kalimat penjelasannya
masing-masing, lebih lanjut pen ulis akan menyusunnya ke dalam
kategori-kategori. Kemampuan manusia melakukan kategorisasi
dikatakan oleh para ahli semiotik sebagai bersifat a priori . Tanda
memiliki nilai dengan sendirinya jika dibedakan dengan tanda
lainnya. Saussure menekankannya sebagai ‘perbedaan’ (difference)
antar tanda. Perbedaan ini dilihat secara negatif, art
yang
menjadi karakteristik tiap tanda adalah apa yang tidak dimiliki oleh
19
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana
dan Kekuasaan (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000),
106.
20
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara , 105-112.
21
Everett M. Rogers, Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis,
terj. Dasmar Nurdin (Jakarta, LP3ES, Cetakan I, 1985), 162-163.
189
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
tanda lain. 2 2 Claude Lévi Strauss, seorang antropolog yang
mengembangkan teori bahasa Saussure, menamakan proses
‘perbedaan’ itu dengan oposisi biner (binary opposition ).2 3 Misalnya kaya/miskin, biadab/beradab, kultur/natur, abadi/fana, dsb. Hal
ini menjadi fokus perhatian dalam analisis paradigmatik dengan
berusaha mencari makna yang dihasilkan dari adanya oposisiaposisi yang tersembunyi pada teks.2 4 Analisis paradigmatik ini
berkaitan pula dengan proses signifikasi berupa makna
otasi,
konotasi dan mitos.25
Dalam uraian berikut ini peneliti akan memahami makna
yang terdapat dalam uraian teks NCM pada AD kesatu sampai
dengan AD kesepuluh dan uraian kalimat penjelasannya masingmasing berdasarkan dua kategori menurut nilai “baik” yang dicitacitakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori
ut nilai
“buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin ditinggalkan. Oleh
karena itu uraian teks NCM pada AD kesatu sampai dengan AD
kesepuluh seperti tertulis di bawah ini menjadi penandanya
(bentuknya) dan akan diikuti dengan pemahaman sebagai
petandanya (maknanya) yang kemudian dijelaskan dengan analisis
intertekstual sebagai interpretasinya
2. Makna AD Kesatu dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 1. Mewujudkan “good governance” pada
semua lapisan pengelolaan negara.
22
M. Antonius Birowo, ed., Metode Penelitian Komunikasi Teori dan
Praktek (Yogyakarta, Gitanyali, Cetakan I, Oktober 2004), 55.
23
John Fiske, Introduction to Communication Studies (London and
New York, Routledge, Second Edition, 1990), 116.
24
Arthur Asa Berger, Media and Communication Reseach Methods,
46.
25
M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan
Praktek , 56-59.
190
Suhaimi
Petanda: Kalimat berita dengan P berimbuhan gabungan
me–kan terhadap kata dasar yang berhuruf awal konsonan w untuk
membentuk kata kerja aktif. 26
Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.27 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan
kata atau kelompok kata. 2 8
Tanda kutip dan italic pada kata “good governance” untuk
menyatakan kata asing atau kata yang diistimewakan dan
mempunyai arti khusus.29
Tabel 1 Oposisi Biner AD kesatu
Buruk
Krisis banyak segi
Budaya KKN
Upeti dan suap menyuap
Gunung es raksasa
Feodalisme
Patrimonialisme
Materialistik
Baik
Pembangunan demokrasi:
Prinsip-prinsip good
governance
Partisipasi umum
transparansi
akuntabilitas
Laut di zona tropis
Pemimpin yang memberi
teladan dan menghasilkan
kewibawaan
Agama yang bersemangat
kebenaran yang lapang
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
kesatu seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti
26
Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta, Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2009), 124.
27
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
28
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
29
Gorys Keraf, Komposisi (Flores, Nusa Indah, Cetakan IX,1993), 22.
191
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
mengklasifikasikannya menjadi dua kategori menurut nilai “baik”
yang dicita -citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan kategori
menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan ingin
ditinggalkan yaitu antar kata krisis banyak segi dengan kata
pembangunan demokrasi, kata budaya KKN dengan prinsip prinsip good governance, kata upeti dan suap menyuap dengan kata
partisipasi umum dan tranparansi serta akuntabilitas,
gunung
es raksasa dengan laut zona tropis, kata feodalisme dan
patrimonilaisme dengan kata pemimpin yang memberi teladan dan
menghasilkan kewibawaan, kata materialistik dengan kata agama
yang bersemangat kebenaran yang lapang seperti yang tertulis di
atas dalam tabel 1 tentang oposisi berpasangan kata-kata dalam
AD kesatu.
Dengan demikian berdasarkan uraian klasifikasi dalam tabel
1 itu, maka makna konotasi AD kesatu secara singkat adalah
mengadakan admin istrasi pemerintahan dan manajemen kekuasaan
yang baik dan benar dengan menerapkan prinsip transparansi dan
akuntabilitas pada semua struktur pengelolaan negara untuk
mengakhiri krisis multi dimensi di Indonesia, termasuk krisis
kepercayaan terhadap para pemimpin pemerintahannya akibat
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang lahir karena budaya
patrimonialisme dan feodalisme.
Pada alinea ketiga uraian penjelasan AD kesatu, NCM
menunjukkan cara-cara mewujudkan good governance a.l.: 1.
Mempersatukan seluruh komponen bangsa untuk secara bah
membahu bertanggungjawab menyelesaikan masalah nasional; 2.
Memilih para pemimpin nasional yang sanggup memberi teladan,
memiliki visi tentang masa depan bangsa dan intuisi kepemimpinan
dan kearifan batin (bas}irah), tulus, ama>nah dan sosok pemersatu
berbagai komponen bangsa.30 Jadi NCM dalam AD kesatu dan
uraian penjelasannya tidak menggunakan bahasa politesse (baca:
halus-topeng -aling -aling ) dalam rangka menunjukkan bahwa
dirinya adalah seorang terpelajar atau priyayi yang fasih berbahasa
yang memiliki sopan santun politik. Sebaliknya sebagai seorang
30
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 118-120.
192
Suhaimi
cendikiawan muslim, NCM menuliskan pikiran -pikirannya tentang
kebobrokan sosial yang terjadi dengan tegas seperti tertulis dalam
kata-kata: budaya KKN, upeti dan suap menyuap, feodalisme,
patrimonialisme dan gaya hidup materialistik yang menjadi
penanda bahwa dirinya menolak elitisme atau politesse dalam
berbahasa.
Di samping itu, NCM pun menekankan arti penting memilih
pemimpin nasional yang ama>nah. Ama@nah adalah salah satu
contoh sifat kepemimpinan Nabi Muhammad saw, selain s}i ddi>q,
istiq a@mah, fat }a>nah dan tabli >gh.
Good governance atau “tata kelola pemerintahan yang
baik” merupakan konsep yang sangat sering digunakan sebagai
prasyarat melaksanakan pembangunan dan menjadi platform
pertama NCM dalam pembangunan kembali Indonesia. Namun apa
itu pemerintahan yang baik? Kofi Annan, pejabat lama Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti dikutip oleh
Réné Klaff, menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah
“penciptaan institusi-institusi politik, hukum, dan administrasi yang
dianggap sah oleh warga negara, yang melaluinya mereka dapat
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi
kehidupan mereka dan melaluinya pula mereka diberdayakan.
Pemerintahan yang baik secara umum juga memerlukan sikap
hormat pada hak asasi manusia dan kepastian hukum”.31 Bahkan
Kofi Annan menyebutkan pemerintahan yang baik sebagai “….
boleh jadi faktor tunggal yang paling penting dalam pemberantasan
kemiskinan dan pengembangan pembangunan”.32
Secara leksikal, good governance merupakan istilah baru
yang menyeruak dalam ilmu politik sekitar awal tahun 1990 -an.
Namun, bila istilah ini diterjemahkan ke dalam Bahasa
nesia
dengan pemerintahan yang baik, atau bersih, atau biasa juga
31
Réné Klaff, “Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi dan Pemerintahan
yang Baik”, dalam Ulil Abshar Abdalla, ed., Islam dan Barat Demokrasi dalam
Masyarakat Islam (Jakarta, Pusat Studi Islam Paramadina bekerjasama den
Friedrich-Naumann-Stiftung Indonesia, Cetakan I, Juni 2002), 108.
32
René Klaff, “Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi dan Pemerintahan
yang Baik”, 108.
193
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
dengan kata sifat lain seperti berwibawa dan bertanggungjawab,
atau diartikan menjadi tata kelola pemerintahan yang baik, maka
pada hakekatnya istilah itu bukanlah baru.33
Dalam istilah modern, good governance atau yang
dimaksud dengan pemerintahan yang baik adalah “ sikap di mana
kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai
level pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber
sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Pemerintahan yang bersih ini
tercermin dari penampilan pemerintahan yang efektif, efisien, jujur,
setara, transparan, serta bertanggungjawab.”. 34
Negara Indonesia pada tahun 1999 di era reformasi, seperti
dikutip oleh Siti Nafsiyah, menduduki posisi paling parah dalam
hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi
peradilan dibandingkan dengan beberapa negara di Asia
gara
35
lainnya, seperti terlihat dalam table berikut ini.
Tabel Good Governance di Asia Tenggara 1999
Negara
Indeks
Efisiensi
Peradilan
Indeks
Korup
si
Malaysia
Singapura
Thailand
Filipina
Indonesia
9,00
10,00
3,25
4,75
2,50
7,38
8,22
5,18
7,92
2,15
Indeks
Good
Governan
ce
7,72
8,93
4,89
3,47
2,88
Kategori Kualitas
Governance
Good Governance
Good Governance
Fair Governance
Fair Governance
Poor Governance
33
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed. Islam Negara dan Civil Society
Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta, Paramadina, Cetakan I,
Maret 2005), 328.
34
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 330.
35
Siti Nafsiyah, “Efek Domino Pergulatan Civil Society:
njadi
Watchdog untuk Menegakkan Good Governance,” dalam Burhanuddin, ed.
Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia (Jakarta, INCIS, Cetakan
Pertama, Desember 2003), 209-210.
194
Suhaimi
Berdasarkan indeks tertulis di atas, secara objektif harus
diakui bahwa kualitas governance Indonesia masih jauh dari good
governance. Hal itu disebabkan karena
peran negara dan
aparaturnya yang sangat dominan dalam mengatur segala
kehidupan menyebabkan berbagai monopoli terselubung yang
menjadikan alokasi sumber daya tidak efisien, distorsi dan
inefisiensi perekonomian dan proses pendidikan demokrasi atau
pendewasaan politik masyarakat terabaikan. 36
Sesuai dengan hasil studi tersebut dan pernyataan Kofi
Annan di atas, menurut NCM, yang pertama-tama diperlukan untuk
mengakhiri krisis besar di Indonesia sekarang ini ialah bagaimana
mengelola negara secara baik dan benar, berkenaan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan. Good
governance dapat diibaratkan sebagai laut zona tropis yang panas,
yang akan meluluhkan gunung es korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Dalam hal ini diperlukan kekuatan besar yaitu tekad
bersama seluruh kekuatan bangsa untuk bahu membahu
menanggung beban tanggungjawab penyelesaian masalah
nasional. 37
Dalam upaya mewujudkan good governance dan terutama
dalam memberantas KKN, The Economic Development Institute
(EDI) of the World Bank telah memperkenalkan konsep “ pillars of
integrity” atau konsep sistem integritas nasional yang setidaknya
melibatkan 8 (delapan) lembaga, yaitu: 1) lembaga eksekutif, 2)
lembaga parlemen, 3) lembaga kehakiman, 4) lembaga-lembaga
pengawas, 5) media, 6) sektor swasta, 7) masyarakat sipil dan 8)
lembaga-lembaga penegakan hukum.38 Pelaksanaan prinsip -prinsip
good governance dan pembangunan demokrasi di Indonesia dalam
upaya memberantas korupsi, menurut NCM, mensyaratkan juga
dihancurkannya feodalisme, karena merajalelanya korupsi di
Indonesia adalah kelanjutan tradisi upeti masyarakat feodal dan
budaya suap -menyuap dan perjudian oleh kalangan yang tak
36
Siti Nafsiyah, “Efek Domino Pergulatan Civil Society, 210.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 117.
38
Siti Nafsiyah, “Efek Domino Pergulatan Civil Society, 210.
37
195
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
perduli dengan standar moral karena mengejar keuntungan
kebendaan semata.39
Dengan perkataan lain, mewujudkan good governance
menjadi perkara mustahil tanpa keikutsertaan seluruh rakyat atas
dasar komitmen bersama, termasuk keterlibatan jajaran
nasional yang harus sanggup memberi teladan, berdiri di barisan
paling depan, memulai dengan diri sendiri. Karena itu
kepemimpinan nasional harus benar-benar otentik, tulus ikhlas,
satu kata perkataan dan perbuatan, memiliki visi dan intuisi
kepemimpinan masa depan, tetap setia memelihara am>anah dan
sanggup berperan sebagai consensus builder, pembina kesepakatan
antar berbagai komponen bangsa.40
Ama@nah adalah salah satu contoh sifat kepemimpinan
Nabi Muhammad saw, selain s}i ddi >q, istiq a@mah, fat }a>nah dan
tabli>gh. Setiap sifat itu dapat diinterpretasikan sebagai lima unsur
penting good governance yaitu: transparancy. consistency,
intellegency, accountability, dan communicability.41 Ama>nah
dapat diparalelkan dengan accountability, atau akuntabilitas yaitu
kesanggupan mempertanggungjawabkan semua proses dan
tindakan kepada rakyat secara terbuka. 42 Namun ama>nah jauh
menjamah rona psikologi yang paling dalam. Sebab ama>nah itu
mementingkan tanggungjawab yang sangat hakiki dalam
hubungannya dengan umat manusia, yang selalu yakin bahwa ada
yang selalu mengawasi pelaksanaan tugasnya. Islam mengajarkan
setiap perilaku manusia selalu dalam pengawasan malaikat. Dalam
konteks inilah ama>nah berkiprah. 43 Pada satu kesempatan
Rasulullah saw mendaki bukit S}afa untuk mengajak kaum
Quraish berkumpul, kemudian beliau bertanya: “apakah kalian
percaya jika aku berkata bahwa kuda akan lahir dari perut bukit ini.
Mereka menjawab: ya, kami tidak pernah mendapatkan kamu
39
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 121-122.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 118-119.
41
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 346.
42
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 119.
43
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 348.
40
196
Suhaimi
berbohong, maka Muhammad saw bersabda sesungguhnya aku ini
pemberi peringatan kepada kalian bahwa nanti akan data azab
yang pedih.”.44 Rasulullah saw adalah manusia yang terbaik
akhlaknya, terbenar perkataannya, teragung ama>nahnya, beliau
terlindungi dari perbuatan nista sehingga kaum Quraish
menamakan beliau sebagai al-Ami >n atau orang terpercaya.45 Jadi
ama>nah telah menjadi ikon bagi Nabi Muhammad saw.
Sedangkan S}iddi>q berarti jujur dapat diparalelkan dengan
transparancy, bahkan maknanya lebih dalam. Transparancy berarti
terbukanya partisipasi umum dalam proses-proses pelaksanaan
pemerintahan serta penggunaan kekuasaan, sehingga tidak terjadi
kegiatan kenegaraan yang berlangsung secara tersembunyi,
khususnya yang bersangkutan dengan penanganan kekayaan umum
milik bangsa dan negara.46 Tapi bagaimanapun transparancy masih
mungkin dikelabui dengan mark up secara administratif dengan
data dan kuitansi, faktur dan bon, bill dst yang faktual dan
transparan, tapi masih sangat mungkin terjadi pemalsuan angka
yang sukar dideteksi, sedangkan s}iddi >q yang mengutamakan
yang tak tampak karena mencakup wilayah qalbiyah tidak akan
terjadi pemalsuan, rekayasa dan penambahan .4 7
Kedua adalah Istiqa>mah bermakna teguh dalam pendirian
yang dapat diparalelkan dengan consistency atau commitment
berarti teguh dalam berpendirian dan tidak ingkar terhadap apa
yang telah dikatakan. Lebih dari itu adalah seorang yang
istiqa> mah karena berkaitan dengan sikap kejiwaan yang berkaitan
dengan hati yang terdalam, harus sesuai benar kata dan
perbuatannya, ucapan dan tingkah lakunya, sementara consistency,
masih mungkin mengelabui orang lain. 48
44
Abu Hasan Muslim, S}a hi>h Muslim Kita>b al-I>ma>n (Beirut,
Da>r Ihya> al- Tura>th al-Araby, Jilid 3, tt.), 351.
45
A´fi>f T}abba>rah, M aa´ al-Anbiya> fi> al-Qur’a>n al-K ari>m
(Beirut, Da>r al-Ilmi Lilmala>yi>n, cetakan ke-18, 1993), 34.
46
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 119.
47
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 346.
48
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 347.
197
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Sama pula halnya dengan sifat ketiga yaitu Fat }a>nah
berkaitan dengan kecerdasan, baik kecerdasan rasio, rasa, maupun
kecerdasan ilahiyah. Jika dibandingkan dengan good governance
dengan konsep intellegency-nya, maka konsep ini sebetulnya hanya
berhubungan dengan kecerdasan intellegentia semata.49 Jadi
konsep fat }a> nah memiliki pengertian lebih luas dan dalam.
Sinergi ketiga kecerdasan rasio, rasa dan ilahiyah membuat seorang
seperti Nabi mampu mengetahui secara pasti sikap mental orang
yang diajak berbicara, musuhnya, serta prediksi-prediksi masa
depan. Sehingga ketika mengambil strategi, antisipasi strategis
sudah diambilnya dengan cermat.
Terakhir adalah Tabli>gh yang bisa disejajarkan dengan
konsep communicability dalam good governance. Tapi pada
hakikatnya, tabli>gh ini berkaitan dengan dakwah Islam dan
penyampaian pesan-pesan keilahian. Jadi tabli>gh ini mencakup
semua aspek komunikasi antar manusia, sedang communicability
hanya berkenaan dengan wilayah public speaking .5 0
3. Makna AD Kedua dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 2.Menegakkan supremasi hukum dengan
konsisten dan Konsekuen.
Petanda: Kalimat majemuk bertingkat berkata Penghubung dengan yang menunjukkan cara dan P berimbuhan gabungan
me–kan terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan t untuk
membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna
menyebabkan jadi tegak. 51 Kalimat tersebut tidak menggunakan S
untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian
kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.52 Dan ditulis dengan italic
untuk penegasan kata atau kelompok kata. 53
49
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 347.
Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam”, 348.
51
Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik , 124.
52
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
53
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
50
198
Suhaimi
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
kedua seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan seperti yang tertulis dalam tabel 2 berikut di
bawah ini:
Tabel 2
Oposisi B iner AD kedua
Buruk
Baik
Penyimpangan dan
manipulasi hukum
Darwinisme dalam
kehidupan sosial politik
“ Lawless society” atau
masyarakat hukum rimba
Masyarakat tak
berkeadaban
Penegakan asas hukum
dan keadilan
Kehidupan sosial
politik yang baik
Madi>nah atau
Ketaatan pada hukum
adalah pangkal
keadaban
Civility
Rechtstaat
Machtstaat
Dalam uraian klasifikasi pada tabel 2 tentang oposisi berpasangan
yaitu antar kata penyimpangan dan manipulasi hukum dengan kata
penegakan asas hukum dan keadilan, kata Darwinisme dalam
kehidupan sosial dengan kata kehidupan sosial-politik yang baik,
kata “ Lawless society” atau masyarakat hukum rimba dengan kata
Madi>nah atau ketaatan pada hukum adalah pangkal keadaban,
kata masyrakat tak berkeadaban dengan kata Civility, kata
Machtstaat dengan kata Rechtstaat . Klasifikasi kata-kata itu tertulis
dalam table 2 tentang oposisi berpasangan AD kedua seperti
tersurat di atas.
Dengan demikian berdasarkan tebel 2 itu, maka makna
konotasi AD kedua secara singkat adalah penyimpangan dan
manipulasi hukum oleh aparat penegak hukum
telah
menghilangkan keperca-yaan masyarakat terhadap dunia peradilan
199
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
di Indonesia dan menjadikan Indonesia seperti negara kekuasaan
(machstaat ) di mana yang lemah tidak mampu bertahan hidup
menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, penegakan supremasi
hukum dan keadilan secara konsisten dan konsekuen untuk
mewujudkan negara hukum (rechtstaat ) dalam bingkai pelaksanaan
good governance.
Di samping itu berdasarkan kutipan dari teladan Abu
54
Bakar, secara makna konotatif dapat dipahami bahwa NCM
mengajak bangsa Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim
untuk menumbangkan mitos dalam dunia peradilan di Indonesia:
hukum hanya diberlakukan untuk orang yang miskin baik
finansial maupun struktural dan tidak dikenakan bagi orang kaya
atau kuat.
Pada paragraf kedua penjelasan AD kedua, NCM
menegaskan bahwa ketaatan pada h ukum adalah pangkal keadaban
(madaniyyah) atau civility. Sebaliknya, “ lawless society” atau
“masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat tak
berkeadaban, yang menuju kepada kehancuran.55 Jadi dalam AD
NCM kedua dan penjelasannya ini pun, modalitas bahasa politesse
tidak berlaku. NCM di sini membuka berbagai aib dan borok-borok
kehidupan sosial dengan tegas seperti tersurat dalam
isan katakata: penyimpangan dan manipulasi hukum, darwinisme dalam
kehidupan sosial politik, “ lawless society” atau masy arakat hukum
rimba, masyarakat tak berkeadaban dan machtstaat .
Pelaksanaan good governance diharapkan akan mendorong
pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas dan teguh.
Sebaliknya, tanpa tegaknya asas hukum dan keadilan, pelaksanaan
good governance adalah mustahil. 56 Penegakan supremasi hukum
berarti semua unsur dan lapisan masyarakat, termasuk penguasa
54
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 124.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 123-124.
56
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 122-123.
55
200
Suhaimi
tunduk, terikat dan taat pada hukum dan peraturan perundangundangan.57
Dalam bahasa Arab “peradaban” memang dinyatakan dalam
kata-kata “ madaniyyah” atau “tamaddun ”, selain dalam kata -kata
“ had}a> rah”.58 Karena itu tindakan Nabi saw mengubah nama
Yathrib menjadi Madi>nah pada hakikatnya adalah sebuah
pernyataan niat atau proklamasi, bahwa beliau bersama para
pendukung beliau yang terdiri dari kaum Muh a>jiri >n dan kaum
Ans}a> r hendak mendirikan dan membangun masyarakat
beradab.59
Bangunan itu dalam bahasa Arab disebut juga ‘ima>rah
berderivasi menjadi ‘umra>n (peradaban) dan ma‘mu>r
(berperadaban, kerta-raharja). Daratan berpenghuni ramai dan
berperadaban disebut al-Da>ira>t al-M a‘mu>rah. Dalam bahasa
Yunani disebut Oikumené, asal makna gerakan Ekumenisme
Nasrani. Dalam lingkungan Oikumené itu tumbuh berbagai polis,
negara kota yang menjadi pusat peradaban.60 Dari bahasa Yunani
“polis” itulah diambil dasar pengertian “politik” (“ politics”–the art
of science of government or governing, especially the governing of
a political entity, such as a nation, and the administration and
control of its internal and external affairs). Jadi M adi>nah
mempunyai makna yang sama dengan polis. Menurut NCM,
M adi>nah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik
berdasarkan pengertian tentang negara bangsa, nation state, yaitu
negara untuk seluruh umat atau warga negara demi maslahat
bersama.61
57
Ahmad Sukarja, “Tiga Kategori Hukum dan Masyarakat Madani,”
dalam Firdaus Efendi dan Khamami Zada,ed. Membangun Masyarakat Madani
Melalui Khutbah dan Ceramah (Jakarta, Nuansa Madani, Cetakan I, Desember
1999), 284.
58
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta,
Paramadina, Cetakan I, Maret 1999), 164.
59
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 164.
60
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 47.
61
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 47.
201
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan, menurut
Daniel S. Lev seperti dikutip oleh Adhyaksa Dault, meskipun
sudah ada tiga presiden baru yang semuanya menjanjikan
perbaikan atas proses hukum, negara hukum yang dicita-citakan
oleh rakyat tak kunjung terwujud.62 Ternyata kekuasaan Orla dan
Orba selama 40 tahun merupakan “bencana” untuk negara dan
masyarakat Indonesia, karena negara menjadi penuh korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran hak asasi manusia,
tanpa lembaga-lembaga negara yang dapat dipercaya termasuk
pengadilan, kejaksaan dan polisi. 6 3 Pada tahun 2001, seperti tahuntahun sebelumnya, ada janji dan beberapa langkah di seputar soal
hukum. Undang-Undang perlu diloloskan, Rencana UndangUndang dipertimbangkan, lembaga-lembaga baru dibentuk, supaya
hakim, jaksa, dan polisi bertindak semestinya, dan seterusnya,
tetapi belum terlihat perubahan yang fundamental.
Dari 961 perkara korupsi yang dilakukan penyidikan selama
periode Januari 2004 -April 2005, saat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono berkuasa, baru dapat diselesaikan sebanyak 149
perkara, atau kurang dari 20 persen, sisa per April 2005 sebanyak
812 perkara korupsi yang belum selesai penyelidikannya.6 4
Menurut NCM, melemahnya kesadaran arah dan tujuan hidu
bernegara yang menggejala saat ini dan dunia peradilan Indonesia
yang telah terjerat praktek suap -menyuap dan jaringan
penyimpangan hukum yang terorganisasi semacam organized
crime serta indikasi tindakan kejahatan yang berlangsung dengan
lindungan helat hukum berdampak sangat negatif kepada
penegakan hukum dan keadilan. 65 Karena praktek suap -menyuap
yang terkutuk itu, mayarakat semakin banyak kehilangan
62
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal
dalam Konteks Nasional, 109.
63
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal
dalam Konteks Nasional, 109.
64
Rusdi Marpaung dan J. Heri Sugianto, ed., Demokrasi yang Selektif
terhadap Penegakan HAM [Laporan Kondisi HAM Indonesia 2 5] (Jakarta,
Imparsial, Cetakan Pertama, Oktober 2006), 34.
65
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 123.
202
Suhaimi
kepercayaan kepada proses-proses penegakan hukum dan keadilan
oleh aparat yang bersangkutan. Pembahasan dalam Reader’s
Digest , sebuah majalah popular konservatif yang merupakan salah
satu dari majalah beroplah terbesar di dunia, mengatakan bahwa
Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju dalam waktu dekat
ini, karena Indonesia mempunyai etika kerja yang cacat dan
korupsi yang gawat. 66
Berkenaan dengan hal ini, berlaku atas umat Islam sebagai
bagian terbesar dari penduduk bangsa Indonesia hukum “ corruptio
optimi pessima ” (“kejahatan oleh orang baik adalah kejahatan yang
buruk”), maka pelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan
oleh kaum Muslim akan mendatangkan malapetaka berlipat ganda.
Hukum yang sama berlaku atas setiap penganut agama lainnya di
Indonesia.67
Hukum dan keadilan harus ditegakkan tanpa memandang
siapa yang akan terkena akibatnya, meskipun mengenai diri sendiri,
kedua orang tua atau sanak keluarga. Dan Nabi Muhammad saw
telah memberi teladan kepada kita dalam rangka menegakkan
masyarakat madani atau civil society, tidak pernah membedakan
antara “orang atas”, “orang bawah”, atau pun keluarga
ri.6 8
Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di
masa lalu adalah karena jika “orang atas” melakukan kejahatan
dibiarkan, tapi jika “orang bawah” melakukannya pasti
Karena itu Nabi pun menegaskan, bahwa seandainya Fatimah, putri
beliau, mencuri, maka Muhammad pasti akan memotong
tangannya.69
Dengan demikian, terwujudnya kebaikan dalam kehidupan
sosial manusia senantiasa memerlukan campur tangan
kepemimpinan yang benar dan sadar akan tugas kemanusiaan,
66
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , 409-410.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 107.
68
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 172.
69
Mus}t}afa> al-Siba>‘i, ‘Uz}ama>una> fi> al-Ta@>ri>kh (Kairo,
Da>r al-Sala>m, Catakan I, 1998), 36.
67
203
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
ketaatan pada hukum dan aturan adalah pangkal keadaban,
madaniyyah atau civility. Sebaliknya, “ lawless society” atau
“masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat tak
berkeadaban, yang menuju kepada kehancuran.70
Seperti teladan Nabi Muhammad saw tertulis di atas, Abu>
Bakr al-S}iddi>q, pada saat dikukuhkan menjadi Khali>fat
rasu >lillah dalam pidatonya mengatakan, “…yang kuat di antara
kalian bagiku adalah lemah, sampai aku akan ambil dari mereka
hak-hak kaum miskin; dan yang lemah di antara kalian bagiku
adalah kuat, sampai aku berikan mereka hak-hak mereka.”. 71
4. Makna AD Ketiga dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 3.Melaksanakan Rekonsiliasi Nasional.
Kalimat berita dengan P berimbuhan gabungan me–kan
terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan l untuk
membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi terlaksana. 72
Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.73 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata
atau kelompok kata. 74
Tanda baca titik dua pada akhir kalimat dipergunakan u
suatu pernyataan yang lengkap dan diikuti suatu rangkaian atau
pemerian.7 5
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
ketiga seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
70
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 124.
Mus}t}afa> al-Siba>‘i, ‘Uz}ama>una> fi> al-Ta >ri>kh , 61.
72
Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik , 124.
73
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
74
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
75
Gorys Keraf, Komposisi, 20-21.
71
204
Suhaimi
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan sebagai berikut di bawah ini:
Tabel 3
Oposisi B iner AD ketiga
Buruk
Baik
Pelajaran pahit
masa lalu
Pelanggran hak
asasi manusia
Memelihara stigma
dan trauma sosial
masa lalu
Rentetan vendetta
Tekad tidak
mengulangi
Saling hormat
saling percaya
Saling menghargai
kehidupan sosial
politik yang baik
Pendamaian dan
penyatuan antar
manusia
(is}la@hun bayna
al-na@s)
Tindakan hukum
secara tegas
Dendam dan balas
dendam
Dalam uraian klasifikasi pada tabel 3 tentang oposisi
berpasangan AD ketiga di atas, kata-kata yang dapat dimasukkan
yaitu antar kata pelajaran pahit masa lalu dengan tekad tidak
mengulangi, kata pelanggaran hak asasi manusia dengan
saling hormat dan saling percaya, kata memelihara stigma dan
trauma masa lalu dengan kata saling menghargai kehidupan sosialpolitik yang lebih baik, kata rentetan vendetta dengan kata
pendamaian dan penyatuan antar manusia (is}la>hun baina alna>s), kata dendam dan balas dendam dengan kata tindakan hukum
secara tegas.
Dengan demikian makna konotasi AD ketiga secara singkat
adalah melaksanakan rekonsiliasi nasional dengan berusaha
205
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
menjadikan segala pelanggaran hukum dan hak asasi manusia
menjadi pelajaran pahit di masa lalu dengan tekad tidak
mengulanginya di masa datang untuk menatap masa depan ngan
menerapkan hukum secara tegas dan pendamaian serta penyatuan
seluruh kekuatan bangsa.
Usaha mengatasi krisis multidimensional yang
kini
menimpa bangsa Indonesia, tidak mungkin berhasil tanpa
keterlibatan seluruh kekuatan bangsa yang dengan sendirinya
mensyaratkan adanya rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional
menjadi suatu keharusan bagi bangsa Indonesia agar dapat bangkit
kembali sebagai bangsa besar yang terhormat di tengah bangsabangsa lainnya di dunia ini. 76
Menurut NCM agenda rekonsiliasi nasional ini dapat
dilaksanakan dengan langkah: a.Menarik pelajaran pahit dari masa
lalu dengan tekad tidak mengulanginya; b. Menatap masa depan
dengan pendamaian dan penyatuan seluruh kekuatan bangsa; c.
Menegaskan garis pemisah antara masa lalu dan masa mendatang.7 7
Jadi dalam AD ketiga dan penjelasannya inipun, NCM
memaparkan tulisannya dengan bahasa yang polos tak bertopeng
dengan kata-kata yang sangat anti -politesse seperti perlawanan
kepada hukum dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, tindakan
hukum secara tegas, rentetan dendam dan balas dendam.
Pada penjelasan AD ketiga yang menguraikan bagaimana
melakukan rekonsiliasi nasional dengan menatap masa depan
bangsa melalui pendamaian dan penyatuan seluruh kekuatan
bangsa, NCM menuliskan kata is}la>hun baina al-na>s dengan
merujuk kitab suci al-Qur’an, surat al-Nisa> (4), ayat 114 yang
artinya: tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan -bisikan
mereka, kecuali bisikan -bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat
76
Judo Poerwowidagdo, ed., Rekonsiliasi Nasional Menuju Masyarakat
Sipil yang Demokratis (Jakarta, Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan
Perdamaian, Cetakan I, 2004), viii.
77
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 125-127.
206
Suhaimi
demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar. 78
Dasar pijakan rekonsiliasi secara psikologis adalah sikap
menghormati sesama manusia siapapun dia, saling mempercayai,
sikap mendengar aktif pengalaman korban, menerima pengalaman
pihak lain tanpa prasangka, mencari alternatif yang terbaik bersama
korban dalam menemukan solusi damai dan menindaklanjuti
kesepakatan bersama.79 Sikap saling hormat dan saling percaya itu,
yang kebenarannya seharusnya dapat disikapi sebagai kewajaran,
sekarang menjadi bertambah sulit diwujudkan karena gejolak
sejarah perkembangan bangsa yang diwarnai kekerasan,
perlawanan kepada hukum dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia.80
Bangsa Indonesia terancam menjadi terpecah belah karena
konflik -konflik yang bernuansa suku, agama, ras dan antar etnis
(SARA), karena ketidakadilan dan pelanggran HAM berat
tengah masyarakat serta KKN yang merebak dan merajalela.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi berbagai krisis ini,
namun dampak keterpurukan ekonomi, sosial dan politik masih
terasa hingga saat ini. 81
Kajian tentang konflik-konflik internal di Indonesia telah
sampai pada pertanyaan besar apakah ada kemungkinan bangsa
Indonesia akan mengalami kondisi yang jauh lebih buruk dan
menjelma menjadi failed state seperti yang dialami oleh
Afghanistan, Angola, atau Congo? Para akademisi umumnya
sepakat bahwa Indonesia tidak akan menjelma menjadi failed
state,82 berdasarkan argumentasi bahwa: 1) selain Papua, tidak a
78
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya
(Surabaya, Penerbit al-Hidayah, 1998), 140.
79
Saparinah Sadli, “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak,” dalam
Judo Poerwowidagdo, ed., Rekonsiliasi Nasional, 15.
80
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 125.
81
Judo Poerwowidagdo, ed., Rekonsiliasi Nasional, viii.
82
Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde
Baru Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta, Centre for
International Relations Studies (CIReS) bekerjasama dengan YOI, Cetakan
207
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
aksi separatisme yang berupaya melepaskan diri dari RI, 2) adanya
dukungan luas komunitas internasional bagi integritas ritorial
Indonesia, 3) aksi-aksi komunal cenderung bersifat sporadis dan
ditandai dengan provokasi pihak ketiga untuk memicu konflik, 4)
meningkatnya resistensi dan rasa antipasti masyarakat Indonesia
terhadap aksi-aksi kekerasan, 5) munculnya berbagai organisasi
non-pemerintah yang berupaya menciptakan civil society di
Indonesia.83
Pengalaman-pengalaman pahit di masa yang telah lalu
adalah sangat berharga sebagai bahan pelajaran untuk tidak diulang
lagi di masa mendatang, karena melupakannya mungkin akan
membuka pintu pengulangan, tapi demi masa depan yang lebih
baik, semua kalangan harus mulai merintis usaha menumbuhkan
sikap saling mengerti posisi masing-masing dan saling percaya dan
menghargai. 84 “ The power of forgiveness” dari seluruh lapisan
masyarakat berperan penting dalam menentukan seberapa besar
proses rekonsiliasi dapat kembali menyatukan masyarakat atau
bahkan “menyucikan” masyarakat dari noda kekerasan yang
selama ini terjadi. 8 5 Pendamaian dan penyatuan antar manusia dan
antara seluruh kekuatan bangsa (isla>hun bayn a al-na>s).86
Alternatif atau pilihan lain untuk itu semua ialah
dibiarkannya terjadi rentetan vendetta sebagai akibat dari rentetan
dendam dan balas dendam, suatu hal yang akan menghabiskan
energi nasional dan menyeret rakyat kepada kesengsaraan tanpa
berkeputusan.Maka tidak ada jalan lain kecuali harus diusahakan
untuk mendamaikan dan menyatukan kembali semua pihak yang
terlibat dalam konflik -konflik pada masa lalu. Dengan demikian
rekonsiliasi berarti kesediaan memaafkan sejarah pahit demi
Pertama, Januari 2007), 8. Para akademisi itu a.l. adalah Donald K.
“Will Indonesia Survive?,” dalam Foreign Affairs, May/June 2000, 95.
83
Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds.,Disintegrasi Pasca Orde
Baru , 9.
84
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 126.
85
Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde
Baru , 38.
86
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 127.
208
Suhaimi
menciptakan tatanan sosial politik yang lebih baik pada masa
depan. 87 Proses rekonsiliasi dapat dikatakan berhasil jika pihakpihak yang bertikai telah berhasil bersama-sama memandang
penderitaan yang selama ini dialami oleh masing-masing kelompok
sebagai suatu pengorbanan yang memang diperlukan untuk
memperkuat sendi-sendi bangsa. Tetapi terhadap pelanggaran di
masa mendatang harus dikenakan tindakan berdasarkan hukum
yang berlaku, secara tegar, tegas dan tidak kenal kompromi. Suatu
garis demarkasi harus ditarik dengan tegas untuk memisahkan
antara masa lalu dan masa kini serta masa datang, suatu garis yang
sama sekali tidak boleh dilangkahi. 88
5. Makna AD keempat dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 4.Merintis Reformasi Ekonomi dengan
mengutamakan pengembangan kegiatan
produktif dari bawah .
Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P
berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan r
untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna
menyebabkan jadi reformasi ekonomi terintis. Klausa kata Penghubung dengan menyatakan cara pelaksanaan reformasi ekono mi.8 9
Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.90 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan kata
atau kelompok kata. 91
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
keempat seperti tertulis dalam lampiran 1. di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
87
http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi (diakses 06 Agustus 2010).
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 128.
89
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 21.
90
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
91
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
88
209
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan sebagai berikut di bawah ini:
Tabel 4 Oposisi B iner AD keempat
Buruk
Kemelaratan rakyat
Kejahatan korupsi
Pemerintahan otoriter dan
totaliter
Krisis multi dimen sional
Pendekatan ekonomi top
down, berat dari atas
Baik
Kesejahteraan umum
Keadilan sosial
Inisiatif produktif dari
bawah
Keswastaan dan
keswadayaan dalam
kegiatan ekonomi
Demokrasi ekonomi
Berdasarkan uraian klasifikasi dalam tabel 4 tentang oposisi
berpasangan AD keempat di atas, terlihat kata-kata yang dapat
dimasukkan yaitu antar kata kemelara-tan rakyat dengan kata
kesejahteraan umum, kata kejahatan korupsi dengan kata keadilan
sosial, kata pemerintahan otoriter dan totaliter dengan kata inisiatif
produktif dari bawah, kata krisis multi dimensional dengan kata
keswastaan dan keswadayaan dalam kegiatan ekonomi, kata
pendekatan ekonomi top down , berat dari atas dengan kata
demokrasi ekonomi.
Dengan demikian makna konotasi AD keempat secara
singkat adalah merintis reformasi dan demokrasi ekonomi dengan
mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah dan
menjalin dukungan kelompok ekonomi swasta dan swadaya papan
atas dan menengah yang berjiwa nasionalis patriotik dalam rangka
mengatasi kemelaratan rakyat dan krisis multidimensional yang
berakibat kejahatan karena penyelewengan dan korupsi aparatur
pemerintahan yang otoriter dan totaliter.
Dalam memaparkan penjelasan AD keempat pada kalimat
keenam alinea pertama, NCM memberikan contoh kebijakan
Khalifah Umar Ibnu Khattab untuk menolak menghukum seorang
210
Suhaimi
pencuri di masa paceklik. Dengan tindakannya itu, Umar
menunjukkan
keinsafannya
bahwa
suatu
pemerintahan
bertanggungjawab mengatasi kemelaratan rakyat, paling idak
dengan tidak menghukum orang yang terpaksa karena kemelaratan
melakukan kejahatan.9 2 Jadi tertulis jelas dalam penjelasan AD
keempat bahwa NCM tidak berbahasa politesse seperti terlihat pula
dalam kata-kata yang digunakannya: kemelaratan rakyat, kejahatan
korupsi, pemerintahan otoriter dan totaliter, krisis multi
dimensional.
Pada masa paceklik, Umar Ibn Khattab meminta kepada
pembantunya agar disembelihkan unta lalu dagingnya dibagibagikan kepada penduduk Madinah. Ketika akan makan siang,
Umar menemukan punuk unta dan hati di depannya. Kedua bagian
tubuh unta ini dikenal sebagai bagian yang paling enak Umar
bertanya, “dari mana ini?” Seseorang menjawab, “dari unta yang
disembelih pada hari ini.” Umar berkata, “betapa buruknya aku
sebagai penguasa jika aku memakan bagian yang baik darinya dan
meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat!” Kemudian dia
memanggil pembantunya, “wahai Aslam, angkatlah mangkuk besar
ini serta berikan roti dan minyak kepadaku.”.93
Kenaikan harga minyak dunia mendorong pemerintah RI
sejak Oktober 2005 menaikkan harga bahan bakar minyak
yang menyebabkan inflasi tahunan sampai 18%, angka tertinggi
dalam enam tahun, sehingga meskipun terjadi pertumbuha
ekonomi yang positif selama periode tahun 2004-2006, masih
terlalu rendah untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang
merebak.9 4
Kemelaratan adalah salah satu penyebab utama kejahatan,
tapi sekalipun pelanggaran hukum oleh rakyat yang melarat dan
kelaparan tetap dipandang sebagai kejahatan, pelanggaran
92
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 129.
Mahmu>d al-Mis}ri Abu A´mma>r, M ausu>a´h min Akhla>qi alR asu >l, terjemahan, Abdul Amin dkk. (Jakarta, Pena Pundi Aksara, Cetakan I,
Februari 2009), 686.
94
MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , 734 -735.
93
211
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
hukumnya harus dipandang sebagai persoalan tanggungjawab
bersama, bukan hanya tanggungjawab pelakunya sendiri. Sebab
pemerintah bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan
umum sehingga tercegah kejahatan atas dorongan kemelaratan.9 5
Suatu hari, Umar menerima hadiah berupa manisan. Ketika
manisan itu hendak diletakkan dihadapannya, ia bertanya kepada
utusan yang membawanya, apakah ini?” Utusan itu menjawab,
“manisan yang dibuat oleh orang-orang Azerbaijan. Atabah Ibnu
Farqad, Gubernur Azerbaijan saat itu, telah mengutusku untuk
mengirimkannya kepadamu.” Umar mencicipinya dan merasakan
kelezatan yang luar biasa. Umar bertanya lagi, “apakah semua umat
Islam di sana memakan manisan ini?” Ia menjawab, “tidak. Ini
adalah makanan untuk orang-orang khusus.” Umar berkata, “di
mana untamu? Ambillah ini dan bawalah kepada Atabah, lalu
katakana kepadanya, ‘bertakwalah kepada Allah dan kenyangkan
kaum muslimin dengan makanan yang mengenyangkanmu.’.96
Dalam teori dan pemikiran, tokoh -tokoh RI pada umumnya
cenderung anti-kapitalis dan prososialis, tapi mereka tidak
menerima sepenuhnya konsep sosialisme Barat, apalagi sosialisme
Marxis. Mereka membayangkan sosialisme lain yang berakar pada
nilai-nilai tradisi Indonesia sendiri, termasuk tradisi sosialisme
religious. Mereka mengidealisasikan kondisi gotong-royong dan
kekeluargaan. 97 Para tokoh pendiri negara telah menetapkan
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan
negara RI. Karena itu pemerintah wajib berusaha melaksanakan
pembagian kekayaan nasional (redistribution of nation’s wealth)
secara adil dan merata. 9 8 Hal itu menurut Kuntowijoyo sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Lawrence Krader dalam
tulisannya A Treatise of Social Labor ( 1979), yang menyebutkan
95
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 129.
Mahmu>d al-Mis}ri Abu A´mma>r, M ausu>a´h min Akhla>qi alR asu >l, 686.
97
M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah
dan Perubahan Sosial (Jakarta, LP3ES bekerjasama dengan LSAF, Cetakan I,
Agustus 1999), 61.
98
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 130.
96
212
Suhaimi
perbedaan antara kelas divided society dengan civil society ialah
distributive justice pada civil society. Demokrasi sosial, karena itu,
adalah keharusan yang tak bisa ditawar lagi, apabila k
menginginkan negara modern dengan kemanusiaan yang adil dan
beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.9 9
Usaha itu dalam konteks perkembangan bangsa dan negara
yang sedang dalam keadaan kritis saat ini, dilakukan dengan
memerangi tindakan penyelewengan kekayaan nasional, khususnya
kejahatan korupsi. Serentak dengan itu aktifitas ekonomi harus
dikembangkan dengan tekanan pada usaha mendorong tumbu ya
inisitaif produktif dari bawah, bukan dengan pola pendekatan top
down.10 0
Di Indonesia, gejala yang cukup mencolok sejak Orba
adalah tumbuhnya dan dibentuknya lembaga-lembaga modern yang
menjadi ciri kapitalisme, birokrasi, negara, dan sektor volunteer.
Pada mulanya, perkembangan yang pesat terjadi di sektor negara
dan birokrasi, kemudian diikuti oleh lembaga-lembaga kapitalis,
terutama dalam bentuk perusahaan -perusahaan.1 01
Pengalaman bangsa Indonesia pada masa Orba yang
menerapkan sistem ekonomi berat dari atas, telah membuktikan
bahwa pola pendekatan top down telah menciptakan lahan subur
untuk berbagai bentuk penyelewengan, khususnya kejahatan
korupsi, kolusi antara “penguasa dan pengusaha”, dan praktek
nepotisme dan perkoncoan atau kronisme.1 02 Kemampuan ekonomi
dan militer negara sangat besar, kekuasaan negara dilaksanakan
melalui patronase. Modal asing dan dari para cukong d ibagi-bagi di
antara para birokrat militer dan elit daerah. Kepala desa diangkat
sebagai klien negara yang mengontrol dan memantau hampir
seluruh kegiatan. 103
99
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung, Mizan
bekerjasama dengan Majalah Ummat, Cetakan I, Mei 1997), 132.
100
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 130-131.
101
M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani, 69.
102
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 131.
103
Andres Uhlin, Oposisi Berserak , 45 .
213
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Menarik pelajaran dari pengalaman beberapa negara, krisis
multidimensional yang RI hadapi saat ini tidak akan berakhir tanpa
inisiatif dari bawah dalam bentuk keswastaan dan keswadayaan
kegiatan ekonomi, sehingga beban tanggungjawab terdistribusikan
kepada seluruh warga negara, hal ini diperlukan tidak
untuk
sehatnya bangunan ekonomi, tapi juga untuk kemantapan
demokrasi dan keadilan. 10 4
Seharusnya sentra-sentra kegiatan keswastaan dan
keswadayaan produktif papan bawah dilindungi dan dikembangkan
oleh pemerintah saat ini, dalam semangat affirmative action , berupa
kebijakan -kebijakan dan program -program mengatasi pengaruh
diskriminasi dan pengingkaran hak pada masa Orba bekerjasama
dengan semua pihak, khususnya papan atas dan menengah
kelompok ekonomi nasion alis-patriotik yang juga bersemangat
keswastaan dan keswadayaan produktif. 105 Dengan tetap waspada
jangan sampai berubah menjadi tindakan diskriminatif.
6.Makna AD Kelima dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 5.Mengembangkan dan memperkuat pranata pranata demokrasi: kebebasan sipil
(khususnya kebebasan pers dan akademik),
pembagian tugas dan wewenang yang jelas
antara pemerintahan, perwakilan, dan penga dilan.
Petanda: Kalimat majemuk setara dengan kata penghubung dan berfungsi menggabungkan kegiatan mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi.
Kalimat dengan P berimbuhan gabungan me-kan terhadap
kata dasar berhuruf awal konsonan kembang untuk membentuk
kata kerja aktif yang menghasilkan makna menyebabkan jadi dan P
104
105
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 131.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 133.
214
Suhaimi
berimbuhan gabungan memper terhadap kata sifat kuat berfungsi
menghasilkan makna membuat jadi lebi10 6
Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.1 07 Dan ditulis dengan miring untuk penegasan
kata atau kelompok kata. 1 08
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
kelima seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan sebagai berikut di bawah ini:
Pada uraian klasifikasi dalam tabel 5 tentang oposisi
berpasangan AD kelima tertulis sebagai berikut di bawah ini,
terlihat kata -kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata kelaparan
dengan kata kebebasan, kata totaliterianisme dan otoriterianisme
dengan kata kebebasan pers dan akademik, kata kategori statis
dengan kata kategori dinamis (checks and balances), kata
manipulasi politik dengan kata sistem sosial politik demokratis, dan
kata penyelewengan politik dengan kata reformasi parta politik,
kata “wakil rakyat hasil drop -dropan” dengan kata reformasi
pemilihan umum, kata restu pimpinan partai dengan konvensi
berjenjang, kata paternalisme dengan kata demokrasi partisipatif,
kata Feodalisme dengan kata pemilihan langsung, kata kesetiaan
pada negeri dengan kata kesetiaan pada partai. Seluruh kata-kata itu
menjadi penanda bahwa NCM berbahasa dengan kata-kata yang
sangat anti -politesse.
106
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 21.
107
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
108
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
215
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Tabel 5
Oposisi B iner AD kelima
Buruk
Baik
Kelaparan
Totaliterianisme
Otoritarianisme
Ketegori statis
Kebebasan
Kebebasan pers dan
akademik
Kategori dinamis (checks
and balances)
Manipulasi politik
Sistem sosial politik
demokratis
Penyelewengan politik
“Wakil rakyat hasil drop dropan”
Restu pimpinan partai
Paternalisme
Feodalisme
Kesetiaan pada partai
Reformasi partai politik
Reformasi pemilihan
umum
Konvensi berjenjang
Demokrasi partisipatif
Pemilihan langsung
Kesetiaan pada negeri
Dengan demikian makna konotasi AD kelima secara singkat
adalah mengembangkan pranata-pranata demokrasi d engan
memperkuat kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan
akademik) untuk melaksanakan pengawasan lingkungan dan
kontrol sosial seperti peristiwa kelaparan dan kontrol politik seperti
manipulasi dan penyelwengan politik, dan dengan melakukan
reformasi partai politik dan pemilihan umum sehingga tercipta
pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan,
perwakilan, dan pengadilan dalam rangka melakukan pengendalian
dan pengimbangan kewenangan tugas dan pelaksanaan
tanggungjawab ketiga lembaga tinggi negara itu sebagai tiga pilar
atau tiga tiang demokrasi.
216
Suhaimi
“ Dalam masyarakat bebas, tidak akan terjadi bahaya
kelaparan ”, itulah sebuah ungkapan optimis tentang efek positif
kebebasan. Ungkapan itu sepintas lalu tampak seperti mengandung
urutan logika yang terputus; apa hubungan kebebasan dan jaminan
tidak akan terjadinya bahaya kelaparan?10 9
Bangsa Indonesia saat ini berada dalam era reformasi yang
menyeluruh dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
berbangsa, termasuk reformasi di bidang media massa. Dalam hal
ini upaya reformasi media massa diarahkan pada tujuan
mewujudkan sistem dan kehidupan media massa yang
“demokratis” dan “adil” bagi segenap lapisan masyarakat
Indonesia.11 0 Jika ditilik dari fungsi sosial media massa,menurut
Harold D. Lasswell, memiliki fungsi: 1) Surveillance atau pengawasan sosial, 2) Korelasi sosial, 3) Interpretasi, dan 4) Hiburan.111
Berdasarkan fungsi itu, menurut NCM, kebebasan pers akan
membuahkan mekanisme pengawasan sosial terhadap bahaya
kelaparan di suatu tempat yang merupakan kejadian yang patut
diberitakan. Berita itu berdampak pengawasan kepada pemerintah
untuk menunjukkan tanggungjawab mereka serta gugahan kepada
masyarakat untuk memberi bantuan, sehingga bahaya kelaparan
teratasi. 11 2
Kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia selama ini
masih menganggap bahwa keberhasilan pembangunan hanya
melihat tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi tanpa memandang
bagaimana distribusi pendapatan berdasarkan kelas sosial dan lintas
109
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 134.
Sasa Djuarsa Sendjaja, “Sistem Media Massa yang Adil dan
Demokratis Sesuai Tuntutan Reformasi”. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi,
Volume I (Juli 1998).
111
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan Strategi
Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik (Yogyakarta, ANDI, Cetakan I,
2005), 72-73.
112
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 134.
110
217
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
wilayah.11 3 Beberapa kasus di wilayah Jakarta dan Tangerang dapat
dijadikan contoh: pemugaran Bundaran Hotel Indonesia yang
menelan biaya kelewat tinggi, pemagaran lanscap Monas
membatasi keleluasaan pedagang kaki lima dan warga kota atau
ijin pembangunan properti di Pantai Indah Kapuk yang merongrong
daerah resapan air. 114 Bersama dengan tegaknya keadilan distribusi
pendapatan, kebebasanlah yang menjadi sumber energi yang
dinamis bagi warga masyarakat untuk mendorong tumbuhnya
inisiatif-inisiatif produktif. Dinamika ekonomi swasta-swadaya
yang berfungsi sebagai fondasi cakar ayam bangunan negarabangsa akan tumbuh hanya dalam suasana kebebasan.1 15 Jadi
kebebasan itu berhubungan dengan upaya mengatasi kelaparan.
Pendekatan bottom up seyogyanya dilakukan bukan hanya pada
level perencanaan kegiatan, tapi juga pada tahap implementasi dan
evaluasi pembangunan. Pembangunan yang berpihak pada rakyat,
berangkat dari bawah, berdasarkan kebutuhan riil mereka. 116
Kebebasan adalah buah hasil gerakan reformasi 1998 yang
paling berharga dan harus dikonsolidasi begitu rupa sehingga tidak
mudah tergoyahkan oleh perubahan sosial-politik yang tak terduga.
Khususnya kebebasan pers dan akademik, “ruang suci” (sacred
space) masyrakat demokratis, harus benar-benar dilindungi dan
dikembangkan dengan tingkat kesungguhan yang setinggitingginya. 117
Pers adalah tiang demokrasi keempat setelah lembaga
politik legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lazim dikenal dalam
kerangka pemikiran trias politica yang masing-masing
komponennya mengenal pembagian kerja yang jelas dan
113
Joe Fernandez, “Partisipasi Substansial dan Transparansi dalam
Pembangunan Berbasis Sosial,” dalam Burhanuddin, ed. Mencari Akar Kultural
Civil Society, 145.
114
Burhanuddin, ed. Mencari Akar Kultural Civil Society, 133 -134.
115
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 135.
116
Burhanuddin, ed. Mencari Akar Kultural Civil Society, 134.
117
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 136.
218
Suhaimi
berhubungan satu sama lain dalam rangka checks and balances
atau pengendalian dan pengimbangan. Kekacauan dalam
pembagian kerja antara ketiga lembaga itu di Indonesia saat ini
merupakan salah satu sumber korupsi dan bentuk-bentuk
penyelewengan politik, akibat tidak tahu dan tidak dewasa. Menata
kembali dengan baik pembagian kerja itu melibatkan kesadaran
tugas dan kemantapan diri para pelakunya untuk berbakti kepada
bangsa dan negara dalam menerima wewenang kenegaraan. 11 8
Runtuhnya rezim otoriter Orba tidak dengan sendirinya
mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang demokrasi. Tr
dari rezim otoriter ke rezim demokratis menyisakan banyak
problem, warisan budaya lama yang tidak demokratis menghambat
perjalanan rezim baru yang sedang mengupayakan pemerintahan
demokratis. Bahkan warisan rezim lama diyakini banyak
sebagai ancaman serius bagi konsolidasi demokrasi. 1 19 Penggunaan
cara “drop-dropan” dalam penentuan seorang “wakil rakyat” adalah
suatu kepalsuan, sama pula halnya proses rekrutmen dan promosi
seorang menjadi anggota pembuat hukum di parlemen, pelaksaana
hukum di pemerintahan, dan pengawasan pelaksanaannya di
lembaga keadilan, membuat mereka kekurangan kredensial,
legitimasi dan kemantapan diri dalam menerima wewenang
kenegaraan. 120
Oleh karena itu reformasi bidang kepartaian dan pemilu
mutlak diperlukan. Partai politik hendaknya dipimpin oleh mereka
yang piawai dalam masalah politik dan manajemen politik, tetapi
mereka sendiri bukan politisi, sehingga asas-asas keterbukaan,
egalitarianisme, dan demokrasi partisipatif sebuah negara bangsa
dapat diterapkan. 1 21 Manajemen partai itu secara profesional
118
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 138.
Abas Al-Jauhari, “Toleransi Politik dalam Transisis Demokrasi”,
dalam Burhanuddin, ed., Mencari Akar Kultural Civil Society, 204.
120
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 139.
121
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 141.
119
219
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
berusaha menangkap berbagai kecenderungan dalam masyarakat
dan diolah secara ilmiah berdasarkan nilai ideologi partai itu yang
kemudian dijadikan dasar platform politik partai. Politisi calon
peserta pemilu direkrut dan dipilih melalui proses terbuka, adil dan
meritokratik dari mekanisme konvensi yang dilaksanakan berjen jang dari bawah ke atas, sampai ke tingkat nasional.
Dengan demikian seorang terpilih menjadi peserta pemilu
sebagai calon anggota badan legislatif atau presiden dan wakil
presiden tidak sama sekali tergantung kepada restu pimpinan partai,
melainkan atas pilihan para anggota partai secara demokratis.12 2
Demokrasi dalam pandangan NCM sesungguhnya merupakan
konsep yang memiliki sinonim dengan apa yang disebut polyarchy.
Demokrasi dalam pengertian ini bukanlah sistem pemerintahan
yang mencakup keseluruhan cita-cita demokratis, tetapi yang
mendekatinya sampai batas-batas yang pantas. Oleh karena itu ,
setiap bentuk pengaturan politik yang demokratis memerlukan
ikatan bersama yang dalam dunia modern saat ini dikena dengan
ikatan rasa kebangsaan.123 Pilihan umat Islam kepada demokrasi,
menurutnya, bukan hanya karena secara prinsipil nilai-nilai
demokrasi itu dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran
Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan politik yang
terbuka untuk sewaktu -waktu mengadakan koreksi atas
pemerintahan sesuai dengan ketentuan konstitusional.1 24
7. Makna AD Keenam dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 6. Meningkatkan ketahanan dan keamanan
nasional dengan membangun harkat dan
martabat personil dan pranata TNI dan
Polri dalam bingkai demokrasi
Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P
berawalan me terhadap kata dasar yang berhuruf awal konsonan t
122
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 141.
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 7.
124
M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 226.
123
220
Suhaimi
untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna
menyebabkan jadi peningkatan ketahanan dan keamanan nasional.
Klausa kata penghubung dengan menyatakan cara pelaksanaan nya.1 25
Kalimat tersebut tidak menggu -nakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.126 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan
kata atau kelompok kata. 1 27
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
keenam seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan sebagai berikut dalam uraian klasifikasi pada
tabel 6 tentang oposisi berpasangan AD keenam di bawah ini,
terlihat kata-kata yang dapat dimasukkan yaitu antar kata
kemampuan pertahanan dan keamanan rendah dengan kata
kekuasaan Orde Baru runtuh, kata kesadaran tugas aparatur negara
turun dengan kata kesejahteraan personil TNI dan Polri, kata
legitimasi aparatur negara runtuh dengan kata p enggantian
peralatan fisik pertahanan dan keamanan, kata krisis finansial
dengan kata membangun martabat TNI dan Po lri, kata tindakan
kekerasan dalam bidang sosial politik dengan kata sistem
demokrasi dan pengawasan dan pengimbangan publik.
125
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 21.
126
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
127
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
221
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Tabel 6
Oposisi B iner AD keenam
Buruk
Baik
Kemampuan pertahanan
dan tingkat keamanan
umum rendah
Kekuasaan Orde Baru
jatuh
Kesadaran tugas aparatur
negara turun
Legitimasi aparatur
negara runtuh
Krisis finansial
Kesejahteraan personil
TNI dan Polri
Penggantian peralatan
fisik pertahanan dan
keamanan
Membangun martabat TNI
dan Polri
Bingkai sistem demokrasi
Pengawasan dan
Pengimbangan publik
Tindakan kekerasan
dalam bidang sosial
politik
Semua kata-kata itu menunjukkan bahwa NCM tidak
memaparkan AD keenam dan penjelasannya dengan langage de
politesse berupa kata-kata krama yang mengalun, melodis dengan
bersuku-kata yang menekankan rasa adanya jarak status sosial
antara satu kelompok dengan lainnya. Sebaliknya NCM
menguraikan AD keenam dan penjelasannya dalam tulisan
mengunakan bahasa dengan kata-kata yang lugas dan
berterusterang seperti kata kemampuan pertahanan dan keamanan
rendah, kekuasaan Orde Baru runtuh, kata kesadaran tugas
aparatur negara turun, kata kesejahteraan personil TNI dan Polri
dan kata legitimasi aparatur negara runtuh .
Dengan demikian makna konotasi AD keenam secara
singkat adalah meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional
222
Suhaimi
yang rendah akibat kekuasaan Orde Baru yang runtuh bersama
merosotnya semangat aparatur negara sebagai pribadi maupun
secara institusi dengan membangun harkat dan martabat personil
dan pranata Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polis Republik
Indonesia (Polri) berdasarkan pengawasan masyarakat dan
pengimbangan publik dalam bingkai demokrasi.
Undang-Undang (UU) RI No.3/ 2002 tentang Pertahanan
Negara mengatakan bahwa sistem pertahanan NKRI pada
hakekatnya merupakan pertahanan yang bersifat semesta
mengerahkan dan mengintegrasikan seluruh kekuatan nasional
secara proporsional yang tergabung dalam komponen pertahanan
negara, sinerjisme komponen utama, komponen cadangan dan
komponen pendukung.128 Sedangkan tugas kepolisian, terutama
setelah terpisah dari organisasi tentara, adalah terkait dengan kiprah
memerangi tindak kejahatan, membantu menangani kasus
kenakalan anak-anak yang mengarah kepada tindakan kriminal,
serta melaksanakan berbagai tugas sebagai wujud cinta
kemanusiaan.129 Pasal 7 UU nomor 34/2004 tentang TNI, menegaskan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara,
mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan
Pancasila dan UUD RI tahun 1945, serta melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Untuk
melaksanakan tugas pokok TNI itu, TNI melaksanakan Operasi
Militer Untuk Perang dan Operasi Militer selain Perang. 13 0
Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya untuk Indonesia,
bukan untuk golongan tertentu seperti yang telah terjadi pada masa
Orba. Sifat dasar ini memberi landasan untuk membentuk
profesionalisme dan menjadi aspek ideologis patriotis TNI yang
ditujukan untuk membentenginya dari permainan politik
128
Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif (Jakarta,
Pusat Penerangan TNI, Cetakan pertama, Oktober 2007), 4.
129
A. Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian (Jakarta, PT Forum
Media Utama, Cetakan I, Nopember 2007), 2.
130
Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif, 9.
223
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
mengharuskannya berkemampuan profesional dengan skill dan
kinerja yang handal. 131 Jatuhnya kekuasaan Orba telah membawa
serta merosotnya semangat aparatur negara dan menurunn
kesadaran tugas mereka, bersamaan dengan melemah atau
runtuhnya legitimasi mereka, baik sebagai pribadi maupun sebagai
institusi, dalam bidang-bidang kegiatan yang selama Orba mereka
perankan secara sentral. 13 2 Hal itu antara lain disebabkan bahwa
mereka secara personal maupun institusional telah menjadi bagian
langsung dari sistem Orba yang runtuh itu sendiri.
Dengan perkataan lain, profesionalistas TNI sangat
ditentukan oleh kehendak politik dan dukungan pemerintah selain
tekad TNI untuk mewujudkannya. Secara operasional Pasa 2 ayat
(d) UU No. 34/2004 tentang TNI, menyatakan konsep definitif
tentara professional; yaitu tentara yang terlatih, terdidik,
diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, t
berbisnis,
dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik
negara yang menagnut prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM,
ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi. 133 Sementara secara universal tugas pokok kepolisian
di dunia ini memiliki kesamaan prinsip yaitu mewujudkan
kinerjanya sebagai polisi sipil (civillian po lice) dengan pelaksanaan
tugas dan kewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas) di wilayah negara masing-masing. 13 4
Oleh karena itu, sangat mendesak adanya kebijakan yang
jelas untuk mengembalikan harkat dan martabat pranata
personil badan penanggungjawab khusus masalah ketahanan dan
keamanan itu, yaitu TNI dan Polri, dengan memberi kepada mereka
kelengkapan -kelengkapan yang wajar dalam bingkai sistem
demokrasi dan proses demokratisasi dengan kesadaran public untuk
melakukan pengawasan dan pengimbangan.135
131
Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif, 5.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 143.
133
Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif, 8.
134
A. Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian , 6.
135
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 144.
132
224
Suhaimi
8.Makna AD Ketujuh dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 7.Memelihara keutuhan wilayah negara melalui
pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhinneka an dan keEka -an, serta pembangunan otono mi sasi.
Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P
berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan p
untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna
menyebabkan jadi keutuhan wilayah negara terpelihara. lausa
kata penghubung melalui menyatakan cara pelaksanaannya.13 6
Kalimat tersebut tidak menggu -nakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.137 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan
kata atau kelompok kata. 1 38
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
ketujuh seperti tertulis dalam lampiran 1 di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan .
Dalam tabel 7 sebagai tertulis berikut ini tentang oposisi
berpasangan AD ketujuh terlihat kata -kata yang dapat dimasukkan
yaitu antar kata penyeragaman dan separatisme dengan kata
pelaksanaan prinsip kebhinekaan dan keekaan, kata sentralisme
yang ekstrim dengan kata otonomisasi dan mengembangkan
budaya daerah dan melestarikan kearifan lokal, kata euphoria
otonomi dengan kata memperkaya budaya nasional sebagai budaya
hibrida yang unggul.
136
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 21.
137
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
138
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
225
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Tabel 7 Oposisi Biner AD ketujuh
Buruk
Penyeragaman
Separatisme
Sentralisme yang ekstrim
Baik
Pelaksanaan prinsip
kebhinnekaan dan keekaan
Otonomisasi
Mengembangkan budaya
daerah Melestarikan
kearifan lokal
Memperkaya budaya
nasional sebagai budaya
hibrida yang unggul
Dengan demikian makna konotasi AD ketujuh secara
singkat adalah memelihara keutuhan wilayah negara dan mencegah
separatisme melalui pendekatan budaya dengan melestarikan
keanekaragaman budaya daerah dan kearifan lokal untuk
membangun budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul
dan tanguh, serta memberi hak kepada daerah untuk mengatur
sendiri “urusan rumah tangga” masin g-masing dengan otonomisasi
berdasarkan pelaksanaan motto, Bhinneka Tunggal Ika, secara
konsisten.
Pada paragraf kedua penjelasan AD ketujuh dalam kalimat
keempat, NCM menekankan agar bangsa Indonesia memandang
budaya daerah yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan
kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan
pijakan untuk “berlomba-lomba menuju kepada berbagai
kebaikan”, suatu kalimat yang memiliki rujukan kepada kitab suci
al-Qur’an, surat al-Baqarah (2), ayat 148. Jadi seluruh kata-kata
yang NCM uraikan dalam AD ketujuh dan penjelasannya seperti
antara lain tertulis dalam tab el 7 dan kata-kata yang bersumberkan
ajaran Islam di atas itu menjadi penanda bahwa NCM berbahasa
dengan kata-kata yang sangat anti -politesse.
226
Suhaimi
Indonesia adalah sebuah negara yang sangat luas terbentang
dari Sabang sampai ke Merauke, sama dengan bentangan dari
London ke Teheran atau Seattle ke Miami, dengan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia yang terdiri dari banyak suku
dan bahasa daerah serta berbagai macam pola sosial-budaya, suatu
kemajemukan yang barangkali tiada duanya di dunia.139
Ada dua wacana dan strategi tentang pluralitas atau
kemajemukan tersebut di atas; di satu segi itu dipandang sebagai
sesuatu yang menjadi momok yang perlu diatasi dengan berbagai
strategi politisasi, di segi lain itu dipandang sebagai
keanekaragaman budaya yang kaya yang dapat menjadi sumber
pengembangan budaya hibrida yang tangguh. Suatu ironi besar
yang terjadi pada masa Orba yang sangat sering menyatakan
sistemnya terikat dengan nilai-nilai Pancasila, namun dalam
kehidupan sehari-hari menunjukkan keinginan kuat untuk
menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya di bidang
itik
pemerintahan daerah yang berangsur-angsur digiring untuk
mengikuti model pemerintahan di Jawa, sehingga mendorong
tumbuhnya perasaan tidak puas daerah kepada pusat dan di
beberapa tempat telah berkembang menjadi perlawanan untuk
memisahkan diri. 14 0
Bangsa Indonesia pada era reformasi ini sedang mengalami
proses transisi demokrasi, berada dalam situasi dipersimpangan
jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini
tidak dapat dilalui dengan baik, ancaman yang dihadapi tidak saja
proses disintegrasi bangsa (wilayah tertentu lepas dari negara), tapi
juga ancaman proses disintegrasi sosial atau hancurnya kerekatan
sosial (social bond) dalam masyarakat. 141
Berkenaan dengan hal di atas, tindakan terbaik ialah kemba139
Nurcholish Madjid, “Simbol dan simbolisme Keagamaan Populer
serta
Pemaknaannya
dalam
Perkembangan
Sosial-Politik Nasional
Kontemporer.” Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban , Volume 2, Nomor 2
(Januari-Juni 2010), 14-15.
140
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 145.
141
Imam B. Prasodjo, “The end of Indonesia?”, Kompas, 20 Desember
2000, 6.
227
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
li kepada konsistensi semangat motto, Bhinneka Tunggal Ika .
Keanekaragaman budaya daerah yang sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan merupakan perwujudan kearifan lokal yang harus
dijaga keutuhan dan kelestariannya, bahkan perlu diciptakan
suasana penyuburan silang budaya nasional yang tidak satu pun
budaya daerah terkecualikan.1 42 Dalam bidang politik hal itu
mengharuskan masyarakat untuk menerima secara positif
perbedaan orientasi politik, yang juga harus tersedia
bagi
kegiatan oposisi. Jadi langkah yang diperlukan bukan meredam
atau menyembunyikan pluralitas yang ada, atau memaksanya agar
menghablur, melainkan memberikan ruang terbuka agar berbagai
perbedaan itu muncul ke permukaan, berkelindan, dan
berdialektika secara wajar yang dihubungkan oleh garis kolinier
bernama demokrasi.1 43
Sejalan dengan itu dalam periode 1999-2004, banyak terjadi
perubahan di negara Indonesia, antara lain amandemen UUD,
demokratisasi, transparansi, liberalisasi, multipartai, pemilihan
presiden secara langsung, sistem pemilu, otonomi daerah,
DPR/DPRD yang sangat berkuasa, pergolakan daerah, hapu ya
dwifungsi ABRI atau pemisahan TNI dan Polri. 1 44 Berhubungan
dengan otonomi daerah, pemberian hak kepada daerah untuk
mengatur sendiri “urusan rumah tangga” masing-masing terkait
erat dengan masalah keadilan pembagian kekayaan nasional antara
pusat dan daerah, pada tahap awal pelaksanaannya banyak terjadi
tindakan eksesif bargaya euphoria oleh sebagian penanggungjawab
pemerintahan daerah. Hal itu sekali lagi adalah ekses pelaksanaan
yang bersifat sekunder, sehingga tidak dibenarkan mengalahkan
yang primer prinsipil yaitu otonomisasi. 14 5
142
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 146.
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana
Universal dalam Konteks Nasional, 99.
144
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Indonesia Dalam
Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, Cetakan I, 2005), 63.
145
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 147.
143
228
Suhaimi
9.Makna AD Kedelapan dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 8. Meratakan dan meningkatkan mutu
pendidikan di seluruh Nusantara.
Petanda: Kalimat majemuk setara dengan kata Penghubung dan berfungsi menggabungkan kegiatan meratakan dan
meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara. Kalimat
dengan P berimbuhan gabungan me-kan terhadap kata dasar
berhurup awal konsonan rata untuk membentuk kata kerja aktif
yang menghasilkan makna menye-babkan jadi dan P berimbuhan
gabungan memper terhadap kata sifat kuat berfungsi menghasilkan
makna membuat jadi lebih. 1 46 Kalimat tersebut tidak menggunakan
S untuk menghindari pengulangan kata agenda dasar dalam uraian
kalimat-kalimat AD NCM selanjutnya.147 Dan ditulis dengan italic
untuk penegasan kata atau kelompok kata. 14 8
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
kedelapan seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan sebagai berikut dalam tabel 8 tentang makna
konotasi AD kedelapan tertulis di bawah , terlihat kata -kata yang
dapat dimasukkan dalam oposisi berpasangan yaitu antar kata mutu
pendidikan rendah dengan kata pendidikan sebagai investasi modal
manusia jangka panjang, kata pendidikan tidak merata dengan kata
peningkatan fitrah manusia, kata simple minded dengan kata
profesionalisme di segala bidang, kata menunda kesenangan saat
ini dengan kata kebahagiaan masa depan, kata biaya yang besar
dengan kata pendidikan murah/gratis, kata kepincangan dalam
pendidikan, pengetahuan dan informasi dengan kata pemerataan
146
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 21.
147
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
148
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
229
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
mutu dan jumlah pendidikan, kata kesadaran terhadap arti
penelitian rendah dengan kata pengembangan ilmu pengetahuan
dan riset, kata perempuan masih jauh tertinggal oleh laki-laki
dalam pendidikan dengan kata pendidikan perempuan sama dengan
pendidikan seluruh keluarga, kata perdagangan obat-obatan
berbahaya dengan kata pengembangan kesehatan bagian dari
pendidikan jasmani, kata penyebaran penyakit AIDS dan narkoba
dengan kata penelitian suatu jenis penyakit dan cara
pengobatannya, kata kerusakan lingkungan dengan kata manusia
sebagai khalifah Tuhan, kata
bencana alam dengan kata
memelihara lingkungan hidup.
Tabel 8
Oposisi B iner AD kedelapan
Buruk
Mutu pendidikan rendah
Pendidikan tidak merata
Simple minded
Menunda kesenangan saat ini
Biaya yang besar
Kepincangan dalam
pendidikan, pengetahuan dan
informasi
Penyebaran penyakit AIDS
dan narkoba
Kerusakan lingkungan
Bencana alam
Baik
Pendidikan sebagai investasi
modal manusia jangka panjang
Peningkatan fitrah manusia
Profesionalisme di segala bidang
Kebahagiaan masa depan
Pendidikan murah/gratis
Pemerataan mutu dan jumlah
pendidikan
Pengembangan ilmu
pengetahuan dan riset
Pendidikan perempuan sama
dengan pendidikan seluruh
keluarga
Pengembangan kesehatan
bagian dari pendidikan jasmani
Penelitian suatu jenis penyakit
dan cara pengobatannya
Manusia sebagai khalifah Tuhan
Memelihara lingkungan hidup
230
Suhaimi
Dengan demikian makna konotasi AD kedelapan secara
singkat adalah meningkatkan dan meratakan mutu pendidikan yang
rendah, pincang dan tidak adil antar desa dan kota, perempuan n
laki-laki dengan cara mendorong keterlibatan pemerintah dan
warganegara dalam pendidikan dengan memandangnya sebagai
investasi modal manusia jangka panjang, terutama dalam penelitian
dan pengembangan di segala bidang yang selama ini tertinggal dan
rendah, pendidikan agama, peningkatan pendidikan perempuan
yang tertinggal oleh laki-laki dan kesehatan serta pendidikan
lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lingkungan dan
bencana alam.
Pada alinea kedua penjelasan AD kedelapan tentang
pendidikan sebagai investasi modal manusia, NCM menegaskan
bahwa tujuan primer dan tertinggi pendidikan ialah peningkatan
(tarbiyah) nilai kesucian manusia dalam fitrahnya yang dianugerahi
Tuhan. Tarbiyah dan fit}rah adalah konsep dan kata dalam
pendidikan Islam. Sedang pada alinea ketiganya dalam kalimat
keempat dan kelima, NCM memaparkan penjelasan bahwa ilmu
adalah syarat kesuksesan hidup, setelah iman yang memberi dasar
kepada kehidupan yang benar. Tuhan akan mengangkat orang yang
beriman dan berilmu ketingkat yang sangat tinggi. Penegasan ini
sesuai dengan kitab suci al-Qur’an, surat al-Muja>dalah (85): 11.
Jadi dalam AD NCM kedelapan dan penjelasannya modalitas
bahasa politesse tidak berlaku seperti juga terlihat dalam tabel 8 di
atas.
Tidak ada investasi atau penanaman modal yang lebih
penting, lebih produktif dan lebih bermakna daripada investasi
sumber daya manusia (SDM) melalui prasarana pendidikan yang
baik, dengan mutu dan jumlah yang merata.149 Hal itu sebagaimana
dibuktikan oleh negara-negara “Ular Naga Kecil” (Little Dragon ),
yaitu Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan dan Singapura
yang semuanya miskin sumber daya alam namun kaya dengan
149
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 147-148.
231
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
SDM yang berpendidikan tinggi dan berkualitas. 150 Dari sini dapat
disimpulkan dengan pasti bahwa faktor manusia adalah jauh lebih
menentukan daripada faktor sumber daya alam. Oleh karena itu,
segi pendidikan dipandang dan telah dibuktikan sangat
menentukan.
Indonesia pada era reformasi tahun 1999 mempunyai lebih
dari 30 juta siswa dan mahasiswa dari seluruh penduduk Indonesia
yang berjumlah lebih dari 209 juta jiwa. Hal itu menunjukkan
investasi dalam dunia pendidikan baik oleh pemerintah
pun
oleh masyarakat Indonesia relatif masih sangat rendah, karena
diakui bahwa pendidikan adalah komoditi yang memerlukan
investasi yang sangat besar. 151 Selain itu realitas pendidikan yang
ada di Indonesia memberikan kesan semakin menindas kaum
marginal, karena rakyat miskin tidak lagi mampu mengenyam
pendidikan bermutu sebagai akibat dari mahalnya biaya
pendidikan.1 52 Masyarakat dan bangsa Indonesia sedang mengalami keterpurukan di dalam seluruh aspek kehidupan. Krisis yang
dialami oleh macan -macan Asia sudah mulai berlalu dan mulai
bangkit kecuali Indonesia yang masih terpuruk.15 3 Dengan
bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, dapat dikatakan
secara sederhana bahwa seluruh krisis di Indonesia saat ini adalah
akibat rendahnya mutu pendidikan dan tidak meratanya pendidikan
warga negara dari satu daerah ke daereah lainnya.1 54
Pendidikan sebagai investasi modal manusia (human capital
investment ) sudah menjadi tujuan sekunder pendidikan setelah
150
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia (Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Januari 1997), 2930.
151
HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional (Jakarta, Rineka
Cipta, Cetakan Kedua, Pebruari 2009), 13.
152
Gunawan, “Rangkuman Isi Buku”, dalam Adhi Susanto dan Cungki
Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia (Yogyakarta,
Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY dan Gadjah Mada University Press,
Cetakan Pertama, Oktober 2009), viii.
153
HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, 116.
154
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 148.
232
Suhaimi
tujuan primernya untuk peningkatan (tarbiyah) nilai kesucian
manusia atau fitrahnya yang dianugerahi Tuhan, perubahanperubahan sosial serta gejolak sosial politik ekonomi yang terjadi
akhir -akhir ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan
pribadi seorang warga Indonesia yang berwatak dan bertakwa.
Sementara sebagai investasi modal manusia, pendidikan
iki
dua macam dampak positif yaitu profesionalisme atau peningkatan
kemampuan dan keahlian kerja serta perluasan dan pendalaman
informasi dan cakrawala berpikir di segala bidang kehidupan,
termasuk dalam bidang sosial politik sebagaimana dimaksud
dengan ungkapan knowledge is power, pendidikan yang berhasil
akan menjadi sumber energi masyarakat, bangsa dan negara. 155
Alvin Toffler berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
menjadi kunci dari powershift menggantikan money power and
muscle po wer dalam kehidupan modern. Sedangkan Don Tapscott,
seperti dikutip
HAR
Tilaar, mengemukakan
berbagai
kecenderungan ekonomi baru yaitu ilmu pengetahuan, dig lisasi,
virtualisasi, molekularisasi, integrasi, disintermediasi, konvergensi,
inovasi, prosumsi, kesegaran (immediate), globalisasi, dan
diskordansi. 1 56
Di samping dampak pendidikan yang
direncanakan (intended consequences) tersebut di atas, menurut
NCM, tidak kalah pentingnya juga adalah dampak yang tidak
direncanakan (unintended consequences) pendidikan seperti
dampak pendidikan kedokteran “Jawa” oleh STOVIA dan NIAS
yang telah membangkitkan ide dan gerakan nasionalisme
dern
157
dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Karena itu pendidikan
adalah bentuk investasi yang paling strategis dan prod
yang
harus diletakkan pada salah satu tingkat paling tinggi dalam skala
prioritas pembangunan bangsa dan negara.
Salah satu faktor utama yang sangat mempengaruhi sukses
tidaknya pembangunan bangsa adalah pendidikan, karena
155
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 150.
HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, 120.
157
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 151.
156
233
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
pendidikan dapat menjadi tumpuan menjalin dan membina
persatuan Indonesia. Untuk itu pendidikan di Indonesia harus
mendapat perhatian utama dalam hal perencanaan, pembiayaan,
keterlibatan para pakar serta waktu pelaksanaan.158 Hal itu
berkenaan dengan peningkatan mutu pendidikan yang
mengharuskan penyediaan prasarana yang memadai dan
pembukaan akses kepada seluruh masyarakat secara umum. Untuk
melaksanakan semua itu diperlukan kemauan politik yang teguh
dari pimpinan negara sebagai kepala pemerintahan yang
menyediakan pendidikan bermutu dengan biaya rendah, bahkan
mungkin bebas, untuk warga negara pada umumnya.1 59
UUD 1945 memerintahkan kepada pemimpin negara dan
pemerintahan bahwa 1) setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan; 2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya; 3) pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
oleh undang-undang.160
Peningkatan mutu pendidikan juga mengharuskan akses
yang mudah kepada jurnal perkembangan ilmu pengetahuan yang
berbahasa asing, maka diperlukan penguasaan bahasa-bahasa asing
itu atau penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa asing ke
bahasa Indonesia. Pengindonesiaan karya ilmiah itu juga
berdampak pendemokrasian ilmu agar tidak menjadi monopoli
sebagian kecil masyarakat saja. 16 1
Di samping itu, sejalan dengan otonomi pemerintahan
daerah, aparaturnya perlu didorong untuk memberi perhatian secara
158
C. Danisworo, “Pendidikan Yang Mempersatukan Bangsa
Indonesia”, dalam Adhi Susanto dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri
Pendidikan Yang Mengindonesia , 14.
159
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 152-153.
160
H. Supardi, “Pendidikan Yang Berkeadilan”, dalam Adhi Susanto
dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia ,
33.
161
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 154.
234
Suhaimi
sungguh-sungguh kepada bidang pendidikan dan pengembangan
ilmu pengetahuan. Otonomi daerah akan sukses hanya jika ada
daya serap yang tinggi dan kemampuan yang baik untuk
menggunakan dana secara produktif dan adil. Hanya anggota
masyarakat yang terdidik yang dapat menjadi anggota masyarakat
demokratis yang produktif. 162
Pengembangan ilmu pengetahuan sebagai manifestasi
pendidikan meliputi kegiatan penelitian ilmiah. Bagaimanakah
kualifikasi bangsa Indonesia dalam perkembangan penelitian
ilmiah? Saat ini telah ada pelajar dan mahasiswa Indonesia yang
menjuarai berbagai ajang olimpiade internasional, seperti fisika,
matematika, astronomi dan lainnya. Bahkan ilmuwan Indonesia
telah menghasilkan temuan, misalnya yang terakhir adalah
penemuan senyawa 1,3-oxaphospholes oleh dosen Universitas
Palangkaraya yang sedang menempuh S-3 di Prancis. 1 63
Sebagai negeri tropis terbesar di dunia yang membentang
sepanjang Khatulistiwa dengan garis pantai sangat panjang dan
wilayah bahari yang amat luas dengan kebun botani tropis terbesar
di dunia,16 4 seyogyanya Indonesia menjadi bangsa terdepan dalam
hal riset dan pengembangan bidang pertanian dan kelautan. Atas
dasar itu fasilitas-fasilitas penelitian yang baru harus didirikan dan
disediakan sebanyak mungkin dan harus digalang kerjasama
dengan lembaga-lembaga penelitian internasional agar meningkatkan mutu kemampuan para peneliti nasional.
Almarhum Sudjatmoko mengatakan bahwa abad mendatang
ini adalah abad spritualitas melalui agama-agama. 165 Manusia pada
dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan
menyembah -Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing162
HAR Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, 27.
Cungki Kusdarjito, “Pendidikan Yang Berkerakyatan Rakyat
Indonesia”, dalam Adhi Susanto dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri
Pendidikan Yang Mengindonesia , 7.
164
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 157.
165
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun
Tradisis dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta, Paramadina dan PT Dian
Rakyat, Cetakan III, Juli 2008), 127.
163
235
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
masing manusia yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat dan
dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan
berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri
percaya kepada wujud maha tinggi tersebut.166
Dalam sosiologi sistemik, agama berada pada puncak
hubungan sibernetik yang meliputi –dalam urutan berjenjang–
budaya, komunitas kemasyarakatan (societal community),
perpolitikan (polity), ekonomi dan teknologi. Secara sibernetik,
susunan atas mengendalikan (control) susunan di bawahnya, dan
susunan bawah mengkondisikan (control) susunan di atasnya.16 7
Dengan kata lain, pada urutannya, utuhnya sistem kepercayaan
akan menghasilkan utuhnya sistem nilai. Kemudian sistem nilai
sendiri, yang memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik
dan buruk (etika), mendasari seluruh kegiatan dalam menciptakan
peradaban. Karena itu John Gardner, seorang cendikiawan Amerika
yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan
Kesejahteraan pemerintahan Presiden J.F. Kennedy, mengatakan,
“tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika
bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu
memiliki dimensi moral untuk menopang suatu peradaban yang
besar”.168 Agama adalah sistem kepercayaan, dan agama yang
besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang
peradaban yang besar. Peradaban-peradaban besar umat manusia,
seperti dilambangkan dalam berbagai bangunan monumental selalu
berdasarkan atau berkaitan dengan suatu agama. Agama
menentukan corak budaya, yang pada urutannya akan menentukan
corak komunitas kemasyarakatan, perpolitikan, ekonomi dan
teknologi. Sebaliknya, suatu perkembangan kreatif yang besar oleh
manusia pada gilirannya akan mengkondisikan pemahaman
penafsiran bagian -bagian tertentu ajaran agama. 169 Semua itu harus
166
Nurcholish Madjid,
Nurcholish Madjid,
168
Nurcholish Madjid,
169
Nurcholish Madjid,
167
Islam Doktrin dan Peradaban , xxii.
Indonesia Kita , 157.
Islam Doktrin dan Peradaban , xxiii.
Indonesia Kita , 158.
236
Suhaimi
disadari dan diperhitungkan dalam mengembangkan pendidikan
agama.
Sebagai sistem simbolik, agama banyak menggunakan
metafora atau mathal dalam menyampaikan pesan sucinya yang
harus benar-benar diperhatikan dalam pendidikan agama. Maka
jelas sekali diperlukan metode pendidikan dan pengajaran agama
yang efektif, efisien dan produktif untuk memperbaharui pilihan
substansi ajaran agama yang hendak ditanamkan kepada anak didik
dan masyarakat umum.1 70
Pemerataan jumlah dan mutu pendidikan juga berkaitan
dengan masalah gender atau jenis. Pada Sekolah Dasar
keikutsertaan anak laki-laki dan perempuan berjumlah setara atau
sama, tapi pada Sekolah Menengah Pertama anak perempuan lebih
banyak dibandingkan dengan anak laki-laki. Sedangkan pada
tingkat Sekolah Menengah Atas meskipun jumlah anak perempuan
bertambah tapi masih lebih banyak jumlah anak laki-laki dengan
perbandingan 97:100. 171
Bab IV pasal 5 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengisyaratkan bahwa: perlakuan yang sama antara lakilaki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
Memastikan bahwa peserta laki-laki dan perempuan mendapatkan
hak yang sama untuk meningkatkan potensi dirinya. 172
Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang
pendidikan di Indonesia terjadi dalam akses bagi perempuan
terhadap jurusan -jurusan ilmu dasar seperti fisika, biologi,
teknologi dan industri masih rendah, karena rendahnya
perempuan yang memilih jurusan IPA atau matematika di
lah
170
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 161.
BPS dan BAPPENAS, Indonesia Human Development Report 2004,
(Jakarta, BPS-Statistics Indonesia, Bappenas and UNDP Indonesia, 2004), 17.
172
Yuliati Hotifah, “Gender dan Pendidikan”, dalam Umi Sumbulah,
ed., Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi (Malang,
UIN Malang Press, Cetakan Pertama, Februari 2008), 159.
171
237
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Lanjutan Atas.17 3 Untuk tahun ajaran 2000/2001 anak perempuan
yang memilih jurusan industri hanya berjumlah 18% dan anak
perempuan yang masuk jurusan pertanian dan kehutanan hanya
29%, sedang anak perempuan yang masuk jurusan manajemen dan
bisnis sebanyak 55%. 17 4
Sesungguhnya perhatian yang besar kepada pendidikan
kaum perempuan memiliki nilai ekonomi pendidikan yang inggi.
Secara kejiwaan ibu sangat dekat dengan anak-anaknya, jauh lebih
dekat daripada kaum laki-laki, karena itu peningkatan mutu
pendidikan mereka akan langsung berdampak kepada mutu
pendidikan anak-anak mereka. 17 5 Jadi mendidik seorang perempuan (ibu) adalah sama dengan mendidik seluruh keluarga. Hal ini
telah terbukti pada bangsa Eropa. Kemajuan pendidikan
rumah tangga menjadi tonggak kemajuan pendidikan masyarakat
dan bangsa Eropa pada masa “Reformasi” agama. 17 6
Di samping itu pengertian pendidikan secara luas sebagai
usaha peningkatan kemampuan manusia meliputi pula masalah
kesehatan sebagai peningkatan kemampuan jasmani. Dalam hal
ini, pendidikan tidak hanya diartikan sebagai peningkatan
kemampuan intelektual semata, tapi juga meliputi pengembangan
kesehatan setiap warga negara dan masyarakat.
Seseorang atau masyarakat dikatakan sehat bukan hanya
jika tidak ada penyakit atau kelemahan (cacat) pada dirinya, tetapi
juga terjamin hubungan yang baik antara seseorang dengan
173
174
Yuliati Hotifah, “Gender dan Pendidikan”, 165.
BPS dan BAPPENAS, Indonesia Human Development Report 2004 ,
17.
175
176
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 162.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 163.
238
Suhaimi
lingkungan fisik dan sosialnya. Kesehatan merupakan salah satu
hak asasi manusia yang paling penting. 177
Untuk mendorong kemajuan bangsa yang lebih cepat,
agenda pengembangan kesehatan bangsa ditujukan kepada
ha
melindungi dan memperbaiki kesehatan seluruh warga negara,
melakukan dan mendukung penelitian tentang sebab suatu jenis
penyakit dan cara pengobatannya, dan menjamin kebersihan dan
keselamatan makanan, obat-obatan, kosmetika dan produk lain
yang dikonsumsi masyarakat. 178
Berkenaan dengan kebersihan dan keamanan makanan,
Islam mengajarkan konsep hala>lan t}ayyiban, makanan yang
halal dan baik. Agama Islam pun melarang manusia dari makanan
yang berbahaya, seperti bangkai, darah dan daging babi, bahkan
Islam juga memotivasi kepada manusia untuk makan makanan
bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan jasmani seperti
ing,
madu, susu dan kurma dan melarang berpuasa di atas kemampuan
ukuran manusia.179
Indonesia sudah tumbuh menjadi negara industri dengan
pengalaman keselamatan kerja yang belum sempurna, perhatian
khusus harus diberikan kepada kecelakaan kerja yang semakin
meningkat dan terhadap masalah narkoba dan AIDS dsb.,
lebih khusus harus diberikan, dengan law enforcement yang tegar
dan kerjasama antar negara untuk memerangi kejahatan yang
berdimensi internasional. 180 Demikian pula kerjasama dengan
berbagai lembaga kesehatan internasional diperlukan dalam
177
Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan Evaluasi
Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, ELSAM Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, Cetakan Kedua, Februari 2003), 80.
178
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 163-164.
179
Ahmad Syauqi al-Banjari, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, terj.
Ahsin Wijaya dan Totok Jumantoro, (Jakarta, Bumi Aksara Cetakan Pertama,
Desember 1996), 82-83.
180
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 164.
239
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
penelitian dan pengembangan bidang kesehatan, karena beberapa
kasus penyebaran wabah penyakit yang mengancam dunia berhasil
diatasi berkat kerjasama internasional.
Kesadaran akan kesehatan seharusnya dapat ditingkatkan
pula melalui pendidikan jasmani atau olah raga. Hakikat olah raga
ini berorientasi kepada etos kerja, cinta pekerjaan da
mengembangkan skill. Rasulullah saw memberi contoh ikut terlibat
dalam pertandingan menunggang kuda, unta, gulat dan memanah.
“ al-Ud{aba@” adalah nama unta beliau yang selalu menang
perlom-baan.1 81 Karenanya pendidikan jasmani juga suatu bentuk
investasi SDM, maka prasarana olah raga di Indonesia seharusnya
ditingkatkan, seperti halnya kebutuhan -kebutuhan jasmani lainnya
dalam bentuk “sandang, papan dan pangan” yang menunjukkan
desakan tinggi untuk dilakukan reformasi dan peningkatan.182
Selain itu kesadaran baru yang sangat penting saat ini ialah
kesadaran umat manusia betapa pentingnya memelihara alam
lingkungan hidup. Menjelang melenium ketiga ini, menurut
skenario Working Group on Public Health and Fossil-Fuel
Combustion , pemanasan global sebagai akibat konsumsi energi
bahan bakar fosil, emisi karbon serta kadar bahan partikular di
atmosfer, bila tidak dilakukan upaya apapun, maka sampai tahun
2020 diperkirakan akan membunuh 700.000 orang setiap tahun
akibat keterpaparan terhadap bahan partikular di udara.18 3
Kematian tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila dar sekarang
telah dilakukan upaya pengendalian lingkungan secara terpadu.
Pendidikan lingkungan hidup harus melibatkan usaha
penyadaran tentang harga alam yang tak ternilai sebaga anugerah
181
Ahmad Syauqi al Fanjari, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, 86.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 165.
183
Johan S. Masjhur, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, dalam
Kusdwiratri Setiono dan Johan S. Masjhur, eds. Manusia Kesehatan dan
Lingkungan Kulaitas Hidup dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global,
(Bandung, PT Alumni, Cetakan kedua, 2007), 7 -8.
182
240
Suhaimi
Tuhan. Manusia ditunjuk sebagai khalifah untuk memelihara
anugerah itu dan memanfaatkannya dengan penuh syukur kepadaNya. Tuhan menganugerahkan kepada bangsa Indonesia
keanekaragaman hayati yang terbesar di muka bumi, yang
merupakan titipan Tuhan untuk dipelihara bagi sebesar-besar
manfaat semesta alam.184
10.Makna AD Kesembilan dan Kalimat Penjelasannya
Penanda: 9. Mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh
rakyat sebagai tujuan bernegara .
Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P
berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan w
untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna
menyebabkan jadi keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.
Klausa kata penghubung bagi menyatakan satu tujuan atau
harapan.18 5
Kalimat tersebut tidak menggunakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.186 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan
kata atau kelompok kata. 1 87
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
kesembilan seperti tertulis dalam lampiran 1 di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan sebagai berikut dalam tabel 9 tentang oposisi
berpasangan AD kesembilan di bawah ini:
184
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 167.
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 21.
186
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
187
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
185
241
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Tabel 9
Oposisi B iner AD kesembilan
Buruk
Baik
Ketimpangan sosial
paling banyak
Patriotisme lemah
Nasionalisme rendah
Mengutamakan diri dan
golongan sendiri
Pembagian kekayaan
nasional tidak adil
Warga miskin, memelas
tak berdaya
pengangguran
Individualisasi
Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat sebagai
tujuan bernegara
Kemaslahatan umum
Pemberantasan KKN
secara total
Tanggungjawab
pemerintah dan
kewajiban masyarakat
Asuransi oleh
pemerintah untuk
organisasi pekerja
sebagai upah
penyelamatan
Tanggungjawab sosial
Terlihat dalam tabel di atas kata-kata yang dapat
dimasukkan yaitu antar kata ketimpangan sosial paling banyak
dengan kata keadilan sosial, kata patriotisme lemah dengan kata
kemaslahatan umum, kata nasionalisme rendah dengan kata
pemberantasan KKN secara total, kata mengutamakan diri sendiri
dan pembagian kekayaan nasional tidak adil dengan kata
tanggungjawab pemerintah dan kewajiban masyarakat, kata warga
miskin memelas tak berdaya dan pengangguran dengan kata
asuransi oleh pemerintah untuk organisasi pekerja sebagai upah
penyelamatan, kata individualisasi dengan kata tanggungjawab
sosial.
Dengan demikian makna konotasi AD kesembilan secara
singkat adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
sebagai tujuan bernegara di Indonesia untuk mengatasi penderitaan
242
Suhaimi
ketimpangan sosial, akibat kesadaran cinta tanah air yang rendah
dan patriotisme yang lemah dengan mengutamakan diri dan
golongan sendiri melakukan KKN, tanpa peduli warga mis in yang
memelas tak berdaya yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan
kewajiban masyarakat untuk memperhatikan mereka, misalnya
dengan memberikan jaminan asuransi oleh pemerintah untuk
organisasi pekerja sebagai upah penyelamatan mereka. Jadi dalam
AD kesembilan dan penjelasannya inipun, NCM memaparkan
tulisannya dengan bahasa yang polos tak bertopeng dengan katakata yang sangat anti -politesse seperti ketimpangan sosial yang
paling banyak, patriotism e lemah, nasionalisme rendah,
mengutamakan diri dan golongan sendiri, pembagian kekayaan
nasional tidak adil, warga miskin memelas tak berdaya
pengangguran.
UUD 1945 menyatakan bahwa mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat merupakan tujuan negara.188 Sebagai penduduk
berjumlah mayoritas di Indonesia, kaum muslim seyogyanya ikut
serta berperan dalam usaha bersama bangsa ini untuk mewujudkan
masyarakat berperadaban, masyrakat madani atau civil society di
Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian
mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 189 Tetapi pada saat ini,
semakin kuat dirasakan oleh semua warga negara bahwa cita-cita
itu bertambah jauh dari kenyataan. Masyarakat berbicara tentang
adanya krisis multidimensional, tanpa ada tanda-tanda kapan akan
berakhir. 19 0
Pembangunan di Indonesia yang terlalu mementingkan
pertumbuhan ekonomi, pada satu sisi telah menyebabkan payaupaya serius untuk menanggulangi kesenjangan dan kemiskinan
terabaikan. Di sisi lain, sentralisasi dan inefektivitas pengawasan
188
Nurcholish Madjid, “Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia,”
dalam Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia , 219.
189
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 163.
190
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 1-2.
243
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
keuangan negara, telah menyebabkan meluasnya praktek KKN
pada hampir semua sektor dan tingkatan birokrasi. 191 Semua itu,
menurut NCM, adalah akibat melemahnya kesadaran cinta tanah
air atau patriotisme dan semangat mendahulukan dan membela
kepentingan bangsa atau nasionalisme. Karena itu pada
ini
keadilan sosial tidak bisa tidak harus dimulai dengan
pemberantasan KKN itu secara total. 192 Pemerintahan yang bersih
merupakan prasarana paling penting bagi terwujudnya keadilan
sosial.
Selain pemberantasan KKN, keadilan sosial di Indonesia
memerlukan pemikiran serius bagaimana menyediakan upah
penyelamatan kepada yang memerlukan dan pemerintah dituntut
memberi subsidi dan mengatur organisasi-organisasi para pekerja
yang dibentuk bersama para majikannya guna membantu para
anggotanya, serta menciptakan suatu sistem asuransi oleh
pemerintah yang bersifat wajib. 193 Selama ini “jaminan sosial” di
Indonesia dikerjakan lewat beberapa departemen, dalam
pelayanan-pelayanan sosial. Sudah ada dinas-dinas sosial, Pusat
kesehatan
masyarakat, klinik-klinik keluarga
berencana,
perumahan perambah hutan, transmigrasi dan Inpres Desa
Tertinggal (IDT). 1 94
Banyak orang menilai bahwa verzorgingsstaat (welfare
state, negara kesejahteraan) seperti Belanda dan banyak negara
Eropa lainnya lebih Islami dari negara -negara Islam.1 95 Dalam
welfare state tersediannya standar hidup minimal dituntut untuk
setiap warga negara. Individualisasi akibat ekonomi industri harus
diimbangi dengan tanggungjawab sosial yang lebih besar,
khususnya untuk membantu para penganggur, orang sakit
orang lanjut usia. 1 96
191
Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan Evaluasi
Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya , 18-19.
192
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 168.
193
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 170.
194
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, 133.
195
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, 133.
196
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 171.
244
Suhaimi
11.Makna AD Kesepuluh dan Uraian Kalimat
Penjelasannya
Penanda: 10. Mengambil peran aktif dalam usaha
bersama menciptakan perdamaian dunia.
Petanda: Kalimat majemuk setara bertingkat dengan P
berawalan me terhadap kata dasar yang berhurup awal konsonan p
untuk membentuk kata kerja aktif yang menghasilkan makna
menyebabkan jadi keutuhan wilayah Negara terpelihara. lausa
kata penghubung melalui menyata-kan cara pelaksanaannya.197
Kalimat tersebut tidak menggu -nakan S untuk menghindari
pengulangan kata agenda dasar dalam uraian kalimat-kalimat AD
NCM selanjutnya.198 Dan ditulis dengan italic untuk penegasan
kata atau kelompok kata. 1 99
Berdasarkan penanda uraian teks kalimat penjelasan AD
kesepuluh seperti tertulis dalam lampiran di belakang, peneliti
mengklasifikasikannya berdasarkan dua kategori menurut nilai
“baik” yang dicita-citakan dan menjadi ideal sebagai tujuan dan
kategori menurut nilai “buruk” yang menjadi permasalahan dan
ingin ditinggalkan.
Berdasarkan uraian klasifikasi dalam tabel 10 tentang
oposisi berpasangan AD kesepuluh di bawah ini terlihat kata -kata
yang dapat dimasukkan dalam oposisi berpasangan yaitu antar kata
penghancuran suatu agama dengan kata hukum keseimbangan:
umat manusia terlindungi dari kehancuran karena adanya kekuatankekuatan yang saling mengimbangi dan mengendalikan, kata
Perang Dunia I, Perang Dunia II, “Kiamat nuklir” dan Perang
Dingin dengan kata Jiha>d fi > sabi>lilla>h: Perang yang
menghasilkan kelestarian agama-agama dan budaya-budaya,
197
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 21.
198
Annijat Maimunah, Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa,
Dosen dan Umum, 29.
199
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, 102.
245
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
“politik perimba-ngan kekuatan“ (balance of power politics) antar
bangsa-bangsa,
Tabel 10 Oposisi Biner AD kesepuluh
Buruk
Penghancuran suatu agama
Baik
Hukum keseimbangan: umat
manusia terlindungi dari
kehancuran karena adanya
kekuatan-kekuatan yang saling
mengimbangi dan
mengendalikan
Perang Dunia I
Jiha>d fi> sabi >lilla>h:
Perang yang menghasilkan
kelestarian agama-agama dan
budaya-budaya
Perang Dunia II
“Politik perimbangan kekuatan
“ (balance of power politics)
antar bangsa-bangsa
“Kiamat nuklir”
McCarthyism: Kampanye anti
komunis
Konferensi Asia Afrika di
Bandung 1955 menghasilkan
kekuatan pengimbang dunia
kapitalis dan dunia komunis
Konferensi Islam Asia Afrika
Perang Dingin
Gerakan Non Blok
Tesis benturan budaya
Peran aktif Indonesia
Huntington
menggalang kekuatan Terorisme
kekuatan hati nurani lintas
Dominasi satu adi kuasa negara dan bangsa
(monopolar) tak tertandingi Tukar pikiran yang kreatif dan
Politik menutup diri
konstruktif
Patriotisme dan nasionalisme
Indonesia sebagai negara
bangsa yang merdeka
246
Suhaimi
McCarthyism: kampanye anti komunis, Konferensi Asia Afrika di
Bandung 1955 menghasilkan kekuatan pengimbang dunia kapitalis
dan dunia komunis, Konferensi Islam Asia Afrika, Gerakan Non
Blok, peran aktif Indonesia menggalang kekuatan -kekuatan hati
nurani lintas negara dan bangsa, kata tesis benturan budaya
Huntington, terorisme dan dominasi satu adi kuasa (monopolar)
yang tak tertandingi, politik menutup diri dengan kata tukar pikiran
yang kreatif dan konstruktif, patriotisme dan nasionalisme
Indonesia sebagai negara bangsa yang merdeka.
Dengan demikian makna konotasi AD Kesepuluh secara
singkat adalah mengambil peran aktif dalam usaha bersama
menciptakan perdamaian dunia dengan menyadari berlakunya
hukum keseimbangan atas alam semesta seperti ketika Perang
Dunia I dan Perang Dunia II dan melindungi umat manusia dari
perang nuklir dan serangan terorisme serta dari dominasi satu adi
kuasa (monopolar ) yang tak tertandingi dengan cara menggalang
kekuatan-kekuatan hati nurani lintas negara dan bangsa untuk
bertukar pikiran yang kreatif dan konstruktif sebagai negara bangsa
yang merdeka.
Pada alinea pertama penjelasan AD kesepuluh, NCM
memaparkan tulisannya tentang prinsip keseimbangan sebagai
jaminan bagi kelestarian hidup dan budaya yang ditegaskan juga
sebagai tujuan perang yang benar, perang di jalan Allah (jiha>d fi>
sabi>lilla>h) dengan merujuk kitab suci al-Qur’an, surat al-Ha>j
(22): 39 -40. Jadi sebagai seorang cendikiawan muslim, NCM
menuliskan pikiran -pikirannya tentang kebobrokan sosial yang
terjadi dengan tegas seperti tertulis dalam kata-kata: Perang Dunia
I, Perang Dunia II, “kiamat nuklir” dan Perang Dingin dan kata
Jiha>d fi> sabi >lilla>h serta terorisme dll.
Dalam sejarah manusia, paling tidak telah terjadi
dua malapetaka yang hampir menghancurkan manusia sendiri,
yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II, sebagai akibat
munculnya kekuatan sangat besar di Eropa yang mendominasi dan
tidak tertandingi. Tetapi begitu perang dimulai, kebangkitan
247
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
bangsa-bangsa secara bersama-sama mengimbangi kekuatan
dominan itu dan dunia terselamatkan.200 Karena akan menimbulkan
kerusakan, maka setiap kali mereka kobarkan api perang itu, Tuhan
akan memadamkannya dengan menampilkan kekuatan -kekuatan
pengimbang dan pengendali. Tuhan telah menetapkan huku alam
bagi kehidupan sosial manusia, bahkan al-Qur’an menyatakannya
sebagai bagian dari hukum kosmis, yaitu hukum keseimba
(al201
Mi>za>n) yang menjadi hukum jagad raya atau universe.
Sebenarnya sejarah umat manusia penuh dengan peristiwa
serupa itu. Persaingan pengembangan persenjataan nuklir yang
pernah terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ternyata telah
menyelamatkan umat manusia dari “kiamat nuklir”. Sebab eskalasi
itu akhirnya mencapai tingkat yang tidak masuk akal, ketika
masing-masing menjadi takut sendiri untuk menggunakannya, dan
terciptalah
keseimbangan
yang
menyelamatkan
umat
20 2
manusia. Dalam ilmu politik, adanya hukum itu juga disadari,
seperti oleh Hans J. Moegenthau tentang “politik perimbangan
kekuatan” (Balance of Power) antara bangsa-bangsa bahwa politik
perimbangan kekuatan merupakan jaminan obyektif bagi keamanan
dunia.2 0 3
Oleh karena itu, para pendiri dan perintis pembangunan
negara Indonesia menyadari sedalam -dalamnya perlunya
penciptaan keseimbangan kekuatan dunia itu. Pada bulan April
1955, bangsa Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi AsiaAfrika di Bandung dengan peserta dari 29 negara dan dihadiri oleh
pemimpin Asia, termasuk Zhaou Enlai, Nehru, Sihanouk,
Van Dong, U Nu, Mohammad Ali dan Nasser.204 Konferensi itu
melahirkan Dasasila Bandung yang menjadi tonggak sejarah
200
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 173.
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan , 184.
202
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 174.
203
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations The Struggle for Power
and Peace (New York, McGraw Hill higher Education, Seventh Edition, 2006),
223.
204
MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , 516.
201
248
Suhaimi
bangsa yang sangat penting. Sedemikian pentingnya sehingga Vera
Micheles Dean, ilmuwan sosial, seperti dikutip NCM, dalam
bukunya, The N ature of the-non -Western World , mengatakan telah
terbentuknya “Bandungia”, yaitu kawasan dunia yang berorientasi
politik berkiblat ke Bandung, yang merupakan gabungan negaranegara Dunia Ketiga, dunia negara-negara berkembang.205
Konferensi Bandung menghasilkan kekuatan yang menjadi
pengimbang Dunia Pertama (First World , dunia kapitalis) dan
Dunia Kedua (Second World, dunia komunis). Hal ini diikuti
dengan Konferensi Islam Asia -Afrika, Konferensi Asia, Afrika dan
Amerika Latin dan dilanjutkan dengan Gerakan Non -Blok (GNB)
yang saat ini masih ada sisa-sisa signifikansinya. 2 06 Itu semua
terjadi dalam lingkungan global yang diliputi oleh suasana Perang
Dingin yang kini telah berakhir seiring dengan keruntuhan Uni
Soviet pada awal tahun 1990-an.
Kelegaan manusia akibat berakhirnya Perang Dingin
ternyata tidak berlangsung lama, karena terganggu oleh munculnya
tesis-tesis ilmiah palsu seperti yang dikemukakan oleh Samuel P.
Huntington tentang benturan budaya.20 7 Dan saat ini Amerika
Serikat muncul sebagai kekuatan adidaya tunggal, dengan
kekuatan-kekuatan menengah dan kecil yang menyebar yang
kadang-kadang membuatnya bertindak brutal. 20 8 Sekarang ini,
hampir tidak ada satupun negara dan penduduk dunia yang dapat
aman dari akibat-akibat perang skala kecil, seperti terorisme, bom
bunuh diri, pembajakan pesawat, konflik etnis yang dapat saja
meletus sewaktu -waktu dan hampir tidak dapat diprediksi dengan
baik. 2 09 Bangsa Indonesia dapat mengulangi lagi peranan
pentingnya dalam menjaga keseimbangan dunia menghadapi
kecenderungan dominasi tatanan dunia satu adi kuasa ini.
205
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 175.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 175.
207
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 176.
208
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Yogyakarta,
206
MedPress, Cetakan Kedua, 2008), 149.
209
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, 149.
249
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Kemajuan teknologi informasi yang semakin cepat menyebabkan interaksi antarnegara semakin tidak terhindarkan dan
diperlukan, maka pemerintah Indonesia dapat mengambil
iatifinisiatif dalam politik pembukaan diri yang lebih produktif dan
menguntungkan. Hal itu harus dilakukan berdasarkan nasionalisme
dan patriotisme untuk menjaga dan melindungi seluruh wilayah
Indonesia sebagai kesatuan negara bangsa yang merdeka
berdaulat.2 10 Dengan pijakan kemerdekaan dan kedaulatan yang
kokoh itu, Indonesia ikut berperan aktif menciptakan perdamaian
dunia, pesan konstitusi, UUD 1945.
B. Penggunaan Kalimat dalam AD Politik Nurcholish Madjid
Pada tingkat pragmatik, analisis bahasa dilakukan dengan
menguraikan bagaimana cara penggunaan kalimat yang tertulis
pada AD politik NCM dan uraian kalimat penjelasannya untuk
mengetahui tujuan penggunaannya dalam proses pemberian
informasi. Kalimat jika dilihat berdasarkan bentuknya dan
kategorinya serta menurut fungsinya dapat dibedakan atas empat
macam, yaitu (1) kalimat berita (deklaratif), (2) kalimat tanya
(interogatif), (3) kalimat perintah (imperatif), dan (4) kalimat seru
(ekslamatif). 211 Dalam hal ini kalimat didefinisikan sebagai suatu
bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan gagasan gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada
orang lain. 21 2
1. Penggunaan Kalimat dalam AD NCM 1 sampai dengan 10
Seluruh bentuk kalimat di dalam AD politik NCM 1 sampai
dengan 10 merupakan kalimat deklaratif atau kalimat berita.
Variasi kalimat berita bersifat bebas, boleh langsung
tak
langsung, inverse atau versi, aktif atau pasif, tungga atau majemuk
dan pada bahasa tulisan, kalimatnya bertanda baca titik. 2 13 Hal itu
terlihat jelas pada kutipan tertulis di bawah ini:
210
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 179.
Lamuddin finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , 158.
212
Gorys Keraf, Komposisi, 34.
213
Lamuddin finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , 159.
211
250
Suhaimi
1. Mewujudkan “good governance” pada semua lapisan
pengelolaan negara
2. Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan
konsekuen
3. Melaksanakan rekonsiliasi nasional
4. Merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan
pengembangan kegiatan produktif dari bawah
5. Mengembangkan dan memperkuat pranata -pranata
demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers
dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang
jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan
6. Meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan
membangun harkat dan martabat personil dan pranata
TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi
7. Memelihara keutuhan wilayah negara melalui
pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhineka -an dan keEka -an, serta pembangunan otonomisasi
8. Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di
seluruh Nusantara
9. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
sebagai tujuan bernegara
10. Mengambil peran aktif dalam usaha bersama
menciptakan perdamaian dunia.214
Kalimat berita atau deklaratif adalah kalimat yang dipakai
oleh penutur untuk menyatakan suatu berita kepada mitra
komunikasinya. Variasi kalimat berita bersifat bebas, boleh
langsung atau tak langsung, invers i atau versi, aktif atau pasif,
tunggal atau majemuk.2 15
NCM menyampaikan sepuluh poin platform politiknya
pertama kali pada acara konferensi pers pada akhir April 2003 di
Universitas Paramadina yang menegaskan kesediaan dirinya untuk
214
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita , 114-148.
Hasan Alwi, e d. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
Balai Pustaka, 2003), 337.
215
(Jakarta,
251
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
menjadi calon presiden saat Pemilu 2004. 21 6 Saat itu dia
menekankan bahwa pendekatan yang ia lakukan adalah platform,
bukan figur atau sosok dirinya pribadi. Kesepuluh poin politik itu
menjadi syarat bagi setiap orang yang mencalonkan dirinya sebagai
presiden, Platform itu menjadi syaratnya. Baginya terpilih menjadi
presiden atau tidak bukan yang utama. “Yang penting, bagaimana
ide-ide platform itu bisa saya jual”, katanya.21 7 Jadi NCM
menyampaikan sepuluh platform politiknya dalam kalimat
deklaratif mengandung makna bahwa pembicaraannya sebagai
komunikator politik yang mengidentifikasi masalah -masalah sosial
yang mendesak, mencari pemecahan alternatif dan mendukung
adanya diskusi publik sebagai sarana pemberian informasi. 218
2. Penggunaan Kalimat dalam Penjelasan AD NCM 1 sampai
dengan 10
Penjelasan AD NCM 1 sampai dengan 10 tersusun dari 9341
kata dalam 324 kalimat, beberapa diantaranya menggunakan gaya
bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan serta gaya bahasa
pertautan.
Gaya bahasa dapat dipandang sebagai kenyataan penggunaan bahasa (phenomena ) yang istimewa, dan tidak dapat dipisahkan
dari cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan
(memantulkan, mencerminkan) pengalaman, bidikan, nilai-nilai
kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau
khusus.219
Gaya bahasa perbandingan membandingkan dua hal yang
sama atau dua hal yang berbeda, sedang gaya bahasa pertentangan
membandingkan dua hal bertolak belakang, sementara gaya bahasa
perulangan adalah gaya bahasa yang mengandung perulangan
216
Idris Thaha, Demokrasi Religius, 78.
Forum Keadilan, “Calon Nakhoda Yang Menunggu Kapal,” N0. 1,
11 Mei 2003.
218
Dan D. Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media,
112.
219
Mukhsin Ahmadi, Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia
(Malang, Yayasan Asih Asah Asuh Malang, Edisi I, Cetakan I, 1990), 170.
217
252
Suhaimi
bunyi, suku kata, kata, frasa, atau bagian kalimat yang dianggap
penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang
sesuai.2 20
NCM menggunakan gaya bahasa perbandingan metafora
paling banyak, seperti terlihat ketika dia memperbandingkan antara
wajah krisis banyak segi dan gunung es di kutub dalam
pertama penjelasan AD NCM 1 di bawah ini.
Tumpukan krisis banyak segi yang menggunung sekarang ini dapat
diibaratkan sebuah gunung es raksasa sedemikian besar, sehingga
sulit dihancurkan dari kaki dasarnya. Karena gunung es adalah
benda mengambang, maka setiap kali puncaknya dipotong
dihancurkan, setiap kali pula akan menyembul puncak baru ke
permukaan.
Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang
singkat padat dan rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan
pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu
yang menjadi objek. Gagasan kedua merupakan perbandingan
terhadap kenyataan pertama tersebut.221
Gaya bahasa serupa juga terlihat dalam kutipan paragraf
kedua ketika NCM memperbandingkan antara pengelolaan
pemerintahan dan penggunaan kekuasaan yang baik dan laut zona
tropis yang panas sebagai berikut ini: Pengelolaan yang benar dan
baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
penggunaan kekuasaan dapat diibaratkan sebagai laut zona tropis
yang panas, yang akan meluluhkan gunung es budaya KKN.
NCM menggunakan metafora pula saat memperbandingkan
antara kegagalan warga dunia memberi penyelesaian yang adil
kepada masalah Palestina dan sarang lebah, kemudian saat dia
memperbandingkan antara kekacauan oleh terorisme
dengan
tawon-tawon yang menebarkan sengat kekacauan dunia seperti
tertera dalam kutipan paragraf ketujuh uraian penjelasan AD NCM
10 sbb.:
220
Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik , 147 -153.
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa (Bandung,
Angkasa, Cetakan Ketiga, 1985), 183.
221
253
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Dikuatirkan
bahwa
k e k a cau an
a k an
te ru s
b er lan g s u n g t an p a penyelesaian sejati bila casus bellinya tidak
diselesaikan secara adil dan tuntas. Orang boleh berselisih tentang
siapa dan di man a casus belli itu, maka biarlah sejarah menentukan
dan menghakiminya. Tetapi ibarat sarang lebah, tawon -tawon
yang men ebarkan s en gat kekacauan dunia—yang terangterangan dan yang sembunyi-sembunyi melalui berbagai
kegiatan by proxy —tidak akan bubar sebelum tawon induknya
itu d itemu kan d an d is elesaikan d e ngan adil dan benar.
Saat NCM menjelaskan feodalisme sebagai penyebab
kesulitan bangsa Indonesia, dia menegaskannya dalam gaya bahasa
pertentangan berupa sinisme dalam arti sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan
ketulusan hati, 222 seperti tergambar dalam kutipan berikut ini:
Susunan masyarakat feodalistik bangsa-bangsa Asia
Tenggara terbukti oleh adanya identifikasi diri dengan kata ganti
nama pertama tunggal yang mengandung nama budak, seperti
“saya” (sahaya), “ambo” (hamba), “budak” dan “abdi”, “kula” atau
“kawula”. Sebab memang ciri utama feodalisme (feudalism) ialah
“penkawulaan” rakyat kepada “gusti”, dengan hirarki tinggi rendah
yang sedemikian menguasai hidup orang banyak. Dari struktur
sosial ekonomi serupa itu, yang muncul ialah tradisi
baik
secara paksa oleh “gusti“ kepada “kawula” maupun sukarela oleh
“kawula” kepada “gusti”. Diyakini banyak orang bahwa
merajalelanya kejahatan korupsi di negeri kita adalah
lanjutan
tradisi upeti masyarakat feodal itu, ditambah dengan budaya suapmenyuap dan perjudian oleh kalangan yang tak peduli dengan
standar moral karena mengejar keuntungan kebendaan semata.
Ditambah dengan mengendornya dimensi keruhanian dalam pola
hidup “modern” yang materialistik, orientasi hi-dup kebendaan,
dikaitkan dengan feodalisme, menjadi tolok ukur tinggi-rendahnya
“gengsi” dan “harga diri” banyak orang.
Karena itu pembangunan demokrasi, dan beserta dengan itu
pelaksanaan prinsip -prinsip good governance, mensyaratkan
222
Haris Sumadiria , Bahasa Jurnalistik , 160.
254
Suhaimi
dihancurkannya feodalisme. Sekalipun belum tentu merupakan
contoh yang dapat ditiru di negeri kita, tetapi revolusi kebudayaan
di Republik Rakyat Cina merupakan suatu usaha revolusioner
untuk meng-hancurkan unsur-unsur tidak sehat dalam masyarakat,
khususnya Feoda-lisme. Sekali lagi pem -berantasan KKN akan
sangat banyak tergantung kepada seberapa jauh kita mampu
memberantas feodalisme dan budaya suap menyuap.
Gaya bahasa pertentangan ini pun NCM gunakan pada saat
menjelaskan penyimpangan hukum di dunia peradilan Indonesia,
kali ini dia lebih memilih gaya ironi yang berarti suatu majas yang
menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolokolok. Maksud ini dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal: (a)
makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b)
ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan
yang sebenarnya, dan (c) ketaksesuaian antara harapan
n
kenyataan.22 3
Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini:
Lepas dari benar tidaknya banyak sinyalemen dalam
masyarakat tentang dunia peradilan kita yang telah terjerat oleh
jaringan penyimpangan dan manipulasi hukum yang terorganisasi
(semacam organized crime), segi penegakkan hukum memang
merupakan titik rawan dalam kehidupan kenegaraan kita. Dalam
masyarakat terdapat banyak indikasi bahwa tindakan kejahatan
berlansung dengan lindungan helat hukum (legal device) sehingga
mendapatkan legitimasi legal palsu .
Gaya ironi pun terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Dibanding dengan negara-negara tetangga terdekat, kita
merasakan adanya ironi besar, karena kita tertinggal tidak hanya
dalam penelitian dan pengembangan bidang teknologi tinggi,
tetapi juga d alam b id an g p ertan ian d an kelau tan y an g
jus tru m erup akan keis tim ew aan n egeri kita sebagai negeri
tropis terbesar di dunia yang membentang sepanjang
Khatulistiw a dengan garis pantai amat panjang dan wilayah
bahari yang amat luas.
223
Haris Sumadiria , Bahasa Jurnalistik , 155.
255
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Pada b agian lain tulisannya, NCM menyusunnya dalam
gaya bahasa pertautan yaitu gaya epitet dalam arti semacam gaya
bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang
atau sesuatu hal. Keterangan itu merupakan suatu frase deskriptif
yang memerikan atau menggantikan nama suatu benda atau nama
seseorang.22 4 Seperti kutipan -kutipan berikut ini:
Sebaliknya, “ law-less society” atau “masyarakat hukum
rimba”, adalah ciri masyarakat tak berkeadaban, yang menuju
kepada kehancuran. Seperti dalam rimba, dalam keadaan
dan
lemah hukum, yang berfungsi dalam masyarakat ialah kekuatan
dan kekuasaan sewenang-wenang, dan negara hukum (rechsstaat )
yang dicita-citakan para pendiri negara berubah menjadi negara
kekuasaan (machstaat ).
Harus
diakui
bahwa
usaha
rekonsiliasi akan berhadapan dengan tembok memori kolektif yang
penuh dengan stigma dan trauma.
Tinggi-rendah kualitas dampak primer merupakan batu
penguji sukses-gagalnya in vestas i sumber daya manusia itu.
“orang bodoh makanan orang pandai”
224
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan keempat belas, Edisi yang diperbaharui, 2004), 167.
256
Suhaimi
BAB VI
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dalam uraian bab
sebelumnya dapat disimpulkan , bahwa NCM sebagai seorang
cendikiawan muslim berasal dari Jombang, Jawa Timur, tidak
menggunakan bahasa politesse. Sebaliknya NCM menuliskan
pikiran -pikirannya tentang kebobrokan sosial yang terjadi dengan
tegas seperti tertulis dalam kata-kata NCM dalam Agenda Dasar
(AD) kesatu sampai dengan AD kesepuluh dan uraian
penjelasannya seperti antara lain: budaya KKN, upeti dan suap
menyuap, feodalisme, patrimonialisme dan gaya hidup materialistik
yang menjadi penanda bahwa dirinya menolak elitisme atau
politesse dalam berbahasa. Dia pun tidak melakukan bahasa
kramanisasi atau proses penghalusan dengan menggunakan bahasa
topeng/aling-aling berupa gaya bahasa eufemisme.
NCM menggunakan gaya bahasa perbandingan metafora
paling banyak dalam uraian kalimat 10 AD dan penjelasannya
masing-masing dalam buku karyanya, Indonesia Kita , Jakarta,
Paramadina, Cetakan III, Maret 2004, dari halaman 114-184. Hal
itu terlihat ketika dia membandingkan antara wajah krisis
segi dan gunung es di kutub dalam paragraf pertama penjelasan AD
kesatu, dan saat NCM membandingkan antara pengelolaan
pemerintahan dan penggunaan kekuasaan yang baik dengan laut
zona tropis yang panas pada paragraf kedua AD kesatu,
pada
paragraf ketujuh penjelasan AD kesepuluh, dia pun
membandingkan antara kegagalan warga dunia memberi
penyelesaian yang adil kepada masalah Palestina dan sarang lebah,
kemudian saat dia membandingkan antara kekacauan oleh
terorisme dengan tawon-tawon yang menebarkan sengatnya.
Saat NCM menjelaskan feodalisme sebagai penyebab
kesulitan bangsa Indonesia, dia menegaskannya dalam gaya bahasa
pertentangan berupa sinisme dalam arti sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan
257
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
ketulusan hati, seperti terlihat dalam paragraf kelima AD
kesatu.Beberapa gaya bahasa NCM lainnya adalah gaya bahasa
ironi, gaya bahasa repetisi, dan gaya bahasa epitet.
Menurut NCM, seperti dikemukakan oleh John Gardner,
tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika
bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu
memiliki dimensi moral untuk menopang suatu peradaban
besar. Agama adalah sistem kepercayaan, dan agama yang besar
memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban
yang besar. Agama dimaksud adalah apa yang disebutkan dalam
Islam oleh Rasulullah saw sebagai agama yang bersemangat
kebenaran yang lapang (al-hani>fiyyah al-samhah).
Berdasarkan semangat moral ilmu agama Islam itu, NCM
menyusun sepuluh platform politik yang dia jadikan pendekatan
sebagai syarat bagi setiap orang yang mencalonkan dirinya sebagai
presiden pada Pemilu 2004, bagi NCM terpilih menjadi presiden
atau tidak bukan yang utama, baginya penyebaran informasi ide-ide
dalam platform politiknya menjadi tujuan utama, dengan
menirukan Ibn Khaldun saat menutup pembahasannya dalam
Muqaddimah, menurut NCM, apa yang dicoba lakukan adalah
menyampaikan wacana sebagai suatu rintisan, dengan harapan
bahwa siapapun yang memberikan keprihatinan yang sama,
khususnya dari kalangan generasi penerus, akan mengembangkan
dan memperbaikinya, dan melaksanakannya dengan memberi
teladan sebaik -baiknya untuk warga masyarakat.
Nilai-nilai moral ajaran Islam yang menjadi penanda dalam
sepuluh platform politik NCM itu seperti ama@nah dalam AD
kesatu, madi @nah dalam AD kedua, isla@hu bayn a al-na@s
dalam AD ketiga, ijtihad Khalifah Úmar ibn al-Khat}a@b menolak
menghukum pencuri di masa paceklik dalam AD keempat, noktah noktah kebebasan warga negara dalam AD kelima, “berlombalomba menuju kepada berbagai kebaikan” dalam AD ketujuh,
tarbiyah, fit}rah, fas}i@h, “ilmu adalah kunci kesuksesan hidup,
258
Suhaimi
setelah iman yang memberi dasar kepada kehidupan yang benar”,
al-mathal al-ál@a@@@@, sabda Muhammad saw yang terkenal,
artinya: Allah tidak memandang jasmanimu dan tidak pula bentuk
lahirmu, tetapi Allah memandang kalbumu dan amal perbuatanmu,
hala@@@@@lan t }ayyiban, “muncul kerusakan di daratan dan di
lautan karena ulah tangan manusia” dalam AD kedelapan,
menciptakan kemaslahatan umum dalam AD kesembilan, hukum
keseimbangan berdasarkan Surat al- Baqa>@rah: 253, jih a@d fi@
sabi@lilla@h dalam AD kesepuluh.
Dalam AD kedua, Menegakkan supremasi hukum dengan
konsisten dan konsekuen , NCM merujuk Abu > Bakr al-S} iddi>q,
saat dikukuhkan menjadi Khali >fatu Rasu @lillah dalam pidatonya
mengatakan, “…yang kuat di antara kalian bagiku adalah lemah,
sampai aku akan ambil dari mereka hak-hak kaum miskin; dan
yang lemah di antara kalian bagiku adalah kuat, sampai aku berikan
mereka hak-hak mereka.” Berdasarkan kutipan ini secara konotatif
dapat dipahami, bahwa NCM mengajak bangsa Indonesia yang
berpenduduk mayoritas muslim untuk menumbangkan mitos
dunia peradilan di Indonesia bahwa hukum hanya diberlakukan
untuk orang yang miskin baik secara finansial maupun struktural
dan tidak dikenakan bagi mereka yang kaya atau kuat.
Menurut NCM, nasionalisme modern di Indonesia dimulai
dengan penampilan kerakyatan yang tegas oleh kalangan
dengan pembentukan Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian
berkembang menjadi Sarikat Islam (SI) pada tanggal 10 September
1912 dan dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang
menjadikan Islam sebagai asas perjuangan dalam politik. Jadi
berbeda dengan nasionalisme “kuna” yang merupakan ekstensi dari
tribalisme yang sempit dan sewenang-wenang terhadap suku lain.
Nasionalisme modern adalah paham tentang hak bagi suatu bangsa
untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu, antiimprelisme, sehingga konsisten dengan prinsip -prinsip demokrasi.
259
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Menurut NCM, nasionalisme modern akan melahirkan
kestabilan dan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan sukusuku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah -pisah di
Indonesia. Oleh karena itu nasionalisme modern merupakan unsur
esensial bagi pembangunan bangsa Indonesia yang tidak hanya
bertujuan melaksanakan pembangunan ekonomi saja tapi mengarah
kepada pencapaian politik kesejahteraan dan kemakmuran.
B. IMPLIKASI PENELITIAN
Berpijak pada kesimpulan -kesimpulan tertulis di atas,
penulis menyarankan kepada peneliti bidang kajian ilmu
komunikasi Islam dan atau dakwah Islam, khususnya penelitian
yang menggunakan analisis teks, agar dapat membuahkan
kesimpulan yang komprehensip, maka peneliti sebaiknya
menggunakan tidak hanya satu metode saja, misalnya metode
struktural saja, melainkan akan lebih mendalam lagi dibarengi
dengan analisis semiotik dan analisis hermeneutik. Dengan
demikian suatu teks tidak hanya ditelaah kata demi kata atau
kalimat demi kalimat, tetapi juga dilakukan penafsiran secara
menyeluruh yang disebut pemaknaan hermeneutik.
Secara akademis, penulis menyarankan agar dakwah Islam
diintegrasikan dengan ilmu komunikasi menjadi ilmu komunikasi
Islam. Komunikasi Islam dapat didefinisikan sebagai proses
penyampaian pesan -pesan ajaran Islam berupa
rahmat bagi
semesta alam kepada sesama manusia sebagai jamaah dakwah
Islam atau para pesertanya melalui berbagai media penyampaian
pesan dengan metode persuasi yang akan berakibat pengaruh efek
tertentu.
Karakteristik dasar dakwah Islam adalah sifatnya persuasif
bukan kursif. Artinya dakwah Islam selalu berusaha mempengaruhi
manusia untuk menjalankan agama sesuai dengan kesadaran dan
kemauannya sendiri, bukan dengan paksaan. Pemaksaan adalah
perampasan hak asasi manusia dalam beragama. “Etika manusia
memandang pemaksaan dalam berdakwah merupakan pelanggaran
serius atas hak asasi manusia.”. Dakwah Islam pun memiliki
karakteristik pesan yang rasional dan disampaikan dengan cara
260
Suhaimi
rasional (rational necessary and rational intellection ) yang
mengajak manusia untuk kembali kepada fitrahnya.
261
Suhaimi
DAFTAR PUSTAKA
Abd. A’la. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur
Rahman
dalam Wacana Islam di Indonesia . Jakarta:
Paramadina, April, 2003.
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna Respons
Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi
(1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, Cetakan I,
April 1999.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad . Al-M u‘jam al-Mufahras li Alfa>z}i alQur’a>n al-K ari>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981.
Abdul Mut}allib Khumais, Ramad }an. Al-Da‘wah al-Isla>miyah
Arka>nuha> wa-Mana>hijuha> . Kairo: Da>r al- Thaba‘ah
Al- Muhammadiyah Cetakan I, tt.
Abdurrahman, M. Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan
Fikih . Bandung: Remaja Rosda Karya, Cetakan pertama , Mei
2002.
Abdalla, Ulil Abshar, ed. Islam dan Barat Demokrasi dalam
Masyarakat Islam. Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juni, 2002.
Ahmad, Mumtaz, ed. Masalah -Masalah
Teori
Politik
Islam.
terjemahan Ena Hadi, Bandung: Mizan, Cetakan III, Apri 1996.
Ahmadi, Mukhsin. Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia.
Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang, Edisi I, Cetakan I,
1990.
Anderson, Benedict R. O’G. Language and Power Exploring Political
Cultures in Indonesia . Ithaca and London: Cornell University
Press, First Published, 1990.
---------, Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread
of Nationalism. London and NewYork: Verso, revised and
extended edition, 1991.
---------, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang.
terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Insist Press, 2001
Alagappa, Muthiah. Ed. Civil Society and Political Change in Asia
Expanding and Contracting Democratic Space, California
Stanford University Press, First Published, 2005.
261
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Albrow, Maltin. The Global Age State and society Beyond Modernity.
Stanford: Stanford University Press, First Published, 1996.
Alesina, Alberto and Enrico Spolaore. The Size of Nations.
Cambridge: The MIT Press, First Edition, 2005.
Amir Piliang, Yasraf. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas
Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, Cetakan ke -2, 2003.
Ardianto, E. dkk. Filsafat Ilmu Komunikasi . Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, Cetakan ke -1, Januari 2007.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam
Indonesia . Jakarta: Kencana, Edisi Revisi, Cetakan kedua,
2005.
------. Renaisans Islam Asia Tenggra Sejarah Wacana dan Kekuasaan.
Idris Thaha, ed., Bandung: PT Rosdakarya, Cetakan kedua,
Mei 2000.
------. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post -Modernisme. Abas Al-Jauhari, ed., Jakarta:
Paramadina, Cetakan pertama, Mei 1996.
Bahansawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam. terjemahan
Mustolah Maufur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1990.
Bakti, AF. Communications and Family Planning in Islam in
Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global
Development Program. Leiden-Jakarta: INIS, 2004.
------, Paramadina and its Approach
to Culture and
Communication: and Engagement in Civil Society. Paris:
Archipel 68, 2004.
Barghuts, Al- T}ayyib. M anha>j al-N abiy fi > Hima>yati al-Da’wah
wa al-Muh a>fadzah álá> Munjaza>tiha> Khila>la al-Fatrati
al-M akkiyah. USA: al- Ma‘had al-A’la>miy li al-Fikri alIsla>miy, Cetakan I, 1996.
Baskara, FX dkk. ed. Mencari Demokrasi . Jakarta: Institut Studi Arus
Informasi, Cetakan I, Mei, 1999.
Baswir, Revrisond dkk. Pembangunan Tanpa Perasaan Evaluasi
Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya . Jakarta:
ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Cetakan
Kedua, Februari 2003.
262
Suhaimi
Berger, Arthur Asa. Media and Communication Reseach Methods: An
Introductions to Qualitative and Quantitative Approaches.
USA, Sage Publications, Inc., 2nd Printed, 2000.
Bertens,K. Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Prancis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Bertrand, Jacques. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia .
Cambridge: Cambridge University Press, First Published,
2004.
Bleicher, Jose. Hermeneutika Kontemporer Hermeneutika sebagai
Metode, Filsafat, dan Kritik. Terjemahan Imam Khoiri,
Yogyakarta : Cetakan ketiga, Pebruari 2007.
Bungin, Burhan. Imaji Media Massa Konstruksi Makna Realitas
Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat
Kapitalistik.
Yogyakarta: Jendela, Cetakan Ke-1, Januari 2001.
Connor, Walker. Ethnonationalism the Quest for Understanding . New
Jersey: Princeton University Press, Fifth Published, 1994.
Creswell, John W. Reseach Design Qualitative and Quantitative
Approach . terjemahan Angkatan III dan IV KIK-UI dan Nur
Khabibah, Jakarta: KIK Press, 2002.
Culla, Adi S. Masyarakaat
Madani, Pemikiran
,Teori
dan
Relevansinya dengan Cita – Cita Reformasi . Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cetakan Ketiga, Januari 2002.
Dault, Adhyaksa. Islam dan Nasuonalisme Reposisi Wacana
Universal dalam Konteks Nasional. Abduh Zulfihar Akaha,
ed., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cetakan I, Ethnic 2005.
Effendy, Bahtiar.
Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia . Jakarta:Paramadina,
Cetakan ke-1, 1998.
---------- . Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan
Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam. Terjemahan Imam
Mutaqin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I , Desember
2000.
Eickelman F.D.dkk. Ekspresi Politik Muslim. Terjemahan Rofik
Suhud, Bandung: Mizan, Cetakan I , September 1988.
263
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Fatah, Eep Saefulloh. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru
Masalah dan Masa Depan
Demokrasi Terpimpin
Konstitusional. Bandung: Rosda Karya, edisi ke -2, 2000.
Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa
Nonjurusan Bahasa . Jakarta : Diksi Insan Mulia, Cetakan XVI,
Revisi 3, 2003.
Fiske, John. Introduction to Communication Studies. London and New
York: Routledge, Second Edition, 1990.
Forsdale, Louis. Perspectives on Communication . Phillippines:
Addison-Wesley Publishing Company, Inc. , 1981.
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man:
Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Terjemahan
M. H. Amrullah, Yogyakarta: CV. Qalam, Cetakan ketiga, Juni
2004.
Gans, Chaim. The Limits of Nationalism. United Kingdom:
Cambridge University Press, First Published, 2003.
Gragnon, Alan G. and James Tully. Multinational Democracies.
United Kingdom: Cambridge University Press, First Published,
2001.
Gutmann, Amy, ed. Multiculturalism. New Jersey: Princeton
University Press, 1994.
Habibie, B.J. Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang
Indonesia Menuju Demokrasi . Jakarta: THC Mandiri, Cetakan
ke-3, Nopember, 2006.
Hadi, Syamsul dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde
Baru Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional.
Jakarta: Centre for International Relations Studies (CIReS)
bekerjasama dengan YOI, Cetakan Pertama, Januari 2007.
Hakim , Abdul dan Yudi Latif, ed. Bayang -bayang Fanatisme Esei esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid . Jakarta: Pusat
Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Cetakan
I, Juli 2007.
Hashmi, Sohail. ed., Etika Politik Islam Civil Society, Pluralisme,
dan Konflik. terjemahan Abu Bakar Eby Hara dkk., Jakarta,
ICIP, Cetakan I, Agustus, 2005.
264
Suhaimi
Hall, John A. Ed. The State of The Nation Ernest Gellner and the
Theory of Nationalism. Cambridge: Cambridge University
Press, First Published, 1988.
Harraniy, Ibn Taimiyah . M ajmu >u‘ al-Fata>wa>, Kit a>b al-Tafsi>r.
Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, Cetakan I, juz ke-2, 2000.
Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan
Krisis Modernisme. Ahmad Gaus, ed. Jakartta: Paramadina,
Cetakan pertama, September 1998.
-----------. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Oktober 1996.
Hidayat, K.dkk. Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta:
Paramadina,
Cetakan I, Maret, 2005.
Hilmy, Mushthafa.
Nidza>m al-K{ila>fah Bain a Ahl al-Sunnah
wa al- Syi>a‘h. Iskandaria: Da@r Al-Da’wah, Cetakan I,
1988.
Hornby , AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
English. United Kingdom: Oxford University Press, Sixth
edition, 2003.
Issawi, Charless. ed. Pilihan dari Muqaddimah Ibn Khaldun Filsafat
Islam Tentang Sejarah . terjemahan Mukti Ali, Jakarta:
Tintamas, Cetakan Kedua, 1976.
Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia ,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cetakan I, Juni 2002.
Janoski, Thomas and others, eds. The Handbook of Political Sociology
States,Civil Societies and Globalization . Cambridge:
Cambridge University Press, 2005.
Jackson, KD dkk. Political Power and Communications in Indonesia.
California: University of California Press, 1978.
Kadarmanta, A. Membangun Kultur Kepolisian . Jakarta: PT Forum
Media Utama, Cetakan I, Nopember 2007.
Kaelan. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya.
Yogyakarta : Paradigma, Cetakan ke-3, 2002.
Kartanegara, Mulyadhi. Mozaik Khazanah Islam Bunga Rampai dari
Chicago . Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Mei 2000.
265
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam.
Bandung: Mizan
bekerjasama dengan Majalah Ummat, Cetakan I, Mei 1997.
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, Dan Ketimpangan , Suatu
Pengantar Sejarah Sosiolog ., Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan Kedua November 1991.
Lasswell, Harold D. Communication in a Divided World:
Opportunities and Constrain. London : International Institute of
Communications, the Loius G. Cowan Lecture, 1977.
Lauer, Robert. Perspektif Perubahan Sosial. terjemahan Alimandan,
SU, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cetakan Ke-4, Mei 2003.
Littlejohn Stephen W. Theories of Human Communication . USA,
Wadsworth Publishing Company, Fifth Edition, 1996.
Lubis, Akhyar Yusuf. Dekonstruksi Epistimologi Modern Dari
Posmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme Hingga Cultural
Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, Cetakan Pertama,
April 2006.
Luis, Abu. al-Munjid fi al-Lug}ah wa - al-‘Ala>m. Beirut : Da>r elMashreq, Cetakan ke-21, 1973.
Maarif,Ahmad
Syafii.
Islam & Politik
Upaya Membingkai
Peradaban . Cirebon: Pustaka Dinamika, Cetakan Pertama,
September 1999.
Madjid, Nurcholish.
Islam, Kemerdekaan dan Kedamaian.
Bandung: Mizan , 1987.
---------- . Islam Kemoderenan dan Kemanusiaan . Bandung: Mizan,
1988.
---------- . Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan . Bandung:
Mizan,
1993.
---------- . ed. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1994.
---------- . Pintu -Pintu Menuju Tuhan . Jakarta: Paramadina, 1994.
---------- . Islam Agama Kemanusiaan . Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia . Jakarta: Paramadina, 1994.
---------- . Islam Agama Peradaban . Jakarta: Paramadina, 1995.
---------- . Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pem-bangunan
di Indonesia . Jakarta: Paramadina, 1997.
---------- . Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997.
266
Suhaimi
---------- . Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997.
---------- . Cita -Cita Politik Islam Era Reformasi . Universitas Paramadina, Cetakan I, 1999
---------- . Islam Doktrin dan Peradaban . Jakarta:
Paramadina,
Cetakan Keempat, September, 2000.
---------- . Indonesia Kita. Jakarta: Universitas Paramadina, Cetakan
III, Maret 2004.
Marpaung, Rusdi dan J. Heri Sugianto, ed. Demokrasi yang Selektif
terhadap Penegakan HAM [Laporan Kondisi HAM Indonesia
2005.] Jakarta: Imparsial, Cetakan pertama, Oktober 2006.
Mowlana, Hamid. Global Communication in Transition The End of
Diversity. New Delhi, India: Sage Puublictions International
Educational and Professional Publisher, 1996.
Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama,
Pergulatan Pemikiraan Politik Radikal dan Akomodatif.
Jakarta: Pustaka LP3ES, Cetakan Pertama, November 2004
Nasution, Irfan dkk. Restorasi Pancasila Mendamaikan Politik
Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press, Cetakan Ke1, 2003.
Norris, dan Inglehart R.
Sacred and Secular Religion and
PoliticsWorldwide. Cambridge University Press, First
Published, 2004.
Noth, Winfried. Handbook of Semiotic. Bloomington and
Indianapolis: Indiana University Press, 1990.
Palmer, Richard E. Hermeneutics. USA: Northwestern University
Press, 1988.
Parera, Jos Daniel. Sintaksis. Jakarta: PT Gramedia, Cetakan I, 1988.
Peldi, Elza Taher, ed. Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi ,
Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru . Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, Cetakan I, September, 1994.
Perdue, William D. Sociological Theory. California: Mayfield
Publishing Company, 1986.
Poespoprodjo, W. Hermeneutika . Bandung: Pustaka Setia, Cetakan
pertama, Mei 2004.
-----------------, Interpretasi . Bandung: CV. Remadja Karya, Cetakan
ke-1, 1987.
267
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Poerwowidagdo, Judo ed. Rekonsiliasi Nasional Menuju Masyarakat
Sipil yang Demokratis. Jakarta: Pusat Pemberdayaan untuk
Rekonsiliasi dan Perdamaian, Cetakan I, 2004.
Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran .
Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cetakan kelima, September,
2004.
Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikutural. Surakarta: Universitas
Muham-madiyah Surakarta, 2003.
Rahardjo, M. Dawam . Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan,
Cetakan IV, 1999.
-----------, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES bekerjasama dengan LSAF,
Cetakan I, Agustus 1999.
Rais, M. Amien. Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid
Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bandung:
Zaman, Cetakan I, Maret, 1998.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
Ceta-kan Pertama, Februari 2001.
Rauf, Maswadi dkk. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta:
Gramedia, Cetakan I, 1993.
Razik, Abdul Ali. Al-Isla>m wa Ushu >l al-Hukm Baht}un fi alKhila>fah wa al-Huku >miyah fi al-Isla>m. Beirut: Da@r
Maktabah al-Haya@t, 1978.
Robertson, Roland. Meaning and Change Explorations in the Cultural
Sociology of Modern Society. New York: New York University
Press, 1978.
Salam, Aprianus, ed. Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cetakan Ke -1, Juli 1998.
Salim, Agus, ed. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta:
Tiara Wacana, Cetakan Ke -1, Juli 2001.
Setiono, Kusdwiratri dan Johan S. Masjhur, eds. Manusia Kesehatan
dan Lingkungan Kulaitas Hidup dalam Perspektif Perubahan
Lingkungan Global. Bandung: PT Alumni, Cetakan kedua,
2007.
268
Suhaimi
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran . Jakarta: UI-Press, Edisi Kelima, 1993.
Smith, Anthony D. Nationalism and Modernism A Critical Survey of
Theories of Nations and Nationalism. London and New York:
Routledge, Reprinted, 2003.
----------, The Origins of Nations. Victoria 3053: Blackwell
Publishing, First Published, 1988.
Srinivasan, T.N. ed. The Future of Secularism. Oxford: Oxford
University Press, 2007.
Suhaimi dan Ruli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2009.
Sukirno, Sardono. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan
Dasar Kebijakan . Jakarta: Bima Grafika, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1985.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengetahuan Populer.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Cetakan ke-8, 1994.
Susanto , Adhi dan Cungki Kusdarjito, eds. Menuju Jati Diri
Pendidikan Yang Mengindonesia .
Yogyakarta : Komite
Rekonstruksi Pendidikan DIY dan Gadjah Mada University
Press, Cetakan pertama, Oktober 2009.
Suwardi, Harsono. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia Suatu
Studi Komunikasi Politik Terhadap Kampanye Pemilu 1987.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cetakan I, 1993.
Suwarsono dan Alvin,So. Perubahan Sosial dan Pembangunan .
Jakarta: LP3ES, Cetakan Ke-2, 1994.
Suyanto, Djoko . Menuju TNI Profesional dan Dedikatif. Jakarta:
Pusat Penerangan TNI, Cetakan pertama, Oktober 2007.
Tamara,M. Nasir dkk. ed. Agama dan Dialog Antar Peradaban.
Jakarta: Paramadina, Cetakan I, September, 1996.
Tibbi, Bassam. Krisis Peradaban Islam: Sebuah Kultur Praindustri
dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi . terjemahan
Yudian W. Asmin dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cetakan
Ke-1, Mei 1994.
Tilaar, HAR. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka
Cipta, Cetakan kedua, Pebruari 2009.
269
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Turmudi, Endang dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia . Jakarta:
LIPI Press, Cetakan Ke-1, April 2005.
Uhlin, Andres. Oposisi Berserak. terjemahan Rofik Suhud, Bandung:
Mizan, Cetakan ke -2, September 1998.
Watson , James dan Anne Hill. A Dictionary of Communication and
Media Studies. New Delhi: Universall Book Stall, Second
Edition, 1996.
Widjaja, HAW. Penyelengg araan Otonomi Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, Cetakan I, 2005.
270
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966 -1993), Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, Cetakan I, April 1999.
Abdurrahman, M. Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fikih , Bandung:
Remaja Rosda Karya, Cetakan pertama , Mei 2002.
Abdalla, Ulil Abshar,ed. Islam dan Barat Demokrasi dalam Masyarakat Islam,
Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Juni, 2002.
Ahmad, Mumtaz, ed. Masalah -Masalah Teori Politik Islam, terjemahan Ena Hadi,
Bandung: Mizan, Cetakan III, April 1996.
Anderson, Benedict R. O’G. Imagined Communities, Komunitas-Komunitas
Terbayang , terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Insist Press, 2001
A’la, Abd. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur Rahman
Wacana Islam di Indonesia , Jakarta: Paramadina, April, 2003.
dalam
Al-Bahansawi,Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam, terjemahan Mustolah
Maufur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1990.
Ardianto, E. dkk. Filsafat Ilmu Komunikasi , Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
Cetakan ke-1, Januari 2007.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia , Jakarta: Kencana, Edisi
Revisi, Cetakan kedua, 2005.
---------------------. Renaisans Islam Asia Tenggra Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
Idris Thaha, ed., Bandung: PT Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2000.
---------------------. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post -Modernisme, Abas Al-Jauhari, ed., Jakarta: Paramadina, Cetakan
pertama, Mei 1996.
Bakti, A.F.
Paramadina and its Approach to Culture and Communication: and
Engagement in Civil Society, Paris: Archipel 68, 2004.
Baskara, FX dkk., ed. Mencari Demokrasi , Jakarta: Institut Studi Arus
152
Informasi, Cetakan I, Mei, 1999
Bungin, Burhan. Imaji Media Massa Konstruksi Makna Realitas Sosial Iklan Televisi
dalam Masyarakat Kapit alistik, Yogyakarta: Jendela, Cetakan Ke-1, Januari
2001.
Connor, Walker. Ethnonationalism the Quest for Understanding , New Jersey:
Princeton University Press, Fifth Published, 1994.
Creswell, John W. Reseach Design Qualitative and Quantitative Approach ,
terjemahan Angkatan III dan IV KIK-UI dan Nur Khabibah, Jakarta: KIK
Press, 2002.
Culla, Adi S. Masyarakaat Madani, Pemikiran ,Teori dan Relevansinya
ngan
Cita – Cita Reformasi , Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan Ketiga,
Januari 2002.
Dault, Adhyaksa. Islam dan Nasuonalisme Reposisi Wacana Universal dalam
Konteks Nasional, Abduh Zulfihar Akaha, ed., Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
Cetakan I, 2005.
Effendy, Bahtiar.
Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia , Jakarta:Paramadina, Cetakan ke-1, 1998.
-------------------. Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan
Demokrasi , Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam, Terjemahan Imam Mutaqin,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I , Desember 2000.
Eickelman F.D.dkk. Ekspresi Politik Muslim, Terjemahan Rofik
Suhud, Bandung: Mizan, Cetakan I , September 1988.
Fatah, Eep Saefulloh. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru Masalah dan Masa
Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosda Karya, edisi
ke-2, 2000.
Gans, Chaim. The Limits of Nationalism, United Kingdom: Cambridge University
Press, First Published, 2003.
G. Gragnon, Alan and James Tully. Multinational Democracies, United Kingdom:
Cambridge University Press, First Published, 2001.
153
Gutmann, Amy, ed.
1994.
Multiculturalism, New Jersey: Princeton
University Press,
Habibie, B.J. Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju
Demokrasi , Jakarta: THC Mandiri, Cetakan ke -3, Nopember, 2006.
Hashmi, Sohail. ed., Etika Politik Islam Civil Society, Pluralisme, dan Konflik,
terjemahan Abu Bakar Eby Hara dkk., Jakarta, ICIP, Cetakan I, Agustus, 2005
Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
Ahmad Gaus, ed., Jakartta: Paramadina, Cetakan pertama, September 1998.
----------------------------. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Herme-neutik,
Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Oktober 1996.
Hidayat, K.dkk. Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan
Pemikiran Islam
Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Maret, 2005.
Hilmy, Mushthafa.
Nidza>m al-K{ila>fah Bain a Ahl al-Sunnah wa al- Syi>a‘h,
Iskandaria: Da@r Al-Da’wah, Cetakan I, 1988.
Issawi, Charless. ed. Pilihan dari Muqaddimah Ibn Khaldun Filsafat Islam Ten ng
Sejarah , terjemahan Mukti Ali, Jakarta: Tintamas, Cetakan Kedua, 1976.
Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia ,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cetakan I, Juni 2002.
Janoski, Thomas and others, eds. The Handbook of Political Sociology States,
Civil Societies, and Globalization, United Kingdom: Cambridge
University Press, 2005.
Jackson, KD dkk. Political Power and Communications in Indonesia , USA:
University of California Press, 1978.
Kartanegara, Mulyadhi. Mozaik Khazanah Islam Bunga Rampai dari Chicago ,
Jakarta: Paramadina, Cetakan I, Mei 2000.
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, Dan Ketimpangan , Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi , Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan Kedua November
1991.
154
Lauer, Robert. Perspektif Perubahan Sosial, terjemahan Alimandan, SU, Jakarta: PT
Rineka Cipta, Cetakan Ke-4, Mei 2003.
Maarif,Ahmad Syafii. Islam & Politik Upaya Membingkai
Pustaka Dinamika, Cetakan Pertama, September 1999.
Peradaban , Cirebon:
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemerdekaan dan Kedamaian ,
1987.
Bandung: Mizan ,
----------------------. Islam Kemoderenan dan Kemanusiaan , Bandung: Mizan, 1988.
----------------------. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan , Bandung:
Mizan, 1993.
---------------------, ed. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1994.
-----------------------, Pintu -Pintu Menuju Tuhan , Jakarta: Paramadina, 1994.
-----------------------. Islam Agama Kemanusiaan , Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1994.
-----------------------. Islam Agama Peradaban , Jakarta: Paramadina, 1995.
-----------------------. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pem-bangunan di
Indonesia , Jakarta: Paramadina, 1997.
-----------------------. Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997.
-----------------------. Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997.
----------------------. Cita -Cita Politik Islam Era Reformasi , Universitas Para-madina,
Cetakan I, 1999
----------------------. Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta:
Keempat, September, 2000.
Paramadina, Cetakan
----------------------. Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, Cetakan III,
Maret 2004.
Mowlana, Hamid. Global Communication in Transition The End of Diversity, New
Delhi, India: Sage Puublictions International Educational and Professional
Publisher, 1996.
155
Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, Pergulatan Pemikiraan
Politik Radikal dan Akomodatif , Jakarta: Pustaka LP3ES, Cetakan Pertama,
November 2004
Nasution, Irfan dkk.
Restorasi Pancasila Mendamaikan Politik Identitas dan
Modernitas, Bogor: Brighten Press, Cetakan Ke-1, 2003.
Norris, dan Inglehart R. Sacred and Secular Religion and PoliticsWorldwide,
Cambridge University Press, First Published, 2004.
Noth, Winfried. Handbook of Semiotic, Bloomington and Indianapolis: Indiana
University Press, 1990.
Peldi, Elza Taher, ed. Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi , Penga -laman
Indonesia Masa Orde Baru , Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cetakan I,
September, 1994.
Perdue, William D. Sociological
Company, 1986.
Theory,
California:
Mayfield
Publishing
Pulungan, Suyuthi. Fiqh
Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran , Jakarta,
RajaGrafindo Persada, Cetakan Kelima, September, 2004.
Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikutural, Surakarta: Universitas Muham madiyah Surakarta, 2003.
Rais, M. Amien. Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid Sosial
Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Bandung: Zaman, Cetakan I, Maret,
1998.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press,
Pertama, Februari 2001.
Ceta -kan
Rauf, Maswadi dkk. Indonesia dan Komunikasi Politik, Jakarta: Gramedia, Cetakan
I, 1993.
Razik, Abdul Ali. Al-Isla>m wa Ushu >l al-Hukm Baht}un fi al-Khila>fah wa alHuku >miyah fi al-Isla>m, Beirut: Da@r Maktabah al-Haya@t, 1978.
Robertson, Roland. Meaning and Change Explorations in the Cultural Sociology of
Modern Society, New York: New York University Press, 1978.
156
Salam, Aprianus, ed. Umar Kayam dan Jaring Semiotik, Yogyakarta:
Pelajar, Cetakan Ke -1, Juli 1998.
Pustaka
Salim, Agus, ed. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana,
Cetakan Ke-1, Juli 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran , Jakarta:
UI -Press, Edisi Kelima, 1993.
Sukirno, Sardono. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan ,
Jakarta : Bima Grafika, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1985.
Suwardi, Harsono. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia Suatu Studi Komunikasi
Politik Terhadap Kampanye Pemilu 1987 , Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
Cetakan I, 1993.
Suwarsono dan Alvin,So. Perubah an Sosial dan Pembangunan , Jakarta: LP3ES,
Cetakan Ke-2, 1994.
Tamara,M. Nasir dkk. ed.
Agama dan Dialog Antar Peradaban , Jakarta:
Paramadina, Cetakan I, September, 1996.
Tibbi, Bassam. Krisis Peradaban Islam: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu
Pengetahuan dan Tehnologi ,terjemahan Yudian W. Asmin dkk, Yogyakarta:
Tiara Wacana, Cetakan Ke -1, Mei 1994.
Turmudi, Endang dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia , Jakarta: LIPI Press,
Cetakan Ke-1, April 2005.
Uhlin, Andres. Oposisi Berserak, terjemahan Rofik Suhud, Bandung: Mizan, Cetakan
ke-2, September 1998.
157
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
NIP.
Tempat/Tanggal lahir
Pekerjaan
Jabatan Fungsional
Alamat
Nama Istri
Nama Anak
: Suhaimi
: 19670906 199403 1 002
: Jakarta/6 September 1967
: Mahasiswa S3 UIN Jakarta/Dosen FIDKOM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
: Lektor Kepala (IV/a)
: Jalan Karet Kampung Gedong No. 56, RT/RW
001/20 Margonda, Depok 16423
Telepon: (021) 77215375/ 081383185352
: Nani Muryani SPd
: 1. Bunayya Ittaqi Al-Majid Al-Bar
2. Fiyki Taqiyya Billah
Pendidikan/Pelatihan:
•
•
•
•
•
•
•
•
MIN Madrasah Ta rbiyatul Mutaallimin (MTM) di Jakarta
1980
KMI Gontor 6 tahun 1986
Jurusan Tadris IPS Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 1988
Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta 1993
S2 Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Komunikasi
1999
S3 Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Konsentrasi Dakwah dan
Komunikasi 2005 – Sekarang
Workshop Pengembangan Jurnal ilmiah dan Konsorsium Ilmu
CEQDA UIN Jakarta 2009
Workshop Curriculum Review FDK UIN Jakarta 2009
314
Suhaimi
•
•
•
•
•
•
Australian Education in Internasional Seminar Series in
Communication 2009
Pelatihan Penelitian Lembaga Penelitian UIN Jakarta 2008
Workshop Program Development 3 FDK UIN Jakarta 2006
Workshop Curriculum Review FDK UIN Jakarta 2009
Focus Group Discussion Curriculum Review FDK UIN
Jakarta 2009
Workshop Pendirian FISIP UIN Jakarta 2009
Pengalaman Kerja/Organisasi:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Bagian Perpustakaan OPPM
Pembina Pramuka
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam
Lembaga Pers Mahasiswa Islam
Kelompok Diskusi DASA
Forum Mahasiswa Ciputat
Guru SDIT Tugasku Menteng Jakarta 1993
Guru SMP YAPERMAS Menteng 1993
Dosen Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Ushuluddin IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 1994-1999
Wartawan Harian Media Indonesia 1998
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi UIN Jakarta 1999 -Sekarang
Anggota Tim Pendiri Konsentrasi Jurnalistik FIDKOM UIN
Jakarta
Ketua Konsentrasi Jurnalistik FIDKOM UIN Jakarta
P3ID FIDKOM UIN Jakarta
P2KM FIDKOM UIN Jakarta
Anggota Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia
Koordinator Pemantau Ujian Nasional SMP/MTs/SMK 08/09
Ketua Pelatihan Jurnalisme Damai FIDKOM UIN Jakarta
Ketua TI M FIDKOM Lomba Pameran Foto Se-UIN Jakarta
2009
315
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Pengalaman Penelitian
•
•
•
Koperasi dalam Perspektif Dakwah Pembangunan, Penelitian
Individual FDK IAIN Jakarta, 2001;
Konsep al-Qur’an tentang Komunikasi Antar Manusia dan
Allah swt, Penelitian Individual FDK UIN Jakarta, 2006;
Islam Substantif, Anggota Penelitian Kolektif Lemlit IAIN
Jakarta, 2003.
Publikasi
1. Buku:
a. Jumroni dan Suhaimi, Metode Penelitian Komunikasi , Jakarta,
Lemlit UIN Jakarta, Cetakan I, 2004;
b. Suhaimi dan Rulli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik, Jakarta,
Lemlit UIN Jakarta, Cetakan I, 2009.
2. Jurnal:
a. Suhaimi, “ Retorika Politik Imam Syafi’i,” Jurnal Mimbar
Agama dan Budaya, UIN Jakarta, Vol. 26, No. 4, 2009;
b. Suhaimi, “Pola Relasi Demokrasi dan Islam di Indonesia,”
Jurnal Dakwah, FDK UIN Jakarta, Vol. XI, No. 1. Juni 2008
c. Suhaimi, “Komunikasi Sosial Bangsa Indonesia,” Jurnal
Dakwah, FDK UIN Jakarta, Vol VII, No.1 Juni 2008.
Tanda penghargaan:
Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia “SATYALENCANA
KARYA SATYA” Nomor 096/TK/ TAHUN 2006 Sepuluh Tahun
Kerja.
316
Suhaimi
DAFTAR SINGKATAN
AD
ADIA
AMS
BU
CSI
CNN
DDII
FPI
GHS
GOLKAR
HAS
HBS
HCS
HIS
HMI
HT
IAIN
ICMI
IDT
ISKI
IIFSO
IV
JIB
JIL
K
KISDI
KKN
KMI
KOMNAS HAM
KIPP
LIPI
Masyumi
Agenda Dasar
Akademi Dinas Ilmu Agama
Algemene Middelbare School
Budi Utomo
Central Sarekat Islam
Cable News Network
Dewan Dakwah Islam iyah Indonesia
Front Pembela Islam
Geneeskundige Hoge School
Golongan Karya
Hollandsch Arabische School
Hogere Burgelijke School
Hollandsch Chineesche School
Hollandsch -Indlansche School
Himpunan Mahasiswa Islam
Hizbut Tahrir
Institut Agama Islam Negeri
Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia
Inpres Desa Tertinggal
IKatan Sarjana Komunikasi Indonesia
International Islamic Federation of Student
Organizations
Indische Vereeniging
Jong Islamieten Bond
Jaringan Islam Liberal
Keterangan
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia
Islam
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme
Kulliya>t al-Mu allimi>n al-Isla>miyyah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Komite Independen Pemantau Pemilu
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Majelis Su ra Muslimin Indonesia
xxi
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
MUI
MULO
MMI
NDP
NIAS
NCM
NKRI
O
OSVIA
P
PDI
Persis
PEMIAT
PI
PLI
PMKI
PPP
PTAIN
RHS
S
SI
SDI
SIS
STOVIA
THS
TIM
VOC
Majelis Ulama Indonesia
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs
Majelis Mujahidin Indonesia
Nila i-nilai Dasar Perjuangan
Nederlandsch-Indische Artsen School
Nurcholish Madjid
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Objek
Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren
Pelengkap
Partai Demokrasi Indonesia
Persatuan Islam
Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara
Perhimpunan Indonesia
Progressive Liberal Islam
Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia
Partai Persatuan Pembangunan
Perguruan Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri
Rechts Hoge School
Subjek
Sarekat Islam
Sarekat Dagang Islam
Studenten Islam Studieclub
School tot Opleiding voor Indlandsche Artsen
Technise Hoge School
Taman Ismail Marzuki
Vereenigd e Oost Indische Compagnie
xxii
Suhaimi
GLOSSARY
Bahasa politik adalah struktur teks yang berisikan susunan kata
dan kalimat yang dipergunakan untuk tujuan politis, seperti menyampaikan kepentingan-kepentingan pembangunan kembali bangsa
Indonesia.
Denotasi adalah arti tatanan pertandaan pertama atau makna
apa yang tertulis dalam teks atau tertera dalam gambar secara
eksplisit. Misalnya kata dukun memiliki makna denotasi sebagai
orang yang mempunyai kemampuan melakukan penyembuhan secara
gaib.
Ilmu Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesanpesan ajaran Islam berupa rahmat bagi semesta alam kepada sesama
manusia, melalui berbagai media penyampaian pesan dengan metode
persuasi yang akan berakibat pengaruh efek tertentu .
Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa atau cara dan teknik
seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman dan nilai-nilai
kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau
khusus.
Konotasi adalah arti sistem tanda kedua atau makna yang
berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan
ideologi tertentu. Ini terjadi ketika makna bergerak menuju
subjektifitas.
Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang
singkat padat dan rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan
pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu
yang menjadi objek. Gagasan kedua merupakan perbandingan
terhadap kenyataan pertama tersebut.
Mitos adalah cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang
sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memaha sesuatu.
Mitos merupakan cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk
menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam.
Oposisi biner (Binary opposition ) adalah prinsip pertentangan
diantara dua istilah berseberanga dalam strukturalisme, yang satu
dianggap lebih superior dari yang lainnya.
309
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Politik adalah kegiatan pemilihan aparatur negara maupun
dalam arti pengelolaan kekuasaan atau pemimpin pemerintahan.
Politik Islam adalah nilai-nilai prinsip ajaran Islam tentang
kehidupan sosial politik seperti keadilan, kepemimpinan dan
kesamaan, syu>ra> serta perdamaian dll.
Semiotik adalah ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta
penggunaannya dalam masyarakat.
Signifier (Penanda) adalah kesan mental dari sesuatu yang
bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan, atau benda, atau citra
aktual dari suatu tanda.
Signified (Petanda) yaitu konsep abstrak atau makna yang
dihasilkan oleh tanda.
Tanda (sign ) adalah segala sesuatu yang mengandung makna,
yang mempunyai dua unsur, yaitu penanda (bentuk) dan petanda
(makna).
Teks adalah kombinasi tanda-tanda, baik verbal maupun
visual.
310
Suhaimi
INDEKS
A
Abba>siyah 137,
Aceh 128, 141, 142, 145, 177
Accountable 182
Accountability 197
al-Da>ira>t al-M a’mu>rah 159
al-Umam al-Muttahidah 157
Ama>nah 193, 194, 197, 198
Amar ma’ru>f nahy munkar 44,
164
Anderson, Benedict 7, 9, 11, 14,
45, 135
Asia, Tenggara 10, 55, 128, 136,
137, 195,
D
Da’wah 32, 33, 164
Daud 153
E
Ekumenisme 159
ELS 144
Eropa 63,131, 132, 134, 144,
153, 165, 166, 190, 243, 243,
ethnic nasionalism 136
F
Fat }a>nah 33, 197, 198
Feodalisme , 192, 193, 215, 253
First World 248
B
Bandung 144, 147, 244, , 245,
248
Bay’ah 158
Bay‘at ‘Aqabah 158
Blok, Gerakan Non -Blok 244,
245
Budha 132
C
Civility 121, 162, 200, 201, 203
Chauvinisme 134
Clean government 176
Consensus builder 158, 197
Corruptio optimi pessima 203
G
Gardner, John 235
Good governance 2,192, 193, 194,
195, 196, 197, 200, 201
H
Huntington, Samuel P. 175, 244,
245
Hatta, Mohammad 154, 156, 167
HBS 147
Hemispheric 139
Hindu 131, 132
311
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
I
Iberia 139
Ibrahim 127
India 132, 139
Indocina 132, 137, 133,
151, 154, 166
Indonesia 9, 132, 148, 151,
153, 156, 184185, 186,187,
188,189, 190, 193,194,195,
196, 200, 201, 202, 203,
206, 207,208, 211, 212,
216, 217, 218, 221, 222,
225,226,227, 230,231, 232,
233, 234, 238, 239, 241,
242,243, 244,245, 247,248,
249, 253, 254
J
L
Liga Demokrasi 169
Lingua franca 155
M
Madaniyah 122, 162, 201, 203
Madinah 200
Majapahit 132
Malaka 137
Masyumi 152
Melayu 139, 140, 144, 155
Modern nation state 128, 176, 232
Money power 232
Moro 133
Muhammad saw 137, 158, 159,
167, 175, 194, 197, 203
Mulk 166
MULO 146
Muqaddimah 129
Myrdal, Karl Gunnar 180
Musa 165
Jakarta184
Jawa 155, 156, 131, 186,
Jepang 155, 156
JIB 108, 152
N
Jiha>d fi> sabi >lilla>h 141, 244, 245,
Nasionalisme 153, 154,
155,157,
246
189, 241, 242, 244, 245
Nasrani 159
nation in making 179, 189
K
nation state 115
Natsir, Mohammad 108, 152, 168
K alimatun sawa>
Nuh 96
Khaldun, Ibn 44, 129
Kh ali>fatu rasulillah 204
Khutbatu al-Wad a> 165
KKN 192, 193, 241, 242, 252,
312
Suhaimi
Konferensi Meja Bundar 167
O
Orde baru 8, 9, 17, 87, 89, 101,
170,172, 177, 220, 221, 222
Orde lama 8, 9, 170
OSVIA 146
P
Pancasila 178, 182, 222
PBB 194
Prancis 234
Perang Dingin 243, 244, 248
Perang Dunia I 167, 244, 246
Perang Dunia II 31, 179, 244, 246
Pesantren 147
PNI 168, 169
Politik Etis 134, 144, 148
Polri 220, 221, 223
Portugis 140
S
STOVIA 232
Soeharto 101, 102, 104,
170, 171, 172, 176
Soekarno 7, 153, 154, 155,
156, 167, 168, 169
Sumatera 137, 142, 155
T
Tan Hana Dharma Mangroa 178
THS 147
Tjokroaminoto, H.Omar Said 150
TNI 219, 220, 221, 222, 223
U
United Nations 157
Utomo, Budi 148, 190
UUD 168, 181, 222, 227, 233,
241, 249
R
Y
ra’fah wa rahmah 120
reconquista 139
RHS 149
Yahudi 109, 160
Yathrib 150, 159
Yunani 63, 64, 137, 174
S
Salim, Haji Agus 150, 151, 153
SDI 148, 190
Sekolah Rakyat 146, 147
SI 148, 150, 151, 190
313
Bahasa Politik Nurcholish Madjid
Sriwijaya 137, 138
314
LAMPIRAN : PLATFORM MEMBANGUN KEMBALI
INDONESIA
Dengan latar belakang yang kita alami saat ini, untuk
pembangunan kembali bangsa dan negara diperlukan beberapa agenda
dasar atau platform yang sifatnya mendesak.
1. Mewujudkan “good governance” pada semua
lapisan pengelolaan Negara
Telah dibahas pada bagian terdahulu, bahwa yang pertamatama diperlukan untuk mengakhiri krisis besar sekarang ini ialah
bagaimana mengelola negara secara baik dan benar, berkenaan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan (running
government and exercising power). Tumpukan krisis banyak segi
yang menggunung sekarang ini dapat diibaratkan sebuah gunung es
raksasa sedemikian besar, sehingga sulit dihancurkan dari kaki
dasarnya. Karena gunung es adalah benda mengambang, maka setiap
kali puncaknya dipotong atau dihancurkan, setiap kali pula akan
menyembul puncak baru ke permukaan. Tetapi gunung es akan hancur
meleleh bila ia bisa diseret dari tempat tumbuhnya di
dingin
sekitar daerah kutub menuju panasnya air laut di zona opis. Metafora
gunung es kiranya dapat memberi gambaran tentang betapa
mustahilnya mengatasi persoalan kritis banyak segi itu jika dilakukan
hanya secara parsial, tidak menyeluruh.
Pengelolaan yang benar dan baik (good governance) dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan
diibaratkan sebagai laut zona tropis yang panas, yang
meluluhkan gunung es budaya KKN. Dalam hal ini diperlukan
kekeuatan yang besar untuk dapat menyeret gunung es itu ke sekitar
khatulistiwa. Kekuatan besar itu ialah tekad bersama seluruh
komponen bangsa, untuk secara bahu -membahu menanggung beban
tanggung jawab penyelesaian masalah nasional, dan penyatuan
seluruh kekuatan nasional dalam semangat “ samen bundeling van alle
krachten van de natie”.
271
Energi yang dihasilkan oleh tekad yang diperbaharui dengan
dukungan seluruh komponen bangsa itu akan menjadi efis
dan
efektif serta terfokus kepada sasaran jika terbentuk jajaran pimpinan
nasional yang sanggup memberi teladan, berdiri di barisan paling
depan, memulai dengan diri sendiri. Karena itu kepemimpinan
tersebut harus benar-benar otentik, menunjukkan ketulusan kesatuan
antara ucapan dan tindakan, antara seruasn dan pelaksanaan, antara
tekad dan perbuatan. Bangsa kita memerlukan suatu jenis
kepemimpinan yang memiliki visi tentang masa depan bangsa,
seseorang dengan intuisi kepemimpinan, savy atau savoir-faire
(kearifan batin, basirah). Ia juga harus aktif agresif dalam usahanya
melaksanakan visinya itu, meskipun ia harus bertindak
pragmatis berdasarkan realita dalam masyarakat dengan
kemungkinan dan hambatannya. Pimpinan itu juga harus tetap setia
memelihara amanat dan kepercayaan umum, dan berperan sebagai
pembina kesepakatan (concencus builder) antara berbagai komponen
bangsa.
Kepemimpinan yang berwibawa akan tampil menjadi lambang
harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction ) dan
kesadaran tujuan (sense of purpose) dalam hidup bernegara, dan
menjadi dorongan rakyat untuk dengan penuh kerelaan mendukung
dan mengambil bagian dalam perjuangan nasional. Dukungan yang
menyeluruh diperlukan untuk mewujudkan keharusan -keharusan
good governance, yaitu terbukanya partisipasi umum dalam prosesproses pelaksanaan pemerintahan serta penggunaan kekuasaan;
transparansi dalam semua proses itu sehingga tidak terjadi kegiatan
kenegaraan yang berlangsung secara tersembunyi, khususnya yang
bersangkutan dengan penanganan kekayaan umum milik bangsa dan
negara; dan akuntabilitas (accountability), yaitu kesanggupan
mempertanggungjawabkan semua proses dan tindakan itu kepada
rakyat secara terbuka.
Mewujudkan good governance menjadi perkara mustahil tanpa
keikutsertaan seluruh rakyat atas dasar komitmen bersama,
menjunjung tinggi asas negara-bangsa (nation -state) dengan
pembedaan yang tegas antara urusan privat dan urusan p
, antara
272
harta milik pribadi dan harta milik umum. Tidak ada toleransi
terhadap penyalahgunaan kekayaan negara, biarpun ibaratnya hanya
bernilai sepeser, dan tanpa memandang siapapun yang melakukannya.
Berekenaan dengan masalah tersebut misalnya, sebagai contoh, kita
secara keseluruhan masih lemah sekali dalam soal kesadaran tentang
penyelewengan transaksi berbentuk conflict of interest , akibat adanya
unsur patrimonialisme dan feodalisme yang masih kuat dalam struktur
sosial-kultural bangsa kita. Maka pengawasan kepada kemungkinan
penyalahgunaan kekayaan negara harus dilakukan secara
a ketat
dan keras, disertai penyadaran bahwa transaksi yang mengandung
conflict of interest adalah sesungguhnya jenis kejahatan korupsi.
Perjalanan pertumbuhan bangsa kita yang penuh kesulitan
antara lain disebabkan oleh adanya feodalisme. Susunan masyarakat
feodalistik bangsa-bangsa Asia Tenggara terbukti oleh adanya
identifikasi diri dengan kata ganti nama pertama tunggal yang
mengandung nama budak, seperti “saya” (sahaya), “ambo” (hamba),
“budaj” dan “abdi”, “kula” atau “kawula”. Sebab memang ciri utama
feodalisme (feuda lism) ialah “pengkawulaan” rakyat kepada “gusti”,
dengan hirarki tinggi rendah yang sedemikian menguasai hidup orang
banyak. Feodalisme juga bercirikan penguasaan tanah (fiefdom) oleh
seorang pemilik yang melaksanakan pembagian hasil yang sangat
timpang antara pemilik itu dan penggarap. Dari struktur sosial
ekonomi serupa itu, yang muncul ialah tradisi upeti baik secara paksa
oleh “gusti “ kepada “kawula” maupun sukarela oleh “kawula” kepada
“gusti”. Diyakini banyak orang bahwa merajalelanya kejahatan
korupsi di negeri kita adalah kelanjutan tradisi upeti masyarakat
feodal itu, ditambah dengan budaya suap -menyuap dan perjudian oleh
kalangan yang tak peduli dengan standar moral karena mengejar
keuntungan kebendaan semata. Ditambah dengan mengendor
dimensi keruhanian dalam pola hidup “modern” yang materialistik,
orientasi hidup kebendaan, dikaitkan dengan feodalisme, menjadi
tolok ukur tinggi-rendahnya “gengsi” dan “harga diri” banyak orang.
Dan jika ada “pelarian” dari materialisme yang gawat itu, maka
terdapat indikasi bahwa yang menarik hati bukanlah agama yang
273
bersemangat kebenaran yang lapang (hani fiyyah samhah ), tetapi
justru kultus-kultus berbahaya.1
Karena itu pembangunan demokrasi, dan beserta dengan itu
pelaksanaan prinsip -prinsip good governance, mensyaratkan
dihancurkannya feodalisme. Sekalipun belum tentu merupakan contoh
yang dapat ditiru di negeri kita, tetapi revolusi kebudayaan di
Republik Rakyat Cina merupakan suatu usaha revolusioner untuk
menghancurkan unsur-unsur tidak sehat dalam masyarakat, khususnya
Feodalisme. Sekali lagi pemberantasan KKN akan sangat banyak
tergantung kepada seberapa jauh kita mampu memberantas feodalisme
dan budaya suap menyuap.
2.Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan
konsekuen
Pelaksanaan good governance diharapkan akan mendorong
pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas dan teguh.
Sebaliknya, tanpa tegaknya asas hokum dan keadilan, pelaksanaan
good governance adalah mustahil. Melemahnya kesadaran arah dan
tujuan hidup bernegara yangf menggejala saat ini berdampak san gat
negative kepada usaha penegakan hokum dan keadilan. Karena
beroperasinya praktek suap -menyuap yang terkutuk itu, masyarakat
semakin banyak kehilangan kepercayaan kepada proses-proses
penegakan hukum dan keadilan oleh aparat-aparat yang bersangkutan.
Lepas dari benar tidaknya banyak sinyalemen dalam masyarakat
tentang dunia peradilan kita yang telah terjerat oleh
penyimpangan dan manipulasi hokum yang terorganisasi (semacam
organized crime), segi penegakkan hukum memang merupakan titik
rawan dalam kehidupan kenegaraan kita. Dalam masyarakat terdapat
banyak indikasi bahwa tindakan kejahatan berlansung dengan
1
Rasulullah saw bersabda, bahwa agama yang paling disukai Allah ialah semangat
kebenaran yang lapang (al-han ifiyyah al-samhah ) dan disebutkan dalam tafsir alQurtubi, pengertian itu dipertegas oleh al-Dahhak, al-hanafiyyah al-samhah alsahlah (semangat kebenaran yang lapang dan mudah). Kultus, sebagaimana beritaberita sehari-hari menunjukkan, adalah kebalikan dari pandangan hanifiyah samhah
itu.
274
lindungan helat hukum
legitimasi legal palsu.
(legal device) sehingga mendapatkan
Sebagaimana telah dicoba jelaskan tentang makna konsep
madinah atau medinat di bagian depan, ketaatan kepada hukum dan
aturan adalah pangkal keadaban, madaniyah atau civility. Sebaliknya,
“ lawless society” atau “masyarakat hukum rimba”, adalah ciri
masyarakat tak berkeadaban, yang menuju kepada kehancuran. Seperti
dalam rimba, dalam keadaan kacau dan lemah hukum, yang berfungsi
dalam masyarakat ialah kekuatan dan kekuasaan sewenang-wenang,
dan negara hukum (rechsstaat ) yang dicita -citakan para pendiri negara
berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat ). Yang lemah tidak
mampu bertahan hidup menghadapi yang kuat, suatu bentuk
Darwinisme dalam kehidupan sosial-politik, dengan hukum “ survival
of the fittest ” melalui proses “natural selection ” yang brutal. Berbeda
dengan Darwinisme, terwujudnya kebaikan dalam kehidupan sosial
manusia senantiasa memerlukan campur tangan kepemimpinan yang
benar dan sadar tugas kemanusiaan. Kearifan Abu Bakar patut
dijadikan rujukan di sini, ketika khalifah itu dalam pidato bai’atnya
mengatakan, yang kuat diantara kalian bagiku adalah lemah, sampai
aku ambil dari mereka hak-hak kaum miskin; dan yang lemah di
antara kalian bagiku adalah kuat, sampai aku berikan kepada mereka
hak-hak mereka.”
3.
a.
Melaksanakan Rekonsiliasi Nasioanal:
Menarik pelajaran pahit dari masa lalu dengan
tekad tidak mengulanginya
Pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa dengan
sendirinya mensyaratkan adanya rekonsilisai nasional,
dasar
sikap-sikap yang diperbaharui, antara sesame anggota masyarakat,
myaitu sikap -sikap saling hormat dan saling percaya. Nilai-nilai sosial
itu, yang kebenarannya seharusnya dapat disikapi sebagai kewajaran,
saat-saat sekarang menjadi bertambah sulit diwujudkan, disebabkan
oleh gejolak perkembangan bangsa dan negara dalam sejarahnya sejak
kemerdekaan yang diwarnai kekerasan, perlawanan terhadap hukum
dan pelanggran terhadap hak-hak azazi manusia.
275
Harus diakui bahwa usaha rekonsiliasi akan berhadapan
tembok memori kolektif yang penuh dengan stigma dan trauma.
Memaori kolektif serupa itu biasanya disertai dengan perasaan
dendam kolektif, yang menghalangi tumbuhnya sikap saling mengerti
antara berbagai komponen sosial. Pengalaman -pengalaman pahit di
masa yang telah lalu adalah sangat berharga bagi kita
i bahan
pelajaran untuk tidak diulangi lagi di masa mendatang. Mungkin
pengalaman-pengalaman itu tidak boleh dilupakan – sebab
melupakannya akan membuka pintu pengulangan – tapi demi masa
depan yang lebih baik, kita semua dari kalalangan yang berbeda-beda
harus mulai merintis usaha menumbuihkan sikap -sikap saling
mengerti posisi masing-masing, kemudian diteruskan menjadi sikapsikap saling percaya dan saling menghargai. Kita harus belajar
menananmkan dalam diri kita masing -masing pandangan bahwa
manusia itu pada dasarnya baik, sebelum terbukti jelas bahwa ia
berperangai jahat.
b.
Menatap masa depan dengan pendamaian dan
penyatuan seluruh kekuatan bangsa
Kesemuanya itu dilakukan tanpa memelihara memori kolektif
penuh stigma dan trauma. Maka dari itu tarik menaraik
kedua
sikap dilematis antara “tidak melupakan” dan “memaafkan” itu
hendaknya diarahkan kepada tumbuhnya secara berangsur-angsur
sikap saling mengerti posisi masing-masing dan saling memahami
persoalan, menuju kepada sikap saling hormat dan saling percaya.
Alternative atau pilihan lain untuk semua ialah dibiarkannya terjadi
rentetan vendetta sebagai akibat rentetan dendan dan balas dendam,
suatu hal yang akan menghabiskan energi nasional dan menyeret
rakyat kepada kesengsaraan tanpa berkeputusan.
Maka guna menyiapkan masa depan itu, tidak ada jalan lain
kecuali harus diusahakan dengan sungguh -sungguh untuk
mendamaikan dan menytukan kembali semua pihak yang terlibat
dalam konflik masa lalu. Perdamaian dan penyatuan antara manusia
(islahun bayna al-nas). Dan antara seluruh kekuatan bangsa adalah
langkah pikiran yang tidak mungkin dihindari. Tetapi langkah pilihan
itu sungguh memerlukan kebesaran jiwa dan kesediaan mendahulukan
276
kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan sendiri.
Tindakan besar memerlukan tekad yang bbesar, antara lain tekad
untuk berkorban demi masyrakat, bangsa dan negara.
c. Menegaskan garis pemisah antara masa lalu dan masa
mendatang
Jadi, barangkali memang tidak dapat, dan jangan sampai, kita
melupakan kejadian -kejadian masa lalu yang jelas-jelas membawa
bangsa dan negara kepada kesulitan besar. Melupakan sama sekali
suatu peristiwa negative masa lalu akan menghasilkan s
lalai dan
gagal menarik pelajaran dari sejarah. Kelalaian dan kegagalan itu
sendiri dapat membahayakan masa depan. Tetapi memaafkan harus
tetap terbuka sebagai suatu pilihan atau opsi yang suatu saat mungkin
harus diambil, dan kita harus bertekad memulai kehidupan nasional
yang baru, yang sejauh mengkin harus terlepas dari trauma-trauma
masa lalu. Karena itu diperlukan rekonsiliasi antara berbagai
kelompok yang pernah bertikai, atas dasar saling pengertian dan
kepahaman tentang posisi masing-masing – “ let bygones be bygones”.
Tetapi terhadap pelanggaran di masa mendatang harus dikenakan
tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara tegar, tegas, dan
tidak kenal kompromi. Suatu garis demarkasiharus ditar dengan
tegas untuk memisahkan antara masa lalu dan masa kini
masa
datang, suatu garis yang sama sekali tidak boleh dilangkahi. Bangsabangsa yang berhasil memberantas korupsi selalu ditandai olrh adanya
ketegasan dan ketegaran penegakan hokum, khususnya unt suatu
pelanggaran yang terjadi sesudah “garis demarkasi”. Dalam hal ini,
Indonesia pun tidak terkecuali.
4. Merintis Reformasi Ekonomi dengan mengutamakan
Pengembangan kegiatan produktif dari bawah.
Semua usaha itu tidak akan berjalan seiring dengan
kemelaratan rakyat. Kemelaratan adalah salah satu sebab utama
kejahatan. Berbeda dengan yang dilakukan orang-orang mampu,
kejahatan yang dilakukan oleh rakyat tak mampu dapat terjadi karena
dorongan kemelaratan. Sekalipun tetap harus dipandang
kejahatan, pelanggaran hukum oleh rakyat yang kelaparan harus
dipandang sebagai persoalan tanggungjawab bersama, bukan semata
277
tanggungjawab pelaku kejahatan itu sendiri saja. Contohnya ialah
kebijakan Khalifah Umar untuk menolak menghukum seorang pencuri
di masa paceklik. Dengan tindakannya itu, Umar menunjukkan
keinsafannya bahwa kemelaratan rakyat adalah tanggungjawab
pemerintah untuk mengatasinya, paling tidak dengan tidak
menghukum orang yang terpaksa melakukan kejahatan, karena benarbenar akibat dorongan kebutuhan yang sangat mendesak.
pemerintah bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan umum
sehingga tercegah kejahatan atas dorongan kemelaratan.
Para tokoh pendiri negara telah menetapkan terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan negara Republik
Indonesia. Karena itu pemerintah wajib berusaha melaksanakan tugas
melaksanakan pembagian kekayaan nasional (redistribution of
nation’s wealth ) secara adil dan merata. Usaha itu, dalam konteks
perkembangan bangsa dan negara yang sedang dalam keadaan kritis
saat ini, dilakukan dengan memerangi tindakan penyelewengan
kekayaan nasional, khususnya kejahatan korupsi. Serentak dengan itu,
kita harus mengembangkan aktifitas ekonomi dengan tekanan pada
usaha mendorong tumbuhnya inisiatif produktif dari bawah.
Tantangan terhadap usaha ini ialah melemahnya kemampua warga
negara pada umumnya untuk mengambil inisiatif dari bawah, di
bidang apapun, akibat empat dasawarsa kehidupan sosial politik
pemerintahan otoriter dan totaliter yang merampas kebebasan sipil,
sejak awal masa Bung Karno sampai akhir masa Pak Harto. Menarik
pelajaran dari pengalaman berbagai negara, baik yang lah mapan
perkembangannya maupun yang sedang tumbuh kuat menjadi Negara
maju, krisis multidimensional yang kita derita saat in tidak akan
berakhir tanpa inisiatif dari bawah. Sekalipun kita tidak menganut
paham laissez faire lessez passer, namun suatu bentuk keswadayaan
dalam kegiatan ekonomi, dengan distribusi beban tranggungjawab
kepada seluruh warga negara, diperelukan tidak hanya untuk sehatnya
bangunan ekonomi itu sendiri, tetapi juga untuk kemantapan
demokrasi dan keadilan. Pengalaman bangsa kita yang baru lalu,
dengan sistem ekonomi yang berat dari atas, telah membuktikan
bahwa pola pendekatan top down telah menciptakan lahan subur untuk
278
berbagai bentuk penyelewengan, khususnya kejahatan korupsi, kolusi
antara “penguasa dan pengusaha”, dan praktek-praktek yang
mengandung pertentangan kepentingan (conflict of interest ) seperti
paham kefamilian atau nepotisme dan perkoncoan atau kroniisme.
Pemberian kesempatan dalam pembagian kekuasaan atas fasilitas
kepada kepada anggota keluarga atau kawan sendiri disebut nepotisme
dan kroniisme jika dilakukan tidak karena pertimbangan hubungan
kekeluargaan atau perkawanan itu semata.
Dalam masyarakat kita terdapat kelompok-kelompok ekonomi
nasional patriotik dengan semangat keswastaan dan keswadayaan
yang tinggi. Sejauh ini, pemerintah umumnya sangat sedikit memberi
perhatian wajar kepada kelompok-kelompok swadaya-swadaya itu.
Bahkan, disebabkan pertimbangan politik atau lainnya,
sering
terjadi 1alah adanya sikap -sikap beberapa kalangan pengauasa untuk
mengabaikan dan menghambat perkembangan kelompok ekonomi
swata-swadaya. Dalam suasana korupsi yang menggejala hebat
sekarang ini, dunia ekonomi papan bawah tentu tidak menarik bagi
pihak-pihak tertentu, karena tidak dapat dijadikan lading pemerasan
dan manipulasi bagi mereka yang bermental korup. Seharusnya
sentra-sentra kegaitan keswastaan dan keswadayaan produktif papan
bawah dilindungi dan dikembangkan oleh pemerintah, dalam
semangat affirmative action , yaitu sederetan langkah-langkah,
prosedur-prosedur, kebijakan -kebijakan dan program -program yang
dirancang untuk mengatasi sisa -sisa pengaruh yang ada dari
diskriminasi dan pengingkaran hak (deprivasi) masa lampau kepada
kelompok-kelompok masyarakat. Itu semua dilakukan dengan
menjalin kerjasama dengan semua pihak yang telah diuntungkan oleh
tatanan mapan (establishment ), khususnya papan atas dan menengah
kelompok nasioanalis patriotikyang juga bersemangat keswastaan dan
keswadayaan produktif.
Dengan affirmative action tersebut, segi paling buruk dari
ekonomi terbuka tercegah dari kemungkinan bergeser ke ekonomi
laissez faire lessez passer, suatu keadaan yang memberi peluang bagi
terjadinya penindasan oleh manusia atas manusia (“exploitation de
l’homme par l’homme”). Tetapi, pada waktu yang sama, affirmative
279
action harus dicegah jangan sampai berubah menjadi tindakan
diskriminatif.
5.
Mengembangkan dan memperkuat pranata -pranata
demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers
dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang
jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan
“Dalam masyarakat bebas tidak terjadi bahaya kelaparan”,
begitu bunyi ungkapan optimis tentang efek positif kebebasan.
Ungkapan itu sepintas lalu nampak seperti mengandung urutan logika
yang terputus: apa hubungan antara kebebasan dan jaminan tidak
terjadi bahaya kelaparan?! Tetapi sesungguhnya ungkapan itu benar,
paling tidak pada dua tingkat pengertian. Tingkat pengertian pertama
ialah, bahwa dengan kebebasan maka akan tumbuh mekanisme
pengawasan social terhadap setiap segi kehidupan dalam Negara.
Gejala bahaya kelaparan di suatu tempat akan merupakan kejadian
yang patut diberitakan. Pemberitaan itu berdampak pengawasan, dan
dengan begitu juga berdampak gugatan kepada piohak berwenang
untuk menunjukkan tanggungjawab mereka, di samping dampak
gugahan kepada nurani warga masyarakat untuk memberi bantuan
kepada pihak yang menderita. Dengan begitui suatu bahaya kelaparan
teratasi, dan dalam suasana sikap kejiwaan umum yang terbentuk,
timbullah keprihatinan bersama untuk mencegah jangan sampai hal
serupa terulang lagi di masa mendatang.
Tetapi barangkali pengertian tingkat kedua lebih bermakna.
Suasana bebas adalah pendukung utama bagi terciptanya iklim
kreatifitas dan produktifitas warga masyarakat di sega bidang
kegiatan. Bersama dengan tegaknya keadilan, kebebasan adalah
sumber energi yang dinamis bagi warga masyarakat untuk mendorong
tumbuhnya inisiatif-inisiatif produktif. Dinamika ekonomi swastaswadaya yang berfungsi sebagai fondasi cakar ayam bangunan negarabangsa akan tumbuh hanya dalam suasana kebebasan. Sebaliknya,
tidak adanya kebebasan, yang salah satu wujudnya ialah sentralisme
yang berlebihan, akan menumbuhkan sikap kejiwaan umum yang
serba menunggu secara pasif-statis, akibat pola pendekatan maslah
yang top down , seperti yang menjadi ciri negara totaliter-otoriter.
280
Karena itu, totaliterisme dan otoritarianisme, sebagaimana telah
disingung di depan, akan mematikan kemampuan warga masyarakat
untuk mengambil inisiatif -produktif dari bawah.
Berkaitan dengan semua itu, di antara hasil gersakan reformasi
1998, kebebasan adalah yang paling berharga dabn bermakna.
Kebebasan itu, yang pelembangan konkritnya melahirkan
noktah-noktah kebebbasan warga negara (civil liberties) berupa
kebebasan menyatakan pendpat berkumpul dan berserikat, harus
dikonsolidasi begitu rupa sehingga tidak mudah tergoya
oleh
perubahan -perubahan sosial politik yang tak terduga di masa
mendatang. Khususnya kebebasan pers dan kebebasan akademik,
“ruang suci” (sacred space) masyarakat demokratis, harus benar-benar
dilindungi dan dikembangkan dengan tingkat kesungguhan yang
setinggi-tingginya.
Memang harus diakui dengan pahit bahwa kebebasan itu masih
disertai dengan ketidakmatangan (immaturity) dalam pelaksanaannya,
sehingga timbul berbagai ekses. Tetapi seperti halnya
masalah-masalah lain, kita tetap harus mampu membedakan antara
esensi yang prinsipil dan primer dengan ekses yang eks
d an
sekunder. Kita tidak boleh mencampuradukkan antara keduanya,
dengan kemungkinan bahaya kita menangkan akses yang aksidental
dan sekunder. Kita tidak boleh mencampuradukkan antara keduanya,
denganb kemungkinan bahaya kita menangkan akses yang aksidental
sekunder atas esensi yang prinsipil-primer, sehingga muncul pikiran
untuk menarik kembali kebebasan hanya karena efek negative eksesekses itu. Perlu senantiasa kita ingat bahwa tidak adanya kematangan
adalah akibat tidak adanya pengalaman, dan bahwa pengalaman itu
sendiri akan kita peroleh hanya kalau kita pernah mengalami! Karena
itu suatu kategori dinamis yang terkena kemungkinan untuk
berkembang atau menyusut seperti kebebasan hanya terwujud melalui
adanya eksperimentasi, “pengalaman” (harus dialami langsung),
berbeda dengan kategori statis seperti bangunan fisik
dibangun
langsung berdiri.
281
Maka kebebasan, sama halnya dengan keseluruhan ide tentang
demokrasi, harus dilaksanakan melalui deretan “coba dan salah” (trial
and error), yang bagaimanapun memang tidak mungkin dihindari.
Yang tersisa dalam proses “pengalaman” atau eksperimentasi itu ialah
usaha mencegahjangan sampai suatu kesalahan pelaksanaan tumbuh
membesar tidak terkontrol begitu rupa sehingga menghancurkan
perolehan yang sudah ada. Sebab, bagaimanapun harus disadari bahwa
kebebasan, sekali lagi, adalah suasana kehidupan sosial politik yang
paling kuat mendorong kreatifitas dan kemampuan ambil
iatif
dalam masyarakat pada umumnya, sehingga juga merupakan
prasarana tumbuhnya produktifitas yang tinggi di segala bidang.
Kebebasan yang menjadi prasyarat bagi terciptanya
mekanisme pengawasan social diwujudkan antara lain, dan yang
paling penting, dalam pelembangaan politik yang masing -masing
komponennya mengenal pembagian kerja yang jelas dan berhubungan
satu sama lain dalam rangka cecks and balances atau overlapping
dalam bidang kerja dan wewenang antara lembaga-lembaga
administrasi pemerintahan, legislasi dan yudikasi akan menciptakan
peluang bagi berbagai bentuk manipulasi politik. Diperlukann ya
mekanisme pengendalian dan pengimbangan (checks and balances)
justru terkait dengan maslah dinamika hubungan kerja dan wewenang
antara lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Sistem
sosial-politik demokratis mensyaratkan adanya pembagian kerja yang
jelas dan tegas antara ketiga lembaga itu.
Banyak orang memandang bahwa kekacauan dalam
pembagian kerja itu melibatkan persoalan tingkat mutu
tugas para pelakunya. Selanjutnya, kesadaran tugas berbakti kepada
bangsa dan Negara memerlukan kredensial, legitimasi dan
kemantapan diri para pelaku itu dalam menerima wewenang
kenegaraan.
Menitik segi-segi kelemahan proses rekrutmen dan promosi
seseorang menjadi anggota pembuat hukum di parlemen, pelaksanan
hukum di pemerintahan, dan pengawasan pelaksanaannya di lembaga
keadilan, membuat kebanyakan para pelaku itu kekurangan kredensial,
282
legitimasi dan kemantapan diri. Seorang wakil rakyat haruslah datang
dari kalangan rakyat yang diwakilinya, bukan seorang yang muncul
semata-mata sebagai hasil keputusan orang lain atau badan di luar
rakyat bersangkutan itu sendiri, seperti pimpinan partai politik.
Penggunaan cara “drop -dropan” dalam penentuan seorang “wakil
rakyat” adalah suatu kepalsuan, sebuah manipulasi politik yang
menjadi sumber berbagai kecurangan dalam kehidupan kenegaran
kita. Kita melihat tanda-tanda bahwa cara “drop -dropan” itu sedang
diusahakan dengan keras untuk dipertahankan, mengingat bahwa
hanya dengan cara itu orang-orang yang tidak punya kredential dapat
memperoleh kedudukan, dengan akibat langsuing kemungkinan
beroperasinya “politik uang” (money politic). Mengingat rakyat yang
semakin cerdas dengan jumlah dan mutu kaum terpelajar yang
semakin tinggi, dan dalam suasana kebebasan pers, maka kiranya
tidak aneh jika cara “drop -dropan” dalam pengangkatan dan
penentuan wakil rakyat itu akan menjadi sasaran kritik umum, karena
sifatnya yang scandalous. Karena itu cara “drop -dropan” dapat
menjadi sumber keonaran dan kekacauan sosial politik.
Oleh karena itu, suatu reformasi berkenaan dengan kepartaian
dan pemilihan umum mutlak diperlukan. Partai politik hendaknya
dipimpin oleh mereka yang piawai dalam masalah politik dan
manajemen politik, tetap i mereka sendiri bukan politisi.
Manajemen partai itu secara profesional berusaha menangkap
berbagai kecen d eru n gan d alam m asy arakat, y an g kemudian
diolah secara ilmiah. Dengan suatu warna ideologi tertentu partai atau
arch pemihakannya—seperti, misalnya, pemihakan kepada go lo n gan
m en en gah ke b aw ah atau kep ad a golongan menengah ke atas,
yang berturut-turut merupakan po la pem ihakan Partai Demo krat
dan Partai Republik Amerika—hasil analisa ter hadap kecenderungan
itu dijadikan dasar platform politik partai. Politisi calon peserta pemilu
yang hendak menerima amanat pelaksanaan platform partai itu
direkrut dan dipilih melalui p ro s es terbu ka, ad il d an
m erito krat ik d ar i mekanisme konvensi yang dilaksanakan berjenjang dari bawah ke atas, sampai ke tingkat nasional. Dengan
demikian seseorang terpilih menjadi peserta pemilu sebagai calon
283
anggota badan legislatif atau presiden dan wakil presiden tidak
samasekali tergantung kepada restu pimpinan partai, melainkan atas
pilihan para anggota partai secara demokratis. Sebab lembaga restu
sebenarnya adalah kelanjutan paternalisme dan feodalisme, dan
bertentangan dengan asas-asas keterbukaan, egalitarianisme, dan
demokrasi partisipatif sebuah negara-bangsa.
P en erap an p rins ip -p rin s ip kep artaian tersebut
kemudian dilanjutkan secara konsisten dalam penerapan suatu
sistem pemilihan umum, baik nasional maupun daerah, yang
menjamin terlaksananya asas-asas langsung, umum, bebas dan
rahasia. Jaminan bagi terlaksananya asasasas itu akan semakin
kuat jika melalui pelaksanaan pemilihan langsung (direct election),
dengan kejelasan tentang siapa dan di mana masyarakat pemilih
(constituent) yang kepentingannya hendak diperjuangkan oleh politisi
b,ers angkutan. Secara berkala, po litis i wakil rakyat itu harus
datang ke daerah masyarakat pemilihnya dan mempertanggungjawabkan kegiatannya di Dewan, dengan meminta saran -saran
lebih lanjut dari mereka.
Sudah tentu seorang politisi akan tetap berhubungan dengan
partainya yang berfungsi seb agai in du k p latfo rm yan g h end ak is
laks an akan . Tetap i, s amp ai b atas -batas terten tu , kesetiaan
kepada negeri harus lebih diutamakan d ar ip ad a kes et iaan kep ad a
p arta i. S eb u ah adagium banyak dirujuk Bung Karno berbunyi, “My
loyalty to party ends when my loyalty to my co unt r y b egin s ”—
“ ketaatan ku kep ad a partaiku berakhir pada saat ketaatanku kepada
negeriku bermula”—yang Bung Karno sendiri menerapkannya dengan
konsekuen.
6. Meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan
membangun harkat dan martabat personil dan pranata
TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi
Rendahnya tingkat kemampuan pertahanan kita dengan akibat
rendahnya tingkat keamanan umum, mengundang keprihatinan yang
mendalam pada semua warga negara yang mencintai bangsanya.
Sebagian besar gejala kelemahan itu adalah akibat dinamika
perkembangan bangsa kita yang kurang menguntungkan. Jatuhnya
284
kekuasaan Orde Baru telah membawa serta merosotnya semangat
aparatur negara dan menurunnya kesadaran tugas mereka, bersamaan
dengan melemah atau runtuhnya legitimasi mereka, baik
i
pribadi maupun sebagai institusi, dalam bidang-bidang kegiatan yang
selama Orde Baru mereka perankan secara sentral.
Di antara sebab -sebabnya ialah, bahwa mereka secara personal
maupun institusional telah menjadi bagian langsung dari sistem Orde
Baru yang runtuh itu sendiri. Secara personal, sejumlah kecil anggota
mencoba bersikap kritis kepada tatanan yang ada, tetapi kebanyakan
dari keseluruhan anggota itu tidak mampu menjaga jarak dengan
tatanan tersebut. Krisis multidimensional, khususnya di bidang
finansialmoneter, telah mengurangi secara drastis kemampuan
melakukan penyegaran dan penggantian peralatan fisik pertahanan dan
keamanan. Selain itu sanaan peningkatan kesejahteraan personil
mereka secara wajar dan setara dengan beratnya tanggungjawab yang
mereka pikul. Sorotan tajam terhadap mereka di bidang sosial-politik,
khususnya di bidang-bidang tertentu yang bersangkutan dengan
tindakan kekerasan —yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan—
telah melahirkan perasaan -perasaan tersisih tertentu pada mereka,
yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan.
Oleh karena itu, sangat mendesak adanya kebijakan yang jelas
untuk mengembalikan harkat dan martabat pranata dan personil badan
penanggungjawab khusus masalah ketahanan dan keamanan
yaitu
TNI dan Polri, dengan memberi kepada mereka keleng kapankelengkapan yang wajar. Dengan sendirinya semua itu harus terjadi
dalam bingkai sistem demokrasi dan proses demokratisas dalam
kesadaran publik untuk melakukan pengawasan dan pengimbangan.
Kita perlukan hal itu semua, karena pada kesimpulan terakhir
demokrasi dan demokratisasi tidak akan terwujud tanpa
nan
nasional, stabilitas negara, dan keamanan serta ketertiban masyarakat.
7.Memelihara
keutuhan
wilayah
negara
melalui
pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhinneka-an dan keEka -an, serta pembangunan otonomisasi
Di bagian terdahulu telah dicoba kemukakan cukup
285
panjang bahwa salah satu persoalan kenegaraan kita ialah tidak
adanya konsistensi dalam pelaksanaan prinsip kebhinnekaan dan
keekaan sesuai dengan semangat motto kenegaraan kita.
Kecenderungan kuat untuk melakukan penyeragaman—dengan
implikasi pemaksaan dari atas—telah ikut mendorong tumbuhnya
perasaan tidak p uas daerah kepada pusat, yang pada urutannya ikut
memicu pergolakan daerah. Ditambah dengan tipisnya kadar
keinsafan keadilan dalam pembagian kembali kekayaan nasional,
khususnya kekayaan yang datang dari daerah bersangkutan,
pergolakan daerah mudah sekali berkembang menjadi perlawanan
untuk memisahkan diri (separatisme). Dan kita pun sekarang
berhadapan dengan ancaman terganggunya kesatuan negara k
yang .semakin gawat Berkenaan dengan hal di atas, tindakan yang
terbaik ialah kembali kepada konsistensi semangat motto negara kita,
Bhinneka Tunggal Ika .
Karena itu kita harus menghargai pola-pola budaya daerah dan
mengakui hak masing-masing untuk men gembangkan budaya
mereka. K ita harus menerima kebhinnekaan sebagai kekayaan,
dan serentak dengan itu kita memelihara keekaan berdasarkan
kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang
budaya daerah yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan
kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijad ikan pijakan untuk “berlomba-lomba menuju kepada b e r b a g a i
k e b a ik a n ” . S e b a g a im a n a t e la h dikemukakan di depan,
“ perlombaan ” itu akan m enciptakan suasan a peny ubu ran s ilan g
budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional
sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam
ini, tidak
satupun budaya daerah yang terkecualikan.
Berhubungan dengan itu semua ialah masalah o to n om is as i.
P ik iran m em b eri h ak kep ad a daerah untuk mengatur sendiri
“ urusan rumah tan gga” m as in g-mas in g terkait erat d en gan
masalah kead ilan, khususnya keadilan antara pusat dan daerah
bersangkutan, dan bertujuan mengakhiri ekstremitas sentralisme yang
286
telah terbu kti merupakan salah satu sumber bes ar masalah
nasional. Bersama dengan banyak conto h y an g la in d a lam
p en an gan an m as a lah masalah sosial, politik dan ekonomi, sentralisme yang berat adalah bertentangan dengan prinsip keadilan sosial
yang menjadi tujuan kita bernegara. Pada tahap -tahap awal
pelaksanaan otonomisasi itu banyak terjadi kasus tindakan eksesif
bergaya euphoria oleh sebagian penanggungjawab pemerintahan
daerah. Di sini kita berhadapan dengan persoalan mana primer dan
mana sekunder: otonomisasi adalah primer, dan eks es pelaksanaannya adalah sekund er. K ita tidak dibenarkan mengor bankan yang primer prinsipil karena muncul hal-hal sekunder
aksidental, sehingga ekses membatalkan esensi.
8. Meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh
Nusantara
D i an tara b erb agai m acam i n vest m ent , inves tas i atau
p en anam an mod al un tu k s uatu b an gs a, tid ak ad a y an g leb ih
p entin g, leb ih produktif dan lebih bermakna daripada inves tasi
atau penanaman modal manusia melalui prasarana pendidikan yang
baik, dengan mutu yang tinggi dan jumlah yang merata. Dengan
bercermin pada pengalaman bangsa -bangsa lain d i s ekitar kita,
s ecara s ed erh an a d ap at kita katakan bahwa selu ruh kris is
yang menimpa kita sekarang ini adalah akibat rendahnya mutu
pendidikan warga negara kita dan tidak meratanya p end id ikan
itu dari daerah ke daerah . Dalam kesempatan tertentu
pembicaraan men gen ai b an gs a kita, tid ak jaran g terd en gar
penilaian orang luar bahwa kita adalah bangsa yang berp ikiran
sederhana (simple minded), tidak ada sofistikasi, dan sangat kurang
minat untuk membaca serta untuk belajar secara mendalam dan
meluas. Kita bisa menukas penilaian yang kurang menyenangkan itu
dengan merujuk kepada berbagai contoh pemikiran mendalam dan
kontemplatif di kalangan kelompok-kelompok tertentu masyarakat
kita. Tetapi kita akan susah membela diri jika kita ditantang untuk
menjelaskan berbagai contoh gejala berpikir sederhana atau simple
mindedness itu seperti, misalnya, yang biasa dipandang umum sebagai
“
p reman isme”. Dan suatu iron i besar bahwa g eja la
287
“ p rem an is m e” itu t id a k h an y a k it a temu kan d i kalan gan
o ran g “p in ggir jalan ”, tetapi juga di antara mereka yang secara
formal menduduki tempat-tempat terhormat.
Investasi Modal Manusia
Tu ju an p rim er d an tertin ggi us ah a p end idikan ialah
peningkatan (tarbiyah) nilai kesucian manusia dalam fitrahnya
yang dianugerahkan Tuhan. Guna menopang tujuan primer itu,
p en d id ikan m em p u n y a i tu ju an s e ku n d e r , sebagai investasi
modal manusia (human capital investment), den gan dua macam
dampak positif. Pertama ialah dampak peningkatan kemampuan kerja
dengan keahlian dan profesionalisme, yang bersangkutan dengan
tujuan pokok pendidikan itu sendiri menurut bidangbidang yang
dikembangkannya, seperti teknolo gi, kesehatan, manajeman,
pertanian, kegu ruan, dan sebagainya. Tinggi-rendah kualitas dampak
primer merupakan batu penguji sukses-gagalnya in vestas i sumber
daya manusia itu. Dari sudut pandang tinggi-rendah dampak itu ,
kita h aru s men gaku i bahw a s is tem d an struktur pendidikan kita
sebagai investasi sumber daya manusia termasuk yang paling
rendah di dunia. Dalam lingkungan negeri-negeri Asia Ten ggara,
negeri kita sekaran g sudah cukup jauh tertinggal oleh yang lainlain.
Dampak lain dari pendidikan ialah meningkatnya kemampuan
untuk berpikir dan bertindak rasional, untuk menyerap informasi
dalam j u m lah y an g b e s a r , d an u n tu k m en y u s u n in fo rm as i
itu s ecara s is tem atis , agar d ap at digunakan secara- efektif,
kemudian mampu mengartikulasikannya dalam bahasa yang
dan
kuat. Dengan kata lain, pendidikan akan memperluas cakraw ala
berpikir dan memperdalam wawasan di segala bidang kehidupan,
termasuk bidang sosial-politik. Sebagaimana d imaksud kan o leh
ungkap an kno wledg e is power, pendidikan yang berhasil akan
menjadi cumber energi masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
memiliki informas i dan pengetahuan yang luas, seorang individu
ataupun suatu kelompok akan lebih mampu mengenali berbagai
altern atif tin dakan y an g ters ed ia, seh in gga senantiasa dapat
288
menemukan jalan untuk mem ecah kan m as alah , d an d en gan
b egitu ju ga tidak mudah putus asa. Karena itu ilmu adalah syarat
kesuksesan hidup, setelah iman yang memberi dasar kepada
kehidupan yang benar. Tuhan akan mengangkat orang yang
beriman dan berilmu ke tingkat yang sangat tinggi, setelah
orang itu, karena adanya wawasan yang lu as , m en un ju kkan
d an m en erap kan s ikap sikap lapang dada, toleran dan penuh
pengertian kepada orang lain. Dia akan “berlapanglapangjika ia
diminta memberi tempat kepada orang lain dalam pertemuan, dan akan
berdiri mengalahjika ia diminta berdiri ”.
D am p ak ters eb u t d ap at d ikata kan m eru pakan dampak
tak sengaja atau unintended con s equ en ce d ari p end id ikan.
D amp ak itu sangat besar dan luas jangkauan pengaruhnya kep ada
m asy arakat un tu k m en do ro n g p erubahan sosial yang besar.
Justru unintended consequence pendid ikan in i s erin gkali jauh
lebih penting daripada tujuan keilmuan akademiknya. Contoh paling
baik dampak ini ialah, s eb agaim an a telah d ikem u kakan d i
b agian terd ahu lu , d amp ak p en d id ikan ked o kteran “Jawa”
oleh STOVIA dan NIAS yang telah membangkitkan ide dan
gerakan tahap-tahap awal nasionalisme modern di tanah air, yang
menghantarkan kita kepada kemerdekaan negara. Maka dari
sudut pandang kedua dampak ters ebut itu , p end id ikan ad alah
benar-ben ar bentuk investasi yang paling strategic dan paling
produktif. Karena itu sudah sangat sewajarnya jika p end id ikan
d iletakkan p ada s alah s atu tingkat paling tinggi dalam skala
prioritas pembangunan bangsa dan negara. Jelas sekali bahw a un tuk
melaksan akan in i semu a d ip erlukan kemauan politik yang teguh
dari pimpinan negara. Lebih -lebih lagi kemauan politik yang teguh
itu diperlukan, karena pendidikan adalah jen is investas i jdngka
panjang, yang barn terlihat has ilnya setelah suatu jangka
waktu tertentu, umumnya satu generasi, yaitu 20 tahun. Karena itu
diperlukan ketabahan untuk menunda berbagai h arap an
kesen an gan , dan untu k secara b ers ama-sam a mem iku l beb an
penundaan itu, hampir-hampir dalam semangat “lebih baik sekarang
mandi keringat saat pendidikan daripada kelak mandi darah
289
saatperjuangan. “ Secara potensial, setiap masyarakat dan bangsa
memiliki dan mengajarkan kearifan menunda kesenangan sementara
demi kebahagiaan masa depan yang lebih besar dan hakik Tetapi
hanya sedikit y an g b enar-ben ar b erp egan g kep ada kearifan itu.
Pen in gkatan mutu pend id ikan men gharus kan penyediaan
prasarana yang memadai dan pembukaan akses kepada seluruh
lapisan masyarakat. O leh karena itu pendid ikan memerlukan
biaya yang besar, dan pendidikan untuk umum, yakni war negara
secara keseluruhan, tidak mungkin tanpa keterlibatan langsung
pemerintah. Karena itu pemerintah harus menyed iak an
p en d id ikan b erm u tu d en gan b iay a rendah, bahkan mungkin
bebas, untuk warga negara pada umumnya.
Peningkatan mutu pendidikan itu juga mengharuskan adanya
akses yang mudah kepada p erkemb an gan ilm u pen getahu an d i
d un ia. Karena perekaman ilmu pengetahuan itu ada dalam
bahasa-bahasa asing, maka diperlukan pen guasaan kepada
bahasa-bahas a as in g itu . Selain untuk mempertinggi akses kepada
perkembangan dunia ilmu pengetahuan, penguasaan bahasa
asing juga akan mempertinggi pro fes ion alisme dan pen amp ilan
diri s ecara global dan dalam kancah -kancah internasional.
Peningkatan mutu pendidikan, dalam hubun ganny a d en gan
keharu san ad anya kemudahan akses kepada perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia, juga memerlukan kegiatan penerjemahan
karya-karya ilmiah dari bahasabahasa asing ke bahasa Indonesia.
Sebab, sekalipun terdapat sejumlah orang yang menguasai b ah as ab ah as a as in g , n am u n aks es s eca ra m as s al kep ada su atu
in fo rm as i tetap h arus d alam b ah as a In d o n es ia , m en g in gat
p as ti sebagian besar warga negara akan tetap tidak menguasai
bahasa asing. Di samping itu, pengindonesiaan komunikasi ilmiah,
serta komunikasi-komunikasi lainnya, kecuali m em p erm u d ah
p art is ip as i y an g lu as , ju g a berdampak pendemokrasian ilmu
pengetahuan, seh in gga tid ak m enjad i monopo li kalan gan kalangan kecil masyarakat. Karena informasi dan pengetahuan adalah
tenaga dan kekuatan, maka monopoli informasi dan pengetahuan
akan mengakibatkan pemusatan tenaga dan keku atan pada kelompok
290
kecil masyarakat. Hal itu dapat mengancam demokrasi, sebab,
seperti sering terd en gar dalam m as yarakat, “o ran g bo doh
makanan orang pandai”.
Pemerataan mutu maupun jumlah pendidikan merupakan
sebuah urgensi besar bagi bangsa kita. Sebab, sementara di kota-kota
besar telah banyak warga yang memasuki era globalisasi peradaban
manusia dengan fasilitas-fasilitas komunikasi dan transportasi,
bersamaan dengan itu masih banyak kantong-kantong warga bangsa
kita yang masih men gikuti cara h idup y an g jauh tertin ggal,
sebagian bahkan masih dalam zaman batu. Kepincangan dalam
pendidikan, pengetahuan d an
in fo rm a s i itu s an g at
b erb ah ay a , d an bertentangan dengan tujuan negara
“ mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Pendidikan
adalah sarana paling penting untuk m eratakan d an m en y am akan
tin g kat m u tu sumber daya manusia bangsa kita, mencakup
d an m elip u ti s elu ru h tan ah air. K aren a itu diperlukan
kebijakan dan kemauan politik yang tegu h p ad a p ih ak
p em erintah untu k d en gan s ad ar d an terarah m emb eri
p erh atian y an g lebih besar kepada daerah -daerah terpencil dan
terisolasi dalam usaha pemerataan pendidikan nasional
Sejalan
dengan otonomisasi, daerah -daerah harus didorong untuk memberi
p erh atian kh u s u s y an g leb ih b es ar kep ad a bidang pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Daya serap suatu daerah
otonom terhadap dana-dana yang tersedia, dan kemampu anny a
un tu k m en ggun akan d ana-d an a itu secara produktif dan adil,
akan banyak sekali ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat p endid ikan warga daerah itu. Otonomisas i akan sukses hanya jika
ada daya serap yang tinggi terhadap dana-dana dan kemampuan
untuk menggunakan dengan baik.
Masalah Penelitian
Pendidikan dalam arti peningkatan ilmu pengetahuan dan
perluasan serta pendalaman informas i mencakup kegiatankegiatan penelitian ilmiah. Dalam hal riset dan pengembangan
291
(research and development, R&D) inipun kita bangsa Indonesia
termasuk yang paling rendah di dunia. Sebabnya tidak lain ialah
rendahnya kesadaran kita semua tentang pentin gnya penelitian
ilmiah. Lagi-lagi, sebagai jenis investasi, penelitian juga tidak akan
menyajikan hasil yang dalam jangka pendek dapat dinikmati. Tetapi,
dalam jangka panjang, keberhasilan penelitian ilmiah tidak saja
akan membuat suatu bangsa lebih produktif, melainkan juga
lebih mandiri dan lebih berdaulat, seperti terbukti pada negaranegara maju. Karena itu, semua fasilitas penelitian yang ada seperti,
misalnya, lembagalem b ag a p en e lit ian d a lam b id an g -b id an g
pertanian (kita memiliki kebon botani tropis terbesar di dunia!),
kelautan, ked irgantaraan, t en a ga ato m , s u m b er -s u m b e r
en e r g i, d an seterusnya, harus dimanfaatkan secara optimal dengan
perhatian yang lebih serius atas dasar kes adaran dan kemauan
politik yang tinggi. Atas dasar itu pula fasilitas-fasilitas barn harus
didirikan dan disediakan sebanyak mungkin, s esu ai d en gan
tin gkat kem ampu an nas ion al dalam hal pembiayaan dan
pengelolaan. Bersamaan dengan itu harus digalang kerjasama
dengan lembaga-lemb aga penelitian in ternasional, antara lain
demi meningkatkan mutu kemampuan para peneliti nasional.
Dibanding dengan negara-negara tetangga terdekat, kita merasakan
adanya ironi besar, karena kita tertinggal tidak hanya dalam
penelitian dan pengembangan bidang teknologi tinggi, tetapi juga
d alam b id an g p ertan ian d an kelau tan y an g jus tru
m erup akan keis timew aan n egeri kita sebagai negeri tropis
terbesar di dunia yang membentang sepanjang Khatulistiwa
dengan garis pantai amat panjang dan wilayah bahari yang amat
lugas.
Masalah Pendidikan Agama
Dalam sosiologi sistemik, agama berada pada p un cak
hu bun gan s ib ern etik y an g melip u tidalam urutan berjenjang—
budaya, komunitas kemasyarakatan (societal community), perpolitikan (polity), ekonomi dan teknologi. Secara sibernetik, susunan
atas mengendalikan (control) susunan di bawahnya, dan susunan
bawah mengkondis ikan (condition) susunan di atas nya. John
292
Gardner, seorang cendekiawan Amerika yang pernah menjadi
Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan (Health, Edu cation and Welfare— HEW) dalam pemerin tahan Presiders John
F. Kennedy, mengatakan, “no nation can achieve greatness unless it
beli eves i n so m et hin g , a nd un les s th at something has moral
dimensions to sustain a gr eat civi lization ” (tid ak ad a b an gsa
y an g mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu percaya
kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral
untuk menop an g su atu p erad ab an y an g b es ar). A gam a adalah
sistem kepercayaan, dan agama yang besar memiliki dimensi
moral yang besar untuk menopang peradaban yang besar.
Dari sudut pandang itu kita dapat memahami bahw a
peradab an -peradab an besar um at manusia, sebagaimana
dilambangkan dalam berbagai bangunan monumental peninggalan
masa s ilam , s elalu berd as arkan , atau s etid akny a berkaitan,
dengan suatu agama. Agama menentukan corak budaya, yang pada
urutannya akan menentukan corak komunitas kemasyarakatan,
kemudian perpolitikan, ekonomi dan, akhirnya, tekno lo gi.
Sebalikny a, suatu perkemb angan kreatif tertentu yang besar di
bidang teknologi—seperti ditemukannya teknologi bercocok tanam
oleh bangsa-bangsa Mesopotamia kung, teknologi mesin uap di
Inggris, dan, saat ini, teknologi elektronik untuk komunikasi dan
p en gem b an gan
in fo rxm as i— akan
m en gko ndisikan
tumbuhnya suatu pola ekonomi tertentu, yang seterusnya secara
berurutan akan mengkondisikan pola perpolitikan, komunitas
kemasyarakatan, kebudayaan dan bahkan p emah am an s erta
p enafs iran bagian -bagian tertentu ajaran agama.
Semua bentuk-bentuk hubungan sibernetik pengawasan atasbawah dan pengondisian b aw ah -atas itu h aru s d is ad ar i d an
d ip erh itungkan dalam men gemban gkan pend id ikan agama.
Sebagai sistem simbolik, agama banyak menggunakan metafo ra
atau masal ( matsal) dalam menyampaikan pesan sucinya. Sebab,
masalah kesucian selamanya berada pada dataran hakikat luhur
(al-matsal al-a’la, kasunyatan adi luhung, high reality ) yang pada
293
dasarnya tidak dapat diterangkan (ineffable) dengan kata-kata biasa.
Menerangkan hal-hal suci (sacred) yang merupakan hakikat luhur
itu dilakukan dengan menggunakan masal-masal. Qur’an juga
menyebutkan bahwa dalam Kitab Suci, Allah membuat berbagai
matsal bagi manusia, namun sebagian besar mereka mengingkarinya ‘76 dan tidak akan mampu memahami berbagai matsal itu
kecuali orang -orang yang berilmu.
Dalam pendidikan agama, soal agama sebagai sistem simbolik
itu harus benar-benar diperhatikan. Tantangan dalam hal ini ialah,
bagaimana memahami simbol-simbol itu dan menangkap makna
hakiki yang ada di baliknya, dengan menggunakan ilmu seperti
dimaksudkan Kitab Suci. J ika tid ak, maka kita akan terjebak kepada masalah perumpamaan atau simbol tanpa makna, dan
akan
gagal menangkap esensi ajaran agama itu sendiri. Maka dalam hal
pendidikan agama, jelas sekali diperlukan adanya usaha yang
sungguh-sungguh untuk memperbaharu i p ilihan subs tan s i ajaran
keagamaan yan g h endak d itanam kan kep ad a an ak d id ik serta
masyarakat pada umumnya itu, dengan mencari dan menemukan
metode pendidikan dan pengajaran agama yang efektif, efisien dan
produktif. Kes ibukan yang terpaku hanya kepada simbol
semata, tanpa menangkap maknanya, akan melah irkan gejala
kesalehan lahiri dan formal, suatu kesalehan yang mengecoh.
Seperti diperingatkan Nabi s.a.w. dalam sebuah Hadits terkenal,
‘Allah tidak memandang jasmanimu clan tidak pula bentuk lahirmu,
tetapi Allah memandang kalbumu dan aural perbuatanmu.” Sudah
tentu, disertai ketulusan, bisa terjadi bahwa penampakan lahiri
menunjukkan hakikat batini.
Tentang Pendidikan Perempuan
Masalah pemerataan jumlah dan mutu pend id ikan ju ga
b ers an gkutan
den gan
masalah
gender
atau
jenis.
Keterbelakangan Indonesia d i b id an g p end id ikan b ers ifat
m eny elu ruh , meliputi kedua jenis, lelaki dan perempuan. Tetapi
keterbelakangan itu lebih-lebih lagi menggejala dalam hubungannya
294
dengan jenis, yaitu bahwa s ecara umum jen is perempuan m as ih
jauh tertinggal oleh jenis lelaki. Kesenjangan gender dalam
pendidikan (dan bidang-bidang kehidupan yang lain) bukan lah
perkara yan g secara unik hanya terdapat pada bangsa kita. Namun
persoalannya menjadi ironis, mengingat bahwa dari semula, sejak
masa-masa awal perjuangan melawan penjajahan dan merebut serta
mempertahankan kemerdekaan, kaum perempuan Indonesia
memiliki saham yang lebih besar daripada di kalangan bangsabangsa lain. Karena itu pemerataan mutu dan jumlah pendidikan
harus secara khusus ditujukan kepada kaum perempuan, sehingga
secara dengan kaum lelaki.
Sesungguhnya perhatian yang besar kepada masalah
pendidikan kaum perempuan memiliki nilai ekonomi pendidikan
yang tinggi. Sebagai ibu yang secara kejiwaan sangat dekat kepada
anak-anak, jauh lebih dekat daripada kaum lelaki, mutu
pendidikan pada mereka akan langsung berdampak mutu
pendidikan anak-anaknya. Penghematan yang terjadi ialah, bahwa
mendidik seorang perempuan (bakal ibu) adalah sama dengan
mendidik seluruh keluarga. Hal ini telah terbukti pada bangsa-bangsa
Eropa pada saat-saat apa yang dinamakan “Reformasi” agama.
Pandangan “Reformasi” yang menghendaki adanya akses kepada
kitab suci untuk semua p em elu k, tid ak terbatas h any a kep ad a
p ara imam, telah mendorong adanya gerakan pemberantasan buta
huruf. Karena kaum lelaki kebanyakan habis waktunya di ladang—
sebagai k au m p eker ja p etan i d a lam s is tem f eo d a lmaka konon
yang lebih banyak waktu untuk m en giku ti p en d id ikan
p emb erantas an bu ta hu ru f ad alah kaum p erempu an . D an
“melek huruf’ kaum ibu itu menjadi sumber dorongan pendidikan
anak-anak dalam rumah tangganya. K em aju an
tin gkat
p en d id ikan p ad a ru m ah tangga itu , menurut suatu vers i
tentang awal m u la k e m a j u a n E ro p a , m en j ad i t o n g g a k
kemajuan tingkat pendidikan masyarakat dan bangsa.
Kesehatan sebagai Pendidikan
Terkait erat sekali dengan masalah pendidikan adalah masalah
295
kesehatan. Pada hakikatnya, pen gemban gan kes ehatan, b aik p ada
tingkat pribadi maupun tingkat masyarakat, adalah suatu jenis
pendidikan juga, yaitu pendidikan jasmani dalam arti lu gs. Sebab jika
hakikat pendidikan adalah usaha peningkatan kemampuan, maka
harus tidak dibatasi hanya kepada peningkatan kemampuan intelektual
semata, tetapi juga peningkatan kemampuan jasmani.
Untuk mendorong laju kemajuan bangsa yang lebih cepat,
agenda pengembangan kesehatan bangsa ditujukan kepada saha
melindungi dan memperbaiki kesehatan seluruh warga negara,
melakukan dan mendukung penelitian tentang sebab suatu jenis
penyakit dan cara pengobatannya, dan menjamin kebersihan dan
keselamatan dalam makanan, obat-obatan, kosmetika dan produkproduk lain yang dikonsumsi masyarakat.
Berkenaan dengan masalah kebersihan dan k e a m a n an
m a k a n a n , k o n s ep k e a g a m a a n tentang makanan yang halal dan
baik (halallan tayyiban) dapat dijadikan salah satu prasarana untuk
mengembangkan kesadaran tentang k e b e r s ih an d an k e am an an
m a k an an b a g i m a s y a r a k a t . F a s i l i t a s p e n g o b a t a n d a n
penyehatan kembali orang sakit seperti rumah sakit, sanatorium, pusat
kesehatan masyarakat, dan sebagainya, harus tersed ia dalam
jumlah y an g mem ad ai d an terbu ka b agi p elay an an umum
secara mudah. M engin gat negara kita sudah tumbuh menjadi
negara industri dengan pengalaman keselamatan kerja yang belum
sempurna, perhatian khusus h arus d ib erikan kepada masalah
kecelakaan kerja yang semakin meningkat.
Demikian pula terhadap masalah narkoba, AIDS, dan
sebagainya, disebabkan oleh adanya dimensi internasional kejahatan
dalam perdagangan obat-obat berbahaya itu dan penyebaran penyakit
yang menyertainya, maka demi menjaga kesehatan bangsa dalam
jangka panjang, perhatian yang lebih khusus harus diberikan, dengan
law enforcement yang tegar, dan dengan menjalin kerjasama
antarnegara seerat-eratnya. Dan sebagaimana halnya dengan bidangbidang lain, dalam bidang kesehatan ini kita juga harus mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari kegiatan berbagai lembaga kesehatan
internasional, khususnya berkenaan dengan kegiatan penelitian dan
pengembangan atau research and development. Beberapa kasus
296
penyebaran wabah penyakit yang mengancam dunia berhasil diatasi
berkat kerjasama internasional.
Termasuk dalam masalah kesehatan sebagai masalah
pendidikan ialah pendidikan jasmani, karena pendidikan jasmani juga
suatu bentuk in ves tas i s u m b er d ay s m an u s ia. P ras aran a
pendidikan jasmani dalam arti olah raga seharusnya ditingkatkan
sesuai dengan kesadaran tentang pentingnya pendidikan
itu.
Demikian pula dalam hal kebutuhan -kebutuhan jasmani lainnya, yang
diringkaskan dalam ungkapan tentang “pangan, sandang, dan papan ”,
kead aan b an gsa kita sekaran g m enunju kkan adanya desakan
tinggi untuk dilaku kan reformasi dan peningkatan. Suatu hal amat
menyedihkan bahwa bangsa yang dahulu pernah swasembada pangan
sekarang merosot menjadi amat tergantung kepada bangsa-bangsa lain
melalu i impor. Karena hakikat manus ia selamanya kompleks dan
persoalannya
serba
men y e lu r u h ,
m aka
m a s a la h
k e s e j a h t e r a a n jasmanipun amat tergantung kepada hal-hal lain
s ep erti masalah -mas alah sos ial d an po litik. Maka dalam hal
pendidikan jasmani, khsusunya k e o la h r a g a a n n as io n a l, j u g a
d ip e r lu k a n kemauan politik yang jelas dari pemerintah.
Tentang Pendidikan Lingkungan
Salah satu kesadaran barn yang amat penting pads umat
manusia sekarang ialah kesadaran tentang betapa pentingnya
memelihara alam lingkungan hidup. Bencana-bencana alam yang
menimpa umat manusia akhir-akhir ini banyak s ek a li y an g
m eru p a k an a k ib a t k e ru s a kan lingkungan: “Muncul kerusakan di
daratan dan di lautan karma ulah tangan manusia. “79 Pendid ikan
lin gkun gan h idup harus m elib atkan usah a peny adaran ten an g
harga tak tern ilai dari alam sebagai anugerah Tuhan. Manusia
d itun ju k s eb agai kh alifah Tu h an un tu k m emelihara anugerah
itu dan memanfaatkannya dengan penuh syukur kepada-Nya. Karena
itu membuat kerusakan di bumi adalah salah satu kejahatan tertinggi.8 0
Selain berwujud alam kebendaan coati seperti gunung-gunung,
lembah-lembah, sungai-sungai dan seterusnya, anugerah Tuhan itu
juga berwujud alam kehidupan (hayati) yang beraneka ragam, bai
297
flora maupun fauna. Tuhan menganugerahkan kepada bangsa
Indonesia keanekaragaman hayati (biodiversity ) yang terbesar di
muka bumi, yang merupakan titipan Tu h an u ntu k d ipelih ara
b agi s eb es ar-bes ar m an faat b an gs a dan selu ruh umat
m anus ia. Jadi, selain kepada negara sendiri, kita bangsa Indon es ia
m em iku l tan ggun g
jaw ab
kep ad a s e l u r u h
dun ia .
P e n d i d i k a n k i t a h a r u s menanamkan kesadaran itu.
9. Mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
sebagai tujuan bernegara
Pancasila sebagai dasar negara dimulai dengan asas Ket nan
Yang Maha Esa dan diakhiri dengan tujuan pokok kehidupan
kenegaraan, m ew u ju d kan kead ilan s o s ia l b a g i s e lu ru h rakyat.
Asas-asas perikemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan berada
dalam spektrum yang bermula dengan Ketuhanan dan berujung
dengan keadilan soaial itu, sejalan dengan prinsip negara-bangsa yang
bertujuan menciptakan maslahat umum. Berkenaan dengan
telah
disinggung di bagian terdahulu, suatu ironi besar telah terjad i pada
kita, karena negara kita termasuk beberapa negara yang paling
banyak menderita ketimpangan sosial di dunia. Tidak lepas dari
semua inti pembicaraan di muka, penderitaan ketimpangan sosial itu
adalah akibat melemahnya kesadaran cinta tanah air atau
p atr io t is m e,
s em an gat
m en d ah u lu kan
d an
membela
kepentingan bangsa atau nasionalisme, rendahnya standar etika dan
moral sosial yang mendorong sikap -sikap mementingkan diri dan
golongan sendiri, tanpa peduli kepada kepen tingan bangsa dan
negara, dan berbagai penyakit sosial-politik yang telah melemahkan
negara dan bangsa. Karena itu, dalam tahap sekarang berkaitan
dengan krisis nasional yang berpangkal dari persoalan KKN ini,
keadilan sosial tidak bisa tidak harus dimulai dengafi pemberantasan
KKN itu secara total. Adalah KKN itu yang pertama-tama menjad i
sebab ketimpan gan pem bagian kembali kekayaan nasional pada
298
tingkat pribad i, kelompok m aupun daerah. P emerin tahan yang
bersih merupakan prasarana paling penting bagi terwujudnya keadilan
sosial.
Sejalan dengan itu, fungsi
pemerintah ialah tanggung jawab memperhatikan nasib warga negara
yang miskin, memelas, tak berdaya (destitute). Sebab, masyarakat
secara keseluruhan mempunyai kewajiban untuk setidak tidaknya
menjamin kesejahteraan minimal para anggotanya, dan karenanya
harus menyediakan s uatu perlind un gan tertentu terh ad ap ris iko
y an g s es eo ran g t id ak b erd ay a u n tu k m ela wannya. Jadi tidak
benar lagi sepenuhnya memandang bahwa seorang individu
bertanggun g jawab atas n as ibny a s end iri d an h arus diberi
kebebasan memilih apakah mau bahagia atau mau sengsara. Sebagian
yang menimpa individu adalah tanggung jawab masyarakat, sehingga
masyarakat wajib melakukan usaha mendorong yang baik dan
mencegah yang buruk bagi masing -masing individu warganya.
Masyarakat di sini dimaksudkan terutama lembagany a yan g p alin g
ku at d an berw ew e nang, yaitu pemerintah.
Pandangan dasar serupa itu bersifat universal, jadi
sesungguhnya sejajar dengan asas perikemanusiaan yang adil dan
beradab. Terdapat perbedaan dalam cara menyatakannya dan melaksanakannya, karena perubahan ruang dan waktu. Selain
pemberantasan total KKN sebagai pangkal tolak utama, keadilan
sosial di negeri kita s ekaran g pertam a-tam a m em erlu kan p emikiran s erius tentan g bagaim ana menyed iakan u p ah
p eny elam atan (r eli ef pa ym ents ) kepada yang memerlukan.
Kedua, pemerintah ju g a d itu n tu t u n tu k m em b e r i s u b s id i
d an mengatur organisasi-organisasi yang dibentuk oleh para
pekerja, atau o leh para pekerja bersama majikan mereka, guna
membantu anggo ta-anggotanya. Yang ketiga ialah menciptakan s uatu
s is tem asu ran s i o leh pem erin tah y an g bersifat wajib. Justru
dengan penggunaan yang berhasil dari sistem asuransi wajib itu
persoalan upah penyelamatan dapat ditiadakan.
Ringkasnya, penciptaan keadilan sosial adalah sejajar
dengan pengertian “ negara sejahtera” (welfar e state ), y an g
m enuntu t ters ed iany a standar hidup minimal untuk setiap warga.
Penciptaan keadilan sosial menjadi lebih relevan untuk bangsa kita
299
yang sedang bergerak menjadi negara industri. Berbeda dengan
pola ekonomi agraris yang menyediakan ruang kemand irian
kepada p ara petan i, p en grajin d an p edagang kecil, pola ekonomi
industri menyebab kan semakin banyak orang yang hidup dari gaji
atau
u pah ,
seh in gga
tergan tu n g
kep ad a
m ajikan.
Individualisasi akibat ekonomi industri harus diimbangi dengan
tanggung jawab sosial yang lebih besar, khu susnya untuk membantu
kaum penganggur, orang sakit dan orang lanjut usia. Ditambah lagi,
bahwa urbanisai sangat mengurangi rasa tanggung jawab ntarsesama
manusia, sebagai akibat gaga hidup tidak saling kenal (anonymous).
10. Mengambil peran aktif dalam usaha bersama
menciptakan perdmaian dunia
Di bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Tuhan telah
menetapkan hukum alam bagi kehidupan sosial manusia, bahkan bagi
seluruh jagad raga, yaitu hukum keseimbangan. Sedikit
dari apa yang telah dikemukakan terdahulu, ketika Nabi Dawud a.s.
berhasil membunuh Jalut dan menguasai Al-Quds (Yerusalem) untuk
dijadikan tempat suci bagi agama Allah, penuturan peristiwa itu
diakhiri den gan pen egasan , bah wa umat manus ia terlindung dari
kehancuran karena adanya kekuatan-kekuatan yang saling
mengimbangi dan mengendalikan.81 Prinsip keseimbangan sebagai
jaminan bagi kelestarian hidup dan budaya juga ditegaskan sebagai
tujuan perang yang benar, perang di jalan A llah (jihad
flsabilila@h), seh in gga gereja-gereja, b iara-b iara, s in ago gsinagog dan masjid -masjid, di mana nama Allah banyak disebut,
semuanya bisa dilindungi. Jadi perang dapat merupakan mekanisme
“penolakan sebagian manusia oleh sebagian yang lain”, karena
beroperasinya hukum keseimbangan. P eran g y an g b en ar, peran g
d i jalan Tuh an , adalah perang yang menghasilkan kelestarian
agam a-agam a d an bu day a-bud aya, s eb agaimana dilambangkan
dalam keutuhan pranatap ran ata keagam aan . J ika mu n cu l
an cam an untuk menghancurkan suatu agama, termasuk bu d ay a
y an g b en ar d an b erm an faat u n tu k manusia, maka Allah akan
300
“ turun tangan ” memenangkan pihak yang benar dan membela
kebenaran, mereka yang “ membela Allah ”.
Hukum alam dari Sang Maha Pencipta itu
adalah hukum obyektif, tidak tergantung kepada kehendak
manusia dan tidak dapat dipengaruhinya, karena itu, tidak dapat
diubah (i m m u t a ble ), t id ak m en gen a l p e r gan t ian (tabdi@1),
dan tidak pula mengenal peralihan (tahwi@l). Dalam ilmu politik,
adanya hukum itu juga disadari, seperti oleh Morgenthau tentang
“politik perimbangan kekuatan ” (balance of power politics) antara
bangsa-bangsa, dalam bukunya, Politics among nations. Politik perimbangan kekuatan merupakan jaminan obyektif bagi keamanan
dunia.
Paling tidak, telah terjad i dua malapetaka sejarah
manusia yang hampir menghancurkan m an us ia s end iri, y aitu
P eran g D un ia I d an Perang Dunia II, sebagai akibat munculnya kekuatan amat benar di Eropa yang mendominasi d an tid ak
tertand in gi. Tetap i b egitu p eran g dimulai, kebangkitan bangsabangsa secara b ers am a -s am a m en g im b an g i ke ku at an d om in an
itu d an d un ia ters elam atkan . K arena bakal menimbulkan
kerusakan, maka “setiap kali mereka kobarkan api perang itu
Tuhan akan memadamkannya ”, dengan menampilkan kekuatankekuatan pengimbang dan pengendali.
S eben arn ya
s ejarah
um at m anus ia p enuh dengan peristiwa serupa itu, dan kita semua
diperintahkan untuk mempelajarinya. Kita tidak p erlu terlalu
b any ak b erterim akas ih kep ad a Julius dan Ethyl Rosenberg dari
Amerika yang dihukum coati (1953) karena dituduh menjadi m ats m ata Un i S o viet y an g m em b o co rkan rahasia atom ke negara
komunis itu. Tetapi mungkin Senator Joseph McCarthy —dengan
kam p an y e
an ti-ko m un is ny a
y an g
terken al
sebagai
McCarthyism—itu benar, ketika akhirn y a p uny a alas an u ntu k
p an ik m en gh ad ap i dunia kaum komunis karena mereka ini mulai
mampu membuat senjata nuklir. Namun justru eskalas i dalam
pengemban gan p ersen jataan nuklir dalam pers aingan antara
Amerika dan Un i So viet itu ternyata telah menyelamatka
um at m anus ia d ari “ kiamat nu klir”. S eb ab , eskalas i itu
akh irnya m encap ai tin gkat yan g t id ak m asu k akal (a bs ur d ),
301
ketika m as in g m a s i n g m e n j a d i t a k u t s e n d i r i u n t u k
menggunakannya,
dan
terciptalah
keseimbangan
yang
m e n y e l a m a t k a n u m a t m a n u s i a . Menggunakan senjata
nuklir pada tingkat daya p e r u s a k a n d an j u m la h y a n g
s e d em ik ia n fantastic akan merupakan tindakan kegilaan (madness),
dan akan mengakibatkan MAD (Mutually Assured Destruction),
kepastian hancur bersama-sama, seluruh umat manusia. Oleh karena
itu, sungguh bijak-bestari bahwa pars tokoh pendiri dan perintis
pembangunan negara kita menyadari sedalam -dalamnya per- lunya
penciptaan keseimbangan kekuatan dunia itu. Konferensi Asia -Afrika
di Bandung, 1955, yang menghasilkan Dasasila Bandung merupa kan tonggak sejarah bangsa kita yang luar biasa pentingnya.
Sedemikian pentingnya sehingga Vera Micheles Dean, seorang
ilmuwan social, dalam bukunya, The nature of the non -West ern world,
mengatakan telah terbentuknya “Bandungia”, yaitu kawasan dunia
yang orientasi politiknya berkib lat ke Bandung, yang meru pakan
gabungan negara-negara Dunia Ketiga (Third Wor ld , dun ia
negara-n egara berkem b an g). K on feren s i Ban dun g m elah irkan
kek u at an y an g m en j ad i p en g im b an g D u n ia Pertam a (First
Wo r ld , dun ia kap italis ) d an Dunia Kedua (Second World, dunia
komunis). Konferensi Bandung menjadi pangkal tolak berbagai
bentuk kegiatan lanjutan yang sejiwa, s eb agian b erh as il d an
s eb agian lag i t id a k berhasil, yaitu Konferensi Islam Asia Afrika,
Konferensi Asia, Afrika dan Amerika Latin, Conference of the New
Emerging Forces (Conefo), bahkan Games of the New Emerging
Forces (Ganefo), dan dilanjutkan dengan Gerakan Non -Blok (GNB)
yang saat ini masih ada sisa-sisa signifikansinya.
Perlu diingat bahwa semua itu pada dasarnya terjadi dalam
lingkungan global yang diliputi oleh suasana Perang Dingin.
Banyak tokoh dunia yang amat berjasa dalam proses berakhirnya
P eran g D in gin itu, s ep erti K ans elir J erm an (Barat) W illy
Brandt, P erd ana M enteri Un i S o viet M ika il G o rb ach e v,
to ko h refo rm is Republik Rakyat Cina Deng Xiaoping (Teng
Hsiao-p’ ing), dan P res id ers Amerika Serikat Ronald Reagan.
Um a t m an u s ia m er as a le ga d en gan b er akhirnya Perang
Dingin. Tetapi kelegaan itu ternyata tidak berlangsung lama, karena
302
terganggu oleh munculnya tesis-tesis ilmiah palsu seperti yang dibuat
oleh Huntington tentang benturan budaya. Gangguan itu
njadi
semakin nyata dengan adanya kekacauan dunia oleh terorisme y an g
jelas -je las s a lah s atu s eb ab n y a ia lah kegagalan mem beri
p eny eles aian y an g ad il kepada masalah Palestine. Dikuatirkan
bahwa k e k ac au an
a kan
te rn s
b e r lan g s u n g
tan p a
penyelesaian sejati bile casus belli -nya tidak diselesaikan secara
adil dan tuntas. Orang boleh berselisih tentang siapa dan di mane
casus belli itu, maka biarlah sejarah menentukan dan menghakiminya.
Tetapi ibarat sarang lebah, tawon -tawon yan g m eneb arkan sen gat
kekacauan dunia—yang terang-terangan dan yang sembunyisembunyi melalui berbagai kegiatan by proxy —tidak akan bubar
sebelum tawon induknya itu ditemu kan dan d iseles aikan de ngan
adil dan benar.
Bangsa Indonesia yang pernah tampil penuh harkat d an
m artab at dap at m en gu lan gi lagi p eranan p entin gny a d alam
m enjaga kes eimbangan dun ia. S ebab , sejalan den gan alasan alasan yang telah dikemukakan, jaminan perdamaian dunia terletak
pada adanya kes eim bangan itu. Karena kenyataan dunia sekarang
s ed an g m en ju rus kep ad a tatan an b erku tub tunggal (monopolar)
dengan dominasi satu adi-kuasa yang tak tertandingi, maka diperlukan
penggalangan kekuatan -kekuatan pengimbang yang ada.
Namun semua itu tidak dalam kerangka suasana Perang Dingin
yang mencekam karena hubun gan Balin g b ermusuhan , tetap i
dalam suasana damainya dunia yang bebas, yang memungkinkan
tedadinya tukar pikiran yang kreatif dan konstruktif. ake yang perlu
digalang ialah terutama kekuatan -kekuatan hati nurani lintas negara
dan bangsa, sekalipun negara atau pemerintah dapat mengambil
inisiatif-inisiatif. Pola pembagian kekuatan dunia menurut model
Perang Dingin yang membagi negara-negara menjadi Blok Timur,
Blok Barat dan Non -Blok mungkin menjadi sed ikit sekali
relevans inya untuk keadaan sekarang. Efek globalisai berkat
kemajuan deret ukur teknologi transportasi dan info rmas i telah
tid ak memungkin kan pembagian dunia secara kaku. Hubungan dan
interaksi t im b a l b a l ik
an tarn egara
s e m a k in
t id a k
terhindarkan, justru semakin diperlukan. Politik menutup diri dari
303
dunia luar semakin mustahil menjadi pilihan, dan negara-negara yang
dulu menerapkannya, sekarang ramai-ramai meninggalkannya.
Terbuktikan oleh pengalaman terb aru b an y ak n egara,
p embu kaan d iri akan lebih produktif dan lebih menguntungkan.
M a ka d em ik ian p u la d en g an k it a, b an gs a Indonesia, salah
satu bangsa besar di dunia.
Tetapi justru untuk dapat
berinteraksi secara terbu ka dengan dunia luar, kita memerlu kan
pijakan kaki yang kuat, yaitu mantapnya harkat dan martabat bangsa
dan negara, atas dasar nas ionalisme dan patriotisme yang
didukung o leh kes ad aran t in g g i u n tu k m en ja ga d an
melindungi seluruh wilayah tanah air sebagai kes atu an n egarab an gs a y an g m erd eka dan berdaulat (free sovereign nationstate). Dengan pijakan kemerdekaan dan kedalutan yang kokoh itu
kita melangkahkan kaki untuk ikut berperan aktif menciptakan
perdamaian dunia, pesan konstitusi negara kita, UUD 1945.
Penutup
RISALAH ini ditulis tanpa pretensi hendak menyajikan hal
barn tentang negara dan bangsa Indonesia. Meskipun menggunakan
bahan dan cara pendekatan yang barangkali sebelumnya kurang biasa
dilakukan orang, namun hakikat persoalan yang dicoba sajikan adalah
sama.
Drongan menulis risalah ini ialah keinginan berbagi
pandangan dengan para warga bangsa, khususnya generasi muds.
Ketika pelajaran sejarah di sekolah tidak menarik lagi, dan tinjauan
masalah dari pandangan -pandangan asasi bisa m en jemu kan , m aka
y an g d iku atirkan ialah terjadinya pendangkalan dan penyempitan
wawasan. Sesuatu yang belum diketahui hakikatnya selalu terasa
aneh dan cenderung ditolak, karena memang manusia adalah musuh
dari apa yang ia tidak tahu.
Pada titik perkembangan bangsa dan negara sekarang ini, kita
rasanya dihentakkan oleh kesad aran perluny a men elaah u lan g
hakikat bangsa dan negara ‘kita. Telaah itu dimulai sejak masa-masa
silam yang cukup jauh sebagai latar b elakan g, s am p ai kep ad a
304
m as a kris talis as i kes ad ar an keb an gs a an ak ib at p e r la w an an
kep ada p enjajahan . Telaah itu d iteruskan ke masa kebangkitan
nasionalisme modern oleh kaum terdidik, kemudian masa
konsolidasi nasionalisme itu melalui proses-proses eksp e r im en ta s i
p e la ks an a an p ik ir a n -p ik ir an tentang modern nation-state
Republik Indonesia, dengan silih bergantinya keberhasilan dan
kegagalan. Telaah d iakh iri den gan penilaian kepada krisis
banyak segi yang dialami bangsa dan negara sekarang ini, disertai
percobaan mengemukakan jalan keluar secara garis besar melalui
deretan butir-butir sebuah platform.
Banyak sekali persoalan kebangsaan dan kenegaraan kita
yang memerlu kan kejelasan lebih lanjut melalui kegiatan tukarpikiran yang bebas dan cerdas. Kegiatan itu saat ini semakin b any ak
d imun gkin kan ; p ertama, karen a m en in gkat p es atnya taraf
kecerdas an gen eras i muda; kedua, karena suasana kebebasan sipil
yang merupakan hasil dan perolehan paling berharga dari gerakan
reformasi.
A d an y a keje las an ten t an g p e rs o a lan ke b an gs aan d an
ken ega raan akan m elan d as i terbukanya partisipasi warga negara
dalam melakukan investasi sosial-politik untuk masa depan yang lebih
menjanjikan. Kita semua harus mencari dan menemukan ide-ide
terbaik ten -tan g keb an gs aan d an ken egaraan : p ertam a tama
dari para tokoh pendiri bangsa, dan selanjutnya dari pengalaman
bangsa-bangsa di mana saja. A kan memboroskan waktu dan
tenaga, b ah kan s ia-s ia, jika k ita terku n gku n g o leh pemikiran
dalam pola berusaha “ menemukan kembali roda” (re-invent the
wheel). Perintah agama agar manusia mengembara di bumf dan
m en gam b il p elajaran d ari u m at-u m at y an g telah lewat adalah
penegasan tentang tidakd ib e n a r k a n n y a p i k i r a n n a t i v i s m e ,
d a n atavisme. Nativisme dan atavisme adalah karakteris tik paham
keban gsaan semp it. M enggali, memelihara dan mengembangkan
budaya sendiri adalah suatu keharusan. Namun semua itu harus
dilakukan tanpa nativisme ataupun atavisme, yaitu sikap -sikap yang
memandang budaya sebagai yang paling benar dan unggu l, tanp a
melih at kemun gkin an ad anya s eg i-s egi n egatif s ep erti
feo dalis m e. Letak kepulauan Nusantara tidak mengizinkan sikap305
sikap serupa itu, karena sepanjang sejarahnya merupakan crossroad
berbagai budaya di dun ia, d an m en d o ro n g terjad in y a
aku ltu ras i s ep e r t i b u d ay a n as io n a l y an g A k ita w a r is i
sekarang ini.
Pelaksanaan hal-hal di atas itu memerlukan kesadaran tentang
arch dan tujuan perjuangan jangka panjang. Maka sangat diperlukan
adanya kesed iaan m en empuh h idup as ketis , in gkar kepada diri
sendiri (self denial) untuk tidak menikmati reward perjuangan dalam
jangka pendek, dan kesed iaan untu k menunda kesen an gan (to
d efer the gratification) jan gka pendek, karena di mass depan
akan tersedia kebahagiaan yang besar dalam jangka panjang. K aren a
d im ens i w aktu bagi su atu in vestas i modal manusia (human
capital investment) untuk membuahkan hasil atau reward itu biasanya
satu generasi (sekitar 20 tahun), maka sesungguhnya saat terbaik
melakukan investasi itu ialah s atu generas i y an g lalu ,
s eh in gga sekarang dapat dipetik buahnya. Tetapi jika kita tidak dapat
melakukan investasi itu satu gene- rasi yang lalu, maka saat terbaik
melakukannya ialah sekarang. Jika tidak, maka satu generasi yang
akan datang tidak terjadi kemajuan bangsa dan negara.
Di atas semuanya itu, kita harus menemukan cars mengatas i
persoalan b angsa dan negara kita, “sekali in i dan untu k
selam a-lamanya” (once and for all ). Dengan tekad bersama itu,
insya’ Allah kita terhindar dari kemungkinan mengalami krisis lagi
yang tanpa berkesudahan.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian terdahulu,
saat sekarang, setelah perjalanan bangsa telah berlangsung
selama setengah abad lebih, adalah saat yang paling tepat untuk
memulai pembangunan kembali negara, mengikuti p ikiran-pikiran
terbaik pars pendirinya. S u d ah s a atn y a k ita s em u a
m e la ks an a k an amanat untuk berusaha menciptakan momen
keteladanan
dalam
penyelenggaraan
pemerin tahan
dan
penggunaan kekuasaan, agar menjadi ruju kan generas i-generas i
berikutny a. O leh k a r e n a itu d ip e r lu k an t in g k a t k es ad a r an
kebangsaan dan kenegaraan yang tingg i.
A lternatif dari semua itu ialah s ikap tidak peduli kepada
situasi bangsa yang tidak berhasil melaksanakan cita-citanya sendiri,
306
atau bahkan mungkin melawan cita-cita itu. Suatu bangsa yang
melawan prinsip -prinsipnya sendiri tidak akan bertahan! Sekarang
atau tak bakal pernah lagi! Now or never!
Makkah-Jakarta,
Ramadan 1424 / November 2003
NCM
307
Suhaimi
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
Tempat/Tgl. Lahir
NIM.
Pekerjaan
Alamat
: Suhaimi
: Jakarta/6 September 1967
: 05.3.00.107.01.0050
: Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
: Jalan Karet Kampung Gedong
No.56, Margonda, Depok
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi dengan judul
“Bahasa Politik Nurcholish Madjid: Analisis Semiotik Terhadap
Platfom ‘Membangun Kembali Indonesia’” adalah benar karya asli
saya, kecuali kutipan -kutipan yang disebutkan sumber-sumbernya.
Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuh
menjadi tanggungjawab saya, yang dapat berakibat gelar kesarjanaan
saya dibatalkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Depok, 11 April 2011
Suhaimi
ii
Suhaimi
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
Tempat/Tgl. Lahir
NIM.
Pekerjaan
Alamat
: Suhaimi
: Jakarta/6 September 1967
: 05.3.00.107.01.0050
: Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
: Jalan Karet Kampung Gedong
No.56, Margonda, Depok
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi dengan judul
“Bahasa Politik Nurcholish Madjid: Analisis Semiotik Terhadap
Platfom ‘Membangun Kembali Indonesia’” adalah benar karya asli
saya, kecuali kutipan -kutipan yang disebutkan sumber-sumbernya.
Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya
menjadi tanggungjawab saya, yang dapat berakibat gelar kesarjanaan
saya dibatalkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Depok, 11 April 2011
Suhaimi
ii
Download