Panduan Teknis Restorasi di Kawasan Konservasi - Hutan Hujan Tropis Pegunungan dan Hutan Monsoon Tropis - Oktober 2014 Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems in Conservation Areas Panduan Teknis Restorasi di Kawasan Konservasi - Hutan Hujan Tropis Pegunungan dan Hutan Monsoon Tropis - Oktober 2014 Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems in Conservation Areas KATA PENGANTAR Buku Panduan Teknik Restorasi ini disusun oleh Project-RECA sebagai salah satu hasil kegiatan project tersebut dengan harapan dapat dipakai sebagai acuan dalam melakasanakan restorasi ekosistem hutan di kawasan konservasi. Project-RECA adalah kerjasama teknik antara Direktorat Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dilaksanakan selama lima tahun 2010-2015 dengan tujuan meningkatkan kemampuan para pihak untuk melaksanakan restorasi. Panduan Teknik Restorasi ini difokuskan untuk perbaikan ekosistem melalui vegetasi Hutan Hujan Tropis Pegunungan dan Hutan Monsoon Tropis berdasarkan uji coba restorasi pada empat Taman Nasional yaitu TN Bromo Tengger Semeru, TN Gunung Ciremai, TN Gunung Merapai dan TN Manupeu Tanah Daru. Bermacam teknik dan pengetahuan yang diusulkan di dalam panduan ini telah diterapkan dan verifikasi di lapanagan di empat TN tersebut. Kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan buku ini melalui diskusi maupun saran-saran perbaikan teknis restorasi di lapangan terutama kepada Direktorat Jenderal PHKA, Japan International Cooperation Agency (JICA), Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Kepala Balai Taman Nasional Sembilang(TNS), Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), dan Kepala Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (TNMT), staf dan counterpart TNBTS, TNS, TNGC, TNGM dan TNMT dan Kelompok Kerja (Pokja) TNBTS, TNS, TNGC, TNGM dan TNMT serta pihak lain yang tidak kami sebut satu per satu. Kami menyadari bahwa buku Panduan Teknis Restorasi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang menbangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga buku Panduaan Teknik Restorasi ini bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Oktober 2014 Tim Penyusun i Tim Penyusun : Ketua : Hideki Miyakawa Technical Adviser : Hiroaki Okabe Sekretaris : Darsono Anggota : Desitarani Jefry Susyafrianto Hiroyuki Saito Pujiati Budiono Zulkifli Ibnu Marlenni Hasan Regina Herti Sitorus Christina Matakupan Mudi Yuliani Sulistyono Cika Dewitri Andi Iskandar Zulkarnain Nurhadi Marthen Hamba Banju Nurrahman Kontributor Foto : Ani Mardiastuti Andi Iskandar Zulkarnain Darsono Desitarani Hiroyuki Saito Marthen Hamba Banju Reiko Hozumi Sulistyono PROJECT -RECA PHKA : Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 7 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Telp, 021- 5720229,; Fax. JICA-RECA 021- 5720229, Jakarta : Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 6 Wing B No. 617 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Telp: 021- 57902954 ;Fax :021-5705085 Web :http://www.jica.go.jp/project/english/indonesia/008/index.html ii DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi iii Istilah 1 Pendahuluan 7 1. Latar Belakang 7 2. Tujuan 7 I. Pembangunan Persemaian 8 1. Seleksi lokasi persemaian 8 2. Penyiapan peralatan dan fasilitas 8 (1) Pondok kerja/jaga 8 (2) Bedeng tabur 8 (3) Bedeng sapih (TAKEDOKO) 9 (4) Jaringan air 9 (5) Naungan 10 (6) Peralatan persemaian 10 II. Pembibitan 12 1. Pembibitan dari anakan 12 (1) Pemilihan anakan 12 (2) Pengambilan anakan 13 (3) Transportasi anakan ke persemaian 14 (4) Penyiapan media dan polybag 16 (5) Transplantasi anakan ke polybag 18 (6) Penyusunan polybag 20 (7) Pemasangan sungkup 21 (8) Penyiraman 21 (9) Penguatan bibit 23 2. Pembibitan dengan biji 24 (1) Pemilihan pohon induk 24 (2) Pengambilan buah 18 (3) Pembersihan biji 25 (4) Penyimpanan biji 26 (5)Perlakuan biji 27 iii (6) Penyiapan media bedeng tabur 27 (7) Penaburan biji 29 (8) Penyiapan media dan polybag 32 (9) Transplantasi biji berkecambah/bibit ke polybag 32 (10) Penyusunan polybag 36 (11) Pemasangan sungkup 36 (12) Penyiraman 36 (13) Penguatan bibit 36 III. Persiapan lahan 37 1. Pembangunan sekat bakar 37 2. Pembuatan pagar hidup 37 3. Pembuatan jalur/piringan/berkelompok 37 4. Pembuatan dan pemasangan ajir 38 5. Pembuatan lubang 38 6. Pembuatan embung air 38 IV. Penanaman 40 1.Transportasi bibit ke lapangan 40 2. Penanaman 40 3. Pemberian Mulsa 41 V. Pemeliharaan 44 1. Penyiangan 44 2. Penyulaman 44 3. Pengendalaian hama, penyakit dan kebakaran 44 VI. Restorasi dengan Pola Penunjang Suksesi Alam dan Pola Pengkayaan Tanaman Lampiran 46 48 -Pengalaman Kegiatan Project-RECAI. Pengendalian 1. Pengendalian Serangan Satwa (TNGC) 49 49 - Penanaman dengan Sistim Berkelompok 2. Pembangunan Pagar Hidup (TNMT) 55 - Pengendalian dan Pemanfaatan sebagai Pakan Ternak 3. Pengendalaian Jenis Asing Invasif (TNGM) iv 58 - Pengkajian Perlakuan Eradikasi Jenis Asing Invasif 4.Pengendalian Sedimentasi (TNBTS) 62 - Pembuatan Batu Bata Tanpa Bakar dari Sedimentasi - Pembangun Dam Penahan Sedimen dan Pembuatan Jebakan Lumpur 5. Pengendalian Kebakaran Hutan (TNBTS) 66 - Pembuatan Sekat Bakar II. Pemanfaatan 1. Pembuatan Pupuk Organik (TNGM) 68 2. Penggunaan Posong sebagai Polybag Alami (TNGM) 69 - Pemanfaatan sumber daya lokal 3. Pembuatan Kompos dari Jenis Asing Invasif (TNBTS) 71 - Pengendalian dan Pemanfaatan 4. Pembuatan Bio-Gas dari Kotoran Sapi (TNMT) - Pengendalian Pengembalaan Ternak dan Pemanfaatan v 74 vi ISTILAH Akar Utama : Akar yang tumbuh dari batang yang masuk ke dalam tanah yang berfungsi untuk menopang batang supaya tidak roboh dan menyerap air dari tanah. Bedeng Tabur: Keranjang yang berisi media untuk penaburan biji sampai biji berkecambah atau bibit yang berdaun empat. Keranjang disusun di atas rak yang terdiri dari 2 batang bambu bulat sejajar dan kaki tingginya 50 cm. Jarak antara 2 batang bambu 40 cm dan panjang 3-4 m. Bedeng Sapih(TAKEDOKO): Tempat penyusunan bibit di dalam polybag yang dibuat dari bambu setinggi 40-50 cm dan lebar 1 m dan panjang 5-10 m. Bibit: Merupakan suatu tanaman muda yang ditumbuhkan di dalam polybag dari benih atau berasal dari cabutan anakan tanaman asli. Biji : Hasil pembuahan pada tanaman berbunga. Biji Berkecambah; Biji yang sudah mulai pecah dan tumbuh akar pada bedeng tabur. Biji Berkulit Keras: Biji yang memiliki kulit keras dan kedap air sehingga menghambat imbibisi. Kulit biji yang keras juga berfungsi melindungi biji dari kerusakan fisik. Biji Berdaging: Biji diselimuti atau terletak di dalam substansi berdaging yang biasanya berasa manis dan banyak mengandung air. Field Manager: Petugas yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan restorasi. Hydrogel: 1 Media tanam selain tanah yang dapat menyerap air 10 kali dari wujudnya yang masih berupa bubuk dan melepaskan air yang dikandungnya secara pelan-pelan sehingga dapat berfungsi untuk membantu mensupplai air bagi tanaman. Kompos: Meterial hasil penguraian bahan organik yang dapat dipakai sebagai pupuk. Media: Bahan yang digunakan untuk pertumbuhan benih atau bibit. Mulsa: Material penutup tanah di sekitar tanaman yang berfungsi untuk mengurangi penguapan dan menghambat pertumbuhan gulma, bahan yang dipakai berupa daun, atau tanah dan akar rumput dibalik (TAKARRULIK). Pagar Hidup (Bio-Fence): Pagar yang dibuat dari batang tumbuhan asli yang cukup kuat untuk mencegah gangguan satwa dan ternak. Pemeliharaan: Kegiatan penjagaan, pengamanan, dan peningkatan kualitas tumbuhan dengan perlakuan terhadap tegakan dan tanaman serta lingkungannya agar tumbuhan menjadi sehat dan normal melalui penyiangan, penyulaman, pemupukan, pemberian mulsa, pembebasan dari lilitan tumbuhan menjalar, pemberantasan hama dan penyakit. Penanaman: Upaya restorasi ekosistem pada hutan yang telah memiliki tumbuhan berkayu jenis asli tertinggal yang jumlah tumbuhan tingginya ≧30cm kurang dari 200/ha dengan cara menanam jenis tumbuhan berkayu pada areal restorasi. Pengelola: UPT PHKA yang bertugas untuk mengelola kawasan konservasi terkait. Penggarukan: Kegiatan menggemburkan tanah dengan cara menggaruk atau membalikkan tanah dengan tujuan biji dorman di dalam tanah dapat tumbuh. 2 Pengkayaan Tanaman: Upaya restorasi ekosistem pada hutan yang telah memiliki tumbuhan berkayu jnis asli yang tingginya ≧30cm tertinggal 200-400/ha dengan cara menambah jenis tumbuhan berkayu lain pada areal masih kosong dalam areal restorasi. Penunjang Suksesi Alam: Upaya resotrasi ekosistem hutan pada hutan yang telah memiliki tumbuhan berkayu jenis asli yang tingginya ≧30 cm 400-600/ha dan jumlah jenis ≧ 30 % dibandingkan dengan hutan utuh di sekitar areal tumbuhan restorasi dengan cara melakukan penjagaan dan membebaskan gangguan yang menghambat pertumbuhan tumbuhan berkayu baik yang berupa pohon maupun anakan, serta membantu percepatan pertumbuhan seperti, menyiangi gulma sekitar anakan, memotong tumbuhan menjalar yang membelit dan menggaruk tanah. Penyiangan: Kegiatan memotong semak belukar atau rumput disekitar tanaman dengan radius 50 cm sehingga tidak menaungi tanaman dan anakan yang bersangkutan. Persiapan Lahan: Kegiatan mengolah tanah atau permukaan tanah seperti membuat jalur tanam dengan lebar 1 m atau piringan dengan radius 50 cm, dengan cara membabat rumput, membuat lubang tanam, sekat bakar, pagar hidup, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk kegiatan penanaman. Piringan: Salah satu sistem penanaman melalui membersihkan areal dengan membentuk piringan dengan radius 50 cm. Pohon Induk: Pohon jenis asli yang hidup di areal restorasi dan sekitarnya yang telah menghasilkan buah atau biji dan dapat dipakai sebagai sumber bibit. Pupuk Organik: Bahan yang berasal dari tumbuhan dan/atau hewan yang telah mengalami proses pembusukan atau fermentasi yang berperan dalam penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. 3 Rambut Akar: Akar halus yang banyak tumbuh dari serabut akar yang berfungsi untuk menyerap nutrisi dan air dari tanah. Restorasi Ekosistem Hutan: Upaya memperbaiki ekosistem hutan sehingga kondisi ekosistemnya kembali mendekati ekosistem sebelum terdegradasi dengan cara suksesi alam, penunjang suksesi alam, pengkayaan tanaman atau penanaman. Sekat Bakar: Areal yang dibersihkan dari material yang mudah terbakar seperti rumput dan semak belukar untuk mengatisipasi agar tidak terjadi menjalarnya api dari suatu areal ke areal restorasi apabila terjadi kebakaran hutan. Semai: Biji berkecambah sampai berdaun empat yang sengaja ditumbuhkan pada bedeng tabur dan dipakai untuk bibit. Serabut Akar: Akar yang keluar dari pangkal batang atau merupakan cabang dari akar utama yang tumbuh ke samping di dekat permukaan tanah dan terdapat banyak rambut akar. Suksesi Alam: Upaya resotrasi ekosistem hutan pada hutan yang memiliki tumbuhan berkayu jenis asli tingginya ≧30 cm lebih dari 600/ha dan jumlah jenis tumbuhan ≧50 % dibandingkan dengan hutan utuh di sekitar areal restorasi dengan cara melakukan penjagaan dari gangguan. Sumberdaya Genetik: Materi genetik yang terdapat dalam kelompok tanaman hutan dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau direkayasa untuk menciptakan jenis unggul atau varietas baru. Sungkup: Bangunan yang dibuat dari plastic dan bamboo dengan bentuk panjang yang berguna untuk melindungi bibit dari angin, hama dan penyakit serta mempertahankan kelembaban sekitar bibit. 4 Transplantasi: Kegiatan menanam anakan dari hutan atau biji berkecambah dan bibit dari bedeng tabur kedalam polybag. Singkatan FM : Field Manager/Manajer Lapangan Pokja : Kelompok Kerja TNBTS : Taman Nasional Bromo Tengger Semeru TNGC: Taman Nasional Gunung Ciremai TNGM: Taman Nasional Gunung Merapi TNMT: Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (TNS:Taman Nasional Sembilang(, UPT : Unit Pelaksana Teknis 5 6 PENDAHULUAN 1. Latarbelakang Pedoman Tata Cara Restorasi di Kawasan Konservasi - Hutan Hujan Tropis Pegunungan dan Hutan monsoon tropis telah disusun dan diusulkan pada bulan Januari 2014. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil kegiatan uji coba restorasi yang dilakukan di 4 Taman Nasional (TN) sebagai lokasi kegiatan Project-RECA . Lokasi tempat uji coba tersebut memiliki kondisi alam, geologi, geografi dan lingkungan yang berbeda, seperti topografi, iklim, flora dan fauna, budaya, tradisi masyarakat yang unik dan berbeda satu sama lain, sehingga permasalahan yang dihadappi dalam melakukan kegiatan restorasi ada masing-masing lokasi mengalami kendala yang berbeda serta memerulukan solusi yang berbeda pula. Agar buku Pedoman Tata Cara Restorasi tersebut dapat dilaksanakan pada tingkat lapangan, maka perulu disusun Panduan Teknis Restorasi yang akan menjelaskan teknik dan pengetahuan pada tahap pelaksanakan restorasi yang terdiri dari (1) pembangunan persemaian, (2) pembibitan, (3) persiapan lahan, (4) penanaman, (5) penunjang suksesi alam dan pengkayaan tanaman, dan (6) pemeliharaan di hutan hujan tropis pegunungan dan hutan monsoon tropis pada kawaasan konservasi. 2. Tujuan Panduan Teknis Restorasi ini bertujuan untuk memberikan acuan kepada semua pihak dalam menyelenggarakan kegiatan restorasi ekosistem di kawasan konservasi agar pelaksanaan upaya restorasi ekosistem dapat dilaksanakan dengan cermat dan keberhasilan. 7 teliti sehingga dapat memberikan I. Pembangunan Persemaian 1. Seleksi lokasi persemaian (1) Tersedia sumber air yang cukup sepanjang tahun; (2) Topografi datar (maksimal kemiringan lahan 5%) (3) Aksesibilitas relative mudah, dapat dikunjungi dengan mobil dan motor; (4) Tersedia tenaga kerja; (5) Sistem drainasenya bagus; (6) Hindari lokasi dengan angin yang kencang. (7) Lokasi terletak dekat dengan areal penanaman. Luas areal disesuaikan dengan jumlah bibit yang diperlukan. 2. Penyiapan peralatan dan fasilitas (1) Pondok kerja/jaga Pondok kerja/jaga berfungsi sebagai tempat dasar kegiatan restorasi bagi pelaksana lapangan (FM dan Pokja). Foto1: Pondok kerja sebelah persemaian. (Foto oleh Ibu Ani Mardiastuti) (2) Bedeng tabur o Keranjang yang berisi media untuk penaburan biji sampai biji berkecambah atau bibit yang berdaun empat. o Keranjang disusun di atas rak yang terdiri dari 2 batang bambu sejajar dan kaki tingginya 70 cm. Jarak antara 2 batang bambu 30 -50 cm dan panjang 2-3 m. 8 Foto 2: Bedeng tabur (3) Bedeng sapih(TAKEDOKO) o Bedeng sapih adalah rak yang dibuat dari bambu dengan ukuran lebar 1 m, panjang 5-10 m dan tinggi 40-50 cm. Arah membujur dari utara ke selatan. o Lantai bedeng sapih dibuat dari bambu belah yang lebar 3 cm dan disusun dengan jarak antara bambu 3 cm. Tiang bedeng sapih bisa menggunakan bambu bulat atau kayu atau batu bata. o Posisi persemaian membujur utara-selatan. Foto 3: Persemaian dan bedeng sapih dari bambu (TAKEDOKO) (4) Jaringan air o Jaringan air terdiri dari pipa air, pompa, bak penampung air, embung air, dll. yang berfungsi menyalurkan air dari sumber air ke persemaian. 9 Foto 4: Jaringan air (5) Naungan Naungan terdiri dari paranet yang disusun di atas atap persemaian untuk mengurangi sinar matahari yang kena bibit secara langsung. Intensitas cahaya dapat dikurangi 60-80 %, dan 2-3 bulan sebelum penanaman dibuka secara bertahap. Untuk lokasi persemaian pada ketinggian di atas 1.800 mdpl,menggunakan plastik UV. Tinggi persemaian 2,5 m. Foto 5: Naungan (6) Peralatan persemaian Peralatan persemaian terdiri dari skop, cangkul, linggis, gergaji, ayakan, ember, gembor, alat semprot, gunting tanaman, pisau, parang, pinset, alat bengkel, kereta dorong, kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, kamera, computer, projector, papan tulis, alat tulis, dll. 10 Foto 6: Peralatan persemaian: kereta dorong, sprayer, cangkul, skop, garu, gunting, selang, gembor. 11 II. Pembibitan 1. Pembibitan dari anakan (1) Pemilihan anakan Kriteria anakan yang disarankan untuk dipakai sebagai bibit adalah sebagai berikut: o Sebaiknya anakan diambil dari tempat yang tidak terlalu gelap atau terbuka dalam hutan yang tertutup atau pinggir hutan. o Ciri-ciri anakan yang berasal dari hutan yang tidak terlalu gelap adalah daun pertama (paling bawah) sampai ujung masih lengkap, tumbuh baik dan warna daunnya hijau tua. o Daun yang paling ujung sudah mengeras/kuat, tidak berwarna merah atau lebih muda dari pada daun dibawahnya. o Ukuran tinggi anakan maksimum 30 cm agar akarnya tidak terpotong. Foto7: Contoh anakan yang bagus untuk bibit: Daunnya lengkap dari bawah sampai atas masih utuh (kiri dan kanan) Foto8: Contoh anakan yang kurang bagus untuk bibit: Daun ada hanya di atas, tidak ada di bawah (kiri). Rambut akar tidak kelihatan, hanya akar utama berkembang (kanan). 12 (2) Pengambilan anakan o Untuk mengambil anakan dapat dilakukan anakan 5-30 cm. Anakan yang masih kecil o (+5 cm) menpunyai akar yang belum terlalu dalam. Kesan dari kata cabutan, anakan yang akan dipakai sebagai bibit ditarik begitu saja. Yang dimaksud cabutan adalah dilakukan dengan cara mencongkel anakan, akan tetapi tidak seluruh tanahnya diikutsertakan dengan anakannya. o Pada musim kemarau rambut akar mudah terpotong atau putus karena tanahya keras. Salah satu cara pengambilan anakan sebaiknya pengambilan anakan setelah penyiraman. Namun penyiraman di hutan sulit. Walaupun pakai gembor untuk penyiraman, air tidak menyerab sampai dalam tanah. Secara umum menseleksi lokasi untuk pengambilan anakan terlebih dahulu dan melakukan pengambilan anakan selama beberapa hari setelah hujan turun. o Untuk mencabut anakan yang dilakukan selama ini adalah menggunakan linggis atau golok atau cangkul. Setelah tercabut tanahnya dibersihkan dari perakaran anakan. Anakan yang dicabut seringkali perakarannya mengalami kerusakan terutama rambut akarnya. o Serabut akar yang mempunyai banyak rambut akar tumbuhnya mendatar gunanya untuk menyerap nutrisi yang berada kurang lebih 5 cm dibawah permukaan tanah. Akar ini sangat penting dan harus dipertahankan pada saat melakukan pencongkelan, sedangkan akar utama gunanya untuk menopang tegaknya tumbuhan dan menyerap air. o Apabila akarnya terlalu panjang (lebih panjang dari polybag, akar utama ini disarankan dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam agar mudah tumbuh perakaran baru. Cara-cara mencongkel anakan direkomendasikan dengan cara-cara seperti berikut: - Untuk mencongkel anakan dilakukan dengan menggunakan sekop lurus agar dapat masuk perakarannya tidak rusak. 13 ke tanah lebih dalam sehingga Foto9: Skop lurus - Jarak sekop dengan anakan kurang lebih 10 cm dan diperkirakan tidak mengenai akar anakan. - Setelah anakan tercabut lepaskan tanahnya dari anakan tersebut dengan hati-hati sehingga rambut akarnya tetap utuh, upayakan sebagian tanahnya masih menempel pada rambut akar tersebut. Foto10: Cara pengambilan anakan yang bagus tanahnya masih ada sedikit yang melekat pada akar. Akar utama yang terlalu panjang dapat dipotong (3) Transportasi anakan ke persemaian o Apabila untuk mengangkut anakan yang telah dicongkel dari hutan ke persemaian dilakukan dengan menggunakan ember yang telah diisi air, atau menggunakan karung, perakaran maupun daunnya rusak karena tertekuk-tekuk dan tanah yang melekat pada rambut akar akan larut ke dalam air, padahal tanah yang melekat pada rambut akar tersebut sangat penting karena tanah tersebut seringkali 14 mengandung mikro organism seperti mikoriza yang telah berasosiasi dengan akar dan sangat berguna untuk penyerapan nutrisi dan air yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan anakan tersebut. o Disarankan cara untuk mengangkut anakan yang telah dicongkel dari hutan ke persemaian adalah dengan menggunakan plastik dan beberapa lapis kain yang telah dibasahi dan diantara lembaran kain tersebut diselipkan/dijajarkan cabutan anakan, kemudian dibungkus dengan plastik, dilipat dan digulung. Dengan cara seperti ini tidak perlu memotong daun dan akar sampai pendek serta daun dan akarnya tidak rusak, dan dapat bertahan lebih lama. Dengan cara ini harus disediakan tempat jarak supaya akar tidak terendam air. Lihat foto di bawah: 15 Foto11: Transportasi anakan ke persemaian (4) Penyiapan media dan polybag (a) Penyiapan media o Sebaiknya tanah polybag diambil dari tempat yang di dekat areal restorasi karena mikro organisme dalam polybag sama dengan tanah di areal restorasi. o Apabila kondisi tanahnya sebagai media di polybag masih kurang bagus misalnya berupa debu seperti di daerah Gunung Merapi atau liat maka medianya perlu diperbaiki dengan cara menambahkan sekam yang sudah lama dan butiran pupuk organik. o Untuk media polybag dipakai campuran tanah, pupuk organik dan sekam. Perlu dilihat struktur tanah dan pupuk organik apakah berupa butiran atau debu. - Dalam hal tanah dan pupuk organik berupa butiran, maka perbandingan tanah, pupuk organik dan sekam =1:1:1. - Dalam hal tanah berupa butiran dan pupuk organik berupa debu, atau dalam hal tanah berupa debu dan pupuk organik berupa butiran, maka perbandingan tanah, pupuk organik dan sekam =1:1:2. - Dalam hal tanah dan pupuk organik berupa debu, maka perbandingan tanah, pupuk organik dan sekam =1:1:3. o Tanah diambil dari sekitar persemaian yang tidak mengandung banyak akar tumbuhan. Kemudian diayak dua kali dengan menggunakan ayakan 1 mm dan 5mm. Tanah yang digunakan adalah ukuran 1-5mm. o Sebaiknya gunakan sekam yang sudah disimpan selama setengah tahun, karena selulosa sudah hilang. o Untuk pupuk organik gunakan kotoran ternak seperti sapi, kambing dan kuda. Jangan menggunakan kotoran ayam yang mengandung hara yang teralu tinggi. Kotoran ayam bagus untuk tanaman pertanian 16 karena daur panennya singkat. Kotoran ternak sebaiknya dicampur dengan potongan daun dan ranting. o Media sebaiknya tidak mengandung biji gulma, jamur dan serangga. Sebelum menggunakannya sebaiknya jemur di bawah sinar matahari langsung. Foto12: Penyiapan media polybag (b) Penggunaan pupuk organik o Pembibitan tumbuhan berkayu sangat berbeda dibandingkan pembibitan untuk pertanian. Tanaman pertanian memberikan panen setiap tahun sehingga memerlukan tambahan nitrogen (perlu pupuk Nitrogen), sedangkan tanaman jenis tumbuhan berkayu membuat biomas besar seperti lignin dan selulosa sehingga lebih banyak menghabiskan CO 2 , air dan sedikit Nitrogen. Oleh karena itu pemberian pupuk Nitrogen terlalu banyak kepada tanaman jenis tumbuhan berkayu tidak baik. o Bibit yang mendapatkan nutrisi terlalu banyak batang dan daunnya akan tumbuh terlalu cepat tidak seimbang dengan pertumbuhan akarnya. Selain itu sel-sel yang tumbuh pada batang dan daun menjadi terlalu besar sehingga sel-selnya tidak kuat, tidak tahan terhadap kekeringan dan serangan hama dan penyakit. o Untuk jenis tanaman pohon lebih baik memberikan organik dalam tanah untuk memperbaiki sifat tanah dalam jangka panjang, sedangkan pupuk kimia hanya berfungsi untuk jangka pendek. Pemberian pupuk kimia dalam jangka panjang dapat mengurangi biota tanah dan mikro-organisme di dalam tanah dan merusak struktur tanah. Oleh karena itu pupuk organik diperlukan untuk pengelolaan 17 persemaian dan penanaman. Pupuk organik dapat dibuat dari rumput setempat seperti alang-alang dan Eupathorium serta serasah. (c) Penyiapan polybag/posong dan mengisi media o Bahan, bentuk dan ukuran polybag/posong harus dipertimbangkan sesuai dengan jenis tanaman. Tanaman yang cepat besar sebaiknya menggunakan polybag yang cukup besar. o Ukuran polybag/posong yang sering dipergunakan adalah yang diameter 6,5 cm dan tinggi 15 cm; atau diameter 8 cm dan tinggi 18 cm. Untuk jenis tumbuhan yang cepat besar disarankan pakai ukuran polybag diameter 10 cm dan tinggi 20 cm. Foto13 Posong (kiri) Polybag plastik (kanan) Diameter 12-14 cm, Tinggi 15-17 cm. Diameter 10 cm, Tinggi 20 cm. (5) Transplantasi anakan ke polybag o Anakan yang sudah dicongkel tersebut boleh dipotong sebagian daun pada bagian ujungnya (daun yang dibagian bawah tetap dipertahankan/tidak dipotong) karena daun yang berada dibawah tersebut sangat penting untuk menyediakan carbon ke akar. Akar samping/lateral sebaiknya dipertahankan, sedangkan akar utama (akar tunjang/vertikal) boleh dipotong disesuaikan dengan panjangnya polybag dengan menggunakan pisau yang tajam agar mudah tumbuh perakaran baru. o Polybag yang sudah disiapkan diisi dengan media kira-kira separoh polybag, kemudian anakan yang sudah disiapkan tersebut dimasukkan kedalam polybag (tetap dipegang dengan tangan) dan diisi 18 dengan media yang sudah disiapkan tersebut sampai penuh, kemudian dipadatkan dengan cara memegang ujung polybag selanjutnya diangkat kurang lebih 10 cm dan dihentakkan ke tanah 3 kali sehingga permukaan media dalam polybag sedikit turun sekitar 10 % dan anakan tersebut dapat berdiri tegak di tengah -tengah polybag. o Yang penting adalah tidak menekan permukaan tanah dengan tangan setelah mengisi media ke polybag. Bibit dalam polybag menjadi stabil setelah penyiraman. Kalau ditekan permukaan tanahnya, maka rambut akar dapat rusak dan porositas tanahnya berkurang. o Selanjutnya ditutup dengan sekam sebagai mulsa agar rambut akar dapat berkembang dengan baik di dekat permukaan tanah dan tidak terjadi percikan tanah keluar waktu penyiraman, mengendalikan tumbuhan gulma, menjaga porositas dan mengurangi penguapan. Kondisi ini mirip dengan kondisi di dalam hutan yang lantai hutannya tertutup dengan serasah sehingga akarnya dapat berkembang dengan baik di dekat permukaan tanah dan dapat menerap nutrisi yang tersedia di dekat permukaan tanah. o Untuk anakan yang masih kecil (ukuran + 5 cm) polybag diisi dengan media yang sudah diaduk rata sebanyak 2/3 dari tinggi polybag, kemudian anakan ditanam kedalam polybag. ①Memotong akar utama sesuai ②Mengisi media kedalam dengan polybag. polybag setengahnya. 19 ③Mengisi media sampai penuh. ④Angkat polybag 10 cm dan hentakkan ke bawah 3 kali. . ⑤Tutup dengan sekam. ⑥Siram bibit secukupnya. (6) Penyusunan polybag o Polybag diletakkan di atas bedeng sapih (TAKEDOKO) dan antara polybag diberi jarak 2-3 cm agar sirkulasi udara dibawah polybag dan antara polybag bagus sehingga bagian bawah polybag tidak terlalu lembab, dan sinar matahari dapat masuk sampai ke bagian bawah bibit. Bila bibit tumbuh samapi 30-50 cm, jarak antara polybag dijarangkan menjadi 5-7 cm. Tinggi TAKEDOKO yang disarankan 50 cm. 20 Foto15: Bedeng sapih yang dibuat dari bambu (TAKEDOKO) (7) Pemasangan sungkup o Bedeng sapih ditutup dengan sungkup dengan harapan kelembaban udara dalam sungkup tersebut terjaga dengan baik serta bibit terlindungi dari angin. o Untuk pembuatan sungkup, siapkan bambu dan plastik bening. Bambu dibentuk stengah lingkaran dan disusun dengan jarak antara bambu 1 m. Kemudian tutup permukaan bambu dengan plastik bening. Panjang dan lebar sungkup sesuai dengan bedeng sapih. Tinggi sungkup 70 – 80 cm. o Setelah 1 s/d 2 bulan bibit perkirakan sudah kuat secara bertahap dibuka sungkup. Foto16: Sungkup yang dibuat dari bambu dan plastik bening (8) Penyiraman o Akar tumbuhan berkayu (Kelompok Dicotyledon) dikelompokkan menjadi dua yaitu akar utama dan serabut akar. o Akar utama berfungsi untuk menunjang tegaknya pohon dan menyerap air dari dalam tanah, sedangkan akar serabut berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi. o Nutrisi dan mikoriza terletak di dekat permukaan tanah, oleh karena itu mengkondisikan bibit di polybag agar mempunyai akar serabut yang berkembang di dekat permukaan tanah. 21 o Apabila terlalu banyak penyiraman, maka perakaran di dalam polybag yang akan berkembang ke bawah, sedangkan akar serabut tidak dapat berkembang. Apabila penyiraman dikendalikan secara baik akar serabut akan berkembang dan pada saat ditanam di lapangan akan lebih cepat tumbuh dan lebih kuat. Perakaran yang terlalu banyak penyiraman dan yang terkendali penyiramannya seperti foto berikut: Foto17: Akar keluar dari polybag karena penyiraman terlalu banyak (kiri ) Akar tidak keluar dari polybag karena penyiraman terkendali (kanan). o Tidak direkomendasi penyiraman bibit terlalu banyak, sampai tanah di dalam polybag maupun dibawahnya basah seluruhnya. Cara penyiraman seperti ini biasanya bagian atas dari polybag tersebut banyak yang ditumbuhi lumut, dan akarnya keluar/menembus polybag. Apabila akarnya tembus polybag, maka akar yang ada di dalam polybag sangat sedikit. Jika bagian akar yang tembus polybag dipotong, maka akar yang tinggal dalam polybag sangat sedikit dan tidak dapat tahan kekeringan, sehingga pada saat penanaman bibitnya akan mengalami stress dan layu. o Bibit yang layu tersebut perlu waktu yang panjang untuk penyesuaian setelam ditanam. o Bibit yang setelah ditanam masih memerlukan penyiraman maka hal tersebut merupakan indicator bahwa cara pembibitannya tidak baik. o Bibit yang bagian permukaan banyak tumbuh lumut, maka nutrisi yang ada di dalam polybag tersebut kemungkinan banyak diserap oleh lumut, sehingga bibitnya tidak dapat berkembang dengan baik. o Cara penyiraman yang direkomendasikan adalah setelah tanah di dalam polybag tersebut mulai mengering. Hal ini dapat diketahui bila kondisi permukaan tanah di polybag sedemikian rupa sehingga berwarna putih. membentuk basah-kering. 22 siklus Penyiraman diatur basah-kering dan o Penyiraman dilakukan pada pagi hari. Volume air siram adalah 20 % dari jumlah volume polybag. Penyiraman dilakukan bertahap, yaitu dengan volume + 30%, kemudian setelah semuanya disiram diulangi lagi dengan volume +30%, dan setelah selesai menyiram semuanya diulangi lagi dengan volume + 40%. Hal ini dilakukan agar air tidak tumpa dari dalam polybag dan dapat meresap ke dalam polybag secara merata. Jika air disiramkan semuanya sekaligus, kemungkinan air akan turun melalui sebagian lubang atau sebagian tanah di bagian bawah polybag selalu basah. o Kalau ada 300 polybag di dalam 1 bedeng dan 1 polybag volumenya 500cc, maka diperlukan volume air sebagai berikut; 500 cc air x 20 % x 300 polybag = 30.000 cc Penyiraman pertama 30.000 x 30 %=9.000 cc: 3 gembor ukuran 3 liter Peniraman ke dua: 30.000 x 30 %=9.000 cc: 3 gembor ukuran 3 liter Penyiraman ke tiga: 30.000 x 40 %= 12.000 cc: 4 gembor ukuran 3 liter o Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor yang lubangnya halus agar tidak merusak permukaan tanah atau sekam. Teknik penyiraman dan kecepatan menyiramnya harus berdasarkan pengalaman berulang-ulang. (9) Penguatan bibit (a) Penyinaran. o Penguatan bibit dilakukan dengan cara membuka paranet 1 bulan atau 2 bulan sebelum penanaman. Cara pembukaan paranet dapat dilakukan secara bertahap. Misalnya yang sebelumnya diberi naungan 40% diganti dengan naungan 20%, setelah kurang lebih 2 minggu baru dibuka tanpa naungan, dan dibiarkan 1-2 bulan kemudian ditanam. (b) Penyiraman: o Penyiraman dikurangi secara berangsur-angsur sehari sekali dan dua hari sekalai kemudian tiga hari sekali sehingga pada saat bibit akan ditanam sudah kuat oleh sinar matahari langsung dan tahan kering. o Ciri-ciri bibit yang sudah kuat adalah: - Pucuknya berwarna hijau tua, tidak berwarna merah atau hijau muda. - Pucuknya sudah mengeras. - 23 2. Pembibitan dengan biji (1) Pemilihan pohon induk Kriteria pohon induk adalah sebagai berikut; o Pohon induk sehat dan menghasilkan banyak buah, o Jenis berkayu yang asli di dalam dan sekitar areal restorasi, o Prioritasnya jenis kunci termasuk jenis pohon sarang dan pohon pakan, o Sebaiknya buah dan biji dikumpulkan dari beberapa pohon induk dalam satu jenis karena menjaga keanekaragaman sifat keturunan (DNA). Perbedaaan pertumbuhan antara anakan Cabutan dan dari Biji Foto18: Bibit sebelah kiri yang dihasilkan melalui pembibitan dengan biji kelihatan lebih baik dari bibit sebelah kanan yang dihasilkan dari cabutan, karena daun paling bawah masih ada pada bibit sebelah kiri, sedangkan daun bagian bawah pada bibit sebelah kanan sudah hilang. (2) Pengambilan buah (a) Buah yang masih di pohon: Menggunakan jaring/perangkap biji (seed trap) yang dipasang di bawah pohon induk, atau dipetik/dipanen langsung di pohon. Identifikasi waktu pengambilan buah berdasarkan pengamatan warna, kekerasan dan waktu buah pecah. Buah yang diambil adalah buah yang sudah matang karena kematangan buah menpengaruhi prosentase kecambah dan kualitas bibit. 24 Foto19: Jaring/perangkap biji (seed trap) (b) Buah yang sudah jatuh: Hindari buah yang teralu kering, dan yang terserang hama dan penyakit. (3) Pembersihan buah atau biji Pembersihan dilakukan secepat mungkin setelah pengambilan buah atau biji. Hindarkan penyimpanan buah atau biji di dalam kantong plastik karena kemungkinan buah atau biji cepat busuk atau mati. Sebaiknya biji ditabur secepat mungkin setelah dibersihkan. Biji diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu biji yang berkulit keras dan biji yang berdagin tebal. (a) Biji yang berkulit keras atau tipis Melepaskan sampah dari biji dengan menggunakan ayakan, angin, air atau sterofoam. Beberapa jenis biji dapat direndam lebih dahulu di dalam air selama 1-2 hari sampai kulitnya lembek, kemudian kulitnya dikupas. Untuk merendam sebaiknya gunakan air yang mengalir atau air tawar yang mengandung kadar oksigen yang cukup. Bagi biji yang tidak dapat dikupas kulitnya, jemur biji tersebut di atas kertas koran atau kain yang bersih di bawah sinar matahari selama setengah hari atau satu hari. Berhati-hati supaya biji tidak teralu kering. 25 (Helicia) (Lithocarpus) (Engerhardia) (Dysoxylum) (Magnolia) (Turpinia) Foto 20: Biji yang berkulit keras atau tipis (b) Biji yang berdaging tebal Rendam biji yang berdaging di dalam air, sehingga daging buah mengalami busuk dan mudah dikupas. Pisahkan biji dari daging buah. Bila permukaan biji yang masih bergetah dan lengket, perlu dibersihkan dengan cara menggosok biji dengan pasir dalam telapak tangan. Kemudian jemur biji tersebut di atas kertas koran atau kain yang bersih di bawah sinar matahari. (Ficus) (Polyalthia) (Pittosporum) (Litsea) (Elaeocarpus) (Syzgium) (Tabernaemontana) Foto 21: Biji yang berdaging tebal Secara umum biji yang mengapung dalam air adalah biji yang tidak cukup matang kecuali biji yang mempunyai sayap. B iji yang kurang baik secara fisik seperti bentuk atau warna dibuang. (4) Penyimpanan Sebaiknya biji langsung ditabur setelah dibersihkan. Apabila diperlukan penyimbpanan biji, disarankan 26 menggunakann kantong kertas. Hindarkan penyimpanan biji di dalam kantong plastik karena kemungkinan biji cepat busuk atau mati. (5) Perlakuan biji Cara perlakuan biji berbeda tergantung pada jenis dan sifat biji. Kebanyakannya sebelum tabur biji direndam di dalam air hangat selama setengah sampai satu jam. o Bagi biji yang keras dan tidak dapat dikupas, biji tersebut dilukai supaya biji tersebut dapat cepat pecah dan berkecambah. o Sebaiknya biji ditabur secepat mungkin, namun apabila diperlukan penyimpanan maka dapat menggunakan kantong kertas. Jangan menggunakann kantong plastik. o Biji diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan ukurannya. • Kategori I: Diameter biji <1mm • Kategori II: Diameter biji 1 ~ 10mm • Kategori III: Diameter biji > 10mm (6) Penyiapan media bedeng tabur o Menyiapkan keranjang dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 30 cm dan kedalaman 10 cm. Gambar1: Keranjang o Sebaiknya udara dapat masuk dari bawah keranjang agar sirkulasi udara bagus. Jangan taruh keranjang di tempat yang sinar matahari masuk secara langsung. Sebaiknya gunakan paranet untuk memberikan naungan. o Pasang kain jala ke dalam keranjang. Kain jala yang lubangnya besar tidak cocok karena akar cepat menembus jaring setelah berkecambah. Walaupun menggunakan kain jala yang lubangnya halus masih dapat ditembus oleh akar bila bibit dibiarkan terlalu lama. Oleh karena itu, 27 seharusnya biji berkecambah/ bibit ditrasplantasi ke polybag sebelum akar berkembang. o Media bedeng tabur terdiri dari bahan-bahan yang disesuaikan berdasarkan kategori I, II dan III sebagai berikut; - Untuk biji Kategori I: • Tanah butiran: Tanah diambil dari kedalaman 30 cm atau lebih dan dijemur di atas lembaran plastik. Tanah yang tidak subur dan sedikit kasar lebih baik. Jangan menggunakan tanah yang liat. Kemudian tanah butiran tersebut diayak 2 kali (1mm dan 5mm). Menggunakan tanah butiran ukuran antara 1~5mm. • Cocopeat: Cocopeat yang organiknya sudah dihilangkan dengan cara merendam/mencuci dengan air mengalir selama 2 hari, kemudian dikeringkan dan diayak dengan ayakan 5 mm. Menggunakan cocopeat ukuran kurang dari 5 mm. • Pilih salah satu dari dua jenis media di atas. Jangan menggunakan media campuran. - Untuk biji Kategori II: • Tanah butiran: sama dengan Kategori I. • Pasir: diayak 2 kali (1mm dan 5mm). Menggunakan pasir ukuran antara 1~ 5mm. • Cocopeat: sama dengan Kategori I. • Pilih salah satu dari ketiga jenis media di atas. Jangan menggunakan media campuran. - Untuk biji Kategori III: • o Tanah butiran: sama dengan Kategori I dan II. Tanah butiran yang sudah digunakan untuk media penaburan tidak boleh digunakan kembali untuk mencegah penularan jamur dan bakteri pada tahapan kecambah. 28 Gambar2: Pembuatan media untuk bedeng tabur. (7) Penaburan biji (a) Cara penaburan unutk biji Kategori I Lapisi keranjang dengan kain jala 1 lembar, masukkan media sampai ketebalan 8 cm. Campur biji dengan pasir ke dalam kantong plastik, kocok sampai biji tercampur secara merata di dalam kantong plastik. Tabur biji yang sudah dicampurkan dengan pasir ke dalam keranjang secara merata pada media. Gambar3: Cara penaburan biji Kategori I . 29 Setelah penaburan biji, tutup permukaan media dengan sekam setebal kurang lebih 2-3 mm supaya biji tidak keluar dari keranjang pada saat penyiraman. Kemudian dilakukan penyiraman. Tentang kerapatan biji yang ditabur, sebaiknya ada setiap bibit dari areal 1~2 cm x 1~2 cm agar bibit mudah ditransplantasi ke polybag. Selanjutnya keranjang tersebut ditaruh di atas rak bambu yang terdiri dari dua batang bambu yang disusun sejajar. Jangan disusun keranjang dua lapis atau lebih, karena air bekas siraman dan sampah akan jatuh ke keranjang yang di bawah disamping itu keranjang yang di bawah tidak mendapakan sinar matahari cukup. Selain itu keranjang yang di bawah susah untuk mengamati pertumbuhan kecambah. (b) Cara penaburan untuk biji Kategori II o Lapisi keranjang dengan kain jala 1 lembar, masukkan media sampai ketebalan 5 cm. Biji yang sudah diseleksi ditaruh di atas media di dalam keranjang dengan jarak yang merata (rata-rata 3 x diameter biji). Biji tidak boleh dikubur di dalam media tersebut. o Gambar4: Cara penaburan biji Kategori II. o Menyiapkan kain jala yang ukurannya lebih lebar 8-10 cm dari ukuran keliling keranjang dan tutup biji yang sudah ditabur. Kemudian masukkan media di atas kain tersebut dengan ketebalan 3 cm dan ratakan permukaan media dengan menggunakan kayu, tetapi jangan menekan secara keras. 30 o Melakukan penyiraman supaya kondisi media menjadi lembab secara rata. Penyiraman yang kedua kali boleh dilakukan setelah media dan kain jala kelihatan menjadi sedikit mengering. Gambar5: Cara pembuatan bedeng tabur untuk biji Kategori II. o Selanjutnya keranjang tersebut ditaruh di atas rak bambu yang terdiri dari dua batang bambu yang disusun jajar. (c) Cara penaburan untuk biji Kategori III Lapisi keranjang dengan kain jala 1 lembar, masukkan media sampai ketebalan 8 cm. Seleksi biji yang kulitnya telah pecah atau mulai berkecambah. Biji tersebut ditaruh di atas media di dalam keranjang dengan jarak antara biji 3 x diameter biji. Biji tidak boleh dikubur di dalam media tersebut. Selanjatnya tutup keranjang dengan plastik bening (sungkup) supaya menjaga kelembaban dalam keranjang. Taruh keranjang tersebut di atas rak bambu yang terdiri dari dua batang bambu yang disusun jajar. 31 Foto22: Penaburan biji Kategori I (atas), Kategori II(tengah) dan Kategori III(bawah). Foto23: Penyiraman dengan menggunakan gembor. Foto24: Sungkup untuk bedeng tabur. (8) Penyiapan media dan polybag Sama dengan pembibitan dari anakan di II-1-(4) atas. (9) Transplantasi semai/ biji berkecambah ke polybag (a) Biji Kategori I Apabila biji telah berkecambah dan memiliki 4 daun, semai diangkat dan ditransplantasi ke polybag. 32 Perbedaan pertumbuhan biji cimung dari media Tanah dan Kokopit Foto25: Semai dari biji kategori I dengan menggunakan media tanah (kiri) dan cocopeat (kanan). Foto26: Membuat lubang dengan menggunakan silinder. Foto27: Transplantasi bibit dari bedeng tabur ke polybag. Semai pada tahapan ini tidak cukup kuat dan gampang terluka. Waktu transplantasi, berhati-hati supaya tidak langsung memegang daun dan akar dengan jari. Pungut semai yang akan ditransplantasi dengan menggunakan pinset bambu. o Buat lubang dalam polybag dengan menggunakan silinder yang sesuai dengan ukuran semai. Tekan silinder pada media ke dalam polybag, kemudian cengkram dengan kuat, angkat silinder dengan tanah yang ada pada silinder tersebut sehingga akan terbentuk lubang dalam polybag. o Bila menggunakan pinset bambu yang tumpul, tusukaan pinset 33 tersebut ke dalam media polybag sesuai dengan ukuran semai. Kemudian jepit dan angkat pinset beserta media polybag. o Pungut semai dengan menggunakan pinset bambu, kemudian masukkan semai ke dalam lubang yang ada di dalam polybag. Setelah itu berikan sedikit tanah agar rata dan tambahkan sedikit sekam diatasnya dengan tebal 2-3mm. Pada saat itu jangan tekan tanah dalam polybag. o Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor. Jangan siram air samapi sekam mengapung. (b) Biji Kategori II dan III: o Bila biji sudah berkecambah (akar sudah kelihatan), transplantasi biji yang berkecambah tersebut ke polybag secepat mungkin. Foto28: Tahap perkecambahan Kecambah yang akarnya sudah membengkok dan sudah mulai keluar rambut akar susah ditransplantasi karena permukaan rambut akar mudah rusak. o Untuk biji Katergori II, waktu perkecambahan berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan. Untuk mengecek keadaan kecambah dengan cara mengangkat kain tersebut ke atas. Cek keadaan kecambah dilaksanakan setiap 4-6 hari. Bila beberapa biji sudah berkecambah, lakukan pengcekan setiap hari. Dengan pengecekan tersebut, informasi dapat dikumpulkan berkaitan waktu kecambah, misalnya awal, puncak dan akhir waktu perkecambahan. 34 o Kalau ada biji yang berwarna putih, biji tersebut terkena jamur dan harus diambil bersama beberapa biji serta media disekitarnya. Bila ada banyak biji yang terkena jamur, buang biji dan media di dalam lubang tanah yang berjarak 20-30 m dari bedeng tabur. Bila kain jala terkena jamur, cuci kain secara bersih atau buang/bakar. Jangan biarkan jamur berkembang di dalam tempat kerja pembibitan. o Biji yang berkecambah yang dipungut dengan menggunakan pinset bambu diletakkan kedalam wadah yang berisi sedikit air supaya tidak cepat kering o Rendam biji yang berkecambah dalam air selama 1 ~2 jam. Air dalam wadah tersebut harus bersih. Kalau ada banyak biji yang berkecambah, air tersebut diganti dengan air yang baru. o Buat lubang di dalam polybag dengan menggunakan pinset bambu. Pungut biji berkecambah dari dalam air dan transplantasi biji tersebut ke dalam media polybag dan kubur sampai biji tidak kelihatan. o Tambahkan sedikit tanah sekitar biji yang berkecambah tersebut agar permukaan rata. Setelah itu tabur sekam pada permukaan tanah dalam polybag dengan ketebalan 2-3mm. Pada saat itu jangan tekan media dalam polybag. o Prosesnya dilakukan sebagai kelompok yang terdiri dari 100 biji yang berkecambah. Bila 100 biji yang berkecambah tersebut telah ditransplantasi ke polybag, selanjutnya 100 biji yang berkecambah yang lainnya dipungut dari keranjang, direndam dalam air dan ditransplantasi ke polybag. Transplantasi untuk 100 biji berkecambah harus diselesaikan dalam satu waktu. o Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor. Jangan siram air samapi sekam mengapung. Foto29: Pinset bambu 35 4. Sterculia foetida (Kapaka) Kapaka) 1 04 Oktober 2013 2 4 5 21 Oktober 2013 29 Oktober 2013 09 Oktober 2013 3 16 Oktober 2013 Foto30: Transplantasi biji berkecambah dari biji kategori II (10) Penyusunan polybag Sama dengan II-1-(6) di atas (11) Pemasangan sungkup Sama dengan II- 1- (7) di atas. (12) Penyiraman Sama dengan II- 1- (8) di atas. (13) Penguatan bibit Sama dengan II-1-(9) di atas. 36 III. Persiapan lahan 1. Pembuatan sekat bakar Apabila areal restorasi tersebut sering terjadi kebakaran hutan maka perlu dibuat sekat bakar untuk mencegah merambatnya api apabila terjadi kebakaran hutan. Sekat bakar dibuat di sekitar areal restorasi atau dibuat berdasarkan blok dengan lebar sekat bakar 6 -15 m tergantung pada kondisi vegetasi sekitar areal restorasi dan kecepatan angin yang biasanya bertiup pada saat musim kemarau. 2. Pembuatan pagar hidup Jika dipandang ada risiko tanaman akan dimakan oleh ternak karena ada pengembalaan ternak dan satwa sekitar areal restorasi, pagar dibangun di pinggir sekat bakar. Pagar tersebut adalah merupakan pagar hidup (bio fence) yang di buat dari tumbuhan asli setempat. Foto31: Sekat bakar dan pagar hidup Foto32: Pagar hidup (sisi sebelah kanan) 3. Pembuatan jalur /piringan/berkelompok Sistim jalur dilaksanakan dengan membersihkan perdu dan rumput selebar 1 m memanjang. Sistim piringan dilaksanakan membersihkan perdu dan rumput dengan radius 50 cm. Sistim berkelompok dilaksanakan dengan membersihkan perdu dan rumput seluas 4m x 4m dan ditanamai dengan jarak 1.5m x 1.5m dan dipagar keliling. Kelebihan penanaman jalur tersebut mudah dilakukan kontrol, sedangkan biayanya lebih banyak dari piringan, penguapannya lebih besar karena anginnya lebih kencang dan satwa dapat bergerak lebih leluasa untuk memakannya. 37 4. Pembuatan dan pemasang ajir Ajir dibuat dari bambu atau kayu dengan ukuran panjang 1 m. Ajir dipasang pada setiap lubang sebagai tanda tanaman. Pucuk ajir tersebut dicat merah atau tanda supaya tampak jelas. Foto33: Ajir dari bambu 5. Pembuatan lubang Lubang penanaman dibuat menjelang musim hujan dengan ukuran 30 cm x 30 cm dan kedalaman 30 cm. Kalau tanah di lokasi penanaman sangat tipis, miskin hara dan/atau terdapat banyak pasir, krikil dan batu, ukurannya 40 cm x 40 cm dan kedalaman 40 cm. Lubang tanam dibuat sebelum datangnya musim hujan paling lambat kurang lebih 10 hari sebelum penanaman. Tanah bagian atas ditaruh sebelah kanan lubang dan bagian di bawah ditaruh di sebelah kiri lubang. 6. Pembuatan embung air Pembuatan embung air dilakukan pada saat menjelang musim hujan, dengan harapan dapat dipergunakan pada musim kemarau. Lokasi embung berada di dalam areal restorasi yang bukan merupakan daerah aliran air. Tanah digali seluas 2m x 3m dengan kedalaman lebih kurang 1 m. Dasar lubang dibersihkan dari batu, akar dan ranting pohon. Plastik UV diletakkan di atas lubang, pada bagian tepinya ditutup dengan tanah. 38 Foto34: Embung air 39 IV. Penanaman 1.Transportasi bibit ke lapangan Bibit yang telah diseleksi dibawa ke lokasi penanaman dari persemaian dengan menggunakan kereta dorong atau mobil pick-up. Untuk menghindarkan agar bibit tidak mengalami kerusakan sebaiknya bibit yang akan dibawa ke lapangan disusun di dalam keranjang bibit. 2. Penanaman Bibit yang akan ditanam dianjurkan paling kurang berukuran 30 Cm, dan bila memungkinkan dianjurkan yang berukuran 50 cm agar dapat segera muncul dipermukaan gulma yang pada umumnya tinginya lebih dari 1m. Sebelum ditanam, bibit sudah dikuatkan terlebih dulu sehingga lebih tahan o terhadap kering maupun sinar matahari. Penanaman dilakukan pada saat tanahnya sudah dingin atau setelah tiba hujan yang cukup lebat kurang lebih 1 minggu. Bibit ditanam di dalam setiap lubang yang telah disiapkan. Pada saat itu, pupuk organik dan arang sekam dapat dicampur dengan tanah dan dimasukkan ke dalam lubang tersebut. Volume pupuk organik dan arang sekam maksimum 30 % dari tanah yang digali. Arang sekam dapat menurunkan keasaman tanah dan mempertahankan kelembaban tanah. o Pada areal yang cukup kering dan bulan keringnya lebih dari 6 bulan serta pada tempat-tempat yang bukit dan lereng yang terjal perlu ditambah lagi hidrogell. Penambahan hidrogell dapat dilakukan pada awal musim kering. o Polybagnya dibuka kemudian bibit dimasukkan ke dalam lubang terus ditimbun dengan tanah yang sudah dibersihkan dari akar rumput dan dicampur dengan pupuk organik dan arang sekam (permukaan media bibit tersebut rata dengan permukaan tanah). o Kemudian padatkan dengan tangan atau kaki agar tanaman tegak namun jangan terlalu keras. Apabila lapisan humusnya tipis, sebaiknya lapisan humus tersebut dimasukkan terlebih dulu baru kemudian lapisan tanah diatasnya. o Apabila akan menggunakan pupuk kompos dan hidrogell, campurkan terlebih dulu dengan tanah yang akan dipakai untuk menimbun ditambah pupuk dan serbuk hidrogell setengah atau satu sendok teh, diaduk merata baru dipakai untuk menimbun tanaman. Lebih jelasnya dapat dilihat pada foto berikut. o Hidrogell perlu ditambahkan pada saat menjelang musim kemarau bagi tempat-tempat yang berbukit terutama pada bagian punggung dan lereng. 40 Mencampur hidrogell, kompos dan tanah. Memasukkan campuran Memasukkan lingkaran di atas kedalam kardus di dalam lubang lingkaran kardus penanaman. Fot35: Bibit sudah ditanam. Memasukkan tanah di luar Cara penggunaan hidrogell lingkaran kardus. 3. Pemberian Mulsa Untuk pengendalian penguapan dari tanah dan pencegahan kecepatan pertumbuhan gulma di sekitar tanaman tersebut. Pemberian mulsa dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: 41 o Mulsa dari TAKARRULIK Caranya gulma di sekitar tanaman dipotong kemudian ditutup dengan tanah dan akar rumput yang digali dengan skop atau cangkul dan diletakkan terbalik pada sekitar batang tanaman kembali agar rumput sehingga tidak rumput tegak tersebut membusuk menjadi kompos. Foto36: Mulsa dengan cara TAKARRULIK o Mulsa dari TAKARRULIK dan gulma Caranya gulma di sekitar tanaman dipotong. ditutup Tanah tanah sekitar kemudian tanaman ditutup potongan gulma tersebut di atasnya dengan ketebalan kurang lebih 20 cm agar gulma tidak tumbuh kembali. Foto37: Mulsa dari TAKARRULIK dan gulma o Mulsa dari Bantal Gulma. Cranya dibuat kantong dari jala nilon, atau jaring ikan, dipotong ukuran 1m x 1m, kemudian dibelah bagian tengah dan bagian pinggir dijahit. Setelah itu masukkan potongan gulma kedalam kantong tersebut hingga padat, dan jahit lagi memasukkan bagian gulma ujung tadi. untuk Letakkan bantal gulma tadi di atas tanah sekitar Foto38: Mulsa dari Bantal Gulma tanaman, injak hingga padat. 42 o Mulsa dari Lembaran Sabut Kelapa Caranya sabut serabutnya membuat kelapa seperti keset, diambil bahan untuk kemudian dicetak dengan lem dan gunting sesuai dengan ukuran. Letakkan lembaran sabut kelapa tersebut di atas tanah sekitar tanaman. Foto39: Mulsa dari Lembaran Sabut Kelapa 43 V. Pemeliharaan 1.Penyiangan Untuk mendapatkan sinar matahari, tumbuhan yang menaungi tanaman dipotong, direbahkan, dan dicabut agar sinar matahari sampai ke tanaman. Apabila gulma dipotong akan lebih cepat tumbuh kembali. Mencabut gulma beserta akarnya akan dapat menghilangkan persaingan mendapatkan nutrisi dan air, namun harus dilakukan secara hati-hati agar perakaran tanaman tidak terlalu banyak terganggu atau tidak ikut tercabut. Menyiangi dengan merebahkan gulma di sekitar tanaman dapat dilakukan lebih mudah dan cepat. Namun bila tidak ditimbun dengan TAKARRULIK akan tegak kembali. Penyiangan yang pertama kali dilaksanakan 2-3 bulan setelah penanaman tergantung dari kecepatan tumbuhnya gulma dan dilanjutkan setiap 3-4 bulan sampai saat tanaman menjadi lebih tinggi dari gulma sekitar tanaman. Penyiangan gulma sekitar tanaman supaya mengurangi kompetisi mendapatkan nutrisi, air, dan sinar matahari antara tanaman dengan gulma. Foto40: Penyiangan Foto41: Penyiangan jalur 2. Penyulaman Pada saat penyiangan pertama atau kedua, kalau masih banyak turun hujan segera lakukan penanaman kembali di tempat tanaman mati. Sasaran jumlah tanaman setelah penyulaman adalah kurang lebih 600 batang/ha. 3. Pengendalaian hama, penyakit dan kebakaran 44 Upaya mengendalikan hama dan penyakit hindari penanaman monokultur. Namun apabila masih terjadi serangan hama dan penyakit, diupayakan dengan menggunakan obat organik, misalnya air rendaman tembakau, buah bintaro, larutan cabe, dll. Tindakan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merusak seperti kebakaran hutan, penggembalaan ternak, dan kegiatan masyarakat yang dapat merusak tanaman perlu dilakukan patroli secara terus menerus ataupun secara periodik sampai tanaman tersebut diperkirakan dapat tumbuh dengan baik. 45 VI. Restorasi dengan Pola Penunjang Suksesi Alam dan Pola Pengkayaan Tanaman 1. Penunjang suksesi alam Penunjang suksesi alam dilaksanakan dengan teknik sebagai berukut: (1) Penyiangan dengan memotong gulma yang berada sekitar tumbuhan berkayu agar biji dan sinar matahari dapat mencapai tanah sehingga biji mampu tumbuh. (2) Pemotongan gulma dan tumbuhan menjalar yang melilit tanaman sehingga tidak mengganggu pertumbuhan (3) Pemindahan anakan dari tempat yang rapat anakan ke tempat yang jarang anakan. (4) Membantu penyebaran biji pada areal yang sudah dibersihkan agar memperkaya anakan yang mampu tumbuh pada lokasi tersebut. (5) Penggarukan dilakukan dengan cara menggaruk atau membalikkan tanah dengan tujuan biji dorman di dalam tanah dapat tumbuh. Foto42: Penggarukan tanah. 2. Pengkayaan tanaman Pengkayaan tanaman dilaksanakan dengan teknik sebagai berikut: (1) Menanam bibit pada areal yang jarang tumbuhan dengan sistim piringan acak menggunakan spesies kunci atau jenis-jenis sebagai pakan satwa, sarang satwa ataupun jenis-jenis yang belum banyak terdapat pada lokasi tersebut. (2) Jumlah tanaman sama dengan 600 tumbuhan dikurangi jumlah tumbuhan yang ditinggal sebelum pengkayaan tanaman. (3) Melakukan pembersihan rumput yang terlalu tebal, dengan maksud agar biji dan sinar matahari dapat mencapai tanah sehingga biji mampu tumbuh. 46 47 Lampiran (Pengalaman Kegiatan Project-RECA) I. Pengendalian 1. Pengendalian Serangan Satwa (TNGC) - Penanaman dengan Sistim Berkelompok 2. Pembangunan Pagar Hidup (TNMT) - Pengendalian dan Pemanfaatan sebagai Pakan Ternak 3. Pengendalaian Jenis Asing Invasif (TNGM) - Pengkajian Perlakuan Eradikasi Jenis Asing Invasif 4.Pengendalian Sedimentasi (TNBTS) - Pembuatan Batu Bata Tanpa Bakar dari Sedimantasi - Pembangun Dam Penahan Sedimen dan Pembuatan Jebakan Lumpur 5. Pengendalian Kebakaran Hutan (TNBTS) - Pembuatan Sekat Bakar II. Pemanfaatan 1.Pembuatan pupuk organik (TNGM) 2. Penggunaan Posong sebagai Polybag Alami (TNGM) - Pemanfaatan sumber daya lokal 3.Pembuatan Kompos dari Jenis Asing Invasif (TNBTS) - Pengendalian dan Pemanfaatan 4.Pembuatan Bio-Gas dari Kotoran Sapi (TNMT) - Pengendalian Pengembalaan Ternak dan Pemanfaatan 48 Pengendalian Serangan Satwa (TNGC) - Penanaman dengan Sistim Berkelompok - 1. Ekosistem Awal Di Taman Nasional Gunung Ciremai. Terdapat 3 tempat uji coba ekosistem yaitu kebakaran hutan, bekas letusan gunung berapi, dan perambahan, untuk Blok Seda dengan ketinggian 900-987 m dpl dan Blok Lambosir dengan ketinggian 730-825 m dpl, kedua Blok uji coba ini merupakan lokasi terdegradasi akibat kebakaran hutan. Sedangkan Blok Karangsari, berada pada ketinggian 1.100-1.175 m dpl daerah ini merupakan lokasi terdegradasi akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Memperhatikan hal tersebut keadaan di Seda dan Lambosir banyak kesamaan perihal tanah yang berpasir berwarna hitam pada punggung bukit berbatuan, dan apabila kena air sangat poros, warna keabu-abuan dan pada lereng bukit kurang subur, serta hampir tiap tahun saat musim kemarau ada terjadi kebakaran. Tahun 2012 terjadi kebakaran hutan ratusan hektar disekitar lokasi Blok Seda dan Blok Lambosir, Alhamdulillah pada tahun 2013 dengan dukungan iklim yang menguntungkan (hanya 3 bulan kering; Agustus, September, Oktober), tidak terjadi kebakaran. Keadaan iklim tahun 2013 tersebut menguntungkan, karena kegiatan restorasi yang kaitannya dengan tanaman kelangsungan hidupnya akan lebih besar karena bebas dari kekeringan terutama untuk tanaman yang baru umur menjelang 1 tahun dan menjelang umur 2 tahun, walaupun pada kenyataannya ada beberapa yang mati karena tidak kuat kekeringan, bila dibandingkan tahun 2012 yang bulan keringnya sampai 5 bulan. Sedangkan Blok Karangsari tidak terjadi kekeringan maupun kebakaran pada tahun 2013 dan tahun-tahun sebelumnya keadaan tanahnya relatif lebih subur (lokasi bekas sayur), solum tanah lebih tebal warna kekuningan dan lantai hutan tersusun dari rumput yang selalu hijau sepanjang tahun dan disaat bulan kering (tidak ada hujan) rumput dan tanahnya selalu basah, karena embun pagi hari, serta batuan tidak nampak seperti di Blok Seda dan Blok Lambosir. Menilik keadaan ekosistem seperti tersebut, maka kegiatan restorasi dengan kegiatan penanaman dan pengkayaan perlu perlakuan yang dapat mengurangi gangguan satwa pada dua Blok, satu Blok Karangsari, dua Blok Seda dan Blok Lambosir. Bertolak dari hasil evaluasi pertumbuhan tanaman 49 tahun 2011 dan tanaman tahun 2012, yang menyebabkan kematian paling tidak ada 3 hal yaitu satu kekeringan (kemarau panjang), dua rumput dan gulma (yang melilit) tanaman pokok, tiga serangan satwa serta serangan ulat daun, dari hasil evaluasi pertumbuhan hasilnya sebagai berikut: Tabel Monitoring Pertumbuhan Tanaman JICA-RECA OKTOBER 2013 Objek monit oring Juml Kondisi Persenta ah Tanaman se tana Hid man up Mati Hid up Kondisi Tanaman Mati Terbagus Terburuk Tingg i Ganggua Rata- n rata Babi, Bintinu Seda 2011 180 13 3 47 74 26 122 cm % % Beringin Loa 14 cm 43 cm 122 cm kijang dan kekerin gan Kijang Lambo sir 216 2011 21 1 5 98 % 2% Petag Kimeong 76, 180 cm 15 cm 3 dan landak, kekerin gan Kijang Lambo sir 271 2012 19 4 77 72 28 % % Mara 128 cm Huru D 7 cm dan 53 landak kekerin gan Karambi Karang sari 240 2011 6 44 82 18 400 cm Huru D 66, % % Kipare 10cm 4 Salam Kicangkud 62, 139 cm u : 30 cm 7 330 cm Karang sari 23 192 2012 18 4 7 96 % 4% Babi, ulat dan semut Babi, ulat dan semut 2. Penyebab Dari tabel diatas penyebab gangguan pertumbuhan tanaman yang disebabkan karena satwa yaitu Babi (Sus barbatus), kijang (Muntiacus muntjak) dan Landak (Porcupine), dan juga gangguan ulat daun, serta penggerek batang tanaman (untuk beberapa jenis tanaman restorasi), dari 50 ganguan satwa terhadap tanaman yang baru, dapat menyebabkan rusaknya sekitar tanaman yang akhirnya tanaman akan mati, karena tanaman terangkat oleh Sus barbatus, hal ini terjadi disemua blok, bila diurutkan paling banyak di blok Seda, Karangsari, dan lambosir. Untuk gangguan Muntiacus muntjak, terjadi di blok Seda dan Blok Lambosir di Blok Karangsari tidak ada Sedangkan, Porcupin banyak menyerang di blok Lambosir pada tanaman Planchonia valida dan Arenga pinnata menyebabkan tanaman mati, utamanya di daerah dekat lereng yang berbatu. Hal ini juga terjadi di blok Seda, Sedangkan di blok Karangsari tidak terjadi, akan tetapi gangguan rumput yang melilit ke tanaman pokok cepat sekali pertumbuhannya, sebaiknya setiap 2 – 3 bulan, dibersihkan utamanya di musim penghujan, dan menjelang kemarau. 3. Keadaan saat ini Bertolak dari kondisi ekosistem yang demikian maka ada perlakuan di masing-masing blok untuk memperkecil atau mengurangi kematian tanaman restorasi terutama dari gangguan satwa tersebut, diantaranya; Blok Seda a. Pemagaran dengan bambu terhadap tanaman (per pohon) Dilaksanakan bulan Maret s/d Mei 2013, tanaman aman dari gangguan Muntiacus muntjak, akan tetapi biaya buat pagar pertanaman menjadi mahal bisa mencapai Rp. 4.500 per pohon. Hasil tanaman yang dipagar lebih baik dan lebih subur serta aman dari gangguan satwa. b. Tanaman berkelompok 3 x 3, dipagar 9 Jenis pohon Dilaksanakan musim tanam 2013, yaitu November-Desember 2013, untuk menanam 9 jenis bibit tanaman secara berkelompok dengan jarak antar tanaman 1,5 m dan jarak antar kelompok bisa 8-10 m, kemudian dipagar dengan bambu tinggi 1,5 m, dicoba buat plot sejumlah 90 plot, dengan biaya per plot adalah Rp. 100.000,-. Lambosir Di Blok Lambosir, gangguan satwanya di banding Blok Seda masih ringan, maka musim tanam November–Desember 2013 dibuat tanaman berkelompok 3x3 m tanpa pagar, biaya perkelompok bisa berkurang 30%nya. Hasilnya diamati dan dilaporkan tahun 2014/2015. 4. Tujuan Menanam dengan Sistem Berkelompok (MSB) Adapun tujuan menanam dengan Sistem Berkelompok (3x3) m, ditanam 9 51 jenis bibit dengan jarak tanam 1,5 m, dipagar keliling dengan bambu dengan tinggi 1,5 m, atau bahan yang ada disekitar area restorasi jarak antar kelompok 8-10 m, agar supaya aman dari gangguan satwa yang ada disekelilingnya. 5. Hasil Kegiatan Sampai saat ini (umur tanaman + 1 th), khususnya di blok Seda, dimana pemagaran tanaman perpohon diamati bulan Maret 2013 dapat dilaporkan bahwa pertumbuhan tanaman lebih baik,lebih subur, dan lebih tinggi dibanding tanaman yang tidak dipagar, hal ini karena terhindar dari gangguan satwa. Adanya pemagaran ini otomatis biaya membengkak, satu pagar tanaman bisa sampai Rp. 4.500,- s/d Rp. 5.000,-, jadi bila menanam cukup luas maka biayanya menjadi sangat besar. Untuk menekan biaya diantaranya: ① Memanfaatkan bambu yang ada di areal restorasi, (tidak harus membawa dari bawah), akan tetapi sepertinya pihak TNGC setengah hati, dan juga di dekat areal restorasi belum tentu ada bambu atau bahan yang diperlukan untuk membuat pagar tanaman. ② Menanam dengan Sistem Berkelompok (MSB), berdasarkan fakta diatas dicoba cara MSB, pada tahun 2013/2014. Harapannya tentu tanaman berkelompok ini akan mampu tumbuh dan berkembang secara alami sesuai waktu yang dibutuhkannya. JICA-RECA mulai tanam dengan cara MSB, baru mulai tanam November–Desember 2013, di Blok Seda dengan dipagar dan di blok Lambosir tanpa pagar, hasilnya diamati dan dilaporkan tahun 2014/2015. 6. Kendala Dalam pelaksanaan Menanam Sistem Berkelompok (MSB) dari kedua blok secara umum adalah sebagai berikut: ① Pengangkutan material tanaman seperti, pupuk kandang dan bambu sebagai bahan pagar, ke lokasi cukup sulit, karena jalan menuju lokasi yang tidak mudah khususnya jalan ke Blok Seda. Sedangkan ke Blok Lambosir relatif mudah setelah bulan November 2013 di timbun pasir batu sampai 6 truk. ② Adanya pandangan bahwa, MSB dengan pagar seperti membuat kandang babi (Sus barbatus), hal ini merupakan 52 tantangan karena pada kenyataannya tanaman yang dipagar telah memberikan hasil yang lebih baik pertumbuhannya. ③ Pembuatan pagar bambu atau bahan lain yang ada di lokasi tanaman, relatif tidak tahan lama, asumsinya pagarnya tidak lagi berfungsi, tanaman berkelompok ini sudah mampu tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, serta gangguan satwa tidak berarti lagi, karena tanaman sudah tinggi. Belum sepenuhnya mendapatkan dukungan dari pihak pengelola, dan juga masyarakat sekitar areal restorasi. 7. Lampiran foto; Tanaman mati karena kekeringan Tanaman yang kena penyakit Tanaman diserang landak Pemagaran tanaman berkelompok Pemagaran per pohon 53 Tanaman berkelompok tanpa pagar 54 Pembangunan Pagar Hidup (TNMT) - Pengendalian dan Pemanfaatan sebagai Pakan Ternak Luas Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (TNMTD) 87.984,09 Ha, memiliki keanekaragaman hayati tinggi yang penting untuk dipertahankan kelestariannya ,terdiri dari 118 jenis tumbuhan, 87 jenis burung ( 7 jenis burung endemik Sumba), 57 jenis kupu-kupu (7 jenis kupu endemik Sumba), 4 jenis reptil dan 2 jenis amphibia endemik.Bedasarkan . Hasil interpretasi LANDSAT ETM pada tanggal 3 Juli 2000, kawasan TNMT, dengan perkiraan luasan tutupan adalah 45.692 Ha atau sekitar 52% dari luas seluruh kawasan., merupakan tipe hutan dataran rendah masih dalam kondisi baik. Hutan sekunder dalam bentuk belukar muda dan belukar tua memiliki luas 10.551 ha atau sekitar 22 sebagian kawasan telah terdegradasi berupa savanna dan padang rumput Secara Umum, penyebab penggembalan ternak terdegradasinya hutan di Pulau Sumba adalah secara liar dan terkendali. Untuk mendukung ketersediaan pakan ternak maka masyarakat melakukan pembakaran padang pada setiap musim kemarau. Penyebab berikutnya adalah pebukaan lahan dengan cara perladangan berpindah-pindah, penebangan kayu untuk bahan bangunan juga merupakan salah penyebab terbesar terdegradasinya hutan di Pulau Sumba. Tutupan hutan Pulau Sumba pada tahun 1927 mencapai = 50%, kemudian pada tahun 1997 menurun drstis masih = 10%, sedangkan Tahun 2002 hanya tersisa = 6,5% dari data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa laju kerusakan hutan di Pulau Sumba sangat cepat. Dampak dari berkurangnya luasan hutan di Pulau Sumba adalah berkurangnya debit air pada sumber-sumber air utama terutama untuk kebutuhan air bersih dan untuk kebutuhan pertanian, serta mengancam keberadaan species burung endemik pulau sumba yaitu julang sumba dan kakatua sumba yang semakin langka dan hampir punah. Kegiatan perlindungan dan pelestarian terhadap flora-fauna tersebut sangat penting untuk pelestarian sumber air dan keberadaan species burung endemik yaitu Julang dan Kakaktua sumba yang semakin langka dan hampir punah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah merestorasi kawasan yang 55 terdegradasi dengan menanam anakan pohon pakan dan pohon sarang jenis pohon asli terutama jenis bagi burung endemik Untuk mengamankan anakan yang ditanam pada areal restorasi dari gangguan ternak lepas melalui pembangunan pagar hidup (bio fence ) dengan menggunakan stek tumbuhan kayu Gamal yang ada di sekitar areal Restorasi. Kegiatan teknis yang dilakukan untuk pengamanan areal Ujicoba Restorasi adalah dalam bentuk pemasangan pagar hidup. Bahan pagar hidup dari Kayu Gamal dan divariasi dengan kawat berduri. Jarak Antara tiang pagar 50 cm dan kawat duri yang dipasang terdiri dari 3 trap untuk menghindari masuknya ternak ke dalam areal ujicoba restorasi. Selanjutnya dipasang juga pagar pengaman dalam bentuk lain yakni pagar permanent dengan bahan dari besi siku dan kawat berduri. Pagar permanent dipasang pada sepanjang sisi kiri kanan jalan aspal. Pemilik ternak memanfaatkan jalan aspal untuk mengusir/menggiring ternak menuju ke padang dan kembali ke kandang setiap pagi dan sore hari. Oleh karena tingginya intensitas te nak lewat pada jalan tersebut maka dipasang pagar permanen agar lebih kuat dan tidak mudah tumbang karena desakan ternak dalam jumlah banyak. Pagar permanent dipasang dengan jarak 100cm dan dipasang kawat berduri 4 tingkat. Tiang pagar permanent dicor dengan semen dan kerikil agar lebih kuat. Selanjutnya kawat duri diikat pada tiang besi siku yang telah dilubangi menggunakan kawat ikat. Dalam pelaksanaan kegiatan Restorasi di Kawasan Tanaman Nasional ManupeuTanah Daru , di perlukan tenaga kerja untuk membantu di lapangan. Sebanyak 20 orang masyarakat yang berasal dari desa Oka Wacu terlibat aktif dalam setiap pekerjaan di areal restorasi dengan sejak dimulainya kegiatan sampai saat ini. Masyarakat tersebut dimasukkan Kelompok Kerja (Pokja) Restorasi . Untuk pekerjaan tertentu yang membutuhkan tenaga yang banyak dapat melibatkan masyarakat dari luar anggota Kelompok Kerja Restorasi. Sesungguhnya semua masyarakat ingin terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan pada program Uji COba Restorasi. Namun mengingat bahwa program restorasi menekankan pada pengembangan kapasitas maka, ada pembatasan untuk keterlibatan masyarakat secara umum pada setiap pelaksanaan pekerjaan. Biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan pagar hidup dan pagar permanent berasal dari dukungan JICA-RECA. Kebutuhan biaya untuk pengerjaan pagar hidup dan pagar permanent untuk 1 Ha lahan Restorasi menghabiskan ±Rp. 56 6.000.000,Dengan dipasangnya pagar pengaman areal ujicoba restorasi maka anakan yang ditanam aman dari gangguan ternak seperti kerbau dan sapi. Pagar pengaman areal ujicoba restorasi juga sangat bermanfaat bagi masyarakat pemilik lahanyang berbatasan dengan kawasan karena dapat mengolah lahan dengan baik dan aman dari gangguan ternak lepas. Sebaiknya untuk bahan pembuatan pagar hidup menggunakan kayu yang berasal dari sekitar kawasan Taman Nasional seperti dadap dan beringin. Membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan karena sangat terbatas sehingga harus didatangkan dari luar areal restorasi Foto: Pembuatan pagar hidup dari stek kayu dan kawat Foto: Sekumpulan ternak sapi tidak dapat masuk ke kawasan Restorasi karena terhalang oleh pagar hidup (Kiri) .Tanaman Restorasi tumbuh aman dari gangguan ternak (kanan) 57 Pengendalaian Jenis Asing Invasif (TNGM) - Pengkajian Perlakuan Eradikasi Jenis Asing Invasif- Acacia decurrens atau Akasia merupakan jenis asli dari New South Wales Australia. Jenis ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman ornamental dan kayu bakar. Di beberapa negara jenis ini sudah menjadi tanaman pengganggu seperti di New Zealand dan beberapa negara di Afrika. Siklus hidup Acacia decurrens cukup singkat yaitu antara 10-15 tahun dan dikenal toleran terhadap frost. Acacia decurrens merupakan jenis yang mudah tumbuh dari biji, meskipun memerlukan pre-treatment untuk memecah dormansinya yaitu dengan cara pemanasan. Di area Gunung Merapi di sekitar lereng selatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman, Akasia mulai diperkenalkan pada sekitar tahun 1990an. Erupsi Merapi tahun 2010 membawa dampak kerusakan yang sangat besar terhadap ekosistem pegunungan di kawasan lereng selatan yang terutama di jalur aliran material vulkanik. Pasca erupsi, hampir tidak ada kehidupan yang tersisa karena semuanya musnah terbakar ataupun tertimbun material vulkanik. Hanya beberapa jenis tanaman tertentu yang memiliki organ penyimpan cadangan makanan yang masih mampu tumbuh kembali meskipun tertimbun oleh material vulkanik (Zingiberaceae, Cannaceae, Poaceae dan Musaceae). Selang beberapa waktu kemudian, Acacia decurrens menjadi salah satu jenis yang mampu tumbuh dan menyebar sangat cepat serta mendominasi di area bekas terjangan material vulkanik Merapi. Meskipun demikian, ada juga jenis jenis pioner lain yang dapat tumbuh di antara tegakan Acacia decurrens yaitu Homalanthus populneus, Macaranga tanarius, Parasponia parviflora dan Trema orientalis. Jenis jenis pionir ini tumbuhnya terdesak oleh keberadaan Acacia decurrens yang memiliki pertumbuhan yang lebih cepat (fast growing species). Sebagai tanaman introduksi, dominansi Acacia decurrens akan berdampak secara ekologis bagi ekosistem di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Di antara dampak yang sudah kelihatan adalah terdesaknya species asli Merapi dan berubahnya ekosistem kawasan. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk pengendalian persebaran Acacia decurrens di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. 58 Telah dilakukan uji coba pengendalian Acacia decurrens di area lereng selatan Gunung Merapi dengan beberapa metode yaitu dengan metode tebang sampai pangkal batang, dicabut beserta akarnya, dikelupas kulit batang bagian bawah, dan menggunakan herbisida organik. Uji coba ini dilakukan pada dua musim berbeda yaitu kemarau dan hujan. Metode tebang hingga pangkal batang dalam proses pengerjaannya memakan waktu yang cukup lama dan tenaga yang lebih banyak, terutama jika pohon sudah besar. Pada musim hujan, setelah tanaman ditebang, setelah beberapa hari mulai tumbuh tunas baru. Begitu pula saat musim kemarau. Namun pada musim penghujan kematian tunas yang baru tersebut lebih cepat terjadi dikarenakan bagian sisa batang yang ditebang tersebut lebih cepat membusuk oleh air dan ditumbuhi jamur. Pada uji coba di musim kemarau, bekas batang yang ditebang cenderung kering. Namun beberapa hari setelah ditebang, tunas tunas baru yang tumbuh lebih banyak. Meskipun demikian kondisi tersebut tidak berlangsung lama karena tidak tersedianya air tanah yang cukup maka tunas tunas menjadi kering. Dengan metode ini, pada saat musim penghujan tanaman benar-benar mati setelah 2-3 bulan, sedangkan pada saat musim kemarau tanaman benar-benar mati setelah 1-2 bulan. Metode mencabut hingga akar, dalam pengerjaannya membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih banyak jika dibandingkan dengan metode tebang hingga pangkal. Namun dengan metode ini tanaman benar-benar mati seketika setelah dicabut. Metode mengelupas kulit batang bagian bawah tidak membutuhkan tenaga yang cukup banyak dan waktunya hampir sama dengan menebang pohon hingga pangkal batang sekitar 2-10 menit tergantung ukuran batang. Pada musim penghujan, butuh waktu sekitar 2-3 bulan untuk tanaman benar-benar mati dengan perlakuan seperti ini, sedangkan pada musim kemarau, hanya butuh waktu 1-2 bulan untuk tanaman benar-benar mati. Selama pengamatan muncul hal-hal yang cukup menarik, yaitu munculnya lendir yang sangat banyak pada bekas bagian yang dikelupas dan bekas sayatan, terutama pada saat musim penghujan. Lendir muncul hampir disemua pohon yang diberikan perlakuan tersebut dengan jumlah yang sangat banyak. Pada musim kemarau, lendir yang keluar dari bagian batang yang dikelupas maupun disayat tidak sebanyak saat musim penghujan, bahkan ada pohon yang tidak mengeluarkan lendir sama sekali. Keluarnya lendir tersebut berlangsung kurang lebih selama 1-2 minggu. 59 Setelah lendir tersebut keluar, kemudian ada beberapa pohon yang tumbuh akar pada bekas sayatan bagian atas terutama pada tanaman yang ukuran batangnya sudah besar. Kondisi ini tidak berlangsung lama, karena setelah akar tersebut tumbuh selang waktu 2-3 minggu tanaman akar benar-benar mati. Metode yang terakhir adalah dengan menggunakan herbisida organik. Setiap pohon akasia yang akan diberi perlakuan ini, pada batang dilubangi dengan bor untuk memasukkan herbisida. Setelah terbentuk lubang, herbisida organik dimasukkan kedalam lubang tersebut yang selanjutnya ditutup dengan malam. Butuh waktu cukup lama untuk dalam pengerjaan perlakuan ini. Metode ini juga tidak efektif dikarenakan tidak terjadi kematian pada pohon Acacia decurrens. Ketidakefektifan ini dikarenakan malam yang digunakan untuk menutup lubang yang telah dimasukkan herbisida organik dirusak oleh satwa, sehingga banyak lubang yang terbuka kembali. Munculnya lendir pada bekas batang yang dilubangi mendesak herbisida dan mengakibatkan lubang tertutup kembali. Hingga 3 bulan pemantauan tidak muncul tanda-tanda kematian pada pohon dengan perlakuan ini. Dari seluruh metode yang digunakan, metode menebang hingga pangkal batang dan mencabut efektif digunakan pada tanaman yang ukurannya masih kecil, atau dengan diameter dibawah 5 cm, sedangkan untuk ukuran batang yang sudah besar, metode yang sesuai untuk digunakan adalah dengan mengelupas kulit batang bagian bawah. Foto:Akasia dipotong dari batang bagian bawah. 60 Foto:Semua akasia yang terdapat didalam plot dicabut. Foto:Kegiatan pengangkatan kambium akasia. Foto: Pemasukan herbisida organik. 61 Pengendalian Sedimentasi (TNBTS) - Pembuatan Batu Bata Tanpa Bakar dari Sedimantasi - Pembangun Dam Penahan Sedimen dan Pembuatan Jebakan LumpurLatar Belakang Sesuatu hal yang mecengangkan ketika melihat pertama kali kondisi danau Ranupani saat ini, dibandingkan ketika melihat pada tahum 1988. Saat itu luas danau mencapai 7 Ha lebih, dengan batas air terakhir adalah pada tepian jalan dan dekat dengan balai desa yang sekarang ada. Kedalaman danau pada saat itu diperkirakan mencapai 10 meter lebih, kondisi air yang jernih, dan belum ada lapangan saat itu. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada danau Ranupani, namun yang menjadi masalah utama di sekitar danau adalah pola pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi. Pemakaian pola terasiring merupakan hal yang aneh bila ditemukan saat ini di sekitar danau. Kondisi saat ini sangat berbeda jauh, saat ini telah terdapat lapangan dengan luas sebesar lapangan bola (tanah loloran sedimentasi), luasan danau yang hanya tersisa ± 4 Ha, kondisi danau yang keruh dan kecoklatan terutama pada saat setelah hujan, dan yang pasti adalah kedalaman danau yang hanya 5 – 6 meter pada 9 titik pengamatan pengukuran kedalaman yang telah dilakukan (tahun 2012). Dampak yang pasti bias dilihat secara kasat mata adalah kerusakan fisik danau, dimana danau menjadi dangkal, luas yang berkurang dan sampah yang terikut pada saat terjadi hujan menjadi sebuah pemandangan yang sangat tidak mengenakkan mata untuk memandangnya. Tujuan Kegiatan ini mempunyai tujuan utama yaitu, mencoba untuk menahan laju sedimentasi yang menuju ke danau Ranupani dan memanfaatkan tumpukan sedimentasi yang ada di areal riparian danau Ranupani. Kegiatan 1. Kegiatan teknis yang telah dilakukan adalah a. membuat percontohan untuk memanfaatkan sedimentasi yang telah ada di sekitar danau dengan membuat batu bata tanpa bakar. b. Membuat dam penahan dengan menggunakan konstruksi bahan local (murah), dengan harapan ketika berhasil diterapkan masyarakat Ranupani 62 akan mau untuk menirunya. c. Membuat jebakan lumpur dengan ukuran 4 x 5 x 3 meter, sebanyak 3 buah. 2. Keterlibatan masyarakat sekitar areal restorasi, keterlibatan masyarakat local sangat minim, dalam hal partisipasi secara aktif pada saat pelaksanaan pengendalian sedimentasi. Masyarakat hanya mau diberikan upah pada saat mereka terlibat dalam kegiatan tanpa upaya untuk meniru apa yang telah dikerjakan oleh JICA-RECA. Biaya Secara total biaya untuk uji coba pengendalian sedimentasi telah menghabiskan dana sekitar Rp. 60.000.000,-- (mulai dari pembuatan pondok kerja batu bata tanpa bakar, pengadaan peralatan cetakan batu bata, pembelian bamboo untuk dam, penggalian lubang sediment trap dan upah harian. Pemanfaatan 1. Pemanfaatan batu bata tanpa bakar yang telah dibuat belum mampu membuat masyarakat Ranupani untuk memanfaatkan dan meniru membuatnya. Pemanfaatan hanya dibuat untuk pembuatan MCK umum dan bak sampah di desa Ranupani. 2. Untuk dam penahan hingga saat ini hanya tersisa 3 dam penahan yang bertahan, dan memang telah menunjukkan hasil yang menggembirakan dengan konstruksi yang telah diperbaiki dari dam penahan sebelumnya. Sebelumnya telah dibuat 19 dam penahan, namun hanya bertahan selama 2 kali hujan lebat yang menghancurkan semua dam yang telah dibuat. 3. Sediment trap hanya bertahan selama 3 kali hujan lebat dan langsung penuh dengan sediment. Kendala Kendala utama dalam pengendalian sedimentasi adalah cuaca yang ekstrem pada saat musim penghujan, dan kondisi pengelolaan lahan pertanian oleh masyarakat yang mengakibatkan tidak berfungsinya semua upaya yang telah dilakukan. Semua kegiatan teknis yang telah dilakukan tidak akan pernah berhasil untuk mengantisipasi permasalahan sedimentasi di Ranupani. Saran Untuk menyelesaikan masalah sedimentasi di Ranupani adalah merubah pola pikir masyarakat Ranupani dalam pengelolaan lahan pertanian, permasalahan utama adalah pola pikir bukan dengan kegiatan teknis. 63 akar 64 65 Pengendalian Kebakaran Hutan (TNBTS) - Pembuatan Sekat BakarLatar Belakang Areal ujicoba restorasi seluas 100 Ha merupakan areal rawan kebakaran pada musim kemarau, sebelum ditetapkan sebagai areal ujicoba tahun 2010 telah seringkali terjadi kebakaran pada lokasi tersebut. Baru pada bulan Mei 2012 dibuat jalur sekat bakar yang mengelilingi areal sepanjang 4 km, dengan menggunakan jalur delineasi areal yang telah dibuat. Hingga saat ini jalur sekat bakar telah berhasil meminimalisir kejadian kebakaran yang terjadi pada tahun 2013 sebanyak 1 kali saja di luar areal ujicoba sehingga tidak sampai menembus batas. Tujuan Kegiatan ini bertujuan untuk mengendalikan kebakaran hutan yang sering terjadi pada real ujicoba. Kegiatan 1. Tahap awal dilakukan pengukuran atau delineasi areal ujicoba 100 Ha hingga ditemukan batas-batasnya. 2. Dibuat jalur rintis terlebih dahulu selebar 3 meter, sepanjang 4 km. 3. Dilakukan pembabatan sampai bersih dengan meninggalkan anakan-anakan vegetasi yang dibutuhkan dalam kegiatan restorasi agar tetap tumbuh dengan baik, dan beberapa diambil untuk digunakan sebagai bibit cabutan pada titik-titik yang mempunyai kelimpahan tinggi. Biaya Biaya untuk pemanfaatan E.riparium hanya membutuhkan biaya Rp. 8.000.000,-untuk pembelian mesin chooper. Pemanfaatan 1. Jalur sekat bakar hingga saat ini masih tetap berfungsi dengan baik, hal ini dikarenakan dilakukan perawatan secara rutin setiap 3 bulan sekali. 2. Pada jalur yang telah dibuat banyak sekali ditemukan anakan vegetasi restorasi dan dilakukan perawatan agar tetap tumbuh. 3. Banyak pengunjung TNBTS yang memanfaatkan jalur sekat bakar sebagai sarana jungle trek, terutama para pengunjung mancanegara dan dipandu oleh para guide local desa Ranupani. Kendala 66 Kendala yang ada meliputi perawatan rutin yang membutuhkan perhatian ekstra dan pertumbuhan dari IAS (kirinyu dan akasia) yang cepat sekali menutup jalur sekat bakar yang telah ada. Saran 1. Perlu dilakukan perawatan secara rutin setiap 2 bulan sekali, agar tetap terjaga jalur yang telah dibuat. 2. Perlu penambahan lebar jalur yang telah ada 3 meter menjadi 5 meter, hal ini diperlukan pada saat-saat tertentu pada musim kemarau terjadi angin yang sangat kencang dikhawatirkan akan dapat memercikkan api bila jalur kurang lebar. 67 Pembuatan Pupuk Organik (TNGM) A. Alat: 1. 2. 3. 4. Cangkul Ember 10 lt Sprayer Terpal B. Bahan: 1. 2. 3. 4. 5. Pupuk kandang (kotoran sapi) (3 ton) Dedak (100 kg) EM4 (1 liter) Gula pasir (1,5 kg) Air (secukupnya) C. Cara Pembuatan larutan EM4 : 1. 2. 3. 4. Disiapkan ember dan air bersih. 20 lt air dimasukkan ke dalam ember. Dilarutkan 1,5 kg gula pasir ke dalam air. Aduk sampai rata 1 lt EM4 dimasukkan ke dalam campuran. Aduk sampai rata (larutan EM4) 5. Larutan EM4 tersebut dimasukkan ke dalam sprayer. D. Cara Pembuatan Pupuk: 1. Pupuk kandang diratakan pada permukaan tanah dengan ketebalan 30 – 40 cm 2. Pada permukaan pupuk kandang ditaburi dengan Dedak hingga merata dengan ketebalan + 1 cm. 3. Larutan EM4 disemprotkan pada permukaan (pupuk kandang & Dedak) sampai merata (kelihatan basah). 4. Pupuk kandang dan Dedak dicampur dengan cangkul hingga merata. 5. Ulangi tahap 2, 3 & 4 sampai Dedak habis terpakai semua. 6. Tutup dengan terpal 7. Dilakukan pengadukan setiap 1 minggu sekali. 3x berturut turut. E. Ciri Ciri Pupuk yang Sudah Jadi: 1. Tidak berbau 2. Suhu normal (tidak panas) 68 Penggunaan Posong sebagai Polybag Alami (TNGM) - Pemanfaatan sumber daya lokal- Area restorasi JICA-RECA di Site Ngablak, Kecamatan Srumbung, Magelang berada pada suatu area yang merupakan bekas kegiatan pertambangan pasir dan batu yang sudah cukup lama ditinggalkan. Area ini merupakan suatu badan sungai yang tertutup oleh material vulkanik Merapi akibat letusan Merapi pada sekitar tahun 1960an. Hampir sebagian besar area tidak memiliki kandungan tanah yang cukup. Untuk membantu usaha meningkatkan daya hidup bibit tanaman yang ditanam di area restorasi maka dilakukan suatu cara untuk mengurangi stres tanaman pada saat pelaksanaan penanaman di lapangan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan penggunaan posong sebagai tempat untuk pembibitan sebelum bibit di tanam di area restorasi. Posong merupakan suatu wadah untuk menanam bibit yang berbentuk seperti polibag yang bahannya berasal dari bambu yang dianyam. Umumnya posong digunakan oleh masyarakat petani Salak Pondoh di daerah Sleman dan Magelang untuk pembibitan Salak Pondoh. Posong digunakan oleh petani Salak Pondoh sebagai wadah untuk menanam bibit Salah Pondoh hasil cangkokan. Penggunaan posong oleh para petani salak dalam usaha pembibitan salak terbukti telah berhasil dengan baik yaitu bahannya sangat mudah diperoleh, harganya relatif murah dan merupakan produk masyarakat lokal. Atas dasar inilah maka dalam persiapan bibit untuk penanaman di area restorasi digunakan posong sebagai bahan untuk persiapan bibit. Secara teknis posong memiliki beberapa kelebihan yaitu sangat mudah diperoleh, proses transplantasi bibit ke dalam posong juga sangat mudah. Karena berbahan dasar bambu maka posong akan cepat teruraikan (pembusukan) di dalam tanah di area restorasi. Sehingga memudahkan akar untuk berkembang lebih cepat. Keuntungan yang lain adalah mengurangi tingkat kerusakan akar pada saat penanaman bibit di lapangan karena bibit langsung bisa di tanam di dalam lubang tanpa harus membuka wadah bibit (misal polibag). Sehingga bibit tetap segar (tidak stres) pada saat ditanam. Namun demikian posong juga memiliki 69 kelemahan yaitu tidak dapat digunakan dalam jangka yang relatif lama di persemaian. Posong umumnya hanya mampu bertahan menopang bibit dalam kisaran 3-4 bulan. Setelah itu posong akan mudah rusak oleh air. Hal ini dapat disiasati dengan penentuan jadwal waktu yang tepat untuk transplantasi bibit ke dalam posong sebelum penanaman. Posong sebagai pengganti polibag Posong mudah rusak oleh air dalam jangka waktu lama 70 Pembuatan Kompos dari Jenis Asing Invasif (TNBTS) - Pengendalian dan PemanfaatanLatar Belakang Areal uji coba restorasi di Ranupani hampir didominasi oleh jenis E.riparium untuk semaknya. Hal ini juga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan anakan jenis-jenis lain yang ada, penutupan E.riparium juga menyebar hampir di seluruh kawasan TN. Bromo Tengger Semeru. Hasil wawancara dengan masyarakat adat, pemuka desa, menyebutkan bahwa E.riparium (triwulan ; bahasa Tengger) memang sudah ada sejak lama dan dimanfaatkan oleh masyarakat Ranupani sebagai bahan pupuk organic, jauh sebelum masyarakat mengenal berbagai jenis pupuk kimia. Faktor yang menyebabkan keberadaan jenis ini di areal uji coba restorasi juga belum diketahui secara pasti, namun diduga berasal dari para surveyor pada zaman kolonial (1920) maupun penyebaran oleh satwa dengan membawa biji yang telah masak. Saat ini hampir di semua sudut desa Ranupani maupun di dalam areal ujicoba restorasi bias dijumpai E.riparium dengan berbagai ukuran. Masyarakat sekitar areal memanfaatkan tonggak atau batang kering (keropok) sebagai kayu bakar, karena hanya jenis ini yang boleh diambil sebagai kayu bakar oleh masyarakat. Namun saat ini pemanfaatan oleh masyarakat sebagai bahan pupuk sudah berkurang, hal ini diakibatkan oleh kebutuhan instan masyarakat akan pupuk untuk pertanian sangat tinggi, dan masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan akibat penggunaan pupuk secara berlebihan di lahan pertanian. Dampak dari ujicoba penggunaan pupuk E.riparium sangat luar biasa untuk lahan pertanian, di awal hanya melakukan ujicoba pada demoplot yang telah dibuat, namun saat ini sudah ada kelompok masyarakat atau masyarakat Ranupani secara individu yang telah berinisiatif untuk menggunakan pupuk E.riparium kembali. Untuk ujicoba di demoplot pada tanaman bawang polong (Allium porum) pada luas areal 1.000 m2 telah dapat menghasilkan 1,1 ton bawang, secara hitung-hitungan oleh masyarakat hanya mampu menghasilkan sekitar 500 kg saja. kentang (Solanum menggunakan tuberosum) pupuk yang E.riparium Begitu juga dengan tanaman ditanam pada 71 oleh luasan 4 masyarakat dengan Ha, mampu telah menghasilkan hampir 20 ton, dibandingkan dengan sebelum menggunakan pupuk tersebut yang hanya mampu menghasilkan 16 ton saja. Namun kesemuanya itu masih membutuhkan analisa dan kajian lebih lanjut secara ilmiah tentang hubungan penggunaan pupuk tersebut. Tujuan Kegiatan ini mempunyai tujuan utama yaitu, mencoba mengendalikan pertumbuhan E.riparium melalui pembuatan jalur tanam, sekat bakar dan memanfaatkannya untuk dijadikan bahan pupuk organic. Kegiatan 1. Kegiatan teknis yang telah dilakukan untuk pengendalian adalah membuat jalur tanam di areal ujicoba restorasi, dengan lebar 1 meter pada sepanjang jalur tanam. 2. Untuk pemanfaatan hanya melakukan perajangan / pencacahan dengan menggunakan mesin chooper (perajang) dan langsung menaburkannya pada lahan pertanian atau pada polybag untuk bibit restorasi. Perlakuan secara fermentasi tidak berhasil dilakukan, hal ini dikarenakan proses pembusukan tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena kondisi iklim yang terlalu dingin. Biaya Biaya untuk pemanfaatan E.riparium hanya membutuhkan biaya Rp. 8.000.000,-- untuk pembelian mesin chooper. Pemanfaatan 1. Saat ini pada lokasi demoplot telah menggunakan pupuk E.riparium dengan komoditi tanaman bunga potong, kentang, wortel, bawang prei dan bawang putih. 2. Ditaburkan pada celah-celah antar tanaman dan ditutup dengan tanah kembali. 3. Sebagian masyarakat sudah mulai mencoba untuk menggunakan pupuk tersebut pada lahan pertanian mereka sendiri, masyarakat menggunakan mesin chooper yang telah dimiliki oleh JICA – RECA. Kendala Kendala utama adalah proses pembuatan yang membutuhkan waktu yang agak lama, mulai dari memotong, mengumpulkan dan merajang E.riparium serta menaburkan pada lahan pertanian, dibandingkan dengan menggunakan pupuk lain yang hanya tinggal menaburkannya. Hal ini yang mengakibatkan minat masyarakat untuk menggunakan pupuk tersebut sedikit terhambat. 72 Saran 1. Diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan tentang pemanfaatan E.riparium untuk pupuk organic oleh instansi terkait (BB. TNBTS maupun Dinas Pertanian). 2. Perlu perubahan policy atau kebijakan tentang pengambilan E.riparium dalam kawasan TNBTS oleh masyarakat dengan tujuan pengendalian dan pemanfaatan IAS E.riparium, agar masyarakat tidak ragu untuk memanfaatkan E.riparium sebagai pupuk. 73 Pembuatan Bio-Gas dari Kotoran Sapi (TNMT) - Pengendalian Pengembalaan Ternak dan Pemanfaatan- Latar Belakang 1. Kondisi ekosistem awal Kawasan Konservasi Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (TNMT), merupakan salah satu gugus hutan yang masih tersisa di Pulau Sumba. Kawasan ini menyimpan keanekaragaman hayati tinggi yang penting untuk dipertahankan kelestariannya (HIMAKOVA, 2009). Terdapat 22 desa yang mengelilingi kawasan TNMT yang secara administratif terletak pada 3 kabupaten yaitu Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur (Wello 2008). Proses pemekaran desa yang telah terjadi dalam tiga tahun terakhir menjadikan jumlah desa sekitar kawasan menjadi 27 desa. Keadaan topografi kawasan TNMT bervariasi, mulai dari daerah dekat dengan sungai hingga daerah pegunungan dengan kemiringan 2% hingga kemiringan 40%-60% yang terbentang dari permukaan laut sampai ketinggian 900 meter. Kawasan TNMT juga merupakan kawasan karst dan banyak dijumpai goa (HIMAKOVA 2010) dan didalamnya terdapat keanekaragaman flora sebanyak 118 jenis tumbuhan (Dephut 2007), 120 jenis burung (Arfian, 2010), 9 jenis mamalia, 41 jenis kupu-kupu dan17 jenis herpetofauna (HIMAKOVA 2010). Keberadaan komponen kekayaan TNMT tersebut tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang berada di dalam dan atau disekitarnya. Masyarakat sekitar kawasan merupakan bagian dari ekosistem TNMT yang pada umumnya mempunyai ketergantungan cukup tinggi terhadap sumber daya alam yang berada di dalam kawasan TNMT dalam pemenuhan kebutuhan jangka pendek. Ketergantungan masyarakat tersebut disisi lain merupakan ancaman terhadap kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam hayati yang tersimpan di dalam kawasan TNMT. Ancaman tersebut semakin tinggi seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan akselerasi otonomi daerah. Kebutuhan masyarakat akan pangan, papan, pemukiman 74 dan lahan penggembalaan, seringkali dipenuhi dengan cara-cara yang kurang memperhatikan aspek lingkungan/konservasi misalnya : perambahan, penebangan kayu untuk rumah adat dan pembakaran padang untuk pemenuhan rumput segar. Kondisi demikian disebabkan diantaranya oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar TNMT yang relatif masih terbelakang dengan karakteristik masyarakat yang pendidikan, pengetahuan dan keterampilan usaha masih rendah. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah tersebut menjadi salah satu hambatan dalam transfer informasi dan teknologi pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Pada pertengahan tahun 2010, Kementerian Kehutanan Indonesia dan JICA (Japan International Cooperatian Agency) melakukan kerjasama dalam “Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems in Conservation Areas” untuk periode 2010 - 2015. Sampai dengan pertengahan tahun 2012, kegiatan-kegiatan teknis restorasi dalam program ini secara bertahap sudah terlaksana sampai dengan penanaman dan perawatan tanaman restorasi blok I seluas 27 ha dan persiapan untuk penanaman blok berikutnya. Program yang sangat baik tersebut sangat perlu didukung oleh faktor yang sangat penting yaitu sumber daya manusia lokal yang memiliki kapasitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek tanpa memberikan ancaman terhadap kawasan konservasi TNMT. Berangkat dari permasalahan tersebut maka sangat diperlukan upaya peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya lokal untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal tersebut diharapkan akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat secara umum yang nantinya ikut andil dalam menjaga kelestarian kawasan TNMT. Tujuan Program Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kelompok Ternak Desa Penyangga TNMT ini adalah melaksanakan upaya transfer pengetahuan dan keterampilan kepada kelompok ternak dalam mengelola ternak besar (Sapi, 75 Kerbau, Kuda dan Babi) untuk komoditi pasar dan sebagai bahan bakar dan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Adapun tujuan dari program ini adalah untuk : 1. Meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan kemampuan masyarakat kelompok ternak tentang pengelolaan ternak yang efektif, multi-manfaat dan ramah lingkungan serta tidak melakukan pembakaran alang-alang guna mendapatkan alang-alang muda. 2. Memberikan kontribusi kepada desa dalam hal penyediaan pakan ternak pada musim kemarau. 3. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat kelompok ternak dalam menjaga lingkungan dan kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Kegiatan 1. Kegiatan teknis Kegiatan teknis yang dilakukan untuk pembangunan 1 unit reactor Biogas adalah pembuatan kubah penampung kotoran/digester, pembangunan tanki reactor, manhole, pembuatan outlet dan overflow, dan pembuatan slurry-pit , pemasangan pipa gas utama dan turret, pembangunan lubang inlet dan instalasi perpipaan dan instalasi lampu, monometer,kran gas, kompor gas. 2. Keterlibatan masyarakat sekitar areal restorasi Pembuatan reactor Biogas dilakukan oleh Kelompok Kerja Restorasi yang berasal dari desa sekitar areal restorasi. Biaya Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan 1 (satu) unit reactor Biogas sebesar Rp. 15.000.000,- Terdiri dari 1 Unit Reaktor Biogas dan kandang. Pemanfaatan Keberadaan Biogas sangat besar manfaatnya bagi masyarakat jika dimiliki. Selain untuk pemanfaatan energy alternative, kotoran ternak yang telah terfermentasi berupa bio slury dapat dimanfaatkan sebagai pupuk yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman. Sampai saat ini, salah satu anggota Kelompok Kerja Restorasi memanfaatkan Biogas sebagai energy alternative untuk memasak. Bantuan alat pertanian berupa sabit, pacul dan hand tacktor dimanfaatkan untuk pengolahan lahan masyarakat 76 sekitar areal restorasi. Kendala Permasalahan yang dialami oleh sebagian besar mayarakat sekitar areal restorasi adalah keterbatasan biaya untuk pembangunan reactor Biogas. Secara umum masyarakat berkeinginan untuk membangun reactor Biogas, namun karena kekurangan biaya maka sampai saat ini belum ada satupun yang membangun reactor Biogas selain yang dibangun dengan bantuan biaya dari JICA – RECA. Saran Sebaiknya pada setiap areal restorasi dibangun reactor Biogas sebagai contoh dengan multi manfaat. Dengan demikian memotivasi masyarakat untuk mengkandangkan ternak dengan system paronisasi dan dapat mengurangi gangguan ternak pada areal restorasi. Selain itu, dengan system paronisasi dapat mempercepat perolehan nilai ekonomi yang lebih baik dari ternak yang diperlihara dengan system paronisasi daripada dilepas liar. Foto-Foto 77