Panduan Teknis Restorasi di Kawasan Konservasi

advertisement
Panduan Teknis Restorasi
di Kawasan Konservasi
- Hutan Hujan Tropis Pegunungan
dan Hutan Monsoon Tropis -
Oktober 2014
Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems
in Conservation Areas
Panduan Teknis Restorasi
di Kawasan Konservasi
- Hutan Hujan Tropis Pegunungan
dan Hutan Monsoon Tropis -
Oktober 2014
Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems
in Conservation Areas
KATA PENGANTAR
Buku Panduan Teknik Restorasi ini disusun oleh Project-RECA sebagai salah satu
hasil kegiatan project tersebut dengan harapan dapat dipakai sebagai acuan
dalam melakasanakan restorasi ekosistem hutan di kawasan konservasi.
Project-RECA adalah kerjasama teknik antara Direktorat Jenderal PHKA,
Kementerian Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang
dilaksanakan selama lima tahun 2010-2015 dengan tujuan meningkatkan
kemampuan para pihak untuk melaksanakan restorasi.
Panduan Teknik Restorasi ini difokuskan untuk perbaikan ekosistem melalui
vegetasi Hutan Hujan Tropis Pegunungan dan Hutan Monsoon Tropis berdasarkan
uji coba restorasi pada empat Taman Nasional yaitu TN Bromo Tengger Semeru,
TN Gunung Ciremai, TN Gunung Merapai dan TN Manupeu Tanah Daru.
Bermacam teknik dan pengetahuan yang diusulkan di dalam panduan ini telah
diterapkan dan verifikasi di lapanagan di empat TN tersebut.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu
kelancaran penyusunan buku ini melalui diskusi maupun saran-saran perbaikan
teknis restorasi di lapangan terutama kepada Direktorat Jenderal PHKA, Japan
International Cooperation Agency (JICA), Kepala Balai Besar Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Kepala Balai Taman Nasional Sembilang(TNS),
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Kepala Balai Taman
Nasional Gunung Merapi (TNGM), dan Kepala Balai Taman Nasional Manupeu
Tanah Daru (TNMT), staf dan counterpart TNBTS, TNS, TNGC, TNGM dan TNMT
dan Kelompok Kerja (Pokja) TNBTS, TNS, TNGC, TNGM dan TNMT serta pihak lain
yang tidak kami sebut satu per satu.
Kami menyadari bahwa buku Panduan Teknis Restorasi
ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang menbangun dari para pembaca
sangat kami harapkan. Semoga buku Panduaan Teknik Restorasi ini bermanfaat
bagi kita semua.
Jakarta, Oktober 2014
Tim Penyusun
i
Tim Penyusun :
Ketua
: Hideki Miyakawa
Technical Adviser : Hiroaki Okabe
Sekretaris
: Darsono
Anggota
: Desitarani
Jefry Susyafrianto
Hiroyuki Saito
Pujiati Budiono
Zulkifli Ibnu
Marlenni Hasan
Regina Herti Sitorus
Christina Matakupan
Mudi Yuliani
Sulistyono
Cika Dewitri
Andi Iskandar Zulkarnain
Nurhadi
Marthen Hamba Banju
Nurrahman
Kontributor Foto :
Ani Mardiastuti
Andi Iskandar Zulkarnain
Darsono
Desitarani
Hiroyuki Saito
Marthen Hamba Banju
Reiko Hozumi
Sulistyono
PROJECT -RECA
PHKA
: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 7
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270
Telp, 021- 5720229,; Fax.
JICA-RECA
021- 5720229,
Jakarta
: Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 6 Wing B No. 617
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270
Telp: 021- 57902954 ;Fax :021-5705085
Web :http://www.jica.go.jp/project/english/indonesia/008/index.html
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
iii
Istilah
1
Pendahuluan
7
1. Latar Belakang
7
2. Tujuan
7
I. Pembangunan Persemaian
8
1. Seleksi lokasi persemaian
8
2. Penyiapan peralatan dan fasilitas
8
(1) Pondok kerja/jaga
8
(2) Bedeng tabur
8
(3) Bedeng sapih (TAKEDOKO)
9
(4) Jaringan air
9
(5) Naungan
10
(6) Peralatan persemaian
10
II. Pembibitan
12
1. Pembibitan dari anakan
12
(1) Pemilihan anakan
12
(2) Pengambilan anakan
13
(3) Transportasi anakan ke persemaian
14
(4) Penyiapan media dan polybag
16
(5) Transplantasi anakan ke polybag
18
(6) Penyusunan polybag
20
(7) Pemasangan sungkup
21
(8) Penyiraman
21
(9) Penguatan bibit
23
2. Pembibitan dengan biji
24
(1) Pemilihan pohon induk
24
(2) Pengambilan buah
18
(3) Pembersihan biji
25
(4) Penyimpanan biji
26
(5)Perlakuan biji
27
iii
(6) Penyiapan media bedeng tabur
27
(7) Penaburan biji
29
(8) Penyiapan media dan polybag
32
(9) Transplantasi biji berkecambah/bibit ke polybag
32
(10) Penyusunan polybag
36
(11) Pemasangan sungkup
36
(12) Penyiraman
36
(13) Penguatan bibit
36
III. Persiapan lahan
37
1. Pembangunan sekat bakar
37
2. Pembuatan pagar hidup
37
3. Pembuatan jalur/piringan/berkelompok
37
4. Pembuatan dan pemasangan ajir
38
5. Pembuatan lubang
38
6. Pembuatan embung air
38
IV. Penanaman
40
1.Transportasi bibit ke lapangan
40
2. Penanaman
40
3. Pemberian Mulsa
41
V. Pemeliharaan
44
1. Penyiangan
44
2. Penyulaman
44
3. Pengendalaian hama, penyakit dan kebakaran
44
VI. Restorasi dengan Pola Penunjang Suksesi Alam
dan Pola Pengkayaan Tanaman
Lampiran
46
48
-Pengalaman Kegiatan Project-RECAI. Pengendalian
1. Pengendalian Serangan Satwa (TNGC)
49
49
- Penanaman dengan Sistim Berkelompok
2. Pembangunan Pagar Hidup (TNMT)
55
- Pengendalian dan Pemanfaatan sebagai Pakan Ternak
3. Pengendalaian Jenis Asing Invasif (TNGM)
iv
58
- Pengkajian Perlakuan Eradikasi Jenis Asing Invasif
4.Pengendalian Sedimentasi (TNBTS)
62
- Pembuatan Batu Bata Tanpa Bakar dari Sedimentasi
- Pembangun Dam Penahan Sedimen dan
Pembuatan Jebakan Lumpur
5. Pengendalian Kebakaran Hutan (TNBTS)
66
- Pembuatan Sekat Bakar
II. Pemanfaatan
1. Pembuatan Pupuk Organik (TNGM)
68
2. Penggunaan Posong sebagai Polybag Alami (TNGM)
69
- Pemanfaatan sumber daya lokal
3. Pembuatan Kompos dari Jenis Asing Invasif (TNBTS)
71
- Pengendalian dan Pemanfaatan
4. Pembuatan Bio-Gas dari Kotoran Sapi (TNMT)
- Pengendalian Pengembalaan Ternak dan Pemanfaatan
v
74
vi
ISTILAH
Akar Utama :
Akar yang tumbuh dari batang yang masuk ke dalam tanah yang berfungsi
untuk menopang batang supaya tidak roboh dan menyerap air dari tanah.
Bedeng Tabur:
Keranjang yang berisi media untuk penaburan biji sampai biji berkecambah
atau bibit yang berdaun empat. Keranjang disusun di atas rak yang terdiri dari
2 batang bambu bulat sejajar dan kaki tingginya 50 cm. Jarak antara 2 batang
bambu 40 cm dan panjang 3-4 m.
Bedeng Sapih(TAKEDOKO):
Tempat penyusunan bibit di dalam polybag yang dibuat dari bambu setinggi
40-50 cm dan lebar 1 m dan panjang 5-10 m.
Bibit:
Merupakan suatu tanaman muda yang ditumbuhkan di dalam polybag dari
benih atau berasal dari cabutan anakan tanaman asli.
Biji :
Hasil pembuahan pada tanaman berbunga.
Biji Berkecambah;
Biji yang sudah mulai pecah dan tumbuh akar pada bedeng tabur.
Biji Berkulit Keras:
Biji yang memiliki kulit keras dan kedap air sehingga menghambat imbibisi.
Kulit biji yang keras juga berfungsi melindungi biji dari kerusakan fisik.
Biji Berdaging:
Biji diselimuti atau terletak di dalam substansi berdaging yang biasanya
berasa manis dan banyak mengandung air.
Field Manager:
Petugas yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan restorasi.
Hydrogel:
1
Media tanam selain tanah yang dapat menyerap air 10 kali dari wujudnya
yang masih berupa bubuk dan melepaskan air yang dikandungnya secara
pelan-pelan sehingga dapat berfungsi untuk membantu mensupplai air bagi
tanaman.
Kompos:
Meterial hasil penguraian bahan organik yang dapat dipakai sebagai pupuk.
Media:
Bahan yang digunakan untuk pertumbuhan benih atau bibit.
Mulsa:
Material penutup tanah di sekitar tanaman yang berfungsi untuk mengurangi
penguapan dan menghambat pertumbuhan gulma, bahan yang dipakai
berupa daun, atau tanah dan akar rumput dibalik (TAKARRULIK).
Pagar Hidup (Bio-Fence):
Pagar yang dibuat dari batang tumbuhan asli yang cukup kuat untuk
mencegah
gangguan satwa dan ternak.
Pemeliharaan:
Kegiatan penjagaan, pengamanan, dan peningkatan kualitas tumbuhan
dengan perlakuan terhadap tegakan dan tanaman serta lingkungannya agar
tumbuhan menjadi sehat dan normal melalui penyiangan, penyulaman,
pemupukan, pemberian mulsa, pembebasan dari lilitan tumbuhan menjalar,
pemberantasan hama dan penyakit.
Penanaman:
Upaya restorasi ekosistem pada hutan yang telah memiliki tumbuhan berkayu
jenis asli tertinggal yang jumlah tumbuhan tingginya
≧30cm
kurang dari
200/ha dengan cara menanam jenis tumbuhan berkayu pada areal restorasi.
Pengelola:
UPT PHKA yang bertugas untuk mengelola kawasan konservasi terkait.
Penggarukan:
Kegiatan menggemburkan tanah dengan cara menggaruk atau membalikkan
tanah dengan tujuan biji dorman di dalam tanah dapat tumbuh.
2
Pengkayaan Tanaman:
Upaya restorasi ekosistem pada hutan yang telah memiliki tumbuhan berkayu
jnis asli yang tingginya ≧30cm tertinggal 200-400/ha dengan cara menambah
jenis tumbuhan berkayu lain pada areal masih kosong dalam areal restorasi.
Penunjang Suksesi Alam:
Upaya resotrasi ekosistem hutan pada hutan yang telah memiliki tumbuhan
berkayu jenis asli yang tingginya ≧30 cm 400-600/ha dan jumlah jenis
≧ 30 % dibandingkan dengan hutan utuh di sekitar areal
tumbuhan
restorasi dengan cara melakukan penjagaan dan membebaskan gangguan
yang menghambat pertumbuhan tumbuhan berkayu baik yang berupa pohon
maupun
anakan,
serta
membantu
percepatan
pertumbuhan
seperti,
menyiangi gulma sekitar anakan, memotong tumbuhan menjalar yang
membelit dan menggaruk tanah.
Penyiangan:
Kegiatan memotong semak belukar atau rumput disekitar tanaman dengan
radius 50 cm sehingga tidak menaungi tanaman dan anakan yang
bersangkutan.
Persiapan Lahan:
Kegiatan mengolah tanah atau permukaan tanah seperti membuat jalur
tanam dengan lebar 1 m atau piringan dengan radius 50 cm, dengan cara
membabat rumput, membuat lubang tanam, sekat bakar, pagar hidup, dan
hal-hal lain yang diperlukan untuk kegiatan penanaman.
Piringan:
Salah
satu
sistem
penanaman
melalui
membersihkan
areal
dengan
membentuk piringan dengan radius 50 cm.
Pohon Induk:
Pohon jenis asli yang hidup di areal restorasi dan sekitarnya yang telah
menghasilkan buah atau biji dan dapat dipakai sebagai sumber bibit.
Pupuk Organik:
Bahan yang berasal dari tumbuhan dan/atau hewan yang telah mengalami
proses pembusukan atau fermentasi yang berperan dalam penyediaan unsur
hara untuk pertumbuhan tanaman.
3
Rambut Akar:
Akar halus yang banyak tumbuh dari serabut akar yang berfungsi untuk
menyerap nutrisi dan air dari tanah.
Restorasi Ekosistem Hutan:
Upaya memperbaiki ekosistem hutan sehingga kondisi ekosistemnya kembali
mendekati ekosistem sebelum terdegradasi dengan cara suksesi alam,
penunjang suksesi alam, pengkayaan tanaman atau penanaman.
Sekat Bakar:
Areal yang dibersihkan dari material yang mudah terbakar seperti rumput dan
semak belukar untuk mengatisipasi agar tidak terjadi menjalarnya api dari
suatu areal ke areal restorasi apabila terjadi kebakaran hutan.
Semai:
Biji berkecambah sampai berdaun empat yang sengaja ditumbuhkan pada
bedeng tabur dan dipakai untuk bibit.
Serabut Akar:
Akar yang keluar dari pangkal batang atau merupakan cabang dari akar
utama yang tumbuh ke samping di dekat permukaan tanah dan terdapat
banyak rambut akar.
Suksesi Alam:
Upaya resotrasi ekosistem hutan pada hutan yang memiliki tumbuhan
berkayu jenis asli tingginya ≧30 cm lebih dari 600/ha dan jumlah jenis
tumbuhan ≧50 % dibandingkan dengan hutan utuh di sekitar areal restorasi
dengan cara melakukan penjagaan dari gangguan.
Sumberdaya Genetik:
Materi genetik yang terdapat dalam kelompok tanaman hutan dan merupakan
sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau
direkayasa untuk menciptakan jenis unggul atau varietas baru.
Sungkup:
Bangunan yang dibuat dari plastic dan bamboo dengan bentuk panjang yang
berguna untuk melindungi bibit dari angin, hama dan penyakit serta
mempertahankan kelembaban sekitar bibit.
4
Transplantasi:
Kegiatan menanam anakan dari hutan atau biji berkecambah dan bibit dari
bedeng tabur kedalam polybag.
Singkatan
FM
: Field Manager/Manajer Lapangan
Pokja
: Kelompok Kerja
TNBTS : Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
TNGC: Taman Nasional Gunung Ciremai
TNGM: Taman Nasional Gunung Merapi
TNMT: Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (TNS:Taman Nasional Sembilang(,
UPT
: Unit Pelaksana Teknis
5
6
PENDAHULUAN
1. Latarbelakang
Pedoman Tata Cara Restorasi di Kawasan Konservasi - Hutan Hujan Tropis
Pegunungan dan Hutan monsoon tropis telah disusun dan diusulkan pada
bulan Januari 2014.
Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil kegiatan
uji coba restorasi yang dilakukan di 4 Taman Nasional (TN) sebagai lokasi
kegiatan Project-RECA .
Lokasi tempat uji coba tersebut memiliki kondisi alam, geologi, geografi dan
lingkungan yang berbeda, seperti topografi, iklim, flora dan fauna, budaya,
tradisi masyarakat yang unik dan berbeda satu sama lain, sehingga
permasalahan yang dihadappi dalam melakukan kegiatan restorasi ada
masing-masing lokasi mengalami kendala yang berbeda serta memerulukan
solusi yang berbeda pula.
Agar buku Pedoman Tata Cara Restorasi tersebut dapat dilaksanakan pada
tingkat lapangan, maka perulu disusun Panduan Teknis Restorasi yang akan
menjelaskan teknik dan pengetahuan pada tahap pelaksanakan restorasi
yang terdiri dari (1) pembangunan persemaian, (2) pembibitan, (3) persiapan
lahan, (4) penanaman, (5) penunjang suksesi alam dan pengkayaan tanaman,
dan (6) pemeliharaan di hutan hujan tropis pegunungan dan hutan monsoon
tropis pada kawaasan konservasi.
2. Tujuan
Panduan Teknis Restorasi ini bertujuan untuk memberikan acuan kepada
semua pihak dalam menyelenggarakan kegiatan restorasi ekosistem di
kawasan konservasi agar pelaksanaan upaya restorasi ekosistem dapat
dilaksanakan
dengan
cermat
dan
keberhasilan.
7
teliti
sehingga
dapat
memberikan
I. Pembangunan Persemaian
1. Seleksi lokasi persemaian
(1) Tersedia sumber air yang cukup sepanjang tahun;
(2) Topografi datar (maksimal kemiringan lahan 5%)
(3) Aksesibilitas relative mudah, dapat dikunjungi dengan mobil dan motor;
(4) Tersedia tenaga kerja;
(5) Sistem drainasenya bagus;
(6) Hindari lokasi dengan angin yang kencang.
(7) Lokasi terletak dekat dengan areal penanaman.
Luas areal disesuaikan dengan jumlah bibit yang diperlukan.
2. Penyiapan peralatan dan fasilitas
(1) Pondok kerja/jaga
Pondok kerja/jaga berfungsi sebagai tempat dasar kegiatan restorasi
bagi pelaksana lapangan (FM dan Pokja).
Foto1: Pondok kerja sebelah persemaian. (Foto oleh Ibu Ani Mardiastuti)
(2) Bedeng tabur
o
Keranjang yang berisi media untuk penaburan biji sampai biji
berkecambah atau bibit yang berdaun empat.
o
Keranjang disusun di atas rak yang terdiri dari 2 batang bambu sejajar
dan kaki tingginya 70 cm. Jarak antara 2 batang bambu 30 -50 cm
dan panjang 2-3 m.
8
Foto 2: Bedeng tabur
(3) Bedeng sapih(TAKEDOKO)
o
Bedeng sapih adalah rak yang dibuat dari bambu dengan ukuran
lebar 1 m, panjang 5-10 m dan tinggi 40-50 cm. Arah membujur dari
utara ke selatan.
o
Lantai bedeng sapih dibuat dari bambu belah yang lebar 3 cm dan
disusun dengan jarak antara bambu 3 cm. Tiang bedeng sapih bisa
menggunakan bambu bulat atau kayu atau batu bata.
o
Posisi persemaian membujur utara-selatan.
Foto 3: Persemaian dan bedeng sapih dari bambu (TAKEDOKO)
(4) Jaringan air
o
Jaringan air terdiri dari pipa air, pompa, bak penampung air, embung
air, dll. yang berfungsi menyalurkan air dari sumber air ke
persemaian.
9
Foto 4: Jaringan air
(5) Naungan
Naungan terdiri dari paranet yang disusun di atas atap persemaian
untuk mengurangi sinar matahari yang kena bibit secara langsung.
Intensitas cahaya dapat dikurangi 60-80 %, dan 2-3 bulan sebelum
penanaman dibuka secara bertahap. Untuk lokasi persemaian pada
ketinggian di atas 1.800 mdpl,menggunakan plastik UV. Tinggi
persemaian 2,5 m.
Foto 5: Naungan
(6) Peralatan persemaian
Peralatan persemaian terdiri dari skop, cangkul, linggis, gergaji, ayakan,
ember, gembor, alat semprot, gunting tanaman, pisau, parang, pinset,
alat bengkel, kereta dorong, kendaraan roda empat, kendaraan roda dua,
kamera, computer, projector, papan tulis, alat tulis, dll.
10
Foto 6: Peralatan persemaian: kereta dorong, sprayer,
cangkul, skop, garu, gunting, selang, gembor.
11
II. Pembibitan
1. Pembibitan dari anakan
(1) Pemilihan anakan
Kriteria anakan yang disarankan untuk dipakai sebagai bibit adalah sebagai
berikut:
o
Sebaiknya anakan diambil dari tempat yang tidak terlalu gelap atau
terbuka dalam hutan yang tertutup atau pinggir hutan.
o
Ciri-ciri anakan yang berasal dari hutan yang tidak terlalu gelap adalah
daun pertama (paling bawah) sampai ujung masih lengkap, tumbuh baik
dan warna daunnya hijau tua.
o
Daun yang paling ujung sudah mengeras/kuat, tidak berwarna merah
atau lebih muda dari pada daun dibawahnya.
o
Ukuran tinggi anakan maksimum 30 cm agar akarnya tidak terpotong.
Foto7: Contoh
anakan yang bagus
untuk bibit:
Daunnya lengkap
dari bawah sampai
atas masih utuh (kiri
dan kanan)
Foto8: Contoh
anakan yang kurang
bagus untuk bibit:
Daun ada hanya di
atas, tidak ada di
bawah (kiri).
Rambut akar tidak
kelihatan, hanya
akar utama
berkembang (kanan).
12
(2) Pengambilan anakan
o
Untuk mengambil anakan dapat dilakukan anakan 5-30 cm. Anakan
yang masih kecil
o
(+5 cm) menpunyai akar yang belum terlalu dalam.
Kesan dari kata cabutan, anakan yang akan dipakai sebagai bibit ditarik
begitu saja. Yang dimaksud cabutan adalah dilakukan dengan cara
mencongkel anakan, akan tetapi tidak seluruh tanahnya diikutsertakan dengan anakannya.
o
Pada musim kemarau rambut akar mudah terpotong atau putus karena
tanahya keras. Salah satu cara pengambilan anakan sebaiknya
pengambilan anakan setelah penyiraman. Namun penyiraman di hutan
sulit. Walaupun pakai gembor untuk penyiraman, air tidak menyerab
sampai
dalam
tanah.
Secara
umum
menseleksi
lokasi
untuk
pengambilan anakan terlebih dahulu dan melakukan pengambilan
anakan selama beberapa hari setelah hujan turun.
o
Untuk
mencabut
anakan
yang
dilakukan
selama
ini
adalah
menggunakan linggis atau golok atau cangkul. Setelah tercabut
tanahnya dibersihkan dari perakaran anakan. Anakan yang dicabut
seringkali perakarannya mengalami kerusakan
terutama rambut
akarnya.
o
Serabut akar yang mempunyai banyak rambut akar tumbuhnya
mendatar gunanya untuk menyerap nutrisi yang berada kurang lebih 5
cm dibawah permukaan tanah. Akar ini sangat penting dan harus
dipertahankan pada saat melakukan pencongkelan, sedangkan akar
utama gunanya untuk menopang tegaknya tumbuhan dan menyerap
air.
o
Apabila akarnya terlalu panjang (lebih panjang dari polybag, akar utama
ini disarankan dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam agar
mudah
tumbuh
perakaran
baru.
Cara-cara
mencongkel
anakan
direkomendasikan dengan cara-cara seperti berikut:
- Untuk mencongkel anakan dilakukan dengan menggunakan sekop
lurus
agar
dapat
masuk
perakarannya tidak rusak.
13
ke
tanah
lebih
dalam
sehingga
Foto9: Skop lurus
-
Jarak sekop dengan anakan kurang lebih 10 cm dan diperkirakan
tidak mengenai akar anakan.
-
Setelah anakan tercabut lepaskan tanahnya dari anakan tersebut
dengan hati-hati sehingga rambut akarnya tetap utuh, upayakan
sebagian tanahnya masih menempel pada rambut akar tersebut.
Foto10:
Cara pengambilan anakan yang
bagus
tanahnya
masih
ada
sedikit yang melekat pada akar.
Akar
utama
yang
terlalu
panjang dapat dipotong
(3) Transportasi anakan ke persemaian
o
Apabila untuk mengangkut anakan yang telah dicongkel dari hutan ke
persemaian dilakukan dengan menggunakan ember yang telah diisi air,
atau menggunakan karung, perakaran maupun daunnya rusak
karena tertekuk-tekuk dan tanah yang melekat pada rambut akar
akan larut ke dalam air, padahal tanah yang melekat pada rambut
akar tersebut sangat penting karena tanah tersebut seringkali
14
mengandung mikro organism seperti mikoriza yang telah berasosiasi
dengan akar dan sangat berguna untuk penyerapan nutrisi dan air
yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan anakan tersebut.
o
Disarankan cara untuk mengangkut anakan yang telah dicongkel dari
hutan ke persemaian adalah dengan menggunakan plastik dan
beberapa lapis kain yang telah dibasahi dan diantara lembaran kain
tersebut diselipkan/dijajarkan cabutan anakan, kemudian dibungkus
dengan plastik, dilipat dan digulung. Dengan cara seperti ini tidak
perlu memotong daun dan akar sampai pendek serta daun dan
akarnya tidak rusak, dan dapat bertahan lebih lama. Dengan cara ini
harus disediakan tempat jarak supaya akar tidak terendam air. Lihat
foto di bawah:
15
Foto11: Transportasi anakan ke persemaian
(4) Penyiapan media dan polybag
(a) Penyiapan media
o
Sebaiknya tanah polybag diambil dari tempat yang di dekat areal
restorasi karena mikro organisme dalam polybag sama dengan tanah
di areal restorasi.
o
Apabila kondisi tanahnya sebagai media di polybag masih kurang
bagus misalnya berupa debu seperti di daerah Gunung Merapi atau
liat maka medianya perlu diperbaiki dengan cara menambahkan
sekam yang sudah lama dan butiran pupuk organik.
o
Untuk media polybag dipakai campuran tanah, pupuk organik dan
sekam. Perlu dilihat struktur tanah dan pupuk organik apakah
berupa butiran atau debu.
- Dalam hal tanah dan pupuk organik berupa butiran, maka
perbandingan tanah, pupuk organik dan sekam =1:1:1.
- Dalam hal tanah berupa butiran dan pupuk organik berupa debu,
atau dalam hal tanah berupa debu dan pupuk organik berupa
butiran, maka perbandingan tanah, pupuk organik dan sekam
=1:1:2.
- Dalam hal tanah dan pupuk organik berupa debu, maka
perbandingan tanah, pupuk organik dan sekam =1:1:3.
o
Tanah diambil dari sekitar persemaian yang tidak mengandung
banyak akar tumbuhan. Kemudian diayak dua kali dengan
menggunakan ayakan 1 mm dan 5mm. Tanah yang digunakan adalah
ukuran 1-5mm.
o
Sebaiknya gunakan sekam yang sudah disimpan selama setengah
tahun, karena selulosa sudah hilang.
o
Untuk pupuk organik gunakan kotoran ternak seperti sapi, kambing
dan kuda. Jangan menggunakan kotoran ayam yang mengandung
hara yang teralu tinggi. Kotoran ayam bagus untuk tanaman pertanian
16
karena daur panennya singkat. Kotoran ternak sebaiknya dicampur
dengan potongan daun dan ranting.
o
Media sebaiknya tidak mengandung biji gulma, jamur dan
serangga. Sebelum menggunakannya sebaiknya jemur di bawah sinar
matahari langsung.
Foto12: Penyiapan media polybag
(b) Penggunaan pupuk organik
o
Pembibitan
tumbuhan
berkayu
sangat
berbeda
dibandingkan
pembibitan untuk pertanian. Tanaman pertanian memberikan panen
setiap tahun sehingga memerlukan tambahan nitrogen (perlu pupuk
Nitrogen), sedangkan tanaman jenis tumbuhan berkayu membuat
biomas besar seperti lignin dan selulosa sehingga lebih banyak
menghabiskan CO 2 , air dan sedikit Nitrogen. Oleh karena itu
pemberian pupuk Nitrogen terlalu banyak kepada tanaman jenis
tumbuhan berkayu tidak baik.
o
Bibit yang mendapatkan nutrisi terlalu banyak batang dan daunnya
akan tumbuh terlalu cepat tidak seimbang dengan pertumbuhan
akarnya. Selain itu sel-sel yang tumbuh pada batang dan daun menjadi
terlalu besar sehingga sel-selnya tidak kuat, tidak tahan terhadap
kekeringan dan serangan hama dan penyakit.
o
Untuk jenis tanaman pohon lebih baik memberikan organik dalam
tanah
untuk
memperbaiki
sifat
tanah
dalam
jangka
panjang,
sedangkan pupuk kimia hanya berfungsi untuk jangka pendek.
Pemberian pupuk kimia dalam jangka panjang dapat mengurangi biota
tanah dan mikro-organisme di dalam tanah dan merusak struktur
tanah. Oleh karena itu pupuk organik diperlukan untuk pengelolaan
17
persemaian dan penanaman. Pupuk organik dapat dibuat dari rumput
setempat seperti alang-alang dan Eupathorium serta serasah.
(c) Penyiapan polybag/posong dan mengisi media
o Bahan, bentuk dan ukuran polybag/posong harus dipertimbangkan
sesuai dengan jenis tanaman. Tanaman yang cepat besar sebaiknya
menggunakan polybag yang cukup besar.
o Ukuran polybag/posong yang sering dipergunakan adalah yang
diameter 6,5 cm dan tinggi 15 cm; atau diameter 8 cm dan tinggi 18 cm.
Untuk jenis tumbuhan yang cepat besar disarankan pakai ukuran
polybag diameter 10 cm dan tinggi 20 cm.
Foto13 Posong (kiri)
Polybag plastik
(kanan)
Diameter 12-14 cm,
Tinggi 15-17 cm.
Diameter 10 cm,
Tinggi 20 cm.
(5) Transplantasi anakan ke polybag
o Anakan yang sudah dicongkel tersebut boleh dipotong sebagian daun
pada
bagian
ujungnya
(daun
yang
dibagian
bawah
tetap
dipertahankan/tidak dipotong) karena daun yang berada dibawah
tersebut sangat penting untuk menyediakan carbon ke akar. Akar
samping/lateral
sebaiknya dipertahankan, sedangkan akar utama
(akar tunjang/vertikal) boleh dipotong disesuaikan dengan panjangnya
polybag dengan menggunakan pisau yang tajam agar mudah tumbuh
perakaran baru.
o Polybag yang sudah disiapkan diisi dengan media kira-kira separoh
polybag, kemudian anakan yang sudah disiapkan tersebut
dimasukkan kedalam polybag (tetap dipegang dengan tangan) dan diisi
18
dengan media yang sudah disiapkan tersebut sampai penuh, kemudian
dipadatkan dengan cara memegang ujung polybag selanjutnya
diangkat kurang lebih 10 cm dan dihentakkan ke tanah 3 kali sehingga
permukaan media dalam polybag sedikit turun sekitar 10 % dan
anakan tersebut dapat berdiri tegak di tengah -tengah polybag.
o Yang penting adalah tidak menekan permukaan tanah dengan tangan
setelah mengisi media ke polybag. Bibit dalam polybag menjadi stabil
setelah penyiraman. Kalau ditekan permukaan tanahnya, maka
rambut akar dapat rusak dan porositas tanahnya berkurang.
o Selanjutnya ditutup dengan sekam sebagai mulsa agar rambut akar
dapat berkembang dengan baik di dekat permukaan tanah dan tidak
terjadi percikan tanah keluar waktu penyiraman, mengendalikan
tumbuhan gulma, menjaga porositas dan mengurangi penguapan.
Kondisi ini mirip dengan kondisi di dalam hutan yang lantai hutannya
tertutup dengan serasah sehingga akarnya dapat berkembang dengan
baik di dekat permukaan tanah dan dapat menerap nutrisi yang
tersedia di dekat permukaan tanah.
o Untuk anakan yang masih kecil (ukuran + 5 cm) polybag diisi dengan
media yang sudah diaduk rata sebanyak 2/3 dari tinggi polybag,
kemudian anakan ditanam kedalam polybag.
①Memotong akar utama sesuai
②Mengisi media kedalam
dengan polybag.
polybag setengahnya.
19
③Mengisi media sampai penuh.
④Angkat polybag 10 cm dan
hentakkan ke bawah 3 kali.
.
⑤Tutup dengan sekam.
⑥Siram bibit secukupnya.
(6) Penyusunan polybag
o Polybag diletakkan di atas bedeng sapih (TAKEDOKO) dan antara polybag
diberi jarak 2-3 cm agar sirkulasi udara dibawah polybag dan antara
polybag bagus sehingga bagian bawah polybag tidak terlalu lembab, dan
sinar matahari dapat masuk sampai ke bagian bawah bibit. Bila bibit
tumbuh samapi 30-50 cm, jarak antara polybag dijarangkan menjadi 5-7
cm. Tinggi TAKEDOKO yang disarankan 50 cm.
20
Foto15: Bedeng sapih yang dibuat dari bambu (TAKEDOKO)
(7) Pemasangan sungkup
o
Bedeng sapih ditutup dengan sungkup dengan harapan kelembaban udara
dalam sungkup tersebut terjaga dengan baik serta bibit terlindungi dari
angin.
o Untuk pembuatan sungkup, siapkan bambu dan plastik bening. Bambu
dibentuk stengah lingkaran dan disusun dengan jarak antara bambu 1 m.
Kemudian tutup permukaan bambu dengan plastik bening. Panjang dan
lebar sungkup sesuai dengan bedeng sapih. Tinggi sungkup 70 – 80 cm.
o
Setelah 1 s/d 2 bulan bibit perkirakan sudah kuat secara bertahap dibuka
sungkup.
Foto16: Sungkup yang dibuat dari bambu dan plastik bening
(8) Penyiraman
o Akar tumbuhan berkayu (Kelompok Dicotyledon) dikelompokkan menjadi
dua yaitu akar utama dan serabut akar.
o Akar utama berfungsi untuk menunjang tegaknya pohon dan menyerap
air dari dalam tanah, sedangkan akar serabut berfungsi untuk menyerap
air dan nutrisi.
o Nutrisi dan mikoriza terletak di dekat permukaan tanah, oleh karena itu
mengkondisikan bibit di polybag agar mempunyai akar serabut yang
berkembang di dekat permukaan tanah.
21
o Apabila terlalu banyak penyiraman, maka perakaran di dalam polybag
yang akan berkembang ke bawah, sedangkan akar serabut tidak dapat
berkembang. Apabila penyiraman dikendalikan secara baik akar serabut
akan berkembang dan pada saat ditanam di lapangan akan lebih cepat
tumbuh dan lebih kuat. Perakaran yang terlalu banyak penyiraman dan
yang terkendali penyiramannya seperti foto berikut:
Foto17:
Akar keluar dari polybag karena
penyiraman terlalu banyak (kiri )
Akar tidak keluar dari polybag
karena penyiraman terkendali
(kanan).
o
Tidak direkomendasi penyiraman bibit terlalu banyak, sampai tanah di
dalam polybag maupun dibawahnya basah seluruhnya. Cara penyiraman
seperti ini biasanya bagian atas dari polybag tersebut banyak yang
ditumbuhi lumut, dan akarnya keluar/menembus polybag. Apabila
akarnya tembus polybag, maka akar yang ada di dalam polybag sangat
sedikit. Jika bagian akar yang tembus polybag dipotong, maka akar yang
tinggal dalam polybag sangat sedikit dan tidak dapat tahan kekeringan,
sehingga pada saat penanaman bibitnya akan mengalami stress dan layu.
o
Bibit yang layu tersebut perlu waktu yang panjang untuk penyesuaian
setelam ditanam.
o
Bibit yang setelah ditanam masih memerlukan penyiraman maka hal
tersebut merupakan indicator bahwa cara pembibitannya tidak baik.
o
Bibit yang bagian permukaan banyak tumbuh lumut, maka nutrisi yang
ada di dalam polybag tersebut kemungkinan banyak diserap oleh lumut,
sehingga bibitnya tidak dapat berkembang dengan baik.
o
Cara penyiraman yang direkomendasikan adalah setelah tanah di dalam
polybag tersebut mulai mengering. Hal ini dapat diketahui bila kondisi
permukaan
tanah
di polybag
sedemikian
rupa
sehingga
berwarna putih.
membentuk
basah-kering.
22
siklus
Penyiraman diatur
basah-kering
dan
o
Penyiraman dilakukan pada pagi hari. Volume air siram adalah 20 % dari
jumlah volume polybag. Penyiraman dilakukan bertahap, yaitu dengan
volume + 30%, kemudian setelah semuanya disiram diulangi lagi dengan
volume +30%, dan setelah selesai menyiram semuanya diulangi lagi
dengan volume + 40%. Hal ini dilakukan agar air tidak tumpa dari dalam
polybag dan dapat meresap ke dalam polybag secara merata. Jika air
disiramkan semuanya sekaligus, kemungkinan air akan turun melalui
sebagian lubang atau sebagian tanah di bagian bawah polybag selalu
basah.
o
Kalau ada 300 polybag di dalam 1 bedeng dan 1 polybag volumenya 500cc,
maka diperlukan volume air sebagai berikut;
500 cc air x 20 % x 300 polybag = 30.000 cc
Penyiraman pertama 30.000 x 30 %=9.000 cc: 3 gembor ukuran 3 liter
Peniraman ke dua: 30.000 x 30 %=9.000 cc: 3 gembor ukuran 3 liter
Penyiraman ke tiga: 30.000 x 40 %= 12.000 cc: 4 gembor ukuran 3 liter
o
Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor yang lubangnya halus
agar tidak merusak permukaan tanah atau sekam. Teknik penyiraman dan
kecepatan menyiramnya harus berdasarkan pengalaman berulang-ulang.
(9) Penguatan bibit
(a) Penyinaran.
o Penguatan bibit dilakukan dengan cara membuka paranet 1 bulan atau 2
bulan sebelum penanaman. Cara pembukaan paranet dapat dilakukan
secara bertahap. Misalnya yang sebelumnya diberi naungan 40% diganti
dengan naungan 20%, setelah
kurang
lebih 2 minggu baru dibuka
tanpa naungan, dan dibiarkan 1-2 bulan kemudian ditanam.
(b) Penyiraman:
o Penyiraman dikurangi secara berangsur-angsur sehari sekali dan dua
hari sekalai kemudian tiga hari sekali sehingga pada saat bibit akan
ditanam sudah kuat oleh sinar matahari langsung dan tahan kering.
o Ciri-ciri bibit yang sudah kuat adalah:
- Pucuknya berwarna hijau tua, tidak berwarna merah atau hijau
muda.
-
Pucuknya sudah mengeras.
-
23
2. Pembibitan dengan biji
(1) Pemilihan pohon induk
Kriteria pohon induk adalah sebagai berikut;
o Pohon induk sehat dan menghasilkan banyak buah,
o Jenis berkayu yang asli di dalam dan sekitar areal restorasi,
o Prioritasnya jenis kunci termasuk jenis pohon sarang dan pohon pakan,
o Sebaiknya buah dan biji dikumpulkan dari beberapa pohon induk dalam
satu jenis karena menjaga keanekaragaman sifat keturunan (DNA).
Perbedaaan pertumbuhan antara anakan Cabutan dan dari
Biji
Foto18:
Bibit sebelah kiri yang dihasilkan
melalui pembibitan dengan biji
kelihatan lebih baik dari bibit sebelah
kanan yang dihasilkan dari cabutan,
karena daun paling bawah masih ada
pada bibit sebelah kiri, sedangkan daun
bagian bawah pada bibit sebelah kanan
sudah hilang.
(2) Pengambilan buah
(a) Buah yang masih di pohon: Menggunakan jaring/perangkap biji (seed trap)
yang dipasang di bawah pohon induk, atau dipetik/dipanen langsung di
pohon.
Identifikasi waktu pengambilan buah berdasarkan pengamatan warna,
kekerasan dan waktu buah pecah. Buah yang diambil adalah buah yang
sudah matang karena kematangan buah menpengaruhi prosentase
kecambah dan kualitas bibit.
24
Foto19: Jaring/perangkap biji (seed trap)
(b) Buah yang sudah jatuh: Hindari buah yang teralu kering, dan yang
terserang hama dan penyakit.
(3) Pembersihan buah atau biji
Pembersihan dilakukan secepat mungkin setelah pengambilan buah
atau biji. Hindarkan penyimpanan buah atau biji di dalam kantong
plastik karena kemungkinan buah atau biji cepat busuk atau mati.
Sebaiknya biji ditabur secepat mungkin setelah dibersihkan.
Biji diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu biji yang berkulit keras dan
biji yang berdagin tebal.
(a) Biji yang berkulit keras atau tipis
Melepaskan sampah dari biji dengan menggunakan ayakan,
angin, air
atau sterofoam. Beberapa jenis biji dapat direndam lebih dahulu di dalam
air selama 1-2 hari sampai kulitnya lembek, kemudian kulitnya dikupas.
Untuk merendam sebaiknya gunakan air yang mengalir atau air tawar
yang mengandung kadar oksigen yang cukup.
Bagi biji yang tidak dapat dikupas kulitnya, jemur biji tersebut di atas
kertas koran atau kain yang bersih di bawah sinar matahari selama
setengah hari atau satu hari. Berhati-hati supaya biji tidak teralu kering.
25
(Helicia)
(Lithocarpus)
(Engerhardia)
(Dysoxylum)
(Magnolia)
(Turpinia)
Foto 20: Biji yang berkulit keras atau tipis
(b) Biji yang berdaging tebal
Rendam biji yang berdaging di dalam air, sehingga daging buah
mengalami busuk dan mudah dikupas. Pisahkan biji dari daging
buah. Bila permukaan biji yang masih bergetah dan lengket, perlu
dibersihkan dengan cara menggosok biji dengan pasir dalam telapak
tangan. Kemudian jemur biji tersebut di atas kertas koran atau kain
yang bersih di bawah sinar matahari.
(Ficus)
(Polyalthia)
(Pittosporum)
(Litsea)
(Elaeocarpus)
(Syzgium)
(Tabernaemontana)
Foto 21: Biji yang berdaging tebal
Secara umum biji yang mengapung dalam air adalah biji yang
tidak
cukup matang kecuali biji yang mempunyai sayap. B iji yang kurang
baik secara fisik seperti bentuk atau warna dibuang.
(4) Penyimpanan
Sebaiknya biji langsung ditabur setelah dibersihkan. Apabila diperlukan
penyimbpanan
biji,
disarankan
26
menggunakann
kantong
kertas.
Hindarkan
penyimpanan
biji
di
dalam
kantong
plastik
karena
kemungkinan biji cepat busuk atau mati.
(5) Perlakuan biji
Cara perlakuan biji berbeda tergantung pada jenis dan sifat biji.
Kebanyakannya sebelum tabur biji direndam di dalam air hangat selama
setengah sampai satu jam.
o
Bagi biji yang keras dan tidak dapat dikupas, biji tersebut dilukai
supaya biji tersebut dapat cepat pecah dan berkecambah.
o
Sebaiknya biji ditabur secepat mungkin, namun apabila diperlukan
penyimpanan maka dapat menggunakan kantong kertas. Jangan
menggunakann kantong plastik.
o Biji diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan ukurannya.
•
Kategori I: Diameter biji <1mm
•
Kategori II: Diameter biji 1 ~ 10mm
•
Kategori III: Diameter biji > 10mm
(6) Penyiapan media bedeng tabur
o
Menyiapkan keranjang dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 30 cm dan
kedalaman 10 cm.
Gambar1: Keranjang
o
Sebaiknya udara dapat masuk dari bawah keranjang agar sirkulasi
udara bagus. Jangan taruh keranjang di tempat yang sinar matahari
masuk secara langsung. Sebaiknya gunakan paranet untuk memberikan
naungan.
o
Pasang kain jala ke dalam keranjang. Kain jala yang lubangnya besar
tidak cocok karena akar cepat menembus jaring setelah berkecambah.
Walaupun menggunakan kain jala yang lubangnya halus masih dapat
ditembus oleh akar bila bibit dibiarkan terlalu lama. Oleh karena itu,
27
seharusnya biji berkecambah/ bibit ditrasplantasi ke polybag sebelum
akar berkembang.
o
Media bedeng tabur terdiri dari bahan-bahan yang disesuaikan
berdasarkan kategori I, II dan III sebagai berikut;
- Untuk biji Kategori I:
•
Tanah butiran: Tanah diambil dari kedalaman 30 cm atau
lebih dan dijemur di atas lembaran plastik. Tanah yang tidak
subur dan sedikit kasar lebih baik. Jangan menggunakan
tanah yang liat. Kemudian tanah butiran tersebut diayak 2
kali (1mm dan 5mm). Menggunakan tanah butiran ukuran
antara 1~5mm.
•
Cocopeat: Cocopeat yang organiknya sudah dihilangkan
dengan cara merendam/mencuci dengan air mengalir selama
2 hari, kemudian dikeringkan dan diayak dengan ayakan 5
mm. Menggunakan cocopeat ukuran kurang dari 5 mm.
•
Pilih salah satu dari dua jenis media di atas. Jangan
menggunakan media campuran.
- Untuk biji Kategori II:
•
Tanah butiran: sama dengan Kategori I.
•
Pasir: diayak 2 kali (1mm dan 5mm). Menggunakan pasir
ukuran antara 1~ 5mm.
•
Cocopeat: sama dengan Kategori I.
•
Pilih salah satu dari ketiga jenis media di atas. Jangan
menggunakan media campuran.
- Untuk biji Kategori III:
•
o
Tanah butiran: sama dengan Kategori I dan II.
Tanah butiran yang sudah digunakan untuk media penaburan tidak
boleh digunakan kembali untuk mencegah penularan jamur dan bakteri
pada tahapan kecambah.
28
Gambar2: Pembuatan media untuk bedeng tabur.
(7) Penaburan biji
(a) Cara penaburan unutk biji Kategori I
Lapisi keranjang dengan kain jala 1 lembar, masukkan media sampai
ketebalan 8 cm.
Campur biji dengan pasir ke dalam kantong plastik, kocok sampai biji
tercampur secara merata di dalam kantong plastik. Tabur biji yang
sudah dicampurkan dengan pasir ke dalam keranjang secara merata
pada media.
Gambar3: Cara penaburan biji Kategori I .
29
Setelah penaburan biji, tutup permukaan media dengan sekam setebal
kurang lebih 2-3 mm supaya biji tidak keluar dari keranjang pada saat
penyiraman. Kemudian dilakukan penyiraman.
Tentang kerapatan biji yang ditabur, sebaiknya ada setiap bibit dari areal
1~2 cm x 1~2 cm agar bibit mudah ditransplantasi ke polybag.
Selanjutnya keranjang tersebut ditaruh di atas rak bambu yang terdiri
dari dua batang bambu yang disusun sejajar. Jangan disusun keranjang
dua lapis atau lebih, karena air bekas siraman dan sampah akan jatuh ke
keranjang yang di bawah disamping itu keranjang yang di bawah tidak
mendapakan sinar matahari cukup. Selain itu keranjang yang di bawah
susah untuk mengamati pertumbuhan kecambah.
(b) Cara penaburan untuk biji Kategori II
o Lapisi keranjang dengan kain jala 1 lembar, masukkan media sampai
ketebalan 5 cm. Biji yang sudah diseleksi ditaruh di atas media di dalam
keranjang dengan jarak yang merata (rata-rata 3 x diameter biji). Biji
tidak boleh dikubur di dalam media tersebut.
o
Gambar4: Cara penaburan biji Kategori II.
o
Menyiapkan kain jala yang ukurannya lebih lebar 8-10 cm dari
ukuran keliling keranjang dan tutup biji yang sudah ditabur. Kemudian
masukkan media di atas kain tersebut dengan ketebalan 3 cm dan
ratakan permukaan media dengan menggunakan kayu, tetapi jangan
menekan secara keras.
30
o
Melakukan penyiraman supaya kondisi media menjadi lembab secara
rata. Penyiraman yang kedua kali boleh dilakukan setelah media dan
kain jala kelihatan menjadi sedikit mengering.
Gambar5: Cara pembuatan bedeng tabur untuk biji Kategori II.
o Selanjutnya keranjang tersebut ditaruh di atas rak bambu yang terdiri dari
dua batang bambu yang disusun jajar.
(c) Cara penaburan untuk biji Kategori III
Lapisi keranjang dengan kain jala 1 lembar, masukkan media sampai
ketebalan 8 cm.
Seleksi biji yang kulitnya telah pecah atau mulai berkecambah. Biji
tersebut ditaruh di atas media di dalam keranjang dengan jarak antara
biji 3 x diameter biji. Biji tidak boleh dikubur di dalam media tersebut.
Selanjatnya tutup keranjang dengan plastik bening (sungkup) supaya
menjaga kelembaban dalam keranjang. Taruh keranjang tersebut di atas
rak bambu yang terdiri dari dua batang bambu yang disusun jajar.
31
Foto22: Penaburan biji
Kategori I (atas),
Kategori II(tengah) dan
Kategori III(bawah).
Foto23: Penyiraman dengan
menggunakan gembor.
Foto24:
Sungkup
untuk
bedeng tabur.
(8) Penyiapan media dan polybag
Sama dengan pembibitan dari anakan di II-1-(4) atas.
(9) Transplantasi semai/ biji berkecambah ke polybag
(a) Biji Kategori I
Apabila biji telah berkecambah dan memiliki 4 daun, semai diangkat
dan ditransplantasi ke polybag.
32
Perbedaan pertumbuhan biji cimung dari media
Tanah dan Kokopit
Foto25: Semai dari biji kategori I
dengan menggunakan media
tanah (kiri) dan cocopeat (kanan).
Foto26: Membuat lubang dengan menggunakan silinder.
Foto27: Transplantasi bibit dari bedeng tabur ke polybag.
Semai pada tahapan ini tidak cukup kuat dan gampang terluka. Waktu
transplantasi, berhati-hati supaya tidak langsung memegang daun dan
akar dengan jari. Pungut semai yang akan ditransplantasi dengan
menggunakan pinset bambu.
o Buat lubang dalam polybag dengan menggunakan silinder yang sesuai
dengan ukuran semai.
Tekan silinder pada media ke dalam polybag,
kemudian cengkram dengan kuat, angkat silinder dengan tanah yang
ada pada silinder tersebut sehingga akan terbentuk lubang dalam
polybag.
o Bila menggunakan pinset bambu yang tumpul, tusukaan pinset
33
tersebut ke dalam media polybag sesuai dengan ukuran semai.
Kemudian jepit dan angkat pinset beserta media polybag.
o Pungut semai dengan menggunakan pinset bambu, kemudian
masukkan semai ke dalam lubang yang ada di dalam polybag. Setelah
itu berikan sedikit tanah agar rata dan tambahkan sedikit sekam
diatasnya dengan tebal 2-3mm. Pada saat itu jangan tekan tanah dalam
polybag.
o
Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor. Jangan siram
air
samapi sekam mengapung.
(b) Biji Kategori II dan III:
o Bila biji sudah berkecambah (akar sudah kelihatan), transplantasi biji
yang berkecambah tersebut ke polybag secepat mungkin.
Foto28: Tahap perkecambahan
Kecambah yang akarnya sudah membengkok dan sudah mulai keluar
rambut akar susah ditransplantasi karena permukaan rambut akar
mudah rusak.
o Untuk biji Katergori II, waktu perkecambahan berbeda-beda tergantung
pada jenis tumbuhan. Untuk mengecek keadaan kecambah dengan cara
mengangkat kain tersebut ke atas. Cek keadaan kecambah dilaksanakan
setiap 4-6 hari. Bila beberapa biji sudah berkecambah, lakukan
pengcekan setiap hari. Dengan pengecekan tersebut, informasi dapat
dikumpulkan berkaitan waktu kecambah, misalnya awal, puncak dan
akhir waktu perkecambahan.
34
o Kalau ada biji yang berwarna putih, biji tersebut terkena jamur dan
harus diambil bersama beberapa biji serta media disekitarnya. Bila ada
banyak biji yang terkena jamur, buang biji dan media di dalam lubang
tanah yang berjarak 20-30 m dari bedeng tabur. Bila kain jala terkena
jamur, cuci kain secara bersih atau buang/bakar. Jangan biarkan
jamur berkembang di dalam tempat kerja pembibitan.
o Biji yang berkecambah yang dipungut dengan menggunakan pinset
bambu diletakkan kedalam wadah yang berisi sedikit air supaya tidak
cepat kering
o Rendam biji yang berkecambah dalam air selama 1 ~2 jam.
Air dalam
wadah tersebut harus bersih. Kalau ada banyak biji yang berkecambah,
air tersebut diganti dengan air yang baru.
o Buat lubang di dalam polybag dengan menggunakan pinset bambu.
Pungut biji berkecambah dari dalam air dan transplantasi biji tersebut
ke dalam media polybag dan kubur sampai biji tidak kelihatan.
o Tambahkan sedikit tanah sekitar biji yang berkecambah tersebut agar
permukaan rata. Setelah itu tabur sekam pada permukaan tanah dalam
polybag dengan ketebalan 2-3mm. Pada saat itu jangan tekan media
dalam polybag.
o
Prosesnya dilakukan sebagai kelompok yang terdiri dari 100 biji yang
berkecambah. Bila 100 biji yang berkecambah tersebut telah
ditransplantasi ke polybag, selanjutnya 100 biji yang berkecambah
yang lainnya dipungut dari keranjang, direndam dalam air dan
ditransplantasi ke polybag. Transplantasi untuk 100 biji berkecambah
harus diselesaikan dalam satu waktu.
o
Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor. Jangan
siram air samapi sekam mengapung.
Foto29: Pinset bambu
35
4. Sterculia foetida (Kapaka)
Kapaka)
1
04 Oktober 2013
2
4
5
21 Oktober 2013
29 Oktober 2013
09 Oktober 2013
3
16 Oktober 2013
Foto30: Transplantasi biji berkecambah dari biji kategori II
(10) Penyusunan polybag
Sama dengan II-1-(6) di atas
(11) Pemasangan sungkup
Sama dengan II- 1- (7) di atas.
(12) Penyiraman
Sama dengan II- 1- (8) di atas.
(13) Penguatan bibit
Sama dengan II-1-(9) di atas.
36
III. Persiapan lahan
1. Pembuatan sekat bakar
Apabila areal restorasi tersebut sering terjadi kebakaran hutan maka perlu
dibuat sekat bakar untuk mencegah merambatnya api apabila terjadi
kebakaran hutan. Sekat bakar dibuat di sekitar areal restorasi atau dibuat
berdasarkan blok dengan lebar sekat bakar 6 -15 m tergantung pada kondisi
vegetasi sekitar areal restorasi dan kecepatan angin yang biasanya bertiup
pada saat musim kemarau.
2. Pembuatan pagar hidup
Jika dipandang ada risiko tanaman akan dimakan oleh ternak karena ada
pengembalaan ternak dan satwa sekitar areal restorasi, pagar dibangun di
pinggir sekat bakar. Pagar tersebut adalah merupakan pagar hidup (bio fence)
yang di buat
dari tumbuhan asli setempat.
Foto31: Sekat bakar dan pagar hidup
Foto32: Pagar hidup
(sisi sebelah kanan)
3. Pembuatan jalur /piringan/berkelompok
Sistim jalur dilaksanakan dengan membersihkan perdu dan rumput selebar 1
m memanjang. Sistim piringan dilaksanakan membersihkan perdu dan
rumput dengan radius 50 cm. Sistim berkelompok dilaksanakan dengan
membersihkan perdu dan rumput seluas
4m x 4m dan ditanamai dengan
jarak 1.5m x 1.5m dan dipagar keliling.
Kelebihan penanaman jalur tersebut mudah dilakukan kontrol, sedangkan
biayanya lebih banyak dari piringan, penguapannya lebih besar karena
anginnya lebih kencang dan satwa dapat bergerak lebih leluasa untuk
memakannya.
37
4. Pembuatan dan pemasang ajir
Ajir dibuat dari bambu atau kayu dengan ukuran panjang 1 m. Ajir dipasang
pada setiap lubang sebagai tanda tanaman. Pucuk ajir tersebut dicat merah
atau tanda supaya tampak jelas.
Foto33: Ajir dari bambu
5. Pembuatan lubang
Lubang penanaman dibuat menjelang musim hujan dengan ukuran 30 cm x 30
cm dan kedalaman 30 cm. Kalau tanah di lokasi penanaman sangat tipis,
miskin hara dan/atau terdapat banyak pasir, krikil dan batu, ukurannya 40
cm x 40 cm dan kedalaman 40 cm. Lubang tanam dibuat sebelum datangnya
musim hujan paling lambat kurang lebih 10 hari sebelum penanaman. Tanah
bagian atas ditaruh sebelah kanan lubang dan bagian di bawah ditaruh di
sebelah kiri lubang.
6. Pembuatan embung air
Pembuatan embung air dilakukan pada saat menjelang musim hujan, dengan
harapan dapat dipergunakan pada musim kemarau. Lokasi embung berada di
dalam areal restorasi yang bukan merupakan daerah aliran air. Tanah digali
seluas 2m x 3m dengan kedalaman lebih kurang 1 m. Dasar lubang
dibersihkan dari batu, akar dan ranting pohon. Plastik UV diletakkan di atas
lubang, pada bagian tepinya ditutup dengan tanah.
38
Foto34: Embung air
39
IV. Penanaman
1.Transportasi bibit ke lapangan
Bibit yang telah diseleksi dibawa ke lokasi penanaman dari persemaian dengan
menggunakan kereta dorong atau mobil pick-up. Untuk menghindarkan agar
bibit tidak mengalami kerusakan sebaiknya bibit yang akan dibawa ke
lapangan disusun di dalam keranjang bibit.
2. Penanaman
Bibit yang akan ditanam dianjurkan paling kurang berukuran 30 Cm, dan bila
memungkinkan dianjurkan yang berukuran 50 cm agar dapat segera muncul
dipermukaan gulma yang pada umumnya tinginya lebih dari 1m.
Sebelum ditanam, bibit sudah dikuatkan terlebih dulu sehingga lebih tahan
o
terhadap kering maupun sinar matahari. Penanaman dilakukan pada saat
tanahnya sudah dingin atau setelah tiba hujan yang cukup lebat kurang lebih
1 minggu.
Bibit ditanam di dalam setiap lubang yang telah disiapkan. Pada
saat itu, pupuk organik dan arang sekam dapat dicampur dengan tanah dan
dimasukkan ke dalam lubang tersebut. Volume pupuk organik dan arang
sekam maksimum 30 % dari tanah yang digali. Arang sekam dapat
menurunkan keasaman tanah dan mempertahankan kelembaban tanah.
o Pada areal yang cukup kering dan bulan keringnya lebih dari 6 bulan serta
pada tempat-tempat yang bukit dan lereng yang terjal perlu ditambah lagi
hidrogell. Penambahan hidrogell dapat dilakukan pada awal musim kering.
o
Polybagnya dibuka kemudian bibit dimasukkan ke dalam lubang terus
ditimbun dengan tanah yang sudah dibersihkan dari akar rumput dan
dicampur dengan pupuk organik dan arang sekam (permukaan media bibit
tersebut rata dengan permukaan tanah).
o
Kemudian padatkan dengan tangan atau kaki agar tanaman tegak namun
jangan terlalu keras. Apabila lapisan humusnya tipis, sebaiknya lapisan
humus tersebut dimasukkan terlebih dulu baru kemudian lapisan tanah
diatasnya.
o Apabila akan menggunakan pupuk kompos dan hidrogell, campurkan terlebih
dulu dengan tanah yang akan dipakai untuk menimbun ditambah pupuk dan
serbuk hidrogell setengah atau satu sendok teh, diaduk merata baru dipakai
untuk menimbun tanaman. Lebih jelasnya dapat dilihat pada foto berikut.
o
Hidrogell perlu ditambahkan pada saat menjelang musim kemarau bagi
tempat-tempat yang berbukit terutama pada bagian punggung dan lereng.
40
Mencampur hidrogell, kompos dan tanah.
Memasukkan campuran
Memasukkan lingkaran
di atas kedalam
kardus di dalam lubang
lingkaran kardus
penanaman.
Fot35:
Bibit sudah ditanam.
Memasukkan
tanah
di
luar
Cara
penggunaan
hidrogell
lingkaran kardus.
3. Pemberian Mulsa
Untuk pengendalian penguapan dari tanah dan pencegahan kecepatan
pertumbuhan gulma di sekitar tanaman tersebut. Pemberian mulsa dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
41
o
Mulsa dari TAKARRULIK
Caranya gulma di sekitar tanaman
dipotong
kemudian
ditutup
dengan
tanah dan akar rumput yang digali
dengan
skop
atau
cangkul
dan
diletakkan terbalik pada sekitar batang
tanaman
kembali
agar
rumput
sehingga
tidak
rumput
tegak
tersebut
membusuk menjadi kompos.
Foto36: Mulsa dengan cara
TAKARRULIK
o
Mulsa dari TAKARRULIK dan gulma
Caranya gulma di sekitar tanaman
dipotong.
ditutup
Tanah
tanah
sekitar
kemudian
tanaman
ditutup
potongan gulma tersebut di atasnya
dengan ketebalan kurang lebih 20 cm
agar gulma tidak tumbuh kembali.
Foto37: Mulsa dari TAKARRULIK
dan gulma
o
Mulsa dari Bantal Gulma.
Cranya dibuat kantong dari jala nilon,
atau jaring ikan, dipotong ukuran 1m x
1m, kemudian dibelah bagian tengah
dan bagian pinggir dijahit. Setelah itu
masukkan potongan gulma kedalam
kantong tersebut hingga padat, dan
jahit
lagi
memasukkan
bagian
gulma
ujung
tadi.
untuk
Letakkan
bantal gulma tadi di atas tanah sekitar Foto38: Mulsa dari Bantal Gulma
tanaman, injak hingga padat.
42
o
Mulsa dari Lembaran Sabut Kelapa
Caranya
sabut
serabutnya
membuat
kelapa
seperti
keset,
diambil
bahan
untuk
kemudian
dicetak
dengan lem dan gunting sesuai dengan
ukuran.
Letakkan
lembaran
sabut
kelapa tersebut di atas tanah sekitar
tanaman.
Foto39: Mulsa dari Lembaran Sabut
Kelapa
43
V. Pemeliharaan
1.Penyiangan
Untuk mendapatkan sinar matahari, tumbuhan yang menaungi tanaman
dipotong,
direbahkan, dan dicabut agar sinar matahari sampai ke tanaman.
Apabila gulma dipotong akan lebih cepat tumbuh kembali. Mencabut gulma
beserta akarnya akan dapat menghilangkan persaingan mendapatkan nutrisi
dan air, namun harus dilakukan secara hati-hati agar perakaran tanaman
tidak terlalu banyak terganggu atau tidak ikut tercabut. Menyiangi dengan
merebahkan gulma di sekitar tanaman dapat dilakukan lebih mudah dan cepat.
Namun bila tidak ditimbun dengan TAKARRULIK akan tegak kembali.
Penyiangan yang pertama kali dilaksanakan 2-3 bulan setelah penanaman
tergantung dari kecepatan tumbuhnya gulma dan dilanjutkan setiap 3-4 bulan
sampai saat tanaman menjadi lebih tinggi dari gulma sekitar tanaman.
Penyiangan
gulma
sekitar
tanaman
supaya
mengurangi
kompetisi
mendapatkan nutrisi, air, dan sinar matahari antara tanaman dengan gulma.
Foto40: Penyiangan
Foto41: Penyiangan jalur
2. Penyulaman
Pada saat penyiangan pertama atau kedua, kalau masih banyak turun hujan
segera lakukan penanaman kembali di tempat tanaman mati. Sasaran jumlah
tanaman setelah penyulaman adalah kurang lebih 600 batang/ha.
3. Pengendalaian hama, penyakit dan kebakaran
44
Upaya mengendalikan hama dan penyakit hindari penanaman monokultur.
Namun apabila masih terjadi serangan hama dan penyakit, diupayakan
dengan menggunakan obat organik, misalnya air rendaman tembakau, buah
bintaro, larutan cabe, dll.
Tindakan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merusak seperti kebakaran
hutan, penggembalaan ternak, dan kegiatan masyarakat yang dapat merusak
tanaman perlu dilakukan patroli secara terus menerus ataupun secara
periodik sampai tanaman tersebut diperkirakan dapat tumbuh dengan baik.
45
VI. Restorasi dengan Pola Penunjang Suksesi Alam dan Pola
Pengkayaan Tanaman
1. Penunjang suksesi alam
Penunjang suksesi alam dilaksanakan dengan teknik sebagai berukut:
(1) Penyiangan dengan memotong gulma yang berada sekitar tumbuhan
berkayu agar biji dan sinar matahari dapat mencapai tanah sehingga biji
mampu tumbuh.
(2) Pemotongan gulma dan tumbuhan menjalar yang melilit tanaman sehingga
tidak mengganggu pertumbuhan
(3) Pemindahan anakan dari tempat yang rapat anakan ke tempat yang jarang
anakan.
(4) Membantu penyebaran biji pada areal yang sudah dibersihkan agar
memperkaya anakan yang mampu tumbuh pada lokasi tersebut.
(5)
Penggarukan dilakukan dengan cara menggaruk atau membalikkan tanah
dengan tujuan biji dorman di dalam tanah dapat tumbuh.
Foto42: Penggarukan tanah.
2. Pengkayaan tanaman
Pengkayaan tanaman dilaksanakan dengan teknik sebagai berikut:
(1) Menanam bibit pada areal yang jarang tumbuhan dengan sistim piringan
acak menggunakan spesies kunci atau jenis-jenis sebagai pakan satwa,
sarang satwa ataupun jenis-jenis yang belum banyak terdapat pada lokasi
tersebut.
(2) Jumlah tanaman sama dengan 600 tumbuhan dikurangi jumlah tumbuhan
yang ditinggal sebelum pengkayaan tanaman.
(3) Melakukan pembersihan rumput yang terlalu tebal, dengan maksud agar biji
dan sinar matahari dapat mencapai tanah sehingga biji mampu tumbuh.
46
47
Lampiran
(Pengalaman Kegiatan Project-RECA)
I. Pengendalian
1. Pengendalian Serangan Satwa (TNGC)
- Penanaman dengan Sistim Berkelompok
2. Pembangunan Pagar Hidup (TNMT)
- Pengendalian dan Pemanfaatan sebagai Pakan Ternak
3. Pengendalaian Jenis Asing Invasif (TNGM)
- Pengkajian Perlakuan Eradikasi Jenis Asing Invasif
4.Pengendalian Sedimentasi (TNBTS)
- Pembuatan Batu Bata Tanpa Bakar dari Sedimantasi
- Pembangun Dam Penahan Sedimen dan Pembuatan Jebakan Lumpur
5. Pengendalian Kebakaran Hutan (TNBTS)
- Pembuatan Sekat Bakar
II. Pemanfaatan
1.Pembuatan pupuk organik (TNGM)
2. Penggunaan Posong sebagai Polybag Alami (TNGM)
- Pemanfaatan sumber daya lokal
3.Pembuatan Kompos dari Jenis Asing Invasif (TNBTS)
- Pengendalian dan Pemanfaatan
4.Pembuatan Bio-Gas dari Kotoran Sapi (TNMT)
- Pengendalian Pengembalaan Ternak dan Pemanfaatan
48
Pengendalian Serangan Satwa (TNGC)
- Penanaman dengan Sistim Berkelompok -
1. Ekosistem Awal
Di Taman Nasional Gunung Ciremai. Terdapat 3 tempat uji coba
ekosistem yaitu kebakaran hutan, bekas letusan gunung berapi, dan
perambahan, untuk Blok Seda dengan ketinggian 900-987 m dpl dan Blok
Lambosir dengan ketinggian 730-825 m dpl, kedua Blok uji coba ini
merupakan lokasi terdegradasi akibat kebakaran hutan. Sedangkan Blok
Karangsari, berada pada ketinggian 1.100-1.175 m dpl daerah ini merupakan
lokasi terdegradasi akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan.
Memperhatikan hal tersebut keadaan di Seda dan Lambosir banyak
kesamaan perihal tanah yang berpasir berwarna hitam pada punggung bukit
berbatuan, dan apabila kena air sangat poros, warna keabu-abuan dan pada
lereng bukit kurang subur, serta hampir tiap tahun saat musim kemarau ada
terjadi kebakaran. Tahun 2012 terjadi kebakaran hutan ratusan hektar
disekitar lokasi Blok Seda dan Blok Lambosir, Alhamdulillah pada tahun 2013
dengan dukungan iklim yang menguntungkan (hanya 3 bulan kering; Agustus,
September, Oktober), tidak terjadi kebakaran.
Keadaan iklim tahun 2013 tersebut menguntungkan, karena kegiatan
restorasi yang kaitannya dengan tanaman kelangsungan hidupnya akan lebih
besar karena bebas dari kekeringan terutama untuk tanaman yang baru umur
menjelang
1
tahun
dan
menjelang
umur
2
tahun,
walaupun
pada
kenyataannya ada beberapa yang mati karena tidak kuat kekeringan, bila
dibandingkan tahun 2012 yang bulan keringnya sampai 5 bulan.
Sedangkan Blok Karangsari tidak terjadi kekeringan maupun kebakaran
pada tahun 2013 dan tahun-tahun sebelumnya keadaan tanahnya relatif lebih
subur (lokasi bekas sayur), solum tanah lebih tebal warna kekuningan dan
lantai hutan tersusun dari rumput yang selalu hijau sepanjang tahun dan
disaat bulan kering (tidak ada hujan) rumput dan tanahnya selalu basah,
karena embun pagi hari, serta batuan tidak nampak seperti di Blok Seda dan
Blok Lambosir.
Menilik keadaan ekosistem seperti tersebut, maka kegiatan restorasi
dengan kegiatan penanaman dan pengkayaan perlu perlakuan yang dapat
mengurangi gangguan satwa pada dua Blok, satu Blok Karangsari, dua Blok
Seda dan Blok Lambosir. Bertolak dari hasil evaluasi pertumbuhan tanaman
49
tahun 2011 dan tanaman
tahun 2012, yang menyebabkan kematian paling
tidak ada 3 hal yaitu satu kekeringan (kemarau panjang), dua rumput dan
gulma (yang melilit) tanaman pokok, tiga serangan satwa serta serangan ulat
daun, dari hasil evaluasi pertumbuhan hasilnya sebagai berikut:
Tabel Monitoring Pertumbuhan Tanaman JICA-RECA OKTOBER 2013
Objek
monit
oring
Juml
Kondisi
Persenta
ah
Tanaman
se
tana Hid
man
up
Mati
Hid
up
Kondisi Tanaman
Mati Terbagus
Terburuk
Tingg
i
Ganggua
Rata-
n
rata
Babi,
Bintinu
Seda
2011
180
13
3
47
74
26
122 cm
%
%
Beringin
Loa 14 cm
43
cm
122 cm
kijang
dan
kekerin
gan
Kijang
Lambo
sir
216
2011
21
1
5
98
%
2%
Petag
Kimeong
76,
180 cm
15 cm
3
dan
landak,
kekerin
gan
Kijang
Lambo
sir
271
2012
19
4
77
72
28
%
%
Mara 128
cm
Huru D
7 cm
dan
53
landak
kekerin
gan
Karambi
Karang
sari
240
2011
6
44
82
18
400 cm
Huru D
66,
%
%
Kipare
10cm
4
Salam
Kicangkud
62,
139 cm
u : 30 cm
7
330 cm
Karang
sari
23
192
2012
18
4
7
96
%
4%
Babi,
ulat dan
semut
Babi,
ulat dan
semut
2. Penyebab
Dari tabel diatas penyebab gangguan pertumbuhan tanaman yang
disebabkan karena satwa yaitu Babi (Sus barbatus), kijang (Muntiacus
muntjak) dan Landak (Porcupine), dan juga gangguan ulat daun, serta
penggerek batang tanaman (untuk beberapa jenis tanaman restorasi), dari
50
ganguan satwa terhadap tanaman yang baru, dapat menyebabkan rusaknya
sekitar tanaman yang akhirnya tanaman akan mati, karena tanaman
terangkat oleh Sus barbatus, hal ini terjadi disemua blok, bila diurutkan
paling banyak di blok Seda, Karangsari, dan lambosir.
Untuk gangguan Muntiacus muntjak, terjadi di blok Seda dan Blok
Lambosir di Blok Karangsari tidak ada Sedangkan, Porcupin banyak
menyerang di blok Lambosir pada tanaman Planchonia valida dan Arenga
pinnata menyebabkan tanaman mati, utamanya di daerah dekat lereng yang
berbatu. Hal ini juga terjadi di blok Seda, Sedangkan di blok Karangsari tidak
terjadi, akan tetapi gangguan rumput yang melilit ke tanaman pokok cepat
sekali pertumbuhannya, sebaiknya setiap 2 – 3 bulan, dibersihkan utamanya
di musim penghujan, dan menjelang kemarau.
3. Keadaan saat ini
Bertolak dari kondisi ekosistem yang demikian maka ada perlakuan di
masing-masing blok untuk memperkecil atau mengurangi kematian tanaman
restorasi terutama dari gangguan satwa tersebut, diantaranya;
Blok Seda
a. Pemagaran dengan bambu terhadap tanaman (per pohon)
Dilaksanakan bulan Maret s/d Mei 2013, tanaman aman dari gangguan
Muntiacus muntjak, akan tetapi biaya buat pagar pertanaman menjadi
mahal bisa mencapai Rp. 4.500 per pohon. Hasil tanaman yang dipagar
lebih baik dan lebih subur serta aman dari gangguan satwa.
b. Tanaman berkelompok 3 x 3, dipagar 9 Jenis pohon
Dilaksanakan musim tanam 2013, yaitu November-Desember 2013, untuk
menanam 9 jenis bibit tanaman secara berkelompok dengan jarak antar
tanaman 1,5 m dan jarak antar kelompok bisa 8-10 m, kemudian dipagar
dengan bambu tinggi 1,5 m, dicoba buat plot sejumlah 90 plot, dengan
biaya per plot adalah Rp. 100.000,-.
Lambosir
Di Blok Lambosir, gangguan satwanya di banding Blok Seda masih ringan,
maka musim tanam November–Desember 2013 dibuat tanaman berkelompok
3x3 m tanpa pagar, biaya perkelompok bisa berkurang 30%nya.
Hasilnya
diamati dan dilaporkan tahun 2014/2015.
4. Tujuan Menanam dengan Sistem Berkelompok (MSB)
Adapun tujuan menanam dengan Sistem Berkelompok (3x3) m, ditanam 9
51
jenis bibit dengan jarak tanam 1,5 m, dipagar keliling dengan bambu dengan
tinggi 1,5 m, atau bahan yang ada disekitar area restorasi jarak antar
kelompok 8-10 m, agar supaya aman dari gangguan satwa yang ada
disekelilingnya.
5. Hasil Kegiatan
Sampai saat ini (umur tanaman + 1 th), khususnya di blok Seda, dimana
pemagaran tanaman perpohon diamati bulan Maret 2013 dapat dilaporkan
bahwa pertumbuhan tanaman lebih baik,lebih subur, dan lebih tinggi
dibanding tanaman yang tidak dipagar, hal ini karena terhindar dari gangguan
satwa.
Adanya pemagaran ini otomatis biaya membengkak, satu pagar tanaman
bisa sampai Rp. 4.500,- s/d Rp. 5.000,-, jadi bila menanam cukup luas maka
biayanya menjadi sangat besar.
Untuk menekan biaya diantaranya:
① Memanfaatkan bambu
yang ada di areal restorasi, (tidak harus membawa
dari bawah), akan tetapi sepertinya pihak TNGC setengah hati, dan juga di
dekat areal restorasi belum tentu ada bambu atau bahan yang diperlukan
untuk membuat pagar tanaman.
② Menanam dengan Sistem Berkelompok (MSB), berdasarkan fakta diatas
dicoba cara MSB, pada tahun 2013/2014. Harapannya tentu tanaman
berkelompok ini akan mampu tumbuh dan berkembang secara alami sesuai
waktu yang dibutuhkannya.
JICA-RECA
mulai
tanam
dengan
cara
MSB,
baru
mulai
tanam
November–Desember 2013, di Blok Seda dengan dipagar dan di blok Lambosir
tanpa pagar, hasilnya diamati dan dilaporkan tahun 2014/2015.
6. Kendala
Dalam pelaksanaan Menanam Sistem Berkelompok (MSB) dari kedua blok
secara umum adalah sebagai berikut:
① Pengangkutan material tanaman seperti, pupuk kandang dan bambu
sebagai bahan pagar, ke lokasi cukup sulit, karena jalan menuju lokasi
yang tidak mudah khususnya jalan ke Blok Seda. Sedangkan ke Blok
Lambosir relatif mudah setelah bulan November 2013 di timbun pasir batu
sampai 6 truk.
② Adanya pandangan bahwa, MSB dengan pagar seperti membuat kandang
babi
(Sus
barbatus),
hal
ini
merupakan
52
tantangan
karena
pada
kenyataannya tanaman yang dipagar telah memberikan hasil yang lebih
baik pertumbuhannya.
③ Pembuatan pagar bambu atau bahan lain yang ada di lokasi tanaman,
relatif tidak tahan lama, asumsinya pagarnya tidak lagi berfungsi, tanaman
berkelompok
ini
sudah
mampu
tumbuh
dan
beradaptasi
dengan
lingkungan sekitarnya, serta gangguan satwa tidak berarti lagi, karena
tanaman sudah tinggi. Belum sepenuhnya mendapatkan dukungan dari
pihak pengelola, dan juga masyarakat sekitar areal restorasi.
7. Lampiran foto;
Tanaman mati karena kekeringan
Tanaman yang kena penyakit
Tanaman diserang
landak
Pemagaran tanaman berkelompok
Pemagaran per pohon
53
Tanaman berkelompok tanpa pagar
54
Pembangunan Pagar Hidup (TNMT)
- Pengendalian dan Pemanfaatan sebagai Pakan Ternak
Luas Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (TNMTD) 87.984,09 Ha,
memiliki keanekaragaman hayati tinggi yang penting untuk dipertahankan
kelestariannya ,terdiri dari 118 jenis tumbuhan, 87 jenis burung ( 7 jenis
burung endemik Sumba), 57 jenis kupu-kupu (7 jenis kupu endemik Sumba), 4
jenis reptil dan 2 jenis amphibia endemik.Bedasarkan .
Hasil interpretasi LANDSAT ETM pada tanggal 3 Juli 2000, kawasan TNMT,
dengan perkiraan luasan tutupan adalah 45.692 Ha atau sekitar 52% dari luas
seluruh kawasan., merupakan tipe hutan dataran rendah masih dalam kondisi
baik. Hutan sekunder dalam bentuk belukar muda dan belukar tua memiliki
luas 10.551 ha atau sekitar 22 sebagian kawasan telah terdegradasi
berupa
savanna dan padang rumput
Secara Umum, penyebab
penggembalan
ternak
terdegradasinya hutan di Pulau Sumba adalah
secara
liar
dan
terkendali.
Untuk
mendukung
ketersediaan pakan ternak maka masyarakat melakukan pembakaran padang
pada setiap musim kemarau.
Penyebab berikutnya adalah pebukaan lahan dengan cara perladangan
berpindah-pindah, penebangan kayu untuk bahan bangunan juga merupakan
salah penyebab terbesar terdegradasinya hutan di Pulau Sumba.
Tutupan hutan Pulau Sumba pada tahun 1927 mencapai = 50%, kemudian
pada tahun 1997 menurun drstis masih = 10%, sedangkan
Tahun 2002
hanya tersisa = 6,5% dari data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa laju
kerusakan hutan di Pulau Sumba sangat cepat.
Dampak
dari
berkurangnya
luasan
hutan
di
Pulau
Sumba
adalah
berkurangnya debit air pada sumber-sumber air utama terutama untuk
kebutuhan air bersih dan untuk kebutuhan pertanian, serta mengancam
keberadaan species burung endemik pulau sumba yaitu julang sumba dan
kakatua
sumba
yang
semakin
langka
dan
hampir
punah.
Kegiatan
perlindungan dan pelestarian terhadap flora-fauna tersebut sangat penting
untuk pelestarian sumber air dan keberadaan species burung endemik yaitu
Julang dan Kakaktua sumba yang semakin langka dan hampir punah. Salah
satu upaya
yang dapat dilakukan adalah merestorasi kawasan yang
55
terdegradasi dengan
menanam anakan
pohon pakan dan pohon sarang
jenis pohon asli terutama jenis
bagi burung endemik Untuk mengamankan
anakan yang ditanam pada areal restorasi dari gangguan ternak lepas melalui
pembangunan pagar hidup (bio fence ) dengan menggunakan stek tumbuhan
kayu Gamal yang ada di sekitar areal Restorasi.
Kegiatan teknis yang dilakukan untuk pengamanan areal Ujicoba Restorasi
adalah dalam bentuk pemasangan pagar hidup. Bahan pagar hidup dari Kayu
Gamal dan divariasi dengan kawat berduri. Jarak Antara tiang pagar 50 cm dan
kawat duri yang dipasang terdiri dari 3 trap untuk menghindari masuknya
ternak ke dalam areal ujicoba restorasi. Selanjutnya dipasang juga pagar
pengaman dalam bentuk lain yakni pagar permanent dengan bahan dari besi
siku dan kawat berduri. Pagar permanent dipasang pada sepanjang sisi kiri
kanan
jalan
aspal.
Pemilik
ternak
memanfaatkan
jalan
aspal
untuk
mengusir/menggiring ternak menuju ke padang dan kembali ke kandang setiap
pagi dan sore hari. Oleh karena tingginya intensitas te nak lewat pada jalan
tersebut maka dipasang pagar permanen agar lebih kuat dan tidak mudah
tumbang karena desakan ternak dalam jumlah banyak. Pagar permanent
dipasang dengan jarak 100cm dan dipasang kawat berduri 4 tingkat. Tiang
pagar permanent dicor
dengan semen dan kerikil agar lebih kuat. Selanjutnya
kawat duri diikat pada tiang besi siku yang telah dilubangi menggunakan
kawat ikat.
Dalam pelaksanaan kegiatan
Restorasi
di Kawasan Tanaman Nasional
ManupeuTanah Daru , di perlukan tenaga kerja untuk membantu di lapangan.
Sebanyak 20 orang
masyarakat yang berasal dari desa Oka Wacu terlibat aktif
dalam setiap pekerjaan di areal restorasi
dengan
sejak dimulainya kegiatan
sampai
saat ini. Masyarakat tersebut dimasukkan Kelompok Kerja (Pokja)
Restorasi . Untuk pekerjaan tertentu yang membutuhkan tenaga yang banyak
dapat melibatkan masyarakat dari luar anggota Kelompok Kerja Restorasi.
Sesungguhnya semua masyarakat ingin terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan
pada program Uji COba Restorasi. Namun mengingat bahwa program restorasi
menekankan pada pengembangan kapasitas maka, ada pembatasan untuk
keterlibatan masyarakat secara umum pada setiap pelaksanaan pekerjaan.
Biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan pagar hidup dan pagar permanent
berasal dari dukungan JICA-RECA. Kebutuhan biaya untuk pengerjaan pagar
hidup dan pagar permanent untuk 1 Ha lahan Restorasi menghabiskan ±Rp.
56
6.000.000,Dengan dipasangnya pagar pengaman areal ujicoba restorasi
maka
anakan
yang ditanam aman dari gangguan ternak seperti kerbau dan sapi. Pagar
pengaman areal ujicoba restorasi juga sangat bermanfaat bagi masyarakat
pemilik lahanyang berbatasan dengan kawasan karena dapat mengolah lahan
dengan baik dan aman dari gangguan ternak lepas. Sebaiknya untuk bahan
pembuatan pagar hidup menggunakan kayu yang berasal dari sekitar kawasan
Taman Nasional seperti dadap dan beringin. Membutuhkan biaya yang besar
untuk pengadaan karena sangat terbatas sehingga harus didatangkan dari luar
areal restorasi
Foto: Pembuatan pagar hidup dari stek kayu dan kawat
Foto:
Sekumpulan ternak sapi tidak dapat masuk ke kawasan Restorasi karena
terhalang oleh pagar hidup (Kiri) .Tanaman Restorasi tumbuh aman dari
gangguan ternak (kanan)
57
Pengendalaian Jenis Asing Invasif (TNGM)
- Pengkajian Perlakuan Eradikasi Jenis Asing Invasif-
Acacia decurrens atau Akasia merupakan jenis asli dari New South Wales
Australia. Jenis ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman ornamental dan
kayu bakar. Di beberapa negara jenis ini sudah menjadi tanaman
pengganggu seperti di New Zealand dan beberapa negara di Afrika. Siklus
hidup Acacia decurrens cukup singkat yaitu antara 10-15 tahun dan
dikenal toleran terhadap frost. Acacia decurrens merupakan jenis yang
mudah tumbuh dari biji, meskipun memerlukan pre-treatment untuk
memecah dormansinya yaitu dengan cara pemanasan. Di area Gunung
Merapi di sekitar lereng selatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten
Sleman, Akasia mulai diperkenalkan pada sekitar tahun 1990an.
Erupsi Merapi tahun 2010 membawa dampak kerusakan yang sangat besar
terhadap ekosistem pegunungan di kawasan lereng selatan yang terutama
di jalur aliran material vulkanik. Pasca erupsi, hampir tidak ada kehidupan
yang tersisa karena semuanya musnah terbakar ataupun tertimbun
material vulkanik. Hanya beberapa jenis tanaman tertentu yang memiliki
organ penyimpan cadangan makanan yang masih mampu tumbuh kembali
meskipun tertimbun oleh material vulkanik (Zingiberaceae, Cannaceae,
Poaceae dan Musaceae). Selang beberapa waktu kemudian, Acacia
decurrens menjadi salah satu jenis yang mampu tumbuh dan menyebar
sangat cepat serta mendominasi di area bekas terjangan material vulkanik
Merapi. Meskipun demikian, ada juga jenis jenis pioner lain yang dapat
tumbuh di antara tegakan Acacia decurrens yaitu Homalanthus populneus,
Macaranga tanarius, Parasponia parviflora dan Trema orientalis. Jenis jenis
pionir ini tumbuhnya terdesak oleh keberadaan Acacia decurrens yang
memiliki pertumbuhan yang lebih cepat (fast growing species).
Sebagai tanaman introduksi, dominansi Acacia decurrens akan berdampak
secara ekologis bagi ekosistem di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Di antara dampak yang sudah kelihatan adalah terdesaknya species asli
Merapi dan berubahnya ekosistem kawasan. Untuk itu diperlukan suatu
upaya untuk pengendalian persebaran Acacia decurrens di kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi.
58
Telah dilakukan uji coba pengendalian Acacia decurrens di area lereng
selatan Gunung Merapi dengan beberapa metode yaitu dengan metode
tebang sampai pangkal batang, dicabut beserta akarnya, dikelupas kulit
batang bagian bawah, dan menggunakan herbisida organik. Uji coba ini
dilakukan pada dua musim berbeda yaitu kemarau dan hujan. Metode
tebang hingga pangkal batang dalam proses pengerjaannya memakan
waktu yang cukup lama dan tenaga yang lebih banyak, terutama jika pohon
sudah besar. Pada musim hujan, setelah tanaman ditebang, setelah
beberapa hari mulai tumbuh tunas baru. Begitu pula saat musim kemarau.
Namun pada musim penghujan kematian tunas yang baru tersebut lebih
cepat terjadi dikarenakan bagian sisa batang yang ditebang tersebut lebih
cepat membusuk oleh air dan ditumbuhi jamur. Pada uji coba di musim
kemarau, bekas batang yang ditebang cenderung kering. Namun beberapa
hari setelah ditebang, tunas tunas baru yang tumbuh lebih banyak.
Meskipun demikian kondisi tersebut tidak berlangsung lama karena tidak
tersedianya air tanah yang cukup maka tunas tunas menjadi kering.
Dengan metode ini, pada saat musim penghujan tanaman benar-benar mati
setelah 2-3 bulan, sedangkan pada saat musim kemarau tanaman
benar-benar mati setelah 1-2 bulan.
Metode mencabut hingga akar, dalam pengerjaannya membutuhkan waktu
yang lebih lama dan tenaga yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
metode tebang hingga pangkal. Namun dengan metode ini tanaman
benar-benar mati seketika setelah dicabut.
Metode mengelupas kulit batang bagian bawah tidak membutuhkan tenaga
yang cukup banyak dan waktunya hampir sama dengan menebang pohon
hingga pangkal batang sekitar 2-10 menit tergantung ukuran batang. Pada
musim penghujan, butuh waktu sekitar 2-3 bulan untuk tanaman
benar-benar mati dengan perlakuan seperti ini, sedangkan pada musim
kemarau, hanya butuh waktu 1-2 bulan untuk tanaman benar-benar mati.
Selama pengamatan muncul hal-hal yang cukup menarik, yaitu munculnya
lendir yang sangat banyak pada bekas bagian yang dikelupas dan bekas
sayatan, terutama pada saat musim penghujan. Lendir muncul hampir
disemua pohon yang diberikan perlakuan tersebut dengan jumlah yang
sangat banyak. Pada musim kemarau, lendir yang keluar dari bagian
batang yang dikelupas maupun disayat tidak sebanyak saat musim
penghujan, bahkan ada pohon yang tidak mengeluarkan lendir sama sekali.
Keluarnya lendir tersebut berlangsung kurang lebih selama 1-2 minggu.
59
Setelah lendir tersebut keluar, kemudian ada beberapa pohon yang tumbuh
akar pada bekas sayatan bagian atas terutama pada tanaman yang ukuran
batangnya sudah besar. Kondisi ini tidak berlangsung lama, karena setelah
akar tersebut tumbuh selang waktu 2-3 minggu tanaman akar benar-benar
mati.
Metode yang terakhir adalah dengan menggunakan herbisida organik.
Setiap pohon akasia yang akan diberi perlakuan ini, pada batang dilubangi
dengan bor untuk memasukkan herbisida. Setelah terbentuk lubang,
herbisida organik dimasukkan kedalam lubang tersebut yang selanjutnya
ditutup dengan malam. Butuh waktu cukup lama untuk dalam pengerjaan
perlakuan ini. Metode ini juga tidak efektif dikarenakan tidak terjadi
kematian pada pohon Acacia decurrens. Ketidakefektifan ini dikarenakan
malam yang digunakan untuk menutup lubang yang telah dimasukkan
herbisida organik dirusak oleh satwa, sehingga banyak lubang yang
terbuka kembali. Munculnya lendir pada bekas batang yang dilubangi
mendesak herbisida dan mengakibatkan lubang tertutup kembali. Hingga 3
bulan pemantauan tidak muncul tanda-tanda kematian pada pohon
dengan perlakuan ini.
Dari seluruh metode yang digunakan, metode menebang hingga pangkal
batang dan mencabut efektif digunakan pada tanaman yang ukurannya
masih kecil, atau dengan diameter dibawah 5 cm, sedangkan untuk ukuran
batang yang sudah besar, metode yang sesuai untuk digunakan adalah
dengan mengelupas kulit batang bagian bawah.
Foto:Akasia dipotong dari batang bagian bawah.
60
Foto:Semua akasia yang terdapat didalam plot dicabut.
Foto:Kegiatan pengangkatan kambium akasia.
Foto: Pemasukan herbisida organik.
61
Pengendalian Sedimentasi (TNBTS)
- Pembuatan Batu Bata Tanpa Bakar dari Sedimantasi
- Pembangun Dam Penahan Sedimen
dan Pembuatan Jebakan LumpurLatar Belakang
Sesuatu hal yang mecengangkan ketika melihat pertama kali kondisi
danau Ranupani saat ini, dibandingkan ketika melihat pada tahum 1988. Saat itu
luas danau mencapai 7 Ha lebih, dengan batas air terakhir adalah pada tepian
jalan dan dekat dengan balai desa yang sekarang ada.
Kedalaman danau pada
saat itu diperkirakan mencapai 10 meter lebih, kondisi air yang jernih, dan belum
ada lapangan saat itu.
Banyak
faktor yang
menyebabkan
terjadinya
perubahan
pada
danau
Ranupani, namun yang menjadi masalah utama di sekitar danau adalah pola
pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi.
Pemakaian
pola terasiring merupakan hal yang aneh bila ditemukan saat ini di sekitar danau.
Kondisi saat ini sangat berbeda jauh, saat ini telah terdapat lapangan dengan
luas sebesar lapangan bola (tanah loloran sedimentasi), luasan danau yang hanya
tersisa ± 4 Ha, kondisi danau yang keruh dan kecoklatan terutama pada saat
setelah hujan, dan yang pasti adalah kedalaman danau yang hanya 5 – 6 meter
pada 9 titik pengamatan pengukuran kedalaman yang telah dilakukan (tahun
2012).
Dampak yang pasti bias dilihat secara kasat mata adalah kerusakan fisik
danau, dimana danau menjadi dangkal, luas yang berkurang dan sampah yang
terikut pada saat terjadi hujan menjadi sebuah pemandangan yang sangat tidak
mengenakkan mata untuk memandangnya.
Tujuan
Kegiatan ini mempunyai tujuan utama yaitu, mencoba untuk menahan laju
sedimentasi yang menuju ke danau Ranupani dan memanfaatkan tumpukan
sedimentasi yang ada di areal riparian danau Ranupani.
Kegiatan
1. Kegiatan teknis yang telah dilakukan adalah
a. membuat percontohan untuk memanfaatkan sedimentasi yang telah ada di
sekitar danau dengan membuat batu bata tanpa bakar.
b. Membuat dam penahan dengan menggunakan konstruksi bahan local
(murah), dengan harapan ketika berhasil diterapkan masyarakat Ranupani
62
akan mau untuk menirunya.
c. Membuat jebakan lumpur dengan ukuran 4 x 5 x 3 meter, sebanyak 3 buah.
2. Keterlibatan masyarakat sekitar areal restorasi, keterlibatan masyarakat local
sangat minim, dalam hal partisipasi secara aktif pada saat pelaksanaan
pengendalian sedimentasi.
Masyarakat hanya mau diberikan upah pada saat
mereka terlibat dalam kegiatan tanpa upaya untuk meniru apa yang telah
dikerjakan oleh JICA-RECA.
Biaya
Secara total biaya untuk uji coba pengendalian sedimentasi telah menghabiskan
dana sekitar Rp. 60.000.000,-- (mulai dari pembuatan pondok kerja batu bata
tanpa bakar, pengadaan peralatan cetakan batu bata, pembelian bamboo untuk
dam, penggalian lubang sediment trap dan upah harian.
Pemanfaatan
1. Pemanfaatan batu bata tanpa bakar yang telah dibuat belum mampu membuat
masyarakat Ranupani untuk memanfaatkan dan meniru membuatnya.
Pemanfaatan hanya dibuat untuk pembuatan MCK umum dan bak sampah di
desa Ranupani.
2. Untuk dam penahan hingga saat ini hanya tersisa 3 dam penahan yang
bertahan, dan memang telah menunjukkan hasil yang menggembirakan
dengan konstruksi yang telah diperbaiki dari dam penahan sebelumnya.
Sebelumnya telah dibuat 19 dam penahan, namun hanya bertahan selama 2
kali hujan lebat yang menghancurkan semua dam yang telah dibuat.
3. Sediment trap hanya bertahan selama 3 kali hujan lebat dan langsung penuh
dengan sediment.
Kendala
Kendala utama dalam pengendalian sedimentasi adalah cuaca yang ekstrem pada
saat musim penghujan, dan kondisi pengelolaan lahan pertanian oleh masyarakat
yang mengakibatkan tidak berfungsinya semua upaya yang telah dilakukan.
Semua kegiatan teknis yang telah dilakukan tidak akan pernah berhasil untuk
mengantisipasi permasalahan sedimentasi di Ranupani.
Saran
Untuk menyelesaikan masalah sedimentasi di Ranupani adalah merubah pola
pikir
masyarakat
Ranupani
dalam
pengelolaan
lahan
pertanian,
permasalahan utama adalah pola pikir bukan dengan kegiatan teknis.
63
akar
64
65
Pengendalian Kebakaran Hutan (TNBTS)
- Pembuatan Sekat BakarLatar Belakang
Areal ujicoba restorasi seluas 100 Ha merupakan areal rawan kebakaran pada
musim kemarau, sebelum ditetapkan sebagai areal ujicoba tahun 2010 telah
seringkali terjadi kebakaran pada lokasi tersebut.
Baru pada bulan Mei 2012 dibuat jalur sekat bakar yang mengelilingi areal
sepanjang 4 km, dengan menggunakan jalur delineasi areal yang telah dibuat.
Hingga saat ini jalur sekat bakar telah berhasil meminimalisir kejadian kebakaran
yang terjadi pada tahun 2013 sebanyak 1 kali saja di luar areal ujicoba sehingga
tidak sampai menembus batas.
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengendalikan kebakaran hutan yang sering terjadi
pada real ujicoba.
Kegiatan
1. Tahap awal dilakukan pengukuran atau delineasi areal ujicoba 100 Ha
hingga ditemukan batas-batasnya.
2. Dibuat jalur rintis terlebih dahulu selebar 3 meter, sepanjang 4 km.
3. Dilakukan
pembabatan
sampai
bersih
dengan
meninggalkan
anakan-anakan vegetasi yang dibutuhkan dalam kegiatan restorasi agar
tetap tumbuh dengan baik, dan beberapa diambil untuk digunakan sebagai
bibit cabutan pada titik-titik yang mempunyai kelimpahan tinggi.
Biaya
Biaya untuk pemanfaatan E.riparium hanya membutuhkan biaya Rp. 8.000.000,-untuk pembelian mesin chooper.
Pemanfaatan
1. Jalur sekat bakar hingga saat ini masih tetap berfungsi dengan baik, hal ini
dikarenakan dilakukan perawatan secara rutin setiap 3 bulan sekali.
2. Pada jalur yang telah dibuat banyak sekali ditemukan anakan vegetasi
restorasi dan dilakukan perawatan agar tetap tumbuh.
3. Banyak pengunjung TNBTS yang memanfaatkan jalur sekat bakar sebagai
sarana jungle trek, terutama para pengunjung mancanegara dan dipandu
oleh para guide local desa Ranupani.
Kendala
66
Kendala yang ada meliputi perawatan rutin yang membutuhkan perhatian ekstra
dan pertumbuhan dari IAS (kirinyu dan akasia) yang cepat sekali menutup jalur
sekat bakar yang telah ada.
Saran
1. Perlu dilakukan perawatan secara rutin setiap 2 bulan sekali, agar tetap
terjaga jalur yang telah dibuat.
2. Perlu penambahan lebar jalur yang telah ada 3 meter menjadi 5 meter, hal
ini diperlukan pada saat-saat tertentu pada musim kemarau terjadi angin
yang sangat kencang dikhawatirkan akan dapat memercikkan api bila jalur
kurang lebar.
67
Pembuatan Pupuk Organik (TNGM)
A. Alat:
1.
2.
3.
4.
Cangkul
Ember 10 lt
Sprayer
Terpal
B. Bahan:
1.
2.
3.
4.
5.
Pupuk kandang (kotoran sapi) (3 ton)
Dedak (100 kg)
EM4 (1 liter)
Gula pasir (1,5 kg)
Air (secukupnya)
C. Cara Pembuatan larutan EM4 :
1.
2.
3.
4.
Disiapkan ember dan air bersih.
20 lt air dimasukkan ke dalam ember.
Dilarutkan 1,5 kg gula pasir ke dalam air. Aduk sampai rata
1 lt EM4 dimasukkan ke dalam campuran. Aduk sampai rata (larutan
EM4)
5. Larutan EM4 tersebut dimasukkan ke dalam sprayer.
D. Cara Pembuatan Pupuk:
1. Pupuk kandang diratakan pada permukaan tanah dengan ketebalan
30 – 40 cm
2. Pada permukaan pupuk kandang ditaburi dengan Dedak hingga
merata dengan ketebalan + 1 cm.
3. Larutan EM4 disemprotkan pada permukaan (pupuk kandang &
Dedak) sampai merata (kelihatan basah).
4. Pupuk kandang dan Dedak dicampur dengan cangkul hingga merata.
5. Ulangi tahap 2, 3 & 4 sampai Dedak habis terpakai semua.
6. Tutup dengan terpal
7. Dilakukan pengadukan setiap 1 minggu sekali. 3x berturut turut.
E. Ciri Ciri Pupuk yang Sudah Jadi:
1. Tidak berbau
2. Suhu normal (tidak panas)
68
Penggunaan Posong sebagai Polybag Alami (TNGM)
- Pemanfaatan sumber daya lokal-
Area restorasi JICA-RECA di Site Ngablak, Kecamatan Srumbung, Magelang
berada pada suatu area yang merupakan bekas kegiatan pertambangan
pasir dan batu yang sudah cukup lama ditinggalkan. Area ini merupakan
suatu badan sungai yang tertutup oleh material vulkanik Merapi akibat
letusan Merapi pada sekitar tahun 1960an. Hampir sebagian besar area
tidak memiliki kandungan tanah yang cukup.
Untuk membantu usaha meningkatkan daya hidup bibit tanaman yang
ditanam di area restorasi maka dilakukan suatu cara untuk mengurangi
stres tanaman pada saat pelaksanaan penanaman di lapangan. Salah satu
cara yang dilakukan adalah dengan penggunaan posong sebagai tempat
untuk pembibitan sebelum bibit di tanam di area restorasi. Posong
merupakan suatu wadah untuk menanam bibit yang berbentuk seperti
polibag yang bahannya berasal dari bambu yang dianyam. Umumnya
posong digunakan oleh masyarakat petani Salak Pondoh di daerah Sleman
dan Magelang untuk pembibitan Salak Pondoh. Posong digunakan oleh
petani Salak Pondoh sebagai wadah untuk menanam bibit Salah Pondoh
hasil cangkokan. Penggunaan posong oleh para petani salak dalam usaha
pembibitan salak terbukti telah berhasil dengan baik yaitu bahannya
sangat mudah diperoleh, harganya relatif murah dan merupakan produk
masyarakat lokal. Atas dasar inilah maka dalam persiapan bibit untuk
penanaman di area restorasi digunakan posong sebagai bahan untuk
persiapan bibit.
Secara teknis posong memiliki beberapa kelebihan yaitu sangat mudah
diperoleh, proses transplantasi bibit ke dalam posong juga sangat mudah.
Karena berbahan dasar bambu maka posong akan cepat teruraikan
(pembusukan) di dalam tanah di area restorasi. Sehingga memudahkan
akar untuk berkembang lebih cepat. Keuntungan yang lain adalah
mengurangi tingkat kerusakan akar pada saat penanaman bibit di
lapangan karena bibit langsung bisa di tanam di dalam lubang tanpa harus
membuka wadah bibit (misal polibag). Sehingga bibit tetap segar (tidak
stres) pada saat ditanam. Namun demikian posong juga memiliki
69
kelemahan yaitu tidak dapat digunakan dalam jangka yang relatif lama di
persemaian. Posong umumnya hanya mampu bertahan menopang bibit
dalam kisaran 3-4 bulan. Setelah itu posong akan mudah rusak oleh air.
Hal ini dapat disiasati dengan penentuan jadwal waktu yang tepat untuk
transplantasi bibit ke dalam posong sebelum penanaman.
Posong sebagai pengganti polibag
Posong mudah rusak oleh air dalam jangka
waktu lama
70
Pembuatan Kompos dari Jenis Asing Invasif
(TNBTS)
- Pengendalian dan PemanfaatanLatar Belakang
Areal uji coba restorasi di Ranupani hampir didominasi oleh jenis
E.riparium untuk semaknya.
Hal ini juga mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan anakan jenis-jenis lain yang ada, penutupan E.riparium juga
menyebar hampir di seluruh kawasan TN. Bromo Tengger Semeru.
Hasil
wawancara dengan masyarakat adat, pemuka desa, menyebutkan bahwa
E.riparium (triwulan ; bahasa Tengger) memang sudah ada sejak lama dan
dimanfaatkan oleh masyarakat Ranupani sebagai bahan pupuk organic, jauh
sebelum masyarakat mengenal berbagai jenis pupuk kimia.
Faktor yang menyebabkan keberadaan jenis ini di areal uji coba restorasi
juga belum diketahui secara pasti, namun diduga berasal dari para surveyor
pada zaman kolonial (1920) maupun penyebaran oleh satwa dengan membawa
biji yang telah masak.
Saat ini hampir di semua sudut desa Ranupani maupun di dalam areal
ujicoba
restorasi
bias
dijumpai
E.riparium
dengan
berbagai
ukuran.
Masyarakat sekitar areal memanfaatkan tonggak atau batang kering (keropok)
sebagai kayu bakar, karena hanya jenis ini yang boleh diambil sebagai kayu
bakar oleh masyarakat.
Namun saat ini pemanfaatan oleh masyarakat
sebagai bahan pupuk sudah berkurang, hal ini diakibatkan oleh kebutuhan
instan masyarakat akan pupuk untuk pertanian sangat tinggi, dan masyarakat
belum menyadari sepenuhnya akan akibat penggunaan pupuk secara
berlebihan di lahan pertanian.
Dampak dari ujicoba penggunaan pupuk E.riparium sangat luar biasa
untuk lahan pertanian, di awal hanya melakukan ujicoba pada demoplot yang
telah dibuat, namun saat ini sudah ada kelompok masyarakat atau
masyarakat
Ranupani
secara
individu
yang
telah
berinisiatif
untuk
menggunakan pupuk E.riparium kembali. Untuk ujicoba di demoplot pada
tanaman bawang polong (Allium porum) pada luas areal 1.000 m2 telah dapat
menghasilkan 1,1 ton bawang, secara hitung-hitungan oleh masyarakat hanya
mampu menghasilkan sekitar 500 kg saja.
kentang
(Solanum
menggunakan
tuberosum)
pupuk
yang
E.riparium
Begitu juga dengan tanaman
ditanam
pada
71
oleh
luasan
4
masyarakat
dengan
Ha,
mampu
telah
menghasilkan hampir 20 ton, dibandingkan dengan sebelum menggunakan
pupuk tersebut yang hanya mampu menghasilkan 16 ton saja.
Namun kesemuanya itu masih membutuhkan analisa dan kajian lebih
lanjut secara ilmiah tentang hubungan penggunaan pupuk tersebut.
Tujuan
Kegiatan ini mempunyai tujuan utama yaitu, mencoba mengendalikan
pertumbuhan E.riparium
melalui pembuatan jalur tanam, sekat bakar dan
memanfaatkannya untuk dijadikan bahan pupuk organic.
Kegiatan
1. Kegiatan teknis yang telah dilakukan untuk pengendalian adalah membuat
jalur tanam di areal ujicoba restorasi, dengan lebar 1 meter pada sepanjang
jalur tanam.
2. Untuk pemanfaatan hanya melakukan perajangan / pencacahan dengan
menggunakan mesin chooper (perajang) dan langsung menaburkannya
pada lahan pertanian atau pada polybag untuk bibit restorasi.
Perlakuan
secara fermentasi tidak berhasil dilakukan, hal ini dikarenakan proses
pembusukan tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena kondisi iklim
yang terlalu dingin.
Biaya
Biaya untuk pemanfaatan
E.riparium hanya membutuhkan biaya
Rp.
8.000.000,-- untuk pembelian mesin chooper.
Pemanfaatan
1. Saat ini pada lokasi demoplot telah menggunakan pupuk E.riparium
dengan komoditi tanaman bunga potong, kentang, wortel, bawang prei dan
bawang putih.
2. Ditaburkan pada celah-celah antar tanaman dan ditutup dengan tanah
kembali.
3. Sebagian masyarakat sudah mulai mencoba untuk menggunakan pupuk
tersebut pada lahan pertanian mereka sendiri, masyarakat menggunakan
mesin chooper yang telah dimiliki oleh JICA – RECA.
Kendala
Kendala utama adalah proses pembuatan yang membutuhkan waktu yang
agak lama, mulai dari memotong, mengumpulkan dan merajang E.riparium
serta menaburkan pada lahan pertanian, dibandingkan dengan menggunakan
pupuk lain yang hanya tinggal menaburkannya.
Hal ini yang mengakibatkan
minat masyarakat untuk menggunakan pupuk tersebut sedikit terhambat.
72
Saran
1. Diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan tentang pemanfaatan
E.riparium untuk pupuk organic oleh instansi terkait (BB. TNBTS
maupun Dinas Pertanian).
2. Perlu perubahan policy atau kebijakan tentang pengambilan E.riparium
dalam kawasan TNBTS oleh masyarakat dengan tujuan pengendalian
dan pemanfaatan IAS E.riparium,
agar masyarakat tidak ragu untuk
memanfaatkan E.riparium sebagai pupuk.
73
Pembuatan Bio-Gas dari Kotoran Sapi (TNMT)
-
Pengendalian Pengembalaan Ternak dan Pemanfaatan-
Latar
Belakang
1. Kondisi ekosistem awal
Kawasan Konservasi Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
(TNMT), merupakan salah satu gugus hutan yang masih
tersisa di Pulau Sumba. Kawasan ini menyimpan
keanekaragaman hayati tinggi yang penting untuk
dipertahankan
kelestariannya
(HIMAKOVA,
2009).
Terdapat 22 desa yang mengelilingi kawasan TNMT yang
secara administratif terletak pada 3 kabupaten yaitu
Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur (Wello
2008). Proses pemekaran desa yang telah terjadi dalam tiga
tahun terakhir menjadikan jumlah desa sekitar kawasan
menjadi 27 desa.
Keadaan topografi kawasan TNMT bervariasi, mulai dari
daerah dekat dengan sungai hingga daerah pegunungan
dengan kemiringan 2% hingga kemiringan 40%-60% yang
terbentang dari permukaan laut sampai ketinggian 900
meter. Kawasan TNMT juga merupakan kawasan karst dan
banyak dijumpai goa (HIMAKOVA 2010) dan didalamnya
terdapat keanekaragaman flora sebanyak 118 jenis
tumbuhan (Dephut 2007), 120 jenis burung (Arfian, 2010),
9 jenis mamalia, 41 jenis kupu-kupu dan17 jenis
herpetofauna (HIMAKOVA 2010).
Keberadaan komponen kekayaan TNMT tersebut tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat yang berada di dalam
dan atau disekitarnya. Masyarakat sekitar kawasan
merupakan bagian dari ekosistem TNMT yang pada
umumnya mempunyai ketergantungan cukup tinggi
terhadap sumber daya alam yang berada di dalam kawasan
TNMT dalam pemenuhan kebutuhan jangka pendek.
Ketergantungan masyarakat tersebut disisi lain merupakan
ancaman terhadap kekayaan dan keanekaragaman sumber
daya alam hayati yang tersimpan di dalam kawasan TNMT.
Ancaman tersebut semakin tinggi seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk dan akselerasi otonomi daerah.
Kebutuhan masyarakat akan pangan, papan, pemukiman
74
dan lahan penggembalaan, seringkali dipenuhi dengan
cara-cara
yang
kurang
memperhatikan
aspek
lingkungan/konservasi
misalnya
:
perambahan,
penebangan kayu untuk rumah adat dan pembakaran
padang untuk pemenuhan rumput segar. Kondisi demikian
disebabkan diantaranya oleh kondisi sosial ekonomi
masyarakat di sekitar TNMT yang relatif masih terbelakang
dengan karakteristik masyarakat yang pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan usaha masih rendah.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah tersebut
menjadi salah satu hambatan dalam transfer informasi dan
teknologi pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
Pada pertengahan tahun 2010, Kementerian Kehutanan
Indonesia dan JICA (Japan International Cooperatian
Agency) melakukan kerjasama dalam “Project on Capacity
Building for Restoration of Ecosystems in Conservation
Areas” untuk periode 2010 - 2015. Sampai dengan
pertengahan tahun 2012, kegiatan-kegiatan teknis
restorasi dalam program ini secara bertahap sudah
terlaksana sampai dengan penanaman dan perawatan
tanaman restorasi blok I seluas 27 ha dan persiapan untuk
penanaman blok berikutnya. Program yang sangat baik
tersebut sangat perlu didukung oleh faktor yang sangat
penting yaitu sumber daya manusia lokal yang memiliki
kapasitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
jangka pendek tanpa memberikan ancaman terhadap
kawasan konservasi TNMT.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka sangat
diperlukan upaya peningkatan kapasitas masyarakat lokal
dalam memanfaatkan sumber daya lokal untuk pemenuhan
kebutuhan jangka pendek secara berkelanjutan dan ramah
lingkungan. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal
tersebut diharapkan akan memberikan dampak positif bagi
kesejahteraan masyarakat secara umum yang nantinya
ikut andil dalam menjaga kelestarian kawasan TNMT.
Tujuan
Program Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kelompok
Ternak Desa Penyangga TNMT ini adalah melaksanakan
upaya transfer pengetahuan dan keterampilan kepada
kelompok ternak dalam mengelola ternak besar (Sapi,
75
Kerbau, Kuda dan Babi) untuk komoditi pasar dan sebagai
bahan bakar dan energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Adapun tujuan dari program ini adalah untuk :
1. Meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan kemampuan
masyarakat kelompok ternak tentang pengelolaan ternak
yang efektif, multi-manfaat dan ramah lingkungan serta
tidak
melakukan
pembakaran
alang-alang
guna
mendapatkan alang-alang muda.
2. Memberikan kontribusi kepada desa dalam hal penyediaan
pakan ternak pada musim kemarau.
3. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat
kelompok ternak dalam menjaga lingkungan dan kawasan
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru.
Kegiatan
1. Kegiatan teknis
Kegiatan teknis yang dilakukan untuk pembangunan 1
unit reactor Biogas adalah pembuatan kubah
penampung kotoran/digester,
pembangunan tanki
reactor, manhole, pembuatan outlet dan overflow, dan
pembuatan slurry-pit , pemasangan pipa gas utama dan
turret, pembangunan lubang inlet dan instalasi
perpipaan dan instalasi lampu, monometer,kran gas,
kompor gas.
2. Keterlibatan masyarakat sekitar areal restorasi
Pembuatan reactor Biogas dilakukan oleh Kelompok
Kerja Restorasi yang berasal dari desa sekitar areal
restorasi.
Biaya
Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan 1 (satu) unit
reactor Biogas sebesar Rp. 15.000.000,- Terdiri dari 1 Unit
Reaktor Biogas dan kandang.
Pemanfaatan Keberadaan Biogas sangat besar manfaatnya bagi
masyarakat jika dimiliki. Selain untuk pemanfaatan energy
alternative, kotoran ternak yang telah terfermentasi berupa
bio slury dapat dimanfaatkan sebagai pupuk yang sangat
baik untuk pertumbuhan tanaman. Sampai saat ini, salah
satu anggota Kelompok Kerja Restorasi memanfaatkan
Biogas sebagai energy alternative untuk memasak.
Bantuan alat pertanian berupa sabit, pacul dan hand
tacktor dimanfaatkan untuk pengolahan lahan masyarakat
76
sekitar areal restorasi.
Kendala
Permasalahan yang dialami oleh sebagian besar mayarakat
sekitar areal restorasi adalah keterbatasan biaya untuk
pembangunan reactor Biogas. Secara umum masyarakat
berkeinginan untuk membangun reactor Biogas, namun
karena kekurangan biaya maka sampai saat ini belum ada
satupun yang membangun reactor Biogas selain yang
dibangun dengan bantuan biaya dari JICA – RECA.
Saran
Sebaiknya pada setiap areal restorasi dibangun reactor
Biogas sebagai contoh dengan multi manfaat. Dengan
demikian memotivasi masyarakat untuk mengkandangkan
ternak dengan system paronisasi dan dapat mengurangi
gangguan ternak pada areal restorasi. Selain itu, dengan
system paronisasi dapat mempercepat perolehan nilai
ekonomi yang lebih baik dari ternak yang diperlihara
dengan system paronisasi daripada dilepas liar.
Foto-Foto
77
Download