TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan dan ~lasifikasiGarbut Pengertian Gambut Histosol penyusunnya istilah merupakan tanah-tanah didominasi oleh bahan yang sering digunakan yang komposisi organik, Beberapa untuk menyatakan tanah demikian adalah bogs, moors, peats dan mucks (soil Survey Istilah-istilah Staff, 1975). yang rancu, Di dalam (Kamprath, et al., Glossary ini memiliki pengertian of Soil science Terms 1988) istilah moors, peats dan mucks ditemukan. Mucks adalah tanah organik dimana bagian-bagian tanaman tidak bisa dibedakan secara jelas, mengandung banyak mineral dan memiliki warna yang gelap dibandingkan dengan peats. Peats adalah tanah-tanah yang memiliki kadar bahan organik lebih dari 500 g/kg tanah dengan tingkat dekomposisi mucks. lebih rendah bila dibandingkan dengan Moors digunakan untuk memperjelas horizon Oa yang mengandung humus, tidak terjadi pencampuran antara bahan organik pada permukaan dengan bahan mineral. Di dalam Glossary dari buku nSoiln (USDA, 1957), tercantum pengertian tanah yang disebut bogs, yaitu tanahtanah yang mengandung campuran bahan organik dan mineral sampai tingkat mucky atau peaty dan berada di atas bahan organik. Tanah ini umumnya berada di lingkungan vegetasi rawa atau payau. Dari keempat istilah yang memiliki definisi, p e a t s dan mucks memiliki keterkaitan. Menurut Dolman dan Buol (1967), mucks memiliki kandungan mineral lebih tinggi. Apabila kandungan mineral lebih dari 18 atau 20 persen dengan kadar bahan organiknya kurang dari 50 persen maka disebut mucks. Jika kandungan bahan organik lebih dari 50 persen, maka disebut sebagai p e a t s 1956). Pendapat lain menyebutkan bahwa mucks memiliki - 55 persen (Kanapathy, kandungan bahan organik antara 35 1975). (Buckman dan Brady, Disamping kandungan mineral, mucks dan p a t s dapat juga dibedakan dari tingkat kematangannya, yaitu melalui identifikasi kadar seratnya (Soil Survey Staff, 1957; Daubenmire, 1959). Pembentukan Gambut Semula para pakar beranggapan bahwa di dataran rendah tropika tidak akan terjadi tanah-tanah organik, karena suhu tinggi sehingga bahan organik akan habis terdekomposisi. Pada tahun 1885 anggota ekspedisi Ijzerman menemu- kan hamparan gambut yang luas di Siak, pantai timur Sumatera. Dari penemuannya kemudian disimpulkan bahwa gambut yang terbentuk di dataran rendah tropika adalah gambut topogen karena suhu tinggi, penguapan dan aktivitas mik- gambut ombrogen dianggap tidak mungkin terbentuk (Polak, 1941)- Penelitian-penelitian selanjutnya mengemukakan bahwa gambut ombrogen juga terbentuk karena hal-ha1 berikut : curah hujan di atas 3 000 mm/tahun; tidak ada perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau sehingga sifat tanah tetap basah; vegetasi hutan sangat lebat sehingga kelembaban yang tinggi, biomassa terbentuk sepanjang tahun; kemasaman tanah yang tinggi dan aktivitas mikroorganisme rendah (Polak, 1950). Terbentuknya tanah gambut diawali dengan terbentuknya rawa-rawa pada jaman Holosen sebagai akibat dari peristiwa transgresi dan regresi laut karena mencairnya es di kutub. Pada jaman Pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di bawah permukaan sekarang. Kenaikan air laut pada jaman berikutnya menyebabkan terbentuknya rawa-rawa, sehingga vegetasi mati, kemudian (Polak, 1941). dekomposisi lambat Adanya penggenangan ini memungkinkan ter- bentuknya endapan-endapan tergenang mengalami lainnya. di sekitar sungai dan daerah Fakta ini ditunjukkan oleh bahan sulfidik atau bahan berpotensi sulfat masam pada endapan aluvium. Sifat ini mencerminkan ciri lingkungan marin yang terbentuk sebelumnya. Pengendapan bahan-bahan aluvium berjalan terus. Bahan-bahan ini terdiri dari liat, lempung atau pasir. tempat-tempat yang selalu tergenang atau jenuh Di air dijumpai lapisan gley berwarna kelabu kebiruan. Intensi- tas pengendapan bahan aluvium diantaranya ditentukan oleh besar dan jumlah sungai-sungai. Di pantai timur Sumatera pengendapan menyebabkan laju perubahan pantai mencapai sekitar 100 m/tahun (van Bemmelen, 1949). Perubahan ini mengakibatkan perubahan dari vegetasi dengan lingkungan marin yang memiliki keragaman vegetasi sempit menjadi vegetasi dengan lingkungan air tawar. Pada lingkungan air tawar, keragaman vegetasi menjadi sangat luas. Dalam keadaan jenuh air, proses dekomposisi berbeda. Pada lingkungan marin dengan pengaruh pasang surut, proses dekomposisi tergolong cepat sehingga akumulasi gambut tergolong rendah. Sedangkan pada lingkungan air tawar menga- kibatkan kecepatan penimbunan lebih besar dari perombakan sehingga mengakibatkan akumulasi gambut berjalan terus. Hubungan antara masukan bahan organik ke dalam tanah dengan bahan organik tanah pada tanah-tanah mineral dari hutan pinus, oaks, savana, prairi dan lain-lainnya telah diformulasikan secara baik (Sanchez, 1976). Sedangkan un- tuk tanah organik karena dukungan penelitian yang kurang, formulasi keseimbangan demikian belum dilakukan. Klasifikasi Gambut Sampai tahun 1952, pertentangan antara para pakar tanah tentang definisi gambut masih diantaranya ada yang mendasarkan terus berlanjut, diri pada kedalaman, kadar C-organik dan kesepakatan belum diperoleh. Menurut Polak (1952) tanah organik adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65 persen sampai kedalaman satu meter atau lebih. McKinzie (1974) menggunakan kete- balan bahan organik setengah dari ketebalan solum tanah 80 cm atau lebih tanpa memperhatikan hamparan batuan. Keten- tuan kandungan bahan organik yang dikemukakan oleh pakar ini tertera pada Gambar 1. Pons (1974) menggunakan 30 persen bahan organik tanpa mengandung liat atau lebih bila fraksi mineral seluruhnya adalah pasir atau diantara batas liat dan pasir. Kanapathy (1975) mendasarkan pada ketebalan bahan organiknya lebih dari 50 cm dengan luasan satu hektar atau lebih dan mengandung bahan organik lebih dari 65 per- sen. Farnham dan Finney (1965) berpegang pada kandungan dan ketebalan bahan organik dengan rincian : (a) tanah dengan kandungan bahan organik 20 atau 30 persen dengan ketebalan minimal 30 cm. Kandungan bahan organik tergan- tung pada tekstur tanah, yaitu 20 persen apabila tidak mengandung liat; 30 persen apabila mengandung liat; berada antara 20 - 30 persen apabila sebanding dan dengan fraksi liat; (b) memiliki horizon bahan organik setebal 45 cm atau lebih apabila tidak dikeringkan; atau 30 cm atau lebih apabila dikeringkan. Kriteria ini diikuti oleh Dent (1986) untuk klasifikasi pada kategori lebih tinggi. 35 21. o Bahan gambut .- I 0 03 -25 3 3 0 3 7 A. f03 a X h W P, 9- I 1 -I5 2- Bahan tanah mineral Kadar Liat ( X ) Gambar 1. Ketentuan Kadar Bahan Organik dan Bahan Mineral dalam Definisi Tanah Organik yang Disusun oleh McKenzie (1974) Menurut Soil Survey Staff ( 1975) pegangan m u m agar tanah dapat dikelompokkan sebagai Histosol memenuhi salah satu syarat berikut : a. lapisan permukaan memiliki bobot isi kurang dari 0.1 b. setengah atau lebih dari 80 cm lapisan atas bahan organik c. tanpa melihat ketebalan, apabila bahan organik berada di atas fragmen batuan dan diantara fragmen terisi bahan organik d. bobot isi tergolong rendah ( < 0.1) dan 3/4 bagian atau lebih dari 80 cm lapisan atas merupakan bahan organik merupakan Di Indonesia umumnya digunakan istilah gambut atau bergambut untuk menyatakan tanah-tanah yang banyak mengandung bahan organik. (1969a dan 1969b) Menurut serta Institut Pertanian Bogor Koswara (1973), tanah gambut adalah tanah yang secara alamiah mengandung C-organik sebanyak 40 persen atau lebih dengan ketebalan 100 cm atau lebih dan bila sudah diusahakan mengandung 15 persen atau lebih. Sedangkan tanah bergambut adalah tanah dengan ke- tebalan bahan organik 30 sampai 100 cm, memiliki kadar karbon 40 persen atau lebih. Perkembangan selanjutnya adanya perubahan terhadap definisi tanah bergambut yaitu berdasarkan ketebalan bahan organik. Widjaja-Adhi (1988) menggolongkan tanah dengan ketebalan gambut kurang dari 50 cm ke dalam tanah bergambut. Selanjutnya tanah gambut masih dipilah berdasar ke- dalamannya, sedang (100 yaitu gambut dangkal (50 - 200 cm), - 100 cm) , gambut gambut dalam (200 gambut sangat dalam ( > 300 cm). - 300 cm) dan Tanah-tanah lainnya yang tergolong ke dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan kurang dari 30 cm dengan kadar karbon antara 15 hingga 3 0 persen (Institut Pertanian Bogor, 1969a; 1969b; Koswara, 1973). Penamaan lainnya ialah gambut pedalaman. Gambut pantai adalah pantai dan gambut yang gambut proses pem- bentukannya dipengaruhi oleh air pasang laut, sedangkan gambut pedalaman tidak dipengaruhi oleh pasang air laut. Gambut pantai tergolong ke dalam gambut topogen, sedangkan gambut pedalaman sebagai gambut ombrogen. Jenis tanah gambut yang menempati fisiografi depresi umumnya terdiri dari Tropohemist Terik dan Tropohemist Tipik dan sebagai urutan ketiga diduduki oleh Sulfihemist Terik (Fakultas Pertanian, IPB, 1992). Di pantai Sumatera dijumpai tanah organik dengan ketebalan lebih dari 15 m (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976), meskipun gambut dengan kedalaman 10 m sebenarnya jarang dijumpai (Ismunadji dan Soepardi, 1984). Gambar 2 menunjukkan dugaan penye- baran gambut di Indonesia. Kesuburan Tanah Gambut Kualitas gambut ditentukan oleh berbagai faktor baik sifat fisik maupun kimia. Berdasarkan kandungan unsur haranya gambut dibedakan menjadi gambut eutropik, mesotropik dan oligotropik yang masing-masing mencirikan tingkat kesuburan tinggi, sedang dan rendah (Fleisher, dalam Soepraptohardjo dan Driessen, 1976), seperti tertera pada Tabe1 1. Menurut Ismunadji dan Soepardi (1984) terdapat dua sumber yang berkontribusi terhadap keragaman kesuburan tanah, yaitu air hujan dan mineral dari daratan. Gambut yang tergantung kepada sumber hujan memiliki kesuburan rendah sedangkan yang dipengaruhi oleh mineral daratan memiliki kesuburan relatif tinggi. Beberapa faktor yang da- pat dipakai sebagai pertimbangan dalam mengklasifikasikan gambut sekaligus menentukan kesuburan tanah antara lain : ( a ) posisi relatif gambut terhadap air, yaitu -r. berada di atas atau di bawah muka gambut, (b) pembentukan gambut terjadi secara lokal (autochthone) atau dari luar (allochthone), (c) kandungan bahan organik, (d) komposisi vegetasi dan ( e ) keberhasilan membentuk lapisan gambut (Polak, 1941 dalam Ismunadji dan Soepardi, 1984). Tabel 1. Kriteria Penggolongan Tingkat Kesuburan Tanah Gambut (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976) Kadar ( % Bobot Kering) Tingkat Kesuburan K2° N 5'2' CaO Abu Eutropik 2.50 0.10 0.25 4.00 10.00 Mesotropik 2.00 0.10 0.20 1.00 5.00 Oligotropik 0.80 0.03 0.05 0.25 2.00 Gambut Indonesia umumnya tergolong ke dalam kelompok mesotropik dan oligotropik, dimana kelompok kedua bersifat dominan. Semakin dalam gambut, kandungan unsur hara yang tercermin dari kadar abu, unsur-unsur Fe, Cu dan Zn semakin menurun. Pola yang sama juga terjadi pada Al, walau- pun unsur ini tidak dikehendaki keberadaannya (Tabel 2). Akibat perbedaan kimia sesuai dengan kedalaman gambut yang berbeda, tanggapan tanaman terhadap pemupukan juga berlainan. (1979) pada Hasil penelitian gambut dengan Leiwakabessy ketebalan 110 dan Wahyudin dan 120 cm Tabel 2. Karakteristik Kimia Gambut Sumatera dan Kalimantan pada Berbagai Tanah Gambut dengan Kedalaman Berbeda (Bogor Agricultural University, 1978) Kedalaman (cm) Karakteristik Kimia 20 50 80 110 180 pH H 0 KTK 7me KB ( % I Karbon ( % Total N ( % ) C/N Al-dd (me/100 g) Fe-dd (me/100 g) Cu-tersedia Zn-tersedia Abu ( % I tr = sangat sedikit menunjukkan bahwa dengan perbaikan pemupukan diperoleh kenaikan produksi gabah dan jerami. Sedangkan pada gambut ombrogen Kalimantan Tengah di atas pasir kuarsa yang baru direklamasi, penggunaan dolomit, hara makro dan hara mikro masing-masing sebanyak 2 ton dolomit, 200 kg Urea, 400 kg TSP, 100 kg KC1, 2 kg ZnS04, 6 kg CuS04, 4 kg FeS04, 4 kg MnS04 dan 4 kg Na2B407 per hektar belum dapat meningkatkan pertumbuhan padi (Institut Pertanian Bogor, 1982). Hal ini mungkin berkaitan dengan produksi asam-asam organik seperti asam-asam fenolik yang bersifat fitotoksik bagi tanaman (Driessen dan Suhardjo, 1976; Tsutsuki, 1984). Dibandingkan dengan bahan amelioran lainnya, ternyata abu bakaran gambut lebih meningkatkan produksi tanaman (Ismunadji dan Soepardi, 1984). Kemasaman Tanah Kemasaman tanah merupakan indikasi yang penting bagi reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam tanah. Sebagian besar tanah gambut di Indonesia bereaksi sangat masam dengan pH kurang dari 4.0, lebih-lebih pada gambut pedalaman. Gambut dari Berengbengkel sebagai contoh memiliki pH 3.27 (Salampak, 1993). Semakin miskin unsur hara dari lingkungan terbentuknya gambut, pH gambut semakin rendah. Tingkat kemasaman tanah gambut ternyata tidak berkorelasi positif dengan A1 dapat ditukar seperti terjadi pada tanah mineral masam. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi memiliki gugus-gugus reaktif seperti karboksil (-COOH) dan feno1 (C6H40H) yang mendominasi komplek pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 sampai 95 persen muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fen01 tersebut. Dua gugus lainnya yaitu en01 (-COH=CH) dan imida (-NH) berkontribusi juga terhadap muatan walaupun kecil. Di ba- wah pH 7.0 banyak gugus OH berdisosiasi sebagai berikut (Tisdale, et al., 1985) : -COOH = -COO- + H+ Kekhawatiran rendahnya pH tanah gambut sebagai penyebab rusaknya sistem perakaran sama sekali tidak beralasan. Sebagai contoh, padi yang ditanam pada media gambut dengan pH sekitar 3.5 dapat tumbuh baik asalkan konsentrasi A1 cukup rendah (Driessen dan Suhardjo, 1976). Sebaliknya pada tanah mineral masam dengan pH sekitar 3.0 kerusakan tanaman terjadi setelah 1 jam dipindahkan (Jackson, 1967). Asam-asam organik tergolong ke dalam asam lemah, sehingga memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan reaksi-reaksi karena perubahan kemasaman. Apabila pH dinaik- kan, maka akan terjadi disosiasi ion H pada gugus reaktif dan pH akan berubah mendekati pH awal dan tidak melonjak jauh. Oleh sebab itu untuk menaikkan pH sampai pH terten- tu diperlukan basa-basa dalam jumlah banyak. Sebagai con- toh, untuk menaikkan pH larutan 0.1 N CH3COOH dari 3.5 sampai 4.0 diperlukan sebanyak 25 ml 0.1 tara dengan 2.5 me NaOH. K NaOH atau se- Jumlah yang sama dapat digunakan untuk menaikkan pH larutan 0.1 HC1 dari 0 menjadi 2.0 (Tisdale, et al., 1985). Hara Nitrogen Tanah-tanah yang berada di daerah pasang surut umumnya memiliki keragaman sifat kimia dan fisik yang tinggi, lebih-lebih pada tanah organik karena distribusi bahan pembentuk tanah bersifat heterogen. Dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya, kandungan N dan C memiliki heterogenitas tertinggi. Umumnya kandungan N-total tanah orga- nik lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah mineral. Hasil evaluasi kesuburan tanah di daerah pasang surut Lagan, Jambi dan Karang Agung, Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada lima lokasi kedalaman bahan organik antara 20 sampai 180 cm kadar N-total bervariasi dari 1.2 sampai 1.8 persen atau setara dengan 4 800 dan 7 200 kg N/ha (Bogor Agricultural University, 1978). Sedangkan kandung- an N pada tanah mineral umumnya kurang dari 0.2 persen atau setara dengan 4 000 kg N/ha. Sebagian besar senyawa organik. N-total tanah berada dalam bentuk Setelah mengalami proses aminisasi, amo- nifikasi ataupun nitrifikasi, senyawa NH4-N dan NO3-N baru dapat digunakan oleh tanaman. Reaksi sederhana ketiga proses tersebut diuraikan sebagai berikut : Aminisasi fungi Bahan organik protein > atau amina .,...(1) b a k t e r i heterotrop sederhana bakter i > Protein + E + R-OH + Energi R - N H ~ + c02 lainnya .(2) heterotrop Amonifikasi R-NH2 + H20 bakteri > NH3 heterotrop + + H20 -> + OH- .....( 3 ) Di dalam amonifikasi bermacam bakteri, fungi dan aktinomycetes baik yang bersifat aerobik maupun anaerobik terlibat, Ammonium yang terlepas akan mengalami bermacam-macam perubahan diantaranya : a. berubah menjadi NO2 dan NOg melalui proses nitrif ikasi b. diserap tanaman c. diimmobilisasi oleh bakteri heterotrop d. terfiksasi diantara lapisan mineral liat e. hilang dalam bentuk gas karena denitrifikasi. N i trifi k a s i 2NH4 + 302 dsi enzimtik oleh bakteri lutotmp > 2N02 + 2H20 + 4 ~ +..(4) Nitrosomonas Disamping NH4, NO2 juga dihasilkan langsung dari amin, amida, duksi hidroksilamin, oksim dan sejumlah senyawa N-tere- . NO2 + reaksi enriutik old Uteri ilrtdrop Bligrt 02 Ni trobakter > 2 NO3 .........-.( 5) Proses reaksi No. 3 sampai No. 4 tersebut dipengaruhi antara lain oleh reaksi tanah, aerasi, populasi bakteri, suplai ammonium, suhu, kelembaban dan proporsi unsur hara. Ammonium yang terlepas selama proses amonifikasi dapat difiksasi kembali oleh bahan organik berkadar tinggi. Menurut Mortland dan Walcott (1965) fiksasi memiliki keterkaitan dengan gugus-gugus reaktif, seperti karboksil, karbonil, enol-hidroksil, fenol, hidroksi-kuinon dan karbon tidak jenuh yang membentuk ikatan kovalen. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa fiksasi berkorelasi positif dengan kadar karbon khususnya menyangkut gugus hidroksil sebagai tapak reaktif walaupun mekanisme ikatan masih belum sepenuhnya dimengerti. Semakin tinggi jumlah karbon, semakin besar fiksasi NH4. Fiksasi dapat terjadi baik dalam keadaan yang aerob maupun anaerob. Bahan organik yang dihilangkan liatnya justru memperbesar fiksasi (Tisdale, et al., 1985). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasoetion, Sudarsono dan Soepardi (1977) pada tanah berganbut Delta Upang dengan menggunakan 100.0 sampai 400.0 ppm N, setelah 4 minggu jumlah NH4-N terfiksasi berkisar antara 28.0 sampai 76.0 persen. Fiksasi tertinggi terjadi pada dosis 100.0 ppm N, dan menurun pada dosis lebih tinggi. Percobaan inkubasi secara anaerobik untuk mengetahui kemampuan tanah gambut memproduksi NH4-N telah dilakukan pada daerah survai Air Sugihan Kiri (Institut Pertanian Bogor, 1976). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa NH4- N yang diproduksi selama tujuh hari berkisar antara 10 sampai 90.0 ppm NH4-N. Jumlah NH4-N yang tersedia bagi tanaman diduga tergolong rendah, lebih-lebih setelah terjadi fiksasi NH4-N yang diproduksi. Oleh sebab itu tanah organik sebenarnya memiliki kandungan N-tersedia yang rendah meskipun N-total tinggi. Penelitian dengan minus one t e s t pada gambut dengan ketebalan 110 dan 120 cm terhadap kering sebesar 36.0 dan 35.0 persen masing-masing untuk gambut dengan ketebalan 110 dan 120 cm. Sedangkan pada jerami terjadi penurunan masing-masing sebesar 39.0 dan 45.0 persen terhadap perlakuan lengkap (Bogor Agricultural University, 1978). Hal ini menunjukkan bahwa tanggapan tanaman terhadap pupuk N masih tinggi karena N-tersedia dalam bentuk N H ~ +dan NOj - tergolong rendah. Hara Fosfor Distribusi fraksi-fraksi P pada tanah organik tergantung kepada komposisi tanah. Hasil penelitian Astiana (1977) pada tanah bergambut Delta Upang yang baru dibuka dengan kadar C-organik antara 35.4 sampai 52.0 persen mengikuti deret berikut : P-organik > Fe-P > A1-P > Ca-P > P-terselubung Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri dari lima kelas senyawa, yaitu inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat. sifat dominan. Ketiga senyawa pertama ber- Diperkirakan bahwa fraksi P-organik me- ngandung 2.0 persen P sebagai asam nukleat, 1.0 persen sebagai fosfolipid, 35.0 persen inositol fosfat dan sisanya belum teridentifikasi. Inositol fosfat merupakan homo- siklik yang menyerupai gula dengan susunan monofosfat Sampai heksafosfat (Tisdale, et al., 1985). 24 Di dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan dengan ester lainnya. Oleh sebab itu, senyawa ini banyak terakumulasi sehingga kadar di dalam tanah menempati lebih dari setengah P-organik atau kirakira seperempat total P-tanah. Senyawa inositol heksafos- fat dapat bereaksi dengan Fe atau A1 membentuk garam yang sukar larut, demikan juga terhadap Ca. Dalam keadaan de- mikian garam ini sukar didegradasi oleh mikroorganisme (Anderson, 1980). Jenis mineral liat seperti montmorilonit dan sesquioksida dapat mengikat inositol-P secara kuat. Tapak erapan P pada koloid tanah juga dapat ditempati oleh inosit01 penta- dan heksa-fosfat. Di dalam tanah konsentrasi inositol fosfat sangat bervariasi. Di daerah perkebunan teh berkisar antara 2.0 sampai 54.0 ppm, dan antara 100.0 sampai 400.0 ppm dijumpai di daerah pertanian Skotlandia (Tisdale, et al., 1985). Asam nukleat, Dua bentuk senyawa asam nukleat yang sangat berbeda, yaitu asam nukleat dan dioksiribonukleat masingmasing memiliki karakter dengan rantai gula baik ribosa maupun dioksiribosa yang dihubungkan oleh jembatan ester fosfat, Nitrogen pada purin ataupun pada pirimidin teri- kat pada tiap molekul gula. Dibandingkan dengan inositol fosfat asam nukleat lebih mudah dilepaskan dan terdegradasi secara cepat. Di dalam tanah dari Iowa, konsentrasi asam nukleat berkisar antara 1.2 sampai 6.0 ppm atau setara dengan 0.2 sampai 1.8 persen total P-organik, sedangkan tanah dari Skotlandia berkisar antara 5.0 sampai 19.0 ppm, dimana angka tertinggi menempati kira-kira 2.0 - 4.0 persen total P-organik (Tisdale, et al., 1985). Fosfalipid. Senyawa ini merupakan ester asam lemak yang mengandung P. Derivat dari senyawa ini diantaranya fosfa- tidilkholin dan fosfatidiletanolamin merupakan bentuk dominan dalam tanah. cepat. Pelepasan P dari senyawa ini tergolong Di dalam tanah konsentrasi senyawa ini umumnya le- bih rendah dari inositol fosfat, yaitu kurang dari 5 persen total P-organik walaupun pada horizon B tanah Chernozem mencapai 14.0 persen (Tisdale, et al., 1985). Ester lainnya. Senyawa yang tergolong ke dalam kelompok ini berasal dari dinding sel bakteri yang mengandung ester yang lebih stabil. Disamping sebagai penyangga perubahan-perubahan sifat kimia tanah, humus dapat mengkonservasi unsur P melalui jembatan logam yang terikat pada humus. Dalam ha1 ini, A1 yang berasal dari mineralisasi bahan organik atau mineralmineral tercampur dengan bahan organik akan bereaksi dengan asam humat sehingga terbentuk permukaan reaktif baru Al-hidroksi-humat. pada senyawa humat. Proses ini melibatkan gugus OH Nisbah antara A1 dan OH ternyata me- nentukan jumlah ikatan. Pada nisbah yang rendah, jumlah P tererap semakin meningkat (Appelt, Coleman dan Pratt, 1975). Dengan demikian reaksi tanah dengan fosfat sebenarnya merupakan reaksi antara kation-kation Al, Fe ataupun kation-kation lainnya yang terikat sebagai komplek organo-kation (Buckman dan Brady, 1969; Yefimov dan Don- skikh, 1969; Tisdale dan Nelson, 1975). Pada tanah-tanah yang kurang mengandung kation-kation yang memiliki ikatan kuat dengan P, sebagian besar P yang berasal dari pupuk akan mengalami pencucian dalam jumlah banyak (Fox dan Kamprath, 1971). Dengan menggunakan isotop 3 2 pada ~ gambut ternyata pergerakan P mencapai empat sampai enam kali lipat gerakan P pada tanah lempung berliat (Larsen, Langston dan Warren, 1958). Pada tanah-tanah mineral, senyawa-senyawa A1 dan Fe memperbesar kapasitas fiksasi P tanah. Oleh sebab itu pada tanah-tanah masam dan tanah-tanah yang banyak mengandung sesquioksida dianjurkan untuk menggunakan bahan organik sebagai bahan ameliorasi agar fiksasi P dapat diturunkan sekaligus meningkatkan ketersediaan P (Sanchez dan Uehara, 1986). Dengan adanya senyawa organik radi- kal, maka tapak reaktif OH pada permukaan Fe dan A1 oksida menjadi terbuka dan akan mengikat asam-asam organik sehingga tertutup untuk pertukaran P. Peranan bahan organik sebagai penutup tapak erapan dapat terlihat pada Oxisol dan Andisol yang memiliki tekstur dan susunan mineral liat yang sama. Pada horizon atas kedua tanah ini ternyata fiksasi P lebih rendah bila dibandingkan dengan horizon bawah. Dari data analisis kimia tanah, ternyata horizon atas mengandung C-organik lebih banyak daripada horizon bawah (Fox dan Kamprath, 1971; Moshi, Wied dan Greenland, 1974). Dengan adanya asam humat, maka dengan Al-hidroksi- da terbentuk komplek pada Andisol yang mengurangi fiksasi P, walaupun fiksasi ini masih tergantung pada sifat-sifat Al-hidroksida sendiri (Appelt, Coleman dan Pratt, 1975). Contoh lainnya yang tidak memiliki kemampuan mengikat P ialah lapisan atas Mollisol yang kaya akan bahan organik (Soil Survey Staff, 1975) dan tanah-tanah yang memiliki sesquioksida bebas dalam jumlah yang sangat sedikit (Sanchez dan Uehara, 1986). Disamping bahan organik, faktor lain yang berpengaruh terhadap fiksasi P adalah jumlah mineral liat, jumlah liat, jumlah koloid amorf dan kristalin, jumlah A1 dapat ditukar, serta penggenangan dan pengeringan dan lain sebagainya (Sanchez dan Uehara, 1986). Hara Kalium Tidak seperti halnya dengan Ca dan Mg, kandungan unsur K pada tanah umumnya rendah dan keberadaannya menyamai unsur Na. Di dalam komplek erapan tanah, kedua unsur K dan Na umumnya memiliki konsentrasi masing-masing berkisar antara 10.0 - 50.0 dan 3.0 - 50.0 ppm. Kandungan K yang tinggi umumnya terdapat pada tanah berkapur dan tanah yang terbentuk dari abu volkanik (Bidwell, 1979). Kecuali unsur H, kation-kation yang tergolong monovalen lebih mudah digantikan oleh kation di- atau trivalen. Di dalam deret liotrop berikut, Li dan Na hampir memiliki sifat yang sama, demikian juga K dan NH4 (Bohn, McNeal dan Di dalam tanah-tanah mineral, keberadaan K dapat dijumpai dalam beberapa bentuk, yaitu seperti dalam struktur mineral mika dan feldspar, terfiksasi pada jenis mineral liat 2: 1, dalam bentuk dapat dipertukarkan, dan dalam larutan (Brady, 1974; Tisdale, et al., 1985). Oleh sebab itu keragaman kandungan unsur K pada tanah mineral sangat besar. Pada tanah gambut, kandungan unsur ini tergolong rendah, karena : a. di Indonesia, tanah gambut tergolong ke dalam gambut ombrogen yang bersifat oligotropik (Ismunadji dan Soepardi, 1984) b. di dalam jaringan tanaman, unsur K tidak terdapat dalam struktur jaringan walaupun berfungsi sebagai katalitik dalam reaksi enzimatik (Epstein, 1972; Salisbury dan Ross, 1978; Bidwell, 1979). Unsur ini diketahui terikat secara ionik pada enzim piruvat kinase yang penting dalam respirasi dan metabolisme karbohidrat c. pada tapak erapan bahan organik, unsur K terikat karena gaya-gaya kolumbik dan elektrostatik sehingga mudah digantikan unsur lain (Senesi, 1994) d. muatan pada koloid organik terjadi karena disosiasi H baik pada gugus karboksil maupun fen01 yang sifatnya sangat lemah (Stevenson, 1982) e. tanah gambut yang terbentuk di daerah Sumatera Selatan, Jambi dan Riau berasal dari formasi geologi Neogen, sehingga deposit aluvium tergolong tua (Institut Pertanian Bogor, 1976) Berdasarkan tanah gambut alasan-alasan di atas, maka kadar K pada cukup rendah. Pada tanah-tanah berbahan mineral sepanjang sungai besar, kandungan K dapat ditukar relatif lebih tinggi. Di daerah survai Air Saleh, Suma- tera Selatan, khususnya pada daerah tanggul memiliki kadar antara 1 sampai 5 me/100 g, sedangkan pada bagian belakang tanggul yang umumnya ditempati oleh deposit gambut memiliki kadar K kurang dari 1 me/100 g. Pada tempat-tempat tertentu, kedalaman gambut tidak memberi pola yang sama terhadap kadar K dapat ditukar. Di daerah Lagan, Jambi dan Karang Agung, Sumatera Selatan misalnya ketebalan gambut 20, 50, 80, 110 dan 180 cm masing-masing memiliki K dapat ditukar sebesar 0.78, 0.94, 0.93 1.22, 1984). dan 1.32 me/100 g (Ismunadji dan Soepardi, Angka-angka ini menyimpang dari karakteristik gam- but umumnya yang terdapat di Indonesia. Peranan F o s p o r , Tembaga dan Besi dalam Tanaman Hara F o s p o r Masukan energi terbesar di muka bumi berasal dari matahari dan peranannya sangat penting bagi kehidupan. Energi matahari yang terperangkap pada permukaan tanaman akan diubah menjadi energi kimia yang bersifat stabil, selanjutnya digunakan untuk mereduksi senyawa C menjadi karbohidrat melalui fotosintesa (Epstein, 1972). .+ .. Menurut . Bidwell (1979), proses ini sedikitnya melibatkan tiga tahapan, yaitu : 1. absorbsi dan retensi energi cahaya matahari 2. konversi energi matahari menjadi energi kimia 3. proses-proses stabilisasi dan penyimpanan Di dalam proses-proses metabolisme tanaman, kebutuhan energi diperoleh dari senyawa fosfat berenergi tinggi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sebagai hasilnya akan diperoleh senyawa fosfat berenergi rendah dalam bentuk adenosin difosfat (ADP). ini akan dihasilkan energi Selama hidrolisis, dari ATP sekitar 7 600 kal/mol ATP (Mengel dan Kirkby, 1979). Apabila cahaya matahari mengenai kloroplas, sebagian energi matahari ini akan diserap oleh butiran klorofil dan akan dihasilkan eksitasi elektron. Bersama-sama dengan feredoksin dan sitokrom, elektron ini akan mereduksi salah satu senyawa tersebut, kemudian akan mengoksidasi kembali pada rantai berikutnya. Selama proses ini akan dilepaskan energi dan sebagian lagi melalui fotofosforilasi akan dihasilkan ATP (Arnon, Allen dan Whatley, 1954 dalam Epstein, 1972). Disamping berperan sebagai transfer energi, unsur P berfungsi juga sebagai penyusun asam-asam nukleat, protein, asam fitat (inositol heksa-fosfat), fitin (Ca, Mg, Fe-asam fitat), fosfolipid dan pengikat bermacam-macam N /c\c/Nl I HC 0 0 /I 0 I OH CH Adenin / 1 OH ... Adenosin .... monofosfat (AMP) Adenosin difosfat (ADP) ,............ Adenosin trifosfat (ATP) ...... .. Adenosin .. ....... ........ gula yang diperlukan bagi proses fotosintesa dan respirasi (Salisbury dan Ross, 1978). Selain unsur P berperan sebagai aktivator beberapa enzim, di dalam biji unsur ini dijumpai sebagai asam fitat yang tersimpan sebagai cadangan unsur P (Epstein, 1972). Dalam proses reproduksi dan pematangan, unsur P juga memegang peranan penting, demikian juga dalam pembelahan sell perkembangan akar, memperbesar daya tahan terhadap hama dan penyakit (Brady, 1974) serta berfungsi sebagai penyangga dalam mempertahankan pH sel tanaman (~alisbury dan Ross, 1978). Jenis-jenis tanaman yang menghasilkan biomassa dengan kecepatan tumbuh cepat memerlukan unsur hara dalam jumlah relatif tinggi, dan tanaman jagung termasuk tanaman yang OPO H 1 3 2 memiliki sifat-sifat tersebut (Mengel dan Kirkby, 1979). Menurut Hanway (1966), kebutuhan tanaman jagung akan unsur P sampai tanaman berambut mencapai sekitar lah seluruh kebutuhan unsur P. 45 % dari jum- Oleh sebab itu, gejala ka- hat P sering dijumpai pada awal pertumbuhan, ditandai dengan ketidakmampuan mensistesa protein dan cenderung mengakibatkan terjadinya penimbunan gula pada bagian vegetatif. Di sisi lain, gejala ini akan menimbulkan akumulasi antosianin dengan warna hijau gelap sampai keunguan (Salisbury dan Ross, 1978). Fenomena ini terjadi pada daun tua, ka- rena unsur P dalam tanaman bersifat mobil. Akibat selan- jutnya adalah bahwa pertumbuhan tanaman akan kerdil, sehingga proses-proses reproduksi juga akan menurun. Hara Tembaga Di dalam tanah unsur Cu umumya berada dalam jumlah sedikit. Pada tanah-tanah yang banyak mengandung oksida- oksida Fe, A1 dan Mn serta pada tanah-tanah yang banyak mengandung bahan organik, Cu diikat.. sangat kuat oleh + senyawa-senyawa tersebut. Demikian juga tanah-tanah yang memiliki kandungan P tinggi, karena terbentuk senyawa Cu-P yang sukar larut (Bidwell, 1979). Disamping itu interaksi antara Cu dengan unsur-unsur N dalam jumlah banyak dapat menurunkan serapan Cu (Jones, Wolf dan Mills, 1991). Pada tanah gambut dalam yang baru direklamasi sering terjadi kahat Cu yang sangat serius sehingga kahat tersebut sering dikaitkan dengan reclamation disease (Sauchelli, 1969; Jones, et a1 ., 1991). Kahat ini berkaitan dengan adanya senyawa-senyawa organik yang diproduksi dalam jumlah banyak pada awal reklamasi gambut. Di dalam tanaman, Cu berperan sebagai katalisator dalam enzim polifenol oksidase, askorbit oksidase dan bermacam-macam amin oksidase seperti konversi triptamin ke hormon IAA, sebagai transfer elektron dalam reaksi akibat cahaya seperti fotosintesa. Disamping itu, Cu juga ber- peran dalam reduksi nitrit (Salisbury dan Ross, 1978; Bidwell, 1979). Kahat Cu ditandai dengan nekrotik pada ujung-ujung daun, kemudian tulang-tulang daun berwarna gelap (Bidwell, 1979). Pada kahat yang serius, daun muda menjadi layu dengan ujung daun berwarna putih, cabang-cabang tidak dapat berdiri tegak (Salisbury dan Ross, 1978). Pada jagung daun muda tumbuh terhambat, ujung daun menggulung dan berwarna pucat (Sauchelli, 1969). Sedangkan pada padi yang ditanam di tanah gambut, beberapa penyebab dapat terjadi "+. terhadap kegagalan pembentukan butir gabah, diantaranya disebabkan karena kahat Cu (Driessen dan Suhardjo, 1976). Apabila terjadi toksisitas, Cu dapat menstimulir kahat Fe, yaitu timbulnya klorosis. Disamping itu perkem- bangan akar tertekan termasuk pembentukan akar lateral (Jones, et al., 1991). Hara Besi Di dalam tanah kandungan besi sangat beragam berkisar antara 1 sampai 500 ppm dan dalam larutan tanah berkisar antara 0.1 sampai 25 ppm (Bidwell, 1979). Sering dijumpai tanah-tanah banyak mengandung Fe tetapi kahat tetap terjadi pada tanaman. Hal ini disebabkan karena sebagian besar Fe tanah berada dalam bentuk Fe3+ yang mobilitasnya sangat rendah. Disamping itu kahat juga disebabkan karena kele- bihan penggunaan NH4-N, akumulasi P, kelebihan Ca, HC03, Mg, Cu, Zn, Mn dan logam-logam berat lainnya (Jones, et al., 1991). Di dalam jaringan tanaman, peranan Fe penting sebagai katalisator dalam oksidasi-reduksi dimana Fe dapat bertindak sebagai donor maupun akseptor elektron. Sebagai reduktor, unsur ini terlibat dalam pembentukan protein. Di dalam enzim oksidase (misalnya katalase dan peroksidase), serta komponen non-enzim seperti floroprotein dan feredoksin adanya unsur Fe juga sangat penting. Unsur ini juga berperan dalam struktur lipid lamela, inti, mitokondria dan sintesa membran kloroplas, sebagai penyusun struktur membran kloroplas maupun dalam sintesa klorofil (Bidwell, 1979; Salisbury dan Ross, 1978). Unsur ini juga berperan dalam reduksi NOg dan SO4, asimilasi N2 dan dalam menghasilkan energi (Jones, et al., 1991). Apabila terjadi kahat, gejala tipikal yang terlihat ialah klorosis pada tulang daun. Pada kahat serius, klorosis menyebar ke daun tua (Bidwell, 1979). Walaupun konsentrasi Fe dalam jaringan sampai beberapa ratus ppm, toksisitas jarang terlihat. Pada toksisitas yang serius, daun menjadi kecoklatan yang diikuti dengan timbulnya becak-becak coklat kecil pada daun (Jones, et al., 1991). Degradasi dan ~olimerisasiSenyawa Organik Sumber utama bahan organik tanah berasal dari biomassa tumbuhan yang telah mati. Sumber lainnya berasal dari binatang dan mikroorganisme. Setelah bahan organik ter- campur tanah dan pada kelembaban yang menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme, dekomposisi bahan organik baik secara kimia maupun biologi dalam keadaan aerobik dan anaerobik akan terjadi. Secara garis besar hasil dekomposi- si dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu (a) bagian-bagian yang secara anatomi memperlihatkan sifat-sifat bahan asal yang masih cukup jelas, dan (b) bahan asal tidak dapat lagi diidentifikasi, Kelompok pertama lebih banyak berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik tanah, sedangkan peranannya bagi sifat kimia sangat kecil. Bagi kelompok kedua, peranannya terhadap beberapa sifat kimia sangat menonjol (Tan, 1993). Jaringan tanaman umumnya tersusun dari unsur-unsur C, H, 0, N, S t P dan sejumlah unsur-unsur lainnya, serta se- jumlah senyawa organik. Dari senyawa organik ini, sejum- lah bahan akan hilang karena terpakai oleh bakteri sebagai sumber energi selama proses dekomposisi. Bahan-bahan yang masih dapat dideteksi walaupun dalam jumlah kecil antara lain (1) karbohidrat, (2) asam amino dan protein, (3) lipida, (4) asam nukleat, (5) lignin dan (6) humus. Kelima kelompok pertama disebut juga sebagai nonhumified materials (Stevenson, 1982). Karbohidrat Karbohidrat dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu (1) monosakarida, (2) oligosakarida dan (3) polisakarida. Kelompok pertama merupakan gula sederhana yang tidak dapat dihidrolisa menjadi molekul yang lebih kecil. Oligosakarida masih dapat dihidrolisa menjadi dua sampai enam molekul gula sederhana seperti misalnya disakarida menjadi dua monosakarida, pentosakarida menjadi lima monosakarida. Sedangkan polisakarida akan menjadi banyak monosakarida, termasuk di dalamnya sellulosa, dan hemisellulosa. Bebe- rapa glukosa, xylosa dan arabinosa melalui ikatan glukosidik membentuk polisakarida (Tan, 1993). Monosakarida dan oligosakarida larut dalam air dan memiliki rasa manis, sedangkan polisakarida dalam keadaan sebaliknya, dan bersifat amorf. rida memiliki berat molekul Sellulosa dari antara polisaka- 200 000 sampai 2 juta. Dibandingkan dengan polisakarida tanaman, polisakarida dalam tanah memiliki sifat yang sangat berbeda. Di dalam tanah polisakarida tanaman dapat didekomposisi oleh mikroorganisme baik secara aerobik maupun anaerobik karena dapat berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme. Dua jenis enzim terlibat dalam degradasi polisakarida yaitu endoenzim yang merusak ikatan glukosidik dan eksoenzim yang merusak ikatan terminal. Semakin banyak ikatan ini, semakin sukar ikatan dirusak. Oleh sebab itu, setiap jenis tanaman memiliki resistensi yang berbeda terhadap degradasi karena komposisi yang berbeda. di lebih sulit Degradasi menja- terjadi apabila terjadi interaksi dengan mineral liat ataupun kation-kation polivalen, lebih-lebih apabila polisakarida tersebut masuk ke dalam ruang antar sel pada mineral liat montmorilonit (Olness dan Clapp, 1973; 1975). Demikian juga apabila bahan tersebut terkom- plek dengan Cu, Fe dan Zn (Shindo dan Kuwatsuka, 1977). Di dalam kimia tanah, polisakarida berpengaruh terhadap reaksi-reaksi KTK, pertukaran anion, reaksi komplek dengan kation. Di dalam aktivitas biologi polisakarida berpengaruh terhadap metabolisme karbon. Bersama-sama dengan lignin dan asam amino, senyawa polisakarida membentuk humus, asam humat dan sejumlah senyawa lainnya. Di dalam fisika tanah, polisakarida menentukan agregasi fraksi mineral (Greenland, Lindstrom dan Quirk, 1962). Apabi- la polisakarida ini dihancurkan secara oksidatif akan menurunkan stabilitas agregat antara 30 berkurangnya pengaruh sementasi. - 90 persen, karena Di dalam tapak erapan, polisakarida berkompetisi dengan molekul H20 dan menurunkan pembasahan (wetting) dan pengembangan (swelling), sehingga meningkatkan sementasi. Disamping polisakarida, proses ini juga dipengaruhi miselia jamur (Tan, 1993). Diantara senyawa-senyawa karbohidrat, gula paling mudah didekomposisi secara anaerob maupun aerobik. Pada keadaan anaerob dekomposisi gula menghasilkan gas CH4 dan C02, sedangkan pada keadaan aerob dihasilkan C02 dan H20 (Neue dan Scharpenseel, 1984; Yamane dan Sato, 1963a; 1963b; 1964). Pada dekomposisi parsial akan dihasilkan etil alkohol dan metil alkohol. Sebagai produk yang ber- sifat intermediate akan dihasilkan asam-asam asetat, butirat, propionat, isovalerat, p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, ferulat, sinapat dan alkohol (Tsutsuki dan Ponnamperuma, 1987). Disamping gas C02, CH4 dan H2 juga dihasilkan H2S, CS2, COS, CH3SH, (CH3)2S dan (CH3)2S2. Apabila di dalam tanah banyak dijumpai protein, maka gasgas tersebut akan diproduksi lebih banyak (Minami dan Fukushi, 1981). Asam-asam ini memegang peranan penting sebagai salah satu starting materials dalam pembentukan humus (Katase, 1985e). Asam Amino Asam-asam amino dicirikan oleh gugus NH2 yang terikat pada rantai C. Seperti halnya dengan NH2, gugus COOH juga terikat pada atom C. ~idrolisisprotein dapat menghasil- kan tiga macam senyawa asam amino alifatik, aromatik dan heterosiklik. Penggabungan asam-asam amino dapat menghasilkan protein. Sebanyak 21 asam amino sering dijumpai pada protein, yaitu melalui penggabungan pada gugus karboksil. Akibat gugus NH2 dan COOH, senyawa ini dapat bereaksi dengan asam dan basa, sehingga dapat bermuatan positif pada pH rendah dan negatif pada pH tinggi. pH 7.0, asam amino masih terprotonisasi. Pada Oleh sebab itu, apabila pH dinaikkan maka kelebihan H pada gugus NH3 masih dinetralisir (nilai pKa = 4.7). coo- coo- Apabila pH diturunkan, maka gugus COO- akan menerima H. NH~+ H3C I - C - COO- + ' H+ > H3C NH~+ I - C - COOH Pada pH 2.3 separuh gugus karboksil terprotonisasi. Lipida Lipida merupakan senyawa yang bersifat heterogen dari asam-asam lemak, lilin dan minyak. Penyusun dasar dari lipida adalah gliserol (CH3H803) atau alkohol lainnya. Gugus utama dalam lipida adalah OH. rut dalam air dan memiliki Senyawa ini tidak la- sifat hidrofobik. Banyak lipid% pada tanaman dan binatang berasosiasi dengan protein dan karbohidrat. Sedangkan membran lipida bersifat amfifilik, karena adanya sifat-sifat hidrofobik dan hidrofilik pada molekul yang sama. Asam Nukleat Setiap sel tanaman dan binatang mengandung struktur bulat atau melingkar yang disebut sebagai nukleus dan mengandung asam nukleat. Terdapat dua macam asam nukleat, yaitu (1) asam dioksiribonukleat (DNA) dan (2) asam r i b nukleat (RNA). Baik DNA maupun RNA terdiri dari rantai panjang dimana gula dan fosfat sebagai penyusun saling bergantian. Asam-asam di dalam sel berkonyugasi dengan protein membentuk nukleoprotein yang mengandung DNA sebagai komponen kromosom. Baik di dalam DNA maupun RNA ban- yak dijumpai gugus hidroksil. Lignin Lignin merupakan senyawa aromatik polimer dari koniferil alkohol maupun guayasil propane monomer. Senyawa lignin ini dapat dibedakan atas dasar bahan dasar yaitu (1) lignin kayu lunak, (2) kayu keras dan (3) rumput, bam- bu, palem, masing-masing metoksiphenil propan, dalam bentuk 4-hidroksi-3- 3-5-dimetoksi-4-hidroksiphenil propan dan 4-hidroksi-phenil propan. Dalam lignin ini, gugus aktifnya terdapat dalam bentuk hidroksil. Sebagai sumber utama pembentukan lignin adalah karbohidrat atau hasil intermediate fotosintesa yang berhubungan dengan karbohidrat dan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan lignin. Ruang antar serat sellulosa diisi dengan karbohidrat yang terlignifikasi. Sebagai akibat- nya, peranan dari senyawa yang terlignifikasi menjadi berkurang. Walaupun demikian, lignin memiliki peranan yang penting sebagai sumber pembentuk humus. Dibanding dengan senyawa lainnya, lignin merupakan bahan yang tahan terhadap dekomposisi dan pada tanah tergenang menjadi terakumulasi . Dekomposisi dan Pembentukan Humus Selama terjadi dekomposisi banyak dihasilkan senyawasenyawa organik yang memiliki berat molekul rendah yang sangat reaktif, diantaranya adalah asam-asam format, asetat profionat, butirat, valerat, heksanoat, laktat, oksalat, suksinat, malat, 2-ketoglukonat, benzoat, salisilat, p-hidrobenzoat, orsinal, 3-4-dihidroksibenzoat, vanilat, siringat, orselinat, galat, venilasetat, 4-hidroksifenil propionat, 3-4-dihidroksifenilpropionat, sinnamat, feru- lat, p-kumarat, 3-5-dimetoksi-4-hidroksisinamat dan senyawa-senyawa quercetin, katechim, chrisotalunin dan lainlainnya (McKeague, et al., 1986). Humus merupakan kelompok yang tergolong dalam h u d f i e d materials, yaitu hasil akhir proses dekomposisi. Ba- han ini disebut juga sebagai senyawa humat, yaitu senyawa bersifat smorf, berukuran koloidal dengan polidispersi, berwarna kuning sampai coklat hitam dan memiliki berat molekul tinggi (Tan, 1993; 1994). Humus ini merupakan ha- sil polimerisasi antara asam humat yang tersusun dari bermacam-macam asam organik (50 (10 - 30 persen). - 80 persen) dan polisakarida Secara sederhana proses pembentukan se- nyawa humat tertera pada Gambar 3. Asam Humat Berdasarkan teori lignoprotein, senyawa humat merupakan lignoprotein yang dihasilkan oleh proses interpolimerisasi senyawa-senyawa fenolat, peptida, asam amino dan karbohidrat. Sebagai sumber fen01 adalah lignin (Tan, 1994). Gambut Indonesia mengandung kadar lignin lebih tinggi bila dibandingkan dengan gambut Eropa, sebaliknya kandungan senyawa terlarut dalam air, sellulosa, hemi-sellulosa, karbohidrat terlarut dalam air dan protein relatif lebih rendah (Polak, 1975 dalam Driessen dan Suhardjo, 1976). Dari kandungan lignin yang tinggi diperkirakan asam humat yang tidak larut dalam air tergolong tinggi. Bahan ini berasal dari senyawa-senyawa yang memiliki bobot molekul 1 000 atau lebih dari bahan-bahan yang terjadi karena polimerisasi dan kondensasi. Residu Tanaman I t Lignin, Tanin ~ellulosa, Karbohidrat lainnya Protein ~ e n y a w aFen01 Asam Amino, Peptida ~ e n y a w aFen01 (dekomposisi, sintesa) (hasil dekomposisi) I I (hasil metabolism) I kondensasi/ polimerisasi I v I Senyawa Humat < Gambar 3. Proses Pembentukan Asam Humat Secara Sederhana (Driessen dan Suhardjo, 1976) Molekul tipikal senyawa humat terdiri dari struktur dasar dalam bentuk cincin aromatis (dihidroksifenol atau trihidroksifenol) dihubungkan oleh -0-, -NH-, -N-, -S- dan mengandung ikatan gugus OH bebas serta quinon O=C6H4=0. Struktur ini menghasilkan gugus fungsional reaktif dengan kerapatan tinggi (Bohn, et al., 1979). Disamping jemba- tan-jembatan di atas, senyawa ini dihubungkan oleh -CH2(Stevenson, 1982). Gambar 4 menunjukkan tipikal hipotetik asam humat. Hasil analisis dengan NMR (Nuclear Magnetic Resonance) dan phyrolysis gas chromatography mass spectrophotometry me- nunjukkan bahwa senyawa aromatis dalam asam humat umumnya kurang dari 50 persen, berbeda dengan hasil penetapan secara degradasi kimia (Paul dan Clark, 1989). Konfigurasi dari senyawa humat masih diperdebatkan, karena tidak ada dua molekul senyawa humat yang benar-benar sama. Lebih jauh diketahui bahwa masih banyak polimer yang bersifat random belum teridentifikasi (Oades, 1989). Walaupun de- mikian, usaha-usaha untuk mempelajari senyawa humat ini terus dikembangkan. Seperti halnya dengan konfigurasi senyawa humat, ikatan Cu pada asam humat telah diketahui lebih dari lima puluh tahun yang lalu, dimana kahat Cu yang dikenal sebagai reclamation disease diketahui terjadi pada tanah gambut (Sauchelli, 1969). Namun sampai saat ini bagaimana ikatan tersebut dapat terjadi secara pasti belum diketahui secara jelas (Hayes, 1984). Beberapa struktur asam humat yang disajikan masih bersifat hipotetikal (Bohn, et al., 1979; Stevenson, 1982; Oades, 1989). Berdasar bobot molekulnya, senyawa ini ber- sifat heterogen walaupun dari segi kimianya bersifat homogen (Felbeck, 1965). Asam fulvat berkisar antara memiliki 1 000 - berat molekul 3 000, tersusun matis yang sangat mudah teroksidasi. lebih rendah dari cincin aro- Bangun utamanya ter- diri dari benzena, asam karboksilat dan fenolat, yang terikat dengan ikatan hidrogen, van der Waals atau ikatan ionik. Sedangkan tara 10 000 - asam humat memiliki bobot molekul an- 100 000, larut dalam larutan alkali dan terpresipitasi pada pH 2.0, mengandung cincin aromatis, N terikat dalam bentuk siklik dan rantai peptida (Paul dan Clark, 1989). Hasil analisis dengan NMR menunjukkan bahwa senyawa ini tersusun dari poliaromatik dan non-poliaromatik yang berhubungan dengan eter, N-siklik dan ikatan hidrogen (Aiken, McKnight, Wershaw dan McCarthy, 1985). Senyawa ini masih dapat dipilah-pilah lagi karena kelarutan dalam alkohol, alkali dan asam berbeda (Flaig, Beutelspacher dan Rietz, 1975). Eraksi Alkali Asam Fulfat Asam Humat Asam Hematomelanat Humim Senyawa ASiUD Larut Larut Larut Tidak Larut Larut Tidak Larut Tidak Larut humat memiliki penyebaran yang Alkohol Tidak Larut Larut luas, tidak sa ja terdapat dalam tanah, tetapi juga di perairan (laut, sungai, danau), sedimen dan deposit biologi seperti batubara, minyak. Umumnya dibedakan atas senyawa humat teres- trial perairan dan geologi. Kelompok pertama tersusun dari asam humat dan fulvat, kelompok kedua didominasi oleh asam fulvat. Semula kelompok kedua berasal dari senyawa hematomelanat (allochthone) tetapi setelah pencucian mengalami perubahan seperti tertera pada Tabel 3 (Tan, 1994). Tabel 3. - Hasil Analisis Tipikal Asam Humat dan Fulvat (Schnitzer, 1978) - - Gugus Fungsional (me/g) - - - - Asam Humat - Asam Fulvat Total Kemasaman 0 1 I Karboksil -C-OH Alkohol : Quinon : Keton : Mitoksil: -OH -C=O -C=O -0-CH3 2.6 2.9 0'.6 Asam humat merupakan senyawa komplek yang berperan penting baik dalam reaksi-reaksi tanah seperti meningkatkan KTK tanah, serta translokasi liat, Fe dan A1 sehingga menentukan horizon spodik dan argilik. Bahan ini berfung- si juga sebagai stimulan pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, asam ini sudah diproduksi untuk memperbaiki sifat-sifat tanah, baik sebagai bahan amendment, soil conditioner ataupun sebagai pupuk. Muatan pada Bahan Organik Dibandingkan dengan koloid inorganik atau liat, senyawa organik memiliki KTK lebih tinggi yaitu sekitar 200 me per 100 g (Tan, 1993). Pada tingkat perkembangan yang baik, humus memiliki KTK sampai 300 me/100 g dengan luas permukaan 800 - 900 m2/g. Walaupun demikian, sifat kolo- idal bahan organik tergolong sedang. Pada montmorilonit dan vermikulit sifat koloidal tergolong tinggi sampai sangat tinggi (Bohn, et al., 1979). Bermacam-macam busi terhadap (-NH2), gugus KTK bahan amida (-C-NH2), fungsional organik tanah, alkohol (-CH20H), H I II aldehida (-C=O), karboksil (-C-OH), H II I berkontri- seperti imino amin (=NH), H H 0 0 dapat I I en01 (C=C-OH), keton (-C-R), karbonil (-C=O), dan lain-lain (Stevenson, 1982). Dari gugus-gugus reaktif ini, kontribusi dari karboksil dan fen01 terhadap muatan menempati porsi terbesar (Tabel 4) Asam humat dan fulvat merupakan polimer-polimer dari asam-asam lemah dimana satu sama lain memiliki komposisi yang hampir sama walaupun berbeda berat molekulnya (Bloom, 1981; Tan, 1993; 1994). Konsentrasi gugus - C W H pada asam humat berkisar antara 1.5 - 2.7 me/g asam lebih rendah bila dibandingkan pada asam fulvat yang berkisar antara 7.9 - 9.1 me/g asam. Melalui esterifikasi diperoleh bahwa kontribusi -COOH terhadap KTK tanah kira-kira 54 persen (Felbeck, 1965), sedangkan jumlah gugus -COOH yang ditentukan dengan titrasi asam asetat dengan basa-basa Tabel 4. Komposisi Unsur, Distribusi C pada Senyawa Alifatik, Aromatik dan -COOHI Kemasaman serta COOH- dan OH-Fen01 pada Asam Humat dan Fulvat (Tan, 1994) Asam Humat T d a l a r Senyawa (a) Alif atik 48.7 Aromatik 36.4 COOH 14.9 COOH-fen01 (mol/kg) 4.3 2.7 OH-fen01 (mol/kg) Total Kemasaman (mol/kg) 7.0 P Asam Fulvat G T P G C Keterangan : T = Terestrial menghasilkan kira-kira 1.5 50.3 37.2 12.5 4.4 2.6 7.0 45.1 43.0 11.9 3.8 2.0 5.8 P = Perairan me/g G = Geologi asam humat. Pada asam fulvat memiliki kandungan -COOH sebesar 9.1 me/g asam fulvat (Tan, 1993). Apabila dihitung dengan gugus fenol, maka kontribusi kedua gugus fungsional tersebut berkisar antara 85 - 90 persen. Disamping itu masih ada sumbangan dari gugus en01 (COH-OH) dan imida (=NH). Seluruh muatan pada bahan organik ini bersifat pH-dependent. Sedikit se- kali gugus fungsional yang memiliki muatan positif, kecuali pada OH atau NH2 yang terikat dalam bentuk R-OH dan RNH2 dapat menjadi sumber muatan positif sebagai R-0H2+ dan R - N H ~ + sehingga mampu mengerap anion ( Bohn, et a1 ., 1979). Menurut Oades (1989), disosiasi H dari -COOH dan -OH meningkat beberapa kali pada pH antara 3 - 10. Di atas pH 10, jumlah H terdisosiasi dari kedua gugus tersebut menurun. Tidak seperti halnya liat silikat, kenaikan KTK bahan organik akibat kenaikan pH larutan sangat mencolok (Tabel 5). Pada bahan organik kenaikan pH dari 2.5 menja- di 8.0 menaikkan KTK sebesar 117 me/100 g sedangkan pada liat silikat kenaikan sebesar 26 me/100 g. Tabel 5. Pengaruh pH pada KTK Tanah (Helling, et al., 1964) KTK Rata-rata (me/100 g) PH Suspensi Bahan Organik Liat Silikat Komplek Senyawa Organo-Kation Afinitas tiap logam terhadap bahan organik berbedabeda. Studi intensif tentang ha1 ini telah dilakukan oleh Schnitzer dan Skinner (1966; 1967). Konstanta stabilitas (log K) pada asam fulvat yang diperoleh dari tanah Podsol menghasilkan urutan sebagai berikut : Deret ini menunjukkan bahwa Cu menempati ikatan terkuat dengan senyawa organik dan terendah dijumpai pada Mg. Sedangkan pada kation-kation monovalen dijumpai paling lemah. ikatan Kenaikan konstanta stabilitas akibat peru- bahan pH disebabkan karena meningkatnya ionisasi gugus fungsional, khususnya COOH. Pada pH 8.0 kenaikan yang mencolok terjadi pada stabilitas Cu, dimana dengan beberapa asam organik konstanta stabilitas mencapai 10.21 sampai 11.37 sedangkan dengan unsur-unsur lainnya kenaikan tersebut tidak mencolok (Stevenson dan Fitch, 1986). Gejala ini diduga berkaitan dengan meningkatnya ionisasi gugus fungsional, khususnya -COOH dan sebagian melibatkan -OH. Pada pH yang lebih tinggi lagi konstanta stabilitas akan lebih meningkat lagi. Selain pH, stabilitas juga ditentu- kan oleh jumlah ikatan cincin yang terbentuk, konfigurasi dan sifat-sifat kation (Linehan, 1985). Dengan EDTA yang memiliki ligan N, kekuatan kation divalen mengikuti urutan : Mn2+ < ~ e <~co2+ + < Ni2+ < cu2+ < zn2+ Sedangkan untuk logam trivalen kekuatannya mengikuti deret berikut : cr3+ = Mn3+ > Fe3+ > do3+ Diantara kation-kation tersebut, Cu (11) terkomplek paling kuat, Fe (111) terkomplek paling lemah, tetapi lebih kuat bila dibandingkan dengan A1 dan Li (Bohn, et al., 1979). Untuk logam-logam divalen urutan kekuatan tersebut sejalan dengan hasil yang diperoleh Stevenson (1982) serta yang dikemukakan oleh Linehan (1985). Macam-macam Ikatan Menurut Tan (1993), ikatan logam pada gugus fungsional diantaranya dapat terjadi karena elektrostatik, komplek reaksi (kelat) dan ko-adsorbsi, yang digambarkan sebagai berikut : Elektrostatik 11 11 n OH.. 0-H.. M + Komplek kelat M =logam Disamping ikatan-ikatan tersebut masih terdapat ikatan lain seperti ikatan kovalen yaitu ikatan yang disebabkan karena sharing electron, sehingga membentuk posisi geometri yang sangat kuat dan ikatan van der Waals yang terjadi karena sisa muatan pada molekul (Bohn, et al., 1979; Tan, 1993). I Ikatan elektrostatik atau disebut juga sebagai ikatan ionik terjadi karena elektron terluar terlepas dari orbitnya atau terjadi pengikatan elektron sehingga menimbulkan muatan negatif atau positif. Dengan demikian akan terjadi ikatan dengan ion-ion yang memiliki muatan yang berlawanan. Di dalam struktur liat silikat, ikatan antara Si dengan 0 dan A1 dengan 0 disebabkan karena ikatan kovalen. Ikatan ini bersifat sangat kuat. KO-adsorbsi terjadi antara ion hidrogen dengan atom lainnya yang memiliki elektronegativitas tinggi seperti F, 0 dan N. Ikatan ini tergolong ke dalam elektrostatik le- mah, walaupun ikatan ini penting dalam senyawa-senyawa oksi seperti yang terjadi pada liat silikat 1:l dimana hubungan antara OH dan 0 pada basal planes dihubungkan oleh jembatan H. Kelat merupakan ikatan dimana kation bertindak seba-, gai sentral dari struktur molekul. Bertindak sebagai li- gan atau jembatan ligan diantaranya F-, HZO, OH-, 02-, CN-, coj2- dan po4j-. Ion-ion 02, coj2- dan ~ 0 menem~ ~ pati satu posisi di dalam koordinasi dari setiap dua kation yang berbeda. Sedangkan H20, OH-, F- dan CN- menem- pati satu posisi sekitar kation sentral. Afinitas kation-kation umumnya meningkat pada tapak reaktif dengan deret berikut (Linehan, 1985) : C=O karbonil > -0- > -COO' > -Ns > -N=N > -NH2 > -0ether karboksilat cincin N azo amin enolat - Dari gugus-gugus ini, gugus fungsional yang mengandung oksigen seperti C=O, OH dan COOH merupakan tapak yang paling reaktif dalam mengikat kation (Stevenson, 1982). Apabila ter jadi koordinasi atau polynuclear complex, maka kation tersebut akan memiliki kelarutan yang rendah karena cenderung terpolimerisasi. Kelat yang terbentuk dapat bersifat unidentat yaitu apabila suatu molekul ligan berikatan dengan satu kation; bidentat, tridentat, tetradentat atau pentadentat apabila molekul ligan masing- masing sebanyak dual tiga, empat dan lima berikatan dengan kation yang sama (Bohn, et al., 1979; Linehan, 1985). Pada fosfat, kecuali ikatan monodentat, dijumpai ikatan lainnya yang bersifat polidentat sehingga lebih stabil dan kurang tersedia bagi tanaman (Tan, 1993). Unsur-unsur Cut Zn, Fe (I1 dan 111) dan kation tergolong ke dalam transisi terikat kuat pada bahan organik, dan menjadi terpresipitasi. Pembentukan ikatan tambahan umumnya lebih meningkat- kan stabilitas kelat, walaupun bahan organik yang berbeda menimbulkan perbedaan afinitas karena perbedaan gugus fungsional. Kation-kation polivalen seperti cu2+, zn2+, Fe2+, Fe3+ cenderung membentuk ikatan polidentat yang menempati posisi dua atau lebih ikatan dengan kation-kation tersebut (Bohn, et al., 1979). Di dalam penelitian yang melibatkan Cu dengan glifosat (N-fosfono-metalglisin), melalui deteksi ESR (Electron Spin Resonance), -+_ Cu bereaksi dengan glifosat membentuk komplek ligan Cu 1:l dan 2:1, dimana N-amin menempati satu dan dua posisi koordinasi ekuatorial. Dalam ha1 ini -COOH sangat berperan terhadap ikatan fosfonat dalam posisi ekuatorial dan aksial pada komplek Cu 2:l. Sedangkan pada komplek ligan Cu 1:1, peranan ter- dapat pada N-amin (McBride, 1991). Pada oksida Mn, Cu me- nempati urutan kekuatan pertama ikatan dengan Mn02 dibandingkan dengan jenis liat silikat (McKenzie, 1989), tetapi dengan adanya glifosat, Cu men jadi lebih mobil karena tidak memiliki muatan atau membentuk komplek yang mudah terdifusi dalam larutan (McBride, 1991). pe2+ , dan pe3+ pada asam Secara hipotetik ikatan ~ l ~ + humat dapat dilihat pada Gambar 5 (De Coninck, 1978). Reaktivitas Kation dengan Ligan Organik Senyawa organik sebagai pengkelat kation-kation polivalen banyak mendapat perhatian, lebih-lebih setelah isu pencemaran logam-logam berat menjadi sorotan tajam. Diperkirakan bahan organik Cu, 75 persen Zn dan 84 mampu mengkelat 98 - - 99 persen 99 persen Hn (Hodgson, Lindsay dan Trierweiter, 1966; Geering, Hodgson dan Sadano, 1969) dengan stabilitas kelat yang tinggi (Stevenson, 1981). Oleh karena itu, senyawa organik dapat dipakai untuk menurunkan konsentrasi kation-kation logam tingkat yang tidak membahayakan kehidupan. berat sampai Secara umum Senesi (1994) membagi reaktivitas logam dengan senyawa organik ke dalam tiga kategori yaitu kategori I, I1 dan 111, masing-masing digolongkan ke dalam basa-basa kuat (hard cations), kation transisi (border line cations) yaitu kation-kation yang memiliki sifat antara basa kuat dan basa lemah serta kation-kation yang tergolong ke dalam basa lemah (soft cations). Kategori pertama terdiri dari logam alkali dan alkali tanah yang Di dalam tanah, kation- terdiri dari Ca, Mg, Na dan K. kation ini lebih banyak berada dalam bentuk dapat dipertukarkan dan mudah digantikan oleh kation-kation lainnya. Di alam, kation-kation kategori I umumnya memiliki konsentrasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kategori lainnya. tidak berpengaruh Walaupun demikian, kation-kation ini secara menonjol terhadap lingkungan. Pengaruh tidak langsung paling tidak melalui dua cara yaitu (a) kompetisi pada tapak pertukaran dengan kation-kation kelompok I1 dan I11 pada ligan oksigen, dan (b) kation-kation tersebut berfungsi sebagai counter ion sehingga mempengaruhi reaktivitas logam lainnya. Pengikatan dengan ligan oksigen terjadi karena ikatan kolumbik atau elektrostatik, sehingga kation-kation Ca, Mg, Na dan K mudah digantikan oleh logam lainnya melalui pertukaran yang bersifat stochiometri (Bohn, et al., 1979). Kelompok kedua yang tergolong ke dalam logam transisi terdiri dari kation-kation Fe2+, Fe3+, Mn2+, co2+, ~ i ~ + , cu2+, zn2+ dan pb2+. Kation lainnya yang tergolong da- lam kelompok ini adalah A1 dan Ti (Bohn, et al., 1979). Kation-kation ini memiliki afinitas tinggi baik terhadap ligan golongan keras maupun lemah. Oleh sebab itu kation- kation ini cenderung terakumulasi dalam tanah. Dalam ta- pak erapan ligan aktivitas keras, kelompok ini bersaing dengan kelompok kation I yang memiliki ikatan kurang kuat walaupun dengan konsentrasi yang tinggi. Persaingan dapat terjadi juga dengan kelompok I11 yang memiliki ikatan lebih kuat walaupun dengan konsentrasi yang rendah. Kelompok I11 terdiri dari kation-kation Cd dan Hg, memiliki afinitas kuat terhadap ligan golongan sedang (ligan N) dan ligan golongan keberadaan kation-kation lemah (ligan S). Di alam ini adalah sangat rendah dan berkorelasi positif dengan jumlah bahan organik. Seperti halnya kation-kation, gugus fungsional terpenting dalam komplek senyawa organik dikelompokkan juga berdasarkan afinitasnya, yaitu kuat, sedang dan lemah (Chaberek dan Martell, 1959; Schnitzer dan Khan, 1972; Buffle, 1988). Untuk kation lemah, afinitas donor atom terhadap ligan mengikuti deret 0 < N < S, sedangkan afinitas sebaliknya ditempati oleh kation-kation kuat. Bagi tapak ligan bidentat, afinitas kation-kation lemah meningkat dengan lemahnya donor yaitu mengikuti deret (0,O) < (N,N) < (N,S). Secara umum reaksi kompetisi bagi ligan tertentu pada kation kelompok I dan I1 terjadi pada tapak 0 sedangkan kation kelompok I1 dan I11 terjadi pada tapak N dan S. Kompetisi kation kelompok I dan I1 tergolong le- mah (Buffle, 1988). Pada pH 5.0 sekuen afinitas senyawa-senyawa organik tanah terhadap kation-kation divalen sejalan dengan elektronegativitas logam Pauling (Schnitzer dan Skinner, 1966; Stevenson dan Ardakani, 1972). Walaupun demikian, nilai afinitas masih tergantung pada metode yang digunakan untuk mengukur ikatan, termasuk juga pH (Stevenson dan Ardakani, 1972). Disamping itu, jenis, sumber dan konsentrasi bahan organik juga mempengaruhi afinitas ikatan kation (Senesi, 1994). Koefisien selektivitas untuk ikatan kation bervariasi, tergantung pada jumlah ikatan kation. Sebagai contoh, ikatan zn2+ dan cu2+ pada asam humat akan meningkat dengan menurunnya jumlah kation yang tersedia (Davies, Cheshire dan Graham-Bryce, 1969). Pada konsentrasi ligan yang ren- dah, kation-kation yang tergolong ke dalam basa lemah seperti cd2+ dan pb2+ lebih banyak terikat pada ligan yang bersifat lemah seperti ligan S dalam senyawa humat. Kation-kation ini dapat bersaing secara sempurna dengan kation-kation yang tergolong ke dalam basa kuat seperti ca2+ walaupun konsentrasi ca2+ tergolong tinggi . Diantara koloid tanah, senyawa humat dikenal sebagai bahan pengkomplek yang bersifat sebagai multi ligan, karena memiliki tapak-tapak pengkomplek dalam jumlah banyak untuk setiap molekul senyawa humat. kuler yang berpengaruh Karakteristik mole- terhadap kemampuan mengkomplek dicirikan oleh sifat-sifat multi fungsi, multi elektrolit, hidrofobik dan kapasitas intermolekuler dan perubahanperubahan molekuler (Senesi, 1994). Tapak ligan utama sebagai pengikat kation pada asam humat dan fulvat terdapat pada gugus-gugus yang mengandung oksigen seperti karboksilat, fenolat, hidroksil, alkohol dan enol, dan karbonil. Disamping itu, gugus amino dan gugus yang mengandung S dan P berkontribusi juga terhadap pengkelatan kation (Stevenson dan Fitch, 1986). Diantara gugus-gugus tersebut, karboksil memegang peranan yang sangat menonjol baik dalam pengikatan kation sendiri-sendiri maupun gabungan dengan gugus lainnya seperti fenolat dan karboksilat yang dikenal sebagai tapak salisilat seperti tertera pada reaksi 1 (Gambar 6). Kemungkinan lain adalah kombinasi antara dua COOH yang dikenal sebagai tapak ptalik (reaksi 2) atau terdiri dari dua fenol, gugus quinon, NHZl sulfidril dan konyugasi antara dua keton (Schnitzer, 1969) seperti tertera pada reaksi 3. Reaksi 1 dan 3 dise- but juga sebagai reaksi komplek 1:l. Komplek paling stabil apabila melibatkan gugus COOH yang bersifat masam lebih kuat, sedangkan yang kurang stabil apabila terjadi asosiasi dengan COOH yang bersifat masam lemah, demikian juga pada gugus fenol (Rendhawa dan Broadbent, 1965). COO, ,COO COO ................(8) . 0 (Tr y o + M"[H~O],, OH Gambar 6. <= , 0 I [M~OJ,,M% .............( 9 ) 0" Kemungkinan Reaksi antara Logam dengan Tapak Reaktif dalam Senyawa Organik (~enesi;1994) Ion logam juga dapat terkoordinasi dengan ligan yang memiliki dua atau lebih molekul senyawa humat membentuk komplek 2:l (reaksi 4 dan 5) atau membentuk kelat (reaksi 6 dan 7) dan bahkan membentuk agregat (reaksi 8) sehingga menghasilkan presipitasi dengan nisbah kation terhadap senyawa humat yang tinggi (Stevenson, 1976). Kedua komplek 2:l dan 1:l sering terbentuk secara simultan. Dalam senyawa humat terdapat dua karakter komplek, yaitu komplek permukaan dalam yang menghasilkan ikatan kovalen antara atom-atom ligan dan kation, dimana keduanya mengalami dehidrasi sebagian atau dehidrasi seluruhnya. Karakter kedua merupakan komplek permukaan luar yang menghasilkan tarikan elektrostatik antara ligan-ligan dengan kation yang tetap mengalami hidrasi. Reaksi 1 sampai 8 menunjukkan pembentukan komplek bagian dalam, sedangkan reaksi 9 menunjukkan komplek kation tersolvasi. Diantara senyawa-senyawa organik, asam-asam alifatik lebih banyak menjadi topik penelitian, karena memiliki penyebaran yang luas dan sebagian besar merupakan derivat hidroksi yang sangat efektif sebagai stabilizer fraksi mineral tanah. Senyawa-senyawa alifatik yang pernah di- jumpai terdiri dari asam format (HCOOH), asetat (CH3COOH), oksalat (COOH)%, (CH3CH2COOH), akrilat laktat (CH3CHCOOH), propionat (CH3CHOHCOOH), butirat (CH3CH2CH2COOH), fumarat (CHCOOH)2, suksinat (CH2COOH)2, krotonat (CH3CHCHCOOH), sakarat (HCOOC(CH2)4COOH), palmitat (CH3(CH2)14COOH), stearat (CH3(CH2)7CHCH(OH,)7COOH)I (CH3(CH2)16COOH), a-hidroksi oleat stearat (CH3(CH2)15CHOHCOOH), lignoserat (C23H47COOH), dihidroksi stearat (CH3(CH2)7CHOHCHOH(CH2)7COOH) dan tiga senyawa lainnya yang dikenal sebagai agroserat (C21H4203)1 humoserat (ClgH3402)dan asam parafinat (C24H4802). Asam-asam organik yang membentuk komplek yang lebih stabil berasal dari di- dan hidroksi karboksilat. Hasil penelitian Johnson (1936) menunjukkan bahwa ikatan antara Ca dengan asam sitrat (tipe trikarboksilat) menghasilkan komplek paling stabil, kemudian menurun pada tipe d i b a s i c a c i d seperti asam malat (HOOCCH2CHOHCOOH) dan tartarat dan terendah terjadi pada asam a-hidroksi mono b a s i c a c i d seperti asam oksalat (COOH)2. Diantara d i b a s i c a c i d , derivat hi- droksil memiliki kemampuan mengikat paling kuat. Contohcontoh I, 11, I11 dan IV merupakan tipikal ikatan logam pada asam organik dengan kekuatan ikatan yang berbeda-beda (Stevenson dan Ardakani, 1972; Stevenson, 1982). Disamping dapat mengurangi ketersediaan unsur mikro, asam-asam organik tertentu dapat meningkatkan mobilitas unsur mikro sehingga senyawa organik tersebut dapat dianggap sebagai media transpor ke permukaan akar. Di dae- rah perakaran juga dihasilkan asam-asam organik sederhana berasal dari eksudat akar. Pada akar serealia dihasilkan I. Sitrat I ikatan kuat) COO- I coo- I HC-OH rtrat ( i k11. a t a Tn asedang) I cooLoo111. Glukonat IV. Glisin ( i k a t a n sangat lemah) asam asetat, oksalat, glikolat, propionat, piruvat (CH3COCOOH), butirat, oksaloasetat (HOOCCH2COCOOH), suksinat, malat, fumarat, tartrat (HOOCCHOHCHOHCOOH), valerat (CH3(CH2)3COOH) dan sitrat (Vancura, 1964). Senyawa-senyawa ini diproduksi oleh bakteri, karena daerah rizofer merupakan daerah yang sesuai untuk kehidupan bakteri-bakteri penghasil asam (Alexander, 1977). Hasil penelitian Hodgson (1963) dan Wallace (1963) menunjukkan bahwa kahat unsur mikro sering berhubungan erat dengan asam-asam organik yang dihasilkan. Oleh sebab itu tanah-tanah demi- kian disarankan agar digunakan varietas yang memiliki selang toleransi besar terhadap kahat unsur mikro, kecuali pupuk mikro diberikan. Selain asam-asam organik yang dihasilkan dari metabolat mikroorganisme, juga dihasilkan gula asam seperti glutamat, glukuronat, galakturonat dan a-ketogluconat yang penting dalam melarutkan mineral (Webley dan Duff, 1965). Senyawa-senyawa lain yang dapat berfungsi sebagai bahan pengkomplek walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit antara lain asam filat, klorofil, gula sederhana, propirin, senyawa fen01 dan auksin (Mortensen, 1963). Di dalam proses-proses pedogenik asam organik memegang peranan penting dalam pergerakan-pergerakan unsur, khususnya unsur-unsur yang memiliki mobilitas rendah. Proses pencucian kation melalui komplek organik-kation disebut sebagai eluviasi. Melalui proses ini unsur Fe, A 1 dan unsur-unsur lain yang terkelat secara kuat akan tereluviasi lebih cepat bila dibandingkan dengan Si dan unsurunsur lain yang terkelat secara Ardakani, 1972). lemah (Stevenson dan Proses ini terjadi secara mencolok pada tanah Podsol yang berkembang pada kondisi iklim dan biologi sedemikian rupa sehingga terjadi pergerakan sebagian besar sesquioksida dan logam-logam ke lapisan bawah. Dari senyawa-senyawa organik, senyawa humat khususnya asam fulvat memiliki kontribusi yang besar terhadap proses podsolisasi. Dalam konsepsi yang diajukan oleh Stobbe dan Wright (1959) proses tersebut umumnya berasal dari polifenol, asam organik dan senyawa-senyawa dengan bobot molekul rendah. Erapan Anion pada Bahan Organik Penambahan bahan organik walaupun dalam jumlah kecil dapat menaikkan KTK tanah dalam jumlah besar, karena gugus fungsional yang terbentuk dalam jumlah besar (Paul dan Clark, 1989; Tan, 1993). Pada keadaan demikian, kemampuan tanah dalam mengerap kation-kation semakin bertambah besar (Tisdale, et al., 1985; Tan, 1993). Sebagai akibat muatan yang tergantung pada pH dan dengan aktifitas tergolong sedang, kemampuan mengikat kation-kation tergolong rendah terutama pada kation-kation monovalen, lebih-lebih terhadap anion-anion (Sample, Soper dan Racs, 1986). Terhadap erapan asam brat, paling tidak terdapat dua penyebab menurunnya konsentrasi anion di dalam larutan bahan organik, yaitu pertama digunakan di dalam struktur mikrobia tanah dan kedua berada dalam bentuk kelat. Dalam bentuk kelat, ion b r a t berpasangan dengan cis-hidroksil dari senyawa Corganik. Semula diperkirakan bahwa sepasang cis-diols berfungsi sebagai pengikat borat dan pada penelitian berikutnya dapat dibuktikan bahwa hanya sedikit sekali borat yang bereaksi dengan bahan organik karena hanya sedikit gugus hidroksil yang benar-benar sebagai bentuk cis (Mott, 1981). Dibandingkan dengan Eraksi mineral, gerakan P pada fraksi organik jauh lebih cepat berkisar antara 4 sampai 6 kali gerakan pada tanah dengan tekstur lempung berliat (Tisdale, et al., 1985). Menurut Olsen (1981) sebagian besar pupuk P banyak tercuci setelah pupuk kandang diberikan ke dalam tanah bertekstur lempung berdebu. Pada tahun kedua setelah pupuk kandang digunakan, gerakan pupuk P nencapai kedalaman antara 12 sampai 24 inchi. Hasil pene- litian lain yang dilakukan oleh Fox dan Kamprath (1971) pada tanah organik menunjukkan bahwa dengan pemupukan Sampai 10 mg P/kolom sebanyak 18.1 persen P tererap pada lapisan permukaan dan 3.2 persen tererap pada lapisan bawah (Tabel 6). Penggunaan bahan organik pada tanah-tanah yang memiliki kemampuan besar dalam mengikat unsur P tenyata dapat meningkatkan kelarutan P karena disolusi senyawa Ca-P (Moreno, Lindsay dan Osborn, 1960). Pada tanah-tanah yang banyak mengandung kaolinit, penggunaan bahan organik dapat menurunkan erapan P karena adanya persaingan dalam tapak erapan (Nagarajah, Posner dan Quirk, 1970). yang terbentuk dierap karan ligan Asam organik pada permukaan liat melalui pertu- sehingga menimbulkan lemahnya tapak erapan Tabel 6. Jumlah P Tercuci dari Tanah Gambut Masam (Fox dan Kamprath, 1971) P pupuk (mg/kolom) P ditambahkan (mg/kolom) PH bagi pengikatan P. Al-ditukar (me/100g) Tqrcuci Tererap Manipulasi demikian cukup banyak men- dapat perhatian dari para peneliti lebih dari 20 tahun terakhir, karena tanpa manipulasi ini fiksasi unsur P oleh tanah-tanah tua yang banyak mengandung kaolinit, gibsit, pseudoboehmit sangat tinggi (Muljadi, Posner dan Quirk, 1966a; 1966b; 1966c; Bache, 1964) sehingga sebagian besar unsur P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Dengan ada- nya senyawa organik terutama asam-asam organik akan terjadi proses-proses berikut (Tisdale, et al., 1985) : (a) pembentukan senyawa komplek yang lebih mudah diasimilasi tanaman (b) adanya penggantian ion fosfat dengan ion humat (c) tertutupnya permukaan aktif sesquioksida oleh asam humat sehingga menurunkan fiksasi P Asam-asam organik yang mampu menggantikan kedudukan P dalam tapak erapan antara lain asam sitrat, oksalat, tartarat, malat dan malonat dimana asam-asam ini berasal dari degradasi bahan organik. Untuk meningkatkan erapan unsur P I Wild (1950) menyarankan penggunaan kation-kation polivalen seperti Fe, A1 dan Ca pada bahan organik sehingga terjadi senyawa komplek dengan unsur-unsur tersebut. Dalam keadaan demi- kian, unsur P dapat terikat dengan baik. Gejala yang sama juga dijumpai pada hasil penelitian Weir dan Soper (1963). Appelt, Coleman dan Pratt (1975) berhasil membentuk komplek hidroksi-Al-humat yang mampu mengerap P dan ditemukan juga bahwa erapan terhadap unsur P meningkat apabila nisbah A1:OH menurun. Hal ini berarti pertukaran P terjadi pada tapak erapan yang diduduki oleh gugus OH pada Al. Beberapa kemungkinan reaksi yang terjadi antara A1 yang terikat pada bahan organik dengan fosfat digambarkan oleh Bloom (1981) sebagai berikut : R(C00)2Al + + + + H2P04- -> R(C00)2A1H2P04- R(C00)2A1 + H2P04- -> R(C00)2A1HP04- R(COO)2A1 + H2P04' + H20 -> R(C00)3Al R(C00)3Al R(COO)3A1 RCOOA1(OH)2 H2P04- -> R(C00)3A1H2P04' H2P04- -> R(C00)3A1HP04- H2P04- t t 2H20 -> H2P04- -> RCOOA1 (OH) 2 t H2P04- -> R = senyawa humat ~ ( ~ 0 0 +) A1H2PO(OH)2 ~ ~ t + OHH20 + 2 ~ '(3) .............( 4 ..............(5 ) ~ ( ~ 0 0 t) H'~ t~ A1H2P04(0H)2 ' (6) RCOOA1HP04 RCOO- ................... (1) t H+ ...............( 2 ) t t OH- + ............( 7 .............. (8 H20 A1H2P04(OH)2 Reaksi ( 3 ) , (6) dan (8) merupakan reaksi presipitasi, sedangkan reaksi (I), ( 2 ) , (4), (5) dan (7) merupakan pem- bentukan komplek organo-Al-fosfat. Dari hasil penelitian ini ditunjukkan juga bahwa gugus -OH sangat menentukan jumlah P tererap. Pada nisbah 0H:Al sama dengan 1.50 jumlah P tererap lebih tinggi bila dibandingkan dengan nisbah 0.94 dan semakin tinggi pH gambut erapan P juga semakin meningkat. Pada tanah-tanah mineral, asam-asam organik sering digunakan untuk menurunkan energi ikatan P pada senyawa mineral Ca-P (Holford dan Mattingly, 1975). Sedangkan pada bahan organik kation-kation polivalen digunakan untuk meningkatkan ikatan P tersebut menjadi lebih kuat sehingga tidak mudah tercuci (Mattingly, 1985). COO R,- COO I 0 R,-COO -Fe/ \OH NONLAEIL- P Meskipun dari berbagai penelitian banyak diketahui bahwa bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan unsur P, peneliti masih mempertanyakan pengaruh pupuk P terhadap kelarutan bahan organik. Bell dan Black (1970) mempela- jari penggunaan monoammonium fosfat (MAP) dan diammonium fosfat (DAP) terhadap kelarutan bahan organik. Demikian juga Giordano, Sample dan Mortvedt (1971) menggunakan MAP dan triammonium pirofosfat (TPP). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sekitar 10 persen bahan organik larut akibat pupuk MAP dan dengan TPP kelarutan menjadi dua sampai tiga kali lipat. Ada beberapa perubahan yang mempengaruhi reaksi unsur P. Pertama, apabila unsur P bergerak dari granul akan terjadi penggantian kation valensi dua atau tiga sehingga akan terjadi reaksi antara kation dengan unsur P. Kedua, pelepasan bahan organik dapat menyebabkan munculnya permukaan baru sehingga P tererap atau terpresipitasi. Ketiga, bahan organik terlarut akan dibawa ke lo- kasi baru, sehingga menutup permukaan tapak erapan. Hasil penelitian penjenuhan bahan organik HI A1 dan Ca menunjukkan bahwa dengan Al, jumlah P tererap mencapai sekitar 68 persen, sedangkan pada Ca dan H sangat rendah (Tabel 7). Pada tanah yang di jenuhi dengan H dan Ca, pe- lepasan P sangat cepat dibandingkan dengan yang dikapur sebelumnya. Dengan HI pH tanah menjadi sangat rendah sehingga ikatan P dengan kation menjadi mudah terlarut. Seperti halnya dengan HI dengan Ca, pH dicapai sekitar 4.0 dan pada reaksi demikian senyawa Ca-P menjadi mudah larut. Dengan A1 terdapat beberapa ikatan P. faktor yang mempengaruhi Menurut Coleman, Thorup dan Jackson (1960), A1 akan terhidrolisa dari tapak erapan sebelum bereaksi dengan unsur P, walaupun A1 terikat dengan kuat dengan bahan organik. Pada pH rendah, presipitasi dengan A1 akan terjadi sehingga pelepasan P dari A1-P menjadi berkurang. Tabel 7. Perlakuan Fosfor Tererap dan Tercuci pada Beberapa Perlakuan (Fox dan Kamprath, 1971) pH HAlditukar ditukar me/100 g... ... P pupuk (mg/kolom) Tercuci Tererap Kontrol 3.4 1.92 1.63 4.6 - Tanah dikapur+P 4.1 0.55 0.60 13.2 1.4