BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Motivasi Motivasi kerja

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Motivasi
Motivasi kerja seseorang dapat lebih bercorak proaktif atau reaktif. Pada
motivasi kerja proaktif orang akan berusaha untuk meningkatkan kemampuankemampuannya sesuai dengan yang dituntut oleh pekerjaannya dan/atau akan
berusaha untuk mencari, menemukan dan/atau menciptakan peluang dimana ia
dapat menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berunjuk-kerja yang
tinggi (Munandar, 2001).
Motivasi dapat dipandang sebagai satu ciri yang ada pada calon tenaga kerja
ketika diterima masuk bekerja di perusahaan. Motivasi kerja tenaga kerja
mengalami perubahan-perubahan sebagai hasil interaksi antara tenaga kerja dengan
lingkungan kerja. Setiap hari, secara sadar ataupun tidak sadar, kita menghadapi
dan menjalani dua macam situasi yaitu situasi masalah (problem situation) dan
situasi pilihan (choice situation) yang juga dinamakan situasi konflik. Dalam situasi
masalah seseorang menghadapi berbagai macam rintangan dalam upayanya
mencapai sesuatu (tujuan) yang diinginkan. Dalam situasi pilihan, seseorang
menghadapi beberapa alternative keputusan atau tindakan yang dapat diambil.
Setiap keputusan atau tindakan mengarah ke tercapainya tujuan tertentu (Waluyo,
2013).
Motivasi di dalam The World Book Encyclopedia (2008) menjelaskan
bahwa: Motivasi adalah suatu dorongan pada diri seseorang untuk melakukan apa
yang ia inginkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi akan berguna
dengan baik jika motivasi mendorong seseorang untuk berbuat hal yang baik.
Motivasi akan berguna dengan tidak baik jika motivasi mendorong seseorang untuk
berbuat hal yang buruk.
Beberapa orang terlihat bahwa mereka lebih termotivasi dari dorongan
eksternal dalam pekerjaan mereka. Motivasi eksternal yang dimaksud adalah
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
beberapa hal yang terpisah dari pekerjaan itu sendiri seperti hadiah, atau
penghargaan dari orang lain. Sedangkan motivasi intrinsik adalah motivasi yang
timbul demi pekerjaan tersebut dari diri dalam pribadi itu sendiri. Hal ini
dikarenakan pekerjaan tersebut menarik, memikat hati dan beberapa dari pekerjaan
tersebut memuaskan (Robins, 1990).
Abraham Maslow dalam Mangkunegara (2011) mengemukakan bahwa
hierarki kebutuhan pegawai sebagai berikut :
Kebutuhan tingkat
Kebutuhan
tinggi
aktualisasi diri
Kebutuhan
harga diri
Kebutuhan tingkat
Kebutuhan
rendah
social
Kebutuhan
rasa aman
Kebutuhan
fisiologis
Gambar 2.1 Hierarki Kebutuhan Maslow
1) Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan makan, kebutuhan
minum, kebutuhan perlindungan fisik, kebutuhan bernapas dan
kebutuhan seksual. Kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan
yang
paling
mendasar
bukan
saja
karena
setiap
orang
membutuhkannya terus menerus sejak lahir hingga ajalnya, akan
tetapi juga karena tanpa pemuasan berbagai kebutuhan tersebut
seseorang tidak dapat dikatakan hidup secara normal.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Menurut Maslow setiap orang mempunyai kebutuhan dasar
yang sama, walaupun masing-masing memiliki latar belakang sosial,
budaya, persepsi, dan pengetahuan yang berbeda. Malika (2005)
menyebutkan kebutuhan akan uang dan mencukupi kebutuhan
rumah tangga tampaknya sudah menjadi alasan yang umum
mengapa istri memasuki dunia kerja. Manusia akan memenuhi
kebutuhan dasarnya sesuai dengan tingkat prioritas masing-masing
(Potter dan Perry, 2005).
2) Kebutuhan rasa aman
Kebutuhan akan keamanan tidak bisa dilihat dari segi fisik
para pekerja saja. Segi-segi keamanan yang bersifat psikologis juga
mutlak penting mendapat perhatian contohnya seperti perlakuan
yang manusiawi dan adil. Keamanan juga menyangkut apa yang
biasa disebut sebagai “security of tenure”. Artinya terdapat jaminan
bahwa seseorang tidak akan mengalami pemutusan hubungan kerja
selama yang bersangkutan menunjukkan prestasi kerja.
Menurut Maslow (Munandar, 2001) kebutuhan fisiologis
merupakan kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi fisiologis
badan manusia seperti kebutuhan makan dan minum yang
merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, sementara
kebutuhan rasa aman merupakan kebutuhan untuk dilindungi dari
bahaya dan ancaman fisik contoh kebutuhan rasa aman adalah
keinginan memiliki tempat tinggal yang aman.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
3) Kebutuhan sosial atau rasa memiliki
Kebutuhan sosial atau rasa memilki yaitu kebutuhan untuk
diterima dalam kelompok unit kerja, berafiliasi, berinteraksi, serta
rasa dicintai dan mencintai. Dengan perasaan demikian ia akan
berperilaku positif yang biasanya tercermin dalam kemauan
memberikan kontribusi yang semakin besar kepada perusahaan
untuk mencapai tujuannya.
Dalam dunia pekerjaan kebutuhan sosial di dunia pekerjaan
diwujudkan melalui memiliki rekan kerja dan membentuk
kelompok informal (Munandar, 2001). Menjalin relasi dengan orang
lain juga termasuk kebutuhan berafiliasi, menurut McClelland
(Waluyo, 2013) kebutuhan berafiliasi merupakan kebutuhan untuk
berusaha mendapatkan persahabatan, menginginkan agar lebih
disukai dan diterima orang lain serta menyukai situasi kooperatif
dan berusaha menghindari konflik.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
University of Calgary yang menyorot pentingnya bersosialisasi
sebagai mekanisme untuk mengatasi situasi stres. "Banyak spesies,
termasuk manusia, menggunakan interaksi sosial untuk mengurangi
efek stres. Bahkan kurangnya kegiatan sosial bisa memicu stres,"
kata Jaideep Bains, penulis senior penelitian tersebut. "Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa wanita muda lebih sensitif terhadap
stres sosial dibandingkan pria muda," kata Bains. "Ini bisa berarti,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
jaringan sosial lebih penting bagi perempuan secara umum, dan
perempuan muda lebih mungkin sensitif terhadap keterasingan
sosial dibandingkan pria muda," lanjutnya (Priherdityo, CNN
Indonesia 2016).
4) Kebutuhan harga diri
Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan untuk dihargai,
dihormati oleh orang lain, semua orang memerlukan pengakuan atas
keberadaan dan statusnya oleh orang lain. Dikaitkan dengan kehidupan
organisasional, pada umumnya dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
kedudukan dan status seseorang dalam suatu organisasi dan di
lingkungan masyarakat semakin banyak pula simbol-simbol yang
digunakannya untuk menunjukkan status yang diharapkannya diterima
dan diakui oleh orang lain, baik secara langsung oleh mereka dengan
siapa ia berinteraksi maupun secara tidak langsung oleh berbagai pihak
dengan siapa seseorang tidak melakukan interaksi.
Schultheiss (2009) tujuan istri bekerja tidak hanya disebabkan
oleh faktor ekonomi saja melainkan adanya dorongan untuk mandiri
dan membangun relasi dengan orang lain secara lebih luas.
5) Kebutuhan aktualisasi
Kebutuhan aktualisasi adalah untuk mengembangkan diri dari
potensi, mengemukakan ide-ide, memberikan penilaian, kritik dan
berprestasi. Menurut Dewi (2006) tujuan wanita memutuskan berkarir
diantaranya adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan finansial
keluarga, mendapatkan kesempatan mengaktualisasikan diri, berkreasi,
dan produktif untuk dirinya maupun orang lain. Rogers mengatakan
aktualisasi diri dirasa penting bagi wanita karir sebagai pemenuhan
akan segala potensi dan kapasitas diri secara penuh (Supraktiknya,
1995).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Ketika setiap kebutuhan ini pada dasarnya terpenuhi, kebutuhan yang
berikutnya menjadi dominan. Individu bergerak menaiki tingkat hierarki. Dari
sudut motivasi, teori tersebut mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan
yang benarbenar dipenuhi, sebuah kebutuhan yang pada dasarnya telah dipenuhi
tidak lagi memotivasi. Jadi bila ingin memotivasi seseorang, menurut Maslow, kita
harus memahami tingkat hierarki dimana orang tersebut berada saat ini dan fokus
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atau di atas tingkat tersebut. Maslow
memisahkan lima kebutuhan kedalam urutan-urutan yang lebih tinggi dan lebih
rendah (Robins, 1990).
2.2 Definisi Kerja
Kerja secara harafiah adalah kekuatan subjek untuk memindahkan suatu
objek dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ada dua hal yang menentukan
seberapa banyak subjek bekerja, yaitu aplikasi kekuatan subjek, dan jarak
perpindahan suatu objek. Hal yang bukan memindahkan objek dari satu tempat ke
tempat lain tidak disebut kerja. Subjek tidak dihitung bekerja walaupun sudah
mengaplikasikan kekuatan jika objeknya tidak berpindah (World Book, 2008).
Kerja juga bisa didefinisikan sebagai kegiatan subjek melakukan suatu hal yang
dapat di dasari oleh kebutuhan maupun keinginan. Jika kerja ditambah imbuhan pedan –an maka definisinya menjadi sesuatu yang harus atau wajib dilakukan dengan
mengolah atau memproses sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], 2008).
Kesimpulannya kerja adalah kekuatan yang digunakan oleh seseorang untuk
melakukan hal yang wajib dilakukan yang didasari oleh kebutuhan-kebutuhan
untuk dipenuhi (Wijaya, 2013).
2.3 Motivasi Kerja
Pada dasarnya motivasi dapat memacu karyawan untuk bekerja keras
sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
kerja karyawan sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan perusahaan
(Noviansyah & Zunaidah, 2011). Menurut Rivai (2009) ada tiga faktor sumber
motivasi, yakni kemungkinan untuk berkembang, jenis pekerjaan dan apakah
mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari perusahaan di tempat mereka
bekerja.
2.3.1 Teori motivasi kerja ERG oleh Clayton Alderfer
Di era tahun 60-80an, dilakukan sebuah penelitian oleh Clayton Alderfer.
Penelitian panjang ini kemudian lahir menjadi teori ERG. Teori ERG ini sendiri
merupakan turunan dan terinsipirasi dari teori motivasi kerja yang telah hadir
sebelumnya yang ditemukan oleh Abraham Maslow (Daft, 2002).
Teori motivasi kerja dari Abraham Maslow menyatakan bahwa ada 5
kebutuhan manusia yang berbentuk hierarki. Antara lain, kebutuhan kebutuhan
fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Menurut
Maslow, setiap manusia pemunuhan ini berjenjang dari hierarki paling bawah ke
paling atas. Menariknya, Alderfer mencoba melihatnya dari perspektif kebudayaan,
wilayah geografis dan juga perbedaan individu. Clayton Alderfer kemudian
meringkas teori Maslow ini menjadi 3 hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan bertahan
hidup (Existence), kebutuhan diakui lingkungan (Relatedness), dan kebutuhan
pengembangan diri (Growth), yang dikenal juga menjadi teori ERG. Alderfer
menggabungkan kebutuhan fisiologis dan rasa aman kedalam kebutuhan bertahan
hidup versinya. Dia memasukan kebutuhan akan cinta/pertemanan dan
penghargaan diri secara internal ke dalam kebutuhan sosial versinya. Terakhir dia
memasukan kebuthan penghargaan diri secara eksternal dan aktualisasi diri ke
dalam kolom kebutuhan pengembangan diri versi ERP (Daft, 2002).
Kaitan hierarki kebutuhan maslow dengan teori ERG :
1. Motivasi Karena Kebutuhan Existence (Kebutuhan bertahan hidup)
Seorang manusia perlu untuk memenuhi kebutuhan minimalnya dalam
bertahan hidup. Kebutuhan dasar yang diperlukan adalah kebutuhan untuk ada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
(hidup) dan agar tetap ada. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi maka seseorang akan
sangat stres hanya untuk sekedar hidup. Kebutuhan bertahan hidup diantaranya
harus dipenuhiny akebutuhan untuk makan, minum, udara, pakaian, tempat tinggal,
rasa aman dan semacamnya.
Berdasarkan teori ERG dari Alderfer (dalam Munandar, 2001) kebutuhan
rumah tangga dan butuh penghasilan tergolong ke dalam kategori kebutuhan
existence dan kebutuhan social. Kebutuhan existence merupakan kebutuhan akan
substansi material seperti keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan,
uang, mebel dan mobil yang menjadi kebutuhan dari rumah tangga subyek
sementara kebutuhan Relatedness merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran
dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan orang lain menikmati hal yang
sama dengan diri sendiri yang dibuktikan dengan alasan bekerja subyek adalah
bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk rumah tangga subyek.
2. Motivasi Karena Kebutuhan Relatedness (Kebutuhan Sosial)
Manusia juga memiliki kebutuhan untuk merasa sama dengan lingkungan
sekitarnya. Atau jikapun ada ketidaksamaan, minimal seorang manusia
membutuhkan pengakuan dan dianggap sebagai bagian dari lingkungannya. Jika
pengakuan dari sekitar tidak didapat dari lingkugan terdekat, maka otomatis
manusia akan mencarinya di lingkungan yang lain.
Seorang anak remaja punk metal rock yang merasa tidak diakui dan tidak
sama dengan keluarganya biasanya akan mencari orang yang memiliki atribut yang
sama untuk kemudian bergabung dengan mereka. Ini jugalah yang bisa menjadi
salah satu penjelas dari munculnya trend. Sekali “anak beken di SMA” memakai
baju jangkis, maka anak-anak yang lain yang ingin diterima dan dianggap sama
dengan “si beken” akan sama-sama menjahit baju sekolahnya menjadi baju jangkis.
Rasa diakui dan diterima lingkungan ini dibutuhkan oleh pribadi dalam
masyarakat, ataupun pekerja di tempat kerjanya. Jika kebutuhan ini dirasa tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
dipenuhi, maka orang cenderung untuk menarik diri dan bergerak ke arah
lingkungan yang memenuhi kebutuhan tersebut.
Tujuan untuk menjalin relasi dengan orang lain tergolong kedalam
kebutuhan relatedness, menurut Alderfer (dalam Munandar, 2001) kebutuhan
relatedness adalah kebutuhan yang menyebabkan individu berkeinginan untuk
berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain yang dianggap penting dalam
hidup dan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluarga, teman dan rekan
kerja.
3. Motivasi Karena Kebutuhan Growth (Kebutuhan Perkembangan Diri)
Ketika kedua kebutuhan di awal sudah terpenuhi, maka orang punya
kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri ini tentu
membutuhkan suatu ruang berkembang khusus. Disini kreatifitas dan pengambilan
keputusan dari diri sendiri sangat dihargai.
Di tempat kerja, tidak selamanya gaji yang besar membuat orang puas
bekerja. Orang cenderung untuk puas dalam bekerja ketika dia dihargai oleh
lingkungannya dalam bekerja. Selain itu si pemberi kerja mau menghargai
kesempatan pengembangan diri tersebut.
Suatu hari, seorang pekerja ditawari oleh perusahaan lain untuk pindah
dengan gaji nyaris dua kali dari tempat yang sekarang. Sang pekerja ternyata
memilih untuk tetap tinggal di tempat yang lama. Ketika ditelisik, ternyata alasan
dia tidak pindah bukanlah karena alasan gaji. Tidak ada tawaran naik gaji dari
tempat yang sekarang. Ternyata yang ditawarkan oleh tempat lama adalah, suatu
posisi dimana si pekerja diberikan otoritas lebih besar. Itu saja ternyata kadang
cukup membuat orang loyal.
Prioritas kebutuhan diantara E,R, dan G berbeda antar satu individu dengan
individu lainnya. Ada individu yang masih berkutat di E. ada juga individu yang
ternyata sudah tidak memikirkan E dan R lagi, tapi terus menerut G yang dipikirkan.
Perbedaan tahapan ini unik dan berbeda antar individu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Dalam Saefudin (2015) ingin memiliki uang sendiri supaya bebas
mengeluarkan uang, hal ini terkait dengan kondisi bahwa walaupun pendapatan
suami mencukupi tapi istri tidak leluasa mengeluarkan terutama untuk keperluan
pribadi, dalam hal ini dikatakan wanita telah melakukan usaha-usaha produktif
dalam mencapai kemandirian ekonomi diri dan keluarganya.
2.4 Definisi Motivasi Kerja Pada Wanita
Bagi wanita yang berpendidikan formal relatif rendah, maka motivasi
bekerja lebih didorong untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sedangkan
bagi wanita intelektual yang lebih banyak mengenyam pendidikan terutama
pendidikan tinggi maka motivasi didorong oleh pengembangan karier (Sungkawati
& Ratnawati, 2015).
De Quelyoe, Asnawi dan Molo (1994) menemukan bahwa alasan paling
dominan para wanita bekerja adalah karena pendapatan rumah tangga yang kurang.
Sedang alasan lainnya seperti keinginan untuk mengisi waktu luang, memperoleh
pengalaman dan membantu orang tua. Pekerjaan di industri rumah tangga
dipandang memiliki keunggulan dan jadi alasan untuk bekerja karena pekerjaan
dapat dikerjakan dirumah, cepat mendapat hasil dan tidak terikat waktu, tidak
punya ketrampilan lain, tempat kerja dekat dengan rumah dan ingin membantu
orang tua mencari nafkah.
2.5 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Pada Wanita
Faktor yang mempengaruhi partisipasi tenaga kerja wanita dalam memberi
kontribusi pendapatan kepada pendapatan keluarga yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal adalah kemampuan yang dimiliki seorang tenaga kerja
wanita yang meliputi keahlian, umur tenaga kerja dan keinginan untuk bekerja,
sedangkan faktor eksternal adalah dorongan dari kebutuhan keluarga sebagai akibat
dari kurangnya pendapatan kepala keluarga dan semakin meningkatnya kebutuhan
keluarga serta imbalan atau upah dari pekerjaan tersebut (Eliana & Ratina, 2007).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
Frederich Herzberg mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow
menjadi teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas
(motivation factor) yang disebut dengan satisfer atau intrinsic motivation dan faktor
pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau exstrinsic
motivation. Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor
pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang
tersebut (kondisi intrinsik) antara lain : Prestasi yang diraih (achievement),
Pengakuan orang lain (recognition), Tanggungjawab (responsibility), Peluang
untuk maju (advancement), Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self ), dan
Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth) (Hasibuan, 2008).
Keinginan mengatasi kebosanan dan kesepian di rumah serta keinginan
untuk menjalin relasi juga menjadi motivasi bagi para ibu-ibu rumah tangga untuk
bekerja diluar rumah, adapula yang memang mereka benar-benar mencintai
pekerjaan tersebut, dan mengejar status juga merupakan motivasi lain dari wanita
yang sudah bersuami untuk bekerja diluar rumah (Parker, dkk., 1985). Ingin
memiliki uang sendiri supaya bebas mengeluarkan uang, hal ini terkait dengan
kondisi bahwa walaupun pendapatan suami mencukupi tapi istri tidak leluasa
mengeluarkan terutama untuk keperluan pribadi, dalam hal ini dikatakan wanita
telah melakukan usaha-usaha produktif dalam mencapai kemandirian ekonomi diri
dan keluarganya (Saefudin, 2015).
Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) disebut juga hygiene
factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk
memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan
kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang
merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke
dalam faktor ekstrinsik meliputi Kompensasi, Keamanan dan keselamatan kerja,
Stress Kerja, Kondisi kerja, Status, Prosedur perusahaan, Mutu dari supervisi teknis
dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat dengan atasan dan dengan
bawahan (Hasibuan, 2008).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
Robins (1990) menyatakan bahwa beberapa orang terlihat bahwa mereka
lebih termotivasi dari dorongan eksternal dalam pekerjaan mereka. Motivasi
eksternal yang dimaksud adalah beberapa hal yang terpisah dari pekerjaan itu
sendiri seperti hadiah, atau penghargaan dari orang lain. Hal ini juga sesuai dengan
teori evaluasi kognitif Jordan bahwa pengaruh motivasi intrinsik/internal
berkurang atau melemah apabila seorang telah termotivasi oleh dorongan
ekstrinsik/eksternal yang lebih kuat.
Hubungan sosial seperti menyukai teman – teman dikantor, ingin memiliki
kesibukan, menyukai atasan dikantor, bosan dirumah merupakan kontributor yang
paling bermakna untuk motivasi eksternal. Kecenderungan untuk memperoleh
kepuasan dari hubungan sosial ini merupakan sifat manusia sesuai penelitian
Morse dan Weiss (1955) yang menyatakan seseorang
akan
terus
bekerja,
meskipun tidak mendapatkan pemberian bentuk ekonomis karena apabila mereka
tidak bekerja, mereka merasa kehilangan banyak teman dalam pekerjaan.
2.6 Hambatan Yang Dialami Wanita Untuk Bekerja
Sajogyo (1983) menyebutkan beberapa hambatan yang dialami wanita
untuk bekerja diantaranya adalah pandangan yang menyatakan bahwa wanita tidak
boleh bekerja, Mereka berpikir bekerja adalah sesuatu yang “tabu” bagi wanita.
Selain itu ketakutan kurang memberikan perhatian kepada anak dan suami juga
menjadi hambatan yang dimiliki wanita untuk memasuki dunia kerja. Kemudian di
beberapa daerah yang terbelakang, banyak yang menyatakan bahwa wanita tidak
perlu berpendidikan tinggi. Sehingga mereka lebih memilih bahwa wanita tidak
memiliki pendidikan yang lebih tinggi sehingga tidak lebih pintar daripada suami
mereka.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
2.6.1 Work-Family Conflict
2.6.1.1 Definisi Work-Family Conflict
Work-Family Conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole
conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan
dengan peran didalam keluarga Greenhaus dan Beutell (1985). Jam kerja yang
panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya
konflik pekerjaan-keluarga (WFC), dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan
dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa
digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga Greenhaus dan Beutell
(1985).
Menurut Dahrendrof (1986) salah satu jenis dari konflik adalah konflik
antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan dalam
keluarga atau profesi (konflik peran/ role). Frone, Rusell & Cooper (1992)
mengatakan kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan kesulitan
dalam memenuhi peran tuntutan peran yang lain (keluarga), harapan orang lain
terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan
konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit
membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya
peran yang lain.
Frone, Rusell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga
sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus
melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga dan
keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya
sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan
sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga
mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan
untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik
pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan seseorang.
Jadi WFC merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana secara
umum dapat didefinisikan sebagai kemunculan stimulus dari dua tekanan peran.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan
peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit membagi waktu dan sulit
untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain.
2.6.1.2 Jenis-jenis Work-Family Conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) menggambarkan tiga tipe konflik yang
berkaitan dengan dilema peran perempuan antara di rumah tangga dan
pekerjaan. Pembatasan bentuk konflik peran ini penting agar terdapat kejelasan
apakah pengalaman konflik merupakan kontribusi dari restriksi waktu,
munculnya ketegangan, atau ketidakselarasan perilaku.
a. Time-Based Conflict
Time-Based Conflict yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang
digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi
peran lainnya, meliputi pembagian waktu, energi dan kesempatan antara peran
pekerjaan dan rumah tangga. Dalam hal ini, menyusun jadwal merupakan hal
yang sulit dan waktu terbatas saat tuntutan dan perilaku yang dibutuhkan untuk
memerankan keduanya tidak sesuai.
Role Conflict dalam Kahn, dkk., (1964) dimana akan terjadi apabila
indvidu memiliki tekanan diantara peran ganda tersebut diwaktu yang
bersamaan. Ambiguitas atau konflik yang dialami dalam suatu peran akan
menghasilkan keadaan yang tidak diinginkan. Oleh karena tuntutan yang saling
bertentangan di antara peran-peran yang dijalankan (misalnya waktu dan
perilaku yang bertentangan) mengarah pada konflik personal, maka individu
akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk menunaikan setiap peran
dengan baik. Konflik pekerjaan-keluarga dapat dipandang sebagai satu aspek
spesifik dalam kerangka konflik peran secara umum dengan mana tekanan
peran dari domain pekerjaan dan keluarga tidak selaras satu sama lain (Burley,
1995).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
b. Strain Based Conflict
Strain Based Conflict yaitu mengacu kepada munculnya ketegangan
atau keadaan emosional yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat
seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai
contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu
membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak
menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Ketegangan peran ini bisa termasuk
stress, tekanan darah meningkat, kecemasan, keadaan emosional, dan sakit
kepala.
Teori hipotesis kelangkaan atau scarcity approach to human energy
theory oleh Marks (1977) yang menyebutkan bahwa tuntutan yang saling
bersaing antara peran pekerjaan dan keluarga dapat menghasilkan tekanan
peran bagi mereka yang berperan ganda di sektor publik maupun domestic.
Selain itu respon dari subyek didukung pula oleh pernyataan Calas dan
Smircich (1996) dalam Burchielli, dkk. (2008), bahwa peningkatan
partisipasi di pasar kerja akan menyebabkan meningkatnya pula tantangan
terhadap pandangan konvensional mengenai fokus tanggung jawab pada
anggota keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain, hubungan antara peran
pekerjaan, keluarga, dan kemasyarakatan merupakan kondisi zero-sum,
sehingga lebih banyak pekerjaan, berarti lebih sedikit waktu yang
teralokasikan untuk keluarga dan keterlibatan dalam masyarakat (Poarch,
1998).
c. Behavior Based Conflict
Behavior Based Conflict yaitu konflik yang muncul ketika
pengharapan dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari
perilaku peran lainnya. Ketidaksesuaian perilaku individu ketika bekerja
dan ketika di rumah, yang disebabkan perbedaan aturan perilaku seorang
wanita karir biasanya sulit menukar antara peran yang dia jalani satu
dengan yang lain.
Beberapa bentuk konflik peran ganda perempuan menikah yang
bekerja menurut Greenhaus & Beutell (1985) yang salah satunya adalah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
Behavior Based Conflict terjadi jika tingkah laku tertentu yang dituntut oleh
satu peran mempersulit individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lain,
misalnya tuntutan peran keluarga dengan tuntutan pekerjaan. Buchler
(1972) mendefinisikan konflik peran ganda merupakan konflik peran yang
muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh
seseorang.
2.6.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda
Stoner, dkk., (1990) menyatakan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi konflik peran ganda, yaitu :
a. Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja
maka semakin sedikit waktu untuk keluarga. Frone dan Cooper (1992)
mengatakan kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan
kesulitan dalam memenuhi peran tuntutan peran yang lain (keluarga),
harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan
seseorang dapat menimbulkan konflik. Dalam teori akumulasi peran
(Sieber, 1974) menyebutkan bahwa peran ganda mengakibatkan baik
konflik maupun pengayaan karena waktu dan energi dapat dibagi,
diintegrasikan, dan dikembangkan di antara aktivitas/peran yang
dijalankan.
b. Family size dan support, semakin banyak anggota keluarga maka
semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga maka
semakin sedikit konflik. Betz & Fitzgerald (1995) menyatakan bahwa
masalah munculnya konflik peran tidak dapat dielakkan bagi ibu yang
bekerja, khususnya yang memiliki anak.
c. Kepuasan kerja, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang
dirasakan semakin sedikit. hasil penelitian Laksmi dan Hadi (2012)
bahwa semakin tinggi konflik peran ganda pada istri yang bekerja,
maka kepuasan kerja semkin rendah. Begitu pula sebaliknya, semakin
rendah konflik peran ganda, maka semkin tinggi kepuasan kerja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
d. Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja
memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya. Menurut
Dewi & Basti (2008) bahwa kualitas interaksi merupakan indikator
kebahagiaan pasangan suami istri.
e. Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin saja
mempengaruhi konflik peran ganda seseorang.
2.7 Karyawan Wanita Berstatus Menikah
Wanita di dalam dunia kerja dipisahkan ke dalam pekerjaan-pekerjaan yag
spesifik, beberapa dilarang, dan biasanya dibayar kurang daripada laki-laki untuk
pekerjaan yang sama. Sementara wanita membentuk tenaga kerja penting dalam
beberapa pekerjaan, pembayaran pekerjaan mereka dianggap sebagai tambahan
kepada laki-laki, sebagai peran utama wanita adalah menjadi ibu rumah tangga dan
ibu. Dalam abad 21 kesetaraan dalam tempat kerja antara jenis kelamin adalah
sebuah tujuan nasional : undang-undang anti diskriminasi, ketentuan gajih yang
sama dalam undang-undang peraturan perindustrian dan ketentuan kesempatan
yang sama yang dirancang untuk mempromosikan partisipasi wanita dalam semua
sector pekerjaan yang tergambar berbeda dari tahun 1950an (Strachan, 2010).
Peran wanita sebagai istri dan ibu mendominasi di masyarakat Australia
tahun 1950an dimana sebagian besar wanita bekerja sampai mereka menikah, dan
mengikuti pernikahan dan kelahiran anak pertama mereka, focus dan peduli kepada
suaminya, anak-anak dan rumahnya. Ketika di tempat kerja, wanita adalah
karyawan industri dan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sosial dilihat
sebagai “kecocokan”. Wanita peduli dengan yang lain sebagai perawat, guru,
sekertaris dan pekerja rumah tangga. Bila mereka bekerja dalam pekerjaan yang
sama sebaga seorang laki-laki, mereka biasanya membawa pulang 75 persen dari
upah pekerja laki-laki mereka. Sedikit wanita yang mengatur laki-lakinya di tempat
kerja (Strachan, dkk., 2007).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
Seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak perempuan dari wanita
mengatur rumah tangga pada tahun 1950an memasuki dunia kerja di tahun 1970an,
generasi wanita ini telah memperluas pilihan-pilihan pekerjaan. Dengan
meningkatkan angka dari tenaga kerja wanita, perlakuan sosial upah kepada
perempuan mulai berubah dan banyak wanita meyeruakan perubahan (Lake, 1999).
Perempuan yang bekerja tampaknya memiliki struktur pribadi-nilai yang
berbeda dari perempuan yang tidak bekerja; nilai ekonomi dan politik yang lebih
menonjol di kalangan perempuan yang bekerja, sementara nilai-nilai sosial dan
agama memainkan peran yang lebih besar bagi perempuan yang tinggal di rumah
(Jalilvand, 2000).
Salah satu dari trending ekonomi yang dikenal dalam dekade beberapa
tahun terakhir adalah peningkatan partisipasi tenaga kerja wanita. Meskipun trend
tersebut tidak dapat dipungkiri, tidak ada consensus sebagai penyebab dan
konsekuensinya. Sebagai penyebabnya, beberapa pihak berpendapat bahwa
kendala seperti pendapatan laki-laki yang rendah telah mendorong perempuan ke
lapangan, sementara yang lain berpendapat ini merupakan perluasan kesempatan
bagi perempuan (Cohen & Bianchi 1999).
2.8 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Wanita Bekerja
Cox (1980) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan
jumlah wanita menikah bekerja diluar rumah, yaitu tekanan inflasi konstan pada
ekonomi amerka dan kenaikan harapan tentang tingginya standar kehidupan telah
dikombinasikan untuk membawa sebagian besar wanita untuk menjadi tenaga
kerja. Selain itu sejak perang dunia ke II upah nyata telah meningkat secara
dramatis. Karena wanita bisa mendapatkan pembayaran lebih banyak dari yang
didapatkan dimasa lalu, biaya relatif tinggal dirumah dengan keluarganya setaip
hari semakin besar dan banyak wanita turun ke dalam tenaga kerja. Peningkatan
yang sangat besar untuk pekerjaan yang tersedia untuk perempuan juga
mempengaruhi wanita untuk bekerja. Menurunnya angka kelahiran turut didukung
dari banyaknya pekerja wanita dan meningkatnya pendidikan didukung dari wanita
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
yang bekerja diluar rumah. Serta perilaku tentang peran wanita dalam keluarga
telah sangat berubah selama abad ini.
Peran wanita dalam ikut menopang kehidupan dan penghidupan keluarga
semakin nyata (Sumarsono, dkk., 1995). Wanita dihadapkan pada 3 pilihan ketika
mereka memutuskan untuk memasuki dunia kerja, yaitu rekreasi, pekerjaan yang
dibayar, dan pekerjaan yang tidak dibayar ketika mereka tinggal dirumah. Skenario
ini membantu menjelaskan mengapa partisipasi wanita dalam dunia kerja
meningkat terlepas dari peningkatan pendapatan dari suami mereka (Jalilvand,
2000).
2.9 Teori Work Life Balance
Penelitian mengungkapkan bahwa baik karyawan laki-laki maupun wanita,
pencapaian keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan keluarga
tetap merupakan tujuan yang penting dan merupakan kriteria keberhasilan (Fischer
dkk, 1993). Work life balance adalah hubungan antara hal-hal positif dan negatif
yang berlebih antara pekerjaan dan keluarga serta “kesesuaian antara kehidupan
bekerja dan keluarga” yang dioperasionalkan untuk menyertakan hal-hal baik
negatif seperti konflik dan gangguan ataupun positif seperti enhancement dan
positive spillover sebagai dampak dari pekerjaan pada kehidupan pribadi ataupun
kehidupan pribadi pada pekerjaan (Hammer dkk. 2002).
Teori spillover menyatakan bahwa pengalaman pekerjaan dan keluarga akan
berhubungan secara positif. Dengan demikian teori ini menjelaskan pengaruh
pekerjaan pada kehidupan keluarga, dan sebaliknya, pengaruh keluarga pada
pekerjaan. Bila Edward dan Rothbard (2000) melaporkan bahwa secara umum
aliran yang terjadi dapat terkait dengan sikap, perilaku, dan emosi dari satu peran
ke peran lainnya, maka secara spesifik spillover dikelompokkan menjadi dua yaitu
spillover (aliran) positif dan aliran negatif (Grzywacz dan Marks, 2001). Aliran
positif akan tampak jika kepuasan, energi, kebahagiaan, dan simulasi yang dialami
di tempat kerja menyebabkan perasaan dan energi positif dalam rumah tangga; atau
jika kepuasan, energi, kebahagiaan, serta simulasi yang dialami dalam rumah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
tangga menimbulkan energi dan perasaan positif di tempat kerja. Sebaliknya, aliran
negatif dari pekerjaan ke rumah tangga akan dirasakan ketika masalah, konflik, atau
energi yang didedikasikan di tempat kerja menyebabkan individu mengalami
kesulitan untuk berpartisipasi dalam kehidupan keluarga secara efektif dan positif.
Apabila dihubungkan dengan teori-teori yang digunakan sebagai dasar, maka aliran
positif akan dibahas melalui pandangan pengayaan, atau menurut sebutan
Ruderman, dkk., (2002) sebagai premis akumulasi peran, sedangkan aliran negatif
dikaji melalui dasar pemikiran perspektif konflik seperti yang dijelaskan oleh
Greenhaus dan Powell (2006).
Rantanen (2008) menggambarkan interaksi antara pekerjaan-keluarga
melalui empat aspek, yaitu: jumlah, arah, kualitas dan konteks. Jumlah hubungan
pekerjaan-keluarga menunjukkan tingkat segmentasi versus integrasi antara
domain pekerjaan dan keluarga. Arah hubungan pekerjaan-keluarga menunjukkan
hubungan timbal balik antara domain pekerjaan dan keluarga: pekerjaan dapat
mempengaruhi kehidupan keluarga (arah pekerjaan terhadap keluarga) dan
keluarga dapat mempengaruhi kehidupan pekerjaan (arah keluarga terhadap
pekerjaan). Kualitas hubungan pekerjaan-keluarga menunjukkan interaksi negatif
versus positif antara domain pekerjaan dan keluarga. Interaksi negatif pekerjaankeluarga meliputi konsep konflik pekerjaan-keluarga, gangguan (interference),
limpahan negatif (negative spilover) dan pengosongan sumberdaya (resource
drain). Konsep ini berakar dari teori tekanan peran. Interaksi positif pekerjaankeluarga
meliputi
konsep
peningkatan
pekerjaan-keluarga
(work-family
enhancement), pengayaan (enrichment), limpahan positif (positive spillover) dan
fasilitasi (facilitation). Konsep ini berakar dari teori akumulasi peran. Konteks
hubungan pekerjaan-keluarga menunjukkan perspektif mulai dari hubungan
pekerjaan-keluarga dipelajari.
Hasil penelitian Fisher menyarankan bahwa Work life balance meliputi
gangguan antara kehidupan dalam pekerjaan maupun pribadi ataupun peningkatan
antara kehidupan pekerjaan maupun kehidupan pribadi tersebut (Fisher, 2001).
Menurut Role Theory beberapa individu memiliki beberapa peran dalam hidupnya
seperti peran di kantornya contohnya sebagai supervisor maupun peran diluar
kantornya contohnya sebagai pasangan atau teman (Kahn dkk., 1964). Role Conflict
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
dalam Kahn dkk. (1964) akan terjadi apabila indvidu memiliki tekanan diantara
peran ganda tersebut diwaktu yang bersamaan. Ambiguitas atau konflik yang
dialami dalam suatu peran akan menghasilkan keadaan yang tidak diinginkan. Oleh
karena tuntutan yang saling bertentangan di antara peran-peran yang dijalankan
(misalnya waktu dan perilaku yang bertentangan) mengarah pada konflik personal,
maka individu akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk menunaikan setiap
peran dengan baik. Konflik pekerjaan-keluarga dapat dipandang sebagai satu aspek
spesifik dalam kerangka konflik peran secara umum dengan mana tekanan peran
dari domain pekerjaan dan keluarga tidak selaras satu sama lain (Burley, 1995).
Teori Hobfoll (1998) menyebutkan bahwa stress adalah sebuah reaksi yang
timbul karena ancaman dari lingkungan seperti kehilangan atau gagal mendapatkan
sesuatu yang diharapkan dari lingkungannya tersebut. Teori yang pertama kali
dikembangkan oleh Hobfoll pada tahun 1998 ini menegaskan bahwa sekali
dipergunakan, waktu dan energi yang dimiliki tidak lagi tersedia untuk
menyelesaikan tugas lain, baik dalam domain yang sama, maupun domain yang
berbeda. Dengan demikian, tuntutan dan harapan yang tinggi dalam satu peran
(misalnya pekerjaan), akan menyebabkan berkurangnya sumberdaya yang tersedia
untuk peran yang lain (misalnya keluarga) karena jumlah waktu dan energi yang
dimiliki oleh individu bersifat konstan (Hammer, dkk., 2002). Hubungan dari Role
Theory dan Hobfoll Teori mengacu kepada apabila indvidu berusaha untuk
menyeimbangkan peran gandanya mungkin akan menyebabkan ketidakpuasan
kerja maupun gangguan kesehatan (Kahn dkk., 1964).
3.0 Solusi Pemecahan Masalah Wanita Menikah Bekerja
3.0.1 Problem Focused-Coping
3.0.1.1 Pengertian Problem-Focused Coping
Menurut Lazarus dan Folkman (1984) coping adalah upaya
perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengelola tekanan
eksternal dan internal yang dianggap batas kemampuan individu. Adapun
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
fungsi coping tersebut adalah menjelaskan perbedaan kepercayaan antara
coping secara langsung melalui tindakan dan coping menurut Lazarus dan
Folkman (1984) adalah problem- focused coping. Lazarus dan Folkman
(1984) menyatakan bahwa problem- focused coping merupakan strategi
yang digunakan dalam menyelesaikan masalah, seperti mendefinisikan
suatu masalah, menghasilkan solusi alternatif, mempertimbangkan
alternatif secara efisien, memilih alternatif dan bertindak, strategi problemfocused coping berorientasi pada penyelesaian masalah. Santrock (2003)
mengartikan problem- focused coping adalah strategi kognitif untuk
penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu untuk
menghadapi masalahnya dan berusaha untuk menyelesaikannya.
Menurut Carver, Scheier & Weintraub (1989) problem-focused
coping adalah menyelesaikan masalah atau melakukan sesuatu untuk
mengubah sumber stres. Karakteristik problem-focused coping yaitu
menghadapi masalah secara aktif, perencanaan, mengurangi aktifitas
persaingan, pengendalian, mencari dukungan sosial.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problemfocused coping adalah menyelesaikan masalah untuk mengurangi sumber
stres dengan cara penyelesaian masalah secara langsung seperti menghadapi
masalah secara aktif, perencanaan, aktifitas persaingan, pengendalian, dan
mencari dukungan sosial.
3.0.1.2 Faktor-faktor yng mempengaruhi problem- focused coping
Strategi coping dipengaruhi oleh penilaian kognitif pada setiap
individu. Strategi coping diperlukan untuk mengatasi stres dari eksternal
maupun dari internal. (Lazarus dan Folkman, 1984) menggunakan metode
generlisasi untuk menggambarkan sumber karakteristik resisten pada
individu dalam mengelola stres. Karakteristiknya yaitu fisik, biokimia,
kognitif, emosional, sikap, interpersonal, makro sosial budaya.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor yang mempengruhi
problem focused coping adalah:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
a. Kesehatan dan energi (health and energy)
Kesehatan dan energi mempengaruhi berbagai macam bentuk strategi
coping pada individu dan juga stres. Apabila individu dalam keadaan rapuh,
sakit, lelah, lemah tidak mampu melakukan coping dengan baik. Sehingga
kesehatn fisik menjadi faktor penting dalam menentukn strategi coping pada
individu.
b. Keyakinan yang positif (positive beliefs)
Penilaian diri secara positif dianggap sebagai sumber psikologis yang
mempengaruhi strategi coping pada individu. Setiap individu memiliki
keyakinan tertentu yang menjadi harapan dan upaya dalam melakukan
strategi coping pada kondisi apapun. Sehingga penilaian mengenai
keyakinan yang positif merupakan sumber strategi coping, hal ini
dipertegskan seorang penulis Norman Vincent Peale yang mengatakan
fungsi kekuatan berfikir positif dan memiliki kemampuan menjadikan
individu memiliki pengalaman yang baik.
c. Kemampuan pemecahan masalah (problem solving skill)
Kemampuan pemecahan masalah pada individu meliputi kemampuan
mencarai informasi, menganalisis situasi yang bertujuan mengidentifikasi
masalah untuk menghasilkan alternatif yang akan digunakan pada individu,
mempertimbangkan alternatif yang akan digunakan, mempertimbangkan
alternatif dengan baik agar dapat mengantisipasi kemungkinan yang
terburuk, memilih dan menerapkan sesuai dengan tujuan pada masingmasing individu, hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi strategi
coping.
d. Keterampilan sosial (social skills)
Keterampilan sosial merupakan faktor yang penting dalam strategi
coping karena pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial, sehingga
individu
membutuhkan
untuk
bersosialisasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Keterampilan
sosial
32
merupakan cara untuk menyelesaikan masalah dengan orang lain, juga
dengan keterampilan sosial yang baik memungkinkan individu tersebut
menjalin hubungan yang baik dan kerjasama dengan individu lainya, dan
secara umum memberikan kontrol perilaku kepada individu atas interaksi
sosialnya dengan individu lain.
e. Dukungan sosial
Setiap individu memiliki teman yang dekat secara emosional,
pengetahuan dan dukungan perhatian yang merupakan faktor yang
mempengaruhi strategi coping pada individu dalam mengatasi stres, terapi
perilaku, epidemologi sosial.
f. Sumber material (material resources)
Sumber material salah satunya adalah keuangan, keadaan keuangan
yang baik dapat menjadi sumber strategi coping pada individu. Secara
umum masalah keuangan dapat memicu stres individu yang mengakibatkan
meningkatnya pilihan dalm strategi coping untuk bertindak. Salah stu
manfaat material bagi individu mempermudah individu dalam kepentingan
hukum, medis, keuangan dan lain-lain. Hal ini menyebabkan individu yang
memiliki materi dapat mengurangi resiko stres.
3.0.1.3 Aspek-Aspek Problem- Focused Coping
Menurut Carver, Scheier & Weintraub (1989) aspek-aspek problemfocused coping ada lima macam yaitu:
a. Menghadapi masalah secara aktif, yaitu proses menggunakan metode
untuk mencoba menghilangkan stressor. Strategi ini meliputi memulai
tindakan langsung, meningkatkan usaha, dan menghadapi masalah
dengan cara-cara yang bijaksana. Pada kondisi penuh masalah wanita
karir perlu bersikap aktif dan kreatif berdasarkan kemapuan dan
pengalaman yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah, sehingga
tidak bersomatisasi untuk lari dari masalah (Gaspersz, 2004).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
b. Perencanaan, adalah berpikir mengenai bagaimana menghadapi stresor.
Membuat strategi yang akan dilakukan, juga memikirkan bagaimana
cara untuk mengurangi masalah dan bagaimana mengatasi masalah.
Lazarus dan Folkman (1984) individu membentuk suatu strategi dan
perencanaan menghilangkan dan mengatasi stress, dengan melibatkan
tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis.
c. Mengurangi aktifitas-aktifitas persaingan yaitu individu mengurangi
keterlibatan dalam aktifitas yang menimbulkan persaingan sebagai cara
untuk dapat lebih fokus pada masalah yang dihadapinya. Carver, dkk.,
(1989) dimana seseorang mungkin mengurangi keterlibatan dalam
aktifitas persaingan atau menahan diri dari perebutan sumber informasi,
sebagai cara untuk memusatkan perhatian pada tantangan atau ancaman
yang ada.
d. Pengendalian, yaitu menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak,
menahan diri, dan tidak bertindak secara gegabah. Pada dasarnya
strategi ini tidak dianggap sebagai suatu strategi menghadapi masalah
yang potensial, tetapi terkadang responnya cukup bermanfaat dan
diperlukan untuk mengetasi tekanan. Perilaku seseorang yang
melakukan strategi pengendalian diri difokuskan untuk menghadapi
tekanan secara efektif. Dalam pandangan Zakiah (1990) bahwa orang
yang sehat mentalnya akan dapat menunda buat sementara pemuasan
kebutuhannya itu atau ia dapat mengendalikan diri dari keinginankeinginan yang bisa menyebabkan hal-hal yang merugikan. Dalam
pengertian yang umum pengendalian diri lebih menekankan pada
pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang
lebih luas, tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di
masa kini maupun masa yang akan datang dengan cara menunda
kepuasan sesaat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
e. Mencari dukungan sosial karena alasan instrumental, yaitu mencari
nasehat, bantuan atau informasi. Greenglees, dkk. (2006) ketika
berhadapan dengan stres kerja, perempuan lebih mungkin dibandingkan
pria untuk mencari nasihat, informasi, bantuan praktis, dan dukungan
emosional dari orang lain dengan siapa mereka memiliki hubungan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download