BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Motivasi Motivasi kerja seseorang dapat lebih bercorak proaktif atau reaktif. Pada motivasi kerja proaktif orang akan berusaha untuk meningkatkan kemampuankemampuannya sesuai dengan yang dituntut oleh pekerjaannya dan/atau akan berusaha untuk mencari, menemukan dan/atau menciptakan peluang dimana ia dapat menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berunjuk-kerja yang tinggi (Munandar, 2001). Motivasi dapat dipandang sebagai satu ciri yang ada pada calon tenaga kerja ketika diterima masuk bekerja di perusahaan. Motivasi kerja tenaga kerja mengalami perubahan-perubahan sebagai hasil interaksi antara tenaga kerja dengan lingkungan kerja. Setiap hari, secara sadar ataupun tidak sadar, kita menghadapi dan menjalani dua macam situasi yaitu situasi masalah (problem situation) dan situasi pilihan (choice situation) yang juga dinamakan situasi konflik. Dalam situasi masalah seseorang menghadapi berbagai macam rintangan dalam upayanya mencapai sesuatu (tujuan) yang diinginkan. Dalam situasi pilihan, seseorang menghadapi beberapa alternative keputusan atau tindakan yang dapat diambil. Setiap keputusan atau tindakan mengarah ke tercapainya tujuan tertentu (Waluyo, 2013). Motivasi di dalam The World Book Encyclopedia (2008) menjelaskan bahwa: Motivasi adalah suatu dorongan pada diri seseorang untuk melakukan apa yang ia inginkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi akan berguna dengan baik jika motivasi mendorong seseorang untuk berbuat hal yang baik. Motivasi akan berguna dengan tidak baik jika motivasi mendorong seseorang untuk berbuat hal yang buruk. Beberapa orang terlihat bahwa mereka lebih termotivasi dari dorongan eksternal dalam pekerjaan mereka. Motivasi eksternal yang dimaksud adalah 9 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 beberapa hal yang terpisah dari pekerjaan itu sendiri seperti hadiah, atau penghargaan dari orang lain. Sedangkan motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul demi pekerjaan tersebut dari diri dalam pribadi itu sendiri. Hal ini dikarenakan pekerjaan tersebut menarik, memikat hati dan beberapa dari pekerjaan tersebut memuaskan (Robins, 1990). Abraham Maslow dalam Mangkunegara (2011) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan pegawai sebagai berikut : Kebutuhan tingkat Kebutuhan tinggi aktualisasi diri Kebutuhan harga diri Kebutuhan tingkat Kebutuhan rendah social Kebutuhan rasa aman Kebutuhan fisiologis Gambar 2.1 Hierarki Kebutuhan Maslow 1) Kebutuhan fisiologis Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan makan, kebutuhan minum, kebutuhan perlindungan fisik, kebutuhan bernapas dan kebutuhan seksual. Kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan yang paling mendasar bukan saja karena setiap orang membutuhkannya terus menerus sejak lahir hingga ajalnya, akan tetapi juga karena tanpa pemuasan berbagai kebutuhan tersebut seseorang tidak dapat dikatakan hidup secara normal. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 Menurut Maslow setiap orang mempunyai kebutuhan dasar yang sama, walaupun masing-masing memiliki latar belakang sosial, budaya, persepsi, dan pengetahuan yang berbeda. Malika (2005) menyebutkan kebutuhan akan uang dan mencukupi kebutuhan rumah tangga tampaknya sudah menjadi alasan yang umum mengapa istri memasuki dunia kerja. Manusia akan memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tingkat prioritas masing-masing (Potter dan Perry, 2005). 2) Kebutuhan rasa aman Kebutuhan akan keamanan tidak bisa dilihat dari segi fisik para pekerja saja. Segi-segi keamanan yang bersifat psikologis juga mutlak penting mendapat perhatian contohnya seperti perlakuan yang manusiawi dan adil. Keamanan juga menyangkut apa yang biasa disebut sebagai “security of tenure”. Artinya terdapat jaminan bahwa seseorang tidak akan mengalami pemutusan hubungan kerja selama yang bersangkutan menunjukkan prestasi kerja. Menurut Maslow (Munandar, 2001) kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi fisiologis badan manusia seperti kebutuhan makan dan minum yang merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, sementara kebutuhan rasa aman merupakan kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik contoh kebutuhan rasa aman adalah keinginan memiliki tempat tinggal yang aman. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 3) Kebutuhan sosial atau rasa memiliki Kebutuhan sosial atau rasa memilki yaitu kebutuhan untuk diterima dalam kelompok unit kerja, berafiliasi, berinteraksi, serta rasa dicintai dan mencintai. Dengan perasaan demikian ia akan berperilaku positif yang biasanya tercermin dalam kemauan memberikan kontribusi yang semakin besar kepada perusahaan untuk mencapai tujuannya. Dalam dunia pekerjaan kebutuhan sosial di dunia pekerjaan diwujudkan melalui memiliki rekan kerja dan membentuk kelompok informal (Munandar, 2001). Menjalin relasi dengan orang lain juga termasuk kebutuhan berafiliasi, menurut McClelland (Waluyo, 2013) kebutuhan berafiliasi merupakan kebutuhan untuk berusaha mendapatkan persahabatan, menginginkan agar lebih disukai dan diterima orang lain serta menyukai situasi kooperatif dan berusaha menghindari konflik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh University of Calgary yang menyorot pentingnya bersosialisasi sebagai mekanisme untuk mengatasi situasi stres. "Banyak spesies, termasuk manusia, menggunakan interaksi sosial untuk mengurangi efek stres. Bahkan kurangnya kegiatan sosial bisa memicu stres," kata Jaideep Bains, penulis senior penelitian tersebut. "Penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita muda lebih sensitif terhadap stres sosial dibandingkan pria muda," kata Bains. "Ini bisa berarti, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 jaringan sosial lebih penting bagi perempuan secara umum, dan perempuan muda lebih mungkin sensitif terhadap keterasingan sosial dibandingkan pria muda," lanjutnya (Priherdityo, CNN Indonesia 2016). 4) Kebutuhan harga diri Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan untuk dihargai, dihormati oleh orang lain, semua orang memerlukan pengakuan atas keberadaan dan statusnya oleh orang lain. Dikaitkan dengan kehidupan organisasional, pada umumnya dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kedudukan dan status seseorang dalam suatu organisasi dan di lingkungan masyarakat semakin banyak pula simbol-simbol yang digunakannya untuk menunjukkan status yang diharapkannya diterima dan diakui oleh orang lain, baik secara langsung oleh mereka dengan siapa ia berinteraksi maupun secara tidak langsung oleh berbagai pihak dengan siapa seseorang tidak melakukan interaksi. Schultheiss (2009) tujuan istri bekerja tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja melainkan adanya dorongan untuk mandiri dan membangun relasi dengan orang lain secara lebih luas. 5) Kebutuhan aktualisasi Kebutuhan aktualisasi adalah untuk mengembangkan diri dari potensi, mengemukakan ide-ide, memberikan penilaian, kritik dan berprestasi. Menurut Dewi (2006) tujuan wanita memutuskan berkarir diantaranya adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan finansial keluarga, mendapatkan kesempatan mengaktualisasikan diri, berkreasi, dan produktif untuk dirinya maupun orang lain. Rogers mengatakan aktualisasi diri dirasa penting bagi wanita karir sebagai pemenuhan akan segala potensi dan kapasitas diri secara penuh (Supraktiknya, 1995). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 Ketika setiap kebutuhan ini pada dasarnya terpenuhi, kebutuhan yang berikutnya menjadi dominan. Individu bergerak menaiki tingkat hierarki. Dari sudut motivasi, teori tersebut mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang benarbenar dipenuhi, sebuah kebutuhan yang pada dasarnya telah dipenuhi tidak lagi memotivasi. Jadi bila ingin memotivasi seseorang, menurut Maslow, kita harus memahami tingkat hierarki dimana orang tersebut berada saat ini dan fokus untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atau di atas tingkat tersebut. Maslow memisahkan lima kebutuhan kedalam urutan-urutan yang lebih tinggi dan lebih rendah (Robins, 1990). 2.2 Definisi Kerja Kerja secara harafiah adalah kekuatan subjek untuk memindahkan suatu objek dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ada dua hal yang menentukan seberapa banyak subjek bekerja, yaitu aplikasi kekuatan subjek, dan jarak perpindahan suatu objek. Hal yang bukan memindahkan objek dari satu tempat ke tempat lain tidak disebut kerja. Subjek tidak dihitung bekerja walaupun sudah mengaplikasikan kekuatan jika objeknya tidak berpindah (World Book, 2008). Kerja juga bisa didefinisikan sebagai kegiatan subjek melakukan suatu hal yang dapat di dasari oleh kebutuhan maupun keinginan. Jika kerja ditambah imbuhan pedan –an maka definisinya menjadi sesuatu yang harus atau wajib dilakukan dengan mengolah atau memproses sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], 2008). Kesimpulannya kerja adalah kekuatan yang digunakan oleh seseorang untuk melakukan hal yang wajib dilakukan yang didasari oleh kebutuhan-kebutuhan untuk dipenuhi (Wijaya, 2013). 2.3 Motivasi Kerja Pada dasarnya motivasi dapat memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 kerja karyawan sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan perusahaan (Noviansyah & Zunaidah, 2011). Menurut Rivai (2009) ada tiga faktor sumber motivasi, yakni kemungkinan untuk berkembang, jenis pekerjaan dan apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari perusahaan di tempat mereka bekerja. 2.3.1 Teori motivasi kerja ERG oleh Clayton Alderfer Di era tahun 60-80an, dilakukan sebuah penelitian oleh Clayton Alderfer. Penelitian panjang ini kemudian lahir menjadi teori ERG. Teori ERG ini sendiri merupakan turunan dan terinsipirasi dari teori motivasi kerja yang telah hadir sebelumnya yang ditemukan oleh Abraham Maslow (Daft, 2002). Teori motivasi kerja dari Abraham Maslow menyatakan bahwa ada 5 kebutuhan manusia yang berbentuk hierarki. Antara lain, kebutuhan kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Menurut Maslow, setiap manusia pemunuhan ini berjenjang dari hierarki paling bawah ke paling atas. Menariknya, Alderfer mencoba melihatnya dari perspektif kebudayaan, wilayah geografis dan juga perbedaan individu. Clayton Alderfer kemudian meringkas teori Maslow ini menjadi 3 hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan bertahan hidup (Existence), kebutuhan diakui lingkungan (Relatedness), dan kebutuhan pengembangan diri (Growth), yang dikenal juga menjadi teori ERG. Alderfer menggabungkan kebutuhan fisiologis dan rasa aman kedalam kebutuhan bertahan hidup versinya. Dia memasukan kebutuhan akan cinta/pertemanan dan penghargaan diri secara internal ke dalam kebutuhan sosial versinya. Terakhir dia memasukan kebuthan penghargaan diri secara eksternal dan aktualisasi diri ke dalam kolom kebutuhan pengembangan diri versi ERP (Daft, 2002). Kaitan hierarki kebutuhan maslow dengan teori ERG : 1. Motivasi Karena Kebutuhan Existence (Kebutuhan bertahan hidup) Seorang manusia perlu untuk memenuhi kebutuhan minimalnya dalam bertahan hidup. Kebutuhan dasar yang diperlukan adalah kebutuhan untuk ada http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 (hidup) dan agar tetap ada. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi maka seseorang akan sangat stres hanya untuk sekedar hidup. Kebutuhan bertahan hidup diantaranya harus dipenuhiny akebutuhan untuk makan, minum, udara, pakaian, tempat tinggal, rasa aman dan semacamnya. Berdasarkan teori ERG dari Alderfer (dalam Munandar, 2001) kebutuhan rumah tangga dan butuh penghasilan tergolong ke dalam kategori kebutuhan existence dan kebutuhan social. Kebutuhan existence merupakan kebutuhan akan substansi material seperti keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel dan mobil yang menjadi kebutuhan dari rumah tangga subyek sementara kebutuhan Relatedness merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan orang lain menikmati hal yang sama dengan diri sendiri yang dibuktikan dengan alasan bekerja subyek adalah bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk rumah tangga subyek. 2. Motivasi Karena Kebutuhan Relatedness (Kebutuhan Sosial) Manusia juga memiliki kebutuhan untuk merasa sama dengan lingkungan sekitarnya. Atau jikapun ada ketidaksamaan, minimal seorang manusia membutuhkan pengakuan dan dianggap sebagai bagian dari lingkungannya. Jika pengakuan dari sekitar tidak didapat dari lingkugan terdekat, maka otomatis manusia akan mencarinya di lingkungan yang lain. Seorang anak remaja punk metal rock yang merasa tidak diakui dan tidak sama dengan keluarganya biasanya akan mencari orang yang memiliki atribut yang sama untuk kemudian bergabung dengan mereka. Ini jugalah yang bisa menjadi salah satu penjelas dari munculnya trend. Sekali “anak beken di SMA” memakai baju jangkis, maka anak-anak yang lain yang ingin diterima dan dianggap sama dengan “si beken” akan sama-sama menjahit baju sekolahnya menjadi baju jangkis. Rasa diakui dan diterima lingkungan ini dibutuhkan oleh pribadi dalam masyarakat, ataupun pekerja di tempat kerjanya. Jika kebutuhan ini dirasa tidak http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 dipenuhi, maka orang cenderung untuk menarik diri dan bergerak ke arah lingkungan yang memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan untuk menjalin relasi dengan orang lain tergolong kedalam kebutuhan relatedness, menurut Alderfer (dalam Munandar, 2001) kebutuhan relatedness adalah kebutuhan yang menyebabkan individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain yang dianggap penting dalam hidup dan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluarga, teman dan rekan kerja. 3. Motivasi Karena Kebutuhan Growth (Kebutuhan Perkembangan Diri) Ketika kedua kebutuhan di awal sudah terpenuhi, maka orang punya kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri ini tentu membutuhkan suatu ruang berkembang khusus. Disini kreatifitas dan pengambilan keputusan dari diri sendiri sangat dihargai. Di tempat kerja, tidak selamanya gaji yang besar membuat orang puas bekerja. Orang cenderung untuk puas dalam bekerja ketika dia dihargai oleh lingkungannya dalam bekerja. Selain itu si pemberi kerja mau menghargai kesempatan pengembangan diri tersebut. Suatu hari, seorang pekerja ditawari oleh perusahaan lain untuk pindah dengan gaji nyaris dua kali dari tempat yang sekarang. Sang pekerja ternyata memilih untuk tetap tinggal di tempat yang lama. Ketika ditelisik, ternyata alasan dia tidak pindah bukanlah karena alasan gaji. Tidak ada tawaran naik gaji dari tempat yang sekarang. Ternyata yang ditawarkan oleh tempat lama adalah, suatu posisi dimana si pekerja diberikan otoritas lebih besar. Itu saja ternyata kadang cukup membuat orang loyal. Prioritas kebutuhan diantara E,R, dan G berbeda antar satu individu dengan individu lainnya. Ada individu yang masih berkutat di E. ada juga individu yang ternyata sudah tidak memikirkan E dan R lagi, tapi terus menerut G yang dipikirkan. Perbedaan tahapan ini unik dan berbeda antar individu. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 Dalam Saefudin (2015) ingin memiliki uang sendiri supaya bebas mengeluarkan uang, hal ini terkait dengan kondisi bahwa walaupun pendapatan suami mencukupi tapi istri tidak leluasa mengeluarkan terutama untuk keperluan pribadi, dalam hal ini dikatakan wanita telah melakukan usaha-usaha produktif dalam mencapai kemandirian ekonomi diri dan keluarganya. 2.4 Definisi Motivasi Kerja Pada Wanita Bagi wanita yang berpendidikan formal relatif rendah, maka motivasi bekerja lebih didorong untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sedangkan bagi wanita intelektual yang lebih banyak mengenyam pendidikan terutama pendidikan tinggi maka motivasi didorong oleh pengembangan karier (Sungkawati & Ratnawati, 2015). De Quelyoe, Asnawi dan Molo (1994) menemukan bahwa alasan paling dominan para wanita bekerja adalah karena pendapatan rumah tangga yang kurang. Sedang alasan lainnya seperti keinginan untuk mengisi waktu luang, memperoleh pengalaman dan membantu orang tua. Pekerjaan di industri rumah tangga dipandang memiliki keunggulan dan jadi alasan untuk bekerja karena pekerjaan dapat dikerjakan dirumah, cepat mendapat hasil dan tidak terikat waktu, tidak punya ketrampilan lain, tempat kerja dekat dengan rumah dan ingin membantu orang tua mencari nafkah. 2.5 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Pada Wanita Faktor yang mempengaruhi partisipasi tenaga kerja wanita dalam memberi kontribusi pendapatan kepada pendapatan keluarga yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kemampuan yang dimiliki seorang tenaga kerja wanita yang meliputi keahlian, umur tenaga kerja dan keinginan untuk bekerja, sedangkan faktor eksternal adalah dorongan dari kebutuhan keluarga sebagai akibat dari kurangnya pendapatan kepala keluarga dan semakin meningkatnya kebutuhan keluarga serta imbalan atau upah dari pekerjaan tersebut (Eliana & Ratina, 2007). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 Frederich Herzberg mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfer atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau exstrinsic motivation. Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain : Prestasi yang diraih (achievement), Pengakuan orang lain (recognition), Tanggungjawab (responsibility), Peluang untuk maju (advancement), Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self ), dan Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth) (Hasibuan, 2008). Keinginan mengatasi kebosanan dan kesepian di rumah serta keinginan untuk menjalin relasi juga menjadi motivasi bagi para ibu-ibu rumah tangga untuk bekerja diluar rumah, adapula yang memang mereka benar-benar mencintai pekerjaan tersebut, dan mengejar status juga merupakan motivasi lain dari wanita yang sudah bersuami untuk bekerja diluar rumah (Parker, dkk., 1985). Ingin memiliki uang sendiri supaya bebas mengeluarkan uang, hal ini terkait dengan kondisi bahwa walaupun pendapatan suami mencukupi tapi istri tidak leluasa mengeluarkan terutama untuk keperluan pribadi, dalam hal ini dikatakan wanita telah melakukan usaha-usaha produktif dalam mencapai kemandirian ekonomi diri dan keluarganya (Saefudin, 2015). Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) disebut juga hygiene factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke dalam faktor ekstrinsik meliputi Kompensasi, Keamanan dan keselamatan kerja, Stress Kerja, Kondisi kerja, Status, Prosedur perusahaan, Mutu dari supervisi teknis dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat dengan atasan dan dengan bawahan (Hasibuan, 2008). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 Robins (1990) menyatakan bahwa beberapa orang terlihat bahwa mereka lebih termotivasi dari dorongan eksternal dalam pekerjaan mereka. Motivasi eksternal yang dimaksud adalah beberapa hal yang terpisah dari pekerjaan itu sendiri seperti hadiah, atau penghargaan dari orang lain. Hal ini juga sesuai dengan teori evaluasi kognitif Jordan bahwa pengaruh motivasi intrinsik/internal berkurang atau melemah apabila seorang telah termotivasi oleh dorongan ekstrinsik/eksternal yang lebih kuat. Hubungan sosial seperti menyukai teman – teman dikantor, ingin memiliki kesibukan, menyukai atasan dikantor, bosan dirumah merupakan kontributor yang paling bermakna untuk motivasi eksternal. Kecenderungan untuk memperoleh kepuasan dari hubungan sosial ini merupakan sifat manusia sesuai penelitian Morse dan Weiss (1955) yang menyatakan seseorang akan terus bekerja, meskipun tidak mendapatkan pemberian bentuk ekonomis karena apabila mereka tidak bekerja, mereka merasa kehilangan banyak teman dalam pekerjaan. 2.6 Hambatan Yang Dialami Wanita Untuk Bekerja Sajogyo (1983) menyebutkan beberapa hambatan yang dialami wanita untuk bekerja diantaranya adalah pandangan yang menyatakan bahwa wanita tidak boleh bekerja, Mereka berpikir bekerja adalah sesuatu yang “tabu” bagi wanita. Selain itu ketakutan kurang memberikan perhatian kepada anak dan suami juga menjadi hambatan yang dimiliki wanita untuk memasuki dunia kerja. Kemudian di beberapa daerah yang terbelakang, banyak yang menyatakan bahwa wanita tidak perlu berpendidikan tinggi. Sehingga mereka lebih memilih bahwa wanita tidak memiliki pendidikan yang lebih tinggi sehingga tidak lebih pintar daripada suami mereka. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 2.6.1 Work-Family Conflict 2.6.1.1 Definisi Work-Family Conflict Work-Family Conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan dengan peran didalam keluarga Greenhaus dan Beutell (1985). Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga (WFC), dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga Greenhaus dan Beutell (1985). Menurut Dahrendrof (1986) salah satu jenis dari konflik adalah konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran/ role). Frone, Rusell & Cooper (1992) mengatakan kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi peran tuntutan peran yang lain (keluarga), harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain. Frone, Rusell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan seseorang. Jadi WFC merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana secara umum dapat didefinisikan sebagai kemunculan stimulus dari dua tekanan peran. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain. 2.6.1.2 Jenis-jenis Work-Family Conflict Greenhaus dan Beutell (1985) menggambarkan tiga tipe konflik yang berkaitan dengan dilema peran perempuan antara di rumah tangga dan pekerjaan. Pembatasan bentuk konflik peran ini penting agar terdapat kejelasan apakah pengalaman konflik merupakan kontribusi dari restriksi waktu, munculnya ketegangan, atau ketidakselarasan perilaku. a. Time-Based Conflict Time-Based Conflict yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya, meliputi pembagian waktu, energi dan kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Dalam hal ini, menyusun jadwal merupakan hal yang sulit dan waktu terbatas saat tuntutan dan perilaku yang dibutuhkan untuk memerankan keduanya tidak sesuai. Role Conflict dalam Kahn, dkk., (1964) dimana akan terjadi apabila indvidu memiliki tekanan diantara peran ganda tersebut diwaktu yang bersamaan. Ambiguitas atau konflik yang dialami dalam suatu peran akan menghasilkan keadaan yang tidak diinginkan. Oleh karena tuntutan yang saling bertentangan di antara peran-peran yang dijalankan (misalnya waktu dan perilaku yang bertentangan) mengarah pada konflik personal, maka individu akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk menunaikan setiap peran dengan baik. Konflik pekerjaan-keluarga dapat dipandang sebagai satu aspek spesifik dalam kerangka konflik peran secara umum dengan mana tekanan peran dari domain pekerjaan dan keluarga tidak selaras satu sama lain (Burley, 1995). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 b. Strain Based Conflict Strain Based Conflict yaitu mengacu kepada munculnya ketegangan atau keadaan emosional yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Ketegangan peran ini bisa termasuk stress, tekanan darah meningkat, kecemasan, keadaan emosional, dan sakit kepala. Teori hipotesis kelangkaan atau scarcity approach to human energy theory oleh Marks (1977) yang menyebutkan bahwa tuntutan yang saling bersaing antara peran pekerjaan dan keluarga dapat menghasilkan tekanan peran bagi mereka yang berperan ganda di sektor publik maupun domestic. Selain itu respon dari subyek didukung pula oleh pernyataan Calas dan Smircich (1996) dalam Burchielli, dkk. (2008), bahwa peningkatan partisipasi di pasar kerja akan menyebabkan meningkatnya pula tantangan terhadap pandangan konvensional mengenai fokus tanggung jawab pada anggota keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain, hubungan antara peran pekerjaan, keluarga, dan kemasyarakatan merupakan kondisi zero-sum, sehingga lebih banyak pekerjaan, berarti lebih sedikit waktu yang teralokasikan untuk keluarga dan keterlibatan dalam masyarakat (Poarch, 1998). c. Behavior Based Conflict Behavior Based Conflict yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya. Ketidaksesuaian perilaku individu ketika bekerja dan ketika di rumah, yang disebabkan perbedaan aturan perilaku seorang wanita karir biasanya sulit menukar antara peran yang dia jalani satu dengan yang lain. Beberapa bentuk konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja menurut Greenhaus & Beutell (1985) yang salah satunya adalah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 Behavior Based Conflict terjadi jika tingkah laku tertentu yang dituntut oleh satu peran mempersulit individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lain, misalnya tuntutan peran keluarga dengan tuntutan pekerjaan. Buchler (1972) mendefinisikan konflik peran ganda merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh seseorang. 2.6.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda Stoner, dkk., (1990) menyatakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda, yaitu : a. Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga. Frone dan Cooper (1992) mengatakan kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi peran tuntutan peran yang lain (keluarga), harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan konflik. Dalam teori akumulasi peran (Sieber, 1974) menyebutkan bahwa peran ganda mengakibatkan baik konflik maupun pengayaan karena waktu dan energi dapat dibagi, diintegrasikan, dan dikembangkan di antara aktivitas/peran yang dijalankan. b. Family size dan support, semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik. Betz & Fitzgerald (1995) menyatakan bahwa masalah munculnya konflik peran tidak dapat dielakkan bagi ibu yang bekerja, khususnya yang memiliki anak. c. Kepuasan kerja, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin sedikit. hasil penelitian Laksmi dan Hadi (2012) bahwa semakin tinggi konflik peran ganda pada istri yang bekerja, maka kepuasan kerja semkin rendah. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah konflik peran ganda, maka semkin tinggi kepuasan kerja. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 d. Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya. Menurut Dewi & Basti (2008) bahwa kualitas interaksi merupakan indikator kebahagiaan pasangan suami istri. e. Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin saja mempengaruhi konflik peran ganda seseorang. 2.7 Karyawan Wanita Berstatus Menikah Wanita di dalam dunia kerja dipisahkan ke dalam pekerjaan-pekerjaan yag spesifik, beberapa dilarang, dan biasanya dibayar kurang daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Sementara wanita membentuk tenaga kerja penting dalam beberapa pekerjaan, pembayaran pekerjaan mereka dianggap sebagai tambahan kepada laki-laki, sebagai peran utama wanita adalah menjadi ibu rumah tangga dan ibu. Dalam abad 21 kesetaraan dalam tempat kerja antara jenis kelamin adalah sebuah tujuan nasional : undang-undang anti diskriminasi, ketentuan gajih yang sama dalam undang-undang peraturan perindustrian dan ketentuan kesempatan yang sama yang dirancang untuk mempromosikan partisipasi wanita dalam semua sector pekerjaan yang tergambar berbeda dari tahun 1950an (Strachan, 2010). Peran wanita sebagai istri dan ibu mendominasi di masyarakat Australia tahun 1950an dimana sebagian besar wanita bekerja sampai mereka menikah, dan mengikuti pernikahan dan kelahiran anak pertama mereka, focus dan peduli kepada suaminya, anak-anak dan rumahnya. Ketika di tempat kerja, wanita adalah karyawan industri dan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sosial dilihat sebagai “kecocokan”. Wanita peduli dengan yang lain sebagai perawat, guru, sekertaris dan pekerja rumah tangga. Bila mereka bekerja dalam pekerjaan yang sama sebaga seorang laki-laki, mereka biasanya membawa pulang 75 persen dari upah pekerja laki-laki mereka. Sedikit wanita yang mengatur laki-lakinya di tempat kerja (Strachan, dkk., 2007). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 Seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak perempuan dari wanita mengatur rumah tangga pada tahun 1950an memasuki dunia kerja di tahun 1970an, generasi wanita ini telah memperluas pilihan-pilihan pekerjaan. Dengan meningkatkan angka dari tenaga kerja wanita, perlakuan sosial upah kepada perempuan mulai berubah dan banyak wanita meyeruakan perubahan (Lake, 1999). Perempuan yang bekerja tampaknya memiliki struktur pribadi-nilai yang berbeda dari perempuan yang tidak bekerja; nilai ekonomi dan politik yang lebih menonjol di kalangan perempuan yang bekerja, sementara nilai-nilai sosial dan agama memainkan peran yang lebih besar bagi perempuan yang tinggal di rumah (Jalilvand, 2000). Salah satu dari trending ekonomi yang dikenal dalam dekade beberapa tahun terakhir adalah peningkatan partisipasi tenaga kerja wanita. Meskipun trend tersebut tidak dapat dipungkiri, tidak ada consensus sebagai penyebab dan konsekuensinya. Sebagai penyebabnya, beberapa pihak berpendapat bahwa kendala seperti pendapatan laki-laki yang rendah telah mendorong perempuan ke lapangan, sementara yang lain berpendapat ini merupakan perluasan kesempatan bagi perempuan (Cohen & Bianchi 1999). 2.8 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Cox (1980) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah wanita menikah bekerja diluar rumah, yaitu tekanan inflasi konstan pada ekonomi amerka dan kenaikan harapan tentang tingginya standar kehidupan telah dikombinasikan untuk membawa sebagian besar wanita untuk menjadi tenaga kerja. Selain itu sejak perang dunia ke II upah nyata telah meningkat secara dramatis. Karena wanita bisa mendapatkan pembayaran lebih banyak dari yang didapatkan dimasa lalu, biaya relatif tinggal dirumah dengan keluarganya setaip hari semakin besar dan banyak wanita turun ke dalam tenaga kerja. Peningkatan yang sangat besar untuk pekerjaan yang tersedia untuk perempuan juga mempengaruhi wanita untuk bekerja. Menurunnya angka kelahiran turut didukung dari banyaknya pekerja wanita dan meningkatnya pendidikan didukung dari wanita http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 yang bekerja diluar rumah. Serta perilaku tentang peran wanita dalam keluarga telah sangat berubah selama abad ini. Peran wanita dalam ikut menopang kehidupan dan penghidupan keluarga semakin nyata (Sumarsono, dkk., 1995). Wanita dihadapkan pada 3 pilihan ketika mereka memutuskan untuk memasuki dunia kerja, yaitu rekreasi, pekerjaan yang dibayar, dan pekerjaan yang tidak dibayar ketika mereka tinggal dirumah. Skenario ini membantu menjelaskan mengapa partisipasi wanita dalam dunia kerja meningkat terlepas dari peningkatan pendapatan dari suami mereka (Jalilvand, 2000). 2.9 Teori Work Life Balance Penelitian mengungkapkan bahwa baik karyawan laki-laki maupun wanita, pencapaian keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan keluarga tetap merupakan tujuan yang penting dan merupakan kriteria keberhasilan (Fischer dkk, 1993). Work life balance adalah hubungan antara hal-hal positif dan negatif yang berlebih antara pekerjaan dan keluarga serta “kesesuaian antara kehidupan bekerja dan keluarga” yang dioperasionalkan untuk menyertakan hal-hal baik negatif seperti konflik dan gangguan ataupun positif seperti enhancement dan positive spillover sebagai dampak dari pekerjaan pada kehidupan pribadi ataupun kehidupan pribadi pada pekerjaan (Hammer dkk. 2002). Teori spillover menyatakan bahwa pengalaman pekerjaan dan keluarga akan berhubungan secara positif. Dengan demikian teori ini menjelaskan pengaruh pekerjaan pada kehidupan keluarga, dan sebaliknya, pengaruh keluarga pada pekerjaan. Bila Edward dan Rothbard (2000) melaporkan bahwa secara umum aliran yang terjadi dapat terkait dengan sikap, perilaku, dan emosi dari satu peran ke peran lainnya, maka secara spesifik spillover dikelompokkan menjadi dua yaitu spillover (aliran) positif dan aliran negatif (Grzywacz dan Marks, 2001). Aliran positif akan tampak jika kepuasan, energi, kebahagiaan, dan simulasi yang dialami di tempat kerja menyebabkan perasaan dan energi positif dalam rumah tangga; atau jika kepuasan, energi, kebahagiaan, serta simulasi yang dialami dalam rumah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 tangga menimbulkan energi dan perasaan positif di tempat kerja. Sebaliknya, aliran negatif dari pekerjaan ke rumah tangga akan dirasakan ketika masalah, konflik, atau energi yang didedikasikan di tempat kerja menyebabkan individu mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam kehidupan keluarga secara efektif dan positif. Apabila dihubungkan dengan teori-teori yang digunakan sebagai dasar, maka aliran positif akan dibahas melalui pandangan pengayaan, atau menurut sebutan Ruderman, dkk., (2002) sebagai premis akumulasi peran, sedangkan aliran negatif dikaji melalui dasar pemikiran perspektif konflik seperti yang dijelaskan oleh Greenhaus dan Powell (2006). Rantanen (2008) menggambarkan interaksi antara pekerjaan-keluarga melalui empat aspek, yaitu: jumlah, arah, kualitas dan konteks. Jumlah hubungan pekerjaan-keluarga menunjukkan tingkat segmentasi versus integrasi antara domain pekerjaan dan keluarga. Arah hubungan pekerjaan-keluarga menunjukkan hubungan timbal balik antara domain pekerjaan dan keluarga: pekerjaan dapat mempengaruhi kehidupan keluarga (arah pekerjaan terhadap keluarga) dan keluarga dapat mempengaruhi kehidupan pekerjaan (arah keluarga terhadap pekerjaan). Kualitas hubungan pekerjaan-keluarga menunjukkan interaksi negatif versus positif antara domain pekerjaan dan keluarga. Interaksi negatif pekerjaankeluarga meliputi konsep konflik pekerjaan-keluarga, gangguan (interference), limpahan negatif (negative spilover) dan pengosongan sumberdaya (resource drain). Konsep ini berakar dari teori tekanan peran. Interaksi positif pekerjaankeluarga meliputi konsep peningkatan pekerjaan-keluarga (work-family enhancement), pengayaan (enrichment), limpahan positif (positive spillover) dan fasilitasi (facilitation). Konsep ini berakar dari teori akumulasi peran. Konteks hubungan pekerjaan-keluarga menunjukkan perspektif mulai dari hubungan pekerjaan-keluarga dipelajari. Hasil penelitian Fisher menyarankan bahwa Work life balance meliputi gangguan antara kehidupan dalam pekerjaan maupun pribadi ataupun peningkatan antara kehidupan pekerjaan maupun kehidupan pribadi tersebut (Fisher, 2001). Menurut Role Theory beberapa individu memiliki beberapa peran dalam hidupnya seperti peran di kantornya contohnya sebagai supervisor maupun peran diluar kantornya contohnya sebagai pasangan atau teman (Kahn dkk., 1964). Role Conflict http://digilib.mercubuana.ac.id/ 29 dalam Kahn dkk. (1964) akan terjadi apabila indvidu memiliki tekanan diantara peran ganda tersebut diwaktu yang bersamaan. Ambiguitas atau konflik yang dialami dalam suatu peran akan menghasilkan keadaan yang tidak diinginkan. Oleh karena tuntutan yang saling bertentangan di antara peran-peran yang dijalankan (misalnya waktu dan perilaku yang bertentangan) mengarah pada konflik personal, maka individu akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk menunaikan setiap peran dengan baik. Konflik pekerjaan-keluarga dapat dipandang sebagai satu aspek spesifik dalam kerangka konflik peran secara umum dengan mana tekanan peran dari domain pekerjaan dan keluarga tidak selaras satu sama lain (Burley, 1995). Teori Hobfoll (1998) menyebutkan bahwa stress adalah sebuah reaksi yang timbul karena ancaman dari lingkungan seperti kehilangan atau gagal mendapatkan sesuatu yang diharapkan dari lingkungannya tersebut. Teori yang pertama kali dikembangkan oleh Hobfoll pada tahun 1998 ini menegaskan bahwa sekali dipergunakan, waktu dan energi yang dimiliki tidak lagi tersedia untuk menyelesaikan tugas lain, baik dalam domain yang sama, maupun domain yang berbeda. Dengan demikian, tuntutan dan harapan yang tinggi dalam satu peran (misalnya pekerjaan), akan menyebabkan berkurangnya sumberdaya yang tersedia untuk peran yang lain (misalnya keluarga) karena jumlah waktu dan energi yang dimiliki oleh individu bersifat konstan (Hammer, dkk., 2002). Hubungan dari Role Theory dan Hobfoll Teori mengacu kepada apabila indvidu berusaha untuk menyeimbangkan peran gandanya mungkin akan menyebabkan ketidakpuasan kerja maupun gangguan kesehatan (Kahn dkk., 1964). 3.0 Solusi Pemecahan Masalah Wanita Menikah Bekerja 3.0.1 Problem Focused-Coping 3.0.1.1 Pengertian Problem-Focused Coping Menurut Lazarus dan Folkman (1984) coping adalah upaya perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengelola tekanan eksternal dan internal yang dianggap batas kemampuan individu. Adapun http://digilib.mercubuana.ac.id/ 30 fungsi coping tersebut adalah menjelaskan perbedaan kepercayaan antara coping secara langsung melalui tindakan dan coping menurut Lazarus dan Folkman (1984) adalah problem- focused coping. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa problem- focused coping merupakan strategi yang digunakan dalam menyelesaikan masalah, seperti mendefinisikan suatu masalah, menghasilkan solusi alternatif, mempertimbangkan alternatif secara efisien, memilih alternatif dan bertindak, strategi problemfocused coping berorientasi pada penyelesaian masalah. Santrock (2003) mengartikan problem- focused coping adalah strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu untuk menghadapi masalahnya dan berusaha untuk menyelesaikannya. Menurut Carver, Scheier & Weintraub (1989) problem-focused coping adalah menyelesaikan masalah atau melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stres. Karakteristik problem-focused coping yaitu menghadapi masalah secara aktif, perencanaan, mengurangi aktifitas persaingan, pengendalian, mencari dukungan sosial. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problemfocused coping adalah menyelesaikan masalah untuk mengurangi sumber stres dengan cara penyelesaian masalah secara langsung seperti menghadapi masalah secara aktif, perencanaan, aktifitas persaingan, pengendalian, dan mencari dukungan sosial. 3.0.1.2 Faktor-faktor yng mempengaruhi problem- focused coping Strategi coping dipengaruhi oleh penilaian kognitif pada setiap individu. Strategi coping diperlukan untuk mengatasi stres dari eksternal maupun dari internal. (Lazarus dan Folkman, 1984) menggunakan metode generlisasi untuk menggambarkan sumber karakteristik resisten pada individu dalam mengelola stres. Karakteristiknya yaitu fisik, biokimia, kognitif, emosional, sikap, interpersonal, makro sosial budaya. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor yang mempengruhi problem focused coping adalah: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 31 a. Kesehatan dan energi (health and energy) Kesehatan dan energi mempengaruhi berbagai macam bentuk strategi coping pada individu dan juga stres. Apabila individu dalam keadaan rapuh, sakit, lelah, lemah tidak mampu melakukan coping dengan baik. Sehingga kesehatn fisik menjadi faktor penting dalam menentukn strategi coping pada individu. b. Keyakinan yang positif (positive beliefs) Penilaian diri secara positif dianggap sebagai sumber psikologis yang mempengaruhi strategi coping pada individu. Setiap individu memiliki keyakinan tertentu yang menjadi harapan dan upaya dalam melakukan strategi coping pada kondisi apapun. Sehingga penilaian mengenai keyakinan yang positif merupakan sumber strategi coping, hal ini dipertegskan seorang penulis Norman Vincent Peale yang mengatakan fungsi kekuatan berfikir positif dan memiliki kemampuan menjadikan individu memiliki pengalaman yang baik. c. Kemampuan pemecahan masalah (problem solving skill) Kemampuan pemecahan masalah pada individu meliputi kemampuan mencarai informasi, menganalisis situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah untuk menghasilkan alternatif yang akan digunakan pada individu, mempertimbangkan alternatif yang akan digunakan, mempertimbangkan alternatif dengan baik agar dapat mengantisipasi kemungkinan yang terburuk, memilih dan menerapkan sesuai dengan tujuan pada masingmasing individu, hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi strategi coping. d. Keterampilan sosial (social skills) Keterampilan sosial merupakan faktor yang penting dalam strategi coping karena pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial, sehingga individu membutuhkan untuk bersosialisasi. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Keterampilan sosial 32 merupakan cara untuk menyelesaikan masalah dengan orang lain, juga dengan keterampilan sosial yang baik memungkinkan individu tersebut menjalin hubungan yang baik dan kerjasama dengan individu lainya, dan secara umum memberikan kontrol perilaku kepada individu atas interaksi sosialnya dengan individu lain. e. Dukungan sosial Setiap individu memiliki teman yang dekat secara emosional, pengetahuan dan dukungan perhatian yang merupakan faktor yang mempengaruhi strategi coping pada individu dalam mengatasi stres, terapi perilaku, epidemologi sosial. f. Sumber material (material resources) Sumber material salah satunya adalah keuangan, keadaan keuangan yang baik dapat menjadi sumber strategi coping pada individu. Secara umum masalah keuangan dapat memicu stres individu yang mengakibatkan meningkatnya pilihan dalm strategi coping untuk bertindak. Salah stu manfaat material bagi individu mempermudah individu dalam kepentingan hukum, medis, keuangan dan lain-lain. Hal ini menyebabkan individu yang memiliki materi dapat mengurangi resiko stres. 3.0.1.3 Aspek-Aspek Problem- Focused Coping Menurut Carver, Scheier & Weintraub (1989) aspek-aspek problemfocused coping ada lima macam yaitu: a. Menghadapi masalah secara aktif, yaitu proses menggunakan metode untuk mencoba menghilangkan stressor. Strategi ini meliputi memulai tindakan langsung, meningkatkan usaha, dan menghadapi masalah dengan cara-cara yang bijaksana. Pada kondisi penuh masalah wanita karir perlu bersikap aktif dan kreatif berdasarkan kemapuan dan pengalaman yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah, sehingga tidak bersomatisasi untuk lari dari masalah (Gaspersz, 2004). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 33 b. Perencanaan, adalah berpikir mengenai bagaimana menghadapi stresor. Membuat strategi yang akan dilakukan, juga memikirkan bagaimana cara untuk mengurangi masalah dan bagaimana mengatasi masalah. Lazarus dan Folkman (1984) individu membentuk suatu strategi dan perencanaan menghilangkan dan mengatasi stress, dengan melibatkan tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis. c. Mengurangi aktifitas-aktifitas persaingan yaitu individu mengurangi keterlibatan dalam aktifitas yang menimbulkan persaingan sebagai cara untuk dapat lebih fokus pada masalah yang dihadapinya. Carver, dkk., (1989) dimana seseorang mungkin mengurangi keterlibatan dalam aktifitas persaingan atau menahan diri dari perebutan sumber informasi, sebagai cara untuk memusatkan perhatian pada tantangan atau ancaman yang ada. d. Pengendalian, yaitu menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak, menahan diri, dan tidak bertindak secara gegabah. Pada dasarnya strategi ini tidak dianggap sebagai suatu strategi menghadapi masalah yang potensial, tetapi terkadang responnya cukup bermanfaat dan diperlukan untuk mengetasi tekanan. Perilaku seseorang yang melakukan strategi pengendalian diri difokuskan untuk menghadapi tekanan secara efektif. Dalam pandangan Zakiah (1990) bahwa orang yang sehat mentalnya akan dapat menunda buat sementara pemuasan kebutuhannya itu atau ia dapat mengendalikan diri dari keinginankeinginan yang bisa menyebabkan hal-hal yang merugikan. Dalam pengertian yang umum pengendalian diri lebih menekankan pada pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 34 e. Mencari dukungan sosial karena alasan instrumental, yaitu mencari nasehat, bantuan atau informasi. Greenglees, dkk. (2006) ketika berhadapan dengan stres kerja, perempuan lebih mungkin dibandingkan pria untuk mencari nasihat, informasi, bantuan praktis, dan dukungan emosional dari orang lain dengan siapa mereka memiliki hubungan. http://digilib.mercubuana.ac.id/