UNIVERSITAS INDONESIA STUDI POLINASI DAN POPULASI Amorphophallus variabilis Bl. DI KAWASAN UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK SKRIPSI ADHITIA PRATAMA 0606069514 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK JULI 2011 Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 UNIVERSITAS INDONESIA STUDI POLINASI DAN POPULASI Amorphophallus variabilis Bl. DI KAWASAN UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains ADHITIA PRATAMA 0606069514 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK JULI 2011 Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang “ Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu, dan bukanlah kamu yang menyimpannya” (Q.S. Al Hijr: 22) Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Adhitia Pratama NPM : 0606069514 Tanda Tangan : Tanggal : 12 Juli 2011 ii Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh Nama NPM Program studi Judul Skripsi : : Adhitia Pratama : 0606069514 : Biologi : Studi Polinasi dan Populasi Amorphophallus variabilis Bl. di Kawasan Universitas Indonesia, Depok Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Mega Atria, M. Si. (…………….) Pembimbing II : Drs. Wisnu Wardhana, M.Si. (……………,) Penguji I : Dr. Andi Salamah (…………….) Penguji II : Drs. Erwin Nurdin, M.Si. (…………….) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 12 Juli 2011 iii Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrabbil ‘Alamin. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat, rahmat, dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis persembahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang telah mengeluarkan umatnya dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Mega Atria, M. Si. selaku pembimbing I dan Drs. Wisnu Wardhana, M.Si selaku pembimbing II, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Andi Salamah dan Drs Erwin Nurdin, M.Si selaku penguji, yang telah memberikan banyak saran dan masukan yang sangat membangun bagi penulis. 3. Dr. Andi Salamah selaku Penasihat Akademik penulis, Dr. rer.nat. Mufti P. Patria sebagai Kepala Departemen Biologi FMIPA UI dan Nining B. Prhantini, M.Sc. sebagai Sekretaris Departemen Biologi FMIPA UI, yang selalu memberikan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman yang sangat berharga selama masa perkuliahan. 4. Seluruh staf pengajar Departemen Biologi FMIPA UI, atas berbagai ilmu yang diberikan, serta Bu Asri, Bu Ida, Pak Taryana, Pak Taryono, Bu Sofi, Bu Ros, dan seluruh karyawan Departemen Biologi FMIPA UI. 5. Seluruh rekan-rekan penulis di Universitas Indonesia, FMIPA UI, dan Departemen Biologi yang mendukung penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Khususnya rekan-rekan penulis di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Biologi UI, Sholia, Nabilah, Merry, dan Uswatun serta Muhaimin, Suriyanto, Indartono, dan Wahyu yang membantu penulis dalam pengambilan data, juga kepada Dimar A. Perdana dan the Indonesia Natural School atas peminjaman alat-alat.serta Dita Nurul Latifah (Agronomi IPB ’06) yang memberikan akses iv Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 kepada penulis mendapatkan literatur di Perpustakaan Jurusan Agronomi FAPERTA IPB. 6. Rekan-rekan mahasiswa, CT HMD Biologi 2008, Burhan, Mardha, Nia, Eva, Suri, Indah, Rahmat, Maulida, Oka, dan Erna, rekan-rekan BPM FMIPA 2009, DPM UI 2010, rekan-rekan the Federation of Biology o’six (Felix), serta guru-guru dan murid-murid SMP the Indonesia Natural School atas bantuan moril yang diberikan selama penulis menjalankan penelitian. 7. Ibu Maspupah Bapak Ujang Hidayat serta Ibu Martini dan Bapak H.Abun S. dan tercinta, atas segala kasih sayang, semangat, serta do’a tulus tak terputus sepanjang kehidupan penulis. Skripsi ini hanya sebutir zarrah dari lautan bakti penulis. Sungguh, masih sangat jauh untuk bisa membalas segala kecintaan Mamah dan Ayah serta Nenek dan Kakek. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Akan tetapi, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca, demi pengembangan ilmu yang berkesinambungan. Depok, Juli 2011 Penulis v Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Adhitia Pratama NPM : 0606069514 Program Studi : Biologi Departemen : Biologi Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jenis karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Studi Polinasi dan Populasi Amorphophallus variabilis Bl. di Kawasan Universitas Indonesia, Depok beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Noneksklusif ini Universitas Dengan Hak Bebas Royalti Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada tanggal: 12 Juli 2011 Yang menyatakan (Adhitia Pratama) vi Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 ABSTRAK Nama : Adhitia Pratama Program Studi : S-1 Reguler Biologi Judul : Studi Polinasi dan Populasi Amorphophallus variabilis Bl. di Kawasan Universitas Indonesia, Depok Kawasan Kampus Univesitas Indonesia merupakan habitat alami bagi tumbuhan Amorphophallus variabilis Bl. Pengamatan dilakukan di 6 (enam) lokasi di Kawasan Universitas Indonesia untuk mengetahui pola penyerbukan (polinasi) dan populasi A. variabilis Bl. Berdasarkan hasil penelitian, penyerbukan A. variabilis terjadi 3 hari setelah mekarnya spatha pada perbungaan. Polinasi kemudian diikuti dengan fase pematangan buah yang terjadi selama 15 hari. Serangga yang berperan sebagai penyerbuk antara lain dari suku Nitidulidae, Endomychidae, Anthomyiidae, dan Tachinidae. Terdapat hubungan antara morfologi perbungaan dengan jumlah individu serangga yang berkunjung. Pola sebaran populasi A. variabilis di 6 (enam) lokasi penelitian menunjukkan pola yang mengelompok. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara lokasi dengan karakter morfologi A. variabilis. Dominansi berkisar antara 0.01--0.06 frekuensi antara 0.2--0.4, dan jumlah individu / m2 berkisar antara 0.13--0.2 . Tinggi tumbuhan berkisar antara 5.2--160 cm dengan diameter 0.05--2.3 cm dengan berbagai variasi morfologi pada bagian perbungaan seperti osmofor, spatha, dan petiolus. Kata kunci : Amorphophallus variabilis, polinasi, populasi, Universitas Indonesia xiv +100 halaman : 49 gambar; 2 tabel; 13 lampiran Daftar referensi : 46 (1937--2011) vii Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 ABSTRACT Name : Adhitia Pratama Study Program : S-1 Reguler Biologi Title : Pollination and Population Study of Amorphophallus variabilis Bl. at University of Indonesia, Depok University of Indonesia Campus area is a natural habitat for Amorphophallus variabilis Bl. Observations were carried out in 6 locations in the Area, University of Indonesia to find out the pattern of pollination (pollination) and population of A. variabilis Bl. Based on the results of research, pollination A. variabilis occurred 3 days after blooming spatha on the inflorescence. Pollination followed by fruit ripening phase that occurred during the 15 days. Insects that act as pollinators, such as from the tribe of Nitidulidae, Endomychidae, Anthomyiidae, and Tachinidae. There is a relationship between the morphology of the inflorescence with the number of individuals visiting insects. A. variabilis population distribution pattern in 6 (six) locations showed a clumped pattern. There was no significant effect between site and morphological characteristics of A. variabilis. Dominance ranged from 0,01 to 0.06, frequencies between 0.2 - 0.4, and the number of individuals / m2 ranged between 0.13--0.12. Plants high ranged from 5.2 - 160 cm with a diameter of 0.05 - 2.3 cm with a variety of inflorescence morphology in sections like osmophores, spathes, and petioles. Key words : Amorphophallus variabilis, pollination, population, University of Indonesia xiv + 100 pages : 49 pictures; 2 tables; 13 attachments Biblioghraphy : 46 (1937--2011) viii Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL………………………………….………...................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................ LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………… KATA PENGANTAR..................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH......................... ABSTRAK........................................................................................................ DAFTAR ISI..................................................................................................... DAFTAR GAMBAR........................................................................................ DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... i ii iii iv vi vii ix xi xii xiv PENDAHULUAN........................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2.1 Biologi Amorhophallus variabilis ..................................................... 2.1.1. Karakteristik A. variabilis……………….................................... 2.1.2. Perbungaan A. variabilis.............................................................. 2.1.3. Perbuahan A. variabilis............................................................... 2.1.4. Pertumbuhan dan perkembangan A. variabilis............................. 5 5 5 6 6 7 2.2 Sebaran dan habitat A. variabilis…..................................................... 2.2.1 Sebaran dan jenis-jenis Amorphophallus spp.............................. 2.2.2. Habitat A. variabilis..................................................................... 8 8 9 2.3 Studi Polinasi...................................................................................... 2.3.1 Proses penyerbukan........................................................................... 2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerbukan......................... 2.3.3. Agen Penyerbuk......................................................................... 2.3.4. Proses Penyerbukan Amorphophallus spp................................... 2.3.5. Serangga penyerbuk Amorphophallus spp.................................... 11 11 11 12 13 13 2.4. Studi Populasi...................................................................................... 2.4.1. Definisi Studi Populasi.................................................................. 2.4.2. Metode Studi Populasi................................................................... 2.4.2.1. Menentukan kelimpahan..................................................... 2.4.2.2. Menentukan pola sebaran.................................................... 16 16 17 17 18 2.5. Kawasan Universitas Indonesia Depok............................................ 21 3. METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................... 3.2 Alat dan Bahan Penelitian................................................................... 3.3 Cara Kerja............................................................................................ 23 23 24 24 ix Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 3.3.1 Studi Polinasi................................................................................. 3.3.1.1 Penentuan lokasi sampling................................................... 3.3.1.2 Pengamatan pola pertumbuhaan perbungaan tumbuhan.... 3.3.1.3 Pengamatan aktivitas hewan pengunjung............................ 3.3.1.4. Pengamatan hewan pengunjung perbungaan....................... 3.3.1.5. Pengukuran data lingkungan............................................... 24 24 24 25 25 25 3.4 Analisis Data........................................................................................ 3.4.1 Menentukan pola pertumbuhan perbungaan.................................. 3.4.2. Menentukan polinator dan aktivitas polinasi................................. 3.4.3. Menentukan kelimpahan dan pola sebaran......................... .......... 3.4.4. Menentukan hubungan panjang osmofor dan diameter spatha dengan jumlah serangga pengunjung........... 3.4.5 Analisis kesamaan habitat berdasarkan karakter morfologi.......... 30 30 30 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 4.1 Gambaran Umum Penelitian.............................................................. 34 34 4.2 Karakteristik perbungaan Amorphophallus variabilis........................ 4.2.1. Batang ......................................................................................... 4.2.2. Umbi.............................................................................................. 4.2.3. Osmofor.......................................................................................... 4.2.4. Spatha............................................................................................ 4.2.5. Perbungaan Jantan....................................................................... 4.2.6. Perbungaan betina....................................................................... 4.2.7. Perbuahan.................................................................................... 38 38 39 40 41 42 43 44 4.3. Pertumbuhan dan perkembangan perbungaan................................... 46 4.4. Serangga pengunjung perbungaan..................................................... 4.4.1. Jenis serangga pengunjung perbungaan........................................ 4.4.2. Aktivitas serangga pengunjung perbungaan............................... 4.4.3. Hubungan jumlah serangga dengan ukuran perbungaan.............. 55 55 59 63 4.5. Proses penyerbukan............................................................................. 65 4.6. Populasi Amorphophallus variabilis................................................. 4.6.1. Gambaran umum populasi A. variabilis.................................... 4.6.2. Pola sebaran populasi................................................................. 4.6.3. Analisis vegetasi populasi............................................................ 68 68 70 71 5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 5.1 Kesimpulan.................................................................................. 5.2 Saran............................................................................................ DAFTAR ACUAN................................................................................. x Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 31 31 76 76 76 77 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Bunga Jantan dan Betina A. variabilis................................................... 6 2.2 Habitus A. variabilis................................................................................ 8 2.3. Osmofor dan bagian-bagian lain dalam perbungaan salah satu jenis Amorphophallus............................. 16 3.1. Skema pengukuran perbungaan A. variabilis....................................... 26 3.2. Peta pengambilan sampel perbungaan.................................................. 27 3.3 Unit sampel pada metode transek kuadrat............................................ 28 3.4. Peta lokasi pengambilan sampel studi populasi...................................... 29 3.5. Unit sampel pada metode transek garis................................................... 30 4.1 Hasil Pengamatan Pendahuluan terhadap jumlah populasi A. Variabilis di kawasan UI Depok........................................................................................................ 33 4.2 Pemetaan Lokasi Sampel (Lokasi 1--3)................................................. 34 4.3 Pemetaan Lokasi Sampel Perbungaan (Lokasi 4--6)............................. 35 4.4 Dendogram perbedaan lokasi berdasarkan lingkungan........................ 36 4.5 Perbedaan karakter lingkungan (Suhu, Kelembaban, dan Intensitas Cahaya) pada lokasi penelitian............ 37 4.6. Ragam batang A. variabilis.................................................................... 38 4.7. Ragam umbi A. variabilis......................................................................... 39 4.8. Ragam osmofor A. variabilis................................................................... 4.9. Ragam spatha A. variabilis....................................................................... 41 40 4.10. Bentuk perbungaan jantan A. variabilis.......................................................42 4.11. Bentuk perbungaan betina A. variabilis..................................................... 43 4.12. Bentuk perbuahan A. variabilis................................................................. 43 4.13. Diagram waktu pertumbuhan Amorphophallus variabilis....................... 49 4.14. Grafik pertumbuhan tinggi total perbungaan.......................................... 50 4.15. Grafik pertumbuhan diameter perbungaan............................................. 50 4.16. Grafik pertumbuhan panjang osmofor.................................................... 51 4.17. Grafik pertumbuhan diameter osmofor.................................................. 51 xi Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 4.18. Grafik pertumbuhan panjang spatha........................................................ 52 4.19. Grafik pertumbuhan diameter spatha...................................................... 52 4.20. Grafik pertumbuhan panjang bunga jantan............................................. 53 4.21. Grafik pertumbuhan diameter bunga jantan........................................... 53 4.22. Grafik pertumbuhan panjang perbungaan betina.................................... 54 4.23. Grafik pertumbuhan diamater perbungaan betina.................................... 54 4.24. Kumbang dari suku Nitidulidae............................................................... 55 4.25. Kumbang dari suku Endomychidae........................................................... 57 4.26. Lalat dari suku Anthomyiidae................................................................... 57 4.27. Nyamuk dari suku Culicidae................................................................... 58 4.28. Kecoa dari suku Blattidae.......................................................................... 59 4.29. Semut dari suku Formicidae....................................................................... 59 4.30. Presentase kehadiran hewan pengunjung perbungaan............................. 61 4.31. Frekuensi kehadiran hewan pengunjung di perbungaan......................... 62 4.32. Aktivitas kumbang dari suku Nitidulidae di perbungaan........................ 64 4.33. Kurva regresi linier hubungan jumlah individu serangga pengunjung perbungaan dengan ukuran spatha.......................................... 64 4.34. Kurva regresi linier hubungan jumlah individu serangga pengunjung perbungaaan dengan panjang osmofor...........................................................65 4.35. Perbandingan antara bunga betina yang masih reseptif dengan yang sudah tidak reseptif.................................................... 67 4.36 Kondisi perbungaan saat spatha dan bunga jantan mengering.....................67 4.37 Kondisi perbungaan yang telah mengalami proses penyerbukan.............. 68 4.38. Perbandingan populasi vegetatif dan generatif pada Bulan Maret--Mei.... 69 4.39. Dominansi, frekuensi, dan kerapatan A. variabilis di tiap lokasi............... 73 4.40. Pola sebaran mengelompok populasi A. variabils.................................... 74 4.42 Dendogram perbedaan lokasi populasi A. variabilis berdasarkan ukuran morfologi tumbuhan............................. 75 xii Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Ciri-ciri Amorphophallus spp................................................................... 10 4.1. Karakteristik A. variabilis di Kawasan Universitas Indonesia,Depok……………………………………............................... xiii Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 44 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran GLOSARIUM................................................................................................ 79 Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran tinggi total perbungaan......................... 81 Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran panjang osmofor perbungaan............... 82 Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran diameter osmofor................................. 83 Lampiran 4. Tabel hasil pengukuran panjang spatha...................................... 84 Lampiran 5. Tabel hasil pengukuran diameter spatha.................................... 85 Lampiran 6. Tabel hasil pengukuran panjang perbungaan betina.................. 86 Lampiran 7. Tabel hasil pengukuran diameter perbungaan betina................. 87 Lampiran 8. Tabel hasil pengukuran panjang bunga jantan........................... 88 Lampiran 9. Tabel pengukuran diameter perbungaan jantan......................... 89 Lampiran 10. Tabel hasil pengukuran diameter petiolus................................ 90 Lampiran 11. Hasil analisis regresi hubungan jumlah serangga pengunjung dengan diameter spatha menggunakan program SPSS 16.0................................ 91 Lampiran 12. Hasil analisis regresi hubungan jumlah serangga pengunjung dengan panjang osmofor menggunakan program SPSS 16.0.................................................................. Lampiran 13. Contoh penghitungan indeks pola sebaran Morisita................... xiv Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 93 95 BAB 1 PENDAHULUAN Amorphophallus variabilis atau yang dikenal dengan nama lokal iles-iles adalah tumbuhan dari suku Araceae yang persebarannya terbatas di Pulau Jawa (International Aroid Society 2003: 3 ). Jenis A. variabilis merupakan tumbuhan herba terestrial dan perenial dengan umbi yang merupakan modifikasi dari batang. Perkembangbiakan A. variabilis terjadi secara generatif dan vegetatif. Secara generatif A. variabilis berkembangbiak dengan biji, sedangkan secara vegetatif dengan umbi batang. Perbungaan A. variabilis muncul secara bergantian dengan daun (Steenis, dkk 2006: 130). Amorphophallus variabilis merupakan tumbuhan yang tersebar luas di berbagai tipe ekosistem darat di Pulau Jawa. Pada lahan yang terganggu, A. variabilis tumbuh sebagai tumbuhan perintis karena dapat tumbuh di semua tipe tanah (Hetterscheid &Ittenbach 2003 : 7--9; Backer & van den Brink 1968: 113 ). Bown (1988) menyatakan bahwa spesies Amorphophallus spp. dapat tumbuh dengan baik di bawah naungan pada tanah dengan kelembaban tinggi, sehingga memiliki potensi untuk ditanami dengan tanaman lain sebagai tumpang sari (Rochedi 2004: 2). Menurut Steenis dkk. (2006: 113) A. variabilis menyukai habitat yang dekat dengan aktivitas manusia sehingga telah lama tumbuhan tersebut dimanfaatkan sebagai bahan pangan (Ariel 1999: 18). Tanaman A. variabilis dapat ditanam bersama dengan tanaman sengon, lamtoro atau tanaman pelindung lain serta dapat juga ditanam secara tumpang sari dengan tanaman jagung, untuk mendapatkan hasil tanaman A. variabilis yang baik (Rochedi 2004: 2). Pada masa penjajahan Jepang, masyarakat di Jepang menggunakan umbi A. variabilis dari Jawa sebagai bahan pangan (Ariel 1999: 17). Tanaman A. variabilis wajib ditanam di setiap pekarangan rumah pada masa tersebut. Berdasarkan data BPS pada tahun 1983, Indonesia mengekspor umbi A. variabilis sebanyak 973. 378 kg dengan nilai ekspor sebesar US $ 601.174. Sebagian besar umbi A. variabilis diekspor ke Jepang, dan negara-negara Asia Timur lain seperti 1 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 2 Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong. Akan tetapi, selama satu dasawarsa terakhir ekspor umbi A. variabilis semakin menurun. Pada tahun 1992, Indonesia hanya mengekspor 317.050 kg umbi dengan nilai ekspor US $ 119.284. Hal tersebut, disebabkan oleh belum adanya sistem pembudidayaan A. variabilis, sehingga ketersediaan tanaman di alam semakin menurun yang menyebabkan penurunan produksi umbi A. variabilis (Hartanto 1994: 25). Umbi A. variabilis mengandung karbohidrat berupa glukomanan sebagai cadangan makanan (Heyne 1987: 348; Jansen dkk 1996: 46). Glukomanan dapat digunakan sebagai sumber serat pada makanan (Ariel 1999: 5), bahan baku industri, laboratorium kimia, dan obat-obatan (Lahiya 1993: 13). Menurut Rosman dan Rusli (1991: 19), tumbuhan Amorphophallus spp. memiliki kandungan glukomanan yang berbeda-beda. Menurut Lingga dkk. (1989: 23), belum banyak ahli agronomi yang tertarik untuk meneliti aspek-aspek budidaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan A. variabilis. Salah satu aspek dalam budidaya tumbuhan A. variabilis adalah deskripsi tumbuhan. Informasi mengenai deskripsi tumbuhan merupakan hal yang penting, karena mengandung informasi tentang ciri-ciri dan sifat-sifat tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam penelitian para pemulia tumbuhan dan budidaya tumbuhan. Studi polinasi merupakan salah satu informasi yang penting dalam budidaya tumbuhan karena menyangkut faktor-faktor yang memengaruhi perkembangbiakan tumbuhan dan keberhasilan reproduksi merupakan hal yang penting bagi kelestarian suatu jenis makhluk hidup (Schelhas dan Greenberg 1996: 19). Studi mengenai proses penyerbukan (polinasi) dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi reproduksi Amorphophallus secara generatif (Rochedi 2004: 2). Studi polinasi mengenai A. variabilis yang ditanam di Bogor pernah dilakukan oleh Rochedi (2004) namun belum disertai data populasi dan kajian ekologi yang mendalam dan peta sebaran jenis-jenis Amorphophallus dan polinatornya (Rochedi 2004: 15--27). Penelitian polinasi dan populasi di alam telah dilakukan oleh Hetterschied (1995) (Hetterschied 1996: 3). Studi polinasi terhadap A. johnsonii di hutan hujan Ghana (Beath 1996: 1--5) Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 3 Jenis A. variabilis seperti halnya tumbuhan tropis lain berinteraksi dengan hewan dalam setiap proses reproduksinya (Schelhas dan Greenberg 1996: 19). Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang menyebutkan jenis-jeins hewan yang berperan sebagai agen penyerbuk (polinator) pada jenis A. variabilis. Penelitian tersebut ditujukan untuk menyediakan data dalam proses pengembangan budi daya jenis-jenis Amorphophallus. Deskripsi atau ciri-ciri A. variabilis saja belum dikatakan lengkap jika tidak disertai data, pengamatan beserta pesebarannya pada setiap periode tumbuh (Sumarwoto 2004: 1). Data berupa persebaran sekaligus faktor-faktor yang memengaruhi persebaran A. variabilis di UI penting diketahui sebagai pelengkap deskripsi tumbuhan tersebut secara umum. Data tersebut dapat diperoleh melalui studi populasi dengan menentukan kelimpahan dan pola sebaran. Informasi mengenai polinator dan populasi A.variabilis sangat diperlukan terutama untuk mengetahui dan mengelola sumber-sumber benih (tegakan benih dan kebun benih) agar dapat menghasilkan benih secara optimal. Apabila polinator efektif telah diketahui , selanjutnya digunakan untuk kepentingan manajemen penyerbukan (pollination management) (Kartikawati 2008: 2). Universitas Indonesia memilki kawasan vegetasi seluas 100 ha dan ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan. Kawasan Universitas Indonesia juga diketahui sebagai habitat yang dekat dengan aktivitas manusia (Universitas Indonesia 2011: 1) . Berdasarkan pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan di Universitas Indonesia (UI) pada bulan Agustus -- Oktober 2010, diketahui bahwa kawasan kampus UI adalah salah satu habitat dari A. variabilis. Oleh karena itu, penelitian studi polinasi dan populasi A.variabillis di kawasan kampus UI perlu dilakukan untuk mengetahui habitat ,populasi, dan proses penyerbukan (polinasi) tumbuhan tersebut. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui fenologi pembungaan A. variabilis, khususnya karakteristik pertumbuhan dan perkembangan bagianbagian bunga, proses penyerbukan, jenis-jenis hewan penyerbuk dan aktivitasnya di perbungaan. Beserta data ekologi yang berupa deskripsi habitat, kelimpahan dan pola sebaran populasi A. variabilis di kawasan UI Depok. Adanya data fenologi beserta data ekologi akan memberikan informasi karakteristik tumbuhan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 4 beserta pertumbuhan dan deskripsi ekologi. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam budidaya A. variabilis di lokasi Depok dan sekitarnya dan digunakan sebagai sumber informasi bagi para peminat, pemulia dan peneliti A. variabilis. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIOLOGI Amorphophallus variabilis 2.1.1. Karakteristik Amorphophallus variabilis Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotiledonae Bangsa : Arales Suku : Araceae Marga : Amorphophallus Blume ex Decaisne Jenis : Amorphophallus variabilis Bl. (Keng 1978: 83; Jansen dkk. 1996: 45) Amorphophallus variabillis Bl. termasuk famili Araceae. Marga Amorphophallus termasuk ke dalam sub-suku Aroidae. Jenis A. variabilis merupakan tumbuhan terestrial yang memiliki petiolus serta batang yang bermodifikasi menjadi umbi. Daun lengkap memiliki tiga bagian, pelepah, batang daun, dan helaian daun. Helaian daun tunggal bercangap membentuk tiga bagian dengan petiolus yang memanjang dari permukaan tanah. Permukaan batang rata dan memiliki corak polos hingga berpola bintik-bintik yang bervariasi warna dan bentuknya (Hetterscheid dan Ittenbach 2003: 7--9). Amorphophallus spp memiliki umbi seperti tanaman talas (Colocasia esculenta Schott.) dan keladi (Caladium bicolor (Ait.) Vent.) yang berbentuk dan terdapat di dalam tanah (Gambar 2.2 D). Ukuran umbi yang terbentuk tergantung pada proses fotosintesis yang terjadi sehingga faktor lingkungan seperti cahaya, udara, air, dan tanah menjadi sangat penting (Rochedi 2004: 4). 5 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 6 2.1.2. Perbungaan Amophophallus variabilis Perbungaan A. variabilis muncul secara bergantian dengan fase vegetatif. Perbungaan epigin, berbentuk bunga tongkol (spadix) dengan spatha yang melindungi bagian perbungaan (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7--9). Bunga jantan dan betina dalam satu rumah (monoesis) dan terpisah di perbungaan. Bunga monoesis A. variabilis memiliki bunga betina di posisi proksimal bunga jantan atau perbungaan jantan berada di atas perbungaan betina dari pangkal perbungaan (Gambar 2.1). Terdapat bagian steril di perbungaan yang berfungsi menghasilkan aroma untuk menarik serangga, disebut osmofor (Beath 1996: 4--5). Tangkai bunga (pedunkulus) pada A. variabillis memiliki karakter yang sama dengan tangkai daun yaitu memiliki permukaan yang licin dan tumbuh menjulang di atas permukaan tanah. Tinggi tangkai daun dan tangkai bunga 20--100 cm (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7—9; Backer & van den Brink 1968: 113). 1 1 cm 2 1 : Bunga jantan 2. Bunga betina Gambar 2.1 Bunga Jantan dan Betina A. variabilis [Dokumentasi Pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 7 2.1.3. Perbuahan Amophophallus variabilis Perbuahan A. variabilis terdapat di atas tangkai perbungaan yang relatif panjang. Karakter tangkai perbungaan sama dengan tangkai daun dan bunga. Buah menempel (sessil) pada tongkol bunga. Buah tipe beri ketika muda berwarna hijau dan buah matang berwarna jingga bergradasi hingga merah (Gambar 2.2 C). Biji berwarna hitam, bulat dengan raphe yang jelas (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7--9). Benang sari A. variabilis seperti rambut halus, berwarna kuning dengan ukuran relatif pendek. Kepala sari (anther) terletak di ujung tangkai sari. Pistil berjumlah satu di tiap bunga betina. Ovari menempel (sessil) pada bunga dan terdapat satu ovum di setiap lokul (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7—9). Serbuk sari A. variabilis berukuran 53.7 hingga 60.5 µm dengan bentuk bulat dan ornamentasi psilate (Ham dkk. 2005: 6). 2.1.4. Pertumbuhan dan perkembangan Anggota marga Amorphophallus memiliki dua fase hidup, yaitu fase vegetatif dan fase generatif (Gambar 2.2 ). Satu individu tumbuhan mengalami fase tersebut secara bergantian. Fase vegetatif berupa daun dan fase generatif berupa perbungaan. Menurut Sufiani (1993), pertumbuhan umbi A. variabilis terdiri atas dua fase yaitu fase generatif dan vegetatif dengan periode dormansi selama dua bulan diantara kedua fase tersebut. Pada fase vegetatif terbentuk tangkai dan daun majemuk yang berasal dari tunas pada umbi baru di atas umbi lama (Rochedi 2004: 4). Sebagai tumbuhan perennial, fase vegetatif Amorphophallus umumnya berakhir saat awal musim penghujan yang ditandai oleh tumbuhnya perbungaan . Jenis Amorphophallus johnsoni di Ghana mengawali fase generatifnya, setelah hujan pertama pada bulan Maret--Oktober. (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7—9; Beath 1996: 2 ). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 8 C A B 1 5 cm 2 5 cm D 5 cm 5 cm A. Fase daun; B. Fase bunga, 1. Osmofor; 2. spatha; C. Fase buah; D. Umbi Gambar 2.2 Habitus A. variabilis. [Dokumentasi Pribadi (A, B, dan C); International Aroid Society (D)2003: 4] 2.2. SEBARAN DAN HABITAT Amorphophallus variabilis 2.2.1 Sebaran dan jenis-jenis Amorphophallus spp Di Pulau Jawa terdapat 7 jenis Amorphophallus yaitu Amorphophallus decus-silvae, A. campanalatus, A. sagitattarius A. muelleri ( sin. A. oncophyllus), A. discophorus, A. spectabilis, dan A. variabilis (Backer & van den Brink 1968 : 113; Hetterscheid 1996: 3). Diantara tumbuhan anggota suku Araceae, jenis A. variabillis adalah jenis yang memiliki banyak keragaman dalam bentuk, corak dan warna pada batang daun, spatha, dan osmofor dan frekuensi di daerah dataran rendah dan pegunungan yang dekat dengan aktivitas manusia (Acebey dkk. 1999: Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 9 2). Persebaran A. variabilis hanya terbatas di Pulau Jawa. Jenis A. variabilis tumbuh sebagai tumbuhan perintis di lahan yang terganggu (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7—9). Faktor penyebar biji A. variabilis belum banyak diketahui. Diduga biji tersebar secara alami oleh burung. Hal tersebut karena buah A. variabilis berwarna terang dan berukuran relatif besar sehingga diduga disukai burung sebagai makanan. Sebelumnya diketahui pada jenis A. titanum, penyebar biji adalah burung rangkong (Hetterscheid 1995: 3). Burung bulbul juga diketahui sebagai penyebar biji A. gigas yang persebarannya dari India hingga Sabah (Hetterscheid &Ittenbach 2003: 7—9). 2.2.2. Habitat A. variabilis Menurut Ermiati dan Laksmanahardja (1996: 75); Hetterscheid dan Ittenbach (1996: 2), A. variabilis dapat tumbuh baik pada tanah berpasir, strukturnya gembur, dan kaya unsur hara.. Steenis (1968: 113) menyatakan, A. variabilis tumbuh di semua tipe tanah, semak-semak, hutan sekunder, hutan jati, belukar di pemukiman dan kawasan makam tua yang ternaungi pada ketinggian 100--1000 m dpl. Selain itu juga dapat tumbuh pada wilayah yang memiliki drainase baik, kandungan humus yang tinggi, dan memiliki pH tanah 6 - 7,5 dengan suhu optimal 25--35 oC (Jansen , dkk 1996: 47 ) Amorphophallus variabilis hanya dapat tumbuh secara alami di daerah yang memiliki iklim dengan curah hujan yang cakupannya cukup luas (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 45) . Jawa juga merupakan daerah dengan perbedaan iklim yang jelas. Di samping itu, Jawa juga merupakan daerah yang padat dengan pemukiman. Pulau Jawa memenuhi kriteria tersebut sehingga menjadi habitat alami bagi A. variabilis (Backer & van den Brink 1968: 130). Perbedaan ciri-ciri A. variabilis dengan 2 (dua) jenis Amorphopallus lain di Pulau Jawa terdapat pada tabel 2. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 10 Tabel 2.1 Ciri-ciri Amorphophallus spp. Nama Jenis Ciri-ciri A. campanulatus A. variabilis Bl. A. muelleri Bl. (Dennst.) Nicols Persebaran Umumnya ditanam Umumnya tumbuh di pekarangan Tumbuh liar secara liar Hijau muda Warna dan sampai Sangat beraneka Hijau muda sampai gambaran petioles tua dengan bercak ragam sampai hijau hijau tua dengan Putih bercak putih bercak putih Permukaan petioles Licin Kasar Licin Warna tepi daun Hijau Hijau Ungu muda Umbi batang Umbi batang Umbi pada tumbuhan muda Pertumbuhan umbi Bibit helai daun (bulbil) Warna luar umbi Kelabu coklat Batang Putih (hijau ungu Kelabu coklat atau kelabu bila kena cahaya Warna dalam umbi Kuning muda Batang sampai tua Putih Kuning Susunan jaringan parenkim Jaringan tebal Jaringan halus Jaringan halus Kadar glukomannan Sangat sedikit Rendah sampai Tinggi hingga Sedang sangat tinggi [Sumber : Sufiani (1993), dalam Rochedi (2004: 6)] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 11 2.3 STUDI POLINASI A B 2.3.1 Proses penyerbukan Polinasi atau penyerbukan tumbuhan adalah proses menempelnya serbuk sari di kepala putik (Rusfrida 2007: 1). Proses polinasi pada Angiospermae memiliki tahapan lepasnya serbuk sari dari bunga jantan , proses perpindahan serbuk sari dari kepala sari (anther) ke kepala putik (stigma) (Rochedi 2004: 7). Menurut Poehlman (1959: 373) ada beberapa jenis polinasi atau penyerbukan yaitu penyerbukan sendiri (self pollination) dan penyerbukan silang (cross pollination). Penyerbukan sendiri adalah perpindahan serbuk sari dari anther ke stigma dalam satu bunga atau perpindahan serbuk sari dari anther ke stigma dalam satu tumbuhan sedangkan penyerbukan silang antar tumbuhan yang berjenis sama. Tumbuhan berbunga harus mampu menarik perhatian polinatornya sehingga mendapatkan kunjungan polinator secara kontinyu dan terjamin terjadinya transfer tepung sari yang mendukung pembuahan (Kartikawati 2008: 2). Polinator pada umumnya mengunjungi tumbuhan berbunga dengan tujuan untuk mencari makan. Bunga yang sedang mekar (anthesis) mengandung zat gula (nektar) yang merupakan sumber makanan bagi polinator (Duadreva dan Pichersky 2006: 97). 2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerbukan Penyerbukan tumbuhan sangat berpengaruh pada bentuk bunga dan alat reproduksinya. Arsitektur bunga yang meliputi ukuran, kedudukan organ reproduksi, aksesibilitas nektar, struktur bunga dan masa pembungaan semua mempengaruhi interaksi antara tumbuhan dengan polinatornya (Ghazoul, 1997; Griffin dan Sedgley, 1989 dalam Kartikawati 2008: 2). Faegri dan Pijl (1979) menyatakan bahwa, sebagian besar agen penyerbuk menunjukkan variasi yang spesifik dalam hal ukuran tubuh, kemampuan sensorik, perilaku pencarian makan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 12 dan sumber energi yang dibutuhkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara arsitektur pembungaan dengan tipe polinatornya (Kartikawati 2008: 2). Studi mengenai polinasi tidak lepas dari pembelajaran karakter perbungaan dan karakter penyerbuk. Karakter perbungaan meliputi morfologi perbungaan dan morfologi polen. Karakter penyerbuk meliputi jenis penyerbuk dan perilakunya serta analisi hubungan timbal balik antara tumbuhan dengan polinatornya. Gibernau (1999) dalam penelitiannya mengenai studi polinasi Philodendron solimoesense melakukan pengamatan jumlah bunga yang mekar dalam suatu periode. Diikuti dengan pengambilan data jumlah rata-rata serangga penyerbuk di setiap perbungaan beserta identifikasi jenis serangga penyerbuk. 2.3.3 Agen Penyerbuk Penyerbukan juga merupakan dasar pertukaran materi genetik (DNA) antar tumbuhan. Mekanisme penyerbukan pada hampir seluruh tumbuhan berbunga memerlukan peran agen penyerbuk sebagai vektor. Agen penyerbuk dapat berupa abiotik misalnya angin dan air, maupun biotik yaitu berbagai jenis hewan. Sebagian besar tumbuhan tropis berinteraksi dengan hewan dalam setiap proses penyerbukan (Schelhas & Greenberg 1996: 19) Bunga dapat dikunjungi oleh berbagai jenis serangga, yang kemampuan dalam memindahkan serbuk sari bervariasi (Kartikawati 2008: 2). Buchmann dan Nabhan pada tahun 1996, menyatakan bahwa antara seluruh agen penyerbuk biotik, kumbang (Coleoptera) merupakan agen penyerbuk yang paling dominan, berperan di dalam membantu penyerbukan sekitar 88,3% dari total jenis tumbuhan berbunga / Angiospermae (Kartikawati 2008: 2). Dalam proses penyerbukan tumbuhan berbunga terjadi hubungan timbal balik antara tumbuhan berbunga dengan polinatornya terjadi. Interaksi tersebut terbentuk jika tumbuhan berbunga dapat menyediakan sesuatu yang dibutuhkan oleh polinator untuk kelangsungan hidupnya. Griffin dan Sedgley pada tahun 1989 menyatakan bahwa, ketika polinator memperoleh banyak manfaat dari kontaknya dengan bunga, yang dapat berupa makanan, tempat berlindung dan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 13 membangun sarang atau tempat melakukan perkawinan maka kontak tersebut dapat menjadi bagian yang tetap dalam hidupnya sehingga akan terbentuk interaksi yang konstan dengan tumbuhan tersebut. (Kartikawati 2008: 2). 2.3.4. Proses Penyerbukan Amorphophallus spp. Proses penyerbukan (polinasi) pada marga Amorphophallus relatif unik, yaitu menggunakan osmofor pada perbungaan untuk menyebarkan odor (zat aroma). Osmofor menghasilkan gas ammonia yang menghasilkan aroma busuk sehingga dapat menarik penyerbuk (pollinator). Menurut Beath (1996: 7) osmofor A. johnsoni di Ghana, akan mengeluarkan aroma di waktu petang. Sehingga polinator tertarik untuk mendekati perbungaan dan melakukan polinasi. Tumbuhan suku Araceae, khususnya marga Amorphophallus menghasilkan aroma yang beraroma seperti daging busuk. Aroma tersebut dihasilkan dari gas senyawa sulfur yang amis dan relatif mudah menguap. Jenis Amorphophallus rivieri menghasilkan berbagai gas yang mengandung nitrogen yaitu amoniak, trimetilamina dan skatole. Gas-gas tersebut menguap di sore hari dan mengundang serangga untuk mengunjungi perbungaan hingga terjadi polinasi (Dudareva & Pichersky 2006: 158;Beath 1996: 5) 2.3.5. Serangga penyerbuk Amorphophallus spp. Menurut Bown tahun 1988 (dalam Rochedi 2004: 9), terdapat beberapa hal yang merangsang serangga untuk hinggap pada perbungaan tumbuhan suku Araceae, antara lain: a. Bau atau aroma yang dihasilkan oleh perbungaan yang terbuka. Pada sebagian besar tumbuhan Araceae, dihasilkan kombinasi senyawa yang berupa amonia, protein dan asam amino yang membuat serangga mendatangi organ kelamin bunga. Uap panas yang dihasilkan oleh spadix dan spatha menghasilkan efek samping terciptanya kondisi iklim mikro yang sesuai bagi aktivitas serangga. Uap panas tersebut adalah senyawa sulfur yang merupakan senyawa oligosulfida Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 14 b. Struktur spatha dan spadix pada perbungaan yang berbentuk cawan menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai (kelembaban dan kehangatan) bagi serangga untuk mencari makan atau melakukan perkawinan. c. Warna dan struktur perbungaan seperti jaringan yang sudah layu dan berwarna kehijauan hingga merah kecoklatan. Struktur tersebut menarik serangga yang memiliki kebiasaan hinggap pada tumbuhan yang mati. Sebagian besar pengunjung perbungaan Amorphophallus spp. adalah serangga yang suka hinggap pada tumbuhan mati. Menurut Waddington (1983) serangga polinator dalam aktivitasnya memiliki kemampuan sensorik dalam menentukan jenis tumbuhan yang sesuai untuk mencari makanan, melakukan perkawinan, dan meletakkan telur. Kemampuan sensorik tersebut terdiri atas kemampuan pada indera penerima rangsang seperti : a. Indera penglihatan Penglihatan pada serangga berdasarkan pada pentulan cahaya dari objek tertentu yang dipantulkan dalam bentuk bayangan pada mata faset (majemuk). Struktur mata faset serangga berupa kumpulan unit fotoreseptif. Lebah madu, kupu-kupu, dan jenis-jenis kumbang memiliki penglihatan trichromatic yaitu mampu membedakan tiga warna. Rentang sensitivitas penglihatan pada kumbang berkisar antara kuning sampai jingga pada panjang gelombang 650 nm dan UV 300 nm. Struktur mata serangga juga memiliki kemampuan untuk melihat polarisasi cahaya dan dengan kemampuan tersebut, serangga dapat menentukan arah pulang, tempat mencari makan dan membantu pergerakan di antara bunga berdasarkan posisi matahari. b. Indera penciuman Kumbang dapat membedakan berbagai jenis aroma dan memiliki ketajaman penciuman dan memiliki kemampuan untuk membedakan intensitas aroma yang melebihi ambang batas. c. Indera perasa Indera perasa pada polinator berfungsi untuk menentukan jenis nutrisi dari berbagai jenis makanan yang tersedia. Lebah madu memanfaatkan tiga komponen gula pada nektar (sukrosa, glukosa, dan fruktosa) untuk membedakan rasa. Kadar Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 15 gula yang biasa diterima oleh lebah madu berkisar antara 2--4 % dengan perbedaan konsentrasi sukrosa pada madu ± 5 %. d. Masa polinasi Masa kedatangan serangga polinator sangat dipengaruhi oleh terbentuknya nektar pada tumbuhan. Pembentukan nektar terjadi selama beberapa hari dan terdapat perbedaan waktu antara setiap individu tumbuhan, sehingga polinator memiliki sensitivitas terhadap waktu terbentuknya madu (Rochedi 2004: 9). Polinator A. variabilis adalah organisme yang tertarik terhadap aroma busuk yang dikeluarkan osmofor . Osmofor adalah organ perbungaan yang meghasilkan aroma busuk (Gambar 2.3). Tumbuhan yang mengeluarkan aroma seperti hewan mati pada umunya dipolinasi oleh serangga. Serangga yang umum sebagai polinator adalah kumbang Coleoptera dari suku Silphidae, Staphylinidae, Dermestidae dan lalat dari suku Calliphoridae, Sarcophagidae, Muscidae, Anthomyiidae, dan Drosophillidae. Kelompok serangga tersebut tertarik oleh senyawa sulfur (oligosulfida) yang dihasilkan tumbuhan sehingga berkunjung ke bunga. Polinasi terjadi ketika secara tidak disengaja, sehingga serangga menempelkan serbuk sari ke kepala putik. Kumbang carrion (suku Silphidae), kumbang rove ( Staphylinidae, Scrabaeideae) adalah merupakan serangga yang sering mengunjungi perbungaan Amorphophallus dan berperan sebagai polinator yang baik (Dudareva dan Pichersky 2006 : 158). Pijl (1937: 50) melakukan penelitian terhadap polinator tiga jenis Amorphophallus (A. muelleri, A. titanum,dan A. variabilis). Hasil penelitian menunjukkan pollinator ketiga jenis Amorphophallus tersebut adalah kumbang carrion (suku Silphidae) atau kumbang rove (suku Staphylinidae) . Jenis-jenis kumbang tersebut diketahui sebagai serangga yang menyukai aroma busuk. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Beath (1996: 4) mengenai polinasi A. johnsoni oleh kumbang carrion di Ghana. Hasil Penelitian Pijl (1937:50) menunjukkan, serangga penyerbuk A. variabillis dari fase telur hingga dewasa berada di perbungaan. Serangga tersebut melakukan fase reproduksi di perbungaan A. variabilis. Berdasarkan penelitian Rochedi (2004), polinasi pada A. variabilis dibantu oleh kumbang dari suku Nitidulidae dan lebah dari suku Apidae, . Serangga tersebut datang pada pukul Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 16 16.30 sore dan pergi 3 jam kemudian dan terjadi selama beberapa hari. Kedatangan serangga tersebut sebagai respon dari aroma yang dikeluarkan oleh perbungaan (Rochedi 2004: 10) osmofor 1 cm bunga jantan bunga betina Foto habitus perbungaan Gambar 2.3. Osmofor dan bagian-bagian lain dalam perbungaan salah satu jenis Amorphophallus [Sumber: Beath 1996:3] 2.4 STUDI POPULASI 2.4.1. Definisi Studi Populasi Menurut Krebs tahun 1999 (dalam Ngabekti 2003), populasi adalah sekelompok makhluk hidup yang sama jenisnya dan mendiami suatu ruang dan waktu tertentu (Purborini 2006: 9). Populasi mempunyai dua karakteristik dasar yaitu karakteristik biologi yang merupakan ciri yang dipunyai oleh individuindividu pembangun populasi, dan karakteristik statistik yang merupakan ciri uniknya sebagai himpunan individu. Karakteristik biologis populasi adalah (Odum,1993: 23), Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 17 a. Mempunyai struktur dan organisasi tertentu yang bersifat ada yang konstan atau mengalami perubahan sejalan dengan waktu. b. Mempunyai ontogeni atau sejarah hidup. c. Dapat dikenai dampak faktor-faktor lingkungan dan dapat memberikan respon terhadap faktor lingkungan. d. Mempunyai hereditas atau mampu bereproduksi. e. Terintegrasi oleh faktor-faktor hereditas dan lingkungan. Karakteristik statistik timbul sebagai akibat aktivitas kelompok individu yang berinteraksi. Karakteristik statistik populasi adalah (Odum 1993: 24): a. Kelimpahan dan kerapatan populasi b. Sebaran umur c. Distribusi atau dispersi individu-individu dalam populasi d. Potensi biotik e. Bentuk pertumbuhan Studi mengenai populasi dapat dilakukan untuk membuktikan karakteristik biologis populasi maupun karakteristik statistik populasi. Interaksi antar makhluk hidup di alam dengan suatu populasi dapat dibuktikan melalui karakteristik statistik populasi. Kelimpahan dan sebaran (distribusi) merupakan salah satu karakteristik yang digunakan untuk mengukur struktur suatu populasi vegetasi. Pengetahuan mengenai sebaran spasial (distribusi dan kerapatan) dapat digunakan sebagai masukan positif dalam penentuan strategi pengelolaan hutan produksi yang optimal dengan tetap memperhatikan segi ekologinya (Purborini 2006: 1). Studi populasi digunakan sebagai pendukung data pada studi polinasi. Beath (1996: 1) dan Gibernau (1999: 3) melakukan studi populasi pada tumbuhan dari suku Araceae sebagai studi pendahuluan dari studi polinasi. Data dari studi populasi digunakan sebagai gambaran objek penelitian studi polinasi yang berupa profil habitat, frekuensinya, dan pola sebarannya di alam. Punekan dan Kumaran (2010: 3) menggunakan data populasi jenis-jenis Amorphophallus di India dalam studi polinasi dan digunakan sebagai gambaran sebaran tumbuhan beserta polinatornya di tiap-tiap lokasi. Beath (1996: 4--6) menggunakan data kelimpahan dan Punekan dan Kumaran (2010: 3) menggunakan data pola sebaran dalam studi populasi Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 18 2.4.2. Metode Studi Populasi 2.4.2.1. Menentukan kelimpahan Kelimpahan ditentukan dengan menentukan dominansinya dengan rumus berikut : Dominansi : Frekuensi kehadiran sampel juga ditentukan dengan rumus: Frekuensi : 2.4.2.2. Menentukan pola sebaran Pola sebaran digunakan untuk mengetahui sifat-sifat persebaran suatu populasi dalam suatu habitat. Pola sebaran suatu populasi perlu diketahui karena sebagian besar populasi makhluk hidup merupakan populasi yang terpola persebarannya. Dibutuhkan metode untuk mengetahui pola sebaran populasi. Hal tersebut agar pola sebaran dapat dijelaskan secara objektif sehingga dapat dijadikan sebuah dasar ilmiah (Krebs 1999: 47). Penentuan pola sebaran, memerlukan satu set data yang berupa jumlah individu per populasi yang ditemukan di setiap n kuadrat. Pola sebaran ditentukan dengan sebuah indeks yang disebut dengan indeks sebaran (indice of dispersion). Metode yang digunakan untuk menentukan indeks sebaran harus memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu: 1. Harus memiliki cara yang mudah untuk menentukan perbedaan pola sebaran, mulai dari yang seragam, acak, ataupun mengelompok. 2. Kesimpulan yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh kepadatan, jumlah sampel, atau variasi lain yang terdapat dalam suatu kuadrat sampel. 3. Harus dapat diuji secara statistik agar dapat dibandingkan pola sebaran dua populasi untuk diuji signifikansinya (Krebs 1999: 49) Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 19 Terdapat 5 (lima) uji untuk mengetahui indeks sebaran yaitu: 1. Variance to mean ratio 2. k of the negative binominal 3. Koefisien Green 4. Indeks sebaran Morisita 5. Indeks sebaran Morisita yang terstandarisasi Indeks sebaran Morisita, merupakan indeks yang memenuhi kriteria uji di atas. Akan tetapi, Indeks sebaran Morisita masih dipengaruhi oleh jumlah sampel dan keakuratannya masih di bawah Koefisien Green (Krebs 1999: 37). Morisita (1968) mengembangkan sebuah indeks yang dinamakan Indeks Sebaran Morisita: Id = n di mana, ∑ x2 − ∑ x ( x )2 − x ∑ ∑ (1) Id = Indeks sebaran Morisita n = jumlah sampel ∑x ∑x = rata-rata jumlah kuadrat= x1 + x2 + x3 L 2 2 2 3 = rata-rata jumlah luas kuadrat = x1 + x2 + x2 L Indeks tersebut, diuji menggunakan uji statistika untuk menguji hipotesis nol dan kerandoman data dengan rumus: χ 2 = Id ( ∑ x − 1) + n − ∑ x (d.f.= n − 1) 2 di mana, χ = uji statistik untuk Indeks sebaran Morisita (distribusi chi-square) Tahun 1975, Smith dan Gill mengembangkan kembali Indeks sebaran Morisita menjadi Indeks Sebaran Morisita terstandarisasi. Indeks dapat dengan mudah dianalisi dengan rentang nilai penghitungan antara -1 hingga +1. Cara penghitungan indeks sama dengan penghitungan Indeks Sebaran Morisita biasa hanya dilengkapi dengan penghitungan nilai kritis pada Indeks sebaran Morisita dengan rumus Uniform index ( Indeks keseragaman): Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 (2) 20 Uniform index = Mu = di mana, 2 χ.975 − n + ∑x i (3) ( ∑ xi ) − 1 2 χ.975 = nilai chi-square dari tabel dengan (n -1) derajat kepercayaan hingga 97,5% dari kanan tabel. x i = Jumlah organisme dalam satu kuadrat(i = 1,...n) n = Jumlah kuadrat Clumped index = Mc = di mana, 2 χ.025 − n + ∑x i (4) ( ∑ xi ) − 1 2 χ.025 nilai chi-square dari tabel (n-1) d.f. yang memiliki 2.5% derajat kepercayaan dari kanan tabel. Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung dan menentukan nilai Indeks Sebaran Morisita dengan standarisasi sebagai berikut : Jika Id ≥ Mc > 1.0 : I − Mc IP = 0.5 + 0.5 d n − Mc (5) JIka Mc > Id ≥ 1.0 : I − 1 IP = 0.5 d Mu − 1 (6) Jika 1.0 > Id > Mu : I −1 IP = − 0.5 d Mu − 1 (7) Jika 1.0 > Mu > Id : I − Mu IP = -0.5 + 0.5 d Mu (8) Standarisasi nilai Indeks Sebaran Morisita berkisar antara -1 hingga +1 dengan derajat kepercayaan 95% atau +0.5 hingga -0.5. Pola sebaran acak akan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 21 menghasilkan nilai I p nol, pola mengelompok di atas nol, dan pola seragam di bawah nol. Jumlah sampel minimum yang dibutuhkan untuk melakukan penghitungan Indeks Sebaran Morisita sangat sulit untuk diketahui. Akan tetapi, Green (1955) merekomendasikan, jumlah sampel minimum adalah 50. Untuk pola sebaran yang jelas mengelompok, disarankan untuk mengambil sampel paling sedikit sebanyak 200 (Krebs 1999: 56--60). Myers tahun 1978 (dalam Krebs 1999: 61) dalam studinya menjelaskan bahwa Indeks Sebaran Morisita merupakan cara terbaik untuk menentukan pola sebaran. Hal tersebut karena, Indeks tersebut tidak dipengaruhi oleh kepadatan populasi dan jumlah sampel. 2.5 KAWASAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK Kampus Universitas ndonesia terletak di daerah Depok, Jawa Barat pada koordinat 06o 20‘--06o 23’ LS dan 106o 49‘--106o 50‘ BT. Total Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok 312 ha. Total luas tersebut dialoksikan untuk bangunan fisik gedung dan penyangga hijauan lansekap (170 ha), ekosistem perairan (30 ha), kawasan hutan kota (100 ha) dan sarana prasarana penunjang, termasuk penyangga lingkungan seluas 12 ha. Ekosistem perairan meliputi 6 situ atau danau, yaitu Situ Kenanga, Situ Aghatis, Situ Mahoni, Situ Puspa, Situ lin dan Situ Salam (Universitas Indonesia 2011: 1) Kampus UI Depok memiliki tujuh tipe habitat yang berbeda. Tipe habitat terseut adalah danau, empang, sawah, tegalan, alang-alang, kebun karet. hutan penghijauan. Tiap tipe habitat tersebut berupa mozaik atau patches. Sisanya menjadi lingkungan aktivitas perkuliahan. Lingkungan kampus di luar hutan kota juga memiliki daerah vegetasi. Vegetasi karet terdapat di belakang kampus FMIPA, belakang Kampus PNJ, dan di seberang kampus FISIP. Setiap fakultas juga ditanam berbagai jenis tumbuhan di areal taman (Taqyuddin dkk. 1997: 17). Kampus UI Depok memiliki potensi yang cukup besar sebagai tempat tumbuhnya berbagai jenis vegetasi. Kampus terebut awalnya merupakan daerah perkebunan, pertanian (baik pertanian / sawah tadah hujan maupun peretanian lahan kering ), dan permukiman penduduk dengan kepadatan randah (Taqyuddin Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 22 dkk. 1997: 17). Waryono pada tahun 2005 menyatakan bahwa, kampus tersebut mampu memdukung kehidupan berbagai makhluk hidup, yaitu tumbuhan, hewan, mikroorganisme dan manusia (Dhewangkoso 2008: 4). Berbagai jenis tumbuhan tumbuh di kawasan tersebut. Ratusan jenis tumbuhan baik yang ditanam maupun yang liar tumbuh dengan cukup baik, sehingga Kawasan UI Depok dapat menjadi sumber plasma nutfah bagi kelestarian tumbuhan. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di kawasan Kampus UI Depok pada 06 o20‘ -- 06 o 23‘ LS dan 106 o49‘ -- 106 o 50‘ BT, untuk pengambilan data populasi dan pengamatan polinasi. Identifikasi tumbuhan dan hewan masing-masing dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan dan Taksonomi Hewan Departemen Biologi FMIPA UI. Pengambilan data populasi dilakukan sepanjang periode tumbuh dari periode vegetatif hingga periode generatif (berbunga) pada bulan Maret--Mei. Pengambilan data polinasi dilakukan sepanjang periode generatif (berbunga) yaitu pada awal masa penghujan pada bulan Maret -- Mei. Pengolahan data dilakukan setelah masing-masing proses pengambilan data selesai. 3.2. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN Peralatan lapangan untuk keperluan pengambilan data populasi adalah tali transek, patok kayu, tali rafia, pita penanda dan tali pengukur. Alat penangkap serangga, botol film, kain kassa, dan botol plastik digunakan untuk keperluan pengambilan spesimen hewan pengunjung. Higrometer dan lux meter dilakukan untuk mengukur parameter lingkungan. Peralatan laboratorium yang digunakan adalah mikroskop stereo, dissecting set, penggaris, dan buku identifikasi serangga untuk keperluan identifikasi serangga. Sampel yang diambil adalah tumbuhan A. variabilis yang terdapat pada petak sampel dan sedang berbunga sebanyak 20 sampel serta hewan pengunjungnya. Bahan yang dibutuhkan untuk pengambilan sampel adalah alkohol 70%, larutan pengawet serangga yang terdiri atas etil asetat dan formalin 4% dengan perbandingan 1:2, dan aquades. 23 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 24 3.3. CARA KERJA Cara kerja dibagi menjadi 2 (dua) bagian sesuai dengan kebutuhannya, yaitu metode dalam studi populasi dan polinasi. Metode penelitian dalam studi polinasi, menggunakan metode stastitika deskrptif, karena jenis peubah yang diamati bersifat deskriptif. Metode penelitian untuk Studi Populasi menggunakan metode statistika numerik untuk menentukan hasil yang bersifat deskriptif. 3.3.1 Studi Polinasi 3.3.1.1 Penentuan lokasi sampling Penentuan lokasi sampling sama dengan lokasi pengambilan data populasi. Akan tetapi, sampel yang diambil berbeda dengan data populasi. Di setiap lokasi sampling, diambil masing-masing 3 (tiga) sampel tumbuhan yang sedang berbunga. Sehingga, jumlah keseluruhan sampel berjumlah 18 sampel. Tiap sampel ditandai dengan menggunakan pita penanda dan diberi nomor (Gambar 8). 3.3.1.2 Pengamatan pola pertumbuhaan perbungaan tumbuhan Dari setiap sampel tumbuhan dilakukan pengamatan terhadap: 1. Pertumbuhan bagian-bagian bunga yang meliputi : panjang, diameter dan warna dari setiap bagian bunga yaitu batang daun, spatha, bunga jantan, bunga betina, dan osmofor (Gambar 4). Peubah lain yang diamati adalah waktu muncul bau, waktu muncul serangga, dan waktu anthesis. 2. Jumlah biji yang terbentuk dalam polinasi dicatat berikut diameter dan berat umbi setelah 14 hari pengamatan. Pengamatan dan terhadap pertumbuhan dan perkembangan bunga dilakukan setiap hari selama 8 hingga 14 hari. Pengukuran terhadap panjang dan diameter Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 25 bunga menggunakan meteran YAMAYO Million 12. Warna bagian bunga diukur dengan Adobe Potoshop CS 3. 3.3.1.3 Pengamatan aktivitas hewan pengunjung Pengamatan dilakukan selama masa berbunga. Tumbuhan yang perbungaannya masih kuncup ditandai. Pengamatan jenis dan aktivitas hewan pengunjung mulai dilakukan apabila perbungaan telah mekar. Pengamatan dilakukan selama 2 (dua) malam berturut-turut pada masing-masing sampel di hari yang berbeda. Posisi hewan tersebut beraktivitas di bagian osmofor , bunga jantan, atau bunga betina dicatat dalam satu pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap 10 menit pada masing-masing perbungaan dengan rentang waktu dari pukul 17.00--19.00. Tanggal dan rentang waktu pengamatan dicatat. Suku, jenis kelamin, dan karakteristik dari serangga pengunjung dicatat. 3.3.1.4. Pengamatan hewan pengunjung perbungaan Pengambilan sampel dilakukan terhadap jenis-jenis hewan yang terdapat di sampel perbungaan. Alat penjebak yang digunakan untuk menyedot serangga melalui selang ke dalam tabung transparan. Sampel yang berhasil ditangkap kemudian dimasukkan ke botol film yang berisi larutan etil asetat : formalin 4% 1 : 2 secukupnya. Proses identifikasi hewan dilakukan di bawah mikroskop stereo. Jenis hewan yang berhasil diidentifikasi dicatat karakternya. 3.3.1.5. Pengukuran data lingkungan Pengukuran data lingkungan terdiri atas suhu, intensitas cahaya dan pengukuran kelembaban udara. Pengukuran suhu lingkungan dilakukan dengan cara menggantungkan thermometer lingkungan di tiap lokasi sampel. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan lux meter. Bagian lux meter yang peka terhadap cahaya diarahkan pada pantulan datangnya cahaya, besarnya intensitas Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 26 dapat dilihat pada skala. Pengukuran kelembaban dilakukan dengan cara melihat angka pada higrometer yang digantung pada lokasi yang bersangkutan. 1 cm penjang osmofor panjang total panjang tongkol bunga jantan panjang tongkol bunga betina lebar total Gambar 3.1. Skema pengukuran perbungaan A. variabilis [Sumber: Beath 1996: 5] 3.3.2 Studi Populasi 3.3.2.1 Penentuan lokasi sampling Metode yang digunakan adalah purposive random sampling. Sebagai langkah awal dilakukan pengamatan pendahuluan di daerah kampus UI. Berdasarkan pengamatan pendahuluan ditentukan dua daerah pengamatan yaitu lokasi Hutan kota dan lingkungan kampus. Masing-masing daerah dibagi lagi menjadi 3 lokasi berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 27 di masing-masing daerah (Tabel 3). Kemudian ditetapkan titik sampel 1,2,3 yang merupakan titik sampel di daerah Hutan Kota dan titik sampel 4,5,6 yang merupakan titik sampel di daerah lingkungan kampus (Gambar 6). U 10 100 m KETERANGAN = sampel perbungaan = titik sampel hutan PNJ = daerah sampel hutan kota = garis transek = titik sampel hutan karet MIPA = titik sampel hutan karet FISIP Gambar 3.2. Peta pengambilan sampel perbungaan [Sumber: Dokumentasi pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 28 3.3.2.2. Pengambilan sampel Sampel di daerah hutan kota diambil menggunakan metode transek garis dengan mengikuti jalur yang sudah tersedia. Ditarik garis sepanjang 5 meter ke kiri dan kanan jalur. Pengamatan dilakukan pada setiap 100 meter dan jarak dari satu plot ke plot yang lain berjarak 100 meter. Sampel di dalam kampus diambil dengan metode transek kuadrat. Tiap-tiap titik sampel terdapat 100 kuadrat unit sampel seluas 2x2 meter yang ditentukan secara random. Hal tersebut dilakukan karena daerah hutan kota memiliki lokasi yang luas dan berdasarkan pengamatan pendahuluan jumlah populasi A. variabilis di lokasi tersebut sedikit (Tabel 3). Sebaliknya, lokasi di lingkungan kampus memiliki lokasi yang terbatas dan terfragmentasi. Keberadaan A. variabilis di lokasi tersebut berkelompok dalam jumlah relatif banyak di tiap lokasi. Penghitungan jumlah individu pada setiap unit sampel di setiap lokasi dimaksudkan untuk menentukan frekuensi dan pola sebaran. Kelimpahan ditentukan dengan menentukan persentase dominansi. Setiap lokasi ditandai dengan menggunakan GPS (Global Positioning Syetem) pada Aplikasi Google EarthTM. Gambaran sebaran populasi Amorphophallus variabillis disajikan dalam bentuk peta pola sebaran. = titik sampel = unit sampel berukuran 2x2 meter (ditentukan secara acak) berjumlah Gambar 3.3 Unit sampel pada metode transek kuadrat [Sumber : Dokumentasi pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 29 100 m Keterangan : Lokasi 1 -- 3 menggunakan metode sampel kuadrat Lokasi 4 -- 6 menggunakan metode transek garis Gambar 3.4. Peta lokasi pengambilan sampel studi populasi [Sumber : Pencitraan Google Earth 4 April 2010] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 30 5m 100 m 5m = titik sampel = garis transek = titik awal transek = titik akhir transek Gambar 3.5. Unit sampel pada metode transek garis [Sumber : Dokumentasi pribadi] 3.4 ANALISIS DATA 3.4.1 Menentukan pola pertumbuhan perbungaan Pengamatan pengamatan pola pembungaan disajikan dalam bentuk grafik kurva pertumbuhan. Analisi data yang diperoleh berdasarkan pada interpretasi kurva pertumbuhan dengan melihat pola kemiripan dan perbedaan antara peubah yang diamati pada perkembangan bagian-bagian bunga. 3.4.2. Menentukan polinator dan aktivitas polinasi Pengolahan data pengamatan jenis hewan pengunjung disajikan dalam tabel deskriptif yang memuat bangsa, dan suku hewan pengunjung beserta perilakunya. Data pengamatan aktivitas hewan pengunjung disajikan dalam bentuk grafik kuantitatif persentase posisi hewan pengunjung tiap jenisnya di Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 31 perbungaan. Data tersebut menampilkan jenis hewan yang berperan dalam penyerbukan atau sebagai polinator. Jenis hewan diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan identifikasi. Hubungan antara panjang perbungaan dengan jumlah total serangga disajikan dalam grafik garis (Gibernau 1999: 5). 3.4.3. Menentukan kelimpahan dan pola sebaran Kelimpahan Amorphophallus variabilis ditentukan dengan menentukan dominansi dan frekuensi. Pola sebaran populasi ditentukan pendekatan menentukan Indeks Sebaran Morosita yang terstandarisasi. Indeks Morisita (I p) dengan nilai nol menggambarkan pola sebaran yang acak, nilai diatas nol menggambarkan pola sebaran mengelompok dan nilai dibawah kan pada interpretasi kurva pertumbuhan dengan nol menggamarkan pola seragam (Krebs: 271). Indeks Morosita dihiitung menggunakan program Ecological Methods versi 6.1. 3.4.4. Menentukan hubungan panjang osmofor dan diameter spatha dengan jumlah hewan pengunjung Hubungan panjang osmofor dan diameter spatha dengan jumlah hewan pengunjung digunakan untuk menentukan faktor yang memengaruhi datangnya hewan pengunjung ke perbungaan. Hubungan tersebut digambarkan dalam kurva regresi linier yang dibuat menggunakan program SPSS 16.0. Kurva yang menunjukkan hasil positif menunjukkan adanya hubungan antara faktor-faktor tersebut. 3.4.5 Analisis kesamaan habitat berdasarkan karakter morfologi Analisis tersebut menggunakan data ukuran panjang dan diameter dari tumbuhan dan data lingkungan yaitu intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban. Dendogram yang dihasilkan dijelaskan secara deskriptif dengan membandingkan 2 hasil yang didapat. Dendogram dibuat dengan metode Morisita, yang merupakan salah satu metode dalam menentukan similaritas. Data dihitung Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 32 menggunakan program Multivariat Statistical Programme (MVSP) berikut dendogram dari data yang telah dihitung. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Penelitian dilakukan pada kawasan Kampus Universitas Indonesia Depok (06 o20‘ -- 06 o23‘ LS dan 106 o49‘ -- 106 o 50 BT‘). Lokasi penelitian dibagi menjadi 6 (enam) lokasi. Lokasi 1, 2, dan 3 merupakan vegetasi yang terfragmentasi di antara bangunan-bangunan fisik. Lokasi 1 terletak di sisi barat laut Fakultas MIPA, lokasi 2 di area kampus PNJ, lokasi 3 di hutan karet di seberang Kampus Fakultas Psikologi. Lokasi 4--6 terletak di area Hutan Kota Universitas Indonesia. Penetapan lokasi 1--6 sebagai tempat pengambilan data penelitian berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan pada bulan Agustus-Oktober di lokasi tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat populasi Amorphophallus variabilis di lokasi 1--6 (Gambar 4.1). Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan, diambil data populasi A. variabilis berupa pola sebaran, frekuensi, dominansi, dan jumlah individu / m2. Sampel A. variabilis sebanyak 20 di setiap lokasi untuk mengetahui fenologi perbungaan serta proses polinasi yang terjadi (Gambar 4.2--4.3) Jumlah Gambar 4.1. Hasil pengamatan pendahuluan terhadap jumlah populasi A. variabilis di kawasan UI Depok 33 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 34 = No. Lokasi = No. Sampel Perbungaan Gambar 4.2. Pemetaan Lokasi Sampel Perbungaan (Lokasi 1--3) [Sumber: Aplikasi Google Earth: 4 November 2010] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 35 = No. Lokasi = No. Sampel Perbungaan Gambar 4.3. Pemetaan Lokasi Sampel Perbungaan (Lokasi 4--6) [Sumber: Aplikasi Google Earth: 4 November 2010] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 36 Lokasi 1--3 merupakan kawasan yang didominasi vegetasi pohon karet (Hevea brasiliensis) dengan vegetasi perdu dan herba sebagai tumbuhan penutup. Lokasi 4--6 merupakan kawasan Hutan Kota Universitas Indonesia yang merupakan vegetasi hutan sekunder. Kawasan tersebut didominasi oleh vegetasi pohon akasia (Acacia mangium dan Acacia auriculiformis). Karakteristik keenam lokasi tidak jauh berbeda. Hal tersebut dibuktikan dalam dendogram hasil dari uji statistik dengan komponen pembanding berupa data suhu udara, kelembaban, dan intensitas cahaya pada tiap lokasi (Gambar 4.4). Berdasarkan hasil uji kesamaan dengan Indeks kesamaan Morisita, terdapat dua kelompok yaitu Lokasi 1, 2, dan 3 dan Lokasi 4, 5, dan 6. Derajat kesamaan dari masing- masing kelompok adalah 95.2 %. Lokasi 1,2, dan 3 memiliki 100 % derajat kesamaan, sedangkan lokasi 4, 5, dan 6, tterbagi erbagi menjadi 2 kelompok yaitu lokasi 6 dengan dan lokasi 4, dan 5 dengan derajat kesamaan 99,2 %. u Dendogram ram perbedaan lokasi berdasarkan lingkungan Gambar 4.4. Dendog Suhu di keenam lokasi berkisar antara 32--33.5 oC di siang hari dan 28--30 o C di sore hari. Kelembaban udara berkisar antara 71--76% di siang hari dan meningkat pada sore harinya menjadi 77--82 %. Pengamatan aktivitas serangga pada perbungaan dilakukan pada sore hari karena suhu dan kelembaban lebih tinggi dibandingkan siang hari. Berdasarkan pengamatan osmofor mengeluarkan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 37 aroma yang menarik serangga pada sore hari pukul 17.00--19.00. Suhu dan kelembaban yang tinggi diduga memengaruhi pengeluaran aroma dari osmofor. Pengukuran intensitas cahaya menunjukkan terdapat perbedaan antara Lokasi 1--3 dan Lokasi 4--6. Lokasi 1--3 memiliki rata-rata intensitas cahaya lebih dari 700--790 Candela sedangkan rata-rata intensitas cahaya pada Lokasi 4-6 berkisar antara 200--263 Candela (Gambar 4.5). Perbedaan intensitas cahaya pada Lokasi 1--3 dan 4--6 disebabkan oleh Lokasi 1--3 yang merupakan vegetasi di antara bangunan fisik kampus, lebih terbuka dengan tingkat akuisisi cahaya matahari yang lebih tinggi dibandingkan dengan Lokasi 4--6. Lokasi 4--6 merupakan kawasan hutan kota dengan taju tajuk k kanopi yang relatif rindang sehingga menghalangi akuisisi cahaya hingga ke lantai hutan. Gambar 4.5. Perbedaan karakter lingkungan (Suhu, Kelembaban, dan Intensitas Cahaya) pada lokasi penelitian Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 38 4.2. KARAKTERISTIK FASE GENERATIF Amorphophallus variabilis 4.2.1. Batang Karakteristik batang perbungaan dari hasil pengamatan memiliki permukaan yang halus, berwarna hijau sampai hijau kecokelatan, bercorak polos hingga memiliki bercak berbentuk bulat atau lonjong berwarna putih hingga kekuningan (Gambar 4.6). Panjang batang dari keseluruhan inividu A. variabilis yang diamati berkisar antara 5.2 ----160 cm dengan diameter 0.05 cm --2.3 cm. Panjang batang perbungaan sewaktu anthesis berkisar antara 45.8--160 cm dengan diameter 0.7 --2.3 cm. cokelat bercak putih Hijau bercak putih 1 cm 1 cm Hijau bercak putih dan hitam Hijau kecokel atan bercak putih Hijau kecokel atan 1 cm Hijau kecokel atan bercak putih Hijau polos 1 cm 1 cm Hijau kecokel atan 1 cm 1 cm Hijau kecokel atan bercak putih 1 cm 1 cm Gambar 4.6. Ragam batang A. variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 39 4.2.2. Umbi Umbi Amorphophallus variabilis berbentuk seperti tanaman talas (Colocasia esculenta Schott.) dan keladi (Caladium bicolor (Ait.) Vent.). Ukuran umbi yang terbentuk tergantung pada proses fotosintesis yang terjadi sehingga faktor lingkungan seperti cahaya, udara, air, dan tanah menjadi sangat penting (Rochedi 2004: 4). Umbi A. variabilis dalam fase generatif yang diamati memiliki diameter berkisar antara 7.5 --12.7 cm. Daging umbi berwarna putih dengan kulit berwarna putih kecokelatan dan terdapat beberapa mata tunas pada permukaan umbi (Gambar 4.7). Massa umbi maksimum bisa mencapai 1.5 kg (Jansen dkk. 1996: 47). Massa umbi dipengaruhi oleh tinggi tumbuhan dan proses fotosintesis yang terjadi. Massa umbi akan bertambah seiring dengan bertambahnya tinggi tumbuhan dan bertambahnya akitvitas fotosintesis. Faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan kandungan air dalam tanah memengaruhi proses fotosintesis (Rochedi 2004: 4). Tumbuhan pada intensitas cahaya yang sedikit atau berada pada naungan memiliki ukuran umbi yang relatif lebih kecil. Tumbuhan pada naungan memiliki ukuran batang yang relatif lebih kecil dengan kondisi xylem yang kurang berkembang. Protein stroma total pada kloroplas juga lebih sedikit. Stroma mengandung berbagai enzim untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat terutama dalam bentuk pati (Salisbury & Ross: 76). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 40 A B Diameter: 15 cm (A-B) C D Diameter: 30 cm (C-D) Gambar 4.7. Ragam umbi A. variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] 4.2.3. Osmofor Osmofor merupakan organ perbungaan yang merupakan modifikasi dari tongkol perbungaan yang menghasilkan gas ammonia yang menghasilkan aroma busuk sehingga dapat menarik penyerbuk (pollinator) (Dudareva dan Pichersky 2006: 158; Beath1996: 5). Berdasarkan penelitian Rochedi (2004: 14) panjang osmofor sewaktu anthesis berkisar antara 9.5 --39.2 cm. Berdasarkan pengamatan, panjang osmofor pada perbungaan sewaktu anthesis berkisar antara 12.4 -- 39.4 cm dengan diameter 1.2 cm--3.1cm sewaktu anthesis. Osmofor pada lokasi pengamatan memiliki karakteristik berbentuk bulat dengan ujung yang lancip, ada yang berbentuk tidak normal dengan ujung melengkung. Permukaan yang berbintik dan memiliki warna yang beragam seperti kekuningan, coklat kemerahan, dan ungu kemerahan (Gambar 4.8). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 41 A B E 5 cm 5 cm 5 cm 5 cm D C F 5 cm A. Osmofor berwarna cokelat kemerahan B. Osmofor berwarna putih kekuningan C. Osmofor berwarna ungu kemerahan D. Osmofor berwarna kuning 5 cm E--F. Osmofor dengan Bentuk tidak normal Gambar 4.8. Ragam osmofor A. variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] 4.2.4. Spatha Spatha berbentuk seperti cawan berkaitan dengan fungsinya dalam proses penyebaran serbuk sari dari bunga jantan ke bunga betina dan menyediakan kelembaban yang sesuai bagi serangga pengunjung yang terjebak di dalamnya (Hetterscheid dan Ittenbach 2003: 7—9). Berdasarkan hasil pengamatan,panjang spatha pada perbungaan yang diamati berkisar antara 5 --22.4 cm dengan diameter 1.3--4.1 cm. Spatha pada perbungaan yang diamati memiliki warna hijau kekuningan, bagian bawah berbintik putih dengan corak yang beragam (Gambar 4.9). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 42 1 cm 1 cm 1 cm 1 cm 1 cm 1 cm 1 cm Spatha dengan warna hijau kekuningan dan corak polos 1 cm 1 cm Spatha dengan warna putih kehijauan dengan corak bintik hitam dan putih Spatha dengan warna putih kehijauan dengan corak bintik putih Gambar 4.9. Ragam spatha A. variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] 4.2.5. Perbungaan Jantan Perbungaan jantan terletak di atas bunga betina. Perbungaan jantan yang sedang dalam masa anthesis berwarna putih kekuningan hingga berwarna kecokelatan ketika mengeluarkan serbuk sari . Perbungaan jantan akan mengering dan berwarna cokelat kehitaman ketika proses polinasi telah terjadi (Gambar 4.10). Perbungaan jantan menghasilkan serbuk sari yang berperan dalam proses penyerbukan (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7--9). Panjang bunga Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 43 jantan pada perbungaan yang diamati berkisar antara 2.2--6.8 cm dengan diameter 1.1--3.1 cm sewaktu anthesis 0.5 cm 0.5 cm bunga jantan serbuk sari Gambar 4.10. Bentuk perbungaan jantan A. variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] 4.2.6. Perbungaan betina Perbungaan betina terdiri dari bunga-bunga betina yang masing-masing terdiri atas bakal buah dan stigma. Bunga betina berwarna kuning pada kepala putik dan berwarna hijau pada bakal buah (Gambar 4.11). Panjang bunga betina pada perbungaan yang diamati berkisar 2--5 cm dengan diameter 1.1--2.8 cm sewaktu anthesis. Selama proses pematangan buah, panjang dan diameter bunga betina semakin bertambah. Rochedi (2004:14) menyatakan bahwa panjang bunga betina sewaktu anthesis berkisar antara 1.2--3.5 cm dengan diameter 1,2--2.1 cm. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 44 Bakal buah Kepala bunga betina (stigma) Gambar 4.11. Bentuk perbungaan betina A. variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] 4.2.7. Perbuahan Perbuahan A. variabilis terdapat di atas tangkai perbungaan yang relatif panjang. Karakter tangkai perbungaan sama dengan tangkai daun dan bunga. Buah duduk langsung (sessil) pada tongkol bunga. Buah tipe beri ketika muda berwarna hijau dan berwarna jingga bergradasi hingga merah ketika matang. Biji polos berwarna hitam, lonjong, jumlah 2--3 di setiap buah. Diameter buah pada perbuahan yang diamati berkisar antara 1--3 mm. Buah yang belum matang berwarna hijau selanjutnya bergradasi warna dari kuning hingga merah sesuai kematangan tingkat . Pematangan buah lebih dahulu terjadi pada bagian ujung tongkol sehingga menghasilkan gradasi warna dari merah hingga hijau dalam bagian atas hingga pangkal perbuahan (Gambar 4.12) Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 45 Buah masak Buah muda Gambar 4.12. Bentuk perbuahan A. variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] Tabel 4.1.. Karakteristik fase generatif A. variabilis di Kawasan Universitas Indonesia, Depok berdasarkan hasil pengamatan Batang Panjang (cm) Diameter (cm) Warna Panjang (cm) Diameter (cm) Osmofor Warna Spatha Panjang (cm) Diameter (cm) Warna 5.2--160 0.05--2.3 Hijau polos s.d. hijau kecoklatan dengan bintik putih kekuningan 12.4--39.4 1.2--3.1 beragam seperti kekuningan, cokelat kemerahan dan ungu kemerahan 5--22.8 1.3--4.1 Hijau kekuningan dengan bagian bawah bebintik putih, bagian dalam putih 2.2--6.8 1.1--3.1 putih kekuningan s.d kecokelatan Bunga Jantan Panjang (cm) Diameter (cm) Warna Bunga Betina Panjang (cm) Diameter (cm) Warna 2--5 1.1--2.8 berwarna kuning pada kepala bagian dasar hijau Umbi Diameter (cm) 7.5--12.7 Kulit umbi putih kecokelatan Daging umbi putih Warna Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 46 4.3. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PERBUNGAAN Pertumbuhan dan perkembangan perbungaan terdiri atas dua fase. Fase pertama adalah fase pertumbuhan bunga sampai awal pembentukan buah dan fase kedua adalah fase pematangan buah (Gambar 4.13). Fase pertama pertumbuhan bunga dimulai dari munculnya kuncup bunga hingga terjadinya polinasi dan berlangsung berlangsung selama 9--10 hari. Fase kedua atau fase pematangan buah dimulai dari proses penyerbukan selesai hingga buah matang seluruhnya dan berlangsung selama 2--3 pekan. Selama fase pertumbuhan bunga, terjadi pertumbuhan yang cepat yaitu di hari ke-6 hingga ke-8, yaitu pertumbuhan dari kuncup hingga mekarnya spatha. Awal pembentukan buah diawali dengan mekarnya spatha yang diikuti dengan bunga perbungaan betina yang mekar (reseptif) yang ditandai oleh adanya lendir di permukaan kepala bunga betina (stigma). Pada hari ke-2 setelah spatha mekar mulai tercium aroma yang dihasilkan oleh osmofor. Aroma yang dihasilkan mirip dengan aroma daging busuk. Aroma dihasilkan selama 4--5 hari dan akan berakhir ketika osmofor mulai mengering. Aroma pada bunga dapat tercium sekitar pukul 16.30--19.00. Berdasarkan pengamatan, puncak penyebaran aroma terjadi antara pukul 17.30--18.00 dengan radius mencapai jarak 10 meter. Secara keseluruhan selama 4--5 hari munculnya, aroma yang terkuat yang dihasilkan oleh osmofor adalah pada hari ke-2 hingga hari ke-3 bersamaan dengan reseptifnya perbungaan betina dan perbungaan jantan yang mengeluarkan serbuk sari. Osmofor merupakan organ perbungaan yang merupakan modifikasi dari tongkol perbungaan yang berisi gas-gas yang menghasilkan tekanan osmotik yang dapat menyebarkan aroma. Gas yang dihasilkan osmofor adalah gas-gas dari senyawa sulfur yang panas dan mudah menguap. Belum diketahui secara rinci jenis gas yang dihasilkan oleh jenis A. variabilis. Jenis Amorphophallus rivieri menghasilkan berbagai gas yang mengandung nitrogen yaitu amoniak, trimetilamina dan skatole. Gas-gas tersebut menguap di sore hari dan mengundang serangga untuk mengunjungi perbungaan (Dudareva & Pichersky 2006: 158; Beath 1996: 5). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 47 Faegri & Pijl (1971) dalam Rochedi (2004: 23) menyatakan bahwa aroma yang dihasilkan oleh tumbuhan disebabkan oleh adanya uap panas yang dihasilkan dari proses respirasi tumbuhan. Uap panas yang dihasilkan karena adanya proses respirasi resisten-sianida pada mitokondria. Oksidase akhir dari proses respirasi resisten-sianida memiliki afinitas terhadap O2 yang lebih rendah dari sitokrom oksidase dan memiliki sedikit fosforilasi oksidatif (Salisbury & Ross: 192) . Hal tersebut yang menyebabkan gas-gas dari uap panas yang dihasilkan osmofor A. variabilis dilepas pada sore hari hingga malam hari ketika proses respirasi mulai lebih dominan daripada fotosintesis. Proses penyerbukan (polinasi) terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 mekarnya spatha ketika serbuk sari mulai dilepaskan oleh perbungaan jantan dan perbungaan betina masih reseptif. Sehari setelahnya, bunga betina sudah tidak reseptif lagi dan terjadi penumpukan serbuk sari di permukaan dalam spatha akibat perbungaan jantan yang masih mengeluarkan serbuk sari. Proses tersebut terjadi selama 1--2 hari hingga terjadinya pengeringan pada perbungaan jantan, osmofor, dan spatha. Fase kedua yaitu fase pematangan buah terjadi setelah terjadi polinasi pada perbungaan betina. Kepala bunga betina akan berubah warna dari kuning menjadi kehitaman dan diameter serta tinggi perbungaan betina meningkat, menandai perbungaan betina telah terbuahi. Bakal buah terus membesar disertai dengan keringnya osmofor, bunga jantan dan spatha. Proses pematangan buah terjadi selama 2--3 pekan hingga seluruh buah masak. Terjadi perubahan warna pada buah yaitu dari hijau menjadi merah, pada fase pematangan buah. Hal tersebut sama dengan yang dinyatakan oleh Sufiani (1993: 14) yang menyatakan bahwa buah berwarna hijau pada saat muda dan berwarna merah pada saat tua. Jumlah biji yang dihasilkan sebanyak 1--3 biji di setiap buah. Fase generatif A. variabilis relatif lebih singkat daripada fase vegetatif. Fase generatif dari satu individu A. variabilis selama maksimal 30 hari lebih singkat daripada fase vegetatif yang terjadi selama beberapa bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa fase vegetatif A. variabilis lebih dominan dari fase generatif. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 48 Menurut Edmon dkk. (1957: 177), terdapat pola keseimbangan pertumbuhan antara fase vegetatif dan generatif tumbuhan yang dibagi menjadi 3 jenis: 1. Fase vegetatif lebih dominan dari fase generatif. Tumbuhan akan lebih banyak memanfaatkan karbohidrat pada keadaan tersebut. 2. Fase generatif lebih dominan dari fase vegetatif. Tumbuhan akan lebih banyak menyimpan karbohidrat padaa keadaan tersebut. 3. Fase vegetatif dan fase generatif pada keadaan yang seimbang. Jumlah karbohidrat yang disimpan sama dengan yang dimanfaatkan. Tumbuhan A. variabilis lebih banyak memanfaatkan karbohidrat, sehingga tumbuhan bergantung kepada umbi yang mengandung karbohidrat dalam pertumbuhannya. Pemanfaatan karobohidrat sebagai sumber energi lebih banyak pada fase generatif dibanding fase vegetatif. Hal tersebut menyebabkan bobot umbi pada fase generatif relatif lebih besar dibandingkan pada fase vegetatif. Menurut Edmond dkk. (1957: 182), fase reproduktif pada tumbuhan memiliki beberapa tahapan yaitu pembentukan dan perkembangan tangkai, bunga, buah, dan biji. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap tangkai, perbungaan, dan osmofor menunjukkan bahwa terjadi perkembangan organ-organ tersebut selama fase reproduktif. Perkembangan tangkai berdasarkan tinggi dan diameternya menunjukkan perkembangan yang fluktuatif, yaitu mengalami pertambahan ukuran di awal fase dan penyusutan ukuran di akhir fase reproduksi. Perkembangan fluktuatif pada tinggi dan diameter osmofor, perbungaan jantan, dan spatha. Hal yang sama terjadi terjadi pada panjang dan diameter perbungaan betina, akan tetapi perbungaan betina terus menunjukkan pertambahan ukuran hingga akhir fase. Hal tersebut menunjukkan telah terjadi pembuahan pada bunga betina sehingga terjadi pertambahan ukuran bakal buah dan terus berkembang menjadi buah. Grafik perkembangan bagian perbungaan terdapat dalam Gambar 4.14--4.23. Perkembangan fluktuatif juga terjadi pada panjang dan diameter perbungaan betina, akan tetapi perbungaan betina terus menunjukkan pertambahan ukuran diamter dan hingga akhir fase. Hal tersebut, menunjukkan telah terjadi pembuahan pada bunga betina sehingga terjadi pertambahan ukuran bakal buah dan terus berkembang menjadi buah. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 49 Pertumbuhan hari ke6--8 Mulai kuncup Pertumbuhan cepat Spatha mekar dan bunga betina masak 8--9 9--10 Mulai muncul aroma dari osmofor Serbuk sari dilepas 10--11 Bunga betina tidak reseptif 11--14 Spatha, bunga jantan, dan osmofor mengering Fase pematangan buah (2--3 pekan) Buah masak dan menghasilkan biji Gambar 4.13. Diagram waktu pertumbuhan Amorphophallus variabilis [Sumber: Dokumentasi pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 50 100 90 Ukuran (cm) 80 70 60 y = -1,791x + 87,18 R² = 0,756 50 Tinggi total 40 30 Linear (Tinggi total) 20 10 0 0 2 4 6 8 10 Perbungaan mekar hari ke- Axis Title Gambar 4.14. Grafik pertumbuhan tinggi total perbungaan 1,18 1,16 1,14 1,12 1,1 1,08 1,06 1,04 1,02 1 0,98 0,96 y = 0,016x + 1,022 R² = 0,629 diameter petiolus Linear (diameter petiolus) 0 2 4 6 8 10 Axis Title Gambar 4.15. Grafik pertumbuhan diameter perbungaan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 51 30 Ukuran (cm) 25 20 15 Panjang Osmofor 10 Linear (Panjang Osmofor) 5 y = -2,954x + 30,74 R² = 0,844 0 0 2 4 6 8 10 Perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.16. Grafik pertumbuhan panjang osmofor 2,5 y = -0,184x + 2,110 R² = 0,878 Ukuran (cm) 2 1,5 diameter osmofor 1 Linear (diameter osmofor) 0,5 0 0 2 4 6 8 10 Perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.17. Grafik pertumbuhan diameter osmofor Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 52 18 16 y = -1,884x + 18,53 R² = 0,956 14 Ukuran (cm) 12 10 8 Panjang Spatha 6 Linear ( Panjang Spatha) 4 2 0 0 2 4 6 8 10 Perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.18. Grafik pertumbuhan panjang spatha 3 ukuran (cm) 2,5 y = -0,255x + 3,064 R² = 0,836 2 1,5 diameter spatha Linear (diameter spatha) 1 0,5 0 0 2 4 6 8 10 Perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.19. Grafik pertumbuhan diameter spatha Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 ukuran (cm) 53 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 y = -0,209x + 4,761 R² = 0,845 Panjang perbungaan jantan Linear (Panjang perbungaan jantan) 0 2 4 6 8 10 Perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.20. Grafik pertumbuhan panjang bunga jantan 1,6 y = -0,093x + 1,600 R² = 0,791 1,4 ukuran (cm) 1,2 1 0,8 diameter perbungaan jantan 0,6 Linear (diameter perbungaan jantan) 0,4 0,2 0 0 2 4 6 8 10 perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.21. Grafik pertumbuhan diameter bunga jantan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 54 4 3,5 ukuran (cm) 3 2,5 y = 0,099x + 2,950 R² = 0,974 2 panjang perbungaan betina 1,5 Linear (panjang perbungaan betina ) 1 0,5 0 0 2 4 6 8 10 Perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.22. Grafik pertumbuhan panjang perbungaan betina 2,5 ukuran (cm) 2 y = 0,051x + 1,606 R² = 0,993 1,5 diameter perbungaan betina 1 Linear (diameter perbungaan betina) 0,5 0 0 2 4 6 8 10 perbungaan mekar hari ke- Gambar 4.23. Grafik pertumbuhan diamater perbungaan betina Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 55 4.4. SERANGGA PENGUNJUNG PERBUNGAAN 4.4.1. Jenis Serangga Pengunjung Perbungaan Berdasarkan hasil analisis serangga yang dilakukan menggunakan buku identifiksi serangga the science of Entomology (Romoser & Stofolano, 1998), diperoleh hasil bahwa serangga yang mengunjungi perbungaan di setiap lokasi pengamatan adalah kumbang dari suku Nitidulidae dan Endomychidae, lalat dari suku Anthomyiidae, Tachynidae dan Drosophylidae, nyamuk dari suku Culicidae kecoak dari suku Blattidae, dan semut (suku Formicidae). Kumbang (suku) umumnya ditemukan pada jaringan tumbuhan yang mulai membusuk atau pada bangkai hewan. Romoser & Stoffolano (1998:543-547) menyatakan bahwa suku Nitidulidae termasuk dalam ordo Coleoptera. Kumbang dari sulu Nitidulidae yang ditemukan selama pengamatan berukuran panjang 3--4 mm, rangka luar dan elitra berwarna merah kecokelatan, memiliki antena seperti gada pada bagian ujungnya. Ukuran kumbang dari suku Nitidulidae yang diamati relatif lebih besar daripada kumbang jantan. Suku Nitidulidae memiliki ciri morfologi yaitu memiliki segman tarsal sejumlah 4 segmen, segmen 1--3 berukuran sama dan berseta sedangkan segmen ke-4 berukuran lebih kecil dari ketiga segmen tersebut dan tidak berseta, serta elitra tidak sepenuhnya menutupi abdomen (Gambar 4.24) (Romoser & Staffolano 1998: 547). 5 mm 1 mm Gambar 4.24. Kumbang dari suku Nitidulidae [Sumber: Dokumentasi pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 56 Kumbang dari suku Endomychidae pada umumnya menyukai tempattempat yang lembab. Hal tersebut karena, kumbang dari suku Endomychidae menjadikan jamur sebagai sumber pangan. Kumbang dari suku Endomychidae pada umumnya ditemukan pada tumbuhan atau hawan mati dan pada serasah dedaunan yang memungkinkan ditumbuhi jamur (Campbell 2008: 1). Suku Endomychidae memiliki ciri morfologi yaitu memiliki elitra yang menutupi seluruh bagian abdomen, dan memiliki susunan jumlah tarsal 4-4-4 atau 3-3-3 (Gambar 4.25) (Romoser & Staffolano 1998: 549). Kumbang dari suku Endomychidae yang ditemui memiliki rangka luar dan elitra yang berwarna hitam dengan ukuran panjang tubuh 12 mm. Kumbang dari suku Nitidulidae dan suku Endomychidae merupakan pemakan material organik (scavanger). Kumbang mengonsumsi material organik seperti serbuk sari, sisa organ tumbuhan yang mati dan jamur, dengan cara mengunyah. Menurut Faegri & Pijl (1973) dalam Rochedi (2004: 24), strukutur mulut pada beberapa jenis kumbang mengalami modifikasi menyesuaikan fungsinya untuk mengunyah makanan. Jenis lalat yang ditemukan selama pengamatan adalah dari suku Anthomyiidae, Drosophyliidae, dan Tachinideae (ordo Diptera). Suku Anthomyiidae dan Tachinidae pada umumnya menyukai habitat yang dekat dengan habitat manusia. Suku Anthomyiidae memiliki larva yang pada umumnya menjadi hama bagi tanaman pertanian. Larva suku Anthomyiidae (Gambar 4.26) adalah pemakan daun (phytophagous), sedangkan lalat dewasa adalah pemakan material organik. Suku Tachinidae memiliki ciri khas yaitu terdapat seta pada kaki belakangnya. Sifat lalat dari suku Tachinidae mirip seperti lebah, mampu menjadi agen penyerbuk karena seta pada kaki belakangnya mampu membawa serbuk sari. Larva suku Tachinidae adalah parasitoid, yaitu parasit di Arthropoda lain. Lalat dari suku Drosophyliidae disebut juga sebagai lalat buah. Lalat dari suku Drosophyliidae teramati terbang di sekitar osmofor yang sedang mengeluarkan aroma, sebab lalat tersebut menyukai bagian-bagian tumbuhan yang membusuk dan menjadikan bagian tumbuhan tersebut sebagai tempat berkembang biak (Romoser & Stoffolano 1998: 403). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 57 10 mm 10 mm 10 mm Gambar 4.25. Kumbang dari suku Endomychidae [Sumber: Dokumentasi pribadi] 2.5 mm 5 mm Gambar 4.26. Lalat dari suku Anthomyiidae [Sumber: Dokumentasi pribadi] Nyamuk (suku Culicidae) merupakan anggota dari ordo Diptera (Romosen & Stoffolano 1998: 183). Nyamuk dewasa memiliki proboscis (organ penghisap) Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 58 yang panjang, serta memiliki dua sayap yang memanjang (Gambar 4.27). Sebagian besar nyamuk dewasa memakan darah manusia atau vertebrata lain (Romosen & Stoffolano 1998: 402). Kecoa atau suku Blattidae merupakan anggota dari ordi Blattaria, memiliki panjang tubuh 18 mm atau lebih (Romoser & Stoffolano 1998: 365). Ciri khusus dari suku Blattidae adalah pada individu wanita memiliki pemanjangan subgenital yang membujur di ujung abdomen (Gambar 4.28). Kecoa dari suku Blattidae merupakan serangga pemakan material organik (scavanger) juga berperan sebagai detritivor dan menyukai tempat-tempat yang relatif kotor (Romoser & Stoffolano: 356;536). Semut atau suku Formicidae merupakan anggota dari ordo Hymenoptera. gian Suku Formisidae merupakan serangga yang hidup berkoloni (Gambar 4.29). Suku Formicidae teramati memakan material organik seperti polen dan bagian perbungaan yang membusuk. Semut memakan jamur yang diperoleh dari material organik yang dikumpulkan baik dari bahan tumbuhan atau hewan yang telah mati. Oleh sebab itu, semut tertarik pada tumbuhan dan hewan yang telah mati, atau memiliki sifat yang serupa (Romoser & Stoffolano 1998:236--237). 5 mm Gambar 4.27. Nyamuk dari suku Culicidae [Sumber: Dokumentasi pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 59 5 mm 5 mm Gambar 4.28. Serangga dari suku Blattidae [Sumber: Dokumentasi pribadi] 5 mm Gambar 4.29. Serangga dari suku Formicidae [Sumber: Dokumentasi pribadi] 4.4.2. Aktivitas serangga pengunjung perbungaan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ketika sampel perbungaan mulai mengeluarkan bau yaitu dari pukul 17.00 hingga 19.00, aktivitas dari serangga yang mengunjungi perbungaan, terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1. Serangga pengunjung bunga jantan 2. Serangga pengunjung bunga betina 3. Serangga pengunjung osmofor 4. Serangga yang berada di sekitar perbungaan (jarak minimum 30 cm) Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 60 Serangga dari suku Nitidulidae, Endomychidae, Anthomyiidae, Tachinidae, Blattidae dan Formicidae tercatat dominan mengunjungi bunga jantan dan betina. Serangga dari suku Culicidae dominan mengunjungi osmofor. Serangga dari suku Drosophiliidae dominan berada di sekitar perbungaan. Serangga yang beraktivitas pada bunga jantan dan betina berpotensi membantu proses penyerbukan. Berdasarkan pengamatan, serangga dari suku Nitidulidae, Endomychidae, dan Tachinidae membantu proses penyerbukan dengan membawa serbuk sari yang menempel pada bagian tubuh dan menempelkannya pada kepala bunga betina. Serangga dari suku Anthomyiidae, Blattidae dan Formicidae tidak teramati membantu proses penyerbukan. Aktivitas serangga pengunjung perbungaan antara lain berkeliaran di antara perbungaan jantan dan betina, memakan serbuk sari, atau melakukan proses reproduksi seperti yang dilakukan kumbang dari suku Nitidulidae. Kumbang dari suku Nitidulidae teramati melakukan proses reproduksi mulai dari kawin (mating), bertelur, hingga menetaskan larva di dalam cawan perbungaan (Gambar 4.4.7.). Faegri & Pijl (1971) dalam Rochedi (2004: 26) menyatakan bahwa ada 2 faktor yang menyebabkan serangga tertarik untuk mendatangi bunga yaitu serbuk sari sebagai sumber pakan (faktor primer) dan aroma serbuk sari serta aroma selama pembungaan (faktor sekunder). Serbuk sari Amorphophallus variabillis memiliki kandungan protein 16--30 %, pati 1--7 %, gula 0--15%, lemak 3--10 % dan debu 1--9 % (Ham 2005: 260). Aktivitas dan karakteristik serangga pengunjung perbungaan menunjukkan kesamaan diantara jenis serangga tersebut. Serangga mengunjungi perbungaan A. variabilis dikarenakan aroma seperti hewan mati yang dikeluarkan oleh osmofor selama beberapa hari. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bown (1988: 147) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang merangsang serangga untuk mendatangi bunga adalah aroma yang dihasilkan oleh perbungaan. Serangga yang beraktivitas di perbungaan jantan dan betina di dalam spatha, terperangkap di dalam spatha. Serangga yang terperangkap antara lain adalah dari suku Nitidulidae dan Endomychidae. Kumbang dari suku Nitidulidae yang terperangkap memanfaatkan serbuk sari sebagai sumber pakan dan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 61 melakukan proses reproduksi (Gambar 4.31). Hal tersebut sesuai dengan Pijl (1937: 64) yang menyatakan bahwa serangga penyerbuk A. variabilis terperangkap dan melakukan proses reproduksi di dalam spatha perbungaan. Kumbang dari suku Nitidulidae mendatangi perbungaan ketika osmofor mulai mengeluarkan aroma hingga akhirnya terperangkap di dalam spatha. Kumbang dari suku Nitidulidae baru dapat keluar dari perangkap spatha setelah spatha mengering dan sumber pakan habis. Bersamaan dengan hal tersebut, proses reproduksi kumbang telah selesai dilakukan dengan menghasilkan telur. Kumbang dari suku Endomychidae teramati terperangkap dalam spatha dan mati. Ukuran tubuh yang relatif besar, membuat pergerakannya di dalam spatha terbatas sehingga menghalangi untuk makan dan beraktivitas. Serangga yang dominan mengunjungi perbungaan jantan dan betina adalah dari suku Nitidulidae yaitu 98% di perbungaan jantan dari 100% di perbungaan betina (Gambar 4.30). Dari 20 sampel perbungaan, hanya di 2 perbungaan yang tidak dijumpai keberadaan kumbang dari suku Nitidulidae. Kumbang suku Nitidulidae yang berkunjung kepada 18 sampel perbungaan , umumnya menunjukkan kesamaan dalam pola aktivitas dan waktu kedatangan seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara populasi kumbang dari suku Nitidulidae dengan populasi A. variabilis yang sedang berbunga. Faegri & Pijl (1971) dalam Rochedi (2004: 25) menyatakan bahwa ada keterkaitan antara waktu pembungaan pada tumbuhan dengan jenis serangga yang mengunjungi bunga (pollination agent atau pollen vector). Real (1983) dalam Rochedi (2004: 25) menambahkan bahwa akibat dari keterkaitan tersebut, maka serangga akan menyesuaikan siklus hidupnya dengan waktu pembungaan tumbuhan. Berdasarkan keterkaitan tersebut maka jenis kumbang dari suku Nitidulidae bersifat monothropic artinya mengunjungi satu atau beberapa jenis tumbuhan yang memiliki kesamaan sifat. Pembungaan A. variabilis disebutkan memiliki sifat monophilic yang artinya proses polinasi dibantu oleh satu atau beberapa jenis serangga yang memiliki kesamaan sifat (Rochedi 2004: 26). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 62 Gambar 4.30. Presentase kehadiran hewan pengunjung di perbungaan Jumlah kehadiran Frekuensi kehadiran serangga pengunjung 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Bunga Jantan Bunga Betina Osmofor Sekitar suku serangga pengunjung Gambar 4.31. Frekuensi kehadiran hewan pengunjung di perbungaan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 63 4.4.3. Hubungan jumlah serangga dengan ukuran perbungaan Hasil analisis regresi linier yang menguji hubungan diameter spatha dengan jumlah individu serangga pengunjung menunjukkan nilai R2 = 0.571. Hasil uji stastistik regresi linier yang menguji hubungan panjang osmofor dengan jumlah individu serangga pengunjung menunjukkan nilai R2 = 0.362 (Gambar 4.32--4.33). Jumlah individu serangga pengunjung perbungaan merupakan variabel terikat, sedangkan diameter dan panjang osmofor merupakan variabel bebas. Hasil analisis regresi linear hubungan jumlah individu serangga pengunjung dengan diameter spatha A. variabilis, menunjukkan 57,1 % data, sesuai dengan rumus yang dihasilkan. Hal tersebut berarti, jumlah individu serangga bukan hanya dipengaruhi oleh diameter osmofor. Sebesar 43,9 % kemungkinan, jumlah individu serangga dipengaruhi faktor lain. Hasil uji Analysis of variance (ANAVA) menunjukkan signifikansi dibawah 0.005. Hal tersebut menunjukkan untuk mencapai nilai R2 yang signifikan, sehingga uji regresi linear dapat dilanjutkan dengan penambahan jumlah data (Hartono 2008: 122--123). Hasil uji regresi linear hubungan jumlah individu serangga pengunjung dengan panjang osmofor menunjukkan 36.2 % data, sesuai dengan rumus yang dihasikan. Hal tersebut berarti jumlah serangga pada perbungaan dipengaruhi oleh panjang osmofor hanya 36.2 % kemungkinan. Sebesar 63.8 % kemungkinan, dipengaruhi oleh faktor lain. Data yang diperoleh tidak dapat diteruskan menggunakan uji regresi linear, karena nilai signifikasnsi dalam uji ANAVA di atas 0.05 (Hartono 2008: 122--123). Menurut Bown (1988: 175) strukur spatha pada perbungaan menciptakan kondisi lingkungan (kelembaban dan kehangatan) yang sesuai bagi serangga untuk mencari makanan dan melakukan perkawinan. Ukuran osmofor memengaruhi massa gas yang mengisi rongga osmofor. Semakin besar ukuran osmofor maka semakin banyak massa gas yang dilepas. Akan tetapi, selain diameter spatha dan diameter osmofor, terdapat faktor eksternal yang memengaruhi jumlah kehadiran serangga pada perbungaan A. variabilis. Suhu, Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 64 kelembaban udara, dan ukuran populasi serangga memengaruhi frekuensi kedatangan serangga pada perbungaan (Robacker dkk. 1988: 390--391). A B 5 mm 5 mm C D 3 mm 10 mm A & B = Kawin (mating) C = memakan serbuk sari D = membantu penyerbukan Gambar 4.32. Aktivitas kumbang dari suku Nitidulidae di perbungaan [Sumber: Dokumentasi pribadi] Gambar 4.33. Kurva regresi linier hubungan jumlah individu serangga pengunjung perbungaan dengan diameter spatha Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 65 perbungaan dengan ukuran spatha Gambar 4.34. Kurva regresi hubungan jumlah individu serangga pengunjung perbungaaan dengan panjang osmofor. 4.5. PROSES PENYERBUKAN Proses penyerbukan dari keseluruhan sampel perbungaan yang diamati terjadi secara alami. Proses penyerbukan alami tersebut dibantu dengan angin (anemokori) dan dengan bantuan serangga (entomokori). Proses penyerbukan oleh serangga adalah akibat aktivitas serangga antara lain mencari makan pada bunga, melakukan perkawinan, serta membantu perpindahan serbuk sari. Proses perpindahan serbuk sari dikarenakan serbuk sari menempel pada tubuh serangga. Proses penyerbukan terjadi secara sendiri terjadi pada semua sampel perbungaan yang diamati. Proses penyerbukan sendiri terjadi karena ketika bunga jantan mengeluarkan serbuk sari, bunga betina masih reseptif untuk dibuahi (Gambar 4.34). Seluruh sampel perbungaan yang diamati menghasilkan buah. Akan tetapi, dimungkinkan terjadi transfer serbuk sari secara silang pada beberapa sampel perbungaan yang tumbuh berdekatan. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 66 Serbuk sari mulai dilepas perbungaan jantan pada hari ke- 3 mekarnya spatha. Bunga betina terlebih dahulu mekar dan reseptif sejak hari ke-1 mekarnya spatha. Bunga betina masih reseptif satu hari setelah perbungaan jantan melepaskan serbuk sari untuk untuk pertama kalinya sehingga masih terdapat waktu 1 hari untuk terjadinya polinasi. Perbungaan jantan masih mengeluarkan serbuk sari ketika bunga betina sudah tidak reseptif selama 1--2 hari. Gejala yang terjadi selanjutnya adalah spatha layu dan mengering diikuti oleh osmofor dan bunga jantan (Gambar 4.35). Saat pematangan buah, ukuran bunga betina bertambah besar hingga menjadi buah. Proses pematangan buah terjadi terlebih dahulu dari bagian ujung tongkol perbuahan, sehingga terbentuk gradasi warna. Gradasi warna yang terbentuk adalah warna merah hingga jingga untuk buah yang masak pada bagian ujung dan berwarna kuning hingga hijau untuk buah yang belum masak semakin ke bagian pangkal (Gambar 4.36). Jumlah buah dan biji yang terbentuk dari proses penyerbukan tergantung pada jumlah serbuk sari yang menempel perbungaan betina (Rochedi 2004: 27). Serbuk sari dari perbungaan jantan jatuh ke bagian bawah perbungaan karena bantuan angin. Serbuk sari A. variabilis bertekstur halus dan relatif ringan , karena 9--10% nya adalah debu, sehingga mudah tertiup angin (Ham 2006: 37). Serangga penyerbuk berperan memindahkan serbuk sari yang tersebar tidak merata di permukaan atas perbungaan ke bagian bawah perbungaan. Tingkat pembentukan buah pada sampel perbungaan yang diamati mencapai 100%. Persentase jumlah buah bernas (berdaging dan berbiji) berkisar 50--80% dari buah yang terbentuk dengan ukuran diameter buah minimum 0.3 cm dan maksimum 1.4 cm. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 67 1 cm 1 cm Bunga betina masih reseptif saat serbuk sari menempel (terjadi polinasi) Bunga betina tidak reseptif saat serbuk sari berhenti keluar (telah terjadi polinasi) Gambar 4.35. Perbandingan antara bunga betina yang masih reseptif dengan yang sudah tidak reseptif [Sumber: Dokumentasi pribadi] Bunga jantan dan spatha mengering Larva serangga 1.5 cm Gambar 4.36 Kondisi perbungaan saat spatha dan bunga jantan mengering [Sumber: Dokumentasi pribadi] Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 68 2 cm Gambar 4.37 Kondisi perbungaan yang telah mengalami proses penyerbukan [Sumber: Dokumentasi pribadi] 4.6. POPULASI Amorphophallus variabilis 4.6.1. Gambaran umum populasi A. variabilis Pengamatan populasi A. variabilis di lokasi penelitian dilakukan dari bulan Maret--Mei 2011. Pengamatan pada bulan Maret dilakukan di Lokasi 1 dan 2. Pengamatan di Lokasi 1 menunjukkan sebanyak 79 individu tumbuhan dalam fase vegetatif dan 2 tumbuhan dalam fase generatif. Pengamatan di Lokasi 2 menunjukkan sebanyak 49 individu tumbuhan dalam fase vegetatif dan 4 tumbuhan dalam fase generatif generatif.. Pengamatan bulan April di Lokasi 3 dan 4 menunjukkan 48 tumbuhan vegetatif dan 3 generatif di Lokasi 3 dan 80 tumbuhan vegetatif dan 2 generatif di lokasi 4. Pengamatan pada bulan Mei di Lokasi 5 dan 6 menunjukkan lebih dari 50% individu tumbuhan tumbuh dalam fase generatif. Terdapat 23 tumbuhan vegetatif dan 37 tumbuhan generatif di Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 69 Lokasi 5, dan 17 tumbuhan vegetatif dan 41 tumbuhan generatif di Lokasi 6 (Gambar 4.38.). April Maret Mei Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5 Lokasi 6 Vegetatif 72 49 48 80 23 17 Generatif 2 4 3 2 37 41 Gambar 4.38. Perbandingan populasi vegetatif dan generatif pada Bulan Maret--Mei Populasi Amorphophallus variabilis di Kawasan UI, Depok memulai fase generatif pada bulan Maret--April 2011 dan fase generatif mulai mendominasi pada bulan Mei 2011. Rochedi (2004: 21) menyatakan, berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan A. variabilis di Bogor, Jawa Barat, populasi A. variabilis memulai fase generatif pada bulan Mei 2004 dan mulai mengalami peningkatan jumlah tumbuhan generatif pada Bulan Agustus 2004. Jansen dkk. 1996: 47) menyatakan, pada Mei--Juni (tahun 1996), umbi A. variabilis akan memasuki masa dormansi yang terjadi selama musim kemarau dan mulai berbunga pada awal musim penghujan yaitu Bulan November (tahun 1996). Fase generatif akan berlangsung selama musim penghujan dan berakhir pada penghujung musim penghujan. Hasil pengamatan pada periode yang berbeda (1996, 2004, dan 2011) menunjukkan adanya pergeseran waktu pola pertumbuhan A. variabilis. Berdasarkan teori, A. variabilis mengalami dormansi sepanjang musim kemarau, Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 70 hingga apabila massa umbi telah mencukupi, tumbuhan akan berbunga di awal musim penghujan. Massa umbi yang belum mencukupi akan membentuk daun baru sepanjang musim penghujan (Jansen dkk. 1996: 47). Pergeseran waktu pola pertumbuhan A. variabilis menunjukkan adanya perubahan periode iklim global yang menandai awal--akhir musim penghujan dan awal--akhir musim kemarau, selama periode 1996--2011. Awal musim penghujan bergeser dari bulan November menjadi bulan Maret selama periode 1996--2011 4.6.2. Pola sebaran populasi Pola sebaran A. variabilis di setiap lokasi penelitian menunjukkan pola yang mengelompok (Gambar 4.38), berdasarkan Indeks Sebaran Morisita yang menunjukkan indeks sebaran di setiap lokasi lebih dari nol (Isp > 0) (Krebs 1999: 56--60). Pola sebaran yang mengelompok adalah hasil dari reproduksi A. variabilis secara vegetatif atau dengan menggunakan umbi batang. Umbi batang yang tumbuh di bawah permukaan tanah akan menghasilkan anak umbi yang akan menghasilkan tunas daun di sekitar umbi batang tersebut. Secara generatif, bijibiji dari buah yang membusuk pada tongkol perbungaan akan rontok dan jatuh ke tanah. Biji-biji tersebut akan tumbuh sebagai tumbuhan baru disekitar tumbuhan induk (Jansen dkk. 1996: 46--47; Rochedi 2004: 4). Persebaran A. variabilis dari suatu habitat ke habitat lain diduga dibantu oleh hewan pemakan buah. Beberapa pengamatan ditemukan adanya tanda-tanda hewan yang memakan buah pada perbungaan dengan adanya bekas pada tongkol perbungaan. Akan tetapi, belum diketahui secara pasti, hewan yang melakukan penyebaran biji A. variabilis. Diduga biji tersebar secara alami oleh burung. Hal tersebut karena buah A. variabilis berwarna terang dan berukuran relatif besar sehingga diduga disukai burung sebagai makanan. Sebelumnya diketahui pada jenis A. titanum, penyebar biji adalah burung rangkong (Hetterscheid 1995: 3). Burung bulbul juga diketahui sebagai penyebar biji A. gigas yang persebarannya dari India hingga Sabah (Hetterscheid dan Ittenbach 2003: 7—9). Burung pemakan buah yang terdapat pada kawasan Universitas Indonesia, Depok adalah burung cabe jawa (Dicaeum trochileum), cucak kutilang Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 71 (Pycnonotus aurigaster) dan merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier) (Pradana 2007: 32, 28; Pradana 2010: 15) . Akan tetapi burung cabe jawa hanya memakan buah jenis-jenis tumbuhan benalu di kawasan UI, Depok (Pradana 2010: 15; Mc Kinnon 1998: 414). Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier) diduga sebagai penyebar biji A. variabilis di kawasan UI, Depok karena berkerabat dekat dengan burung bulbul penyebar biji A. gigas di India hingga Sabah (MacKinnon 1998: 280; Beath 1996: 5). 4.6.3. Analisis vegetasi populasi Hasil analisis vegetasi terhadap populasi A. variabilis di tiap lokasi menunjukkan dominansi terendah terdapat pada populasi di Lokasi 2 (d = 0.02) dan dominansi tertinggi pada populasi di Lokasi 6 (d = 0.06) (Gambar 4.38 ). Dominansi pada lokasi 1--3 memiliki nilai yang relatif tidak jauh berbeda yaitu antara 0.01--0.02. Dominansi pada Lokasi 4--6 memiliki nilai yang relatif tidak jauh berbeda yaitu antara 0.04--0.06. Terdapat rentang nilai antara dominansi pada Lokasi 1--3 dan Lokasi 4--6. Lokasi dengan nilai frekuensi tertinggi adalah pada Lokasi 6 (f = 0.4 dan terendah pada Lokasi 5 (f = 0.39), sedangkan jumlah individu / m2 tertinggi adalah pada lokasi 4 dengan 0.2 individu / m2 dan jumlah terendah pada lokasi 3 yaitu 0.125 individu / m2. Nilai dominansi, frekuensi, dan jumlah individu / m2 populasi A. variabilis menunjukkan perbedaan di antara 6 lokasi pengamatan di kawasan UI, Depok. Akan tetapi terlihat perbedaan tersebut tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Nilai dominansi dipengaruhi oleh luas tutupan (cover) tumbuhan. Nilai frekuensi dan kerapatan (jumlah individu / m2) dipengaruhi oleh sebaran tumbuhan. Perbedaan dominansi di keenam lokasi menunjukkan perbedaan ukuran morfologi A. variabilis walaupun tidak signifikan. Perbedaan ukuran morfologi tumbuhan disebabkan karena adanya perbedaan tingkat intensitas cahaya matahari, suhu, dan kelembaban. Perbedaan nilai dominansi terlihat jelas pada Lokasi 1--3 dan Lokasi 4--6 (Gambar 4.39 A). Intensitas cahaya pada lokasi 4--6 lebih rendah dibandingkan dengan lokasi 1--3. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 72 Amorphophallus variabilis diketahui sebagai tumbuhan naungan. Sebagai tumbuhan naungan, A. variabilis telah beradaptasi dengan memiliki struktur daun yang berbeda dengan tumbuhan lain, sehingga memiliki tingkat serapan CO2 lebih baik pada tingkat cahaya rendah. Menurut Edmond dkk (1957: 163), struktur daun berpengaruh terhadap hasil fotosintesis, serapan CO2, penetrasi cahaya terhadap sel klorenkim, turgiditas sel, dan translokasi karbohidrat. Menurut Salisbury & Ross (1995: 76) tumbuhan naungan memiliki sifat dan struktur daun yang berbeda. Sifat tumbuhan naungan adalah : 1. Laju fotosintesis lebih rendah pada tingkat intensitas cahaya tinggi 2. Respon fotosintesis mencapai jenuh pada tingkat yang lebih rendah dari tumbuhan lain. 3. Laju Fotosintesis lebih tinggi pada tingkat intensitas cahaya rendah 4. Titik kompensasi cahaya rendah. 5. Tangkai daun tanggap terhadap arah dan intensitas cahaya sehingga mengarahkan daun ke tempat yang ternaungi Adaptasi tumbuhan terhadap cekaman naungan akan menyebabkan perubahan morfologi daun. Tumbuhan naungan memiliki daun yang berbentuk lebar dan tipis karena memiliki jaringan palisade yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tumbuhan matahari. Ukuran sel relatif lebih besar sehingga helai daun menjadi lebar dan tipis dengan kutikula dan dinding sel lebih tipis. Ukuran batang relatif lebih kecil dengan kondisi xylem yang kurang berkembang (Doubenmire 1974: 214). Lokasi 4--6 memiliki intensitas cahaya yang lebih kecil dibandingkan lokasi 1--3. Hal tersebut menyebabkan A. variabilis pada lokasi 4--6 beradaptasi dengan laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan lokasi 1--3. Helaian daun pada lokasi 4--6 relatif lebih lebar dan tipis dibandingkan dengan lokasi 1--3. Hal tersebut membuat rerata tutupan (cover) lokasi 4--6 lebih besar dibandingkan dengan lokasi 1--3. Semakin besar tutupan (cover), maka dominansi akan semakin besar, sebab dominansi dipengaruhi oleh jumlah sampel dan rerata tutupan (cover). Perbedaan nilai frekuensi dan kerapatan ( jumlah individu / m2) menunjukkan perbedaan frekuensi sebaran populasi A. variabilis di keenam Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 73 lokasi. Frekuensi A. variabillis terbanyak dijumpai pada populasi di lokasi 1 dan 6 (Gambar 4.39 B). Populasi A. variabilis pada lokasi 1 dan 6 relatif tersebar merata sehingga relatif banyak dijumpai pada kuadrat sampel yang diambil. Kerapatan A. variabilis pada lokasi 4 lebih tinggi dibandingkan lokasi lain, karena pada lokasi 4 relatif banyak dijumpai tumbuhan semai sehingga mempengaruhi kerapatan pada lokasi tersebut (Gambar 4.39 C). Lokasi 4 berada pada kawasan hutan kota dengan tingkat intensitas caha cahaya ya terendah setalah lokasi 6, serta suhu dan kelembaban tertinggi setelah lokasi 6. Kondisi tersebut membuat pertumbuhan biji semakin cepat karena A. variabilis sebagai tumbuhan naungan memiliki laju fotosintesis lebih cepat pada tingkat intensitas cahaya yang rendah (Salisbury &Ross: 76) C Gambar 4.39. Dominansi, frekuensi, dan kerapatan A. variabilis di tiap lokasi Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 74 Rata-rata ukuran morfologi tiap individu pada populasi A. variabilis di setiap lokasi pengamatan menunjukkan perbedaan, namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan derajat kesamaan Morisita 99.9995 (Gambar 4.22). Hal tersebut karena populasi A. variabilis tumbuh dan tersebar pada kondisi lingkungan yang relatif seragam pada setiap lokasi. Umur populasi yang bervariasi dan tidak terpola di setiap lokasi tidak menyebabkan terlihatnya perbedaan ukuran morfologi A. variabilis secara signifikan. Menurut Sufiani (1993: 14) ukuran daun dan perbungaan A. variabilis dipengaruhi oleh bobot umbi. Bobot umbi juga dipengaruhi oleh umur individu dan kondisi lingkungan. A. Sub-habitat hutan karet di A dalam lingkungan kampus B. Sub-habitat Hutan Kota 1m Universitas Indonesia B 1m Gambar. 4.40. Pola sebaran mengelompok populasi A. variabils [Sumber: Dokumentasi pribadi] Berdasarkan dendogram (Gambar 4.41), Lokasi 6 berbeda dibandingkan dengan lima lokasi lain. Hal tersebut sesuai dengan karakter lingkungan berupa suhu, intensitas cahaya, dan kelembaban lokasi 6 yang berbeda dibandingkan dengan lima lokasi lain. Intensitas cahaya pada lokasi 6 paling rendah diantara lokasi lainnya, sedangkan rata-rata suhu dan kelembaban lokasi 6 paling tinggi diantara lokasi lainnya. Intensitas cahaya yang rendah membuat A. variabilis sebagai tumbuhan naungan, memiliki laju fotosintesis yang tinggi. Ukuran batang menjadi lebih kecil, dengan kondisi xylem yang kurang berkembang. Helai daun lebih lebar dan tipis disebabkan oleh ukuran sel yang lebih besar (Doubenmire 197: 214). Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 75 Lokasi 6 seperti yang tertera pada Gambar 4.3, merupakan lokasi yang berbeda diantara lokasi lainnya. Lokasi 6 terpisah dari lokasi 4 dan 5 oleh 2 (dua) situ yaitu Situ Ulin dan Situ Salam. Lokasi 6 berbatasan langsung dengan jalan raya dan sebuah bangunan fisik. Vegetasi pada lokasi 6 teramati relatif lebih rindang dengan dominasi pohon akasia dan karet serta vegetasi semak dan perdu. Hal tersebut memengaruhi akuisisi cahaya pada lantai hutan lebih kecil intensitasnya serta kelembaban yang lebih tinggi dan suhu yang lebih rendah dibandingkan lokasi lainnya. Gambar 4.41. Dendogram perbedaan lokasi populasi A. variabilis berdasarkan ukuran morfologi tumbuhan Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN 1. Pertumbuhan perbungaan Amorphophallus variabilis dari kuncup hingga awal pematangan buah berkisar antara 9--14 hari. Proses pematangan buah berkisar antara 2--3 pekan. 2. Polinasi Amorphophallus variabilis di Kawasan Universitas Indonesia (UI) terjadi pada hari ke-3 mekarnya perbungaan. 3. Polinasi Amorhophallus variabilis di kawasan UI dibantu oleh angin dan serangga. Serangga yang berperan adalah kumbang dari suku Nitidulidae, kumbang dari suku Endomychidae, lalat dari suku Anthomyiidae, dan lalat dari suku Tachinidae. 4. Populasi A. variabilis di kawasan UI memiliki pola sebaran mengelompok. 5. Populasi A. variabilis di setiap lokasi pengamatan menunjukkan kesamaan berdasarkan karakter morfologi dengan indeks kesamaan sebesar 99,9995. 5.2. SARAN 1. Penelitian selanjutnya disarankan melakukan analisis pola pertumbuhan disertai dengan data curah hujan agar dapat diketahui perbedaannya. 2. Jenis serangga penyerbuk sangat perlu untuk dianalisis hingga tingkatan takson jenis, dan dapat dilakukan penelitian persebarannya di kawasan Universitas Indonesia 3. Perlu dilakukan penelitian mengenai polinasi dan populasi A. variabilis di lokasi lain di luar kawasan Kampus UI disertai dengan dukungan data etnobotani, ekofisiologi, dan sistematika tumbuhan. 76 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 DAFTAR REFERENSI Acebey, A., T. Kroemer, B.L. Maas dan M. Kessler. 2010. Ecoregional distribution of potentially useful species of Araceae and Bromeliaceae as non-timber forest products in Bolivia. Biodivers Conserv. 19: 2553—2564 hlm. Ariel, 1999. Iles-iles KHP Blitar makanan favorit masyarakat Jepang. Buletin Duta Rimba. 4: 17-18. Backer, C. A. dan van den Brink. 1968. Flora of Java (Spermatophyte Only): vol. III. angiospermae, familiy 215. Noordhoff-Kolff N.V.P, Groningen : CLII + 639 hlm. Beath, D.N. Daniel. 1996. Pollination of Amorphophallus johnsoni (Araceae) by carrion bettles (Phaeochrous amplus) in a Ghanaian Rain Forest. Journal of Tropical Ecology. Cambridge University Press. 12: 409—418 Bogner, J., dan Dan H. Nicolson. 1991. A revised classification of Araceae with dichotomous key. Wildenouwia. Berlin Botanischer Garten und Botanische Museum, Dahlem. 21: 35—50 . Bown, D. 1988. Aroids: Plants of the arum family. Timber Press Portland: Oregon: 204 hlm. Campbell, J. M. 2008. Taxonomy of Endomychidae (handsome fungus bettles). Journal of Entomology. Entomology society. IV : 22--24 Dhewangkoso, R. 2008. Pengaruh vegetasi di Kampus Universitas Indonesia Depok terhadap iklim mikro dan kenyamanan lingkungan. Skripsi S1Biologi FMIPA-UI, Depok: ix—54 hlm. Doubenmire, R.F. 1974. Plant and environment. A Text book of plant autoecology 3rd edition. John Wiley & Sons, Inc. New York. 422 hlm. 77 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 78 Dudareva, N. dan E. Pichersky . 2006. Biology of floral scent. CRC Press Taylor dan Francis Group. New York: 337 hlm. Edmond, J.B., A. M. Musser dan F.S. Andrews. 1957. Fundamentals of horticultura. 2nd. Mc Graw-Hill Book Company, Inc. New York: 456 hal. Ermiati dan M.P. Laksmanahardja. 1996. Manfaat iles-iles (Amorphophallus sp.) sebagai bahan baku makanan dan industri. Jurnal LitbangPertanian. 15 (3): 74-80 Gibernau, M., D. Barabe, P. Cerdan dan A. Dejean. 1999. Beetle pollination of Philodendron solimosense (Araceae) in French Guana. International Journal of Plant Science, University of Chicago, Chicago. 160 (6): 1135— 1143. Ham, R.v.d.., G. Grobb, W. Hetterscheid, W. Star dan B. J. van Heueven. 2005. Notes on the genus Amorphophallus (Araceae) – 13. Evolution of polen ornamentation and ultrastructure in Amorphophallus and Pseudodracontium. Grana. Taylor dan Francis Publishers, New England.44: 252--265. Hartanto, E.S. 1994. Iles-iles tanaman langka yang laku diekspor. Buletin Ekonomi XIX (4) : 21--25. Hartono. 2008. SPSS 16.0: Analisis data statistika dan penelitian. Edisi ke-1. Pustaka Belajar, Yogyakarta: xi + 225 hlm. Hetterscheid. W. L.. 1996. Amorphophallus ecology, geography, and conservation. International Aroid Society webpage. http:// aroid.org/amgec.php.htm. 1 Agustus 2010 pk. 17: 13. Hetterscheid, W. L dan A. S. Ittenbach. 2003. Everything You Always Wanted to Know About Amorphophallus, but Were Afraid to Stick Your Nose Into!!!!!. Aroideana. 19: 7—131. Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan, Jakarta: ? hlm. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 79 International Aroid Society. 2003. Species list of Amorphophallus. Hetterscheid dan Ittenbach. Amorphophallus ecology, geography, and conservation. http// www. Aroid.org/list..php.htm. 7 Agustus 2010 pk. 10.21. Jansen, P.C.M., C. van der Wilk dan W.L.A. Hetterscheid. 1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne. In Flach, M. and F. Rumawas (eds.). PROSEA: Plant Resources of South-East Asia No 9. Plant Yielding Nonseed Carbohydrates. Backhuys Publishers, Leiden: 45--50 hlm. Kartikawati, N. K. 2008. Polinator pada tumbuhan kayu putih. Jurnal Balai Besar Penelitian Bioteknologi Tumbuhan Hutan. Jogjakarta: 7 hlm. Keng, H. 1978. Orders and families of Malayan seed plants: Synopsis of orders and families of Malayan Gymnorperms, Dicotyledons and Monocotyledons. Singapore University Press. Singapura: xviii + 437 hlm. Krebs, C.J. 1999. Ecological methodology. Addison-Wesley Educational Publishers, Inc., Menlo Park, California: 620 hlm. Lahiya, A.A. 1993. Budidaya tumbuhan iles-iles dan penerapannya untuk sasaran konsumsi serta industri. Seri Himpunan Peninggalan Penulisan Yang Berserakan. Terjemahan dari: De Fabrikasi Van Iles-iles mannaanmeel uit Amorphophallusknollen en enige toepassingmogelijkheden Bergcultures oleh Scheer, J.V., G.H.W.D. Dekker, and E.R.E. Helewijn. 1937/1938/1940 Bandung : 27 hlm. Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardi, P.C. Rahardja, J.J. Afriastini, W. Rini, dan W.H. Apriadji. 1989. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya, Jakarta: 31 hlm. MacKinnon, J., K. Phillips & B. van Balen. 2000. Seri panduan lapangan burungburung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Uslitbang Biologi-LIPI, Bogor: xviii+ 510 hlm. Odum, E.P.1993. Dasar-dasar ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 340 hlm. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 80 Pijl, L.v.d. 1937. Biological and physiological observations on the inflorescence of Amorphophallus. Recl. Trav. Bot. Neerl. 34: 57-67. Poehlman, J. M. 1959. Breeding fields crop. Henry Holt and Company, INC. New York. 427 hlm. Pradana, D. H. 2007. Distribusi dan keanekaan jenis burung di Kampus Universitas Indonesia Depok pada berbagai subtipe habitat. Skripsi S1Biologi FMIPA-UI, Depok: vii + 67 hlm. Pradana, D. H. 2010. Keanekaragaman, aktivitas, dan pembagian sumber daya spesies burung pada Ficus benjamina dan Acacia mangium di taman Kampus Universitas Indonesia Depok. Tesis S2 - Biologi-FMIPA-UI, Depok: xii + 57 hlm. Punaran, S. K. dan K.P.N. Kumaran. 2010. Polen morphology and pollination ecology of Amorphophallus species from Northwest Ghats and Khonkan Region of India. Flora. 205: 326--336. Purborini, D. H. 2006. Struktur dan komposisi tumbuhan di Situ Rawa Pening. Skripsi. Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. xi + 40 hlm. Rochedi, A. B.. 2004. Studi polinasi pada iles-iles. Skripsi. Jurusan Agronomi dan Hortikultura . Fakultas Pertanian IPB, Bogor: xv+ 64 hlm. Real, L. 1983. Pollination biology. Academia Press, INC. Orlando: 338 hlm. Romoser, W.S. dan Stoffolano, J.G., Jr. The science of entomology: 4th edition. Mc Grow-Hill Company Inc. Singapura: xiv+ 605 hlm Rosman, R. dan S. Rusli. 1991. Tanaman iles-iles. Edisi Khusus Littro. VII (2): 17--21 Salisbury, F.B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi tumbuhan jilid 2. Penerbit ITB, Bandung: 343 hlm. Schelhas, J. dan R. Greenberg. 1996. Forest patches: in tropical landscapes. Island Press. Washington DC : xv + 409 hlm. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 81 Steenis, C.G.G.J. v., S. Bloembergen, dan P. J. Eyma. 2006. Flora. Pradnya Paramita, Jakarta: xii + 485 hlm. Sufiani, S. 1993. Iles-iles (Amorphophallus); jenis, syarat tumbuh, budidaya, dan standar mutu ekspornya. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Departemen Pertanian. XII : 11--16 Sumarwoto. 2004. Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume.) deskripsi dan sifat-sifat lainnya. Jurnal Biodiversitas. 11 (2): 45—53. Sumarwoto. 2004. Pengaruh pemberian kapur dan ukuran bulbil terhadap pertumbuhan iles-iles (Amorphophallus muelleri Blum.) pada tanah ber-Al tinggi. Jurnal Ilmu Pertanian. 11 (2): 45--53. Taqyuddin, J.S., I. Niraawandi, L. Hakim, A. Ramelan & Firdausy. 1997. Atlas kampus Universitas Indonesia. FMIPA UI, Depok: v + 40 hlm. Universitas Indonesia. 2011. Green Campus. 1 hlm. http : www.ui.ac.id/id/campus/page/green-campus, 27 Juni 2011, pk. 20.12 WIB. Weite, S.. 2000. Statistical ecology in practice : A guide to analyzing environmental and ecological field data. Person Education Limited, Kuala Lumpur: 414 hlm. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 LAMPIRAN GLOSARIUM perbungaan epigin : posisi perbungaan betina inferior terhadap perbungaan jantan (Keng 1978: 412). bunga tongkol (spadix) : bentuk perbungaan yang tersusun dalam tongkol dan dilindungi oleh spatha (Keng 1978: 408) Keterangan : a. spatha b b. perbungaan jantan a c. perbungaan betina c Gambar skema perbungaan spadix dan epigi (Sumber: Keng 1978: 408) spatha : daun pelindung perbungaan (Keng 1978: 419). buah beri : buah berdaging yang memiliki banyak biji (Keng 1978: 419). 82 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 83 raphe : daerah yang terbentuk dari pemisahan antara tangkai ovul yang melengkung dengan ovul (Keng 1978: 416) pistil : kepala putik atau organ sentral pada bunga yang terdiri atas karpel (Keng 1978: 411) ovari : bakal buah yang mengandung beberapa ovul terletak pada dasar bunga betina. Ovari dapat terbentuk dari satu atau beberapa karpel (Keng 1978: 411). lokul : ruang pada bakal buah yang terdapat bakal biji (ovum) di dalamnya (Keng 1978: 411). psilate : ornamen pada serbuk sari (polen) dengan permukaan polen yang rata / halus (van der Ham 2005: 262). Gambar ornamen psilate pada polen Amorphophallus.skala garis 10 µm (van der Ham 2005: 264) Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 84 Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran tinggi total perbungaan Tumbuhan mekar hari ke- No. Bunga 1 2 3 4 5 6 7 8 F001 67.3 71 71 47.7 47 47 47 47 F002 64 71 71 67.1 67.1 67.1 67.1 67.1 F003 66.8 71.2 71.2 70.8 70.8 45.2 45.2 45.2 F004 107.6 109 109.8 109.8 109.8 80.8 80.8 77.8 F005 107.8 108 109.6 109.6 104.6 102.4 80.8 79.2 F006 127.2 129 130.6 123.4 123.4 116.6 114.6 102.4 F007 69.2 69.6 75.3 74.2 74.2 73 73 72.4 F008 104.2 104.8 105.2 105.2 105 105 103.2 103.2 F009 46.6 48.2 48.2 48.2 46.6 46.6 46.3 44.2 F010 116.6 120.7 120.7 115.8 115.8 115.4 115.4 105.4 F011 62.2 64.1 66.3 66.3 66.3 64.4 64.4 42.2 F012 75.2 75.5 75.5 0 0 0 0 0 F013 76.7 78.8 78.9 80 81.3 81.3 81.3 81.3 F014 90.2 90.4 90.4 90.4 88.1 67.5 67.2 63 F015 46 54.4 57.9 66.3 72.8 73.4 73.4 72.6 F016 66.5 69 69.5 70.4 70.4 70.8 70.8 70.8 F017 77.5 89.3 97.9 102.6 102.9 103.4 103.4 103.4 F018 40.9 43.3 45.8 47.3 48.4 48.4 48.4 48.4 F019 57.9 58.1 59.8 60.4 61.5 62.3 62.8 62.8 F020 Tinggi total 152.1 153.4 160 160 153.2 151.2 132.4 131.4 81.125 83.94 85.73 80.775 80.46 76.09 73.875 70.99 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 85 Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran panjang osmofor perbungaan No. Bunga Tumbuhan mekar hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 F001 23 23.3 23.3 3.1 2 2 0 0 F002 20.2 22.4 22.4 21 21 20 7.3 0 F003 25 25.8 27 26.2 26.2 3 0 0 F004 34.8 34.8 34.8 34.8 4.6 3.8 1 0 F005 36.6 36.8 36.4 36.4 36 3.4 3.4 0 F006 29.6 29.6 29.2 29.2 28.8 4.2 4.2 0 F007 21 21 21 21 20 19.3 5 3.6 F008 24.2 24.2 23.4 23.4 23.4 23.1 23.1 23.1 F009 13.7 13.7 13.2 13.2 11.6 11.6 11.6 11.2 F010 30.8 30.8 28.8 28.8 22.2 2.4 0 0 F011 21.6 22.6 22.6 22.6 22.6 0 0 0 F012 18 18 18.2 18.2 0 0 0 0 F013 18.7 19.2 19.2 19.2 19.2 0 0 0 F014 31 31.6 31.6 31.6 28.7 12.1 2.4 0 F015 24 26.2 26.2 26.2 26.2 22.6 22.6 22.6 F016 15.8 15.8 15.8 15.8 10.9 7.3 3.4 3.1 F017 17 17.2 20.6 24.6 24.6 24.6 24.6 24.1 F018 12 12.4 12.4 12.4 12.3 12.3 12.3 11.9 F019 16.8 17.2 17.2 17.4 17.4 17.4 17.4 17.4 F020 Panjang Osmofor 37.4 38.6 39.4 39.4 39.4 38 12.8 0 23.56 24.06 24.135 23.225 19.855 11.355 7.555 5.85 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 86 Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran diameter osmofor No. Bunga Tumbuhan mekar hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 F001 1.3 1.3 1.3 0.8 0.8 0.8 0 0 F002 1.4 1.4 1.4 1.3 1.3 1.3 1.3 0 F003 1.6 1.6 1.7 1.4 1.4 1.2 1.2 0 F004 1.8 2.2 2.2 2 1.2 0.6 0.2 0 F005 1.3 1.3 1.5 1.5 1.2 1 0.4 0 F006 2.8 2.8 2.8 2.4 2.2 2 0.2 0 F007 1.2 1.2 1.2 1.4 1.4 1.2 1.2 0.9 F008 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.3 1.3 F009 1.3 1.5 1.5 1.5 1.3 1.3 1.3 1 F010 2.2 2.2 1.7 1.7 2 0.6 0 0 F011 1.6 1.6 1.1 1 0 0 0 0 F012 1.4 1.5 1.5 0 0 0 0 0 F013 1.8 1.9 1.9 1.9 1.3 0 0 0 F014 1.6 1.6 1.6 1.6 1.2 0.8 0.2 0 F015 1.5 1.7 2.1 2.1 2.1 2.1 2.1 2 F016 1.7 1.9 2.1 2.1 1.9 1.9 1.1 0.8 F017 1.4 1.6 1.6 1.7 1.7 1.7 1.7 1.5 F018 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 1.2 1.2 1.2 F019 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 0 F020 diameter osmofor 3.1 3.1 3 2.1 1.3 1.1 0.2 0 1.65 1.73 1.72 1.535 1.325 1.08 0.75 0.435 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 87 Lampiran 4. Tabel hasil pengukuran panjang spatha Tumbuhan mekar hari ke- No. Bunga 1 2 3 4 5 6 7 8 F001 11 11 8 5 5 5 4.2 3 F002 13 13 13 12 12 12 12 11.8 F003 14.8 14.4 14.4 4.8 4.8 3.4 3.4 2.4 F004 14.8 14.8 14 14 4.4 2.4 0 0 F005 22.8 22.8 22.8 7.6 7.5 2.6 0 0 F006 20.2 20.2 19.6 7.4 7.2 2.6 0 0 F007 12.4 12.4 11 11 4.4 4.4 2.8 2.8 F008 18.8 18.8 20.2 18.8 13.6 13.6 7.2 7.2 F009 10.7 10.7 10.7 8.6 8.6 8.6 7.2 7.2 F010 21.2 21.2 20.6 20.6 20 5 2.4 0 F011 16.1 16.1 14.8 14.8 4.8 3.1 0 0 F012 11.5 12 12.3 0 0 0 0 0 F013 13.8 14.2 14.4 14.8 14.8 14.8 14.8 13.6 F014 14.8 14.8 14.8 12.5 10.2 5.8 0 0 F015 14.8 14.8 14.8 14.2 13.7 11.2 11.2 10.4 F016 14.2 14.2 12.8 9.8 6.3 6.2 2 0 F017 15.6 15.6 12.4 10.1 10 10 10 9.6 F018 9.6 9.6 9.6 9.6 5.3 3.4 0 0 F019 10.7 10.7 10.8 10.8 10.8 10.8 10.6 9.7 F020 Panjang Spatha 22.8 22.8 22.8 19.7 12.4 9.2 5.4 0 15.18 15.205 14.69 11.305 8.79 6.705 4.66 3.885 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 88 Lampiran 5. Tabel hasil pengukuran diameter spatha No. Bunga Tumbuhan mekar hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 F001 1.4 1.4 1.4 1.3 1.3 1.3 0 0 F002 1.8 1.8 1.8 1.6 1.6 1.5 1.5 1.5 F003 2.4 2.4 2.2 2.1 1.4 1.4 0.8 0.8 F004 2.2 2.4 2.4 2 2 2 0 0 F005 2.4 2.4 2 2 2 2 0 0 F006 2.6 3.4 2.8 2.8 2.3 2.3 0 0 F007 1.7 1.7 1.6 1.6 1.6 1 1 0 F008 3.4 3.4 3.4 3.1 3.1 2.6 2.3 1.2 F009 2.2 2.2 2 2 1.5 1.5 1.5 1.2 F010 3.4 3.4 2.2 2.2 2 2 2 0 F011 2.2 2.2 2.4 2.4 2.4 2.4 0 0 F012 2 2.1 2.1 `0 0 0 0 0 F013 2.6 2.6 2.6 2.6 2.4 2.3 2 2 F014 2.7 2.7 2.7 2.7 2.5 0.8 0 0 F015 2.6 3 3.1 3.1 3.1 3.1 2.9 2.9 F016 3.2 3.2 2.9 2.9 2.8 2.6 2.6 0 F017 1.7 2 2.2 2.6 2.6 2.6 2.6 1.8 F018 2.6 2.6 2.2 2.2 1.7 1.4 0 0 F019 1.4 1.5 1.6 2 2 2 2 2 F020 diameter spatha 4.1 4.1 4.1 3.9 2 1.3 1.1 0 2.43 2.525 2.385 2.373684 2.015 1.805 1.115 0.67 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 89 Lampiran 6. Tabel hasil pengukuran panjang perbungaan betina No. Bunga F001 F002 F003 F004 F005 F006 F007 F008 F009 F010 F011 F012 F013 F014 F015 F016 F017 F018 F019 F020 panjang perbungaan betina 1 2 3 3 4 3 3.8 3.2 4.4 3.4 4.2 3.2 2.6 2.8 2.2 3 2.8 2.2 2.2 1.8 5 2 2 3 3 4.2 3 3.8 3.2 4.4 3.4 4.2 3.2 2.6 3 2.2 3.1 2.8 2.4 2.2 2.1 5 3.09 3.14 Tumbuhan mekar hari ke3 4 5 2 1.9 1.9 3 3.2 3.2 3 3.2 3.2 4.2 4.2 4.2 3 3.8 3.8 4.2 4.2 4.4 3.8 4.4 4.4 4.9 4.9 4.9 3.4 3.8 3.8 4.2 5.2 5.2 3.2 3.4 3.4 2.6 0 0 3 3 3 2.4 2.8 3.8 3.1 3.1 3.4 2.8 2.8 3.2 2.6 2.8 2.8 2.4 2.4 2.4 2.1 2.1 2.8 5 5.4 5.4 3.245 3.33 3.46 6 2 3.2 3.4 4.2 3.8 4.4 4.4 4.9 3.8 5.2 3.4 0 3 3.8 3.4 3.2 2.8 2.4 2.8 5.4 7 2 3.2 3.4 5.2 3.8 4.4 4.8 4.9 4.2 5.2 3.8 0 3.2 4.2 3.7 3.6 2.8 2.4 2.8 5.4 8 2.1 3.2 3.8 5.2 4.4 5.2 4.8 4.9 4.2 5.2 3.8 0 3.2 4.2 3.8 3.6 3.4 2.4 2.8 5.9 3.475 3.65 3.805 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 90 Lampiran 7. Tabel hasil pengukuran diameter perbungaan betina No. Bunga Tumbuhan mekar hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 F001 1.2 1.3 1.3 1.3 1.5 1.5 1.6 1.6 F002 1.4 1.4 1.4 1.6 1.6 1.6 1.7 1.7 F003 1.4 1.4 1.4 1.6 1.6 1.6 1.6 1.6 F004 2 2 2 2.1 2.1 2.2 2.2 2.2 F005 1.5 1.5 1.5 1.9 1.9 2.2 2.2 2.2 F006 1.3 1.6 1.6 2.4 2.4 2.4 2.4 2.4 F007 1.3 1.3 1.5 1.5 1.5 1.8 1.8 2.8 F008 1.6 1.6 1.6 2.4 2.4 2.5 2.5 2.5 F009 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.7 1.7 1.7 F010 2.2 2.2 2.2 2.2 2.2 2.2 2.6 2.6 F011 1.4 1.4 1.6 1.6 1.6 1.6 1.6 1.6 F012 1.6 1.6 1.6 0 0 0 0 0 F013 2.1 2.1 2.2 2.2 2.2 2.2 2.2 2.2 F014 1.9 2 2 2.1 2.1 2.1 2.1 2.3 F015 2.1 2.1 2.1 2.1 2.3 2.3 2.4 2.4 F016 2.2 2.4 2.4 2.4 2.4 2.5 2.5 2.5 F017 1.4 1.6 1.7 1.7 1.8 1.9 1.9 1.9 F018 1 1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.2 1.2 F019 1.4 1.4 1.4 1.6 1.6 1.8 1.8 1.8 2.8 1.66 5 2.8 3 3 3 3.2 3.2 3.3 1.71 1.755 1.815 1.84 1.92 1.96 2.025 F020 diameter bunga betina Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 91 Lampiran 8. Tabel hasil pengukuran panjang bunga jantan No. Bunga Tumbuhan mekar hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 F001 3.7 4 4 4 4 4 4 3.2 F002 4 4 4 4 4 4 3.4 2.6 F003 3.8 4.6 4.6 3.2 3.2 1.2 0 0 F004 4.2 5.4 5.4 4.2 4.2 4.2 3.8 3.8 F005 4.8 5 5 5 5 3.6 3.6 0 F006 4.2 4.6 4.6 4.6 4.2 4.2 3.8 0 F007 3.8 3.8 3.6 3.6 3.4 3.4 3.4 2.8 F008 5.6 5.6 4.8 4.8 4.8 4.8 4.8 4.4 F009 4.7 4.7 4.2 4.2 4.2 3.8 3.8 3.8 F010 4.8 4.8 4.8 4.4 4.2 4.2 4.2 3.7 F011 4.2 4.2 3.8 3.8 3.8 3.8 3.8 3.2 F012 3.4 3.4 3.4 0 0 0 0 0 F013 4.1 4.5 4.7 4.8 4.8 4.8 4.8 4.8 F014 4.4 4.4 4.4 4.4 4.2 4.2 4.2 4.2 F015 4.6 4.8 4.8 4.8 4.3 4.1 3.8 3.8 F016 4.2 4.2 4.2 4.2 4.6 4.6 4.6 4.6 F017 2.4 2.9 3.1 3.5 3.5 3.8 3.8 4.2 F018 2.8 2.8 2.8 2.8 2.2 2.2 2.2 2.2 F019 3.6 3.6 3.6 3.6 3.6 3.6 3.4 3.4 F020 Panjang perbungaan jantan 6.8 6.8 6.8 6.2 5.1 3.2 3 0 4.205 4.405 4.33 4.005 3.865 3.585 3.42 2.735 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 92 Lampiran 9. Tabel pengukuran diameter perbungaan jantan No. Bunga Tumbuhan mekar hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 F001 1.3 1.3 1.3 1.1 1.1 1 0 0 F002 1.3 1.4 1.4 1.2 1.1 1 1 1 F003 0.8 0.8 1 1.2 1.2 1.2 0 0 F004 1.6 1.8 1.8 1.5 1.5 1.2 1.2 0.8 F005 1.3 1.3 1.3 1.2 1.2 0.8 0.8 0 F006 1.6 1.6 1.6 1.3 0.8 0.8 0.8 0 F007 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.1 1.1 F008 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.2 1.2 F009 1.3 1.3 1.3 1.4 1.4 1 1 1 F010 1.1 1.1 1.1 1.1 1 1 0.6 0.6 F011 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 0.8 0.8 0.8 F012 1.2 1.3 1.3 0 0 0 0 0 F013 1.7 1.7 1.8 1.8 1.8 1.8 1.3 1.3 F014 1.2 1.2 1.3 1.5 1.5 1.5 1.2 1.2 F015 1.4 1.4 1.4 1.4 1 1 0.8 0.8 F016 0.7 0.7 0.7 0.7 0.9 0.9 0.8 0.8 F017 1 1 1 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 F018 1.2 1.2 1.3 1.3 1.1 1.1 1 1 F019 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.1 1 F020 diameter perbungaan jantan 2.9 3.1 3.1 3.1 3 2.4 2.1 0 1.35 1.38 1.405 1.32 1.265 1.14 0.905 0.695 Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 93 Lampiran 10. Tabel hasil pengukuran diameter petiolus No. Bunga Tumbuhan mekar hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 F001 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 F002 0.5 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0 F003 0.6 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.6 0.6 F004 1.4 1.8 1.8 1.8 1.8 1.5 1.5 1.5 F005 1.2 1.2 1.2 1.4 1.4 1.4 1.2 1.2 F006 1.2 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 2.2 2.2 F007 0.4 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.8 0.8 F008 0.7 0.9 0.9 1.4 1.4 1.4 1.4 1.2 F009 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 F010 1 1.2 1.2 1.2 1.4 1.4 1.4 1.6 F011 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.8 0.8 1 F012 1.3 1.3 1.3 0 0 0 0 0 F013 1.2 1.2 1.2 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 F014 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 F015 1.3 1.3 1.4 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 F016 1 1 1.2 1.2 1.4 1.4 1.4 1.4 F017 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.3 1.3 1.3 F018 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 F019 1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 2.1 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 0.98 1.085 1.105 1.095 1.115 1.115 1.145 1.125 F020 diameter petiolus Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 94 Lampiran 11. Hasil analisis regresi hubungan jumlah serangga pengunjung dengan diameter spatha menggunakan program SPSS 16.0 Model Summary Model 1 R Adjusted R Std. Error of the Square Estimate R Square .756 a .571 .548 5.382 a. Predictors: (Constant), Spatha REGRESI b ANOVA Model 1 Sum of Squares df Mean Square Regression 695.245 1 695.245 Residual 521.305 18 28.961 1216.550 19 Total F Sig. 24.006 .000 a a. Predictors: (Constant), Spatha b. Dependent Variable: Serangga Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 B (Constant) Std. Error -5.049 3.614 6.788 1.385 Spatha Coefficients Beta t .756 Sig. -1.397 .179 4.900 .000 a. Dependent Variable: Serangga Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 95 CURVE FIT Variable Processing Summary Variables Dependent Independent Serangga Spatha Number of Positive Values 19 19 Number of Zeros 1 1 Number of Negative Values 0 0 User-Missing 0 0 System-Missing 0 0 Number of Missing Values Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Serangga Model Summary Equation Linear R Square .571 F 24.006 df1 Parameter Estimates df2 1 Sig. 18 Constant .000 -5.049 b1 6.788 The independent variable is Spatha. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 96 Lampiran 12. Hasil analisis regresi hubungan jumlah serangga pengunjung dengan panjang osmofor menggunakan program SPSS 16.0 REGRESI Model Summary Model R 1 .602 Adjusted R Std. Error of the Square Estimate R Square a .362 .327 6.564 a. Predictors: (Constant), Osmofor b ANOVA Model 1 Sum of Squares df Mean Square Regression 440.924 1 440.924 Residual 775.626 18 43.090 1216.550 19 Total F Sig. 10.233 .005 a a. Predictors: (Constant), Osmofor b. Dependent Variable: Serangga1 Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 B (Constant) Std. Error -3.799 5.048 .640 .200 Osmofor Coefficients Beta t .602 Sig. -.753 .461 3.199 .005 a. Dependent Variable: Serangga1 CURVE FIT Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 97 Variable Processing Summary Variables Dependent Independent Serangga1 Osmofor Number of Positive Values 19 20 Number of Zeros 1 0 Number of Negative Values 0 0 User-Missing 0 0 System-Missing 0 0 Number of Missing Values Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Serangga1 Model Summary Equation Linear R Square .362 F 10.233 df1 Parameter Estimates df2 1 Sig. 18 Constant .005 -3.799 b1 .640 The independent variable is Osmofor. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 98 Lampiran 13. Contoh penghitungan indeks pola sebara Morisita Tabel data frekuensi A. variabilis pada Lokasi 3. KW Frek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 6 2 1 0 0 0 0 0 3 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 0 34 35 36 37 38 39 40 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 2 41 42 43 44 45 0 1 0 0 2 61 62 63 64 65 0 0 0 0 2 46 47 48 49 50 51 1 0 1 0 0 2 66 3 67 1 52 53 54 55 56 57 58 59 60 0 0 1 0 1 0 0 0 0 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 0 0 0 1 0 0 0 0 0 6 78 79 80 0 0 0 Indeks Pola Sebaran Morosita Id = n ∑ x2 − ∑ x ( x )2 − x ∑ ∑ Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 99 di mana, Id = Indeks sebaran Morisita n = jumlah sampel ∑x = rata-rata jumlah kuadrat= x1 + x2 + x3 L ∑x 2 2 2 3 = rata-rata jumlah luas kuadrat = x1 + x2 + x2 L Hasil yang diperoleh : Id = 4.396 Clumped index = Mc = di mana, 2 χ.025 − n + ∑x i (4) ( ∑ xi ) − 1 2 χ.025 nilai chi-square dari tabel (n-1) d.f. yang memiliki 2.5% derajat kepercayaan dari kanan tabel. 2 Hasil yang diperoleh : χ.025 = 369.462 dengan derajat kepercayaan 99% Maka, berdasarkan hasil penghitungan Mc = 3.641 Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung dan menentukan nilai Indeks Sebaran Morisita dengan standarisasi sebagai berikut : Jika Id ≥ Mc > 1.0 : I − Mc IP = 0.5 + 0.5 d n − Mc (5) JIka Mc > Id ≥ 1.0 : I − 1 IP = 0.5 d Mu − 1 (6) Jika 1.0 > Id > Mu : I −1 IP = − 0.5 d Mu − 1 (7) Jika 1.0 > Mu > Id : Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011 100 I − Mu IP = -0.5 + 0.5 d Mu Rumus (5) dipakai karena Id dan Mc lebih dari satu, Maka hasil yang diperoleh : I − Mc IP = 0.5 + 0.5 d n − Mc IP = 0.5153 Nilai IP di atas nol maka, pola sebaran dari lokasi 3 adalah mengelompok. Universitas Indonesia Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011