S1458-Studi polinasi

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI POLINASI DAN POPULASI Amorphophallus variabilis
Bl. DI KAWASAN UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK
SKRIPSI
ADHITIA PRATAMA
0606069514
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN BIOLOGI
DEPOK
JULI 2011
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI POLINASI DAN POPULASI Amorphophallus variabilis
Bl. DI KAWASAN UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
ADHITIA PRATAMA
0606069514
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN BIOLOGI
DEPOK
JULI 2011
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
“ Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuhan) dan
Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu,
dan bukanlah kamu yang menyimpannya”
(Q.S. Al Hijr: 22)
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Adhitia Pratama
NPM
: 0606069514
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 12 Juli 2011
ii
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
Nama
NPM
Program studi
Judul Skripsi
:
: Adhitia Pratama
: 0606069514
: Biologi
: Studi Polinasi dan Populasi Amorphophallus
variabilis Bl. di Kawasan Universitas Indonesia,
Depok
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Mega Atria, M. Si.
(…………….)
Pembimbing II
: Drs. Wisnu Wardhana, M.Si.
(……………,)
Penguji I
: Dr. Andi Salamah
(…………….)
Penguji II
: Drs. Erwin Nurdin, M.Si.
(…………….)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 12 Juli 2011
iii
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabbil ‘Alamin.
Puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT, karena atas berkat, rahmat, dan ridha-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis persembahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, yang telah mengeluarkan umatnya dari kegelapan
menuju jalan yang terang benderang.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit
bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Mega Atria, M. Si. selaku pembimbing I dan Drs. Wisnu Wardhana, M.Si
selaku pembimbing II, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Andi Salamah dan Drs Erwin Nurdin, M.Si selaku penguji, yang telah
memberikan banyak saran dan masukan yang sangat membangun bagi penulis.
3. Dr. Andi Salamah selaku Penasihat Akademik penulis, Dr. rer.nat. Mufti P.
Patria sebagai Kepala Departemen Biologi FMIPA UI dan Nining B.
Prhantini, M.Sc. sebagai Sekretaris Departemen Biologi FMIPA UI, yang
selalu memberikan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman yang sangat
berharga selama masa perkuliahan.
4. Seluruh staf pengajar Departemen Biologi FMIPA UI, atas berbagai ilmu yang
diberikan, serta Bu Asri, Bu Ida, Pak Taryana, Pak Taryono, Bu Sofi, Bu Ros,
dan seluruh karyawan Departemen Biologi FMIPA UI.
5. Seluruh rekan-rekan penulis di Universitas Indonesia, FMIPA UI, dan
Departemen Biologi yang mendukung penulis hingga dapat menyelesaikan
studi. Khususnya rekan-rekan penulis di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan
Biologi UI, Sholia, Nabilah, Merry, dan Uswatun serta Muhaimin, Suriyanto,
Indartono, dan Wahyu yang membantu penulis dalam pengambilan data, juga
kepada Dimar A. Perdana dan the Indonesia Natural School atas peminjaman
alat-alat.serta Dita Nurul Latifah (Agronomi IPB ’06) yang memberikan akses
iv
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
kepada penulis mendapatkan literatur di Perpustakaan Jurusan Agronomi
FAPERTA IPB.
6. Rekan-rekan mahasiswa, CT HMD Biologi 2008, Burhan, Mardha, Nia, Eva,
Suri, Indah, Rahmat, Maulida, Oka, dan Erna, rekan-rekan BPM FMIPA
2009, DPM UI 2010, rekan-rekan the Federation of Biology o’six (Felix),
serta guru-guru dan murid-murid SMP the Indonesia Natural School atas
bantuan moril yang diberikan selama penulis menjalankan penelitian.
7. Ibu Maspupah Bapak Ujang Hidayat serta Ibu Martini dan Bapak H.Abun S.
dan tercinta, atas segala kasih sayang, semangat, serta do’a tulus tak terputus
sepanjang kehidupan penulis. Skripsi ini hanya sebutir zarrah dari lautan bakti
penulis. Sungguh, masih sangat jauh untuk bisa membalas segala kecintaan
Mamah dan Ayah serta Nenek dan Kakek.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Akan
tetapi, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis
maupun pembaca, demi pengembangan ilmu yang berkesinambungan.
Depok, Juli 2011
Penulis
v
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
: Adhitia Pratama
NPM
: 0606069514
Program Studi : Biologi
Departemen
: Biologi
Fakultas
: Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Studi Polinasi dan Populasi Amorphophallus variabilis Bl. di Kawasan
Universitas Indonesia, Depok
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).
Noneksklusif
ini
Universitas
Dengan Hak Bebas Royalti
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok
Pada tanggal: 12 Juli 2011
Yang menyatakan
(Adhitia Pratama)
vi
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
ABSTRAK
Nama
: Adhitia Pratama
Program Studi
: S-1 Reguler Biologi
Judul
: Studi Polinasi dan Populasi Amorphophallus variabilis Bl. di
Kawasan Universitas Indonesia, Depok
Kawasan Kampus Univesitas Indonesia merupakan habitat alami bagi tumbuhan
Amorphophallus variabilis Bl. Pengamatan dilakukan di 6 (enam) lokasi di Kawasan
Universitas Indonesia untuk mengetahui pola penyerbukan (polinasi) dan populasi A.
variabilis Bl. Berdasarkan hasil penelitian, penyerbukan A. variabilis terjadi 3 hari
setelah mekarnya spatha pada perbungaan. Polinasi kemudian diikuti dengan fase
pematangan buah yang terjadi selama 15 hari. Serangga yang berperan sebagai
penyerbuk antara lain dari suku Nitidulidae, Endomychidae, Anthomyiidae, dan
Tachinidae. Terdapat hubungan antara morfologi perbungaan dengan jumlah individu
serangga yang berkunjung. Pola sebaran populasi A. variabilis di 6 (enam) lokasi
penelitian menunjukkan pola yang mengelompok. Tidak terdapat pengaruh yang
signifikan antara lokasi dengan karakter morfologi A. variabilis. Dominansi berkisar
antara 0.01--0.06 frekuensi antara 0.2--0.4, dan jumlah individu / m2 berkisar antara
0.13--0.2 . Tinggi tumbuhan berkisar antara 5.2--160 cm dengan diameter 0.05--2.3
cm dengan berbagai variasi morfologi pada bagian perbungaan seperti osmofor,
spatha, dan petiolus.
Kata kunci
: Amorphophallus variabilis, polinasi, populasi, Universitas
Indonesia
xiv +100 halaman
: 49 gambar; 2 tabel; 13 lampiran
Daftar referensi
: 46 (1937--2011)
vii
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
ABSTRACT
Name
: Adhitia Pratama
Study Program
: S-1 Reguler Biologi
Title
: Pollination and Population Study of Amorphophallus
variabilis Bl. at University of Indonesia, Depok
University of Indonesia Campus area is a natural habitat for Amorphophallus
variabilis Bl. Observations were carried out in 6 locations in the Area, University of
Indonesia to find out the pattern of pollination (pollination) and population of A.
variabilis Bl. Based on the results of research, pollination A. variabilis occurred 3
days after blooming spatha on the inflorescence. Pollination followed by fruit
ripening phase that occurred during the 15 days. Insects that act as pollinators, such
as from the tribe of Nitidulidae, Endomychidae, Anthomyiidae, and Tachinidae.
There is a relationship between the morphology of the inflorescence with the number
of individuals visiting insects. A. variabilis population distribution pattern in 6 (six)
locations showed a clumped pattern. There was no significant effect between site and
morphological characteristics of A. variabilis. Dominance ranged from 0,01 to 0.06,
frequencies between 0.2 - 0.4, and the number of individuals / m2 ranged between
0.13--0.12. Plants high ranged from 5.2 - 160 cm with a diameter of 0.05 - 2.3 cm
with a variety of inflorescence morphology in sections like osmophores, spathes, and
petioles.
Key words
: Amorphophallus variabilis, pollination, population,
University of Indonesia
xiv + 100 pages
: 49 pictures; 2 tables; 13 attachments
Biblioghraphy
: 46 (1937--2011)
viii
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………….………......................
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………
KATA PENGANTAR.....................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.........................
ABSTRAK........................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
DAFTAR TABEL............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
i
ii
iii
iv
vi
vii
ix
xi
xii
xiv
PENDAHULUAN...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
2.1 Biologi Amorhophallus variabilis .....................................................
2.1.1. Karakteristik A. variabilis………………....................................
2.1.2. Perbungaan A. variabilis..............................................................
2.1.3. Perbuahan A. variabilis...............................................................
2.1.4. Pertumbuhan dan perkembangan A. variabilis.............................
5
5
5
6
6
7
2.2 Sebaran dan habitat A. variabilis….....................................................
2.2.1 Sebaran dan jenis-jenis Amorphophallus spp..............................
2.2.2. Habitat A. variabilis.....................................................................
8
8
9
2.3 Studi Polinasi......................................................................................
2.3.1 Proses penyerbukan...........................................................................
2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerbukan.........................
2.3.3. Agen Penyerbuk.........................................................................
2.3.4. Proses Penyerbukan Amorphophallus spp...................................
2.3.5. Serangga penyerbuk Amorphophallus spp....................................
11
11
11
12
13
13
2.4. Studi Populasi......................................................................................
2.4.1. Definisi Studi Populasi..................................................................
2.4.2. Metode Studi Populasi...................................................................
2.4.2.1. Menentukan kelimpahan.....................................................
2.4.2.2. Menentukan pola sebaran....................................................
16
16
17
17
18
2.5. Kawasan Universitas Indonesia Depok............................................
21
3. METODOLOGI PENELITIAN.........................................................
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................
3.2 Alat dan Bahan Penelitian...................................................................
3.3 Cara Kerja............................................................................................
23
23
24
24
ix
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
3.3.1 Studi Polinasi.................................................................................
3.3.1.1 Penentuan lokasi sampling...................................................
3.3.1.2 Pengamatan pola pertumbuhaan perbungaan tumbuhan....
3.3.1.3 Pengamatan aktivitas hewan pengunjung............................
3.3.1.4. Pengamatan hewan pengunjung perbungaan.......................
3.3.1.5. Pengukuran data lingkungan...............................................
24
24
24
25
25
25
3.4 Analisis Data........................................................................................
3.4.1 Menentukan pola pertumbuhan perbungaan..................................
3.4.2. Menentukan polinator dan aktivitas polinasi.................................
3.4.3. Menentukan kelimpahan dan pola sebaran......................... ..........
3.4.4. Menentukan hubungan panjang osmofor
dan diameter spatha dengan jumlah serangga pengunjung...........
3.4.5 Analisis kesamaan habitat berdasarkan karakter morfologi..........
30
30
30
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................
4.1 Gambaran Umum Penelitian..............................................................
34
34
4.2 Karakteristik perbungaan Amorphophallus variabilis........................
4.2.1. Batang .........................................................................................
4.2.2. Umbi..............................................................................................
4.2.3. Osmofor..........................................................................................
4.2.4. Spatha............................................................................................
4.2.5. Perbungaan Jantan.......................................................................
4.2.6. Perbungaan betina.......................................................................
4.2.7. Perbuahan....................................................................................
38
38
39
40
41
42
43
44
4.3. Pertumbuhan dan perkembangan perbungaan...................................
46
4.4. Serangga pengunjung perbungaan.....................................................
4.4.1. Jenis serangga pengunjung perbungaan........................................
4.4.2. Aktivitas serangga pengunjung perbungaan...............................
4.4.3. Hubungan jumlah serangga dengan ukuran perbungaan..............
55
55
59
63
4.5. Proses penyerbukan.............................................................................
65
4.6. Populasi Amorphophallus variabilis.................................................
4.6.1. Gambaran umum populasi A. variabilis....................................
4.6.2. Pola sebaran populasi.................................................................
4.6.3. Analisis vegetasi populasi............................................................
68
68
70
71
5. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
5.1 Kesimpulan..................................................................................
5.2 Saran............................................................................................
DAFTAR ACUAN.................................................................................
x
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
31
31
76
76
76
77
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar
2.1
Bunga Jantan dan Betina A. variabilis...................................................
6
2.2
Habitus A. variabilis................................................................................
8
2.3.
Osmofor dan bagian-bagian lain
dalam perbungaan salah satu jenis Amorphophallus.............................
16
3.1.
Skema pengukuran perbungaan A. variabilis.......................................
26
3.2.
Peta pengambilan sampel perbungaan..................................................
27
3.3
Unit sampel pada metode transek kuadrat............................................
28
3.4.
Peta lokasi pengambilan sampel studi populasi......................................
29
3.5.
Unit sampel pada metode transek garis................................................... 30
4.1
Hasil Pengamatan Pendahuluan terhadap jumlah
populasi A. Variabilis di kawasan UI
Depok........................................................................................................ 33
4.2
Pemetaan Lokasi Sampel (Lokasi 1--3).................................................
34
4.3
Pemetaan Lokasi Sampel Perbungaan (Lokasi 4--6).............................
35
4.4
Dendogram perbedaan lokasi berdasarkan lingkungan........................
36
4.5
Perbedaan karakter lingkungan
(Suhu, Kelembaban, dan Intensitas Cahaya) pada lokasi penelitian............ 37
4.6.
Ragam batang A. variabilis....................................................................
38
4.7.
Ragam umbi A. variabilis......................................................................... 39
4.8.
Ragam osmofor A. variabilis...................................................................
4.9.
Ragam spatha A. variabilis....................................................................... 41
40
4.10. Bentuk perbungaan jantan A. variabilis.......................................................42
4.11. Bentuk perbungaan betina A. variabilis..................................................... 43
4.12. Bentuk perbuahan A. variabilis................................................................. 43
4.13. Diagram waktu pertumbuhan Amorphophallus variabilis.......................
49
4.14. Grafik pertumbuhan tinggi total perbungaan..........................................
50
4.15. Grafik pertumbuhan diameter perbungaan.............................................
50
4.16. Grafik pertumbuhan panjang osmofor....................................................
51
4.17. Grafik pertumbuhan diameter osmofor..................................................
51
xi
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
4.18. Grafik pertumbuhan panjang spatha........................................................
52
4.19. Grafik pertumbuhan diameter spatha......................................................
52
4.20. Grafik pertumbuhan panjang bunga jantan.............................................
53
4.21. Grafik pertumbuhan diameter bunga jantan...........................................
53
4.22. Grafik pertumbuhan panjang perbungaan betina....................................
54
4.23. Grafik pertumbuhan diamater perbungaan betina....................................
54
4.24. Kumbang dari suku Nitidulidae...............................................................
55
4.25. Kumbang dari suku Endomychidae........................................................... 57
4.26. Lalat dari suku Anthomyiidae................................................................... 57
4.27. Nyamuk dari suku Culicidae...................................................................
58
4.28. Kecoa dari suku Blattidae.......................................................................... 59
4.29. Semut dari suku Formicidae....................................................................... 59
4.30. Presentase kehadiran hewan pengunjung perbungaan.............................
61
4.31. Frekuensi kehadiran hewan pengunjung di perbungaan.........................
62
4.32. Aktivitas kumbang dari suku Nitidulidae di perbungaan........................
64
4.33. Kurva regresi linier hubungan jumlah individu serangga
pengunjung perbungaan dengan ukuran spatha.......................................... 64
4.34. Kurva regresi linier hubungan jumlah individu serangga pengunjung
perbungaaan dengan panjang osmofor...........................................................65
4.35. Perbandingan antara bunga betina yang masih
reseptif dengan yang sudah tidak reseptif.................................................... 67
4.36 Kondisi perbungaan saat spatha dan bunga jantan mengering.....................67
4.37 Kondisi perbungaan yang telah mengalami proses penyerbukan.............. 68
4.38. Perbandingan populasi vegetatif dan generatif pada Bulan Maret--Mei.... 69
4.39. Dominansi, frekuensi, dan kerapatan A. variabilis di tiap lokasi............... 73
4.40. Pola sebaran mengelompok populasi A. variabils.................................... 74
4.42 Dendogram perbedaan lokasi populasi
A. variabilis berdasarkan ukuran morfologi tumbuhan............................. 75
xii
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel
2.1 Ciri-ciri Amorphophallus spp...................................................................
10
4.1. Karakteristik A. variabilis di Kawasan Universitas
Indonesia,Depok……………………………………...............................
xiii
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran
GLOSARIUM................................................................................................
79
Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran tinggi total perbungaan.........................
81
Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran panjang osmofor perbungaan...............
82
Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran diameter osmofor.................................
83
Lampiran 4. Tabel hasil pengukuran panjang spatha......................................
84
Lampiran 5. Tabel hasil pengukuran diameter spatha....................................
85
Lampiran 6. Tabel hasil pengukuran panjang perbungaan betina..................
86
Lampiran 7. Tabel hasil pengukuran diameter perbungaan betina.................
87
Lampiran 8. Tabel hasil pengukuran panjang bunga jantan...........................
88
Lampiran 9. Tabel pengukuran diameter perbungaan jantan.........................
89
Lampiran 10. Tabel hasil pengukuran diameter petiolus................................
90
Lampiran 11. Hasil analisis regresi hubungan jumlah
serangga pengunjung dengan diameter
spatha menggunakan program SPSS 16.0................................
91
Lampiran 12. Hasil analisis regresi hubungan
jumlah serangga pengunjung
dengan panjang osmofor menggunakan
program SPSS 16.0..................................................................
Lampiran 13. Contoh penghitungan indeks pola sebaran Morisita...................
xiv
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
93
95
BAB 1
PENDAHULUAN
Amorphophallus variabilis atau yang dikenal dengan nama lokal iles-iles
adalah tumbuhan dari suku Araceae yang persebarannya terbatas di Pulau Jawa
(International Aroid Society 2003: 3 ). Jenis A. variabilis merupakan tumbuhan
herba terestrial dan perenial dengan umbi yang merupakan modifikasi dari batang.
Perkembangbiakan A. variabilis terjadi secara generatif dan vegetatif. Secara
generatif A. variabilis berkembangbiak dengan biji, sedangkan secara vegetatif
dengan umbi batang. Perbungaan A. variabilis muncul secara bergantian dengan
daun (Steenis, dkk 2006: 130).
Amorphophallus variabilis merupakan tumbuhan yang tersebar luas di
berbagai tipe ekosistem darat di Pulau Jawa. Pada lahan yang terganggu, A.
variabilis tumbuh sebagai tumbuhan perintis karena dapat tumbuh di semua tipe
tanah (Hetterscheid &Ittenbach 2003 : 7--9; Backer & van den Brink 1968: 113 ).
Bown (1988) menyatakan bahwa spesies Amorphophallus spp. dapat tumbuh
dengan baik di bawah naungan pada tanah dengan kelembaban tinggi, sehingga
memiliki potensi untuk ditanami dengan tanaman lain sebagai tumpang sari
(Rochedi 2004: 2). Menurut Steenis dkk. (2006: 113) A. variabilis menyukai
habitat yang dekat dengan aktivitas manusia sehingga telah lama tumbuhan
tersebut dimanfaatkan sebagai bahan pangan (Ariel 1999: 18). Tanaman A.
variabilis dapat ditanam bersama dengan tanaman sengon, lamtoro atau tanaman
pelindung lain serta dapat juga ditanam secara tumpang sari dengan tanaman
jagung, untuk mendapatkan hasil tanaman A. variabilis yang baik (Rochedi 2004:
2).
Pada masa penjajahan Jepang, masyarakat di Jepang menggunakan umbi
A. variabilis dari Jawa sebagai bahan pangan (Ariel 1999: 17). Tanaman A.
variabilis wajib ditanam di setiap pekarangan rumah pada masa tersebut.
Berdasarkan data BPS pada tahun 1983, Indonesia mengekspor umbi A. variabilis
sebanyak 973. 378 kg dengan nilai ekspor sebesar US $ 601.174. Sebagian besar
umbi A. variabilis diekspor ke Jepang, dan negara-negara Asia Timur lain seperti
1
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
2
Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong. Akan tetapi, selama satu dasawarsa
terakhir ekspor umbi A. variabilis semakin menurun. Pada tahun 1992, Indonesia
hanya mengekspor 317.050 kg umbi dengan nilai ekspor US $ 119.284. Hal
tersebut, disebabkan oleh belum adanya sistem pembudidayaan A. variabilis,
sehingga ketersediaan tanaman di alam semakin menurun yang menyebabkan
penurunan produksi umbi A. variabilis (Hartanto 1994: 25).
Umbi A. variabilis mengandung karbohidrat berupa glukomanan sebagai
cadangan makanan (Heyne 1987: 348; Jansen dkk 1996: 46). Glukomanan dapat
digunakan sebagai sumber serat pada makanan (Ariel 1999: 5), bahan baku
industri, laboratorium kimia, dan obat-obatan (Lahiya 1993: 13). Menurut
Rosman dan Rusli (1991: 19), tumbuhan Amorphophallus spp. memiliki
kandungan glukomanan yang berbeda-beda.
Menurut Lingga dkk. (1989: 23), belum banyak ahli agronomi yang
tertarik untuk meneliti aspek-aspek budidaya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan A. variabilis. Salah satu aspek dalam budidaya tumbuhan A.
variabilis adalah deskripsi tumbuhan. Informasi mengenai deskripsi tumbuhan
merupakan hal yang penting, karena mengandung informasi tentang ciri-ciri dan
sifat-sifat tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam penelitian
para pemulia tumbuhan dan budidaya tumbuhan.
Studi polinasi merupakan salah satu informasi yang penting dalam
budidaya tumbuhan karena menyangkut faktor-faktor yang memengaruhi
perkembangbiakan tumbuhan dan keberhasilan reproduksi merupakan hal yang
penting bagi kelestarian suatu jenis makhluk hidup (Schelhas dan Greenberg
1996: 19). Studi mengenai proses penyerbukan (polinasi) dilakukan untuk
mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi reproduksi Amorphophallus secara
generatif (Rochedi 2004: 2).
Studi polinasi mengenai A. variabilis yang ditanam di Bogor pernah
dilakukan oleh Rochedi (2004) namun belum disertai data populasi dan kajian
ekologi yang mendalam dan peta sebaran jenis-jenis Amorphophallus dan
polinatornya (Rochedi 2004: 15--27). Penelitian polinasi dan populasi di alam
telah dilakukan oleh Hetterschied (1995) (Hetterschied 1996: 3). Studi polinasi
terhadap A. johnsonii di hutan hujan Ghana (Beath 1996: 1--5)
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
3
Jenis A. variabilis seperti halnya tumbuhan tropis lain berinteraksi dengan
hewan dalam setiap proses reproduksinya (Schelhas dan Greenberg 1996: 19).
Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang menyebutkan jenis-jeins hewan yang
berperan sebagai agen penyerbuk (polinator) pada jenis A. variabilis. Penelitian
tersebut ditujukan untuk menyediakan data dalam proses pengembangan budi
daya jenis-jenis Amorphophallus.
Deskripsi atau ciri-ciri A. variabilis saja belum dikatakan lengkap jika
tidak disertai data, pengamatan beserta pesebarannya pada setiap periode tumbuh
(Sumarwoto 2004: 1). Data berupa persebaran sekaligus faktor-faktor yang
memengaruhi persebaran A. variabilis di UI penting diketahui sebagai pelengkap
deskripsi tumbuhan tersebut secara umum. Data tersebut dapat diperoleh melalui
studi populasi dengan menentukan kelimpahan dan pola sebaran. Informasi
mengenai polinator dan populasi A.variabilis sangat diperlukan terutama untuk
mengetahui dan mengelola sumber-sumber benih (tegakan benih dan kebun
benih) agar dapat menghasilkan benih secara optimal. Apabila polinator efektif
telah diketahui , selanjutnya digunakan untuk kepentingan manajemen
penyerbukan (pollination management) (Kartikawati 2008: 2).
Universitas Indonesia memilki kawasan vegetasi seluas 100 ha dan
ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan. Kawasan Universitas Indonesia juga
diketahui sebagai habitat yang dekat dengan aktivitas manusia (Universitas
Indonesia 2011: 1) . Berdasarkan pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan
di Universitas Indonesia (UI) pada bulan Agustus -- Oktober 2010, diketahui
bahwa kawasan kampus UI adalah salah satu habitat dari A. variabilis. Oleh
karena itu, penelitian studi polinasi dan populasi A.variabillis di kawasan kampus
UI perlu dilakukan untuk mengetahui habitat ,populasi, dan proses penyerbukan
(polinasi) tumbuhan tersebut.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui fenologi pembungaan A.
variabilis, khususnya karakteristik pertumbuhan dan perkembangan bagianbagian bunga, proses penyerbukan, jenis-jenis hewan penyerbuk dan aktivitasnya
di perbungaan. Beserta data ekologi yang berupa deskripsi habitat, kelimpahan
dan pola sebaran populasi A. variabilis di kawasan UI Depok. Adanya data
fenologi beserta data ekologi akan memberikan informasi karakteristik tumbuhan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
4
beserta pertumbuhan dan deskripsi ekologi. Hasil penelitian diharapkan dapat
digunakan sebagai pedoman dalam budidaya A. variabilis di lokasi Depok dan
sekitarnya dan digunakan sebagai sumber informasi bagi para peminat, pemulia
dan peneliti A. variabilis.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIOLOGI Amorphophallus variabilis
2.1.1. Karakteristik Amorphophallus variabilis
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotiledonae
Bangsa
: Arales
Suku
: Araceae
Marga
: Amorphophallus Blume ex Decaisne
Jenis
: Amorphophallus variabilis Bl.
(Keng 1978: 83; Jansen dkk. 1996: 45)
Amorphophallus variabillis Bl. termasuk famili Araceae. Marga
Amorphophallus termasuk ke dalam sub-suku Aroidae. Jenis A. variabilis
merupakan tumbuhan terestrial yang memiliki petiolus serta batang yang
bermodifikasi menjadi umbi. Daun lengkap memiliki tiga bagian, pelepah, batang
daun, dan helaian daun. Helaian daun tunggal bercangap membentuk tiga bagian
dengan petiolus yang memanjang dari permukaan tanah. Permukaan batang rata
dan memiliki corak polos hingga berpola bintik-bintik yang bervariasi warna dan
bentuknya (Hetterscheid dan Ittenbach 2003: 7--9). Amorphophallus spp
memiliki umbi seperti tanaman talas (Colocasia esculenta Schott.) dan keladi
(Caladium bicolor (Ait.) Vent.) yang berbentuk dan terdapat di dalam tanah
(Gambar 2.2 D). Ukuran umbi yang terbentuk tergantung pada proses fotosintesis
yang terjadi sehingga faktor lingkungan seperti cahaya, udara, air, dan tanah
menjadi sangat penting (Rochedi 2004: 4).
5
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
6
2.1.2. Perbungaan Amophophallus variabilis
Perbungaan A. variabilis muncul secara bergantian dengan fase vegetatif.
Perbungaan epigin, berbentuk bunga tongkol (spadix) dengan spatha yang
melindungi bagian perbungaan (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7--9). Bunga
jantan dan betina dalam satu rumah (monoesis) dan terpisah di perbungaan.
Bunga monoesis A. variabilis memiliki bunga betina di posisi proksimal bunga
jantan atau perbungaan jantan berada di atas perbungaan betina dari pangkal
perbungaan (Gambar 2.1). Terdapat bagian steril di perbungaan yang berfungsi
menghasilkan aroma untuk menarik serangga, disebut osmofor (Beath 1996: 4--5).
Tangkai bunga (pedunkulus) pada A. variabillis memiliki karakter yang sama
dengan tangkai daun yaitu memiliki permukaan yang licin dan tumbuh menjulang
di atas permukaan tanah. Tinggi tangkai daun dan tangkai bunga 20--100 cm
(Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7—9; Backer & van den Brink 1968: 113).
1
1 cm
2
1 : Bunga jantan
2. Bunga betina
Gambar 2.1 Bunga Jantan dan Betina A. variabilis
[Dokumentasi Pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
7
2.1.3. Perbuahan Amophophallus variabilis
Perbuahan A. variabilis terdapat di atas tangkai perbungaan yang relatif
panjang. Karakter tangkai perbungaan sama dengan tangkai daun dan bunga.
Buah menempel (sessil) pada tongkol bunga. Buah tipe beri ketika muda
berwarna hijau dan buah matang berwarna jingga bergradasi hingga merah
(Gambar 2.2 C). Biji berwarna hitam, bulat dengan raphe yang jelas
(Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7--9). Benang sari A. variabilis seperti rambut
halus, berwarna kuning dengan ukuran relatif pendek. Kepala sari (anther)
terletak di ujung tangkai sari. Pistil berjumlah satu di tiap bunga betina. Ovari
menempel (sessil) pada bunga dan terdapat satu ovum di setiap lokul
(Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7—9). Serbuk sari A. variabilis berukuran 53.7
hingga 60.5 µm dengan bentuk bulat dan ornamentasi psilate (Ham dkk. 2005: 6).
2.1.4. Pertumbuhan dan perkembangan
Anggota marga Amorphophallus memiliki dua fase hidup, yaitu fase
vegetatif dan fase generatif (Gambar 2.2 ). Satu individu tumbuhan mengalami
fase tersebut secara bergantian. Fase vegetatif berupa daun dan fase generatif
berupa perbungaan. Menurut Sufiani (1993), pertumbuhan umbi A. variabilis
terdiri atas dua fase yaitu fase generatif dan vegetatif dengan periode dormansi
selama dua bulan diantara kedua fase tersebut. Pada fase vegetatif terbentuk
tangkai dan daun majemuk yang berasal dari tunas pada umbi baru di atas umbi
lama (Rochedi 2004: 4). Sebagai tumbuhan perennial, fase vegetatif
Amorphophallus umumnya berakhir saat awal musim penghujan yang ditandai
oleh tumbuhnya perbungaan . Jenis Amorphophallus johnsoni di Ghana
mengawali fase generatifnya, setelah hujan pertama pada bulan Maret--Oktober.
(Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7—9; Beath 1996: 2 ).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
8
C
A
B
1
5 cm
2
5 cm
D
5 cm
5 cm
A. Fase daun; B. Fase bunga, 1. Osmofor; 2. spatha; C. Fase buah; D. Umbi
Gambar 2.2 Habitus A. variabilis.
[Dokumentasi Pribadi (A, B, dan C); International Aroid Society (D)2003: 4]
2.2. SEBARAN DAN HABITAT Amorphophallus variabilis
2.2.1 Sebaran dan jenis-jenis Amorphophallus spp
Di Pulau Jawa terdapat 7 jenis Amorphophallus yaitu Amorphophallus
decus-silvae, A. campanalatus, A. sagitattarius A. muelleri ( sin. A. oncophyllus),
A. discophorus, A. spectabilis, dan A. variabilis (Backer & van den Brink 1968 :
113; Hetterscheid 1996: 3). Diantara tumbuhan anggota suku Araceae, jenis A.
variabillis adalah jenis yang memiliki banyak keragaman dalam bentuk, corak
dan warna pada batang daun, spatha, dan osmofor dan frekuensi di daerah dataran
rendah dan pegunungan yang dekat dengan aktivitas manusia (Acebey dkk. 1999:
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
9
2). Persebaran A. variabilis hanya terbatas di Pulau Jawa. Jenis A. variabilis
tumbuh sebagai tumbuhan perintis di lahan yang terganggu (Hetterscheid &
Ittenbach 2003: 7—9).
Faktor penyebar biji A. variabilis belum banyak diketahui. Diduga biji
tersebar secara alami oleh burung. Hal tersebut karena buah A. variabilis berwarna
terang dan berukuran relatif besar sehingga diduga disukai burung sebagai
makanan. Sebelumnya diketahui pada jenis A. titanum, penyebar biji adalah
burung rangkong (Hetterscheid 1995: 3). Burung bulbul juga diketahui sebagai
penyebar biji A. gigas yang persebarannya dari India hingga Sabah (Hetterscheid
&Ittenbach 2003: 7—9).
2.2.2. Habitat A. variabilis
Menurut Ermiati dan Laksmanahardja (1996: 75); Hetterscheid dan
Ittenbach (1996: 2), A. variabilis dapat tumbuh baik pada tanah berpasir,
strukturnya gembur, dan kaya unsur hara.. Steenis (1968: 113) menyatakan, A.
variabilis tumbuh di semua tipe tanah, semak-semak, hutan sekunder, hutan jati,
belukar di pemukiman dan kawasan makam tua yang ternaungi pada ketinggian
100--1000 m dpl. Selain itu juga dapat tumbuh pada wilayah yang memiliki
drainase baik, kandungan humus yang tinggi, dan memiliki pH tanah 6 - 7,5
dengan suhu optimal 25--35 oC (Jansen , dkk 1996: 47 )
Amorphophallus variabilis hanya dapat tumbuh secara alami di daerah
yang memiliki iklim dengan curah hujan yang cakupannya cukup luas
(Hetterscheid & Ittenbach 2003: 45) . Jawa juga merupakan daerah dengan
perbedaan iklim yang jelas. Di samping itu, Jawa juga merupakan daerah yang
padat dengan pemukiman. Pulau Jawa memenuhi kriteria tersebut sehingga
menjadi habitat alami bagi A. variabilis (Backer & van den Brink 1968: 130).
Perbedaan ciri-ciri A. variabilis dengan 2 (dua) jenis Amorphopallus lain di Pulau
Jawa terdapat pada tabel 2.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
10
Tabel 2.1 Ciri-ciri Amorphophallus spp.
Nama Jenis
Ciri-ciri
A. campanulatus
A. variabilis Bl.
A. muelleri Bl.
(Dennst.) Nicols
Persebaran
Umumnya ditanam Umumnya tumbuh
di pekarangan
Tumbuh liar
secara liar
Hijau muda
Warna dan
sampai
Sangat beraneka
Hijau muda sampai
gambaran petioles
tua dengan bercak
ragam sampai hijau
hijau tua dengan
Putih
bercak putih
bercak putih
Permukaan petioles
Licin
Kasar
Licin
Warna tepi daun
Hijau
Hijau
Ungu muda
Umbi batang
Umbi batang
Umbi pada
tumbuhan muda
Pertumbuhan umbi
Bibit
helai daun (bulbil)
Warna luar umbi
Kelabu coklat
Batang
Putih (hijau ungu
Kelabu coklat
atau kelabu bila
kena cahaya
Warna dalam umbi
Kuning muda
Batang
sampai tua
Putih
Kuning
Susunan jaringan
parenkim
Jaringan tebal
Jaringan halus
Jaringan halus
Kadar glukomannan
Sangat sedikit
Rendah sampai
Tinggi hingga
Sedang
sangat tinggi
[Sumber : Sufiani (1993), dalam Rochedi (2004: 6)]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
11
2.3 STUDI POLINASI
A
B
2.3.1 Proses penyerbukan
Polinasi atau penyerbukan tumbuhan adalah proses menempelnya
serbuk sari di kepala putik (Rusfrida 2007: 1). Proses polinasi pada
Angiospermae memiliki tahapan lepasnya serbuk sari dari bunga jantan , proses
perpindahan serbuk sari dari kepala sari (anther) ke kepala putik (stigma)
(Rochedi 2004: 7). Menurut Poehlman (1959: 373) ada beberapa jenis polinasi
atau penyerbukan yaitu penyerbukan sendiri (self pollination) dan penyerbukan
silang (cross pollination). Penyerbukan sendiri adalah perpindahan serbuk sari
dari anther ke stigma dalam satu bunga atau perpindahan serbuk sari dari anther
ke stigma dalam satu tumbuhan sedangkan penyerbukan silang antar tumbuhan
yang berjenis sama.
Tumbuhan berbunga harus mampu menarik perhatian polinatornya
sehingga mendapatkan kunjungan polinator secara kontinyu dan terjamin
terjadinya transfer tepung sari yang mendukung pembuahan (Kartikawati 2008:
2). Polinator pada umumnya mengunjungi tumbuhan berbunga dengan tujuan
untuk mencari makan. Bunga yang sedang mekar (anthesis) mengandung zat gula
(nektar) yang merupakan sumber makanan bagi polinator (Duadreva dan
Pichersky 2006: 97).
2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerbukan
Penyerbukan tumbuhan sangat berpengaruh pada bentuk bunga dan alat
reproduksinya. Arsitektur bunga yang meliputi ukuran, kedudukan organ
reproduksi, aksesibilitas nektar, struktur bunga dan masa pembungaan semua
mempengaruhi interaksi antara tumbuhan dengan polinatornya (Ghazoul, 1997;
Griffin dan Sedgley, 1989 dalam Kartikawati 2008: 2). Faegri dan Pijl (1979)
menyatakan bahwa, sebagian besar agen penyerbuk menunjukkan variasi yang
spesifik dalam hal ukuran tubuh, kemampuan sensorik, perilaku pencarian makan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
12
dan sumber energi yang dibutuhkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada
hubungan yang erat antara arsitektur pembungaan dengan tipe polinatornya
(Kartikawati 2008: 2).
Studi mengenai polinasi tidak lepas dari pembelajaran karakter
perbungaan dan karakter penyerbuk. Karakter perbungaan meliputi morfologi
perbungaan dan morfologi polen. Karakter penyerbuk meliputi jenis penyerbuk
dan perilakunya serta analisi hubungan timbal balik antara tumbuhan dengan
polinatornya. Gibernau (1999) dalam penelitiannya mengenai studi polinasi
Philodendron solimoesense melakukan pengamatan jumlah bunga yang mekar
dalam suatu periode. Diikuti dengan pengambilan data jumlah rata-rata serangga
penyerbuk di setiap perbungaan beserta identifikasi jenis serangga penyerbuk.
2.3.3 Agen Penyerbuk
Penyerbukan juga merupakan dasar pertukaran materi genetik (DNA)
antar tumbuhan. Mekanisme penyerbukan pada hampir seluruh tumbuhan
berbunga memerlukan peran agen penyerbuk sebagai vektor. Agen penyerbuk
dapat berupa abiotik misalnya angin dan air, maupun biotik yaitu berbagai jenis
hewan. Sebagian besar tumbuhan tropis berinteraksi dengan hewan dalam setiap
proses penyerbukan (Schelhas & Greenberg 1996: 19)
Bunga dapat dikunjungi oleh berbagai jenis serangga, yang kemampuan
dalam memindahkan serbuk sari bervariasi (Kartikawati 2008: 2). Buchmann dan
Nabhan pada tahun 1996, menyatakan bahwa antara seluruh agen penyerbuk
biotik, kumbang (Coleoptera) merupakan agen penyerbuk yang paling dominan,
berperan di dalam membantu penyerbukan sekitar 88,3% dari total jenis tumbuhan
berbunga / Angiospermae (Kartikawati 2008: 2).
Dalam proses penyerbukan tumbuhan berbunga terjadi hubungan timbal
balik antara tumbuhan berbunga dengan polinatornya terjadi. Interaksi tersebut
terbentuk jika tumbuhan berbunga dapat menyediakan sesuatu yang dibutuhkan
oleh polinator untuk kelangsungan hidupnya. Griffin dan Sedgley pada tahun
1989 menyatakan bahwa, ketika polinator memperoleh banyak manfaat dari
kontaknya dengan bunga, yang dapat berupa makanan, tempat berlindung dan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
13
membangun sarang atau tempat melakukan perkawinan maka kontak tersebut
dapat menjadi bagian yang tetap dalam hidupnya sehingga akan terbentuk
interaksi yang konstan dengan tumbuhan tersebut. (Kartikawati 2008: 2).
2.3.4. Proses Penyerbukan Amorphophallus spp.
Proses penyerbukan (polinasi) pada marga Amorphophallus relatif unik,
yaitu menggunakan osmofor pada perbungaan untuk menyebarkan odor (zat
aroma). Osmofor menghasilkan gas ammonia yang menghasilkan aroma busuk
sehingga dapat menarik penyerbuk (pollinator). Menurut Beath (1996: 7) osmofor
A. johnsoni di Ghana, akan mengeluarkan aroma di waktu petang. Sehingga
polinator tertarik untuk mendekati perbungaan dan melakukan polinasi.
Tumbuhan suku Araceae, khususnya marga Amorphophallus
menghasilkan aroma yang beraroma seperti daging busuk. Aroma tersebut
dihasilkan dari gas senyawa sulfur yang amis dan relatif mudah menguap. Jenis
Amorphophallus rivieri menghasilkan berbagai gas yang mengandung nitrogen
yaitu amoniak, trimetilamina dan skatole. Gas-gas tersebut menguap di sore hari
dan mengundang serangga untuk mengunjungi perbungaan hingga terjadi polinasi
(Dudareva & Pichersky 2006: 158;Beath 1996: 5)
2.3.5. Serangga penyerbuk Amorphophallus spp.
Menurut Bown tahun 1988 (dalam Rochedi 2004: 9), terdapat beberapa hal
yang merangsang serangga untuk hinggap pada perbungaan tumbuhan suku
Araceae, antara lain:
a. Bau atau aroma yang dihasilkan oleh perbungaan yang terbuka. Pada sebagian
besar tumbuhan Araceae, dihasilkan kombinasi senyawa yang berupa amonia,
protein dan asam amino yang membuat serangga mendatangi organ kelamin
bunga. Uap panas yang dihasilkan oleh spadix dan spatha menghasilkan efek
samping terciptanya kondisi iklim mikro yang sesuai bagi aktivitas serangga.
Uap panas tersebut adalah senyawa sulfur yang merupakan senyawa
oligosulfida
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
14
b. Struktur spatha dan spadix pada perbungaan yang berbentuk cawan
menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai (kelembaban dan kehangatan)
bagi serangga untuk mencari makan atau melakukan perkawinan.
c. Warna dan struktur perbungaan seperti jaringan yang sudah layu dan berwarna
kehijauan hingga merah kecoklatan. Struktur tersebut menarik serangga yang
memiliki kebiasaan hinggap pada tumbuhan yang mati. Sebagian besar
pengunjung perbungaan Amorphophallus spp. adalah serangga yang suka
hinggap pada tumbuhan mati.
Menurut Waddington (1983) serangga polinator dalam aktivitasnya
memiliki kemampuan sensorik dalam menentukan jenis tumbuhan yang sesuai
untuk mencari makanan, melakukan perkawinan, dan meletakkan telur.
Kemampuan sensorik tersebut terdiri atas kemampuan pada indera penerima
rangsang seperti :
a. Indera penglihatan
Penglihatan pada serangga berdasarkan pada pentulan cahaya dari objek
tertentu yang dipantulkan dalam bentuk bayangan pada mata faset (majemuk).
Struktur mata faset serangga berupa kumpulan unit fotoreseptif. Lebah madu,
kupu-kupu, dan jenis-jenis kumbang memiliki penglihatan trichromatic yaitu
mampu membedakan tiga warna. Rentang sensitivitas penglihatan pada kumbang
berkisar antara kuning sampai jingga pada panjang gelombang 650 nm dan UV
300 nm. Struktur mata serangga juga memiliki kemampuan untuk melihat
polarisasi cahaya dan dengan kemampuan tersebut, serangga dapat menentukan
arah pulang, tempat mencari makan dan membantu pergerakan di antara bunga
berdasarkan posisi matahari.
b. Indera penciuman
Kumbang dapat membedakan berbagai jenis aroma dan memiliki
ketajaman penciuman dan memiliki kemampuan untuk membedakan intensitas
aroma yang melebihi ambang batas.
c. Indera perasa
Indera perasa pada polinator berfungsi untuk menentukan jenis nutrisi dari
berbagai jenis makanan yang tersedia. Lebah madu memanfaatkan tiga komponen
gula pada nektar (sukrosa, glukosa, dan fruktosa) untuk membedakan rasa. Kadar
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
15
gula yang biasa diterima oleh lebah madu berkisar antara 2--4 % dengan
perbedaan konsentrasi sukrosa pada madu ± 5 %.
d. Masa polinasi
Masa kedatangan serangga polinator sangat dipengaruhi oleh terbentuknya
nektar pada tumbuhan. Pembentukan nektar terjadi selama beberapa hari dan
terdapat perbedaan waktu antara setiap individu tumbuhan, sehingga polinator
memiliki sensitivitas terhadap waktu terbentuknya madu (Rochedi 2004: 9).
Polinator A. variabilis adalah organisme yang tertarik terhadap aroma
busuk yang dikeluarkan osmofor . Osmofor adalah organ perbungaan yang
meghasilkan aroma busuk (Gambar 2.3). Tumbuhan yang mengeluarkan aroma
seperti hewan mati pada umunya dipolinasi oleh serangga. Serangga yang umum
sebagai polinator adalah kumbang Coleoptera dari suku Silphidae, Staphylinidae,
Dermestidae dan lalat dari suku Calliphoridae, Sarcophagidae, Muscidae,
Anthomyiidae, dan Drosophillidae. Kelompok serangga tersebut tertarik oleh
senyawa sulfur (oligosulfida) yang dihasilkan tumbuhan sehingga berkunjung ke
bunga. Polinasi terjadi ketika secara tidak disengaja, sehingga serangga
menempelkan serbuk sari ke kepala putik. Kumbang carrion (suku Silphidae),
kumbang rove ( Staphylinidae, Scrabaeideae) adalah merupakan serangga yang
sering mengunjungi perbungaan Amorphophallus dan berperan sebagai polinator
yang baik (Dudareva dan Pichersky 2006 : 158).
Pijl (1937: 50) melakukan penelitian terhadap polinator tiga jenis
Amorphophallus (A. muelleri, A. titanum,dan A. variabilis). Hasil penelitian
menunjukkan pollinator ketiga jenis Amorphophallus tersebut adalah kumbang
carrion (suku Silphidae) atau kumbang rove (suku Staphylinidae) . Jenis-jenis
kumbang tersebut diketahui sebagai serangga yang menyukai aroma busuk. Hal
yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Beath (1996: 4) mengenai polinasi
A. johnsoni oleh kumbang carrion di Ghana.
Hasil Penelitian Pijl (1937:50) menunjukkan, serangga penyerbuk A.
variabillis dari fase telur hingga dewasa berada di perbungaan. Serangga tersebut
melakukan fase reproduksi di perbungaan A. variabilis. Berdasarkan penelitian
Rochedi (2004), polinasi pada A. variabilis dibantu oleh kumbang dari suku
Nitidulidae dan lebah dari suku Apidae, . Serangga tersebut datang pada pukul
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
16
16.30 sore dan pergi 3 jam kemudian dan terjadi selama beberapa hari.
Kedatangan serangga tersebut sebagai respon dari aroma yang dikeluarkan oleh
perbungaan (Rochedi 2004: 10)
osmofor
1 cm
bunga
jantan
bunga
betina
Foto habitus perbungaan
Gambar 2.3. Osmofor dan bagian-bagian lain dalam perbungaan salah satu jenis
Amorphophallus
[Sumber: Beath 1996:3]
2.4 STUDI POPULASI
2.4.1. Definisi Studi Populasi
Menurut Krebs tahun 1999 (dalam Ngabekti 2003), populasi adalah
sekelompok makhluk hidup yang sama jenisnya dan mendiami suatu ruang dan
waktu tertentu (Purborini 2006: 9). Populasi mempunyai dua karakteristik dasar
yaitu karakteristik biologi yang merupakan ciri yang dipunyai oleh individuindividu pembangun populasi, dan karakteristik statistik yang merupakan ciri
uniknya sebagai himpunan individu. Karakteristik biologis populasi adalah
(Odum,1993: 23),
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
17
a. Mempunyai struktur dan organisasi tertentu yang bersifat ada yang konstan atau
mengalami perubahan sejalan dengan waktu.
b. Mempunyai ontogeni atau sejarah hidup.
c. Dapat dikenai dampak faktor-faktor lingkungan dan dapat memberikan respon
terhadap faktor lingkungan.
d. Mempunyai hereditas atau mampu bereproduksi.
e. Terintegrasi oleh faktor-faktor hereditas dan lingkungan.
Karakteristik statistik timbul sebagai akibat aktivitas kelompok individu
yang berinteraksi. Karakteristik statistik populasi adalah (Odum 1993: 24):
a. Kelimpahan dan kerapatan populasi
b. Sebaran umur
c. Distribusi atau dispersi individu-individu dalam populasi
d. Potensi biotik
e. Bentuk pertumbuhan
Studi mengenai populasi dapat dilakukan untuk membuktikan karakteristik
biologis populasi maupun karakteristik statistik populasi. Interaksi antar makhluk
hidup di alam dengan suatu populasi dapat dibuktikan melalui karakteristik
statistik populasi. Kelimpahan dan sebaran (distribusi) merupakan salah satu
karakteristik yang digunakan untuk mengukur struktur suatu populasi vegetasi.
Pengetahuan mengenai sebaran spasial (distribusi dan kerapatan) dapat digunakan
sebagai masukan positif dalam penentuan strategi pengelolaan hutan produksi
yang optimal dengan tetap memperhatikan segi ekologinya (Purborini 2006: 1).
Studi populasi digunakan sebagai pendukung data pada studi polinasi.
Beath (1996: 1) dan Gibernau (1999: 3) melakukan studi populasi pada tumbuhan
dari suku Araceae sebagai studi pendahuluan dari studi polinasi. Data dari studi
populasi digunakan sebagai gambaran objek penelitian studi polinasi yang berupa
profil habitat, frekuensinya, dan pola sebarannya di alam. Punekan dan Kumaran
(2010: 3) menggunakan data populasi jenis-jenis Amorphophallus di India dalam
studi polinasi dan digunakan sebagai gambaran sebaran tumbuhan beserta
polinatornya di tiap-tiap lokasi. Beath (1996: 4--6) menggunakan data
kelimpahan dan Punekan dan Kumaran (2010: 3) menggunakan data pola sebaran
dalam studi populasi
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
18
2.4.2. Metode Studi Populasi
2.4.2.1. Menentukan kelimpahan
Kelimpahan ditentukan dengan menentukan dominansinya dengan rumus
berikut :
Dominansi
:
Frekuensi kehadiran sampel juga ditentukan dengan rumus:
Frekuensi
:
2.4.2.2. Menentukan pola sebaran
Pola sebaran digunakan untuk mengetahui sifat-sifat persebaran suatu
populasi dalam suatu habitat. Pola sebaran suatu populasi perlu diketahui karena
sebagian besar populasi makhluk hidup merupakan populasi yang terpola
persebarannya. Dibutuhkan metode untuk mengetahui pola sebaran populasi. Hal
tersebut agar pola sebaran dapat dijelaskan secara objektif sehingga dapat
dijadikan sebuah dasar ilmiah (Krebs 1999: 47).
Penentuan pola sebaran, memerlukan satu set data yang berupa jumlah
individu per populasi yang ditemukan di setiap n kuadrat. Pola sebaran
ditentukan dengan sebuah indeks yang disebut dengan indeks sebaran (indice of
dispersion). Metode yang digunakan untuk menentukan indeks sebaran harus
memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu:
1. Harus memiliki cara yang mudah untuk menentukan perbedaan pola sebaran,
mulai dari yang seragam, acak, ataupun mengelompok.
2. Kesimpulan yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh kepadatan, jumlah sampel,
atau variasi lain yang terdapat dalam suatu kuadrat sampel.
3. Harus dapat diuji secara statistik agar dapat dibandingkan pola sebaran dua
populasi untuk diuji signifikansinya
(Krebs 1999: 49)
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
19
Terdapat 5 (lima) uji untuk mengetahui indeks sebaran yaitu:
1. Variance to mean ratio
2. k of the negative binominal
3. Koefisien Green
4. Indeks sebaran Morisita
5. Indeks sebaran Morisita yang terstandarisasi
Indeks sebaran Morisita, merupakan indeks yang memenuhi kriteria uji di
atas. Akan tetapi, Indeks sebaran Morisita masih dipengaruhi oleh jumlah sampel
dan keakuratannya masih di bawah Koefisien Green (Krebs 1999: 37).
Morisita (1968) mengembangkan sebuah indeks yang dinamakan Indeks
Sebaran Morisita:
Id = n
di mana,
 ∑ x2 − ∑ x 
 ( x )2 − x 
∑ 
∑
(1)
Id = Indeks sebaran Morisita
n = jumlah sampel
∑x
∑x
= rata-rata jumlah kuadrat= x1 + x2 + x3 L
2
2
2
3
= rata-rata jumlah luas kuadrat = x1 + x2 + x2 L
Indeks tersebut, diuji menggunakan uji statistika untuk menguji hipotesis nol dan
kerandoman data dengan rumus:
χ 2 = Id ( ∑ x − 1) + n − ∑ x
(d.f.= n − 1)
2
di mana, χ = uji statistik untuk Indeks sebaran Morisita (distribusi chi-square)
Tahun 1975, Smith dan Gill mengembangkan kembali Indeks sebaran
Morisita menjadi Indeks Sebaran Morisita terstandarisasi. Indeks dapat dengan
mudah dianalisi dengan rentang nilai penghitungan antara -1 hingga +1. Cara
penghitungan indeks sama dengan penghitungan Indeks Sebaran Morisita biasa
hanya dilengkapi dengan penghitungan nilai kritis pada Indeks sebaran Morisita
dengan rumus Uniform index ( Indeks keseragaman):
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
(2)
20
Uniform index = Mu =
di mana,
2
χ.975
− n +
∑x
i
(3)
( ∑ xi ) − 1
2
χ.975
= nilai chi-square dari tabel dengan (n -1) derajat
kepercayaan hingga 97,5% dari kanan tabel.
x i = Jumlah organisme dalam satu kuadrat(i = 1,...n)
n = Jumlah kuadrat
Clumped index = Mc =
di mana,
2
χ.025
− n +
∑x
i
(4)
( ∑ xi ) − 1
2
χ.025
nilai chi-square dari tabel (n-1) d.f. yang memiliki 2.5%
derajat kepercayaan dari kanan tabel.
Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung dan menentukan nilai
Indeks Sebaran Morisita dengan standarisasi sebagai berikut :
Jika Id ≥ Mc > 1.0 :
 I − Mc 
IP = 0.5 + 0.5  d

 n − Mc 
(5)
JIka Mc > Id ≥ 1.0 :
 I − 1
IP = 0.5  d

 Mu − 1 
(6)
Jika 1.0 > Id > Mu :
 I −1
IP = − 0.5  d

 Mu − 1 
(7)
Jika 1.0 > Mu > Id :
 I − Mu 
IP = -0.5 + 0.5  d

 Mu 
(8)
Standarisasi nilai Indeks Sebaran Morisita berkisar antara -1 hingga +1
dengan derajat kepercayaan 95% atau +0.5 hingga -0.5. Pola sebaran acak akan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
21
menghasilkan nilai I p nol, pola mengelompok di atas nol, dan pola seragam di
bawah nol. Jumlah sampel minimum yang dibutuhkan untuk melakukan
penghitungan Indeks Sebaran Morisita sangat sulit untuk diketahui. Akan tetapi,
Green (1955) merekomendasikan, jumlah sampel minimum adalah 50. Untuk
pola sebaran yang jelas mengelompok, disarankan untuk mengambil sampel
paling sedikit sebanyak 200 (Krebs 1999: 56--60).
Myers tahun 1978 (dalam Krebs 1999: 61) dalam studinya menjelaskan
bahwa Indeks Sebaran Morisita merupakan cara terbaik untuk menentukan pola
sebaran. Hal tersebut karena, Indeks tersebut tidak dipengaruhi oleh kepadatan
populasi dan jumlah sampel.
2.5 KAWASAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
Kampus Universitas ndonesia terletak di daerah Depok, Jawa Barat pada
koordinat 06o 20‘--06o 23’ LS dan 106o 49‘--106o 50‘ BT. Total Kampus
Universitas Indonesia (UI) Depok 312 ha. Total luas tersebut dialoksikan untuk
bangunan fisik gedung dan penyangga hijauan lansekap (170 ha), ekosistem
perairan (30 ha), kawasan hutan kota (100 ha) dan sarana prasarana penunjang,
termasuk penyangga lingkungan seluas 12 ha. Ekosistem perairan meliputi 6 situ
atau danau, yaitu Situ Kenanga, Situ Aghatis, Situ Mahoni, Situ Puspa, Situ lin
dan Situ Salam (Universitas Indonesia 2011: 1)
Kampus UI Depok memiliki tujuh tipe habitat yang berbeda. Tipe habitat
terseut adalah danau, empang, sawah, tegalan, alang-alang, kebun karet. hutan
penghijauan. Tiap tipe habitat tersebut berupa mozaik atau patches. Sisanya
menjadi lingkungan aktivitas perkuliahan. Lingkungan kampus di luar hutan kota
juga memiliki daerah vegetasi. Vegetasi karet terdapat di belakang kampus
FMIPA, belakang Kampus PNJ, dan di seberang kampus FISIP. Setiap fakultas
juga ditanam berbagai jenis tumbuhan di areal taman (Taqyuddin dkk. 1997: 17).
Kampus UI Depok memiliki potensi yang cukup besar sebagai tempat
tumbuhnya berbagai jenis vegetasi. Kampus terebut awalnya merupakan daerah
perkebunan, pertanian (baik pertanian / sawah tadah hujan maupun peretanian
lahan kering ), dan permukiman penduduk dengan kepadatan randah (Taqyuddin
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
22
dkk. 1997: 17). Waryono pada tahun 2005 menyatakan bahwa, kampus tersebut
mampu memdukung kehidupan berbagai makhluk hidup, yaitu tumbuhan, hewan,
mikroorganisme dan manusia (Dhewangkoso 2008: 4). Berbagai jenis tumbuhan
tumbuh di kawasan tersebut. Ratusan jenis tumbuhan baik yang ditanam maupun
yang liar tumbuh dengan cukup baik, sehingga Kawasan UI Depok dapat menjadi
sumber plasma nutfah bagi kelestarian tumbuhan.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3. 1. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di kawasan Kampus UI Depok pada 06 o20‘ -- 06
o
23‘ LS dan 106 o49‘ -- 106 o 50‘ BT, untuk pengambilan data populasi dan
pengamatan polinasi. Identifikasi tumbuhan dan hewan masing-masing dilakukan
di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan dan Taksonomi Hewan Departemen
Biologi FMIPA UI. Pengambilan data populasi dilakukan sepanjang periode
tumbuh dari periode vegetatif hingga periode generatif (berbunga) pada bulan
Maret--Mei. Pengambilan data polinasi dilakukan sepanjang periode generatif
(berbunga) yaitu pada awal masa penghujan pada bulan Maret -- Mei. Pengolahan
data dilakukan setelah masing-masing proses pengambilan data selesai.
3.2. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN
Peralatan lapangan untuk keperluan pengambilan data populasi adalah tali
transek, patok kayu, tali rafia, pita penanda dan tali pengukur. Alat penangkap
serangga, botol film, kain kassa, dan botol plastik digunakan untuk keperluan
pengambilan spesimen hewan pengunjung. Higrometer dan lux meter dilakukan
untuk mengukur parameter lingkungan. Peralatan laboratorium yang digunakan
adalah mikroskop stereo, dissecting set, penggaris, dan buku identifikasi serangga
untuk keperluan identifikasi serangga.
Sampel yang diambil adalah tumbuhan A. variabilis yang terdapat pada
petak sampel dan sedang berbunga sebanyak 20 sampel serta hewan
pengunjungnya. Bahan yang dibutuhkan untuk pengambilan sampel adalah
alkohol 70%, larutan pengawet serangga yang terdiri atas etil asetat dan formalin
4% dengan perbandingan 1:2, dan aquades.
23
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
24
3.3.
CARA KERJA
Cara kerja dibagi menjadi 2 (dua) bagian sesuai dengan kebutuhannya,
yaitu metode dalam studi populasi dan polinasi. Metode penelitian dalam studi
polinasi, menggunakan metode stastitika deskrptif, karena jenis peubah yang
diamati bersifat deskriptif. Metode penelitian untuk Studi Populasi menggunakan
metode statistika numerik untuk menentukan hasil yang bersifat deskriptif.
3.3.1 Studi Polinasi
3.3.1.1 Penentuan lokasi sampling
Penentuan lokasi sampling sama dengan lokasi pengambilan data populasi.
Akan tetapi, sampel yang diambil berbeda dengan data populasi. Di setiap lokasi
sampling, diambil masing-masing 3 (tiga) sampel tumbuhan yang sedang
berbunga. Sehingga, jumlah keseluruhan sampel berjumlah 18 sampel. Tiap
sampel ditandai dengan menggunakan pita penanda dan diberi nomor (Gambar 8).
3.3.1.2 Pengamatan pola pertumbuhaan perbungaan tumbuhan
Dari setiap sampel tumbuhan dilakukan pengamatan terhadap:
1. Pertumbuhan bagian-bagian bunga yang meliputi : panjang, diameter dan warna
dari setiap bagian bunga yaitu batang daun, spatha, bunga jantan, bunga betina,
dan osmofor (Gambar 4). Peubah lain yang diamati adalah waktu muncul bau,
waktu muncul serangga, dan waktu anthesis.
2. Jumlah biji yang terbentuk dalam polinasi dicatat berikut diameter dan berat
umbi setelah 14 hari pengamatan.
Pengamatan dan terhadap pertumbuhan dan perkembangan bunga dilakukan
setiap hari selama 8 hingga 14 hari. Pengukuran terhadap panjang dan diameter
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
25
bunga menggunakan meteran YAMAYO Million 12. Warna bagian bunga diukur
dengan Adobe Potoshop CS 3.
3.3.1.3 Pengamatan aktivitas hewan pengunjung
Pengamatan dilakukan selama masa berbunga. Tumbuhan yang
perbungaannya masih kuncup ditandai. Pengamatan jenis dan aktivitas hewan
pengunjung mulai dilakukan apabila perbungaan telah mekar. Pengamatan
dilakukan selama 2 (dua) malam berturut-turut pada masing-masing sampel di
hari yang berbeda. Posisi hewan tersebut beraktivitas di bagian osmofor , bunga
jantan, atau bunga betina dicatat dalam satu pengamatan. Pengamatan dilakukan
setiap 10 menit pada masing-masing perbungaan dengan rentang waktu dari pukul
17.00--19.00. Tanggal dan rentang waktu pengamatan dicatat. Suku, jenis
kelamin, dan karakteristik dari serangga pengunjung dicatat.
3.3.1.4. Pengamatan hewan pengunjung perbungaan
Pengambilan sampel dilakukan terhadap jenis-jenis hewan yang terdapat di
sampel perbungaan. Alat penjebak yang digunakan untuk menyedot serangga
melalui selang ke dalam tabung transparan. Sampel yang berhasil ditangkap
kemudian dimasukkan ke botol film yang berisi larutan etil asetat : formalin 4% 1
: 2 secukupnya. Proses identifikasi hewan dilakukan di bawah mikroskop stereo.
Jenis hewan yang berhasil diidentifikasi dicatat karakternya.
3.3.1.5. Pengukuran data lingkungan
Pengukuran data lingkungan terdiri atas suhu, intensitas cahaya dan
pengukuran kelembaban udara. Pengukuran suhu lingkungan dilakukan dengan
cara menggantungkan thermometer lingkungan di tiap lokasi sampel. Pengukuran
intensitas cahaya dilakukan dengan lux meter. Bagian lux meter yang peka
terhadap cahaya diarahkan pada pantulan datangnya cahaya, besarnya intensitas
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
26
dapat dilihat pada skala. Pengukuran kelembaban dilakukan dengan cara melihat
angka pada higrometer yang digantung pada lokasi yang bersangkutan.
1 cm
penjang osmofor
panjang
total
panjang
tongkol
bunga
jantan
panjang tongkol
bunga betina
lebar total
Gambar 3.1. Skema pengukuran perbungaan A. variabilis
[Sumber: Beath 1996: 5]
3.3.2 Studi Populasi
3.3.2.1 Penentuan lokasi sampling
Metode yang digunakan adalah purposive random sampling. Sebagai
langkah awal dilakukan pengamatan pendahuluan di daerah kampus UI.
Berdasarkan pengamatan pendahuluan ditentukan dua daerah pengamatan yaitu
lokasi Hutan kota dan lingkungan kampus. Masing-masing daerah dibagi lagi
menjadi 3 lokasi berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
27
di masing-masing daerah (Tabel 3). Kemudian ditetapkan titik sampel 1,2,3 yang
merupakan titik sampel di daerah Hutan Kota dan titik sampel 4,5,6 yang
merupakan titik sampel di daerah lingkungan kampus (Gambar 6).
U
10
100 m
KETERANGAN
= sampel perbungaan
= titik sampel hutan PNJ
= daerah sampel hutan kota
= garis transek
= titik sampel hutan karet MIPA
= titik sampel hutan karet FISIP
Gambar 3.2. Peta pengambilan sampel perbungaan
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
28
3.3.2.2. Pengambilan sampel
Sampel di daerah hutan kota diambil menggunakan metode transek garis
dengan mengikuti jalur yang sudah tersedia. Ditarik garis sepanjang 5 meter ke
kiri dan kanan jalur. Pengamatan dilakukan pada setiap 100 meter dan jarak dari
satu plot ke plot yang lain berjarak 100 meter. Sampel di dalam kampus diambil
dengan metode transek kuadrat. Tiap-tiap titik sampel terdapat 100 kuadrat unit
sampel seluas 2x2 meter yang ditentukan secara random. Hal tersebut dilakukan
karena daerah hutan kota memiliki lokasi yang luas dan berdasarkan pengamatan
pendahuluan jumlah populasi A. variabilis di lokasi tersebut sedikit (Tabel 3).
Sebaliknya, lokasi di lingkungan kampus memiliki lokasi yang terbatas dan
terfragmentasi. Keberadaan A. variabilis di lokasi tersebut berkelompok dalam
jumlah relatif banyak di tiap lokasi.
Penghitungan jumlah individu pada setiap unit sampel di setiap lokasi
dimaksudkan untuk menentukan frekuensi dan pola sebaran. Kelimpahan
ditentukan dengan menentukan persentase dominansi. Setiap lokasi ditandai
dengan menggunakan GPS (Global Positioning Syetem) pada Aplikasi Google
EarthTM. Gambaran sebaran populasi Amorphophallus variabillis disajikan dalam
bentuk peta pola sebaran.
= titik
sampel
= unit
sampel
berukuran
2x2 meter
(ditentukan
secara
acak)
berjumlah
Gambar 3.3 Unit sampel pada metode transek kuadrat
[Sumber : Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
29
100 m
Keterangan :
Lokasi 1 -- 3 menggunakan metode sampel kuadrat
Lokasi 4 -- 6 menggunakan metode transek garis
Gambar 3.4. Peta lokasi pengambilan sampel studi populasi
[Sumber : Pencitraan Google Earth 4 April 2010]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
30
5m
100 m
5m
= titik sampel
= garis transek
= titik awal transek
= titik akhir transek
Gambar 3.5. Unit sampel pada metode transek garis
[Sumber : Dokumentasi pribadi]
3.4 ANALISIS DATA
3.4.1 Menentukan pola pertumbuhan perbungaan
Pengamatan pengamatan pola pembungaan disajikan dalam bentuk grafik
kurva pertumbuhan. Analisi data yang diperoleh berdasarkan pada interpretasi
kurva pertumbuhan dengan melihat pola kemiripan dan perbedaan antara peubah
yang diamati pada perkembangan bagian-bagian bunga.
3.4.2. Menentukan polinator dan aktivitas polinasi
Pengolahan data pengamatan jenis hewan pengunjung disajikan dalam
tabel deskriptif yang memuat bangsa, dan suku hewan pengunjung beserta
perilakunya. Data pengamatan aktivitas hewan pengunjung disajikan dalam
bentuk grafik kuantitatif persentase posisi hewan pengunjung tiap jenisnya di
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
31
perbungaan. Data tersebut menampilkan jenis hewan yang berperan dalam
penyerbukan atau sebagai polinator. Jenis hewan diidentifikasi dengan
menggunakan buku acuan identifikasi. Hubungan antara panjang perbungaan
dengan jumlah total serangga disajikan dalam grafik garis (Gibernau 1999: 5).
3.4.3. Menentukan kelimpahan dan pola sebaran
Kelimpahan Amorphophallus variabilis ditentukan dengan menentukan
dominansi dan frekuensi. Pola sebaran populasi ditentukan pendekatan
menentukan Indeks Sebaran Morosita yang terstandarisasi. Indeks Morisita (I p)
dengan nilai nol menggambarkan pola sebaran yang acak, nilai diatas nol
menggambarkan pola sebaran mengelompok dan nilai dibawah kan pada
interpretasi kurva pertumbuhan dengan nol menggamarkan pola seragam (Krebs:
271). Indeks Morosita dihiitung menggunakan program Ecological Methods versi
6.1.
3.4.4. Menentukan hubungan panjang osmofor dan diameter spatha dengan
jumlah hewan pengunjung
Hubungan panjang osmofor dan diameter spatha dengan jumlah hewan
pengunjung digunakan untuk menentukan faktor yang memengaruhi datangnya
hewan pengunjung ke perbungaan. Hubungan tersebut digambarkan dalam kurva
regresi linier yang dibuat menggunakan program SPSS 16.0. Kurva yang
menunjukkan hasil positif menunjukkan adanya hubungan antara faktor-faktor
tersebut.
3.4.5 Analisis kesamaan habitat berdasarkan karakter morfologi
Analisis tersebut menggunakan data ukuran panjang dan diameter dari
tumbuhan dan data lingkungan yaitu intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban.
Dendogram yang dihasilkan dijelaskan secara deskriptif dengan membandingkan
2 hasil yang didapat. Dendogram dibuat dengan metode Morisita, yang
merupakan salah satu metode dalam menentukan similaritas. Data dihitung
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
32
menggunakan program Multivariat Statistical Programme (MVSP) berikut
dendogram dari data yang telah dihitung.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada kawasan Kampus Universitas Indonesia Depok
(06 o20‘ -- 06 o23‘ LS dan 106 o49‘ -- 106 o 50 BT‘). Lokasi penelitian dibagi
menjadi 6 (enam) lokasi. Lokasi 1, 2, dan 3 merupakan vegetasi yang
terfragmentasi di antara bangunan-bangunan fisik. Lokasi 1 terletak di sisi barat
laut Fakultas MIPA, lokasi 2 di area kampus PNJ, lokasi 3 di hutan karet di
seberang Kampus Fakultas Psikologi. Lokasi 4--6 terletak di area Hutan Kota
Universitas Indonesia. Penetapan lokasi 1--6 sebagai tempat pengambilan data
penelitian berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan pada bulan Agustus-Oktober di lokasi tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat populasi
Amorphophallus variabilis di lokasi 1--6 (Gambar 4.1).
Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan, diambil data populasi A.
variabilis berupa pola sebaran, frekuensi, dominansi, dan jumlah individu / m2.
Sampel A. variabilis sebanyak 20 di setiap lokasi untuk mengetahui fenologi
perbungaan serta proses polinasi yang terjadi (Gambar 4.2--4.3)
Jumlah
Gambar 4.1. Hasil pengamatan pendahuluan
terhadap jumlah populasi A. variabilis di kawasan UI Depok
33
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
34
= No. Lokasi
= No. Sampel Perbungaan
Gambar 4.2. Pemetaan Lokasi Sampel Perbungaan (Lokasi 1--3)
[Sumber: Aplikasi Google Earth: 4 November 2010]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
35
= No. Lokasi
= No. Sampel Perbungaan
Gambar 4.3. Pemetaan Lokasi Sampel Perbungaan (Lokasi 4--6)
[Sumber: Aplikasi Google Earth: 4 November 2010]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
36
Lokasi 1--3 merupakan kawasan yang didominasi vegetasi pohon karet
(Hevea brasiliensis) dengan vegetasi perdu dan herba sebagai tumbuhan penutup.
Lokasi 4--6 merupakan kawasan Hutan Kota Universitas Indonesia yang
merupakan vegetasi hutan sekunder. Kawasan tersebut didominasi oleh vegetasi
pohon akasia (Acacia mangium dan Acacia auriculiformis). Karakteristik
keenam lokasi tidak jauh berbeda. Hal tersebut dibuktikan dalam dendogram
hasil dari uji statistik dengan komponen pembanding berupa data suhu udara,
kelembaban, dan intensitas cahaya pada tiap lokasi (Gambar 4.4). Berdasarkan
hasil uji kesamaan dengan Indeks kesamaan Morisita, terdapat dua kelompok
yaitu Lokasi 1, 2, dan 3 dan Lokasi 4, 5, dan 6. Derajat kesamaan dari masing-
masing kelompok adalah 95.2 %. Lokasi 1,2, dan 3 memiliki 100 % derajat
kesamaan, sedangkan lokasi 4, 5, dan 6, tterbagi
erbagi menjadi 2 kelompok yaitu lokasi
6 dengan dan lokasi 4, dan 5 dengan derajat kesamaan 99,2 %.
u
Dendogram
ram perbedaan lokasi berdasarkan lingkungan
Gambar 4.4. Dendog
Suhu di keenam lokasi berkisar antara 32--33.5 oC di siang hari dan 28--30
o
C di sore hari. Kelembaban udara berkisar antara 71--76% di siang hari dan
meningkat pada sore harinya menjadi 77--82 %. Pengamatan aktivitas serangga
pada perbungaan dilakukan pada sore hari karena suhu dan kelembaban lebih
tinggi dibandingkan siang hari. Berdasarkan pengamatan osmofor mengeluarkan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
37
aroma yang menarik serangga pada sore hari pukul 17.00--19.00. Suhu dan
kelembaban yang tinggi diduga memengaruhi pengeluaran aroma dari osmofor.
Pengukuran intensitas cahaya menunjukkan terdapat perbedaan antara
Lokasi 1--3 dan Lokasi 4--6. Lokasi 1--3 memiliki rata-rata intensitas cahaya
lebih dari 700--790 Candela sedangkan rata-rata intensitas cahaya pada Lokasi 4-6 berkisar antara 200--263 Candela (Gambar 4.5). Perbedaan intensitas cahaya
pada Lokasi 1--3 dan 4--6 disebabkan oleh Lokasi 1--3 yang merupakan vegetasi
di antara bangunan fisik kampus, lebih terbuka dengan tingkat akuisisi cahaya
matahari yang lebih tinggi dibandingkan dengan Lokasi 4--6. Lokasi 4--6
merupakan kawasan hutan kota dengan taju
tajuk
k kanopi yang relatif rindang sehingga
menghalangi akuisisi cahaya hingga ke lantai hutan.
Gambar 4.5. Perbedaan karakter lingkungan (Suhu, Kelembaban, dan
Intensitas Cahaya) pada lokasi penelitian
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
38
4.2. KARAKTERISTIK FASE GENERATIF Amorphophallus variabilis
4.2.1. Batang
Karakteristik batang perbungaan dari hasil pengamatan memiliki
permukaan yang halus, berwarna hijau sampai hijau kecokelatan, bercorak polos
hingga memiliki bercak berbentuk bulat atau lonjong berwarna putih hingga
kekuningan (Gambar 4.6). Panjang batang dari keseluruhan inividu A. variabilis
yang diamati berkisar antara 5.2 ----160 cm dengan diameter 0.05 cm --2.3 cm.
Panjang batang perbungaan sewaktu anthesis berkisar antara 45.8--160 cm dengan
diameter 0.7 --2.3 cm.
cokelat
bercak
putih
Hijau
bercak
putih
1 cm
1 cm
Hijau
bercak
putih dan
hitam
Hijau
kecokel
atan
bercak
putih
Hijau
kecokel
atan
1 cm
Hijau
kecokel
atan
bercak
putih
Hijau
polos
1 cm
1 cm
Hijau
kecokel
atan
1 cm
1 cm
Hijau
kecokel
atan
bercak
putih
1 cm
1 cm
Gambar 4.6. Ragam batang A. variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
39
4.2.2. Umbi
Umbi Amorphophallus variabilis berbentuk seperti tanaman talas
(Colocasia esculenta Schott.) dan keladi (Caladium bicolor (Ait.) Vent.). Ukuran
umbi yang terbentuk tergantung pada proses fotosintesis yang terjadi sehingga
faktor lingkungan seperti cahaya, udara, air, dan tanah menjadi sangat penting
(Rochedi 2004: 4). Umbi A. variabilis dalam fase generatif yang diamati
memiliki diameter berkisar antara 7.5 --12.7 cm. Daging umbi berwarna putih
dengan kulit berwarna putih kecokelatan dan terdapat beberapa mata tunas pada
permukaan umbi (Gambar 4.7).
Massa umbi maksimum bisa mencapai 1.5 kg (Jansen dkk. 1996: 47).
Massa umbi dipengaruhi oleh tinggi tumbuhan dan proses fotosintesis yang
terjadi. Massa umbi akan bertambah seiring dengan bertambahnya tinggi
tumbuhan dan bertambahnya akitvitas fotosintesis. Faktor lingkungan seperti
intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan kandungan air dalam tanah memengaruhi
proses fotosintesis (Rochedi 2004: 4).
Tumbuhan pada intensitas cahaya yang sedikit atau berada pada naungan
memiliki ukuran umbi yang relatif lebih kecil. Tumbuhan pada naungan memiliki
ukuran batang yang relatif lebih kecil dengan kondisi xylem yang kurang
berkembang. Protein stroma total pada kloroplas juga lebih sedikit. Stroma
mengandung berbagai enzim untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat terutama
dalam bentuk pati (Salisbury & Ross: 76).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
40
A
B
Diameter: 15 cm
(A-B)
C
D
Diameter: 30 cm
(C-D)
Gambar 4.7. Ragam umbi A. variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
4.2.3. Osmofor
Osmofor merupakan organ perbungaan yang merupakan modifikasi dari
tongkol perbungaan yang menghasilkan gas ammonia yang menghasilkan aroma
busuk sehingga dapat menarik penyerbuk (pollinator) (Dudareva dan Pichersky
2006: 158; Beath1996: 5). Berdasarkan penelitian Rochedi (2004: 14) panjang
osmofor sewaktu anthesis berkisar antara 9.5 --39.2 cm.
Berdasarkan pengamatan, panjang osmofor pada perbungaan sewaktu
anthesis berkisar antara 12.4 -- 39.4 cm dengan diameter 1.2 cm--3.1cm sewaktu
anthesis. Osmofor pada lokasi pengamatan memiliki karakteristik berbentuk bulat
dengan ujung yang lancip, ada yang berbentuk tidak normal dengan ujung
melengkung. Permukaan yang berbintik dan memiliki warna yang beragam
seperti kekuningan, coklat kemerahan, dan ungu kemerahan (Gambar 4.8).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
41
A
B
E
5 cm
5 cm
5 cm
5 cm
D
C
F
5 cm
A. Osmofor berwarna cokelat kemerahan
B. Osmofor berwarna putih kekuningan
C. Osmofor berwarna ungu kemerahan
D. Osmofor berwarna kuning
5 cm
E--F. Osmofor dengan
Bentuk tidak normal
Gambar 4.8. Ragam osmofor A. variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
4.2.4. Spatha
Spatha berbentuk seperti cawan berkaitan dengan fungsinya dalam proses
penyebaran serbuk sari dari bunga jantan ke bunga betina dan menyediakan
kelembaban yang sesuai bagi serangga pengunjung yang terjebak di dalamnya
(Hetterscheid dan Ittenbach 2003: 7—9). Berdasarkan hasil pengamatan,panjang
spatha pada perbungaan yang diamati berkisar antara 5 --22.4 cm dengan diameter
1.3--4.1 cm. Spatha pada perbungaan yang diamati memiliki warna hijau
kekuningan, bagian bawah berbintik putih dengan corak yang beragam (Gambar
4.9).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
42
1 cm
1 cm
1 cm
1 cm
1 cm
1 cm
1 cm
Spatha dengan warna hijau kekuningan
dan corak polos
1 cm
1 cm
Spatha dengan warna putih kehijauan
dengan corak bintik hitam dan putih
Spatha dengan warna putih kehijauan
dengan corak bintik putih
Gambar 4.9. Ragam spatha A. variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
4.2.5. Perbungaan Jantan
Perbungaan jantan terletak di atas bunga betina. Perbungaan jantan yang
sedang dalam masa anthesis berwarna putih kekuningan hingga berwarna
kecokelatan ketika mengeluarkan serbuk sari . Perbungaan jantan akan
mengering dan berwarna cokelat kehitaman ketika proses polinasi telah terjadi
(Gambar 4.10). Perbungaan jantan menghasilkan serbuk sari yang berperan
dalam proses penyerbukan (Hetterscheid & Ittenbach 2003: 7--9). Panjang bunga
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
43
jantan pada perbungaan yang diamati berkisar antara 2.2--6.8 cm dengan diameter
1.1--3.1 cm sewaktu anthesis
0.5 cm
0.5 cm
bunga jantan
serbuk sari
Gambar 4.10. Bentuk perbungaan jantan A. variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
4.2.6. Perbungaan betina
Perbungaan betina terdiri dari bunga-bunga betina yang masing-masing
terdiri atas bakal buah dan stigma. Bunga betina berwarna kuning pada kepala
putik dan berwarna hijau pada bakal buah (Gambar 4.11). Panjang bunga betina
pada perbungaan yang diamati berkisar 2--5 cm dengan diameter 1.1--2.8 cm
sewaktu anthesis. Selama proses pematangan buah, panjang dan diameter bunga
betina semakin bertambah. Rochedi (2004:14) menyatakan bahwa panjang bunga
betina sewaktu anthesis berkisar antara 1.2--3.5 cm dengan diameter 1,2--2.1 cm.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
44
Bakal buah
Kepala bunga
betina (stigma)
Gambar 4.11. Bentuk perbungaan betina A. variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
4.2.7. Perbuahan
Perbuahan A. variabilis terdapat di atas tangkai perbungaan yang relatif
panjang. Karakter tangkai perbungaan sama dengan tangkai daun dan bunga.
Buah duduk langsung (sessil) pada tongkol bunga. Buah tipe beri ketika muda
berwarna hijau dan berwarna jingga bergradasi hingga merah ketika matang. Biji
polos berwarna hitam, lonjong, jumlah 2--3 di setiap buah. Diameter buah pada
perbuahan yang diamati berkisar antara 1--3 mm. Buah yang belum matang
berwarna hijau selanjutnya bergradasi warna dari kuning hingga merah sesuai
kematangan tingkat . Pematangan buah lebih dahulu terjadi pada bagian ujung
tongkol sehingga menghasilkan gradasi warna dari merah hingga hijau dalam
bagian atas hingga pangkal perbuahan (Gambar 4.12)
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
45
Buah masak
Buah muda
Gambar 4.12. Bentuk perbuahan A. variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Tabel 4.1.. Karakteristik fase generatif A. variabilis di Kawasan Universitas
Indonesia, Depok berdasarkan hasil pengamatan
Batang
Panjang (cm)
Diameter (cm)
Warna
Panjang (cm)
Diameter (cm)
Osmofor
Warna
Spatha
Panjang (cm)
Diameter (cm)
Warna
5.2--160
0.05--2.3
Hijau polos s.d. hijau kecoklatan
dengan bintik putih kekuningan
12.4--39.4
1.2--3.1
beragam seperti kekuningan,
cokelat kemerahan dan ungu
kemerahan
5--22.8
1.3--4.1
Hijau kekuningan dengan bagian
bawah bebintik putih, bagian
dalam putih
2.2--6.8
1.1--3.1
putih kekuningan s.d kecokelatan
Bunga Jantan
Panjang (cm)
Diameter (cm)
Warna
Bunga Betina
Panjang (cm)
Diameter (cm)
Warna
2--5
1.1--2.8
berwarna kuning pada kepala
bagian dasar hijau
Umbi
Diameter (cm)
7.5--12.7
Kulit umbi putih kecokelatan
Daging umbi putih
Warna
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
46
4.3. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PERBUNGAAN
Pertumbuhan dan perkembangan perbungaan terdiri atas dua fase. Fase
pertama adalah fase pertumbuhan bunga sampai awal pembentukan buah dan fase
kedua adalah fase pematangan buah (Gambar 4.13). Fase pertama pertumbuhan
bunga dimulai dari munculnya kuncup bunga hingga terjadinya polinasi dan
berlangsung berlangsung selama 9--10 hari. Fase kedua atau fase pematangan
buah dimulai dari proses penyerbukan selesai hingga buah matang seluruhnya dan
berlangsung selama 2--3 pekan. Selama fase pertumbuhan bunga, terjadi
pertumbuhan yang cepat yaitu di hari ke-6 hingga ke-8, yaitu pertumbuhan dari
kuncup hingga mekarnya spatha. Awal pembentukan buah diawali dengan
mekarnya spatha yang diikuti dengan bunga perbungaan betina yang mekar
(reseptif) yang ditandai oleh adanya lendir di permukaan kepala bunga betina
(stigma).
Pada hari ke-2 setelah spatha mekar mulai tercium aroma yang dihasilkan
oleh osmofor. Aroma yang dihasilkan mirip dengan aroma daging busuk. Aroma
dihasilkan selama 4--5 hari dan akan berakhir ketika osmofor mulai mengering.
Aroma pada bunga dapat tercium sekitar pukul 16.30--19.00. Berdasarkan
pengamatan, puncak penyebaran aroma terjadi antara pukul 17.30--18.00 dengan
radius mencapai jarak 10 meter. Secara keseluruhan selama 4--5 hari munculnya,
aroma yang terkuat yang dihasilkan oleh osmofor adalah pada hari ke-2 hingga
hari ke-3 bersamaan dengan reseptifnya perbungaan betina dan perbungaan jantan
yang mengeluarkan serbuk sari.
Osmofor merupakan organ perbungaan yang merupakan modifikasi dari
tongkol perbungaan yang berisi gas-gas yang menghasilkan tekanan osmotik yang
dapat menyebarkan aroma. Gas yang dihasilkan osmofor adalah gas-gas dari
senyawa sulfur yang panas dan mudah menguap. Belum diketahui secara rinci
jenis gas yang dihasilkan oleh jenis A. variabilis. Jenis Amorphophallus rivieri
menghasilkan berbagai gas yang mengandung nitrogen yaitu amoniak,
trimetilamina dan skatole. Gas-gas tersebut menguap di sore hari dan
mengundang serangga untuk mengunjungi perbungaan (Dudareva & Pichersky
2006: 158; Beath 1996: 5).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
47
Faegri & Pijl (1971) dalam Rochedi (2004: 23) menyatakan bahwa aroma
yang dihasilkan oleh tumbuhan disebabkan oleh adanya uap panas yang
dihasilkan dari proses respirasi tumbuhan. Uap panas yang dihasilkan karena
adanya proses respirasi resisten-sianida pada mitokondria. Oksidase akhir dari
proses respirasi resisten-sianida memiliki afinitas terhadap O2 yang lebih rendah
dari sitokrom oksidase dan memiliki sedikit fosforilasi oksidatif (Salisbury &
Ross: 192) . Hal tersebut yang menyebabkan gas-gas dari uap panas yang
dihasilkan osmofor A. variabilis dilepas pada sore hari hingga malam hari ketika
proses respirasi mulai lebih dominan daripada fotosintesis.
Proses penyerbukan (polinasi) terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3
mekarnya spatha ketika serbuk sari mulai dilepaskan oleh perbungaan jantan dan
perbungaan betina masih reseptif. Sehari setelahnya, bunga betina sudah tidak
reseptif lagi dan terjadi penumpukan serbuk sari di permukaan dalam spatha
akibat perbungaan jantan yang masih mengeluarkan serbuk sari. Proses tersebut
terjadi selama 1--2 hari hingga terjadinya pengeringan pada perbungaan jantan,
osmofor, dan spatha.
Fase kedua yaitu fase pematangan buah terjadi setelah terjadi polinasi pada
perbungaan betina. Kepala bunga betina akan berubah warna dari kuning menjadi
kehitaman dan diameter serta tinggi perbungaan betina meningkat, menandai
perbungaan betina telah terbuahi. Bakal buah terus membesar disertai dengan
keringnya osmofor, bunga jantan dan spatha. Proses pematangan buah terjadi
selama 2--3 pekan hingga seluruh buah masak.
Terjadi perubahan warna pada buah yaitu dari hijau menjadi merah, pada
fase pematangan buah. Hal tersebut sama dengan yang dinyatakan oleh Sufiani
(1993: 14) yang menyatakan bahwa buah berwarna hijau pada saat muda dan
berwarna merah pada saat tua. Jumlah biji yang dihasilkan sebanyak 1--3 biji di
setiap buah.
Fase generatif A. variabilis relatif lebih singkat daripada fase vegetatif.
Fase generatif dari satu individu A. variabilis selama maksimal 30 hari lebih
singkat daripada fase vegetatif yang terjadi selama beberapa bulan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa fase vegetatif A. variabilis lebih dominan dari fase generatif.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
48
Menurut Edmon dkk. (1957: 177), terdapat pola keseimbangan pertumbuhan
antara fase vegetatif dan generatif tumbuhan yang dibagi menjadi 3 jenis:
1. Fase vegetatif lebih dominan dari fase generatif. Tumbuhan akan lebih banyak
memanfaatkan karbohidrat pada keadaan tersebut.
2. Fase generatif lebih dominan dari fase vegetatif. Tumbuhan akan lebih banyak
menyimpan karbohidrat padaa keadaan tersebut.
3. Fase vegetatif dan fase generatif pada keadaan yang seimbang. Jumlah
karbohidrat yang disimpan sama dengan yang dimanfaatkan.
Tumbuhan A. variabilis lebih banyak memanfaatkan karbohidrat, sehingga
tumbuhan bergantung kepada umbi yang mengandung karbohidrat dalam
pertumbuhannya. Pemanfaatan karobohidrat sebagai sumber energi lebih banyak
pada fase generatif dibanding fase vegetatif. Hal tersebut menyebabkan bobot
umbi pada fase generatif relatif lebih besar dibandingkan pada fase vegetatif.
Menurut Edmond dkk. (1957: 182), fase reproduktif pada tumbuhan memiliki
beberapa tahapan yaitu pembentukan dan perkembangan tangkai, bunga, buah,
dan biji. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap tangkai, perbungaan, dan
osmofor menunjukkan bahwa terjadi perkembangan organ-organ tersebut selama
fase reproduktif. Perkembangan tangkai berdasarkan tinggi dan diameternya
menunjukkan perkembangan yang fluktuatif, yaitu mengalami pertambahan
ukuran di awal fase dan penyusutan ukuran di akhir fase reproduksi.
Perkembangan fluktuatif pada tinggi dan diameter osmofor, perbungaan
jantan, dan spatha. Hal yang sama terjadi terjadi pada panjang dan diameter
perbungaan betina, akan tetapi perbungaan betina terus menunjukkan
pertambahan ukuran hingga akhir fase. Hal tersebut menunjukkan telah terjadi
pembuahan pada bunga betina sehingga terjadi pertambahan ukuran bakal buah
dan terus berkembang menjadi buah. Grafik perkembangan bagian perbungaan
terdapat dalam Gambar 4.14--4.23.
Perkembangan fluktuatif juga terjadi pada panjang dan diameter
perbungaan betina, akan tetapi perbungaan betina terus menunjukkan
pertambahan ukuran diamter dan hingga akhir fase. Hal tersebut, menunjukkan
telah terjadi pembuahan pada bunga betina sehingga terjadi pertambahan ukuran
bakal buah dan terus berkembang menjadi buah.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
49
Pertumbuhan hari ke6--8
Mulai
kuncup
Pertumbuhan
cepat
Spatha mekar
dan bunga
betina masak
8--9
9--10
Mulai muncul
aroma dari
osmofor
Serbuk
sari
dilepas
10--11
Bunga
betina tidak
reseptif
11--14
Spatha, bunga
jantan, dan
osmofor
mengering
Fase pematangan
buah (2--3 pekan)
Buah masak dan
menghasilkan biji
Gambar 4.13. Diagram waktu pertumbuhan Amorphophallus variabilis
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
50
100
90
Ukuran (cm)
80
70
60
y = -1,791x + 87,18
R² = 0,756
50
Tinggi total
40
30
Linear (Tinggi
total)
20
10
0
0
2
4
6
8
10
Perbungaan mekar hari ke-
Axis Title
Gambar 4.14. Grafik pertumbuhan tinggi total perbungaan
1,18
1,16
1,14
1,12
1,1
1,08
1,06
1,04
1,02
1
0,98
0,96
y = 0,016x + 1,022
R² = 0,629
diameter petiolus
Linear (diameter petiolus)
0
2
4
6
8
10
Axis Title
Gambar 4.15. Grafik pertumbuhan diameter perbungaan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
51
30
Ukuran (cm)
25
20
15
Panjang Osmofor
10
Linear (Panjang Osmofor)
5
y = -2,954x + 30,74
R² = 0,844
0
0
2
4
6
8
10
Perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.16. Grafik pertumbuhan panjang osmofor
2,5
y = -0,184x + 2,110
R² = 0,878
Ukuran (cm)
2
1,5
diameter osmofor
1
Linear (diameter osmofor)
0,5
0
0
2
4
6
8
10
Perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.17. Grafik pertumbuhan diameter osmofor
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
52
18
16
y = -1,884x + 18,53
R² = 0,956
14
Ukuran (cm)
12
10
8
Panjang Spatha
6
Linear ( Panjang Spatha)
4
2
0
0
2
4
6
8
10
Perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.18. Grafik pertumbuhan panjang spatha
3
ukuran (cm)
2,5
y = -0,255x + 3,064
R² = 0,836
2
1,5
diameter spatha
Linear (diameter spatha)
1
0,5
0
0
2
4
6
8
10
Perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.19. Grafik pertumbuhan diameter spatha
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
ukuran (cm)
53
5
4,5
4
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
y = -0,209x + 4,761
R² = 0,845
Panjang perbungaan
jantan
Linear (Panjang
perbungaan jantan)
0
2
4
6
8
10
Perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.20. Grafik pertumbuhan panjang bunga jantan
1,6
y = -0,093x + 1,600
R² = 0,791
1,4
ukuran (cm)
1,2
1
0,8
diameter perbungaan
jantan
0,6
Linear (diameter
perbungaan jantan)
0,4
0,2
0
0
2
4
6
8
10
perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.21. Grafik pertumbuhan diameter bunga jantan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
54
4
3,5
ukuran (cm)
3
2,5
y = 0,099x + 2,950
R² = 0,974
2
panjang perbungaan
betina
1,5
Linear (panjang
perbungaan betina )
1
0,5
0
0
2
4
6
8
10
Perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.22. Grafik pertumbuhan panjang perbungaan betina
2,5
ukuran (cm)
2
y = 0,051x + 1,606
R² = 0,993
1,5
diameter perbungaan
betina
1
Linear (diameter
perbungaan betina)
0,5
0
0
2
4
6
8
10
perbungaan mekar hari ke-
Gambar 4.23. Grafik pertumbuhan diamater perbungaan betina
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
55
4.4. SERANGGA PENGUNJUNG PERBUNGAAN
4.4.1. Jenis Serangga Pengunjung Perbungaan
Berdasarkan hasil analisis serangga yang dilakukan menggunakan buku
identifiksi serangga the science of Entomology (Romoser & Stofolano, 1998),
diperoleh hasil bahwa serangga yang mengunjungi perbungaan di setiap lokasi
pengamatan adalah kumbang dari suku Nitidulidae dan Endomychidae, lalat dari
suku Anthomyiidae, Tachynidae dan Drosophylidae, nyamuk dari suku Culicidae
kecoak dari suku Blattidae, dan semut (suku Formicidae).
Kumbang (suku) umumnya ditemukan pada jaringan tumbuhan yang
mulai membusuk atau pada bangkai hewan. Romoser & Stoffolano (1998:543-547) menyatakan bahwa suku Nitidulidae termasuk dalam ordo Coleoptera.
Kumbang dari sulu Nitidulidae yang ditemukan selama pengamatan berukuran
panjang 3--4 mm, rangka luar dan elitra berwarna merah kecokelatan, memiliki
antena seperti gada pada bagian ujungnya. Ukuran kumbang dari suku
Nitidulidae yang diamati relatif lebih besar daripada kumbang jantan. Suku
Nitidulidae memiliki ciri morfologi yaitu memiliki segman tarsal sejumlah 4
segmen, segmen 1--3 berukuran sama dan berseta sedangkan segmen ke-4
berukuran lebih kecil dari ketiga segmen tersebut dan tidak berseta, serta elitra
tidak sepenuhnya menutupi abdomen (Gambar 4.24) (Romoser & Staffolano
1998: 547).
5 mm
1 mm
Gambar 4.24. Kumbang dari suku Nitidulidae
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
56
Kumbang dari suku Endomychidae pada umumnya menyukai tempattempat yang lembab. Hal tersebut karena, kumbang dari suku Endomychidae
menjadikan jamur sebagai sumber pangan. Kumbang dari suku Endomychidae
pada umumnya ditemukan pada tumbuhan atau hawan mati dan pada serasah
dedaunan yang memungkinkan ditumbuhi jamur (Campbell 2008: 1). Suku
Endomychidae memiliki ciri morfologi yaitu memiliki elitra yang menutupi
seluruh bagian abdomen, dan memiliki susunan jumlah tarsal 4-4-4 atau 3-3-3
(Gambar 4.25) (Romoser & Staffolano 1998: 549). Kumbang dari suku
Endomychidae yang ditemui memiliki rangka luar dan elitra yang berwarna hitam
dengan ukuran panjang tubuh 12 mm.
Kumbang dari suku Nitidulidae dan suku Endomychidae merupakan
pemakan material organik (scavanger). Kumbang mengonsumsi material organik
seperti serbuk sari, sisa organ tumbuhan yang mati dan jamur, dengan cara
mengunyah. Menurut Faegri & Pijl (1973) dalam Rochedi (2004: 24), strukutur
mulut pada beberapa jenis kumbang mengalami modifikasi menyesuaikan
fungsinya untuk mengunyah makanan.
Jenis lalat yang ditemukan selama pengamatan adalah dari suku
Anthomyiidae, Drosophyliidae, dan Tachinideae (ordo Diptera). Suku
Anthomyiidae dan Tachinidae pada umumnya menyukai habitat yang dekat
dengan habitat manusia. Suku Anthomyiidae memiliki larva yang pada umumnya
menjadi hama bagi tanaman pertanian. Larva suku Anthomyiidae (Gambar 4.26)
adalah pemakan daun (phytophagous), sedangkan lalat dewasa adalah pemakan
material organik. Suku Tachinidae memiliki ciri khas yaitu terdapat seta pada
kaki belakangnya.
Sifat lalat dari suku Tachinidae mirip seperti lebah, mampu menjadi agen
penyerbuk karena seta pada kaki belakangnya mampu membawa serbuk sari.
Larva suku Tachinidae adalah parasitoid, yaitu parasit di Arthropoda lain. Lalat
dari suku Drosophyliidae disebut juga sebagai lalat buah. Lalat dari suku
Drosophyliidae teramati terbang di sekitar osmofor yang sedang mengeluarkan
aroma, sebab lalat tersebut menyukai bagian-bagian tumbuhan yang membusuk
dan menjadikan bagian tumbuhan tersebut sebagai tempat berkembang biak
(Romoser & Stoffolano 1998: 403).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
57
10 mm
10 mm
10 mm
Gambar 4.25. Kumbang dari suku Endomychidae
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
2.5 mm
5 mm
Gambar 4.26. Lalat dari suku Anthomyiidae
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Nyamuk (suku Culicidae) merupakan anggota dari ordo Diptera (Romosen
& Stoffolano 1998: 183). Nyamuk dewasa memiliki proboscis (organ penghisap)
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
58
yang panjang, serta memiliki dua sayap yang memanjang (Gambar 4.27).
Sebagian besar nyamuk dewasa memakan darah manusia atau vertebrata lain
(Romosen & Stoffolano 1998: 402).
Kecoa atau suku Blattidae merupakan anggota dari ordi Blattaria, memiliki
panjang tubuh 18 mm atau lebih (Romoser & Stoffolano 1998: 365). Ciri khusus
dari suku Blattidae adalah pada individu wanita memiliki pemanjangan subgenital
yang membujur di ujung abdomen (Gambar 4.28). Kecoa dari suku Blattidae
merupakan serangga pemakan material organik (scavanger) juga berperan
sebagai detritivor dan menyukai tempat-tempat yang relatif kotor (Romoser &
Stoffolano: 356;536).
Semut atau suku Formicidae merupakan anggota dari ordo Hymenoptera.
gian Suku Formisidae merupakan serangga yang hidup berkoloni (Gambar 4.29).
Suku Formicidae teramati memakan material organik seperti polen dan bagian
perbungaan yang membusuk. Semut memakan jamur yang diperoleh dari
material organik yang dikumpulkan baik dari bahan tumbuhan atau hewan yang
telah mati. Oleh sebab itu, semut tertarik pada tumbuhan dan hewan yang telah
mati, atau memiliki sifat yang serupa (Romoser & Stoffolano 1998:236--237).
5 mm
Gambar 4.27. Nyamuk dari suku Culicidae
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
59
5 mm
5 mm
Gambar 4.28. Serangga dari suku Blattidae
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
5 mm
Gambar 4.29. Serangga dari suku Formicidae
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
4.4.2. Aktivitas serangga pengunjung perbungaan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ketika sampel perbungaan mulai
mengeluarkan bau yaitu dari pukul 17.00 hingga 19.00, aktivitas dari serangga
yang mengunjungi perbungaan, terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Serangga pengunjung bunga jantan
2. Serangga pengunjung bunga betina
3. Serangga pengunjung osmofor
4. Serangga yang berada di sekitar perbungaan (jarak minimum 30 cm)
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
60
Serangga dari suku Nitidulidae, Endomychidae, Anthomyiidae, Tachinidae,
Blattidae dan Formicidae tercatat dominan mengunjungi bunga jantan dan betina.
Serangga dari suku Culicidae dominan mengunjungi osmofor. Serangga dari suku
Drosophiliidae dominan berada di sekitar perbungaan.
Serangga yang beraktivitas pada bunga jantan dan betina berpotensi
membantu proses penyerbukan. Berdasarkan pengamatan, serangga dari suku
Nitidulidae, Endomychidae, dan Tachinidae membantu proses penyerbukan
dengan membawa serbuk sari yang menempel pada bagian tubuh dan
menempelkannya pada kepala bunga betina. Serangga dari suku Anthomyiidae,
Blattidae dan Formicidae tidak teramati membantu proses penyerbukan.
Aktivitas serangga pengunjung perbungaan antara lain berkeliaran di
antara perbungaan jantan dan betina, memakan serbuk sari, atau melakukan proses
reproduksi seperti yang dilakukan kumbang dari suku Nitidulidae. Kumbang dari
suku Nitidulidae teramati melakukan proses reproduksi mulai dari kawin
(mating), bertelur, hingga menetaskan larva di dalam cawan perbungaan (Gambar
4.4.7.).
Faegri & Pijl (1971) dalam Rochedi (2004: 26) menyatakan bahwa ada 2
faktor yang menyebabkan serangga tertarik untuk mendatangi bunga yaitu serbuk
sari sebagai sumber pakan (faktor primer) dan aroma serbuk sari serta aroma
selama pembungaan (faktor sekunder). Serbuk sari Amorphophallus variabillis
memiliki kandungan protein 16--30 %, pati 1--7 %, gula 0--15%, lemak 3--10 %
dan debu 1--9 % (Ham 2005: 260).
Aktivitas dan karakteristik serangga pengunjung perbungaan menunjukkan
kesamaan diantara jenis serangga tersebut. Serangga mengunjungi perbungaan A.
variabilis dikarenakan aroma seperti hewan mati yang dikeluarkan oleh osmofor
selama beberapa hari. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bown (1988: 147)
yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang merangsang serangga untuk
mendatangi bunga adalah aroma yang dihasilkan oleh perbungaan.
Serangga yang beraktivitas di perbungaan jantan dan betina di dalam
spatha, terperangkap di dalam spatha. Serangga yang terperangkap antara lain
adalah dari suku Nitidulidae dan Endomychidae. Kumbang dari suku Nitidulidae
yang terperangkap memanfaatkan serbuk sari sebagai sumber pakan dan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
61
melakukan proses reproduksi (Gambar 4.31). Hal tersebut sesuai dengan Pijl
(1937: 64) yang menyatakan bahwa serangga penyerbuk A. variabilis
terperangkap dan melakukan proses reproduksi di dalam spatha perbungaan.
Kumbang dari suku Nitidulidae mendatangi perbungaan ketika osmofor
mulai mengeluarkan aroma hingga akhirnya terperangkap di dalam spatha.
Kumbang dari suku Nitidulidae baru dapat keluar dari perangkap spatha setelah
spatha mengering dan sumber pakan habis. Bersamaan dengan hal tersebut,
proses reproduksi kumbang telah selesai dilakukan dengan menghasilkan telur.
Kumbang dari suku Endomychidae teramati terperangkap dalam spatha dan mati.
Ukuran tubuh yang relatif besar, membuat pergerakannya di dalam spatha
terbatas sehingga menghalangi untuk makan dan beraktivitas.
Serangga yang dominan mengunjungi perbungaan jantan dan betina adalah
dari suku Nitidulidae yaitu 98% di perbungaan jantan dari 100% di perbungaan
betina (Gambar 4.30). Dari 20 sampel perbungaan, hanya di 2 perbungaan yang
tidak dijumpai keberadaan kumbang dari suku Nitidulidae. Kumbang suku
Nitidulidae yang berkunjung kepada 18 sampel perbungaan , umumnya
menunjukkan kesamaan dalam pola aktivitas dan waktu kedatangan seperti yang
telah dijelaskan di atas. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara
populasi kumbang dari suku Nitidulidae dengan populasi A. variabilis yang
sedang berbunga.
Faegri & Pijl (1971) dalam Rochedi (2004: 25) menyatakan bahwa ada
keterkaitan antara waktu pembungaan pada tumbuhan dengan jenis serangga yang
mengunjungi bunga (pollination agent atau pollen vector). Real (1983) dalam
Rochedi (2004: 25) menambahkan bahwa akibat dari keterkaitan tersebut, maka
serangga akan menyesuaikan siklus hidupnya dengan waktu pembungaan
tumbuhan. Berdasarkan keterkaitan tersebut maka jenis kumbang dari suku
Nitidulidae bersifat monothropic artinya mengunjungi satu atau beberapa jenis
tumbuhan yang memiliki kesamaan sifat. Pembungaan A. variabilis disebutkan
memiliki sifat monophilic yang artinya proses polinasi dibantu oleh satu atau
beberapa jenis serangga yang memiliki kesamaan sifat (Rochedi 2004: 26).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
62
Gambar 4.30. Presentase kehadiran hewan pengunjung di perbungaan
Jumlah kehadiran
Frekuensi kehadiran serangga
pengunjung
20,00
18,00
16,00
14,00
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
Bunga Jantan
Bunga Betina
Osmofor
Sekitar
suku serangga pengunjung
Gambar 4.31. Frekuensi kehadiran hewan pengunjung di perbungaan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
63
4.4.3. Hubungan jumlah serangga dengan ukuran perbungaan
Hasil analisis regresi linier yang menguji hubungan diameter spatha
dengan jumlah individu serangga pengunjung menunjukkan nilai R2 = 0.571.
Hasil uji stastistik regresi linier yang menguji hubungan panjang osmofor dengan
jumlah individu serangga pengunjung menunjukkan nilai R2 = 0.362 (Gambar
4.32--4.33). Jumlah individu serangga pengunjung perbungaan merupakan
variabel terikat, sedangkan diameter dan panjang osmofor merupakan variabel
bebas.
Hasil analisis regresi linear hubungan jumlah individu serangga
pengunjung dengan diameter spatha A. variabilis, menunjukkan 57,1 % data,
sesuai dengan rumus yang dihasilkan. Hal tersebut berarti, jumlah individu
serangga bukan hanya dipengaruhi oleh diameter osmofor. Sebesar 43,9 %
kemungkinan, jumlah individu serangga dipengaruhi faktor lain. Hasil uji
Analysis of variance (ANAVA) menunjukkan signifikansi dibawah 0.005. Hal
tersebut menunjukkan untuk mencapai nilai R2 yang signifikan, sehingga uji
regresi linear dapat dilanjutkan dengan penambahan jumlah data (Hartono 2008:
122--123).
Hasil uji regresi linear hubungan jumlah individu serangga pengunjung
dengan panjang osmofor menunjukkan 36.2 % data, sesuai dengan rumus yang
dihasikan. Hal tersebut berarti jumlah serangga pada perbungaan dipengaruhi
oleh panjang osmofor hanya 36.2 % kemungkinan. Sebesar 63.8 % kemungkinan,
dipengaruhi oleh faktor lain. Data yang diperoleh tidak dapat diteruskan
menggunakan uji regresi linear, karena nilai signifikasnsi dalam uji ANAVA di
atas 0.05 (Hartono 2008: 122--123).
Menurut Bown (1988: 175) strukur spatha pada perbungaan menciptakan
kondisi lingkungan (kelembaban dan kehangatan) yang sesuai bagi serangga
untuk mencari makanan dan melakukan perkawinan. Ukuran osmofor
memengaruhi massa gas yang mengisi rongga osmofor. Semakin besar ukuran
osmofor maka semakin banyak massa gas yang dilepas. Akan tetapi, selain
diameter spatha dan diameter osmofor, terdapat faktor eksternal yang
memengaruhi jumlah kehadiran serangga pada perbungaan A. variabilis. Suhu,
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
64
kelembaban udara, dan ukuran populasi serangga memengaruhi frekuensi
kedatangan serangga pada perbungaan (Robacker dkk. 1988: 390--391).
A
B
5 mm
5 mm
C
D
3 mm
10 mm
A & B = Kawin (mating)
C
= memakan serbuk sari
D
= membantu penyerbukan
Gambar 4.32. Aktivitas kumbang dari suku Nitidulidae di perbungaan
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Gambar 4.33. Kurva regresi linier hubungan jumlah individu serangga
pengunjung perbungaan dengan diameter spatha
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
65
perbungaan dengan ukuran spatha
Gambar 4.34. Kurva regresi hubungan jumlah individu serangga pengunjung
perbungaaan dengan panjang osmofor.
4.5. PROSES PENYERBUKAN
Proses penyerbukan dari keseluruhan sampel perbungaan yang diamati
terjadi secara alami. Proses penyerbukan alami tersebut dibantu dengan angin
(anemokori) dan dengan bantuan serangga (entomokori). Proses penyerbukan
oleh serangga adalah akibat aktivitas serangga antara lain mencari makan pada
bunga, melakukan perkawinan, serta membantu perpindahan serbuk sari. Proses
perpindahan serbuk sari dikarenakan serbuk sari menempel pada tubuh serangga.
Proses penyerbukan terjadi secara sendiri terjadi pada semua sampel
perbungaan yang diamati. Proses penyerbukan sendiri terjadi karena ketika bunga
jantan mengeluarkan serbuk sari, bunga betina masih reseptif untuk dibuahi
(Gambar 4.34). Seluruh sampel perbungaan yang diamati menghasilkan buah.
Akan tetapi, dimungkinkan terjadi transfer serbuk sari secara silang pada beberapa
sampel perbungaan yang tumbuh berdekatan.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
66
Serbuk sari mulai dilepas perbungaan jantan pada hari ke- 3 mekarnya
spatha. Bunga betina terlebih dahulu mekar dan reseptif sejak hari ke-1 mekarnya
spatha. Bunga betina masih reseptif satu hari setelah perbungaan jantan
melepaskan serbuk sari untuk untuk pertama kalinya sehingga masih terdapat
waktu 1 hari untuk terjadinya polinasi.
Perbungaan jantan masih mengeluarkan serbuk sari ketika bunga betina
sudah tidak reseptif selama 1--2 hari. Gejala yang terjadi selanjutnya adalah
spatha layu dan mengering diikuti oleh osmofor dan bunga jantan (Gambar 4.35).
Saat pematangan buah, ukuran bunga betina bertambah besar hingga menjadi
buah. Proses pematangan buah terjadi terlebih dahulu dari bagian ujung tongkol
perbuahan, sehingga terbentuk gradasi warna. Gradasi warna yang terbentuk
adalah warna merah hingga jingga untuk buah yang masak pada bagian ujung dan
berwarna kuning hingga hijau untuk buah yang belum masak semakin ke bagian
pangkal (Gambar 4.36).
Jumlah buah dan biji yang terbentuk dari proses penyerbukan tergantung
pada jumlah serbuk sari yang menempel perbungaan betina (Rochedi 2004: 27).
Serbuk sari dari perbungaan jantan jatuh ke bagian bawah perbungaan karena
bantuan angin. Serbuk sari A. variabilis bertekstur halus dan relatif ringan ,
karena 9--10% nya adalah debu, sehingga mudah tertiup angin (Ham 2006:
37).
Serangga penyerbuk berperan memindahkan serbuk sari yang tersebar
tidak merata di permukaan atas perbungaan ke bagian bawah perbungaan.
Tingkat pembentukan buah pada sampel perbungaan yang diamati mencapai
100%. Persentase jumlah buah bernas (berdaging dan berbiji) berkisar 50--80%
dari buah yang terbentuk dengan ukuran diameter buah minimum 0.3 cm dan
maksimum 1.4 cm.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
67
1 cm
1 cm
Bunga betina masih reseptif saat
serbuk sari menempel (terjadi
polinasi)
Bunga betina tidak reseptif saat
serbuk sari berhenti keluar (telah
terjadi polinasi)
Gambar 4.35. Perbandingan antara bunga betina yang masih reseptif dengan yang
sudah tidak reseptif
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Bunga jantan dan
spatha mengering
Larva serangga
1.5 cm
Gambar 4.36 Kondisi perbungaan saat spatha dan bunga jantan mengering
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
68
2 cm
Gambar 4.37 Kondisi perbungaan yang telah mengalami proses penyerbukan
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
4.6. POPULASI Amorphophallus variabilis
4.6.1. Gambaran umum populasi A. variabilis
Pengamatan populasi A. variabilis di lokasi penelitian dilakukan dari bulan
Maret--Mei 2011. Pengamatan pada bulan Maret dilakukan di Lokasi 1 dan 2.
Pengamatan di Lokasi 1 menunjukkan sebanyak 79 individu tumbuhan dalam fase
vegetatif dan 2 tumbuhan dalam fase generatif. Pengamatan di Lokasi 2
menunjukkan sebanyak 49 individu tumbuhan dalam fase vegetatif dan 4
tumbuhan dalam fase generatif
generatif.. Pengamatan bulan April di Lokasi 3 dan 4
menunjukkan 48 tumbuhan vegetatif dan 3 generatif di Lokasi 3 dan 80
tumbuhan vegetatif dan 2 generatif di lokasi 4. Pengamatan pada bulan Mei di
Lokasi 5 dan 6 menunjukkan lebih dari 50% individu tumbuhan tumbuh dalam
fase generatif. Terdapat 23 tumbuhan vegetatif dan 37 tumbuhan generatif di
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
69
Lokasi 5, dan 17 tumbuhan vegetatif dan 41 tumbuhan generatif di Lokasi 6
(Gambar 4.38.).
April
Maret
Mei
Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5 Lokasi 6
Vegetatif
72
49
48
80
23
17
Generatif
2
4
3
2
37
41
Gambar 4.38. Perbandingan populasi vegetatif dan generatif pada Bulan
Maret--Mei
Populasi Amorphophallus variabilis di Kawasan UI, Depok memulai fase
generatif pada bulan Maret--April 2011 dan fase generatif mulai mendominasi
pada bulan Mei 2011. Rochedi (2004: 21) menyatakan, berdasarkan hasil
pengamatan pertumbuhan A. variabilis di Bogor, Jawa Barat, populasi A.
variabilis memulai fase generatif pada bulan Mei 2004 dan mulai mengalami
peningkatan jumlah tumbuhan generatif pada Bulan Agustus 2004. Jansen dkk.
1996: 47) menyatakan, pada Mei--Juni (tahun 1996), umbi A. variabilis akan
memasuki masa dormansi yang terjadi selama musim kemarau dan mulai
berbunga pada awal musim penghujan yaitu Bulan November (tahun 1996). Fase
generatif akan berlangsung selama musim penghujan dan berakhir pada
penghujung musim penghujan.
Hasil pengamatan pada periode yang berbeda (1996, 2004, dan 2011)
menunjukkan adanya pergeseran waktu pola pertumbuhan A. variabilis.
Berdasarkan teori, A. variabilis mengalami dormansi sepanjang musim kemarau,
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
70
hingga apabila massa umbi telah mencukupi, tumbuhan akan berbunga di awal
musim penghujan. Massa umbi yang belum mencukupi akan membentuk daun
baru sepanjang musim penghujan (Jansen dkk. 1996: 47). Pergeseran waktu pola
pertumbuhan A. variabilis menunjukkan adanya perubahan periode iklim global
yang menandai awal--akhir musim penghujan dan awal--akhir musim kemarau,
selama periode 1996--2011. Awal musim penghujan bergeser dari bulan
November menjadi bulan Maret selama periode 1996--2011
4.6.2. Pola sebaran populasi
Pola sebaran A. variabilis di setiap lokasi penelitian menunjukkan pola
yang mengelompok (Gambar 4.38), berdasarkan Indeks Sebaran Morisita yang
menunjukkan indeks sebaran di setiap lokasi lebih dari nol (Isp > 0) (Krebs 1999:
56--60). Pola sebaran yang mengelompok adalah hasil dari reproduksi A.
variabilis secara vegetatif atau dengan menggunakan umbi batang. Umbi batang
yang tumbuh di bawah permukaan tanah akan menghasilkan anak umbi yang akan
menghasilkan tunas daun di sekitar umbi batang tersebut. Secara generatif, bijibiji dari buah yang membusuk pada tongkol perbungaan akan rontok dan jatuh ke
tanah. Biji-biji tersebut akan tumbuh sebagai tumbuhan baru disekitar tumbuhan
induk (Jansen dkk. 1996: 46--47; Rochedi 2004: 4).
Persebaran A. variabilis dari suatu habitat ke habitat lain diduga dibantu
oleh hewan pemakan buah. Beberapa pengamatan ditemukan adanya tanda-tanda
hewan yang memakan buah pada perbungaan dengan adanya bekas pada tongkol
perbungaan. Akan tetapi, belum diketahui secara pasti, hewan yang melakukan
penyebaran biji A. variabilis. Diduga biji tersebar secara alami oleh burung. Hal
tersebut karena buah A. variabilis berwarna terang dan berukuran relatif besar
sehingga diduga disukai burung sebagai makanan. Sebelumnya diketahui pada
jenis A. titanum, penyebar biji adalah burung rangkong (Hetterscheid 1995: 3).
Burung bulbul juga diketahui sebagai penyebar biji A. gigas yang persebarannya
dari India hingga Sabah (Hetterscheid dan Ittenbach 2003: 7—9).
Burung pemakan buah yang terdapat pada kawasan Universitas Indonesia,
Depok adalah burung cabe jawa (Dicaeum trochileum), cucak kutilang
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
71
(Pycnonotus aurigaster) dan merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier) (Pradana
2007: 32, 28; Pradana 2010: 15) . Akan tetapi burung cabe jawa hanya memakan
buah jenis-jenis tumbuhan benalu di kawasan UI, Depok (Pradana 2010: 15; Mc
Kinnon 1998: 414). Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan merbah cerucuk
(Pycnonotus goiavier) diduga sebagai penyebar biji A. variabilis di kawasan UI,
Depok karena berkerabat dekat dengan burung bulbul penyebar biji A. gigas di
India hingga Sabah (MacKinnon 1998: 280; Beath 1996: 5).
4.6.3. Analisis vegetasi populasi
Hasil analisis vegetasi terhadap populasi A. variabilis di tiap lokasi
menunjukkan dominansi terendah terdapat pada populasi di Lokasi 2 (d = 0.02)
dan dominansi tertinggi pada populasi di Lokasi 6 (d = 0.06) (Gambar 4.38 ).
Dominansi pada lokasi 1--3 memiliki nilai yang relatif tidak jauh berbeda yaitu
antara 0.01--0.02. Dominansi pada Lokasi 4--6 memiliki nilai yang relatif tidak
jauh berbeda yaitu antara 0.04--0.06. Terdapat rentang nilai antara dominansi
pada Lokasi 1--3 dan Lokasi 4--6. Lokasi dengan nilai frekuensi tertinggi adalah
pada Lokasi 6 (f = 0.4 dan terendah pada Lokasi 5 (f = 0.39), sedangkan jumlah
individu / m2 tertinggi adalah pada lokasi 4 dengan 0.2 individu / m2 dan jumlah
terendah pada lokasi 3 yaitu 0.125 individu / m2.
Nilai dominansi, frekuensi, dan jumlah individu / m2 populasi A. variabilis
menunjukkan perbedaan di antara 6 lokasi pengamatan di kawasan UI, Depok.
Akan tetapi terlihat perbedaan tersebut tidak menunjukkan nilai yang signifikan.
Nilai dominansi dipengaruhi oleh luas tutupan (cover) tumbuhan. Nilai frekuensi
dan kerapatan (jumlah individu / m2) dipengaruhi oleh sebaran tumbuhan.
Perbedaan dominansi di keenam lokasi menunjukkan perbedaan ukuran
morfologi A. variabilis walaupun tidak signifikan. Perbedaan ukuran morfologi
tumbuhan disebabkan karena adanya perbedaan tingkat intensitas cahaya
matahari, suhu, dan kelembaban. Perbedaan nilai dominansi terlihat jelas pada
Lokasi 1--3 dan Lokasi 4--6 (Gambar 4.39 A). Intensitas cahaya pada lokasi 4--6
lebih rendah dibandingkan dengan lokasi 1--3.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
72
Amorphophallus variabilis diketahui sebagai tumbuhan naungan. Sebagai
tumbuhan naungan, A. variabilis telah beradaptasi dengan memiliki struktur
daun yang berbeda dengan tumbuhan lain, sehingga memiliki tingkat serapan CO2
lebih baik pada tingkat cahaya rendah. Menurut Edmond dkk (1957: 163),
struktur daun berpengaruh terhadap hasil fotosintesis, serapan CO2, penetrasi
cahaya terhadap sel klorenkim, turgiditas sel, dan translokasi karbohidrat.
Menurut Salisbury & Ross (1995: 76) tumbuhan naungan memiliki sifat dan
struktur daun yang berbeda. Sifat tumbuhan naungan adalah :
1. Laju fotosintesis lebih rendah pada tingkat intensitas cahaya tinggi
2. Respon fotosintesis mencapai jenuh pada tingkat yang lebih rendah dari
tumbuhan lain.
3. Laju Fotosintesis lebih tinggi pada tingkat intensitas cahaya rendah
4. Titik kompensasi cahaya rendah.
5. Tangkai daun tanggap terhadap arah dan intensitas cahaya sehingga
mengarahkan daun ke tempat yang ternaungi
Adaptasi tumbuhan terhadap cekaman naungan akan menyebabkan
perubahan morfologi daun. Tumbuhan naungan memiliki daun yang berbentuk
lebar dan tipis karena memiliki jaringan palisade yang relatif lebih pendek
dibandingkan dengan tumbuhan matahari. Ukuran sel relatif lebih besar sehingga
helai daun menjadi lebar dan tipis dengan kutikula dan dinding sel lebih tipis.
Ukuran batang relatif lebih kecil dengan kondisi xylem yang kurang berkembang
(Doubenmire 1974: 214).
Lokasi 4--6 memiliki intensitas cahaya yang lebih kecil dibandingkan
lokasi 1--3. Hal tersebut menyebabkan A. variabilis pada lokasi 4--6 beradaptasi
dengan laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan lokasi 1--3. Helaian daun
pada lokasi 4--6 relatif lebih lebar dan tipis dibandingkan dengan lokasi 1--3.
Hal tersebut membuat rerata tutupan (cover) lokasi 4--6 lebih besar dibandingkan
dengan lokasi 1--3. Semakin besar tutupan (cover), maka dominansi akan
semakin besar, sebab dominansi dipengaruhi oleh jumlah sampel dan rerata
tutupan (cover).
Perbedaan nilai frekuensi dan kerapatan ( jumlah individu / m2)
menunjukkan perbedaan frekuensi sebaran populasi A. variabilis di keenam
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
73
lokasi. Frekuensi A. variabillis terbanyak dijumpai pada populasi di lokasi 1
dan 6 (Gambar 4.39 B). Populasi A. variabilis pada lokasi 1 dan 6 relatif
tersebar merata sehingga relatif banyak dijumpai pada kuadrat sampel yang
diambil.
Kerapatan A. variabilis pada lokasi 4 lebih tinggi dibandingkan lokasi
lain, karena pada lokasi 4 relatif banyak dijumpai tumbuhan semai sehingga
mempengaruhi kerapatan pada lokasi tersebut (Gambar 4.39 C). Lokasi 4 berada
pada kawasan hutan kota dengan tingkat intensitas caha
cahaya
ya terendah setalah lokasi
6, serta suhu dan kelembaban tertinggi setelah lokasi 6. Kondisi tersebut
membuat pertumbuhan biji semakin cepat karena A. variabilis sebagai tumbuhan
naungan memiliki laju fotosintesis lebih cepat pada tingkat intensitas cahaya yang
rendah (Salisbury &Ross: 76)
C
Gambar 4.39. Dominansi, frekuensi, dan kerapatan A. variabilis di tiap
lokasi
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
74
Rata-rata ukuran morfologi tiap individu pada populasi A. variabilis di
setiap lokasi pengamatan menunjukkan perbedaan, namun tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan derajat kesamaan Morisita 99.9995 (Gambar
4.22). Hal tersebut karena populasi A. variabilis tumbuh dan tersebar pada
kondisi lingkungan yang relatif seragam pada setiap lokasi. Umur populasi yang
bervariasi dan tidak terpola di setiap lokasi tidak menyebabkan terlihatnya
perbedaan ukuran morfologi A. variabilis secara signifikan. Menurut Sufiani
(1993: 14) ukuran daun dan perbungaan A. variabilis dipengaruhi oleh bobot
umbi. Bobot umbi juga dipengaruhi oleh umur individu dan kondisi lingkungan.
A. Sub-habitat hutan karet di
A
dalam lingkungan kampus
B. Sub-habitat Hutan Kota
1m
Universitas Indonesia
B
1m
Gambar. 4.40. Pola sebaran mengelompok populasi A. variabils
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Berdasarkan dendogram (Gambar 4.41), Lokasi 6 berbeda dibandingkan
dengan lima lokasi lain. Hal tersebut sesuai dengan karakter lingkungan berupa
suhu, intensitas cahaya, dan kelembaban lokasi 6 yang berbeda dibandingkan
dengan lima lokasi lain. Intensitas cahaya pada lokasi 6 paling rendah diantara
lokasi lainnya, sedangkan rata-rata suhu dan kelembaban lokasi 6 paling tinggi
diantara lokasi lainnya. Intensitas cahaya yang rendah membuat A. variabilis
sebagai tumbuhan naungan, memiliki laju fotosintesis yang tinggi. Ukuran batang
menjadi lebih kecil, dengan kondisi xylem yang kurang berkembang. Helai daun
lebih lebar dan tipis disebabkan oleh ukuran sel yang lebih besar (Doubenmire
197: 214).
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
75
Lokasi 6 seperti yang tertera pada Gambar 4.3, merupakan lokasi yang
berbeda diantara lokasi lainnya. Lokasi 6 terpisah dari lokasi 4 dan 5 oleh 2 (dua)
situ yaitu Situ Ulin dan Situ Salam. Lokasi 6 berbatasan langsung dengan jalan
raya dan sebuah bangunan fisik. Vegetasi pada lokasi 6 teramati relatif lebih
rindang dengan dominasi pohon akasia dan karet serta vegetasi semak dan perdu.
Hal tersebut memengaruhi akuisisi cahaya pada lantai hutan lebih kecil
intensitasnya serta kelembaban yang lebih tinggi dan suhu yang lebih rendah
dibandingkan lokasi lainnya.
Gambar 4.41. Dendogram perbedaan lokasi populasi A. variabilis
berdasarkan ukuran morfologi tumbuhan
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Pertumbuhan perbungaan Amorphophallus variabilis dari kuncup hingga awal
pematangan buah berkisar antara 9--14 hari. Proses pematangan buah berkisar
antara 2--3 pekan.
2. Polinasi Amorphophallus variabilis di Kawasan Universitas Indonesia (UI)
terjadi pada hari ke-3 mekarnya perbungaan.
3. Polinasi Amorhophallus variabilis di kawasan UI dibantu oleh angin dan
serangga. Serangga yang berperan adalah kumbang dari suku Nitidulidae,
kumbang dari suku Endomychidae, lalat dari suku Anthomyiidae, dan lalat
dari suku Tachinidae.
4. Populasi A. variabilis di kawasan UI memiliki pola sebaran mengelompok.
5. Populasi A. variabilis di setiap lokasi pengamatan menunjukkan kesamaan
berdasarkan karakter morfologi dengan indeks kesamaan sebesar 99,9995.
5.2. SARAN
1. Penelitian selanjutnya disarankan melakukan analisis pola pertumbuhan disertai
dengan data curah hujan agar dapat diketahui perbedaannya.
2. Jenis serangga penyerbuk sangat perlu untuk dianalisis hingga tingkatan takson
jenis, dan dapat dilakukan penelitian persebarannya di kawasan Universitas
Indonesia
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai polinasi dan populasi A. variabilis di
lokasi lain di luar kawasan Kampus UI disertai dengan dukungan data
etnobotani, ekofisiologi, dan sistematika tumbuhan.
76
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
DAFTAR REFERENSI
Acebey, A., T. Kroemer, B.L. Maas dan M. Kessler. 2010. Ecoregional
distribution of potentially useful species of Araceae and Bromeliaceae as
non-timber forest products in Bolivia. Biodivers Conserv. 19: 2553—2564
hlm.
Ariel, 1999. Iles-iles KHP Blitar makanan favorit masyarakat Jepang. Buletin
Duta Rimba. 4: 17-18.
Backer, C. A. dan van den Brink. 1968. Flora of Java (Spermatophyte Only):
vol. III. angiospermae, familiy 215. Noordhoff-Kolff N.V.P, Groningen :
CLII + 639 hlm.
Beath, D.N. Daniel. 1996. Pollination of Amorphophallus johnsoni (Araceae) by
carrion bettles (Phaeochrous amplus) in a Ghanaian Rain Forest. Journal of
Tropical Ecology. Cambridge University Press. 12: 409—418
Bogner, J., dan Dan H. Nicolson. 1991. A revised classification of Araceae with
dichotomous key. Wildenouwia. Berlin Botanischer Garten und Botanische
Museum, Dahlem. 21: 35—50 .
Bown, D. 1988. Aroids: Plants of the arum family. Timber Press Portland:
Oregon: 204 hlm.
Campbell, J. M. 2008. Taxonomy of Endomychidae (handsome fungus bettles).
Journal of Entomology. Entomology society. IV : 22--24
Dhewangkoso, R. 2008. Pengaruh vegetasi di Kampus Universitas Indonesia
Depok terhadap iklim mikro dan kenyamanan lingkungan. Skripsi S1Biologi FMIPA-UI, Depok: ix—54 hlm.
Doubenmire, R.F. 1974. Plant and environment. A Text book of plant
autoecology 3rd edition. John Wiley & Sons, Inc. New York. 422 hlm.
77
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
78
Dudareva, N. dan E. Pichersky . 2006. Biology of floral scent. CRC Press Taylor
dan Francis Group. New York: 337 hlm.
Edmond, J.B., A. M. Musser dan F.S. Andrews. 1957. Fundamentals of
horticultura. 2nd. Mc Graw-Hill Book Company, Inc. New York: 456 hal.
Ermiati dan M.P. Laksmanahardja. 1996. Manfaat iles-iles (Amorphophallus sp.)
sebagai bahan baku makanan dan industri. Jurnal LitbangPertanian. 15 (3):
74-80
Gibernau, M., D. Barabe, P. Cerdan dan A. Dejean. 1999. Beetle pollination of
Philodendron solimosense (Araceae) in French Guana. International
Journal of Plant Science, University of Chicago, Chicago. 160 (6): 1135—
1143.
Ham, R.v.d.., G. Grobb, W. Hetterscheid, W. Star dan B. J. van Heueven. 2005.
Notes on the genus Amorphophallus (Araceae) – 13. Evolution of polen
ornamentation and ultrastructure in Amorphophallus and
Pseudodracontium. Grana. Taylor dan Francis Publishers, New
England.44: 252--265.
Hartanto, E.S. 1994. Iles-iles tanaman langka yang laku diekspor. Buletin
Ekonomi XIX (4) : 21--25.
Hartono. 2008. SPSS 16.0: Analisis data statistika dan penelitian. Edisi ke-1.
Pustaka Belajar, Yogyakarta: xi + 225 hlm.
Hetterscheid. W. L.. 1996. Amorphophallus ecology, geography, and
conservation. International Aroid Society webpage. http://
aroid.org/amgec.php.htm. 1 Agustus 2010 pk. 17: 13.
Hetterscheid, W. L dan A. S. Ittenbach. 2003. Everything You Always Wanted to
Know About Amorphophallus, but Were Afraid to Stick Your Nose
Into!!!!!. Aroideana. 19: 7—131.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan
Departemen Kehutanan, Jakarta: ? hlm.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
79
International Aroid Society. 2003. Species list of Amorphophallus. Hetterscheid
dan Ittenbach. Amorphophallus ecology, geography, and conservation.
http// www. Aroid.org/list..php.htm. 7 Agustus 2010 pk. 10.21.
Jansen, P.C.M., C. van der Wilk dan W.L.A. Hetterscheid. 1996.
Amorphophallus Blume ex Decaisne. In Flach, M. and F. Rumawas (eds.).
PROSEA: Plant Resources of South-East Asia No 9. Plant Yielding Nonseed Carbohydrates. Backhuys Publishers, Leiden: 45--50 hlm.
Kartikawati, N. K. 2008. Polinator pada tumbuhan kayu putih. Jurnal Balai Besar
Penelitian Bioteknologi Tumbuhan Hutan. Jogjakarta: 7 hlm.
Keng, H. 1978. Orders and families of Malayan seed plants: Synopsis of orders
and families of Malayan Gymnorperms, Dicotyledons and Monocotyledons.
Singapore University Press. Singapura: xviii + 437 hlm.
Krebs, C.J. 1999. Ecological methodology. Addison-Wesley Educational
Publishers, Inc., Menlo Park, California: 620 hlm.
Lahiya, A.A. 1993. Budidaya tumbuhan iles-iles dan penerapannya untuk sasaran
konsumsi serta industri. Seri Himpunan Peninggalan Penulisan Yang
Berserakan. Terjemahan dari: De Fabrikasi Van Iles-iles mannaanmeel uit
Amorphophallusknollen en enige toepassingmogelijkheden Bergcultures
oleh Scheer, J.V., G.H.W.D. Dekker, and E.R.E. Helewijn.
1937/1938/1940 Bandung : 27 hlm.
Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardi, P.C. Rahardja, J.J. Afriastini, W. Rini, dan
W.H. Apriadji. 1989. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya, Jakarta: 31
hlm.
MacKinnon, J., K. Phillips & B. van Balen. 2000. Seri panduan lapangan burungburung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Uslitbang Biologi-LIPI,
Bogor: xviii+ 510 hlm.
Odum, E.P.1993. Dasar-dasar ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi
ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 340 hlm.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
80
Pijl, L.v.d. 1937. Biological and physiological observations on the inflorescence
of Amorphophallus. Recl. Trav. Bot. Neerl. 34: 57-67.
Poehlman, J. M. 1959. Breeding fields crop. Henry Holt and Company, INC. New
York. 427 hlm.
Pradana, D. H. 2007. Distribusi dan keanekaan jenis burung di Kampus
Universitas Indonesia Depok pada berbagai subtipe habitat. Skripsi S1Biologi FMIPA-UI, Depok: vii + 67 hlm.
Pradana, D. H. 2010. Keanekaragaman, aktivitas, dan pembagian sumber daya
spesies burung pada Ficus benjamina dan Acacia mangium di taman
Kampus Universitas Indonesia Depok. Tesis S2 - Biologi-FMIPA-UI,
Depok: xii + 57 hlm.
Punaran, S. K. dan K.P.N. Kumaran. 2010. Polen morphology and pollination
ecology of Amorphophallus species from Northwest Ghats and Khonkan
Region of India. Flora. 205: 326--336.
Purborini, D. H. 2006. Struktur dan komposisi tumbuhan di Situ Rawa Pening.
Skripsi. Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. xi + 40 hlm.
Rochedi, A. B.. 2004. Studi polinasi pada iles-iles. Skripsi. Jurusan Agronomi
dan Hortikultura . Fakultas Pertanian IPB, Bogor: xv+ 64 hlm.
Real, L. 1983. Pollination biology. Academia Press, INC. Orlando: 338 hlm.
Romoser, W.S. dan Stoffolano, J.G., Jr. The science of entomology: 4th edition.
Mc Grow-Hill Company Inc. Singapura: xiv+ 605 hlm
Rosman, R. dan S. Rusli. 1991. Tanaman iles-iles. Edisi Khusus Littro. VII (2):
17--21
Salisbury, F.B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi tumbuhan jilid 2. Penerbit ITB,
Bandung: 343 hlm.
Schelhas, J. dan R. Greenberg. 1996. Forest patches: in tropical landscapes.
Island Press. Washington DC : xv + 409 hlm.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
81
Steenis, C.G.G.J. v., S. Bloembergen, dan P. J. Eyma. 2006. Flora. Pradnya
Paramita, Jakarta: xii + 485 hlm.
Sufiani, S. 1993. Iles-iles (Amorphophallus); jenis, syarat tumbuh, budidaya, dan
standar mutu ekspornya. Media Komunikasi Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri. Departemen Pertanian. XII : 11--16
Sumarwoto. 2004. Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume.) deskripsi dan
sifat-sifat lainnya. Jurnal Biodiversitas. 11 (2): 45—53.
Sumarwoto. 2004. Pengaruh pemberian kapur dan ukuran bulbil terhadap
pertumbuhan iles-iles (Amorphophallus muelleri Blum.) pada tanah ber-Al
tinggi. Jurnal Ilmu Pertanian. 11 (2): 45--53.
Taqyuddin, J.S., I. Niraawandi, L. Hakim, A. Ramelan & Firdausy. 1997. Atlas
kampus Universitas Indonesia. FMIPA UI, Depok: v + 40 hlm.
Universitas Indonesia. 2011. Green Campus. 1 hlm.
http : www.ui.ac.id/id/campus/page/green-campus, 27 Juni 2011, pk. 20.12
WIB.
Weite, S.. 2000. Statistical ecology in practice : A guide to analyzing
environmental and ecological field data. Person Education Limited, Kuala
Lumpur: 414 hlm.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
LAMPIRAN
GLOSARIUM
perbungaan epigin
: posisi perbungaan betina inferior terhadap
perbungaan jantan (Keng 1978: 412).
bunga tongkol (spadix)
: bentuk perbungaan yang tersusun dalam tongkol
dan dilindungi oleh spatha (Keng 1978: 408)
Keterangan :
a. spatha
b
b. perbungaan
jantan
a
c. perbungaan
betina
c
Gambar skema perbungaan spadix dan epigi
(Sumber: Keng 1978: 408)
spatha
: daun pelindung perbungaan (Keng 1978: 419).
buah beri
: buah berdaging yang memiliki banyak biji (Keng
1978: 419).
82
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
83
raphe
: daerah yang terbentuk dari pemisahan antara
tangkai ovul yang melengkung dengan ovul (Keng
1978: 416)
pistil
: kepala putik atau organ sentral pada bunga yang
terdiri atas karpel (Keng 1978: 411)
ovari
: bakal buah yang mengandung beberapa ovul
terletak
pada dasar bunga betina. Ovari dapat
terbentuk dari satu atau beberapa karpel (Keng
1978: 411).
lokul
: ruang pada bakal buah yang terdapat bakal biji
(ovum) di dalamnya (Keng 1978: 411).
psilate
: ornamen pada serbuk sari (polen) dengan
permukaan polen yang rata / halus (van der Ham
2005: 262).
Gambar ornamen psilate pada polen Amorphophallus.skala garis 10 µm
(van der Ham 2005: 264)
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
84
Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran tinggi total perbungaan
Tumbuhan mekar hari ke-
No. Bunga
1
2
3
4
5
6
7
8
F001
67.3
71
71
47.7
47
47
47
47
F002
64
71
71
67.1
67.1
67.1
67.1
67.1
F003
66.8
71.2
71.2
70.8
70.8
45.2
45.2
45.2
F004
107.6
109
109.8
109.8
109.8
80.8
80.8
77.8
F005
107.8
108
109.6
109.6
104.6
102.4
80.8
79.2
F006
127.2
129
130.6
123.4
123.4
116.6
114.6
102.4
F007
69.2
69.6
75.3
74.2
74.2
73
73
72.4
F008
104.2
104.8
105.2
105.2
105
105
103.2
103.2
F009
46.6
48.2
48.2
48.2
46.6
46.6
46.3
44.2
F010
116.6
120.7
120.7
115.8
115.8
115.4
115.4
105.4
F011
62.2
64.1
66.3
66.3
66.3
64.4
64.4
42.2
F012
75.2
75.5
75.5
0
0
0
0
0
F013
76.7
78.8
78.9
80
81.3
81.3
81.3
81.3
F014
90.2
90.4
90.4
90.4
88.1
67.5
67.2
63
F015
46
54.4
57.9
66.3
72.8
73.4
73.4
72.6
F016
66.5
69
69.5
70.4
70.4
70.8
70.8
70.8
F017
77.5
89.3
97.9
102.6
102.9
103.4
103.4
103.4
F018
40.9
43.3
45.8
47.3
48.4
48.4
48.4
48.4
F019
57.9
58.1
59.8
60.4
61.5
62.3
62.8
62.8
F020
Tinggi
total
152.1
153.4
160
160
153.2
151.2
132.4
131.4
81.125
83.94
85.73
80.775
80.46
76.09
73.875
70.99
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
85
Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran panjang osmofor perbungaan
No. Bunga
Tumbuhan mekar hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
F001
23
23.3
23.3
3.1
2
2
0
0
F002
20.2
22.4
22.4
21
21
20
7.3
0
F003
25
25.8
27
26.2
26.2
3
0
0
F004
34.8
34.8
34.8
34.8
4.6
3.8
1
0
F005
36.6
36.8
36.4
36.4
36
3.4
3.4
0
F006
29.6
29.6
29.2
29.2
28.8
4.2
4.2
0
F007
21
21
21
21
20
19.3
5
3.6
F008
24.2
24.2
23.4
23.4
23.4
23.1
23.1
23.1
F009
13.7
13.7
13.2
13.2
11.6
11.6
11.6
11.2
F010
30.8
30.8
28.8
28.8
22.2
2.4
0
0
F011
21.6
22.6
22.6
22.6
22.6
0
0
0
F012
18
18
18.2
18.2
0
0
0
0
F013
18.7
19.2
19.2
19.2
19.2
0
0
0
F014
31
31.6
31.6
31.6
28.7
12.1
2.4
0
F015
24
26.2
26.2
26.2
26.2
22.6
22.6
22.6
F016
15.8
15.8
15.8
15.8
10.9
7.3
3.4
3.1
F017
17
17.2
20.6
24.6
24.6
24.6
24.6
24.1
F018
12
12.4
12.4
12.4
12.3
12.3
12.3
11.9
F019
16.8
17.2
17.2
17.4
17.4
17.4
17.4
17.4
F020
Panjang
Osmofor
37.4
38.6
39.4
39.4
39.4
38
12.8
0
23.56 24.06
24.135
23.225
19.855
11.355
7.555
5.85
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
86
Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran diameter osmofor
No. Bunga
Tumbuhan mekar hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
F001
1.3
1.3
1.3
0.8
0.8
0.8
0
0
F002
1.4
1.4
1.4
1.3
1.3
1.3
1.3
0
F003
1.6
1.6
1.7
1.4
1.4
1.2
1.2
0
F004
1.8
2.2
2.2
2
1.2
0.6
0.2
0
F005
1.3
1.3
1.5
1.5
1.2
1
0.4
0
F006
2.8
2.8
2.8
2.4
2.2
2
0.2
0
F007
1.2
1.2
1.2
1.4
1.4
1.2
1.2
0.9
F008
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.3
1.3
F009
1.3
1.5
1.5
1.5
1.3
1.3
1.3
1
F010
2.2
2.2
1.7
1.7
2
0.6
0
0
F011
1.6
1.6
1.1
1
0
0
0
0
F012
1.4
1.5
1.5
0
0
0
0
0
F013
1.8
1.9
1.9
1.9
1.3
0
0
0
F014
1.6
1.6
1.6
1.6
1.2
0.8
0.2
0
F015
1.5
1.7
2.1
2.1
2.1
2.1
2.1
2
F016
1.7
1.9
2.1
2.1
1.9
1.9
1.1
0.8
F017
1.4
1.6
1.6
1.7
1.7
1.7
1.7
1.5
F018
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.2
1.2
1.2
F019
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
0
F020
diameter
osmofor
3.1
3.1
3
2.1
1.3
1.1
0.2
0
1.65
1.73
1.72
1.535
1.325
1.08
0.75
0.435
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
87
Lampiran 4. Tabel hasil pengukuran panjang spatha
Tumbuhan mekar hari ke-
No. Bunga
1
2
3
4
5
6
7
8
F001
11
11
8
5
5
5
4.2
3
F002
13
13
13
12
12
12
12
11.8
F003
14.8
14.4
14.4
4.8
4.8
3.4
3.4
2.4
F004
14.8
14.8
14
14
4.4
2.4
0
0
F005
22.8
22.8
22.8
7.6
7.5
2.6
0
0
F006
20.2
20.2
19.6
7.4
7.2
2.6
0
0
F007
12.4
12.4
11
11
4.4
4.4
2.8
2.8
F008
18.8
18.8
20.2
18.8
13.6
13.6
7.2
7.2
F009
10.7
10.7
10.7
8.6
8.6
8.6
7.2
7.2
F010
21.2
21.2
20.6
20.6
20
5
2.4
0
F011
16.1
16.1
14.8
14.8
4.8
3.1
0
0
F012
11.5
12
12.3
0
0
0
0
0
F013
13.8
14.2
14.4
14.8
14.8
14.8
14.8
13.6
F014
14.8
14.8
14.8
12.5
10.2
5.8
0
0
F015
14.8
14.8
14.8
14.2
13.7
11.2
11.2
10.4
F016
14.2
14.2
12.8
9.8
6.3
6.2
2
0
F017
15.6
15.6
12.4
10.1
10
10
10
9.6
F018
9.6
9.6
9.6
9.6
5.3
3.4
0
0
F019
10.7
10.7
10.8
10.8
10.8
10.8
10.6
9.7
F020
Panjang
Spatha
22.8
22.8
22.8
19.7
12.4
9.2
5.4
0
15.18
15.205
14.69
11.305
8.79
6.705
4.66
3.885
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
88
Lampiran 5. Tabel hasil pengukuran diameter spatha
No. Bunga
Tumbuhan mekar hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
F001
1.4
1.4
1.4
1.3
1.3
1.3
0
0
F002
1.8
1.8
1.8
1.6
1.6
1.5
1.5
1.5
F003
2.4
2.4
2.2
2.1
1.4
1.4
0.8
0.8
F004
2.2
2.4
2.4
2
2
2
0
0
F005
2.4
2.4
2
2
2
2
0
0
F006
2.6
3.4
2.8
2.8
2.3
2.3
0
0
F007
1.7
1.7
1.6
1.6
1.6
1
1
0
F008
3.4
3.4
3.4
3.1
3.1
2.6
2.3
1.2
F009
2.2
2.2
2
2
1.5
1.5
1.5
1.2
F010
3.4
3.4
2.2
2.2
2
2
2
0
F011
2.2
2.2
2.4
2.4
2.4
2.4
0
0
F012
2
2.1
2.1 `0
0
0
0
0
F013
2.6
2.6
2.6
2.6
2.4
2.3
2
2
F014
2.7
2.7
2.7
2.7
2.5
0.8
0
0
F015
2.6
3
3.1
3.1
3.1
3.1
2.9
2.9
F016
3.2
3.2
2.9
2.9
2.8
2.6
2.6
0
F017
1.7
2
2.2
2.6
2.6
2.6
2.6
1.8
F018
2.6
2.6
2.2
2.2
1.7
1.4
0
0
F019
1.4
1.5
1.6
2
2
2
2
2
F020
diameter
spatha
4.1
4.1
4.1
3.9
2
1.3
1.1
0
2.43
2.525
2.385
2.373684
2.015
1.805
1.115
0.67
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
89
Lampiran 6. Tabel hasil pengukuran panjang perbungaan betina
No. Bunga
F001
F002
F003
F004
F005
F006
F007
F008
F009
F010
F011
F012
F013
F014
F015
F016
F017
F018
F019
F020
panjang
perbungaan betina
1
2
3
3
4
3
3.8
3.2
4.4
3.4
4.2
3.2
2.6
2.8
2.2
3
2.8
2.2
2.2
1.8
5
2
2
3
3
4.2
3
3.8
3.2
4.4
3.4
4.2
3.2
2.6
3
2.2
3.1
2.8
2.4
2.2
2.1
5
3.09
3.14
Tumbuhan mekar hari ke3
4
5
2
1.9
1.9
3
3.2
3.2
3
3.2
3.2
4.2
4.2
4.2
3
3.8
3.8
4.2
4.2
4.4
3.8
4.4
4.4
4.9
4.9
4.9
3.4
3.8
3.8
4.2
5.2
5.2
3.2
3.4
3.4
2.6
0
0
3
3
3
2.4
2.8
3.8
3.1
3.1
3.4
2.8
2.8
3.2
2.6
2.8
2.8
2.4
2.4
2.4
2.1
2.1
2.8
5
5.4
5.4
3.245
3.33
3.46
6
2
3.2
3.4
4.2
3.8
4.4
4.4
4.9
3.8
5.2
3.4
0
3
3.8
3.4
3.2
2.8
2.4
2.8
5.4
7
2
3.2
3.4
5.2
3.8
4.4
4.8
4.9
4.2
5.2
3.8
0
3.2
4.2
3.7
3.6
2.8
2.4
2.8
5.4
8
2.1
3.2
3.8
5.2
4.4
5.2
4.8
4.9
4.2
5.2
3.8
0
3.2
4.2
3.8
3.6
3.4
2.4
2.8
5.9
3.475
3.65
3.805
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
90
Lampiran 7. Tabel hasil pengukuran diameter perbungaan betina
No. Bunga
Tumbuhan mekar hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
F001
1.2
1.3
1.3
1.3
1.5
1.5
1.6
1.6
F002
1.4
1.4
1.4
1.6
1.6
1.6
1.7
1.7
F003
1.4
1.4
1.4
1.6
1.6
1.6
1.6
1.6
F004
2
2
2
2.1
2.1
2.2
2.2
2.2
F005
1.5
1.5
1.5
1.9
1.9
2.2
2.2
2.2
F006
1.3
1.6
1.6
2.4
2.4
2.4
2.4
2.4
F007
1.3
1.3
1.5
1.5
1.5
1.8
1.8
2.8
F008
1.6
1.6
1.6
2.4
2.4
2.5
2.5
2.5
F009
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.7
1.7
1.7
F010
2.2
2.2
2.2
2.2
2.2
2.2
2.6
2.6
F011
1.4
1.4
1.6
1.6
1.6
1.6
1.6
1.6
F012
1.6
1.6
1.6
0
0
0
0
0
F013
2.1
2.1
2.2
2.2
2.2
2.2
2.2
2.2
F014
1.9
2
2
2.1
2.1
2.1
2.1
2.3
F015
2.1
2.1
2.1
2.1
2.3
2.3
2.4
2.4
F016
2.2
2.4
2.4
2.4
2.4
2.5
2.5
2.5
F017
1.4
1.6
1.7
1.7
1.8
1.9
1.9
1.9
F018
1
1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
F019
1.4
1.4
1.4
1.6
1.6
1.8
1.8
1.8
2.8
1.66
5
2.8
3
3
3
3.2
3.2
3.3
1.71
1.755
1.815
1.84
1.92
1.96
2.025
F020
diameter bunga
betina
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
91
Lampiran 8. Tabel hasil pengukuran panjang bunga jantan
No. Bunga
Tumbuhan mekar hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
F001
3.7
4
4
4
4
4
4
3.2
F002
4
4
4
4
4
4
3.4
2.6
F003
3.8
4.6
4.6
3.2
3.2
1.2
0
0
F004
4.2
5.4
5.4
4.2
4.2
4.2
3.8
3.8
F005
4.8
5
5
5
5
3.6
3.6
0
F006
4.2
4.6
4.6
4.6
4.2
4.2
3.8
0
F007
3.8
3.8
3.6
3.6
3.4
3.4
3.4
2.8
F008
5.6
5.6
4.8
4.8
4.8
4.8
4.8
4.4
F009
4.7
4.7
4.2
4.2
4.2
3.8
3.8
3.8
F010
4.8
4.8
4.8
4.4
4.2
4.2
4.2
3.7
F011
4.2
4.2
3.8
3.8
3.8
3.8
3.8
3.2
F012
3.4
3.4
3.4
0
0
0
0
0
F013
4.1
4.5
4.7
4.8
4.8
4.8
4.8
4.8
F014
4.4
4.4
4.4
4.4
4.2
4.2
4.2
4.2
F015
4.6
4.8
4.8
4.8
4.3
4.1
3.8
3.8
F016
4.2
4.2
4.2
4.2
4.6
4.6
4.6
4.6
F017
2.4
2.9
3.1
3.5
3.5
3.8
3.8
4.2
F018
2.8
2.8
2.8
2.8
2.2
2.2
2.2
2.2
F019
3.6
3.6
3.6
3.6
3.6
3.6
3.4
3.4
F020
Panjang
perbungaan jantan
6.8
6.8
6.8
6.2
5.1
3.2
3
0
4.205
4.405
4.33
4.005
3.865
3.585
3.42
2.735
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
92
Lampiran 9. Tabel pengukuran diameter perbungaan jantan
No. Bunga
Tumbuhan mekar hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
F001
1.3
1.3
1.3
1.1
1.1
1
0
0
F002
1.3
1.4
1.4
1.2
1.1
1
1
1
F003
0.8
0.8
1
1.2
1.2
1.2
0
0
F004
1.6
1.8
1.8
1.5
1.5
1.2
1.2
0.8
F005
1.3
1.3
1.3
1.2
1.2
0.8
0.8
0
F006
1.6
1.6
1.6
1.3
0.8
0.8
0.8
0
F007
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.1
1.1
F008
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.2
1.2
F009
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1
1
1
F010
1.1
1.1
1.1
1.1
1
1
0.6
0.6
F011
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
0.8
0.8
0.8
F012
1.2
1.3
1.3
0
0
0
0
0
F013
1.7
1.7
1.8
1.8
1.8
1.8
1.3
1.3
F014
1.2
1.2
1.3
1.5
1.5
1.5
1.2
1.2
F015
1.4
1.4
1.4
1.4
1
1
0.8
0.8
F016
0.7
0.7
0.7
0.7
0.9
0.9
0.8
0.8
F017
1
1
1
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
F018
1.2
1.2
1.3
1.3
1.1
1.1
1
1
F019
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.1
1
F020
diameter
perbungaan jantan
2.9
3.1
3.1
3.1
3
2.4
2.1
0
1.35
1.38
1.405
1.32
1.265
1.14
0.905
0.695
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
93
Lampiran 10. Tabel hasil pengukuran diameter petiolus
No. Bunga
Tumbuhan mekar hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
F001
0.3
0.4
0.4
0.4
0.4
0.4
0.4
0.4
F002
0.5
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0
F003
0.6
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.6
0.6
F004
1.4
1.8
1.8
1.8
1.8
1.5
1.5
1.5
F005
1.2
1.2
1.2
1.4
1.4
1.4
1.2
1.2
F006
1.2
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
2.2
2.2
F007
0.4
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.8
0.8
F008
0.7
0.9
0.9
1.4
1.4
1.4
1.4
1.2
F009
0.6
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
F010
1
1.2
1.2
1.2
1.4
1.4
1.4
1.6
F011
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.8
0.8
1
F012
1.3
1.3
1.3
0
0
0
0
0
F013
1.2
1.2
1.2
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
F014
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
F015
1.3
1.3
1.4
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
F016
1
1
1.2
1.2
1.4
1.4
1.4
1.4
F017
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.3
1.3
1.3
F018
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
F019
1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
2.1
2.3
2.3
2.3
2.3
2.3
2.3
2.3
0.98
1.085
1.105
1.095
1.115
1.115
1.145
1.125
F020
diameter
petiolus
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
94
Lampiran 11. Hasil analisis regresi hubungan jumlah serangga pengunjung
dengan diameter spatha menggunakan program SPSS 16.0
Model Summary
Model
1
R
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.756
a
.571
.548
5.382
a. Predictors: (Constant), Spatha
REGRESI
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
695.245
1
695.245
Residual
521.305
18
28.961
1216.550
19
Total
F
Sig.
24.006
.000
a
a. Predictors: (Constant), Spatha
b. Dependent Variable: Serangga
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
-5.049
3.614
6.788
1.385
Spatha
Coefficients
Beta
t
.756
Sig.
-1.397
.179
4.900
.000
a. Dependent Variable: Serangga
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
95
CURVE FIT
Variable Processing Summary
Variables
Dependent
Independent
Serangga
Spatha
Number of Positive Values
19
19
Number of Zeros
1
1
Number of Negative Values
0
0
User-Missing
0
0
System-Missing
0
0
Number of Missing Values
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable:Serangga
Model Summary
Equation
Linear
R Square
.571
F
24.006
df1
Parameter Estimates
df2
1
Sig.
18
Constant
.000
-5.049
b1
6.788
The independent variable is Spatha.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
96
Lampiran 12. Hasil analisis regresi hubungan jumlah serangga pengunjung
dengan panjang osmofor menggunakan program SPSS 16.0
REGRESI
Model Summary
Model
R
1
.602
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
a
.362
.327
6.564
a. Predictors: (Constant), Osmofor
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
440.924
1
440.924
Residual
775.626
18
43.090
1216.550
19
Total
F
Sig.
10.233
.005
a
a. Predictors: (Constant), Osmofor
b. Dependent Variable: Serangga1
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
-3.799
5.048
.640
.200
Osmofor
Coefficients
Beta
t
.602
Sig.
-.753
.461
3.199
.005
a. Dependent Variable: Serangga1
CURVE FIT
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
97
Variable Processing Summary
Variables
Dependent
Independent
Serangga1
Osmofor
Number of Positive Values
19
20
Number of Zeros
1
0
Number of Negative Values
0
0
User-Missing
0
0
System-Missing
0
0
Number of Missing Values
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable:Serangga1
Model Summary
Equation
Linear
R Square
.362
F
10.233
df1
Parameter Estimates
df2
1
Sig.
18
Constant
.005
-3.799
b1
.640
The independent variable is Osmofor.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
98
Lampiran 13. Contoh penghitungan indeks pola sebara Morisita
Tabel data frekuensi A. variabilis pada Lokasi 3.
KW
Frek
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
6
2
1
0
0
0
0
0
3
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
0
34
35
36
37
38
39
40
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
2
41
42
43
44
45
0
1
0
0
2
61
62
63
64
65
0
0
0
0
2
46
47
48
49
50
51
1
0
1
0
0
2
66
3
67
1
52
53
54
55
56
57
58
59
60
0
0
1
0
1
0
0
0
0
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
0
0
0
1
0
0
0
0
0
6
78
79
80
0
0
0
Indeks Pola Sebaran Morosita
Id = n
 ∑ x2 − ∑ x 
 ( x )2 − x 
∑ 
 ∑
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
99
di mana,
Id = Indeks sebaran Morisita
n = jumlah sampel
∑x
= rata-rata jumlah kuadrat= x1 + x2 + x3 L
∑x
2
2
2
3
= rata-rata jumlah luas kuadrat = x1 + x2 + x2 L
Hasil yang diperoleh : Id = 4.396
Clumped index = Mc =
di mana,
2
χ.025
− n +
∑x
i
(4)
( ∑ xi ) − 1
2
χ.025
nilai chi-square dari tabel (n-1) d.f. yang memiliki 2.5%
derajat kepercayaan dari kanan tabel.
2
Hasil yang diperoleh : χ.025
= 369.462 dengan derajat kepercayaan 99%
Maka, berdasarkan hasil penghitungan Mc = 3.641
Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung dan menentukan nilai Indeks
Sebaran Morisita dengan standarisasi sebagai berikut :
Jika Id ≥ Mc > 1.0 :
 I − Mc 
IP = 0.5 + 0.5  d

 n − Mc 
(5)
JIka Mc > Id ≥ 1.0 :
 I − 1
IP = 0.5  d

 Mu − 1 
(6)
Jika 1.0 > Id > Mu :
 I −1
IP = − 0.5  d

 Mu − 1 
(7)
Jika 1.0 > Mu > Id :
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
100
 I − Mu 
IP = -0.5 + 0.5  d

 Mu 
Rumus (5) dipakai karena Id dan Mc lebih dari satu,
Maka hasil yang diperoleh :
 I − Mc 
IP = 0.5 + 0.5  d

 n − Mc 
IP = 0.5153
Nilai IP di atas nol maka, pola sebaran dari lokasi 3 adalah mengelompok.
Universitas Indonesia
Studi polinasi..., Adhitia Pratama, FMIPA UI, 2011
Download