1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Fenomena yang sedang berkembang pada saat ini menuntut perubahan
tatanan kehidupan baru dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Kecenderungan tersebut terus menjadi agenda perubahan besar
masyarakat dan memunculkan berbagai opini dalam sistem sosial kemasyarakatan
yang mengharapkan lebih adil dan memberi peluang untuk mewujudkan
kesejahteraan
bersama
yang
berkelanjutan
(sustainable
development).
Perkembangan tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang terus berkembang
juga berpengaruh pada perkembangan dunia usaha.
Iklim usaha itu sendiri semakin mengalami kemajuan yang pesat. Dalam
hal ini pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari
lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi
positif terhadap lingkungan sosialnya. Tuntutan untuk melaksanakan CSR bagi
perusahaan didorong oleh globalisasi, deregulasi, privatisasi dan semakin
bertambahnya peran perusahaan-perusahan swasta dalam penyelenggaran
kepentingan publik. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat tersebut
memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya melaksanakan Corporate Social
Responsibility (CSR).
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu upaya juga
untuk menciptakan keberlangsungan usaha dalam menciptakan dan memelihara
1
2
keseimbangan
antara
mencetak
keuntungan,
fungsi-fungsi
sosial
dan
pemeliharaan lingkungan hidup.1
Di Indonesia telah ditetapkan kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan
program CSR yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Dalam konteks dunia usaha penerapan CSR
menjelma dalam beberapa aktivitas kepedulian perusahaan. Hal ini dikarenakan
CSR sangat penting dalam mengembangkan lingkungan sosial perusahaan
sehingga perkembangan masyarakat akan seiring dengan perkembangan
perusahaan.
Melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) berarti juga
melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau korporasi, sebagai
wadah untuk memperoleh keuntungan melalui usaha yang dijalankan dan atau
dikelola olehnya.2
Dengan demikian bukan merupakan sesuatu hal yang aneh jika dalam
penerapannya di Indonesia konsep Corporate Social Responsibility (CSR) berubah
dari social responsibility menjadi legal obligation, karena dengan konsep tersebut
lebih dapat mengakomodir tidak hanya kepentingan perusahaan, akan tetapi juga
seluruh masyarakat yang ada disekitarnya.
Hal ini sesuai dengan substansi keberadaan CSR yaitu dalam rangka
memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun
1
Jackie Ambadar, 2008, CSR dalam Praktik di Indonesia, PT Elex Media Komputindo,
Jakarta, hlm. 32.
2
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum dan Bisnis
Perusahaan tanpa CSR, PT. Percetakan Penebar Swadaya, Jakarta, hlm 10.
3
kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan
menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Dalam
pengertian
kemampuan
perusahaan
untuk
dapat
beradaptasi
dengan
lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal,
nasional, maupun global. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dapat
dilihat dalam budaya gotong royong yang ada pada masyarakat. Budaya yang
merupakan nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia dan patut dipertahankan.
Menurut Soerjono Soekanto, gotong royong itu sendiri muncul sebagai
wujud interaksi sosial dalam masyarakat Indonesia, yang diartikan sebagai kunci
dari semua kehidupan sosial karena tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan
mungkin ada kehidupan bersama. 3
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU PT) menandai babak baru pengaturan CSR. Seiring
dengan semakin majunya teknologi dan perkembangan dunia bisnis, maka konsep
CSR ini pun begitu marak di Indonesia. Perkembangan CSR yang terjadi di
Indonesia adalah pergeseran paradigma dunia usaha yang tidak hanya sematamata untuk mencari keuntungan saja, melainkan juga bersikap etis dan berperan
dalam penciptaan investasi sosial.
Agar suatu investasi dapat terjadi di suatu negara, pemerintah di negara
tersebut haruslah memiliki iklim investasi yang baik.4
Pada prinsipnya Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
kegiatan yang berawal dari kesadaran perusahaan dan bersifat sukarela. Cikal
3
Soerjono Soekanto, 2000, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 67.
4
Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 73.
4
bakal CSR bermula dari kegiatan sumbangan kemanusiaan (philantropy)
perusahaan yang sering kali bersifat spontanitas dan belum terkelola dengan baik.
Awalnya dunia bisnis menganggap bahwa perusahaan hanya dihadapkan pada
tanggung jawab yang perpijak pada single botton line, yaitu nilai perusahaan yang
direfleksikan pada kondisi keuangan perusahaan semata, namun dalam
perkembangannya perusahaan juga harus memperhatikan aspek sosial dan
lingkungan (triple botton line).
Konteks tanggung jawab sosial dalam hal ini memiliki kewajiban
bertanggung jawab atas perintah undang-undang dan memperbaiki atau memberi
ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkan. Karena konsepsi hukum
sebagai saran pembaharuan masyarakat menginginkan pelaksanaan undangundang dapat berjalan sebagaimana mestinya.5
Perusahaan tidak lagi sekedar menjalankan kegiatan ekonomi untuk
menciptakan keuntungan dalam menjaga kelangsungan usahanya, melainkan juga
memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya. Seiring
dengan perkembangan masyarakat dan dunia usaha serta dengan adanya dorongan
eksternal tuntutan masyarakat dan dorongan internal perusahaan agar perusahaan
lebih peduli terhadap lingkungannya, maka kegiatan philantropy tersebut mulai
berkembang dan mengarah pada kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya.
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia tidak lagi
menjadi konsep pertanggungjawaban sosial yang bersifat sukarela atau voluntary,
tetapi telah menjadi konsep pertanggungjawaban sosial yang bersifat mandatory
5
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 79.
5
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dalam bentuk tanggung jawab sosial
dan lingkungan (TJSL). Dalam hal ini UU PT mencoba memisahkan antara
tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan yang mempunyai
tujuan mengarah pada CSR sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap
pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan.
Sampai saat ini belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan
penerapan CSR, meskipun kalangan dunia usaha menyadari bahwa CSR ini amat
penting bagi keberlanjutan usaha suatu perusahaan.
Implementasi CSR membutuhkan kerjasama dari semua pihak yaitu
pemerintah, perusahaan dan masyarakat sebagai kemitraan Tri Partit khususnya
bagi pemerintah sebagai pembuat regulasi diharapkan mampu menjembatani
kepentingan dan memberi rasa keadilan bagi pelaku bisnis dan masyarakat.
Karena tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistim
pengawasan, dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang
memadai.6 Termasuk dengan diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) seperti
yang diamanatkan Pasal 74 ayat (4) UU PT sehingga mampu menciptakan iklim
usaha yang kondusif di Indonesia. Melihat dari kondisi tersebut, maka penting
untuk diteliti selanjutnya dilakukan pengkajian terhadap “Pengaturan Konsep
Dasar Corporate Social Responsibility (CSR) menurut Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”.
6
Gunarto Suhardi, 2002, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 77.
6
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan konsep dasar Corporate Social Responsibility
(CSR) dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas?
2. Bagaimanakah
pengaturan
sanksi terhadap
perseroan yang tidak
melaksanakan kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR)?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum (het doel van het onderzoek) dan
tujuan khusus (het doel in het onderzoek).7
1.3.1 Tujuan Umum
Dalam studi ilmu hukum dikenal adanya paradigma science as a process
(ilmu sebagai proses). Adapun tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui
konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang tertuang dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) yang dapat
menimbulkan konflik norma.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan dari penulisan ini berdasarkan penelitian yang
dilakukan yaitu:
7
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2008,
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar,
hlm. 10.
7
1. Untuk
mengetahui
pengaturan
konsep
dasar
Corporate
Social
Responsibility (CSR) yang tertuang dalam Pasal-Pasal Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
2. Untuk memahami dan mendalami pengaturan sanksi terhadap perseroan
yang tidak melaksanakan kewajiban Corporate Social Responsibility
(CSR) tersebut.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua
permasalahan yang dibahas dalam tesis ini terdiri atas manfaat teoritis dan
manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan
ilmu hukum, khususnya dalam penggunaan teori dan asas-asas hukum terhadap
konflik norma dalam suatu perundang-undangan. Dalam penelitian ini terkait
konsep dasar Corporate Social Responsibility (CSR) yakni Pasal 1 ayat (3) UU PT
yang bersifat sukarela dengan Pasal 74 UU PT yang penormaannya bersifat wajib.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini memberikan manfaat bagi penulis dalam
rangka memenuhi tugas dan penyelesaian studi pada program studi ilmu hukum
program pasca sarjana Universita Udayana, penulis dapat pengalaman yang sangat
berharga terutama dalam meningkatkan keahlian meneliti dan keterampilan
8
menulis, juga sebagai upaya memberikan sumbangan pikiran dan pemecahan
suatu masalah hukum terkait pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam ranah hukum di Indonesia.
1.5
Orisinalitas Penelitian
Permasalahan mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) menarik
banyak peneliti untuk menjadikannya sebagai objek kajian penelitian. Dari hasil
penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan yang berkaitan dengan CSR antara
lain:
1. Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Corporate Social Responsibility
(CSR) Pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas oleh Ika Safithri, Tesis yang dibuat pada tahun 2008 pada
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dengan rumusan
masalah: (1) Bagaimana konsep Corporate Social Responsibility
(CSR) dalam etika bisnis di perusahaan, (2) Bagaimana peranan
pemerintah, perusahaan dan masyarakat sebagai kemitraan tripartit
dalam penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) berdasarkan
UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, (3) Bagaimana
pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) pada UU No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
2. Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Modal
Sosial pada PT Newmont oleh Hasan Asy’Ari, Tesis yang dibuat pada
tahun 2009 pada Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
9
dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana implementasi Corporate
Social Responsibility (CSR) PT Newmont pada wilayah sekitar
perusahaan, (2) Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh PT
Newmont dalam implementasi Corporate Social Responsibility
tersebut.
3. Studi
Perbandingan
pengaturan
tentang
Corporate
Social
Responsibility di Beberapa Negara Dalam Upaya Perwujudan Prinsip
Good Corporate Governance oleh Rosita Candra Kirana, Tesis yang
dibuat pada tahun 2009 pada Program Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana pengaturan
tentang Corporate Social Responsibility di beberapa negara dalam
upaya dengan perwujudan Good Corporate Governance (studi hukum
Indonesia, Australia, dan Cina), (2) Apakah yang menjadi hambatan
dalam pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam
upaya perwujudan Good Corporate Governance.
4. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (Corporate Social
Responsibility) dikaitkan dengan Konsep Tri Hita Karana (Studi di
provinsi Bali), oleh I Gusti Ngurah Anom, Tesis yang dibuat pada
tahun 2011 pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana dengan
rumusan masalah: (1) Bagaimanakah model CSR yang dilaksanakan
oleh perusahaan sehingga terjadi harmonisasi dengan konsep Tri Hita
Karana yang terdapat di Bali, (2) Bagaimanakah bentuk tanggung
10
jawab
sosial
yang
diterapkan
oleh
perusahaan
dalam
pengimplementasiannya di masyarakat.
5. Pengaturan Kewajiban CSR pada Perseroan Terbatas dan Bentuk
Kegiatannya Menurut Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas oleh Ratna Artha Windari, Tesis yang dibuat pada
tahun 2012 pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana dengan
rumusan masalah: (1) Bagaimanakah pengaturan bentuk-bentuk
kegiatan CSR bagi perusahaan perseroan terbatas (PT)?, (2)
Bagaimanakah kriteria suatu perusahaan perseroan terbatas (PT)
tergolong bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam (SDA) dan wajib melaksanakan CSR.
Dari penelitian tersebut terdapat masing-masing perbedaan yang dapat
dilihat dari segi judul dan rumusan masalah yang dibahas. Untuk menghindari
adanya duplikasi serta pencapaian orisinalitas penelitian ini menitikberatkan
pengaturan konsep dasar Corporate Social Responsibility (CSR) sesuai dengan
pasal-pasal yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU PT) serta pengaturan sanksi terhadap perseroan yang
tidak melaksanakan kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) tersebut.
1.6
Landasan Teoritis
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dengan dimensinya di
bidang lingkungan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat, praktek bisnis
yang sehat, pelaksanaannya sangat beragam dan sangat bergantung pada proses
11
interaksi sosial dan bersifat sukarela yang didasarkan pada dorongan moral dan
etika, serta biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturanperundang-undangan. Demikian pula definisi yang tertuang di berbagai literatur
yang menyebutkan konsep CSR sebagai bentuk philanthropy atau kedermawanan
perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi kontribusi untuk kemajuan
atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Tanggung jawab sosial sebuah perusahaan atas dampak dari keputusan dan
aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan dapat diwujudkan melalui
perilaku
transparan
dan
konsisten
dengan
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable development). CSR sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan
terhadap para stakeholders, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar
wilayah kerja dan operasinya, memandang perusahaan sebagai agen moral. Untuk
keberhasilan suatu perusahaan harus mengedepankan prinsip moral dan etis
(moral and etics) yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok
masyarakat lainnya. Konteks tanggung jawab sosial dalam hal ini memiliki
kewajiban hukum terhadap perusahaan untuk bertanggung jawab atas perintah
undang-undang.
Hukum mencerminkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang teratur.
Hukum mengatur hubungan manusia melalui cara mengendalikan tindakan
individu dan menyelesaikan konflik di antara kelompok-kelompok yang bersaing.
12
Unsur-unsur hukum meliputi norma-norma, pernyataan tujuan, standar nilai dan
kriteria untuk melakukan pilihan.8
Oleh karena itu, penerapan CSR dalam prakteknya selalu disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakatnya.
Apabila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas
perusahaan, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada
kepedulian
perusahaan
terhadap
kepentingan
pemangku
kepentingan
(stakeholders) dalam arti luas daripada kepedulian perusahaan terhadap
kepentingan perusahaan belaka.
Stakeholders mempunyai pengertian sebagai bagian dari anggota
komunitas atau kelompok individu, masyarakat (tidak semua) yang berasal dari
wilayah perusahaan tersebut berdiri, wilayah negara dan bisa juga negara lain
yang mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu perusahaan.9
Freeman mendefinisikan pemangku kepentingan sebagai setiap kelompok
atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan
perusahaan.10 Teori pemangku kepentingan ini menekankan bahwa perusahaan
mempunyai tanggung jawab sosial yang menuntut perusahaan tersebut harus
mempertimbangkan semua kepentingan pelbagai pihak yang terkena pengaruh
dari tindakannya. Yang termasuk pemangku kepentingan adalah para pemegang
8
H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 98.
9
Arif Budimanta, et.al., 2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi
Pembangunan Indonesia, ICSD, Jakarta, hlm. 27.
10
E. Freeman, 1984, Strategic Management: A Stakeholder Approach, Pittman Publishing
Inc: Boston, hlm. 46, dalam Ismail Solihin, 2000, Corporate Social Responsibility from Charity to
Sustainability, Salemba Empat, Jakarta, hlm.48.
13
saham itu sendiri, para kreditor, pekerja atau buruh, para pelanggan, pemasok, dan
masyarakat atau komunitas pada umumnya.
Menurut Princes of Wales Foundation hal penting yang dapat
mempengaruhi implementasi CSR yakni:
1. pemberdayaan manusia (human capital);
2. lingkungan;
3. Good Corporate Governance (GCG);
4. Social Cohesion, artinya dalam melaksanakan CSR jangan sampai
menimbulkan kecemburuan sosial serta
5. memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi
(Economic Strength).11
Corporate Social Responsibility (CSR) dalam konteks penanaman modal
harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak
etis. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang
sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh perseroan selama masih beroperasi.
Pengaturan tanggung jawab penanaman modal diperlukan untuk mendorong iklim
persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan
pemenuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong kepedulian
dan ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan. Pelaku
11
hlm.11.
Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta,
14
bisnis dapat dibantu secara optimal dari pemanfaatan hukum sebagai suatu
instrumen bisnis.12
Secara simultan perusahaan pada umumnya menjalankan tiga jenis
tanggung jawab yang berbeda kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dan
ketiganya harus dilaksanakan secara seimbang. Tanggung jawab tersebut
mencakup:
1. Economic Responsibility.
Tanggung jawab kepada para pemegang saham dalam bentuk
pengelolaan perusahaan agar menghasilkan laba yang optimal. Selain
itu, terdapat tanggung jawab ekonomi kepada para kreditor yang telah
menyediakan pinjaman bagi perusahaan, dalam bentuk menyisihkan
sebagian kas perusahaan untuk membayar angsuran pokok dan bunga
pinjaman yang jatuh tempo.
2. Legal Responsibility.
Perusahaan harus mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan “arena permainan bisnis” yang relatif
adil bagi semua pelaku bisnis.
3. Social Responsibility.
Tanggung jawab perusahaan dalam bentuk komitmen secara sukarela
untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan lingkungan
sekitar. 13
Sebagai suatu artificial person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri
sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak dapat menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap keadaan ekonomi, lingkungan
maupun sosialnya. Keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan (sustainability)
perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stakeholders-nya.
12
Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-Aspek hukum Perdata Internasional dalam
Transaksi Bisnis Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 5.
13
Ulzi Kidzie's Kingdom, 2011, Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut
Perspektif Sosiologi, available from http://ulzikidzie.blogspot.com/2011/03/corporate-socialresponsibility-csr.html, diakses pada tanggal 9 Pebruari 2012.
15
Para stakeholders ini, terdiri dari shareholders, konsumen, pemasok, klien,
customer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka yang terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan (the local
community and society at large).
Melaksanakan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) berarti juga
melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau korporasi, sebagai
bagian yang terintegrasi dari kegiatan usaha (business) dan komitmen perusahaan
terhadap kepentingan pada stakeholders dalam arti luas, lebih dari sekedar
kepentingan perusahaan belaka. Meskipun secara moral adalah baik bahwa
perusahaan maupun penanam modal mengejar keuntungan, bukan berarti
perusahaan ataupun penanam modal dibenarkan mencapai keuntungan dengan
mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait.
Adanya ketentuan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai sebuah
kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha,
sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral, tetapi diyakinkan
sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan. Sehingga tidak
berkelebihan jika kedepan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar
responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory
dalam makna liability karena disertai dengan sanksi.
Dalam konteks ini, dengan mendasarkan pada sistem hukum yang
dikemukan oleh Lawrence M. Friedman, sistem hukum (legal system) terdiri dari
tiga unsur yaitu:
16
1. Substansi hukum (Legal Substance).
Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya
maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana
hukum maupun pencari keadilan.
2. Struktur hukum (Legal Structure).
Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang
mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara
lembaga-lembaga, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
3. Budaya hukum (Legal Culture).
Budaya pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.14
Penegakan hukum memerlukan sinergi dari ketiga hal tersebut. Idealnya
suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana dikemukakan
oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah. Jika dalam tatanan
legal substance (substansi hukumnya) terjadi konflik maupun kekaburan norma,
tentu saja dalam proses penegakan hukumnya akan menyulitkan. Karena esensi
dari penegakan hukum juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan
hukum itu sendiri.15
Faktor hukumnya sendiri akan menjadi salah satu faktor penyebab tidak
efektifnya hukum dalam ranah penegakannya. Dengan demikian dapat dilakukan
proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das Sein) tertentu yang
disebut penemuan hukum (rechtfinding).16
14
Lawrence M. Friedman, 2001, American Law: An Introduction, 2nd edition,
diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, Tatanusa, Bandung, hlm. 6.
15
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 9.15
16
Sudikno Mertokusumo, 2007,
Yogyakarta, hlm. 37.
Penemuan hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,
17
Penemuan hukum selain dilakukan oleh hakim dan pembentuk undangundang juga dapat dilakukan oleh dosen maupun peneliti hukum dalam penulisan
dan pembahasan penelitian yang penemuan hukumnya bersifat teoritis, sehingga
hasil dari penemuan hukumnya bukanlah sebagai suatu hukum karena tidak
memiliki kekuatan mengikat, melainkan sebagai sumber hukum (doktrin).
Tujuan utama dari penemuan hukum tidak lain adalah untuk memberikan
rasa keadilan dan jaminan kepastian hukum bagi kepentingan proses hukum yang
berkeadilan dan penerapan ketentuan hukum yang adil. 17
Menurut Gustav Radbruch, hukum merupakan produk dari budaya
manusia. Sebagaimana semua produk budaya mempunyai makna bagi masyarakat
tertentu, hukum pun juga hanya dapat dipahami sebagai suatu upaya masyarakat
di dalam mewujudkan nilai-nilai dan tujuannya. Menurutnya, tujuan hukum
adalah menetapkan aturan bagi suatu masyarakat dalam kerangka keadilan.18
Selanjutnya, Ni Ketut Supasti Dharmawan memperkenalkan pendekatan
Hybrid Framework relevan sebagai suatu alternatif penerapan konsep Corporate
Social Responsibility (CSR) dalam situasi konstektual terutama pada kondisi
kontroversial antara pendekatan regulatory (legal obligation) dengan voluntary
17
H.F. Abraham Amos, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoretis dan Empirisme,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 23.
18
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm.76.
18
based. A Mixed Framework atau A Hybrid Framework adalah sebuah pendekatan
yang menggabungkan antara pelaksanaan CSR secara voluntary dan regulatory.19
Dalam pendekatan Hybrid ini tidak melihat keduanya terpisah secara
eksklusif, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal yang saling melengkapi. Adanya
suatu usaha legislasi, itu bukan berarti menganggap inisiatif voluntary sebagai
suatu hal yang tidak penting, melainkan usaha atau pemasukan konsep Corporate
Social Responsibility (CSR) ke dalam undang-undang hanyalah sebagai salah satu
faktor yang akan dapat lebih mempengaruhi perilaku korporasi dalam
menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Dalam banyak hal, di luar pendekatan Regulatory Framework, justru
sangat diharapkan korporasi lebih dapat menjalankan tanggungjawab sosialnya
melebihi dari apa yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Model Hybrid
Framework inilah yang cukup memadai digunakan dalam penerapan CSR
ditengah-tengah kontroversi CSR antara voluntary dan regulatory (mandatory).
Sementara itu dalam undang-undang, tanggung jawab sosial yang berbasis
kewajiban hukum atau legal obligation hendaknya tidak dilihat sebagai suatu
yang berbenturan, akan tetapi suatu pendekatan yang saling melengkapi.
Pencantuman konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dalam format
undang-undang bukan suatu ’kesalahan’ melainkan suatu ’kebutuhan’. 20
Keberadaan CSR dalam bentuk undang-undang juga akan dapat menjadi
dasar hukum bagi sektor bisnis agar mampu menjalankan kegiatan usahanya
19
Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2010, A Hybrid Framework Suatu Alternative
Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia, Kertha Patrika, Denpasar, 34 :
10.
20
Ibid.
19
secara lebih bertanggung jawab bagi masyarakat dapat meminta pertanggung
jawaban para pebisnis atas berbagai kegiatan yang dilakukannya selama ini yang
berdampak merugikan lingkungan setempat.
Perlengkapan hukum yang lebih baik memperluas lapangan keefektifan
hukum sebagaimana mesin yang lebih baik memperluas lapangan keefektifan
industri.21
Sementara itu, dengan diaturnya tanggung jawab sosial dan lingkungan
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU
PT) Pasal 74 menimbulkan ketidakkonsistenan dengan ketentuan sebelumnya
yakni Pasal 1 ayat (3) UU PT yang menyebutkan : “Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat,
maupun masyarakat pada umumnya”.
Selanjutnya Pasal 74 menyebutkan sebagai berikut :
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab, Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
21
Roscoe Pound,1996, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan Kelima, diterjemahkan oleh
Drs. Mohamad Radjab, Bhratara, Jakarta, hlm. 50.
20
Dari ketentuan tersebut di atas, terlihat dari adanya perbedaan konsep
dasar terhadap tanggung jawab sosial dari yang semula bersifat social
responsibility (moral obligation), sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
UU PT, menjadi “kewajiban hukum” (legal obligation) seperti tertuang dalam
Pasal 74 UU PT yang secara eksplisit menegaskan adanya kewajiban bagi
perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan serta
pengenaan sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakannya.
Hart dan Kelsen mengadakan pemisahan secara tajam antara kewajiban
hukum pada satu sisi dan kewajiban moral pada sisi lain. Kewajiban hukum itu,
yaitu kewajiban untuk mematuhi hukum, berlaku begitu saja dan tidak bertumpu,
sebagaimana sudah kita lihat, pada dasar-dasar moral. 22
“Moral obligation is a duty which one owes, and which he ought to
perform, but which he is not legally bound to fulfil.”
23
(kewajiban moral adalah
suatu kewajiban dimana seseorang diberikan pilihan untuk seharusnya melakukan
suatu tindakan atau sikap tertentu, namun ia tidak diwajibkan secara hukum untuk
melakukannya).
Sebagaimana karakteristik dari penelitian hukum normatif, maka
permasalahan hukum yang menjadi ciri dari kajian ini adalah adanya konflik
norma (geschijld van normen), kekaburan norma (vague van normen), dan
kekosongan norma (leemten van normen).
22
Meuwissen, 2008, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 88.
23
Lectric Law Library's Lexicon, 2010, Moral Obligation,
http://lectlaw2.securesites.net/lib.html, diakses pada tanggal 12 Pebruari 2012.
available from
21
Dalam hal terjadinya konflik norma, maka permasalahan akan bertitik
tolak dari ketidaksinkronan dalam suatu peraturan baik bersifat konflik vertikal
(antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi) maupun
konflik horizontal (antara peraturan yang sejajar kedudukannya). Namun dalam
penelitian ini terkait dengan konflik antarPasal dalam satu perundanganundangan, mengenai konsep dasar Corporate Social Responsibility (CSR) dalam
UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas antara Pasal 3 ayat (1) yang
bersifat voluntary dengan Pasal 74 yang bersifat mandatory.
Dalam hal adanya kekaburan norma maka yang menjadi point
permasalahan adalah terkait ketidakjelasan suatu norma dalam suatu peraturan
perundang-undangan sehingga mengakibatkan kesulitan dalam penerapan
ketentuan tersebut bagi masyarakat, dan diperlukan berbagai penafsiran hukum
(rechtsinterpretatie) untuk menjawab permasalahan yang ada.
Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan
untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa
sehingga tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undangundang itu. Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undangundang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metoda atau cara
menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan seorang ahli
hukum yaitu:
a. Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran
yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat
22
didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undangundang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.
b. Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang
dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan
meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya
peraturan undang-undang yang bersangkutan.
c. Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran
terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara
menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata
hukum, dalam rangka penemuan asas-asas hukum umum yang dapat
diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.
d. Penafsiran sosiologis (teleologis), yaitu salah satu tugas utama seorang
ahli hukum adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan
dengan hal-hal konkrit yang ada di dalam masyarakat. Hal-hal ini
meliputi evolusi, stabilisasi, fungsi dan pembenaran bentuk-bentuk
kontrol sosial.24
e. Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau
pengertian
didalam
peraturan
perundang-undangan yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri.
Selanjutnya, kekosongan-kekosongan dalam hukum hingga kini hanya
diteliti dalam kerangka penemuan hukum oleh hakim untuk suatu sengketa
24
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni,
Bandung, hlm. 114.
23
yuridik konkret tidak menemukan penyelesaian dalam hukum positif yang berlaku
bahwa suatu kekosongan dalam hukum dialami sebagai “kekosongan” dan
selanjutnya dirasakan sebagai problematikal.25
Yang dimaksud dengan kekosongan hukum adalah tidak adanya atau
belum diaturnya suatu ketentuan terkait satu atau beberapa kondisi hukum yang
muncul di dalam masyarakat, dan untuk menjawab permasalahan terkait
kekosongan hukum (Rechts Vacuum) maka dapat menggunakan metode
konstruksi hukum.
Untuk
mengisi
kekosongan
undang-undang
ini, biasanya hakim
menggunakan penalaran logisnya yang berupa metode analogi, metode
argumentum a-contrario, metode pengkongkritan hukum, dan fiksi hukum.26
Terkait pengaturan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban CSR ini, maka
dapat dilakukan penemuan hukum dikenal adanya metode penalaran (reasoning)
yang digunakan untuk menemukan hukum yang sebelumnya tidak diatur dalam
perundang-undangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo terdapat 2 (dua) bentuk metode penalaran
hukum yakni:
1.
Argumentum Per Analogian (Analogi), dengan analogi maka
peraturan perundang-undangan yang ruang lingkupnya terlalu sempit
akan coba diperluas, dimana peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip
dengan yang diatur dalam undang-undang akan diperlakukan sama.
25
Jan Gijssels & Mark van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum itu?, diterjemahkan oleh
B. Arief Sidharta, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hlm. 103.
26
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, hlm. 53.
24
2.
Argumentum a Contrario, merupakan cara penafsiran atau penjelasan
undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari
peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang.27
Munculnya konsep yang berbeda dalam suatu perundang-undangan
tentunya akan mengakibatkan sulitnya penerapan program CSR sebagaimana
diamanatkan dalam peraturan tersebut. Terkait dengan permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini setidaknya terdapat 3 (tiga) asas dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai Asas Preferensi, yaitu:
1. Asas Lex Superior Derogate Legi Inferiori.
Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya lebih tinggi yang mengatur materi normatif yang
sama. Jika terjadi pertentangan, maka peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, dan karena
adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan.
2. Asas Lex Posteriori Derogate Legi Priori.
Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang
lama dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur
materi normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundangundangan yang baru dengan tidak mencabut peraturan perundangundangan yang lama yang mengatur materi normatif yang sama
sedangkan kedua-duanya saling bertentangan satu sama lain, maka
peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan
peraturan perundang undangan yang lama.
3. Asas Lex Specialis Derogate Legi Generali.
Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang
bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus, sedangkan kedua-duanya mengatur materi normatif yang
sama. Jika terjadi demikian maka peraturan perundang-undangan yang
27
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 67.
25
bersifat khusus akan mengesampingkan
undangan yang bersifat umum. 28
peraturan perundang-
Untuk penyelesaian Asas Preferensi tersebut di atas dapat dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengingkaran (disavowal).
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan
mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konflik
itu terjadi berkenaan dengan asas lex spesialis dalam konflik
pragmatis atau dalam konflik logika diinterpretasi sebagai pragmatis.
2. Reinterpretasi.
Dalam kaitan penerapan asas preferensi hukum harus dibedakan
dengan reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi,
menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih
fleksibel. Selain itu dapat juga dengan menginterpretasi norma
preferensi dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan
mengesampingkan norma yang lain.
3. Pembatalan (invalidation) yang terdiri dari :
a. Pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan misalnya oleh suatu
lembaga khusus. Di Indonesia Pembatalan Peraturan Pemerintah
kebawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
b. Pembatalan praktikal, yaitu tidak menerapkan norm tersebut dalam
kasus konkrit.
4. Pemulihan (remedy).
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan.
Misal: dalam hal satu norma yang unggul dalam arti Overruled Norm,
berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan
norma yang kalah maka dengan cara memberikan kompensasi.29
Terkait dengan diaturnya tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
yang menimbulkan inkonsistensi antara Pasal 1 ayat (3) yang bersifat moral
obligation dengan Pasal 74 yang bersifat legal obligation menyebabkan adanya
28
Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata
Pemerintahan Yang Baik, A3, Malang, hlm. 36.
29
P.W. Brouwer et.al., Coherence and Conflict in Law dalam Philipus M. Hadjon dan
Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
hlm. 31.
26
perbedaan konsep dasar Corporate Social Responsibility (CSR) ini, dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan pemulihan terhadap Pasal-Pasal yang
mengatur ketentuan mengenai tanggung jawab sosial tersebut agar tidak
menimbulkan konflik antara Pasal satu dengan Pasal lainnya.
1.7
METODE PENELITIAN
Metode adalah jalan atau cara untuk memikirkan dan memeriksa sesuatu
menurut rencana tertentu, menyangkut cara kerja untuk dapat memahami obyek
yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.30
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Oleh
karena itu, metode penelitian dapat digunakan sebagai landasan dalam langkahlangkah menyusun suatu karya tulis. 31
1.7.1 Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.32
30
M. Marwan & Jimmy P., 2009, Kamus Hukum “Dictionary of Law Complete Edition”,
Reality Publisher, Surabaya, hlm. 434.
31
Soerjono Soekanto, 1986, “Pengantar Penelitian Hukum”, Cetakan Ketiga, UI Press,
Jakarta, hlm. 42.
32
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 35.
27
Dalam penelitian hukum normatif yang disebut juga penelitian hukum
doctrinal ini mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.33
Penelitian hukum normatif terdiri dari:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
d. Penelitian terhadap sejarah hukum;
e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.34
Penelitian ini beranjak dari inkonsistensi konsep dasar Corporate Social
Responsibility (CSR) dari yang semula bersifat moral obligation menjadi legal
obligation. Padahal kegiatan CSR semata-mata merupakan komitmen perusahaan
secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan
merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum. Instrumen hukum sangat
diperlukan sekali untuk mendorong pelaksanaan CSR di Indonesia karena
perusahaan membutuhkan pedoman agar implementasi CSR sanggup bahkan
berjalan sesuai dengan ide dan konsep dasarnya.
33
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 118.
34
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 41-42.
28
1.7.2 JenisPendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
undang-undang (statute approach) yang didasarkan norma hukum positif tertulis.
Pendekatan ini merupakan pendekatan masalah dengan cara membahas fakta
yuridis yang didapat dari studi terhadap literatur-literatur yang mendukung, salah
satu kegunaan pendekatan masalah secara yuridis normatif ini adalah untuk
mengetahui atau mengenal apa dan bagaimana hukum positifnya mengenai suatu
masalah tertentu.35
Dalam hal ini mengenai tinjauan dari segi hukum dalam menganalisa
permasalahan mengenai inkonsistensi konsep dasar CSR dari yang semula bersifat
moral obligation menjadi legal obligation serta terkait sanksi terhadap perusahaan
yang tidak melaksanakan kewajiban CSR ini. Dengan pendekatan hukum yang
digunakan tersebut diharapkan dapat diperoleh pemecahan yang tepat terhadap
kedua pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Sehingga penelitian ini juga menggunakan pendekatan analisis konsep
hukum (analytical and conceptual approach), yaitu pendekatan yang dilakukan
untuk menemukan suatu konsep atau pengertian secara mendalam.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Sumber bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
35
Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke-20,
Alumni, Bandung, hlm. 140.
29
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan
ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta
yang diketahui maupun suatu gagasan (ide) di bidang hukum.36 Bahan
hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang
terkait
dengan
pokok
permasalahan
yang akan diteliti yaitu:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Terbatas.
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer terdiri atas buku-buku, artikel yang dimuat dalam media
cetak mauapun media elektronik dan hasil-hasil tulisan yang berkaitan
dengan pokok permasalahan yang dibahas. Buku-buku yang dimaksud
di sini adalah berupa literatur wajib yang berkaitan dengan Hukum
Perusahaan dan beberapa karya ilmiah mengenai CSR itu sendiri.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus/ensiklopedia hukum dan kamus Bahasa Inggris.
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 29.
30
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
adalah studi kepustakaan, dengan metode ini penulis mencari, mempelajari dan
memahami berbagai pendapat yang berhubungan dengan pokok permasalahan
yang didapatkan dari literatur-literatur yang tersedia serta peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
Tujuan dari studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan
pemecahan permasalahan penelitian. Fungsi dari kepustakaan ini adalah sebagai
acuan umum, yang berisi konsep-konsep, teori-teori, dan informasi-informasi lain
yang bersifat umum.
Bahan hukum yang relevan dikumpulkan dengan sistem kartu (card
system), yang kemudian kartu-kartu ini disusun berdasarkan pokok bahasan untuk
memudahkan analisis dan pada kartu dicatat konsep-konsep yang berkaitan
dengan permasalahan atau isu hukum pada tulisan ini.37
Pengolahan bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan setelah
dikumpulkan, bahan hukum diperiksa secara teliti kembali untuk menjamin
apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan bahan hukum yang
diperlukan. Bahan hukum hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif
kemudian dilakukan pembahasan.38
37
Winarno Surachman, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik,
Tarsito, Bandung, hlm. 257.
38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 129.
31
Dalam bukunya Ronny Hanitiyo Soemitro, ada beberapa tahapan yang
dapat dilakukan terkait penelitian normatif adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Penelitian inventarisasi hukum positif, yang terlebih dahulu
dilakukan identifikasi norma, kemudian dikumpulkan dan
selanjutnya dilakukan pengorganisasian terhadap norma yang
berkaitan dengan pokok bahasan.
Penelitian terhadap asas-asas hukum, baik asas hukum umum
maupun asas hukum khusus sebagai perwujudan dari kekhususan
perseroan terbatas dan persaingan usaha yang tercermin dalam
sistem hukumnya.
Penelitian untuk menemukan hukum in concreto, dengan tujuan
untuk menemukan apakah hukumnya sesuai untuk diterapkan in
concreto guna menyelesaikan permasalahan.
Penelitian terhadap sistematik hukum, dilakukan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kerangka acuan yang
dipergunakan adalah pengertian-pengertian dasar yang terdapat
dalam sistem hukum, yaitu masyarakat hukum, subyek hukum,
hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan
obyek hukum.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
Sinkronisasi vertikal, maksudnya adalah melihat berbagai
peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan.
Sedangkan,
sinkronisasi horizontal dilakukan
dengan
menempatkan peraturan perundang-undangan yang sederajat
pada posisi yang sejajar. 39
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif-analisis secara sistematis dan
interpretatif, analisis ini nantinya mengungkapkan kelemahan, kekurangan, dan
kelebihan dari suatu undang-undang atau peraturan yang diteliti, serta berupaya
mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antar Pasal
dalam peraturan perundang-undangan yang sama. Terkait dalam penelitian ini
39
Ronny Hanitiyo Soemitro, 1998, Metodelogi Penelitian, Hukum dan Jurumetu, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 12-13.
32
yakni konflik antara Pasal 1 ayat (3) dengan Pasal 74 yang diatur dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahanbahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahanbahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi. Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan
dianalisis secara hukum. Analisis bahan hukum akan dilakukan dengan cara
kualitatif, yaitu menguraikan bahan hukum secara bermutu dalam bentuk kalimat
yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga
memudahkan interpretasi bahan hukum dan pemahaman hasil analisis.
Download