situs REPUBLIKA ● AHAD, 20 FEBRUARI 2011 Hima B3 Kawasan Konservasi dalam Islam HIMA MENJADI TEMPAT YANG DIHARAMKAN UNTUK PERBURUAN DAN MENJADI TEMPAT YANG SAKRAL SEHINGGA BINATANG DAN TUMBUHAN YANG DI DALAMNYA DILINDUNGI. Oleh Heri Ruslan asulullah SAW bersabda, “Tempat tinggal yang paling menyenangkan adalah hima, andai saja di sana tak terdapat banyak ular.” (HR Nasa’i). Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi, hima yang dimaksud dalam hadis itu adalah nama sebuah tempat di zaman Rasulullah yang di dalamnya terdapat padang rumput. “Tempat itu tidak boleh dijadikan sebagai tempat mengembala,” ujar Dr Syauqi. Pada zaman Nabi SAW, terdapat beberapa hima, antara lain, Hima ar-Rabadzah serta Hima an-Naqi. Hima an-Naqi terletak di dekat Madinah sebagai tempat kavaleri. Menurut dia, di tempat itulah umat Islam mengembala kuda-kudanya. Hima an-Naqi ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Nabi SAW melarang berburu binatang pada radius empat mil di sekitar Kota Madinah. Selain itu, masyarakat juga dilarang merusak tanaman dalam radius 12 mil di sekitar kota tersebut. Sejatinya, hima merupakan wilayah konservasi untuk menjaga keseimbangan alam. Hima merupakan zona yang tak boleh disentuh atau digunakan untuk apa pun bagi kepentingan manusia. Tempat tersebut digunakan sebagai konservasi alam, baik untuk kehidupan binatang liar maupun tumbuh-tumbuhan. Dalam agama Islam, hima merupakan sebagai tempat perlindungan binatang dan tumbuhan. Sofia Hardani dalam tulisannya bertajuk “Sistem Ekologi Menurut Syariat Islam” mengungkapkan bahwa ketentuan mengenai perlindungan alam termasuk dalam kerangka aturan Syariat. Menurut Omar Naseef, hima adalah kawasan yang didirikan secara khusus untuk perlindungan kehidupan liar dan hutan yang merupakan inti undang-undang lingkungan Islam. Karenanya, imbuh Sofia, hima adalah suatu usaha untuk melindungi hak-hak sumber daya alam yang asli. Hima, kata dia, ditetapkan semata-mata untuk melestarikan kehidupan liar dan hutan. Di Indonesia, hima bisa disamakan dengan hutan cagar alam atau hutan lindung. “Rasulullah SAW mencagarkan wilayah sekitar Madinah sebagai hima untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan kehidupan liar lainnya,” papar Sofia. Sebagaimana Rasulullah SAW, para Khalifah menetapkan pula beberapa hima. Khalifah Umar Ibn Khattab, misalnya, menetapkan Hima al-Syaraf dan Hima al-Rabdah yang cukup luas di dekat Dariyah, sedangkan Khalifah Usman bin Affan memperluas R SUMBER: BUKU ATLAS HADIS Hima al-Rabdah tersebut yang diriwayatkan mampu menampung 1.000 ekor binatang setiap tahunnya. Sejumlah hima yang ditetapkan di Arabia Barat ditanami rumput sejak awal Islam dan dianggap oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sebagai contoh pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia yang paling lama bertahan. Pada zaman Rasulullah dan Khalifaur Rasyidin, menjaga hima menjadi sebuah kewajiban religius dibandingkan kewajiban komunitas. Bahkan, para ulama juga sering menyerukan pentingnya hima. Agar sesuai dengan hukum Islam, sebuah hima itu harus memenuhi beberapa syarat yang telah dipraktikkan Nabi dan para khalifah. Syarat hima itu, antara lain, pertama, harus berada di bawah perlindungan kekuasaan pemerintah Islam. Kedua, hima harus dikembangkan sesuai dengan jalan Allah SWT untuk kesejahteraan umat manusia. Ketiga, area yang dijadikan sebagai hima tidak boleh terlalu luas. Keempat, keberadaan hima harus lebih menguntungkan daripada merugikan masyarakat. Khalifah Umar bin Khattab pernah memerintahkan penjaga Hima al-Rabdah, “Bukalah tanganmu bagi orangorang yang membutuhkan, dengarkanlah keluhan orangorang yang tertindas, biarkanlah para gembala yang hidupnya bergantung pada unta dan domba masuk ke dalam hima.” Menurut Khalifah Umar, semua properti itu milik Allah SWT. Dan semua makhluk di muka bumi ini tiada lain adalah hamba Allah. “Jika bukan karena Allah, aku tidak akan melindungi tanah ini (hima),” papar Umar. Nabi Muhammad dan para kalifah secara tegas menegakkan hukum untuk melindungi hima. Dalam ajaran Islam, hima menjadi tempat yang diharamkan untuk perburuan dan menjadi tempat yang sakral sehingga binatang dan tumbuhan yang di dalamnya dilindungi. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar binKhattab, ada seorang komandan perang bernama Sa’ad bin Abi Waqqas menemukan seorang budak memotong tumbuhan yang ada di dalam hima. Kemudian, Sa’ad bin Abi Waqqas memukul budak tersebut dan mengambil kapak dari tangannya. Lalu wanita yang merupakan saudara si budak mendatangi Khalifah Umar dan melaporkan apa yang dilakukan Sa’ad terhadap budak tersebut. Kemudian, Umar berkata, “Kembalikan kapak dan baju budak tersebut. Semoga Allah SWT mengampunimu.” Sa‘ad menolak dan berkata, “Saya tidak akan melanggar apa yang Nabi SAW perintahkan kepada saya. Tetapi, jika kamu suka, saya akan mengganti rugi.” Kemudian, Sa‘ad mengatakan bahwa Nabi pernah bersabda, “Siapa pun yang melihat seseorang memotong pohon di dalam hima, dia harus memukul orang yang memotong pohon tersebut dan menyita alat yang digunakan untuk memotong pohon tersebut.” Setelah itu, Khalifah Umar menerapkan hukuman tersebut bagi siapa saja yang merusak pohon di wilayah hima. Di Kota Madinah, ketika sahabat Nabi Abu Sa‘id al-Khudri, melihat seekor burung berada di tangan beberapa pemuda, dia mengambil burung tersebut dari tangan pemuda itu dan membebaskan burung tersebut terbang ke alam bebas. Sementara itu, sahabat Nabi Abu Ayyub al-Ansari pernah melihat beberapa anak laki-laki mengepung seekor rubah di sebuah sudut Kota Madinah. Kemudian, dia berkata, “Ini merupakan tanah yang diharamkan untuk berburu.” Sedangkan Abu Hurairah pernah berkata, “Jika aku melihat kijang di Madinah, aku tidak akan mengganggu mereka.” ■ Enam Jenis Hima di Negara-Negara Islam Oleh Heri Ruslan alam ajaran Islam, melindungi dan melestarikan alam merupakan sebuah kewajiban. Di Jazirah Arab terdapat beberapa tipe hima yang memiliki aturan berbeda dalam melindunginya. Pertama, ada hima yang tak boleh digunakan untuk menggembala ternak. Namun, memotong pohon di wilayah hima itu diperbolehkan selama periode tertentu di mana pohon telah tua dan sudah menghasilkan bunga dan buah. Kedua, ada hima yang boleh digunakan untuk menggembala ternak dan memotong pohon diperbolehkan hanya setelah pohon berbunga dan menghasilkan buah. Hal itu untuk membantu pembibitan alami di tanah pada musim berikutnya. Ketiga, hima yang boleh dijadikan tempat menggembalakan ternak sepanjang tahun, tetapi jumlah dan tipe binatangnya ditentukan. Selain itu, memotong rumput tetap diperbolehkan. Keempat, hima sebagai tempat perlindungan lebah-lebah sehingga menggembalakan ternak hanya diperbolehkan setelah musim bunga. Kelima, hima sebagai tempat konservasi hutan, seperti pohon Juniperus procera, Acacias spp, Haloxlon persicum. Memotong pohon hanya diperbolehkan pada saat darurat. Keenam, hima sebagai konservasi hutan guna mencegah terjadinya pembentukan padang pasir. Di era modern ini, negara-negara Arab tetap melestarikan hima beserta fungsinya. Berdasarkan sebuah laporan, pada 1950, di Arab Saudi terdapat 3.000 hima. Kini, jumlah hima di negara itu sudah mulai berkurang. Tetapi, Arab Saudi banyak membangun tempat-tempat konservasi alam seperti The National Commission for Wildlife Conservation and Development/ (NCWCD) yang dibangun pada 1986. Konservasi alam sebenarnya mengadopsi konsep hima—yakni binatang dan tumbuh-tumbuhan di tempat konservasi alam itu dilindungi. Binatangnya tidak boleh diburu dan pohon-pohonnya harus dilestarikan, sedangkan hima di Suriah memiliki sistem yang memungkinkan binatang besar seperti unta dan kuda diperbolehkan masuk. Tetapi, kambing yang merusak rerumputan dengan makan secara rakus tidak boleh masuk hima. Di Yaman, sistem hima sangat efektif dan menyebar luas di hampir seluruh wilayah negara tersebut. Namun, sejak pertengahan abad ke-20, hima mulai berkurang jumlahnya karena adanya faktor sosial ekonomi yang kian mendesak. Hal serupa juga terjadi pada hima yang berada di Yordania. ■ D