Karya Abu Bakar Ba`asyir

advertisement
Penerjemahan Kata Tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat alQur’an atas Buku ‘Tadzkiroh’ Karya Abu Bakar Ba’asyir
Oleh:
MUHAMAD NURKHOLIS AL-HASAN
1110024000008
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/1437 H
Penerjemahan Kata Tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat alQur’an dalam Buku ‘Tadzkiroh’ Karya Abu Bakar Ba’asyir
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
MUHAMAD NURKHOLIS AL-HASAN
1110024000008
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/1437 H
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah
dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya bukan hasil karya asli atau
jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah.
Ciputat, 29 September 2015
Muhamad Nurkholis al-hasan
NIM: 1110024000008
ii
ABSTRAK
Secara etimologis dan secara leksikal, kata tâghût (
) dalam Kamus
al-Munjid berasal dari kata-kata:
artinya:
, (melampaui ukuran dan batas), dan kata tâghût artinya adalah setiap
pangkal kesesatan, setan yang mengeluarkan dari jalan kebenaran, dan setiap
sesembahan selain Allah. Al-thawaghi dan al-thawaghit adalah rumah-rumah
berhala. Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, tâghût berasal dari akar kata:
‫ﻃﻐﻰ‬, artinya: melampauai batas. Bisa juga dari akar kata: ‫ﻃﻐﻰ‬
, artinya: melampaui ukuran dan batas. Sedangkan kata
tâghût (
) artinya adalah berhala, setan, patung, dukun dan setiap yang
disembah selain Allah.
Kata tagha dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an
sebanyak 39 kali. Kata ini mula nya digunakan dalam arti meluapnya air
sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan.
Kata tagha (‫ ) ﻃﻐﻰ‬dalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam
arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti
kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran kesewenang-wenangan terhadap manusia
dan tentunya juga tetap berlaku makna asli yang disebut diatas yakni
melimpahnya air
Menurut Quraish Shihab Bahwa kata tâghût (
) terambil dari akar
kata yang berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui
batas dalam keburukan.
Dalam KBBI tâghût ditulis dengan kata Tagut, makna pertama dalam
kamus KBBI adalah memerintahkan orang berbuat jahat dan yang kedua
bermakna berhala makna ini diambil dalam bahasa arab. Baik para ulama
dahulu dan ulama sekarang belum menemukan makna final dari kata tâghût itu
sendiri.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur peneliti panjatkan pada Allah SWT, yang telah memberi
nikmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat beserta salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya.
Dalam hal ini peneliti menyadari, skripsi yang peneliti karyakan ini masih
jauh dari sempurna, proses penelitiannya pun tidak terjadi secara instan begitu
saja, butuh proses panjang dalam menyelesaikannya. Skripsi ini merupakan
sebuah karya penulisan guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Sastra di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tak lupa peneliti juga ingin haturkan terima kasih kepada seluruh sivitas
akademik UIN Syarif Hidayatullah, kepada: Prof. Dr. Sukron Kamil, MA selaku
Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Dr. Moch. Syarif Hidayatullah M.Hum
selaku Ketua Jurusan Tarjamah, Rizqi Handayani, MA selaku Sekretaris Jurusan
Tarjamah. Serta seluruh dosen-dosen Jurusan Tarjamah atas segala ilmu dan
pengetahuan yang diberikan selama ini kepada peneliti. Semoga ilmu yang
diberikan bermanfaat bagi peneliti dan menjadi bekal dimasa depan tentunya.
Secara khusus peneliti ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada
Bapak Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, MA. dan Bapak Abdul Rosyid, MA. selaku
dosen pembimbing skripsi, serta Bapak Drs. Ahmad Syatibi, MA. dan Ibu Karlina
Helmanita, M.Ag selaku dosen penguji sidang skripsi, yang sudah meluangkan
waktu di tengah kesibukannya untuk membaca, mengoreksi, dan memberikan
referensi, serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penghormatan serta salam cinta peneliti haturkan kepada sosok yang sangat
berjasa selama ini, kedua orangtua peneliti, H. Agus Miharja, BBA, SE dan Hj.
Nuryanih. Terima kasih Papah dan Mamah tercinta atas do’a yang tiada hentinya
selalu dipanjatkan, serta dukungan dan motivasi yang diberikan untuk peneliti.
Tak lupa peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kakak peneliti,
vi
Abdul Hamid Sutomi dan juga adik peneliti, Yayas, Ami, Anis, dan Ela yang
telah mendukung dan menghibur peneliti sehingga penulisan skripsi ini selesai.
Kepada kerabat peneliti yang berada di wilayah UIN Syarif Hidayatullah,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Tarjamah
angakatan 2010 dan khususnya sahabat-sahabat peneliti; Arif Azami, Mutz,
Asiah, Humairoh, Farhan, Syafaat, dan Lukman. Terima kasih atas motivasi, doa,
dukungan serta ide-ide kalian yang telah disumbangkan untuk peneliti, dan sudah
meluangkan waktunya untuk membantu peneliti dalam mencari referensi. Terima
kasih juga kepada adik-adik kelas atas dukungannya.
Semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi semuanya. Saran dan
kritik membangun penulis harapkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.
Peneliti
Muhamad Nurkholis al-Hasan
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………..
i
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………………...
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………….
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………………………
iv
ABSTRAK ...........................................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ….....…………………………………………………………….
vi
DAFTAR ISI ..............................................................…………………….........................
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ..…………………………………….
xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
………………………………………………………… 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah
………………………………………………… 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
………………………………………………… 6
D. Tinjauan Pustaka …………………………………………………………………… 7
D. Metodologi Penelitian
…………………………………………………………
7
E. Sistematika Penulisan
…………………………………………………………
9
BAB II : KERANGKA TEORI
A. Morfologi …………………………………………………………………………. 10
1. Morfem
………………………………………………………………… 12
2. Akar (ashl) dan Pola (wazn)
………………………………………… 12
3. Kelas Kata ………………………………………………………………… 13
4. Nomina
………………………………………………………………… 14
5. Verba
………………………………………………………………… 15
6. Partikel
………………………………………………………………… 16
7. Pembentukan kata ………………………………………………………… 17
viii
B. Wawasan Semantik
………………………………………………………… 17
1. Pengertian Semantik
…………………………………………………… 17
2. Jenis-Jenis Makna ………………………………………………………… 17
3. Teori Makna ………………………………………………………………. 19
4. Rincian dalam Konteks
…………………………………………………. 22
5. Pentingnya Makna Kontekstual Dalam Terjemahan
C. Penerjemahan
……………………. 24
…………………………………………………………………. 26
1. Model Penerjemahan ……...………………………………………………. 29
2. Memperhatikan Tujuan Kalimat
…………………………………………. 32
3 Memperhatikan Konteks Kalimat …………………………………………. 32
BAB III : BIOGRAFI ABU BAKAR BA’ASYIR DAN GAMBARAN UMUM BUKU
TADZKIROH
A. Riwayat Hidup
………………………………………………………………… 34
B. Latar Belakang Pendidikan
C. Aktifitas Dakwah dan Politik
…………………………………………………… 36
………………………………………………… 37
D. Gambaran Umum Buku Tadzkiroh
…………………………………………… 40
BAB IV : ANALISIS PENERJEMAHAN KATA THAGHUT DALAM BUKU
TADZKIROH
A. Temuan ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat kata Thaghut ………………….............. 44
B. Analisis terjemahan kata thagut dan konsekuensi teologis ……...………………… 49
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
………………………………………………………………… 57
B. Saran
………………………………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data ditransliterasikan ke dalam huruf latin.
Transliterasi ini berdasarkan pedoman transliterasi Arab-Latin dalam buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padannya dalam aksara latin.
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan
b
be
t
te
ts
te dan es
j
je
h
h dengan garis bawah
kh
ka dan ha
d
de
dz
de dan zet
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s
es dengan garis di bawah
x
d
de dengan garis di bawah
t
te dengan garis di bawah
z
zet dengan garis di bawah
‘
koma terbalik di atas
hadap kanan
gh
ge dan ha
f
ef
q
ki
k
ka
l
el
m
em
n
en
w
we
h
ha
,
apostrof
Y
ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggul,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
xi
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ــــَـــ‬
a
fathah
‫ـــِــــ‬
i
kasrah
‫ـــُــــ‬
u
Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
----
ai
a dan i
----
au
a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa arab
dilambangkan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ــَﺎ‬
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
xii
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf,
, dilahirkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf
yaitu
qomariyah. Contoh: al-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ّ_ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf , yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
tidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang
berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2 di bawah). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3)
No
Kata Arab
Alih Aksara
1
‫ﻃﺮﻳﻘﺔ‬
Tarîqah
2
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
xiii
3
Wahdat al-wujûd
6. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih akasara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau
cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, juduk buku itu ditulis dengan cetak miring,
maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis, Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xiv
7. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat
dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab
Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu
tsabata al-ajru
al-harakah al-‘asriyyah
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
Maulânâ Malik al-Sâlih
Yu’atsirukum Allâh
al-mazâhir al-‘aqliyyah
al-âyât al-kauniyyah
al-darûrat tubihu al-mahzûrât
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alquran adalah kitab yang mengandung firman-firman Allah Swt. Alquran
diturunkan buat manusia melalui Nabi Muhammad saw dengan perantara Jibril,
untuk menjadi petunjuk dan pegangan bagi hidup manusia sekarang maupun di
akhirat kelak.1
Teks Alquran memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks selalu
berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Oleh karena itu, Alquran selalu
membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan berbagai
alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isinya. Aneka metode dan tafsir
yang berkembang merupakan usaha untuk membedah makna yang terdapat dalam
Alquran itu.2
Alquran secara empiris merupakan suatu naskah teks dalam kitab yang
menggunakan sarana komunikasi bahasa. Namun, perlu dipahami bahwa Alquran
berbeda dengan teks sastra maupun teks lainnya. Adanya kekhususan ini karena
sifat hakikat bahasa yang terkandung dalam Alquran memiliki fungsi yang
1
Tim Raden, al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah (Kediri: Lirboyo Press,
2011), h. 142.
2
Tim Raden, al-Qur’an Kita, h. 142.
1
berbeda dengan fungsi bahasa lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikat makna,
fungsi bahasa Alquran yang khas, universal dan mengatasi ruang dan waktu.3
Oleh karena itu, dalam menerjemahkan suatu ayat perlu adanya ketelitian
dan memahami asbabun nuzul-nya. Sebab, apabila tidak menggunakan ketelitian
dalam memahami ayat-ayat Alquran dan tidak mengetahui asbabun nuzul-nya
dengan baik maka akan berdampak buruk apabila menjadi konsumsi publik,
terlebih yang membacanya itu adalah orang awam.
Saat ini, ada golongan yang memelintir ayat-ayat Alquran dengan
menggunakan ayat tersebut. Mereka membuat keputusan bahwa Pemerintahan
NKRI dan semua yang ada dalam pemerintahan itu merupakan tâghût. Kemudian
belum lama ini sering terdengar golongan yang sangat mudah mengafirkan.
Mereka mengklaim bahwa NKRI itu seperti tâghût, mereka juga menilai bahwa
Pancasila, UUD ’45, dan undang-undang lainnya adalah hukum tâghût yang harus
diingkari, barangsiapa yang mengikuti hukum tâghût maka ia kafir murtad.4
Pemikiran-pemikiran mereka ini dituang dalam buku yang belum lama
telah ditarik peredarannya di tempat umum oleh Kapolri yang didukung oleh
MUI.5 Dalam buku tersebut banyak sekali membahas kata tâghût dengan
didampingi dalil-dalil Alquran.
Contoh dalil Alquran Surah al-Baqarah 256, Allah swt berfirman:
3
Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika,
2003), h. 69-70.
4
Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkiroh ‘Nasehat dan Peringatan Karena Alloh, Kepada Ketua
MPR/DPR dan Semua Anggotanya Yang Mengaku Muslim & Aparat Taghut N.K.R.I Bidang Hukum
dan Pertahanan Yang Mengaku Muslim’ (Jakarta: JAT Media Center,2012), Jilid II, cet-I, h. 8-9.
5
Dani Prabowo, “MUI dukung Penarikan Buku Abu Bakar Ba’asyir,“ artikel diakses pada 12
febuari 2015 dari www.kompas.com/news/nasional/3 Januari 2014.
2
             

          
  
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat 257 Surah al-Baqarah, Allah Swt berfirman:
          
        
       
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka
dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.”
kata tâghût berasal dari kata (‫ )ﻃﻐﻲ‬yang berarti melewati batas dalam bermaksiat.6
Penyebutan dan perubahan kata (derivasi)-nya dalam Alquran ada 39 kali; adapun
6
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufrodaat fi Gharib Al-Qur’an. (Beirut/Damaskus, Dar AlQalam/Dar Asy-Syamiyyah, 1412 H), h. 520.
3
dengan bentuknya kata tâghût
(
) ada 8 kali.7 Imam al-Raghib menjelaskan
bahwa thaghut adalah ungkapan bagi setiap yang melewati batas. Seperti;
penyihir, peramal, jin durhaka, dan siapapun yang memalingkan diri dari jalan
kebaikan.8 Penulis Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, memberikan beberapa
definisi tentang makna tâghût. Kata tâghût
(
) diambil dari tughyân (
)
yang berarti melampaui batas.
Kata tâghût menurut Quraish Shihab adalah melampui batas, maksud
melampaui batas disini adalah melampui batas dalam segala macam kebatilan
baik dalam bentuk berhala, ide-ide yang sesat, manusia durhaka, atau siapa pun
yang mengajak kepada perbuatan yang menyesatkan. Ada lagi yang memahami
kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyah, yang
telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.9
Dalam memahami suatu makna kata, kita harus melihat kamus jika ingin
mengetahui makna tersebut. Namun, dalam kehidupan sehari-hari orang tidak
selamanya membuka kamus jika ada kata yang tidak dimengerti maknanya, dan
juga orang tidak harus membuka kamus kalau akan berkomunikasi.
Sulit memang jika memberikan batasan tentang makna, akan tetapi ilmu
linguistik memberikan batasan makna sesuai dengan bidang ilmu yang merupakan
7
A.D. Muhammad Zaki Muhammad Khidr, Mu’jam Kalimat Al-Qur’an Al-Karim. (Maktabah
Syamilah Versi 3.51), h. 225.
8
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufrodaat, h. 520.
9
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an: Vol. 1 (Jakarta:
Penerbit Lentera Hati, 2006), h.465.
4
keahliannya. Jadi tidak mengherankan, kata dan kalimat yang mengandung makna
adalah milik pemakai bahasa. Hal ini karena pemakai bahasa bersifat dinamis
yang kadang-kadang memperluas makna sesuatu kata ketika ia berkomunikasi
sehingga makna kata dapat saja berubah.10
Dalam linguistik umum karangan Abdul Chair disebutkan bahwa untuk
melihat makna kata bisa menggunakan berbagai jenis pendekatan makna, di
antaranya: makna leksikal, gramatikal, kontekstual dan referensial.11 Pemaknaan
yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba’syir tentang tâghût lebih dekat menggunakan
teori makna yang hanya bersandarkan kamus, atau bisa juga berdasaran makna
referensial sesuai dengan pengetahuan-pengetahuannya tentang tâghût. Dari
permasalahan ini, penulis mencoba menganalisa makna tâghût yang digunakan
oleh Abu Bakar Ba’asyir. Sejauh mana pengaruh objek kajian semantik
memandang pemaknaan kata tâghût dalam buku Tadzkiroh (Peringatan dan
Nasehat Karena Allah) Karya Abu Bakar Ba’asyir.
Jika ayat-ayat yang terdapat pada buku Tadzkiroh dimaknai seperti yang
dilakukan oleh Abu Bakar Ba’asyir, pandangan peneliti ke depannya adalah
agama islam akan saling mengafirkan satu sama lain karena tunduk terhadap
tâghût yang menurut pandangan golongan mereka.
Berdasarkan persoalan-persoalan di atas, peneliti mengambil judul skripsi
“Penerjemahan kata tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat Alquran dalam buku
Tadzkiroh Karya Abu Bakar Ba’asyir”
10
11
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta 2001), cet 1, h. 84.
Abdul Chair, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), cet II, h. 284.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul yang
akan diajukan yaitu ”Penerjemahan kata Tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat
Alquran dalam buku Tadzkiroh Karya Abu Bakar Ba’asyir.” Adapun pembagian
masalahnya sebagai berikut:
1. Apakah pengunaan kata makna tâghût dalam terjemahan ayat-ayat
Alquran di buku Tadzkiroh sudah sesuai dengan terjemahan Kemenag RI?
2. Apakah dari terjemahan yang sama terjadi pemahaman yang sama atau
tidak?
3. Apakah kata tâghût dalam pemahaman umat Islam memiliki konsekuensi
teologis?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan masalah yang peneliti uraikan di atas, tujuan penulisan judul
ini secara umum adalah guna mengetahui makna-makna yang terkandung dalam
kata tâghût dalam terjemahan Alquran yang ditelaah melalui kajian semantik.
Adapun tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini antara lain:
1. Untuk mengetahui kesesuaian kata makna tâghût dalam terjemahan ayatayat Alquran di buku Tadzkiroh dengan Alquran terjemahan Kemenag RI.
2. Untuk mengetahui pemahaman yang terjadi pada terjemahan yang sama
atau tidak.
6
3. Untuk mengetahui konsekuensi teologis kata tâghût pada pemahaman
umat Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti mencari dan menelaah berbagai karya-karya ilmiah baik
melalui perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun perpustakaan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun kajian tentang kata tâghût, peneliti menemukan pada sebuah
skripsi yang berjudul “Konsep tâghût dalam Alquran” (sebuah analisis makna
tâghût dalam Alquran serta korelasinya terhadap berbagai penyimpangan akidah
dalam realitas sosial) yang ditulis oleh Andriansyah. Pada skripsi tersebut peneliti
menganalisis makna tâghût terfokus menurut kacamata akidah saja, sedangkan
pada skripsi ini penulis membandingkan penerjemahan kata tâghût pada ayat-ayat
Alquran yang terdapat pada buku Tadzkiroh 1&2 dan Alquran Terjemahan
Kemenag RI.
E. Metodologi Peneltian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
jenis penelitian qualitatif dengan model penulisan deskriptif analitis. Maksudnya,
penelitian ini dilakukan berangkat dari studi pustaka, pengamatan, dan telaah
dengan objek yang akan diteliti, yakni buku Tadzkiroh. Setelah itu, sumber data
yang diperoleh dikualifikasi validitasnya. Data-data ini nantinya ada yang masuk
7
dalam kategori data pokok (primer) seperti kajian buku yang ditulis oleh Abu
Bakar Ba’asyir Tentang tâghût yang sudah lama dibicarakan oleh umat Islam.
Data seperti ini bisa diambil melalui literatur-literatur terkait, karya ilmiah, media
elektronik, atau internet yang memiliki hubungan erat dengan judul skripsi ini,
guna mengumpulkan sebanyak mungkin data-data yang diperlukan.
Pengolahan data dalam penelitian skripsi ini menggunakan teori semantik
kontekstual, yaitu makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural atau
ekologis pemakai bahasa tertentu.12 Pengumpulan datanya dengan cara selective
coding, yaitu memilih secara selektif kasus-kasus yang sesuai topik pembahasan
terhadap semua data. Kemudian setelah data-data itu dikualifikasikan, langkah
berikutnya menelaah dan menganalisanya lalu, dideskripsikan dengan cara
interpretasi peneliti melalui analisis morfologi, semantik, dan penerjemahan.
Kemudian dalam penyusunan dan tehnik penulisan skripsi, Penulis
berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) yang diterbitkan oleh Center Of Quality Development and Assurance
(CeQDA) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
12
Moh.Matsna, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 21.
8
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab I pendahuluan mencakup
latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat masalah
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II kerangka teori mencakup morfologi yang terdiri atas morfem, akar
(ashl) dan Pola (wazn), kelas kata, nomina, verba, partikel, pembentukan kata.
Wawasan semantik yang mencakup terdiri atas pengertian semantik, jenis-jenis
semantik, teori semantik, rincian dalam konteks dan pentingnya makna
kontekstual dalam terjemahan. Yang terakhir penerjemahan yang mencakup
terdiri
atas
model
penerjemahan,
memperhatikan
tujuan
kalimat
dan
memperhatikan konteks kalimat.
Bab III biografi mencakup riwayat hidup, latar belakang pendidikan,
aktifitas dakwah dan politik dan gamabaran umum buku tadzkiroh.
Bab IV analisis mencakup temuan ayat- ayat al-Qur’an yang terdapat kata
tâghût dan analisis terjemahan kata tâghût dan konsekuensi teologis.
Bab V penutup mencakup kesimpulan dan saran-saran.
9
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Morfologi
Proses morfologi pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari
sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi),
pengulangan
(dalam
proses
reduplikasi),
penggabungan
(dalam
proses
komposisi), pemendekan (dalam proses akronimisasi), dan pengubahan status
(dalam proses konversi).13
Morfologi atau tata bentuk kata adalah bagian dari tata bahasa yang
mempelajari bentuk betuk kata dan segala hal proses pembentukannya. Morfologi
mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Dalam
bahasa arab, ilmu ini lebih dikenal dengan’ilm al-sharf yang merupakan satuan
gramatikal yang membahas masalah struktur intern kata. Menurut Verhaar, secara
terminologi morfologi adalah salah satu dari bidang linguistik yang mempelajari
susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Definisi lain dikemukakan oleh
Hijazi yang menyatakan bahwa morfologi adalah penyatuan dari beberapa unsur
bunyi yang ada sehingga menjadi sebuah kata yang mengalami afiksasi. 14
Sebagai suatu disiplin ilmu, ia tidak berdiri sendiri tanpa adanya
keterikatan atau ketergantungan pada ilmu yang lain. Oleh karena itu, morfologi
13
Abdul Chaer, Morfologi Bahasa Indonesia (pendidikan proses) (Jakarta :Rineka Cipta,
2008), h. 25.
14
Moch Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Jakarta, UIN,
2010), cet 1, h. 59.
10
tidak bisa lepas dari tiga unsur subdisiplin linguistik lainnya (fonologi, sintaksis,
dan semantik). Inilah alasan mengapa linguistik sering juga disebut dengan
linguistik umum (general linguitic). Dengan demikian, sangat tampak bangunan
komunal linguistik itu sendiri dan pertanda bahwa terdapat unsur keterkaitan yang
kuat antara beberapa subdisiplin ilmu. Lebih konkret lagi dapat kita kaji bahwa
linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Arab,
Indonesia, Inggris, melainkan mengkaji seluk-beluk bahasa pada umumnya,
bahasa yang menjadi alat interaksi manusia.15
Morfologi merupakan salah satu dari empat unsur pokok (fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik) dalam ilmu linguistik. Hal ini senada dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Hijazi. Meskipun ada pula pedapat lain yang
menganggap bahwa fonetik dan fonologi adalah dua hal yg berbeda, didasarkan
pada fungsionalitas bunyi yang dikaji. Belakangan selain subdisiplin tersebut,
dimasukkan pula pragmatik dalam unsur pokok lingustik.16
Terlepas dari itu, beberapa karya tentang morfologi dalam bahasa Arab,
diiringi dengan pembahasan sintaksis. Bahkan, Al-Zaji berpendapat bahwa
morfologi dan sintaksis adalah dua ilmu yang sama. Hal ini menunjukan bahwa
morfologi merupakan disiplin ilmu yang keberadaanya sangat diperlukan, karena
morfologi adalah salah satu inti ilmu yang memfasilitasi pemahaman terhadap
makna sebuah teks, terutama bahasa Arab.17
15
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 59.
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 60.
17
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 60.
16
11
1.
Morfem
Morfem adalah bentuk bahasa yang dapat dipisah-pisahkan menjadi
bagian yang lebih kecil, kemudian dapat diceritakan lagi menjadi bagian yang
lebih kecil lagi sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak mempunyai
makna. Oleh karenanya, al-khuli mendefinisikan morfem sebagai “satuan
gramatikal terkecil, otonom, dan mempunyai makna”. Dalam bahasa Arab, kita
bisa mengambil contoh pada kata al-‘ilm yang dapat dipisah menjadi al + ‘ilm.
Morfem al- merupakan morfem morfem terikat, sedangkan kata ‘ilm merupakan
morfem bebas.18
Morfem bebas adalah morfem yang tidak tergantung pada adanya morfem
lain. Ia dapat berdiri sendiri dan dapat membentuk suatu kata. Contohnya kata
fahima. Sementara itu, morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri
sendiri. Ia tidak dapat membentuk suatu kata dan tidak mempunyai makna bila
tidak digabungkan dengan kata lain. Contohnya artikel al-.
2.
Akar (Ashl) dan Pola (Wazn)
Bahasa Arab memiliki prinsip akar dan pola. Secara struktur dan semantic,
leksikon bahasa arab berkaitan dengan akarnya. Akar-akar tersebut diderivasikan
dengan menggandakan radikal tengah, menambahkan prefiks yang berupa
konsonan, atau kombinasi dari proses-proses tersebut.
18
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 60.
12
Maksud dari akar adalah “asal sebuah kata”. Kata kataba mempunyai asal
KTB. Dari asal kata ini nantinya akan melahirkan beberapa pola atau bentuk kata,
atau yang disebut juga dengan pola (wazn). Contoh pola pada kata kataba adalah
yaKTubu ‘menulis’,KiTa:B ‘buku’, maKTaB ‘meja’, maKTaBah/’perpustakaan’.
muKa:TaBah,dsb. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akar adalah asal
dari suatu kata, sementara pola adalah bentuk kata yang mengalami
perkembangan sehingga dari satu asal kata menghasilkan kata yang berbeda-beda
dengan makna yang tentunya berbeda pula dan inilah yang diistilahkan dalam
bahasa Arab dengan tashri:f (derivasi), yaitu adanya proses pembentukan kata
baru.
Pada saat sebuah kata sebuah kata mengalami suatu proses pembentukan
kata lain, sebenarnya ia telah mengalami dua perubahan, yaitu yang disebut
dengan mofrosintaktik (infleksi) dan morfoseantik (derivasi). Dari sini dapat
disimpulkan bahwa morfositaksis lebih menekankan kepada proses pembentukan
kata baru karena unsur gramatikalnya, sementara morfosemantik menekankan
pada proses pembentukan kata-kata baru karena adanya perubahan pada pola
dasarnya.
3.
Kelas Kata (Aqsa:m al-Kalimah)
Ni’mah membagi kelas kata dalam bahasa Arab menjadi tiga: nomina,
verba, dan partikel. Nomina (ism) adalah kata yang mengacu pada makna yang
terkandung di dalamnya tanpa menunjukkan hubungan dengan waktu atau kala.
13
Verba (fi’il) adalah kata yang mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi pada
waktu tertentu. Partikel (harf) adalah kata yang hanya mempunyai makna bila
berdampingan dengan kata lain.
Berbeda dengan bahasa Indonesia yang memiliki tidak kurang 13 anggota
kelas kata, bahasa Arab hanya memiliki tiga saja anggota kelas kata. Ini tidak
berarti bahasa Arab tidak memiliki anggota kelas kata, selain tiga yang sudah
disebutkan sebelumnya. Dalam bahasa Arab, pronominal (dhami:r), adjektiva
(shifah), numeralia(‘adad), adverbial (zharaf), demonstrativa(isya:rah), semuanya
masuk dalam kategori ism. Semantara itu, interogative (istifha:m), preposisi
(jarri), konjungsi (‘athf), semuanya masuk dalam kategori harf.
4. Nomina (ism)
Wright membagi nomina menjadi nomina primitf dan nomina derivatif.
Nomina primitif merupakan kata benda, seperti
/rajul/ ‘lelaki’,
‫ﻋﲔ‬
/ ‘ain/
‘mata’. Nomina derivatif bisa berupa kata benda atau ajektiva, deverba yang
diderivasikan dari verba,seperti
‫ﺗﻘﺴﻴﻢ‬
/taqsi:m/ ‘divisi’ (dari
‫ﻗﺴﻢ‬/
qasam-/
‘membagi’), atau denominatif yang diderivasikan dari nomina, seperti
ma’sadah/ ‘tempat yang dipenuhi singa (dari
mutakhirnya,
nomina
(departikulatif),seperti
juga
dibentuk
/
/asad/ ‘singa’). Perkembangan
dari
/ana:niyyah/ ‘egoisme’,
pronomina
dan
artikel
‫ ﻛﻴﻔﻴﺔ‬/kayfiyyah/ ‘kualitas’.
Nomina sendiri mempunyai beberapa ciri berikut: (1) kata yang berharakat
bernunasi (tanwin), seperti
/rajulun/ ‘seorang lelaki’; (2) kata yang dibubuhi
14
artikel alif lam( ), seperti
preposisi jarr (
/ al-rajulu/ ‘lelaki itu’; (3) kata yang didahului
) , seperti
/ min al-rajul/ ‘dari lelaki itu’ dan
partikel sumpah (‫ ت‬,‫ و‬,‫)ب‬, seperti ‫ ﺑﺎ ﷲ‬/ billa:hi/ ‘demi allah/.
5. Verba
Verba atau kata kerja adalah jenis kata yang mengandung makna dasar
perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Berdasarkan
bentuknya, verba dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, verba asal, yang
dapat berdiri sendiri tanpa afiks. Contohnya, katab, qara’a, ja’a, dan lain
sebagainya. Kedua, verba turunan, yaitu verba yang telah mengalami afiksasi,
reduplikasi, atau berupa penggabungan paduan bentuk dasar. Contohnya, yaktub
dan yaqra’.19
a) Infleksi adalah kata kata dalam bahasa bahasa berfleksi, seperti bahasa
Arab, untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus disesuaikan dulu
bentuknya dengan kategori kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa
itu. Alat yang digunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya berupa
modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar
itu. Dalam bahasa Arab perubahan perubahan tersebut berupa perubahan
bentuk jumlah dan jenis.20
b) Derivasi adalah proses pembentukan kata kata, atau dapat diartikan
perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis
19
20
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 68.
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 68.
15
yang lain. Derivasi juga dikenalkan dengan nama morfosemantik, yaitu
suatu bentuk proses morfologis pada dataran pembentukan kata baru, yang
dalam bahasa Arab disebut dengan al-tashrif al-ishthilahi. Perubahan
perubahan yang terjadi di dalam derivasi ini terletak pada pola kata, baik
nantinya pola itu terdiri dari tiga atau lebih.21
6. Partikel (harf)
Menurut Syaibah, harf terbagi menjadi 3 (tiga): (1) harf yang
mendampingi ism; (2) harf yang mendampingi fi’il; (3) harf yang mendampingi
ism dan fi’il. Harf yang mendampingi ism biasanya berfungsi sebagai preposisi
(harf al-jarr); harf al-nida’: ‘partikel vokatif’; dan partikel akusatif (na:shib),
seperti anna ‘bahwa’, kaanna ‘sepertinya’, lakinna ‘tetapi’, laita ‘andai saja’.
Sementara itu, harf yang mendampingi fi’il biasanya merupakan partikel akusatif,
seperti an ‘bahwa’, lan ‘ tidak pernah’, kai ‘agar’, idzan ‘jadi’; juga harf yang
merupakan partikel jusif, seperti lam ‘belum’, la: ‘jangan’, in (pada klausa
kondisional) ‘andai’. Lain lagi, harf yang bisa mendampingi ism dan fi’il. Ia
biasanya berupa konjungsi (harf al-‘athf), harf al-istifha:m (partikel tanya), harf
al-jawa:b (partikel jawab, seperti na’am ‘iya’ dan la: ‘tidak’, dan sebagainya.
21
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 70.
16
7. Pembentukan Kata (Bina:’ al-Kalimah)
Beberapa kata baru terbentuk melalui proses pengabungan dua kata atau
lebih. Perpaduan ini sedikitnya dapat berwujud ke dalam beberapa jenis
perpaduan kata berikut: afiksasi, pemajemukan, akronim, pembentukan susut,
abreviasi, paduan dan pemenggalan.
B. Wawasan Semantik
1. Pengertian Semantik
Kata semantik berasala dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti
tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau
melambangkan. Tanda atau lambang itu sendiri dikemukakan Ferdinand De
Saussure terdiri dari dua bagian, yaitu komponen yang diartikan atau makna dari
komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang;
sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar
bahasa yang disebut referen atau hal yang ditunjuk.22
2.
Jenis-Jenis Makna
1. Makna Leksikal
Istilah leksikal adalah bentuk ajektifa dari nomina leksikon, yang berasal
dari leksem. Dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan sebagai bentuk dasar
yang setelah mengalami proses gramatikalisasi akan menjadi kata. Sedangkan
22
h.2.
Abdul Chaer, Pengantar semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Pt Rineka Cipta.2009) cet 2,
17
dalam kajian semantik leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang
memiliki satu makna atau satu pengertiaan.23
Jadi, makna leksikal adalah makna yang secara inheren dimiliki oleh sebuah
leksem. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna kata secara lepas,
di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata atau
entri yang terdaftar dalam kamus. Misalnya, ‘bagian tubuh dari leher ke atas’
adalah makna leksikal dari kata kepala’, sedangkan makna ’ketua’ atau
‘pemimpin’ bukanlah makna lesikal. Sebab untuk menyatakan makna ‘ketua’ atau
pemimpin kata kepala itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam frase
kepala sekolah atau kepala kantor.24
2. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa,
atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam
kalimat. Di dalam semantik makna gramatikal dibedakan dari makna leksikal.
Sejalan dengan pemahaman makna dibedakan dari arti. Makna merupakan
pertautan yang ada antara satuan bahasa, dapat dihubungkan dengan makna
gramatikal, sedangkan arti adalah pengertiaan satuan kata sebagai unsur yang
dihubungkan.25
23
Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Pt Rineka Cipta.2003), cet 1, h.269.
Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, cet 1, h. 270.
25
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik-Sintagmatik-Derivasional
(Bandung: PT Refika Aditama,2013), cet 5, h. 16.
24
18
Oleh karna itu, pada makna sebuah kata baik kata dasar maupun kata jadian,
sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka makna
gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional.26
3. Makna Kontekstual
Makna Kontekstual adalah teori yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu
saling berkaitan satu sama lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami
perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan
adanya
penentuan
berbagai
konteks
yang
melingkupinya.
Teori
yang
dikembangkan oleh Wittgenstein ini menegaskan bahwa makna suatu kata
dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu : (a) konteks kebahasaan, (b) Konteks
emosional, (c) konteks situasi dan kondisi. Dan (d) konteks sosio-kultural.27
3.
Teori Makna
Makna merupakan pertautan yang ada di antara unsur-unsur suatu bahasa
(terutama kata-kata). Menurut Palmer makna hanya menyangkut intrabahasa
sedangkan menurut Lyons mengkaji makna suatu kata ialah memahami kajian
kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat
kata tersebut berbeda dari kata-kata lainnya. Dalam hal isi komunikasi ini
menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri. Makna mempunyai tiga
tingkat keberadaan, yakni :
26
27
1.
Pertama, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
2.
Kedua, makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.
Abdul Chaer, Pengantar Semantik, cet 2, h. 62.
Moh.Matsna, Orientasi Semantik , h, 21.
19
3.
Ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan
informasi tertentu.
Sehubungan
dengan
tiga
tingkat
keberadaan
makna,
samsuri
mengungkapkan adanya garis hubungan antara makna, ungkapan dan kembali ke
makna.
Pada hakekatnya mempelajari makna berarti mempelajari bagaimana setiap
pemakai bahasa saling mengerti. Makna sebuah kalimat sering tidak tergantung
pada system gramatikal dan leksikal saja, tetapi tergantung pada kaidah wacana.
Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunan gramatikalnya
sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat
lain dalam sebuah wacana.Selain itu, dalam suatu bahasa faktor ekstralinguistik
(sosial) dapat mempengaruhi dalam penentuan makna kalimat, contohnya dalam
bahasa Sunda dan Jawa. Masalah ini termasuk sosiolinguistik bukan masalah
leksikal. Filosof dan Linguis mencoba menjelaskan tiga hal yang berhubungan
degan makna, yakni :
1.
Makna kata secara alamiah
2.
Mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah
3.
Menjelasakan proses komunikasi.
Suatu kata akan mempunyai makna yang beragam bila dihubungkan dengan
makna lain. Hal tersebut mengakibatkan suatu kata A bila dihubungkan dengan
20
kata B akan memiliki jenis hubungan yang berbeda bila A dihubungkan dengan
C.28
Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang
dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdim (posisi didahulukan) dan
ta’khir (diakhirkan), seperti: "
"
" berbeda dengan
"
. Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya
dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti
“membunuh”, yaitu:
‫ﺘﻞ‬
dan
‫ﻗﺘﻞ‬
yang pertama digunakan dalam pengertiaan
membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan dengan
motif politis, sedangkan yang kedua membunuh secara membabi buta dan
ditujukan kepada orang yang tidak memiliki status sosial yang tinggi. Konteks
situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya
karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-nilai
sosial-kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang
berbeda dari makna leksikalnya.
Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam
pendekatan semantik bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat oleh
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga
mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia
terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata
mempunyai makna dasar atau premier yang terlepas dari konteks situasi. Kata
28
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1 Pengantar ke arah Ilmu Makna (Bandung: PT Refika
Aditama, 1999), cet 2, h. 5-6.
21
baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya
hubungan makna bagi firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata
berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti
leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural.29
Makna sebuah kata bergantung pada penggunaannya dalam bahasa
(kalimat). Misalnya kata baik, jika ia bersanding pada seseorang maka makna
terkait dengan budi perkerti yang dimiliki. Namun jika kata baik oleh seorang
dokter kepada pasien, maka ia berarti sehat. Begitu juga jika kata baik oleh
pedagang buah, maka artinya adalah segar, bersih dan bergizi.30
Kata hub (mencintai) dalam kalimat ana uhibu ummî (saya mencintai ibuku)
yang disampaikan pada saat kesusahan dengan ana uhibu umî dalam suasana
lebaran, akan berbeda kadar makna mencintai karena konteks emosinya yang
berbeda. Begitu pula penggunaan kata dalam konteks-konteks yang lain31
4.
Rincian dalam Konteks32
Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi (keadaan,
peristiwa, dan proses) yang menjadi acuan dalam konteks wacana dapat dirinci.
Setiap orang (pembicara) memiliki cara untuk memperkenalkannya sesuai dengan
konteks. Ciri-ciri orang dapat diperjelas acuannya, misalnya dengan ciri fisik
(luar) atau dengan uraian yang agak emosional, bahkan dapat pula dinyatakan
29
Moh.Matsna, Orientasi Semantik, h. 23.
Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN
Malang Pres, 2007), h. 29-40.
31
Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 29-40.
32
Abdul Chaer, lingiustik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) h. 35-37.
30
22
dengan perbuatan yang sedang dilakukan orang tersebut. Bila perhatikan antara
lain ada:
a. Rincian ciri luar (fisik);
Rincian ini dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda,
binatang secara fisik, atau ciri luar yang menyangkut milik atau ciri luar dari
bagian tubuh yang menonjol secara fisik. Contoh: Pandangannya tertuju kepada
laki-laki yang tegap, berkumis tebal, dengan dahi lebar.
b. Rincian emosional
Rincian emosional berhubungan erat dengan makna feeling di dalam
semantik. Makna feeling (perasaan) berhubungan dengan sikap pembicara, situasi
pembicaraan. Rincian emosinonal di dalam konteks wacana menyangkut masalah
perasaan (emosi). Contoh: Gadis cantik yang mungil itu duduk di atas permadani.
c. Rincian perbuatan
Rincian perbuatan menyangkut upaya ragam tindakkan yang dilakukan atau
yang dialami oleh pelaku atau pengalaman di dalam konteks wacana. Rincian
perbuatan menunjukkan atau mengacu pada unsur-unsur sebagai ciri atau pewatas
acuan (orang, binatang, benda tertentu). Contoh: Laki-laki yang sedang berjalan
itu, guru saya.
d. Rincian campuran (mis., rincian emosional dan perbuatan)
Rincian campuran ini terjadi antara rincian emosional dan perbuatan, fisik
dan perbuatan, atau fisik dan emosinal, dan sebagainya. Upaya yang digunakan
merupakan campuran dari fisik, perbuatan dan emosional, olehkarena itu disebut
23
campuran. Contoh: Mila yang cantik itu mengambil gelas dari dapur, ia berbaju
hijau pada waktu itu, serta rambutnya yang ikal sebatas bahu membuat wajah
bulat itu bertambah menarik. Gelas itu diberikan kepada temannya yang berkumis
tipis berperawakan mungil seperti perempuan, tangannya gemetar menuangkan
wiski ke dalam gelas tadi.
5.
Pentingnya Makna Kontekstual Dalam Terjemahan
Makna dan terjemahan memiliki hubungan yang sangat erat. Menurut
Newmark menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu
unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah
di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna. Oleh sebab itu
menurut Suryawinata ada lima macam makna, yaitu makna leksikal, gramatikal,
tekstual, kontekstual atau situasional, dan makna sosiokultural.33
Berkaitan dengan penerjemahan, makna merupakan referensi dasar bahasa
yang selalu diperhatikan.34 Teori makna kontekstual dalam dunia penerjemahan
memiliki peran yang sangat penting karena makna suatu kata seperti makna
konotatif dalam prakteknya sangat bergantung dalam konteks sekaligus relasi
dengan kosa kata lainnya dalam kalimat. Contoh: kata
kitâbun dalam
makna dasar bermakna “Buku” tetapi ketika kata kitab dihubungkan dengan
konsep Islam serta kemudian ditempatkan dalam hubungan erat dengan kata-kata
33
Sa’adah, ”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab serapan,” (Skripsi
S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010), h. 26.
34
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke Dalam Bahasa Indonesia. (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,2008), h. 136.
24
penting Alquran seperti Allah, wahy, tanzil dan sebagainya akan mengalami
pengembangan dan perluasan maknanya, seperti kitab suci, Alquran, maupun
Bibel Yahudi dan Kristen ketika direlasikan dengan kata ahl dalam perbincangan
Alquran.35
Makna kontekstual dalam terjemahan berfungsi satu lafadz berfungsi untuk
menunjukan makna hakiki. Disamping itu, lafadz yang mengandung makna
majazi lebih halus diungkapkan dan mudah ditangkap, karena bersifat indrawi,
sehingga lebih mengena dalam hati pendengar.36
Makna kontekstual menjadi sangat penting dalam penerjemahan karena
makna kontekstual menjadi bagian dari teks yang mempengaruhi proses dalam
penerjemahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu teks terjemahan meliputi
faktor kontekstual, tekstual dan penerjemahan. Makna kontekstual sangat
berpengaruh terhadap hasil tulisan karena teks ditulis oleh seorang penulis pada
suatu konteks tertentu. Oleh karena itu, segala hal yang dipahami penulis pada
masa ia hidup akan mempengaruhi apa yang ditulisnya dalam teks tersebut.
Sehubungan dengan itu, dalam menerjemahkan teks, konteks tidak dapat
dilepaskan darinya.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan konteks produksi teks meliputi sejarah
bahasa, penulis teks, budaya tempat teks ditulis atau dihasilkan, wilayah tempat
teks dihasilkan, variasi sosial teks, dan topik teks. Dengan faktor-faktor inilah
35
Phil. M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press,
2005), h. 167.
36
Moh.Matsna, Orientasi Semantik, h. 103.
25
setiap penerjemah akan menghasilkan terjemahan yang berbeda dari suatu teks
yang sama. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti kompetensi
penerjemah, wawasannya dan kamus yang digunakannya dalam proses
menerjemahkan.
Teks tidak muncul begitu saja, tetapi teks dihasilkan dari suatu ruang dan
waktu tertentu di suatu masa. Jika sebuah teks ada sekarang, teks tersebut
tentunya diproduksi dari masa yang lebih lampau daripada sekarang. Dengan kata
lain, teks bertalian dengan sejarah.37
C. Penerjemahan
Banyak definisi yang diberikan oleh para ahli terkait penerjemahan. Secara
umum, definisi itu mengerucut pada definisi bahwa penerjemahan adalah “proses
memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (Bsu)
menjadi ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajar wajarnya dalam bahasa lain
(Bsa).” Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa penerjemahan adalah
pemindahan pesan teks Bsu ke Bsa, bukan pemindahan struktur Bsu ke Bsa.38
Menurut Eugene A,Nida dan Charles R.Taber, dalam buku The Theory And
Pratice of Translation, menerjemahkan adalah memindahkan suatu amanat dari
bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama
mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.39
37
Muh. Arif Rokhman, Penerjemahan Teks Inggris ( Teori dan Latihan Dilengkapi Teks-Teks
Ilmu Sosial & Humaniora), (Yogyakarta: Pyramid Publisher, 2006) h. 11-12.
38
Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 165.
39
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah,1989) h. 11.
26
Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah dipungut dari bahasa Arab,
tarjamah. Bahasa Arab sendiri memungut istilah tersebut dari bahasa Armenia,
turjuman. Kata Turjuman sebentuk tarjaman dan tarjuman yang berarti orang
yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain.40
al-Zarqani mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah
memiliki empat makna:
a. Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan
itu. Makna ini terdapat dalam puisi berikut,
Usia 80, dan aku telah mencapainya, pendengaranku memerlukan
penerjemah.
b. Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa
Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia
dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula. Sekaitan dengan terjemah
yang berarti.
c. Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa
Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. Dengan
demikian, penerjemah disebut pula sebagai penjelas atau penafsir
tuturan.
Makna etimologis di atas memperlihatkannya adanya satu karakteristik yang
menyatukan keempat makna tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti
40
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung: Humaniora,
2005), cet. Ke-1. H. 7.
27
menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan
yang dijelaskannya maupun berbeda.
Adapun
secara
terminologis,
menerjemah
didefinisikan
sebagai
mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan
memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu.
Takrif di atas mengandung beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan lebih
lanjut. Kata mengungkapkan merupakan padanan untuk al-ta’bîr yang asal
katanya adalah ‘abara, yaitu melewati atau melintasi, misalnya ‘abara al-sabîl
berarti melintas jalan. Karena itu, air mata yang melintas di pipi disebut ‘abarah.
Nasihat atau pelajaran yang diperoleh melalui suatu peristiwa atau kejadian
dikenal dengan ‘ibarah.
Konsep yang terkandung dalam kata al-tabîr yang dipadankan dengan
mengungkapkan menunjukan bahwa ujaran atau nas itu merupakan sarana yang
dilalui oleh seorang penerjemah untuk memperoleh makna yang terkandung
dalam nas itu. Oleh karena itu, yang diungkapkan oleh penerjemah adalah makna
nas, sedangkan nas itu sendiri hanya merupakan sarana, bukan tujuan.
Kata kunci lainnya ialah makna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
makna berarti segala informasi yang berhubungan dengan suatu ujaran. Makna ini
bersifat objektif. Artinya, informasi itu hanya diperoleh dari ujaran tersebut tanpa
melihat penuturnya. Adapun istilah maksud merujuk pada informasi yang
28
diperoleh menurut pandangan penutur. Dengan demikian, maksud itu bersifat
subjektif.
Menurut takrif di atas seorang penerjemah dituntut memenuhi seluruh
makna dan maksud nas yang diterjemahkan. Namun, karena masalah makna ini
sangat luas cakupannya dan memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan
penerjemahan, maka ihwal makna akan dibahas dalam bab tersendiri.
Kata kunci terakhir ialah bahwa terjemahan itu bersifat otonom. Artinya,
terjemahan dituntut untuk dapat menggantikan nas sumber. Namun, sifat otonom
ini tidak dapat diberlakukan kepada seluruh nas terjemahan, misalnya terhadap
terjemahan Alquran. Masalah ini akan dikaji dalam bab tersendiri tentang hokum
menerjemahkan nas keagamaan.
Demikian, takrif diatas menunjukan bahwa penerjemahan merupakan
kegiatan komunikasi yang kompleks dengan melibatkan (a) penulis yang
menyampaikan gagasannya dalam bahasa sumber, (b) penerjemah yang
mereproduksi gagasan tersebut di dalam bahasa penerima, (c) pembaca yang
memahami gagasan melalui penerjemahan, dan (d) amanat atau gagasan yang
menjadi fokus perhatian pihak ketiga.41
1. Model Penerjemahan Alquran
Alquran
biasa didefinisikan sebagai firman-firman Allah yang
disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksi-Nya kepada nabi Muhammad
s.a.w., dan diterima oleh umat islam secara tawatur.42
41
42
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, h. 8-10.
M.Qurais Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-3, h. 43.
29
Dibandingkan dengan menerjemahkan teks teks lainnya, menerjemahkan
teks Alquran sangat sulit karena mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi
kesalahan dalam terjemahan-terjemahan Alquran.43
Pada dasarnya, model penerjemahan Alquran menurut Manna Khalil
Qaththan dapat digunakan pada dua arti, yaitu:
a. Terjemahan Harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa
ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa
sehingga susunan dan tertib bahasa pertama,44 atau memindahkan suatu
kalimat dari satu bahasa ke bahasa lainnya dengan tetap menjaga
kesesuaian makna dan runtutannya serta menjaga makna-makna asli dari
kalimat yang dipindah.45
b. Terjemahan Tafsiriyah / Maknawiyah, yaitu menjelaskan makna
pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata
bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya,46 atau penjelasan
kalimat dengan mengunakan bahasa yang lain tanpa adanya batasan
untuk menjaga runtutan dan makna-makna kalimat asal. Proses dari
terjemahan ini adalah dengan memahami makna dari kalimat asal untuk
kemudian disusun dan diungkapkan dengan runtutan bahasa lain yang isi
dan maksudnya dengan asalnya.47
43
M. Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an, (Jakarta: al-Huda,2007) h. 268.
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, h. 69.
45
Tim Raden, al-Qur’an Kita, h. 194.
46
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, h. 69.
47
Tim Raden, al-Qur’an Kita, h. 194.
44
30
Dalam hal ini, model penerjemahan Alquran lebih terarah kepada
terjemahan harfiyah dan terjemahan tafsiriyah / maknawiyah. Bahwa menafsirkan
Alquran dengan memakai bahasa sumber untuk orang yang memahaminya. Model
penerjemahan ini juga sama dengan menguraikan kandungan sebagian makna dan
maksud ayat-ayat Alquran secara utuh, hal ini berarti sama dengan yang dilakukan
oleh mufassir terbatas sesuai dengan kemampuan manusia sendiri. Sedangkan
menurut Ahmad Hasan al-Zayyat (Khaursyid,1985: 10), tokoh penerjemah
modern, menegaskan bahwa metode penerjemahan yang diikutinya ialah yang
memadukan kebaikan metode harfiyah dan tafsiriyah. Langkah-langkah yang di
laluinya sebagai berikut:
Pertama, menerjemahkan nas sumber secara harfiyah dengan mengikuti struktur
dan urutan nas sumber.
Kedua, mengalihkan terjemahan harfiyah ke dalam struktur bahasa penerima yang
pokok. Di sini terjadilah proses transposisi tanpa menambah atau mengurangi.
Ketiga, mengulangi proses penerjemahan dengan menyelami perasaan dan spirit
penulis melalui penggunaan metafora yang relevan.48
Kiranya metode yang diterapkan oleh al-Zayyat ini dapat diistilahkan
dengan metode eklektik, karena metode tersebut mengambil dan mengaplikasikan
kebaikan yang terdapat dalam metode harfiyah dan metode tafsiriyah.49
Dalam hal ini, seorang penerjemah harus lebih berhati-hati dalam
menerjemahkan suatu teks. Karena menerjemahkan bukanlah sekedar mencari
48
49
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, H. 70.
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, H. 70.
31
padanan kata yang umumnya dilakukan dengan cara membuka kamus, tetapi
harus pula dapat mencerminkan bahan yang diterjemahkan.50
2. Memperhatikan Tujuan Kalimat
Memperhatikan tujuan bahasa Alquran yang beragam sangat membantu
penerjemah untuk menerjemahkan ayat-ayat Alquran, seperti kata
(ijtinâbun) dalam ayat pengharaman khamar. Banyak orang beranggapan kata
tersebut tidak mengandung tahrim jazim (keharaman yang pasti), seperti
pengharaman bangkai, darah, daging babi yang mengunakan kata
‫ﺣﺮﻣﺖ‬
(hurmatun).
Jika diteliti kata
(ijtinâbun) atau kata yang berasal darinya,
selalu dibarengi dengan kata syirik, dosa-dosa besar, atau perbuatan-perbuatan
yang menyebabkan dosa besar, seperti terdapat pada surat an-Nahl, 36; al-Hajj,
30; an-Nisa, 31. Dari beberapa ayat disurah-surah itu dan maksud penggunaan
kata
tersebut, kata lebih berat daripada ‫ ﲢﺮﱘ‬tahrîmun.51
3. Memperhatikan Konteks Kalimat
Salah satu aturan untuk menerjemahkan Alquran adalah harus
memperhatikan konteks ayat, konteks kalimat yang berhubungan dengan
maksud ayat. Imam al-Zarkasy dalam al-Burhan, seperti dikutip al-Qordhawy.
Hal ini penting untuk menentukan arti, seperti
50
51
al-kitâbun dalam
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, H. 70.
Sa’adah,”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab serapan,” h. 18.
32
Alquran mengandung banyak arti, diantaranya mengandung arti
Qur’ânu seperti dalam surah al-Baqarah, 2; al-An’am, 165; al-Hadid, 25.52
52
Sa’adah,”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab serapan,” h. 18.
33
al-
BAB III
Biografi Abu Bakar Ba’asyir dan Gambaran Umum Buku “Tadzkiroh”
Karya Abu Bakar Ba’asyir
A. Riwayat Hidup
Abu Bakar yang bernama lengkap Abu Bakar bin Abud Baamualim Ba’asyir
dilahirkan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1356, bertepatan dengan tanggal 17
Agustus 1938 di Mojo Agung, kota kecil yang masuk dalam Kabupaten Jombang,
Jawa Timur. Ayah dan kakeknya asli Hadramaut, Yaman, yang telah menetap dan
menjadi warga negara Indonesia. Ibunda Abu Bakar juga keturunan Arab, sedang
neneknya orang Jawa asli.53
Abu Bakar Ba’asyir sepanjang masa kecilnya hidup di lingkungan yang
sangat agamis. Ba’asyir sudah ditinggal oleh ayahnya sekitar umur sepuluh tahun.
Sepeninggal ayahnya, Ba’asyir diasuh ibundanya dengan menanamkan nilai-nilai
agama.54 Ibunya tidak bersekolah formal tetapi pandai mengaji, dengan berbekal
ilmu agama itulah dia membimbing dan menanamkan nilai-nilai alquran kepada
putra-putrinya dengan kasih sayang. Ibunya meninggal dunia pada tahun 1980
ketika diberi kabar sewaktu Ba’asyir berada di penjara pada saat rezim Soeharto
berkuasa.
53
Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, Saya difitnah
(Jakarta:Qalammas, 2006), h. 3.
54
Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 3.
34
Abu Bakar Ba’asyir menjalani hidupnya penuh dengan dinamika. Ini
dikarenakan
Ba’asyir
dengan
karakternya
mempelajari
Islam
serta
mengaplikasikan melalui gerakan dan pemikiran dalam prespektifnya. Ba’asyir
terlihat berani dalam mengahadapi serangan dari pihak-pihak yang tidak sepaham
dengannya, sekalipun itu datangnya dari pihak luar negeri. Seperti contohnya
serangan yang datangnya dari Presiden Amerika, George Walker Bush,
mengatakan bahwa Ba’asyir merupakan tokoh teroris internasional. Hal itu tidak
mengendurkan semangat Ba’asyir dalam memperjuangkan Islam.
Setiap orang memiliki karakter sendiri yang memang terkadang tidak dapat
orang lain pahami tentang ideologi, prinsip, maupun cita-cita yang melandasi
seseorang memilih jalan hidupnya. Ba’asyir sampai pada usia senja menempati
rumah dinas yang dimiliki oleh pesantren Al-Mukmin dikarenakan Ba’asyir juga
sebagai pendiri selain mengajar di lembaga pendidikan tersebut. 55
Pada tahun 1971, Ba’asyir menikah dengan Aisyah Binti Abdurrahman
Baraja, seorang santri Mu’allimat Al-Irsyad Solo. Aisyah adalah adik salah satu
sahabat Ba’asyir bernama Abdullah Baraja. Aisyah terkesan dengan pribadi
Ba’asyir yang sepanjang hidupnya selalu berada pada kekonsistenannya
mendakwahkan Islam. Dari hasil pernikahan ini, Ba’asyir memiliki tiga orang
anak bernama Zulfa, Abdul Rasyid dan Abdurrahim.56
Demi dakwah yang dijalankannya, Ba’asyir terlihat tidak mengkhawatirkan
akan akibat yang diperjuangkan. Hal ini terlihat dari apa yang dilakukannya dalam
55
56
Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 4.
Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 4.
35
mengkritik pemerintah yang menurutnya telah menghalangi syariat Islam
diterapkan dalam ruang legalitas kenegaraan. Akibat dari apa yang diperjuangkan
tersebut, Ba’asyir telah merasakan masuk penjara berulangkali dengan berbagai
tuduhan yang ditujukan kepadanya.57
B. Latar Belakang Pendidikan
Abu Bakar Ba’asyir adalah seorang tokoh keturunan Arab yang tinggal di
sebuah desa bernama Mojo Agung. Sebelum memulai pendidikannya di Pondok
Modern Gontor, Ponorogo, Ba’asyir membantu keluarganya dengan bekerja
selama setahun di perusahaan tenun.58
Setelah menamatkan sekolah di Pesantren Gontor Modern atas biaya
kakaknya, Ba’asyir melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Universitas AlIrsyad, Surakarta, dengan mengambil jurusan Dakwah pada tahun 1963. Ba’asyir
mulai ikut dalam organisasi kemasyarakatan di Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPPI) tingkat kecamatan, langsung sebagai ketua organisasi pada tahun 1961.
Ba’asyir juga menjadi ketua GPII Cabang Pondok Modern Gontor. Pada tahun
1966 Ba’asyir kembali dipercaya sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa
Islam (LDMI) cabang Surakarta pada tahun 1966. Keikutsertaan terakhir Ba’asyir
di dalam organisasi kemasyarakatan adalah dengan memegang amanah dalam
organisasi Islam sebagai Sekretaris Umum Pemuda Al-Irsyad cabang Solo.59
57
Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 4.
Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah & Jihad Abu Bakar Baasyir (Jogjakarta: Wihdah
Press, 2003), h. 5.
59
Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah & Jihad, h. 5.
58
36
Pada usianya yang menginjak umur 31, bersama Abdullah Sungkar dan
Hasan Basri, Ba’asyir mendirikan sebuah radio dakwah yang diberi nama Radio
Dakwah Islamiyah ABC (Al-Irsyad Broadcasting Commission) pada tahun 1967.
Saat itu rezim Soeharto yang masih kuat berkuasa menutup radio tersebut. Namun
Ba’asyir menempuh usaha selanjutnya dengan mendirikan satu lagi pemancar
radio bernama Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS) pada tahun 1969
masih bersama Abdullah Sungkar.60
C. Aktifitas Dakwah dan Politik
Nama Abu Bakar Ba'asyir tentu tak asing bagi orang-orang yang
berkecimpung di dunia Islam, politik, dan hukum. Besarnya pengaruh dia di
negara ini tidak bisa dipungkiri lagi, walaupun cenderung pada arah yang negatif.
Berbagai badan intelijen serta PBB yang mengklaim bahwa dia adalah pemimpin
Jamaah Islamiyah (JI), suatu aliran agama Islam yang sangat liberal dan memiliki
hubungan dengan Al-Qaeda, yang disinyalir merupakan penanggung jawab
berbagai aksi terorisme berbasis agama Islam.
Menerima tuduhan,diadili, dan menjadi buronan sepertinya bukan hal yang
aneh bagi pria keturunan Arab ini. Tahun 1983, Abu Bakar Ba'asyir ditangkap
bersama dengan Abdullah Sungkar oleh pemerintah Orde Baru karena asas
tunggal Pancasila dan melarang santrinya melakukan hormat bendera karena hal
itu termasuk perbuatan syirik. Keduanya pun divonis 9 tahun penjara. Namun
60
Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah & Jihad , h. 6.
37
pada tahun 1985, kedua tokoh itu melarikan diri ke Malaysia saat mereka dikenai
tahanan rumah. Di Malaysia, pada tahun 1985 sampai 1999 aktivitasnya hanya
berdakwah menurut ajaran Al Quran dan Hadits setiap sebulan sekali dalam
sebuah forum tanpa organisasi. Tetapi pemerintah Amerika Serikat memasukkan
nama Ba'asyir sebagai salah satu teroris karena keterkaitannya dengan jaringan
Al-Qaeda.
Sekembalinya dari Malaysia, Ba'asyir langsung aktif di Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari Organisasi Islam baru yang
bergaris keras dengan tujuan menegakkan Syariah Islam di Indonesia. Pada bulan
Februari 2002, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, menyatakan bahwa
Indonesia, terutama kota Solo sebagai sarang teroris dengan salah satu
pentolannya adalah Abu Bakar Ba'asyir.
Pada tanggal 19 April 2002, Abu Bakar Ba'asyir menolak eksekusi atas
putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menjalani hukuman pidana selama 9
tahun atas dirinya dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai asas
tunggal pada tahun 1982 karena menganggap Amerika Serikat mendalangi
eksekusi yang sudah kadaluwarsa itu. Kemudian pada bulan April 2002, dia
meminta perlindungan hukum kepada pemerintah atas dasar putusan kasasi MA
tahun 1985, sebab dasar hukum untuk penghukuman Ba'asyir, yaitu UU Nomor
11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi sudah tidak
berlaku lagi dan pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada
tahanan dan narapidana politik dari masa itu. Pada tanggal 8 Mei 2002, Kejaksaan
38
Agung membatalkan rencana eksekusi terhadap Abu Bakar Ba'asyir. Sebaliknya,
Kejagung menyarankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa
Tengah) untuk meminta amnesti bagi Ba'asyir kepada Presiden Megawati
Soekarnoputri.61
Tanggal 8 Agustus 2002, Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I
di Yogyakarta untuk membentuk struktur kepemimpinan di mana Ustadz Abu
Bakar Ba'asyir dipilih sebagai ketua Mujahidin sementara. Setelah sekian lama,
pada akhir tahun 2002 akhirnya beliau kembali ke pesantren Ngruki untuk
mengajar. Tapi kabar kontroversial kembali menyeruak kala pada bulan
September 2002 Majalah TIME menulis berita dengan judul "Confessions of an
Al Qaeda Terrorist" di mana ditulis bahwa Abu Bakar Ba'asyir disebut-sebut
sebagai perencana pemboman di Mesjid Istiqlal. TIME mendasarkan tulisan pada
dokumen CIA, dan pengakuan Umar Al-Faruq, seorang pemuda warga Yaman
berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor pada Juni 2002. Seluruh isi artikel
tersebut disangkal oleh Abu Bakar Ba'asyir. Oktober 2002, Abu Bakar Ba'asyir
mengadukan Majalah TIME, menurutnya berita itu masuk dalam trial by the press
dan berakibat pada pencemaran nama baiknya. Proses hukum dan usaha
penjelasan pada masyarakat mengenai kasus ini berlangsung sepanjang tahun
2002.62
61
Swasti Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir,” artikel diakses pada 20 februari 2015
dari http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abu-bakar-baasyir/
62
Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir.”
39
Tanggal 18 Oktober 2002, Ba'asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI
sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali. Kemudian tanggal 3
Maret 2005 Ba'asyir dinyatakan bersalah dan dihukum 2,5 tahun penjara atas
konspirasi serangan bom Bali 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait
dengan bom 2003.63
Tanggal 17 Agustus 2005, masa tahanannya dikurangi 4 bulan 15 hari hingga
akhirnya bebas pada 14 Juni 2006. Tapi pada tanggal 9 Agustus 2010 Abu Bakar
Ba'asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan
membentuk satu cabang Al-Qaeda di Aceh. Ba'asyir akhirnya dijatuhi hukuman
penjara 15 tahun pada 16 Juni 2011 oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan
mendukung terorisme di Indonesia.64
D. Gambaran Umum Buku Tadzkiroh
Buku berjudul Tadzkiroh karangan Abu Bakar Baasyir yang disebut kepala
Kepala Kepolisian RI Jendral Sutarman sebagai buku yang menginspirasi para
teroris untuk melegalkan perampokan.65
Tadzkiroh atau surat nasihat dan peringatan tersebut berupa nukilan ayat-ayat
al-Qur’an yang kemudian diartikan oleh Baasyir. Terbagi menjadi 12 bab atau
lampiran, dalam pengantarnya tertulis untuk para penguasa yang berpenduduk
63
Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir.”
Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir.”
65
Febriana Firdaus, “ Ini Buku Baasyir yang di sebut Legalkan Perampokan,” artikel di akses
pada 18 februari 2015 dari www.tempo.co/read/news/2014/01/03/063541839/.
64
40
muslim. Dalam buku tersebut juga membahas mengenai kata ṯâghût dan
pengertiannya.
Dalam buku Tadzkiroh, Abu Bakar Ba’asyir menulis bahwa seluruh
pemangku kebijakan pemerintahan baik eksekutif, legislatif, yudikatif, dan semua
unsur pemerintahan bahwa mereka disebut aparat tâghût. Lewat buku Tadzkiroh
tersebut Abu Bakar Ba’asyir menyebut semua aparat pemerintahan dianggap
tâghût, murtad dan kafir.
Disebut dalam buku Tadzkiroh bahwa NKRI merupakan negara kafir yang
menlandaskan sistem demokrasi yang dianut oleh beberapa negara barat. Ideologi
Pancasila, UUD dan semua peraturan hukum baik pidana atau perdata dianggap
bukan hukum islam tetapi produk produk yang bernafaskan hukum kafir.
Dalam buku tersebut Abu Bakar Ba’asyir mengunakan dalil-dalil Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah Ayat 256 dan 257
               
           
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
41
           
         
     
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.”
Ayat di atas terdapat kata tâghût yang dipakai oleh Abu Bakar Ba’asyir di
dalam buku Tazdkiroh, ada 6 ayat lagi yang terdapat kata tâghût. Dalam KBBI
tâghût ditulis dengan kata Tagut makna pertama dalam kamus KBBI adalah
memerintahkan orang berbuat jahat dan yang kedua bermakna berhala makna ini
diambil dalam bahasa arab. Baik para ulama dahulu dan ulama sekarang belum
menemukan makna final dari kata tâghût itu sendiri.
42
BAB IV
Analisis Penerjemahan kata Tâghût dalam buku “Tadzkiroh”
Karya Abu Bakar Ba’asyir
Pada bab ini, penulis akan membatasi analisis yang dibutuhkan sebagai bahan
penelitian, yaitu pada kata tâghût yang ada pada Alquran dan Terjemahan Depag
dan juga pada buku ‘Tadzkiroh’ karya Abu Bakar Ba’asyir dengan meneliti
terjemahan kata tâghût dari segi Penerjemahan kata, Penerjemahan tafsirnya,
morfologi dan semantik. Penulis juga melihat makna kata tâghût yang terdapat
dalam kamus, baik munawwir, Al-‘ashry dan Munjid
Secara etimologis dan secara leksikal, kata tâghût
Munjid berasal dari kata-kata:
(
) dalam Kamus al: artinya:
. (melampaui ukuran dan batas), dan kata tâghût artinya adalah setiap
pangkal kesesatan, setan yang mengeluarkan dari jalan kebenaran, dan setiap
sesembahan selain Allah. Al-tawaghi dan al-tawaghit adalah rumah-rumah
berhala. Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, tâghût berasal dari akar kata:
‫ﻃﻐﻰ ﻳﻄﻐﻰ ﻃﻐﻴﺎ ﻃﻐﻴﺎﻧﺎ‬, artinya: melampauai batas. Bisa juga dari akar kata: ‫ﻃﻐﻰ‬
‫ﻳﻄﻐﻮ‬,
tâghût
(
)
artinya: melampaui ukuran dan batas. Sedangkan kata
artinya adalah berhala, setan, patung, dukun dan setiap yang
disembah selain Allah swt.
Sedangkan kata tâghût dalam kamus Lisan al-Arab, disebutkan, bahwa
kata
(
)
al-tâghût adalah segala yang di’ibadahi/disembah selain dari
43
Allah. Atau segala sesuatu yang dikultuskan berupa berhala, setan dan sebagainya.
Kata tâghût bisa dalam wujud konteks tunggal dan jamak atau bisa juga menjadi
muzakkar dan mua'nnats. tâghût wazan-nya sama dengan kata fa'alût
maka disebut taghayût
ghain
),
kemudian posisi Ya
( )
),
didahulukan sebelum
( ) dalam keadaan berharakat fathah, dan sebelumnya juga fathah, maka
jadilah tayaghût
tâghût
(
(
(
(
), lalu huruf Ya dibalik menjadi huruf alif, maka jadilah
) jamaknya:
.
artinya: setiap yang melampaui batas dalam kemaksiatan.
Hal yang hampir senada dengan penjelasan kata tâghût diatas, bahwa kata tâghût
(
) adalah isim musytaq dari tagha (‫)ﻃﻐﻰ‬, yang dibalik (dimodifikasi),
asalnya adalah taghayût (
) berwazan dengan fa'alût (
) seperti jabarût
(
), huruf ya ( ) dibalik pada posisi ghain ( ) maka jadilah tayaghût
(
), kemudian ya dibalik lagi menjadi alif karena berharakat dan sebelumnya
fathah maka jadilah tâghût (
).
A. Penerjemahan Ayat-Ayat Yang Terdapat Kata tâghût
Pada bab ini, penulis akan membatasi analisis ini yaitu pada kata tâghût yang
ada pada al-Qur’an dan Terjemahan Depag dan juga pada buku “Tadzkiroh” karya
ust.Abu Bakar Ba’asyir dengan meneliti terjemahan kata tâghût dari segi
Penerjemahan kata, Penerjemahan tafsirnya dan semantik. Penulis juga melihat
44
terjemahan kata ṯâghût yang terdapat dalam kamus, baik munawwir, Al-‘ashry
dll.
Al-Baqarah Ayat 256
   


    
  
    
 
  
   
    
  
 
   
      
 
       

           
Terjemahan Depag
Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat. Karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada thaghut dan
beriman
kepada
Allah,
maka
sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat. Karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada thaghut dan
beriman
kepada
Allah,
maka
sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Al-Baqarah Ayat 257
           
 

 
  
       
 
  
       

 
  
  
  
  
  
 
      
     
Terjemahan Depag
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
Allah pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman). dan orang-orang yang kafir,
Allah pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman). dan orang-orang yang kafir,
45
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang
mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.
pelindung-pelindungnya ialah syaitan,
yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekafiran).
mereka itu adalah penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
An-Nisaa Ayat 51
  

   
  
    
     
  
   
   
     


       
  
         
Terjemahan Depag
Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang diberi bahagian dari
Al kitab? mereka percaya kepada jibt
dan thaghut, dan mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik Mekah),
bahwa mereka itu lebih benar jalannya
dari orang-orang yang beriman.
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang diberi bahagian dari
Al kitab? mereka percaya kepada jibt
dan thaghut, dan mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik Mekah),
bahwa mereka itu lebih benar jalannya
dari orang-orang yang beriman.
An-Nisaa Ayat 60
             
 
 
  
  
        
 
        
   
  
      
  
    
 
  
   
Terjemahan Depag
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
Apakah kamu tidak memperhatikan orangorang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu
Apakah kamu tidak memperhatikan orangorang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu
dan kepada apa yang diturunkan sebelum
46
? mereka hendak berhakim kepada thaghut,
Padahal
mereka
telah
diperintah
mengingkari Thaghut itu. dan syaitan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya.
kamu ? mereka hendak berhakim kepada
thaghut, Padahal mereka telah diperintah
mengingkari Thaghut itu. dan syaitan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya.
An-Nisaa Ayat 76
  

  
  
  
   
    
  
 
     
  
  
  
   
      
 
  
         
Terjemahan Depag
Orang-orang yang beriman berperang
di jalan Allah, dan orang-orang yang
kafir berperang di jalan thaghut, sebab
itu perangilah kawan-kawan syaitan itu,
karena Sesungguhnya tipu daya syaitan
itu adalah lemah.
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
Orang-orang yang beriman berperang
di jalan Allah, dan orang-orang yang
kafir berperang di jalan thaghut, sebab
itu perangilah kawan-kawan syaitan itu,
karena Sesungguhnya tipu daya syaitan
itu adalah lemah.
Al-Maidah Ayat 60
               
   
 
 
 
    
   
 
       
  
  
  
            
   
   
 
Terjemahan Depag
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan
kepadamu tentang orang-orang yang lebih
buruk pembalasannya dari (orang-orang
fasik) itu disisi Allah, Yaitu orang-orang
yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara
mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi
Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan
kepadamu tentang orang-orang yang lebih
buruk pembalasannya dari (orang-orang
fasik) itu disisi Allah, Yaitu orang-orang
yang dikutuki dan dimurkai Allah, di
antara mereka (ada) yang dijadikan kera
47
dan (orang yang) menyembah thaghut?". dan babi dan (orang yang) menyembah
mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih thaghut?". mereka itu lebih buruk
tersesat dari jalan yang lurus.
tempatnya dan lebih tersesat dari jalan
yang lurus.
An-Nahl Ayat 36
  

  
   
  
      
   
   
  
  

 
 
     
 

     
 
  
            
   
Terjemahan Depag
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat
itu ada orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah dan ada pula di antaranya orangorang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orangorang yang mendustakan (rasul-rasul).
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara
umat itu ada orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu
dimuka
bumi
dan
perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul).
Az Zumar Ayat 17
  
  
    
  
    
 
  
          
 
     
  
      
  
 
   

Terjemahan Depag
Terjemahan dari buku Tadzkiroh
48
Dan orang-orang yang menjauhi
Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya
dan kembali kepada Allah, bagi mereka
berita gembira; sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba- hamba-Ku,
Dan orang-orang yang menjauhi
Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya
dan kembali kepada Allah, bagi mereka
berita gembira; sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba- hamba-Ku,
B. Analisis Semantik Terjemahan
dan Konsekuensi Teologis
Setelah melihat contoh-contoh ayat yang sudah disebutkan di atas terkait pada
,
kata
maka sedikit banyak akan Penulis coba untuk menganalisisnya.
Tentu sesuai dengan judul yang ada dalam skripsi, yaitu analisis yang kajiannya
lewat semantik gramatikal yang dilengkapi dengan teori kontekstual (Nadzariyah
Siyaqiyah). Dalam hal ini, semantik gramatikal merupakan penyelidikan makna
bahasa dengan menekankan hubungan-hubungan dalam pelbagai tataran
gramatikal.66
Adapun teori kontekstual adalah makna yang dipahami melalui konteks
kebahasaan yang didalam terjemahan jika di lihat dari sisi gramatikalnya ayat ini
memiliki terjemahan yang akurat dan efektif dalam penempatan tataran bahasnya.
Karena secara umum masalah makna gramatikal berkenaan dengan makna yang
terjadi pada proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi atau
penggabungan dasar dengan dasar.67
Selain itu, makna gramatikal dalam ayat ini terdapat kata
makna ‘berhala’ yang berawal dari kata
memiliki
‫ ﻳﻄﻐﻰ‬-‫ ﻃﻐﻰ‬ini memiliki makna berupa
66
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Pustaka Umum,2008), h. 75.
H.R. Taufiqurrochman, M.A, Leksikologi Bahasa Arab, (Malang: UIN-Malang Press,2008),
cet-1 h. 47.
67
49
‘melampaui batas’ yang mana merupakan salah satu bentuk afiksasi yang
bernuansa makna gramatikal. Dalam hal ini, terjemahan pada ayat diatas termasuk
makna gramatikal yang mengandung proses afiksasi.
Pada ayat pertama dalam terjemahan surat Al-Baqarah pada ayat 256 kata
tâghût dimaknai hanya tâghût saja sedangkan dilihat dari ayat kedua Kita lihat
penjelasan ahli tafsir mangenai ayat ini. Ibnu Katsir mengatakan: “Allah Ta’ala
mengabarkan bahwasannya Dia akan memberikan petunjuk kepada orang yang
mengikuti jalan-Nya kepada jalan-jalan keselamatan. Maka Alloh akan
mengeluarkan hamba-Nya yaitu orang-orang Mukmin dari kegelapan kekufuran
dan keragu-raguan kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, nyata, mudah dan
bercahaya. Dan bahwasanya orang-orang kafir sesungguhnya pelindungpelindung mereka adalah syaiton yang menghiasi mereka kepada kebodohan dan
kesesatan, serta mengeluarkan mereka dan menyimpangkan mereka dari jalan
kebenaran menuju jalan kekufuran dan kedustaan, { Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya}. Maka makna kata ‘tâghût dalam ayat kedua
surat al-Baqarah ayat 257 adalah ‘syaiton’68
Pada ayat yang lain pun sama tâghût diterjemahkan tâghût saja berbeda
halnya dengan surat al-baqarah ayat 257 yang menerjemahkan tâghût secara jelas
dengan menerjemahkan setan. Maka dalam kasus buku ‘Tadzkiroh” Arti tâghût
yang dimaksudkan oleh Abu Bakar Ba’asyir ini adalah tidak benar, dan berbeda
sekali dengan tâghût seperti yang dipahami oleh mayoritas ulama.
68
M Abdul Ghoffar E.M, tafsir Ibnu Katsir jilid 1 (terj) Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir
(Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2004), h. 518.
50
Menurut Quraish Shihab, kata tâghût (
) diambil dari akar kata yang
berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam
keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir. Yang menetapkan hukum bertentangan
dengan ketentuan ilahi, tirani, semuanya digelari tâghût (
). Kata tagha
dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 39 kali.69 Kata
ini mula nya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis
atau membahayakan. Pengertiaan ini digunakan pula oleh Al-Qur’an, antara lain
pada surat al-Haqqah ayat 11
       
“Sesungguhnya, ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, kami
mengangkut nenek moyang kamu ke atas bahter.”
Kata tagha (‫ ) ﻃﻐﻰ‬dalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam arti
yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti kekufuran
kepada Tuhan, pelanggaran kesewenang-wenangan terhadap manusia dan
tentunya juga tetap berlaku makna asli yang disebut diatas yakni melimpahnya air,
menurut bint Al-syathi, kata tagha dalam Alquran selain digunakan dalam
pengertian asalnya juga berarti melampaui batas, seperi kedurhakaan kepada
Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 15, Al-Maidah ayat
67, Al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata tagha dalam berbagai bentuknya
dalam konteks pembicaraan tentang Fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-
69
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al Karim (Bandung : Pustaka Hidayah,1997), h. 104.
51
wenangan dan perlakuan kejam terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal
kedurhakaannya kepada Tuhan, yang dapat dipahami dari ayat lain. 70 Dengan
demikian kata tagha (‫ )ﻃﻐﻰ‬menerangkan sikap kesewenang-wenangan atau kejam
terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh sekian banyak ulama
tafsir.
Kata tâghût (
) dalam Alquran sering sekali disebutkan dalam bentuk
isim dan jika dilihat dari segi akar bahasa maka akan lebih banyak lagi baik kita
jumpai dalam bentuk fi’il madi maupun isim masdar. Dalam kitab Mu’jam alMufahras, kata tâghût yang penulis jumpai dalam Alquran terdapat 8 kali
disebutkan. Dalam posisi atau bentuk isim masdar yaitu tughyân, disebutkan 16
kali, dalam bentuk fi’il ditemukan 39 kali.
Secara etimologis dan secara leksikal, kata tâghût
(
) dalam Kamus al-
‫ﻃﻐﻰ ﻳﻄﻐﻮ‬: artinya:
Munjid berasal dari kata-kata:
(melampaui ukuran dan batas), dan kata tâghût artinya
adalah setiap pangkal kesesatan, setan yang mengeluarkan dari jalan kebenaran,
dan setiap sesembahan selain Allah. Al-tawaghi dan al-tawaghit adalah rumahrumah berhala. Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, tâghût berasal dari akar
kata:
, artinya: melampauai batas. Bisa juga dari akar kata:
‫ﻃﻐﻰ ﻳﻄﻐﻮ‬,
kata tâghût (
artinya: melampaui ukuran dan batas. Sedangkan
) artinya adalah berhala, setan, patung, dukun dan setiap yang
disembah selain Allah Ta'ala.
70
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al Karim, h. 105.
52
Sedangkan kata tâghût dalam kamus Lisan al-Arab, disebutkan, bahwa
) al-tâghût adalah segala yang di’ibadahi/disembah selain dari
kata (
Allah. Atau segala sesuatu yang dikultuskan berupa berhala, setan dan sebagainya.
Kata tâghût bisa dalam wujud konteks tunggal dan jamak atau bisa juga menjadi
muzakkar dan mua'nnats. tâghût wazan-nya sama dengan kata fa'alût (
maka disebut taghayût (
),
), kemudian posisi Ya ( ) didahulukan sebelum
ghain ( ) dalam keadaan berharakat fathah, dan sebelumnya juga fathah, maka
jadilah tayaghût (
tâghût (
), lalu huruf Ya dibalik menjadi huruf alif, maka jadilah
.
) jamaknya:
artinya: setiap yang melampaui batas dalam kemaksiatan.
Hal yang hampir senada dengan penjelasan kata tâghût diatas, bahwa kata tâghût
(
) adalah isim musytaq dari tagha (‫)ﻃﻐﻰ‬, yang dibalik (dimodifikasi),
asalnya adalah taghayût (
) berwazan dengan fa'alût (
) seperti jabarût
(
), huruf ya ( ) dibalik pada posisi ghain ( ) maka jadilah tayaghût
(
) , kemudian ya dibalik lagi menjadi alif karena berharakat dan
sebelumnya fathah maka jadilah tâghût (
).
Kembali kepada buku “Tadzkiroh” Abu Bakar Baasyir, dalam buku tersebut
banyak Konsep “tâghût” ditafsirkan secara sepihak, seolah-olah tâghût bermakna
tunggal, yaitu penguasa yang zalim, korup, menindas dan tidak adil. Pemerintah
dan semua aparatur negara dijadikan target tuduhan kafir, musyrik. Padahal,
hingga hari ini, tak ada satupun definisi tâghût yang dapat disepakati oleh semua
pihak, baik ulama terdahulu (salaf) maupun ulama kontemporer (khalaf). Artinya,
53
telah terjadi perbedaan pendapat yang banyak sejak dahulu dalam memaknai
tâghût. Oleh karena hal itu telah menjadi ajang konflik dan medan pertarungan
pemikiran, maka tidak ada siapapun yang berhak memberikan justifikasi dan
mengklaim interpretasinya yang paling benar atau mempunyai legalitas di sisi
syari’at. Tentu saja pendapat segelintir orang tidak bisa menjadikan yang haram
itu halal, namun fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa pendapat ulama dalam hal
ini tidaklah tunggal.
Bahwa Alquran banyak mengungkap kata “tâghût” dalam berbagai surah atau
ayat-ayatnya. Namun tidak ada satupun ayat Alquran yang menafsirkan atau
menginterpretasikan makna tâghût secara rinci dan konkrit. Demikian pula kitabkitab turats (kitab-kitab tafsir klasik) belum menyentuh penafsirannya pada tataran
relitas kehidupan manusia di era globalisasi sekarang ini. Dalam arti, masih
terdapat celah-celah yang memungkinkan makna tâghût ini untuk dikaji,
ditafsirkan dan diinterpretasikan kembali. Oleh sebab itu, adanya keragaman
klasifikasi tâghût yang dikemukakan para ulama membutuhkan penafsiran atau
interpretasi yang lebih luas, jelas dan konkrit.
Kata tâghût (
) merupakan istilah yang diungkapkan berkali-kali di
dalam ayat-ayat al-Qur'an. Dalam Alquran, pengertian tâghût dapat diketahui
maknanya melalui tafsir yang sesuai dengan redaksi ayat-ayat yang memuat kata
tersebut. Kata tâghût di dalam al-Qur'an disebutkan delapan kali di dalam 5 (lima)
surah dan 8 (delapan) ayat. Masing-masing ayat memiliki makna penafsiran
tekstual dan kontekstual yang beragam. Pengertian tâghût dalam surah al-Baqarah
54
ayat 256, berarti setan , dalam surah yang sama pada ayat 257, adalah setan
dalam bentuk manusia . Pada surah al-Nisa ayat 51, tâghût berarti; tukang sihir
dan dukun , dalam surah yang sama pada ayat 60, tâghût bermakna Ka'ab bin alAsyraf seorang hakim Yahudi , pada ayat 76 dalam surah yang sama, tâghût
maknanya adalah ketaatan terhadap setan . Pada surah al-Maidah ayat 60, tâghût
diartikan sebagai segala sesuatu yang melampaui batas ketentuan Allah . Pada
surah al-Nahl ayat 36, kata tâghût artinya adalah setiap sesuatu yang mengajak
kepada kesesatan. Pada surah al-Zumar ayat 17, tâghût diartikan sebagai sesuatu
yang disembah selain Allah Swt. Deskripsi makna tâghût sebagaimana yang telah
dijelaskan secara etimologis dan leksiologis oleh pakar ahli bahasa di dalam
kamusnya masing-masing, menurut penulis dapat ditarik sebuah pemahaman
bahwa secara tekstual tafsir pengertian tâghût adalah setiap perbuatan melampaui
batas. Bila pengertian ini ditakhsiskan berdasarkan maknanya, maka dapat disebut
maknanya sebagai; setan, dukun, tukang sihir, atau berhala. Makna tekstual
seperti ini sesungguhnya telah ditafsirkan oleh para ahli tafsir klasik terdahulu.
Pengertian makna seperti inilah yang banyak diungkapkan dalam kitab-kitab tafsir
yang beraliran pemahaman tafsir bi al-ma'tsur. Kemudian pengertian tekstual ini
terus berkembang dari masa ke masa sehingga para pakar tafsir kontemporer
menginterpretasikan maknanya secara kontekstual yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Kata tâghût dari akar taghî ("memberontak, melanggar,
atau melampaui batas"), disebut 8 kali dalam Alquran, tâghût menunjukkan fokus
persembahannya selain Allah, dan sering juga disebut sebagai "berhala" atau
55
"setan", bahkan maknanya lebih luas dari pada itu. Statement ini nampaknya
cenderung mengklaim secara parsial bahwa makna tâghût hanya terfokus pada
masalah teologis yang mengarah kepada persoalan peribadatan atau persembahan
selain Allah.
Maka amat tidak etis jika dalam buku Tadzkiroh tersebut memaparkan dan
menyebut bahwa segala unsur pemerintahan baik dari tingkat Presiden,Mentri,
MPR, DPR, Polri, Jaksa Agung, MK bahwa dalam sudut pandang buku Tadzkiroh
dianggap kafir dan murtad. Kesalahan dalam memahami pengertian tâghût
berpengaruh dalam gerakan jihadis berhaluan keras. Jadi, radikalisme yang hadir
di Indonesia bukan semata-mata sebagai fenomena impor tetapi salah kaprah di
dalam memahami konsep politik Islam. Artinya, pemanipulasian konsep tâghût
menjadi pendorong aksi-aksi teror mereka. Maraknya gerakan radikalisme dalam
masyarakat muslim secara langsung memperteguh citra lama tentang Islam bahwa
pada dasarnya agama ini bersifat radikal dan intoleran. Kesan ini sulit dibantah,
karena gelombang radikalisme Islam telah menjadi bagian penting dari rentetan
kekisruhan politik sejak pertengahan abad ini. Meskipun demikian, sulit pula
membenarkan pandangan yang umumnya tersebar dalam media massa Barat
bahwa radikalisme adalah ciri inheren Islam. Karena ciri utama agama ini
sebenarnya adalah rahmatan lil ‘alamîn, bukan ghadab (radikalisme) dan irhab
(terorisme).
56
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, maka peneliti mengambil
kesimpulan bahwa:
Dalam skripsi ini peneliti melihat ada kesesuaian penerjemahan kata
tâghût pada ayat-ayat Alquran yang terdapat pada buku Tadzkiroh karya Abu
Bakar Ba’asyir dan Alquran terjemahan depag RI. Tetapi kesesuaian ini tidak
lantas pada kesamaan pemahaman kata tâghût itu sendiri. Dalam buku tadkiroh
karya Abu Bakar Ba’asyir disebutkan bahwa tâghût merujuk pada semua unsur
pemerintahan republik Indonesia yang dianggap Abu Bakar Ba’asyir adalah
tâghût. Dalam sudut pandang Abu Bakar Ba’asyir thagut sendiri diartikan secara
garis besar pada buku tersebut ialah kafir. Tetapi beda dalam pemahaman kata
thagut versi Kemenag RI. Kemenang RI mengartikan kata tâghût ialah syaitan dan
berhala atau orang-orang yang mengajak pada kesesatan.
Dan konsekuensi pada ayat-ayat Alquran yang terdapat kata tâghût ini,
akan terjadinya selisih paham pada sesama muslim. Apabila terjadi perselisihan,
maka akan adanya pergesekan antar umat Islam itu sendiri karna adanya
perbedaan memahami makna kata tâghût tersebut. Pada dasarnya makna kata
tâghût merupakan perubahan kata dari kata tagha yang mengalami perubahan kata
57
(morfologi) menjadi tâghût. Dalam perubahan kata (morfologi) tersebut maka
terdapat perubahan makna juga. Dari awalnya merupakan ‘melampaui batas’
menjadi ‘berhala’.
Apabila terjadi perbedaan dalam memberi makna kata tâghût, maka akan
menimbulkan salah paham dan pengklaiman terlalu cepat dalam mengafirkan
orang lain, sehingga terjadi permusuhan sesama umat Islam disebabkan karena
perbedaan dalam memaknai kata tâghût.
B. Saran-saran
Dari kesimpulan di atas, Pemahaman teks keagamaan yang cenderung
tekstual akan melahirkan sikap rigid, yang dapat berimplikasi negatif pada
pencitraan agama. Agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah
Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan Alquran dengan
menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian.
Ayat-ayat Alquran yang sering digunakan Ba’asyir sebagai alat pembenaran
terhadap pemikirannya harus bisa digunakan secara arif dan bijaksana, bukan
digunakan sebagai tameng untuk pembenaran suatu misi organisasi atau individu
dalam penyampaian bertema Islam.
Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan
konteks budaya Timur Tengah. Sedangkan ayat-ayat Alquran berlaku secara
universal, di semua tempat di seluruh dunia sepanjang zaman. Dengan demikian,
hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan
58
kondisi zaman. Selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah
ketatabahasaan yang berlaku.
59
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali Al-Kabir, Abdullah, dkk. Lisanul ‘Arab Juz 4, Kairo: Darul Ma’arif, t.t.
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan Flores: Nusa Indah, 1989.
al-Anshari, Fauzan. Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di penjara, Saya difitnah.
Jakarta: Qalammas, 2006.
Al-Ashfahani, Ar-Raghib. Al-Mufrodaat fi Gharib Al-Qur’an. Beirut, 1412 H.
Ali,Atabik, dkk. Kamus Kontemporer Arab – Indonesia,Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996.
Ba’asyir, Abu Bakar. Tadzkiroh (Nasehat dan Peringatan Karena Allah Untuk
Para Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia Yang Berpenduduk
Mayoritas Muslim), Jilid I, Jakarta: JAT Media Center, t.t.
Ba’asyir, Abu Bakar. Tadzkiroh (Nasehat dan Peringatan Keran Alloh, Kepada
Ketua MPR/DPR dan Semua Anggotanya Yang Mengaku Muslim &
Aparat Taghut N.K.R.I Bidang Hukum dan Pertahanan Yang Mengaku
Muslim) Jilid II, Cet-I, Jakarta: JAT Media Center,2012.
Chaer , Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Pt Rineka Cipta,
2009.
Chaer, Abdul. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendidikan Proses). Jakarta: Rineka
Cipta, 2008.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Chaer, Abdul. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Pt Rineka Cipta, 2003.
60
Djajasudarma, Fatimah. Semantik 1 pengantar ke arah ilmu makna. Bandung: PT
Refika Aditama, 1999.
Djajasudarma, Fatimah. Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik-SintagmatikDerivasional. Bandung: PT Refika Aditama, 2013.
Ghoffar E.M, M. Abdul. Tafsir Ibnu Katsir jilid 1 (terj) Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir. Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004.
Hidayatullah, Moch Syarif dan Abdullah. Pengantar Linguistik Bahasa Arab.
Jakarta:UIN, 2010.
Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2, Darul Hindisiyah, 1995.
Kamus Al-Munjid Fi Al-Lughah wa A’lam, Beirut: Dar El-Machreq Sarl
Publisher, 1988.
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik, Jakarta: Pustaka Umum, 2008.
M. Nur Kholis Setiawan, Phil. al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta:
Elsaq press , 2005.
Ma’rifat, M. Hadi. Sejarah al-Qur’an. Jakarta: al-Huda, 2007.
Matsna, Moh. Orientasi Semantik al-Zamakhsyari. Jakarta: Anglo Media, 2006.
Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Rokhman, Muh. Arif. Penerjemahan Teks Inggris ( Teori dan Latihan Dilengkapi
Teks-Teks Ilmu Sosial & Humaniora). Yogyakarta: Pyramid Publisher,
2006.
61
Sa’adah. ”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab Serapan,”
Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2010.
Sayogie, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke Dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Shihab, M Quraish., Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an:
Vol. 1. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.
Syamsuddin, Sahiron, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta:
Islamika, 2003.
Syihabuddin, M.A, Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: Humaniora, 2005.
Taufiqurrochman, H.R. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press,
2008.
Tim Raden, al-Qur’an kita: studi ilmu, sejarah dan tafsir kalamullah ,kediri:
lirboyo press, 2011.
Media Elektronik
Prabowo, Dani, “ MUI dukung Penarikan Buku Abu Bakar Ba’asyir,“ artikel diakses pada
12 febuari 2015 dari www.kompas.com/news/nasional/3 Januari 2014.
Muhammad Khidr, A.D. Muhammad Zaki. Mu’jam Kalimat Al-Qur’an Al-Karim.
(Maktabah Syamilah).
62
Firdaus,Febriana. “ Ini Buku Baasyir yang di sebut Legalkan Perampokan.” artikel di akses
pada 18 februari 2015 dari www.tempo.co/read/news/2014/01/03/063541839/.
Mukti, Swasti Prawidya. “Biografi Abu Bakar Baasyir.” artikel diakses pada 20 februari
2015 dari http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abu-bakar-baasyir/.
63
Download