Penerjemahan Kata Tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat alQur’an atas Buku ‘Tadzkiroh’ Karya Abu Bakar Ba’asyir Oleh: MUHAMAD NURKHOLIS AL-HASAN 1110024000008 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1437 H Penerjemahan Kata Tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat alQur’an dalam Buku ‘Tadzkiroh’ Karya Abu Bakar Ba’asyir Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Oleh: MUHAMAD NURKHOLIS AL-HASAN 1110024000008 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1437 H i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya bukan hasil karya asli atau jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah. Ciputat, 29 September 2015 Muhamad Nurkholis al-hasan NIM: 1110024000008 ii ABSTRAK Secara etimologis dan secara leksikal, kata tâghût ( ) dalam Kamus al-Munjid berasal dari kata-kata: artinya: , (melampaui ukuran dan batas), dan kata tâghût artinya adalah setiap pangkal kesesatan, setan yang mengeluarkan dari jalan kebenaran, dan setiap sesembahan selain Allah. Al-thawaghi dan al-thawaghit adalah rumah-rumah berhala. Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, tâghût berasal dari akar kata: ﻃﻐﻰ, artinya: melampauai batas. Bisa juga dari akar kata: ﻃﻐﻰ , artinya: melampaui ukuran dan batas. Sedangkan kata tâghût ( ) artinya adalah berhala, setan, patung, dukun dan setiap yang disembah selain Allah. Kata tagha dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali. Kata ini mula nya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Kata tagha ( ) ﻃﻐﻰdalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran kesewenang-wenangan terhadap manusia dan tentunya juga tetap berlaku makna asli yang disebut diatas yakni melimpahnya air Menurut Quraish Shihab Bahwa kata tâghût ( ) terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Dalam KBBI tâghût ditulis dengan kata Tagut, makna pertama dalam kamus KBBI adalah memerintahkan orang berbuat jahat dan yang kedua bermakna berhala makna ini diambil dalam bahasa arab. Baik para ulama dahulu dan ulama sekarang belum menemukan makna final dari kata tâghût itu sendiri. v KATA PENGANTAR Segala puji syukur peneliti panjatkan pada Allah SWT, yang telah memberi nikmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya. Dalam hal ini peneliti menyadari, skripsi yang peneliti karyakan ini masih jauh dari sempurna, proses penelitiannya pun tidak terjadi secara instan begitu saja, butuh proses panjang dalam menyelesaikannya. Skripsi ini merupakan sebuah karya penulisan guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa peneliti juga ingin haturkan terima kasih kepada seluruh sivitas akademik UIN Syarif Hidayatullah, kepada: Prof. Dr. Sukron Kamil, MA selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Dr. Moch. Syarif Hidayatullah M.Hum selaku Ketua Jurusan Tarjamah, Rizqi Handayani, MA selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah. Serta seluruh dosen-dosen Jurusan Tarjamah atas segala ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama ini kepada peneliti. Semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi peneliti dan menjadi bekal dimasa depan tentunya. Secara khusus peneliti ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, MA. dan Bapak Abdul Rosyid, MA. selaku dosen pembimbing skripsi, serta Bapak Drs. Ahmad Syatibi, MA. dan Ibu Karlina Helmanita, M.Ag selaku dosen penguji sidang skripsi, yang sudah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membaca, mengoreksi, dan memberikan referensi, serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penghormatan serta salam cinta peneliti haturkan kepada sosok yang sangat berjasa selama ini, kedua orangtua peneliti, H. Agus Miharja, BBA, SE dan Hj. Nuryanih. Terima kasih Papah dan Mamah tercinta atas do’a yang tiada hentinya selalu dipanjatkan, serta dukungan dan motivasi yang diberikan untuk peneliti. Tak lupa peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kakak peneliti, vi Abdul Hamid Sutomi dan juga adik peneliti, Yayas, Ami, Anis, dan Ela yang telah mendukung dan menghibur peneliti sehingga penulisan skripsi ini selesai. Kepada kerabat peneliti yang berada di wilayah UIN Syarif Hidayatullah, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Tarjamah angakatan 2010 dan khususnya sahabat-sahabat peneliti; Arif Azami, Mutz, Asiah, Humairoh, Farhan, Syafaat, dan Lukman. Terima kasih atas motivasi, doa, dukungan serta ide-ide kalian yang telah disumbangkan untuk peneliti, dan sudah meluangkan waktunya untuk membantu peneliti dalam mencari referensi. Terima kasih juga kepada adik-adik kelas atas dukungannya. Semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi semuanya. Saran dan kritik membangun penulis harapkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi. Peneliti Muhamad Nurkholis al-Hasan vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………….. i LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………………... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………. iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………………………………………… iv ABSTRAK ........................................................................................................................... v KATA PENGANTAR ….....……………………………………………………………. vi DAFTAR ISI ..............................................................……………………......................... viii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ..……………………………………. xi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………… 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ………………………………………………… 6 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………………………………………………… 6 D. Tinjauan Pustaka …………………………………………………………………… 7 D. Metodologi Penelitian ………………………………………………………… 7 E. Sistematika Penulisan ………………………………………………………… 9 BAB II : KERANGKA TEORI A. Morfologi …………………………………………………………………………. 10 1. Morfem ………………………………………………………………… 12 2. Akar (ashl) dan Pola (wazn) ………………………………………… 12 3. Kelas Kata ………………………………………………………………… 13 4. Nomina ………………………………………………………………… 14 5. Verba ………………………………………………………………… 15 6. Partikel ………………………………………………………………… 16 7. Pembentukan kata ………………………………………………………… 17 viii B. Wawasan Semantik ………………………………………………………… 17 1. Pengertian Semantik …………………………………………………… 17 2. Jenis-Jenis Makna ………………………………………………………… 17 3. Teori Makna ………………………………………………………………. 19 4. Rincian dalam Konteks …………………………………………………. 22 5. Pentingnya Makna Kontekstual Dalam Terjemahan C. Penerjemahan ……………………. 24 …………………………………………………………………. 26 1. Model Penerjemahan ……...………………………………………………. 29 2. Memperhatikan Tujuan Kalimat …………………………………………. 32 3 Memperhatikan Konteks Kalimat …………………………………………. 32 BAB III : BIOGRAFI ABU BAKAR BA’ASYIR DAN GAMBARAN UMUM BUKU TADZKIROH A. Riwayat Hidup ………………………………………………………………… 34 B. Latar Belakang Pendidikan C. Aktifitas Dakwah dan Politik …………………………………………………… 36 ………………………………………………… 37 D. Gambaran Umum Buku Tadzkiroh …………………………………………… 40 BAB IV : ANALISIS PENERJEMAHAN KATA THAGHUT DALAM BUKU TADZKIROH A. Temuan ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat kata Thaghut ………………….............. 44 B. Analisis terjemahan kata thagut dan konsekuensi teologis ……...………………… 49 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………………………… 57 B. Saran ………………………………………………………………… 58 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini, sebagian data ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan pedoman transliterasi Arab-Latin dalam buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padannya dalam aksara latin. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan b be t te ts te dan es j je h h dengan garis bawah kh ka dan ha d de dz de dan zet r er z zet s es sy es dan ye s es dengan garis di bawah x d de dengan garis di bawah t te dengan garis di bawah z zet dengan garis di bawah ‘ koma terbalik di atas hadap kanan gh ge dan ha f ef q ki k ka l el m em n en w we h ha , apostrof Y ye 2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggul, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: xi Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ــــَـــ a fathah ـــِــــ i kasrah ـــُــــ u Dammah Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ---- ai a dan i ---- au a dan u Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ــَﺎ â a dengan topi di atas î i dengan topi di atas û u dengan topi di atas xii 3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf, , dilahirkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf yaitu qomariyah. Contoh: al-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. 4. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ_ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf , yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. 5. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2 di bawah). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3) No Kata Arab Alih Aksara 1 ﻃﺮﻳﻘﺔ Tarîqah 2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah xiii 3 Wahdat al-wujûd 6. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih akasara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, juduk buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis, Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî. xiv 7. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas: Kata Arab Alih Aksara dzahaba al-ustâdzu tsabata al-ajru al-harakah al-‘asriyyah asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh Maulânâ Malik al-Sâlih Yu’atsirukum Allâh al-mazâhir al-‘aqliyyah al-âyât al-kauniyyah al-darûrat tubihu al-mahzûrât xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alquran adalah kitab yang mengandung firman-firman Allah Swt. Alquran diturunkan buat manusia melalui Nabi Muhammad saw dengan perantara Jibril, untuk menjadi petunjuk dan pegangan bagi hidup manusia sekarang maupun di akhirat kelak.1 Teks Alquran memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Oleh karena itu, Alquran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isinya. Aneka metode dan tafsir yang berkembang merupakan usaha untuk membedah makna yang terdapat dalam Alquran itu.2 Alquran secara empiris merupakan suatu naskah teks dalam kitab yang menggunakan sarana komunikasi bahasa. Namun, perlu dipahami bahwa Alquran berbeda dengan teks sastra maupun teks lainnya. Adanya kekhususan ini karena sifat hakikat bahasa yang terkandung dalam Alquran memiliki fungsi yang 1 Tim Raden, al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah (Kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 142. 2 Tim Raden, al-Qur’an Kita, h. 142. 1 berbeda dengan fungsi bahasa lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa Alquran yang khas, universal dan mengatasi ruang dan waktu.3 Oleh karena itu, dalam menerjemahkan suatu ayat perlu adanya ketelitian dan memahami asbabun nuzul-nya. Sebab, apabila tidak menggunakan ketelitian dalam memahami ayat-ayat Alquran dan tidak mengetahui asbabun nuzul-nya dengan baik maka akan berdampak buruk apabila menjadi konsumsi publik, terlebih yang membacanya itu adalah orang awam. Saat ini, ada golongan yang memelintir ayat-ayat Alquran dengan menggunakan ayat tersebut. Mereka membuat keputusan bahwa Pemerintahan NKRI dan semua yang ada dalam pemerintahan itu merupakan tâghût. Kemudian belum lama ini sering terdengar golongan yang sangat mudah mengafirkan. Mereka mengklaim bahwa NKRI itu seperti tâghût, mereka juga menilai bahwa Pancasila, UUD ’45, dan undang-undang lainnya adalah hukum tâghût yang harus diingkari, barangsiapa yang mengikuti hukum tâghût maka ia kafir murtad.4 Pemikiran-pemikiran mereka ini dituang dalam buku yang belum lama telah ditarik peredarannya di tempat umum oleh Kapolri yang didukung oleh MUI.5 Dalam buku tersebut banyak sekali membahas kata tâghût dengan didampingi dalil-dalil Alquran. Contoh dalil Alquran Surah al-Baqarah 256, Allah swt berfirman: 3 Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 69-70. 4 Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkiroh ‘Nasehat dan Peringatan Karena Alloh, Kepada Ketua MPR/DPR dan Semua Anggotanya Yang Mengaku Muslim & Aparat Taghut N.K.R.I Bidang Hukum dan Pertahanan Yang Mengaku Muslim’ (Jakarta: JAT Media Center,2012), Jilid II, cet-I, h. 8-9. 5 Dani Prabowo, “MUI dukung Penarikan Buku Abu Bakar Ba’asyir,“ artikel diakses pada 12 febuari 2015 dari www.kompas.com/news/nasional/3 Januari 2014. 2 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dalam ayat 257 Surah al-Baqarah, Allah Swt berfirman: “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” kata tâghût berasal dari kata ( )ﻃﻐﻲyang berarti melewati batas dalam bermaksiat.6 Penyebutan dan perubahan kata (derivasi)-nya dalam Alquran ada 39 kali; adapun 6 Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufrodaat fi Gharib Al-Qur’an. (Beirut/Damaskus, Dar AlQalam/Dar Asy-Syamiyyah, 1412 H), h. 520. 3 dengan bentuknya kata tâghût ( ) ada 8 kali.7 Imam al-Raghib menjelaskan bahwa thaghut adalah ungkapan bagi setiap yang melewati batas. Seperti; penyihir, peramal, jin durhaka, dan siapapun yang memalingkan diri dari jalan kebaikan.8 Penulis Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, memberikan beberapa definisi tentang makna tâghût. Kata tâghût ( ) diambil dari tughyân ( ) yang berarti melampaui batas. Kata tâghût menurut Quraish Shihab adalah melampui batas, maksud melampaui batas disini adalah melampui batas dalam segala macam kebatilan baik dalam bentuk berhala, ide-ide yang sesat, manusia durhaka, atau siapa pun yang mengajak kepada perbuatan yang menyesatkan. Ada lagi yang memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.9 Dalam memahami suatu makna kata, kita harus melihat kamus jika ingin mengetahui makna tersebut. Namun, dalam kehidupan sehari-hari orang tidak selamanya membuka kamus jika ada kata yang tidak dimengerti maknanya, dan juga orang tidak harus membuka kamus kalau akan berkomunikasi. Sulit memang jika memberikan batasan tentang makna, akan tetapi ilmu linguistik memberikan batasan makna sesuai dengan bidang ilmu yang merupakan 7 A.D. Muhammad Zaki Muhammad Khidr, Mu’jam Kalimat Al-Qur’an Al-Karim. (Maktabah Syamilah Versi 3.51), h. 225. 8 Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufrodaat, h. 520. 9 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an: Vol. 1 (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), h.465. 4 keahliannya. Jadi tidak mengherankan, kata dan kalimat yang mengandung makna adalah milik pemakai bahasa. Hal ini karena pemakai bahasa bersifat dinamis yang kadang-kadang memperluas makna sesuatu kata ketika ia berkomunikasi sehingga makna kata dapat saja berubah.10 Dalam linguistik umum karangan Abdul Chair disebutkan bahwa untuk melihat makna kata bisa menggunakan berbagai jenis pendekatan makna, di antaranya: makna leksikal, gramatikal, kontekstual dan referensial.11 Pemaknaan yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba’syir tentang tâghût lebih dekat menggunakan teori makna yang hanya bersandarkan kamus, atau bisa juga berdasaran makna referensial sesuai dengan pengetahuan-pengetahuannya tentang tâghût. Dari permasalahan ini, penulis mencoba menganalisa makna tâghût yang digunakan oleh Abu Bakar Ba’asyir. Sejauh mana pengaruh objek kajian semantik memandang pemaknaan kata tâghût dalam buku Tadzkiroh (Peringatan dan Nasehat Karena Allah) Karya Abu Bakar Ba’asyir. Jika ayat-ayat yang terdapat pada buku Tadzkiroh dimaknai seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba’asyir, pandangan peneliti ke depannya adalah agama islam akan saling mengafirkan satu sama lain karena tunduk terhadap tâghût yang menurut pandangan golongan mereka. Berdasarkan persoalan-persoalan di atas, peneliti mengambil judul skripsi “Penerjemahan kata tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat Alquran dalam buku Tadzkiroh Karya Abu Bakar Ba’asyir” 10 11 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta 2001), cet 1, h. 84. Abdul Chair, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), cet II, h. 284. 5 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan masalah dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul yang akan diajukan yaitu ”Penerjemahan kata Tâghût: Studi Terjemahan Ayat-Ayat Alquran dalam buku Tadzkiroh Karya Abu Bakar Ba’asyir.” Adapun pembagian masalahnya sebagai berikut: 1. Apakah pengunaan kata makna tâghût dalam terjemahan ayat-ayat Alquran di buku Tadzkiroh sudah sesuai dengan terjemahan Kemenag RI? 2. Apakah dari terjemahan yang sama terjadi pemahaman yang sama atau tidak? 3. Apakah kata tâghût dalam pemahaman umat Islam memiliki konsekuensi teologis? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan masalah yang peneliti uraikan di atas, tujuan penulisan judul ini secara umum adalah guna mengetahui makna-makna yang terkandung dalam kata tâghût dalam terjemahan Alquran yang ditelaah melalui kajian semantik. Adapun tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini antara lain: 1. Untuk mengetahui kesesuaian kata makna tâghût dalam terjemahan ayatayat Alquran di buku Tadzkiroh dengan Alquran terjemahan Kemenag RI. 2. Untuk mengetahui pemahaman yang terjadi pada terjemahan yang sama atau tidak. 6 3. Untuk mengetahui konsekuensi teologis kata tâghût pada pemahaman umat Islam. D. Tinjauan Pustaka Setelah peneliti mencari dan menelaah berbagai karya-karya ilmiah baik melalui perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun kajian tentang kata tâghût, peneliti menemukan pada sebuah skripsi yang berjudul “Konsep tâghût dalam Alquran” (sebuah analisis makna tâghût dalam Alquran serta korelasinya terhadap berbagai penyimpangan akidah dalam realitas sosial) yang ditulis oleh Andriansyah. Pada skripsi tersebut peneliti menganalisis makna tâghût terfokus menurut kacamata akidah saja, sedangkan pada skripsi ini penulis membandingkan penerjemahan kata tâghût pada ayat-ayat Alquran yang terdapat pada buku Tadzkiroh 1&2 dan Alquran Terjemahan Kemenag RI. E. Metodologi Peneltian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian qualitatif dengan model penulisan deskriptif analitis. Maksudnya, penelitian ini dilakukan berangkat dari studi pustaka, pengamatan, dan telaah dengan objek yang akan diteliti, yakni buku Tadzkiroh. Setelah itu, sumber data yang diperoleh dikualifikasi validitasnya. Data-data ini nantinya ada yang masuk 7 dalam kategori data pokok (primer) seperti kajian buku yang ditulis oleh Abu Bakar Ba’asyir Tentang tâghût yang sudah lama dibicarakan oleh umat Islam. Data seperti ini bisa diambil melalui literatur-literatur terkait, karya ilmiah, media elektronik, atau internet yang memiliki hubungan erat dengan judul skripsi ini, guna mengumpulkan sebanyak mungkin data-data yang diperlukan. Pengolahan data dalam penelitian skripsi ini menggunakan teori semantik kontekstual, yaitu makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural atau ekologis pemakai bahasa tertentu.12 Pengumpulan datanya dengan cara selective coding, yaitu memilih secara selektif kasus-kasus yang sesuai topik pembahasan terhadap semua data. Kemudian setelah data-data itu dikualifikasikan, langkah berikutnya menelaah dan menganalisanya lalu, dideskripsikan dengan cara interpretasi peneliti melalui analisis morfologi, semantik, dan penerjemahan. Kemudian dalam penyusunan dan tehnik penulisan skripsi, Penulis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Center Of Quality Development and Assurance (CeQDA) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 12 Moh.Matsna, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 21. 8 F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab I pendahuluan mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat masalah penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II kerangka teori mencakup morfologi yang terdiri atas morfem, akar (ashl) dan Pola (wazn), kelas kata, nomina, verba, partikel, pembentukan kata. Wawasan semantik yang mencakup terdiri atas pengertian semantik, jenis-jenis semantik, teori semantik, rincian dalam konteks dan pentingnya makna kontekstual dalam terjemahan. Yang terakhir penerjemahan yang mencakup terdiri atas model penerjemahan, memperhatikan tujuan kalimat dan memperhatikan konteks kalimat. Bab III biografi mencakup riwayat hidup, latar belakang pendidikan, aktifitas dakwah dan politik dan gamabaran umum buku tadzkiroh. Bab IV analisis mencakup temuan ayat- ayat al-Qur’an yang terdapat kata tâghût dan analisis terjemahan kata tâghût dan konsekuensi teologis. Bab V penutup mencakup kesimpulan dan saran-saran. 9 BAB II KERANGKA TEORI A. Morfologi Proses morfologi pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan (dalam proses reduplikasi), penggabungan (dalam proses komposisi), pemendekan (dalam proses akronimisasi), dan pengubahan status (dalam proses konversi).13 Morfologi atau tata bentuk kata adalah bagian dari tata bahasa yang mempelajari bentuk betuk kata dan segala hal proses pembentukannya. Morfologi mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Dalam bahasa arab, ilmu ini lebih dikenal dengan’ilm al-sharf yang merupakan satuan gramatikal yang membahas masalah struktur intern kata. Menurut Verhaar, secara terminologi morfologi adalah salah satu dari bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Definisi lain dikemukakan oleh Hijazi yang menyatakan bahwa morfologi adalah penyatuan dari beberapa unsur bunyi yang ada sehingga menjadi sebuah kata yang mengalami afiksasi. 14 Sebagai suatu disiplin ilmu, ia tidak berdiri sendiri tanpa adanya keterikatan atau ketergantungan pada ilmu yang lain. Oleh karena itu, morfologi 13 Abdul Chaer, Morfologi Bahasa Indonesia (pendidikan proses) (Jakarta :Rineka Cipta, 2008), h. 25. 14 Moch Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Jakarta, UIN, 2010), cet 1, h. 59. 10 tidak bisa lepas dari tiga unsur subdisiplin linguistik lainnya (fonologi, sintaksis, dan semantik). Inilah alasan mengapa linguistik sering juga disebut dengan linguistik umum (general linguitic). Dengan demikian, sangat tampak bangunan komunal linguistik itu sendiri dan pertanda bahwa terdapat unsur keterkaitan yang kuat antara beberapa subdisiplin ilmu. Lebih konkret lagi dapat kita kaji bahwa linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Arab, Indonesia, Inggris, melainkan mengkaji seluk-beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi manusia.15 Morfologi merupakan salah satu dari empat unsur pokok (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) dalam ilmu linguistik. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hijazi. Meskipun ada pula pedapat lain yang menganggap bahwa fonetik dan fonologi adalah dua hal yg berbeda, didasarkan pada fungsionalitas bunyi yang dikaji. Belakangan selain subdisiplin tersebut, dimasukkan pula pragmatik dalam unsur pokok lingustik.16 Terlepas dari itu, beberapa karya tentang morfologi dalam bahasa Arab, diiringi dengan pembahasan sintaksis. Bahkan, Al-Zaji berpendapat bahwa morfologi dan sintaksis adalah dua ilmu yang sama. Hal ini menunjukan bahwa morfologi merupakan disiplin ilmu yang keberadaanya sangat diperlukan, karena morfologi adalah salah satu inti ilmu yang memfasilitasi pemahaman terhadap makna sebuah teks, terutama bahasa Arab.17 15 Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 59. Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 60. 17 Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 60. 16 11 1. Morfem Morfem adalah bentuk bahasa yang dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil, kemudian dapat diceritakan lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak mempunyai makna. Oleh karenanya, al-khuli mendefinisikan morfem sebagai “satuan gramatikal terkecil, otonom, dan mempunyai makna”. Dalam bahasa Arab, kita bisa mengambil contoh pada kata al-‘ilm yang dapat dipisah menjadi al + ‘ilm. Morfem al- merupakan morfem morfem terikat, sedangkan kata ‘ilm merupakan morfem bebas.18 Morfem bebas adalah morfem yang tidak tergantung pada adanya morfem lain. Ia dapat berdiri sendiri dan dapat membentuk suatu kata. Contohnya kata fahima. Sementara itu, morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri. Ia tidak dapat membentuk suatu kata dan tidak mempunyai makna bila tidak digabungkan dengan kata lain. Contohnya artikel al-. 2. Akar (Ashl) dan Pola (Wazn) Bahasa Arab memiliki prinsip akar dan pola. Secara struktur dan semantic, leksikon bahasa arab berkaitan dengan akarnya. Akar-akar tersebut diderivasikan dengan menggandakan radikal tengah, menambahkan prefiks yang berupa konsonan, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. 18 Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 60. 12 Maksud dari akar adalah “asal sebuah kata”. Kata kataba mempunyai asal KTB. Dari asal kata ini nantinya akan melahirkan beberapa pola atau bentuk kata, atau yang disebut juga dengan pola (wazn). Contoh pola pada kata kataba adalah yaKTubu ‘menulis’,KiTa:B ‘buku’, maKTaB ‘meja’, maKTaBah/’perpustakaan’. muKa:TaBah,dsb. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akar adalah asal dari suatu kata, sementara pola adalah bentuk kata yang mengalami perkembangan sehingga dari satu asal kata menghasilkan kata yang berbeda-beda dengan makna yang tentunya berbeda pula dan inilah yang diistilahkan dalam bahasa Arab dengan tashri:f (derivasi), yaitu adanya proses pembentukan kata baru. Pada saat sebuah kata sebuah kata mengalami suatu proses pembentukan kata lain, sebenarnya ia telah mengalami dua perubahan, yaitu yang disebut dengan mofrosintaktik (infleksi) dan morfoseantik (derivasi). Dari sini dapat disimpulkan bahwa morfositaksis lebih menekankan kepada proses pembentukan kata baru karena unsur gramatikalnya, sementara morfosemantik menekankan pada proses pembentukan kata-kata baru karena adanya perubahan pada pola dasarnya. 3. Kelas Kata (Aqsa:m al-Kalimah) Ni’mah membagi kelas kata dalam bahasa Arab menjadi tiga: nomina, verba, dan partikel. Nomina (ism) adalah kata yang mengacu pada makna yang terkandung di dalamnya tanpa menunjukkan hubungan dengan waktu atau kala. 13 Verba (fi’il) adalah kata yang mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu. Partikel (harf) adalah kata yang hanya mempunyai makna bila berdampingan dengan kata lain. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang memiliki tidak kurang 13 anggota kelas kata, bahasa Arab hanya memiliki tiga saja anggota kelas kata. Ini tidak berarti bahasa Arab tidak memiliki anggota kelas kata, selain tiga yang sudah disebutkan sebelumnya. Dalam bahasa Arab, pronominal (dhami:r), adjektiva (shifah), numeralia(‘adad), adverbial (zharaf), demonstrativa(isya:rah), semuanya masuk dalam kategori ism. Semantara itu, interogative (istifha:m), preposisi (jarri), konjungsi (‘athf), semuanya masuk dalam kategori harf. 4. Nomina (ism) Wright membagi nomina menjadi nomina primitf dan nomina derivatif. Nomina primitif merupakan kata benda, seperti /rajul/ ‘lelaki’, ﻋﲔ / ‘ain/ ‘mata’. Nomina derivatif bisa berupa kata benda atau ajektiva, deverba yang diderivasikan dari verba,seperti ﺗﻘﺴﻴﻢ /taqsi:m/ ‘divisi’ (dari ﻗﺴﻢ/ qasam-/ ‘membagi’), atau denominatif yang diderivasikan dari nomina, seperti ma’sadah/ ‘tempat yang dipenuhi singa (dari mutakhirnya, nomina (departikulatif),seperti juga dibentuk / /asad/ ‘singa’). Perkembangan dari /ana:niyyah/ ‘egoisme’, pronomina dan artikel ﻛﻴﻔﻴﺔ/kayfiyyah/ ‘kualitas’. Nomina sendiri mempunyai beberapa ciri berikut: (1) kata yang berharakat bernunasi (tanwin), seperti /rajulun/ ‘seorang lelaki’; (2) kata yang dibubuhi 14 artikel alif lam( ), seperti preposisi jarr ( / al-rajulu/ ‘lelaki itu’; (3) kata yang didahului ) , seperti / min al-rajul/ ‘dari lelaki itu’ dan partikel sumpah ( ت, و,)ب, seperti ﺑﺎ ﷲ/ billa:hi/ ‘demi allah/. 5. Verba Verba atau kata kerja adalah jenis kata yang mengandung makna dasar perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Berdasarkan bentuknya, verba dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, verba asal, yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks. Contohnya, katab, qara’a, ja’a, dan lain sebagainya. Kedua, verba turunan, yaitu verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi, atau berupa penggabungan paduan bentuk dasar. Contohnya, yaktub dan yaqra’.19 a) Infleksi adalah kata kata dalam bahasa bahasa berfleksi, seperti bahasa Arab, untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus disesuaikan dulu bentuknya dengan kategori kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu. Alat yang digunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya berupa modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar itu. Dalam bahasa Arab perubahan perubahan tersebut berupa perubahan bentuk jumlah dan jenis.20 b) Derivasi adalah proses pembentukan kata kata, atau dapat diartikan perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis 19 20 Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 68. Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 68. 15 yang lain. Derivasi juga dikenalkan dengan nama morfosemantik, yaitu suatu bentuk proses morfologis pada dataran pembentukan kata baru, yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-tashrif al-ishthilahi. Perubahan perubahan yang terjadi di dalam derivasi ini terletak pada pola kata, baik nantinya pola itu terdiri dari tiga atau lebih.21 6. Partikel (harf) Menurut Syaibah, harf terbagi menjadi 3 (tiga): (1) harf yang mendampingi ism; (2) harf yang mendampingi fi’il; (3) harf yang mendampingi ism dan fi’il. Harf yang mendampingi ism biasanya berfungsi sebagai preposisi (harf al-jarr); harf al-nida’: ‘partikel vokatif’; dan partikel akusatif (na:shib), seperti anna ‘bahwa’, kaanna ‘sepertinya’, lakinna ‘tetapi’, laita ‘andai saja’. Sementara itu, harf yang mendampingi fi’il biasanya merupakan partikel akusatif, seperti an ‘bahwa’, lan ‘ tidak pernah’, kai ‘agar’, idzan ‘jadi’; juga harf yang merupakan partikel jusif, seperti lam ‘belum’, la: ‘jangan’, in (pada klausa kondisional) ‘andai’. Lain lagi, harf yang bisa mendampingi ism dan fi’il. Ia biasanya berupa konjungsi (harf al-‘athf), harf al-istifha:m (partikel tanya), harf al-jawa:b (partikel jawab, seperti na’am ‘iya’ dan la: ‘tidak’, dan sebagainya. 21 Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 70. 16 7. Pembentukan Kata (Bina:’ al-Kalimah) Beberapa kata baru terbentuk melalui proses pengabungan dua kata atau lebih. Perpaduan ini sedikitnya dapat berwujud ke dalam beberapa jenis perpaduan kata berikut: afiksasi, pemajemukan, akronim, pembentukan susut, abreviasi, paduan dan pemenggalan. B. Wawasan Semantik 1. Pengertian Semantik Kata semantik berasala dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Tanda atau lambang itu sendiri dikemukakan Ferdinand De Saussure terdiri dari dua bagian, yaitu komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang disebut referen atau hal yang ditunjuk.22 2. Jenis-Jenis Makna 1. Makna Leksikal Istilah leksikal adalah bentuk ajektifa dari nomina leksikon, yang berasal dari leksem. Dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan sebagai bentuk dasar yang setelah mengalami proses gramatikalisasi akan menjadi kata. Sedangkan 22 h.2. Abdul Chaer, Pengantar semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Pt Rineka Cipta.2009) cet 2, 17 dalam kajian semantik leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu makna atau satu pengertiaan.23 Jadi, makna leksikal adalah makna yang secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna kata secara lepas, di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata atau entri yang terdaftar dalam kamus. Misalnya, ‘bagian tubuh dari leher ke atas’ adalah makna leksikal dari kata kepala’, sedangkan makna ’ketua’ atau ‘pemimpin’ bukanlah makna lesikal. Sebab untuk menyatakan makna ‘ketua’ atau pemimpin kata kepala itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam frase kepala sekolah atau kepala kantor.24 2. Makna Gramatikal Makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat. Di dalam semantik makna gramatikal dibedakan dari makna leksikal. Sejalan dengan pemahaman makna dibedakan dari arti. Makna merupakan pertautan yang ada antara satuan bahasa, dapat dihubungkan dengan makna gramatikal, sedangkan arti adalah pengertiaan satuan kata sebagai unsur yang dihubungkan.25 23 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Pt Rineka Cipta.2003), cet 1, h.269. Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, cet 1, h. 270. 25 T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik-Sintagmatik-Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama,2013), cet 5, h. 16. 24 18 Oleh karna itu, pada makna sebuah kata baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional.26 3. Makna Kontekstual Makna Kontekstual adalah teori yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu : (a) konteks kebahasaan, (b) Konteks emosional, (c) konteks situasi dan kondisi. Dan (d) konteks sosio-kultural.27 3. Teori Makna Makna merupakan pertautan yang ada di antara unsur-unsur suatu bahasa (terutama kata-kata). Menurut Palmer makna hanya menyangkut intrabahasa sedangkan menurut Lyons mengkaji makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lainnya. Dalam hal isi komunikasi ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri. Makna mempunyai tiga tingkat keberadaan, yakni : 26 27 1. Pertama, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. 2. Kedua, makna menjadi isi dari suatu kebahasaan. Abdul Chaer, Pengantar Semantik, cet 2, h. 62. Moh.Matsna, Orientasi Semantik , h, 21. 19 3. Ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu. Sehubungan dengan tiga tingkat keberadaan makna, samsuri mengungkapkan adanya garis hubungan antara makna, ungkapan dan kembali ke makna. Pada hakekatnya mempelajari makna berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa saling mengerti. Makna sebuah kalimat sering tidak tergantung pada system gramatikal dan leksikal saja, tetapi tergantung pada kaidah wacana. Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunan gramatikalnya sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam sebuah wacana.Selain itu, dalam suatu bahasa faktor ekstralinguistik (sosial) dapat mempengaruhi dalam penentuan makna kalimat, contohnya dalam bahasa Sunda dan Jawa. Masalah ini termasuk sosiolinguistik bukan masalah leksikal. Filosof dan Linguis mencoba menjelaskan tiga hal yang berhubungan degan makna, yakni : 1. Makna kata secara alamiah 2. Mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah 3. Menjelasakan proses komunikasi. Suatu kata akan mempunyai makna yang beragam bila dihubungkan dengan makna lain. Hal tersebut mengakibatkan suatu kata A bila dihubungkan dengan 20 kata B akan memiliki jenis hubungan yang berbeda bila A dihubungkan dengan C.28 Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdim (posisi didahulukan) dan ta’khir (diakhirkan), seperti: " " " berbeda dengan " . Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti “membunuh”, yaitu: ﺘﻞ dan ﻗﺘﻞ yang pertama digunakan dalam pengertiaan membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif politis, sedangkan yang kedua membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak memiliki status sosial yang tinggi. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-nilai sosial-kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau premier yang terlepas dari konteks situasi. Kata 28 T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1 Pengantar ke arah Ilmu Makna (Bandung: PT Refika Aditama, 1999), cet 2, h. 5-6. 21 baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya hubungan makna bagi firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural.29 Makna sebuah kata bergantung pada penggunaannya dalam bahasa (kalimat). Misalnya kata baik, jika ia bersanding pada seseorang maka makna terkait dengan budi perkerti yang dimiliki. Namun jika kata baik oleh seorang dokter kepada pasien, maka ia berarti sehat. Begitu juga jika kata baik oleh pedagang buah, maka artinya adalah segar, bersih dan bergizi.30 Kata hub (mencintai) dalam kalimat ana uhibu ummî (saya mencintai ibuku) yang disampaikan pada saat kesusahan dengan ana uhibu umî dalam suasana lebaran, akan berbeda kadar makna mencintai karena konteks emosinya yang berbeda. Begitu pula penggunaan kata dalam konteks-konteks yang lain31 4. Rincian dalam Konteks32 Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) yang menjadi acuan dalam konteks wacana dapat dirinci. Setiap orang (pembicara) memiliki cara untuk memperkenalkannya sesuai dengan konteks. Ciri-ciri orang dapat diperjelas acuannya, misalnya dengan ciri fisik (luar) atau dengan uraian yang agak emosional, bahkan dapat pula dinyatakan 29 Moh.Matsna, Orientasi Semantik, h. 23. Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN Malang Pres, 2007), h. 29-40. 31 Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 29-40. 32 Abdul Chaer, lingiustik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) h. 35-37. 30 22 dengan perbuatan yang sedang dilakukan orang tersebut. Bila perhatikan antara lain ada: a. Rincian ciri luar (fisik); Rincian ini dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda, binatang secara fisik, atau ciri luar yang menyangkut milik atau ciri luar dari bagian tubuh yang menonjol secara fisik. Contoh: Pandangannya tertuju kepada laki-laki yang tegap, berkumis tebal, dengan dahi lebar. b. Rincian emosional Rincian emosional berhubungan erat dengan makna feeling di dalam semantik. Makna feeling (perasaan) berhubungan dengan sikap pembicara, situasi pembicaraan. Rincian emosinonal di dalam konteks wacana menyangkut masalah perasaan (emosi). Contoh: Gadis cantik yang mungil itu duduk di atas permadani. c. Rincian perbuatan Rincian perbuatan menyangkut upaya ragam tindakkan yang dilakukan atau yang dialami oleh pelaku atau pengalaman di dalam konteks wacana. Rincian perbuatan menunjukkan atau mengacu pada unsur-unsur sebagai ciri atau pewatas acuan (orang, binatang, benda tertentu). Contoh: Laki-laki yang sedang berjalan itu, guru saya. d. Rincian campuran (mis., rincian emosional dan perbuatan) Rincian campuran ini terjadi antara rincian emosional dan perbuatan, fisik dan perbuatan, atau fisik dan emosinal, dan sebagainya. Upaya yang digunakan merupakan campuran dari fisik, perbuatan dan emosional, olehkarena itu disebut 23 campuran. Contoh: Mila yang cantik itu mengambil gelas dari dapur, ia berbaju hijau pada waktu itu, serta rambutnya yang ikal sebatas bahu membuat wajah bulat itu bertambah menarik. Gelas itu diberikan kepada temannya yang berkumis tipis berperawakan mungil seperti perempuan, tangannya gemetar menuangkan wiski ke dalam gelas tadi. 5. Pentingnya Makna Kontekstual Dalam Terjemahan Makna dan terjemahan memiliki hubungan yang sangat erat. Menurut Newmark menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna. Oleh sebab itu menurut Suryawinata ada lima macam makna, yaitu makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual atau situasional, dan makna sosiokultural.33 Berkaitan dengan penerjemahan, makna merupakan referensi dasar bahasa yang selalu diperhatikan.34 Teori makna kontekstual dalam dunia penerjemahan memiliki peran yang sangat penting karena makna suatu kata seperti makna konotatif dalam prakteknya sangat bergantung dalam konteks sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya dalam kalimat. Contoh: kata kitâbun dalam makna dasar bermakna “Buku” tetapi ketika kata kitab dihubungkan dengan konsep Islam serta kemudian ditempatkan dalam hubungan erat dengan kata-kata 33 Sa’adah, ”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab serapan,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010), h. 26. 34 Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke Dalam Bahasa Indonesia. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,2008), h. 136. 24 penting Alquran seperti Allah, wahy, tanzil dan sebagainya akan mengalami pengembangan dan perluasan maknanya, seperti kitab suci, Alquran, maupun Bibel Yahudi dan Kristen ketika direlasikan dengan kata ahl dalam perbincangan Alquran.35 Makna kontekstual dalam terjemahan berfungsi satu lafadz berfungsi untuk menunjukan makna hakiki. Disamping itu, lafadz yang mengandung makna majazi lebih halus diungkapkan dan mudah ditangkap, karena bersifat indrawi, sehingga lebih mengena dalam hati pendengar.36 Makna kontekstual menjadi sangat penting dalam penerjemahan karena makna kontekstual menjadi bagian dari teks yang mempengaruhi proses dalam penerjemahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu teks terjemahan meliputi faktor kontekstual, tekstual dan penerjemahan. Makna kontekstual sangat berpengaruh terhadap hasil tulisan karena teks ditulis oleh seorang penulis pada suatu konteks tertentu. Oleh karena itu, segala hal yang dipahami penulis pada masa ia hidup akan mempengaruhi apa yang ditulisnya dalam teks tersebut. Sehubungan dengan itu, dalam menerjemahkan teks, konteks tidak dapat dilepaskan darinya. Faktor-faktor yang berkaitan dengan konteks produksi teks meliputi sejarah bahasa, penulis teks, budaya tempat teks ditulis atau dihasilkan, wilayah tempat teks dihasilkan, variasi sosial teks, dan topik teks. Dengan faktor-faktor inilah 35 Phil. M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), h. 167. 36 Moh.Matsna, Orientasi Semantik, h. 103. 25 setiap penerjemah akan menghasilkan terjemahan yang berbeda dari suatu teks yang sama. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti kompetensi penerjemah, wawasannya dan kamus yang digunakannya dalam proses menerjemahkan. Teks tidak muncul begitu saja, tetapi teks dihasilkan dari suatu ruang dan waktu tertentu di suatu masa. Jika sebuah teks ada sekarang, teks tersebut tentunya diproduksi dari masa yang lebih lampau daripada sekarang. Dengan kata lain, teks bertalian dengan sejarah.37 C. Penerjemahan Banyak definisi yang diberikan oleh para ahli terkait penerjemahan. Secara umum, definisi itu mengerucut pada definisi bahwa penerjemahan adalah “proses memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (Bsu) menjadi ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajar wajarnya dalam bahasa lain (Bsa).” Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa penerjemahan adalah pemindahan pesan teks Bsu ke Bsa, bukan pemindahan struktur Bsu ke Bsa.38 Menurut Eugene A,Nida dan Charles R.Taber, dalam buku The Theory And Pratice of Translation, menerjemahkan adalah memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.39 37 Muh. Arif Rokhman, Penerjemahan Teks Inggris ( Teori dan Latihan Dilengkapi Teks-Teks Ilmu Sosial & Humaniora), (Yogyakarta: Pyramid Publisher, 2006) h. 11-12. 38 Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik, cet 1, h. 165. 39 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah,1989) h. 11. 26 Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah dipungut dari bahasa Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri memungut istilah tersebut dari bahasa Armenia, turjuman. Kata Turjuman sebentuk tarjaman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain.40 al-Zarqani mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah memiliki empat makna: a. Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu. Makna ini terdapat dalam puisi berikut, Usia 80, dan aku telah mencapainya, pendengaranku memerlukan penerjemah. b. Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula. Sekaitan dengan terjemah yang berarti. c. Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. Dengan demikian, penerjemah disebut pula sebagai penjelas atau penafsir tuturan. Makna etimologis di atas memperlihatkannya adanya satu karakteristik yang menyatukan keempat makna tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti 40 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung: Humaniora, 2005), cet. Ke-1. H. 7. 27 menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda. Adapun secara terminologis, menerjemah didefinisikan sebagai mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu. Takrif di atas mengandung beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Kata mengungkapkan merupakan padanan untuk al-ta’bîr yang asal katanya adalah ‘abara, yaitu melewati atau melintasi, misalnya ‘abara al-sabîl berarti melintas jalan. Karena itu, air mata yang melintas di pipi disebut ‘abarah. Nasihat atau pelajaran yang diperoleh melalui suatu peristiwa atau kejadian dikenal dengan ‘ibarah. Konsep yang terkandung dalam kata al-tabîr yang dipadankan dengan mengungkapkan menunjukan bahwa ujaran atau nas itu merupakan sarana yang dilalui oleh seorang penerjemah untuk memperoleh makna yang terkandung dalam nas itu. Oleh karena itu, yang diungkapkan oleh penerjemah adalah makna nas, sedangkan nas itu sendiri hanya merupakan sarana, bukan tujuan. Kata kunci lainnya ialah makna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa makna berarti segala informasi yang berhubungan dengan suatu ujaran. Makna ini bersifat objektif. Artinya, informasi itu hanya diperoleh dari ujaran tersebut tanpa melihat penuturnya. Adapun istilah maksud merujuk pada informasi yang 28 diperoleh menurut pandangan penutur. Dengan demikian, maksud itu bersifat subjektif. Menurut takrif di atas seorang penerjemah dituntut memenuhi seluruh makna dan maksud nas yang diterjemahkan. Namun, karena masalah makna ini sangat luas cakupannya dan memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan penerjemahan, maka ihwal makna akan dibahas dalam bab tersendiri. Kata kunci terakhir ialah bahwa terjemahan itu bersifat otonom. Artinya, terjemahan dituntut untuk dapat menggantikan nas sumber. Namun, sifat otonom ini tidak dapat diberlakukan kepada seluruh nas terjemahan, misalnya terhadap terjemahan Alquran. Masalah ini akan dikaji dalam bab tersendiri tentang hokum menerjemahkan nas keagamaan. Demikian, takrif diatas menunjukan bahwa penerjemahan merupakan kegiatan komunikasi yang kompleks dengan melibatkan (a) penulis yang menyampaikan gagasannya dalam bahasa sumber, (b) penerjemah yang mereproduksi gagasan tersebut di dalam bahasa penerima, (c) pembaca yang memahami gagasan melalui penerjemahan, dan (d) amanat atau gagasan yang menjadi fokus perhatian pihak ketiga.41 1. Model Penerjemahan Alquran Alquran biasa didefinisikan sebagai firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksi-Nya kepada nabi Muhammad s.a.w., dan diterima oleh umat islam secara tawatur.42 41 42 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, h. 8-10. M.Qurais Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-3, h. 43. 29 Dibandingkan dengan menerjemahkan teks teks lainnya, menerjemahkan teks Alquran sangat sulit karena mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi kesalahan dalam terjemahan-terjemahan Alquran.43 Pada dasarnya, model penerjemahan Alquran menurut Manna Khalil Qaththan dapat digunakan pada dua arti, yaitu: a. Terjemahan Harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa pertama,44 atau memindahkan suatu kalimat dari satu bahasa ke bahasa lainnya dengan tetap menjaga kesesuaian makna dan runtutannya serta menjaga makna-makna asli dari kalimat yang dipindah.45 b. Terjemahan Tafsiriyah / Maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya,46 atau penjelasan kalimat dengan mengunakan bahasa yang lain tanpa adanya batasan untuk menjaga runtutan dan makna-makna kalimat asal. Proses dari terjemahan ini adalah dengan memahami makna dari kalimat asal untuk kemudian disusun dan diungkapkan dengan runtutan bahasa lain yang isi dan maksudnya dengan asalnya.47 43 M. Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an, (Jakarta: al-Huda,2007) h. 268. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, h. 69. 45 Tim Raden, al-Qur’an Kita, h. 194. 46 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, h. 69. 47 Tim Raden, al-Qur’an Kita, h. 194. 44 30 Dalam hal ini, model penerjemahan Alquran lebih terarah kepada terjemahan harfiyah dan terjemahan tafsiriyah / maknawiyah. Bahwa menafsirkan Alquran dengan memakai bahasa sumber untuk orang yang memahaminya. Model penerjemahan ini juga sama dengan menguraikan kandungan sebagian makna dan maksud ayat-ayat Alquran secara utuh, hal ini berarti sama dengan yang dilakukan oleh mufassir terbatas sesuai dengan kemampuan manusia sendiri. Sedangkan menurut Ahmad Hasan al-Zayyat (Khaursyid,1985: 10), tokoh penerjemah modern, menegaskan bahwa metode penerjemahan yang diikutinya ialah yang memadukan kebaikan metode harfiyah dan tafsiriyah. Langkah-langkah yang di laluinya sebagai berikut: Pertama, menerjemahkan nas sumber secara harfiyah dengan mengikuti struktur dan urutan nas sumber. Kedua, mengalihkan terjemahan harfiyah ke dalam struktur bahasa penerima yang pokok. Di sini terjadilah proses transposisi tanpa menambah atau mengurangi. Ketiga, mengulangi proses penerjemahan dengan menyelami perasaan dan spirit penulis melalui penggunaan metafora yang relevan.48 Kiranya metode yang diterapkan oleh al-Zayyat ini dapat diistilahkan dengan metode eklektik, karena metode tersebut mengambil dan mengaplikasikan kebaikan yang terdapat dalam metode harfiyah dan metode tafsiriyah.49 Dalam hal ini, seorang penerjemah harus lebih berhati-hati dalam menerjemahkan suatu teks. Karena menerjemahkan bukanlah sekedar mencari 48 49 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, H. 70. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, H. 70. 31 padanan kata yang umumnya dilakukan dengan cara membuka kamus, tetapi harus pula dapat mencerminkan bahan yang diterjemahkan.50 2. Memperhatikan Tujuan Kalimat Memperhatikan tujuan bahasa Alquran yang beragam sangat membantu penerjemah untuk menerjemahkan ayat-ayat Alquran, seperti kata (ijtinâbun) dalam ayat pengharaman khamar. Banyak orang beranggapan kata tersebut tidak mengandung tahrim jazim (keharaman yang pasti), seperti pengharaman bangkai, darah, daging babi yang mengunakan kata ﺣﺮﻣﺖ (hurmatun). Jika diteliti kata (ijtinâbun) atau kata yang berasal darinya, selalu dibarengi dengan kata syirik, dosa-dosa besar, atau perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa besar, seperti terdapat pada surat an-Nahl, 36; al-Hajj, 30; an-Nisa, 31. Dari beberapa ayat disurah-surah itu dan maksud penggunaan kata tersebut, kata lebih berat daripada ﲢﺮﱘtahrîmun.51 3. Memperhatikan Konteks Kalimat Salah satu aturan untuk menerjemahkan Alquran adalah harus memperhatikan konteks ayat, konteks kalimat yang berhubungan dengan maksud ayat. Imam al-Zarkasy dalam al-Burhan, seperti dikutip al-Qordhawy. Hal ini penting untuk menentukan arti, seperti 50 51 al-kitâbun dalam Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, cet. Ke-1, H. 70. Sa’adah,”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab serapan,” h. 18. 32 Alquran mengandung banyak arti, diantaranya mengandung arti Qur’ânu seperti dalam surah al-Baqarah, 2; al-An’am, 165; al-Hadid, 25.52 52 Sa’adah,”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab serapan,” h. 18. 33 al- BAB III Biografi Abu Bakar Ba’asyir dan Gambaran Umum Buku “Tadzkiroh” Karya Abu Bakar Ba’asyir A. Riwayat Hidup Abu Bakar yang bernama lengkap Abu Bakar bin Abud Baamualim Ba’asyir dilahirkan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1356, bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1938 di Mojo Agung, kota kecil yang masuk dalam Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ayah dan kakeknya asli Hadramaut, Yaman, yang telah menetap dan menjadi warga negara Indonesia. Ibunda Abu Bakar juga keturunan Arab, sedang neneknya orang Jawa asli.53 Abu Bakar Ba’asyir sepanjang masa kecilnya hidup di lingkungan yang sangat agamis. Ba’asyir sudah ditinggal oleh ayahnya sekitar umur sepuluh tahun. Sepeninggal ayahnya, Ba’asyir diasuh ibundanya dengan menanamkan nilai-nilai agama.54 Ibunya tidak bersekolah formal tetapi pandai mengaji, dengan berbekal ilmu agama itulah dia membimbing dan menanamkan nilai-nilai alquran kepada putra-putrinya dengan kasih sayang. Ibunya meninggal dunia pada tahun 1980 ketika diberi kabar sewaktu Ba’asyir berada di penjara pada saat rezim Soeharto berkuasa. 53 Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, Saya difitnah (Jakarta:Qalammas, 2006), h. 3. 54 Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 3. 34 Abu Bakar Ba’asyir menjalani hidupnya penuh dengan dinamika. Ini dikarenakan Ba’asyir dengan karakternya mempelajari Islam serta mengaplikasikan melalui gerakan dan pemikiran dalam prespektifnya. Ba’asyir terlihat berani dalam mengahadapi serangan dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengannya, sekalipun itu datangnya dari pihak luar negeri. Seperti contohnya serangan yang datangnya dari Presiden Amerika, George Walker Bush, mengatakan bahwa Ba’asyir merupakan tokoh teroris internasional. Hal itu tidak mengendurkan semangat Ba’asyir dalam memperjuangkan Islam. Setiap orang memiliki karakter sendiri yang memang terkadang tidak dapat orang lain pahami tentang ideologi, prinsip, maupun cita-cita yang melandasi seseorang memilih jalan hidupnya. Ba’asyir sampai pada usia senja menempati rumah dinas yang dimiliki oleh pesantren Al-Mukmin dikarenakan Ba’asyir juga sebagai pendiri selain mengajar di lembaga pendidikan tersebut. 55 Pada tahun 1971, Ba’asyir menikah dengan Aisyah Binti Abdurrahman Baraja, seorang santri Mu’allimat Al-Irsyad Solo. Aisyah adalah adik salah satu sahabat Ba’asyir bernama Abdullah Baraja. Aisyah terkesan dengan pribadi Ba’asyir yang sepanjang hidupnya selalu berada pada kekonsistenannya mendakwahkan Islam. Dari hasil pernikahan ini, Ba’asyir memiliki tiga orang anak bernama Zulfa, Abdul Rasyid dan Abdurrahim.56 Demi dakwah yang dijalankannya, Ba’asyir terlihat tidak mengkhawatirkan akan akibat yang diperjuangkan. Hal ini terlihat dari apa yang dilakukannya dalam 55 56 Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 4. Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 4. 35 mengkritik pemerintah yang menurutnya telah menghalangi syariat Islam diterapkan dalam ruang legalitas kenegaraan. Akibat dari apa yang diperjuangkan tersebut, Ba’asyir telah merasakan masuk penjara berulangkali dengan berbagai tuduhan yang ditujukan kepadanya.57 B. Latar Belakang Pendidikan Abu Bakar Ba’asyir adalah seorang tokoh keturunan Arab yang tinggal di sebuah desa bernama Mojo Agung. Sebelum memulai pendidikannya di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Ba’asyir membantu keluarganya dengan bekerja selama setahun di perusahaan tenun.58 Setelah menamatkan sekolah di Pesantren Gontor Modern atas biaya kakaknya, Ba’asyir melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Universitas AlIrsyad, Surakarta, dengan mengambil jurusan Dakwah pada tahun 1963. Ba’asyir mulai ikut dalam organisasi kemasyarakatan di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPPI) tingkat kecamatan, langsung sebagai ketua organisasi pada tahun 1961. Ba’asyir juga menjadi ketua GPII Cabang Pondok Modern Gontor. Pada tahun 1966 Ba’asyir kembali dipercaya sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) cabang Surakarta pada tahun 1966. Keikutsertaan terakhir Ba’asyir di dalam organisasi kemasyarakatan adalah dengan memegang amanah dalam organisasi Islam sebagai Sekretaris Umum Pemuda Al-Irsyad cabang Solo.59 57 Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara, h. 4. Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah & Jihad Abu Bakar Baasyir (Jogjakarta: Wihdah Press, 2003), h. 5. 59 Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah & Jihad, h. 5. 58 36 Pada usianya yang menginjak umur 31, bersama Abdullah Sungkar dan Hasan Basri, Ba’asyir mendirikan sebuah radio dakwah yang diberi nama Radio Dakwah Islamiyah ABC (Al-Irsyad Broadcasting Commission) pada tahun 1967. Saat itu rezim Soeharto yang masih kuat berkuasa menutup radio tersebut. Namun Ba’asyir menempuh usaha selanjutnya dengan mendirikan satu lagi pemancar radio bernama Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS) pada tahun 1969 masih bersama Abdullah Sungkar.60 C. Aktifitas Dakwah dan Politik Nama Abu Bakar Ba'asyir tentu tak asing bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia Islam, politik, dan hukum. Besarnya pengaruh dia di negara ini tidak bisa dipungkiri lagi, walaupun cenderung pada arah yang negatif. Berbagai badan intelijen serta PBB yang mengklaim bahwa dia adalah pemimpin Jamaah Islamiyah (JI), suatu aliran agama Islam yang sangat liberal dan memiliki hubungan dengan Al-Qaeda, yang disinyalir merupakan penanggung jawab berbagai aksi terorisme berbasis agama Islam. Menerima tuduhan,diadili, dan menjadi buronan sepertinya bukan hal yang aneh bagi pria keturunan Arab ini. Tahun 1983, Abu Bakar Ba'asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar oleh pemerintah Orde Baru karena asas tunggal Pancasila dan melarang santrinya melakukan hormat bendera karena hal itu termasuk perbuatan syirik. Keduanya pun divonis 9 tahun penjara. Namun 60 Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah & Jihad , h. 6. 37 pada tahun 1985, kedua tokoh itu melarikan diri ke Malaysia saat mereka dikenai tahanan rumah. Di Malaysia, pada tahun 1985 sampai 1999 aktivitasnya hanya berdakwah menurut ajaran Al Quran dan Hadits setiap sebulan sekali dalam sebuah forum tanpa organisasi. Tetapi pemerintah Amerika Serikat memasukkan nama Ba'asyir sebagai salah satu teroris karena keterkaitannya dengan jaringan Al-Qaeda. Sekembalinya dari Malaysia, Ba'asyir langsung aktif di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari Organisasi Islam baru yang bergaris keras dengan tujuan menegakkan Syariah Islam di Indonesia. Pada bulan Februari 2002, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, menyatakan bahwa Indonesia, terutama kota Solo sebagai sarang teroris dengan salah satu pentolannya adalah Abu Bakar Ba'asyir. Pada tanggal 19 April 2002, Abu Bakar Ba'asyir menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menjalani hukuman pidana selama 9 tahun atas dirinya dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1982 karena menganggap Amerika Serikat mendalangi eksekusi yang sudah kadaluwarsa itu. Kemudian pada bulan April 2002, dia meminta perlindungan hukum kepada pemerintah atas dasar putusan kasasi MA tahun 1985, sebab dasar hukum untuk penghukuman Ba'asyir, yaitu UU Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi sudah tidak berlaku lagi dan pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada tahanan dan narapidana politik dari masa itu. Pada tanggal 8 Mei 2002, Kejaksaan 38 Agung membatalkan rencana eksekusi terhadap Abu Bakar Ba'asyir. Sebaliknya, Kejagung menyarankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa Tengah) untuk meminta amnesti bagi Ba'asyir kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.61 Tanggal 8 Agustus 2002, Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk struktur kepemimpinan di mana Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dipilih sebagai ketua Mujahidin sementara. Setelah sekian lama, pada akhir tahun 2002 akhirnya beliau kembali ke pesantren Ngruki untuk mengajar. Tapi kabar kontroversial kembali menyeruak kala pada bulan September 2002 Majalah TIME menulis berita dengan judul "Confessions of an Al Qaeda Terrorist" di mana ditulis bahwa Abu Bakar Ba'asyir disebut-sebut sebagai perencana pemboman di Mesjid Istiqlal. TIME mendasarkan tulisan pada dokumen CIA, dan pengakuan Umar Al-Faruq, seorang pemuda warga Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor pada Juni 2002. Seluruh isi artikel tersebut disangkal oleh Abu Bakar Ba'asyir. Oktober 2002, Abu Bakar Ba'asyir mengadukan Majalah TIME, menurutnya berita itu masuk dalam trial by the press dan berakibat pada pencemaran nama baiknya. Proses hukum dan usaha penjelasan pada masyarakat mengenai kasus ini berlangsung sepanjang tahun 2002.62 61 Swasti Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir,” artikel diakses pada 20 februari 2015 dari http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abu-bakar-baasyir/ 62 Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir.” 39 Tanggal 18 Oktober 2002, Ba'asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali. Kemudian tanggal 3 Maret 2005 Ba'asyir dinyatakan bersalah dan dihukum 2,5 tahun penjara atas konspirasi serangan bom Bali 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003.63 Tanggal 17 Agustus 2005, masa tahanannya dikurangi 4 bulan 15 hari hingga akhirnya bebas pada 14 Juni 2006. Tapi pada tanggal 9 Agustus 2010 Abu Bakar Ba'asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membentuk satu cabang Al-Qaeda di Aceh. Ba'asyir akhirnya dijatuhi hukuman penjara 15 tahun pada 16 Juni 2011 oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.64 D. Gambaran Umum Buku Tadzkiroh Buku berjudul Tadzkiroh karangan Abu Bakar Baasyir yang disebut kepala Kepala Kepolisian RI Jendral Sutarman sebagai buku yang menginspirasi para teroris untuk melegalkan perampokan.65 Tadzkiroh atau surat nasihat dan peringatan tersebut berupa nukilan ayat-ayat al-Qur’an yang kemudian diartikan oleh Baasyir. Terbagi menjadi 12 bab atau lampiran, dalam pengantarnya tertulis untuk para penguasa yang berpenduduk 63 Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir.” Prawidya Mukti, “Biografi Abu Bakar Baasyir.” 65 Febriana Firdaus, “ Ini Buku Baasyir yang di sebut Legalkan Perampokan,” artikel di akses pada 18 februari 2015 dari www.tempo.co/read/news/2014/01/03/063541839/. 64 40 muslim. Dalam buku tersebut juga membahas mengenai kata ṯâghût dan pengertiannya. Dalam buku Tadzkiroh, Abu Bakar Ba’asyir menulis bahwa seluruh pemangku kebijakan pemerintahan baik eksekutif, legislatif, yudikatif, dan semua unsur pemerintahan bahwa mereka disebut aparat tâghût. Lewat buku Tadzkiroh tersebut Abu Bakar Ba’asyir menyebut semua aparat pemerintahan dianggap tâghût, murtad dan kafir. Disebut dalam buku Tadzkiroh bahwa NKRI merupakan negara kafir yang menlandaskan sistem demokrasi yang dianut oleh beberapa negara barat. Ideologi Pancasila, UUD dan semua peraturan hukum baik pidana atau perdata dianggap bukan hukum islam tetapi produk produk yang bernafaskan hukum kafir. Dalam buku tersebut Abu Bakar Ba’asyir mengunakan dalil-dalil Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 256 dan 257 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” 41 “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” Ayat di atas terdapat kata tâghût yang dipakai oleh Abu Bakar Ba’asyir di dalam buku Tazdkiroh, ada 6 ayat lagi yang terdapat kata tâghût. Dalam KBBI tâghût ditulis dengan kata Tagut makna pertama dalam kamus KBBI adalah memerintahkan orang berbuat jahat dan yang kedua bermakna berhala makna ini diambil dalam bahasa arab. Baik para ulama dahulu dan ulama sekarang belum menemukan makna final dari kata tâghût itu sendiri. 42 BAB IV Analisis Penerjemahan kata Tâghût dalam buku “Tadzkiroh” Karya Abu Bakar Ba’asyir Pada bab ini, penulis akan membatasi analisis yang dibutuhkan sebagai bahan penelitian, yaitu pada kata tâghût yang ada pada Alquran dan Terjemahan Depag dan juga pada buku ‘Tadzkiroh’ karya Abu Bakar Ba’asyir dengan meneliti terjemahan kata tâghût dari segi Penerjemahan kata, Penerjemahan tafsirnya, morfologi dan semantik. Penulis juga melihat makna kata tâghût yang terdapat dalam kamus, baik munawwir, Al-‘ashry dan Munjid Secara etimologis dan secara leksikal, kata tâghût Munjid berasal dari kata-kata: ( ) dalam Kamus al: artinya: . (melampaui ukuran dan batas), dan kata tâghût artinya adalah setiap pangkal kesesatan, setan yang mengeluarkan dari jalan kebenaran, dan setiap sesembahan selain Allah. Al-tawaghi dan al-tawaghit adalah rumah-rumah berhala. Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, tâghût berasal dari akar kata: ﻃﻐﻰ ﻳﻄﻐﻰ ﻃﻐﻴﺎ ﻃﻐﻴﺎﻧﺎ, artinya: melampauai batas. Bisa juga dari akar kata: ﻃﻐﻰ ﻳﻄﻐﻮ, tâghût ( ) artinya: melampaui ukuran dan batas. Sedangkan kata artinya adalah berhala, setan, patung, dukun dan setiap yang disembah selain Allah swt. Sedangkan kata tâghût dalam kamus Lisan al-Arab, disebutkan, bahwa kata ( ) al-tâghût adalah segala yang di’ibadahi/disembah selain dari 43 Allah. Atau segala sesuatu yang dikultuskan berupa berhala, setan dan sebagainya. Kata tâghût bisa dalam wujud konteks tunggal dan jamak atau bisa juga menjadi muzakkar dan mua'nnats. tâghût wazan-nya sama dengan kata fa'alût maka disebut taghayût ghain ), kemudian posisi Ya ( ) ), didahulukan sebelum ( ) dalam keadaan berharakat fathah, dan sebelumnya juga fathah, maka jadilah tayaghût tâghût ( ( ( ( ), lalu huruf Ya dibalik menjadi huruf alif, maka jadilah ) jamaknya: . artinya: setiap yang melampaui batas dalam kemaksiatan. Hal yang hampir senada dengan penjelasan kata tâghût diatas, bahwa kata tâghût ( ) adalah isim musytaq dari tagha ()ﻃﻐﻰ, yang dibalik (dimodifikasi), asalnya adalah taghayût ( ) berwazan dengan fa'alût ( ) seperti jabarût ( ), huruf ya ( ) dibalik pada posisi ghain ( ) maka jadilah tayaghût ( ), kemudian ya dibalik lagi menjadi alif karena berharakat dan sebelumnya fathah maka jadilah tâghût ( ). A. Penerjemahan Ayat-Ayat Yang Terdapat Kata tâghût Pada bab ini, penulis akan membatasi analisis ini yaitu pada kata tâghût yang ada pada al-Qur’an dan Terjemahan Depag dan juga pada buku “Tadzkiroh” karya ust.Abu Bakar Ba’asyir dengan meneliti terjemahan kata tâghût dari segi Penerjemahan kata, Penerjemahan tafsirnya dan semantik. Penulis juga melihat 44 terjemahan kata ṯâghût yang terdapat dalam kamus, baik munawwir, Al-‘ashry dll. Al-Baqarah Ayat 256 Terjemahan Depag Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui Terjemahan dari buku Tadzkiroh Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Al-Baqarah Ayat 257 Terjemahan Depag Terjemahan dari buku Tadzkiroh Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, 45 pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. An-Nisaa Ayat 51 Terjemahan Depag Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Terjemahan dari buku Tadzkiroh Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. An-Nisaa Ayat 60 Terjemahan Depag Terjemahan dari buku Tadzkiroh Apakah kamu tidak memperhatikan orangorang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Apakah kamu tidak memperhatikan orangorang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum 46 ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. An-Nisaa Ayat 76 Terjemahan Depag Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. Terjemahan dari buku Tadzkiroh Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. Al-Maidah Ayat 60 Terjemahan Depag Terjemahan dari buku Tadzkiroh Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, Yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, Yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera 47 dan (orang yang) menyembah thaghut?". dan babi dan (orang yang) menyembah mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih thaghut?". mereka itu lebih buruk tersesat dari jalan yang lurus. tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. An-Nahl Ayat 36 Terjemahan Depag Terjemahan dari buku Tadzkiroh Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orangorang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orangorang yang mendustakan (rasul-rasul). Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Az Zumar Ayat 17 Terjemahan Depag Terjemahan dari buku Tadzkiroh 48 Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, B. Analisis Semantik Terjemahan dan Konsekuensi Teologis Setelah melihat contoh-contoh ayat yang sudah disebutkan di atas terkait pada , kata maka sedikit banyak akan Penulis coba untuk menganalisisnya. Tentu sesuai dengan judul yang ada dalam skripsi, yaitu analisis yang kajiannya lewat semantik gramatikal yang dilengkapi dengan teori kontekstual (Nadzariyah Siyaqiyah). Dalam hal ini, semantik gramatikal merupakan penyelidikan makna bahasa dengan menekankan hubungan-hubungan dalam pelbagai tataran gramatikal.66 Adapun teori kontekstual adalah makna yang dipahami melalui konteks kebahasaan yang didalam terjemahan jika di lihat dari sisi gramatikalnya ayat ini memiliki terjemahan yang akurat dan efektif dalam penempatan tataran bahasnya. Karena secara umum masalah makna gramatikal berkenaan dengan makna yang terjadi pada proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi atau penggabungan dasar dengan dasar.67 Selain itu, makna gramatikal dalam ayat ini terdapat kata makna ‘berhala’ yang berawal dari kata memiliki ﻳﻄﻐﻰ- ﻃﻐﻰini memiliki makna berupa 66 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Pustaka Umum,2008), h. 75. H.R. Taufiqurrochman, M.A, Leksikologi Bahasa Arab, (Malang: UIN-Malang Press,2008), cet-1 h. 47. 67 49 ‘melampaui batas’ yang mana merupakan salah satu bentuk afiksasi yang bernuansa makna gramatikal. Dalam hal ini, terjemahan pada ayat diatas termasuk makna gramatikal yang mengandung proses afiksasi. Pada ayat pertama dalam terjemahan surat Al-Baqarah pada ayat 256 kata tâghût dimaknai hanya tâghût saja sedangkan dilihat dari ayat kedua Kita lihat penjelasan ahli tafsir mangenai ayat ini. Ibnu Katsir mengatakan: “Allah Ta’ala mengabarkan bahwasannya Dia akan memberikan petunjuk kepada orang yang mengikuti jalan-Nya kepada jalan-jalan keselamatan. Maka Alloh akan mengeluarkan hamba-Nya yaitu orang-orang Mukmin dari kegelapan kekufuran dan keragu-raguan kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, nyata, mudah dan bercahaya. Dan bahwasanya orang-orang kafir sesungguhnya pelindungpelindung mereka adalah syaiton yang menghiasi mereka kepada kebodohan dan kesesatan, serta mengeluarkan mereka dan menyimpangkan mereka dari jalan kebenaran menuju jalan kekufuran dan kedustaan, { Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya}. Maka makna kata ‘tâghût dalam ayat kedua surat al-Baqarah ayat 257 adalah ‘syaiton’68 Pada ayat yang lain pun sama tâghût diterjemahkan tâghût saja berbeda halnya dengan surat al-baqarah ayat 257 yang menerjemahkan tâghût secara jelas dengan menerjemahkan setan. Maka dalam kasus buku ‘Tadzkiroh” Arti tâghût yang dimaksudkan oleh Abu Bakar Ba’asyir ini adalah tidak benar, dan berbeda sekali dengan tâghût seperti yang dipahami oleh mayoritas ulama. 68 M Abdul Ghoffar E.M, tafsir Ibnu Katsir jilid 1 (terj) Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2004), h. 518. 50 Menurut Quraish Shihab, kata tâghût ( ) diambil dari akar kata yang berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir. Yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan ilahi, tirani, semuanya digelari tâghût ( ). Kata tagha dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 39 kali.69 Kata ini mula nya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertiaan ini digunakan pula oleh Al-Qur’an, antara lain pada surat al-Haqqah ayat 11 “Sesungguhnya, ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, kami mengangkut nenek moyang kamu ke atas bahter.” Kata tagha ( ) ﻃﻐﻰdalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran kesewenang-wenangan terhadap manusia dan tentunya juga tetap berlaku makna asli yang disebut diatas yakni melimpahnya air, menurut bint Al-syathi, kata tagha dalam Alquran selain digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti melampaui batas, seperi kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 15, Al-Maidah ayat 67, Al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata tagha dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang Fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang- 69 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al Karim (Bandung : Pustaka Hidayah,1997), h. 104. 51 wenangan dan perlakuan kejam terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannya kepada Tuhan, yang dapat dipahami dari ayat lain. 70 Dengan demikian kata tagha ( )ﻃﻐﻰmenerangkan sikap kesewenang-wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh sekian banyak ulama tafsir. Kata tâghût ( ) dalam Alquran sering sekali disebutkan dalam bentuk isim dan jika dilihat dari segi akar bahasa maka akan lebih banyak lagi baik kita jumpai dalam bentuk fi’il madi maupun isim masdar. Dalam kitab Mu’jam alMufahras, kata tâghût yang penulis jumpai dalam Alquran terdapat 8 kali disebutkan. Dalam posisi atau bentuk isim masdar yaitu tughyân, disebutkan 16 kali, dalam bentuk fi’il ditemukan 39 kali. Secara etimologis dan secara leksikal, kata tâghût ( ) dalam Kamus al- ﻃﻐﻰ ﻳﻄﻐﻮ: artinya: Munjid berasal dari kata-kata: (melampaui ukuran dan batas), dan kata tâghût artinya adalah setiap pangkal kesesatan, setan yang mengeluarkan dari jalan kebenaran, dan setiap sesembahan selain Allah. Al-tawaghi dan al-tawaghit adalah rumahrumah berhala. Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, tâghût berasal dari akar kata: , artinya: melampauai batas. Bisa juga dari akar kata: ﻃﻐﻰ ﻳﻄﻐﻮ, kata tâghût ( artinya: melampaui ukuran dan batas. Sedangkan ) artinya adalah berhala, setan, patung, dukun dan setiap yang disembah selain Allah Ta'ala. 70 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al Karim, h. 105. 52 Sedangkan kata tâghût dalam kamus Lisan al-Arab, disebutkan, bahwa ) al-tâghût adalah segala yang di’ibadahi/disembah selain dari kata ( Allah. Atau segala sesuatu yang dikultuskan berupa berhala, setan dan sebagainya. Kata tâghût bisa dalam wujud konteks tunggal dan jamak atau bisa juga menjadi muzakkar dan mua'nnats. tâghût wazan-nya sama dengan kata fa'alût ( maka disebut taghayût ( ), ), kemudian posisi Ya ( ) didahulukan sebelum ghain ( ) dalam keadaan berharakat fathah, dan sebelumnya juga fathah, maka jadilah tayaghût ( tâghût ( ), lalu huruf Ya dibalik menjadi huruf alif, maka jadilah . ) jamaknya: artinya: setiap yang melampaui batas dalam kemaksiatan. Hal yang hampir senada dengan penjelasan kata tâghût diatas, bahwa kata tâghût ( ) adalah isim musytaq dari tagha ()ﻃﻐﻰ, yang dibalik (dimodifikasi), asalnya adalah taghayût ( ) berwazan dengan fa'alût ( ) seperti jabarût ( ), huruf ya ( ) dibalik pada posisi ghain ( ) maka jadilah tayaghût ( ) , kemudian ya dibalik lagi menjadi alif karena berharakat dan sebelumnya fathah maka jadilah tâghût ( ). Kembali kepada buku “Tadzkiroh” Abu Bakar Baasyir, dalam buku tersebut banyak Konsep “tâghût” ditafsirkan secara sepihak, seolah-olah tâghût bermakna tunggal, yaitu penguasa yang zalim, korup, menindas dan tidak adil. Pemerintah dan semua aparatur negara dijadikan target tuduhan kafir, musyrik. Padahal, hingga hari ini, tak ada satupun definisi tâghût yang dapat disepakati oleh semua pihak, baik ulama terdahulu (salaf) maupun ulama kontemporer (khalaf). Artinya, 53 telah terjadi perbedaan pendapat yang banyak sejak dahulu dalam memaknai tâghût. Oleh karena hal itu telah menjadi ajang konflik dan medan pertarungan pemikiran, maka tidak ada siapapun yang berhak memberikan justifikasi dan mengklaim interpretasinya yang paling benar atau mempunyai legalitas di sisi syari’at. Tentu saja pendapat segelintir orang tidak bisa menjadikan yang haram itu halal, namun fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa pendapat ulama dalam hal ini tidaklah tunggal. Bahwa Alquran banyak mengungkap kata “tâghût” dalam berbagai surah atau ayat-ayatnya. Namun tidak ada satupun ayat Alquran yang menafsirkan atau menginterpretasikan makna tâghût secara rinci dan konkrit. Demikian pula kitabkitab turats (kitab-kitab tafsir klasik) belum menyentuh penafsirannya pada tataran relitas kehidupan manusia di era globalisasi sekarang ini. Dalam arti, masih terdapat celah-celah yang memungkinkan makna tâghût ini untuk dikaji, ditafsirkan dan diinterpretasikan kembali. Oleh sebab itu, adanya keragaman klasifikasi tâghût yang dikemukakan para ulama membutuhkan penafsiran atau interpretasi yang lebih luas, jelas dan konkrit. Kata tâghût ( ) merupakan istilah yang diungkapkan berkali-kali di dalam ayat-ayat al-Qur'an. Dalam Alquran, pengertian tâghût dapat diketahui maknanya melalui tafsir yang sesuai dengan redaksi ayat-ayat yang memuat kata tersebut. Kata tâghût di dalam al-Qur'an disebutkan delapan kali di dalam 5 (lima) surah dan 8 (delapan) ayat. Masing-masing ayat memiliki makna penafsiran tekstual dan kontekstual yang beragam. Pengertian tâghût dalam surah al-Baqarah 54 ayat 256, berarti setan , dalam surah yang sama pada ayat 257, adalah setan dalam bentuk manusia . Pada surah al-Nisa ayat 51, tâghût berarti; tukang sihir dan dukun , dalam surah yang sama pada ayat 60, tâghût bermakna Ka'ab bin alAsyraf seorang hakim Yahudi , pada ayat 76 dalam surah yang sama, tâghût maknanya adalah ketaatan terhadap setan . Pada surah al-Maidah ayat 60, tâghût diartikan sebagai segala sesuatu yang melampaui batas ketentuan Allah . Pada surah al-Nahl ayat 36, kata tâghût artinya adalah setiap sesuatu yang mengajak kepada kesesatan. Pada surah al-Zumar ayat 17, tâghût diartikan sebagai sesuatu yang disembah selain Allah Swt. Deskripsi makna tâghût sebagaimana yang telah dijelaskan secara etimologis dan leksiologis oleh pakar ahli bahasa di dalam kamusnya masing-masing, menurut penulis dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa secara tekstual tafsir pengertian tâghût adalah setiap perbuatan melampaui batas. Bila pengertian ini ditakhsiskan berdasarkan maknanya, maka dapat disebut maknanya sebagai; setan, dukun, tukang sihir, atau berhala. Makna tekstual seperti ini sesungguhnya telah ditafsirkan oleh para ahli tafsir klasik terdahulu. Pengertian makna seperti inilah yang banyak diungkapkan dalam kitab-kitab tafsir yang beraliran pemahaman tafsir bi al-ma'tsur. Kemudian pengertian tekstual ini terus berkembang dari masa ke masa sehingga para pakar tafsir kontemporer menginterpretasikan maknanya secara kontekstual yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Kata tâghût dari akar taghî ("memberontak, melanggar, atau melampaui batas"), disebut 8 kali dalam Alquran, tâghût menunjukkan fokus persembahannya selain Allah, dan sering juga disebut sebagai "berhala" atau 55 "setan", bahkan maknanya lebih luas dari pada itu. Statement ini nampaknya cenderung mengklaim secara parsial bahwa makna tâghût hanya terfokus pada masalah teologis yang mengarah kepada persoalan peribadatan atau persembahan selain Allah. Maka amat tidak etis jika dalam buku Tadzkiroh tersebut memaparkan dan menyebut bahwa segala unsur pemerintahan baik dari tingkat Presiden,Mentri, MPR, DPR, Polri, Jaksa Agung, MK bahwa dalam sudut pandang buku Tadzkiroh dianggap kafir dan murtad. Kesalahan dalam memahami pengertian tâghût berpengaruh dalam gerakan jihadis berhaluan keras. Jadi, radikalisme yang hadir di Indonesia bukan semata-mata sebagai fenomena impor tetapi salah kaprah di dalam memahami konsep politik Islam. Artinya, pemanipulasian konsep tâghût menjadi pendorong aksi-aksi teror mereka. Maraknya gerakan radikalisme dalam masyarakat muslim secara langsung memperteguh citra lama tentang Islam bahwa pada dasarnya agama ini bersifat radikal dan intoleran. Kesan ini sulit dibantah, karena gelombang radikalisme Islam telah menjadi bagian penting dari rentetan kekisruhan politik sejak pertengahan abad ini. Meskipun demikian, sulit pula membenarkan pandangan yang umumnya tersebar dalam media massa Barat bahwa radikalisme adalah ciri inheren Islam. Karena ciri utama agama ini sebenarnya adalah rahmatan lil ‘alamîn, bukan ghadab (radikalisme) dan irhab (terorisme). 56 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa: Dalam skripsi ini peneliti melihat ada kesesuaian penerjemahan kata tâghût pada ayat-ayat Alquran yang terdapat pada buku Tadzkiroh karya Abu Bakar Ba’asyir dan Alquran terjemahan depag RI. Tetapi kesesuaian ini tidak lantas pada kesamaan pemahaman kata tâghût itu sendiri. Dalam buku tadkiroh karya Abu Bakar Ba’asyir disebutkan bahwa tâghût merujuk pada semua unsur pemerintahan republik Indonesia yang dianggap Abu Bakar Ba’asyir adalah tâghût. Dalam sudut pandang Abu Bakar Ba’asyir thagut sendiri diartikan secara garis besar pada buku tersebut ialah kafir. Tetapi beda dalam pemahaman kata thagut versi Kemenag RI. Kemenang RI mengartikan kata tâghût ialah syaitan dan berhala atau orang-orang yang mengajak pada kesesatan. Dan konsekuensi pada ayat-ayat Alquran yang terdapat kata tâghût ini, akan terjadinya selisih paham pada sesama muslim. Apabila terjadi perselisihan, maka akan adanya pergesekan antar umat Islam itu sendiri karna adanya perbedaan memahami makna kata tâghût tersebut. Pada dasarnya makna kata tâghût merupakan perubahan kata dari kata tagha yang mengalami perubahan kata 57 (morfologi) menjadi tâghût. Dalam perubahan kata (morfologi) tersebut maka terdapat perubahan makna juga. Dari awalnya merupakan ‘melampaui batas’ menjadi ‘berhala’. Apabila terjadi perbedaan dalam memberi makna kata tâghût, maka akan menimbulkan salah paham dan pengklaiman terlalu cepat dalam mengafirkan orang lain, sehingga terjadi permusuhan sesama umat Islam disebabkan karena perbedaan dalam memaknai kata tâghût. B. Saran-saran Dari kesimpulan di atas, Pemahaman teks keagamaan yang cenderung tekstual akan melahirkan sikap rigid, yang dapat berimplikasi negatif pada pencitraan agama. Agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan Alquran dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian. Ayat-ayat Alquran yang sering digunakan Ba’asyir sebagai alat pembenaran terhadap pemikirannya harus bisa digunakan secara arif dan bijaksana, bukan digunakan sebagai tameng untuk pembenaran suatu misi organisasi atau individu dalam penyampaian bertema Islam. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks budaya Timur Tengah. Sedangkan ayat-ayat Alquran berlaku secara universal, di semua tempat di seluruh dunia sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan 58 kondisi zaman. Selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku. 59 DAFTAR PUSTAKA ‘Ali Al-Kabir, Abdullah, dkk. Lisanul ‘Arab Juz 4, Kairo: Darul Ma’arif, t.t. A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan Flores: Nusa Indah, 1989. al-Anshari, Fauzan. Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di penjara, Saya difitnah. Jakarta: Qalammas, 2006. Al-Ashfahani, Ar-Raghib. Al-Mufrodaat fi Gharib Al-Qur’an. Beirut, 1412 H. Ali,Atabik, dkk. Kamus Kontemporer Arab – Indonesia,Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996. Ba’asyir, Abu Bakar. Tadzkiroh (Nasehat dan Peringatan Karena Allah Untuk Para Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia Yang Berpenduduk Mayoritas Muslim), Jilid I, Jakarta: JAT Media Center, t.t. Ba’asyir, Abu Bakar. Tadzkiroh (Nasehat dan Peringatan Keran Alloh, Kepada Ketua MPR/DPR dan Semua Anggotanya Yang Mengaku Muslim & Aparat Taghut N.K.R.I Bidang Hukum dan Pertahanan Yang Mengaku Muslim) Jilid II, Cet-I, Jakarta: JAT Media Center,2012. Chaer , Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Pt Rineka Cipta, 2009. Chaer, Abdul. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendidikan Proses). Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Chaer, Abdul. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Pt Rineka Cipta, 2003. 60 Djajasudarma, Fatimah. Semantik 1 pengantar ke arah ilmu makna. Bandung: PT Refika Aditama, 1999. Djajasudarma, Fatimah. Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik-SintagmatikDerivasional. Bandung: PT Refika Aditama, 2013. Ghoffar E.M, M. Abdul. Tafsir Ibnu Katsir jilid 1 (terj) Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir. Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004. Hidayatullah, Moch Syarif dan Abdullah. Pengantar Linguistik Bahasa Arab. Jakarta:UIN, 2010. Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2, Darul Hindisiyah, 1995. Kamus Al-Munjid Fi Al-Lughah wa A’lam, Beirut: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1988. Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik, Jakarta: Pustaka Umum, 2008. M. Nur Kholis Setiawan, Phil. al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsaq press , 2005. Ma’rifat, M. Hadi. Sejarah al-Qur’an. Jakarta: al-Huda, 2007. Matsna, Moh. Orientasi Semantik al-Zamakhsyari. Jakarta: Anglo Media, 2006. Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Rokhman, Muh. Arif. Penerjemahan Teks Inggris ( Teori dan Latihan Dilengkapi Teks-Teks Ilmu Sosial & Humaniora). Yogyakarta: Pyramid Publisher, 2006. 61 Sa’adah. ”Analisis semantik Kontekstual atas penerjemahan Kata Arab Serapan,” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010. Sayogie, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Shihab, M Quraish., Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an: Vol. 1. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006. Syamsuddin, Sahiron, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003. Syihabuddin, M.A, Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: Humaniora, 2005. Taufiqurrochman, H.R. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press, 2008. Tim Raden, al-Qur’an kita: studi ilmu, sejarah dan tafsir kalamullah ,kediri: lirboyo press, 2011. Media Elektronik Prabowo, Dani, “ MUI dukung Penarikan Buku Abu Bakar Ba’asyir,“ artikel diakses pada 12 febuari 2015 dari www.kompas.com/news/nasional/3 Januari 2014. Muhammad Khidr, A.D. Muhammad Zaki. Mu’jam Kalimat Al-Qur’an Al-Karim. (Maktabah Syamilah). 62 Firdaus,Febriana. “ Ini Buku Baasyir yang di sebut Legalkan Perampokan.” artikel di akses pada 18 februari 2015 dari www.tempo.co/read/news/2014/01/03/063541839/. Mukti, Swasti Prawidya. “Biografi Abu Bakar Baasyir.” artikel diakses pada 20 februari 2015 dari http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abu-bakar-baasyir/. 63