Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014

advertisement
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan
Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil
penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan.
Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, November)
Penasehat
:
Penasehat
Penanggung Jawab
Ketua Dewan Editor
Editor
:
:
:
:
Editor Tamu
:
Mitra Bestari
:
Kepala Sekretariat
Anggota
:
:
Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH.
Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH.
H. Suwardi, SH. MH.
Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH.
Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS.
Dr. Ismail Rumadan, MH
Moch. Iqbal, SH., MH.
Rita Herlina, SH. LLM.
Johanes Brata Wijaya, SH.
Budi Suhariyanto, SH., MH.
1. Zezen Zainal Muttaqin, SHI., LLM
2. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA
1. Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., MS
2. Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag
3. Prof. Dr. Sri Hajati, SH., MS
4. Prof. Dr. Yohanes Sogar Simamora, SH., M.Hum
5. Prof. Dr. Galang Asmara, SH., M.Hum
6. Prof. Dr. Widodo Eka Tjahyana, SH., M.Hum
7. Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF., SH., LLM
8. Prof. Dr. Topo Santoso, SH., MH., PhD
9. Imam Prihandono, SH., LLM., PhD
10. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH
11. Dr. M. Hadi Subhan, SH., MH
H. Moch. Amirullah Sholeh, SH., MM
1. Suhenda, SH
2. Bintang Alvita, Ss
3. Tri Mulyani, A.Md
4. Maryam Sugiarti, S.Sos
5. Dinar Wardani, SHI
6. Dini Widaningsih
7. Imam Buchori
Alamat Redaksi :
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI
Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011
Email: [email protected]
[email protected]
Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with
acknowledgement of the source)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Volume 4 Nomor 1 Maret 2015
Daftar Isi
Pengantar Redaksi
Daftar Isi
Daftar Abstrak
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK …………….
1 - 16
Moh. Mahfud MD
Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung dengan
Mahkamah Konstitusi …………………………………………………………….
17 - 30
Saldi Isra
Freedom & Impartial of Judiciary : Antara “Peradilan
Bebas” & “Pers Yang Bebas” ………………………………………………
31 - 50
Indriyanto Seno Adji
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks UndangUndang
No.30
Tahun
2014
tentang
Administrasi
Pemerintahan ……………………………………………………………………………
51 - 64
Philipus M. Hadjon
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang
Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim ……………
65 - 82
Siti Nurjannah
Keterbukaan Informasi di Peradilan dalam Rangka
Implementasi Integritas dan Kepastian Hukum …………….
Ridwan Mansyur
Asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Tindak
83 - 100
Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
Dihubungkan dengan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi 2003 ……………………………………………………
Lilik Mulyadi
101 - 132
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Makna dan Kriteria Diskresi Keputusan dan/atau
Tindakan Pejabat Publik dalam Mewujudkan Tata
Pemerintahan yang Baik ………………………………………………………. 133 - 152
Agus Budi Susilo
Penerapan
Diversi
untuk
Menangani
Problema
Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di
Pengadilan …………………………………………………………………………………. 153 - 170
Budi Suhariyanto
Urgensi Peran Pengadilan dalam Memberikan Pelayanan
Bantuan
Hukum
Undang-Undang
terhadap
Nomor
16
Orang
Miskin
Sesuai
Tahun
2011
tentang
Bantuan Hukum ……………………………………………………………………….
Isnandar Syahputra Nasution
Biodata Penulis
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan
171 - 188
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
PENGANTAR REDAKSI
Bisminllahirrahmannirrahim
Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin.
Salah satu program prioritas Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan jurnal Hukum dan Peradilan
diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang MA-RI sebagai Supporting
Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung
terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: “Terwujudnya
Badan Peradilan Indonesia yang Agung”.
Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai media bagi insan
peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum diharapkan dapat
menjadi wadah mengaktuasikan ide pemikiran melalui penelitian,
pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah, yang
nantinya dapat menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa untuk menata
pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang mulia Ketua
Mahkamah Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI
yang terus memberi dukungan untuk terbitnya jurnal ini, Juga terima kasih
kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan
Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan
bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para
penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra
Bestari yang telah meluangkan waktu untuknya mereview artikel para
penulis, Semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari
Allah SWT. Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Jakarta, Maret 2015.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Moh. Mahfud MD
TITIK SINGGUNG WEWENANG ANTARA MAHKAMAH AGUNG
DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 1-16
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia mempunyai keterkaitan
dengan Mahkamah Agung (MA) baik dalam filosofi universalnya maupun
dalam sejarah dan perdebatan partikularnya. Menjadi wajar jika dalam
pelaksanaannya ditemukan beberapa titik singgung kewenangan yang harus
diselesaikan bukan saja secara akademis tetapi secara yuridis. Jika
kewenangan-kewenangan MK itu dirinci dan kemudian ditautkan dengan
kewenangan MA maka tampak ada persilangan kewewenangan antara kedua
lembaga tersebut. MK mengadili konflik peraturan yang bersifat abstrak
sekaligus mengadili konflik (sengketa) antar orang atau lembaga yang bersifat
konkret. Ada pun MA juga mengadili konflik (sengketa) antar orang atau
lembaga yang bersifat konkret sekaligus mengadili konflik antar peraturan
yang bersifat abstrak. Di sini tampak adanya persilangan wewenang dalam
pengujian peraturan Perundang-undangan antara MK dan MA karena
keduanya sama-sama mempunyai kewenangan melakukan pengujian tetapi
dengan tingkatan yang berbeda.
Kata kunci: Titik Singgung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Moh. Mahfud MD
AUTHORITY CONNECTIVITY
CONSTITUTIONAL COURT
OF
SUPREME
COURT
AND
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 1-16
The existence of the Constitutional Court (MK) in Indonesia is linked to the
Supreme Court (MA) both in the universal philosophy and in history and the
particular debate. Being natural in practice found several points of authority
tangency which must be resolved not only academically but in juridiction. If
powers of the Constitutional Court was elaborated and then linked with the
authority of the Supreme Court the authority then it appears there is a cross
between the two institutions. The Constitutional Court judge rules conflict
which is abstract at once judges conflicts (disputes) between the person or
institution that is concrete. There is also the Supreme Court also adjudicates
conflicts (disputes) between people or institution that is concrete as well
adjudicates conflicts between rules which are abstract. Here appears the cross
testing authority in legislation between the Constitutional Court and the
Supreme Court because they both have the authority to conduct testing, but to
different degrees.
Keywords: Connective Point, Supreme Court, Constitutional Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Saldi Isra
TITIK SINGGUNG WEWENANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 4 No. 1 hlm. 17-30
Percampuran kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung telah menimbulkan berbagai persoalan. Pada gilirannya, muncullah
persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada
terjadinya ketidakpastian hukum. Berkaitan dengan kewenangan pengujian
peraturan Perundang-undangan misalnya, meski Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sama-sama memiliki wewenang pengujian peraturan
Perundang-undangan, namun dengan berbedanya jenis dan hierarki peraturan
Perundang-undangan yang diuji, maka penafsiran peraturan peraturan
Perundang-undangan yang dilakukan dua lembaga tersebut mesti tunduk pada
sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sebab, validitas
norma adalah bersumber dari peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi. Selain itu, apapun putusan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, putusan tersebut bersifat erga omnes, termasuk bagi
hakim agung di Mahkamah Agung dan hakim-hakim pada badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung.
Kata kunci : Wewenang, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Saldi Isra
AUTHORITY CONNECTIVITY OF SUPREME COURT (MA) AND
CONSTITUTIONAL COURT (MK)
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 17-30
The mixing of authority between the Constitutional Court and the Supreme
Court has raised a range of issues. In turn, there is the contact authority of the
two institutions which could lead to the occurrence of legal uncertainty. In
connection with the authority testing regulations, for example, although the
Supreme Court and the Constitutional Court have the same right to test the
legislation, but with different types and hierarchy of legislation being tested,
then the interpretation of the rules of the legislation for which they were these
institutions must be subject to a hierarchical system of laws and regulations
that apply. Therefore, the validity of the norm is derived from the legislation is
higher. Moreover, any decision of the judicial review of the UUD, this
decision is erga omnes, including for judges of the Supreme Court and judges
of the court under the Supreme Court.
Keywords : Authority, Constitutional Court, Supreme Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Indriyanto Seno Adji
FREEDOM AND IMPARTIAL OF JUDICIARY
“PERADILAN BEBAS DAN PERS YANG BEBAS”
:
ANTARA
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 31-50
Kemerdekaan Pers yang dianut oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
tentang Pers merupakan aksentuasi dari sistem Libertarian Press yang
menghendaki adanya suatu “kebebasan pers” yang total absolut dengan
meletakan segala konsekuensi hukum atas substansi pemberitaannya melalui
institusi yudikatif, tanpa menghendaki adanya bentuk bentuk kriminalisasi
terhadap pers dengan segala alasan dan maksud arah limitatifnya. Previlege
Right Absolut dari Pers memiliki rambu-rambu yang memberikan suatu
batasan –moral hazard- atas dasar Interest of justice atau national security
atau for prevention of disorder or crime yang dapat dikeluarkan oleh lembaga
peradilan sebagai bentuk kriteria Sub Judice Rule ataupun Disobeying a Court
Order dari pranata Contempt of Court. Suatu pemberitaan yang merupakan
wujud kebebasan berekspresi dengan pemberitaan yang “prejudicial”, bahkan
substansi pemberitaanya menimbulkan suatu “misleading conclusion and
opinion” serta telah memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan
atau salah serta berdampak negatif pada jalannya proses peradilan maupun
pihak lain secara luas (sebagai pengakuan dari Sistem Pers Libertarian) dapat
dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers itu sendiri, baik secara ethik
norma maupun hukumnya.
Kata kunci : Peradilan, Pers, Bebas
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Indriyanto Seno Adji
FREEDOM & IMPARTIAL OF JUDICIARY : BETWEEN “FREEDOM
OF JUDICIARY” AND “FREEDOM OF THE PRESS”
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 31-50
Press of independence adopted by Law No. 40 of 1999 on the Press is an
accentuation of the Libertarian Press system which requires the existence of a
absolute total "freedom of pers" by putting all the legal consequences on the
substance of its news through judicial institutions, without calls for
criminalization forms of the press with all the reason and limitedly direction
purpose. Absolute Privilege Right of the Press have signs that provide a
limitation on -moral hazard- based on Interest of justice or national security
or for the prevention of disorder or crime that can be issued by the judiciary
as a form of Sub Judice Rule criteria or Disobeying a Court Order from
Contempt of Court institutions. a proclamation which is a form of freedom of
expression with the news that "prejudicial", even the news substance pose a
"misleading conclusion and opinion" as well as has provided an opinion and
conclusions that are misleading or incorrect and negative impact on the
course of judicial proceedings and other parties broadly (as recognition of the
Press Libertarian System) may be faced with a sense of responsibility of the
press itself, either ethic norms and laws.
Keywords : Judicial, Pers, Freedom
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Philipus M. Hadjon
PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM KONTEKS UNDANGUNDANG NO.30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 51-64
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU
AP) bukan hukum administrasi. Konsep administrasi pemerintahan (AP)
dalam Pasal 1.1 adalah tata lakasana dalam pengambilan keputusan dan/atau
tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Jika dibandingkan dengan
Algemene wet Bestuursrecht (AWB) Belanda nampak perbedaan yang jelas.
AWB beranjak dari konsep hukum administrasi (bestuursrecht) sedangkan
titik tolak AP adalah administrasi pemerintahan. Bahwa dalam AP ada aspek
hukum administrasi, namun konsep hukum administrasi membingungkan.
Atas dasar itu penjelasan umum AP yang menyatakan UU AP merupakan
hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara menjadi suatu tanda
tanya besar. Ketentuan UU AP menyangkut PTUN tidak didasarkan atas
pendekatan konseptual yang jelas. Atas dasar itu UU AP terkait PTUN sangat
menyulitkan penerapannya dalam praktek peradilan karena disamping konsep
yang tidak jelas juga bertentangan dengan konsep-konsep hukum administrasi.
Kata kunci : Peradilan, Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Philipus M. Hadjon
ADMINISTRATIVE COURT ACCORDING TO LAW NO. 30 YEAR 2014
ON GOVERNMENT ADMINISTRATION LAW
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 51-64
Act No. 30 Year 2014 on Government Administration (UU AP) instead of
administrative law. The concept of public administration (AP) in Article 1.1 is
governance in the decision and/or action by the official agency and / or
government. When compared with the Dutch Algemene wet Bestuursrecht
(AWB), it seems obvious differences. AWB moved from the concept of
administrative law (bestuursrecht) while the AP is the starting point of
government administration. That in AP there are aspects of administrative
law, but the concept of administrative law is confusing. On the basis, the
common explanations of AP stating AP Act is a substantive law of the State
Administrative Court system becomes a big question mark. AP Act provisions
concerning Administrative Court is not based on a clear conceptual approach.
On the basis, AP Act concerning Administrative Court is very difficult to apply
in judicial practice as well as vague concepts is also contrary to the concepts
of administrative law.
Keywords : Judicial, Administrative Court, Act No. 30 Year 2014 on
Government Administration
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Siti Nurjannah
MEWUJUDKAN VISI MAHKAMAH AGUNG TENTANG BADAN
PERADILAN YANG AGUNG MELALUI UNDANG-UNDANG
JABATAN HAKIM
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 65-82
Status jabatan Hakim telah ditegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam
kenyataannya pada beberapa aspek yang mengenainya masih terikat dengan
sistem Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya jabatan Hakim sering dikatakan
berstatus ganda yaitu sebagai pejabat negara dan PNS. Pembiaran atas status
ganda tersebut, senyatanya telah menimbulkan berbagai masalah serius baik
dari segi manajerial maupun terkait dengan potensi reduksi independensi
peradilan. Jika independensi mulai tereduksi maka implikasi dari problematika
jabatan Hakim ini adalah menghambat upaya mewujudkan visi Mahkamah
Agung yaitu mewujudkan Badan Peradilan yang Agung.
Kata kunci : Visi Mahkamah Agung, Undang-Undang, Jabatan hakim
Siti Nurjannah
REALIZE THE VISION OF THE SUPREME COURT THROUGH THE
AGENCY LAW JUDGE POSITION
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 65-82
Judges official status has been affirmed as a state official, but in fact on some
aspect on it is still bound by the Civil Service system. Therefore judge
positions are often said to be dual status as state officials and civil servants.
Nullifying the dual status is, in fact has caused serious problems in terms of
both managerial and related to the potential reduction of judicial
independence. If the independence start to reduce, the implications of the
problems of the post of Judge is hampering efforts to realize the vision of the
Supreme Court which is to realize the Supreme Courts.
Keywords : Supreme Court Vision, Acts, and Official state of Judges
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Ridwan Mansyur
KETEBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN DALAM RANGKA
IMPLEMENTASI INTEGRITAS DAN KEPASTIAN HUKUM
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 83-100
Sebagai lembaga publik dibidang peradilan, Mahkamah Agung dituntut untuk
berkomitmen menerapkan keterbukaan informasi. Keterbukaan informasi
dalam konteks transparansi peradilan bagi Mahkamah Agung saat ini bukan
saja menjadi kebutuhan publik tetapi juga kebutuhan seluruh warga badan
peradilan. Dengan adanya transparansi peradilan, secara perlahan akan terjadi
penguatan akuntabilitas dan profesionalisme serta integritas warga peradilan.
Komitmen untuk memberikan keterbukaan baik proses maupun hasil akhir
merupakan wujud nyata dari layanan publik sebagai akses terhadap keadilan
(access to justice) yang diberikan oleh Pengadilan pada level terbawah hingga
Mahkamah Agung. Kualitas pelayanan publik yang prima melalui transparansi
peradilan dengan keterbukaan informasi merupakan muara dari pelaksanaan
Reformasi Birokrasi.
Kata kunci : Keterbukaan Informasi, Peradilan, Integritas dan Kepastian
Hukum
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Ridwan Mansyur
INFORMATION TRANSPARENCY IN THE COURT IN ORDER TO
IMPLEMENT INTEGRITY IMPLEMENTATION AND LEGAL
CERTAINTY
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 83-100
As a public institution in the field of justice, the Supreme Court is required to
commit to apply the disclosure of information. Nowadays, transparency of
information disclosure in the context of justice for the Supreme Court is not
only the public needs but also the needs of all residents of the judiciary. With
the judicial transparency, will slowly happen to strengthen accountability and
professionalism and integrity of the judiciary residents. Commitment to
provide disclosure of both the process and the end result is a concrete
manifestation of public services as access to justice (access to justice) given
by the Court at the lowest levels up to the Supreme Court. Quality of excellent
public services through the transparency of the judicial information disclosure
is the estuary of execution Reform of Bureaucracy.
Keywords : Information Transparency, Judicial, Integrity and Legal
Certainty
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Lilik Mulyadi
ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
DIHUBUNGKAN DENGAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSABANGSA ANTI KORUPSI 2003
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 101-132
Artikel ini akan menjelaskan mengenai hasil penelitian asas pembalikan beban
pembuktian terhadap tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana
Indonesia dihubungkan dengan konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti
Korupsi 2003. Terdapat 2 pertanyaan mendasar yang menjadi obyek
penelitian, pertama: sejauh mana pergeseran beban pembuktian telah
dilaksanakan di pengadilan pidana tentang kasus korupsi, dan kedua, untuk
sejauh mana kebijakan legislasi berlaku untuk pergeseran beban pembuktian
dalam kaitannya dengan UNCAC 2003.
Artikel ini menggunakan penelitian normatif berupa regulasi, konseptual,
kasus dan pendekatan komparatif. Penelitian tersebut menekankan interpretasi
dan konstruksi hukum untuk memperoleh beberapa norma hukum, konsepsi,
daftar peraturan dan implementasinya dalam kasus nyata. Peraturan dan
pendekatan konseptual digunakan untuk mengetahui, keberadaan, konsistensi
dan harmonisasi mengenai pergeseran beban pembuktian atas tindak pidana
korupsi dalam tubuh Undang-Undang. Pendekatan kasus menggunakan
perbandingan hukum mengenai beban pembalikan pembuktian atas korupsi
offencer antara Indonesia dan negara-negara lain.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pergeseran beban pembuktian tidak pernah
diterapkan untuk kasus korupsi di Indonesia. Pengalaman mereka tidak sama
dengan pengalaman melawan korupsi di Hong Kong dan India, yang
menerapkan beban pembalikan pembuktian dengan menggunakan beberapa
pendekatan yang disebut probabilitas seimbang prinsip dalam kaitannya
dengan properti atau aset yang berasal dari terdakwa. Kebijakan regulasi
korupsi Indonesia, khususnya pasal 12B, 37, 37A, 38B ternyata itu tidak jelas
dan tidak harmonis dengan norma pungutan langsung warisan pergeseran
beban formulasi bukti sehubungan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
(KAK 2003). Jadi, diperlukan (kebutuhan) dari modifikasi biaya pergeseran
beban pembuktian formulasi yang preventif, represif dan restoratif.
Kata Kunci : Pembalikan Beban Pembuktian, Tindak Pidana Korupsi,
Sistem Hukum Pidana Indonesia
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Lilik Mulyadi
THE REVERE BURDEN OF PROOF AGAINST CORRUPTION LAW IN
INDONESIAN CRIMINAL LAW SYSTEM RELATED WITH THE 2003
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 101-132
This article describes some problems of the result of research regarding the
shifting of burden of proof upon corruption offences in the Indonesian system
of criminal law with regards UN Convention Against Corruption (UNCAC)
2003. There are two basic questions which become the research objections,
firstly: to what extent the shifting of burden of proof has been implemented in
the criminal court regarding corruption cases, and secondly, to what extent
does the legislation policy apply for the shifting of burden of proof in relation
with UNCAC 2003.
The article uses normative research which regulation, conceptual, case and
comparative approach. Such research emphasizes interpretation and legal
construction to obtain some legal norms, conception, regulation list and its
implementation in concreto cases. Regulation and conceptual approach to used
how to know, existention, consistency and harmonization regarding the shifting
of burden of proof upon corruption offences in legislation body. The cases
approach uses comparative law regarding the reversal burden of proof upon
corruption offencer between Indonesia and the other countries.
This research shows that the shifting of burden of proof has never yet applied
for in the corruption cases Indonesia. Those experiences is not similar with
the experiences of against corruption Hong Kong and India, which implement
the reversal burden of proof by using some approach so-called balanced
probability of principles in the relation to the property or asset of defendant
comes from. The Indonesian corruption regulation policy, especialy article
12B, 37, 37A, 38B apparently it’s not cleaq and disharmony to norm of
sudden charge of fortune the shifting of burden of proof formulation in
connection with United Nations Convention Against Corruption 2003 (KAK
2003). So, necessary (needs) of modification sudden charge of fortune shifting
of burden of proof formulation which preventive, represive and restorative
characteristic.
Keywords : Shifting the Burden of Proof, Corruption Offences, Criminal
Justice System
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Agus Budi Susilo
MAKNA DAN KRITERIA DISKRESI KEPUTUSAN DAN/ATAU
TINDAKAN PEJABAT PUBLIK DALAM MEWUJUDKAN TATA
PEMERINTAHAN YANG BAIK
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 133-152
Dalam rangka melakukan tindakan hukum, pejabat publik sering melakukan
tindakan di luar ketentuan hukum tertulis. Keadaan ini sebagai suatu
konsekuensi logis, bahwa Undang-Undang dan peraturan tertulis lainnya
seringkali tertinggal dalam mengantisipasi perkembangan zaman, perubahan
nilai, dan meningkatnya kebutuhan hidup manusia seiring dengan kemajuan
yang dicapainya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu,
agar prinsip legalitas pada tahap operasionalnya dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka diperlukan “diskresi” sebagai sarana pengembangannya.
Ironisnya, tidak jarang penggunaan diskresi oleh pejabat publik dengan dalih
untuk kepentingan umum dan kepastian hukum, justru mengorbankan hak-hak
masyarakat baik secara individu pribadi, kelompok maupun badan hukum
perdata. Untuk mengantisipasinya, perlu ada konsep lain yang mengendalikan
diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik, dan konsep tersebut
adalah good governance, yang sering diartikan tata pemerintahan yang baik.
Dengan memahami prinsip-prinsip utama dari tata pemerintahan yang baik itu
sendiri, diharapkan diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik dapat
diterapkan sesuai rel hukum (rechtmatigheid van regering).
Kata kunci : Diskresi, Keputusan Pejabat Publik, Tata Pemerintahan
yang Baik
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Agus Budi Susilo
THE MEANING AND CRITERIA OF DISCRETION OF PUBLIC
POLICY AND/OR ACT OF PUBLIC OFFICIALS IN GOOD
GOVERNANCE IMPLEMENTATION
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 133-152
In order to do the legal action, public officials often execute out of written
law, this condition is a logic consequence, that the acts and others written
laws are left behind in anticipating the development of the era, the change of
values, and increasing need of human life along with the progress that they
have achieved in science and technology. Therefore, to make legality principle
on operational stage can be done as good as it could, so the development
instrument of the discretion is needed, ironically, not the rare things, the use
of discretion sometimes misuse by public officials, pretending bases on public
need and legal certainty in fact they abandon civil rights, either individually,
in group or even civil corporate body. To anticipate it all, another draft is
required to control the discretion of public policy and/or act of public
officials, and that draft is good governance, which usually assume as good
governance system. By understanding main principle from good governance
itself, it’s hoped that the discretion of public policy and/or act of public
officials can be applied together with code of conduct in law (rechtmatigheid
van regering).
Keywords : Discretion, Public Officials, Good Governance
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Budi Suhariyanto
PENERAPAN DIVERSI UNTUK MENANGANI PROBLEMA
PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS DI
PENGADILAN
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 153-170
Pada dasarnya perkara pelanggaran lalu lintas adalah perkara yang sederhana
sehingga dikategori pemeriksaannya cepat. Namun ketika volume perkara
perkaranya mencapai ribuan perkara dan harus disidangkan di Pengadilan
dalam waktu sehari, senyatanya telah menimbulkan problema. Dalam
mengatasi problema tersebut, perbaikan penanganan dan penyelesaian perkara
pelanggaran lalu lintas di Pengadilan adalah hal yang mutlak dilakukan.
Namun selain itu alternatif penyelesaian pelanggaran lalu lintas di luar
Pengadilan yaitu melalui penerapan diversi patut dijadikan salah satu alternatif
cara mengurangi beban perkara dan problema di Pengadilan. Secara
fungsional, penerapan diversi dijadikan sebagai bagian dari edukasi dan sistem
pembinaan serta sistem perlindungan masyarakat (khususnya terhadap anak/
Pelanggar dibawah umur).
Kata kunci : Diversi, Pelanggaran Lalu lintas, Pengadilan
Budi Suhariyanto
DIVERSION
APPLICATION
TO
HANDLE
PROBLEM
INFRINGEMENT CASE SETTLEMENT TRAFFIC IN COURT
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 153-170
Basically cases of traffic violations is a matter of simple so categorized quick
examination. However, when the volume of his case matters reach thousands
of cases and should be heard in court within a day, in fact has given rise to
problems. In addressing these problems, improvement of handling and settling
disputes traffic violation in court is an absolute must do. But apart from that
alternative settlement traffic violation outside the court, namely through the
implementation of diversion should be used as an alternative way to reduce
the caseload and problems in court. Functionally, the application of diversion
used as part of the education and guidance systems and community protection
systems (especially against children/Offenders under age).
Keywords : Diversion, Traffic Violations, the Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel
lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
Isnandar Syahputra Nasution
PERAN PENGADILAN DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN
BANTUAN HUKUM TERHADAP ORANG MISKIN SESUAI
UNDANG-UNDANG NO.16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN
HUKUM
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 1 hlm. 171-188
Penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) oleh Pengadilan Negeri
meliputi 3 (tiga) ruang lingkup layanan hukum sesuai dengan ketentuan yang
termuat dalam Perma No.1 Tahun 2014. Adapun ketiga hal tersebut adalah
layanan pembebasan biaya perkara, dan penyelenggaraan sidang diluar gedung
pengadilan serta penyedian Posbakum Pengadilan. Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan Posbakum ini sejatinya Pengadilan Negeri hanya
menyediakan fasilitas ruangan Posbakum bagi tiga Pemberi Bantuan Hukum
atau organisasi advokat yang terakreditasi. Sedangkan mengenai dana bantuan
hukum penanganan setiap kasus akan diajukan oleh Pengadilan melalui
Kanwil Kemenkumham. Namun demikian, bukan berarti fungsi fasilitator ini
dapat diabaikan begitu saja, mengingat Posbakum ini bertempat di Pengadilan,
maka patut diperhatikan bahwa ada amanat khusus dari Penyelenggara Negara
kepada Pengadilan untuk dapat mensukseskan pelayanan hukum yang bebas
beban biaya bagi rakyat miskin tentunya. Dengan demikian dapat diharapkan
agar dengan kehadiran Posbakun dilingkungan Pengadilan akan dapat
mengikis stigma negatif dan menakutkan tentang Pengadilan bagi masyarakat
umum.
Kata kunci : Pengadilan, Bantuan Hukum, Orang Miskin
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Isnandar Syahputra Nasution
URGENCY OF COURT ENROLLMENT IN GIVING A LEGAL AID
SERVICE ON POOR PEOPLE BASED ON LAW NO. 16 YEAR 2011 ON
LEGAL AID
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 1 page 171-188
Implementation of Legal Aid Post (Posbakum) by the District Court includes
three (3) the scope of legal services in accordance with the provisions
contained in the Perma No. 1 Year 2014. Those 3 scopes are services of fee
waiver, and the holding of the trial outside the court building and providing
Posbakum Court. In connection with the implementation of this Posbakum
actually State Court only provides room facilities to Posbakum for three Legal
Aid Provider or accredited lawyers organization. As for the legal aid fund
handling each case will be filed by the Court through the Lokal Office of
Kemenkumham. However, this does not mean that the facilitator function can
be ignored, considering this Posbakum takes place in the Court, it is
noteworthy that there is a special mandate from the State Officials to the
Court in order to succeed the free legal services for the poor. Therefore, it can
also be expected that the presence of the Posbakum in the Court can erode the
negative and scary stigma on the Court for the general public.
Keywords : Court, Legal Aid, the Poor
TITIK SINGGUNG WEWENANG ANTARA MA DAN MK 1
(Authority Connectivity of Supreme Court and Constitutional Court)
Moh. Mahfud MD
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII Yogyakarta
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Periode 2008-2013
Email : [email protected]
Abstrak
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia mempunyai
keterkaitan dengan Mahkamah Agung (MA) baik dalam filosofi
universalnya maupun dalam sejarah dan perdebatan partikularnya. Menjadi
wajar jika dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa titik singgung
kewenangan yang harus diselesaikan bukan saja secara akademis tetapi
secara yuridis. Jika kewenangan-kewenangan MK itu dirinci dan kemudian
ditautkan dengan kewenangan MA maka tampak ada persilangan
kewewenangan antara kedua lembaga tersebut. MK mengadili konflik
peraturan yang bersifat abstrak sekaligus mengadili konflik (sengketa) antar
orang atau lembaga yang bersifat konkret. Ada pun MA juga mengadili
konflik (sengketa) antar orang atau lembaga yang bersifat konkret sekaligus
mengadili konflik antar peraturan yang bersifat abstrak. Di sini tampak
adanya persilangan wewenang dalam pengujian peraturan Perundangundangan antara MK dan MA karena keduanya sama-sama mempunyai
kewenangan melakukan pengujian tetapi dengan tingkatan yang berbeda.
Kata kunci: Titik Singgung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi
Abstract
The existence of the Constitutional Court (MK) in Indonesia is linked to the
Supreme Court (MA) both in the universal philosophy and in history and the
particular debate. Being natural in practice found several points of
authority tangency which must be resolved not only academically but in
juridiction. If powers of the Constitutional Court was elaborated and then
linked with the authority of the Supreme Court the authority then it appears
there is a cross between the two institutions. The Constitutional Court judge
rules conflict which is abstract at once judges conflicts (disputes) between
the person or institution that is concrete. There is also the Supreme Court
1
Makalah untuk Seminar tentang Titik Singgung Wewenang Antara Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI, Kamis 13 November 20014 di Merlyn Park Hotel, Jakarta.
1
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
also adjudicates conflicts (disputes) between people or institution that is
concrete as well adjudicates conflicts between rules which are abstract.
Here appears the cross testing authority in legislation between the
Constitutional Court and the Supreme Court because they both have the
authority to conduct testing, but to different degrees.
Keywords: Connective Point, Supreme Court, Constitutional Court
A. Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Ketika pada tahun 1945 melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) para pejuang kemerdekaan
dan pendiri negara menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar salah
seorang anggotanya M. Yamin mengusulkan pemberian wewenang kepada
lembaga yudikatif untuk menguji Undang-undang terhadap UUD. Tetapi
usul Yamin tersebut tidak disetujui oleh anggota-anggota yang lain, seperti
Soepomo, dengan alasan Indonesia tidak sama dengan negara Barat yang
liberal, Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan, dan pada
saat itu Indonesia belum mempunyai ahli-ahli. Meski pada akhirnya
BPUPKI menolak usul Yamin tetapi dari fakta historis terlihat bahwa
pemikiran tentang adanya lembaga yudikatif yang mempunyai wewenang
judial review sudah ada sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia.
Praktik peradilan ketataengaraan di Amerika Serikat yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung maupun yang dibangun sebagai sistem tersendiri seperti
di Austria tampaknya sudah menjadi referensi para ahli hukum yang ikut
menjadi anggpota BPUPKI maupun pemikir-pemikir sesudahnya.
Setelah Indonesia merdeka tuntutan pemberian wewenang judicial
review kepada MA tidaklah surut. Daniel S. Lev mencatat bahwa pada tahun
1955 muncul ketidakpuasan para hakim karena gajinya kecil dan Parlemen
menolak usul menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata tentang kenaikan
gaji para hakim itu. Para hakim kemudian melakukan pemogokan pada
tanggal 1 sampai dengan tanggal 5 Maret 1956 dengan menolak untuk
melakukan pemeriksaan atas seluruh perkara. Kemudian, mengambil
momentum terbentuknya Konstituante (berdasar hasil Pemilu 1955) para
hakim ini menyampaikan keluhannya kepada Konstituante yang kala itu
akan segera bekerja untuk menyiapkan konstitusi atau UUD yang baru.
Mahkamah Agung yang tidak mendukung tindakan pemogokan ternyata
mendukung penyampaian masalah oleh para hakim itu kepada Konstituante.
Kepada Konstituante, dengan diwakili oleh beberapa hakim, para hakim itu
mengajukan usul-usul yang perlu dimasukkan ke dalam Konstitusi terkait
kekuasaan kehakiman. Di antara usul yang sangat penting adalah usul agar
MA diberi kewenangan konstitusional untuk meninjau kembali semua
Undang-Undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Usul itu didukung oleh
2
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK, Moh. Machfud MD
Ketua MA Wirjono Prodjodikoro yang dalam forum pertemuan dengan
Konstituante ikut menegaskan, “...dalam hemat kami, sangat diharapkan
bahwa kondisi saat ini di Indonesia diubah sedemikian rupa, sehingga
Mahkamah Agung (bukan pengadilan-pengadilan lain), mempunyai
kekuasaan untuk menetapkan sebuah Undang-Undang bertentangan dengan
konstitusi”. 2
Semula usul para hakim ini diterima dengan beberapa
penyempurnaan oleh Konstituante tetapi, seperti kita tahu, Konstituante
sendiri tidak dapat merampungkan tugasnya membentuk Konstitusi baru
karena dibubarkan melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Pasca
jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno yang disebut sebagai Orde Lama
gagasan melembagakan judicial review atau pengujian UU oleh lembaga
judicial muncul lagi ke permukaan. Pemerintahan Orde Baru di bawah
kekuasaan Presiden Soeharto dihadapkan pada tuntutan-tuntutan penertiban
hukum dan peraturan Perundang-undangan melalui pelembagaan judicial
review. Tuntutan ini bisa masuk melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS). Pada tahun 1968 Panitia Ad Hoc di MPRS menetapkan
usul pemberlakuan pengujian UU terhadap UUD tetapi usul tersebut ditolak
oleh Pemerintah. Namun karena gagasan pengujian UU itu terus bergelora
maka pada tahun 1970 Pemerintah mengadopsi pengujian peraturan
Perundang-undangan oleh Mahkamah Agung terhadap peraturan perundangperundangan yang derajatnya di bawah Undang-Undang; artinya judicial
review bisa dilakukan untuk Peraturan Pemerintah ke bawah terhadap
peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. UU tetap tidak bisa diuji
sebab, secara politis, pemerintah khawatir kalau peluang itu dibuka akan
banyak UU yang diuji ke MA sehingga bisa mengganggu kelancaran
jalannya pemerintahan.
Ketentuan tersebut semula dimuat di dalam UU No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman untuk kemudian diperkuat di
dalam Tap MPR No.IV/MPR/1973 dan Tap MPR No. III/MPR/1978.
Pengaturannya mencakup tiga hal pokok: Pertama, Mahkamah Agung dapat
menguji peraturan perundang-perundangan di bawah UU; Kedua, Pengujian
itu dilakukan pada pemeriksaan di tingkat kasasi dan; Ketiga, peraturan
Perundang-undangan yang terkena pengabulan pengujian dicabut sendiri
oleh instansi yang mengeluarkannya, tidak langsung bisa dibatalkan oleh
Mahkamah Agung. Ketentuan yang demikian mengandung kerancuan
yuridis sehingga tidak pernah bisa dilaksanakan sampai jatuhnya rezim Orde
Baru pada tahun 1998. Kerancuan itu, antara lain, terletak pada ketentuan
2
Lihat dalam Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan
Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990, hl. 46-49.
3
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
adanya pemeriksaan judicial review pada tingkat kasasi. Ketentuan tersebut
menutup pintu bagi dilakukannya judicial review karena istilah kasasi
merupakan istilah teknis-prosedural yang bersifat mendasar yakni
pemeriksaan oleh Mahkamah Agung setelah ada putusan dari pengadilan di
bawahnya. Dengan keharusan pemeriksaan melalui kasasi maka orang yang
akan mengajukan gugatan ke MA tidak bisa karena istilah kasasi
mengharuskan adanya putusan lebih dulu dari pengadilan di bawahnya;
tetapi kalau akan melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri lebih dulu
tentu Pengadilan Negeri akan menolak karena menurut UU maupun
menurut Tap MPR pemeriksaan judicial review itu menjadi kompetensi
absolut Mahkamah Agung. Jadi pintu masuknya tidak ada. Distorsi lain
adalah ketentuan bahwa peraturan Perundang-undangan yang terkena
pengabulan pengujian hanya bisa dicabut sendiri oleh instansi yang
mengeluarkannya. Soalnya, bagaimana jika instansi yang bersangkutan
tidak mau mencabut peraturan Perundang-undangan yang pengujiannya
dikabulkan oleh Mahkamah Agung? Menghadapi problem yuridis yang
seperti itu pada tahun 1993 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1
Tahun 1993 yang membuka pintu pengajuan pengujian langsung ke
Mahkamah Agung, tanpa harus melalui Pengadilan negeri meskipun
peraturan dasarnya menyebut prosedur kasasi. Pengajuan judicial review
menurut PERMA tersebut bisa dengan gugatan (melalui pengadilan di
tingkat bawah) dan bisa dengan permohonan (langsung ke Mahkamah
Agung). Tetapi pintu yang dibuka oleh Mahkamah Agung ini tidak pernah
efektif, terbukti sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto tahun 1998 belum
pernah ada peraturan perundangan yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung
karena judicial review.
Barulah setelah jatuhnya rezim Orde Baru, tepatnya setelah kita
masuk ke era reformasi pada tahun 1998, perjuangan memberlakukan
judicial review terhadap UU dan peraturan-peraturan di bawahnya mendapat
sambutan dan tempat yang layak. Pada saat itu sudah mulai muncul gagasan
dibentuknya
Mahkamah
Konstitusi
yang
berwenang menguji
konstitusionalitas UU terhadap UUD. Langkah pertama dalam menampung
gagasan tersebut adalah dikeluarkannya Tap MPR No. III/MPR/2000 yang
salah satu isi pentingnya adalah pemberian wewenang kepada MPR untuk
menguji UU terhadap UUD. Namun langkah itu kemudian diperkuat dengan
pembentukan Mahkamah Konstitusi melalui amandemen UUD 1945 tahap
ketiga, tahun 2001, dengan menempatkan pengaturannya di dalam Pasal
24C UUD 1945 hasil amandemen tersebut. Mahkamah Konstitusi ini diberi
wewenang melakukan pengujian judisial tentang konstitusionalitas UU
terhadap UUD disertai wewenang-wewenang lain sebagaimana diatur
didalam Pasal 7B dan Pasal 24C UUD 1945 hasil amandemen. Diantara
4
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK, Moh. Machfud MD
latar belakang pemikiran tentang pembentukan dan pemberian wewenang
kepada Mahkamah Konstitusi adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Pada zaman Orde Baru banyak UU yang dinilai bertentangan dengan
UUD atau melanggar hak-hak konstitusional warga negara tetapi tidak
bisa dibatalkan melalui pengujian oleh pengadilan. UU hanya bisa
diubah atau diperbaiki oleh legislatif melalui legislative review.
2. Pada masa lalu Presiden bisa dijatuhkan dari jabatannya hanya dengan
keputusan politik, bukan berdasar putusan hukum, sehingga yang
berlaku adalah dalil yang kuat dan menang bisa menjatuhkan atau
bertahan. Timbul gagasan agar pemberhentian Presiden dalam masa
jabatannya harus melalui putusan pengadilan lebih dulu.
3. Pada masa lalu belum tersedia mekanisme penyelesaian sengketa antar
lembaga negara dalam melaksanakan tugasnya, padahal potensi untuk
terjadinya konflik dalam pelaksanaan tugas cukup besar. Pada masa lalu
kekompakan antar lembaga negara hanya bertopang pada kewibawaan
Presiden Soeharto.
4. Pada masa lalu pembubaran partai politik oleh pemerintah tidak pernah
melalui putusan pengadilan. Presiden Soekarno membubarkan Partai
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia hanya dengan Penetapan
Presiden No.4/PNPS/1960 sedangkan Presiden Soeharto memaksa
dilakukannya fusi parpol-parpol untuk kemudian dimasukkan di dalam
UU No. 3 Tahun 1975. Ada ide, partai politik hanya bisa dibubarkan
melalui putusan Pengadilan atau karena membubarkan diri karena
keputusan internal.
5. Pada masa lalu pemilu dilaksanakan dengan penuh kecurangan tetapi
tidak ada peradilan yang efektif untuk mengadili agar pemilu bisa
terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber
dan jurdil). Idenya, untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang
luber dan jurdil harus ada lembaga pengadilan yang bisa mengadili
pemilu dengan efektif.
Hal-hal itulah yang melatarbelakangi dibentuknya Mahkamah
Konstitusi di Indonesia melalui amandemen ketiga UUD 1945. Semula ada
pemikiran alternatif agar kekuasaan kehakiman di Indonesia tetap berada di
satu poros yaitu Mahkamah Agung sehingga masalah-masalah tersebut
dijadikan kewenangan Mahkamah Agung. Tetapi pada saat itu lebih kuat
pemikiran tentang dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai poros baru
kekuasaan kehakiman, apalagi Mahkamah Agung sendiri mengisyaratkan
kurang setuju jika hal-hal tersebut dijadikan kewenangan Mahkamah
Agung. Mengingat tugasnya yang begitu berat dan tumpukan perkara yang
begitu besar maka saat itu Mahkamah Agung lebih setuju dibentuk
Mahkamah Konstitusi dan dirinya hanya bersedia melanjutkan untuk
5
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
melakukan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah UU terhadap
peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Di berbagai negara pun
pemberian kewenangan pengujian UU tidak seragam, ada yang digabung
dengan kewenangan MK dan ada yang diberikan kepada lembaga yang
berdiri sendiri. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Konstinental
kewenangan pengujian UU dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi di
Autria, Jerman, Turki dan beberapa negara di kawasan Anglo Saxon
kewenangan pengujian dilakukan oleh MK yang dibentuk sebagai lembaga
yudikatif tersendiri. Di Inggris lembaga yudikatif tidak diberi wewenang
menguji UU dengan alasan di negara tersebut berlaku supremasi parlemen
sehingga tidak boleh ada lembaga yang bisa menguji produk hukum yang
dibuat oleh Parlemen.
Menjadi jelas bahwa di Indonesia keberadaan Mahkamah Konstitusi
mempunyai keterkaitan dengan Mahkamah Agung baik dalam filosofi
universalnya maupun dalam sejarah dan perdebatan partikularnya. Oleh
sebab itu menjadi wajar jika dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa
titik singgung kewenangan yang harus diselesaikan bukan saja secara
akademis tetapi secara yuridis.
B. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi
Banyak yang diperdebatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
tentang fungsi dan berbagai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tetapi hasil
perdebatan tersebut dikerucutkan pada kesepakatan yang kemudian
dituangkan di dalam Passal 24C dan Pasal 7B UUD 1945 yang
membedakan tugas MK ke dalam kewenangan dan kewajiban. Menurut
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 MK mempunyai empat kewenangan
sedangkan menurut Pasal 7B Ayat (1) MK mempunyai satu kewajiban.
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan empat kewenangan MK
adalah: (1) menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD; (2) mengadili
sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD; (3) membubarkan partai politik; (4) mengadili perselisihan hasil
pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK diatur di dalam Pasal 24C Ayat
(2) dan Pasal 7B Ayat (1) yakni memutus pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden [Pasal 24C Ayat
(2)] dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden [Pasal 7B
Ayat (1)]. Pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD, baik pengujian
materiil maupun pengujian formal, yang diajukan ke MK biasanya disebut
judicial review, sedangkan permintaan putusan atas pendapat DPR yang
diajukan ke MK bahwa Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum tertentu
atau tak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden/Wapres dalam praktik
6
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK, Moh. Machfud MD
sehari-hari disebut sebagai impeachment (pendakwaan) yang bisa dijadikan
alasan untuk pemakzulan. Berikut ini hal-hal yang dapat didiskusikan terkait
dengan titik singgung kewenangan antara MA dan MK.
Sejauh menyangkut kewenangan MK untuk melakukan pengujian
konstitusionalitas UU terhadap UUD ada beberapa hal yang perlu diberi
catatan dalam konteks titik singgung wewenang antara MA dan MK yaitu
soal kewenangan pengujian yang bersifat silang, kekuatan mengikat vonis
MK, keluhan konstitusional (constitutional complaint), dan pertanyaan
konstitusional (constitutional question).
C. Kewenangan Linear dan Silang
Seperti diketahui pada saat MK akan dibentuk telah terjadi
perdebatan tajam terkait dengan dasar filosofis maupun yuridis Mahkamah
Konstitusi yang akhirnya mengkristal dengan pengaturan dalam Pasal 24C
UUD 1945. Jika kewenangan-kewenangan MK itu dirinci dan kemudian
ditautkan dengan kewenangan MA maka tampak ada persilangan
kewewenangan antara kedua lembaga tersebut. MK mengadili konflik
peraturan yang bersifat abstrak sekaligus mengadili konflik (sengketa) antar
orang atau lembaga yang bersifat konkret. Ada pun MA juga mengadili
konflik (sengketa) antar orang atau lembaga yang bersifat konkret sekaligus
mengadili konflik antar peraturan yang bersifat abstrak. Kewenangan MK
dalam menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD adalah kewenangan
mengadili konflik peraturan sedangkan kewenangan lainnya adalah
kewenangan-kewenangan dalam mengadili konflik antar orang dan atau
lembaga.
Pada sisi lain kewenangan MA dalam menguji peraturan Perundangundangan di bawah UU terhadap peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi adalah kewenangan mengadili konflik peraturan sedangkan
kewenangan lainnya adalah mengadili konflik antar orang dan atau antar
lembaga. Seperti diketahui berdasar ketentuan Pasal 24 dan Pasal 24C Ayat
(1) UUD 1945 pada saat berlangsung perdebatan di MPR tentang wewenang
pengujian UU oleh lembaga yudikatif pengujian konstitusionalitas UU
terhadap UUD dilakukan oleh MK sedangkan pengujian legalitas3 peraturan
Perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Di sini tampak adanya persilangan
wewenang dalam pengujian peraturan Perundang-undangan antara MK dan
MA karena keduanya sama-sama mempunyai kewenangan melakukan
pengujian tetapi dengan tingkatan yang berbeda.
3
Saya berpendapat bahwa pengujian UU terhadap UUD adalah menguji konstitusionalitas
sedangkan pengujian peraturan Perundangan-undangan di bawah UU terhadap peraturan
yang lebih tinggi merupakan pengujian legalitas.
7
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
Secara akademis, mungkin perlu dipikirkan agar pengujian semua
peraturan Perundang-undangan mulai dari UU sampai pada hierarki
terbawah disatukan di bawah MK secara linear, tidak lagi bersilangan. Hal
ini penting agar ada jaminan konsistensi penuangan pemikiran
konstitusional ke dalam semua tingkat peraturan Perundang-undangan dari
satu lembaga penafsir konstitusi. Ada pun sebagian dari kewenangankewenangan MK yang menyangkut konflik antar orang dan atau lembaga
bisa dipindahkan ke MA. Kewenangan MK yang bisa dialihkan ke MA,
misalnya, kewenangan membubarkan partai politik, kewenangan mengadili
sengketa kewenangan antar lembaga negara.
D. Kekuatan Vonis MK terhadap MA
Seperti dikemukakan di atas, putusan MK dalam pengujian UU
adalah sama kuat daya ikatnya dengan UU. Bahkan Hans Kelsen
mengatakan bahwa Parlemen (dan lembaga legislatif) sama-sama membuat
UU atau menjadi legislator yang membuat hukum yang setingkat dengan
UU. Bedanya, Parlemen atau lembaga legislatif merupakan positive
legislator sedangkan MK merupakan negative legislator. Oleh sebab itu
dalam membuat putusan-putusan atas perkara yang ditanganinya MA juga
terikat dan harus berpedoman pada putusan-putusan MK dalam perkara
pengujian Undang-Undang. Dalam memutus perkara tentu saja MA harus
berpedoman pada ketentuan UU dan putusan-putusan MK tentang judicial
review.
Selain itu di dalam UU tentang MK diatur bahwa apabila ada
pengujian suatu UU maka MK harus memberitahukan kepada MA agar bisa
mengetahui bahwa sedang ada yang mempersoalkan suatu UU. Bahkan
ditentukan juga bahwa MK harus menunda pemeriksaan permohonan
judicial review tentang satu peraturan Perundang-undangan di bawah UU
apabila batu uji untuk permintaan judicial review ke MA itu adalah UU
yang sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Jadi dalam hal, misalnya, ada Peraturan Pemerintah yang diuji
karena bertentangan dengan UU X padahal UU X itu sedang diuji di MK
maka MA harus menunda pemeriksaan permohonan judicial review itu
untuk menunggu vonis MK tentang UU itu. Maka menjadi lebih penting
untuk diperhatikan bahwa semua vonis pengujian atas UU yang telah
dikeluarkan MK berlaku sebagai UU yang juga harus dipedomani oleh MA,
MK sendiri, dan lembaga-lembaga negara lainnya serta masyarakat pada
umumnya.4
4
Sekedar catatan MA pernah memutus tenaga kesehatan dengan pasal UU yang telah
dibatalkan oleh MK, tanpa sedikit pun menyinggung vonis MK. MA juga pernah
menjatuhkan putusan menghukum pencabutan hak politik kepada koruptor tanpa sedikit
8
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK, Moh. Machfud MD
E. Keluhan Konstitutional (Constitutional Complaint)
Di dunia akademis pada pada awal tahun 2010 muncul gagasan agar
MK diberi kewenangan mengadili perkara keluhan konstitutional atau
constitutional complaint seperti yang berlaku di beberapa negara, misalnya
di Jerman. Constitutional complaint adalah pernyataan seseorang atau
sekelompok orang yang menolak perlakuan pemerintah yang telah
melakukan pelanggaran hak konstitusional tetapi tidak tersedia baginya
upaya hukum yang wajar. Dapat juga dikatakan bahwa constitutional
complaint adalah pengaduan konstitusional oleh seseorang yang nyata-nyata
dirugikan secara hukum tetapi tidak ada lagi upaya hukum yang bisa
ditempuh karena vonis pengadilan sudah selesai dan final sampai tingkat
MA tetapi tak bisa dilaksanakan atau nyata-nyata mengandung kesalahan
dalam pembuatannya.
Dalam hal ini bisa dicontohkan ada vonis pengadilan yang sudah
final dan memerintahkan aparat pemerintah tertentu untuk menyerahkan
tanah yang ternyata bukan haknya kepada seseorang yang berhak secara
hukum. Tetapi hal itu tidak dapat dieksekusi karena tanahnya sudah
berpindah tangan beberapa kali, atau, tanahnya sudah tidak dikenali lagi
batas-batasnya karena diatutup oleh bangunan besar yang mencakup banyak
pemilik dan para pemilik tersebut sesudah berganti-ganti. Dalam keadaan
sangat sulit seperti itu, di negara-negara yang MK-nya mempunyai
kewenangan mengadili constitutional complaint, MK bisa memeriksa
pengaduan itu dan membuat putusan atau perintah yang dapat menjadi jalan
keluar untuk memenuhi hak konstitusional pengadu.
Kasus seperti ini saat ini sangat banyak di Indonesia. Banyak vonis
pengadilan yang tidak bisa dieksekusi baik karena kerumitan keadaan obyek
vonis maupun karena kesengajaan aparat pemerintah untuk menolak
melaksanakan vonis pengadilan. Penyebab lain yang dapat dijadikan alasan
untuk mengajukan constitutional complaint adalah adanya vonis yang final
tetapi setelah itu ternyata ada kesalahan dalam pembuatan vonis yang final
itu. Ketika salah seorang hakim MK diadili dan dihukum karena korupsi
muncullah tudingan-tudingan bahwa banyak vonis di MK yang dibuat
secara salah atau dibuat karena penyuapan. Tetapi tidak ada jalan hukum
untuk mengatasi masalah tersebut karena kita tidak mengenal constitutional
complaint.
pun menyinggung bahwa MK sudah membuat putusan tentang pencabutan hak politik yang
berlaku selama 5 tahun sejak narapidana keluar dari penjara dan setelah itu dibolehkan
menggunakan hak politik (dipilih) dalam jabatan-jabatan yang dipilih dan bukan dalam
jabatan-jataban yang diangkat (political appointee). Saya menduga majelis hakim MA yang
memutus kasus-kasus ini tidak mendapat informasi bahwa sudah ada vonis MK yang terkait
dengan itu.
9
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
Contoh lain yang terkait dengan ini adalah permohonan pengujian
oleh Polycarpus Budihari tentang konstitusionalitas Pasal 23 Ayat (1) UU
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, ”... Pihakpihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali”. Berdasar
ketentuan tersebut pada pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) yang
diajukan oleh kejaksaan Polycapus Budihari dijatuhi hukuman yang jauh
lebih berat daripada hukuman majelis hakim kasasi. Menurut Polycarpus
pemeriksaan dan putusan PK itu bertentangan dengan Pasal 263 Ayat (1)
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang menegaskan bahwa “PK hanya dapat diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya”. Oleh karena dirinya dihukum atas pemohonan
PK yang diajukan oleh jaksa maka Polycarpus berdalil bahwa MA telah
salah menerapkan KUHAP dan dia mengajukan pengujian pasal 23 Ayat (1)
UU No. 4 Tahun 2004 tersebut ke MK. Tentu saja MK menolak
permohonan Polycarpus sebab bunyi pasal yang dimintakan pengujian itu
sudah jelas dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalaulah vonis MA
itu dianggap salah maka yang salah bukanlah isi UU yang diuji melainkan
salah dalam penerapannya.
Jika benar salah dalam penerapan maka hal itu pun bukan menjadi
kewenangan MK untuk mengadilinya, sebab MK hanya menguji isi UU dan
bukan mengadili penerapan UU. Problemnya, Polycarpus merasa diputus
dengan hukum acara yang salah, padahal putusan itu sangat merugikan dan
sudah final. Di Indonesia kasus-kasus seperti ini belum bisa diselesaiakan
secara hukum di pengadilan karena pengadilan kita tidak atau belum
mengenal pengaduan konstitusional atau constitutional complaint. Oleh
sebab itu perlu juga dipikirkan pemberian kewenangan mengadili
constitutional complaint ini di dalam hukum peradilan kita sebab dalam
faktanya banyak putusan pengadilan baik dari lingkungan MA maupun di
lingkungan MK yang sudah final tetapi bermasalah dan tidak ada upaya
hukum yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikannya.
F. Pertanyaan Konstitusional (Constitutional Question)
Selain constitutional complaint dalam cakupan kompetensi MK yang
terkait dengan kompetensi pengadilan umum di lingkungan Mahkamah
Agung ada juga gagasan tentang constitutional question. Secara umum
constitutional question sebenarnya merujuk pada semua persoalan konstitusi
yang penyelesaiannya menjadi cakupan atau masuk dalam wilayah
kewenangan MK untuk menyelesaikan atau memberikan jawabannya.
Tetapi secara spesifik constitutional question adalah upaya seorang hakim
untuk mencari kepastian kosntitusionalitas UU kepada MK atas perkara
10
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK, Moh. Machfud MD
yang sedang diadilinya berhubung sang hakim ragu apakah UU yang akan
menjadi dasar putusan perkara tersebut konstitusional atau tidak.
Misalnya seorang hakim sedang menangani kasus kejahatan melalui
media sosial dengan menggunakan pasal tertentu dari UU Informasi
Teknologi dan Elektronik namun sang hakim ragu apakah pasal UU tersebut
konstitusional atau tidak. Dalam keadaan ragu seperti itu maka sang hakim
mengajukan pertanyaan kepada MK dan selama MK belum menjawab
pertanyaan tersebut maka sang hakim menunda pemeriksaan perkara yang
ditanganinya. Itulah yang disebut constitutional question. Dalam banyak
kasus di Indonesia sering kali terdengar adanya penilaian terhadap UU yang
dipergunakan di pengadilan-pengadilan di lingkungan MA bahwa UU yang
dijadikan dasar untuk memutus adalah UU yang memuat substansi yang
inkonstitusional atau sekurang-kurangnya konstitusionalitasnya masih
dipersoalkan.
Penggunaan pasal-pasal KUH Pidana misalnya sering kali dituding
sebagai penggunaan UU zaman kolonial yang bertentangan dengan
konstitusi. Contoh lain, misalnya, penerapan status keagamaan seseorang
dalam bidang perkawinan yang banyak dianggap inkonstitusional. Akan
menjadi lebih baiklah penguatan kehidupan konstitusional kita manakala
peluang memastikan konstitusionalitas suatu UU melalui pengajuan
constitutional question oleh hakim kepada MK dapat dimasukkan di dalam
cakupan kewenangan MK.
Pembukaan peluang hukum untuk mekanisme constitutional
question dapat melengkapi mekanisme judicial review sebab pada dasarnya
constitutional question itu merupakan bagian dari judicial review.
Constitutional question sebenarnya merupakan judicial review tetapi dasar
dan caranya bersifat lebih halus. Jika judicial review diajukan oleh warga
negara atau sekelompok orang yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya
oleh berlakunya suatu UU maka constitutional question diajukan oleh hakim
pengadilan di luar MK yang merasa ragu atas konstitusionalitas UU yang
akan dijadikan dasar untuk mengadili suatu perkara yang sedang
ditanganinya sehingg perlu beranya lebih dulu kepada MK.
G. Impeachment (Pendakwaan) terhadap Presiden/Wapres
Salah satu hal penting yang juga terkait dengan titik singgung antara
kewenangan MA dan kewenangan MK adalah kewenangan MK untuk
memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden sehingga dapat diberhentikan
(dimakzulkan) dalam masa jabatannya. Pendapat DPR tentang dugaan
pelanggaran hukum atau tidak memenuhinya syarat lagi Presiden dan/atau
11
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
Wakil Presiden yang oleh DPR diajukan ke MK untuk diputus biasanya
disebut impeachment atau pendakwaan sebagai langkah untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang masih dalam
jabatannya.
Seperti diketahui DPR dapat mengajukan impeachment atau
meminta putusan MK atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang diatur dalam
Pasal 24C Ayat (1) yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan tindakan tercela; kemudian
ditambah satu hal lagi yang tidak spesifik merupakan pelanggaran hukum
yakni “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden” seperti yang diatur di dalam Pasal 7B Ayat (2) UUD 1945.
Persoalannya, jenis-jenis pelanggaran yang dapat dijadikan dasar
pendakwaan (impeachment) itu adalah pelanggaran hukum pidana yang
secara umum menjadi kompetensi peradilan pidana dengan segala hukum
acara dan tahap-tahap yang panjang mulai dari Pengadilan Negeri sampai
pada kasasi, bahkan Peninjauan Kembali, di Mahkamah Agung.
Pertanyaannya, apakah putusan MK tentang impeachment karena
pelanggaran hukum pidana itu bisa langsung dilakukan oleh MK ataukah
harus melalui peradilan pidana dulu di lingkungan MA?
Ada dua persoalan terkait dengan ini. Pertama, kalau harus diadili
dulu melalui peradilan pidana waktunya akan sangat lama pada hal tujuan
akhir dari pendakwaan yakni pemberhentian dalam masa jabatan dibatasi
oleh waktu. Bagi MK sendiri kalau harus menunggu peradilan pidana lebih
dulu menjadi tidak logis karena dalam memutus pendapat DPR tentang
pendakwaan itu MK pun dibatasi oleh waktu, tidak lebih dari 60 hari.
Kedua, jika pelanggaran pidana itu tidak diputuskan oleh peradilan pidana
lebih dulu maka timbul persoalan, karena pada umumnya tidaklah tepat jika
pembuatan pidana tidak diadili oleh peradilan pidana.
Sementara ini MK sendiri berpendapat bahwa pelanggaranpelanggaran hukum yang dijadikan dasar impeachment bagi Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak perlu diadili lebih dulu oleh peradilan pidana
melainkan langsung diadili oleh MK sebagai kasus khusus pidana
ketatanegaraan. Hal ini dituangkan di dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus
Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil
Presiden.
Secara lebih jelas ada minimal tiga alasan, mengapa MK mengatur
bahwa pemeriksaan pendakwaan atau impeachment terhadap Presiden/
Wakil Presiden dapat langsung dilakukan oleh MK dan tidak harus
didahului oleh pengadilan pidana di lingkungan MA. Pertama, kewenangan
12
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK, Moh. Machfud MD
MK tersebut merupakan kewenangan absolut yang diberikan langsung oleh
konstitusi dalam perkara hukum tata negara. Kedua, pelanggaranpelanggaran tersebut adalah pelanggaran pidana dalam kaitan
ketatanegaraan yang penyelesaiannya dibatasi oleh waktu yang pendek
sehingga menjadi tidak mungkin kalau harus melalui peradilan pidana yang
memakan waktu panjang lebih dulu. Ketiga, kalau harus melalui peradilan
pidana lebih dulu akan menjadi sangat rancu sebab akan timbul masalah,
apakah MK bisa memutus secara berbeda dengan putusan peradilan pidana.
Kalau putusan peradilan pidana sudah final dan tak bisa diputus lain oleh
MK, lalu untuk apa MK diminta lagi memutus impeachment itu. Alasanalasan itulah yang mendasari pendirian MK dalam menetapkan bahwa
pemeriksaan dan putusan MK atas pendakwaan atau impeachment yang
diajukan oleh DPR tidak perlu menunggu atau didahului oleh peradilan
pidana. Meskipun begitu, masalah titik singgung kewenangan antara MA
dan MK dalam masalah ini masih perlu terus didiskusikan sampai ada
pengaturan lebih tepat dan proporsional.
H. Sengketa Hasil Pemilu dan Pemilukada
Persoalan kewenangan MK untuk mengadili perselisihan hasil
pemilihan umum (pemilu) juga mempunyai titik singgung dengan
kewenangan MA sebab di dalam kenyataannya ada dua macam pengaturan
pemilu. Ada pemilu yang diatur di dalam UUD 1945 yakni di dalam Pasal
22E Ayat (2) dan ada pemilu yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004
(yang kemudian diubah dengan UU No.12 Tahun 2008) tentang
Pemerintahan Daerah. Pemilu yang diatur di dalam Pasal 22E Ayat (2)
UUD 1945 hanya mencakup “pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, dan DPRD” sedangkan pemilu yang diatur dalam UU No.
32 Tahun 2004 (dan UU No. 12 Tahun 2008) adalah pemilihan umum
kepala daerah. Menurut putusan MK No. 072-073/PUU-II/2004 tanggal 22
Maret 2005 pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana diatur di
dalam UU No.32 Tahun 2004 adalah termasuk rezim pemilu seperti yang
dimaksud Pasal 22E UUD 1945 karena ia juga bersifat langsung, umum,
bebas, dan rahasia dan diselenggarakan secara periodik setiap lima tahun
sekali.
Dalam perjalanan sejarahnya kewenangan MK dalam mengadili
sengketa hasil pemilihan umum pernah mengalami perkembangan cakupan
kompetensi. Semula, sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan UU No.24
Tahun 2003, kewenangan MK mengadili sengketa hasil pemilu hanya
mencakup Pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan
DPRD sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945. Tetapi sejak
tahun 2008 berdasar ketentuan Pasal 296C UU No.12 Tahun 2008 tentang
13
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
Perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
kompetensi MK diperluas sampai mencakup kompetensi mengadili sengketa
hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Tetapi berdasarkan
Putusan MK No.97/PUU-XI/2014 tanggal 19 Mei 2014 ketentuan Pasal
296C UU No. 12 Tahun 2008 yang memberi kewenangan kepada MK untuk
mengadili sengketa hasil pemilu kepala daerah tersebut dinyatakan
inkonstitusional dan MK menolak untuk melaksanakan wewenang
mengadili sengketa hasil pemilu kepala daerah yang diberikan oleh UU No.
12 Tahun 2008 itu.
MK hanya mau mengadili sengketa hasil pemilu untuk pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945. Meskipun
demikian tak dapat diartikan bahwa MK telah mengubah pendiriannya
bahwa pemilihan kepala daerah adalah pemilu. Pemilihan kepala daerah
secara langsung tetaplah pemilu sebagai dimaksud dalam konstitusi hanya
saja tidak termasuk pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945 sehingga
pengadilannya pun tidak harus menjadi kompetensi MK. Oleh sebab itu
tidaklah salah dan tetap konstitusional adanya apabila kewenangan
mengadili perselisihan hasil pemilu kepala daerah dijadikan kewenangan
MA. Melalui putusan No.97/PUU-XI/2004 itu MK tidak mengubah
pendiriannya bahwa pemilu kepala daerah masuk dalam rezim pemilu.
Melalui putusan tersebut MK hanya menyatakan pendirian bahwa
perselisihan hasil pemilu yang menjadi kompetensi MK untuk mengadilinya
adalah pemilu untuk institusi-institusi yang disebut di dalam Pasal 22E Ayat
(2) UUD 1945 sedangkan pemilu kepala daerah atau pemilu untuk jabatan
lain (kalau ada) bukanlah menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya.
Pendirian MK tentang pembedaan pengadilan perselisihan hasil pemilu
untuk pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD dan
untuk pemilu kepala daerah ini sama sekali tidak bertentangan dengan
gagasan perlunya penyatuan kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan secara linear di bawah MK sebab filosofi dan obyeknya memang
berbeda. Tidak seperti perselisihan hasil pemilu, pengujian peraturan
Perundang-undangan oleh lembaga yudikatif itu memerlukan konsistensi
penurunan ide dan prinsip konstitusi ke dalam semua peraturan Perundangundangan sampai pada hierarki yang terendah sehingga lebih terjamin jika
diletakkan secara linear di bawah satu lembaga yudikatif.
Daftar Pustaka
Abdul Mukti Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi
Press Jakarta, Citra Media, Yogyakarta, 2006.
14
Titik Singgung Wewenang Antara MA dan MK, Moh. Machfud MD
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
CV. Mandar Maju, Bandung, 1995.
CF Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book
Society, Sidgwick and Jackson Limited, London, 1966.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New
York, 1973.
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengjian Konstitusional di Berbagai
Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press. London,
1951.
M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapantja,
Jakarta, 1959.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1997 dan
Rajagrafindo Persada, Jakarta, cet. VI, 2014.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
LP3ES Jakarta (2006) dan PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2011.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES Jakarta, 2007
dan PT Raja Grafindo, Jakarta, 2011.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT Raja
Grafindo, Jakarta, 2012.
Moh. Mahfud MD dan kawan-kawan, Constitutional Question, Alternatif
Baru Pencarian Keadilan Konstitusionanal, Universitas Brawajiaya
Press, Malang, 2010.
Rita Triana Budiarti, Kontroversi Mahfud MD, di Balik Putusan Mahkamah
Konstitusi, Penerbit Konstitusi Pers (Konpres), Jakarta, 2013.
Satjipto Raharjo, “Hukum Progresif, Penjelajahan Satu Gagasan” dalam
Majalah Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, No. 59/2004.
15
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 1-16
16
TITIK SINGGUNG WEWENANG MAHKAMAH AGUNG
DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1
(Authority Connectivity of Supreme Court and Constitutional Court)
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Email : [email protected]
Abstrak
Percampuran kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung telah menimbulkan berbagai persoalan. Pada gilirannya, muncullah
persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada
terjadinya ketidakpastian hukum. Berkaitan dengan kewenangan pengujian
peraturan Perundang-undangan misalnya, meski Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sama-sama memiliki wewenang pengujian peraturan
Perundang-undangan, namun dengan berbedanya jenis dan hierarki
peraturan Perundang-undangan yang diuji, maka penafsiran peraturan
Perundang-undangan yang dilakukan dua lembaga tersebut mesti tunduk
pada sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sebab,
validitas norma adalah bersumber dari peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Selain itu, apapun putusan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, putusan tersebut bersifat erga omnes, termasuk bagi
hakim agung di Mahkamah Agung dan hakim-hakim pada badan peradilan
di bawah Mahkamah Agung.
Kata kunci : Wewenang, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung
Abstract
The mixing of authority between the Constitutional Court and the Supreme
Court has raised a range of issues. In turn, there is the contact authority of
the two institutions which could lead to the occurrence of legal uncertainty.
In connection with the authority testing regulations, for example, although
the Supreme Court and the Constitutional Court have the same right to test
the legislation, but with different types and hierarchy of legislation being
tested, then the interpretation of the rules of the legislation for which they
were these institutions must be subject to a hierarchical system of laws and
Makalah disampaikan dalam Seminar “Titik Singgung Wewenang antara Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi”, diadakah oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta, 13 November 2014.
1
17
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 17-30
regulations that apply. Therefore, the validity of the norm is derived from
the legislation is higher. Moreover, any decision of the judicial review of the
UUD, this decision is erga omnes, including for judges of the Supreme
Court and judges of the court under the Supreme Court.
Keywords : Authority, Constitutional Court, Supreme Court
Pendahuluan
Pascaperubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945), kekuasaan kehakiman tidak lagi dilaksanakan oleh satu
lembaga negara, melainkan oleh dua mahkamah, yaitu Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi. Hal itu secara tegas dinyatakan dalam Pasal 24
Ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Pilihan ini sebetulnya mirip dengan apa
yang dilakukan oleh 78 negara lainnya di dunia. Dimana, selain Mahkamah
Agung (Supreme Court) dibentuk mahkamah yang berdiri sendiri2 yang
secara umum diberi nama Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
Dengan demikian, kekuasaan kehakiman akan dilaksanakan oleh dua
mahkamah secara bersamaan.
Diselenggarakannya satu cabang kekuasaan oleh dua institusi yang
berbeda setidaknya akan menimbulkan dua dampak. Di satu sisi, kekuasaan
tersebut akan dapat dilaksanakan secara efektif, di mana antara dua institusi
pelaku kekuasaan sama-sama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya
dengan baik tanpa mengalami persinggungan kewenangan yang dapat
menimbulkan persoalan. Di lain sisi, pelaksanaan satu kekuasaan oleh dua
atau beberapa institusi potensial terjadinya tumpang tindih kewenangan,
atau setidak-tidaknya akan muncul pesinggungan kewenangan yang dapat
berujung pada tidak efektifnya pelaksanaan kekuasaan dimaksud.
Idealnya, pembagian kewenangan dalam rangka melakukan satu
kekuasaan kepada dua institusi berbeda mesti diikuti dengan pemberian
batas demarkasi kewenangan yang jelas. Dimana, kewenangan institusi yang
satu dibedakan secara pasti dengan kewenangan lembaga yang lainnya.
Sehubungan dengan itu, pembagian kewenangan dalam melaksanakan
kekuasaan yudikatif secara konseptual dapat dibelah menjadi dua bagian,
yaitu mahkamah sistem hukum (court of law) dan mahkamah keadilan
(court of justice). Di mana, dengan pembelahan seperti itu diyakini akan
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 201
18
Titik Singgung Wewenang MA dengan MK, Saldi Isra
mampu menghindari terjadinya benturan antar kedua lembaga pelaku
kekuasaan kehakiman. Dengan pembelahan semacam itu, institusi pelaku
kekuasaan kehakiman diidealkan akan fokus pada bidang kewenananganya
masing-masing. Secara bersamaan, benturan dalam pelaksanaan
kewenangan tidak akan terjadi atau setidak-tidaknya dapat dihindari
sedemikian rupa.
Hanya saja, membaca desain yang ada, UUD 1945 ternyata tidak
menganut pembelahan kewenangan seperti itu pada saat munculnya
ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945. Dalam hal ini, UUD 1945 tidak menempatkan dua fungsi
kekuasaan kehakiman kepada dua lembaga (MA dan MK) secara terpisah.
Padahal, dari sudut pandang teoretik, kehadiran Mahkamah Konstitusi
diidealkan sebagai mahkamah sistem hukum (court of law).3 Sedangkan
Mahkamah Agung tetap dengan kedudukannya sebagai mahkamah keadilan
(court of justice).4
Hanya saja, dengan kewenangan yang dimiliki sesuai Pasal 24C
Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, MK tidak hanya bertindak sebagai court
of law, melainkan juga court of justice, seperti memutus
sengketa/perselisihan hasil pemilihan umum. Sementara di lain pihak,
Mahkamah Agung juga tidak sepenuhnya diletakkan pada posisi sebagai
court of justice. Sebab, MA juga melakukan judicial review yang
merupakan ranah court of law terhadap peraturan Perundang-undangan
meski dibatasi untuk peraturan perundangundangan di bawah UndangUndang. Di mana berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah
Agung diberikan kewenangan menguji peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Jika hendak menempatkan MA dan MK sebagai dua lembaga pelaku
kekuasaan kehakiman dengan persinggungan kewenangan yang sangat tipis,
tentunya kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan sepenuhnya
mesti diberikan kepada MK, sedangkan penyelesaian sengketa seperti
sengketa hasil pemilihan umum sebagai bagian dari kerja court of justice
sepenuhnya juga diserahkan kepada MA. Dengan pembagian kewenangan
demikian tentunya persinggungan kewenangan yang potensial
memunculkan masalah dalam pelaksanaannya tidak akan terjadi.
Pada kenyataannya, “percampuran” kewenangan antara MK dan MA
telah menimbulkan berbagai persoalan. Pada gilirannya, muncullah
3
Yuliandri, Pembagian Wewenang dan Pertanggungjawaban Kekuasaan Kehakiman
Pascaamandemen UUD 1945, dalam Mohammad Fajrul Falaakh (Penyunting), Gagasan
Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2008, hlm.
62
4
Ibid.
19
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 17-30
persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada
terjadinya ketidakpastian hukum. Atas dasar itu pula muncul berbagai
pertanyaan terkait persinggungan kewenangan dan jalan penyelesaiannya,
terutama kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan (judicial
review). Pertanyaan dimaksud adalah:
Pertama, apakah ratio legis ketentuan Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang mengatur bahwa
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya
pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi?
Kedua, dalam hal Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang
menyangkut tentang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar menyatakan bahwa suatu Undang-Undang tidak sah karena dinilai
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, apakah putusan tersebut secara
juridis mengikat terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada
di bawahnya?
Ketiga, dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara Mahkamah
Agung dengan Mahkamah Konstitusi terhadap rumusan dalam suatu
Undang-Undang, maka penafsiran manakah yang secara juridis harus
dipedomani oleh pencari keadilan?
Semua pertanyaan di atas akan dijawab menggunakan pendekatan
peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian
peraturan Perundang-undangan terhadap peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Kewenangan MA dan MK dalam Judicial Review
Sebagaimana disinggung sebelumnya, MA dan MK mempunyai
kewenangan yang berbeda, namun kewenangan tersebut saling
bersinggungan. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA
berwenang: (1) mengadili pada tingkat kasasi, (2) menguji peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
dan (3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UndangUndang.
Sementara itu, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, bahwa
MK berwenang: (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD,
(2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4)
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain kewenangan,
20
Titik Singgung Wewenang MA dengan MK, Saldi Isra
Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa MK memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Sesuai ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, MA berwenang
untuk menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang. Sementara berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, MK berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar. Merujuk ketentuan tersebut, penggunaan wewenang
pengujian peraturan Perundang-undangan (judicial review) menjadi salah
satu titik singgung yang mempertemukan kewenangan MA dengan
kewenangan MK. Hal itu sangat mungkin terjadi pada ketika seseorang
mengajukan permohonan pengujian peraturan Perundang-undangan
terhadap Undang-Undang pada Mahkamah Agung. Dimana, pada saat
bersamaan, Undang-Undang yang dijadikan batu uji dalam pengujian di
Mahkamah Agung juga diajukan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar
di Mahkamah Konstitusi.
Pengalaman yang pernah terjadi misalnya, pada Tahun 2009, Zainal
Maarif dan kawan-kawan mengajukan permohonan pengujian Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman
Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara
Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian
Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Propinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun
2009 kepada Mahkamah Agung melalui Perkara Nomor 15 P/HUM/2009.
Dalam perkara tersebut Pemohon mengajukan permohonan
pengujian terhadap Pasal 22 huruf c dan pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2)
Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009. Ketentuan tersebut dinilai Pemohon
bertentangan dengan Pasal 205 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.5 Pada tanggal 18
Juni 2009, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan terhadap perkara uji
materil (judicial review) tersebut, di mana, MA menyatakan permohon
dimaksud beralasan hukum dan dikabulkan.6 Sebab, Pasal 22 huruf c dan
pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009
dinilai bertentangan dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Anggota Legislatif. Akibat putusan tersebut, Partai politik yang
perolehan suaranya tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP)
5
Putusan Mahkamah Agung Nomor 15.P/HUM/2009 terkait Pengujian Peraturan KPU
Nomor 15 Tahun 2009 terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemiihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, hlm. 9
6
Ibid., hlm. 18
21
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 17-30
tidak akan dihitung sebagai suara sisa dan tidak akan mendapatkan
perolehan kursi.
Akibat putusan pengujian Peraturan KPU tersebut, sejumlah partai
politik dan caleg7 mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 205
dan Pasal 212 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebab, kedua ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut
dianggap multitafsir, terutama dalam kaitannya untuk mengimplementasikan sistem proporsional yang dianut Undang-Undang Pemilu,
sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.8 Terhadap
permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan
permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 dan
Pasal 212 Undang-Undang No 10 Tahun 2008 konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional)9 sepanjang dimaknai bahwa suara partai partai
politik yang tidak memenuhi angka BPP tetap dihitung sebagai suara sisa
dan diikutkan dalam pembagian perolehan kursi DPR dan DPRD.
Pengalaman di atas menunjukkan bahwa hubungan kewenangan MA
dan MK dalam pengujian peraturan Perundang-undangan sangat rapat. Di
mana, pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan
di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak dapat dilepaskan
dari kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar. Hal itu merupakan konsekuensi dari sistem hierarkis peraturan
Perundang-undangan Indonesia. Di mana, norma yang lebih rendah
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi sesuai konsep stufentheorie yang dibangun oleh
Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky. Kewenangan pengujian
peraturan Perundang-undangan, baik yang dimiliki MA maupun MK adalah
dalam rangka mempertahankan dan menegakkan prinsip norma yang
hierarkis tersebut.10
Dalam konsep hierarkis dimaksud, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang
No.12 Tahun 2011 mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan Perundangundangan terdiri atas :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
7
Partai Politik dan caleg dimaksud adalah : Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA),
Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan
Ahmad Yani, Zainut Tauhid Sa’adi, Romahurmuziy, Machmud Yunus dan Muhammad
Arwani Thomafi, semuanya caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, hlm. 1-2
8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, hlm. 99
9
Ibid., hlm. 110
10
Maruarar Siahaan, Implementasi Putusan MK dalam Judicial Review, makalah, 21
Oktober 2014
22
Titik Singgung Wewenang MA dengan MK, Saldi Isra
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum dari tujuh jenis peraturan Perundang-undangan di
atas adalah sesuai dengan hierarkinya masing-masing.11 Dalam Penjelasan
Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan, yang
dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dapat dipahami bahwa
kekuatan hukum sebuah Undang-Undang adalah kesesuaiannya atau
ketidakbertentangannya dengan Undang-Undang Dasar. Demikian juga
dengan peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, kekuatan
hukum berlakunya tergantung pada kesesuaiannya dengan Undang-Undang.
Sepanjang peraturan Perundang-undangan tidak bertentangan
dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (yang puncaknya
adalah UUD 1945 sebagai hukum dasar atau hukum tertinggi), maka
peraturan tersebut sah dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Sebaliknya, apabila bertentangan, maka dapat dibatalkan atau menjadi batal
demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Hal itu juga
dikuatkan dengan apa yang pernah dikemukan Alexander Hamilton, bahwa:
a constitution is, in fact, and must be regarded by the judges as, a
fundamental law. It therefore belongs to them to ascertain meaning as well
as the meaning of any particular act proceeding from the legislative body. If
there should happen to be an irreconcilable variance between the two, that
which has seperior obligation and validity ought, of course, to be preferred;
or in other words, the Constitution ought to be preferred to the statute, the
intention of the people to the intentions of their agents.12
Dalam kerangka hubungan hierakis antara peraturan Perundangundangan yang satu dengan yang lain inilah hubungan MA dan MK
dibangun. Di mana, MK berwenang menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang menguji peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
11
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
12
James Madison, Alexander Hamilton, John Jay, dalam The Federalist Papers, Mentor
Book, The New American Library, 1961, hlm. 467
23
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 17-30
Dalam konteks ini, MK memiliki wewenang konstitusional untuk
menafsirkan UUD 1945 dalam rangka menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang melakukan penafsiran
terhadap Undang-Undang dalam rangka menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Dalam hal
ini, proses pengujian yang dilakukan MA akan sangat bergantung pada
bagaimana panafsiran MK terhadap Undang-Undang Dasar dalam menguji
Undang-Undang yang dijadikan batu uji dalam pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Dengan hubungan kewenangan yang seperti itu, ruang perbedaan
pandangan antara MA dan MK terbuka lebar. Sebab, sangat mungkin terjadi
kondisi di mana hakim agung dalam melakukan pengujian peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang
tidak sejalan dengan penafsiran konstitusi oleh MK dalam menguji UndangUndang yang dijadikan MA sebagai batu uji.
Secara normatif, persoalan tersebut sebetulnya terjawab dengan
keberadaan Pasal 55 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 yang menyatakan,
pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang
sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila UndangUndang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam
proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi. Dengan ketentuan tersebut, hasil pengujian peraturan Perundangundangan oleh MA akan sangat bergantung pada hasil pengujian peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi oleh MK. Selain itu, sesuai ketentuan
tersebut, kemungkinan terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan
putusan MK dalam pengujian peraturan Perundang-undangan dapat diatasi
dengan merujuk pada pembagian kewenangan judicial review yang dimiliki
dua mahkamah tersebut.
Lingkup Keberlakuan Putusan Pengujian UU Oleh MK
Dengan persinggungan kewenangan pengujian peraturan perundangundangan antara MA dan MK sebagaimana telah diulas sebelumnya, berikut
akan diuraikan tentang daya berlaku dan daya jangkau putusan pengujian
Undang-Undang yang dilakukan MK. Secara lebih khusus, apakah putusan
MK tersebut secara yuridis juga mengikat terhadap Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang ada di bawahnya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut berhubungan erat dengan sifat
putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945
dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sesuai ketentuan
24
Titik Singgung Wewenang MA dengan MK, Saldi Isra
tersebut, putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi
adalah final. Dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dijelaskan, Putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding).
Dengan demikian, apabila MK melalui putusan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang menyatakan : materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari suatu Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejak saat itu, putusan
tersebut bersifat final. Sehingga norma yang telah dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 tidak lagi dapat dijadikan dasar hukum untuk mengambil
tindakan atau putusan. Pertanyaan selanjutnya, apakah putusan bersifat final
tersebut hanya mengikat pembentuk Undang-Undang atau mengikat semua
pihak, termasuk Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawah
Mahkamah Agung?
Terkait siapa saja addresat putusan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, Thomas Gawron dan Ralf Ragowski
pernah mengemukan, in our view, it is important... to distinguish between
effect of the court according to addresees and to look for specific arena of
implementation... five main addressees, respectively arenas of
implementation, can be distinguished : legislative arena, the judicial arena,
the administrative arena, the arena involving associations and political
parties, and the private arena involving establishments and citizens.13
Mengikuti pendapat Thomas Gawron di atas, addresat putusan
pengujian peraturan Perundang-undangan adalah semua pihak (umum), di
mana lembaga peradilan termasuk salah satunya. Sejalan dengan itu,
Marurar Siahaan juga penah mengemukakan, putusan pengujian UndangUndang oleh hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara
umum baik terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara
sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara. Akibatnya, semua
organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak lagi
menerapkan hukum yang telah dibatalkan.14 Dengan demikian, sifat erga
omnes putusan MK mengikat semua orang, termasuk pejabat dan otoritas
13
Thomas Gawron dan Ralf Ragowski, Constitutional Courts in Comparation, The US
Supreme Courts and The German Federal Constitutional Court, Berghahn Books, New
York Oxford, 2002, hlm. 242, dalam Maruarar Siahaan, Implementasi, hlm. 7
14
Maruarar Siahaan, Op.cit., hlm. 8
25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 17-30
publik atau lembaga negara, oleh karenanya putusan tersebut mesti
dijadikan acuan atau rujukan dalam memperlakukan hak dan
kewenangannya.15 Sejalan dengan itu, Hans Kelsen juga mengemukakan,
Undang-Undang yang “tidak konstitusional” tidak dapat diterapkan oleh
setiap organ lainnya.16
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung merupakan salah institusi atau
organ negara yang juga terikat pada hasil pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam
mengadili suatu perkara, Mahkamah Agung tentu akan mendasarkan proses
pemeriksaan dan putusannya pada Undang-Undang tertentu. Dalam konteks
itu, jika Undang-Undang yang dijadikan pedoman memeriksa perkara telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung
berkewajiban untuk memedomaninya.
Daya keberlakuan putusan MK untuk umum seperti dijelaskan di
atas juga dapat dikonfirmasi dengan daya jangkau keberlakuan sebuah
Undang-Undang. Di mana, akibat hukum dari pengundangan satu undangundang berlaku sama dalam hal Undang-Undang atau bagian UndangUndang tersebut dibatalkan. Dalam arti, daya berlaku Undang-Undang
berbanding lurus dengan daya jangkau ketidakberlakuannya.
Dalam konteks itu, sebagai sebuah produk legislasi, Undang-Undang
merupakan salah satu jenis peraturan Perundang-undangan yang berlaku
secara umum.17 Sebuah Undang-Undang berlaku untuk siapapun, baik
warga negara maupun penyelenggara negara. Setiap Undang-Undang mesti
dipatuhi oleh semua orang dan semua lembaga negara. Keberlakukan
Undang-Undang tidak dipilah-pilah melainkan berlaku untuk semua.
Dengan demikian, setiap peraturan Perundang-undangan dianggap
mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap orang 18 atau semua pihak.
Seiring dengan sifat keberlakuan Undang-Undang, maka pada saat
Undang-Undang atau bagian dari Undang-Undang tersebut dibatalkan
melalui proses pengujian Undang-Undang, maka ketidakberlakukan norma
tersebut juga berlaku umum. Ketidakberlakuan Undang-Undang bukan
hanya bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang, juga
bukan hanya bagi pembentuk Undang-Undang semata, melainkan berlaku
15
Ibid., hlm. 15
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa: Somardi, BEE Media Indonesia,
Jakarta, 2007, hlm. 195
17
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mendefinisikan: Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
18
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya,
Kanisius, Yogyakarta hlm. 158
16
26
Titik Singgung Wewenang MA dengan MK, Saldi Isra
untuk semua pihak. Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah menghilangkan keberlakuan sebuah norma
di dalam Undang-Undang.
Beda Penafsiran Terhadap Undang-Undang, Mana yang Diikuti?
Sebagaimana disinggung di atas, disebabkan sama-sama memiliki
kewenangan dalam menguji peraturan Perundang-undangan dan hanya
berbeda dalam hal jenis peraturan yang diuji, perbedaan penafsiran antara
MA dan MK akan sangat mungkin terjadi. Bila memang betul-betul terjadi,
penafsiran manakah yang secara juridis harus dipedomani oleh pencari
keadilan?
Pertanyaan tersebut pada dasarnya dapat dijawab dengan sistem
hierarki peraturan Perundang-undangan yang dianut dalam Undang-Undang
No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di
mana, MK diberi kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, sementara MA diberi kewenangan untuk menguji
peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undangundang.
Perbedaan penafsiran antara dua lembaga ini sangat mungkin terjadi
ketika hendak menafsirkan Undang-Undang. Sebab, bagi MK undangundang merupakan objek yang diuji terhadap UUD 1945, sedangkan bagi
MA Undang-Undang adalah batu uji untuk menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Apabila
perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang tersebut benar-benar terjadi,
maka yang semestinya diikuti adalah penafsiran yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi. Sebab, penafsiran Mahkamah Konstitusi didasarkan
pada norma konstitusi. Dalam hal ini, sumber validitas penafsiran MK
adalah konstitusi. Sementara sumber valitasi penafsiran MA adalah UndangUndang itu sendiri. MA sesuai kewenangan tidak dapat memasuki ranah
penafsiran konstitusi. Sebab, itu merupakan ranah kewenangan MK. Oleh
karena itu, MA pun mesti tunduk pada penafsiran yang dilakukan MK
terhadap UUD 1945 dalam menilai dan menafsirkan sebuah atau bagian
Undang-Undang tertentu.
Secara konseptual, MK merupakan lembaga yang diberikan otoritas
oleh konstitusi bertindak sebagai organ yang menjalankan pengawasan
terhadap Undang-Undang, di mana lembaga ini dapat saja menghapus
sepenuhnya Undang-Undang yang tidak konstitusional.19 Dalam kapasitas
seperti itu, Bishop Hoadly sebagaimana dikutip Kelsen pernah mengatakan:
19
Hans Kelsen, Op,cit., hlm. 195
27
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 17-30
Whoever hath an absolute authority to interpret any written or
spoken laws, it is he who is truly the law-giver to all intents and
puposes, and not the person who first wrote or spoken them: a
fortiori, whoever hath an absolute authority not only to interpret
the Law, but to say what the Law is, is truly the Law-giver.
(barangsiapa mempunyai wewenang absolut untuk menafsirkan
hukum tertulis atau tidak tertulis, maka dialah orang yang
sesungguhnya pemberi makna hukum kepada semua maksud dan
tujuan hukum tersebut, dan bukan orang yang pertama kali
menuliskannya atau mengucapkannya; lebih tegas lagi
barangsiapa mempunyai wewenang absolut bukan hanya untuk
menafsirkan hukum, tetapi juga untuk mendefenisikan hukum,
maka dialah sesungguhnya pemberi makna hukum)20
Apabila pendapat tersebut disandingkan dengan norma Pasal 24C
Ayat (1) UUD 1945, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan otoritas yang memiliki kewenangan konstitusional untuk
bertindak sebagai penafsir konstitusi. Dalam konteks itu, MK merupakan
lembaga yang sesungguhnya berwenang memberi makna terhadap UndangUndang sebagai hukum. Posisi MK sebagai penafsir konstitusi sekaligus
sebagai lembaga yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, --di mana penafsiran MK-lah yang mesti
dipedomani ketika terjadi perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang)-,
juga dikuatkan dengan keberadaan beberapa norma yang terdapat dalam
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut:
Pasal 53
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung
adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 55
Pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila
Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut
sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada
putusan Mahkamah Konstitusi.
20
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Harvard
University Press, Cambridge, Massachusets, 1949, hlm. 153-154
28
Titik Singgung Wewenang MA dengan MK, Saldi Isra
Pemberitahuan kepada MA tentang adanya permohonan
pengujian Undang-Undang serta adanya kewajiban MA untuk
menghentikan proses pengujian terhadap peraturan Perundang-undangan
di bawah undangundang ketika Undang-Undang yang menjadi dasar
pengujian peraturan tersebut sedang diuji oleh MK menyiratkan dua hal
pokok, yaitu: pertama, kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan di bawah undangundang oleh MA tunduk pada sistem hierarki
peraturan Perundang-undangan. Di mana, apabila Undang-Undang
sebagai peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sedang diuji di
MK, maka pengujian peraturan Perundang-undangan di bawahnya mesti
dihentikan. Kedua, penafsiran Undang-Undang dalam rangka menguji
peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dilakukan
MA mesti mengikuti penafsiran Undang-Undang sebagai peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana dilakukan oleh MK.
Penutup
Sebagai catatan penutup, meski MA dan MK sama-sama memiliki
wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan, namun dengan
berbedanya jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan yang diuji,
maka penafsiran peraturan peraturan Perundang-undangan yang dilakukan
dua lembaga tersebut mesti tunduk pada sistem hierarki peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Sebab, validitas norma adalah
bersumber dari peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu,
apapun putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, putusan tersebut bersifat erga omnes, termasuk bagi hakim agung di
Mahkamah Agung dan hakimhakim pada badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung.
29
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 17-30
30
FREEDOM & IMPARTIAL OF JUDICIARY :
ANTARA “ PERADILAN BEBAS” & “PERS YANG BEBAS” 1
(Freedom and Impartial of Judiciary :
Between “Freedom of Judiciary” and “Freedom of The Press”)
Indriyanto Seno Adji
Guru Besar Hukum Pidana
Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum
Email :
Abstrak
Kemerdekaan Pers yang dianut oleh Undang-Undang No.40 Tahun 1999
tentang Pers merupakan aksentuasi dari sistem Libertarian Press yang
menghendaki adanya suatu “kebebasan pers” yang total absolut dengan
meletakan segala konsekuensi hukum atas substansi pemberitaannya melalui
institusi yudikatif, tanpa menghendaki adanya bentuk bentuk kriminalisasi
terhadap pers dengan segala alasan dan maksud arah limitatifnya. Previlege
Right Absolut dari Pers memiliki rambu-rambu yang memberikan suatu
batasan –moral hazard- atas dasar Interest of justice atau national security
atau for prevention of disorder or crime yang dapat dikeluarkan oleh
lembaga peradilan sebagai bentuk kriteria Sub Judice Rule ataupun
Disobeying a Court Order dari pranata Contempt of Court. suatu
pemberitaan yang merupakan wujud Kebebasan berekspresi dengan
pemberitaan
yang “prejudicial”, bahkan substansi pemberitaanya
menimbulkan suatu “misleading conclusion and opinion” serta telah
memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta
berdampak negatif pada jalannya proses peradilan maupun pihak lain secara
luas (sebagai pengakuan dari Sistem Pers Libertarian) dapat dihadapi
dengan rasa tanggung jawab dari pers itu sendiri, baik secara ethik norma
maupun hukumnya.
Kata kunci : Peradilan, Pers, Bebas
Abstract
Press of independence adopted by Law No. 40 of 1999 on the Press is an
accentuation of the Libertarian Press system which requires the existence of
1
Seminar diselenggarakan oleh Puslitbang Hukum & Peradilan Badan Litbang Diklat
Kumdil Mahkamah Agung R.I. dengan tema “Peran Media, Opini Publik & Independensi
Judisial”, pada hari Kamis, tanggal 22 Mei 2014, jam 09.00 - Selesai di Hotel Red Top,
Jalan Pecenongan No. 72, Jakarta 10120 .
31
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
a absolute total "freedom of pers" by putting all the legal consequences on
the substance of its news through judicial institutions, without calls for
criminalization forms of the press with all the reason and limitedly direction
purpose. Absolute Privilege Right of the Press have signs that provide a
limitation on -moral hazard- based on Interest of justice or national security
or for the prevention of disorder or crime that can be issued by the judiciary
as a form of Sub Judice Rule criteria or Disobeying a Court Order from
Contempt of Court institutions. a proclamation which is a form of freedom
of expression with the news that "prejudicial", even the news substance pose
a "misleading conclusion and opinion" as well as has provided an opinion
and conclusions that are misleading or incorrect and negative impact on the
course of judicial proceedings and other parties broadly (as recognition of
the Press Libertarian System) may be faced with a sense of responsibility of
the press itself, either ethic norms and laws.
Keywords : Judicial, Pers, Freedom
Pendahuluan
Kehendak suatu kebebasan pers (“A Freedom of the Press”) telah
menjadi sesuatu kenyataan sejak memasuki Era Reformasi. Bila Era Orde
Lama terkesan adanya suatu Power Approach (pendekatan kekuasaan)
berupa tindakan prevensi yang membatasi kebebasan pers itu sendiri. Kilas
balik Era Orde Baru, dengan UU No.21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Pers, melalui “Pers Bebas dan Bertanggung Jawab” (“Free and Responsible
Press”) sebagai karakter social responsibility, press seharusnya lebih
menekankan pada Legal Approach (Pendekatan Hukum). 2 polar yaitu,
yaitu polar pertama, pers bebas yang harus dimaknai sebagai larangan
dilakukan tindakan prevensi, sedangkan pers yang bertanggung jawab
sebagai polar kedua, untuk menyelesaikan berkaitan dengan pemberitaan
pers melalui mekanisme hukum. Implementasi Pers Bebas dan
Bertanggungjawab ini nyatanya berlainan dengan makna dan konsepnya,
karena implementasinya merubah orientasi menjadi “pers bertanggung
jawab” lebih ditempatkan sebagai polar pertama dan “bertanggungjawab”
dilakukan dengan tindakan prevensi terhadap pers, sehingga polar “bebas”
sama sekali tidak tampak dalam kehidupan ketatanegaraan dan pers di era
orde baru, akibatnya makna dari pendekatan hukum menyerupai dengan
pendekatan kekuasaan, yang membenarkan tindakan prevensi berupa sensor
maupun breidel terhadap substansi pers .
Kekuatan konsep libertarian ini muncul sejak Era Reformasi dengan
disahkannya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU ini, khususnya
Pasal 2, istilah yang digunakan bukanlah “Pers Bebas dan Bertanggung
Jawab”, tetapi “Kemerdekaan Pers” (“Freedom of The Press”) sebagai
32
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
aksentuasi
dari sistem libertarian yang menghendaki adanya suatu
“kebebasan pers” yang total absolut dengan meletakan segala konsekuensi
hukum atas substansi pemberitaannya melalui institusi yudikatif, tanpa
menghendaki adanya bentuk bentuk kriminalisasi terhadap pers dengan
segala alasan dan maksud arah limitatifnya. Pada sistem Libertarian di era
reformasi ini, tidak dikehendaki adanya tindakan prevensi dalam bentuk
apapun, artinya polar kebebasan sering diartikan sebagai kebebasan tanpa
batas – kebebasan total absolut - yang hanya tunduk pada Behavior Code
atau Kode Etik Internal komunitas pers, yang dianggap berlainan dengan
penyelesaian jalur hukum. Karakter antara sistem pers social responsibility
dengan sistem pers libertarian memiliki kesamaan identitas, yaitu tunduk
pada Syarat Limitatif (artinya, tidak diperkenankan membetuk atau
menciptakan ketentuan-ketentuan yang justru akan membatasi kebebasan
pers itu sendiri) dan Syarat Demokratis (artinya tidak diperkenakan
melakukan pemidanaan terhadap pernyataan-pernyatan yang bersifat prive,
seperti diatur dan yang masih berlaku pada Pasal 132 bis KUHP yang
undemokratis sifatnya). Suasana eforia demokrasi dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia yang menempatkan era a Freedom of the Press
ini memiliki keterkaitan dengan kehendak paralelitas adanya suatu a
Freedom and Impartial Judiciary (Peradilan yang Bebas dan Tidak
Berpihak). A Freedom of The Press menjadi salah satu karakter dari Social
Power di Negara yang menganut Sistem Demokrasi dalam ketatanegarannya, selalin adanya Civil Society, begitu pula dengan bermunculan
Supporting State Organ, yang lebih berfungsi sebagai kekuatan paralel yang
dapat mengawasi kinerja Lembaga Negara Utama (Main State Organ) .
Bagi Kekuasaan Peradilan, konsepsi ide yang berkembang secara
universal mengenai perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak
–suatu “freedom and impartial judiciary”– yang tentunya kehendak
peradilan ini bebas dari segala sikap dan tindak maupun bentuk multiintervensi merupakan ide yang universal sifatnya. Kehendak progresif
terhadap suatu freedom and impartial judiciary merupakan karakteristik dan
persyaratan utama bagi Negara dan Masyarakat, baik yang mengenal sistem
Hukum Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental, yang menyadari
keberpijakan pada prinsip “Rule of Law”.
3 ciri khusus Negara Hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu
hukum melalui prinsip-prinsip “Rule of Law” (dalam pengertian yang lebih
luas daripada Dicey), yaitu : 1) pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi yang mengandung perlakuan yang sama di bidang-bidang politik,
hukum, sosial ekonomi, budaya dan pendidikan, 2) legalitas dalam arti
hukum dalam segala bentuknya, 3) peradilan yang bebas, tidak bersifat
33
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain.2 Dengan demikian,
tegas Oemar Seno Adji, ciri-ciri tersebut menunjukan bahwa ada persamaan
prinsip yang diterapkan di semua negara-negara termasuk Amerika Serikat
dibawah “Rule of Law”, terutama yang digariskan oleh International
Commission of Jurisrt tersebut .
Identitas persamaan fungsi dalam hal kebebasan fungsional,
kebebasan dalam tugas peradilan dan teknis judisial, karenanya tidak
memungkinkan pengaruh ekstra judisial terhadap peradilan merupakan
persyaratan fundamental, karenanya adalah Mahkamah Agung sebagai top
judicial institution menghendaki adanya suatu penghindaran peran ekstra
judicial terhadap kekuasaannya yang secara historis justru menempatkan
area ekstra judisial terhadap kebebasan peradilan yang mandiri. Pendekatan
sejarah terhadap fungsi dan kewenangan peradilan, dengan Mahkamah
Agung sebagai puncak tanggung jawab peradilan, dilakukan segala cara,
bentuk dan formulasi sehingga menempatkan makna kebebasan peradilan
pada titik semu yang minimal, bahkan pola intervensi kekuasaan ekstra
yudisial menghasilkan pola variatif pendekatannya, termasuk dengan secara
tidak langsung memanfaatkan pola “pembentukan opini”, melalui “public
opinion” sebagai “misleading opinion” melalui peran media, khususnya
eksistensi kebebasan pers yang sangat luas di era reformasi ini. Disatu sisi,
Kebebasan Pers dan Kebebasan Peradilan merupakan kekuasaan yang
memiliki paralel yang seharusnya bermakna impartial, terpisah dan tidak
dapat dimasuki oleh kepentingan manapun, baik kepentingan individu,
kelompok, kekuatan politik maupun kekuasaan negara. Namun demikian
disisi lain, Kebebasan Pers tanpa batas seringkali justru menimbulkan
inparalelitas dengan berjalannya Kebebasan Peradilan manakala adanya
penyimpangan fungsi pers sebagai alat kontrol sosial dengan melakukan
pemberitaan yang “misleading opinion”, baik yang mengarah bagi
pembentukan opini maupun penyimpangan opini, yang secara tidak
langsung berdampak aksentuasi pada kesan adanya intervensi quasi pada
kehidupan Kebebasan Peradilan.
Beberapa variasi dan metode terhadap intervensi yang tegas dan
jelas maupun quasi sifatnya, telah berlangsung sejak era kemerdekaan
bangsa dan negara ini, sampai pasca kemerdekaan maupun era reformasi ini
sebagaimana dijelaskan pada bagian pembahasan berikut ini.
2
Ibid, halaman 167.
34
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
A. Kebebasan Pers : Kearah “Misleading Opinion” & Peradilan Bebas
Yang Quasi
Dalam tataran sistem tata negara yang mengakui eksistensi
demokrasi, suatu kebebasan berpendapat merupakan suatu syarat yang tak
dapat dihindari lagi. Namun demikian, pendekatan demokratis terhadap
kebebasan berpendapat tersebut tetap tidak diartikan sebagai pendekatan
yang absolut. Apapun formulasi kebebasan yang bermakna absolut justru
akan membahayakan kebebasan itu sendiri, karena itu kebebasan itu
seringkali memberikan makna-makna pembatasan, meskipun pembatasan
itu tidak dalam konteks meniadakan, tetapi sekedar memberikan makna
kebebasan secara adequat, yaitu mencari keseimbangan antara kebebasan
dengan perlindungan terhadap individu, masyarakat (termasuk keluarga) dan
Negara, suatu “balances of freedom and protection”.
Kebebasan yang adequat ini mengingatkan kita semua pada makna
kebebasan pers di negara-negara Eropa Barat. Antara kebebasan pers
dengan kebebasan berpendapat memiliki persamaan makna, yaitu suatu
kebebasan yang berimbang antara kepentingan individu, masyarakat dan
negara. Convention on the Freedom of Information tahun 1985 di Roma
yang adequat dengan perkembangan asas kebebasan berpendapat, tetap
memberikan batasan sebagai rambu-rambu terhadap kebebasan pers, yaitu
apabila pemberitaan pers yang secara substansial memuat: 3
a. National security and public order (keamanan nasional dan ketertiban
umum, seperti Bab I, II, V dari Buku II KUHP);
b. Expression to war or to national, racial or religious hatred (pemidanaan
terhadap hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama);
c. Incitement to violence and crime (hasutan untuk melakukan kekerasan
dan kejahatan, seperti Pasal 160, Pasal 161 KUHP);
d. Attacks on founders of religion (serangan terhadap pendiri agama yang
menimbulkan pelanggaran terhadap delik “blasphemy”, seperti Pasal
156a KUHP);
e. Public health and moral (kesehatan dan moral, seperti Pasal 281, Pasal
282 KUHP);
f. Rights, honour and reputation of others (hak-hak, kehormatan dan nama
baik seseorang, yang umumnya memuat “delik penghinaan”, seperti
pasal-pasal 154, 155, 156, 157, 207, 208, 310, 315 KUHP, walaupun
sudah ada yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai “haatzaai artikelen”);
3
Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Cetakan Kedua. Jakarta.
Penerbit : Erlangga. 1991, halaman 35.
35
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
g. Fair administration of justice (umumnya menyangkut delik-delik yang
bersangkutan dengan pengadilan kemudian merupakan suatu bentuk dari
“contempt of court”, seperti Pasal 210 KUHP dan Pasal 224 KUHP).
Nampak tegas bahwa kebebasan pers dengan Sistem Libertarian-pun
tidak menghendaki adanya suatu kebebasan pers yang sangat absolut, yang
justru akan menimbulkan suatu tirani kekuasaan yang berkelebihan dan
akan menghancurkan makna kebebasan tersebut.
Memang tidaklah mudah menterjemahkan antara pemberitaan yang
merupakan wujud Kebebasan berekspresi dengan pemberitaan yang
“prejudicial”, bahkan substansi pemberitaanya menimbulkan suatu
“misleading conclusion and opinion” apabila pemberitaan itu telah
memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta
berdampak negatif pada pihak lain secara luas. Pemberitaan-pemberitaan
yang substansial sebagai kekuatan atas kebebasan pers yang absolut
mengandung suatu “misleading opinion” sebenarnya sebagai pengakuan
kehidupan dari Sistem Pers Libertarian. Dipahami bahwa agak tidak sesuai
bagi Indonesia mengikuti aliran Libertarian dengan Negative Freedom-nya
yang mengenal dan mengakui adanya suatu Right to Lie (Hak Berbohong)
dengan memberikan basis adanya lembaga hukum “Trustworthy Source”
(sumber terpercaya), Right to Vilify (Hak untuk mencemarkan nama baik),
Right to Distort (Hak untuk Mengacaukan) maupun Right to Invade Privacy
(Hak memasuki kehidupan pribadi).
Di Inggris, seperti halnya di Indonesia, pers sangat memperoleh
perlindungsan hukum dalam membuat suatu berita. Pers mempunyai
“privilege right” untuk tidak menyebutkan sumber berita. Ia dapat
melakukan publikasi tanpa adanya suatu kewajiban untuk mengungkap
darimana ia memperoleh informasinya. Hak istimewa ini bersifat absolut,
sepanjang pemberitaan itu tidak mengandung pernyataan yang dapat
menyinggung agama dan melanggar kesusilaan, dan yang terpenting harus
bersifat “fair and accurate”. Apabila berkaitan dengan pemberitaan dari
suatu proses persidangan maupun perkara, maka patut diperhatikan 2 hal
yaitu: jangan sampai adanya ketentuan stigmatis yang mengarah pada
kesalahan tersangka/terdakwa sebelum adanya putusan pengadilan, juga
jangan sampai seolah-olah tersangka/terdakwa hanyalah korban dari
rekayasa pengadilan. Andaikata aturan ini dilanggar, maka ia akan
menghadapi masalah, bahkan akan ditelusuri “trustworthy source” yang
memberikan informasi tersebut. Kasus klasik adalah “Admiralty Spy Case”
mengenai pemberitaan yang menyesatkan dari 2 wartawan (Mulholland dan
Foster) yang diberitakan melibatkan pejabat teras Angkatan Laut Inggris,
yaitu Admiral Willian Vassal. Kedua wartawan menolak memberikan nama
“sumber terpercaya” dan Pengadilan dengan tetap menghargai “privilege
36
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
right” wartawan, berpendapat bahwa Hakim adalah “the Person Entrusted”
yang bertindak atas kepentingan masyarakat dan dengan alasan “Interest of
Justice” maka wartawan seharusnya wajib menyebutkan sumber
informasinya. Dengan penolakan tersebut, wartawan dikenakan hukuman
penjara 6 bulan (Mulholland) dan 3 bulan (Foster) atas dasar pelanggaran
“disobeying a court order” (tidak mematuhi perintah pengadilan) melalui
keputusan dari Judge of Court Appeal oleh Lord Justice Denning, seorang
Hakim Tinggi kharismatik dan dihormati di Inggris dengan mendasari
Section 10 Contempt of Court Act 1981, yang menyatakan bahwa : “No
Court has power to order a person to disclose, nor is any person guilty of
contempt for refusing to disclose the source of any information contained a
publication for which he is responsible, unless the court is satisfied that
disclosure is necessary in the interest of justice or national security or for
prevention of disorder or crime”. 4
Dapatlah dicermati bahwa Inggris dengan sistem Kebebasan Pers yang
absolut masih memberikan rambu-rambu limitasi terhadap kebebasan
melalui antara lain, lembaga Contempt of Court. Limitasi atas suatu
kebebasan pers (absolut) didalam kebebasan pers yang seharusnya dianut
oleh Negara Hukum dikemukakan oleh Oemar Seno Adji dinilai oleh
seorang pakar Hukum Tata Negara Satya Arinanto sebagai karakteristikkarakteristik terbaik yang pernah dikemukakan oleh seorang ahli hukum
pers hingga saat ini, yang dapat menggambarkan secara keseluruhan
kondisi-kondisi ideal pelaksanaan konsep kebebasan pers yang seharusnya
dianut oleh suatu Negara Hukum, yaitu:
 Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk
mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan
untuk memperoleh alat-alat dari expression tadi, seperti dikemukakan
oleh negara-negara sosialis,
 Ia tidak mengandung lembaga sensor preventif,
 Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak
bersyarat sifatnya,
 Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu,
dengan syarat limitatif dan demokratis, seperti diakui oleh Hukum
Nasional, Hukum Internasional dan Ilmu Hukum,
 Kemerdekaan Pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan
membawa kewajiban-kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan
melalui “beroep ethiek” mereka,
4
Oemar Seno Adji & Indriyanto Seno Adji. Peradilan Bebas & Contempt of Court.
Cetakan Kesatu. Jakarta. Penerbit: Diadit Media. 2007, Halaman 208-211.
37
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50

Ia merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers yang
sebagai kritik adalah negatif dalam karakternya, melainkan pula ia
positif sifatnya, apabila ia menyampaikan “wettige initiatieven” dari
Pemerintah,
 Aspek positif diatas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu
konklusi bahwa posisinya adalah “subordinated” kepada penguasa
politik,
 Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positif ini jarang ditentukan oleh
kaum Libertarian sebagai suatu unsur essentieel dalam persoalan masscommunication,
 Pernyataan bahwa pers itu tidak “subordinated” penguasa politik berarti
bahwa konsep Authoritarian adalah tidak acceptable bagi pers
Indoensia,
 Konsentrasi perusahan-perusahan pers, bentukan dari “chain” yang bisa
merupakan ekspresi dari kapitalisme yang “ongebreideid” merupakan
suatu hambatan yang “daadwerkelijk”, “feitelijk” dan ekonomis
terhadap pelaksanaan ide kemerdekaan pers. Pemilihan suatu bentuk
perusahaan, entah dalam bentuk co-partnership atau co-operative entah
dalam bentuk lain, yang tidak memungkinkan timbulnya konsentrasi
dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan saja adalah perlu,
 Kebebasan Pers dalam lingkungan batas limitatif dan demokratis,
dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam Negara
Demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers merdeka,
 Konsentrasi
perusahaan-perusahaan
yang
membahayakan
“performance” dari pers yang eksesif, kebebasan pers yang dirasakan
berkelebih-lebihan dan seolah-olah memberikan hak kepada pers untuk
misalnya membohong (the right to lie), mengotorkan nama orang (the
right to vilify), the right to invade privacy, the right to distort dan lainlain, dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers itu sendiri. 5
Persyaratan doktrin dan konvensi internasional mengenai kebebasan
informasi yang berkaitan dengan kebebasan pers ini merupakan rujukan dan
basis yang menekankan bahwa suatu a freedom of the press dalam alam
Libertarian itu, bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak
bersyarat sifatnya, namun demikian tidaklah diperkenakan pelanggaran atas
syarat limitatif dan demokratis dalam kehidupan pers tersebut .
5
Oemar Seno Adji. Pers: Aspek-Aspek Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
1977. Halaman 96-97.
38
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
B. Intervensi Peradilan Bebas : Pengaruh Kekuasaan Negara – Pola
Usia
Pendekatan sejarah terhadap kebebasan peradilan menjadi wacana
yang memberikan indikasi adanya campur tangan ekstra yudisial, dan
karenanya indikasi yang demikian merupakan karakterisasi dari negaranegara yang mengakui konsepsi “Rule of Law”, baik negara dengan sistem
liberal, neo liberal maupun sosialis. Beberapa konsepsi dan ide kebebasan
peradilan yang tidak memihak sudah menjadi acuan negara-negara dengan
multi-pola sistem, karenanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak
adalah karakteristik negara demokratis yang mengakui adanya prinsip due
process of law dan suatu acuan junjung tinggi prinsip “Rule of Law”
tersebut. Suatu kehendak a freedom and impartial yudiciary harus dimulai
dengan meneliti kondisi internal peradilan, termasuk para hakim,
sebagaimana ditegaskan Bagir Manan bahwa selain kondisi internal,
martabat Hakim ditentukan juga oleh tatanan lingkungan yang menawarkan
berbagai godaan yang dapat menurunkan martabatnya, yang karenanya tidak
layak baginya menjadi hakim. 6
Beberapa sarana dan prasarana ekstra yudisial memberikan area
peluang lembaga-lembaga non-yudisial untuk mempengaruhi idea konsepsi
peradilan bebas, antara lain interelasi antara kewenangan Hak Asasi
Manusia dengan segala implikasi terhadap polemik pola, cara ataupun
bentuk intervensi terhadap peradilan bebas dan tidak memihak sebagaimana
akan dijelaskan dibawah ini .
(1) Pola “Hak Uji Materil MA Terhadap UU” & Pola “Usia”
Persoalan klasik tentang Judicial Review atau Materiele
Toetsingsrecht (Hak Uji Materil atau "HUM") Mahkamah Agung (MA)
terhadap Perundang-undangan mencuat kepermukaan lagi. Menengok
kebelakang, saat Purwoto Gandasubrata (alm. mantan Ketua MA)
menghendaki agar MA diberikan hak tersebut agar Hakim dapat mengambil
keputusan yang lebih jernih dan melalui suatu kasus yang diperkarakan
masyarakat dapat memperoleh perlindungan hukum. Tidak tertinggal pula
T. Mulya Lubis menginginkan agar Mahkamah Agung harus proaktif
melakukan hal tersebut, sebaliknya Albert Hasibuan dan Oetojo Oesman
(mantan Menteri Kehakiman) tidak menghendaki adanya HUM terhadap
Perundang-undangan karena wewenang itu lebih sesuai diberikan kepada
MPR (saat itu, dan sekarang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi)
dengan cara lebih mengaktifkan Badan Pekerja MPR untuk menguji UU.
6
Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Jakarta: Penerbit
Mahkamah Agung. 2005, halaman 51.
39
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
Saat itu, Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 (Kekuasaan Kehakiman) maupun
Pasal 31 UU No.14 Tahun 1985 (Mahkamah Agung) memang mengatur
pembatasan kewenangan HUM Mahkamah Agung hanya terhadap peraturan
yang tingkatannya dibawah UU saja. Persoalannya sekarang adalah
bagaimana implementasi HUM Mahkamah Agung terhadap UU yang
berkaitan dengan kasus yang dihadapinya selama ini?
Memang, penempatan secara kodifikasi tersebut membatasi HUM
Mahkamah Agung hanya terhadap peraturan yang tingkatannya dibawah
UU, namun tidak sedikit dalam implementasi praktik Mahkamah Agung
telah melakukan HUM dengan mengadakan penyingkiran terhadap
ketentuan UU yang tingkatannya adalah "wet" atau UU dalam arti formil.
Pada era Soebekti (mantan Ketua MA) pernah melakukan judicial review
terhadap UU yang dipandang sebagai pasal-pasal yang secara urgensif tidak
sesuai dengan dinamisasi masyarakat dan melanggar asas keadilan,
misalnya dalam lingkup hukum perdata melalui Pasal 284 ayat 3
(pengakuan anak), Pasal 108 (perbuatan perdata seorang istri) ataupun Pasal
1460 KUHPerdata (resiko jual beli) yang selanjutnya dituangkan melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963. Pada bidang hukum
pidana (formil), peran Adi Andojo Soetjipto (mantan Ketua Muda
Mahkamah Agung) melakukan HUM terhadap UU. No. 8 Tahun 1981
(Hukum Acara Pidana) yang muncul saat kasus tindak pidana korupsi R.
Natalegawa (Bank Bumi Daya). Saat itu Adi Andojo Soetjipto
membenarkan upaya Jaksa / Penuntut Umum mempergunakan upaya kasasi
meskipun berdasarkan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak
dapat kasasi, karena dipandang pasal ini tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat dan sejak saat itu Pasal 244 KUHAP hampir dikatakan "mati"
dalam praktiknya.
Dari pengamatan tersebut, ternyata Mahkamah Agung telah sejak
dahulu melakukan terobosan-terobosan dengan melakukan pengujian
materil terhadap peraturan yang mempunyai tingkatan sama dengan UU
(dalam arti formil), meskipun aturan menegaskan Mahkamah Agung tidak
mempunyai HUM terhadap UU. Sarana yang dipergunakan Mahkamah
Agung untuk melakukan HUM tersebut diatas adalah dengan wewenang dan
fungsi justisial (putusan) dan legislatifnya (SEMA) dan kesemua pengujian
itu dilakukan terhadap UU yang secara materil sudah tidak sesuai dengan
dinamisasi masyarakat, begitu pula dengan hak uji materil terhadap UU,
khususnya dalam penanganan kasus, khususnya UU (Pidana) yang isinya
ternyata tidak demokratis dan melanggar hak mengeluarkan pendapat,
meskipun terdapat akibatnya, berupa adanya bentuk quasi intervensi
tersamar dari kekuasaan.
40
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
Dari pendekatan historis, Mahkamah Agung pernah melakukan
pencabutan terhadap
beberapa pasal yang masuk dalam kelompok
"Haatzaai Artikelen" Buku II Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban
Umum, yaitu Pasal 153 bis, Pasal 153 ter dan pasal 161 bis KUHPidana
karena dipandang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Mahkamah Agung, atas inisiatif Adi Andojo Soetjipto pun,
pernah melakukan pengujian secara materil terhadap Pasal 160 KUHPidana
(menghasut melakukan tindak pidana) dalam kasus Muchtar Pakpahan
karena dipandang sebagai pasal kolonial dan tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat masa kini, meskipun pengujian itu akhirnya
dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali dari Soerjono (saat itu Ketua
Mahkamah Agung). Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan Mahakamh
Agung dalam memberikan penafsiran, sekaligus pengujian atas UU (dalam
arti formil) melalui penanganan kasus yang ada di hadapan Mahkamah
Agung, akhirnya memiliki dampak pada lembaga kekuasaan kehakiman,
yang tentunya sebagai bentuk cerminan dari Quasi Intervensi dari lembaga
ekstra judisial, khususnya terhadap kasus-kasus yang memiliki kepentingan
ekonomi maupun politik.
Memang harus diakui, dalam praktik komparatif negara-negara
berkembang yang mengakui adanya HUM Mahkamah Agung terhadap UU
akan selalu menimbulkan "friksi politis". Contohnya, sewaktu Ketua
Mahkamah Agung (saat itu) Oemar Seno Adji, memungkinkan melakukan
HUM melalui metode “interpretasi” terhadap Perundang-undangan agar
dapat sesuai dengan perkembangan dinamis dari masyarakat, meskipun
polemik “interpretasi” saat itu, kebijakan Ketua Mahkamah Agung
dipandang sebagai pola pengujian materil terhadap Undang-Undang. Dalam
perkara MALARI, Pasal 270 KUHAP (Jaksa sebagai eksekutor putusan
pidana yang berkekuatan tetap) secara substansial menjadi “noneksekutabel”, artinya Jaksa Penuntut Umum tidak dapat melaksanakan
ekseksui berdasarkan Pasal 270 KUHAP karena dikeluarkannya “beleid”
Ketua Mahkamah Agung agar para Terpidana perkara MALARI (Hariman
Siregar cs) tidak perlu melaksanakan pidana, karena wajib menyelesaikan
sisa studi, meski non-eksekutabel pasal 270 KUHAP hanya bersifat case by
case basis, tetapi beleid Ketua Mahkamah Agung ini menimbulkan friksi
diantara 2 kepentingan politis kekuasaan, eksekutif dan yudikatif. Friksi
inilah yang menimbulkan “pola usia” sehingga terjadi pensiun dini karena
dianggap “beleid” ini tidak mengabdi pada kekuasaan yang memiliki
kepentingan politik tersendiri atas perkara MALARI tersebut. Pola usia
yang kemudian memaknai pembatasan usia 65 tahun bagi Hakim Agung
inilah sebagai hasil pengabdian usang dari “beleid” non-eksekutabel Ketua
Mahkamah Agung atas perkara MALARI .
41
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
Ide progresif pembaruan peradilan harus didukung, namun tetap
dihindari sentralitas patrimonial kekuasaan yang justru melanggar
independensi lembaga Mahkamah Agung. The dangerous potential of
judge’s recruitment is intervention of external institution. Ahsin Thohari
mengutip pendapat F. Andrew Hassen bahwa sistem perekrutan dan
promosi seorang hakim dapat menjadi tolak ukur seberapa jauh sebenarnya
kekuasaan kehakiman yang merdeka itu diimplementasikan dalam suatu
Negara, karena secara tehnis sistem perekrutan dan promosi Hakim dapat
membuka ruang terciptanya intervensi kekuasaan politik didalamnya.
Rekruitmen Hakim (Agung), termasuk pula promosi, eksaminasi, dan
permasalahan usia memang memberikan arah peluang intervensi kekuasaan
lembaga ekstra yudisial.
Menilik sisi komparasi hukum, polemik atas pola rekruitmen
maupun pola usia Hakim (Agung) merupakan lahan intervensi eksternal
terhadap kekuasaan kehakiman. Era Marcos di Philipina, manakala Presiden
Marcos menerbitkan Internal Security Act/ISA (sejenis UU Subversi),
judicial review atas ISA ditolak Supreme Court. Atas “pengabdian”
Mahkamah Agung ini, Pemerintah menerbitkan Martial Law (semacam
PERPU) yang berisi perpanjangan usia Hakim Agung. Atas Martial Law ini,
para pemutus ini memperoleh reward perpanjangan usia sebagai Hakim
Agung. Sebaliknya di India ketika era Indira Gandhi menerbitkan UU
Nasionalisasi Bank-Bank Asing. Judicial Review dikabulkan Supreme Court
untuk menyatakan tidak sah UU tersebut. Atas sikap oposisinya yang tidak
mengabdi kekuasaan, Pemerintah menerbitkan Martial Law yang berakibat
Supreme Court memperoleh “punishment” berupa pensiun dini para
pemutus sebagai Hakim Agung yang seharusnya memasuki usia pensiun
masih 3 tahun kedepan .
(2) Pola “Rekruitmen” Melalui Interelasi Lembaga Negara
Independensi dalam proses penegakan hukum merupakan suatu
wacana yang imperatif sifatnya. Lord Elwyn-Jones (mantan Labour Lord
Chancellor) mengkritisi intervensi prosesual dan substansial terhadap
independency of judiciary dengan menyatakan bahwa in Nazi Europe and
the Fascist countries before the War, the authoritarian regime’s first victims
were the independence of the judiciary and the independence of the legal
profession. Bahkan Lord Justice Dening, seorang Hakim Court of Appeal
Inggeris yang kharismatis, menegaskan bahwa melewati 30 tahun integritas
para Hakim have become increasingly cautious about what they have seen
as assaults on their privileges and positions. The assaults were on the
institution of the judiciary . Gangguan, serangan dan intervensi terhadap
institusi peradilan itu begitu menguatnya sehingga pola intervensi dikemas
42
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
dalam bentuk tahapan-tahapan prosesual pra-ajudikasi yang meliputi
tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penggeledahan, penyitaan
dan lain-lain, kesemua ini memberikan arah seolah adanya suatu justifikasi
yang berlindung di balik prinsip legalitas, bahkan kemasan ini dilakukan
kemudian melalui regulasi dengan metode pola rekruitmen
Mengutip ulang dari Ahsin Thohari mengutip pendapat F. Andrew
Hassen bahwa sistem perekrutan dan promosi seorang hakim dapat menjadi
tolak ukur seberapa jauh sebenarnya kekuasaan kehakiman yang merdeka
itu diimplementasikan dalam suatu Negara, karena secara teknis sistem
perekrutan dan promosi Hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi
kekuasaan politik didalamnya. Rekruitmen Hakim (Agung), termasuk pula
promosi, eksaminasi, dan permasalahan usia memang memberikan arah
peluang intervensi kekuasaan lembaga ekstra yudisial.
Hubungan antara Lembaga Negara sungguh pernah mengalami
polemik yang substansial yang tidak dikehendaki terulang dihari kedepan
nantinya. Betapa tidak, sebagai suatu ingatan yang lalu saja bahwa ide
progresif Komisi Yudisial dengan alasan reformasi yudikatif menimbulkan
pro-kontra, lebih-lebih manakala PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang) dijadikan sandaran arah legalitas. Ide melakukan reevaluasi melalui seleksi ulang para Hakim Agung Aktif merupakan bentuk
ketidakpercayaan Komisi Yudisial terhadap institusi peradilan tertinggi di
Indonesia, ada semacam resistensi Komisi Yudisial seolah sebagai
representasi publik terhadap lembaga peradilan tertinggi ini. Disatu sisi,
pengamat membenarkan ide Komisi Yudisial ini sebagai salah satu bentuk
mosi tidak percaya kepada Mahkamah Agung sekaligus “pembersihan”
terhadap Mahkamah Agung sebagai simbol institusi keadilan, tetapi
pendapat lain menegaskan bahwa ide Komisi Yudisial justru menempatkan
norma legislasi yang kontradiktif dan membentuk demoralisasi institusi
peradilan tersebut.
Tidak dipungkiri lagi, ide progresif Komisi Yudisial ini merupakan
kepanjangan dari proses kasus suap lembaga Mahkamah Agung dalam
perkara Probosutejo. Ketidak hadiran Ketua Mahkamah Agung atas
panggilan Komisi Yudisial telah memicu “ketegangan” hubungan antara
lembaga negara ini. Walaupun akhirnya tidak terwujud, ide Seleksi Ulang
Hakim Agung Aktif dari Komisi Yudisial mendapat respon Presiden dengan
“janji” memberi sandaran legalitas Perpu untuk merealisasikan ide tersebut.
Salah satu pertimbangan tidak terealisasi Rancangan PERPU ini adalah
kesan pola rekruitmen Hakim Agung Aktif sebagai bahagian intervesi quasi
terhadap Lembaga Judisial Tertinggi di Indonesia .
Harus selalu menjadi suatu ingatan, sebagaimana pernah dikatakan
secara kritis oleh Denny Indrayana saat itu bahwa ide revolusioner adalah
43
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
yang berpotensi menimbulkan tabrakan lebih mematikan bagi prinsip
independence of judiciary ke depan. Tidak mustahil, dimasa datang hadir
rezim otoriter yang menjadikan rujukan atau preseden Perpu seleksi ulang
hakim agung demikian untuk merombak susunan hakim agung yang tidak
mengabdi pada kekuasaannya. 7
Bayangkan saja, andai putusan MA dianggap tidak mengabdi pada
kekuasaan, saat itu pula dilakukan pemberhentian Hakim Agung dengan
berlindung secara legalitas di balik Perpu melalui pola seleksi ulang.
PERPU dapat dimanfaatkan oleh Kekuasaan politik, juga menjadi sarana
kewenangan yang polemik oleh lembaga pemegang PERPU tersebut itu.
C. Lembaga Contempt of Court sebagai Pranata ‘Safeguard’
Kebebasan Peradilan & Trial by the Press
Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa salah satu rambu-rambu dari
Kebebasan Pers adalah persoalan mengenai a fair administration of justice
(umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan
kemudian merupakan suatu bentuk dari pranata “contempt of court”, seperti
Pasal 210 KUHP dan Pasal 224 KUHP dan lain-lain), suatu pranata dari
kebutuhan adanya “safeguard” bagi berlangsungnya a freedom and
impartial judiciary yang sangat universal sifatnya.
Berbagai komparasi praktik dan konsep pers bebas, Sistem
Libertarian-pun tidak menghendaki adanya suatu kebebasan pers yang
sangat absolut, yang justru akan menimbulkan suatu tirani kekuasaan yang
berkelebihan dan akan menghancurkan makna kebebasan tersebut.
Memang tidaklah mudah menterjemahkan antara pemberitaan yang
merupakan wujud Kebebasan berekspresi dengan pemberitaan yang
“prejudicial”, bahkan substansi pemberitaanya menimbulkan suatu
“misleading conclusion and opinion” apabila pemberitaan itu telah
memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta
berdampak negatif pada pihak lain secara luas. Pemberitaan-pemberitaan
yang substansial sebagai kekuatan atas kebebasan pers yang absolut
mengandung suatu “misleading opinion” sebenarnya sebagai pengakuan
kehidupan dari Sistem Pers Libertarian. Dipahami bahwa agak tidak sesuai
bagi Indonesia mengikuti aliran Libertarian dengan Negative Freedom-nya
yang mengenal dan mengakui adanya suatu Right to Lie (Hak Berbohong)
dengan memberikan basis adanya lembaga hukum “Trustworthy Source”
(sumber terpercaya), Right to Vilify (Hak untuk mencemarkan nama baik),
Right to Distort (Hak untuk Mengacaukan) maupun Right to Invade Privacy
(Hak memasuki kehidupan pribadi).
7
Denny Indrayana. Urgensi “Reshuffle” Hakim Agung. Kompas, 27 Januari 2006.
44
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
Di Inggris, seperti halnya di Indonesia, pers sangat memperoleh
perlindungsan hukum dalam membuat suatu berita. Pers mempunyai
“privilege right” untuk tidak menyebutkan sumber berita. Ia dapat
melakukan publikasi tanpa adanya suatu kewajiban untuk mengungkap
darimana ia memperoleh informasinya. Hak istimewa ini bersifat absolut,
sepanjang pemberitaan itu tidak mengandung pernyataan yang dapat
menyinggung agama dan melanggar kesusilaam, dan yang terpenting harus
bersifat “fair and accurate”. Apabila berkaitan dengan pemberitaan dari
suatu proses persidangan maupun perkara, maka patut diperhatikan 2 hal
yaitu: pertama, jangan sampai adanya ketentuan stigmatis yang mengarah
pada kesalahan tersangka/terdakwa sebelum adanya putusan pengadilan,
kedua, juga jangan sampai seolah-olah tersangka/terdakwa hanyalah korban
dari rekayasa pengadilan.
Kebutuhan akan tertibnya penyelenggaraan peradilan sesuai konsep
due process of law di Indonesia, telah memberikan pengakuan legislatif
terhadap eksistensi lembaga Contempt of Court sebagaimana termuat pada
Penjelasan Umum UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
berbunyi : “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana
yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu UU
yang mengatur peniindakan terhadap perbuatan, tingkat laku, sikap dan
atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan,
martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai
“Contempt of Court”.
Bahkan Rancangan KUHP telah menempatkan pranata Contempt of
Court pada Bab VI (Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan) yang
tercantum pada Pasal 326 sampai dengan Pasal 340 KUHP yang mencakup
pendekatan doktrin terhadap makna Contempt of Court yang meliputi,
antara lain perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat
merendahkan martabat dan kehormatan pengadilan .
Kriteria konstitutif ini sesuai doktrin yang mencakup perbuatanperbuatan merendahkan martabat peradilan, yaitu:
 Sub judice rule, suatu usaha untuk mempengartuhi hasil dari suatu
pemeriksaan peradilan,
 Disobeying a court order, tidak mematuhi perintah peradilan,
 Obstructing justice, membikin gangguan/obstruksi peradilan,
 Scandalizing pengadilan, melanggar sopan santun di pengadilan
 Misbehaving in court, tidak berkelakukan baik dalam pengadilan
Lembaga atau pranata ini akan memberikan jaminan
penyelenggaraan peradilan yang baik dan sesuai aturan Undang-Undang,
45
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
dengan tetap memperhatikan doktrin, regulasi konstitutif maupun konvensi
internasional tentang safeguard of free and impartial judiciary. Dalam
keterkaitan antara perbuatan dalam lingkup Sub Judice Rule dengan Trial By
the Press berkaitan dengan “misleading opinion”, surat kabar Daily Mirror
(Inggris) yang memberikan komentar yang mengarah pada prejudice dari
fair trial dengan memberi judul “Vampire Arrested”.
Surat kabar ini
dihukum denda 10 Ribu Pound dan editor dihukum pidana penjara 3 bulan.
Hakim Lord Goddard dalam keputusannya menyatakan“: Let the Directors
beware. If this sort of thing should happen again, they may find that the arm
of the Law is strong enough to reach them too!”. 8 Semua ini menjelaskan
bahwa pembentukan “misleading opinion” melalui peran media sebagai
kekuatan sosial dari Freedom of the Press, tidaklah selalu bersifat total
absolut, ia memiliki rambu-rambu hukum sebagai pengawasan kekuatan
tangan keadilan!
Kesimpulan yang dapat diberikan secara garis besar mengenai Peran
Media, Opini Publik dan keterkaitannya dengan A Freedom & Impartial of
Judiciary dirangkumkan sebagai berikut :
1. Kilas balik Era Orde Baru, dengan UU No.21 Tahun 1982 tentang
Pokok-Pokok Pers, melalui “Pers Bebas dan Bertanggung Jawab”
(“Free and Responsible Press”) sebagai karakter sistem Social
Responsibility Press seharusnya lebih menekankan pada Legal
Approach (Pendekatan Hukum). 2 polar yaitu, yaitu polar pertama, pers
bebas yang harus dimaknai sebagai larangan dilakukan tindakan
prevensi, sedangkan pers yang bertanggung jawab sebagai polar kedua,
untuk menyelesaikan berkaitan dengan pemberitaan pers melalui
mekanisme hukum. Implementasi Pers Bebas dan Bertanggungjawab ini
nyatanya berlainan dengan makna dan konsepnya yang justru mengarah
pada Sistem Authoritarian yang mengenal breidel dan sensor.
2. Sejak Era Reformasi dengan disahkannya UU No.40 Tahun 1999
tentang Pers. Dalam UU ini, khususnya Pasal 2, istilah yang digunakan
bukanlah “Pers Bebas dan Bertangguing Jawab”, tetapi “Kemerdekaan
Pers” (“Freedom of The Press”) sebagai aksentuasi dari Sistem
Libertarian Press yang menghendaki adanya suatu “kebebasan pers”
yang total absolut dengan meletakan segala konsekuensi hukum atas
substansi pemberitaannya melalui institusi yudikatif, tanpa menghendaki
adanya bentuk bentuk kriminalisasi terhadap pers dengan segala alasan
dan maksud arah limitatifnya. Pada sistem Libertarian di era reformasi
ini, tidak dikehendaki adanya tindakan prevensi dalam bentuk apapun,
8
Lord Denning. The Due Process of Law. First Reprint. London: Billing & Sons Limited.
1980. Page 17.
46
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
artinya polar kebebasan sering diartikan sebagai kebebasan tanpa batas–
kebebasan total absolut - yang hanya tunduk pada Behavior Code atau
Kode Etik Internal komunitas pers, yang dianggap berlainan dengan
penyelesaian jalur hukum, yaitu tunduk pada Syarat Limitatif (artinya,
tidak diperkenankan membetuk atau menciptakan ketentuan-ketentuan
yang justru akan membatasi kebebasan pers itu sendiri) dan Syarat
Demokratis (artinya tidak diperkenakan melakukan pemidanaan
terhadap pernyataan-pernyatan yang bersifat prive, seperti diatur dan
yang masih berlaku pada Pasal 132 bis KUHP yang undemokratis
sifatnya).
3. Konvensi Internasional dan doktrin mengenal rambu-rambu terhadap
kemerdekaan pers dan berpendapat, yang akhirnya diserahkan kembali
kepada pers dalam menegakkan peran self-cencorship secara
institusional pers, yaitu antara lain, tidak menyimpangi dari (a). National
security and public order (keamanan nasional dan ketertiban umum,
seperti Bab I, II, V dari Buku II KUHP); (b). Expression to war or to
national, racial or religious hatred (pemidanaan terhadap hasutan untuk
menimbulkan kebencian ras atau agama); (c). Incitement to violence and
crime (hasutan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan, seperti Pasal
160, Pasal 161 KUHP); (d). Attacks on founders of religion (serangan
terhadap pendiri agama yang menimbulkan pelanggaran terhadap delik
“blasphemy”, seperti Pasal 156a KUHP); (e). Public health and moral
(kesehatan dan moral, seperti Pasal 281, Pasal 282 KUHP); (f). Rights,
honour and reputation of others (hak-hak, kehormatan dan nama baik
seseorang, yang umumnya memuat “delik penghinaan”, seperti pasalpasal 154, 155, 156, 157, 207, 208, 310, 315 KUHP, walaupun sudah
ada yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
“haatzaai artikelen”); (g). Fair administration of justice (umumnya
menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan
kemudian merupakan suatu bentuk dari “contempt of court”, seperti
Pasal 210 KUHP dan Pasal 224 KUHP). Rambu-rambu seperti ini
memberikan aktuensi bahwa agak tidak sesuai bagi Indonesia mengikuti
aliran Libertarian dengan Negative Freedom-nya yang mengenal dan
mengakui adanya suatu Right to Lie (Hak Berbohong) dengan
memberikan basis adanya lembaga hukum “Trustworthy Source”
(sumber terpercaya) sebagai Previlege Right, adanya pula Right to Vilify
(Hak untuk mencemarkan nama baik), Right to Distort (Hak untuk
Mengacaukan) maupun Right to Invade Privacy (Hak memasuki
kehidupan pribadi).
4. Walaupun Pers mempunyai “privilege right” yang absolut untuk tidak
menyebutkan sumber berita, Ia dapat melakukan publikasi tanpa adanya
47
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
suatu kewajiban untuk mengungkap darimana ia memperoleh
informasinya, sepanjang pemberitaan itu tidak mengandung pernyataan
yang dapat menyinggung agama dan melanggar kesusilaan, serta ramburambu lainnya, dan yang terpenting harus bersifat “fair and accurate”.
Apabila berkaitan Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, dengan
pemberitaan dari suatu proses persidangan maupun perkara, maka patut
diperhatikan 2 hal yaitu : pertama, jangan sampai adanya ketentuan
stigmatis yang mengarah pada kesalahan tersangka/terdakwa sebelum
adanya putusan pengadilan, kedua, juga jangan sampai seolah-olah
tersangka/terdakwa hanyalah korban dari rekayasa pengadilan,
karenanya suatu pemberitaan yang merupakan wujud Kebebasan
berekspresi dengan pemberitaan yang “prejudicial”, bahkan substansi
pemberitaanya menimbulkan suatu “misleading conclusion and
opinion” apabila pemberitaan itu telah memberikan suatu opini dan
konklusi yang menyesatkan atau salah serta berdampak negatif pada
jalannya proses peradilan maupun pihak lain secara luas (sebagai
pengakuan dari Sistem Pers Libertarian) dapat dihadapi dengan rasa
tanggung jawab dari pers itu sendiri, baik secara etik norma maupun
hukumnya.
5. Previlege Right Absolut dari Pers adalah memiliki rambu-rambu yang
memberikan suatu batasan -suatu moral hazard- atas dasar Interest of
justice atau national security atau for prevention of disorder or crime
yang dapat dikeluarkan oleh lembaga peradilan sebagai bentuk kriteria
Sub Judice Rule ataupun Disobeying a Court Order dari pranata
Contempt of Court.
6. Pada Negara Demokrasi yang universal dan proses demokratisasi
transisi seperti Indonesia yang mengenal adanya suatu kebebasan
berpendapat dan berekspresi, keberadaan pranata Contempt of Court
adalah sesuatu kebutuhan mendesak -an urgent need- yang sebenarnya
telah ada sejak UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
maupun terwujud melalui Rancangan KUHP Nasional, suatu
“safeguard” terhadap a Freedom & Impartial Judiciary!.
Daftar Pustaka
Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Jakarta:
Penerbit Mahkamah Agung. 2005.
Denny Indrayana. Urgensi “Reshuffle” Hakim Agung. Kompas, 27 Januari
2006 .
48
Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji
Lord Denning. The Due Process of Law. First Reprint. London: Billing &
Sons Limited. 1980
Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Cetakan Kedua.
Jakarta. Penerbit: Erlangga. 1991
------------------------. Pers: Aspek-Aspek Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta:
Penerbit Erlangga. 1977
Oemar Seno Adji & Indriyanto Seno Adji. Peradilan Bebas & Contempt of
Court. Cetakan Kesatu. Jakarta. Penerbit: Diadit Media. 2007
49
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 31-50
50
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NO. 30 TH. 2014
TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
(Administrative Court According to Law No. 30 Year 2014 on Government
Administration Law)
Philipus M. Hadjon
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya dan
Universitas Trisakti Jakarta
Email : [email protected]
Abstrak
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(UU AP) bukan hukum administrasi. Konsep administrasi pemerintahan
(AP) dalam Pasal 1.1 adalah tata lakasana dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Jika
dibandingkan dengan Algemene wet Bestuursrecht (AWB) Belanda nampak
perbedaan yang jelas. AWB beranjak dari konsep hukum administrasi
(bestuursrecht) sedangkan titik tolak AP adalah administrasi pemerintahan.
Bahwa dalam AP ada aspek hukum administrasi, namun konsep hukum
administrasi membingungkan. Atas dasar itu penjelasan umum AP yang
menyatakan UU AP merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata
Usaha Negara menjadi suatu tanda tanya besar. Ketentuan UU AP
menyangkut PTUN tidak didasarkan atas pendekatan konseptual yang jelas.
Atas dasar itu UU AP terkait PTUN sangat menyulitkan penerapannya
dalam praktek peradilan karena disamping konsep yang tidak jelas juga
bertentangan dengan konsep-konsep hukum administrasi.
Kata kunci : Peradilan, Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Abstract
Act No. 30 Year 2014 on Government Administration (UU AP) instead of
administrative law. The concept of public administration (AP) in Article 1.1
is governance in the decision and / or action by the official agency and / or
government. When compared with the Dutch Algemene wet Bestuursrecht
(AWB), it seems obvious differences. AWB moved from the concept of
administrative law (bestuursrecht) while the AP is the starting point of
government administration. That in AP there are aspects of administrative
51
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 51-64
law, but the concept of administrative law is confusing. On the basis, the
common explanations of AP stating AP Act is a substantive law of the
State Administrative Court system becomes a big question mark. AP Act
provisions concerning Administrative Court is not based on a clear
conceptual approach. On the basis, AP Act concerning Administrative
Court is very difficult to apply in judicial practice as well as vague concepts
is also contrary to the concepts of administrative law.
Keywords: Judicial, Administrative Court, Act No. 30 Year 2014 on
Government Administration
I.
Pendahuluan
Judul tulisan ini menggunakan istilah dalam konteks, bukan
berdasarkan. Istilah itu digunakan karena UU ini bukan tentang Peradilan
Tata Usaha Negara namun mengkaitkan ketentuan UU ini dengan PTUN.
Ketentuan terkait PTUN antara lain:
1. Penjelasan Umum menyangkut hukum materil dari sistem PTUN
2. Ketentuan Peralihan
a. Pasal 87: menyangkut kompetensi absolute PTUN (ktun)
b. Pasal 85: menyangkut gugatan yang sudah diajukan ke pengadilan
umum
3. Pasal 10 tentang AUPB
4. Pasal 17: penyalahgunaan wewenang
5. Pasal 21: putusan tentang unsur penyalahgunaan wewenang
II. Penjelasan Umum Menyangkut Hukum Materil dari Sistem PTUN
Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan kepada setiap
Warga Masyarakat, maka UU ini memungkinkan Warga Masyarakat
mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan,
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasa Pejabat yang
bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap
Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada
Peradilan Tata Usaha Negara, karena UU ini merupakan hukum materiil
dari system Peradilan Tata Usaha Negara.
UU ini bukan UU tentang Hukum Administrasi. Konsep
Administrasi Pemerintahan dalam Pasal 1.1 adalah tata laksana dalam
pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan.
Kalau dibandingkan dengan Algemene wet Bestuursrecht (AWB)
Belanda nampak perbedaan yang jelas karena AWB beranjak dari konsep
hukum administrasi (bestuursrecht).
52
Peradilan TUN dalam Konteks UU No.30 Thn 2014, Philipus Hadjon
Untuk itu dipaparkan perbandingan isi AWB dengan isi AP.
AWB
Algemene wet Bestuursrecht
I.
Inleidende
Bepalingen
(Ketentuan
Pendahuluan)
II.
Verkeer tussen burger en bertuursorganen
(hubungan antara rakyat dan pemerintah)
III. Algemene bepalingen over besluiten
(Ketentuan Umum tentang Keputusan)
IV. Bijzondere bepalingen over besluiten
(Ketentuan Khusus tentang Keputusan)
V.
Handhaving (penegakan hukum)
VI. Algemene bepalingen over bezwaar en
beroep
(Ketentuan umum tentang
keberatan dan banding)
VII. Bijzondere bepalingen over bezwaar en
administratief beroep (Ketentuan khusus
tentang
keberatan
dan
banding
administrasi)
VIII. Bijzondere bepalingen over beroep bij de
rechtbank (Ketentuan khusus tentang
gugatan ke pengadilan)
IX. Bepalingen
over
bestuurrorganen
(Ketentuan tentang organ pemerintah)
X.
Slot bepalingen (Ketentuan Penutup)
UU AP
UU Administrasi Pemerintahan
I.
Ketentuan Umum
II.
Maksud dan Tujuan
III. Ruang Lingkup dan Asas
IV. Hak dan Kewajiban Pejabat
Pemerintahan
V.
Kewenangan Pemerintahan
VI. Diskresi
VII. Penyelenggaraan Administrasi
Pemerintahan
VIII. Prosedur
Adminitrasi
Pemerintahan
IX. Keputusan Administratif
X.
Pembinaan dan Pengembangan
Administrasi Pemerintahan
XI. Sanksi Administrasi
XII. Ketentuan Peralihan
XIII. Ketentuan Penutup
Paparan perbandingan tersebut jelas menggambarkan perbedaan titik
tolak AWB adalah hukum administrasi sedangkan titik tolak AP adalah
administrasi pemerintahan. Bahwa dalam AP ada aspek hukum administrasi
namun konsep hukum administrasi membingungkan. Atas dasar itu
penjelasan umum AP yang menyatakan UU ini (UU AP) merupakan hukum
materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara menjadi suatu tanda tanya
besar.
III. Ketentuan Peralihan
1. Pasal 87 menyangkut Kompetensi Abdolut PTUN
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai
sebagai:
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
53
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 51-64
b.
c.
d.
e.
f.
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara
negara lainnya;
Berdasarkan ketentuan Perundang-undangan dan AUPB;
Bersifat final dalam arti lebih luas;
Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
dan/atau
Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Permasalahan:
- Apa fungsi Ketentuan Peralihan?
- Di samping itu butir a s.d. f Pasal 87 sangat aneh. Untuk itu
dipaparkan analisis butir a s.d. f.
Butir a
Ketentuan ini memperluas konsep keputusan tata usaha
negara sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1.9 UU
PTUN. Menjadi tanda Tanya besar bahwa penetapan tertulis
juga mencakup tindakan faktual. Apakah hal tersebut bukan
merupakan Contradictio in termino? (bandingkan: yang
dimaksud kambing juga mencakup kucing).
Menjadi pertanyaan: apakah dengan ketentuan tersebut
kompetensi absolut PTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1.10
diperluas? Kalau ya, harusnya yang dirubah adalah ketentuan
Pasal 1.10.
Apakah tepat memperluas kompetensi absolut PTUN
hanya dengan ketentuan peralihan UU yang bukan UU PTUN?
Apakah asas contrarius actus tidak berlaku?
Apakah lex generalis in casu UU AP dapat merubah lex
specialis (UU PTUN) dengan dalih UU AP lex posterior?
Apakah lex posterior generalis dapat merubah lex prior
specialis?
Butir b
Apakah dengan memperluas jangkauan eksekutif,
legislatif, yudikatif (yudisial?) otomatis penetapan tertulis
tidak lagi hanya merupakan tindakan hukum tata usaha
Negara? Pendekatan konseptual hendaknya tetap menjadi
penentu. Konsep tindakan hukum tata usaha negara sudah tepat
karena menunjukan ranah hukum administrasi.
Butir c
54
Peradilan TUN dalam Konteks UU No.30 Thn 2014, Philipus Hadjon
Apa makna ketentuan ini? AUPB merupakan salah satu
parameter legalitas. Jadi frasa peraturan Perundang-undangan
yang berlaku dalam Pasal 1.9 UU PTUN sudah tepat dan
mubasir ditambah AUPB.
Butir d
Apa makna bersifat final dalam arti luas?
Apa makna bersifat final dalam arti sempit?
Penjelasan Pasal 87 Butir d:
Yang dimaksud dengan “final dalam arti luas”
mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan
Pejabat yang berwenang.
Penjelasan tersebut disamping tidak jelas juga
membingungkan kalau dilakukan pendekatan konseptual
menyangkut konsep final. Apa maksud penjelasan yang
menyatakan: mencakup keputusan yang diambil alih
Atasan yang berwenang? Dalam rangka delegasi atau
mandat atau pengawasan?
Butir e
Apa makna berpotensi menimbulkan akibat hukum?
Apakah rumusan melahirkan akibat hukum tidak tepat?
Bagaimana kaitan dengan Ketentuan Pasal 53 ayat (1)
UU PTUN?
Butir f
Apa yang dimaksud keputusan yang berlaku bagi
Warga Masyarakat?
2.
Pasal 85: menyangkut gugatan yang sudah diajukan ke Pengadilan
Umum
Sangat tidak logis substansi Pasal 85 mendahului Pasal 87
yang berkaitan dengan kompetensi absolut PTUN in casu tindakan
faktual. Ini salah satu contoh sistematis yang tidak logis dari UU
AP.
IV. Pasal 10 tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB)
(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a. Kepastian hukum;
55
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 51-64
b. Kemanfaatan;
c. Ketidakberpihakan;
d. Kecermatan;
e. Tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. Keterbukaan;
g. Kepentingan umum; dan
h. Pelayanan yang baik.
(2) Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian
hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Untuk menganalisis ketentuan Pasal 10 tersebut diuraikan
tentang konsep AUPB dan AUPB dalam hukum kita (sebelum UU No.
30 Tahun 2014).
a. Pengaruh Belanda
Kita mengenal AUPB karena pengaruh Belanda. Dalam
perkembangan hukum Belanda dikenal de algemene beginselsen
van behoorlijk bestuur (abvbb).
Ciri-ciri abvbb adalah:
- Ongeschreven (tidak tertulis)
Pertanyaan: Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 ongeschreven?
- Rechtsbeginsen
(asas
hukum)
berkaitan
dengan
rechtmatigheidsnormen sehingga pelanggaran terhadapnya
merupakan onrechtmatig.
Pertanyaan:
Apakah ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 th. 2014
merupakan rechtsbeginselen seperti: kemanfaatan, kepentingan
umum, pelayanan yang baik.
- Algemene beginselsen memuat karakter azas (beginsel) dan
sifatnya umum. Dalam ayat 5 sub d Arob en 8 sub d Arob
dikatakan asas-asas itu merupakan in het algemeen
rechtsbewustzijn levend moet zijn (kesadaran hukum umum
yang hidup). (vide: F.H. van Der Burg, G.J.M. Cartigny,
Rechtsbesherming tegen de overheid, PP 100 – 134)
b. AUPB dalam Hukum Kita (sebelum UU No. 30 th. 2014)
Dalam hukum kita aupb baru dirumuskan dalam Pasal 53
ayat (2) butir b UU No. 9 thn. 2004. Dalam penjelasan pasal
tersebut dirinci 6 asas yang dikutip dari Pasal 3 UU No.28 tahun
56
Peradilan TUN dalam Konteks UU No.30 Thn 2014, Philipus Hadjon
1999 tentang Penyenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pasal 3 tersebut memuat asas-asas umum penyelenggaraan
negara. Jadi bukan aupb. Hal itu dikutip juga dalam Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara buku
II (edisi 2007) halaman 62.
Dari buku Pedoman tersebut yang bisa menjadi acuan
adalah butir 10. Penerapan AUPB dengan mengacu pada doktrin
yang berkembang sudah diterapkan dalam putusan-putusan MA
(halaman 63).
AUPB meliputi:
a. Asas persamaan
b. Asas kepercayaan
c. Asas kepastian hukum
d. Asas kecermatan/ketelitian
e. Asas pemberian alasan/motivasi
f. Larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvoir)
g. Larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur)
Note: butir h bukan aupb karena bukan asas hukum
Asas bahwa kesalahan yang dilakukan oleh Pejabat TUN di
dalam menerbitkan Keputusan TUN yang mengakibatkan kerugian
bagi pencari keadilan/masyarakat, tidak boleh dibebankan atau
menjadi resiko yang bersangkutan.
Untuk pemahaman asas-asas tersebut dipaparkan uraian
singkat menyangkut asas-asas tersebut.
Asas Persamaan
- Perlakuan sama dalam kondisi sama
- Larangan diskriminasi
Asas Kepercayaan
- Asas ini terkait dengan asas kepastian hukum
- Juga dikaitkan dengan harapan yang wajar
Asas Kepastian Hukum
- Asas ini berkaitan dengan asas kepercayaan dan harapan
yang wajar.
Asas Kecermatan/Ketelitian (karakter formal dan prosedural)
- Asas kecermatan formal
- Persiapan yang baik
Asas Pemberian Alasan (Motivasi)
- Dasar fakta
- Akibat hukum yang lahir harus didasarkan atas fakta nyata.
57
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 51-64
Larangan Penyalahgunaan Wewenang (detournement de
pouvoir)
- Larangan menggunakan wewenang menyimpang dari tujuan
atau mengalihkan wewenang untuk tujuan lain.
Larangan
Bertindak
Sewenang-wenang
(willekeur;
onredelijkheid)
- Tidak rasional
- Parameter : rasionalitas
(bandingkan F.H. van der Burg supra)
Berdasarkan konsep aupb yang telah dipaparkan pertanyaan yang
muncul:
a. Apakah aupb tertulis? Pasal 10 a quo: AUPB tertulis?
b. Apakah kemanfaatan, kepentingan umum dan pelayanan yang
baik merupakan asas hukum?
Kepentingan umum adalah asas tambahan Kuntjoro
terhadap 11 asas yang dipaparkan Crince Le Roi di Fakultas
Hukum UNAIR pada tahun 1978. Kalau bukan asas hukum,
pelanggaran terhadap asas tersebut bukan merupakan tindakan
onrechtmatig.
Apakah larangan sewenang-wenang tidak termasuk AUPB?
Apakah larangan sewenang-wenang merupakan species dari
larangan penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 ayat (2) butir c)?
V. Pasal 17 : Penyalahgunaan Wewenang
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Larangan melampaui Wewenang
b. Larangan mencampuradukkan Wewenang dan/atau
c. Larangan bertindak sewenang-wenang
UU a quo tidak menjelaskan konsep penyalahgunaan
wewenang (Penjelasan Pasal 17: cukup jelas), tepi anehnya ayat (2)
menentukan 3 jenis penyalahgunaan wewenang.
Atas dasar itu pertama-tama diuraikan tentang
penyalahgunaan wewenang dan analis atas ketentuan Pasal 17 ayat
(2) dikaitkan ketentuan Pasal 18.
a. Konsep Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang dalam konsep hukum
administrasi selalu diparalelkan dengan konsep détournement
de pouvoir. Dalam Verklarend Woordenboek OPENBAAR
58
Peradilan TUN dalam Konteks UU No.30 Thn 2014, Philipus Hadjon
BESTUUR dirumuskan sebagai: het oneigenlijk gebruik maken
van haar bevoegdheid door de overheid. Hiervan is sprake
indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid kennelijk tot een
ander doel heeft gebruikt dan tot doeleinden waartoe die
bevoegdheid is gegeven. De overheid schendt aldus het
specialiteitsbeginsel [p.163] (penggunaan wewenang tidak
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan
yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian
pejabat melanggar asas spesialitas).
Dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan
wewenang, haruslah dibuktikan secara faktual bahwa pejabat
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain.
Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu
kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar
yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada
wewenang itu.
Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi, baik
untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.
Untuk mempertajam konsep penyalahgunaan wewenang
dikutip pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam
putusan MA nomor: 572 K/Pid/2003 (kasus Ir. Akbar
Tandjung).
Pertimbangan MA terhadap pertimbangan Judex Facti :
Sehubungan dengan pembuktian unsur “Menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan”, judex facti telah salah menerapkan
hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya
karena pertimbangan Majelis Hakim telah didasarkan pada
pemahaman
yang
keliru
mengenai
pengertian
“Penyalahgunaan Wewenang” berdasarkan Pasal 1 ayat (1) sub
b UU no. 3 tahun 1971, sehingga putusan Majelis Hakim
menjadi keliru dan menyesatkan. (Amir Syamsudin, pp. 187188).
Pertimbangan MA terhadap pertimbangan Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi: Bahwa berkaitan dengan
pembuktian unsur “Menyalahgunakan kewenangan….dst”
pertimbangan putusan Majelis Hakim pengadilan tinggi Jakarta
telah
mencampuradukkan
pengertian
perbuatan
“Penyalahgunaan Wewenang” dengan pengertian “Perbuatan
Sewenang-wenang”. (Amir Syamsudin, p. 200).
59
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 51-64
Pertimbangan MA
Menimbang bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat
dengan pertimbangan hukum judex facti, bahwa unsur
“menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan” itu disimpulkan
terbukti dari rangkaian perbuatan Terdakwa I yang tidak
melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi
kerja yang tidak terpadu dengan baik, sehingga perbuatan
materiil Terdakwa I menurut hukum bertentangan dengan asas
kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam pengelolaan
uang Negara padahal Terdakwa I memiliki wewenang untuk
itu. Menurut pendapat Mahkamah Agung, haruslah dibuktikan
terlebih dahulu unsur pokok dalam Hukum Pidana, apakah
Terdakwa I memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk
melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan
bahwa memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui
(met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tapi
tetap dilakukannya. (Bandingkan pendapat Prof. J. Remmelink,
dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT. Gramedia
Pustaka Utara, Jakarta 2003, halaman 152 dst). (Amir
Syamsudin, p. 296)
Tiga unsur utama penyalahgunaan wewenang adalah:
- Met opzet (dengan sengaja)
- Mengalihkan tujuan wewenang
- Ada interest pribadi yang negatif
Apakah konsep penyalahgunaan wewenang yang
dimaksud Pasal 17 adalah seperti paparan di atas?
Nampaknya tidak jelas konsep penyalahgunaan
wewenang dalam Pasal 17. Lebih tidak jelas dikaitkan dengan
Pasal 17 ayat (2) menyangkut tiga species larangan
penyalahgunaan wewenang. Lebih menyesatkan lagi dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 18.
b.
60
Pasal 18
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
melampaui Wewenang sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. Melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya
Wewenang;
Peradilan TUN dalam Konteks UU No.30 Thn 2014, Philipus Hadjon
b.
Melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang;
dan/atau
c. Bertentangan dengan ketentuan peraturan Perundangundangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan
dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. Di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang
diberikan; dan/atau
b. Bertentangan dengan tujuan Wewenang yang
diberikan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana
bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan
dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. Tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Analisis terhadap ketentuan Pasal 18
Pasal 18 ayat (1)
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir a dan b bukan
menyalahgunakan wewenang tapi tidak berwenang
(onbevoegd). Pasal 18 ayat (1) butir c bukan penyalahgunaan
wewenang karena bertentangan dengan peraturan Perundangundangan bukan melanggar aupb. Larangan penyalahgunaan
wewenang termasuk kategori aupb.
Pasal 18 ayat (2)
Konsep mencampuradukan kewenangan adalah
terjemahan yang keliru dari konsep misuse of competence.
Dalam buku Prof. Kuntjoro Purnopranoto berjudul “Beberapa
Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Aministrasi
Negara” (1978) diuraikan 13 aupb. Asas-asas tersebut berasal
dari kuliah Prof. R. Crince Le Roi di Fakultas Hukum UNAIR
tentang 11 asas sedangkan dua asas adalah tambahan dari Prof.
Kuntjoro.
Dalam kuliah Prof. R. Crince Le Roi, asas ke-6 adalah:
principle of non misuse of competence. Asas itu dalam
bukunya Prof. Kuntjoro diterjemahkan asas jangan
61
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 51-64
mencampuradukan kewenangan. Terjemahan tersebut agaknya
kurang tepat karena misuse berarti menyalahgunakan bukan
mencampuradukan.
Atas dasar itu apakah ketentuan Pasal 17 ayat (2) butir
b mencampuradukan wewenang adalah terjemahan dari misuse
of competence?
Atas dasar itu ketentuan Pasal 18 ayat (2) sangat tidak
rasional karena pendekatan konseptual yang tidak jelas.
Pasal 18 ayat (3)
Konsep sewenang-wenang dalam hukum Belanda
semula dikenal dengan istilah willekeur dan dewasa ini populer
dengan istilah onredelijkheid. Dalam hukum kita dikenal
dengan istilah sewenang-wenang. Parameter sewenangwenang adalah rasionalitas.
Atas dasar itu ketentuan Pasal 18 ayat (3)
membingungkan dan merusak konsep hukum administrasi
tentang larangan sewenang-wenang.
VI. Pasal 21: Putusan tentang unsur Penyalahgunaan Wewenang
(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada
atau tidak unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak unsur
penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan.
(4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan
banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan.
(6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksdu pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.
Berkaitan ketentuan ayat (3), pertanyaan yang muncul:
a. Dalam konteks apa seorang Pejabat mengajukan permohonan a
quo?
b. Apakah putusan pengadilan terkait ketentuan ayat (3) bersifat
mengikat dalam hal ada gugatan TUN terhadap Pejabat
62
Peradilan TUN dalam Konteks UU No.30 Thn 2014, Philipus Hadjon
tersebut juga terkait dakwaan tindak pidana terhadap Pejabat
tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Tipikor (UU No.
31 th. 1999 jo. UU No. 20 th. 2001)?
VII.Penutup
Ketentuan UU AP menyangkut PTUN tidak didasarkan atas
pendekatan konseptual yang jelas. Atas dasar itu UU AP terkait PTUN
sangat menyulitkan penerapannya dalam praktek peradilan karena
disamping konsep yang tidak jelas juga bertentangan dengan konsep-konsep
hukum administrasi seperti nampak dalam paparan supra.
Daftar Pustaka
J.Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta, Gramedia Pustaka Utara, 2003
Kuntjoro Purnopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Aministrasi Negara, Jakarta, Pradnja Paramita, 1978.
Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Tata Usaha Negara: Buku II, Jakarta, Mahkamah Agung, 2007.
63
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 51-64
64
MEWUJUDKAN VISI MA TENTANG BADAN PERADILAN YANG
AGUNG MELALUI UNDANG-UNDANG JABATAN HAKIM
(Realize The Vision of The Supreme Court Through
The Agency Law Judge Position)
Siti Nurjannah
Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA RI
Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung, Kab. Bogor
Email : [email protected]
Abstrak
Status jabatan Hakim telah ditegaskan sebagai pejabat negara,
namun dalam kenyataannya pada beberapa aspek yang mengenainya masih
terikat dengan sistem Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya jabatan Hakim
sering dikatakan berstatus ganda yaitu sebagai pejabat negara dan PNS.
Pembiaran atas status ganda tersebut, senyatanya telah menimbulkan
berbagai masalah serius baik dari segi manajerial maupun terkait dengan
potensi reduksi independensi peradilan. Jika independensi mulai tereduksi
maka implikasi dari problematika jabatan Hakim ini adalah menghambat
upaya mewujudkan visi Mahkamah Agung yaitu mewujudkan Badan
Peradilan yang Agung.
Kata kunci : Visi Mahkamah Agung, Undang-Undang, Jabatan hakim
Abstract
Judges official status has been affirmed as a state official, but in fact
on some aspect on it is still bound by the Civil Service system. Therefore
judge positions are often said to be dual status as state officials and civil
servants. Nullifying the dual status is, in fact has caused serious problems in
terms of both managerial and related to the potential reduction of judicial
independence. If the independence start to reduce, the implications of the
problems of the post of Judge is hampering efforts to realize the vision of
the Supreme Court which is to realize the Supreme Courts.
Keywords : Supreme Court Vision, Acts, and Official state of Judges
A. Pendahuluan
Beberapa waktu lalu tersiar kabar yang menggembirakan bahwa
RUU jabatan Hakim telah masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2015-2019. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi kalangan
Hakim khususnya dan lembaga peradilan pada umumnya. Melalui RUU
65
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
tersebut diharapkan profesi Hakim semakin mendapatkan kedudukan yang
jelas dan sesuai dengan hakikat martabatnya. Sebagaimana diketahui bahwa
sampai saat ini, kedudukan Hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias
dan belum tertegaskan secara integral.
Bilamana Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim
Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi telah jelas penetapannya sebagai
pejabat negara dengan segala implementasinya. Tidak demikian dengan
Hakim karier yang bertugas di lingkungan peradilan dibawah Mahkamah
Agung, kedudukan dan perlakuan terhadapnya baik dari segi normatif
maupun implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan layaknya
pejabat negara. Pada satu sisi ditegaskan sebagai pejabat negara, namun
dalam kenyataannya pada beberapa aspek yang mengenainya masih terikat
dengan sistem Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam konteks ini secara
simultan Hakim memiliki status sebagai PNS. Oleh karenanya jabatan
Hakim sering dikatakan berstatus ganda yaitu sebagai pejabat negara dan
PNS.
Jabatan Hakim ini diibaratkan satu kakinya berada di wilayah
eksekutif sedangkan satu kaki yang lain berada di wilayah judikatif. Atas
penetapan status jabatan yang demikian, senyatanya negara telah bersikap
inkonsisten dalam penerapan pemisahan atau pembagian kekuasaan secara
konstitusionalism. Selain itu secara fungsional, status dan kedudukan antara
sebagai pejabat negara dengan sebagai pegawai negeri sipil memiliki
berbagai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaannya antara lain terletak
pada sistem dan pola rekrutmen, pengangkatan, gaji dan tunjangan, hak dan
kewajiban, pembinaan, promosi dan mutasi, maupun protokolernya.
Pembiaran atas status ganda yang tersandangkan dalam jabatan
Hakim ini senyatanya telah menimbulkan berbagai masalah serius baik dari
segi manajerial pada umumnya, maupun secara khusus terkait dengan
potensi reduksi independensi peradilan. Selanjutnya jika independensi mulai
tereduksi maka secara qonditio sine quanon, implikasi dari problematika
jabatan Hakim ini adalah menghambat upaya mewujudkan visi Mahkamah
Agung yaitu mewujudkan Badan Peradilan yang Agung. Oleh karenanya
tiada mungkin badan peradilan yang agung dapat terwujud jika
independensi kekuasaan kehakiman terlemahkan eksistensinya baik secara
personal (Hakim) maupun institusional (fungsi manajerial jabatan Hakim).
B. Masalah Inkonsistensi Manajemen Jabatan Hakim
Momentum reformasi dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia
tahun 1998 telah membawa berbagai perubahan, diantaranya perubahan
yang terkait dengan masalah peradilan. Apabila pada masa sebelumnya,
berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
66
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menempatkan lembaga
peradilan berada di bawah dua atap, yaitu di bawah Pemerintah dan di
bawah Mahkamah Agung. Secara finansial dan administratif berada di
bawah Pemerintah dalam hal ini Departemen terkait, sedangkan secara
teknis justisial berada di bawah Mahkamah Agung. Dualisme pembinaan
pengadilan beserta aparaturnya tersebut dinilai sebagai pelemahan terhadap
pelaksanaan prinsip independensi judisial. Karena menyangkut adminsitratif
dan finansial menempatkan lembaga pengadilan beserta aparaturnya berada
di bawah kekuasaan eksekutif.
Tonggak reformasi telah menancapkan ide dan gagasan besar terkait
dengan upaya untuk mengkhiri adanya dualisme pembinaan hakim dan
pengadilan oleh lembaga peradilan dan pemerintah dan berupaya untuk
mewujudkan prinsip independensi judisial melalui perubahan undang
undang kekuasaan kehakiman yang mengarah terbentuknya sistem satu atap
kekuasaan kehakiman (one roof system of judicial power). Undang Undang
Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman kemudian diubah dengan Undang Undang Nomor 35 tahun
1999 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selanjutnya undang undang tersebut
dicabut dan digantikan dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan berlakunya Undang Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mulai dijalankan proses
transisi peralihan kewenangan pembinaan terhadap hakim dan pengadilan,
yang semula sebagian diantaranya berada di tangan Pemerintah dalam hal
ini Menteri atau Kementerian yang terkait, menjadi beralih sepenuhnya ke
tangan Mahkamah Agung.
Peristiwa transisi kewenangan tersebut dikenal sebagai peralihan
pembinaan dari pembinaan dua atap menjadi satu atap, atau dikenal sebagai
“penyatuan atap” pembinaan hakim dan pengadilan berada di bawah
Mahkamah Agung (one roof system of judicial power). Apabila sebelumnya
pembinaan hakim sebagai Pegawai Negeri Sipil dilakukan oleh Menteri
terkait, namun sejak berlakunya Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengalami perubahan, dimana
pembinaan hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung. Sejak saat itu
Menteri tidak lagi memiliki wewenang untuk melakukan pembinaan
terhadap hakim dan pengadilan. 1 Adapun khusus untuk pembinaan terhadap
hakim dan Pengadilan Militer hingga saat ini masih bersifat dua atap, yaitu
1
Hal tersebut sebagaimana juga diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 2004 jo.
Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Undang Undang Nomor 9
Tahun 2004 jo. Undang Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
serta Undang Undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
67
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
secara teknis justisial berada di bawah Mahkamah Agung, sedangkan secara
adminsitratif dan personil masih berada di Kementerian Pertahanan dan
Keamanan. 2
Perubahan peraturan serta peralihan kewenangan pembinaan
terhadap hakim menjadi di bawah satu atap Mahkamah Agung ternyata
dalam kenyataannya tidak terlalu banyak membawa perubahan yang berarti,
boleh dikatakan hanya sekedar hilangnya kewenangan Menteri dalam
melakukan pembinaan terhadap hakim. Hal tersebut disebabkan oleh karena
sistem kepegawaian hakim masih tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2001 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim yang
memperlakukan hakim sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Status dan
kedudukan hakim pada satu pihak telah dinyatakan sebagai pejabat negara
namun pada pihak yang lain menyangkut masalah kenaikan jabatan dan
kepangkatan hakim masih tetap disamakan dengan PNS.
Penyatuan atap pembinaan Hakim dan badan peradilan di bawah satu
atap Mahkamah Agung ternyata masih juga menyisakan berbagai
permasalahan lain yang tidak kalah seriusnya yang terkait dengan
kewenangan Mahkamah Agung melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap para hakim. Permasalahan tersebut antara lain: Pertama, masalah
definisi atau jenis jabatan yang disandang Hakim. Konsep dan pengertian
tentang apa sejatinya yang dimaksud sebagai “pejabat negara” yang hal
tersebut masih menjadi bahan perdebatan tersendiri. Definisi pejabat negara
masih belum sepenuhnya jelas, baik dari segi normatif maupun dari segi
implementatif. Meskipun sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) sebagai pejabat
negara. Definisi jabatan Hakim sebagai pejabat negara ini, merubah definisi
jabatan Hakim sebelumnya yaitu sebagai pejabat negara tertentu (UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian). Dalam
beberapa Undang-Undang lainnya Hakim definisikan secara berbeda
misalnya disebut sebagai penyelenggara negara (Undang-Undang No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) hingga pejabat negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman (Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Atas konsekuensi dari perbedaan definisi jabatan
Hakim ini selanjutnya berpengaruh terhadap penentuan pola rekrutmen,
sistem kepangkatan, sistem penilaian kinerja, fasilitasi hak jabatan (yang
terdiri dari gaji, tunjangan, jaminan kesejahteraan, keamanan, protokoler
2
Hal tersebut mungkin disebabkan karena menyangkut policy dan political will dari jajaran
pimpinan militer bahwa proses penyatuan atap masih memerlukan kajian secara lebih
mendalam, mengingat adanya sifat yang khas dan strategis keberadaan peradilan militer
maupun status dan kedudukan hakim militer.
68
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
dan lain-lain), promosi dan mutasi serta kepensiunan yang notabene
sebagian mengikuti pejabat negara sementara di bagian lain diterapkan
sistem layaknya PNS. Atas problema tersebut maka definisi jabatan Hakim
ini perlu diintegralkan dan dibakukan sehingga terwujud satu pola ideal
yang sama dan sinergis serta konsisten baik secara normatif maupun
implementatif.
Kedua, masalah rekrutmen Hakim. Sejak diberlakukannya Undang
Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang Undang No.
50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, serta Undang Undang No. 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang secara tegas
menyatakan bahwa rekutmen hakim dari pegawai negeri sipil telah
dihapuskan. Ketentuan tersebut juga menimbulkan berbagai konsekuensi
juridis yang cukup problematik dan dilematis sifatnya. Suwardi Wakil
Ketua Mahkamah Agung bidang Non Judisial mengemukan beberapa
permasalahan menyangkut hal pola dan proses rekrutmen Hakim
diantaranya: 3
1. Apakah statusnya apabila seseorang telah dinyatakan lolos
seleksi administrasi dalam rekrutmen Hakim?
2. Bagaimana melakukan uji kompetensi dan psikotest selama
mengikuti pelatihan sebelum yang bersangkutan secara resmi
diangkat menjadi Hakim?
3. Apakah selama mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi para
calon hakim yang bersangkutan sudah berhak untuk menerima
gaji atau tunjangan?
4. Apabila dinyatakan telah berhak menerima gaji dan tunjangan
maka pertanyaannya adalah yang bersangkutan dalam
kapsitasnya sebagai apa (pegawai negeri ataukah sebagai apa)?
5. Sebab yang bersangkutan bukan sebagai pegawai negeri, juga
bukan sebagai pejabat negara karena yang bersangkutan belum
mendapatkan pengangkatan sebagai hakim?
6. Apabila yang bersangkutan dinyatakan telah lulus dari kegiatan
pendidikan dan pelatihan calon hakim dan kemudian diangkat
secara resmi sebagai hakim sehingga pada saat itu juga
menduduki jabatan sebagai pejabat negara, pertanyaannya adalah
bagaimana menentukan sistem penggajian dan tunjangannya?
Karena dalam kenyataannya gaji dan tunjangannya masih
mengacu pada sistem penggajian sesuai dengan ketentuan
tentang pegawai negeri sipil.
3
Suwardi, Rekrutmen dan Pembinaan Hakim : Tantangan, Kendala dan Konsepnya, 9
September 2014
69
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
Selain beberapa masalah rekrutmen dari perspektif calon Hakim
diatas, masalah kelembagaan yang mengatur kewenangan pengadaan atau
seleksi calon Hakim juga belum terkonstruksi secara normatif dan
implementatif. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,
dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara telah diatur mengenai proses seleksi hakim pada masing-masing
lingkungan peradilan tersebut bahwa proses seleksi dilakukan bersama oleh
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, yang selanjutnya diatur bersama
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Namun, menurut
Taufiqurrohman Syahuri sampai saat ini peraturan bersama Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung tentang seleksi Hakim tersebut belum dibentuk.
Idealnya peraturan bersama ini mengatur secara rinci metode seleksi hakim
dan formula sistem yang tepat untuk seleksi hakim. Penyusunan peraturan
bersama ini sebaiknya disusun dengan segera, sebab kekosongan peraturan
tersebut mengakibatkan tertundanya proses rekrutmen/seleksi hakim yang
pada akhirnya kebutuhan lowongan hakim tidak dapat dipenuhi. Selain itu,
apabila ketentuan tentang seleksi ini tidak ditindaklanjuti, bukan tidak
mungkin proses pengangkatan hakim akan cacat secara formil (karena tidak
sesuai dengan ketentuan UU). 4
Ketiga, masalah sistem kepangkatan Hakim. mengingat di dalamnya
juga menyangkut sistem dan jenjang kepangkatan hakim sebagaimana
layaknya PNS. Apakah setelah hakim ditetapkan sebagai pejabat negara,
jenjang kepangkatan Hakim masih harus tetap mengikuti pola sebagaimana
PNS yang dimulai dari golongan kepangkatan III-A, III-B, III-C, III-D, IVA, IV-B, IV-C, IV-D, dan IV-E? Ataukah perlu untuk merumuskan model
penggolongan kepangkatan tersendiri yang berlaku secara khusus bagi
Hakim berdasarkan peraturan Perundang-undangan tersendiri yang akan
dibuat di kemudian hari. Selama peraturan Perundang-undangan yang
mengatur tentang model penggolongan dan kepangkatan tersendiri bagi
hakim sebagaimana dimaksud belum berlaku, maka hal tersebut sama
halnya dengan melakukan pembiaran yang akan secara terus menerus
melestarikan permasalahan-permasalahan ketidakjelasan sistem dan pola
kepangkatan, penggolongan serta pembinaan hakim. Padahal di satu pihak
sudah ditegaskan bahwa hakim adalah pejabat negara, namun mengapa di
pihak lain masih tetap menggunakan sistem dan pola kepangkatan pegawai
negeri sipil.
4
Taufiqurrohman Syahuri, 2014, Hakim Pasca UU Aparatur Sipil Negara, Notulensi Hasil
Diskusi yang Diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeIP) bersama Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), 25 Januari 2014.
70
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
Keempat, masalah sistem penilaian kinerja Hakim. Saat ini
meskipun telah tertegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam sistem
penilaian kinerja Hakim masih mengikuti PNS. Jika sebelumnya Hakim
dinilai kinerjanya dalam bentuk Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
(DP3), setelah diberlakukan UU ASN berubah menjadi Sasaran Kinerja
Pegawai (SKP). Kedua sistem penilaian kinerja bagi PNS tersebut
senyatanya kurang relevan secara substantif jika diterapkan kepada Hakim
yang notabene pejabat negara. Selain itu secara prosedural dimana Atasan
Hakim memegang kuasa penilaian tersebut secara langsung atau tidak
langsung dapat mempengaruhi independensi Hakim dalam melaksanakan
tugas judisialnya jika terdapat konflik kepentingan diantara mereka. Irfan
Fachruddin berpendapat bahwa pada saat ini DP3 belum dapat dijadikan
pegangan dalam mempertimbangkan seorang Hakim menjadi unsur
pimpinan. Ada baiknya mempertimbangkan untuk mengikuti langkah sistem
evaluasi kinerja jabatan fungsional yang telah ada, yaitu mengadakan
instrumen khusus untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Hakim dan
disesuaikan dengan karakteristik tugas yudisial kekuasaan kehakiman.
Antara lain: (1). Independensi dan Akuntabilitas; (2). Konsistensi putusan
dengan hukum (legal uniformity); (3). Penemuan dan konstruksi hukum; (4).
Manajemen persidangan dan ketepatan penerapan asas-asas hukum acara;
(5). Ketepatan memenuhi jadwal penyelesaian perkara; (6). Sikap Hakim
terhadap para pihak; dan (7). Ketaatan Hakim terhadap ketentuan etik
Hakim.5 Oleh karenanya perlu diformulasikan metode dan mekanisme
penilaian kinerja Hakim sebagai pejabat negara ini agar menjadi jelas sistem
pembinaannya yang khusus dan tepat guna serta menjamin independensi
Hakim.
Kelima, masalah kepensiunan. Meskipun Hakim telah dikategorikan
sebagai pejabat negara, namun kepensiunannya tidak selayaknya seorang
pejabat negara, tetapi masih menggunakan sistem kepensiunan PNS.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah
Mahkamah Agung menyebutkan “Hakim diberikan hak pensiun sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan di bidang pensiun
Pegawai Negeri Sipil”. Berdasarkan ketentuan tersebut seolah masih
menyuguhkan sebuah kenyataan normatif dan implementatif bahwa jabatan
organik Hakim sebagiannya masih PNS, karenanyalah status calon Hakim
5
Irfan Fachruddin, Merumuskan Model Ideal Sistem Promosi dan Mutasi Aparatur
Peradilan di Indonesia, Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2011, Hlm.84. Lihat
juga dalam Budi Suhariyanto, Model Ideal Sistem Promosi dan Mutasi Aparatur Peradilan
(Lanjutan), Laporan Penelitian, Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2013.
71
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
sebelum pengangkatannya dan setelah purna baktinya adalah PNS. Dalam
konteks ini kepensiunan Hakim menjadi kontra produktif dan inkonsisten
dengan status pejabat negaranya.
Berdasarkan beberapa masalah jabatan Hakim tersebut yang seakan
berada dalam dua status yang sama-sama belum tepat, antara Pejabat Negara
dan PNS ataukah sejatinya statusnya adalah PNS yang ditempeli dengan
beberapa predikat yaitu pejabat negara, penyelenggara negara, dan pejabat
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman.6 Dapat dikatakan bahwa
sampai saat ini status dan kedudukan hakim berada di area abu-abu (grey
area) beserta segala kompleksitas dan akibat hukumnya. Karena itulah perlu
dilakukan upaya untuk redefinisi dan rekonstruksi jabatan Hakim.
C. Urgensi Redefinisi dan Rekonstruksi Jabatan Hakim
Momentum penerbitan UU ASN telah memberikan angin segar bagi
kalangan Hakim khususnya dan lingkungan peradilan pada umumnya.
Kedudukan jabatan Hakim sebagai “pejabat negara” tertegaskan secara
eksplisit dalam UU ASN (Pasal 121 dan Pasal 122 huruf “e”). 7 Namun
selain didefinisikan pejabat negara, dalam beberapa Undang-Undang yang
berlaku lainnya jabatan Hakim didefinisikan secara berbeda UndangUndang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mengkategorikan Hakim sebagai
penyelenggara negara (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2). Sedangkan UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan
jabatan Hakim sebagai “pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman” (Pasal 19).
Sebagaimana dijelaskan dalam sub bab masalah inkonsistensi
manajemen jabatn Hakim di atas, harus diakui bahwa sampai saat ini
6
Ansyahrul, Keunikan Status Hakim Dibandingkan Dengan Pegawai Negeri Sipil,
Makalah disampaikan dalam diskusi publik “Desain Status Hakim” yang diselenggarakan
oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bertempat di
Hotel Century Park Jakarta pada tanggal 5 Desember 2014, Hlm.7
7
Pasal 121 UU ASN mengatur bahwa : “Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara”
sedangkan Pasal 122 huruf “e” mengatur bahwa : “Pejabat negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 121 yaitu Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan
kecuali hakim ad hoc” (garis bawah penulis). Dalam rumusan ketentuan tersebut di atas
terdapat ketentuan perkecualiannya, hal tersebut terkait dengan status dan kedudukan hakim
ad hoc yang dinyatakan tidak termasuk dalam pengertian sebagai pejabat negara. Hingga
pada saat ini, masih belum terlalu jelas apa sejatinya yang menjadi ratio legis adanya
ketentuan perkecualian tersebut. Karena di dalam rumusan ketentuan tersebut, baik secara
eksplisit maupun implisit tidak ditemukan ratio legis adanya perkecualian hakim ad hoc
dari status dan kedudukan sebagai pejabat negara. Penelusuran terhadap naskah akademik
(academic draft) UU ASN kiranya perlu dilakukan, dalam rangka untuk menemukan apa
latar belakang pemikiran adanya perkecualian
72
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
definisi “nyata” terhadap jabatan Hakim yang pejabat negara ini masih bias.
Berkaitan dengan hal ini Ansyahrul menyatakan : 8
Yang menjadi permasalahan adalah dalam kenyataannya Pejabat Negara
lainnya itu (kecuali Hakim) adalah bersifat individual (bukan kolektif
seperti para Hakim yang jumlahnya ribuan orang) dan bersifat temporer (ada
batas waktu tugas) seperti Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan
lain-lain (bukan sampai usia pensiun seperti Hakim). Semua Pejabat Negara
pada kenyataannya harus memiliki latar belakang, apakah: PNS, TNI, Polri,
atau Swasta. Bila para Hakim memilih Pejabat Negara dan melepaskan PNS
berarti dianggap berlatarbelakang swasta. Dan kenyataannya lagi bahwa
karena para Hakim diberi predikat Pejabat Negara secara kolektif (kolosal)
dan sampai usia pensiun, sehingga tidak mendapat perlakuan yang sama
dengan Pejabat Negara lainnya yang bersifat individual dan temporer dalam
hal jaminan keamanan dan kesejahteraan, sehingga perlu diatur tersendiri
pada Pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang aturan
pelaksanaannya hingga sekarang belum ada. Selain itu para Hakim yang
memasuki masa pensiun, hanya diperlakukan sebagai PNS, bukan sebagai
Pejabat Negara atau Penyelenggara Negara. Selanjutnya apabila para Hakim
dilepaskan dari PNS, bagaimana aparat peradilan lainnya yang non Hakim,
tentu masih berstatus PNS, berarti lembaga peradilan kembali di bawah dua
atap, karena administrasi kepegawaiannya mendua (sebagian masih berada
di bawah kekuasaan eksekutif).
Lebih lanjut Ansyahrul 9 menjelaskan bahwa permasalahn mendasar
lainnya adalah belum tersosialisasinya prinsip peradilan di bawah satu atap
secara mendalam dan luas di kalangan masyarakat, komunitas hukum, pihak
eksekutif, di pihak legislatif sehingga sulit untuk mendapatkan dukungan
dan membangkitkan political will dari pihak eksekutif dan legislatif untuk
memikirkan secara serius mengenai status para Hakim dalam sistem dan
struktur ketatanegaraan kita. Apalagi dari internal para Hakim belum ada
gambaran, konsep, dan rumusan yang jelas mengenai apa yang diinginkan,
dan bagaimana status/kedudukan para Hakim yang seharusnya.
Pendapat yang bersifat reflektif tentang masalah definisi jabatan
Hakim dari Ansyahrul ini penting untuk diperhatikan secara serius.
Setidaknya dapat terevaluasi bahwa keberadaan definisi yang kurang
integral tersebut merupakan cerminan dari ketiadaan perhatian dan
pengkajian yang serius dari internal maupun eksternal peradilan yang terkait
8
Ansyahrul, Keunikan Status Hakim Dibandingkan Dengan Pegawai Negeri Sipil,
Makalah disampaikan dalam diskusi publik “Desain Status Hakim” yang diselenggarakan
oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bertempat di
Hotel Century Park Jakarta pada tanggal 5 Desember 2014, Hlm. 7-8
9
Ibid
73
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
dalam memperjuangkan dan menempatkan Hakim dalam sistem dan
struktur organ kenegaraan. Berdasarkan konteks tersebut maka pemikiran
tentang pentingnya redefinisi jabatan Hakim yang integral dan konsisten
secara konseptual dan normatif sangat penting keberadaannya.
Upaya redefinisi jabatan Hakim ini tentu tidak mudah. Sebagai
konsekuensi dari adanya pengaturan status dan kedudukan hakim yaitu
pejabat negara, maka ke depannya akan memerlukan pengaturan tersendiri
yang menyangkut tentang pola rekrutmen, sistem kepangkatan, penilaian
kinerja, promosi dan mutasi (serta demosi) yang tidak lagi mengacu persis
sebagaimana sistem dan pola pembinaan karir pegawai negeri sipil pada
umumnya. Selanjutnya dari redefinisi jabatan Hakim tersebut juga akan
berdampak pada rekonstruksi manajemen jabatan Hakim melalui sebuah
proses inpassing.
Proses inpassing dari kedudukan Hakim saat ini menjadi seorang
pejabat Negara ini menurut Jaja Ahmad Jayus juga perlu diatur, penyesuaian
ini sangat dibutuhkan terkait keberadaan hakim yang telah ada saat ini.
Hakim adalah jabatan mulia, menempatkan hakim sebagai pejabat negara
merupakan marwah dimana hakim seharusnya berada. Status Hakim sebagai
pejabat negara tidak bisa diartikan hanya berujung pada Hak keuangan dan
fasilitas semata, tetapi juga kualifikasi serta perlakuan yang outstanding
untuk menjadikan profesi Hakim benar-benar layak disebut sebagai pejabat
negara. Salah satu contohnya dalam hal evaluasi kinerja, dimana posisi
Hakim sebagai pejabat negara juga membawa konsekuensi serius pada hasil
penilaian kinerjanya. Pada umumnya masa jabatan pejabat negara datur
secara periodik lima tahunan, maka seharusnya perlakuan yang sama juga
dituntut terhadap para hakim dimana performanya dalam menjalankan tugas
menjadi sangat penting untuk dievaluasi secara periodik. Hasil penilaian
kinerja tersebut juga harus berujung pada tindak lanjut yang signifikan,
sehingga hakim yang kapasitasnya kurang maka perlu untuk dikembangkan
dan jika hasil penilaian memutuskan untuk tidak dipertahankan maka bisa
diajukan pemberhentian. Dengan menjadikan hakim seorang pejabat negara
melalui aturan manajemen yang jelas diharapkan mampu menjaga
independensi hakim dan proses peningkatan kapasitas hakim dalam hal
keilmuan terus berkembang, melalui proses manajemen yang terukur dan
berkelanjutan, diharapkan hakim mampu menjawab tantangan penegakkan
hukum di Indonesia.10
10
Jaja Ahmad Jayus, Hakim Sebagai Pejabat Negara: Pandangan Komisi Yudisial RI,
makalah disampaikan dalam diskusi publik “Desain Status Hakim” yang diselenggarakan
oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bertempat di
Hotel Century Park Jakarta pada tanggal 5 Desember 2014, Hlm.1-2.
74
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
Kerangka hukum yang ada pada saat ini belum sepenuhnya mampu
mengatur secara tepat, lengkap dan implementatif menyangkut status hakim
sebagai pejabat negara. Misalnya terkait sistem kepangkatan dan
penggolongan bagi hakim ke depan nantinya akan berkaitan dengan masalah
rekrutmen, pengangkatan, pembinaan, sistem dan pola promosi dan mutasi
hakim dalam kaitannya dengan menentukan kelas-kelas pengadilanpengadilan yang ada. Tidak harus ditetapkan sama persis dengan sistem dan
pola kepangkatan pada pegawai negeri sipil, namun sistem dan pola
kepangkatan yang spesifik bagi hakim tetap perlu untuk dirumuskan
tersendiri di kemudian hari. Kalau hal tersebut tidak segera dilakukan, jelas
akan menimbulkan kekacauan dalam menjalankan sistem dan pola promosi
dan mutasi bagi hakim dari pengadilan kelas yang satu ke kelas yang lain,
serta dari pengadilan tingkat pertama ke pengadilan tingkat banding, belum
lagi bagaimana menentukan gradasi diantara para hakim yang masing
masing memiliki masa kerja dan pengalaman yang berbeda beda antara satu
dengan yang lain.
Karena itu perlu kiranya dipikirkan ke depan perumusan peraturan
Perundang-undangan baru yang mengatur sesuai dengan karakteristik
jabatan Hakim sebagai pejabat negara sehingga daripadanya dapat
menjamin pelaksanaan independensi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi
judisial. RUU jabatan Hakim menjadi momentum yang tepat untuk
mendukung pengaturan sistem manajemen jabatan Hakim yang integral dan
komprehensif hingga independensi kekuasaan kehakiman terjaga dan
terpelihara dari segala potensi campur tangan pihak intra maupun ekstra
judisial.
D. Urgensi RUU Jabatan Hakim dalam Mewujudkan Independensi
Peradilan Indonesia
Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan tentang kekuasaan
kehakiman dengan menyatakan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”. Selain itu Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Makna dari kekuasaan kehakiman yang didefinisikan sebagai
kekuasaan negara yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan negara lainnya
serta dihubungkan dengan penyelenggaraan negara hukum ini memiliki arti
75
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
sangat dalam. Di satu sisi diartikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka
sehingga berhubungan dengan ajaran pembagian kekuasaan dan di sisi lain
dimaknai sebagai unsur utama bagi terselenggaranya negara hukum.
Terhadap hal ini, Bagir Manan menjelaskan bahwa: 11
Sistem UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan
(machtenscheiding) seperti dikehendaki Montesquieu, melainkan
pembagian kekuasaan (machtenverrdeiling), dimana kehadiran kekuasaan
lembaga peradilan yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel
pemisahan atau pembagian kekuasaan, tapi sebagai suatu “condition sine
qua non” bagi terwujudnya negara berdasar atas hukum, terjaminnya
kebebasan, serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.
Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka ini mengandung makna bebas
dalam menyelenggarakan fungsi peradilan, bebas dari intervensi dan campur
tangan dari kekuasaan ekstra – yudisial, serta diadakan dalam rangka
terselenggaranya negara berdasar atas hukum.
Kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan
keniscayaan bagi sebuah negara hukum. Kekuasaan kehakiman yang
merdeka sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi adalah sebuah
independensi peradilan yang integral atas segala aspek institusional,
manajerial, maupun personal (Hakim). Oleh karenanya independensi
tersebut harus diartikan secara komprehensif dan tidak parsial, sebagaimana
Ahmad Kamil 12 membagi pengertian independensi kekuasaan kehakiman
dalam 2 (dua) aspek yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Independensi kekuasaan kehakiman dalam arti sempit berarti “independensi
institusional” atau dalam istilah lain disebut juga “independensi struktural”
atau “independensi eksternal” atau “independensi kolektif”. Sedangkan
independensi kekuasaan kehakiman dalam arti luas meliputi juga
“independensi individual” atau “independensi internal” atau “independensi
fungsional” atau “independensi normatif”. Pengertian independensi personal
dapat diartikan juga dari setidak-tidaknya 2 (dua) sudut, yaitu: independensi
personal, yaitu independensi seorang Hakim terhadap pengaruh sesama
Hakim atau koleganya; independensi substantif, yaitu independensi Hakim
terhadap kekuasaan manapun baik ketika memutuskan suatu perkara
maupun ketika menjalankan tugas dan kedudukan sebagai Hakim.
Berkaitan dengan independensi personal ini, Moh. Koesnoe
menyatakan bahwa para Hakim harus dibebaskan dari segala keadaan yang
secara langsung atau tidak langsung memberikan tekanan baik lahir maupun
batinnya dan dihindarkan dari campur tangan dan pengaruh baik dari
11
Bagir Manan. Organisasi Peradilan di Indonesia. Surabaya, FH Universitas Airlangga,
1998, hlm. 7.
12
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta, Kencana, 2012, Hlm.221
76
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
atasannya sendiri, dari kekuasaan lain-lain yang berada di luar kekuasaan
kehakiman serta dari lingkungan lain.13 Berdasarkan pendapat Moh.
Koesnoe tersebut, maka segala perlakuan dan kebijakan terhadap Hakim
yang berpotensi mereduksi independensinya harus ditiadakan atau
diminimalisir, termasuk yang terkait dengan status jabatan serta sistem
manajemen karirnya.
Harus diakui bahwa perkembangan hukum positif terkini yang
menempatkan Hakim sebagai pejabat negara ini patut diapresiasi. Jika
dibandingkan dengan konstruksi jabatan Hakim di masa lalu yang notabene
Hakim ditempatkan sebagai pegawai pemerintah (eksekutif), maka
pengaturan jabatan Hakim sebagai pejabat negara ini telah senafas dengan
konsepsi pemisahan atau pembagian kekuasaan negara dan independensi
peradilan. Meskipun demikian sebagian konstruksi dalam sistem
manajemen Hakim sebagai PNS masih belum lepas secara mutlak.
Menurut Jaja Ahmad Jayus, status Hakim sebagai pejabat negara
telah lima belas tahun ditetapkan, namun penyesuaian terhadap peraturan
turunan terkait fungsi-fungsi manajemennya belum secara holistik dan
integral diselaraskan. Akibat dari hal ini terjadi kekosongan dan overlapping
peraturan yang terkait dengan manajeman Hakim. Upaya untuk mengatur
proses manajemen Hakim secara menyeluruh sehingga independensi Hakim
dalam menjalankan tugasnya dapat terjamin perlu ditata ulang. 16
E. Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung
Melalui UU Jabatan Hakim
Visi Badan Peradilan yang berhasil dirumuskan oleh Pimpinan MA
pada tanggal 10 September 2009 adalah “Terwujudnya Badan Peradilan
Indonesia Yang Agung”. Visi tersebut dirumuskan dengan merujuk pada
Pembukaan UUD 1945, terutama alinea kedua dan alinea keempat, sebagai
tujuan Negara Republik Indonesia. Dalam cetak biru pembaruan peradilan
2010-2035 dituangkan usaha-usaha perbaikan untuk mewujudkan badan
peradilan Indonesia yang agung. Badan Peradilan Indonesia yang Agung,
secara ideal dapat diwujudkan sebagai sebuah Badan Peradilan yang:15
1. Melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen, efektif,
dan berkeadilan.
2. Didukung pengelolaan anggaran berbasis kinerja secara mandiri yang
dialokasikan secara proporsional dalam APBN.
13
Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: Imperium,
2013, h. 147
16
Jaja Ahmad Jayus, Op Cit, Hlm. 1.
15
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Jakarta, Mahkamah
Agung, 2010, Hlm. 14
77
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
3.
Memiliki struktur organisasi yang tepat dan manajemen organisasi yang
jelas dan terukur.
4. Menyelenggarakan manajemen dan administrasi proses perkara yang
sederhana, cepat, tepat waktu, biaya ringan dan proporsional.
5. Mengelola sarana prasarana dalam rangka mendukung lingkungan kerja
yang aman, nyaman, dan kondusif bagi penyelenggaraan peradilan.
6. Mengelola dan membina sumber daya manusia yang kompeten dengan
kriteria obyektif, sehingga tercipta personil peradilan yang berintegritas
dan profesional.
7. Didukung pengawasan secara efektif terhadap perilaku, administrasi,
dan jalannya peradilan.
8. Berorientasi pada pelayanan publik yang prima.
9. Memiliki manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas,
kredibilitas, dan transparansi.
10. Modern dengan berbasis TI terpadu.
Adapun usaha-usaha ideal dalam mewujudkan visi tersebut
kemudian diturunkan dalam misi badan peradilan 2010-2035 diantaranya
yaitu : (1). Menjaga kemandirian badan peradilan; (2). Memberikan
pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan; (3).
Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan; dan (4).
Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.16
Sehubungan dengan point-point penting dari usaha ideal visi dan
misi Badan Peradilan yang Agung diatas terdapat korelasi penting dengan
pembahasan jabatan Hakim terutama yang berhubungan dengan
kemandirian badan peradilan. Disebutkan dalam Cetak Biru Pembaruan
Peradilan bahwa syarat utama terselenggaranya suatu proses peradilan yang
obyektif adalah adanya kemandirian lembaga yang menyelenggarakan
peradilan, yaitu kemandirian badan peradilan sebagai sebuah lembaga
(kemandirian institusional), serta kemandirian hakim dalam menjalankan
fungsinya (kemandirian individual/fungsional). Kemandirian menjadi kata
kunci dalam usaha melaksanakan tugas pokok dan fungsi badan peradilan
secara efektif. 17
Kemandirian peradilan yang merupakan usaha utama dalam
mewujudkan visi Mahkamah Agung ini dimaksudkan tidak hanya terbatas
pada aspek institusional (menempatkan lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman sederajat dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif) saja tetapi
juga termasuk secara personal yaitu individu Hakim. Karena Hakim secara
fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam
16
17
78
Ibid
Ibid, Hlm. 11
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya
Hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan
ketahanan Hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan
profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur
tangan dari pihak lain dalam proses peradilan. 18
Termasuk diantara kemandirian secara personal Hakim adalah
kedudukan profesi atau jabatannya dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya dari adanya “campur tangan dari pihak lain”. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa meskipun di satu pihak telah ditegaskan
Hakim sebagai Pejabat Negara, namun ternyata di pihak lain secara simultan
masih memiliki status sebagai PNS. Dalam konteks sistem manajemen PNS
dari Hakim ini, potensi atas campur tangan dari pihak lain (Pemerintah)
pada kemandirian peradilan secara langsung tidak langsung pasti tak
terelakkan. Selain itu kebijakan yang terkait gaji, tunjangan, fasilitasi sarana
prasarana, perumahan, protokoler, perlindungan, keamanan, dan lain-lain
masih berada dalam wilayah kewenangan Pemerintah (eksekutif) sehingga
realisasi dan implementasinya tidak sepenuhnya mandiri pada Mahkamah
Agung.
Tidak salah kiranya kemudian terdapat kekhawatiran bahwa secara
simultan permasalahan konsistensi pemberian hak dan kedudukan serta
fasilitasi terhadap jabatan Hakim ini berkorelasi dan mempengaruhi
independensi peradilan. Apalagi jika dihubungkan dengan realitas kekerasan
dan ancaman yang dihadapi para Hakim dalam melaksanakan tugasnya telah
menandakan bahwa jaminan keamanan serta perlindungan terhadap mereka
masih minim. Demikian pula jika dihubungkan dengan fenomena
pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Hakim sebagai akibat minimnya
kesejahteraanya sehingga tergoda untuk tidak profesional dan independen
dalam memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya, semakin
membuat urgen rekonstruksi jabatan Hakim untuk dilakukan secara
komprehensif dan integral. Berdasarkan hal tersebut maka rekonstruksi
jabatan Hakim dalam Undang-Undang Jabatan Hakim menjadi landasan
ideal bagi terwujudnya visi Mahkamah Agung yaitu Badan Peradilan yang
Agung.
F. Penutup
Kemandirian peradilan yang merupakan usaha utama dalam
mewujudkan visi Mahkamah Agung ini dimaksudkan tidak hanya terbatas
pada aspek institusional (menempatkan lembaga pelaksana kekuasaan
18
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia,
Yogyakarta: UII Press, 2010, hlm. 39
79
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
kehakiman sederajat dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif) saja tetapi
juga termasuk secara personal yaitu individu Hakim. Termasuk diantara
kemandirian secara personal Hakim adalah kedudukan profesi atau
jabatannya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya
“campur tangan dari pihak lain”. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa meskipun di satu pihak telah ditegaskan Hakim sebagai Pejabat
Negara, namun ternyata di pihak lain secara simultan masih memiliki status
sebagai PNS. Dalam konteks sistem manajemen PNS dari Hakim ini,
potensi atas campur tangan dari pihak lain (Pemerintah) pada kemandirian
peradilan secara langsung tidak langsung pasti tak terelakkan. Berdasarkan
hal tersebut maka rekonstruksi jabatan Hakim dalam Undang-Undang
Jabatan Hakim menjadi landasan ideal bagi terwujudnya visi Mahkamah
Agung yaitu Badan Peradilan yang Agung.
Daftar Pustaka
Buku
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta, Kencana, 2012
Bagir Manan. Organisasi Peradilan di Indonesia. Surabaya, FH Universitas
Airlangga, 1998
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di
Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010
Budi Suhariyanto, Model Ideal Sistem Promosi dan Mutasi Aparatur
Peradilan (Lanjutan), Laporan Penelitian, Jakarta, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat
Kumdil Mahkamah Agung RI, 2013
Irfan Fachruddin, Merumuskan Model Ideal Sistem Promosi dan Mutasi
Aparatur Peradilan di Indonesia, Laporan Penelitian, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat
Kumdil Mahkamah Agung RI, 2011
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035,
Jakarta, Mahkamah Agung, 2010
Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta:
Imperium, 2013
Makalah
Ansyahrul, Keunikan Status Hakim Dibandingkan Dengan Pegawai Negeri
Sipil, Makalah disampaikan dalam diskusi publik “Desain Status
Hakim” yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi
80
Mewujudkan Visi MA tentang Badan Peradilan yang Agung, Siti Nurjannah
untuk Independensi Peradilan (LeIP) bertempat di Hotel Century Park
Jakarta pada tanggal 5 Desember 2014.
Jaja Ahmad Jayus, Hakim Sebagai Pejabat Negara: Pandangan Komisi
Yudisial RI, makalah disampaikan dalam diskusi publik “Desain
Status Hakim” yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bertempat di Hotel
Century Park Jakarta pada tanggal 5 Desember 2014
Suwardi, Rekruitmen dan Pembinaan Hakim: Tantangan, Kendala dan
Konsep, Jakarta, Makalah, 9 September 2014
Taufiqurrohman Syahuri, Hakim Pasca UU Aparatur Sipil Negara,
Notulensi Hasil Diskusi yang Diselenggarakan oleh Lembaga Kajian
dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bersama Forum
Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), 25 Januari 2014
81
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 65-82
82
KETERBUKAAN INFORMASI DI PERADILAN DALAM RANGKA
IMPLEMENTASI INTEGRITAS DAN KEPASTIAN HUKUM
(Information Transparency in the Court in Order to
Implement Integrity Implementation and Legal Certainty)
Ridwan Mansyur
Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi
Mahkamah Agung RI
Jl. Medan Merdeka Utara 9-13, Jakarta Pusat
Email : [email protected]
Abstrak
Sebagai lembaga publik dibidang peradilan, Mahkamah Agung dituntut
untuk berkomitmen menerapkan keterbukaan informasi. Keterbukaan
informasi dalam konteks transaparansi peradilan bagi Mahkamah Agung
saat ini bukan saja menjadi kebutuhan publik tetapi juga kebutuhan seluruh
warga badan peradilan. Dengan adanya transparansi peradilan, secara
perlahan akan terjadi penguatan akuntabilitas dan profesionalisme serta
integritas warga peradilan. Komitmen untuk memberikan keterbukaan baik
proses maupun hasil akhir merupakan wujud nyata dari layanan publik
sebagai akses terhadap keadilan (access to justice) yang diberikan oleh
Pengadilan pada level terbawah hingga Mahkamah Agung. Kualitas
pelayanan publik yang prima melalui transparansi peradilan dengan
keterbukaan informasi merupakan muara dari pelaksanaan Reformasi
Birokrasi.
Kata kunci : Keterbukaan Informasi, Peradilan, Integritas dan
Kepastian Hukum
Abstract
As a public institution in the field of justice, the Supreme Court is required
to commit to apply the disclosure of information. Nowadays, transparency
of information disclosure in the context of justice for the Supreme Court is
not only the public needs but also the needs of all residents of the judiciary.
With the judicial transparency, will slowly happen to strengthen
accountability and professionalism and integrity of the judiciary residents.
Commitment to provide disclosure of both the process and the end result is
a concrete manifestation of public services as access to justice (access to
justice) given by the Court at the lowest levels up to the Supreme Court.
83
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
Quality of excellent public services through the transparency of the judicial
information disclosure is the estuary of execution Reform of Bureaucracy.
Keywords : Information transparency, Judicial, Integrity and Legal
Certainty
A. Pendahuluan
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan
komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi dan
data kelola lembaga pelayanan publik untuk direformasi dalam dinamika
tuntutan masyarakat. Sebagai lembaga publik dibidang peradilan Mahkamah
Agung dituntut untuk berkomitmen menerapkan keterbukaan informasi.
Pada tahun 2007 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Surat Keputusan tersebut
lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik yang menjadi pelopor transparansi informasi
di lingkup birokrasi tingkat nasional. Seiring dengan perkembangan
kebutuhan informasi di pengadilan, empat tahun kemudian SK tersebut
dicabut melalui SK KMA Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011.
Dalam Cetak Biru Perubahan Peradilan 2010 - 2035 juga di jelaskan
ada 6 fungsi Pelaksanaan Fungsi Pendukung, yaitu : Manajemen Sumber
Daya Manusia, Manajemen Sumber Daya Keuangan, Manajemen Sarana
dan Prasarana, Manajemen Teknologi dan Informasi (TI), Transparansi
Peradilan dan Fungsi Pengawasan. Dengan demikian supremasi hukum dan
pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi dari masyarakat
dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan merupakan faktor pendukung
dari terlaksana dan tercapainya reformasi birokrasi.
Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu puncak kekuasaan
kehakiman serta peradilan negara tertinggi mempunyai posisi dan peran
strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena tidak hanya membawahi 4
(empat) lingkungan peradilan tetapi juga manajemen di bidang
administratif, personil dan finansial, serta sarana dan prasarana. Kebijakan
“satu atap” memberikan tanggungjawab dan tantangan karena Mahkamah
Agung dituntut untuk menunjukkan kemampuannya mewujudkan organisasi
lembaga yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Dengan meningkatnya reformasi di peradilan, hal tersebut akan berdampak
pada semakin besarnya tuntutan transparansi dan informasi publik. Adanya
pembaruan yang berkelanjutan dapat meningkatkan citra peradilan di mata
masyarakat, badan legislatif maupun eksekutif di Indonesia.
84
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis saluran yang
tersedia. Arah yang ingin dicapai pengelolaan informasi yang berkualitas
pelayanan informasi secara mudah, cepat dan biaya ringan kinerja
Pengadilan yang transparan, efektif, efisien dan akuntabel.
Transaparansi peradilan bagi Mahkamah Agung saat ini bukan saja
menjadi kebutuhan publik tetapi juga kebutuhan seluruh warga badan
peradilan. Dengan adanya transparansi peradilan, secara perlahan akan
terjadi penguatan akuntabilitas dan profesionalisme serta integritas warga
peradilan.1 Menilai tingkat integritas layanan publik merupakan salah satu
upaya yang perlu dilakukan untuk memastikan faktor penyebab terjadinya
korupsi di layanan publik. Penilaian yang dilakukan juga dapat
menggambarkan sifat-sifat korupsi di layanan publik tersebut. Hasil
integritas mencerminkan apakah unit layanan pada lembaga/instansi
pemerintah sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat.
Lembaga peradilan pada dasarnya mempunyai kekhususan
dibandingkan dengan institusi penegak hukum lainnya. Dalam menjalankan
fungsinya lembaga peradilan harus mandiri. Untuk menyeimbangkan
kemandirian itulah keterbukaan informasi menjadi penting sebagai
pertanggungjawaban terhadap publik. Hal ini yang mendasari mengapa
keterbukaan informasi dalam institusi peradilan menjadi penting.
Komitmen
sekaligus
semangat
Pembaharuan
Peradilan
diimplementasikan guna mempercepat pencapaian menuju Peradilan yang
modern, sebagai capaian dalam reformasi birokrasi menuju peradilan yang
agung sebagai capaian puncak. Komitmen untuk memberikan keterbukaan
baik proses maupun hasil akhir merupakan wujud nyata dari layanan publik
sebagai akses terhadap keadilan (access to justice) yang diberikan oleh
Pengadilan pada level terbawah hingga Mahkamah Agung.
Kualitas pelayanan publik yang prima melalui transparansi peradilan
dengan keterbukaan informasi merupakan muara dari pelaksanaan
Reformasi Birokrasi. Terdapat sinergi positif dan hubungan kualitas yang
sangat erat antara Reformasi Birokrasi dengan penyelenggaraan pelayanan
publik. Hal itu didasarkan pada satu prinsip utama bahwa setiap
penyelenggara negara merupakan Pelayanan Publik, dari level tinggi sampai
1
Penguatan dan Perluasan Program Quick Wins Mahkamah Agung dan Capaiannya,
Ringkasan Laporan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, Mahakamah Agung RI, 2010
85
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
dengan jajaran paling bawah demi terwjudnya penguatan akuntabilitas dan
profesionalisme serta integritas peradilan.
Tujuan besar dari Teknologi Informasi adalah untuk meningkatkan
manajemen internal dan akuntabilitas pengadilan.Hal ini telah disepakati
sebagai satu pokok arahan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan. Jadi,
kepemimpinan yang efektif atas semua aspek Teknologi Informasi sama
pentingnya terhadap organisasi dan manajemen pengadilan modern dengan
sumber daya manusia, manajemen keuangan dan administrasi umum
Tulisan ini mencoba untuk mencoba dan menganalisa bagaimana
menyelenggarakan dan menyusun regulasi dan kebijakan serta kegiatan
terhadap Keterbukaan Informasi di Peradilan dalam Rangka Implementasi
Integritas dan Kepastian Hukum dikaikan dengan Pelayanan dan
Keterbukaan Informasi Publik dikaitkan dalam perspektif integritas.
B. Pembahasan
Pada masa transisi dan pra pembentukan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :1-144/KMA/I/2011 tentang Pedoman
Pelayanan Informasi di Pengadilan setiap Badan Publik wajib
mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung pengelolaan informasi dan
dokumentasi dengan stardar yang dapat menjamin ketersediaan informasi
bagi layanan publik.
Manajemen Teknologi Informasi merupakan permasalahan yang
diidentifikasi oleh Mahkamah Agung sebagai kunci untuk mencapai visi
pembaruan Cetak Biru (Blue Print) Mahkamah Agung 2010-2035. Tanpa
mengesampingkan upaya Mahkamah Agung untuk menerapkan manajemen
informasi dan untuk memberikan askes publik terhadap informasi perkara
kepada masyarakat pencari keadilan, masih terdapat banyak keluhan
mengenai pelayanan Teknologi Informasi yang ada dan permintaan akan
perluasan pelayanan.
Mahkamah Agung juga menyadari perlunya suatu kerangka
kebijakan dan protokol Teknologi Informasi yang komprehensif dan
terintegrasi, untuk memfasilitasi praktek-praktek manajemen informasi
modern tidak hanya di dalam Mahkamah Agung, tetapi juga di semua
pengadilan di bawahnya. Hasilnya adalah sistem manajemen informasi yang
menjamin akuntabilitas, kredibilitas dan transparansi yang hampir sama
dengan akses informasi dan pelayanan pemrosesan informasi berbasis
Teknologi Informasi, yang tersedia bagi pengguna melalui praktek-praktek
bisnis modern yang dilaksanakan oleh organisasi sektor swasta terkemuka
seperti perbankan dan retail.
86
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
Peran teknologi informasi dalam pengelolaan informasi dan
dokumentasi mencakup kegiatan mulai dari mengumpulkan, mengolah,
menata, menyimpan sampai menyiapkan data dan informasi bagi layanan
publik dalam rangka penyelenggaraan negara, pemerintah dan badan publik
lainnya. Data dan Informasi disediakan oleh setiap satuan kerja di Badan
Publik, dengan ketentuan:
a. Badan publik harus menunjuk Pejabat Pengelola Informasi yang sudah
ada.
b. Pejabat Pengelola melekat pada fungsi unit kerja yang sudah ada.
c. Informasi harus mengalir secara otomatis (automatically)
d. Informasi harus sama dari tingkat pusat hingga daerah.
B.1. Peraturan Pedukung Keterbukaan dan Pelayanan Informasi di
Pengadilan
B.1.1. UU Keterbukaan Informasi (UU No. 14 Tahun 2008)
Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu produk hukum
Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008. Keterbukaan informasi
merupakan sarana untuk mengoptimalkan pengawasan publik
terhadap penyelenggaraan negara guna mewujudkan kepemerintaahan
yang baik (Good Governance) Undang-Undang yang terdiri dari 64
pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan
Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik
untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi
tertentu 2.
B.1.2. UU Pelayanan Publik (UU No. 25 Tahun 2009)
Undang-Undang Pelayanan Publik adalah Undang-Undang
yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang
merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri.
perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi
yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia,
mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi
kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam
pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada
pemerintahan dan administrasi publik. 3
2
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Keterbukaan_Informasi_Publik
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pelayanan_Publik
87
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
B.1.3. SK KMA Keterbukaan Informasi di Pegadilan (SK KMA 1144/KMA/SK/I/2011)
Dalam konteks keterbukaan informasi di Pengadilan, pilar
kekuasaan ini telah lebih dulu memiliki peraturan internal yang
mengatur keterbukaan informasi, yaitu Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung (SK KMA) Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Empat tahun kemudian
pasca dikeluarkannya UU Kerterbukaan Informasi, Surat Keputusan
KMA itu direvisi dengan Surat Keputusan
KMA Nomor1144/KMA/SK/I/2011 dengan menambahkan lebih terperinci petunjuk
pelaksanaan keterbukaan informasi di Pengadilan.
Ada 3
kategoriinformasi yang dikenal dalam SK 1-144/2011:
1. Informasi yang wajib diumumkan secara berkala;
2. Informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh
publik;
3. Informasi yang dikecualikan.
B.1.4. SK KMA Nomor :026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar
Pelayanan Peradilan
Berawal dari niat untuk membangun kepercayaan masyarakat
dan juga meningkatkan kualitas pelayanan yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung RI dan badan-badan peradilan di bawahnya, serta
untuk memenuhi amanat Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, maka pada tanggal 9 Februari 2012 Ketua
Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar
Pelayanan Peradilan sebagai dasar bagi setiap satuan kerja pada
seluruh badan peradilan dalam memberikan pelayanan kepada publik.
B.2. Pimpinan sebagai Agen Perubahan untuk Reformasi Birokrasi
Seorang pemimpin di Pengadilan harus mampu memberikan
pemahaman bahwa reformasi tidak akan mengenakkan bagi sebagian orang,
dan cenderung akan menimbulkan resistensi, sehingga harus siap melakukan
melakukan manajemen perubahan. Para pemimpin juga harus memiliki
karakteristik yang harus ditanamkan dan diperjuangkan. Seorang pemimpin
harus visioner dan berpikir melebihi kemampuan orang (thinking ahead),
berpikir terus menerus (thinking again) dan berpikir lintas batas (out of the
box, out of the book).
Langkah menjalankan reformasi birokrasi tentu bukanlah perkara
mudah. Pimpinan harus menjadi contoh untuk mereformasi dan melakukan
perubahan. Pimpinan perlu mengelola derajat perubahan yang seharusnya
88
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
terjadi di unit kerjanya. Pemimpin tidak hanya menjadi agen perubahan,
tetapi pemimpin harus menjadi manajer perubahan itu sendiri.4
B.3. Standar Pelayanan Peradilan
Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan
pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di
berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut
bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya
transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah
pembangunan yang kompleks.
Pelayanan pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya
pencari keadilan, yang disediakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan dibawahnya berdasarkan peraturan-Perundang-undangan dan
prinsip-prinsip pelayanan publik.
Standar Pelayanan Pengadilan terdiri dari pelayanan perkara dan
non-perkara. Standar pelayanan pengadilan juga kan mengamanatkan
pembentukan standar pelayanan kepada satuan kerja yang lebih kecil untuk
disesuaikan dengan karakteristik masing-masing, misalnya kondisi geografis
dan karakteristik perkara.
Secara umum Standar Pelayanan di Pengadilan meliputi : Pelayanan
Administrasi Persidangan, Pelayanan Bantuan Hukum, Pelayanan
Pengaduan dan Pelayanan Permohonan Informasi. Secara khusus masingmasing pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan TUN dan
Peradilan Militer) juga memiliki Standar Pelayanan sesuai dengan tugas dan
fungsinya masing-masing.
Pelayanan Publik berbasis teknologi informasi kini dijadikan sebuah
solusi praktis. Pelayanan berbasis teknologi merupakan sebuah inovasi yang
terus berkembang demi melayani kebutuhan masyarakat, khususnya
kebutuhan akan informasi. Tak terkecuali di pengadilan, hampir di seluruh
pengadilan tengah bekerja keras untuk dapat membangun sistem informasi
perkaranya berbasis teknologi. Pelayanan seperi ini ini juga telah diterapkan
di Mahkamah Agung Singapura dengan sangat representatif sebagai
peradilan modern dengan E-Managementdan E-Litigation yang kesemuanya
berbasis IT. Layanan ini memberikan aspek layanan publik yang sangat
ideal bagi manajemen perkara yang cepat, akurat dan mudah.
4
Holidin, Defny, Reformasi Birokrasi dalam Praktik, Jakarta, 2013, hal-iv
89
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
B.4. Fungsi dan Manfaat Informasi
Menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 ayat
1 mengartikan Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makan, dan pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam
berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik.
Data-data yang dihasilkan oleh sistem teknologi informasikan
menjadi bahan awal untuk berbagai macam riset. Data jumlah perkara
sebagai contoh, dapat dijadikan bahan untuk mengetahui sejauh mana case
load sebuah pengadilan, beban perkara hakim, waktu yang harus dihabiskan
untuk penangan perkara dan insentif bagi SDM.
Informasi yang dikelola Mahkamah Agung maupun Pengadilan
merupakan harta karun yang belum tergali. Kajian dan Pengelolaan atas
informasi seperti : putusan, data statistik perkara, data jumlah dan
penyebaran Hakim dan Pegawai atau data administrasi perkara, dapat
memberikan berbagai informasi dan manfaat 5 :
a. Penentuan dan Perubahan Peraturan dan Kebijakan di berbagai bidang
(termasuk sumber daya manusia, perencanaan anggaran, penyusunan
program kerja, dll)
b. Mendorong Pembangunan Hukum dan Konsistensi Putusan
c. Peningkatan Kualitas dan Profesionalisme Hakim
d. Evaluasi dan Monitoring Kinerja dan Integritas Hakim serta Pegawai
e. Pemenuhan Hak-Hak Dasar Masyarakat atas Keadilan
f. Meminimalisasi Penyalahgunaan Kewenangan dan Kesalahpahaman
g. Meningkatkan kepercayaan Publik.
B.5. Organ Pelaksana Pelayanan Informasi di Peradilan Indonesia
Adapun Pejabat Pokok yang harus ada di Mahkamah Agung maupun
pada empat lingkungan Peradilan di bawahnya bagi terselenggaranya
Keterbukaan Informasi Pengadilan ini sesuai SK KMA Nomor :1144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan
adalah sebagai berikut :
PENGELOLA
Atasan Pejabat
Pengelola
5
PENGADILAN TINGKAT
PERTAMA / BANDING
Pengadilan
Pengadilan
Umum / TUN
Agama / Militer
Pimpinan Pengadilan
Pimpinan
Pengadilan
MAHKAMAH
AGUNG
Perkara : Panitera MA
Non Perkara :
Assegaf, Rifqi S. Pelatihan Keterbukaan Informasi Pengadilan, Bandung:USAID-C4J,
2011, Hal 17-18
90
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
Informasi &
Dokumentasi
Pejabat
Pengelola
Informasi dan
Dokumentasi
(PPID)
Petugas
Informasi
Penanggung
Jawab
Informasi
Sekretaris MA
Panitera/Sekretaris
Panitera Muda
Hukum/ pegawai lain
yang ditunjuk Ketua
Pengadilan
Pimpinan unit kerja
setingkat eselon IV
Perkara : Panitera/
Kepala
Kepaniteraan
Non Perkara :
Sekretaris/ Ka TU
Dalam
Panitera Muda
Hukum/ pegawai
lain yang ditunjuk
Ketua Pengadilan
Pimpinan unit
kerja setingkat
eselon IV
PPID MA : Kepala
Biro Hukum & Humas,
Badan Urusan
Administrasi MARI
PPID Satker : Setiap
Dirjen/ Kepala Badan
MA/BUA : Kasubag
data & Pelayanan
Informasi
Ditjen : Kasubag
Dokumentasi &
Informasi
Balitbangdiklat :
Kasubag TU
Pimpinan unit kerja
setingkat eselon IV
Tabel Organ Pelaksana Pelayanan Informasi di Mahkamah Agung dan
Pengadilan
B.6. Media Pengumuman Informasi di Mahkamah Agung dan
Pengadilan
B.6.1. Website
Pencari informasi yang ingin mendapatkan informasi tentang
Pengadilan tidak harus mendatangi langsung karena dapat mengakses
website resmi. Dengan website ini program transparansi informasi
badan peradilan dapat diakses pencari Informasi, dimana Pencari
Informasi dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan sehubungan
dengan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya, sebagai
implementasi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan SK KMA
Nomor: 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan
Informasi di Pengadilan, khususnya informasi tentang proses
peradilan dalam aplikasi perkara perkara, jadwal sidang, publikasi
putusan, sarana dan prasarana serta informasi lain lain yang
dibutuhkan oleh pihak-pihak yang mencari keadilan (justiciabelen).
Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya telah
membangun Sistem Informasi Perkara yang mempermudah dan
mempercepat proses penanganan perkara, seperti :
1. Info Perkara Mahkamah Agung.
2. Direktori Perkara Mahkamah Agung.
91
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
3. CTS (Case Tracking System)/SIPP (Sistem Informasi Penelusuran
alur Perkara) pada Peradilan Umum.
4. SIAD (Sistem Informasi Administrasi Perkara) - PTA/PA pada
Peradilan Agama.
5. SIAP (Sistem Informasi Aplikasi Perkara) – TUN pada Peradilan
Tata Usaha Negara.
6. SIAP (Sistem Informasi Aplikasi Perkara) – MIL pada Peradilan
Militer.
Penyediaaan layanan aplikasi perkara bertujuan agar :
1. Terciptanya tertib administrasi perkara di Pengadilan
2. Terciptanya pengelolaan administrasi perkara yang efektif, efisien,
dan saling menunjang bagi internal Pengadilan dan pihak lain yang
membutuhkan informasi perkara
3. Informasi dapat di akses dengan baik oleh pencari keadilan serta
masyarakat (keterbukaan informasi Pengadilan)
4. Tersedianya perangkat pendukung yang memberikan kemudahan
administrasi dalam :
 Monitoring dan evaluasi perkara dengan adanya pengingat
(reminder) setiap tahapan proses perkara
 Cari temu (search & found) data perkara
 Pelaporan otomatis untuk memperoleh gambaran kinerja
pengelolaan perkara di pengadilan
 Analisis bagi pengambilan keputusan dalam pengelolaan
perkara
B.6.2. Meja Informasi
Sarana yang wajib tersedia sebagai sumber informasi adalah
Meja Informasi. Adanya meja informasi ini memudahkan para pencari
informasi mendapatkan informasi yang diinginkan. Meja Informasi
adalah suatu meja informasi sebagai pusatlayanan informasi publik
terpadu dan pengaduan yang berada disatuan kerja, baik di Mahkamah
Agung, pengadilan banding maupunpengadilan tingkat pertama.
Diharapkan meja informasi ini menjadi pintu gerbang pengadilan bagi
para pencari informasi yang kemudian nantinya akan diarahkan oleh
petugas informasi kebagian bagian informasi yang mereka butuhkan.
Mahkamah Agung maupun seluruh satuan kerja Pengadilan di
Indonesia telah dilengkapi meja informasi yang telah memiliki standar
penyelenggaraan sebuah meja informasi.
92
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
B.6.3. Papan Pengumuman
Papan pengumuman adalah salah satu media komunikasi yang
biasanya ditujukan untuk target sasaran dalam lingkup tertentu. Media
ini adalah salah satu media yang paling murah, paling diacuhkan dan
paling efektif. Apabila ditempatkan dan diawasi secara layak, maka
papan pengumuman akan banyak menarik perhatian orang-orang yang
berada dilingkup sekitar dimana papan itu berada.
B.6.4. Humas (Hubungan Masyarakat)
Eksistensi Humas pada institusi peradilan adalah sebuah
keniscayaan. Humas sebagai perantara informasi badan peradilan
dengan Publik. Peran Humas adalah untuk menjaga independensi,
integritas dan kejujuran sangat dipegang teguh sehingga mereka tidak
akan berada atau membiarkan berada dalam situasi apapun yang akan
mengganggu independensi, integritas dan kejujurannya, termasuk
mempengaruhi atau dipengaruhi media. Citra tersebut tak lepas dari
peran humas.Sebagai pintu gerbang informasi, humas dituntut untuk
senantiasa proaktif dalam melayani publik akan informasi.
B.7. Tujuan jaminan hak masyarakat untuk mengakses Informasi
Peradilan6
B.7.1. Perwujudan dari Hak Asasi Manusia
Hak untuk mengakses informasi, termasuk informasi
pengadilan, adalah salah satu hak yang dijamin dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 19) yang telah
diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 dan UUD 1945.
B.7.2. Bentuk Akuntabilitas Hakim dan Pengadilan
Independensi Hakim dan Pengadilan bukanlah tanpa batas.Ia
dibatasi oleh berbagai prinsip, termasuk prinsip keterbukaan sebagai
sarana mendorong akuntabilitas. “Openness ensures that when judges
sit at trial, [they also] stand on trial” (Aharon Barak).
B.7.3. Sarana pendidikan Publik serta Pengembangan Hukum
Keterbukaan informasi, khususnya putusan, dapat menjadi
sarana pendidikan dan pengembangan hukum.Tentunya jika
keterbukaan ini dimanfaatkan oleh stakeholders Pengadilan untuk
mengkritisi dan mendiskusikan putusan pengadilan.
6
Assegaf, Rifqi S. Pelatihan Keterbukaan Informasi Pengadilan, Bandung:USAID-C4J,
2011, Hal 5
93
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
B.7.4. Peningkatan Kepercayaan Publik
Secara tidak langsung keterbukaan pengadilan akan
meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan
pelaksanaan keadilan (administration of justice).
B.8. Sarana dan Prasarana
Layanan publik perlu didukung sarana dan prasarana yang sesuai
kebutuhan standar pengelolaan informasi dan dokumentasi. Kebutuhan ini
meliputi fasilitas penyimpanan dan penyediaan data dan informasi, sarana
berupa peralatan penyimpanan, perangkat komputer dan printer, serta
perangkat lunak seperti skema klasifikasi data dan informasi, kode
klasifikasi, indeks, serta sistem database yang didesign dengan software
aplikasi yang sesuai kebutuhan.
Fasilitas ini sebaiknya memenuhi standar minimal yang mampu
memberikan kemudahan operasional pengelolaan informasi dan
dokumentasi di lingkungan Badan Publik. Untuk memenuhi standar
minimal setidaknya perlu tersedia rungan penyimpanan data dan informasi,
ruang pengolahan data dan informasi serta ruang kerja pimpinan dan staf
unit Pengelola Informasi dan Dokumentasi.
B.9. Keamanan
Kedepan, aspek keamanan juga menjadi titik fokus Mahkamah
Agung. Arsitektur gedung pengadilan sangat berperan dalam menjaga
keamanan pengadilan. Untuk menjamin independensi, hakim tidak akan
pernah berjumpa dengan para pihak karena memiliki jalan khusus.
Terdakwa juga tidak akan berpapasan di ruang terbuka dengan korban atau
saksi karena mereka memiliki jalan masuk dan keluar yang khusus.
Pengamanan ruang tahanan dijaga dengan perbandingan dua petugas
keamanan dan satu terdakwa. Untuk perkara-perkara yang sangat khusus
keamanan ruang sidang dan para pihak diatur secara khusus.
B.10. Mekanisme Keberatan dan Sengketa Informasi
Hukum menjamin hak Pemohon Informasi untuk menempuh upaya
hukum bila tidak puas atas pelayanan informasi oleh Petugas Informasi atau
PPID Pengadilan:
94
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
Jika Tidak Puas
dengan Layanan
Petugas/PPID ???
Gambar Alur Mekanisme dan Sengketa Informasi
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelesaian Sengketa Informasi di
Pengadilan, sebelum mengajukan sengketa ke Komisi Informasi, Pemohon
harus menempuh Keberatan dahulu. Sebelum menggugat ke PN/PTUN,
harus melalui Komisi Informasi dahulu.Alasan Pengajuan Keberatan antara
lain :
a. Permohonan informasi ditolak :
b. Tidak diumumkannya informasi yang wajib diumumkan
c. Permohonan informasi tidak ditanggapi
d. Informasi yang diberikan tidak sesuai permintaan
e. Permintaan informasi tidak dipenuhi
f. Pemohom dimintai biaya yang tidak wajar
B.11. Sanksi Pidana, Administratif dan Gugatan Peradata
B.11.1. Sanksi Pidana
Tindak Pidana
Pasal 51 UU No. 14/2008
... sengaja menggunakan Informasi Publik secara
melawan hukum.
Pasal 52 UU No. 14/2008
... sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan,
dan/atau tidak mengumumkan Informasi Publik yang
wajib diumumkan secara berkala dan serta merta,
Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat,
dan/atau yang harus diberikan atas permintaan, dan
mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Pasal 53 UU No. 14/2008
... sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusak, dan/atau menghilangkan dokumen Informasi
Sanksi
Penjara paling lama 1 tahun
dan/atau denda maksimal
Rp 5.000.000,00
Kurungan paling lama 1 tahun
dan/atau denda maksimal
Rp 5.000.000,00
Penjara paling lama 2 tahun
dan/atau denda maksimal
95
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
Tindak Pidana
Publik yang dilindungi negara dan/atau yang berkaitan
dengan kepentingan umum.
Pasal 54 UU No. 14/2008
.... sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau
memperoleh dan/atau memberikan informasi yang
dikecualikan.
Sanksi
Rp 10.000.000,00
Penjara paling lama 2 tahun
dan denda paling banyak Rp
10.000.000,00
ATAU
Penjara paling lama 3 tahun
dan denda paling banyak Rp
20.000.000,00 (tergantung
informasi rahasia apa yang
dibuka)
Pasal 55 UU No. 14/2008
... sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar
atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian orang
lain.
Penjara paling lama 1 tahun
dan/atau denda paling banyak
Rp 5.000.000,00.
B.11.2. Administratif
Petugas Informasi, PPID atau Atasan PPID yang melanggar
serta menghalangi pelaksanaan Pedoman ini dapat dikenakan sanksi
disiplin sesuai PP No. 53 Tahun 2010 (SK 1-144)
Menurut dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, pejabat yang tidak melaksanakan ketentuan tertentu dalam UU
tersebut (misalnya tidak mengumumkan informasi seperti profl
penyelenggara, standar pelayanan, dan pengelolaan pengaduan)
diancam sanksi penurunan gaji (Pasal 54 [5]).
B.11.3. Gugatan Perdata
Implisit dimungkinkan pengajuan gugatan perdata perbuatan
melawan hukum jika badan publik tidak menjalankan kewajibannya
sesuai UU dan mengakibatkan kerugian bagi seseorang.
C. Kesimpulan
Reformasi birokrasi adalah reformasi pelayanan publik itu sendiri.
Perlu diakui, bahwa upaya perbaikan pelayanan publik sudah dilakukan.
Standarisasi pelayanan publik sudah diberlakukan untuk pelayanan dasar.
UU Nomor 25 tahun 2009 dan SK KMA Nomor 26 tahun 2012
memapankan pengaturannya. Modernisasi pelayanan dengan insturmentasi
teknologi informasi juga merupakan suatu keniscayaan.
Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai tersebut
perlu disikapi secara bijak melalui langkah-langkah kegiatan yang terus
menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk
96
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan
pembangunan nasional.
Ada beberapa hasil kemajuan pembaharuan yang telah diperoleh
Mahkamah Agung dan Pengadilan di bawahnya melalui pemanfaat
teknologi informasi, antara lain :
1. Perekaman Proses Persidangan Perkara Tipikor dan Perkara Menarik
Perhatian Publik Lainnya
2. Standarisasi template putusan dan pemberlakuan E-document
3. Modernisasi Manajemen Perkara pada melalui Implementasi Aplikasi
Perkara di Pengadilan
4. Badan diklat MA menggunaan sistem E-Learning dalam sistem
pembelajaran.
5. Sistem penggandaan dan pembacaan berkas secara elektronik yang
merupakan implementasi dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas surat edaran Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2010 tentang dokumen
elektronik sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan
kembali
6. Dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pengelolaan Keuangan
dan Pengelolaan Aset, MA mendapat penghargaan Laporan Keuangan
denga Predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK
7. Proses E-Manajemen seperti Lelang Online (LPSE), RKAKL Online,
SIMPEG dan lain-lain.
Kualitas pelayanan publik yang prima merupakan muara dari
pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Terdapat sinergi positif dan hubungan
kualitas yang sangat erat antara Reformasi Birokrasi dengan
penyelenggaraan pelayanan publik. Hal itu didasarkan pada satu prinsip
utama bahwa setiap penyelenggara negara merupakan Pelayanan Publik,
dari level tinggi sampai dengan jajaran paling bawah demi terwjudnya good
governance.
Dalam menjaga konsistensi penerapan keterbukaan informasi,
diperlukan kerjasama dan koordinasi yang baik antara Atasan PPID, PPID,
Petugas Informasi dan Penanggung Jawab Informasi dalam memberikan
informasi yang dibutuhkan.Adanya Sumber Daya Manusia yang
berkompetensi berdedikasi untuk menjadi organ pelaksana pelayanan
pengadilan merupakan salah satu faktor sangat penting. Mendorong
perubahan budaya kerja agar lebih terbuka dan profesional dalam melayani
permohonan informasi. Perlu diadakan sosialisai kepada masyarakat akan
adanya Keterbukaan Informasi Badan Publik teruatam Keterbukaan
Informasi pada badan peradilan yang pada akhirnya sudah tidak pada
97
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
tempatnya lagi sekarang menyalahkan peradilan karena tidak membuka
akses informasi kepada masyarakt. Justru kenyataannya berbalik, adalah
menjadi tanggung jawaban komuitas hukum untuk memanfaatkan serta
merespon keterbukaan informasi yang telah dilaksanakan oleh badan
peradilan.
Tolok ukur sukses atau tidaknya penyelenggaraan Pelayanan Publik
adalah kepuasan publik. Faktor kepuasaan masyarakat tersebut akan jatuh
pada lembaga pelayanan publik yang baik dan koperatif. Terbukti pada
tahun 2014, Mahkamah Agung mendapatkan Penghargaan tertinggi untuk
survey integritas sektor publik tahun 2013 dari KPK.
Sudah jadi kewajiban negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan
warganya lewat pelayanan publik.Kualitas pelaksanaannya yang dilakukan
oleh perangkat negara adalah penanda kinerja sebuah lembaga publik.
Pelayanan publik yang baik merupakan salah satu faktor yang menjamin
kesejahteraan rakyat.
Komitmen sekaligus semangat Pembaharuan Peradilan harus
diimplementasikan guna mempercepat pencapaian menuju Peradilan yang
modern, sebagai capaian dalam reformasi birokrasi menuju peradilan yang
agung sebagai capaian puncak. Memberikan keterbukaan baik proses
maupun hasil akhir merupakan wujud nyata dari layanan publik sebagai
akses terhadap keadilan (access to justice) yang diberikan oleh Pengadilan
pada level terbawah hingga Mahkamah Agung.
Daftar Pustaka
_________, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008
_________, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Keterbukaan
Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008
_________, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pelayanani Publik,
UU No. 25 Tahun 2009
_________, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI tentang Pedoman
Pelayanan Informasi di Pengadilan, No. 1-144/KMA/SK/I/2011
_________, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI tentang Pedoman
Pelayanan Informasi di Pengadilan, No. 026/KMA/SK/II/2012
_________, Peraturan Komisi Informasi tentang Standar Layanan Informasi
Publik, No. 1 Tahun 2010
Holidin, Defny, Reformasi Birokrasi dalam Praktik, Jakarta, 2013
Assegaf, Rifqi S. Pelatihan Keterbukaan Informasi Pengadilan, Bandung:
USAID-C4J, 2011
98
Keterbukaan Informasi di Peradilan, Ridwan Mansyur
Penguatan dan Perluasan Program Quick Wins Mahkamah Agung dan
Capaiannya, Ringkasan Laporan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi,
Mahakamah Agung RI, 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Keterbukaan_Informasi_
Publik
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pelayanan_Publik
99
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 83-100
100
ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM HUKUM PIDANA
INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN KONVENSI
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI 20031
(The Revere Burden of Proof Against Corruption Law in Indonesian
Criminal Law System Related With The 2003 United Nations Convention
Against Corruption)
Lilik Mulyadi
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Jl. Laksamana RE. Martadinata No.4, Ancol Selatan, Jakarta Utara
Email : [email protected]
Abstrak
Artikel ini akan menjelaskan mengenai hasil penelitian asas
pembalikan beban pembuktian terhadap tindak pidana korupsi dalam sistem
hukum pidana Indonesia dihubungkan dengan konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa Anti Korupsi 2003. Terdapat 2 pertanyaan mendasar yang menjadi
obyek penelitian, pertama: sejauh mana pergeseran beban pembuktian telah
dilaksanakan di pengadilan pidana tentang kasus korupsi, dan kedua, untuk
sejauh mana kebijakan legislasi berlaku untuk pergeseran beban pembuktian
dalam kaitannya dengan UNCAC 2003.
Artikel ini menggunakan penelitian normatif berupa regulasi,
konseptual, kasus dan pendekatan komparatif. Penelitian tersebut
menekankan interpretasi dan konstruksi hukum untuk memperoleh beberapa
norma hukum, konsepsi, daftar peraturan dan implementasinya dalam kasus
nyata. Peraturan dan pendekatan konseptual digunakan untuk mengetahui,
keberadaan, konsistensi dan harmonisasi mengenai pergeseran beban
pembuktian atas tindak pidana korupsi dalam tubuh Undang-Undang.
Pendekatan kasus menggunakan perbandingan hukum mengenai beban
pembalikan pembuktian atas korupsi offencer antara Indonesia dan negaranegara lain.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pergeseran beban pembuktian
tidak pernah diterapkan untuk kasus korupsi di Indonesia. Pengalaman
mereka tidak sama dengan pengalaman melawan korupsi di Hong Kong dan
India, wihich menerapkan beban pembalikan pembuktian dengan
1
Artikel ini merupakan ringkasan disertasi penulis yang telah dipertahankan pada Program
Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
pada tanggal 19 September 2007 dengan predikat cumlaude
101
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
menggunakan beberapa pendekatan yang disebut probabilitas seimbang
prinsip dalam kaitannya dengan properti atau aset yang berasal dari
terdakwa. Kebijakan regulasi korupsi Indonesia, khususnya pasal 12B, 37,
37A, 38B ternyata itu tidak jelas dan tidak harmonis dengan norma
pungutan langsung warisan pergeseran beban formulasi bukti sehubungan
dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003). Jadi, diperlukan
(kebutuhan) dari modifikasi biaya pergeseran beban pembuktian formulasi
yang preventif, represif dan restoratif.
Kata Kunci : Pembalikan Beban Pembuktian, Tindak Pidana Korupsi,
Sistem Hukum Pidana Indonesia
Abstract
This article describes some problems of the result of research
regarding the shifting of burden of proof upon corruption offences in the
Indonesian system of criminal law with regards UN Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003. There are two basic questions which become
the research objections, firstly: to what extent the shifting of burden of proof
has been implemented in the criminal court regarding corruption cases, and
secondly, to what extent does the legislation policy apply for the shifting of
burden of proof in relation with UNCAC 2003.
The article uses normative research which regulation, conceptual,
case and comparative approach. Such research emphasizes interpretation
and legal construction to obtain some legal norms, conception, regulation
list and its implementation in concreto cases. Regulation and conceptual
approach to used how to know, existention, consistency and harmonization
regarding the shifting of burden of proof upon corruption offences in
legislation body. The cases approach uses comparative law regarding the
reversal burden of proof upon corruption offencer between Indonesia and
the other countries.
This research shows that the shifting of burden of proof has never
yet applied for in the corruption cases Indonesia. Those experiences is not
similar with the experiences of against corruption Hong Kong and India,
wihich implement the reversal burden of proof by using some approach socalled balanced probability of principles in the relation to the property or
asset of defendant comes from. The Indonesian corruption regulation policy,
especialy article 12B, 37, 37A, 38B apparently it’s not cleaq and
disharmony to norm of sudden charge of fortune the shifting of burden of
proof formulation in connection with United Nations Convention Against
Corruption 2003(KAK 2003). So, necessary (needs) of modification sudden
charge of fortune shifting of burden of proof formulation which preventive,
represive and restorative characteristic.
102
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Keywords : Shifting the Burden of Proof, Corruption Offences, Criminal
Justice System
A. Pendahuluan
Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka
dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Lebih lanjut, menurut
doktrin, ketentuan hukum publik merupakan hukum yang mengatur
kepentingan umum (algemene belangen) sedangkan ketentuan hukum privat
mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen). Apabila ditinjau dari
aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum
pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil
(materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (“Formeel Strafrecht” /
“Strafprocesrecht”).2
Dikaji dari perspektif sejarahnya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi3
menyebutkan bahwa hukum pidana yang bersifat hukum publik seperti
dikenal sekarang ini telah melalui suatu perkembangan yang panjang.
Perkembangan hukum pidana dipandang sebagai suatu tindakan merusak
atau merugikan kepentingan orang lain dan disusuli suatu pembalasan.
Pembalasan itu umumnya tidak hanya merupakan kewajiban dari seseorang
yang dirugikan atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban
dari seluruh keluarga, famili dan bahkan beberapa hal menjadi kewajiban
dari masyarakat.
Konsekuensi logis dimensi perkembangan hukum pidana
sebagaimana konteks di atas, ada sifat privat dari hukum pidana. Seiring
berjalannya waktu dan masyarakat hukum yang relatif lebih maju maka
hukum pidana kemudian mengarah, lahir, tumbuh dan berkembang menjadi
bagian dari hukum publik seperti dikenal sekarang ini. Secara gradual, hukum
pidana sebagai bagian hukum publik eksistensinya bertujuan melindungi
kepentingan masyarakat dan negara dengan melakukan perimbangan yang
serasi dan selaras antara kejahatan di satu pihak dari tindakan penguasa yang
2
Lebih detail dapat dilihat: L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta, 2005, hlm. 171, Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas PasalPasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003, hlm. 5, J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana
Material Bagian Umum, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 2-3, A. Zainal Abidin
Farid, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 4-5, H. Muchsin, Ikhtisar
Ilmu Hukum, Penerbit IBLAM, Jakarta, 2006, hlm. 37, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 73-75, Yurisprudensi Mahkamah
Agung Tahun 1970, dalam: Yurisprudensi Indonesia, Penerbit Mahkamah Agung RI,
Jakarta, 1970, hlm. 143-146 dan Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-Asas
Umum Hukum Acara Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 3
3
E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
Penerbit Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1996, hlm. 38
103
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
bertindak secara sewenang-wenang di lain pihak. Selanjutnya, ketentuan
hukum pidana sesuai konteks di atas dapat diklasifikasikan menjadi hukum
pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare, ius
speciale atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum
dimaksudkan berlaku secara umum sebagaimana termaktub dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana khusus
menurut W.P.J. Pompe, H.J.A. Nolte, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan
ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai subyeknya dan perbuatan
yang khusus (bijzonder lijkfeiten) 4.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai
spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti
penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan
seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap
keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC), 2003)5 mendeskripsikan masalah korupsi sudah merupakan
ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan
internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan
serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan
hukum. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (selanjutnya disingkat KAK
2003) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun
2006, menimbulkan implikasi karakteristik dan subtansi gabungan dua
sistem hukum yaitu “Civil Law” dan “Common Law”, sehingga akan
berpengaruh kepada hukum positif yang mengatur tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Romli Atmasasmita menyebutkan implikasi yuridis tersebut, bahwa:
nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri
(illicit enrichment) dimana ketentuan Pasal 20 (United Nations
4
W.P.J. Pompe, Handboek van het Nederlandsche Strafrecht, NV Uitgevermaatschappij
W.E.J. Tjeenk-Willink, Zwollo, 1959, Hlm. 32-33, H.J.A. Nolte, Het Strafrecht en de
Alzonderlijke Welten, Nijmegen: Utrecht-Dekker & von de vegt, 1949, hlm. 97, Sudarto,
Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hlm. 61 dan E.Y. Kanter &
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Op.Cit, hlm. 22.
5
Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi
PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta,
2006, hlm. 1 dan Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam
Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius
Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Paper,
Jakarta, 2006, hlm. 1., dan vide pula: Romli Atmasasmita, Strategi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Di Sektor Swasta Dalam Lingkup Konvensi PBB Anti Korupsi
2003, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 7, serta: Romli Atmasasmita, Indonesia Pasca Konvensi
PBB Menentang Korupsi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 5 dan: Romli Atmasasmita, Strategi
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 3
104
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Convention Against Coruuption (UNCAC) 2003 menentukan,
bahwa: ...each State Party shall consider adopting... to establish as
a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment,
that is, a significant increase in the assets of a public official that he
or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful
income” 6.
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi
merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan
mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat
internasional. Konggres PBB ke-8 mengenai “Prevention of Crime and
Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in
Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi,
berupa :
1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):
a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis
program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of
all types of govermental programmes”)
b. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”).
c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize
individuals and groups”).
2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan
ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.7
Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar
tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan
multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis,
sosiologis, budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya.8 Oleh karena
itu, tindak pidana korupsi bukan saja dapat dilihat dari perspektif hukum
pidana, melainkan dapat dikaji dari dimensi lain, misalnya perspektif legal
policy (law making policy dan law enforcement policy), Hak Asasi Manusia
(HAM) maupun Hukum Administrasi Negara. Selintas, khusus dari
perspektif Hukum Administrasi Negara ada korelasi erat antara tindak
pidana korupsi dengan produk legislasi yang bersifat Administrative Penal
6
Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta,
2006, hlm. 9-10 dan vide pula: Romli Atmasasmita, Desain Pemberantasan Korupsi,
Paper, Jakarta, 2006, hlm. 2
7
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 69 dan vide pula: Barda
Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm.
148
8
Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan ..., Op.Cit, hlm. 1
105
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
Law.9 Melalui aspek sejarah kebijakan hukum pidana (criminal law policy)
maka telah ada peraturan Perundang-undangan di Indonesia selaku hukum
positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi.10
Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana
dikemukakan. Romli Atmasasmita, bahwa:
“Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik
dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah
mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan
biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang
sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji
dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan
kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai
saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak
ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia 11.
9
Dalam konteks Hukum Pidana maka istilah Administrative Penal Law adalah semua
produk legislasi berupa Perundang-undangan (dalam lingkup) Administrasi Negara yang
memiliki sanksi pidana. Tidak semua Administrative Penal Law merupakan tindak pidana
korupsi, dan untuk menentukannya sebagai tindak pidana korupsi harus mengacu kepada
ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan ”Setiap orang yang
melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidan korupsi, berlaku
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”. Ketentuan Pasal tersebut di atas
memegang teguh asas Lex Specialis Systematic Derogat Lex Generali karena melalui
penafsiran secara a contrario Pasal 14 menentukan, selain Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tidak ditegaskan bahwa pelanggaran atas ketentuan pidana dalam undangundang
lain merupakan tindak pidana korupsi maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan. (Romli
Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Penerbit
CV Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 45 dan vide: Indriyanto Seno Adjie, ”Kendala
Administrative Penal Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi & Pencucian Uang”, Paper,
Jakarta, 2007, hlm.5 serta: Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hlm. 40)
10
Hukum Positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi antara lain
berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian UndangUndang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000, Keppres Nomor 11 Tahun 2005, Inppres Nomor 5
Tahun 2004 dan lain sebagainya.
11
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia,
Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Jakarta, 2002, hlm. 25 dan vide pula: Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan
Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006, hlm. 111
106
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Secara gradual Sistem Hukum Pidana Indonesia (SHPI) meliputi
hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Hukum pidana materiil
terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Kemudian hukum pidana
formal bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, tindak
pidana umum dalam KUHP maupun tindak pidana khusus di luar KUHP
sebagaimana halnya tindak pidana korupsi mengenal hukum pembuktian.
Secara teoritik asasnya Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana mengenal 3
(tiga) teori tentang sistem pembuktian, yaitu berupa: Kesatu, Sistem
Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke
Bewijs Theorie) dengan tolok ukur sistem pembuktian tergantung kepada
eksistensi alat-alat bukti yang secara limitatif disebut dalam UndangUndang. Singkatnya, Undang-Undang telah menentukan adanya alat-alat
bukti mana dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus
mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana
caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang
diadili. Kedua, Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim polarisasinya
hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan
tidak terikat oleh suatu peraturan. Ketiga, Sistem Pembuktian menurut
Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) yaitu
hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti
tersebut secara limitatif ditentukan undangundang dan didukung pula
adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti yang
bersangkutan.
Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi
diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada
UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat
dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B.
Apabila dicermati maka UU tindak pidana korupsi mengklasifikasikan
pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem. Pertama, pembalikan beban
pembuktian12 dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak
melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku
untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf
a) dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya
dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti polarisasi
pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa
pembatasan yang ketat terhadap penerapan pembalikan beban pembuktian
12
Ada beberapa terminologi untuk menyebutkan asas pembalikan beban pembuktian atau
pembuktian terbalik (Indonesia) yaitu Shifting of burden of proof atau Reversal burden of
proof (Inggris), Omkering van de bewijslast (Belanda), dan Onus of Proof (Latin)
107
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut
berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada pemberian (gratifikasi)
dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp.10.000.000,00 atau
lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang
melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in strijd met zijn
plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua,
pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang
terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa
maupun jaksa penuntut umum secara berimbang terhadap objek pembuktian
yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A). Ketiga, sistem konvensional
dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada jaksa
penuntut umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima
gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah
(Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok.
Sistem hukum pidana Indonesia khususnya terhadap beban
pembuktian dalam tindak pidana korupsi secara normatif mengenal asas
pembalikan beban pembuktian yang ditujukan terhadap kesalahan orang
(Pasal 12 B ayat (1), Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001) dan kepemilikan harta benda terdakwa (Pasal 37A, Pasal 38 B
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Secara kronologis
pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal
dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada “certain cases”
khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang
berkorelasi dengan “bribery” (suap), misalnya seperti di United Kingdom of
Great Britain, Republik Singapura dan Malaysia. Di United Kingdom of
Great Britain atas dasar “Prevention of Corruption Act 1916” terdapat
pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus
tertentu” (Presumption of corruption in certain cases) yang redaksional
berbunyi sebagai berikut:
“where in any proceeding against a person for an offence under the
Prevention of Corruption Act 1906, or the Public Bodies Corrupt
Practices Act 1889, it is proved that any money, gift, or other
considerations has been paid or given to or received by a person in
the employment of His Majesty or any Government Department or a
public body by or from a person, or agent of a person, holding or
seeking to obtain a contract from His Majesty or any Goverment
Department or public body, the money, gift, or consideration shall be
deemed to have been paid or given and received corruptly as such
108
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
inducement or reward as in mentioned in such Act unless the contrary
is proved” 13.
Di Malaysia atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997
(“Anti Corruption Act 1997 (Act 575)”) yang mulai berlaku sejak tanggal 8
Januari 1998 menentukan:
“Where in any proceeding against any person for an offence under
section 10, 11, 13, 14 or 15 it is proved that any gratification has
been accepted or agreed to be acepted, obtained, or attempted to be
abtained, solicited, given or agreed to be given, promised or offered
by or to the accused, the gratification shall be presumed to have
been corruptly accepted or agreed to be accepted, obtained or
attempted to be obtained, solicited, given or agreed to be given,
promised, or offered as an inducement or a reward for or on account
of the matters set out in the particulars of the offence, unless the
contrary is proved” 14.
Berikutnya di Singapura, atas dasar “Prevention of Corruption Act
(Chapter 241)” ditegaskan pula sebagai berikut:
“Where in any proceeding against a person for an offence under
section 5 or 6, it is proved that any gratification has been paid or
given to or received by a person in the employment of the Goverment
or any department there of or of a public body by or from a person
or agent of a person who has or seeks to have any dealing with the
Goverment or any department there of or any public body, that
grafitication shall be deemed to have been paid or given and
received corruptly as a inducement or reward as herein before
mentioned unless the contrary is proved” 15.
Keluarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maka
pembalikan beban pembuktian 16 dikenal juga dalam rumpun hukum Eropa
13
Muladi, Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reversel Burden of
Proof atau Shifting Burden of Proof), Majalah Varia Peradilan, Jakarta, Juli 2001, hlm. 122.
14
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 53
15
Muladi, Sistem Pembuktian ....., Op. Cit., hlm. 123 dan vide pula: M. Akil Mochtar,
Memberantas Korupsi Efektivitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam
Gratifikasi, Penerbit Q-Communication, Jakarta, 2006, hlm. 31
16
Dalam ketentuan UU 20/2001 maka dikenal pembalikan beban pembuktian terbalik yang
bersifat absolut/mutlak seperti ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan ketentuan Pasal 38
B yang dilakukan oleh terdakwa semata-mata, dan oleh Penuntut Umum sebagaimana
ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf b dan Pasal 38 C UU 20/2001 dan terdakwa maupun
Penuntut Umum secara berimbang membuktikan sebagaimana ketentuan Pasal 37 dan 37A.
109
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
Kontinental seperti Indonesia. Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU
Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi ;
b. yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Eksistensi pembalikan beban pembuktian dari perspektif kebijakan
legislasi dikenal dalam tindak pidana korupsi sebagai ketentuan yang
bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung prevensi khusus.
Tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes yang memerlukan
extra ordinary enforcement dan extra ordinary measures maka aspek krusial
dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi adalah upaya pemenuhan beban
pembuktian dalam proses yang dilakukan aparat penegak hukum. Dimensi
ini diakui Oliver Stolpe bahwa:
“One of the most difficult issues facing prosecutors in large-scale
corruption cases is meeting the basic burden of proof when
prosecuting offenders and seeking to recover proceeds”. 17
Ditetapkannya pembalikan beban pembuktian maka menjadi beralih
beban pembuktian (shifting of burden proof) dari Jaksa Penuntut Umum
kepada terdakwa. Akan tetapi, walaupun pembalikan beban pembuktian
dilarang terhadap kesalahan/perbuatan orang dan keseluruhan delik korupsi
akan tetapi secara normatif diperbolehkan terhadap gratifikasi delik
penyuapan dan perampasan harta kekayaan orang yang melakukan tindak
pidana korupsi. Dalam praktik hal ini telah diterapkan Pengadilan Tinggi
Hongkong (Court of Appeal of Hong Kong) berdasarkan ketentuan Pasal 11
17
Oliver Stolpe, Meeting the burden of proof in corruption-related legal proceedings,
unpublished, hlm. 1
110
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
ayat (1) Hong Kong Bill of Rights Ordinance 1991 18. Apabila dikaji secara
selayang pandang dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi menterapkan
adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi
disebabkan ada kesulitan dalam sistem hukum pidana Indonesia untuk
melakukan pembuktian terhadap perampasan harta kekayaan pelaku
(offender) apabila dilakukan dengan mempergunakan teori pembuktian
negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek yuridis luar biasa dan perangkat
hukum luar biasa pula berupa sistem pembalikan beban pembuktian sehingga
tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah dengan tetap
memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM), dan juga tetap memperlakukan
sistem pembuktian beyond reasonable doubt.
Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian dalam perkara
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang diatur dalam ketentuan Pasal 12B,
37 dan 37A, 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, menimbulkan problematika.
Pertama, ketentuan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 salah susun karena keseluruhan delik tidak ada disisakan untuk
pembalikan beban pembuktian. Kedua, ketentuan Pasal 37 UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 senyatanya bukanlah pembalikan
beban pembuktian oleh karena ketentuan tersebut semata-mata adalah hak
sehingga ada tidaknya pasal itu tidak akan berpengaruh terhadap pembuktian
yang dilakukan terdakwa. Krusial dapat dikatakan, walaupun norma Pasal 37
tidak dicantumkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi terdakwa tetap
melakukan pembelaan diri terhadap dakwaan yang dituduhkan kepada
18
Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995 tanggal 3 April 1995
antara Attorney-General of Hong Kong v Hui Kin Hong menyatakan ketentuan Pasal 10
ayat (1) huruf a Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201 (Section 10 of the Prevention of
Bribery Ordinance of Hong Kong) meletakkan beban pembuktian kepada terdakwa Hui Kin
Hong tidak melakukan korupsi. PT Hong Kong berpendapat sebelum terdakwa dipanggil
membuktikan asal usul kekayaan yang jauh melebihi penghasilannya maka penuntut umum
harus membuktikan terlebih dahulu secara “beyond reasonable doubt”, tentang status Hui
Kin Hong sebagai pembantu ratu tersebut, standart hidup bersangkutan selama penuntutan
dan total penghasilan resmi yang diterima selama itu, dan juga harus dapat membuktikan
bahwa kehidupan yang bersangkutan tidak dapat dijangkau oleh penghasilannya itu.
Apabila penuntut umum dapat membuktikan seluruhnya, maka kewajiban terdakwa
menjelaskan bagaimana dapat hidup mampu dengan kekayaan yang ada, atau bagaimana
kekayaannya tersebut berada di bawah kekuasaannya untuk mendapatkan ketidakwajaran
sumber keuangan tersebut. Apabila pembuktian tersebut telah dilakukan maka PT Hong
Kong harus memutuskan apakah hal-hal tersebut dapat diperhitungkan sebagai standart
hidup yang berlebihan atau sebagai sumber keuangan yang tidak sepadan dengan harta
bendanya. PT Hong Kong berpendapat proses acara itu tidak bertentangan Pasal 11 ayat (1)
UU HAM Hong Kong (Articel 11Hong Kong Bill of Rights Ordinance Nomor 59 Tahun
1991) karena terdakwa sudah diberikan haknya untuk menjelaskan tentang asal usul
kepemilikan harta kekayaannya dan juga penuntut umum sudah diwajibkan untuk
membuktikan hal-hal tersebut, sistem pembuktian seperti ini, disebut sistem “balance
probabilities”.
111
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
dirinya. Berikutnya, apabila ketentuan Pasal 37 dimaksudkan pembentuk
Undang-Undang sebagai pembalikan beban pembuktian maka hal ini
berhubungan dengan kesalahan yang bertitik tolak asas praduga bersalah dan
asas mempersalahkan diri sendiri. Padahal dalam tindak pidana korupsi
pokok selain gratifikasi haruslah mempergunakan asas praduga tidak
bersalah dan kewajiban membuktikan tetap dibebankan kepada jaksa
penuntut umum. Ketiga, pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda
terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B) hanya dapat dijatuhkan
terhadap tindak pidana pokok (Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat dijatuhkan
terhadap gratifikasi sesuai ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor
31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Lebih jauh dapat dikatakan
bahwa khusus terhadap gratifikasi Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 maka jaksa penuntut umum tidak
dapat melakukan perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi. Begitu juga sebaliknya terdakwa tidak dibebankan
melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap asal usul hartanya.
Keempat, pasca berlakunya KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian
ditujukan dalam konteks keperdataan (civil procedure) untuk
mengembalikan harta pelaku yang diakibatkan dari perbuatan korupsi.
Adanya pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan
Pasal 37 dengan delik gratifikasi Pasal 12B UU UU Nomor 31 Tahun 1999
jo UU Nomor 20 Tahun 2001 maka korelasinya pembalikan beban
pembuktian pada ketentuan Pasal 37 berlaku pada tindak pidana suap
menerima gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000, 00 (sepuluh juta rupiah)
atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a). Kemudian korelasinya dengan Pasal
37A ayat (3) bahwa pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan Pasal
37 berlaku dalam aspek pembuktian tentang sumber (asal) harta benda
terdakwa dan lain-lain di luar perkara pokok sebagaimana pasal-pasal yang
disebutkan dalam ketentuan Pasal 37A in casu hanya terhadap tindak pidana
korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut dalam ketentuan Pasal 37A ayat
(3) UU Nomor 20 Tahun 2001.
Oleh karena itu, dari apa yang telah diuraikan konteks di atas
ternyata dimensi pembalikan beban pembuktian dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia menurut ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan
Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
ditemukan ketidakharmonisan normanya terlebih lagi dihubungkan dengan
KAK 2003. Pembalikan beban pembuktian dalam Sistem Hukum Anglo
Saxon atau Case Law pada Negara Malaysia, Singapura, Inggris dan lain
sebagainya mengenal pembalikan beban pembuktian diterapkan terbatas
terhadap perkara-perkara tertentu (“certain cases”) yang berkaitan dengan
112
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
tindak pidana korupsi, khususnya pemberian (“gratification”) dalam
konteks penyuapan (“bribery”).
Fakta di dalam masyarakat dan di pengadilan banyak putusan hakim
terhadap pelaku tindak pidana korupsi akan tetapi sampai sekarang relatif
belum ditemukan penerapan kasus pembalikan beban pembuktian. Oleh
karena ada nuansa ditataran implementasi sehingga tentu menarik apabila
dikaji lebih detail tentang bagaimana praktik peradilan pidana terhadap asas
pembalikan beban pembuktian perkara tindak pidana korupsi jikalau
dihubungkan dengan KAK 2003 dan bagaimana kebijakan legislasi terhadap
pembalikan beban pembuktian dalam peraturan tindak pidana korupsi di
Indonesia tersebut beserta implikasi yuridisnya pasca berlakunya KAK
2003.
Konsekuensi dan implikasi tersebut baik terhadap praktik peradilan
dan perumusan norma pada umumnya di satu sisi dan di sisi lainnya tentu
diperlukan pula adanya suatu solusi bagaimana sebaiknya kebijakan
legislasi memformulasikan pengaturan secara normatif mengenai asas
pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya terutama menyangkut asal usul kekayaan pelaku dengan
implikasi adanya KAK 2003 yang sesuai dengan sistem hukum pidana
Indonesia.
B. Metode Pendekatan
Tulisan ini mempergunakan metode deskriptif analisis dengan
pendekatan yuridis normatif melalui pendekatan perundangan-undangan
(Statute Approach), pendekatan konseptual (Analytical and Conceptual
Approach), pendekatan kasus (Case Approach), dan pendekatan komparatif
(Comparative Approach) dengan menggunakan penalaran deduktif dan/atau
induktif guna mendapatkan dan menemukan kebenaran obyektif. Adapun
teknik pengumpulan bahan dan data dilakukan dengan cara studi
kepustakaan, terutama terhadap bahan yang ada hubungannya dengan obyek
penulisan ini.
C. Tinjauan Pustaka
Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat)
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga.
Secara konseptual maka teori negara hukum menjunjung tinggi sistem
hukum yang menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya,
suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan
(equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk
menggunakan hak asasinya.
113
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
Substansi elementer dalam suatu negara hukum selain terdapat
persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuasaan
ini juga berubahubah, bergantung kepada keadaan. Namun, sarana yang
dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik
negara maupun individu adalah subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan
hubungan individu dengan negara senantiasa dalam keseimbangan. Keduaduanya mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum.
Roescoe Pound19 menyebutkan ada dua kebutuhan pentingnya
pemikiran secara filosofis tentang negara hukum. Pertama, kebutuhan
masyarakat yang besar akan keamanan umum. Kebutuhan akan perdamaian
dan ketertiban guna mewujudkan keamanan mendorong manusia mencari
aturan yang mengatur manusia terhadap tindakan yang sewenang-wenang
dari penguasa maupun individu sehingga dapat mendirikan suatu
masyarakat yang mantap. Kedua, adanya kebutuhan untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan di bidang keamanan umum dan membuat
kompromi-kompromi baru secara terus menerus dalam masyarakat karena
terjadinya perubahan dan untuk itu diperlukan adanya penyesuaianpenyesuaian agar tercapai suatu hukum yang sempurna.
Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum
pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma 20.
Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu
sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements),
semua elemen saling terkait (relations) dan kemudian membentuk struktur
(structure) 21. Lawrence M. Friedman, menyebutkan sistem hukum dalam
arti luas dengan tiga elemen yaitu struktural (structure), substansi
(substance) dan budaya hukum (legal culture) 22. Ketiga elemen tersebut
saling mempunyai korelasi erat. Lawrence M. Friedman lebih lanjut
mendeskripsikan ketiga elemen sistem hukum tersebut diumpamakan
sebuah mesin dimana budaya hukum sebagai bahan bakar yang menentukan
hidup dan matinya mesin tersebut. Konsekuensi aspek ini maka budaya
hukum begitu urgen sifatnya. Oleh karena itu, tanpa budaya hukum, sistem
hukum menjadi tidak berdaya, seperti seekor ikan mati yang terkapar di
dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan hidup yang berenang di lautan.23
19
Roescoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, New
Haven, 1959, hlm. 107
20
Hans Kelsen, Loc. Cit.
21
Charles Sampford, Loc. Cit.
22
Lawrence Friedman, Loc. Cit.
23
Lawrence Friedman, American Law..., Op. Cit., hlm. 7 menyebutkan dengan terminologi,
“without legal culture, the legal system is inert – a dead fish lying in a basket, not a living
fish swimming in its sea”.
114
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Marc Ancel menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus
diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh
usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli di
bidang ilmu-ilmu sosial 24. Sistem Hukum Pidana asasnya memiliki empat
elemen substantif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic),
adanya asas-asas hukum (legal principles), adanya norma atau peraturan
Perundang-undangan (legal rules) dan masyarakat hukum sebagai pendukung
sistem hukum tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini tersusun
dalam suatu rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida, bagian atas
adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan Perundang-undangan yang berada di
bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat 25. Roeslan Saleh
menyebutkan bahwa korelasi asas hukum dengan hukum maka asas hukum
menentukan isi hukum dan peraturan hukum positif hanya mempunyai arti
hukum jika dikaitkan dengan asas hukum 26. Oleh karena itu, menurut Satjipto
Rahardjo asas hukum merupakan ”jantungnya” peraturan hukum 27. Paul
Scholten memformulasikan asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar, yang
terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan
dalam aturan-aturan Perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang
berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan
individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.28 Lebih lanjut, menurut
J.J.H. Bruggink, maka asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri, yang
sebagian termasuk dalam sistem hukum, tetapi sebagian lainnya tetap berada
di luarnya sehingga asas-asas hukum itu berada baik di dalam sistem hukum
maupun di belakangnya.29 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati,
menyebutkan asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum merupakan disiplin
tengah yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene
rechtsleer) 30. Roeslan Saleh, selanjutnya menegaskan, bahwa :
”...tiap kali aparat hukum membentuk hukum, asas ini selalu dan
terus menerus mendesak masuk ke dalam kesadaran hukum dari
pembentuk. Sejauh dia mempunyai sifat-sifat konstitutif dia tidak
dapat dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak dapat
24
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London,
Routledge & Kegan Paul, 1965), hlm. 4-5, dikutif dari: Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
25
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 22
26
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Penerbit Karya
Dunia Fikir, Jakarta, 1996, hlm. 5
27
Satjipto Rahardjo, Ilmu ...., Op. Cit., hlm. 45
28
J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang..., Op. Cit., hlm. 119-1 2 0
29
J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi..., Ibid, hlm. 122
30
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Penerbit Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 9
115
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
dikesampingkannya. Jika hal itu dilakukannya, maka terjadilah yang
disebut non-hukum atau yang kelihatannya saja sebagai hukum” 31.
Pendapat Marc Ancel dan A. Mulder memberikan pengertian sistem
hukum pidana meliputi 2 (dua) aspek krusial yaitu mengenai sistem
pemidanaan dan pembaharuan hukum pidana. Secara singkat maka sistem
pemidanaan dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan
pidana”. Oleh karena itu, maka sistem pemidanaan merupakan sistem
penegakan hukum pidana yang merupakan lingkup sistem hukum pidana.
Sistem Hukum Pidana yang mempunyai dimensi sistem pemidanaan
dapat dilihat dari sudut fungsional dan sudut substansial. Analisis dari sudut
fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai
keseluruhan sistem (aturan perundangan-undangan) sebagai konkretisasi
pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan
secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Barda
Nawawi Arief 32 secara lengkap membagi sistem pemidanaan ini dari sudut
fungsional terdiri dari subsistem Hukum Pidana Materil/Substantif, Hukum
Pidana Formal, dan subsistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Oleh karena itu,
maka ketiga subsistem tersebut saling berkaitan dan merupakan satu
kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana
dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu subsistem saja.
Kemudian dari sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan
sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materil untuk pemidanaan
dan pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan Perundang-undangan
(“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun Undang-Undang
khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem
pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan
khusus” (“special rules”). 33
Sistem Hukum Pidana selain mempunyai dimensi sistem
pemidanaan bersifat fungsional dan substansial maka menurut asumsi dan
batasan dari Marc Ancel serta A. Mulder berorientasi juga dengan
pembaharuan hukum pidana. Barda Nawawi Arief melihat upaya
pembaharuan hukum pidana (“penal reform”) pada hakikatnya termasuk
bidang “penal policy” yang merupakan bagian dan terkait erat dengan “law
enforcement policy”, “criminal policy”, dan “social policy.”34 Aspek ini
dapat diartikan bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari
memperbaharui substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan
memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai
31
Roeslan Saleh, Ibid.
Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm. 262
33
Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm. 263
34
Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm. 3
32
116
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
social defence dan social welfare dan penegakan hukum pidana. Dengan
demikian, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan (“policy oriented approach”) dan
sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value oriented
approach”).35 Mudzakkir36 menyebutkan pembaharuan hukum pidana
terjadi melalui beberapa kemungkinan.
Pertama, pembaharuan hukum pidana terjadi karena dipengaruhi
pergeseran unsur masyarakat hukum atau pergeseran elemen bawah ke atas
(bottom up). Kedua, karena pergeseran nilai yang mendasari hukum atau
elemen atas mempengaruhi elemen di bawahnya (top down). Ketiga,
pergeseran gabungan pertama dan kedua yaitu terjadi pada elemen nilai atau
elemen masyarakat hukum tidak secara otomatis membawa pergeseran
hukum tetapi hukum yang berlaku diberi perspektif baru sesuai nilai baru
atau keadaan baru tersebut.
D. Praktik Pembuktian Perkara Tindak di Hong Kong dan India
Praktik pembuktian kasus korupsi dengan pembalikan beban
pembuktian di Indonesia belum pernah dilaksanakan. Akan tetapi, praktik
pembuktian perkara tindak pidana korupsi di beberapa negara telah
dilaksanakan seperti di Hong Kong dan India. Pada kasus di Hong Kong
Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara The Attorney General of Hong
Kong v Hui Kin Hong dan The Attorney General of Hong Kong v Lee Kwong
Kut 37 Konklusi dasar kasus di atas memberikan deskripsi memadai bahwa
Pengadilan Tinggi Hong Kong menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf
a Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201 meletakkan beban pembuktian
kepada terdakwa untuk menyatakan bahwa Hui Kin Hong tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Akan tetapi Pengadilan Tinggi Hong Kong
berpendapat bahwa sebelum terdakwa dipanggil untuk membuktikan tentang
asal usul kekayaannya yang jauh melebihi penghasilannya maka jaksa
penuntut umum harus membuktikan terlebih dahulu secara “beyond
reasonable doubt”, tentang status Hui Kin Hong sebagai pembantu ratu
tersebut, standart hidup yang bersangkutan selama penuntutan dan total
penghasilan resmi yang diterima selama itu, dan juga harus dapat
membuktikan bahwa kehidupan yang bersangkutan tidak dapat dijangkau
oleh penghasilannya itu. Apabila penuntut umum dapat membuktikan
seluruhnya, maka kewajiban terdakwa untuk menjelaskan bagaimana yang
35
Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm. 3-4
Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 159
37
Hong Kong Legal Information Institute melalui http://www.hklii.org/cgihklii.org
/disp.pl/hk/jud/en/hkca/1997/CACC000722%5f1995.html?queryz%7e+hui+kin+hong
didownload pada tanggal 15 Januari 2007
36
117
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
bersangkutan dapat hidup mampu dengan kekayaan yang ada, atau bagaimana
kekayaannya tersebut berada di bawah kekuasaannya atau bagaimana
terdakwa Hui Kin Hong mendapatkan ketidakwajaran sumber keuangan atau
harta kekayaan tersebut. Pengadilan Tinggi Hong Kong kemudian harus
memutuskan apakah hal-hal tersebut dapat diperhitungkan sebagai standrat
hidup yang berlebihan atau sebagai sumber keuangan yang tidak sepadan
dengan harta bendanya. Secara gradual asumsi dasar polarisasi demikian
maka Pengadilan Tinggi Hong Kong berpendapat bahwa, dengan proses acara
seperti itu tidak ada pertentangan dengan konstitusi ketentuan Pasal 11 ayat
(1) UU HAM Hong Kong karena yang bersangkutan sudah diberikan haknya
untuk menjelaskan tentang asal usul kepemilikan harta kekayaan terdakwa
dan juga jaksa penuntut umum sudah diwajibkan untuk membuktikan hal-hal
tersebut.38 Pembalikan beban pembuktian yang diterapkan oleh Pengadilan
Tinggi Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995 tanggal 3 April 1995 terhadap
terdakwa Hui Kin Hong maka untuk itu terlebih dahulu Jaksa Penuntut
Umum membuktikan terhadap diri terdakwa tentang status Hui Kin Hong
sebagai pembantu ratu tersebut, standart hidup yang bersangkutan selama
penuntutan dan total penghasilan resmi yang diterima selama itu, dan juga
harus dapat membuktikan bahwa kehidupan yang bersangkutan tidak dapat
dijangkau oleh penghasilannya itu. Pada dasarnya, teori Pembalikan Beban
Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan mengkedepankan keseimbangan
secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi,
dan perampasan hak individu bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaan
yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi lainnya. Teori Pembalikan Beban
Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan pada hakikatnya tetap
mempertahankan prinsip pembuktian “beyond reasonable doubt” yang
diterapkan kepada terdakwa, akan tetapi secara bersamaan sekaligus
menerapkan prinsip pembalikan beban pembuktian terhadap kepemilikan
harta kekayaan terdakwa. Sistem pembuktian yang bersifat “berimbang” atau
“balance probabilities” tersebut pada pokoknya menempatkan HAM pelaku
tindak pidana korupsi pada level yang paling tinggi karena apabila tidak
ditempatkan seperti itu akan rentan terhadap pelanggaran ketentuan hukum
acara, instrumen hukum nasional dan hukum internasional. Kemudian dengan
demikian pada level yang paling bawah secara bersamaan maka pelaku tindak
pidana korupsi membuktikan beban pembuktian terbalik terhadap asal usul
mengenai harta kekayaannya yang diduga berasal dari delik korupsi.
Dalam praktiknya maka sistem “balance probabilities” bukan saja diterapkan pada
kasus korupsi akan tetapi juga diterapkan terhadap kasus narkotika, hasil pemilihan umum,
HAM, dan lain sebagainya. Misalnya, untuk kasus narkotika pada kasus Salabiaku v
France 13 EHRR 379, Hoang v France 16 EHRR 53, hasil pemilihan umum pada kasus R
v DPP ex parte Kebilane (2000) 2 AC 326, Brown v Scott (2001) 2 WLR 817, kasus HAM
pada Drozd and Janousek v France (1992) 14 EHRR 745, dan lain sebagainya.
38
118
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Bertrand de Speville dengan titik tolak dari Putusan Pengadilan Tinggi Hong
Kong sebagaimana konteks di atas secara eksplisit menyatakan pembalikan
beban pembuktian secara “balanced probabilities” antara Jaksa dan terdakwa
yaitu Jaksa membuktikan kesalahan dari terdakwa sedangkan terdakwa
menjelaskan tentang asal usul kepemilikan harta bendanya tersebut tidak
bertentangan dengan HAM.39 Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope dan
Oliver Stolpe 40 menyebutkan ada korelasi erat antara asas praduga tidak
bersalah dengan aspek pembalikan beban pembuktian dalam hal
mengungkapkan asal usul kepemilikan harta pelaku tindak pidana korupsi.
Apabila dijabarkan, korelasi dimensi tersebut disatu sisi untuk mendapatkan
keseimbangan hak antara kebutuhan masyarakat melindungi diri dari praktik
korupsi dan disisi lain implisit mensiratkan adanya kebutuhan atas rasa aman
dari tuduhan yang tidak adil, gangguan secara tidak adil ke dalam hak milik
seseorang atau kesalahan atas penghukuman.
Kemudian terhadap praktik di India berdasarkan Putusan Mahkamah
Agung India antara State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan Putusan
Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney
General for India (AIR 1963 SC 255).41 Putusan Mahkamah Agung India
(Supreme Court of India) dalam putusannya melalui register perkara State
of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer (1957) INSC 79; (1958) SCR 580; AIR
1958 SC 61 (26 September 1957) kemudian menyatakan bahwa terdakwa A.
Vaidnyanatha Iyer dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 of the Prevention of Corruption
Act (II of 1947) yang pada pokoknya mempertimbangkan bahwa
berdasarkan fakta dipersidangan dengan beban pembuktian dari terdakwa
dan penuntut umum telah terbukti bahwa apa yang diterima terdakwa berupa
uang sejumlah Rs. 800 tersebut merupakan perbuatan korupsi dan bukan
merupakan pinjaman.
Dikaji dari perpektif hukum pembuktian maka perkara yang diputus
oleh Mahkamah Agung India antara State of Madras selaku pemohon kasasi
dengan A. Vaidnyanatha Iyer termohon kasasi dibawah register perkara
State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer (1957) INSC 79; (1958) SCR 580;
AIR 1958 SC 61 (26 September 1957) menyatakan beban pembuktian adalah
39
Bertrand de Speville, Reversing the Onus of Proof: Is It Compatible with Respect for
Human Rights Norms, The Papers, 8th International Anti-Corruption Conference, hlm. 4-6
melalui http://ww1.transparency.org/iacc/ 8th_iacc/papers/despeville.html di down load
pada tanggal 23 Desember 2006
40
Nihal Jayawikrama, Jeremy Pope dan Oliver Stolpe, Legal Provisions to
Facilitate, Op.Cit, hlm. 23 dan Bertrand de Speville, Reversing the Onus, Op.Cit., hlm. 7-8
41
World Legal Information Institute melalui http://72.14.235.104/search? q=cache: eNJF
5hI4VcJ:scc.lexum.umontreal.ca/en/1988/1988rcs2903/ 1988rcs2903. pdf+ judgment+
balanced+of+probabilities+bribery&hl=id&gl=id&ct= clnk&cd=14& client= firefox-a
didownload pada tanggal 5 Februari 2007
119
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
pada Penuntut Umum sebelum ditemukan fakta hukum yang mengharuskan
terdakwa membuktikan sebaliknya dengan pembalikan beban pembuktian.
Pada kasus a quo maka fakta hukum yang ditemukan oleh Mahkamah Agung
India ternyata uang sejumlah Rs. 800 ada pada terdakwa sehingga di
samping Penuntut Umum maka terdakwa juga harus membuktikan bahwa
uang sejumlah tersebut diperoleh terdakwa dari korban bukan sebagai
pemberian yang dikualifikasikan melanggar hukum dalam hukum pidana
akan tetapi merupakan pinjaman yang bersifat hukum perdata. Berdasarkan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) of the Prevention of Corruption Act (II of 1947)
maka walaupun ketentuan pasal tersebut menentukan asas umum bahwa
dugaan tindak pidana kepada terdakwa Penuntut Umum yang membuktikan
akan tetapi dalam kasus korupsi asas tersebut dapat disimpangi dengan
adanya pembalikan beban pembuktian yang bersifat berimbang yaitu baik
terdakwa maupun Penuntut Umum untuk saling membuktikan kesalahan atau
ketidakbersalahan dari terdakwa.
Pada dasarnya, kasus a quo identik dengan kasus Muhammad
Siddique v The State of India (1977 SCMR 503), Ikramuddin v The State of
India (1958 Kar. 21), Ghulam Muhammad v The State of India (1980 P.Cr.
L.J. 1039) dan Putusan Badshah Hussain v The State of India (1991 P.Cr.
L.J. 2299).42 Pada kasus Muhammad Siddique v The State of India (1977
SCMR 503) kaidah dasarnya menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat
membenarkan pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi yang berpendapat
bahwa begitu uang yang ditandai telah ditemukan pada diri terdakwa maka
kewajiban untuk menerangkan bagaimana terdakwa menerimanya serta
bagaimana uang tersebut dapat berpindah tangan pembuktian ada pada diri
terdakwa. Jadi pengadilan tidak dapat menerima adanya pembuktian dari
terdakwa bahwa uang tersebut didapatkan terdakwa dengan tidak meminta
dari yang bersangkutan dan pemberian tersebut adalah pemberian hadiah
yang tidak melawan hukum. Begitu juga dasar pertimbangan dalam kasus
ini identik dengan dasar pertimbangan pada putusan Badshah Hussain v The
State of India (1991 P.Cr. L.J. 2299) yang menyatakan bahwa, “begitu uang
yang telah ditandai tersebut dikembalikan dan dipindahtangankan kepada
terdakwa maka beban pembuktian ada pada terdakwa sebagaimana
ketentuan Pasal 4 ayat (1) of the Prevention of Corruption Act (II of 1947).
Apabila dijabarkan lebih detail maka perspektif pembuktian kasus hukum
India ini maka identik dengan hukum pembuktian dari Negara Pakistan
sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Pakistan antara
42
World Legal Information Institute melalui http://72.14.235.104/search?q= cache:
eNJF5hI4VcJ:scc.lexum.umontreal.ca/en/1988/1988rcs2903/1988rcs2903. pdf+ judgment+
balanced+of+probabilities+bribery&hl=id&gl=id&ct=c lnk&cd= 14 & client= firefox-a
didownload pada tanggal 7 Februari 2007
120
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Khan Asfandyar Wali v Federation of Pakistan, Abdul Razak Rathore v The
State PLD 1992 Karachi 39, Al-Jehad Trust v Federation of Pakistan 1996
S.C. 324 43.
Dikaji dari hukum pembuktian pada umumnya dan pembalikan beban
pembuktian pada khususnya maka praktik pembuktian kasus korupsi di
beberapa Negara terdapat praktik yang berlainan. Di Indonesia maka sistem
pembuktian terhadap perkara tindak pidana korupsi yang diterapkan adalah
bersifat negatif atau berdasarkan asas “beyond reasonable doubt” yang
berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP.44 Tegasnya, praktik
perkara korupsi di Indonesia pada tataran aplikatifnya tidak mempergunakan
pembalikan beban pembuktian padahal perangkat hukum memberikan hak
kepada terdakwa dan atau Penasihat Hukumnya, Jaksa Penuntut Umum
maupun Majelis Hakim untuk menterapkan Akan tetapi praktik perkara
tindak pidana korupsi di beberapa Negara berlainan dengan Negara
Indonesia. Pada Negara Hong Kong dan India maka pembalikan beban
pembuktian diterapkan dengan “balance probabilities” dimana baik Jaksa
Penuntut Umum maupun Terdakwa sama-sama membuktikan. Eksplisit
Jaksa Penuntut Umum membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak
pidana korupsi sedangkan Terdakwa membuktikan asal usul kepemilikan
harta bendanya. Pada Negara Hong Kong (Putusan Pengadilan Tinggi Hong
Kong antara Attorney General of Hong Kong v Hui Kin Hong dan Putusan
Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General of Hong Kong v Lee
Kwang Kut) merupakan kajian subtansial dimensi di atas. Pada Putusan
Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995 tanggal 3 April 1995
antara Attorney General of Hong Kong v Hui Kin Hong maka pembuktian
bersifat balance probabilities 45 tersebut diimplementasikan dengan bentuk
43
Judicial Indepedence Pakistan melalui http://72.14.235.104/search?q= cache: mOZ1WFmq
SAYJ: merln.ndu.edu/archive/icg/judicialindependenceinpakistan.pdf+ Khan+Asfandyar+
Wali+v.+Federation+of+Pakistan,+PLD.+2001+Supreme+Court+607,+883884.+223&hl=id
&gl=id&ct=clnk&cd=1&client=firefox-a didownload pada tanggal 2 Januari 2007
44
Redaksional ketentuan Pasal 183 KUHAP berbunyi, “Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya.” Hampir identik dengan pasal tersebut di atas maka ketentuan Pasal
6 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, “Tidak seorang pun
dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung
jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
45
Pada hakikatnya dengan pelbagai bentuk dan manifestasinya maka pembuktian “balance
probabilities” juga dikenal dalam praktik perkara perdata (civil prosedure). Di Indonesia,
berdasarkan ketentuan Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg dan Pasal 1863 KUH Perdata maka
ditentukan, “barangsiapa mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu
perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hal orang lain, haruslah
membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu.” Dalam praktik dimana adanya dua akta
autentik maka beban pembuktian diterapkan secara “balance probabilities” yang dilakukan
121
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
Jaksa Penuntut Umum diberikan beban pembuktian terlebih dahulu untuk
membuktikan status terdakwa Hui Kin Hong (Senior Estate Surveyor of the
Bulildings and Lands Department of the Hong Kong Goverment) adalah
sebagai pembantu kerajaan dan membuktikan total biaya hidup yang
dilakukan olehnya selama masa dakwaan, kemudian Penuntut Umum harus
membuktikan keseluruhan jumlah kekayaan selama periode tersebut
sehingga diperkirakan kekayaan yang dinikmati selama ini di luar kewajaran
dari kekayaan resminya. Setelah itu kemudian baru terdakwa Hui Kin Hong
diberikan beban pembuktian harus membuktikan berdasarkan ketentuan
Pasal 10 ayat (1) huruf a Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201
(Section 10 of the Prevention of Bribery Ordinance of Hong Kong) yang
berbunyi “setiap orang yang menjadi atau telah menjadi pembantu ratu
menyelenggarakan taraf hidup yang tidak dapat dijelaskan dengan baik dari
penugasan resminya selama ini,” dan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf b
Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201 tentang, “mengontrol sumber
daya keuangan yang sebanding dengan penugasan resminya selama ini,
kecuali tidak dapat memberi penjelasan memuaskan kepada pengadilan
tentang taraf hidup atau sumber daya keuangan yang berada di bawah
kontrolnya, dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana”, merupakan
kewajiban terdakwa memberikan penjelasan untuk membuktikannya.
Konsekuensi logis pembuktian demikian maka dasar pertimbangan (ratio
decidenci) Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995
tanggal 3 April 1995 menyatakan pembalikan beban pembuktian demikian
tidak bertentangan dengan ketentuan asas praduga tidak bersalah
sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU HAM Hong Kong (Articel 11
Hong Kong Bill of Rights Ordinance Nomor 59 Tahun 1991) yang berbunyi,
“setiap orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana mempunyai hak
untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan sebaliknya menurut
hukum”. Begitu pula aspek dan dimensi pembalikan beban pembuktian ini
selaras dan identik dengan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 90
Tahun 1992 tanggal 18 Juni 1992 antara Attorney General Of Hong Kong v
Lee Kwang Kut).
Praktik perkara tindak pidana korupsi di Negara India (Putusan
Mahkamah Agung India antara State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan
baik oleh Penggugat maupun Tergugat. Selain itu, di luar Indonesia, salah satu misalnya pada
Republik Vanuatu dimana Mahkamah Agung Republik Vanuatu dalam Putusan Naukaut V
Naunun (1999) VUSC 2; Election Petition No 031 of 1998 (27 Januari 1999) antara Shem
Naukut (Penggugat) melawan Harris Laris Naunun dkk (Para Tergugat) dimana Mahkamah
Agung menetapkan beban pembuktian secara “balance probabilities” dimana baik Penggugat
maupun Para Tergugat diwajibkan membuktikan bahwa hasil pemilu Nasional yang
diselenggarakan pada tanggal 6 Maret 1998 untuk daerah pemilihan Tanna dilakukan dengan
kecurangan karena adanya suap.
122
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Putusan Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney
General for India (AIR 1963 SC 255) juga menterapkan asas pembalikan
beban pembuktian. Pada Putusan Mahkamah Agung India dibawah register
perkara State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer (1957) INSC 79; (1958)
SCR 580; AIR 1958 SC 61 (26 September 1957) beban pembuktian
diimplementasikan pada kasus a quo ditemukan fakta hukum uang sejumlah
Rs 800 ada pada terdakwa sehingga beban pembuktian Jaksa Penuntut
Umum diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak
pidana korupsi dengan menerima uang tersebut sedangkan terdakwa
diwajibkan untuk membuktikan uang itu diperoleh terdakwa bukan sebagai
pemberian (gratification) yang dikualifikasikan melanggar hukum pidana
akan tetapi merupakan pinjaman yang bersifat hukum perdata. Pada
dasarnya, dikaji dari perspektif hukum pembuktian maka pembuktian bersifat
berimbang atau “balance probabilities” juga diikuti dalam Putusan
Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General
for India (AIR 1963 SC 255) serta juga diterapkan dalam praktik peradilan
kasus korupsi di Negara Pakistan sebagaimana dalam kasus Muhammad
Siddique v The State of India (1977 SCMR 503), Ikramuddin v The State of
India (1958 Kar. 21), Ghulam Muhammad v The State of India (1980 P.Cr.
L.J. 1039) dan Putusan Badshah Hussain v The State of India (1991 P.Cr.
L.J. 2299).
E. Kebijakan Legislasi Pembalikan Beban Pembuktian Dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia
Dikaji dari aspek kebijakan legislasi dalam Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia terhadap pembalikan beban
pembuktian sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur pembalikan
beban pembuktian dalam peraturan Perundang-undangan korupsi disebabkan
perspektif kebijakan legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik
biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara
konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra
ordinary measures).
Selanjutnya kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian mulai
terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU
Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami
dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila
diminta oleh Jaksa”. Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa.
Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka tidak
123
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta
bendanya.
Kebijakan legislasi dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 secara eksplisit
telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 UU
Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan
pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia
tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi
(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa
bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya
diperkenankan dalam hal:
a. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan
keuangan atau perekonomian negara atau
b. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
(3) Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian
seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan
baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai
kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan
(4) Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian
seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang
sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal
demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi
Selanjutnya ketentuan Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang
kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta
badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan apabila diminta oleh hakim.
(2) Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan
disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan
saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
124
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Politik hukum46 Indonesia mengenai pembalikan beban pembuktian
juga tetap diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti.
Kemudian penjelasan otentik ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan,
bahwa:
Ayat (1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan
pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap
memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas
pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan
asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan
menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination)
Ayat (2) Ketentuan ini tidak menganut sistim pembuktian secara
negatif menurut Undang-Undang (negatief wettelijk)
Beberapa ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 masih
terdapat kelemahannya dan selanjutnya telah dilakukan perbaikan-perbaikan
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Perbaikan tersebut terdapat dalam
ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Nomor 20
Tahun 2001. Penelitian terhadap responden tentang pengetahuan mengenai
pengaturan kasus korupsi dengan pembalikan beban pembuktian dalam
46
Pengertian politik hukum dapat dikaji dari perspektif etimologis maupun dari perspektif
terminologis. Dari perspektif terminologis menurut Padmo Wahjono, politik hukum adalah
kebijakan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan
pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. (Padmo Wahjono,
Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Majalah Forum Keadilan, Nomor
29, April 1991, hlm. 65). Teuku Mohammad Radhie menyebutkan politik hukum sebagai
suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. (Teuku
Mohommad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II, Desember 1973, hlm. 4). Soedarto
menyebutkan politik hukum adalah kebijakan dari Negara melalui badan-badan Negara
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang
diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencari apa yang dicita-citakan. (Soedarto, Perkembangan Ilmu
Hukum dan Politik Hukum, Majalah Hukum dan Keadilan, Nomor 5 Tahun VII, JanuariFebruari 1979, hlm. 15-17) dan Satjipto Rahardjo mendifinisikan politik hukum sebagai
aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan
hukum tertentu dalam masyarakat. (Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum ..., Op. Cit., hlm. 352).
125
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
pasal-pasal berikut menunjukan hasil seperti tersebut pada tabel 1 berikut
ini.
Tabel 1. Pengetahuan Responden Mengenai Pembalikan Beban
Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi
n= 30 responden
Pertanyaan
Apakah Sdr/i mengetahui
pembalikan beban pembuktian diatur
dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1),
Pasal 37, 37A, 38B UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001?
A/%
B/%
C/%
Tahu
Tidak Tahu
Tidak
menjawab
30/100%
0/0%
-
Sumber: Jawaban Responden
Analisis:
Seluruh responden mengetahui adanya pengaturan pembalikan beban
pembuktian diatur dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan
Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Menurut pendapat penulis, maka pengaturan pembalikan beban pembuktian
secara baik telah diketahui oleh para teoretisi maupun para praktisi dalam
praktik peradilan. Ketentuan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001 merupakan pembalikan beban pembuktian terhadap
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi
terhadap delik suap.
Selain ketentuan tersebut maka pembalikan beban pembuktian juga
diatur dalam ketentuan Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2001 dan ketentuan
Pasal 35 47 UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Politik hukum kebijakan legislasi mengenai pembalikan beban
pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 38B ayat (1) UU Nomor 20
Tahun 2001 yang berbunyi, bahwa: “Setiap orang yang didakwa melakukan
salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini, wajib membuktikan sebaliknya
terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga
berasal dari tindak pidana korupsi”. Pada hakikatnya ketentuan pasal ini
merupakan pembalikan beban pembuktian yang dikhususkan pada
Pasal 35 menentukan: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
47
126
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi.
Akan tetapi, perampasan harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat
(1) huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001, melainkan terhadap pelaku yang
didakwa melakukan tindak pidana pokok.
Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU
Nomor 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang
yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan
Pasal 12B dan Pasal 37 UU 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan
harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana
korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU Nomor
20 Tahun 2001. Tegasnya, politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik
korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda
pelaku yang diduga berasal dari korupsi.
Apabila dianalisis secara cermat maka politik hukum Indonesia
mengenai kebijakan legislasi tentang pembalikan beban pembuktian
khususnya terhadap ketentuan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001
mengundang poblematis atau bahkan dapat dikatakan sebagai kesalahan
kebijakan legislasi dalam melakukan perumusan norma pembalikan beban
pembuktian pada tindak pidana suap menerima gratifikasi dikaji dari
perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana. Aspek ini dapat ditelusuri pada
kebijakan legislasi dari pembentuk UU ketika membahas tentang UU
Nomor 20 Tahun 2001 yang mana ditegaskan ketentuan sebagaimana
tersebut di atas merupakan asas pembalikan beban pembuktian. Begitu pula
halnya terhadap ketentuan Pasal 37, 37A dan 38B UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Kebijakan legislasi Indonesia dengan jelas menentukan delik korupsi
dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 menganut pembalikan beban pembuktian.
Dari dimensi ini, maka politik hukum tentang kebijakan legislasi relatif
nampak adanya ketidakjelasan perumusan pengaturan norma pembalikan
beban pembuktian sehingga mengakibatkan ketidakharmonisan dan
ketidaksinkronan dalam ketentuan UU tersebut.
F. Kesimpulan
Implementasi asas pembalikan beban pembuktian dalam praktik
peradilan perkara pidana korupsi di Indonesia belum pernah dilaksanakan.
Praktik pembalikan beban pembuktian di Hong Kong (Putusan Pengadilan
Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Hui Kin Hong
dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of
Hong Kong v Lee Kwang Kut) dan India (Putusan Mahkamah Agung India
antara State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan Putusan Mahkamah
Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General for India
127
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
(AIR 1963 SC 255) dilakukan terhadap asal usul kepemilikan harta pelaku
dengan mempergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan
kemungkinan (balanced probability principles) sehingga implementasinya
tetap menjunjung tinggi HAM dan ketentuan hukum acara pidana. Teori
balanced probability principles menempatkan hak asasi pelaku tindak pidana
korupsi dalam kedudukan (level) paling tinggi mempergunakan teori
probabilitas berimbang yang sangat tinggi (highest balanced probability
principles) dengan sistem pembuktian menurut UU secara negatif atau
beyond reasonable doubt. Kemudian secara bersamaan di satu sisi khusus
terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi
diterapkan asas pembalikan beban pembuktian melalui teori probabilitas
berimbang yang diturunkan (lowest balanced probability principles)
sehingga kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence) karena harta kekayaan orang
ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku tersebut dalam
kedudukan belum kaya. Kebijakan legislasi dalam peraturan tindak pidana
korupsi Indonesia khususnya ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan
Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 terdapat
ketidakjelasan dan ketidakharmonisan perumusan norma pembalikan beban
pembuktian. Ketentuan Pasal 12B dari perspektif perumusan unsur delik
dicantumkan secara lengkap dan jelas (materiele feit) dalam satu pasal
sehingga membawa implikasi yuridis Jaksa Penuntut Umum imperatif
membuktikan perumusan delik tersebut dan konsekuensinya pasal tersebut
salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa
untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kemudian ketentuan Pasal 37
senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian karena dicantumkan
ataukah tidak norma pasal tersebut tidak akan berpengaruh bagi terdakwa
untuk melakukan pembelaan terhadap dakwaan menurut sistem accusatoir
yang dianut Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 38B hanya
ditujukan terhadap pembalikan beban pembuktian untuk harta benda yang
belum didakwakan dan hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok
(Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat dijatuhkan terhadap gratifikasi sesuai
ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, khusus terhadap gratifikasi Jaksa
Penuntut Umum tidak dapat melakukan perampasan harta pelaku yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi, begitupun sebaliknya terdakwa
tidak dapat dibebankan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap
asal usul hartanya. Pasca berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) diperlukan suatu modifikasi perumusan
norma pembalikan beban pembuktian yang bersifat preventif, represif dan
restoratif.
128
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Daftar Pustaka
Abidin, Andi Zainal., Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
1995
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian,
Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum “Prof Oemar Seno
Adji, SH & Rekan”, Jakarta, 2006, ”Kendala Administrative Penal
Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi & Pencucian Uang”, Paper,
Jakarta, 2007
Ancel, Marc, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems,
Routledge & Kegan Paul, London, 1965
Apeldoorn, L.J. van., Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita,
Jakarta, 2005
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2007
Atmasasmita, Romli, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam
Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Penerbit PT. Alumni,
Bandung, 1982, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi
Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002
Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian
Umum, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1979
Friedman, Lawrence M. dan Steward Macaulay (ed), Law and the
Behavioral Sciences, The boobs Merrill Company, Indianapolis, 1969,
American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and
how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company,
New York, 1984
Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum,
Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005
Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, 2004
Hong Kong Legal Information Institute melalui http://www.hklii.org/
cgihklii.org/disp.pl/hk/jud/en/ hkca/1997/ CACC 000722%5f1995.
html?queryz%7e+hui+kin+hong didownload pada tanggal 15 Januari
2007
Howard, Collin An Analysis of Sentencing Authority, in Reshaping the
Criminal Law, P.R. Glazebrook (ed), Stevens & Sons, London, 1978
In The Supreme Court of The Republic of Vanuatu, Election Petition No.
31 of 1998 melalui Vanuatu : Taranban http://www.paclii.org/vu/
cases/ VUSC/2004/15.html di download pada tanggal 7 Februari 2007
129
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
Yurisprudensi Indonesia, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1970
Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell and Russell, New
York, 1973
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan
Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2001
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, Sistem Pembuktian
Terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reversel Burden of Proof
atau Shifting Burden of Proof), Majalah Varia Peradilan, Jakarta, Juli
2001
Nolte, A., Het Strafrecht en de Alzonderlijke Welten, Utrecht-Dekker & Von
de vegt, Nijmegen, 1949
Pompe, W.P.J., Handboek van het Nederlandsche
Strafrecht, NV
Uitgevermaatschappij W.E.J. Tjeenk-Willink, Zwollo, 1959 Poernomo,
Bambang, Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara
Pidana,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982
Pound, Roescoe, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University
Press, New Haven, 1959
Radhie, Teuku Mohammad, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam
Rangka Pembangunan Nasional, Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II,
Desember 1973
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000
Remmelink, Jan, Hukum pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Rukmini, Mien, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga
Rampai), Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006
Saleh, Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional,
Penerbit Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1996
Sampford, Charles, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Basil
Blackwell Inc, New York, 1989
Speville, Bertrand de, Reversing the Onus of Proof: Is It Compatible with
Respect for Human Rights Norms, The Papers, 8th International Anti-
130
Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tipikor, Lilik Mulyadi
Corruption Conference, hlm. 4-6 melalui http://ww1.transparency.org/iacc/
8th_iacc/papers/despeville.html di download pada tanggal 23 Desember
2006
Stolpe, Oliver, Meeting the burden of proof in corruption-related legal
proceedings, unpublished
131
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 101-132
132
MAKNA DAN KRITERIA DISKRESI KEPUTUSAN DAN/ATAU
TINDAKAN PEJABAT PUBLIK DALAM MEWUJUDKAN TATA
PEMERINTAHAN YANG BAIK
(The Meaning and Criteria of Discretion of Public Policy and/or
Act of Public Officials in Good Governance Implementation)
Agus Budi Susilo
Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI
Jl. Medan Merdeka Utara 9-13, Jakarta Pusat
Email : [email protected]
Abstrak
Dalam rangka melakukan tindakan hukum, pejabat publik sering melakukan
tindakan di luar ketentuan hukum tertulis. Keadaan ini sebagai suatu
konsekuensi logis, bahwa Undang-Undang dan peraturan tertulis lainnya
seringkali tertinggal dalam mengantisipasi perkembangan zaman, perubahan
nilai, dan meningkatnya kebutuhan hidup manusia seiring dengan kemajuan
yang dicapainya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu,
agar prinsip legalitas pada tahap operasionalnya dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya,
maka
diperlukan
“diskresi”
sebagai
sarana
pengembangannya. Ironisnya, tidak jarang penggunaan diskresi oleh pejabat
publik dengan dalih untuk kepentingan umum dan kepastian hukum, justru
mengorbankan hak-hak masyarakat baik secara individu pribadi, kelompok
maupun badan hukum perdata. Untuk mengantisipasinya, perlu ada konsep
lain yang mengendalikan diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat
publik, dan konsep tersebut adalah good governance, yang sering diartikan
tata pemerintahan yang baik. Dengan memahami prinsip-prinsip utama dari
tata pemerintahan yang baik itu sendiri, diharapkan diskresi keputusan
dan/atau tindakan pejabat publik dapat diterapkan sesuai rel hukum
(rechtmatigheid van regering).
Kata kunci : Diskresi, Keputusan Pejabat Publik, Tata Pemerintahan
yang Baik
Abstract
In order to do the legal action, public officials often execute out of written
law, this condition is a logic consequence, that the acts and others written
laws are left behind in anticipating the development of the era, the change
of values, and increasing need of human life along with the progress that
they have achieved in science and technology. Therefore, to make legality
133
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
principle on operational stage can be done as good as it could, so the
development instrument of the discretion is needed, ironically, not the rare
things, the use of discretion sometimes misuse by public officials, pretending
bases on public need and legal certainty in fact they abandon civil rights,
either individually, in group or even civil corporate body. To anticipate it
all, another draft is required to control the discretion of public policy
and/or act of public officials, and that draft is good governance, which
usually assume as good governance system. By understanding main
principle from good governance itself, it’s hoped that the discretion of
public policy and/or act of public officials can be applied together with code
of conduct in law (rechtmatigheid van regering).
Keywords : Discretion, Public Officials, Good Governance
A. Pendahuluan
Sebagai pemangku utama otoritas penyelenggaraan kepentingan
umum (public service) baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,
pejabat publik mempunyai kewenangan yang luas dalam menjalankan roda
pemerintahan. Kewenangan yang luas ini diperoleh dari peraturan
Perundang-undangan (hukum tertulis). Akan tetapi, pada tataran praktek,
pejabat publik sering melakukan tindakan diluar ketentuan hukum tertulis.
Keadaan ini sebagai suatu konsekuensi, bahwa Undang-Undang dan
peraturan tertulis lainnya seringkali tertinggal dalam mengantisipasi
perkembangan zaman, perubahan nilai, dan meningkatnya kebutuhan hidup
manusia seiring dengan kemajuan yang dicapainya di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dalam konsep hukum administrasi negara, tindakan diluar ketentuan
hukum tertulis dapat dibenarkan, yaitu agar prinsip legalitas pada tahap
operasionalnya dapat dilaksanakan secara dinamis, efektif, dan efisien.
Konsep tersebut dikenal dengan “diskresi”. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa keberadaan diskresi sangat diperlukan dalam rangka
melengkapi atas segala kekurangan dan kelemahan prinsip legalitas.
Diskresi memiliki peranan yang sangat penting dalam segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara.1 Utamanya dalam mengisi kekosongan
ketentuan tertulis, serta melenturkan ketentuan yang kaku (rigid) dan sudah
usang (out of date). Bahkan menyesuaikan dengan konteks kekininan yang
lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat (public).
Realitasnya terkadang berbanding terbalik, yaitu penggunaan
diskresi oleh pejabat publik dengan dalih untuk kepentingan umum dan
1
Beatson, dkk, Administrative Law: Text and Materials, Oxford University Press, UK,
2011, hlm. 113-114.
134
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
kepastian hukum, justru telah mengorbankan hak-hak individual masyarakat
baik secara pribadi, kelompok maupun badan hukum perdata. Adanya dua
sisi yang bertolak belakang terhadap diskresi tersebut, dapat dimaklumi
apabila ada yang beranggapan diskresi sebagai sesuatu yang “klise” dan
“paradoks”.
Pandangan tersebut ada benarnya, apabila ditelaah kembali terhadap
kasus-kasus hukum yang pernah ada dan sedang terjadi saat ini, yang
dilakukan pejabat publik dalam memahami makna diskresi, misalnya
diskresi yang menimbulkan ekses negatif adalah “kasus bulog”, “kasus
texmaco”, “kasus pembangunan bandar udara samarinda kutai kartanegara”,
“kasus bank century”, “kasus hambalang” dll. Banyaknya kasus kaitannya
dengan “diskresi” tersebut, menurut penulis diawali dengan adanya “celah”
bagi pejabat publik dalam menafsirkan peraturan Perundang-undangan
sesuai kehendaknya atau kepentingan dirinya maupun kelompok tertentu.
Kasus-kasus hukum yang sering muncul terkait diskresi pejabat publik dapat
terjadi dalam jenis atau bentuk apapun, khususnya yang berkaitan dengan
kepegawaian maupun keuangan negara (seperti : pengadaan barang dan
dana hibah/bansos).
Di tingkat pemerintah pusat, beberapa peraturan memungkinkan
adanya “diskresi” yang dilakukan oleh menteri selaku bawahan presiden,
misalnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8
Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang
pada pokoknya menyatakan bahwa sebagai perangkat pemerintah,
kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam
pemerintahan dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara yang dilakukan oleh
kementerian adalah sebagai berikut :
1. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan di bidangnya,
mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di
bidangnya dan melaksanakan kegiatan teknis dari pusat sampai ke
daerah.
2. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan di bidangnya,
mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di
bidangnya dan melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan kementerian di daerah dan pelaksanaan kegiatan
teknis yang berskala nasional.
3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidangnya, mengkoordinasi
dan mensinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya, mengelola
135
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya dan
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di bidangnya.
Ketentuan di lingkungan kementerian negara tersebut, memberi
peluang kepada para menteri untuk melakukan diskresi, karena banyaknya
norma yang memberi wewenang kepada menteri untuk melakukan
perumusan, penetapan, pelaksanaan kebijakan di bidangnya masing-masing
dari tingkat pusat sampai dengan daerah.
Kemudian, di dalam pemerintahan daerah juga masih mengalami
banyak kendala dalam mengimplementasikan diskresi, seperti apa yang
tercantum dalam aturan dan mekanisme pemberian hibah dan bantuan sosial
sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial, yang kemudian sebagian
normanya dilakukan perubahan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 39 Tahun 2012. Secara spesifik, dalam ketentuan tersebut, khususnya
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) pada pokoknya menegaskan bahwa
pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai kemampuan keuangan
daerah dan dapat memberikan bantuan sosial kepada anggota/kelompok
masyarakat sesuai kemampuan keuangan daerah. Dengan adanya norma ini,
pemerintah daerah mempunyai diskresi untuk melakukan tindakan berupa
pemberian hibah dan bantuan sosial (bansos). Pada kenyataannya
penggunaaan dana untuk hibah dan bansos ini, sering terjadi penyimpangan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Modus penyimpangan “diskresi” yang dilakukan pejabat publik
terhadap penyaluran hibah dan bantuan sosial di beberapa daerah dengan
dalih ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, diantaranya :
dana yang diberikan tidak seutuhnya sesuai pagu yang di tetapkan,
melakukan mark-up, adanya kolusi dan nepotisme dengan lembaga
penerima dana hibah, diberikannya dana hibah secara fiktif, dsb.
Menariknya, diskresi keputusan dan/atau tindakan mengenai
pemberian hibah dan bansos meskipun mempunyai tujuan yang positif, akan
tetapi rentan untuk disalah gunakan, terlebih menjelang adanya kegiatan
yang bersifat politis, misalnya Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala
Daerah. Oleh karenanya, untuk menghindari penyalahgunaan tindakan yang
bersifat diskresi keputusan dan/atau tindakan terhadap pemberian dana
hibah dan bansos, Komisi Pemberantasan Korupsi pernah meminta
pemerintah pusat dan daerah untuk memoratorium dana-dana tersebut dalam
menghadapi Pemilihan Umum 2014, sampai dengan pelaksanaan “pesta
demokrasi” tersebut selesai.2
2
Kompas, Terbit Hari Selasa, Tanggal 25 Maret 2014, hlm. 1
136
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
Penyelesaian kasus-kasus yang berkenaan dengan “diskresi” sering
dijumpai adanya titik singgung dari segi pemaknaannya dari lapangan
hukum administrasi negara dan hukum pidana. Diskresi dari sudut pandang
hukum administrasi negara pengkajiannya banyak dalam ruang lingkup
“konsep” dan pada saat ini sudah dituangkan dalam beberapa pasal UU
Administrasi Pemerintahan sebagai rencana Undang-Undang materiil
hukum administrasi negara di Indonesia. Berbeda dengan lapangan hukum
pidana, yang secara normatif tercantum jelas dalam ketentuan Pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Untuk
membatasi penulisan di sini, penulis hanya mengkaji mengenai
bagaimanakan makna dan kriteria diskresi terkait keputusan dan/atau
tindakan pejabat publik dari aspek hukum administrasi negara, terutama
dalam perspektif tata pemerintahan yang baik (good governance)?
Dalam mengkaji tema tersebut, penulis menguraikannya dengan
bentuk deskriptif analitis, yaitu menggambarkan norma dalam Perundangundangan yang berlaku dikaitkan dengan konsep atau teori-teori hukum
menyangkut tema yang dikaji yakni diskresi keputusan dan/atau tindakan
pejabat publik. Kemudian menganalisisnya, dan lebih khusus lagi akan
dieksplor mengenai makna dan kriteria diskresi keputusan dan/atau tindakan
pejabat publik sesuai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
Analisanya, penulis tetap berpedoman pada hukum positif dan doktrindoktrin dalam ilmu hukum (yuridis-normatif).
B. Pembahasan
1. Konsep Kewenangan Pejabat Publik Sebagai Dasar Melakukan Diskresi
Keputusan dan/atau Tindakan
Konsepsi pejabat publik, dari segi istilah ada dua pengertian, yaitu
“pejabat” dijumbuhkan dengan orang sebagai pemangku atau yang
mempunyai jabatan, dan “publik” yang diartikan sebagai masyarakat
(umum). Peristilahan “pejabat publik” ini sering dikaitkan dan disepadankan
dengan istilah asing, antara lain “government”, “administration”, “bestuur”,
“overheid”, dan sebagainya. Di beberapa negara yang menggunakan bahasa
inggris “government” dari segi istilah diartikan pemerintah yang melakukan
pelayanan publik, sedangkan “administration” (dalam konteks sebagai
administrasi negara) adalah merupakan keseluruhan proses atau kegiatan
yang dilakukan untuk mengendalikan usaha-usaha instansi pemerintah agar
tujuannya tercapai.
Adapun istilah hukum secara klasik yang sering digunakan di
Indonesia, sering “meminjam” istilah dari bahasa belanda, seperti “bestuur”
dan “overheid”. Arti “bestuur” dari segi bahasa diartikan sebagai
137
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
pemerintah sebagai pelaksanan Undang-Undang, sedangkan “overheid”
mempunyai arti pemerintah sebagai lembaga, akan tetapi secara teoritis
pengertian “bestuur” adalah disepadankan dengan kekuasaan atau
kewenangan eksekutif (executive power), berbeda dengan “overheid” yang
mempunyai arti lebih luas, yaitu pemerintah yang memiliki fungsi eksekutif,
inspektif, legislatif, dan yudikatif.
Istilah-istilah tersebut diatas, hanya sering digunakan dalam
beberapa literatur. Berbeda dengan istilah dalam norma tertulis yang saat ini
berlaku, yaitu dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menyebutkan,
pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk
menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Lebih lanjut,
dalam ketentuan yang sama yaitu Pasal 1 angka 3, pengertian “badan
publik” adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau
organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar
negeri. Beranjak dari pengertian tersebut, pejabat publik sama artinya
dengan regering.3
Untuk mencapai tujuan negara, pejabat publik bertindak sesuai
kewenangan yang dimilikinya, termasuk dalam melakukan tindakantindakan hukum, khususnya dalam bentuk suatu keputusan-keputusan yang
bersifat administratif sebagai salah satu instrumen yuridis dalam
menjalankan pemerintahan.4 Kewenangan atau wewenang pejabat publik
dalam membuat suatu keputusan dan/atau tindakan merupakan dasar
berpijak atau sebagai kekuasan yang diberikan berdasarkan hukum (legal
authority). Kewenangan mengandung makna kemampuan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan suatu atau beberapa ketentuan
hukum. Dengan kata lain, perbuatan (melakukan atau tidak melakukan)
bukan untuk dirinya sendiri melainkan ditujukan dan untuk orang lain
seperti wewenang memerintah dan mengatur. Arti penting dari adanya
Kewenangan adalah adanya persyaratan yang akan diberikan kepada pejabat
3
Dalam khasanah hukum tata negara dan hukum administrasi negara, dalam artinya yang
luas, pemerintah disebut regering. Lihat Amrah Muslimin, Beberapa Asas Dan Pengertian
Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1985,
hlm.83, dan Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit UII
Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 66
4
Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, Penerbit Salemba
Humanika, Jakarta, 2013, hlm. 28
138
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
publik untuk diberikan Kewenangan, karena segala bentuk tindakan
hukumnya menyangkut pihak masyarakat luas (publik).5
Di Belanda istilah “kewenangan” dikenal dengan “bevoegheid”, dan
istilah ini di Indonesia sering diterjemahkan dengan “kewenangan” atau
“wewenang”.6 Padahal kalau ditelusuri lebih lanjut terdapat perbedaan yang
mendasar antara “kewenangan” dan “wewenang”, karena arti “kewenangan”
kaitannya dengan hukum administrasi negara sepemahaman penulis adalah
awal mula otoritas pejabat publik itu muncul berdasarkan peraturan
Perundang-undangan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Sedangkan
“wewenang” merupakan bagian dari “kewenangan” tersebut. Meskipun
terdapat ketidak samaan arti antara keduanya, dalam tulisan ini penulis tetap
menjadikan keduanya satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Menurut F.A.M. Stroink pembahasan “bevoegheid” ini merupakan
konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara
(hukum publik). Dalam hukum tata negara “bevoegheid” dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (teehtement) atau yang berkaitan dengan
kekuasaan, sedangkan dalam hukum administrasi negara membahas
wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid).7 Menurut Henc van
Maarseveen, dalam konsep hukum publik kewenangan atau wewenang
terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar
hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa
penggunaan kewenangan atau wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku subjek hukum. Sedangkan komponen dasar hukum,
bahwa kewenangan atau wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar
hukumnya dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya
standard kewenangan atau wewenang, yaitu standar umum (semua jenis
kewenangan atau wewenang) dan standard khusus (untuk jenis kewenangan
atau wewenang tertentu).
Setelah penulis uraikan tentang makna kewenangan atau wewenang,
selanjutnya perlu ditelusuri bagaimana kewenangan itu diperoleh oleh
pejabat publik. Dalam khasanah hukum administrasi negara terdapat tiga
macam
cara
untuk
memperolah
kewenangan
pemerintahan
(bestuurbevoegheid), yaitu : atribusi (merupakan pemberian wewenang
5
Baqir Manan, Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 59 dan
60
6
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda – Indonesia, Penerbit PT. Ichtiar baru Van Hoeve,
Jakarta, 1996, hlm. 78. Dalam bahasa Inggris disebut “competence” yang berarti being
competent; ability or legal authority lihat A.P. Cowie (chief editor), Op.Cit, hlm. 235.
Sedangkan dalam bahasa Perancis disebut “pouvoir” atau “puissance” bahasa Jerman
“gezag” lihat SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Admnistratif di
Indonesia, Penerbit Libety, Yogyakarta, 1997, hlm. 153.
7
Pendapat Henc van Maarseveen disitir oleh Philipus M.Hadjon dalam tulisannya di Gema
Peratun Tahun VI No.12 Agustus 2000, MARI Lingkungan Peratun, hlm. 103.
139
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan Perundangundangan), delegasi (terjadinya pelimpahan suatu wewenang yang telah ada
oleh pejabat publik yang memperoleh wewenang pemerintahan secara
atributif kepada pejabat publik lainnya), dan mandat (tidak terjadi
pemberian suatu wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari
pejabat publik yang satu kepada yang lain, yang ada hanya hubungan
internal).
Dari ketiga kewenangan pejabat publik tersebut, menurut sifatnya
dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Kewenangan yang bersifat pilihan (facultative)
Kewenangan semacam ini berdasarkan norma yang pada peraturan
dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana
wewenang tersebut digunakan.
2. Kewenangan yang bersifat Terikat (gebonden)
Norma yang ada dalam peraturan dasarnya sudah menentukan tetang isi
dari keputusan yang harus diambil.
3. Kewenangan yang bersifat (diskresioner)
Wewenang yang diberikan oleh peraturan dasar tidak bersifat terikat,
yaitu ketika pejabat publik menentukan isi dari suatu tindakannya bebas
dilakukan berdasarkan interpretasinya.8
Terhadap kewenangan yang bersifat diskresioner tersebut, tidak
bersifat terikat sama sekali. Di sini peraturan dasarnya memberikan suatu
ruang lingkup kebebasan kepada pejabat publik yang bersangkutan. Di satu
pihak, batas (marge) kebebasan seperti itu sedikit banyak merupakan hal
yang tidak dapat diperhitungkan, karenanya merupakan hal yang sedikit
banyak tidak pasti. Tetapi di pihak lain, kebebasan demikian itu
memberikan kemungkinan untuk diadakan penyesuaian dengan kekhususan
dari hal atau keadaan senyatanya yang hendak diurus kepentingannya.
Pejabat publik tersebut memang harus mengadakan tindakan ke arah
individualisasi dan konkretisasi. Kemungkinan untuk mengindividualisir
dan mengkonkretisir itu tidak hanya dalam bentuk kewenangan untuk
menolak atau mengabulkan saja apa yang dimohon masyarakat, tetapi juga
memberikan kemungkinan bagi pejabat publik yang bersangkutan untuk
melekatkan syarat-syarat pada penetapan tertulis (izin) yang ia keluarkan.
Jenis-jenis perbuatan atau tindakan pejabat publik yang bersifat diskresi
dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, termasuk luas cakupannya
meliputi bidang perizinan, kepegawaian, pendidikan, perekonomian, dan
lain-lain.
8
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Buku I : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2000, hlm. 99 sampai dengan 101
140
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
2. Makna dan Kriteria Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Publik Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik
Berkenaan dengan masalah yang akan penulis kaji yaitu yang
berkaitan dengan makna diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat
publik, maka makna disini sama halnya dengan mencoba menelusuri arti
dan maksud dari diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik itu
sendiri dengan menggunakan pendekatan konsep-konsep yang ada dalam
hukum administrasi negara.
Pertama; konsep yang dipengaruhi dari beberapa pemikiran yang berlaku di
beberapa negara, yakni :
a) Negara Inggris, dasar pemikiran adanya diskresi (discretionary powers)
adalah jenis tindakan Raja atau Ratu (the Crown or the Queen) yang
legal dapat dilakukan tanpa harus meminta persetujuan dari Parlemen
(lembaga legislatif). Bahkan dalam sejarahnya, pejabat publik sebagai
abdi Raja atau Ratu berdasarkan ketentuan yang ada, dapat melakukan
diskresi untuk melanggar hukum umum dan menyerahkan seorang asing
pada pemerintahnya sendiri untuk diadili, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Ekstradisi tahun 1870.9)
Menurut AV. Dicey:
“The discretionary authority of the Crown originates generally, not in
Act of Parliament, but in the prerogative………. The prerogative appears
to be both historically and as a matter of actual fact nothing else than the
residue of discretionary or arbitrary authority, which at any given time is
legally left in the hands of the Crown”.
Dengan demikian, discretionary powers di Inggris pada umumnya
berasal dari hak prerogatif Raja atau Ratu, bukan dari Undang-Undang,
sebagaimana di negara lain. Bahkan secara historis, hak-hak prerogatif
faktanya hanyalah residu (sisa) dari kewenangan diskresi (discretionary
powers), yang kurun waktu tertentu secara legal tetap ada di tangan Raja
atau Ratu. Argumentasi yang dibangun, Raja atau Ratu pada dasarnya
(sebagaimana namanya) adalah merupakan seorang penguasa, atau istilah
dalam hukum adalah bagian yang paling kuat dari suatu kekuasaan yang
berdaulat (the most powerful part of the soverign power).
b) Negara Belanda, sebagai negara dipengaruhi sistem kerajaan, melekatkan
istilah diskresi dengan jabatan atau organ pemerintahan (inherent aan het
bestuur). Menurut J.B.J.M. ten Berge, diskresi eksis karena adanya tiga
9
AV. Dicey, Introduction to the study of The Law Of The Constitution, Macmillan & Co
LTD, London, 1959, hlm. 422 dan 423
141
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
macam kebebasan, yaitu interpretatievrijheid, beoordelingsvrijheid, dan
beleidsvrijheid.10
Pengaturan mengenai adanya diskresi tertera dalam AwB (Algemene wet
Bestuursrecht) atau General Administrative Law Act, apabila diartikan ke
dalam bahasa Indonesia “Undang-Undang Umum Hukum Administrasi
Negara”. Undang-Undang ini mengatur proses pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh pejabat publik, baik yang bersifat terikat
(gebonden) maupun bebas (vrijheid). Selain mengatur batasan-batasan
yang harus diperhatikan oleh pejabat publik ketika mengeluarkan atau
mengambil keputusan, ketentuan tersebut juga memberikan perlindungan
bagi masyarakat yang kemungkinan terkena dampak diambilnya
keputusan dan/atau tindakan oleh pejabat publik.
J.B.J.M. ten Berge dan beberapa ahli hukum Belanda lainnya
mengartikan wewenang diskresi (discretionary bevoegdheden) sebagai
berikut:
“Discretionaire bevoegdheden, publiekrechtelijke bevoegdheden, waarbij
voor het bestuursorgaan beleidsvrijheid m.b.t. het gebruik daarvan. Het
staat hier ter beoordeling van het bestuursorgaan in hoeverre men een
bepaalde maatregel toepast of een beschikking verleent. Bij vrije
beschikkingen is deze beoordelingsvrijheid aanwezig, zoals b.v. hij het
verleneen van subsidie. Deze beleidsvrijheid is echter niet onbegrensd,
maar wordt ingeperkt door de inhoud van de wettelijke bepaling waarop
de bevoegdheid berust en de algemene beginselen van behoorlijk
bestuur, alsmede door eventueel ter zake gelgende beleidsregels of
privaatrechtelijke overeeenkomen” (artinya : wewenang diskresi adalah
wewenang publik yang penggunaannya berkenaan dengan kebebasan
mengambil kebijakan dari organ pemerintah. Di sini terletak pemberian
wewenang pertimbangan bagi organ pemeritnah sepanjang berkenaan
dengan pelaksanaan peraturan tertentu atau pengambilan keputusan.
Dalam keputusan bebas terdapat kebebasan mempertimbangkan ini,
misalnya keputusan pemberian subsidi. Meskipun demikian, kebebasan
mengambil kebijakan ini bukan tanpa batas, tetapi dibatasi oleh isi
ketentuan Undang-Undang yang menjadi dasar wewenang diskresi
tersebut dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan juga tidak
boleh menyimpang dari peraturan kebijakan yang berlaku atau perjanjian
perdata).11
Alur pikir adanya diskresi di negara Belanda, oleh H.D Sout, dianggap
sebagai sebuah konsekuensi fungsi pemerintahan yang sangat luas dalam
10
Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, 2014,
hlm. 236
11
Ibid., hlm. 127
142
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
negara hukum modern yang ada dibeberapa negara eropa (termasuk
Belanda).
c) Negara Jerman, terdapat berbagai bentuk keputusan dan/atau tindakan
administratif, ada yang bersifat tertulis atau pun tidak tertulis, diantara
bentuk-bentuk keputusan dan/atau tindakan tersebut ada yang disebut
dengan ”Eremessen” atau diskresi. Menurut ketentuan Pasal 40 UndangUndang Prosedur Administrasi Pemerintahan (Verwaltungsverfahrensgesetz) pada pokoknya menyatakan setiap lembaga negara / publik
memiliki kewenangan berbuat “Ermessen”, jika menggunakan
kewenangan tersebut haruslah sesuai dengan kegunaan kewenangan itu
dan batas-batas hukum yang berlaku bagi adanya “Ermessen”.
Berdasarkan ketentuan yang mendefinisikan “Ermessen” tersebut, terlihat
bahwa secara konseptual berbeda dengan istilah yang sering digunakan
banyak pakar hukum baik di Indonesia maupun negara lain, yaitu
menyama-artikan dengan istilah “Freies Ermessen”. Perbedaan tersebut
terlihat seakan-akan istilah “Freies Ermessen”, bebas “Freies”
melakukan tindakan “Ermessen”, padahal dalam “Ermessen” terikat
dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Jerman.
Persyaratan adanya tindakan diskresi dalam bentuk, isi, dan prosedur
yang harus dipenuhi dalam suatu tindakan administratif, ditetapkan oleh
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan juga terkadang aturan
internal di lembaga pejabat publik berada (Verwaltungsvorschrif/
Petunjuk Teknis). Diskresi tersebut dapat diungkapkan dalam bentuk
apapun, dapat dikeluarkan secara lisan tulisan atau bentuk lainnya
(misalnya: keputusan tertulis). Tindakan administratif lisan harus
dipertegas dengan tulisan yang mengandung tanda tangan atau nama
pejabat publik (selaku pemilik otoritas) atau pihak yang berwenang untuk
memberikan/menetapkan tindakan tersebut. Pengecualian terhadap aturan
ini dibuat untuk sarana otomatis.
Dari uraian ketiga negara tersebut, apabila dibuat dalam bentuk bagan,
maka menurut penulis sebagai berikut :
Negara
1. Inggris
2. Belanda
3. Jerman
Sumber
Hukum
Konstitusi
AsalMuasal
Kedaulatan
Kerajaan
Karakter
(yang dominan)
Politik
(Hak Prerogatif)
Peraturan
Perundangundangan
Peraturan
Perundangundangan
Kedaulatan
Kerajaan
Hukum
(Kewenangan)
Kekuasaan
Negara
Hukum
(Kewenangan)
Produk
Kebijakan
dan/atau
Tindakan
Keputusan
dan/atau
Tindakan
Keputusan
dan/atau
Tindakan
143
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
Kedua; pengertian “diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik”
menurut beberapa ahli hukum administrasi negara di Indonesia, yaitu :
a) Prajudi Atmosudirjo yang mengartikan diskresi sebagai kebebasan untuk
bertindak atau mengambil keputusan dan/atau tindakan dari para pejabat
publik yang berwenang dan berwajib menurut pendapatnya sendiri.
Pendapat ini melihat adanya hubungan antara diskresi dengan
kebijaksanaan, karena kebijaksanaan merupakan dasar atau garis sikap
atau pedoman untuk pelaksanaan dan pengambilan keputusan dan/atau
tindakan, sedangkan diskresi pada umumnya dipakai untuk menetapkan
kebijaksanaan dalam melaksanakan ketentuan peraturan Perundangundangan.12
b) Kemudian Sjachran Basah menyatakan bahwa dalam hal pejabat publik
memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan (diskresi),
sikap-tindaknya yang demikian harus dapat dipertanggung jawabkan baik
secara moral maupun secara hukum. Pertanggung jawaban dimaksud,
adanya batas-batas ketaatan akan asas atau ketaat-asasan, yaitu batas-atas
dan batas-bawah. 13
c) Pengertian yang lebih konkrit lagi adalah yang disampaikan oleh Fatimah
Achyar, menurutnya diskresi diartikan sebagai salah satu rumusan
kekuasaan pemerintahan negara, yaitu memberikan ruang gerak
kebebasan (memberikan freies ermessen) kepada pejabat publik yang
diberi kekuasaan untuk menentukan sendiri, bagaimana mengartikan
(menangkap maksud dan tujuan) dari kekuasaan dengan maksud
menyelenggarakan pemerintahan yang dilimpahkan, dan menentukan
sendiri apakah ia akan melaksanakan kekuasaannya itu, serta pejabat
publik tersebut dapat menentukan sendiri kapan ia akan berbuat demikian
dan bagaimana caranya menggunakan kekuasaan itu. 14
d) Diskresi oleh E. Utrecht diartikan sebagai pemindahtanganan
(kewenangan) badan legislatif kepada badan pemerintahan (eksekutif)
sebagai konsekuensi adanya konsep welfare state (negara
kesejahteraan).15
e) Muchsan menjabarkan diskresi, sebagai kewenangan yang bersifat bebas
yang diberikan kepada pejabat publik, karena peraturan Perundang12
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm.
82 dan 103
13
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara,
Alumni, Bandung, 1992, hlm 3, 4 , dan 5., dan Sjachran Basah, Beberapa Permasalahan
Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan Administrasi, dalam : Bunga Rampai HTN dan
HAN, FH UII, Yogyakarta, hlm. 98 dan 99
14
Fatimah Achyar, Selintas Tentang Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
Diterbitkan Mahkamah Agung RI, 1989, Jakarta, hlm. 111
15
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1994, hlm. 31
144
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
undangan yang menjadi dasar kewenangan memberikan ruang gerak
kebebasan untuk bertindak. Maksudnya, pejabat publik diberi kebebasan
untuk menentukan sendiri bagaimana mengartikan (menangkap maksud
dan tujuan) dari kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang dibebankan kepadanya.16
f) Sedangkan Indroharto berpendapat bahwa diskresi sebenarnya
merupakan kebebasan untuk menentukan kebijaksanaan atau kebebasan
untuk mengadakan suatu penilaian mana yang baik, maka yang kurang
baik, mana yang tepat dan mana yang tidak tepat. Dalam
implementasinya, diskresi mempunyai dua pola, yaitu :
1. Kebebasan untuk menilai secara obyektif, yaitu apabila norma dalam
Undang-undangnya bersifat samar-samar akan tetapi sesungguhnya
dimaksudkan sebagai norma hukum yang obyektif, karena rumusan
eksplisitnya sulit untuk diberikan, misalnya : rumusan “bertingkah
laku sebagai abdi negara yang baik”.
2. Kebebasan menilai secara subyektif, artinya adanya kebebasan
melakukan suatu kebijakan sendiri, karena Undang-Undang
memberikan wewenang kepada pejabat publik untuk menentukan
sendiri apa yang harus dilakukan ketika menghadapi suatu peristiwa
konkrit.17
Ketiga; pengertian “diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik”
dalam perspektif Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU-AP),
yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 9, mengartikan bahwa diskresi
sebagai Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal peraturan
Perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap
atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Ketentuan ini, sedikit lebih luas pengertiannya dari Naskah
Akademik UU-AP tersebut, yang menyatakan bahwa diskresi merupakan
kewenangan pejabat administrasi pemerintahan untuk mengambil keputusan
dan/atau tindakan pemerintahan yang bebas karena belum diaturnya suatu
hal tertentu dalam peraturan Perundang-undangan yang ada.
Dari kedua pendekatan ini, menurut penulis dapat disimpulkan
bahwa diskresi pejabat publik mengandung makna adanya kebebasan
menafsirkan suatu teks (norma) peraturan Perundang-undangan oleh pejabat
publik sesuai kewenangan yang ada padanya untuk mengambil keputusan
dan/atau bertindak dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan mematuhi
16
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan
Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hal. 13
17
Indroharto, Op. Cit., hlm. 98 dan 99
145
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
rambu-rambu berupa taat asas dan ketentuan hukum yang berlaku, karena
tetap ada pertanggungjawaban baik secara moral maupun secara hukum.
Penafsiran di sini pun, dengan syarat teks (norma) peraturan Perundangundangan sebagai dasar pijakan pejabat publik tersebut memberikan pilihan
atau ada “ruang kosong” yang memungkinkan diambil kebijaksanaan dalam
rangka melaksanakan kewenangannya, yang apabila tidak diambil
kebijaksanaan akan menimbulkan stagnasi pemerintahan.
Sedangkan, yang menjadi kriteria diskresi keputusan dan/atau
tindakan pejabat publik ada beberapa point, yaitu :
(1) Diskresi merupakan pengecualian dari adanya asas legalitas, yang
mengharuskan pejabat publik dalam mengambil keputusan dan/atau
tindakan untuk mentaati teks-teks dalam norma yang diatur oleh
peraturan Perundang-undangan.
(2) Adanya kewenangan untuk melakukan tindakan hukum dan/atau
tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.
(3) Penilaian pejabat publik terhadap situasi/kondisi tertentu atau keadaan
mendesak atau memberikan solusi terhadap suatu permasalahan, dan
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, dapat bersifat subyektif
dan obyektif, akan tetapi yang dibenarkan oleh hukum adalah penilaian
yang bersifat obyektif.
(4) Adanya stagnasi pemerintahan.
(5) Memberikan kepastian hukum.
(6) Terdapat unsur kebijaksanaan atau kebijakan yang diberikan kepada
pejabat publik dalam melaksanakan peraturan Perundang-undangan,
baik yang bersifat suatu perintah (imperatif) untuk menafsirkan suatu
teks tertulis maupun adanya konfik norma (antinomi teks) atau ketidak
jelasan (vague van normen) atau kekosongan suatu teks dalam
ketentuan tertulis (leemten van normen), dan terhadap kebijaksanaan
atau kebijakan ini tidak dapat diuji oleh hukum (adanya prinsip
pengujian hukum sebatas rechtmatigheid bukan doelmatigheid).
(7) Meskipun ada ruang “kebebasan penafsiran” dalam melakukan diskresi
keputusan dan/atau tindakan, pejabat publik harus memperhatikan
tujuan diskresi.
(8) Taat asas, yaitu batas-atas dan batas bawah (hierarkis peraturan
Perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).
(9) Diskresi keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan pejabat publik,
harus bisa dipertanggung jawabkan secara hukum, baik kepada atasan
atau institusi pejabat publik tersebut, maupun kepada masyarakat.
(10) Bentuk pertanggungjawaban diskresi keputusan dan/atau tindakan
pejabat publik adalah dengan adanya pengujian secara hukum dalam
146
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
suatu proses peradilan secara administratif (dalam hal ini peradilan tata
usaha negara).
Dari makna tersebut, terlihat adanya penyerahan wewenang lembaga
legislatif atau pembuat Undang-Undang kepada pejabat publik. Sikap
pembuat Undang-Undang yang menyerahkan sebagian wewenangnya
kepada pejabat publik menurut Struycken dan van Wijk disebut “terugtred
wetgever” (sikap mundur dari pembuat Undang-Undang). Dengan demikian,
pejabat publik dalam melaksanakan urusan pemerintahan memperoleh
wewenang diskresioner yang sangat luas, khususnya dalam mengeluarkan
keputusan dan/atau melakukan suatu tindakan hukum.
Selain adanya penyerahan atau pelimpahan wewenang, adakalanya
rumusan peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar bertindak
pejabat publik bersifat samar-samar atau istilah Muchsan merupakan blanco
volmacht, seperti dalam suatu norma atau pasal peraturan tersebut ada kata
atau kalimat sebagai berikut :
- “Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
kepala desa setelah dikonsultasikan dengan camat atas nama
bupati/walikota” (Pasal Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa).
- “Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat
dibatalkan.......” (Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
- “Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi
penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas
HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan” (Pasal
92 ayat 2 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia).
- “........penetapan kebijakan sesuai peraturan Perundang-undangan yang
berlaku” (Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota).
- “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),
Pemerintah dapat........” (Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2007).
- “Apabila pembayaran ganti rugi tidak dapat dilaksanakan oleh Badan
Tata Usaha Negara dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, maka
pembayaran ganti rugi dimasukkan dan dilaksanakan dalam tahun
anggaran berikutnya”, dan “Apabila pembayaran kompensasi tidak dapat
dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha Negara dalam tahun anggaran yang
sedang berjalan, maka pembayaran kompensasi dimasukkan dan
147
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya” (Pasal 8 dan Pasal 16
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi Dan
Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara).
Beberapa contoh diatas hanyalah sebagian kecil adanya diskresi
keputusan dan/atau tindakan pejabat publik, masih banyak lagi peraturan
Perundang-undangan yang memberikan celah bagi pejabat publik untuk
melakukan atau tidaknya suatu keputusan dan/atau tindakan. Banyaknya
kata atau kalimat “apabila dipandang perlu”, “dapat”, “dikonsultasikan”,
“atas usul”, “seijin” atau “dengan ijin”, “kecuali”, “persetujuan”, dan
sebagainya, dalam suatu norma merupakan bentuk adanya diskresi yang
dilakukan oleh pejabat publik.
Akan tetapi, terkadang diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat
publik bermakna ganda (dapat positif sekaligus negatif). Untuk menghindari
tindakan diskresi keputusan dan/atau tindakan yang disalahgunakan pejabat
publik, diperlukan sarana yang membatasi diskresi keputusan dan/atau
tindakan pejabat publik, yaitu dengan berpedoman pada prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik. Maksud sarana di sini adalah tolok-ukur atau
ukuran yang menjadi dasar penilaian dalam mempertimbangkan atau
menentukan diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik dalam
mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Menurut UU-AP, tolok-ukur diskresi keputusan dan/atau tindakan
dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut :
a) Memberikan kemungkinan adanya dua bentuk keputusan, yaitu bersifat
cetak tertulis dan/atau elektronis (dapat diakses melalui media
elektronik).
b) Harus tetap memperhatikan asas penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, yaitu: asas legalitas (peraturan Perundang-undangan), asas
perlindungan terhadap HAM, dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AAUPB).
c) Bertujuan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, mengisi
kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi
stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum.
d) Dilakukan sesuai dengan kewenangannya (tidak melampaui wewenang).
e) Mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatannya.
f) Harus berdasarkan alasan-alasan yang obyektif dan dilakukan dengan
itikad baik.
g) Tidak menyalahgunakan wewenang dan tidak mencampuradukkan
wewenang.
h) Menghindari konflik kepentingan.
148
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
i) Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran, maka
pejabat pemerintahan wajib memperoleh persetujuan dari atasan.
j) Penggunaan diskresi yang menimbulkan keresahan di masyarakat
keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadinya bencana alam maka
pejabat pemerintahan wajib memberikan pelaporan kepada atasan,
dengan menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang
ditimbulkan.
k) Memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan atau pihak
ke tiga ikut terlibat dalam prosedur penerbitan keputusan, terutama dalam
memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar
hukum, persyaratan, dokumen dan fakta yang terkait sebelum membuat
Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan yang dapat
menimbulkan pembebanan bagi individu warga masyarakat.
l) Wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional
prosedur pembuatan Keputusan.
m) Sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan harus memeriksa
dokumen dan kelengkapan administrasi pemerintahan.
n) Melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan keputusan
yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh pengadilan
(khususnya mematuhi putusan pengadilan tata usaha negara yang telah
berkekuatan hukum tetap), pejabat yang bersangkutan, atau atasan
pejabat.
Selain itu, dalam Naskah Akademik UU-AP, ada beberapa batasan
atau rambu-rambu bagi penilaian diskresi itu melanggar hukum atau tidak
ini didasari atas dua hal : pertama, deskresi mengandung penyalahgunakan
wewenang (terjadi penggunaan wewenang tidak sesuai dengan tujuan atau
penggunaan tujuan yang tidak sesuai dengan maksud wewenang itu
diberikan); dan kedua, diskresi mengandung arbitrenis (diskresi dinilai
melanggar prinsip proposionalitas).
Sedangkan secara konseptual dan normatif sarana sebagai tolok-ukur
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik tercermin dalam asas-asas
atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
149
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
Diskresi Keputusan Pejabat
Publik harus memenuhi
AAUPB menurut UndangUndang No. 9Tahun 2004 /
Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara
dalam Undang-Undang No.
28 Tahun 1999, yaitu:
1. Adanya Kepastian Hukum
Diskresi Keputusan
Pejabat Publik tidak
boleh bertentangan
dengan AAUPB
menurut Pasal 10
RUU-AP, yaitu :
Diskresi Keputusan Pejabat
Publik tidak boleh
bertentangan dengan
AAUPB, yang menurut
Crince Le Roy dan
Koentjoro Purbopranoto,
yaitu :
1. Kepastian Hukum
2. Melaksanakan
Tertib
Penyelenggaraan Negara
2. Kecermatan
1. Kepastian Hukum dan
Meniadakan AkibatAkibat Suatu Keputusan
Yang Batal
2. Bertindak Cermat
3. Memperhatikan
Kepentingan Umum
3. Kepentingan
Umum
3. Penyelenggaraan
Kepentingan Umum
4. Adanya Keterbukaan
4. Keterbukaan
4. Menanggapi Penghargaan
Yang Wajar
5. Keseimbangan, Kesamaan
Dalam Mengambil
Keputusan, Permainan
Yang Layak, Keadilan
Atau Kewajaran,
Perlindungan Atas
Pandangan Hidup Pribadi,
dan Kebijaksanaan
6. Tidak Boleh
Mencampuradukkan
Kewenangan
5. Dilakukan
Proporsional
Secara
5. Ketidakberpihakan
6. Bertindak Professional
6. Tidak
Menyalahgunakan
Wewenang
7. Adanya Akuntabilitas
7. Kemanfaatan
7. Motivasi Untuk Setiap
Keputusan Pejabat
Administrasi
Beranjak dari tolok-ukur inilah diskresi keputusan dan/atau tindakan
pejabat publik bersandar. Dalam perspektif dogmatika hukum, untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik, pejabat publik dalam melakukan
diskresi keputusan dan/atau tindakan harus mematuhi kriteria-kriteria
tersebut (baik apa yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999, konsep AAUPB, maupun Pasal 10 RUU-AP).
Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut :
150
Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik, Agus Budi Susilo
Proses (Implementasi)
Masukan (Input)
Hasil (Output)
Diskresi
Keputusan
dan/atau
Tindakan
Pejabat
 Kewenangan
 Prosedur
 Substansi
AAUPB atau
Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan
Negara
Tata
Pemerintahan
Yang Baik
Publik
C. Kesimpulan
Pemaknaan diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik dalam
perspektif hukum administrasi negara, merupakan pengecualian dari adanya
asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Akan tetapi, tetap berpedoman
pada kewenangan yang telah ditentukan dalam peraturan Perundangundangan, meskipun kewenangan dalam peraturan tersebut bersifat
multitafsir, atau dalam kondisi tertentu maupun keadaan mendesak pejabat
publik diwajibkan memberikan solusi terhadap suatu permasalahan, dan
dapat juga dikarenakan adanya stagnasi pemerintahan, dengan mengacu
pada terwujudnya kepastian hukum dan dilakukan demi kepentingan umum.
Sedangkan kriteria diskresi keputusan dan/atau tindakan pada umumnya
ditandai dengan lahirnya hukum baru atau keadaan baru, membentuk atau
membubarkan suatu lembaga atau badan hukum, berbentuk perintah, dapat
bersifat menguntungkan (positif) atau merugikan (negatif) bagi pihak terkait
(stakeholder), dan perbuatan yang dilakukannya merupakan salah satu tugas
dan kewajibannya (sesuai kewenangannya).
Agar diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat publik
mewujudkan tata pemerintahan yang baik, maka pejabat publik dalam
melakukannya harus demi kepentingan umum, sehingga perlu dilakukan
pertimbangan-pertimbangan menyangkut segala kepentingan pihak terkait.
Kemudian adanya kewajiban bagi pejabat publik agar taat asas, yaitu batasatas dan batas bawah (hierarkis peraturan Perundang-undangan), dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, meliputi :
kepastian hukum, kemanfaatan, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas atau keseimbangan, profesionalitas,
akuntabilitas atau ketidakberpihakan, kecermatan, tidak melampaui / tidak
menyalahgunakan / tidak mencapuradukkan kewenangan, meniadakan
akibat-akibat suatu keputusan dan/atau tindakan yang batal, menanggapi
penghargaan yang wajar, dan motivasi.
151
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 133-152
Daftar Pustaka
A. Buku Literatur :
A.V. Dicey, Introduction to the study of The Law Of The Constitution,
Macmillan & Co LTD, London, 1959
Amrah Muslimin, Asas & Pengertian Pokok tentang Administrasi & Hukum
Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1985
Baqir Manan, Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Beatson, dkk, Administrative Law : Text and Materials, Oxford University
Press, UK, 2011
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka
Tinta Mas, Surabaya, 1994
Fatimah Achyar, Selintas tentang Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara, Diterbitkan Mahkamah Agung RI, 1989, Jakarta
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Buku I : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata
Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000
Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit UII
Press, Yogyakarta, 2001
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan
Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1992
Paulus Effendie Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan,
Penerbit Salemba Humanika, Jakarta, 2013
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1995
Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII Press,
Yogyakarta, 2014
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Admnistratif di
Indonesia, Penerbit Libety, Yogyakarta, 1997
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi
Negara, Alumni, Bandung, 1992
Sjachran Basah, Beberapa Permasalahan Pokok Sebelum Realisasi Efektif
Pengadilan Administrasi, dalam : Bunga Rampai HTN dan HAN, FH
UII, Yogyakarta
B. Jurnal Hukum, Kamus, dan Surat Kabar:
Gema Peratun Tahun VI No.12 Agustus 2000, MARI Lingkungan Peratun
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda – Indonesia, Penerbit PT. Ichtiar
baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Kompas, Terbit Hari Selasa, Tanggal 25 Maret 2014.
152
PENERAPAN DIVERSI UNTUK MENANGANI PROBLEMA
PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS DI
PENGADILAN
(Diversion Application to Handle Problem Infringement Case Settlement
Traffic in Court)
Budi Suhariyanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI
Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 Jakarta Pusat
Email : [email protected]
Abstrak
Pada dasarnya perkara pelanggaran lalu lintas adalah perkara yang
sederhana sehingga dikategori pemeriksaannya cepat. Namun ketika volume
perkara perkaranya mencapai ribuan perkara dan harus disidangkan di
Pengadilan dalam waktu sehari, senyatanya telah menimbulkan problema.
Dalam mengatasi problema tersebut, perbaikan penanganan dan
penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas di Pengadilan adalah hal yang
mutlak dilakukan. Namun selain itu alternatif penyelesaian pelanggaran lalu
lintas di luar Pengadilan yaitu melalui penerapan diversi patut dijadikan
salah satu alternatif cara mengurangi beban perkara dan problema di
Pengadilan. Secara fungsional, penerapan diversi dijadikan sebagai bagian
dari edukasi dan sistem pembinaan serta sistem perlindungan masyarakat
(khususnya terhadap anak/Pelanggar dibawah umur).
Kata kunci : Diversi, Pelanggaran Lalu lintas, Pengadilan
Abstract
Basically cases of traffic violations is a matter of simple so categorized
quick examination. However, when the volume of his case matters reach
thousands of cases and should be heard in court within a day, in fact has
given rise to problems. In addressing these problems, improvement of
handling and settling disputes traffic violation in court is an absolute must
do. But apart from that alternative settlement traffic violation outside the
court, namely through the implementation of diversion should be used as an
alternative way to reduce the caseload and problems in court. Functionally,
the application of diversion used as part of the education and guidance
systems and community protection systems (especially against children /
Offenders under age).
Keywords : Diversion, Traffic Violations, the Court
153
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
A. Pendahuluan
Pada dasarnya perkara pelanggaran lalu lintas adalah perkara yang
cukup sederhana. Baik dari segi penangkapan oleh Kepolisian, pembuktian
di persidangan Pengadilan maupun eksekusi oleh Kejaksaan tidaklah rumit.
Oleh karenanya acara pemeriksaannya cepat. Meskipun demikian
penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas ini bukan tidak terdapat
kendala atau masalah. Khususnya di Pengadilan Negeri (Kota besar seperti
Jakarta dan Surabaya) yang harus menangani perkara pelanggaran lalu lintas
dengan volume jumlah perkara mencapai ribuan (bahkan terkadang bisa
tembus sepuluh ribu), berbagai masalah dan kendala pun tidak dapat
terelakkan.
Masalah penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas di Pengadilan
ini dapat dibedakan menjadi internal dan eksternal. Masalah internal
misalnya terkait dengan minimnya aparatur peradilan yang harus
diberdayakan mengelola perkara pelanggaran lalu lintas untuk melayani
ribuan para pelanggar yang datang bersidang di Pengadilan dalam waktu
bersamaan. Di Pengadilan tertentu terkadang juga terpaksa melibatkan
Pegawai Tidak Tetap (Honorer) dan Siswa/Mahasiswa yang magang untuk
membantu baik dari aspek administrasi maupun mengatur ketertiban dan
keamanan di Persidangan. Selain itu sarana prasarana pendukung di dalam
maupun di luar persidangan terkadang menjadi rusak karena begitu
banyaknya Pelanggar yang menggunakannya. Selain itu masalah eksternal
seperti keberadaan Calo yang sebelum maupun saat hari persidangan
berkerumun dan menyebar di sekitar Pengadilan membuat persepsi kurang
baik bagi citra Pengadilan.
Berdasarkan problema-problema tersebut diatas, senyatanya perkara
pelanggaran lalu lintas yang notabene adalah sederhana ini telah menjadi
beban bagi Pengadilan. Bahkan terkadang berpotensi menjadi batu
sandungan aparatur peradilan melakukan pelanggaran disiplin. Misalnya
terkait dengan kurang cermatnya pemberkasan maupun titipan uang denda
yang tidak segera di diserahkan dan dieksekusi oleh Kejaksaan. Padahal
secara subtantif sesungguhnya perkara ini adalah cukup sumir bilamana
dibandingkan dengan perkara lain yang ditangani oleh Pengadilan. Oleh
karenanya kemudian memunculkan gagasan untuk mengeluarkan perkara
pelanggaran lalu lintas ini dari Pengadilan, minimal para Pelanggar tidak
berduyun-duyun datang ke persidangan. Dengan demikian sistem fiterisasi
perkara oleh aparat Kepolisian sangat diharapkan. Misalnya saja dengan
optimalisasi penggunaan uang titipan (slip biru) dan penerapan diversi bagi
kasus-kasus dan Pelaku pelanggaran lalu lintas tertentu.
Pada asasnya penerapan diversi secara proporsional terhadap
pelanggaran lalu lintas ini sejalan dengan konsepsi visi politik hukum
154
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
peradilan Indonesia yang notabene telah mengarah pada penyelesaian
perkara yang efektif dan efisien serta berdasar atas restoratif justice.
Penerapan diversi dalam penyelesain perkara pelanggaran lalu lintas ini
dapat menjadi alternatif solusi mengatasi problema penyelesaian dan
penumpukan perkara pelanggaran lalu lintas di Pengadilan. Namun
terkadang persepsi negatif muncul dari penerapan diversi yang dilakukan
oleh Kepolisian karena seringkali diasosiasikan sebagai sebuah “pungli”.
Berdasarkan latar belakang yang demikian maka menarik untuk dijadikan
sebagai sebuah kajian.
B. Eksistensi Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas
Secara normatif, UU LLAJ mengatur mengenai mekanisme
penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas. Dalam penanganan perkara
pelanggaran lalu lintas, sama seperti penanganan perkara pidana pada
umumnya yang melibatkan Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS), Kejaksaan, dan Pengadilan. Kewenangan penyidikan diserahkan
pada Kepolisian dan PPNS bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)
dengan kewenangan yang lebih besar berada di tangan Kepolisian.1
Setiap pelanggaran lalu lintas yang diperiksa menurut acara
pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan
pengadilan. Acara pemeriksaan cepat dapat dilaksanakan tanpa kehadiran
pelanggar. Pelanggar yang tidak dapat hadir dapat menitipkan denda kepada
bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. Adapun jumlah denda yang dititipkan
kepada bank adalah sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap
pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bukti penitipan uang denda
wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.2 Dalam hal putusan
pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang
dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk
diambil. Terhadap sisa uang denda yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara. 3
Pada proses pelaksanaan acara cepat terdapat beberapa karakteristik
khusus hukum acara, dibandingkan dengan bentuk acara lainnya. Beberapa
bentuk kekhususan dari acara cepat adalah proses pelimpahan perkara tidak
dilakukan melalui aparat penuntut umum, namun penyidik bertindak sebagai
Kuasa Penuntut Umum, tidak diperlukan adanya surat dakwaan, dilakukan
dengan hakim tunggal, saksi tidak mengucapkan sumpah, dan sifat putusan
1
Sebagaimana perbandingan pengaturan wewenang penyidikan dalam Pasal 260, Pasal
261, Pasal 262 dan Pasal 263 UU LLAJ
2
Pasal 267 UU LLAJ
3
Pasal 268 UU LLAJ
155
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
bersifat final dan mengikat.4 Adapun terkait dengan persidangan, ketentuan
dalam UU LLAJ hanya menyangkut mengenai pemeriksaan cepat dan
pemeriksaan tanpa kehadiran pelanggar. Minimnya pengaturan mengenai
penanganan perkara pelanggaran lalu lintas di pengadilan juga terlihat
dalam peraturan turunan Undang-Undang tersebut, baik dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 80 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan5 maupun Surat Kesepakatan Bersama antara Ketua
Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala
Kepolisian tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu lintas
Jalan Tertentu yang ditandatangani pada 19 Juni 1993.6
Dari uraian sebelumnya yang merujuk pada ketentuan penanganan
perkara pelanggaran lalu lintas belum terlihat pengaturan teknis terhadap
penyelenggaran sidang tilang oleh pengadilan. Dari penelusuran terhadap
prosedur pelaksanaan sidang tilang yang tersedia di website pengadilan
negeri, secara umum ada empat tahapan yang dilalui pelanggar untuk
menjalani proses persidangan tindak pelanggaran lalu lintas di pengadilan.
Tahapan tersebut meliputi pendaftaran,7 pelaksanaan sidang,8 pembayaran
denda dan pengambilan barang bukti.9
4
M. Yahya Harahap, S.H., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Cetakan ke 12 : 2010, hlm.423
5
Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan
Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur
pada bagian ketiga mengenai persidangan dan pembayaran denda pelanggaran. Namun
peraturan ini tidak banyak mengatur mengenai pelaksanaan sidang. Hanya terdapat tiga
ketentuan yang secara langsung berhubungan dengan prosedur pelaksanaan sidang, yaitu:
penyerahan surat tilang dan alat bukti yang harus dilakukan dalam waktu paling lambat 14
hari sejak terjadinya pelanggaran (Pasal 29 ayat (1)); dan pelaksanaan sidang sesuai dengan
hari sidang yang disebutkan dalam surat tilang (Pasal 29 ayat (3)); serta persidangan dapat
dilakukan dengan atau tanpa kehadiran pelanggar atau kuasanya (Pasal 29 ayat (4)). Dari
ketentuan tersebut belum cukup menjelaskan bagaimana pengadilan harus melakukan
pengelolaan atau mengatur prosedur sidang untuk perkara pelanggaran lalu lintas.
6
Terdapat lima butir pengaturan dalam surat kesepakatan tersebut dalam bagian mengenai
acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas. Dari ketentuan tersebut tidak mengatur
detil mengenai prosedur penanganan perkara tilang di pengadilan. Surat kesepakatan
tersebut merujuk pada pasal 214 yang mengatur mengenai pemeriksaan cepat.
7
Proses pendaftaran dilakukan oleh pelanggar dengan menyerahkan berkas / surat tilang
berwarna merah melalui loket pendaftaran atau kepada petugas di ruang sidang. Kemudian
petugas tersebut akan menyiapkan berkas sidang. Pelanggar akan mendapatkan nomor
antrian atau langsung menuju ke antrian peserta sidang. Selanjutnya Petugas pendaftar akan
menyerahkan berkas sidang kepada hakim. Selanjutnya, pelanggar akan dipanggil untuk
menghadap ke hakim. Hakim akan melakukan sidang. Hakim dapat memutus pelanggar
untuk membayar denda sejumlah tertentu serta ongkos perkara. Kemudian Terhadap
putusan tersebut, pelanggar akan melakukan pembayaran denda kepada petugas. Setelah
itu, pelanggar menyerahkan bukti pembayaran kepada jaksa untuk melakukan eksekusi dan
jaksa akan mengembalikan barang bukti saat itu juga kepada pelanggar.
156
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
C. Problema Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di
Pengadilan
Secara kuantitatif, perkara pelanggaran lalu lintas di pengadilan
sangat mendominasi jumlah perkara yang harus diperiksa, diselesaikan dan
diputuskan oleh Hakim. Pada tahun 2013 tercatat dalam Laporan Tahunan
Mahkamah Agung 2013, perkara pelanggaran lalu lintas (tilang) merupakan
jenis perkara terbesar. Total jumlah perkara pidana yang ditangani
pengadilan negeri pada 2013 berjumlah 3.386.149 perkara. Sebanyak
3.214.119 atau 96,40% merupakan perkara tindak pidana ringan dan
pelanggaran lalu lintas. Perkara pidana biasa pada 2013, sebesar 119.876
atau 3,60%. Sisanya merupakan perkara pidana singkat sebesar 231 perkara
atau 0,01%.10 Bahkan dalam setiap minggu pada pengadilan di kota besar
dapat menerima 2000 (dua ribu) sampai dengan 4000 (empat ribu)
perkara.11
Berdasarkan data tersebut disimpulkan bahwa dari sisi jumlah,
perkara tilang merupakan perkara terbesar yang ditangani seluruh
Pengadilan Negeri. Sehingga, pada perkara tilanglah interaksi antara
Pengadilan dan masyarakat pencari keadilan paling banyak terjadi. Bisa
dibayangkan jika setiap tahun sekitar 3 juta orang yang harus menempuh
sidang tilang dan berinteraksi dengan pengadilan menemui pengalaman
buruk di Pengadilan, maka terdapat potensi 3 juta persepsi negatif yang
berkembang di masyarakat mengenai Pengadilan. Dan harus diakui bahwa
persepsi tentang pengadilan yang ditemui pada sidang perkara tilang bisa
dengan mudah menyebar ke kelompok masyarakat yang lebih luas. 12
Namun sayangnya, dari berbagai pemberitaan media massa yang ada
selama ini, tidak sedikit keluhan dan persepsi negatif terhadap pengadilan
yang muncul dari sidang perkara tilang. Dari sebuah artikel koran, pernah
diberitakan bahwa seorang petugas Pengadilan Negeri bersikap tidak sopan
kepada pengurus surat tilang karena kelelahan mengurus sidang tilang
seharian penuh. Kondisi itu diperburuk dengan menjamurnya calo kasus8
Petugas pendaftar akan menyerahkan berkas sidang kepada hakim. Selanjutnya, pelanggar
akan dipanggil untuk menghadap ke hakim. Hakim akan melakukan sidang. Hakim dapat
memutus pelanggar untuk membayar denda sejumlah tertentu serta ongkos perkara.
9
Terhadap putusan tersebut, pelanggar akan melakukan pembayaran denda kepada petugas.
Setelah itu, pelanggar menyerahkan bukti pembayaran kepada jaksa untuk melakukan
eksekusi dan jaksa akan mengembalikan barang bukti saat itu juga kepada pelanggar.
10
Tim Peneliti Puslitbang Kumdil dan PSHK, Alternatif Pengelolaan Perkara Pelanggaran
Lalu Lintas di Pengadilan, Laporan Penelitian, Jakarta, Puslitbang Kumdil dan PSHK,
2014, Hlm. 4
11
Sebagaimana disampaikan oleh Yahya Syam Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur
dalam pada seminar penelitian “Alternatif Pengelolaan Perkara Lalu Lintas di
Pengadilan”. Acara yang merupakan rangkaian kegiatan Penelitian tentang Alternatif
Pengelolaan Perkara Tilang di Pengadilan ini diselenggarakan di Jakarta, 17 Juni 2014
12
Tim Peneliti Puslitbang Kumdil dan PSHK, Op Cit, Hlm. 5
157
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
kasus tilang. Ketua MA Hatta Ali pernah mengakui bahwa calo semakin
banyak berkeliaran di pengadilan, terutama ketika sidang tilang digelar.
Menurut Ketua MA, meski calo tilang bukan oknum yang berasal dari
pengadilan, namun ulah mereka menyebabkan Pengadilan mendapat kesan
buruk dari masyarakat selama ini. Calo, menurut Hatta Ali, marak tumbuh
di perkara tilang karena pada acara cepat hakim dapat menjatuhkan vonis
tanpa mensyaratkan kehadiran pelanggar. Pengadilan selama ini tidak
mampu menertibkan keberadaan dan ulah calo, meski secara terbatas upaya
penertiban pernah ditempuh beberapa pengadilan.13
Penelitian Baseline Survey PSHK yang dilakukan pada tahun 2013
menunjukan rendahnya tingkat kepuasan pengguna layanan sidang tilang.
Dari keseluruhan responden nasional, hanya 23 % responden yang
menyatakan puas terhadap persidangan tilang. Angka ini relatif kecil
dibandingkan dengan aspek-aspek layanan lainnya, yang mencapai
kepuasan responden berada pada kisaran angka 50 %. 14 Survei integritas
pelayanan publik yang diselenggarakan KPK pada 2012 juga menyatakan
bahwa sidang tilang di seluruh PN di Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Medan, dan Palu dikelola di bawah standar. Temuan ini diperkuat
oleh Ketua MA 2009-2012, Harifin A. Tumpa, yang mengeluhkan volume
kerja dari perkara tilang yang sangat besar sebagai penyebabnya, yang pada
akhirnya membuat banyak pengadilan kewalahan. Sumberdaya pengadilan
banyak tersedot oleh perkara tilang, padahal perkaranya sendiri bersifat
sederhana atau sumir.15
Beban kerja pengadilan yang terlalu besar di perkara tilang yang
sumir akan menjadi disinsentif bagi hakim, panitera, dan staf pengadilan
lainnya untuk berfokus meningkatkan kualitas kerjanya (lewat putusan yang
konsisten dan argumentatif) saat menangani perkara-perkara yang
substansial, yang lebih luas dampaknya bagi masyarakat. Perkara tilang
selama ini menjadikan konsentrasi dan sumberdaya pengadilan terlalu
banyak tersedot oleh urusan yang sederhana. Di samping itu persepsi yang
berkembang di tengah masyarakat mengenai layanan pengadilan terbukti
banyak dikontribusikan oleh penyelenggaraan perkara tilang. Persepsi
negatif tersebut mengurangi kepercayaan masyarakat bahwa pengadilan
mampu menjadi mekanisme penyelesaian sengketa yang independen,
imparsial, dan profesional. Jika rasa tidak percaya tersebut berkembang,
13
Ibid, Hlm. 5-6
Tim Survey Kepuasan Pengadilan 2013, Laporan Baseline Survey Pelayanan Publik
Pengadilan 2013, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) & Badan Pengawas
Mahkamah Agung RI (Bawas), 2013, hlm.89 - 94
15
Tim Peneliti Puslitbang Kumdil dan PSHK, Op Cit, Hlm. 6-7
14
158
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
masyarakat menjadi enggan mengakses layanan pengadilan dalam
menyelesaikan berbagai sengketa yang dihadapinya.16
D. Alternatif Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di
Pengadilan
Berdasarkan realitas masalah yang dihadapi oleh pengadilan dalam
menangani dan menyelesaikan perkara pelanggaran lalu lintas tersebut,
kemudian muncul beberapa opsi solusi sempat diusulkan oleh berbagai
pihak. Opsi-opsi solusi tersebut berkisar pada: pertama, keinginan untuk
mempertahankan beban kerja perkara tilang di pengadilan, namun dengan
perbaikan-perbaikan tertentu dalam penyelenggaraannya, atau kedua,
mengeluarkan atau mengurangi perkara tilang dari beban kerja pengadilan,
khususnya bagi perkara di mana pelanggar mengakui kesalahannya
(uncontested cases). Pada opsi pertama, ide-ide perbaikan pernah
dilontarkan. Untuk mempercepat proses penyelesaian perkara tilang, ada
yang mengusulkan agar polisi tidak perlu melibatkan jaksa sebagai penuntut
karena dalam acara cepat, penyidik bisa mengajukan perkara ke pengadilan
atas kuasa penuntut umum. Untuk memperbaiki kualitas layanan pengadilan
di perkara tilang, sebagian pihak mengusulkan agar pengadilan
menyelenggarakan sidang setiap hari, tanpa perlu dipusatkan di hari tertentu
agar tidak bertumpuk. Ada juga yang mengusulkan agar sidang tilang
diselenggarakan di malam hari (konsep night court) sebagaimana pernah
diutarakan mantan Ketua MA Harifin Tumpa. Atau usul lain mengangkat
hakim khusus untuk menangani perkara tilang yang sangat besar jumlahnya.
Terkait usaha meminimalisir praktek calo di pengadilan, terdapat usulan
untuk me-rolling staf yang ditugasi mengurus sidang tilang guna memutus
mata rantai antara pegawai pengadilan dengan calo, mewajibkan pelanggar
lalu lintas untuk secara langsung mengikuti sidang diruang sidang, atau
mensyaratkan adanya surat kuasa bagi mereka yang mewakili pelanggar lalu
lintas di persidangan.17
Sementara di opsi kedua, Ketua MA Hatta Ali pernah menyatakan
harapannya agar sidang tilang diperlakukan sama seperti sidang akta
kelahiran, yang pada akhirnya tidak perlu sampai ke Pengadilan. Usulan
Ketua MA Hatta Ali tersebut disambut positif oleh sekelompok hakim yang
tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI). Mereka
mengusulkan agar pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, segera
duduk bersama untuk mengambil langkah konkrit. Mahkamah Konstitusi
(MK) juga menyetujui jika perkara tilang yang sumir tidak perlu sampai ke
16
17
Ibid, Hlm. 9
Ibid, Hlm. 7-8
159
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
Pengadilan. Bahkan Ketua MK saat itu, mengatakan bahwa sidang tilang
adalah sesuatu yang mubazir, karena sumberdaya pengadilan idealnya
diarahkan pada perkara-perkara hukum yang substansial.18
Untuk menjajaki berbagai kemungkinan menentukan opsi yang
terbaik untuk dijadikan sebagai bahan pembaharuan hukum dan kebijakan
yang terkait penanganan dan penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas
maka sangat penting dilakukan penelitian dan pengkajian. Pada tahun 20132014, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah
Agung (Puslitbang Kumdil) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK), didukung AIPJ melakukan penelitian tentang “Alternatif
Pengelolaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan” yang
bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan solusi dalam
penanganan dan penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas di pengadilan.
Adapun lokasi penelitian meliputi PN Jakarta Timur, PN Medan, PN
Surabaya, PN Palu, PN Ternate, dan PN Binjai.
Diantara hasil kesimpulan penelitian adalah penerapan kebijakan
penanganan perkara pelanggaran lalu lintas dengan tidak melalui pengadilan
masih memerlukan beberapa syarat. Secara legalistik, KUHAP dan UU
LLAJ mengatur kewenangan pengadilan dalam memutus perkara
pelanggaran lalu lintas. Wacana mengeluarkan perkara pelanggaran lalu
lintas perlu mengubah dua Undang-Undang tersebut yang membutuhkan
waktu dan sumber daya besar. Selain itu masih kuatnya paradigma tentang
urgensi pelibatan pengadilan sebagai bentuk due process of law yang
menjadikan Hakim sebagai tempat mengadu/minta keringanan dan
pelanggar dapat menjelaskan alasan pelanggaran lalu lintas serta Hakim
berperan memberikan pertimbangan terhadap unsur keadilan. Contoh:
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memberikan keringanan hukuman
atas dasar pelanggaran lalu lintas, seperti masuk jalur Transjakarta, karena
kondisi infrastruktur jalanan yang disediakan pemerintah buruk.
Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang dibagi dalam
jangka menengah dan pendek. Rekomendasi jangka menengah meliputi : 19
1. Mengeluarkan perkara uncontested dari pengadilan melalui
perubahan peraturan Perundang-undangan.
2. Perlu perbaikan pola hubungan dan koordinasi pelaksanaan peran
masing-masing dalam perkara tilang antara Kepolisian, Kejaksaan,
dan Pengadilan
18
19
Ibid, Hlm. 8
Ibid, Hlm. 216
160
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
3. Mengkaji ulang pengaturan dalam UU LLAJ yang menetapkan uang
titipan harus senilai maksimum ancaman denda karena menjadi
disinsentif masyarakat untuk langsung membayar denda.
4. Perubahan ketentuan untuk membedakan perlakuan antara slip biru
(pelanggar yang mengaku) dengan slip merah (pelanggar yang
keberatan, baik yang hadir maupun verstek)
Adapun rekomendasi jangka pendek yang disusun berdasarkan
penelitian lapangan yang diadakan meliputi : 20
a. Perbaikan SKB Ketua MA, Menkeh, Jaksa Agung dan Kapolri
tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu lintas
Jalan Tertentu tertanggal 19 Juni 1993 (SKB 19 Juni 1993)
b. Identifikasi praktik-praktik baik yang sudah diterapkan di berbagai
pengadilan dan menjadikan model untuk jadi standar nasional.
c. Mengembangkan buku standar pelayanan pengadilan untuk
pengelolaan perkara tilang.
d. Memperbaiki layanan dengan mengoptimalkan peran SDM di
pengadilan disesuaikan dengan beban perkara tilang.
e. Memperbaiki fasilitas pengadilan terutama penyediaan loket khusus
dengan kaca, pengaturan lokasi layanan yang berdekatan dan media
informasi pengadilan yang berkaitan dengan pelayanan perkara
tilang.
f. Mengurangi ruang gerak calo dengan layanan dan fasilitas yang
optimal antara lain melalui larangan penawaran jasa pengurusan
tilang (sebagai kuasa atau perantara) di lingkungan pengadilan dan
kemungkinan pencantuman kuasa dalam buku register atau daftar
tilang yang dipublikasikan pengadilan.
g. Koordinasi pelaksanaan tugas yang lebih baik dengan kepolisian dan
kejaksaan dalam penanganan perkara tilang, dengan melakukan:
1) Pembuatan laporan rekapitulasi perkara tilang tiap hari sidang
(seperti praktik di PN Jakarta Timur).
2) Pembuatan laporan penyetoran penerimaan negara dari perkara
tilang.
3) Kesepakatan penyampaian daftar perkara tilang dari Kepolisian
ke Pengadilan dalam format soft copy.
4) Peningkatan kapasitas SDM dalam layanan perkara tilang
sebagai optimalisasi peran pengadilan bagi penegakan hukum,
ketaatan hukum masyarakat, dan budaya berlalu lintas yang
baik.
20
Ibid, Hlm. 216-217
161
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
E. Penerapan Diversi untuk Menangani Problema Penyelesaian
Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan
Berdasarkan hasil penelitian “Alternatif Pengelolaan Perkara
Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan di atas, direkomendasikan (salah
satunya) mengeluarkan perkara uncontested (khususnya pelanggaran lalu
lintas) dari pengadilan melalui perubahan peraturan Perundang-undangan.
Pengeluaran pelanggaran lalu lintas dari pengadilan ini dapat dilakukan
dalam beberapa cara yaitu: Pertama, pelanggaran lalu lintas seyogyanya
tidak masuk ke pengadilan karena dikategorikan sebagai pelanggaran
administrasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Hatta Ali bahwa
harapannya agar sidang tilang diperlakukan sama seperti sidang akta
kelahiran, yang pada akhirnya tidak perlu sampai ke Pengadilan. Di
Singapura dan New Zealand, semua pelanggaran lalu lintas sudah bukan
pelanggaran pidana, tapi administrasi. Kalau melanggar, jelas harus
membayar. Di Korea juga sudah digunakan dananya untuk meningkatkan
fasilitas transportasi dan pelayanan umum.21
Kedua, pengadilan tetap dapat menerima pemeriksaan dan memutus
perkara pelanggaran lalu lintas hanya untuk perkara yang Pelaku tidak
menerima dan menentang ketika ditilang. Sementara untuk yang menerima
dan tidak membantah atau menentang (uncontested) tidak perlu melalui
sidang pengadilan. Dalam konteks ini bukan berupa sistem “uang titipan”
sebagaimana dianut dalam UU LLAJ yang notabene masih memerlukan
perbaikan secara subtantif maupun implementatif.
Diantara perbaikan substasi yaitu terkait jumlah nominal denda
maksimum dalam “uang titipan” yang harus dititipkan seringkali membuat
masyarakat khususnya Pelanggar (mayoritas menengah ke bawah) lebih
memilih hadir di persidangan. Ditetapkannya membayar denda maksimum
adalah untuk mengantisipasi putusan Hakim yang lebih tinggi daripada
“uang titipan”. Kondisi keuangan atau perekonomian menjadi salah satu
alasan Pelanggar tidak memungkinkan untuk membayar secara langsung
melalui tranfer lewat Bank pada saat itu dengan nominal denda maksimum
yang cukup tinggi. Apalagi dengan adanya putusan pengadilan yang
memiliki disparitas yang signifikan dengan denda maksimum yang
dibayarkan melalui mekasime uang titipan. Terlebih lagi secara prosedur
mekanisme “uang titipan” bagi sebagian masyarakat dinilai tidak sederhana,
21
Sebagaimana disampaikan oleh Kombes Indrajit Koordinator Penegakan Hukum Korps
Lalu Lintas Kepolisian pada seminar penelitian “Alternatif Pengelolaan Perkara Lalu
Lintas di Pengadilan”. Acara yang merupakan rangkaian kegiatan Penelitian tentang
Alternatif Pengelolaan Perkara Tilang di Pengadilan ini diselenggarakan di Jakarta, 17 Juni
2014.
162
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
karena harus datang lagi ke Bank untuk mengambil selisih nominal uang
dari putusan pengadilan.
Di sisi lain dalam optik implementatif, mekanisme “uang titipan”
seringkali dijadikan sebagai pengancaman untuk membuat takut atau jera
Pelanggar. Misalnya dalam pelanggaran jalur bus way di Jakarta. Secara
faktual semakin membuat masyarakat atau Pelanggar enggan memilih
mekanisme “uang titipan”. Padahal pengaturan dan penerapan “uang
titipan” tersebut diharapkan agar tidak semua pelanggaran lalu lintas masuk
ke pengadilan. Dalam konteks ini penerapan mekanisme “uang titipan” ini
menjadi kontraproduktif dari tujuan untuk melakukan percepatan dan
kemudahan serta keringanan biaya. Sebagaimana asas peradilan yang
sederhana, cepat dan berbiaya ringan.
Berdasarkan fakta yang demikian maka perubahan ketentuan untuk
membedakan perlakuan antara slip biru (pelanggar yang mengaku) dengan
slip merah (pelanggar yang keberatan, baik yang hadir maupun verstek)
sangat penting. Oleh karenanya pengkajian ulang pengaturan dalam UU
LLAJ yang menetapkan uang titipan harus senilai maksimum ancaman
denda karena menjadi disinsentif masyarakat untuk langsung membayar
denda. Selain itu pengkajian ulang tersebut juga terkait dengan penguatan
hak bagi Pelanggar untuk menentukan pilihan terbaik dan akomodatif dalam
menjalani mekanisme penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas. Di pihak
lain penegak hukum (Kepolisian) juga perlu diberikan wewenang untuk
membantu penentuan pilihan tersebut kepada Pelanggar. Dalam konteks
demikian perlu dipertimbangkan penerapan diversi yang proporsional, tepat
dan akuntabel dalam penyelesaian dan penanganan pelanggaran lalu lintas.
Diversi saat ini menjadi salah satu sarana hukum yang dinilai sangat
akomodatif terhadap kepentingan para pihak (penegak hukum, Pelaku,
Korban dan masyarakat) dalam melakukan penyelesaian suatu perkara
pidana di luar dan saat di pengadilan. Secara normatif, diversi diatur dan
diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak. Pengertian diversi
tercantum dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yaitu pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA menyebutkan
pada setiap tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara Anak
di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. Dalam UU SPPA juga
diatur mengenai proses diversi yang dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak dan orangtua/Walinya, korban dan/atau orangtua/
Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional
berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Dalam hal diperlukan,
musyawarah dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau
163
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
masyarakat. Proses Diversi wajib memperhatikan kepentingan korban,
kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif,
penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat dan kepatutan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Diversi menurut Marlina merupakan wewenang dari aparat penegak
hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan
meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan
tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.22 Adapun tujuan dari
diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran hukum di
luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara
tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan
menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh
keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh
aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum
yang disebut discretion atau “diskresi‟.23
Eva Acjani Zulfa menjelaskan, Aronson memaknai diskresi meliputi
tindakan menginterpretasikan Undang-Undang, penggunaan kewenangan
dan pilihan tindakan dari penegak hukum. Diskresi dalam istilah Heffernan
dan Stroup merupakan hard choices in law enforcement (meskipun dalam
tulisannya titik berat pilihan penggunaan diskresi ada pada Polisi sebagai
pintu gerbang sistem peradilan pidana). Dinyatakan sebagai pilihan yang
berat karena apa yang ditentukan dalam aturan tertulis dibandingkan dengan
situasi yang nyata dalam realitanya bisa jadi sangat berbeda. Adanya
perbedaan antara konsep ideal yang ditentukan secara formal dalam aturan
Perundang-undangan dengan situasi yang berbeda dalam realitasnya,
menyebabkan
petugas
harus
mengambil
kebijakan
menurut
pertimbangannya sendiri sebagai respon atas situasi tersebut. Oleh
karenanya kewenangan diskresi sebagai alat untuk melakukan diversi dalam
prosess peradilan pidana dapat dilakukan oleh Hakim, Jaksa, Polisi dan
petugas pemasyarakatan.24
Berkaitan dengan upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi
penanganan dan penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas melalui
penerapan diversi adalah cukup relevan dan urgen baik ditinjau dari
perspektif filosofis, teoritis, dan soiologis. Ditinjau dari perspektif filosofis,
melalui penerapan diversi lebih terjamin aktualisasi restoratif justice.25
22
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,
Medan, USU Press, 2010, Hlm. 1
23
Ibid, Hlm.2
24
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung, Lubuk Agung, 2011,
Hlm.159
25
Menurut Andi Hamzah, Andi Hamzah menerjemahkan dengan peradilan restoratif sama
dengan criminal justice diterjemahkan dengan peradilan pidana (Andi Hamzah, Restoratif
164
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa dekade terakhir ini terdapat
pergeseran dari retributif justice menuju restoratif justice.26 Hal ini ditandai
dengan berbagai produk peraturan Perundang-undangan maupun
pembentukan hukum oleh pengadilan yang mengandung orientasi dan
paradigma restoratif justice. Misalnya UU SPPA, Undang-Undang tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga, dan lain-lain. Pergeseran tersebut dapat dimaknai sebagai
peroses refilosofi hukum nasional, dikatakan refilosofi karena pada asasnya
bangsa Indonesia telah menganutnya sejak lama namun karena penjajahan
kolonial maka lambat laun nilai-nilai hukum yang berorientasi restoratif
justice tersebut tergerus.
Oleh karena itu tidak salah kiranya jika paradigma restoratif justice
juga diaktulisasikan dalam penanganan dan penyelesaian perkara
pelanggaran lalu lintas melalui penerapan diversi. Pelibatan para pihak yaitu
Pelanggar dan penegak hukum pada saat pra ajudikasi dalam sebuah media
musyawarah mufakat yang demokratis (sila keempat Pancasila) dan bervisi
pelayanan hukum yang prima akan dapat memberikan sentuhan rasa
peradilan yang manusiawi (keadilan yang beradab/manusiawi) bukan
penegakan hukum yang mekanistik. Pelanggar diberikan penguatan hak
untuk menentukan pilihan hukum menyelesaikan perkara pelanggarannya di
luar atau melalui pengadilan dengan kebebasan untuk mengukur
kebersalahan dan penyerahan serta pengakuan atas pelanggaran yang
dilakukannya. Jika mengaku dan terima serta tidak membantah saat
dilakukan tindakan oleh Polisi maka diselesaikan dengan pembayaran denda
Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar IKAHI
tanggal 25 April 2012, Hlm.5). Sementara itu Bagir Manan lebih cenderung mengartikan
Restorative justice sebagai sebuah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan
tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materiil). Restorative
Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. (Bagir Manan,
Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Rudy Rizky (eds), Refleksi Dinamika Hukum
Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir( Analisis Komprehensif tentang Hukum oleh
Akademisi & Praktisi Hukum), In Memoriam Prof. DR. Komar Kantaamadja, S.H.,LL.M,
Jakarta, Perum Percetakan Negara RI, 2008, Hlm. 4)
26
Terdapat 2 (dua) konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi perubahan
fundamental dalam sistem hukum pidana, yaitu keadilan retributif (retributif justice) dan
keadilan restoratif (restoratif justice). Lihat dalam Mudzakkir, Posisi Hukum Korban
Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Jakarta, Program Pascasarjana FHUI, 2001, Hlm.25 dan lihat juga dalam Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem
Peradilan Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, Hlm. 43. Restoratif justice merupakan
suatu model pendekatan baru (meskipun merupakan nilai tradisional) dalam upaya
penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan sistem yang sekarang ada, pendekatan ini
menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, Korban dan masyarakat dalam
proses penyelesaian perkara pidana. (Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif Di Indonesia
(Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek
Penegakan Hukum Pidana), Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI,
2009)
165
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
lewat Bank yang nilai nominalnya terjangkau atau diterapkan denda
minimal tanpa melalui pengadilan. Dengan demikian penanganan dan
penyelesaian pelanggran lalu lintas menjadi responsif karena memberikan
hak pada Pelanggar untuk memilih secara ekonomis (dapat insentif denda
minimum) dan tidak birokratis (tanpa proses lebih lanjut ke pengadilan yang
membutuhkan waktu, biaya dan tenaga lebih) dan ujungnya menyebabkan
pengadilan tidak terlalu dibebankan oleh perkara yang ringan/cukup sumir
dan SDM dapat berfokus pada penyelesaian perkara yang lebih subtantif
bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagai bagian dari edukasi dan sistem pembinaan serta sistem
perlindungan masyarakat, terhadap Pelanggar diberikan pemahaman oleh
penegak hukum tentang posisi tindakan dan kesalahan serta pilihan hukum
yang dapat diambilnya. Kemudian dalam kondisi tertentu Polisi
dimungkinkan melakukan kebijaksanaan untuk tidak memproses perkara
tersebut jika dinilai edukasi dan pembinaan masih memungkinkan
digunakan bilamana terdapat alasan tertentu yang akuntabel dan tanpa
adanya sifat koruptif. Hal ini juga sesuai dengan asas hukum pidana yaitu
ultimum remedium yang menegaskan bahwa hukum pidana adalah sarana
paling akhir jika sarana lain sudah tidak berhasil.
Dalam teori kebijakan hukum pidana (criminal policy), penggunaan
sarana non penal semaksimal mungkin digunakan sebelum sarana penal
diambil atau bisa juga digunakan secara terpadu (integralitas). Bassiouni
menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi atau
dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam-macam faktor termasuk: 27
1. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya
dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;
2. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang akan diperoleh delam
hubungannya dengan tujuan yang dicari;
3. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam
kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian
sumber-sumber tenaga manusia; dan
4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang
berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang
sekunder.
Menurut Eva Achjani Zulfa, terdapat pandangan bahwa fungsi
ultimum remedium dari hukum pidana nyata sejak awal proses
perumusannya di dalam lembaga legislatif. Terlebih lagi ada anggapan
27
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2008, Hlm.30
166
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
bahwa Undang-Undang tanpa sanksi pidana ibarat macan ompong.
Karenanya fungsi hukum pidana diterjemahkan tidak dalam level kebijakan
tetapi lebih pada kemampuan bagaimana penegak hukum mampu
menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyaringan terhadap
permasalahan-permasalahan apa yang memerlukan penyelesaian dengan
menggunakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana dan mana yang
tidak. Kewenangan yang seperti ini seringkali dikenal sebagai discresionary
power.28 Dalam konteks penanganan perkara pelanggaran lalu lintas dapat
merupa sebagai diversi.
Ditinjau dari optik sosiologi hukum, pengalaman penerapan hukum
pidana selama ini telah menjelaskan kepada kita bahwa perkara pidana yang
terjadi di masyarakat yang diselesaikan dengan menggunakan sarana hukum
pidana, secara yuridis formal telah selesai akan tetapi secara sosial masih
meninggalkan persoalan-persoalan dan sebaliknya ada perkara yang secara
sosial telah selesai akan tetapi untuk menegakkan hukum pidana maka harus
diproses berdasarkan hukum pidana.29 Seharusnya pemahaman dan
penerapan hukum yang demikian sudah mulai dire-evaluasi dan direorientasikan untuk tidak mempersulit suatu proses penegakan keadilan
dengan alasan mekanime hukum yang mekanistik. Persoalan pelanggaran
lalu lintas yang pelanggarnya sudah mengaku dan tidak membantah serta
mau membayar denda masih harus mengurusi sisa atau selisih denda.
Padahal jika bervisi efisiensi dan sederhana dalam memprosesnya,
maka pengaturan penentuan denda yang tepat, proporsional dan mudah
dijangkau serta meringkaskan perkara pada pembayaran denda di tahap pra
ajudikasi hingga tidak perlu datang lagi ke Kejaksaan atau Bank untuk
mengambil selisih denda akan memberikan sebuah kepraktisan hukum dan
peradilan sebagaimana asa peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Bukankah negara semakin diuntungkan dengan adanya diversi bagi perkara
yang sumir dan mengoptimalkan penyelesaian perkara di pengadilan pada
perkara-perkara yang lebih subtantif dan produktif misalanya korupsi,
illegal logging, money laundering, illegal mining, dan lain-lain yang
berpotensi mengembalikan kerugian negara. Selain itu tidak akan rugi jika
pendapatan negara melalui denda pelanggaran lalu lintas didapatkan dengan
mekanisme yang lebih efsien, sederhana dan sangat cepat tanpa birokrasi
dan pentahapan proses penyelesaian yang kurang sederhana dan tidak cepat
serta biayanya cukup mahal sebagaimana yang berlaku sekarang, bukan?
28
Eva Achjani Zulfa, Op Cit, Hlm.15-16
Lalu Parman, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Makalah yang
dipresentasikan pada seminar penelitian tentang mediasi penal dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia yang diadakan oleh Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung di Mataram
pada tanggal 12 Mei 2011 , Hlm.2-3
29
167
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
F. Penutup
Volume perkara pelanggaran lalu lintas yang terdapat pada
Pengadilan Negeri tertentu yang sampai mencapai ribuan perkara dan
disidangkan dalam waktu sehari senyatanya telah menimbulkan problema.
Dalam mengatasi problema tersebut, perbaikan penanganan dan
penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas di Pengadilan adalah hal yang
mutlak dilakukan. Namun selain itu alternatif penyelesaian pelanggaran lalu
lintas di luar Pengadilan yaitu melalui penerapan diversi patut dijadikan
salah satu cara mengurangi beban perkara di Pengadilan. Secara fungsional,
penerapan diversi dijadikan sebagai bagian dari edukasi dan sistem
pembinaan serta sistem perlindungan masyarakat (khususnya terhadap anak/
Pelanggar dibawah umur). Terhadap Pelanggar diberikan pemahaman oleh
penegak hukum tentang posisi tindakan dan kesalahan serta pilihan hukum
yang dapat diambilnya. Kemudian dalam kondisi tertentu Polisi
dimungkinkan melakukan kebijaksanaan untuk tidak memproses perkara
tersebut jika dinilai edukasi dan pembinaan masih memungkinkan
digunakan bilamana terdapat alasan tertentu yang akuntabel dan tanpa
adanya sifat koruptif. Hal ini juga sesuai dengan asas hukum pidana yaitu
ultimum remedium yang menegaskan bahwa hukum pidana adalah sarana
paling akhir jika sarana lain sudah tidak berhasil.
Daftar Pustaka
Andi Hamzah, Restoratif Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah
yang disampaikan pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2008
Rudy Rizky (eds), Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam
Dekade Terakhir( Analisis Komprehensif tentang Hukum oleh
Akademisi & Praktisi Hukum), In Memoriam Prof. DR. Komar
Kantaamadja, S.H.,LL.M, Jakarta, Perum Percetakan Negara RI, 2008
Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif Di Indonesia (Studi tentang
Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam
Praktek Penegakan Hukum Pidana), Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UI, 2009
-------------------------, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung, Lubuk
Agung, 2011
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum
Pidana, Medan, USU Press, 2010
168
Diversi untuk Menangani Perkara Pelanggaran Lalu Lintas, Budi Suhariyanto
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan
Pidana, Disertasi, Jakarta, Program Pascasarjana FH-UI, 2001
M. Yahya Harahap, S.H., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Sinar Grafika, Cetakan ke 12 : 2010
Lalu Parman, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Makalah yang dipresentasikan pada seminar penelitian tentang
mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang
diadakan oleh Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung di Mataram pada
tanggal 12 Mei 2011
Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta,
Sinar Grafika, 2012
Tim Peneliti Puslitbang Kumdil dan PSHK, Alternatif Pengelolaan Perkara
Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan, Laporan Penelitian, Jakarta,
Puslitbang Kumdil dan PSHK, 2014
Tim Survey Kepuasan Pengadilan 2013, Laporan Baseline Survey
Pelayanan Publik Pengadilan 2013, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK) & Badan Pengawas Mahkamah Agung RI
(Bawas), 2013.
169
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 153-170
170
URGENSI PERAN PENGADILAN DALAM MEMBERIKAN
PELAYANAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ORANG MISKIN
SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011
TENTANG BANTUAN HUKUM
(Urgency of Court Enrollment in Giving a Legal Aid Service on Poor
People Based on Law No.16 Year 2011 on Legal Aid)
Isnandar Syahputra Nasution
Hakim Pengadilan Negeri Kuala Kapuas
Jl. Tambun Bungai No.55, Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
Email : [email protected]
Abstrak
Penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) oleh Pengadilan Negeri
meliputi 3 (tiga) ruang lingkup layanan hukum sesuai dengan ketentuan
yang termuat dalam Perma No.1 Tahun 2014. Adapun ke 3 hal tersebut
adalah layanan pembebasan biaya perkara, dan penyelenggaraan sidang
diluar gedung pengadilan serta penyedian Posbakum Pengadilan. Dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan Posbakum ini sejatinya Pengadilan
Negeri hanya menyediakan fasilitas ruangan Posbakum bagi tiga Pemberi
Bantuan Hukum atau organisasi advokat yang terakreditasi. Sedangkan
mengenai dana bantuan hukum penanganan setiap kasus akan diajukan oleh
Pengadilan melalui Kanwil Kemenkumham. Namun demikian, bukan
berarti fungsi fasilitator ini dapat diabaikan begitu saja, mengingat
Posbakum ini bertempat di Pengadilan, maka patut diperhatikan bahwa ada
amanat khusus dari Penyelenggara Negara kepada Pengadilan untuk dapat
mensukseskan pelayanan hukum yang bebas beban biaya bagi rakyat miskin
tentunya. Dengan demikian dapat pula diharapkan agar dengan kehadiran
Posbakun dilingkungan Pengadilan akan dapat mengikis stigma negatif dan
menakutkan tentang Pengadilan bagi masyarakat umum.
Kata kunci : Pengadilan, Bantuan Hukum, Orang Miskin
Abstract
Implementation of Legal Aid Post (Posbakum) by the District Court
includes three (3) the scope of legal services in accordance with the
provisions contained in the Perma No. 1 Year 2014. Those 3 scopes are
services of fee waiver, and the holding of the trial outside the court building
and providing Posbakum Court. In connection with the implementation of
this Posbakum actually State Court only provides room facilities to
Posbakum for three Legal Aid Provider or accredited lawyers organization.
171
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
As for the legal aid fund handling each case will be filed by the Court
through the Lokal Office of Kemenkumham. However, this does not mean
that the facilitator function can be ignored, considering this Posbakum takes
place in the Court, it is noteworthy that there is a special mandate from the
State Officials to the Court in order to succeed the free legal services for the
poor. Therefore, it can also be expected that the presence of the Posbakum
in the Court can erode the negative and scary stigma on the Court for the
general public.
Keywords : Court, Legal Aid, the Poor
A. Pendahuluan
Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers
sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945
Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum”.1 Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide
negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara
komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat
sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan
dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak
dipahami sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum.
Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen
kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen
instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hukum yang
menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu
(elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup
(a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau
penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas
pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim
juga disebut sebagai kegiatan penegakan hukum dalam arti yang sempit
(law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian,
kejaksaan, advokat, dan Hakim atau di bidang perdata melibatkan peran
advokat (pengacara) dan Hakim Pengadilan Negeri. Selain itu, ada pula
kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan
pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluasluasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law
information management) sebagai kegiatan penunjang. Kelima kegiatan itu
biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu (i)
fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta
1
Pasal 1 ayat (3) ini merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
172
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution
(iii) fungsi yudikatif atau judisial.2 Organ legislatif adalah lembaga
parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ
judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kesemua itu harus pula dihubungkan
dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai
terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat
provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek
yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah,3 tercakup
pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara
Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan
dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak
bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan
sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai
contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental (civil
law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan
pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang
sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bahkan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir
yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang
beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat
itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan
hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini
diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu
persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di
Jakarta harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah
terpencil di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di
perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku terpencil di pulau-pulau
kecil di seluruh wilayah Nusantara.
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup
kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum
yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun
melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya
(alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian
yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala
aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif
2
Montesquieu, The Spirit of the laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell &
Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67.
3
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New
York; Russell & Russell, 1961), hal. 115 dan 123-124.
173
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguhsungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan
hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran
atau penyimpangan terhadap peraturan Perundang-undangan, khususnya
yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan
peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badanbadan peradilan.4
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya
sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa,
pengacara dan hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama
sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur
kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan
hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu
sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan
atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan
itu kita melihat penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada
kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal
(institutionalized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara
komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta
keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan
hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah
proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law
socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran,
pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat,
nonsens suatu norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu,
agenda pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu
dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide negara hukum di
masa depan. Beberapa faktor yang terkait dengan soal ini adalah (a)
pembangunan dan pengelolaan sistem dan infra struktur informasi hukum
yang berbasis teknologi informasi (information technology); (b) peningkatan
Upaya Publikasi, Komunikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan
pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan
keteladanan-keteladanan di bidang hukum.5
4
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
5
Jimly Assidiqie, “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa
Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 1998.
174
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution
Permasalahan hukum yang banyak menjerat orang atau kelompok
miskin saat ini semakin kompleks sehingga menuntut Pemerintah untuk
segera memperhatikan dan mengaturnya secara terencana, sistematik,
berkesinambungan dan mengelolanya secara profesional.6 Oleh karena itu,
adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013
tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran
Dana Bantuan Hukum ini, sebagai amanat dari Pasal 15 ayat (5) dan Pasal
18 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang
merupakan bagian dari penyelenggaraan Bantuan Hukum diarahkan dapat
menjadi dasar hukum bagi penyusunan peraturan penyelenggaraan Bantuan
Hukum di daerah serta mencegah terjadinya penyelenggaraan Bantuan
Hukum sebagai praktek industri yang berorientasi pada keuntungan semata
dan mengabaikan kepentingan-kepentingan para Penerima Bantuan Hukum
itu sendiri. Dalam Peraturan Pemerintah ini pemberian Bantuan Hukum
meliputi ranah pidana, perdata, dan tata usaha negara, baik secara Litigasi
maupun Nonlitigasi yang sepenuhnya dilakukan oleh para Pemberi Bantuan
Hukum yang terdiri dari organisasi-organisasi Bantuan Hukum. Bahwa
aturan mengenai para Pemberi Bantuan Hukum atau organisasi Bantuan
Hukum harus berbadan hukum, tidak dimaksudkan untuk membatasi hak
konstitusional dan kemandirian masyarakat dalam berorganisasi, akan tetapi
hal ini harus dipahami sebagai suatu strategi nasional dalam manajemen
organisasi yang profesional, efektif, dan berdaya saing serta untuk
memudahkan dalam melakukan kerja sama dan koordinasi yang efektif, baik
dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah maupun antar sesama Pemberi
Bantuan Hukum atau organisasi Bantuan Hukum. Dengan kejelasan dan
ketegasan pengaturan mengenai syarat pemberian Bantuan Hukum, tata cara
pemberian Bantuan Hukum, pengajuan anggaran, pencairan dana dan
pertanggungjawaban serta dengan berdasarkan prinsip ketersediaan,
keterjangkauan, keberlanjutan, kepercayaan, dan pertanggungjawaban,
diharapkan Peraturan Pemerintah ini dapat meningkatkan efektifitas dan
efisiensi penyelenggaraan Bantuan Hukum itu sendiri.
Program Bantuan Hukum merupakan implementasi dari UndangUndang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Kewajiban negara
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum. Ada tiga pihak yang diatur di Undang-Undang ini, yakni
penerima bantuan hukum (orang miskin), pemberi bantuan hukum
(organisasi bantuan hukum) serta penyelenggara bantuan hukum
(Kementerian Hukum dan HAM RI). Hak atas bantuan hukum sendiri
6
Jimly Assiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
175
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
merupakan non derogable rights, sebuah hak yang tidak dapat dikurangi
dan tak dapat ditangguhkan dalam kondisi apapun. Oleh karena itu,
Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh
negara dan bukan belas kasihan dari negara, tetapi juga merupakan
tanggung jawab negara dalam mewujudkan equality before the law, acces to
justice, dan fair trial.
Pemberitaan mengenai hak-hak rakyat miskin yang terabaikan saat
berhadapan dengan proses hukum, akhir-akhir ini menjadi tema besar yang
ramai dibicarakan. Hak-hak rakyat miskin yang dinodai, bukan merupakan
barang baru di lingkungan pengacara publik. Sudah terlalu banyak pencari
keadilan yang datang ke berbagai lembaga bantuan hukum, yang
mengandalkan pendampingan prodeo, mengalami hal tersebut. Sayangnya,
instrumen hukum yang mengatur pemberian bantuan hukum bagi rakyat,
khususnya rakyat miskin, masih terbatas. KUHAP hanya mengenal
pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mereka yang diancam
dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Kurang dari itu harus
menggantungkan diri pada nasib atau perekonomian sendiri. Contoh kasus,
seorang Pemulung seperti Saleh yang “memiliki” ganja, karena dipaksa,
sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan bantuan hukum berdasarkan
KUHAP. Ganja yang termasuk narkotika golongan I memiliki ancaman
hukuman 4 tahun sampai 12 tahun penjara. Lagipula pemberian bantuan
hukum dilakukan di tingkat pemeriksaan mana, juga tidak jelas
pengaturannya. Niat pemerintah mengatur pemberian bantuan hukum
melalui peraturan pemerintah (PP) maupun aturan setingkat Instruksi
Menteri juga belum menyentuh permasalahan tersebut. Aturan-aturan
tersebut hanya memberi acuan pemberian bantuan hukum dan belum
mengakomodasi hak rakyat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum.
Selain itu, PP tersebut yang merupakan amanat UU Advokat tidak tepat
untuk mengatur LBH/penggiat bantuan hukum, yang karakter dan fungsinya
berbeda dengan advokat dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma.
Hakikatnya, pemberian bantuan hukum bukan semata-mata merupakan
tanggung jawab LBH, para advokat, maupun partai politik yang memiliki
semacam divisi bantuan hukum. Dikatakan dalam konstitusi, bahwa semua
orang berhak untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the
law). Bagi mereka yang tidak mampu jelas dilindungi oleh prinsip “fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” (pasal 34 UUD
1945). Dengan demikian pemenuhan hak atas bantuan hukum, yang
merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental, pada dasarnya
merupakan tanggung jawab negara. Kondisi yang kontras dengan
persidangan korupsi maupun kasus-kasus lainnya yang melibatkan para
pejabat tinggi ataupun orang-orang yang berduit banyak, yang justru
176
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution
memperlihatkan bahwa hak untuk didampingi pengacara kelas atas
merupakan akomodasi primer. Sedangkan bagi rakyat miskin, untuk
mendapatkan bantuan hukum saja sudah cukup sulit. Hal ini membuat hak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum sepertinya menjadi sesuatu yang
terlalu muluk.
Bantuan Hukum adalah Jasa hukum yg diberikan Oleh pemberi
bantuan hukum (OBH) secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.
Bantuan Hukum yang diberikan meliputi masalah hukum Pidana, Perdata
dan Tata Usaha Negara, baik secara litigasi maupun non litigasi. Bantuan
Hukum Litigasi meliputi :
1. Kasus Pidana, meliputi penyidikan, dan persidangan di pengadilan
tingkat I, persidangan tingkat banding, persidangan tingkat kasasi, dan
peninjauan kembali;
2. Kasus Perdata, meliputi upaya perdamaian atau putusan pengadilan
tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan
tingkat kasasi, dan peninjauan kembali; dan
3. Kasus Tata Usaha Negara, meliputi pemeriksaan pendahuluan dan
putusan pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding,
putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
Pemberian Bantuan Hukum Litigasi oleh Pemberi Bantuan Hukum
kepada Penerima Bantuan Hukum diberikan hingga masalah hukumnya
selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama
Penerima Bantuan Hukum tersebut tidak mencabut surat kuasa khusus.
Bantuan Hukum Non Litigasi meliputi:
1. Penyuluhan hukum;
2. Konsultasi hukum;
3. Investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
4. Penelitian hukum;
5. Mediasi;
6. Negosiasi;
7. Pemberdayaan masyarakat;
8. Pendampingan di luar pengadilan; dan / atau
9. Drafting dokumen hukum.
Badan Pembinaan Hukum Nasional ditunjuk oleh Kementerian
Hukum dan HAM RI untuk melaksanakan Penyelenggaraan Bantuan
Hukum. Karena itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional memiliki peran
yang sangat penting dan strategis untuk memastikan Implementasi Bantuan
Hukum dilaksanakan sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2
Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 yakni:
1. Keadilan;
177
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
2.
3.
4.
5.
6.
Persamaan kedudukan di dalam hukum;
Keterbukaan;
Efisiensi;
Efektivitas; dan
Akuntabilitas
Ada 310 Organisasi Bantuan Hukum yang terverifikasi/akreditasi
untuk memberikan bantuan hukum bagi rakyat miskin, yang terdiri dari 10
OBH terakreditasi A, 21 OBH terakreditasi B serta 279 OBH terakreditasi
C. Dalam Pelaksanaan Penyelenggaraan Bantuan Hukum ini, dibentuk
Panitia Pengawas Pusat dan Daerah. Panitia Pengawas Pusat terdiri dari
Perwakilan BPHN, Inspektorat Jenderal Kemenkumham RI, Kantor
Perbendaharaan Negara, dan Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal
Kementerian Hukum dan HAM RI. Sedangkan Panitia Pengawas Daerah
terdiri dari Kepala Kantor Wilayah, Kepala Divisi Pelayanan Hukum,
Kepala Bidang dan Sub Bidang Pelayanan dan Bantuan Hukum, Kepala
Rumah Tahanan serta Biro Hukum Pemerintah Daerah. Pengawasan
dilakasanakan baik secara langsung dan tidak langsung (melalui laporan
Masyarakat). Pengawasan dilakukan terhadap penerapan standard
Pemberian Bantuan Hukum, Kode Etik Advokat, dan terhadap
Kondisi/keadaan Pemberi Bantuan Hukum.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan dalam
makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme pemberian bantuan hukum yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum?
2. Bagaimanakah peran Pengadilan Negeri dalam memberikan pelayanan
bantuan hukum terhadap orang miskin?
C. Pembahasan
1. Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum yang Diamanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum
a. Syarat Pemberian Bantuan Hukum
Untuk memperoleh Bantuan Hukum, Pemohon Bantuan
Hukum harus memenuhi syarat:
1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling
sedikit identitas Pemohon Bantuan Hukum dan uraian
singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan
Bantuan Hukum;
178
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution
2.
Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan Perkara;
dan
3. Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala
Desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal
Pemohon Bantuan Hukum.
Pemberian Bantuan Hukum dilaksanakan oleh Pemberi
Bantuan Hukum, yang harus memenuhi syarat:
1. Berbadan hukum;
2. Terakreditasi;
3. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
4. Memiliki pengurus; dan
5. Memiliki program Bantuan Hukum.
b.
Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan
Hukum secara tertulis kepada Pemberi Bantuan Hukum paling
sedikit memuat:
1. Identitas Pemohon Bantuan Hukum dibuktikan dengan
kartu tanda penduduk dan/atau dokumen lain yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam hal
Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki identitas,
Pemberi Bantuan Hukum membantu Pemohon Bantuan
Hukum dalam memperoleh surat keterangan alamat
sementara dan/atau dokumen lain dari instansi yang
berwenang sesuai domisili Pemberi Bantuan Hukum.
2. Uraian singkat mengenai pokok persoalan yang
dimintakan Bantuan Hukum.
Permohonan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud harus
melampirkan:
1. Surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau
pejabat yang setingkat di tempat tinggal Pemohon Bantuan
Hukum. Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak
memiliki surat keterangan miskin, Pemohon Bantuan
Hukum dapat melampirkan Kartu Jaminan Kesehatan
Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras
Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat
keterangan miskin.
2. Dokumen yang berkenaan dengan Perkara.
Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki
persyaratan sebagaimana dimaksud diatas Pemberi Bantuan
179
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
Hukum membantu Pemohon Bantuan Hukum dalam
memperoleh persyaratan tersebut. Instansi yang berwenang
sesuai domisili Pemberi Bantuan Hukum wajib mengeluarkan
surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain
untuk keperluan penerimaan Bantuan Hukum. Lurah, Kepala
Desa, atau pejabat yang setingkat sesuai domisili Pemberi
Bantuan Hukum wajib mengeluarkan surat keterangan miskin
dan/atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan
miskin untuk keperluan penerimaan Bantuan Hukum.
Pemohon Bantuan Hukum yang tidak mampu
menyusun permohonan secara tertulis dapat mengajukan
permohonan secara lisan. Dalam hal permohonan Bantuan
Hukum diajukan secara lisan, Pemberi Bantuan Hukum
menuangkan
dalam
bentuk
tertulis.
Permohonan
ditandatangani atau dicap jempol oleh Pemohon Bantuan
Hukum. Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah menerima
berkas permohonan Bantuan Hukum. Dalam hal permohonan
Bantuan Hukum telah memenuhi persyaratan, Pemberi
Bantuan Hukum wajib menyampaikan kesediaan atau
penolakan secara tertulis atas permohonan dalam waktu paling
lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan dinyatakan
lengkap. Dalam hal Pemberi Bantuan Hukum menyatakan
kesediaan, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan
Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan
Hukum. Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak,
Pemberi Bantuan Hukum wajib memberikan alasan penolakan
secara tertulis dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak permohonan dinyatakan lengkap. Pemberian
Bantuan Hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum kepada
Penerima Bantuan Hukum diberikan hingga masalah
hukumnya selesai dan/atau Perkaranya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum
tersebut tidak mencabut surat kuasa khusus. Pemberian
Bantuan Hukum secara Litigasi dilakukan oleh Advokat yang
berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan Hukum dan/atau
Advokat yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum.
180
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution
c.
Pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum
Pemberi Bantuan Hukum melaksanakan Bantuan
Hukum Litigasi dan Nonlitigasi sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam perjanjian pelaksanaan Bantuan Hukum dan
ketentuan peraturan Perundang-undangan. Penyaluran dana
Bantuan Hukum Litigasi dilakukan setelah Pemberi Bantuan
Hukum menyelesaikan Perkara pada setiap tahapan proses
beracara dan Pemberi Bantuan Hukum menyampaikan laporan
yang disertai dengan bukti pendukung. Penyaluran dana
Bantuan Hukum ini dihitung berdasarkan prosentase tertentu
dari tarif per Perkara sesuai standar biaya pelaksanaan Bantuan
Hukum Litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 PP 42/
2013. Penyaluran dana Bantuan Hukum ini pada setiap tahapan
proses beracara tidak menghapuskan kewajiban Pemberi
Bantuan Hukum untuk memberikan Bantuan Hukum sampai
dengan Perkara yang ditangani selesai atau mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Tahapan proses beracara merupakan tahapan
penanganan Perkara dalam:
1. Kasus pidana, meliputi penyidikan, dan persidangan di
pengadilan tingkat I, persidangan tingkat banding,
persidangan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali;
2. Kasus perdata, meliputi upaya perdamaian atau putusan
pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding,
putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan
kembali; dan
3. Kasus tata usaha negara, meliputi pemeriksaan
pendahuluan dan putusan pengadilan tingkat I, putusan
pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan tingkat
kasasi, dan peninjauan kembali.
Penyaluran dana Bantuan Hukum Nonlitigasi dilakukan
setelah Pemberi Bantuan Hukum menyelesaikan paling sedikit
1 (satu) kegiatan dalam paket kegiatan Nonlitigasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) PP 42/2013
dan menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti
pendukung. Penyaluran dana Bantuan Hukum ini dihitung
berdasarkan tarif per kegiatan sesuai standar biaya pelaksanaan
Bantuan Hukum Nonlitigasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 PP No. 42/2013. Menteri berwenang melakukan
pengujian kebenaran tagihan atas penyelesaian pelaksanaan
Bantuan Hukum sebagai dasar penyaluran dana Bantuan
181
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
Hukum Litigasi dan Nonlitigasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 dan Pasal 28 PP 42/2013. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan penyaluran Anggaran Bantuan
Hukum diatur dengan Peraturan Menteri.
182
d.
Pertanggungjawaban
Pemberi Bantuan Hukum wajib melaporkan realisasi
pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum kepada Menteri secara
triwulanan, semesteran, dan tahunan. Dalam hal Pemberi
Bantuan Hukum menerima sumber pendanaan selain dari
APBN, Pemberi Bantuan Hukum melaporkan realisasi
penerimaan dan penggunaan dana tersebut kepada Menteri.
Laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana selain dari
APBN dilaporkan secara terpisah dari laporan realisasi
pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum sebagaimana
dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) PP. 42/2013 .
Untuk Perkara Litigasi, laporan realisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30, harus melampirkan paling sedikit:
1. Salinan putusan Perkara yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap; dan
2. Perkembangan Perkara yang sedang dalam proses
penyelesaian.
Untuk kegiatan Nonlitigasi, laporan realisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 PP No. 42/2013, harus
melampirkan laporan kegiatan yang telah dilaksanakan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum diatur dengan
Peraturan Menteri. Pemberi Bantuan Hukum mengelola secara
tersendiri dan terpisah administrasi keuangan pelaksanaan
Bantuan Hukum dari administrasi keuangan organisasi
Pemberi Bantuan Hukum atau administrasi keuangan lainnya.
Menteri menyusun dan menyampaikan laporan realisasi
penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan
Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.
e.
Pengawasan
Menteri melakukan pengawasan pemberian Bantuan
Hukum dan penyaluran dana Bantuan Hukum. Pengawasan
oleh Menteri dilaksanakan oleh unit kerja yang tugas dan
fungsinya terkait dengan pemberian Bantuan Hukum pada
Kementerian. Unit kerja dalam melaksanakan pengawasan
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) PP 42/2013
mempunyai tugas :
1. Melakukan pengawasan atas pemberian Bantuan Hukum
dan penyaluran dana Bantuan Hukum;
2. Menerima laporan pengawasan yang dilakukan oleh panitia
pengawas daerah;
3. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya
dugaan penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan
penyaluran dana Bantuan Hukum;
4. Melakukan klarifikasi atas adanya dugaan penyimpangan
pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan
Hukum yang dilaporkan oleh panitia pengawas daerah dan/
atau masyarakat;
5. Mengusulkan sanksi kepada Menteri atas terjadinya
penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan/atau
penyaluran dana Bantuan Hukum; dan
6. Membuat laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri.
Menteri dalam melakukan pengawasan di daerah
membentuk panitia pengawas daerah. Panitia pengawas
daerah terdiri atas wakil dari unsur:
1. Kantor Wilayah Kementerian; dan
2. Biro hukum pemerintah daerah provinsi.
Panitia pengawas daerah mempunyai tugas:
1. Melakukan pengawasan pemberian Bantuan Hukum dan
penyaluran dana Bantuan Hukum;
2. Membuat laporan secara berkala kepada Menteri melalui
unit kerja yang tugas dan fungsinya terkait dengan
pemberian Bantuan Hukum pada Kementerian; dan
3. Mengusulkan sanksi kepada Menteri atas terjadinya
penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan/atau
penyaluran dana Bantuan Hukum melalui unit kerja yang
tugas dan fungsinya terkait dengan pemberian Bantuan
Hukum pada Kementerian.
Panitia pengawas daerah dalam mengambil keputusan
mengutamakan prinsip musyawarah. Dalam hal musyawarah
tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Menteri atas usul pengawas dapat meneruskan temuan
penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran
dana Bantuan Hukum kepada instansi yang berwenang untuk
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan Perundangundangan. Dalam hal Penerima Bantuan Hukum tidak
183
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, Penerima Bantuan Hukum dapat melaporkan Pemberi
Bantuan Hukum kepada Menteri, induk organisasi Pemberi
Bantuan Hukum, atau kepada instansi yang berwenang. Dalam
hal Advokat Pemberi Bantuan Hukum Litigasi tidak
melaksanakan pemberian Bantuan Hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Perkaranya selesai
atau mempunyai kekuatan hukum tetap, Pemberi Bantuan
Hukum wajib mencarikan Advokat pengganti.
Dalam hal ditemukan pelanggaran pemberian Bantuan
Hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum kepada Penerima
Bantuan Hukum, Menteri dapat:
1. Membatalkan perjanjian pelaksanaan Bantuan Hukum;
2. Menghentikan pemberian Anggaran Bantuan Hukum;
dan/atau
3. Tidak memberikan Anggaran Bantuan Hukum pada tahun
anggaran berikutnya.
Dalam hal
Menteri
membatalkan perjanjian
sebagaimana dimaksud pada angka 1 diatas, Menteri menunjuk
Pemberi Bantuan Hukum lain untuk mendampingi atau
menjalankan kuasa Penerima
2.
7
Peran Pengadilan dalam Memberikan Pelayanan Bantuan
Hukum terhadap Orang Miskin Melalui Pos Bantuan Hukum
Salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan
yang mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama bagi rakyat pencari
keadilan pada umumnya baik dibidang hukum perdata maupun
pidana (pasal 2 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum).7 Sebagai pelayan hukum masyarakat pencari
keadilan pada umumnya mengenai berbagai perkara sengketa
sebagaimana diatur dalam Pasal II Undang-Undang No. 49 Tahun
2009.
Dalam kaitannya dengan tugas pokok Pengadilan dalam
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan, Mahkamah Agung
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005
184
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution
telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1
Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi
Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan secara Prodeo (CumaCuma). Perma ini merupakan tindak lanjut PP No 42 Tahun
2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan
Penyaluran Bantuan Hukum dan Surat Keputusan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-03.HN.03.03 Tahun 2013
tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non-Litigasi.
Dengan terbitnya Perma No. 1 Tahun 2014 ini, maka
SEMA No 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan
Hukum di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku. Perma No. 1
Tahun 2014 akan mengikat keluar khususnya bagi kalangan dunia
advokat. Selain itu, tak tertutup kemungkinan akan ada nota
kesepahaman antara pengadilan dengan organisasi advokat atau
Lembaga Bantuan Hukum. Mahkamah Agung sendiri telah
menyerahkan Perma No. 1 Tahun 2014 ini kepada Menkumham
untuk disahkan dan dimuat dalam Berita Negara dan sudah sah
berlaku. Kemudian Mahkamah Agung akan mensosialisasikan ke
setiap pengadilan seluruh Indonesia di tiga lingkungan pengadilan.
Implementasi Perma ini akan ditindaklanjuti secara teknis melalui
masing-masing Direktur Jenderal Peradilan Umum, Direktur
Jenderal Peradilan Agama, dan Direktur Jenderal PTUN.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Pos Bantuan
Hukum (Posbakum) ini sejatinya Pengadilan Negeri hanya
menyediakan fasilitas ruangan Posbakum bagi tiga Pemberi
Bantuan Hukum atau organisasi advokat yang terakreditasi.
Sedangkan mengenai dana bantuan hukum penanganan setiap
kasus akan diajukan oleh Pengadilan melalui Kanwil
Kemenkumham. Namun demikian, bukan berarti fungsi fasilitator
ini dapat diabaikan begitu saja, mengingat Pos Bantuan Hukum ini
bertempat di Pengadilan, maka patut diperhatikan bahwa ada
amanat khusus dari Penyelenggara Negara kepada Pengadilan
untuk dapat mensukseskan pelayanan hukum yang bebas beban
biaya bagi rakyat miskin tentunya. Dengan demikian dapat pula
diharapkan agar dengan kehadiran Posbakun dilingkungan
Pengadilan akan dapat mengikis stigma negatif dan menakutkan
tentang Pengadilan bagi masyarakat umum.
Penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum oleh Pengadilan
Negeri meliputi 3 (tiga) ruang lingkup layanan hukum sesuai
dengan ketentuan yang termuat dalam Perma No.1 Tahun 2014.
Adapun ke 3 hal tersebut adalah 1. Layanan Pembebasan Biaya
185
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
Perkara, 2. Penyelenggaraan sidang diluar gedung pengadilan dan
3. Penyedian Pos bantuan hukum (Posbakum) Pengadilan.
Untuk layangan pembebasan biaya perkara bagi
masyarakat pencari keadilan dapat dilakukan dengan mekanisme
sebagai berikut, yaitu Pemohon mengsisi formulir permohonan
dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)
atau sejenisnya (Bab III Pasal 7 Point 2 Perma No.1 Tahun 2014)
ditujukan kepada Ketua Pengadilan melalui meja 1 bersamaan
dengan surat gugatan/permohonan. Panitera/Sekretaris memeriksa
dan memberikan pertimbangan kelayakan pembebasan biaya
perkara dan ketersediaan anggaran dan melanjutkan proses dengan
menyampaikan kepada ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan dapat
mengabulkan atau menolak permohonan Pembebasan Biaya
Perkara setelah memperhatikan pertimbangan dari Panitera /
Sekretaris, yang dituangkan dalam Surat Penetapan.
Apabila permohonan dikabulkan maka Panitera/Sekretaris
selaku KPA membuat Surat Keputusan untuk membebankan biaya
perkara kepada anggaran negara dengan menyebut besaran
anggaran yang dibebankan kepada negara akan tetapi jika
permohonan ditolak maka pemohon harus membayar biaya perkara
seperti biasa. Untuk memudahkan pelaksanaan Perma ini setiap
Dirjen harus mengeluarkan petunjuk pelaksanaan (Juklak) Perma
No.1 Tahun 2014 dalam bentuk surat edaran Dirjen.
SEMA No.1 Tahun 2014 ini merupakan perubahan SEMA
No.14 Tahun 2010 yang juga mengharuskan setiap permohonan
kasasi dan peninjauan kembali terhadap perkara perdata/perdata
khusus/perdata agama/tata usaha negara/pajak/pidana/pidana
khusus/pidana militer, harus menyertakan dokumen eletronik.
Dokumen elektronik yang dimaksud misalnya untuk permohonan
kasasi meliputi: relasi pemberitahuan putusan banding, akta
permohonan kasasi, tanda terima memori kasasi, memori kasasi,
putusan pengadilan tingkat pertama, putusan pengadilan tingkat
banding. Penyertaan dokumen elektronik dilakukan melalui fitur
komunikasi data (menu upaya hukum) Direktori Putusan
Mahkamah Agung RI.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. Untuk memperoleh Bantuan Hukum, Pemohon Bantuan
Hukum harus memenuhi syarat:
186
Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin, Isnandar S. Nasution

b.
Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling
sedikit identitas Pemohon Bantuan Hukum dan uraian
singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan
Bantuan Hukum;
 Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan Perkara;
dan
 Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala
Desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal
Pemohon Bantuan Hukum.
Pemberian Bantuan Hukum dilaksanakan oleh Pemberi
Bantuan Hukum, yang harus memenuhi syarat:
1. Berbadan hukum;
2. Terakreditasi;
3. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
4. Memiliki pengurus; dan
5. Memiliki program Bantuan Hukum.
Tata cara pemberian bantuan dapat dilakukan dengan :
1. Identitas Pemohon Bantuan Hukum dibuktikan dengan
kartu tanda penduduk dan/atau dokumen lain yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam hal
Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki identitas,
Pemberi Bantuan Hukum membantu Pemohon Bantuan
Hukum dalam memperoleh surat keterangan alamat
sementara dan/atau dokumen lain dari instansi yang
berwenang sesuai domisili Pemberi Bantuan Hukum.
2. Uraian singkat mengenai pokok persoalan yang
dimintakan Bantuan Hukum.
Penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum oleh Pengadilan Negeri
meliputi 3 (tiga) ruang lingkup layanan hukum sesuai dengan
ketentuan yang termuat dalam Perma No.1 Tahun 2014.
Adapun ke 3 hal tersebut adalah 1. Layanan Pembebasan Biaya
Perkara, 2. Penyelenggaraan sidang diluar gedung pengadilan
dan 3. Penyedian Pos bantuan hukum (Posbakum) Pengadilan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Pos Bantuan
Hukum (Posbakum) ini sejatinya Pengadilan Negeri hanya
menyediakan fasilitas ruangan Posbakum bagi tiga Pemberi
Bantuan Hukum atau organisasi advokat yang terakreditasi.
Sedangkan mengenai dana bantuan hukum penanganan setiap
kasus akan diajukan oleh Pengadilan melalui Kanwil
Kemenkumham. Namun demikian, bukan berarti fungsi
fasilitator ini dapat diabaikan begitu saja, mengingat Pos
187
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188
Bantuan Hukum ini bertempat di Pengadilan, maka patut
diperhatikan bahwa ada amanat khusus dari Penyelenggara
Negara kepada Pengadilan untuk dapat mensukseskan
pelayanan hukum yang bebas beban biaya bagi rakyat miskin
tentunya. Dengan demikian dapat pula diharapkan agar dengan
kehadiran Posbakun dilingkungan Pengadilan akan dapat
mengikis stigma negatif dan menakutkan tentang Pengadilan
bagi masyarakat umum.
2.
Saran
Perlu
adanya
mekanisme
keberlanjutan
dalam
penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin
yang mencari keadilan agar tidak ada lagi rasa takut dan stigma
negatif tentang pengadilan.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
----------, “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di
Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
--------, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
--------, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State, translated by: Anders
Wedberg, New York; Russell & Russell, 1961.
Montesquieu, The Spirit of the laws, Translated by Thomas Nugent,
London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
188
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS
Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., lahir di Sampang,
Madura, tanggal 13 Mei 1957, lebih dikenal sebagai staf pengajar dan Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sejak
tahun 1984. Sebelum menjabat sebagai Hakim Konstitusi Prof. Mahfud MD
pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI (2000-2001), Menteri
Kehakiman dan HAM (2001), Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (2002-2005), Rektor Universitas Islam
Kadiri (2003-2006), Anggota DPR-RI, duduk di Komisi III (2007-2008),
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-2008), Pernah menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), Anggota Tim Konsultan
Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Depkum-HAM
Republik Indonesia. Selain itu, beliau juga masih aktif mengajar di
Universitas Islam Indonesia (UII), UGM, UNS, UI, Unsoed, dan lebih dari
10 Universitas lainnya pada program Pasca Sarjana S2 & S3. Mata kuliah
yang diajarkan adalah Politik Hukum, Hukum Tata Negara, Negara Hukum
dan Demokrasi serta pembimbing penulisan tesis dan desertasi.
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., adalah Guru Besar Hukum Tata Negara
dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang. Menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Andalas
(UNAND) dengan predikat Summa Cumlaude tahun 1994, Master of Public
Administration di Universitas Malaya Kuala Lumpur tahun 2001, dan
Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada tahun 2009 dengan predikat Cumlaude. Tahun
2011-2016 Ketua Program Doktor pada Program Pascasarjana Fakultas
Hukum UNAND.
Mengikuti kursus “Law and Governance in Developing Countries” di Van
Vollenhoven Institute Faculty of Law Leiden University, SeptemberDesember 2003 dan Chevening Fellowship dalam kursus “What Democracy
Means” di University of Birmingham, Inggris, Januari-April 2006. Tahun
2003-2007 peneliti The Indonesian-Netherlands Studies of Decentralization
of the Indonesia “Rechsstaat” (Negara Hukum, Rule of Law) and Its Impact
on Agrarian (INDIRA) kerja sama beberapa universitas di Indonesia dengan
Van Vollenhoven University of Leiden, Belanda. Sepanjang SeptemberOktober 2009 peserta “Rule of Law Forum” di Dallas-Texas, Washington
dan New York AS. Visiting Scholar di Gakushuin University-Tokyo,
Oktober 2011.
Aktif Menulis di beberapa media cetak nasional dan sampai saat ini sekitas
600 (enam ratus) tulisan telah dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo,
Media Indonesia, Republika, The Jakarta Post, Koran Seputar Indonesia,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Majalah Tempo, Majalah Gatra, dll. Tidak hanya itu, sejauh ini telah
menghasilkan belasan buku dan 50-an tulisan berbagai jurnal ilmiah dan
ratusan makalah yang disampaikan dalam seminar nasional maupun
internasional.
Sepanjang 2004-2014 menerima beberapa penghargaan, di antaranya: (1)
Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA), 2004; (2) Award of
Achievement for People Who Make a Difference dari Gleitsman
Foundation, USA, 2004; (3) UNAND Award atas prestasi bidang penelitian
dan karya ilmiah, 2007; (4) Tokoh Muda Inspiratif versi Kompas, 2009; (5)
dan Megawati Soekarno Putri Award sebagai Pahlawan Muda Bidang
Pemberantasan Korupsi, 2012.
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., Guru Besar Hukum
Pidana/Pengajar pada Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum
pada: Universitas Indonesia, Universitas Krisnadwipayana, Universitas
Padjadjaran, Universitas Pelita Harapan, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), Badiklat Kejaksaan Agung R.I., Kelas Khusus KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada Program Pascasarjana Studi Ilmu Hukum FHUI, Badiklat Mahkamah Agung R.I. Bagi Pelatihan Hakim Tipikor dll,
Penasehat Ahli Hukum (Pidana) Kapolri, Tim Pakar Hukum (Pidana)
Menteri Hukum dan HAM RI, mantan Konsultan Ahli Hukum (Pidana)
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum & HAM,
mantan Ahli Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri, Tim
Perumus Perubahan KUHP/KUHAP, Terorisme, Tindak Pidana Korupsi,
Pencucian Uang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Suap,
Pembuktian Terbalik, Perampasan Aset, KUHP, KUHAP dll, serta Advokat
Senior pada “Prof. Oemar Seno Adji, S.H. & Rekan”.
Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., lahir di Larantuka, Flores tahun 1945.
Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unair pada 1973.
Setelah mengikuti Sandwich Program di Leiden 1984, memperoleh gelar
Doktor dalam bidang Ilmu Hukum tahun 1985 di Universitas Airlangga.
Hingga 2010 mengabdi pada Universitas Airlangga, sebagai tenaga
pengajar. Bidang keahlian utama Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi, minat yang dikembangkan Teori Hukum dan Argumentasi
Hukum.
Sering tampil sebagai saksi ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Pengadilan Negeri dalam perkara yang menyentuh Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi. Juga tampil sebagai ahli dalam sidang Mahkamah
Konstitusi perkara permohonan pengujian konstitusionalitas UU.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Siti Nurjannah, S.H. M.H., lahir di Sleman, 01 November 1956. Terhitung
mulai tanggal 22 Desember 2011 sampai dengan sekarang menjabat sebagai
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan
Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI.
Nama
Tempat Lahir
Tanggal Lahir
Jabatan
Administrasi
: Dr. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.
: Lahat - Palembang
: 11 November 1959
: Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Urusan
Mahkamah Agung RI
Alamat Kantor
: Jl. Medan Merdeka Utara Kav. 9-13 Blok F 202
Alamat Rumah
: Nirwana Estate Blok L No. 1 Cibinong
Pengalaman Pekerjaan
:
1. Hakim Tinggi Jakarta/Kepala Biro Hukum dan Humas MA-RI 2011Sekarang
2. Ketua Pengadilan Negeri Palembang 2010-2011.
3. Ketua Pengadilan Negeri Batam 2008-2010.
4. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Batam 2007.
5. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Purwakarta 2006.
6. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 2002.
7. Hakim Hak Asasi Manusia Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 2002.
8. Hakim Pengadilan Negeri Cibinong 1998.
9. Hakim Pengadilan Negeri Arga Makmur 1995.
10. Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim 1989.
11. Calon Hakim Pengadilan Negeri Bekasi 1986.
Tambahan :
1. Dosen Program Pasca Sarjana pada Universitas Sriwijaya Palembang
(2010 - Sekarang)
2. Dosen Program Pasca Sarjana pada Universitas Muhammadiyah
Palembang (2010 - Sekarang)
3. Dosen Program Pasca Sarjana pada Universitas Jayabaya Jakarta (2012
- Sekarang)
Pendidikan
: 1. Doktor, Universitas Pajajaran Bandung 2009
2. S2 Hukum, Jakarta 1998
3. S1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya 1984
Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. adalah Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan
Klas 1A Khusus Jakarta Utara, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Prima Indonesia (Medan), Dosen, Penguji dan Pembimbing Disertasi (Co
Promotor) Program Pascasarjana (S2/S3) Ilmu Hukum Universitas Jayabaya
(Jakarta), Universitas 17 Agustus 1945 (Jakarta) dan Penguji Tamu Program
S3 Universitas Brawijaya (Malang), Dosen Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Semarang), Universitas Veteran
(Jakarta), Universitas Merdeka (Malang), dan Pusdiklat MA RI.
Menyelesaikan Program S1 (1985) dan S2 (2002) pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana, dan Program S3 (2007) dalam waktu 2 (dua) tahun
pada Program Doktor Universitas Padjadjaran dengan predikat cumlaude
(IPK 3,97). Ketika Mahasiswa aktif sebagai Ketua Senat, Ketua BPM,
Redaktur Pers Kampus, Penerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik
(PPA) dan Mahasiswa Teladan I Fakultas Hukum dan Teladan I Universitas
Udayana (1985).
Sebagai Hakim Peradilan Umum mempunyai spesifikasi sebagai Hakim
Umum, Hakim Niaga, Hakim TIPIKOR, Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI), dan Hakim Lingkungan serta pernah melakukan studi
banding tentang Sistem Peradilan Pidana, Terorisme dan Hak Kekayaan
Intelektual ke Bangkok, Jerman, Perancis dan Spanyol serta mendapat
Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya XX Tahun dari
Presiden RI. Kemudian pernah bertugas di Pengadilan Negeri Serui/Papua
(1991), Pengadilan Negeri Kandangan (1995), Pengadilan Negeri Bangli
(1999), Pengadilan Negeri Denpasar (2000), Pengadilan Negeri / Niaga /
HAM / PHI dan TIPIKOR Jakarta Pusat (2004), Wakil Ketua Pengadilan
Negeri Kepanjen (2007), Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen (2009), Wakil
Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara (2011),
dan sejak bulan Agustus 2013-sekarang sebagai Ketua
Pengadilan
Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara.
Disamping menulis Buku Ilmu Hukum juga mempublikasikan tulisan ilmiah
tentang hukum pada Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana Fakultas
Hukum Universitas Warmadewa (Terakreditasi), Jurnal Hukum Yustisia
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (Terakreditasi), Majalah
Mahkamah Agung, Majalah Varia Peradilan, Jurnal Hukum dan Peradilan
(Puslitbang Mahkamah Agung), serta sebagai Mitra Bestari pada Jurnal
Yudisial Komisi Yudisial dan Jurnal Hak Asasi Manusia Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.Buku yang telah
ditulisnya dan diterbitkan oleh Penerbit PT Alumni, PT Citra Aditya Bakti,
PT Djambatan, CV Mandar Maju, Bayu Media Publising dan Puslitbang
Mahkamah Agung RI sebanyak 27 (dua puluh tujuh) buku.
Agus Budi Susilo, S.H., M.H., adalah Hakim Yustisial di Mahkamah
Agung, pendidikan S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Yogyakarta Tahun 1999, Magister Hukum (S-2) Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung Tahun 2004, dan sejak tahun 2010 sampai
saat ini sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (S-3) di
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Budi Suhariyanto, S.H., M.H., lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Jember tahun 2006, dan Magister Hukum di Program Pasca Sarjana
Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti
Muda bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penalitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis dapat
dihubungi melalui email [email protected] atau surat ke alamat
Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung
Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat.
Isnandar Syahputra Nasution, S.H., M.H., lahir di Natal, Sumatera Utara,
4 Desember 1981. S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang. Saat ini menjabat sebagai Hakim Pengadilan Negeri
Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI,
terbit setahun 3 (tiga) kali (Maret, Juli dan November). Jurnal Hukum dan
Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di
media lain dengan ketentuan:
1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian
lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori,
studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif,
sistematis, analitis, dan deskriptis.
2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas,
sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda.
3. Naskah harus orisinil dibuktikan dengan pernyataan akan keorisinilan
naskah tersebut oleh penulis.
4. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia sepanjang 10-20 halaman.
Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman
ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata.
5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama
Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa
Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode
Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar
Pustaka.
6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum
harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak
(berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan
(dibuat sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas),
Kesimpulan, Daftar Pustaka.
7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style
dengan tata cara penulisan sebagai berikut:
Buku.
Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence,
Seattle: University of Washington Press, 1962.
Makalah.
Knight, Robin. “Poland’s Feud in the Family.”, New York, 10
September 1990, 52-53, 56.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Artikel Jurnal.
Sommer, Robert. “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors
for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December
1988): 665-683.
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan.
Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth
N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952.
Internet
Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. “A Global risk
assessment model for civil wars.” Social Science research 38, no. 4
(December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/
article/ B6WX84
WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009)
8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir.
9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes)
mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut:
Buku.
Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle:
University of Washington Press, 1962), 62.
Makalah.
Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”,U.S. New and Work
Report, 10 September 1990, 52.
Artikel Jurnal.
Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors
for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December
1988): 670.
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan
Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth
N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663.
Internet
Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, “A global risk
assessment model for civil wars,” Social Science Research 38, no.4
(December
2009):
922,
http://www.sciencedirect.com/science/
B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a
10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri
dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat
email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi
jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI
11. Naskah dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu)
bulan sebelum penerbitan kepada:
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Redaksi Jurnal Mahkamah Agung
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI
Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011
email: [email protected] atau puslitbangkumdil
@yahoo.co.id
12. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan diatas tidak akan
diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang
masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan
diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan
pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi
Jurnal Mahkamah Agung. artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan
kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan
Menyampaikan terima kasih Kepada para
Mitra Bestari (referee) dan semua pihak
Yang telah membantu penerbitan jurnal ini
Volume 4 Nomor 1 Maret 2015
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015
ISSN : 2303-3274
Download