pemberian anti retro viral sebagai upaya pencegahan

advertisement
PEMBERIAN ANTI RETRO VIRAL SEBAGAI UPAYA
PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE
BAYI
dr. Ketut Surya Negara, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Virus HIV ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang
komponen sistem imun manusia, yakni sel CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari virus
ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui mekanisme
tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka terjadilah
kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan membuat tubuh
lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan inilah yang disebut dengan
AIDS.1
Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena
gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini dapat
terlihat dari perbedaan pelaporan jumlah penderita HIV/AIDS antara Badan Intel CIA Amerika
Serikat dengan Ditjen PPM & PL Depkes RI. Menurut Badan Intel CIA Amerika Serikat, di
Indonesia, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2007 adalah sebesar 270.000
kasus yang menduduki peringkat ke-25 di dunia dengan angka kematian dilaporkan sebanyak
8.700 kasus yang merupakan peringkat ke-36 di dunia. Sedangkan dari data yang didapatkan
pada Ditjen PPM & PL Depkes RI, angka kematian oleh karena AIDS dari tahun 1987 sampai
dengan tahun 2009 adalah 3806 kasus.
Menurut pelaporan dari WHO secara global, HIV merupakan penyebab kematian
terbanyak pada wanita golongan usia reproduktif. Proporsi penderita HIV antara wanita dan pria
adalah 1:1. Pada tahun 2008 didapatkan 15,7 juta wanita yang terinfeksi HIV sedangkan
sebanyak 2,1 juta anak-anak berusia kurang dari 15 tahun telah terinfeksi HIV. Penularan HIV
sendiri dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan genital (sperma dan lendir vagina),
darah, dan transmisi dari ibu ke bayi.2
Penyebab dari infeksi HIV pada anak adalah 90% berasal dari penularan dari ibu
sedangkan 10 % sisanya berasal dari proses tranfusi darah. Pada saat ini, target global dari WHO
di bidang HIV adalah eliminasi dari penularan infeksi baru HIV pada anak dan mempertahankan
keselamatan ibu pada tahun 2015. Dengan adanya target global dari WHO ini maka WHO
memberikan program dan revisi- revisi baru dalam penanggulangan penularan infeksi HIV dari
ibu ke bayi.2,3
1
Di Indonesia, lebih dari 24.000 wanita usia subur telah terinfeksi HIV dan lebih dari
9.000 wanita terinfeksi HIV hamil setiap tahunnya.2 Propinisi Bali merupakan propinsi dengan
prevalensi AIDS terbanyak ke-dua sampai dengan bulan Agustus 2010. Jumlah Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Bali sebesar 1.897 kasus dan angka kelahiran sebesar 2,5 % setiap
tahunnya sehingga kurang lebih 25-26 bayi akan tertular HIV dari ibunya. Resiko transmisi
penularan HIV dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya adalah sebesar 20-45%.2,4
Transmisi maternal paling besar terjadi pada masa perinatal. Pada penelitian yang
dilakukan di Rwanda dan Zaire, proporsi dari penularan ibu yang terinfeksi kepada bayinya
adalah 23-30% pada masa kehamilan, 50-65% pada saat melahirkan, dan 12-20% pada saat ibu
menyusui bayinya.4 Akan tetapi angka transmisi ini dapat diturunkan sampai dengan kurang dari
5% dengan upaya-upaya intervensi dari PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission).
Intervensi yang dilakukan dari PMTCT ada 4 konsep dasar, yaitu mengurangi jumlah ibu hamil
dengan HIV positif, menurunkan viral load dari ibu hamil yang terinfeksi HIV, meminimalkan
paparan janin terhadap darah dan cairan tubuh ibu, serta optimalisasi kesehatan ibu dengan HIV
positif.2,3
Salah satu upaya intervensi pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi adalah
pemberian terapi ARV (Anti Retro Viral). Pemberian terapi ARV ini sendiri memiliki tujuan
untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus menurunkan hambatan penurunan daya tahan
tubuh, serta meningkatkan kembali fungsi daya tahan tubuh. Jumlah virus HIV didalam tubuh
menggambarkan potensi penularan, semakin tinggi jumlah virus maka semakin tinggi pula
potensi penularan, yang digambarkan dengan Viral Load.5 Potensi penularan HIV dari ibu ke
bayi pada ibu dengan viral load kurang dari 1000 kopi/mL adalah 0%, pada viral load antara
1000 sampai dengan 10.000 kopi/mL adalah 16,6%, pada viral load antara 10.000 sampai
dengan 50.000 kopi/mL adalah 21,3%, pada viral load antara 50.000 sampai dengan 100.000
kopi/mL adalah 30,1% sedangkan pada viral load diatas 100.000 kopi/mL adalah sebesar 40,6%.
Dengan pemberian ARV, viral load didalam tubuh dapat ditekan sehingga angka penularan juga
akan rendah.4
Saat ini di Indonesia, PMTCT sendiri merupakan program prioritas dari Strategi Nasional
Penanggulanan AIDS sejak tahun 2003. Berbagai upaya telah dilakukan untuk program ini
dengan mengacu pada program WHO. Rumah sakit di daerah-daerah juga telah memberikan
pelayanan PMTCT yang holistik mulai dari pelayanan VCT (Voluntary Counseling and Testing),
2
ANC (Ante Natal Care), pemberian ARV baik pada ibu hamil maupun bayi, perawatan dan
dukungan sosial bagi ibu dan bayinya, cara menyusui dan sebagainya. Diharapkan dengan
berjalannya program ini, tujuan PMTCT sendiri dapat terwujud yaitu transmisi HIV dari ibu ke
bayi dapat ditekan bahkan dihilangkan sama sekali serta dampak akhir epidemi HIV berupa
berkurangnya poduktifitas dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh
ODHA dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan mortalitas terhadap
ibu dan bayi dapat dikurangi.2
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
HIV (Human Immunodeficiency Virus)
AIDS merupakan suatu sindroma yang disebabkan oleh infeksi virus HIV, ditandai
dengan terjadinya suatu immunosupresi yang pada akhirnya menyebabkan rentannya tubuh
terhadap infeksi opurtunistik, keganasan, wasting syndrome, dan degenerasi sistem saraf pusat.
Sampai dengan saat ini dikenal dua tipe virus HIV, yaitu virus HIV-1 dan HIV-2. Virus HIV
yang pertama kali diidentifkasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris tahun 1983 dan
diketahui karakteristiknya secara sepenuhnya oleh Robert Gallo dan Jay Levy, peneliti di
Amerika Serikat pada tahun 1986. Sedangkan virus HIV-2 diisolasi dari pasien di Afrika Barat
pada tahun 1986.1
HIV adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasar strukturnya, HIV termasuk famili retrovirus, termasuk
virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Secara morfologik HIV berbentuk bulat dan
terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Inti dari virus terdiri atas suatu protein
sedangkan selubungnya terdiri atas suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri atas genom RNA
dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada waktu replikasi virus yang
disebut dengan enzim reverse transcriptase. Genom virus pada dasarnya terdiri atas gen,
bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transcriptase ,
maupun glikoprotein dari selubung. Sedangkan selubung yang terdiri atas glikoprotein, ternyata
memiliki peran yang penting dalam terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap resptor spesifik CD4 dari sel host. Melalui mikroskop elektron, dapat terlihat
bahwa HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope
virus gp 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak pada transmembran.1,2,3
4
Gambar 2.1. Morfologi Virus HIV-1.1
2.1.2 Patofisiologi infeksi HIV
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai macam cara yaitu secara vertikal,
horizontal, dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan
diperantarai benda tajam yang menembus pembuluh darah maupun tidak langsung melalui kulit
atau mukosa yang tidak intak. Begitu memasuki sirkulasi sistemik, Virus HIV dapat dideteksi di
dalam darah dalam waktu 4-11 hari sejak paparan pertama. Selama di dalam sirkulasi sistemik
terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut. Keadaan ini disebut sindroma
retroviral akut, dimana terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral-load. Viralload akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan selanjutnya akan menurun sampai titik
tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, Viral-load akan kemudian meningkat perlahan
dan CD4 akan menurun. 4
Pada fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Berbagai sel dapat
menjadi sel target dari HIV yaitu CD4, makrofag, dan sel dendritik, akan tetapi HIV virion
(virus-virus baru) cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T tersebut penting untuk
menentukan progresivitas dari penyakit. HIV cenderung memilih target limfosit T karena pada
permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 pada
permukaan envelope dari HIV. Meskipun telah terjadi kompleks gp 120 dan reseptor CD4, virus
HIV ini masih belum dapat masuk ke dalam limfosit T melalui proses internalisasi karena proses
ini membutuhkan peran dari co-receptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan
limfosit T. Peran dari CCR5 dan CXCR4 memperkuat stabilitas dan intensitas ikatan gp 120 dan
5
CD4 pada regio V terutama V3. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan
diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV dengan membran sel
target atas peran gp 41. Dengan peran gp 41 transmembran, maka permukaan luar dari HIV
terjadi fusi dengan membran plasma CD4. Sedangkan inti HIV selanjutnya masuk ke dalam
limfosit T sambil membawa enzim reverse transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma CD4
yang terinfeksi, bagian inti HIV yaitu RNA (single stranded RNA) akan berusaha menyesuaikan
dengan konfigurasi double-stranded DNA dengan bantuan enzim reverse-transcriptase yang
telah dipersiapkan tersebut. Selanjutnya terjadi penyatuan virion dengan DNA polimerase,
terbentuklah cDNA atau proviral DNA.
Begitu terbentuk proviral DNA, proses berikutnya adaalah upaya memasuki ke dalam
inti limfosit T, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase.
Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan
translasi. Kondisi ini disebut dengan keadaan laten dan untuk mengaktifkan provirus ini
diperlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti antigen,
sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor κB (NF-κB) sehingga menjadi
aktif dan berikatan pada 5’ LTR (Long Terminal Repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR
berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF-κB menginduksi replikasi
DNA. Induktor NF-κB sehingga cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme
lain. Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan mempengaruhi jalannya replikasi
adalah bakteri, jamur, virus, maupun protozoa. Dari keempat golongan mikroorganisme tersebut,
yang paling berpengaruh terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama
adalah virus DNA.1,4
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA secara struktur berfungsi
sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida, yang akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang fungsional.
Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga
terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar dari sel,
akan menginfeksi sel target yang berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi
hingga mencapai 109-1011 virus baru.1
6
Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari
waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah CD4 melalui
beberapa mekanisme, sebagai berikut :
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya
penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi dengan
nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis makro molekul.
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang terinfeksi HIV dengan CD4
yang tidak terinfeksi.
3. Respons imun humoral dan selular terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel
yang terinfeksi virus. Namun respon ini bisa menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi
sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya (innocent-bystander).
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi
sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp 120 di regio V3 dengan
reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel
melalui apoptosis.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp 70, sehingga fungsi sitoprotektif,
pengaturan irama, dan waktu folding protein terganggu, terjadi misfolding dan denaturasi
protein, jejas, dan kematian sel.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah CD4
secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm³ menjadi 200/mm³ atau lebih rendah
lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan
munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.1,2,4
7
Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit HIV.1
2.2
HIV pada kehamilan
Prevalensi HIV pada wanita di Indonesia hanya 16%, tetapi karena mayoritas ODHA
berusia reproduksi aktif , maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan terus
meningkat. Peningkatan jumlah kehamilan dengan HIV positif ini juga akan meningkatkan
angka infeksi HIV baru pada anak jika tidak diberikan penanganan dan pencegahan yang tepat. 2,3
Di Indonesia, lebih dari 9.000 wanita dengan HIV positif hamil setiap tahunnya dan lebih dari
30% diantaranya akan melahirkan bayi yang akan tertular oleh HIV. Indonesia sendiri termasuk
salah satu negara dengan angka HIV pada bayi yang tinggi.6
2.2.1 Penegakan diagnosis HIV
Skrining HIV sebaiknya dilakukan pada kelompok risiko tinggi, yaitu golongan individu
yang memiliki potensi tinggi untuk menularkan dan tertular HIV. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah :
8
1. Wanita atau pria pekerja seksual dan pasangannya.
2. Pengguna narkotika suntik dan pasangannya
3. Penerima tranfusi darah dan transplantasi organ
4. Bayi yang lahir dari wanita terinfeksi HIV
Pada golongan risiko tinggi yang dilakukan skrining, harus dilakukan konseling terlebih
dahulu.2 Setelah diberikan konseling, pemeriksaan darah yang dilakukan untuk mendeteksi
infeksi virus HIV adalah dengan menggunakan Rapid Test. Metode ini dapat mendeteksi
antibodi HIV dalam waktu kurang dari 1 jam dengan sensitivitas dan spesifitas yang sama
dengan metode pemeriksaan ELISA. Setelah hasil rapid test ini positif maka harus dikonfirmasi
ulang dengan pemeriksaan western blot atau immunofluorescence assay. Akan tetapi jika hasil
rapid test negative maka tidak perlu dilakukan konfirmasi.6
Setelah wanita hamil terdiagnosa dengan HIV positif maka ada beberapa langkah
pemeriksaan yang harus dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan terapi yang
diberikan dan sebagai pengawasan keberhasilan terapi serta pemantauan keadaan penderita.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah : 6

Pemeriksaan darah dan urin rutin.

Pemeriksaan viral load dan CD4.

Pemeriksaan fungsi liver.

Skrining terhadap infeksi Hepatitis B & C, Herpes Simpleks Virus, Cytomegalo
virus.

Foto Thorak.

Pemeriksaan terhadap kemumgkinan infeksi Tuberculosis.

Evaluasi perlunya diberikan vaksin pneumococcus, hepatitis B, serta influenza.

USG perkembangan janin.
2.2.2 Pengaruh HIV terhadap kehamilan
Pengaruh HIV terhadap kehamilan bervariasi, tergantung dari stadium klinis dari HIV itu
sendiri. Stadium HIV yang berat akan mempengaruhi hasil akhir dari kehamilan. Beberapa
penelitian menyebutkan adanya peningkatan insidens dari terjadinya : 7,8

Abortus

Kelahiran preterm
9

Kematian janin dalam rahim

Janin lahir dengan berat badan lahir rendah,

Serta peningkatan angka kematian perinatal.
Sebuah studi mengatakan bahwa kejadian kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah
meningkat dua kali lipat pada wanita hamil dengan infeksi HIV dibandingkan yang tidak
terinfeksi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena keadaan penderita HIV yang banyak
dalam keadaan status gizi kurang dan menderita anemia. Kejadian kelahiran prematur
berhubungan dengan rendahnya kadar CD4 dan tingginya viral load.8
2.2.3 Pengaruh kehamilan terhadap HIV
Pengaruh kehamilan terhadap HIV masih merupakan suatu kontroversi dimana beberapa
studi mengatakan berpengaruh, sedangkan yang lain mengatakan tidak berpengaruh. Menurut
beberapa literatur, kehamilan tidak berpengaruh terhadap progresivitas dari infeksi HIV.
Penurunan kadar CD4 yang terjadi pada wanita hamil yang terinfeksi HIV disebabkan oleh
karena bertambahnya volume cairan tubuh selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil
dan tidak mempengaruhi risiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS.9,10 Namun literatur
lain mengatakan bahwa terjadi penurunan imunitas tubuh yang signifikan sehingga
mengakibatkan angka mortalitas dan morbiditas wanita hamil yang terinfeksi HIV menjadi
meningkat.11
2.2.4 Stadium klinis dan immunologis HIV pada kehamilan
Stadium klinis HIV pada kehamilan adalah sama dengan stadium klinis pada orang
dewasa yang terinfeksi HIV.
Tabel 2.1 Klasifiksi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO.12
Stadium
I
Gambaran Klinis
Skala Aktivitas
• Asimptomatik
Asimptomatik, aktivitas
• Limfadenopti generalisata
normal
10
• Berat badan menurun < 10%
Simptomatik, aktivitas
• Kelainan kulit dan mukosa
normal
yang ringan seperti dermatitis
seboroik, prurigo,
II
onikomikosis, ulkus oral yang
rekuren, khilitis angularis
• Herpes zooster dalam 5 tahun
terakhir
• ISPA seperti sinusitis
bakterialis
• Berat badan menurun > 10%
Pada umumnya lemah,
• Diare kronis > 1 bulan
aktivitas di tempat tidur <
• Demam berkepanjangan > 1
50%
bulan
III
• Kandidiasis orofaringeal
• Oral hairy leukoplakia
• TB paru dalam tahun terakhir
• Infeksi bakterial berat seperti
pneumonia, piomiositis
• HIV wasting syndrome
Pada umumnya sangat
seperti yang didefinisikan
lemah, aktivitas di tempat
CDC
tidur > 50%
• Pneumonia Pneumocytis
carinii
IV
• Toksoplasmosis otak
• Diare kriptoporidiosis > 1
bulan
• Kriptokokosis
ekstrapulmonal
• Retinitis virus cytomegalo
• Herpes simpleks mukokutan
11
> 1 bulan
• Leukoensepalopati multifokal
progresif
• Mikosis diseminata seperti
histoplasmosis
• Kandidiasis di esofagus,
trakea, bronkus, dan paru
• Mikobakteriosis atipikal
diseminata
• Septisemia salmonelosis non
tifoid
• Tuberkulosis di luar paru
• Limfoma
• Sarkoma kaposi
• Ensefalopati HIV
Keterangan :
o
HIV wasting syndrome: berat badan turun > 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau
demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain.
o
Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu
aktivitas hidup sehari – hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan
yang tidak disertai penyakit lain selain HIV.
Status Immunologis penderita HIV berdasarkan dari jumlah CD4 menurut WHO
Tabel 2.2 Status Immunologis penderita HIV pada orang dewasa menurut WHO.12
Kategori status
Jumlah CD4
imunologi
≥ 500/mm3
Tidak Signifikan
12
Mild
350-499/mm3
Advanced
200-349/mm3
≤ 200/mm3
Severe
2.2.5 Pengawasan kehamilan dengan HIV
Pengawasan kehamilan dengan HIV dilakukan sama dengan kehamilan biasa akan tetapi
ditambah lagi dengan perlakuan-perlakuan yang khusus mengingat dampak HIV pada kehamilan
dan sebaliknya. Secara khusus pada pengawasan kehamilan dengan HIV adalah penekanan
terhadap upaya pencegahan penularan infeksi HIV pada janin yang dikandung. Pengawasan
tersebut antara lain : 3,11,13
1. ANC teratur
2. Pemberian ARV
3. Perencanaan persalinan dengan tindakan seksio sesarea
4. Pengawasan terhadap tumbuh kembang janin
5. Pengawasan terhadap kesehatan ibu
6. Pemberian dukungan moral
7. Persiapan terhadap terapi ARV yang akan diberikan kepada bayi setelah lahir
8. Edukasi mengenai pemberian ASI
9. Edukasi mengenai perencanaan kontrasepsi dan kehamilan berikutnya.
2.2.6 Penularan Infeksi HIV dari ibu ke bayi.
Infeksi virus HIV dapat ditularkan melalui beberapa macam cara, yaitu : 13,14
1. Transmisi melalui hubungan seksual
2. Transmisi melalui darah
3. Transmisi vertikal, dari ibu kepada bayi
Di Amerika, kejadian transmisi vertikal ini bila tidak diberikan interfensi apapun adalah
sebesar 16-30% sedangkan di Asia Tenggara dilaporkan angka kejadiaannya sebanyak 13-48%.15
Penularan infeksi virus HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi pada waktu kehamilan, proses
persalinan, serta postpartum pada saat ibu menyusui. Penularan yang terbanyak terjadi pada saat
intrpartum.15,16 Pada studi yang dilakukan di Rwanda dan Zaire, proporsi relative penularan HIV
13
dari ibu ke bayi pada saat kehamilan 23-30%, pada saat proses persalianan 50-65%, sedangkan
post partum pada saat menyusui adalah 12-20%.4 Kejadian transmisi yang tinggi pada saat
persalinan disebabkan oleh karena lamanya bayi terpapar oleh cairan dan darah ibu pada saat
proses persalinan.
2.2.7 Faktor- faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi
Banyak faktor yang mempengaruhi penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi, secara umum,
penularan HIV dari ibu ke bayi terkait dengan daya tahan tubuh dan virulensi kuman, dapat
dibagi 3, yaitu :14,16,17

Faktor risiko selama kehamilan :
o Ibu yang baru saja terinfeksi HIV, sehingga jumlah virus masih tinggi.
o Adanya infeksi menular seksual pada saat kehamilan
o Adanya chorioamnionitis
o Adanya
defisiensi
vitamin
A
yang
berat,
menurunkan
jumlah
immunoglobulin pada mukosa sebagai mekanisme pertahanan tubuh awal.
o Viral Load yang tinggi dan jumlah CD4 yang rendah
o Penggunaan narkotika pada saat kehamilan
o Hubungan seks yang berisiko tinggi pada saat kehamilan

Faktor Risiko pada saat proses persalinan
o Ibu yang baru saja terinfeksi HIV, sehingga jumlah virus masih tinggi.
o Viral Load yang tinggi dan jumlah CD4 yang rendah
o Pecah ketuban lebih dari 4 jam sebelum proses persalinan
o Prosedur persalinan dengan menggunakan prosedur invasif
o Prosedur persalinan dengan episiotomi
o Terpaparnya janin pada cairan jalan lahir
o Adanya chorioamnionitis

Faktor Risiko selama menyusui
o Faktor ibu

Ibu yang baru saja terinfeksi HIV, sehingga jumlah virus masih
tinggi.

Viral Load yang tinggi dan jumlah CD4 yang rendah
14

Lama menyusui

Jaringan payudara yang mengalami infeki

Pemberian kombinasi PASI dan ASI
o Faktor Bayi :
2.3

Bayi lahir preterm

Penggunaan ASI

Lesi pada mulut bayi
Pencegahan penularan infeksi HIV dari Ibu Ke Bayi
Sebanyak 90% infeksi HIV pada bayi disebabkan oleh karena penularan dari ibu,
sedangkan 10% sisanya disebabkan oleh karena proses transfusi. Menurut estimasi Kementrian
Kesehatan, setiap tahunnya akan didapatkan 3.000 bayi akan terinfeksi HIV jika tidak diberikan
upaya pencegahan terhadap transmisi vertikal ini.2,3 Di negara berkembang dilaporkan
kemungkinan risiko transmisi vertikal dari ibu ke bayi tanpa pemberian terapi antiretroviral
adalah sebesar 25-35% sedangkan di negara yang telah maju kemungkinan risiko transmisinya
lebih rendah yaitu sebesar 15-25% . Dengan adanya upaya-upaya pencegahan penularan secara
vertikal, risiko infeksi terhdap bayi dapat ditekan sampai kurang dari 2%.8,10 Upaya pencegahan
penularan infeksi dari ibu ke bayi biasa dikenal dengan PMTCT (Prevention of Mother to Child
Transmission).
2.3.1 Tujuan PMTCT
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah :2
1. Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi.
Oleh karena hampir seluruh infeksi HIV pada bayi disebabkan oleh transmisi
vertikal maka diharapkan dengan upaya pencegahan ini, infeksi pada bayi dapat
ditekan.
2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.
Dampak akhir dari epidemi HIV adalah berkurangnya produktifitas dan
peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh ODHA dan masyarakat
Indonesia di masa mendatang karena mortalitas dan morbiditas terhadap bayi dan ibu.
15
Epidemi HIV terutama terhadap bayi dan ibu tersebut perlu diperhatikan, dipikirkan
dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari dampak akhir tersebut.
2.3.2 Strategi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
Pada saat ini WHO memberikan 4 strategi dalam upaya pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayi yang meliputi :2,8
1. Pencegahan primer terjadinya penularan HIV
Melakukan pencegahan agar seluruh wanita tidak terinfeksi HIV. Merupakan hal
yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan sampai tertular HIV.
Upaya mencegah penularan HIV dapat digunakan konsep ABCD, yang terdiri dari :2

A (Abstinence) : tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum
menikah.

B (Be Faithful) : bersikap saling setia kepada satu pasangan seksual (tidak
berganti-ganti pasangan).

C (Condom) : cegah dengan kondom.

D (Drug) : tidak menggunakan obat-obatan NAPZA suntik.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and
Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah wanita
muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui. Pada pasangan yang ingin
hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum kehamilan, dan bagi yang telah hamil,
dilakukan tes HIV pada kunjungan pertama.18,19
2. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita dengan infeksi HIV.
Strategi yang digunakan adalah :
a. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak
mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan
penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk
mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk
mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah
terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk
16
keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat
membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
b. Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun
jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan : 20,21
- Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim
sebab dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan
infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai
kecenderungan
mengalami
perdarahan
yang
dapat
menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
-
Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat
mencegah penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun
tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama tinggi dengan
alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
-
Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang
seperti noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu
kontraindikasi pada wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian
sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV.
- Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang
paling tepat adalah kontrasepsi mantap, yaitu dilakukan
sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
-
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk
mencegah kehamilan, maka pemakaian kondom harus tetap
dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu HIV positif kepada bayinya.
Intervensi pencegahan penularan transmisi vertikal ini dilakukan pada saat
sebelum hamil, saat hamil, pada proses persalinan, serta pada masa nifas. Macammacam intervensi yang dapat dilakukan adalah 2

Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif
17
Kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama
proses kehamilan, maka pada dasarnya seorang wanita dengan HIV positif
tidak dianjurkan untuk hamil. Namun jika wanita tersebut ingin hamil, perlu
dilakukan konseling, pengobatan, dan pemantauan. Pertimbangan seorang
ODHA dapat hamil bila kadar CD4 > 500/mm3, Viral Load < 1.000 kopi/ml
atau tidak terdeteksi, serta menggunakan terapi ARV. 2

Menurunkan Viral Load serendah-rendahnya.
Potensi penularan HIV dari ibu ke bayi pada ibu dengan viral load kurang
dari 1000 kopi/mL adalah 0%, pada viral load antara 1000 sampai dengan
10.000 kopi/mL adalah 16,6%, pada viral load antara 10.000 sampai dengan
50.000 kopi/mL adalah 21,3%, pada viral load antara 50.000 sampai dengan
100.000 kopi/mL adalah 30,1% sedangkan pada viral load diatas 100.000
kopi/mL adalah sebesar 40,6%.4 Viral load didalam tubuh dapat ditekan
dengan cara pemberian terapi ARV. Pemberian terapi ARV ini sendiri
memilki tujuan untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus menurunkan
hambatan penurunan daya tahan tubuh, serta meningkatkan kembali fungsi
daya tahan tubuh.19

Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu.
Persalinan yang dianjurkan pada wanita hamil dengan HIV adalah dengan
seksio sesarea. Beberapa penelitian mengatakan bahwa persalinan dengan
seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar
50-66%. Namun pada penelitian lain, persalinan pervaginam masih
dimungkinkan jika telah mendapat terapi ARV selama 6 minggu serta viral
load yang undetectable. Risiko penularan pada wanita yang telah
mendapatkan ARV dan melahirkan secara seksio sesarea terencana adalah
sebesar kurang dari 2% sedangkan pada wanita yang telah mendapat ARV dan
melahirkan secara pervaginam adalah sebesar 7,6%.
7,18,22
Terjadinya
penularan saat proses persalinan pervaginam adalah pada saat bayi terpapar
oleh darah dan lendir ibu di jalan lahir. Proses infeksi juga dapat terjadi pada
saat resusitasi, bayi menelan darah atau lender tersebut. Jika seksio sesarea
18
tidak dapat dilaksanakan, maka dianjurkan tidak melakukan tindakan invasive
yang memungkinkan terjadinya perlukaan pada bayi. Tindakan bedah
pevaginam seperti ekstraksi vacum maupun forcep, tindakan episiotomi harus
dihindari.9,16,22
Virus HIV dapat dideteksi pada kolostrum dan ASI, oleh karena itu untuk
mengurangi risiko penularan maka tidak dianjurkan untuk memberikan ASI.
Sebaiknya digunakan susu formula. Selain itu, tidak dianjurkan penggunaan
kombinasi antara ASI dan susu formula atau PASI lainnya karena mukosa
usus bayi pasca pemberian susu formula atau PASI akan mengalami proses
inflamasi. Jika mukosa yang inflamasi ini menerima ASI yang terinfeksi HIV
maka akan memberikan kesempatan untuk penularan melalui mukosa usus.
Risiko penularan HIV akan meningkat jika terdapat permasalahan pada
payudara (mastitis, abses, luka pada puting susu).22

Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif
Melalui pemeriksaan ANC secara teratur, dilakukan pemantauan terhadap
keadaan ibu maupun janin. Perlu diberikan tambahan suplemen serta vitamin
dan penerapan pola hidup sehat dan hubungan seks yang aman dengan cara
penggunaan kondom.17,18
4. Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu dengan HIV
positif beserta bayi dan keluarganya.3
Upaya PMTCT tidak terhenti setelah ibu melahirkan karena ibu tersebut
menjalani hidup dengan HIV seumur hidupnya sehingga dibutuhkan dukungan
psikologis, sosial, dan perawatan sepanjang waktu. Upaya yang dapat dilakukan
diantaranya ialah :23
- Menyediakan pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan
yang berhubungan dengan HIV bagi para wanita.
- Menyediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan anak
dengan infeksi HIV positif.
- Mengusahakan hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan keluarga
terpadu.
19
2.4
ARV Sebagai upaya pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi
Bentuk terapi ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam upaya
pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi adalah penggunaan obat antiretroviral jangka
panjang untuk mengobati wanita hamil dengan HIV positif, mencegah penularan dari ibu ke bayi
dan diberikan seumur hidup.Saat ini obat-obatan ARV lini pertama sudah tersedia secara luas
dan gratis. Layanan PMTCT dapat dijumpai pada rumah sakit yang memberikan layanan HIV.2,3
Pemberian ARV merupakan salah satu upaya yang paling efektif dalam pencegahan
penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi. Pemberian ARV pada wanita hamil dimulai sejak masa
kehamilan sampai dengan post partum. Pemberian ARV sebagai upaya pencegahan transmisi
vertikal ini tidak hanya diberikan pada ibu saja, namun diberikan juga pada bayi yang dilahirkan.
Pemberian ARV dapat menekan risiko penularan dari ibu ke bayi sampai kurang dari 2%.15,16
Diharapkan dengan pemberian ARV ini, tujuan global dari WHO dapat tercapai, yaitu
menghilangkan infeksi HIV pada bayi dan anak menuju kepada generasi bebas HIV dan AIDS.3
2.4.1 Manfaat dan tujuan terapi ARV sebagai upaya pencegahan penularan infeksi HIV
dari ibu ke bayi.
Manfaat dan tujuan dari pemberian ARV pada wanita hamil hampir sama dengan
penderita HIV lainnya, yaitu : 2,3,24
1. Memperbaiki status kesehatan.
Pemberian ARV akan menekan replikasi dari virus HIV sehingga jumlah virus
akan berkurang di dalam tubuh sehingga terjadi perbaikan dari status imunologis serta
keadaan umum dari penderita.
2. Meningkatkan kualitas hidup
Dengan adanya perbaikan status imunologis pasien maka kualitas hidup pasien
dengan sendirinya akan meningkat, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan
tetap produktif. Bila pasien dirawat di rumah sakit, waktu rawat inap juga akan menjadi
lebih pendek.
3. Mencegah progresivitas penyakit
Status imunologis yang baik juga akan menurunkan insidens dari infeksi
oportunistik dari penderita sehingga tidak terjadi perburukan dari perjalanan penyakit
menjadi AIDS.
20
4. Menurunkan angka transmisi secara vertikal maupun pada orang lain.
Pencegahan penularan tidak hanya secara vertikal kepada janin yang dikandung
saja, namun juga bertujuan untuk pencegahan penularan secara horizontal, yakni
penularan kepada orang lain.
2.4.2 Penilaian klinis sebelum memulai pemberian ARV
Sebelum memulai pemberian ARV, perlu dilakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap
penderita, diantaranya:25,26
o Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
o Pemeriksaan fisik lengkap
o Pemeriksaan laboratorium rutin
o Hitung limfosit total (Total Lymphocyte Count/TLC)
o Pemeriksaan jumlah CD4 bila mungkin
Penggalian informasi dan riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya, antara lain :
o Menilai stadium klinis infeksi HIV
o Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu
o Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV saat ini yang
membutuhkan pengobatan.
o Mengidentifikasi adakah riwayat pengobatan terhadap HIV sebelumnya.
o Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi
pemilihan terapi
Pemeriksaan laboratorium:
o Pemeriksaan serologi untuk HIV
o Limfosit total atau CD4
o Viral Load
o Pemeriksaan darah lengkap
o Pemeriksaan kimia klinik (fungsi hati dan ginjal)
Hal-hal tersebut penting dilakukan karena mengingat efek samping dari ARV yang
menyebabkan toksistas mitokondria, dengan gejala anemia, neutropenia, trombositopenia, dan
penurunan fungsi hati. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan terapi yang akan diberikan,
pemantauan keadaan penderita serta keberhasilan terapi yang diberikan.
21
2.4.3 Klasifikasi ARV
Pada saat ini masih banyak obat-obatan ARV yang masih dalam tahapan uji klinis. ARV
yang sekarang dipakai sebagai terapi HIV dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis menurut
cara kerjanya , antara lain :25,27

Penghambat terjadinya fusi dari virus
Obat-obatan golongan ini berperan dalam mencegah terjadinya perlekatan,
fusi dan masuknya virus HIV ke sel target dalam tubuh.

CCR5 antagonist
CCR5 merupakan receptor pada permukaan sel T yang merupakan tempat
masuk virus HIV. CCR5 antagonist merupakan satu-satunya obat yang tidak
bekerja langsung pada virus tetapi bekerja pada reseptor di dalam tubuh.

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) dan Nucleotide Reverse
Transciptase Inhibitors (NtRTI).
Kedua obat ini adalah
analog nukleosid dan nukleotid yang menghambat enzim reverse transcriptase.
Enzim ini berguna untuk proses replikasi dari virus dengan cara membentuk
rantai yang tidak sesuai dengan aslinya.

Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
Obat
ini bekerja menghambat enzim reverse transcriptase dengan cara sebagai nonkompetitif inhibitor pada bagian allosterik.

Inhibitor Protease
Obat
ini bekerja dengan cara menghambat enzim protease yang berguna dalam
pembentukan dari virion baru.

Inhibitor Integrase
Obat
ini bekerja dengan cara menghambat aktifitas enzim integrase yang berguna untuk
integrasi antara DNA virus dan DNA tubuh. Pada saat ini masih masih banyak
obat-obatan pada golongan ini yang masih dalam uji klinis.

Inhibitor Maturasi
Obat
ini bekerja dengan cara melakukan hambatan pada poliprotein sehingga tidak
terjadi maturasi dari protein capsid (p24). Defek ini terjadi pada inti dari virus
sehingga virion yang ada tidak menjadi infeksi.
22
2.4.4 Pemberian ARV pada wanita hamil dengan infeksi HIV
Pemberian ARV pada wanita hamil dengan infeksi HIV menurut WHO harus memenuhi
kriteria eligibilitas yang dikelompokan berdasarkan kriteria klinis dan jumlah CD4.
Tabel 2.3 Kriteria eligibilitas pemberian ARV menurut WHO. 3
CD4 tidak diukur
CD4≤ 350/mm3
CD4> 350/mm3
Stadium 1
ARV profilaksis
ARV profilaksis
Stadium 2
ARV profilaksis
Stadium 3
ARV Terapi &
profilaksis
ARV Terapi &
profilaksis
ARV Terapi &
profilaksis
ARV Terapi &
profilaksis
ARV Terapi &
profilaksis
ARV Terapi &
profilaksis
ARV Terapi &
profilaksis
Kriteria klinis
WHO
Stadium 4
ARV profilaksis
ARV Terapi &
profilaksis
Pemberian ARV profilaksis merupakan penggunaan obat ARV jangka pendek yang
bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, sedangkan ART merupakan
pemberian ARV sebagai terapi jangka panjang untuk mengobati infeksi HIV pada ibu dan
mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Berikut ini adalah jenis-jenis ARV yang digunakan
pada wanita hamil dengan HIV positif yang ada di Indonesia
23
Tabel 2.4 Macam-macam ARV bagi wanita hamil dengan infeksi HIV.28,29
Golongan
Nama obat
Singkatan
Zidovudine
AZT, ZDV
Tenofovir
TDF
Lamivudine
3TC
Emtricitabine
FTC
Stavudin
d4T
Didanosin
ddI
Abacavir
ABC
Evavirens
EFV
Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitors
(NRTI)
Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitors
(NNRTI)
24
Protease Inhibitor
Nevirapine
NVP
Lopinavir
LPV
Nelfinavir
NVF
Saquinavir
SQV
Tabel 2.5 Macam-macam ARV kombinasi bagi wanita hamil dengan infeksi HIV.2
Koformulasi
Nama Dagang
Kandungan
AZT + 3TC
Combivir, Zidovex-L, Duviral
AZT 300 mg + 3 TC 150 mg
AZT + 3TC + NVP
Zidovex – LN, Triviral
AZT 300 mg + 3TC 150 mg +
NVP 200 mg
2.4.5 Pemberian ARV sebagai terapi dan profilakasis wanita hamil dengan infeksi HIV
Pemberian
ARV
sebagai
terapi diindikasikan bagi semua wanita hamil yang telah terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 ≤
350/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya atau wanita yang berada pada stadium klinis 3
atau 4 tanpa memandang jumlah CD4. Pemberian ARV sebagai terapi tidak hanya diberikan
pada ibu saja, namun juga kepada bayinya.30
25
Tabel 2.6 Regimen ARV sebagai terapi dan profilaksis yang diberikan pada wanita hamil 3,31,32
Regimen
Dosis
AZT + 3TC + AZT : 2x300 mg
Rekomendasi
 Paling
NVP
NVP : 2x200 mg

banyak
digunakan
3TC : 2x150 mg
Efek Samping
dan
Peningkatan
risiko
terujui klinis
terjadi
anemia
 Peningkatan dosis
pada
penggunaan
AZT
dari 1x menjadi 2x

setelah pemberian
2 minggu
Peningkatan
resiko
 Perlu pemeriksaan
hipersensitifitas
dan
kadar Hb
 Tidak
hepatotoksis
direkomendasikan
sehingga
untuk
memerlukan
CD4
≥350/mm3
pengawasan
klinis dalam 12
minggu awal
AZT + 3TC + AZT 2x300 mg
 Paling
EFV
banyak 
digunakan
3TC 2x150 mg
EFV 1 x 600 mg
dan
risiko
terujui klinis
anemia
 Perlu pemeriksaan
kadar Hb

Perlu
digunakan
kontrasepsi setelah
26
Peningkatan
terjadi
pada
penggunaan AZT

Beresiko
terjadinya
defek
neural tube pada

melahirkan karena
penggunaan EFV
efek EFV
pada
EFV
pertama
trimester
direkomendasikan
untuk
yang
disertai
dengan
infeksi TB
TDF + 3TC (atau TDF 1x300 mg

FTC) + EFV
3TC 1x300 mg
Perlu
digunakan 

Atau
TDF 1x300 mg
pada ginjal pada
melahirkan karena
penggunaan TDF


EFV 1x600 mg
Kemungkinan
EFV
memiliki
efek
direkomendasikan
toksisitas
pada
untuk
tulang
yang
disertai
FTC 1x200 mg
toksistas
kontrasepsi setelah
efek EFV
EFV 1x600 mg
Risiko
dengan
maupun
infeksi TB
(belum
TDF + 3TC ( atau
klinis)

FTC)
ibu
janin
terbukti
Beresiko
direkomendasikan
terjadinya
pada
wanita
neural tube pada
dengan
infeksi
penggunaan EFV
HBV
pada
defek
trimester
pertama
TDF + 3TC (atau TDF 1x300 mg
FTC) + NVP
3TC 2x150 mg
NVP 2xx200 mg

Perlu pengawasan 
Risiko
ketat
12
pada ginjal pada
awal
penggunaan TDF
minggu
untuk
toksistas
dalam penggunaan 
Kemungkinan
NVP
memiliki
efek
toksisitas
pada
Atau
 Peningkatan dosis
27
tulang
ibu
TDF 1x300 mg
FTC 1x200 mg
NVP 2x200 mg

dari 1x menjadi 2x
maupun
setelah pemberian
(belum
2 minggu
klinis)

TDF + 3TC ( atau
FTC)
terbukti
Peningkatan
resiko
hipersensitifitas
direkomendasikan
pada
wanita
dengan
infeksi
HBV
janin
dan hepatotoksis
sehingga
memerlukan
pengawasan
klinis dalam 12
minggu awal
28
Tabel 2.7 Regimen ARV yang diberikan pada bayi. 3,31,33
Regimen
Dosis
&
lama Rekomendasi
Efek Samping
pemberian
AZT
2x15 mg bila berat badan
Biasanya
Resiko
bayi > 2500 gr 2x10 mg
diberikan pada anemia
bila berat badan bayi ≤
bayi
2500 gr Diberikan dari
mendapatkan
lahir sampai usia 4-6
PASI
terjadinya
yang
minggu
NVP
1x15 mg bila berat badan 
Perlu
> 2500 gr
pengawasan
terjadinya
rutin
resistensi obat
1x10 mg bila berat badan
≤ 2500 gr
Diberikan
dari
lahir
sampai usia 4-6 minggu



Biasanya
Resiko
Peningkatan
diberikan
toksisitas
pada
terutama
bayi
jika
yang
ibu
yang
mendapat
memberikan
ASI
ASI juga dengan
terapi NVP
2.4.6 Pemberian ARV sebagai profilaksis wanita hamil dengan infeksi HIV
Pemberian ARV sebagai profilaksis diberikan pada wanita hamil yang tidak memerlukan
terapi untuk dirinya sendiri, pemberian ARV ditujukan sebagai pencegahan penularan pada janin
yang dikandung. Pemberiannya dimulai sejak umur kehamilan 14 minggu. Ada 2 macam pilihan
dalam pemberian ARV sebagai profilaksis.3 Pilhan pertama biasa disebut pilihan A, yaitu
pemberian AZT 2x300 mg sehari pada saat kehamilan ditambah dengan nevirapine single dose
nevirapine dan pemberian AZT + 3 TC sehari dua kali mulai dari proses persalinan sampai
dengan hari ke-7 setelah melahirkan. Sedangkan pada bayi diberikan NVP sejak bayi lahir atau
single dose NVP dan AZT sehari 2 kali sampai dengan usia 4-6 minggu.
pemberian pilihan B diberikan 3 macam ARV kombinasi pada ibu.
29
3,32
Sedangkan
Tabel 2.8 Regimen ARV sebagai profilaksis yang diberikan pada wanita hamil.3,33
Regimen
Dosis
AZT + 3TC + AZT : 2x300 mg
Rekomendasi
 Perlu pemeriksaan
LPV
3TC : 2x150 mg
Efek Samping

Peningkatan
kadar Hb
resiko
 Biaya mahal
anemia
terjadi
pada
penggunaan
LPV : 2x400 mg
AZT
AZT + 3TC + AZT 2x300 mg
 Perlu pemeriksaan 
ABC
kadar Hb
Peningkatan
resiko
3TC 2x150 mg
terjadi
anemia
pada
penggunaan
ABC 2x300 mg
AZT

Beresiko
terjadinya
hipersensitivitas
pada
penggunaan
ABC
AZT + 3TC
+ AZT 2x300 mg

EFV
3TC 2x150 mg
EFV 1x600 mg

Perlu
digunakan 
Beresiko
kontrasepsi setelah
terjadinya defek
melahirkan karena
neural tube pada
efek EFV
penggunaan
EFV
EFV
direkomendasikan
trimester
untuk yang disertai
pertama
30
pada
dengan infeksi TB

 Perlu pemeriksaan
Peningkatan
resiko
kadar Hb
terjadi
anemia
pada
penggunaan
AZT
TDF + 3TC (atau TDF 1x300 mg

FTC) + EFV
3TC 2x150 mg
EFV 1x600 mg

Perlu
digunakan 
Resiko toksistas
kontrasepsi setelah
pada ginjal pada
melahirkan karena
penggunaan
efek EFV
TDF
EFV

Kemungkinan
direkomendasikan
memiliki
efek
untuk yang disertai
toksisitas
pada
dengan infeksi TB
tulang
ibu
maupun

janin
TDF + 3TC ( atau
(belum terbukti
FTC)
klinis)
direkomendasikan

pada wanita dengan
Beresiko
terjadinya defek
infeksi HBV
neural tube pada
penggunaan
EFV
pada
trimester
pertama

Resiko reaktifasi
HBV
setelah
akhir
penggunaan
TDF + 3TC
31
TDF + FTC + TDF 1x300 mg

EFV
FTC 1x200 mg
EFV 1x600 mg


Perlu
digunakan 
Risiko toksistas
kontrasepsi setelah
pada ginjal pada
melahirkan karena
penggunaan
efek EFV
TDF
EFV

Kemungkinan
direkomendasikan
memiliki
efek
untuk yang disertai
toksisitas
pada
dengan infeksi TB
tulang
TDF + 3TC ( atau
maupun
FTC)
(belum terbukti
direkomendasikan
klinis)
pada wanita dengan 
Beresiko
infeksi HBV
terjadinya defek
ibu
janin
neural tube pada
penggunaan
EFV
pada
trimester
pertama

Resiko reaktifasi
HBVsetelah
akhir
penggunaan
TDF + 3TC
Sedangkan pada bayi diberikan NVP sehari sekali atau pemberian AZT sehari dua kali
dari bayi lahir sampai dengan usia 4-6 minggu.3
32
2.4.7 Pedoman pemberian ARV.
Tabel 2.9 Regimen pedoman pemberian ARV.3
Keadaan khusus
Wanita
hamil
Akseptor
yang Ibu
Regimen
Regimen Non-NNRTI
membutuhkan ARV sebagai
terapi dan profilaksis tetapi
Bayi
AZT atau NVP
pernah mendapatkan NVP
single dose tanpa kombinasi
dual NRTI pada 12 bulan
terakhir
Wanita
hamil
yang Ibu
TDF + 3TC (atau FTC)+
membutuhkan ARV sebagai
EFV atau
terapi dan profilaksis dengan
TDF + 3TC(atau FTC)+
HB < 7 gr %
NVP
Bayi
Wanita
hamil
AZT atau NVP
yang Ibu
AZT + 3TC + ABC atau
membutuhkan ARV sebagai
AZT + 3TC + LPV
terapi dan profilaksis dengan
HIV-2
Wanita
Bayi
hamil
AZT
yang Ibu
AZT + 3TC + EFV atau
membutuhkan ARV sebagai
TDF + 3TC (atau FTC) +
terapi dan profilaksis dengan
EFV
infeksi TB
OAT tetap diberikan
Bayi
AZT atau NVP
33
Wanita
hamil
yang Ibu
TDF + 3TC (atau FTC) +
membutuhkan ARV sebagai
NVP Atau
terapi dan profilaksis dengan
infeksi
HBV
TDF + 3TC (atau FTC) +
yang
EFV
memerlukan terapi
Bayi
Wanita
hamil
AZT atau NVP
yang Ibu
AZT + 3TC + NVP atau
membutuhkan ARV sebagai
TDF + 3TC (atau TDF) +
terapi dan profilaksis serta
memiliki
rencana
NVP atau
untuk
hamil
AZT + 3TC + EFV atau
TDF + 3TC (atau TDF) +
EFV
EFV dihindari saat trimester
pertama
Bayi
AZT atau NVP
Wanita
yang
telah Ibu
Melanjutkan
ARV
yang
mendapatkan ARV sebagai
sama (ganti EFV dengan
terapi dan profilaksis dan
NVP atau golongan PI) lalu
sekarang hamil
lanjutkan ARV yang sama
selama persalinan serta post
partum
AZT atau NVP
Bayi
Wanita hamil dan belum ada Ibu
Sesuai
indikasi
pemberian
pemberian
sebagai terapi
ARV
Bayi
dengan
ARV
pedoman
sebagai
profilaksis mulai UK 14
34
minggu
Wanita
indikasi
hamil
dengan Ibu
pemberian
sebagai terapi
Sesuai
ARV
dengan
pemberian
Bayi
pedoman
ARV
sebagai
terapi dan profilaksis mulai
UK 14 minggu
Wanita
yang
terdiagnosa Ibu
NVP single dose + AZT +
HIV saat inpartu
3TC selama 1 minggu atau
Triple
ARV
kombinasi
selama 1 minggu
NVP
Bayi
sampai
usia
4-6
minggu atau Single dose
NVP + AZT sehari 2x
2.4.8 Komplikasi pemberian ARV pada kehamilan
Komplikasi pemberian ARV pada kehamilan dapat memberikan efek pada ibu maupun
pada bayi yang dikandung. Komplikasi yang dapat muncul pada ibu :2,32,33
-
Efek samping tersering dari AZT dan kombinasi AZR & 3TC adalah mual , sakit kepala,
mialgia, terkadang insomnia dan akan berkurang jika tetap diberikan.
-
Efek toksik yang berbahaya namun jarang terjadi adalah asidosis laktat, hepatic steatosis,
pancreatitis, toksistas mitokondria.
-
Efek Samping NVP adalah ruam kulit sampai dengan sindroma Steven Johnson dan
hepatotoksik.
-
NVP yang diberikan pada CD4 ≥ 250/mm3 akan meningkatkan risiko hepatotoksik 10
kali lipat daripada kadar CD4 yang lebih rendah.
-
Efek samping EFV adalah gangguan mood,insomnia, dan perubahan mental.
Sedangkan komplikasi yang dapat muncul pada bayi pada saat ini masih merupakan
perdebatan, apakah peyebab dari komplikasi yang muncul adalah akibat dari obat-obatan ARV
ataukah dari perjalanan infeksi HIV selama kehamilan. Komplikasi yang dapat muncul antara
lain:2,35
35
-
Penggunaan EFV pada trimester pertama menyebabkan kelainan pada neural tube, angka
kejadiannya diperkirakan sebesar 2-3%.
-
Kelahiran preterm dan berat bayi lahir rendah terutama pada penggunaan golongan
protease inhibitor.
-
Toksisitas mitokondria jarang terjadi
-
Kelainan hematologis seperti transient anemia sering terjadi dan biasanya akan
menghilang pada saat usia 3-6 bulan. Terkadang dapat pula dijumpai kelainan pada
netrofil dan hitung jumlah limfosit.
-
Kelainan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi diduga bersifat transient sedangkan
kelainan perkembangan sistem saraf yang terjadi masih merupakan perdebatan.
36
BAB III
RINGKASAN
Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena
gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Proporsi penderita
HIV antara wanita dan pria adalah 1:1. Pada tahun 2008 didapatkan 15,7 juta wanita yang
terinfeksi HIV sedangkan sebanyak 2,1 juta anak-anak berusia kurang dari 15 tahun telah
terinfeksi HIV. Penularan HIV sendiri dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan
genital (sperma dan lendir vagina), darah, dan transmisi dari ibu ke bayi.
Penyebab dari infeksi HIV pada anak adalah 90% berasal dari penularan dari ibu
sedangkan 10 % sisanya berasal dari proses tranfusi darah. Pada saat ini, target global dari WHO
di bidang HIV adalah eliminasi dari penularan infeksi baru HIV pada anak dan mempertahankan
keselamatan ibu pada tahun 2015.
Transmisi maternal paling besar terjadi pada masa perinatal. Pada penelitian yang
dilakukan di Rwanda dan Zaire, proporsi dari penularan ibu yang terinfeksi kepada bayinya
adalah 23-30% pada masa kehamilan, 50-65% pada saat melahirkan, dan 12-20% pada saat ibu
menyusui bayinya. Akan tetapi angka transmisi ini dapat diturunkan sampai dengan kurang dari
5% dengan upaya-upaya intervensi dari PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission).
Intervensi yang dilakukan dari PMTCT ada 4 konsep dasar, yaitu mengurangi jumlah ibu hamil
dengan HIV positif, menurunkan viral load dari ibu hamil yang terinfeksi HIV, meminimalkan
paparan janin terhadap darah dan cairan tubuh ibu, serta optimalisasi kesehatan ibu dengan HIV
positif.
Salah satu upaya intervensi pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi adalah
pemberian terapi ARV (Anti Retro Viral). Pemberian terapi ARV ini sendiri memiliki tujuan
untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus, menurunkan hambatan penurunan daya tahan
tubuh, serta meningkatkan kembali fungsi daya tahan tubuh. Upaya inervensi pencegahan
dengan cara pemberian ARV yang tepat merupakan cara yang paling efektif.
Pemberian ARV sebagai upaya pencegahan penularan infesi HIV dari ibu ke bayi
mengacu pada acuan yang direkomendasi oleh WHO. Secara umum pemberian ARV ini dapat
dibagi menjadi 2 golongan, yakni yang pertama ARV sebagai terapi bagi ibu dan pencegahan
37
penularan serta yang kedua ARV sebagai profilaksis saja. Sebelum ARV diberikan, harus
dilakukan pemeriksaan secara holistik kepada penderita baik secara klinis maupun laboratoris.
Pemberian ARV sebagai upaya pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi tidak
hanya diberikan bagi ibu saja, namun juga diberikan pada bayinya. Pemberian ARV dilakukan
pada saat kehamilan, proses persalinan, maupun pada saat postpartum. Selama dilakukan
pemberian terapi ARV, kesehatan ibu maupun janin yang dikandung harus selalu dipantau
dengan baik dan menyeluruh.
Sampai saat ini masih banyak obat-obatan ARV yang masih dalam uji klinis. Komplikasi
pemberian ARV saat kehamilan dapat terjadi pada ibu maupun pada bayi. Komplikasi pada ibu
yang sering terjadi adalah reaksi hipersensitivitas dan kerusakan pada ginjal maupun liver.
Sedangkan komplikasi pada bayi masih merupakan perdebatan apakah obat-obatan ARV atau
efek perjalanan penyakit HIV pada ibu yang menjadi penyebab kelainan yang muncul.
Diharapkan dengan penangan yang tepat pada wanita dan wanita hamil dengan HIV,
penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dapat ditekan sampai semaksimal mungkin. Target global
WHO untuk mengeliminasi infeksi HIV dan AIDS dapat terlaksana menuju generasi baru yang
bebas HIV dan AIDS.
38
Status HIV
HIV dalam Terapi ARV
A
N
T
E
N
A
T
A
L
I
N
P
A
R
T
U
P
O
S
T
P
A
R
T
U
M
Lanjutkan ARV
HIV positif
Kriteria Eligibilitas
Pemberian ART
-AZT + 3TC + NVP
-TDF + 3TC (FTC)
+ NVP
-AZT + 3TC + EFV
-TDF + 3TC (FTC
+ EFV
Lanjutkan ART
Ibu : lanjutkan terapi
ARV
Bayi : NVP sehari sekali
atau AZT sehari 2kali
dari lahir sampai usia 4-6
minggu
HIV negatif
ARV profilaksis
Pilihan A : AZT
mulai usia
kehamilan 14 mgg
Single dose NVP + AZT
+ 3TC sehari 2 kali
Pilihan B : Triple
ARV profilaksis
mulai usia
kehamilan 14 mgg
Lanjutkan triple
ARV
Pemberian ASI :
Ibu : lanjutkan AZT +
3TC selama 1 minggu
Bayi : NVP sehari sekali
sampai 1 minggu setelah
ASI dihentikan atau jika
ASI berhenti sebelum 6
minggu diberikan sampai
usia 4-6 minggu
Pemberian ASI :
Ibu : lanjutkan triple
ARV profilaksis sampai
1 minggu setelah akhir
menyusui
Bayi : NVP sehari sekali
atau AZT sehari 2kali
dari lahir sampai usia 4-6
minggu
Pemberian PASI :
Ibu : : lanjutkan AZT +
3TC selama 1 minggu
Bayi : NVP sehari sekali
atau AZT sehari 2 kali
dari lahir sampai usia 4-6
minggu
Pemberian PASI :
Ibu : Bayi : NVP sehari sekali
atau AZT sehari 2kali
dari lahir sampai usia 4-6
minggu
Gambar 3.1 Alogaritma pemberian ARV untuk PMTCT.3
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasronudin, 2007.HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Airlangga
University Press.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Modul Pelatihan Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi.
3. World Health Organization, 2010. Antiretrovoral Drugs For Treating Pregnant Woman and
Preventing HIV Infection in Infants. WHO Library Catalouguing-Publications, 2010.
4. Fauci. et al. 2008. Human Immunodeficiency Virus : AIDS and Related Disorders. In :
Harrison’s Principle of Internal Medecine 17th ed. The McGraw-Hill, 2008 : 989-1008.
5. Abbas, A.K. & Lichtman, A.H. 2010. Congenital and Acquired Immunodefeciencies.
In:Cellular and Molecular Immunology:The Immune System in Defense and Disease 6th ed.
W.B. Sauders company, 2010 : 476-488.
6. Cunningham, et al. 2010. Sexual Transmitted Disease . In : Williams Obstetrics 23rd ed. The
McGraw-Hill, 2010 : 1224-1284.
7. Moodley, J. 2005. Management Of Human Immunodeficiency Virus Infection In Pregnancy.
Clinical Obstetrics and Gynaecology, 2005 : Vol. 19, No. 2, pp. 169–183.
8. Thorne, C ; Newell, M. 2000. Epidemiology of HIV infection in the newborn. 2000 Early
Human Development 58 : 1–16
9. DeCock, KM; Fowler, M; Mercier, E. 2000. Prevention of MTCT HIV in resource-poor
countries: translatingresearch into policy and practice. JAMA 2000; 283: 1175–1182.
10. Saada, M; Chanadec, J; Berreb, A. 2000. Pregnancy and progression to AIDS: results of the
French prospective cohort study. AIDS 2000; 14: 2355–2360.
11. Brocklehurst, P; French, R. 1998. The Association Between Maternal HIV Infection And
Perinatal Outcome: Asystematic Review Of The Literature And Meta-Analysis. Br J Obstet
Gynaecol 1998; 105: 836–848.
12. World Health Organization. 2006. Who Case Definition Of HIV For Surveillance And
Revised Clinical Staging And Immunological Classification Of HIV-Related Disease In
Adults And Children. WHO Library Catalouguing-Publications, 2006.
13. Thorne , C; Newell , M. L. 2004. Prevention of mother-to-child transmission of HIV
infection . Curr. Opin. Infect. Dis. , 17 , 247 – 52 .
14. Magder , L; Mofenson, L; Paul, M. 2005. Risk Factors For In Utero And Intrapartum
Transmission Of HIV . J. Acquir. Immune Defic. Syndr: 38 , 87 – 95 .
40
15. Martinez , A; Hora, V; Santos, A. 2006. Determinants of HIV-1 mother to child transmission
in Southern Brazil . An. Acad. Bras. Cienc: 78 , 113 – 21.
16. Stratton,P; Tuomala, R; Abboud, R.1999. Obstetric And Newborn Outcomes In A Cohort Of
HIV-Infected Pregnant Women. A Report Of The Women And Infants Transmission Study. J
Acquir Immune Defic Syndr 20: 179–186.
17. Brocklehurst, P; French, R.1998. The Association Between Maternal HIV Infection And
Perinatal Outcome: A Systematic Review Of The Literature And Meta-Analysis. Br J Obstet
Gynaecol 105: 836–848.
18. Newell, M. 2006. Current Issues In The Prevention Of Mother-To-Child Transmission Of
HIV-1 Infection. Trans R Soc Trop Med Hyg 100 (1): 1–5.
19. Dabis, F; Leroy, V. 2000. Preventing Mother-To-Child Transmission Of HIV: Practical
Strategies For Developing Countries. AIDS Read10 (4): 241–4.
20. Therese, D; Christiana, N. 2007. Reproductive Choice for Women and Men Living with HIV:
Contraception, Abortion and Fertility. Reproductive Health Matters : 15(29 Supplement):46–
66.
21. Bulterys, M; Smith, D; Chao, A. 2007. Hormonal Contraception And Incident HIV-1
Infection: New Insight And Continuing Challenges. JAIDS : 21(1):97–99.
22. Anna, S; Sandra H; Claire T. 2008. Current Guidelines On Management Of HIV-Infected
Pregnant Women: Impact On Mode Of Delivery. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 139 : 127–132
23. James, A ; Glenda, E. 2009. Preventing Mother-To-Child Transmission Of HIV. Elesevier:
472-497
24. Lehman, D.A; John-Stewart, G.C; Overbaugh, J.2009. Antiretroviral Strategies to Prevent
Mother-to-Child Transmission of HIV: Striking a Balance between Efficacy, Feasibility, and
Resistance. PLoS Med 6(10):e1000169.
25. Arrive, E; Dabis, F. 2008. Prophylactic Antiretroviral Regimens For Prevention Of MotherTo-Childtransmission Of HIV In Resource-Limited Settings. Curr Opin HIV AIDS 3: 161–
165.
26. Lockman, S; Shapiro, R.L; Smeaton, L.M, et al. 2007. Response To Antiretroviral Therapy
After A Single, Peripartum Dose Of Nevirapine. N Engl J Med 356: 135–147.
27. Zengquan Zhou, MD et al. 2010. Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV1Using Highly Active Antiretroviral Therapy in Rural Yunnan, China. J Acquir Immune
Defic Syndr 53:S15–S22.
41
28. Cooper, E; Charuratm, M; Mofenson, L.2002 . Combination Antiretroviral Strategies For
The Treatment Of Pregnant HIV-1 Infected Women And Prevention Of Perinatal HIV-1
Transmission. J Acquir Immune Defic Syndr Hum Retroviral 29:484–494.
29. Shirin, H et al. 2011. Antiretroviral Drugs For Preventing Mother-To-Child Transmission Of
HIV: A Review Of Potential Effects On HIV-Exposed But Uninfected Children. J Acquir
Immune Defic Syndr 2011;57:290–296.
30. Watts, DH.2007. Teratogenicity Risk Of Antiretroviral Therapy In Pregnancy. Curr
HIV/AIDS Rep. 4:135–140.
31. Ford, N; Mofenson, L; Kranzer, K. 2010. Safety Of Efavirenz In First-Trimester Of
Pregnancy: A Systematic Review And Meta-Analysis Of Outcomes From Observational
Cohorts. AIDS 24:1461–1470.
32. Monica,N; Mary, G.F; Lynne, M.M. 2002. Antiretroviral Prophylaxis of Perinatal HIV-1
Transmission and the Potential Impact of Antiretroviral Resistance. JAIDS 30:216–229.
33. Jeffrey, S.A; Moses, S; Julia P. S. 2003. Comparison of Two Strategies for Administering
Nevirapine to Prevent Perinatal HIV Transmission in High-Prevalence, Resource-Poor
Settings. JAIDS 32:506–513.
34. Ingrid T. Katz et al. 2010. Risk Factors for Detectable HIV-1 RNA at Delivery Among
Women Receiving Highly Active Antiretroviral Therapy in the Women and Infants
Transmission Study. JAIDS 54:27–34.
35. Shirin, H; Lynne, M; Mark F.2011. Antiretroviral Drugs for Preventing Mother-to-Child
Transmission of HIV: A Review of Potential Effects on HIV-Exposed but Uninfected
Children. JAIDS 57:290–296.
42
Download