ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SAMPAH MENJADI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa) DI KOTA BOGOR Oleh SITI ADE FATIMAH A14105607 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN SITI ADE FATIMAH. Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah Menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor. Dibawah Bimbingan. DWI RACHMINA. Sampah telah menjadi masalah utama di kota-kota besar Indonesia. Pada tahun 2020, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Berdasarkan hasil survei rata-rata buangan sampah kota di Indonesia adalah 0,5 per-kapita per-hari. Dengan mengalikan data tersebut dengan jumlah penduduk dibeberapa kota di Indonesia maka dapat diketahui perkiraan potensi sampah kota di Indonesia, yaitu sekitar 100.000 ton/hari. Saat ini Teknik pengelolaan untuk sampah di kota-kota di Indonesia masih dilakukan secara konvensional, yaitu metode open dumping (tumpukan) dan sanitary landfill (timbunan). Pada prakteknya pengelolaan sampah secara konvensional di TPA menimbulkan beberapa permasalahan. Melihat realita tersebut mendorong para ahli untuk mengupayakan penyelesaian dalam menangani permasalahan sampah perkotaan, salah satunya adalah membuat solusi bahwa sampah bisa jadi sumber energi listrik atau Waste to Energy atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Pengolahan sampah kota menjadi energi listrik sudah lama dilakukan beberapa negara seperti di Republik Rakyat China (RRC) dan Singapura. Berdasarkan perhitungan, dari 190 ton atau 760 m3 sampah kota per-hari akan menghasilkan listrik dengan kekuatan 800 kwh. Dari pembakaran itu, selain menghasilkan energi listrik, juga memperkecil volume sampah kiriman sampai 95 persen. Hal yang sama terjadi di Kota Bogor. Masalah penyempitan lahan TPA akibat dari meningkatnya jumlah sampah di Kota Bogor. Biaya sosial yang harus dibayarkan akibat adanya pencemaran lingkungan serta adanya biaya operasional yang tinggi dari penanganan sampah yang tetap harus dibayarkan pemkot Bogor sehingga, pembangunan PLTSa yang berlokasi di kawasan TPA menjadi pertimbangan bagi DLHK untuk mendirikan PLTSa. Unit usaha ini memiliki tujuan pokok memanfaatkan sumber daya sampah yang ada di Kota Bogor. Salah satu langkah yang dilakukan DLHK adalah dengan pengajuan dana sebesar Rp 30 miliar yang diambil dari dana yang sudah dicadangkan dalam APBD. Adanya biaya investasi yang sangat tinggi yang harus dikeluarkan untuk proyek tersebut, menyebabkan pembangunan PLTSa harus diuji kelayakannya. Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah Apakah Proyek PLTSa ditinjau dari aspek teknis, aspek pasar dan aspek manajemen layak untuk dilaksanakan serta? Apakah Proyek PLTSa ditinjau dari aspek finansial layak untuk dilaksanakan dan perubahan apasaja yang mempengaruhi kondisi kelayakan? Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau dari aspek teknis, aspek pasar dan aspek manajemen serta, 2) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau aspek finansial dan 3) Menganalisis kepekaan pembangunan PLTSa yang mempengaruhi kondisi kelayakan. Informasi-informasi dari hasil penelitian ini menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya. Studi kelayakan ini dilakukan untuk menilai kemungkinan dibangunnya PLTSa sebagai bahan bakar ditinjau aspek teknis, aspek pasar, aspek manajemen, dan aspek finansial serta analisis switching value Penelitian dilakukan di kota Bogor, dengan spesifikasi tempat terkait data penelitian yaitu TPA Galuga, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK). Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-November 2008. Jenis data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Koordinator dari tim pelaksanaan Studi Kelayakan PLTSa Kota Bandung untuk rekomendasi pembangunan PLTSa Kota Bogor. Data sekunder diperoleh dari Laporan yang dibuat pada tahun 2007-2008 mengenai Hasil Studi PLTSa Kota Bandung dan PLTSa Kabupaten Bandung, modul DLHK tentang Penanganan Penataan Sarana dan Prasarana TPA Galuga. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai pelaksanaan pengolahan sampah kota seperti aspek teknis, aspek pasar serta aspek manajemen. Sedang analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis kelayakan finansial pembangunan PLTSa yang diolah dengan Software Microsoft Excel. Analisis finansial dibagi menjadi dua skenario yaitu, skenario I PLTSa dikelola oleh DLHK dan biaya investasi berasal dari dana hibah APBD Kota Bogor sedangkan untuk skenario II PLTSa merupakan bisnis murni dan modal investasi berasal dari modal pinjaman Bank. Kriteria investasi digunakan beberapa indikator kelayakan investasi yaitu: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), Payback Period (PBP), Analisis Switching Value. Potensi Pendapatan Retribusi Kota Bogor adalah 60 persen dari pelayanan Profil Retribusi. Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan, yakni : pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir/ pengolahan. Berdasarkan jenis sampah kota yang terangkut pada tahun 2007, maka dapat dibedakan sampah organik antara 73 persen dengan komponen lain yaitu kertas karton dan kaca (gelas) 6 persen, plastik 11 persen, potongan kayu dan limbah tanaman 1 persen, besi, logam dll 2 persen, sisa bahan konstruksi bangunan 2 persen serta lain-lain 5 persen. Teknis operasional pengelolaan sampah di TPA Galuga dilakukan sebagai berikut : sampah yang diangkut dari sumber timbunan dengan menggunakan kendaraan dump truk dan armroll berkapasitas 6 m3, sampah dibuang dalam suatu titik dalam lokasi TPA. Hasil analisis deskriptif untuk aspek teknis diketahui PLTSa berlokasi di TPA Galuga, input 250 ton sampah kota dengan output listrik 1.600 kwh per-hari. Pengelolaan PLTSa dilakukan oleh PT X. PT X merupakan coorporate social responsibility (CSR) yang digulirkan PT. PLN, PDAM Tirta Pakuan dan DLHK Kota Bogor. Kebutuhan tenaga kerja 347 orang dengan total biaya investasi Rp 50. 347.703.000. Analisis aspek pasar, untuk produk, harga, promosi dan distribusi PT X bekerja sama dengan PT PLN dengan harga Rp 500 per-kwh. Analisis Aspek Finansial pada skenario I menunjukan nilai NPV Rp 10.781.436.315,13 (negatif) IRR 3,02 persen, B/C Ratio 0,55 dan PBP 72,41 tahun sedangkan untuk skenario II menunjukan nilai NPV Rp 1.660.445.113,55, IRR 17,78 persen, B/C Ratio1,10 dan PBP 4,52 tahun. Komponen yang paling berpengaruh pada PLTSa untuk analisis Switching Value adalah biaya variabel, harga penjualan listrik dan pendapatan retribusi/tipping fee pada masing-masing skenario. Pada skenario masing-masing menunjukan nilai 2,44 ; 13,96 ; 150,73 sedangkan untuk skenario II menunjukan nilai 4,31 ; 6,70 ; 2,25, nilai tersebut menunjukan skenario II yang paling peka terhadap perubahan PLTSa termasuk kedalam kajian agribisnis karena input yang diolah 72 persen diantaranya merupakan bagian dari limbah pertanian. Berdasarkan analisis kelayakan usaha PLTSa untuk dua skenario dapat disimpulkan sebagai berikut : Aspek Teknis, Aspek Pasar, Aspek Manajemen PLTSa PT X layak untuk dilaksanakan. Dari segi Aspek Finansial karena komponen biaya investasi dan biaya operasional sangat mahal sehingga pada skenario I, PLTSa tidak layak, sedangkan untuk skenario II PLTSa dapat dilaksanakan. Berdasarkan analisis Switching Value PLTSa pada skenario I, hal yang memungkinkan agar PLTSa dapat diusahakan apabila harga jual naikan dari Rp 500 menjadi 569,79 perkwh (13,96 persen), sedangkan untuk skenario II agar PLTSa tetap dapat diusahakan tidak boleh adanya kenaikan biaya variabel melebihi 4,31 persen. Peranan pemerintah kota, DPRD dan instansi terkait lainnya sangat menentukan keberhasilan PLTSa dan lebih baik lagi apabila PLTSa mendapat dukungan dari perbankan daerah ataupun perbankan nasional. Faktor teknis: Cara-cara pelaksanaan pembangunan, perjanjian kerjasama, dan pengoperasian PLTSa haruslah dibuat mekanisme yang jelas, terutama peranan dan tanggung jawab DLHK, PDAM Tirta Pakuan, PT PLN dan Departemen PU sebagai institusi publik agar terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat yang lebih baik. ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SAMPAH MENJADI PEMBANGIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa) DI KOTA BOGOR Oleh SITI ADE FATIMAH A14105607 Skripsi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah Menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor Nama : Siti Ade Fatimah NRP : A14105607 Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Dwi Rachmina, MSi NIP. 131918503 Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131124019 Tanggal lulus : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN SKRIPSI SAYA YANG BERJUDUL ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SAMPAH MENJADI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa) DI KOTA BOGOR BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG DITUNJANG OLEH LITELATUR-LITELATUR PENELITIAN ILMIAH SEBELUMNYA DAN SUDAH SAYA CANTUMKAN DALAM TINJAUAN PUSTAKA DAN DAFTAR PUSTAKA. SKRIPSI SAYA BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Januari 2009 SITI ADE FATIMAH A14105607 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 14 September 1983 dari pasangan Burhanudin dan Malihah. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak – kanak AT-Tazimi’ah di Kota Bandung pada tahun 1987. Pendidikan sekolah dasar di SDN Cigondewah IV di Kota Bandung pada tahun 1989 sampai dengan tahun1995. Pendidikan tingkat menengah pertama dilalui di SLTPN 25 Bandung pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1998. Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN 13 Bandung. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Teknologi Industri Pakan, Jurusan Ilmu Nutrisi danTeknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa program studi sarjana ektensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Penulis selama kuliah menjadi tenaga pengajar (les privat) seluruh bidang studi untuk tingkat SD pada tahun 2006-2007, kemudian penulis menjadi tenaga pengajar di SMP-SMA INSAN KAMIL dan sebagai tim marketing PT. UTHB tahun 2007-2008. Selain itu, penulis aktif pada kelompok relawan peduli anak jalanan “SAVANA” yang dipelopori mahasiswa ektensi MAB di Kelurahan Ciheuleut Bogor. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah Menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor ” berisikan mengenai kriteria yang mendukung layak atau tidaknya proyek untuk dilaksanakan. Skripsi ini memuat serangkaian aspek – aspek penunjang kelayakan, seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial dan aspek finansial. Penulis sudah mengupayakan pembuatan skripsi ini dengan sepenuhnya untuk menjadi sempurna. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Bogor, Januari 2009 Penulis UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena segala rahmat dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang sudah memberikan dukungan moril maupun materil, dorongan semangat, bimbingan, sumbnagan pemikiran dan lain – lain. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada : 1. Ir. Dwi Rachmina, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Ari D. Pasek sebagai narasumber dari LPPM-ITB untuk informasi PLTSa dan masukan beliau sampai penulisan skripsi mendekati sempurna. 3. Heri Agus Suherman, SE sebagai narasumber dari DLHK Kota Bogor dan masukan beliau sampai penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Ir. Popong Nurhayari, MM selaku dosen penguji pada saat sidang yang telah memberi masukan dan arahan dalam penulisan skripsi akhir. 5. Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen Komisi Pendidikan pada saat sidang yang telah memberi masukan dan arahan dalam penulisan skripsi akhir. 6. Ir. Burhanudin, MM selaku dosen evaluator pada saat kolokium yang telah memberi masukan dan arahan dalam penulisan proposal penelitian. 7. Kedua orang tua yang selalu memberikan motivasi dan doa selama ini. 8. Uum Sumiyati selaku pembahas pada saat seminar yang telah memberi masukan. 9. Temen–teman yang bersama–sama berjuang di Ekstensi MAB (Siska, Cici, Nova, Wawan, Jam’an, Jayin, Yoga, Solihin) serta teman–temen kuliah (Dewi, Fajar Tio, Sari, Baban, Restu, Sudar, Ubay, Mira, Sari dan Edo). Teman-teman (Ari Fajar, Arif Rifa’i) yang telah banyak membantu dari mulai konsep sampai kepada mekanisme yang harus ada yang tidak terpikirkan oleh penulis dalam skripsi ini. 10. Teman-teman di Mexindo X : Wati yang sudah berbaik hati menyediakan printer dan prasaran lain sampai penulis menyelesaikan skripsi ini, Teh Ritme, Alfi dan Mirun yang telah banyak membantu dari mulai konsep sampai kepada mekanisme yang harus ada yang tidak terpikirkan oleh penulis dalam skripsi ini serta adik-adik (Yeffi, Lia, Dinot, Lheez, Le-ha, Mae, Dio, Ardinal dan Tandang) atas support yang diberikan kapada penulis. 11. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis (Mba Nur, Mba Rahmi, Mba Maya, Kang Aji dan Kang Agus) yang membantu administrasi selama masa perkuliahan berlangsung. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. i DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... vii I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah............................................................................ 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... 1.4 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................. 1 4 7 7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sampah Kota.................................................................. 2.2 Pengelolaan Sampah di Luar Negri.................................................... 2.3 Pengelolaan Sampah di Indonesia...................................................... 2.4 Pengolahan Sampah Menjadi Tenaga Listrik..................................... 2.5 Kajian Empiris.................................................................................... 2.5.1 Pengelolaan Sampah di Kota Bogor......................................... 2.5.2 Studi Kelayakan Usaha............................................................. 8 9 11 14 16 16 18 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kaitan PLTSa dengan Agribisnis.................................................… 3.2 Analisis proyek.................................................................................... 3.2.1 Aspek Teknis............................................................................. 3.2.2 Aspek Pasar............................................................................... 3.2.3 Aspek Manajemen..................................................................... 3.3 Teori Manfaat dan Biaya.................................................................... 3.4 Analisis Finansial............................................................................... 3.5 Kriteria Analisis Kelayakan Investasi................................................ 3.5.1 Net Present Value (NPV).......................................................... 3.5.2 Internal Rate of Return (IRR)................................................... 3.5.3 Net Benefit Cost(Net B/C)......................................................... 3.5.4 Payback Period......................................................................... 3.6 Switching Value.................................................................................. 3.7 Kerangka Pemikiran Operasional....................................................... 20 21 22 23 23 23 24 25 25 25 26 26 26 27 IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. 4.2 Jenis dan Sumber Data....................................................................... 4.3 Metoda Pengolahan dan Analisis Data............................................... 4.4 Analisis Aspek Teknis........................................................................ 29 29 29 30 4.5 Analisis Aspek Pasar......................................................................... 4.6 Analisis Aspek Manajemen................................................................ 4.7 Analisis Aspek Finansial.................................................................... 4.7.1 Net Present Value (NPV).......................................................... 4.7.2 Internal Rate of Return (IRR)................................................... 4.7.3 Net Benefit Cost(Net B/C Ratio)............................................... 4.7.4 Payback Period......................................................................... 4.7.5 Analisis Switching Value.......................................................... 4.7.6 Asumsi Dasar............................................................................ 30 31 31 31 32 33 34 35 35 V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kota Bogor......................................................................................... 38 5.2 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan......................................... 39 5.3 TPA Galuga........................................................................................ 40 VI EVALUASI ASPEK-ASPEK STUDI KELAYAKAN 6.1 Aspek Teknis...................................................................................... 6.1.1 Pengolahan Sampah Saat Pembangunan Infrastruktur PLTSa. 6.1.2 Tahapan Persiapan.................................................................... 6.1.3 Penentuan Lokasi pabrik........................................................... 6.1.4 Teknologi Proses dan Peralatan................................................ 6.1.5 Kapasitas Produksi.................................................................... 6.2 Analisis Aspek Manajemen................................................................ 6.3 Analisis Aspek Pasar.......................................................................... VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL 7.1 Analisis Kelayakan Usaha PLTSa Skenario I.................................... 7.1.1 Arus Manfaat (Inflow)............................................................... 7.1.1.1 Penjualan Listrik.......................................................... 7.1.1.2 Penjualan Debu............................................................ 7.1.1.3 Retribusi Sampah......................................................... 7.1.1.4 Subsidi APBD Kota Bogor.......................................... 7.1.1.5 Nilai Sisa...................................................................... 7.1.2 Arus Biaya (Outflow)................................................................ 7.1.2.1 Biaya Investasi............................................................. 7.1.2.1.1 Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi... 7.1.2.1.2 Biaya Investasi Konstruksi Pabrik dan Transmisi Listrik........................................... 7.1.2.1.3 Biaya Pra-Investasi Unit Usaha PLTSa........ 7.1.2.2 Biaya Operasional........................................................ 7.1.2.2.1 Biaya Tetap.................................................... 7.1.2.2.2 Biaya Variabel............................................... 7.1.3 Kelayakan Finansial Usaha PLTSa Skenario II........... 7.2 Analisis Kelayakan Usaha PLTSa Skenario II................................... 7.2.1 Arus Manfaat (Inflow)............................................................... 7.2.1.1 Penjualan Listrik.......................................................... 7.2.1.2 Penjualan Debu............................................................ 7.2.1.3 Tipping Fee/Public Service.......................................... 43 44 45 49 50 55 58 61 65 65 65 66 68 69 70 71 72 72 73 74 75 75 78 79 80 81 81 82 82 7.2.1.4 Modal Pinjaman Bank.................................................. 7.2.1.5 Nilai Sisa...................................................................... 7.2.2 Arus Biaya (Outflow)................................................................ 7.2.2.1 Biaya Investasi............................................................. 7.2.2.1.1 Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi... 7.2.2.1.2 Biaya Investasi Konstruksi Pabrik dan Transmisi Listrik........................................... 7.2.2.1.3 Biaya Pra-Investasi dari Unit Usaha PLTSa. 7.2.2.2 Biaya Operasional ....................................................... 7.2.2.2.1 Biaya Tetap.................................................... 7.2.2.2.2 Biaya Variabel............................................... 7.2.2.3 Biaya Angsuran Pinjaman........................................... 7.2.2.4 Pajak Penghasilan Usaha............................................ 7.2.3 Kelayakan Finansial Usaha PLTSa Skenario II........................ 7.3 Perbandingan Hasil Analisis Kelayakan Finansial Kedua Skenario. . 7.4 Analisis Switching value..................................................................... 7.4.1 Analisis Switching value Pada PLTSa Skenario I..................... 7.4.2 Analisis Switching value Pada PLTSa Skenario II................... 7.5 Perbandingan Analisis Switching value Pada Kedua Skenario.......... 83 84 84 85 85 85 86 86 86 87 87 88 89 90 91 91 92 93 VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan……................................................................................. 95 8.2 Saran…………….............................................................................. 96 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 97 LAMPIRAN ............................................................................................… 99 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi Rata-Rata Sampah Berdasarkan Survey National Urban Depelopment Strategy (NUDS) Tahun 1987.......................................... 2. Potensi Sampah Di Beberapa Kota Di Sekitar DKI Jakarta Tahun 2005 3. Timbunan Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2007.............................. 1 2 4 4. Kontribusi Retribusi Pelayanan Kebersihan Terhadap Biaya Operasional DLHK Tahun 2004-2007........................................................................ 6 5. Cakupan Luasan Wilayah Pelayanan DLHK Tahun 2005-2007.......... 40 6. Rekapitulasi Sarana Penunjang Pengelolaan Sampah Kota Bogor Tahun 2007............................................................................................. 42 7. Kebutuhan Tenaga Kerja PLTSa PT X Kota Bogor Tahun 2009........ 58 8. Proyeksi Pendapatan Listrik PLTSa PT X Kota Bogor Tahun 2009... 66 9. Proyeksi Pendapatan Debu PLTSa PT X Kota Bogor Tahun 2009..... 67 10. Proyeksi Nilai Retribusi Sampah Kota Bogor Tahun 2009................ 68 11. Proyeksi Pendapatan PLTSa Kota Bogor Tahun 2009........................ 69 12. Nilai Sisa Investasi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009........................... 71 13. Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009.............................................................................................. 73 14. Biaya Investasi Konstruksi Pabrik Dan Transmisi Listrik PLTSa Kota Bogor Tahun 2009.......................................................................... 73 15. Biaya Pra-Investasi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009........................... 74 16. Biaya Re-Investasi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009(dalam juta rupiah) 17. Rincian Biaya Tetap untuk Tenaga Kerja PLTSa Kota Bogor Tahun 2009.............................................................................................. 76 18. Rincian Biaya Tetap untuk Overhead Pabrik, Kantor dan Kendaraan PLTSa Kota Bogor Tahun 2009.............................................................. 77 19. Rincian Biaya Variabel PLTSa Kota Bogor Tahun 2009.................... 78 20. Perubahan Biaya Operasional PLTSa Kota Bogor Selama Proyek Tahun 2009.............................................................................................. 79 21. Kriteria Kelayakan Finansial PLTSa Kota Bogor Tahun 2009............ 80 22. Proyeksi Pendapatan Tipping Fee Tahunan PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 .............................................................................................................. 83 23. Pembayaran Angsuran Pinjaman PLTSa Kota Bogor Tahun 2009..... 88 24. Proyeksi Pembayaran Pajak PLTSa Kota Bogor Tahun 2009............. 89 25. Kriteria Kelayakan Finansial PLTSa Kota Bogor Tahun 2009............ 90 26. Perbandingan Kriteria Kelayakan Finansial PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Pada Kedua Skenario.......................................................... 91 75 27. Switching Value Unit Usaha PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Skenario I 92 28. Switching Value PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Skenario II............. 93 29. Perbandingan Switching Value Pltsa Kota Bogor Tahun 2009 Pada Kedua Skenario.................................................................... 93 30. Rincian Komponen Biaya Investasi Bangunan PLTSa PT X Kota Bogor 88 31. Rincian Komponen Biaya Investasi Tranmisi Listrik PLTSa PT X Kota Bogor.............................................................................................. 89 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Mata Rantai Sub Sistem Agribisnis………………………………. 21 2. Kerangka Operasional Penelitian............................................................ 28 3. Flowchart Analisis Aspek Teknis......................................................... 30 4. Flowchart Analisis Aspek Manajemen.................................................. 31 5. Skema Pengolahan Sampah pada Saat Pembangunan Infrastruktur PLTSa………………………………………………………………….. 44 6. Skematik Pembangkit Listrik Tenaga Sampah...................................... 46 7. Skema Urutan Proses Pada PLTSa yang dirancang............................... 48 8. Lokasi TPA dan layout PLTSa Galuga………………………………… 49 9. Pola Pengangkutan Sampah Kota Bogor………………………………. 56 10.Stuktur Organisasi PT X.......................................................................... 59 11.PLTSa di Negara-Negara Maju............................................................... 99\ DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Rincian Komponen Biaya Investasi Bangunan PLTSa PT X Kota Bogor.......................................................................................... 100 2. Rincian Komponen Biaya Investasi Tranmisi listrik PLTSa PT X Kota Bogor.......................................................................................... 101 3. Chash Flow Skenario I........................................................................ 102 4. Chash Flow Skenario II....................................................................... 103 5. SV-Kenaikan Harga Penjualan Skenario I.......................................... 104 6. SV-Penurunan Harga Penjualan Skenario II.......................................... 105 7. SV-Penurunan Biaya Variabel Skenario I............................................. 106 8. SV-Kenaikan Biaya Variabel Skenario II.............................................. 107 9. SV-Kenaikan Pendapatan Retribusi Skenario I..................................... 108 10. SV-Penurunan Pendapatan Tipping Fee Skenario II............................. 109 11. Gambar PLTSa Luar Nergri................................................................... 110 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah telah menjadi masalah utama di kota-kota besar Indonesia. Pada tahun 2020, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat, diantaranya sumber sampah yang terbanyak berasal dari pemukiman dan pasar tradisional. Berdasarkan survey di Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya pada tahun 1987, komposisi sampah rata-rata yang ada di kota-kota tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi Rata-rata Sampah Berdasarkan Survey National Urban Development Strategy (NUDS) Tahun 1987 Uraian Satuan Jumlah Volume sampah lt/kap/hr 2-2,5 Berat sampah Kerapatan Kadar Air kg/kap/hr kg/m3 % 0,5 200-300 65-75 Sampah organic % 75-95 Sumber : (NUDS, 2003) dalam Mengelola Sampah Kota Tahun 2007 Berdasarkan hasil survey yang dipublikasikan oleh National Urban Development Strategy (NUDS, 2003) dalam Sudrajat (2007) rata-rata buangan sampah kota di Indonesia adalah 0,5 per-kapita per-hari dengan mengalikan data tersebut dengan jumlah penduduk dibeberapa kota di Indonesia maka dapat diketahui perkiraan potensi sampah kota di Indonesia, yaitu sekitar 100.000 ton/hari. Adapun data potensi sampah kota di beberapa kota di sekitar DKI Jakarta dapat di lihat pada Tabel 2. Saat ini Teknik pengelolaan untuk sampah di kota-kota di Indonesia masih dilakukan secara konvensional, yaitu metode open dumping (tumpukan) dan sanitary landfill (timbunan), pada metode tumpukan sampah dibiarkan ditumpuk dilokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sedangkan untuk metode timbunan sampah yang dibuang ke TPA, setelah sampah ditumpuk kemudian sampah ditimbun dengan tanah. Tabel 2 Potensi Sampah di Beberapa Kota di Sekitar DKI Jakarta Tahun 2005 No Kota Jumlah Penduduk Potensi Sampah Kota (jiwa)* (ton/hari) 1 Jakarta 8.489.910 4.244,96 2 Depok 1.373.860 686,93 3 Tangerang 1.466.596 733,30 4 Bekasi 577.958 288,98 5 Bogor 844.778 422,39 6 Kab. Bogor 4.100.934 2050,47 7 Kab. Sukabumi 2.224.993 1112,50 8 Sukabumi 287.760 143,88 9 Cianjur 2.098.644 1049,32 Sumber : Hasil Olahan Penulis berdasarkan pendekatan NUDS Tahun 2000 Keterangan : * Sumber Survey Sosial Ekonomi Daerah, BPS Tahun 2005 Pada prakteknya pengelolaan sampah secara konvensional di TPA menimbulkan beberapa permasalahan seperti: (a) Kebutuhan lahan TPA yang cepat meningkat akibat tidak dilakukannya proses reduksi volume sampah secara efektif, (b) Berbagai permasalahan lingkungan dan kesehatan, mulai dari yang teringan seperti bau yang menyengat hingga potensi sebaran penyakit di daerah sekitar TPA1, (c) Teknik reduksi konvensional dengan cara dibakar langsung memberikan dampak buruk ke atmosfer berupa polusi gas-gas rumah kaca dan gas beracun lainnya. Selain itu yang paling dirugikan dan yang selama ini tidak dirasakan oleh masyarakat adalah telah dikeluarkannya milyaran rupiah untuk membuat TPA dan ratusan juta untuk pengelolaanya2. Melihat realita tersebut mendorong para ahli untuk mengupayakan penyelesaian dalam menangani permasalahan sampah perkotaan, salah satunya adalah membuat solusi bahwa sampah bisa jadi sumber 1 Ratusan Warga Blokade Jalan ke TPA Galuga. http:www.tempointeraktif.com. (8 Agustus 2008) 2 Dede Susanti. Pemkot Bogor Tetap Buang Sampah ke TPA Galuga : jumlah/besaran retribusi untuk tahun pertama yakni mulai 25 Juli 2008 hingga 24 Juli 2009, sebesar Rp 315.000.000. http:// mediaindonesia.com. (27 Juli 2008) energi listrik atau Waste to Energy atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Pengolahan sampah kota menjadi energi listrik sudah lama dilakukan beberapa negara terutama di belahan Eropa dan di Asia seperti Republik Rakyat China (RRC) dan Singapura. Dengan teknik yang ramah lingkungan PLTSa dapat berfungsi sebagai TPA. Berdasarkan perhitungan, dari 190 ton sampah atau 760 m3 sampah per hari akan menghasilkan listrik dengan kekuatan 800 kwh3. Dari pembakaran itu, selain menghasilkan energi listrik, juga memperkecil volume sampah kiriman. PLTSa dengan bahan bakar sampah merupakan salah satu pilihan strategis dalam menanggulangi masalah sampah kota, karena selain berpotensi mengurangi volume sampah secara lebih efektif, juga menghasilkan output berupa energi listrik. Listrik ini akan membantu atau meringankan beban PLN dalam penyediaan listrik bagi masyarakat. Saat ini Bandung sebagai ibukota Jawa Barat merencanakan pembangunan PLTSa di wilayah Gedebage, Bandung Timur. Namun, karena lokasi pembangunan PLTSa berada di tengah kota banyak warga sekitar yang menolak rencana tersebut. Proyek ini kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Kabupaten Bandung dengan nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani 25 Juli 2007 lalu dengan nomor Pemkab Bandung: 671.2/II-DLH/2007 PLTSa tersebut akan dibangun di TPA Babakan, Kecamatan Ciparay. Hal yang sama terjadi di Kota Bogor sebagai salah satu bagian dari daerah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jakarta. Kota Bogor mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik dalam hal pertambahan penduduk/pemukiman juga 3 Tim Sosialisasi PLTSa Kota Bandung (BAPPEDA, BPLH, PD Kebersihan, PT. BRIL, Tim FS dan AMDAL PLTSa – ITB). PLTSa-Solusi Masalah Sampah Kota Bandung. (www.bandung.go.id) percepatan roda ekonomi yang semuanya berhubungan langsung dengan pertambahan sampah yang harus di tangani oleh kota Bogor. Pada Tabel 3 dapat dilihat jumlah sampah di Kota Bogor selalu mengalami peningkatan disetiap tahunnya. Pada tahun 2006 ke 2007 dengan luasan yang sama mengalami kenaikan yaitu 5 m3/hari. Hal tersebut apabila tidak diimbangi dengan peningkatan prasarana dan sarana penunjang dalam pengelolaan sampah, tidak menutup kemungkinan timbulnya permasalahan baru, baik dari segi kebersihan lingkungan maupun gangguan kualitas kesehatan masyarakat, sehingga pengelolaan sampah di TPA Kota Bogor menjadi sangat penting. Tabel 3 Timbunan Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2007 Luas Jumlah Timbunan Timbunan Tahun Wilayah Penduduk Sampah (m3/hr) Sampah (m3/th) 2005 8.060 827.181 1.985 724.525 2006 8.177 852.762 2.205 551.305 2007 8.177 879.136 2.210 806.650 Sumber : Dinas lingkungan Hidup dan Kebersihan (2007). 1.2 Perumusan Masalah Bogor sebagai sebuah kota yang terus berkembang, volume sampah kota yang dihasilkan berkorelasi langsung dengan jumlah dan taraf hidup penduduk, sehingga hal tersebut akan menjadi masalah serius bila tidak ditangani secara tepat dan jumlah sampah yang terbuang adalah 2210 m3 per-hari. Pengelolaan sampah saat ini menggunakan metode tumpukan terkontrol. Luas lahan TPA Galuga adalah 13,6 ha dengan luasan lahan efektif untuk pemusnahan dan pengelolaan sampah hanya 9,8 ha. Apabila terjadi peningkatan populasi sampah menjadi 30 persen, maka umur teknis penggunaan TPA hanya sampai tahun 2013. Pada tahun 2005 Kota Bogor dinyatakan sebagai kota besar terkotor bersama Bandar Lampung dan Batam4 berdasarkan penilaian Kementrian Lingkungan Hidup yang didasarkan kepada lima kriteria yang salah satunya cara penanganan sampah di TPA. Permasalahan TPA lain yang timbul yaitu pemblokadean sekitar empat kilometer dari TPA Galuga oleh warga Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang. Hal ini disebabkan belasan hektar sawah dan empangan warga rusak akibat pencemaran dari air lindi (limbah sampah) yang berasal dari TPA. Sumur-sumur sudah tercemar dan banyak warga yang menderita gatal, hal tersebut menjadi biaya sosial dan lingkungan yang harus dibayar oleh pemerintah Kota menjadi pertimbangan Pemkot Bogor untuk memperbaiki cara pengelolaan sampah di TPA. Saat ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap pengelolan sampah kota hanya mampu melayani sekitar 60 persen dari keseluruhan sampah di Kota Bogor. Biaya operasional penanganan sampah kota yang ditangani masih disubsidi dari APBD Kota Bogor (Tabel 4) hal tersebut akan menjadi beban bagi pemerintah kota. Rata-rata kontribusi retribusi terhadap pelayanan kebersihan selama empat tahun kebelakang adalah 23,59 persen dan biaya operasional yang harus dikeluarkan DLHK sebesar Rp. 13.330.044.540, dengan nilai subsidi yang harus di keluarkan dari APBD sebesar Rp 10,413,699,629 di setiap tahunnya. Tabel 4 Kontribusi Retribusi Pelayanan Kebersihan Terhadap Biaya Operasional DLHK tahun 2004-2007 Tahun Biaya Operasional Retribusi Persentase (%) 2003 6.359.300.900 2.000.026.350 31,45 2004 9.160.158.000 2.542.720.160 27,76 2005 15.551.432.800 2.836.788.000 18,24 4 http://www.tempointeraktif.com. (19 Maret 2008) 2006 17.641.613.000 3.624.600.000 2007 17.937.718.000 3.577.590.045 Rata-rata 13.330.044.540 2.916.344.911 Sumber : Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (2007) 20,55 19,94 23,59 Masalah penyempitan lahan TPA seiring dengan meningkatnya jumlah sampah di Kota Bogor, biaya sosial yang harus dibayarkan akibat adanya pencemaran lingkungan serta adanya biaya operasional penanganan sampah yang tetap harus dikeluarkan. Pembangunan PLTSa yang berlokasi di kawasan TPA menjadi pertimbangan bagi DLHK untuk mendirikan PLTSa sebagai unit usaha dengan tujuan pokok memanfaatkan sumber daya sampah yang ada di Kota Bogor. Salah satu langkah yang dilakukan DLHK adalah dengan pengajuan dana sebesar Rp 30 miliar5 yang diambil dari dana yang sudah dicadangkan dalam APBD. Namun, apakah dengan anggaran untuk proyek PLTSa layak untuk dilaksanakan atau PLTSa harus menjadi suatu entitas bisnis murni di Kota Bogor. Adanya biaya investasi yang sangat tinggi yang harus dikeluarkan untuk proyek tersebut, menyebabkan pembangunan PLTSa harus diuji kelayakannya untuk mengetahui apakah memang usaha tersebut memberikan keuntungan, Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah Apakah Proyek PLTSa ditinjau dari aspek teknis, aspek pasar, aspek manajemen dan layak untuk dilaksanakan? Apakah Proyek PLTSa ditinjau dari aspek finansial layak untuk dilaksanakan dan perubahan apakah yang mempengaruhi kondisi kelayakan finansial tersebut? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 5 http://www.republika.com. (19 Maret 2008) 1) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau dari aspek teknis, aspek pasar dan aspek manajemen. 2) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau dari aspek finansial. 3) Menganalisis kepekaan proyek PLTSa yang mempengaruhi kondisi kelayakan. Informasi-informasi dari hasil penelitian ini menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya serta diharapkan memberikan solusi bagi permasalahan yang terjadi, memberikan gambaran setiap permasalahan sebagai peluang untuk menghasilkan output untuk menunjang program agribisnis. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Studi kelayakan ini dilakukan untuk menilai kemungkinan dibangunnya PLTSa sebagai bahan bakar ditinjau aspek teknis, aspek pasar, aspek manajemen, dan aspek finansial serta analisis switching value sebagai bahan kajian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sampah Kota Semua sampah dapat dikelola baik secara direduce, reuse dan recycle. Tentunya mendesak pihak industri untuk menggunakan bahan kimia recycle, harganya menjadi mahal. metode reduce tidak akan mengurangi sampah melainkan hanya menunda siklusnya saja. Pengelolaan sampah pada dasarnya mencakup lima aspek. Lima aspek itu adalah mencegah pada sumbernya (pollution prevention), mengurangi jumlah sampah (waste minimation), mendaur ulang (recycling), mengolah yang tidak dapat didaur ulang (treatment) dan membuang (disposal). Untuk prinsip pertama hingga ketiga, berkaitan erat dengan kultur masyarakat sedangkan prinsip keempat dan kelima berkaitan dengan teknologi (Pasek, 2007). Model pengelolaan sampah di Indonesia (Sudradjat, 2007) ada dua macam, yaitu urugan dan tumpukan. Model pertama merupakan cara yang paling sederhana yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan, yaitu untuk kota yang volume sampahnya tidak begitu besar. Sedangkan untuk model pengelolaan sampah dengan tumpukan dilengkapi dengan unit saluran air untuk buangan, pengelolaan air untuk buangan (leachatte) dan pembakaran akses gas metan (flare). Model seperti ini sudah memenuhi persyaratan lingkungan dan banyak diterapkan di kota-kota besar, namun sayang model tumpukan ini tidak lengkap tergantung dari kondisi keuangan dan kepedulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. 2.2 Pengelolaan Sampah di Luar Negri Menurut Sudrajat (2007) model pengelolan sampah di luar negri seperti yang dilakukan oleh negara-negara di Eropa, Australia dan Jepang. Mereka sedang bekerja ke arah suatu target yaitu pengurangan timbunan sampah sebanyak 75 persen, yaitu fokus pada 3R (reduce, recyle dan reuse). Pengelolaan sampah sudah dimulai di rumah tangga, yaitu dengan memisahkan sampah organik dan sampah anorganik, kantong sampah terbuat dari bahan yang dapat didaur ulang, warna kantung sampah dapat dibedakan antara sampah organik dan anorganik. Sampah organik dibawa oleh truk yang memiliki drum berputar dilengkapi pisau pencacah dan mikroba perombak bahan organik. Menurut Pasek (2007) PLTSa di Amerika Basic Energy adalah perusahaan di Marco Island, Florida, yang memiliki lisensi penggunaan teknologi boiler BASIC yang diklaim telah digunakan di Amerika, Asia, Timur Tengah dan Eropa. Teknologi ini dapat memanfaatkan sampah mulai dari sampah rumah tangga, sampah medis hingga sampah industri, sebagai bahan bakar boiler yang dapat digunakan untuk menjalankan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Proyek terbaru Basic Energy terdapat di Nanhai, Cina yang selesai dibangun tahun 2002, dan di Shunde, Cina yang selesai dibangun tahun 2004. Ukuran pabrik yang dibangun di Shunde berkapasitas 600 ton per hari sampah rumah tangga, menggunakan dua sistem berkapasitas 300 ton per hari. Ongkos kapital untuk pembangunan pabrik pengolah sampah penghasil listrik (PLTSa) berukuran 1200 ton/hari diperkirakan mencapai 550 juta yuan (78,7 juta US$), sehingga dapat diperkirakan bahwa untuk kapasitas 600 ton/hari, ongkos kapital yang diperlukan berkisar antara 40 hingga 50 juta US$, hal ini berarti ongkos kapital per kW listrik yang dihasilkan (diperkirakan listrik yang dihasilkan 10 MW) adalah US$ 4000–5000 per kw dengan komponen terbesar (hampir mencapai 50 persen) adalah sistem pembakar. Teknologi dari Keppler Seghers berpusat di Belgia, namun demikian perusahaan ini telah mendirikan PLTSa di Cina, Korea, Italia, dan di negaranya sendiri Belgia. Teknologi mutakhir dari Keppel Seghers digunakan pada PLTSa di Tuas South Singapura. Data-data yang diperoleh pada plant ini adalah: sampah yang digunakan adalah Sampah Kota, dengan kandungan air sampah segar sebanyak 60 persen, Pre-treatment yang dilakukan sampah dibiarkan dan diadukaduk dalam bungker selama 3–5 hari. Perkiraan Nilai kalor setelah pre-treatment adalah 1000-1400 kcal/kg dengan output listrik yang dihasilkan sebesar 24 MW. Total nilai investasi yang dilakukan 570.000.000 Yuan, dengan temperatur pembakaran lebih dari 850oC dan waktu start up : 20 jam, lindi yang dihasilkan : 20 persen dari kapasitas sampah. PLTSa di Cina dipelopori oleh dua perusahaan yaitu Hangzhou Boiler dan Hangzhou New Century Energy Environmental Protection Engineering, Co. Ltd. Sistem tungku pembakaran dirancang agar sampah teraduk-aduk pada tungku sambil terbakar pada temperatur 850-960oC, sampah dibiarkan pada temperatur tersebut selama lebih dari dua detik, hal ini dilakukan untuk menguraikan dioksin. Menurut Sudrajat (2007) pengelolaan sampah di Malaysia dengan timbunan, hal tersebut tidak jauh berbeda seperti yang dilakukan di Indonesia. Sementara pengelolaan sampah di Singapura memiliki manajemen yang rapi dan diolah dengan teknologi tinggi yang dimanfaatkan untuk membuat pulau. Singapura memiliki sistem pembakaran sampah dengan teknologi sistem kontrol digital di lokasi tertutup. Dengan pembakaran tersebut, diperoleh panas untuk menggerakan turbin dan pembangkit listrik. Tempat pembakaran hanya mengkonsumsi 20 persen dari energi listrik yang dihasilkan dan sisanya 80 persen di jual. 2.3 Pengelolaan Sampah di Indonesia Menurut Sudrajat (2007) Kota DKI Jakarta memiliki lokasi TPA di daerah Bantar Gebang- Bekasi. Model pengelolaan sampah dengan teknik Activated sludge system (danau yang diberi aerasi dengan pengaduk bertenaga besar). Dalam pelaksanaannya Pemda Jakarta membayar Royalty fee kepada Pemda Bekasi Rp 60 juta/ton sampah. Tujuan ASC agar terhindar dari bau, pemandangan yang tidak sedap, dan kemunculan penyakit kulit dan para-paru. Namun, pada tahun 2005 penduduk sekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710 orang. Pemisahan material organik dilakukan oleh pemulung terbukti efektif mengatasi permasalahan sampah serta menjadi sentra ekonomi. Permasalahan lain adalah volume sampah semakin meningkat dan tidak bisa ditampung oleh areal yang ada. Bandung memiliki lokasi di banyak TPA, seperti Beberapa daerah sempat dijadikan TPA (yaitu Jelekong, Cicabe, Cikubang, dan yang terakhir Sarimukti), namun semuanya hanya bersifat sementara karena keterbatasan kapasitas lahan. Pada awalnya setelah tragedi longsoran sampah di TPA Leuwigajah pada tahun 2004, Pemkot Bandung sudah merencanakan pengelolaan sampah dengan cara pembakaran untuk menghasilkan listrik, namun karena permasalahan tempat yang masih mendapat penolakan dari masyarakat Gedebage, proyek tersebut di hibahkan ke Pemkab Bandung. PLTSa merupakan proses pembakaran pada tungku pemanas air dengan tujuan memanfaatkan uap air untuk menggerakan turbin, Teknologi PLTSa mirip dengan teknologi PLTU pada umumnya, perbedaan hanya pada sistem tungku pembakarannya. Berdasarkan studi yang dilakukan Tim LPPM ITB, PLTSa dapat dikembangan di Indonesia, dengan alasan sebagai berikut: 1) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (WTE) dengan teknologi yang moderen telah banyak digunakan di negara-negara Asia Tenggara, Asia, Eropa, dan Amerika. Sampah Kota Bogor memliki karakter yang relatif sama dengan sampah Kota Bandung sehingga sampah tersebut dapat dijadikan bahan bakar untuk pembangkit listrik (PLTSa). 2) Teknologi PLTSa yang digunakan pada umumnya sudah dilengkapi dengan pengolahan emisi gas buang, dan limbah lainnya beserta sistem monitoringnya, sehingga tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Sistem kendali pembakaran dan sistem pengolahan gas buang yang digunakan di PLTSa menghilangkan secara signifikan dampak-dampak buruk terhadap lingkungan. Oleh sebab itu PLTSa berikutnya bisa diletakan di daerah kota dekat dengan sumber sampahnya seperti yang ada dilakukan di Singapura, kota-kota di Cina dan Eropa. 3) Agar tidak mencemari lingkungannya emisi dan limbah dari PLTSa Bogor harus memenuhi baku mutu emisi dan effluent. Apabila belum ada ketentuan dari Pemerintah Indonesia mengenai hal tersebut, maka dapat digunakan baku mutu yang digunakan di Cina, Amerika atau Eropa. 4) Teknologi PLTSa yang tersedia mempunyai Teknologi yang dapat membakar sampah Bogor yang berkadar air tinggi (70-80 persen), dan benilai kalor rendah (800 kkal/kg), pada suhu antara 850oC sampai 900oC sesuai dengan yang persyaratan untuk memusnahkan gas beracun seperti dioksin. 5) Sampah kota Bogor yang dapat ditangani oleh DLHK Kota Bogor dan dapat dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota (PLTSa) adalah sebanyak 250 ton/hari. Jumlah tersebut merupakan jumlah sampah yang telah dikurangi dengan sampah yang diambil oleh pemulung, pakan ternak dan industri kompos (jumlah netto). 6) Proses pemisahan dan pengambilan beberapa komponen sampah sudah dilakukan oleh pemulung sejak ditingkat rumah, di tingkat RW dan di TPS. Sebagian besar jenis plastik, kertas, logam, pipa PVC dan bahan-bahan lain yang masih mempunyai nilai ekonomi akan tereliminasi dari sampah yang akan digunakan di PLTSa. Dengan demikian sebagian besar sampah yang akan digunakan di PLTSa adalah sampah organik dengan potensi racun yang relatif lebih rendah. 7) Pengaturan jenis komponen yang dikirim ke PLTSa dapat lebih dikendalikan dengan meningkatkan aktivitas 3 R di tingkat RW dan TPS, sehingga sampah yang dikirim ke PLTSa mempunyai potensi racun yang lebih rendah lagi. Hasil pembakaran dapat memenuhi persyaratan emisi gas buang yang aman/memenuhi standar emisi Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut secara umum dari tinjauan Teknologi dapat disimpulkan Teknologi PLTSa adalah layak untuk digunakan sebagai pemusnah sampah kota Bogor dan kota-kota lainnya di Indonesia. Menurut Sudrajat (2007) Kota Surabaya memiliki TPA di daerah Sukolilo dan Sidoharjo, dalam pengelolaan sampahnya dinas kebersihan dari Pemkot Surabaya memiliki unit Incinerator (mesin pembakar dari Inggris). Pada kenyataanya di TPA Sukolilo, aplikasi Incinerator kurang sesuai karena kadar air sampah di Indonesia sangat tinggi (lebih dari 80 persen). Untuk TPA Sidoharjo, dalam pengelolaannya di TPA tersebut Salinitasnya telah menghambat kerja aktivitas kerja mikroba, air buangan dapat mengotori/merusak perairan terdekat. Pengelolaan sampah untuk kota Solo, sampah yang terkumpul di alokasikan ke TPA Mojosongo yang memiliki model tumpukan, sampah yang telah menjadi kompos dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat. Hewan ternak yang dilepas di areal TPA, pada tahun 1995 mencapai 1000 ekor. Di setiap pagi puluhan truk-truk parkir di sepanjang TPA untuk mengagkut kaleng, alumunium, besi, plastik dan kertas/karton. Yogyakarta memiliki tumpukan yang dilengkapi dengan unit pengolahan sampah masinal (mesin) yang dikelola oleh Pemda setempat. Bogor memiliki TPA yang berlokasi di Desa Galuga, model yang dipilih adalah dengan tumpukan. Curah hujan yang tinggi, menyebabkan pembusukan berjalan lambat Incinerator dari Prancis mengalami kegagalan seperti di Surabaya. Untuk kota seperti Kuningan, Sumedang, Garut, Ciamis dan Tasikmalaya sistem pengelolaan sampahnya hanya dengan urugan, dimana sampah yang terkumpul di buang ke lembah. 2.4 Pengolahan Sampah Menjadi Tenaga Listrik (PLTSa) Nilai konversi sampah menjadi energi menurut Sudrajat (2006), setiap ton sampah organik (40-60 persen) menghasilkan 140-200 m3 biogas dengan kandungan metan (CH4) 55 persen sama dengan 250-300 kwh listrik. Sedangkan potensi sampah organik kota bogor berdasarkan penelitian Puslitbang Hasil Hutan (1990) dengan menggunakan teknologi Draco, seluruh sampah kota bogor pada tahun 2001 menghasilkan listrik sebesar 22.750 kwh atau sekitar satu MW. Teknologi pembakaran (Incinerator) dihasilkan produk samping berupa logam bekas (skrap) dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Keuntungan lainnya dari penggunaan alat ini adalah dapat mengurangi volume sampah 75-80 persen dari sumber sampah tanpa proses pemilahan, abu atau terak dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan dan langsung dapat dibawa ke tempat penimbunan untuk lahan kosong, rawa ataupun daerah rendah sebagai bahan pengurug, dan pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas 300 ton/hari dapat dilengkapi pembangkit listrik dapat dimanfaatkan dengan sehingga energi listrik (96.000 MWH/tahun) yang dihasilkan untuk menekan biaya proses (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 1985)6. Menurut Pasek, (2007) PLTSa adalah suatu teknologi pengolahan sampah dengan cara dibakar pada temperatur konstan 850-900oC yang dilengkapi boiler dan kemudian disalurkan ke pengolah lindi yang semuanya dibuat kedap air. Teknologi PLTSa memenuhi salah satu 1R dan konsep pemusnahan sampah 4 R yaitu recovery. Sisa pembakaran berupa abu dan debu terbang akan ditampung dan diproses dengan sisa gas bakar akan melalui serangkaian pemrosesan pengolahan gas buang. Sisa pembakaran berupa abu dan debu terbang sebesar 20 persen dari berat atau 5 persen dari volume sampah basah. Abu dan debu akan digunakan sebagai material untuk membuat jalan dan fly ash (debu terbang) digunakan sebagai bahan campuran bagi material bangunan misalnya campuran semen atau batako. Alat pembakar atau incinerator telah digunakan lebih dari 30 tahun yang lalu, pembakaran dilakukan di atas temperatur 850 oC dan dilengkapi dengan pengolahan gas racun sehingga kadar dioksin dan gas beracun lainnya yang teremisi ke udara lebih rendah dari PLTU Batu bara. Sampah akan terbakar tanpa bantuan bahan bakar tambahan. Namun, tungku pembakaran dilengkapi dengan burner berbahan bakar minyak. Pada keadaan normal, burner hanya beroperasi pada waktu start up dan shut down. Setelah digunakan lebih dari 20 tahun diseluruh dunia belum ada korban pencemaran dioksin dan gas beracun lainnya. 6 Clara Tiwow, et al. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS07). Program pasca sarjana/S3. IPB. http ://www.ipb.ic.(4 April 2008) 2.5 Kajian Empiris 2.5.1 Pengelolaan Sampah di Kota Bogor Kajian empiris mengenai pengelolaan sampah di Kota bogor telah banyak dibuat diantaranya oleh Aida, Mujahidawati, Qomariyah dan Yudianto. Intisari dari para penulis tersebut sebagai berikut: 1) Mujahidawati (2005), Penelitian yang diambil berjudul Pengembangan Model Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dengan Pengomposan di Kota Bogor. Tujuan dari penelitiannya adalah rekayasa model pengelolaan sampah rumah tangga di tiga kategori pemukiman di Kota Bogor, merancang paket komputer sebagai prototipe penunjang keputusan untuk pendirian usaha daur ulang sampah rumah tangga untuk produksi kompos dan menilai kelayakan usaha yang meliputi peramalan dan analisis finansial. 2) Qomariyah (2005), meneliti tentang Analisis Willingness to Pay (WTP) dan Willingness to Accept (WTA) Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sampah (Kasus TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengidentifikasi karakteristik masyarakat Kota Bogor dan masyarakat Galuga serta presepsi masyarakat kota Bogor terhadap keberadaan sampah dan masyarakat Galuga terhadap keberadaan TPA, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaaan dan ketidaksediaan masyarakat Kota Bogor dalam membayar retribusi kebersihan dan masyarakat Galuga dalam menerima kompensasi, mengestimasi besarnya WTP masyarakat Kota Bogor terhadap peningkatan retribusi kebersihan dan WTA masyarakat Galuga terhadap penerimaan kompensasi dengan pendekatan Contingent Valuation Method (VCM). Kesimpulan dari penelitiaanya adalah : Besarnya nilai rata-rata WTP Rp 4.577,78 per-bulan, sedangkan berdasarkan WTA adalah Rp 3.572.500,00 perbulan. 3) Yudiyanto (2007), meneliti tantang Analisis Sistem Pengelolaan Sampah Pemukiman di Kota Bogor. Tujuan dari penelitiannya adalah merumuskan skenario strategi pengelolaan sampah pemukiman di Kota Bogor, yang dimulai dengan melakukan analisis kondisi sistem pengelolaan sampah pemukiman saat ini dan mengidentifikasi faktor-faktor strategis penting masa depan dalam pengembangan sistem tersebut. Alat analisis yang digunakan adalah analisis prilaku rumah tangga dengan menggunakan t-student, Mann-Wihtney dan korelasi Rank Spearmans serta analisis prospektif. Hasil dari penelitian adalah faktor tingkat pendapatan masyarakat memberikan pengaruh yang nyata terhadap prilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dengan penelitian terdahulu berupa produk yang dikaji yaitu sampah secara umum (sampah Kota Bogor) namun, output akhir yang dihasilkan berupa listrik adalah mata rantai akhir dalam pengelolaan sampah dengan memanfaatkan teknologi yang paling baru yang diterapkan di Indonesia. 2.5.2 Studi Kelayakan Usaha Kajian empiris mengenai studi kelayakan seperti dalam Aida (1996), Ratnawati (2002), Rohmawati (2007), Oktawidya (2008) pada masing-masing penelitian menganalisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, serta analisis terhadap aspek finansial. Aida (1996), penelitian yang diambil berjudul Usaha Pemanfatan Barang Bekas dari Sampah dan Pengaruhnya Terhadap Pengelolaan Sampah di Kotamadya Bogor (Studi Kasus TPA Gunung Batu). Tujuan penelitiannya adalah mempelajari aktivitas pemulung dan besarnya pengaruh aktivitas tersebut terhadap kualitas dan kuantitas sampah serta mengidentifikasi kemungkinan pengembangan usaha melalui bisnis barang bekas. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis kelayakan (Break Even Point). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh pemulung meliputi aktifitas mengumpulkan barang bekas dari sampah, menyeleksi dan menjualnya ke penampung serta melakukan aktifitas sehari-hari. Net B/C rasio sebesar 1,86, berarti usaha pemanfaatan barang bekas dari sampah mempunyai peluang yang layak untuk dikembangkan. Hasil analisis untuk aspek teknis dalam penelitian Ratnawati (2002), Rohmawati (2007) dan Oktawidya (2008) dinyatakan layak karena seperti menurut Husnan dan Suwarsono (2000) suatu kelayakan usaha secara teknis dikatakan layak apabila, teknologi proses dapat dilaksanakan, bahan baku tersedia serta lokasi cocok dengan produk yang dihasilkan. Untuk aspek pasar, keberadaan konsumen di sekitar lokasi usaha menjadikan aspek pasar layak. Untuk aspek manajemen, masing-masing penelitian dikatakan memiliki stuktur organisasi yang sederhana, hal ini karena pada masing-masing bagian memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. Sedangkan untuk aspek finansial pada masing-masing usaha sudah layak, karena biaya investasi dan operasional dapat tertutupi dari produk yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dengan penelitian terdahulu berupa analisis fiansial, analisa terhadap aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan yang membedakan adalah produk yang dikaji oleh penulis berupa produk sampah sebagai produk publik, sehingga ada kemungkinan campur tangan pemerintah agar usaha yang diteliti penulis menjadi layak diusahakan. BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kaitan PLTSa dengan Agribisnis Agribisnis adalah semua kegiatan di sektor pertanian dimulai dari penyediaan sarana produksi, proses produksi, penanganan pasca panen/pengolahan, dan pemasaran, sehingga produk tersebut sampai ke konsumen. Hal ini menjadikan Agribisnis sebagai suatu sistem karena merupakan lima perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Berdasarkan uraian diatas PLTSa termasuk kedalam Agribisnis, hal ini didasari karena sampah kota sebagai input PLTSa terdiri dari sampah organik dengan komposisi antara 75-95 persen. Pada sistem agribisnis PLTSa berada pada subsistem hilir karena input yang diolah pada PLTSa berasal dari output sampingan dari usaha tani (sampah organik). PLTSa juga dapat dikatakan sebagai agroindustri karena PLTSa merupakan industri pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah value added (nilai tambah) dari produk pertanian walaupun dalam hal ini produk pertanian yang diolah merupakan output sampingan (sampah organik). PLTSa menghasilkan produk sampingan berupa debu. Pada sektor pertanian debu dapat dijadikan sebagai media tanam, sehingga dalam subsistem agribisnis debu dapat dijadikan sarana penunjang pertanian. Hal ini menjadikan debu sebagai bagian dari subsistem hulu dalam sistem agribisnis. Seperti pada subsistem agribisnis yang lain, PLTSa membutuhkan sarana penunjang. Subsistem Penunjang pada PLTSa diantaranya adalah : Perbankan/perkreditan, Penyuluhan Agribisnis, Infrastruktur agribisnis, BUMN, Swasta, Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, Transportasi dan Kebijakan Pemerintah. Keberadaan PLTSa dalam agribisnis merupakan backward linkage dari usahatani atau industri PLTSa muncul karena input dari PLTSa mempergunakan hasil produksi budidaya/industri sebelumnya. Output utama dari PLTSa adalah listrik dan output sampingan berupa debu. Output listrik tidak berperan dalam agroindustri secara langsung. Namun, apabila output debu dapat dimanfaatkan sebagai media tanam bagi pertanian sekitar maka PLTSa dapat disebut Forward linkage dari usahatani, melihat hal tersebut PLTSa memiliki interaksi dua arah dalam agribisnis. Adapun kelima mata rantai atau subsistem tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 diataranya adalah sebagai berikut : Penyediaan Sarana Produksi Limbah Pertanian Pengolahan Limbah Pertanian menjadi PLTSa Pemasaran Listrik dan Debu Sarana Penunjang : Bank, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Transportasi, Pasar dan Pelaturan Pemerintah Gambar 1. Mata Rantai atau Subsistem Agribisnis 3.2 Analisis Proyek Alasan dilakukan analisis terhadap proyek adalah untuk melihat atau menilai manfaat yang diperoleh akibat adanya biaya yang dikeluarkan dan membandingkan dengan situasi tanpa proyek. Dari analisa tersebut dapat diketahui apakah proyek tersebut layak dilaksanakan atau mempertahankan kegiatan yang biasa berjalan tersebut. Proyek menurut Gray et al (1992) adalah suatu kegiatan yang direncanakan dan dilaksakan dalam satu bentuk kesatuan dengan mempergunakan sumber-sumber untuk memperoleh manfaat berupa penambahan kesempatan kerja atau perbaikan suatu sistem. Sedangkan menurut Gittinger (1986), proyek pertanian didefinisikan suatu kegiatan investasi dibidang pertanian yang mengubah sumber-sumber finansial menjadi barang-barang kapital yang dapat menghasilkan keuntungan atau manfaat setelah beberapa periode waktu. Dan membagi aspek-aspek penilaian proyek, diataranya aspek teknis, aspek institusional-organisasi-manejerial, aspek pasar, aspek finansial dan aspek ekonomi. Analisis terhadap aspek finansial dilakukan untuk melihat apakah proyek tersebut mampu memenuhi kewajiban finansial ke dalam dan ke luar perusahaan serta dapat mendatangkan keuntungan yang layak bagi perusahaan atau pemiliknya (Husnan dan Suwarsono, 2000). Dalam aspek finansial ditentukan jumlah dana modal tetap dan modal awal kerja yang dibutuhkan, stuktur permodalan, pinjaman yang diharapkan dan persyaratan serta kemampuan proyek memenuhi kewajiban finansial. Semua aspek tersebut harus dipertimbangkan secara bersama-sama untuk menentukan manfaat-manfaat yang diperoleh dari suatu investasi. Secara umum aspek-aspek tersebut adalah : 3.2.1 Aspek Teknis Aspek teknis merupakan aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dan operasi setelah proyek tersebut selesai dibangun (Husnan dan Suwarsono, 2000). Aspek tesebut menyangkut kaitan antara faktor produksi input dan hasil produksi (output) yang akan menguji hubungan teknis dalam suatu proyek, sehingga dapat diidentifikasi perbedaan yang ada dalam informasi yang harus dipenuhi baik sebelum maupun sesudah perencanaan proyek atau pada tahap awal pelaksanaan proyek. 3.2.2 Aspek Pasar Analisis terhadap aspek pasar menurut Husnan dan Suwarsono (2000) ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai jumlah pasar potensial yang tersedia dan dalam jumlah pangsa pasar yang dapat diserap proyek tersebut dimasa datang dan strategi pemasaran yang digunkan untuk mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan. Analisis aspek pasar menurut Gittinger (1989) terdiri dari rencana pemasaran output yang dihasilkan oleh proyek dan rencana penyediaan input yang dibutuhkan untuk kelangsungan dan pelaksanaan proyek. 3.2.3 Aspek Manajemen Menurut Kadariyah dan Karlina (1976), analisis terhadap aspek manajemen dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kemampuan staf dalam melaksanakan proyek. Dalam aspek ini perlu di kaji stuktur organisasi yang sesuai dengan proyek yang direncanakan sehingga diketahui jumlah kebutuhan, kualifikasi dan deskripsi tugas individu uantuk mengelola proyek. 3.3 Teori Manfaat dan Biaya Dalam suatu analisis finansial, biaya yang umumnya digunakan adalah biaya langsung yaitu biaya operasional, biaya investas dan biaya lainnya. Manfaat lebih berupa nilai produksi total, pinjaman, nilai sisa, dan pendapatan lainnya. Secara umum menurut Gittinger (1989), analisis biaya manfaat merupkan suatu analisis yang ditujukan untuk melihat besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat yang akan diterima pada suatu kegiatan ekonomi. Analisis ini dapat membantu dalam pengambilan keputusan mengenai pengalokasian sumber daya yang langka. Menurut Kadariah dan Karlina (1999), manfaat dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : 1) Manfaat langsung (direct benefit) yang diperoleh dari adanya kenaikan nilai output, fisik, dan penurunan biaya. 2) Manfaat tidak langsung (indirect benefit) yang disebabkan oleh adanya proyek tersebut biasanya dirasakan oleh orang tertentu serta masyarakat berupa adanya efek ganda, skala ekonomi yang lebih besar dan adanya dynamic secondary effect, misalnya perubahan dalam produktivitas tenaga kerja. 3) Manfaat yang tidak dapat dilihat dan sulit dinilai dengan uang (intangible effect), misalnya perbaikan lingkungan hidup. 3.4 Analisis Finansial Analisis finansial merupakan analisis manfaat biaya yang berpusat pada hasil pada modal yang ditanamkan pada proyek dan merupakan penerimaan langsung bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam mengsukseskan proyek tersebut (Kadariah dan Karlina, 1976). Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat suatu hasil kegiatan investasi. Sehingga perlu diperhatikan hasil dari modal yang tertanam dalam proyek. Analisis finansial didasarkan pada keadaan sebenarnya dengan menggunakan data harga yang ditemukan di lapangan. Dengan mengetahui hasil analisis finansial, para pembuat keputusan dapat melihat apa yang terjadi pada proyek dalam keadaan yang sebenarnya dan para pembuat keputusan juga dapat segera melakukan penyesuaian apabila proyek berjalan menyimpang dari rencana semula. Salah satu cara untuk melihat kelayakan dari analisis finansial adalah dengan menggunakan metode cash flow analysis (Gittinger, 1986). Cash flow anlysis dilakukan setelah komponen-komponennya ditentukan dan diperoleh nilainya. Komponen tersebut dikelompokan dalam dua bagian yaitu penghasilan atau manfaat dan komponen biaya. 3.5 Kriteria Analisis Kelayakan Investasi Studi kelayakan investasi adalah penelitian tentang dapat atau tidaknya suatu proyek investasi dilaksananakan dengan berhasil (Husnan dan Suwarsono, 2000). Studi kelayakan investasi diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, terutama bagi perekonomian nasional sehingga dapat menambah devisa dan perluasan kesempatan kerja. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam melakukan suatu evaluasi terhadat investasi proyek adalah Net Presen Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost (Net B/C) dan Payback Period. 3.5.1 Net Present Value (NPV) NPV adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih (operasional maupun internal cash flow) dimasa yang akan datang (Husnan dan Suwarsono, 2000). Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan. Proyek dianggap layak apabila nilai NPV lebih besar atau sama dengan nol, yang berarti proyek tersebut minimal telah mengembalikan sebesar opportunity cost faktor produksi modal. 3.5.2 Internal Rate of Return (IRR) IRR adalah tingkat bunga yang apabila dipergunakan untuk mendiskontokan seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek (Kadariah dan Karlina, 1976). Proyek dikatakan layak apabila IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang dianggap relevan dan dinyatakan tidak layak apabila IRR lebih kecil dari tingkat diskonto. 3.5.3 Net Benefit Cost (Net B/C) Net B/C merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang poisitif dengan jumlah present value yang negatif, artinya metode ini berguna untuk menghitung antara nilai penerimaan-penerimaan kas sekarang dengan nilai penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Proyek dikatakan layak jika Net B/C lebih besar dari satu dan tidak layak jika Net B/C lebih kecil dari satu. Jika Net B/C sama dengan satu maka keputusan diserahkan kepada pihak manajemen. 3.5.4 Payback Period Payback period yaitu penilaian kelayakan investasi dengan mengukur jangka waktu pengembalian investasi. Semakin cepat waktu pengembalian investasi, maka semakin baik untuk diusahakan. 3.6 Switching Value Suatu proyek pada dasarnya menghadapi suatu ketidakpastian karena dipengaruhi perubahan-perubahan, baik dari sisi penerimaan atau pengeluaran yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelayakan proyek. Suatu variasi dari analisis sensitivitas adalah nilai pengganti (switching value). Menurut Gittinger (1986), pengujian ini dilakukan sampai dicapai tingkat minimum dimana proyek dapat dilaksanakan dengan menentukan berapa besarnya proporsi manfaat yang akan turun akibat manfaat bersih sekarang menjadi nol (NPV=0). NPV sama dengan nol akan membuat IRR sama dengan tingkat suku bunga dan Net B/C sama dengan satu. Analisis dilakukan pada perubahan harga input dan output yang terdiri dari empat perubahan harga, yaitu: 1) Penurunan harga output. 2) Kenaikan biaya total. 3) Kenaikan biaya investasi. 4) Kenaikan biaya operasional. 3.6 Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan kota Bogor mendorong pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri serta pembangunan fasilitas pendukung kota. Total jumlah sampah Kota Bogor yang terbuang 2.210 m3 dengan komposisi 75-95 persen adalah sampah organik. Dampak perkembangan tersebut adalah adanya masalah penyempitan lahan TPA seiring dengan meningkatnya jumlah sampah di Kota Bogor. Biaya sosial yang harus dibayarkan akibat adanya pencemaran lingkungan serta adanya biaya operasional penanganan sampah yang tetap harus dikeluarkan sehingga, pembangunan PLTSa yang berlokasi di kawasan TPA menjadi pertimbangan bagi DLHK untuk mendirikan PT X. PT X sebagai unit usaha dengan tujuan pokok memanfaatkan sumber daya sampah yang ada di Kota Bogor. Salah satu langkah yang dilakukan DLHK adalah dengan pengajuan dana sebesar Rp 30 miliar7 yang diambil dari dana yang sudah dicadangkan dalam APBD. Namun, apakah dengan anggaran untuk proyek PLTSa layak untuk dilaksanakan atau PT X harus menjadi suatu entitas bisnis murni di Kota Bogor. Adanya biaya investasi yang sangat tinggi yang harus dikeluarkan untuk proyek tersebut, menyebabkan pembangunan PLTSa harus diuji kelayakannya. Apakah memang usaha tersebut memberikan keuntungkan bagi Kota Bogor. Analisis kriteria investasi sangat penting untuk melihat kelayakan pelaksanaan pembangunan PLTSa. Aspek-aspek kelayakan dipaparkan secara deskriptif untuk 7 http://www.republika.com. (19 Maret 2008) mendukung kelayakan proyek. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek teknis, aspek pasar, aspek manajemen dan aspek finansial di analisis kuantitatif. Dengan demikian dapat dilihat secara keseluruhan pengelolaan sampah dengan adanya pembangunan PLTSa, apakah proyek tersebut layak atau tidak dilaksanakan. Analisis swicthing value dilakukan untuk melihat sejauh mana kepekaan proyek, jika terjadi perubahan terhadap komponen biaya dan manfaat. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2. Volume sampah Kota Bogor 2.210 m3/hr : - Biaya operasional terlalu tinggi - Penyempitan lahan TPA - Pencemaran lingkungan dan kesehatan Pembangunan PLTSa Aspek: Teknis, Pasar, Manajemen dan Finansial (NPV, IRR, Net B/C, Pay Back Priod) serta Swiching Value Analisis Kelayakan Usaha Tidak Layak Layak Rekomendasi Gambar 2. Kerangka Operasional Penelitian Keterangan : ------- Ruang Lingkup Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kota Bogor, dengan spesifikasi tempat terkait data penelitian yaitu TPA Galuga, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK). Pemilihan lokasi secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa DLHK salah satu institusi yang mempunyai peluang untuk membuat unit usaha, dengan harapan output yang dihasilkan dapat mengurangi biaya operasional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-November 2008. 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Koordinator dari tim pelaksanaan Studi Kelayakan PLTSa Kota Bandung untuk rekomendasi pembangunan PLTSa Kota Bogor. Data sekunder diperoleh dari Laporan yang dibuat pada tahun 2007-2008 diantaranya diterbitkan oleh LPPM ITB mengenai Hasil Studi PLTSa Kota Bandung dan PLTSa Kabupaten Bandung, modul DLHK tentang Penanganan Penataan Sarana dan Prasarana TPA Galuga Kota Bogor serta penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan Pengolahan Sampah dan PLTSa, baik itu data kualitatif ataupun kuantitatif seperti biaya investasi maupun biaya operasional. 4.3 Metoda Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang telah dikumpulkan, diolah dengan bantuan komputer. Data dan informasi dikelompokan terlebih dahulu ke dalam komponen arus biaya dan manfaat, disajikan dalam bentuk tabulasi yang digunakan untuk mengklasifikasikan data yang ada serta untuk mempermudah proses analisis data. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai pelaksanaan pengolahan sampah kota seperti aspek teknis, aspek pasar, aspek manajemen serta aspek sosial. Sedang analisisi kuantitatif digunakan untuk menganalisis kelayakan finansial pembangunan PLTSa yang diolah dengan Software Microsoft Excel. 4.4 Analisis Aspek Teknis Aspek teknis dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran mengenai pemilihan lokasi, kapasitas produksi, pemilihan teknologi proses dan peralatan, Penentuan kapasitas produksi disesuaikan berdasarkan jumlah sampah kota sebagai bahan baku. Penggunaan mesin dan peralatan disesuikan dengan teknologi proses yang dipilih. Analisis ini dapat dilihat pada Gambar 2. Pemilihan lokasi sesuai dengan TPA Informasi mengenai teknologi yang ada Pemilihan teknologi proses, bentuk instalasi dan peralatan yang paling optimal serta memungkinkan Penentuan kapasitas produksi Gambar 3. Flowchart Analisis Aspek Teknis 4.5 Analisis Aspek Pasar Analisis yang dilakukan pada aspek ini adalah menganalisis potensi pasar listrik dan hasil ikutannya berupa abu, karena yang dihasilkan merupakan kebutuhan pokok masyarakat perkotaan, analisis potensi pasar dengan bauran pemasaran yang ada seperti Product, Price, Place, Promotion dan Distribution. 4.6 Analisis Aspek Manajemen Kajian terhadap manajemen meliputi pemilihan bentuk perusahaan untuk unit usaha DLHK (Perusahaan X) dan stuktur organisasi yang sesuai, kebutuhan tenaga kerja serta deskripsi tugas masing-masing jabatan. Analisis dapat dilihat pada Gambar 3. - Tujuan perusahaan - Perkiraan investasi - Data Kapasitas Produksi - Teknologi proses yang digunakan Bentuk usaha yang dipilih Membuat kebutuhan tenaga kerja, job descriptions serta spesifikasi kerja Menyusun Stuktur organisasi Gambar 4. Flowchart Analisis Aspek Manajemen 4.7 Analisis Aspek Finansial Penerapan kelayakan investasi dilakukan dengan membandingkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diterima dalam suatu proyek investasi untuk jangka waktu tertentu. Analisis investasi dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun aliran tunai. Dalam analisis finansial diperlukan kriteria investasi yang digunakan untuk melihat kelayakan suatu usaha. Sebagai kriteria investasi digunakan beberapa indikator kelayakan investasi yaitu: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), Payback Period, Analisis Switching Value. 4.7.1 Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi (Husnan dan Suwasono, 2000). NPV menunjukan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi, merupakan jumlah nilai penerimaan arus tunai pada waktu sekarang dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan selama waktu tertentu, rumus yang digunakan dalam perhitungan NPV adalah sebagai berikut : NVP = n Bt − Ct ∑ (1 + i ) t= 0 t Sumber : Gittinger, 1986 Keterangan : Bt = Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t n = Umur ekonomis proyek i = Tingkat suku bunga (%) t = Tahun investasi (t=0,1,2.....n) dalam metode NPV terdapat tiga kriteria kelayakan investasi, yaitu : 1) NPV > 0, arttinya secara finansial usaha layak dilaksanakan karena manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya. 2) NPV = 0, artinya secara finansial usaha sulit dilaksanakan karena manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya yang dikeluarkan. 3) NPV < 0, artinya secara finansial usaha tidak layak untuk dilaksanakan karena manfaat yang diperoleh lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. 4.7.2 Internal Rate of Return (IRR) IRR adalah nilai discount rate yang memuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol, Internal Rate of Return adalah tingkat rata-rata keuntungan tahunan dinyatakan dalam persen (Gittinger, 1986). Pada saat nilai IRR lebih besar dari nilai diskonto yang berlaku, maka proyek layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika nilai IRR lebih kecil dari nilai diskonto maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Rumus yang digunakan dalam menghitung IRR adalah sebagai berikut : IRR = i1 + ( i2 − i1 ) NVP1 NVP1 − NVP2 Sumber : Gittinger, 1986 Keterangan : NPV1 = NPV yang bernilai positif NPV2 = NPV yang bernilai negatif 4.7.3 i1 = Tingkat bunga yang menghasilkan NPV1 i2 = Tingkat bunga yang menghasilkan NPV2 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) Net B/C ratio merupakan angka perbandingan antara nilai arus manfaat sekarang dibagi dengan nilai arus biaya sekarang. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : n Net B C = Bt − Ct ∑ (1 + i ) B −C ∑ (1 + i ) t t= 0 n t t= 0 t t > 0 < 0 Sumber : Gittinger, 1986 Keterangan : Bt = Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t n = Umur ekonomis proyek i = Tingkat suku bunga (%) t = Tahun investasi (t=0,1,2.....n) Angka tersebut menunjukan tingkat besarnya manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu satuan uang. Kriteria yang digunakan untuk pemilihan ukuran Net B/C ratio dari manfaat proyek adalah memilih semua proyek yang nilai B/C rationya sebesar satu atau lebih, jika manfaat diskontonya pada tingkat biaya opportunitis capital (Gittinger, 1986) tetapi jika nilai net B/C ratio<1, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. 4.7.4 Payback Period Payback period merupakan jangka waktu periode yang dibutuhkan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan di dalam investasi suatu proyek. Semakin cepat waktu pengembalian, maka semakin baik proyek tersebut untuk diusahakan. Namun, analisis payback period memiliki kelemahan karena mengabaikan nilai uang terhadap waktu (present value) dan tidak memperhitungkan periode setelah payback period. Secara sistimatis dapat dirumuskan sebagai berikut : P= I Ab Sumber : Gittinger, 1986 Keterangan : P = Jumlah waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal I = Biaya investasi Ab = Benefit bersih setiap tahun 4.7.5 Analisis Switching Value Analisis switching value digunakan untuk mengetahui seberapa besar perubahan pada nilai penjualan dan biaya variabel yang akan dihasilkan. Keuntungan normal yaitu NPV sama dengan nol atau mendekati, IRR sama dengan tingkat suku bunga berlaku dan Net B/C sama dengan satu. Variabel yang akan dianalisis dengan switching value merupakan variabel yang dianggap signifikan dalam proyek. Adapun variabel-variabel yang dimaksud anara lain, biaya variabel dari PLTSa, sehingga dengan analisis ini akan dicari tingkat harga penjualan minimum dan peningkatan biaya maksimum agar proyek masih dapat dikatakan layak. Penggunaan variabel analisis tersebut didasarkan pada konversi harga input yang sebenarnya sebagai bagian dari komponen biaya. Oleh karena itu akan dilihat perubahan nilai penjualan minimum dan biaya variabel, apakah masih memenuhi kriteria umum kelayakan investasi atau tidak. 4.7.6 Asumsi Dasar Pada pembangunan PLTSa, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan menggunakan modal yang berasal dari dana cadangan yang diambil dari APBD Kota Bogor. Harga yang gunakan adalah harga yang berlaku pada saat penelitian, yaitu pada bulan Mei sampai dengan November 2008. Berikut asumsi dasar yang digunakan untuk perhitungan kelayakan finansial proyek adalah sebagai berikut : 1) Pada skenario I sumber modal berasal dari dana subsidi APBD Kota Bogor sebesar 50 miliyar, sehingga suku bunga yang digunakan tujuh persen adalah suku bunga deposito Tingkat suku bunga yang digunakan adalah (sesuai dengan tingkat suku bunga untuk simpanan deposito BI tahun 2008). 2) Pada skenario II modal berasal dari pinjaman sehingga suku bunga yang digunakan sebesar 17 persen (sesuai dengan tingkat suku bunga untuk pinjaman BI tahun 2008). 3) Pada skenario I Pengelola PLTSa adalah PT. X, adalah unit usaha yang berada dibawah koordinasi DLHK Kota Bogor, sedangkan untuk skenario II PT X merupakan unit entitas bisnis murni 4) Harga seluruh peralatan dan biaya-biaya pada analisis ini bersumber dari survey lapang kepada pihak LPPM ITB dan hasil olahan penulis. 5) Umur ekonomis proyek ditetapkan 25 tahun, berdasarkan umur ekonomis dari bangunan dan boiler sebagai komponen utama PLTSa. 6) Dalam satu bulan diasumsikan 30 hari dan setahun terdiri dari 12 bulan. 7) Tanah tidak diperhitungkan dalam analisis ini, karena tanah yang digunakan milik Pemkot Bogor. 8) Nominal reinvestasi sama seperti investasi ditahun ke-satu. 9) Bahan baku dari PLTSa adalah seluruh sampah yang dihasilkan Kota Bogor. Jumlah keseluruhan sampah adalah 250 ton (±60 persen dari total sampah yang terangkut. Karena sebelumnya sampah organik telah dimanfaatkan pihak swasta sebagai bahan baku pembuatan kompos dan pakan hijauan ternak. 10) Teknologi yang digunakan untuk PLTSa Kota Bogor adalah meniru PLTSa Taichang Xienxin Refuse Inceneratio, dalam pelaksanaanya melibatkan PT. PLN-Jasa Produksi (JP) PLTU untuk manufaktur dan perawatan mesin. PT Dinamika Energitama Nusantara untuk manufaktur komponen PLTU, PT Nusantara Turbin dan Propulsi untuk manufaktur turbin, PT Pindad untuk menufaktur generator serta Tredio Engeneering untuk manufaktur sistem kendali. 11) Harga sampah dianggap nol dan perhitungan produksi PLTSa dalam penelitian ini diasumsikan dilakukan diawal proses dan seterusnya sama. 12) Skenario I, pendapatan berasal dari penjualan listrik, debu, retribusi sampah. Sedangkan pendapatan pada skenario II tidak ada retribusi sampah melainkan tipping fee. 13) Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap dan biaya variabel diasumsikan dikeluarkan pada tahun ke- 1, biaya operasional dan biaya variabel mengalami kenaikan 10 persen per dua tahun. 14) Harga jual output PLTSa adalah arus listrik, sehingga harga yang ditetapkan adalah sesuai tarif ketetapan PT. PLN yaitu 500 rupiah per-kwh. Tarif listrik akan dinaikan 30 persen per lima tahun sekali, untuk debu didasarkan pada harga pasir pasang/rit sedangkan retribusi didasarkan pada biaya operasional pengolahan sampah. Produk yang dihasilkan diasumsikan dijual seluruhnya, untuk output listrik dijual kepada PT. PLN, sebagai mitra usaha. 15) Perhitungan pajak melalui analisis rugi laba berdasarkan undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan badan usaha, adapun besarnya nilai pajak sebagai berikut : rugi tidak dikenakan pajak, kurang dari 50 juta dikenakan pajak 10 persen, antara 50-100 juta dikenakan pajak 10 persen, ditambah selisih pendapatan setelah dikurangi 50 juta dikenakan pajak 15 persen, lebih dari 100 juta dikenakan pajak 10 persen, ditambah 50 juta dikenakan pajak 15 persen, ditambah selisih pendapatan setelah dikurangi 100 juta dikenakan pajak 30 persen. BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kota Bogor Kota Bogor terletak di antara 106,4oBT dan 6,3oLS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibu kota kurang lebih 56 km. Kota Bogor mempunyai luas wilayah 11.850 ha atau 118,50 km2, terdiri atas 6 Kecamatan, 68 Kelurahan, 701 RW dan 3113 RT dengan jumlah penduduk 866.660 Jiwa. Kecamatan yang ada di Kota Bogor yaitu : Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Boogor Barat, Kecamatan Bogor Timur dan Tanah Sereal. Secara administrasi wilayah Kota Bogor berbatasan dengan wilayah Kecamatan di Kabupaten Bogor sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede, dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor. Sebelah Barat Kota Bogor berbatasan dengan Kecamatan Kemang, dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Di Kota Bogor mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan dataran, yaitu: Ciliwung, Cisadane, sebagai dua sungai besar dan tujuh anak sungai. Secara keseluruhan anak-anak sungai yang ada membentuk aliran paraler-sub paralel sehingga mempercepat waktu debit puncak (time to pak) pada sungai Ciliwung dan Cisadane. Pada umumnya aliran sungai tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Bogor serta sumber air minum bagi perusahan daerah. Menurut data sensus penduduk tahun 2006 jumlah penduduk kota bogor pada akhir tahun sebanyak 879.138 jiwa, terdiri dari 444.508 jiwa laki-laki dan 434.630 jiwa perempuan dengan laju pertumbuhan (LPP) sebesar 2,81 persen. Kenaikan tersebut diduga karena adanya faktor-faktor penarik, antara lain semakin banyaknya fasilitas sosial-ekonomi, juga merupakan kota penyangga Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Sehingga menarik para pendatang untuk tinggal di Kota Bogor. Dengan mempertimbangkan Kota Bogor sebagai kota jasa serta keterbatasan lahan yang ada dan keterbatasan daya dukung lingkungan alam, maka untuk memperhitungkan proyeksi penduduk dirancang dengan laju pertumbuhan pertahun sebesar 3,56 persen. 5.2 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Berdasarkan UPTD TPA Unit Kerja Subdin KPP Keuangan Potensi Pendapatan Retribusi 60 persen dari pelayanan profil retribusi. Adapun cakupan pelayanan meliputi wilayah Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor Tengah dan Tanah Sereal. Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui 3 tahapan kegiatan, yakni : pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir/pengolahan. Tahapan kegiatan tersebut merupakan suatu sistem, sehingga masing-masing tahapan dapat disebut sebagai sub sistem. Sarana Pengangkutan yang digunakan berupa Dum Truck kapasitas 6 m3 sebanyak 39 unit dan Arm Roll 6 unit tingkat dengan ritasi 2 rit. Pelayanan sampah Kota Bogor yang dilaksanakan oleh DLHK dari tahun ke tahun dapat dikatakan membaik, hal ini terbukti dari wilayah yang terlayani dari tahun 2002-2007 semakin meningkat walaupun wilayah di Kota Bogor belum seluruhnya terlayani pengangkutan sampahnya. Persentase peningkatan pelayanan DLHK dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Cakupan Luasan Wilayah Pelayanan DLHK Tahun 2005-2007 Volume Luasan Tahun % 3 (ha) (m /hr) m3/thn 2005 8.060 68 1.985 2006 8117 68,5 2.205 2007 8177 69 2.210 Sumber : Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (2008) 724.525 551.305 806.650 Berdasarkan jenis sampah yang terangkut pada tahun 2007, maka dapat dibedakan sampah organik antara 73 persen dengan komponen lain yaitu kertas karton dan kaca (gelas) 6 persen, plastik 11 persen, potongan kayu dan limbah tanaman 1 persen, besi, logam 2 persen, sisa bahan konstruksi bangunan 2 persen serta lain-lain 5 persen. 5.3 TPA Galuga Desa Galuga terletak di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Jawa Barat, jarak tempuh dari pusat pemerintahan desa/kelurahan ke ibukota kecamatan 3km/½ jam, jarak ke ibukota kabupaten 24 km/2 jam dan jarak ke ibukota propinsi 120km/4 jam. Desa Galuga memiliki luas wilayah 175.090 ha, terdiri atas dua perkampungan yaitu kampung Lalamping dan kampung Sinarjaya. Desa Galuga terdiri atas 5 RW dan 13 RT, dengan jumlah penduduk sebanyak 123.862 jiwa. Secara administrasi Desa Galuga berbatasan dengan wilayah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cijunjung, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cemplang sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Leuwiliang sebelah timur berbatasan dengan Desa Dukuh Secara geografis Desa Galuga memiliki ketinggian 250 m di atas permukaan laut, curah hujan rata-rata sekitar 236 mm/tahun dan keadaan suhu rata-rata 270C. Dengan pertimbangan geografis dan kondisi tempat luas yang mendukung, pada tahun 1987 Pemerintah Kotamadya Bogor bekerjasama dengan pemerintah daerah Kabupaten Bogor mendirikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Galuga sebagai pengganti TPA Rancamaya yang sudah tidak beroperasi lagi. Penggunaan lahan untuk TPA sampah galuga sudah sesuai dengan rencana tataruang Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh keputusan Bupati Bogor No: 591/131/kpts/Huk/2002 tentang lokasi untuk tempat pembuangan akhir (TPA). Pada awal pembangunan TPA di Desa Galuga, masyarakat kurang menerima keberadaan TPA tersebut, tetapi pada akhirnya keberadaan TPA dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai ladang mata pencaharian mereka sebagai pemulung dengan pendapatan perkapita 20.000 - 30.000 rupiah/hari. Sampai saat ini sekitar 200 orang dengan mata pencaharian sebagai pemulung yang berasal dari Kp. Lalamping, Cibogor. Untuk pembinaan masyarakat dilakukan oleh dinas/LSM Paguyuban Tumaritis. Aktifitas pengolahan sampah yang ada di TPA terdiri dari komposting dengan jumlah produksi 20 ton/hari. Bentuk kompensasi yang diberikan oleh DLHK kepada masyarakat sekitar berupa fasilitas air bersih, pelayanan kesehatan dan perbaikan jalan. Jumlah penduduk Desa Galuga tahun 2007 berdasarkan hasil registrasi Kecamatan Cibungbulang adalah sebanyak 5.353 jiwa terdiri dari 2.752 laki-laki dan 2.601 perempuan. Teknis operasional pengelolaan sampah di TPA Galuga dilakukan sebagai berikut : sampah yang diangkut dari sumber timbunan dengan menggunakan kendaraan dump truk dan armroll berkapasitas 6 m3, dibuang dalam suatu titik dalam lokasi TPA sesuai instruksi dan petunjuk petugas TPA. Kemudian didorong dan dipadatkan dengan menggunakan bulldozer. Selanjutnya pada periode tertentu seharusnya ditutup dengan mengunakan tanah merah dengan menggunakan excavator sampai mencapai ketebalan 10 cm. sampai dengan kurang lebih enam minggu, sampah akan mengalami pembusukan alami sehingga lokasi dimana sampah yang tertimbun mengalami stagnasi, sehingga dapat dipergunakan kembali hingga mencapai ketinggian tertentu (± 4 meter). Tabel 6 Rekapitulasi Sarana Penunjang Pengelolaan Sampah Kota Bogor Tahun 2007. No Uraian Satuan 2007 1 Cakupan wilayah layanan kebersihan ha 8177 3 2 Timbunan sampah perhari m 2.210 3 Volume sampah yang terangkut (69%) m3 1.515 4 Petugas kebersihan lapangan orang 568 5 Alat pengankut Sampah: - Motor sampah Unit 5 - Dumptruck 64 - Armroll 30 - Kijang pick up 6 - Minibus 2 - Truk tangki air 1 - Truk tinja 4 - Sepeda motor 16 - Container 100 - Gerobak sampah 68 - Bulldozer 2 - Whellloader 1 - Excavator 1 - Truk loader 1 - Backhoe loade 2 6 Prasarana pengelola sampah : - Tranper depo* - TPS 7 Lahan TPA Sumber : DLHK Kota Bogor (2008) unit ha 9 400 9,6 BAB VI EVALUASI ASPEK-ASPEK STUDI KELAYAKAN Keberadaan PLTSa Kota Bogor menjadi alternatif penanggulangan permasalahan sampah Kota Bogor. Walaupun, pembangunan unit usaha PLTSa membutuhkan biaya investasi yang sangat tinggi karena teknologi yang digunakan bernilai mahal termasuk biaya operasionalnya. Keberlangsungan PLTSa di negaranegara maju (Gambar dapat dilihat pada Lampiran 11) mendapatkan subsidi di setiap periode produksinya yaitu berupa tipping fee sebagai biaya public service yang diambil dari biaya operasional dibagi input sampah yang diolah. Sama halnya dengan PLTSa Kota Bogor, ada dua alternatif pemasukan tambahan agar PLTSa tetap dapat beroperasi diataranya pemasukan dari tipping fee seperti yang terjadi di negara-negara maju atau pendapatan retribusi sampah. Beberapa poin penting yang akan dievaluasi terkait dengan keberadaan PLTSa Kota Bogor adalah : 1) Pengolahan sampah saat pembangunan infrastuktur PLTSa dan manfaat yang diperoleh dari pengolahan sampah menjadi PLTSa yang akan dibahas pada aspek teknis. 2) Mekanisme retribusi sampah dan tipping fee Kota Bogor yang akan dibahas di aspek manajemen. 3) Penetapan harga jual listrik ke PLN dan peluang pasar debu yang akan dibahas pada aspek pasar. 6.1 Aspek Teknis Aspek teknis dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran mengenai kapasitas produksi, pemilihan teknologi proses dan peralatan. Penentuan kapasitas produksi disesuaikan berdasarkan jumlah bahan baku yang tersedia, sedangkan untuk pemilihan teknoligi proses dan peralatan disesuaikan dengan dana yang dimiliki penggagas usaha. 6.1.1 Pengolahan Sampah Saat Pembangunan Infrastuktur PLTSa Pembangunan PLTSa membutuhkan waktu sekitar dua tahun lamanya. Perlakuan terhadap sampah Kota Bogor selama jeda waktu sampai pabrik beroperasi yaitu dengan melakukan open dumping, skema pengelolaan sampah pada saat pembangunan Pabrik PLTSa dapat dilihat pada Gambar 5. C (1) B (2) A Gambar 5. Skema Pengolahan Sampah Pada Saat Pembangunan Infrastuktur PLTSa Sumber : //http:wikimapia.org dan Hasil Olahan Penulis Pengolahan sampah dengan sistem open dumping yaitu sampah yang diangkut dari sumber timbunan dengan menggunakan kendaraan dump truk dan armroll berkapasitas 6 m3, dibuang dalam suatu titik dalam lokasi TPA sesuai instruksi dan petunjuk petugas TPA. Kemudian didorong dan dipadatkan dengan menggunakan bulldozer. Selanjutnya pada periode tertentu seharusnya ditutup dengan mengunakan tanah merah dengan menggunakan excavator sampai mencapai ketebalan 10 cm. Sampai dengan kurang lebih enam minggu, sampah akan mengalami pembusukan alami sehingga lokasi dimana sampah yang tertimbun mengalami stagnasi, sehingga dapat dipergunakan kembali hingga mencapai ketinggian tertentu (± 4 meter). Pada Gambar 5 dapat dilihat, saat pembangunan infrastuktur PLTSa kotak (1) membutuhkan lahan seluas 5.000 m3, sedangkan luasan lahan TPA Galuga adalah 13 ha. Jadi selama pembangunan tersebut sampah Kota Bogor diolah sama seperti perlakuan sebelumnya. Kegiatan tersebut dapat dilakukan disekitar kotak (2). Seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam waktu enam minggu, sampah akan mengalami pembusukan alami sehingga lokasi dimana sampah yang tertimbun mengalami stagnasi, begitupula untuk kondisi sampah-sampah diperiode sebelumnya. Maka setelah PLTSa beroperasi pada kotak (2) akan dibuat dranase berbentuk taman hijau. 6.1.2 Tahapan Persiapan Pengelola PLTSa memulai melakukan pekerjaan melalui tahapan-tahapan, dimana tahapan pertama adalah penyiapan lahan lima hektar dari 13,6 hektar yang tersedia. Lahan tersebut adalah lahan yang sudah ada, yaitu berupa kavling siap bangun. Selanjutnya, mobilisasi tenaga kerja untuk membangun PLTSa, mobilisasi peralatan berat, konstruksi, pembersihan lahan, penyiapan lahan, pemasangan pondasi, mobilisasi bahan bangunan, mobilisasi peralatan PLTSa, instalasi PLTSa, dan pelepasan tenaga kerja kontruksi. Setelah tahapan dilakukan, PLTSa akan diuji coba dahulu sebelum benar-benar layak dioperasikan, tahapan tersebut membutuhkan waktu dua tahun. PLTSa yang dirancang direncanakan harus mempunyai kriteria sebagai berikut : 1) Mampu membakar sampah dengan tidak menuntut kapasitas dan performasi nyata yang terlalu tinggi. 2) Hasil pembakaran dapat memenuhi persyaratan emisi gas buang yang aman/memenuhi standar emisi Indonesia. 3) Dapat dibangun dengan anggaran yang tersedia. 4) Layout dan jenis sistem ditentukan berdasarkan daya dukung kondisi lapangan dan dana yang tersedia (dapat dilihat pada Gambar 6). A B C Gambar 6. Skematik Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Sumber : LPPM ITB dan Hasil Olaan Penulis Kriteria PLTSa yang disebutkan sebelumnya mempertimbangkan sistem penampungan dan penirisan sampah dalam bungker dan pengambilan dan pencacahan sampah dengan graber seperti pada PLTSa besar tidak dapat diimplementasikan pada PLTSa yang dirancang. Oleh sebab itu, sistem penerimaan, proses penirisan, dan pencacahan dilakukan dengan sistem yang sesuai dengan kondisi yang ada. Proses pemisahan dan pengambilan beberapa komponen sampah sudah dilakukan oleh pemulung sejak ditingkat rumah, di tingkat RW dan di TPS. Sebagian besar jenis plastik, kertas, logam, pipa PVC dan bahan-bahan lain yang masih mempunyai nilai ekonomi akan tereliminasi dari sampah yang akan digunakan di PLTSa. Dengan demikian sebagian besar sampah yang akan digunakan di PLTSa adalah sampah organik dengan potensi racun yang relatif lebih rendah Sampah dari truk dituangkan dalam teras penerimaan (A) (lihat Gambar 4 dan 6). Dalam teras ini, pemulung diperkenankan untuk mengambil komponen sampah yang masih bermanfaat dan bernilai uang. Dalam melakukan kegiatannya diharapkan pemulung dapat mengambil sebanyak-banyaknya logam, kaca, dan komponen lainnya yang tidak dapat dijadikan bahan bakar atau berbahaya apabila dibakar. Disamping itu, proses pengambilan komponen yang berharga diharapkan dapat merobek-robek bongkahan sampah yang masih terbungkus plastik. Sampah yang tersisa akan diangkut oleh doser/loader ke hopper pencacah. Sampah hasil pencacahan kemudian ditiriskan di teras penirisan. Proses perataan sampah di lantai teras penirisan dilakukan dengan doser/loader. Setelah dibiarkan beberapa hari, sampah yang sudah agak kering diangkut kembali oleh doser/loader dan dimasukkan ke hopper conveyor untuk selanjutnya dibawa konveyor ke dalam hopper tungku (B). Sampah kemudian dimasukkan secara perlahan oleh sistem pengumpan ke dalam tungku. Untuk PLTSa yang direncanakan tungku yang digunakan haruslah dari jenis grated stoker (Martin Stoker atau modifikasinya) agar sampah dapat terbakar dengan merata pada temperatur di atas 7000C, agar dioksin dapat terurai. Abu hasil pembakaran akan dikeluarkan sebagai bottom ash setelah disemprot dengan air untuk menurunkan temperaturnya. Panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah akan digunakan untuk menjaga temperatur pembakaran dan menguapkan gas-gas volatil selain untuk menghasilkan gas panas untuk menguapkan air di boiler. Gas-gas volatil yang dihasilkan mempunyai temperatur yang tinggi akan terbakar pada bagian atas tungku ketika udara sekunder disemprotkan. Temperatur pembakaran berkisar di atas 9000C sehingga seluruh gas volatil dan gas-gas yang berbahaya dapat terurai. Berdasarkan kriteria diatas maka disusun rencana proses umum PLTSa, hal ini ditunjukan secara skematik pada Gambar 7. Sampah Alat Pengangkut Pencacahan Teras Penirisan Konveyor + Pengeringan Listrik Generator Balance Of Plant Sistem Pengolahan Air Ketel Tungku Boiler + Heat Recovery System Turbin Uap Cerobong Sistem Pengolahan Gas Buang Gambar 7. Skema Urutan Proses Pada PLTSa yang dirancang Sumber : LPPM ITB dan Hasil Olahan Penulis Setelah melewati superheater gas akan memasuki deretan pipa boiler (C), panasnya akan diserap untuk menguapkan air. Sebagian abu akan terendapkan dalam pipa-pipa ini dan dikeluarkan sebagai boiler ash. Gas kemudian akan memasuk scrubber yang dilengkapi dengan penyemprot air kapur untuk menghilangkan gas-gas asam dan debu. Kemudian gas yang keluar dilewatkan pada kantong-kantong karbon aktif untuk menghilangkan gas beracun, sebelum akhirnya disaring di airbag filter dan dibuang ke cerobong. Untuk mengalirkan gas ini digunakan induced fan. Pada bagian (C) output akhir berupa debu dihasilkan. 6.1.3 Penentuanan Lokasi Pabrik. Pengolahan sampah menjadi energi listrik menempati lokasi yang sama dengan tempat pembuangan akhir (TPA). Lokasi yang digunakan merupakan keseluruhan areal TPA Galuga, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Jawa Barat. Lokasi TPA dan Layout PLTSa dapat dilihat pada Gambar 8. (3) (2) C (4) B A (1) Gambar 8. Lokasi TPA dan Layout PLTSa Galuga Sumber : //http:wikimapia.org dan Hasil Olahan Penulis Pada Gambar 8. dapat di lihat truk-truk sampah datang pada lokasi (1), kemudian di turunkan di lokasi A, kegiatan yang berlangsung sama dengan yang ada pada Gambar 4 dan 5. Lokasi B adalah awal pemrosesan pengolahan sampah dari mulai sampah ditiriskan sampai sampah dibakar. Lokasi C proses perubahan dari uap menjadi listrik kemudian listrik di transmisikan ke tian-tiang PLN terdekat yaitu sepanjang lokasi (3) dan di lokasi C tempat penggolahan gas buang serta tempat pengeluaran debu. Lokasi (2) adalah tempat pengolahan air lindi dan (4) adalah kantor administrasi PLTSa. Lokasi PLTSa di kawasan TPA Galuga dipilih karena PLTSa sebenarnya lebih berfungsi sebagai pabrik pemusnah sampah dari pada pembangkit listrik. TPA Galuga paling ideal untuk proyek PLTa Kota Bogor selain dari letak bahan baku utama, sumberdaya seperti air dan kondisi udara, faktor utama yang paling menukung adalah karena PLTSa merupakan industri pengolahan sampah yang paling baru di Indonesia. Hal ini untuk menghindari penolakan akibat adanya kekhawatiran warga sekitar terhadap polusi dari pembakaran sampah seperti yang terjadi di Kota Bandung. Sampai saat ini terdapat 400 orang yang sudah menetap dan bermata pencaharian sebagai pemulung di TPA Galuga maka, apabila lokasi TPA dipindah tempatkan kemungkinan yang terjadi adalah para pelung tersebut harus ikut pindah tempat atau mereka tetap di kawasan TPA Galuga dengan kondisi kesejahtraan yang lebih buruk. 6.1.4 Teknologi Proses dan Peralatan Produksi sampah Kota Bogor yang akan diolah adalah 250 ton dengan kadar air sekitar 60 persen. Kadar air yang tinggi ini membuat nilai kalor sampah Kota Bogor menjadi sangat rendah, oleh sebab itu sampah tersebut harus dikurangi kadar airnya sebesar 50 persen dengan cara meniriskan didalam bungker selama tiga atau lima hari. Temperatur pembakaran antara 850-9000C. apabila temperatur terlalu rendah maka akan terbentuk dioksin sedangkan apabila temperatur terlalu tinggi maka akan terbentuk NOx. Pada tahapan pelaksanaannya PLTSa akan melibatkan PT. PLN-Jasa Produksi (JP) PLTU untuk manufaktur dan perawatan mesin. PT Dinamika Energitama Nusantara untuk manufaktur komponen PLTU, PT Nusantara turbin dan propulsi untuk manufaktur turbin, PT Pindad untuk manufaktur generator serta Tredio Engeneering untuk manufaktur sistem kendali. Komponen utama dari PLTSa terdiri dari bungker sampah serta sistem penanganan sampah, tungku pembakaran, sistem utama pembangkit listrik dan sistem penanganan gas buang. Peralatan yang digunakan pada pembangkit listrik ini adalah Boiler sebagai media yang menghasilkan uap untuk menggerakan Turbine dan dihubungkan dengan Generator untuk menghasilkan tenaga listrik. Spesifikasi PLTSa yang dirancang memiliki kemampuan untuk membakar sampah dengan kapasitas 250 ton sampah kota perhari, dengan kandungan air minimal 60 persen sehingga sampah sebelum dibakar ditiriskan terlebih dahulu antara tiga sampai lima hari. Jumlah boiler dan turbin masing-masing satu unit, output listrik yang dihasilkan 1600 kwh, untuk pemakaian sendiri 20 persen dan 10 persen kemungkinanan hilang saat proses produksi. Biaya investasi (tidak termasuk lahan) Rp 50. 347.703.000. Waktu start up antara tiga sampai delapan jam, dengan bantuan bahan bakar solar 300 liter/jam/unit. Debu yang dihasilkan lima persen dari volume atau 20 persen dari berat sampah awal. Luas area minimum yang dibutuhkan adalah 5.000 m3. Kebutuhan air tambahan untuk boiler dan kondensor 10 persen, CaO 2,5 kg/ton sampah yang diolah, asetilen 0,05 m3/ton dan karbon aktif 21 kg/ton. Terdapat lima prinsip dasar dalam pengoperasian PLTSa, diantaranya adalah : 1) Sampah dari TPS diangkut oleh truk-truk pengangkut sampah ke PLTSa. Truk yang tiba akan ditimbang terlebih dahulu sebelum membuang sampah ke dalam bungker sampah. Truk kosong yang keluar dari PLTSa juga ditimbang agar diketahui berat bersih sampah yang dibuang ke dalam bungker berdinding beton. Ruang bongkar sampah ini merupakan ruangan tertutup, dan udara dalam ruangan diisap oleh kipas udara sehingga bau sampah tidak menyebar keluar ruangan tetapi terisap kipas udara dan selanjutnya disalurkan ke tungku pembakaran. Hal ini akan membuat udara disekitar lokasi pemusnah sampah tidak berbau. Dimensi bungker harus dapat menampung kebutuhan sampah lima sampai 10 hari. Sampah di dalam bungker yang masih basah, dibiarkan selama tiga sampai lima hari untuk mengurangi kadar air permukaan. Selama didiamkan sampah secara rutin di pindah-pindahkan untuk mengurangi kadar airnya. Sampah yang sudah didiamkan beberapa hari ini mempunyai nilai kalor antara 800 sampai dengan 1400 kkal/kg dan kadar air 50–60 persen. 2) Sampah yang sudah mengering ini kemudian diangkut ke tungku pembakaran dengan grabber yang terpasang pada overhead traveling crane, dan dikendalikan dari jarak jauh dari ruang kendali. Sampah dari grabber dijatuhkan sedikit demi sedikit ke dalam hopper tungku, sampah kemudian memasuki tungku pembakaran sedikit demi sedikit melalui mekanisme pemasukan sampah pada tungku. Tungku pembakaran dirancang khusus agar sampah dapat terbakar pada temperatur tinggi (antara 850–900oC) dalam waktu yang cukup lama sehingga seluruh sampah dapat terbakar sesempurna mungkin dan dapat menghilangkan gas-gas beracun yang terbentuk seperti dioksin dan furan. Untuk mencapai suhu pembakaran yang tinggi tersebut, pada saat awal (start) diperlukan bahan bakar pembantu seperti minyak bakar, gas atau batu bara. Setelah dicapai suhu yang diinginkan, sampah diharapkan dapat terbakar dengan sendirinya. Sisa pembakaran berupa abu bawah (Bottom Ash) dikeluarkan secara otomatik dan dikumpulkan sebelum diangkut untuk dimanfaatkan lebih lanjut. 3) Gas panas hasil pembakaran kemudian dimanfaatkan untuk menguapkan air yang berada dalam pipa-pipa ketel (boiler). Saluran gas panas dari tungku diatur sedemikian rupa sehingga temperatur gas panas ketika mengenai boiler tidak terlalu tinggi. Demikian juga tekanan dan temperatur uap di dalam pipa diatur sedemikian rupa sehingga perbedaan temperatur antara gas panas dan uap air tidak menyebabkan pengembunan gas di pipa-pipa boiler yang dapat menyebabkan korosi. Untuk menghilangkan kerak biasanya pipa-pipa boiler ini dilengkapi dengan penyemprot gas asitilen. 4) Uap bertemperatur dan bertekanan tinggi yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin yang terhubung dengan generator pembangkit listrik. Jumlah air yang diperlukan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik ini bergantung kepada karakteristik turbin yang digunakan8. Namun demikian, uap yang dihasilkan tidak langsung di buang tetapi diembunkan di kondensor, dan dialirkan kembali ke ketel. Meskipun air disirkulasikan kembali, biasanya diperlukan penambahan air ketel sebesar 10–15 persen untuk mengkompensasi kebocoran uap yang terjadi. 8 Pemusnah sampah buatan Sotec GmbH Jerman, dengan kapasitas 8 MW memerlukan sirkulasi air sebanyak 16 ton/jam setara dengan 4,4 lt/detik. Pemusnah sampah di Nanshan, Shenzen – China, untuk menghasilkan 12 MW listrik dari uap bertekanan 40 bar 400oC diperlukan sirkulasi air sebanyak 64 ton/jam (18 lt/detik). 5) Setelah panasnya dimanfaatkan untuk membangkitkan uap gas hasil pembakaran dialirkan ke pengolah gas buang untuk menghilangkan gas-gas asam seperti SOx, HCl, NOx, logam berat, dioksin dll. Untuk keperluan tersebut pabrik pemusnah sampah yang dibangun di Singapura dan Cina menggunakan wet srubber yang dikombinasi dengan tambahan batu kapur, dan partikel karbon aktif. Gas bertemperatur rendah yang keluar dari alat penghilang gas asam kemudian dilewatkan penyaring debu. Penyaring debu dapat berupa penyaring biasa (fabric filter atau airbag) saja atau dikombinasi dengan electrostatic precipitator (EP). Pabrik pemusnah sampah di Eropa biasanya menggunakan EP, sedangkan yang di China dan Singapura hanya menggunakan penyaring biasa. Abu yang tertangkap oleh alat-alat ini biasa disebut sebagai abu terbang (fly ash). Abu terbang ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang sama seperti abu bawah (bottom ash). Dengan peralatan yang relatif sederhana ini gas-gas beracun yang disebutkan diatas dapat diturunkan di bawah baku mutu pencemaran udara yang ditetapkan di negara-negara tersebut. Pabrik pemusnah sampah di Eropa yang mempunyai baku mutu yang lebih ketat biasanya mempunyai peralatan pengolah gas buang yang lebih lengkap. Di samping peralatan yang disebutkan sebelumnya system pengolahan gas buangnya dilengkapi dengan katalis penghilang NOx dan penghilang dioxin. Abu bawah (bottom ash), merupakan abu sisa pembakaran sampah di tungku sedangkan Abu terbang dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang sama seperti bottom ash9. Abu terbang dari hasil pembakaran sampah baik untuk digunakan sebagai penstabil tanah lunak, kekuatan lempung yang diberi abu 9 Peneliti dari Nanyang Technological University di Singapura (Kwan-Yeow Show et al) dalam laporan proyek PLTSa Geude Bage, Bandung. terbang ini naik 75 kali lipat. Disamping itu tanah juga mempunyai sifat-sifat drainase yang lebih baik, indeks plastisitas dan kompresibilitas menurun masingmasing 69 dan 23 persen. Singapura memanfaatkan abu terbang dan abu bawah hasil pembakaran sampah untuk mengurug satu pulau buatan (Semakau Island). Apabila abu bawah dan abu terbang tidak dimanfaatkan, maka harus disediakan tempat pembuangan abu. Namun demikian, jumlah yang harus dibuang ke TPA, jauh lebih sedikit dari pada jumlah sampah asalnya (lima persen volume atau 20 persen berat). Melihat kondisi tersebut dimasa depan debu PLTSa dapat dijadikan sebagai alternatif penaggulangan banjir. Pada sektor agribisnis debu juga dapat dijadikan sebagai media tanam, namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas debu tersebut. Apabila penelitian ini berhasil maka keberadaan PLTSa memiliki interaksi dua arah dalam sistem agribisnis. 6.1.5 Kapasitas Produksi Kapasitas produksi adalah jumlah produk yang seharusnya diproduksi untuk mencapai keuntungan yang optimal. Keuntungan ini dipengaruhi oleh faktor ekternal, yaitu pangsa pasar yang mungkin diraih, sedangkan faktor internal yaitu usaha-usaha pemasaran yang dilakukan serta variabel-variabel teknik yang berkaiatan langsung dengan proses produksi. Penentuan kapasitas produksi juga dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku dan teknologi proses yang dipilih. Jumlah sampah Kota Bogor yang terangkut adalah 69 persen dari keseluruhan sampah yang ada yaitu sekitar 1.515 m3 dimana sampah yang terangkut pada masing-masing sumber adalah dari 71 persen sampah pemukiman, sampah pasar 68 persen, 67 persen pusat perdagangan, 67 persen penyapuan jalan, 69 persen industri dan sumber lain 32 persen. Komponen utama sampah Kota Bogor terdiri dari 75-95 persen sampah organik yang berasal dari konsumsi produkproduk pertanian seperti buah, sayur dan daging. Berdasarkan hasil survei NUDS dalam Sudrajat (2007) tingkat kerapatan sampah pe-m3 adalah 250 kg, sehingga sampah yang akan diolah (1.515 m3 X 250 kg) : 1.000 kg/ton adalah 378,75 ton. Setelah dikurangi 25,44 persen sampah oleh pemulung dan 10 ton organik yang telah dimanfaatkan oleh peternak dan petani untuk keperluan kompos, maka jumlah sampah yang tersisa adalah 254,09 ton. Pola pengumpulan sampah Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Pola Pengangkutan Sampah Kota Bogor Sumber : //http:www.kotabandung.org Sampah yang berasal dari sapuan jalan, pasar, fasilitas umum dan pemukiman diangkut oleh petugas masing-masing daerah ke tempat pembuangan sementara (TPS), kemudian dari TPS diangkut ke TPA kemudian proses pengolahan sampah dilakukan di TPA. Alat angkut yang digunakan pada saat penyapuan jalan menggunakan mobil pick-up sebanyak 5 unit, alat angkut dari TPS ke TPA menggunakan dump-truck sebanyak 63 unit. Saat pengangutan dari lokasi (A) ke lokasi (B) membutuhkan satu unit alat berat yaitu excavator atau bulldozer. Kapasitas produksi PLTSa Galuga berdasarkan jumlah sampah yaitu sekitar 250 ton per hari sampah Kota Bogor di tampung di TPA Galuga, dengan spesifikasi yang dirancang PLTSa Galuga mampu menghasilkan listrik sebesar 1600 kwh. Sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih dilakukan secara konservatif dimana seluruh sampah dibuang begitu saja tanpa dilakukan pemisahan antara sampah organik, anorganik, dan sampah beracun. Kondisi tersebut menjadikan keberadaan PLTSa menjadi sangat penting terutama sebagai penyelesaian dari permasalahan sampah yang ada di Kota Bogor. Input dari PLTSa adalah sampah Kota Bogor 95 persen di antaranya berupa sampah organik yang berasal dari pemukiman dan pasar tradisional. Keberadaan PLTSa mampu menggurangi sampah sampai 95 persen dari volume awal kemudian dengan adanya pengolahan gas buang, PLTSa mempu meredam efek rumah kaca (pemanasan global) yang diakibatkan oleh gas CH4 yang dihasilkan dari pembusukan sampah-sampah organik dan gas NOX yang mengakibatkan hujan asam serta dioksin (zat penyebab kanker) yang dihasilkan dari pembakaran sampah secara konvensional. Namun, untuk menilai seberapa besar manfaat dari keberadaan PLTSa harus diteliti lebih lanjut dengan analisis kelayakan ekonomi atau menganalisis aspek sosial dan lingkungan. 6.2 Analisis Aspek Manajemen Pengelolaan PLTSa dilakukan oleh PT X, yang merupakan unit usaha dibawah kordinasi DLHK kota Bogor, untuk kegiatan operasional PT X membutuhkan SDM sesuai dengan keahlian dalam menjalankan perusahan. Adapun kebutuhan tenaga kerja PT. X dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kebutuhan Tenaga Kerja PLTSa PT X Kota Bogor Tahun 2009 Uraian Plant Manager Asst Manager Supervisor Adm. Keuangan dan Umum Teknisi dan Operator Driver Security Helper Total Keseluruhan Tenaga Kerja Kebutuhan ( orang) 1 1 2 1 6 71 4 261 347 Pada aspek manajemen suatu perusahaan membutuhkan stuktur organisasi, analisis dan deskripsi pekerjaan. PT. X merupakan program coorporate social responsibility (CSR) yang digulirkan PT. PLN, PDAM Tirta Pakuan dan DLHK Kota Bogor. Perusahan ini memiliki tujuan untuk mengolah sampah menjadi sumber energi atau Waste to Energy dimana investasi yang disiapkan bernilai Rp 50. 347.703.000 dengan kapasitas produksi 250 ton sampah per hari. Teknologi pengolahan sampah mengadaptasi dari PLTSa dari luar negri berupa penggabungan peralatan boiler, turbin dan generator yang dilengkapi dengan alat pengolahan limbah cair dan udara. Total kebutuhan tenaga kerja berdasarkan Gambar 4 dan 7, untuk teknisi dan operator sebanyak 6 orang yang menempati posisi penimbangan sampah, penirisan sampah, proses pembakaran sampah, sistem transmisi listrik, pengolahan gas buang dan debu serta pengolahan air lindi. Security ditempatkan di pintu masuk sebanyak dua orang, pintu keluar satu orang dan kantor satu orang. Driver yang diperlukan adalah 5 orang untuk sopir pick-up, 63 orang untuk sopir dump-truck dan satu orang untuk sopir excavator/bulldozer dan dua orang untuk sopir cadangan serta satu orang untu sopir operasional kantor. Helper yang diperlukan sebanyak 261 orang, masing-masing dibutuhkan satu orang untuk kuli angkut pada masingmasing armada pick-up, empat orang pada masing-masing armada dump-truck dan dua orang untuk juru bantu di lokasi (A), satu orang untuk juru bantu di lokasi (B) serta satu oarang sebagai office boy di kantor. Stuktural organisasi PT X dibuat untuk memudahkan menjalankan operasional PLTSa dapat dilihat pada Gambar 10. Plant Manager Asst. Manager Teknik & Operasi Adm.Keuangan&Umum m Driver, Security dan Helper Gambar 10. Stuktur Organisasi PT X. Sumber : LPPM ITB Pengalokasian tenaga kerja tersebut harus dilakukan secara efisien dan efektif dimana penempatan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan harus sesuai dengan beban kerja, sehingga diperlukan motivasi dan dorongan yang tinggi agar dapat memberikan kontribusi yang positif bagi perusahaan. Kajian kebutuhan tenaga kerja PT X harus sesuai dengan deskripsi tugas pada masing-masing jabatan. Tingkat pendidikan minimal untuk Plant Manager dan Assistent Manager adalah master yang memahami pengelolaan industri, untuk Teknisi adalah sarjana dan Administrasi adalah diploma, sedang untuk driver sampai kepada Helper adalah SMU dan SMP. Proyek PLTSa membutuhkan biaya investasi yang sangat tinggi karena teknologi yang digunakan bernilai mahal termasuk biaya operasionalnya. Dua alternatif mekanisme pemasukan tambahan agar PLTSa Kota Bogor tetap dapat beroperasi diataranya pemasukan dari tipping fee seperti yang terjadi di negaranegara maju atau retribusi sampah melalui mekanisme yang sudah ada. Potensi retribusi sampah di Kota Bogor sangat tinggi, namun mekanisme pengelolaannya belum berjalan dengan baik karena pelaksanaan pengambilan retribusi dilakukan oleh institusi lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan DLHK, mekanisme pengambilan retribusi dilakukan oleh PDAM Tirta Pakuan untuk masyarakat yang menggunakan jasa PDAM, sedangkan untuk masyarakat yang tidak memanfaatkan jasa PDAM, mekanisme pengambilan retribusi dilakukan oleh dispenda (dinas pendapatan daerah). DLHK sendiri mendapatkan laporan pendapatan retribusi tidak terperinci, sehingga berapa potensi retribusi sampah sebenarnya tidak diketahui. Mulai tahun 2009, DLHK akan merumuskan mekanisme pengambilan retribusi sampah dan pelaksanaan pengambilan retribusi tersebut akan dilakukan oleh DLHK langsung. Apabila mekanisme tersebut berjalan, maka APBD yang biasa digunakan untuk membiayai operasional DLHK dapat digunakan untuk membiayai program pemerintah yang lainnya. 6.3 Analisis Aspek Pasar Analisis yang dilakukan pada aspek ini adalah menganalisis potensi pasar berdasarkan adanya kelangkaan sumber energi fosil dan memanfaatan sumber daya yang ada serta strategi bauran pemasaran yang ada (product, price, distribution dan promotion). Untuk produk, harga, promosi dan distribusi PT X bekerja sama dengan PT PLN karena output PLTSa yang dihasilkan adalah berupa sumber energi listrik, listrik sudah menjadi kebutuhan pokok bagi semua kalangan, sehingga untuk konsumen listrik PLTSa adalah pelanggan dari PLN, terutama yang berada disekitar proyek PLTSa. Harga tarif listrik sesuai dengan yang ditetapkan PT. PLN yaitu 500 rupiah/kwh, untuk pelaksanaan distribusi dan promosi PT. X bekerjasama dengan PT. PLN. Total kapasitas pembangkit listrik di Indonesia saat ini sekitar 30 ribu MW, 86 persen dikuasai oleh PLN sementara sisanya dikelola oleh perusahaan listrik swasta. Sementara itu kebutuhan listrik akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan perekonomian bangsa. Angka pertumbuhan kebutuhan listrik diprediksi sekitar tujuh sampai delapan persen hingga tahun 2015 mendatang. Meskipun demikian, saat ini tingkat elektrifikasi Indonesia baru sekitar 54 persen, artinya ada sekitar 46 persen masyarakat Indonesia yang belum menikmati listrik10, melihat kondisi demikian PLTSa di Desa Galuga dengan kapasitas 1,6 MW menjadi alternatif pensuplay listrik PT. PLN terutama untuk Kota Bogor dan sekitarnya, sedangkan menurut data dari Profil Pemerintah Kota Bogor kebutuhan listrik untuk Kota Bogor adalah 116.005 kwh11, sedangkan target Kota Bogor ingin mensuplai listrik sampai 448.000 kwh sehingga 10 http://aryanugraha.wordpress.com/2006/07/25/pemadaman-listrik-pln-dan-crash-program/16 September 2008 11 http:// www.kotabogor.go.id. Profil Pemerintah Kota Bogor-Rencana Pembanguna Infrastuktur. (14 Januari2009). keberadaan PLTSa mampu menyediakan 0,27 persen dari target yang direncanakan Pemkot Bogor. Penetapan harga jual listrik PLTSa berdasarkan harga tarif dasar yang ditetapkan PLN. Skenario I akan layak apabila harga jual listrik dinaikan sampai batas minimal 13,96 persen yaitu dari harga jual awal Rp 500 per-kwh listrik menjadi Rp 569,79. Hal ini tidak akan menjadi beban bagi masyarakat karena harga ini diasumsikan akan tetap layak dan diterima PLN karena penetapan harga jual listrik PLN kepada konsumen memiliki interval yang berbeda dimulai dari harga dasar untuk pemakaian listrik dengan daya terendah sampai pada harga jual tertinggi untuk industri. PLN melakukan subsidi silang pada masing-masing interval tersebut, sehingga dengan menaikkan harga jual listrik PLTSa skenario I, maka PLN tidak akan dirugikan. Listrik yang dihasilkan oleh PLTSa pasti akan terjual seluruhnya kepada PT PLN selain karena adanya pertimbangan PLN sebagai CSR dari PLTSa. Berdasarkan Permen ESDM No. 2 tahun 2006, pasal 2 menyatakan PLN wajib membeli listrik dari pembangkit terbarukan. Output lain dari PLTSa adalah debu yang berasal dari abu sisa pembakaran sampah di tungku berupa abu terbang dan abu bawah. Debu yang dihasilkan dapat dijual ke toko-toko bangunan sebagai material pengganti pasir karena debu berfungsi sebagai penstabil tanah lunak yang dapat meningkatkan kekuatan lempung hingga 75 kali lipat disamping itu debu juga mempunyai sifat-sifat drainase yang lebih baik, indeks plastisitas dan kompresibilitas menurun masingmasing 69 dan 23 persen. Debu dihasilkan dari limbah pengolahan sampah PLTSa, jumlah produksi debu dari PLTSa adalah 20 persen dari berat sampah yang diolah. Penetapan harga penjualan debu disesuaikan dengan penjualan pasir yaitu per-ritasi (rit) truk. Jumlah sampah yang diolah adalah 250 ton, debu yang dihasilkan adalah 50 ton, jika berat berbanding volume untuk debu adalah 0,25 dan debu yang hilang adalah 10 persen maka jumlah pasir yang dihasilkan adalah 180 m3. Nilai penjualan debu diasumsikan 50 persen lebih rendah dari harga jual pasir pasang, hal ini didasarkan stuktur debu PLTSa lebih halus yang menyebabkan harus ada penambahan komponen lain agar debu masih memiliki manfaat mendekati pasir pasang yaitu Rp 250.000. Singapura memanfaatkan abu terbang dan abu bawah hasil pembakaran sampah untuk mengurug satu pulau buatan (Semakau Island), sehingga dimasa depan untuk kondisi tofografi di Indonesia debu PLTSa dapat dijadikan sebagai alternatif penaggulangan banjir. Kemudian, PLTSa dapat bermitra dengan Departemen Pekerjaan Umum (PU). Namun, pelaksanaannya harus melalui proses pengkajian antara PLTSa dengan Departemen PU. Pada sektor agribisnis debu bisa dijadikan sebagai media tanam. Senyawa yang terkandung dalam debu diataranya adalah SiO2 41,2 persen; Al2O3 12,7 persen; CaO 16,1 persen; Fe2O3 7,6 persen; Na2O 2,8 persen; MgO 1,9 persen dan K2O 1,0 persen. Senyawa tersebut sama seperti senyawa yang terkandung dalam tanah. Namun, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efektivitas dari debu tersebut. BAB VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Analisis kelayakan usaha PLTSa PT X di Kota Bogor bertujuan memproyeksi anggaran yang akan mengestimasi penerimaan dan pengeluaran pada masa yang akan datang setiap tahun. Hal tersebut dijadikan sebagai sumber informasi mengenai kelayakan usaha yang akan dijalankan. Apabila secara finansial usaha tersebut layak, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor pendukung dikembangkannya PLTSa di Kota Bogor. Analisis kelayakan usaha PT X pada penelitian ini, dibagi menjadi dua skenario. Skenario pertama, PT X merupakan usaha pengolahan sampah dimana keberadaan PT X di bawah koordinasi DLHK, jumlah sampah yang diolah sebanyak 250 ton/hari, biaya investasi yang digunakan berasal dari dana hibah APBD Kota Bogor dan tambahan pemasukan berasal dari retribusi sampah. Pada skenario kedua PT X merupakan unit entitas bisnis murni, biaya investasi berasal dari pinjman bank dengan waktu pengembalian selama 10 tahun, tambahan pemasukan PLTSa berasal dari tipping fee yang harus dibayarkan pemkot sebagai public servis untuk pengolahan sampah, kemudian pada masing-masing skenario dilihat kepekaannya. Umur proyek untuk PLTSa ini adalah 25 tahun yang didasarkan dari umur ekonomis bangunan. Pada kondisi dilapang, umur proyek biasa lebih dari 25 tahun, namun untuk perhitungan Cashflow nilai uang pada setiap tahunnya akan dikalikan dengan discount factor (DF) yang diberlakukan (untuk skenario I menggunakan DF tujuh persen, sedangkan skenario II menggunakan DF 17 persen), setelah tahun ke-25 proyek, nilai DF akan bernilai nol sehingga berapapun komponen akhir pada Cashflow akan bernilai nol. 7.1 Analisis Kelayakan Usaha PLTSa Skenario I 7.1.1 Arus Manfaat (Inflow) Manfaat merupakan sesuatu yang dapat menambah pendapatan bagi usaha dengan kata lain segala sesuatu yang diperoleh setelah adanya pengorbanan atau biaya. Pada unit usaha PLTSa, manfaat yang diperoleh berasal dari penjualan listrik, debu, retribusi kebersihan serta nilai sisa dari barang investasi pada saat proyek berakhir. 7.1.1.1 Penjualan Listrik Penetapan harga listrik berdasarkan harga tarif dasar yang ditetapkan PLN. Nilai penjualan listrik diperoleh dari volume produksi listrik dikalikan dengan harga jual listrik. Produksi listrik pada PLTSa adalah 1.600 kw/jam, pemakaian listrik dari pabrik tersebut adalah 25 persen dari output perjamnya sehingga pemakaian listrik perhari adalah 9.600 kwh dan perkiraan kehilangan listrik pada saat proses produksi adalah 10 persen. Total produksi listrik bersih yang dapat dijual adalah ((1.600 kwh x 24 jam) – 9.600 kw per-hari) x (100 % - 10 %)) x 30 hari x 12 bulan adalah 9.331.200 kilowatt pertahun. Harga penjualan perkwh listrik ke PLN adalah Rp 500, sehingga total nilai penjualan bersih listrik pertahun adalah Rp 4.665.600.000. Penjualan listrik PLTSa akan meningkat 30 persen per-lima tahunan. Hal ini dilakukan menurut prediksi tim ahli PLTSa dari LPPM ITB dimana subsisi listrik akan dihapus oleh pemerintah secara bertahap. Asumsi lain yang digunakan adalah rata-rata inflasi pertahun sekitar empat persen, berarti dalam kurun waktu lima tahun inflasi akan mencapai 20 persen. Proyeksi pendapatan per-lima tahunan listrik dalam chashflow dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Proyeksi Pendapatan Listrik PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Tahun HargaRp/ Rp/tahun KeKwh 1-5 500,00 4.665.600.000,00 6-10 650,00 6.065.280.000,00 11-15 845,00 7.884.864.000,00 16-20 1.098,50 10.250.323.200,00 21-25 1.428,05 13.325.420.160,00 Dengan menaikan harga jual listrik 30 persen per-lima tahun, maka selama lima tahun PLTSa masih mendapatkan laba penjualan sekitar 10 persen. Harga penjualan listrik pada tahun pertama Rp 500 per-kwh sampai tahun ke-lima. Kemudian pada tahun ke-enam sampai ke-10 mengalami kenaikan sebanyak 30 persen menjadi Rp 650 per-kwh. Penjualan ini terus bertahap sampai tahun ke-25 menjadi Rp 1.425 per-kwh. 7.1.1.2 Penjualan Debu Debu dihasilkan dari limbah pengolahan sampah PLTSa, jumlah produksi debu dari PLTSa adalah 20 persen dari berat sampah yang diolah. Penetapan harga penjualan debu disesuaikan dengan penjualan pasir yaitu per-ritasi (rit) truk. Jumlah sampah yang diolah adalah 250 ton, debu yang dihasilkan adalah 50 ton, jika berat berbanding volume untuk debu adalah 0,25 dan debu yang hilang adalah 10 persen maka jumlah pasir yang dihasilkan adalah 180 m3. Jumlah debu/rit adalah 8 m3 maka jumlah debu yang akan terjual adalah 22,5 rit/hari atau 8.100 rit/tahun. Nilai penjualan debu diasumsikan 50 persen lebih rendah dari harga jual pasir pasang, hal ini didasarkan stuktur debu PLTSa lebih halus yang menyebabkan harus ada penambahan komponen lain agar debu masih memiliki manfaat mendekati pasir pasang (Rp 500.000 x 50 persen) yaitu Rp 250.000, sehingga nilai penjulan debu selama satu tahun adalah Rp 2.025.000.000. Penjualan per-ton debu akan mengalami peningkatan sebesar 30 persen dalam rentang waktu tiga tahun sekali. Konsumen debu adalah toko-toko bangunan, dengan asumsi pada saat PLTSa menaikan harga jual kepada PLN, PLN melakuakan hal yang sama ke pelanggannya. apabila asumsi seluruh toko bangunan adalah pelanggan PLN. Dengan adanya asumsi yang sama pada peningkatan penjualan listrik, agar PLTSa tidak membebani toko-toko bangunan tersebut maka kenaikan harga jual debu dilakukan per-tiga tahun sebesar 30 persen, sehingga proyeksi pendapatan per-tiga tahunan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Proyeksi Pendapatan Debu PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Tahun Harga Rp/ Rp/tahun KeRit 1-3 250.000,00 2.025.000.000,00 4-6 325.000,00 2.632.500.000,00 7-9 422.500,00 3.422.250.000,00 10-12 549.250,00 4.448.925.000,00 13-15 714.025,00 5.783.602.500,00 16-18 928.232,50 7.518.683.250,00 19-21 1.206.702,25 9.774.288.225,00 22-24 1.568.712,93 12.706.574.692,50 25 2.039.326,80 16.518.547.100,25 Dengan menaikan harga jual debu 30 persen per-tiga tahun, maka selama lima tahun PLTSa masih mendapatkan laba penjualan sekitar 20 persen. Harga penjualan debu pada tahun pertama Rp 250.000 per-rit sampai tahun ke-tiga. Kemudian pada tahun ke-empat sampai ke-enam mengalami kenaikan sebanyak 30 persen menjadi Rp 325.000 per-rit. Penjualan ini terus naik secara bertahap sampai tahun ke-25 menjadi Rp 2.039.326,80 per-rit. 7.1.1.3 Retribusi Sampah PLTSa mengeluarkan biaya operasional yang cukup tinggi disetiap periodenya. Untuk meringankan biaya operasional, maka DLHK mengambil jasa pengelolaan sampah kepada masyarakat dengan pengambilan retribusi sampah. Nilai retribusi kebersihan dari DLHK Kota Bogor adalah Rp 243.028.742,58 perbulan, sedangkan pendapatan retribusi untuk satu tahun adalah Rp 2.916.344.911. Nilai retribusi yang dimasukan kedalam cashflow didasarkan pendapatan rata-rata retribusi sampah di DLHK selama kurun waktu lima tahun. Proyeksi pendapatan retribusi dapat dilihat pada pada Tabel 10. Tabel 10 Proyeksi Nilai Retribusi Sampah Kota Bogor Tahun 2009 Tahun Biaya Operasional Retribusi Persentase (%) 2003 6.359.300.900 2.000.026.350 31,45 2004 9.160.158.000 2.542.720.160 27,76 2005 15.551.432.800 2.836.788.000 18,24 2006 17.641.613.000 3.624.600.000 20,55 2007 17.937.718.000 3.577.590.045 19,94 Rata-rata 13.330.044.540 2.916.344.911 23,59 Sumber : Dinas lingkungan Hidup dan Kebersihan (2007) Pendapatan retribusi akan mengalami peningkatan sebesar 30 persen (asumsi peningkatan taraf hidup masyarakat yang berimbas pada peningkatan jumlah rumah dan kenaikan barang-barang konsumsi). Sehingga, hal tersebut akan berimbas pada kenaikan pada pendapatan retribusi, dalam rentang waktu tiga tahun sekali. Pihak yang membayar tarif retribusi diasumsikan seluruh masyarakat Kota Bogor, dengan mekanisme penarikan retribusi dikembalikan pada nota kesepahaman yang telah ditunjuk oleh pemerintah Kota Bogor yaitu tarif didasarkan pendekatan pemakain air PDAM, sedangkan untuk non-pelanggan PDAM mekanisme penarikan retribusi dilakukan oleh dinas pendapatan daerah (dispenda) Kota Bogor. Adapun rincian retribusi yang harus dibayarkan masyarakat tidak di informasikan kepada penulis. Rata-rata pendapatan retribusi yang diterima DLHK adalah Rp 2.916.344.911 selama lima tahun terakhir, sehingga proyeksi pendapatan per-tiga tahunan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Proyeksi Pendapatan Retribusi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Tahun KeRp/tahun 1-3 2.916. 344.911,00 4-6 3.791.248.384.30 7-9 4.928.622.899,59 10-12 6.407.209.769,47 13-15 8.329.372.700,31 16-18 10.828.184.510,40 19-21 14.076.639.863,52 22-24 18.299.631.822,57 25 23.789.521.369,35 7.1.1.4 Subsidi APBD Kota Bogor Pelaksanaan usaha PLTSa membutuhan biaya investasi yang sangat besar, yaitu sebesar Rp 50.347.703.000 untuk biaya investasi diawal tahun, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan PLTSa membutuhkan dana sebagai modal awal investasi. DLHK akan mengajukan dana sebesar 50 miliyar untuk perbaikan pelayanan kebersihan dari dana cadangan APBD Kota Bogor. Dana ini di keluarkan APBD sebagai upaya pemerintah Kota Bogor dalam penanganan permasalahan sampah di Kota Bogor, terutama terkait dengan masalah kesehatan dan lingkungan di lokasi TPA. 7.1.1.5 Nilai Sisa Nilai sisa merupakan nilai di akhir proyek yang berasal dari peralatan dan mesin–mesin yang masih memiliki umur ekonomis. Nilai sisa ini terbagi menjadi tiga komponen, yaitu nilai sisa dari investasi mesin dan sistem operasi, nilai sisa dari investasi konstruksi pabrik dan pengolahan limbah serta nilai sisa dari investasi transmisi listrik dan biaya pra investasi. Nilai sisa tersebut dinyatakan dalam satuan rupiah. Pada Tabel 12. dapat diketahui untuk nilai sisa dari investasi mesin memiliki nilai sisa sebesar Rp 1.500.000, sedangkan untuk sistem operasi tidak memiliki nilai sisa karena sistem operasi merupakan beban biaya sertifikasi sebagai jaminan pabrik akan beroperasi dengan baik selama periode umur proyek. Cara perhitungan nilai sisa berdasarkan penyusutan garis lurus, contoh perhitungan untuk mesin generator yaitu: harga per-unit generator Rp 800.000.000 dengan umur teknis 10 tahun, nilai penyusutan per-tahunnya adalah Rp 800.000.000 : 10 tahun = Rp 80.000.000. Apabila umur proyek 25 tahun maka berdasarkan umur teknis generator akan mengalami tiga kali pembelian dan masih memiliki umur teknis selama lima tahun, sehingga nilai sisa dari generator adalah lima tahun dikali nilai penyusutan adalah Rp 400.000.000 begitupula untuk perhitungan peralatan dan prasarana penunjang PLTSa lainnya. Total nilai sisa pembangunan transmisi listrik adalah Rp 44.367.667. Total nilai sisa tersebut diperoleh dari beban penyusutan dikali dengan sisa umur ekonomis, sedangkan komponen-komponen investasi lain tidak mempunyai nilai karena komponen tersebut diasumsikan habis selama proyek berlangsung. Tabel 12 Nilai Sisa Investasi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Umur Penyusutan Uraian Total Nilai Tekni per Tahun s Generator 10 800.000.000 80.000.000 Nilai Sisa 400.000.000 Fluel Handling Supply Water System Total Biaya Investasi Mesin Tiang No.1 (tiang awal-kabel nail)TM-11B Tiang Tumpu Tiang Double Tumpu Guy Set (stay) lengkap untuk tiang bulat Konduktor Fasa SUTM (termasuk sagging) Penggantian Kabel PLN dari tiang ke gardu Kabel 20 Kv, N2XSEBY 3 x 70 sqmm (tertanam) 20 kV Kabel Tranmisi Biaya Pemasangan SUTM Total Biaya Transmisi Listrik ke Gardu PLN Total Biaya 15 1.800.000.000 120.000.000 600.000.000 10 1.000.000.000 100.000.000 500.000.000 23.662.000.000 1.294.480.000 1.500.000.000 15 15 19.500.000 19.500.000 1.300.000 1.300.000 6.500.000 6.500.000 15 5.200.000 346.667 1.733.333 15 6.250.000 416.667 2.083.333 15 9.000.000 600.000 3.000.000 15 3.000.000 200.000 1.000.000 15 59.653.000 3.976.867 19.884.333 15 6.000.000 400.000 2.000.000 15 5.000.000 333.333 1.666.667 133.103.000 8.873.533 44.367.667 41.347.703.000 2.361.457.533 1.544.367.667 7.1.2 Arus Biaya (Outflow) Arus biaya (outflow) merupakan pengeluaran–pengeluaran yang akan terjadi selama usaha berlangsung. Pada unit usaha PLTSa Kota Bogor, komponen arus biaya (outflow) terdiri dari biaya investasi yang terdiri dari biaya investasi mesin dan sistem operasi, biaya investasi konstruksi pabrik dan transmisi listrik, biaya pra-investasi dan operasional yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. 7.1.2.1 Biaya Investasi Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal umur proyek secara keseluruhan. Barang–barang investasi akan habis dipakai jika umur ekonomis dari barang tersebut telah habis waktunya. Kegiatan investasi juga dapat dilakukan lagi jika umur ekonomis dari barang tertentu telah habis sedangkan pelaksanaan proyek belum berakhir, kegiatan ini disebut sebagai re-investasi peralatan, mesin, bangunan ataupun prasarana-prasarana yang mendukung kegiatan proyek. 7.1.2.1.1 Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi Pada Tabel 13. biaya investasi pada unit usaha PLTSa Kota Bogor dikeluarkan pada tahun ke nol, yaitu tahun dimana sarana prasarana pabrik PLTSa dibangun, namun output PLTSa belum dapat dihasilkan. Komponen yang paling penting dari pembangunan unit usaha PLTSa adalah pada komponen mesin dan sistem operasi, dapat diketahui investasi terbesar adalah pembelian mesin Broiler Island yaitu sebesar Rp 12.720.000.000. Alat mesin pemanas air yang digunakan untuk menghasilkan uap diperoleh dengan cara merakit sendiri dengan kemampuan yang di disain mendekati teknologi PLTSa Taichang Xienxin Refuse Inceneration, sehingga diharapkan alat tersebut selain memiliki kualitas yang lebih baik juga harga per unit mesin akan lebih murah jika dibandingkan dengan memesan langsung dari cina. Tabel 13 Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Uraian Jumlah Harga/Satuan (satuan/unit) Broiler Island 1 12.720.000.000 Turbine Island 1 6.342.000.000 Generator 1 800.000.000 Balance of Plant 1 3.000.000.000 Pengolahan Gas Buang 1 2.300.000.000 Control Management System 1 1.000.000.000 Flue Handling 1 1.800.000.000 Supply Water System 1 1.000.000.000 Test and Commissioning 1 3.500.000.000 Sertifikasi Layak Operasi 1 200.000.000. Total Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi 7.1.2.1.2 Umur Ekonomis (tahun) 25 25 10 12.720.000.000 6.342.000.000 800.000.000 25 3.000.000.000 25 2.300.000.000 5 15 1.000.000.000 1.800.000.000 10 1.000.000.000 25 3.500.000.000 5 200.000.000 32.662.000.000 TOTAL INVESTASI Biaya Investasi Konstruksi Pabrik dan Transmisi Listrik Komponen dari konstruksi pabrik terdiri dari dari empat komponen utama yaitu bangunan utama (bungker, ruang bongkar muat dan ruang pembakaran), Cooling Tower (ruang pendingin uap), cerobong (bangunan untuk pengolahan gas buang), kolam penampungan untuk mengolah air lindi serta fasilitas penunjang berupa drainase dan pagar. Komponen biaya untuk investasi konstruksi pabrik dan transmisi listrik dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Biaya Investasi Konstruksi Pabrik dan Transmisi Listrik dari PLTSa Tahun 2009 Uraian Jumlah (satuan/un it) 1 Harga/Satua n Electrical 133.103.000 Construct 14.552.600.0 ion 1 00 Total Biaya Investasi Bangunan Umur Ekonomis (tahun) 15 25 TOTAL INVESTASI 133.103.000 14.552.600.000 14.685.703.000 Total biaya investasi untuk konstruksi pabrik sebesar Bagian terperinci untuk masing-masing komponen dapat dilihat pada Lampiran 2. 7.1.2.1.3 Biaya Pra-Investasi dari Unit Usaha PLTSa Biaya pra-investasi dikeluarkan pada saat proyek belum dibangun. Rincian biaya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Biaya Pra-Investasi PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Satuan Umur Harga/Satua Uraian / Ekonomis Total Investasi n Jumlah (tahun) Biaya Konsultasi 1 Paket 1.500.000.00 1.500.000.00 Manajemen 0 10 0 1 Paket Perizinan, Amdal , dll 500.000.000 5 500.000.000 Modal Kerja 1 Paket 1.000.000.00 1.000.000.00 Operasional 0 25 0 Total Biaya Pranvestasi 3.000.000.00 0 Biaya re-investasi yang dilakukan seperti : Control Management System, Sertifikasi Layak Operasi, Kolam Penampungan Air, Fasilitas Penunjang, Perizinan, Amdal, dll. Re-Investasi setiap 10 tahunan dilakukan pada mesin generator, supplay water system dan biaya konsultasi manajemen yaitu pada tahun ke-11 dan tahun ke-21. Total biaya re-investasi adalah sebesar Rp 17.033.103.000. Pada unit usaha PLTSa biaya yang dikeluarkan berupa biaya konsultasi manajemen, perizinan amdal dan modal kerja operasional. Total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 3.000.000.000, dimana komponen yang paling tinggi pada biaya konsultasi manajemen yaitu sebesar Rp 1.500.000.000. Sarana prasarana yang ada dalam pebangunan unit usaha PLTSa memiliki umur ekonomis yang tidak sama dengan umur proyek sehingga dilakukan re-investasi setelah umur ekonomis alat tersebut berakhir. Rincian biaya re-investasi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Biaya Re-Investasi PLTSA Kota Bogor Tahun 2009 (dalam juta rupiah) PERIODE INVESTASI Umur (tahun) Uraian Teknis 6 11 16 21 Generator 10 0 800 0 800 Control Management System 5 1.000 100 100 1.000 Fluel Handling 15 0 0 1.800 0 Supply Water System 10 0 1.000 0 1.000 Sertifikasi Layak Operasi 5 200 200 200 200 Drainase 5 250 250 250 250 Pagar 5 175 175 175 175 Tiang No.1 (tiang awal-kabel nail)TM-11B 15 0 0 19,5 0 Tiang Tumpu 15 0 0 19,5 0 Tiang Double Tumpu 15 0 0 5,2 0 Guy Set (stay) lengkap untuk tiang bulat 15 0 0 6,25 0 Konduktor Fasa SUTM (termasuk sagging) 15 0 0 9 0 Penggantian Kabel PLN dari tiang ke gardu 15 0 0 3 0 Kabel 20 Kv, N2XSEBY 3 x 70 sqmm (tertanam) 15 0 0 59,653 0 20 kV Kabel Tranmisi 15 0 0 6 0 Biaya Pemasangan SUTM 15 0 0 5 0 Biaya Konsultasi Managemen 10 0 1.500 0 1.500 Perizinan, Amdal , dll 5 500 500 500 500 Total Biaya Tahun ke2.125 5.425 4.058,103 5.425 Total Biaya Re-investasi Selama Proyek 17.033,103 7.1.2.2 Biaya Operasional Biaya operasional merupakan keseluruhan biaya yang berhubungan dengan kegiatan operasional (produksi) dari unit usaha PLTSa. Biaya ini terbagi menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. 7.1.2.2.1 Biaya Tetap Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu yang tidak berpengaruh langsung pada output yang dihasilkan unit usaha PLTSa. Dalam hal ini yang tergolong dalam biaya tetap adalah tenaga kerja, overhead kantor dan operasional DLHK. Rincian biaya tetap untuk tenaga kerja pada unit usaha PLTSa dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rincian Biaya Tetap untuk Tenaga Kerja PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Total Biaya Jumlah Harga/ Tetap Uraian (satuan/bulan) satuan (Rp) (Rp/tahun) 6.000.000 72.000.000 Plant Manager 1 Asst Manager 1 4.000.000 48.000.000 Supervisor Adm. Keuangan dan Umum 2 2.500.000 60.000.000 1.500.000 18.000.000 Teknisi dan Operator 6 3.000.000 216.000.000 Driver 71 1.500.000 1.278.000.000 Security 4 1.500.000 72.000.000 Helper 261 1.000.000 3.132..000.000 900.000 10.800.000 4.906.800.000 Office Boy Total Biaya Tenaga Kerja 1 1 Total kebutuhan tenaga kerja berdasarkan untuk teknisi dan operator sebanyak 6 orang yang menempati posisi penimbangan, penirisan, proses pembakaran, sistem transmisi listrik, pengolahan gas buang dan debu serta pengolahan air lindi. Security ditempatkan di pintu masuk sebanyak dua orang, pintu keluar satu orang dan kantor satu orang. Driver yang diperlukan adalah 5 orang untuk sopir pick-up, 63 orang untuk sopir dump-truck dan satu orang untuk sopir excavator/bulldozer dan dua orang untuk sopir cadangan serta satu orang untuk sopir operasional kantor. Helper yang diperlukan sebanyak 261 orang, masing-masing dibutuhkan satu orang untuk kuli angkut pada masing-masing armada pick-up, empat orang pada masing-masing armada dump-truck dan dua orang untuk juru bantu di lokasi tempat masuk sampah, satu orang di lokasi system opeasi PLTSa serta satu orang sebagai office boy di kantor. Komponen biaya tetap lainnya yaitu untuk biaya overhead pabrik, kantor dan kendaraan dapat dilihat pada Tabel 18. Unit usaha PLTSa dalam kegiatan operasional pengolahan sampah mengunakan mesin dengan teknologi terbaru sehingga secara keseluruhan untuk biaya tenaga kerja termasuk kedalam biaya tetap. Tabel 18 Rincian Biaya Tetap untuk Overhead Pabrik, Kantor dan Kendaraan PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Uraian Satuan Tran. Lokal dan Luar Kota paket/ bulan paket/ bulan paket/ bulan Spare Part paket Pemeliharaan Prasarana paket Monitoring Polutan paket Air yang diuapkan m3 Air untuk Kondensor dan Broiler m3 Tambahan Air m3 Alat Tulis Kantor Jumlah Harga(Rp)/ Satuan Total Biaya (Rp/tahun) 2.000.000,00 24.000.000,00 6.000.000,00 72.000.000,00 10.000.000,00 120.000.000,00 23.662.000.000,00 662.536.000,00 14.685.703.000,00 22.028.554,50 41.666.666,67 500.000.000,00 4.000,00 82.114.560,00 4.000,00 93.312.000,00 175.426.560,00 35.085.312,00 10.000.000,00 120.000.000,00 750.000,00 1 0,3 % dari Total Investasi 50.347.703.000 Ganti oli, servis Maintenance paket/ dll untuk 69 pick 500.000,00 Kendaraan bulan up dan dump truk Maintenance Alat paket/ Ganti oli, servis 1.000.000,00 berat bulan dll 2 Ekcavator 0,3 % dari Total paket/ Asuransi 3 % Investasi 10.350.000.000 bulan kendaraan Total Biaya Overhead Pabrik, Kantor dan Kendaraan 9.00.000,00 Telpon dan Fax BBM+Oil+Mantenence Pembinaan Instansi (Representatif) Asuransi Mesin dan Bangunan 3 % paket/ bulan paket/ bulan paket/ bulan 1 1 1 4% x 70% x Investasi Peralatan 0,5 % x 30 % x Investasi Bangunan 1 0,66 liter/detik x 12 bulan x 30 hari x 24 jam x 60 detik x 60 menit 2,7 m3 per jam x 24 jam x 30 hari x 12 bulan 20 % dari Total Kebutuhan Air 1 151.043.109,00 414.000.000,00 24.000.000,00 , 31.050.000,00 420.000.000.00 7.1.2.2.2 Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan dimana besar biaya tersebut sangat tergantung dari jumlah produk yang dihasilkan. Dalam penelitian ini besar biaya variabel tergantung dari jumlah sampah yang akan diolah. Biaya variabel pada usaha PLTSa terbagi menjadi dua, yaitu biaya variabel untuk pengolahan sampah dan biaya variabel untuk pengangkutan sampah. Total biaya variabel pada masing-masing komponen adalah Rp 1.170.000.000 dan Rp 5.827.500.000. Bahan baku utama dalam unit usaha PLTSa adalah sampah, namun karena belum ada nilai yang pasti untuk dikonversikan kedalam rupiah, maka sampah tidak termasuk dalam komponen biaya variabel. Komponen yang menjadi biaya variabel untuk pengolahan sampah dengan teknologi PLTSa adalah CaO, asetilen dan karbon aktif sebagai bahan untuk mengurangi kadar polusi. Total biaya variabel yang dibutuhkan adalah Rp 6.997.500.000 disetiap tahunnya, dengan rincian biaya terdapat pada Tabel 19. Tabel 19 Rincian Biaya Variabel PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Total Biaya Satua Harga/satua Uraian Kebutuhan Variabel n n (Rp) (Rp/tahun) 2,5 kg/ton sampah CaO Kg per hari x 250 ton x 600,00 135.000.000,00 30 hari x 12 bulan 0,05 m3/jam x 250 Asetilen m3 ton x 30 hari x 12 50.000,00 225.000.000,00 bulan 21 kg/ton x 250 ton Karbon aktif Kg 9.000,00 225.000.000,00 x 30 hari x 12 bulan 1.170.000.000,0 Total Biaya Variabel Pengolahan Sampah 0 20 liter x (1515 m3/12 m3) x 30 hari 4.999.500.000,0 BBM TPA liter x 12 bulan 5.500,00 0 20 liter x 5 x 30 hari BBM TPS liter x 12 bulan 6.500,00 234.000.000,00 BBM Alat 300 liter x 1 x 30 Berat liter hari x 12 bulan 5.500,00 594.000.000,00 5.827.500.000,0 Total Biaya Variabel Pengangkutan Sampah 0 6.997.500.000,0 Total biaya Variabel 0 Pada prinsip ekonomi, pada setiap waktu akan terjadi peningkatan kebutuhan untuk meningkatkan kepuasan, juga untuk yang lainnya sehingga biaya operasional diasumsikan akan mengalami peningkatan 10 persen per dua tahunan. Hal ini diambil dari asumsi rata-rata tingkat inflasi pertahun adalah empat persen, sehingga total inflasi selama dua tahun adalah delapan persen. Dengan demikian PLTSa memiliki cadangan dana dua persen per-dua tahun proyek. Perubahan peningkatan untuk biaya tetap dan variabel dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Perubahan Biaya Operasional PLTSa Kota Bogor Selama Proyek Tahun 2009 Tahun Total Biaya Tetap (Rp) Total Biaya Variabel (Rp) 1-2 9.996.483.068,83 6.997.500.000,00 3-4 10.996.131.375,71 7.697.250.000,00 5-6 12.095.744.513,28 8.466.975.000,00 7-8 13.305.318.964,61 9.313.672.500,00 9-10 14.635.850.861,07 10.245.039.750,00 11-12 16.099.435.947,18 11.269.543.725,00 13-14 17.709.379.541,90 12.396.498.097,50 15-16 19.480.317.496,09 13.636.147.907,25 17-18 21.428.349.245,70 14.999.762.697,98 19-20 23.571.184.170,27 16.499.738.967,77 21-22 25.928.302.587,30 18.149.712.864,55 23-24 28.521.132.846,02 19.964.684.151,00 25 31.373.246.130,63 21.961.152.566,11 7.1.3 Kelayakan Finansial Usaha PLTSa Skenario II Kelayakan finansial usaha PLTSa dilihat dari beberapa kriteria, yaitu NPV, IRR, Net B/C dan Pay back Period. Pada Tabel 20. memperlihatkan hasil analisis finansial kelayakan usaha PLTSa dengan tingkat discount rate 7 persen. Berdasarkan Tabel 21. menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif sebesar Rp 10.781.436.315,13. Nilai ini berarti usaha PLTSa yang dilakukan menurut nilai sekarang adalah belum menguntungkan untuk dilaksanakan karena memberikan kerugian sebesar Rp 10.781.436.315,13 selama umur proyek (25 tahun). Tabel 21 Kriteria Kelayakan Finansial PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 No Kriteria Kelayakan Nilai 1 NPV (Rp) (10.781.436.315,13) 2 IRR (%) 3,02 3 Net B/C 0,55 4 Payback period 72,41 Nilai IRR usaha PLTSa yang diperoleh adalah 3,02 persen. Nilai ini berada di atas nilai discount rate yang berlaku, yaitu 7 persen sehingga usaha PLTSa belum memenuhi kriteria kelayakan finansial. Nilai Net B/C pada usaha tersebut adalah 0,55 yang berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan pada unit usaha PLTSa kapasitas 250 ton akan menambah manfaat bersih sebesar Rp 0,55 atau rugi Rp 0,45. 7.2 Analisis Kelayakan Usaha PLTSa Skenario II Pada skenario II PT X merupakan unit entitas bisnis murni yang dengan komponen manfaat dan biaya yang memiliki nilai yang sama seperti PLTSa skenario I, namun poin yang akan dibahas hanya beberapa komponen inflow dan outflow yang berbeda saja. Untuk komponen inflow harga penjualan listrik dan debu adalah sama karena jumlah sampah yang diolah pada skenario II sama yaitu sebanyak 250 ton/hari. Untuk komponen outflow biaya investasi dan re-investasi, biaya operasional dan sebagainya. Sedangkan komponen yang berbeda pada subbab inflow adalah modal investasi PLTSa PT X berasal dari pinjaman dari bank dan tipping fee yang harus dibayar pemkot ke PLTSa sebagai public service atau pembayaran atas jasa pengelolaan dan pengolahan sampah oleh PLTSa PT X dari pemerintahan Kota Bogor. Untuk komponen outflow adalah adanya biaya angsuran pinjaman yang harus dibayar PLTSa atas pinjaman modal investasi dan beban pajak yang harus dikeluarkan dari keuntungan bersih kena pajak PT X. 7.2.1 Arus Manfaat (Inflow) Manfaat atau inflow merupakan segala sesuatu yang dapat menambah pendapatan bagi usaha dengan kata lain segala sesuatu yang diperoleh setelah adanya pengorbanan atau biaya. Pada usaha PLTSa skenario II manfaat yang diperoleh berasal dari penjualan listrik, penjualan debu, tiping fee dan pinjaman dari bank serta nilai sisa dari barang investasi pada akhir umur proyek atau usaha dan yang akan dijelaskan secara rinci adalah komponen tipping fee, serta pinjaman dari bank. 7.2.1.1 Penjualan Listrik Nilai penjualan listrik diperoleh dari volume produksi listrik dikalikan dengan harga jual listrik. Produksi listrik pada PLTSa adalah 1.600 kw/jam, pemakaian listrik dari pabrik tersebut adalah 25 persen dari output perjamnya sehingga pemakaian listrik perhari adalah 9.600 kwh dan perkiraan kehilangan listrik pada saat proses produksi adalah 10 persen. Total produksi listrik bersih yang dapat dijual adalah ((1.600 kwh x 24 jam) – 9.600 kw per-hari) x (100 % - 10 %)) x 30 hari x 12 bulan adalah 9.331.200 kilowatt pertahun. Harga penjualan perkwh listrik ke PLN adalah Rp 500, sehingga total nilai penjualan bersih listrik pertahun adalah RP 4.665.600.000. Penjualan listrik PLTSa akan meningkat 30 persen per-lima tahunan. Hal ini dilakukakan menurut prediksi peneliti dari Tim LPPM ITB subsisi listrik akan dihapus oleh pemerintah secara bertahap. Asumsi lain yang digunakan adalah ratarata inflasi pertahun sekitar empat persen, berarti dalam kurun waktu lima tahun inflasi akan mencapai 20 persen. Sehingga, proyeksi pendapatan per-lima tahunan listrik dalam chashflow dapat dilihat pada Tabel 8. 7.2.1.2 Penjualan Debu Jumlah produksi debu dari limbah PLTSa adalah 20 persen dari berat sampah yang diolah. Penetapan harga penjualan debu disesuaikan dengan penjualan pasir yaitu per-ritasi (rit) truk. Jumlah sampah yang diolah adalah 250 ton, debu yang dihasilkan adalah 50 ton, jika berat berbanding volume untuk debu adalah 0,25 dan debu yang hilang adalah 10 persen maka jumlah pasir yang dihasilkan adalah 180 m3. Jumlah debu/rit adalah 8 m3 maka jumlah debu yang akan terjual adalah 22,5 rit/hari atau 8.100 rit/tahun. Nilai penjualan debu diasumsikan 50 persen harganya lebih rendah dari harga pasir (Rp 500.000 x 50 persen) yaitu Rp 250.000, sehingga nilai penjulan debu selama satu tahun adalah Rp 2.025.000.000. dalam kurun waktu tiga tahunan harga penjualan debu diasumsikan naik 30 persen, proyeksi perubahannya dapat dilihat pada Tabel 9. 7.2.1.3 Tipping Fee/Public Service Tipping Fee/Public Service adalah Pendapatan lain yang diperoleh dari pemerintah sebagai pembayaran jasa dari pengolahan sampah yang diambil dari biaya pelayanan yang selama ini dibayarkan masyarakat ke DLHK yaitu dalam bentuk penerimaan retribusi. Pendapatan tipping fee akan mengalami peningkatan sebesar 30 persen dalam rentang waktu tiga tahun sekali, sehingga proyeksi pendapatan per-tiga tahunan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Proyeksi Pendapatan Tipping Fee Tahunan PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Tahun KeRp/tahun 1-3 10.800.000.000,00 4-6 14.040.000.000,00 7-9 18.252.000.000,00 10-12 23.727.600.000,00 13-15 30.845.880.000,00 16-18 40.099.644.000,00 19-21 52.129.537.200,00 22-24 67.768.398.360.00 25 88.098.917.868,00 Tipping fee didasarkan pada biaya operasional yang harus dibayarkan institusi sebelumnya karena adanya biaya operasional pengelolaan dan pengolahan sampah. Tipping fee yang harusnya dibayarkan PLTSa adalah Rp 136.936,67/ton sampah yang diolah, namun karena pertimbangan biaya tipping fee yang terlalu mahal jika dibandingkan dengan biaya operasional yang biasa dikeluarkan DLHK sehingga penetapan tipping fee sebesar Rp 120.000/ton sampah yang diolah, hal ini diambil dari 50 persen tipping fee yang harus dibayarkan pemkot Kota Bandung untuk PLTSa (jumlah sampah yang diolah Kota Bogor 50 persen dari jumlah sampah Kota Bandung). 7.2.1.4 Modal Pinjaman Bank Pelaksanaan usaha PLTSa membutuhan biaya investasi yang sangat besar, yaitu sebesar Rp 50.347.703.000 untuk biaya investasi diawal tahun, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan PLTSa membutuhkan dana sebagai modal awal investasi. PT X akan mengajukan dana sebesar 50 miliyar untuk biaya investasi proyek PLTSa. Pinjaman akan dibayar dengan angsuran tetap selama 10 tahun Suku bunga yang ditetapkan adalah 17 persen yaitu bunga pinjaman di BRI tahun 2008, penjelasan lebih lanjut terdapat di komponen outflow. 7.2.1.5 Nilai Sisa Nilai sisa merupakan nilai di akhir proyek yang berasal dari peralatan dan mesin–mesin yang masih memiliki umur ekonomis. Nilai sisa ini terbagi menjadi tiga komponen, yaitu nilai sisa dari investasi mesin dan sistem operasi, nilai sisa dari investasi konstruksi pabrik dan pengolahan limbah serta nilai sisa dari investasi tranmisi listrik dan biaya pra investasi. Nilai sisa dari investasi mesin memiliki nilai sisa sebesar Rp 1.500.000, sedangkan untuk sistem operasi tidak memiliki nilai sisa karena sistem operasi merupakan lisensi yang harus dibayarkan kepada pemilik sistem PLTSa yang di ambil manfaatnya oleh PLTSa PT X serta sebagai jaminan pabrik beroperasi dengan baik. Total nilai sisa pembangunan tranmisi listrik adalah Rp 44.367.667. Total nilai sisa tersebut diperoleh dari beban penyusutan dikali dengan sisa umur ekonomis, sedangkan komponen-komponen investasi lain tidak mempunyai nilai karena komponen tersebut diasumsikan habis selama proyek berlangsung (Tabel 12). 7.2.2 Arus Biaya (Outflow) Arus biaya (outflow) merupakan pengeluaran–pengeluaran yang akan terjadi selama usaha berlangsung. Pada unit usaha PLTSa PT X, komponen arus biaya (outflow) terdiri dari biaya investasi yang terdiri dari biaya investasi mesin dan sistem operasi, biaya investasi konstruksi pabrik dan transmisi listrik, biaya prainvestasi dan operasional yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. 7.2.2.1 Biaya Investasi Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal umur proyek secara keseluruhan. Barang–barang investasi akan habis pakai jika umur ekonomis dari barang tersebut telah habis. Kegiatan investasi juga dapat dilakukan lagi jika umur ekonomis dari barang tertentu telah habis, hal ini disebut sebagai reinvestasi. 7.2.2.1.1 Biaya Investasi Mesin dan Sistem operasi Biaya investasi pada unit usaha PLTSa PT. X dikeluarkan pada tahun ke nol, yaitu tahun dimana sarana prasarana pabrik PLTSa dibangun, namun output PLTSa belum dapat dihasilkan. Komponen yang paling penting dari pembangunan unit usaha PLTSa adalah pada komponen mesin dan sistem operasi, dapat diketahui investasi terbesar adalah pembelian mesin Broiler Island yaitu sebesar Rp 12.720.000.000. Alat mesin pemanas air yang digunakan untuk menghasilkan uap diperoleh dengan cara merakit sendiri dengan kemampuan yang disain mendekati teknologi PLTSa Taichang Xienxin Refuse Inceneration, sehingga diharapkan alat tersebut selain memiliki kualitas yang lebih baik juga harga per unit mesin akan lebih murah jika dibandingkan dengan memesan langsung dari cina (dapat dilihat pada Tabel 13). 7.2.2.1.2 Biaya Investasi Konstruksi Pabrik dan Transmisi Pabrik Komponen dari konstruksi pabrik terdiri dari dari empat komponen utama yaitu bangunan utama (bungker, ruang bongkar muat dan ruang pembakaran), Cooling Tower (ruang pendingin uap), cerobong (bangunan untuk pengolahan gas buang), kolam penampungan untuk mengolah air lindi serta fasilitas penunjang berupa drainase dan pagar. Total biaya investasi untuk konstruksi pabrik sebesar pada masing-masing komponen dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 2. 7.2.2.1.3 Biaya Pra-Investasi dari Unit Usaha PLTSa Sarana prasarana yang ada dalam pebangunan unit usaha PLTSa memiliki umur ekonomis yang tidak sama dengan umur proyek sehingga dilakukan reinvestasi setelah umur ekonomis alat tersebut berakhir (dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16). Biaya re-investasi yang dilakukan seperti : Control Management System, Sertifikasi Layak Operasi, Kolam Penampungan Air, Fasilitas Penunjang, Perizinan, Amdal, dll. Re-Investasi setiap 10 tahunan di lakukan pada mesin generator, supplay water system dan biaya konsultasi manajemen yaitu pada tahun ke-11 dan tahun ke-21. Total biaya re-investasi adalah sebesar Rp 17.033.103.000. . 7.2.2.2 Biaya Operasional Biaya operasional merupakan keseluruhan biaya yang berhubungan dengan kegiatan operasional (produksi) dari unit usaha PLTSa. Biaya ini terbagi menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. 7.2.2.2.1 Biaya Tetap Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu yang tidak berpengaruh langsung pada output yang dihasilkan PLTSa. Dalam hal ini yang tergolong dalam biaya tetap adalah tenaga kerja, overhead kantor dan operasional DLHK (dapat dilihat pada Tabel 17,18 dan 19). Unit usaha PLTSa dalam kegiatan operasional pengolahan sampah mengunakan mesin dengan teknologi terbaru sehingga secara keseluruhan untuk biaya tenaga kerja termasuk kedalam biaya tetap karena jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tidak mempengaruhi output yang dihasilkan. Total biaya tenaga kerja paling tinggi ada pada tenaga bantu (helper) sebanyak Rp 4.906.00.800. 7.2.2.1.2 Biaya Variabel Dalam penelitian ini besar biaya variabel tergantung dari jumlah sampah yang akan diolah. Biaya variabel pada usaha PLTSa terbagi menjadi dua, yaitu biaya variabel untuk pengolahan sampah dan biaya variabel untuk pengangkutan sampah. Total pada biaya variabel masing-masing adalah Rp 1.170.000.000 dan Rp 5.827.500.000. Bahan baku utama dalam unit usaha PLTSa adalah sampah, namun karena belum ada nilai yang pasti untuk dikonversikan kedalam rupiah, maka sampah tidak termasuk dalam komponen biaya variabel. Komponen yang menjadi biaya variabel untuk pengolahan sampah dengan teknologi PLTSa adalah CaO, asetilen dan karbon aktif. Total biaya variabel yang dibutuhkan adalah Rp 6.997.500.000 pada setiap tahunnya (dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19). Pada prinsip ekonomi, pada setiap waktu akan terjadi peningkatan kebutuhan untuk meningkatkan kepuasan, juga untuk yang lainnya sehingga biaya operasional diasumsikan akan mengalami peningkatan 10 persen per dua tahunan (dapat dilihat pada Tabel 20). 7.2.2.3 Biaya Angsuran Pinjaman Analisis finansial kelayakan usaha PLTSa pada skenario II memperoleh pinjaman modal dari bank BRI sebesar Rp 50.000.000.000. lamanya pinjaman yaitu 10 tahun, dengan bentuk pengembalian adalah angsuran tetap. Perhitungan angsuran pinjaman pokok dan bunga pinjaman sebagai berikut : Rumus Perhitungan Angsuran Kredit (Nilai Angsuran Tetap) Angsuran per tahun = Pinjaman x {interest x (1 + interest)^periode} {(1 + interest)^periode - 1} Sedangkan rincian pijaman yang harus dibayarkan kepada pihak bank dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Pembayaran Angsuran Pinjaman PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Nilai Uraian Satuan Pinjaman Rp 50.000.000.000 Jangka Waktu Angsuran Tahun 10 Tingkat Suku Bunga Persen 17 Capital Recovery Faktor 0,21 Angsuran Kredit per-Tahun Rp/tahun 10.732.829.833,89 Total yang harus dibayarkan Rp 107.328.298.338,89 7.2.2.4 Pajak Penghasilan Usaha Besarnya pajak yang dikeluarkan tergantung dari perolehan laba PLTSa setiap tahunnya. Rujukan perhitungan pajak penghasilan diperoleh dari laporan rugi laba yang dapat dilihat pada Tabel 24. PLTSa baru mendapatkan pendapatan positif ditahun ke-tujuh, sehingga mulai tahun ke tujuh PLTSa dikenakan pajak. Jumlah pendapatan bersih yang dihasilkan PLTSa lebih besar daripada seratus juta sehingga pajak yang dikenakan sesui ketentuan pada poin ke empat yaitu pajak yang harus dibayarkan PLTSa kepada Pemerintah berdasarkan undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan badan usaha, lebih dari 100 juta dikenakan pajak 10 persen, ditambah 50 juta dikenakan pajak 15 persen, ditambah selisih pendapatan setelah dikurangi 100 juta dikenakan pajak 30 persen. Contoh perhitungan adalah pada tahun ke-tujuh PLTSa PT X mendapatkan keuntungan bersih Rp 3.969.174.491,31. Sehingga, pajak pertama yang harus dikeluarkan adalah lebih dari 100 juta dikenakan pajak 10 persen dari 50 juta pertama yaitu Rp 5.000.000 ditambah 15 persen dari 50 juta kedua yaitu Rp 7.500.000. Sisanya (Rp 3.969.174.491,31 – Rp 100.000.000 = Rp 3.869.172.491,31) dikali 30 persen yaitu Rp 1.160.752.347,39. Jadi total pajak yang harus dikeluarkan adalah Rp 5.000.000 + Rp 7.500.000 + Rp 1.160.752.347,39 = Rp 1.173.252.347,39 dan seterusnya sama. Tabel 24 Proyeksi Pembayaran Pajak PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Tahun KeRp/tahun 7 1.173.252.347,39 8 1.465.358.680,48 9 1.315.013.791,19 10 3.665.559.450,55 11-12 4.137.956.922,10 13-14 6.078.391.920,31 15 5.423.394.443,34 16 9.429.685.628,34 17-18 8.709.188.403,68 19-20 12.202.290.900,40 21 12.253.018,355,20 22 17.824.362.643,45 23-24 16.865.380.837,42 25 23.053.248.425,51 7.2.3 Kelayakan Finansial Usaha PLTSa Kelayakan finansial usaha PLTSa dilihat dari beberapa kriteria, yaitu NPV, IRR, Net B/C dan Pay back Period. Pada Tabel 25 memperlihatkan hasil analisis finansial kelayakan usaha PLTSa dengan tingkat discount rate 17 persen. Kriteria kelayakan PLTSa skenario II dapat dilihat pada Tabel 25. Berdasarkan Tabel 25. menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah Rp 1.660.445.113,55. Nilai ini berarti usaha PLTSa yang dilakukan menurut nilai sekarang adalah menguntungkan untuk dilaksanakan karena memberikan keuntungan sebesar Rp 1.660.445.113,55 selama umur proyek (25 tahun). Nilai IRR usaha PLTSa yang diperoleh adalah 17,78 persen. Nilai ini berada di atas nilai discount rate yang berlaku, yaitu 17 persen sehingga usaha PLTSa sudah memenuhi kriteria kelayakan finansial. Nilai Net B/C pada usaha tersebut adalah 1,10, yang berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan pada unit usaha PLTSa kapasitas 250 ton akan menambah manfaat bersih sebesar Rp 1,10. Tabel 25 Kriteria Kelayakan Finansial PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 No Kriteria Kelayakan Nilai 1 NPV (Rp) 1.660.445.113,55 2 IRR (%) 17,78 3 Net B/C 1,10 4 Pay Back Period 4,52 Nilai Pay Back Period pada skenario II sangat optimistik sekali dengan jangka waktu pengembalian selama empat tahun enam bulan tujuh hari, dibandingkan dengan nilai IRR 17,78 persen dan NPV Rp 1.660.445.113,55. Hal ini terjadi karena Pay Back Period dihitung dari nilai net benefit sebelum dikalikan DF, sedangkan untuk NPV dan IRR diambil dari nilai net benefit setelah dikalikan DF sehingga menurut Husnan (2000) memiliki kelemahan dibandingkan kreteria kelayakan finansial lainnya. 7.3 Perbandingan Hasil Analisis Kelayakan Finansial Kedua Skenario Perbandingan hasil analisis kelayakan finansial PLTSa pada kedua skenario betujuan untuk melihat skenario mana yang paling layak untuk dijalankan. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan keempat kriteria kelayakan finansial, seperti NPV, IRR, Net B/C dan Pay back period pada kedua skenario. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Perbandingan Kriteria Kelayakan Finansial PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Pada Kedua Skenario No. Kriteria Kelayakan Skenario I Skenario II 1 NPV (Rp) (10.781.436.315,13) 1.660.445.113,55 2 IRR (%) 3,02 17,78 3 Net B/C 0,55 1,10 4 Pay back Period (tahun) 72,41 4,52 Berdasarkan Tabel 26. dapat diketahui jika dilakukan perbandingan hasil diantara kedua skenario maka pilihan untuk mendirikan usaha terdapat pada skenario II yang sudah memenuhi kreteria kelayakan. Hal ini dikarenakan pada skenario I, nilai NPV, IRR, Net B/C dan Pay back period tidak memenuhi kreteria kelayakan finansial. 7.4 Analisis Swicthing Value Pada penelitian ini, analisis switching value yang akan dilaksanakan atau dilakukan adalah dengan menghitung kenaikan dan penurunan maksimal yang boleh terjadi terhadap biaya dan penjualan. Komponen yang paling berpengaruh pada PLTSa adalah komponen biaya variabel, harga penjualan listrik dan pendapatan retribusi/tipping fee pada masing-masing skenario. 7.4.1 Analisis Switching Value Pada PLTSa Skenario I Berdasarkan hasil analisis kelayakan tidak memenuhi syarat untuk dapat layak sehingga untuk analisis switching value yang dilakukan sebaliknya dari kasus-kasus studi kelayakan yang terjadi. Dalam hal ini analisis switching value terhadap penurunan biaya variabel dan kenaikan harga penjulan listrik serta batas kenaikan pendapatan retribusi dapat dilihat hasilnya pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27. diketahui bahwa biaya variabel harus diturunkan sampai batas 2,44 persen agar skenario I dapat dijalankan. Jika penurunan harga untuk biaya variabel tidak mampu melebihi persentase tersebut maka usaha tersebut pun sudah tidak layak lagi untuk dijalankan. Kenaikan penjualan listrik dan pendapatan retribusi mempunyai batas minimal sebesar 13,96 dan 150,73 persen. Jika kenaikan harga penjualan listrik masih dibawah persentase tersebut maka usaha tersebut juga tidak menjadi layak untuk dijalankan. Dari tiga komponen untuk analisis Switching Value skenario I yang paling memungkinkan untuk ditindak lanjuti PLTSa adalah dengan menaikan harga penjualan listrik, karena harga penjualan listrik yang telah ditetapkan untuk PLTSa Kota Bogor Rp. 500/kwh listrik. Setelah Switching harga jual menjadi Rp 569,79 per-kwh listrik masih memugkinkan dibandingkan dengan menurunkan biaya variabel ataupun meningkatkan pendapatan retribusi. Tabel 27. Switching Value Unit Usaha PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 (Skenario I) No Parameter Persentase (%) 1 Penurunan biaya variabel 2,44 2 Kenaikan harga penjualan listrik 13,96 3 Kenaikan Pendapatan Retribusi 150,73 7.4.2 Analisis Switching Value PLTSa Skenario II Faktor yang dilihat atau digunakan dalam analisis switching value pada penelitian ini adalah kenaikan harga untuk biaya variabel, penurunan volume produksi listrik serta batas penurunan pendapatan tipping fee. Dari hasil analisis yang dilakukan maka diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Switching Value PLTSa Kota Bogor Tahun 2009 Skenario II No. Parameter Persentase (%) 1 2 3 Kenaikan biaya variabel Penurunan harga penjualan listrik Penurunan pendapatan Tipping Fee 4,31 6,70 2,25 Berdasarkan Tabel 28. dapat diketahui bahwa kenaikan untuk harga pada biaya variabel mempunyai batas maksimal sebesar 4,31 persen. Apabila biaya variabel mengalami kenaikan sebesar persentase tersebut maka unit usaha PLTSa skenario II masih layak untuk dijalankan namun bila persentase kenaikannya melebihi batas yang ada maka usaha tersebut menjadi tidak layak untuk dijalankan. Penurunan harga penjualan listrik dan pendapatan tipping fee mempunyai batas maksimum sebesar 6,70 dan 2,25 persen. Apabila persentase penurunan volume produksi melebihi batas tersebut maka usaha tersebut tidak lagi layak untuk dijalankan. Dari tiga komponen untuk analisis Switching Value skenario II yang paling memungkinkan terjadi adalah adanya peningkatan biaya variabel. Dalam hal ini PLTSa agar tetap dapat beroperasi harus dapat mempertahankan agar biaya variabel kenaikannya tidak melebihi 4,31 persen. 7.5 Perbandingan Switching Value dari Kedua Skenario Perbandingan analisis sensitivitas terhadap kedua skenario bertujuan untuk melihat skenario yang paling peka terhadap perubahan pada variabel–variabel analisis. Perbandingan analisis kedua skenario dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Perbandingan Switching Value PLTSa Pada Kedua Skenario Tahun 2009 No Parameter Skenario-1 Skenario-2 1 Biaya variabel (turun) 2,44 (naik) 4,31 2 Harga jual listrik (naik) 13,96 (turun) 6,70 3 Pendapatan retribusi/tipping fee (naik) 150,73 (turun) 2,25 Berdasarkan Tabel 29 diketahui bahwa unit usaha PLTSa pada skenario II akan lebih sensitif atau peka apabila dibandingkan dengan unit usaha PLTSa pada skenario I. Batas maksimal perubahan pada skenario II lebih besar dibanding dengan skenario I. Batas maksimal perubahan–perubahan ini sangat mempengaruhi layak atau tidak layaknya usaha tersebut untuk dilaksanakan. Pada skenario I komponen biaya variabel yang paling peka sedangkan untuk skenario II terdapat pada komponen pendapatan tipping fee. Namun, pada masing-masing komponen peka pertama sangat riskan untuk direalisasikan sehingga komponen peka ke-2 yaitu meningkatkan harga jual listrik pada skenario I dan meneurunkan harga jual listrik pada skenario II yang memungkinkan untuk diupayaka dengan melakukan negosiasi harga jual kepada pihak PLN. BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis kelayakan usaha PLTSa untuk dua skenario dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Aspek Teknis, Aspek Pasar, Aspek Manajemen PLTSa Kota Bogor layak untuk dilaksanakan. TPA Galuga paling ideal untuk lokasi PLTSa selain karena letak bahan baku utama, sumberdaya seperti air dan kondisi udara serta untuk menghindari penolakan akibat adanya kekhawatiran warga sekitar terhadap polusi dari pembakaran sampah. Teknologi proses dan peralatan PLTSa dapat disediakan dan disesuikan dengan sumberdaya yang dimiliki Kota Bogor pada kapasitas produksi 250 ton sampah per-hari dan output sebesar 1.600 kw perjam. 2) Pada Aspek Pasar untuk Output utama, PLTSa bermitra dengan PLN sehingga harga, promosi dan distribusi mengikuti prosedur yang ditetapkan PT PLN. Harga jual listrik yang ditetapkan Rp 500 per-kwh. 3) Pada Aspek Manajemen PLTSa merupakan program coorporate social responsibility (CSR) yang digulirkan PT. PLN, PDAM Tirta Pakuan dan DLHK Kota Bogor, stuktur organisasi yang dimiliki sederhana karena ruang lingkup kerja PLTSa dimulai dari pengumpulan sampah sampai kepada penggolahan menjadi tenaga listik. PLTSa mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 347 orang. 4) Pada aspek finansial karena komponen biaya investasi dan biaya operasional sangat mahal sehingga pada skenario I, PLTSa tidak layak. Hasil analisis aspek finansial pada skenario I menunjukan nilai: NPV Rp 10.781.436.315,13 (negatif); IRR 3,02 persen; B/C Ratio 0,55 dan PBP 72,41 tahun sedangkan untuk skenario II menunjukan nilai: NPV Rp 1.660.445.113,55; IRR 17,78 persen; B/C Ratio 1,10 dan PBP 4,52 tahun. Pada skenario II PLTSa layak dilaksanakan karena dipengaruhi oleh tippingg fee. 5) Komponen biaya variabel, harga penjualan listrik dan pendapatan retribusi/tipping fee pada masing-masing skenario menunjukan nilai 2,44 ; 13,96 ; 150,73 sedangkan untuk skenario II menunjukan nilai 4,31 ; 6,70 ; 2,25, nilai tersebut menunjukan skenario II yang paling peka terhadap perubahan. 8.2 Saran Beberapa hal yang harus diperhatikan dan ditindak lanjuti agar proyek ini berhasil direlisasikan untuk penyelesaian permasalahan sampah kota, yaitu : 1) Proyek PLTSa ini harus diteliti lebih jauh dengan menggunakan kajian dari aspek ekonomi dan aspek sosial lingkungan. 2) Cara-cara pelaksanaan proyek dan pembiayaan, perjanjian kerjasama serta pengoperasian PLTSa haruslah dibuat mekanisme yang jelas, terutama peranan dan tanggung jawab masing-masing institusi publik seperti DPRD Kota Bogor dan instansi terkait lainnya seperti DLHK, PT PLN, PDAM Tirta Pakuan dan Departemen PU agar terwujudnya kesejahtraan sosial masyarakat yang lebih baik. 3) Modal investasi yang sangat tinggi pada Proyek PLTSa sehingga keberadaan PLTSa Kota Bogor harus mendapatkan dukungan dari perbankan daerah terutama perbankan nasional. DAFTAR PUSTAKA Aida, N. 1996. Usaha Pemanfaatan Barang Bekas dari Sampah Bekas dan Pengaruhnya Terhadap Pengolahan Sampah di Kotamadya Bogor (Studi Kasus TPA Galuga). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK). 2007. Laporan Hasil Survey Tinjuan Lapang kota Bogor. Bogor. Gittinger. 1986. Analisa Ekonomi Proyek – Proyek Pertanian. Edisi Kedua. UIPress. Jakarta. Gray, C. S, P. Sabur, L. Maspaitellla, K. dan Varley, R.C.G. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Husnan, S dan Suwarsono, M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Kadariah dan Karlina, L. 1976. Pengantar Evaluasi Proyek. Jilid 1. FE-UI. Jakarta. Mujahidahwati. 2005. Pengembangan Model Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dengan Pengomposan di Kota Bogor. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pasek, A. D. 2007. Studi Kelayakan Pembangkit Listrik dengan Bahan Bakar Sampah di Kota Bandung. Laporan Akhir. LPPM ITB. Bandung. _________________ Hasil Studi Proses Pemusnah Sampah Melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Ringkasan. Kerjasama LPPM ITB dan PT PLN (persero). Bandung. Oktawidya, R. 2008. Analisis Kelayakan Usaha Franchise kebab Turki baba Rafi (Kasus Cabang Outlet kebab Turki baba Rafi 253). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Qomariyah, S. 2005. Analisis Willingness to Pay (WTP) dan Willingness to Accept (WTA) Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sampah. (Kasus TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahmawati, E. 2007. Studi Kelayakan Pendirian Industri Biodiesel Terpadu dari Jarak Pagar di kawasan Pabrik Gula Jatilujuh, Majalengka, Jawa Barat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ratnawati, N. 2002. Analisis kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Peternakan Sapi dan Kambing Perah di Pesantren Darul Fallah, Ciampea Bogor. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sepdianti, A. E. 2006. Prilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah (Kasus Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sudrajat, H. R. 2007. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya. Jakarta. Yudiyanto. 2007. Analisis Sistem Pengelolaan Sampah Pemukiman di Kota Bogor. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.